Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Suheng, kenapa berkata demikian" Semua ilmu ada manfaat masing-masing. Baik buruknya
ilmu tergantung dari ma-nusia yang menggunakan ilmu itu. Bagai-mana andaikata ada orang
jahat melaku-kan kejahatan kepada orang lain" Apa yang dapat kita lakukan kalau kita lemah
dan tidak memiliki ilmu silat" Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan,
mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa memiliki kekuatan untuk itu"'
"Hemmm, bicara memang mudah, Sute. Lihat aku ini. Jauh sekali aku ber-sembunyi, tetap
saja ada orang-orang yang mencariku untuk mengajak bertanding! Kalau aku tidak
mempunyai ilmu silat, tentu tidak ada orang akan mencari gara-gara mengajak berkelahi.
Tidak, Sute, sekali lagi aku tidak mau meng-angkat murid."
"Tapi, Suheng. Anak ini sudah kuajak ke sini, melakukan perjalanan yang nne-makan waktu
hampir satu tahun!" "Itu adalah urusanmu sendiri, Sute. Aku tidak menyuruhmu. Sudahlah, mari kita bicarakan
urusan lain saja. Akan halnya anak ini, biarlah dia menjadi muridmu saja. Kelak dia dapat
mengamalkan ilmunya itu untuk menolong banyak orang seperti yang telah kaulakukan."
Pada saat itu, terdengar teriakan lantang sekali dari luar rumah. Mereka cadi sudah memasuki
rumah ketika Tan Jeng Kun menyambut kedatangan sutenya. Suara dari luar itu terdengar
nyaring sekali, membuat pondok itu seolah tergetar.
"Tan Jeng Kun, kalau engkau memang laki-laki keluarlah dan lawanlah aku!"
Tan Jeng Kun menghela napas. "Nah,, kau lihat sendiri, Sute! Mereka adalah , orang-orang
yang selalu mencariku untuk mengajak adu ilmu. Kalau yang satu kalah muncul yang lain
dengan dalih menebus kekalahan saudara atau kawannya. Apakah ini tidak tolol" Apakah aku
disuruh mengajarkan ilmu seperti ini ,kepada seorang murid agar kelak murid itu pun
mengalami hal seperti aku" Tidak, Sute!"
"Haiii, Tan Jeng Kun, jangan sembu-nyi seperti perempuan! Keluarlah!" kem-bali terdengar
teriakan itu dan Tan Jeng Kun melangkah keluar, diikuti oleh Kim-sim Yok-sian dan Thian
Lee. Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki berusia lima puluh ta-hun yang
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dengan perut gendut sekali, mukanya hitam dan
tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Orang ini segalanya serba bundar dan
besar, kepala-nya, matanya, hidungnya, mulutnya dan telinganya, serba besar. Rambutnya
diikat ke atas dengan semacam kain kuning dan bajunya berwarna biru. Di punggungnya
terdapat sebatang ruyung yang menggiriskan, besar dan berduri-duri.
Akan tetapi sebelum Tan Jeng Kun menghampirinya, tiba-tiba dari belakang batang-batang
pohon bermunculan empat orang dan mereka ini segera mengepung Si Raksasa Hitam sambil
berteriak marah, "Hek-bin Mo-ko (Setan Bermuka Hitam), engkau harus membayar hutang
nyawamu terhadap saudara kami!"
Raksasa yang disebut Hek-bin Mo-Ko itu memandang dan memutar tubuhnya untuk
memandangi empat orang yang mengepungnya itu, lalu dia tertawa ber-gelak, "Ha-ha-ha-ha,
agaknya kalian ini adalah empat orang dari Toat-beng Ngo-houw (Lima Harimau Pencabut
Nyawa)" Ha-ha-ha, saudaramu mampus di tanganku karena dia berani menentangku. Kalad
kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"
Empat orang itu sudah marah sekali. Mereka berempat mencabut golok masing-masing dan
langsung saja mereka maju mengeroyok dengan golok mereka.
Melihat ini, Thian Lee berseru pena-saran, "Pengecut, tidak adil sekali empat orang
mengeroyok seorang!" Akan tetapi empat orang itu tidak peduli dan golok tnereka sudah
menyambar-nyambar men-cari korban. Namun ternyata raksasa muka hitam itu lihai bukan
maln. Biar-pun tubuhnya tinggi besar dan perutnya gendut, namun dia dapat bergerak dengan
gesit dan beberapa kali kakinya melangkah dan tubuhnya berkelebatan, empat batang golok
yang menyambar itu luput semua. Di lain saat dla telah mencabut ruyung dan terdengar suara
berdesing ketika ruyung itu dia gerakkan dengan kekuatan dahsyat. Empat orang itu de-ngan
nekat menyerbu dan ketika golok mereka bertemu ruyung, berturut-turut golok mereka
terpentaJ dan terdengar bentakan Si Raksasa Hitam empat kal! dan ruyungnya menyambar
empat kali. Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan
jatuh satu demi satu dengan kepala pe-cah dan tewas seketika!
"Siancai....!" Kim-sim Yok-sia.h ber-seru ngeri dengan wajah agak pucat dan suaranya
gemetar. Akan tetapi Thian Lee rtiemandang kagum. Bukan main ijaksasa itu. Empat orang
pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa " gebrakan saja!
" Dan kini raksasa yang berjuluk Hek-bin Mo-ko itu memanggul ruyungnya menghadapi Tan
Jeng Kun. "Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun. Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada
yang mene-maninya, bahkar) sekaligus empat orang. Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan
aku!" "Hek-bin Mo-ko, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa hari ini engkau
mencari dan menantangku berkelahi" Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku
dengan pembu-nuhan ini! Engkau seharusnya malu!"
"Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa Tan Jeng Kun adalah seorang jagoan yang mengasingkan
diri. Lupakah engkau bah-wa tiga bulan yang laiu engkau telah mengalahkan seorang
pengemis tua di sini" Dia adalah seorang sahabatku, se-telah mendengar bahwa sahabatku itu
kalah olehmu, aku merasa penasaran dan ingin mencoba kepandalanmu! Hayo lawan aku
kalau engkau bukan perempuan!"
Tan Jeng Kun melangkah maju meng-hadapi raksasa itu dan menarik napas panjang beberapa
kali. "Sobat, pengemis tua itu datang tanpa sebab dan langsung saja menantangku mengadu
ilmu. Kalah atau menang dalam adu ilmu sudahlah wajar, kertapa engkau merasa penasaran?"
"Karena seorang sahabat baikku telah kalah, tentu saja aku merasa penasaran dan hari ini aku
menantangmu untuk mengadu ilmu. Hayolah, majulah, atau aku akan hancurkan kepalamu
dengan ruyung ini!" Si Raksasa itu mengancam.
Kini pandang mata Tan Jeng Kun mencorong marah. "Hemm, Hek-bin Mo-ko, tidak usah
engkau menantang. Baru perbuatanmu melakukan pembunuhan di pekaranganku ini saja
sudah merupakan suatu pelanggaran besar. Aku bukan saja menerima tantanganmu, bahkan
aku pun harus memberi hajaran kepadamu aear engkau bertaubat."
"Ha-ha-ha, sombong benar engkau? . Jangan mengira bahwa setelah engkau mengalahkan
sahabatku Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti), engkau akan mampu
mengalahkan aku' Nah, cepat ambil pedangmu'"
"Seperti ketika aku melawan tongkat Sin-ciang Mo-kai, aku pun bertangan kosong. Maka aku
akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti
engkau yang kejam!" "Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau
kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan
terlakan meleng-king, lalu menyerang dengan dahsyatnya, Thian Lee sendiri merasakan
sambaran angin yang telah menghancurkan kepala empat orang itu. Ruyung itu masih
berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun.
Akan tetapi, suheng dari Kim-sim Yok-sian itu bersikap tenang saja. Ketika ruyung sudah
menyambar dekat, dla menundukkan kepala dan ruyung menyambar ke atas kepalanya. Pada
saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan
lawan. Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil
menarik lengan kanannya, kemudian me-mutar pergelangan tangan sehingga ruyungnya
menyambar balik ke arah dada lawan.
Tan Jeng Kun miringkan tubuhnya dan dengan lengan kanan menangkis ruyung yang
terpental ketika bertemu lengan tangan siucai itu. Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran sekali
dan dia sudah memutar ruyungnya dengan hebat sekali sambil mengeluarkan bentakanbentakan menye-rang bertubi-tubi sambil berusaha mendesak lawan yang bertangan kosong.
Namun Tan Jeng Kun dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sambaran ruyung dan tak pernah benda^ berat
itu menyen-tuh tubuhnya. Sebaliknya, totokan-totok-annya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk
sekali. Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti
lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan. Setiap pukulan,
totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam
itu terpaksa melempar tubuh belakang dan berjungkir balik untuk nnenghindarkan diri dari
serangan yang demikian cepatnya.
Setelah lewat iima puluh jurus, Hek-bin Mo-ko menjadi terdesak hebat dan tiba-tiba dia
melompat ke belakang, kernudian dia mengerahkan tenaga ke arah kedua tangannya,
menjatuhkan ru-yungnya dan menggunakan kedua tangan yang terisi tenaga sin-kang dahsyat
untuk memukul lawan dari jarak jauh! Meng-hadapi serangan ini, Tan Jeng Kun juga
memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Inilah kesa-lahan Hekbin Mo-ko. Dalam mengadu kekuatan sin-kang, dia mempercepat ke-kalahannya karena
tingkat kekuatan sin-kang lawannya masih lebih tinggi di atasnya. Begitu kedua tangan yang
me-ngandung sin-kang itu berseru, tubuh Hek-bin Mo-ko tergetar hebat dan tak lama
kemudian dia terpental ke belakang dan jatuh terjengkang!
Masih untung bagi Hek-bin Mo-ko bahwa Tan Jeng Kun sania sekali tidak bermaksud untuk
membunuhnya. Maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan
mengalami luka da-lam yang membuat dia muntah darah. Dia merasa bahwa dia tidak mampu
melawan lagi, maka dia mengambil ruyung-nya, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan
sepatah pun kata, juga tanpa menoleh lagi kepada lawan.
Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang dan memandang empat mayat yang berserakan dl
situ. "Nah, kaulihat seridiri apa yang kumaksudkan, Sute! Beginilah kalau orang mempelajari
ilmu silat. Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak
hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."
"Akan tetapi, Locianpwe," tiba-tiba Thian Lee berkata dengan suara mem-bantah penasaran,
"Kalau orang yang datang hendak menantang berkelahi dengan Locianpwe, itu bukan berarti
Lo-cianpwe yang bersalah, melainkan kesa-lahan mereka sendiri. Untung Locianpwe
memiliki ilmu silat yang lihai, tidak demikian, tentu Locianpwe yang menggeletak mati
seperti mereka berem-pat. Ilmu silat ada gunanya untuk membela diri."
"Apa yang dikatakan Thian Lee ada benarnya, Suheng," bujuk pula Kim-sim Yok-sian.
"Justeru dengan adanya para pendekar yang berkepandaian tinggi maka sepak terjang dan
ulah orang-orang sesat itu dapat dibendung. Bayangkan saja, Suheng, andaikata di dunia
kang-ouw ini tidak ada para pendekar, maka tentu orang-orang sesat akan semakin merajalela, dan mereka melaksanakan hukum nmba seenak perutnya sendlri. Thian Lee bercita-cita
menjadi pendekar untuk me-nentang mereka yang menggunakan ilmu silat untuk berbuat
kejahatan. Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira
keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan
untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia, dan Suheng mempelajari ilmu silat
untuk menentang serangan orang jahat terhadap manusia pula. Apa bedanya" Karena itu,
Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah
Suheng mempunyai murid yang kelak akan memanfaatkan ilmu silat untuk menentang kaum
penjahat." Tan Jeng Kun menghela napas lagi. Ucapan Thian Lee dan sutenya itu agak-nya membuka
hatinya. Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian,
dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah
kembali. "Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan
sutenya. "Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan
syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."
