Si Pemanah Gadis Karya Gilang Bagian 8
Semua orang yang berada di dalam warung makan sontak menghentikan kegiatan makan minum secara hampir bersamaan. Mereka saling tatap satu sama lain, seolah ada yang aneh dengan pendengaran mereka.
Wedang Kamplung"
Minuman jenis apa itu"
Dengar juga baru sekarang!
Salah seorang diantara mereka yang berewokan dengan tubuh kurus pun akhirnya buka suara.
"Anak muda, kau tadi pesan apa?" tanya si brewok kurus.
"Ooo ... tadi nasi putih, a ... "
"Bukan itu!" potong si brewok kurus, "Minuman apa tadi yang kau pesan?"
Jalu sedikit menjungkitkan alisnya sambil berkata singkat, "Wedang Kamplung."
"Wedang Kamplung?" tanya ulang brewok kurus. "Itu sejenis ... wedang jahe?"
Ki Durba sendiri juga heran, sebab selama ia membuka bisnis perwarungan, baru kali ini ia mendengar nama 'Wedang Kamplung'!
"Nama minuman kok aneh!?"
Semua mata memandang ke sosok pemuda bermata putih dengan mata bertanya dan begitu menginginkan jawaban dengan segera.
Jalu yang dipandangi merasa risih. Seperti orang melihat tahi kerbau yang nempel di mukanya!
Mendadak saja, Jalu merasakan sesuatu yang janggal, katanya, "Ada yang aneh?"
Semua orang --termasuk Ki Durba, si empunya warung-- mengangguk.
Melihat anggukan semua orang yang hampir bersamaan, Jalu semakin heran.
"Tunggu-tunggu-tunggu! Jangan sobat semua katakan bahwa tidak ada satu pun diantara sobat yang ada disini tidak tahu dengan apa yang aku maksudkan?"
katanya dengan tatapan mengedar. "Betul begitu?"
Kembali semua mengangguk pelan.
Saat itulah, Jalu Samudra merasa bahwa dirinya sebagai orang paling pinter dunia-akhirat!
Sungguh ... ! TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Pikirnya, "Busyet! Segini banyak orang ngga ada yang ngerti Wedang Kamplung" Kata kakek, yang namanya Wedang Kamplung sudah mendunia.
Semua orang pasti tahu! Lha kok ini malah ... " lalu katanya, "Sobat semua tidak bercanda, kan?"
"Apa tampang kami semua seperti orang bercanda?" seru si gendut di dekat pintu.
Naga-naganya memang tidak ada yang tahu, apalagi Ki Durba malah plenggang-plenggong seperti sapi ompong, Jalu segera beranjak dari tempat duduknya.
"Geser sedikit, Ki ... "
"Silahkan, anak muda."
Ki Durba menggeser sedikit ke kiri dari tempat biasanya ia membuat segala macam minuman, ia bisa membuat segala macam minuman kecuali ya ... itu tadi
... Wedang Kamplung. Denger juga baru kali ini!"
Aneh, ya!"
Semua orang yang ada di tempat itu semakin heran dibuatnya. Jelas-jelas orang bermata putih adalah ciri khas orang buta, namun pemuda bermata putih itu dengan seenaknya berjalan mengitari meja tanpa menyenggol barang apa pun. Bahkan tongkat hitamnya masih tergeletak begitu saja di atas meja.
"Begini cara buatnya," kata Jalu "menggurui".
Pemuda itu mengambil cangkir gerabah yang letaknya di sebelah kanannya.
Berikutnya mengambil daun teh kering dua jumput kecil, seruas jahe yang sudah dimemarkan serta gula merah diikuti dengan irisan jeruk nipis tipis-tipis, semua dimasukkan ke dalam cangkir.
"Minta air panas, Ki."
Tanpa menjawab, Ki Durba menuangkan air panas ke dalam cangkir gerabah.
Serrr!!! Saat tiga perempat sudah terisi air panas, Jalu berkata, "Cukup, Ki. Cukup!"
Cangkir dari gerabah digoyang-goyangkan sebentar. Tak lama kemudian, bau semriwing teruar.
"Uahhhaah ... sedaaap ... !"
Suara desahan Jalu terdengar kala ia mencicipi Wedang Kamplung buatannya!
Benar-benar nikmat, coy!
"Ini yang namanya Wedang Kamplung!" cerocos Jalu sambil ngeloyor begitu saja, tak lupa ia berkata, "Jangan lupa nasi dan ayam panggangku, Ki! Ntar lupa, tuh!"
"Baik."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan cekatan Ki Durba membuat semua pesanan Jalu dan sebentar saja sudah terhidang di depan meja. Karena memang sudah lapar berat, semua hidangan langsung disikat tanpa malu-malu!
Si brewok kurus yang penasaran dengan yang namanya Wedang Kamplung, segera berkata pada Ki Durba.
"Ki, tolong buatkan Wedang Kamplung juga," katanya, "Aku kok jadi penasaran dengan rasanya."
"Tunggu sebentar," sahut Ki Durba. "Aku harus minta ijin dulu pada anak muda itu. Dia "kan yang punya ide."
"Sudahlah, Ki! Buatkan saja! Anggap saja ini menu spesial gratis dariku," seru Jalu dengan mulut penuh nasi dan potongan ayam.
"Terima kasih, anak muda. Kau baik sekali."
Ki Durba segera membuatkan pesanan sang pelanggan.
Sebentar saja, semua orang yang ada di dalam warung, mencicipi segarnya Wedang Kamplung!
--o0o-- Sore itu ... Sesuai dengan perkiraan Jalu, kapal layar besar hijau garis-garis biru yang ditunggu-tunggunya telah merapat ke dermaga Muara Karang. Begitu merapat sempurna diikuti dengan awak kapal yang bertubuh gendut membuang jangkar, para penumpang dengan berjalan dua-dua turun lewat tanggakayu yang letaknya di sisi kiri lambung kapal, sedang di tangga satunya terlihat hilir-mudik para anak buah kapal menurunkan tong-tong kayu ukuran besar dengan cara digelindingkan dari atas dan beberapa orang menerimanya di bawah sambil menata berjajar rapi di sudut dermaga. Tong-tong kayu yang telah kosong inilah yang nantinya akan diisi air tawar sebagai persediaan di perjalanan.
Beberapa orang yang makan di warung ki durba bersama dengan Jalu segera bergegas berlarian "sebagian terlihat beradu cepat dengan sesama kawan-menuju ke arah tong-tong kayu tersebut berjajar.
Tentu saja perbuatan "sobat baru" Jalu ini si pemuda baju biru terheran-heran, dan bertanya pada laki-laki tua yang kini sedang asyik menghisap rokok kawung.
"Ki, mereka sedang apa?"
"Ooo ... mereka cuma Kuli Air," jawab Ki Durba sambil klepas-klepus, enteng.
"Kuli Air?"
"Ya. Jika ada kapal merapat dan menurunkan tong-tong kayu seperti gentong itu, menjadi tugas mereka untuk mengisikan air tawar kedalamnya," jelas si empunya warung. "Dan sebagai balas jasanya, mereka menerima satu keping uang perak untuk delapan tong air."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Wah ... banyak juga ya, Ki!"
"Begitulah kehidupan orang-orang di dermaga ini, anak muda!" tutur Ki Durba sambil mempermainkan asap rokok membentuk bulatan-bulatan tiga susun. "Jika ada tong kayu dikeluarkan, jadilah mereka Kuli Air. Namun andai yang dikeluarkan barang dagangan mereka berubah jadi Kuli Panggul. Akan tetapi jika sepi, mereka jadi Kuli Ikan alias nelayan, hehehe ... "
"Apa mereka tidak pernah saling cakar, Ki?" tanya Jalu. "Rebutan pelanggan, maksud saya."
"Itu dulu ... dulu sekali!" sahut ki durba dengan mulut dimonyong-monyongkan.
"Namun semenjak adanya Koro Welut datang ke tempat ini, semuanya menjadi teratur. Tidak ada lgai saling jegal, saling memangsa. Dan yang pasti ... tidak ada lagi pemuda yang suka mabuk-mabukan atau main judi di tempat ini. Apalagi main perempuan ... wuihhh ... jaaauuuh ... !!"
Tentu saja Jalu Samudra paham dengan orang yang disebut-sebut dengan Koro Welut itu. Laki-laki brewok kurus yang seluruh tubuhnya licin mengkilat seperti belut sawah dengan kulit sawo matang akibat sering terpanggang teriknya sinar matahari. Namun bukan Jalu namanya jika tidak mengetahui bahwa di balik tubuh cekingnya ternyata si Koro Welut membekal ilmu silat yang tidak rendah.
"Benar-benar kehidupan yang harmonis," kata Jalu sambil nyeruput Wedang Kamplung.
"Ya. Kehidupan damai seperti inilah yang diidam-idamkan oleh setiap orang.
Rukun tanpa perselisihan dan saling membantu dalam kesulitan," kata Ki Durba.
"Masa tua yang penuh kedamaian."
"Maaf, Ki! Dari kemarin ada yang mengganjal pikiranku," ucap Jalu dengan hati-hati.
"Apa yang membuat pikiranmu terganjal, Jalu?"
"Emmm ... dari tadi siang tidak terlihat anak-istri Ki Durba. Pada kemana ya, Ki?" tanya Jalu sambil melirik ke arah pemilik warung yang baik hati itu.
Sekilas raut muka laki-laki itu berubah beberapa kejap, lalu mendesah, "Jika saja tidak ada ombak raksasa pada dua puluh lima tahun silam, mungkin sekarang ini anakku sudah sebesar kamu, Jalu. Mungkin aku sudah menimang dua atau tiga orang cucu malah."
Dada Jalu sedikit bergetar.
Dua puluh lima tahun silam!
"Anak Ki Durba ... laki-laki?" Jalu coba menebak.
"Perempuan."
"Oooo ... " sahut Jalu sambil manggut-manggut tanpa sadar. "Lalu ... saudara-saudara Ki Durba?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku anak tunggal. Mendiang istriku juga anak tunggal," terang Ki Durba sambil menengadah. Matanya menerawang langit-langit atap warungnya yang terbuat dari daun rumbia. "Yang aku sesalkan saat itu adalah istriku sedang hamil lima bulan kala ombak pembawa petaka itu datang. Aku menyesal tidak bisa menyelamatkan mereka."
"Maaf, kalau saya lancang mengungkit-ungkit masa lalu Ki Durba," kata Jalu saat melihat sudut mata laki-laki itu berkaca-kaca.
Menyesal, Broo!
"Tidak apa-apa, Jalu," kata Ki Durba sambil menyusut sudut matanya dengan ujung lengan baju. "Sekarang, besok, atau kapan pun ... sama saja. Itu tetap menjadi kenangan bagi tubuh tua ini."
Dua orang laki-laki beda kualitas itu terus saja bisa bicara ngalor-ngidul.
Yang pasti ... ngga ada hubungannya sama dunia persilatan babar blas!
Ada kalanya terdengar tawa tua Ki Durba mendengar lelucon-lelucon yang dilontarkan Jalu Samudra. Entah apanya yang lucu, acap kali kakek itu tertawa terpingkal-pingkal. Jelas sekali terlihat bahwa dengan adanya Jalu disana membuat kakek yang sudah uzur dimakan usia terlihat bahagia.
Lucunya lagi, Ki Durba tidak tahu bahwa saat ini dirinya dengan bercanda dengan tokoh muda top markotop rimba persilatan, menjadi buah bibir para pendekar karena kesaktiannya. Bahkan dari selentingan kabar yang sulit dipertanggungjawabkan, menjadi idola para gadis-gadis yang ngebet berat ketemu saja yang namanya si Pemanah Gadis!
Koro Welut dan teman-temannya menghentikan sejenak pekerjaan mereka mendengar suara tawa yang paling sulit didengar oleh telinga mereka. Mereka saling pandang satu sama lain.
"Kita tidak salah dengar, kan?" tanya Koro Welut.
"Itu memang suara Ki Durba. Asli!" tandas yang bernama Wangen. "Dulu waktu kecil aku pernah dengar ia tertawa lepas seperti itu. Kok bisa, ya?"
"Mungkin kesedihan akibat di tinggal anak istrinya telah pupus," serobot Sarpo yang agak gendut.
"Mungkin juga," kata Koro Welut, pendek. "Ayo ... kerja lagi."
Saat merembang petang menjelma, semua tong-tong kayu telah penuh dengan air tawar. Kalau sebelumnya digelindingkan dari atas ke bawah, kini untuk menaikkan dengan cara memasukkan lima-enam tong kayu ke dalam jala besar terbuat dari tali kulit kerbau dan ditarik ke atas oleh sembilan orang lewat sebuah tuas. Seratus delapan puluh empat tong kayu sukses diangkut naik ke atas kapal. Dan itu artinya dua puluh tiga keping uang perak telah berada dalam genggaman tangan para Kuli Air!
Mereka membagi hasil kerja di dalam warung Ki Durba. Masing-masing menerima tiga keping uang perak bertujuh yang cukup untuk makan dua bulan, TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
total yang dibagi dua puluh satu keping uang perak. Sedang sisa yang dua keping uang perak dititipkan pada Koro Welut sebagai pimpinan mereka.
"Kawan-kawan! Uang sisa kerja kita bertujuh selama tiga bulan ini jika ditambah dengan dengan pendapatan hari ini tepat tujuh keping uang perak,"
ucap Kowro Welut sambil mengeluarkan lima keping uang perak dari dalam kantong hitam yang kemana-mana selalu dibawanya. "Setuju dibagi rata?"
"Setuju ... !!"
"Akur ... !"
--o0o-- BAGIAN 2 "Baik kalau begitu! Kita putuskan saja ... dibagi rata!" kata Koro Welut.
Biasanya seorang pemimpin akan mengambil bagiannya terlebih dahulu, tapi hal itu tidak berlaku untuk Koro Welut. Ia mendahulukan teman-temannya terlebih dahulu dengan masing-masing mendapatkan satu keping uang perak.
Barulah dirinya mendapat giliran terakhir!
"Lihat! Kantung ini sudah kosong!" kata Koro Welut sambil membalik bagian dalam ke luar. "Bersih?"
"Bersih!" jawab mereka serempak.
Jalu Samudra kagum dengan Koro Welut saat melihat bagaimana si brewok kurus itu membagi adil pendapatan mereka.
"Muka boleh sangar, tapi hati berkilau seperti intan permata," pikir murid si Dewa Pengemis. "Pemimpin panutan yang seperti ini contohnya."
Mata Koro Welut melirik ke orang yang paling sudut sendiri. Yang sedari awal menimang-nimang uang di tangannya.
"Apa ada, Sarpo?" tanya Koro Welut. "Ada yang kurang?"
Sarpo hanya menggeleng.
"Lalu ada apa?"
"Aku hanya berpikir saja, apa dengan uang sebanyak ini cukup membayar ongkos dukun bayi dan tabib untuk dua anakku yang sedang sakit?" ucap Sarpo, masgul.
"Begitu?" ucap Koro Welut, sambungnya dengan mata sedikit menyipit, "Lalu
... kapan anak ketigamu akan lahir?"
"Menurut Nyi Ginah, kemungkinan besar menjelang malam nanti. Tadi aku sudah diberitahu Menik anaknya si Wangen, kalau istriku perutnya mulas-mulas
... " Tiba-tiba saja ...
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan si gendut Sarpo yang langsung membuat laki-laki berkulit lumayan hitam terpelanting ke belakang meski tidak jatuh dari kursi.
"Goblok! Kenapa kau tidak langsung pulang menemui istrimu!?" bentak Koro Welut. "Mau menunggu sampai kapan!?"
"Tapi ... bukankah kita ... "
"Apa"! Kau pikir dengan meninggalkan istri hamil tua sendirian di rumah, aku akan senang!" Begitu!" bentak Koro Welut. Lalu ia memandang ke sekelilingnya,
"Bagaimana prinsip kita?"
"Susah senang dipikul bersama!" seru teman-teman Sarpo yang lain.
"Nah, kau dengar! Kalau situasinya seperti itu, kau tetap mendapatkan hak yang sama," kata koro welut sedikit melembut. "Dengan catatan ... selama tidak malas bekerja! Itu saja!"
Lalu didekapnya Sarpo erat-erat.
Dekapan hangat persahabatan!
"Tamparanku tadi sebagai peringatan bahwa uang memang penting, tapi keluarga lebih penting! Paham?"
"Paham, Koro."
"Jika kau ingin membalas tamparanku ... silahkan," kata Koro Welut sambil melepaskan pelukan pada Sarpo diikuti mundur satu langkah sambil mengangsurkan pipinya ke depan.
"Tidak, Koro."
"Kau kecewa karena aku tampar?"
"Tidak."
"Marah?"
"Tidak juga."
"Dendam?"
"Juga tidak."
"Kalau begitu ... terima ini sebagai sumbangan dariku," kata Koro Welut sambil mengangsurkan uang yang ada di tangan kanannya pada Sarpo.
Semuanya! Uang yang didapatnya dengan memeras keringat dan menguras tenaga, tanpa ragu-ragu diberikan begitu saja kepada Sarpo. Disusupkannya ke dalam telapak tangan laki-laki dengan perawakan agak gendut itu.
"Tidak, Koro! Kau pun juga membutuhkannya," kata Sarpo sambil mengangsurkan kembali uang pemberian Koro Welut.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku memang butuh, tapi kebutuhanku tidak mendesak seperti kebutuhanmu,"
kata Koro Welut, lalu tangannya mendorong ke depan. "Terimalah ... aku ikhlas membantu."
"Terima kasih, Koro. Terima kasih."
Sarpo memeluk erat Koro Welut selama beberapa saat.
"Kami juga akan membantu, Sarpo. Meski tidak banyak, semoga saja cukup meringankan bebanmu," kata Wangen sambil mengangsurkan lima keping perak yang dikumpulkan dari teman-temannya yang lain.
"Kawan-kawan ... kalian ... "
"Terimalah ... "
Sarpo segera jatuh berlutut sambil meratap, "Ya Dewa! Terima kasih engkau telah mengirimkan kawan-kawan terbaik yang pernah hamba miliki."
Jalu benar-benar terpana dibuatnya!
Drama kehidupan yang digelar nyata di depan matanya benar-benar membuat jiwanya terketuk. Belum pernah selama hidupnya menjumpai orang-orang yang memiliki ketulusan hati seperti apa yang ada didepan matanya. Tak terbersit sedikit pun kalau ia bakal menjumpai hal seperti itu.
"Ki Durba, sudah saatnya kita berpisah," kata Jalu saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru menaikkan bendera hijau kecil. Tak lupa diraihnya tongkat kayu hitam miliknya. Menurut Ki Durba, tanda bendera kecil di dekat pintu masuk ke kapal punya arti bahwa kapal akan berangkat dalam sepeminuman teh.
"Jalu, apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Ki Durba.
Sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang, Jalu berkata, "Jika ada umur panjang ... kenapa tidak?"
"Jalu ... aku punya pesan untukmu," kata Ki Durba lebih lanjut.
Jalu berhenti sejenak.
"Silahkan, Ki."
"Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan," kata Ki Durba.
Jalu sedikit mengerutkan alisnya mendengar ucapan dari si empunya warung.
Benar-benar pesan yang aneh!
Namun tanpa pikir panjang lagi, Jalu menyahut, "Baik. Akan kuturuti!"
Jalu kembali melangkahkan kakinya. Saat melewati kawan-kawan barunya, Jalu berhenti sejenak.
"Kawan-kawan ... jaga diri kalian baik-baik."
"Hoi, Wedang Kamplung! Kau mau kemana?" tanya Koro Welut.
"Ga ngerti. Mungkin cuma mau nostalgia dengan laut."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Huh! Orang buta saja pakai acara nostalgia-nostalgia segala," seloroh Wangen di sambut dengan gelak tawa yang lain.
Jalu juga ikutan tertawa, serunya, "Yach, maklumlah! Orang udik yang kemana-mana selalu ditemani dengan tongkat mana ada tempat menetap" Tul ngga?"
"Betul ... betul!" seru Koro Welut sambil menepuk-nepuk bahu kanan Jalu Samudra.
Bukan sembarang tepukan, cing!
"Meski wajah terlihat serampangan seperti tapi tenaga dalamnya boleh juga,"
pikir murid si Dewa Pengemis.
"Hemm, dia bukan orang sembarangan rupanya. Jurus "Gunung Jugrug"
(Gunung Runtuh) rasanya seperti tenggelam ke dasar laut," kata hati Koro Welut.
"Siapa dia sebenarnya?"
"Sarpo, aku juga mau ikut menyumbang," kata si Pemanah Gadis sambil meletakkan sesuatu di atas meja. "Anggap saja sebagai hadiah atas kelahiran anakmu."
Tanpa menunggu jawaban, Jalu segera berlalu dari tempat itu.
Semua mata memandang dengan melotot lebar-lebar. Bahkan Wangen yang matanya sebesar jengkol itu hampir saja terlepas dalam rongga mata kala melihat sebentuk benda yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat sama sekali.
Sekeping uang emas!
Sekeping uang emas jika ditukar dengan uang perak bisa mencapai seribu keping. Semua mata beralih ke Jalu yang berjalan dengan lenggang kangkung.
Sebentar saja ia sudah sampai di dekat pintu masuk kapal.
"Mau berlayar, Tuan?" tanya si penjaga pintu dengan sopan.
"Betul."
"Kemana tujuan, Tuan?"
"Emmm ... kemana saja. Sampai kapal ini berlabuh kembali," sahut Jalu sekenanya.
Kalau saja Jalu menjawab Kepulauan Tanah Bambu, pastilah si penjaga pintu langsung pingsan kebingungan.
Gimana ngga bingung, lha wong dengar juga belum"
"Kapal ini akan berlayar kurang lebih satu bulan beberapa hari lamanya," tutur si penjaga pintu.
"Tak masalah," tukas Jalu, pendek. "Berapa ongkos perjalanannya?"
Langsung pada sasaran rupanya!
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Si penjaga pintu yang melihat si pemuda bermata putih, hanya tersenyum menyeringai.
"Ada mangsa tolol," katanya dalam hati, lalu katanya pada si pemuda berbaju biru laut. "Tujuh keping perak."
"Tidak mahal ... tidak mahal ... " kata Jalu sambil merogoh saku celana, katanya sambil memberikan uang tujuh keping perak, "Sudah termasuk makan dan minum?"
"Sudah termasuk makan, minum dan menginap," kata si penjaga pintu, katanya dalam hati. "Orang buta bego! Ongkos naik kapal ini cuma lima keping perak sudah lengkap semua. Lumayan-lah dapat untung dua keping perak."
Tentu saja sorot mata licik si penjaga pintu tidak lepas dari mata putih Jalu, pikirnya, "Buaya kok dikadalin ama monyet" Tapi biarlah ... sekali-sekali membantu orang kesusahan ... "
"Silahkan naik, Tuan! Ini nomor kamarnya," kata si penjaga pintu sopan, sambil mengangsurkan papan kayu kecil warna merah. Disana tertera angka tujuh. "Kamar Tuan nomor tujuh dan di lantai ke tiga. Di dekat pintu ada ukiran angka tujuh."
"Begitu?" kata Jalu sambil menerima papan kayu kecil itu.
"Apa Tuan butuh bantuan untuk mencari kamarnya?"
"Tidak perlu. Aku bisa cari sendiri," sahut Jalu sambil memutar-mutar tongkat hitamnya pulang-balik.
Begitulah ... berturut-turut para penumpang naik ke atas kapal, satu demi satu.
Saat menjelang keberangkatannya, di kejauhan terlihat serombongan iring-iringan yang mendekati kapal.
Si penjaga pintu yang hampir saja berteriak kalau penumpang sudah habis, mengurungkan niatnya. Matanya langsung hijau melihat banyaknya jumlah rombongan. Terlihat memimpin di depan seorang pemuda tampan berbaju merah terang memakai celana merah gelap dengan kumis tipis bertengger di bawah bibir sedang puluhan orang di belakangnya berbaju aneka warna dengan menyandang golok tersarung rapi di bagian punggung. Wajah-wajah mereka terlihat sedang menyiratkan sesuatu yang penting. Beberapa orang diantara tengak-tengok mengawasi keadaan sekelilingnya. Yang jelas ... semuanya rata-rata berusia antara tiga puluh hingga empat puluhan tahun.
"Hmm ... sekitar dua puluhan orang," gumamnya. "Lumayan ... "
"Silahkan naik, Tuan-tuan semua," katanya sopan dengan sedikit membungkukkan badan. "Silahkan."
Pemuda berbaju merah terang tanpa banyak kata dan tanya segera menyodorkan tiga keping uang emas.
"Cukup?" katanya singkat.
Aneh sekali nada suara pemuda ini. Suaranya terlalu merdu untuk seorang pemuda. Yang lebih menarik lagi, tidak ada jakun pada lehernya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Si penjaga pintu yang semula membungkukkan badan, semakin membungkukkan badan kala melihat tiga keping uang emas berada tepat di ujung hidungnya.
"Cu-cu-cukup ... cukup!" katanya terbata-bata, pikirnya, "Mimpi apa aku semalam?"
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda segera mengibaskan tangannya, sambil berkata, "Kita naik."
Si penjaga pintu segera melangkah minggir ke samping kiri, sambil menyodorkan papan kayu kecil warna merah dengan tulisan angka delapan.
"Kamar Tuan di lantai ke tiga. Kamar terakhir."
"Bagaimana dengan kami?" tanya salah seorang pengawal si pemuda yang paling depan sendiri.
"Semua kamar sudah penuh, hanya tertinggal kamar nomor tiga, empat dan lima di lantai dua," kata si penjaga pintu, "Tapi jangan khawatir, tiga kamar terakhir ini cukup muat kalau untuk tiga puluh orang sekaligus, karena ada sepuluh ranjang di setiap kamarnya."
"Lalu bagaimana dengan kamar lantai tiga?" tanyanya lagi.
"Seperti saya katakan sebelumnya, kamar Tuan Muda tadi adalah kamar nomor terakhir," terang si penjaga pintu. "Kamar lantai tiga hanya ada delapan buah. Semua sudah terisi penuh dengan orang terakhir adalah Tuan Muda tadi.
Lagi pula, kamar ini berukuran lebih kecil ... "
"Jalan keluar masuk cukup mudah?" potong cepat si pengawal.
"Sangat mudah."
"Baik. Kami ambil kamar nomor tiga dan empat," katanya cepat.
Rombongan itu segera saja naik ke atas kapal.
Tak lama kemudian, si penjaga pintu yang bernama Arimbawa berteriak nyaring, "Angkut sauh!"
Terdengar suara bersahutan dimana-mana.
Tak lama kemudian, jangkar terangkat naik.
Layar besar di turunkan.
Brekk! Brekk! Suara kelebatan kain tertiup angin nyaring terdengar. Pelan namun pasti, kapal mulai meninggalkan dermaga Muara Karang.
Namun baru saja sejarak lima belas tombak dari dermaga, sebuah teriakan keras terdengar.
"Hoi ... ! Tunggu aku, gimana sih kok ditinggal!" teriak seorang pemuda baju hijau dari kejauhan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dari jaraknya saja yang sudah begitu jauh bisa dipastikan bahwa si pemilik suara memiliki tenaga dalam kuat.
Nakhoda kapal yang saat itu berada di geladak berteriak keras, "Kalau kau bisa ... lompat sajalah! Kalau tidak bisa ... tunggu bulan depan saja!"
Semua orang yang mendengar seloroh dari Nakhoda kapal tertawa keras.
Termasuk Jalu Samudra tertawa kecil mendengar suara si nakhoda kapal.
Sejenak pemuda baju hijau berdiri tegak sambil cemberut, gerutunya, "Dasar kampret! Jarak lima belas tombak disuruhnya melompat! Memangnya aku burung apa?" keluhnya. "Terpaksa deh, harus pamer dikit!"
Tanpa berkomentar lagi, ia menjejakkan kaki.
Jduk!
Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan ringan ia melayang di atas air seperti orang berjalan saja mendekati kapal.
Jleg! --o0o-- BAGIAN 3 Sampai juga si pemuda di atas geladak kapal. Nakhoda kapal dan beberapa anak buahnya tak bersuara menyaksikan pameran kesaktian yang jarang mereka jumpai. Kalau saja ilmunya pas-pasan, si pemuda sudah mati tenggelam kecebur laut!
"Hebat ... " desis si pemuda baju merah terang.
"Gara-gara kekenyangan, aku malah ketiduran," gerutu si pemuda sambil duduk di atas bangku.
Seorang laki-laki dengan tubuh kekar berotot berompi merah dengan cepat mendekatinya.
"Kau manusia, "kan?" ia bertanya.
"Bukan! Aku setan dari langit!" gerutu si pemuda baju hijau dengan nada kesal, "Tentu saja manusia. Liat aja kakiku! Bego amat sih!"
Seolah sudah sering mendengar suara seperti itu, si laki-laki justru mengangsurkan tangan kanan.
"Apa?" tanya si pemuda baju hijau, heran.
"Karena kau manusia, maka naik kapal ini tidak gratis," kata si laki-laki berompi merah tanpa basa-basi. " ... cukup dua keping perak untuk sekali jalan."
Pemuda baju hijau merogoh saku celana, mengambil dua keping perak, lalu diberikan pada si laki-laki berompi merah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Terima kasih! Selamat datang di kapal layar Surya Silam," kata si laki-laki baju merah. "Namaku ... Gandarwa. Panggil aku jika kau butuh apa-apa."
Tanpa menunggu jawaban, Gandarwa langsung pergi begitu saja. Rupanya ia juga bertugas menarik ongkos dari semua orang yang naik kapal layar Surya Silam.
--o0o-- Seekor elang laut terbang jauh di angkasa. Dari atas ia melihat sebuah kapal berlayar dalam jarak yang tak terlalu jauh. Elang laut tadi menukik, hendak bertengger beristirahat di ujung kapal yang besar dan beristirahat sejenak.
Namun ia mendadak mengurungkan niatnya.
Ia tak mau mati konyol ... !
Sebab ... nakhoda kapal keluar dari ruangannya dengan golok terhunus!
"Kemana perginya ayam sialan tadi?" pikir si Nakhoda, "Mau dibikin sate kok malah menghilang?"
--o0o-- Saat sore merembang petang ...
Rata-rata penumpang tidak langsung masuk ke dalam kamar masing-masing.
Kebanyakan duduk saja sambil menikmati keindahan laut di sore hari. Termasuk pula Jalu dan si pemuda baju hijau yang duduk di sebangku.
"Indah sekali sore ini," kata si pemuda baju hijau. "Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Jika dihitung-hitung ada kalau cuma lima belas tahunan."
"Cukup lama juga," sahut Jalu.
"Apakah kau juga sering pergi ke laut, sobat?"
"Dulunya iya ... tapi sekarang mungkin baru kali ini," sahut Jalu dengan mata merawang ke atas. Pikirannya tertuju ke Gua Walet, tempat dimana ia dibesarkan oleh sepasang suami istri tokoh rimba persilatan yang mengasingkan diri. Dari merekalah ia mengenal apa yang namanya ilmu silat dan segala hal yang berhubungan dengan laut.
"Sobat, dari tadi kita bicara tak karuan tapi belum menyapa nama masing-masing," kata si Pemanah Gadis. "Perkenalkan namaku ... Jalu Samudra."
"Samudra artinya lautan luas," desis si pemuda baju hijau. "Nama yang sesuai dengan apa yang sekarang ini kita jalani sekarang ini. Berlayar di tengah laut luas tanpa batas. Kau sudah menyebut nama, tak adil rasanya jika aku -Adiprana -- tidak memperkenalkan diri. Tapi orang rimba persilatan memberiku julukan jelek ... si Naga Terbang."
"Naga Terbang?" gumam Jalu Samudra.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Jalu pernah mendengar sepak terjang tokoh muda yang berjuluk Naga Terbang selama dalam pengembaraannya. Sosok pemuda yang cukup ditakuti oleh kaum sesat karena ketelengasannya dalam membantai lawan-lawannya.
Meski jika ditilik dari usianya hanya selisih dua tahun lebih tua dari Jalu sendiri, namun gaya penampilannya masih seperti anak muda usia belasan tahun.
Pada intinya Adiprana bukanlah tokoh jahat, hanya saja sifatnya yang mau menang sendiri membuatnya lebih banyak memiliki lawan daripada kawan.
Namun dalam sekelabatan saja, Jalu Samudra sudah bisa menyelami delapan bagian jati diri si pemuda baju hijau. Meski terlihat seenaknya, namun jelas sekali terlihat sifat-sifat seorang pendekar tulen. (Itu menurut penilaian Jalu, lho ... !) Setelah berbasa-basi sebentar, Jalu pun berniat masuk ke dalam kamarnya di lantai tiga.
"Hemm ... si Jalu ini meski buta, tapi aku yakin dia bukan tokoh silat kelas kecoa atau setidaknya termasuk dalam golongan jago-jago kelas tiga," pikir Adiprana sambil menatap punggung si pemuda buta yang berjalan menyusuri tangga ke atas. "Dari caranya berjalan dan bernapas, aku yakin setidaknya ia berada satu tingkat di bawahku. Entah murid siapa dia ini sebenarnya." Tiba-tiba selintasan pikiran mampir ke dalam benaknya, " ... atau jangan-jangan ia juga memiliki tujuan yang sama denganku?"
Tujuan yang sama"
Apa yang dimaksud dengan "tujuan yang sama" oleh Adiprana"
Semua itu masih menjadi tanda tanya besar dalam benak si Naga Terbang ini!
"Hemm ... satu-satunya jalan untuk mengetahuinya adalah dengan menyelidiki lebih jelas siapa adanya si buta ini, jika perlu satu kapal aku selidiki jati diri mereka semua," desis si Naga Terbang dengan sorot mata berkilat aneh.
Sementara itu, Jalu sendiri yang pada saat itu baru mau masuk ke kamarnya, berpapasan dengan sosok pemuda baju mentereng yang juga berkeinginan masuk ke kamar di sebelahnya. Jalu Samudra tersenyum ramah dan mengangguk sedikit dan dibalas dengan anggukan pula,
Melihat kawan sebelahnya, Jalu sedikit mengkernyitkan alis, batinnya, "Aneh, jika dilihat sekilas mirip laki-laki, tapi dari langkah kakinya jelas-jelas seorang perempuan."
Hidungnya sedikit mengendus-endus seperri anjing membaui daging.
"Hemm, harum sekali. Aneh, masa" laki-laki berbau harum bunga begini?"
gumamnya tanpa sadar, pikirnya kemudian, "Atau ... jangan-jangan ... dia banci"
Gini-gini aku "kan laki-laki tulen."
"Hiii ... " desis Jalu lirih sambil buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Tentu saja cengar-cengir Jalu tidak lepas dari pandang mata si pemuda baju merah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Brengsek!" maki si pemuda dalam hati. "Mata pemuda itu seolah sanggup melongok ke dalam hatiku. Uhh ... kenapa jantungku berdebar-debar kayak gini"
Aneh! Tidak biasanya. Sekilas kulihat dia memiliki mata putih yang hanya dimiliki orang buta. Apa benar dia buta?" Mendadak rasa sebal berubah menjadi rasa iba. "Kasihan sekali! Ganteng-ganteng kok buta?"
Selebar wajahnya langsung merah merona.
"Sinting! Kenal saja tidak, kenapa aku bisa memikirkan dia?" gerutunya sambil membuka pintu kamar dan langsung dikunci dari dalam.
Lagak lagunya sekilas seperti gadis usia belasan tahun.
--o0o-- BAGIAN 4 Nyi Sungsang Sumbel, julukannya Tongkat Berbisa, nenek jahat biang dari segala tokoh jahat sekaligus nenek paling ceria di muka bumi, sebab senantiasa ketawa mengikik di segala kesempatan. Nenek "berbahagia" yang paling senang menyebar teror di muka bumi dikukuhkan sebagai musuh bebuyutan para tokoh aliran putih rimba persilatan wilayah tenggara. Dan uniknya, setiap pertarungan maut yang terjadi tak pernah tuntas karena tokoh ini selalu saja lolos dari pintu neraka.
Nenek jahat yang selalu beruntung!
Seperti halnya kali ini, Nyi Sungsang Sumbel ngibrit, lari lintang pukang saat ketanggor tokoh tua yang berjuluk Kakek Kocak dari Gunung Tugel yang nama aslinya Gayam Dompo.
"Brengsek keparat! Tiap kali ketemu dengan tua peot Gayam Dompo, aku tidak pernah menang barang setindak pun juga," maki Nyi Sungsang Sumbel dalam keluhan. "Nampaknya aku harus memperdalam ilmu silatku lagi. Sampai kapan aku harus main kucing-kucingan seperti ini?"
Pikir punya pikir, sampai kapan ia harus selalu menggunakan Ilmu Sakti
"Langkah Seribu" alias melarikan diri dari arena pertarungan. Paling banter yang bisa dimajukan selain Ilmu Sakti "Langkah Seribu" tidak ada yang lain, tuh!"
"Hi-hi-hi-hi! Bodohnya aku! Sudah tua bangka begini mau memperdalam apa lagi" Ilmu sudah mentok begini kapan bisa dimajukan lagi" Kalau mau diperdalam lagi, aku sudah keburu modar! Paling-paling juga ... hi-hi-hik, itunya doang yang maju," katanya sambil menjungkit-jungkitkan alis matanya yang separo hitam separo putih.
Benar-benar sepasang alis yang aneh!
Mendadak saja ...
"Nah ... ini dia orangnya!"
Sebuah suara sember lumayan keras mengejutkan Nyi Sungsang Sumbel.
Wajahnya yang cerah ceria sontak ditekuk menjadi muram durja.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Huh, aku tidak akan lari lagi," katanya dalam hati. Lalu teriaknya dengan suara cempreng, "Hi-hi-hik, gendut botak Gayam Dompo kurang kerjaan! Kesini kalau berani!" Biar kulumat ... "
"Apa" Kau mau melumat bibirku dengan bibirmu" Dasar nenek ganjen!
Pikirannya ngeres melulu! Sudah tua tidak ingat kuburan, justru sukanya keluyuran!"
Suara sember kembali terdengar di belakang punggung Nyi Sungsang Sumbel, yang dengan gerak refleks langsung mengayunkan tongkat kayu ke belakang. Ayunannya bukan sembarang ayunan, namun sudah dialiri dengan tenaga dalam tinggi.
Wutt! "Tidak kena! Tidak kena!" ledek suara sember sambil melangkah mundur tiga tindak.
"Botak sialan! Tongkat Berbisa dianggap mainan! Nih, makan!"
Si nenek sambil tertawa terkikik macam kuntilanak buang hajat segera mengayunkan tongkat secara serampangan.
Wutt! Wess ... !
Meski terlihat serampangan tak tentu arah, namun sebenarnya si nenek baju lurik kembang-kembang kedodoran yang berjuluk Tongkat Berbisa menggunakan jurus-jurus aliran tongkat yang dinamakan jurus "Tamparan Kelinci Genit". Berulang kali sambaran tongkat sarat tenaga dalam menyambar ke arah si kakek gendut botak, namun anehnya dengan gaya lucu megal-megol macam angsa mau bertelur, kelebatan dan sambaran tongkat dari jurus "Tamparan Kelinci Genit" bisa di mentahkan begitu saja.
Sett! Wutt!! Eitt ... ! Tidak kena!" ledek si kakek sambil nungging tepuk-tepuk pantat kirinya, "Nih, pantatku! Silahkan sodok kalau bisa!?"
"Hi-hi-hik! Barang busuk macam pantat kuali saja kau pamerkan di hadapanku!" sambar si nenek sambil terus mengayun-ayunkan tongkatnya kesana kemari.
Wutt! Wutt ... !
Tiba-tiba, tangan kirinya melepas gagang tongkat lalu bergerak menyodok ke depan.
Dubb ... ! Segumpal hawa padat melesat cepat, dan tanpa dapat di cegah lagi langsung menghantam pantat kiri si kakek yang kala itu sedikit bergeser ke kanan menghindari ayunan tongkat.
Blakk! Tak pelak lagi, pantat bundar macam kuali terhantam keras.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Wuadowww ... !!"
Si kakek kocak langsung berjingkrak-jingkrak sambil mengusap-usap pantatnya.
"Dasar tua bangka ganjen!" bentak si kakek sambil tangan kanan masih terus mengusap pantat, sedang tangan kirinya bergerak dari arah belakang ke depan seperti anak kecil melempar gasing.
Wutt! Sebentuk bola biru sebesar telur bebek melesat cepat.
"Jurus "Hantam Bukit Hancurkan Tebing"!" seru Tongkat Berbisa sambil mengayunkan tongkat di tangannya membentuk baling-baling.
Wukk ... wukk ... !!
Durr ... !! Terdengar suara letupan kecil dikala bola biru sebesar telur bebek membentur perisai tongkatnya.
Jika si nenek terjengkang ke belakang akibat benturan, justru Kakek Kocak dari Gunung Tugel terjerembab ke depan. Justru karena itulah, jurus yang baru saja dilontarkan si kakek dinamakan "Hantam Bukit Hancurkan Tebing" sebab begitu serangan pertama bisa digagalkan lawan, maka dengan gaya seolah-olah terjerembab, sepasang tangannya yang berubah menjadi biru terang menghantam ke arah depan dengan cepat!
Wuss ... !! "Hi-hi-hi-hik! Aku sudah tahu kelanjutan jurusmu, tua bangka edan!" kekeh Tongkat Berbisa sambil melenting ke atas, sehingga serangan Gayam Dompo alias Kakek Kocak dari Gunung Tugel lewat di bawah kakinya.
Wuss ... ! Durr ... !!
Dari arah ketinggian, kembali Tongkat Berbisa mengelebatkan tongkatnya digebukkan ke arah punggung si gendut botak!
Wukk ... ! Benar-benar serangan yang berbahaya bagi keselamatan punggung gempal itu!
Namun, bukan Kakek Kocak dari Gunung Tugel namanya jika hanya mendapat serangan seperti itu sudah terkena serangan lawan. Sepasang tangannya yang masih terselimuti cahaya biru terang di putar ke belakang dalam posisi membungkuk untuk menghalangi ayunan tongkat yang akan mengarah ke punggung.
Brakk! Jderr ... !!
Gerakan cepat lawan ternyata diluar perhitungan si nenek periang ini.
Akibatnya tubuh si nenek baju lurik kembang-kembang kedodoran semakin melambung tinggi ke atas akibat benturan tenaga sakti masing-masing.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Botak sialan! Aku terpaksa membiarkan nyawa busukmu untuk sementara ngendon di sana! Suatu saaat aku akan mengambilnya sendiri, hi-hi-hik!" seru si nenek sambil ngacir, mengerahkan jurus peringan tubuhnya sampai tahap tertinggi. "Titip, ya!?"
Blass ... ! "Nenek ganjen! Bilang saja kau takut! Pake acara titip nyawa segala!" bentak keras Gayam Dompo dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga suaranya memantul-mantul ke sekitar.
"Brengsek! Hebat juga tenaga si tua bangka itu," gerutu si kakek sambil mengeluarkan kakinya dari dalam tanah. "Luka dalam ngga, nih?"
Setelah dilihat pulang-balik, kaki ini menarik napas lega.
"Fiuhh ... untung cuma luka kecil doang," katanya sambil menghembuskan napas dari mulutnya yang lumayan tebal. Akibat benturan terakhir tadi, sepasang kaki Gayam Dompo sampai melesak hingga setinggi lutut. Meski pertarungan singkatnya seperti orang main-main, namun sebenarnya ke dua tokoh kosen yang memang sama sudah bau tanah ternyata telah mengeluarkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
"Dasar kodok sawah! Kemana saja perginya Kaswari muridku?" gerutu Kakek Kocak dari Gunung Tugel. "Di pos selatan dan utara yang seharusnya dijaga oleh Contreng Nyawa dan Dewa Periang dibiarkan kosong melompong tanpa penjagaan sama sekali. Apa mereka tidak takut dengan hukuman dari Tuan Majikan, apa?"
Belum lagi gerutuannya menghilang, tiga sosok bayangan berkelebat cepat.
Wutt! Jleegg! "Guru!"
"Gayam Dompo! Enak saja kau bilang kami kelayapan!" tukas seorang laki-laki parobaya berambut hijau belang-belang. "Jika bukan karena menolong murid tololmu dari sergapan Nyai Kembang Hitam dan anak si Pawang Racun yang menyusup, kami masih di pos penjagaan."
"Nyai Kembang Hitam dan Pawang Racun Kecil?" kata kaget kakek Gayam Dompo. "Benarkah mereka yang datang, Kaswari?"
"Benar seperti apa yang dikatakan Paman Contreng Nyawa, Guru," sahut Kaswari. Gadis manis berkulit kuning sedikit kecoklatan dengan raut muka lonjong berbaju kuning gading membungkukkan badan dengan hormat kepada kakek botak itu.
"Lagi pula di posku sendiri, aku juga harus menghadapi Pemulung Nyawa ... "
ujar seorang kakek rambut putih sambil senyum-senyum sendiri. "Ha-ha-ha, untung saja Pemulung Kurang Kerjaan itu bisa aku sepak keluar dari wilayah kekuasaanku. Kalau tidak mengingat saudara Contreng Nyawa, mungkin Pemulung Nyawa sudah dicambuk sama Dewa Neraka. Ha-ha-ha!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Wajahnya terlihat paling segar diantara ke dua orang itu (kalau dengan Kaswari jelas kalah segar, kalah cakep pula!). Mukanya kemerah-merahan seperti bayi baru lahir, lucu-lucu imut gimana gitu!" Karena selalu riang gembira, bahkan susah pun kakek ini selalu riang tanpa beban hingga digelari Dewa Periang.
"Heh, memang adikku itu paling sulit dinasehati," gumam Contreng Nyawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Terima kasih atas kebaikan Dewa Periang. Biar lain kali aku saja yang menghajar adat padanya."
"Ho-ho-ho ... ! Jangan sungkan-sungkan sobat," sahut Dewa Periang sambil menepuk pundak Contreng Nyawa, ringan.
"Guru, aku sendiri merasa heran," kata Kaswari.
"Apa yang kau herankan, muridku?"
"Nyai Kembang Hitam, anak si Pawang Racun, dan Tongkat Berbisa adalah tokoh silat aliran hitam yang berkepandaian tinggi. Entah dengan cara bagaimana paman Pemulung Nyawa bisa berkawan dengan mereka," sahut Kaswari, sambungnya. "Setahu murid, wilayah Tanah Bambu ini tidak pernah memiliki silang sengketa dengan mereka bertiga, apalagi dengan Paman Pemulung Nyawa yang masih saudara seperguruan dengan Paman Contreng Nyawa. Bukankah hal ini adalah aneh?"
"Kita bicarakan saja hal ini di pos utama. Aku yakin, di sekitar tempat ini ada mata dan telinga yang mendengar pembicaraan kita," bisik Contreng Nyawa.
"Kita kembali sekarang."
Ketiganya mengangguk pelan dan tanpa banyak kata, mereka berempat langsung melesat pergi ke arah jurusan selatan.
Begitu empat orang itu lenyap dari pandangan, dari balik gerumbulan perdu tiba-tiba menyeruak sebentuk tangan putih mulus diikuti dengan sesosok tubuh tinggi semampai berbaju hitam ketat sehingga mencetak setiap lekuk lengkung tubuhnya. Sepasang bukit kembar terlihat begitu menonjol sehingga jika terlihat dari samping, potongan tubuh itu begitu sempurna. Dilihat sekilas, wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahunan dengan wajah cantik jelita ini sangat menggiurkan setiap laki-laki yang memandang. Terlebih lagi dengan adanya belahan dada yang rendah sehingga sebagian besar bukit dada terlihat jelas sudah lebihd ari cukup untuk membuat mata laki-laki manapun blingsatan.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam.
Dialah yang dijuluki ...
Nyai Kembang Hitam!
Begitu sosok ramping Nyai Kembang Hitam keluar dari tempat persembunyiannya, dibelakangnya telah berdiri tegak seorang laki-laki muda rupawan berbaju merah darah dengan celana pangsi coklat cerah, yang tanpa malu-malu langsung melingkarkan tangan kanan ke pinggang Nyai Kembang Hitam, ditarik dalam satu sentakan saja tubuh Nyai Kembang Hitam sudah jatuh dalam pelukannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Kembang Hitam tersenyum manis. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia meraih wajah si pemuda dengan kedua tangannya, dan menyentuhkan ujung bibirnya dengan lembut ke bibir si pemuda. Merekahkan tepian lalu melumat lambat-lambat. Pemuda itu memejamkan mata. Kehangatan bibir gadis itu, coba diresapinya dalam-dalam.
Nyai Kembang Hitam menarik wajahnya mundur. Kelopak matanya tampak sayu. Sedang napasnya terdengar mulai cepat.
"Panji Tilar, ini ... "
Tanpa sempat melanjutkan kata-katanya, bibir si pemuda langsung menyumpal bibir indah Nyai Kembang Hitam. Untuk sesaat, tubuh Nyai Kembang Hitam mengejang-melemas tanpa kendali. Bahkan sedikit menggeliat kala tangan kiri pemuda yang bernama Panji Tilar menyusup masuk ke dalam belahan dada montok Nyai Kembang Hitam dari arah depan dan begitu mendapat sasaran tangkap, langsung meremas-remas bongkahan kenyal di dada kanan Nyai Kembang Hitam.
Untuk sesaat Nyai Kembang Hitam menikmati setiap perbuatan Panji Tilar, namun pada detik berikutnya wanita cantik itu melakukan gerakan memutar dengan cepat.
Sett! Dalam satu gerakan saja, tubuh ramping Nyai Kembang Hitam telah lepas dari dekapan Panji Tilar.
Namun, justru karena gerakan yang dilakukan oleh Nyai Kembang Hitam membuat tangan kiri Panji Tilar yang masih berada dalam bajunya tanpa sengaja tercabut paksa. Akibatnya ...
Brett!! Baju bagian dada yang sudah rendah itu justru tersobek hingga ke pusar!
"Kenapa ... ?" terdengar suara Panji Tilar sedikit memburu.
Mata pemuda itu semakin nanar melihat pemandangan syur itu. Bagaimana tidak, sepasang bukit kembar yang awalnya sudah membusung kencang, kini seakan meloncat hendak keluar karena ruang geraknya sedikit terbebas.
Benar-benar memusingkan!
"Kau nakal sekali, Panji Tilar!" kata Nyai Kembang Hitam berjalan mendekat dua langkah dengan napas sedikit cepat. Lalu dipeluknya pemuda itu. "Ingat dengan tugas yang dibebankan Ketua pada kita."
Mendengar kata-kata Nyai Kembang Hitam, Panji Tilar menghembuskan napas berulang kali. Sedikit banyak, hawa birahinya terkendali.
"Tapi aku ... "
Nyai Kembang Hitam meletakkan jari telunjuk kirinya ke bibir si pemuda.
"Pawang Racun Kecil!" kata Nyai Kembang Hitam menyebut gelar si pemuda.
"Aku tahu beban yang ditugaskan oleh Ketua berada di pundakmu. Dan aku tahu TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pula kematian Pawang Racun ayahmu di tangan Dedengkot Dewa memang harus dibalas termasuk dengan bunga-bunganya ... "
"Aku paham maksudmu, Nyai ... !" tukas Pawang Racun Kecil. "Tapi sekarang aku membutuhkan dirimu. Membutuhkan kehangatan tubuhmu! Balas dendam bisa aku lakukan sambil jalan. Lagi pula Dedengkot Dewa sudah aku ketahui dimana adanya dia berada. Kupikir ... "
"Kau pikir segampang itu menghadapi Dedengkot Dewa" Ayahmu saja tewas melawannya, apalagi dirimu?"
"Huh! Aku bukan ayahku!" sahut Pawang Racun Kecil sambil membalas pelukan Nyai Kembang Hitam. "Ayahku tewas karena ia malas mempelajari Kitab
"Racun Lima Bintang" sampai tuntas! Sedang aku" Kitab itu aku pekajari hingga tingkat paripurna. Tingkat dua puluh!"
"Sudahlah!" kata Nyai Kembang Hitam, karena ia memang tidak mau berdebat dengan pemuda itu. "Bagaimana dengan tugasmu?"
"Pemulung Nyawa yang asli sudah aku kirim ke neraka," kata Pawang Racun Kecil sambil dua tangannya mengusap-usap lembut.
Nyai Kembang Hitam membiarkan saja tingkah pemuda di hadapannya, bahkan kini karena mulai terangsang birahinya, ia meletakkan ke dua tangannya merangkul leher si pemuda.
"Tugas kedua?"
"Pemulung Nyawa yang palsu sudah aku susupkan ke dalam wilayah Tanah Bambu, tapi tololnya ... penyamarannya terbongkar dan terpaksa aku kirim pula ia ke neraka menyusul Pemulung Nyawa yang asli," ucap si pemuda sambil tangannya terus bergerilya ke mana-mana. "Benar-benar brengsek! Untuk mengambil sebuah medali saja, ia tidak becus!"
Pawang Racun Kecil terus saja menggerakkan tangannya ke sana kemari menjelajahi tubuh Nyai Kembang Hitam sembari mulutnya memberi keterangan tentang apa-apa yang menjadi tugasnya. Sedang yang menjadi sasaran gerilya hanya bisa mendesis-desis sambil sesekali menggelengkan kepala dengan pelan. Nampak Nyai Kembang Hitam pun mulai terangsang ulah Pawang Racun Kecil.
"Apakah ... mas " sih ada ... lagi tugasmu ... ?" tanya wanita baju hitam, yang kini baju hitamnya sudah tidak karuan bentuknya. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ikat pinggang hitamnya sudah kendor dan celananya sedikit melorot ke bawah paha meski masih di atas lutut, sehingga sebentuk rerimbunan di bawah sana yang menutupi sebentuk gerbang istana kenikmatan terkuak.
"Ada."
"Apa?"
"Ini!"
Diangkatnya sedikit bagian bawah belakang Nyai Kembang Hitam, lalu diturunkan dengan cepat!
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Srepp ... !! "Aaakkh ... !" jerit lirih Nyai Kembang Hitam kala ia merasakan sebuah benda panjang menerobos paksa ke bagian bawah tubuhnya. Belum lagi ia menjerit kembali, bibirnya sudah di sumpal oleh bibir Pawang Racun Kecil dan menyodokkan pilar tunggal penyangga langitnya hingga masuk sempurna.
Srepp ... !! Tangan kiri kanan Pawang Racun Kecil meremas-remas sepasang bukit kembar milik Nyai Kembang Hitam dengan kasar. Tentu saja Nyai Kembang Hitam kelabakan karena mendapat serangan dadakan begitu rupa dari pemuda tampan yang kini sedang memaju-mundurkan senjata pusakanya.
"Nyai, kita bercinta di rumahku saja," kata lirih Pawang Racun Kecil, yang tanpa melepaskan pilar tunggal penyangga langitnya terlebih dahulu dari dalam gerbang istana kenikmatan Nyai Kembang Hitam, langsung menghentakkan kaki ke tanah.
Wutt! Tubuh pemuda itu melesat cepat laksana panah terlepas dari busurnya.
Uniknya, meski sambil mengerahkan tenaga peringan tubuh, Pawang Racun Kecil masih "menghajar nikmat" bagian bawah tubuh Nyai Kembang Hitam hingga wanita itu merasakan sensasi yang luar biasa yang seumur hidup belum pernah ia rasakan.
Bercinta sambil melayang-layang di udara!
--o0o-- BAGIAN 6 "Kalau bukan rahasia Ilmu "Bayu Buana" tentulah Kitab Ilmu "Seribu Bulan"
milik Tuan Majikan," tebak Riung Gunung dengan pasti, sambil menyeret sebuah bangku dan duduk di sana. Tak lupa periuk yang ada di punggungnya dilepas lalu ditaruh di samping kanan.
Semua orang yang ada di tempat itu terkejut mendengar perkataan si pemuda berperiuk. Jelas sekali bahwa memang ada kemungkinan dua ilmu rahasia itulah yang menjadi sasaran dari para pennyusup. Karena dari tingkat kedudukan mereka di rimba persilatan tidaklah mungkin mengincar harta benda berupa emas berlian dan sejenisnya.
Lagi pula, siapa orang-orang rimba pendekar yang tidak tahu tentang Ilmu
"Bayu Buana" dan Ilmu "Seribu Bulan?"
Kecuali orang yang tidak tahu, semua pasti tahu, bro!
Ilmu "Bayu Buana" adalah sejenis ilmu ringan tubuh yang bisa membuat orang mengarungi angkasa dengan memanfaatkan kekuatan angin meski tidak terbang bebas seperti burung, akan tetapi tubuh bisa melayang-layang di angkasa tanpa TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sayap. Jelas dengan adanya ilmu ini membuat siapa saja pasti ngiler empat hari tiga malam karena saking inginnya menguasai Ilmu "Bayu Buana" ini. Konon kabarnya Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu telah menguasai ilmu ini dengan sempurna hingga bisa bepergian kemana saja.
Benar atau tidaknya, kali ini hanya Yang Kuasa yang tahu!
Lalu bagaimana dengan Ilmu "Seribu Bulan?"
Wah, ini malah bisa membikin lebih ngiler lagi, cing!
Dengan menguasai Ilmu "Seribu Bulan" secara sempurna bisa memperpanjang umur hingga mencapai delapan puluh empat tahun bahkan lebih. Namun yang lebih membuat semakin ngiler adalah sosok pemilik ilmu ini akan berubah wujud menjadi sosok manusia yang usianya baru mencapai dua puluh lima tahunan. Pada umumnya usia manusia antara lima puluh sampai tujuh puluh tahun. Kalau bisa menguasai ilmu dengan sukses plus umur bertambah sekian puluh tahun, apa ngga hebat "tuh"
Bisa dibayangkan betapa inginnya orang-orang menjadi awet muda, bukan awet tua!
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu, Riung?" tanya Dedengkot Dewa sambil tersenyum.
"Mudah saja, Paman." sahut Riung Gunung sambil membetulkan posisi duduknya. "Semenjak Tuan Majikan serta Nyonya Majikan menghilang, kedua ilmu ini pun turut menghilang. Sebagai orang asli Kepulauan Tanah Bambu, semua tahu bahwa Ilmu "Bayu Buana" dan Ilmu "Seribu Bulan" hanya bisa dimiliki oleh orang yang memiliki tautan darah dengan pemilik asli Kepulauan Tanah Bambu, barulah bisa menguasai ke dua ilmu ini. Meski benar atau tidaknya bahwa orang harus punya tautan darah untuk menguasai ke dua ilmu ini, tidak ada yang tahu. Namun rahasia ini diketahui oleh pihak luar --dalam hal ini saya beranggapan orang-orang yang berani menyusup ke tempat kita-- berpikir bahwa dengan menghilangnya pucuk pimpinan di tempat ini akan semakin mudah mencuri ilmu-ilmu sakti yang ditinggal."
"Ilmu sakti yang ditinggal?" potong Kaswari.
"Benar. Ilmu sakti yang ditinggal bisa berupa catatan, kitab-kitab silat atau pun sejenisnya ... " kali ini yang menjawab Dedengkot Dewa, sambungnya, " ... dan hal itu perlu kita waspadai."
"Setahuku, Ilmu "Bayu Buana" dan Ilmu "Seribu Bulan" selalu diturunkan secara pribadi pada calon pengganti saja," kata Dewa Periang.
"Benar apa yang dikatakan oleh Dewa Periang," jawab Dedengkot Dewa,
"Namun kita melupakan satu hal yang teramat penting."
"Apa itu!?" tanya Gayam Dompo, heran.
"Kitab Ilmu Silat "Seribu Indera"!" tegas sekali kata Dedengkot Dewa. "Dan yang jelas ... tanpa perlu darah keturunan pun, kedua ilmu itu bisa dipelajari siapa saja!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Saat mengatakan hal itu, matanya sedikit berkeredep penuh kilatan amarah, namun hanya sesaat saja. Semua orang yang ada di tempat itu terperanjat mendengar ucapan Dedengkot Dewa sehingga tidak begitu menyadari perubahan mimik muka dari si laki-laki berkumis tipis, kecuali satu orang!
Riung Gunung! Kala itu si pemuda ingin mengambil potongan ikan asap yang ada di dalam periuk, namun saat berusaha mengusir lalat, secara tidak sengaja ia memandang raut wajah Dedengkot Dewa yang berdiri membelakangi semua orang yang ada di tempat itu, kecuali dirinya yang duduk beradu muka sejarak tiga langkah dari laki-laki itu. Keredepan mata penuh dendam bisa ditangkapnya meski sekilas.
"Aneh, sekilas tadi kulihat mata Paman Dedengkot Dewa sedikit memancarkan hawa amarah yang tertahan," pikir Riung Gunung, namun hatinya merasa sangsi, "Atau ... jangan-jangan aku salah lihat?"
"Kitab Ilmu Silat "Seribu Indera?"" Contreng Nyawa membantah. "Tidak mungkin! Kau bohong!"
"Bisa dipelajari siapa pun" Huh! Itu betul-betul tidak mungkin dan tidak mungkin betul!" seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
"Dedengkot Dewa, Kitab Ilmu Silat "Seribu Indera" hanyalah mitos belaka.
Mitos yang dihembuskan oleh Tuan Majikan pertama agar orang-orang persilatan ... "
"Itu bukan mitos!" potong Dedengkot Dewa dengan cepat.
"Bukan mitos katamu?" kali ini Dewa Periang berkata, "Ha-ha-ha! Jangan ngawur kau, sobat!"
"Aku berkata yang sebenarnya!" kali ini suara Dedengkot Dewa sedikit keras,
"Dengar! Dari beberapa lontar yang aku pelajari dan pernah kusinggung tentang kitab itu pada Empat Tua Raja Tanah Bambu, ternyata Ilmu "Bayu Buana" dan Ilmu "Seribu Bulan" berasal dari Kitab Ilmu Silat "Seribu Indera". Dan menurut Tua Raja Tinju Kayangan, masih ada dua ilmu lagi yang ada dalam kitab sakti itu.
Dan ilmu ini puluhan kali lebih berbahaya dari dua ilmu sebelumnya."
"Apa!?" seru Gayam Dompo sambil berdiri.
Semua yang ada di tempat itu sontak ikut berdiri dengan wajah penuh ketegangan. Jika dua ilmu pertama saja sudah membuat orang mupeng alias muka pengin, lalu bagaimana dengan dua ilmu lainnya"
"Jika memang benar apa katamu, ilmu apa yang ke tiga dan ke empat?"
"Menurut penuturan Tua Raja Tinju Kayangan, dua ilmu yang lain adalah Ilmu
"Sayap Pedang Malaikat" dan Ilmu Sakti "Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari"!" tegas Dedengkat Dewa, sambungnya, " ... aku yakin kalian pernah mendengar legenda dua ilmu itu!"
Mendengar tentang Ilmu "Bayu Buana" dan Ilmu "Seribu Bulan" saja sudah membuat orang-orang persilatan sudah ngiler ingin menguasainya, kini ditambah dengan Ilmu "Sayap Pedang Malaikat" dan Ilmu Sakti "Delapan Sambaran Kilat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sembilan Matahari" yang kabarnya hanya dikuasai oleh datuk persilatan masa enam ratus silam ini, membuat tokoh-tokoh utama dari Kepulauan Tanah Bambu bergidik ngeri!
Kala itu, guru Dewa Pengemis yang bergelar Matahari Sabit konon kabarnya hanya menguasai setengah dari kekuatan Ilmu Sakti "Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari" sudah menjadi jagoan tanda tanding di jagat persilatan, bahkan para tokoh sakti dari Daratan Tiongkok dan Tanah Hindustan banyak yang bertumbangan di bawah tangan si Matahari Sabit ini.
Beberapa Biksu Sakti dari Shaolin mengklaim bahwa Ilmu Sakti "Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari" adalah sama dengan Kitab Ilmu "Sembilan Matahari" (Jiu Yang Zhen Jing) aliran mereka yang konon kabarnya telah hilang dari Gudang Pustaka Biara Shaolin untuk kedua kalinya selama puluhan tahun menghilang tak tentu rimba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa ilmu yang dikuasai oleh Matahari Sabit adalah ilmu dari Biara Shaolin sehingga mereka berniat meminta kembali kitab ilmu tersebut. Namun oleh Matahari Sabit disangkal keras, hingga terjadilah pertarungan dua hari dua malam lamanya.
Pertarungan itulah yang hingga kini menjadi legenda abadi rimba persilatan!
Matahari Sabit yang marah karena dituduh sebagai pencuri ilmu oleh para Biksu Shaolin langsung membabat habis para biksu tanpa berpikir siapa yang salah dan siapa yang benar. Tanpa ampun, delapan Biksu Shaolin pada akhirnya harus mati berkalang tanah di Tanah Jawa. Meski begitu, akibat pertarungan yang sungguh-sungguh melelahkan itu sang pendekar tidak luput dari luka dalam parah karena terlalu banyak menggunakan tenaga sakti hingga melebihi batas kemampuannya sebagai manusia.
Karena kejamnya pertarungan kala itu, sampai-sampai Matahari Sabit diberi julukan baru ...
Dewa Perang! Kini ilmu-ilmu sakti milik Dewa Perang dalam legenda kembali diungkit.
Tentu saja membuat orang-orang yang ada di tempat itu langsung merasa ngeri!
"Jika memang benar seperti yang kau katakan, maka wilayah Kepulauan Tanah Bambu ini sekarang bukan wilayah yang aman!" kata tegas Contreng Nyawa, lalu sambil memandang semua orang yang di tempat itu satu persatu, ia pun melanjutkan, "Dan naga-naganya ... kita harus melibatkan Penguasa Gaib Tanah Bambu untuk membantu kita!"
"Maksudmu ... Sepuluh Dara Gaib!?" tanya Dewa Periang menegaskan.
"Benar."
"Kau tahu cara menghubungi mereka?" tanya Dewa Periang lagi.
"Tahu."
"Kau bisa melakukannya?"
Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak mau mati di alam gaib."
"Kenapa, Paman?" kali ini Riung Gunung yang bertanya.
"Untuk masuk alam gaib wilayah kekuasaan Sepuluh Dara Gaib, memerlukan tenaga gaib yang besar dan setidaknya menguasai ilmu pangracutan atau yang sejenisnya. Di alam gaib, hanya sukma saja yang sanggup merobos masuk ke dalam tirai gaib ... " tutur Gayam Dompo, sambungnya, " ... dan satu-satunya orang pernah keluar-masuk alam gaib dengan selamat di wilayah mereka adalah gurumu sendiri, Riung."
"Ki Ajar Lembah Halimun!" seru Contreng Nyawa. "Betul-betul-betul! Kukira hanya orang tua itu saja yang sanggup masuk ke sana."
Mendengar nama gurunya disebut-sebut, Riung Gunung hanya tersenyum kecut, "Percuma saja meminta bantuan Kakek Guru!"
"Kenapa?"
"Karena beliau berpesan, bahwa kemelut ini tidak akan terselesaikan meski meminta bantuan kepada Sepuluh Dara Gaib."
"Benarkah?"
"Guru tidak pernah meleset dalam soal ramal-meramal. Saya rasa paman-paman sekalian sudah jelas tentang hal itu," tandas Riung Gunung.
Semua yang ada di tempat itu terdiam. Tidak ada komentar sedikit pun terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh anak muda berperiuk itu. Para penguasa Tapal Batas tahu betul seberapa jujur ucapan Riung Gunung dan seberapa teguh pendirian Ki Ajar Lembah Halimun serta seberapa hebat ilmu meramalnya.
"Kalau memang begitu, kita harus berusaha dengan cara kita sendiri," putus Contreng Nyawa, lalu sambungnya, "Kukira ... sudah saatnya Pedang Pensil milikku perlu dicuci dengan darah."
"Baik! Selain Pasukan Bambu Barat, Gelang Hitam Belenggu Hawa juga siap mendampingiku menghadapi musuh yang menyerang wilayah kita, hahahaha!"
seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel sambil mengelus-elus sepasang gelang besar yang ada di punggungnya.
"Ha-ha-ha! Kalian jangan lupa dengan Tongkat Gulungan Kain-ku!" seloroh Dewa Periang sambil memutar-mutar kain biru panjang di tangannya.
Begitu disentakkan ke depan ...
Sett! Rett!! Sontak kain langsung menggulung membentuk sebuah tongkat panjang dari gulungan kain. Jelas sekali bahwa Dewa Periang termasuk tokoh silat kelas tinggi, terlihat dari tenaga dalam yang dialirkan ke dalam senjata uniknya, sambungnya, "Lagi pula, Pasukan Tanah Selatan juga siap berkorban demi kejayaan Kepulauan Tanah Bambu!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pedang Pensil, Gelang Hitam Belenggu Hawa dan Tongkat Gulungan Kain adalah senjata-senjata luar biasa. Sedang aku ... cuma punya Tangan Pengejar Nyawa," desah Dedengkot Dewa sambil tangan kirinya di tarik dari kiri ke atas lalu turun sejajar dada. Sebentuk cahaya merah kecoklat-coklatan terpancar kuat dari tangan kiri Dedengkot Dewa yang segera dikibaskan ke arah rerimbunan pohon perdu.
Sett! Weeerr ... ! Dhuarrr ... !
Rerimbunan pohon perdu dan tanah dibawahnya langsung terbongkar diikuti dengan semburatnya tanah.
Plokk! Plook! Dewa Periang bertepuk tangan sambil berkata, "Benar-benar ilmu yang hebat, Dedengkot Dewa! Tanpa bertanding denganmu pun, aku sudah merasa di bawah angin! Benar-benar luar biasa!"
"Cuma ilmu picisan, apa bagusnya!?" kata Dedengkot Dewa sambil tersenyum, lalu katanya pada Riung Gunung, "Anak Riung! Kurasa tugas ayahmu di wilayah Tapal Batas Utara bisa kau ambil alih untuk sementara waktu.
Kau siapkan Pasukan Tambak Segara dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi lawan yang kemungkinan besar akan menyerang dalam waktu dekat ini."
"Baik, Paman!"
"Dan kau ... Kaswari! Kumpulkan semua teman-temanmu yang bisa memanah untuk memperkuat Pasukan Panah Api," kata tegas Dedengkot Dewa.
"Perbanyak latihan, jika perlu penegakan disiplin dalam latihan!"
"Siap, Paman!"
"Dedengkoat Dewa! Kukira Pasukan Tanduk Banteng-mu pun juga perlu dipersiapkan lebih baik dari pasukan yang ada di tiap wilayah Tapal Batas," usul Gayam Dompo.
"Kau benar, sobat! Pasukan Tanduk Banteng adalah pasukan perintis. Mereka memang telah terlatih sebagai pasukan berani mati," ucap Dedengkot Dewa dengan nada bangga. "Kalian tidak perlu khawatir dengan hal itu!"
"Sekarang ... pertemuan bubar!"
Semua orang yang di tempat itu saling menjura satu sama lain sebagai adat penghormatan terhadap sesama penguasa wilayah Tapal Batas. Setelah itu semua segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Hanya Riung Gunung seorang yang berjalan lambat-lambat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam kepalanya.
"Aneh sekali. Kenapa aku merasa perlu mencurigai Paman Dedengkot Dewa, ya?" pikirnya. "Wah, pasti ada yang ga bener nih! Kuselidiki, ahh ... "
Sambil beranjak berdiri, ia kembali mendesis pelan, "Lebih baik aku kembali ke tempat ayah. Kurasa Tombak Penusuk Bumi milik ayah bisa aku gunakan sebagai penjaga diri. Tidak melulu Periuk Ikan ini!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Riung Gunung melesat pergi dengan lompatan-lompatan ringan seperti gaya belalang melentik.
--o0o-- BAGIAN 7 "Ada perompak ... ! Ada perompak ... !" seru salah seorang anak buah kapal Surya Silam dari atas tiang penyangga layar. Tubuhnya berloncatan turun ke bawah laksana kera. Meski tidak menguasai jurus peringan tubuh, namun kegesitan yang ditempa alam membuatnya sanggup melejit dari satu tali ke tali yang lain dan pada akhirnya turun dengan manis di atas geladak.
Gandarwa yang saat itu sedang tidur-tidur ayam dekat anjungan kapal menikmati sejuknya angin laut, langsung menghampiri orang yang baru saja berteriak, "Brengsek benar kau, Satari! Ada apa teriak-teriak sesiang ini?"
"Ada perompak, Kang! Di sana!" sahut Satari sambil menunjuk ke arah selatan.
"Dasar setan laut keparat!" makinya sambil memandang ke jurusan selatan.
Mata tajamnya sedikit menyipit, seolah sedang memastikan benar-tidaknya laporan dari sang anak buah.
Dari menyipit, Gandarwa justru menjerengkan mata!
"Busyet, itu mata apa jengkol" Gede amat!" pikir Satari.
"Demi setan laut! Itu Perompak Tujuh Lautan pimpinan Jenggot Perak Mata Satu!" desis Gandarwa.
Mendengar sebutan Perompak Tujuh Lautan, Satari langsung terjengkit kaget!
"Yang bener, Kang!?"
"Meski jarak cukup jauh, mataku belum lamur!" desis Gandarwa sekali lagi, sambil matanya tidak lepas dari sebentuk titik hitam yang semakin lama semakin kelihatan jelas. "Lihat bendera hitam lambang tiga tengkorak itu."
"Wah, ga keliatan, Kang ... masih jauh ... " seru Satari sambil celingak-celinguk, sambungnya, "Kakang yakin itu kapal Perompak Tujuh Lautan?"
"Yakin sekali."
"Wah ... asyik kalau begitu ... "
"Asyik kepalamu pitak! Ini berhubungan dengan nyawa seluruh penumpang kapal Surya Silam ini, goblok!" bentak Gandarwa.
Mendengar suara ribut-ribut di depan anjungan, nakhoda kapal berjalan menghampiri mereka.
"Ada apa, Gandarwa?" tanyanya.
Tanpa menjawab, Gandarwa hanya menunjuk ke depan, ke jurusan selatan!
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan tanpa bertanya untuk kedua kali, mata sang nakhoda langsung memandang ke jurusan selatan, dimana Gandarwa memelototi titik hitam yang semakin mendekat. Sontak, ia langsung berteriak kaget, "Celaka lima belas! Itu
... kawanan Perompak Tujuh Lautan!"
"Aku sudah tahu, Kang. Lalu bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?" balik tanya si nakhoda yang bernama Gautama.
"Tentang Perompak Tujuh Lautan."
"Hemm, dari kabar yang berhasil aku sirap, kawanan Perompak Tujuh Lautan adalah jenis perampok yang pekerjaan yang "serba bersih". Bersih nyawa, bersih harta dan bersihkan apa yang ada!"
"Jadi ... ?"
"Jika mereka sudah memberikan target, pasti akan menyapu bersih semua yang ada! Jika di kapal ini ada seribu nyawa, maka seribu nyawa pulalah yang dibersihkan. Dan itu artinya ... "
"Artinya ... ?"
"Kita harus bersiap-siap menjadi penghuni laut!" desis Gautama.
"Huh, tapi aku tidak mau menjadi penghuni laut!" seru laki-laki berompi merah itu. Wajah Gandarwa langsung membesi kala mengetahui bahwa kawanan Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata Satu adalah tipe perompak yang "suka kebersihan"!
Benar-benar reputasi yang hebat!
"Lebih baik mati dalam pertarungan dari pada mati tanpa perlawanan!" ucap Gandarwa berapi-api.
"Aku setuju, Kang! Setuju!" sahut Satari ikut-ikutan.
Gandarwa menoleh pada pemuda pendek didekatnya. Sudah puluhan tahun mereka bersama, baik dalam suka mau pun duka. Meski selisih umur mereka sepuluh tahunan, tidak menghalangi rasa persahabatan diantara keduanya.
"Satari, kau takut mati!?"
"Yoo ... jelas to, Kang! Lha wong aku masih muda, pingin makan, pingin punya istri, pingin ... "
"Kalau begitu ... kau siap mempertahankan hidupmu!?" tanya Gandarwa lagi.
"Jelas aku siap!" kata tegas Satari.
"Bagus! Tidak percuma aku punya sahabat seperti dirimu!"
Keduanya saling pandang, lalu sama-sama tersenyum.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Kang?"
"Siapkan teman-temanmu. Dan ungsikan para penumpang ke ruang rahasia di bagian bawah kapal!" perintah Gandarwa. "Katakan pada mereka, keadaan darurat!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tanpa bertanya lagi, Satari segera berlalu.
Sebentar saja, suara ribut-ribut terdengar saling bersahutan.
Ada yang langsung menangis menggerung-gerung mengetahui bahwa yang ingin menyatroni mereka adalah kawanan Perompak Tujuh Lautan, ada pula yang terlongong bengong macam sapi ompong, bahkan ada di antara mereka yang sedikit memiliki ilmu silat, langsung menghunus senjata siap sedia mempertahankan kapal yang mereka tumpangi.
Seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh lima tahunan berjalan cepat, naik ke lantai tiga. Berjalan sebentar dan berhenti pada pintu kamar dengan tulisan merah berangka delapan.
Took! Took ... !
Suara ketukan terdengar lirih.
"Siapa?" tanya sebentuk suara dari dalam kamar.
"Saya ... Cideng," sahut si laki-laki.
Terdengar suara langkah kaki diikuti dengan deritan pintu.
Krieekk! "Ada apa, Paman Cideng?" tanya si penghuni kamar yang ternyata seorang pemuda berkumis tipis.
"Di luar ada perompak."
"Perompak?" tanya heran si pemuda, "Perompak siapa?"
"Kawanan Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata Satu," tutur laki-laki bernama Cideng dengan sopan.
Sorot mata si pemuda mendadak berkilat tajam mendengar nama Jenggot Perak Mata Satu.
"Huh, akhirnya muncul juga keparat itu," desis si pemuda, lalu sambungnya,
"Lebih baik Paman siapkan kawan-kawan yang lain. Aku menyusul belakangan."
Tanpa menyahut, orang yang menyandang golok di punggung membungkuk sedikit lalu bergegas turun ke bawah.
"Hemm, sudah saatnya perompak kesiangan itu dikirim ke neraka," desis si pemuda. Lalu ia berbalik masuk ke dalam dan sebentar kemudian keluar dari kamar. Di pinggangnya terlilit sebentuk benda putih keperakan. Jelas sekali bahwa benda itu adalah sebentuk cambuk.
Saat melewati kamar sebelahnya, ia berandek sebentar, "Apa perlu pemuda di sebelah ini aku bangunkan" Bangunkan ... tidak ... bangunkan ... tidak ... " Ah ...
ga usahlah. Rasanya kok tidak etis. Dari keterangan yang kudapat, pemuda berbaju biru laut dengan tongkat hitam di tangannya seorang pemuda buta.
Biarlah ... mendingan tidak perlu aku usik dia. Kasihan," desahnya lirih.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah mengambil keputusan, si pemuda baju merah dengan lilitan cambuk bergegas pergi dari tempat itu. Begitu ia membelok ke kiri dan menghilang di tikungan, pintu kamar yang ditempati si Pemanah Gadis terkuak lebar-lebar.
"Hemm, pemuda yang aneh," gumam Jalu Samudra, "Kok rasa-rasanya makin lama dia terlihat seperti gadis saja. Hiiiihh ... jangan-jangan dia banci!?" desis Jalu sedikit meringis membayangkan seorang pemuda lengkap dengan pilar tunggalnya mempunyai sepasang gunung kembar!
"Wuih ... lama-lama pikiranku jadi piktor alias pikiran kotor gini, nih ... " katanya sambil melangkah keluar dari kamar, "Apa karena sudah lama ga gituan ya ... "
Wah, moga-moga aja ada rejeki nomplok!"
Sementara itu, di bawah, beberapa anak buah kapal Surya Silam telah siap siaga di posisi masing-masing, termasuk pula puluhan orang bersenjata golok terhunus yang dipimpin oleh pemuda baju merah. Kumis tipisnya berulang kali diusap-usap dengan tangan kiri seakan takut kumis tipisnya jatuh ke bawah, sedang tangan kanannya bersitekan pada hulu cambuk.
Beberapa penumpang yang pemberani, ikut berbaur menjadi satu dengan mereka, namun tidak sedikit pula yang menyembunyikan diri ke dalam lambung kapal. Ada yang berdoa dengan meratap-ratap, ada yang cuma menangis sesenggukan, ada pula yang langsung tidur mendadak alias pingsan seketika sehingga semakin membuat repot orang-orang disekitarnya.
Sementara di atas tiang paling tinggi, terlihat Adiprana yang kalangan persilatan dijuluki si Naga Terbang terlihat berdiri bersedekap dengan tenang di atas sana. Dengan berdiri tegak di tiang sekecil itu bisa diperkirakan seberapa tinggi jurus peringan tubuhnya. Sorot matanya menombak lurus ke depan. Baju hijaunya berkibaran tersampok angin laut yang berputar-putar dari ke selatan ke utara. Otot-otot tubuhnya sedikit menegang kala jarak antara kapal Surya Silam dengan sebuah perahu hitam dengan bendera tiga tengkorak sekitar dua puluh tombak.
Dari arah kejauhan, kapal kawanan Perompak Tujuh Lautan sudah cukup membuat nyali orang ciut, apalagi kini dengan jarak yang semakin lama semakin mendekat. Sorak-sorai ditingkahi dengan bentakan-bentakan kasar mulai terdengar. Bahkan kata-kata kotor, caci-maki yang ga karuan acapkali terlontar.
Ketika jarak kapal hanya sepuluh tombak, terdengar suara serak keras menggelegar. Jelas sekali bahwa teriakannya dilambari dengan tenaga sakti yang tidak kecil.
"Orang-orang yang ada di kapal! Cepat kalian gorok leher kalian sendiri atau kami yang akan dengan senang hati melakukannya!" teriak seorang perempuan berbaju ketat hitam-hitam. "Tapi sebelumnya, keluarkan seluruh barang-barang berharga kalian dan kumpulkan di buritan!"
Meski sudah berumur setengah abad, namun kegenitan dan tingkah lakunya tidak jauh berbeda dengan seorang gadis usia tujuh belasan tahun. Kulitnya putih mulus masih terbilang kencang untuk ukuran wanita usia seperti dia. Akan halnya baju depan diberi belahan cukup lebar tanpa kancing dari atas ke bawah TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
hingga pusarnya yang diberi anting-anting kelihatan jelas. Dan tentu saja bongkahan bulat padat terlihat mencuat menantang dengan jelas sejelas-jelasnya. Bukan hanya mengintip malu-malu, tapi justru terkuak lebar tanpa malu-malu lagi.
Bisa dibilang hanya bagian ujungnya yang tertutup baju hitam ketat, selebihnya ... ya begitulah!
Tongkrongan yang sangat "wow" itu cukup membuat laki-laki yang melihatnya sering menelan ludah.
Bahkan beberapa anak buah kapal Surya Silam lebih rajin menelan ludah!
Gautama yang kini memegang lembing berhulu panjang berucap tidak kalah keras, "Kumbang Sadis! Kukira kau sudah merat ke akherat dua puluh tahun silam. Tak tahunya jadi sampah di tengah lautan! Cuih!"
Gautama meludah ke depan, namun ludahnya bukan sembarang ludah.
Ludah itu sudah ngendon sekian lama dalam mulut, bahkan dua minggu belakangan ini tidak gosok gigi, sehingga bisa dibayangkan betapa "harum" bau ludah milik Gautama!
Wutt!! Pada jarak pertengahan, wanita sexy yang dipanggil Kumbang Sadis mendengus pelan, "Huhh!"
Sebentuk gelombang angin langsung menderu keras.
Duess ... !! Terdengar suara desisan keras saat ludah berbau "harum semerbak" bertemu dengan gelombang angin dari dengusan Kumbang Sadis.
"Rupanya kau, Lembing Nakhoda Berhulu Panjang! Keparat betul!" bentak Kumbang Sadis. Sepasang bukit kembar menggelembung tampak bergerak turun-naik seiring dengan tarikan napas, sambungnya dalam bentakan, "Cepat kau bunuh diri di hadapanku atau ... aku yang melakukannya!"
"Hahahah! Kakang Gautama! Buat apa banyak omong dengan nenek kurang sajen ini! Sudah, antar saja menghadap raja akhirat!" ejek Gandarwa sambil tertawa terbahak-bahak.
"Mana Jenggot Perak Mata Satu" Apa dia sedang enak-enakan di atas punggung para gundiknya, hah!?"
"Keparat busuk!" bentak seorang laki-laki bercambang lebat yang ada di samping kiri Kumbang Sadis, "Silahkan kalian pentang bacot seenak perutmu di depan kami, toh pada akhirnya kalian pula yang akan menjadi mangsa ikan-ikan ganas di tempat ini!"
"Betul! Betul!" teriak para perompak.
"Bunuh!"
"Cincang sampai habis!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Iya ... jangan lupa dengan anunya!"
Kepala orang tadi langsung ditabok dari belakang.
Plok! Bentak yang menabok, "Bangsat! Apanya yang anu?"
"Eh ... maksudku ... jangan lupa dengan para gadisnya gitu looohhh ... !"
sahutnya sambil cengar-cengir tanpa dosa. Padahal kalau dihitung-hitung dosanya sudah kelewat takaran.
Sementara mereka pentang mulut tak karuan, jarak antara kapal yang ditumpangi kawanan Perompak Tujuh Lautan pimpinan Jenggot Perak Mata Satu dengan kapal Surya Silam tinggal sejarak tujuh-delapan tombak.
Begitu sampai pada jarak enam tombak, sesosok bayangan hijau melayang ringan sambil berteriak keras, "Silahkan kalian pentang bacot sampai mulut berbuih! Tapi aku, Naga Terbang tidak mau banyak mulut terhadap perompak seperti mereka!"
Lesatannya bagai gumpalan awan yang melayang cepat. Ringan dan mantap.
Begitu mencapai jarak pertengahan, tubuhnya seperti kehilangan daya lesat, namun dengan cantik sepasang kakinya menapak air dua kali seperti orang berjalan di tanah, kemudian tubuhnya melambung-meluncur deras dengan sepasang kaki melakukan gerakan menendang berunntun.
"Silahkan cicipi jurus "Lima Naga Mencabik Mayat"! Heaaa ... !!"
Werr ... ! Wess ... !
Brakk! Prakk! Jderr ... !
Lima orang yang ada di depan langsung terkapar dengan kepala remuk terkena tendangan keras yang dilancarkan oleh Naga Terbang, bahkan orang kelima sampai dadanya melesak hingga membekas jejak kaki!
Naga Terbang segera bersalto dengan tumpuan kepala orang terakhir kala beberapa senjata tajam mengarah pada tubuhnya.
Wutt! Jleeg! --o0o-- Bagian 8 Belum lagi ia memperbaiki kedudukan, sesosok bayangan hitam berkelebat dengan golok bergerigi membacok deras berusaha membelah tubuh Adiprana.
"Bangsat rendah! Berani mampus kau menyatroni kapal Perompak Tujuh Lautan! Nih, makan jurus "Membendung Air Bah Menghalau Bencana"!"
Rrrttt ... ! Pusaran golok terlihat bergerak kacau-balau, namun sebenarnya di balik gerakan kacau-balau justru tersimpan maut yang siap merenggut nyawa.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Werr ... ! Wess ... !
Adiprana yang diserang mendadak meski dalam posisi tidak siap, kembali menunjukkan kelasnya sebagai seorang pendekar yang bukan hanya sekali dua bertarung bertaruh nyawa.
"Huh, cuma jurus golok picisan! Apa hebatnya?" desisnya sambil meliuk cepat ke samping, sambil tangan kanannya yang mendadak memancarkan cahaya hijau terang langsung berkelebat cepat.
Wukk ... ! "Ehh ... !?"
Si penyerang terkejut sesaat. Namun keterkejutannya harus di bayar mahal!
Blarrr ... !! Tubuhnya langsung hancur tercerai berai membentuk serpihan daging ketika hawa tapak menghantam tubuhnya. Yang tersisa hanyalah ... golok bergerigi yang jatuh berkerontangan di atas geladak.
Semua kejadian itu tidak luput dari tatapan mata dua belah pihak yang terpana melihat gebrakan pertama yang dilakukan oleh Naga Terbang. Benar-benar gebrakan pertama yang memukau sekaligus mematikan!
"Sobat-sobat semua! Apa kalian hanya ingin aku saja yang berpesta-pora di tempat ini!" seru Naga Terbang.
"Benar! Jika tidak sekarang, kapan lagi kita bisa pesta-pora seperti ini!" seru Cideng sambil melesat cepat, melontarkan potongan kayu ke temgah laut, menjejak pelan, lalu melambung cepat ke arah kapal lawan sambil berseru,
"Sobat Adiprana! Mari kita pesta-pora para calon penghuni laut ini!"
"Dengan senang hati!"
Golok di tangan kanan Cideng langsung beraksi.
Rett ... reeett ... !
Crass ... cras ... !!
Beberapa orang langsung terjungkal dengan dada terbelah. Melihat hal itu, empat perompak langsung mengeroyok Cideng diiringi dengan teriakan-teriakan liar.
"Heeea ... heeaaaa ... !!"
Triing! Triing! Traang!
Suara denting senjata beradu langsung membuncah dimana-mana ditingkahi dengan jerit lengking kematian. Jika Naga Terbang menggunakan jurus "Tarian Tapak Naga Hijau" yang membuat para perompak yang terkena sasaran tubuhnya langsung hancur berantakan, justru Cideng menggunakan sepasang goloknya untuk membabat lawan-lawannya. Kerjasama antara keduanya cukup bisa diandalkan untuk membendung serbuan yang datang bergelombang silih berganti.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Beberapa pendekar yang tidak memiliki ilmu ringan tubuh cukup tinggi menunggu sampai jarak ke dua kapal mencapai satu tombak, barulah mereka berloncatan ke atas kapal Perompak Tujuh Lautan. Akhirnya pecah pertempuran di atas kapal Tujuh Lautan. Suara orang terjatuh ke laut dan jerit lengking kematian semakin banyak terdengar saja.
Seharusnyalah kapal perompak itu yang melakukan penyerangan, namun kini justru keadaan menjadi terbalik. Bisa dikatakan bahwa ini pertama kalinya dalam sejarah perompakan kawanan Tujuh Lautan bahwa mereka menjadi pihak yang diserang. Tentu saja hal ini bisa terjadi karena gebrakan yang dilakukan oleh Adiprana sehingga membuat perhatian dari para perompak menjadi terpecah.
Namun, benarkah mereka perhatian terpecah"
Jawabnya adalah ... TIDAK!
Jenggot Perak Mata Satu adalah jenis perompak yang kenyang pengalaman, apalagi di tambah dengan Kumbang Sadis dan empat orang andalannya yaitu Mat Kilau, Peremuk Nyawa dan Sepasang Hiu Baja. Dalam tiap penyergapan, Sepasang Hiu Baja selalu menggunakan beberapa perahu kecil dengan beberapa orang kawan yang memiliki jurus peringan tubuh tinggi dan tentu saja berilmu silat bisa diandalkan, mereka mengelilingi sasaran kemudian menyusup masuk lewat jalur yang tidak di duga oleh pihak lawan.
Seperti halnya yang terjadi kali ini dimana semua orang di kapal Surya Silam terfokus pada pertempuran yang ada di depan sehingga tidak ada dari mereka yang mengira kalau justru penjarahan di mulai dari belakang.
Beberapa orang berloncatan naik dari jurusan utara.
Jlegg! Jlegg! Tidak adanya suara tatkala kaki-kaki mereka menginjak papan jelas membuktikan bahwa tenaga peringan tubuh yang digunakan cukup tinggi.
"Rencana Ketua memang hebat," desis Sepasang Hiu Baja yang laki-laki -biasa disebut Hiu Jantan--. Matanya yang kecil sipit melirik kanan-kiri untuk memastikan bahawa tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Tubuhnya berotot kekar dengan bulu-bulu lebat di dada sedang tangan kanan siap dengan golok besar bergelang bagian atasnya dalam keadaan terhunus. Baju buntungnya yang tidak dikancingkan membuat beberapa codet bekas luka tampak jelas tak beraturan bentuknya.
"Tentu saja," sahut Hiu Baja yang perempuan -- alias Hiu Betina -- yang memakai baju merah totol-totol dengan mata nyalang-jalang mengedar untuk memastikan bahwa kedatangan mereka tidak diketahui. Meski bajunya terlihat rapi, namun justru baju di belahan dada dibuat sedemikian rendah hingga memperlihatkan sebagian besar bongkahan kenyal didadanya. Belum lagi dengan pakaian bawahnya terbelah hingga batas pinggul.
Wah, bisa bikin celeng, tuh!
"Tidak ada orang disini," desisnya kemudian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangannya dikibaskan ke depan, pertanda bahwa sesi perompakan segera dilakukan.
Namun baru beberapa tindak, sebuah suara terdengar, "Wah, wah, wah!
Kayaknya ada yang ambil kesempatan dalam kesempitan rupanya."
Sepuluh orang itu langsung terperanjat kaget!
Tanpa dikomando, serentak mereka mendongak ke atas.
Terlihat disana, seorang pemuda berbaju biru laut dengan rambut di kuncir ekor kuda dengan pita biru pula berjalan pelan dengan tongkat hitam diketuk-ketukkan waktu menuruni anak tangga.
Melihat caranya berjalan, sepuluh orang itu yakin bahwa si pemuda bermata buta, karena terlihat sepasang mata putih yang hanya dimiliki oleh orang buta.
Cara jalannya pun tidak jauh beda dengan orang buta pada umumnya yang berjalan dengan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tempat di sekitarnya. Namun si pemuda baju biru laut bukan orang buta sembarang buta, meski kedua bola matanya putih. Si pemuda bertongkat hitam justru bisa melihat seluruh isi alam dengan sangat jelas dan sama persis dengan orang bermata normal.
Siapa lagi pemuda bermata putih itu jika bukan Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis adanya!
"Huh, cuma orang buta!" gerutu laki-laki berkulit hitam yang paling kiri, "Biar dia bagianku. Kalian teruskan saja pekerjaan kita!"
Dengan langkah digagah-gagahkan, laki-laki berkulit hitam yang bernama Sragenuka mendatangi si Pemanah Gadis sambil mendesis, "Orang buta!
Nasibmu hari ini benar-benar sial!"
Begitu dalam jarak dua langkah, kepalan tangan krinya menderu keras.
Wutt! Seolah tanpa sengaja, Jalu menggeser tubuh ke kanan hingga serangan kilat laki-laki berkulit hitam luput. Ia berkata, "Apa ngga kebalik, Kang!?"
"Eh!?" Sragenuka berseru kaget sat mengetahui serangannya luput. Namun kekagetannya segera berganti menjadi kemarahan, "Bangsat buta!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi, tinjunya secara beruntun langsung menerjang ke arah si Pemanah Gadis, bahkan kaki kanan-kirinya juga ikut bekerja. Namun anehnya dengan gerakan tubuh miring-miring si pemuda buta membuat serangan beruntun Sragenuka selalu kandas.
Sett! Sett! Tentu saja hal itu semakin membuat kemarahan Sragenuka bagaikan api diguyur minyak. Tenaga dalamnya langsung salurkan lewatkan sepasang tinjunya hingga terdengar suara berkerotokan nyaring.
"Keparat!" serunya, "Jangan sebut julukan Tinju Sejuta Dewa jika aku tidak bisa membunuhmu, bangsat!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kembali tinju laki-laki berkulit hitam yang menyebut diri Tinju Sejuta Dewa menyerang bertubi-tubi.
Wutt ... wutt ... !!
"Ooo, jadi kau yang bergelar "Tukang Bikin Ribut Saja?"" si Pemanah Gadis mengejek sambil memutar tubuh ke kiri, "Gelar kok jelek banget. Dapat beli dari mana, Kang!" Di pasar ya" Atau malah di tukang loak!?"
Ejekan Jalu semakin membuat wajah Tinju Sejuta Dewa kelam membesi. Dan tentu saja ritme serangan tinju makin lama makin gencar seolah tanpa putus.
Geletar tenaga dalam yang membuncah terdengar seperti membeset-beset angin.
Debb ... debb ... !!
Tiga-empat pukulan keras dapat dimentahkan Jalu dengan gerak tubuh miring-miring dan adakalanya miring sambil meliuk-liuk seperti orang mabuk, bahkan sesekali si Pemanah Gadis menepis serangan lawan. Jurus "Kepiting Minum Tuak Sampai Mabuk" yang digunakan si Pemanah Gadis cukup ampuh untuk menghadang serangan beruntun dari Tinju Sejuta Dewa.
Plakk! Plakk! "Gila! Kibasan tangannya yang bergerak miring membuat tanganku terasa panas menyengat seperti terpanggang bara api," batin Sragenuka alias Tinju Sejuta Dewa.
Tentu saja pertarungan yang semula dianggap cepat oleh Sragenuka, kini justru menjadi pertarungan panjang. Tentu saja Sepasang Hiu Baja dan yang lainnya melengak kaget mengetahui bahwa sejauh ini Tinju Sejuta Dewa tidak bisa menjatuhkan lawan, mendesak pun tidak sanggup.
"Huh! Masakan si Tinju Sejuta Dewa bertekuk lutut di depan pemuda buta!?"
bentak salah seorang diantara mereka.
"Cakar Geledek! Lebih baik kau tutup mulut busukmu!" bentak Tinju Sejuta Dewa gusar kala serangannya yang ke sekian kali kandas.
"Tinju Sejuta Dewa! Cepat selesaikan urusanmu! Kami tidak mau menunggu lagi!" bentak Hiu Betina.
Tanpa menjawab, Tinju Sejuta Dewa semakin mempergencar serangannya, namun lagi-lagi ia harus gagal total. Tentu saja hal ini semakin membuat Cakar Geledek meradang dan tanpa persetujuan, langsung ikut mengeroyok si Pemanah Gadis.
Bukk! Bukk! Dua buah hantaman berhasil ditangkis oleh Jalu Samudra.
Brugh! Bukannya Jalu yang terpental, tapi justru Cakar Geledek yang terjengkang ke belakang. Sambil meringis menyeringai, ia mendesis, "Tenaga dalam si buta itu hebat juga. Tanganku seperti dirambati semut api."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Belum lagi Cakar Geledek masuk ke dalam arena pertarungan, terdengar jeritan menyayat.
"Aaaa ... !"
Tubuh Tinju Sejuta Dewa terpental sejauh dua tombak, berkelojotan sebentar kemudian diam untuk selama-lamanya. Terlihat bagian dada kiri Tinju Sejuta Dewa melesat hangus disertai tebaran bau sangit!
Rupanya Jalu merasa cukup bermain-main, hingga saat Tinju Sejuta Dewa kembali melancarkan tinjunya yang semakin menggila, dengan tetap menggunakan jurus "Kepiting Minum Tuak Sampai Mabuk", Jalu merangsek maju di antara ribuan bayangan tinju yang terus menggelora. Dengan sigap, tangan kirinya menerobos masuk dari bawah dan mengarah ke jantung lawan. Tentu saja serangan kali ini bukan sembarang serangan, namun sudah dilambari dengan Ilmu "Tenaga Sakti Kilat Matahari" tingkat pertama sehingga tangan kiri memancarkan sinar biru kusam sedang tangan kanan bersinar hitam cemerlang.
Terkena gelombang hawa dalam jarak dua tombak saya sudah mematikan, apalagi terkena langsung!
Begitu lawan pertama selesai, si Pemanah Gadis berganti sasaran, "Sekarang giliranmu!"
Tangan kanannya yang masih memancarkan sinar hitam cemerlang, di dorong ke depan.
Wutt ... wusss ... !!
Sebentuk gelombang panas disertai kilatan-kilatan api hitam langsung menerjang ke arah Cakar Geledek.
Tentu saja lawan yang diserang tidak tinggal diam menerima kematian begitu saja. Kedua tangannya yang mendadak putih memucat kala Cakar Geledek mengerahkan Ilmu Pukulan "Cakar Geledek" miliknya.
Woss ... !
Si Pemanah Gadis Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentuk gelombang padat melesat cepat, memapaki serangan lawan.
Blamm! Blammm! Benturan keras pun terjadi.
Jika si Pemanah Gadis tetap di posisi semula, justru Cakar Geledek terlempar jauh ke belakang dengan tubuh hangus menghitam dan akhirnya ...
Byuuurr ... !! Masuk ke dalam laut.
"Orang buta! Siapa kau sebenarnya!?" bentak Hiu Betina. "Kenapa kau menghalangi pekerjaan kami" Bukankah kita tidak ada silang sengketa sebelumnya?"
"Lalu apa yang kau lakukan di tempat ini?" balik tanya si Pemanah Gadis.
"Aku hanya melakukan ... pekerjaanku."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ooo .. begitu!" Lalu ... apakah pemilik kapal ini ada siang sengketa dengan kalian?" tanya Jalu kembali.
"Tidak ada."
"Lalu ... dengan dasar apa kalian dengan menggasak habis kapal ini?"
"Bodoh! Tentu saja itu memang pekerjaan kami ... kawanan Perompak Tujuh Lautan!" seru Hiu Jantan. "Lebih baik kau menyingkir jauh-jauh dari sini dan kami tidak akan mengganggumu sedikit pun. Bagaimana?"
Disebutnya nama Perompak Tujuh Lautan dengan tujuan untuk membuat nyali lawan ngeper, namun justru sebuah jawaban dingin yang didengar oleh Hiu Jantan.
"Kalau begitu ... aku pun juga akan mengerjakan pekerjaanku," desis Jalu Samudra, dingin.
"Apa pekerjaanmu, orang muda?" tanya Hiu Betina sambil melangkah mendekat. Senyumnya ditebar semanis mungkin. Langkahnya dibuat segenit-genitnya.
"Betina jalang! Buat apa kau bergenit-genit ria di depan orang buta!" bentak Hiu Jantan. "Dasar bodoh!"
"Bangsat!" katanya memaki ketika menyadari kebenaran ucapan dari Hiu Jantan.
"Bibit bencana macam mereka tidak boleh dibiarkan hidup berlama-lama,"
batin Jalu, lalu katanya, "Jika kau ingin tahu pekerjaanku, akan aku katakan!"
"Cepat katakan!"
"Pekerjaanku adalah ... membersihkan bibit malapetaka macam kalian!"
"Keparat!" bentak Hiu Jantan sambil menerjang.
Golok besar bergelang-gelang itu berkelebat cepat hingga yang terlihat sinar perak berkeredepan.
Rrrttt ... rrrtt ... !!
Cranggg ... !! Jalu Samudra memalangkan tongkat hitam di tangan kanan, hingga serangan golok yang mengarah pada kepala tertangkis. Melihat serangan pertama gagal, Hiu Jantan menarik pulang golok, diikuti dengan badan memutar ke kiri dan langsung mengibaskan tangan mengejang kaku ke arah si Pemanah Gadis.
Wutt!! Jalu melenting ke atas menghindari serangan lawan. Begitu berada di udara, tongkatnya berkelebat cepat.
Bukk! Bukk! "Uaaaahh ... !!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam gebrakan pertama, Hiu Jantan rugi dua serangan. Pundak dan pergelangan tangan kirinya matang biru terkenan gebukan tongkat lawan.
"Buuuangsaaaattt ... !!"
--o0o-- Bagian 09 Hiu Jantan langsung merangsek maju dengan kemarahan meninggi. Jurus golok yang bernama "Hiu Mengamuk" langsung dikerahkan. Gerakannya jurusnya secepat sergapan ikan hiu di laut. Ganas dan telengas. Ada kalanya kakinya bergerak cepat seperti hiu jantan yang menerjang gelombang pasang.
Jika tangan kanan memainkan golok besar, tangan kiri Hiu Jantan sebatas siku terlihat memancarkan cahaya merah darah dan sesekali berusaha dihantamkan ke arah tubuh Jalu.
Wutt ... ! Blarrr ... !!
Namun yang menjadi lawannya sekarang bisa dikatakan sebagai biangnya para pendekar rimba persilatan. Sebagai murid tunggal Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga tentulah bukan orang biasa. Gebrakan demi gebrakan yang dilakukannya belakangan ini membuat nama nyentrik si Pemanah Gadis mulai di perhitungkan baik oleh lawan mau pun kawan.
Sebagai pendekar pilih tanding dan sebagai seorang pecinta tanpa tanding!
Beberapa gadis yang pernah merasakan jurus-jurus bercinta si Pemanah Gadis tidak akan pernah melupakan betapa dahsyatnya daya serang dari si pemuda buta. Naga-naganya mungkin para gadis itu akan membentuk SPGFC
alias Si Pemanah Gadis Fans Club!
Blaamm ... !! Blaamm ... !! Blaamm ... !!
Terdengar tiga dentuman beruntun saat selarik sinar merah meleset dari sasaran.
"Setan!" desis Hiu Jantan, "Gerakan tubuhnya yang miring ke kiri-kanan terlalu cepat. Kalau begini caranya, bisa-bisa pekerjaanku gagal!"
"Hiu Jantan! Kita serang berpasangan!" seru Hiu Betina sambil melolos angkin yang melilit pinggang rampingnya.
Sett! Namun belum lagi membantu pasangannya, seberkas cahaya perak memanjang telah menerjang dari belakang, diikuti teriakan keras, "Jangan main curang, perompak busuk!"
Cleetarr!! Brakk!
Bekas tempat berdirinya Hiu Betina kontan berlubang besar.
Lalu kemana perginya Hiu Betina"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ternyata, begitu mendengar suara mendesing dari arah belakang, Hiu Betina segera melenting ke atas menghindari serangan dari belakang, dan tepat seperti dugaannya, serangan lawan kandas.
Dari atas ketinggian, sebentuk angkin berkelebat cepat laksana ular putih menyergap katak.
Weeerr ... !! Si pemegang cambuk dengan sigap mengelebatkan benda panjang di tangan.
Wrett!! Namun aneh, baru sampai setengah gerakan, ia langsung membanting diri ke belakang.
Brakk ... ! Dinding kayu dibelakangnya berderak hancur.
"Brengsek! Di saat penting begini kenapa jurus cambukku mendadak macet!?"
makinya dalam hati. Ternyata si pemegang cambuk adalah pemuda baju merah menyala berkumis tipis. Tubuhnya langsung berdiri tegak kala serangan beruntun dari Hiu Betina kembali menerjang. Kembali ia berjumpalitan di udara menghindari serangan angkin lawan.
Werr!! Werr!! Werr!
Jderr ... !! Dinding kayu bagian belakang dekat tangga kembali berlobang, bukan hanya satu tapi empat sekaligus di tempat yang berbeda-beda.
"Huh! Pemuda banci keparat! Bisamu cuma menghindar saja!" sentak Hiu Betina sambil berulang kali mengelebatkan angkin yang dibawanya.
Sementara itu, kawan-kawan dari Perompak Tujuh Lautan telah menghadapi empat orang bawah dari si pemuda berkumis. Meski cuma berempat, namun dari gerakannya yang kompak dalam menggunakan golok terlihat matang dan mantap.
Trang! Triing! Crasss ... ! Crakk!
Dua orang terkapar bersimbah darah. Berkelojotan sebentar, kemudian diam untuk selamanya.
Tentu saja bertempuran di atas merupakan pertarungan biasa bagi para Perompak Tujuh Lautan. Namun menghadapi para penumpang kapal yang ternyata rata-rata adalah pesilat tangguh --padahal hampir semuanya lho-mungkin untuk pertama kalinya. Akan halnya pertempuran di atas kapal Perompak Tujuh Lautan hampir usai. Beberapa mayat bergelimpangan tak tentu arah.
Yang jelas, keributan itu telah kini meluas, ada sebagian berada di kapal Surya Silam, namun sebagian besar berada di kapal Perompak Tujuh Lautan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian, yang tersisa hanyalah tiga tempat pertarungan.
Pertarungan antara Naga Terbang dengan Kumbang Sadis yang sama-sama menggunakan jurus-jurus silat bertenaga dalam tinggi sehingga beberapa kali terdengar ledakan beruntun dikala dua tenaga beda sifat dan jenis saling berbenturan di udara kosong.
Berikutnya Cideng dan seorang kawannya menghadapi laki-laki bermata satu dengan besi kaitan di tangan kiri. Sedang yang terakhir adalah perkelahian antara Gautama yang bergelar Lembing Nakhoda Berhulu Panjang dengan seorang perempuan tua baju hitam-hitam kedodoran dengan senjata tongkat panjang runcing. Dalam dunia persilatan ia dijuluki Peremuk Nyawa.
Sedang beberapa anak buah kapal Surya Silam pun "asyik" bermain-main dengan mengerubuti lima orang perompak yang sudah pucat pasi menanti kematian. Jika satu lawan satu jelas kalau anak buah kapal Surya Silam tidak bakal menang melawan mereka.
"Huh! Kukira kalian semua pendekar-pendekar persilatan yang berbudi luhur!"
seru salah seorang perompak yang menghadapi Satari dengan golok anehnya dibantu empat orang kawan bersenjata pedang panjang. Mungkin tujuannya untuk menjatuhkan harga diri lawan, sebab dari yang ia tahu seorang pendekar persilatan memiliki pantangan mengeroyok lawan yang seorang diri. "Tak tahunya ... "
"Tak tahunya apa?" tukas Satari sambil mengelebatkan golok ke leher lawan.
"Sama dengan kalian, begitu?"
"Huh!" lawan mendengus sambil balik menyerang dengan mengelebatkan golok besar sembari merunduk. Sebab kalau tidak, kepalanya pasti sudah terpisah dari badan.
Traang! "Sudah mau mampus masih banyak bacot!" bentak seorang teman Satari dari belakang sambil menusukkan pedangnya.
Wutt! Sebagai perompak yang sudah malang melintang di tengah laut dan kenyang tipu-tipu pertarungan, suara desingan halus bisa ditangkap dengan baik. Dengan tubuh sedikit mengejut, ia merendahkan tubuh ke bawah.
Sett! Namun lawan seolah mengetahui kalau yang diserang bakal tahu ia melakukan gerakan menghindar ke bawah, maka serangan susulan dilakukan dengan tendangan menyapu menyusur lantai dalam dua putaran cepat.
Wutt! Wutt! Sasarannya adalah kaki kiri.
Krakk! Sebuah gerakan menggunting dilakukan dengan manis.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"E-e-eeeee ... "
Karena posisi yang sedang merunduk membuat keseimbangan tubuh lawan goyah.
Brukk! Belum lagi ia tersadar dari keterpanaan sesaat, sebuah ayunan golok berkelebat cepat.
Craasss ... ! Kaki sebatas dengkul terputus.
"Aaaaughhh ... !" terdengar raungan keras membahana, namun segera terputus ketika sebilah pedang dengan cepat menebas leher.
Crasss! Kepala langsung terpisah dari leher dan menggelinding begitu saja.
Pokoknya asal menggelinding-lah!
"Junjung! Akhirnya berhasil juga kau pisahin kepala dengan pantat, ni orang,"
kata Satari. Sambungnya, "Bagusnya kepala kampret dengan mata melotot ini jadi makanan siang penghuni laut. Setuju!?"
"Setuju!"
Dengan sigap, dua kaki menjepit kepala lalu dengan satu sentakan kaki cukup kuat ia melenting ke atas setinggi dua tombak.
Wutt! Kepala yang terikut dalam lentingan pun dilepas, lalu dalam posisi tubuh turun ke bawah dengan punggung terlebih dahulu, kaki kanannya menendang keras ke arah kepala.
Pakkk! Kepala perompak itu langsung melesat cepat, melewati beberapa orang yang sedang berkutetan beradu otot, dan ...
Byurr!! Ambles ke dalam laut.
"Hahaha! Gerak tendangan yang bagus, Satari!" puji Junjung diikuti tepuk tangan tiga kawannya.
Heran, sempat-sempat mereka tepuk tangan di arena maut seperti itu!
"Apa nama jurusmu tadi?" tanya iseng seorang kawan.
Satari sedikit berpikir, lalu ia berkata, "Jurus ... Menendang Kepala Menyuguhkan Sarapan! Hahaha!"
"Sudahlah! Kita bantu teman-teman yang lain."
"Betul-betul-betul!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kelimanya langsung menerjang lawan-lawan mereka yang tersisa.
Sementara itu, Kumbang Sadis yang melihat perompakan kali ini bisa dibilang gagal delapan bagian, matanya jelalatan liar. Tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka luar. Meski luka dalamnya tidak begitu parah, namun dengan adanya luka luar sudah cukup mengurangi gerakan tubuhnya. Sedang Adiprana alias Naga Terbang meski terluka namun tidak separah Kumbang Sadis.
"Setan! Entah bagaimana aku harus mengatakan pada Ketua kalau perompakan kali ini gagal," desah Kumbang Sadis. "Jurus "Kumbang Racun"
harus kugunakan sebagai alat meloloskan diri. Masa bodoh dengan Sepasang Hiu Baja!"
Tangannya sedikit mengepulkan uap tipis kehitaman segera bergerak menangkis serangan tapak yang dilakukan lawan.
Plakk! "Ihhhh!"
Perempuan bertubuh sintal itu menjerit kecil. Tubuhnya terpental deras, namun ia tidak terjatuh karena bersandar di tiang patah.
"Tenaga dalam monyet baju hijau semakin lama semakin tinggi. Tanganku berulang kali kebas ketika berbenturan dengannya," pikir Kumbang Sadis.
"Hebat juga kau bisa menahan jurus "Tarian Tapak Naga Hijau"-ku!" dengus Naga Terbang, meski sempat membatin dalam hati, "Wanita ini licik sekali.
Tanganku rasanya seperti digigit ular api. Pasti ia melumuri tangannya dengan racun ganas. Aku harus cepat-cepat membereskannya!"
"Kumbang Sadis! Silahkan terima kematianmu!" bentak Naga Terbang sambil memutar ke dua tangannya sedemikian rupa membentuk mulut naga terbuka.
Sebentuk bola cahaya hijau terlihat berpendar-pendar.
"Pukulan "Naga Hijau"!" desis Kumbang Sadis saat mengenali jenis pukulan lawan. "Matilah aku kali ini!"
Namun, belum lagi Pukulan "Naga Hijau" dilontarkan oleh lawan, tubuh Adiprana terjerembab karena seseorang menabraknya dan hampir saja sebatang pedang secara tidak sengaja membabat leher kalau ia tidak secara refleks merundukkan kepala. Tak pelak lagi, kuda-kudanya sedikit bergeser ke samping.
Brukk! Malu-maluin dong, masak pendekar sakti kok terbunuh sama orang tidak terkenal!"
Udah gitu, matinya ga sengaja lagi!
Kesempatan yang hanya mungkin terjadi karena kebetulan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Kumbang Sadis. Sepasang tangannya didorongkan ke depan sambil mendesis, "Mampus!"
Sebentuk gelombang angin berbau amis menerjang cepat dari jurus "Kumbang Racun" menggebah ke arah Naga Terbang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Werr ... ! Naga Terbang kaget, lalu merengkuh orang yang menabrak tubuhnya sambil membanting diri ke kanan.
Blarrr ... ! Lolos deh dari maut!
"Monyong lu! Ampir aja gue mampus gara-gara lu! Tolol! Kalo mau mbunuh orang liat-liat dulu! Dasar bego!"
Terdengar suara amukan Naga Terbang yang begitu menyesakkan kuping.
Amukan ini akan berlanjut hingga beberapa menit, atau jam kalau beruntung, sampai akhirnya Adiprana bosen sendiri.
Yang menabrak terpaku terbata-bata sambil mencoba meminta maaf,
"Maafkan aku, aku ... "
Saat Naga Terbang menoleh dan tak didapatinya Kumbang Sadis, kembali ia meradang, "Dasar kupret! Gara-gara lu, wanita biang racun itu kabur! Dasar otak udang!"
Berulang kali ia julekin dahi orang yang menabraknya sambil memaki-maki tak karuan.
"Maaf ... maaf ... kang ... maaf ... " kata si laki-laki terbata-bata yang ternyata anak buah kapal Surya Silam.
"Maap, maap! Monyong! Enak aja bilang maap kalo udah gini! Tuh liat! Musuh gue minggat begitu aja! Kaga pernah mikir! Dasar! Kalo mao bunuh orang liat-liat dulu! Jangan asal gebuk dong! Kodok ajah kalo mau loncat lihat kiri-kanan dulu, nah lu! Mau bunuh orang ngga ngeceng ke mana-mana, pikir dong kalo mau bertindak, dasar ... "
Ucapan yang dilanjutkan oleh Adiprana agak kurang layak ditulis karena cukup kasar bahkan kata-kata ajaib dari kebun binatang dan kitab maki-makian tersembur begitu saja. Pokoknya bertele-tele. Lagi pula intinya menegaskan kalimat yang sudah tertulis di atas serta diberi tekanan-tekanan tertentu terhadap kecerobohan anak buah kapal Surya Silam sehingga Kumbang Sadis lolos.
--o0o-- Bagian 10 Cideng dan seorang kawan yang menghadapi laki-laki bermata satu dengan besi kaitan di tangan kiri juga berjumpalitan karena lawan melempar bola peledak yang menimbulkan asap tebal.
Blarr! Blubb! "Awas, asap beracun!"
Begitu asap lenyap, lawan telah menghilang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa yang dilakukan laki-laki berkait juga diikuti oleh Peremuk Nyawa. Si nenek baju hitam-hitam kedodoran dengan senjata tongkat panjang runcing pun membanting sesuatu ke bawah.
Blubb! Seketika keluar asap hitam membumbung tinggi menutupi sosok Peremuk Nyawa.
Sama halnya dengan Cideng, Gautama melompat ke belakang karena ia berpikir bahwa asap yang keluar adalah asap beracun. Meski begitu, ia sempat mendorongkan tangan kirinya ke gumpalan asap. Sebentuk hawa padat berbentuk sinar putih sebesar kepala bayi datang menggemuruh bagai ombak laut.
Wutt! Bruss ... !!
Ilmu "Hawa Peremuk Jiwa" yang dimiliki oleh Lembing Nakhoda Berhulu Panjang paling jarang digunakan, namun kali ini untuk mengantisipasi lawan menyerang dari balik asap.
Blarr! Seolah menerobos gumpalan asap, sinar sebesar kepala bayi menghantam tiang layar hingga berderak patah.
"Hemm ... lolos juga dia," gumamnya saat asap menghilang dan tidak didapatinya Peremuk Nyawa. Matanya sedikit menyipik waktu melihat tetesan darah di bekas tempat Peremuk Nyawa berada, pikirnya, " ... meski lolos, aku yakin pukulanku tadi sempat menyerempetnya."
Praktis, pertempuran di atas kapal Perompak Tujuh Lautan usai sudah.
Terlihat mayat bergelimpangan dimana-mana. Ada yang dadanya terbelah, kepala terpenggal, ada pula yang menjadi serpihan daging hancur akibat terkena jurus "Tarian Tapak Naga Hijau" Adiprana. Bahkan ada pula yang tewas dengan badan tercabik-cabik sehingga sulit dilihat bagaimana bentuk aslinya. Termasuk pula yang menjadi mayat adalah anak buah kapal Surya Silam.
Darah menggenang seperti anak sungai. Mengalir ke bawah dan akhirnya jatuh ke laut. Air laut yang semula jernih kebiruan kini sedikit sedikit berwarna merah di sekitar kapal. Adanya darah tentu saja mengundang para penghuni laut. Beberapa diantaranya terlihat hilir mudik berkeliaran dengan sirip-sirip ikan sura (ikan hiu) yang hitam mengkilap berseliweran.
"Entah apa yang akan dilakukan oleh Jenggot Perak Mata Satu jika pekerjaan mereka kali ini gagal," desah Gandarwa sambil menyusut darah di mata kapaknya.
"Paling banter juga balas dendam," kata Gautama, enteng. "Kau takut!?"
Pendekar Panji Sakti 8 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Bukit Pemakan Manusia 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama