Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 14

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


"Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya dan dengan gerakan sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil memandang tajam wajah yang tampan itu.
"Ehh..." Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, melainkan karena mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau" Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.
"Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini" Bukan main, kau hebat sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, "Sam-lo, dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!" Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!
Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.
"Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai sahabatmu."
"Eh" Kau lupa lagikah" Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu"
Sin Liong ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!"
"Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan" Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kautunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang, "Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat diselesalkan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!"
Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.
"Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"
Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.
"Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu, tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.
*** "Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan membalapkan kudanya yang besar dan gagah.
Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.
Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.
"Bunuh pembesar lalim!"
"Basmi penindas rakyat!"
Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!
Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata, "Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"
Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek. "Hayo kalian cepat berlumba, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!" Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlumba untuk merobohkan sang pangeran.
Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Pek-lian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!
"Ha-ha, Sin Liong, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!
"Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun.
Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. "Kau... kau membunuh mereka"
Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. "Mengapa tidak" Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku"
Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja"
Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya lagi. "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu" Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!"
"Betapa kejam!"
Pangeran itu tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!"
Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong" Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.
"Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh" Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu." dia mencoba untuk membantah.
"Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain" Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang pemberontak-pemberontak itu" Pek-lian-kauw memang merupakan segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."
Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.
"Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah"
Han Houw tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan."
"Ah... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar"
Han Houw tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."
Sin Liong mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu"
"Ha-ha-ha, kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo" Apakah engkau berambisi menjadi bengcu"
"Ah, sama sekali tidak. Juga suhengku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin menjadi bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan jujur dan bersih."
"Ha-ha, engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia ini" Kau harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu, aku ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita masih muda, Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke utara tentu amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang aneh-aneh dan kita hadapi berdua. Bagaimana"
Sin Liong merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari suhengnya untuk berkelana meluaskan pengetahuan, dan mencari pengalaman, karena semua ilmu dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua kitab itu oleh suhengnya telah dibakar, sesuai dengan "perintah halus" yang diterima melalui getaran dari yang disebut Bu Beng Hud-couw. Dan dia sendiripun belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya meninggal dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri dan dia sama sekali tidak ingin bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai puteranya, dia tidak mempunyai tujuan.
"Apakah engkau sudah lupa akan Lembah Naga" Apakah tidak ingin kembali ke sana, tidak rindu kepada tempat indah itu" tiba-tiba terdengar suara halus pangeran itu.
Mata Sin Liong bersinar-sinar. "Lembah Naga...!" katanya dengan perlahan dan di depan matanya membayang semua kehidupannya di waktu dia masih kecil, di lembah yang tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.
"Ya, bukankah engkau berasal dari Lembah Naga" Namamu Sin Liong, hemm, naga sakti. Engkau Naga Sakti dari Lembah Naga!" Pangeran itu tertawa gembira. Hampir Sin Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapapun juga, ada rasa rindu di dalam hatinya kepada tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada ibu kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya maupun biang monyet yang merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya, tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali, kehilangan gairah.
"Mau apa aku ke tempat itu" katanya lirih dan matanya memandang jauh dengan kosong.
"Mau apa" Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat lama di waktu engkau bermain-main dahulu" Eh, Sin Liong, mari kau ikut bersamaku, aku akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk memilih guru. Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih menjadi guruku, di Lembah Naga."
"Eh" Sin Liong terkejut.
"Tidak tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah..."
"Ayahmu" Siapakah dia"
"Raja Sabutai..."
"Bukankah engkau pangeran adik kaisar..." Sin Liong menjadi bingung.
Han Houw mengangguk. "Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah putera kandung mendiang Kaisar Ceng Tung!" katanya gagah. "Akan tetapi sejak kecil aku dititipkan kepada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan tahun depan, setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru sebagai orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu sebagai guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang paling gagah di dunia ini."
"Hemm... kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han How. Dengan mudah saja engkau membunuh tujuh orang Pek-lian-kauw tadi."
"Ah, masih belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi orang yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan orang yang paling dibenci oleh ayah..."
"Siapa orang itu"
"Cia Keng Hong...!"
"Ahh...!"
"Sayang ketua Cin-ling-pai itu telah meninggal dunia, akan tetapi masih ada puteranya yang kabarnya lebih lihai lagi daripada Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari aku mengalahkan Cia Bun Houw."
"Mengapa ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya"
"Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku."
Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya.
"Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.
"Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"
"Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.
"Eh" Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran" Aihh, apakah engkaupun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku" Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja."
Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Houw-ko."
Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.
"Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. "Ke benteng" Mau apa pergi ke benteng" tanyanya heran.
Han Houw tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan"
Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk. "Baiklah."
Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw dan Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung!
Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.
"Mengapa, berhenti, Houw-ko" Akhirnya dia bertanya.
"Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kaugantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan," kata pangeran itu sambil tersenyum.
Sin Liong juga tersenyum. "Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah..."
"Ah, benarkah" Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah"
Sin Liong menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan" Tidak akan habis dan sia-sia saja."
"Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang" Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!"
Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali.
Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.
Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.
"Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong"
Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat" Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw" Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houw hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu..."