Kim-sim Yok-sian gembira sekali mendengar ini dan dia berkata kepada Thian Lee, "Thian
Lee, cepat memberi hormat kepada gurunnu dan katakan bahwa engkau siap menerima syarat
apa pun darinya." Thian Lee lalu maju berlutut dan memben hormat kepada Tan Jeng Kun. buhu, teecu akan
menaati semua petunjuk Suhu dan berjanji akan melaksanakan semua syarat dari Suhu."
"Bagus, dan sekarang, disaksikan oleh susiokmu Kim-sim Yok-sian, ucapkan sumpahmu
bahwa kelak engkau tidak boleh menonjolkan ilmu silatmu, engkau harus berpura-pura tidak
mampu ilmu silat, menyembunyikan ilmu silatmu agar tidak ada yang tahu bahwa engkau
pan-dai silat, dan hanya menggunakan ilmu silatmu dalam keadaan terpaksa saja untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."
Dengan suara lantang Thian Lee mengucapkan sumpahnya, "Teecu bersum-pah bahwa kelak
teecu tidak menonjolkan. nmu silat dan menyembunyikan ilmu silat teecu dan hanya
menggunakan dalam keadaan terpaksa saja!"
"Bagus, sekarang berl hormat kepada susiokmu!"
Thian Lee lalu berlutut di depan Dewa Obat dan menyebut, "Susiok, terimalah hormat teecu."
Kim-sim Yok-sian menjadi girang sekali. "Aku pun akan tinggal di sini barang setahun untuk
memberi pelajaran ilmu pengobatan kepadamu agar kelak dapat kaupergunakan demi
keselamatan orang-orang lain, Thian Lee," katanya.
Demikianlah, mulal harl itu, Thian Le menerima pelajaran ilmu silat dar Tan Jeng Kun dan
ilmu pengobatan dari Kim-sim Yok-sian.
Selain llmu sllat dan ilmu pengobatani Thian Lee juga memperdalam ilmu sastra dari kedua
orang gurunya itu, dan mulai membaca kitab-kitab kuno tentang seja-rah dan Agama To dan
Agama Buddha, juga tentang pelajaran Nabi Khong-cu. Dari Dewa Obat, dia menerima
banyak nasihat tentang kehidupan.
Hidup adalah belajar, demikian antara lain kata Kim-sim Yok-sian. Siapa yang tidak mau
belajar dari kehidupan, dia orang yang bodoh. Dalam kehidupan se-hari-hari, kalau kita mau
membuka nnata, maka terdapat pelajaran tentang hidup dan pengalaman merupakan guru
terbaik. Uhat di sekelilingmu dan engkau akan menemukan contoh-contoh yang jelas sekali.
Di samping mempelajari semua itu setiap hari Thian Lee juga bekerja dengan rajin. Mencuci,
membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pe-kerjaan Jain untuk melayani kedua
orane tua itu. Di waktu musim semi dan m" simpanas, dia mencangkul dan menanam sayursayuran dan segala macam tanaman yang dapat dimakan. Kalau tiba musim rontok dan musim
salju, dia pergi sampai Jauh untuk berburu dan memancing. Pendeknya, Thian Lee rajin sekali
sehingga kedua orang tua itu amat menyayangnya karena dalam pelajaran pun dia maju pesat.
Terutama dalam ilmu silat, Tan Jeng Kun percaya akan kebenaran sutenya bahwa Thian Lee
adalah seorang anak yang memiliki bakat yang hebat. Selama tiga tahun mempeiajari ilmu
silat, Thian Lee telah matang dalam gerakan dasar dan, bahkan telah mempunyai sin-kang
yang lumayan. Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia
telah berhasil menghimpun tenaga yang kuat sekali.
* * * Pada suatu hari di musim rontok, Thian Lee pergi meninggalkan pondok untuk berburu
binatang. Usianya kini sudah lima belas tahun dan tubuhnya tinggi tegap. Biarpun usianya
baru tingkat remaja, namun wajahnya sudah tampak dewasa karena sejak kecil dia sudah
biasa berdikari, bahkan dia bekerja untuk keperluan mereka bertiga. Dengan senjata sebatang
busur dan beberapa batang anak panah, dia pergi berburu. Akan tetapi sampai jauh
meninggalkan pondok, dia belum bertemu binatang buruan seperti kelinci dan sebagainya.
Akhirnya terpaksa dia mendaki puncak yang lebih tinggi. Padahal gurunya pernah
menceritakan bahwa puncak itu berbahaya dan kabarnya ada semacam binatang ajaib di
puncak itu yang amat ganas sehingga tidak pernah ada orang yang berani naik ke puncakitu.
Menurut penuturan Tan Jeng Kun, makhluk yang berada di puncak itu memang aneh, mirip
manusia bagi yang pernah melihatnya dari jauh, berjalan dengan kedua kaki belakang akan
tetapi tubuhnya berbulu abu abu kecoklatan mirip biruang. Penduduk Tibet menyebutnya
dengan Yeti dan menganggapnya sebagai manusia salju yang dikeramatkan dan dianggap
sebagai dewa yang berada di puncak-puncak yang tinggi.
Thian Lee yang penah mendengar cerita itu tidak takut. Kenapa takut kalau dia tidak
mempunyai niat buruk " Dia hanya akan mencari binatang buruan untuk dimakan. Kalau
benar ada manusia salju, dia tidak akan mengganggunya. Biarpun musin salju belum tiba,
namun di puncak itu sudah tertutup oleh salju. Bahkan di waktu musim panas sekalipun,
puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju.
Sungguh sial hari itu bagi Thian Lee. Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan
binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju. Tibatiba dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah
mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu, akan
tetapi sekali ini dia bermaksud merobohkan seekor beruang yang tampak di depan itu.
Beruang itu sedang mendekam diatas salju dan menghadapi sebuah lubang. Ternyata di depan
beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju
seluruhnya dan beruang itu membuat lubang, agaknya untuk mencari ikan. Kadang-kadang
tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah
mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.
Thian Lee memasang sebatang anak panah dan merayap mendekati. Setelah jaraknya cukup
dekat, tinggal belasan meter lagi dia lalu mementang busurnya dan melepaskan anak panah
mengarah dada binatang yang mendekam itu.
??Srrrt ??. Cappp ????. Panah itu tampaknya menancap di dada biruang itu dan binatang besar
itu jatuh terjengkang. Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang
sudah menggeletak miring di atas salju itu. Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget
bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan
dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang. Makhluk itu tinggi sekali, dua kali
lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan mukanya seperti manusia, atau seperti kera, tubuhnya
berbulu kelabu kecoklatan, matanya berkedip-kedip dan anak panah tadi sama sekali tidak
menancap di dadanya melainkan dijepit di bawah lengannya atau terjepit ketiak. Kini
makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah
menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.
Saking kagetnya Thian Lee sampai tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Mulutnya lalu
berkata gugup, ??Maafkan aku ?? maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau
adalah seekor biruang ????!
Dia lalu teringat bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang manusia, dan teringat dia akan
cerita gurunya tentang Yeti, Si Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan
dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan
Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakana, mengeluarkan suara seperti gerengan dan
matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.
Thian Lee berpikir bahwa kalau makhluk itu menyerangnya, akan berbahayalah baginya.
Makhluk setinggi itu tentulah memiliki tenaga yang dahsyat. Maka dia lalu membalikkan
tubuhnya hendak melarikan diri. Akan tetapi baru dua langkahdia pergi, tiba-tiba tubuhnya
ditangkap dari belakang dan sekali Yeti itu menariknya, diapun roboh terjengkang.
Celaka, piker Thian Lee,. Binatang atau makhluk ini menyerangku dan benar saja tenaganya
Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar biasa sekali. Karena tidak ingin mati konyol tanpa melawan, Thian Lee lalu meloncat
bangun berdiri dan memasang kuda-kuda , siap menghadapi serangan makhluk itu. Akan
tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh
menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap
menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu,
dan menghadapi lawan yang begini kuatnya dia memerlukan senjata.
Maafkan aku, aku tidak sengaja memanahmu, kukira biruang dan kami membutuhkan daging
binatang buruan. Maafkan aku.
Entah mengerti atau tidak makhluk itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua tangannya menubruk
ke depan! Thian Lee menangkis dengan busurnya, akan tetapi sekali renggut, busur itu
terampas dan dibuang jauh-jauh, kemudian kembali makhluk itu menubruk dan biarpun Thian
Lee sudah mengelak cepat, tetap saja pinggangnya dapat dirangkul dan tubuhnya diangkat
tinggi, dipanggul dan dibawa lari cepat sekali.
Thian Lee merasa ngeri. Makhluk itu lari mendaki puncak yang penuh salju. Kalau dia
meronta atau memukul sehingga makhluk itu roboh, tentu ia akan ikut pula terjatuh, padahal
di kanan kiri terdapat jurang menganga lebar! Dia pun diam saja, bahkan tidak berani
bergerak, membiarkan dirinya dibawa lari diatas pundak makhluk itu.
Akhirnya makhluk itu tiba di depan sebuah gua di antara puncak bukit bersalju dan masuk ke
dalam gua. Thian Lee lalu diturunkan dengan perlahan. Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat
untuk melukainya. Akan tetapi ketika tubuhnya berada di atas lantai yang berbatu, dia terkejut
sekali karena didepannya terdapat kerangka manusia yang masih dusuk bersila.
Dia merasa serem sekali. Kerangka itu masih utuh, dan mengapa ada kerangka tidak runtuh
terlepas melainkan masih dalam keadaan bersila seolah antara tulang-tulangnya terdapat
sambungan atau saling melekat" Juga tengkorak itu masih utuh, hanya giginya sudah tidak
ada lagi, mulut itu terbuka seolah tertawa. Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat
karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali.
Dan dia melihat makhluk Yeti itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kerangka
itu. Jilid 5________ Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia
pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam
dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta
tolong kepada kerangka itu yang jelas dihormati makhluk itu.
Locianpwe, mohon pertolongan locianpwe dan teecu suka menjadi murid locianpwe. Katanya
sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai di depan kaki kerangka itu.
Dan terjadilah keanehan. Ketika dia membenturkan dahinya sebanyak delapan kali untuk
menghormati kerangka itu sebagai gurunya, mendadak lantai yang terbentur kepalanya itu
bergerak dan runtuh ke bawah sehingga tubuhnya ikut pula terjatuh ke sebuah lubang. Cepat
Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung
dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak
terluka. Ternyata disitu muncul lubang dan terdapat anak tangga turun ke bawah dimana
terdapat ruangan lain yang besar sama dengan besar gua diatas. Dan sambil mengeluarkan
suara menguik-nguik aneh makhluk itu pun menuruni tangga dan berdiri didekat Thian Lee.
Kini Thian Lee merasa yakin bahwa makhluk itu tidak bermaksud jahat. Dia pun menoleh
kepada makhluk itu dan bertanya ??Saudara yang baik, apa artinya semua ini".
Makhluk itu mengulurkan tangannya dan mendorong-dorong tubuh Thian Lee pada
punggungnya, menyuruh pemuda remaja itu untuk maju. Thian Lee mengangkat muka
memandang. Ketika matanya sudah dapat menembus cuaca yang remeng-remang dalam
ruangan bawah gua itu dan dia melihat sebuah meja berdiri di sudut ruangan. Dan diatas meja
itu terdapat sebatang pedang dan dua buah kitab diatas meja. Jantungnya berdebar tegang.
Agaknya makhluk itu mendorongnya kea rah meja agar dia mengambil pedang dan kitabkitab itu. Akan tetapi, sejak kecil Thian Lee sudah diajar sopan santun oleh ibunya dan kemudian oleh
Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dia pun diajar bagaimana menjadi seorang pemuda
yang baik dan bersusila. Maka dia pun tidak berani lancing mengambil benda-benda bukan
miliknya begitu saja dengan lancing. Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri
berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan
kecil-kecil terukir di lantai batu. Kalau dia tidak berlutut, tidak mungkin tulisan itu dapat
nampak dalam keadaan berdiri. Dia lalu membacanya.
Aku menerimamu menjadi murid. Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi
lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.
Tulisan ini tidak menyebutkan siapa penulisnya dan dibawah tulisan itu terdapat sebuah
tombol besi. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Thian Lee menekan tombol besi itu.
Ditekan sekali tidak terjadi apa-apa. Dua kali, tiga kali, tetap tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi
ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur
banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada
dinding batu. Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah
pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi
korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.
