Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 40

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 40


Dengan mata jernih, Kamarudin menentang pandang Sangaji. Kemudian mengalihkan pandang
kepada tubuh Edoh Permanasari yang mulai turun deras dari udara. Ia tersenyum di pinggir mulut berbareng berbisik, "Terima kasih ..." Setelah berkata demikian, tubuhnya lunglai.
Cepat Sangaji menyambar tubuh Kamarudin hendak membantu dengan tenaga getah saktinya.
Tetapi maut lebih cepat lagi. Kepala Kamarudin tunduk. Dan ia sudah tidak lagi di dalam
percaturan dunia, dengan membawa suatu kemenangan besar dalam dirinya.
Dalam pada itu Edoh Permanasari sudah turun ke bumi dengan selamat, wajahnya pucat lesi.
Melihat Kamarudin mati dalam pelukan Sangaji, ia memutar badan dan berjalan tertatih-tatih meninggalkan gelanggang.
"Hai!" seru Sangaji. "Ini... ini..."
"Hai, hai apa" Bukankah kau yang membunuhnya?" sahutnya.
"Mengapa aku?" Sangaji heran.
"Buktinya dia mati di pelukanmu."
Mendengar jawabannya, Sangaji tergugu. Lantas saja teringatlah dia kepada persoalannya
sendiri. "Hai, kenapa Kamarudin mati dalam pelukannya" Apakah ini suatu lambang kisah asmara yang buruk baginya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betapapun juga, kisah asmara itu merunyam pula dalam diri Edoh Permanasari. Tanpa
menoleh, terus saja ia turun gunung. Murid-muridnya segera mengikuti.
Melihat kepergian Edoh Permanasari beserta murid-muridnya, Sangaji buru-buru memanggil Ida Kusuma.
"Nona...! Tolong haturkan pedang Sangga Buwana ini. Maaf dengan terpaksa aku tadi
merampas pedang pusaka yang sangat menakutkan hatiku."
Wajah Ida Kusuma menjadi merah jambu.
Tiba-tiba saja ia menjadi kikuk7) pula. Kiranya semenjak ia melihat kegagahan Sangaji, hatinya sudah terampas dengan tak disadarinya sendiri. Keruan saja begitu ia berhadap-hadapan dengan Sangaji secara tak terduga-duga, jantungnya berdegupan. Sebaliknya Sangaji mempunyai kesan baik terhadap gadis yang molek itu. Itulah sebabnya ia bersikap ramah.
Sekali lagi Sangaji mengangsurkan pedang Sangga Buwana lebih dekat lagi. Kali ini Ida Kusuma tersadar. Tersipu-sipu ia menerima sambil berkata setengah berbisik, "Terima kasih..."
Hanya sekejap adegan itu, namun bagi Ida Kusuma akan merupakan kenangan yang paling
indah. Dengan perlahan-lahan ia memutar badannya dan segera mengikuti gurunya menuruni
dataran tinggi. "Wah!" kata si jahil Otong Surawijaya, "Coba dia tak dititipi pedang Sangga Buwana, pastilah akan betah berada di sini..."
Mendengar kata-kata Otong Surawijaya, wajah Sangaji terasa menjadi panas. Sekonyongkonyong terdengarlah suara melengking panjang. "Hai anak muda! Numpang tanya siapakah namamu?"
Dengan tersipu-sipu Ida Kusuma menerima pedang Sangga Buana dari tangan Sangaji sambil
berkata setengah, berbisik, "Terima kasih..." Hanya sekejap adegan itu, namun bagi Ida Kusuma akan merupakan kenangan yang paling indah.
Sangaji menoleh. Melihat seorang kakek berperawakan pendek tipis, cepat-cepat ia
membungkuk hormat seraya menyahut, "Aku bernama Sangaji."
"Nama bagus," kata kakek itu. Tiba-tiba seorang kakek pula berperawakan tinggi jangkung muncul di belakang kakek yang pertama. Terus menyambung, "Hei, hei ... nama itu seperti namaku waktu bayi."
"Mana bisa?" bentak kakek pendek tipis.
"Benar. Ibu yang bilang. Tapi lantaran aku sakit bengek terus menerus lantas namaku diganti dengan si Begog." la menungkas dengan sungguh-sungguh. Lalu berkata nyaring kepada Sangaji,
"Anak muda... kakek ini adalah kakak seperguruanku. Namanya Sianyer."
"Begog! Orang tidak bertanya, mengapa kauusilan?"
"Habis, belum-belum kau sudah menumpang tanya namanya. Menurut pantas kau harus
membalas." Mendengar serentetan tanya jawab antara kedua kakek itu, Sangaji tersenyum. Rupanya yang bernama Begog lebih jujur dan lebih ramah daripada kakek Sianyer. Ketujuh aliran penggerebeg dataran tinggi Gunung Cibugis, tinggal empat golongan yang belum maju ke gelanggang. Edoh Permanasari dan Sindung Riwut dari Gunung Gembol sudah meninggalkan gunung. Sedang anak
murid Mandalagiri sudah menyatakan tidak berhak maju ke gelanggang, karena Kusuma Winata dikalahkan Andangkara. Kini tinggal pendekar-pendekar dari Gunung Kencana, Gunung As-cupan.
Gunung Gilu dan Muarabinuangeun. Maka berkatalah Sangaji minta keterangan, "Sebenarnya Aki berdua mewakili golongan manakah?"
"Aku sih ... mewakili diriku sen ..." sahut Begog. Tetapi mendadak dipotong Sianyer.
"Begog! Kenapa sih mulutmu ngoceh tak keruan?"
"Eh, hiya... mulut kranjingan... anak muda, lantaran mulutku keranjingan, kata-kataku tadi jangan kau anggap."
Sangaji tersenyum. Sewaktu hendak menyahut, Sianyer berkata dengan suara nyaring, "Kami mewakili perguruan Muarabinuangeun. Karena kau sudah merusak nama baik para pendekar yang datang ke mari, maka kami berdua terpaksa menyelesaikan dengan jalan mengambil nyawa."
Setelah berkata demikian, ia menghunus goloknya.
Begog menghunus goloknya pula sambil berkata, "Kau hendak kami keroyok seperti lalat mengeroyok onde-onde kerbau. Karena itu yang hati-hati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan hormat Sangaji menyahut, "Apakah tiada jalan lain?"
"Tidak. Sama sekali tidak," tungkas Sianyer.
"Menurut pendapatku, tidak benar. Mengambil nyawa adalah kejam. Kita tadi bertanding secara ksatria. Menang kalah, bukankah sudah lumrah terjadi dalam suatu pertarungan" Mengapa Aki berkata aku merusak nama baik para pendekar yang kuhormati?" kata Sangaji.
"Eh benar juga," sahut Begog. "Jadi menurut pendapatmu kalau kita kalah, nama kita tidak jadi rusak?"
"Sama sekali tidak."
"Kalau begitu... eh Kak Sianyer... anak muda ini bilang tidak merusak nama baik. Kalau begitu..."
"Diam!" bentak Sianyer geregetan. "Mulutmu kenapa ngoceh tak keruan?"
"O, hiya... mulut keranjingan." Begog mengumpat mulutnya sendiri dan terus mendekapnya erat-erat.
Kemudian berkatalah Sianyer, "Ini soal hidup dan soal mati. Karena itu, terpaksa aku mengambil nyawamu. Anak-anak murid Muarabinuangeun sudah terlalu banyak tewas di ujung
pedang kaum Himpunan Sangkuriang."
Mendengar ujar Sianyer, rupanya Begog tak kuasa lagi mendekap mulutnya. Terus saja
menyahut, "Baiknya kau mengaku kalah. Habis sih ... jurus kita berdua ini kalau main keroyok sangat berbahaya. Rasanya tidak adil. Lekaslah mengaku kalah. Lantaran jurus keroyokan kita itu
... lihat ... aku akan berada di sini dengan golok melintang, sedang kakakku seperguruan menyerang dari sana dengan golok kita ..."
"Diam! Diam! Diam!" bentak Sianyer sambil menumbuk-numbukkan kakinya di atas tanah.
"Kenapa mulutmu ngoceh tak karuan?"
"O, hiya ... mulut keranjingan!" umpat Begog kepada mulutnya sendiri. Kali ini dia hendak berusaha sungguh-sungguh menguasai mulutnya. Maka goloknya dikempit dan kedua tangannya
mendekap mulutnya kencang-kencang.
Mau tak mau Sangaji tersenyum juga. Teringatlah betapa pendekar-pendekar sakti itu kerap kali mempunyai adat aneh, mirip manusia gendeng. Maka di dalam hatinya, tak mau ia
meremehkan. Benar saja. Sekonyong-konyong Sianyer bersuit nyaring. Dan Begog yang masih
mendekap mulutnya, cepat-cepat menyambar goloknya. Dan mulutnya lantas ngoceh lagi, "Anak muda! Kau bersenjata apa?"
"Ini," sahut Sangaji sambil memperlihatkan pedang kayunya.
"Tak mau! Tak mau!" kata Begog seraya mundur.
"Mengapa?" Sangaji heran.
"Kami berdua bersenjata golok pusaka peninggalan Raja Ciung Wanara, masakan kau akan melawan dengan ranting kayu" Itu tak adil. Tak mau! Tak mau!"
"Ah benar," Sangaji menyahut dengan suara ramah.
"Melawan Aki berdua masakan pantas hanya menggunakan ranting pohon. Tapi karena pedang kayu ini sudah berjasa besar, biarlah kutanamnya baik-baik."
Dengan menjepit pada kedua jarinya, pedang kayu lalu disambitkan ke tanah. Cet! Dan pedang kayu itu lenyap ke dalam bumi. Yang nampak hanyalah lubang kecil tak ubah lubang jangkrik.
Pameran tenaga sakti, tiada seorangpun di antara mereka yang sanggup melakukan. Itulah
sebabnya setelah terdiam sebentar, para pendekar kedua belah pihak bersorak-sorak dengan tepukan riuh rendah.
Begogpun tak mau ketinggalan. Dengan mengempit goloknya, ia bertepuk-tepuk tangan sambil berjingkrakan. Masih mulutnya nerocos, "Bagus! Bagus! Sekarang kau bersenjata apa?"
Sebenarnya menilik watak Sangaji yang sederhana dan berhati mulia, tidak mungkin dia
memamerkan kepandaiannya di hadapan umum. Hari itu tidak hanya memamerkan
kepandaiannya saja, tapipun banyak berbicara. Soalnya ia menghadapi satu persoalan yang luar biasa sulit. Ia harus menggertak dahulu berbareng menanamkan rasa persahabatan agar kaum penyerbu mau menarik diri dan meninggalkan gunung.
Maka begitu mendengar ujar Begog, segera ia menyahut: "Aku sendiri tidak membawa senjata apa pun. Menurut pendapat Aki, aku harus bersenjata apa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ha kau ini lucu, anak muda. Aku bukan gurumu maupun temanmu bergurau. Sebaliknya aku adalah lawanmu. Masakan aku harus mencarikan senjata yang cocok bagimu" Tentu saja akan
membuatmu rugi. Ya tidak?"
"Biarlah Aki yang memilihkan senjata," kata Sangaji setelah berpikir sejurus.
"Aih ... aneh. Jadi kau menurut senjata apa saja yang kupilihkan untukmu?"
Sangaji mengangguk. Dan Begog mengusap-usap jenggotnya yang tumbuh serabutan. Katanya
berkomatkamit, "Melihat gerak-gerikmu tadi, kau ini seorang pemuda penjelmaan malaikat.
Dengan tangan kosongmu, agaknya kau mampu juga melawan kami berdua."
"Baiklah. Kalau perlu aku akan bertangan kosong saja."
"Eh, mana bisa begitu" Mana bisa begitu?" Begog berjingkrakan. "Begini saja..." Ia melayangkan penglihatan. Matanya berhenti kepada sebuah tiang paseban Gedung Markas Besar yang sudah terbakar separuh. Di antara puing-puing temboknya, tiang paseban terang terbuat dari besi. Ukuran tiang itu sebesar sepelukan kanak-kanak. Beratnya tak kurang dari setengah ton (500
kg). Tingginya tiga meter lebih. Dan melihat tiang paseban itu, timbullah kenakalan Begog. Terus saja ia menuding sambil berseru, "Itu saja. Kukira kau paling cocok bersenjata galah besi segede itu."
Terang sekali maksud Begog hanya bergurau. Tak terduga, Sangaji terus menghampiri tiang
paseban dan dicabutnya. Dengan sekali tarik, ambrollah tiang itu. Dan tembok yang sudah hangus termakan api, runtuh berguguran.
"Hai-hai! Aku cuma bergurau saja ... Kau ... kau," seru Begog kebingungan.
Namun seolah-olah memegang sebatang senjata yang enteng, tiang besi itu diputer--puter di atas kepalanya. Dahulu ia pernah mencoba kekuatannya. Ternyata dia dapat menjebol batu
pegunungan untuk dibuatnya sebuah kubu pertahanan darurat. Tenaga dahsyat demikian
membuat kagum pendekar-pendekar sakti dan kinipun demikian. Melihat Sangaji dapat menjebol tiang paseban dan kemudian memutar-mutarkan di atas kepala, semua orang ternganga sampai suasana gelanggang jadi sunyi hening.
"Ai... benar-benar kau penjelmaan malaikat... Bagaimana mungkin kau... kau..." jerit Begog kagum. Dan mendengar suara Begog, barulah semua orang bersorak dengan gemparnya.
Sianyer yang semenjak tadi berdiam diri, saat itu tersadar, la insyaf, bahwa lawan yang
dihadapinya bukan lawan lumrah. Selama hidupnya, baru kali itu ia menjumpai seorang pemuda yang memiliki tenaga raksasa begitu dahsyat. Maka ia melintangkan golok pusakanya untuk
segera menyerang. "Maaf!" katanya. Dan sekali berkelebat, goloknya menebas kepala. Dengan memutar tiang besinya, Sangaji menangkis tebasan golok. Trang!
"Begog hayooo!" seru Sianyer.
"Apakah kita berkelahi dengan sungguh-sungguh?" Begog menegas.
"Eh, masakan tolol begitu" Tentu saja. Apakah kau mau mampus?"
"Ah, ya!" Begog terkesiap. Terus saja ia membabat pinggang.
Kedua kakek itu meskipun nampaknya ketolol-tololan sebenarnya ilmu kepandaiannya sangat
tinggi. Mereka adalah adik seperguruan Ganis Waluran seorang tokoh sakti di Jawa Barat yang mendirikan aliran Muarabinuangeun. Dalam penggerebegan ke dataran tinggi Gunung Cibugis, Sianyer dan Begog ditugaskan oleh kakak seperguruannya untuk mewakili dirinya. Ilmu golok mereka serasi dan senyawa. Mereka mempunyai cara bermain golok sendiri yang sukar diduga lawan. Lantaran cara menyerang dan pertahanannya bertentangan dan tak menurut aturan.
Sehingga nampaknya berserabutan sesuka hatinya.
Untunglah Sangaji bersenjata tiang besi berukuran panjang tiga meter lebih. Maka dengan
hanya memutarkan tiang besinya, sudah dapat menyapu kedudukan mereka. Dan merekapun
sebaliknya tak dapat mendekati.
Sesudah bertarung kira-kira lima belas jurus, tiba-tiba Sangaji melemparkan senjata tiang besinya tinggi di udara. Sebelum Begog dan Sianyer sadar apa yang hendak dilakukan, tengkuk mereka sudah kena cekuk dengan berbareng. Karena tenaga sakti Sangaji sangat dahsyatnya, mereka mati kutu dengan mendadak.
Sangaji sendiri dengan cepat melesat mundur. Dan tiang besi yang terlempar di udara mulai terjun dengan dahsyat mengancam kepala Begog dan Sianyer.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam keadaan tak dapat berkutik, kepala mereka pasti remuk apabila tertimpa tiang besi
demikian besarnya. Dan melihat adegan demikian, semua orang menjerit cemas.
Sekonyong-konyong Sangaji mengayunkan tangannya mengibas tak ubah sebatang pedang.
Tak! Tiang besi itu terpotong menjadi dua bagian dan terdorong minggir. Dan dengan tersenyum, Sangaji menepuk pundak Begog dan Sianyer seraya berkata hormat, "Maaf... Aki senang bergurau, jadi akupun ikut-ikutan pula."
Begog dan Sianyer dapat bergerak seperti sediakala. Mereka terlongong-longong. Sianyer
nampak bersedih hati. Dengan muka penuh prihatin ia memandang Sangaji.
Kemudian berkata dengan putus asa, "Sudahlah, anak muda. Kami menyatakan kalah."
"Tidak bisa! Tidak bisa!" tungkas Begog. "Ini tadi kan bersenda gurau, bukan?"
Sangaji tidak melayani, la hanya tersenyum. Kemudian berkata, "Lalu kehendak Aki
bagaimana?" Belum lagi Begog menyahut, tiba-tiba terdengarlah suara Manik Angkeran. "Memang kakek jelek bermuka tebal. Huuu ..."
Mendengar ujar Manik Angkeran, Begog menoleh sambil melototi. Katanya galak, "Kau tahu apa?"
"Kau tahu apa?" Manik Angkeran membalas mendamprat.
"Huuu..." Begog mencibirkan bibirnya. "Huuu..." Manik Angkeran menirukan pula. "Eh kenapa usilan?" "Eh kenapa usilan?"
Ditirukan demikian, Begog kebingungan juga. Dengan menggaruk-garuk kepala ia mencoba
mencari jalan lain. Sianyer tidak bersabar lagi. Mendamprat, "Kenapa sih mulutmu ngoceh tak keruan?"
"He biasa... mulut keranjingan!" dan terus saja Begog mendekap mulutnya kuat-kuat.
Dalam pada itu, terbitlah suatu kegemparan
di pihak kaum penyerbu. Alang-alang Cakrasasmita yang menjadi pucuk pimpinan pe-nyerbuan, gusar bukan kepalang. Kemenangan sudah berada di depan hidungnya. Tapi lantaran anak muda yang tak dikenal itulah, membuat rencana penghancurannya runyam tak karuan.
Memikir demikian ia terus berteriak, "Hai, rekan Panjang Mas dari Gunung Kencana! Dan rekan Ratu Kenaka dari Gunung Aseupan. Di antara kita, tinggallah kita bertiga. Mari kita maju berbareng."
Terang sekali, ia menganjurkan suatu pengeroyokan dengan sekaligus. Sudah barang tentu,
kaum Himpunan Sangkuriang memaki-maki kalang-kabut. Otong Surawijaya si mulut jahil lantas saja berteriak nyaring.
"Macam manusia begitu, masakan termasuk golongan Ksatria" Hai Alang-alang! Mukamu kau sembunyikan di mana?"
Tetapi Sangaji bahkan menjadi senang. Semenjak tadi ia berprihatin mengingat lawannya akan bertempur secara bergiliran. Inilah bahaya. Sebab betapapun juga, ia akan menjadi letih. Terus saja ia mengencangkan ikat pinggangnya bersiaga penuh-penuh.
"Hai, anak muda!" seru Begog. "Alang-alang, Panjang Mas dan Ratu Kenaka mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Corak ilmunya seragam dengan ilmu kami berdua. Jika mereka bergabung, dahsyatnya tak dapat diukur. Biarpun malaikat akan lari terbirit-birit. Masakan kau bisa melawan tenaga gabungan kami?"
"Aku akan mencoba, Aki..." jawab Sangaji.
"Hai, jangan main coba-coba. Ini soal nyawa. Kalau kau sampai tewas, siapa yang rugi" Hai, anak muda! Apakah kau sudah kawin?"
Sangaji terkejut. Entah apa sebabnya, mendadak saja berkelebatlah dua bayangan dalam
otaknya. Sonny de Hoop dan Titisari. Melihat mereka dalam benaknya, timbullah suatu
kegelisahan dalam hati. Sonny de Hoop hari ini pasti mencari aku. Dan hari ini di manakah Titisari berada"
Ia jadi bersedih hati. Alangkah akan lain keadaan hatinya, apabila waktu itu Titisari berada di sampingnya. Gadis yang berotak encer itu, pasti bisa memecahkan persoalan yang sedang
dihadapinya. Tetapi di mana Titisari pada hari itu berada, hanya setan dan malaikat-malaikat yang tahu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat Sangaji hendak dikerubut lima tokoh-tokoh sakti, Manik Angkeran tak dapat menahan hatinya. Terus saja ia memasuki gelanggang. Dengan menuding Begog ia berkata nyaring, "Ini tidak adil! Tidak adil kalian sudah pantas menjadi kakekku. Masakan main kerubut terhadap cucunya."
Di antara kelima tokoh sakti tersebut, hanya Begog yang berhati jujur. Ditegur Manik Angkeran, ia tak bersakit hati. Setelah berpikir-pikir sebentar, ia mengempit goloknya. Kemudian sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia menyahut.
"Ya, benar. Rasanya memang tidak adil. Tapi dia bilang mewakili Himpunan Sangkuriang. Kalau dipikir, Himpunan Sangkuriang tinggal runtuhnya saja. Namun kami tunduk pula kepada
kehendaknya. Masakan begini tidak adil?"
Sianyer mengenal Iagak-lagu adik seperguruannya itu. Nampaknya seperti orang tolol, tetapi sebenarnya berotak jujur dan cerdik. Kalau tidak, masakan dia bisa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka mendengar adik seperguruannya berkata demikian, ia mengangguk kecil menyetujui.
Sebaliknya Manik Angkeran mempunyai bakat setengah liar seperti Fatimah. Meskipun ujar
pendekar Begog masuk akal, namun tetap ia membantah. Katanya, "Tetap tidak adil. Tetap tidak adil! Kalian berdua tadi sudah kalah. Masakan sekarang mau ikut-ikutan mengkerubut pula" Coba bilang, masakan begini adil?"
Begog menggaruk-garuk kepalanya. Dahinya berkerut-kerut, seakan-akan otaknya mendadak
menjadi ruwet tak keruan. Sebagai orang jujur ia mengakui kebenaran ucapan Manik Angkeran.
Namun ia tak boleh mengalah. Akhirnya ia melemparkan pandang kepada Sangaji.
Sangaji sendiri masih disibukkan urusan pribadinya. Tatkala mendengar serentetan
perbantahan Manik Angkeran dan Begog, ia mempunyai kesempatan untuk mengamat-amati
segenap lawannya. Terhadap pendekar Alang-alang Cakrasasmita dan Panjang Mas, ia masih asing. Tapi begitu
melihat wajah pendekar Ratu Kenaka, hatinya terkesiap. Dialah yang semalam meracun
Kamarudin dan dirinya juga setelah mengadu kekuatan. Terhadap tenaga sakti orang itu, ia tak usah khawatir. Sebaliknya ia harus berjaga terhadap bisa dan racunnya. Orang demikian, pasti pula dapat berlaku licik di luar dugaan.
"Orang itu bernama Ratu Kenaka. Berasal dari perguruan Gunung Aseupan." Terdengar Andangkara mengisiki.
"Tiada istimewanya. Hanya saja harus berjaga-jaga terhadap tipu muslihatnya yang licik."
Mendengar bisikan itu, hati Sangaji terbangun. Entah apa sebabnya, tiba-tiba pandangnya
menyala tanpa dikehendakinya sendiri.
Dalam pada itu, terdengar Begog berkata kepada Panjang Mas. "Ah, inilah si Panjang Mas.
Sebentar kalau tak tahan, akan jadi si Panjang Kaki... Wah, bakal hebat jadinya..."
Panjang Mas adalah pendekar angkuh. Di atas Gunung Kencana ia hidup tak ubah seorang raja yang diagung-agungkan. Kini mendadak diolok-olok oleh seorang adik. yang ketolol-tololan.
Keruan hatinya murka. Sekali menarik pedangnya, ia terus menikam.
Gerakan serangannya ternyata cepat luar biasa. Seperti kilat menusuk cakrawala, ia menebas pinggang dan pundak Begog dengan sekali gerakan. Dalam terkejutnya, cepat-cepat Begog
menangkis dengan goloknya. Trang! Golok dan pedang berbenturan hebat. Serangan Panjang Mas kena ditangkis dalam satu gerakan pula.
Si kakek Begog yang nampaknya ketolol-tololan itu, ternyata seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi. Seumpama ilmu goloknya belum mencapai tingkatan tinggi tidaklah mudah menangkis serangan pendekar Panjang Mas yang begitu cepat dan terjadi dengan tiba-tiba pula.
Panjang Mas kaget. Ia kena tergetar mundur. Ia tercengang. Begogpun kena tergetar mundur pula. Diapun tercengang. Akhirnya kedua pendekar itu saling tercengang dan saling mengagumi ilmu kepandaian masing-masing. Selama hidupnya belum pernah mereka bertemu. Dengan
gebrakan itu, tahulah mereka bahwa ilmu simpanannya masing-masing ternyata datang dari satu sumber yang sama.
Pikir Panjang Mas, ilmu perguruan Muara-binuangeun ternyata hebat juga. Kalau kita berempat bergabung menjadi satu, betapa hebat-pun bocah itu pasti takkan tahan dalam beberapa
gebrakan saja. Setelah berpikir demikian, segera ia berpaling kepada Alang-alang Cakrasasmita.
Katanya, "Kau sudah bersiaga?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada zaman mudanya, Alang-alang pernah mengadu kepandaian melawan Panjang Mas. Dalam
suatu pertempuran seru, ia kalah seurat. Menurut pantas, sudahlah wajar Panjang Mas berada pada tingkatan lebih atas. Namun di depan umum, tak sudi ia kalah perbawa. Apalagi ia dipilih pula sebagai ketua dalam aksi penggerebegan itu. Maka dengan mengangkat hidungnya ia
berjalan dengan lagak tuan besar. Kemudian memberi perintah kepada bawahannya agar
membawa pedang pusakanya.
Pedang pusaka Gunung Gilu terkenal tuahnya. Racun dan bisanya sangat berbahaya. Itulah
sebabnya, murid-murid Gunung Gilu disegani orang. Bukan karena ilmu kepandaiannya tetapi racun serta tipu muslihatnya. Kini empat orang datang dengan membawa sebuah niru panjang. Di atasnya nampak sebilah pedang bersarung hijau. Tahulah orang, bahwa itulah pedang yang
sangat berbahaya. "Apakah bocah itu benar-benar memiliki ilmu siluman?" katanya angkuh sambil mengambil pedangnya.
Panjang Mas menunggu sampai empat orang murid Gunung Gilu keluar dari gelanggang,
kemudian menyahut, "Nanti bisa kita buktikan bersama. Cuma kakek tolol ini rupanya memiliki ilmu golok lumayan juga."
"Terima kasih Gan9)," ujar Begog dengan meninggikan hidungnya.
"Baiklah! Mari kita mulai!" ajak Alang-alang Cakrasasmita. Ia menghunus pedangnya. Suatu sinar hijau berkeredip jernih suatu bukti bahwa pedang itu benar-benar bukan sembarang pedang.
Lalu berkata kepada Sangaji, "Kau sudah siap" Senjata apa yang hendak kaugunakan?"
Melihat ketua pihak penggerebek sudah maju ke dalam gelanggang, timbullah maksud Sangaji hendak membuatnya takluk benar-benar. Dengan demikian, di kemudian hari mereka takkan bakal mengulang macam penggerebegan lagi. Sekali mengibaskan tangannya, pedang kayu yang tadi
berhasil mengalahkan pedang Sangga Buwana sudah berada dalam genggamannya. Lalu berkata:
"Aku datang ke mari tanpa senjata. Senjata yang kumiliki hanyalah pedang kayu ini."
Mendengar keputusan Sangaji, pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang terkesiap. Memang
mereka tadi menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa perkasa pedang kayu di tangan
Sangaji sampai dapat mengalahkan ketajaman pedang Sangga Buwana yang tiada duanya dalam
dunia ini. TAPI kini, dia harus menghadapi lima orang dengan sekaligus yang masing-masing bersenjata pusaka andalannya. Sedikit saja terbentur salah sebuah senjata lawan, pasti akan patah.
"Bagus! Jadi kau tak memandang mata kepada ilmu himpunan Jawa Barat, bukan?" ujar Alang-alang Cakrasasmita.
"Sama sekali tidak," sahut Sangaji dengan takzim. "Aku hanya pernah mendengar, betapa perkasa pendekar Ciung Wanara tatkala mengalahkan Aria Singgela yang sakti pada zaman
Pajajaran. Sayang, apa sebab aku lahir terlambat. Dengan begitu tak dapat menyaksikan
keperkasaan leluhur kita pada zaman dahulu."
Pendekar Begog yang berhati jujur menggaruk-garuk kepalanya. Setelah berdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Menyahut, "Aih benar... memang ilmu kita tak dapat dibandingkan dengan ilmumu yang tinggi. Cuma saja, berilah kami kesempatan mengeroyokmu. Tapi berhati-hati looo... sebab ilmu gabungan kita sangat hebat. Mereka di sana dan kami di sini. Lantas..."
"Diam" Kenapa mulutmu ngoceh tak keruan?" bentak Sianyer kakak seperguruannya.
"O, iya... mulut keranjingan!" umpat Begog kepada mulutnya sendiri.
Dalam pada itu mereka berempat sudah mengambil sudut serangan. Hanya Ratu Kenaka yang
masih saja berada di luar garis pertempuran. Tiba-tiba membentak, "Anak janda Rudin!10) Meskipun hebat kepandaianmu, masakan berani menghina tumpuan ilmu sakti Jawa Barat" Kau
memang bocah bosan hidup!"
Belum lagi suaranya lenyap, pedangnya berkeredip menusuk punggung dengan cepat. Terang
sekali ia sengaja hendak menyerang secara menggelap, selagi Sangaji terlibat dalam suatu percakapan.
Tetapi Sangaji sama sekali tak memutar tubuhnya untuk menghadapinya. Ia menunggu sampai
ujung pedang Ratu Kenaka nyaris meraba bajunya. Kemudian dengan mendadak, ia mengayunkan kakinya ke belakang. Tahu-tahu ujung pedang Ratu Kenaka kena injak. Dan Ratu Kenaka sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berusaha dengan sekuat tenaganya hendak menarik pedangnya. Namun sama sekali tak
bergeming, sehingga keringat dinginnya membasahi tubuhnya.
Perlahan-lahan Sangaji memutar tubuhnya dan menatap wajah Ratu Kenaka dengan mata
menyala. Selama hidupnya, memang ia membenci manusia yang senang menggunakan racun.
Itulah disebabkan, karena gurunya hampir tewas semata-mata kena racun jahat. Juga dirinya sendiri pernah mengalami kena serangan beracun beberapa kali. Untung dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru sehingga ia terbebas dari akibatnya. Sekarang, ia menghadapi seseorang yang kemarin malam hampir saja berhasil menewaskan Inu Kertapati dan kawan-kawannya karena racun berasapnya. Maka tidaklah mengherankan, bahwa hatinya tiba-tiba menjadi geram. Katanya kemudian, "Kenapa kau senang menyerang lawan dengan cara menggelap" Bukankah namamu yang agung akan jadi merosot?"
Wajah Ratu Kenaka waktu itu nampak merah padam. Seluruh tenaganya lagi dikerahkan untuk
menarik pedangnya yang kena injak. Itulah sebabnya, tak sempat ia menyahut. Melihat begitu, Sangaji tiba-tiba mengen-dorkan injakannya dengan dibarengi gerakan mendorong. Hebat
akibatnya karena Ratu Kenaka sama sekali tak menduga perubahan dengan mendadak itu. Ia
sudah terlanjur mengerahkan segenap tenaganya untuk menarik. Di luar dugaan, sekonyongkonyong menjadi kendor dibarengi tenaga dorongan pula. Keruan saja, ia kehilangan
keseimbangan. Seketika itu juga, ia terhuyung ke belakang. Kemudian suatu tenaga luar biasa besarnya, menumbuk dadanya lewat pedangnya. Ia terpelanting mundur lagi tanpa dapat
mempertahankan diri sedikit pun juga. Pedangnya terdengar bergemerincing beberapa kali. Tahu-tahu ia tinggal menggenggam hulu pedangnya sedangkan pedang itu sendiri, patah menjadi
sembilan potong. Ratu Kenaka kaget bercampur malu. Untuk menjaga kehormatan dirinya, cepat-cepat ia
membentak sambil membuang sisa pedangnya.
"Jahanam! Kau hanya bisa mematahkan pedang, tapi tak becus meraba selembar kulitku..."
Sangaji tersenyum, la mengibaskan pedang kayunya sambil berkata mengajak kepada empat
pendekar penantangnya. "Mari kita mulai...!"
Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita yang tidak sabar lagi, segera membentak kepada
Ratu Kenaka. "Kau pergi atau ikut bertempur?"
"Ya, ya, ya..." sahut Ratu Kenaka terga-gap-gagap.
"Ya, ya, ya... bagaimana?"
"Ya ... aku ... aku ..."
Panjang Mas tak sabar lagi. Terus saja ia mendorong. Di luar dugaan Ratu Kenaka tidak
mengelak. Bahkan tubuhnya lantas kena geser, namun sikapnya tidak berubah. Maka tahulah


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, bahwa tubuh Ratu Kenaka tak bisa berkutik lagi entah apa sebabnya.
Itulah akibat ilmu sakti Sangaji. Di tepi pantai dahulu, ia sudah berlatih menyalurkan hawa sakti lewat pedang Sokayana. Kini dengan lewat pedang kayunya, ia menyerang Ratu Kenaka. Tak
ampun lagi, Ratu Kenaka kena diserang suatu tenaga sakti yang tiada nampak. Tahu-tahu,
tubuhnya menjadi kejang. Kakinya tertanam di dalam tanah tak ubah sebuah arca.
"Waaah... belum lagi menjenguk neraka, tubuhnya sudah kaku. Hai, anak muda! Lain kali, kau ajari aku ilmu siluman begini tanggung biniku, tak bisa mengumbar mulut lagi," seru Begog.
Diam-diam Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita terkejut. Seperti berjanji, mereka
memijat-mijat tubuh Ratu Kenaka hendak melancarkan aliran darahnya. Namun betapa mereka
berusaha, tetap saja Ratu Kenaka tak dapat dipulihkan seperti sediakala. Dengan peristiwa itu, teranglah sudah bahwa mereka sudah kalah dalam satu babak.
"Mulai!" tiba-tiba Alang-alang Cakrasasmita menggerung. Pedangnya berkelebat membabat kepala Sangaji. Panjang Mas tak mau ketinggalan pula. Cepat ia membarengi menusuk dada.
Setelah itu, kakek Begog dan Sianyer menyapu kaki dan pinggang.
Luar biasa cepat dan berbahaya serangan berbareng itu. Namun dengan sedikit menggeserkan tubuh, tiba-tiba Sangaji sudah lolos dari rantai serangan. Tubuhnya berkelebat menerobos tebasan senjata mereka tak ubah bayangan yang tak dapat tersentuh. Tatkala mereka hendak menyusuli
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
serangannya yang kedua, Sangaji sempat mengibaskan pedang kayunya. Mereka mundur dengan
berbareng. Cepat Panjang Mas membelokkan pedangnya menusuk tulang rusuk. Ia berharap agar Sangaji
menarik pedang kayunya untuk mempertahankan diri. Sangaji terpaksa menangkis-kan pedang
kayunya. Tangan kirinya menge-bas golok Sianyer.
"Bagus!" seru Panjang Mas di dalam hati. "Kau berani menangkis pedangku. Tapi masakan pedang kayumu tahan berlawanan dengan pedang pusaka."
Ia mengedipi Alang-alang Cakrasasmita. Pendekar ahli pedang itu, dengan cepat dapat
menangkap isyarat rekannya. Pedangnya terus saja miring sambil mengeluarkan bunyi suara
berdengung. "Mampus!" teriaknya sambil menebas.
Di luar dugaan, Sangaji masih dapat menyelamatkan pedang kayunya. Bahkan dengan gerakan
lembut, tiba-tiba pedangnya sudah menempel pedang Alang-alang Cakrasasmita. Kemudian suatu tenaga halus, menggon-cangkan pedang Panjang Mas.
Trang! Pedang Panjang Mas terdorong ke samping menangkis golok Begog.
"Haiyah ... kenapa kau menangkis serang-anku?" teriak kakek angin-anginan itu.
Muka Panjang Mas berubah. Meskipun benar tuduhan kakek Begog, namun tak sudi mengakui.
Bentaknya, "Kaulah yang kurang waspada!"
Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita meskipun anak didik perguruan lain, namun intisari ilmu pedangnya boleh dikatakan sama. Setiap kali Panjang Mas melontarkan serangan, secara wajar serangan Alang-alang Cakrasasmita membantu dari sudut lain. Sehingga dengan tak
sengaja, merupakan ilmu pedang gabungan yang serasi dan rapat. Sedangkan ilmu golok kakek Sianyer dan Begog sudah diketahui berasal dari satu sumber dengan ilmu pedang mereka. Hanya saja, gerakan jurusnya bercorak lain, karena mereka bersenjata golok. Namun setelah mereka bekerja sama, permainan mereka lambat laun menjadi serasi dan saling menambal kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangannya. Dengan begitu, permainan mereka makin nampak
menjadi teratur dan lancar sekali.
Semenjak tadi Sangaji sadar, bahwa ia akan menghadapi suatu perlawanan yang berbahaya.
Namun tak pernah ia menduga, bahwa permainan mereka yang timbal balik dan rapat itu, benarbenar tak dapat dipecahkan. Beberapa kali ia menghadapi detik-detik bahaya. Sayang, ia tak bersenjata pedang besi atau baja. Karena itu, tak berani ia menangkis suatu gempuran langsung.
Sekali pedang kayunya patah, ia akan bertambah sulit.
Sekonyong-konyong ia melihat berkelebat-nya golok Sianyer yang membabat dari bawah. Cepat ia melejit. Di luar dugaan pedang Alang-alang Cakrasasmita memegat gerakannya. Pada saat itu juga, terdengarlah suara Panjang Mas berteriak pasti.
"Mampus!" Dan pedangnya bersuing membabat lehernya..
Tanpa berpikir panjang lagi, Sangaji meng-gerakan jari-jarinya. Ia menempel pedang Alangalang Cakrasasmita sambil memunahkan golok Sianyer. Kemudian tenaga saktinya membendung
pedang Panjang Mas. Tetapi golok Begog tiba-tiba merangsang hebat. Belum lagi ia mengerahkan tenaga untuk menyapunya, mereka bertiga yang kena tangkis sudah dapat membebaskan diri.
Kemudian dengan serentak mencecar suatu serangan berantai yang dahsyat luar biasa. Tak
mengherankan, bahwa Sangaji benar-benar repot. Dalam seribu kerepotannya mendadak
teringatlah dia kepada Ratu Kenaka. Terus saja ia melesat bersembunyi di belakang tubuh Ratu Kenaka.
Pada saat itu Panjang Mas melontarkan suatu serangan berbahaya. Cepat Sangaji berputar di belakang punggung Ratu Kenaka. Kalau Panjang Mas tidak menarik pedangnya, pasti tubuh Ratu Kenaka akan terbelah menjadi dua. Dalam kagetnya, Ratu Kenaka sampai menjerit. "Hai! Hai!"
Apabila Alang-alang Cakrasasmita mencegat dari arah yang bertentangan, kembali lagi, Sangaji berlindung di balik punggung Ratu Kenaka. Demikianlah terjadi beberapa kali. Sekali ia pernah mencoba meraba mereka dengan pedang kayunya. Tapi hasilnya nol besar. Bahkan pahanya kena tusuk golok Sianyer. Maka cepat-cepat ia berlindung di belakang punggung Ratu Kenaka sambil mengamat-amati corak permainan mereka yang bagus luar biasa. Namun tetap saja ia belum memperoleh titik-tolak serangan mereka, sehingga terpaksalah ia bermain kucing-kucingan. Pikirnya di dalam hati, benar-benar mataku picak sekali. Terlalu rendah aku menilai ksaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
tria-ksatria Jawa Barat. Kini aku benar-benar menumbuk batu. Apakah yang harus kulakukan untuk melawan mereka"
Sangaji benar-benar dalam keadaan bingung. Ia mengira bahwa setelah mengantongi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik, akan dapat melawan semua ilmu sakti di persada bumi ini. Ia lupa, bahwa dirinya belum memiliki ilmu sakti yang berada pada guratan pusaka Bende Mataram yang masih merupakan teka-teki besar baginya. Karena itu, meskipun guratan ilmu sakti Kyai
Tunggulmanik merupakan sumber pokok dari sekalian ilmu sakti di kolong jagat ini, namun belum memuat titik tolak rahasianya. Sangaji bukan Titisari yang berotak cerdas luar biasa. Meskipun tidak boleh digolongkan manusia berotak bebal, namun reaksi atau daya tanggapan pikirannya tidaklah secepat Titisari. Maka untuk sekian lamanya, tetap saja ia belum menemukan titik rahasia permainan gabungan mereka.
Waktu itu, darahnya terus menetesi bumi tiada hentinya. Meskipun luka yang dideritanya tidak parah, namun nampaknya ia menanggung suatu kerunyaman.
Dalam pada itu, terdengarlah suara tertawa penonton bergegaran. Mereka bukan mentertawakan keadaan Sangaji tetapi Ratu Kenaka yang tetap berdiri tegak bagaikan sebuah patung belaka. Karena itu dipergunakan sebagai perisai oleh Sangaji, maka setiap kali suatu serangan tiba-tiba, hatinya seperti tercabut dari dadanya. Oleh rasa kagetnya, ia meme-kik-mekik: "Hai-hai, uh ... eh atau hayaaah." Terang sekali, ia mau mengelak atau menghindar. Namun tubuhnya tak dapat digerakkan, sehingga ia hanya dapat mempergunakan suara mulutnya belaka. Inilah yang menggelikan penonton kedua belah pihak.
Panjang Mas rupanya tidak begitu senang dengan Ratu Kenaka. Apalagi, ia kini merasa
dirintanginya. Setiap kali serangannya nyaris mengenai tubuh Sangaji, selalu gagal karena Sangaji berlindung di belakangnya. Seketika itu juga timbullah rasa gemasnya hendak membelah tubuh Ratu Kenaka saja. Namun mengingat, bahwa Ratu Kenaka adalah seorang pendekar besar pula, terpaksalah ia membatalkan maksudnya.
Kakek Begog rupanya tahu membaca keadaan hati Panjang Mas. Jangan dikira ia seorang
pendekar yang tolol benar-benar. Terus saja ia berteriak, "Panjang Mas! Kau tak sampai hati membunuh pendekar beracun ini" Baik, kau tak sampai hati tapi aku tidak. Lihat!"
"Siapa bilang aku tak sampai hati?" tungkas Panjang Mas dengan sengit.
Mereka berdua membabat tubuh Ratu Kenaka dengan berbareng. Sangaji terkejut.
Dalam detik-detik itu terlintaslah suatu pertimbangan dalam benaknya. Pikirnya, dia mati, karena aku menggunakannya sebagai perisai. Kalau sampai mati, pastilah akan timbul suatu i persoalan baru lagi. Inilah yang tidak kuinginkan.
Dengan tangan kirinya ia mengibas. Suatu tenaga dahsyat luar biasa membendung golok kakek Begog sampai terguncang miring. Sedangkan pedang Panjang Mas hampir-hampir terpatah dari genggamannya.
Tetapi pada saat itu mendadak terdengar suatu kesiur angin. Itulah sambaran golok Sianyer yang turun menebas pundak. Cepat Sangaji mengelak. Di luar dugaan, golok Sianyer menyelonong terus mengancam tubuh Ratu Kenaka. Betapa dahsyat tebasan itu, tapi apabila Sianyer mau pasti dapat ditahannya. Sebaliknya Sianyer tidak bermaksud demikian, la hanya berteriak nyaring. "Hai Ratu Kenaka! Awas!"
Terang sekali, Sianyer bisa berbuat licik. Setiap orang tahu, bahwa Ratu Kenaka tak dapat berkutik. Namun ia berpura-pura tak dapat menguasai goloknya. Di luar dugaan, begitu golok Sianyer hampir tiba pada sasarannya, suatu tenaga besar membentur goloknya. Sianyer mundur dua langkah dengan terhuyung-huyung.
Melihat Sangaji menyelamatkan jiwanya dua kali berturut-turut, gugurlah rasa permusuhan
Ratu Kenaka. Malahan dengan diam-diam. Ratu Kenaka mengucapkan rasa terima kasih tak
terhingga. Tetapi waktu itu serangan mereka berempat justru beralih kepadanya. Mau tak mau hatinya menjadi kecut.
Menyaksikan perbuatan mereka, anak murid Gunung Mandalagiri serta pendekar-pendekar
pihak penyerbu lainnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka tak sependapat dengan
perbuatan itu. Bahkan dalam hati mereka merasa malu. Seumpama Sangaji akhirnya tertimpa
suatu malapetaka semata-mata menyelamatkan jiwa Ratu Kenaka, mereka akan ikut berduka cita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Serangan Sianyer dan Begog tak pernah surut. Juga Panjang Mas dan Alang-alang
Cakrasasmita. Mereka mencecar Sangaji terus menerus dan sekali-kali menyerang Ratu Kenaka yang tak dapat berkutik, Mereka sadar, bahwa untuk menyerang Sangaji, tidaklah mudah. Satu-satunya pancingan ialah apabila mereka tiba-tiba menyerang Ratu Kenaka. Dengan serangan itu, Sangaji terpaksa bergerak untuk menolong. Kesempatan itu, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita untuk melontarkan suatu serangan dari belakang
punggung. Setelah berlangsung beberapa kali, lambat laun serangan mereka beralih kepada Ratu Kenaka.
Tipu muslihat demikian benar-benar merisaukan hati Sangaji. Sebab ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saja, tetapi pun keselamatan nyawa Ratu Kenaka.
Mereka pandai berpikir juga. Kalau aku sampai lengah, bukankah nyawa Ratu Kenaka akan
musnah" Apa perlu mengorbankan dia" pikir Sangaji. Memperoleh pikiran demikian, segera ia melontarkan suatu pukulan dahsyat. Mereka kena dimundurkan dengan berbareng dan pada saat itu pula ia membebaskan tubuh Ratu Kenaka.
Kakek Sianyer rupanya berpenasaran. Begitu ia tegak kembali terus saja menyerang Sangaji.
Tapi serangannya kena dipunahkan dengan gampang, la terpental ke samping dan tepat berada di depan Ratu Kenaka. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang baik, ia mengayunkan tangannya hendak menebas leher Ratu Kenaka. Namun Sangaji benar-benar waspada. Tangan kirinya segera
menghadang, sehingga mau tak mau Sianyer terpaksa menarik serangannya. Tak terduga, bahwa Ratu Kenaka kini sudah bisa bergerak dengan bebas. Begitu ia menarik goloknya, tinju Ratu Kenaka singgah di hidungnya. Plak! Seketika itu juga, darahnya menyembur dari lubang
hidungnya. Peristiwa itu terjadi dengan tak terduga sama sekali. Para pendekar kedua belah pihak tahu, bahwa ilmu Sianyer jauh lebih tinggi daripada Ratu Kenaka. Apa sebab sampai kena kemplangan begitu mudah" Soalnya, karena kakek itu tak pernah menduga bahwa Ratu Kenaka dapat
bergerak seperti sediakala berkat pertolongan Sangaji. Perubahan yang mendadak itu benar-benar mengibuli penglihatannya.
"Hai! Kenapa kau ... kau ..." kata Sianyer.
"Kenapa bagaimana?" bentak Ratu Kenaka.
Alang-alang Cakrasasmita menengahi, "Ambil senjatamu dan bantulah kami!"
"Eh, enak saja kau main perintah. Aku ini apamu, sampai kau berani memerintah?" potong Ratu Kenaka, tanpa memedulikan mereka, ia terus hendak memundurkan diri. Di luar dugaan Begog, menghadang di tengah jalan dan terus menyerang. Namun Ratu Kenaka bukan pula seorang
pendekar murahan. Meskipun tak bersenjata, masih bisa ia mengelak. Hanya saja, ia kalah cepat.
Tahu-tahu siku Begog menyodok dadanya. Dan ia terhuyung mundur sambil melontarkan darah
segar. Alang-alang Cakrasasmita rupanya panas hati pula, karena kena dampratan. Sekali ia
mengayunkan tangan kirinya dan tubuh Ratu Kenaka terangkat naik. Kemudian dilemparkan jauh nyaris tiba pada garis gelanggang. Hebatnya lagi, ia masih bisa pula melontarkan serangan berantai terhadap Sangaji.
Ilmu pedang Alang-alang Cakrasasmita sesungguhnya merupakan ilmu pedang bernilai tinggi.
Sekarang ia bergabung dengan Panjang Mas. Hebatnya tak terkatakan lagi.
Dalam pada itu kedua kakek dari Muara-binuangeun tidak membuka mulut lagi. Mereka nampak bersungguh-sungguh. Serangan-serangan mereka kian teratur dan berbahaya. Ini disebabkan, karena tiada lagi halangan. Ratu Kenaka sudah terbuang jauh. Dengan demikian, serangan
mereka benar-benar mengancam keselamatan Sangaji.
Sangaji sendiri sebenarnya tidak terlalu khawatir menghadapi mereka. Tenaga saktinya yang tiada bandingnya di dunia jauh lebih ulet daripada mereka. Seumpama dipaksa untuk bertempur satu hari satu malam, takkan mengalami suatu kemunduran. Sebaliknya kerja sama mereka
berempatpun tidak gampang-gampang untuk dapat digempur hancur. Sebab yang satu menjaga,
sementara lainnya bergerak menyerang. Lagi pula, tipu muslihat dan keragaman corak
pertempurannya selalu berubah dan tiada habis-habisnya.
Pertarungan sengit ini membuat setiap penonton berdebar-debar hatinya. Mereka tahu, bahwa ilmu gabungan Jawa Barat merupakan suatu ilmu sakti yang bernilai sangat tinggi. Sebaliknya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tenaga sakti Sangaji yang luar biasa bukan pula berada di bawahnya. Kedua corak permainan mereka, benar-benar bermutu sangat tinggi. Rupanya bertitik tolak pada suatu sumber yang sama. Bedanya corak ilmu gabungan mereka lebih banyak ragamnya. Sedangkan ilmu pertahanan Sangaji yang diperlihatkan sangat sederhana dan utuh.
Kedua pedang Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita terus mendesak dengan tekanan
makin lama makin berat. Sedangkan kedua golok Begog Sianyer terus-menerus merangsak dari arah yang bertentangan. Beberapa kali Sangaji mencoba meloloskan diri dari kepungan mereka dengan menggunakan ilmu Mayangga Seta. Ia selalu berhasil. Dan apabila mau, sebenarnya ia bisa melarikan diri dengan mengandalkan ilmu larinya yang takkan terkejar oleh mereka. Tapi hal itu berarti pula, bahwa ia gagal hendak menolong keruntuhan Himpunan Sangkuriang. Satu-satunya jalan, ia harus bertahan serapat-rapatnya dengan sekali-kali melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayanjati. Dan kemudian setelah letih, ia akan melancarkan serangan balasan.
Sama sekali tak diduganya, bahwa mereka berempat sesungguhnya merupakan empat
pendekar yang ulet dan tabah. Serangan-serangan mereka tiada nampak kendor. Malahan sama sekali tiada nampak tanda-tanda letih atau payah. Maka terpaksalah Sangaji bertahan sedapat-dapatnya sambil mengamat-amati rahasia ilmu mereka.
Alang-alang Cakrasasmita dan kawan-kawannya meskipun merasa diri unggul, namun dalam
hati mereka termasuk tokoh-tokoh pimpinan penyerbu. Menurut pantas, mereka tak boleh main keroyok terhadap seorang lawan. Untung, Sangaji tadi sudah mengalahkan pendekar Sindung
Riwut yang disegani lawan dan kawan. Dengan demikian, mereka tak usah khawatir akan merosot pamornya dalam percaturan hidup.
Lambat laun, serangan Sangaji terasa makin sempit. Malahan hampir-hampir tak dapat
membuat suatu serangan balasan. Tetapi sebaliknya, mereka berempat tak dapat juga menyentuh tubuhnya. Apabila senjata mereka nyaris meraba kulit Sangaji, tiba-tiba saja menebas udara kosong. Dan tubuh Sangaji sudah berada di tempat lain dengan suatu gerakan yang sukar
dimengerti. Namun mereka adalah golongan pendekar yang sudah banyak makan garam. Makin sudah
menghadapi lawan, makin sadarlah mereka. Seperti berjanji, mereka kian tekun dan tidak
gegabah. Mereka sadar, apabila keburu nafsu pastilah akan gagal. Dengan demikian, serangan mereka kini berubah menjadi tertib. Dan tidak lagi asal menyerang seperti tadi. Maka corak pertempuran mereka kini berubah seperti saling bertahan dan saling mengamat-amati. Saat
demikian, dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh tiap-tiap perguruan untuk memberi
keterangan atau pengajaran terhadap murid-murid dari tingkatan rendah.
Para pendekar Himpunan Sangkuriang yang masih saja belum bisa berkutik, tidak pula tinggal diam. Otong Surawijaya yang sela manya bermulut usilan terus saja berseru, "Hai Tatang Sontani!
Selamanya kau berotak encer. Coba bagaimana pendapatmu?"
"Andangkara lebih hebat daripadaku," sahut Tatang Sontani pendek.
"Aku bertanya kepadamu, bukan dia!" damprat Otong Surawijaya,. "Lihatlah! Ilmu pemuda itu sangat aneh. Meskipun ia masih bisa mengelak, namun ilmu gabungan mereka makin lama makin sukar diraba. Apa sebab?"
"Hm, apa sih hebatnya" Bukankah mereka bertitik tolak pada delapan penjuru angin?" sahut Tatang Sontani.
"Delapan penjuru angin bagaimana?" Otong Surawijaya mendesak.
Tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang yang menggeletak tak dapat berkutik itu, bukanlah
pendekar-pendekar lumrah. Mereka berkepandaian sangat tinggi. Meskipun tubuhnya kini tak dapat berkutik, namun pikirannya masih bekerja seperti biasa. Itulah sebabnya, mereka bisa berpikir dengan leluasa.
Dan semenjak tadi, Sangaji tahu bahwa mereka ikut berprihatin. Dan begitu mendengar
percakapan mereka, segera ia menaruh perhatian. Kata Tatang Sontani, "Delapan penjuru angin yang diputar balik. Lihatlah dengan saksama! Setiap kali mereka hendak menyerang, pasti mereka bergerak mundur. Kemudian maju ke titik pusat. Tiba-tiba memasuki penjuru seorang di
depannya." "Ya, ya... ya, aku tahu. Cuma garis serangan mereka tidak lurus. Apa sebab?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah kuterangkan agak jelas. Penjuru satu: timur. Lantas barat, selatan dan utara. Terbagi empat penjuru lagi. Timur laut, tenggara. Barat laut dan barat daya. Jadi delapan penjuru. Tetapi mereka tidak melalui garis lurus. Mereka membagi lagi menjadi delapan garis pecahan. Dengan demikian menjadi enam belas pecahan. Kemudian mereka membuat garis lingkaran menjadi
empat bagian. Jumlahnya sekaligus menjadi 4 x 16 = 64 garis titik tolak. Kalau ini dikalikan secara timbal balik sekaligus berjumlah 64 x 64. Masih pula mereka menggunakan garis-garis miring yang berjumlah 64 x 9. Nah, berapa jumlahnya?"
"Kau hitunglah sendiri! Biar aku mendengarkan saja!" gerutu Otong Surawijaya.
Tiba-tiba Tubagus Simuntang menyahut, "Itulah mudah. Semua berjumlah 4096 + 666 = 4762
garis. "Bagus! Sekarang kalikan timbal baliknya!" seru Tatang Sontani.
"Itulah ruwet sekali. Apakah maksudmu 4762 x 4762 " (= 22.676.644).
"Ya." "Ouuu ... siapa mau menghitung begitu?" tungkas Otong Surawijaya. "Kalau begitu, masakan berarti pula bahwa pemuda itu tidak dapat mengatasi mereka?"
Tatang Sontani tak segera menjawab. Sebaliknya Andangkara yang selama itu berdiam diri,
kemudian menyambungi. "Otong Surawijaya! Kau menguasai ilmu Jala Sutra Indrajaya. Masakan tak mengerti
perdamaian mereka?" "Eh, apakah titik-tolaknya sama?"
"Kenapa tidak" Betapa ruwet permainan mereka, namun kaki mereka tetap berpijak pada titik-tolak serangan mereka. Apabila anak muda itu bisa mendahului, pastilah mereka bakal keripuhan.
Karena sekali kena didahului, membuat permainan timbal balik mereka macet di tengah jalan."
"Ya, bagus! Bagus!" seru Otong Surawijaya gembira. Namun tiba-tiba jadi prihatin. Katanya,
"Tapi iblis siapa yang bisa bergerak secepat itu?"
"Simuntang pasti mampu," kata Dadang Wiranata.
"Ah ya ... Apakah pemuda itu bisa menyamai kegesitan Simuntang" Itulah soalnya," kata Otong Surawijaya.
"Otong!" seru Simuntang. "Kunyatakan sekarang, bahwa dibandingkan dengan pemuda itu, ilmu lariku jauh berada di bawahnya. Bahkan aku pantas menjadi muridnya. Kau percaya, tidak?"
Mendengar percakapan mereka, Sangaji tersadar. Ia sudah mempunyai pengalaman melawan
barisan Jala Sutra Indrajaya. Ontuk
melawan mereka, ia harus mengadu kegesi-tannya. Dan ia berhasil.
Oleh ingatan itu segera ia mengamat-amati gerak tipu mereka. Benar juga. Meskipun sangat ruwet dan selalu berubah, namun kedua kaki mereka tetap berpijak kepada kiblat delapan penjuru angin. Gerak-gerik mereka serasi dan saling menutup. Apabila yang satu maju, lainnya menimpali.
Dan yang dua menjaga kelemahan mereka. Begitu terjadi suatu perubahan, dengan cepat mereka menggeser dan kembali saling menimpali.
Sebenarnya, Sangaji bukanlah seorang pemuda yang pandai ilmu berhitung seperti Titisari.
Namun ia sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia. Begitu melihat, maka ber-kelebatlah ragam ukiran keris sakti Kyai Tunggulmanik dalam benaknya. Bagaimana cara memecahkan, segera ia mengetahui dengan jelas. Itulah disebabkan, karena kunci titik tolaknya sudah terdapat dengan terang gamblang. Maka kini, ia tidak lagi kelabakan melayani gerak tipu muslihat mereka.
Biarlah aku mengamat-amati sekali lagi, pikirnya.
Alang-alang Cakrasasmita dan Panjang Mas waktu itu nampak makin bersemangat. Apalagi
kedua kakek Sianyer dan Begog benar
r menguasai gerak tipu muslihat ilmu goloknya. Maka serangan mereka mendadak menjadi kian
rapat dan dahsyat. Sebaliknya Manik Angkeran yang juga mendengarkan uraian tokoh-tokoh sakti Himpunan
Sangkuriang menjadi khawatir. Sebagai seorang tabib, ia lebih cepat dapat dibuatnya mengerti tentang lika-liku persoalan betapa rumit-pun. la sadar, bahwa pemecahannya tidaklah mudah.
Mengingat Sangaji masih saja belum berdaya menghadapi mereka, hatinya tak tahan lagi. Terus saja ia berteriak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa-apaan ini" Empat orang mengeroyok seorang lawan. Masakan tidak malu?"
"Bangsat!" maki Panjang Mas. "Kau monyet kecil apa perlu ikut campur"*
"Hm ... kau tahu, bahwa kawanmu bakal mampus bukan?" ejek Alang-alang Cakrasasmita.
Karena rahasia hatinya kena terbongkar, mulut Manik Angkeran mendadak tergugu. Sebaliknya diam-diam Sangaji terharu melihat sepak-terjang Manik Angkeran yang selalu menaruh perhatian atas keselamatannya. Maka dengan tertawa gelak ia berkata, "Kau tak usahlah gelisah. Ilmu begini macam, sebenarnya belum bisa merobohkan aku. Kau percaya, tidak?"
"Tentu saja aku percaya!" sahut Manik Angkeran.
"Eh enak saja kau mengumbar mulut," potong Panjang Mas. "Kalau bisa meruntuhkan kami, hayo buktikan!"
"Kalian ingin aku membuktikan?" kata Sangaji.
"Cobalah, kalau mampu!" bentak Alang-alang Cakrasasmita. "Apa taruhannya?"
"Kalau kami kena kauruntuhkan, kami semua akan meninggalkan gunung."
"Benarkah itu?"
"Ocapan seorang laki-laki!"
"Bagus! Dan kau bagaimana Aki?"
"Aku?" sahut Begog. "Aku sih ... mau saja. Tapi anak muda, bagaimana kau bisa mengalahkan kami?"
"Jangan cerewet!" bentak Sianyer.
Mereka berempat terus melancarkan serangan lagi. Tiba-tiba Sangaji melangkah dua langkah ke kiri. Pedang kayunya dikibaskan ke kanan. Suatu angin dahsyat berkesiur menghantam
punggung Sianyer. Ia terpaksa bergeser mundur. Karena pergeseran itu, mereka ikut merubah titik serangan. Tak terduga, Sangaji mendesak lagi ke kiri dan membarengi mengibaskan pedang kayunya. Trang! Entah apa sebabnya, pedang Panjang Mas sekonyong-konyong membentur golok Begog.
Itulah ilmu sakti ukiran Kyai Tunggulmanik yang tertinggi. Namanya, ilmu Guntur Wijaya atau ilmu adu sakti. Maksudnya mengadu dua kekuatan lawan yang saling bertentangan
kedudukannya. Sudah barang tentu, ilmu demikian tak pernah termasuk dalam perhitungan mereka. Panjang
Mas hanya terkejut, la mengira, dirinya tak becus menguasai sasaran pedangnya. Sebaliknya, Begog yang kena bentur segera memutar goloknya kencang-kencang. Dengan memberi isyarat
kepada Sianyer ia merangsak Sangaji. Tak terduga, golok mereka tiba-tiba menjadi miring arahnya dan menghantam pedang Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita dengan berbareng.
Cepat-cepat mereka berputar arah. Tapi sekali lagi, mereka saling berhantam, sehingga kakek Begog berkaok-kaok.
"Hai! Hai! Bocah ini mempunyai ilmu siluman. Awas jangan sampai kena perangkapnya."
Mendengar seruan Begog, Panjang Mas tersadar. Segera ia menggeser tempat ke kiri. Tapi
dengan gerakan sedikit, Sangaji kembali mengacaukan serangan gabungan mereka. Dan kembali mereka saling menikam. Pantat
Mendengar seruan Begog, PandjangMas tersadar. Segera ia menggeser tempat kekiri. Tapi
dengan gerakan sedikit, Sangadji kembali mengacaukan serangan gabungan mereka. Dan kembali mereka saling menikam.
Begog kena tusuk. Sebaliknya lengan Panjang Mas terluka pula. Sianyer dan Alang-alang
Cakrasasmita tidak bebas pula dari suatu luka. Masing-masing mendapat hadiah satu tusukan yang agak lumayan pula parahnya.
Perubahan yang aneh itu, membuat Sianyer berseru dengan tergopoh-gopoh.
"Begog! Jangan bingungi Bocah ini pandai ilmu gila."
la terus menjejak tanah menyambar dari atas. Sangaji mengibaskan tangan. Dan serangan
Sianyer beralih mengarah Panjang Mas. Gugup Panjang Mas menyabetkan pedangnya hendak
menangkis. Tahu-tahu golok Begog menebas perutnya. Dalam gugupnya, ia sampai menjerit,
maka dengan mati-matian Alang-alang Cakrasasmita memegat arah tebasan golok itu. Tak
terduga sama sekali, bahwa golok Sianyer tiba-tiba memukul kepalanya. Itulah akibat ilmu sakti Sangaji yang diatur demikian rupa, sehingga sekali lagi mereka saling melukai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan begitulah, dalam sekejap mata saja ilmu gabungan mereka hancur. Penonton kedua belah pihak menjadi gempar berbareng heran. Mereka melihat Sangaji menggoyang-goyangkan pedang kayunya. Dan golok Begog kembali kena dibelokkan menghantam pinggang Alang-alang
Cakrasasmita. Sebaliknya pedang Panjang Mas menusuk tulang rusuk Sianyer.
Beberapa saat kemudian, sekonyong-konyong kedua pedang Panjang Mas dan Alang-alang
Cakrasasmita saling menghantam. Dan kedua kakek itupun saling bertempur dengan serunya
seperti kemasukan setan. Sampai di situ, teranglah sudah, bahwa Sangaji berhasil menghancurkan ilmu gabungan
keempat pendekar sakti yang merupakan tokoh pimpinan penyerbuan. Hanya saja, mereka tak
mengerti bagaimana cara Sangaji mengacaukan permainan mereka.
Di antara para pendekar Himpunan Sangkuriang, hanya Tatang Sontani sendiri yang memahami ilmu sakti Sangaji.
Ia memiliki ilmu sakti Tunggulwulung yang dapat pula mengalihkan tenaga lawan seperti yang pernah dibuktikan tatkala ia dikeroyok rekan-rekannya di pendapa agung. Namun tak pernah ia mengira, bahwa di jagat ini ada seorang pemuda yang dapat melatih ilmu sakti semacam itu demikian sempurnanya. Maka kali ini, benar-benar ia merasa kagum dan takluk.
Makin lama Sangaji makin keras menggoyangkan pedang kayunya. Itulah cara dia mengalihkan titik pusat sasaran serangan. Sewaktu keempat lawannya kena ditarik ke titik pusat, tangan kirinya berputar-putar melepaskan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, Sura Dira Lebur dening Pangastuti.
Hebat akibatnya. Keempat pendekar itu mendadak saja seperti kena seret suatu arus gelombang dahsyat. Tahu-tahu mereka saling bertempur dengan serunya. Tidak peduli mereka berusaha
hendak membebaskan diri, namun tetap saja mereka terlengket pada garis lingkaran.
"Sianyer!" teriak Begog. "Kenapa kau malah menggebuk aku?"
"Aku hendak menebas bangsat cilik ini. Masakan aku menyerang kau?" damprat Sianyer.
"Kalau begitu... kalau begitu... golokku mungkin menghantam tengkukmu!" seru Begog. Benar juga. Begitu ia menebaskan goloknya ke arah leher Sangaji, mendadak saja berubah arah. Dengan derasnya, goloknya benar-benar mengancam tengkuk kakak seperguruannya.
Alang-alang Cakrasasmita yang . bergerak hendak menimpali permainan mereka, terguncang
pula pedangnya. Hampir saja pedangnya menusuk ulu hati Panjang Mas. Dan mengalami
perubahan demikian, Panjang Mas lalu melemparkan pedangnya ke tanah. Kemudian mundur
meninggalkan gelanggang. Sebaliknya Begog masih penasaran, la melemparkan goloknya pula, tapi dengan mendadak
menghantam dada Sangaji dengan tinjunya. Dengan tersenyum Sangaji mengibaskan tangan. Dan tinju Begog membelok arahnya dan menggebuk tengkuk Panjang Mas yang sedang berjalan
meninggalkan gelanggang.. Keruan saja Panjang Mas terkejut mendengar kesiur angin. Cepat ia menyongsong serangan itu. Bres! Kedua pendekar itu terjengkang mundur dengan berbareng.
Panas hati Alang-alang Cakrasasmita melihat rekannya diserang kakek Begog. dalam keadaan tak berjaga-jaga, pedangnya hendak menyambar. Sekonyong-konyong Panjang Mas berteriak,
"Lemparkan pedangmu! Dia tak bermaksud menyerang aku!"
Mendengar teriakan itu, Alang-alang Cakrasasmita membuang pedangnya jauh-jauh. Kemudian
dengan pandang kagum luar biasa, ia mengamat-amati wajah Sangaji.
"Anak muda! Kau hebat! Aku akan menepati ucapanku," katanya dengan menghela napas.
"Agaknya Himpunan Sangkuriang masih jaya. Sudah terang keruntuhannya tinggal di ambang pintu siapa mengira, tiba-tiba muncullah engkau sebagai dewa penolong. Selamat!"
Setelah berkata demikian, ia melambaikan tangannya. Lalu mendahului turun gunung.
Para pendekar lainnya dengan berdiam diri pula mengikuti dari belakang. Panjang Mas, kakek Begog dan Sianyer serta Ratu Kenaka tidak lagi membuka suara. Mereka mengakui Alang-alang Cakrasasmita sebagai pimpinan penggerebegan. Sekarang ia sudah menyatakan turun gunung.
Maka mereka tak berhak untuk membangkang. Demikianlah sebelum sore hari tiba, lembah
ketinggian Gunung Cibugis telah bersih dari kaum penyerbu. Ketenangannya mulai meresap dan mengalir ke dalam tubuh tiap Himpunan Sangkuriang.
Sangaji sendiri waktu itu mendadak saja terpaku tak ubah arca. Seluruh tubuhnya terasa lemah lunglai. Bukan karena ia telah kehilangan tenaga, tetapi semata-mata oleh kegon-cangan hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selama hidupnya belum pernah ia berbicara selincah itu. Menilik wataknya yang sederhana dan pendiam, terang sekali bahwa kejadian demikian adalah semata-mata memaksa diri, demi
keselamatan Himpunan Sangkuriang. Oleh hebatnya pertentangan antara wataknya yang asli dan kesadaran akalnya, kini ia tergempur dari dalam. Seperti tiada bersendi tulang, sekonyong-konyong ia jatuh terjongkok. Dan ia berdiam diri seolah-olah kehilangan kesadarannya.
45. GUSTI AMAT Tatang Sontani dan Andangkara saling memandang. Setelah kaum penggerebeg mengangkat
kaki, tiba-tiba mereka berseru dengan berbareng: "Kami atas nama seluruh anggota Himpunan Sangkuriang menghaturkan rasa terima kasih setinggi-tingginya kepada tuanku Sangaji yang maha besar ..."
Dan dalam sekejap mata saja, di depan Sangaji berlututlah ratusan orang dengan caranya
masing-masing. Mereka berdesak-desakan seolah-olah takut tiada memperoleh tempat.
Sudah barang tentu penghormatan, sebesar itu, benar-benar mengejutkan hati Sangaji yang
sederhana. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah sekali juga ia mengalami peristiwa
demikian. Apalagi di antara mereka terdapat pula Andangkara adik Panembahan Tun-jungbiru.
Itulah sebabnya, cepat-cepat ia berlutut membalas hormat pula. Tetapi karena dua kali berturut-turut ia menjumpai suatu peristiwa yang berada di luar keadaan hatinya yang asli, ia menjadi gugup dengan tiba-tiba. Keringat dinginnya merembesi seluruh tubuhnya, sehingga ia jadi
bergoyangan.

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manik Angkeran yang pada saat itu sudah berada di sampingnya, segera menyangganya
bangun dan empat orang anggota Himpunan Sangkuriang cepat-cepat menghampiri siap memberi bantuan.
"Bawalah tuanku Sangaji ke kamarku, biarlah beliau beristirahat. Siapa saja kularang datang mengganggu Beliau," kata Tatang Sontani dengan nyaring.
Empat orang anggota segera membungkuk memberi hormat. Kemudian dengan didampingi
Manik Angkeran, Sangaji dipersilakan beristirahat di dalam kamar. Namun baru saja berjalan, ia sudah memperoleh kesadarannya kembali. Segera ia berputar menghampiri Tatang Sontani untuk menolong luka yang dideritanya.
"Tidak! Tidak! Kenapa tuanku mesti terburu-buru," ujar Tatang Sontani. "Biarlah kesegaran tuanku pulih kembali. Kami kira belum kasep."
"Ya, biarlah tuanku beristirahat dahulu," Dadang Wiranata menguatkan.
Sangaji tahu, bahwa di antara mereka Dadang Wiranata yang menderita paling berat. Itulah disebabkan, karena dia menderita luka parah empat kali berturut-turut. Mula-mula kena racun.
Kemudian mengadu pukulan sakti dengan Tatang Sontani. Setelah itu mendapat gempuran dari Suryakusumah. Dan yang keempat tatkala ia mencoba membalas menyerang Suryakusumah.
Namun ia tak memedulikan keadaan dirinya sendiri. Hati Sangaji yang mulia seketika menjadi terharu.
"Aku tak menderita sesuatu," kata Sangaji meyakinkan. "Sebaliknya kalian benar-benar menderita luka parah karena suatu serangan keji. Biarlah aku menolong kalian. Lebih cepat, lebih baik."
"Luka kami sudah berangsur menjadi baik," tungkas Simuntang. "Biarlah tuanku beristirahat dahulu."
"Mengapa kalian memanggilku dengan sebutan tuanku" Aku yang masih muda belia begini, masakan pantas menerima sebutan demikian?"
"Ha, sebentar lagi kami akan menjadi bawahanmu. Duduk di hadapanmu tanpa seizinmu,
masakan kami akan berani?" ujar Tatang Sontani dengan sungguh-sungguh.
"Tuanku," kata Dadang Wiranata menguatkan. "Singgasana Ratu Bagus Boang, kecuali tuanku, siapa lagi yang pantas mendudukinya?"
"Tidak! Tidak! Sekali-kali jangan berpikir begitu?" Sangaji menolak dengan terbata-bata.
Untuk mengalihkan pembicaraan itu, segera ia menyingsingkan lengan menolong mereka yang
menderita. Manik Angkeran dengan sendirinya ikut serta. Malahan dalam penyembuhan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perawatan, dialah yang memegang peranan. Sedangkan Sangaji merupakan sumber
pengembalian tenaga sakti mereka.
Hampir delapan hari, mereka berdua bekerja siang dan malam. Dan selama itu, Sangaji
memberi penjelasan siapakah Manik Angkeran. Seperti mereka, mula-mula dia tak mengetahui riwayatnya dengan jelas. Tetapi begitu teringat akan nama Fatimah, ia sudah dapat menebak delapan bagian dengan jitu sekali.
Pada hari kesembilan, selagi Sangaji memberi bantuan tenaga sakti kepada Dadang Wiranata, Ratna Bumi dan Dwijendra tiba-tiba terdengarlah suatu lonceng tanda bahaya dari arah timur laut.
Otong Surawijaya dan Tatang Sontani terkesiap. Lonceng tanda bahaya selamanya tak pernah dipukul orang, kecuali apabila keadaan benar-benar membahayakan.
Maka diam-diam Tatang Sontani berpikir, "Apakah kawan-kawan Alang-alang Cakra-sasmita masih berpenasaran, sehingga mereka datang kembali?"
Yang berada di situ adalah jago-jago Himpunan Sangkuriang yang sudah banyak makan garam.
Meskipun hatinya gelisah namun di hadapan Sangaji sama sekali tak kentara. Mereka bahkan bersikap terlalu tenang.
Segera Tatang Sontani memberi isyarat kepada beberapa pengawal pendapa agung agar
mencari keterangan. Tapi pada saat itu, lonceng yang berada di sebelah selatan dan barat, terdengar bertalu pula.
"Apakah terjadi suatu penyerbuan kembali?" Sangaji minta keterangan.
"Tuanku tak perlu bercemas hati," kata Tubagus Simuntang. "Di antara anak buah raja muda Andangkara masih banyak terdapat jago-jago tangguh. Kalau hanya menghadapi bangsa kurcaci, apalah artinya?"
Akan tetapi bunyi lonceng tanda bahaya ternyata makin lama makin gencar. Itulah suatu tanda, bahwa musuh yang menyerbu-dataran ketinggian Gunung Cibugis tidak boleh dipandang remeh.
"Biarlah aku melihatnya..." Akhirnya Tatang Sontani berkata sambil tertawa
"Hm, apakah benar-benar Himpunan Sang-kuriang lagi naas, sehingga kena serbu orang-orang luar yang tak keruan juntrungnya" Tuanku Sangaji tenang-tenanglah tuanku di sini."
Kesehatan Tatang Sontani belum pulih benar. Ia masih terpincang-pincang. Meskipun demikian, suaranya tetap gagah berwibawa.
Diam-diam Sangaji berpikir, rasanya tidaklah mungkin mereka datang kembali untuk membuat perhitungan. Tetapi kalau bukan mereka, lantas siapa" Apakah terdapat golongan-golongan lain yang memasuki pihak Himpunan Sangkuriang" Ya, pastilah yang datang ini terdiri dari golongan lain. Mereka mengetahui, pihak Himpunan Sangkuriang sedang menderita luka parah. Bukankah ini suatu kesempatan bagus untuk mengadakan suatu penggerebegan" Terang sekali jago-jago Himpunan Sangkuriang takkan mampu mengadakan perlawanan, meskipun mereka yang
menyerbu terdiri dari kurcaci-kurcaci tak berarti. Kalau memaksa diri samalah halnya dengan menyerahkan nyawa sendiri.
Pada saat itu, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi letusan di kejauhan, la
terperanjat. Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Itulah Kompeni Belanda. "Hai! Mengapa mereka sampai datang pula kemari?"
Seorang yang menderita luka parah datang menerobos memasuki kamar peristirahatan.
Mukanya penuh darah dan dadanya terlubang dalam. Begitu memasuki kamar, segera ia berseru tersekat-sekat.
"Musuh... menyerang... dari tiga jurusan... Rekan-rekan tak sanggup bertahan... senjata bidik..."
"Siapa mereka?" potong Otong Surawijaya.
Ingin orang itu meneruskan berbicara, tetapi tubuhnya lantas roboh terjengkang. Cepat Manik Angkeran menghampiri hendak menolong. Tetapi nyawanya keburu lenyap, dan dalam pada itu, suara tembakan sambung menyambung kini terdengar makin jelas.
Sekonyong-konyong dua orang berlari masuk lagi. Sangaji kenal mereka. Itulah Zakaria dan Jajang. Mereka luka parah. Tangan kanan Zakaria terpapas buntung, sedangkan dada Jajang
berlobang. Paras muka mereka pucat bagaikan mayat dan seluruh tubuhnya bermandikan darah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun teriuka parah, namun mereka bersikap tenang. Teringatlah Sangaji, betapa mereka berdua mengotot mati-matian sewaktu mencoba menahannya. Sekarang mereka teriuka parah.
Terang lawan mereka tidak mengenal ampun. Dan mestinya sangat kejam.
"Raja muda Tatang Sontani, Otong Surawi-jaya dan junjungan kami sekalian... orang-orang yang menyerbu terdiri dari bermacam-macam golongan. Selain kompeni Belanda, nampak pula
pasukan dari Kerajaan Banten," kata mereka setelah membungkuk.
"Ha, masakan kompeni sampai berani pula menginjak pada dataran ketinggian Gunung Cibugis"
Benar-benar sial," seru Tatang Sontani.
"Pemimpin mereka seorang tua yang mengenakan jubah pendeta, la bersenjata pedang Sangga Buwana dan didampingi oleh dua orang lagi yang pukulannya dahsyat luar biasa," kata Zakaria lagi.
Mendengar nama pedang pusaka disebut-sebut, Sangaji terkejut.
"Apakah benar-benar pedang Sangga Buwana" Kalian tak salah lihat?" Tatang Sontani menegas.
"Sewaktu kami berdua- mencoba menahan serbuan mereka, kedua pedang kami kena tertebas seperti terajang tak terduga, lengan dan dada kami berdua ikut pula tertetas," ia berhenti.
Kemudian berputar menghadap Sangaji. Seperti saling berjanji, mereka membungkuk dengan
berbareng lalu berkata, "Tuanku Sangaji... ampunilah perbuatan kami berdua.
Karena salah sangka, hampir saja kami berdua menghancurkan pekerjaan tuanku yang maha
besar dan maha penting... ampunilah kami..." Dan tiba-tiba mereka jatuh terjengkang. Mereka tewas hampir berbareng pula.
Pemandangan demikian, bagi Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Si-muntang dan Walisana adalah suatu kejadian yang biasa. Sama sekali mereka tiada memperlihatkan suatu kesan. Sebaliknya Sangaji menjadi terharu. Itulah disebabkan, karena kesederhanaan serta kemuliaan hatinya.
Dengan Jajang dan Zakaria, ia hanya kenal melalui suatu pertarungan. Hatinya gemas, karena berdua begitu membandel serta menjengkelkan hatinya. Namun demikian dalam hatinya ia sudah mengampuni. Itulah sebabnya, begitu menyaksikan nasib mereka berdua yang harus mati juga ia merasa sayang.
Pada saat itu Dwijendra dan Ratna Bumi memasuki ruang kamar dengan ditandu oleh anakbuah masing-masing. Melihat kedatangan mereka berdua, Otong Surawijaya yang beradat
berangasan terus saja menggere-meng.
"Benar-benar kita sial, sampai-sampai begundal-begundal Kerajaan Banten berani mendaki Gunung Cibugis. Kompeni yang biasanya mengeram dalam kandangnya, kali ini mengapa begini berani menjual kepalanya di sini" Hm... aku bersumpah selama hayat masih dikandung badan, takkan aku hidup berbareng dengan mereka di kolong langit ini..."
Belum lagi selesai ia berbicara, Andangkara masuk pula ke ruang dengan tongkat. Kata
Andangkara kepada Sangaji, "Anakku Sangaji, kau tak usahlah ikut merasakan kesibukan kami ini.
Memang benar-benar kurang ajar... budak-budak Kerajaan Banten berani mencoba-coba melabrak kemari..."
Mendengar ucapan Andangkara, Tatang Sontani mengkerutkan dahi. Dia adalah seorang yang
berwatak saksama dan hati-hati. Maka diam-diam ia berpikir di dalam hati, laskar kerajaan Banten, mungkin masih bisa ditahan di lereng gunung. Tetapi menghadapi kompeni yang bersenjata bidik adalah soal lain. Celakalah, kita semua mati tidak, hidup pun belum.
Di antara para raja muda Himpunan Sangkuriang, Tatang Sontani berkedudukan yang paling
tinggi. Ia seorang pendekar yang luas pengetahuan dan penglihatannya, Andangkara dan rekanrekannya yang sederajat bukan pula berarti lebih rendah pengetahuannya daripada dia. Mereka adalah jago-jago yang sudah banyak mengalami pasang surutnya suatu perjuangan serta sudah masak tergodog oleh bahaya-bahaya besar. Dan selamanya mereka bisa mengatasi atau
menghindari dengan caranya masing-masing. Tapi kali ini, mereka semua merasa mati kutu.
Musuh ternyata menyerang dengan besar-besaran, sedangkan mereka masih saja lumpuh oleh
parahnya, meskipun sudah agak mendingan daripada sebelum kena tolong Sangaji dan Manik
Ang-keran. Karena itu mereka sadar, bahwa ajalnya sudah berada di ambang pintu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terhadap Sangaji, meskipun belum pernah menyatakan kata sepakat dengan bersama, namun
dalam hati, mereka sudah memandangnya sebagai Pemimpin Besarnya tak ubah Ratu Bagus
Boang pendiri Himpunan Sangkuriang. Maka dengan tak disadari sendiri, mereka mengharapkan bantuan pikiran anak muda itu untuk dapat mencarikan jalan mengatasi bahaya kehancuran,
seperti yang sudah diperlihatkan sewaktu menghadapi kaum penyerbu.
Sebaliknya, pada saat itu Sangaji pun sedang memeras otaknya. Ia tahu, bahwa ilmu saktinya lebih tinggi dari pada mereka semua. Tapi hatinya yang sederhana meragukan kemampuan akal pikirannya sendiri. Mereka semua menghadapi jalan buntu dan belum memperoleh jalan keluar.
Apalagi dirinya yang selamanya disebut sebagai anak tolol oleh guru dan Titisari. Betapa ia berani merasa diri lebih unggul daripada mereka.
Tak terasa ia menyesali Suryakusumah yang mencelakai mereka semua dengan cara curang.
Dan teringat kepada Suryakusumah, tiba-tiba sesuatu ingatan menusuk di dalam benaknya. Terus saja ia berkata, "Ah ya ... mari kita bersembunyi di dalam gua di seberang lapangan. Pastilah musuh tak bisa mengetahui dengan segera. Andaikata mereka akhirnya mengetahui juga, setidak-tidaknya mereka tidak mudah memasuki gua tersebut."
Sangaji mengira, bahwa usulnya merupakan suatu pendapat yang jitu. Itulah sebabnya,
suaranya bersemangat. Di luar dugaan mereka menyambut usul itu dengan saling pandang serta bersikap dingin. Meskipun tidak melepaskan sepatah katapun, tetapi Sangaji yang perasa seolah-olah sadar bahwa usulnya tidak dapat mereka lakukan. Maka ia berkata meyakinkan lagi, "Seorang laki-laki sejati harus pandai melihat keadaan. Kita menderita luka parah. (Jntuk menyingkiri sementara waktu, bukannya berarti memerosotkan derajat kita. Nanti manakala sudah sembuh seperti sedia kala, kita muncul kembali untuk menggempur mereka habis-habisan."
"Pendapat tuanku Sangaji sangat bagus," kata Tatang Sontani kemudian. Ia memanggil seorang pengawal. Memberi perintah, "Hantarkan tuanku Sangaji ke benteng Halimun!"
"Hai! Bukankah kita semua menyingkir di dalam gua itu bersama-sama?" potong Sangaji tercengang.
"Tuanku pergilah mendahului, sebentar lagi kami semua menyusul," sahut Tatang Sontani.
"Hai! Apa artinya ini?" serunya lantang. Ia menimbang-nimbang sebentar. Terasa di dalam hati, mereka enggan meninggalkan Markas Besar. Lantas saja ia berkata, "Paman sekalian, aku Sangaji meskipun aku bukan anggota Himpunan Sangkuriang, tetapi sedikit-sedikit sudah pernah hidup senasib sepenanggungan dengan paman sekalian. Memang belumlah boleh dianggap sebagai
sahabat sehidup semati. Namun apabila aku mengajak menyingkir ke dalam gua bukan sematamata demi keselamatan aku seorang sedangkan paman-paman tidak sudi, rasanya akupun tidak seharusnya takut mati."
"Tuanku Sangaji, janganlah salah paham," tungkas Tatang Sontani gugup. "Soalnya, karena kami dilarang memasuki gua Halimun itu. Siapa saja yang berani memasuki gua Halimun, kecuali Pemimpin Besar kami, akan dihukum mati. Di antara kami sekarang, hanyalah tuanku dan saudara Manik Angkeran yang bukan termasuk anggota himpunan. Karena itu, larangan itu tidak berlaku bagi tuanku dan saudara Manik Angkeran."
Mendengar penjelasan itu, Sangaji heran. Diam-diam timbullah suatu pertanyaan di dalam
hatinya: Apa sebab gua Halimun menjadi larangan besar bagi setiap anggota himpunan, sampai pula mereka raja-raja muda tidak berani melanggar" Mau ia menyatakan pertanyaan itu, tiba-tiba terdengarlah suara pertempuran bertambah dekat. Suara tembakan dan sorak sorai menjadi
lantang dan keras. Kadangkala melengkinglah seseorang yang kena tikaman maut pastilah yang berteriak melengking itu anggota Himpunan Sangkuriang. Maka siapa saja tidak ragu-ragu, bahwa pihak lawan memperoleh kemenangan di segala bidang.
Sangaji terpengaruh oleh suara berisiknya pertempuran itu, sehingga perhatiannya berubah.
Katanya di dalam hati, tidak lama lagi musuh tiba di dataran ini dan pastilah mereka semua dalam bahaya. Gua Halimun adalah satu-satunya jalan. Memperoleh keputusan demikian, ia bertanya:
"Apakah peraturan larangan memasuki gua Halimun, tidak dapat diubah?"
Dengan muka muram, Tatang Sontani menggelengkan kepala. Kemudian menundukkan kepala.
Selagi Sangaji hendak menyelidiki apa sebab Tatang Sontani begitu berahasia, mendadak
terdengarlah suara Raja Muda Dwijen-dra yang selama itu berdiam diri. Katanya, "Saudara-saudaraku, teman-temanku seperjuangan, dengarkan aku hendak berbicara. Saat ini selagi kita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa berbicara sebenarnya Himpunan Sangkuriang sudah tenggelam bersama kita beberapa hari yang lalu. Tapi berkat ilmu sakti tuanku Sangaji yang tinggi, Himpunan Sangkuriang terhindar dari suatu malapetaka. Terhindar dari kemusnahan. Itulah sebabnya, aku kini menyatakan diri entahlah kalian setuju atau tidak, hendak mengabdikan diri kepadanya sebagai balas jasa. Rasanya, aku tidak malu mengusulkan dia sebagai pengganti junjungan kita Ratu Bagus Boang yang lenyap digulung sejarah. Sekarang kalau Pemimpin Besar kita, Gusti Sangaji memberi perintah kepada kita untuk menyingkirkan diri ke gua Halimun, aku akan mendahului berangkat. Karena Beliau kini sudah kuanggap sebagai Pemimpin Besar Himpunan Sangkuriang yang kelak akan membina hidup dan matinya himpunan kita. Nah, bagaimana pendapat kalian?"
Sebenarnya Tatang Sontani, Dadang Wira-nata, Otong Surawijaya, Tubagus Simuntang,
Walisana, Ratna Bumi dan Andangkara sudah mempunyai niat untuk mengangkat Sangaji sebagai pengganti Gusti Ratu Bagus Boang. Hanya saja masing-masing merasa segan, berhubung di
antara mereka sudah lama terjadi suatu perpecahan. Sekarang Dwijendra menyatakan hal itu sebagai pembuka jalan. Sudah barang tentu, serentak mereka menyetujui. Malahan mereka lantas menyokong dengan suara bulat.
Sebaliknya, begitu Sangaji mendengar suara pernyataan mereka, dengan gugup ia menolak
dengan menggoyang-goyangkan tangan. Katanya dengan wajah berubah hebat. "Tidak! Tidak!
Sewaktu paman-paman memanggilku dengan menggunakan istilah tuanku, hatiku risih bukan
main. Sekarang, paman-paman bahkan hendak mengangkat aku untuk menduduki kursi pimpinan
tertinggi ... ah, betapa mungkin! Lihatlah, paman sekalian! Aku masih muda belia! Lagipula tiada pengalamanku sekelumitpun tentang tata pemerintahan. Ya, bagaimana aku harus berani
menduduki tahta pimpinan yang begitu agung dan mulia. Karena itu, aku terpaksa menolak usul paman-paman sekalian."
"Aku adalah adik Ki Tunjungbiru," kata Andangkara. "Engkau pernah berkata kepadaku, bahwa engkau menganggap kakakku itu sebagai Akimu sendiri. Menurut pantas, engkau harus
memanggil aku dengan sebutan Aki pula. Namun aku memanggilmu dengan tuanku. Malahan kini, aku akan mulai menyebutmu sebagai Gusti. Ya, Gusti Sangaji! Sebab engkaulah memang
junjungan kita pada masa datang."
"Apakah aku tidak mempunyai hak suara yang patut tuanku dengar?" ujar Tubagus Simuntang.
"Himpunan Sangkuriang sudah terlalu lama hidup tanpa pimpinan. Akibatnya saling bentrok dan saling memfitnah. Malahan saling membunuh pula. Kini muncullah Tuan di tengah-tengah kami.
Dan kami semua setuju dan benar-benar bersedia tunduk serta patuh kepada tuanku."
Mendengar ucapan kedua raja muda itu, hati Sangaji terharu bukan main. Bukan karena
mereka bersikap merendah dan menjunjung tinggi dirinya, tetapi sikap kerelaan serta ketulusan hatinya demi kesejahteraan Himpunan Sangkuriang di kemudian hari. Namun masih saja ia
berbimbang-bimbang. Di dalam benaknya, teringatlah dia kepada tokoh yang menamakan diri
Gusti Amat. Inilah saat yang sebaik-baiknya untuk minta penjelasan.
Tetapi kala itu, suara tembakan dan kegaduhan pertempuran sudah berada di ambang dataran ketinggian Gunung Cibugis. Rasanya tidaklah mungkin lagi ia menerima penjelasan yang
diperlukan. Dalam pada itu terdengarlah suara Raja Muda Walisana dan Ratna Bumi si pendiam.
"Tuanku! Menghadapi saat-saat genting, seorang laki-laki harus dapat berpikir cepat dan mengambil keputusan yang bijaksana. Kami semua sudah mengambil suatu keputusan yang tak
pernah terjadi semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Karena itu, kami kira tidak ada alasan kita lagi yang bisa menumbangkan keputusan kami dengan suara bulat itu."
"Ya, benar," sahut raja-raja muda lainnya.
Sangaji merasa diri terdesak. Menimbang, bahwa keadaan sangat genting, ia bersedia
membatalkan pertanyaan tentang diri Gusti
Amat. Pikirnya di dalam hati, biarlah jabatan ini kuterimanya dahulu. Perlahan-lahan aku akan minta penjelasan tentang Gusti Amat. Dan setelah memperoleh pikiran demikian, segera ia
berkata memutuskan. "Baiklah. Paman-paman sekalian begitu menghargai diriku. Kalau aku menolak, rasanya aku justru merugikan pendiri Himpunan Sangkuriang ini. Biarlah sementara waktu aku menjabat kursi pimpinan seperti kehendak paman-paman sekalian. Tetapi manakala bahaya sudah ter-lampui, aku mohon agar paman sekalian memilih seorang pandai yang tepat menduduki jabatan ketua kalian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar keputusan Sangaji, sekalian raja muda bersorak berbareng. Dan sorak mereka
disambung oleh para pengawal yang berada di luar pintu. Sebentar kemudian sorak itu sambung menyambung dan akhirnya mengguruh ke angkasa seumpama dataran ketinggian Gunung Cibugis
bergetar seperti hendak gempa bumi.
Benar-benar hebat pengaruh sorak itu. Musuh sudah berada di ambang pintu. Bahaya besar
sedang mengancam, namun mereka seakan-akan tidak menghiraukan karena hatinya penuh
syukur dan girang luar biasa. Maklumlah, semenjak lenyapnya Gusti Ratu
Bagus Boang, Himpunan Sangkuriang hidup tanpa pimpinan lagi. Masing-masing raja muda
malah saling memisahkan diri. Lalu berdiri sendiri. Akhirnya saling bermusuhan serta bunuh membunuh. Dan sekarang, seorang pemimpin besar muncul dengan tak terduga. Hebat
wibawanya sampai raja-raja muda yang biasanya tak sudi tunduk kepada siapa saja, bersedia bertekuk lutut mengabdikan diri. Inilah pemimpin Besar yang dijanjikan sejarah. Masa depan Himpunan Sangkuriang yang gemilang, rasanya sudah nampak jelas terbayang di hadapan
sekalian anggota himpunan. Memperoleh perasaan demikian semua orang anggota himpunan
yang berjumlah ribuan orang, bertekuk lutut sambil bersembah menghadap pintu Gedung Markas Besar. Tak peduli mereka berada di bawah naungan panji-panji masing-masing. Mereka nampak ikhlas. Bahkan Andangkara adik Ki Tunjungbiru yang pantas menjadi Aki Sangaji bertekuk lutut pula sambil bersembah kepada Sangaji. Mereka semua menyerukan suatu pengakuan dengan
serentak: "Hidup raja kami, Gusti Sangaji! Gusti Sangaji! Gusti Sangaji!"
"Silakan semua bangun!" kata Sangaji dengan gugup. Kemudian karena sangat memikirkan keselamatan seluruh anggota himpunan dia berkata memerintahkan kepada Tatang Sontani.
"Paman Tatang Sontani, sekarang perintahkan sekalian anggota himpunan agar memundurkan diri ke dalam gua Halimun. Bawa semua perbekalan. Dan musnahkan semua bangunan yang berada di atas dataran ketinggian ini!"
Dengan membungkuk Tatang Sontani meneruskan perintahnya. Dan dengan tertib sekali
pasukan panji-panji yang kini bernaung di bawah panji besar Himpunan Sangkuriang, bergerak memasuki gua Halimun dengan semangat berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah mereka
menghilang di dalam gua, barulah para raja-raja muda ditandu masuk. Kini tinggal beberapa orang saja yang bertugas membumihanguskan semua bangunan yang berada di atas dataran ketinggian.
Api berkobar-kobar menyala memenuhi dataran. Dan lawan yang berhasil memasuki dataran tidak berani mendekat, walaupun jumlahnya besar. Bahkan kompeni yang bersenjata bidik, tidak
berdaya menghadapi api. Setelah pasukan yang menunaikan tugas akhir selesai, mereka memasuki gua pula. Lantas saja pintu-pintu penghubung ditutup atau diputuskan. Maka mereka berpisah dari
Andangkara"adik Ki Tunjungbiru bersama ribuan anggota Himpunan Sangkuriang bertekuk
lutut sambil bersembah kepada Sangaji serta berseru: "Hidup Raja kami. Gusti Sangaji..."dunia luar. Sekarang meskipun seekor semut-pun tak dapat memasuki. Sebab-antara gua dan
seberang dataran menghadang suatu jurang dalam dan tebingnya yang tinggi curam.
Kebakaran itu berlangsung sampai lima malam lamanya. Markas Besar Himpunan Sangkuriang
dahulu, didirikan atas perintah Ratu Bagus Boang pada zaman Ratu Fatimah mulai berpengaruh di dalam Kerajaan Banten. Umurnya hampir mencapai seratus tahun. Sekarang musnah dengan
cepat tinggal tumpukan puing-puingnya belaka. Siapa saja akan menjadi terharu apabila teringat sejarahnya. Namun demikian, setiap anggota memandangnya dengan penuh ikhlas. Karena
runtuhnya gedung bersejarah itu adalah atas perintah pemimpin besarnya yang baru. Dengan begitu terasalah, betapa berwibawa Sangaji dan betapa patuh mereka kepada semua perintah-perintahnya. Inilah suatu kejadian yang ajaib. Mimpipun tak pernah, bahwa anak muda yang dahulu terkenal tolol dan anak seorang janda miskin, bisa menduduki tahta kewibawaan demikian tinggi. . Setelah api padam, musuh mencoba membongkar tumpukan puing-puing. Mereka
menemukan puluhan anggota Himpunan Sangkuriang yang sudah mati terbakar. Sebenarnya
mereka semua sudah tewas sebelum terbakar. Mereka dilemparkan ke dalam api, untuk
mengelabui lawan. Benar juga, lawan mengira bahwa yang mati adalah para pemimpin Himpunan Sangkuriang, karena berputus asa. Maklumlah, muka mereka tak dapat dikenali lagi. Maka setelah memperoleh kesimpulan demikian, dengan puas lawan meninggalkan dataran ketinggian Gunung Cibugis dengan perasaan puas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Tatang Sontani dengan rekan-rekannya sudah menempatkan kedudukan
pasukan-pasukan bawahannya. Ternyata yang disebut gua Halimun, benar-benar merupakan
sebuah lapangan luas yang terlindung oleh pagar tebing tinggi dengan jalan-jalan rahasianya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar batu penuh bekal makanan. Meskipun dimakan oleh dua puluh
ribu manusia, tidak akan habis selama dua bulan.
Di dalam gua tersebut semua anggota Himpunan Sangkuriang hidup menurut petunjuk
pemimpinnya masing-masing. Mereka sangat tertib dan tidak berani bergerak dengan
sembarangan, karena tahu bahwa gua Halimun merupakan daerah larangan serta dipandang
keramat. Hanya para raja muda pada setiap kali datang mengunjungi Sangaji yang sudah
merupakan pemimpin besar mereka.
Dengan hati terbuka, Sangaji mengisahkan riwayat hidupnya sampai datang ke dataran
ketinggian Gunung Cibugis. Seperti diketahui, ia tak pandai bercerita. Namun di hadapan mereka, ia memaksa diri agar dapat bercerita sebanyak mungkin. Dan usahanya sedikit banyak membawa hasil juga. Setidak-tidaknya jauh lebih baik daripada biasanya.
"Satu hal yang kini hendak kupinta keterangan dari sekalian," akhirnya dia berkata mengesankan. "Manakala aku sudah menerima penjelasan, hatiku akan tenteram dan lebih mantap."
"Apakah itu?" sahut raja muda dengan serentak.
"Siapakah sebenarnya yang disebut Gusti Amat" Menurut keterangan, beliaulah yang
menduduki kursi pimpinan. Karena itu, aku berniat hendak mengembalikan kedudukanku kini
kepada Beliau." Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang, Andangkara dan raja-raja muda lainnya saling berpandangan. Mereka seperti kehilangan sesuatu yang terenggut dengan tiba-tiba. Lalu, setelah melalui keheningan beberapa saat lamanya, Andangkara berkata kepada Tatang Sontani.
"Sontani! Hayolah, kau mewakili kami semua memberi keterangan kepada junjungan kita.
Dengan begitu, awan gelap akan tersapu untuk selama-lamanya!"
Mendengar ucapan Andangkara, raja-raja muda lainnya segera menyokong. Maka dengan
takzim Tatang Sontani menghadap Sangaji. Kemudian berkata menerangkan. "Gusti Sangaji!
Himpunan Sangkuriang ini didirikan oleh almarhum Ratu Bagus Boang. Seperti diketahui, Ratu Bagus Boang adalah salah seorang putera mahkota Kerajaan Banten. Hanya sayang, ia tidak dapat naik tahta, berhubung kelemahan hati Sultan tua. Dan akhirnya tahta kerajaan jatuh kepada Ratu Fatimah seorang janda bekas isteri letnan VOC."
"Ya, aku tahu," potong Sangaji.
"Baik," Tatang Sontani menyahut cepat. Meneruskan, "Himpunan Sangkuriang kami terbagi menjadi dua sayap yang diduduki oleh enam orang raja muda. Merekalah: Dadang Wiranata,
Otong Surawijaya, Ratna Bumi, Dwijendra, Andangkara dan Walisana. Kemudian Tubagus
Simuntang menempati sebagai penghubung seumpama leher kita. Sedangkan para penasihat,
terdiri dari almarhum Ki Tapa, Maulana Syafri, Suryapranata, Ki Tunjungbiru, hamba sendiri dan Diah Kartika."
"Diah Kartika?" Sangaji kaget.
"Ya, apakah Gusti Sangaji kenal dia?"
Sangaji diam menimbang-nimbang. Khawatir akan mengganggu jalannya keterangan, ia hanya
mengangguk kecil. Kemudian berkata, "Teruskan!"
"Semula, sewaktu Gusti Ratu Bagus Boang masih hidup, keadaan kita bersatu padu. Tetapi setelah beliau hilang tiada kabarnya, mulailah para raja muda memisahkan diri. Masing-masing mempunyai panji, lambang kekuasaannya, Obor Menyala, Kuda Sembrani, Keris Sakti, Bintang, Garuda dan Bunga Merekah. Hambapun tidak luput dari segala kesalahan. Hamba sengaja
menduduki Gedung Markas Besar sebagai pusat pemerintahan. Mereka boleh saling tikam dan
boleh saling memusnahkan, namun takkan mungkin mereka berani memusnahkan Gedung Markas
Besar sebagai lambang kejayaan Himpunan Sangkuriang. Demikianlah keyakinan hamba."
"Eh, mengapa tak berterus terang saja?" tungkas Otong Surawijaya. "Kau mengharap agar kita semua mampus, bukan" Lalu kau akan mengumpulkan sisa-sisa anak buah kita.
Dengan begitu kau akan dicatat sejarah sebagai seorang raja muda yang memiliki seluruh
pasukan panji-panji, memang kau hebat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Otong! Apakah kau tak bisa menutup mulutmu," tegur Dwijendra. "Dia sudah kita percayai untuk mewakili mulut kita. Nah, dengan begitu tak berhak kau membuka mulut-mu ...
Otong Surawijaya hendak mendamprat lagi-. Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa di hadapannya kini sudah ada seorang pemimpin besarnya. Maka mau tak mau ia membatalkan niatnya sendiri.
"Pada suatu hari Ki Tunjungbiru datang kepada hamba," Tatang Sontani meneruskan. "Dia datang atas nama seluruh raja-raja muda, katanya. CIntuk mertgatasi perpecahan, dia
mengusulkan agar membentuk seorang ketua himpunan bayangan.".
'Pemimpin bayangan bagaimana"' hamba minta keterangan.
'Clntiik mengatasi penyakit kanak-kanak yang terjangkit di segala bidang. Bukankah perpecahan dan perebutan kekuasaan dengan segala kuman-kumannya adalah suatu penyakit kanak-kanak"'
katanya. 'Kalian boleh hancur, tetapi tidak boleh membawa hancur Himpunan Sangkuriang.
Semata-mata disebabkan suatu nafsu besar hendak menduduki tahta pengganti Gusti Ratu Bagus Boang. Itulah sebabnya, aku mengusulkan seorang pemimpin atau ketua bayangan, seumpama
bendera putih kita. Betapapun besar jurang kehancuran, namun apabila salah seorang raja muda menggunakan bendera putih tersebut, masing-masing harus memundurkan. Barang siapa
melanggar pantangan itu, semua raja muda akan datang menghancurkan.'
'Apakah maksudmu, semua raja muda boleh menggunakan nama ketua bayangan itu"' hamba
minta keterangan. 'Demi persatuan atau tujuan ke dalam, boleh. Tetapi ke luar, akan diselenggarakan oleh
penasihat Maulana Syafri,' kata Ki Tunjungbiru.
" Dan nama ketua bayangan itu, kita sebut dengan Gusti Amat. Nama itu seumpama sebuah
jembatan penghubung antara raja mu: da yang satu dengan yang lainnya. Umpamanya raja muda Otong Surawijaya selalu bentrok dengan hamba. Tapi pada suatu hari, markas besar terancam bahaya. Hamba membutuhkan bantuannya demi keselamatan Himpunan Sangkuriang seluruhnya.
Untuk datang sendiri, tidaklah mungkin. Leher hamba bisa dikutungi. Tetapi manakala hamba mengirimkan sehelai kartu undangan atas nama
Gusti Amat, maka dia akan datang memenuhi semata-mata mengingat nama Himpunan
Sangkuriang." Sangaji mendengarkan uraian Tatang Sontani dengan saksama. Tiba-tiba teringatlah dia
kepada peristiwa di luar kota Jakarta.
"Beberapa kawan datang ke rumahku atas perintah Gusti Amat. Siapakah yang memegang
peranan Gusti Amat itu?"
"Sudah hamba terangkan, bahwa urusan luar akan diperankan oleh penasihat Maulana Syafri.
Dia berhak menggunakan atau memerankan nama Gusti Amat, setelah mendapat persetujuan dari Dewan Penasihat yang terdiri dari, hamba sendiri, Suryapranata, Ki Tunjung-biru dan dia sendiri.
Dan semua sepak terjangnya atau setiap keputusan Dewan Penasihat akan diteruskan kepada
raja-raja muda untuk diketahui. Dengan demikian, setiap raja muda akan bisa memeriksa sepak terjang Dewan Penasihat pula yang bertindak atas nama Himpunan Sangkuriang."
Mendengar penjelasan itu, hati Sangaji kagum bukan main. Terasa dalam hatinya, bahwa
Himpunan Sangkuriang benar-benar merupakan suatu organisasi yang tertib dan berwibawa. Maka ia menegas lagi, "Jadi Gusti Amat benar-benar bukan nama seseorang?"
"Bukan," mereka menyahut hampir serentak.
Sangaji diam merenung-renung. Sejenak kemudian berkata memutuskan. "Paman sekalian.
Tadinya, aku berani menerima jabatan ketua himpunan karena bersandar kepada nama agung itu.
Kelak aku akan mengembalikan kepadanya. Ternyata nama itu hanyalah semacam nama sebutan
belaka. Meskipun demikian, aku tetap mengharap kepada paman sekalian agar di kemudian hari mencari seseorang yang benar-benar pandai dan benar-benar tepat sebagai ketua paman
sekalian." "Tetapi apakah bedanya antara Gusti Amat dan Gusti Sangaji?" tungkas Tatang Sontani.
"Ada bedanya," seru Otong Surawijaya. "Bedanya Gusti Amat hanya suatu nama bayangan, sedangkan Gusti Sangaji benar-benar ada."
"Ya, benar," kata Dadang Wiranata. "Kali ini kau bisa berkata benar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan Dadang Wiranata, rekan-rekannya tertawa bergegeran. Memang,
selamanya Otong Surawijaya hanya merupakan tukang damprat. Tapi kali ini, benar-benar


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermata tajam. Maka diam-diam mereka menyetujui pendapatnya.
46. MEMBOBOL PENJARA DOA bulan lamanya, seluruh anggota Himpunan Sangkuriang mengeram diri di dalam gua
Halimun. Selama itu, luka parah raja-raja muda sudah pulih seperti sediakala. Sedangkan Sangaji sudah memperoleh pengetahuan luas mengenai organisasi himpunan serta petunjuk-petunjuk
yang berharga lewat mulut Tatang Sontani.
Selama hidupnya, Sangaji senantiasa kagum kepada suatu kecendekiawanan seseorang. Maka
diam-diam ia kagum pula kepada Tatang Sontani yang serba pandai. Pantaslah Tatang Sontani menjadi penasihat Ratu Bagus Boang bagian tata pemerintahan. Maka Sangaji tidak ragu-ragu melantiknya kembali sebagai penasihatnya. Malahan dalam hatinya sudah memutuskan hendak
diangkat sebagai wakilnya penuh-penuh.
Pada suatu hari, tiba-tiba Sangaji berkata lantang kepada sekalian raja muda.
"Paman sekalian, sudah cukup lama kita mengeram di dalam tanah. Kini sudah datang
waktunya kita menghirup udara segar."
"Sekarang juga?" Tatang Sontani girang.
"Di sini aku berhadapan dengan paman sekalian, tetapi aku kehilangan seorang pahlawan tiada taranya di jagat ini. Itulah Aki Tunjungbiru. Sekarang dia tersekap kompeni entah di mana.
Masakan kita akan membiarkan rekan kita meringkuk terlalu lama?"
"Bagus!" seru raja-raja dengan serentak. Dan serunya segera disambung oleh seluruh pasukan dengan gegap gempita, sehingga suasana menjadi panas.
"Karena itu, mari kita keluar!" kata Sangaji lagi dengan semangat berkobar-kobar. "Hanya saja, yang belum sembuh lukanya, janganlah ikut bertempur! Pengawal panji-panji Kuda Semberani, Obor Abadi dan Bunga Mekar untuk sementara waktu menonton saja dari luar gelanggang.
Lainnya ikut serta!"
Dan begitu perintah Sangaji diteruskan Tatang Sontani, seketika juga suara sorak sorai
membelah dinding gua Halimun. Segera Sangaji menjebol pintu batu yang beratnya ratusan kilo.
Setelah pasukan panji-panji Garuda, Keris Sakti dan Bintang Kejora meruap keluar gua, ia menutupnya kembali.
Semua yang menyaksikan kekuatan Sangaji kagum bukan main. Di antara mereka terdapatlah
seorang laki-laki kuat yang dijuluki si raksasa hitam, la bernama Dudung Wiramang-gala. la mencoba mengerahkan segenap tenaganya untuk mendorong pintu batu tersebut. Tapi jangan
lagi berhasil, bergemingpun tidak. Maka diam-diam ia merasa takiuk kepada Pemimpin Besarnya sampai kebulu-bulunya.
"Beliau masih berusia muda, namun kekuatannya bagaikan malaikat," serunya kagum luar biasa.
Dalam pada itu, Sangaji mendahului lagi dengan melalui pintu batu tersebut. Sekali mendorong terjebaklah batu raksasa itu. Karena khawatir akan kena terjebak lawan, ia melesat terbang ke atas sebuah batu panjang yang mencongak di atas jurang curam. Segera ia menjelajahkan
matanya. Di timur Raja Muda Andangkara sudah mengatur pasukannya, la melewati pintu rahasia sebelah timur. Kemudian dengan berturut-turut, Raja Muda Dwijendra dan Ratna Bumi memimpin pasukannya keluar pula. Mereka bergerak dengan cepat dan tanpa bersuara sedikitpun.
Tatang Sontani memimpin sisa-sisa pasukan pengawal panji-panji Himpunan Sangkuriang yang terbagi atas tiga bagian. Walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang, namun masih saja nampak keangkeran-nya. Mereka semua mengenakan pakaian seragam hitam, kelabu dan putih.
Mereka bergerak dengan gesit dan penuh semangat. Gerak-geriknya senantiasa dalam keadaan siaga bertempur dengan mendadak.
Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang dan Walisana berada dibelakang Sangaji selaku
pelindung. Sedangkan Otong Surawijaya bergerak mendahului sebagai pasukan penggempur.
Tugas ini sesuai dengan wataknya yang berangasan. Namun ia tak berani meraba dataran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketinggian, karena belum memperoleh perintah Sangaji: Itulah sebabnya, dengan tiba-tiba saja mereka berhenti bergerak sehingga suasana jadi sunyi senyap.
Dengan berbisik, Sangaji membagi tugas. Katanya, "Musuh sudah memasuki wilayah kekuasaan kita. Karena itu, wajib kita menghalaunya pergi. Hanya saja, aku tidak menghendaki terjadinya banyak korban. Manakala tidak terpaksa, janganlah melakukan suatu pembunuhan. Inilah pesanku yang harus kalian rasukkan ke dalam sanubari, la berhenti mengesankan. Dan Manik Angkeran yang selalu berada disampingnya sebagai tabib pribadi, memanggut-manggut menyetujui.
"Sebentar malam, silakan Aki Andangkara memasuki daerah pertempuran dari sebelah timur!
Paman Dadang Wiranata merabu dari tengah. Paman Otong Surawijaya dan Paman Walisana,
silakan memimpin pasukan masing-masing. Sedangkan untuk pasukan pendudukan, aku serahkan kepada kebijaksanaan Paman Tatang Sontani. Paman Tubagus Simuntang, dan aku sendiri, akan membantu Paman Ratna Bumi dan Dwijendra manakala sangat perlu," kata Sangaji dengan tegas.
Semua raja muda membungkuk hormat dengan tiada suara. Dan sekali Sangaji melambaikan
tangannya, segera ia berbisik: "Saudara-saudara sekalian, berangkatlah!"
Segera mereka bergerak menjadi tujuh jurusan, mengurung dataran ketinggian Gunung
Cibugis. Sedangkan Tatang Sontani yang memimpin pasukan pendudukan, membagi pasukannya
menjadi empat bagian. "Paman Simuntang, marilah kita muncul dari lorong diseberang jurang dan menyerang dengan mendadak," ajak Sangaji. "Manik Angkeran, tinggallah dahulu merawat yang luka-luka."
Manik Angkeran membungkuk hormat, sedang Tubagus Simuntang girang bukan main. Itulah
suatu kehormatan besar baginya, bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang mendapat
kepercayaan dari ketuanya untuk mendampingi.
Segera mereka berdua kembali memasuki gua Halimun dan menerobos keluar melalui jalan
rahasia yang dikehendaki. Mereka tiba disebuah lapangan terbuka. Itulah lapangan terbuka yang pernah dilintasi Sangaji tatkala mengejar Suryakusumah.
Lawan ternyata belum meninggalkan dataran ketinggian. Masih ada sisa beberapa pasukan
yang ditinggalkan. Teranglah bahwa pemimpin penyerbuan benar-benar seorang ahli militer. Maka begitu melihat berkelebatnya suatu pasukan yang bergerak mendekati dataran, segera berteriak sambung menyambung.
Malam perebutan kembali benteng dataran tinggi Gunung Cibugis, terjadi pada waktu bulan
purnama. Dan di bawah sinar bulan cerah, berkelebatnya bayangan manusia lari pontang-panting ke sana-kemari dengan berteriak-teriak. Sangaji dan Simuntang bersembunyi di balik gugusan dinding. Mereka menunggu perkembangan keadaan.
Tidak lama kemudian, Raja Muda Andangkara menyerang dari arah timur. Dan Otong
Surawijaya merabu tengah gelanggang, la dibantu sayap kiri dan sayap kanan yang berada
dibawah pimpinan Raja Muda Dwijendra, Ratna Bumi dan Walisana. Sedangkan Dadang Wiranata dan tatang Sontani yang datang kemudian menempati daerah pendudukan. Mereka bertempur
dengan semangat menyala-nyala. Itulah sebabnya, sebentar saja musuh kena dilumpuhkan sama sekali.
Sisa musuh yang menduduki dataran tinggi sebenarnya tidak banyak pula. Sebagian besar
sudah turun gunung, sewaktu melihat semua bangunan hangus dimakan api. Komandan Kompeni
Belanda dengan seluruh pasukannya tiada lagi. la hanya berpesan agar menjaga daerah yang sudah direbut, sementara pasukannya sendiri hendak mengadakan pembersihan. Dengan
demikian dataran ketinggian hanya dijaga oleh laskar gabungan Kerajaan Banten.
Tentu saja di antara mereka masih terdapat jago-jago tua. Namun mereka merupakan jago
tiada artinya dibandingkan dengan keperkasaan para raja muda Himpunan Sangkuriang yang
sudah pulih kembali kesehatannya. Dengan selintasan, lebih dari separoh kena dibinasakan. Dan lainnya hampir tertawan semua.
Menyaksikan korban mulai jatuh, Sangaji segera tampil ke depan. Lantang ia berseru:
"Saudara-saudara pendatang. Pada saat ini semua raja muda dan semua jago-jago dan
pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang sudah berkumpul bersatu-padu. Kalian bukan lawan
lagi. Menyerahlah" Kami akan mengampuni nyawa kalian."
Sekonyong-konyong muncullah seorang pendeta berusia lanjut, la melesat sambil membentak,
"Hai di sini ada seorang bangsat cilik. Siapa kau?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kurangajar!" maki Tatang Sontani. "Ketahuilah ini ketua kami yang baru. Gusti Sangaji."
"Apa itu Gusti Sangaji segala. Cuh!" cemooh pendeta itu. "Lihat pedangku!"
Hampir berbareng dengan perkataannya yang penghabisan, sebatang pedang yang bersinar
tajam luar biasa, tahu-tahu sudah mengancam dada Sangaji.
Di bawah sinar bulan yang terang benderang, Sangaji yang .bermata tajam mengenal pedang
itu. Benar-benar pedang pusaka Banten: Sangga Buwana, yang pernah dilaporkan Jajang dan
Zakaria. Heran ia minta keterangan sambil mengelak.
"Pedang Sangga Buwana milik Kerajaan Banten yang kemudian berada di tangan Edoh
Permanasari. Mengapa bisa berada di tangan Tuan?"
Pantasnya pendeta itu akan menyahut, tidaklah demikian. Dengan membisu ia memperhebat
serangannya yang dilakukan bertubi-tubi. Sangaji kenal tajamnya pedang itu. Karena itu tak berani ia sembrono. Apalagi gerak tipu ilmu pedang pendeta itu, masih asing baginya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya. Berbareng dengan mengerahkan tenaga saktinya, ia menjepit punggung pedang. Tangan kirinya kemudian menebas pergelangan tangan.
Di luar dugaan, pendeta itu sangat tangkas. Begitu pedangnya kena terjepit suatu tenaga
raksasa, cepat-cepat ia menghantam dengan tangan kirinya. Bluk! Sangaji sengaja membiarkan dadanya kena pukul. Tenaga saktinya lantas saja bergerak dengan sendirinya. Dan pendeta itu terpental berjumpalitan dan bergulung-gulung di atas tanah. Begitu bangkit kembali, pedang Sangga Buwana ternyatalah masih tergenggam erat-erat dalam tangannya.
Pendekar Panji Sakti 7 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Amarah Pedang Bunga Iblis 1

Cari Blog Ini