Ceritasilat Novel Online

Geger Dunia Persilatan 3

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 3


ditarik kembali mentah-mentah.
Gerakan Ki Seng-in itu sudah tentu sangat memakan
tenaga. Kesempatan bagus ini tidak dilewatkan oleh Loklotoa,
senjata Lok-kak-jat kontan menjojoh ke depan.
Segera Ki Seng-in hendak menangkis, namun terlambat
sedikit, lengannya tertusuk dan darah bercucuran.
"Hahaha!" Lok-lotoa terbahak-bahak. "Jian-jiu-koanim,
meski kau terkenal sangat kejam, tapi aku Lok-lotoa
selamanya mengingat persahabatan, sekarang aku
mengampuni jiwamu, bolehlah kau pergi saja dan
merawat lukamu itu."
Padahal dia sendiri kuatir akan kedatangan suami Ki
Seng-in, mumpung sekarang lawannya sudah terluka,
setelah membual sedikit, segera ia tarik Li Kong-he terus
dibawanya lari. Ki Seng-in memaki-maki dengan gusar, tapi tak bisa
berbuat apa-apa, cepat ia mengobati lukanya dan duduk
untuk mengaso. Untung lukanya tidak parah, tapi
lengannya sudah terasa kaku dan susah bergerak lagi.
Tengah uring-uringan sendiri, tiba-tiba Seng-in
mendengar suara kuda meringkik, menyusul ada suara
orang turun dari lereng gunung sana. Saking gemasnya
terus saja Ki Seng-in memaki, "Laki bangsat, baru
sekarang kau datang! Aku sudah kecundang, kau tahu
tidak" Hayo, lekas kau mengejar, bekuk jahanam Tokkaklok itu!?" demikianlah ia sangka pendatang itu pasti
suaminya. Tak terduga suara seorang anak dara lantas
menjawabnya dengan mendengus, "Huh, siapa urus apa
menjangan tanduk satu atau kambing kaki tiga" Aku
hanya ingin tanya, dimanakah putra Li Bun-sing itu?"
Kiranya pendatang itu bukanlah suaminya, tapi adalah
Kang Hiau-hu. Karena Kang Hiau-hu menunggang kuda Jik-liong-ki,
maka jalannya menjadi sangat cepat. Ketika sampai di
jalan pegunungan itu, di malam yang gelap dan sunyi itu
sayup-sayup didengarnya di bawah lembah seperti ada
suara beradunya senjata, maka ia lantas menyelidiki ke
arah situ. Di tengah malam yang gelap, hanya bintang-bintang
berkelip-kelip di cakrawala, untunglah sejak sejak kecil
Hiau-hu sudah terlatih sehingga ketajaman matanya
boleh diandalkan biarpun di waktu malam. Remangremang
ia telah dapat melihat pihak lawan adalah
seorang wanita, perawakan dan mukanya juga
mendekati apa yang diceritakan Ci-wan, maka segera ia
membentak. Dari suaranya Ki Seng-in dapat menduga Hiau-hu baru
berusia belasan tahun saja, tak terduga olehnya bahwa
orang keluarga Kang yang mengejarnya itu adalah
seorang anak ingusan saja. Ia tidak tahu bahwa anak
dara itu adalah putri Kang Hay-thian.
Memangnya Ki Seng-in lagi mendongkol karena habis
mengalami kekalahan dari Lok-lotoa, segera ia
mendengus dan menjawab, "Hm, siapa kau" Hanya
seorang budak ingusan seperti kau juga berani ikut
campur urusan orang lain?"
Hiau-hu pertama kali keluar rumah dan ingin sekali
mencari kesempatan buat menguji kepandaiannya, ia
pikir kalau nama ayahnya disebut tentu pihak lawan akan
takut untuk bergebrak dengan dirinya. maka ia lantas
menirukan lagak orang Kangouw dan berkata, "Buat apa
kau urus siapa diriku" Manusia sudah seharusnya ikut
campur urusan manusia! Kau bangsat wanita busuk ini
telah menculik anak orang. Sekarang aku sengaja
menuntut keadilan. Nah, kemana perginya anak yang
kau culik itu" Lekas katakan terus terang jika kau tidak
ingin kulabrak." Ki Seng-in menjadi murka, tanpa pikir lagi cambuknya
lantas menyabet secepat kilat ke arah Hiau-hu.
Keruan anak dara itu kaget. Dengan kepandaiannya
mestinya Hiau-hu tidak sukar menghindarkan serangan
itu. Tapi karena dia kurang pengalaman, pula tidak
menduga-duga, maka ia menjadi kelabakan, cepat ia pun
hendak berkelit, namun sudah sedikit terlambat,
badannya telah tersabet cambuk sehingga baju bagian
punggung robek. Untung dia memakai baju kutang
wasiat dari ibunya sehingga tidak sampai terluka.
"Nah, budak busuk, sudah tahu rasa belum" Lekas
enyah!" damprat Ki Seng-in pula.
"Kurangajar! Kau berani menyerang aku?" bentak
Hiau-hu dengan gusar. "Memangnya kau mau apa" Ini, rasakan lagi!" jengek
Seng-in sambil mencambuk lagi.
Tapi sekali ini Hiau-hu sudah siap siaga, sekonyongkonyong
sinar tajam berkelebat, pedang pusakanya, Cayinpokiam sudah terlolos keluar. "Sret", kontan ujung
cambuk musuh terpapas sebagian.
"Pedang bagus! Serahkan padaku saja!" seru Ki Sengin.
Berbareng cambuknya berputar terus menyambar
pula ke pergelangan tangan Kang Hiau-hu. Berbareng
ujung cambuk menjengkit untuk menotok urat nadi
sasarannya itu. Permainan cambuk Ki Seng-in memang sangat lihai,
menotok Hiat-to dengan ujung cambuk lebih-lebih adalah
kepandaian tunggal keluarganya, dengan jurus serangan
'Leng-coa-jiau-wan' (ular hidup melilit tangan) yang lihai
ini ia yakin pedang anak dara itu pasti dapat
dirampasnya. Tak tersangka mendadak Kang Hiau-hu telah
menggunakan langkah yang aneh untuk menggeser ke
samping sehingga cambuk Ki
Seng-in ini hanya terpaut beberapa senti saja dari
sasarannya. Bahkan dimana sinar pedang berkelebat
pula, tahu-tahu ujung cambuk Ki Seng-in kembali
terpapas sepotong kecil lagi.
Kiranya ilmu silat Hiau-hu yang sebenarnya adalah
lebih bagus daripada Ki Seng-in, soalnya dia belum
berpengalaman di medan pertempuran, walaupun
sebelumnya ia pun sering bertanding untuk menghalau
tamu-tamu yang berkunjung kepada ayahnya, tapi
pertandingan demikian itu ada batasnya, pula para tamu
juga sungkan-sungkan mengingat dia adalah putri Kang
Hay-thian. Maka pertarungan dengan musuh yang
sesungguhnya sekarang ini adalah untuk pertama
kalinya. Sebab itulah permulaan tadi dia telah kena
dicambuk musuh, tapi lama kelamaan ia pun dapat
mengikuti keadaan dan bertempur dengan tenang.
Sebaliknya Ki Seng-in sudah berpengalaman, keji dan
licin pula. Begitu melihat gelagat jelek, segera tubuhnya
berputar, "tarr", cambuk berbunyi, tapi tidak lantas
disabetkan. Dalam keadaan gelap, Hiau-hu mendengar suara
cambuk itu datang dari sebelah kiri, tanpa pikir lagi
pedang pusaka lantas ditabaskan ke kiri.
Tak terduga bahwa di sinilah letak kelihaian permainan
cambuk Ki Seng-in. Dia sengaja membunyikan cambuk di
sebelah kiri, begitu pedang Kang Hiau-hu terpancing dan
digunakan menangkis, mendadak cambuknya menyendal
ke atas terus menyabet ke bahu kanan anak dara itu.
Karena pedang Hiau-hu sudah telanjur ditabaskan ke
sebelah kiri, sesaat susah untuk ditarik kembali, "plak",
tanpa ampun lagi bahunya tercambuk sekali pula.
Biasanya Hiau-hu sangat dimanjakan, sekarang
berulang-ulang kena dihajar orang, keruan ia naik pitam,
bentaknya dengan murka, "Kurangajar! Kau berani
mencambuk aku" Akan kubunuh kau."
Berkat baju kutang wasiat yang dia pakai di bagian
dalam, biarpun dicambuk beberapa kali lagi juga takkan
terluka. Maka tanpa menghiraukan resiko apa-apa lagi,
terus saja ia menubruk maju.
Selama malang melintang di dunia Kangouw belum
pernah Ki Seng-in melihat lawan yang nekat sedemikian
rupa, apalagi Kang Hiauhu menggunakan pedang
pusaka, kalau sampai terkena senjatanya tentu bisa
runyam. Maka Ki Seng-in sendiri menjadi gugup juga
menghadapi serudukan Hiau-hu itu. Segera ia bermaksud
angkat langkah seribu saja.
Akan tetapi Ginkang Kang Hiau-hu lebih tinggi pula
dari dia, karena dia ingin melarikan diri, hal ini
membuatnya lebih celaka lagi. Walaupun cambuknya
menyabet untuk menghalang-halangi kalau-kalau Hiauhu
menubruk maju pula, tapi tahu-tahu sinar pedang
anak dara itu sudah menyambar ke mukanya.
Sungguh kaget Ki Seng-in tidak kepalang, untuk
menghindar terang tidak keburu lagi. Terpaksa ia berbuat
sebisanya dengan sedikit menganggukkan kepalanya.
Pada saat jiwa Ki Seng-in terancam itulah, tiba-tiba
terpikir oleh Hiau-hu, "Meski jahanam wanita ini pantas
dihukum, tapi asal-usulnya belum terang bagiku, bila aku
membunuhnya begini saja mungkin ayah akan marah
padaku." Waktu itu, bila ujung pedangnya terus menurun ke
bawah tentu jiwa Ki Seng-in akan amblas. Tapi karena
pikiran demikian itulah, sekonyong-konyong ujung
pedang Hiau-hu berputar terus menabas ke samping
sehingga sebagian rambut Ki Seng-in terpapas,
kepalanya menjadi botak. "Hahaha!" Hiau-hu bergelak tertawa. "Kau bangsa
wanita ini terlalu banyak melakukan kejahatan, maka
sekarang aku telah mencukurkan rambutmu, bolehlah
kau menjadi Nikoh (paderi wanita) saja untuk bertobat."
Dasar masih anak-anak, sesudah memapas rambut
lawan Hiau-hu lantas menertawainya. Ia lupa betapa
kejam pihak lawannya itu. Maka belum lenyap
ucapannya, dengan murka cambuk Ki Seng-in sudah
lantas menyabet, betis Hiau-hu tepat dimakan.
Betis adalah tempat yang tak terlindung oleh baju
kutang pusaka, keruan Hiau-hu menjerit dan berjingkrak
kesakitan. "Hm, ingin kulihat apa kau masih berani main garang"
Biar kuhajar kau sampai merengek minta ampun!" jengek
Ki Seng-in, menyusul cambuknya berputar-putar dan
menyambar ke arah kaki Hiau-hu pula.
Rupanya Ki Seng-in sekarang telah menduga, pada
tubuh Kang Hiau-hu tentu memakai sesuatu benda
pelindung sehingga beberapa kali cambuknya tidak dapat
membuat anak dara itu terluka apa-apa, maka sekarang
ia lantas ganti siasat, yang selalu diincar adalah bagian
kaki saja. Sudah tentu Hiau-hu juga berkaok-kaok gusar,
"Kurangajar! Aku sengaja mengampuni kau, sebaliknya
kau malah tidak tahu diri. Sekali ini aku harus membunuh
kau!" Segera ia mainkan Si-mi-kiam-hoat dari Thian-san-pay
yang lihai. Meski usia Hiau-hu masih muda, tapi sejak
kecil yang dilatihnya adalah Lwekang yang bagus, tenaga
pukulannya kuat, sekalipun kaum jantan di kalangan
persilatan juga jarang yang dapat menandingi dia.
Kekuatan Ki Seng-in sesungguhnya juga tidak lemah,
tapi sebelah tangannya tadi sudah dilukai Lok-lotoa.
Tinggal tangan kiri yang hanya menggunakan cambuk
saja, jadi kepandaiannya yang diandalkan, yaitu
permainan kombinasi cambuk dan pedang tak dapat
digunakan lagi. Sekarang di bawah serangan Hiau-hu
yang gencar, ia menjadi terdesak dan cuma sanggup
menangkis saja. Karena kaki Kang Hiau-hu sudah tercambuk sehingga
terluka ringan juga, dengan sendirinya gerak-geriknya
menjadi kurang gesit pula. Namun begitu tidaklah mudah
bagi Ki Seng-in untuk melarikan diri di bawah kurungan
sinar pedangnya. Makin lama makin payah keadaan Ki Seng-in, diamdiam
ia mengeluh, "Sungguh sialan! Belum dapat
membalas sakit hati tusukan Lok-lotoa tadi, sekarang aku
terjungkal pula di tangan seorang bocah ingusan. Aneh
juga, siapakah dara ingusan ini, mengapa begini lihai?"
Sampai di sini Ki Seng-in sudah mulai meragukan diri
Kang Hiau-hu dan menduga besar kemungkinan adalah
putri Kang Hay-thian. Tapi selamanya dia berwatak
angkuh dan tinggi hati, sekarang rambutnya telah
digunduli seorang anak dara, tentu saja dia tidak rela
mengaku kalah. Begitulah tengah Ki Seng-in merasa gelisah dan serba
susah, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang lakilaki,
"Bagaimana, apa terjadi sesuatu kesukaran" Bagus,
biarlah aku saja yang berkenalan dengan sahabat lihai
ini!" Ki Seng-in sudah mandi keringat dan napas tersengalsengal,
ia sudah tak lancar bicara lagi, terpaksa ia
berseru menjawab dengan terputus-putus, "Lelaki bang...
bangsat, le... lekas kemari!"
Maka tahulah Hiau-hu bahwa pihak lawan telah
kedatangan bala bantuan, tapi ia pun tidak gentar,
dengan suara melengking ia mengejek, "Hah, kau adalah
suami perempuan ini, ya" Hm, binimu adalah bangsat
wanita, rasanya kau pun setali tiga uang. Baiklah, lekas
datang kemari jika kau pun ingin merasakan betapa
lihainya pedangku!" Didamprat oleh Kang Hiau-hu, bukannya marah,
sebaliknya pendatang itu malah tertawa, "Hahaha! Adik
In, sekarang ada orang memaki kau sebagai bangsat
wanita juga. Sekali ini kau barulah tahu rasa. Maka lain
hari janganlah kau merasa menyesal karena bersuamikan
seorang bandit!" Kiranya Ki Seng-in itu berasal dari keluarga persilatan,
sesudah dia menikah dengan Utti Keng, seorang tokoh
kalangan Lok-lim (kaum bandit), dengan sendirinya ia
tidak sudi membantu suami, sebaliknya membujuk sang


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suami agar cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik.
Rupanya ini pula yang merupakan salah satu selisih
paham di antara suami-istri ini.
Dalam pada itu Utti Keng sudah mendekat. Ia menjadi
terheran-heran melihat lawan sang istri hanya seorang
anak dara yang masih hijau. Semula ia menyangka
adalah tokoh persilatan, makanya dia berseru ingin
belajar kenal. Ki Seng-in merasa lega juga dengan kedatangan sang
suami. Tapi baru saja ia hendak menegur, "sret",
mendadak pedang Hiau-hu telah menabas kutung
sebagian cambuknya lagi sehingga cambuk itu kini
tinggal setengahnya saja.
Sebaliknya Kang Hiau-hu tidak mau ayal-ayalan lagi
karena pihak lawan kedatangan bala bantuan. Di tengah
berkelebatnya sinar pedangnya mendadak ia
membarengi pula dengan pukulan.
Saat itu Ki Seng-in belum lagi lenyap rasa kagetnya,
ketika mendadak merasa angin pukulan lawan tahu-tahu
sudah menyambar tiba, tanpa pikir lagi ia memelompat
mundur sekuatnya. Memangnya ia sudah payah,
sekarang luka lengannya pecah lagi dan mengeluarkan
darah, sakitnya tidak kepalang, tak tertahan lagi ia jatuh
tersungkur. Namun hampir pada saat yang sama Utti Keng juga
sudah melancarkan pukulan untuk menangkis serangan
Hiau-hu. "Brak", kedua tenaga pukulan kebentur. Diamdiam
Utti Keng tergetar dan merasakan betapa hebat
tenaga anak dara itu. Pantas adik In mengalami
kekalahan, demikian pikirnya.
Sementara itu Utti Keng telah dapat melihat keadaan
sang istri yang serba runyam itu, kepalanya kelihatan
botak, sebagian rambutnya terpapas, bajunya belepotan
darah pula, agaknya tidak ringan lukanya. Keruan Utti
Keng kaget dan gusar pula, disangkanya Kang Hiau-hu
yang melukai sang istri. Dengan murka terus saja ia
menghantam dengan kuat sambil membentak, "Anak
kecil sudah sedemikian kejinya, jangan kau harap akan
pengampunanku!" "Brak", kembali kedua tangan beradu. Betapapun
Kang Hiau-hu masih terlalu muda dan kalah ulet.
Seketika ia merasa dadanya sesak dan mundur dua-tiga
tindak barulah menenangkan diri pula.
"Ini, rasakan lagi!" bentak pula Utti Keng, menyusul ia
menubruk maju dan menghantam lagi.
Hiau-hu menjadi kuatir, "Lelaki sedemikian bengisnya,
kalau aku tidak membunuhnya boleh jadi aku yang akan
dibunuh olehnya!" Cepat ia berputar ke samping dengan
langkah Thian-lo-poh-hoat, menyusul pedangnya lantas
menyerang tiga kali beruntun.
Yang digunakan Hiau-hu adalah 'Tui-hong-kiam-hoat',
yang terkenal dari Thian-san-pay, ilmu pedang itu
mengutamakan kecepatan dan ketangkasan, seketika
sinar pedang lantas bertebaran bagai berpuluh-puluh
pedang yang menusuk sekaligus ke arah lawan.
Biar betapapun tabahnya Utti Keng, mau tak mau ia
menjadi gugup menghadapi serangan luar biasa itu.
Cepat ia menggeser mundur, beruntun ia" pun
melontarkan pukulan-pukulan dahsyat sehingga pedang
Kang Hiau-hu terguncang melenceng.
Dengan mundurnya Utti Keng, maka sempatlah Hiauhu
melonggarkan napasnya yang sesak tadi. Ia sadar
kekuatan lelaki itu lebih unggul sedikit daripada dirinya,
namun dengan mengandalkan pedang pusakanya ia
masih terus menyerang dengan gagah berani.
Ada dua macam barang yang paling disukai orang
persilatan, yaitu kuda bagus dan pedang mestika. Jikliongki milik Hiau-hu sudah dilihat Utti Keng ketika di
atas lereng tadi. Sekarang dilihatnya pula pedang anak
dara itu ternyata jauh lebih bernilai daripada kuda bagus,
maka timbul seketika dalam pikiran Utti Keng untuk
merebut kuda dan merampas pedang, malahan sekaligus
anak dara ini dapat dibunuh untuk membalas sakit hati
sang istri. Begitulah, karena kedua pihak sama-sama timbul
pikiran membunuh, maka pertarungan bertambah sengit.
Pada suatu ketika dengan nekat Hiau-hu mendadak
menusuk sambil membentak, "Ini, kau pun rasakan
pedangku!" Dengan cepat pedangnya menusuk ke dada
lawan. Saat itu Ki Seng-in sudah dapat menenangkan diri dan
sedang membalut lukanya, ia sampai menjerit kaget
demi nampak sang suami terancam bahaya.
Tak terduga justru Utti Keng mengharapkan serangan
Hiau-hu itu. Ketika ujung pedang anak dara itu sudah
menyambar tiba, secepat kilat ia menggeser ke samping,
berbareng terdengarlah suara "plok" sekali, tahu-tahu
Utti Keng sudah bersenjatakan sesuatu. Kiranya dia telah
melepaskan sabuknya dan digunakan sebagai cambuk
untuk menangkis, bahkan batang pedang Hiau-hu lantas
terlilit oleh sabuk yang lemas itu.
"Serahkan pedangmu!" bentak Utti Keng, berbareng ia
terus menarik. Hiau-hu juga kaget, tapi ia pun balas membentak,
"Jangan harap!" Berbareng sebelah tangannya terus
memotong ke tengah sabuk lawan.
Tebasan tangan Hiau-hu ini tidak kalah daripada pisau
yang tajam, kalau kena tentu sabuk lawan akan terputus,
tapi tenaga dalam Utti Keng terlebih kuat daripada anak
dara itu, dengan imbangan tenaga kedua pihak, sabuk
Utti Keng tidak sampai tertabas putus, tapi pedang Kang
Hiau-hu juga dapat ditarik kembali.
Diam-diam Utti Keng mengakui kegesitan anak dara
itu. Tapi segera ia tertawa dan berseru, "Apa yang sudah
kuincar masakah dapat kau elakkan" Lihatlah dalam tiga
puluh jurus pasti akan kurebut pedangmu! Adik In,
sebentar pedang anak dara ini akan kuberikan padamu
sebagai hadiah!" Ia telah mengambil keputusan akan menghabiskan
dulu tenaga Hiau-hu, maka ia menaksir dalam 30 jurus
pasti akan tercapai tujuannya, yaitu merebut pedang
anak dara itu. Segera Utti Keng mempergencar tenaga pukulannya,
sabuk di sebelah tangannya juga diputar sebagai cambuk
seperti sang istri. Walaupun Hiau-hu berpedang pusaka, tapi tenaga dan
pengalamannya jauh di bawah lawannya. Maka dalam
waktu tidak terlalu lama daya serangan pedangnya
menjadi tak bisa berkutik di bawah tekanan sabuk Utti
Keng. Bahkan hendak menabas sabuk itupun tidak
gampang. Begitulah, mendadak Utti Keng membentak dengan
suara mengguntur sambil melontarkan pukulan kilat.
Dasar Hiau-hu baru pertama kali ini keluar rumah, sudah
tentu ia belum pernah menghadapi serangan lihai
dengan suara gertakan demikian, ia menjadi gugup.
Menurut taksiran Utti Keng, anak dara itu paling
banyak akan dapat menangkis tiga puluh jurus
serangannya, dan ternyata benar, belum lagi 36 jurus
ilmu pukulan 'Thian-cing-ciang-hoaf miliknya dimainkan
habis, Hiau-hu sudah kewalahan karena getaran tenaga
pukulan disertai gertakan tadi, kontan Hiau-hu
menumpahkan darah segar. "Serahkan pedangmu atau tidak?" bentak Utti Keng
pula. Namun Hiau-hu bukanlah anak pengecut, wataknya
juga keras, biarpun tubuhnya sudah sempoyongan tetap
ia pantang menyerah. Ketika tubuhnya sudah hampir
jatuh, ia masih sempat menahaskan pedangnya ke
depan. Saat itu Utti Keng lagi menubruk maju, karena tak
menduga, hampir saja kedua kakinya tertabas. Untung
dia masih keburu memelompat ke atas, tapi tidak urung
sebelah tungkak kakinya juga terserempet sehingga luka
lecet, coba telat sedetik saja tentu kakinya sudah
buntung. Utti Keng menjadi gusar, sabuknya terus menyabet
sehingga pergelangan tangan Kang Hiau-hu tercambuk
dan berdarah, saking sakitnya pedang lantas terlepas
dari cekalan dan tubuhnya juga tersungkur.
Sambil menjemput pedang anak dara itu, Utti Keng
berkata dengan mendengus, "Hm, keji betul budak ini.
Biarlah kau sendiri merasakan betapa enaknya
pedangmu ini!" Segera ia acungkan ujung pedang ke
tenggorokan Kang Hiau-hu, mirip kucing
mempermainkan tikus yang ditangkapnya, ia bermaksud
menggoda anak dara itu sebelum membunuhnya.
"Nanti dulu, Toako!" tiba-tiba Ki Seng-in meneriaki
sang suami. Utti Keng tertegun, lalu menjawab dengan tertawa,
"Adik In, kenapa kau menjadi menaruh kasihan padanya"
Aku justru hendak membunuhnya untuk membalaskan
sakit hatimu!" Sementara itu Seng-in sudah selesai membalut
lukanya sendiri, dengan napas masih terengah-engah ia
memburu maju, katanya, "Budak cilik ini mungkin
bukanlah sembarang orang, hendaklah Toako jangan
membunuhnya dulu." Lalu ia membangunkan Hiau-hu
dan bertanya padanya, "Siapa namamu dan siapa orang
tuamu" Lekas katakan!"
Luka Hiau-hu cukup berat, dalam keadaan setengah
tak sadar ia berpikir, "Toh aku sudah tertawan dan
takkan hidup lagi. Betapapun aku takkan mengatakan
nama ayah agar nama beliau tidak tercemar!" Karena itu
hanya diam saja. "Ai, pukulan Toako tadi tidaklah enteng! Lihatlah
apakah dia tidak perlu diberi obat lebih dulu?" demikian
kata Seng-in. Rupanya Utti Keng lantas teringat sesuatu, segera ia
pun berkata, "Apakah... apakah kau kuatir dia adalah ..."
"Ya, besar kemungkinan adalah putri Kang Hay-thian,"
ujar Seng-in. "Hahaha! Apa kau takut aku tidak berani menghadapi
lawan sebesar itu?" tanya sang suami dengan tertawa.
Namun tidak urung dalam hati menjadi jeri juga demi
mendengar anak dara itu besar kemungkinan adalah
putri Kang Hay-thian. "Soalnya bukan takut atau tidak, Toako," kata Seng-in
dengan suara halus. "Tapi musuhmu sudah cukup
banyak, buat apa mesti menambah seorang musuh
pula?" Utti Keng sebenarnya adalah seorang bandit yang
tidak kenal apa artinya ampun. Tapi sekarang demi
mendengar ucapan sang istri yang lemah lembut itu,
hatinya menjadi syur, seketika ia berubah seperti seekor
kucing yang jinak, ujung pedang lantas diturunkan, lalu
katanya dengan suara perlahan, "Adik In, kiranya di
dalam hatimu juga selalu memperhatikan
keselamatanku." "Kalau tidak memperhatikan kau, habis
memperhatikan siapa?" sahut Ki Seng-in dengan sorot
mata yang sayu menawan, suaranya seakan-akan
mengomel dan setengah aleman.
"O, kiranya kau hanya memikirkan anak itu, karena ...
karena dia adalah putra Li Bun-sing," kata Utti Keng
dengan tersenyum getir. "Li Bun-sing sudah mati, apa yang sudah lalu biarlah
hapus seluruhnya, apalagi ia pun tiada permusuhan apaapa
dengan kau. Apakah kau ... kau ..." sampai di sini ia
menjadi tidak enak untuk meneruskan.
Tapi sang suami lantas mengatakannya, "Bukannya
aku cemburu kepada orang yang sudah mati, aku hanya
kuatir kalau ... kalau bayangan Li Bun-sing masih tetap
tumbuh di lubuk hatimu."
Air muka Ki Seng-in berubah mendadak, alisnya
menjengkit, katanya dengan tidak senang, "Toako, jika
kau tidak dapat mempercayai dan memaafkan aku,
sampai seorang anak kecil juga tidak dapat kau terima,
maka biarlah aku tak menginginkannya lagi, toh anak itu
juga sudah dirampas orang ..." Bicara sampai di sini
mendadak ia memuntahkan darah segar.
Cepat Utti Keng merangkul bahu sang istri, katanya,
"Adik In, janganlah marah, dengarkan dulu penjelasanku.
Sesudah peristiwa kematian Li Bun-sing, waktu kau
meninggalkan aku, segera aku mengetahui kau hendak
pergi menolong putranya itu. Terus terang saja, pada
masa hidup Li Bun-sing aku memang selalu cemburu
padanya. Tapi sesudah ia meninggal, diam-diam aku pun
telah berpikir bahwa betapapun dia adalah seorang
pahlawan yang kukagumi, sekarang putranya tinggal
sebatang kara, masakah aku meski bersikap bermusuhan
dengan seorang anak kecil yang harus dikasihani"
Padahal kalau kau bicara terang-terang padaku, juga aku
akan membantu kau menolong anak itu. Sesudah kau
meninggalkan rumah, diam-diam aku lantas menguntit
dari belakang, tapi aku pun tidak ingin diketahui olehmu,
yang kukuatirkan ialah terjadi apa-apa atas dirimu."
Seng-in menjadi terharu, dari marah berubah menjadi
girang. "Ya, aku pun sudah tahu jejakmu, kalau tidak,
masakah tadi aku berseru memanggil kau?" katanya
dengan tertawa. Utti Keng menggunakan lengan bajunya untuk
mengusap darah yang menetes di sudut mulut sang istri,
lalu katanya pula, "Sebabnya aku tidak menampakkan
diri ialah ingin kau sendiri yang menyelamatkan
bocah itu agar tercapailah maksud tujuanmu. Aku sudah
mengambil keputusan, asal di kemudian hari kau bicara
terus terang padaku, tentu aku akan menganggap bocah
itu sebagai anak kandungku. Jika toh kau tidak percaya
padaku dan diam-diam mengatur hidup anak itu, maka
aku pun akan pura-pura tidak tahu."


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Seng-in menjadi terharu dan merasa malu pula,
pikirnya, "Sungguh tidak nyana bahwa sesungguhnya
Toako sedemikian baik padaku. Padahal aku pun tidak
menyayangi bocah itu sebagaimana diduganya. Aku
benci kepada ibunya, maka di antara kasih-sayangku
padanya juga ada rasa dendam dan benci. Ya, dadaku
sesungguhnya tidak selapang Toako."
Karena rasa pedih hatinya, tanpa terasa Seng-in
menghela napas. Utti Keng menyangka sang istri merasa berduka
karena kehilangan anak yang hendak dicarinya itu, cepat
ia bertanya, "Siapakah yang telah merebut anak itu" Aku
pasti akan merampasnya kembali bagimu."
"Lok-lotoa yang melakukannya, luka di lenganku
inipun adalah perbuatannya," sahut Seng-in.
"Lok-lotoa?" Utti Keng menegas dengan heran. "Aneh,
ia pun ikut campur urusan ini" Bahkan berani melukai
kau. Semula aku mengira adalah perbuatan budak liar
inilah." Bicara sampai di sini barulah mereka ingat bahwa
masih ada seorang Kang Hiau-hu yang menggeletak di
situ, dengan menjinjing pedangnya Utti Keng lantas
berkata, "Biar kubereskan budak busuk ini, baru nanti
kita mencari Lok-lotoa untuk membikin perhitungan."
Seng-in terkejut, cepat ia menarik sang suami, "He,
kau tetap akan membunuh dia" Auuuh ____" Ia berseru
kesakitan karena luka di lengannya terguncang.
"Lukamu tidaklah ringan, marilah kita lekas
meninggalkan tempat ini saja," ujar Utti Keng. "Tentang
budak busuk ini apakah kita harus membawanya pula"
Jika kita bereskan dia barulah perjalanan kita tidak
terganggu." "Boleh kau bubuhkan obat pada lukanya, toh takkan
makan waktu terlalu lama," kata Seng-in.
"Adik In, kau toh bukan bocah hijau yang baru muncul
di Kangouw, mengapa kau tidak paham," ujar sang
suami. "Tidak paham apa" Anak dara ini kan putri Kang Haythian!"
sahut Seng-in. "Justru karena putri Kang Hay-thian, maka dia harus
dibunuh saja," kata Utti Keng dengan tertawa. "Apa kau
melupakan peribahasa yang mengatakan bahwa
'menangkap harimau adalah lebih mudah daripada
melepaskan harimau'. Kita telah melukai putri Kang Haythian
dengan parah, jika dia dibiarkan pulang, bukankah
kita sendiri yang bakal celaka. Kang Hay-thian adalah
jago terkemuka di dunia persilatan, apakah dia mandah
begitu saja membiarkan anaknya dianiaya orang" Nah,
makanya anak dara ini harus dibunuh, bahkan aku
hendak melenyapkan mayatnya untuk menghilangkan
bukti, dengan demikian takkan lagi ada orang yang
mengetahui perbuatan kita ini."
"Tapi aku pernah merebut anak Li Bun-sing dari
tangan Siau Ci-wan, dia mengenali aku, kelak mereka
juga akan mencurigai kita," ujar Seng-in.
"Hanya dicurigai saja toh tiada bukti yang nyata, hal
ini akan lebih baik daripada membiarkan budak ini hidup
untuk menjadi saksi yang kuat," kata Utti Keng.
Apa yang dikatakan sang suami juga ada benarnya
juga, Seng-in menjadi bingung, sambil menarik lengan
sang suami, ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya,
yang terang ia merasa tidak tega membunuh anak dara
yang tak berdosa itu. Namun Utti Keng sudah tidak sabar lagi, katanya,
"Sudahlah adik In, daripada buang tempo percuma,
marilah kita lekas berangkat saja!" Habis berkata
pedangnya terus menikam ke arah Kang Hiau-hu.
Dalam kuatirnya tiba-tiba terdengar oleh Seng-in suara
"tring" sekali, entah darimana datangnya, tahu-tahu
ujung pedang sang suami tertimpuk oleh sepotong batu
kecil sehingga tusukannya meleset, batu itupun mencelat
lewat dan menyerempet jidat Ki Seng-in sehingga lecet.
Utti Keng menjadi gusar, bentaknya, "Siapakah kau,
keluarlah kalau berani, mengapa main sembunyi?" Ia
terkejut juga karena kejadian di luar dugaan itu, apalagi
ia harus menjaga sang istri yang terluka. Karenanya ia
tidak sempat mengurus mati-hidup Kang Hiau-hu lagi.
Dalam pada itu batu-batu kecil telah berhamburan
pula. Utti Keng menjadi kerepotan, ia harus menjaga
istrinya dan memutar pedang untuk menyampuk batubatu
itu. Di tengah hujan batu-batu kecil itulah tertampak
sesosok bayangan orang sedang melayang tiba secepat
terbang. Waktu diperhatikan, dalam keadaan remang-remang
dapatlah Utti Keng melihat pendatang itu adalah seorang
pemuda, berusia kira-kira dua puluhan. Ketika
mengetahui Kang Hiau-hu menggeletak terluka, pemuda
itu rupanya sangat terkejut, tidak terpikir lagi olehnya
akan menyerang Utti Keng lebih jauh, tapi cepat-cepat
mendekati Hiau-hu. Utti Keng menjadi terkesiap, sama sekali tak terduga
olehnya bahwa seorang pemuda muda belia ternyata
sudah memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Tapi
sesudah melihat jelas bahwa pemuda itu ternyata tak
terkenal, ia manjadi lega. Ia menaksir pemuda itu pasti
bukan orang dari keluarga Kang. Sebab diketahuinya
keluarga Kang hanya terdiri dari empat orang saja, yaitu
dua orang lelaki tua dan dua wanita. Umur mereka tiada
yang cocok dengan umur pemuda ini, teranglah pemuda
ini bukan anggota keluarga Kang Hay-thian.
Setelah merasa lega, kembali pikiran membunuh
timbul lagi dalam benak Utti Keng, pikirnya, "Jika sampai
putri Kang Hay-thian ditolong pergi olehnya, tentu akan
menimbulkan malapetaka di kemudian hari. Sekali sudah
berbuat, biarlah aku membunuh pula pemuda ini."
Sebagai seorang tokoh Kangouw yang sudah ternama,
ia tidak mau main menyergap, maka lebih dulu ia
membentak, "Kalau menerima harus membalas. Ini, kau
pun coba rasakan aku punya senjata rahasia!" Berbareng
dua buah Tau-kut-ting (paku penembus tulang) lantas
disambitkan. Cara Utti Keng menyambitkan senjata rahasia ternyata
sangat keji. Sebuah Tau-kut-ting yang langsung
mengarah si pemuda itu mengeluarkan suara
mendenging untuk menarik perhatian sasarannya, tapi
sebuah paku yang lain tanpa suara telah menuju ke arah
Kang Hiau-hu yang tergeletak di atas tanah itu.
Kepandaian pemuda itu juga tidak lemah dan mampu
'mendengarkan suara angin untuk membedakan
datangnya serangan', cuma sayang pengalamannya
terlalu cetek, sama sekali tak terduga olehnya cara
serangan keji Utti Keng itu.
Maka waktu mendengar senjata rahasia lawan
menyambar tiba, segera ia meloloskan senjata sendiri
untuk menangkis, yaitu Boan-koan-pit, senjata berbentuk
potlot baja. "Trang", dengan tepat paku yang
menyambar tiba itu kena disampuk sehingga mencelat
kembali ke depan. Tapi hampir pada saat yang sama juga terdengar
suara "ering" sekali, menyusul terdengar suara rintihan
Kang Hiau-hu, rupanya telah terkena senjata rahasia
musuh. Padahal jarak pemuda itu dengan Hiau-hu tatkala
itu masih lebih dua meter jauhnya.
Kuatir dan gusar sekali pemuda itu, dampratnya, "Utti
Keng, kau bangsat keparat ini berani mencelakai putri
Kang-tayhiap"!"
Utti Keng menjadi kaget karena namanya dengan jitu
kena disebut si pemuda. Padahal dia adalah seorang
bandit yang selamanya malang-melintang di daerah
Kwan-gwa (di utara tembok besar), orang persilatan di
daerah Tionggoan jarang ada yang mengenal namanya,
apalagi mengenal orangnya. Tak tersangka dari mulut
seorang pemuda asing namanya telah disebut.
Untuk sejenak Utti Keng tertegun, tapi mendadak ia
menjadi nekat, segera pedangnya menusuk ke hulu hati
si pemuda tanpa menanyakan lagi asal-usul lawannya.
Kiranya Utti Keng merasa lebih baik tidak mengenal
asal-usul si pemuda agar tidak ragu-ragu untuk
membunuhnya, ia pikir sekalipun pemuda itu adalah
putra seorang sahabat-karibnya juga pasti akan
dibinasakannya daripada rahasianya tentang dibunuhnya
Kang Hiau-hu sampai diketahui oleh Kang Hay-thian.
Ternyata Utti Keng adalah jago silat yang serba
pandai, walaupun ilmu pedang bukan kepandaiannya
yang utama, tapi dengan menggunakan pedang pusaka
yang tiada bandingannya yaitu Cay-in-pokiam yang
dirampasnya dari Kang Hiau-hu tadi, ternyata seranganserangannya
juga tidak kurang dahsyatnya daripada
jago-jago pedang ternama.
Cepat pemuda itu berkelit ke samping, berbareng
Boan-koan-pit lantas mencungkit ke atas, "trang", lelatu
api meletik, tahu-tahu potlot bajanya yang tergurat.
Untunglah dia yang mencungkit ke atas sehingga potlot
baja itu tidak sampai tertabas kutung.
Namun pemuda itu juga teramat lihai, sebelah Boankoanpit digunakan mencungkit pedang lawan, Boankoanpit yang lain berbareng lantas menikam ke depan.
Di tengah malam yang gelap itu cara mengincar Hiat-to
lawan ternyata tidak kurang jitunya. Hanya dalam
sejurus saja tiga tempat Hiat-to terpenting di dada Utti
Keng telah diserangnya. Belum lagi Utti Keng sempat menarik pedangnya
untuk menangkis, tahu-tahu ujung Boan-koan-pit si
pemuda sudah menyambar tiba. Untunglah Lwekang Utti
Keng sudah cukup sempurna, pada saat berbahaya itu
mendadak ia menahan napas dan menarik perutnya
sehingga mendekuk, ujung Boan-koan-pit hanya
merobek sebagian bajunya saja dan tidak sampai
melukainya. Dan baru saja pemuda itu hendak mendesak maju
untuk menotok pula, namun Utti Keng sudah mundur
selangkah, pedangnya berputar, dengan gerakan 'Hengintoan-hong' (awan terapung memotong puncak),
pedangnya terus menabas ke batang Boan-koan-pit
lawan. Si pemuda cukup mengetahui betapa lihainya Pokiam
itu, cepat ia menggeser langkah dan ganti serangan,
kedua Boan-koan-pit menotok berulang-ulang untuk
mencari urat nadi penting di tubuh musuh. Untuk
menjaga diri, terpaksa juga Utti Keng menarik pedangnya
untuk bertahan. Begitulah, kedua orang sama-sama waspada sekali,
sepasang Boan-koan-pit melawan sebatang pedang
pusaka, keadaan lantas berubah saling bertahan.
Gerakan si pemuda benar-benar sangat gesit dan cepat,
kedua Boan-koan-pitnya bekerja dengan rapi sekali untuk
memaksa lawan terpaksa harus menjaga diri, maka
dalam sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlalu, selama
itu kedua Boan-koan-pitnya tidak pernah disentuh pula
oleh pedang Utti Keng. Sebaliknya permainan pedang bukanlah kepandaian
yang diandalkan Utti Keng, walaupun Lwekangnya lebih
kuat, menang senjata pula, tapi bicara tentang bagusnya
tipu serangan ternyata si pemuda lebih lihai. Apalagi Utti
Keng harus memikirkan keadaan sang istri yang terluka
itu, ia merasa sungkan untuk bertempur lebih lama lagi.
Mendadak ia membentak, sebelah tangannya lantas
menghantam. Tapi dengan gesit pemuda itu dapat mengegos ke
samping, dan pada saat Utti Keng belum sempat
mengganti serangan lagi, segera sepasang Boan-koanpitnya
balas menyerang. Walaupun demikiah toh tidaklah mudah bagi Utti Keng
untuk membunuh si pemuda. Ki Seng-in sendiri tidak
mampu membantu sang suami, ia menjadi gelisah dan
berseru, "Toako, fajar sudah hampir tiba, biarlah kita
tinggalkan dia saja!"
Desakan istri membuat Utti Keng menjadi ragu-ragu.
Saat itu ia sudah berada di atas angin, si pemuda sudah
mandi keringat karena dicecar berpuluh jurus serangan,
napasnya juga sudah memburu, kemenangan Utti Keng
terang sudah pasti, tapi ia tidak berani yakin apakah
dapat membinasakan pemuda itu sebelum fajar
menyingsing. Begitulah Utti Keng menjadi serba susah. Kalau hari
sudah terang, tentu akan kedatangan orang-orang dari
keluarga Kang, pula ia pun menguatirkan luka sang istri
yang parah dan harus lekas mencari suatu tempat
istirahat yang baik untuk mengobati istrinya. Tapi ia pun
kuatir meninggalkan saksi-saksi hidup sebab hal ini
berarti akan mendatangkan malapetaka di kemudian
hari. Apalagi sekarang keadaannya sudah unggul, mana
dia mau mengakhiri pertarungan ini dengan demikian
saja" Tiba-tiba Utti Keng mendapat akal, cepat serunya,
"Adik In, coba kau periksa dulu budak busuk itu. Kalau
belum putus napasnya boleh kau tambahkan lagi tusukan
padanya." Menurut dugaan Utti Keng, sesudah Kang Hiau-hu
terkena paku Tau-kut-ting yang disambitkannya tadi
besar kemungkinan sudah binasa. Tapi ia pun masih
sangsi, maka sang istri disuruhnya memeriksanya lagi. Ia
menaksir istrinya masih kuat untuk membinasakan anak
dara yang sudah menggeletak itu, walaupun dalam
keadaan terluka. Keadaan Kang Hiau-hu memang sangat payah, tapi ia
masih hidup. Ia memakai baju kutang pusaka yang tak
tertembus oleh paku musuh. Tapi luka sebelumnya
memang sudah parah, ditambah lagi hulu hatinya
tersambit pula oleh Tau-kut-ting, walaupun tidak sampai


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka lagi, tapi jantungnya juga terguncang sehingga
lukanya bertambah parah. Demikianlah Ki Seng-in lantas mengiakan permintaan
sang suami. dengan pedang terhunus ia lantas
mendekati Kang Hiau-hu. Keruan takut Kang Hiau-hu tak terkatakan demi
mendengar suara tindakan orang yang makin mendekat
itu. Lekas ia menahan napas dan pura-pura mati.
Tak diketahui bahwa sesungguhnya Ki Seng-in sendiri
juga sangat bingung dan kuatir. Ia coba memeriksa
napas Hiau-hu dan memegang nadinya pula. Walaupun
anak dara itu telah menahan napas, namun tidak urung
nadinya masih berdenyut dengan perlahan. Maka sekali
pegang saja segera Seng-in tahu sandiwara yang
dimainkan Hiau-hu. Segera ia mengangkat pedangnya, tapi entah
mengapa, tangan dan kakinya terasa lemas dan gemetar
sehingga tidak kuat menusukkan pedangnya. Sekilas itu
timbul macam-macam pertentangan batin Ki Seng-in,
kalau mengingat keselamatan mereka suami-istri kelak
rasanya tiada jalan lain kecuali membinasakan saksi dan
menghilangkan bukti. Tapi dasar hati nurani Ki Seng-in
bukanlah orang jahat, betapapun ia merasa tidak tega
membunuh seorang dara remaja yang tak berdosa.
Selagi Ki Seng-in merasa ragu-ragu, mendadak
terdengar si pemuda menggerung kalap, sekonyongkonyong
orangnya memelompat mundur dan menerjang
ke arah Ki Seng-in. Tak tersangka bahwa Utti Keng justru menghendaki si
pemuda berbuat demikian, segera ia menguber dengan
rapat dan melontarkan pukulan dari jauh.
Karena tubuh pemuda itu tengah terapung di udara,
dengan sendirinya ia tidak mampu berkelit, "biang",
tanpa ampun lagi pemuda itu berguling dan jatuh tidak
jauh di sebelah Kang Hiau-hu.
Dalam pada itu secepat kilat pedang Utti Keng juga
sudah menyambar tiba. Karena tak sempat berdiri tegak
lagi, terpaksa pemuda itu menggunakan gerakan 'Kihweliau-thian' (mengangkat obor menerangi langit),
Boan-koan-pit digunakan menangkis ke atas. Tapi lantas
terdengar suara "trang" pula yang nyaring, kembali
Boan-koan-pitnya telah tertabas kutung.
Utti Keng terbahak-bahak, jengeknya, "Nah, ingin
kulihat apakah kau masih berani bersikap berandal dan
berlagak garang" Lebih baik kau menemani budak busuk
itu pergi melapor kepada Giam-lo-ong (raja akhirat)
saja." Di tengah tertawanya itu, pedang Utti Keng lantas
membacok ke bawah. Ia mengira jiwa pemuda itu pasti
akan melayang tak terampunkan. Siapa tahu mendadak
pemuda itu telah menggunakan gerakan 'Le-hi-tah-ting'
(ikan lele melejit ke atas), tahu-tahu orangnya membalik
tubuh dan tepat serangan Utti Keng itu dapat
dihindarkan. Malahan Boan-koan-pit yang kiri secepat
kilat lantas menikam juga.
Adalah salah Utti Keng sendiri karena dia terlalu
gegabah, ia mengira besar kemungkinan pemuda itu
akan binasa terkena tenaga pukulannya tadi, tak terduga
pemuda itu masih mampu memberikan serangan
balasan. Karena tak tersangka-sangka itulah tanpa
ampun lagi perutnya lantas tertikam oleh Boan-koan-pit,
sakitnya tak terkatakan. Seketika suara tawa Utti Keng
tadi berubah menjadi jeritan ngeri, tapi ia pun benarbenar
tangkas, sesudah terluka ia tidak mundur,
sebaliknya sebelah kakinya lantas melayang sehingga
pemuda itu kena ditendangnya terjungkal pula dan
terpental beberapa meter jauhnya.
"He, kenapakah kau, Toako?" seru Seng-in dengan
kuatir. "Tidak apa-apa, hanya terluka sedikit saja," sahut Utti
Keng. "Hm, anak keparat, apa kau masih dapat hidup
lagi?" "Benar, aku memang tidak ingin hidup lagi," demikian
kata si pemuda dari jauh. "Hayolah maju sini, mari kita
mengadu jiwa lagi. Hm, sekalipun mati juga aku akan
ajak kau sebagai teman ke pintu akhirat."
Sungguh kejut dan heran Utti Keng tak terhingga,
pikirnya, "Sudah terluka parah demikian bocah busuk itu
toh masih dapat bicara. Tampaknya dia masih sanggup
bertahan untuk sekian lamanya walaupun sudah terluka
dalam. Sungguh aneh, usianya masih muda belia,
mengapa memiliki Lwekang setinggi ini" Apa barangkali
dia tadi belum mengeluarkan segenap kepandaiannya
dan aku yang telah salah menilai dia?"
Dengan menahan sakit Utti Keng lantas mencabut
Boan-koan-pit yang menancap di perutnya itu dan cepat
membubuhi obat luka. Ki Seng-in lantas mendekati sang suami hendak
membalut lukanya, tapi dia sendiri terluka parah dan
sangat payah, ketika melihat suaminya bermandikan
darah, ia menjadi kuatir, tanyanya dengan suara berbisik,
"Bagaimana" Parah tidak lukamu, Toako?"
"Tidak," sahut Utti Keng. "Budak busuk itu telah kau
bunuh?" "Dia benar-benar sudah mati, aku tiada tempo buat
memotong mayatnya, biarkan dia mati dengan mayat
sempurna saja," sahut Seng-in.
Apa yang dikatakan Ki Seng-in rupanya didengar oleh
si pemuda, ia tidak tahu kalau Seng-in berbohong, maka
ia menjadi kuatir dan gusar, namun sudah tidak kuat
untuk mendamprat lagi. Maka terdengar Utti Keng tertawa dan berkata pula,
"Haha, bagus, bagus! Anak keparat itupun tidak sayang
mengorbankan nyawanya untuk membela putri Kang
Hay-thian, maka tak perlu aku membunuhnya, biarkan
dia mati sendiri dengan mayat sempurna saja. Apabila
Kang Hay-thian menerima kebaikanmu atas diri putrinya,
mungkin dia akan menguburkan kalian di dalam liang
yang sama." Kiranya luka Utti Keng sendiri sesungguhnya tidaklah
ringan. Biarpun dia beromong besar, tapi di dalam hati
benar-benar takut kalau-kalau si pemuda masih kuat
melabraknya lagi. Ia sengaja bergelak tertawa dan
omong besar, semuanya ini hanya untuk menutupi lukaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
parahnya sendiri, padahal ia benar-benar tidak kuat
bertempur pula. Cuma saja dia punya obat luka yang
bagus, lukanya itu diperkirakan harus dirawat dua tiga
hari baru dapat sembuh. Sebaliknya ia menaksir luka
pemuda itu pasti juga tidak enteng. Di tengah lembah
sunyi itu, tanpa pertolongan orang, pemuda itu pasti
akan mati sendiri. Maka ia merasa tidak perlu mengadu
jiwa pula dengan pemuda itu.
Begitulah, dengan mengumpulkan sisa tenaganya Utti
Keng lantas menolong sang istri dan berjalan pergi. Ia
tahu istrinya juga mengetahui keadaannya yang parah,
maka ia telah membisikinya, "Adik In, kau jangan kuatir.
Kuda budak itu adalah seekor kuda bagus, kita justru
dapat menggunakannya untuk melarikan diri. Biarpun
terluka rasanya aku masih sanggup menjinakkan seekor
binatang tunggangan."
Dalam pada itu, dengan kuatir si pemuda juga sedang
memperhatikan gerak-gerik Utti Keng, ia bertiarap dan
menempelkan telinganya di atas tanah, sesudah
mendengar suara derap kuda yang makin menjauh
barulah ia menghela napas lega. Tapi sesudah merasa
lega seketika ia pun tidak sadarkan diri.
Kiranya pemuda itu terluka dalam sangat parah, ia
berteriak hendak mengadu jiwa pula dengan Utti Keng
sebenarnya juga serupa tujuannya dengan Utti Keng,
yaitu untuk menutupi keadaannya sendiri yang payah.
Padahal keadaan pemuda ini jauh lebih payah daripada
dugaan Utti Keng, maka sesudah hilang rasa tegangnya,
segera ia pun jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan sadar tak
sadar tiba-tiba si pemuda mendengar suara jatuhnya
sepotong batu di sebelahnya. Disangkanya kedatangan
musuh lagi, segera ia terjaga bangun. Ia merasa silau
oleh cahaya sang surya, kiranya waktu itu sudah siang
hari. Ia mendengar suara berkresekan di semak-semak
sana, waktu diperhatikan kiranya adalah satu orang yang
sedang merangkak ke arahnya. Tak usah dijelaskan lagi
orang itu tentu Kang Hiau-hu adanya.
Keadaan Kang hiau juga tidak kurang payahnya
daripada si pemuda, ia sudah merangkak sekian lamanya
dan baru dapat mencapai sejauh beberapa meter. Batu
tadi adalah dia yang menyambitkan ke samping si
pemuda dengan sisa tenaganya yang ada.
Ketika melihat si pemuda sudah sadar, ia merasa
bersyukur sekali, tadinya ia sangka pemuda itu sudah
mati. Ia bermaksud bicara, tapi suaranya sedemikian
lemah hingga mirip suara nyamuk mendenging.
Namun samar-samar si pemuda dapatlah mendengar
suara Hiau-hu yang berkata padanya, "Lekas kau
kemari!" Walaupun sama-sama terluka parah, tapi si pemuda
lebih kuat daripada Hiau-hu, semangatnya lantas
terbangkit ketika mengetahui anak dara itu sedang
menantikan pertolongannya, perlahan-lahan ia lantas
merangkak dan mendekati Hiau-hu.
Dengan suara yang agak lemah seakan-akan cuma
mendesis Hiau-hu berkata pula, "Di dalam bajuku ada
Siau-hoan-tan, harap kau bantu mengeluarkannya."
Untunglah pemuda itu sekarang sudah dekat dengan
Hiau-hu sehingga suara yang sangat lirih itu dapatlah
didengar. Siau-hoan-tan adalah obat mujarab bagi luka dalam,
yaitu obat buatan tabib sakti dari Hoa-san, Hoa Thianhong,
ayah angkat Kang Hay-thian. Dengan sendirinya
dalam perjalanan Kang Hiau-hu ini ia pun membawa obat
asal pemberian Hoa Thian-hong itu. Cuma sayang ia
sangat lemah sehingga untuk mengambil obat di baju
sendiri pun tidak kuat lagi, maka terpaksa harus minta
bantuan orang lain. Si pemuda juga tahu khasiat Siau-hoan-tan, ia sangat
girang demi mendengar adanya obat itu. Tapi ia lantas
menghadapi suatu persoalan sulit, obat itu tersimpan di
dalam saku Kang Hiau-hu, apakah dirinya boleh
sembarangan menggagap-gagap di atas badan seorang
dara remaja. "Bagaimana, apa kau pun tidak punya tenaga lagi"
Lekas ambil obatku ini dan akan kubagikan sebutir
untukmu," kata Hiau-hu ketika melihat pemuda itu
tertegun. Dalam keadaan terpaksa si pemuda juga tak dapat
memikirkan peraturan-peraturan adat lagi. Segera ia
pejamkan mata, sekuatnya ia angkat tangan dan
menggagap-gagap di baju Hiau-hu. Selama hidupnya
baru pertama kali ini ia menyentuh tubuh kaum wanita,
keruan ia menjadi merah jengah, hatinya berdebardebar.
Lebih runyam lagi karena di dalam saku Kang
Hiau-hu itu ternyata terisi macam-macam barang, meski
sudah menggagap-gagap sekian lamanya tetap tidak
tahu Siau-hoan-tan itu tersimpan dimana"
Hiau-hu sendiri adalah dara remaja yang masih
kekanak-kanakan. Ia minta bantuan seorang pemuda
asing karena terpaksa, ia pun baru pertama kali ini
tubuhnya disentuh oleh seorang lelaki, maka ia merasa
malu-malu dan risi. Akhirnya berkatalah ia, "Mengapa
tidak lekas kau keluarkan Siau-hoan-tan?"
Si pemuda terkejut dan sedikit menarik tangannya,
jawabnya dengan gelagapan, "Aku ... aku tidak tahu
Siau-hoan-tan tersimpan dimana?"
Muka Hiau-hu menjadi merah, baru sekarang ia ingat
dirinya sendiri yang teledor karena tidak menjelaskan
dimana beradanya obat itu. Cepat ia berkata, "Tersimpan
di dalam sebuah kotak kecil."
Maka dengan segera si pemuda dapatlah menemukan
kotak kecil itu dan diambil keluar. Ia menjejalkan sebutir
obat itu ke dalam mulut Kang Hiau-hu.
Setelah menelan obat, sejenak kemudian barulah
Hiau-hu berkata, "He, mengapa kau termangu-mangu,
lekas kau pun minum obat ini."
"Ya, banyak terima kasih atas pemberian obat nona
ini," sahut si pemuda.
Setelah minum obat Siau-hoan-tan, rasa sesak di dada
Hiau-hu lantas banyak berkurang, dengan cepat
semangatnya juga mulai pulih, katanya dengan tertawa,
"Kau yang telah menyelamatkan jiwaku dan sampai
sekarang aku belum lagi mengucapkan terima kasih
padamu." Sesudah si pemuda minum sebutir Siau-hoan-tan, ia
menutup kotak obat itu, lalu dikembalikan kepada Hiauhu
sambil memandang sekejap kepada nona itu. Seketika
jantungnya memukul keras, pikirnya, "Sungguh suatu
pengalaman aneh, belum bertemu dengan Kang-tayhiap
aku sudah bertemu dulu dengan putrinya. Adalah tidak
heran jika dia memiliki kepandaian tinggi karena dia
mempunyai seorang ayah seperti Kang-tayhiap, yang di
luar dugaan adalah dia sedemikian cantiknya, belum
pernah kulihat wanita yang lebih cantik dari dia.
Untunglah dia tidak terbinasa di tangan Utti Keng dan
istrinya." Kiranya di tengah malam yang gelap semalam
hakikatnya dia belum melihat jelas wajah Kang Hiau-hu.
Sebabnya dia termangu-mangu tadi rupanya adalah
lantaran terkesima terhadap kecantikan anak dara itu.
Hiau-hu sendiri pun cemas-cemas girang, pikirnya,
"Usia pemuda ini tampaknya cuma beberapa tahun lebih
tua daripadaku, tapi ilmu silatnya agaknya jauh lebih


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi daripadaku. Ibu selalu kuatir usiaku muda dan
pengalamanku cetek, maka aku dipesan agar selalu
waspada terhada kepalsuan orang Kangouw, tapi
pemuda ini tampaknya seperti seorang ksatria yang
sopan-santun. Ya, dalam keadaan tak berdaya seperti
sekarang ini, tentu celakalah aku bilamana dia adalah
seorang jahat." Begitulah, kedua muda-mudi itu sama-sama
mempunyai prasangka sendiri-sendiri dan sama-sama
memejamkan mata sambil merebah untuk menghimpun
tenaga. Selang dua jam kemudian, lambat-laun Siauhoantan telah memperlihatkan khasiatnya, rasa sakit
Kang Hiau-hu sudah lenyap, baru sekarang ia merasakan
perut lapar. Badan si pemuda lebih sehat daripada Hiau-hu, maka
pulihnya tenaga juga lebih cepat, ia membawa kantong
rangsum kering, di situ masih ada sisa beberapa gempal
nasi goreng. Segera ia mengeluarkannya dan diberikan
kepada Hiau-hu. "Kau sendiri bagaimana, mengapa diberikan semua
padaku?" ujar Hiau-hu.
"Aku akan mencari sedikit makanan lain, pula kita
harus berdaya untuk meninggalkan lembah sunyi ini,"
sahut si pemuda. Lalu ia mendapatkan setangkai kayu
untuk digunakan sebagai tongkat, dengan jalan
berincang-incut ia lantas pergi mencari makanan.
Hiau-hu sangat terharu melihat cara jalan pemuda itu
sangat dipaksakan. Selang sejam kemudian barulah
pemuda itu tampak kembali, pada ranting kayunya
tersunduk dua ekor ikan, keadaan pemuda itu tampak
lesu dan letih. Perut Hiau-hu memangnya sudah 'keroncongan' saking
laparnya, katanya dengan tertawa, "Kedua ekor ikan ini
walaupun agak kecil, tapi juga lumayan daripada tidak
ada, mengapa kau lesu" Untung juga kau masih punya
tenaga untuk menangkap ikan, aku sendiri sudah tidak
kuat untuk memegang sepotong batu sekali pun."
"Aku sudah memeriksa keadaan di sekitar sini," tutur
si pemuda. "Sekeliling sini adalah lereng-lereng yang
terjal, kecuali kalau luka kita sudah sembuh, kalau tidak,
tentu takkan dapat keluar dari sini. Kedua ekor ikan ini
adalah secara kebetulan dapat kutangkap di sungai kecil
di sebelah sana, apakah besok kita dapat menemukan
makanan atau tidak belumlah diketahui!"
Hiau-hu menjadi sedih mendengar keterangan itu.
Maklumlah keadaan mereka benar-benar parah, hanya
berkat Siau-hoan-tan barulah jiwa mereka dapat
dipertahankan. Tapi bilakah luka mereka akan sembuh,
hal ini susah diramalkan.
"Jika demikian harapan kita hanya kalau-kalau ada
orang mencari ke sini dan dapat menolong kita ke atas
sana," kata Hiau-hu kemudian.
"Harapan demikian pun sangat tipis," sahut si pemuda.
"Di lembah yang sunyi seperti ini masakah ada orang
datang ke sini?" "Aku telah berjanji kepada ayahku akan pulang rumah
dalam waktu tiga hari, jika aku tidak pulang tentu beliau
akan mencari aku," tutur Hiau-hu.
"Sebenarnya kau hendak kemana?" tanya pemuda itu.
"Aku justru sedang menguber bangsat wanita itu. Aku
telah mengatakan kepada ayah, bilamana tidak dapat
menyusul bangsat wanita itu, aku akan datang ke Tekciu
untuk minta bantuan Nyo-pangcu dari Kay-pang. Karena
kudaku adalah Jian-li-ma (kuda seribu li sehari).
untuk pulang ke Tekciu rasanya cukup tiga hari saja,
hari ini kebetulan hari ketiga. Cuma sayang kudaku telah
dibawa lari oleh bangsat itu."
Si pemuda tidak sempat bertanya lebih jauh, ia
menghela napas dan berkata, "Jika demikian, ayahmu
tentu akan pergi ke Tekciu untuk mencari dirimu,
rasanya beliau juga takkan menduga bahwa kau akan
terluka di tengah lembah yang sunyi ini."
Hiau-hu pikir benar juga ucapan pemuda itu, katanya
kemudian, "Ya, jika begitu, apa boleh buat, terpaksa kita
pasrah nasib. Sudahlah, paling perlu kita panggang
kedua ekor ikan itu dulu, perutku sudah sangat lapar.
Apakah kau membawa batu api?"
Si pemuda lantas menyalakan segunduk api unggun.
Di bawah cahaya api unggun, wajah Hiau-hu yang putih
pucat itu tampak semakin cantik dan menggiurkan.
Hati si pemuda kembali berdebar-debar, pikirnya,
"Sesudah dia terlepas dari bahaya ini, dia adalah putri
Kang-tayhiap, perbedaan kedudukan ini apakah akan
memungkinkan aku berdekatan dengan dia lagi" Ya,
lebih baik aku dapat mendampingi dia di lembah sunyi
ini, biarpun mati kelaparan juga aku rela."
"He, kenapa kau merasa gembira pula, apakah kau
telah menemukan sesuatu akal yang memungkinkan kita
keluar dari lembah ini?" tanya Hiau-hu tiba-tiba ketika
melihat si pemuda mengulum senyum, tapi tidak tahu
apa yang sedang dipikirkannya.
"Ah, tidak!" sahut si pemuda, "Ini, ikannya sudah
hampir hangus, lekaslah makan!"
"Silakan kau makan juga!"
"Tidak, aku tidak lapar."
"Hayolah makan, kalau kau tidak makan aku pun tidak
mau makan lagi," kata Hiau-hu sambil menikmati ikan
panggang. Namun pikiran si pemuda ternyata sedang melayanglayang,
"Sesudah pergi dari sini, entah kelak dia masih
sedemikian baik padaku atau tidak?"
Sejenak kemudian, tiba-tiba Hiau-hu berkata, "He, aku
mendapatkan suatu akal!"
"Akal apa?" tanya si pemuda.
"Begini, api unggun kita kobarkan sebesar-besarnya,
siang malam jangan dipadamkan. Kalau ada orang
berlalu, andaikan tidak berani turun juga akan
menyiarkan berita tentang apa yang dilihatnya ini."
"Ya, cara ini memang sangat baik. Cuma di sekeliling
kita ini adalah rumput alang-alang belaka, bila kita
kurang hati-hati sehingga api menjalar, maka kita pasti
akan berubah seperti kedua ekor ikan panggang tadi."
Hiau-hu menjadi lemas lagi karena akalnya ternyata
kurang sempurna, katanya kemudian, "Habis, apakah
kita harus menyerah begini saja?"
"Sebenarnya kita masih ada akal lain," ujar si pemuda
sesudah berpikir sejenak.
Hiau-hu menjadi girang, cepat ia menanggapi, "Jika
demikian, hayolah lekas katakan! Kenapa mesti main
teka-teki lagi?" "Akalku ini sih tetap akalmu tadi, hanya saja kita harus
bekerja dulu dengan membersihkan rumput alang-alang
di sekitar api unggun ini, dengan demikian kita tidak
perlu kuatir akan terjadi kebakaran lagi. Dan agar tidak
terjadi sesuatu yang di luar dugaan, bolehlah kita berjaga
secara bergiliran." "Ya, bagus! Mengapa cara yang sederhana ini tadi
tidak terpikir olehku?" seru Hiau-hu.
Walaupun sederhana akal mereka itu, tapi untuk
dilaksanakan ternyata tidaklah mudah. Maklum, tenaga
Kang Hiau-hu belum lagi pulih, dia baru saja bisa
bergerak sedikit. Keadaan si pemuda masih mendingan,
tapi tenaganya juga belum pulih seperti biasa.
Namun demikian mereka tidak pasrah nasib, mereka
berjuang sedapat mungkin, dengan susah payah, dari
siang sampai petang barulah mereka dapat membikin
bersih tanah lapang seluas beberapa meter. Sementara
itu Hiau-hu sudah lapar dan letih, ia terkapar lemas
dengan napas tersengal-sengal.
"Bangsat itu benar-benar membikin celaka kita,"
katanya dengan gemas. "Sudah membawa lari kudaku,
pedangku dirampasnya juga. Kalau tidak, tentu aku
dapat menggunakan pedangku untuk memotong rumput
dan takkan payah seperti sekarang ini."
"Hahaha! Biasanya orang memotong rumput dengan
arit, tapi kau ingin membabat rumput dengan pedang
pusaka, sungguh bahan cerita yang baik. Untunglah kau
tidak menggunakan pedangmu itu, kalau tidak, tentulah
aku akan merasa sayang bagi pedang pusaka itu,"
demikian si pemuda berkelakar.
"Orang lagi mendongkol, kau justru bicara
seenaknya," omel Hiau-hu dengan tersenyum. "Baiklah,
bila kelak pedang sudah kurebut kembali, tentu lebih
dulu akan kupenggal kepala bangsat itu."
Begitulah mereka bicara sambil bergurau sehingga
melupakan rasa letih tadi.
Kemudian si pemuda pergi pula mencari makanan
dengan bantuan tongkatnya. Hiau-hu merasa tidak enak
demi melihat jalan si pemuda yang terpincang-pincang
itu. Dekat maghrib barulah pemuda itu kembali. Sekali ini
lebih beruntung, ia dapat memburu seekor kelinci,
malahan dapat memetik beberapa buah-buahan yang
sekadar dapat dibuat tangsal perut.
Setelah mengumpulkan bahan-bahan bakar dan
membuat api unggun pula, mereka lantas membikin
kelinci panggang dan memakannya dengan lahap.
Selesai makan, semangan Hiau-hu tampak lebih segar
lagi, dengan tertawa ia berkata, "Ai, sudah seharian aku
masih belum tahu namamu."
"Aku she Ubun, bernama Hiong, berasal dari Pakkhia,"
sahut pemuda itu. "Dan mengapa kau bisa datang ke sini?" tanya Hiauhu
pula. "Kalau kau menguber bangsat itu, maka yang kucari
adalah suaminya," tutur si pemuda alias Ubun Hiong.
"Dia bernama Utti Keng, adalah seorang bandit besar
Kwan-gwa." "Aneh, kau masih begini muda, mengapa sudah
bermusuhan dengan seorang bandit besar?" tanya Hiauhu
dengan heran. "Ayahku adalah seorang Piausu (jago kawal) dari
Hong-lui-piau-kiok di Pakkhia," tutur Ubun Hiong. "Ada
satu kali ayah telah mengawal suatu partai barang ke
daerah Kwan-gwa. Tapi barang kawalan itu dirampas
oleh Utti Keng. Walaupun ayah tidak mendapat cidera
apa-apa, tapi karena kerugian yang terlalu besar itu
terpaksa Piau-kiok (perusahaan pengawalan) harus tutup
pintu alias bangkrut. Sebagai orang yang bertanggungjawab,
ayah bermaksud menjual harta bendanya untuk
mengganti kerugian yang diderita perusahaan, namun
Congpiauthau (kepala perusahaan) cukup bijaksana
dan tak mau menerima maksud baik ayah."
"Jika demikian, ayahmu hanya mengalami sedikit
kegagalan, hal ini toh tidak menjadi soal," ujar Hiau-hu.
"Kau tidak paham," kata Ubun Hiong. "Sebagai Piausu,
yang paling diutamakan adalah nama. Barang kawalan
hilang, perusahaan bangkrut, pukulan-pukulan demikian
membikin ayah jatuh sakit dan tidak lama kemudian
lantas meninggal dunia. Meninggalnya ayah walaupun
tidak dibunuh sendiri oleh Utti Keng, tapi pangkal
utamanya adalah karena perbuatan Utti Keng. Pada
sebelum menghembuskan napas penghabisan, ayah
telah menyerahkan sepucuk surat padaku yang sudah
disiapkannya lebih dulu, beliau berpesan agar aku
menyampaikan surat ini kepada Kang-tayhiap."
"Apa kau maksudkan ayahku?" tanya Hiau-hu. "Siapa
lagi kalau bukan ayahmu" Masakah di dunia ini ada
Kang-tayhiap yang kedua?" sahut Ubun Hiong dengan
tertawa. "Jika begitu, jadi ayahmu sudah lama mempunyai
hubungan baik dengan ayahku?" kata Hiau-hu dengan
girang dan heran. "Entahlah, ayah tak pernah mengatakan padaku
bahwa beliau kenal Kang-tayhiap, aku pun tidak tahu
bagaimana bunyi surat ini."
Hiau-hu agak kecewa mendengar jawaban itu, tapi
lantas terpikir olehnya, "Ya, nama ayah sangat tersohor
sehingga setiap orang apakah kenal atau tidak selalu
suka minta bantuannya, mungkinkah ayah Ubun Hiong
termasuk juga orang demikian itu. Seperti halnya Li Bunsing
yang juga tidak kenal ayah, tapi dia mempercayakan
putra yang ditinggalkannya itu, untuk itu ayah lantas
menerimanya dengan suka hati hanya dengan
perantaraan Siau-sioksiok saja. Malahan sebabnya aku
terluka seperti sekarang ini juga lantaran ingin mencari
putra yatim keluarga Li yang belum kukenal itu."
Hiau-hu tersenyum, ia membesarkan api unggun
dengan tangkai kayu, lalu berkata pula, "Kau belum kenal
ayahku, hal inipun tidak menjadi soal. Bangsat itu adalah
musuhmu dan juga musuhku, biarlah nanti aku bantu
bicara dengan ayah, tentu beliau akan dapat
membalaskan sakit hatimu."
"Baiklah, untuk itu sebelumnya aku harus berterima
kasih," sahut Ubun Hiong dengan tertawa. "Tapi entah aku
mempunyai rezeki untuk bertemu dengan ayahmu atau
tidak?" "Ai, bicaramu selalu bernada putus asa, masakah kita
benar-benar akan mati konyol di lembah sunyi ini?" ujar
Hiau-hu sambil mengamat-amati lereng pegunungan
yang curam itu. "Aku justru berharap demikian adanya," pikir Ubun
Hiong. Kemudian ia menyambung pula ceritanya,
"Sesudah menyelesaikan layon ayah, segera aku
berangkat ke selatan dan kemarin tiba-tiba memergoki
bangsat Utti Keng di tengah jalan, meski sebelumnya aku
tidak kenal dia, tapi ayah pernah menceritakan padaku
tentang ciri-ciri mukanya yang penuh berewok, kepala
besar dan pundak lebar, maka dengan mudah saja aku
lantas mengenali dia, segera aku menguntit jejaknya dan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya sampai di lembah sunyi ini. Dari percakapan
mereka aku mendengar bahwa kau adalah putri Kangtayhiap,
dengan sendirinya aku lebih-lebih harus
menolong kau meskipun dia bukan Utti Keng yang kucari
itu." Hiau-hu sangat berterima kasih, tanpa terasa ia
memegang tangan Ubun Hiong, katanya, "Ubun-toako,
bilamana kita dapat menyelamatkan diri, tentu aku akan
membalas budi kebaikanmu ini."
"Sekarang pun kau sudah membalas kebaikanku," ujar
Ubun Hiong dengan tertawa.
"Apa arti ucapanmu ini?" tanya Hiau-hu dengan
tercengang. "Sedemikian baiknya kau bicara padaku, hal ini sudah
cukup bagiku," sahut Ubun Hiong.
Muka Hiau-hu menjadi merah jengah dan melepaskan
tangannya, cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan,
"Sekali melihat bangsat itu kau lantas menyebut
namanya, semula aku mengira kau sudah kenal dia
sebelum ini." "Aku sengaja menegurnya secara mendadak, tak
tersangka memang betul adalah Utti Keng."
"Pintar juga kau ini," puji Hiau-hu.
"Dan mengapa kau menguntit juga istri Utti Keng,
apakah kau juga ada permusuhan dengan dia?" tanya
Ubun Hiong. Karena sudah dipesan oleh ayahnya agar jangan
sekali-kali membocorkan kepada orang luar tentang
penitipan anak yatim O Bun-sing, maka Hiau-hu menjadi
ragu-ragu untuk menceritakannya. Tapi demi teringat
pemuda itu telah menceritakan segala apa yang
menyangkut dirinya, masakah sekarang ia berbalik tidak
bicara secara terus terang"
Dengan pertimbangan itu, akhirnya ia menceritakan
segala sesuatu mengenai maksud tujuan perjalanannya
ini, bahkan ditambahkannya, "Lantaran pergerakan
Thian-li-hwe sudah terbongkar, banyak pemimpinnya
tertawan atau terbunuh, namun ayah telah bertekad
akan melindungi putra yatim Li Bun-sing itu. Sekarang
anak itu meski dibawa lari orang, namun akhirnya pasti
dapat diketemukan kembali. Mengingat betapa penting
dan berbahayanya persoalan ini, maka ayah telah
berpesan padaku agar tutup mulut rapat-rapat. Oleh
sebab itulah aku Dun minta kau tutuD rahasia ini dan
ianean sekali-kali dibocorkan."
"Aku toh bukan anak kecil, tentu aku mengetahui
urusan yang penting ini, harap kau jangan kuatir, tidak
nanti aku katakan pada orang lain," sahut Ubun Hiong
dengan tertawa. "Tapi sekarang kau telah
memberitahukan urusan ini padaku, bukankah kau telah
mengingkari dahulu pesan ayahmu?"
"Ayah hanya melarang aku memberitahukannya
kepada orang luar. Kau telah menolong jiwaku, sekarang
sama-sama menghadapi kesukaran pula, masakah aku
dapat menganggap kau sebagai orang luar?"
Sungguh nikmat sekali perasaan Ubun Hiong, tanpa
terasa ia memegang kencang-kencang kedua tangan
anak dara itu, katanya, "Banyak terima kasih kau tidak
menganggap diriku sebagai orang luar."
Selagi asyik bicara, tiba-tiba terdengar suara guntur
bergemuruh, awan tebal, hujan sudah hampir tiba.
Cepan Ubun Hiong berkata, "Wah, segera akan hujan
lebat, lekas ikut padaku!"
"Tapi terlalu sayang api unggun yang kita nyalakan
dengan susah payah ini," ujar Hiau-hu.
"Badanmu harus diutamakan," kata Ubun Hiong. Lalu
ia tarik si nona dan diajaknya berangkat dengan cepat.
Rupanya pada siang harinya waktu Ubun Hiong
mencari bahan makan telah dipenujuinya suatu tempat
berteduh yang baik. Yaitu suatu tempat yang terdiri dari
dua potong batu cadas raksasa yang saling
berdempetan, di bawahnya terdapat sela-sela seluas satu
meteran sehingga cukup dibuat bersembunyi satu orang.
Baru saja Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu sampai di
tempat itu, saat itulah hujan lebat mulai menuang. Cepat
Ubun Hiong mendorong si nona ke tengah sela-sela batu
itu untuk bernaung. "Ubun-toako, kau ... kau sendirikata Hiau-hu dengan
rikuh. "Lukaku jauh lebih ringan daripadamu, badanku juga
lebih kuat, hanya terkena air hujan saja tidak menjadi
soal," ujar Ubun Hiong.
Lalu ia melepaskan baju luar sendiri untuk dipakai
mengerudung di atas kepala sambil bersandar di dinding
batu, dengan demikian bagian sela-sela yang terluang itu
dapat tertutup rapat sehingga dapat mengaling-alingi air
hujan yang menyiram masuk.
Mestinya Hiau-hu ingin menyuruh pemuda itupun
berteduh di dalam, tapi sela-sela batu itu terlalu sempit,
pula ia merasa malu untuk meringkuk berdempetan,
maka terpaksa membiarkan Ubun Hiong kehujanan di
luar. Saking lelahnya tanpa terasa kemudian ia terpulas.
Ketika terjaga bangun pula, ia mendengar gigi Ubun
Hiong gemertukan menggigil kedinginan.
Sungguh Hiau-hu sangat terharu, cepat ia berkata,
"Toako, silakan kau masuk ke dalam sini saja."
"Tidak apa-apa, aku masih kuat bertahan, hujan pun
sudah berhenti," sahut Ubun Hiong dengan suara
gemetar dan lemah. Hiau-hu melihat hari sudah remang-remang, fajar
sudah menyingsing, hawa sehabis hujan terasa lebih
dingin daripada malamnya. Segera ia keluar dari tempat
bernaungnya, katanya, "Toako, di dalam akan lebih
hangat, semalam tentu kau tidak tidur dengan baik,
silakan masuk mengaso di dalam saja. Biar kunyalakan
api, tolong pinjam batu apimu."
Walaupun badan Ubun Hiong menggigil dingin, tapi
hatinya terasa hangat sekali demi mendengar si nona
memanggilnya dengan "Toako" tanpa menyebut she, ia
merasa tidak sia-sia pengorbanannya bagi anak dara itu.
Dalam pada itu Hiau-hu sudah mulai pulih tenaganya,
walaupun cahayanya masih lemah, tapi jauh lebih segar
daripada kemarin. Ia lihat bekas api unggun kemarin itu
sudah basah dan tidak dapat dinyalakan lagi. Terpaksa ia
harus menunggu terbitnya sang surya, ia pikir lebih
penting mencari bahan makanan dahulu.
Akan tetapi dia kurang mujur, pula tidak
berpengalaman, sesudah mencari kian-kemari tetap tiada
sesuatu binatang kecil yang diketemukan. Akhirnya ia
hanya memetik beberapa buah hutan yang tak diketahui
namanya, lalu dibawa kembali.
Cuaca pagi itu sangat bagus, sang surya
memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Semangat
Hiau-hu menjadi terbangkit sehingga rasa lapar pun
berkurang. Setiba kembali di tempat api unggun kemarin, ia pikir
akan membiarkan Ubun-toako tidur lebih lama lagi, ia
lantas mengumpulkan sisa-sisa kayu dan rumput kering
yang masih agak lembab. Dengan susah payah akhirnya
api dapat dinyalakan. Sementara itu hari sudah dekat lohor, dengan gembira
ria, Hiau-hu lantas kembali ke gua, serunya sambil
berlari-lari, "Toako, api sudah kunyalakan! Kau sudah
bangun belum, lekas keluar untuk mengeringkan
bajumu!" Tiba-tiba dilihatnya Ubun Hiong duduk bersimpuh di
atas tanah tanpa bergerak, terhadap seruannya tadi
seperti tidak mendengar. Dikiranya pemuda itu sedang
melatih diri, segera ia mendekatinya dengan tindakan
perlahan-lahan. Mendadak terdengar tenggorokan Ubun Hiong
mengeluarkan suara "krok-krok" yang aneh, sekonyongkonyong
dia melompat bangun, dengan mata merah
membara ia melotot ke arah Kang Hiau-hu dengan lagak
hendak mencengkeramnya. Keruan Hiau-hu terkejut, cepat ia melompat mundur
sambil berseru, "He, kenapakah kau, Toako!"
Namun Ubun Hiong tidak menjawabnya, sebaliknya
bersuara mengerang dan berkata, "Bangsat, biarlah
kumampuskan kau!" Habis itu ia terus menerjang maju
dan menghantam. "He, Toako, ini akulah adanya!" seru Hiau-hu sambil
berkelit. Akan tetapi dengan mata mendelik merah
kembali Ubun Hiong menubruk dan menghantam pula
berulang-ulang. Terpaksa Hiau-hu berkelit kian-kemari
dan menyingkir mundur, untuk menangkis tidak berani
karena kuatir melukai pemuda itu.
Sekonyong-konyong Hiau-hu keserimpet dan jatuh.
Dengan terbahak-bahak Ubun Hiong lantas menubruk
maju dan dapat . mencengkeramnya. "Hahaha! Hendak
lari kemana lagi kau"!" Habis ini ia lantas pentang mulut
hendak menggigit. Hiau-hu meronta sekuatnya, sebelah tangannya
menampar "Plok," dengan tepat Ubun Hiong kena
ditempeleng sekali. Untuk sejenak pemuda itu tertegun, pikirannya seperti
agak sadar. Ia menggumam, "O, aku ... aku ..."
"Apa kau sudah sadar, Toako" Aku telah memukul
kau, apakah sakit?" kata Hiau-hu dengan menyesal demi
nampak pipi si pemuda berjalur-jalur merah karena
tamparannya tadi. "Kau ... kau jangan kabur lagi ya?" demikian Ubun
Hiong menggumam pula. Hiau-hu menjadi malu dan takut pula, seketika
pikirannya menjadi kusut dan tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang, "Bangsat kurangajar! Lekas lepaskan Sumoayku!"
"Darimana datangnya Suhengku" Tapi suara ini seperti
sudah kukenal!" pikir Hiau-hu dengan heran.
Dan sebelum dia sempat menoleh, terdengar suara
bentakan ayahnya dari jauh, "Siapa itu berani menghina
putriku"!" Kiranya Kang Hay-thian suami-istri dan Yap Leng-hong
kebetulan melihat asap mengepul dari dasar lembah,
mereka merasa heran dan coba menyelidiki ke bawah.
Tak tersangka di sinilah mereka dapat menemukan Kang
Hiau-hu, tatkala itu tertampak Hiau-hu sedang dipegang
oleh Ubun Hiong dan keadaannya sangat terancam.
Mestinya Kang Hay-thian akan merunduk maju untuk
menolong putrinya, tak terduga Yap Leng-hong sudah
lantas mendahului bersuara. Sebab itulah terpaksa Kang
Hay-thian juga bersuara menggertak pihak lawan dengan
ilmu 'Say-cu-hau' (auman singa).
Karena Lwekang Kang Hiau-hu berasal dari ajaran
ayahnya, maka suara Lwekang Say-cu-hau itu hanya
membikin anak telinganya mendenging saja, sebaliknya
Ubun Hiong tidak tahan lagi, ia sudah terluka parah dan
sakit demam pula, demi mendengar getaran suara
Lwekang yang maha kuat itu, seketika ia memuntahkan
darah. Dalam pada itu Kang Hay-thian sudah memburu tiba
secepat terbang, sebelum dekat, dimana dia berlalu,
dengan ujung kaki telah dicungkilnya beberapa potong
batu kecil dan disiapkan di tangan. Waktu jarinya
menjentik, sepotong batu kecil lantas disambitkan lebih
dahulu. Ketika mendengar suara mendesirnya senjata rahasia,
Hiau-hu cukup kenal betapa lihai tenaga ayahnya, kalau
batu itu mengenai Ubun Hiong, mustahil jiwa pemuda itu
takkan melayang. Cepat ia rangkul Ubun Hiong dan
mengaling-alinginya dengan tubuh sendiri, berbareng itu
ia pun berteriak memanggil "ayah" dengan suara yang
gemetar. Kang Hay-thian terkejut, cepat ia susulkan sambitan
batu kedua dengan tenaga lebih kuat sehingga batu
pertama tersusul dan terbentur melenceng dan lewat di
samping Hiau-hu tanpa melukainya.
Dalam pada itu secepat terbang Kang Hay-thian sudah
memburu tiba sampai di depan Kang Hiau-hu, perlahanlahan
ia mendorong pergi putrinya, lalu Ubun Hiong
dipegangnya. "Ayah, jangan baru saja Hiau-hu hendak mencegah,
namun sebelah tangan Kang Hay-thian sudah
digaplokkan ke punggung Ubun Hiong.
Saking kuatirnya sampai Hiau-hu terpaku di
tempatnya. Dilihatnya tubuh Ubun Hiong Hiong rada
menggigil, tapi tidaklah seperti dugaannya dihantam
roboh oleh ayahnya. "He, siapakah dia ini?" tanya Hay-thian dengan heran.
"Dia telah terluka parah, kemudian kena demam, lalu
berlatih secara paksa sehingga hawa murninya tersesat,
untunglah belum terlalu kasip, hanya pikirannya yang
sudah kacau." Baru sekarang Hiau-hu tahu bahwa ayahnya tidak
bermaksud menghantam Ubun Hiong, sebaliknya telah
menggunakan tenaga saktinya untuk menolong pemuda
itu. "Harap ayah suka bantu menyembuhkan dia," pinta
Hiau-hu. "Dia adalah penolong jiwaku."
Sementara itu Kok Tiong-lian juga sudah menyusul
tiba, ketika melihat keadaan Kang Hiau-hu, dengan kuatir
ia terus memeluknya sambil berkata, "O, anakku,
siapakah yang telah melukai kau sedemikian rupa?"
"Bukan dia ini, tapi adalah seorang penjahat yang
bernama Utti Keng," tutur Hiau-hu.
"Hay-ko, kau tidak memeriksa dulu putrimu?" seru
Tiong-lian. "Sudah kuperhatikan sejak tadi," sahut Hay-thian.
"Anak Hu walaupun terluka, tapi tidak berbahaya, paling


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebulan kesehatannya pasti akan pulih. Tapi pemuda ini,
ai, rasanya rada-rada susah ..."
Hiau-hu menjadi cemas, katanya dengan suara kuatir,
"Yah, jiwaku ini adalah berkat pertolongan Ubun-toako
ini, maka sedapat mungkin ayah harus ... harus
menolongnya pula." "Siapakah pemuda ini" Cara bagaimana kau bertemu
dengan dia" Coba ceritakan padaku," tanya Kok Tionglian
dengan ragu-ragu. Maka berceritalah Hiau-hu tentang apa yang telah
terjadi ketika dia memergoki Ki Seng-in sehingga
akhirnya dia terluka bersama Ubun Hiong sesudah
mengalami pertarungan sengit dengan Utti Keng. Meski
dia telah bercerita sekian lamanya, tapi Ubun Hiong
masih belum sadar juga. Diam-diam Tiong-lian mengakui juga Ubun Hiong
memang betul adalah tuan penolong putrinya dan
terhitung ksatria muda yang berjiwa luhur. Cuma
sebelum mengetahui asal-usulnya betapapun pemuda ini
masih harus disangsikan. Tengah Hiau-hu bercerita, sementara itu Yap Lenghong
juga sudah datang. Meski dia tidak lengkap
mengikuti cerita si nona, tapi telah diketahuinya juga
bahwa pemuda yang tak dikenal ini adalah tuan
penolong sang Sumoay, bahkan dari nada Sumoaynya
dapat diketahui bahwa si nona sangat berterima kasih
kepada pemuda itu, malahan memperlihatkan pula
semacam perasaan yang susah dikatakan. Diam-diam
Leng-hong merasa cemburu, tapi lahirnya tidak
memperlihatkan sesuatu tanda, katanya kemudian, "Ya,
budi kebaikan Ubun-toako ini kita harus membalasnya
dengan baik." "Menurut pendapatmu cara bagaimana kita harus
membalas budinya?" tanya Tiong-lian.
"Sesudah Suhu menyembuhkan dia, aku bersedia
mengantar dia pulang ke rumahnya," sahut Leng-hong.
"Untuk membalas budinya,
Suhu dapat memperkenalkan dia kepada Piau-kiok
besar kenalannya di kotaraja, bukankah dia berasal dari
keluarga tokoh Piau-kiok" Untuk urusan ini boleh
serahkan kepadaku saja."
"Bagus, usulmu ini sangat baik," ujar Tiong-lian.
"Bagaimana pendapatmu, Hay-ko, apakah lukanya
berhalangan" Bagaimana kalau dia diantar pulang oleh
Leng-hong" Anak Hu, sisa Siau-hoan-tan yang masih ada
padamu boleh kau bawakan kepada Suhengmu sekalian."
Belum lagi Kang Hay-thian menanggapi pertanyaan
istrinya, dengan cepat Hiau-hu sudah berkata, "Tidak,
menurut pesan ayahnya, dia dilarang berkecimpung di
kalangan Piau-kiok lagi. Kita tidak boleh membikin ...
membikin susah padanya "Habis menurut pendapatmu cara bagaimana kita
harus mengurus dia?" tanya Tiong-lian dengan mengerut
kening. Kiranya Kok Tiong-lian mempunyai perhitungan
sendiri. Sejak kedatangan Yap Leng-hong yang pintar
mengambil hatinya itu, maka diam-diam ia ada maksud
menjodohkan putrinya kepada sang keponakan.
Sekarang tiba-tiba muncul seorang Ubun Hiong yang
telah menyelamatkan putrinya, mau tak mau ia menjadi
repot menghadapi persoalan ini. Apalagi melihat sikap
Hiau-hu yang begitu gugup mendengar Ubun Hiong akan
diantar pulang, diam-diam Tiong-lian membatin, "Melihat
gelagatnya, agaknya anak Hu telah jatuh hati kepada
pemuda ini. Walaupun anak muda ini tampaknya boleh
juga, tapi mana dapat dibandingkan dengan
keponakanku sendiri?"
Dalam pada itu Kang Hiau-hu menjadi kikuk atas
pertanyaan ibunya tadi, dengan muka merah ia tidak
dapat menjawab. "Biarlah aku menyembuhkan dia dahulu, segala urusan
dapat dibicarakan kelak," demikian kata Kang Hay-thian.
Hiau-hu menjadi girang. "Ya, betul, sesudah Ubun
Hiong-toako sembuh barulah kita bicara lebih jauh.
Sekarang belum lagi diketahui keadaan lukanya," katanya
cepat. "Anak Hu, ini, beri hormat dahulu kepada Suhengmu,"
kata Tiong-lian. Tempo hari karena Hiau-hu buru-buru berangkat,
maka dia tidak mengetahui tentang asal-usul Yap Lenghong.
Dengan heran ia bertanya, "Apakah paman Yap
ini?" "Dia bukan pamanmu, tapi dia adalah kakakmisanmu,"
Tiong-lian menerangkan. Pada saat itulah mendadak terdengar tenggorokan
Ubun Hiong mengorok, terus memuntahkan sekumur
darah mati. Hiau-hu terkejut, sebaliknya Hay-thian merasa lega,
katanya, "Baiklah, akhirnya dia dapat tertolong." Namun
demikian, terlihat keningnya masih mengerut, suatu
tanda sedang memikirkan sesuatu.
Perlahan-lahan Ubun Hiong telah siuman, ketika
melihat banyak orang mengelilinginya, ia menjadi kaget.
"Toako, ayah-ibuku telah datang, ayahku yang telah
menyelamatkan kau," seru Hiau-hu.
"Ah, kiranya adalah Kang-tayhiap, terimalah hormat
Wanpwe," seru Ubun Hiong dan bermaksud memberi
sembah hormat. Akan tetapi kaki-tangannya sudah tidak
mau diperintah lagi. Cepat Hay-thian menahannya, katanya, "Jangan
banyak adat. Kau telah menolong putriku, untuk inipun
aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Kau she
Ubun, apakah kau berasal dari Kongciu?"
"Betul," sahut Ubun Hiong. "Darimana Kang-tayhiap
mendapat tahu?" "Ubun Long pernah apamu?" tanya Hay-thian pula.
"Beliau adalah ayahku," sahut Ubun Hiong.
"Haha, ketika aku bantu menguatkan tenagamu, aku
merasa Lwekangmu ini berasal dari golongan Kim-kongdang,
diketahui pula kau she Ubun, aku menduga kau
pasti keluarga Ubun Long dan ternyata memang benar.
Jika demikian kita bukan lagi orang luar!"
Mendengar ucapan ayahnya ini. Kang Hiau-hu
bertambah girang, serunya, "He, Ubun-toako, kiranya
kita ada hubungan kekeluargaan, mengapa tidak kau
katakan sejak mula. Yah, dia membawa pula surat
tinggalan ayahnya yang dialamatkan kepadamu."
Kiranya Ubun Long adalah murid pertama In Ciau, Incengcu
dari Cui-in-ceng di Kengciu. In Ciau mempunyai
seorang putra dan seorang putri. Putranya, In Khing,
memperistri saudara angkat Kang Hay-thian, yaitu putri
tabib sakti Hoa Thian-hong dari Hoa-san. Sedangkan
putri In Ciau yang bernama In Bik adalah istri kakak
kedua Kok Tiong-lian, yaitu Danu Cu-mu yang kini
menjadi raja Masar. Sebab itulah hubungan kekeluargaan
antara Kang Hay-thian dan In Ciau cukup akrab {tentang
In Ciau dan putra-putrinya dapat dibaca dalam cerita
Peng Ho Swe Kiam/Kisah Pedang di Sungai Es).
Dahulu waktu Kang Hay-thian masih bujangan dan
bertemu di rumah In Ciau, di situ dia berkenalan dengan
Ubun Long. Habis itu mereka tidak pernah berjumpa
pula. Walaupun ucapan Kang Hiau-hu agak berlebihan
tentang "hubungan kekeluargaan" segala, tapi sedikit
banyak memang boleh dikata ada hubungan
persahabatan. Namun bagi pendengaran Yap Leng-hong
tentu saja menimbulkan perasaan tak enak. Tapi lantas
terpikir olehnya, "Biarpun dia pernah ada sedikit
hubungan dengan keluarga Kang tapi mana dapat
dibandingkan aku yang masih terhitung keponakan ibu
guruku sendiri." Sementara itu Ubun Hiong telah bicara, "Sungguh
malang ayah telah meninggal dunia, beliau meninggalkan
surat dan suruh Siautit berkunjung kepada Kangtayhiap."
"Tentang kemalangan ayahmu, tadi aku sudah
mendengar dari cerita anak Hu," kata Hay-thian.
"Dimanakah suratnya?"
"Di dalam bajuku," sahut Ubun Hiong. Karena tidak
leluasa bergerak, maka Kang Hay-thian lantas mengambil
sendiri surat itu. Kiranya surat Ubun Long itu menyatakan bahwa dia
menginsyafi hayatnya tidak lama lagi di dunia fana ini,
maka mohon Kang Hay-thian suka memupuk putranya.
Tentang barang kawalannya yang dirampas orang itu
adalah soal biasa di dunia Kangouw, maka bukan
maksudnya menyuruh putranya menuntut balas, hanya
saja putranya diharapkan akan dapat mengalahkan
musuh dan merebut kembali barang kawalan, untuk itu
diharapkan Kang Hay-thian mengingat hubungan baiknya
dengan gurunya, yaitu In Ciau, dan suka membantu
serta mendidik putranya supaya cita-citanya itu dapat
terkabul. Jadi maksud isi surat ini sebenarnya Ubun Long minta
agar Kang Hay-thian suka menerima putranya sebagai
murid, cuma saja hal ini tidak dikemukakan secara tegas.
Diam-diam Hay-thian berpikir sesudah membaca surat
itu, "Keadaan Ubun Long berbeda dari Li Bun-sing.
Persengketaan orang Kangouw seperti dia itu
sesungguhnya aku tidak ingin ikut campur. Hanya secara
kebetulan begal yang merampas barang kawalannya itu
justru adalah penjahat yang menculik pula putra Li Bunsing,
maka terpaksa aku tidak dapat tinggal diam."
Sekilas dilihatnya pula keadaan Ubun Hiong yang
payah itu, maka terpikir lagi olehnya, "Dia telah
menolong jiwa putriku, tentang membantu dia menuntut
balas adalah soal kemudian, paling perlu sekarang aku
harus menyelamatkan dia dulu."
Maka kemudian ia berkata, "Tentang wafatnya
ayahmu, apakah pernah kau beri kabar kepada kakek
gurumu?" "Kakek guru sekeluarga sudah pindah dan bermukim
di negeri Masar, karena perjalanan terlalu jauh, maka
belum mengirim kabar," sahut Ubun Hiong.
"Kakek gurumu terkenal dengan Tay-lik-kim-kongciang
yang tiada bandingannya, cuma saja sangat
memakan tenaga untuk melatihnya, entah ilmu kakek
gurumu itu sudah berapa lama kau latih?" tanya Haythian.
"Sudah delapan tahun lamanya," sahut Ubun-Hiong .
"Dan berapa umurmu tahun ini?" tanya Hay-thian.
"Tepat berumur delapan belas," sahut Ubun Hiong.
"Jika demikian kau sudah berlatih sejak berumur
sepuluh. Untuk melatih Kim-kong-ciang diperlukan
tenaga yang kuat, ayahmu membiarkan kau melatihnya
sejak masih anak-anak, hal ini menandakan
pembawaanmu memang lain daripada yang lain."
"Di waktu kecil tenagaku memang mampu
membandingi orang dewasa, tapi sekarang, ai bila
teringat keadaan sendiri yang payah sekarang, seketika
Ubun Hiong menjadi muram.
"Ayahmu menginginkan kau berlatih ilmu dengan lebih
tinggi agar dapat mengalahkan musuh dan merebut
kembali barang kawalan yang hilang itu," kata Hay-thian.
"Cuma saja keadaanmu sekarang agaknya tidaklah cocok
untuk berlatih Kim-kong-ciang yang memerlukan tenaga
kuat." "Ya, entah kapan kesehatanku baru dapat pulih
kembali, tentang menuntut balas kukira tiada harapan
lagi," sahut Ubun Hiong dengan tersenyum getir karena
insyaf Lwekang sendiri yang telah lumpuh sekarang.
"Kim-kong-ciang adalah ilmu yang mengutamakan
kekerasan tenaga, dalam ilmu pedang Thian-san ada
semacam Si-mi-kiam-hoat yang mengutamakan
kelemasan, jika dilatih bersama Kim-kong-ciang, maka
perseimbangan antara keras dan lemas itu akan sangat
berguna bagi yang melatihnya untuk menghemat
tenaga," demikian Hay-thian menutur. "Kau telah
menolong jiwa putriku, sebagai balas budimu, entah kau
suka belajar ilmu dari golongan lain atau tidak" Jika kau
suka, maka bolehlah aku mengajarkan Si-mi-kiam-hoat
padamu sebagai balas jasa kebaikanmu."
"Jadi kau bersedia menerima Ubun-toako sebagai
murid ayah?" seru Hiau-hu dengan girang.
"Aku cuma membalas budi kebaikannya saja, Ubunsuheng
mempunyai perguruan sendiri, mana boleh aku
merebut cucu murid In-loenghiong," ujar Hay-thian
dengan tertawa. Tiba-tiba Ubun Hiong berkata, "Aku hanya secara
kebetulan memergoki dan menghalau musuh bersamasama
putri Kang-tayhiap, soal membela keadilan di dunia
Kangouw adalah hal-hal yang jamak, iika menginginkan
balas jasa apa-apa, itu bukan lagi perbuatan seorang
ksatria!" Kang Hay-thian berbalik rikuh mendengar jawaban si
pemuda, tanyanya, "Jadi kau tidak sudi menerima
hadiahku, tidak mau belajar Si-mi-kiam-hoat?"
"Bila Kang-tayhiap mengajarkan kepandaian kepadaku
dalam kedudukan sebagai Suhu, sudah tentu akan
kuterima dengan senang hati, tapi kalau dimaksudkan
sebagai balas jasa apa segala, maka sekali-kali aku tidak
berani menerimanya."
Hay-thian tertawa mendengar ucapan yang jitu itu,
katanya, "Baiklah, jika demikian, sementara ini bolehlah
kau menjadi calon muridku, bilamana kakek gurumu
nanti mengizinkan barulah kelak kau mengadakan
upacara pengangkatan guru secara resmi padaku."
Semula Kok Tiong-lian merasa kurang senang melihat
sang suami bermaksud menerima Ubun Hiong sebagai
murid, pikirnya, "Aku justru ingin menjauhkan mereka,
tapi Hay-ko malah menerimanya sebagai murid, apakah
ini takkan membikin susah?"
Namun Kok Tiong-lian juga seorang yang berjiwa


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luhur, sesudah melihat keadaan Ubun Hiong yang parah,
akhirnya ia dapat pula memahami maksud baik sang
suami. Tentang hubungan Hiau-hu di antara kedua
Suhengnya nanti, mau tak mau terserahlah kepada
keadaan dan nasib masing-masing.
Hiau-hu sendiri sangat senang ketika sudah terang
ayajmya telah mengakui Ubun Hiong sebagai murid,
segera ia berkata, "Ubun-toako, mulai sekarang aku akan
memanggil kau sebagai Jisuko (kakak seperguruan
kedua)." Sudah tentu hati Yap Leng-hong sangat tidak enak,
tapi ia terpaksa tersenyum dan memanggil "Sute" juga
kepada Ubun Hiong. Kok Tiong-lian lantas berkata pula, "Leng-hong adalah
murid pewaris perguruan, selanjutnya harus memberi
bimbingan kepada Sute dan Sumoaynya. Dan kau, anak
Hu, Leng-hong adalah Piaukomu, Hiong-ji juga ada
hubungan kekeluargaan turun temurun dengan kita,
kalian bertiga sekarang adalah saudara seperguruan
pula, maka selanjutnya kalian harus bergaul lebih akrab
sebagai sesama anggota keluarga sendiri."
Leng-hong dan Ubun Hiong sama-sama mengiakan.
Lebih-lebih Hiau-hu, dengan senang ia berkata, "Ibu
jangan kuatir, aku tidak punya kakak, maka aku akan
menganggap kedua Suheng ini sebagai kakakku sendiri,
takkan berkelahi dan takkan bertengkar dengan mereka."
Sebenarnya dengan ucapan Kok Tiong-lian tadi secara
samar-samar ia telah sengaja menonjolkan hubungan
Yap Leng-hong dengan keluarga Kang yang lebih rapat
daripada Ubun Hiong. Sudah tentu Ubun Hiong tidak
pernah memikirkan maksud lain di balik kata-kata ibu
gurunya itu. Sebaliknya Yap Leng-hong adalah pemuda
yang cerdik, diam-diam ia merasa senang, pikirnya,
"Bocah itu tidak lebih cakap daripadaku, entah
bagaimana ilmu silatnya, tapi sekarang dia dalam
keadaan payah, bilamana keadaannya pulih kembali,
tatkala itu kepandaianku tentunya juga sudah maju dan
di atasnya. Sumoay tampaknya rada rapat dengan dia,
hal ini adalah karena dia telah menolong jiwa Sumoay.
Tapi kelak lama kelamaan Sumoay tentu akan merasa
segalanya aku lebih baik daripada bocah ini dan mustahil
dia takkan penujui diriku" Apalagi ibunya juga berdiri di
pihakku. Haha, dapat menangkan sainganku dan
merebut hati si cantik, cara demikianlah baru benarbenar
menyenangkan." Kang Hay-thian sendiri tidak mempunyai pikiran
panjang dan berbelit-belit sebagaimana sang istri, yang
dia harapkan hanya tenteramnya hati saja. Maka sesudah
menerima murid baru, terasa senanglah hatinya, katanya
kemudian kepada istrinya, "Sekarang kita sudah
ketemukan anak Hu, maka rencana kita semula harus
berubah sedikit. Kau boleh pulang dahulu bersama anak
Hiong dan anak Hu, rawatlah luka mereka. Keadaan anak
Hu rasanya tidak berhalangan, tapi luka anak Hiong
harus diperhatikan, selain diberi obat, sekalian ajarkan
dia berlatih Lwekang. Sebatang Jinsom tua yang masih
tersimpan di rumah itu bolehlah diminumkan padanya.
Nanti sesudah aku pulang baru akan kuajarkan dia Si-mikiamhoat." Setelah memberi pesan kepada istrinya, lalu ia
berpaling kepada Yap Leng-hong dan berkata pula, "Kau
punya Samsute berada di cengkeraman penjahat, kita
masih harus menemukannya kembali. Kau boleh ikut aku
ke Tekciu lebih dulu untuk menemui Nyo-pangcu dari
Kay-pang. Kita telah minta bantuannya, sesudah sekian
hari boleh jadi dia sudah mendapatkan kabar-kabar yang
berfaedah bagi kita."
Karena mesti berpisah dengan Kang Hiau-hu, dengan
sendiri timbul iri dalam hati Yap Leng-hong. Tapi demi
teringat akan menambah pengalaman Kangouw dengan
ikut serta dalam perjalanan sang guru, kesempatan
bagus ini susah untuk dicari lagi, maka ia pun menjadi
senang dan menurut saja. Begitulah segera Kang Hay-thian menggendong Ubun
Hiong dan Kok Tiong-lian menggendong Kang Hiau-hu,
dengan Ginkang mereka yang tinggi, mereka terus
mendaki ke atas melalui tebing-tebing yang curam.
Walaupun bertangan kosong dan sudah mengeluarkan
segenap tenaga toh Yap Leng-hong masih tak dapat
menyusul mereka dan terkadang Kang Hay-thian harus
berhenti dahulu untuk menunggunya.
Diam-diam Leng-hong merasa malu dan senang pula,
ia merasa beruntung mendapatkan seorang guru pandai,
bilamana kelak ia dapat memperoleh setengah dari
kepandaian gurunya, maka sudah puaslah baginya.
Sambil berjalan Kang Hay-thian bertanya pada Ubun
Hiong tentang asal-usul dan muka Utti Keng. Kang Hiauhu
juga menceritakan pula pengalamannya ketika
bertempur melawan Utti Keng dan istrinya.
Sesudah jelas Kang Hay-thian menanyakan
keterangan mereka, lalu katanya, "Jian-jiu-koan-im Ki
Seng-in itu pernah menyampaikan pesannya kepada
kakekmu melalui dayangnya, katanya dia tidak
bermaksud jahat terhadap putra Li Bun-sing.
Tampaknyahal ini tidaklah dusta."
"Darimana ayah mengetahui?" tanya Hiau-hu.
"Kau telah memapas rambutnya, tapi sesudah kau
terluka parah, kesempatan itu dapat digunakan olehnya
untuk membunuh kau, bukankah hal ini tak dilakukan
olehnya.?" "Ini disebabkan dia jeri kepada keluarga Kang kita,"
kata Hiau-hu. "Tapi kau tak dibunuhnya, bukankah ini lebih
membahayakan dia di kemudian hari?" ujar Hay-thian.
"Maka menurut pendapatku tentu ada sebab-sebabnya
dia menculik putra Li Bun-sing, dan tak dapat disamaratakan
dengan anjing pemburu kerajaan yang
bermaksud membikin celaka bocah itu. Pula, dia tak
membunuh kau, hal ini menandakan dia sesungguhnya
bukan manusia yang kejam."
"Tapi mereka telah merampas pedang dan kudaku,
Jisuko telah dilukai pula separah ini, masakah ayah
bermaksud mengampuni mereka," kata Hiau-hu dengan
uring-uringan. Karena ingin mengambil hati sang Sumoay, segera
Leng-hong menimbrung, "Betul, Suhu, kedua bangsat itu
terlalu kurangajar, masakah berani main gila kepada
Suhu, jangan sekali-kali Suhu mengampuni dosa mereka
itu." "Aku sudah berjanji akan membela putra Li Bun-sing
itu, mana boleh aku tinggal diam tanpa bertindak?" sahut
Hay-thian dengan sungguh-sungguh. "Tentang pedang
dan kudamu yang hilang itu sudah tentu aku akan
berusaha menemukannya kembali dari pihak penjahat
itu. Tapi hendaklah kalian ingat, tindakanku ini bukanlah
demi martabat keluarga Kang kita. Segala sesuatu harus
bicara tentang kebenaran, kalau benar tak perlu gentar
kepada siapa pun juga, kalau salah harus mengaku salah
dan jangan main menang-menangan meski kalian adalah
putri dan murid Kang Hay-thian. Memangnya apakah
lantaran kalian adalah putri dan murid Kang Hay-thian,
lalu orang lain harus mengalah padamu" Jika demikian
jalan pikiran kalian, tentu kelak kalian akan mengalami
kesukaran sendiri dan aku pun tak sudi membela orang
yang salah, bahkan aku yang lebih dulu akan memberi
hukuman yang setimpal. Untuk ini hendaklah kalian
camkan betul-betul."
Hiau-hu menunduk dan terdiam dengan mengembeng
air mata atas petuah sang ayah. Sebaliknya Yap Lenghong
menjadi lebih kenal siapakah Kang Hay-thian
sebenarnya, diam-diam ia bertambah prihatin dan
merasa lebih sukar mengambil hati gurunya daripada ibu
guru. Tengah bicara, mereka pun sudah keluar dari lembah
sunyi itu. Hay-thian menyuruh Yap Leng-hong mencari
sebuah kereta ke kampung yang berdekatan, dengan
kereta itu Hiau-hu dan Ubun Hiong dikirim pulang di
bawah pengawalan Kok Tiong-lian. Sedangkan Hay-thian
sendiri bersama Leng-hong lantas menuju ke Tekciu.
Melihat kedatangan Kang Hay-thian, pemimpin Kaypang
di Tekciu, Nyo Pit-tay, menyambutnya dengan
gembira dan menahannya untuk tinggal beberapa hari di
situ. Hay-thian juga tahu dalam Kay-pang adalah cara
mengirim berita dengan burung merpati, maka ia pun
tidak menolak dan tinggal sementara di markas Kay-pang
daripada mencari berita sendiri tanpa arah tujuan. Dan
benar juga dua hari kemudian, datanglah sebuah berita.
Berita ini dikirim dari cabang Kay-pang di Khayhong
dengan merpati dan mengatakan bahwa tokoh Kay-pang
yang bernama Goan It-tiong telah melihat penjahat yang
dicari dalam perjalanan di sekitar Ting-to-koan, yang
memergoki penjahat itu terdapat pula Kam Jin-liang dan
Lim Seng dari Bin-san-pay, mereka telah bergebrak
dengan musuh, adalah keterangan yang lebih jelas akan
disampaikan sendiri oleh Goan It-tiong bertiga yang kini
sedang menuju ke Tekciu untuk menemui Kang Haythian.
Nyo Pit-tay terkejut mendapat laporan itu, katanya,
"Goan-hiangcu sudah mewarisi kepandaian Tiongpangcu,
ditambah bantuan Kam-cianpwe dan Limcianpwe
dari Bin-san, tapi mereka toh tak dapat
membekuk musuh, agaknya mereka malah kecundang.
Jika demikian jelaslah musuh teramat lihai. Sekarang
musuh sudah berada di wilayah Holam, rasanya harus
minta paderi sakti Siau-lim-si ikut turun tangan."
Bahwasannya Utti Keng telah melukai Kang Hiau-hu,
sudah tentu Kang Hay-thian dapat menilai betapa
kepandaiannya, maka ia tidak kaget sebagaimana Nyo
Pit-tay, hanya saja ia pun merasa di luar dugaan bahwa
kepandaian Utti Keng suami-istri ternyata melampaui
perkiraannya semula. Tatkala itu Kay-pang sekte utara dan sekte selatan
sudah berfusi, sudah bergabung menjadi satu. Pangcu
sekte selatan semula, Ek Tiong-bo, kini sudah pensiun
dengan gelar Tianglo (sesepuh), segala urusan organisasi
telah dipegang semua oleh Pangcu sekte utara yang kini
sudah merupakan Kay-pang kesatuan, yaitu Tiong Tiangthong.
Goan It-tiong itu adalah murid pertama Tiong Tiangthong
dan sudah berhasil meyakinkan Kun-goan-it-khikang
dan ilmu silatnya sekarang terhitung jago nomor
tiga di dalam Kay-pang, hanya lebih rendah daripada
gurunya serta wakil Pangcu Ko Thian-hong.
Adapun Kam Jin-liong adalah putra Kam Hong-ti,
pendekar besar termasyhur di masa beberapa puluh
tahun yang lalu, sedangkan Lim Seng adalah murid
angkatan ketiga dari Bin-san-pay. Usia kedua orang
itupun sudah lanjut dan juga sudah lama merupakan
sesepuh Bin-san-pay. Pendek kata mereka bertiga adalah tokoh-tokoh
terkemuka dari dunia persilatan. Tapi dengan tenaga
gabungan mereka bertiga toh masih kecundang, tentu
saja hal ini membuat Nyo Pit-tay terkejut dan agak di
luar dugaan Kang Hay-thian.
Maka Hay-thian lalu berkata, "Ting-to-koan terletak di
perbatasan Holam dan Soatang, berita itu diterima
cabang kalian di Khayhong, lalu diteruskan ke sini,
rasanya peristiwa itu sedikitnya terjadi pada dua-tiga hari
yang lalu. Sekarang mereka bertiga sedang menuju
kemari, tentu akan dapat tiba besok atau lusa. Biarlah
kita tunggu mereka dulu untuk mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan tidaklah perlu membikin
repot para paderi sakti Siau-lim-si."
Karena itu maka urunglah maksud Nyo Pit-tay hendak
minta bantuan kepada Siau-lim-si.
Benar juga, besoknya waktu lohor, Goan It-tiong
bertiga sudah datang. Tatkala itu Kang Hay-thian sedang
asyik bicara dengan para tokoh persilatan kota Tekciu.
Maka Goan It-tiong bertiga segera dikerumuni untuk
ditanya mengenai pengalaman mereka.
"Kami telah menerima Eng-hiong-tiap dari Kangtayhiap,"
demikian Kam Jin-liong mulai bicara, "maka
anak murid Bin-san-pay lantas kami kerahkan untuk
mencegat ke berbagai jurusan untuk menghadang
musuh. Aku satu jurusan bersama Lim-sute dan
kebetulan di daerah Ting-to-koan kami melihat Goanhiangcu
sedang bergebrak dengan penjahat itu."
"Kedua penjahat itu terdiri dari suami-istri, tapi tidak
membawa anak kecil," sambung Goan It-tiong. "Semula
aku merasa ragu-ragu apakah mereka itulah sasaran
yang dimaksudkan Kang-tayhiap atau bukan. Belakangan
kami menjadi yakin karena mengenali kuda mereka
adalah milik keluarga Kang-tayhiap, berdasar itu pula
kami lantas menghadang dan menegur mereka."
Yang paling diperhatikan Hay-thian adalah putra Li
Bun-sing, maka ia menjadi kecewa demi mendengar
penjahat-penjahat itu tidak membawa serta anak kecil.
"Penjahat berewok itu benar-benar sangat ganas,"
demikian Goan It-tiong meneruskan. "Begitu ditegur
tentang putra Li Bun-sing, serentak ia menjawab aku
dengan cambukan, dengan bertangan kosong aku lantas
melayani dia. Maksudku hendak menangkapnya hiduphidup
untuk ditanyai, maka aku tidak berani
sembarangan menggunakan Kun-goan-kang. Kepandaian
bangsat itupun sangat lihai, aku tidak dapat merebut
cambuknya, sebaliknya malah kena tercambuk dua kali.
Bangsat wanita itu bahkan lantas membentak, 'Anak Li
Bun-sing bukan urusan kalian, kalau ingin hidup
hendaklah lekas enyah!', sedangkan bangsat berewok itu
juga membentak, 'Mana boleh membiarkan dia enyah,
bunuh dan habis perkara!', lalu ia menerjang dengan
kudanya, beruntun cambuknya menyabet pula. Aku


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi murka, kontan aku menghantamnya dengan
Kun-goan-kang. Bangsat itu tergeliat di atas kudanya,
tapi tidak sampai terperosot jatuh. Pada saat itulah
pedang si bangsat wanita juga telah menyambar ke
arahku, saking cepatnya aku tidak sempat menghindar.
Ai, benar-benar memalukan!"
Sampai di sini ia lantas menanggalkan kopiahnya,
maka tertampaklah sebagian rambutnya tercukur sampai
kelihatan kulit kepalanya.
"Sejak berkecimpung di dunia Kangouw, belum pernah
aku mengalami kecundang seperti ini," kata It-tiong pula
"Tapi harus diakui pula, tebasan bangsat wanita yang
sangat cepat itu sebenarnya dapat membikin jiwaku
melayang, tapi rupanya dia sengaja bermurah hati
padaku." Mendengar itu, semua orang ikut terperanjat. Diamdiam
Kang Hay-thian membatin pula, "Untunglah Utti
Keng itu telah mengalami cidera lebih dulu di lembah
sunyi itu, kalau tidak, pasti Goan It-tiong akan menderita
lebih hebat lagi. Rupanya Ki Seng-in telah terpapas
rambutnya oleh anak Hu, maka ia pun membalas dengan
cara yang sama atas diri Goan It-tiong, dasar pikiran
wanita yang sempit."
Dalam pada itu Kam Jin-liong lantas menyambung
lagi, "Pada saat berbahaya itu, kebetulan aku dan Limsute
menyambitkan Tau-kut-ting (paku penembus
tulang) dan sebuah di antaranya mengenai bangsat
berewok itu, cuma sayang tidak kena di tempat yang
mematikan. Pedang yang digunakan bangsat wanita itu
adalah pedang pusaka, paku-paku Lim-sute itu kena
disampuk jatuh olehnya dan hancur. Pedang pusaka itu
tampaknya mirip ... mirip dengan..."
"Ya, memang betul aku punya Cay-in-pokiam yang
telah dirampas oleh bangsat berewok itu dari tangan
putriku," kata Hay-thian.
"Dengan kuda dan pedang rampasan yang hebat itu,
kedua bangsat itu benar-benar seperti harimau tumbuh
sayap, mungkin sukar untuk diburu lagi," sambung Kam
Jin-liong. "Waktu itu kami bertiga mestinya dapat
menangkan mereka berdua. Dengan Pek-poh-sin-kun
(pukulan sakti dalam seratus langkah) aku telah
mencoba pukulan Pik-khong-ciang si bangsat berewok,
boleh jadi lantaran telah kehilangan tenaga ketika
mengadu pukulan dengan Khun-goan-kang dari Goansuheng,
ia telah menyemburkan darah, sebaliknya aku
terjatuh dari kudaku. Cuma kudanya teramat cepat,
begitu terluka ia lantas kabur bersama istrinya."
Setelah mendengarkan kisah Goan It-tiong bertiga,
akhirnya Nyo Pit-tay berkata, "Sekarang terpaksa kita
mengirimkan berita kepada kawan-kawan Kangouw
untuk mencari tahu jejak bangsat itu. Bilamana
mendapat kabar, segera Kang-tayhiap akan
membekuknya sendiri."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa susah juga, Jikliongki dan Pek-liong-ki, kedua kudanya yang bagus itu
teramat cepat larinya, untuk mencari jejak musuh benarbenar
tidaklah gampang. Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara kuda
meringkik disertai suara derapan yang berdetak-detak
cepat, semula kedengaran masih jauh, tapi dalam waktu
singkat saja sudah sampai di depan pintu.
Nyo Pit-tay terkejut, "Cepat amat kedua ekor kuda
itu!" pujinya. Kang Hay-thian juga rada heran, katanya, "Leng-hong,
coba kau keluar melihat siapakah yang datang itu?"
Waktu Leng-hong sampai di luar, di situ sudah ada
beberapa anak murid Kay-pang yang sedang pasang
mata. Tertampaklah dua ekor kuda sedang mendatangi
secepat terbang, setiba di depan pintu mendadak lantas
berhenti. Leng-hong sangat terperanjat ketika mengenali kedua
penunggang kuda itu. Kiranya pendatang itu adalah
seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang lelaki itu
penuh berewok, yang wanita adalah Ki Seng-in yang
pernah mengalahkannya tempo hari. Walaupun laki-laki
berewok itu belum dikenalnya, namun dari cerita Kam
Jin-liong dan Ubun Hiong tadi dapatlah diduga dia pasti
suami Ki Seng-in, yaitu Utti Keng adanya. Dan kedua
ekor kuda yang mereka tunggangi itu tak lain tak bukan
adalah milik Kang Hay-thian, yaitu Jik-liong-ki dan Pekliongki. "Kang-tayhiap berada di sini, bukan?" segera Utti Keng
bertanya dengan suara lantang sambil mengacungkan
pecutnya. Karena tidak tahu siapa dia, maka anak murid Kaypang
itu tidak berani memberi jawaban. Sebaliknya Yap
Leng-hong merasa dijagoi gurunya, hatinya menjadi
tabah, segera ia mencabut pedang dan membentak,
"Bangsat kurangajar, kami justru ingin mencari kau,
sekarang kau datang cari mampus sendiri. Ini, lihat
pedang!" Akan tetapi dengan tenang-tenang saja Utti Keng dan
Ki Seng-in turun dari kuda sambil kebut-kebut debu yang
memenuhi pakaian, terhadap teriakan Yap Leng-hong itu
mereka tak menggubrisnya.
"Siapakah bocah ingusan ini?" demikian Utti Keng
bertanya kepada istrinya dengan acuh tak acuh.
Di sebelah lain, meski sikapnya garang, tapi
sebenarnya hatinya jeri. "Apakah Suhu tidak mendengar
suaraku tadi?" demikian pikir Leng-hong. Rupanya ia
memperhitungan pada saat dia mulai bergebrak dengan
musuh, pada saat itu pula gurunya juga sudah muncul,
dengan demikian dia akan kelihatan gagah berani, tapi
juga tidak sampai dikalahkan musuh.
Karena itu sambil memutar pedangnya, Yap Lenghong
hanya memburu maju dua-tiga langkah, lalu
berhenti dengan maksud mengulur tempo.
Tiba-tiba terdengar Ki Seng-in berkata, dengan
tertawa pada suaminya, "Bocah ini adalah orang yang
mengawal anak itu ke rumah keluarga Kang bersama
Siau Ci-wan tempo hari. Melihat sikapnya ini terang sekali
Kang Hay-thian tentu berada di sini."
Rupanya Yap Leng-hong sudah kapok terhadap Ki
Seng-in suami-istri itu yang mulai memapak ke arahnya.
Leng-hong menjadi gugup dan segera berteriak-teriak
pula, "Suhu, Su "Kedatangan kami bukan untuk berkelahi. Apakah
Kang-tayhiap adalah gurumu" Bagus, sangat kebetulan!"
kata Utti Keng dengan tertawa.
Dan sebelum Yap Leng-hong sempat meneruskan
teriakannya, tiba-tiba genggaman tangannya terasa
kesemutan, tanpa terasa pedangnya terlepas dari
cekalan dan jatuh ke atas tanah.
"Terimalah ini!" bentak Utti Keng pula sambil
mengayun sebelah tangannya, suatu benda kehitamhitaman
secepat kilat lantas menyambar ke arah Yap
Leng-hong. Karena tidak sempat membedakan benda apakah itu,
secara otomatis Leng-hong lantas menangkap benda itu
dengan cara seperti menangkap senjata rahasia musuh.
Ia merasa benda itu sangat keras, tapi tidak menyakitkan
tangannya, rupanya musuh tidak menimpuk dengan
tenaga yang kuat. Waktu diperiksanya, kiranya benda itu
adalah sebuah kotak persegi yang biasanya berisi kartu
nama untuk dipersembahkan kepada tuan rumah.
Kiranya Utti Keng telah membersihkan sebutir tanah
liat yang melekat pada berewoknya, tanah itu lalu
digunakan untuk menimpuk tangan Yap Leng-hong
sehingga pedangnya terlepas, menyusul kotak kecil itu
lantas dilemparkan pula kepada pemuda itu.
"Kau bocah ini sesungguhnya tidak kenal adat, tapi
mengingat gurumu, tidak perlu kuperkarakan lebih jauh.
Hendaklah kotak itu lantas kau sampaikan kepada
gurumu saja," kata Utti Keng.
Muka Yap Leng-hong menjadi merah. Tapi kotak kecil
itu adalah untuk gurunya, ia tidak berani membuangnya.
Sementara itu seorang murid Kay-pang telah menjemput
pedangnya yang jatuh tadi dan berkata padanya, "Tamu
yang datang ini ingin bertemu dengan Kang-tayhiap,
maka biarlah kita laporkan saja kepada beliau."
"Bagus, anak murid Kay-pang memang lebih tahu
aturan Kangouw daripada bocah ingusan yang tengik
ini," kata Utti Keng dengan tertawa. "Nyo-thocu adalah
tuan rumah di sini, sebagai tamu, kami harus
menghormatinya pula. kotak kecil itu tolonelah dibawa
masuk sekalian." Keruan Yap Leng-hong sangat mendongkol karena
diolok-olok, bahkan didengarnya kedua tamu suami-istri
itu sedang bicara sendiri dan menyindirnya pula
mengapa Kang-tayhiap menerima seorang murid yang
demikian tengik dan tak becus"
Ia kuatir mendengar sindiran-sindiran dan olok-olok
yang lebih menyinggung lagi, cepat saja ia putar tubuh
dan berlari masuk ke dalam.
Dan baru saja dia bersama murid Kay-pang tadi
mempersembahkan kotak kecil itu, tiba-tiba terdengar
suara Utti Keng berkumandang dari luar, "Utti Keng dari
Liautang mohon bertemu dengan Kang-tayhiap!" Nyata
yang digunakan adalah ilmu mengirimkan gelombang
suara dan secara tepat diucapkan pada saat kotak kartu
namanya dihaturkan. Para ksatria terkejut semua. "Hahaha, besar juga nyali
sobat Kangouw ini, kukira boleh juga ditemui," ujar Kam
Jin-liong sambil tertawa.
Cepat Leng-hong ikut membuka suara, "Suhu,
penjahat ini Belum sempat dia bicara lebih lanjut, Kang
Hay-thian sudah memberi tanda agar semua orang diam.
"Jika sobat ini minta bertemu secara terhormat, maka
kita juga harus menerimanya dengan baik-baik," kata
Hay-thian, lalu ia pun berseru, "Orang she Kang berada
di sini, silakan masuk!"
Ucapan Kang Hay-thian ini kedengarannya perlahan,
tapi nyaring berkumandang jauh, bukan saja Utti Keng
suami istri dapat mendengar dengan jelas, bahkan
segenap anggota Kay-pang yang berada di sekitar
perumahan Kay-pang itupun dapat mendengarnya.
Teranglah Lwekang Kang Hay-thian itu entah betapa
jauh lebih tinggi kalau dibandingkan Utti Keng.
Dengan langkah lebar segera Utti Keng dan istrinya
masuk ke dalam. Dengan perasaan tegang para ksatria
menantikan kejadian selanjutnya, entah cara bagaimana
Kang Hay-thian akan menghadapi tamunya"
Begitu masuk segera Utti Keng merasa perhatian
semua orang dipusatkan kepada dirinya dan Kang Haythian.
Maka langsung ia menuju ke arah Kang Hay-thian,
dengan penuh hormat ia menyapa, "Yang ini apakah
Kang-tayhiap adanya?"
Hay-thian cepat berdiri dan balas menghormat,
sahutnya, "Terima kasih atas sebutan kehormatan itu.
Entah Utti Thocu ada petunjuk apa?"
Mendadak Utti Keng melolos pedang. Itulah Cay-inpokiam
milik Kang Hay-thian yang dirampasnya dari
Kang Hiau-hu tempo hari. Semua orang terkejut. Sebaliknya Kang Hay-thian
tenang-tenang saja, ia membiarkan dan ingin tahu apa
yang hendak diperbuat orang.
"Cret", mendadak Utti Keng menggunakan pedang itu
untuk menusuk lengannya sendiri, lalu berseru lantang,
"Utti Keng pernah melukai putri kesayangan KangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tayhiap, hari ini aku sengaja datang untuk menerima
Romantika Sebilah Pedang 2 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Playboy Dari Nanking 16

Cari Blog Ini