"Aku bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.
Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.
"Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.
"Aku tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.
Kembali Han Houw tersenyum. "Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.
"Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek," jawabnya pendek.
"Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-te"
Sin Liong menggeleng kepala. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.
"Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.
"Apanya yang luar biasa aneh"
"Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya" Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya" Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu"
Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku,
akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."
"Bukan main...!" Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. "Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."
Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.
"Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya."
Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu seorang dewa..." Bu Beng Hud-couw..." Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa"
"Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran..."
"Getaran" Bagaimana maksudmu"
"Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu."
Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. "Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya."
Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.
Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!
Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.
"Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."
"HEMM, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kaumaksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia"
"Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi."
"Hemm..., Bu Beng Hud-couw" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.
"Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama..."
Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.
"Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini" Nyawamu berada di dalam tanganku!"
Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini. "Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."
"Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran" Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.
"Crotttt...!" Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung!
Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.
"Oughhhhh... pangeran... mengapa..." Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.
Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti, "Plong...!" dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa engkau lakukan itu" Mengapa kau membunuh dia"
Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau... dapat bergerak" Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu"
Sin Liong mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh" Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu"
Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.
"Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."
"Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah"
"Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku."
"Ehh..." Sin Liong berseru heran.
"Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te" Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing. "Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu."
"Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."
Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.
Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Dan dia melihat betapa Han Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja! Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.
Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam "kebudayaan" atau yang sering kali dinamakan "olah raga" sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!
Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.
Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu, Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Tentu saja Sin Liong yang diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.
Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan! Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, "Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!"
"Adik angkat" Apa maksudmu, Houw-ko" tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.
"Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku" Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."
"Ahhh...!" Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!
"Apakah engkau menolak, Liong-te" pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.
"Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko..." katanya gagap.
Han Houw merangkulnya dan tertawa. "Pantas" Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman."
Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah. Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak!
Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan! Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup tegang.
Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong dan bertanya, "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini"
Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.
"She Liong..." jawabnya berbisik pula.
Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. "She ibumu..."
Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja"
Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw. "Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua."
Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata. "Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."
Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri. "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"
"Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!" Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han How.
"Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!"
Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.
Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu. Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali! Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita!
Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.
"Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te" Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia" Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami"
Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pi-pa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari. Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!
Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"
"Pangeran terlalu memuji..." kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.
"Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat..." kata Sin Liong.
Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin."
"A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!" perintah sang ayah kepada anaknya. Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.
Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.
"Liong-te, kaupilihlah. Siapa di antara mereka yang kaupilih untuk menemanimu" Han Houw bertanya sambil tersenyum.
Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak. "A... apa..." Apa maksudmu..." tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.
"Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kaupilih yang mana" Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini" Nah, kauambillah dia...!" Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.
"Aku... aku... tidak..."
"Jangan malu-malu, Liong-te..."
"Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja..." Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.
"Bagaimana, Liong-te"
Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas, "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini."
"Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te" Ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu." Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang. Suara ketawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak pernah bicara tentang tata susila. Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak!
Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi, matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu. Semua ini makin mengganggu hatinya dan akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersamadhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.
Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya" Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat itu yang mencari pemuasan" Nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga yang dapat meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau menyentuh berahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing. Namun, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu berahi ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu berahi.
Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.
Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi datang menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka. Ke dua, setelah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri darinya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus.
Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri" Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu" Mengapa kita hendak melarikan diri" Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri" Siapa yang hendak lari itu" Siapa yang hendak mengusir nafsu itu" Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin" Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, memandangnya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa pamrih sedikitpun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau menerima kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian dan kewaspadaan" Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!
Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tidur pulas, akan tetapi, di dalam tidurnya itu, sang nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian! Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore hari tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!
Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.
Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apapun.
Pada keesokan harinya, Ceng Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka.
Setelah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong berpaling membuang muka. "Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin babwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik." Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga.
"Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan mengirim utusan untuk menjemput mereka." Kemudian pangeran itu menatap wajah Sin Liong dengan alis berkerut. "Liong-te, kenapa kau begitu bodoh" Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita"
Sin Liong menggeleng kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya. "Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana" Mengapa tidak bersamamu, Houw-ko"
Pangeran itu tertawa. "Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada wanita yang palsu."
"Maksudmu"
"Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya menjadi selir seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!"
Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biarpun sikapnya ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya!
Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.
*** Nama Raja Sabutai amat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan. Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai tidak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja" Walaupun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri kalau mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.
Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar dan terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, akan tetapi nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di dunia kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko. Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, diapun dikenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw, dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.
Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan yang dapat dipilih menjadi guru silat. Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan ingin menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling berjumpa, pasti dunia kang-ouw menjadi gempar dan banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman.
Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu makin mendekat, nampak setiap hari banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Kalau bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu.
Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apalagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi.
Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan jarang mereka berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk minta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan.
Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya ketika keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, kemudian mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya dikenal namanya dari suhengnya itu, yaitu Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!
Apalagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini semenjak dari Rawa Bangkai, telah nampak penjaga-penjaga yaitu perajurit-perajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan kepada para tamu yang akan datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Maka, tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.
Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw, yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"
Wajah para perajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.
Ketika para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang.
"Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!"
Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini dan mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil mohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk sekali dan membalas penghormatan mereka, dilihat oleh Han Houw yang tertawa bergelak melihat kekikukan Sin Liong.
Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata, "Harap kaumaafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga."
Han Houw memandang heran. "Eh, kenapa begitu, Liong-te" Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan setelah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan" Kenapa sih"
Sukar bagi Sin Liong untuk bicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, kemudian Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li telah menyebabkan kematian kong-kongnya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu. Sekarang, biarpun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biarpun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka" Dan dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di depan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.
"Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka akan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk kalau berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko."
Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia sudah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkat, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.
"Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena setelah selesai menyaksikan pemilihan, akupun harus kembali ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke utara. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."
Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang bijaksana sekali! "Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."
"Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu" Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai."
Sin Liong tersenyum dan makin beratlah hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.
Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu di tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya kalau ada yang meninggal dunia. Dia hendak mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.
Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tidak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!
Sin Liong yang sudah mengikat kudanya pada sebatang pohon, kini berdiri di depan makam itu, makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga" Makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar. Sampai lama Sin Liong berdiri termenung, memandangi rumput-rumput tebal itu dan terbayanglah walah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik kepadanya, bahkan yang perah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi diapun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!
"Ibu...!" Dia berbisik dan Sin Liong lalu mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.
Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong lalu bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempat bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu! Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.
"Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya. Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali dan buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!
Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi! Ah, tentu saja, pikirnya. Ketika dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari pemburu-pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa adalah musuh mereka.
Betapapun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali dan dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam! Dia tentu masih akan terus berkeliaran di situ, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu setelah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.
Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah terbawa oleh pangeran itu.
Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, kemudian dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya. Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di situ duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu tentulah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai. Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi banyak terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, akan tetapi banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti ahli-ahli, dan guru-guru silat dan lain-lain. Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.
Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga agar jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini dia mulai memperhatikan dua orang yang masih bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu. Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin. Gerakan kakinya mempunyai gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, berlompatan dan kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari-jari kakinya sehingga tubuhya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali. Kedua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguhpun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik sekali. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu sekelompok tosu dan sekelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang! Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang bertentangan ini menambah tegang suasana dan tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara pera hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.
Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, memiliki tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing. Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama, masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling berebutan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhkan kekerasan, menjauhkan permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia! Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik benda-benda yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat maupun ilmu surat, semua hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri! Tak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukalah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk takkan mungkin menghasilkan buah yang baik. Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.
Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini terdiri orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apalagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain. Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, make mereka lalu datang den mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu. Tentu saja sebagai orang-orang beragama, mereka itu tidak lagi mementingkan kedudukan atau harta, melainkan ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw.
Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, segera melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, kalau perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi. Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain, yang mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasanya orang-orang kango-uw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.
Tiba-tiba perhatian Sin Liong tertarik akan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan. Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia kurang lebih enam puluh tahun, jenggot dan kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri agak membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi. Sin Liong cepat memperhatikan orang, itu karena dia melihat betapa orang itu mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!
BAGI seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andaikata sikap orang ini tidak mencuri hati Sin Liong, pemuda inipun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia lalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton ketika dia melihat orang itu makin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.
Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!
"Houw-ko, awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton. Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.
Sin Liong meloncat ke atas melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.
"Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!" kata Sin Liong.
Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.
"Ha-ha, Liong-te, benarkah begitu" Kalau begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.
"Aughhh...!" Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapapun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
"Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap" Han Houw membentak.
"Huh, melihat anak panah beracun hijau siapa lagi orang ini kalau bukan anggauta Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)" kata Raja Sabutai sambil mengelus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya telah demikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.
"Jeng-hwa-pang..." Semua orang kang-ouw terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.
Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut, "Benar, aku adalah anggauta Jeng-hwa-pang dan kedatanganku tidak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tidak ada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam kepada wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!" Laki-laki itu sambil menahan rasa nyeri menuding ke arah Ceng Han Houw.
"Ah, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya" Eh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang" Kenapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau" Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di pinggir. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus" Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan sucimu, kautunggu saja!"
"Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus" Tiba-tiba muncul seorang nenek yang amat mengerikan. Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agaknya melengkung. Nenek ini sudah tua sekali, tentu ada seratus tahun usianya, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya merupakan garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena amat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada biji matanya ataukah tidak. Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apalagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena serem dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!
"Subo baru datang" Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata ketika melihat nenek itu.
Akan tetapi nenek itu tidak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, "Heh-heh, anjing, mengapa tidak menggongong lagi" Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur" Nah, kaucoba rasakan racunku ini!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya telah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.
Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat sekali karena pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya. Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging dan tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ. Kiranya tidak ada orang yang akan sanggup menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat sehingga tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya sudah habis dicakarinya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!
Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang amat mengerikan, orang yang mukanya sudah tidak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, kemudian kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!
Menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan ini sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa amat ngeri. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.
Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Biarpun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga biarpun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu mati di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dia yang telah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 24 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana 5

Cari Blog Ini