Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 38

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 38


mereka memasuki sebuah terowongan yang hampir-hampir tidak berhawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak lama kemudian hawa menjadi agak longgar. Dan cahaya terang benderang menyambut
pandang matanya? Tapi tidak lama, perjalanan rombongan itu memasuki terowongan lagi.
Begitulah sampai lima kali, dan barulah terdengar Otong Surawijaya berseru nyaring: "Hai, Tatang Sontani! Kami empat serangkai datang atas permintaanmu!"
Sejenak kemudian terdengarlah suara seorang menyambut jauh di sana. "Ah, benar-benar tak kukira kalian sudi datang ke mari. Maafkan sampai aku tak menyambut kedatangan kalian jauh-jauh."
"Tak/ perlu kau main sandiwara kentut-kentutan!" damprat Otong Surawijaya si be-rangasan.
"Dalam hatimu kau mentertawakan kami. Kami yang seperti kentut, karena tak bisa memegang janji. Katanya tak sudi lagi mendaki ke mari, tapi hari ini justru datang ke mari berbondong-bondong."
"Itulah justru kami yang memohon kedatangan kalian," tungkas Tatang Sontani dengan takzim.
"Semenjak kemarin aku bersedih hati, memikirkan keroyokan tujuh aliran besar yang meluruk ke mari. Tak kusangka demi cita-cita Himpunan Sangkuriang kalian sudi datang. Benar-benar aku pantas menghormati keputusan kalian."
"Begitu" Mudah-mudahan hatimu berbicara begitu juga."
Tatang Sontani kenal watak Otong Surawijaya. Ia tak begitu merasukkan ucapan rekannya itu yang berlebih-lebihan. Dengan segera ia memerintahkan beberapa orang untuk mempersiapkan meja perjamuan. Mendadak ia melihat Dadang Wiranata dan Manik Angkeran yang masing-masing dibawa oleh Dwijendra dan Tubagus Simuntang.
"Hai! Kenapa Dadang Wiranata?" ia berseru kaget. "Dan siapa ini?"
"Inilah yang justru hendak kutanyakan kepadamu," sahut Tubagus Simuntang. "Apakah kau kenal siapa yang melukai dia?"
Tatang Sontani menaikkan alisnya. "Mengapa engkau bertanya begitu kepadaku?"
"Kau tak tahu" Tak mengapa. Kamipun tak tahu," sahut Tubagus Simuntang. Dia tak menerangkan siapa Manik Angkeran. Dan Tatang Sontani tak mau mendesak.
Tak lama kemudian, Dadang Wiranata sudah hampir pulih. Meskipun percakapan belum lancar, namun ia sudah dapat menghadiri perjamuan.
Ketujuh orang itu adalah tokoh-tokoh wahid Himpunan Sangkuriang. Meskipun mereka saling
bersaingan, bahkan seringkali bermusuhan namun menghadapi musuh dari luar mereka bersatu padu. Suaranya penuh semangat dan sama sekali tiada gentar menghadapi ancaman.
Setelah selesai makan, mereka berunding bagaimana caranya menghadapi musuh. Dalam pada
itu Manik Angkeran sudah dibebaskan Tubagus Simuntang. Hanya saja dia tak diperkenankan
meninggalkan ruang jamuan.
Sesudah berunding sebentar, terdengarlah suara Walisana. )
"Diah Kartika dan Andangkara tiada hadir. Penasihat Agung Ki Tunjungbiru tiada pula. Mereka bertiga baiknya tidak kita bicarakan. Yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita
menyelesaikan perselisihan kita yang tak ada gunanya ini. Kita sekarang menghadapi musuh. Mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang tergantung kepada kita bertujuh. Kalau kita saling tikam kecuali kita menderita kerugian musuhpun dapat dengan leluasa memasuki dataran Gunung
Gibugis. Dadang Wiranata bisa kena racun tanpa dapat memberi keterangan siapakah yang
meracuni. Ini suatu tanda bahwa di antara kita. musuh dalam selimut sudah semenjak lama
berkeliaran tanpa sepengetahuan kita. Hm, sekiranya Andangkara saat ini hadir pula, jangankan tujuh aliran delapan belasnya dua puluh aliranpun, kita tidak perlu jeri. Benar atau tidak?"
Tiba-tiba Simuntang menyahut sambil mendepak kaki Manik Angkeran. "Bocah ini mempunyai hubungan erat dengan Diah Kartika. Diapun anak murid seorang tabib sakti keturunan Sadewata."
Keruan saja Manik Angkeran kaget setengah mati. Bagaimana tahu" Pemuda itu tak mengerti, bahwa bagi mata seorang ahli seperti Tubagus Simuntang sekali melihat sudah dapat menebak dengan jitu dari mana asal perguruannya. Teringat bahwa gurunya justru berpihak kepada Ratu Fatimah, tubuhnya menggigil tak dikehendaki sendiri.
"Bagus!" seru Dadang Wiranata. "Kenapa tak berkata sedari tadi. Hayo, obati aku!"
Terus saja ia melonjorkan kakinya. Dan karena Tubagus Simuntang tak melarang, Manik
Angkeran terus bekerja. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Simuntang memang banyak bertingkah.
Dia mau menjual jasa kepada Dadang, agar mendukungnya menduduki tahta pimpinan pusat.
Huh-huh jangan harap!" damprat Otong Surawijaya.
"Siapa kesudian menjual jasa?" bentak Tubagus Simuntang.
"Eh. Rupanya perkara siapa pengganti Gusti Ratu Bagus Boang makin hari akan makin ruwet, kalau saja tidak cepat-cepat mendapat penyelesaian," tungkas Walisana. "Hai Otong! sekiranya begini terus menerus, apakah suatu kepandaian setinggi langit dapat mengatasi percekcokan kita ini?"
"Ha ... aku mau bertanya kepada Tatang Sontani," sambung Dadang Wiranata. "Sekiranya musuh sudah dapat kita mundurkan, kau akan mendukung siapa?"
"Bukankah semenjak dahulu sudah kita tetapkan bersama" Tidak peduli siapa apabila dapat memiliki ketiga pusaka Jawa Barat dengan sekaligus, itulah dia yang akan ku-dukung. Nah, siapakah di antara kamu yang sudah berhasil memiliki pedang Sokayana, Kalung berlian Istambul, dan buah sakti Dewa Ratna?"
"Sudah puluhan tahun ketiga pusaka itu hilang tiada kabarnya. Apakah kalau ketiga pusaka itu tidak diketemukan, masakan
Himpunan Sangkuriang bakal tiada pemimpin besarnya?" kata Dadang Wiranata. Dengan
pertolongan Manik Angkeran, kesehatannya berangsur-angsur menjadi pulih kembali. Sayang, saat itu seluruh perhatiannya tertuju kepada pembicaraan perebutan tahta pimpinan, sehingga peranan Manik Angkeran yang sebenarnya mengherankan tidak merasuk dalam pengamatannya.
"Ya, itu harus kita perbincangkan," sambung Dwijendra. "Himpunan Sangkuriang tanpa seorang pemimpin besar, samalah halnya dengan sebuah kapal tanpa kemudi. Pikirkanlah hal itu!"
"Tidak cuma seperti kapal tanpa kemudi. Malahan seperti manusia tanpa kepala," ujar Otong Surawijaya.
"Siapa kesudian melihat manusia tanpa kepala. Itulah sebabnya pula, ketujuh aliran kurcaci itu berani menghina kita."
"Perkara penghinaan itu tidak hanya karena kita tidak mempunyai seorang pemimpin besar, tetapi lantaran kita bercekcok saling tikam sendiri," kata Dwijendra.
"Tepat perkataan Dwijendra." Tubagus Simuntang menguatkan. "Karena itu menurut pendapatku, siapa saja di antara kita tidak menjadi soal. Kalau tidak mungkin, setidak-tidaknya seorang wakil pemimpin yang akan kita patuhi bersama."
"Bagus! Akupun sependapat," kata si bera-ngasan Otong Surawijaya.
Mereka lantas berdebat dengan seru. Hanya seorang saja yang tetap membisu. Dialah Ratna
Bumi si pendekar tanpa suara.
Wajah Tatang Sontani nampak berubah. Kemudian berkata nyaring mengatasi perdebatan
mereka. "Kalian datang ke mari bertujuan membantu mengusir musuh atau bertujuan hendak
menerbitkan suatu pertengkaran saja?"
"Hi ha ha potong Otong Surawijaya dengan tertawanya. "Aku tahu hatimu. Kau tak menginginkan melantik seorang pemimpin besar yang berasal dari kita. Masakan aku t^k tahu membaca hatimu" Kalau Himpunan Sangkuriang tiada seorang pemimpin besar pengganti Gusti
Ratu Bagus Boang, bukankah berarti engkaulah yang berkuasa penuh" Karena kedudukanmu
dahulu adalah Mang-kubumi Gusti Ratu Bagus Boang, dengan sendirinya engkau berhak
mengangkat dirimu sendiri sebagai Yang Dipertuan Agung. Hm, hm, meskipun andaikata
kedudukanmu setinggi langit, kalau kita tidak sudi patuh kau mau apa" Kami berempat ditambah kini Dadang Wiranata, sudah biasa hidup tanpa pemimpin pusat. Masakan sudi menghamba
kehadirat Yang Dipertuan Agung" Jangan mimpi!"
Mendengar ujar Otong Surawijaya, Tatang Sontani berdiri serentak. Lalu berkata dengan nada dingin:
"Hari ini kita sedang menghadapi musuh dari luar. Tatang Sontani tiada waktu lagi untuk mengadu lidah dengan kalian. Kalau kalian datang melulu hendak melihat hancurnya Himpunan Sangkuriang belaka, nah pulanglah! Pulang! Kelak, manakala aku masih selamat aku berjanji akan mengunjungi kalian. Seorang demi seorang untuk mohon ujian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tatang Sontani! Seyogyanya kaupun tak perlu berpanas hati," ujar Dwijendra. "Mengusir dan menghancurkan musuh adalah kewajiban kami bersama. Bukan melulu kewajibanmu."
"Tetapi di antara kita ada yang berdoa, moga-moga Tatang Sontani kena disembelih musuh,"
kata Tatang Sontani dengan meningkatkan suaranya.
"Kau maksudkan siapa?" si berangasan Otong Surawijaya membentak.
"Kalian sudah dewasa, masakan tak bisa membaca hati sendiri," sahut Tatang Sontani pasti.
Otong Surawijaya terus meledak. Katanya nyaring, "Apakah yang kau maksudkan aku?"
Tatang Sontani tak meladeni, la membuang mukanya.
Melihat suasana pertemuan menjadi panas dan besar kemungkinannya Otong Surawijaya akan
berhantam dengan Tatang Sontani buru-buru Walisana melerai. Katanya tenang, "Sudahlah...
sudahlah! Betapapun juga, kita ini anak asuhan Gusti Ratu Bagus Boang. Rekan seperjuangan hidup atau mati. Mari kita akhiri percekcokan ini. Perkara pemilihan seorang pemimpin besar pengganti Gusti Ratu Bagus Boang, baiklah kita tangguhkan dahulu. Kini mari kita kembali mencari kata sepakat berkata menghadapi keroyokan lawan yang tidak boleh kita anggap seenteng kapuk.
^ "Walisana! Kata-katamulah yang paling tepat. Kau memang pantas disebut seorang pendeta,"
kata Tatang Sontani. "Bagus! Si pendeta Walisana mempunyai kata-kata yang paling tepat. Jadi aku si Otong kuda edan yang selamanya tidak mempunyai kata-kata yang tepat," teriak Otong Surawijaya. Dia sudah terlanjur marah. Betapa dia dapat menggunakan otaknya lagi untuk berpikir panjang. Terus membentak, "Kau tak menghendaki diadakan pemilihan dahulu"
Huh huh ... aku justru menghendaki agar hari ini kita mengadakan pemilihan siapa di antara kita yang pantas menduduki kursi pimpinan. Aku mengusulkan Dadang Wiranata. Ilmu saktinya Aji Gineng adalah ilmu yang paling tinggi dan yang paling kuat di antara kita. Siapapun tak akan mampu mengatasi kehebatannya. Lagipula akalnya banyak."
Semua anggota pucuk pimpinan pemerintahan tahu semua, bahwa semenjak dahulu Otong
Surawijaya berselisih dengan Dadang Wiranata dalam segala halnya. Kini mendadak sontak ia mendukung pengangkatan itu. Keruan saja semua orang tahu, soalnya karena didorong oleh rasa mendongkol serta panas hati belaka terhadap Tatang Sontani.
Tatang Sontani tak sudi kalah gertak. Terus saja menyahut, "Ha ... haa ... menurut pendapatku yang paling tepat dan yang paling baik adalah Otong Surawijaya sendiri. Dialah yang pantas menduduki kursi pimpinan. Aku menyokong." Setelah berkata demikian ia tertawa bergelak.
Katanya lagi, "Saat ini Himpunan Sangkuriang sudah terpecah-belah. Kalau Otong Surawijaya yang menjadi pimpinan pusat, pastilah akan beres. Sebab Otong Surawijaya mempunyai modal yang tak dapat kita atasi. Modal asal berani. Ha, bukankah tepat?"
"Jahanam!" maki Otong Surawijaya. Kali ini benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri. Terus saja tangannya menghantam.
Tadi ia dapat menampar pipi Tubagus Simuntang, karena pendekar itu tak mau mengelak. Tapi Tatang Sontani bukan Tubagus Simuntang. Melihat berkelebatnya tangan Otong Surawijaya secara wajar ia menangkis.
Belasan tahun yang lalu, mereka sudah saling bermusuhan perihal jabatan pengganti Gusti
Ratu Bagus Boang. Itulah sebab musabab terjadilah sumpah. Sumpah empat serangkai pendekar yang tak sudi lagi mendaki Gunung Cibugis. Sumpah tak tahu menahu tentang mati dan hidupnya Himpunan Sang-- kuriang. Tetapi ternyata hari ini keempat-empatnya datang semata-mata atas undangan Tatang Sontani. Benar-benar mencurigakan.
Semenjak tadi Tatang Sontani sudah berpikir pulang balik. Benarkah mereka datang sematamata karena undangannya sampai pula melanggar sumpahnya sendiri" Ataukah mereka datang
untuk sesuatu maksud tertentu hendak mengungkit-ungkit kembali perkara kursi pemerintahan pusat" Kini, Tatang Sontani melihat tangan Otong Surawijaya yang menyerangnya benar-benar.
Jangan-jangan mereka mengajak Dadang Wiranata untuk memperkuat diri hendak
mengeroyoknya dengan rencana tertentu. Memikir demikian, ia memapaki pukulan Otong
Surawijaya dengan suatu pukulan pula berbareng menangkis.
Dadang Wiranata yang sudah memperoleh kesehatannya kembali oleh pertolongan Manik
Angkeran terkesiap. Matanya yang tajam melihat suatu cahaya hijau yang terpancar dari telapak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangan Tatang Sontani. Itulah ilmu sakti Tunggulwulung yang terkenal semenjak zaman Pajajaran.
Pukulan sakti Raja Ciung Wanara sewaktu digunakan untuk mengalahkan Aria Bangah. Sungguh berbahaya!
42. MENGADU NYAWA Dadang Wiranata tahu bahwa tenaga Otong Surawijaya yang belum pulih lantaran tadi
menolong dirinya membuyarkan racun. Pastilah dia takkan tahan menerima serangan balasan
Tatang Sontani. Maka cepat ia memotong dengan pukulan Aji Gineng yang terkenal ditakuti lawan dan kawan. Bres!
Kedua pukulan itu berbenturan sangat keras. Ajaib! Ternyata kedua tangan yang berbenturan itu, kini mendadak lengket tak terpisahkan. Masing-masing seolah-olah memiliki daya hisap yang sama tangguhnya.
Sebenarnya mengingat sesama anggota himpunan. Tatang Sontani tak bermaksud jahat.
Betapapun juga, ia tak mau melukai Otong Surawijaya dengan sungguh-sungguh. Pukulan ilmu sakti Tunggulwulung hanya digunakan sebagian saja sekedar membendung berbareng menangkis tenaga sakti Gumbala Geni andalan Otong Surawijaya. Di luar dugaan, Dadang Wiranata
menggempur dengan tenaga penuh-penuh. Lantas saja Aji Gineng yang mempunyai hawa sakti
serba dingin merayap masuk ke dalam tulang belulangnya. Ia kaget setengah mati. Buru-buru ia mengerahkan tenaga saktinya penuh-penuh pula untuk mengimbangi. Karena kekuatan mereka
seimbang, tangannya tak terpisahkan lagi.
"Tatang Sontani. Kau kentut busuk harus merasakan pukulanku," bentak Otong Surawijaya. Ia tadi hanya kena tangkis, karena pukulan Tatang Sontani kena dipotong Dadang Wiranata.
"Otong! Jangan gegabah!" Tubagus Simuntang memperingatkan.
Tapi kasep. Pukulan Otong Surawijaya yang mengarah dada Tatang Sontani terlengket pula.
Buru-buru Walisana berteriak dengan suara memohon: "Tatang Sontani, jangan turuti rasa mendongkolmu! Kasihanilah mereka! Mereka belum sembuh benar-benar. Nah, tarik semua
pukulan sakti!" Anjuran itu gampang diucapkan, tetapi tidak mudah dilaksanakan. Masing-masing sudah
terlanjur ngotot. Tangan mereka malahan bertambah lengket.
Walisana tersinggung kehormatannya. Terus
Maka cepat Dadang Wiranata dengan pukulan Aji Gineng yang terkenal ditakuti lawan dan
kawan, memotong pukulan Tatang Sontani yang sedang menyerang Otong Surawijaya. Bres!
saja ia mengayunkan tangan dengan maksud menggertak. Tak tahunya Tatang Sontani
mengegos ke samping. Tangan kirinya menangkis. Dan tangan Walisana terlengket pula.
"Walisana! Kau ksatria macam apa sampai ikut-ikutan pula mengeroyok Tatang Sontani!" tegur Tubagus Simuntang. Dengan sekali, gerak, ia menjambret pundak Walisana dengan maksud
menariknya. Tak terduga! Belum lagi pundak Walisana tersentuh tangannya, Otong Surawijaya menggigil seperti' terluka berat. Cepat ia menarik tangannya.
Teringatlah dia! Tatang Sontani seorang tokoh tinggi yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula semenjak dahulu. Apakah Otong Surawijaya kena pukulan yang mematikan. Memikir demikian,
segera ia berseru lagi: "Tatang! Betapapun juga Otong adalah rekan seperjuanganmu sendiri. Apa perlu mengadu nyawa begini sungguh-sungguh?" Setelah berkata demikian, baru ia menarik pundak temannya itu.
Di luar dugaan, tubuh Otong Surawijaya tak bergeming kena tarikannya. Heran dia masakan
tenaganya tak mampu memisahkan mereka. Secara wajar ia menambah tenaganya. Suatu hawa
dingin luar biasa menembus jantungnya. Ia kaget setengah mati. Hai! Bukankah ini hawa sakti Aji Gineng milik Dadang Wiranata" Apakah Tatang Sontani memiliki ilmu ini pula" pikirnya kaget.
Kalau benar demikian, alangkah berbahaya. Ilmu saktinya Tunggulwulung sudah berbisa. Kini ditambah dengan Aji Gineng. Bukankah tak ubah raksasa terbangun dari tidurnya" la hanya dapat berpikir sekejap saja. Tubuhnya terus menggigil sampai giginya berceratukan. Cepat-cepat ia berjuang membendung gelombang hawa dingin yang mulai mengamuk keseluruh tubuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menyaksikan peristiwa itu, Dwijendra segera maju membantu Tubagus Simuntang. Dengan
demikian, Tatang Sontani kena kerubut lima orang. Tak mengherankan bahwa hawa dingin yang luar biasa dahsyatnya itu dapat mereka bendung sedikit demi sedikit.
Tenaga serangan Tatang Sontani sendiri terasa berubah-ubah. Sebentar keras sebentar lunak.
Kadang-kadang malahan terlalu kuat dan terlalu lemah seakan-akan lenyap. Karena perubahannya sukar diduga, mereka berlima tak berani menarik tangannya dengan sem-barangan saja. Siapa tahu, pada saat mereka hendak menarik tangannya masing-masing, Tatang Sontani justru lagi mengerahkan tenaga dahsyatnya. Kalau sampai terjadi demikian, mereka akan menderita luka berat. Menurut
pengalaman, akan menjadi cacat seumur hidupnya.
"Tatang!" tiba-tiba Tubagus Simuntang berkata terengah-engah. Terang sekali, ia memaksa diri untuk berbicara. "Kami tiada bermaksud..." baru sampai di situ, hawa dingin luar biasa kembali menyerang jantung. Terus saja ia berceratukan. Memang berbicara dalam keadaan demikian,
merupakan suatu pantangan besar.
Hebat suasana adu tenaga sakti itu. Dadang Wiranata kelihatan tegang. Sebaliknya Tatang
Sontani tenang-tenang saja seolah-olah tiada terjadi sesuatu atas dirinya.
Menyaksikan perbedaan itu, Ratna Bumi yang selama itu tidak bergerak dari tempatnya heran tercengang-cengang. Pikirnya, meskipun ilmu sakti Tatang Sontani sudah mencapai tingkat tinggi, tapi tidak melebihi ilmu sakti Dadang Wiranata. Sekarang ditambah pula dengan Tubagus
Simuntang, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana yang membantu Dadang Wiranata dengan
berbareng. Apa sebab Tatang Sontani tidak merasakan sesuatu pengaruh" Malahan nampak lebih unggul. Aneh!"
Biasanya otak Ratna Bumi jauh lebih encer daripada mereka yang mengeroyok Tatang Sontani.
Tapi kali ini meskipun memeras otak, tetap saja ia tak mengerti sebab musababnya.
"Ratna Bumi!... se ... serang ... punggungnya!" seru si berangasan Otong Surawijaya terengah-engah.
Ratna Bumi bukan seperti dia yang senang mengumbar adat. Dalam segala halnya tak pernah
dia berlaku semberono dan gegabah. Apalagi ia belum memperoleh pegangan yang berdasar.
Memang, di pihak Otong Surawijaya tinggal dia seorang yang bisa menentukan. Tetapi masih saja ia bersangsi kepada kemampuannya sendiri. Siapa tahu, dia akan kena lengket juga.
Dalam kebimbangannya, dilihatnya wajah Otong Surawijaya, Walisana, Dwijendra dan Tubagus Simuntang berubah tak keruan macam. Sebentar pucat sebentar pula merah membara. Terang
sekali mereka kena serang hawa dingin serta panas dengan bergantian. Kalau dibiarkan terus, isi perut mereka bisa rusak. Terpaksalah ia mengeluarkan senjatanya yang berbentuk rantai
bercabang lima, seraya berkata:
"Tatang Sontani! Terpaksa aku menggunakan senjata sebagai pengganti tanganku.
Punggungmu akan kuserang. Awas!"
Apabila Ratna Bumi bermaksud menyerang dengan sungguh-sungguh tentu saja tak bakal dia
memberi peringatan demikian. Dia hanya ingin mengesankan, bahwa sebenarnya ia tak
bermaksud hendak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tujuannya semata-mata hendak
memisah mereka. Di luar dugaan Tatang Sontani hanya tersenyum saja. Malahan ia seperti
menantang pula. "Kalau begitu, maaf!" seru Ratna Bumi sambil mengayunkan senjata rantainya.
Dengan tenang Sontani menunggu sampai senjata rantai Ratna Bumi nyaris menyentuhnya.
Sekonyong-konyong ia menggeserkan punggung kelima pengeroyoknya. Keruan saja, senjata
rantai menghantam sasaran yang bukan sasaran semestinya. Dengan suara tertahan, Otong
Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Tubagus Simuntang menerima gebuk. Terus saja mereka
punah tenaganya, meskipun tenaga pukulan yang digunakan Ratna Bumi sangat enteng.
"Itulah ilmu sakti Maruti Buwana," bisik Dwijendra dan Walisana dengan berbareng.
Mendengar kisikan itu, tersadarlah Ratna Bumi. Ilmu sakti Maruti Buwana bagi keluarga
Himpunan Sangkuriang bukanlah asing lagi. Itulah ilmu sakti warisan Ki Tapa guru Ratu
Bagus Boang, yang kemudian diturunkan kepada Ratu Bagus Boang. Pada zaman dahulu milik
Raja Karawelang. Diwariskan kepada Ratu Angin-angin dan kemudian entah bagaimana
sejarahnya, ilmu sakti tersebut tersimpan di perbendaharaan bumi Banten. Ilmu sakti itu konon
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikabarkan berasal dari Hyang Tunggal. Dalam cerita pedalangan diceritakan mempunyai
kesaktian memutar jagat serta membalikkan bumi. Makanya yang benar adalah meminjam tenaga lawan untuk dihantamkan kembali. Mudah kedengarannya. Tetapi sesungguhnya sukar
dilaksanakan. Untuk meyakinkan ilmu sakti tersebut membutuhkan waktu tekun selama dua puluh tahun lebih. Itulah sebabnya pula, setelah Gusti Ratu Bagus Boang musna, ilmu sakti Maruti Buwana hilang dari percaturan lantaran tiada seorangpun sanggup mewarisi. Tak terduga, Tatang Sontani tiba-tiba saja bisa mempertontonkan kembali di depan mereka.
Sekarang jadi gamblang, apa sebab Tatang Sontani seolah-olah tiada merasakan sesuatu
pengaruh meskipun dikeroyok lima orang sakti dengan berbareng. Sebab yang digunakan untuk menghantam balik adalah Aji Gineng. Dengan demikian yang bertempur sesungguhnya adalah
Dadang Wiranata melawan, empat orang rekannya.
Tatang Sontani menggunakan hawa sakti Aji Gineng untuk menyerang empat orang lawannya.
Sedangkan tenaga tangkisan empat orang tersebut, digunakan untuk menggempur Dadang
Wiranata. Keadaannya tak ubah seperti seorang dalang yang sedang mengadu wayangnya. Sama sekali ia tak merasa apa-apa. Sebaliknya wajah Dadang Wiranata menjadi tegang luar biasa.
Sedangkan keempat rekannya kebingungan kena diserang hawa Aji Gineng yang dingin.
"Selamat! Selamat!" seru Ratna Bumi. Ia adalah seorang pendekar yang tak bisa berbicara banyak. Maksud seruannya itu adalah memberi ucapan selamat atas berhasilnya Tatang Sontani mewarisi ilmu sakti Maruti Buwana. Kemudian berkata lagi, "Kami datang kemari, bukan untuk memusuhi engkau."
Tatang Sontani kenal tabiat Ratna Bumi. Orang itu tidak pernah berdusta. Pendek kata-katanya, tapi dapat dipercayai. Selain itu, dia sendiri tidak bermaksud hendak mencelakakan rekan-rekan seperjuangannya. Kalau ia berkutat adalah semata-mata lantaran diserang dengan berbareng.
Sekarang oleh hantaman Ratna Bumi yang menyasar tadi tenaga mereka punah. Dengan
sendirinya menjadi renggang. Inilah kesempatan yang sebaikbaiknya untuk menghabisi
perselisihan. Dengan tertawa dia lalu berkata, "Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Tubagus Simuntang. Mari kita renggangkan tangan kita terlebih dahulu. Setelah aku menghitung sampai tiga kali, dengan berbareng kita menarik tangan serentak. Bagaimana?"
Mereka mengangguk. "Nah, kita mulai. Satu ... dua ... tiga ...!" Hitung Tatang Sontani. Baru saja kata-kata tiga diucapkan, diluar dugaan punggungnya terasa dingin luar biasa. Terang sekali ia kena suatu serangan gelap. Seketika itu juga, meluaplah dia karena merasa dikhianati. Kutuknya di dalam hati, "Keji benar hati Dadang Wiranata. Kenapa selagi kutarik tenaga saktiku, ia membarengi menyerang dengan menggelap."
Tetapi ia kaget. Ternyata tuduhannya kepada Dadang Wiranata meragukan hatinya. Ia melihat Dadang Wiranata jatuh sempoyongan. Agaknya dia pun kena serangan gelap. "Siapa yang main gila?"
Selama hidupnya entah sudah-berapa kali, Tatang Sontani dihadapkan kepada kelicikan lawan dalam pertempuran-pertempuran dan sudah dilaluinya dengan selamat. Sadar, bahwa ia sedang menghadapi suatu serangan gelap terus saja ia memutar tubuhnya. Berbareng dengan
gerakannya itu, ia melihat Otong Surawijaya, Dwijendra, Tubagus Simuntang dan Walisana
berturut-turut roboh dengan memekik. Dan di sana Ratna Bumi sedang berhantam seru melawan seorang yang mengenakan pakaian hitam lekam. Orang itu sudah tua kira-kira berumur 70 tahun tetapi gerak-geriknya gesit. Sekali membalikkan tangan, Ratna Bumi menggeliat dengan suara tertahan. Terang sekali ia menanggung kesakitan.
Dengan menarik napas, Tatang Sontani melompat hendak membantu. Sekonyong-konyong
suatu hawa panas luar biasa merayap naik. Sebentar saja sudah merayapi seluruh urat nadinya.
Keruan ia kaget bukan main.
Hatinya mengeluh. Tahulah dia, bahwa ilmu sakti orang itu tinggi. Mungkin lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Selain itu berhati keji dan kejam.
Rupanya selagi dia menarik tangan berbareng melepaskan tenaga saktinya, orang itu
menyerang dari belakang punggung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu, ia dalam keadaan terbuka dan sama sekali tak berjaga-jaga. Maka
terpaksalah ia kini rnengerahkan tenaga saktinya untuk melawan hawa panas yang merayap tak keruan-keruan.
Seringkali ia bertempur melawan seseorang yang memiliki tenaga sakti berhawa panas. Namun hawa panas yang merayapi seluruh tubuhnya kini, bersifat lain. Kecuali panas luar biasa mendadak melumpuhkan tenaga urat nadi. Aliran darahnya serasa menjadi beku dengan tiba-tiba. Luar biasa hebat macam ilmu sakti itu. Namun andaikata dia kena pukulan selagi bergerak, belum tentu tenaga saktinya tak kuasa melawan. Soalnya dia kena pukulan selagi tubuhnya kosong dari aliran tenaga sakti Tunggulwulung. Jangan lagi kena pukulan seorang sakti. Seumpama dipukul
seseorang yang tidak mempunyai ilmu sak-tipun, ia akan mengaduh kesakitan.
Ia memaksa diri untuk melangkah berbareng mengayunkan tangan. Mendadak sekujur
badannya menggigil. Tenaga pukulannya lenyap dengan begitu saja. Ia bergusar dan kaget
setengah mati. Selintas pandang, ia melihat Ratna Bumi sudah memasuki gebrakan yang kedua-puluh. Meskipun repot, namun masih sanggup bertahan. Pikir Tatang Sontani, Ratna Bumi bisa melawan sampai 20 gebrakan lebih. Kalau begitu seumpama berhadap-hadapan belum tentu dia bisa merobohkan aku dengan gampang. Tapi celaka! Kenapa tenagaku kini mendadak bisa lenyap tak keruan.
Dengan geram dan cemas ia mengikuti pertarungan mati-matian itu. Melihat gelagatnya, Ratna Bumi sebentar pasti tak tahan lagi. Benar juga. Setelah dua gebrakan lagi, betis Ratna Bumi kena tendang lawannya. Dan ia jatuh terguling dengan napas kempis-kempis.
Manik Angkeran yang selama itu duduk dengan diam-diam di pojok ruang terkejut pula melihat perubahan peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba itu. Tadinya ia ikut berdegup-degup
menyaksikan perselisihan ketujuh tokoh Himpunan Sangkuriang. Masing-masing pasti memiliki ilmu simpanan andalannya. Kalau sampai terluka, bukankah dia yang bakal bertanggung jawab"
Mau tak mau ia terpaksa harus mengeluarkan dua buah buku warisan gurunya. Kalau sampai
ketahuan, bukankah berarti bunuh diri" Sebab gurunya berada di pihak Ratu Fatimah, musuh Himpunan Sangkuriang turun temurun.
Selagi dia dalam keadaan gelisah, Ratna Bumi sudah berhasil melerai adu tenaga sakti.
Mendadak ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang terus menghantam punggung Tatang Sontani. Kemudian dengan cepat pula menyerang Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Walisana, Dwijendra, dan Tubagus Simuntang. Sesudah itu, ia bertarung melawan Ratna Bumi.
Sekarang Ratna Bumi sudah jatuh terguling. Napasnya kempas-kempis. Tinggal Tatang Sontani sendiri yang masih bisa berdiri. Pendekar itu hendak menerjang, namun napasnya terdengar sangat berat. Badannya menggigil, sedang giginya berceratukan. Melihat bahaya itu entah apa sebabnya Manik Angkeran terus melesat maju sambil membentak, "Siapa kau?"
Orang berpakaian hitam itu heran sejenak. Lalu menyahut, "Kau siapa?"
Melihat adegan itu tiba-tiba Tubagus Simuntang berseru, "Tatang! Lindungi dia! Kalau dia hidup, kita selamat. Percayalah!"
Tatang Sontani tercengang sejenak. Teringat bahwa pemuda itu tadi dapat mengusir racun
Dadang Wiranata segera ia sadar akan maksud Tubagus Simuntang. Cuma saja apa sebab
diucapkan di depan musuh. Pastilah dia tak pernah mengira, bahwa dirinyapun menderita luka hebat tak beda dengan yang lain.
Mendengar ucapan Tubagus Simuntang, orang berpakaian hitam itu terus tertawa terbahakbahak. Katanya, "Bagus! Dia harus selamat" Justru aku menghendaki dia mampus."
Hampir berbareng dengan habisnya perkataannya, ia melesat menghantam tengkuk
Manik Angkeran. Tapi Tatang Sontani lebih cepat lagi. Sayang dia kehabisan tenaga. Meskipun demikian, dia masih bisa bertindak cepat. Dengan tak memikirkan keselamatan diri, terus saja ia menghadang pukulan orang itu. Seketika itu juga, ia terpental. Dan jatuh terkulai di atas lantai.
Tetapi pukulan orang itu meleset dari sasaran. Meskipun masih mengenai tubuh Manik Angkeran namun tidak mendarat pada bagian yang mematikan.
"Hem, bocah itu sudah terkena pukulan Aji Marantaka. Masakan bisa hidup lebih dari tiga hari lagi?"
"Hebat! Sungguh hebat! Seorang tokoh berilmu tinggi kenapa menyerang dari belakang
punggung" Terhitung manusia gagah macam apa?" ejek Tatang Sontani.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu tercengang. Lalu berkata, "Ajaib! Benar-benar Tatang Sontani bukan suatu nama kosong melompong. Kau masih sanggup berbicara setelah menerima dua pukul-anku berturut-turut. Sungguh hebat."
"Lebih hebat lagi adalah engkau. Kukira tujuh aliran sakti yang meluruk ke mari adalah laki-laki sejati, tak tahunya cuma macam begini. Meskipun kami dari Himpunan Sangkuriang kau juluki iblis liar, namun tak pernah kita main gelap. Kita hadapi setiap lawan dengan dada terbuka. Mana dadamu?" damprat Tatang Sontani.
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Menggunakan akal, siasat dan tipu-musli-hat, bukankah sudah lumrah" Lihatlah! Jumlah kalian tujuh orang, sedangkan aku cuma seorang. Masakan mesti harus mengadu kekuatan jasmani"
Itulah perbuatan orang goblok yang berotak udang."
Tatang Sontani mengeluh. Dalam keadaan demikian, perang mulut tiada gunanya. Hanya saja
hatinya penuh penasaran, lantaran kalah secara tak wajar. Akhirnya dia berkata menyabarkan diri,
"Kau seorang diri dapat memasuki dataran ketinggian Gunung Cibugis tanpa halangan, betapa mungkin" Pastilah engkau mempunyai ilmu siluman."
Orang itu tertawa terbahak-bahak lagi. Kali ini tubuhnya sampai terguncang-guncang. Itulah lantaran ucapan Tatang Sontani mengandung rasa kagum terhadap dirinya. Lantas saja berkata dengan angkuh, "Meskipun lorong-lorong dan semua jalan terjaga rapat oleh pasukanmu, apa sih kesukarannya untuk menerobos kemari. Itulah lantaran kamu saling bermusuhan dan saling
bersaingan. Ha ha ha ... Sudah barang tentu, aku harus menggunakan waktu lama untuk
menyelidiki keadaan tubuh Himpunan Sangkuriang. Mula-mula kuketahui, bahwa tuanku pendekar Tubagus Simuntang yang menjadi mata rantai penghubung. Nah, kupelajari lengkak-lengkok
lukisan dan rahasia sandi warta beritanya. Apa sih susahnya. Seperti kali ini. Untuk memancing agar pasukan kalian turun gunung, aku hanya cukup memasang tanda gambar obor " menyala
dengan kilat. Bukankah itu tanda bahaya?"
Tubagus Simuntang mengeluh berbareng memaki di dalam hati. Pantas! Sekitar dataran
ketinggian tidak nampak seorangpun jua. Rupanya mereka kena digiring oleh warta tanda bahaya yang palsu. Dan tanda bahaya inilah yang dilihat Sangaji dan Kosim di kaki gunung.
Melihat betapa Tubagus Simuntang berkomat-kamit hendak memaki, orang itu jadi senang.
Berkata lagi, "Pada saat ini, dua pasukan besar bawahanku sedang menuju ke mari. Bahkan mereka sudah bersiaga menunggu perintahku. Kalian tahu di mana mereka kini berada. Tuu ... di sana! Di depan hidung kalian. Bersembunyi di balik bukit-bukit yang memagar dataran ini. Ha ha ha ... Sebentar lagi mereka akan membakar gedung ini beserta penghuninya. Termasuk kalian pula ... Ini namanya Himpunan Sangkuriang hancur lebur di tangan seorang saja. Seorang musuh Bagus Boang yang kebetulan bernama Suryaku-sumah...."
Mendengar ujar orang yang bernama Suryakusumah, Tatang Sontani dan rekan-rekannya
mengeluh dalam hati. Mereka sadar, bahwa Suryakusumah bisa membuktikan apa yang dikatakan.
Kalau hanya korban jiwanya sendiri, tak apalah. Tapi apabila mengakibatkan terbasminya
Himpunan Sangkuriang, itulah soal yang menyedihkan.
Himpunan Sangkuriang didirikan oleh Ratu Bagus Boang yang ditakuti lawan dan disegani


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawan. Mereka bertujuh disebut raja-raja muda. Menurut pantas, merekalah yang berkewajiban mengasuh, membina dan memperkokoh tiang agung Himpunan Sangkuriang sepanjang zaman.
Tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa oleh kesemberonoan mereka kelangsungan hidup Himpunan Sangkuriang bakal hancur ludes oleh tangan seorang saja. Alangkah pedih dan
menyakitkan hati!" Rupanya Suryakusumah puas dengan omongannya sendiri. Karena tiap-tiap katanya ternyata
menikam ulu hati ketujuh raja muda tersebut. Pikirnya senang, biar kutikamnya dahulu hatinya, baru kucabuti nyawanya seorang demi seorang. Memikir demikian, ia jadi bersemangat. Katanya nyaring, "Himpunan Sangkuriang sebenarnya bukan suatu himpunan dengan nama kosong. Di dalamnya banyak terhimpun pendekar-pendekar sakti manusia pilihan seluruh bumi Jawa Barat.
Tapi sayang seribu sayang. Kalian saling membunuh, sehingga lambat laun kekuatan kalian jadi berkurang. Perhatian kalian lebih terpusat pada persaingan itu daripada menghadapi musuh yang datang dari luar. Inilah suatu anugerah Tuhan, sebaliknya merupakan malapetaka kalian. Coba andaikata tadi kalian tidak saling labrak, masakan aku dapat merobohkan kalian dengan sekali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pukul" Biarpun aku mempunyai kepandaian setinggi langit, betapa mungkin dapat melawan
kalian" Ha ha ha ... sungguh tidak terduga. Himpunan Sangkuriang yang dahulu pernah menggoncangkan jagat, sekarang terpaksa gulung tikar macam begini. Hai... Bagus Boang! Sayang kau sudah mampus. Ingin aku melihat tampangmu, betapa aku akhirnya dapat membasmi jerih
payahmu pada hari ini..."
Mendengar kata-kata Suryakusumah dan menghadapi bahaya kemusnahan, dalam hati ketujuh
raja muda itu terbersit rasa sesal luar biasa besarnya. Sekarang tersadarlah mereka apa akibat percekcokan yang berlarut-larut semata-mata memperebutkan kedudukan seorang pemimpin
besar. Andaikata tak pernah terjadi suatu perselisihan andaikata mereka tetap bersatu-padu musuh yang datang dari luar pasti diketahui sebelumnya sempat bergerak.
"Tatang Sontani!" seru Otong Surawijaya dengan sekonyong-konyong. "Aku Otong Surawijaya pantas mampus tak berkubur. Aku Otong Surawijaya selalu menjadi pokok pangkal runcingnya perselisihan. Meskipun kau sendiri tidak bebas dari suatu kesalahan, tapi bilamana engkau menjadi pemimpin besar kami, jauh lebih baik dari pada berakhir dengan suatu kehancuran dan suatu kemusnahan terkutuk ini. Ya, engkau pantas menjadi pembina kami. Aku Otong Surawijaya pantas mampus tak berkubur!"
"Otong Surawijaya!" sahut Tatang Sontani, dengan tersenyum pahit. "Aku mempunyai kepandaian apa sampai berani menjadi Pembina Himpunan Sangkuriang" Bencana ini memang
kita semua yang bertanggung jawab. Inilah kesalahan terkutuk sampai membuat Himpunan
Sangkuriang jadi runyam tak keruan macamnya. Sebentar lagi kita mampus dengan berbareng.
Apakah kita masih mempunyai muka untuk menghadap Gusti Ratu Bagus Boang di alam baka
sana?" "Sekarang kau baru menyesal, bukan!" ejek Suryakusumah. "Aku Suryakusumah menyesal juga."
"Kentutmu!" maki Otong Surawijaya.
"Kau tahu apa tentang diriku?" bentak Suryakusumah. "Sebelum kau kenal Bagus Boang, aku sudah mengenalnya lebih dahulu. Tak apalah, kalian bakal mampus. Biarlah kujelaskan siapa sebenarnya diriku ini. Dengan begitu kalian akan mampus dengan mata merem."
"Kentutmu! Siapa kesudian mendengarkan mulutmu yang busuk."
"Bagus! Nah, dengarkan dulu ceritaku ini. Kau nanti orang pertama yang bakal kusem-belih dengan tanganku sendiri," kata Suryakusumah. Lalu tertawa gelak. Setelah itu melanjutkan,
"Bagus Boang adalah kakakku. Kami berdua selalu runtang-runtung. Dimana dia berada, selalu aku di sampingnya. Kemudian terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa terkutuk! Dia mencintai seorang wanita yang paling cantik di jagat ini. Namanya: Ratna Permanasari. Itulah salahnya."
"Kentutmu! Apakah salahnya seorang lakilaki mencintai seorang wanita," potong Otong Surawijaya si berangasan.
"Salahnya kenapa dia mencintai Ratna Permanasari. Salahnya pula kenapa Ratna Permanasari membalas cintanya. Salahnya, kenapa Ratna Permanasari tidak membalas cintaku," ujar Suryakusumah. Dan mendengar ujarnya, Otong Surawijaya mendongkol berbareng geli.
Dampratnya, "Mereka berdua saling mencintai. Di manakah letak kesalahannya" Kaulah babi kudisen yang tak tahu diri."
Didamprat demikian, meluaplah amarah Suryakusumah. Sekali melesat ia mendepak pantat
Otong Surawijaya sampai pendekar berangasan itu terguling-guling.
"Kau tahu apa tentang dia?" bentak Suryakusumah dengan mata beringas. "Dialah wanita paling cantik yang pernah kulihat. Dan wanita secantik dia, masakan pantas mencintai Bagus Boang. Kenapa tidak kepadaku" Mengapa" Mengapa?"
Tubuh Otong Surawijaya masih bergulungan. Meskipun demikian, mulutnya yang jahil
menyahut juga! "Karena tampangmu seperti kentut!"
"Siapakah bilang tampangku seperti kentut" Masakan kentut seperti tampangku?"
"Ya, malahan seperti kentut babi!"
Mendengar mulut jahil Otong Surawijaya, dada Suryakusumah seperti hendak meledak.
Mukanya merah padam. Sewaktu hendak melesat menghajar pendekar mulut jahil itu, terdengar suara Tatang Sontani. "Teruskan! Kisahmu sangat menarik. Aku akan mati merem. Dan tak perlu menjadi setan untuk menuntut dendam."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatang Sontani lebih dapat menggunakan pikiran dari pada Otong Surawijaya. Ia cerdik pula.
Mendengar ucapan-ucapan Suryakusumah dengan cepat ia bisa menarik kesimpulan tentang
tabiatnya. Kalau orang itu sampai berbicara berkepanjangan, bukankah berarti membutuhkan waktu" Ia
mengharapkan dirinya sendiri dapat memulihkan tenaganya. Memperoleh pikiran demikian, ia harus dapat mengulur waktu.
"Ah, Ya! Tapi jangan bermimpi engkau akan bisa menggunakan waktu untuk memulihkan
tenagamu," sahut Suryakusmah dengan tersenyum mengejek. Mendengar kata-katanya, Tatang Sontani mengeluh. Makinya dalam hati, "Setan ini cerdik juga." Lalu berkata seolah-olah tidak memedulikan, "Kalau engkau seorang laki-laki apa sebab tak berani merebut secara ksatria?"
Dengan mata berapi-api Suryakusumah menarik celana panjangnya. Dan nampaklah kedua
kakinya sebatas paha bersambung bambu.
"Bagus Boang lebih kuat dariku," sahut Suryakusmah. Kemudian mencak-mencak. "Satu kali aku menantang dia, aku kena dikalahkan. Aku pergi- mencari guru pandai. Masih saja kalah. Dan pada pertarungan yang ketiga kalinya, aku merasa tak pantas lagi hidup dalam dunia. Kakiku patah dan terpaksa guru ... ya guru memotong kakiku untuk merebut umurku. Sekarang, lihat!"
Dengan mata berapi-api, ia merobek celana panjangnya. Dan nampaklah kedua kakinya
sebatas paha bersambung bambu.
"Patah kaki"buntung kaki"muka rusak" isi perut keluar, bukankah suatu kejadian lumrah dalam suatu pertarungan" Apakah yang kausesalkan?" ujar Tatang Sontani.
"Sudah tentu aku bersakit hati. Lantaran aku tiada mempunyai muka lagi untuk melihat Ratna Permanasari. Hidup begitu apa untungnya?" sahut Suryakusumah dengan suara bergemetaran.
Meneruskan, "Semenjak itu, aku bersumpah tak mau hidup dengan dia berbareng dalam jagat ini.
Aku bertapa berpuluh tahun lamanya. Bertapa sambil mencari akal. Lalu aku mendengar kabar, Bagus Boang mendirikan suatu himpunan dengan tujuan hendak meruntuhkan tahta Kerajaan
Banten. Mendengar kabar ini, terus terang saja aku bertambah berkecil hati. Agaknya susah sekali aku melaksanakan angan-anganku. Lantaran dia nampak makin gagah. Tapi Tuhan maha Adil!
Akhirnya kudengar dia musnah tiada kabarnya. Nah, inilah kesempatan sebaik-baiknya untuk membalas dendam. Bagus Boang tanpa Himpunan Sangkuriang apalah artinya dalam sejarah
dunia" Maka seluruh perhatianku kupusatkan untuk membasmi habis himpunannya. Mula-mula tak gampang dapat kuwujudkan, karena pendekar Himpunan Sangkuriang ternyata pendekar-pendekar pilihan. Eh, tak tahunya kalian berpecah-pecah. Inilah suatu bukti, bahwa Tuhan selalu membantu manusia baik hati."
"Kentutmu!" potong Surawijaya di kejauhan.
"Kini jerih payahku diridoi Tuhan benar-benar. O, Tuhan terima kasih. Tapi sayang ... sayang ...
mengapa Bagus Boang sudah mampus. Coba kalau belum mampus, kayak apa tampangnya. Aku
kepengin melihat. Ah, Bagus Boang! Kenapa kau tak mau menunggu.... Kau memang bangsat!"
Dan tiba-tiba Suryakusumah menangis menggerung-gerung. Setelah puas lalu mengumpat lagi,
"Bagus Boang anak setan! Bagus Boang bangsat...."
Baru sampai di situ, tiba-tiba ia menjerit tertahan. Punggungnya kena gablok dan ia terjungkal di lantai. Secepat kilat ia menoleh. Ternyata ia kena pukul Dadang Wiranata dengan pukulan saktinya Aji Gineng. Terus saja ia membalas. Karena tenaga Dadang Wiranata belum pulih, ia kurang gesit. Dengan tepat pukulan Suryakusumah menghantam dadanya. Dan Dadang Wiranata
terguling tanpa bersuara.
Dadang Wiranata sesungguhnya seorang pendekar yang cerdik. Ia bisa berpikir jauh dalam
keadaan terjepit. Tatkala kena dilukai Suryakusumah dengan pukulan gelap, ia jatuh tanpa dapat membalas. Tetapi tenaga saktinya sebenarnya jauh lebih tinggi daripada rekan-rekannya.
Meskipun habis mengadu tenaga sakti melawan Tatang Sontani dan sebelumnya terluka pula oleh suatu racun, namun masih saja ada sisanya. Sadar bahwa ia takkan mampu bergebrak dengan
Suryakusumah berpura-puralah dia jatuh pingsan menunggu saat yang tepat, la melihat
Suryakusmah menangis menggerung-gerung. Hatinya terkesiap, inilah saat yang sebaik-baiknya.
Begitu Suryakusmah mulai mengumbar ganjelannya, terus saja ia melesat menghantamkan Aji
Gineng dengan tenaganya yang penghabisan.
Suryakusumah adalah adik Ratu Bagus Boang. Dengan sendirinya tangguh luar biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun begitu kena pukulan Aji Gineng, masih saja kekebalan dirinya tak mampu menahan.
Secara untung-untungan ia membalas. Pukulannya ternyata tepat mengenai dada Dadang
Wiranata. "Bagus! Kau bangsat bermaksud hendak gugur bersama aku bukan" Jangan mimpi!" bentak Suryakusumah. Mendadak saja kepalanya pusing dan penglihatannya berkunang-kunang. Suatu
hawa yang dingin luar biasa menyerang ulu hatinya. Dadanya serasa mau meledak. Maka cepatcepat ia menguasai mulutnya dan duduk bersimpuh menentram-kan diri.
Dengan demikian di dalam ruang perjamuan yang terletak di paseban Gedung Markas Besar
Himpunan Sangkuriang menjadi sunyi tegang. Masing-masing lagi berlomba menghimpun tenaga saktinya kembali. Hanya Dadang Wiranata yang terlalu parah luka dalamnya, sampai napasnya kempas-kempis seperti sebuah pelita nyaris kehabisan minyak.
Sebaliknya meskipun tenaga saktinya yang paling lemah Manik Angkeran menderita luka paling ringan. Selagi mereka belum bisa berkutik, ia sudah dapat bergerak. Melihat hal itu, timbullah harapan dalam hati Tubagus
Simuntang. Terus saja ia menyeru, "Adikku yang baik! Kau sudah dapat bergerak. Itulah bagus... Tadi kulihat engkau sudah berani menegur kunyuk itu tanpa memikirkan keselamatanmu sendiri. Itulah suatu tanda, bahwa budimu luhur. Kini jiwa kami terancam bahaya. Kau tolonglah kami. Kalau tidak kami akan hancur lebur."
"Bagaimana caraku menolong?" sahut Manik Angkeran.
"Kau hantam jahanam itu, dia pasti mampus."
"Tenagaku tak ada lagi. Aku hanya bisa bergerak. Ontuk memukul orang, rasanya tak
mungkin." "Kalau begitu, carilah sebuah tongkat. Pukul kepalanya seratus dua ratus kali tak mengapa, asal dia lantas mampus."
"Tak boleh begitu! Tak boleh begitu!"
"Mengapa tak boleh?" Tubagus Simuntang menebak-nebak.
"Aku seorang tabib. Seorang tabib tidak boleh membunuh. Apalagi membunuh seseorang yang lagi menderita luka."
Tubagus Simuntang terhenyak sejenak. Lalu tersenyum memaklumi. Katanya mengalah, "Ah, adikku yang baik. Kau memang berbudi luhur. Tetapi engkau sedang menghadapi seorang
jahanam. Kau harus bertindak tegas."
"Tidak! Aku ... aku ..." Manik Angkeran bingung, la tahu, Suryakusumah berhati keji dan jahat.
Dia sendiri merasakan bogem mentahnya. Kalau saja tidak dihalang-halangi Tatang Sontani, nyawanya sudah berada di alam baka. Namun untuk membunuh seseorang yang sedang luka
parah, benar-benar bertentangan dengan undang-undang tabib.
Kaget luar biasa adalah Suryakusumah. Lantaran perhatiannya terpusat kepada ketujuh tokoh Himpunan Sangkuriang dan terbenam dalam kisahnya sendiri, ia sampai melupakan pemuda cilik itu. Tadinya ia mengira, bahwa pemuda itu pasti takkan tahan membendung apalagi mengusir pukulan saktinya. Mengingat tenaga jasmaninya sangat lemah dibandingkan dengan yang lain. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa Manik Angkeran adalah murid seorang tabib sakti.
Dengan sendirinya paham akan lika-liku rahasia ketabiban. Begitu kena pukulan, tahulah dia bagaimana cara mengatasi tenaga sakti lawan yang merayap ke dalam urat-nadinya. Meskipun tenaga saktinya lemah, berkat pengetahuannya ternyata dialah yang paling bisa menolong diri.
Sekarang Suryakusumah mendengar percakapannya dengan Tubagus Simuntang. Keruan saja,
hatinya tergetar. Waktu itu dia sedang berkutat mengusir tenaga sakti Aji Gineng yang dingin luar biasa. Hampir-hampir dia berhasil. Sayang lantaran terkejut tenaga pendorongnya lantas buyar.
Dan seperti seekor burung kena tembak sayapnya, ia jatuh terkulai menelungkupi lantai.
"Adikku!" kata Tubagus Simuntang. Manusia jahanam itu, berjiwa keji. Kalau kau membiarkan dia hidup, berarti puluhan ribu orang mati tak terkubur. Sebaliknya, kalau kau membunuhnya, berarti kau telah menyelamatkan ' puluhan ribu nyawa. Manakah yang lebih berharga" Nyawa satu orang yang berhati keji atau puluhan ribu nyawa yang tak berdosa?"
Hebat ucapan Tubagus Simuntang, sampai hati Manik Angkeran terguncang. Dan mendengar
ucapan yang berbisa itu, Suryakusumah memaksa diri untuk berbicara. Katanya, "Adik cilik, dengarkan. Tadi aku hanya menyentuhmu. Itu suatu bukti bahwa tiada niatku hendak mencelakai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dirimu. Apalagi membunuhmu. Sekarang engkau hendak membunuh seorang yang lagi menderita
luka berat. Engkau seorang calon tabib sakti, masakan akan membunuh seorang yang sedang luka berat. Bukankah kau kelak bakal ditertawakan oleh manusia di seluruh jagat?"
"Kentut! Kentut!" maki Otong Surawijaya dengan mendongkol. Kau mengaku sebagai adik Gusti Ratu Bagus Boang. Tapi ternyata sepak terjangmu seperti bumi dan langit. Kau main gelap.
Menyerang dari belakang punggung. Apakah perbuatan begitu tidak bakal ditertawakan oleh
manusia seluruh jagat" Kau memang bangsat pintar putar lidah."
Mendengar ucapan Otong Surawijaya, Manik Angkeran seperti tersadar. Ia mencoba berdiri,
tapi terjatuh kembali. Dan ketujuh raja muda Himpunan Sangkuriang, diam-diam mengeluh.
Mereka sadar bahwa untuk menolong keselamatan jiwa dan Himpunan Sangkuriang tidak boleh
menyandarkan harapannya kepada orang lain. Satu-satunya jalan harus dapat menghimpun
kembali tenaga saktinya yang lenyap berguguran kena pukulan Aji Naran-taka. Tetapi mereka sadar pula, bahwa hal itu tidak boleh dilakukan dengan gegabah serta merta memaksa diri.
Akibatnya malahan menjadi runyam.
Ratna Bumi yang terkena betisnya, berusaha dengan sekuat tenaga hendak mendahului
pulihnya tenaga saktinya Suryakusumah yang kena pukulan sakti Aji Gineng. Tapi setelah
beberapa kali mengatur pernapasannya, ia merasa diri gagal. Maka harapan satu-satunya ialah, moga-moga ada salah seorang bawahan yang kebetulan menjenguk ke paseban. Sebab ia melihat Manik Angkeran benar-benar kehilangan tenaga.
Akan tetapi setelah ditunggu sekian lamanya, tetap sunyi. Tanda-tanda bakal ada seseorang yang datang tiada sama sekali.
Sebaliknya Suryakusmah berpikir lain. Ia tak usah khawatir bakal ada seseorang yang datang menjenguk paseban. Sebab selain sudah terjaga, ia sudah membersihkan terlebih dahulu. Satu-satunya jalan untuk mengulur waktu ialah dengan mencoba:
"Adik kecil! Selama hidupku tak pernah aku bermusuhan dengan dirimu. Ya, bukan" Mengapa engkau berniat hendak membunuh aku" Bukankah itu suatu karma" Ingat, bahwa di atas kita ada Tuhan yang selalu mengawasi perbuatan kita."
"Kentutmu!" maki Otong Surawijaya. Tetapi ucapan Suryakusmah benar-benar meresap ke dalam lubuk hati Manik Angkeran, sehingga pemuda itu jadi bersangsi. Melihat demikian, "
Tubagus Simuntang cepat-cepat berkata: "Adik! Dalam dunia ini, memang banyak orang bermulut manis.
Lain di mulut lain di hati. Coba pikir. Jahanam itu bisa ngomong perkara karma dan Tuhan. Tapi nyatanya, dia sendiri mau menyembelih kita. Kau bisa percaya akan kejujurannya?"
Dan demikianlah dengan napas tersengal-sengal kedua belah pihak berusaha sekuat mungkin
untuk menanamkan pengaruh dalam lubuk hati Manik Angkeran. Yang tercebur dalam kesangsian luar biasa ialah Manik Angkeran. la bingung dan tak tahu apa yang paling baik untuk dilakukan.
Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Lalu berkata, "Paman Tubagus Simuntang! Bagian manakah yang kena pukulan orang itu?"
Tubagus Simuntang tercengang sejenak. Minta keterangan, "Mengapa engkau membicarakan soal yang tidak penting"
"Aku akan menolongmu. Dengan begitu, engkau bisa melakukan maksudmu. Aku seorang
tabib. Selama hidupku aku bersumpah takkan membunuh orang."
Kembali lagi Tubagus Simuntang tercengang sejenak. Akhirnya berkata dengan menghela
napas, "Adikku! Tak gampang-gampang engkau dapat mengatasi pukulan jahanam itu. Seumpama dapat, pastilah akan membutuhkan waktu lama," ia berdiam menimbang-nimbang.
Katanya di dalam hati, tapi baiklah kuturuti saja maksud baiknya. Kalau dia merasa senang, mungkin aku berhasil membujuknya. Setelah memperoleh keputusan demikian, dengan tersenyum ia berkata: "Baiklah, adikku. Mari, tolonglah aku."
Dengan merangkak-rangkak, Manik Angkeran menghampiri. Setelah mendengarkan keterangan
Tubagus Simuntang tentang akibat pukulan sakti Aji Narantaka, ia segera memijit-mijit
kempungan, pinggang dan lubang syaraf. Memang Tubagus Simuntang merasakan suatu
kelegaan, tetapi tenaga Manik Angkeran terlalu lemah sehingga hampir-hampir tak terasa
perubahannya. Selagi demikian, terdengarlah suara Tatang Sontani:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adik kecil! Engkau memang seorang pemuda yang berbudi luhur. Aku percaya, kau pasti berhasil menolong Tubagus Simuntang. Hanya saja, waktunya begini sempit. Nah, begini saja.
Memang tak patut seorang tabib sampai membunuh orang. Sekarang maukah engkau menolong
kami dengan perbuatan lain?"
Manik Angkeran menoleh. Menyapa, "Apa, itu?"
"Bakarlah rumah-rumah di seberang itu!"
Manik Angkeran heran. Menegas lagi, "Mengapa dibakar?"
Tatang Sontani menimbang-nimbang sebentar. Lalu meyakinkan, "Jahanam itu hendak
membakar rumah kita. Daripada dibakar olehnya, bukankah lebih baik terbakar oleh perintahku?"
Mendengar keterangan Tatang Sontani, Suryakusumah tertawa gelak.
Katanya, "Bagus! Nah, bakarlah! Begitu api menyala,* pastilah seluruh pasukanku akan meluruk ke mari. Sebab memang itulah tanda sandiku."
"Jangan dengarkan ocehannya!" sambung Dwijendra. Pendekar ini segera dapat menangkap maksud Tatang Sontani. "Lakukan perintah Tatang Sontani!"
Manik Angkeran menatap wajah Tatang Sontani mencari keyakinan.
"Ya, benar. Bakarlah! Jahanam itu bilang, bahwa pasukannya akan tiba. Sebaliknya apabila pasukan kita bertujuh melihat api menyala pastilah akan datang pula. Dengan demikian, engkau berjasa menolong kami. Nah, berangkatlah!"
Sekarang Manik Angkeran tidak ragu-ragu lagi. Dengan memaksa diri ia berdiri. Kemudian
berjalan tertatih-tatih. Dua tiga langkah maju, ia jatuh tersungkur. Tapi berdiri kembali. Begitulah berulang-ulang terjadi, sampai ia hampir melewati ruang paseban.
"Selamat adikku! Sementara ini, biarlah aku melakukan nasihatmu memijit-mijit kempu-ngan, pinggang dan lobang syaraf!" seru Tubagus Simuntang menyenangkan hati pemuda itu.
Sekarang di dalam ruang paseban benar-benar terjadi suatu lomba pemulihan tenaga sendiri.
Tatang Sontani, Dwijendra, Walisana, Ratna Bumi, Otong Surawijaya, apalagi Dadang Wiranata tidak mempunyai harapan untuk bisa memenangkan perlombaan itu. Yang ada harapan besar,
hanyalah Tubagus Simuntang lantaran telah menerima petunjuk Manik Angkeran. Tapi tenaganya terlalu lemah bila dibandingkan dengan Suryakusumah. Dengan demikian, keadaannya tetap
mengkhawatirkan. Tak lama kemudian, malam hari tiba dengan diam-diam. Suasana dalam ruang paseban benarbenar menegangkan urat syaraf. Sebab selain menjadi gelap gulita, mereka semua sedang
mempertaruhkan jiwanya. Di tengah kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Tatang Sontani. "Tubagus Simuntang! Kau tadi sudah bersintuh tangan dengan bocah itu. Apakah dia masih mempunyai tenaga untuk
membakar rumah" Lagi pula siapakah dia sebenarnya?"
Tubagus Simuntang menjenak napas. Seperti terpaksa ia menyahut, "Meskipun tidak bertenaga lagi, tetapi kalau hanya menyulut api masakan tak mampu. Soalnya, di manakah dia akan
memperoleh lentikan api?" Ia berhenti dengan hati bersedih. Berkata lagi. "Tentang asal usul bocah itu, sebenarnya aku sendiri kurang terang. Melihat gerak-geriknya, dia memiliki warisan ilmu perguruan Sade-wata. Caranya dia lari mengingatkan aku kepada Diah Kartika. Dia kuketemukan selagi berdiri terlongong-longong mencari seorang kemenakan perempuannya yang dibawa lari oleh salah seorang bawahan kita. Siapa namanya, tak terang. Hanya saja, kalau dia berhasil melakukan perintahmu, maukah engkau menolong aku mencarikan kemenakannya?"
Tatang Sontani tak menyahut. Pikirannya kusut. Ia kenal siapakah Diah Kartika. Dialah murid seorang pertapa sakti bernama Sadewata. Dia sendiri termasuk salah seorang anggota. Himpunan Sangkuriang. Tetapi dua saudaranya yang lain, terang-terangan berpihak kepada musuh. Tadi, pemuda itu menyebut diri sebagai murid seorang tabib sakit. Bukankah tabib sakti itu si Maulana Ibrahim"
Pada saat itu, mendadak ia melihat kejapnya letikan api. Dan tak lama kemudian, gelap malam di luar paseban menjadi cerah berjilatan.
"Api! Api!" seru Tubagus Simuntang. "Kalau begitu ... kalau begitu ...."
"Ya. Aku akan membantumu. Tak peduli da-rimana asal usul bocah itu!" sambung Tatang Sontani. Hatinya penuh dengan harapan....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
43. ANDANGKARA Makin lama, api makin menjalar hebat. Rumah di sebelah gedung Markas Besar nyaris habis.
Sekarang bahkan merembet ke perumahan di sampingnya. Asap bergulungan memasuki gedung
Markas Besar sehingga menyekat pernapasan. Dalam ruang paseban tempat perjamuan makan,
bertambah pekat. Sekonyong-konyong nampaklah suatu letik api. Dan pelita yang berada di
dinding sebelah menyala terang. Siapakah yang menyalakan" Hati ketujuh tokoh Himpunan
Sangkuriang mencelos dengan berbareng. Karena yang menyalakan tak lain ialah Suryakusumah.
Ternyata dia sudah memperoleh tenaganya kembali.
"Nah, sekarang datanglah saatnya. Aku mau melihat kalian mampus di tengah ruang yang menyala terang. Dengan begitu mata kalian akan bisa menyaksikan suatu tontonan yang
menarik," kata Suryakusumah dengan
tertawa terbahak-bahak, la benar-benar pulih seperti sediakala. Matanya nampak berseri-seri dan ia terus berjalan mengitari" dinding ruang paseban menyalakan pelita-pelita besar.
Tak lama kemudian terdengarlah suatu hiruk-pikuk sangat ramai. Suatu pertempuran terjadi di luar halaman. Meskipun demikian, Suryakusumah tak nampak terpengaruh. Malahan ia seperti memperoleh tambahan semangat.
"Nah," akhirnya dia berkata memutuskan. "Siapakah yang harus berangkat dahulu?"
Tatang Sontani dan kawan-kawannya mendongkol. Hatinya penuh penasaran. Memang mereka
semua tahu, bahwa-Suryakusumah akan pulih tenaganya terlebih dahulu. Hanya saja tak pernah mengira akan secepat itu. Menurut perhitungan paling tidak akan membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dengan demikian, harapan untuk memperoleh bantuan boleh dipastikan.
"Baiklah kau boleh mencincang atau membakar kami hidup-hidup," kata Tatang Sontani.
"Hanya saja tolong terangkan apakah racun yang mengeram dalam diri Dadang Wiranata berasal darimu"
"Sudah tentu. Apakah kalian tak bisa menduga?" sahut Suryakusumah senang, la maju selangkah mendekati Otong Surawijaya. "Itulah racun Panaitan yang termasyhur. Tidak berbentuk dan tidak bersuara. Aku hanya cukup menghembuskan dari sebatang pipa. Barangsiapa kena
racun itu, dia akan mati terhisap perlahan-lahan. Dan siapa yang berani mencoba menolong, dia akan kena hisap pula. Hebat terlalu hebat! Biarpun dewa tidak bakal bisa menolong."
"Kentutmu!" lagi-lagi Otong Surawijaya memaki. "Kau memang laki-laki gagah. Perlu apa kau meracun rekanku yang selamanya tidak pernah berlaku curang?"
Suryakusumah tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Kau memang manusia goblok. Kalau dia kuracun, bukankah kalian akan datang menolong" Dengan begitu, bukankah akan memudahkan
pekerjaanku membasmi himpunan kalian" Kau memang manusia berotak udang. Nah,
berangkatlah kau terlebih dahulu ke neraka. Aku sebal melihat tampangmu!"
Setelah berkata demikian, Suryakusumah melesat menghampiri Otong Surawijaya. Dengan
sekali pukul ia hendak memam-puskan manusia bermulut jahil itu. Tak terduga, pendekar itu termasuk manusia tak gentar menghadapi maut. Begitu merasa dirinya terancam, mendadak saja dalam seribu kerepotan timbullah akalnya. Mulutnya terus saja menyemprotkan liur dan ludahnya dengan bersamaan. Terpaksalah Suryakusuma mengurungkan pukulannya, karena perlu mengelak dahulu. Dia tahu meskipun hanya liur dan ludah tetapi kalau disemprotkan oleh seorang yang memiliki tenaga sakti akan merupakan senjata bidik yang ampuh pula.
"Mulutmu itu memang jahil. Biarlah kusumpali dulu!" maki Suryakusumah. Dia terus merobek bajunya. Lalu disambitkan tepat mengenai pinggir mulut Otong Surawijaya. Otong Surawijaya tak dapat berbuat lain kecuali mencoba mengelak dengan melengos. Namun hal itu sudah
diperhitungkan Suryakusumah. Begitu dia melengos, Suryakusumah terus menerjang sambil
menghantam. Pada saat pukulannya akan tiba di atas kepala Otong Surawijaya, suatu kesiur angin memotong dari samping. Secara otomatis tangan kirinya menyodok. Suatu bayangan terpental di udara, dialah Tubagus Simuntang.
Oleh petunjuk Manik Angkeran, diam-diam Tubagus Simuntang berhasil mengumpulkan
tenaganya kembali. Sayang, tenaga sakti dalam dirinya sudah terkuras habis. Walaupun demikian, dibandingkan dengan temantemannya, ia lebih beruntung. Menurut perhitungan pada esok fajar hari ia sudah akan memperoleh kesegarannya kembali. Tetapi keadaan tidak mengizinkan. Melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Otong Surawijaya terancam maut, tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, lantas saja melesat memotong pukulan Suryakusumah. Sudah barang tentu, tenaga saktinya kalah jauh dengan
Suryakusumah. Itulah disebabkan, lantaran dia belum pulih benar-benar. Dan begitu kena
gempuran tangan kiri Suryakusumah, tubuhnya melayang tak ubah sebuah bola kena dilontarkan.
Selagi melayang di udara, suatu kesiur angin dahsyat luar biasa menghantam dari arah
punggungnya, la terus menangkis. Tahu-tahu ia terpental lagi sampai keluar paseban. la heran terlongong-longong. Siapakah yang memiliki tenaga dahsyat itu. Berbareng dengan melontakkan darah, ia melihat suatu bayangan dalam keadaan remang-remang. Hai...! Bukankah orang itu pula yang ikut berlari-larian mengejar asap kuning yang disulutnya untuk mempermainkan Edoh Permanasari dan anak-anak Mandalagiri"
Ya, dialah Sangaji. Pemuda itu terkesiap melihat ketangguhan, Tubagus Simuntang. Melihat jubah usangnya terus saja ia berkata gugup, "Maaf, maaf... bukankah Tuan yang mengocok Edoh Permanasari?" setelah berkata demikian, Sangaji menyalurkan tenaga saktinya lewat punggung Tubagus Simuntang.
Pendekar ini benar-benar terhenyak. Ia tak tahu, bahwa Sangajipun melihat dirinya pula.
Tatkala hendak mengadakan suatu reaksi, tiba-tiba dadanya terasa longgar. Suatu hawa yang nyaman luar biasa merayap masuk.
"Kau siapa?" ia memaksa berbicara.
Sangaji telah memperoleh pengalaman pahit. Segera ia mengeluarkan logam tanda undangan
yang diterimanya dari Suhanda.
"Ah," Tubagus Simuntang kaget. Suatu sinar harapan membersit dari hatinya. "Kalau begitu ...
lihat... tolong. Aku akan bisa menolong diriku sendiri."
Sangaji melemparkan pandang ke arah paseban. Ia melihat seorang laki-laki berdiri bengong.
Berdiri mengawaskan dirinya, di antara enam orang yang rebah di atas lantai. Teringatlah dia bahwa kepada kata-kata lnu Kertapati dan Sidi Mantera mengkhawatirkan keadaan pemimpin-pemimpinnya. Apakah orang itu yang melukai pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang dengan racun seperti yang dialami sebentar tadi" Mendadak ia melihat laki-laki itu seperti tersadar.
Tangannya diayun. Terang sekali hendak membunuh mereka seorang demi seorang, memperoleh
kesan demikian, secepat kilat ia melesat sambil menggempur.
Ilmu sakti Sangaji sudah tak dapat diukur lagi tingginya. Ilmu itu mempunyai kemungkinan-kemungkinan di luar nalar manusia. Gerakan ayunan Suryakusumah sudah cepat. Tapi ilmu sakti Sangaji lebih cepat lagi, meskipun terlontar dari jarak jauh. Kelihatannya terlambat, tapi nyatanya tiba mendahului. Tiba-tiba saja, Suryakusumah tergetar mundur. Ia kaget berbareng bertahan.
Justru pada saat itu, ia seperti kena dorong suatu tenaga dahsyat. Sekarang dari kaget berubah menjadi heran. Akhirnya terpaku keheran-heranan dengan mata penuh selidik.
Heran! Selagi tinggal menunggu waktu hancurnya, mengapa muncul seorang pemuda cilik yang bertenaga begitu hebat" pikir Suryakusumah. Dasar licin, terus saja ia mengambil keputusan.
"Baru saja aku kena dilukai Dadang Wiranata. Tenagaku belum pulih seluruhnya. Dan pemuda itu nampaknya tidak berada di bawah mereka. Baiklah kupergi dahulu. Memang Himpunan
Sangkuriang masih mempunyai bintang," katanya di dalam hati. Lalu memutar tubuh dan melesat hilang di dalam kegelapan.
Melihat Suryakusumah melarikan diri, Sangaji tak ragu-ragu lagi. Pastilah orang itu yang melukai pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang dengan racun. Kalau bukan dia, setidak-tidaknya kawan orang yang berpakaian mewah tadi.
la paling benci kepada orang yang menggunakan racun. Itulah disebabkan, lantaran gurunya hampir mati kena racun dan pukulan gelap. Hatinya lantas jadi panas. Tanpa berpikir panjang lagi, ia melesat mengejar.
Di hadapannya menghadang suatu lapangan terbuka yang dipagari dinding gunung.
Suasananya hening senyap. Bulan yang menebarkan cahaya remang-remangnya menambah suatu
kisah sendiri. Kabut gunung mulai menyelimuti persada bumi pula. Mengejar seseorang dalam keadaan demikian sebenarnya banyak bahayanya. Apalagi orang seperti Suryakusumah. Pastilah orang demikian, mempunyai kesempatan bagus untuk menyerang secara gelap. Namun Sangaji
tak memedulikan semuanya itu. Ia bertekat penuh hendak mengejar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Asalkan aku selalu berjaga-jaga, masakan aku sampai kena diserang secara gelap, pikirnya.
Dan ia menajamkan inderanya. Sekonyong-konyong ia seperti melihat berkelebatnya suatu
bayangan. Terus saja ia memburu. Ternyata orang itu menyelinap ke dalam gua. Dengan
melindungi mukanya ia menerobos masuk. Tak mau ia kehilangan waktu lagi. Mendadak saja,
dinding di depannya ambrol. Keruan saja ia kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak dan melesat ke luar. Tepat pada saat itu sebuah batu besar menggelinding dari atas menutupi mulut gua.
"Sungguh berbahaya!" Sangaji mengeluh. Dan pada saat itu ia mendengar suara tertawa pelahan-lahan melalui dada. Hatinya jadi geram. Terus saja ia melesat ke arah suara itu. Betapa gesit dan cepat gerakan Sangaji susah dibayangkan. Namun manusia itu lebih cepat lagi. Tahu-tahu Sangaji menumbuk batu.
"Bocah! Dengan kau aku tidak bermusuhan. Apa sebab engkau mengubar-ubar aku?" kata orang itu yang bukan lain adalah Suryakusumah. Dia sudah berada di atas suatu ketinggian. Maka tahulah Sangaji, bahwa Suryakusumah tadi pasti menyelinap ke sebuah gua atau lorong rahasia yang belum diketahui. Hatinya lantas saja menjadi penasaran.
Di dekat sebuah batu besar ia berhenti menyelidiki. Ia mencoba mendorong dengan
menggunakan tenaga enam bagian. Batu itu ternyata dapat digesernya. Melihat sebuah
terowongan, segera ia menambah tenaga. Batu itu terus tergeser dan menggelinding ke bawah.
"Hebat! Sungguh hebat!" kata Suryakusumah di atas. "Memiliki tenaga begitu, tidaklah mudah.
Semasa mudaku seumurmu, aku belum becus mengangkat diriku sendiri. Tapi kau... hm, apakah tidak sayang membuang nyawa sia-sia?"
Hati Sangaji terkesiap. Teringat akan kekejian lawan, ia tak berani berlaku semberono. Pikirnya, rupanya dia sudah mengenal jalan. Kalau aku masuk, jangan-jangan aku terjebak di dalamnya.
Bukankah aku lantas menjadi seekor binatang kurungan" la menyabarkan diri. Di luar
kesadarannya ia membayangkan Titisari yang cerdik. Kalau Titisari menghadapi soal macam begini apakah yang akan dilakukan, pikirnya. Dahulu ia pernah diajak Titisari mencari jejak Pangeran Bumi Gede. Biasanya orang pasti mengejar begitu saja. Tetapi Titisari tidaklah demikian. Setelah mencari ubek-ubekan beberapa waktu lamanya, ia lantas berhenti dan bersembunyi. Itulah akal yang jitu. Mencari orang yang sedang bersembunyi harus dilawan dengan bersembunyi pula.
Teringat hal itu, lalu ia memutuskan hendak bersembunyi pula sambil mengintip.
Tak terasa matahari telah tersimbul di udara. Dataran ketinggian Gunung Cibugis masih


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diselimuti kabut. Hawa gunung luar biasa dinginnya. Sangaji masih saja mendekam di balik batu dengan memasang telinganya. Entah sudah berapa jam ia menajamkan inderanya untuk
menangkap suatu gerak atau suara. Namun keadaannya sunyi lengang. Apakah Suryakusumah
sudah menghilang dengan diam-diam" Ah, tak mungkin. Masakan pendengarannya tidak dapat
menangkap bunyi langkahnya" Jangan lagi suatu langkah sedangkan suara napas seorang lukapun dapat ditangkap oleh pendengarannya yang tajam melebihi manusia lumrah.
Tetapi sekitar ketinggian itu, benar-benar sunyi senyap. Maka ia memberanikan diri untuk bergerak. Dengan menggunakan ilmunya tingkat tinggi, ia mengendap-endap memasuki
terowongan. Baru beberapa langkah, mendadak ia mendengar suatu suara yang mencurigakan.
Hati-hati ia melangkah maju. Pendengarannya ditajamkan. Terang ini suara napas. Anehnya, napas seseorang yang sedang menderita luka parah. Siapa"
Cepat ia melesat memasuki terowongan lebih jauh lagi. Dalam terowongan gelap bukan main.
la tak berani, gegabah. Setelah menimbang-nimbang dengan hati-hati, ia memutuskan untuk
menunggu. Tapi sekian lama ia menunggu, tiada terjadi suatu perubahan. Semuanya tenang.
Terlalu tenang malah. Lambat-laun matanya dapat menembus kegelapan. Terus saja ia melangkah maju dengan
melindungi tubuhnya. Ia tak melihat sesuatu kecuali suara napas itu. Tiba-tiba jauh di sana nampak suatu cahaya. Tak ragu lagi, itulah pintu gua sebelah sana. Cepat-cepat ia melangkah.
Tatkala hampir sampai, ia melihat sesosok tubuh menggeletak tak berkutik. Sekiranya napasnya tak terdengar, pastilah ia mengira menemukan bangkai manusia.
Alangkah terkejutnya, setelah ia mengenal siapakah yang menggeletak tak berkutik itu. Dialah Manik Angkeran. Bagaimana pemuda itu sampai berada di situ. Sangaji tak tahu, bahwa pemuda itu semalam memegang peranan penting. Setelah merangkak-rangkak ke sana ke mari untuk
mencari letikan api, ia terus membakar rumah yang berada di halaman Gedung Markas Besar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Himpunan Sangkuriang. la menunggu sampai api menyala benar. Kemudian dengan merangkakrangkak ia menjauhi. Dalam hati ia sudah memutuskan hendak minggat.
Tatkala dibawa mendaki dataran tinggi, sedikit banyak ia mengenal lika-liku jalannya.
Tetapi begitu sampai di terowongan yang pertama, tenaganya sudah habis ludes. Tak
dikehendaki sendiri, ia jatuh pingsan.
Sangaji terus memapahnya ke luar gua. Dengan hati-hati ia meletakkan tubuh Manik Angkeran di atas rerumputan. Kemudian menyalurkan hawa saktinya. Sebentar saja, Manik Angkeran siuman kembali. Tapi, begitu menje-nakkan mata, mendadak memekik tinggi:
"Cepat Suhanda!"
Terang sekali, pemuda itu mengigau. Semenjak Atika dibawa lari Suhanda, pikirannya selalu ada padanya. Karena itu, begitu memperoleh kesadarannya kembali nama Suhan-dalah yang
terlintas dalam benaknya untuk yang pertama kali. Untung, Sangaji kenal siapa yang disebut Suhanda. Ia tahu pula tentang diri Manik Angkeran sewaktu mengintip peristiwa yang terjadi di pertapaan Maulana Ibrahim. Maka ia sudah dapat menebak sebagian.
"Kenapa Suhanda?" Sangaji menegas.
Manik Angkeran tak menyahut. Ia seperti kehilangan kesadarannya kembali. Terus saja Sangaji memapahnya dan dibawa lari menuju dataran tinggi. Kira-kira seratus meter di depannya, nampak sebuah jurang yang terlindung batu-batu pegunungan dan semak belukar, la mengeluh. Walaupun ia bertenaga sakti, tetapi untuk terbang melintasi rasanya tidak mungkin. Apalagi dengan membawa beban. Ia hendak balik kembali ke gua, sewaktu matanya melihat beberapa orang
menggeletak tak berkutik di seberang sana.
Rupanya sudah terjadi suatu pertempuran di mana-mana, pikirnya. Memperoleh pikiran
demikian, ia tak boleh membuang-buang, tempo. Terus saja ia kembali ke gua. Setelah berlari-larian beberapa waktu lamanya, sampailah dia ke dataran semula. Hatinya terkesiap. Di tengah lapangan dekat lereng sebelah barat, empat orang menggeletak dengan golok menembus
dadanya. Ah, mengapa begini cepat terjadi suatu perubahan" Jangan-jangan, aku sengaja dipancing ke mari. Kemudian ia balik kembali ke paseban untuk membunuh pemimpin-pemimpin Himpunan
Sangkuriang yang sudah tak dapat berkutik lagi. Celaka, pikir Sangaji cemas.
Dalam hal mengadu suatu kelicinan, dia bukan orangnya. Maka sekali menjejak tanah,
badannya seperti terbang di udara. Gerak-geriknya gesit. Sesuatu yang tak mungkin dapat dicapai seseorang, baginya bukan soal sulit lagi. Walaupun kini sambil menggendong Manik Angkeran, tidaklah mengurangi kegesitannya. Seperti burung garuda ia lari melayang-layang dari tempat ke tempat lainnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara Manik Angkeran.
"Hai! Apakah engkau setan?" Kata-kata itu mengingatkan Sangaji kepada Fatimah. Dahulu ia bisa bergurau dengan gadis Fatimah yang berwatak angin-anginan. Dan teringat pula bahwa
Manik Angkeran adalah tunangan Fatimah, mendadak saja ia bisa bergurau pula. Sahutnya,
"Kebetulan bukan?"
"Kalau bukan, mengapa bisa terbang seperti setan?"
"Apakah setan bisa terbang?"
Manik Angkeran tak menyahut, la seperti lagi berpikir. Lalu mengalihkan pembicaraan.
"Apakah kau seorang anggota Himpunan Sangkuriang?"
"Kebetulan bukan," sahut Sangaji masih bernada bergurau.
"Kalau bukan, apakah musuh Himpunan Sangkuriang."
"Kebetulan bukan."
"Kalau bukan, lantas siapa?"
Selamanya, Sangaji tak pandai berdusta. Apabila tadi bisa bergurau sebenarnya hanya tahan selintasan saja. Setelah itu kembali kepada wataknya yang asli. Katanya, "Aku berasal dari Jawa Tengah, meskipun semenjak kanak-kanak aku berada di Jakarta." Baru sampai di situ, Manik Angkeran menggeliat.
"Hai! Benarkah engkau dari Jawa Tengah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar. Kemudian menetap di Jakarta. Dua tahun yang lalu aku merantau di Jawa Tengah.
Secara kebetulan pula aku berkenalan dengan seorang gadis yang menolong jiwaku. Gadis itu bernama Fatimah."
Mendengar Sangaji menyebut nama Fatimah, Manik Angkeran menggeliat kembali. Menegas,
"Fatimah?" "Ya, Fatimah." Manik Angkeran berpikir sejenak. Lalu berkata, "Memang banyak orang bernama Fatimah."
"Benar. Tapi Fatimah itu adik guruku yang bernama Wirapati," kata Sangaji. Mendengar keterangan ini, Manik Angkeran benar-benar terkejut. Baru saja ia hendak membuka mulut,
Sangaji berkata lagi, "Secara kebetulan, aku bersahabat dengan beberapa pendekar Himpunan Sangkuriang. Lalu aku diundangnya ke mari. Secara kebetulan aku melihat suatu malapetaka.
Tujuh orang pemimpin Himpunan Sangkuriang nyaris dalam bahaya."
"Ya, aku tahu. Mereka kena pukulan gelap," potong Manik Angkeran.
"Bagaimana kau tahu?" Sangaji heran.
"Secara kebetulan aku berada di sana," sahut Manik Angkeran. Lalu ia menceritakan pengalamannya dengan singkat tentang peranan Suryakusumah.
"Dia lari, sewaktu aku tiba," kata Sangaji. "Dia kukejar. Kukira ia bersembunyi di dalam gua.
Tetapi yang kutemukan adalah engkau. Mengapa engkau sampai berada di dalam gua?"
Baru Manik Angkeran hendak menyahut, tiba-tiba suatu kesiur angin menyerang dari balik batu dengan dibarengi bentakan keras?"
"Siapa?" Sangaji tak sempat meladeni. Melihat beberapa orang menggeletak tak berkutik di sana-sini, ia mencemaskan nasib pemimpin-pemimpin Himpunan Sangkuriang. Kalau saja Inu Kertapati dan
kawan-kawannya sudah berhasil mengusir kawannya penyerbu, tak apalah. Tapi apabila tidak, itulah bahaya. Padahal Gedung Markas Besar sudah terbakar separoh lebih. Karena mencemaskan nasib mereka, ia hanya mengibaskan tangan. Maka terdengarlah suara jeritan sekali dan tersusul robohnya seseorang.
Sangaji tercengang, la menoleh dan di sana menggeletak seorang tua berpakaian hitam lekam.
Melihat pemandangan itu, barulah Sangaji tersadar. Lantaran pikirannya terpusat pada rasa cemas, dengan tak disadari ia sudah menggunakan tenaga luar biasa kuat. Dan tiba-tiba Manik Angkeran yang berada dalam gendongannya berseru nyaring sambil menuding: "Lihat! Bukankah dia?"
Oleh bunyi seruan itu, Sangaji menghampiri orang itu. Ternyata dia adalah Suryakusumah. Tadi ia memang geram kena dipermainkan-nya. Tetapi setelah dengan tak sengaja membunuhnya,
timbullah rasa sesalnya. Maka cepat-cepat ia menurunkan Manik Angkeran di atas tanah.
Kemudian dengan membungkuk ia mencoba menolong Suryakusumah.
"Maaf... aku sungguh menyesal sekali. Biarlah...." la terus mengulurkan tangannya hendak menyalurkan tenaga saktinya. Tak terduga Suryakusumah ternyata tangkas. Sekonyong-konyong kakinya mendepak perut Sangaji dengan tenaga sekuat-kuatnya.
Serangan itu datangnya tak terduga sama sekali. Selain itu, sangat cepat. Sangaji tak sempat mengelak atau menangkis. Satu-satunya jalan yang dapat dilakukan hanya menggelembungkan
perutnya. Tahu-tahu tubuh Suryakusumah mencelat sendiri dan jatuh jungkir balik menghantam sebuah batu yang
Tak terduga Suryakusumah ternyata tangkas. Sekonyong-konyong kakinya mendepak perut
Sangaji dengan tenaga sekuat-kuatnya.
mencongak di antara rerumputan. Darah segar menyembur dari kepala dan dadanya. Dan
Suryakusumah tewas pada waktu itu juga.
Itulah akibat tenaga sakti Sangaji yang bekerja secara wajar manakala kena pukulan dahsyat dari luar. Hebatnya tak dapat diperkira-.kirakan. Suryakusumah bukannya seorang pendekar murahan. Ia adik Ratu Bagus Boang. Ilmu kepandaiannya sejajar dengan para raja muda
Himpunan Sangkuriang. Namun kena tangkisan tenaga sakti warisan Pangeran Semono, tenaga
saktinya yang dikumpulkan semenjak puluhan tahun yang lalu, tergempur hancur. Dan tubuhnya terpental tinggi di udara. Kemudian secara kebetulan pula jatuh di atas batu. Maka habislah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
riwayat seorang pendekar sakti yang pernah menggoncangkan bumi Banten pada zaman Ratu
Bagus Boang. Pada saat itu terdengarlah sorak-sorai dan suara gemerincingnya senjata. Sangaji tak sempat lagi mengurusi jenasah Suryakusumah. Ia menyambar tubuh Manik Angkeran kembali dan melesat ke arah Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang.
Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang hampir termakan api seluruhnya. Waktu itu api
sudah padam. Namun asapnya masih mengepul ke udara. Apabila angin datang melanda, dinding dan tiang yang sudah menjadi hangus rontok berguguran. Gedung itu sendiri terletak di atas lapangan terbuka pada suatu dataran ketinggian, yang dipagari jurang serta tebing tinggi. Maka tidakiah sembarang " orang dapat tiba di sana. Lantaran tiada jalan penghubungnya, kecuali terowongan-terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh pemimpin-pemimpin Himpunan
Sangkuriang tertentu. Sekarang kira-kira seratus meter di halaman paseban, ternyata penuh dengan manusia. Terbagi menjadi dua bagian. Bagian barat terdiri dari pihak Himpunan Sangkuriang. Bagian timur terdiri dari mereka yang datang meluruk ke Gunung Cibugis. Pakaian mereka berlepot-an darah. Terang mereka menderita luka. Tetapi yang berada di bagian barat lebih menyedihkan lagi. Hampir seluruhnya tak dapat berdiri lagi. Mereka berebahan atau berjongkok dengan pakaian compang-camping serta berle-potan darah yang kadang-kadang masih saja tergelimang darah segar. Maka kini menjadi jelaslah apa sebab dataran Gedung Markas Besar bisa teraba kaki manusia-manusia yang datang dari luar. Dalam pertempuran semalam sampai dinihari, mereka kena desak sampai terpaksa memasuki terowongan rahasia. Dan dari sana mereka didorong lagi memasuki dataran Gedung Markas Besar. Melihat hancurnya Gedung Markas Besar, siapa saja tahu bahwa riwayat Himpunan Sangkuriang tinggal menunggu saat ajalnya belaka. Pada keblat-keblat tertentu nampak beberapa kelompok manusia siap dengan senjatanya masing-ma sing. Mereka tinggal menunggu perintah pembasmian babak terakhir.
Sekali pandang, Sangaji melihat Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simun-tang, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Ratna Bumi berada di antara orang-orang yang berebahan oleh lukanya masing-masing. Melihat keadaannya, masih saja mereka belum bisa bergerak.
Di tengah lapangan nampaklah dua orang yang sedang bertarung mati-matian. Lantaran
mereka semua sedang mencurahkan segenap perhatian kepada jalannya pertarungan, masuknya
Sangaji dan Manik Angkeran ke lapang an itu tiada yang mengindahkan.
Perlahan-lahan Sangaji membimbing Manik Angkeran menelusup di belakang deretan manusia
yang merupakan pagar arena. Dengan seksama ia memperhatikan mereka yang bertarung. Dua
orang laki-laki bertangan kosong. Meskipun demikian, pukulannya menerbitkan kesiur angin sampai menjangkau jarak sepuluh langkah lebih. Itulah suatu tanda bahwa mereka berdua
termasuk pendekar kelas atas.
Kedua orang itu bergerak terus. Cara bertarungnya cepat melawan cepat. Sekonyong-konyong terjadilah suatu benturan empat tangan dengan sekaligus. Bres! Lalu berhenti tak bergerak. Dan penonton kedua belah pihak bersorak sorai mengguruh.
Sangaji memperhatikan pakaian mereka. Yang satu mengenakan pakaian abu-abu. Dan lainnya
berseragam putih. (Jsia orang ini sudah mendekati 70 tahunan. Namun masih nampak gagah
berwibawa. Pandangnya menyala dengan hidung kokoh seumpama gunung tegak menjulang ke
angkasa. Perawakannya tegap perkasa. Langkahnya pasti dengan dada bidang ketat.
Diam-diam Sangaji membatin, di dalam Himpunan Sangkuriang ternyata masih ada seorang
pendekar begini gagah, garang dan berwibawa. Siapakah dia"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara se-ruan salah seorang murid Gunung Kencana.
"Nah, Andangkara! Meskipun kau hebat tapi kegagahanmu takkan melebihi kakakmu Otong Darmawijaya. Lekaslah menyerah kepada Wiramanggala."
"Hm, mana bisa?" damprat pihak Himpunan Sangkuriang. Kalau kau mengharapkan agar Pangeran Andangkara menyerah kepada anak murid Watu Gunung, hm"itu terlalu pagi."
Mendengar Andangkara disebut sebagai adik Otong Darmawijaya alias Ki Tunjungbiru, hati
Sangaji terkesiap. Kiranya dia adik Aki Tunjungbiru, hati Sangaji tergerak. Dan seketika timbul rasa kagum kepada Andangkara. Teringat betapa kasih Ki Tunjungbiru kepadanya, ingin ia melesat masuk ke arena membantu Andangkara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi terhadap Watu Gunung guru Wira-manggala, ia menghormati pula. Meskipun dahulu ia
pernah mengadu kepalan5) namun hal itu disebabkan lantaran terbawa luapan nafsunya belaka.
Ia mengira Watu Gunung mencelakai gurunya, Wirapati.
Dalam pada itu kedua jago Andangkara dan Wiramanggala masih saja terlengket kedua
tangannya. Masing-masing mendorong dan bertahan. Beberapa saat kemudian, kedua belah pihak mengeluarkan gelembung asap. Suatu tanda bahwa tubuhnya mulai panas, lantaran
mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan di udara pegunungan yang dingin. Itulah suatu bukti pula, bahwa kedua belah pihak bertahan mati-matian.
Yang satu adalah raja muda Himpunan Sangkuriang, sang Andangkara. Lainnya salah seorang
murid pendekar sakti Watu Gunung yang bermukim di Gunung Mandalagiri, Wira-manggala,
namanya. Seorang pendekar berperawakan pendek kekar.
Melihat gelagatnya sebentar lagi mereka akan bertarung lebih seru lagi. Sekarang, mereka sedang menunggu keputusan siapakah yang memiliki tenaga sakti paling dahsyat. Semua
penonton baik dari pihak Himpunan Sangkuriang dan ketujuh aliran yang meluruk ke Gunung
Cibugis, menahan napas. Sudah barang tentu mereka menjagoi jagonya masing-masing.
Kedua pihak sadar, bahwa pertarungan mati-matian itu menentukan mati serta hidupnya
Himpunan Sangkuriang. Kalau Andangkara kalah, maka mereka yang meluruk berhak membasmi
Gedung Markas Besar Himpunan Sangkuriang beserta segenap penghuninya. Hal itu berarti pula bahwa semenjak itu, Himpunan Sangkuriang tidak berhak hidup lagi di atas dunia.
Tidak mengherankan, bahwa Andangkara dan Wiramenggala menggunakan seluruh
5) tinju tenaga simpanannya. Tak peduli siapa di antara mereka yang kalah, pasti akan menderita luka dalam yang hebat. Salah-salah nyawanya bisa melayang. Dengan demikian, pertaruhan mereka tidak hanya kehormatan nama pihak masing-masing, tapi nyawanya pula.
Andangkara dan Wiramenggala berdiri tegak bagaikan patung. Mata Andangkara menyala
berwibawa, sedangkan Wiramenggala nampak garang. Dilihat sepintas lalu, pastilah Andangkara takkan tahan lagi. Lantaran usianya sudah tua. Sebaliknya Wiramenggala yang berusia empat puluhan tahun mempunyai harapan lebih besar.
Tak pernah terduga oleh siapa saja, bahwa Andangkara sesungguhnya adalah seorang
pendekar sakti yang susah dicari bandingnya pada zaman itu. Meskipun sudah berusia lanjut, tenaga jasmaninya tidak kalah dengan tenaga pendekar-pendekar muda. Malahan tenaga saktinya tiada habis-habisnya seakan-akan gelombang samudera melanda pantai.
Setelah mereka mengadu tenaga sakti beberapa saat lamanya, timbullah rasa gelisah dalam
hati Sangaji. Tadinya ia bangga dan ikut berbesar hati, menyaksikan adanya seorang jago tua muncul di arena selagi Himpunan
Sangkuriang tinggal menunggu saatnya yang terakhir. Tetapi setelah melihat siapa lawan
Andangkara, suatu ingatan menusuk dalam lubuk hatinya. Katanya seorang diri, "Lawan Aki Andangkara tidak hanya satu dua orang. Berpuluh-puluh jago lawannya siap untuk bergiliran.
Dapatkah Aki Andangkara melawan mereka seorang demi seorang" Selagi samu-dera sendiri pada suatu waktu mengalami ke-surutan, masakan dia tidak" Dan kalau sampai Aki Andangkara tewas kehabisan tenaga di depan hidungku, bagaimana kelak aku mem-pertanggung-jawabkan kepada
Aki Tunjung-biru" Sebaliknya lawan Aki Andangkara sekarang ialah murid pendekar Watu Gunung yang terkenal di seluruh Jawa Barat. Ternyata tidak hanya Gusti Ratu Bagus Boang saja
menghormati, tetapi Eyang Guru juga. Dahulu sewaktu datang mengunjungi hari ulang tahun, Eyang Guru sampai memerlukan menjemput sendiri di Paseban.
Memperoleh ingatan demikian, diam-diam ia mencari jalan bagaimana caranya memisahkan
mereka. Sewaktu hendak melompat ke dalam arena, sekonyong-konyong mereka membentak dan
terus mundur dua langkah dengan berbareng.
"Ilmu sakti raja muda Andangkara benarbenar tiada tandingnya. Benar-benar aku kagum," kata Wiramenggala.
Segera Andangkara menyahut dengan suaranya yang keras nyaring bagaikan genta terpalu.
"Betapa mungkin begitu. Keuletan tenaga saktimu sudah mencapai puncak kesempurnaan. Aku harus mengaku kalah. Aku bersahabat dengan gurumu, maka sampaikan hormatku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak! Aku tadi sudah tergetar mundur selangkah, Barangkali kalau Tuan menghendaki, pastilah aku bisa mundur terjengkang. Karena itu, akulah yang kalah sahut Wiramenggala."
Setelah berkata begitu, ia mundur ke luar arena.
Pada saat itu, melompat seorang pemuda bersenjatakan pedang panjang. Dialah Wijaya yang
sudah dikenal Sangaji sewaktu bertempur melawan pasukan Himpunan Sangkuriang bersama Ida Kusuma murid tertua Edoh Permanasari yang cantik molek.
"Andangkara! Kau boleh mengaku seorang raja muda. Kau boleh berusia tua yang kenal pula dengan guruku. Namun sudah berapa ratus orang menjadi korban anak buahmu, tidak terhitung.
Hari ini aku minta pertanggungan jawabmu," teriak Wijaya. Setelah berteriak demikian, ia menggerincingkan pedangnya dan dihunus dari sarungnya. Walaupun Andangkara belum bersiaga, ia maju selangkah dengan melintangkan pedang tanda suatu tantangan terhadap seorang dari angkatan tua.
Dengan pandang menyala Andangkara mengawaskan pedang Wijaya. Ia menghela napas.
Kemudian berkata kepada seorang bawahannya yang nampak memegang tangkai besi panji-panji.
"Coba carikan aku sebatang tongkat."
Dengan cepat seorang anggota Himpunan Sangkuriang mempersembahkan sebatang tongkat
terbuat dari besi bercampur baja. Panjangnya satu depa. Andangkara menerima persembahan itu dengan berdiam diri. Tiba-tiba ia menekuk tongkat besi baja itu dan patah sebagian. Keruan saja yang menyaksikan jadi gempar. Sama sekali mereka tak pernah mengira, bahwa pendekar berusia tua itu mempunyai kekuatan luar biasa.
Wijaya sendiri tidak sudi menunggu serangan lawan. Begitu Andangkara nampak sudah
bersenjata, ia menyabetkan pedangnya tanpa segan-segan lagi. Hebat serangannya.
Kecepatannya sukar dilukiskan. Tetapi dengan tenang, Andangkara menangkis sambil berkata,
"Gempurlah aku dengan sungguh-sungguh. Kau tak perlu segan-segan."
Beberapa jurus sudah lewat. Cara mereka menggunakan senjatanya masing-masing jauh
berbeda. Pedang Wijaya bergerak sangat cepat. Indah sekali dalam penglihatan dan menerbitkan suara berderum sampai murid-murid Edoh Permanasari yang biasanya bangga kepada ilmunya
sendiri, diam-diam menjadi kagum. Sebaliknya gaya Andangkara justru nampak ayal-ayalan. Gerak geriknya lamban. Ia hanya mengemplang ke sana ke mari dengan kurungan tongkatnya. Kadang-kadang menyodok ke kiri atau ke kanan. Dua puluh jurus telah lewat. Permainan Wijaya tidak kendor, tapi malahan menjadi semakin gesit, tangkas dan cepat. Jurus-jurusnya sangat
berbahaya. Maka pantaslah apa sebab pendekar Watu Gunung terkenal di seluruh Jawa Barat
sebagai orang sakti yang disegani lawan. Ternyata ilmu pedang warisannya yang dimainkan oleh salah seorang muridnya saja, begitu mengagumkan hati serta menyilaukan penglihatan.
Beda adalah gaya tipu muslihat permainan tongkat Andangkara. Gerak-geriknya lambat, namun mantap. Nampaknya seperti tak teratur, tapi nyatanya setiap serangan Wijaya yang tiba tak ubah badai dapat diusirnya dengan sekali atau dua kali kemplangan. Bagi mata seorang ahli tahulah sudah, bahwa ilmu
Andangkara sudah mencapai tingkatan atas. Dia hanya membutuhkan gerakan-gerakan satu
atau dua langkah ke kiri dan ke kanan. Sebaliknya Wijaya harus berlari-larian ke sana ke mari untuk menyerang atau bertahan.
Hm ... Si tua bangka ini sudah mengalahkan tiga pendekar Gunung Gembol dan seorang
pendekar perguruan Muara Binuangeun. Kemudian kakak Wiramenggala. Dan kini menghadapi
aku. Tapi mengapa tenaga saktinya tidak tergempur habis" Malahan nampaknya tiada terjadi suatu perubahan sama sekali. Apakah dia bernapas kuda" pikir Wijaya sambil berlari-larian memutar pedangnya. Kalau sampai tak dapat memenangkan pertandingan ini sungguh nama
perguruan Mandalagiri akan turun pamornya...
Sekonyong-konyong ia bersuit panjang. Ilmu pedangnya berubah dengan tiba-tiba. Tadi
gerakan pedangnya nampak cepat dan tegang. Kini meskipun kecepatan tidak berubah, namun
gerak-geriknya lemas lunglai seakan-akan pedangnya terbuat dari per. Itulah ilmu pedang (Jncal Wastra, ilmu sakti simpanan perguruan Mandalagiri yang ditakuti lawan.
Benar juga. Setelah melampaui dua puluh jurus, penonton bersorak-sorai karena kagum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Andangkara sendiri terpengaruh oleh gerakan pedang lwan. Kini ia tak dapat bergerak lamban-lamban lagi. Ia dipaksa untuk bergerak cepat dan berlari-larian ke sana ke mari. Dengan demikian, pertarungan itu berubah menjadi cepat melawan cepat.
Sekonyong-konyong pedang Wijaya berkelebat menusuk dada. Di luar dugaan di tengah jalan
arah tusukannya berubah. Dengan sedikit menggetarkan ujung pedangnya, sasarannya berubah menusuk pundak.
Andangkara kaget bukan kepalang. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan
yang menggunakan tipu muslihat begitu hebat. Memang itulah yang dinamakan tipu muslihat
Angin Mandalagiri. Gerakan sasarannya dikendalikan oleh gerak hati seperti seseorang
mengendarai suatu kendaraan yang sudah lari kencang. Maka cara mengemudikannya hanya
cukup dengan suatu sentuhan jari selintasan saja.
Dengan cepat Andangkara melintangkan tongkatnya. Mendadak saja sekali lagi sasaran pedang berubah haluannya. Tiba-tiba kini bergetar dan dengan suatu kecepatan kilat berbelok menusuk lengan. Cres!
Andangkara tidak gugup, meskipun kaget. Dengan cepat pula tangannya mencengkeram.
Tongkatnya dikibaskan. Tahu-tahu pedang Wijaya terpental di udara. Sewaktu Wijaya maju
hendak menyambar pedangnya, tongkatnya menyodok pundak. Dan pedang Wijaya dapat
direbutnya. Melihat Andangkara dapat merebut pedang Wijaya, anak murid Mandalagiri terkejut. Mereka
kagum pula terhadap kegesitan Andangkara. Tetapi sebaliknya, Andangkara tiada nampak
bergembira bisa merebut pedang. Dengan menghela napas ia mengangsurkan pedang itu kepada pemiliknya. Kemudian memeriksa lengannya yang sudah berlepotan darah. Setelah merenung-renung sejenak, ia berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Selama hidupku belum pernah aku dikalahkan lawan, biar sejuruspun. Tapi hari ini, lenganku kena tertusuk pedang. Ah, Watu Gunung benar-benar tangguh. Dalam seumur itu, masih bisa mencipta ilmu tipu muslihat luar biasa bagusnya."
Sebaliknya, Wijaya tetap berdiri tertegun, walaupun lawan memuji ilmu ciptaan gurunya, la tahu, Andangkara melindungi jiwanya. Kalau bermaksud jahat, nyawanya pada saat itu sudah terbang menjadi setan. Maka setelah tertegun-tegun beberapa saat lamanya, ia maju
membungkuk hormat seraya berkata: "Sungguh! Dengan ini perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga."
Andangkara tidak melayani. Tangannya yang sebelah masih saja lencang mengangsurkan
pedang rampasan kepada pemiliknya. Tetapi Wijaya tak sudi menerima pedangnya kembali. Kata Pendekar muda itu, "Pedang sudah terampas. Itu artinya, aku kalah secara mutlak." Setelah berkata demikian ia melompat ke luar gelanggang.
Dalam pada itu, Sangaji segera merobek lengan bajunya untuk pembebat luka Andangkara.
Tapi sebelum bergerak, Manik Angkeran sudah mendahului masuk gelanggang. Dia adalah
seorang pemuda yang belum dikenal di pihak mana ia berdiri. Pihak pendatang mengira, Manik Angkeran adalah salah seorang anggauta Himpunan Sangkuriang yang memasuki gelanggang
untuk menolong mengobati luka majikannya. Sebaliknya Andangkara mengira, bahwa pihak lawan sudah mengirimkan jasa-jasa baiknya dengan memerintahkan salah seorang bawahannya
menolong mengobati lukanya. Dengan demikian, masuknya Manik Angkeran ke dalam gelanggang tidak menimbulkan masalah baru. Hanya Tatang Sontani dan rekan-rekannya kenal siapakah dia.
Melihat dia nampak sehat, hati mereka bersyukur.
"Terima kasih" kata Andangkara kepada Manik Angkeran. Kemudian mengangguk kecil kepada pihak pendatang. Terang, ia mengira merekalah yang mengirim Manik Angkeran untuk menolong membebat lukanya. Tak tahunya, anggukan kecil itu justru diterima oleh pihak penyerang sebagai suatu tantangan. Keruan saja, begitu lengan Andangkara sudah terbebat serta Manik Angkeran sudah kembali ke tempatnya semula, melompatlah Kusuma Winata, kakak seperguruan Wijaya ke dalam gelanggang.
Kusuma Winata adalah seorang pendekar berperawakan ramping. Orangnya ngganteng,
bermata bulat tajam serta gerak-geriknya sopan. Dia murid tertua pendekar sakti Watu Gunung.
Dikirim ke dataran tinggi Gunung Cibugis untuk mewakili gurunya dalam pembasmian Himpunan Sangkuriang sebagai suatu pembuktian setia kawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat masuknya seorang pendekar yang segar bugar, sedangkan Andangkara sudah nampak
payah akibat lengannya terluka, timbullah suatu gugatan dalam hati nurani Sangaji. Terus saja ia berseru, "Ini tidak adil! Sungguh tidak adil! Masakan seorang yang sudah berusia lanjut dipaksa untuk bertemf
pur melawan deretan lawan secara bergiliran."
Semua orang kecuali Tatang Sontani dan rekan-rekannya tiada yang mengenal Sangaji. Karena itu, Kusuma Winata mengira Sangaji adalah seorang pendekar muda Himpunan Sangkuriang yang tidak termasuk hitungan untuk ikut serta mempertahankan nasib mati dan hidupnya himpunannya.
Lalu ia mengangguk kecil sambil berkata ramah, "(Jjar Saudara kecil benar. Memang tidak adil, kami memaksa tuanku Andangkara bertempur secara bergilir. Namun ini mengenai suatu
penentuan hidup dan matinya Himpunan Sangkuriang. Kalau kami kalah, kami akan segera
meninggalkan dataran ini. Entahlah saudara-saudara yang lain."
Andangkara tidak segera bersiaga. Pandang matanya beralih kepada rekan-rekan
seperjuangannya. Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang, Dwijendra, Walisana, Rat-na Bumi dan Otong Surawijaya lumpuh tak dapat berkutik. Hal itu berarti, bahwa tenaga mereka tak bisa diharapkan. Kecuali dirinya seorang, tiada lagi yang bisa diajak mempertahankan kelangsungan hidup Himpunan Sangkuriang warisan Gusti Ratu Bagus Boang. Ia tahu, musuhnya kali ini bukan sembarang pendekar.
Siapa yang dapat menandingi Kusuma Winata murid tertua pendekar sakti Watu Gunung selain darinya sendiri" Tetapi ia baru saja habis bertanding melawan enam orang pendekar. Benar ia dapat mengalahkan tetapi tidaklah berarti bahwa dia sanggup mengalahkan jumlah pendekar yang menggerudug dataran tinggi Himpunan Sangkuriang seorang demi seorang. Apalagi kini lengannya sudah terluka. Tenaga-nyapun sudah terasa berkurang pula.
Tatkala itu terdengarlah suara nyaring seorang anggota perguruan Gunung Kencana.
"Andangkara! Sendi kekuatan Himpunan Sangkuriang kini sudah hancur lebur. Apa faedahnya kau menjual nyawamu" Lekaslah menyerah! Hayo kawan-kawan, kita hancurkan sisa Gedung
Markas Besar itu!" Seruan anak-murid 1 Gunung Kencana segera mendapat persetujuan dari sekutu-sekutunya.
Pendekar Gunung Gilu yang bernama Alang-Alang Cakra Sasmita menyahut, "Bagus! Mari kita basmi bersama noda dunia ini. Teman-teman seperjuangan, dengarkan! Manakala Himpunan
Sangkuriang sudah tersapu bersih dari muka bumi, rakyat Jawa Barat akan bisa tidur nyenyak dan makan enak. Tidak seperti sekarang. Mati tidak hidup pun tidak."
Anak-anak murid Gunung Aseupan, Gunung Gembol dan Muara Binuangeun bersorak
bergemuruh. Malahan salah seorang pemimpin pasukan berteriak nyaring.
"Mengapa memberi kesempatan kepada bangsat untuk menyerah hidup-hidup. Jangan
kepalang tanggung! Basmi! Sembelih! Atau suruh mereka membunuh diri! Dengan begitu kita tak usah bersusah payah lagi."
Mendengar suara sorak gemuruh dan bunyi seruan lawan, sadarlah Andangkara bahwa mati
dan hidupnya Himpunan Sangkuriang benar-benar berada di atas pundaknya. Maka diam-diam ia mengumpulkan tenaganya kembali. Tetapi luka di lengannya itu benar-benar mulai mengganggu pernapasannya. Bahkan urat-uratnya terasa menjadi nyeri.
Ia mengamat-amati pendekar Kusuma Winata. Dia dalam keadaan segar bugar. Sebagai murid
tertua, pastilah sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian gurunya. Sayang, tenaganya sendiri sudah banyak berkurang. Sebaliknya rekan-rekannya ketujuh raja muda Himpunan Sangkuriang terang tak dapat diajukan untuk bertanding mengukur kekuatan lawan. Maka timbullah
perkataannya di dalam hati: "Kalau aku mati sudah semestinya. Apa arti selembar nyawaku. Tetapi bila matiku membawa pula keruntuhan Himpunan Sangkuriang, benar-benar terkutuk."
Dalam pada itu, terdengar Kusuma Winata berkata seperti menggurui:
"Tuanku Andangkara! Semenjak Ratu Fatimah bertahta di atas singgasana Kasul-tanan Banten, Ratu Bagus Boang sudah merupakan duri bagi seluruh rakyat Jawa Barat. Beberapa ribu nyawa manusia yang tewas bergelimpangan di ujung pedang anak buah Ratu Bagus Boang, sudah tak
terhitung lagi jumlahnya. Hanya saja, sepak terjang anak buah Himpunan Sangkuriang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada tuanku Andangkara seorang. Karena itu, silakan tuanku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawa anak buah tuanku turun gunung. Kami tidak akan mengusik apalagi mengganggu lagi.
Silakan?" Mendengar ucapan Kusuma Winata, Andangkara tertawa terbahak-bahak. Sahutnya nyaring,
"Maksud baik rekan Kusuma Winata kuresapkan dalam hati. Tetapi aku adalah salah seorang di antara raja-raja muda Himpunan Sangkuriang. Dengan sendirinya anak didik Gusti Ratu Bagus Boang rekan Kusuma Winata! Himpunan Sangkuriang merupakan bendera kebangsaan. Tempat
tumpuan hati nurani rakyat yang sadar akan arti keadilan, kebangsaan dan agama. Sekarang bendera kami akan kalian rusakkan. Akan kalian sapu dari muka bumi, untuk kalian persembahkan kepada kompeni. Mana bisa aku akan bertopang dagu" Seumpama aku hidup sendiri di antara
reruntuhan bendera kebangsaan kami, apakah arti hidup demikian" Kamipun mempunyai cita-cita.
Kamipun mempunyai pengucapan hati. Biarlah kami hidup untuk satu hari saja, asal hidup sebagai harimau dan bukan hidup sebagai kambing sembelihan."
Setelah berkata demikian, ia menggeser kakinya. Suatu tanda bahwa ia sudah bersiaga untuk menunggu saat mati dan hidupnya. Sikapnya gagah berwibawa sesuai dengan ucapannya yang
menggetarkan hati Sangaji.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mari!" tantangnya dengan suara pasti.
"Maaf," sahut Kusuma Winata dengan sopan. Sehabis berkata demikian, ia mengangkat tangan kanannya dan melontarkan pukulan dari jarak jauh.
Dengan gagah, Andangkara menangkis serangan itu dengan suatu pukulan jarak jauh pula.
Kedua pendekar kelas utama itu lantas saja bertarung amat serunya.
Kedua-duanya adalah pendekar andalan masing-masing pihak. Dalam sekejap saja puluhan
jurus sudah terlalui. Mereka berkisar dari satu tempat ke tempat lain. Namun tak pernah mereka mendekat. Serangan-serangannya hanya dilakukan dari jarak jauh. Nampaknya tidak berbahaya, tetapi sesungguhnya bahayanya melebihi suatu pukulan langsung. Sebab masing-masing
menggunakan tenaga sakti himpunan tenaga sakti mereka semenjak puluhan tahun yang lalu.
Tiap pukulannya menerbitkan angin bergulungan. Kedahsyatannya tak dapat diukur lagi.
Seumpama mengenai sebuah rumah, sebentar saja akan runtuh berguguran.
Tatang Sontani dan rekan-rekannya demikian pula Edoh Permanasari dan sekutunya adalah
pendekar-pendekar yang sudah memiliki keahliannya masing-masing. Selamanya mengagulagulkan ilmu kepandaiannya sendiri lantaran yakinnya. Tapi begitu menyaksikan pertarungan mereka, semuanya kagum. Andangkara menggunakan pukulan-pukulan keras. Sedangkan Kusuma
Winata lembek serta lunak. Cara bertarungnya terbuka dan mengutamakan serangan terusmenerus tiada hentinya. Suatu kali mereka berbenturan, kemudian melompat mundur
merenggang beberapa langkah.
Mereka lantas berdiam diri mengawasi gerak mata masing-masing. Dari kepala mereka f
tersembullah asap putih ke udara. Itulah suatu tanda, bahwa mereka baru saja habis
mengeluarkan tenaga sakti secara berlebih-lebihan. Kalau begini terus cara mereka bertempur, pastilah kedua-duanya akan roboh sendiri sebelum matahari mencapai tengah.
Sangaji jadi gelisah. Matanya yang tajam segera melihat kelelahan Andangkara. Sebaliknya, walaupun tenaga sakti Kusuma Winata sudah terkuras habis-habisan, namun masih saja ia
nampak segar bugar. Aki Andangkara terluka lengannya. Sedikit banyak mengganggu pemusatan tenaga, pikir
sangaji. Lagi pula dia habis bertempur secara berturut-turut. Kalau kalah sudahlah semestinya.
Tetapi kalau seorang ksatria semacam dia sampai tewas, bukankah dunia akan kehilangan sebuah ratna yang tak ternilai harganya. Ah, biar bagaimana aku harus maju.
Memperoleh keputusan demikian, Sangaji segera mengencangkan ikat pinggangnya. Lengan
bajunya yang tadi kena robek, digulungnya rapih. Ia sudah hendak melesat turun ke dalam
gelanggang, tiba-tiba terjadilah suatu perubahan.
DI TENGAH sorak sorai bergemuruh, serangan Kusuma Winata tiba-tiba berubah.
Kedua tangannya naik turun dengan cepat, tapi lunak seakan-akan tak bertenaga. Nampaknya seperti kanak- kanak bermain-main. Sebenarnya berbahaya luar biasa. Sebab itulah yang
dinamakan pukulan lunak dari jauh. Tiada suara sama sekali, tetapi tiba-tiba sudah menghantam sasaran yang dikehendaki.
Kisah Bangsa Petualang 15 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Tusuk Kondai Pusaka 21

Cari Blog Ini