Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 6

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 6


membawa poci perak, sepiring ayam panggang dan
sepasang sumpit.
"Harap tuan suka dahar sebagai tanda hormat kami,"
katanya dengan tertawa.
"Ah, apakah artinya ini ?" Cu Jiang heran.
"Terhadap seorang sahabat dari Ih toa-koh jiu (tabib
negara) kepada siapa aku pernah berhutang budi, sudah
sepantasnya kalau aku menghaturkan hormat."
Ia menuang arak ke cawan Cu Jiang dan ke cawannya
sendiri lalu mempersilahkan pemuda itu minum dan dahar.
Cu Jiang mengucapkan kata2 basa-basi tetapi pemilik
rumah makan itu mendesaknya supaya jangan sungkan,
Terpaksa Cu Jiang minum juga.
"Arak yang hebat," serunya memuji. Pemilik rumah
makan lalu menuang lagi. Berturut turut Cu Jiang menegak
sampai tiga cawan. Tetapi beberapa kejab kemudian ia
rasakan matanya ngantuk sekali, sampai sukar dibuka. Ia
terkulai, rebahkan kepalanya di meja dan tak ingat apa2
lagi. Entah berselang berapa lama, ingatannya mulai timbul
kembali. Ia rasakan sekujur tubuhnya tak enak dan kaki
tangannya tak dapat digerakkan. Bahkan terasa seperti
lunglai. Ia mendengar suara ribut2 dan bau asap dupa
wangi. Ketika membuka mata, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata saat itu dirinya sedang terikat pada sebatang
tonggak. Sekelilingnya penuh dengan orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Masing2 membawa obor. Bau asap
kayu cendana, timbul dari unggun api.
Tempat itu merupakan sebuah lapangan terbuka. Menilik
pagar-pagar yang terpancang di sekeliling, seperti merupakan sebuah pasar.
Di sebelah muka, disiapkan meja sembahyangan, bunga
dan lilin. Di atas meja diberi sebuah sin-pay atau nisan yang
bertulis beberapa huruf, berbunyi:
Arwah mendiang tabib Sin-jiu Ih Hoa.
Cu Jiang tercengang tak tahu apa yang terjadi. Bukankah
karena menganggap Cu Jiang itu seorang sahabat dari Ih
Hoa maka pemilik rumah makan lalu menyediakan arak
dan hidangan ayam panggang" Mengapa tahu terjadi
adegan seperti saat itu"
Cu Jiang sudah tentu tak kenal siapa tabib Ih Hoa itu dan
bagaimana peribadinya. Dan hanya karena menjawab
pertanyaan, ia sekenanya saja mengatakan hendak
menjenguk seorang sahabat orang she Ih. Ai, mengapa
tahu2 jadi begini...
Di samping meja tegak delapan lelaki berjubah panjang.
Salah seorang tak lain adalah pemilik rumah makan itu
sendiri. Menilik gelagatnya, jelas mereka tentu bermaksud buruk
terhadap Cu Jiang. Tentulah pemilik rumah makan itu telah
mencampuri obat ke dalam arak.
"Tho-si telah tiba!" tiba2 terdengar lelaki tua yang berdiri
di tepi meja itu berseru nyaring.
Tho-si adalah sebutan untuk pembesar atau kepala
daerah dari suku golongan minoritas (kecil) yang hidup di
daerah Lam bong atau Tionggoan sebelah barat-daya
Suasana hening seketika. Dari jauh tampak mendatangi
sebuah rotan panjang yang menyerupai ular api. Ternyata
mereka terdiri dan berpuluh-puluh lelaki berpakaian
pendeta, memegang obor dan berjalan menuju ke lapangan.
Diantara cahaya api itu, tampak sebuah tandu besar. Cu
Jiang duga, yang berada dalam tandu itu tentu tho-si.
Selekas memasuki lapangan, rombongan obor itu segera
berpencar dengan rapi sehingga lapangan terang benderang
seperti siang. Tandu berhenti di muka meja sembahyangan. Orang2
yang berdiri di tepi meja segera maju menghampiri.
Seorang pengawal yang bersenjata golok, segera
membuka tenda penutup tandu dan seorang lelaki bertubuh
tinggi besar mengenakan jubah kuning emas, melangkah ke
luar dari dalam tandu. Dengan mata berkilat-kilat ia
memandang ke sekeliling.
Bagai rumput tertiup angin, sekalian orang yang berada
di lapangan itu, segera berlutut memberi hormat.
Lelaki yang menyambut ke muka tandu itu-pun juga
membungkukkan tubuh memberi hormat. Rupanya ke
delapan orang yang tegak berjajar di kedua samping meja
itu merupakan tokoh2 penduduk yang terkemuka.
Lelaki tua jubah kuning emas lalu berjalan pelahan-lahan
menuju ke muka meja. Ia mengangkat tangan selaku
membalas penghormatan orang2 itu. Kemudian ia duduk di
kursi yang telah disediakan. Kedelapan pengiring bersenjata
golok, tegak berjajar di belakangnya.
Orang2 yang berlutut tadipun bangun. Tetapi tiada
seorangpun yang berani membuka mulut. Suasana masih
tetap hening lelap.
Cu Jiang rasakan benaknya masih memar sehingga ia tak
jelas apa yang terjadi di tempat itu.
Delapan penduduk terkemuka yang berjajar pada kedua
samping meja sembahyangan, berdiri di tepi tempat duduk
lelaki tua berjubah kuning.
Setelah beberapa jenak menatap Cu Jiang, lelaki
berjubah kuning emas itu baru berkata: "Apakah hanya dia
seorang?" "Ya," jawab seorang tua berjubah panjang. "semalam dia
singgah di kedai Tio lopan. Dalam pembicaraan, dia telah
kelepasan omong, Tio lopan segera menghidangkan arak
obat untuk meringkusnya..."
"Apakah sudah pernah ditanya?"
"Belum, kami menantikan loya yang memeriksanya."
"Tio lopan." seru lelaki tua jubah kuning emas itu.
Pemilik rumah makan segera mengiakan. "Kapan dia
singgah di kedaimu?"
"Baru semalam."
"Dia berkata apa saja ?"
"Katanya hendak berkunjung ke daerah selatan
menjenguk seorang sahabat. Aku curiga dan mendesaknya,
Dia mengatakan sahabatnya itu orang she Ih. Segera
kuhidangkan arak obat sehingga dia rubuh dan ternyata
memang terdapat bukti."
"Bukti ?"
"Kutungan pedang!" kata pemilik rumah makan,
menjemput sebilah kutungan pedang, diangkat tinggi2 lalu
diletakkan kembali.
Bukan main marah Cu Jiang. Kutungan pedang itu
adalah benda peninggalan mendiang ayahnya. Ia tak
menduga orang akan menggeledah dirinya dan menganggap
benda itu sebagai barang bukti.
Wajah lelaki tua jubah kuning emas itu tampak gelap.
Dengan penuh dendam ia memandang Cu Jiang lalu ke
segenap hadirin dan terakhir berseru dengan lantang:
"Tabib Ih, seorang tabib yang budiman dan pandai,
menyelamatkan jiwa manusia dari cengkeraman maut.
Didaerah ini beliau merupakan dewa penolong yang sangat
dipuja dan dihormati. Sungguh tak kira kalau orang yang
begitu baik akhirnya harus mengalami nasib menyedihkan
dibunuh oleh serombongan lima orang.
Sudah empat pembunuh yang membayar dosanya.
Arwah tabib Ih masih melayang-layang di daerah ini
sehingga pembunuh2 itu kebingungan dan menyerahkan
diri. Pada tubuh mendiang tabib Ih, masih tertanam sebilah
pedang kutung. Dan karena dibadan orang itu-pun terdapat
kutungan pedang, maka bukti kejahatannya sudah jelas, tak
perlu ditanya lagi..."
Beratus-ratus mata yang penuh dendam kemarahan
mencurah pada Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru menyadari
persoalannya. Ternyata dia telah didakwa sebagai
pembunuh tabib Ih Hua. Padahal ia tak kenal sama sekali
siapa dan bagaimana tabib Ih itu.
"Ah, jika aku tak membantah, tentu akan mati konyol,"
pikir Cu Jiang.
"Tho-si, apakah ucapan anda itu benar ?" serunya.
"Soal apa ?" sahut lelaki tua berjubah kuning emas.
"Anda tak boleh hanya dengan kesimpulan dugaan saja
lalu menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak
berdosa..."
"Apa engkau tak berdosa?"
"Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu didaerah ini.
Kutungan pedang itu adalah peninggalan ayahku.
Bagaimana engkau jadikan bukti sebagai alat pembunuh
tabib itu ?"
"Itu menurut katamu."
"Mengapa tak mencocokkan dulu kedua kutungan
pedang itu ?"
"Jenasah tabib mulia itu tak boleh diganggu. Kutungan
pedang masih berada pada Jenasah dan ikut dikubur."
"Aku sama sekali tak kenal siapa tabib Ih itu. . ."
"Tutup mulutmu ! Percuma engkau membantah. Lekas
sumbat mulutnya !"
Seorang pengiring segera maju. Merobek baju Cu Jiang
lalu menyumpalkan pada mulut pemuda itu.
Hampir melotot keluar mata Cu Jiang karena menahan
kemarahannya. Tetapi dia tak berdaya. Tenaganya masih
merana, tenaga-dalam masih di hanyut obat dalam arak
tadi. Jika saat itu dia mau menyebut nama Gong gong-cu,
persoalan tentu akan berobah. Tetapi dia memang berhati
tinggi. Tak mau dia mengemis pertolongan orang.
"Mulai sembahyang !" teriak lelaki berjubah kuning
emas. Seorang laki tua yang mengenakan pakaian warna biru
segera maju ke depan meja sembahyangan. Kawankawannya yang lain mundur dan berjajar di belakang tho-si.
Sementara thosi itupun segera menghadap meja.
"Mulai! Satu dua.... tiga," dengan suara aneh lelaki
berjubah biru itu berteriak.
Thosi berturut-turut tiga kali melakukan sembahyangan
dengan dupa dan menancapkan pada sebuah tempat dupa.
"Berlutut !" lelaki jubah biru itu berteriak nyaring dan
panjang. Seluruh hadirin segera berlutut. Suasana hening, tegang
dan seram. Cu Jiangpun berdiri bulu kuduknya. Kini ia
menyadari apa yang akan terjadi. Dia akan dijadikan sesaji
sembahyangan, "Penghormatan dimulai. Satu .. . dua .. tiga " kembali
lelaki berjubah biru itu berseru. Sekalian hadirin segera
membungkukkan kepala hingga sampai ke tanah.
"Menghaturkan sesaji !"
Dua orang lelaki baju merah muncul dari meja
sembahyangan. Yang seorang membawa panci kayu warna
merah. Dalam panci kayu itu terdapat basi dari tembikar.
Sedang yang seorang mencekal sebatang pisau sebesar
kuping kerbau. Setelah maju memberi hormat dihadapan meja,
keduanya lalu menghampiri Cu Jiang.
Semangat Cu Jiang serasa terbang. Dia tak nyana bahwa
dirinya akan mati dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Jauh di daerah pedalaman Lam bong dan
disembelih seperti babi.
Kedua Jagal itu berdiri di kanan kiri Cu Jiang.
Dengan kata2 dalam bahasa Han yang kurang lancar,
jagal yang memegang pisau itu berkata pelahan-lahan:
"Semoga dalam penitisanmu besok, engkau akan
menjadi orang baik!"
Orang yang membawa panci kayu, mengertek gigi:
"Dia memang jahat sekali. Jangan cepat2 di bunuh tetapi
harus disayat pelahan agar dia tahu rasa!"
Jagal yang memegang pisau itu segera mengangkat pisau
dan ujung pisaupun mulai digerakkan ke tenggorokan Cu
Jiang. Dan Cu Jiang karena tak berdaya hanya pejamkan
mata pasrah nasib.
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
keras yang mengejutkan sekalian orang.
O0xxdw-kzxx0O Jilid 10 Kedua jagal itu terkejut dan mundur sampai beberapa
langkah Orang2 yang berlutut mengikuti upacara penjagalan Cu Jiang itupun serempak berdiri.
Cu Jiang membuka mata. Tampak seorang lelaki
berumur 40 an tahun melesat ke depan meja sembahyangan. Dia mengenakan pakaian ringkas seperti
orang persilatan dan menyanggul pedang.
Melihat pendatang itu, lelaki jubah kuning emas tadi
serentak pucat wajahnya. Buru2 dia membungkuk tubuh
memberi hormat.
"Se-cun thosi lo Ciau Liang menghaturkan hormat ke


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan Lwe-si-tiang."
Orang yang disebut lwe-si-tiang atau kepala prajurit
keraton (bhayangkara) menghela napas longgar.
"Ah, lo thosi tak usah banyak peradatan. Kalau aku
terlambat datang, urusan ini tentu hebat akibatnya . . ."
Sekalian orang berturut-turut menghaturkan hormat
kepada kepala bhayangkara keraton itu, kemudian sama
menyingkir ke samping.
"Mohon segera diberitahu, perintah apa yang lwe-si-tiang
hendak berikan kepada kami?" kata thosi yang ternyata
bernama lo Ciau Liang.
"Tahukah In thosi siapa pemuda itu?"
"Dia ... . adalah . . ."
"Pewaris dari Kok-su!" tukas kepala bhayangkara itu.
"Ah!" thosi itu menjerit kaget, menyusul sekalian
hadirinpun melengking kejut.
Lwe-si tiang terus menghampiri Cu Jiang melepaskan
pengikat dan sumbat mulutnya.
"Ah, sausu tentu menderita kejut," serunya tegang.
Cu Jiang hanya tertawa hambar, tak berkata apa2.
Keduanya segera menghampiri ke muka meja sembahyangan. Pemilik rumah makan tadi, pucat wajahnya dan serta
merta berlutut, menundukkan kepalanya sampai ke tanah.
"Hamba pantas dibunuh! Hamba pantas dibunuh!"
"Sausu mengapa tak mau mengatakan diri sausu
sehingga rakyat kami hampir saja melakukan kesalahan
besar," kata In thosi sembari memberi hormat kepada Cu
Jiang. "Aku tak mendapat kesempatan," sahut Cu Jiang dengan
nada dingin. Sejenak memandang ke arah rakyat yang masih
dicengkam kejut dan ketakutan, berkatalah kepala
bhayangkara itu kepada Cu Jiang:
"Sausu, Kok-su sedang menuju ke mari, mari kita
menyambutnya."
Untuk menebus dosa, kepala desa In thosi itu mohon
agar tetamu2 agung itu suka singgah di rumahnya. Tetapi
kepala bhayangkara menolaknya.
"Mohon Iwe si-tiang suka memintakan ampun di
hadapan Kok-su." kata In thosi.
"Kok-su selalu bijaksana."
Dalam pada itu pemilik rumah makan segera berlutut di
hadapan Cu Jiang dan menyerahkan sebuah bungkusan:
"Sausu, hamba memang harus mendapat hukuman mati.
Dengan ini hamba haturkan obat penawar arak beracun
itu." Sambil menyambuti, Cu Jiang mengatakan bahwa orang
yang tak tahu itu tak berdosa. Sudah tentu pemilik rumah
makan sangat gembira dan menghaturkan terima kasih tak
terhingga atas kelapangan hati Cu Jiang.
Setelah minum obat penawar, tenaga Cu Jiang pun pulih
kembali. Walaupun Cu Jiang mengampuni tetapi kepala
bhayangkara itu tetap marah:
"Hm, kalian tetap tak mau tunduk perintah. Masih
berani menggunakan obat bius untuk mencelakai orang."
Pemilik rumah makan dengan gemetar mohon ampun
atas kesalahannya.
"Sausu, mari kita tinggalkan tempat ini." kata kepala
bhayangkara. Sebelum pergi, Cu Jiang mengambil kutungan pedang di
meja lalu bersama lwe-si-tiang melangkah pergi. Sekalian
orang serempak memberi hormat.
Salah seorang pengawal dari In thosi, memberikan
kudanya kepada Cu Jiang. Demikian Cu Jiang dan Iwe sitiang segera naik kuda menyongsong Gong-gong-cu.
Beberapa saat kemudian tiba2 Cu Jiang hentikan
kudanya. "Lwe-si tiang, pelahan dulu!"
"Oh, sausu hendak memberi pesan apa ?" kepala
bhayangkara hentikan kuda.
"Ah, hanya mohon tanya siapakah nama lwe-si-tiang
yang mulia?"
"Aku bernama Ang Ban !"
"Oh. harap Ang Iwe-si- tiang sampaikan kepada Koksu
bahwa aku hendak kembali ke Tiong goan . ."
Kepala bhayangkara itu terkejut, serunya:
"Aku tak dapat memberi keputusan. Harap menghadap
Kok-su dulu."
Cu Jiang diam2 menghela napas. Dia sebenarnya malu
kembali ke keraton Tayli tetapi dia tak mau menyulitkan
kepala bhayangkara yang telah menolong jiwanya tadi.
Tidak jauh arah muka tampak tiga ekor kuda
mencongklang datang dengan pesat.
"Koksu sudah tiba," seru Ang Iwe-si-tiang gembira.
Yang dimuka memang Gong-gong-cu. Dua penunggang
kuda dibelakangnya adalah wi-su atau prajurit penjaga
keraton. Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba.
Gong-gong-cu loncat dari kudanya.
"Nak, mengapa engkau hendak melarikan diri ?"
Cu Jiangpun turun dari kuda. "Lo cianpwe, wanpwe
merasa tak layak menerima budi yang sebesar itu maka
wanpwe pikir akan kembali ke Tionggoan saja."
"Ah, semuanya dapat diatur pelahan-lahan" kata Gong
gong-cu kemudian berpaling dan bertanya kepada Ang Ban
bagaimana tadi dapat menemukan jejak Cu Jiang.
Ketika Ang Ban selesai menceritakan semua yang terjadi
pada diri Cu Jiang, Gong-gong cu banting2 kaki:
"Berbahaya, sungguh berbahaya sekali! Nak, engkau
terlalu keras hati!
"Wanpwe menyesal sekali," kata Cu Jiang. "Untung tak
sampai terjadi sesuatu yang menyedihkan."
"Wanpwe hendak mohon pamit kepada cian-pwe."
"Jangan terburu-buru dulu." kata Gong-gong-cu lalu
memberi perintah
kepada Ang Ban, "lwe-si-tiang,
perintahkan agar semua kesatuan yang mencari jejak
supaya pulang. Dan haturkan ke hadapan Hong-ya, bahwa
dalam beberapa hari lagi aku tentu pulang."
"Apakah untuk sementara waktu ini Kok-su tak kembali
keraton?" "Aku hendak mengurus sebuah persoalan penting harap
kalian pulang."
Kepala bhayangkara itu mengiakan. Bersama kedua
prajurit penjaga keraton dia memberi hormat kepada Gonggong-cu lalu melarikan kuda. Tak berapa lama mereka
lenyap dalam kegelapan.
Setelah mereka pergi, barulah dengan wajah serius
Gong-gong-cu berkata:
"Nah segalanya telah beres."
Cu Jiang terkejut dan heran, tanyanya: "Apa yang locianpwe maksudkan dengan beres itu ?"
"Semua berjalan menurut yang kita rencanakan."
"Apakah baginda meluluskan?"
"Tentu. Pernah kukatakan, kalau baginda tak meluluskan, aku akan mengundurkan diri."
"Ah, mengapa locianpwe akan bertindak begitu ?"
"Nak, soal ini menyangkut urusan besar dan kepentingan
mati hidupnya dunia persilatan. Rupanya Thian telah
meluluskan sehingga secara kebetulan dapat berjumpa
dengan engkau. Sudah tentu aku tak mau melepaskan
begitu saja sebelum selesai"
"Tetapi wanpwe sudah tak berminat kembali ke kota
Tayli lagi. Harap locianpwe suka memberi maaf."
"Engkau boleh kembali pulang ke Tionggoan," kata
Gong-gong cu. "Boleh pulang ke Tionggoan ?" Cu Jiang terbeliak kaget:
"Ya, untuk sementara lebih baik jangan dulu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti maksud ucapan
locianpwe."
"Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjelaskan
Hong-ya sehingga Hong-ya meluluskan untuk menyerahkan
kitab pusaka kerajaan Tayli Giok-kah-kim-keng kepadamu
agar engkau dapat mempelajarinya.
Di puncak utama dari gunung Jong-san terdapat sebuah
tempat yang bagus untuk berlatih silat. Di tempat itulah
dulu aku memenjarakan gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Maksudku, supaya engkau seorang diri mempelajari isi
kitab itu. Aturlah soal makananmu. Setiap waktu boleh
suruh orang untuk mengambil . . . . "
"Wanpwe benar2 tak mengerti."
"Soal apa?"
"Jika kitab pusaka Giok kah kim-keng itu sungguh
sebuah kitab pusaka kerajaan mengapa Hong-ya tak mau
mempelajarinya sendiri" Begitu pula masakan dalam
kerajaan Tayli tiada seorang mentri dan hulubalang yang
mampu untuk meyakinkan isi pelajaran kitab itu?"
"Pertanyaanmu bagus sekali." seru Gong gong cu, "tetapi
pernah kukatakan bahwa untuk mempelajari isi kitab itu
harus yang masih perjaka tulen, mempunyai pokok ilmu
tenaga-dalam yang kokoh dan bakat serta kecerdasan tinggi.
Ketiga syarat itu tak boleh kurang salah satu.
Hong-ya tak berputera melainkan hanya mempunyai
seorang puteri tunggal. Didalam negeri Tayli tiada tunas
yang luar biasa. Dan lagi kalau sembarangan saja
menurunkan pada orang, besar sekali akibatnya. Kalau
orang itu buruk moralnya, akibatnya tentu mengerikan."
"Apakah lo cianpwe memastikan bahwa aku ini seorang
manusia baik?"
Gong gong cu tertawa.
"Nak, dalam ilmu meramalkan tampang muka rasanva
aku masih dapat dipercaya."
"Apakah pusaka milik kerajaan itu, boleh diberi kau
kepada orang luar?"
"Keadaan memaksa begitu. Selama gerombolan Sip patthian-mo itu belum terbasmi, Tayli tentu akan terancam
bahaya. Gerombolan durjana itu. tentu takkan melupakan
dendam kemarahannya karena telah dipenjara selama
berpuluh tahun."
"Tetapi mengapa sampai saat ini mereka tak tampak
melakukan kegiatan apa2?"
"Jika dianggap tenang, ketenangan itu merupakan
ketenangan pada saat badai akan melanda. Sekali meletus
tentu sukar diatasi lagi. Mungkin gerombolan Sip-pat thianmo itu hendak membereskan dunia persilatan Tiong goan
dulu, baru kemudian akan bergerak menghancurkan Tayli."
"Oh, apakah terdapat kemungkinan begitu?"
"Nak, bukankah sekarang engkau sudah tak mempunyai
pikiran hendak melarikan diri lagi ?"
"Jika lo cianpwe tidak berkeras menahan, wanpwe tentu
akan pulang."
"Sudahlah, nak, naik kuda dan ikut aku."
Sebenarnya Cu Jiang tak berminat besar tetapi karena
sikap dan perlakuan Gong gong- cu ramah dan hangat,
terpaksa dia menurut. Dia segera naik kuda dan mengikuti
dibelakang Gong-gong- cu.
Tak lama. cuaca terang dan disebelah muka tampak
beberapa orang siap menyambut kedatangan mereka.
Gong-gong-cu memberi perintah supaya menyediakan
makanan dan diantar ke puncak gunung Jong-san. Setelah
itu ia turun dari kuda dan bersama Cu Jiang lalu mendaki
keatas gunung. Menjelang sore mereka sudah mencapai setengah
perjalanan Puncak gunung yang tertutup salju sudah
nampak. Jelas puncak itu dingin sekali hawanya.
Terdapatnya salju abadi, salju yang tak lumer sepanjang
tahun. Menjelang petang hari, mereka tiba di tempat di mana
dahulu gerombolan Sip-pat thian-mo dipenjarakan. Barisan
Kim soh-tin yang sudah morat marit, masih berada di muka
gua. "Nak, di tempat inilah," Gong-gong-cu menunjuk gua
itu, "barisan itu telah kuperbaiki lagi. Engkau dapat
mempelajari kitab itu dengan tenang. Tak perlu kuatir
diganggu orang. Mari kita masuk."
Cu Jiang mengiakan. Diam2 dia setuju sekali. Setelah
melintasi barisan, mereka masuk kedalam gua.
Gua itu merupakan gua alam yang aneh. Lebar dan
bersih sekali. Gong-gong-cu ternyata sudah mempersiapkan
segala sesuatu disitu. Terdapat juga kursi dan meja, tempat
perapian dan lain2.
Didalam gua terdapat beberapa cekung yang menyerupai
gua kecil, jumlahnya delapan buah. Setelah menyulut api,
Gong-gong-cu dan Cu Jiang duduk berhadapan.
Sambil melirik ke sekeliling. Cu Jiang berkata: "Ah,
rupanya locianpwe sudah mempersiapkan semuanya."
Gong gong-cu mengiakan.
"Atas jerih payah lo cianpwe, wanpwe sungguh
berterima kasih sekali."
"Nak, tak usah mengatakan begitu. Sekarang mari kita
membicarakan yang penting2."
Cu Jiang mengiakan.
"Apakah engkau sungguh2 rela masuk menjadi
muridku?" "Suka."
"Tata peraturan tak boleh diabaikan. Apakah engkau
bersedia untuk melakukan upacara mengangkat guru?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu."
Gong-gong cu berbangkit dan mendorong kursi ke
samping. Wajahnya tampak serius.
Juga Cu Jiang berbangkit dan duduk menghadap Gong
gong cu. Ia membuka kedok mukanya.
Gong-gong-cu mulai berseru dengan tegas dan khidmat:
"Aku Nyo Wi, tiada perguruan tiada partai persilatan.
Ilmu yang kuperoleh, sebagian kudapat secara kebetulan,
sebagian dari buah ciptaanku sendiri. Engkau, menjadi
muridku yang pertama. Sesungguhnya, setelah mempelajari
ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng,
engkau sudah cukup pantas menjadi seorang pendiri sebuah
partai persilatan."
Cu Jiang berlutut dan berseru dengan penuh hormat:
"Murid. Cu Jiang, menghaturkan hormat ke hadapan
suhu!" "Apa" Namamu Cu Jiang?" seru Gong-gong-cu.
"Ya, murid adalah pelajar baju putih yang pernah
bertemu dan disebut-sebut oleh kedua locianpwe Go Lengcu dan Thian-hian-cu itu."
"Jadi pelajar baju putih itu engkau sendiri?"
"Benar, murid adalah anak sebatang kara dari Dewapedang Cu Beng Ko."
Gong-gong cu termangu beberapa saat. Kemudian
tertawa gelak2:
"Jodoh ! Jodoh ! Inilah yang disebut jodoh! Nak, kini
kepercayaanku makin besar terhadap daya penilaianku.
Aku kenal baik dengan ayahmu. O, engkau mengatakan
sudah sebatang kara, apakah. . ."
Dengan mata merah dan nada tersekat Cu Jiang berkata:
"Ijinkanlah murid menuturkannya dengan pelahan-lahan
nanti." "Baik!"
Cu Jiang lalu menjalankan upacara memberi hormat
dengan berlutut dan membungkukkan kepala sampai tiga
kali. Setelah itu baru ia memohon petunjuk suhunya. Sejak
saat itu dia menjadi murid Gong-gong-cu dan menyebut
Gong-gong-cu sebagai suhu.
"Engkau adalah anak keturunan dari seorang tokoh
termasyhur. Tak usah engkau menuturkan riwayatmu.
Sebagai suhu, aku tetap harus menekan beberapa hal
padamu agar jadi peganganmu. Kesungguhan, Kejujuran
Kebajikan dan Keberanian. Empat hal itu harap engkau
lakukan dan pelihara sebaik-baiknya."
"Murid berjanji akan melakukan pesan suhu."
"Menilik kaki kirimu cacat, akan kuajarkan ilmu gerak
Gong gong-sim-hwat hasil ciptaanku sendiri. Ilmu itu
merupakan sebuah aliran tersendiri. Agar jangan engkau
awut-awutan mempelajari beberapa macam ilmu, untuk
sementara waktu2 ilmu takkan kuberikan.
Curahkan segenap perhatian untuk meyakinkan ilmu
pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng itu. Apa
isi kitab itu, aku sendiri juga belum pernah melihat. Engkau
pelajari dan berlatih sendiri."
Habis berkata Gong-gong cu mengeluarkan sebuah kitab
kecil, diangsurkan kepada Cu Jiang. Anak muda itu
menyambuti dengan kedua tangan.
Kitab itu merupakan pusaka kerajaan Tayli. Merupakan
kitab yang paling diincar oleh segenap jago persilatan,
Mimpipun tidak bahwa saat itu ia telah memperolehnya.
Sudah tentu dia tegang sekali.
"Bangunlah !"
Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang
berbangkit. "Duduk."
"Ah, murid tak berani."
"Jangan takut segala peradatan. Walaupun aku menjadi
Kok-su tetapi perangaiku senang sebagai burung bangau
liar. Aku tak senang mengekang kebebasan dengan segala
tata peraturan."
"Maafkan, kelancangan murid," kata Cu Jiang terus
menarik kursi dan duduk.
"Sekarang engkau boleh menuturkan riwayat hidupmu."
Sebenarnya sedih sekali apabila Cu Jiang harus
menceritakan tentang keadaan keluarganya. Tetapi dihadapan suhunya, terpaksa dia harus berlaku terus terang.
Ia segera menuturkan semua peristiwa yang telah dialami
dan menimpa keluarganya selama ini.
Juga peristiwa yang dideritanya mengapa kakinya
sampai cacat dan wajahnya rusak, semua diceritakan
dengan terus terang. Hanya bagian yang mengenai soal2
asmara dengan beberapa Jelita itu, dia tak mengatakan.
"Nak. hapuslah semua kenangan lampau yang sedih itu.
Sekarang engkau hanya mencurahkan segenap perhatianmu
untuk mempelajari ilmu sakti dalam kitab pusaka itu. Kelak
segala sesuatunya tentu dapat diatasi," kata Gong gong-cu.
Cu Jiang mengiakan.
"Sekarang, mari, akan kuberimu pelajaran ilmu tatalangkah yang kuberi nama Gong-gong-poh-hwat.
Keistimewaan dari ilmu gerak langkah itu, mengutamakan
kaki kanan sebagai tiang utama dan kaki kiri sebagai
pembantu. Kuciptakan khusus untuk dirimu." kata Gonggong-cu. Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Dengan memberi petunjuk melalui gerak tangan dan kaki
disertai dengan keterangan lisan, dalam waktu singkat saja,
Cu Jiang sudah dapat menyelami.
Begitu melakukan latihan, dia sudah dapat bergerak
sesuai dengan yang diajarkan suhunya. Yang kurang hanya
dalam kesempurnaannya saja.
Malam itu keduanya bermalam dalam gua. Keesokan
harinya menjelang siang, makanan dan alat2 perkakas yang
diperlukan sudah tiba. Sementara Cu Jiang membuat
perapian, Gong-gong-cupun mengatur lagi barisan Kim sohtin. Pada waktu makan tengah hari, Gong-gong-cu
memberitahu tentang cara masuk keluar barisan itu. Setelah
meninggalkan beberapa pesan kepada Cu Jiang, Gonggong-cu lalu tinggalkan gua itu.
Cu Jiang tak mau buru2 membuka kitab pusaka Giokkah-kim-keng melainkan berlatih lagi ilmu langkah Gong
gong poh hwat. Ternyata ilmu tata langkah itu hebat sekali.
Didalamnya mengandung beberapa gerak yang tak terdapat
dalam pelajaran silat.
Beda sekali dengan gerak langkah dalam ilmu silat
umumnya. Karena tertarik, semangatnya makin besar dan
tiap hari dia giat sekali berlatih. Dalam sepuluh hari dia
sudah dapat melakukan gerak tata-langkah itu dengan
sempurna. Pada hari yang kesebelas, pada saat semangatnya
gembira, diapun bersiap-siap hendak membuka kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng.
Kitab pusaka itu dibuat dengan luar biasa indahnya.
Giok atau batu kumala yang menjadi tempatnya juga dipilih
dari bahan batu kumala yang tinggi nilainya.
Penutup kotak kumala itu di lekat dengan stempel cap
kerajaan Tayli Masih mulus tiada cacadnya, pertanda
bahwa selama ini kotak kumala atau Giok-kah itu belum
pernah di buka.
Cu Jiang menahan gejolak hatinya. Lebih dulu dia
memberi hormat lalu dengan sikap yang khidmat ia mulai
membuka tutup stempel itu.
Kotak kumala Itu tidak dikunci, maka sekali stempelnya
dibuka, kotakpun terbuka. Di dalamnya berisi sebuah kitab
kecil yang kalau menurut warnanya penuh bintik2, jelas
sudah berumur tua sekali.
Pada sampul kitab itu tertulis empat buah huruf: Giokkah-kim-keng. Begitu membuka lembar pertama, terdapat tulisan huruf2
hias: Kitab ini ditulis olah Kong yang Beng, tokoh aneh pada
jaman huru hara Can Kok, tahun kedelapan dari
perhitungan tahun Giau Hong.
Jika menilik tulisan itu, kitab Giok kah-kim-keng tersebut
merupakan sebuah kitab kuno.
Kemudian membalik lembaran kedua, terdapat catatan
yang bunyinya hampir sama seperti yang diucapkan
Gonggong cu mengenai syarat2 penting dari orang yang
hendak mempelajari kitab itu.
Sedang pada bagian belakang merupakan indeks atau isi
kitab itu, yakni:
Bagian pertama : Pelajaran Iwekang.
Bagian kedua : ilmu pukulan dan jari.
Bagian ketiga : Ilmu pedang.
Tambahan: Pelajaran ilmu tenaga sakti Kim - kong - sin kang Membuka halaman dari Bagian pertama, disitu memuat
pelajaran yang diuraikan dengan bahasa dan sastera yang
dalam. Tak mudah untuk menyelami artinya.
Orang harus tekun dan mencurahkan segenap pikiran
untuk mempelajari.
Sebagai putera dari tokoh silat yang mendapat gelar Sian
kiam atau Dewa-pedang, Cu Jiang mempunyai pengetahuan luas dan selera tinggi tentang ilmu pedang.
Waktu membuka Bagian ketiga yang memuat pelajaran
ilmu pedang, mau tak mau dia harus menghela napas.
Pelajaran itu terdiri dari dua belas keterangan untuk
digabungkan dalam satu jurus. Jurus itu disebut Thian-teKiau-thay. Untuk memahami jurus itu, tentu sukar.
Demikian mulai hari itu dia terus mempelajari kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dengan sungguh2.
Bagian pertama menghabiskan waktu selama seratus
hari. Sudah tentu hal itu dikarenakan dia sudah memiliki
pokok2 dasar tenaga-dalam. Jika tidak, tentu paling sedikit
harus menggunakan waktu tiga tahun.
Bagian tengah atau kedua. Juga memerlukan waktu
seratus hari. Dalam pelajaran ilmu gerak tubuh karena
terpancang oleh kakinya yang cacad, terpaksa di hanya
dapat memahami pelajaran teori atau lisan tetapi tak dapat
mempraktekkan dalam latihan.
Selama itu Gong-gong-cu sudah tiga kali datang
menjenguk. Dia hanya bertanya sebentar mengenai
perkembangan dan kemajuan yang dicapai Cu Jiang.
Setelah Itu lalu pergi lagi.
Tidak sepatahpun Gong gong cu menceritakan kepada
Cu Jiang tentang kejadian diluar. Dia kuatir hal itu akan
mengganggu pemusatan pikiran Cu Jiang.
Kini Cu Jiang mulai mempelajari sejurus ilmu pedang
Thian-te-kiau-thay yang tiada bandingannya itu. Uraiannya
terdiri dari dua belas kata. Sepuluh hari telah lalu, huruf
yang pertama saja dia tak mampu mengungkap artinya.
Dia makin ngotot untuk memecahkan arti huruf itu.
Tetapi semakin ngotot, pikirannya makin kacau.
Akhirnya ia menyadari bahwa belajar dengan cara
memaksa diri tentu tiada gunanya. Dan ia teringat akan
sebuah pelajaran dari kaum vihara Siau-lim pay yanki
"Dengan menghadap tembok untuk mengheningkan segala
kerisauan pikiran." Ah, mengapa dia tak mencobanya.
Maka dia lepaskan semua pemikiran, duduk diam
menghadap tembok gua. Dia memulai lagi untuk
menyelami pelajaran itu. Akhirnya ia terbenam dalam
kehampaan dan terlelap dalam keadaan yang tiada.
Sehari, dua hari dan akhirnya pada hari yang ke tigapuluh lima, terpetiklah suatu penerangan dalam hatinya.
Kini kekosongan alam pikirannya mulai merekah suatu isi
dan mulailah ia dapat menyelami arti dari keempat huruf
yang terdepan. Dia seperti mendapat penemuan baru,
sebuah alam yang memercik sinar terang.
Dengan cara itu ia melanjutkan untuk membuka tabir
yang menyelimuti rahasia ilmu dalam kitab pusaka Giok
kah-kim-keng itu.
Selama itu apakah Gong-gong cu menjenguk, dia tak
tahu. Karena begitu mulai duduk bersemedhi, tentu dua
hari baru selesai. Kadang sampai tiga hari, lupa makan lupa
minum. Tempo berjalan cepat sekali. Tak terasa Cu Jiang telah
menghabiskan waktu setengah tahun untuk mempelajari
ilmu pedang itu. Setelah itu seharusnya ia mempelajari
Bagian Tambahan yakni Ilmu pelajaran Kim-kong-sin-kang.
Kim kong-sin-kang merupakan tataran tertinggi dari ilmu
silat, serupa dengan darah dan daging pada tubuh manusia.
Jarang sekali jago silat yang mampu mencapai tingkat itu.
Bahkan dalam seratus tahun, kira2 baru satu orang yang
berhasil. Setelah membaca uraiannya, Cu Jiang merasa bahwa
untuk memahami pelajaran itu harus memerlukan waktu
berpuluh tahun. Akhirnya ia memutuskan, akan menghafalkan uraiannya dulu, baru kelak apabila ada


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan ia akan berlatih.
Dengan keputusan itu, Cu Jiang menganggap bahwa
tugasnya mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng sudah
selesai. Hidup selama setahun lebih dalam keadaan "hilang diri"
kini Cu Jiang sudah memperoleh hasil. Selama itu dia harus
menindas segala dendam perasaannya.
Kini bagaikan tahang yang telah penuh air, meluaplah
semua perasaan yang telak tertampung dalam dada Cu
Jiang. Tetapi dia tetap tak mau bertindak sendiri. Dia harus
tunggu kedatangan Gong-gong-cu dan menunggu petunjuknya. Jika hampir setahun dia telah mematikan semua
perasaan sehingga tak tahu apa yang terjadi selama ini, kini
perasaannya mulai hidup dan menyala kembali. Rasanya
tempo berjalan amat lambat sekali.
Sehari seperti setahun. Dia ingin lekas2 muncul ke dunia
luar. Ia ingin supaya suhunya, gong-gong-cu lekas datang.
Tetapi ah, sampai beberapa hari ternyata Gong-gong-cu
tak muncul. Karena keisengan, dia melangkah keluar gua,
melintasi barisan Kim-soh tin.
Pemandangan pertama yang menyegel mata adalah
puncak gunung yang tertutup salju, badai yang dingin.
Aneh, mengapa dia tak merasa kedinginn. Memang secara
tak disadari karena ilmu kepandaiannya telah mencapai
tataran tinggi, tubuhnya tahan dingin, panas dan segala
macam perobahan hawa.
Dia mendaki ke puncak yang tertinggi. Dari situ ia
memandang ke laut yang tampak seperti sebuah telaga
besar. Gunung Ke-tiok-san yang termasyhur indah alamnya
di daerah Lampak, tampak seperti sebuah menara di tepi
telaga. Kota kerajaan Tayli seperti sebuah lapangan
berpagar. Cu Jiang duduk diatas sebuah gunduk es yang menonjol.
Diam2 dia merenungkan perjalanan hidupnya. Sejak kecil
hingga hampir mencapai usia dua-puluh tahun, dia sudah
mengalami nasib yang hebat dan aneh yang mungkin orang
tak pernah mengalaminya.
Kemudian dia mencabut kutungan pedang Seng-kiam.
Itulah benda peninggalan ayahnya. Dan dengan kutungan
pedang itulah kelak dia akan menuntut balas kepada
musuh-musuhnya.
Ketika sedang tenggelam dalam lautan menung, tiba2 ia
mendengar suatu bunyi yang pelahan dan halus sekali.
Seolah tergetar oleh suatu kontak rasa yang tajam, dia cepat
berseru. "Hai. siapa itu ?"
Dia tetap duduk tenang seperti batu karang, tak berkisar
maupun berpaling. Nada tegurannya lebih dingin dari salju
yang menyelimuti sekeliling tempat situ.
"Ha, ha, ha" tiba2 terdengar suara tawa bergelak. Dan
segeralah Cu Jiang tahu siapa pendatang itu. Segera dia
melayang turun dari gunduk es. Tampak suhunya berdiri
pada jarak dua tombak, sedang tertawa gembira.
"Suhu, murid menghaturkan hormat," katanya segera
memberi hormat.
Gong-gong-cu hentikan tawa dan berkata: "Menilik
nadamu, engkau tentu gelisah menunggu kedatanganku,
bukan ?" "Benar, murid memang mempunyai perasaan begitu."
"Nak engkau telah berhasil dalam mempelajari ilmu
Giok-kah-kim-keng."
"Murid menghaturkan terima kasih atas petunjuk suhu."
"Ha, ha... nak, itu dari usahamu sendiri yang berhasil.
Bagaimana aku engkau anggap berjasa?"
"Apabila suhu mengatakan begitu, murid tiada muka
hidup lagi."
Gong gong-cu tertawa puas.
"Nak satu-satunya ilmu kebanggaanku hanya Jari Gonggong-sim-hwat. Bukan tekebur kalau kukatakan bahwa
dengan ilmu itu aku dapat muncul lenyap seperti bayangan,
tetapi kenyataannya hanya beberapa tokoh persilatan yang
mampu menangkap suara gerak tubuhku itu.
Bahwa sekarang pada jarak lebih dari tiga tombak
jauhnya, ia mampu menangkap suara kedatanganku, ilmu
pendengaranmu sungguh tiada tandingannya dalam dunia
persilatan."
Cu Jiang juga gembira sekali, serunya: "Ah, suhu terlalu
menyanjung diriku."
"Bukan menyanjung tetapi memang kenyataan,"
"Tetapi kesemuanya itu adalah berkat petunjuk suhu."
"Nak," Gong-gong cu alihkan pembicaraan, "selama
mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng itu, ilmu apa yang
paling engkau senangi ?"
"Ilmu pedang."
"Coba engkau mainkan sebuah jurus untuk suhu."
"Baiklah. Mohon suhu memberi petunjuk apa bila
terdapat kesalahan."
"Petunjuk" Ha, ha, ha, nak, hal itu takkan mungkin."
Cu Jiang pusatkan semangat, kutungan pedangnya
dilintangkan ke muka dada ....
"Nak, dalam gudang kerajaan tak kurang senjata pusaka.
Lain hari engkau boleh pilih sendiri mana yang engkau
sukai .. . ."
"Suhu," sahut Cu Jiang dengan nada sarat, "benda ini
adalah peninggalan mendiang ayahku. Mohon suhu
luluskan agar murid dapat menggunakan kutungan pedang
ini sebagai senjata untuk selama-lamanya."
Gong-gong-cu kerutkan dahi:
"Pedang itu hanya tinggal separoh, apakah tidak
mempengaruhi gerak ilmu pedangmu ?"
"Selama ini murid berlatih dengan pedang kutung ini dan
tak mengurangi keperbawaan ilmu pedang itu."
"Ah, hal itu memang di luar dari kelaziman."
Tiba2 saat itu seekor burung rajawali yang hanya hidup
di daerah gunung es Jong-sa, terbang melayang di udara,
melintas di atas kepala Cu Jiang. Serentak pemuda itu
mendapat pikiran. Sekali ayun, pedang kutungpun
meluncur ke udara.
"Kaok ....!" terdengar bunyi seram dan burung yang
terbang setinggi dua tombak itu segera menukik jatuh ke
tanah salju. Tanah yang bertutup salju putih berhamburan
dengan warna merah darah.
Gong gong-cu tertegun lalu bertepuk tangan: "Oh, aku
tahu. Engkau sudah memahami inti ilmu Kim-gi (hawa
pedang) tingkat tinggi. Kuucapkan selamat kepadamu,
nak!" Cu Jiang merah mukanya tak dapat menjawab.
"Kelak akan kubuatkan sebuah kerangka untuk
pedangmu itu." kata Gong-gong-cu pula.
Setelah mencabut pedang kutung, Cu Jiang menghaturkan terima kasih kepada suhunya. Gong-gong-cu
mengajaknya kembali ke gua.
Setelah duduk, Cu Jiang menghaturkan kembali kitab
Giok-kah kim keng itu kepada Gong gong-cu:
"Murid menghaturkan kembali kitab pusaka kerajaan ini,
mohon suhu menghaturkan kembali kepada Hong ya."
Setelah menyambuti dan menyimpannya, Gong-gong-cu
mengangguk kepala:
"Baiklah. Sebenarnya aku memberimu waktu sampai tiga
tahun. Sungguh tak kira kalau dalam waktu setahun lebih
saja, engkau sudah menyelesaikan pelajaranmu."
"Hatur beritahu kepada suhu, murid belum menyelesaikan semua pelajaran."
"O, kenapa?"
"Bagian terakhir dari kitab itu merupakan Bagian
Tambahan yang memuat pelajaran Kim-kong sin-kang.
Murid hanya menghafalkan uraiannya tetapi belum pernah
berlatih."
"Oh, Kim kong-sin-kang merupakan ilmu yang paling
sakti dalam pelajaran silat. Mengapa engkau melepaskannya?"
"Murid memperhitungkan, pelajaran itu tentu memakan
waktu sampai tiga-lima tahun baru selesai ..."
"Apakah engkau ingin lekas2 melaksanakan balas
dendam?" "Benar, suhu. Murid tak berani membohongi suhu."
"Mm, baiklah. Karena engkau sudah faham uraiannya,
setiap ada kesempatan engkau harus melatihnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Nak, dengarkan kata-kataku," ujar Gonggong cu,
"selekas engkau turun gunung, beban tugas yang terletak
pada bahumu, bukan main beratnya. Membasmi durjana
memelihara jalan kebenaran, sekarang, besok dan selamalamanya. Walaupun kini engkau sudah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, tetapi Jangan sekali-kali engkau
lupakan. Kecerdasan dan keberanian harus saling mengisi.
Dan yang penting, jangan engkau tinggalkan kehormatan
sebagai seorang ksatrya yang berbudi luhur, jangan
melakukan pembunuhan sewenang-wenang."
"Murid berjanji akan melakukan semua nasehat suhu."
"Karena harus menjaga keamanan kota raja, terpaksa
aku tak dapat menemani engkau kembali ke Tionggoan.
Tetapi akan kuperintahkan empat orang ko-jiu untuk
mengikuti perjalananmu secara diam2 agar setiap saat yang
diperlukan dapat membantumu ..."
"Baik."
"Sekarang kemasilah barang-barangmu dan mari kita
turun gunung."
"Murid tak punya barang2 yang perlu dikemasi kecuali
pakaian yang murid pakai ini."
"Pakailah kedok muka lagi nanti boleh engkau buka
setelah berada dalam istana."
Setelah memakai kedok muka, Cu Jiang lalu bersama
Gong-gong-cu turun gunung.
Lebih dari setahun melewatkan kehidupan terasing
dalam gua. menimbulkan rasa berat hati Cu Jiang untuk
meninggalkan tempat itu. Jika tiada berniat akan
melaksanakan dendam darah keluarganya, ia merasa lebih
senang tinggal di tempat yang terpencil dan terasing dari
dunia luar situ.
Menjelang sore, mereka tiba di wisma Tiau lim-kiong,
Dalam setahun itu ternyata kedua bocah pelayan Gonggong-cu sudah besar.
"Ai. sausu. telah membuat aku menderita sekali," seru
Ing San ketika menyongsong.
Teringat akan peristiwa meloloskan diri dengan
membohongi bocah itu, diam2 Cu Jiang geli dan menyesal.
"Apakah engkau masih membenci aku ?"
"Ah. tidak... sausu, masakan aku berani."
Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, Gonggong cu memerintahkan supaya menyiapkan perjamuan
guna menyambut dan merayakan keberhasilan Cu Jiang.
Yang menemani dalam perjamuan itu adalah keempat kojiu istana. Setelah memperkenalkan keempat ko jiu itu kepada Cu
Jiang maka Gong-gong-cu mempersilahkan makan.
"Kongcu tiba !" sekonyong-konyong si bocah Bok Cui
berseru nyaring.
Keempat ko-jiu serempak berbangkit. Walaupun ingat
akan hinaan yang pernah diterimanya setahun yang lalu,
tetapi demi penghormatan terpaksa Cu Jiang berdiri Juga.
Hanya Gong-gong-cu yang tetap duduk.
Sesaat kemudian muncullah kongcu dengan di iring
empat orang dayang istana.
Keempat ko-jiu maju menghaturkan hormat.
"Ah. tak usah banyak peradatan. Silahkan duduk," kata
kongcu. Juga Cu Jiang menghaturkan hormat.
Kongcu tertawa dan berkata:
"Tempo hari aku telah berlaku kurang tata sehingga
menyinggung perasaanmu. Sekarang aku sengaja datang
untuk menebus kesalahan itu."
Merah muka Cu Jiang, katanya:
"Ah, bagaimana aku berani berlaku kurang hormat.
Harap kongcu jangan sungkan."
Percakapan yang dilakukan secara begitu terbuka sudah
tentu di Tionggoan takkan dapat dijumpai.
"Apakah kongcu mempunyai selera untuk minum
secawan arak?"
"Kalau Nyo kongkong tak menganggap hal itu akan
mengganggu acara, aku akan ikut duduk sebentar."
"Baik, silahkan duduk disampingku," kata Gong-gong-cu
lalu memerintahkan keempat dayang itu melayani kongcu.
Setelah minta maaf keempat ko-jiu itupun duduk lagi.
Karena kehadiran puteri itu, suasana pun menjadi resmi.
Sambil mengangkat cawan arak, kongcu berkata kepada
Cu Jiang: "Sausu kuhaturkan secawan arak kepadamu."
Cu Jiang terkejut dan serempak berdiri:
"Ah. mohon kongcu jangan menyebut begitu. Panggil


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namaku Cu Jiang saja . . ."
"Aku Toan Swi Ci. Cu sausu silahkan minum !"
Dengan kedua tangan Cu Jiang menyambut pemberian
puteri dan meneguknya habis. Puteri itu pun juga meneguk
secawan. Setelah itu baru Cu Jiang duduk lagi.
Kongcu juga menghaturkan secawan arak kepada Gonggong cu seraya berkata:
"Nyo kongkong, engkau tentu tak marah kalau tadi aku
memberi arak kepada muridmu lebih dulu !"
Gong-gong-cu tertawa terbahak:
"Ah, tidak. Perjamuan ini memang ku peruntukkan dia."
Keduanya masing2 meneguk secawan. Sebagai tanda
penghormatan, keempat ko-Jiu itupun menghaturkan arak
kehormatan kepada puteri.
Beberapa saat kemudian tiba2 Khu Bun Ki, congkoan
istana bergegas masuk kedalam ruangan.
"Kok-su. Hong-ya menitahkan supaya menghadap."
"Ada peristiwa apa ?"
"Peristiwa besar yang gawat."
"Baik," kata Gong-gong cu seraya berbangkit. Setelah
sejenak memandang kepada kongcu maka congkoan itupun
bersama Gong-gong- cu lalu melangkah keluar.
Cu Jiang terkejut. Apakah yang terjadi dalam istana
sehingga Hong-ya secara mendadak menitahkan Gonggong-cu menghadap "
Diam2 Cu Jiang gelisah.
Sepergi Gong gong cu, puteri Toan Swi Ci dengan
mengulum senyum, berkata kepada Cu Jiang: "Kuhaturkan
selamat atas keberhasilan Cu sausu mempelajari ilmu-silat
yang sakti. Tetapi apakah Cu sausu tak berkeberatan untuk
mempertunjukkan
barang sejurus saja agar dapat menambah pengalaman kami?"
Cu Jiang tahu bahwa di balik ucapan yang penuh rasa
sungkan itu sebenarnya puteri hendak menitahkan dia
mempertunjukkan kepandaian. Sejenak merenung, dia
segera berbangkit.
"Ah, titah kongcu benar2 membuat aku mengeluarkan
keringat dingin."
"Ah, sudahlah, jangan memakai kata2 yang merendah."
"Baiklah, kongcu. Apakah kongcu meluluskan hamba
menghaturkan secawan arak kehormatan ke hadapan
kongcu?" "Arak" Ah, Tak usah...."
"Kumohon kongcu sudi memberi muka kepada hamba
untuk mempersembahkan arak."
Cu Jiang terus mengambil cawan dan In Cuipun segera
menuang arak sampai penuh. Dengan kedua tangan Cu
Jiang mengangkat cawan kemuka dan tahu2 cawan itupun
pelahan-lahan melambung keatas dan melayang kearah
kongcu. Keempat ko-jiu terbeliak dan melongo. Sedangkan
putripun segera ulurkan tangan untuk menyambuti.
Keempat pahlawan dari istana itu menyadari bahwa
kepandaian yang diunjukkan Cu Jiang termasuk suatu ilmu
tenaga-murni tingkat tinggi.
Tidak sembarang orang persilatan yang mampu
melakukan hal itu. Dengan begitu ilmu kepandaian Cu
Jiang sekarang, jauh diatas keempat pahlawan istana atau
ko-jiu itu. "Mohon maaf, hamba mempertunjukan kepandaian yang
jelek dihadapan kongcu," seru Cu Jiang.
Puteri pun menegak arak itu lalu dengan nada bergetar
tegang berseru:
"Sausu benar2 berhasil hebat !" Sekonyong-konyong
seorang istana bergegas masuk dan menghadap puteri:
"Mohon kongcu kembali ke istana!"
Putri kerutkan dahi lalu berbangkit: "Ah. maaf tak dapat
menemani." Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itu
serempak berbangkit dan hendak mengantar. Tetapi puteri
menolak dan suruh mereka tetap saja di ruangan
melanjutkan makan.
Setelah puteri melangkah keluar diiring keempat dayang
maka Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itupun duduk
kembali. Tetapi perasaan mereka tak tenang lagi. Mereka
memandang pada diri puteri. Apakah yang terjadi di istana
sehingga puteri di titahkan kembali "
Setelah melanjutkan minum beberapa cawan arak yang
"dingin", Gong gong cu lalu meninggalkan ruangan itu dan
tak lama kembali lagi dengan wajah sarat.
Cu Jiang dan keempat pahlawan istana serempak
menyambut. "Suhu, apakah yang telah terjadi di istana ?"
"Raja Biau mengirim puteranya dengan diiring sepuluh
pengawal yang sakti."
"Oh apakah keperluannya 7"
"Meminang."
"Meminang?" ulang Cu Jiang terkejut.
"Ya, meminang tuan puteri."
"Aah..." desah Cu Jiang. "lalu bagaimana keputusan
Hong ya ?"
"Sudah tentu tak meloloskan."
"Kalau begitu tolak saja."
"Ah, tidak semudah itu."
"Murid tak mengerti apa yang suhu maksudkan," kata
Cu Jiang. "Menurut adat istiadat suku Biau. Kalau tak dapat
mengikat hubungan keluarga, akan dianggap musuh!"
"Musuh ?"
"Ya,"
kata Gong-gong-cu, "mereka menganggap penolakan itu sebagai suatu hinaan besar. Mereka tak segan
mengadakan pertumpahan darah dan menganggap sebagai
musuh bebuyutan."
"Seorang putera raja sebuah suku yang masih belum
beradab berani meminang Kongcu. Sungguh tak tahu diri !"
seru Cu Jiang. "Mungkin ada lain maksud yang tersembunyi."
"O, mohon suhu suka menjelaskan."
"Putera raja Biau itu bernama Kopuhoa, sikapnya
congkak sekali. Bukan melainkan menimang kongcu, pun
juga menuntut kitab pusaka Giok-kah-kim-keng sebagai
emas kawin."
"Gila !" teriak Cu Jiang.
"Diantara barisan pengawalnya, terdapat enam orang
suku Han. Menurut pengamatanku, keenam orang itu
merupakan jago silat kelas satu."
"Lalu bagaimana keputusan Hong-ya ?"
"Hong-ya belum dapat memberi keputusan dan
menitahkan aku menghadap dan mengusahakan siasat
menghadapi mereka."
"Maksud suhu bagaimana?"
"Menolak berarti pertumpahan darah, tak ada lain
penyelesaian lagi."
"Penumpahan darah?" Cu Jiang menegas terkejut.
"Benar, memang harus begitu. Tetapi sukarnya, selama
ini Hong-ya selalu melarang untuk suatu pertumpahan
darah." "Dimanakah rombongan tetamu itu ?"
"Di Wisma Tamu Agung."
"Hanya beberapa belas orang saja berani datang ke
kerajaan tayli untuk meminang puteri dan menuntut kitab
pusaka, Benar2 suatu perbuatan yang keliwat batas .. ."
"Menurut penilaianku
mereka tentu mempunyai rencana." "Lalu rencana suhu untuk menghadapi mereka ..."
"Terpaksa menurut peraturan suku Biau, menerima
tantangan mereka."
"Menerima tantangan ?"
"Ah, penumpahan darah kali ini memang sukar
dihindari."
Kemudian Gong gong cu berkata kepada keempat
pahlawan itu.: "Karena anda berempat ini berasal dari Tionggoan, lebih
baik malam ini jangan unjuk diri. Silahkan anda kembali ke
tempat peristirahatan."
Keempat pahlawan istana itu mengiakan memberi
hormat lalu meninggalkan ruangan.
Setelah itu Gong gong-cu berkata pula kepada Cu Jiang:
"Bebanmu sangat berat. Saat ini belum saatnya untuk
tampil. Pakailah kedok mukamu lagi. Hong-ya titahkan aku
supaya mengangkat engkau sebagai Tin tian ciangkun . . ."
Tin tian-ciang-kun artinya jenderal kota kerajaan. Cu
Jiang terkejut.
"Suhu, murid tak ingin menjadi menteri !"
"Nak, pangkat itu tiada mempunyai ikatan terhadap
dirimu. Yang penting, dalam menghadapi anak raja Biau
itu, engkau tak boleh keluar tanpa gelar. Nanti engkau
menghadap baginda dan lakukan apapun titahnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Gantilah pakaian dulu. Semua telah tersedia dalam
kamarmu." Pada saat Cu Jiang kembali ke kamarnya benar juga di
situ telah tersedia seperangkat pakaian baju dan topi besi,
sepasang sepatu dan sebatang kerangka pedang yang
bertabur mutiara, memancarkan sinar yang kilau kemilau.
Itulah kerangka pedang yang telah dijanjikan Gong-gong cu
kepada Cu Jiang.
Bocah Ing Sanpun masuk dan membantu Cu Jiang untuk
mengenakan pakaian itu. Setelah selesai ia berkaca. Hampir
saja ia tak mengenali dirinya lagi. Diam2 ia tertawa geli.
Tak kira kalau dia bakal jadi seorang jenderal kerajaan.
"Sausu, Kok-su menunggu!" seru Ing San.
Cu Jiang segera melangkah keluar. Tiba di muka
paseban, Gong gong cu sudah menyongsong dengan
tertawa gelak2:
"Nak, ah, sungguh gagah benar, mari kita ke wisma
Seng-bu-tian!"
Seng-bu-tian atau wisma Ketetapan-pangkat. Merupakan
sebuah gedung mewah dengan enam belas pilar dari batu
marmar yang amat besar dan kokoh.
Di bawah sinar lampu yang terang, tampak penuh
berjajar barisan wisu (pengawal utama). Di tengahnya
terdapat meja panjang. Toan Hong-ya atau baginda Toan
dari negeri Tayli duduk di tengah meja. Di sebelah
kanannya, Gong-gong-cu yang berpangkat Kok-su (penasehat kerajaan.) di sebelah kirinya adalah Toan Swi
Ci, puteri raja.
Di belakang Hong-ya berdiri menteri urutan istana yakni
Khu Bun Ki congkoan dan kepala bayangkara istana Ang
Ban. Di samping jajaran tiang sebelah kanan, tampak seorang
panglima yang mengenakan pakaian seragam besi. Dia
adalah Tin tian-ciangkun Cu Jiang.
Pada dua kotak di samping luar tiang pilar, adalah rak
senjata. Delapan belas macam senjata berjajar-jajar dalam
rak itu. Di muka wisma itu terdapat sebuah tanah lapang. Pada
kedua samping lapangan itu, didirikan dua buah panggung
datar yang berbentuk seperti sayap burung belibis.
Di sebelah kiri, duduk para pegawai kerajaan bagian sipil
maupun militer. Sedang di sebelah kanan, dideret depan
dan di tengah2, tampak seorang pemuda yang mengenakan
pakaian aneh. Di belakangnya dikawal oleh sepuluh orang. Yang empat
orang busu (militer) berumur pertengahan abad. Sedang
yang enam orang tua. Walaupun kesepuluh pengawal itu
mengenakan pakaian suku Biau namun masih dapat dilihat
bahwa empat dari keenam orang tua dan dua dari ke empat
lelaki pertengahan umur itu, bukan orang Biau melainkan
orang Han. Telinga mereka tidak pakai anting-anting seperti
umumnya lelaki suka Biau.
Suasana tanah lapang itu sunyi senyap tetapi tegang
sekali. Seorang lelaki Biau tua, berdiri lalu dengan bahasa Han
yang lancar, berseru:
"Lohu adalah Beng Kiu, kepala dari Thian-ji-tong.
Mendapat titah dari Lo-ong (raja) untuk mengiring siau ong
( raja muda ) Kopuhoa berkunjung ke mari untuk
meminang. Sungguh suatu hinaan besar bagi suku kami
bahwa peminangan kami itu telah ditolak.
Lohu mewakili lo-ong untuk menantang adu kepandaian
pada para pahlawan kerajaan ini dalam lima kali
bertanding. Yang memenangkan tiga kali pertandingan,
dianggap menang. Jika pihak kami yang beruntung
menang, mohon supaya permintaan kami diluluskan
semua." Habis berkata dia duduk kembali.
Mendengar itu seluruh hulubalang dan perwira kerajaan
Tayli serempak berobah air-mukanya. Mereka marah.
Gong-gong cupun segera berdiri dan berseru dengan
suara nyaring: "Aku, Tayli Koksu, atas nama baginda, menerima baik
tantangan tetamu!"
Seketika suasanapun tegang regang.
Sesaat Gong gong-cu duduk kembali, Kopuhoa, putera


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala suku Biau segera apungkan tubuh melayang ke
tengah gelanggang Dengan tertawa menyeringai, dia
berseru: "Kudengar bahwa kongcu kerajaan Tayli itu seorang
puteri yang ahli dalam ilmu sastera dan pandai dalam ilmu
silat. Biarlah dalam pertandingan pertama ini kumohon
supaya kongcu yang keluar untuk menyambut tantanganku."
Seketika seluruh hadirin gemuruh. Toan Hong-ya
kerutkan alis dan memandang dengan pandang meminta
pendapat kepada Gong-gong-cu.
Dengan berbisik-bisik Gong-gong cu menghaturkan
pendapatnya. Toan Hong-ya tampak mengangguk angguk
kemudian Gong gong cu bisiki puteri Toan Swi Gi. Setelah
itu baru berseru nyaring:
"Kongcu bertubuh lemah lembut dan berharga. Tetapi
karena Ong cu ( pangeran ) mengajukan tuntutan begitu,
sungkan untuk menolak. Baginda telah menurunkan titah,
dalam pertandingan itu jangan menggunakan pedang atau
tombak tetapi cukup dengan tangan kosong. Barang siapa
terkena totokan, dia harus mengaku kalah. Entah
bagaimana pendapat Ong-cu?"
Wajah Kopuhoa berseri cerah. Tetapi karena mukanya
penuh dengan gurat2 dan tato, maka tawanyapun bukan
sedap dipandang melainkan menyeramkan hati.
"Baik, aku setuju !" serunya. "Bertanding dengan cara
bagaimana?"
"Gulat !"
Sudah tentu kata2 itu diluar dugaan orang. Gulat
memang menjadi ciri permainan khusus dari suku Biau.
Dalam adu gulat itu tentu orang harus bergumul,
mencengkram, berpelukan dan lain2 gerak yang merapat.
Dengan mengusulkan cara begitu, jelas anak raja Suku Biau
itu tentu mngandung tujuan yang buruk.
Belum orang habis dilanda kejut, tiba2 terdengar Gong
gong-cu berseru lebih menggemparkan.
"Tantangan itu diterima. Tetapi terbatas hanya dalam
sepuluh jurus."
Kopuhoa gembira sekali. Dia menyurut ke belakang tiga
langkah dan mulai pasang kuda-kuda.
Gong-gongcu memberi isyarat anggukan kepala dan
berbangkit dan menuruni titian masuk ke lapangan.
Walaupun tak mengerti ilmu gulat tetapi Cu Jiang dapat
menduga bahwa adu permainan itu tentu akan saling
mencengkram dan banting membanting. Dalam hal ini,
berpakaian ringkas akan lebih leluasa geraknya.
Padahal puteri mengenakan celana panjang dan baju
semacam jubah yang menjulur sampai ke lutut. Bukankah
hal itu akan menghambat gerakannya "
Dia cemas tetapi kemudian dia teringat akan Gong-gong
cu. Ia percaya penuh dan mengagumi kecerdasan gurunya
itu. Jika Gong-gong-cu mengijinkan puteri maju ke medan,
tentu dia sudah mempunyai rencana memenangkan
pertandingan itu.
Menghadapi Kopuhoa yang bertubuh tinggi besar, puteri
bersikap tenang sekali. Seolah tiada terjadi suatu apa.
Adalah anak raja suku Biau itu sendiri yang tampak
kelabakan. Betapa tidak. Berhadapan dengan seorang puteri
yang secantik bidadari, semangat Kopuhoa seperti terbang
melayanglayang.
Kini semua perhatian tertumpah ruah kearah lapangan.
Jika puteri sampai kalah atau sampai dibuat malu oleh
Kopuhoa, Kerajaan Tayli akan menderita hinaan besar.
Dengan mengangkat kedua tangan memberi hormat
seperti lazimnya orang Tionggoan, Kopuhoa berseru:
"Sungguh suatu peristiwa yang paling bahagia dalam
hidupku bahwa saat ini aku mendapat kesempatan untuk
melihat wajah tuan putri."
"Ah, jangan memuji." Toan Swi Ci tertawa.
"Walaupun rakyatku tinggal di daerah yang terpencil
tetapi kemewahan dan kebesaran istana kami, tak kalah
dengan negeri tuan puteri. Dan aku adalah putera pewaris
raja ... ."
Toan Swi Ci mengangkat tangan dan menukas:
"Saat ini kita sedang adu pertandingan. Jangan
membicarakan soal2 lain"
Muka putera raja Biau itu makin hitam lalu berkata
dengan sinis: "Kalau aku yang menang, apakah tuan puteri takkan
mencari alasan lain . .."
"Sekarang masih terlalu pagi untuk mengatakan hal itu!"
"Hm, silahkan bergerak dulu!"
"Ong-Cu seorang tetamu, silahkan turun tangan dulu !"
"Jika begitu, maaf!"
Dalam gaya macan lapar, Kopuhoa terus menerkam
Toan Swi Ci. Gaya gerakannya aneh sekali. Berbeda
dengan ilmu silat di Tionggoan. Sekalian orang menahan
napas. Kalau puteri yang bertubuh lemah gemulai itu
sampai kena terdekap, ah ....
Sekalian orang tak tahu bagaimana puteri bergerak. Yang
mereka lihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2
Kopuhoa sudah menubruk angin karena puteri sudah
pindah ke lain tempat.
Tetapi Kopuhoa tidak berhenti sampai disitu saja.
Berturut-turut dia menerkam sampai tiga kali tetapi tiada
yang kena. Bahkan ujung pakaian puteri saja dia tak
mampu menyentuh.
Rombongan jago2 yang mengiring Kopuhoa, serempak
berobah cahaya mukanya.
Sepintas memandang tahulah Cu Jiang bahwa puteri
sedang menggunakan gerak langkah ajaran Gong-gong-cu.
Diam2 Cu Jiang menghela napas longgar. Ilmu ciptaan
Gong-gong cu itu memang luar biasa sekali. Tak ubah
seperti gerak bayangan setan. Walaupun tak dapat
mengalahkan musuh tetapi jangan harap musuh mampu
mengalahkannya.
Karena malu akhirnya marahlah Kopuhoa. Wajahnya
yang hitam tampak makin hitam sehingga menyeramkan
sekali. "Hai, ilmu apakah yang seperti gerak setan itu ?"
teriaknya kalap.
"Ah, hanya permainan anak kecil saja." sahut puteri
dengan lenggang.
"Apakah ini sudah dianggap bertanding?"
"Mengapa tidak dianggap ?"
"Tetapi tuan puteri selalu menghindar saja."
"Apakah hal itu melanggar peraturan pertandingan"
Sudah tiga jurus, silahkan melanjutkan lagi! "
Geraham Kopuhoa tampak bergemerutukan karena
menahan kemarahan. Dia mulai menyerang lagi, makin
dahsyat dan keras. Tetapi gerak tubuh puteri luar biasa
sekali, cepat dan aneh.
"Berhenti! Sudah sepuluh jurus"
Tiba2 karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Cu
Jiang berteriak.
Kopuhoa-pun terpaksa hentikan serangannya. "Maaf."
seru puteri. Tiba2 Kopuhoa mencabut goloknya. Melihat para jago2
Tayli yang berjajar di muka wisma serempak merabah
senjatanya. Seketika suasana tegang sekali. Pertumpahan darah tak
dapat dihindari lagi.
Melihat itu Beng Kiu, kepala daerah gunung Thian ji
tong segera berseru:
"Ong-cu, pertandingan baru berjalan satu kali. Kita harus
melaksanakan menurut rencana!"
Toan Swi Ci tertawa dingin lalu melangkah ke luar
gelanggang, kembali ke dalam wisma lagi.
Rupanya Kopuhoa tak dapat menahan perangainya yang
kasar. Sambil membolang-balingkan golok, dia berseru
menggeledek: "Untuk pertandingan kedua, tetap aku yang akan maju!"
Melihat itu Toan Hong-ya kerutkan dahi lalu berpaling
kepada Gong-gong-cu yang berada di sampingnya:
"Koksu, terserah kepadamu untuk menyelesaikan mereka
!" Gong-gong cu berdiri lalu memberi hormat kepada raja
setelah itu dia duduk lagi. Sejenak memandang ke segenap
penjuru, tiba2 dia berseru:
"Li ciangkun. harap tampil ke gelanggang!" Seorang
lelaki berjubah Imam segera maju ke tengah gelanggang.
Setelah menghadap baginda dan memberi hormat kepada
baginda diapun terus memberi hormat juga kepada Gonggong cu. Setelah itu baru menghadapi Kopuhoa dan
pelahan-lahan mencabut pedang.
"Silahkan Ongcu menentukan bagaimana cara pertandingan ini harus dilakukan?"
"Jika ada salah seorang yang rubuh baru pertandingan
itu berhenti! " seru Kopuhoa dengan geram.
"Silahkan!" seru ciangkun atau hulubalang yang bernama
Li Kong Hi itu.
Tanpa banyak bicara lagi Kopuhoa terus menyerang.
Cepat sekali kedua jago itu terlibat dalam serang menyerang
yang seru dan dahsyat.
Keduanya sama2 bertubuh tinggi besar dan tenaga kuat.
Mereka berimbang kekuatannya. Dalam beberapa kejab saja
sudah melangsungkan tujuh sampai delapan jurus.
Tampak Kopuhoa kalap sekali cara bertempurnya. Dia
menyerang dengan jurus2 yang dahsyat dan adu jiwa. Sama
sekali dia tak menghiraukan pertahanan.
Setelah mencapai jurus yang ke lima puluh, tampak Li
ciangkun sudah mulai lelah. Tetapi pertandingan itu tak
dapat dihentikan sebelum ada salah satu yang rubuh. Atau
ada yang mau mengaku kalah.
Tampak Gong-gong-cu kerutkan dahi. Jelas dia gelisah.
"Hai! Huak..."
Terdengar suara bentakan disusul oleh jeritan tertahan.
Li ciangkun terhuyung mundur beberapa lagi. Bluk, dia
jatuh tak dapat bangun lagi. Dadanya sebelah kanan
memancarkan darah.
Kopuhoa tertawa gelak2: "Ha, ha, dua kali pertandingan
ini, anggap saja serie!"
Dua orang busu segera turun ke gelanggang untuk
mengangkut hulubalang Li.
Kesempatan itupun digunakan Beng Kiu untuk
mempersilahkan Kopuhoa mundur:
"Harap Ong-cu beristirahat. Pertandingan ke tiga biarlah
Auyang huhwat yang melakukan!"
Kopuhoa menurut dan kembali ke tempat duduknya.
Empat orang Han yang berpakaian seperti suku Biau
serempak berbangkit. Dan entah dengan gerak apa, tahu2
sudah melayang ke tengah gelanggang.
Dari gerak itu saja dapatlah diketahui bahwa mereka
tentu jago yang berisi.
Salah seorang yang tua, memberi hormat ke arah Gong
gong cu: "Hamba Auyang Jong-san, huhwat dari istana raja Biau,
akan menyambut pertandingan yang ketiga ini!"
"Koksu, dia tentu sakti sekali," bisik Toan Hong-ya
kepada Gong gong-cu.
Gong gong cu mengangguk, kemudian memberi
perintah: "Ang wi tiang, silahkan ke luar!"
Ang Ban, kepala prajurit bhayangkara keraton segera
mengiakan dan turun ke gelanggang.
Setelah saling berhadapan, berkatalah Auyang Jong san
dengan nada yang tajam:
"Anda hendak memakai senjata apa ?"
"Dan anda sendiri ?"
"Sepasang daging tangan."
"Akupun akan melayani dengan sepasang tangan juga."
"Silahkan."
"Silahkan."
Sejenak saling membidik pandang Auyang Jong-san
menggembor keras dan terus menghantam. Ang Ban
menangkisnya Rupanya keduanya hendak saling mengukur
kekuatan tenaga lawan.
Bum! Terdengar letupan keras dan angin berhamburan
menderu sehingga lampu2 obor bergoncang2. Sungguh
suatu adu pukulan yang dahsyat sekali.
Auyang Jong san masih tetap tegak ditempat sedangkan
Ang Bau tersurut mundur dua langkah.
"Ah, kali ini akan kalah lagi," diam2 Cu Jiang mengeluh.
Tetapi pada saat itu Auyang Jong sanpun sudah
menggembor keras dan menyerang Ang Ban.
Jurus yang digunakan aneh sekali. Selama menyerang
belum habis sejurus sudah berganti lain jurus lagi.
Baru setengah jalan Ang Ban menyambut, dia sudah
mengerang dan muntah darah. Tubuhnya terhuyunghuyung. Auyang Jong-san tak memberi ampun lagi. Maju ke
muka ia menghantam kepala Ang Ban sekeras-kerasnya.
"Hai!" terdengar teriak kejut dari empat penjuru.
"Jangan melukai orang."
Tiba2 terdengar bentakan menggeledek dan tahu2 di
tengah gelanggang telah bertambah seorang yang sudah
menyambar tubuh Ang Ban. Bagaimana dia loncat ke
tengah gelanggang dan menarik tubuh Ang Ban, tiada
seorangpun yang melihat jelas.
Auyang Jong-san terkejut dan mundur tiga langkah lalu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak: "Anda telah merusak peraturan pertandingan!"
"Adu kepandaian bukan bertujuan membunuh. Li
ciangsuu tadi sudah menderita luka. Jika anda hendak
melukai orang lagi berarti menghina rakyat Tayli! " seru
orang itu. "Anda siapa?"
"Tin-tian ciangkun!"
"Bagus, pertandingan keempat akulah yang maju!"
"Aku bersedia melayani."
"Dengan senjata apa?"
"Cukup tangan kosong."
"Bagus! Jika kali ini aku menang, pihak kami telah
menang tiga kali dan kalah satu kali. Dengan demikian jelas
kemenangan tentu ditangan kami."
"Ah, mungkin anda akan kecewa!"
"Hm, kenyataan akan berbicara, mulailah! "
"Tunggu, aku hendak menyatakan sesuatu . .."
"Silahkan."
"Dalam gebrak pertama, anda harus mengerahkan
seluruh tenaga!"
"Lho, kenapa?"
"Karena anda bakal tak punya kesempatan untuk
menyerang lagi."
Ucapan dari Tian-tian ciangkun Cu Jiang yang begitu
congkak, membuat wajah Auyang Jong-san merah padam,
rambut menjingkrak dan mata melotot.
"Auyang huhwat, bertempur sampai mati baru berhenti!"
tiba2 Kopuhoa berseru marah.
"Hm, apakah ciangkun sudah mendengar perintah Ongcu kami?" Auyang Jong-san berseru mengejek.
"Sudah, mengapa?"
"Berani menerima?"
"Hong ya tak meluluskan pembunuhan!" tiba2 Gonggong-cu berteriak.
Kopuhoa tertawa keras:
"Memangnya Hong ya seorang junjungan yang penuh
kasih sayang atau karena . . . ."
"Jangan kurang ajar! " bentak Cu Jiang.
"Engkau berani menghina Ong cu kami !" Kopuhoa
balas membentak.
Melihat ketegangan itu, buru2 Beng Kiu mencegah.
"Ongcu sukalah memikirkan kepentingan besar. Kita
datang kamar hendak meminang."
Kemudian dia berseru nyaring:
"Menurut tata peraturan, setiap penantang berhak untuk
menentukan cara pertandingan."
Mendengar itu Gong gong-cu segera menghaturkan
laporan kepada Hong-ya:
"Hong ya, agaknya pertumpahan darah tak dapat
dihindari lagi."
Toan Hong-ya gelengkan kepala dan menghela napas,
tak berkata apa2.
"Tin-tian ciangkun, silahkan engkau menentukan
keputusan sendiri."
Cu Jiang memberi hormat kearah Gong-gong-cu lalu
menghadap musuh dan berseru dengan nada dingin:
"Harap anda pertimbangkan lagi, karena anda bakal
tiada kesempatan menyerang lagi."
"Engkau tak berani menerima tantanganku tadi."
"Rasanya anda ini orang persilatan dari Tionggoan. Aku
tak sampai hati melihat mayatmu dibuang ke bawah
gunung." Auyang Jong - san terkesiap. Matanya berkilat2
memancarkan sinar pembunuhan.
"Saat ini kita sedang adu kepandaian. Kesudahannya
akan menyangkut hubungan kedua belah pihak. Entah
menjadi kawan atau lawan. Dan akulah sebagai pihak yang
menantang."
Sejenak merenung, akhirnya Cu Jiang menjawab:
"Baiklah, aku menerima tantanganmu untuk bertempur
sampai mati!"
Mendengar itu suasana berubah tegang sekali. Sekalian
orang, terutama rombongan pihak Tayli berdebar-debar.
Auyang Jong-san segera silangkan kedua tangannya lalu
pelahan-lahan dijulurkan lurus ke muka dada. Sepasang
telapak tangannya berwarna hitam. Jelas dia memiliki ilmu
tangan beracun yang ganas.
Sudah tentu sekalian menteri hulubalang Tayli was-was
akan keselamatan jenderal baru yang baru saja dilantik itu.
Yang membuat pihak Tayli tegang dan cemas ialah
apabila pertandingan itu dimenangkan pihak tetamu lagi,
jelas puteri Toan Swi Ci akan diperisteri Kopuhoa.
Tampak Cu Jiang tegak berdiri bagaikan gunung karang.
Diam2 dia telah menyalurkan tenaga-murni untuk
melindungi seluruh tubuhnya.
Tiba2 saja Toan Hong-ya berpaling:
"Kok-su, adakah dia dapat diandalkan?"
"Jika tidak, Jelas waktu setahun itu akan sia-sia belaka !"
sahut Gong gong-cu.
"Kok-su, pertandingan itu menyangkut kepentingan
negara..."
"Harap Hong-ya suka lepaskan pikiran, tentu takkan
mengecewakan!"
Puteri Toan Swi Ci Juga gelisah. Bahkan paling gelisah
sendiri. Karena pertempuran itu menyangkut nasib dirinya.
Jika kalah, jelas dia tentu akan menjadi isteri Kopuhoa yang
memuakkan itu. Saat itu ditengah gelanggang, Cu Jiang dan Auyang
Jong-san saling berhadapan. Selurun perhatian orang
tertumpah ruah pada kedua orang itu.
Keduanya sama2 berdiri tegak mengambil sikap dan
bersiap-siap menyalurkan seluruh tenaga murni. Siapa yang
lengah atau lemah, tentu akan lenyap jiwanya.
Suasana hening lelap Maut mulai bertebaran
"Hait...!!" sekonyong-konyong Auyang Jongsan berteriak
keras dan kedua tangannya yang berwarna hitam itupun
segera menghantam.
"Bum ... bum..."
=00o-d^w-o00= Jilid 11 Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan sakti
saling beradu. Cu Jiang tergetar. Dia tidak menghindar,
juga tidak balas menyerang.
Sedangkan wajah Auyang Jong-san tampak ngeri dan
ketakutan. Dia mundur selangkah demi selangkah.
Mungkin, baru pertama kali itu dia berjumpa dengan
seorang manusia yang mampu menerima pukulan yang
disertai dengan seluruh tenaganya.
Auyang Jong-san mundur, mundur dan mundur lagi
sehingga dia sudah mundur sampai delapan langkah.
Cu Jiang cepat melesat kehadapannya dan berseru
dingin: "Dengan sejujurnya kuberitahu kepadamu, bahwa
engkau pasti mati hari ini !"
Wajah Auyang Jong-san mengerut dalam, keringat
bercucuran membasahi kepala. Dia tak mundur lagi.
Segenap jago2 pengiring putera raja Biau serempak
berdiri dengan mulut terlongong-longong.
Dendam dan kebencian Cu Jiang yang terpendam
selama ini, tercurah dalam pandang matanya yang berapi
api menyeramkan. Seolah-olah dia hendak menelan orang
itu. Gong-gong-cu cepat berteriak nyaring: "Tin tian
ciangkun, kalau lawan sudah mengaku kalah, terimalah
saja." Cu Jiang teringat bahwa raja Tayli itu tak menyukai
pembunuhan. Dia pun teringat bahwa kepandaiannya
berasal dari budi yang dilimpahkan baginda dengan
mengijinkan dia mempelajari kitab pusaka Giok kah kimkeng. Dia menyadari bahwa baik-baik kalau dia mengumbar
nafsu kemauannya sendiri. Setelah menekan perasaannya,
berserulah dia dengan nada sarat:
"Apakah engkau sudah menyerah ?"
"Tidak!" teriak Auyang Jong san lalu tiba-tiba
menyerang. Memukul dengan tangan kiri, menutuk dengan
jari tangan kanan lalu menendang ke jalan darah Gi-hay
pada perut orang.
Tiga buah gerakan itu dilancarkan secara tak terduga
duga, cepat dan serempak.
Tetapi diluar dugaan Cu Jiangpun bergerak luar biasa
cepatnya Secepat tubuh berkisar, tangan menghantam dan
huak . . . terdengar jeritan ngeri.
Auyang Jongsan muntah darah, terhuyung-huyung
sampai tiga langkah dan terus jatuh terduduk.
Para pembesar sipil dan militer kerajaan Tayli yang
duduk pada panggung sebelah itu, tak ingat lagi kalau
baginda berada disitu. Mereka serempak bersorak sorai
menyambut kemenangan Cu Jiang itu dengan kegembiraan
yang meluap luap.
Anak rombongan Biau terkejut sekali.
Untuk membunuh lawan, Cu Jiang hanya seperti
menampar nyamuk saja. Tetapi dia tak mau membunuhnya, melainkan hanya berseru:
"Demi menjunjung titah Hong ya yang penuh welas asih,
kuampuni jiwamu!" habis berkata dia terus mundur ke
tengah gelanggang.
"Tunggu!" tiba2 terdengar sebuah suara yang seram,
disusul dengan sesosok tubuh yang muncul di tengah
gelanggang. Sekalian orang terkesiap. Gerakan orang itu masuk ke
tengah gelanggang sungguh hebat sekali. Hampir mereka
tak dapat melihatnya. Bahkan mereka mengira kalau orang
itu memang sebelumnya sudah berada di tengah
gelanggang. Cu Jiang hentikan langkah, berputar tubuh. Dilihatnya
pendatang itu adalah salah seorang pengiring Kopuhoa,
orang Han yang berpakaian seperti suku Biau.
"Anda bermaksud bagaimana?" tegur Cu Jiang.
"Menantang!"
"Kali ini merupakan pertandingan yang terakhir."
"Tahu!"
"Ada syaratnya?"
"Bertempur dengan pedang."
"Baik. Siapakah nama anda?"
"Kepala huhwat istana Biau, Ih bun Ih Hiong."
"Rupanya anda mempunyai keistimewaan dalam ilmu
pedang." "Tak perlu engkau tanyakan."
Tiba2 Cu Jiang teringat. Apabila kali ini dia
menggunakan kutungan pedang, kelak tentu akan
menimbulkan kesulitan apabila dia muncul di Tionggoan.
Hal itu tentu akan menyangkut kerajaan Tay-li. Iapun
memutuskan untuk memakai pedang lain maka dia berseru
kepada rombongan perwira yang berjaga di depan meja
supaya membawakan pedang.
Seorang perwira segara mengambil sebatang pedang
ceng-kong-kiam dari rak senjata dan di serahkan ke Cu
Jiang Rupanya Gong-gong-cu tahu kandungan hati Cu Jiang.
Diam2 ia mengangguk.
Kepala huhwat dari istana Biau, Ih bun Ih Hiong
pelahan-lahan mulai melolos pedangnya. Di tingkah sinar
obor, batang pedang itu berkilat-kilat memancarkan sinar
yang menyilaukan mata. Jelas bahwa pedangnya itu tentu
sebuah pusaka. Dan ketika ia getarkan ujung pedang maka
ujung pedang itupun menjulur panjang beberapa jari.
Setelah saling mengucap sepatah kata untuk mempersilahkan maka kedua jago itupun segera saling
berhadapan. Keduanya melakukan kuda2 pembukaan yang
aneh. Beda dengan kuda2 ilmu pedang biasa.
Namun mereka belum
segera mulai bertempur melainkan saling beradu tatap pandang. Tajam dan penuh
dengan sinar pembunuhan.
Sedetik, semenit... berjalan merayapi ketetapan suasana.
Tiada seorang pun yang mengedipkan mata.
Pelahan lahan ujung hidung Ih hun Ih Hiong
mengucurkan keringat. Beberapa tokoh ahli pedang,
berturut-turut berdiri. Mereka tak kuat menahan ketegangan
hatinya. Mereka tahu bahwa sekali bergerak, keduanya
tentu akan menghadapi kekalahan atau kemenangan.
Memang sikap dari kedua jago itu, berbeda dengan
pertempuran jago pedang yang kebanyakan.
Tetapi mereka tak tahu apa sebenarnya yang sedang
dilakukan Cu Jiang. Sikap yang diambil Cu Jiang untuk
menghadapi lawan itu sebenarnya hanya untuk mengetahui
bagaimana serangan yang akan dibuka lawan. Ia baru akan
menunggu lawan menyerang lebih dulu baru akan
mendahului untuk mematikannya.
Tampak para jago2 pengawal Kopuhoa pun berturutturut berdiri. Merekapun tegang sekali.
Dari acara pertandingan yang akan dilangsungkan lima
kali, kedua belah pihak sama2 membagi angka. Dalam
empat kali pertandingan, mereka kalah dua kali dan
menang dua kali. Jadi seri.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertandingan saat itu merupakan pertandingan kelima
atau yang terakhir. Itulah sebabnya kedua belah pihak amat
tegang sekali. Beberapa saat kemudian tampak tubuh Ih-bun It Hiong
gemetar. Hal itu menandakan bahwa dia tak kuat bertahan
lagi. Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Cu Jiang dapat
turun tangan. Lawan sudah goyang konsentrasi semangatnya. Tetapi Cu Jiang tak mau. Dia tetap diam tak
bergerak. Orang dan pedang seperti bersatu.
Dalam pandangan ahli pedang, keadaan itu merupakan
ilmu pedang yang telah mencapai tataran tertinggi. Dapat
membunuh lawan tanpa terasa.
Kopuhoa mulai mengucurkan keringat. Wajahnya yang
hitam makin menyeramkan.
Sementara Toan Hong-ya berbisik kepada Gonggong cu:
"Kok-su, tak kira anak itu memperoleh hasil yang
sedemikian hebat!"
"Hong-ya, mungkin tidak hanya sampai di situ saja, "
sahut Gong-gong cu.
"Nyo kongkong, sesungguhnya berapa tinggikah kepandaian dari sausu itu ?" tanya Puteri Toan Swi Ci.
Gong- gong cu tertawa:
"Sukar dikata. Cukup dikatakan bahwa dia sukar dicari
tandingannya !"
"Jika begitu bukankah dia merupakan jago nomor satu
dalam dunia?"
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Tak ada yang disebut
nomor satu. Hanya ada tinggi dan rendah saja."
"Bagaimana kalau dibanding dengan Nyo kongkong ?"
"Aku terpaut jauh sekali dengan dia !"
"Aneh, besar2 aneh. Murid lebih sakti dari guru."
Murid dan guru hanya soal nama saja."
"Nyo kongkong, lihatlah.... dia tetap belum turun
tangan!" Memang Cu Jiang bahkan menyimpan pedangnya dan
berkata: "Hong-ya tak memperkenankan darah menumpah!"
Habis berkata dia terus melangkah, berhenti serentak
memberi hormat kearah tempat duduk baginda kemudian
baru kembali ketempat duduknya semula.
Wajah Kopuhoa dan sekalian jago2 pengiringnya
berobah, tak sedap dipandang. Dan saat itu Gong gong
cupun berbangkit.
"Pertandingan adu kepandaian ini, telah berakhir. Pihak
Tayli beruntung dapat menangkan sebuah pertandingan.
Urusan peminangan, menurut peraturan sudah bebas.
Sekarang kami persilahkan para tetamu yang terhormat
supaya beristirahat ke Wisma Tamu Agung lagi..."
Dengan napas memburu keras, Kopuhoa berseru:
"Tak lama kami akan datang kembali untuk mohon
pelajaran. sekarang kami hendak mohon diri."
Beng Kiu yang mengepalai rombongan pengiringpun
menyatakan mohon diri kepada tuan rumah.
Diam2 Cu Jiang geli dalam hati. Dia tak mengerti adat
istiadat suku yang tinggal di daerah selatan itu.
"Walaupun kami mengecewakan harapan, tetapi kami
takkan mengecewakan peraturan. Atas nama Hong-ya,
kami mengucapkan selamat jalan kepada rombongan tamu
agung!" seru Gong-gong cu dengan nyaring sebagai
pengantar dan kepergian rombongan Kopuhoa.
Setelah itu dia mohon petunjuk baginda dan raja pun
memberi isyarat agar upacara pertandingan itu dibubarkan.
Sesaat Gong-gong cu mengumumkan bahwa acara telah
selesai dan dibubarkan maka seluruh pegawai sipil dan
militer kerajaan Tayli serempak berdiri memberi hormat.
Dengan diiring puteri, bagindapun tinggalkan tempat itu.
Sorak sorai bergemuruh gegap gempita dari sekalian
menteri dan rakyat Tayli menyambut kemenangan Cu
Jiang. Cu Jiang membalas hormat kepada mereka. Dua
butir airmata haru dan gembira menitik keluar dari pelupuk
Cu Jiang. Dia merasakan saat itu suatu saat yang
mempunyai kebahagian tersendiri.
Gong-gong cu mengajak Cu Jiang pulang ke wisma Tiautim-tian, Ing San dan Bok Cui menyiapkan hidangan.
"Nak, kuhaturkan secawan arak kehormatan atas
kemenanganmu!" seru Gong gong cu.
"Ah bagaimana murid berani menerimanya " Selayaknya
muridlah yang harus menghaturkan arak kehormatan
sebagai tanda terima kasih atas budi suhu." seru Cu Jiang.
Gong gong-cu tertawa.
"Ha, ha, ha, sudahlah, jangan peduli siapa yang harus
menghaturkan arak kehormatan, yang penting mari kita
meneguknya."
Cu Jiang terpaksa menyambuti dan setelah meneguk
habis diapun menghaturkan secawan arak kepada Gonggong-cu. "Nak, Hong-ya sangat menaruh kepercayaan kepadamu,
Engkau diharapkan dapat menyelesaikan tugas besar,
melenyapkan gerombolan Sip-pat-thian-mo yang ganas itu
!" "Murid berjanji akan melaksanakan titah Hong ya
dengan sekuat tenaga."
"Kuharap dalam waktu tak lama lagi, aku dapat
menyiapkan perjamuan untuk memberi arak kehormatan
kepadamu lagi."
"Terima kasih suhu."
"Apakah engkau ingin bertamasya melihat-lihat tempat2
indah dalam negeri Tayli sini ?"
Sejenak merenung Cu Jiang mengatakan bahwa dia ingin
selekasnya kembali ke Tionggoan. Kelak kalau tugasnya
sudah selesai, ia tentu akan melihat2 tempat2 indah di
negeri Tayli itu.
Gong-gong cu tak mau memaksa.
"Suhu, kapankah murid dapat berangkat ?"
"Bagaimana kalau lusa saja ?"
Cu Jiang mengiakan. Demikian setelah beristirahat
sehari pada hari kedua Cu Jiangpun segera tinggalkan kota
Tayli. Dengan mengenakan pakaian seperti seorang pelajar dan
muka tertutup, dia berjalan pelahan-lahan.
Hampir setahun lamanya Cu Jiang pergi dari daerah
Tionggoan selama itu banyak sekali terjadi perobahan. Dan
beberapa kaum persilatan yang dijumpai dalam perjalanan,
Cu Jiang banyak mendengar cerita2 tentang dunia
persilatan yang mengejutkan.
Perkumpulan agama Thong-thian-kau berdiri di kota
Khay-hong. Siapa ketuanya tiada diketahui orang.
Perkumpulan itu mempunyai delapan buah cabang yang
tersebar di beberapa tempat. Pengaruhnya amat besar.
Kecuali Siau-lim-pay, Bu-tong, Kay-pang dan Hek-poh
atau Gedung Hitam, semua partai2 dan perhimpunan silat
kecil2 telah ditelan dan dilebur ke dalam Thian tong kau
itu. Tetapi Cu Jiang tak tertarik akan partai baru itu. Dia
tetap mencurahkan perhatian pada musuh utamanya yakni
gerombolan kedelapan belas durjana yang disebut Sip-patthian mo itu. Setiap detik, menit dan jam, hatinya selalu tersikut oleh
dendam kesumat terhadap kawanan durjana itu. Darahnya
bergolak keras ketika teringat akan peristiwa yang lalu yang
menyebabkan kedua orang tuanya mati dan yang membuat
dirinya sekarang menjadi pemuda cacad dan bermuka
buruk. Kini hutang itu harus di impas. Setelah memasuki daerah
Kwitang dia terus menuju ke Sujwan. Rencananya dari Sujwan terus akan menuju ke gunung Keng san tempat
markas Gedung Hitam.
Ia belum tahu apakah ketua dari Gedung Hitam itu
terlibat juga dalam peristiwa berdarah, masih harus
diselidiki. Tetapi tentang dendam dengan Go-leng cu dan
Thian-hiancu memang sudah jelas.
Terhadap gerombolan durjana Sip pat-thian-mo, harus
mencari kesempatan untuk menemui mereka. Untuk itu
harus menggunakan siasat memikat perhatian mereka.
Hari itu dia tiba di kota Keng-ciu wilayah Sujwan. Saat
itu hari sudah menjelang petang. Seperti beberapa hari yang
lalu, dia membeli saja makanan dan minuman botolan, lalu
mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.
Dia tak mau masuk kota melainkan melingkar memutari
kota itu untuk mencari tempat yang sepi. Tak berapa lama,
dia melihat sebuah biara. Dengan langkah yang terpincangpincang dia menghampiri biara itu. Ketika tiba di muka
biara itu, pada papan nama di atau pintu terpampang tiga
buah huruf besar: Bu Hou Si atau tempat pemujaan
panglima perang.
Biara itu sunyi senyap tiada bekas dupa sembahyangan.
Rupanya sebuah tempat pemujaan yang tak pernah
dikunjungi orang lagi. Hal itu mencocoki selera Cu Jiang.
Dia memang hendak mencari tempat yang sepi dan tenang.
Setelah masuk dia terus duduk bersila dan membuka
bungkusan makanan. Selesai makan hari pun sudah malam,
suasana amat sunyi.
Dalam biara yang sebesar itu ternyata tiada berpenghuni
sama sekali. Cu Jiang mulai mencurahkan pikirannya untuk
merenungkan ilmu pelajaran Kim-kong-sin kang yang
belum difahaminya itu.
Entah berapa lama, ketika rembulan berada di tengah,
tiba2 terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan
masuk. Masakan tengah malam buta seperti saat itu,
muncul seorang pendatang. Siapa mereka"
Dua sosok bayangan melesat ke dalam ruang. Yang di
depan seorang baju hitam setengah tua. Yang di
belakangnya seorang bun-su ( orang terpelajar ), juga
setengah tua. Cu Jiang tak asing lagi dengan bun su itu.
Siapa lagi kalau bukan Ho Bun Cai, congkoan atau
pengurus Gedung Hitam.
Seketika teringatlah Cu Jiang akan peristiwa yang
lampau. Ho Bun Cai giat menyelidiki jejak pemuda pelajar
baju putih ( Cu Jiang sendiri kala masih belum rusak
mukanya ) Sebagai seorang congkoan Gedung Hitam tetapi ternyata
Ho Bun Cai itu itu malah membunuh beberapa jago
Gedung Hitam sendiri. Pernah membantunya lolos dan
penjara neraka Gedung Hitam. Diam2 Cu Jiang mengakui
bahwa ia masih berhutang setitik budi kepadanya.
Mengapa congkoan itu tiba2 muncul di biara situ"
Siapakah sebenarnya orang itu" Agar tak dipergoki mereka,
Cu Jiang kerahkan tenaga sakti. Tanpa berkisar dari posisi
duduknya, tubuhnya melayang ke belakang sebuah tiang
yang besarnya sepemeluk lengan orang.
Tepat pada saat itu kedua orang itupun muncul di tengah
ruang. "Di sini saja kita selesaikan," tiba2 orang baju hitam itu
berseru dingin.
Ho Bun Cai tertawa hambar:
"Tio Pit Bu, mengapa engkau tetap ngotot demikian
rupa?" Pengawal Hitam yang bernama Tio Pit Bu itu tertawa
dingin: "Ho Bun Cai, urusan ini harus diselesaikan. Kalau tidak
bagaimana dapat mengubur agar arwah suhu mengasuh
dengan tenang di alam baka ..."
"Kalau menurut umur, aku lebih tua dua tahun dari
engkau, " seru Ho Bun Cai dengan nada serius, "layaknya
kusebut engkau sebagai hian-te. Pada masa itu guruku dan
gurumu merupakan sepasang sahabat yang karib . . ."
"Tutup mulutmu! Kalau memang karib hubungannya
mengapa tak mau memberi kelonggaran pada orang?"
"Hiante, ucapanmu itu mengandung prasangka . . . . "
"Prasangka " Adalah karena hal itu maka mendiang
suhuku sampai binasa. Pada saat menutup mata masih tetap
tak melupakan jurus ilmu pedang yang menyebabkan dia
mendendam kebencian !"
"Hiante, sebenarnya kedua orang tua itu tidak
bermusuhan, hanya .... hanya . . .."
"Hanya bagaimana ?"
"Gurumu itu berwatak agak mau menang sendiri."
"Ngaco! Gurumulah yang hendak membuktikan bahwa
dirinya adalah jago pedang nomor satu didunia ini sehingga
dia tak mau mempedulikan sahabat lagi."
"Hiante, Jurus ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang
guruku sendiri. Pada waktu mereka mengadu kepandaian
tujuannya tak lain hanya saling menguji dan mempelajari
kelemahan masing2 ..."
"Ah, tak perlu menguraikan peristiwa yang telah lalu.
Perhitungan yang oleh angkatan terdahulu belum selesai,
kita sebagai angkatan sekarang harus menyelesaikannya.
Marilah kita buktikan, apakah Jurus ilmu pedang ciptaan
gurumu itu benar2 merupakan ilmu pedang yang tiada
tandingannya dalam dunia ini!"
"Ah, siapapun yang menang atau kalah, engkau atau
aku, lantas bagaimana ?"
"Jika aku sampai kalah," seru Tio Pit Bo dengan nada
tergetar, "aku akan bunuh diri."
Seketika wajah Ho Bun Cai berobah: "Ah, janganlah
hiante begitu serius. Kedua beliau sudah menutup mata,
kita sebagai angkatan sekarang masakan hendak mengikuti
jejak mereka?"
"Lebih dari sepuluh tahun aku membenam diri dari
dunia ramai, perlunya hanya untuk menunggu saat seperti


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang ini !"
"Hiante menganggap hal itu sebagai suatu dendam
permusuhan ?"
"Permusuhan sih bukan tetapi hanya dendam saja."
"Tetapi aku sudah bersumpah takkan menggunakan
jurus ilmu pedang itu lagi."
"Apakah dengan alasan itu engkau hendak menjaga
gengsi ?" "Tidak hiante, apa yang kukatakan itu memang
sesungguhnya."
"Keputusanku sudah mantap, tak mungkin di robah
lagi." Sudah tentu Cu Jiang tak mengerti apa yang mereka
percakapkan itu. Tetapi ia hanya menduga bahwa urusan
itu menyangkut pertengkaran yang terjadi pada guru
mereka. Memang rata2 kaum persilatan mempunyai watak
begitu, menganggap "nama baik" itu lebih berharga dari
Jiwa. "Hiante, apakah sudah engkau pikirkan akibatnya ?" seru
Ho Bun Cai pula.
"Akibat yang bagaimana?"
"Demi menjaga agar nama baik mendiang guruku tak
sampai terhina, terpaksa aku harus mainkan jurus itu
dengan sepenuh tenaga."
"Justeru itulah yang kukehendaki !"
"Tetapi begitu dimainkan. Jurus ilmu pedang itu tentu
melukai orang..."
"Juga ilmu pedangku nanti."
"Untuk apakah kita akan bertempur ini ?"
"Demi menumpahkan ganjalan hati"
"Tetapi aku tak mau menggunakan jurus itu."
"Engkau harus!"
"Kalau tidak ?"
"Akan segera kusiarkan kepada dunia persilatan bahwa
ilmu pedang gurumu itu ternyata bukan Ilmu pedang yang
menjagoi kolong langit!"
"Kalau begitu, silahkan hiante menyiarkan!"
"Ilmu pedang ajaran suhu dikala beliau hendak menutup
mata, tak dapat disiarkan ke dunia persilatan bersama
dengan jurus ilmu pedang gurumu itu."
"Apa maksudmu ?"
"Malam ini marilah kita sama2 menguji mana yang lebih
sakti." "Adu Jiwa?"
"Mati hidup tergantung dari kepandaian yang didapat
masing2. Jangan mengaitkan dengan kata adu Jiwa."
Sebagai putera dari Kiam-seng (Nabi pedang) sudah
tentu Cu Jiang tertarik sekali. Rupanya yang dipertengkarkan kedua orang itu mengenai sebuah jurus
ilmu pedang yang tiada tandingannya.
Apakah didunia ini benar2 terdapat ilmu pedang yang
tiada lawannya"
Jika begitu ilmu pedang Thian te-kiamhoat atau Langit
bumi-saling-terangkap yang dipelajarinya dari kitab Giokkan-kim- keng itu termasuk ilmu pedang tingkat
bagaimana"
Ah, lebih baik ia melihat saja ilmu pedang apa yang akan
dipertunjukkan kedua orang itu.
"Aku tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang Itu," seru
Ho Bun Cai. "Takut ?"
"Bukan begitu."
"Suatu pengakuan tak berani?"
"Juga bukan."
"Hm, kalau begitu harus dibuktikan."
Dalam berkata itu, Tio Pit Bupun sudah mencabut
pedang dan mengambil sikap dalam gaya yang aneh sekali.
Sekali dipandang tampaknya rapat sekali dan sukar
diserang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, masih ada
beberapa bagian kelemahannya.
Ho Bun Cai tiba2 mundur selangkah dan berseru dingin:
"Maaf, tak dapat melayani!"
"Tidak ! Loloslah pedangmu !"
"Tidak !"
"Sungguh tak mau ?"
"Tidak !"
"Penakut, engkau mencemarkan nama baik gurumu."
Wajah Ho Bun Cai menampil kerut kedukaan tetapi
sepasang matanya berapi-api. Tetapi hanya sekejap terus
padam lagi. Dengan mengerenyit geraham dia berkata.
"Hiante. aku tetap tak mau mencabut pedang."
"Engkau tak mau menjaga diri ?"
"Apakah hiante hendak membunuh orang yang tak
melawan ?"
"Mungkin ! Aku mungkin .... melakukan hal itu," seru
Tio Pit Bu dengan nada tinggi dan geram.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa Ho Bun Cai menolak
untuk adu kepandaian dengan orang itu. Memang tindakan
itu dapat digolongkan pengecut, suatu perbuatan menghina
perguruan sendiri.
Jelas dia tahu bahwa Ho Bun Cai itu bukan penakut
tetapi mengapa dia bersikap seaneh itu " Apakah karena dia
tahu tak dapat menang " Ataukah karena mempunyai
alasan lain "
"Cabut pedangmu !" kembali Tio Pit Bu berteriak.
"Tidak!" Ho Bun Cai tetap menolak.
Ujung pedang Tio Pit Bu bergetar perlahan, sekali
menyambar tentulah dada Ho Bun Cai akan tembus.
"Kubilang cabutlah pedangmu dan jaga dirimu dari
seranganku. Ho Bun Cai, engkau adalah murid pewaris dari
jago pedang nomor satu di dunia !"
"Siapa bilang " Dalam dunia persilatan siapa yang tahu?"
"Aku yang tahu, itu sudah cukup !"
"Ah, hiaute, kita berdua bertempur adu jiwa, engkau
yang menang atau aku menang, tiada orang yang menjadi
saksi . .. ."
"Bagaimana kalau aku yang menjadi saksi ?" tiba2
sebuah suara parau berkumandang dari ujung sudut
ruangan dan menyusul sesosok bayangan melesat ke tengah
ruang dalam gerak yang seringan daun kering gugur. Kini di
tengah ruangan bertambah dengan seorang tua berambut
putih bertubuh kurus kering.
Cu Jiang terkejut. Dia tak menyangka bahwa diruang itu
masih terdapat seorang lain lagi. Menilik gerakannya, jelas
orang tua berambut putih itu bukan seorang tokoh yang
lemah. Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berpaling.
"Apakah anda ini bukan Thian put-thou Ciok Siau Ji?"
seru Ho Bun Cai seraya kerutkan dahi.
Melangkah dan berhenti lebih kurang setombak jauhnya,
orang tua berambut putih itu tertawa gelak-gelak.
"Benar, memang aku inilah orangnya!"
Cu Jiang terkejut lagi. Dia tak kira kalau orang tua
berambut putih dan bertubuh kurus kering, ternyata raja
pencuri yang termasyhur dalam dunia persilatan.
Kepandaiannya mencuri memang hebat sekali sehingga
orang persilatan menggelarinya dengan julukan Thian-putthoo atau Hanya-langit-yang-dia tak-mampu-mencuri.
Semua benda apapun dalam dunia dia sanggup mengambil
kecuali langit.
Sejak pertama-tama
keluar mengembara
kedunia persilatan, waktu tiba didaerah Kanglam, Cu Jiang pernah
mendengar nama orang itu. Sungguh tak kira bahwa malam
itu dia bakal bertemu dengan manusianya.
Menurut cerita orang persilatan Thian-put-thou itu
berwatak aneh, ilmu kepandaiannya tinggi, suka usil
mencampuri urusan orang. Sekali dia menggoda, orang
tentu akan kewalahan, Tak peduli benda apa saja, asal dia
melihat dan senang, tentu takkan berhenti berusaha
mengambilnya sebelum dapat. Pendek kata, kecuali langit,
dia akan mencuri segala apa dalam dunia ini.
Tetapi ada suatu keganjilan pada diri pencuri itu.
Walaupun dia digelari sebagai pencuri sakti tetapi dalam
soal kebaikan dan kepahlawanan, namanya tak kalah
dengan Bu-lim-seng-hud Sebun Ong.
Tio Pit Bu segara memberi hormat kepada Thian-putthou, serunya: "Sungguh kebetulan sekali Ciok cianpwe hadir, mohon
suka menjadi saksi dalam pertandingan kami ini."
Thian-put-thou tertawa gelak2: "Kalian berebut soal
kebesaran nama?"
"Ya."
"Tujuannya
hanya hendak membuktikan siapa sebenarnya yang paling unggul ilmu pedangnya ?"
"Ya."
"Jika demikian sebutkanlah nama perguruan kalian !"
"Maaf, aku tak dapat memberitahukan nama suhuku,"
seru Ho Bun Cai.
Tetapi Tio Pit Bu cepat merebut pembicaraan dengan
berseru: "Mendiang guruku adalah Hui-kong kiam Go Siok
Ping!" Mendengar itu Cu Jiang terkejut sekali, Hui-kong-kiam
Go Siok Ping termasuk salah seorang jago pedang kelas
satu dalam dunia persilatan. Semasa hidupnya, ayah Cu
Jiang sering membicarakan tokoh itu sebagai seorang
manusia yang berdada sempit dan pikiran cupet.
Hal itu merupakan pantangan dalam pelajaran ilmu
pedang. Kalau tidak. Go Siok Ping pasti memperoleh
kemajuan ilmu pedang yang tiada taranya.
Thian- put thou mengangguk lalu memandang Ho Bun
Cai. serunya: "Kutahu siapa gurumu, tak usah engkau katakan!"
"Terima kasih atas kepercayaan locianpwe," seru Ho Bun
Cai dengan wajah cerah.
Tetapi diam2 Cu Jiang kecewa. Sebagai putera seorang
tokoh yang digelari sebagai Nabi-pedang ternyata dia tak
banyak mengetahui nama tokoh ilmu pedang dalam dunia
persilatan. "Ho heng. apakah kita dapat mulai?" seru Tio Pit Bu
yang menyala-nyala nafsunya.
Ho Bun Cai gelengkan kepala:
"Telah kukatakan, aku tak mau menggunakannya."
"Tidak beralasan sama sekali!"
"Mengapa hiante tak dapat memaafkan orang."
"Aku hanya ingin adu ilmu pedang, aku hanya ingin
membuktikan, lain2 hal aku tak peduli!" seru Tio Pit Bu
dengan nada keras.
"Maaf, aku tak dapat melayani," Ho Bun Cai tetap pada
pendiriannya. Tio Pit Bu hilang kesabarannya. Gentar pedang dia
berteriak dengan marah:
"Engkau harus turun tangan!"
"Tidak!"
"Takut kubunuh?"
"Silahkan turun tangan!"
"Ho Bun Cai, engkau kira aku tak berani?"
"Kalau berani, langsungkanlah!"
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih, serunya:
"Menurut pendapatku orang tua ini, sudahlah."
"Tidak bisa sudah begini saja," teriak Tio Pit Bu dengan
nada gemetar, "aku Tio Pit Bu kalau pulang tak membawa
kemenangan, lebih baik kuserahkan jiwaku di tempat ini.
Jika Ciok locianpwe tak suka menjadi saksi, silahkan
menonton di pinggir saja. Dia, jika tak mau menangkis
seranganku, bukan salahku!"
Thian put-thou tertawa gelak2:
"Tunggu dulu! Yang berada di tempat ini, bukan hanya
aku seorang."
"Hai ...." Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berseru
kaget. Mereka tak mengira bahwa dalam ruang itu masih
terdapat seorang lagi.
Juga tak terperikan kejut Cu Jiang. Karena menyadari
jejaknya telah diketahui si pencuri sakti, akhirnya ia
memutuskan untuk unjuk diri.
"Sahabat, silahkan ke luar!" belum ia melaksanakan
keputusannya, si raja pencuri sudah berseru ke arahnya.
Cu Jiang segera berdiri lalu melangkah keluar,
menghampiri ke tempat mereka. Dia berhenti tiga empat
langkah dari mereka.
"Aku baru pertama kali ini mengembara ke luar, tak
kenal dengan siapa saja! " serunya.
"Kalau begitu, silahkan sahabat tinggalkan tempat ini,"
seru Tio Pit Bu.
"Kenapa?"
"Menurut tata peraturan dunia persilatan, suatu
pantangan apabila orang mencuri dengar percakapan orang.
Apalagi saat ini kami sedang membicarakan urusan pribadi
Tidak mengharap orang luar ikut campur dan mendengarkan."
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang. Jika ia
bertindak, sekaligus ia akan memperoleh tiga keuntungan.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama, rupanya Ho Bun Cai menyimpan sesuatu rahasia,
karenanya tak mau bertempur. Dia merasa berhutang setitik
budi dari Ho Bun Cai, biarlah dia yang mewakili Ho Bun
Cai untuk menyelesaikan urusan itu.
Kedua, diapun mendapat kesempatan untuk menguji
sampai dimana tingkat ilmu pedang yang dipelajari selama
ini. Dan ketiga, apabila dapat menundukkan lawan, tentu
akan cepat tersiar ke dunia persilatan. Dengan begitu
tentulah akan menarik perhatian dari orang2 yang justeru
hendak dicarinya itu.
Setelah mantap dengan rencananya, Cu Jiang menjawab
tegas: "Aku yang lebih dulu datang ke sini. Dan kalian datang
belakangan. Menurut peraturan, kalianlah, yang seharusnya
pindah ke lain tempat."
"Apakah sahabat tahu tata peraturan?"
"Tentu."
"Kalau begitu silahkan pergi."
"Telah kukatakan, kalau pergi seharusnya kalian yang
pergi. " "O, apakah sahabat memang hendak ikut campur dalam
urusan ini?"
"Kalau memang perlu begitu."
Tiba2 mata Ho Bun Cai tertumbuk pada pedang yang
tergantung pada pinggang Cu Jiang. Seketika wajahnya
berobah dan berseru dengan nada tergetar:
"Sahabat engkau . . . pedangmu . . .."
"Kenapa?" Cu Jiang juga terkejut.
"Kumaksudkan .... pedang dalam kerangka itu . . . . "
"Sudah tentu pedang tersimpan dalam kerangkanya!"
Beberapa jenak Ho Bun Cai memandang Cu Jiang
kemudian berkata pula dengan nada gemetar:
"Kerangka pedang sahabat ini tentu bukan kerangka
yang aseli."
Kali ini Cu Jiang terbeliak kaget. Rupanya orang2
persilatan paham akan pedang pusaka yang digunakan
mendiang ayahnya. Namun ia beralih tanya tak acuh:
"Apa maksud kata2 anda itu?"
"Aku faham sekali akan pedang itu, tetapi belum pernah
melihat kerangkanya semacam itu."
"Aneh benar anda ini."
"Siapakah nama sahabat?"
Cepat Cu Jiang mendapat pikiran, dengan tegas dia
menyahut: "Toan- kiam Jan-jin"
"Apa" Sahabat bernama Toan-kiam Jan-jin?"
Ho Bun Cai menegas. Toan kiam artinya pedang kutung.
Jan-jin artinya orang cacad. Orang cacad bersenjata pedang
kutung. "Pedang itu . . ."
"Bu-te-toan kiam, minumannya hanya darah bangsa iblis
durjana!" kata Cu jiang. Bu te-toan-kiam artinya pedang
kutung-tanpa-lawan.
Cu Jiang hanya mengangguk tak menjawab. Tio Pit Bu
memandang Ho Bun Cai dan berseru:
"Engkau dengar, bukan " Pedang tanpa tanding ?"
"Ya, dengar. Bagaimana ?"
"Tak ada komentar."
Tio Pit Bu mendengus dingin lalu berpaling lagi kepada
Cu Jiang : "Aku merasa gembira jika sahabat suka memberi
pelajaran ilmu Pedang-tanpa-tanding itu."
"Suatu tantangan ?"
"Boleh dianggap begitu!"
"Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi anda
pasti tak mampu menahan sejurus saja."
Seketika berubahlah wajah Tio Pit Bu.
"Engkau sungguh besar mulut!" serunya marah.
"Memang begitu kenyataannya," Cu Jiang tetap
menyahut dengan nada dingin.
"Kalau begitu mari kita buktikan !"
"Boleh," Cu Jiang terus memandang Thian-put thou dan
berseru: "Harap cianpwe menjadi saksi !"
Raja pencuri itu hanya mengangguk.
Saat itu sikap Tio Pit Bu berobah sembilan puluh derajat.
Jika tadi dia tenang2, kini dia tampak serius sekali.
Diam2 Cu Jiang memuji dalam hati. Memang begitulah
layaknya sikap seorang jago pedang yang berkepandaian
tinggi. "Silahkan!" ia berseru.
"Mengapa anda tak mencabut pedang?" Tio Pit Bu
menegur. "Silahkan anda menyerang dulu, begitu kucabut pedang
tentu anda kalah !"
Ucapan itu benar2 menggelitik hati orang. Tetapi
ternyata Tio Pit Bu tak kena diprovokasi. Ia segera
mengambil sikap dan pusatkan perhatian. Cu Jiangpun
terpaksa tak berani mengabaikan. Dia juga pasang kudakuda. Keduanya mengambil sikap yang hebat. Pertempuran itu
pasti akan dahsyat. Suasana makin tegang. Ho Bun Cai dan
Thian-put-thou juga ikut tegang pula sebagai seorang tokoh
silat, keduanya terasa bahwa pelajar yang mengenakan
kerudung muka ini memang tidak bermulut besar.
Kenyataannya memang seorang ahli ilmu pedang yang
sukar diketahui tingkat kepandaiannya.
Dahi Tio Pit Bu mulai mengucur keringat. Berhadapan
mengadu sikap itu jauh lebih menekan perasaan dan lebih
berbahaya daripada bertempur dengan pedang.
Tiba2 sebuah gemboran teras memecahkan ketegangan
dan menyusul terdengar dering nyaring dari dua buah
senjata yang beradu keras. Tetapi cepat sekali sinar pedang
yang berhamburan itu lenyap lagi.
"Ah," beberapa saat kemudian terdengar Ho Bun Cai
mendesah kejut.
Sementara Thian-put-thoupun menyeloteh seorang diri:
"Malang melintang delapan belas tahun, baru malam ini
mataku terbuka. "
Cu Jiang menyarungkan pula pedangnya ke dalam
kerangka. Tiba2 terdengar Tio Pit Bu melengking geram dan putus
asa: "Ah, sudahlah." dia terus menusuk tenggorokannya
sendiri. "Jangan!" secepat kilat Thian put-thou melesat dan
mencengkeram tangan Tio Pit Bu.
"Ah, mengapa anda hendak berbuat begitu" Apakah
anda tak memiliki sedikit kesabaran saja" Dalam dunia ini
tiada yang disebut ilmu pedang tanpa tanding. Tidak ada
yang dikata pedang nomor satu. Yang kuat masih ada yang
lebih kuat. Apa perlunya anda berebut soal nama kosong" "
kata Cu Jiang. Tio Pit Bu menghela napas panjang, kemudian mulut
mengigau: "Toan-kiam Jan-jin! Toan-kiam Jan-jin !"
Sesaat Thian-put-thou lepaskan cengkeramannya, Tio Pit
Bo terus lari keluar dan tetap berteriak . "Toan-kiam Jan jin.
. ." "Ah, dia sesungguhnya seorang jago pedang ternama,
sayang .. . ," baru Ho Bun Cai berkata begitu, Thian-put
thou sudah menyanggupi.
"Sayang bertemu dengan sahabat ini !" Kemudian
dengan tersendat-sendat, Ho Bun Cai berkata kepada Cu
Jiang: "Sahabat, dapatkah .... aku mohon keterangan tentang
asal usul pedang kutung anda itu ?"
"Aku akan menjawab segala pertanyaan apapun kecuali
soal itu," sahut Cu Jiang.
Ho Bun Cai terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi.
Tiba2 Cu Jiang melihat bahwa jari kiri si Raja pencuri
hanya tinggal tiga buah. Jari telunjuk dan jari tengahnya
hilang Serentak dia teringat akan penemuannya dua buah
jari tangan ditempat kedua ayah bundanya terbunuh
dahulu. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dipandangnya
Thian-put-thou dengan pandang mencekam.
Rupanya tahu juga orang tua berambut putih yang
bergelar Thian-put-thou itu.
"Sahabat, mengapa engkau memandang diriku begitu
rupa ?" "Tangan kirimu !"
"Tangan kiriku mengapa ?"
"Mengapa jarinya kurang dua buah ?" Seketika wajah
Thian put-thou berobah geram. Urat2 dahinyapun
meregang-regang dan berat, barulah dia berkata dengan
nada getar: "Apakah maksudmu ?"
"Aku ingin tahu !"
"Apakah engkau hendak cari-cari?"
"Terserah, pasti aku minta supaya engkau memberi
keterangan !"
Thian-put-thou tak dapat menahan kemarahannya lagi:
"Hak apa engkau hendak menanyakan soal itu ?"
"Kurasa aku memang mempunyai kepentingan untuk
mengetahui." sahut Cu Jiang dengan dingin.
"Sudah berpuluh tahun aku malang melintang di dunia
persilatan, belum pernah ada orang yang berani
memperlakukan aku begitu liar . . ."
"Anggaplah malam ini sebagai suatu pengecualian !"
"Menyelidiki
urusan peribadi orang, merupakan pantangan dalam dunia persilatan . ."
"Kalau melakukan tindakan yang terang dan benar,
kenapa tetap takut diketahui orang?"
"Dalam hal apa aku bertindak tak terang?"
"Aku hanya minta agar anda suka menuturkan tentang
hilangnya kedua jari anda itu."
"Kalau aku tak mau ?"
"Mungkin anda tak dapat menolak !"
"Apa engkau hendak menumpahkan darah !"
"Mungkin."
Karena marahnya tubuh Thian put-thou sampai
menggigil. Tetapi berhadapan dengan seorang jago pedang
yang misterius seperti yang dihadapinya saat itu, dia tak
dapat berbuat apa2.
Mungkin, saat itu merupakan saat yang paling menyiksa
hatinnya selama hidup ini. Dan merupakan adegan yang
paling menekan jiwanya.
"Ah, tentulah ada sebabnya mengapa sahabat begitu
mendesak hendak mengetahui hal itu !" tiba2 Ho Bun Cai
ikut bicara lagi.
Sejenak melirik kepadanya. Cu Jiang menyahut:
"Tentu, kalau tidak masakan aku hendak mencari
perkara!" "Menurut pengetahuan, empat puluh tahun yang
lampau, di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh
sakti yang jarang mendapat lawan. Dia bernama Nabi
pedang-berjari-tujuh !"
"Nabi-pedang-Jari-tujuh ?"
"Benar. Dan Nabi pedang - jari - tujuh pada empat puluh
tahun yang lalu itu adalah Thian-put-thou Ciok cianpwe
saat ini!"
"Apakah peristiwa itu terjadi pada empat puluh tahun
yang lalu?"
"Benar."
"Sungguh ?"
"Sungguh ! Yang kenal akan nama Nabi-pedang-jari
tujuh bukan hanya aku seorang !"
Cu Jiang memandang Thian-put-thou, ujarnya :
"Benarkah begitu ?"
"Benar," sahut Thian-put-thou.
Tiba2 Cu Jiang mengangkat kedua tangan memberi
hormat. "Ah. aku salah faham, harap dimaafkan."
"Tak apa," Thian-put-thou tertawa menyeringai.
Cu Jiang kembali berpaling memandang Ho Bun Cai
hendak berkata tetapi tiba2 tak jadi. Dia berputar tubuh
terus melangkah keluar.
Dingin, misterius dan nyentrik sekali sikapnya saat itu.
"Tunggu dulu !" tiba2 Thian put-thou berseru.
Cu Jiang berputar tubuh tetapi tak berkata apa2. Thianput-thou maju menghampiri.
"Engkau benar2 memiliki perbawa seorang bu-su
(ksatrya). Kalau tak kukatakan isi hatiku, rasanya masih
mengganjal. Lima puluh tahun yang lalu, aku mengandalkan sebatang pedang malang melintang di
daerah Kanglam Kang-pak. Itu waktu aku masih muda dan
menganggap diriku yang paling sakti. Tetapi dalam sebuah
pertempuran hebat, aku telah kehilangan dua buah jari.
Sejak itu aku digelari orang sebagai Jit-ci seng-kiam atau
Nabi-pedang jari-tujuh.
Kecewa dengan kekalahan itu, aku mengasingkan diri
dan beralih selama lima tahun, kemudian keluar lagi untuk
mencari musuh itu. Secara kebetulan, akupun dapat
bertemu dan melangsungkan pertempuran. Aku beruntung
menang dan menjadikan dia cacad
Waktu kutanya asal usul dirinya, kejutku bukan alang
Misteri Kapal Layar Pancawarna 2 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Memanah Burung Rajawali 28

Cari Blog Ini