Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Bagian 2
itu seakan- akan terdapat sesosok bayangan, sesosok bayangan yang sangat kabur.
Bayangan yang membawa bau harum yang tipis, berhembus lewat dari hadapannya kemudian
lenyap tak berbekas. Tahu-tahu pedang didalam genggamannya telah lenyap tak berbekas.
Ting Peng tertegun. Kemudian ia merasa munculnya segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari alas
kaki, langsung menerjang ke atas kepala, dalam waktu singkat sekujur badannya menjadi dingin
dan kaku, Jangan-jangan di tempat ini ada setan"
Gua itu sesungguhnya memang agak rahasia, agak misterius, sekarang, di tengah kegelapan,
ia seakan-akan menyaksikan bayangan setan yang sedang bergerak-gerak di situ.
Jikalau seseorang sudah bertekad ingin mati, kenapa pula harus takut dengan setan"
Setan. Tidak lebih hanya seseorang yang sudah mati, Tanpa pedangpun ia sama saja bisa
mati. Ting Peng merasa amat marah dan mendendam, ia merasa bukan Cuma manusia saja yang
mempermainkannya, sampai menjelang saat akhir hidupnya pun, masih ada setan yang
mempermainkan dirinya. Sambil menggigit bibir, dan mempergunakan segenap tenaga yang dimilikinya, ia lantas
membenturkan kepalanya ke atas dinding batu.
Baik manusia yang mempermainkannya, ataupun setan yang mempermainkan diri nya, setelah
mati dia pasti akan membuat perhitungan dengan orang itu.
Tapi ia tak sampai mati. Kepalanya tidak menumpuk di atas dinding batu, sebab lagi-lagi ada angin yang berhembus
lewat, tahu-tahu di depan dinding batu itu muncul sesosok bayangan manusia. Kepalanya persis
menumbuk di atas badan orang ini.
Tapi justru kehadiran orang itu jauh lebih menakutkan daripada dinding batu tersebut, belum
pernah ia menyaksikan ada manusia di dunia ini yang bisa datang dengan begini cepatnya.
Dengan perasaan terkejut dia mundur ke belakang, akhirnya ia dapat menjumpai "manusia"
tersebut. Seorang perempuan, cantik jelita bersanggul tinggi, berbaju bulu yang persis seperti lukisan
bidadari di atas dinding gua telah berdiri di hadapannya.
Mungkinkah dia turun dari atas dinding gua itu untuk menolongnya"
Ditangan kirinya membawa sebuah keranjang bambu yang penuh dengan bebungaan segar,
sedang ditangan kanannya membawa sebilah pedang, itulah pedang Ting Peng.
Ia sedang memandang wajah Ting Peng sambil tersenyum, senyuman itu kelihatan begitu
segar, manis lembut, suci dan anggun.
Entah bagaimanapun juga, paling tidak ia kelihatannya tidak terlalu menakutkan.
Akhirnya Ting Peng merasa dapat bernapas kembali dengan lancar, akhirnya bisa bersuara
lagi untuk berbicara, segera tegurnya:
"Sebenarnya kau ini manusia atau setan?"
Bersambung Jilid 03) Jilid : 3 PERTANYAAN itu diajukan dengan nada yang menggelikan tapi entah siapapun itu orangnya,
bila berada dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan mengajukan pertanyaan tersebut.
Kembali gadis itu tertawa, malah sinar matanya pun terdapat senyuman, tiba-tiba ia balik
bertanya: "Kau tahu, hari ini adalah hari apa?"
"Bulan tujuh, tanggal lima belas!"
Bidadari cantik yang seakan-akan baru turun dari lukisan itu kembali berkata:
"Tahukah kau bulan tujuh tanggal lima belas adalah hari apa?"
Akhirnya Ting Peng teringat kembali bahwa hari ini adalah Tiong-goan, harinya setan dan
arwah penasaran. Konon pada hari ini, pintu akherat yang disebut Kui bun koan sengaja dibuka, malam itu,
segenap setan dan arwah penasaran yang menghuni di akherat berbondong-bondong akan
datang ke alam semesta. "Kau adalah setan?" Ting Peng segera menjerit dengan suara amat terkejut.
Bidadari cantik itu segera tersenyum.
"Menurut penglihatanmu, apakah aku mirip dengan setan?"
Dia memang tidak mirip. "Kalau begitu kau adalah bidadari dari sorga loka?" tak tahan Ting Peng berseru kembali.
Senyuman bidadari cantik itu tampak lebih lembut dan halus, sahutnya pelan:
"Akupun sangat ingin mendengar kau menganggap diriku sebagai bidadari dari kahyangan,
tapi akupun tak berani berbohong, sebab bila aku berani mencatut nama bidadari dari kahyangan,
pasti arwahku akan dijebloskan ke dalam neraka untuk dicabut lidahnya.
"Entah bagaimanapun juga, kau sudah pasti bukan manusia?"
"Tentu saja aku bukan manusia"
Tanpa sadar Ting Peng mundur dua langkah lagi ke belakang:
"Lantas kau... siapa....kau?""
"Aku adalah rase!"
"Rase?" "Apakah kau tak pernah mendengar kalau di dunia ini terdapat Rase?"
Tentu saja Ting Peng pernah mendengar, sudah banyak cerita tentang "rase" yang pernah ia
dengar, ada yang cantik, ada pula yang menakutkan, karena "rase" adalah makhluk yang tak bisa
diraba. Bila mereka senang kepadamu, kau akan memperoleh kejayaan dan harta kekayaan di dunia,
ia akan memberi kebahagiaan yang tak pernah kau impikan.
Tapi merekapun dapat memikat dirimu, memikatmu setengah mati sehingga sukma pun ikut
terbetot. Meskipun belum pernah ada orang yang bisa berjumpa dengan mereka, tapi tiada orang yang
membantah atas kehadiran mereka di alam semesta ini ...........
Di dalam dongeng yang tersebar dalam masyarakat, hanya ada satu persamaan antara cerita
yang satu dengan yang lain. "Rase" kerapkali menampakkan diri dalam bentuk manusia, lagi pula
senang menampakkan diri dalam wujud seorang perempuan yang cantik.
Dengan perasaan terkejut Ting Peng memperhatikan gadis cantik di hadapannya, pakaian
yang baru saja kering kembali basah oleh keringat dingin...
Sekarang, ia benar-benar telah bertemu dengan "rase"
Sinar rembulan yang tipis memancar di atas wajahnya, membuat paras mukanya yang cantik
kelihatan agak putih memucat, putih yang menerawang dan berkilap, seperti mutiara.
Hanya manusia yang tak pernah melihat sinar matahari, baru akan memiliki paras muka
seperti ini. Tentu saja "rase" tak pernah mendapat sorot sinar matahari.
Tiba-tiba Ting Peng tertawa.
Gadis ini tampaknya merasa sedikit keheranan, belum pernah ada orang yang bertemu
dengan Dewi rase manis bisa memperdengarkan gelak tertawanya.
Maka dengan perasaan keheranan dia tertawa.
"Adakah suatu persoalan yang membuatmu merasa kegelian?"
"Sesungguhnya peristiwa semacam ini memang tidak menggelikan, tapi kau pun jangan harap
bisa membuatku ketakutan"
"Oooh!" "Karena aku sama sekali tidak takut padamu, entah kau ini setan atau rase, pokoknya aku
tidak akan takut kepadamu?"
"Setiap orang tentu merasa takut bila bertemu dengan setan atau rase, mengapa kau justru
merasa tidak takut?"
"Karena bagaimanapun juga, aku toh bakal mati!" "
Ia masih tertawa, terusnya:.
"Seandainya kau ini setan, setelah aku mati maka akupun akan berubah menjadi setan juga,
mengapa aku musti takut kepadamu?"
Bidadari cantik itu segera menghela napas panjang, katanya:
"Bila seseorang telah mati, dia memang tak usah takut lagi kepada siapapun"
"Tepat sekali perkataanmu itu"
"Tapi aku lihat kau masih muda, kenapa ingin lekas-lekas mati?"
Ting Peng ikut menghela napas panjang.
"Anak muda pun kadangkala ingin mati juga"
"Kau benar-benar ingin mati?"
"Benar!" ?"Kau harus mati?"
"Yaa, aku harus mati!"
"Sayang kau telah melupakan satu hal!" "
?"Soal apa?" "Sekarang kau belum mati, kau masih seorang manusia"
Ting Peng mengakuinya. Kembali perempuan cantik itu berkata lagi:
"Sebaliknya aku adalah rase, seorang dewi rase, aku memiliki kekuatan gaib, sedang kau tak
punya, itulah sebabnya bila aku tidak menginginkan kematian, kau tak akan mati, kecuali
................" "Kecuali bagaimana?"
"Kecuali kau memberitahu dulu kepadaku, persoalan apakah yang membuat kau bertekad
untuk menghabisi jiwamu sendiri?"
Tiba-tiba Ting Peng melompat bangun, teriaknya keras-keras:
?"Mengapa aku harus memberitahu kepadamu", dengan dasar apa aku harus
memberitahukan soal ini kepadamu?"
Asal menyinggung kembali persoalan itu, hatinya terasa sedih bercampur marah, teriak lagi:
"Aku justru tak mau memberitahu kepadamu, apa yang kau bisa lakukan terhadap diriku ini?"
Kecuali mati, memang tiada masalah lain yang lebih besar lagi!
Bila seorang telah bertekad untuk mati, masakah dia masih takut bakal diapakan orang lain"
Dengan terkejut gadis cantik itu memandang ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa lagi.
"Sekarang aku percaya penuh, agaknya kau memang betul-betul kepingin mati".
"Aku memang kepingin mati!"
"Siapakah namamu?" tiba-tiba gadis cantik itu bertanya lagi.
"Mengapa kau musti menanyakan soal namaku?"
"Agar setelah mati nanti dan menjadi setan, kita bisa menjadi tetangga yang baik, siapa tahu
kita bakal sering berjumpa, tentu saja aku harus mengetahui siapa namamu"
"Kenapa kau tidak memberi tahukan lebih dulu siapa namamu", sekalipun dewi rase tentunya
kau juga punya nama"
Gadis cantik itu segera tersenyum manis.
"Yaa, aku memang punya nama, kalau kau ingin tahu, aku bersedia memberitahukan
kepadamu" Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
"Aku bernama Cing-cing!"
ooooo0ooooo CING-CING CING-CING mengenakan baju berwarna hijau pupus ia tampak begitu cerah secerah udara di
musim semi secerah air telaga yang bening di cuaca yang segar.
Bayangan bukit tampak membias di atas permukaan air telaga, begitu indah dan menawan
membuat orang terpesona. Pinggang Cing cing ramping lagi halus bagaikan pohon liu yang tinggi semampai bergoyang
terhembus angin. Di atas pinggang Cing cing terikat sebuah ikat pinggang berwarna hijau, sebilah golok tersoren
di pinggangnya Sebilah golok melengkung.
Golok lengkung Cing cing disoren dalam sebuah sarung golok yang terbuat dari perak, di ujung
gagang golok tertera sebiji mutiara yang besar dan memancarkan cahaya berkilauan.
Biji mata Cing-cing lebih tajam dari sinar mutiara tampak lebih lembut dan mempesona hati.
Ting Peng tidak takut kepadanya walau hanya sedikitpun, entah dia itu manusia atau rase" Dia
tak pernah merasa takut. Seandainya Cing cing adalah manusia tentu saja dia adalah seorang manusia cantik
sebaliknya jika Cing cing adalah rase dia adalah seekor rase yang cantik lemah lembut dan berhati
bajik makhluk berbudi luhur seperti ini tak nanti akan pergi melukai siapapun juga.
Golok lengkung yang tersoren di pinggangnya itu agaknya juga bukan sebilah golok yang
dipakai untuk melukai orang.
Tiba-tiba Ting Peng bertanya:
"Kau juga mempergunakan golok?"
"Mengapa aku tak boleh mempergunakan golok" `
?"Kau pernah membunuh orang?"
Cing-cing segera menggeleng.
"Orang yang pandai mempergunakan golok bukan berarti dia harus pernah membunuh orang"
katanya. Ting Peng kembali menghela napas:
"Orang yang pernah membunuh orangpun belum tentu harus pandai mempergunakan golok!"
tambahnya. Sekarang ia baru tahu, ada sementara manusia tanpa golokpun sama saja bisa membunuh
orang, bahkan cara yang digunakan untuk membunuh orang jauh lebih kejam daripada
mempergunakan golok. "Kau pernah menjumpai manusia semacam itu?" Cing cing bertanya.
" Ehmm....!" Maka dari itu walaupun ia tidak membunuhmu dengan golok, kau toh harus mati juga"
Ting Peng tertawa getir. "Tapi aku lebih rela kalau mampus di ujung goloknya"
"Dapatkah kau menuturkan kisah peristiwa yang telah menimpa dirimu itu?"
Agar aku bisa turut menilai, pantaskah kau untuk mati atau tidak.....?"
Persoalan semacam ini sebenarnya tidak pantas untuk diceritakan kepada orang lain, sebab
sekalipun kau mengutarakannya keluar juga tak ada orang yang mau percaya.
Tapi Cing cing bukan manusia, dia adalah rase.
Rase lebih cerdik daripada manusia, dia pasti dapat membedakan apakah pernyataannya itu
adalah kata-kata yang sejujurnya ataukah bukan ......?"
Ting Peng sedikitpun tidak kuatir bakal ditertawakan orang karena kebodohannya, maka ia
menuturkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya itu secara gamblang dan terang.
Bila seorang dapat melampiaskan keluar seluruh rahasia hati yang sebenarnya tak dapat
diutarakan kepada orang lain, sekalipun harus mati, ia akan mati dengan hati yang puas.
Ting Peng menghembuskan napas panjang, katanya:
"Bila seseorang sampai tertimpa musibah sebesar ini, coba katakanlah apakah lebih baik
mampus saja"` Dengan tenang Cing cing mendengarkan penuturan tersebut, kemudian ia menghem-buskan
napas panjang. "Benar" "Sekarang, apakah aku sudah boleh mati?"
"Matilah!" Entah dia itu manusia atau rase, kedua-duanya beranggapan bahwa dia mana pantas untuk
mati, bila harus hidup menanggung derita, memang lebih enak mati saja agar beres.
Kembali Ting Peng menghela napas.
"Pergilah kau!" katanya.
"Mengapa kau suruh aku pergi?"
"Bila seseorang hampir mati, tampaknya pasti jelek untuk dilihat, kenapa kau mesti berada di
ini untuk melihat keadaanku?"
"Tapi matipun ada banyak ragamnya, kau musti memilih cara mati yang agak sedap
dipandang!" "Aaah.......! Mati yaa mati dengan cara apapun sama saja, kenapa aku mesti memilih
semacam kematian yang sedap dilihat?"
"Demi aku!" "Demi kau?" "Selama hidup belum pernah ku saksikan kematian orang lain, kumohon kepadamu matilah
dengan wajah yang sedikit baik, agar aku bisa ikut menyaksikannya, mau bukan?"
Ting Peng tertawa, tentu saja tertawa yang getir.
