Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 1

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Naga Merah Bangau Putih Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Episode 1 Sejarah menyatakan betapa buruknya keadaan pemerintahan di Tiongkok pada
jaman dahulu kala, pada wakut raja demi raja ganti-berganti memegang tampuk
pemerintahan sebagian dari tanah air Tiongkok. Peperangan antara kerajaan yang
satu dengan yang lain hampir tiada hentinya, hancur menghancurkan, takluk
menaklukan, dan saling berusaha memperluas wilayah masing-masing.
Tentu saja yang menganggap keadaan pada mas itu amat buruk adalah rakyat kecil,
terutama sekali para petani yang hidupnya amat melarat dan miskin. Buruh tani
yang merupakan sebagian besar dari rakyat kecil, hidup amat menderita, bahkan
ada yang menyatakan bahwa kehidupan buruh tani lebih sengsar daripada
kehidupan seekor kerbau atau kuda milik si kaya!
Hal ini terjadi karena adanya penghisapan dan penindasan dalam jaman feodal itu,
pada waktu dimana terdapat dua golongan yang menganggap jaman itu adalah
jaman keemasan untuk mereka. Mereka ini pertama - tama adalah keluarga raja
dan para bangsawan berpangkat yang menganggap diri dan golongannya sebagai
orang-orang terhormat dan jauh lebih tinggi derajatnya daripada golongan rakyat
msikin yang dianggapnya hina. Golongan kedua adalah raja-raja kecil, yakni kaum
tuan tanah yang sesungguhnya hidup di dusun-dusun seperti raja yang berkuasa
besar. Mereka ini orang-orang kaya yang memiliki tanah dan sawah, menghisap
tenaga dan memeras keringat oara buruh tani sampai habis. Para rakyat tani
menyewa tanah dari mereka dengan tarif yang amat tinggi dan sewenang-wenang
sehingga kalau hasil panen amat baiknya maka sisa hasil sawah yang dibayarkan
kepada tuan tanah hanya cukup untuk mengisi perut para petani dan keluarganya.
Akan tetapi, dan hal ini sering terjadi di Tiongkok pada masa itu, kalau bencana
alam berupa musim kering yang panjang, atau air sungai yang membanjir, juga
gangguan rombongan belalang atau hama sawah lainnya datang menyerang, jangan
katakan untuk dimakan, bahkan untuk membayar "sewa tanah" saja masih tidak
cukup. Lalu bagaimana kalau sampai terjadi hal demikian, yakni hasil panen tidak cukup
untuk membayar sewa dan "pajak" tanah " inilah yang menyedihkan ! Si petani itu lalu membayarkan seluruh hasil dan kekurangannya akan diperhitungkan sebagai
"hutang" yang takkan kunjung habis, takkan da[at terbayar sampai beberapa
keturunan! Dan kalau sudah demikian halnya, maka ia seakan-akan menjadi seekor
kelinci dalam cengkraman harimau, tidak berdaya sama sekali dipermainkan sesuka
hatinya oleh tuan rumah. Ia seakan-akan telah menggadaikan jiwa raganya kepada
tuan tanah itu. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh terjadi di masa itu apabila seorang petani
miskin membayar hutangnya kepada tuan tanah dengan menyerahkan anak
gadisnya untuk dijadikan selir yang seringkali hanya dijadikan barang permainan
belaka, atau menyerahkan ank laki-lakinya untuk dijadikan bujang yang lebih
rendah kedudukannya daripada seekor kerbau !
Dalam keadaan seperti itulah, maka cerita ini dimulai.
Tiongkok pada abad ke enam belas.
Barisan petani yang dibawah pimpinan pendekar rakyat Lie Cu Seng dengan gagah
berani maju terus dalam pemberontakan mereka untuk menumbangkan kekuasan
kaisar dan berhasil menduduki Peking sehingga kaisar melarikan diri dan akhirnya
membunuh diri di atas sebuah bukit.
Dengan demikian, maka tamatlah kerajaan Beng-tiauw dan sungguhpun
pemberontakan petani ini terjadi dan timbul karena buruknya pemerintahan yang
mencekik rakyat kecil sehingga pemberontakan itu dapat dianggap sebagai
perjuangan perbaikan nasib, namun mendatangkan keadaan yang amat tidak
menguntungkan bagi negara Tiongkok, yakni kedudukan menjadi amat lemah.
Perang saudara ini melemahkan pertahan Tiongkok terhadap musuh yang belih
berbahaya dan kuat, yang datangnya dari utara, yakni bangsa Mancu!
Pimpinan bangsa Mancu pada waktu itu adalah Hongtaichi, putra dari Nurhacu.
Setelah Hongtaichi menggantikan kedudukan ayahnya dan menjadi pimpinan
bangsanya yang ketika itu amat kuat, ia lalu menyerang dan mentaklukan Mongolia
dalam dan kemudian mengangkat diri sendiri sebagai kaisar (dalam tahun 1626) dan
mengdirikan dinasti baru yang disebut Ceng-Tiauw. Setelah memperkuat
barisannya, mulailah Kaisar Hongtaichi melakukan penyerbuan ke selatan, menuju
pedalaman tanah Tiongkok!
Dengan demikian, maka kerajaan Beng-tiauw menghadapi dua serangan, dari
luar menghadapi barisan-barisan Mancu, sedangkan disebelah dalam terjadi
pemberontakan petani yang dipimpin oleh Lie Cu Seng! Sebagaimana telah
dituturkan dibagian depan, kaisar Beng-tiauw akhirnya tewas dan Peking terjatuh
kedalam tangan pemimpin pemberontak Lie Cu Seng yang telah memimpin
pemberontakan selama tujuh belas tahun.
Akan tetapi baru saja Lie Cu Seng berhasil menduduki Peking dan
menumbangkan kekuasaan kaisar Bang-Tiauw, ia harus mengadakan persiapan baru
untuk menghadapi musuh dari luar yang lebih kuat dan berbahaya lagi, yakni Kaisar
Hongtaichi yang telah memimpin tentaranya masuk kedalam dari tembok besar!
Pada waktu Lie Cu Seng masuk ke kota raja, selain kaisar yang melarikan diri dan
kemudian tewas di puncak bukit, juga banyak kaum bangsawan melarikan diri atau
terbunuh oleh barisan pemberontak. Betapapun besar rasa bencinya kaum petani
yang memeberontak itu terhadap kaum bangsawan yang telah memeras dan
menginjak-injak mereka selama puluhan bahkan ratusan tahun, namun banyak pula
diantara kaum bangsawan yang tidak diganggu, yakni kaum bangsawan yang
memang berhati budiman. Lie Cu Seng telah memiliki daftar nama-nama
bangsawan yang harus dibasmi dan bangsawan yang dapat diajak kerja sama.
Episode 2 Diantara para bangsawan yang tidak terganggu, terdapat seorang pangeran yang
bernama Liok Han Swee. Dia ini menjabat kedudukan pengurus bendahara kaisar
dan tidak ikut melarikan diri dengan kaisar atau bangsawan lain karena selain ia
sudah tua, juga Liok Han Swee merasa akan kebersihan dirinya dan tidak takut
menghadapi pembalasan dendam para pemberontak.
Benar saja, setelah ibukota jatuh, bangsawan she Liok ini tidajk diganggu, karena
Lie Cu Seng melarang anak buahnya mengganggu orang-orang yang tidak termasuk
dalam daftar hitam. *** Gedung Pangeran Liok Han Swee adalah sebuah gedung besar dan kuno yang
amat indah, karena gedung ini adalah milik nenek moyangnya yang dulu menjabat
kedudukan tinggi sehingga mendapatkan hadiah dari kaisar berupa gedung besar
itu. Liok Han Swee hanya mempunyai seorang putera, seorang pemuda sastrawan
yang selain oadai dalam ilmu kesusasteraan juga amat tampan dan elok wajahnya.
Semenjak beberapa tahun yang lain, punyanya yang bernama Liok Houw Sin telah
dipertunangkan dengan puteri seorang panglima perang she Song. Houw Sin belum
pernah melihat tunangannya yang kabarnya amat cantik, akan tetapi diam-diam dia
kurang puas dengan pilihan ayahnya, karena memang pemuda sastrawan itu tidak
suka kepada orang-orang yang memegang golok dan pedang, apalagi seorang
panglima besar seperti calon mertuanya itu.
Sesungguhnya, bukan hal itu saja yang membuat Houw Sin tidak suka akan
pertunangannya itu, akan tetapi ada hal lain yang lebih penting, yakni hubungannya
dengan seorang gadis pelayan keluarga pangeran itu. Gadis ini semenjak kecil
"dijual" oleh ayahnya, seorang petani miskin, untuk membayar hutangnya kepada
tuan tanah, dan akhirnya oleh tuan tanah itu ia "dihadiahkan" pula kepada
Pangeran Liok. Memang, pada waktu itu, para tuan tanah dan hartawan selalu
mendekati para pembesar untuk "mengambil hatinya" dengan jalan menyogok
dengan uang atau apa saja yang kiranya dapat menyenangkan hati si pembesar!
Pangeran Liok tergerak hati nuraninya melihat anak perempuan yang ketika itu
baru berusia kira-kira delapan tahun itu, karena memang Sui Lan, demikian nama
gadis itu berwajah cantik bersih dan mempunyai sepasang mata yang jeli dan indah.
Semenjak saat itu, menjadilah Sui Lan sebagai pelayan didalam gedung besar itu
dan hidupnya beruntung. Keluarga pangeran itu amat baik terhadap dia, karena
gadis inipun tahu disi dan dapat bekerja rajin sekali. Ia bahkan menjadi kesayangan
Nyonya Liok dan hanya kepada Sui Lan ia mempercayakan kamaar-kamarnya untuk
diatur dan di bereskan. Usia Sui Lan hanya lebih muda dua tahun dari Houw Sin dan karena pemuda ini
merupakan putera tunggal, maka Houw Sin meneukan seorang kawan bermain
dalam diri Sui Lan. Ia tidak bersaudara dan Sui Lan adalah seorang anak yang manis
dan jenaka, maka tentu saja ia amat suka bermain dengan anak perempuan ini.
Bahkan ua lalu mengajar ilmi membaca dan menulis kepada pelayan kecil ini
sehingga pergaulan mereka menjadi semakin erat.
Seringkali Pangeran Liok dan isterinya mengerutkan kening ketika melihat
manisnya pergaulan kedua anak ini, akan tetapi oleh rasa sayangnya kepada outera
tunggal yang dimanja itu, mereka tidak menegut dan menganggap bahwa puteraa
mereka masih kecil. "Kalau ia sudah dewasa dan tahu bahwa Sui Lan hanyalah seorang bujang, tentu
ia akan malu sendiri untuk mendekatinya" kata Pangeran Liok.
Akan tetapi, kedua orang tua ini sama sekali tidak tahu bahwa Houw Sin dan Sui
Lan tidaj saja menganggap masing-masih sebagai kawan bermain yang
menyenangkan, akan tetapi juga menganggap masing-masing sebagai orang yang
paling baik dan manis budi disunia ini! Waktu berlalu cepat dan setelah kedua anak
ini menginjak remaja, bersemilah tunas cinta yang mendalam di hati masing masing. Cinta kasih yang terjalin diantara dia dan Sui Lan inilah sesungguhnya yang
memebuat Houw Sin tidak suka akan pertunangannya denga Bwee Eng, putri dari
Panglima she Song itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan sesuatu
kepada orang tuanya, apalagi karena pertunangan itu telah diadakan semenjak dia
masih kecil. Setelah meliha betapa putera mereka yang telah dewasa itu masih saja
mengadakan pergaulan yang manis dengan Sui LAn yang kini telah menjadi seorang
gadis yang cantik manis, nulai khawatirlah hari Pangeran Liok dan istrinya. Kini
mulailah mereka menegur dan berusaha menjauhkan pergaulan mereka.
"Houw Sin" kata ayahnya kepada pemuda itu, "kau sudah dewasa, dan bukan
kanak-kanak lagi, Kulihat kau terlalu dekat bergaul dengan Sui Lan. Ini tidak baik,
anakku. Ingatlah bahwa kau adalah puteraku dan Sui Lan hanyalah seorang pelayan
kita. Sungguhpun aku percaya bahwa tidak ada pikiran kotor dalam hatimu
terhadap Sui Lan, akan tetapi kalau terlihat oleh orang lain, dapat menimbulkan
dugaan yang bukan-bukan!"
Sementara itu, didalam kamarnya ketika Sui Lan seperti biasa membereskan
kamar majikannya, Nyonya Liokjuga berkata dengan suara halus namum
mengandung ancaman. "Sui Lan, sekarang kau sudah bukan anak - anak lagi, kau sudah dewasa, maka
jangan kau mengurus kamar dari tuan muda lagi."
Berdebarlah jantung gadis itu, akan tetapi ia hanya menundukan mukanya yang
manis sambil berkata, "Semenjak kecil saya yang membereskan kamar kongcu, kalau sekarang saya
tidak melakukannya apakah kongsu tidak akan marah " dan siapakah yang akan
membereskan kamar kongcu ?"
Episode 3 "Ada pelayan lain yang akan melakukannya dan kongcu tentu tidak akan marah.
Tidak pantas kau memasuki kamarnya lagi, dan ...... Sui Lan ...."
Gadis itu menengok dan menyembunyikan perasaannya yang kecewa.
"Jangan dilanjutkan lagi pergaulanmu dengan kongcu. Kau dan kongcu sudah
dewasa, tidak patut seorang tuan muda bergaul rapat dengan seorang pelayan."
Terbelalak kedua mata yang jeli dan bening itu, akan tetapi ia tidak berani
mengeluarkan suara karena maklum kalau hal itu ia lakukan, tentu suaranya akan
terdengar gemetar. "Kau seorang pelayan yang baikm Sui Lan, dan kami suka dan kasihan kepadamu,
Hal ini tentu dapat kau rasakan semenjak kau tinggal disini. Akan tetapi, sungguhsungguh pergaulanmu dengan kongcu tidak patut kalau dilanjutkan, biarpun kau
percaya bahwa kau tidak akan melakukan sesuatu yang memalukan. Ah,.....
sudahlah, pendeknya muali sekarang kau tidak boleh terlalu sering bertemu dengan
kongcu, dan kalau sewaktu-waktuu ada perlu sehingga kongcu memanggil, kau tidak
boleh bicara kepadanya dengan tersenyum-senyum, tidak boleh bicara manis
kepadanya." "Nyonya....." "Bukan sekali-kali aku hendak menuduhmu yang bukan-bukan, Sui Lan. Hanya
saja, tidak patut terlihat oleh orang lain betap kau bersikap manis dan bicara
dengan Houw Sin seakan-akan ia itu kawanmu sendiri. Dulu memang demikian
sewaktu kau dan Houw Sin masih kecil, akan tetapi, sekarang kalian telah dewasa
dan kau adalah seorang pelayan yang seharusnya dapat bersikap selayaknya
terhadap tuan muda atau majikan mudamu!.
Setelah berkata demikian, Nyonya Liok meninggalkan pelayan itu. Semenjak tadi
Sui Lan telah mendengarkan dengan muka pucat dan air mata yang ditahantahannya agar tidak jatuh, membuat matanya terasa panas sekali. Kini setelah
nyonya Liok pergi, tak tertahan lagi kehancuran hatinya dan dia menangis terisakisak sambil menjatuhkan diri berlutut diatas lantai. Betapa takkan remuk-redam
perasaannya, takkan perih luka hatinya. Di dunia ini hanya Houw Sin seoranglah
pujaan hatinya. pemuda itulah satu-satunya orang yang menjadi cahaya bagi lubuk
hatiny, bagaikan matahari menerangi bumi. Tanpa adanya Houw Sin, rumah gedung
besar indah itu mungkin akan berobah menjadi neraka, dan dunia yang ramai ini
akan terasa sunyi. Ia telah melupakan asal-usulnya, melupakan orangtuanya,
melupakan kesengsaraannya hanya karena ada senyum dibibir Houw Sin dan seri
sinar mata pemuda itu di kala memandangnya. Ia telah menumukan kebahagian,
menemukan kebgembiraan hidup, hanya karena dari bibir pemuda itu telah keluar
pernyataan cinta kasihnya!.
Memang sebelum Pangeran Liok dan istrinya turun tangan, kedua oran muda itu
telah saling menukar hati, memadu cinta kasih, yang mesra. Sambil menangis
terisak-isak disalam kamar, Sui Lan membayangkan pertemuannya dengan pemuda
pujaan kalbunya itu. Houw Sin telah menyatakan cinta kasihnya, telah bersumpah
akan hidup bersama, akan melindunginya.
"Akan tetapi kongcu," demikian bantahnya terhadap pemuda yang bersemangat
karena sedang dibakar oleh api cinta itu. "bagaimanakah hal ini bisa dilanjutkan> Tak perlu lagi dibicarakan lebih mendalam, semua orang tahu bahwa tidak mungkin
kita melakukan perhubungan dan tak mungkin kita menjadi suami istri. Kau adalah
putera tunggal majikanku, dan aku ... aku hanya seorang pelayan! kau adalah
seorang putera bangsawan, putera seorang pangeran yang berpangkat tinggi,
sedangkan aku ... aku hanyalaj seorang yang tidak kenal lagi siapa ayah dan
bundaku.... seorang gadis yatim piatu sungghpun belum kuketahui pasti apakah
orangtuaku telah meninggal dunia, aku seorang gadis rendah miskin dan hina...."
Akan tetapi Houw Sin menutup bibirnya dengan tangannya dengan mesra.
"Jangan kau bicara begitu, kekasihku. Kau bukan seorang gadis seperti yang kau
katakan itu. Aku telah mengenalmu semenjak kecil, telah tahu bahwa aku adalah
seorang gadis termulia di dunia ini. Apakah kau berani menyatakan bahwa kau....
tidak suka kepadaku "
Sui Lan menghela nafas, "Kongcu, tanpa kukatakann, kau tentu telah maklum
akan isi hatiku. Kaulah satu-satunya didunia ini yang menjadi cahaya hidupku
bersandar ... akan tetapi kongcu, kau telah bertunangan!. kau adalah calon suami
dari Song siocia, puteri panglima itu!"
"Hah, segala orang peperangan!" kata Houw Sin dengan sebal. "Aku akan
menolak apabila dinikahkan dengan putri pembunuh itu!"
"Hush....jangan berkata demikian, kongcu, ...."
"Sui Lan," Houw Sin memeluknya. " percayalah selama hayat masih dikandung badan, aku akan melindungimu, membelamu, dan hanya kau seorang yang patut
menjadi istriku." "kongcu" Akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk
membantah lagi. Dan apakah yang harus dibantahnya" semua ucapan yang keluar
dari mulutnya tidak sesuai dengan suara hatinya menuntut haknya atas pemuda
pejuannya ini, dan sungguhpun kesadaran dan pertimbangannya tidak
membenarkan sikapnya ini, namun hati yang semenjak kecil telah haus akan kasih
sayang seseorang kepadanya itu akhirnya tunduk. Semenjak kecil ia telah kenyang
akan kepahitan hidup, akan kesengsaraan hidup. Maka kini menghadapi
kebahagiaan yang diberikan oleh Houw Sin, ia runtuh.
Episode 4 Pemuda ini benar-benar menyintanya, ia maklum akan hal ini, dan dia.... dia
seorang pelayan yang tidak mempunyai harapan, tidak mempunyai pegangan
hidup, yang selama hidupnya hanya menerima perintah, hanya menerima apa saja
yang orang berikan kepadanya, yang selalu taat, tunduk dan tidak pernah
membantah, akhirnya ia menyerah akan kehendak Houw Sin, kehendak hatinya
sendiri. Sebagai seorang yang kehausan di padang pasir, ia mereguk apa saja yang
merupakan minuman, yang dapat mengurangi rasa haus. Ia mereguk apa saja, biar
anggur manis yang memabokan sekalipun. Ia tidak peduli, ia menyinta Houw Sin!
Maka diserahkanlah jiwaraganya kepada pemuda junjungannya itu!
Dan kini setelah ia menjadi sebagian dari Houw Sin, setelah kini tak mungkin lagi
baginya untuk memjauhkan diri dari Houw Sin, datanglah peringatan dari Nyonya
Liok ini. Ucapan Nyonya Liok yang biasanya diterimanya dengan girang, sebagai
perintah yang harus ditaatinya, kini merupakan sebatang golok yang jatuh menimpa


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lehernya dari atas. Merupakan keputusan maut yang akan merenggut
kebahagiannya. Cinta itu bagaikan air bah yang makin dihalangi, makin di bendung, akan menjadi
makin nampak kekuasan dan tenaganya yang luar biasa. Biarpun kedua orang muda
saling mencinta, maka cinta akan berjalan tenang menurut liku-liku tertentu,
bahkan ketenangan itu mungkin sekali akan berakhir dengan kesurutan kembali.
Akan tetapi coba halangi atau menjauhkan dua orang muda yang saling jatuh cinta,
maka bagaikan air bah yang dibendung, cinta dan menggelora, akan mengamuk,
akan mendobrak, dan menghancurkan segala rintangan bahkan akan melampaui
batas-batas, menbanjir dan merajalela dengan dasyatnya!
Demikianpun halnya dengan Sui Lan dan Houw Sin. Setelah mendapat tentangan
dari Pangeran Liok suami istri, cinta mereka tidak tenagn lagi. Perasaan gelisah dan
khawatir akan kehilangan kekasih yang dicintanya, membuat cinta mereka makin
dasyat menggelora, mengamuk didalam hati masing-masing. Mereka masih
mengadakan pertemuan dengan rahasia, dan larangan orang tuanya membuat
Houw Sin menjadi nekad, dan membuat Sui Lan menjadi bingung, cemas, dan
kehilangan pegangan. Hal ini membuat kedua orang muda itu menjadi gelap pikiran,
menjadi lupa akan segala larangan, akan segala ikatan tata susila!
Pangeran Liok dan istrinya maklum akan hal ini dan mereka merasa semakin gelisah.
"Tidak ada jalan lain, kita harus memilih seorang pemuda untuk Sui Lan, Ia harus
dinikahkan agar dapat keluar dari sini dengan baik, agar ia dapat berumah tangga
sendiri", kata Nyonya Liok yang betapapun juga tidak tega untuk mengusir Sui Lan
begitu saja. Beberapa hari kemudian, nyonya Liok memanggil Sui Lan yang menghadap
dengan hati berdebar. "Sui Lan, tahukah kamu, sudah berapa tahun usiamu sekarang"
Sui Lan menundukan kepalanya. Bagaimanakah seorang gadis seperti dia dapat
mengetahui usianya " hanya putri orang-orang bangsawan saja yang dapat
mengetahui usianya. Maka ia menggelengkan kepalanya sambil masih tertunduk.
"Sudah delapan tahun kau ikut dengan kami, dan ketika kali kau menginjakan
kakimu di lantai rumah kami, kau baru berusia delapan tahun, Maka sekarang kau
telah berusia delapan belas tahun, Sui Lan, usia yang cukup dewasa untuk
melangkahkan kaki keluar dari ambang pintu, mengikuti jejak seorang suami."
Pucatlah muka Sui Lan mendengar ini dan ia haay mengangkat mukanya,
memandang wajah nyonya majikannya yang duduk diatas kursi. Kemudian sambil
masih berlutut, ia menundukan kepala kembali.
"Sui Lan, kau tau bahwa aku selalu sayang kepadamu, dan aku tidak
menghendaki kau hidup sengsara setelah kau meninggalkan kami. Oleh karena itu,
aku telah mencarikan seorang suami yang baik untukmu, seorang pegawai dari
kantor majikanmu sendiri. Dalam bulan ini juga pernikahan akan dilangsungkan,
maka harap kau bersiap dan bergembira mendengar berita naik ini."
Tiba-tiba Sui Lan tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan ia menjatuhkan diri
menangis tersedu-sedu....
"Eh,..Eh... Sui Lan mengapa kau menangis ?" tanya Liok-hujin dan suaranya
mengandung kemarahan karena nyonya ini dapat menduga bahwa tangis gadis ini
tentulah karena puteranya!
"Ampunkan saya, Nyonya besar, saya ... saya tidak ingin menikah .... tidak ingin
meninggalkan Nyonya besar yang telah melepas budi kepada saya, .... saya ingin
melayani nyonya sampai napas terakhir....."
Sungguh ucapan ini bermaksud bahwa Sui Lan ingin menghambakan diri sebagai
pelayan selamanya. akan tetapi dapat juga dimaksudkan bahwa ia ingin melayani
nyonya itu selama hidupnya, yang berarti tentu saja sebagai seorang mantu! Karena
hanya seorang mantu perempuanlah yang akan melayani mertuanya sampai
kematian memisahkan mereka!
Marahlah Nyonya Liok mendengar ini, "Apa ...."!" Kau hendak membantah "
Ingat, Sui Lan jangan kau menjadi seorang kurang penerima, seorang yang tak
mengenal budi. Aku berusaha sedapatku untuk kebaikan dan kebahagiaanmu, kau
tidak menerima dengan girang dan berterima kasih, sebaliknya malah
menjengkelkan aku dengan tangismu!"
"Ampun .... saya. .... Saya...."
"Sudah, pergilah kekamarmu dan hentikan tangismu! Kau tidak boleh
membantah. Aku masih bersabar, akan tetapi kalau taijin mendengar akan
penolakanmu ini, ia tentu akan marah sekali kepadamu!"
Episode 5 Bagaikan seekor anjing kena pukul, Sui Lan mengundurkan diri dengan
menundukan kepalanya. Setibanya didalam kamarnya, ia lalu membantng diri diatas
pembaringan dan menangis sepuas hatinya. Sampai hari menjadi malam ia tidak
meninggalkan kamarnya. Cinta dapat membuat seorang pemuda melakukan hal yang aneh-aneh, Houw
Sin, putera tunggal, seorang pangeran agung melam hari itu jalan sembunyi2
bagaikan seorang maling! Seorang maling dalam rumah gedungnya sendiri, ia
merasa gelisah karena tidak melihat Sui Lan sehari itu, dan ketika ia mendengar dari
seorang oelayan lain bahwa Sui Lan habis mendapat marah dari ibunya, ia menyesal
sekali. Malam hati itu, menjelang tengah malam, ia pergi ke kamar Sui Lan bagaikan
seorang maling. Setibanya diluar kamar Sui Lan tiba2 mendengar suara isak tangis tertahan, lalu
mendengar suara perlahan dari dalam kamar itu.
"Kongcu...kongcu... hanya dengan kau seorang aku mau hodup sebagai istri...
kalau orang memaksaku ... ah... kongcu... kanda Houw Sin .... suamiku ... selamat
tinggal!" Mendengar kata2 terakhir ini, Houw Sin terkejut sekali dan bagaikan seorang gila
ia lalu melompat dan mendorong pintu kamar Sui Lan. Sambil menahan seruannya
ia melompat ke arah Sui Lan dan dengan cepat merenggutkan tali pengikat
pinggang yang telah dipasang pada gantungan kelambu dan ujungnya telah
merupakan tali gantungan!
"Sui Lan.... kau...kau gilakah ...?"
"Kongcu..." Sui Lan terhuyung-huyung ke depan dan ia roboh dalam pelukan
Houw Sin dalam keadaan pingsan!.
Setelah siuman kembali, sambil menangis Sui Lan menceritakan kekasaihnya
betapa dia dipaksa hendak dikawainkan dengan seorang pemuda lain.
"Bagaimana aku dapat menjalaninya ... ?" terdengar suaranya diantara isak
tangis. "Aku telah bersumpah takkan mau menjadi istri orang lain ... aku telah
menjadi istrimu... bahkan ... aku telah menjadi calon ibu dari anakmu ... ah
kongcu ... kau bunuhlah saja aku ... orang hinadina ini .... "
Hancur hati Houw Sin mendengar ini. Ia maklum bahwa Sui Lan telah
mengandung, dan ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk minta
perkenanan orang tuanya agar ia dinikahkan dengan gadis ini. Sekarang timbul hal
yang lebih memusingkan ini!
"Sudah, jangan menangis kekasihku," ia menghibur. "Jangan kau khawatir
bagaimanapun juga aku akan tetap membelamu. Kita harus mencari jalan!"
Demikian, malam hari itu mereka berunding dan akhirnya diambil keputusan
bahwa Sui Lan akan ditolong oleh Houw Sin minggat dari gedung itu. Untuk
sementara Sui Lan akan disembunyikan dalam rumah bekas pelayan yang menjadi
orang kepercayaan Houw Sin. hal ini hanya untuk menghindarkan pernikahan
paksaan itu. Kemudian, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya akan diatur
kelak. Dan pada tiga hari berikutnya pada suatu malam, lenyaplah Sui Lan dari rumah
gedung pangeran Liok, dimana ia telah dibesarkan selama delapan tahun! Tak
seorangpun dapat menduga bahwa ini adalah perbuatan Houw Sin sungguhpun
kedua orang tua pemuda itu merasa curiga.
*** Sementara itu, kota raja telah mendapat ancaman hebat dari musuh, yakni
balatentara Mancu yang dipimpin oleh kaisar Hong-taichi!
Setelah dapat merebut Peking dan menumbangkan kekuasaan kaisa, Lie Cu Seng
lalau mengirim utusan untuk menghubungi dan membujuk Jenderal Gouw Sam Kwi
yakni seorang jendral barisan kerajaan Beng-tiauw yang telah runtuh, yang pada
waktu itu berkedudukan di Pegunungan San-hai-kuan, untuk bersama-sama
menghadapi serangan tentara mancu dari utara. Akan tetapi jendral Gouw Sam Kwi
menolak ajakan ini, bahkan menyatakan lebih suka bergabung dengan tentara
Mancu untuk merebut kembali kota raja.
Tentu saja Lie Cu Seng marah sekali, lalu memimpin 20 laksa tentara untuk
menyerang barisan jendral itu di pegunungan San-hai-kuan. Akan tetapi tiba-tiba
tentara mancu yang sudah tiba disitu muncul dengan jumlah yang amat besar
menyerang dari sayap kiri. Barisan petani dibawah pimpinan Lie Cu Seng terjebak
dan akhirnya terpukul mundur. Barisan Mancu terus mengejar dan akhirnya mereka
berhasil menyerbu dan memasuki Peking!!
Betapapun hebat pertahanan dan perlawanan yang dilakukan oleh Lie Cu Seng,
namun ternyata kekuatan musuh lebih besar dan tidak dapat dicegah lagi, kota raja
direbut oleh barisan musuh. Lie Cu Seng terpaksa melarikan diri keselatan untuk
membentuk barisannya kembali. Hal ini terjadi dalam tahun 1644 pada bulan mei.
Dan penyerbuan tentara Mancu didalam kota Peking ini terjadi tepat sehari
setelah Sui Lan melarikan diri dari gedung Pangeran Liok. Keadaan kota raja menjadi
kacau balau. Tentara Mancu seperti biasanya melakukan perampokan dan
pembunuhan secara kejam sekali. Harta benda penduduk dijadikan perebutan,
orang2 lelaki muda dibunuh dengan kejam, orang2 tua dipukuli, anak2 ditendangi,
dan perempuan2 muda diculik.
Episode 6 Para pembesar kerajaan Beng-tiauw yang dulunya tidak berani berkutik ketika Lie
Cu Seng masih berkuasa di Peking, kini muncul dan mulai menjilat-jilat ujung sepatu
orang Mancu. Demikian pula, para tuan tanah yang melihat bahwa orang-orang
Mancu mendapat kemenangan, segera merangkak-rangkak dan membungkukbungkuk membawa bingkisan untuk mengambil hati. Pada wakti Lie Cu Seng dan
barisan petani yang berkuasa, mereka ini sama sekali tidak berdaya.
Akan tetapi, bukan semua bangsawan menjilat-jilat ujung sepatu orang2 mancu,
karena adapula beberapa orang bangsawan yang berjiwa gagah dan tidak mau
tunduk terhadap orang2 asing yang datang menjajah ini!. Diantara mereka ini
termasuk juga Pangeran Liok Han Swee.
Sebelum tentara Mancu masuk ke kota, yakni pada pagi harinya, Pangeran Liok
sekeluarga telah ribut mulut. Antara Pangeran Liok, isterinya, dan putera mereka
Houw Sin terdapat pertentangan kehendak masing-masing. Pangeran Liok
menghendaki agar Houw Sin cepat meninggalkan kota raja menggabung dengan
rombongan Panglima calon mertuanya yang akan mengungsi ke selatan, akan tetapi
Houw Sin tidak mau karena pemuda ini teringat akan kekasihnya yang masih tinggal
bersama bekas pelayannya. Nyonya Liok mengajak suaminya mengungsi akan tetapi
Pangeran Liok tidak mau meninggalkan gedungnya. Akhirnya Pangeran Liok marah
sekali dan berkata kepada puteranya.
"Houw Sin, kau adalah putera tunggalku. Kau masih muda dan kau tidak boleh
tinggal disini karena kalau kau sampai tewas, siapakah kelak yang akan
menyambung keturunan keluarga kita" Aku sudah tua dan aku tidak sudi lari hanya
karena datangnya penjaha2 mancu! Aku tidak takut, kalau mereka mau bunuh biar
bunuh ! Aku tidak mau bertrkuk lutut dan juga tidak sudi melarikan diri. Akan tetapi,
kau harus pergi ke rumah calon mertuamu dan ikut pergi ke selatan dengan
mereka. Kemudian kau boleh melangsungkan pernikahan dengan tunanganmu. hal
ini sudah kubicarakan dengan Song-ciangkun (Panglima Song)"
Karena ayahnya berkeras, akhirnya Houw Sin meninggalkan rumahnya akan
tetapi ia tidak pergi ke rumah calon mertuanya, melainkan pergi ke rumah bekas
pelayannya untuk menemui Sui Lan ! Baru saja ia sampai ditengah jalan, keadaan
sudah menjadi kacau balau karena tentara petani yang memepertahankan kota itu
sudah terpukul hancur dan tentara musuh telah ada sebagian yang masuk ke kota!
Diantara gelombang manusia yang mengungsi, Houw Sin mencari kekasihnya akan
tetapi ternyata rumah bekas pelayannya itu telah terbakar habis dan dia tidak
menemukan kekasihnya ditempat itu. Tidak seorangpun yang dapat ia tanyai.
karena para tetangga dijalan itupun sudah pada melarikan diri. dengan bingung dan
gelisah, Houw Sin mencari-cari akan tetapi mencari seorang gadis seperti Sui Lan
diantara ribuan orang yang berlari kacau balau tentu saja tidak mungkin!
Sementara itu, kekacauan telah terjadi disana-sini. rumah-rumah dibakar, tangis
dan pekik terdengar dimana-mana. Houw Sin akhirnya putus asa dan berlari
kembali ke gedung orang tuanya, akan tetapi apa yang dilihatnya " Gedung itu
sudah dirampok habis-habisan dan bahkan kini telah berkobar-kobar dimakan api!
Ternyata bahwa sebagai seorang bangsawan yang tidak ikut dalam rombongan
bangsawan penjilat yang menyambut kedatangan musuh dengan baik. Pangeran
Liok lalu didatangi sepasukan orang Mancu dan seluruh penghuni rumah itu di
bunuh, harta bendanya dirampok dan rumahnya dibakar!
Hampir saja Houw Sin jatuh pingsan melihat betapa rumahnya terbakar hebat,
karena ia khawatir akan nasib ayah-bundanya. kemudia ia menjadi nekad dan
hendak lari memasuki pintu rumah yang sedang berkobar hebat itu. Akan tetapi
tiba-tiba dua buah lengan yang kuat memegang pundaknya dan ketika ia menengok,
ternyata yang memegannya adalah Panglima Song Liong, ayah tunangannya.
"Houw Sin, jangan berlaku bodoh! kau mau berbuat apa ?"
"Lepaskan....! Gakhu (ayah mertua), lepaskan aku... aku hendak menolong ayah
dan ibu ....!" Akan tetapi pegangan panglima yang berpakaian seperti orang biasa itu makin
menguat. "Tiada gunanya lagi, Akupun datang terlambat. Ayah bunda mu, seluruh
isi rumah telah dibunuh, tiada gunanya lagi. Hayo kau ikut aku menyusul
rombongan keluargaku!"
"Tidak.... tidak...."
Akan tetapi ia tidak berdaya dalam pegangan Song-ciangkun yang kuat.
"Bodoh! Ayahmu sendiri yang menghendakiagar kau ikut dengan kami. Hayo dan
jangan banyak ribut, kalau terdengar dan terlihat oleh musuh, kita celaka!"
Setengah memaksa Song-ciangkun menyerat tangan Houw Sin yang masih
berteriak-teriak memanggil nama ayah bundanya sambil menangis itu, bahkan
pemuda itu saking sedihnya lalau jatuh pingsan! Panglima Song tidak mau
membuang waktu lagi, Ia lalu memanggul tubuh pemuda itu dan membawanya lari
keluar kota dari pintu selatan, menyusul rombongan keluarganya yang sudah lari
terlebih dahulu. *** Marilah kita ikuti pengalaman Sui Lan. Ketika terdengar suara ribut2 diluar pintu
rumah itu bersama bekas pelayan yang berada dirumah itu, ia lalu keluar dari pintu.
"Musuh telah menyerbu!! musuh telah memasuki kota ! Lari... ! Penjahat2
Mancu merampok dan membunuh!" Demikianlah teriakan2 orang yang berlari -lari
itu. Sui Lan menjadi pucat, juga pelayan tua itu menjadi takut sekali.
"Hayo kita melarikan diri!" ajaknya kepada Sui Lan, akan tetapi gadis ini tidak mau.
Episode 7 "Aku harus menanti kongcu ... aku tidak bisa meninggalkan dia...!"
Saking takutnya, pelayan tua itu lalu melarikan diri lebih dulu, meninggalkan Sui
Lan seorang diri dirumah itu. Gadis itu tidak pernah meninggalkan ambang pintu,
dan a melihat betapa orang2 yang berlari makin banyak saja. Ia menanti - nanti
datangnya Houw Sin, akan tetapi pemuda itu tidak kunjung datang! Bukan main
gelisah tan takutnya. Apalagi ketika melihat betapa rumah-rumah didekat situ
sudah mulai dibakar dan terdengar teriakan dan tangisan yang menyayat hati.
Akhirnya ketika melihat betapa rumah2 tetangga disitu yang sudah ditinggalkan
penghuninyapun dibakar oleh musuh, terpaksa Sui Lan melarikan diri dari pintu
belakang. Ia berlari menuruh arah orang2 tadi melarikan diri, yakni ke pintu gerbang
sebelah selatan. Jalan-jalan telah menjadi sunyi dan Sui Lan berlari seorang diri secepat mungkin.
Kedua kakinya telah terasa sakit sekali, akan tetapi rasa takut membuatnya
bertahan dan berlari terus. Tiba-tiba ia mendengar suara berkata keras,
"Nona, cepat2 lari! penjahat2 sudah masuk kota!"
Sui Lan menengok dan melihat seorang setengah tua yang bertubuh tinggi besar
melarikan diri dengan cepat sekali sambil memanggul seorang pemuda.
"Kongcu... ! Sui Lan menjerit ketika mengenal pemuda yang pingsan dan
dipanggul itu sebagai Houw Sin! Akan tetapi, orang tua yang bukan lain adalah
Song-ciangkun sendiri, telah berlari jauh dan tidak tahu bahwa jeritan itu ditujukan
kepada calon mantunya. "Kongcu... ! Kongcu ...! Kanda Houw Sin !! Sui Lan menjerit2 sambil berlari makin
cepat, akan tetapi sia - sia belaka, karena Song-ciangkun telah mempergunakan
ilmu lari cepat sehingga tak nampak bayangannya lagi.
Sui Lan masih memanggil-manggil dan berlari terhuyung-huyung ke depan.
Beberapa kali ia jatuh, bangun lagi dan beralri terus ke selatan. Pintu gerbang
selatan terbuka lebar dan kosong. Gadis itu berlari terus. Baiknya para tentara
Mancu masuk kota sambil merampok dan membakar, kalu mereka terus mengejar
ke selatan, tentu mereka akan dapat menyusul Sui Lan.
Sampai hari menjadi gelap, gadis itu masih saja berlari-lari masuk ke sebuah
hutan. Larinya tidak kencang lagi karena kedua kakinya telah bengkak, tubuhnya
lemas, dan sunguhpun masih terdengar tangisnya, akan tetapi air matanya tidak
mengeluarkan air mata lagi. Sudah habis air matanya ditumpahkan dan akhirnya ia
tidak kuat lagi, menjatuhkan diri diatas rumput dan rebah menelungkup sambil
terisak-isak. "Kongcu... ! Kongcu ...!" bibirnya masih bergerak memanggil kekasihnya dan tak lama kemudian dia tak sadarkan diri!
Ketika ia siuman kembali, gelap pekat menyelimuti sekelilingnya, Jangankan


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat benda lain disekililingnya, sedangkan tangannya sendiripun tak tampak. Ia
menjadi ketakutan sekali dan meraba-raba kesekitarnya. Ketika tengannya meraba
akar pohon ia lalu merangkak menuju batang pohon yang tumbuh tak jauh dari situ.
Ia teringat akan buntalan pakaian dan sedikit makanan yang dibawanya dari rumah,
akan tetapi ia tidak pedulikan hal ini dan menyandarkan tubuhnya pada batang
pohon besar itu. Pikirannya melayang kembali ke peristiwa yang dialaminya.
Timbul rasa menyesal yang besar sekali. Kalau ia tidak melarikan diri, tentu ia
masih berada di gedung besar Pangeran Liok dan dalam keadaan aman! Akan tetapi
ia teringat akan Houw Sin yang dipondong dan dibawa lari oleh orang tinggi besar
tadi. Kenapakah kekasihnya itu " terlukakah " atau ... atau sudah meninggalkah " Ia
bergidik ngeri dan kedukaan hebat meliputi hatinya.
Ia teringat kembali akan niatnya membunuh diri di malam hari itu di dalam
kamarnya ketika Nyonya Liok memaksanya untuk menikah dengan orang lain.
Pikiran ini kembali timbul dalam ingatannya. Kemana ia harus pergi " Apa yang
harus dilakukan selanjutnya " Kembali ke rumah Pangeran Liok " Tidak Mungkin! ia
sudah melarikan diri dan lagi pula, kekeasihnya telah pula pergi meninggalkan kota
raja. Apa yang harus dilakukan selanjutnya " Jalan amat gelap baginya, disana sini
buntu, tidak ada jalan keluar. Ia tidak mempunya kerabat, tidak ada handai taulan,
tiada kawan, sebatang kara diatas dunia yang luas ini. Masa depannya gelap gulita,
sama gelapnya dengan malam itu. Ketika ia menengok ke arah utara, ia melihat
langit disebelah utara memerah dan bergidiklah dia. Tentu kota raja menjadi lautan
api, pikirnya. Sudah terang ia tidak mungkin dapat kembali ke kota raja. Selain takut
pada keluarga Liok, ia juga takut kepada perampok2 mancu itu.
Tiada jalan lain kecuali mengakhiri hidup sengsara ini! Pikiran ini membuatnya
bertenaga kembali dan sambil merangkak-rangkak dicarinyalah bungkusannya.
Didalam bungkusan itu ia akan bisa mendapatkan sehelai ikat pinggang yang
panjang, dan pohon yang disandarinya itu akan merupakan tempat menghabiskan
nyawa yang baik dan kuat.
Ia mendapatkan kembali bungkusannya dan ketika dibukanya, yang terpegang
terlebih dahulu adalah sebungkus roti kering yang dibawanya dari rumah tadi. Tibatiba ia merasa betapa perutnya amat lapar dan perih dan ketika meraba perutnya
dengan tangan kiri, terkejutlah dia. Terduduk kembali ia dan tak terasa pula ia
menangis tersedu-sedu dambil mengelus-elus perutnya. Tidak mungkin ia
membunuh diri. Ia tidak takut untuk menghabisi nyawanya sendiri, akan tetapi
dengan jalan membunuh diri, sama juga dengan membunuh pula anak dalam
kandungannya! Teringat akan hal ini lenyaplah niatnya membunuh diri. Tidak...
Pikirnya, tidak boleh.. Entah kelak kalua anak ini sudah terlahir selamat dan ada
yang memeliharanya ... ! tak boleh aku membawa anak yang tak berdosa itu ke
alam gelap! Aku harus hidup, harus hidup untuk memelihara anakku ini......!
Episode 8 Dirabanya kembali bungkusan roti kering dan untuk menghilangkan rasa perih di
perutnya ia memaksa makan sepotong roti, kemudian karena pikirannya ruwet dan
hatinya berduka ia menjadi lelah lahir batin dan jatuh pulas di bawah pohon itu.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan dan tidak tahu
kemana ia harus pergi, bahkan tidak tahu pula dimana ia berada dan kemana ia
sedang menuju. Berbulan-bulan ia melakukan perjalanan, dengan harapan kalaukalau ia akan bertemu dengan Houw Sin kekasihnya. Setiap kali tiba di sebuah
dusun atau kota, ia mencari-cari, bertanya-tanya kalau - kalau disitu terdapat
pengungsi dari kota raja bernama Liok Houw Sin. Baiknya ia membawa perhiasan
emas yang diterimanya dari Nyonya Liok ketika ia masih menjadi pelayan disana dan
sedikit demi sedikit perhiasannya ini dijualnya untuk dimakan. Dan merupakan hal
yang baik pula bahwa ia sedang dalam keadaan mengandung, oleh karena kalau
sekiranya tidak demikian, tentu ia telah menjadi korban gangguan laki-laki jahat.
Akan tetapi, meskipun begitu, empat bulan kemudian semenjak ia merantau dan
tiba di sebuah hutan dengan maksud pergi ke kota An-sin-kwan yang menurut kata
orang berada di luar hutan itu, hampir saja ia mendapat gangguan perampok. Ketika
ia sedang berjalan perlahan seorang diri, tiba-tiba dari belakang mendatangi sebuah
gerobak kecil ditarik oleh seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi
besar dan bermuka brewok. Melihat seorang wanita berjalan seorang diri dan
wanita itu ternyata sedang mengandung, laki-laki itu menghentikan kendaraannya
dan bertanya dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Eh, toanio, kau hendak kemanakah " Mengapa seorang diri saja?"
Muka brewok dan kata-kata yang parau kasar itu mengejutkan hati Sui Lan, akan
tetapi mata laki-laki yang usianya lebih kurang empat puluh tahun itu nampak jujur,
maka ia lalu menjawab, "Aku hendak menuju kekota An-Sin-kwan mencari seorang sanak keluarga
disana." Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri,
"Hmmm, alangkah buruknya jaman ini. Baru sekarang aku melihat seorang wanita
muda, dalam keadaan mengandung pula, jalan seorang diri dalam hutan dengan
maksud pergi kekota yang jauhnya tidak kurang dari 30 li ! Benar2 buruk sekali!.
Kemudian ia melompat turun dari kudanya, membereskan beberapa karung yang
dimuat di gerobak kecil itu sehingga disitu terdapat tempat lowong, lalu berkata
kepada Sui Lan, "Toanio, Aku tidak mengenal engkau, dan aku tidak ingin tahu pula mengapa kau
melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki, aku tidak
tega melihat kau melakukan perjalanan berat ini. Naiklah, akupun kebetulan hendak
mengantar barang - barang ini ke kota An-Sin-kwan!"
Sui Lan merasa ragu-ragu. Ia tidak mengenal orang ini, siapa tahu kalau ia bukan
orang baik-baik" "Terima Kasih, Lopek (sebutan berarti paman atau uwak). Sudah berbulan - bulan
aku melakukan perjalanan seorang diri, aku tidak mau mengganggu orang lain."
Jawaban ini membuat laki-laki itu melenggong. "Eh, kau agaknya bercuriga
padaku, toanio " hm, ketahuilah aku adalah seorang yang tidak biasa mengganggu
wanita ! Namaku Lie Kai danorang menyebutku Tiat-thouw-gu (Kerbau berkepala
besi) Aku pernah menjadi pemimpin sepasukan tentara petani dan perampok perampok sudah mengenalku baik-baik. Tidak seorangpun berani memandang
rendah Tiat-thouw-gu dan biarpun semua pekerjaan buruk dan jahat telah
kulakukan, namun mengganggu wanita adalah sebuah pantangan besar begaiku!"
Sui Lan merasa tidak enak sekali karena orang itu telah dapat menduga bahwa ia
mencurigai laki-laki itu, akan tetapi mendengar nama julukan ini, ia makin merasa
takut, "Tidak, lopek, aku tidak bercuriga .... akan tetapi ... kakiku kini sudah kuat, aku telah melakukan perjalanan ratusan li jauhnya dan tak pernah aku mendapat
gangguan orang ..." "Hmm, kau seorang wanita yang tabah dan berani, juga keras hati! Ah, toanio
(nyonya) ... melihat kau berjalan seorang diri dengan perut besar itu ... hatiku tidak
tega. Apalagi kalau sampai nanti kau di hadang gerombolan perampok yang
menunggumu ... ah.. aku merasa seperti anak perempuanku sendiri saja yang
menderita kesengsaraan itu!"\
Mendengar betapa suara laki-laki itu tiba-tiba menjadi halus dan seperti orang
terharu, Sui Lan tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya,
"Kau juga mempunyai seorang anak perempuan, lopek?"
Tak disangkanya sama sekali bahwa pertanyaan ini merupakan pisau tajam yang
menusuk dada laki-laki brewok itu. Ia melompat turun, menghampiri sebatang
pohon dan meninju pohon itu sekuatnya,
"Krak .... !!!" Batang pohon sebesar paha orang itu terkena pukulannya menjadi patah dan roboh seketika itu juga. Sui Lan menjadi heran dan juga takut, dan
mengira bahwa mungkin sekali laki-laki brewok ini miring otaknya.
"Jangan tanyakan itu .... jangan tanyakan itu..." kata kata laki laki brewok ini.
"anakku ... dia telah meninggal dunia ...." ketika Sui Lan mendengar ini dan melihat betapa dua butir airmata melompat keluar dari mata orang brewok itu, ia menjadi
terharu sekali. Perasaannya yang halus membuat dia menghampiri laki-laki itu dan
memegang lengannya lalu berkata perlahan,
"Maafkan aku lopek, aku tidak tahu akan hal itu... " dan ketika melihat orang itu masih saja berdiri dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedangkan
wajahnya muram sekali tanda akan kesedihan hatinya yang hebat, Sui Lan lalu
berkata lagi dengan nada gembira.
Episode 9 "Lopek, aku turut kau! Mari kita berangkat dan kita dapat bercakap-cakap di
jalan. Akan lenyap kesunyian hutan yang amat menggangguku. Hayo Lopek!" Ia
menarik tangan orang tua itu yang menengok kepadanya dan agaknya sudah sadar
kembali dari keadaan yang menekan hatinya dan yang mengingatkannya akan halhal yang sedih itu. "Baik, marilah, anak yang baik! Jangan kau khawatir, kalau ada serigala-serigala
hutan berani mengganggumu, akan kupecahkan kepalanya!"
"Serigala" apakah di hutan ini ada serigalanya, lopek ?"
Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau berkepala besi itu tertawa terbahak-bahak.
"Ah, anak bodoh! mana ada serigala disini " yang kumaksudkan adalah serigalaserigala kaki dua." Sambil berkata demikian, ia melompat keatas kuda setelah
melihat bahwa Sui Lan telah duduk dengan baik didalam gerobak, lalu ia melarikan
kudanya. Sui Lan menarik nafas senang. Memang lebih enak naik gerobak daripada
berjalan kaki. Selain kakinya tidak lelah juga perjalanan ini juga akan lebih cepat.
Sayang sekali jalan yang dilalui gerobak itu banyak kerikilnya dan tidak rata sehingga
gerobak itu terhuyung-huyung ke kana kiri, depan belakang, dan ia seakan-akan
dikocok-kocok di dalam gerobak.
"Lopek, jangan terlalu cepat ... " katanya.
Lie Kai menengok dan tiba-tiba ia teringat bahwa wanita yang dibawanya itu
sedang mengandun, maka ia cepatmenahan kendali kudanya dan kini kudanya itu
berjalan biasa sehingga Sui Lan tidak terlalu banyak menderita.
Tiba-tiba Lie Kai se Kerbau Berkepala besi yang duduk diatas kudanya, berdongak
keatas dan terdengarlah ia bernyanyi dengan suara yang parau dan keras sekali.
Suara nyanyiannya terdengar gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya
sungguh tidak sesuai dengan irama yang gembira dan bersemangat itu, karena katakatanya merupakan sebuah keluhan :
"Tuan tanah kejam merampas sawah ladang
Bini dan anak oleh Thian dipanggil pulang
Kini tanah air dirampas oleh musuh pula
Aah! pegang golok seorang diri, apakah gunanya ?"
"He, lopek ! Kau agaknya gembira sekali!"
"Gembira katamu ?" Si brewok itu menengok sebentar. "Aku sedang mengeluh!"
"Habis, apakah kau suruh aku menangis " apa gunanya tangis dan duka " Tiada
gunanya, bukan " Lebih baik hadapi segala kepahitan hidup dengan senyum dan
tawa!" Kata-kata yang kasar dan bersahaja ini berkesan di dalam hati Sui Lan.
"Lopek, apakah kau bahagia ?"
"Bahagia " Apakah itu bahagia " aku gembira, itu sudah pasti. betapapun juga
rahasia hatiku, aku memaksakan diri supaya bergembira. Kalau kebahagiaan diukur
dari senyum atau tawa atau dari wajah berseri, atau dari kesehatan tubuh, ataupun
dan makan dan pakaian cukup, nah, kau boleh sebut aku berbahagia!"
"Lopek, hidupmu tentu penuh dengan pengalaman-pengalaman hebat. alangkah
menariknya kalau kau mau menceritakannya kepadaku."
Akan tetapi sebelum Lie Kai menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras berseru.
"Hai....! Tukang gerobak, berhenti !" Suara ini muncul dari arah kiri dan tak lama kemudian muncul ah berlompatan tujuh orang tinggi besar dari belakang pohon-pohon besar! Tujuh orang itu kesemuanya berwajah galak menyeramkan sedangkan
ditangan mereka nampak golok mengkilap!
"Aduh, lopek... lekas larikan kuda! mereka itu tentu perampok jahat!" kata Sui Lan perlahan dengan tubuh gemetar saking takutnya.
Lie Kai menengok kepadanya dan berkata sambil tertawa,
"Jangan takut, mereka itu hanya serigala-serigala kaki dua yang kukatakan tadi."
kemudian ia memajukan kudanya, bahkan menghampiri tujuh irang tadi yang
memandang ke arah gerobak dengan penuh perhatian.
"He, tukang gerobak!" membentak seorang diantara mereka yang memakai ikaat
kepala merah dan agaknya menjadi pemimpin mereka.
"Lekas kau turun dari kuda, tinggalkan kuda, gerobak dan semua isinya!"
Seorang diantara mereka yang semenjak tadi meman dang kearah Sui Lan
sehingga yang dipandanginya menjadi semaki ketakutan, berkata sambil tertawa.
"Ha..ha..ha..! Tukang gerobak, macammu buruk, usiamu sudah setengah tua,
akan tetapi isterimu cantik sekali, ha..ha..ha!"
Tadinya Lie Kai hendak menjawab ucapan si kepala perampok, akan tetapi ketika
mendengar ucapan orang ini, ia lalu balas memandang dan menjawab sambil
tersenyum. "Tolol! Dia bukan isteriku, melainkan anakku. Butakah matamu bahwa
aku adalah ayahnya ?"
"Aha, kalau begitu kebetulan sekali!" kata perampok yang mata keranjang itu.
"Kau boleh tinggalkan semua ini, termasuk juga anak perempuanmu itu!"
"Sam-te (adik ketiga), jangan banyak bicara saja!" mencela kepala rampok tadi.
"Seret saja si tua itu dari atas kuda!"
Anggota perampok yang mata keranjang itu lalu maju dan membentak, "Turun
Kau!" sambil berkata demikian ia lalu menangkap lengan kanan Lie Kai lalu
dibetotnya dengan keras dengan maksud agar supaya si brewok itu jatuh terjungkal
dari kudanya. Akan tetapi akibat perbuatannya ini sungguh ajaib dan hebat. Bukan
Lie Kai yang terjungkal dari atas kuda, sebaliknya perampok itu yang terbetot keatas
dan sekali Lie Kai menggerakan tangannya, perampok itu mencelat keatas tinggi
sekali! Perampok itu menjerit ngeri dan ketika tubuhnya jauh kembali ke atas tanah,
debu mengepul tinggi dan terdengar ia bersuara "Ngekk!!" lalu rebah tak berkutik lagi!
Episode 10 Tentu saja keenam orang perampok yang lain merasa terkejut setengah mati,
juga marah sekali. Serentak lalu mereka maju dengan golok terangkat ditangannya,
akan tetapi tahu-tahu tubuh Lie Kai telah melompat turun dan menghadapi mereka.
Amat mengagumkan gerakan Lie Kai ini. Agaknya sukar dapat dipercaya tubuh yang
tinggi besar dan kaku itu dapat melompat selincah dan seringan itu, bagaikan daun
kering tertiup angin saja, tanpa bersuara kakinya menginjak bumi. Kemudian,
sebelum ada golok yang sempat menyambarnya, tubuh Lie Kai berkelebat
menyerang dengan gerakan yang tak terduga cepatnya.
Terdengarlah suara "Duk! Plak ! Ngeek!" ketika kedua tangannya membagi pukulan tamparan dan tendangan yang mengenai kepala, pipi, atau perut perampok itu,
disusul terikan-teriakan "aduh... ! ampun ...!" dan disusul pula dengan robohnya tiga orang perampok!
Kepala perampok itu menjadi marah sekali dan secepat kilat goloknya
menyambar, disusul dengan dua orang kawannya yang juga menusuk dada dan
pinggang Lie Kai. Si brewok ini sambil tertawa bergwlak mengelak sambaran golok
kepala rampok yang mengarah ke lehernya dengan merendahkan tubuh. Golok
yang menusuk dadanya dia sambut dengan pukulan tangan dengan jari-jari terbuka
yang dihantamkan dari pinggir mengenai permukaan golok.
"Krak!" Golok itu terkena pukulan tangannya oenjadi patah tengahnya.
Sedangkan golok yang membabat pinggangnya itu disambut dengan tendangan
kakinya ke arah pergelangan lawan.
"Blek!" Lengan yang kena tendang itu patah tulangnya dan goloknya mencelat
jauh entah kemana!. Sebelum ketiga orang perampok itu hilang rasa kagetnya, Lie Kai sudah bergerak
maju cepat sekali, tangan kanan menangkap baju kepala perampok itu pada
dadanya, tangan kiri memukul ke kiri dan sebuak tendangan merobohkan ke dua
penjahat yang lain! Kepala rampok yang terpegang bajunya itu mencoba untuk menyerang dengan
golok, akan tetapi sebuah ketokan pada sambungan sikunya membuat ia memekik
kesakitan karena sambungan tulang pada sikunya terlepas dan tangannya menjadi
lumpuh. Dengan sendirinya golok terlepas dari pegangan.
Lie Kai melanjutkan gerakannya dan ketika dua ujung jari tangannya menotok
iga, kepala rampok itu memekik kesakitan dan ketika Lie Kai melepaskan
pegangannya, kepala rampok itu lalu berputar-putar bagaikan ayam terpukul batok
kepalanya! Kemudian, sambil menahan rasa sakit yang hebat pada iganya, ia lalu
mejatuhkan diri berlutut di hadapan Lie Kai yang tertawa bergelak.
"Ha..ha..ha..! Segala macam rampok kecil bermata buta! Kau berani mencobacoba bermain gila di depan Tiat-thouw-du Lie Kai ?"
Bukan main terkejutnya kepala rampok itu mendengar nama ini.
"Ampunkan mataku yang telah buta, tidak melihat gunung Thai San menjulang
tinggi di depan mata! Tai Ong (raja besar, sebutan yang lazim untuk kepala rampok
besar) ampunkanlah siauwte (sebutan untuk diri sendiri untuk merendah)!"
Akan tetapi, Lie Kai menjadi marah dan sekali kaki kirinya bergerak, ia telah
menendang kepala rampok itu sehingga berguling-guling beberapa kali jauhnya!
"Anjing busuk! Siapa sudi kau sebut Tai Ong " Sudahkan kah mendengar bahwa
telah sepuluh tahun lebih aku mencuci tangan " pernahkah kau mendengar selama
ini bahwa Lie Kai melakukan perampokan" Buka matamu dan pasang telingamu
baik-baik, bangsat!"
Kepala rampok itu menjadi girang sekali oleh biarpun dia ditendang, namun
tendangan itu ternyata membebaskannya dari totokan yang amat menyakitkan
iganya itu. Ia berlutut lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam
makan gabah. "Ampun, sekali lagi ampunkan hamba, tai-hiap (pendekar besar). Hamba sekalikali tidak sengaja menyinggung perasaan tai-hiap!"
"Hush, tutup mulutmu dan jangan banyak cakap pula. Siapa sudi kau sebut taihiap " aku bukan seorang pendekar. Tanah air dijajah musuh aku tidak dapat
mencegah, mana patut aku disebut pendekar " Sudahlah, aku ampunkan kalian dan
ini obaaat untuk penyambung tulang dan untuk mengobati luka-luka!" Ia
melemparkan bungkusan kepada kepala perampok itu, kemudian berkata pula
"Akan tetapi awas kau kalau sampai lain kali aku mendengar kalian mengganggu
para pelancong atau penduduk yang tidak berdosa. Contohlah aku ketika masih
menjadi tokoh liok-lim (lembah hijau) dulu! yang kuganggu hanyalah hartawan

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hartawan pelit, tuan tanah-tuan tanah penghisap rakyat, dan pembesar-pembesar
yang kejam! Sekarang korbaon-korbanmu lebih banyak pula. Tanah air telah dijajah
oleh musuh dan semua pembesar negeri boleh kau ganggu, merekalah musuhmusuhmu!" Setelah berkata demikian, Lie Kai lalu melompat keatas kudanya lagi, akan tetapi
sebelum menjalankan gerobaknya, ia menengok kearah Sui Lan yang
memandangnya dengan penuh kekaguman, maka berkatanya ia kepada kepala
rampok itu sambil menunjuk kepala perampok mata keranjang yang masih pingsan
karena bantingannya tadi.
"Dan Kau jagalah baik-baik orang itu! Kalau ia masih melanjutkan wataknya yanh
suka mengganggu wanita, lain kali akan kuhabisi nyawanya!"
Lie Kai lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati puas. Terdengar ia bernyanyinyanyi lagi dan lagunya masih seperti tadi, riang gembira dan bersemangat, akan
tetapi kata-katanya juga masih syair yang merupakan keluh-kesah tadi!
Episode 11 Kini lenyaplah keraguan dalam hati Sui Lan terhadap orang tua ini. Ia menjadi
amat kagum akan kegagahan Lie Kai dan sepak terjangnya terhadap para perampok
itu benar-benar membuat ia memandang orang tua itu dengan penuh
penghormatan. Pernah Sui Lan mendengar tentang pendekar-pendekar gagah
perkasa, dan kalau pendekar-pendekar itu tadinya hanya menjadi semacam
dongeng saja baginya, kini, ia merasa yakin bahwa pendekar-pendekar itu memang
ada dan Lie Kai adalah seorang diantaranya. Hidupku sebatang kara, aku seorang
lemah, miskin, dan tak seorangpun mau melindungiku. Alangkah baiknya kalau ia
mendapat pelindung seperti orang orang ini, demikian Sui Lan berpikir ia teringat
betapa orang tua itu tadi mengaku dia sebagai anaknya dan hatinya terasa hangat
mengenang hal ini. Tidak terasa pula, ia segera memanggilnya.
"Lie-lopek (Uwak Lie)!"
Lie Kai menghentikan kudanya dan menengok. "Apakah aku menjalankan
gerobak terlalu cepat ?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum itu membuat hati Sui
Lan terhatu, karena hanya bibirnya yang tersenyum, sedangkan pandangan mata
orang tua itu membayangkan kedukaan besar yang ditekan-tekannya.
Sui Lan menggelengkan kepalanya dab berkata "Tidak, tidak terlalu cepat, aku
hanya ingin menyatakan terima kasih kepadamu, Lie-lopek. Kalu tidak ada kau yang
menolongku, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Kalau aku berjalan seorang
diri lalu bertemu dengan orang-orang tadi .... ah tentu aku telah mati mereka bunuh
atau bunuh diri!" Lie Kai maklum akan maksud kata-kata Sui Lan, akan tetapi ia hanya tertawa dan
berkata "Hanya ini saja" Ha..ha..kau lucu! bertemu dengan kau ataupun tidak, aku
pasti akan membasmi perampok-perampok itu apabila berjumpa dengan mereka.
Untuk apa terima kasih " Tak perlu kata-kata kosong itu!"
Setelah berkata demikian, LIe Kai menjalankan kudanya lagi.
"Lie-lopek ...!"
Lie Kai menghentikan kudanya lagi dan menengok.
"Ada apa lagi " Kau membutuhkan sesuatu?"
Kembali Sui Lan menggeleng kepala "Tidak, Lie-lopek, aku hanya ingin
mengatakan bahwa aku senang sekali mendengar kau tadi mengakui kepada
perampok itu bahwa aku adalah anakmu! Ah ... kalau saja hal itu benar-benar,
aku ,... akan suka sekali menjadi anakmu!"
Merahlah wajah Lie Kai mendengar ini. "Ah, maafkan aku toanio. TAdi aku hanya
biacara untuk menjawab perampok yang kuran ajar itu. Mana patut aku menjadi
ayahmu " Dan pula, kau tentu mempunyai ayah-ibu yang berbahagia serta suami
yang bijaksana...." Kata-kata ini serasa menusuk ulu hati Sui Lan dan sambil meramkan mata, Sui
Lan mencoba untuk menahan air matanya, akan tetapi tetap saja air matanya
mengalir turun membasahi pipinya.
"Eh..eh... kau kenapakah ?" tanya Lie Kai terheran-heran.
Sambil menghapus air matanya dengan saputangan, Sui Lan berkata, "Aku... aku
telah yatim piatu... "
Lie Kai terkejut dan memandang dengan melongo, "Aduh kasihan ! dan ...
suamimu ... " dimanakah dia " Mengapa membiarkan kau pergi seorang diri ?"
Ditanya demikian, makin deraslah keluarnya air mata Sui Lan. Sambil menutupi
mukanya dengan kedua tangan, ia menjawab terisak-isak, "Aku... aku tidak
mempunyai suami..." Tiba-tiba Lie Kai menggerakan tubuhnya dan dari aas kuda ia melompat dan
tahu-tahu telah berdiri di depan Sui Lan, didalam gerobak.
"Apa kau bilang " Sudah .. meninggal duniakah dia ?"
Sui Lan tidak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepalanya sambil
menangis makin sedih. "Kalau begitu apakah dia telah menceraikanmu " telah meninggalkanmu ?"
Kembali Sui Lan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Lie Kai menjadi hilang sabar. Dipegangnya kedua pundaj Sui Lan dan berkatalah
dia keras-keras. "Anak, dengarlah! lihat mukaku dan percayalah kepadaku! Kalau dia
meninggalkanmu, akulah yang akan mencarinya dan menyeretnya kembali serta
memaksanya minta ampun kepadamu!"
Makin sedih Sui Lan menangis dan Lie Kai lalau memegang dagunya dan
mengangkap muka itu, memaksa Sui Lan memandangnya melalui air mata yang
masih menderas keluar. "Katakanlah! Dimana suamimu dan mengapa kau seorang diri saja> Bukankah
kau hendak pergi ke An-Sin-Kwan untuk mencaari keluargamu seperti yang
kaukatakan tadi ?" "Tidak... aku... aku tiada keluarga, aku tidak mempunyai siapapun juga didunia
ini... aku sebatang kara, tiada tempat tinggal, tanpa tujuan... merantau kemana saja,
kakiku membawaku... aku ... aku... " tidak melanjutkan kata-katanya dan menangis
lagi. "Dengar!" Lie Kai dan matanya menjadi merah karena menahan keharuan
hatinya. "Aku ayahmu, bukan?" Kau tadi ingin menjadi anakku, bukan " Nah
sekarang kau menjadi anakku! Hayo kau ceritakan terus terang kepada ayahmu
mengapa keadaanmu menjadi begini!"
Episode 12 Bukan main terhatunya rasa hati SUi Lan dan sambil menjerit dia lalu
menjatuhkan kepalanya di dada orang tua itu lalu menangis tersedu-sedu. Lie Kai
menggeleng-gelengkan kepalanya dan diam-diam ia meramkan kedua matanya
untuk menahan jatuhnya air matanya,.
"Mari kita turun" katanya sambil menuntun Sui Lan turun, "Kita beristirahat sebentar melepas lelah. Kau ceritakanlah keadaanmu kepadaku, dan siapa pula
namamu, karena sungguh amat lucu kalau seorang ayah sepertia kau tidak
mengenal nama anaknya sendiri!"
Keduanya lalu duduk di bawah pohon yang teduh dan setelah dapat meredakan
keharuan hatinya, Sui Lan menceritakan riwayatnya mengaku bahwa namanya Ma
Sui Lan dan bahwa semenjak berusia delapan tahun ia telah dijual oleh ayahnya
untuk membayar hutang, betapa kemudia ia menjadi pelayan di rumah gedung
Pangeran Liok Han Swee samapi mejadi dewasa. Dengan terus terang dia
menceritakan perhubungannya dengan Houw Sin, dengan panjang lebar ia
menceritakan tentang segala peristiwa itu sehingga pengalamannya yang penuh
derita semenjak berpisah dari Houw Sin.
Mendengar penuturan Sui Lan, Lie Kai mengeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata menghela nafas berkali-kali. "Ah anak bernasib buruk, yang semenjak kecil
sudah harus menelan segala kepahitgeetiran hidup! Anak bodoh, yang menurutkan
perasaan hati dan mudah tergoda oleh cinta dan nafsu! KAsihan sekali ... kasihan
sekali...!" Dengan Sedih Sui Lan berkata, " Lopek.. kau telah mendengar semua riwayatku
yang penuh kecemaran ... yang buruk... memang aku telah lemah, tak berpikir
panjang, mabok oleh cinta, runtuh oleh godaan iblis... akan tetapi aku tidak
menyesal lopek. Aku cinta kepadanya.... Lopek, kau tentu jijik melihaatku, apakah
kau masih mau mengaku anak kepada seorang wanita yang.... yang mengandung
diluar pernikahan yang sah ?"
"Mengapa tidak?" Lie Kai membelakakkan matanya , "aku kasihan kepadamu,
dan aku akan senang sekali menjadi ayah angkatmu."
Bukan main besar dan girangnya hati Sui Lan mendengar ini. Seketika itu juga
lenyaplah segala perasaan berat yang selama ini menekan hatinya, timbul pula
pengharapannya. Ia segera berlutut dan berkata sambil mengucurkan ait mata.
"Terima kasih... terima kasih ayah...aku berjanji hendak menjadi seorang anak
yang berbakti. Aku selalu rindu kepada seorang ayah... dan tentang ayah anak yang
kukandung ini,, kalau saja aku dapaat bertemu dengan dia, tentu dia akan
menerimaku sebagai isterinya. Aku yakin akan hal itu, karena dia...dia menyintaiku!"
"Mudah-mudahan begitu SUi Lan, Hal ini kuharapkan benar, sungguhpun akau
merasa ragu-ragu, karena aku telah mengenal hati laki-lak, yang mudah
menyatakan cinta dan mudah pula melupakannya. Aku maklum benar bahwa
diantara seratus orang wanita di dunia ini hanya seorang dua orang saja yang dapat
berlaku curang dan tidak setia, akan tetapi sebaliknya diantara seratus orang pria,
hanya seorang atau dua orang saja yang dapat berlaku jujur dan setia!"
"Ayah, kau sungguh mulia! Kau sudah mendengar riwayatku yang penuh noda,
namun kau tetap sudi menjadi ayahku. Alangkah bahagianya rasa hatiku, kau
seakan-akan memberi api kehidupan baru dalam dadaku."
Lie Kai tersenyum, sungguhpun matanya makin muram ketika ia menjawab, "
jangan menganggap demikian anakku. Kau belum mendengar riwayatku, dan kalau
kau sudah mengetahui keadaan riwayatku dimasa lalu, mungkin kau takkan
memandangku demikian tinggi. Akupun hanya seorang yang telah penuh dengan
dosa." Kemudian dengan singkat Lie Kai si Kerbau berkepala besi menceritakan
riwayat hidupnya. *** Lie Kai adalah seorang putra seorang petani yang tinggal disebuah dusun kecil di
propinci Hok-kiau. Semenjak kecil ia hidup sengsara karena ayahnya memiliki
sebidang sawah yang tidak berapa besarnya. Kepala daerah mengadakan peraturan
pajak sawah luar biasa beratnya, ditambah pula oleh kepala dusun yang dengan
cerdiknya menambahkan biaya-biaya penjagaan keamanan kampung dan lain-lain
sehingga hasil sawah itu hampir habis dibayarkan pajak-pajak ini!
Ini kalau tidak terjadi bencana alam menimpa. Pada musim kering, atau dikala hujan
turun terus menerus sehingga ait sungai membuat sawahladang menjadi telaga,
keluarga-keluarga tani miskin seperti keluarga Lie ini terpaksa mengikat diri dengan
uang pinjaman dengan bunga yang mengikat dan mencekik leher. Tentu saja
keadaan ini membuat mereka makin lama makin dalam tenggelam di lautan hutang,
Jangankan untuk membayar induk hutang, sedangkan untuk membayar anakannya
saja sudah setengah mati. Tak mengherankan apabila hutang yang mulu-mula tak
berapa besar itu lama-kelamaan menjadi berlipat ganda dan akhirnya mencapai
jumlah yang tidak mungkin di bayar lagi. Kalau sudah demikian halnya, maka boleh
dikatanya kehidupan sekeluarga berada dalam cengkraman kuku para pelepas uang
panas itu. Demikian pula keadaan ayah Lie Kai yang bertambah tahun tambah tenggelam
dan terpendam dalam lumpur hutang sampai lehernya. Akan tetapi keadaan yang
buruk ini belum diketahui oleh Lie Kai yang semenjak usia duabelas tahun telah
pergi berguru ilmu silat dari seorang hwe sio berilmu tinggi.
Ayah Lie Kai yang bernama Lie Cit amat menyina putera tunggalnya itu dan ketika
Lie Kai pulang enam tahun kemudian, ia segera menikahkan puteranya itu dengan
seorang gadis dusun yang amaat sederhana. Perayaan pernikahan ini,
sesungguhnya amat sederhana, tapi tetap saja membutuhkan biaya yang lumayan
dan kembali Lie Cit yang tak berdaya diam-diam lari kepada tuan tanah yang
memberi hutang kepadanya dan meminjam uang baru dengan bunga yang lebih
besar. Episode 13 Tiga tahun kemudian, keadaan Lie Cit tak dapat dipertahankan lagi. Hutangnya
telah terlampau banyak dan bunga-bunga uang itu makin memperbesar jumlah
utang. Akhirnya tuan tanah merangkap lindah darat pelepas uang panas itu
menagih dan lalu meminta pertolongan pembesar setempat. Karena surat hutang
menjadi bukti, akhirnya sawah Lie Cit yang tak berapa besar itu dirampas untuk
membayar hutang, itupun masih belum dapat melunasi hutangnya.
Lie Kai menjadi marah sekali. Ia segera memdatangi tuan tanah itu dan
memuncaklah amarahnya ketika ia melihat dari surat hutang bahwa hutang
ayahnya sesungguhnya tidak begitu besar jumlahnya. Akan tetapi waktu yang
belasa tahun lamanya itu yang telah membuat jumlah hutang menjadi puluhan kali
banyaknya! Lie Kai yang berkepandaian tinggi hendak mengamuk dan menghajar tuan tanah
itu, akan tetapi isterinya menangis melarangnya, sambil menggendong seorang
anak perempuan yang masih kecil. Melihat isteri dan anaknya, lemah kembali hati
Lie Kai dan ia hanya menekan kebenciannya terhadap tuan tanah itu.
Akan tetapi, tuan tanah itu ketika mendengar Lie Kai marah-marah dan hendak
menyerbu rumahnya, menjadi khawatir dan segera ia meminta pertolongan
pembesar setempat mengajukan tuntutan agar Lie Kai ditangkap dengan tuduhan
mengancam jiwanya dan disamping itu ia menuntut pula dibayarnya sisa hutang
yang belum lunas. Kejadian ini amat menyusahkan hati Lie Cit yang sudah tua sehingga ia jatuh sakit
dan meninggal dunia beberapa lama kemudian. Dan diwaktu Lie Kai masih
berkabung, datanglah pengawal pengawal oembesar setempat untuk
menangkapnya! Tentu saja hal ini membuat Lie Kai naik darah dan ia tidak dapat mengendalikan
hatinya lagi. "Jahanam busuk, manusia-manusia terkutuk!" teriaknya marah. "Sudah
merampas sawah menghancurkan hati ayah sehingga ayah meninggal, kini datang
hendak menangkap dan menghina kami sekeluarga! Benar-benar kalian ini iblis-iblis
bermuka manusia! Apakah kau kira tidak ada pengadilan lagi di dunia ini " Kalau
pengadilan pemerintah diselewengkan untuk menjadi kepentingan si kaya
menindas si miskin, kalao Thian tidak menoleh lagi pada manusia miskin yang
tertindas, masih ada pengadilan lain yang akan menghukum kalian. Dan inilah
hakimnya!" Sambil berkata demikian Lie Kai mencabut dan mengacungkan
goloknya, lalu mengamuklah Lie Kai dengan hebat!
Para pengawal dan penjaga yang berjumlah puluhan orang lalu datang menyerbu
dan mengepungnya bahkan ada penjaga yang menyerang ibu dan isterinya sehingga
kedua wanita itu menjerit dan roboh mandi darah tak bernyawa lagi! Anak
perempuannya yang baru berusia dua tahun terlempaar dari gendongan ibunya dan
menangis keras. Bukan main marahnya hati Lie Kai melihat ini. Matanya menjadi beringas
bagaikan mata seekor harimau dan ia mengamuk makin hebat setelah berhasil
menolong dan mengendong anaknya. Goloknya yang putih sampai menjadi merah
karena darah manusia dan lebih dari setenagh jumlah pengeroyoknya roboh tak
bernyawa lagi. Sebagian lagi merasa jerih dan ngeri melihat amukan Lie Kai yang
amat tangguh itu dan mereka melarikan diri cerai berai.
Dengan nafsu amarah masih meluap-luap dan kesedihan yang luar biasa melihat
ibunya dan isterinya menggeletak mandi darah dan tidak bernyawa lagi, Lie Kai
sambil menggendong anaknya dengan tangan kiri lalu berlari cepat mendatangi
rumah tuan tanah, membunuh tuan tanah itu yang menimbulkan malapetaka pada
keluarganya. Kemudian iapun pergi kepada pembesar yang diperalat oleh tuan
tanah itu dengan maksud untuk membunuhnya pula. Akan tetapi ia telah terlampau
lelah dan juga pembesar itu mempunyai banyak pengawal sehingga usahanya ini
tidak berhasil bahkan hampir saja ia tertawan.
Lie Kai melarikan diri sambil membawa anaknya yang menangis disepanjang
jalan. Demikianlah anak perempuannya yang bernama Lie Eng yang semenjak kecil
dididiknya menjadi seorang alhi silat yang pandai. Lie Kai hidup sebagai seorang
perampok yang sebentar saja amat terkenal karena kegagahannya. Juga Lie Eng
semenjak kecil hidup di hutan-hutan digunung-gunung bersama ayahnya, menjadi
seorang gadis yang cantik akan tetapi liar.
Karena diatas dunia ini, ia hanya mempunyai Lie Eng seorang, maka tidak
mengherankan apabila Lie Kai amat kasih kepada puterinya itu, amat
memanjakannya. Hanya satu saja cita-citanya yakni mencarikan suami yang baik
bagi Lie Eng. Episode 14 "Eng ji (anak Eng)," ia seringkali berkata kepada puterinya, "Ayahmu telah banyak menderita dan semua itu bukan semata-mata dikarenakan jahatnya manusia, akan
tetapi sesungguhnya terutama sekali karena buruknya keadaan dan buruknya
pemerintahan kaisar. Bukan hanya ayahmu seorang yang menjadi korban,
melainkan masih ada ribuan, laksana, bahkan jutaan orang lain yang hidup
sengsara, tertindas oleh pembesar - pembesar jahat dan terperasa oleh lintah lintah darat dan tuan - tuan tanah. Negara sedang kacau balau dan hanya dengan
kepandaian tinggi saja kita bisa menjaga diri. Oleh karena itu, kau harus menjadi
seorang isteri dari pemuda gagah perkasa! Menjadi isteri seorang berpangkat sama
halnya dengan menikah dengan seorang penjahat kejam! Menjadi isteri seorang
pemuda sasterawan atau pemuda tani sama halnya menikah dengan seorang
pemuda lemah yang takkan mampu melindungi keluarganya!"
Kalau mendengar ayahnya berbicara tentang pernikahan, Lie Eng hanya tersenyum
dengan muka merah dan berkata, "Ayah, siapa sih yang sudah rindu akan
pernikahan " Aku tidak sudi menikah dan tidak suka meninggalkan ayah seorang
diri!"

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lie Kai tertawa tergelak dan didalam hatinya ia berkata, "Hemm, anak sombong....
kau belum bertemu dengan pemuda yang akan mencuri hatimu. Kalau sudah
bertemu dengan calon jodohmu, ha.... hendak kulihat apakah engkau masih akan
mengeluarkan ucapan ini."
Akan tetapi, ternyata jodoh gadis itu yang datang bukan seorang yang menjadi
idaman hati Lie Kai. Pada suatu hari, di hutan tempat mereka bertinggal itu lewatlah
seorang pemuda sasterawan yang baru kembali dari kota raja dimana ia menempuh
ujian, Lie Kai dan Lie Eng keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadang
pemuda itu. Pemuda ini bernama Bun Hak Lee, seorang pemuda yang tampan sekali dan juga
cerdas otaknya. Melihat pemuda ini, seketika juga Lie Eng yang tinggi hati runtuhlah
keangkuhannya dan hatinya penuh oleh kasih sayang yang luar biasa! Lie Eng minta
kepada ayahya untuk menahan pemuda itu dengan alasan bahwa ia ingin
mempelajari ilmu membaca dan menulis. Hal ini disetujui oleh Lie Kai yang juga
selalu kecewa kalau mengingat bahwa puterinya itu setengah buta huruf karena
selain ia sendiri hanya mengerti sedikit tentang huruf, juga tidak ada kesempatan
banyak membaca dan menulis, sedikit pengertian yang diajarkannya kepada
puterinya itu takkan berguna.
Demikianlah, pemuda Bun Hak Lee ditahan dan tinggal bersama dalam sebuah
pondok yang dijadikan tempat tinggal ayah dan anak itu di tengah hutan. Dan
selama Lie Eng mempelajari ilmu surat, sama sekali ia tidak mendapatkan
kemajuan. Oleh karena kini ia telah jatuh hati betul-betul dan agaknya Bun Hak Lee
menyambut perasaan ini dengan baik. Siapa orang yang tidak tertarik dan jatuh
cinta menghadapi seorang dara yang demikian cantik dan gagah seperti Lie Eng "
Akhirnya Lie Kai tahu juga akan hubungan asmara antara puterinya dan pemuda itu,
ia menjadi marah-marah dan mengusir Bun Hak Lee. Akan tetapi, alangkah
herannya ketika ia melihat puterinya melangkah maju dan berkata dengan berani.
"Ayah, jangan kau mengusir Bun-siangkong pergi dari sini! Aku ". Aku masih sedang
mempelajari ilmu menulis."
Apa" " Apa gunanya ilmu coret - coret dengan pit itu " Lagipula, kalau hanya
melajar menulis saja, aku dapat mencarikan guru yang lebih pandai lagi. Pemuda ini
harus lekas pergi dari sini, sekarang juga!"
Akan tetapi Lie Eng makin berani sikapnya. "Tidak ayah, Aku tidak mau belajar dari
lain orang. Kalau". Kalau ayah mengusirnya, aku mau ikut pergi dengan dia!"
Bagaikan bunyi halilintar menyambar rasanya ucapan anaknya ini bagi Lie Kai. "Apa
katamu " Sudah gilakah kau ?""
"Ayah"." Dan kini suara Lie Eng penuh permohonan, "Tidakkah kau tahu " tidak
dapatkah kau melihat bahwa aku tak dapat ia tinggalkan ".."
Melihat keadaan gadis yang dicintanya itu dalam keadaan seperti itu, Bun Hak Lee
merasa kasihan dan dengan tabah ia lalu menjura kepada Lie Kai.
"Lo-enghiong (orang tua gagah), terus terang saja aku katakana bahwa antara
anakmu dan aku telah ada perjanjian untuk sehidup semati menjadi kawan hidup
selamanya. Aku mencintainya dan ia " iapun suka kepadaku dan ?"
Episode 15 Tidak dapat dikendalikan lagi amarah yang mengamuk dalam dada Lie Kai. Ia
berseru keras. "Bangsaat, kau harus mampus!" dan melompatlah ia dengan
serangan hebat, memukul ke arah dada Bun Hak Lee. Akan tetapi tiba-tiba Lie Eng
melompat dan menangkis lengan ayahnya sehingga tubuh gadis itu terpental jauh.
Biarpun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi, namun ia bukan tandingan ayahnya
dan tenaganya jauh kalah besar.
Lie Kai terkejut sekali melihat gerakan puterinya dan ini memperbesar amarahnya
terhadap Bun Hak Lee. Ia menerkam lagi untuk membinasakan pemuda itu dengan
sekali pukul, akan tetapi kembali Lie Eng yang sudah melompat bangun itu
menghadang di depan Bun Hak Lee dan menangkis pukulan ayahnya.
"Eng-ji! Kau berani membela dia dan melawan ayahmu sendiri?" Lie Kai bertanya
dengan muka pucat. Sebagai jawaban, Lie Eng mencabut pedangnya. "Ayah, aku tidak sekali - sekali
berani melawan ayah, dan biarpun aku melawan juga, aku takkan dapat menang,
dan akhirnya Bun-siangkong akan tewas juga.Ayah, kau pasti akan dapat
menewaskan Bun-siangkong, akan tetapi jangan harap akan dapat memisahkan
kami, karena begitu Bun-siangkong tewas ditanganmu, akupun akan tewas di ujung
pedangku sendiri!" Sikap gadis itu berani dan nekad dan dari pandang matanya, Lie Kai maklum bahwa
kata-kata ini bukanlah ancaman belaka.
"Eng-ji, " " suaranya lemah, berbareng dengan lemahnya seluruh tenaga yang
seakan-akan hendak meninggalkan tubuhnya, "kau" kau anak tunggalku " kau
benar-benar hendak mengikuti dia " mengikuti kutubuku yang lemah ini " Eng-ji,
benar-benarkah kau tega melukai hati ayahmu, mengecewakan hati ayahmu ". ?"
"Lo-enghiong" tiba - tiba pemuda itu maju dan berkata, "biarpun aku seorang
lemah, akan tetapi aku bersumpah akan membela Eng-moi sebagai isteriku yang
tercinta, akan kubela dengan jiwa dan ragaku"."
"Tutup mulut".! Tiba - tiba Lie Kai membentak dan memandang kepada pemuda
itu. "Dan pergilah"pergilah" pergi sebelum aku menjadi gelap mata dan
membunuhmu!" Bun Hak Lee menghampiri Lie Eng yang kini berdiri dengan air mata berlinang,
menggandeng tangannya dan berkata halus. "Eng-moi, marilah kita pergi " "
Lie Eng menurut saja tangannya ditarik dan ia berjlan beberapa langkah
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia tiba-tiba ia lari kepada ayahnya sambil
menangis tersedu-sedu. "Ayah ".ayah.... ampunkan aku, ayah ... aku terpaksa
meninggalkan ayah...."
Lie Kai meramkan kedua matanya agar jangan sampai air matanya menitik keluar,
kemudian dia mengangkat kedua tangan untuk ditutupkan pada kedua telinganya.
"Pergilah ... pergilah.... pergi...!!" bentaknya setengah menjerit.
Sampai lama Lie Kai berdiri, meramkan kedua matanya dan menutup keuda
telinganya, tak bergerak bagaikan patung. Ketika ia membuka kedua matanya,
puterinya dan pemuda itu telah lenyap dari situ. Dengan lemas, Lie Kai lalu
menggerakkan kedua kakinya, berjalan memasuki pondoknya dimana ia rebah
sampai berhari-hari tanpa makan dan tidak pernah turun dari pembaringan.
Mulutnya tidak hentinya bergerak-gerak.
"Jahanam betul pemuda she Bun itu....! Ia datang menjatuhkan anakku,
membawanya pergi ....! Terkutuklah orang-orang she Bun yang menurunkannya.
Akan kubunuh orang-orang she Bun yang bertemu dengan aku !"
Demikianlah semenjak ditinggal pergi oleh Lie Eng, Lie Kai menjadi seorang yang
sudah hancur betul-betul hatinya. Peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya,
semenjak ayah nya meninggal, membuatnya ia menderita hebat sekali dan
kepergian puterinya ini merupakan pukulan terakhir yang hampir tak tertahan
olehnya. Kini ia menjadi seorang gelandangan yang kadang - kadang seperti orang
gila. Ia tidak menjadi perampok lagi, merantau kemana saja kedua kakinya
membawanya. Melihat banyaknya orang-orang yang sengsara hidupnya seperti
keadaannya sendiri, timbul jiwa pendekarnya dan ia lalu turun tangan membantu
mereka yang tertindas, membasmi mereka yang jahat, sehingga namanya menjadi
terkenal dan ia mendapat julukan Tiat-thouw-gu si Kerbau Kepala Besi karena
pernah ia dipukul dengan sebuah penggada oleh seorang penjahat pada kepalanya,
akan tetapi bukan kepalanya yang pecah melainkan ruyung itulah yang patah!
Kemudian ia mengamuk dan membasmi gerombolan penjahat itu. Karena
amukannya, seperti seekor kerbau gila, maka semenjak itu ia diberi julukan Kerbau
Berkepala Besi. Episode 16 Sampai sepuluh tahun ia merantau, hidup sebatang kara, dan agaknya hati dan
perasaannya yang sudah terlampau banyak dipanggang oleh api penderitaan itu
telah mengeras dan kebal! Mulutnya selalu tersenyum dan tertawa, sungguhpun
pandangan matanya tidak pernah berseri. Akhirnya, sebagaimana telah dituturkan
dibagian depan dari cerita ini, ia bertemu Sui Lan, seorang gadis yang hidup
sebatang kara dan menderita sengsara hebat sekali.
*** Sui Lan merasa terharu sekali mendengar riwayat Lie Kai yang ternyata biarpun
sudah mengalami berumah tangga, agaknya masih lebih sengsara daripada
pengalamannya sendiri. "Ayah, kalau begitu kau membohong ketika menyatakan bahwa anakmu Lie Eng itu
sudah meninggal. Jadi ia masih hidup dan dimana ia sekarang " Bagaimana
keadaannya " Apakah ayah telah bertemu dengan ia semenjak ia pergi ?"
"Sudahlah, jangan kau tanyakan itu dan jangan kita membicarakan dia lagi. Dia
sudah mati dalam ingatanku! dan sekarang aku mendapatkan seorang anak baru.
Kau menjadi pengganti Lie Eng, dan aku akan berusaha mencari jejak Liok Houw Sin.
Aku akan berusaha membuat kau berbahagia, anakku."
Barang-barang didalam gerobak yang dibawa oleh Lie Kai itu adalah barang
dagangan berupa kain-kain sutera dan barang barang berharga lainnya milik
seorang pedagang. Memang sekarang Lie Kai telah bekerja sebagai Piauwse
(pengawal yang mengantarkan, barang-barang berharga dari satu ke lain tempat,
semacam perusahaan ekspedisi). Bahkan ia telah mempunyai sebuah rumah kecil di
kota An-Sin -kwan, dan karena namanya mulai terkenal dan kini sepak terjangnya
yang gagah perkasa dan sering membela keadilan itu membuat ia dihormati orang.
Para saudagar yang mendengar namanya, lalu sering minta pertolongan kepadanya
untuk mengantarkan barang-barang dagangan dari satu ke lain tempat. Tiap kali Lie
Kai mengantarkan barang-barang, maka pekerjaan itu ia lakukan dengan baik dan
barang dagangan dapat sampai ditempat tujuan dengan aman dan selamat. Maka
makin terkenal ah namanya dan kini upah yang ia dapat untuk mengantarkan
barang-barang itu cukup besar sehingga untuk dirinya sendiri, penghasilan itu boleh
dibilang berkelebihan. Terhiburlah hati Sui Lan setelah ia tinggal bersama Lie Kai yang amat
menyayanginya sebagai anaknya sendiri. Tadinya ia melakukan pekerjaan rumah
tangga, mengatur rumah tangga yang amat kacau balau ketika ia datang itu
sehingga rumah itu kini nampak bersih, rapi, dan menyenangkan. Akan tetapi,
kemudian ia dilarang oleh ayah angkatnya untuk melakukan pekerjaan berat itu.
"Kandunganmu telah cukup tua, tak baik kalau bekerja keras," kata ayah angkatnya.
"Aku akan mencari seorang pembantu rumah tangga untuk mengurus segala
pekerjaan rumah, dan kau beristirahatlah saja, jangan banyak bergerak."
Mendengar kata-kata yang penuh kasih sayang dan perhatian itu, Sui Lan merasa
terharu, akan tetapi sambil tersenyum ia membantah.
"Ayah, ingatlah aku dahulupun seorang pelayan rumah tangga. Pekerjaan ini sudah
biasa bagiku dan sama sekalitidak berat. Kalau memanggil seorang pembantu, aku
hanya akan merasa canggung dan kikuk saja. Biarlah aku yang mencuci pakaianmu,
yang memasak untukmu, menyediakan semua keperluanmu."
Diam-diam Lie Kai memuji anak angkatnya yang rajin ini. Alangkah jauh bedanya
dengan Lie Eng! "Dan bagaimana kalau kelak kau melahirkan " Paling lama dua bulan lagi. Tidak kau
jangan membantah, Sui Lan. Aku sudah memesan seorang pembantu, dan aku tidak
suka kalau melihat calon cucuku kau bawa-bawa kerja keras!"
Mendengar ucapan ini, tak terasa lagi teringatlah Sui Lan pada Houw Sin dan air
matanya mengalir turun. Lie Kai mengerutkan keningnya dan maklum akan keadaan
hati anak angkatnya ini. "Sui Lan, kebetulan sekali aku mendapat tugas mengantarkan sejumlah uang ke
daerah selatan. Akan kubuka mata dan telingaku baik untuk mencari keterangan
perihal Liok Houw Sin, pemuda yang tak berbudi itu."
Episode 17 Sui Lan terkejut. Ia maklum bahwa ayah angkatnya ini kalu teringat pada pemuda
itu, timbul kebenciannya, dan ia maklum pula akan kekerasan watak Lie Kai. Houw
Sin telah pergi dan bagaiman kalau ayah angkatnya mendapatkan pemuda itu telah
menikah lagi " Ia membayangkan dengan hati berdebar, ayah angkatnya pernah
melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap tuan tanah dan pembesar yang
mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia merasa khawatir sekali kalau-kalau
Lie Kai dalam kemarahannya akan membunuh Houw Sin!
"Ayah, aku hanya setuju kau pergi mencari Houw Sin dengan satu perjanjian."
"Hmm, apakah itu ?"
"Yakni bahwa apapun juga yang terjadi dengan Liok-kongcu, kau tidak boleh
mengganggunya, tidak boleh..... membunuhnya!"
"Bagaimana kalau dia mengkhianatimu " Kalau dia tidak bersetia dan
meninggalkanmu untuk menikah dengan lain orang wanita ?"
"Biarlah ayah. Kalau demikian halnya, akupun menerima nasib. Dia memang tidak
pantas menjadi suamiku, aku hanya seorang pelayannya. dan .... dahulupun dia
sudah bertunangan." "Ah, begitukah " Siapakah tunangannya itu dan puteri siapa ?"
"Tunangannya adalah puteri seorang panglima perang bernama Song Liang, kalau
tidak salah tunangannya itu bernama Song Bwee Eng. Ayah berjanjilah, kalau kau
berhasil menemukan Houw Sin, dan ... melihat dia sudah menikah dengan gadis
lagi, berjanjilah bahwa kau takkan mengganggunya!"
"Berat bagiku untuk berjanji demikian, anakku. Bagaimana aku dapat diamkan saja
orang yang telah mencelakakan hidup anakku" kalau menurut suara hatiku,
pemuda itu hanya tinggal memilih dua jalan, kembali kepadamu atau mampus
dalam tanganku!" "Ayah....!" Sui Lan menutup mukanya dengan penuh kengerian, "Jangan .... kalau ayah sampai membunuh dia ... aku takkan dapat mengaku kau sebagai ayahku
lagi ... aku akan pergi, atau ... membunuh diri!"
Lie Kai menarik nafas panjang dan wajahnya menjadi muram sekali. "Ah, nasib! Dua
kali aku mempunyai anak perempuan dan keduanya memberatkan seorang pemuda
daripada ayahnya! Ah, sudahlah, agaknya memang semua anak perempuan akan
lupa pada ayahnya apabila mereka sudah mendapatkan jodohnya!"
Ketika Lie Kai sudah siap hendak berangkat dan telah mendatangkan seoran
gpembantu perempuan untuk mengurus rumah tangga dan mengawani Sui Lan,
anak angkatnya yang mengantar sampai pintu berkata, 'Ayah, kau belum berjanji.
Hatiku takkan tenteram sebelum ayah mengucapkan janji itu."
"Baiklah, baiklah! Aku berjanji takkan membunuh Houw Sin. Akan tetapi aku akan
menyeretnya ke sini!"
"Itupun jangan , ayah. Kalau memang dia sudah menikah atau tidak mau
memperdulikan lagi kepadaku, untuk apa kita harus memaksanya " Aku tidak mau
memaksanya, ayah, dan kaupun tentu akan ikut merasa malu melihat aku
mendapatkan seorang suami yang dipaksa-paksa!"
"Baiklah, aku akan berusaha untuk bersikap sesabar mungkin, " kata Lie Kai yang segera berangkat seorang diri, naik kudanya yang menarik gerobak kecil itu. Setelah
hidup bersama anak angkatnya ini, Lie Kai berubah banyak. Pakaiannya bersih dan
rapi, tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu matanya selalu muram, tanda bahwa jiwanya
menderita, sekarang nampak cahaya menyinari kemuraman itu. Ia nampak gagah
sekali duduk diatas kudanya, tubuhnya yang tinggi tegap itu duduk dengan tegak
dan lurus, goloknya terselip di punggung.
Sambil melarikan kudanya cepat-cepat, Lie Kai mengenangkan anak angkatnya
dengan hati penuh kasihan. Aku harus dapat menemukan pemuda she Liok itu,
pikirnya. Ia harus bertanggung jawab, harus dapat mendatangkan kebahagiaan
pada Sui Lan. Lie Kai mengambil keputusan untuk mengantarkan barang yang
dibawanya secepat mungkin ke tempat tujuan, kemudian akan mempergunakan
sisa waktunya untuk mencari Liok Houw Sin. Ia masih mempunyai waktu sebulan
lebih, karena paling cepat satu bulan setengah baru Sui Lan akan melahirkan dan ia
harus sudah kembali ke rumah sebelum cucunya terlahir.
TAMAT Pendekar Super Sakti 15 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Sakti Suling Pualam 15

Cari Blog Ini