Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 22

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


"Cring-cringgg...!" Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakk!"
Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.
In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.
"Plak! Plakk!" Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!
Namun pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya dan sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!" Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi" Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sangat menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjangnya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini" Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena pukulan yang langsung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan marah di hatinya. Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempatan selagi dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukk!" Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang! Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!" Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!
Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu terdengar teriakan, "Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.
Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukk!" Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!" Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau..." bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu..."
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya..." jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!
"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.
"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukk!" Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis.
"Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. "Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!
KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan, menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit, diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air bah menyerang itu.
"Mari kita pergi cepat!" Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya. Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana" Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua tangannya menyerang.
"Plak! Plak!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw" Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri" Dan yang lebih aneh lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan" Sunguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.
Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.
"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" Kata Bun Houw sambil menggeleng kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat mainkan Thai-kek-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."
"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"
Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara dengan serius.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.
Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.
Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pastikan untuk mengejar mereka"
Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.
*** Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.
Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.
Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.
"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau" Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana"
Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit "Heh-heh-heh-heh, sute, engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"
Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini.
"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau" Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."
"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau" Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."
"Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."
"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu"
"Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."
"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"
Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu kalau suheng sudi memberi petunjuk."
"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya"
Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng."
Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sutenya, lalu berkata, "Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."
Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat bertemu dengan suhu."
"Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya.
Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.
Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!
Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.
"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.
Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.
Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!
Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah "bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!
Setelah merasa "bertemu" dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu saja dia menghubungkan ini dengan "kemunculan" bayangan suhunya yang, secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa "bayangan" Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan "bayangan" yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.
Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan "yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan" Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada" Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan"
Semenjak "pengalamannya" yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu "memanggil" datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!
Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.
Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.
"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.
"Byarrrr...!" Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.
"Desss...!" Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.
Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.
Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suhengnya tinggal.
"Suheng...!" Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.
"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.
Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"
Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya, "Bagaimana, sute" Engkau sudah berhasil..."
Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."
Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."
"Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."
"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."
Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan sesuatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata, "Di dalam guha inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."
"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"
"Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kautunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw menanti di luar guha sambil menahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.
Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"
"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya.
"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu.
Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah menghadap!"
Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menanti di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"
Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.
Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, "Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."
Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"
Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami"
Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"
Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar, "Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!"
"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka"
Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.
"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.
"Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan" Kakek itu berkata mengejek.
Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.
"Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"
"Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai" kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.
Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan" Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka"
Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.
Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, "Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.
Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. "Kalian bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"
"Ouwyang locianpwe..."
"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang"
"Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.
"Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.
"Takkkk!" Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.
Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!
"Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.
Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.
"Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru, dan tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.
"Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek! Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!
Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!"
Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.
"Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.
"Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu" tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.
"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"
"Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok. Biarpun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.
"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai" Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.
"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
"Keparat, kalau begitu mampuslah!"
Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.
"Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil berdiri di antara mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu.
Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!
"Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.
"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" jawab Han Houw dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapapun, termasuk engkau!"
"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justeru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"
"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasihatmu!"
"Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku" Aku suhengmu, juga aku pembimbingmu..."
"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!" bentak Han Houw.
Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!
"Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.
Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi "pagar" hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.
"Dess...!" Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!
Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus, dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.
"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang agak parau saking marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.
"Blarrrrr...!" Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!
Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan, ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan. Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.
"Buk! Bukk!" Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.
Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.
Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga! Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.
Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!"
OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang!
Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat.
Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.
Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.
Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.
Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.
"Blukkk!" Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.
"Hukkkk... crotttt...!" Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.
Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.
"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"
"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."
Han Houw membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.
"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."
Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak mengira, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.
Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si" Di manakah dia sekarang"
Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu. "Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.
Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian"
Terkejut hati dua orang itu mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak kelihatan marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.
"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah."
"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah"
Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouwpun tahu belaka betapa semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah membasmi para pemberontak."
Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya, "Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu"
Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."
Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan akupun bertanya untuk pergi menemui mereka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan untuk mereka..."
"Ah, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.
"Katakanlah, di mana adanya mereka kini"
"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa melarikan diri lagi..." ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.
"Ke mana mereka melarikan diri" Di mana mereka sekarang"
"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."
"Suheng...!" Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.
Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat. "Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku" Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih merasa khawatir itu. "Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..." Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.
"Desss...!" Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.
Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Manusia iblis berhati keji! Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu. Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"
Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang akan pergi ke neraka!" katanya sambil melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.
Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!
Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.
"Desss...!" terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang, dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.
Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!
Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuhhya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.
Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap. Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak"
Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!
Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak.
Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.
"Sssssttt...!" Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan tenaga pada kedua jari itu terdengar suara "krekk" dan tulang leher ular itupun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya.
"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil, tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.
"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu"
Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua. Lebih baik begitu, pikirnya dan diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.
*** Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.
Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut, berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.
Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.
Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu. Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan kalau ketahuan mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.
Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.
Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan kecerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan, ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang, ada pula yang membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.
Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.
Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.
Hikmah Pedang Hijau 15 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Peristiwa Burung Kenari 8

Cari Blog Ini