Belum pernah ia menyangka kalau ada orang bakal mengajukan permintaan yang begini
brutal, tapi dia tidak menampik keinginan orang, katanya kemudian:
"Bagaimanapun juga aku toh bakal mati, mampus dengan cara apapun tidak menjadi
persoalan bagiku". "Oooh... kau baik sekali?" kata Cing cing sambil tersenyum
"Sayang sekali aku benar-benar tidak tahu kematian dengan cara yang bagaimana kah baru
bisa dikatakan suatu kematian yang baik".
"Aku tahu!" "Baik, kau ingin aku mati dengan cara yang bagaimana, aku akan mati dengan cara yang
bagaimana pula" "Tak jauh dari sini terdapat sebuah lembah yang dinamakan lembah Yu ciu kok (lembah
kemurungan), dalam lembah itu terdapat sejenis rumput yang dinamakan Wong yu cau (rumput
pelupa kemurungan), jika orang bisa makan selembar saja dari daun rumput pelupa kemurungan
itu, maka semua kemurungan yang mencekam perasaannya akan sama sekali terlupakan"
Ditatapnya Ting Peng tajam-tajam, kemudian melanjutkan:
"Orang yang hidup di dunia ini sungguh teramat bodoh, siapa pula yang benar-benar dapat
melupakan semua kemurungan yang memenuhi di dalam benaknya?"
"Cuma orang yang sudah mampus"
Cing cing menghela napas ringan, sahutnya:
"Perkataanmu itu tepat sekali, hanya orang mati baru akan melupakan semua kemurungan"
"Apakah cara kematian semacam itu paling bagus dilihat?"
"Menurut apa yang kuketahui, entah di atas langit ataupun di bawah bumi, cara itu memang
terhitung sejenis cara kematian yang paling bagus"
"Jauhkah tempat itu letaknya dari sini."
"Tidak terlalu jauh"
Dia membalikkan badan dan pelan-pelan berjalan menuju ke bagian yang paling gelap dari
gua itu, biasanya antara kemurungan dan kegelapan memang susah ditemukan perbedaannya.
Lembah yang dinamakan lembah kemurungan tersebut, sudah barang tentu terletak di tengah
kegelapan.
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kegelapan yang tiada ujung pangkalnya, seakan akan menyelimuti seluruh jagad
Ting Peng tidak melihat Cing-cing, pun tidak mendengar langkah kakinya, dia hanya bisa
mendengus bau khas yang tersiar dari tubuhnya, segulung bau harum yang tipis sekali:
Dengan bau harum tersebut sebagai "penunjuk jalan", diapun mengikuti terus ke mana saja
perempuan itu pergi. Gua tersebut ternyata jauh lebih dalam daripada apa yang dibayangkan semula, entah sudah
berapa lama dia berjalan, juga tak tahu kemana dia pergi. Yang pasti bau harum yang terendus
sekarang makin lama semakin tebal.
Selain bau harum dari tubuhnya, terendus pula bau harumnya bunga, tapi bila di bandingkan
dengan bau harum dari badannya, maka bau harumnya bunga itu terasa begitu hambar dan biasa.
"Benarkah dia adalah rase?" demikian Ting Peng mencoba untuk berpikir.
Tapi tidak percaya diapun enggan percaya, gadis itu masih begitu muda, kalau dia adalah
seorang manusia: "Aai.....! Bagaimanapun aku sudah hampir mati, dia seorang manusia juga boleh mau rase
juga tak menjadi soal, apa pula sangkut pautnya denganku?"
Ting Peng menghela napas dalam hati, ia tak ingin memikirkan persoalan itu lagi.
"Apakah dalam lembah kemurungan juga ada bunga?" ia bertanya,
"Tentu saja ada, aneka macam bunga terdapat di sana, aku jamin kau belum pernah
menyaksikan bunga sebanyak itu"
Suara Cing cing kedengaran lembut dan merdu seolah-olah angin musim semi yang
berhembus datang dari pegunungan nan jauh di sana.
"Ku jamin kau belum pernah mengunjungi tempat yang begitu indahnya seperti tempat itu"
Ia tidak bohong, juga tidak sengaja mengibul.
Dalam lembah kemurungan memang terdapat aneka macam bunga yang indah, tempat itu
sungguh-sungguh merupakan suatu tempat yang sangat indah, terutama di bawah sinar rembulan,
tampak lebih indah dan menarik, indah bagaikan dalam impian.
Bila seseorang baru keluar dari kegelapan yang tak bertepian, tiba-tiba sampai di suatu tempat
yang indah, sedikit banyak ia pasti akan menjadi sangsi apakah dirinya sedang bermimpi atau
tidak. "Apakah aku bukan lagi bermimpi?" "tak tahan Ting Peng bertanya:
"Bukan?" "Mengapa tempat ini dinamakan lembah Kemurungan?"
"Karena tempat ini adalah perbatasan antara dunianya manusia dengan dunianya para dewa,
bukan saja manusia biasa tak boleh masuk ke sini secara sembarangan, dewa pun tak boleh
sembarangan berkunjung kesini"
" Mengapa?" "Sebab bila dewa berkunjung kemari , dia akan turun pangkatnya menjadi manusia,
sedangkan manusia yang berkunjung kemari bisa berubah menjadi setan".
"Itu berarti cuma manusia yang hampir mati serta dewa yang sudah turun pangkat nya menjadi
manusia bare akan berkunjung kemari?".
"Benar!" Setelah berhenti sejenak, Cing cing berkata lagi:
"Perduli dia itu dewa atau manusia, asal sudah sampai di sini maka dia akan mengalami suatu
kejadian yang luar biasa, hanya kami bangsa rase yang manusia bukan manusia setan bukan
setan yang bisa sembarangan berjalan di sini sekehendak hati sendiri"
Ucapannya itu selalu aneh, terlalu misterius.
Tapi Ting Peng mau tak mau harus mempercayainya.
Tempat itu memang bukan alam manusia, kaki manusia biasa memang belum pernah tiba di
sini. Tapi bagaimana pun juga, bila seseorang bisa mati di sini, ia memang sudah tidak perlu
menggerutu atau merasa menyesal lagi.
"Dimanakah rumput pelupa kemurungan itu" tanya Ting Peng kemudian.
Cing cing tidak menjawab pertanyaannya itu.
Cing cing sedang memperhatikan sebuah batu karang dikejauhan sana, sebuah batu karang
berwarna putih mulus seperti susu, susu itu bagaikan raksasa yang berdiri seorang diri di bawah
sinar rembulan. Di atas batu karang itu tiada bunga, Di sana hanya ada sebatang rumput berwarna hijau, lebih
cantik daripada bunga, lebih hijau daripada daun.
"Itukah rumput pelupa kemurungan?" Ting Peng bertanya.
Akhirnya Cing cing mengangguk juga.
"Benar!" Dia membawa pemuda itu mendekati batu karang tersebut, kemudian berkata:
"Daun dari rumput pelupa kemurungan ini hanya tumbuh sekali dalam setahun, setiap kali
cuma tiga lembar, bila kau datang agak terlambat, daunnya akan menjadi layu dan mengering"
"Rumput itu tak lebih hanya sekuntum rumput beracun, sungguh tak nyana begitu tinggi
nilainya" "Rumput tersebut bukan rumput beracun inilah rumput pelupa kemurungan, bila ingin
menghilangkan segala kemurungan, hal tersebut bukan suatu pekerjaan yang amat sukar"
Ia lantas berpaling ke arah Ting Peng sambil bertanya:
"menurut kau, benar atau tidak?"
"Benar!" Pada saat itulah, tiba-tiba muncul selapis bayangan hitam yang menyambar datang dan
menutupi cahaya rembulan, persis seperti selapis awan hitam."
Tapi bayangan awan itu bukan awan hitam. Dia adalah seekor burung elang, burung elang
yang berwarna gelap. Elang itu terbang berputar di bawah sinar rembulan, berputar-putar di atas batu karang
berwarna putih susu itu, persis seperti selapis awan hitam.
Di atas wajah Cing cing yang pucat tiba-tiba terpancar suatu mimik wajah yang aneh sekali,
sambil berkerut kening, ia berkata:
"Agaknya yang ingin mencari rumput pelupa kemurungan pada hari ini bukan cuma kau
seorang" "Apakah dia adalah malaikat?" "tanya Ting Peng, sambil memandang elang yang sedang
terbang di angkasa itu. Cing cing segera menggeleng.
"Bukan dia tak lebih cuma seekor burung elang"
"Mengapa elang juga mencari rumput pelupa kemurungan" Apakah elangpun mempunyai
kemurungan?" Cing cing belum sempat menjawab, tiba-tiba burung elang itu sudah menerjang ke atas batu
karang persis di atas rumput pelupa kemurungan itu dengan kecepatan tinggi.
Gerakan tubuh elang tersebut jauh lebih cepat dari siapapun, bahkan lebih cepat...
Sungguh tak disangka gerakan tubuh Cing cing jauh lebih cepat lagi. Ia membentak nyaring:
"Enyah kau dari sini!"
Bersamaan dengan menggelegarnya bentakan tersebut, tubuhnya secepat kilat meluncur ke
udara dan melayang turun di atas batu karang tersebut ......
Ujung bajunya dengan membawa desingan angin tajam dikebutkan ke atas mata burung elang
itu. Si elang menjerit keras dan terbang kembali ke udara, dalam sekejap mata bayangan
tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan sana.
Rembulan yang purnama pulih kembali dalam kejernihan warna yang lembut, berdiri di bawah
sinar rembulan, di atas batu karang diantara kibaran ujung bajunya ia kelihatan seperti seorang
bidadari dari kahyangan. Diam-diam Ting Peng menghela napas panjang, Andaikata ia memiliki gerakan tubuh seperti
itu, ia tak usah kuatir kepada Liu Yok-siong lagi, diapun tak usah mati.
"Sayang sekali gerakan tubuh semacam itu tak mungkin bisa dilakukan oleh manusia biasa
dari manapun. Tampak Cing-cing sedang menggapai ke arahnya sambil berseru:
"Dapatkah kau naik kemari?"
"*Akan kucoba!"
Batu karang itu licin seperti cermin, mana tak bisa dipegang lagi, ia merasa benar-benar tak
sanggup untuk naik ke atas.
Tapi dia harus mencobanya.
Entah dia manusia atau rase, yang pasti dia adalah seorang perempuan, ia tak ingin
dipandang rendah olehnya:
Dia mencoba sekali demi sekali, sekujur tubuhnya sudah hijau membengkak karena seringnya
terjatuh ke tanah. Gadis itu berdiri tegap di atas batu karang, sekalipun menyaksikan pemuda itu sekali demi
sekali terbanting ke bawah, akan tetapi ia tidak berusaha untuk menolongnya, dia pun tidak berniat
untuk menolongnya: "Bila kau ingin mendapatkan sesuatu, maka kau harus berusaha dengan kepandaian serta
kemampuanmu" "Seseorang yang tidak memiliki kemampuan, bukan saja tak bisa hidup secara baik-baik,
bahkan ingin matipun tak bisa mati secara baik-baik ...........
sambil menggertak gigi dia merangkak terus ke atas, kali ini ia berhasil mencapai di atas, satu
jangkauan lagi dia pasti akan tiba di puncak tebing karang itu.
Sungguh tak disangka pada saat itulah tiba-tiba burung elang tadi menyambar lagi ke bawah,
sepasang sayapnya dikebaskan ke bawah dengan disertai tenaga yang sangat kuat.
Sekali lagi ia terjatuh ke bawah, kali ini ia terjatuh lebih keras lagi, semakin tinggi ia memanjat,
semakin parah pula bila terbanting ke bawah.
Sebelum ingatannya hilang, lamat-lamat ia mendengar elang itu sedang tertawa dingin.
"Hmm.. Manusia macam kau juga ingin mendapatkan rumput pelupa kemurungan?"
Elang itu tak lebih, hanya seekor elang biasa, bukan malaikat..!
Elang tak bisa tertawa dingin, apalagi berbicara ialah seorang manusia yang duduk di
punggung elang tersebut. elang itu masih berputar-putar di udara, tapi orangnya sudah melayang turun ke bawah,
Bayangan selembar daun melayang turun di atas batu karang tersebut.
Manusia biasa tak mungkin akan memiliki ilmu meringankan tubuh yang begini sempurna.
Di bawah cahaya rembulan, orang itupun memancarkan sinar keemas-emasan, tubuhnya
mengenakan sebuah jubah lebar yang terbuat dari serat emas murni.
Satu stel jubah panjang yang mencapai tiga depa panjangnya. Karena orang itu justru hanya
tiga jengkal tinggi badannya, ketika jubah yang tiga jengkal itu dikenakan dibadan, bagian bawah
jubah itupun sudah mencapai tanah.
Jenggotnya jauh lebih panjang dari jubah emasnya, pedangnya juga lebih panjang daripada
jenggotnya. Seorang manusia yang ketinggian badannya, cuma tiga jengkal ternyata menggembol
pedang sepanjang empat jengkal, sarung pedang yang terbuat pula dari emas itu tentu saja
mencapai di atas tanah Orang ini tampaknya sama sekali tidak mirip seperti dengan seorang manusia.
Mungkin ia sama sekali bukan manusia
melainkan, malaikat tempat itu memang bukan suatu tempat yang dapat dikunjungi oleh
manusia biasa. Seorang manusia yang didalam manusia sendiripun tiada tempat berpijak mengapa harus
datang ke situ" Seorang manusia untuk melawan manusia pun tak mampu mana mungkin bisa menangkan
pertarungannya melawan rase"
Tiba-tiba Ting Peng merasa sangat menyesal karena ia seharusnya tidak pantas berkunjung
ke situ. Jubah yang berwarna emas, jenggot yang berwarna emas, pedang yang berwarna emas
semuanya memancarkan sinar keemas-emasan yang menyilaukan mata.
Sekalipun perawakan kakek itu tidak mencapai empat jengkal tapi sikapnya ataupun gayanya
seakan-akan dia itu manusia raksasa yang tinggi badannya mencapai sepuluh jengkal lebih.
Tiba-tiba ia bertanya: "Barusan kaukah yang telah mengejutkan putraku?"
Dia sedang bertanya kepada cing cing, namun sepasang matanya tak pernah menengok ke
arah Cing cing barang sekejappun" Seolah-olah di dunia ini tidak terdapat manusia yang berharga
untuk dilihatnya dengan pandangan mata.
"Putramu?" Cing cing tertawa, "burung itu adalah putramu?"
"Dia bukan burung tapi elang, seekor elang sakti, dewa dari sekalian elang!"
Mimik wajahnya ketika berbicara adalah begitu serius dan bersungguh-sungguh, sebab
ucapannya bukan kata-kata bohong, bukan pula kata-kata gurauan.
Tapi Cing cing masih tertawa, katanya:
"Elang juga burung, kalau putramu seekor burung tentunya kau juga seekor burung bukan?"
Kakek itu naik pitam, rupanya yang setengah botak itu berdiri tegak semua bagaikan kawat,
kemarahan yang membuat rambutnya berdiri bagaikan duri.
Konon bila tenaga khikang yang dilatih seseorang telah mencapai puncak kesempurnaan,
dalam gusarnya rambut di atas kepalanya benar-benar bisa berdiri semua bagaikan duri.
Tapi tak akan ada seorang manusiapun di dunia ini yang sanggup melatih ilmu khikangnya
hingga mencapai puncak setinggi itu, tenaga dalam semacam itu tak akan bisa di jangkau oleh
manusia manapun juga. Cing cing seperti tidak merasa takut barang sedikitpun juga, karena dia sendiri juga bukan
manusia. Dia adalah rase, konon Rase tidak takut terhadap apapun.
Hawa kegusaran si kakek itu ternyata bisa dipadamkan kembali dengan cepat, katanya dingin:
"Kau sanggup membuat kagetnya putra elangku berarti tenaga dalammu tidak lemah"
"Oooh..." "Tapi aku tak akan membunuhmu!"
Dengan angkuh kakek itu menambahkan.
"Sebab dalam dunia saat ini hanya tinggal dua gelintir manusia saja yang berhak bagiku untuk
membunuhnya sendiri!"
Aduh mak!" "Apa artinya aduh mak?"
"Aduh mak artinya bila kau ingin membunuhku, kau masih bisa membunuhku...!"
"Mengapa?" "Sebab aku bukan manusia"
"Lantas makhluk apakah kau?"
"Aku juga bukan makhluk, aku adalah rase!
Kakek itu segera tertawa dingin.
"Siluman rase termasuk jenis setan, semakin tidak berharga bagi aku orang tua untuk
meloloskan pedang!. Dia bukan cuma besar dalam perkataan, nyalinya juga cukup besar.
Ternyata ia masih tidak pandang sebelah matapun terhadap Cing-cing, sambil bergendong
tangan ia berjalan menuju ke arah rumput pelupa kemurungan itu.
Masakah manusia semacam dia juga ingin melupakan segala kemurungan yang mencekam
dalam benaknya?" Tiba-tiba Cing cing menghalangi jalan perginya, ia berkata:
"Kau tak dapat mengusik rumput pelupa kemurungan itu, menyentuhpun tak boleh!"
Ternyata kakek itu tidak bertanya kepada nya:
"Mengapa?" Sekarang ia sudah berada di hadapannya, ia sudah tak bisa tidak untuk memandang ke
arahnya, tapi ia tetap tidak mendongakkan kepala untuk memandang wajahnya.
Ia sedang menatap golok yang tersoren di pinggangnya itu. Golok lengkung milik Cing cing.
Golok lengkung milik cing cing memancarkan cahaya keperak-perakan di bawah cahaya
rembulan. Tiba-tiba kakek itu menjulurkan tangannya yang kurus kering macam cakar setan itu, seraya
berseru: "Bawa kemari!" "Apanya yang bawa kemari?"
"Golokmu itu! "
"Mengapa aku harus serahkan golok itu kepadamu?" "
"Sebab aku mau melihat".
"Sekarang toh kau sudah melihat"
"Aku hendak melihat golokmu, bukan sarung golokmu!"
"Kunasehati dirimu lebih baik melihat sarung goloknya saja, sebab itu sudah lebih dari cukup,
janganlah melihat golok ini lagi"
"Mengapa?" "
"Sebab golok ini paling pantang untuk diperhatikan"
Sesudah menghela napas, gadis itu melanjutkan:
"Sebab setiap orang yang pernah melihat golok ini, pasti akan mampus di ujung golok
tersebut" Tiba-tiba kakek itu mendongakkan kepala memandang wajahnya.
Gadis itu berwajah pucat tapi cantik, kecantikannya begitu membuat orang terkesima dan
misterius, cantiknya membuat setiap orang yang memandangnya tentu tergetar perasaannya..
Ternyata sikap dari kakek itu sama sekali berbeda.
Mendadak kelopak matanya berkerut kencang, lalu sinar mata kengerian dan ketakutan
terpancar keluar dari balik matanya itu.
Tiba-tiba ia menjerit tertahan:
?"Haaah, kau"!"
"Mungkinkah dulu kakek itu pernah berjumpa dengan Cing-cing" Apakah dulu ia pernah kenal
dengan Cing-cing" Mendadak kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bukan, sudah pasti bukan, kau masih muda, kau masih terlampau muda !"
Cing-cing pun merasa agak keheranan, dia lantas bertanya:
"Apakah kau pernah kenal dengan seseorang yang amat mirip wajahnya denganku?"
"Aku tidak kenal denganmu, aku hanya kenal dengan golok itu, aku tak bakal salah melihat, tak
bakal....." Tiba-tiba ia bertanya lagi kepada Cing-cing:
"Bukankah di atas golok itu tertera tujuh buah huruf?"
"Tujuh huruf yang mana?" Cing-cing balik bertanya:
"Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi!"
Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi!
Mendengar rintikan hujan di sebelah loteng pada suatu malam. .."
Jelas kata-kata tersebut merupakan sebait syair, sebait syair yang sangat indah, keindahannya
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu mempesona, keindahannya membuat hati orang terkoyak-koyak. .
Ting Peng pernah membaca syair tersebut, juga memahami arti dari syair tersebut.
Saban kali membaca bait syair tersebut atau dikala mendengar bait syair itu, entah mengapa
perasaan masgul selalu akan muncul dan menyelimuti seluruh perasaannya."
Semacam kemasgulan yang tak terungkapkan dengan kata-kata, semacam perasaan aneh
yang susah dilukiskan dengan ucapan selalu akan muncul dan menyelimuti perasaan nya.
Tapi reaksi dari Cing cing maupun kakek itu sama sekali berbeda, reaksi mereka aneh sekali.
Dikala mengucapkan ke tujuh patah kata itu tiba-tiba saja sekujur badan kakek itu menggigil
keras, tangannya gemetaran keras bahkan paras mukanya juga turut berubah hebat.
Sebaliknya...ketika mendengar ke tujuh patah kata itu paras muka Cing-cing juga berubah,
tiba-tiba ia melemparkan keranjang bunga di tangannya dengan menggenggam gagang golok
yang tersoren di pinggangnya itu
Gagang golok dari golok lengkung itu .....
Itulah golok lengkung milik Cing-cing.
"Gagang goloknya ternyata juga melengkung meliuk-liuk seperti tubuh ular.
Cahaya gemerlapan memancar diangkasa, tiba-tiba saja Ting Peng merasakan sekujur
tubuhnya menjadi dingin, suatu perasaan dingin yang aneh dan menggidikkan hati.
ooooo0ooooo SYAIR HUJAN RINTIK ANEKA bunga indah yang memenuhi keranjang bunga, bergelinding jatuh dari atas batu
karang, bebungaan itu segera tersebar kemana-mana bagaikan hujan rintik.
Tentu saja hujan bunga, bukan hujan rintik. Tempat itu tiada hujan, yang ada cuma rembulan.
Rembulan yang purnama. Di bawah sinar bulan purnama, mendengarkan sebait syair yang begitu indah, mengapa
mereka bisa memperlihatkan reaksi yang begitu aneh"
Tangan cing cing menggenggam gagang golok lengkungnya erat-erat:
Sedang si kakek mengawasi tangannya itu tanpa berkedip:
Ia sudah tidak perlu banyak bertanya lagi, seandainya di atas golok itu tiada ke tujuh huruf
tersebut, tak mungkin dia akan memperlihatkan reaksi seperti itu.
Mimik wajah kakek itu paling aneh, saat itu entah dia sedang merasa tercengang", Atau
girang" Atau takut"
Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Haaahh......haaahh......haaahh...... ternyata benar-benar adalah golok itu, Thian sungguh
punya mata, akhirnya aku berhasil menemukan golok itu.
Ditengah gelak tertawa yang keras, pedangnya telah diloloskan dari sarungnya.
Sekalipun tubuhnya tiga jengkal tingginya sedang pedang itu empat jengkal panjangnya tapi
setelah pedang itu berada di tangannya, semuanya itu berubah menjadi tidak menggelikan lagi.
Setelah pedang itu diloloskan dari sarung nya, tak akan seorang manusiapun yang akan
memperhatikan bahwa dia adalah seorang manusia kerdil.
Sebab begitu pedang tersebut diloloskan dari sarungnya, terasalah ada selapis hawa nyaring
yang menyengat badan memancar keluar dari sekeliling tubuhnya.
Bahkan Ting Peng yang berada di bawah tebing batupun ikut merasakan hawa pedang itu,
hawa pedang yang dingin dan tajam memaksa sepasang matanya yang tak mampu di pentangkan
kembali. Menanti ia membuka kembali matanya hawa pedang telah menyelimuti seluruh langit dan
menari-nari, sekujur badan Cing cing telah terkurung di bawah cahaya pedang tersebut.
Hawa pedang menembusi angkasa, sedang pedang itu menyambar kesana kemari dengan
tajamnya. Suara si kakek kedengaran masih amat jelas sekali ditengah desingan angin pedang yang
tajam itu, kedengaran sepatah demi, sepatah kata dia berseru:
?"Mengapa kau tidak meloloskan golokmu?"
Cing cing masih belum juga mencabut goloknya. Golok lengkung milik Cing cing masih
tersoren dalam sarungnya yang melengkung.
Tiba-tiba kakek itu membentak keras:
"Mampus kau!" oooooOooooo Bentakan keras bagaikan geledek, cahaya pedang berkilauan bagaikan halilintar, sekalipun
halilintar juga tak akan seterang itu, tak akan secepat itu.
Ketika pedang berkelebat lewat Cing-cing terjatuh dari atas batu karang bagaikan se ikat
bunga segar yang tiba-tiba layu dan terkulai ke bawah.
Batu karang itu hampir sepuluh kaki tingginya ketika tiba di atas tanah tubuhnya segera
terkapar. Kakek itu sama sekali tidak melepaskannya.
Kakek itupun melayang turun dari atas batu karang yang sepuluh kaki tingginya itu seenteng
selembar daun, pelan-pelan melayang turun.
Dalam genggaman kakek itu masih ada pedang, Pedangnya telah diloloskan dari sarungnya.
Ujung pedang si kakek yang tajam sedang diarahkan ke jantung Cing-cing.
Tusukan tersebut jelas adalah sebuah tusukan yang mematikan, selain tepat, ganas cepat dan
lagi tak berperasaan. Entah dia manusia atau rase, jika tertembus oleh pedang tersebut, ia pasti akan mati
Tak pernah terpikirkan oleh Ting Peng bahwa di dunia ini masih terdapat ilmu pedang yang
begini hebatnya, kakek itu pasti bukan manusia, dia tentu seorang malaikat.
"Malaikat elmaut!"
Cing-cing sudah tergeletak disampingnya, Cing cing sudah tak mampu untuk menghindar atau
menangkis serangan tersebut..
Menyaksikan pedang itu menyambar ke bawah, tiba-tiba Ting Peng menubruk ke depan,
menubruk ke atas badan Cing cing.
"Aku toh sudah hampir mati, mengapa aku biarkan ia yang musti menjadi korban?"
Tiba-tiba semacam tenaga dorongan yang tak terlukiskan dengan kata-kata berkobar dalam
dadanya, entah bagaimanapun juga, dia ingin mati bersama Cing cing.
Perduli apakah Cing-cing itu manusia atau rase, yang pasti gadis itu sangat baik kepadanya.
Ia mana tega membiarkan Cing cing mati di ujung pedang orang lain"
Sebaliknya ia sendiri toh ingin mati, apa salahnya untuk mati di ujung pedang orang" Mati di
ujung pedang atau mati dengan cara lain, akhirnya toh sama-sama matinya juga"
Ia menubruk ke atas badan Cing cing, Ia rela mewakili Cing cing untuk menerima tusukan
itu..... Cahaya pedang berkelebat lewat, ujung pedang itu telah menembusi punggungnya, Tapi ia
tidak merasa kesakitan. Rasa sakit yang sesungguhnya, malahan tak akan memberikan rasa tersiksa bagi yang
merasakannya. Ia cuma merasa kedinginan, semacam kekuatannya, tiba-tiba saja hawa dingin itu merasuk ke
dalam punggungnya dan menembusi tulang belulangnya.
Pada saat itulah, ia menyaksikan Cing cing telah meloloskan goloknya itu ...........
Golok lengkung Cing cing berwarna hijau mulus.
Ketika cahaya golok Cing Cing menyambar ke udara, mata Ting Peng terasa tak mampu
dibuka kembali. Ia tidak menyaksikan golok lengkung dari Cing cing itu, dia hanya mendengar kakek itu tibatiba
memperdengarkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati.
Kemudian pemuda itu merasakan segalanya gelap gulita, ia merasa tubuhnya terjatuh ke
dalam lembah kegelapan yang tiada tara dalamnya, suatu kegelapan yang sangat aneh sekali.
oooooo0oooooo DITENGAH kegelapan tiba-tiba muncul setitik cahaya, cahaya rembulan bulan yang sedang
purnama. ketika Ting Peng membuka matanya kembali, dia menyaksikan rembulan yang sedang
purnama. Juga melihat sepasang mata Cing-cing yang lebih indah daripada sinar rembulan itu.
Tidak terkecuali di langit, juga di bumi, tak akan dijumpai mata yang lebih indah daripada
sepasang matanya. Ia masih berada di sisi Cing Cing, Entah dia akan mati atau masih hidup?"
Entah dia sudah berada di langit atau masih di atas bumi, Cing cing telah berada di sisinya.
Dalam kelopak mata Cing-cing masih ada air mata. Ternyata gadis itu telah melelehkan air
mata baginya. Tiba tiba Ting Peng tertawa, katanya:
"Rupanya sekarang aku tak usah membutuhkan rumput pelupa kemurungan lagi, tapi aku
merasa mati dalam cara begini jauh lebih baik"
Ia mengeluarkan tangannya dan menyeka air mata di atas pipinya, kemudian melanjutkan.
"Akupun belum pernah menyangka
dikala aku hendak mati ternyata ada orang yang bakal melelehkan air mata bagiku"
Tiba-tiba paras muka Cing-cing berubah hebat, bahkan sekujur badannya mulai menggigil
keras, tiba-tiba ia berseru:
"Aku benar-benar sedang melelehkan air mata?"
"Yaa, benar! Kau benar-benar sedang melelehkan air mata, bahkan melelehkan air mata
bagiku" Paras muka Cing-cing berubah menjadi sedemikian anehnya, seakan-akan ia menjadi
ketakutan setengah mati, baginya melelehkan air mata agaknya merupakan suatu kejadian yang
paling menakutkan. Tapi ditengah rasa takut yang menyelimuti wajahnya itu, diapun seolah-olah merasakan suatu
kegembiraan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Reaksi tersebut adalah semacam reaksi yang aneh sekali, Ting Peng benar-benar tidak habis
mengerti, mengapa ia dapat memperlihatkan reaksi semacam ini"
Tak tahan lagi dia bertanya:
?"Perduli bagaimanapun juga, aku adalah mati demi kau, sedang kau melelehkan air mata
bagiku ........ Mendadak Cing cing menukas perkataannya itu:
Kau belum mati, kaupun tak akan mati"
"Kenapa?" "Sebab kau sudah mati sekali, sekarang kau telah berada di sini, berarti kau tak akan mati lagi"
Akhirnya Ting Peng menjumpai bahwa tempat itu bukanlah lembah kemurungan yang cantik
tersebut. Tempat di sini jauh lebih indah berlipat-lipat ganda.
Rembulan yang purnama masih berada di luar jendela, aneka bunga berada di sekeliling daun
jendela, ia berbaring di atas sebuah pembaringan yang lebih lunak dari pada mega, di depan
pembaringan tergantung sebutir mutiara, cahaya mutiara itu lebih tajam dan lembut dari pada sinar
rembulan. Ia merasa seolah-olah pernah berkunjung kesana.
Tapi iapun tahu, kalau ia pernah
berkunjung ke sana, sudah pasti hal ini terjadi sewaktu berada dalam impian....
Sebab di alam semesta tak mungkin terdapat ruang istana yang begini megah dan mewah,
tidak terdapat pula mutiara yang begitu besar dan bercahaya tajam..
"Dimanakah aku berada sekarang?"
Cing cing menundukkan kepalanya dan menjawab dengan lirih:
"Di rumahku!" Akhirnya Ting Peng teringat, barusan mengapa ia merasa seakan akan pernah kenal dengan
tempat ini. Ia memang pernah menjumpai tempat itu, tapi menjumpainya di dalam lukisan.
Seluruh dinding didalam gua penuh dengan lukisan, yang terlukis di sana bukan pemandangan
di alam semesta, melainkan pemandangan di atas langit.
Tak tahan kembali ia bertanya:
"Hanya kau seorangkah yang berdiam di sini?"
Cing-cing tidak menjawab, tapi dari balik pintu kecil yang tertutup tirai di depan sana terdengar
seseorang menjawab: "Tak seorang manusia yang berada di sini!"
Seorang nenek berambut putih menggunakan ujung tongkat berkepala naganya untuk
menyingkap tirai, kemudian pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ia mempunyai perawakan tubuh yang tinggi besar, sikapnya keren, anggun dan berwibawa. .
Walaupun rambutnya telah beruban semua, namun pinggangnya masih tegap dan lurus
seperti pena, sepasang matanya masih memancarkan sinar yang amat tajam.
Dengan kepala tertunduk, Cing-cing telah bangkit berdiri, kemudian serunya lirih:
"Nenek!" Ternyata nenek tua itu adalah neneknya Cing cing.
Seorang gadis rase yang masih muda dan cantik, membawa seorang pemuda yang hampir
masak kembali ke sarang rasenya dan bertemu dengan sang nenek yang berwatak aneh dan
bersifat keras hati.......
Kejadian semacam ini sebenarnya hanya bisa terjadi dalam cerita hikayat lama, tapi sekarang
Ting Peng telah mengalaminya sendiri. .
Selanjutnya apa yang bakal terjadi" Apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya"
Ting Peng sama sekali tak bisa menduga
Bila seorang manusia biasa macam dia t ba ditempat semacam ini, maka segala sesuatunya
akan terkekang. Dengan pandangan dingin nenek itu menatap sekejap ke arahnya, kemudian berkata lagi:
"Kau harus tahu di sini tak ada seorang manusiapun, sebab kami bukan manusia, melainkan
siluman rase" "Aku tahu!" Ting Peng mengakuinya.
"Tahukah kau bahwa manusia biasa sebenarnya tidak pantas untuk datang kemari?"
"Aku tahu" "Sekarang kau sudah datang kemari, tidak menyesalkah kau?"
"Aku tidak menyesal!"
Itupun suatu jawaban sesungguhnya.
Seorang manusia yang sebenarnya sudah hampir mati, apa pula yang musti disesalkan lagi"
Selama hidup di alam semesta, dia hanya akan dianiaya orang difitnah dan di cemoohkan
orang, mengapa ia tidak berusaha untuk pindah ke dunia yang lain"
Sekalipun mereka adalah rase, tapi sikap serta kejujuran jauh lebih baik dari pada manusia.
Terdengar nenek itu berkata lagi:
"Seandainya kami bersedia untuk menerima mu, bersediakah kau berdiam di sini?"
?"Aku bersedia!"
"Kau benar-benar sudah bosan dengan kehidupan di alam semesta"
"Yaa, benar!" "Kenapa!" "Di.... di alam semesta aku tak bersanak, tak punya keluarga, sekalipun mampus dalam
pecomberan juga tak akan ada orang yang mengurusi jenasahku, apalagi meneteskan air mata
bagi kematianku?" Semakin berbicara hatinya semakin putih sehingga suaranya jugs ikut sesenggukan.
Sorot mata nenek itu bertambah lembut dan halus, katanya kemudian:
"Ketika kau menerima tusukan pedang itu untuk Cing cing, apakah kau juga melakukannya
dengan tulus hati, "Tentu saja aku melakukannya dengan tulus hati, Sekalipun sekarang ia minta aku mati
baginya, aku tetap akan mati untuknya!
"Kenapa?" "Aku juga tak tahu mengapa, aku hanya tahu setelah aku mati, paling tidak ia masih akan
melelehkan air matanya lagi untuk ku"
Mendadak dari balik mata nenek itu memancar keluar suatu sinar mata yang aneh sekali, tibatiba
ia bertanya kepada Cing cing:
"Apakah kau telah melelehkan air mata baginya".
Dengan mulut membungkam Cing cing menganggukkan kepalanya, di atas wajahnya yang
pucat tiba-tiba terlintas warna semu merah.
Si nenek memandangnya tajam-tajam, ia memandang lama sekali, kemudian baru berpaling
memandang ke arah Ting Peng, ia pun memandang pemuda itu lama sekali.
Sorot matanya yang keren tadi lambat laun berubah menjadi lembut, tiba-tiba ia menghela
napas panjang, gumamnya: "Aaai.... Jodohkah ini" Ataukah suatu pertanda dari akan terjadinya suatu tragedi"
Ia mengulangi kata-kata tersebut sampai beberapa kali, entah berapa banyak sudah dia
mengulangi ucapan tersebut, jelas dia sendiripun tak tahu apa jawabannya.
Ia menghela napas panjang, kembali akhirnya berkata:
"Sekarang kau telah mati satu kali untuknya, dan iapun telah melelehkan air mata untukmu"
"Tapi aku ........."
Si nenek tidak membiarkan ia berkata lebih jauh, tiba-tiba serunya dengan lantang:
"Ikutilah aku!"
Ting Peng beranjak, ia baru mengetahui bahwa mulut lukanya telah dibalut, bau harumnya
obat memancar keluar dari balik kain putih pembalut luka itu.
Tusukan itu sesungguhnya merupakan suatu tusukan yang mematikan, tapi sekarang bukan
saja ia sudah bisa bangkit, bahkan sama sekali tidak terasa sakit.
Ia mengikuti si nenek itu berjalan keluar melalui pintu kecil yang bertirai itu, tapi tak tahan
pemuda itu berpaling kembali
Cing cing juga sedang melirik, ke arahnya, mimik wajah serta sorot matanya memancar suatu
keanehan, entah sedang merasa jengah ataukah sedang merasa girang.
Diluar kamar adalah sebuah kebun bunga, sebuah kebun bunga yang besar sekali.
Bulan purnama masih bersinar terang aneka bunga mekar dengan indahnya. Aneka bunga
yang seharusnya baru berkembang pada bulan ke tujuh, banyak terdapat pula di situ bahkan
semuanya sedang mekar, dengan indahnya bunga-bunga yang tidak seharusnya mekar di bulan
ke tujuh di sanapun terdapat, bahkan sedang mekar pula.
Sebuah jalan setapak yang berlapiskan batu bulatan berwarna putih terbentang ditengah
bebungaan itu, ujung dari jalan kecil tersebut adalah sebuah loteng kecil.
Si nenek membawa Ting Peng naik ke atas loteng kecil itu.
Ruangan di atas loteng kecil itu tenang dan megah, seorang manusia berbaju hijau sedang
memandang sebuah lian yang tergantung di atas dinding dengan termangu-mangu.
Di atas lian tersebut hanya tertera tujuh huruf yang ditulis dengan indahnya, ke tujuh huruf itu
berbunyi: "Siau lo it ya teng cun hi!"
Menjumpai bayangan punggung orang berbaju hijau itu, sinar mata si nenek berubah makin
lembut. Tapi menanti orang berbaju hijau itu telah membalikkan badannya, Ting Peng baru merasa
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkejut. Seandainya dia bukan seorang lelaki, seandainya usianya tidak terlalu besar, Ting Peng pasti
akan mengira dia sebagai Cing-cing.
Alis matanya, matanya, bibirnya, hidungnya, dan gerak geriknya pada hakekatnya persis sama
dengan Cing-cing. Ting Peng segera berpikir:
`"Jika orang ini bukan ayah Cing-cing, sudah pasti adalah kakaknya Cing cing "
Tapi kalau dibilang dia adalah kakaknya Cing-cing rasanya usia orang itu agak terlalu tua,
sebaliknya kalau dibilang dia adalah ayahnya Cing cing maka usianya terasa agak kecilan.
Padahal Ting Peng tak bisa menilai berapa besarnya usia orang itu.
Paras muka orang inipun persis seperti Cing cing, pucat pias sehingga hampir bening
warnanya. Berjumpa dengan nenek itu, ternyata dia tidak menunjukkan sikap menghormat seperti yang
diperlihatkan Cing cing, hanya sambil tertawa hambar katanya:
"Bagaimana" "
Nenek itu menghela napas panjang, sahutnya:
"Aku sendiripun tak tahu bagaimana mesti berbuat, lebih baik kau saja yang mengambil
keputusan!" Orang berbaju hijau itu segera tertawa:
"Aku sudah tahu kalau kau pasti akan melimpahkan persoalan ini ke atas badanku"
Nenek itu turut tertawa. "Kalau tidak kulimpahkan ke atas tubuhmu lantas harus dilimpahkan ke tubuh siapa?" "
Walaupun senyuman mereka begitu tawar, tapi seakan-akan membawa suatu hubungan kasih
yang amat tebal. Sikap mereka itu tidak mirip hubungan antara ibu dan anak, apalagi hubungan nenek dengan
cucu. Hal mana sudah membuat Ting Peng amat terkejut.
Kemudian, si nenek telah menambahkan pula dengan sepatah kata yang membuat ia lebih
terperanjat lagi, ia berkata:
"Kau adalah kakeknya Cing-cing, apalagi kepala rumah tangga, sudah sepantasnya kalau
kaulah yang memutuskan masalah ini"
Ternyata orang yang berbaju hijau itu adalah kakeknya Cing-cing.
Kelihatannya paling banter belum mencapai usia pertengahan, mimpipun Ting Peng tidak
menyangka kalau dia dengan nenek itu adalah suami istri.
Orang berbaju hijau itu sedang memandang ke arahnya, seakan-akan apa yang sedang dipikir
dalam hatinya pun dapat diketahui olehnya dengan jelas, sambil tersenyum katanya:
"Sekarang kau tentu sudah tahu bukan kalau kami adalah siluman rase, oleh sebab itu apa
yang kau saksikan di sini tak usah lah terlampau kaget atau tercengang"
Suara tertawanya begitu lembut dan riang, terusnya:
"Sebab kami memang memiliki beberapa hal yang mimpipun orang awam biasa tak akan
mampu untuk melakukannya"
Ting Peng juga ikut tersenyum, agaknya lambat laun ia sudah mulai terbiasa untuk bergaul
dengan mereka, ia menemukan bahwa rase-rase ini sesungguhnya tidak terlampau menakutkan
daripada apa yang dikisahkan dalam hikayat-hikayat lama.
Sekalipun mereka adalah rase, tapi merekapun memiliki sifat manusia. malah jauh lebih lembut
dan baik hati ketimbang kebanyakan manusia lainnya.
Terhadap sikap maupun tindak tanduknya itu, rupanya manusia berbaju hijau itu merasa
sangat puas, katanya: "Sebenarnya tak pernah kuduga kalau Cing cing akan kukawinkan dengan seorang manusia
biasa, tapi kalau toh kau sudah mati sekali untuknya, dan diapun telah meneteskan air mata
bagimu ......." Ia berhenti sejenak, senyumannya makin lembut dan hangat, kemudian terusnya:
"Kau harus tahu, rase selamanya tak pernah mengucurkan air mata, air mata rase jauh lebih
berharga daripada darah, ia bisa melelehkan air mata bagimu itu menandakan kalau ia sudah
menaruh perasaan cinta ke padamu, kau bisa bertemu dengannya, ini pun berarti bahwa diantara
kalian berdua sebenarnya memang ada jodoh"
Baik itu di alam semesta maupun di alam kehidupan rase, "Cinta yang murni" dan masalah
jodoh merupakan suatu peristiwa yang dapat ditemui tapi tak bisa diminta.
Orang berbaju hijau itu kembali berkata:
Oleh sebab itu akupun tak ingin untuk memisahkan hubungan cinta dan ikatan jodoh diantara
kalian berdua" Tiba-tiba si nenek menyela dari samping:
Apakah kau telah menyetujui untuk mengawinkan Cing-cing dengannya ....?".
?"Yaa, aku setuju!?" orang berbaju hijau itu tersenyum.
Selama ini Ting Peng tak pernah bersuara karena ia sendiripun merasakan pikirannya kalut.
Mimpipun ia tak pernah menyangka bakal di dunianya kaum rase, semakin tak menduga kalau
ia bakal mengawini seorang gadis rase sebagai istrinya.
Bila seorang manusia biasa mengawini seorang gadis rase sebagai istrinya, mungkinkah akan
mengakibatkan suatu kejadian besar"
Dapatkah seorang manusia biasa hidup langgeng dalam alam kehidupannya kaum rase
Kelihaian rase dapatkah membantu seorang manusia biasa"
Persoalan-persoalan semacam itu tak pernah terlintas dalam benaknya, apalagi dalam
keadaan seperti ini, sudah barang tentu semakin mustahil untuk melintas di dalam benaknya.
Dia hanya tahu, untuk selanjutnya jalan kehidupannya akan mengalami perubahan besar.
Entah di kemudian hari nasibnya bakal berubah menjadi apa, dia tak pernah akan merasa
menyesal atau menggerutu.
Sebab dia sebetulnya tak lebih hanya seorang manusia yang telah menemui jalan buntu dan
harus mati. Selain itu ada satu hal yang paling penting lagi, yakni ia percaya Cing-cing benar-benar
menaruh hati kepadanya. Dalam kekalutan pikiran yang sedang berkecamuk dalam benaknya itu, dia seakan-akan
mendengar orang berbaju hijau itu sedang berkata:
"Setelah kau menjadi menantu kami, sekalipun bisa menikmati banyak sekali hal-hal yang
mimpipun tak pernah akan dialami oleh manusia biasa, walaupun selamanya kau bisa hidup bebas
merdeka di sini, tapi kami mempunyai sebuah larangan".
"Bila kau telah menjadi menantu kami, maka selama hidup kau tak akan kembali lagi ke alam
semesta." "Oleh karena kami tahu kalau kau sudah bosan dengan kehidupan di alam semesta, maka
kami baru memutuskan untuk menerimamu".
"Asalkan kau bersedia untuk tidak melanggar larangan kami untuk selamanya, mulai saat ini
juga kau akan kami terima sebagai menantu kami".