Kini mengertilah Thian Lee. Hanya orang yang berlutur didepan meja itu yang akan dapat
mengambil pedang dan kitab. Siapa yang lancing mengambilnya begitu saja, tak dapat
dihinarkan lagi tentu akan tewas terkena senjata rahasia.
Dia bergidik ngeri kalau membayangkan itu. Untung dia selalu ingat nasehat-nasehat ibunya
dan kedua orang gurunya yang terakhir. Kalau menurutkan watak dua orang gurunya yang
pertama, Liok te Lomo atau Jeng ciang kwi, tentu mereka itu akan langsungsaja mengambil
pedang dan kitab. Setelah kembali memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih, dia pun berkata,
"Locianpwe, harap maafkan teecu kalau teecu berani lancing mengambil pedang dan dua
buah kitab itu". Barulah dia bangkit berdiri dan ternyata makhluk itu pun sudah berdiri di
belakangnya. Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang
aneh ketika dia menjulurkan tangan mengambil sebuah kitab, lalu dibukanya kulit kitab itu.
Sebuah kitab yang kuno sekali dan di lembar pertama tertulis judulnya : THIAN-TE SINKANG (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan ketika dia membuka lembar berikutnya, ternyata
banyak diantara huruf dalam kitab itu yang tidak diketahuinya. Tanpa bantuan orang pandai,
agaknya akan sulit sekali baginya mempelajari isi kitab itu. Kitab kedua diambil dan
dibukanya, ternyata merupakan kitab pelajaran ilmu pedang yang tertulis judulnya : JITGOAT KIAM-SUT (Ilmu Pedang Matahari dan Bulan). Seperti halnya dengan kitab pertama,
kitab kedua inipun mengandung banyak huruf yang tidak diketahui, semacam huruf kuno. Dia
girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan
segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti
kilat menyambar. Dia mencabut lagi perlahan-lahan dan ternyata pedang itu mengkilat,
berkilauan padahal di ruangan itu hanya masuk sedikit saja sinar dari luar. Dan dipangkal
pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN=KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan
Bulan). Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada
meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya.
Kemudian dia berkata kepada Yeti yang masih berdiri disampingnya, ??Saudara yang baik,
semua ini adalah atas kebaikan budimu yang membawa aku ke tempat ini, maka aku
menghaturkan terima kasih kepadamu?. Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan
tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang
manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan
bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.
Saudara tidak semestinya engkau berlutut kepadaku, akan tetapi akulah yang seharusnya
berlutut kepadamu?. Dia mengajak makhluk itu keluar, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan kerangka,
agak jauh di luar lubang. Dan sungguh aneh sekali, begitu dia berlutut, agaknya
terguncangketika lubang itu runtuh, tiba-tiba saja kerangka itupun runtuh terlepas dan menjadi
setumpuk tulang dan tengkoraknya jatuh diatas tumpukan tulang.!
Melihat makhluk itu kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan suara nguik-nguik
seperti orang menangis kemudian dia memunguti tulan itu satu demi satu dengan hormat
sekali dan membawanya turun ke bawah. Melihat ini Thian Liong tidak tinggal diam diapun
memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah
gua. Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan
pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Liong mengajak Yeti
itu keluar. Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali
tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat
digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.
"Saudara yang baik, sekarang aku harus kembali ke rumah guruku. Mereka tentu akan cemas
sekali menanti aku pulang?. Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki
Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu
menghormatinya. "Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga
engkau yang menjadi temannya begitu setia kepadanya. Tentu engkau menganggap aku
sebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan
mendiang suhu. Arwah suhu yang entah siapa namanya itu tentu akan tersenyum di dalam
baka melihat kesetianmu. Engkau bukan manusia, akan tetapi jarang sekali ada manusia yang
memiliki kesetian seperti engkau. Thian Liong lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih
sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu
melihat kesetiaan yang demikian besarnya.
Nah, saudaraku, sekarang aku harus pergi. Atau maukah engkau ikut dengan aku" Kedua
orang guruku tentu akan senang sekali menerimamu?.
Akan tetapi makhluk itu sekali ini menggelengkan kepala dan duduk diatas batu besar seolah
dia hendak menjaga tempat itu selamanya. Thian Liong maklum akan hal ini karena telah
melihat kesetiaan makhluk itu yang demikian luar biasa. Ketika Thian Liong hendak pergi,
tiba-tiba makhluk itu melompat turun, memegang tangan Thian Liong dan diajaknya pergi
kesamping gua. Disitu banyak tumbuh jamur yang belang-belang, dan makhluk itu lalu
mencabut beberapa batang jamur, lalu memakannya begitu saja dan dia menawarkan kepada
Thian Liong untuk ikut makan jamur itu.
Thian Liong sudah mempelajari ilmu pengobatan, maka dia mencium jamur itu. Tidak ada
tanda beracun, akan tetapi dari baunya yang keras diatahu bahwa jamur itu mengandung obat
yang keras sekali, entah untuk menyembuhkan penyakit apa, hal ini perlu diselidiki.akan
tetapi karena dia melihat makhluk itu juga makan, untuk tidak membuat hati makhluk itu
kecewa, diapun makan sebatang jamur. Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya
memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat
Thian Liong makan banyak jamur, makhluk itu berjingkrak-jingkrak seperti merasa
kegirangan sekali. Perut Thian Liong menjadi kenyang setelah menghabiskan banyak jamur.
Akan tetapi tiba-tiba ada rasa panas luar biasa pada perutnya. Ada hawa panas yang berputar
di perutnya. Dia merasa dadanya sesak, terhimpit hawa dari perut itu dan cepat dia
meletakkan kitab dan pedang diatas lantai dan dia menekan perutnya yang rasanya hendak
meledak. Makhluk itu lalu membimbing tangannya dan kemudian makhluk itu bersila. Thian Lee
maklum bahwa makhluk itu mgajarkan dia dusuk bersila, maka diapun duduk bersila lalu
melatih pernapasan seperti kalau dia melatih ilmu menghimpun tenaga dalam dari gurunya,
Tan Jeng Kun. Dan perlahan-lahan dia dapat menguasai gejolak dalam perutnya itu, dapat
menguasai hawa yang amat kuat dan yang hendak mecuat ke sana sini, kemudian menekan ke
bawah perut untuk mengumpulkan hawa itu pada tan tian (titik empat cm dibawah pusar).
Akhirnya, setelah duduk bersila selam tiga jam, dapat juga dia menenangkan hawa panas yang
amat kuat itu ke dalam tan tian.
Akhirnya dia dapat bangkit berdiri dan dia segera mencabut banyak jamur untk dibawa
pulang. Dibungkusnya jamur itu ke dalam bajunya dan dia sendiri bertelanjang baju karena
tubuhnya masih terasa panas sekali yang timbul dari bawah perutnya. Kemudian dia
melambaikan tangan kepada Yeti dan sekali ini Yeti balas melambaikan tangan.
"Sekali lagi terima kasih, saudara yang baik. Lain kali aku pasti akan dating menjengukmu ke
sini". Setelah berkata demikian, pergilah dia. Aneh sekali, ketika melangkah dia merasa tubuhnya
demikian ringan seolah-olah tubuhnya terisi hawa yang membuat dia seperti hendak
mengudara. Setelah hari menjadi malam, akhirnya tibalah dia di pondok gurunya dan ternyata dua orang
gurunya telah menanti di depan pondok dengan wajah agak gelisah.
"Thian Lee, kemana saja engkau seharian ini?", tegur Tan Jeng Kun, dengan suara yang agek
keren dia merasa tidak senang muridnya telah membuat mereka berdua kawatir.
"Eh, apa yang terjadi dengan dirimu, Thian Lee". Tanya Kim Sim Yok Sian yang melihat
muridnya itu bertelanjang dada, membawa sesuatu yang dibuntal dengan pakaian, juga
membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.
"Suhu dan Susiok, teecu mengalami hal yang luar biasa sekali. Suhu dan Susiok mungkin
tidak percaya akan apa yang teecu alami di puncak dimana tinggal makhluk manusia salju
itu". "Engkau kesana" Sudah kularang engkau kesana?" Tegur Tan Jeng Kun.
"Apa yang telah terjadi" Cepat ceritakan. Mari kita semua masuk ke dalam" kata Kim Sim
Yok Sian yang lebih sabar daripada gurunya.
Mereka semua masuk dan Thian Lee meletakkan pedang dan dua buah kitab keatas meja, juga
buntalan pakaian yang terisi jamur ajaib.
Dengan jelas dia menceritakan semua pengalamannya di puncak bukit itu, didengarkan oleh
Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dengan mata terbelalak saking herannya.
Setelah Thian Lee selesai bercerita dengan jelasnya, dua orang itu segera sibuk memeriksa.
Tan Jeng Kun memeriksa pedang dan kitab, sedangkan Kim Sim Yok Sian memeriksa jamur
belang dan keduanya mengeluarkan seruan kaget dan juga gembira.
"Ya Tuhan, engkau memang berjodoh menjadi ahli waris perguruan kami, Thian Lee". Tan
Jeng Kun berseru girang setelah melihat pedang dan kedua buah kitab.
"Siancai "! Jamur ini adalah jamur ular belang yang langka. Nampaknya tidak beracun, akan
tetapi mengandung racun yang halus sekali. Dan engkau telah memakannya Thian Lee".
"Benar, Susiok. Teecu makan banyak sekali. Rasanya manis dan gurih. Makhluk manusia
salju itu yang menyuruhku makan dan teecu lalu mengalami gejolak hawa panas di perut
teecu yang menyiksa. Akan tetapi manusia salju itu mengajarkan agar teecu bersila dan lalu
teecu melakukan latihan seperti yang diajarkan Suhu dan akhirnya teecu dapat menyimpan
hawa itu ke dalam tan tian".
"Siancai "! Ini luar biasa sekali. Engkau telah memperoleh kekuatan yang luar biasa, Thian
Lee. Untung sekali ada manusia salju yang mengajarimu. Andaikata ketika engkau diserang
hawa panas bergejolak itu engkau tidak berdiam diri menghimpun tenaga dalam, dan kau
pakai untuk lari atau menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau
hawa itu menyerang ke dalam kepalamu. Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tan
tian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang". Kata Kim Sim
Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa
keadaan kesehatannya. Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini. Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.
Kim Sim Yok Siam membuka-buka kitab itu. Wajahnya tampak tegang dan ketika dia
mencabut pedang Jit goat Sin kiam, matanya terbelalak.
"Siancai ". Bagaimana bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini" Tentu sudah dikehendaki oleh
Thian. Tahukah engkau siapa kerangka itu, Thian Lee".
"Teecu, tidak tahu Susiok".
"Itu .. adalah kerangka sucouwmu (buyut gurumu)!.
"Ahhh"!" Thian Lee berseru kaget sekali. Tentu saja dia sama sekali tidak menduga bahwa
kerangka itu adalah kerangka buyut gurunya! "Susiok dan Suhu, apa yang terjadi dengan
sucouw", "Su kong (kakek guru) kami berjuluk Thian te Seng jin (Orang Sakti Langit Bumi), dan ketika
guru kami masih hidup, sukong kami itu menghilang dari dunia kang ouw. Tidak ada seorang
pun yang mengetahui dimana sukong kami berada, bahwa suhu kami juga tidak mengetahui.
Dia dianggap lenyap dari permukaan bumi. Siapa tahu, dia tidak berada jauh dari sini, bahkan
berada di puncak yang dianggap menjadi tempat tinggal manusia salju dimana tidak ada orang
beranidatang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya! Dan
betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu. Pinto yakin,
setiap jarun dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang
terkena olehnya. Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari
ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya".
"Akan tetapi susiok. Bagaimana teecu dapat mempelajari kitab itu". Ketika teecu
memeriksanya, terdapat banyak huruf yang tidak teecu kenal."
"Ha ha ha, apa percuma saja gurumu seorang sastrawan" Memang tulisan itu memakai huruf
kuno, akan tetapi suhumu tentu dapat membantumu. Dan lebih beruntung lagi, engkau juga
telah makan jamur ular belang sehingga engkau akan mendapatkan kekuatan yang hebat. Dan
masih ada sebanyak ini. Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak
membahayakan kesehatanmu".
"Suhu dan Susiok, teecu telah makan banyak jamur. Maka biarlah jamur ini untuk suhu dan
susiok saja". "Heh heh heh, pinto ini tukang mengobati, untuk apa jamur yang mendatangkan tenaga sinkang" Tidak, pinto tidak memerlukannya", kata si Tabib Dewa.
"Kalau begitu, biar dimakan oleh suhu". Kata Thian Lee.
Suhunya mengerutkan keningnya, "Aku sudah tua, untuk apa segala macam obat kuat"
Biarlah engkau yang memakannya sampai habis, akan tetapi benar seperti kata susiokmu,
harus dimakan sedikit demi sedikit. Dan kitab pelajaran ilmu sin-kang Thian te Sin-kang ini
tentu cocok dengan orang yang memakan jamur itu sehingga engkau akan dapat menguasai
tenaga sakti itu dengan baik. Tentang ilmu pedang Jit goat Kiam sut ini, dan isi kitab, jangan
kawatir, aku akan menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya. Akan tetapi engkau harus
berlatih sendiri karena aku tidak berhak mempelajarinya, juga aku sudah tua, tidak ingin
mempelajari ilmu silat apapun lagi".
Demikianlah, mulai hari itu, selain menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong dari gurunya,
Thian Lee mulai berlatih sin-kang dari kitab Thian te Sin kang dan mempelajari ilmu pedang
ari kitab Jit goat Kiam sut, mempergunakan pedang Jit goat Sin Kiam. Memang pada
dasarnya dia memiliki bakat yang amat baik, darah bersih dan tulang yang kuat, apalagi
ditambah khasiat luar biasa dari jamur ular belang, maka Thian Lee mendapat kemajuan pesat
Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali. Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk
merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orangorang sakit. Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan
bagi Thian Lee. * * * Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah
puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan " Tang Cin Lan dan ibunya,
Lu Bwe Si. Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia. Demikian pula
Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang
menjadi ayahnya, anak itu hidup serba kecukupan dan terhormat. Karena ibunya dan juga
ayahnya, memanggilkan guru-guru silat untuk puteri ini, maka Cin Lan menjadi seorang gadis
remaja yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Dara ini yang kini telah berusia lima
belas tahun pan-dai menunggang kuda, menggunakan anak panah dan bersilat memainkan
delapan belas macam senjata dengan baik!
Memang Lu Bwe Si yang diuruk ker mewahan dan kesenangan oleh suaminya, telah dapat
melupakan suaminya yang dahulu. Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata
dan mulut rnirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya,
memlr bayangkan kematian suaminya, ia merasa kasihan dan untuk menebus rasa bersalahnya
terhadap suami itu, sedikitnya tiga bulan sekali Lu Bwe Si mengajak anaknya untuk
bersembahyang ke kuil terbesar, di kota raja yang dipimpin oleh Tiong Hwi Nikouw, karena
kuil itu memang kuil wanita. Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang,
menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian isuaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin
Lan. Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena
ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia
hendak menyembahyangi orang tua dan para leluhurnya.
Setelah berusia lima belas tahun, Ci Lan menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita.
Apalagi sebagai puteri pangeran, kesehatannya terawat sekali, pakaiannya serba indah, maka
ia nampak makin menarik. Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi
kalau kebetulan melihat dara jelita inl. Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya me-nunggang
kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Akan
tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kull banyak mata memandang dara semua
orang merasa kagum bukan main. Dara remaja itu mengenakan pakaian serba merah muda,
rambutnya yang hitam pan-jang itu digelung seperti para puteri bangsawan, melingkar-lingkar
tinggi di atas kepala, dihias tusuk rambut dari emas permata. Anak rambut yang melingkarlingkar di dahi dan pelipis itu sungguh amat manis. Anting-anting emas bermata Intan
menghias telinganya. Alisnya hitam kecil melengkung tanpa dicukur dan tan-pa ditambah
penghitam alis. Sepasang matanya amat tajam dan memandang berani, tidak malu-malu
seperti mata gadis kebanyakan, bahkan mata itu kadang mencorong. Hidungnya kecil
mancung, dan di bawah hidungnya terdapat mulut yang menjadi bagian paling menari dari
mukanya. Bibirnya merah membasah tanpa gincu, dengan lekukan-lekukan manis di sekitar
mulut dan kalau ia tersenyum nampak lesung pipit di pipi kirinya. Kulitnya demikian putih
mulus. Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah
kelihatan betapa pinggangnya amat ramping dan lehernya juga panjang. Pangeran Tang Gi Su
sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya
bersilat, walaupun hanya puteri tiri.
Akan tetapi, karena Lu Bwe Si mem-bawa anak ketika untuk pertama kali ia dibawa masuk ke
istana pangeran, tentu saja bukan merupakan rahasia lagi bahwa Cin Lan bukan puteri
kandung Pangeran Tang Gi Su, melainkan anak tiri. Dan hal ini tidak mungkin dapat ditutuptutupi Akan tetapi sampai berusia lima belas tahun Cin Lan belum mendengar akan rahasia
itu, dan Sang Pangeran memperingatkan para pelayannya agar jangan membocorkan rahasia
itu kepada Cin Lan dengan ancaman hukuman berat, Bwe Si sendiri juga tidak ingin
membuka rahasia itu kepada puterinya. Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang
kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai
apa yang dipesankan mendiang suaminya. Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada
Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu
karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu
adalah peninggalan ibunya.
"Ibuku atau nenekku juga menerima gelang ini dari ibunya, maka gelang yang sudah turuntemurun ini harus kaujaga baik-baik dan dapat dijadikan jimat penolak bencana," demikian ia
memberitahu anaknya dan Cin Lan selalu menjaga gelang yang melingkari lengan kirinya itu.
Ketika anak dan ibu ini turun dari kereta, terdapat dua orang pengemls muda yang berada di
depan kuil dan mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga menyaksikan
kecan-tikan gadis remaja itu dan mereka lalu berbisik-bisik. Memang di halaman kuil itu
biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para
pengunjung kuil. Biasanya, orang-orang yang berkunjung ke kuil, suka lepas tangan dan
murah hati dalam membert sumbangan kepada para fakir miskin. Demikianlah memang watak
manusia. Ketika memasuki kuil atau tempat pemujaan lainnya, manusia selalu meng-ajukan
permohonan kepada Tuhan atau kepada kekuasaan lain agar mencapai apa yang dikehendaki.
Dan untuk memperkuat permohonan mereka itu, mereka suka "berbuat baik" dengan memberi
sedekah agar permohonannya terkabul. Betapa palsunya perbuatan baik semacam ini. Bukan
berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik
dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah
merupakan penyuapan atau penyogokan! Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu
biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap
yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang
diinginkan itu. Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi
memperoleh keinginannya itu.
Namun, kita sudah lupa akan kenyata-an ini dan kita pun terbawa oleh kebiasaan umum, yaitu
suka menderma sehabis keluar dari tempat-tempat pemujaan dan dengan pemberian sedekah
itu kita mera-sa diri bersih, suci dan baik hati! Tanpa ;merasa kita sudah terseret ke dalam
kebiasaan yang salah namun dibenarkan oleh umum ini. Dan para pengemis tahu akan hal ini,
maka berderetlah mereka di tempat-tempat seperti itu, memancing ,ikan di air yang keruh atau
lebih tepat mencari hasil selagi pikiran manusia dalam kekeruhan!
Lu Bwe Si bersembahyang dan Cin Lan Juga ikut, bersembahyang. Mereka merupakan tamu
agung, karena me, jad! keluarga pangeran, maka dilayani sendiri oleh Tiong Hwi Nikouw,
kepala nikouw di kuil itu. Ini pun merupakan suatu kebiasaan yang sudah lajim. Munekin
sekalz Tiong Hwi Nikouw bukan seorang yang mata duitan, akan tetapi sudah menjadi
kebiasaan bahwa tamu-tamu terhormat biasanya meninggalkan dermaan yang besar
jumlahnya kepada kuil, maka mereka juga disambut dan dilayani secara istimewa" Kembali
contoh dan kepalsuan manusia yang sudah menjadi kebiasaan!
Cin Lan bersembahyang untuk arwah ieluhur ibunya, tidak tahu bahwa ia bersembahyang
pula untuk arwah ayah kandungnya! Setelah selesai sembahyang dan bercakap-cakap sebentar
dengan Tione Hwi Nikouw, seorang nlkouw tua berusia enam puluh tahun yang masih
bertubuh sehat dan kuat, minum air teh yane di suguhkan, Lu Bwe Si berpamit setelah
memberi uang sedekah kepada kuil itu bersama Cin Lan mereka melangkah keluar, diiringkan
oleh Tiong Hwi Nikouw. Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda
yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah. Lu Bwe Si mengerutkan alisnya
melihat sikap menyeringai rnereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka.
Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak mau pergi.
"Nona belum memberi," kata mereka dan kini mereka menjulurkan tangan kepada CAn Lan
sambil mendekati nona itu.
Cin Lan merasa tidak senang. "Pergi kalian! Bukankah Ibu sudah memberi kepada kalian?"
bentaknya. Seorang di antara mereka berkata, "Aih, jangan galak-galak, Nona. Berilah kami sedikit
sedekah dari tangan Nona yang indah itu."
"Kurang ajar kalian! Tidak tahukah dengan siapa kalian berhadapan" Aku adalah puteri
Pangeran Tang Gi Su!" bentak pula Cin Lan.
Akan tetapi tiga orang pengemis it|U tertawa. "Dengar, kawan-kawan. la bilang puteri
Pangeran Tang Gi Su! Ha-ha-ha, sungguh lucu. Engkau hanya anak tirl pangeran itu, jangan
berpura-pura menjual lagak, Nona!" Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin
Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan
kiri itu. Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan
mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.
"Jahanam, kembalikan gelangku!" Cin Lan kini melompat dan memukul. Pengemis itu
ternyata dapat bersilat juga. Dia menangkis dan balas memukul. Akan tetapi Cin Lan
mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah terten-dang perutnya dan jatuh
terjengkang. Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu
bahwa gadis itu bukanlah puteri pangeran, melainkan hanya anak tiri. Akan tetapi Cin Lan
mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa
gebrakan saja tiga orang pengemis itu telah menjadi bulan-bulan tamparan dan tendangan
kakinya. Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan
melarikan diri sambll membawa gelang kemala. Cin Lan hendak mengejar, akan tetapi tiga
orang pengemis itu lari cerai-berai dan ibunya melarang ia mengejar.
"Sudahlah, jangan dikejar, Cm Lan, kata Lu Bwe Si dengan suara mengandung kegelisahan.
la gelisah karena men-dengar perngemis itu tadi membuka ra-hasia anaknya.
"Benar, Siocia (Nona). Tidak perlu. ?iitanggapi pengemis-pengemis kurang ajar itu. Kalau
mereka berani datang lagi ke sini akan pinni (aku) usir mereka," kata Tiong Hwi Nikouw.
"Marilah kita pularrg, Cin Lan," kata ibunya sambil menggandeng tangan anaknya
menghampiri kereta. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Perlahan dulu!" Dan muncullah seorang pengemis berusia lima puluh tahunan. Orangnya
pendek gendut dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Karena jelas bahwa dia menegur
Lu Bwe Si, maka nyonya ini memandang dengan alis berkerut.
"Engkau mau apa?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, perlahan dulu, Toanio. Tadi tiga orang muridku telah dihajar oleh nona ini, maka
aku datang untuk membalaskan mereka. Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang
berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat
dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.
"Slapa takut padamu?" bentak Cin Lan sambil melompat maju. "Murid-muridmu pencuri
kurang ajar, gurunya lentu lebih brengsek lagi! Majulah kalau engkau minta dihajar!" Cin Lan
memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding melawan pengemis pendek gendut yang
memegang tongkat hitam itu.
"Nah, rasakan kehebatan tongkatku!" bentak pengemis itu dan dia pun mulai menyerang
dengan ganas. Diam-diam Cin Lan terkejut. Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan
tlga orang pe-ngemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat
sekali. la menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan,
akan tetapi terpaksa ia me-narik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat
sekali. Dan pe-ngemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya.
Untung bagi Cin Lan bahwa ia memiliki gerakan yang amat gesit sehingga ia dapat mengelak
ke sana sini. Akan tetapi segera ia terdesak hebat karena permainan tongkat pengemis itu
memang sudah tinggi tingkatnya. Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun
sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara
sambaran tongkat, namun ia sudah terdesak mundur dan kalau pertandingan itu dilanjutkan
bukan tidak mungkin ia akan terkena pukulan tongkat.
Ketika tongkat itu dengan dahsysatnya menyambar ke arah kepala Cin Lan dan gadis ini
mengelak, terdengar bunyi keras dan tongkat itu ternyata telah ditangkis oleh sebatang
tongkat lain, yaitu tongkat yang berada di tangan Tiong Hwi Ni-kouw! Nikouw ini ketika
melihat betapa Cin Lan terdesak, sudah mengambil tong-katnya dan kini ia maju menangkis
tongkat pengemis itu. "Tang-siocia, mundurlah, biarkan pinni yang menghajar pengemis tak tahu diri ini'" katanya
dan Cin Lan yang merasa kewalahan segera mundur mendekati ibunya yang kelihatan
khawatir sekali. Kini terjadi pertandingan antara Tiong Hwi Nikouw dan pengemis pendek gendut itu.
Keduanya mempergunakan tongkat dan ternyata tongkat di tangan Tiong Hwi Nikouw itu
lihai sekall gerakannya. Nikouw inl pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, maka tentu saja
permainan tongkatnya juga tangguh sekali. Dan perlahan-lahan ia mulai meridesak pengemis
pendek itu dengan tongkatnya sehingga Si Pengemis kini hanya mampu menangkis tidak
mampu balas menyerang. Melihat ini, Cin Lan kagum dan girang sekali.
Akan tetapi pada saat itu, muncul seorang pengemis tinggi besar yang juga memegang
sebatang tongkat hitam dan begitu tiba di situ, pengemis tinggi besar itu membentak, "Siapa
berani menentang Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)?" Dan tanpa
banyak cakap lagi dia segera terjun ke dalam perkelahian itu, mengeroyok Tiong Hwi
Nikouw! Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si
Pendek Gendut. Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tong-katnya menyerang, berbalik
nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw
hanya mampu menangkis sambil berlon-catan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali
karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.
"Beginikah kelakuan orang-orang Hek-tung Kai-pang?" Tiba-tiba terdengar seruan dan
muncullah seorang pengemis lain. Pengemis ini sudah tua, usianya tentu sudah mendekati
tujuh puluh tahun, pakaiannya serba putih walaupun penuh tambalan namun nampak bersih.
Pengemis ini pun memegang sebatang tongkat bambu yang butut, akan tetapi begitu dia
menggerakkan tongkat bambunya menangkis, dua orang pengemis itu terhuyung ke belakang.
Pengemis ttia berbaju putih itu lalu memberi hormat kepada Tiong Hwi Ni-kouw, "Maafkan
dua orang pengemis yang tidak tahu diri ini dan biarkan aku yang tua memberi hajaran kepada
mereka!" Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya
pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal. Si Ting-gi Besar maju dan
menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa" Tidak setiakawan
membantu sesama pengemis malah menentang kami" Apakah tidak tahu bahwa kami dari
Hek-tung Kai-pang di kota raja dan sekitarnya menjadi pimpinan para pengemis?"
Pengemis tua itu tersenyum. "Ingin aku melihat bagaimana sikap ketua kalian kalau melihat
sikap dan mendengar suara kalian ini. Sebagai pengemis yang pekerjaannya meminta belas
kasihan orang lain, kenapa kalian menggunakan kekerasan" Kalau pengemis menggunakan
kekerasan, apa bedanya dengan perampok" Ketahuilah, hai pengemis yang tidak tahu diri.
Penggunaan kekerasan tidak menguntungkan, bahkan akan mencelaka-kan diri kalian sendiri.
Hayo cepat berlutut minta maaf kepada nikouw ini dan juga kepada Toanio dan Siocia itu!"
"Pengemis tua busuk! Kau tidak tahu siapa kami, ya" Kau pantas dihajar!" Bentak Si Tinggi
Besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju
putih. Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang
penyerangnya sudah menerjang dekat, per-lahan pula dia menggerakkan tongkatnya akan
tetapi sungguh aneh, tongkatnya itu dapat mendorong kedua orang itu sehingga terjengkang!
Dua orang itu meloncat bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kembali mereka terjengkang
karena dari tongkat bambu itu keluar hawa yang amat kuat mendorong mereka. Untuk ke tiga
kalinya mereka bangkit dan menyerang, akan tetapi makin hebat serangan mereka, makin
hebat pula mereka terlempar dan akhirnya mereka tidak berani lagi menyerang, maklum
bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi
kakek berpakaian putih itu menggerakkan tangan seperti menggapai dan mereka jatuh
tergulingan lagi. "Sebelum minta ampun kepada Ni-kouw, pinto dan Siocia, jangan harap kalian akan dapat
meninggalkan tempat ini," kata pengemis tua itu.
Akhirnya dua orang pengemis Hek-tung Kai-pang itu berlutut dan minta ampun kepada Tiong
Hwi Nikouw, Lu Bwe Si dan Tang Cin Lan, mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor
ayam mematuk gabah padi. "Nah, kalian berdua ingat baik-baik. Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan
perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan. Lain hari aku akan bertemu
dengan ketua kalian untuk menegurnya. Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan
pemerintah" Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar" Nah, pergilah dan jangan ulangi
perbuatan kalian!" Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak
cakap lagi. Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum. Para pengemis
Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu
agaknya tidak takut terhadap para petugas penjaga keamanan, karena mereka itu merupakan
orang-orang kepercayaan dari Pangeran Bian Kun. Karena adanya Pangeran Bian Kun yang
selalu membela mereka, maka para anggauta Hek-tung kai-pang menjadi besar kepala dan
setiap kali para petugas keamanan bertindak keras kepada mereka, tentu petugas keamanan
ditegur keras oleh Pangeran Bian Kun. Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang
dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan
kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton ity menjadi gembira sekali.
Cin Lan juga kagum sekali melihat kesaktian pengemis tua baju putih itu. Ia mendekati Tiong
Hwi Nikouw yang sudah dikenalnya dengan baik. "Su-kouw," bisiknya. "Aku ingin sekali
belajar ilmu silat dari Locianpwe itu. Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."
Nikouw itu tersenyum dan mengangguk, lalu ia menghampiri pengemis itu dain memberi
hormat. "Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Mohon tanya, siapakah Locianpwe
dan datang dari mana?"
Pengemis itu tersenyum. "orang menyebutku Pek I Lokai (Pengemis Tua Baju Putih). Aku
sudah lupa akan namaku, maaf...."
"Locianpwe, karena Locianpwe sudah menyelamatkan pinni dan juga Toanio dan Siocia ini,
maka pinni persilakan Lo-cianpwe untuk singgah sebentar dan bercakap-cakap di dalam."
Pengemis itu menoleh dan memandang kepada Lu Bwe Si dan Cin Lan, kemudian dia
mengangguk dan berjalan perlahan mengikuti nikouw itu memasuki Kuil Kwan-im-bio. Lu
Bwe Si hendak mengajak puterinya pulang, akan tetapi dara itu malah menarik tangan ibunya
diajak masuk kembali ke kuil.
Mereka duduk menghadapi meja de-ngan hidangan tanpa daging dan tanpa arak. Pengemis itu
tanpa malu-malu lagi menyantap hidangan yang disuguhkan kepadanya. Setelah selesai
makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Pada saat itu, Lu Bwe Si dan Cin Lan memasuki ruangan itu. Tiong Hwi Nikouw lalu bangkit
berdiri dan berkata kepada pengemis itu, "Locianpwe, toanio ini adalah isteri dari Pangeran
Tang Gi Su dan nona ini adalah Tang-siocia. Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian Lo
Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cianpwe dan ingin sekali belajar Umu silat dari Locianpwe."
Pengemis itu tersenyum dan memandang kepada Cin Lan, memandang dari kepala sampai ke
kaki dan diam-diam dia kagum. Gadis remaja inl memang berbakat baik sekali.
"Nona sudah pernah mempelajari ilmu silat sampai cukup baik, untuk apa ingin belajar lagi?"
"Locianpwe, biarpun sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi buktinya tadi
ketika menghadapl pengemis .pendek gendut, aku tidak mampu mengalahkannya. Karena itu
melihat ke-saktian Locianpwe, aku ingin sekali men-jadi murid Locianpwe. Harap engkau
orang tua tidak menolak!" Setelah berkata demikian, membuat kaget hati ibunya, gadis itu
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu! Tentu saja Lu Bwe Si terkejut
sekali, akan tetapi ia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Melihat puterinya, puteri pangeran,
berlutut di depan kaki seorang kakek pengemis! Bagaimana kalau hal seperti ini dilihat orang
lain" Untung di situ hanya ada ia dan Tiong Hwi Nikouw!
Pengemis itu mengangkat mukanya dan tertawa bergelak, kemudian dengan tongkat
bambunya dia menusuk bawah ketiak kiri Cin Lan lalu mengangkatnya.
Cin Lah merasa ada tenaga raksasa tongkat itu yang mengangkatnya. la hendak menguji dan
mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawannya akan tetapi tetap saja ia terangkat dalam
keadaan masih berlutut! Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan
kakinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai
murid?" "Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona" Dan aku
pun tidak suka tinggal d! rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."
Tiba-tiba Tiong Hwi Nikouw berkata, "Kalau Locianpwe menghendaki, dapat saja melatih
Tang-slocia di kuil ini."
"Bagus, kalau begitu baru bagus do.ir? aku setuju!" kata kakek itu gemblra.
"Terima kasih, Suhu!" kata Cin lan gembira.
"Eh, nanti dulu, Nona. Engkau harus memperoleh ijin dari Ibumu'" kata kakek itu,
Lu Bwe Si segera berkata, "Kami memang tahu akan kesukaan puteri kami dan kami tidak
berkeberatan kalau Lo-cianpwe suka menjadi guru Cin Lan."
"Wah, semua beres kalau begitu. Nah, seminggu sekali Nona boleh datang ke sini. Selama
sehari Nona akan kuajar ilmu silat, kemudian melatihnya di rumah Nona sendiri selama
seminggu. Setiap seminggu sekali kita bertemu di sini dan dimulai dengan besok pagi-pagi
sekali," kata Pek I Lokai kepada Cin Lan.
"Baik Suhu. Besok pagi-pagi sekali teecu akan datang ke kuil ini," kata Cin Lan. Kemudian ia
mengikuti ibunya naik kembali ke dalam kereta dan kembali ke rumah mereka
Cin Lan dan ibunya tidak menceritakan tentang peristiwa tadi kepada Pangeran Tang Gi Su.
Akan tetapi begitu berada bedua saja di dalam kamarnya, Cin Lan berkata kepada ibunya
dengan suara menuntut, "Ibu, sejak tadi perasaan ini kutahan-tahan saja. Sekarang harap Ibu suka menceritakan
tentang ucapan pengemis kurang ajar tadi. Apa artinya ucapannya itu, Ibu?"
"Ucapan yang bagaimana, Ariakku?" tanya ibu itu dengan hati gelisah, karena tentu saja
ucapan pengemis muda tadi tak pernah ia lupakan.
"Pengemis tadi mengatakan bahwa. aku hanyalah anak tiri dari Ayah Pangeran. Apa artinya
inl, Ibu" Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri
dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."
Sang Ibu menundukkan mukanya Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan
terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa
seorang anak. Semua orang tahu belaka bahwa Cin Lan adalah puteri tiri Sang Pangeran.
"Baiklah, Cin Lan. Engkau sekarang sudah menjelang dewasa dan engkau perlu
mengetahuinya. Lebih baik engkau mendengar dari mulutku sendiri daripada engkau
mendengar darl mulut orang lain. Memang sebenarnyalah engkau bukan puteri kandung
ayahmu Pangeran. Engkau adalah anak tirinya."
Cin Lan menekan perasaannya. la sudah siap menghadapi kenyataan ini, dan hanya wajahnya
saja yang nampak agak pucat. "Akan tetapi, Anakku, apakah engkau rnerasa dianaktirikan"
Tidak, bukan" Ayahmu amat mencintamu, tidak berbeda dengan anak-anaknya sendiri. Juga
saudara-saudaramu menyayangimu, tidak menganggapmu sebagai saudara tiri."
"Akan tetapi mengapa Ibu selama ini merahasiakannya?"
"Belum waktunya, Cin tan. Kalau engkau masih kecil dan mendengar kenyataan ini tentu
amat tidak baik bagimu. Sekarang engkau sudah dewasa, maka tidak ada halangannya untuk
kau dengar rahasia ini."
"Ibu, di mana ayah kandungku?"
"Ayah kandungmu sudah meninggal dunia sejak engkau masih kecil sekali," baru berusia
beberapa bulan, Cin Lan. Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran
Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan
dia melamarku. Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita
harus mengakui bahwa dia baik sekali, Cin Lan. Engkau juga dianggapnya sebagai puterinya
sendiri." Cin Lan berdiam diri sampai lama, termenung. Memang ia tidak perlu me-rasa penasaran.
Pangeran Tang amat menyayangnya dan ia tidak pernah merasa dianaktirikan.
"Siapa nama ayah kandungku, Ibu?"
"Namanya Cian, she Bu."
"Hemm, Bu Cin Lan ....." gumam dara itu.
"Cln Lan, demi kebaikanmu sendiri dan kehormatan ayahmu pangeran, sebaiknya kalau
engkau tetap memakai nama marga Tang. Tidak perlu orang lain tahu bahwa engkau anak
seorang she Bu. Pula, apa yang dapat kita lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Tang,
kecuali kalau engkau menggunakan nama marga mereka" Penuhilah pesan ibumu ini,
Anakku. Jangan memakai nama mar-ga Bu, melainkan pakailah terus she Tang. Kalau tidak,
maka hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran tentu akan menjadi retak dan kita akan
dianggap . tidak mengenal budi."
"Baiklah, Ibu."
"Masih ada sebuah rahasia lagi yang perlu sekarang juga kuceritakan kepadamu."
"Rahasia tentang apa, Ibu?"
"Tentang gelang kemala itu."
"Gelang kemala" Ah, yang dirampas oleh pengemis itu?" tanya Cin Lan ter-kejut dan juga
menyesal mengingat bahwa gelang itu telah hilang. "Bukankah itu gelang pemberian Nenek"
Ada rahasia apakah dengan gelang itu?"
"Gelang itu bukan peninggalan nenekmu. Gelang itu adalah... tanda ikatan perjodohanmu!"
Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak memandang wajah ibunya pe-nuh selidik,.
"Ikatan perjodohan" Apa artinya ini, Ibu?"
"Dahulu, ketika ayahmu masih hidup, bahkan pada hari ayahmu akan meninggal dunia, kami
kedatangan seorang sahabat baik ayahmu bernaina Song Tek Kwi. Song Tek Kwi mempunyai
seorang anak laki-laki yang baru berusia satu tahun dan ayahmu menyetujui usul Song Tek
Kwi untuk menjodohkan anak masing-masing. Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang
gelang kemala yang serupa benar, tiada bedanya sedikitpun juga. Dia menyerahkan sebuah
gelang kemala kami untukmu sebagai tanda ikatan perjodohan."
"Ah, baru berusia beberapa bulan sudah dijodohkan?" seru Cin Lan penasaran.
"Antara ayahmu dan Song Tek Kwi terjalin persahabatan yang erat sekali, Cin Lan. Mereka
keduanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Karena mengingat bahwa ayah
kandungmu se-orang pendekar yang mencita-citakan bahwa engkau juga harus menjadi
seorang ahii silat yang pandai, maka aku sengaja memanggil guru-guru silat untuk
mengajarmu dan ayahmu pangeran juga me-nyetujui. Nah, karena hubungan yang erat itulah
maka ikatan perjodohanmu dibuat."
"Hemmm, jadi... laki-laki yang dijodohkan denganku itu pun memiliki sebuah gelang kemala
presis kepunyaanku itu?"
"Benar, Cin Lan. Akan tetapi aku sudah lupa lagi siapa nama anak itu. Se-telah berpisah,
ayahmu meninggal dunia dan aku mengalami banyak penderitaan batin sehingga nama yang
baru satu kali kudengar dari Song Tek Kwi itu kulupakan lagi."
"Tidak mengapa kaulupakan, Ibu. Ba-gaimanapun juga, tidak seharusnya aku menjadi
jodohnya! Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang selamanya belum pernah kulihat
atau kukenal. Bagaimana kalau dia menjadi seorang yang jahat dan bagaimana kalau
melihatnya aku merasa tidak suka kepadanya" Pula, gelang kemala milikku itu sudah hilang,
tidak perlu dipikirkan lagi perjodohan kanak-kanak itu."
"Cin Lan, jangan bicara begitu Arwah ayah kandungmu akan merasa penasaran mendengar
ucapanmu." "Hemm, bagaimanapun juga, pernikahan adalah urusan orang yang menikah, harus ada
persetujuan kedua pihak yang akan berjodoh barulah benar dan baik. Sudahlah, Ibu. Aku
ingin tahu, bagaimana Ayah yang masih muda dan juga seorang pendekar yang tentu kuat
tubuhnya itu sampai meninggal dunla" Di mana kuburannya" Aku ingin menengok dan
bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering
bersembahyang di kuil. Tentu menyembahyangi arwah ayah kandungku, bukan?"
Dengan mata basah ibunya mengang-guk. Diam-diam ibu ini menjadi bingung. Kalau ia
berbohong dan anaknya pergi bersembahyang ke dusunnya, tentu anak itu akan mendengar
tentang kematian ayahnya. Ah, Cin Lan sudah dewasa, menjadi seorang gadis yang gagah,
tidak perlu menyimpan rahasia lagi.
"Dengarlah Anakku. Ibumu akan menceritakan segalanya. Tadi sudah kuceritakan bahwa
Song Tek Kwi datang berkunjung, menyerahkan gelang kemala sebagai tanda ikatan
perjodohan antara engkau dan puteranya. Selagi kami bercakap-cakap, terdengar suara ributribut dan datang laporan bahwa ada gadis dipaksa oleh seorang pangeran untuk menjadi
isterinya. Ayahmu adalah seorang pendekar, mendengar ini dia lalu berlari keluar diikuti Song
Tek Kwi yang juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Setelah tiba di luar mereka melihat
seorang gadis dipaksa naik kereta untuk dijadikan selir seorang pangeran. Ayahmu dan Song
Tek Kwi menjadi marah dan Jnengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pange-ran itu
bahkan memberi hajaran kepada pangeran mata keranjang yang suka me-maksa anak gadis
orang." "Wah, Ayah seorang pemberani yang gagah perkasa!" kata Cin Lan gembira.
"Akan tetapi peristiwa itu berekor panjang, Anakku. Pada lain harinya, datang pasukan untuk
roenangkap kami karena ayahmu yang berani memukul seorang pangeran itu dianggap
pemberontak. Ayahmu tidak mau menyerah dan terjadi perkelahian. Ayahmu dikeroyok
banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi
tawanan." "Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.
"Sebetulnya ayahmu terlalu keras hati, Cln Lan. Tentu saja menghajar seorang pangeran
dianggap sebagai pemberontak. Dan sudah menjadi peraturannya bahwa keiuarga seorang
pemberon'ak harus ditangkap semua. Maka, aku pun ditangkap. Dan pada saat itu muncul
Pangeran Tang Gi Su yang menolong kita. Berkat kekuasaan Pangeran Tang Gi Su maka aku
dibebaskan dan diajak ke rumahnya. Kemudian dla... dia melamarku. Aku tidak melihat jalan
lain. Kalau aku menolak dan aku berada di luar, tentu aku akan ditangkap sebagai keluarga
pemberontak. Kalau aku menjadi selirnya, maka aku dan engkau akan selamat dan terlindung.
Sungguh mati, pada waktu itu aku hanya ingat akan keselamatanmu, Cin Lan. Maka aku...
aku rnenerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan.
"Hemm, siapakah pangeran yang suka memaksa gadis itu, Ibu?"
Bwe Si merasa lebih baik tidak menceritakan nama pangeran itu agar puterinya tidak
rnelakukan tindakan yang gega-bah. "Aku tidak tahu namanya, Cin Lan. Akan tetapi gadisgadis yang dipilih itu kebanyakan adalah gadis dusun dan orang tua si gadis malah bangga
menyerahkan gadisnya untuk diajak pergi seorang pangeran dan menjadi selirnya."
"Dan di mana Ayah dikubur, Ibu?"
"Kami dulu tinggal di dusun Teng-sia-bun tak jauh dari kota raja dan tentu ayahmu dikubur di
sana pula oleh penduduk dusun. Aku sendiri tidak mengetahui karena aku terus ditangkap
bersamamu." "Dan Ibu tidak pernah berkunjung ke kuburan itu?"'
"Bagaimana mungkin, Anakku" Tentu semua orang akan mengetahui. Tidak, ibu hanya
bersembahyang di kuil untuk ayah kandungmu."
"Kalau begitu aku yang akan berkunjung ke sana, Ibu!"
"Cin Lan, ingat pesanku. Jangan sekali-kali engkau mengaku bukan putera Pangeran Tang Gi
Su kalau engkau tidak ingin melihat hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran menjadi
retak." "Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah
kandungku masih hidup."
Akan tetapi semenjak membuka rahasia itu kepada puterinya, Lu Bwe Sl sering kali merasa
gelisah dan khawatir sekali. Mengenai ikatan perjodohan puterinya itulah yang amat
menggelisahkan hatinya. Di dalam lubuk hatinya, ingin ia memenuhi kehendak mendiang
suaminya untuk menjodohkan puterinya dengan putera Song Tek Kwi. Akan tetapi bagaimana
caranya" Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu.
Dan sekarang, gelang kemala puterinya telah hilang, dan bahkan puterinya sendiri tidak setuju
dengan ikatan perjodohan itu! la hanya dapat menangis seorang diri dan mengeluh kepada
mendiang suaminya yang pertama.
Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari bayangan masa
depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini dengan penuh penerimaan,
kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka
segala macam kedukaan dan kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.
Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu mengubahnya.
Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang menimpa diri kita, akan kita
hadapi tanpa menge-luh karena kita tahu bahwa kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya.
Bukan berarti bahwa kita menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali
bukan. Kita berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada kekuasaan
Tuhan. Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk melandasi semua daya
upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan lengkap. Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha
Murah. Tuhan lebih dari mengerti apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita
yang tidak sempurna akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah
dengan sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.
* * * Pada keesokan harinya, pagi-pagl sekali, Cin Lan sudah meninggalkan gedung tempat
tinggalnya. la mengenakan pakaian yang ringkas dan menunggang seekor kuda yang bagus.
Sudah sering kali ia menunggang kuda dan pergi berbun binatang, maka orang-orang yang
melihatnya di jalan tidak merasa heran, hanya memandang dengan kagum. Dara remaja yang
berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian
santainya ia menunggang kuda menuju ke Kwan-im-bio.
Setelah ia tiba di pekarangan kuil, ia menambatkan kudanya di batang pohon dan meloncat
turun, Tiong Hwi Nikouw, yang sepagi itu sudah bangun dan habis sembahyang membaca
doa, lalu keluar menyambutnya,
"Selamat pagi, Tang-siocia."
"Selamat pagi, Sukouw. Apakah Suhu sudah datang?"
"Sudah, dia sudah menanti di ruangan belakang. Mari engkau langsung saja menemuinya di
sana," kata nikouw itu dan Cin Lan segera memasuki kuil dan langsung menuju ke ruangan
belakang. Pek 1 Lokai menyambutnya dengan senyum.
"Bagus, engkau datang pagi sekali, Nona."
"Suhu, harap jangan sebut teecu de-ngan sebutan nona. Nama saya teecu Tang Cin Lan dan
sebagai guruku, Suhu sebaiknya menyebut nama teecu saja" kata Cin Lan dengan akrab.
Pek I Lokai tertawa. "Sebagai seorang puteri pangeran, sikapmu sungguh rendah hati, Cin
Lan. Baiklah, kalau sedang berdua, aku akan menyebutmu Cin Lan saja. Akan tetapi. pagi ini
aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua
Hek tung Kai-pang, untuk menegurnya agar dia dapat mengatur anak buahnya agar jangan
melakukan kejahatan."
"Kebetulan sekali kalau begitu, Suhu Teecu juga ingin mencari pengemis rnuda yang kemarin
telah merampas gelang kemala teecu. Teecu harus mendapatkannya kembali karena gelang itu
penting sekali bagi teecu." Cin Lan sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan gelang
itu kembali, dan kelak kalau ia dapat bertemu dengan orang yang dica-lonkan menjadi
suaminya, gelang itu akart dikembalikannya sebagai pembatalac?, ikatan perjodohan itu.
"Baik sekali kalau begitu, mari kita pergi bersama." Pengemis tua itu bangkit berdiri dan
membawa tongkat bambunya.
"Suhu, teecu membawa seekor kuda. Suhu pakailah kuda teecu itu."
"Tidak, kita berjalan kaki saja, Cin Lan. Bukankah tempat perkumpulan Hek-tung Kai-pang
itu tidak terlalu jaun dari sini?"
"Tidak, Suhu. Tempatnya berada di sudut kota."
"Nah, kita berjalan kaki saja. Marilah'"
Mereka berdua keluar dari kuil dan ketika bertemu dengan Tiong Hwi Ni-kouvy mereka
berdua berpamit kepada nikouw itu. Cin Lan tidak mempedulikan pandang mata orang-orang
yang ditujukan kepadanya dengan heran melihat ia puteri seorang pangeran, berjalan bersama
seorang kakek pengemis yang bertongkat bambu butut!
Rumah perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu cukup besar, merupakan sebuah gedung yang
besar. Hal ini tidaklah mengherankan karena perkumpulan pengemis ini akhir-akhir ini
berpengaruh dan terutama sekali semenjak Pangeran Bian Kun berhubungan dekat dengan
ketuanya, maka pangeran itulah yang memperkuat perbendaharaannya sehingga perkumpulan
itu dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar. Apakah sebenarnya hubungan antara
Hek-tung Koai-ong (Raja Pengemis Tongkat Hitam), ketua dari perkumpulan itu dengan
Pangeran Bian Kun yang besar kekuasaannya" Sebetulnya, hubungan itu dimulai ketika
Pangeran Bian Kun beberapa tahun yang lalu terancam bahaya ketika serombongan pendekar
hendak membunuhnya karena pa-ngeran ini merebut puteri seorang pendekar sehingga puteri
itu kemudian membunuh diri, memilih mati daripada ternoda oleh pangeran itu. Ketika
pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena
pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai
seorang jagoannya. Dan bukan hanya itu, dia juga menyerahkan puteranya yang bernama
Bian Hok untuk menjadi murid Hek-tung Kai-ong.
Sebetulnya, Hek-tung Kai-ong bukanlah seorang jahat, walaupun wataknya kasar dan
pemarah. Kalaupun anak buahnya kini bertindak sewenang-wenang, itu terjadi di luar
tahunya. Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi
oleh Pangeran Bian Kun, maka mereka bertindak sewenang-wenang. Kalau ketua mereka
mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang
yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.
Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Cin Lan dan Pek I Lokai tiba di depan rumah gedung perkumpulan Hek-tung Kaipang, yang berjaga di depan segera mengenalnya. Berita tentang dihajarnya tiga orang
anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan kemudian dihajarnya dua orang pimpinan mereka, yaitu
murid-murid dari ketua mereka, sudah mereka dengar dan kini mereka dapat menduga siapa
adanya gadis cantik dan kakek pengemis berpakaian putih itu. Maka, mereka mengambil
sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada
belasan orang. Jilid 6________ Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat
panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan
suara tenang dan sabar. Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin
merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka.
Seorang di antara para anggauta Hek-tung Kai-pang sudah lari ke dalam untuk melaporkan
kepada ketua mereka. Hek-tung Kai-ong tentu saja tidak pernah dilapori tentang perkelahian
kemarin, maka dia merasa heran ketika mendengar bahwa di luar ada seorang gadis dan
seorang kakek pengemis berpakaian putih hendak menemuinya.
"Persilakan mereka mernasuki ruangan samping!" katanya singkat. Hek-tung Kai-ong adalah
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan pada saat itu dia sedang
melatih seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang tampan dan berpakaian indah.
Pemuda ini adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang menjadi murid ketua pengemis
itu. "Suhu, bolehkah aku ikut mendengarkan pertemuan itu?" tanya Bian Hok yang merasa
tertarik juga mendengar bahwa ada seorang gadis dan seorang kakek hendak menemui
gurunya. "Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping." Ruangan samping itu
merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan
perternuan besar dengan para anggauta.
Mereka berdua tiba lebih dulu di ruangan itu dan duduk menanti. Setelah menanti sebentar,
masuklah Cin Lan dan Pek I Lokai diiringkan beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang.
Dan ketika Cin Lan melihat Bian Hok, ia mengerutkan alisnya diam-diam terkejut. la sudah
mengenal pemuda itu dan beberapa kali pernah bertemu karena ayah mereka keduanya adalah
pangeran. Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain
adalah Tang Cin Lan, gadis remaja yang sudah lama digandrunginya.
"Hai, Adik Tang Cin Lan! Kiranya engkau yang datang?" serunya dengan girang.
Cin Lan menanggapi sambutan gembira itu dengan dingin. saja. "Aku pun p tidak mengira
bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!" la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang
menunjukkan bahwa ia tidak bersedia bersikap akrab dengan pemuda itu. Memang, ayahnya
dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan
pemuda ini di sarang pengemis-pengemis yang kurang ajar itu, hatinya tidak senang dia
sengaja menyebut kongcu. Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia
berkata girang kepada gurunya,
"Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"
Mendengar ucapan ini, Hek-tung Kai-ong lalu memberi hormat kepada Cin Lan dan berkata,
"Maafkan karena tidak tahu akan kunjungan Siocia, kami terlambat nnenyambut. Silakan
duduk Siocia." Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik ta-ngan Pek I
Lokai sambil berkata, "Duduklah, Suhu."
Kini tiba giliran Bian Hok yang memandang heran. Dia tahu bahwa Cin Lan adalah seorang
gadis yang gagah, yang diajar silat oleh para jagoan dar istana. Akan tetapi dia tidak mengira
bahwa gadis itu kini mempunyai guru aeorang kakek pengemis pula.
Pek I Lokai duduk pula walaupun belum dipersilakan tuan rumah. Melihat sikap sederhana
dari kakek berpakaian putih itu, Hek-tung Kai-ong tidak berani memandang rendah. Sambil
duduk dia pun memberi hormat dan berkata, "Tidak tahu siapakah saudara tua ini" Dari
golongan mana dan siapakah namanya" Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk
kami?" Pek I Lokai tersenyum dan meman-dang ke sekeliling. Lucu juga rumah se-besar ini disebut
gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."
Hek-tung Kai-ong nampak terkejut.
Dia pun pernah mendengar nama besar Pek I Lokai di selatan dan baru sekarang dia bertemu
dengan orangnya. "Ah, kiranya Pek I Lokai yang nama-nya terkenal di sepanjang Sungai Kuning" Selamat
datang di tempat kami. Dan ada urusan penting apakah yang membawa Lokai datang
berkunjung?" Pek I Lokai memandang tajam. "Engkau tentu Ketua Hek-tung Kai-pang, bukan?"
"Benar, orang menyebutku Hek-tung Kai-ong," kata ketua itu dengan suara merendah, tanpa
merasa bangga atau sombong. Agaknya dia seorang yang jujur.
"Pantas, seorang kai-ong (raja pengemis) menempati istana seperti ini! Begini, Kai-ong,
kedatanganku ini untuk mernberi teguran kepadamu atas tindakan anak buahmu yang sungguh
di luar kepantasan!"
Sepasang mata yang besar itu terbelalak, wajah yang keren itu menjadi kemerahan dan hidung
yang besar itu kembang-kempis. Tentu saja Hek-tung Kai-ong marah sekali mendengar
ucapan itu. "Pek I Lokai, engkau hendak mengatakan bahwa aku telah mengajar kepada anak
buahku untuk bertindak tidak pantas, begitu?"
"Beberapa orang murid dan anak buahmu memang bertindak tidak pantas sekali, habis Suhu
harus berkata bagaimana?" Tiba-tiba Cin Lan yang sejak tadi menahan kemarahannya
berseru. Hek-tung Kai-ong kini nnemandang kepadanya. "Siocia, perbuatan tidak pantas yang
manakah dilakukan anak buahku" Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang
yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"
Cin Lan mendahului suhunya, "Kalau hanya minta sedekah, hal itu adalah hal biasa dan kami
tidak akan mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku , bersama ibuku pergi ke Kuil
Kwan-im-bio, tiga orang anak buahmu yang masih muda-muda bersikap kurang ajar kepadaku. Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala
yang kupakai, kemudian bahkan w berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas,
Hek-tung Kai-pangcu" Hayo jawab, apakah ini pantas?"
Menghadapi serangan kata-kata dari Cin Lan, Hek-tung Kai-ong tertegun. "Benarkah kejadian
seperti itu?" tanyanya perlahan dan dengan nada suara khawatir kalau-kalau berita itu benar
adanya. "Apa kaukira aku berbohong kepada-mu" Tiga orang anak buahmu itu n-ienge-royokku, dan
dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari getang kemalaku. Akan tetapi
lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"
_a "Ahh....!" Hek-tung Kai-ong berseru kaget.
"Untung ada Tiong Hwi Nikouw yang membantuku. Kemudian datang lagi seorang muridmu
yang tinggi besar mengeroyok Tiong Hwi Nikouw. Kalau saja Suhu tidak cepat datang dan
mengusir mereka, tentu aku dan Tiong Hwi Ni-kouw telah celaka. Nah, Pangcu, katakan
apakah perbuatan anak buahmu ini pantas" Merampas gelang dan menyerang wanita, juga
nikouw?" Melihat gurunya nampak bingung, Bian Hok lalu berkata, "Siauw-moi, harap tenang dulu.
Urusan ini harus diselidiki dulu kebenarannya, baru Suhu dapat mengambil keputusan."
Hek-tung Kai-ong sudah begitu marahnya sehingga dia mengeluarkan teriakan keras sekali
memanggil anak buahnya yang berada di luar. Dua orang anak buah tergopoh-gopoh lari
berdatangan ke dalam ruangan itu.
"Tahu kalian siapa diantara dua orang muridku yahg berkelahi di depan Kuil Kwan-im-bio?"
bentaknya. Dua orang anak buah itu ketakutan, dan seorang di antara mereka menjawab
dengan suara gemetar,"
"Saya... saya hanya mendengar saja, Pangcu. Kabarnya Ciu-twako dan Thio-twako yang
berkelahi." "Cepat cari mereka dan panggil ke sini menghadap, sekarang juga'."
"Baik... baik... Pangcu....!" Dua orang itu lalu berlari keluar.
Setelah mereka berdua keluar, Cin Lan berkata kepada Hek-tung Kai-ong, "Pangcu, aku pun
menuntut agar gelang kemalaku dikembalikan. Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan
minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang
berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan
gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.
Bian Hok lalu tersenyum dan sambil berkata, "Aih, Siauw-moi, harap bersabar dulu. Apa
yang dilakukan anak buah itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Suhu, yaitu
Ketua Hek-tung Kai-pang. Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu
akan, menghukum mereka. Urusan sekecil ini perlu apa harus memusingkan ayahmu, Paman
Pangeran Tang" Bisa menjadi buah tertawaan orang banyak. Kalau benar gelangmu dirampas,
tentu akan dapat kau terima kembali."
"Kalau benar, kalau benar! Engkau beberapa kali mengatakan kalau benar. Memangnya
kauanggap omonganku semua itu bohong belaka?" bentak Cin Lan sambil melototkan
matanya kepada Bian Hok. "Cin Lan-siocia, bersabarlah. Urusan ini dapat diurus dengan sabar, bukan de-ngan
kemarahan," kata Pek I Lokai, menyebut siocia karena berada di depan orang lain. "Biarlah
kita melihat bagaimana Hek-tung Kai-pangcu menangani urusan ini. Dan kepadamu, Hektung Kai-ong, ini merupakan pelajaran yang amat berharga. Agaknya engkau kurang ketat
mengamati kelakuan para muridmu hingga engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan di
luar. Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu,
sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat
itu. Dengan cara apa" Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu
dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis
membuat keja-hatan di masyarakat, itu namanya tidak tahu diri, sudah ditolong malah
membalas dengan kejahatan."
Bian Hok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pek I Lokai, lalu berkata angkuh,
"Pek I Lokai, sudah kukatakan tadi, perlu diselidiki lebih dulu duduknya perkara. Jangan
terlalu mendesak Suhu yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Kalau memang ada anak buah
Hek-tung Kai-pang yang bersalah, Suhu tentu akan menghukum mereka dan meminta maaf
kepada Adik Tang Cin Lan."
Terdengar langkah-langkah kaki di luar lalu muncullah dua orang pengernis.
Cin Lan mengenal mereka sebagai Si Pendek Gendut dan Si Tinggi Besar yang lihai, yang
kemarin mengeroyok Tiong Hwi Nikouw dan kemudian dikalahkan oleh Pek I Lokai. Dua
orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka yang juga guru mereka dengan
sikap takut. Mata Hek-tung Kai-ong melotot ketika melihat dua orang murid ini berlutut di depannya.
Dengan suara mengguntur dia berkata, "Apa yang kalian lakukan di depan Kuil Kwan-im-bio
kemarin" Hayo ceritakan yang sebenarnya, kalau oerbo-hong akan kuhancurkan kepala
kalian!" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.
Si Pendek Gendut dengan suara gemetar lalu berkata, "Harap Suhu mengampuni teecu. Teecu
tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang
mu-rid teecu yang melapor bahwa rnereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-imbio. Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi ke
depan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."
"Akulah nona itu!" teriak Cin Lan. Pengemis itu menoleh dan kembali menundukkan
mukanya. "Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk
membalaskan tiga orang murid teecu yang dipukuli. Nona ini menerima tantangan teecu dan
kami berkelahi. Lalu nikouw dari kuil itu maju melawan teecu dan ketika teecu terdesak, lalu
datang Thio-suheng membantu... hanya itulah kejadian yang sesungguhnya, Suhu."
"Hayo kau ceritakan hal yang sebenarnya bagaimana!" kata ketua itu kepada pengemis yang
tinggi besar. Pengemis itu lalu menunduk dan bercerita, suaranya tidaklah takut seperti
sutenya karena dia merasa tidak bersalah.
"Teecu kebetulan lewat di depan kuil dan melihat Ciu-sute sedang bertanding dan terdesak
hebat oleh nikouw tua itu. Lalu teecu membantu Sute. Setelah kami berdua hampir
mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."
"Suhuku inilah orangnya!" kemball Cin Lan membentak. Si Tinggi Besar melirik ke arah Pek
I Lokai lalu dia menunduk lagi.
"Teecu berdua lalu bertanding mela-wan kakek berpakaian putih itu dai kami mengalami
kekalahan. Hanya itulat yang terjadi, Suhu. Teecu berani bersumpah."
"Hemm, tahukah kalian mengapa tiga orang anggauta itu dihajar oleh Tang-siocia" Dan
tahukah kalian siapa Tang-siocia ini" la adalah puteri dari Pangeran Tang Gi Su. Engkau, Cui
Sek, berani engkau menyerang puteri pangeran?"
Si Gendut itu menjadi pucat wajahnya, "Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu
bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.
"Dan engkau tahu mengapa rnurid-muridmu dipukuli?"
"Teecu tidak tahu...."
"Tidak kautanyakan kepada murid-muridmu?"
"Teecu keburu marah... eh, maaf teecu tidak sempat....
"Keparat! Cepat panggil murid-muridmu itu ke sini. Cepat! Ketiganya harus dihadapkan ke
sini sekarang juga!"
"Baik, Suhu!" Si Gendut Pendek lalu menggelinding dari tempat itu. Demikian cepat larinya
seolah dia menggelinding saking gendutnya.
"Hemm, baru sekarang ketahuan ya. Ingin aku melihat, bagaimana caranya Ketua Hek-tung
Kai-pang menghukum murid-muridnya yang brengsek!" kata Cin Lan dengan suara
mengejek. Tak lama kemudian terdengar suara bergedebukan dan tlga orang anggauta Hek-tung Kaipang itu berjatuhan ke dalam didorong oleh guru mereka sendiri. Cin Lan segera mengenal
mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Be-kas tangannya masih nampak, ada
yang benjol kepalanya ada yang bengkak biru pipinya. Ingin ia menghardik mereka, akan
tetapi tangannya dipegang dengan halus oleh gurunya dan ia pun berdiam diri karena suhunya
berkedip kepadanya. Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang
itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.
"Hei, kalian bertiga. Apa yang kalian lakukan kemarin di depan Kuil Kwan-im-bio terhadap
seorang nona?" Tiga orang itu saling pandang dan mereka tidak berani mengeluarkar kata-kata! Karena
mereka tahu telah berbuat suatu pelanggaran besar, maka mereka kini hanya menundukkan
kepalanya. "Ampunilah hamba, Pangcu", terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab
Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. "Siocia,
harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.
Dengan suara lantang Cih Lan berkata, "Ketika aku dan ibuku berada di luar kuil, tiga orang
jembel busuk ini minta sedekah. Ibu telah memberinya, akan tetapi secara kurang ajar mereka
minta supaya aku juga memberi sedekah. Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu
yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang
kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan
akhirnya mereka melarikan diri."
Setelah Cin Lan berhenti bercerita, ketua itu membentak, "Kalian sudah mendengar semua
itu" Benarkah apa yang dituduhkan nona itu kepada kalian?"
Tiga orang itu lalu menelungkup di atas lantal. "Ampunkan kami, Pangcu...., kami tidak
berani berbuat demikian lagi....
Hek-tung Kai-ong melotot dan memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali
wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid rnereka, Merampas
gelang, dari seorang puteri pangeran lagi!
"Ciu Sek, engkau mendengar sendiri kelakuan tiga orang muridmu! Hayo kau-laksanakan
hukumannya agar semua orang melihat bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan
perampok dan penjahatl"
"Baik, SuhuJ" kata Si Gendut dan dia lalu memanggil tiga orang muridnya itu, "Kalian ke
sini, merangkak cepat!"
Dengan tubuh gemetaran tiga orang itu merangkak menghampiri guru -nereka. Si Gendut itu
memandang kepadc murid yang kurus dan berhidung pesek yang merampas gelang kemala
milik Cin Lan. "Engkau yang merampas gelang kemala"
"Be... benar, Suhu... ampun, Suhu" kata Si Kurus.
"Di mana sekarang gelang itu" Kembalikan!"
"Tidak... tidak mungkin, Suhu... sudah dirampas orang lain"
"Bangsat! Julurkan tanganmu! Si Gendut mengambil sebatang golok dari punggungnya dan
siap untuk membabat putus lengan tangan perampas gelang kemala itu. Akan tetapi sebelurm
golok yang terayun itu mengenai pergc langan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.
"Tranggg...!" Golok itu terpental. Ternyata yang menangkis golok itu adalah tongkat bainbu
dl tangan Pek I Lo-kai. "Nanti dulu....!" kata Pek I Lokai.
"Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah orang ini."
Semua orang memandang kepada perampas gelang itu dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan
wajahnya berubah menghitam dan ketika diperlksa, ternyata dia telah tewas!
Tentu saja sennua orang merasa heran dan Hek-tung Kai-ong bertanya kepada dua orang
anggauta yang lain, "Kemarin setelah dia merampas gelang kemala, lalu apa yang terjadi
dengan dia?" "Pangcu, dia lari ke pasar untuk menjual gelang itu, akan tetapi dia bertemu dengan seorang
siluman betina... yang, merampas gelang kemala itu...."
"Hayo cerita yang jelas. Siluman betina yang bagaimana dan apa yang telah terjadi?" bentak
Sang Ketua yang tidak sabar. Dia heran dan juga penasaran sekali melihat bahwa pundak
anggauta yang tewas itu terdapat sebuah titik merah dan agaknya itulah yang membuatnya
tewas seperti yang keracunan.
Dua orang itu, bantu-membantu, lalu bercerita. Ketika mereka melarikan diri karena kalah
oleh Cin Lan, mereka bertemu guru mereka, Ciu Sek dan mereka melapor bahwa mereka
dipukuli seorang nona di depan Kuil Kwan-im-bio. Setelah melapor dan guru mereka lari ke
arah kuil, mereka bertiga lalu pergi ke pasar dengan maksud menjual gelang kemala dan
membagi uang penjualannya. Ketika mereka tiba di pasar dan sedang mena-warkan gelang
kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!
"Ha-ha-ha, gelang curian, jangan di-beli. Pembelinya bisa masuk penjara se-bagai tukang
Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadah!" demikian suara itu. Tiga orang pengemis itu terkejut sekali dan saudagar itu pun pergi,
tidak jadi membeli. Ketika mereka melihat ke atas pohon di dekat situ, mereka melihat
seorang gadis cantik duduk nongkrong di dahan pohon, mereka tadinya mengira gadis itu Cin
Lan yang tadi menghajar mereka. Mereka hendak lari dan gadis itu berseru, "Heii, pencuri
byslik, hendak lari ke mana engkau?"
Tiga orang itu berhentt dan karena mendengar suara gadis ity berbeda, seperti nada suara
orang selatan, mereka segera mengenal bahwa gadis itu sama sekali bukan Cin Lan, biarpun
gadis itu }uga cantik jelita. Marahlah mereka, ter-utama sekali Si Perampas Gelang. Mereka
baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mem-permainkan
mereka, tentu saja kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis di atas pohon itu.
"Hei, siluman busuk, turun kau kalau berani!" bentak Si Pencuri Gelang.
"Baik, aku turun, hendak ku lihat engkau mau apa?" gadis itu melompat dengan ringan sekali
ke depan Si Pencuri Gelang dan sekali ia menggerakkan ta-ngannya, ia telah dapat merampas
gelang kemala itu dari tangan Si Hidung Pesek. Pengemis ini marah, lalu menubruk dan
berhasil merangkul pinggang Si Gadis, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak dan roboh
terpelanting. Gadis itu tertawa dan mengambil seekor ular merah dari kalungan lehernya. Ternyata ular itu
telah menggigit pundak Si Hidung Pesek dan melihat gadis itu memegang ular, Si Hidung
Pesek yang merasa kesakitan lalu rneloncat bangun dan melarikan dirl, dikejar oleh dua orang
kawannya. "Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatalgatal di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."
"Ciu Sek, A-siong sudah mendapatkan hukumannya sendiri atas perbuatannya yang jahat.
Tinggal dua orang mundmu belum kauhukum," kata Ketua Hek-tung Kai-pang dengan suara
bengis. Agaknya ketua ini belum merasa puas kalau semua yang bersalah belum dihukum.
Ciu Sek yang sudah kehilangan se-orang muridnya yang tewas secara me-ngerikan itu, lalu
berkata kepada dua orang muridnya. "Kalian tidak merampok, akan tetapi juga membantu
perbuatan A-siong yang tidak baik, maka harus dihukum pula. Ulurkan tangan kiri kalian!"
Dua orang murid itu dengan takut-takut mengulur tangan kiri mereka dan tiba-tiba Ciu Sek
menggerakkan tangannya membuat gerakan membacok dua kali. Terdengar suara krek-krek
dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!
"Bagus, dan sekarang kalian dua orang muridku yang lancang menyerang puteri pangeran,
.membela murid-murid yang bersalah, tidak lepas dari hukuman pula. Ulurkan tanganmu, aku
sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"
Pada saat itu, Bian Hok bangkit ber-diri dan berkata kepada gurunya, "Suhu, kesalahan Ciusuheng dan Thio-suheng tidaklah seberat itu. Mereka tidak ber-buat jahat, hanya kurang teliti
saja. Maka, harap Suhu suka melihat mukaku dan memberi ampun kepada mereka. Asalkan
Petualang Asmara 5 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Anak Berandalan 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama