Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 11

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 11


pula orang picisan. Karena itu ia harus mencari akal untuk dapat membebaskan diri. Sekonyong-konyong ia tersenyum, kemudian tertawa manis.
"Sudah larut malam begini, masih saja pada berbicara. Apa yang mereka bicarakan?" sahutnya berlagak menjadi salah seorang anggota keluarga tetamu undangan. Akal ini ternyata mempan.
Cocak Hijau berbimbang-bimbang. Tanpa berkedip ia merenungi si gadis. Kepalanya sibuk
menebak-nebak dan menduga-duga. Lama ia berdiri terhenyak. Kemudian berkata agak lunak.
"Mengapa kau berada di sini?"
"Apakah ada yang aneh" Fajar hari bukankah hampir tiba" Kudengar tadi kentung subuh bertalu di kejauhan."
Karena perhatiannya tadi terpusat pada tutur-kata Pangeran Bumi Gede, tak dapat Cocak Hijau mengingat-ingat apakah kentung subuh benar-benar sudah berlalu. Tanpa disadari ia menengadah melihat udara, seakan-akan lagi bertanya kepada alam apakah benar-benar waktu fajar hampir tiba.
Di ambang pintu orang-orang berkumpul berjubel mengawasi mereka berdua. Titisari
mempergunakan kesempatan itu, untuk berlalu. Tenang-tenang ia berputar mengungkurkan para tetamu dan berjalan dengan langkah pelahan.
"Paduka Pangeran Bumi Gede!" Cocak Hijau berteriak, "Apakah Nona ini termasuk salah seorang anggota keluarga paduka?"
"Bukan," jawab Pangeran Bumi Gede sambil menggeleng kepala.
"Hm," geram Cocak Hijau. Kecurigaannya timbul sampai ke benak. Masih dia mencoba mencari keyakinan dengan melontarkan pertanyaan nyaring kepada tetamu-tetamu undangan lainnya.
"Apakah Tuan-tuan yang " hadir pernah mengenal Nona itu?"
Serentak mereka menjawab, "Sama sekali tak kenal."
"Jadi bukan sanak keluarga Tuan-tuan sekalian?"
Mereka tidak menjawab. Sikap ini sudah cukup jelas bagi Cocak Hijau untuk menentukan sikap.
Maka dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya lantas saja melesat terbang. Tahu-tahu ia sudah berada di depan Titisari.
"Tunggu Nona. Hari belum lagi terang tanah. Mari kita bersama-sama berjalan menghirup
udara sejuk...," kata Cocak Hijau. Terus ia mengulur tangan kanannya hendak menangkap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pergelangan. Tiba-tiba"serba luar biasa" berubah gerakannya. Kini dengan kurangajar
tangannya hendak menerkam dada Titisari.
Titisari kaget bukan main. Sebenarnya, ia bermaksud berpura-pura tidak mengerti ilmu tata-berkelahi. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Cocak Hijau bukan anak kemarin sore. Dengan sekali pandang, tahulah dia kalau Titisari mengerti ilmu tata-berkelahi. Dengan sengaja pula, dia hendak membongkar kedok si gadis dengan satu kali gerak saja. Yakni hendak menerkam buah dada. Maka mau tak mau Titisari terpaksa membuka kedoknya.
Cepat luar biasa, ia menyentil pergelangan tangan Cocak Hijau. Inilah ilmu khas milik si gadis yang mengejutkan Cocak Hijau pula. Pergelangan tangan jago tua itu, ternyata tergetar oleh suatu tenaga dorong yang sangat tajam.
Gugup Cocak Hijau menarik tangannya. Dengan begitu loloslah dia dari bahaya. Sebab waktu itu, Titisari akan melancarkan suatu serangan aneh lagi. Diam-diam ia heran menyaksikan ilmu tata-berkelahi si gadis. Mereka yang menyaksikan gerakan kilat itu, terkejut dan heran pula.
"Eh, Nona! Sebenarnya kau, siapa" Siapa pula gurumu?" Cocak Hijau mencoba mencari keterangan.
Titisari berlagak bodoh. Ia seperti tak merasa melakukan pembelaan diri. Sambil tertawa manis ia menyahut, "Kita menghirup udara sejuk di mana" Di tepi laut atau di pinggir kota?"
Kembali Cocak Hijau terhenyak heran. Ia mengira, si gadis tak mendengar kata-katanya. Tapi masa, kata-kata yang diucapkan keras pula tak mampu menembus pendengaran si gadis. Maka ia mengulang.
"Sebenarnya kau siapa" Siapa pula gurumu" Kaudengar tidak pertanyaanku?"
Tapi Titisari tetap tertawa manis. Sama sekali tidak ada kesan, ia telah melakukan sesuatu yang mengejutkan jago-jago tua yang berkumpul di ruang kadipaten.
Manyarsewu yang berangasan tak sabar lagi. Lantas saja ia ikut menghampiri sambil
mendamprat, "Eh Nona! Masa Nona secantik kamu, bertelinga tebal" Kaudengar tidak, kata-kata rekanku tadi?"
"O... apa dia sedang berbicara?" sahut Titisari seraya menaikkan tertawanya.
Manyarsewu menatap wajah si gadis. Mendadak saja ia seperti teringat sesuatu. Dengan
pandang heran, ia menoleh kepada Cocak Hijau sambil berkata nyaring, "Cocak Hijau! Apa matamu yang sudah tua, kini mulai lamur?"
Mendengar tegoran Manyarsewu, Cocak Hijau tercengang. Berseru minta penjelasan.
"Apakah maksudmu?"
"Ah, benar-benar kaulamur," sahut Manyarsewu sambil tertawa berkakakkan. "Bukankah dia yang menyamar tadi pagi menjadi seorang pemuda berpakaian kumal?"
Sekali lagi Cocak Hijau tercengang-cengang. Pandangannya tak berkedip mengamat-amati si
gadis mulai dari ujung rambut sampai ke mata kaki, kemudian dari mata kaki ke ujung rambut.
Cepat sekali dia mengenal perawakan tubuh Titisari. Lantas saja, hawa amarahnya meluap. Sambil menuding Yuyu Rumpung, pandang matanya menentang lebar kepada Titisari.
"Kranjingan! Yuyu Rumpung, dialah manusianya yang mempermain-mainkan bocah asuhanmu tadi pagi. Kauingat" Nah, biarlah kutolong membasuh coreng mukamu!" bentaknya.
Mendengar seruan Cocak Hijau, mana bisa Yuyu Rumpung menerima budi orang. Benar-benar
ia terhina terang-terangan di depan Pangeran Bumi Gede. Segera ia berdiri tegak dan hendak menyerbu ke halaman. Tetapi tubuhnya masih bergemetaran, sehingga geraknya jadi
sempoyongan. Insyaf akan keadaan tubuhnya yang belum sehat kembali dan khawatir pula luka dalamnya akan membayakan nyawanya, maka mau tak mau ia menahan diri. Meskipun demikian,
nampak sekali betapa ia gusar hati, sampai mukanya pucat lesi.
Dalam pada itu, Cocak Hijau sudah memperoleh pegangan. Ia tak ragu-ragu lagi. Dengan
mementang kedua tangannya, ia menubruk. Titisari cukup berwaspada. Ia tahu, dirinya berada di dalam sarang harimau. Begitu melihat serangan Cocak Hijau, terpaksa menjejak kaki
membebaskan diri. Tetapi di luar dugaan, Manyarsewu ikut pula menerjang. Rekan Cocak Hijau itu tak rela membiarkan si gadis bisa bergerak leluasa. Teringat akan kemampuannya mempermain-mainkan anak-anak sang Dewaresi begitu mudah tadi pagi, ia mengkhawatirkan bisa pula
mempermain-mainkan Cocak Hijau. Kalau sampai terjadi begitu, bukankah akan runtuh pamor
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rekannya. Maka ia segera merintangi dan sekali bergerak tangannya sudah menyambar
pergelangan tangan sambil membentak. "Ha iblis! Kau mau ke mana?"
Titisari kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau Manyarsewu bisa bergerak sehebat itu. Tahu-tahu pergelangan tangannya telah kena terkam. Namun ia tak kekurangan akal.
Cepat sekali otaknya yang cerdik bekerja secara wajar. Dengan dua jari tangan kanan ia menotok gundu mata Manyarsewu.
Heran! Hampir-hampir luput dari pengamatan bagaimana Manyarsewu menangkis, mendadak
saja pergelangan tangan kanan Titisari telah tertangkap erat.
"Ah begini macam," teriak Titisari kaget.
"Begini macam bagaimana?" Manyarsewu membalas bertanya.
"Macam kampungan."
"Kampungan" Apa yang kampungan?" Manyarsewu heran.
"Kamu berdua sudah begini tua bangka. Mengapa main keroyokan pada seorang gadis" Sudah pantas aku menjadi cucumu, tapi heran kau masih bisa berlaku kurang ajar. Apakah ini perlakuan seorang ksatria, menangkap pergelangan tangan seorang gadis di depan umum" Apakah ini bukan kampungan?"
Manyarsewu benar-benar terperanjat. Memang, umurnya sudah bukan muda lagi. Kecuali itu,
dia seorang sakti yang terkenal di seluruh daerah Jawa Timur. Kalau untuk menangkap seorang gadis sebelia Titisari dengan cara mengkerubut, rasanya memang kurang jantan. Mau tak mau ia melepaskan pergelang-an tangan si gadis sambil membentak seram,
"Masuk ke dalam...!"
Tak dapat Titisari membantah perintah Manyarsewu. Terpaksa ia menurut dan masuk ke ruang kadipaten dengan langkah perlahan.
"Manyarsewu!" kata Cocak Hijau. "Jangan berkecil hati. Aku salah seorang sahabatmu yang lahir di Makasar. Perkara sopan-santun tata pergaulan di Jawa, apa peduliku" Biar nanti kucacati tubuhnya. Dia mau apa?"
Setelah berkata demikian, Cocak Hijau terus saja melangkah menghampiri Titisari hendak
membuktikan ucapannya. Tetapi Manyarsewu menyanggah.
"Jangan terburu-nafsu! Tanyakan dahulu, siapakah guru dan ayah-bundanya! Lantas siapa pula yang memberi perintah dia sampai berani mengintip pembicaraan kita."
Cocak Hijau tak mendengarkan saran dan sanggahan Manyarsewu. Hatinya masih mendongkol,
karena tadi ia kena dipermain-mainkan Titisari. Dua kali berturut-turut serangannya kena dielakkan dengan mudah. Pikirnya, kalau dia sampai bisa lari, mana dapat aku mengejarnya.
Gerak-geriknya benar-benar gesit...
Lantas saja tangannya menyambar hendak menggaplok. Tetapi Titisari mengelak cepat.
Dengan begitu, tiga kali berturut-turut ia selalu membentur udara kosong.
"Hm"kau mau mengadu kepandaian?" tantang Titisari setengah mengejek. "Kalau mau adu kepandaian, bilang dong!"
"Apa kau bilang" Kau menantang aku?" bentak Cocak Hijau.
Tapi Titisari tak mengindahkan. Pandangnya melayang kepada orang-orang, kemudian berkata seperti mengadu.
'Tuan-tuan, aku tak pernah bermusuhan dengan dia. Jika dia bersikap garang, bagaimana nanti jadinya kalau tanganku sampai kena melukai dia?"
Bukan main gusar hati Cocak Hijau. Cepat ia melangkah maju sambil memiringkan kepala
seolah-olah tak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Kau bilang apa" Kau bilang, aku akan bisa kau lukai?" dampratnya.
Kembali Titisari bersikap dingin seakan-akan tak mengambil pusing. Ia berkata lagi kepada mereka yang hadir.
"Ah"jika ia masih saja bersikap galak, terpaksa aku mengadu kepandaian di depan Tuan-tuan sekalian."
"Setan! Iblis!" maki Cocak Hijau. "Benar-benar kamu menantangku?"
Titisari tak mempedulikan. Tadi ia telah mengenal gerakan-gerakan tubuh Cocak Hijau. Ia
melihat orang itu kurang gesit. Karena itu ia mau mengadu kecerdikan dan mempergunakan
kelemahan lawan untuk dapat membebaskan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tuan-tuan menjadi saksi, bagaimana dia memaksaku untuk mengadu kepandaian. Karena
Tuan-tuan sudah menjadi saksi, maka sekali lagi aku minta bantuan Tuan-tuan agar menjadi saksi pula dalam tata mengadu kepandaian ini. Bila nanti aku salah tangan sehingga melukainya, bukan aku bermaksud jahat terhadapnya. Tetapi semata-mata karena terdesak belaka," katanya dingin.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar dari Gresik yang dulu berasal dari Sulawesi. Selama
hidupnya, dia berkelana mengadu kepandaian dan selalu menang. Namanya tenar dan disegani orang di seluruh Jawa Timur. Mendadak saja, pada hari itu ia kena direndahkan demikian rupa oleh si gadis di depan tetamu-tetamu undangan. Sudah barang tentu, darahnya meluap dan
dadanya bergetar seperti mau meledak. Mukanya merah padam dan sebentar berubah menjadi
pucat lesi, karena' menahan deru amarah yang meruap-ruap.
Sebaliknya mata Titisari nampak berkilat-kilat. Sama sekali ia tak gentar menghadapi Cocak Hijau jago Jawa Timur yang sedang meluap, amarahnya. Sesungguhnya, itulah yang diharapkan.
Jika seorang terlalu mengumbar amarahnya, ia akan kehilangan pengamatan diri. Tak jarang seorang jago jatuh di bawah perlawanan seorang musuh lemah yang bisa menggunakan
kecerdikan. "Tuan-tuan! Aku mau bertanding mengadu kepandaian secara ksatria. Kalau dia mint berkelahi secara kampungan, sudahlah"aku menyerah kalah. Bagaimana menurut pendapat Tuan-tuan"
Apakah dia kira-kira mau menerima perjanjian ini?"
"Hai! Hai! Hai?" damprat Cocak Hijau tergegap-gegap. "Kamu bicara melantur tak keruan!
Kauanggap apa aku ini" Perlihatkan kepandaianmu. Kalau aku seorang tua tak dapat membuatmu puas, biar kutumbukkan kepalaku ini ke dinding."
"Bagus!" sahut Titisari gembira. Kemudian tata-lagu nada suaranya beralih. "Begini, kalau berkelahi secara kampungan, setiap orang bisa berbuat begitu. Karena pokoknya asal menang.
Tapi kemenangan begitu adalah murah. Sebaliknya aku mengharapkan kemenangan sejati."
"Cepat bilang!" Cocak Hijau tak sabar lagi.
'Tenang Tuan, aku takkan minta padamu agar mengikat kedua kaki dan tanganmu," sahut Titisari cepat. "Aku hanya minta kamu membawa minuman keras. Lantas kejarlah aku! Tangkaplah aku! Seranglah aku semaumu! Kalau minuman itu sampai tumpah, kau kalah. Nah, cepat
benturkan kepalamu ke dinding!"
Cocak Hijau kena terbakar hatinya. Makiumlah, dia bukan orang sembarangan. Kini kena
direndahkan demikian rupa. Demi menjaga kehormatan diri, maka tanpa pikir lagi ia menyambar dua cawan dan diisi minuman keras penuh-penuh.
"Bagus!" puji Titisari, "Itu namanya laki-laki sejati. Sekarang"marilah kita adu kepandaian..."
Benar-benar Titisari seorang gadis cerdik. Dengan mengadu ketajaman lidah, akhirnya ia bisa memaksa lawan untuk tunduk pada peraturan-peraturan tata-berkelahi yang dikehendaki. Dengan demikian, kegarangan dan kebebasan gerak Cocak Hijau bisa dikurangi. Mereka yang hadir adalah golongan jago-jago dan pendekar-pendekar sakti. Melihat usia si gadis masih muda belia dan Cocak Hijau yang sudah terkenal sebagai seorang pendekar sakti, memang sudah sewajarnya apa bila si jago tua memberi keleluasaan padanya. Tetapi kini mereka terkejut menyaksikan kegesitan si gadis di luar dugaan orang.
Waktu itu Cocak Hijau mulai menyerang. Ia menggunakan kedua kakinya berganti-ganti jika
menyerang. Gerak-geriknya terbatas dan nampak sekali bagaimana kedua cawan yang
tergenggam dalam tangannya sangat mengganggu. Langkahnya panjang dan bertenaga.
Sebaliknya gerak-gerik Titisari ringan tak bersuara. Kakinya lincah dan cekatan. Apa yang mengejutkan mereka ialah cara dia bergerak menghindari serangan lawan. Tubuhnya tetap tegak.
Kedua kakinya pun berdiri kencang. Tetapi dengan menekan-nekankan ibu jari kaki, ia melesat gesit seperti seekor ikan mengibaskan ekornya. Inilah suatu gerakan indah yang sukar dipelajari orang. Bila guru si gadis bukan orang sakti luar biasa, pastilah takkan bisa mewariskan kepandaian demikian hebat.
Makin lama serangan Cocak Hijau makin mengguntur. Kedua kakinya bergerak cepat dan
menerbitkan kesiur angin. Meskipun Titisari bebas mempergunakan kaki dan tangannya, ia tak dapat bergerak lebih banyak daripada menangkis dan menghindari. Bahkan daerah geraknya kian menjadi sempit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari tak gugup. Kini ia melesat mencari ruang gerak lebih lebar sambil melepaskan serangan-serangan jari. Kadang-kadang ia nampak berusaha membentur siku lawan, agar minuman keras yang berada dalam cawan kena ditumpahkan.
"Bocah ini benar-benar hebat!" pikir Manyarsewu di luar gelanggang. "Sebenarnya siapa gurunya" Melatih tata-gerak segesit itu, tidak gampang... Tetapi, tak usah lama dia bakal kena dijatuhkan Cocak Hijau..."
Yuyu Rumpung yang menyaksikan perkelahian itu berpikir lain. la terganggu, karena luka
dalamnya. Mengingat luka dalamnya, sekaligus teringatlah dia kepada Panembahan Tirtomoyo yang kena dilukai pula. Itulah sebabnya dengan cepat dia bisa menduga-duga mengapa si gadis datang memasuki kadipaten.
"Ah! Pastilah dia datang bersama si pemuda tadi pagi mencuri obat untuk si tua..."
Teringat akan laporan muridnya perkara si pencuri obat, ia jadi gelisah sendiri. Ingin ia keluar dari ruang kadipaten dengan diam-diam, tetapi kesempatan yang bagus belum nampak. Kalau ia meninggalkan gelanggang pertarungan sebelum Cocak Hijau menjatuhkan si gadis, bukankah
berarti menghina kawan serikat" Maka mau tak mau ia menahan diri sebisa-bisanya...
Sangaji kala itu telah sadar kembali. Yang mula-mula diingatnya ialah ramuan obat-obatan yang baru diambilnya, la menggapai sakunya. Bungkus ramuan obat masih utuh. Hatinya jadi lega.
Sekarang ia mencoba mengingat-ingat siapa tadi yang membentur dirinya begitu tiba-tiba.
Bayangkan tadi begitu cepat geraknya. Tidak juga berniat jahat. Sekiranya berniat jahat, mana bisa dia dibiarkan hidup. Bukankah tadi dia jatuh pingsan kena benturannya. Mendapat
pertimbangan itu, Sangaji lantas sibuk menduga-duga. Pikirnya, kalau begitu, pasti dia bukan termasuk golongan orang-orang yang berkumpul di kadipaten. Lantas siapa dia?"
Mendadak teringatlah dia, kalau bayangan tadi seperti membimbing seorang perempuan. Mau
ia menduga,"itulah Mustapa dan Nuraini. Baikiah kutengok dia. Sekiranya benar-benar dia, syukurlah. Tetapi kalau bukan, bagaimana aku akan membiarkan mereka terkurung dan terhina, pikirnya.
Memikir demikian lantas saja ia lari mengarah ke gedung tahanan. Ternyata gedung itu dalam keadaan gelap gulita. Untung ia pernah memasuki gedung tersebut. Dengan demikian"sekalipun meraba-raba"sampailah dia ke tempat di mana dia dengan Titisari mengintip permainan Sanjaya sebentar tadi.
Ruang itu lengang hening. Sangaji berjongkok sambil membelalakkan mata. Ia tak melihat
sesuatu, sehingga timbullah kecurigaannya, mau ia menduga, kalau ia salah jalan. Maka cepat ia berdiri hendak berlalu. Sekonyong-konyong ia mendengar rintih orang.
"Siapa" Paman Mustapa?" bisiknya.
Orang yang merintih tidak mendengarkan tegur-sapanya. Rintihnya kian naik dan sebentar
kemudian berubah menjadi nada erangan. Khawatir, kalau Sanjaya mungkin menganiaya Mustapa, maka ia menghampiri dengan hati-hati. Sewaktu berada selangkah di depan orang itu, mendadak terlihatlah sinar terang menembus gelap gedung. Terkejut ia mundur dan memipit dinding sejadi-jadinya.
Sebentar saja, terdengarlah derap langkah mendekati pintu gedung. Kemudian masukiah tiga orang mengiringkan seorang perempuan setengah umur. Dialah ibu Sanjaya.
Sangaji heran melihat kedatangan ibu Sanjaya. "Mau apa dia menjenguk kamar tahanan
Mustapa?" la mencoba bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi ia benar-benar tak dapat menebak maksud ibu Sanjaya.
"Apakah mereka dikurung dalam gedung ini?" terdengar Ibu Sanjaya minta keterangan pada ketiga pengiringnya.
"Ya," jawab ketiga pengiringnya hampir berbareng dengan takzim.
"Sekarang bebaskan mereka!" perintah Ibu Sanjaya.
Ketiga opsir itu terkejut. Mereka saling pandang. Nampak sekali mereka berbimbang-bimbang.
"Kalian takut pada nDoromas Sanjaya" Jika Sanjaya bertanya mengapa mereka kalian
bebaskan, bilang kalau akulah yang memberi perintah," kata Ibu Sanjaya dengan suara tetap.
Mendengar bunyi ucapan Ibu Sanjaya, mereka bertiga tiada alasan lagi untuk beragu. Segera mereka masuk, mendadak nampaklah tiga orang penjaga menggeletak di lantai. Yang dua tidak berkutik. Yang seorang lagi mengerang-erang. Nampak sekali mukanya babak belur matang biru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibu Sanjaya agaknya melihat nasib ketiga penjaga itu. Segera ia menghampiri sambil meraba-raba urat nadi dan pernapasannya.
"Mereka kena pukul dan roboh tak sadarkan diri," katanya terharu. Kemudian menghampiri yang mengerang sambil bertanya, "Mana mereka yang dikurung?"
Dua pengiring ibu Sanjaya lantas saja memeriksa kamar tahanan. Ternyata Mustapa dan
Nuraini tidak ada lagi. Segera mereka mendepak penjaga yang mengerang-erang sambil
membentak, "Bangun! Kaudengar pertanyaan Raden Ayu?"
Penjaga yang mengerang kesakitan itu mendadak saja jadi sadar kena depakan mereka.
Matanya terbelalak. Begitu pandangnya melihat mereka, berusahalah dia menguatkan diri. Tetapi nampaknya ia kesakitan benar-benar,' sehingga usahanya gagal. Maka dia hanya mencoba
berbicara gagap, "Lari...! Lari...!"
Ketiga pengiring ibu Sanjaya rupanya ingin mengambil hati junjungannya. Mereka bergerak
mau mendepak si penjaga lagi agar mendapat keterangan lebih jelas. Tetapi Ibu Sanjaya cepatcepat menyanggah, "Dia sudah kesakitan. Mengapa kalian tak mencoba menolong?"
Halus teguran Ibu Sanjaya, tetapi benar-benar mengenai telak perbendaharaan hati, sehingga ketiga pengiringnya buru-buru memperbaiki sikap. Sekarang mereka berebutan menolong si
penjaga, meskipun hatinya enggan luar biasa.
"Bawalah mereka ke kamarku," perintah Ibu Sanjaya. Kemudian ia meninggalkan gedung dengan kepala menunduk. Hatinya penuh sesal menyaksikan peristiwa demikian. Tetapi ia tak berkata sepatah kata pun.
Perlahan-lahan Sangaji keluar dari dinding persembunyiannya, la bertambah kagum kepada
kemuliaan ibu Sanjaya. Karena rasa kagum, ia membayangkan bentuk tubuh dan wajahnya.
Mendadak saja, teringatlah dia kepada ibunya. Rasa rindu setahunya membakar dirinya. Sudah berapa bulan dia meninggalkan Jakarta! Ibu! Ibu pun berhati mulia seperti ibu Sanjaya, bisiknya pada diri sendiri.
Sebentar saja ia telah berada di pekarangan. Karena bulan bersinar kian terang, segera ia memipit dinding agar sedikit terlindung. Ia bermaksud hendak mencari Titisari. Ingin membujuk si gadis agar tidak mengintip pembicaraan orang berlarut-larut. Apa perlu" Bukankah ramuan obat telah diperolehnya" Menolong nyawa Panembahan Tirtomoyo adalah yang terpenting.
Baru saja ia tiba di belakang gedung ibu Sanjaya, sekonyong-konyong terasalah kesiur angin menyambar padanya. Secepat kilat ia mengelakkan diri. Kini ia benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Maka begitu melihat bayangan berkelebat menyerang padanya, segera dia memapaki dengan jurus Jaga Saradenta. Tangan bayangan itu kena disambarnya.
"Auk!" rintih bayangan itu, lantas saja roboh di atas tanah.
Sangaji terkesiap. Sama sekali tak diduganya, bahwa ia bisa merobohkan orang begitu
gampang. Tatkala ia menajamkan mata, hatinya berdegupan. Ternyata bayangan itu adalah
Mustapa. Tadi siang, kedua perge-angan tangannya kena dipatahkan Sanjaya dan belum pulih seperti sediakala. Itulah sebabnya, begitu kena bentrok lantas saja kehilangan daya tahan.
"Paman Mustapa!" kata Sangaji setengah memekik.
"Siapa kau?" "Aku Sangaji. Akulah pemuda yang melawan si pemuda ningrat tadi siang..."
Mustapa berdiri tertegun. Tadi dia sudah berhasil melarikan diri bersama Nuraini. Begitu tiba di luar pekarangan, segera ia menghantarkan puterinya ke penginapan di mana mereka berdua
menginap. Setelah itu ia balik kembali ke kadipaten dengan maksud ingin mengintip ibu si pemuda ningrat. Semenjak ia bertemu pandang dengan ibu Sanjaya, hatinya gelisah bukan main. la
menduga sesuatu dan hatinya takkan lega sebelum mendapat keyakinan.
Tiba di luar tembok kadipaten, cepat ia meloncati. Mendadak ia melihat berkelebatan Sangaji.
Karena terlalu bersikap waspada dan selalu bersiaga, ia mengira Sangaji salah seorang penjaga.
Dengan demikian, dua kali Sangaji disangkanya sebagai seorang penjaga keamanan kadipaten.
Karena itu, segera ia melontarkan serangan sebelum kakinya menginjak tanah. Tapi kali ini, Sangaji bukan makanan empuk baginya. Pemuda itu telah mendapat pengalaman diserang orang dengan tiba-tiba. Secara wajar, ia kini selalu berwaspada dan bersiaga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa kamu ada di sini?" tanya Mustapa tersekat-sekat. Terasa benar, betapa terperanjat pula dia.
"Aku mencari obat. Panembahan Tirtomoyo dilukai orang di kadipaten. Secara kebetulan aku melihat Paman dikurung si pemuda ningrat di dalam gedung itu. Maka aku bermaksud menolong Paman."
Mustapa jadi terharu mendengar kata-kata Sangaji yang begitu sederhana.
"Mengapa kamu menaruh perhatian begini besar terhadapku?"
"Mengapa... Entahlah," sahut Sangaji, "Tetapi Paman bukan orang salah... bukan pula pesakitan. Mengapa mesti dikurung"... Paman, dengan tak sengaja aku menyambar pergelangan tangan Paman yang terluka tadi siang. Biarlah kubebatkan."
Sangaji lantas saja meraih tangan Mustapa. Dan entah mengapa, Mustapa membiarkan si
bocah berbuat sesuka hatinya.
"Anak muda! Sebenarnya kau siapa" Siapa pula orang tuamu?"
"Aku datang dari jauh," jawab Sangaji. "Ayahku dulu bertempat tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Aku sendiri hidup di Jakarta dengan Ibu."
"Siapa nama ayahmu?" kata Mustapa seperti mendesak.
"Dia orang berasal dari Bali. Namanya Made Tantre."
"Siapa" Made Tantre?" ulang Mustapa. Dan tiba-tiba tubuhnya bergemetaran. "Di mana ayahmu dulu pernah bertempat tinggal?"
"Di sebuah desa, Karangtinalang, namanya..."
"Oh!" Mustapa terkejut. Mendadak saja, kepalanya mendongak ke angkasa. Kemudian seperti berbisik kepada dirinya sendiri, terdengar ia berbicara... "Dewa Agung... Dewa Agung... benarkah ini anakmu?"
Lantas saja tangannya yang sebelah menerkam pergelangan tangan Sangaji erat-erat. Sangaji jadi keheran-heranan. la merasakan tangan Mustapa bergemetaran. Tiba-tiba Mustapa
mengalirkan air mata dan menetesi lengan. Sangaji jadi menebak-nebak, "Hai... mengapa" Apakah aku mengingatkannya kepada salah seorang anaknya yang sudah lama meninggal dunia?"
Mendapat pikiran demikian Sangaji kemudian berkata, "Paman masuk ke halaman kadipaten lagi.
Apakah ada sesuatu yang harus Paman lakukan" Biar tenagaku masih ingusan, aku akan
membantu Paman sebisa-bisaku..."
"Ibumu bernama Rukmini, bukan?" Mustapa seperti tak mendengarkan ucapannya. "Dia masih berada di sampingmu atau... atau... sudah pulang ke asal?"
Kembali Sangaji keheran-heranan, sehingga balik bertanya.
"Apakah Paman kenal Ibu" Ibu kini berada di Jakarta. Jauh di barat sana..."
Hati Mustapa tergoncang keras. Ia menerkam tangan si bocah kian erat, seolah-olah takut
terlepas. "Paman, biarlah aku membebat tangan Paman dulu," kata Sangaji.
Tetapi Mustapa tetap memegang tangan Sangaji erat-erat. Ia seperti seorang yang tengah
menemukan sesuatu yang berharga dan tidak ingin kehilangan lagi. Terdengar ia berbisik penuh haru. "Ah bocah! Kamu telah menjadi begini besar... begini besar..."
Ia menarik napas panjang dan berkata lagi. "Sekarang... biar langit ambruk menimpa tubuh, apa yang kutakuti lagi. Bocah! Melihat dan meraba dirimu lantas saja teringatlah aku kepada almarhum ayahmu... Ya, begini ini... ya seumurmu ini, kami berdua mulai merantau meninggalkan Pulau Bali tanah leluhurmu..."
Sangaji jadi semakin heran.
"Paman kenal ayahku pula?"
"Ayahmu adalah saudara-angkatku," Mustapa memberi keterangan. "Kami berdua telah mengangkat saudara sewaktu hendak berangkat merantau meninggalkan kampung halaman.
Semenjak itu ayahmu dan aku selalu bersama... runtang-runtung bagaikan saudara sekandung tunggal rahim..."
Sehabis berkata demikian, ia lantas menangis sedih. Teringatlah dia kepada nasib buruk yang merenggutkan. Itulah pula sebabnya, tak sanggup ia meneruskan kata-katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak tahunya sendiri, Sangaji ikut mengalirkan air mata. Memang, dia seorang pemuda yang
jujur sederhana. Hatinya polos dan penuh kemanusiaan. Sama sekali tak diketahuinya, kalau Mustapa sebenarnya adalah Wayan Suage sahabat almarhum ayahnya.
Waktu itu, Wayan Suage terpaksa ditinggalkan Wirapati karena hutan tiba-tiba terbakar. Ia dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba tubuhnya terasa sangat panas seperti terselomoti bara. Itu disebabkan karena tumbangnya pohon jati yang sedang terbakar hebat dan runtuh menimpa
gerumbul belukar tempat persembunyiannya. Tetapi ia tak berdaya. Darah yang mengucur ke
tanah sudah terlalu banyak. Meskipun Wirapati hampir berhasil menyumbat lukanya dengan bebat potongan baju, namun tenaganya sebagian besar telah hilang. Lagipula hatinya terlalu sedih memikirkan nasib keluarga dan sahabatnya. Tiba-tiba saja, ia seperti teringat sesuatu. Terasa kedua tangannya masih menggenggam erat-erat ketiga pusaka keramat hadiah Ki Hajar Karangpandan. Kemudian entah kekuatan darimana asalnya, sekonyong-konyong pikirannya menjadi
jernih. Suatu tenaga ajaib mendorong padanya, la berontak. Direnggutkan semua dahan dan
ranting yang melibat dirinya. Dengan sekali renggut, bebaslah dia dan kemudian menggelinding bergulingan.
Udara kala itu panas bukan kepalang. Asap tebal menutupi seluruh penglihatan dan api
berjilatan sejadi-jadinya. la terus bergulingan tanpa tujuan dengan menggenggam ketiga pusaka keramat. Dalam hati, ia mendengar suara pelannya sendiri. "Biar bagaimanapun pusaka ini harus kusampaikan kepada Sanjaya dan Sangaji. Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...!"
Tiba-tiba ia terperosok ke dalam tebing curam. Ketiga pusaka keramat yang tergenggam erat-erat terbanting ke bawah. Dia sendiri lantas pula terbanting ke bawah. Kepalanya terbentur batu dan tubuhnya tercebur ke dalam sungai berlumpur. Itulah sungai berlumpur yang pernah diceburi Wirapati pula, tatkala menghindarkan diri dari ancaman pohon tumbang yang sedang terbakar menyala-nyala.
Entah sudah berapa hari ia tak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, dirinya sudah berada di atas dipan beralaskan tikar compang-camping. Seorang anak perempuan berumur kira-kira lima tahun duduk di dekatnya seperti sedang menjaganya. Tak lama kemudian datanglah seorang lakilaki setengah umur menghampiri. Laki-laki itu bersikap manis dan selanjutnya merawat dirinya dengan rajin dan penuh perhatian.
Dua bulan lamanya ia terbaring di atas dipan. Selama itu ia telah mengetahui dari sang
penolong tentang dirinya. Ternyata kebakaran makin lama makin meluas. Pemerintah segera
mengerahkan pekerja-pekerja untuk bergotong-royong mencegah kebakaran. Mula-mula kurang
mendapat perhatian. Tetapi setelah pemerintah menjanjikan bidang-bidang tanah hutan bekas kena bakar, lainlah halnya. Orang lantas saja datang dari segenap penjuru hendak
menyumbangkan tenaga. Dengan demikian kebakaran bisa lekas terpadamkan.
Laki-laki penolong Wayan Suage adalah pula termasuk salah seorang pekerja sukarela. Dia
berasal dari Garut yang datang merantau ke Jawa Tengah hendak mengadu nasib. Sedang si
bocah perempuan itu adalah anaknya bernama Nuraini.
Satu tahun lagi ia merawat diri. la menyambung kakinya yang buntung dengan bambu. Setelah biasa berjalan dengan kaki buntung, barulah ia merasa diri telah sembuh benar. Kemudian ia mencoba mencari jejak isterinya dan keluarga sahabatnya. Sudah barang tentu, usahanya sia-sia belaka. Maklumlah, kala itu Rukmini dan Sangaji sudah berada di Jakarta. Sedang isteri dan anaknya sudah pula digondol seorang pangeran di perbatasan timur daerah kerajaan Yogyakarta.
Ia balik kembali ke rumah penolongnya, la merasa berhutang budi, maka berjanjilah dia di dalam hati hendak membantu penghidupan sang penolong sekuasa-kuasanya. Tatkala penolong
itu mati karena sakit, ia merawat Nuraini seperti anak kandungnya sendiri. Dan semenjak itu, ia mengajak Nuraini merantau dari daerah ke daerah sambil berusaha memperoleh, kabar anak-isteri dan keluarga sahabatnya.
Hampir empat belas tahun dia terenggut dari bumi keluarganya dan selama merantau usahanya untuk memperoleh titik-titik berita tentang keluarga sahabat dan anak-isterinya, sia-sia belaka..
Sekali-sekali dalam perantauannya, ingin ia lekas mati atau membunuh diri. Untung, dia masih merasa bertanggung jawab terhadap kebahagiaan Nuraini puteri penolongnya. Lagi pula, hatinya takkan lega sebelum bertemu dengan anak-isteri serta keluarga Made Tantre. Mendadak saja"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
secara kebetulan"sekarang ia bertemu dengan putera sahabatnya. Bagaimana ia tak menjadi
terharu" Karena itu ia terus menangis dan membiarkan diri menangis sepuas-puas hati.
Selama itu, Sangaji masih saja berdiri tertegun. Tak tahu dia, apa yang harus dilakukan selain ikut menyumbangkan air mata. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Titisari yang mungkin masih mengintip pembicaraan orang-orang dari atap rumah. Teringat akan Titisari, perlahan-lahan ia mencoba menarik tangannya. Tetapi genggaman Mustapa masih saja erat.
"Sangaji! Kamu bernama Sangaji bukan?" bisik Mustapa tiba-tiba.
Sangaji mengangguk kosong.
"Mulai sekarang panggilah aku Paman Suage. Aku Wayan Suage sahabat almarhum ayahmu..."
Kembali Sangaji mengangguk kosong. Maklumlah, ingatannya waktu itu melayang penuh-penuh


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Titisari. "Kau tadi bilang hendak mencari obat. Apakah sudah kau dapatkan?"
"Sudah," jawab Sangaji. "Hanya saja... aku masih perlu menengok sahabatku."
"Siapakah sahabatmu" Sekarang di mana dia?"
Sangaji hendak memberi keterangan. Mendadak teringatlah dia, kalau sahabatnya seorang
gadis. Apa kata Wayan Suage terhadap dirinya, jika mendengar dia sedang berjalan bersama dengan seorang gadis di larut malam menjelang fajar hari" Bila Wayan Suage menduga yang
bukan-bukan, agaknya tidaklah terlalu salah. Karena itu ia tergugu.
Untung Wayan Suage tiada mengurus lebih jauh, karena tiba-tiba pula ia teringat kepada
urusannya sendiri hendak melihat Raden Ayu Bumi Gede.
"Baiklah," katanya, "Tengoklah sahabatmu dulu dan jaga dirimu baik-baik."
Sangaji kini malahan tercengang mendengar ucapan si orang tua. Tetapi ia girang. Dengan
begitu, tak usahlah dia berkepanjangan memberi penjelasan tentang siapa sahabatnya itu.
"Aku nanti akan mencari Paman."
Wayan Suage merenungi dirinya. Lama ia berdiam diri, kemudian berkata seperti memutuskan,
"Tak usah. Belum tentu aku pulang ke penginapan."
Sangaji adalah seorang pemuda yang berotak sederhana. Mendengar jawaban Wayan Suage,
tak ada keinginannya untuk mengetahui sebab-musabab orang tua itu berkata demikian, la tak mau pula menduga-duga, mengapa Wayan Suage yang sudah dapat membebaskan diri mendadak
saja balik kembali ke kadipaten.
Setelah berpisah, Sangaji terus mengarah ke halaman induk gedung. Mendadak saja sebelum
kakinya menginjak batas halaman, ia melihat sesosok tubuh berkelebat menghampiri dirinya.
"Siapa?" tegur orang itu. Belum lagi Sangaji menjawab orang itu terus menyerang.
Sangaji cepat-cepat menggerakkan tangan dan segera menangkis. Berbareng dengan gerakan
itu, ia terkejut. Di tengah cerah bulan, ia mengenali wajah Sanjaya si pangeran muda.
Sanjaya terbangun dari tempat tidurnya, tatkala pintu kamarnya diketuk ketiga pengiring
ibunya. Begitu menerima laporan, cepat ia mengenakan pakaian dan bergegas ke luar halaman, la memasuki kamar ibunya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut. Setelah mendengar berita
bagaimana Mustapa dan Nuraini membebaskan diri dari kamar tahanan bukan main terkejutnya.
Hm... Ibu! Kau tak tahu urusan besar! Hatimu terlalu lemah! Sekiranya mereka masih terkurung, Ibu akan membebaskan juga. Tapi sekarang..." Jika guru mendengar perbuatanku ini, bagaimana aku harus membela diri" pikirnya.
Cepat sekali ia melesat ke halaman. Niatnya ingin mengejar larinya Mustapa dan Nuraini. Di luar dugaan, ia bertemu dengan Sangaji. Sekarang, rasa sesalnya ditumpahkan kepada pemuda itu. Ia hendak minta ganti kerugian tambah bunganya. Maka ia menyerang dengan dahsyat dan berbahaya.
Sangaji sebaliknya berusaha meloloskan diri. Ingin sekali ia cepat-cepat mengisiki Titisari.
Kemudian kabur dari kadipaten. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan tata-menge-lakkan diri.
Tetapi Sanjaya terus melibasnya, sehingga ia tak bisa mendapat kesempatan. Bahkan ruang
geraknya makin lama jadi makin sempit. Mau tak mau, ia memaksa diri untuk mengadakan
perlawanan sekuat tenaga. Dengan demikian, pertempuran antara kedua pemuda itu jauh lebih seru daripada tadi siang di tengah gelanggang.
Dalam pada itu pertandingan adu kepandaian di ruang kadipaten antara Titisari dan Cocak
Hijau mendekati puncak-puncak penyelesaian. Manyarsewu mengira, kalau Cocak Hijau akan bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merebut kemenangan dengan mudah. Sekalipun si gadis cukup lincah dan gesit. Tak tahunya, tiba-tiba Titisari memperlihatkan tata ilmu berkelahi aneh yang mengejutkan.
Gadis itu mengeluarkan sapu tangan pembungkus sisa daging goreng pemberian Sangaji.
Sambil bergerak lincah mengelakkan diri, ia mengebutkan sapu tangan. Sisa daging yang
dibungkusnya rapi, terpelanting dan melesat menyambar cawan arak. Yang lain mengarah mata lawan.
Cocak Hijau jadi kelabakan. Ingin ia menghindari serangan Titisari yang mengarah cawannya.
Tetapi segumpal daging lainnya akan mendarat ke matanya. Sebaliknya jika membiarkan matanya kena serang, cawannya kena gempur. Dalam kerepotannya, ternyata ia bisa mengatasi dengan suatu kehebatan mengagumkan. Dengan sekali gerak ia mengendapkan diri sambil
menghindarkan cawan dari serangan gumpalan daging. Tetapi kemudian terjadilah, suatu
serangan lain di luar dugaan.
Sekonyong-konyong Titisari menyerang dengan mengembangkan sapu-tangannya seolah-olah
hendak menangkap kepala. Dengan begitu, Cocak Hijau dihujani serangan berantai tiga macam berturut-turut. Dua macam serangan kena dielakkan. Kini menghadapi serangan ketiga. Benar-benar sapu tangan mengarah kepalanya. Cepat kakinya menyapu, mendadak saja serangan sapu-ta-ngan itu ternyata suatu tipuan belaka. Titisari membiarkan sapu-tangannya kabur tak ter-kendalikan. Berbareng dengan itu, serangannya yang sungguh-sungguh tiba. Kedua tangannya menyodok dan menggaplok dari arah bertentangan. Masih pula diiringi dengan tendangan mengarah dada.
Karena serangan berantai itu dilakukan begitu cepat dan tanpa selang, Cocak Hijau meskipun gagah akhirnya gugup juga. Tak sempat lagi ia menangkis dengan kaki, maka terpaksa ia
menangkis. Titisari tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Sengaja ia mengadu tenaga dan membenturkan tangannya. Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena ditumpahkan. Cepat ia melesat mundur sambil berseru,"Tolong, bersihkan lantai!"
Merah padam muka Cocak Hijau mendengar ejekan Titisari. Lambat-laun berubah bermuram
durja karena menahan rasa malu berbareng mendongkol.
Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena
ditumpahkan. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berseru.
"Kau licin, Nona. Ayo, bertanding lagi," ia menantang.
Titisari tersenyum sambil mundur selangkah. "Eh"apakah seorang tua akan melanggar janji?"
"Hm," dengus Cocak Hijau. Tapi benar-benar ia merasa mati kutu. Sebaliknya Manyarsewu yang sudah bersahabat dengan Cocak Hijau menjadi penasaran. Dasar wataknya berangasan,
lantas saja dia berteriak nyaring. "Bangsat cilik! Kau licin seperti belut. Siapa sebenarnya gurumu"
Suruh dia keluar!" "Saat ini Beliau tidak ada di sini. Tenang-tenangkan hatimu, esok biarlah kukisiki. Tapi jangan kamu mencoba lari ngacir!" Titisari tertawa panjang. Sekonyong-konyong ia mengungkurkan semua yang hadir dan hendak berlalu. "Selamat tinggal. Sekarang, biarlah aku pergi menemui guru."
Tetapi mana bisa Manyarsewu diperlakukan demikian. Entah bagaimana gaya gerakannya, tibatiba saja tubuhnya telah melesat dan menghadang di ambang pintu seperti malaikat pencabut nyawa.
Titisari terperanjat menyaksikan kehebatan Manyarsewu. Sama sekali tak diduganya, kalau
orang seumur dia bisa bergerak secepat itu. Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia menguasai diri.
Pikirannya disuruhnya bekerja lagi, sampai dahinya mengkerut.
"Mau apa kau menghadangku?" ia minta penjelasan dengan tenang. Terang"ia berlagak menguasai suatu ketenangan luar biasa.
"Bukankah aku tadi ingin minta penjelasan, siapa sebenarnya gurumu" Kamu belum memberi tahu, karena itu mana bisa berlalu seenakmu sendiri?" sahut Manyarsewu garang.
"Mengapa kau ingin mengetahui guruku?" Titisari membalas bertanya.
"Ingin aku tahu, mengapa gurumu mengirimkan kamu kemari mengintip kami."
Sepasang alis Titisari yang bagus menegak. Tak berkedip ia mengawasi Manyarsewu. Kemudian menjawab, "Hm, jadi kau mengira aku dikirim guru ke mari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anak kecil pun segera dapat menduga. Siapa mau percaya seorang gadis ingusan berani keluyuran memasuki kadipaten di tengah malam begini?"
"Jika aku tak sudi menerangkan siapa guruku, kau mau apa?"
"Kau harus memberi keterangan, Nona. Lebih cepat lebih baik."
"Hm"apakah kau cukup berharga untuk mendengar nama guruku?" dengus Titisari.
Manyarsewu gusar bukan main direndahkan demikian. Sekaligus darahnya meluap, sampai
tubuhnya bergemetaran. Sebaliknya Titisari tak mempedulikan. Cepat ia menyapukan
pandangannya. Dibelakangnya berdiri para tetamu undangan yang mengawasi dirinya dengan
pandang tak berkedip. Di sebelah kanan adalah dinding panjang dengan pintu keluar. Sedang sebelah kirinya sama sekali tidak ada pintu atau jendela. Diam-diam ia mengeluh dalam hati, karena tidak ada harapan untuk mencoba menerobos keluar dengan mengandalkan kegesitan
tubuh. "Nona! Apakah aku harus memaksa dirimu agar mau mendengarkan tiap patah pertanyaan
orang tua?" ancam Manyarsewu garang.
"Kamu bertanya dan aku tak sudi menjawab, apa salahnya" Minggirlah sedikit. Nanti aku terpaksa pergi pula dengan paksa. Bukankah akan merusak perkenalan ini?"
"Hm," dengus Manyarsewu, "Kaumau pergi, pergilah asal mampu."
"Baik. Tapi kau jangan serang aku," sahut Titisari cepat. Terang sekali, ia mau menggunakan kecerdikannya.
Manyarsewu kena dibakar hatinya. Cepat menyahut, "Hanya untuk mencegatmu" bocah cilik"
apa perlu menurunkan tangan?"
"Bagus!" seru Titisari gembira. "Seorang laki-laki sejati takkan menarik kata-kata yang sudah diucapkan. Kau tadi mau mengenal guruku, bukan" Sekarang lihat, siapa yang berdiri di pojok itu."
Manyarsewu kaget. Cepat ia menoleh. Titisari lantas saja melesat menerobos pintu. Memang ia sengaja hendak menggunakan saat Manyarsewu mengalihkan perhatian.
Tetapi Manyarsewu bukanlah seorang jago murahan. Baru saja Titisari berkelebat, tahu-tahu kepalanya sudah menghadang tepat di depan dada si gadis. Syukur Titisari cukup berwaspada lagi lincah.
Cepat ia mundur sehingga dadanya tak usah kena sentuh. Dan Manyarsewu melototi sambil
tersenyum lebar. Sekarang si gadis benar-benar merasa mati kutu. Tiga kali berturut-turut ia mencoba mengadu kegesitan dan akal. Semuanya dapat digagalkan oleh Manyarsewu dengan mudah.
Cocak Hijau yang menyaksikan keripuhan si gadis, jadi tertawa berkakakkan.
"Hai belut cilik! Kau tahu siapa Manyarsewu" Dia seorang besar berasal dari Ponorogo. Karena itu jangan kauharap kau bisa mengakali. Hayo, cepat mengaku kalah saja."
Setelah berkata demikian, ia berlalu meninggalkan ruang kadipaten. Yuyu Rumpung yang sudah lama mencari kesempatan segera pula meninggalkan ruang pertempuran. Ia mengarah halaman
besar sebelah timur. Kemudian ia menengok kamar tempat penyimpan obat. Mendadak saja
hidungnya mencium asap ramuan obat bercampur baur. Buru-buru ia menyalakan pelita. Alangkah kaget, ramuan obat-obatan yang berada dalam kamar nampak berhamburan. Dan di sana
menggeletak si pegawai Pangeran Bumi Gede di atas lantai tanpa berkutik sedikit pun.
Terbangkitlah hawa amarahnya. Pandangnya berkisar ke taman kadipaten. Dengan sekali
pandang, terlihatlah dua bayangan sedang bertempur seru. Itulah Sanjaya dan Sangaji yang sedang berkutat mengadu kepandaian.
Dalam hal ilmu tata-berkelahi, Sangaji kalah daripada Sanjaya. Berkali-kali ia kena gempur.
Sebentar saja ia kena diundurkan dan dihajar habis-habisan. Tetapi Sangaji memiliki tenaga alam berkat getah pohon sakti Dewadaru. Makin ia dipaksa mengerahkan tenaga, makin jadi segar-bugar. Itulah sebabnya, ia masih saja bisa bertahan dengan tak kurang gesit.
Yuyu Rumpung heran menyaksikan tenaga jasmani si pemuda. "Jelas-jelas ia kena gempur habis-habisan, namun tenaganya masih tetap utuh. Apa dia memiliki ilmu siluman" Ah, masa bocah sebelia itu mempunyai ilmu mantran begitu, pikirnya.
Teringat akan ramuan obatnya yang kena dihambur-hamburkan si pemuda, lantas saja
meledaklah dendamnya. Meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, tapi saking
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendongkolnya ia tak mempedulikan akibatnya. Segera ia menjejak tanah dan tiba di gelanggang pertarungan.
Yuyu Rumpung adalah salah seorang penasehat sang Dewaresi dan menjadi guru-besar anakbuah sang Dewaresi pula. Ia seorang sakti dan perkasa. Kalau tidak, masa dia kuasa melukai Panembahan Tirtomoyo.
"Hai, bangsat anjing!" makinya. "Siapa yang suruh kamu menghambur-hamburkan ramuan obat-obatanku" Cepat bilang!"
Sangaji tengah bertempur mati-matian melawan Sanjaya. Karena itu ia tak memperduli-kan
siapa yang datang. Tetapi begitu mendengar suara Yuyu Rumpung lantas saja ia mengenal siapa dia. Teringat akan luka dalamnya Panembahan Tirtomoyo yang sangat parah, sekaligus meluaplah darahnya. Memang ia menaruh dendam dan benci kepada Yuyu Rumpung yang telah melukai
penolongnya dengan cara curang. Lantas saja ia melompat meninggalkan Sanjaya dan langsung menyerang si jago tua dari Banyumas itu.
"Bagus! Kiranya kamu si ular tua mencari gebug," dampratnya.
Yuyu Rumpung sudah bersedia bertempur. Maka begitu ia melihat serangan, sebat luar biasa ia menanggapi. Tangannya berkelebat hendak membekuk lengan. Di luar dugaan, tenaga alam si
bocah yang benar-benar sakti, bisa membebaskan diri. Bahkan terus menjulur hendak
mengemplang kepala. Cepat-cepat ia mengelakkan kepala sambil mengibaskan tangan.
Jago tua dari Banyumas ini meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, kepandaiannya
berlipat sekian kali dari pada Sangaji. Sudah barang tentu bisa berbuat sekehendak hatinya pada si bocah yang kalah pandai, kalah pengalaman, kalah cerdik dan kalah dalam segalanya, la membiarkan si bocah berbesar hati untuk sementara. Tetapi begitu serangan si bocah tiba untuk yang kedua kalinya, ia berpura-pura gagal menangkis. Tiba-tiba kakinya menggaet dan ditarik sekuat tenaga. Keruan saja Sangaji roboh sekaligus. Kepalanya terbentur tanah. Dan sebelum bisa berkutik, tahu-tahu punggungnya telah kena tindih.
Titisari yang menghadapi Manyarsewu tengah keripuhan pula. Sekian lamanya ia mengadu
kegesitan, namun usahanya senantiasa gagal. Sebaliknya Manjarsewu kalau menghendaki dengan mudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Namun di hadapan Pangeran Bumi Gede, Jago
Ponorogo itu ingin memperlihatkan sedikit kepandaiannya. Ia Sengaja mempermain-mainkan si gadis.
Titisari akhirnya jadi putus asa. Namun ia masih mencoba. "Manyarsewu!" katanya lembut,
"Asal aku dapat menerobos keluar, kau-takkan mengganggu diriku bukan?"
"Boleh coba." "Berjanjilah!" "Asal kau dapat menerobos bebas, aku akan menyerah kalah," Manyarsewu berjanji.
Titisari menarik napas panjang seakan-akan sedang bersedih.
"Sayang... sungguh sayang?"
"Apa yang kausayangkan?" Manyarsewu heran.
"Ayahku hanya mengajari aku jurus-jurus menyerang memasuki goa. Coba aku diajari jurus-jurus menyerang keluar, pasti kamu tak berdaya seperti kelinci tengkurap dalam gua harimau."
"Eh... kamu terlalu berbangga kepada kepandaian ayahmu. Jangan kausangka aku berada di bawah ayahmu. Kau bilang, ajaran jurus ayahmu bakal bisa menerobos kepunganku?"
"Ya, mengapa tidak" Jurus menerjang gua itu akan tepat sekali buat merobohkanmu. Meskipun kuakui gerak-gerikmu gesit, tetapi jika dibandingkan dengan keahlian ayahku takkan nempil."
Manyarsewu beradat berangasan. Begitu ia mendengar kata-kata merendahkan dirinya,
sekaligus meluapkan kegusarannya, la percaya pada kemampuan diri, mana bisa namanya ditaruh di bawah nama seseorang. Keruan saja ia membentak garang, "Hm" tutup mulutmu! Kau bilang ayahmu sudah mengajarimu ilmu menerjang masuk gua" Bagus! Nah, kau berada di luar pintu.
Jika kamu bisa menerobos masuk, kamu bisa membakar kumis dan jengkotku."
Orang-orang yang ikut mendengar percakapan itu, diam-diam ikut menebak. Ilmu menyerang
memasuki gua dan ilmu menyerang keluar gua, apa bedanya. Bukankah setali tiga uang" Tapi tadi mereka melihat si gadis bisa memperlihatkan ilmu tata-berkelahi yang aneh-aneh. Kini mereka pun percaya, si gadis memang benar-benar memiliki ilmu aneh yang khas. Itulah sebabnya, mereka jadi menaruh perhatian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manyarsewu kemudian menggeser tempat. Ia sekarang berada di ruang kadipaten, sedang
Titisari lantas saja berada di luar.
"Manyarsewu!" kata Titisari nyaring. "Kamu seorang tua benar-benar tolol. Mengapa tak takut bakal jatuh pamormu, menghadapi seranganku kali ini."
"Jangan perang mulut. Biarpun kau memiliki ilmu aneh-aneh, apa yang kutakuti" Hayo cepat serang!" tantang Manyarsewu penasaran.
"Kau minta kuserang" Baik, tapi tadi kau berjanji takkan mengusik diriku, apa bila aku bisa membebaskan diri."
"Boleh coba, tapi jangan melamun dan mimpi dulu. Hayo mulai!" teriak Manyarsewu.
"Bagus! Awas!" ancam Titisari.
Si gadis lantas saja berputaran seakan-akan mau melancarkan serangan dahsyat. Manyarsewu yang mengira si gadis bakal mengeluarkan serangan mendadak yang aneh, benar-benar
memusatkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba saja di luar dugaan, si gadis bukannya menyerang.
Tapi lantas saja melesat pergi. Maklumlah, dia sudah berada di pintu apa perlu menyusahkan diri untuk menerobos ke dalam. Bukankah maksudnya mau membebaskan diri dari pencegatan
Manyarsewu" Karuan saja Manyarsewu mendongkol sekali sampai ia melongo.
"Selamat tinggal," seru si gadis girang.
Manyarsewu tak dapat berkutik. Ia kalah janji, takkan mengusik si gadis lagi jika bisa
membebaskan diri dari pengawasannya. Tak peduli si gadis menggunakan akal bulus, tapi ia benar-benar bisa terbebas.
Sang Dewaresi yang hadir di situ tak senang menyaksikan tata berkelahi si gadis yang
menggunakan akal bulus. Ia seorang yang berpengaruh di Banyumas. Sebagai seseorang yang
berpengaruh, biasa ia menyaksikan undangan untuk menyaksikan suatu pertandingan pilihan yang pantas disuguhkan padanya. Itu pun kadang-kadang masih dikajinya pula. Maka itu, mana bisa kini ia disuguhi permainan macam begitu. Kedudukan dan kehormatan dirinya tersinggung
sekaligus. Itulah sebabnya, lantas saja ia tampil ke muka mengulur tangan:
Dengan meraup segenggam kacang goreng, ia menghujani Titisari dengan sentilannya.
Segenggam kacang goreng itu lantas saja terbang mengaung-ngaung memburu si gadis. Waktu itu Titisari telah merasa senang. Ia sudah pula mengira, bisa berlalu dengan bebas.
Mendadak ia mendengar suara aungan. Cepat ia menoleh. Tahu-tahu barisan kacang telah
menyerang kepala dan kakinya. Cepat ia mengendapkan diri berbareng meloncat tinggi, la heran dan kaget. Justru pada saat ia heran dan kaget, barisan kacang goreng datang menyerang
bertubi-tubi bagaikan rombongan lebah.
Barisan kacang goreng yang ada menyambar lewat di depannya, tapi lantas berbalik cepat
mengancam dada. Keruan saja, si gadis mundur cepat seraya meloncat tinggi. Tapi kacang goreng yang lain menyambar pula punggung. Maka terpaksalah ia berloncatan mundur dan mengelak ke samping berturut-turut. Sewaktu serangan kacang goreng habis, tahu-tahu ia sudah berada
kembali di tengah ruang kadipaten. Ternyata ia kena giring dengan tanpa sadar.
"Mengapa kamu kembali Nona?" terdengar sang Dewaresi bertanya.
Titisari menatap orang itu. Segera ia kenal siapa dia. Pikirnya, orang inilah yang tadi
melontarkan pertanyaan dahsyat kepada Pangeran Bumi Gede tentang si Pendeta Ki Hajar
Karangpandan. Ia nampak gagah dan garang. Ternyata ia benar-benar gagah. Tetapi ia tak sudi memperlihatkan rasa kagumnya. Dengan pandang garang ia berkata mengejek.
"Kepandaianmu menyentil kacang goreng benar-benar hebat. Sayang hanya dipergunakan
untuk menggiring seorang perempuan."
"Aku hanya menyentil sambil lalu. Tidak ada niatku ingin menggiring Nona. Adalah kesalahan Nona sendiri, mengapa Nona justru bisa tergiring memasuki ruang dalam. Bukankah Nona tadi sudah bebas merdeka" Mengapa tak cepat-cepat melesat pergi?"
"Kalau begitu, biarkan aku pergi," sahut Titisari cepat.
"Aku takkan merintangi. Cuma, terangkan dulu siapa nama ayahmu. Kau tadi begitu
membanggakan ayahmu."
"Hm," dengus si gadis. Lantas saja ia tersenyum nakal. Menjawab, "Aku khawatir jika menyebutkan nama ayahku. Semangat jantanmu lantas terbang tak keruan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang Dewaresi bukanlah seperti sikap Manyarsewu atau Cocak Hijau. Sikapnya kening-ratningratan, agung dan berwibawa, la pandai menguasai diri. Itulah sebabnya, ia tetap berdiri tenang diejek si gadis. Sama sekali ia tak menghiraukan, sehingga tak mudah kena jebak akal licin. Ia menoleh kepada hadirin seraya berkata, "Siapakah yang sudi mewakili aku menyerang Nona ini dalam sepuluh jurus" Aku akan bisa menebak siapa ayah atau gurunya yang mangajari ilmu berkelahi kepadanya."
Pendekar Madura"Abdulrasim"lantas saja meloncat memasuki gelanggang. Ia seorang lakilaki berperawakan langsing. Gerak-geriknya cekatan dan gesit. Pandang matanya tajam. Sikapnya tak pernah beragu.
"Biarlah aku yang mewakili Tuan. Dalam sepuluh jurus pasti aku akan bisa menolong Tuan membongkar rahasianya," katanya dengan suara ditekan-tekan.
Sehabis berkata demikian, dengan sekali gerak ia telah menyerang si gadis. Tetapi Titisari tetap berada di tempatnya, la tak mau menangkis, karena merasa takkan ungkulan. Lagi pula ia
andaikata menangkis serangan orang, bukanlah tata ilmu berkelahinya akan kelihatan"
Abdulrasim terkejut melihat si gadis tak bergerak. Cepat-cepat ia menarik serangannya yang hampir mengenai sasaran yang dikehendaki. "Tangkislah dan jaga diri! Jangan persalahkan jika tanganku sampai mengenai dirimu. Aku sudah
memberi peringatan," bentaknya.
Benar-benar ia seorang laki-laki yang tetap pada
keputusannya. Tadi ia mau menyerang lambung. Tapi
si gadis tetap tak mau meladeni. Cepat ia berpikir, biar
kuserang buah dadanya. Masa dia akan membiarkan
buah dadanya kuremas pencet.
Memikir demikian, serangannya yang kedua segera
ditujukan ke arah buah dada. Titisari terkejut. Cepatcepat ia melesat mundur sambil berteriak terpaksa.
"Baiklah. Aku akan melayani kamu bertempur
selama sepuluh jurus. Tapi apa janjimu, bila kau tak
dapat menebak siapa guruku?"
"Kau boleh pergi dengan bebas. Aku yang
menanggung." "Hm"mana bisa aku percaya pada mulut kalian.
Dua kali berturut-turut aku direcoki. Kalian bukan lakilaki sejati." "Nona," sang Dewaresi menyahut. "Aku adalah
Dewaresi. Dengan namaku, aku akan memegang janji.
Jika aku tak dapat menebak siapa guru atau ayah yang
mengajarimu ilmu tata berkelahi, aku akan menjamin kebebasanmu. Jika Dewaresi sudah berjanji dia akan menepati biar pun akan berakibat runyam."
Titisari mau mempercayai orang itu.
"Baik kamu boleh mulai."
"Bagus! Awas! Sepuluh jurusku itu buka main-main, Nona. Untuk kedua kalinya aku memberi peringatan kepadamu," sahut Abdulrasim.
Jago Madura itu lantas saja menyerang. Ia menyapukan kakinya, kemudian dengan beruntun ia menghujani tinju. Itulah pukulan khas Madura yang berbahaya.
Titisari terkesiap juga melihat macam serangan jago Madura itu. Akan tetapi ia tak gugup.
Cepat ia berkisar dari tempat dan segera memapaki serangan itu dengan serangan pula. Hebat akibatnya, la kena dipentalkan, namun dirinya bebas dari tangkapan atau pukulan telak.
"Bagus!" puji sang Dewaresi. "Itulah gaya pertahanan Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon."
Kembali Abdulrasim melancarkan serangan berbahaya. Kali ini si gadis telah mendapat
pengalaman. Tak mau ia mengadu tenaga. Tadi ia kena dipentalkan. Kini ia melesat gesit dan menerobos rantai serangan bertubi, la berhasil membebaskan diri. Dan Abdulrasim mendongkol menyaksikan macam serangannya kena dielakkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang Dewaresi mulai heran. Gumamnya, "Hai! Bukankah itu gaya serangan Pangeran Samber Nyawa?"
Orang-orang yang mendengar ulasaan sang Dewaresi turut pula menebak-nebak. Lantas saja
mereka berkasak-kusuk saling membicarakan.
Abdulrasim lantas berpikir, aneh gadis ini. Dia bisa lolos dari seranganku. Biarlah agak kudesaknya dengan keras.
Memutuskan hendak menggunakan tenaga keras, maka Abdulrasim menggerung bagaikan
harimau. Kemudian meloncat mengarah dada, lambung, tengkuk, kaki dan lengan sekaligus.
Orang-orang yang menyaksikan berseru kaget mengkhawatirkan si gadis.
Titisari sendiri terkesiap. Hatinya ciut. Mendadak saja ia menjejak bumi dan melesat berputaran seperti terbang. Kemudian mundur berjumpalitan sambil mengibaskan tangan. Untuk ketiga
kalinya ia luput dari ancaman maut. Tetapi jantungnya memukul keras.
Sang Dewaresi jadi sibuk menduga-duga menyaksikan gaya pertahanan Titisari. Pikirnya,
sungguh mengherankan. Gadis ini memiliki bermacam ragam tata berkelahi. Bukankah ini tadi gaya pertahanan Pangeran Blitar" Eh, bagaimana bisa campur aduk tak keruan" Apakah dia
sengaja berbuat begitu untuk menyembunyikan ilmu berkelahinya yang sejati"
Dalam pada itu Abdulrasim menjadi penasaran. Tiga serangannya kena dielakkan. Kini tinggal tujuh jurus serangan. Kalau sampai gagal, mau tak mau ia akan kehilangan pamor di hadapan Pangeran Bumi Gede. Sekarang ia bertambah garang. Tak mau lagi ia bersikap berbelas-kasih.
Seperti badai melanda pantai ia terus menyerang empat jurus sekaligus. Dan Titisari"meskipun keripuhan"dapat mengelakkan diri dengan bermacam ragam ilmu menangkis. Sebentar ia
menggunakan jurus gaya Pangeran Purboyo, jurus gaya Ronggo Prawirodirjo, kemudian berubah cepat dengan jurus gaya pertahanan Untung Surapati dan Mangku Bumi 1.
Mau tak mau Abdulrasim terpaksa berkerut-kerut. Pikirnya, celaka! Tinggal tiga jurus. Biarlah kudesaknya bercampur aduk. Masa aku gagal membongkar rahasianya.
Abdulrasim benar-benar mendongkol dan gusar. Teringat akan harga diri, mendadak saja
timbullah watak mau menang sendiri. Pandangnya lantas saja menjadi bengis kejam. Tadi ia masih menyayangkan si gadis, karena usianya yang muda dan kejelitaannya yang menawan. Kini soalnya berkisar tentang nama. Mana ia mau mengalah" Maka ketiga jurus penghabisan terus saja
dilakukan dengari kejam dan bengis. Sudah barang tentu, orang-orang yang mengenal bahaya tak terasa nyaris memejamkan mata.
Titisari benar-benar gugup, la tak dapat berpikir lama atau berkesempatan berpikir. Sebat luar biasa, ia berjumpalitan dan melesat kian kemari. Kemudian berputar hendak menghindarkan diri.
Tetapi jurus yang penghabisan tiba-tiba menghadang tiap gerakannya. Ia mengeluh. Hatinya lantas mencelos.
"Tak kuduga, kalau aku akan mati di sini," keluhnya. Saat itu cengkeram Abdulrasim sudah hampir mendarat di botak kepalanya. Titisari benar-benar sudah tak mampu menghindar dan
mengelak. Mendadak saja, di luar kemauannya sendiri, meletuslah ilmu berkelahinya yang sejati.
Itulah suatu kejadian di luar pemeriksaannya yang tadi bisa disembunyikan baik-baik. Maklumlah, ia dalam keadaan terjepit. Siapa saja yang berada daiarri saat demikian akan berlaku seperti dia.
Cepat ia mengendapkan diri. Kepalanya agak ditarik ke belakang. Kemudian memapaki dada
orang dengan sikunya. Dengan demikian ia bertahan sambil menyerang.
Ternyata Abdulrasim hanya menggertak belaka. Sebat luar biasa ia menahan serangan
telaknya. Mendadak saja gerakan tangannya berubah. Dengan suatu tenaga dahsyat ia
menyambar lambung si gadis. Masih saja si gadis bisa menjejak mundur, tetapi Abdulrasim
kemudian berhenti di tengah jalan, sambil berkata menuding. "Sang Dewaresi, apa sudah cukup jelas?"
"Terang benderang. Nah"tolong ucapkan!"
Dengan tubuh tegak seperti tonggak mati, Abdulrasim berkata, "Nona... gurumu adalah Pringgasakti."
Waktu itu Titisari itu nyaris kehilangan tenaga. Ia terhuyung beberapa langkah. Karena itu tak sempat ia mendengarkan atau meladeni ucapan Abdulrasim. Sebaliknya orang-orang yang
mendengar ucapan Abdulrasim, mereka terperanjat bukan main.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pringgasakti!" mereka mengulang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nama Pringgasakti sudah lama dikenal orang. Dia seorang iblis yang pernah merajalela di
zaman Perang Giyanti dan pemberontakan Tionghoa di Pekalongan. Tetapi banyak di antara
mereka yang belum pernah melihat orangnya. Karena itu mereka jadi ragu-ragu. Serentak mereka saling pandang. Kemudian menyiratkan pandang kepada Abdulrasim dan sang Dewaresi.
"Pringgasakti?" mereka bertanya bersera-butan.
"Ya," sahut Abdulrasim. "Bukankah begitu, sang Dewaresi?"
"Nona itu memang murid Pringgasakti. Apakah Pringgasakti ayahnya pula?" dengus Dewaresi was-was.
Titisari sedang mengatur napas, berbareng mengumpulkan tenaga. Karena itu, tak berani ia bersuara atau bergerak, la tahu orang-orang sedang menaksir-naksir dirinya. Agar pemusatan pikirannya tak terganggu, ia memejamkan mata. Mendadak saja, ia mendengar pekik panjang.
Tubuhnya menggigil, karena ia mengenali suara itu. "Aji!" ia kaget. "Mengapa?" Suara pekik itu, memang jerit Sangaji yang kena disakiti Yuyu Rumpung. Mula-mula ia hanya ditindih dan
dikangkangi. Mana bisa dia menyerah begitu saja tanpa melawan. Biar pun merasa diri tak unggul, namun ia berontak juga. Tetapi Yuyu Rumpung memang gagah, apalagi dia sedang gusar. Dengan gregetan ia menghajar Sangaji kalang kabut, kemudian menerkam tengkuk. Tangannya lantas
dikembangkan dan ditumblaskan sekuat tenaga.
Panembahan Tirtomoyo yang sakti kena dilukai dengan gempurannya, apa lagi Sangaji si bocah kemarin sore. Bagi dia adalah makanan empuk bagaikan kelinci yang bisa dipilin-pilinnya sesuka hati. Untung, luka dalamnya masih belum sembuh benar. Karena itu, tenaganya belum pulih
seperti sediakala. Meskipun demikian sisa tenaganya yang bergolak di dalam tubuh jauh berlipat ganda hebatnya daripada tenaga Sangaji.
Keruan saja Sangaji kesakitan kena terkam jarijari Yuyu Rumpung. Entah dari mana datangnya,
mendadak saja ia mendapat tenaga luar biasa
kuatnya. Serentak ia berontak sekuat-kuatnya,
sehingga dapat terlepas dari cengkeraman Yuyu
Rumpung. Kemudian ia menggelinding bergulungan.
Tatkala Yuyu Rumpung memburu dengan
menendangkan kaki, mati-matian ia menangkapnya.
Karena hebatnya tenaga lawan, tubuhnya terus
terpelanting berputaran. Tapi rangkulannya tetap
melengket tak terenggangkan. Dalam seribu
kesulitannya, teringatlah dia pada pengalamannya
lima enam tahun yang lalu tatkala dihajar kalang
kabut oleh Mayor de Groote. Karena terjepit dan tak
sudi menyerah, ia merangkul betis dan menggigit
sekuat tenaga. Kali ini pun tanpa berpikir ia terus
menggigit. Hebat, akibatnya. Yuyu Rumpung
kesakitan sampai menjerit tinggi sambil berputaran.
Kemudian melemparkan tubuh Sangaji dengan sisa seluruh tenaganya.
Sangaji terlempar sejauh sepuluh langkah. Ia jatuh bergulungan. Seluruh tubuhnya sakit dan nyeri bukan main. Takut akan diuber lawan, cepat-cepat ia mengumpulkan tenaga dan lari sejadi-jadinya.
Dalam hal lari, ia menang gesit daripada Yuyu Rumpung. Apalagi waktu itu, Yuyu Rumpung
dalam keadaan kurang sehat dan nyaris kehabisan tenaga. Itulah sebabnya, ia tak tersusul.
Malahan, Yuyu Rumpung nampak duduk numprah di atas tanah dengan napas tersengal-sengal.
Sangaji tak perduli. Ia terus lari dan lari. Mendadak teringatlah dia, ... Ibu Sanjaya seorang yang berhati mulia, mungkin dia mau melindungi. Mendapat ingatan demikian, terus saja ia menuju ke gedung agung. Ternyata kamar Raden Ayu Bumi Gede dalam keadaan terang
benderang oleh sinar pelita. Dengan merangkak-rangkak Sangaji masuk dan bersembunyi di
belakang almari besar. Ia terus mendekam, kemudian menjelajah matanya. Mendadak ia melihat suatu pemandangan aneh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jendela besar yang berada di sebelah timur terpentang lebar. Di dekat tempat tidur, ibu
Sanjaya rebah tak berkutik menelungkupi kursi. Seorang laki-laki mencoba membangunkan.
Dengan hati-hati, laki-laki itu memapahnya dan didudukkan baik-baik di atas kursi besar. Jantung Sangaji berdebar-debar, karena laki-laki itu ternyata Wayan Suage.
Mengapa dia berada pula di sini" pikir si bocah menduga-duga. "Apakah dia menyakiti ibu Sanjaya karena hendak membalas dendam perlakuan Sanjaya terhadapnya"
Tatkala Yuyu Rumpung memburu dengan menendangkan kaki, mati-matian ia menangkapnya.
Tak lama kemudian, ibu Sanjaya nampak tersadar. Tiba-tiba merangkul Wayan Suage sambil
berkata, "Sekarang jangan tinggalkan aku lagi. Aku tak takut. Cepat bawalah aku pergi! Aku akan mengikutimu, biarpun sampai di ujung dunia. Kalau kau mati, aku pun akan mati. Biarlah kita jadi setan atau iblis, asal kita tak berpisah lagi."
Wayan Suage terus mendekap ibu Sanjaya dan dibawa ke dadanya. Sangaji bertambah heran.
Hatinya lantas goncang tak tahu mengapa.
Sesungguhnya setelah berpisah dengan Sangaji, Wayan Suage terus mencari gedung ibu
Sanjaya. Sebentar ia mengintip dari luar jendela. Ia mendengar suara Sanjaya sedang berbicara dengan ibunya minta keterangan tentang dirinya yang mendadak bisa bebas dari tahanan. Ibunya menyesali dan menganjurkan agar tidak mengusiknya lagi. Tetapi Sanjaya menyahut, "Ibu terlalu lemah hati. Kalau guru sampai mendengar peristiwa ini, apa jadinya?"
Anak muda itu terus keluar pintu dan bermaksud hendak mencegat. Ia menggerutu sepanjang
jalan dan berniat takkan pulang kembali sebelum dapat menangkap tawanannya.
Wayan Suage mengeluh dalam hati. Hatinya berduka bukan kepalang. Mendadak saja timbullah amarahnya. Terus saja ia merenggutkan jendela. Pintu dijeblaknya dan ia melompat masuk.
Raden Ayu Bumi Gede terkejut bukan main, sampai menjerit tertahan. Sebentar ia tertegun,
"Siapa kau?" Wayan Suage tersenyum pahit. Dengan mata tanpa berkedip dan napas memburu, ia
mengawasi Raden Ayu Bumi Gede. Pandangnya tak berkisar dari tahi lalat yang tersungging di atas mulut.
Menghadapi orang yang memandang dirinya tanpa berkedip, hati Raden Ayu Bumi Gede jadi
cemas. Tanpa disadari ia mundur sambil mengulangi pertanyaannya.
"Kau siapa?" Kembali Wayan Suage tersenyum pahit. Tapi kali ini dia mau membuka mulut. Jawabnya
dengan suara yang dikuasai, "Hamba bernama Mustapa yang dikurung anak Nyonya."
Raden Ayu Bumi Gede terkejut. Tetapi kecemasan hatinya lantas pudar. Dengan menunduk ia
berkata, "Anakku memang salah. Dia menyusahkan kalian."
Wayan Suage tidak menanggapi. Matanya lantas mengelana ke seluruh ruang kamar. Di
dinding saja tergantung sebatang pedang panjang. Itulah pedang Sanjaya yang selalu dibawanya ke mana dia pergi. Dan didekatnya tergantung gambar Sultan Hamengku Buwono II. Melihat
gambar itu, Wayan Suage tersenyum pahit. Kemudian berkata dengan nada suara sedih. "Hujan terlalu deras. Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogya ini, kita tak boleh bekerja terlalu lama.
Itulah kesalahan kita, tak tahu menghormati hari besar, Mari kita menyembelih ayam dan
memasak kopi hangat..."
Raden ayu Bumi Gede terkejut sampai mukanya pucat, tatkala mendengar ucapan Wayan
Suage. Tubuhnya lantas gemetaran. Kakinya menjadi lemas dan perlahan-lahan ia duduk
terhenyak di atas kursi. Dengan pandang menyelidiki ia mengamat-amati Wayan Suage. Kemudian berkata gagap, "Kau berkata... berkata apa?"
"Aku berkata, hujan terlalu deras. Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogya ini, kita tak boleh bekerja terlalu lama. Itulah kesalahan kita. Tak tahu menghormati hari besar. Mari kita
menyembelih ayam dan memasak kopi hangat..."
Tiba-tiba saja, seluruh anggota tubuh Raden Ayu Bumi Gede lemas kehilangan tenaga. Sebab kata-kata itu adalah kalimat percakapan antara suaminya"Wayan Suage"dan Made Tantre pada hari penobatan Sultan Hamengku Buwono II dua belas tahun lalu.
"Kau... kau siapa?" tanyanya bergemetaran. "Kenapa kamu bisa menirukan kalimat percakapan antara suamiku dan saudara-saudaraku..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden Ayu Bumi Gede sesungguhnya adalah Sapartinah, isteri Wayan Suage. Dua belas tahun
yang lalu rumah tangganya yang aman damai hancur berantakan oleh suatu malapetaka. Ia dan anaknya dibawa lari oleh Pangeran Bumi Gede. Dua tiga tahun lamanya, ia menunggu kabar berita suaminya. Tetapi sama sekali tak pernah didengarnya. Bahkan Pangeran Bumi Gede pernah
membawanya menjenguk bekas rumahnya dan tanda-tanda hidupnya sang suami pun tiada. Ia
percaya, Wayan Suage telah meninggal dunia. Karena merasa diri tidak bersanak keluarga, maka ia membiarkan diri mengikuti Pangeran Bumi Gede. Lagi pula, sikap dan perlakuan Pangeran Bumi Gede sangat baik terhadap dirinya. Malahan lantas saja pangeran itu mendidik dan mengasuh Sanjaya seperti anak kandungnya. Sebagai seorang ibu, hatinya lantas saja luluh menyaksikan perlakuan sebagus itu terhadap anaknya. Beberapa bulan kemudian, tak dapat ia menolak bujukan Pangeran Bumi Gede, akhirnya dia diambil selir terdekat.
Sepuluh tahun lamanya ia jadi selir Pangeran Bumi Gede. Dan perlakuan serta sikap, sang
Pangeran tidak berubah. Nampak sekali, betapa besar cinta sang Pangeran terhadapnya, la
dimanjakan dan dirawat dengan cermat. Tak mengherankan kalau perawatan yang baik itu
membuat keadaan dirinya makin sehat dan montok. Dia ibarat intan yang belum tergosok. Maka begitu intan itu kena gosok, lantas saja bersinar cemerlang. Itulah sebabnya, banyak para pangeran membicarakan kecantikan dan kejelitaan dirinya. Mereka pada menginginkan nasib baik Pangeran Bumi Gede.
Sebaliknya badan Wayan Suage yang menanggung penderitaan batin dan jasmani, makin lama
makin nampak tua. Rambutnya mulai nampak memutih. Raut mukanya agak kisut, kakinya
buntung. Kesegaran masa muda hilang. Karena itu tak mengherankan jika Sapartinah tidak dapat mengenal dirinya.
Mendadak Wayan Suage berkata lagi seperti kepada dirinya sendiri. "Ah, dapur kita harus satu saja. Apa perlu mesti memasak masing-masing?"
Sekarang Sapartinah tiada ragu demi mendengar tata-kata kalimat itu. Sebab kalimat yang
diucapkan Wayan Suage itu adalah kalimatnya sendiri pada Wayan Suage sewaktu mau mulai
memasak ayam. "Kau... kau Suage?" tanyanya tersekat-sekat.
Wayan Suage memandangnya sedih. Menjawab setengah parau, "Tinah! Aku adalah Wayan
Suage... suamimu..."
Mendengar pengakuan itu, tubuh Sapartinah seperti terbanting. Ia jatuh menelungkupi kursi.
Ternyata Sapartinah tak pernah melupakan suasana damai dalam rumah tangganya dahulu. Benar saja"sebagai selir"dia dihormati, dihargai, dirawat dan dimanjakan oleh siapa saja, tetapi hatinya senantiasa kosong. Dia bisa hidup di tengah-tengah desa dan dilahirkan sebagai perempuan desa pula. Jiwanya bebas seperti tetumbuhan tumbuh di tengah alam. Karena itu, tidak gampang ia kena dipincuk oleh kesenangan serba benda yang cemerlang. Tata hubungan suami-isteri antara dia dan Pangeran Bumi Gede diikat oleh peraturan-peraturan tertentu juga. Mana bisa jiwanya yang bebas ria mau diikat oleh tata-hidup demikian. Tetapi setiap kali timbul suatu
pemberontakan, teringatlah dia akan nasibnya yang tidak bersanak keluarga. Teringat akan anaknya, ia terhiburlah. Seumpama Pangeran Bumi Gede tidak menolong dirinya, apa yang akan terjadi tak dapat ia bayangkan.
Sangaji yang berada di kamar tak mengetahui latar belakang kisah itu. Ia hanya merasakan suatu kegoncangan hati yang tak dimengerti sendiri apa sebabnya. Lama ia merenungi mereka dan heran mendengar kata-kata ibu Sanjaya yang diucapkan penuh semangat.
Wayan Suage nampak mengelus-elus rambut isterinya dengan mulut tergugu. Sedang
Sapartinah terus mendekapnya makin erat, seakan-akan takut akan kehilangan lagi.
"Suage! Mengapa diam saja" Bukankah kamu benar-benar Suage?" kata Sapartinah.
"Ya, ... aku Suage. Percayalah, aku Suage. Bukan setan atau iblis."
"Nah, marilah kita pergi. Apa yang kita takuti lagi?"
Wayan Suage hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah suara Sanjaya di luar kamar.
"Ibu! Apa anak edan masuk di sini" Bu...! Bu...! Ibu berbicara dengan siapa?"
Suara Sanjaya itu seperti geledek di siang hari. Hebat akibatnya. Selain mengejutkan,
membangunkan pula mimpi Sapartinah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh! Entah dari mana datangnya pertimbangan itu, tiba-tiba saja dia sadar kalau dirinya bukan lagi kepunyaannya sendiri seperti tiga belas tahun yang lalu, tatkala nasib merenggutkan dari Dusun Karangtinalang.
Hendak melarikan diri bersama Wayan Suage begitu saja dari istana Pangeran Bumi Gede"
Bagaimana mungkin! Dia kini adalah isteri syah seorang pangeran yang merawat dirinya dengan cinta kasih yang besar. Bahkan anaknya, diakuinya pula sebagai anak kandung. Dengan begitu, dirinya sendiri kini adalah milik Pangeran Bumi Gede dan anak kandungnya. Terhadap anak
kandungnya, dia sudah menyerahkan dirinya semenjak lama. Yakni, tatkala ia memutuskan mau menjadi selir Pangeran Bumi Gede, demi nasib anaknya di kemudian hari. Dan terhadap Pangeran Bumi Gede, meskipun lambat jalannya karena terganggu oleh kesan-kesan lama, akhirnya tanpa disadari sudah merasa diri menjadi bagian hidupnya. Maklumlah, dengan Pangeran Bumi Gede ia hidup berumah tangga lebih lama daripada Wayan Suage. Tiga belas tahun! Sedangkan dengan Wayan Suage tujuh-delapan tahun. Kesan-kesan berumah tangga yang dulu, lambat-laun menjadi suatu kenangan belaka. Makin lama, malahan makin terkikis dan terkikis. Itulah sebabnya, ia tak cepat-cepat mengenal wajah Wayan Suage.
Tetapi ia tahu, Wayan Suage masih berhak merasa diri menjadi suaminya. Pertimbangan
norma-norma rasa bergelora hebat dan membenarkan sikapnya. Meskipun nasibnya pontangpanting dan cacat kaki pula, pastilah dia tak mau tinggal diam sebagai penonton di luar garis.
Sungguh! Sapartinah menghadapi suatu persoalan tak gampang dan harus diselesaikan secepatcepatnya.
"Bu! Ibu sudah tidur?" teriak Sanjaya lagi.
"Tidak," Sapartinah menjawab gugup.
"Mengapa tak menyahut?"
Sapartinah tertegun. Mendadak pikirannya berkelebat, lantas menjawab, "Kau tadi mencari seseorang, kan" Aku lagi memeriksa kamar..."
"Lantas?" "Mana dia?". Sanjaya diam seperti lagi menimbang-nimbang. Mendadak berkata, "Biarlah aku memeriksanya sendiri."
"Carilah dulu di luar, barangkali dia berada di kamar lain!"
Sanjaya heran. Suara ibunya seperti orang meminta. Tetapi dia tak membantah. Dengan
berdiam diri ia meninggalkan serambi kamar.
Lega hati Sapartinah, setelah langkah Sanjaya terdengar makin menjauh. Dengan berbisik dia berkata kepada Wayan Suage. "Anak kita sudah menjadi dewasa. Kau telah melihat, bukan?"
"Ya. Bahkan sudah terlalu dewasa," sahut Wayan Suage pahit dingin.
"Kau tak merasa bersyukur?"
"Bersyukur kepada siapa?"
Sapartinah terdiam. Menghadapi pertanyaan itu, ia menemukan sesuatu hal yang sulit. Dan
datangnya sekonyong-konyong pula. Ya, Wayan Suage harus merasa bersyukur terhadap siapa"
Terhadap Tuhan yang memberikan nasib baik" Dengan sendirinya harus berterima kasih kepada Pangeran Bumi Gede. Dan kejadian ini alangkah pahit bagi Wayan Suage.
Sekarang"dengan tiba-tiba saja, ia merasa jadi manusia lain yang berdiri di suatu tempat yang jauh dari Wayan Suage. Seolah-olah ada jurang dalam dan lebar yang menyekatnya. Tiga belas tahun ia sudah menyerahkan diri demi kepentingan si anak. Bahkan dia mau berbuat apa saja demi kebahagiaannya sampai mau menjadi selir. Mana bisa Wayan Suage diajak seperasaan dan sepikiran dengan dia" Mana bisa Wayan Suage menerima jasa itu" Lantas saja ia merasa diri bersalah.
"Aku memang seorang pengecut lagi bodoh..." ia berkata berbisik dan perlahan-lahan ia melepaskan diri dari dekapan Wayan Suage.
Mendadak, di luar kamar terdengar suara Sanjaya lagi.
"Ibu! Ibu berbicara dengan siapa?"
Sanjaya memang telah menaruh curiga kepada ibunya, tatkala mendengar suaranya. Dasar ia
cerdik dan berhati licin. Maka berpura-puralah dia berjalan menjauhi, kemudian meloncat balik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan meringankan tubuh. Dengan demikian, tapak kakinya tidak terdengar oleh pendengaran ibunya.
Wayan Suage terkejut. Tahulah dia, kalau Sanjaya akan memasuki kamar. Cepat ia
mengundurkan diri dan bergerak ke arah jendela, la hendak melompati, tiba-tiba matanya melihat berkelebatnya seseorang. Terpaksa ia membatalkan niatnya.
Sapartinah segera menuding ke arah almari besar. Maksudnya menyarankan agar berlindung di baliknya. Terharu Wayan Suage melihat sikapnya. Memang ia tak rela meninggalkan isterinya dengan begitu saja. Masih ingin ia berbicara lama lagi. Kalau mungkin sampai besok pagi. Itulah sebabnya, segera ia melangkah ke balik almari. Mendadak, nampakiah Sangaji berdiri tegak memipit dinding. Wayan Suage terkejut, terlebih-lebih Sapartinah sampai ia menjerit tertahan.
Mendengar suara Sapartinah, Sanjaya terkejut. Takut ibunya kena ganggu orang, segera ia
mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar. Tetapi di dalam kamar kosong tidak ada orang lain kecuali ibunya. Ternyata Wayan Suage telah ditarik Sangaji ke balik lemari.
Sanjaya mengamat-amati ibunya yang berparas pucat lesi. Kedua kelopak matanya penuh
percikan air mata pula. Hatinya bercekat.
"Ibu! Apa yang terjadi?" tanyanya gugup.
"Tidak! Tidak!" Sapartinah bergeleng kepala. "Hanya malam ini hatiku tidak tenteram."
"Mengapa" Apakah karena aku?"
Sapartinah menunduk. Dan Sanjaya menjadi perasa. Dengan kasih-sayang besar, ia
menghampiri dan merangkulnya. Kemudian membiarkan kepalanya merebahi dada ibunya.
"Ibu! Sekarang aku berjanji, takkan main gila lagi. Pengalaman hari ini cukup memberi pelajaran padaku. Kuminta Ibu jangan bersusah hati lagi. Mengapa aku begini buruk tabiatku?"
"Pergilah tidur. Hari sudah begini larut malam," potong ibunya.
Sanjaya menegakkan tubuh sambil berkata mengalihkan pembicaraan.
"Ibu! Apa benar-benar tidak ada orang masuk kemari?"
"Siapa?" hati Sapartinah berdetak.
"Seorang anak edan. Dia lolos dari kepungan kita."
Sanjaya berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju ambang pintu. Mendadak ia mendengar
napas orang di belakang almari. Tetapi ia bersikap seakan-akan tidak mengetahui. Hanya saja matanya mengerling, kemudian berbalik menghadap ibunya seraya berkata, "Anak kerbau itu pandai berkelahi. Tadi siang Ibu kan sudah menyaksikan."
"Hm," dengus ibunya. "Mengapa mesti berkelahi?"
Sanjaya menghampiri dinding dan menurunkan batang pedangnya. Kemudian dilolos-nya dan
dibolak-balikkan. "Ibu! Meskipun anak kerbau itu pandai berkelahi, tak usahlah ibu mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri. Lihat!" kata Sanjaya. Lantas saja ia memperlihatkan jurus-jurus ilmu pedang.
Sapartinah memaksa diri untuk melihat setiap perubahan tata berkelahinya. Tiba-tiba parasnya pucat. Ternyata Sanjaya mendekati dinding almari. Kemudian menikam.
Sapartinah kaget bukan kepalang. Saking kagetnya, ia terhuyung hampir jatuh pingsan. Tetapi ternyata Sanjaya mengurungkan tika-mannya. Dengan menarik pedangnya, ia berkata menyesali,
"Ah Ibu! Mengapa Ibu melindungi orang?"
Ia meletakkan pedangnya di atas meja dan menolong ibunya. Matanya tak berkisar dari arah almari. Perlahan-lahan Sapartinah dapat menguasai diri. Saat melihat almari tetap utuh tidak kurang suatu apa, ia beriega hati.
"Ibu! Mengapa Ibu membohongi aku" Kata Ibu, aku ini anak kandungmu. Mengapa Ibu
merahasiakan sesuatu terhadapku?"
"Sanjaya! Kau memang anak-kandungku. Mengapa menuduh Ibu bohong padamu?" sahut Sapartinah tergagap-gagap. Tetapi di dalam hatinya, ia mengakui kebenaran tuduhan anaknya.
Maka berpikirlah dia, aku bermimpi yang bukan-bukan, seolah-olah dia bisa kubawa berjalan ke mana aku pergi seperti tiga belas tahun yang lalu. Mana bisa terjadi begitu. Rasanya sulit pula aku memberi penjelasan. Tapi biar bagaimana, Wayan Suage adalah ayahnya. Aku wajib
mempertemukan. Apakah aku akan tetap berada di istana atau mengikuti ayahnya, itu bukan
soalnya... Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berpikir demikian, Sapartinah berkata, "Sanjaya! Ibu berbesar hati, karena mendengar kabar kalau otakmu cerdas. Nah, sudah semenjak lama Ibu mempunyai teka-teki. Maukah kamu menolong memecahkan?"
Sanjaya tertegun. Ia mengamat-amati wajah ibunya dengan kepala menebak-nebak. Menduga,
kalau ibunya mempunyai soal pelik yang membutuhkan bantuannya, maka ia lantas saja
mengangguk. "Dengarkan!" kata Sapartinah sambil mempersilakan anaknya duduk di hadapannya, la tak berani mengerling ke almari. Malahan lantas menggeser tempat duduknya sehingga agak
membelakangi. Wayan Suage kala itu dalam keadaan tak keruan. Hatinya bergoncang keras, sampai tak terasa menggenggam tangan Sangaji keras-keras. Memang waktu itu dia berpikir, aku sudah berpisah dengan dia selama tiga belas tahun. Keadaan diriku rusak. Penghidupanku rusak pula. Sebaliknya, dia menjadi isteri seorang pangeran. Hidupnya mulia. Anaknya hidup mulia pula. Mana bisa dia akan kubawa hidup merantau dari satu tempat ke tempat lain" Dia sekarang lagi berteka-teki.
Apakah dia lagi berusaha mencelakaiku dengan memberi perintah sandi kepada anaknya"
Dalam pada itu Sanjaya telah duduk di hadapan ibunya. Kemudian terdengarlah Sapartinah
berkata, "Ada seorang perempuan dusun. Ia kawin dengan seorang laki-laki segolongannya selama lebih kurang tujuh-delapan tahun. Dalam perkawinannya itu, ia mempunyai seorang anak laki-laki umur enam atau tujuh tahun. Mendadak pada suatu hari, datanglah suatu malapetaka hebat. Suaminya hilang tak keruan dan dikabarkan telah tewas. Ia sendiri bersama anaknya, ditolong oleh seorang pangeran yang luhur budi. Pangeran itu merawat dan mengasuh anaknya seperti anak-kandung sendiri. Sedangkan terhadap dia, sangat menaruh perhatian. Meskipun demikian, ia tak mau dikawin pangeran itu. Karena kesan-kesan lama masih saja membekas dalam kenangannya. Tetapi setelah tiga tahun lebih, akhirnya mau diperisteri. Maklumlah, pangeran itu sikapnya tiada tercela. Lagi pula, anaknya diangkat pula sebagai seorang anak golongan ningrat.
Bagi perempuan itu kepentingan diri sudah tak menjadi persoalan hidupnya. Karena itu,
bagaimana ia tak terharu menyaksikan perkembangan nasib anaknya. Coba, andaikata perempuan itu tak bertemu dengan sang pangeran atau menolak diperisteri, belum pasti anaknya bisa hidup lebih lama dari lima tahun. Sekiranya tidak mati kelaparan, akan hidup terlarat-larat. Bagaimana pendapatmu Sanjaya?"
"Ini aneh! Apa perempuan dusun itu cukup berharga menjadi isteri seorang Pangeran, sampai pula mengangkat derajat si anak dusun?"
Sapartinah tidak menjawab. Tetapi terasa dalam hati, kalau ucapan anaknya adalah benar.
Kalau dipikir, anaknya bisa dijual mahal"sehingga Pangeran Bumi Gede bersedia memberikan jasa-jasa baiknya, bila dibandingkan dengan perempuan ningrat sendiri. Bukankah banyak
perempuan-perempuan cantik yang melebihi kecantikannya" Bukankah pula banyak perempuanperempuan yang derajatnya jauh lebih tinggi daripadanya" Kalau saja bukan suatu nasib, kalau saja tiada mempunyai latar belakang suatu peristiwa, pastilah dirinya tidak cukup berharga untuk menjadi isteri Pangeran Bumi Gede, meskipun hanya menjadi seorang selir.
"Perempuan dusun itu hidup selama tiga belas tahun dengan pangeran itu. Hitunglah, sepuluh tahun! Karena dia mau diperisteri setelah tiga tahun dari peristiwa malapetaka. Dan selama hidup berumah tangga dengan pangeran itu, ia dirawat baik-baik, dididik, diperhatikan dan tak pernah diingatkan, bahwa dirinya adalah seorang perempuan dusun. Bahkan, anaknya diangkat menjadi ahli warisnya," sambung Sapartinah. "Sekarang, mendadak pada suatu hari, suaminya yang dikira tewas itu muncul kembali. Perempuan itu roboh pingsan karena terkejut, terharu dan girang. Ia terkejut, karena bertemu dengan seseorang yang telah lama dianggapnya mati dan yang
mempunyai pertalian erat dengan darah dagingnya. Ia terharu, karena menyaksikan keadaan
suaminya. Kini dia telah cacat, raut mukanya rusak dan kabarnya hidup tak keruan, la girang, karena teringat oleh kesan-kesan lama dan sejarah berumah tangga. Tetapi setelah itu, ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan-pertimbangan akal yang
bertentangan dengan ucapan rasa. Nah, inilah soalnya. Sekarang kutanyakan kepadamu, apakah perempuan itu akan kembali kepada suaminya yang lama atau tidak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hebat bunyi pertanyaan itu, sampai Sanjaya menegakkan kepala. Dengan berdiam diri, ia
mengamat-amati ibunya. Dahinya berkerinyit, seolah-olah sedang berusaha membaca latar
belakang persoalan yang membuat ibunya mengemukakan teka-teki demikian.
Wayan Suage yang bersembunyi di belakang almari, tercekat pula hatinya. Tanpa merasa,
tubuhnya gemetaran. Tahulah dia, kalau perempuan itu adalah riwayat Sapartinah sendiri tatkala terenggut oleh suatu malapetaka terkutuk. Sebaliknya Sangaji tak mengerti latar belakang kisah mereka. Meskipun demikian, ia ikut pula berpikir keras. Maka di dalam kamar itu, tiba-tiba suatu ketegangan terjadi dengan dahsyatnya.
Mendadak Sanjaya berkata dengan penuh iba. "Ibu! Tidurlah! Biarlah besok kujawab."
Sapartinah menghela napas.
"Nah, apa kubilang. Bukankah kamu kusuruh tidur pula" Sekarang, pergilah tidur! Biar Ibu sendiri yang memecahkan teka-teki itu. Entah mengapa, malam ini Ibu belum mau tidur. Hatiku tak tenteram..."
"Apakah Ibu menghendaki pemecahan masalah itu sekarang juga?" Sanjaya heran. Ia menunggu kesan. Ketika Sapartinah tetap berdiam diri, ia berkata, "Baiklah kutolong memecahkan."
"Aku bukan menghendaki suatu pemecahan. Tetapi jawabanmu."
"Baik biar kujawab. Andaikata aku si perempuan dusun itu, aku takkan kembali ke suamiku yang lama."
"Mengapa?" Sapartinah memotong cepat dengan suara bergetar. Paras mukanya berubah pula.
"Apa keuntungannya?" sahut Sanjaya. "Ibu! Tiap makhluk berhak menuntut kebahagiaannya masing-masing. Tentu saja suatu kebahagiaannya menurut naluri jasmaniah yang sah. Perempuan dusun tadi"karena suatu nasib baik"bisa diperisteri seorang pangeran. Bukankah itu suatu karunia Ilahi" Anaknya ikut mengecap suatu kebahagiannya pula. Suaminya, bersikap baik pula.
Apalagi yang diminta perempuan dusun itu" Martabat, kehormatan diri, kemuliaan, cinta-kasih"
ya"kukira telah terpenuhi. Dan sekarang apa keuntungannya lantas berbalik kembali kepada si suami lama" Apakah ia harus hidup bergelandangan tak berketentuan" Apakah anaknya akan
diajaknya pula menanggung azab penderitaan. Ibu! Hidup ini tidak hanya cukup berlandaskan tumpuan perasaan-perasaan belaka. Seumpamanya perempuan itu kembali kepada suaminya yang dahulu, apakah suaminya itu dapat memberikan kebahagiaan lain" Kalau perempuan dusun itu masih terkenang kepada kesan-kesan suaminya dulu tatkala sudah menjadi isteri seorang
pangeran, pasti pula ia akan terkenang kesan-kesan sang Pangeran manakala ia menjadi isteri suaminya dulu!
Bagaimana tidak" Sedangkan terhadap pergaulan selama tujuh-delapan tahun dengan
suaminya dulu saja masih begitu tertanam, apalagi dengan pangeran yang sudah hidup berumah tangga selama tiga belas tahun. Ibu! Bukankah perempuan dusun itu hanya terkenang kepada kesan-kesan lama tatkala hidup berumah tangga dalam keadaan damai dan memenuhi syarat"
Kata orang, kenangan yang mengesankan adalah kenangan yang mengasyikkan. Bukan kenangankenangan yang penuh azab penderitaan. Tetapi sekarang... ternyata suaminya yang dulu itu bukan seperti yang dulu... Menurut Ibu, keadaan tubuhnya cacat dan rusak. Hidupnya tak
berketentuan semacam orang gelandangan dan... Bu!... Bu! Mengapa?"
Sanjaya terkejut bukan main. Ia melihat ibunya jatuh terkulai di atas kursi. Cepat ia meraih dan merangkulnya.
"Ibu! Ibu sakit" Biar kupanggilkan tabib-tabib kadipaten!" bujuk Sanjaya.
Tiba-tiba Sapartinah menegakkan kepala. Parasnya pucat luar biasa. Kemudian dengan suara menggeletar ia berkata, "Sanjaya... Tahukah kamu, siapakah yang memberikan nama padamu?"
Sapartinah terus saja menangis. Air matanya terus bercucuran deras tak terkendalikan.
"Ibu!... Ibu... Ibu... Apa yang sedang Ibu pikirkan" Lihat! Aku sehat wal'afiat... Tentang gadis itu, janganlah Ibu turut campur. Biarlah aku sendiri yang menyelesaikannya," bujuk Sanjaya. la mengira, kalau ibunya terlalu memikirkan dirinya.
Perlahan-lahan Sapartinah menegakkan kepala. Tampak sekali, bagaimanapun ia berusaha
menguasai diri. Kemudian berkata setengah berbisik, "Sanjaya! Tahukah kamu siapa yang memberi nama padamu" Dia bernama Wayan Suage?"
"Siapa Wayan Suage?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ayahmu." "Ah"Ya." Sanjaya setengah tertawa. "Bukankah ia sudah meninggal dunia, menurut Ibu" Nah, bahwasanya namaku berasal dari dia, apakah yang harus dipikirkan dan dipersoalkan?"
"Karena... Karena perempuan dusun itu adalah Ibu. Dan dia...?" Sapartinah tergagap-gagap.
Tak terasa ia menoleh ke arah almari. Mendadak saja"entah kapan munculnya" Wayan Suage
telah berdiri di samping almari.
Sanjaya terkejut bukan kepalang. Cepat ia menyambar pedangnya sambil membentak. "Kau"
Kau bersembunyi di sini" Keparat!"
Dengan sebat ia menikam. Wayan Suage meloncat ke samping dan berusaha menangkis
sedapat-dapatnya. Tetapi ia terus dikejar dan dihujani tikaman bertubi-tubi. Sapartinah memekik tinggi, la mencoba berdiri dan menubruk. Tetapi tubuhnya seakan-akan kehilangan tenaga dan ia jatuh terkulai. Dan pada saat itu, mendadak melesatlah sesosok bayangan. Ia membentur sikunya ke pergelangan tangan Sanjaya sambil membentak, "Kamu sudah bertemu dengan ayahmu.
Mengapa menikam tak karuan?"
Bayangan itu ternyata Sangaji. Begitu ia melihat Wayan Suage dalam bahaya, ia tak
memikirkan kepentingan dirinya lagi. Cepat ia melesat dan mencegat tikaman Sanjaya.
Sanjaya kena dibentur pergelangan tangannya. Munculnya Wayan Suage dan Sangaji benarbenar mengejutkan hatinya, meskipun dia tahu kalau di belakang almari bersembunyi seseorang.
Tadinya ia mengira Sangaji seorang belaka. Tak tahunya, orang yang dicari-carinya. Yakni, Mustapa. Tatkala ia mau membalas benturan Sangaji, mendadak ia melihat ibunya jatuh terkulai setelah memekik tinggi. Kecuali itu, ia mendengar ucapan Sangaji, sehingga tak setahunya sendiri ia jadi berdiri tertegun.
Wayan Suage waktu itu telah berdiri tegak di hadapan Sapartinah. Dengan napas terengahengah, ia berkata, "Tinah! Terima kasih! Kamu telah mengutarakan kesulitanmu. Kamu telah mengutarakan pula keguncangan perasaanmu. Aku pun memaklumi! ... Baiklah, marilah kita
timpakan kesalahan ini kepada nasibku yang buruk. Ya buruk! Buruk! Buruk! ..." ia berhenti sebentar. Matanya merah membara, karena hatinya terlalu pedih dan menggigit. "Aku tak menyalahkanmu, Tinah... Sepatutnya pula aku berterima kasih kepadamu... dan... dan terimakasih kepada... Ah andaikata dia bukan Pangeran Bumi Gede, saat ini aku bersedia bersimpuh di


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapannya, karena dia telah merawat istri dan anakku. Tapi kebetulan dia adalah Pangeran Bumi Gede. Dia adalah musuhku dan musuh sahabatku. Karena dia, kakiku buntung! Karena dia pula, sahabatku Made Tantre tewas...!"
Terkejut hati Sangaji, tatkala mendengar nama almarhum bapaknya disinggung. Mau ia minta penjelasan lebih jelas lagi, mendadak Wayan Suage menerkam pergelangan tangannya sambil
berkata mengajak. "Mari, anakku... Milik satu-satunya yang masih ada di dunia ini, adalah engkau... Ah Made Tantre! Made Tantre! Aku beriri hati kepadamu, karena kamu telah menutup mata. Karena kamu mempunyai seorang isteri tulen! Karena kamu mempunyai anak seperti dia... Mari anakku! Mari!
Mari! Kamu adalah milikku satu-satunya..."
Belum lagi Sangaji sadar apa yang harus dilakukan, mendadak saja tubuhnya kena tarik kuat.
Tahu-tahu, ia telah dibawa melesat melompati, jendela.
Sanjaya tak dapat berkutik. Waktu itu ia melihat tubuh ibunya bergemetaran dan pucat lesi.
Akhirnya roboh tak sadarkan diri.
"Ibu," ia memekik dan mencoba menyadarkan. Ibunya tetap kehilangan kesadarannya.
Mendadak timbullah api kemarahannya. Semuanya ini adalah gara-gara laki-laki itu, pikirnya.
Lantas saja ia berteriak, "Penjaga! Bunyikan lonceng tanda bahaya. Ada bangsat masuk kadipaten!
Cepat! Dan tangkap bangsat itu!... Tangkap...!" 0oo0
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
15 SI IBLIS PRINGGASAKTI LONCENG TANDA BAHAYA LANTAS SAJA MEMECAHKAN kesunyian alam. Waktu itu hari hampir
menjelang fajar-hari. Seleret awan cerah mulai mengambang di udara timur. Angin dingin mulai pula menebarkan diri menusuki segala penjuru.
Sangaji terus dibawa lari oleh Wayan Suage. Tetapi tiba-tiba saja Yuyu Rumpung telah
menghadang di depannya. "Anak tolol! Apa dia gurumu?" bentaknya. "Jangan harap kamu bisa kabur."
Sehabis membentak demikian, terus saja dia menyerang. Tangan kanan Sangaji masih
tergenggam erat-erat, maka terpaksalah dia menangkis dengan tangan kiri. Sudah barang tentu, tak kuasa ia menahan serangan Yuyu Rumpung, tubuhnya terus saja terpental dan terlepas dari genggaman tangan Wayan Suage.
Wayan Suage terkejut. Ia tahu, orang yang menghadangnya itu bukan orang lemah. Meskipun
demikian, tak mau dia mengalah, la seperti seorang yang tengah memperebutkan suatu benda berharga dan tidak mau kehilangan. Itulah sebabnya, begitu melihat tubuh Sangaji terpental daripadanya, lantas saja ia membalas menyerang. Sayang, pergelangan tangannya kena
dipatahkan Sanjaya kemarin siang. Karena itu, tak dapat ia menggunakan tinjunya dengan leluasa.
Tatkala Yuyu Rum-pung hendak menyambut serangannya dengan suatu gempuran, cepat-cepat ia menarik dan menyusulkan sikunya.
Yuyu Rumpung terkejut. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya ia berhasil mengelakkan diri.
Meskipun demikian, lengan kanannya masih juga kena tersodok.
"Eh! Bukankah kamu si buntung tadi siang?" teriak Yuyu Rumpung. Rupanya dia mengenal si Mustapa yang mencanangkan gadisnya kemarin siang. Heran ia menduga-duga mengapa orang itu berada di halaman kadipaten. Mendadak teringatlah dia akan sikap Sanjaya tatkala didesak Panembahan Tirtomoyo. Sebagai seorang benggolan kawakan, lantas saja ia dapat menebak.
Dengan tertawa lebar ia berkata meneruskan, "Bagus-bagus! Apakah gadismu berada pula di sini?"
Wayan Suage tak mempedulikan ejekan orang itu. Ia tahu, dirinya takkan sanggup melawan.
Cepat ia menoleh ke arah Sangaji yang telah berdiri tegak. Kemudian sambil menyambar
pergelangan tangan Sangaji, ia berkata gugup. "Anakku! Jangan layani dia, yang lain-lain akan segera tiba."
Sekali lagi Sangaji kena dibawa lari dengan tak dikehendaki sendiri. Tapi kali ini, ia membantu mempercepat langkah. Maklumlah, sebenarnya dia takut kepada Yuyu Rumpung. Maka dengan
menggenggam pergelangan tangan Wayan Suage, ia lari mendahului.
"Hai! Kalian mau kabur ke mana?" bentak Yuyu Rumpung. Orang tua itu segera mengejar.
Tetapi dalam hal kecepatan bergerak, ia kalah gesit dengan Sangaji. Maka ia ketinggalan beberapa langkah. Meskipun demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya hendak menyusul. Dalam hati, ia takkan membiarkan buruannya kabur seenaknya sendiri.
Sangaji dan Wayan Suage telah tiba di pagar dinding kadipaten. Seperti telah bermufakat, mereka meloncat berbareng dan hinggap di atas dinding. Kemudian menghilang di balik sana.
Yuyu Rumpung memaki-maki kalang-kabut. Maklumlah, dia tak berani meloncat dinding karena mengkhawatirkan luka dalamnya yang belum sembuh benar seperti sediakala.
Dalam pada itu di ruang kadipaten terjadilah suatu perubahan yang menggemparkan. Titisari telah kena dikurung jago-jago undangan Pangeran Bumi Gede. Mereka semua ingin mendengar
pengakuan Titisari tentang hubungannya dengan si iblis Pringgasakti.
"Nona," bentak Abdulrasim jago dari Madura. "Sekalipun kamu licin melebihi belut, tapi tak dapat kau mengingusi aku. Nah" bukankah kamu murid Pringgasakti?"
Titisari kala itu dalam keadaan gelisah setelah mendengar pekik Sangaji. Kecuali itu, ia sedang menguasai pernapasannya. Tetapi orang-orang tak mempedulikan keadaan dirinya. Syukur,
otaknya cerdik. Segera ia menenangkan hati, sehingga tidak nampak perubahan mukanya.
"Kalian berkata, kalau aku murid Pringgasakti" Siapakah Pringgasakti itu?" katanya dengan suara acuh tak acuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Abdulrasim tertawa lebar sambil mendamprat, "Nona"jangan harap kamu bisa
mempermainkan aku. Meskipun kamu memungkiri kenyataan itu sampai jungkir-balik, bagaimana kamu bisa jungkir balik" Bukankah jurusmu tadi...."
"Kamu mengacau-balau!" potong Titisari cepat. "Sekali aku belum kenal siapa itu Pringgasakti.
Apakah dia iblis" Setan atau bangsat?"
Mendengar kata-kata Titisari, Abdulrasim kini jadi tercengang-cengang. Bagaimana tidak"
Orang boleh berbohong atau berpura-pura memungkiri siapa nama gurunya. Tetapi ia takkan
mencaci-maki nama gurunya di depan umum. Tetapi terang sekali, jurus Titisari tadi adalah jurus ajaran Pringgasakti yang sudah lama terkenal semenjak beberapa tahun yang lalu. Pikirnya, masa aku bisa salah menebak. Sang Dewaresi ikut pula menguatkan pendapatku. Maka dengan hati-hati ia minta penjelasan.
"Eh Nona! Benarkah kau bukan murid Pringgasakti?"
"Hm," dengus Titisari. "Kuakui, memang aku mengenal nama itu. Tetapi kepandaian Pringgasakti belum cukup berharga untuk kusujudi."
"Ataukah dia ayahmu?" tiba-tiba sang Dewaresi ikut berbicara.
"Ayahku" Cuh!" Titisari meludah. "Bagaimana mungkin aku anak seorang jahanam. Bukankah dia seorang iblis yang sudah terkenal sejak aku belum lahir sebagai seorang perusak keadilan dan kemanusiaan" Ah" kalian pasti sudah lama mengetahui. Kalianpun sudah pula mendengar
kabarnya, bagaimana dia mengkhianati gurunya dengan mencuri sebuah kitab pusaka. Bukankah dia tadinya murid Kyai Hasan Bafagih yang bermukim di Cibesi?"
Sekarang, orang-orang yang mendengar ucapan Titisari jadi berbimbang-bimbang. Mereka
mulai percaya, kalau Titisari bukan murid atau anak Pringgasakti. Tetapi masa seorang gadis semuda itu dapat mengetahui sejarah Pringgasakti begitu jelas, jika tidak mempunyai hubungan dekat" Mereka jadi sibuk menduga-duga dan saling berpandangan.
Sekonyong-konyong Abdulrasim menggeser tubuhnya. Mau tak mau ia harus mengakui
kekalahannya. Katanya dengan hormat, "Nona, hitunglah aku telah bisa kaukalahkan. Dengan terus-terang aku kagum kepadamu. Sekarang perkenankan aku minta penjelasan tentang
namamu." Titisari tertawa perlahan.
"Namaku Titisari. Lengkapnya, Endang Retno Titisari"
"Siapakah nama ayahmu?"
"Hm! Bukankah kamu hanya ingin mengetahui namaku belaka?"
Terpaksa Abdulrasim membungkam mulut. Tak dapat lagi ia mendesak, karena telah kalah
berjanji. Sebagai seorang tokoh kenamaan, enggan ia berkutat melawan seorang gadis di depan orang banyak. Kini tinggal seorang belaka yang masih mampu menahan si gadis. Yakni, sang Dewaresi. Maklumlah, orang itu telah ikut campur berbicara. Mau tak mau ia harus mengulurkan tangan.
"Nona," katanya takzim. "Seorang demi seorang telah kaujatuhkan. Kini perkenankanlah aku menguji diri melawan Nona."
Titisari mengamat-amati sang Dewaresi yang berpakaian serba putih. Teringatlah ia akan
gerombolan orang-orang anak-buah Kartawirya. Pikirnya, apa ia pemimpin mereka"
"Kaki-tanganmu bukan main banyaknya, sampai ada yang tersesat di Cirebon, malahan
terpaksa ada yang harus kugantung di atas pohon. Baiklah, malam ini aku minta maaf kepadamu atas kelancanganku," kata Titisari.
Sang Dewaresi tertawa. "Apakah Nona telah berjumpa dengan mereka" Kalau mereka sampai kena Nona gantung di atas pohon, jelas sekali kalau mereka menyerah kalah karena kagum atas kecantikanmu."
Mendengar kata-kata sang Dewaresi, muka Titisari menjadi merah jambu. Tetapi ia dapat
menguasai diri. Menyahut dingin, "Jika mereka benar-benar takluk padaku karena semata-mata kagum pada kecantikanku... hm... mengapa kamu tak membantuku" Lihat, aku dikepung manusia-manusia tua bangka."
Sang Dewaresi tergugu. Tak dapat ia cepat-cepat menjawab, karena kata-kata Titisari di luar dugaannya. Dengan tajam ia mengamat-amati wajah si gadis. Terasa dalam hatinya, kalau gadis yang berdiri di hadapannya itu benar-benar gadis yang cerdik dan tajam mulut. Dia pandai dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berani melakukan suatu perbuatan apa pun juga demi kepentingannya hendak membebaskan diri.
Bukankah kata-katanya tadi berarti menerima pengakuannya secara terbuka dan melontarkan
kembali padanya dengan tak usah bersegan-segan lagi"
Tapi diam-diam sang Dewaresi mengakui, Titisari memang gadis cantik luar biasa. Tubuhnya padat, gesit dan otaknya cerdas. Kalau tadi ia bermaksud mengejek, kini hatinya benar-benar jadi tertambat. Mendadak timbullah niat jahatnya. Katanya dalam hati, gadis ini meskipun memiliki otak setinggi langit, masa aku tak dapat mengalahkan. Biarlah kudesak dan kupeluknya di depan orang banyak. Ingin kutahu, apa yang akan dilakukannya.
"Nona! Kau tadi bicara apa?" katanya mengalihkan pembicaraan.
Waktu itu Titisari telah menggeserkan tubuhnya, la bermaksud mau segera meninggalkan
ruang kadipaten. Tatkala mendengar kata-kata sang Dewaresi, dengan tersenyum dia menjawab,
"Aku mau pergi. Kaulihat, mereka mau menangkapku. Entah apa maksudnya. Kamu mau
membantuku menghalang-halangi maksud mereka, bukan?"
"Ah, Nona minta bantuanku" Itu perkara mudah, asal saja Nona mau menjadi muridku dan taat pada setiap perintahku."
Titisari menaikkan alisnya. Kemudian dengan tersenyum ia menjawab, "Kau ingin mengambilku menjadi muridmu?"
"Ya, bahkan kuangkat pula menjadi pembantuku."
"Ha"andaikata aku menjadi muridmu, apa perlu kamu mengangkatku pula sebagai
pembantumu?" "Agar selalu berdekatan denganku."
Merah muka Titisari mendengar ujar sang Dewaresi. Sebagai seorang gadis yang cerdik,
tahulah dia maksud sang Dewaresi.
"Jika aku menolak menjadi muridmu, apa yang akan kau lakukan?" ia masih mencoba mengadu untung.
"Hm... bukankah aku mempunyai kebebasan untuk berbuat sekehendakku?" Sang Dewaresi tersenyum nakal.
Titisari terhenyak, la tahu, musuhnya kali ini tidak gampang dapat diakali. Lagi pula mendengar caranya berbicara, pasti bisa juga membuktikan ucapannya. Maka ia mengasah otak.
"Baiklah. Aku mau menjadi muridmu, tetapi kamu harus membuktikan kepandaianmu di depan mataku."
"Bagus!" seru sang Dewaresi girang. Memang itulah maksudnya sebenarnya hendak menantang Titisari dengan terang-terangan di depan orang banyak. Ia ingin memeluknya dan menciumnya sepuas hati.
Titisari seolah-olah tidak mengerti apa maksudnya. Tetapi sebenarnya ia cerdik, la sadar, kalau ia takkan bisa membebaskan diri apabila mengadu kepandaian secara wajar. Mau tak mau ia harus menggunakan akal setindak demi setindak sambil menunggu perkembangannya.
Dewi Sungai Kuning 1 Anak Berandalan Karya Khu Lung Pedang Bengis Sutra Merah 2

Cari Blog Ini