Di alam semesta ia sudah tak berkeluarga, dalam alam semesta dia hanya dianiaya orang,
dicemoohkan orang dan dipermainkan orang.
Tapi gadis rase telah menaruh hati kepadanya.
"Aku bersedia!" Ting Peng mendengar suara sendiri sedang menjawab, "aku bersedia
menuruti larangan itu".
Si nenek ikut tertawa, ia maju dan memeluknya sambil berkata:
"Kami juga tak punya barang apa-apa untuk diberikan kepadamu, ambillah benda ini sebagai
tanda mata kami atas perkawinanmu dengan Cing-cing...."
Nenek itu memberikannya sebilah golok melengkung. Golok melengkung berwarna hijau.
Golok lengkung itu mirip milik Cing-cing, mata golokpun berwarna hijau mulus, hijau bagaikan
tanah perbukitan nun jauh di sana, hijau seperti daun pepohonan, hijau seperti air mata kekasih.
Di atas golok lengkung yang berwarna hijau itu tertera pula tujuh huruf kecil.
Tujuh huruf yang memancarkan sinar terang, itulah tujuh huruf yang merupakan sebait syair:
"Siau lo it ya teng cun hi!"
"Mendengar rintikan hujan di sebuah loteng pada satu malam"
Sebait syair yang aneh kedengarannya, tapi cukup membuat hati merasakan suatu perasaan
aneh. Itulah tujuh huruf yang pernah membuat berubahnya wajah si kakek kerdil yang berpedang
panjang..... Tujuh buah huruf yang misterius!
ooooo0ooooo CINTA KASIH DALAM LEMBAH TEMPAT ini adalah sebuah lembah, sebuah lembah yang amat terpencil letaknya, empat
penjuru di sekeliling lembah tersebut merupakan dinding tebing berkarang yang menjulang tinggi
ke angkasa. Seakan-akan lembah itu merupakan sebuah lembah yang buntu dan tiada jalan
keluar. Sekalipun ada jalan keluar, juga tak mungkin buat manusia biasa untuk mengunjunginya.
Lembah itu tidak terlalu besar, sekalipun terdapat kebun, istana dan bangunan loteng,
sekalipun pemandangan alamnya indah seperti lukisan di atas dinding gua, namun itupun tak lebih
hanya sebagian dari lukisan tersebut.
(Bersambung Jilid 04) AYAH ibu Cing-cing telah meninggal dunia.
Rase pun bisa mati" Cing cing, mempunyai seorang dayang yang lincah dan cerdik, ia bernama Si-ji, Si-ji gemar
tertawa, bila sedang tertawa di atas sepasang pipinya akan muncul sepasang lesung pipi yang
amat dalam. Si-ji pun seorang rase"
Mereka mempunyai delapan orang pelayan yang setia, rambut mereka kebanyakan telah
beruban, tapi kesehatan badannya masih tetap segar dan kuat.
Mereka semua juga rase"
Dalam lembah tersebut hanya dihuni oleh beberapa orang itu, belum pernah ada orang luar
yang menginjak wilayah tersebut.
Kehidupan di dalam lembah itu amat nyaman dan tenang, jauh lebih nyaman dan terang
daripada kehidupan di alam manusia..
Sekarang Ting Peng sudah terbiasa dengan cara hidup dalam lembah itu, diapun sudah
terbiasa menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya.
Kecuali sedang tidur, dia selalu menyoren golok lengkung tersebut di sisi pinggangnya.
Sebuah ikat pinggang yang terbuat, dari emas murni dan batu kemala putih menghiasi pula
pinggangnya. Tapi ia tahu golok lengkung tersebut jauh lebih berharga dari pada ikat pinggang itu.
Hari kedua setelah perkawinan mereka, Cing cing berkata kepadanya:
"Nenek pasti amat menyukaimu, maka ia baru menyerahkan golok tersebut kepada-mu, kau
harus menyayanginya dengan amat sangat"
Diapun tidak lupa dengan ucapan Cing-cing yang diutarakan kepada si kakek kerdil yang
misterius dalam lembah kemurungan tempo hari.
"Golok ini tak boleh sembarangan dilihat, siapa yang pernah melihat golok ini, dia akan mati di
ujung golok tersebut"
Tentu saja si kakek kerdil itupun sudah mampus di ujung golok tersebut.
Dia adalah manusia" atau setan" Atau rase"
Darimana ia bisa tahu kalau di atas golok itu terukir tujuh huruf kecil, yang berisikan "Siau -loitya teng-cun-hi?" Sesungguhnya rahasia apakah yang menyelimuti asal usul dari golok tersebut" Kekuatan
misterius apakah yang tersembunyi dibalik kesemuanya itu"
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukannya tak pernah diajukan oleh Ting Peng tapi Cingcing
selalu berkata kepadanya dengan wajah serius:
?"Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab bila tahu akan masalahmasalah
tersebut, kemungkinan besar ada bencana besar yang akan menimpamu"
Sekarang bukan saja ia telah melihat golok itu, bahkan telah memiliki pula golok tersebut.
Ia sudah merasa amat puas dengan kesemuanya itu.
Tapi pada suatu hari, tiba-tiba ia hendak mengembalikan golok itu kepada Cing-cing.
Dengan keheranan Cing-cing lantas bertanya . .
Mengapa kau tidak menghendaki golok itu"
"Sebab aku memilikinya juga percuma" jawab Ting Peng, golok tersebut berada di tanganku
tak lebih dari pada sebilah golok besi biasa saja"
"Kenapa!" "Karena aku sama sekali tak pandai mempergunakan ilmu golok aliran kalian.
Akhirnya Cing-cing memahami juga maksudnya, maka dia pun berkata.
Bila kau ingin mempelajarinya, aku bersedia mengajarkan ilmu golok itu kepadamu, padahal ia
sama sekali tak bermaksud untuk mewariskan ilmu golok semacam ini kepadanya, sebab dia tahu
orang biasa yang mempelajari ilmu golok semacam ini sesungguhnya tak ada manfaatnya.
Walaupun ilmu golok semacam ini dapat memberikan suatu kekuatan yang luar biasa kepada
mu, tapi diapun bisa mendatangkan bencana serta ketidak beruntungan bagi si pemakainya.
Tapi akhirnya toh ilmu golok tersebut diajarkan juga kepadanya, karena ia tak ingin menampik
permintaannya, ia tak pernah membuatnya merasa kecewa.
Walaupun dia adalah rase, tapi jauh lebih-lebih lembut dan setia daripada istri dari kebanyakan
kaum lelaki di dunia ini.
Siapa saja bila memiliki seorang istri macam begini, dia seharusnya akan merasa puas sekali.
Ilmu golok semacam ini tak mungkin akan dijumpai di alam semesta, Ilmu golok semacam ini
memiliki perubahan serta kekuatan yang mimpipun tak mungkin bisa diperoleh oleh setiap orang
lain. Ting Peng sendiripun tak pernah menyangka kalau ia bisa melatih ilmu golok yang begini sakti
dan begitu hebatnya. Tapi sekarang ia telah melatihnya.
Dalam soal belajar ilmu silat, ternyata sampai Cing-cing sendiripun mengakui bahwa dia
adalah seorang yang amat berbakat.
Sebab untuk melatih ilmu golok itu, ia sendiri membutuhkan tujuh tahun untuk menguasainya,
sedangkan Ting Peng hanya membutuhkan waktu selama tiga tahun..
Kehidupan didalam lembah itu bukan cuma nyaman dan tenang, lagi pula empat waktu selalu
ada bunga yang mekar dimana saja, kau bisa memetik aneka bunga yang indah dan segar.
Mestika yang selama dialam semesta di anggap sangat berharga bahkan untuk menemukan
saja sukarnya bukan kepalang, di tempat itu seolah-olah berubah menjadi suatu benda yang sama
sekali tak ada harganya. Di bawah loteng kecil itu terdapat sebuah gedung di bawah tanah, dalam gudang itu
bertumpukkan kain sutera yang berasal dari negeri Thian tok (sekarang India) permadani dari
negeri Persia serta aneka macam benda berharga lainnya yang tak pernah kau jumpai selama ini.
Cing-cing bukan cuma lembut dan cantik, diapun sangat menuruti semua keinginan serta
kehendak suaminya. Semestinya dia harus merasa puas sekali.
Tapi sebaliknya pemuda itu malahan, menjadi kurus sekali.
Bukan cuma kurus badannya, wajahnya ikut sayu dan seringkali bermuram durja dan tidak
senang hati. Selain itu diapun seringkali mendapat impian buruk.
Setiap kali melompat bangun dari impian, tiba-tiba saja ia akan melompat turun dari atas
pembaringan sambil bermandikan peluh dingin.
Ketika Cing-cing menanyakan soal ini kepadanya selama berulangkali, ia baru berkata:
"Aku bermimpi ketemu dengan ayahku, dia hendak menggunakan sepasang tangannya untuk
mencekikku sampai mati"
"Mengapa dia hendak mencekikmu sampai mati?" "
"Ia bilang aku tidak berbakti, lantaran aku adalah seorang lelaki yang tidak becus! "
Mimik wajah Ting Peng berubah menjadi amat sedih dan sengsara, dia berkata lebih jauh:
"Sebab itu telah melupakan sama sekali pesan orang tuaku menjelang kematiannya dulu"
"Padahal kau belum melupakannya?"
"Yaa, belum!" sahut Ting Peng, padahal setiap waktu setiap saat aku selalu mengingatnya
didalam hati" "Sebelum meninggalnya apa yang diminta orang tuamu untuk kau lakukan..." ?"
sambil mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, sepatah demi sepatah kata ia
menjawab: "Suruh aku mencari nama besar dalam dunia dan melampiaskan rasa sedih dan kecewanya
selama ini" 0000()OO0O CING-CING tentu saja memahami maksudnya.
Tapi Cing-cing tidak tahu kalau mimpi jelek yang dialaminya bukan hanya semacam saja,
impian buruknya yang lain jauh lebih menakutkan lagi.
Tapi ia tak dapat mengutarakannya keluar, juga tak berani untuk mengutarakannya keluar.
"Da1am impian tersebut tiba-tiba ia merasakan dirinya terjerumus ke dalam sarang rase
istrinya, ayah mertuanya, ibu mertuanya semua telah berubah menjadi kelompok rase, rase yang
mencabik-cabik tubuhnya dan melahap badannya.
Dia ingin sekali untuk melupakan bahwa mereka adalah sekawanan rase, tapi pikiran tersebut
justru tak dapat dia lupakan.
000000000 CAHAYA mutiara yang lembut menyinari wajah Cing-cing yang pucat dan cantik, air mata telah
jatuh bercucuran membasahi pipinya. "Aku memahami maksudmu!" dia berkata dengan air mata
bercucuran, "akupun telah tahu, cepat atau lambat kau pasti ingin pergi dari sini, kau tak akan
hidup sepanjang masa ditempat ini, sebab cepat atau lambat kau pasti akan merasa jemu dengan
penghidupan semacam ini?"
Ting Peng tak dapat menyangkal perkataan itu.
Dengan ilmu silat yang dimilikinya sekarang, dengan ilmu golok yang dimilikinya sekarang, Liu
Yok siong, Tiong Tian, Hong bwe dan Meh tiok sesungguhnya telah berubah menjadi manusiamanusia
yang tak akan tahan dengan sejurus serangannya.
Dengan mengandalkan golok lengkung yang tersoren di pinggangnya, bila dia ingin
menjelajahi dunia persilatan dan mencari nama, kejadian tersebut akan berubah menjadi suatu
persoalan yang gampangnya seperti membalikkan tangan sendiri.
Setiap kali teringat akan masalah ini, darah yang mengalir didalam tubuhnya seakan-akan
menjadi mendidih dan mengalir dengan kerasnya.
Tapi kesemuanya ini tak bisa menyalahkan dia, sebab dia memang tidak bersalah.
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan masa depannya sendiri dan siapa pun, itu
orangnya pasti akan berpikir demikian.
Dengan sedih Ting Peng berkata:
"Sayang sekali, aku juga tahu bahwa kakek dan nenekmu pasti tak akan mengijinkan aku pergi
dari sini?"
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cing cing menundukkan kepalanya dan ragu-ragu sejenak, kemudian dengan nada menyelidiki
tanyanya. ?"Apakah kau ingin pergi dari sini seorang diri?"
"Tentu saja, aku akan membawa serta dirimu".
Mencorong sinar tajam dari balik mata Cing Cing, dia mengepal tangannya keras-keras dan
berseru kembali, "Kau bersedia membawaku pergi?"
Dengan lembut dan penuh kasih sayang Ting Peng menjawab:
"Kita sudah merupakan suami istri, kemanapun aku akan pergi, aku pasti akan membawa
serta dirimu" "Kau berbicara yang sejujurnya ?"
"Tentu saja!". Cing cing menggigit bibit menahan pergolakan emosinya kemudian mengambil keputusan
katanya: "Bila kau ingin pergi dari sini marilah kita pergi bersama-sama!"
"Bagaimana caranya untuk pergi dari sini?"
"Aku pasti mempunyai akal bagus!"
Dia memeluk pemuda itu kencang-kencang, kemudian melanjutkan.
"Asal kau bersedia mencintaiku dengan bersungguh hati, sekalipun aku harus mati bagimu,
aku juga bersedia" Untuk melarikan diri, tentu saja harus ada rencana yang matang, maka ditengah malam buta
merekapun berbisik-bisik merundingkan rencana besar itu.
Mereka paling takut dengan kakeknya Cing-cing.
"Dia orang tua amat lihay dan mengetahui segala-galanya, selain malaikat dari angkasa, tiada
seorang manusiapun yang mampu menandingi kehebatannya"
Ting Peng merasa tidak puas dengan perkataan itu, sebab diapun telah melatih ilmu golok
mereka yang maha sakti itu.
Cing cing segera berkata kembali:
"Jangan kau anggap ilmu golok yang telah kau pelajari itu sangat lihay, berada di hadapan dia
orang lain mungkin belum sampai satu jurus kau pergunakan, asal dia menggerakkan tangannya
maka kau pasti akan roboh ke tanah.
Ting Peng tidak percaya, tapi diapun mau tak mau harus mempercayai juga.
"Oleh karena itu bila kita ingin kabur, kita harus menunggu sampai dia tidak berada di sini!"
kata Cing cing. "Agaknya dia tak pernah pergi dari sini?"
"Tapi setiap tahun pada bulan tujuh tanggal lima belas malam, dia selalu akan mengurung
dirinya didalam sebuah kamar kecil, selama beberapa jam lamanya, peristiwa apapun yang bakal
terjadi selama waktu-waktu itu, dia tak akan mengurusinya.`
"Tapi bila dia tahu kalau kita sudah kabur apakah tak akan melakukan pengejaran?"
"Sudah pasti tidak!"
"Sebabnya aku orang tua telah bersumpah bahwa selama hidup tak akan meninggal kaki
lembah ini barang satu langkahpun"
"Aku lihat agaknya nenekmu juga tidak gampang untuk dihadapi"
"Aku mempunyai akal untuk menghadapinya."
?"Akal apakah itu?"
"Sekalipun dia orang tua kelihatannya amat keren dan serius, dia sesungguhnya memiliki hati
yang amat lunak, lagi ......."
Tiba-tiba ia mengajukan suatu pertanyaan yang sama sekali tak ada sangkut pautnya.
"Kau tahu apa yang menyebabkan kematian ayah ibuku?" "
Ting Peng tidak tahu. Dia tahu persoalan ini merekapun tak pernah menyinggungnya, tak bisa disangkal lagi hal itu
adalah suatu rahasia besar bahkan suatu kenangan lama yang penuh dengan kesedihan..
Benar juga paras muka Cing-cing segera berubah menjadi amat sedih sekali katanya:
"Ibuku juga seorang manusia biasa, seperti juga kau, dia selalu berharap agar ayahku bisa
mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"
Setelah menghela napas panjang lanjutnya:
?"Ketika aku belum mencapai usia setahun ia telah meninggal dunia tapi aku tahu dulunya
bukan saja dia adalah seorang pendekar perempuan yang amat tersohor dalam dunia persilatan,
diapun seorang gadis cantik yang diketahui setiap orang, kehidupan yang sederhana dan hambar
seperti ini sudah barang tentu tak bisa dilewatinya dengan hati yang tenang dan tentram"
"Apakah ayahmu tidak bersedia mengajaknya untuk pergi meninggalkan tempat ini?"
"Walaupun ayahku telah menyetujuinya, tapi kakek dan nenekku bersikeras tidak mengijinkan,
sudah dua kali mereka berusaha untuk pergi dari sini tapi usaha mereka selalu gagal oleh karena
itu ibuku...." Ia tidak melanjutkan perkataannya, tapi Ting Peng bisa menduga apa yang telah terjadi, kalau
ibunya bukan karena hatinya yang kesal dan murung sehingga mati dalam kesedihan, sudah pasti
secara diam-diam menghabisi nyawa sendiri....
"Berapa bulan setelah kematian ibuku, ayahku juga jatuh sakit dan tak bisa bangun lagi."
Walaupun mereka adalah rase, meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa, ada
sementara penyakit yang justru tak akan bisa ditolong dengan kekuatan serta obat obatan, apalagi
kalau penyakit itu adalah penyakit hati, penyakit rindu yang ditimbulkan oleh perasaan kangen
yang tebal serta kesedihan yang kelewat batas.
Dalam hal ini, Ting Peng juga bisa membayangkannya, Cing cing berkata lebih jauh:
"Sekalipun nenek tak pernah menyinggung persoalan ini kepadaku, tapi aku tahu dalam
hatinya pasti merasa amat berduka, bila sampai keadaan kepepet, asal kusinggung kembali
persoalan ini, dia pasti akan mengijinkan kami untuk pergi"
Seorang nenek tua yang sudah lanjut usianya, tentu saja tak akan tega menyaksikan cucu
perempuan suami istri mengalami tragedi yang sama seperti apa yang terjadi dengan generasi
yang lalu. Cing cing bisa mengutarakan persoalan semacam ini, menandakan kalau hubungan kasihnya
antara dia dengan Ting Peng sudah mencapai cinta kasih yang sama tebalnya antara ayah dan
ibunya dulu. Mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan cepat. "Kalau begitu, kita pasti mempunyai harapan ?"
"Akan tetapi kita masih ada persoalan, paling tidak masih ada delapan persoalan."
"Delapan persoalan".."
"Yaa, tidak lebih tidak kurang persis delapan buah persoalan"
"Akhirnya Ting Peng dapat memahami maksud perkataannya, yang dimaksudkan dengan
delapan persoalan itu sudah pasti adalah ke delapan orang pelayan yang setia itu.
Mereka semua jarang berbicara satu dengan lainnya, bahkan selalu menjaga suatu jarak
tertentu dengan Ting Peng.
Agaknya mereka tidak ingin terlalu dekat dengan manusia biasa yang manapun, bahkan cucu
menantu dari majikan mereka sekalipun.
Dalam hati mereka semua seakan-akan tersimpan suatu penderitaan yang amat dalam,
menyimpan suatu rahasia yang sangat besar.
"Apakah mereka juga tidak mudah untuk dihadapi ?" tanya Ting Peng kemudian.
"Kau sama sekali-kali memandang enteng mereka, sekalipun mereka tidak memiliki
kemampuan yang hebat seperti apa yang dimiliki oleh kakekku, tapi ilmu silat yang dimiliki mereka
semua sudah cukup untuk merubah mereka menjadi jago-jago kelas satu di dalam dunia
persilatan" Setelah berpikir sejenak, dia melanjutkan.
Aku tahu didalam dunia persilatan banyak terdapat pendekar dan jago pedang yang amat
lihay, akupun pernah melihat beberapa orang diantaranya, tapi tak seorangpun diantara mereka
yang bisa menandingi kelihaian mereka"
"Siapa saja yang pernah kau jumpai?"
"Hong bwe dan Meh tiok yang kau katakan itupun pernah kujumpai semua...." Cing-cing
menerangkan. "Apakah kedua orang itupun tak sanggup untuk menandingi mereka?" "
"Siapa saja diantara mereka berdelapan sanggup mengalahkan dua orang itu sekaligus
didalam sepuluh jurus"
Mendengar perkataan itu Ting Peng segera mengerutkan dahinya.
Tak bisa disangkal lagi bahwa Hong bwe dan Meh tiok adalah jago-jago kelas satu di dalam
dunia persilatan, kalau dibilang ada orang sanggup mengalahkan mereka berdua dalam sepuluh
gebrakan saja, sesungguhnya persoalan ini sangat tidak masuk diakal, siapa saja tak akan
mempercayainya. . . Tapi Ting Peng mempercayainya.
Terdengar Cing cing berkata lagi.
"Untung saja setiap bulan tujuh tanggal lima belas, mereka selalu minum arak dalam jumlah
yang banyak sekali" "Apakah mereka akan minum sampai mabuk?"
"Ada kalanya sampai mabuk-ada kalanya juga tidak mabuk, mereka memiliki takaran minum
arak yang bagus sekali"
Setelah tertawa terusnya:
"Tapi kebetulan sekali aku tahu kalau ada semacam arak yang keras sekali, bagaimanapun
baiknya takaran minum seseorang bila minum arak tersebut, dia pasti akan menjadi mabuk"
"Dan kebetulan sekali kau bisa menemukan arak sejenis itu?"
"Yaa. aku bisa mendapatkannya."
Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata Ting Peng, tanyanya kemudian:
"Hari ini sudah tanggal berapa?"
?"Bulan enam tanggal tiga puluh"
Setengah bulan lagi akan tiba bulan tujuh tanggal lima belas, setengah tahun lagi Ting Peng
sudah empat tahun lamanya tinggal di tempat itu.
Tak tahan Ting Peng segera menghela napas panjang katanya.
"Waktu sungguh berlalu dengan cepatnya, tak disangka dalam waktu singkat empat tahun
sudah lewat, sungguh tak ku sangka aku bisa hidup selama empat tahun lagi"
Dengan lemah lembut Cing-cing membelai wajahnya dan berkata dengan lirih:
"Kau pasti dapat hidup lebih jauh, bahkan bukan cuma empat tahun saja, sebab selama aku
masih hidup, kau takkan mati, kau hidup akupun takkan mati, ada kau baru ada aku, ada aku baru
ada kau!" ooooo0ooooo MALAM PURNAMA BULAN tujuh tanggal lima belas, udara cerah. malam hari, rembulan sedang purnama. .
Ting Peng mempercayai Cing-cing seratus persen.
Kalau Cing cing mengatakan ada semacam arak yang bisa memabukkan siapapun yang
memiliki takaran minum arak yang hebat, dia percaya penuh bahwa siapa saja yang minum arak
tersebut pasti akan menjadi mabuk kepayang.
Ia percaya delapan orang kakek yang setia dan selalu membungkam itu pasti akan mabuk,
ternyata mereka benar-benar telah mabuk.
Tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau orang yang mabuk paling dulu ternyata adalah
neneknya Cing cing. Tampaknya hari ini diapun mempunyai pikiran dalam hatinya, pikiran apalagi rahasia dalam
hati biasanya lebih berat dari segala apapun, maka dia ikut minum bersama mereka, bahkan
minum lebih cepat dari pada yang lain dan lebih banyak dari siapa pun.
Itulah sebabnya dia mabuk lebih dahulu.
Mereka masih minum arak, secawan demi secawan arak mengalir masuk ke perut, tak
seorangpun yang berbicara, mereka hanya tahu minum terus tiada hentinya..
Tampaknya mereka telah bertekad untuk minum sampai mabuk baru benar-benar akan
berhenti. Dengan cara minum seperti ini, sekalipun yang mereka minum bukan arak semacam ini, toh
akhirnya akan menjadi mabuk juga.
Sekarang mereka semua telah mabuk.
"Walaupun ruangan disisi loteng kecil itu jauh lebih kecil daripada sebuah keraton, namun
diatur sedemikian megah dan mewahnya sehingga tidak kalah dengan sebuah keraton, waktu itu
tinggal dua orang yang masih berada dalam keadaan sadar.
Dalam lembah tersebut hanya tinggal mereka berdua juga yang masih berada dalam keadaan
sadar. Ting Peg memandang ke arah Cing cing, dan Cing cing memandang ke arah Ting Peng, sorot
mata Ting Peng penuh dengan pancaran sinar gembira dan riang.
Sebaliknya sinar mata yang terpancar ke luar dari balik mata Cing cing sangat kalut.
Tempat ini adalah rumahnya, ia sudah hidup di sini semenjak dilahirkan, semua orang yang
berada di sini adalah sanak keluarganya semua.
Tapi sekarang dia hendak pergi, menuju ke sebuah dunia yang masih amat asing baginya dan
selama hidup tidak kembali lagi, selama hidup tak akan kembali lagi.
Tentu saja perasaannya amat gundah dan kalut. Tentu saja dia tak bisa seperti Ting Peng
yang ingin pergi lantas pergi.
Tiba-tiba Ting Peng menghela napas panjang, katanya:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan didalam hati, aku pun tahu kau pasti tak tega untuk
meninggalkan tempat ini."
Cing-cing segera tertawa paksa.
"Aku memang sedikit merasa berat hati untuk meninggalkan tempat ini, tapi aku lebih berat
hati untuk berpisah denganmu"
Tentu saja Ting Peng tak akan menganjurkan kepadanya untuk tetap tinggal di situ.
Sekalipun dia memiliki niat semacam itu juga tak akan diutarakannya di depan mulut.
Cing cing mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya:
"Apakah kau benar-benar bersedia untuk mengajakku pergi?"
"Tentu saja sungguh-sungguh"
"Bila kau ingin merubah niatmu, sekarang masih belum terlambat, aku akan membiarkan kau
pergi seorang diri" "Aku toh sudah berkata, kemana saja aku akan pergi, kau harus turut bersamaku, ada aku
harus ada kau pula dirimu"
"Kau tidak menyesal?"
?"Mengapa aku harus menyesal?"
Akhirnya Cing cing tertawa, meskipun senyuman itu agak murung dan diliputi kesedihan, tapi
penuh dengan pancaran sinar merah yang hangat.
Bagi seorang perempuan apa yang paling diharapkan tidak lain adalah seorang yang bisa
mencintainya selama hidup dan berada bersamanya sepanjang masa.
Entah perempuan itu seorang manusia atau Rase, semuanya adalah sama saja.
Tapi sesaat sebelum pergi, dia masih tak tega untuk berpaling kembali dan mengawasi
neneknya yang meski keren tapi berhati mulia itu.
Tak tahan ia menjatuhkan diri berlutut dan mencium pipi neneknya, yang penuh berkeriput itu
dengan penuh kasih sayang.
Perpisahan ini mungkin akan menjadi suatu perpisahan untuk selamanya, bahkan Ting Peng
sendiripun merasa agak sedih dalam hatinya, tak tahan ia lantas berseru:
"Jika kita ingin pergi, lebih baik berangkat lebih cepat, daripada mereka keburu sadar. ."
"Mereka tak akan sadar secepat itu."
Sambil bangkit berdiri, terusnya:
"Arak ini dibuat kakekku menurut suatu resep rahasia, sekalipun dewa yang minum arak ini,
diapun harus menunggu sampai enam jam kemudian baru bisa sadar kembali"
Ting Peng segera menghela napas panjang:
"Bila ada waktu selama enam jam, hal ini sudah lebih dari cukup untuk kita!"
Baru selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar seseorang tertawa tergelak.
"Haaahh. . . haaahh. . . haaahh. . . benar, enam jam pun sudah lebih dari cukup. . . "
Setiap orang bisa tertawa. Setiap hari pasti ada orang sedang tertawa, dimana saja pasti ada
orang sedang tertawa. Tapi Ting Peng belum pernah mendengar gelak tertawa semacam ini, bahkan mimpipun tak
pernah menduga kalau di dunia ini bisa terdapat gelak tertawa semacam ini.
Suara tertawanya tinggi melengking dan amat nyaring, seolah-olah ada beribu-ribu orang yang
sedang tertawa bersama. Tawa itu sebentar berkumandang di sebelah timur, sebentar di sebelah barat, seakan-akan
dari empat arah delapan penjuru ada orang sedang tertawa bersama.
Tapi suara tertawa itu justru berasal dari mulut seseorang yang sama, sudah jelas berasal dari
mulut satu orang. Karena Ting Peng telah menyaksikan kemunculan orang itu.
Dia adalah seorang kakek berjubah hitam yang kurus kering dan bertubuh hitam pekat.
Pintu depan sebenarnya tiada manusia, seorang mamusia tak ada.
Tapi kakek berjubah hitam itu justru berdiri didepan pintu ketika itu. . .
Ting Peng bukan seorang yang buta, matanya belum kabur, tapi justru ia tidak menyaksikan
sedari kapankah kakek itu menampakkan diri" Lebih-lebih lagi dari manakah dia munculkan diri"
Dalam waktu singkat tahu-tahu ia sudah berdiri di situ.
Suara gelak tertawanya belum berhenti, cawan dan mangkuk yang berada di atas meja kena
tergetar keras sehingga berbunyi dentingan nyaring, malah ada beberapa buah diantaranya yang
tergetar sehingga hancur berantakan.
Ting Peng merasakan bukan cuma telinganya saja yang tergetar keras sehingga terasa sakit,
bahkan benaknya seolah-olah mau meledak rasanya tak tahan.
Asalkan bisa membuat kakek itu menghentikan gelak tertawanya, dia disuruh melakukan apa
saja pemuda itupun bersedia.
Belum pernah ia menyangka kalau didunia ini masih terdapat suara gelak tertawa yang
memiliki kekuatan demikian menakut-kannya.
Paras muka Cing cing pucat pias, sinar matanya memancarkan rasa ngeri dan kaget yang luar
biasa, tiba-tiba ia membentak:
"Apa yang sedang kau tertawakan?"
Meskipun suaranya lembut dan tajam, ibaratnya sebatang jarum yang tiba-tiba menyusup
masuk ke balik tertawa tersebut.
Kakek berjubah hitam itu masih juga tertawa tergelak, katanya:
"Delapan ekor rase kecil itu semuanya berilmu hebat, si rase betina inipun bukan lentera yang
kekurangan minyak, jika aku harus merobohkan mereka satu per satu, sesungguhnya hal ini
bukan suatu pekerjaan yang gampang, sungguh tak nyana ada orang yang telah melicinkan jalan
bagiku" haaha. . . haha. . dengan demikian akupun tak usah repot-repot lagi" .
Paras muka Cing cing berubah hebat, dengan suara keras teriaknya:
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah kau" Mau apa datang kemari?"
Akhirnya kakek berjubah hitam itu menghentikan juga gelak tertawanya, dengan dingin ia
berkata: "Aku datang untuk menguliti kulit rase kalian, akan kupakai kulit-kulit rase kalian itu untuk
membuatkan beberapa stel pakaian untuk cucuku.
Cing cing tertawa dingin, tiba-tiba ia turun tangan dan mencabut keluar golok lengkung yang
tersoren di pinggang Ting Peng itu.
Cahaya golok yang berwarna hijau dan berbentuk melengkung itu pada mulanya masih mirip
sebuah bulan sabit, tapi dalam waktu singkat telah berubah menjadi sekilas cahaya bianglala yang
menyambar ke muka dengan cepatnya.
Ting Peng cukup memahami daya kekuatan yang terpancar dari balik golok tersebut, dia
percaya di dunia ini masih belum ada seorang manusiapun yang sanggup menyambut bacokan
tersebut. Sayang dia telah salah menyangka.
Ujung baju si kakek berjubah hitam itu segera menggulung ke depan bagaikan segumpal awan
hitam, secara tiba-tiba saja awan hitam itu meluncur ke depan dan menyambar cahaya bianglala
tersebut. Cing cing segera berjumpalitan ditengah udara dan terpental sejauh tiga kaki lebih dari tempat
semula, sewaktu melayang turun ke atas tanah, ia tak sanggup berdiri tegak lagi..
Kakek berjubah hitam itu tertawa dingin, katanya:
"Bila mengandalkan sedikit kepandaian yang dimiliki kau si rase kecil, masih jauh bila ingin
digunakan untuk membunuhku"
Paras muka Cing-cing berubah hebat selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang. Di
belakang meja masih terdapat sebuah pintu rahasia.
Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata:
"Apakah kau hendak pergi mencari si rase tua itu" Jangan lupa bulan tujuh tanggal lima belas
tepat tengah malam saat itu ia sedang berada dalam keadaan yang paling gawat, sekalipun aku
menyayati kulit badanmu di hadapannya dia juga tak akan berani sembarangan bergerak kalau
tidak ia pasti akan mengalami jalan api menuju neraka, kalau sampai demikian keadaannya akan
payahlah keadaannya"
Cing-cing tentu saja tak akan lupa dengan keadaan tersebut.
Kini paras mukanya sudah pucat pias tak berdarah lagi.
Ia tahu mereka tak akan terlepas dari bencana besar ini.
Mendadak kakek berjubah hitam itu membalikkan badannya menatap ke arah Ting Peng,
kemudian katanya: Kau adalah manusia rase!"
Ting Peng tak dapat menyangkal.
Kembali kakek itu berkata.
"Aku hanva akan membunuh rase, tidak membunuh manusia"
Kemudian sambil mengulapkan tangannya dia berkata:
"Pergilah dari sini, lebih baik cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini, jangan sampai
menunggu aku berubah pikiran lagi"
Ting Peng tertegun, ia benar-benar tidak menyangka kalau kakek tersebut bersedia
melepaskan dirinya. Dia adalah manusia, bukan rase, kakek itu datang untuk membantai rase, sudah barang tentu
sama sekali tak ada hubungan atau sangkut paut dengannya.
Sekarang dia masih muda, dia telah menguasahi serangkaian ilmu silat yang maha dahsyat,
dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang ia masih sanggup untuk merajai dunia persilatan
dan mengangkat nama besarnya agar disegani orang.
Asal dia kembali ke alam manusia, dengan cepatnya semua cita-cita yang diimpikan selama ini
akan terwujud. Sekarang kakek itu bersedia melepaskan dirinya, tentu saja dia harus pergi.
Dengan suara dingin kakek berjubah hitam itu berkata lagi.
"Mengapa kau belum juga pergi" Apakah kau juga ingin menemaninya untuk mati bersama?"
"Benar! " tiba-tiba Ting Peng menjawab dengan suara lantang.
Mendadak dia melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, sambil menghadang di
hadapan Cing-cing serunya:
"Bila kau ingin membunuhnya, kau harus membinasakan diriku lebih dahulu!"
Sekujur badan Cing-cing menjadi lemas, karena seluruh badannya seolah-olah melumer dan
bersatu dengan tubuh Ting Peng.
Ia menatapnya lekat-lekat, entah harus menangiskah" Atau tertawa".
Perasaan girang, kaget dan berterima kasih bercampur aduk dalam hatinya dan kemudian
tumbuh suatu perasaan cinta yang teramat sangat besarnya........
Air matanya kembali bercucuran, serunya:
"Benarkah kau bersedia untuk mati bersamaku?"
"Aku sudah berkata, ada kau ada pula aku, entah kemana saja kau pergi, aku akan selalu
mendampingimu!" "Kau benar-benar hendak menemaninya untuk mampus?" seru kakek berbaju hitam itu.
Kakek berjubah hitam itu segera tertawa dingin.
"Hmm . . . kalau kau ingin mampus, ini gampang sekali untuk di wujudkan....." "
"Belum tentu gampang!" teriak Ting Peng. Tiba-tiba ia menubruk ke depan dengan
mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki-nya, ia menerjang ke arah kakek berjubah hitam itu
dengan garangnya. Dia sudah bukan Ting Peng empat tahun yang lalu.
Gerakan tubuhnya begitu enteng dan lincah, serangannya begitu cepat dan tepat, ilmu silat
yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak berada di bawah kepandaian silat jago nomor wahid
dari manapun. Perduli kakek ini adalah manusia atau setan" Atau rase" Bila ingin membunuhnya, hal ini tak
akan bisa dilakukannya dengan gampang.
Sayang dia kembali salah sangka.
Baru saja tubuhnya menubruk ke depan, dia menyaksikan ada sekuntum awan hitam yang
menyambar datang, dia ingin menghindar, akan tetapi tak mampu dilakukannya.
Kemudian ia terjerumus kembali dalam kegelapan, kegelapan yang tidak bertepian, suatu
kegelapan yang seakan-akan tak pernah berakhir.
Dari balik kegelapan tiba-tiba terpercik setitik cahaya sinar rembulan, bulan yang sedang
purnama. Ting Peng membuka matanya lebar-lebar, ia menyaksikan sebuah bulan yang purnama
tergantung di atas awang-awang, diapun menyaksikan sepasang mata yang jeli dan lembut
sedang mengawasinya. Baik di atas langit Ataukah di atas bumi" Tak akan bisa dijumpai mata kedua yang lebih jeli
dan lembut daripada sinar mata itu.
Cing-cing masih berada di sisinya.
Baik dia sudah mati atau masih hidup"
Baik dia ada di atas langit" Atau dalam bumi, Cing-cing tetap berada di sisinya.
Sinar mata Cing-cing begitu jeli, diantara kelopak matanya masih tampak titik air mata.
Sepasang mata tersebut, bulan yang purnama itu serta pemandangan yang dihadapinya
sekarang hampir sama dengan pemandangan yang disaksikannya ketika baru mati di ujung
pedang si kakek kerdil yang berjubah emas dengan jenggot berwarna emas itu.
Tapi waktu itu dia belum mati.
Bagaimana dengan kali ini"
Kali ini diapun tidak mati.
Bukan saja dia tidak mati, Cing-cing juga tidak mati, apakah kakek berbaju hitam yang
menakutkan itu telah melepaskan mereka"
Apakah karena mereka amat mencintai satu sama lain, karena mereka saling mencintai
dengan tulus hati, maka orang itu menjadi terharu dan mengampuni jiwaku"
"Aku benar-benar belum mati?" Ting Peng bertanya.
"Aku masih hidup, mengapa kau bisa mati, kalau kau sudah mati, apakah aku bisa hidup
seorang diri?" Titik air mata masih menghiasi wajahnya, tentu saja air mata kegirangan, lanjutnya:
"Asalkan kita berada bersama, kita tak bakal mati!, kita akan hidup bersama terus sepanjang
masa" "Tapi aku tidak habis mengerti?" seru Ting Peng.
"Persoalan apakah yang tidak kau pahami"
"Aku tidak habis mengerti mengapa makhluk tua berjubah hitam itu bersedia melepaskan kita
berdua?"" Cing-cing segera tertawa.
Dari wajahnya yang penuh senyuman itu terkilas cahaya air mata, sahutnya dengan cepat:
?"Sebab makhluk tua itu bukan sungguhan"
"Siapakah dia?"
"Dia adalah kakekku"
Ting Peng semakin tidak mengerti.
Cing-cing berkata kembali:
"Kakekku tahu bahwa cepat atau lambat kau pasti ingin pergi, semua gerak gerik kita diketahui
pula olehnya oleh karena itu ia telah bertaruh dengan nenek!"
?"Apa yang mereka pertaruhkan?"
?"Kalau kau sungguh-sungguh amat baik kepadaku, seandainya kau masih bersedia mati
untukku, dia akan membiarkan kita berdua untuk pergi dari sini"
Ia tidak berkata lebih jauh, diapun tak perlu berkata lebih lanjut.
Jelaslah sudah bahwa peristiwa itu tak lebih hanya suatu percobaan, suatu percobaan untuk
Ting Peng apakah dia sungguh-sungguh amat mencintai Cing cing"
Seandainya didalam mara bahaya Ting Peng meninggalkan gadis itu, maka tak bisa disangkal
lagi saat ini Ting Peng sudah menjadi sesosok mayat .....
Cing cing menggenggam tangannya erat-erat. Dibalik telapak tangan Ting Peng ada keringat,
tentu saja keringat dingin.
"Sekarang mereka baru percaya bahwa kau sama sekali tidak membohongi diriku" ujar Cingcing
lembut "perduli kemanapun kau akan pergi, tak mungkin akan meninggalkan diriku, oleh
sebab itu mereka baru bersedia untuk membiarkan aku pergi bersamamu.
Ting peng mengerdipkan matanya beberapa kali kemudian bertanya..
"Kita berada dimana sekarang"
"Kita sudah berada di alam manusia"
"Kita benar-benar sudah kembali ke alam manusia?"
"Yaa, benar!" Untuk pertama kalinya Ting Peng merasakan alam manusia ternyata begitu indah begitu
menarik hati. Sebenarnya ia sudah bosan hidup di dunia ini, sudah tak ingin hidup lebih jauh, sekarang dia
baru menyadari bahwa kehidupan sesungguhnya adalah begitu indah dan menawan, asal
seseorang masih dapat hidup. hal ini sudah merupakan sesuatu kejadian yang pantas untuk
dirayakan.. Rembulan yang purnama kini sudah makin memudar.
Langit yang gelap sudah mulai terpercik setitik cahaya putih, dari kejauhan sana kedengaran
suara manusia. Tangisan bayi, omelan ibunya, suara air yang ditimba dari dalam sumur, suara dentingan kuali
yang mulai mengepul asap, suara istri yang membangunkan suaminya untuk segera turun ke
sawah, suara sang suami yang mencari sepatunya dikolong ranjang, suara bisikan mesrah dari
suami istri muda, suara cekcok suami istri yang telah lanjut usia, masih ada pula suara kokokan
ayam, gonggongan anjing ....
Semua suara tersebut penuh terkandung suatu gerak perjuangan dari kehidupan, penuh
mengandung cinta kasih seorang manusia terhadap lainnya ........
Dari sekian banyak suara-suara itu, ada yang bisa didengar oleh Ting Peng. ada pula yang
tidak terdengar, walaupun telinganya tidak mendengar, dalam hatinya dapat merasakan.
Sebab suara-suara itu sebenarnya adalah suara-suara yang sangat hapal didalam
pendengarannya. Di dusun kelahirannya, dalam sebuah rumah yang sederhana dan kecil, setiap pagi ia bangun
dari tidurnya dan harus dibantu ibunya untuk mengenakan pakaian, dia sudah mulai mendengar
suara-suara semacam itu. Tiba-tiba Ting Peng berkata.
"Aku harus pergi menengok ibuku lebih dahulu!"
Pada saat dia mengucapkan kata-kata tersebut, mendadak dia teringat pula persoalanpersoalan
yang tidak seharusnya dia pikirkan.
Istrinya adalah rase. Bagaimana mungkin ia bisa membawa seorang istri rase untuk pergi menjumpai ibunya yang
sudah tua dan lagi kolot itu"
Tapi bagaimanapun juga dia harus membawanya untuk pergi menjumpainya.
Cing-cing menundukkan kepalanya rendah-rendah. Dia memang memiliki perasaan yang jauh
lebih tajam daripada manusia biasa, sekarang dia sudah dapat merasakan apa yang sedang
dipikirkan pemuda itu. Pelan-pelan diapun bertanya:
Dapatkah kau membawa serta diriku?"
"Aku pasti akan membawa serta dirimu", Ting Peng berjanji.
Terbayang bagaimana ia telah mencintai-nya sepenuh hati, teringat sebagaimana gadis itu
telah berkorban untuknya, tak tahan lagi ia memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang, katanya:
"Aku toh pernah berkata, entah kemanapun aku hendak pergi, aku pasti akan membawa serta
dirimu." Cing-cing mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya, sinar mata itu penuh
dengan perasaan cinta dan rasa terima kasih.
Tentu saja aku harus pergi menjumpai ibumu, tapi aku tak ingin bertemu dengan orang-orang
yang lain, di kemudian hari entah siapa saja yang ingin kau jumpai, lebih baik aku tak ikut
menampakkan diri" "Kenapa?" Cing-cing tertawa paksa. "Kau harus tahu mengapa aku berbuat demikian?".
"Tapi orang lain tak akan mengetahui kalau kau ...."
"Aku tahu, orang lain tak akan mengetahui kalau aku adalah rase, akan tetapi. . . . entah
bagaimanapun juga, aku toh tetap rase, kalau bisa tidak berjumpa dengan orang biasa, lebih baik
jangan bertemu muka."
Agaknya dia masih mempunyai kesulitan, bagaimanapun juga bila seorang secara tiba-tiba
berkunjung ke suatu dunia yang masih asing baginya, tak bisa dihindari lagi, ia pasti mempunyai
kesulitan yang sukar di ungkapkannya dengan kata-kata.
Ting Peng segera menggenggam tangannya dan berkata dengan lembut.
"Asal pekerjaan tersebut tak ingin kau lakukan, aku tak akan memaksamu untuk
melakukannya. Cing-cing tertawa, katanya pula:
"Tapi ada kalanya aku pasti akan memaksamu, bahkan pasti akan memaksamu untuk
menuruti perkataanku"
Ia tidak membiarkan Ting Peng membuka suara, kembali tanyanya:
"Setelah menjumpai Ibumu, apa yang hendak kau lakukan?"
Ting Peng tidak menjawab.
Darah didalam tubuhnya mulai mendidih, suatu ambisi yang besar mulai menyelimuti
benaknya, masih banyak urusan yang harus dia kerjakan setelah itu.
Kata Cing-cing: "Aku tahu kau hendak melakukan apa saja, bukan saja kau hendak mengangkat nama,
kaupun hendak melampiaskan rasa mendongkol dan dendam yang selama ini terpendam dalam
hatimu." Ting Peng mengakuinya. Fitnahan yang dialaminya selama ini harus dicuci bersih, cemoohan serta penghinaan yang
dialaminya selama ini juga harus di balas, persoalan-persoalan semacam ini belum pernah
dilupakan barang seharipun.
"Sebelum kita berangkat tadi, berulangkali kakek telah berpesan, jika kau ingin menjadi tenar
dan membalas dendam, ada beberapa hal perlu kau ingat"
"Apa saja cepat katakan!"
"Apabila tidak sampai pada keadaan yang terpaksa, kau jangan sekali kali turun tangan, bila
pihak lawan adalah seseorang yang tidak berharga bagimu untuk turun tangan, kaupun jangan
sekali-kali turun tangan"
Setelah berhenti sebentar kembali dia menambahkan.
"Ketika turun tangan untuk pertama kalinya, kau harus memilih seorang sasaran yang baik dan
cermat, asal kau bisa mengalahkannya maka namamu segera akan tenar di seluruh dunia
persilatan, maka kaupun tak usah pergi mengikat tali permusuhan lagi dengan orang lain. .
Ia menjelaskan lebih jauh:
?"Karena kata kakek, bagaimanapun lihaynya ilmu silatmu, bagaimanapun tenarnya namamu,
bila terlalu banyak musuh yang kau ikat, maka cepat atau lambat suatu hari kau masih akan
dipaksa orang untuk melalui jalan buntu."
"Aku dapat memahami maksud hati dia orang tua, aku pasti akan baik-baik menuruti
perkataannya." "Oleh sebab itu bila kau turun tangan, janganlah terlalu tak berperasaan apalagi melakukan
pembunuhan yang berakibat mengalirnya darah..."
Ia berkata lebih jauh dengan nada bersungguh-sungguh:
"Bila kau ingin orang lain betul-betul menghormatimu, kau harus menyediakan sebuah jalan
kehidupan baginya" "Aku mengerti."
"Masih ada satu hal yang lebih penting lagi!"
"Persoalan apakah itu?"
Golok lengkung yang berwarna hijau pupus itu masih tergantung di atas pinggangnya.
Cing cing berkata lebih jauh:
"Golok ini adalah pemberian nenekku, maka kakek mengijinkan kau untuk membawanya
keluar, akan tetapi bila keadaan tidak sampai terpaksa, kau dilarang mempergunakan golok ini"
Sikapnya menjadi lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi katanya lebih jauh:
"Bila kau ingin mempergunakan golok ini, maka kau harus membuat musuhmu tewas di ujung
golok tersebut, asal golok telah diloloskan dari sarungnya maka kau tak boleh membiarkan
lawanmu berada dalam keadaan hidup. . . . "
"Bila lawanku bukan orang yang harus kubunuh, jika lawan belum memojokkan aku, aku tak
Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
boleh menggunakan golok ini?" "
"Yaa sama sekali tak boleh!"
Setelah tertawa dia melanjutkan:
"Tapi kau tak usah kuatir, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang golok macam apa
saja yang kau gunakan kau masih tak terkalahkan di dunia ini"
Sementara itu fajar telah menyingsing, cahaya matahari yang berwarna keemas-emasan telah
memancarkan sinarnya ke empat penjuru.
ooooo0ooooo KEHIDUPAN DI ALAM MANUSIA
SINAR rembulan lewat Cahaya golok memancar. Malang melintang sepuluh laksa li.
Cahaya golok dingin bagaikan salju.
Di sana sini terdengar rintihan hujan.
Bulan sepuluh, fajar baru menyingsing.
Liu Yok siong membuka daun jendela dalam kamarnya, membiarkan sinar matahari yang
berwarna ke emas emasan memancar masuk ke dalam ruangan, udara amat cerah dan segar, tak
bisa disangkal hari ini udara amat cerah.
Ia termasuk shio anjing, tahun ini berusia empat puluh tujuh tahun, wajahnya masih belum
tampak banyak kerutan, kekuatan badannya masih tetap dalam kondisi seperti pemuda kekar
yang lain, bukan saja masih tertarik dalam soal perempuan, perempuan-pun tertarik pula
kepadanya. Ia kaya raya, sehat dan tampan, apalagi belakangan ini nama besarnya makin harum dalam
dunia persilatan, seringkali ada orang yang menyebutnya sebagai "Tayhiap", semua orang yang
kenal maupun tak kenal kepadanya rata-rata menaruh hormat kepada dirinya.
Temannya tak terhitung jumlahnya, tingkat kedudukan, kekayaan dan nama besarnya meski
tidak melebihinya, tapi mereka bisa mengimbangi pergaulan dengannya, setiap kali musim gugur
tiba, mereka selalu berdatangan untuk bersama-sama melewat-kan suatu penghidupan yang
segar dan riang gembira. Kemana saja dia berada, selamanya orang selalu menyambut kedatangannya dengan segala
kehormatan. Dia percaya seandainya partai Bu-tong mengijinkan seorang murid premannya menjadi ketua
perguruan, dialah yang akan dipilih.
Sebenarnya hal tersebut hanya merupakan suatu angan-angan, tapi sekarang tampaknya
sudah ada kemungkinan untuk merubahnya menjadi kenyataan..
Perkampungan Siang siong san-ceng menempati suatu area tanah yang sangat luas,
pemandangan alamnya sangat indah dan merupakan suatu perkampungan yang amat tersohor
dalam dunia persilatan. Istrinya juga terhitung sebagai wanita cantik yang ternama dalam dunia persilatan, bahkan
cerdik dan pandai bekerja.
Hubungan mereka sebagai suami istri selamanya baik, bila ia menjumpai kesulitan, entah
persoalan apapun yang dihadapi, istrinya pasti akan membantu untuk menyelesaikannya.
Asal seorang lelaki yang mampu untuk memilikinya, hampir seluruhnya dimilikinya pula,
bahkan dia sendiripun merasa amat puas dengan hal ini . . . . .
Tapi belakangan ini justru timbul suatu persoalan yang membuatnya merasa kurang begitu
senang. Bangunan yang ditempatinya ini terletak di bagian yang paling tinggi dalam perkampungan
Siang-siong san-ceng, asal ia membuka jendela maka akan terlihatlah bukit nan hijau di seberang
sana, pepohonan rindang, rerumputan nan hijau menambah semaraknya suasana di sekeliling
sana. Setiap kali berada dalam keadaan begini, dalam hatinya segera akan timbul suatu perasaan
seakan-akan di atas langit di atas bumi, dialah pemimpin yang paling "berkuasa", sekalipun
diwaktu-waktu semacam itu dalam hatinya terdapat sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya,
dia akan melupakannya dengan segera.
Sungguh tak disangka belakangan ini terjadi sesuatu perubahan di atas tanah perbukitan itu.
Setiap pagi hari, di atas bukit di seberang sana tentu akan kedengaran suara bunyi-bunyian
yang memekikkan telinga, bukan saja memecahkan ketenangan hidupnya, juga membuat
sepanjang hari merasa tak tenang dia merasa kehormatannya seakan-akan di singgung orang.
Sebab bangunan perkampungan yang sedang dibangun di atas tanah perbukitan di seberang
sana bukan saja dibangun lebih megah dan mentereng, bahkan menempati area tanah yang jauh
lebih besar daripada perkampungan Siang siong san-ceng.
Semua tukang kayu, ahli bangunan, tukang pahat dan ahli ukir yang paling tersohor disekitar
dua sungai besar, wilayah Kwan Tong, Say pak bahkan dari wilayah Kanglam sana, semuanya
telah diundang kemari untuk menyelesaikan bangunan tersebut.
Tenaga kerja yang dikerahkan untuk mendirikan bangunan rumah itu pun dua puluh kali lipat
lebih banyak jika dibandingkan sewaktu membangun perkampungan Siang siong san-ceng dimasa
lalu. Jumlah pekerja yang lebih banyak tentu mempermudah pekerjaan, sudah barang tentu
bangunan itupun bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
Setiap pagi bila Lui Yok siong membuka jendela untuk memandang ke bukit seberang, dia
akan menjumpai di atas bukit tersebut kalau bukan telah bertambah dengan sebuah gardu, tentu
bertambah dengan sebuah bangunan berloteng, atau sebuah kolam renang, atau mungkin juga
sebuah hutan bunga yang rimbun dan indah.
Seandainya ia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pada hakekatnya dia akan
menganggap suatu keajaiban telah berlangsung di tempat itu.
Arsitek yang mengawasi pembangunan perkampungan itu adalah seorang congkoan she Lui,
dia adalah Ji ciangkwee dari rumah Yang cu lui di ibu kota.
Dari deretan ahli bangunan sepanjang sejarah, yang termasyhur dan paling ternama adalah
keluarga Lui dari ibu kota, bahkan sewaktu membangun ruangan dalam istana kerajaan pun
arsitek pembangunannya diserahkan kepada keluarga Lui.
Menurut pengakuan Lui congkoan, pemilik dari bangunan yang megah ini adalah seorang
"Ting kongcu" Ting kongcu ini menetapkan pada bulan dua belas tanggal lima belas nanti untuk
menyelenggarakan pesta perjamuan dalam perkampungan barunya itu.
Maka bangunan ini harus sudah dibangun selesai sebelum bulan dua belas tanggal lima belas
nanti. Asal bangunan tersebut bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, ia tak
sayang untuk membayar berapa pun yang diminta, soal uang baginya adalah bukan suatu
persoalan.. Ia telah membuka nota di empat buah rumah uang (Bank) yang paling besar di ibu kota, asal
Lui congkoan membuka bon, uang kontan segera dapat diambil.
Lui Congkoan sudah seringkali bertemu dengan orang-orang dari kalangan atas, tapi dia toh
berkata juga. "Keroyalan Ting kongcu ini pada hakekatnya belum pernah dijumpai sepanjang hidup"
Sesungguhnya siapakah Ting kongcu itu" Dia berasal darimana" Mengapa bisa memiliki gaya
serta tingkah laku yang begitu besar! Apalagi begitu royal dalam menggunakan uang.
Liu Yok siong sudah tak tahan untuk membendung rasa ingin tahunya lagi.
Dia bertekad hendak menyelidiki asal usul Ting kongcu ini secermat-cermatnya kemudian
membongkar sampai ke akar-akarnya.
Bila ia sudah bertekad untuk melakukan suatu pekerjaan, dia pasti akan melakukannya
dengan sukses. Dia telah menyerahkan pekerjaan ini kepada istrinya untuk dilaksanakan, Liu hujin tak pernah
memberi kekecewaan baginya, walau didalam pekerjaan apapun.
0000000 SEBELUM menikah dulu Liu hujin bernama Ko cin.
Jadi dia bukan bernama Ko-siau (menggelikan), tapi Ko cin (patut dikasihani).
Lengkapnya dia bernama Chin Ko cin.
Liu hujin juga termasuk shio anjing, dua belas tahun lebih muda dari pada Liu Yok-siong, tahun
ini berusia tiga puluh lima tahun.
Tapi sekalipun seseorang yang memiliki ketajaman mata yang luar biasapun tak akan mampu
untuk menebak secara jitu berapakah usia perempuan itu yang sesungguhnya.
Dia masih memiliki pinggang yang ramping dan lembut kulitnya masih putih halus
*************************
Halaman 59 s/d 64 hilang *************************
(Bersambung ke Jilid 5) Jilid : 5 WALAUPUN ia selalu beranggapan bahwa pengorbanan yang dia berikan cukup berharga tapi
sekarang toh timbul juga perasaan kecut dalam hati kecilnya, dengan hambar dia berkata:
?"Sungguh tak kusangka ternyata dia belum mati, apakah kau merasa gembira sekali" Liu
hujin segera menarik muka sambiltertawa dingin.
"Heeehhh. . . heeehhh. . . heeehhh. . . apa yang harus kugembirakan" Orang yang dia paling
benci bukan kau melainkan aku!"
Liu Yok siong menghela napas panjang katanya:
"Kalau dia belum mati, cepat atau lambat pasti akan datang mencari kita, tapi aku benar-benar
tidak habis mengerti, seorang bocah rudin semacam dia, mengapa secara tiba-tiba bisa berubah
menjadi begitu kaya raya ?"
"Kalau tidak mati dalam kesusahan, di kemudian hari pasti akan menjumpai rejeki besar,
ternyata tempo hari ia berhasil melarikan diri dan kita gagal untuk menemukannya, itu berarti
bocah tersebut mempunyai nasib yang cukup baik, orang yang sedang bernasib baik, sekalipun
sedang berjalan-jalan, kemungkinan besar juga akan menemukan sebongkah emas murni"
Tentu saja kata-kata semacam itu hanya kata-kata orang yang sedang mendongkol.
Dikala seorang perempuan sedang marah lebih baik jangan sekali-kali ia digubris.
Seorang lelaki yang pintar semuanya tahu akan cara ini, Liu Yok sioug termasuk seorang lelaki
yang pintar. Ia segera memejamkan mulutnya rapat-rapat.
Sampai akhirnya orang yang akan buka suara lebih dahulu tentu saja masih pihak perempuan,
sebab perempuan memang agak tak mampu menguasahi diri.
Akhirnya Lui hujin tak tahan untuk berkata kembali:
"Herannya kalau toh tujuan kedatangan-nya adalah untuk membuat perhitungan dengan kita,
mengapa ia tidak mencari kita secara terang terangan"
Mengapa ia harus membangun dulu sebuah perkampungan yang amat besar di seberang
rumah kita" Sebenarnya rencana busuk apakah yang sedang dipersiapkan olehnya?"
Hati manusia terletak dibalik perut, apa yang sedang dipikirkan manusia hidup, jangan harap
orang lain dapat menduganya"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Liu hujin, segera dia bertanya dengan wajah berseri:
"Andaikata orang hidup itu mendadak menjadi mampus?"
Liu Yok siong segera tersenyum.
"Seandainya seseorang sudah mampus, sekalipun dia mempunyai rencana besar juga
percuma" Liu hujin turut menghela napas panjang:
"Aaai. . . sayang sekali dia tak akan bisa mati, kalau toh ia bisa hidup sampai sekarang, kalau
menginginkan dia mati tentu saja hal ini bukan sesuatu yang mudah"
"Sekalipun tidak terlalu mudah, tidak berarti terlalu susah"
"Ooooh!." Sejak peristiwa itu sampai sekarang empat tahun baru lewat, bila nasib seorang lagi mujur,
didalam empat tahun kemungkinan besar dia akan menjadi kaya"
Setelah tersenyum, terusnya:
"Tapi berbeda dengan ilmu silat, untuk mendapat ilmu silat yang amat hebat maka seseorang
Bagus Sajiwo 2 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Pendekar Asmara Tangan Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama