Ceritasilat Novel Online

Hantu Wanita Berambut Putih 1

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Hantu Wanita Berambut Putih
(Pek Hoat Mo Lie) Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT
Selang setengah bulan maka Giok Lo Sat dan Tiat Hoei
Liong sudah laratkan kuda mereka di tanah datar wilayah kota
Sengtouw, Soetjoan. Mereka sama-sama mengenakan
pakaian serba hitam, sedang bulu kuda mereka merah, secara
demikian di mata orang banyak, mereka sangat menyolok
mata sekali, hingga mereka menjadi perhatian umum.
Pernah Hoei Liong menasihati anak angkatnya itu untuk
dandan sebagai satu pemuda, si nona tertawa dan berkata:
"Aku hendak angkat derajatnya kaum wanita, mengapa aku
mesti salin rupa menjadi lelaki?"
Mendengar jawaban itu, Hoei Liong hanya tertawa.
Kedua orang ini bernyali besar, maka itu mereka tak jeri
walaupun mereka menjadi perhatian orang banyak. Mereka
tidak takut terhadap hamba-hamba negeri, sebagaimana
tentunya tak sembarang hamba negeri berani mengganggu
mereka. Pada suatu hari sampailah ayah dan anak angkat itu di
kecamatan Pengkoan, suatu tempat yang terpisah dengan
kota Sengtouw kira-kira seratus lie lebih. Sedangnya mereka
berjalan terus, tiba-tiba si nona bertanya pada ayahnya:
"Ayah, bagaimana penglihatanmu selama dua hari ini"
Dapatkah ayah melihat bahwa di tengah jalan muncul hambahamba
negeri?" Hoei Liong menjawab anak pungut itu dengan caranya
sendiri. Ia kata: "Jikalau orang tidak mengganggu kita, jangan
kita ganggu orang. Kita mempunyai urusan kita sendiri, peduli
apa kita dengan mereka itu?"
"Tapi inilah tidak demikian," sang puteri bilang. "Aku lihat
mereka mirip dengan orang-orang polisi rahasia yang tengah
ditugaskan mencari orang jahat."
"Bukankah kau telah mencuci tangan dan tak ingin lagi
melakukan pekerjaan orang Rimba Hijau," tanya ayahnya.
"Polisi mencari orang jahat, bukankah itu hal yang paling
umum" Kenapa kita mesti pusingkan hati untuk urusan
mereka itu" Mungkinkah kembali tanganmu gatal dan kau
hendak mencari orang untuk diajak bertempur?"
3 Si Raksasi Kumala tertawa.
"Ayah benar!" sahutnya dengan gembira, dengan polos.
"Untuk bertempur juga kau harus mencari lawan yang
seimbang," berkata lagi Tiat Hoei Liong. "Segala orang-orang
polisi bantong! Apakah artinya mereka" Membinasakan
mereka pun tidak ada artinya!"
Tetapi bukan niat sebenarnya dari Giok Lo Sat untuk usilan,
buat tempur orang-orang polisi yang ia tidak kenal itu, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Ia bicara hanya
dengan disengaja, untuk mencari bahan pembicaraan. Sebab
ia tampak, setelah meninggalnya Tiat San Ho, ayah itu jadi
sangat tidak gembira, maka untuk melenyapkan kedukaan
ayah itu, untuk dapat menghibur, atau mengalihkan
perhatiannya, ia cari jalan untuk mengadakan pembicaraan.
Begitulah ia ke mukakan hal sersi-sersi yang sedang mencari
orang jahat. Habis bicara. mereka melanjutkan perjalanan mereka.
Waktu magrib, tibalah mereka di kecamatan Bankoan di mana
mereka segera mencari hotel untuk singgah. Baru mereka
masuk ke dalam rumah penginapan itu, atau si anak angkat
tiba-tiba berkata: "Ayah, aku dapat lihat tanda rahasia yang ditinggalkan oleh
hamba negeri itu!" "Tanda rahasia apakah itu?" tanya Hoei Liong.
"Rupanya orang yang mereka sedang kejar untuk ditawan
itu seorang yang penting," sahut anak-angkatnya. "Di tembok
luar dari rumah penginapan ini ada terlukis gambar seekor
kupu-kupu belang. Itulah tanda dari Ram Thian Lip, sersi
kenamaan dari Sengtouw. Dia biasa menggunakan senjata
rahasia yang beracun, Tokyo Ouwtiap piauw namanya-piauw
Kupukupu Beracun. Siapa terkena piauw itu dan terluka. sukar
untuk dapat ditolong lagi jiwanya. Maka itu dia telah menjadi
satru besarnya kaum Rimba Hijau. Semasa kediamanku di
Benggoat kiap, pernah ada satu sahabat kaum Hektoo yang
mohon bantuanku untuk menyingkirkan dia. Permohonan itu
terpaksa aku tampik, sebabnya ialah, pertama letak Sengtouw
terpisah terlalu jauh dari Benggoat kiap, kedua tentara negeri
sedang mengancam, aku kuatir, begitu aku pergi,
4 pesanggrahanku nanti diserbu. Kam Thian Lip itu juga punya
satu saudara angkat, Tjiauw Hoa namanya, yang kuat dan
liehay ilmu silatnya bagian luar. Dia ini juga menjadi polisi di
Sengtouw. Tanda rahasia polisi itu adalah tanda rahasia dari
Kam Thian Lip untuk Tjiauw Hoa, dengan itu Tjiauw Hoa
dititahkan lekas pergi ke bukit Hoeiho nia untuk mencegat
orang jahat. Umpama orang jahat itu bukannya orang penting,
tidak usah mereka berdua bekerja sama."
"Tapi buat kita, tak peduli penjahat itu orang penting atau
bukan," Hoei Liong kata kemudian. "Untuk kita paling baik
adalah jangan usilan, jangan berbuat yang tidak-tidak. Tempat
ini juga dekat dengan kota Sengtouw, apabila kita lancang
bertindak, pasti kita membuat mereka terkejut, hingga mereka
bisa menjadi musuh kita. Pasti sekali tak usah kita takut tetapi
satu hal sudah pasti, perjalanan kita jadi terhalang."
Si Raksasi Kumala mainkan bibirnya, dia tertawa.
"Aku lihat. ayah. makin lama kau jadi makin penakut?"
katanya. "Siapa bilang aku penakut?" seru Hoei Liong, agaknya dia
gusar. "Tunggu saja nanti, sesampainya kita di kota raja. nanti
kau saksikan!" Giok Lo Sat tertawa. Tidak ia layani ayah itu. Ia memikir
untuk dahar nasi. Di saat ia hendak panggil jongos, untuk
minta barang hidangan disiapkan, tiba-tiba ia dengar ketokan
pada pintu, dua kali, lalu daun pintu ditolak dari luar, kelihatan
masuk pemilik hotel, siapa menutup pintu di belakangnya.
"Nona, apakah nona yang dipanggil Lian Liehiap?" dia
lantas menanya, suaranya perlahan sekali.
Si nona mengawasi dengan tajam.
"Dari mana kau ketahui namaku?" dia balik menanya
sebelumnya ia berikan jawaban.
Tuan rumah itu tidak kaget atau takut, sebaliknya, ia
tertawa. "Inilah tidak aneh, nona." sahutnya. "Aku biasa menyambut
banyak tetamu, tamu-tamu kaum saudagar dan juga kalangan
Hektoo. Baiklah aku bicara terus terang. Umpamanya Tjoe
Tjeetjoe, dia pernah bermalam di sini dan dialah yang telah
menyebutkan nama liehiap..."
5 "Siapakah Tjoe Tjeetjoe itu?" tanya Giok Lo Sat. (Tjeetjoe =
ketua pesanggrahan; kepala berandal).
"Itulah tjeetjoe yang dijuluki Hweeleng wan si Kera Api."
"Oh. Hweeleng wan Tjoe Poo Tjiang!" kata si nona.
"Apakah dia berkedudukan di dekat sini?"
"Benar, nona." Dengan perlahan-lahan tuan rumah itu rogoh sakunya lalu
ia keluarkan sepucuk surat, untuk diserahkan pada tetamunya.
"Adakah surat ini dari dia untuk aku?" si nona tanya.
Sekarang ia ingat betul, Hweeleng wan itu dahulu adalah
salah satu berandal dari perbatasan Soetjoan dan pernah
mengambil bagian dalam usaha perampasan pelananya Ong
Tjiauw Hie. "Bukan, nona, ini adalah dari satu tetamu lainnya. Mulanya
dia menyebutkan nama Tjoe Tjeetjoe, dia berniat mengirimkan
surat ini kepada tjeetjoe itu, belakangan dia ubah pikiran,
ditinggalkannya surat ini padaku untuk diserahkan kepada
nona." Si Raksasi Kumala heran. "Tetapi siapakah itu?" dia tanya. "Kenapa dia pun ketahui
aku ada di sini?" Tuan rumah itu tertawa pula.
"Dalam kedua propinsi Soetjoan dan Siamsay ini. dalam
kalangan Hektoo, siapakah yang tidak kenal pada liehiap?"
kata dia. "Belum lagi nona sampai di sini, anginnya sudah tiba
terlebih dahulu! Di tempat kecil begini, adalah rumahku ini
yang dianggap lumayan, dan tetamu itu menduga, jikalau
nona datang kemari, pasti sekali nona akan ambil tempat di
sini. Kecuali jikalau nona tidak jadi datang..."
Giok Lo Sat tersenyum mendengar ocehan orang itu.
"Baiklah," katanya. "Ingin aku ketahui, dia siapa!"
Dan ia terima surat yang diangsurkan si pemilik hotel itu,
lalu dirobek sampulnya, untuk membeber suratnya. Segera ia
tampak lukisan dari sebelah tangan, tangan yang berlumuran
darah segar, tapi tulisan tidak ada dalam surat ini.
"Ha, kiranya dia!" kata si nona. "Sebenarnya apa yang telah
terjadi padanya" Kau bicaralah!"
6 "Dia tidak bilang suatu apa, aku juga tidak berani
menanyakan," sahut tuan rumah. "Dia baru selesai melukis
atau di luar segera terdengar suaranya kelenengan kuda,
dengan segera dia serahkan ini kepadaku, dia sendiri kabur
dengan mengambil jalan tembok belakang..."
"Oh, begitu" Pantas, satu hurufpun tak ada dalam
suratnya. Kemudian, orang polisi yang datang itu, bukankah
dia Ouwtiap piauw Kam Thian Lip?"
Tuan rumah itu heran. "Benar dia, nona! Dari mana nona ketahui dia?" ia tanya.
"Dia itu datang bersama satu hamba negara lainnya."
"Dia telah meninggalkan tanda rahasia di tembok luarmu!"
kata si nona. Tuan rumah itu kaget sekali, sampai berjingkrak.
"Apa?" tanyanya, takut. "Apakah dia tahu yang aku ini
mempunyai hubungan dengan sahabat-sahabat kalangan
Jalan Hitam?" "Bukan," si nona menghibur. "Dia hanya meninggalkan
tanda kepada kawannya, yang dia anjurkan untuk menyusul
tetamu itu." Tuan rumah itu berdiam, walaupun hatinya lega.
"Eh, ya, apakah kau tahu di mana, letaknya Hoeiho nia?"
tanya nona kita kemudian.
Pemilik hotel itu manggut.
"Jauhnya dari sini cuma sepuluh lie lebih," dia berikan
keterangannya. "Letaknya ialah di jalan kecil ke Soetjoan
Barat." "Baiklah," kata si nona akhirnya. "Sekarang kau lekas
sediakan beberapa rupa masakan untuk orang tuaku ini,
seperti ayam, bebek dan daging." Dan ia menyebutkan namanamanya,
sesudah mana ia berpaling pada ayahnya:
"bukankah semua itu kedoyanan ayah?" Lalu ia tambahkan:
"Lain dari itu, jangan lupa sediakan satu poci arak!"
Tuan rumah itu, menyahut sambil manggut-manggut. Di
samping itu, ia heran menyaksikan si nona berlaku sangat
hormat kepada orang tua itu, yang berulang kali dipanggil
"ayah". 7 Si Raksasi Kumala tersenyum melihat gerak-geriknya
pemilik hotel itu. "Semua sahabat kangouw memanggil aku Giok Lo Sat,"
katanya kemudian pada tuan rumah itu, sambil tertawa,
"karenanya, kau pun baik panggil saja aku Giok Lo Sat, tidak
usah kau memanggil nona atau liehiap. Adalah terhadap
ayahku ini baru kau boleh memanggil loodjinkee."
(Loodjinkee = tuan (tua) yang dihormati)
Tiat Hoei Liong tertawa. "Tetapi aku merasa aku belum cukup tua! "katanya sambil
tertawa. Tuan rumah itu turut tertawa.
"Ya, benar apa yang djiewie bilang," katanya. "Tetapi sudah
biasa bagiku untuk memanggil loodjinkee kepada setiap
tetamuku, aku tak dapat merubahnya..."
Habis itu ia lantas undurkan diri, untuk menyiapkan
hidangan untuk kedua tetamu itu.
"Namamu benar-benar besar!" Hoei Liong kata sambil
tertawa pada anak pungutnya seberlalunya tuan rumah.
"Untuk beberapa puluh tahun aku mendapat nama di Barat
utara, akan tetapi sesampainya aku di Soetjoan ini, orang
cuma menyebutkannya aku si tua bangka!"
Giok Lo Sat tertawa. "Tidak demikian duduknya hal, ayah," anak ini bilang. "Ayah
adalah satu jago tua, mereka dari kalangan muda, mana
mereka tahu tentang ayah..."
"Ya, siapakah itu yang meninggalkan surat untukmu?" Hoei
Liong kemudian tanya. Ia kembali kepada surat dari pemillik
hotel itu, surat aneh, sebab tulisannya hanya lukisan sebelah
tangan berlumuran darah. "Dia adalah Lo Tiat Pie," sahut sang anak. "Dulu dia
bersanggrah di gunung Bietjhong san di tapal batas Soetjoan
Siamsay. Dia ada bersama Tjoe Poo Tjiang ketika aku takluki
padanya. Belakangan tentara negeri bekerja keras, pelbagai
rombongan di Siamsay telah berpencaran, sejak itu tak tahu
aku di mana dia bernaung, maka tidak kusangka, sekarang dia
muncul di sini. Namanya tersohor juga dan ilmu silatnya tidak
ada celaannya akan tetapi dia bukannya satu berandal luar
8 biasa, maka aku tak mengerti, kenapa polisi Sengtouw hendak
menawannya. Ayah, dia mempunyai hubungan rapat
denganku, bukan sedikit sudah hadiahnya kepadaku, maka
harus aku tolongi dia. Pepatah mengatakan, siapa terima budi,
dia harus membalasnya. Demikian juga dalam urusan ini,
apapula dia telah menyampaikan kabar ancaman bencananya
itu, tak dapat aku berpeluk tangan saja!"
Orang tua itu tertawa. "Nyata benar kau gatal bertempur!" katanya. "Karena dia
termasuk orangmu, aku tidak hendak menghalangi
maksudmu. Malah aku suka berangkat bersama kau."
"Untuk melayani beberapa sersi. buat apa ayah turut turun
tangan?" berkata, si anak angkat. "Baik ayah duduk saja di
sini, dahar dan minum, aku'akan pergi sekarang, sebelum
fajar, aku akan sudah .kembali!"
Benar-benar Giok Lo Sat rapikan pakaiannya, terus ia


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari hotel. Tanpa sangsi lagi, ia lari dengan gunakan
ilmu enteng tubuhnya. Dengan jalan ini, tidak sampai
setengah jam, sampailah ia di Hoeiho nia. bukit Rase
Terbang. Itulah satu bukit kecil. Ia baru mendaki atau ia
segera dengar suara senjata beradu, tanda dari pertempuran
yang tengah berlangsung. "Tepat betul kedatanganku ini," pikir si nona. "Mereka
sedang asyik bertempur. Baiklah aku tengok dulu sampai di mana sudah kemajuan
ilmu silatnya Lo Tiat Pie..."
Maka ia lari terus. Malam itu, rembulan memancarkan cahayanya yang gilang
gemilang, hingga segala apa tampak nyata.
Giok Lo Sat tiba di atas, ia lihat tidak ada orang di atas
bukit, sebaliknya, apabila ia memandang ke arah bawah di lain
tempat dari bukit itu, di sana ia lihat empat orang sedang
bertempur: satu lawan tiga. Dan yang satu itu benarlah Lo Tiat
Pie, si Lengan Besi. Pihak pengepung terdiri dari Kam Thian Lip dan Tjiauw
Hoa, yang segera dapat dikenali oleh si nona. Pengepung
yang ketiga, ia kurang kenal, tapi ia lantas dapat kenali. Waktu
si nona datang mendekati, tanpa ada orang melihat padanya,
9 ia ingat pengepung itu adalah Tjio Ho, itu pahlawan Kimiewie
yang semasa di Siamsay Selatan pernah ia kejar-kejar hingga
dia kabur tidak keruan arahnya.
"Kabarnya Tjio Ho sudah naik pangkat menjadi Hoetjong
kauwtauw dari Seetjiang, kenapa sekarang dia berada di sini?"
si Raksasi Kumala berpikir.
Sementara itu sekarang si nona dapat melihat tegas, Lo
Tiat Pie tidak berada sendirian, tapi pada bebokongnya
tergendong satu bocah, karena itu, dia nampaknya tak dapat
berkelahi dengan leluasa, hingga lekas sekali dia berada
dalam ancaman malapetaka.
Menyaksikan demikian, Giok Lo Sat tidak mau berlaku ayal
lagi. sambil menghunus pedangnya, ia perdengarkan seruan
yang istimewa, ialah tertawa yang panjang. Dan sambil
bersuara sedemikian rupa, ia lompat, untuk lari turun bukit,
guna menghampiri medan pertempuran.
"Celaka!" teriak Tjio Ho. "Giok Lo Sat datang!"
Pahlawan Kimiewie ini menjadi sangat kaget, karena ia
kenal baik suara tertawanya yang panjang. Karena itu, ia
segera desak Lo Tiat Pie, yang ia serang dengan tipu silatnya
"Tohay hoankang", atau, "Menterbalikkan lautan,
menjungkalkan sungai". Dengan itu ia kerjakan kedua
tangannya yang liehay. Untuk membela diri, Lo Tiat Pie pentangkan kedua
tangannya, sebab tak bisa ia menangkis dengan satu tangan
saja. Justeru begitu, Kam Thian Lip dari samping membacok
dengan goloknya. Masih Lo Tiat Pie perlihatkan kesehatannya untuk berkelit,
akan tetapi ujung golok terlebih sebat pula, maka dengan
menerbitkan satu suara perlahan, lengannya kena ditancap
golok hingga darahnya muncrat.
Berbareng dengan itu, bocah digendongannya juga
menjerit dengan keras. Hal ini membuat si Lengan Besi
menjadi kalap, hingga dengan menggerakkan kedua
tangannya, ia terjang si pahlawan itu.
Tjio Ho liehay, dia melayani sambil tertawa, sampai kepada
saat yang baik, ia ulur tangannya yang kiri guna menyambar
bocah di bebokongnya lawan itu.
10 Lo Tiat Pie berteriak bahna gusarnya, sambit perdengarkan
suara gunturnya itu, tangan kanannya menyerang dibarengi
sapuan kaki kirinya. Ia jadi bagaikan kalap.
Justeru itu Tjiauw Hoa datang meringankan ancaman bagi
kawannya itu. Dia menangkis dengan tangan kiri, tangkisan itu
dibarengi dengan gaetan, dan tangan kanannya menjotos.
Inilah serangan Hengta kimtjiong atau Sambil Miring Memukul
Lonceng Emas, suatu jurus dari Hokhouw hoen, koentauw
Menakluki Harimau. Sasarannya adalah pundak di bagian
yang kosong. Dengan serangan ini, ia kandung maksud jahat.
Ia percaya, diserang secara demikian olehnya, Lo Tiat Pie
tentu akan berkelit, maka selagi orang berkelit, Kam Thian Lip
membarengi membabat ke bawah. Akan tetapi, dia telah
menduga keliru. Dalam nekatnya, Lo Tiat Pie tidak takut pada
jotosan berbahaya itu, dia malah menyambutnya, hingga
keduanya jadi saling serang, kedua-duanya jadi menerima
hajaran yang dahsyat. Kalau Tiat Pie remuk pundaknya,
Tjiauw Hoa gempur dadanya, maka keduanya roboh sambil
sama-sama menjerit hebat: "Aduh!"
Adalah di saat itu. baru Giok Lo Sat sampai di medan
pertempuran. "Tolongi dulu itu bocah!" teriak Lo Tiat Pie, yang melihat si
nona, yang ia segera kenali, walaupun ia tengah roboh.
Tjio Ho sendiri berlaku cerdik, begitu ia dapatkan si bocah,
ia lompat mundur dari kalangan, sejarak belasan tumbak
jauhnya, untuk kabur. "Ke mana kau hendak lari?" bentak si Raksasi Kumala.
Nona ini telah menyaksikan perampasan bocah itu dan
mendengar jelas teriakannya Lo Tiat Pie, maka dengan satu
jejakan kedua kakinya, ia mencelat ke arah si pahlawan
istana, untuk mengejarnya, sedang si pahlawan sendiri tidak
tinggal diam saja. Luar biasa cepatnya gerakan si nona, segera ia datang
dekat pahlawan itu. Dengan kelicinannya, Tjio Ho putar tubuhnya dengan
majukan badan si bocah, maksudnya adalah dengan tubuh
bocah itu ia tangkis tikaman pedang si nona.
11 "Manusia tak tahu malu!" bentak Giok Lo Sat, yang jemu
atas kelicikan orang itu. Ia cuma mengancam dengan
pedangnya, berbareng dengan itu tangan kirinya juga diulur.
Tjio Ho kaget bukan kepalang, karena tahu-tahu ia rasakan
lengannya kesemutan, lalu menjadi baal.
Si Raksasi Kumala memperlihatkan kesehatannya,
keliehayannya. Sebab berbareng dengan totokannya kepada
bahu lawan, ia pun sambar tubuh si bocah dari cekalannya
pahlawan istana itu. Di bawah sinar rembulan, muka bocah itu tampak nyata:
Sebuah muka yang bundar bagaikan rembulan purnama.
"Bibi. terima kasih!" demikian suara bocah itu, yang tadi
menangis dan menjerit keras.
Giok Lo Sat tercengang. Ia heran, di saat demikian itu,
bocah ini sudah dapat mengembalikan ketabahannya, pada
wajahnya tidak nampak lagi roman takut seperti tadi dia baru
disambar si pahlawan istana.
Tjio Ho benar-benar licik, la tidak niat untuk menuntut
balas. Sebaliknya, ia putar tubuhnya untuk angkat kaki.
Rupanya ia sangat jeri terhadap nona itu, si wanita hantu.
Giok Lo Sat tercengang sebentar karena nyali yang besar
dari si bocah, habis itu ia tertawa.
"Anak yang baik, kau lihat!" katanya. "Akan aku tolongi kau
membekuk manusia jahat itu, untuk kau dapat menggaplok dia
barang dua kali! Supaya kau bisa melampiaskan sakit
hatimu!..." Berbareng dengan suara si nona, di sana terdengar
jeritannya Lo Tiat Pie. "Aku inginkan entjek Lo!" seru si bocah. "Biarlah si jahat itu,
kita hajar dia di belakang hari saja! Bibi, kau tolongi entjek Lo!"
Itulah saatnya Lo Tiat Pie berlaku nekat terhadap Tjiauw
Hoa. Giok Lo Sat menoleh, ia lihat Kam Thian Lip mendukung
Tjiauw Hoa, yang dibawa lari turun gunung, untuk menyingkir
di antara ladang gandum yang lebat. Di pihak lain Lo Tiat Pie,
dengan sebelah lengannya tergantung, berdiri dengan
sempoyongan, hampir dia roboh, mukanya pucat sekali. Maka
dengan segera nona itu lompat kepada sahabatnya, dan ia
12 tampak bahu kiri orang hampir putung putus bekas bacokan
golok, bahu itu pun sudah memperlihatkan warna hitam serta
bengkak. Terang luka itu tak akan dapat diobati lagi.
"Aku terkena ouwtiap piauwnya yang liehay," kata Lo Tiat
Pie sambil tertawa meringis, "sudah itu, aku kena terbacok
juga. Inilah untungku, karena dengan begitu, racunnya piauw
tidak dapat mengalir terus ke seluruh tubuhku."
Kepala kampak ini memperlihatkan kekuatan tubuh dan
hatinya Giok Lo Sat lantas keluarkan obat luka bekalannya.
"Tak ada gunanya obat itu!" kata Lo Tiat Pie, kemudian ia
ayunkan tangan kanannya, guna menghunus pisau belatinya,
lalu ia tabas putus bahunya yang bergelantungan itu, hingga
terdengar suara bacokan dari sisa tulang lengannya Karena
ini, darah kembali mengalir pula.
Si bocah, yang menyaksikan itu, membuka lebar matanya
terus dia menangis. Giok Lo Sat turunkan bocah itu, ia robek ujung bajunya
untuk membalut lukanya Tiat Pie, setelah' luka itu digosok
dengan obatnya. "Laki-laki sejati," katanya sambil tertawa. "Tidak kecewa
kau menjadi sahabatku!"
Lo Tiat Pie menutup rapat mulutnya, ia rupanya menahan
sakitnya. "Aku malu sampai loodjinkee yang merawati aku..." katanya
kemudian dengan perlahan.
"Ah, sampai waktu begini kau masih hendak pakai aturan!"
kata si nona. "Kau tahu, aku sudah cuci tangan, aku tidak
bekerja pula dalam dunia Rimba Hijau! Kita sekarang adalah
sahabat-sahabat dalam artian sahabat yang sebenarnya!"
"Ah!..." bersuara Lo Tiat Pie, romannya pun menyatakan
keheranannya. Dahinya telah mengucurkan keringat, rupanya ia masih
tetap menahan sakit. "Anak Tjong, jangan kau menangis," katanya kemudian
kepada si bocah, suaranya lemah. "Jangan kau menangis,
entjekmu tidak bakalan mati..." (Entjek = paman.)
Lantas ia tersenyum. 13 Giok Lo Sat pun tersenyum melihat ketangguhan orang itu.
Menampak orang tersenyum, bocah itu tidak menangis
lebih jauh. Lo Tiat Pie menunjuk kepada si nona gagah itu, lalu ia
berkata pada bocah itu: "Nona ini adalah nona gagah dari
jaman ini, nona paling gagah. Anak, kau beruntung sekali
bertemu dengan nona ini. Kenapa kau tidak unjuk hormatmu
serta menghaturkan terima kasih?"
"Anak ini cerdik, dia telah menghaturkan terima kasihnya!"
kata si Raksasi Kumala sambil tertawa.
Mendengar perkataannya Lo Tiat Pie, bocah itu
menghadap pada nona kita untuk memberi hormatnya, buat
mengucapkan terima kasihnya.
Giok Lo Sat senang melihat kelakuannya bocah ini.
"Anak siapakah ini?" dia tanya Lo Tiat Pie sambil tertawa.
"Berapakah usianya, dan siapakah namanya" Apakah
sebabnya dia turut kau menyingkirkan diri?"
Belum sampai Lo Tiat Pie memberi jawaban atau si bocah
sudah mendahului. "Namaku Yo In Tjong," jawabnya. "Sampai tanggal enam
belas yang akan datang, usiaku jangkap lima tahun Ayahku
ialah Yo Lian." Giok Lo Sat agaknya heran, tetapi ia tertawa pula.
"Oh. puteranya Yo Lian!" katanya. "Aku tahu ayahnya tak
punya hati sebesar hati dia..."
"Siapa bilang tidak?" In Tjong tanya. "Di rumah ayahku
sering berkata hendak membunuh dorna! Ya, dorna yang
besar, dorna yang besar! Paman Lo memberitahukan padaku,
dorna itu hidup akur sekali dengan kaisar. Ayahku tidak takut
pada dorna, dia juga tidak takut kaisar! Apa itu masih dibilang
tidak punya nyali?" Si Raksasi Kumala tertawa.
"Baiklah, anggap saja aku yang keliru!" katanya. "Ya,
ayahmu bernyali besar!"
Inilah untuk pertama kalinya Giok Lo Sat mengaku salah.
Tapi si bocah tak mengetahuinya, masih dia tertawa, dengan
puasnya... 14 "Pada tiga tahun yang lalu," kata Tiat Pie dengan perlahan,
"tak dapat aku menaruh kaki di Siamsay, lantas aku bubarkan
orang-orangku, seterusnya aku hidup merantau, sampai
belakangan ada orang mengangkat aku menjadi cinteng di
rumah Yo Taydjin. Aku terima pekerjaan itu."
Wajahnya Giok Lo Sat tiba-tiba guram.
"Yo Taydjin kau itu jadinya Yo Lian?" dia tanya.
"Jikalau bukannya Yo Lian, tidak nanti aku terima pekerjaan
itu!" "Yo Lian ada satu pembesar bersih, tidak dapat aku
persalahkan kau," kata si nona. "Kau omong terus..."
Yo In Tjong tertawa mendengar orang mengatakan
ayahnya satu pembesar baik.
"Yo Taydjin perlakukan aku baik sekali, maka aku suka
bernaung di bawahnya," Tiat Pie akui. "Di sana aku
sembunyikan she dan nama sampai tiga tahun. Tahun ini.
dalam bulan Tjhiagwee, pada suatu malam, Yo Taydjin
memanggil aku ke dalam kamarnya. Taydjin mengatakan
bahwa ia hendak mendakwa Goei Tiong Hian. Dia kata, jikalau
dakwaannya tidak berhasil, ada kemungkinan harta bendanya
disita dan dirinya sendiri akan dihukum serta seluruh
keluarganya, maka itu Taydjin menghendaki aku bawa pergi puteranya berlalu dari
kota raja. Taydjin mau tunggu sampai sepuluh hari setelah
keberangkatanku bersama puteranya itu, baru dia ajukan
dakwaannya itu. Sekarang ini Tjio Ho bersama Kam Thian Lip
dan Tjiauw Hoa, telah datang menyusul kami, untuk
ditangkap, rupanya Yo Taydjin sudah mengajukan
dakwaannya dan dia gagal..."
Pahlawan ini sedih sampai mengucurkan air mata. Ia pun
telan sebutir pil untuk melawan rasa sakitnya. Karenanya, ia
merasa sedikit ringan. "Sekarang ke mana kau hendak bawa anak ini?" Giok Lo
Sat tanya kemudian.

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memikir untuk mencarikan dia satu guru silat," sahut
Lo Tiat Pie. "Jikalau ayahnya sampai dicelakai dorna..."
"Akan aku balaskan sakit hatinya!" potong In Tjong.
Mau atau tidak, Lo Tiat Pie tertawa.
15 "Lian Liehiap, kau inginkan murid atau tidak?" dia tanya si
nona kosen. "Aku suka kepada anak ini," jawab si nona. "Cuma
sekarang belum dapat aku mengambil murid..."ia berhenti
sebentar, untuk berpikir. Lalu ia tambahkan: "Siapa yang tidak
mempunyai kepandaian menaklukkan naga dan menundukkan
harimau, yang semangatnya besar, orang tak dapat
menjadikan bocah ini muridnya! Aku ingat satu orang, hanya
sayang dia tinggal di tempat yang jauh sekali. Dia tinggal di
atas gunung Thiansan! Apakah kau tidak jeri untuk melakukan
perjalanan yang sedemikian jauh?"
Lo Tiat Pie pentangkan kedua matanya.
"Siapakah orangnya yang nona ini demikian hargakan?"
demikian ia berpikir. Ia lantas menduga-duga. Segera ia
berikan jawabannya: "Mati pun aku tidak takut, kenapa aku
mesti jeri untuk perjalanan yang sejauh itu" Tolong
beritahukan aku, liehiap, siapakah lootjianpwee itu?" Giok Lo
Sat tertawa. "Dia adalah satu pemuda gagah, usianya tak
seberapa jauh dengan aku!" sahutnya. "Sekarang ini mungkin
dia sudah menjadi satu pendeta... Ah, mustahil kau belum
pernah mendengar namanya Gak Beng Kie?"
"Aku ingat sekarang," sahut Tiat Pie. "Pernah aku dengar
Yo Taydjin berkata, Him Kengliak itu adalah sahabat paling
kekal dari Taydjin, dan Him Kengliak itu mempunyai orang
sebawahannya yang diandalkan, namanya Gak Beng Kie.
Bukankah liehiap maksudkan Gak Beng Kie dia itu?"
"Kau benar," jawab Giok Lo Sat.
"Aku hendak jelaskan pada kau, jangan kau anggap Gak
Beng Kie orang sebawahan yang biasa saja dari Him Kengliak
itu. Mungkin ilmu pedangnya dapat dibilang tidak ada
keduanya di kolong langit ini, sampai sebegitu jauh, belum
pernah ada orang yang melebihkannya! Sekarang pergilah
kau pondong bocah ini, kau bawa padanya, lalu kau katakan
padanya, aku, Giok Lo Sat yang menyuruh dia menerimanya
sebagai muridnya!" Lo Tiat Pie pandang nona gagah itu.
"Baik!" sahutnya. "Meski tanganku hanya sebelah, masih
dapat aku pondong dia mendaki gunung Thiansan!"
16 "Apakah, kau dapat pergi sekarang?" si Raksasi Kumala
tanya. "Dapat!" jawab Tiat Pie dengan gagah.
Giok Lo Sat ambil sebatang dahan, yang dirautnya untuk
dijadikan tongkat. "Kau pakai ini," katanya. "Tjio Ho semua telah melihat aku
membantu kau, maka sebelum mereka peroleh bantuan orang
liehay, tidak nanti mereka berani datang pula mengganggu
kamu..." Lo Tiat Pie tertawa. "Mereka itu melihat liehiap seperti tikustikus
melihat kucing," katanya, "maka aku sebaliknya percaya
sekarang mereka sudah ngiprit lari pulang ke Sengtouw!"
Si Raksasi Kumala manggut. "Tjoe Poo Tjiang menancap
kaki di dalam daerah ini, kau tentu ketahui, bukan?" dia kata
pula. "Kau jalan perlahan-lahan saja, setelah fajar kau pasti
dapat temui dia. Kau boleh ajak dia untuk sama-sama pergi ke
Konggoan untuk menemui Lie Giam. Bilang pada Lie Giam,
bahwa akulah yang menghendaki kau mengantar bocah ini
ke Thiansan. Wilayah Barat utara adalah wilayahnya Lie
Giam, pasti dia punyakan jalan untuk mengantar dan
melindungi kau keluar dari Giokboenkwan."
Lo Tiat Pie haturkan terima kasihnya, terus ia paksakan
dirinya untuk bangkit. Dengan bantuan tongkatnya, ia jalan
timpang, setindak demi setindak.
Yo In Tjong berjalan di belakangnya pahlawan itu, sering
kali ia berpaling, mengawasi Giok Lo Sat sambil melambailambaikan
tangannya, hingga si nona hampir-hampir tak dapat
menahan hatinya, ia ingin menyambar bocah itu untuk
dipondong, supaya dia sendiri yang mengantarkannya pada
Tjoe Poo Tjiang. "Jikalau satu bocah tidak dilatih b*rat, tidak hebat
pengalamannya, sukar dia berhasil menjadi manusia yang
berharga," pikir dia kemudian. "Biarlah dia pergi sendiri!"
Karena ini, dia batal hendak menolongnya. Dia awasi
sampai kedua orang itu sudah pergi jauh, baru dia kembali ke
hotelnya. Sementara itu Tiat Hoei Liong, habis bersantap malam, siasia
saja ia menanti kembalinya anak pungutnya. Ia berkuatir,
17 tetapi dalam hatinya, ia berkata: "Beberapa opas itu mana bisa
jadi tandingannya Nie Siang" Buat apa aku kuatirkan dia"..."
Tetapi baru ia mau masuk tidur, atau di luar terdengar
suara berisik dan berbareng dengan itu tuan rumah datang
menolak pintu, masuk menemui dia.
"Hweelengwan Tjoe Tjeetjoe dan kawan-kawannya telah
datang kemari!" kata tuan rumah ini perlahan. "Barusan
mereka datang minum teh sambil bercerita, rupanya mereka
datang atas perjanjian, tapi sekarang mereka bertengkar,
maka itu, dapatkah loodjinkee mendamaikan mereka..."
Walaupun rumah penginapan ini biasa menerima tetamutetamu
dari pelbagai golongan, tak membedakan mereka dari
Jalan Putih atau Jalan Hitam, tetapi tak sudi si pemilik apabila
orang berbuat rusuh di hotelnya. Maka itu perlu ia cari orang
untuk meredakannya. Tiat Hoei Liong telah terima kebaikan orang, dia malu hati
untuk menampik. "Mari," katanya, lalu ia berbangkit untuk bertindak keluar
bersama-sama pemilik itu, terus sampai di ruang luar, tempat
tetamu-tetamu itu minum teh. Di sana, pada sebuah meja,
kelihatan Tjie Poo Tjiang duduk di meja kepala, dua tetamu
lainnya mendampingi ia di kiri dan kanannya. Ketiga orang itu
sedang berebut omong. Tetamu yang di kirinya, satu anak muda, berkata dengan
nyaring: "Aku dari Keluarga Tong dari Bankoan tidak pernah
minta piauw orang! Kau tidak mengundang minum, kau juga
tidak mau minum arak dendaan! Bagaimana itu?"
Tjoe Poo Tjiang menggeprak meja.
"Bagus, bagus!" serunya. "Kau hendak gertak aku dengan
namanya Keluarga Tong"! Tidak, tidak hendak aku
kembalikan! Tidak kepada Raja Langit juga!"
"Kiranya pemuda itu dari Keluarga Tong," pikir Hoei Liong.
"Tidak dapat aku tidak campur urusan mereka ini..."
Si anak muda juga geprak meja, hingga terdengar suara
sangat nyaring. Lalu ia bangkit berdiri.
"Oleh karena Tjoe Tjeetjoe tidak sudi memberi muka," kata
dia, "maka aku yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi, ingin aku meminta pengajaran dari kau beberapa jurus
18 saja! Inilah untuk membantu dengan kedua tanganku kepada
sahabat! Tjoe Tjeetjoe, umpama kau bacok aku tiga kali dan
tikam aku enam kali, walaupun terbinasa, tidak aku
penasaran!..." Tjoe Poo Tjiang seorang berdarah panas, sambil membuka
baju luarnya, ia berbangkit.
"Bagus!" serunya. "Kau hendak adu senjata atau tangan
kosong" Atau adu senjata rahasia" Kamu Keluarga Tong,
untuk senjata rahasia namamu kesohor di kolong langit, baik
kita adu senjata rahasia saja! Di luar sana lega, silahkan kita
pergi keluar! Barangku sendiri sudah kubawa, maka kau, pergi
kau menyediakannya!"
Demikian ketegangan bertambah naik sampai di
puncaknya. Tiat Hoei Liong menghampiri sambil tertawa, tindakannya
lebar, meski suara tertawanya tidak nyaring, toh orang-orang
yang mendengarnya terkejut, hati mereka seperti goncang,
kuping mereka seperti tuli. Maka Tjoe Poo Tjiang semua
menjadi terkejut. "Kau ada sahabat dari kalangan mana?" tanya Poo Tjiang
dan si orang she Tong itu. "Silakan kau perkenalkan diri!"
Kedua pihak menyangka orang tua ini hendak membantu
pihak lainnya... Hoei Liong bertindak sampai di depan meja, ia tarik sebuah
kursi, dengan sikap tak sopan, ia duduk di atasnya.
"Tuan ini tentulah Tjoe Tjeetjoe!" katanya "Beruntung aku
dengan pertemuan ini! Dan kau, saudara, kau adalah saudara
Kee Pek! Kau seorang muda dan gagah, aku si orang tua
hampir tidak mengenalinya.--Dan ini sahabat?" ia menunjuk
orang yang ketiga. "Maaf, mataku yang tua sudah lamur. Maka
aku mohon diberitahu she dan nama besar saudara!"
Mendengar itu, kedua pihak terkejut.
Tjoe Poo Tjiang sudah lama terkenal, tidak heran apabila
ada orang yang kenali dia. Tidak demikian dengan pihak
lawannya she Tong itu, yang dipanggil "saudara Kee Pek"
oleh orang tua ini. Panggilan itu menyatakan kedua pihak
kenal satu pada lain. Maka Poo Tjiang harus berlaku hati-hati.
Ia berpikir: "Kedua pihak sudah berjanji tidak akan minta
19 bantuan luar, tapi dia kedatangan pembantunya, maka
sebentar akan aku tindih dia! Keluarga Tong sudah terkenal
sekali!..." Pihak Tong pun sama terkejutnya Keluarga Tong tinggal di
Bankoan, namanya kesohor karena senjata rahasianya,
mereka telah menjagoi di kalangan Rimba
Persilatan, tetapi Tong Kee Pek ini, dalam umurnya dua
puluh tahun, kali ini adalah yang pertama kali bekerja menuruti
titah ayahnya, maka dia heran, si orang tua tidak terkenal
segera dapat menyebutkan namanya.
Sahabatnya Tong Kee Pek itu berbangkit, dia rangkapkan
tangannya. "Aku yang rendah she Touw dan namaku Beng Tiong," ia
menjawab. "Loosiangseng, ada pengajaran apakah untukku?"
Mirip sebagai seorang yang luas pengalamannya, orang
she Touw ini bisa berlaku sabar dan hormat.
"Permusuhan itu harus dihapus tetapi tidak mesti
diperhebat," berkata Hoei Liong, ia tidak menjawab anak muda
itu. "Aku si orang tua berlaku lancang, ingin minta secangkir
teh dari kamu kedua pihak..."
Ia lantas angkat tehkoan teh, untuk menuang isinya.
"Tunggu dulu!" mencegah Poo Tjiang dan Kee Pek
Dalam kalangan kangouw ada aturan umum, kalau dalam
perselisihan orang minum teh dari kedua pihak, itu tandanya
kedua pihak suka berdamai dan akur. Sekarang keduanya
tidak memikir untuk berdamai, dan mereka juga tidak kenal
orang tua ini, cara bagaimana mereka bisa biarkan orang
datang keringkan teh perdamaian"
"Apakah untuk secangkir teh ini kedua pihak sudi
memberikan muka?" dia tanya. Sementara itu, air teh sudah
dituang. Di rumah penginapan itu, cangkir teh dibuat dari kayu
oeyyang, yang dilubangi, besarnya seperti mangkok, kayunya
kuat, tapi sekarang Hoei Liong menuangkan air teh panas,
begitu air teh masuk, "Tak!" pecahlah cangkir itu.
"Ah!" kata si orang tua, yang menuang pula air teh ke
cangkir yang kedua. 20 Tapi pun cangkir ini pecah seperti yang pertama. Demikian
juga cangkir yang ketiga, tapi si orang tua menuang pula
karena penasaran. Hingga air teh itu berlimpah di atas meja.
Tjoe Poo Tjiang dan Tong Kee Pek kaget bukan main.
Cangkir kayu itu pecah tak sembarangan. Cangkir itu kuat,
sukar untuk memecahkannya dengan tangan kosong, tetapi
sekarang, orang membuatnya pecah dengan air teh-air teh
yang dikerahkan berbareng dengan tenaga dalam. Itulah
kepandaian yang belum pernah mereka saksikan. Maka
mereka menjadi tercengang.
"Bagus!" tertawa pula Hoei Liong. "Kami tidak hendak
minum teh, teh ini sendiri pun gagal! Eh, tuan rumah, kenapa
cangkirmu ini mudah pecah" Lekas kamu bersihkan meja
ini!" Tuan hotel girang berbareng kaget.
"Ya, ya," sahutnya dengan hormat, sambil membungkukbungkuk.
Ia terus gunakan sabuknya untuk menyusut kering
air teh itu. "Bagus!" Hoei Liong berkata pula. "Tolong kau tukar
cangkirnya! Aku masih hendak mohon tuan-tuan ini beri muka
kepadaku..." Hampir berbareng, Tjoe Po Tjiang dan Tong Kee Pek
berkata pada orang tua itu: "Looenghiong, sukalah kau dengar
perkataanku!" Hoei Liong awasi kedua orang itu, lalu ia menunjuk kepada
Kee Pek: "Kaulah yang bicara dulu!" katanya.
Mukanya pemuda she Tong itu menjadi merah.
"Saudara Touw ini ada sahabat keluargaku." ia memulai
dengan pembicaraannya. "Dia membawa dua rupa barang,
yang telah dirampas Tjoe Tjeetjoe ini. Berhubung dengan
kejadian itu, ayahku mengirim aku untuk mohon Tjoe Tjeetjoe
suka berbuat baik dengan mengembalikan barang-barang itu."
Tiat Hoei Liong manggut-manggut.
"Kehormatan kaum kangouw adalah mustika yang tak
terbilang harganya," berkata dia, "Dua mustika itu, benda
apakah" -- Tjoe Tjeetjoe, coba kau bicara. Bukankah kau
merasa berat untuk mengembalikan mustika itu?"
21 Sekarang adalah mukanya Poo Tjiang yang menjadi
merah. "Saudara Touw ini ada tetamu hamba dari Soenboe Tan
Kie Djie dari Siamsay," sahutnya, "dan barang yang dia bawa
itu, satu ada sebatang hosioeouw yang sudah berumur seribu
tahun, yang satu lagi ialah sepotong kulit rase putih. Semua
barang itu hendak dibawa ke kota raja, untuk dihadiahkan
kepada Goei Tiong Hian. Kedua mustika ini, daripada
dihadiahkan kepada Goei Tiong Hian, terlebih baik
diserahkan padaku. Looenghiong, umpama kata kau
menginginkan kedua barang itu, boleh saja. Aku bukannya
menginginkan mustika itu, aku hanya tak sudi memberi


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesenangan kepada si dorna kebiri!"
Mengkerut jidatnya jago tua itu. Ia berpaling pada Tong Kee
Pek. "Adakah kau ketahui terlebih dulu, kepada siapa barangnya
saudara Touw itu hendak diantarnya?" dia tanya.
"Terlebih dahulu dia telah membilangnya pada ayahku,"
sahut Kee Pek. Kembali jago tua ini kerutkan jidatnya. Dengan Tong Tjeng
Tjoan, ayahnya Kee Pek ini, ia bersahabat kekal, malah pada
sepuluh tahun yang lampau, untuk tiga bulan lamanya, pernah
ia tinggal di rumah orang she Tong itu, karenanya ia tahu
perangai si jago she Tong itu.
"Tidak mungkin Tong Lootoa berlaku tolol begini," katanya
dalam hati. "Kalau benar hal ini pernah diberitahukannya
kepada dia, dan dia pun sampai kirim puteranya untuk bantu
membelai, dalam hal ini mesti ada terselip suatu urusan lain...
Baiklah aku menanyakannya dahulu dengan jelas, baru aku
ambil putusan." Touw Beng Tiong bangun berdiri, kedua tangannya
menindih meja. ia hendak bicara. Tapi, baru saja ia
mengucapkan, "Looenghiong, aku mohon sukalah kau dengar
aku..." mendadak dari luar terdengar satu suara tertawa yang
aneh, menyusul mana daun pintu terpentang dan dua orang
bertindak masuk. Yang paling aneh ialah kedua orang ini dandanannya atau
romannya, sama satu dengan lain. Rambut mereka kusut,
22 tubuh mereka jangkung dan kurus, muka seperti tidak ada
darahnya, pucat sekali, hingga mereka: tiga bagian mirip
manusia, tujuh bagian mirip hantu! Mereka mirip dengan
mayat yang baru keluar dari liang kubur...
Tjoe Poo Tjiang kaget sekali, sampai ia mencelat bangun.
"Sin Lootoa! Sin Loodjie! Mau apa kamu datang kemari?"
dia tanya. "Hai, kiranya mereka ada saudara-saudara Sin!" kata Hoei
Liong dalam hatinya. "Sudah lama aku dengar mereka
punyakan ilmu silat yang luar biasa, yang kelakuannya pun
aneh dan berandalan, tidak disangka-sangka malam ini dapat
aku bertemu dengan mereka..."
Dua saudara Sin itu ada Tay Goan dan it Goan, di Siamsay
Utara mereka ada jago-jago Rimba Hijau yang kenamaan.
Dan sudah biasa bagi mereka untuk tidak tunduk terhadap
siapa juga. Pada tiga tahun yang lalu, tidak lama sehabisnya
kebinasaannya Ong Kee In di medan perang, pernah mereka
diundang Kho Eng Siang, yang mengundangnya atas nama
Lie Tjoe Seng, untuk berhimpun di Bietjie. di mana diundang
pula semua ketiga puluh enam kepala rombongan, tetapi
mereka ini sudah tidak sudi datang hadir, hanya mereka
merantau ke Soetjoan di mana mereka jadi cocok betul sama
Thio Hian Tiong, hingga mereka mau dianugrahi pangkat
pangeran Itdjie Pengkin Ong.
Tidak heran jikalau Tjoe Poo Tjiang jeri terhadap kedua
saudara Sin ini. Baik kedudukannya. maupun namanya, ia
kalah jauh dari dua saudara itu. Ia pun tahu orang ini
berandalan dan telengas. Atas pertanyaannya itu, Sin It Goan
perlihatkan wajah iblis, dia tertawa dingin.
"Kami dengar kau telah mendapatkan dua rupa mustika!"
katanya, jumawa sekali. "Lekas kau keluarkan itu! Pat Tayong
inginkan mustika itu!"
Pat Tayong adalah gelarnya Thio Hian Tiong. Thio Hian
Tiong ini beda dari Lie Tjoe Seng. Dia sangat kemaruk akan
emas dan perak dan mutiara, berapa banyak juga uang. dia
menghendakinya. Dia juga gemar sekali membunuh orang.
Maka dia adalah satu Koensie Mo Ong, Raja Iblis Tukang
Mengacau Dunia. 23 Wajahnya Tjoe Poo Tjiang menjadi pucat. Dia tidak ingin
serahkan mustika itu. Jikalau dia tidak serahkan, dia akan
dipaksa. Bagaimana" "Jikalau kau tidak sudi menyerahkannya, nanti aku yang
ambil sendiri!" Sin Tay Goan berseru selagi orang bersangsi.
Entah bagaimana gerakannya manusia aneh ini, berbareng
dengan ucapannya itu, ia sudah mencelat kepada Tjoe Poo
Tjiang, tangannya sudah menyambar bungkusan di
pinggangnya orang she Tjoe itu, ketika Tjoe Poo Tjiang sadar,
tangannya yang lain sudah menjambret ke arah dadanya.
Dalam kagetnya, Poo Tjiang menjatuhkan diri dengan
melenggak ke belakang, terus dia berguling. Syukur dia dapat
berkelit dengan sebat sekali, dengan begitu loloslah dia dari
ancaman bencana hebat itu.
Tong Kee Pek dan Touw Beng Tiong kaget, meski begitu
dengan berbareng mereka lompat, melewati meja, keduanya
mengulurkan tangannya masing-masing untuk dipakai
merampas bungkusan dari tangannya Sin Tay Goan.
"Inilah hebat..." pikir Hoei Liong, yang terkejut untuk
kesembronoannya kedua orang itu. Menyusul mana kedua
orang itu, Tong Kee Pek dan Touw Beng Tiong menjerit keras:
"Aduh!" dan tubuh mereka roboh terguling, ke kaki tembok.
Sebab tangannya Sin Tay Goan sudah bergerak bagaikan
kilat, Beng Tiong kena dilukai, Kee Pek kena ditotok jalan
darahnya kiekoet hiat. Habis itu, Sin Tay Goan tertawa berkakakan, terus saja
dengan menenteng buntalan rampasannya itu, ia memutar
tubuh, untuk berjalan pergi. "Hai, tunggu dulu!" berseru Hoei
Liong. Dan dengan satu gerakan saja. tubuhnya sudah
mencelat ke depan orang itu.
"Tua bangka, kau berani merintangi aku?" Sin Tay Goan
berteriak, matanya bersinar, sedang sebelah tangannya pun
segera melayang, menyambar batok kepalanya jago tua itu!
Tiat Hoei Liong kelitkan kepalanya. Tidak peduli Tay Goan
bergerak sangat gesit, sambarannya itu tidak mengenai
sasarannya, maka terperanjatlah dia. Dan sedangnya dia
terperanjat, segera dia dengar satu seruan keras sekali,
seruan yang dibarengi serangannya si jago tua.
24 Sin Tay Goan merasakan angin menyambar ke arah
pinggangnya, lekas-lekas ia menangkis, untuk menjauhkan
serangan itu, akan tetapi, tak peduli tenaganya besar, dia
terdorong juga, hingga terpelanting. Tentu saja dia menjadi
sangat kaget. Sin It Goan, yang kaget juga, lekas-lekas gerakan kedua
tangannya, untuk melindungi kakaknya itu.
Tiat Hoei Liong berseru pula, dan tangannya berbalik untuk
menyambar pundak lawan yang kedua. Tapi, belum sampai
kedua tangan bentrok, Sin Tay Goan sudah maju dengan
terjangannya. Menampak demikian, Hoei Liong membuat perubahan.
Dengan tangan kanan ia layani sang adik, dengan tangan kiri,
ia memapaki serangan sang kakak.
Maka ketiga orang itu segeralah bertempur.
Hoei Liong dapat membuat Tay Goan terpelanting, tidak
urung ia merasakan sakit pada pundaknya.
"Dua saudara ini bukan bernama kosong belaka," katanya
dalam hati, "tidak heran mereka jadi sangat berkepala batu!..."
Dua saudara Sin itu pentang kedua mata mereka masingmasing,
dengan mata terbeliak mereka awasi si tua itu dengan
bengis. Dengan lantas mereka mendak, niatnya maju
menyerang. Mereka bersuara dengan berbareng, suaranya
seram. Tiat Hoei Liong gerakan tangan kirinya disusul dengan
tendangan kaki kanan, dengan begitu dia pecahkan
serangannya dua saudara itu, yang mengancamnya dengan
hebat. Tay Goan jadi sangat mendongkol, dengan sebelah
tangannya ia menyampok, membabat seperti dengan pedang.
It Goan susul kakaknya itu dengan serangan sendiri.
Tiat Hoei Liong gunakan kedua tangannya untuk
menangkis, hingga kembali terdengar bentrokan keras sekali.
Dua saudara Sin ini bertenaga kuat tetapi tidak berani
mereka adu tenaga. Mereka dapatkan lawan ini tangguh sekali. Dengan
berbareng mereka lompat melewati meja. Tapi Hoei Liong
keluarkan sebelah kakinya dengan apa ia dupak meja hingga
25 meja itu mental tinggi sampai di langit-langit wuwungan.
Kemudian terdengarlah satu suara nyaring dan berisik, sebab
wuwungan itu gempur dan meja pun pecah rusak, pecahan
genteng jatuh ke dalam, pecahan meja nyeplos ke genteng!
Tjoe Poo Tjiang kaget, dia lompat berkelit ke ujung tembok.
Dua saudara Sin itu sangat gesit, mereka dapat lolos akibat
dari tendangan kepada meja itu. Sesudah itu, dengan
menyiapkan kedua tangan mereka, mereka maju pula. Mereka
tidak jeri, sebaliknya, mereka mendongkol dan penasaran.
Kali ini pertempuran bertambah dahsyat. Kakak dan adik itu
mencoba mengepung dari kiri dan kanan, untuk menggencet,
hebat serangan-serangan mereka. Setiap pukulan berbunyi
seperti tulang-tulang dan urat mereka retak.
Hoei Liong tahu orang mempunyai ilmu silat Gwakee,
bagian luar, sudah mahir sekali, karenanya, tidak mau dia
berlaku sembrono. Dia harus ambil kedudukan Ngoheng dan
Patkwa, dia bersikap halus dan keras dengan saling ganti,
serangan dan penjagaan dirinya beraturan.
Setelah bertempur sekian lama, Sin It Goan menggunakan
tipu rfflva. "Kau hendak pedayakan aku" Mana bisa!" pikir si jago tua,
yang lihat siasat orang. Terus ia gunakan akal untuk lawan
akal. Dari kedudukan "Kin" dia menyerang dengan sebelah
tangannya, lalu dengan sama cepatnya, ia lompat
kekedudukan "Lie". Di sini ia lihat lowongan, tangan kirinya
membacok bahunya It Goan.
Orang she Sin yang mudaan itu benar-benar liehay. Dia
gerakan sebelah tangannya, urat-uratnya bersuara meretek,
lalu tangannya menjadi seperti mulur dua dim, dengan
membuka kepalannya ia menotok jalan darah pekdjie hiat
lawannya itu. Hebat kalau jago-jago bertarung.
Hoei Liong lihat orang tidak akan sanggup melayani, dia
menggunakan akal. Sama-sama mereka menyerang, samasama
mereka mengenai. Hoei Liong segera rasai tangannya
kesemutan, maka sambil mengempos tenaga dalam, dia
lompat mundur, sambil berkelit dari hajarannya Sin Tay Goan.
Selagi dia berkelit, It Goan berteriak seperti orang kalap, maka
26 ia segera ditarik kakaknya, hingga si jago tua pun dapat ketika
untuk bernapas. Hoei Liong tahu, karena tangannya
kesemutan, serangannya mengenai sasaran tidak terlalu
hebat. "Kau tidak apa-apa?" Tay Goan tanya adiknya.
Adik itu menggerakan kedua tangannya.
"Tidak!" jawabnya. Cuma sedikit ia merasa sakit.
Maka kedua saudara itu dapat segera maju pula.
"Nyata mereka yakin juga ilmu menukar urat meringkas
tulang..." kata Hoei Liong dalam hatinya melihat gerak-gerik
kedua saudara itu. Terus dia menyerang pula.
Tay Goan dan H Goan kaget juga, karena mereka
dapatkan, walaupun musuh sudah kena ditotok jalan
darahnya, musuh itu kelihatan seperti tidak mendapat luka
suatu apa. Karena ini, mereka jeri untuk terlalu mendesak,
tidak peduli mereka pandai ilmu Tjitsat tjiang (Tangan Tujuh
Bintang) dan Tiatho tjiang --Tangan Rase Besi.
Pertempuran berjalan terus, dengan tidak kalah
dahsyatnya, bedanya sekarang, mereka sama-sama berhatihati.
Hebat kekuatan tangan dari Tiat Hoei Liong, tenaga
dalam itu ia andalkan betul-betul.
Segera juga dua saudara Sin merasakan akibatnya dari
tangan yang liehay itu. Mulanya mereka tidak merasakan apaapa
tetapi lambat laun. jalan napas mereka makin lama makin
seret, makin pepat. hingga mereka jadi kaget dan berkuatir. Di
saat mereka merasa bahwa mereka tidak akan bertahan lama,
mendadak mereka dengar satu suara tertawa nyaring tetapi
halus: "Ayah, baik serahkan kedua orang ini kepadaku! Aku
telah pergi menangkap udang kecil tetapi kau di sini
memancing ikan besar, inilah tidak adil! Tanganku gatal!"
Tiat Hoei Liong tertawa bergelak-gelak, segera dia lompat
mundur. "Baiklah, aku beri ketika kepadamu!" katanya.
Dua saudara Sin itu dapat bernapas lega pula, akan tetapi
ketika Giok Lo Sat berkelebat, berkelebat pula sinar
pedangnya, tahu-tahu dia sudah menghalang dihadapan
mereka! "Kau toh Giok Lo Sat?" Sin Tay Goan tanya.
27 Nona itu memandangnya dengan tajam, terus dia tertawa
terbahak-bahak. "Melihat dari wajah kamu yang aneh ini, rupanya kamu ada
dua saudara Sin!" katanya.
Tjoe Poe Tjiang tidak tunggu orang menyahuti, dari pojok
tembok dia lantas perdengarkan suaranya: "Lian Liehiap,
titahkan mereka kembalikan bungkusan yang dipegang
mereka!" Giok Lo Sat pun lantas ingat Lie Tjoe Seng pernah
memberitahukannya bahwa ketika diadakan pertemuan
besar di Bietjie, dua saudara Sin ini tidak turut hadir. Maka
selagi orang melengak, dia menambahkan: "Dulu kamu di
Siamsay Utara dan aku di Siamsay Selatan, kami kedua pihak
tidak mempunyai sangkutan suatu apa, akan tetapi sekarang
ini kamu memusuhi ayahku, maka sekarang juga ingin aku
saksikan, kamu mempunyai kepandaian apa hingga kamu
berani berjumawa!" Terus si nona mengkubat-kabitkan pedangnya, yang
berkilau-kilauan di depannya, di muka kedua saudara itu, lalu
bergantian menikam mereka!
Bukan main murkanya kedua saudara Sin itu, hingga
mereka berkaok-kaok. Mereka sendiri ganas, biasa mereka
berlaku galak, nyatanya sekarang, Giok Lo Sat lebih galak
daripada mereka -- mereka lantas diserang kalang-kabutan.
Maka sebisa-bisa mereka membuat perlawanan, masingmasing
repot menggunakan Tjitsat tjiang dan Tiatho tjiang.
Si Raksasi Kumala menyerang secara kacau, agaknya ia
menikam ke timur, tahu-tahu terus ke barat, nampaknya dia


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengancam ke selatan, tak tahunya dia membabat ke utara!
Terus menerus dia menyerang sampai tiga puluh jurus
lebih, sekonyong-konyong dia tertawa!
"Kamu mempunyai kepandaian tetapi itulah bukan
kepandaian dari golongan kelas satu!" katanya mengejek. "He.
heran, cara bagaimana kamu dengan kepandaian begini
macam berani menjagoi, berani angkat diri menjadi raja
muda?" Ia tertawa, tetapi serangannya tak dihentikan, ia masih
mendesak, hingga kedua saudara itu kelabakan.
28 Si Raksasi Kumala menang di atas angin, inilah tidak
heran. Ia memang liehay, dikepung berdua ia tidak takut,
tetapi untuk merebut kemenangan cepat, inilah jangan
diharap. Kalau kedua saudara Sin itu jadi demikian keteter,
itulah disebabkan Tiat Hoei Liong sudah gempur
semangatnya, karena jago tua itu sudah membuat mereka
merasa ngilu pada otot-otot dan buku tulang mereka. Jadi,
menghadapi Giok Lo Sat, mereka seolah-olah tak berdaya.
Mereka cuma bisa bela diri, tak dapat mereka membalas
menyerang... Hoei Liong sendiri, setelah mundur dari kalangan sudah
lantas menghampiri Tong Kee Pek, untuk menolongi anak itu
dari totokannya orang she Sin. Kemudian, sambil tertawa, dia
kata pada anak muda itu: "Pergi kau haturkan kepada ayahmu
bahwa Tiat Hoei Liong menanyakan kesehatannya!"
Kee Pek melengak, lekas-lekas ia memberi hormat.
"Kiranya kau Tiat Siokhoe!" katanya "Pantas siokhoe
mempunyai tenaga dalam yang hebat sekali. Malam ini
keponakanmu sudah membuat dia malu sendirinya..."
(Siokhoe -- paman). "Jikalau satu anak muda menerima satu kali ajaran, itulah
tidak apa," Hoei Liong menghibur.
Jago tua ini lantas periksa lukanya Touw Beng Tiong. pada
pundak siapa ada tanda hitam, tanda dari darah mati, maka ia
lantas jejalkan dalam mulut orang itu sebutir obat pulung. Di
dalam hatinya, dia berkata: "Kiranya persaudaraan Sin ini
masih punyakan juga ilmu tangan busuk Toksee tjiang, untuk
itu dibutuhkan obat buatan mereka sendiri..."
Toksee tjiang adalah Tangan Pasir Beracun.
Tong Kee Pek muncul dalam dunia kangouw untuk pertama
kalinya, dan pada permulaan ini ia telah dirobohkan, maka ia
merasa sangat malu, hingga ia jadi sangat mendongkol dan
mendendam sakit hati. Begitu lekas ia telah ditolongi Tiat
Hoei Liong, dia ingin melampiaskan kemendongkolannya itu.
Maka, segera ia rogoh sakunya, lalu dengan mengayunkan
tangannya, dua rupa senjata rahasia melesat ke arah kedua
saudara Sin. 29 Sin Tay Goan dan Sin It Goan sedang kelabakan karena
desakan pedangnya Giok Lo Sat, mereka pun sudah lelah
sekali, meski mereka dengar suara aneh dari menyambarnya
senjata-senjata rahasia, namun mereka tidak berdaya, sampai
berkelitpun mereka tidak sempat. Maka, kedua orang itu telah
menjadi sasarannya Toktjie lee, senjata rahasia bercagak
yang beracun. Senjata rahasia Keluarga Tong sangat kesohor, apalagi
toktjie lee itu. Tapi mereka sangat tangguh, masih mereka dapat
pertahankan diri, karena itu mereka dapat lompat kepada Kee
Pek, untuk melakukan pembalasan. Kedua orang itu
menjambak dengan tangan mereka yang kuat dan beracun.
Tapi Hoei Liong melihat gerakan kedua saudara itu, dia
lompat maju untuk merintangi sambil menyerang dengan tipu
silatnya "Tiatmoeitjek" atau "Pintu besi", maka tak ampun lagi,
Tay Goan dan It Goan roboh saling susul. Mereka sangat
mendongkol, selagi roboh, mereka mencaci kalang kabutan,
dan cacian itu makin lama makin lemah...
"Kamu telah melukai orang, sekarang kamu rasai liehaynya
tuan kecilmu!" Kee Pek berseru, agaknya dia merasa puas.
Sebenarnya dia hendak mengejek terus, tapi tiba-tiba Giok Lo
Sat sudah berdiri di hadapannya dengan wajah dingin dan
bengis! "Bagus senjata rahasiamu!
Liehay kepandaianmu melepaskannya!" kata si nona, sambil tertawa tawar. "Tapi,
siapa kesudian menerima bantuanmu" Lekas kau keluarkan
obatmu!" Tong Kee Pek kaget tidak terkira.
"Ini... ini..." katanya gugup. "Anak Siang, inilah Tong
Hiantit!" Hoei Liong menyelak. Ia pun lompat maju, seraya
mengatakan: "Lekas kau keluarkan obatmu!"
Dengan terpaksa, Kee Pek keluarkan obatnya, yaitu
kayyoh, obat untuk mencegah racun senjata rahasianya.
Meski begitu, dengan suara mendongkol, ia berkata: "Saudara
Touw telah terkena sambaran beracun dari mereka,
bagaimana?" 30 "Jangan kau bergelisah!" bentak Giok Lo Sat. Dia sambar
kayyoh itu, dilemparkannya pada Sin Tay Goan sambil
berkata: "Kau juga, keluarkanlah obatmu!"
Ini adalah kejadian di luar dugaannya kedua saudara Sin
itu. Mereka segera berhenti mencaci. Lalu mereka telan obat
yang diberikan itu. Karena ini, tidak lama kemudian, mereka
merasa ringan. Maka itu. mereka pun keluarkan obat mereka,
untuk diserahkan pada si nona.
Giok Lo Sat menyambuti, lalu ia berseru:
"Tinggalkan bungkusan itu!
Lekas kamu menggelinding pergi!"
Dengan mulut bungkam, Sin Tay Goan lemparkan
bungkusan yang tadi ia rampas dari Tjoe Poo Tjiang, habis itu
ia seret adiknya untuk diajak lari ke pintu. Di muka pintu, ia
berpaling sebentar, akan pandang Giok Lo Sat dengan sinar
mata mencorong. Dengan sengit, dia kata: "Baik, Giok Lo Sat!
Sampai kita bertemu pula di belakang hari!"
Si Raksasi Kumala tertawa panjang, tangannya meraba
gagang pedangnya. Dua saudara Sin itu lantas buka langkah lebar. Mereka
kabur dengan tidak berani berpaling pula!
Tjoe Poo Tjiang, Tong Kee Pek dan Touw Beng Tiong,
lompat dengan berhareng ke arah bungkusan yang berada di
depan si nona, untuk mendahului memiliki bungkusan
berharga itu, akan tetapi Giok Lo Sat, dengan gerakan enteng
tetapi sebat, sudah mendahului mereka dengan menginjak
bungkusan itu. Sambil berbuat demikian, matanya dibuka
lebar. Tjoe Poo Tjiang mundur dengan segera.
"Isinya bungkusan ini adalah hosioeouw yang berumur
seribu tahun dan bulu rase putih," ia beritahukan. "Mereka
hendak bawa itu ke kota raja buat dihadiahkan kepada Goei
Tiong Hian, aku merampasnya dengan niatanku
menghadiahkannya kepada kau, loodjinkee. Coba loodjinkee
bilang, pantas atau tidak yang aku telah merampas barangbarang
itu?" "Benarkah demikian?" si nona tegaskan.
31 Touw Beng Tiong angkat kepalanya dan berkata:
"Memang kedua barang itu hendak dihaturkan kepada Goei
Tiong Hian, tetapi dengan berbuat begitu, hendak aku
menolongi orang. Touwgiesoe Tjoh Kong Tauw adalah
pamanku dari pihak ibu, dia telah bergabung dengan Yo Lian
memajukan pengaduan, karena itu, oleh Goei Tiong Hian dia
sudah dimasukkan dalam penjara istana. Tan Soenboe
ketahui kejadian itu, dia memberitahukannya padaku, dia
suruh aku lekas pergi ke kota raja untuk berusaha
menolonginya. Aku tidak punya jalan untuk melawan dorna
kebiri itu, karenanya terpaksa, dengan melawan malu
hendak aku mohon belas kasihannya. Tjoh Kong Tauw adalah
orang setia dan jujur, dunia mengetahuinya, maka itu, apa
salahnya bila aku menolongi dia?"
Giok Lo Sat tercengang. Ini tidak ia sangka. Tapi segera ia
ambil putusannya. "Baiklah, kau boleh ambil bungkusan ini!" katanya. Terus
dia berpaling pada Tjoe Poo Tjiang dan berkata: "Lo Tiat Pie
telah menolongi anak tunggal dari Yo Lian, dia sedang cari
kau, maka pergilah kau lekas pulang!"
"Ah, mengapa kamu tidak mengatakannya siang-siang"
kata Poo Tjiang pada Kee Pek dan Beng liong berdua.
"Jikalau aku tahu mustika itu untuk menolongi orang, tidak
nanti aku merampasnya..."
Ia angkat tangan, akan beri hormat pada semua orang,
lantas ia berlalu. Dengan terburu-buru dia berangkat pulang ke
gunungnya. Touw Beng Tiong maju kepada si nona, ia memberi hormat
sambil menghaturkan terima kasihnya.
Giok Lo Sat segera menoleh kepada ayah angkatnya, sinar
matanya yang jernih memain.
"Ayah," katanya, "mari kita pergi ke kota raja untuk
menonton keramaian!"
"Baik!" sahut ayah itu, yang mempunyai maksud lain. Di
dalam hatinya, jago tua ini kata: "Pembunuh dari puteriku, Kim
Laokoay. sudah terbinasa di tangan Gak Beng Kie, tetapi di
sana masih ada dua musuh besarku, yaitu Bouwyong Tjiong
dan Eng Sioe Yang, mereka semua menjabat pangkat di
32 istana. Mereka juga mestinya bakal kembali ke kota raja.
Memang sulit untuk aku turun tangan, tetapi ada baiknya
jikalau aku tunggui mereka di kota raja. Mungkin ada jalan
untuk aku menuntut balas."
Tong Kee Pek sangat likat. itu dapat dilihat dari wajahnya.
Ia menoleh pada Touw Beng Tiong dan berkata: "Sudah ada
Tiat Siokhoe yang akan mengantarkan kau ke kota raja,
maafkan saja, aku hendak pulang..."
Ia memberi hormat, lantas ia undurkan diri.
Hoei Liong antarkan pemuda itu sampai di luar, kemudian
ketika ia kembali, sambil tertawa ia berkata pada anak
angkatnya: "Anak Siang, lain kali aku larang kau membuatnya
kaget pada satu anak ayam yang baru mulai keluar
menjelajah!..." Si Raksasi Kumala tersenyum. "Marilah!" ia mengajak.
Maka berlalulah ketiga orang itu. Mereka jalan bersama, di
sepanjang jalan mereka pasang omong.
Sekarang barulah Giok Lo Sat tahu, Touw Beng Tiong ini
pernah bekerja sebagai bawahannya Him Kengliak, bekerja
sebagai penulis, karenanya ia kenal Gak Beng Kie.
Ingat Him Kengliak, terharulah hati si nona.
"Setelah terbinasanya Him Kengliak, tidak ada lagi
penggantinya," kata dia dengan masgul. "Di mana penjagaan
di tapal batas sangat buruk, aku kuatirkan keselamatannya
Kerajaan Beng ini..."
"Sebenarnya bukan tidak ada gantinya untuk Him
Kengliak," kata Beng Tiong. "Apa yang dikuatirkan adalah
pemerintah nanti tidak mau menghargai orang yang menjadi
penggantinya itu..." Giok Lo Sat berpikir. "Siapakah kiranya
yang dapat menggantikan Him Kengliak untuk membela tapal
batas?" dia tanya orang she Touw itu.
"Dialah Wan Tjong Hoan yang sekarang menjabat Kiamsoe
dalam pasukan tentara Liauwtong," jawab Beng Tiong. "Dia
seorang cerdik pandai di jaman ini. Asalnya dia adalah satu
camat dari tingkat ke tujuh. Dia dikenal oleh Him Kengliak,
lantas dia diangkat untuk bekerja di perbatasan. Dalam
pertempuran di Kongleng, pernah Kengliak dipersulit Ong Hoa
Tjeng, sampai dia kalah dan lari meninggalkan kota. Wan
33 Tjong Hoan, dengan menunggang seekor kuda muncul untuk
memeriksa keadaan, lalu pulangnya, terus dia minta tentara.
Dia nyatakan ingin sendiri membela Liauwhoo bagian timur.
Sayang Him Kengliak cuma punyakan lima ribu serdadu,
sedang pemerintah tidak sudi menambahnya. Adalah setelah
kalah perang, Him Kengliak menugaskan Wan Tjong Hoan
memperbaiki urusan ketenteraan sambil mempernahkan
rakyat yang mengembara. Dalam peperangan, di waktu siang
selagi tentara musuh dapat bergerak dengan leluasa, Wan
Tjong Hoan tidak berbuat apa-apa, akan tetapi di waktu
malam, dengan berani ia nelusup masuk ke dalam daerah
musuh, ia bicara dengan rakyat jelata yang telah dipersatukan.
Karena itu, ia berhasil merebut kemenangan, meskipun
kemenangan itu kecil. Kemudian ia pergi ke Sanhaykwan
untuk membuat pembelaan. Coba tidak ada dia, mungkin
siang-siang tentara Boan sudah berhasil menerjang masuk ke
Sanhaykwan." Si Raksasi Kumala segera berpikir.
"Jikalau benar ada orang pandai semacam dia, surat
rahasia dari Him Kengliak dapatlah diserahkan padanya. Tapi
dia berada di tapal batas, bagaimana aku harus
menyampaikannya?" Ia terus berpikir, tidak dapat ia lantas jalan. Demikian
sampai mereka bertiga tiba di kota raja. Ketika itu sudah bulan
lima tanggal kedua puluhan. Waktu mereka memasuki pintu
kota, mereka lantas tampak suasana ramai...
Orang sedang membuat arak-arakan. Beberapa puluh
pembesar tengah menggotong patung bertubuh emas dari
Goei Tiong Hian. Orang telah memukul gembreng dan
menabuh tambur, orang berputaran di jalan-jalan umum di
kota raja. Penduduk, dengan berduyun-duyun menyaksikan
keramaian itu. Dengan suara perlahan terdengarlah cacian
dan gerutuan mereka... Ketika Tiat Hoei Liong bertanya-tanya, ia peroleh
keterangan bahwa orang tengah menghormati Goei Tiong
Hian dengan patungnya yang dibuat semasa dia masih
hidup... Itulah pujaan sebelum seseorang meninggal dunia.
34 Jaman itu adalah jaman kerajaan Thian Kee ke empat,
Goei Tiong Hian sedang berkuasanya, besar sekali
pengaruhnya dalam pemerintahan. Dia berkuasa di dalam dan
juga di luar. Sebab di dalam ada Keksie, si nyonya
berpengaruh. Banyak pembesar tinggi seperti Gwan Tay Wat,
Tjoei Tjeng Sioe, Kouw Peng Kiam. Hoe Wat, Nie Boen Hoan
dan Yo Wie Hoan, yang mengaku Goei Tiong Hian sebagai
ayah dan Keksie sebagai ibu. Adalah Phoa Lie Tjeng,


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

soenboe dari Tjiatkang, yang mulai menggerakkan membuat
patung Goei Tiong Hian, semasa hidup hingga teladan ini
diturut di pelbagai tempat. Yang paling belakang adalah usaha
di kota raja. Satu mahasiswa. yang menggelarkan dirinya si "Pembaca
kitab-kitabnya Khong Tjoe", yang bernama Liok Ban Leng,
menulis surat pujiannya untuk Goei Tiong Hian. Dia tulis:
"Khong Tjoe tjok Tjoen Tjioe -- Tjiangsin tjok yauw tian".
Artinya, kalau Khong Tjoe yang membuat kitab "Tjoen Tjioe",
adalah Tjiangsin --" dimaksudkan Goei Tiong Hian ?" yang
membuat teladan. Giok Lo Sat mendongkol melihat tingkah lakunya pelbagai
pembesar penjilat itu, hampir tak dapat ia atasi dirinya atau ia
sudah hunus pedangnya membasmi kawanan pembesar itu.
Syukur Tiat Hoei Liong segera tarik tangannya.
"Sudah jangan tonton lebih lama, aku pun ingin muntah
melihatnya!" kata ayah ini.
Setelah sampai di kota raja, Giok Lo Sat dan Tiat Hoei
Liong berpisah dari Beng Tiong. Berdua mereka pergi ke
Tiangan Piauwkiok. dan Beng Tiong pergi pada sanaknya
yaitu Soen Sin Tjong, satu pembesar tinggi dalam Pengpou,
Kementerian Perang. Ketika mereka berpisah dari Beng Tiong, sambil tertawa
dingin nona kita berkata: "Kau hendak mohon belas
kasihannya Goei Tiong Hian. yang kau hendak sogok, aku
lihat belum tentu kau berhasil..."
"Aku cuma akan berbuat sebisaku," sahut Beng Tiong.
"Mungkin kelak akan mohon bantuanmu..."
Melihat orang agak tolol tetapi toh jujur, Hoei Liong, suka
beritahukan alamatnya Tiangan Piauwkiok.
35 Pemimpin dari Tiangan Piauwkiok, Liong Tat Sam, ada
sahabat kekal dari Hoei Liong, melihat datangnya kedua
tetamu, ia menyambut dengan hormat dan melayani dengan
manis. Giok Lo Sat tunggu sampai habis bersantap malam, baru ia
tanyakan halnya Yo Lian ditawan.
Liong Tat Sam menghela napas.
"Terlalu panjang untuk dituturkan," sahutnya.
"Tolong kau jelaskan," Hoei Liong minta.
Tat Sam kembali menghela napas.
"Kamu tahu bukan tentang pergulatan antara Yam Tong
dan Tonglim Tong?" kata dia, mulai. "Yam Tong itu adalah
partainya Goei Tiong Hian. Sejak Goei Tiong Hian
menganugrahkan dirinya sendiri menjadi Kioe Tjian Swee
yang maha agung, maka semua pembesar yang bernaung di
bawah pengaruhnya dengan sendirinya juga menjadi
tjianswee-tjianswee yang maha mulia. Menteri-menteri sipil
dan militer di bawahannya ada yang diberi gelar Lima
Harimau, Lima Harimau Tutul, Sepuluh Anjing, Sepuluh
Bocah, Empat Puluh Cucu dan lain gelaran lagi. Kerja mereka
adalah menentang partai Tonglim. Nama Tong Lim ini berasal
dari Tonglim Siewan di kota
Boesek, yaitu ruang untuk meyakinkan ilmu sastera dari
menteri-menteri pembuangan. Sampai sekarang, bila menterimenteri
itu jujur dan setia, mereka lantas dipakaikan kopiah
Tonglim Tong. Itu artinya mereka adalah orang-orang yang
berdosa. Begitulah, konconya Goei Tiong Hian, yang bernama
Ong Tjiauw Hoei, sudah membuat da?ar nama-namanya
seratus anggauta-anggauta penting dari Tonglim Tong. Daftar
itu diberi nama Tiam Tjiang Lok, artinya daftar dari panglimapanglima
yang nama-namanya telah dicatat. Nama-nama itu
dibikin mirip dengan nama-nama seratus delapan jago dari
gunung Liang San. Yam Tong sendiri menyebut mereka bangsa orang jujur,
dan kaum Tonglim Tong digolongkan kaum tersesat. Menurut
daftar itu, setiap menteri setia hendak dilenyapkan. Begitulah
nama-namanya Yo Lian, Tjoh Kong Tauw dan Wan Hoa Tiong
36 tercatat paling atas." (Yam Tong = partai orang kebiri. Yam =
orang kebiri. Tong = partai. Tonglim berarti Rimba Timur).
Giok Lo Sat gusar mendengar penjelasan itu.
"Sungguh dunia terbalik!" katanya dengan sengit.
"Setelah Him Kengliak teraniaya," melanjutkan Liong Tat
Sam, "Yo Lian tidak dapat mengatasi diri lagi untuk perbuatan
melewati batas dari Goei Tiong Hian, maka dia telah
mengajukan dakwaannya yang terdiri dari dua puluh empat
fatsal. Sebagai akibat dari itu, -- akibat di luar dugaan -- di hari
kedua telah keluar firman yang menegur Yo Lian karena
pengaduannya itu. Keluarnya firman itu mendatangkan kemurkaannya
menteri-menteri yang setia, maka mereka lantas
menggabungkan diri. mereka hendak mengajukan protes di
saat kaisar duduk di singgasana. Goei Tiong Hian
memperlihatkan keliehayannya. Dia seperti punyakan tangan
yang bisa menutupi langit. Tiga hari berturut-turut dia dapat
mencegah Sri Baginda muncul di ruang singgasana. Selama
tiga hari itu, dia pun telah selesai dengan persiapannya
sendiri. Pada hari ke empat, dengan menuduh orang menjadi
konconya Him Kengliak dengan gunakan pengaruh kaisar, dia
bekuk enam menteri ialah Yo Lian, Tjoh Kong Tauw, Goei Tay
Tiong, Kouw Tay Tjiang, Wan Hoa Tiong dan Tjioe Tiauw
Soei. Mereka inilah yang dituduh jadi biangnya. Mereka ini
disekap dalam penjara besar Paktin Boesoe. Hebat tindaktanduknya
Goei Tiong Hian ini. Habis itu. dia hendak
memeras. Alasannya ialah ia menuduh Yo Lian dan kawankawannya
pernah menerima sogokan dari Him Kengliak
dan sekarang ia ingin uang sogokan itu dikeluarkan. Mereka
ada menteri-menteri miskin, mana mereka punya uang banyak
untuk diperas" Maka datanglah siksaan untuk mereka, yang
dilakukan setiap lima hari sekali. Setiap kalinya mereka
masing-masing dirangket empat puluh rotan dan dijepit lima
puluh kali. Inilah siksaan yang membuat mereka, mau mati
tidak bisa, tinggal hidup tapi menderita. Ada beberapa menteri,
yang tak tahan siksaan itu mencoba pada murid dan sanak
mereka untuk mengumpulkan uang. Ini juga tidak menolong.
37 Goei Tiong Hian meminta jumlah yang terlalu besar. Malah ini
membuka satu jalan untuk Goei Tiong Hian mengeruk uang."
Giok Lo Sat tepuk pahanya.
"Ah. sayang itu hosioeouw yang usianya seribu tahun..."
keluhnya. "Apakah itu?" tanya Liong Tat Sam. heran.
Tapi si nona tertawa, dia tidak menjawab. Dia hanya
berkata: "Baiklah, nanti aku pergi tengok Yo Lian!"
"Jangan sembrono, nona," Tat Sam memperingatkan. Dia
terkejut untuk niat nona itu. "Paktin Boesoe bukan kantor
sembarangan..." Nona itu tertawa. "Sekalipun istana, di sana aku bisa keluar masuk dengan
bebas!" katanya. "Apa itu baru Paktin Boesoe" Ya, apakah
Bouwyong Tjiong beramai sudah kembali?"
"Aku belum dengar kabar," sahut Tat Sam. "Besok akan
aku selidiki." Giok Lo Sat ada seorang yang "tidak takut langit, tidak jeri
akan bumi", demikian juga Tiat Hoei Liong, sang ayah angkat,
maka itu malam, sehabis pasang omong, mereka lantas
dandan, mengenakan pakaian malam, lantas mereka pergi ke
penjara istana yang dimaksudkan itu.
Tembok penjara tingginya tiga tumbak, atas tembok itu
terdapat banyak paku besar yang tajamnya menjulang ke
langit. Tapi semua paku itu tak dapat merintangi Giok Lo Sat
dan Hoei Liong berdua. Ketika mereka ada di atas tembok, jago Barat utara itu
berkata pada anak angkatnya: "Pergi kau selidiki penjara, aku
akan menjaga di sini!"
"Baik!" sahut si Raksasi Kumala dengan gembira.
Dan ia terus lompat turun ke sebelah dalam tembok
pekarangan. Ia sampai di tanah bagaikan selembar daun
rontok, tidak ada suaranya sama sekali.
Setelah berjalan dengan hati-hati. Giok Lo Sat umpetkan
dirinya di pojok yang gelap. Di situ ia menantikan, matanya
dibuka lebar, kupingnya dipasang terang-terang. Belum lama
ia menunggu atau tampaklah suatu sinar terang. Itu
menandakan munculnya satu peronda penjara.
38 Giok Lo Sat menunggu sampai orang datang cukup dekat,
lalu dengan tiba-tiba ia muncul dari tempat sembunyinya. Dia
mencelat ke depan ronda itu dengan goloknya yang berkilau
mengkeredep di muka si ronda.
"Yo Lian ada di kamar nomor berapa?" tanya dia,
membentak. Ronda itu kaget bukan main, ia sampai berjingkrak. Akan
tetapi, ketika ia dengar orang menanyakan Yo Lian, mendadak
ia menjadi girang. "Apakah kau hendak menolongi Yo Taydjin?" ia balik
menanya. "Dia ada di sana, di kamar nomor enam di ruang
barat. Kalau dari sini kau menikung ke kanan, di sanalah dia."
"Jikalau kau mendusta, aku nanti tabas mampus padamu!"
Giok Lo Sat mengancam. Ronda itu membanting kaki.
"Yo Taydjin telah disiksa hingga sekarang napasnya tinggal
sekali-sekali, jikalau kau hendak menolong dia, lekaslah!"
katanya. Dia tidak takut sekarang, dia hanya bergelisah.
Giok Lo Sat pandang wajah orang.
"Baik," katanya. Terus ia tinggalkan ronda ini, yang ia
percaya tidak akan main gila. Separuh lari ia menuju ke
tempat yang ditunjuk. Benar, setelah menikung, ia sampai di kamar No. 6.
Pintu penjara terbuat dari besi tebal lima dim, kuncinya
besar sekali. Orang biasa tak akan bisa berbuat suatu apa
terhadap kunci dan pintu itu. Akan tetapi tidak demikian
dengan si Raksasi Kumala. Sebagai orang Rimba Hijau
berpengalaman, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Nona ini merogoh ke dalam kantong pekpolong, di situ ia
simpan segala macam alat. Ia keluarkan sepotong kawat
bengkok, kawat itu dimasukkan ke dalam liang kunci. Lantas
ia mengorek-ngorek. Tidak lama kunci itu terbuka, maka ia
terus singkirkan itu, terus juga ia buka pintu kamar.
Kamar itu gelap, tak terlihat suatu apa jua. Cuma terdengar
suara rintihan perlahan. Giok Lo Sat keluarkan bahan apinya, untuk dinyalakan.
Segera saja ia tampak Yo .Lian, yang dirantai dan memakai
39 kalung hukuman. Menteri itu rebah berlumuran darah, hampir
dia tak dapat dikenali. Ia terkejut ketika ia ketahui ada orang datang, tapi lebih
terkejut pula waktu ia lihat si nona. Ia coba gerakan tubuhnya.
"Mau apa kau datang kemari?" tanyanya, keras.
"Aku hendak menolongi kau," sahut si nona.
Menteri itu menjadi gusar. "Aku ada satu menteri, mana
dapat aku turut kau kabur dari penjara?" katanya.
Giok Lo Sat mendongkol juga. "Sampai sekarang ini kau
masih unjuk kesetiaanmu!" tegurnya. "Apakah kau tidak
menghendaki jiwamu?"
"Biar aku dihukum tabas atau dihukum gantung, tidak ada
sangkutannya aku dengan kau'." kata menteri itu. "Kau tidak
mengindahkan undang-undang negara! Mana dapat aku
berlaku seperti kau?"
"Undang-undang negara! Undang-undang negara! hm!" si
Raksasi Kumala mengejek. "Aku bilang, kau adalah si dogol
terbesar!" Yo Lian mencoba menggerakkan tubuhnya.
"Jikalau kau datang lebih dekat padaku, nanti aku
benturkan kepalaku hingga aku terbinasa!" dia mengancam.
Giok Lo Sat menjadi kagum. "Puteramu telah dibawa Lo
Tiat Pie ke Soetjoan, apakah kau tidak ingat puteramu itu?"
tanya dia dengan sabar. Dia harap dapat membujuk dengan
memperingatkan ayah ini kepada anaknya. Dia ingin
memecahkan ketololan orang...
Tetapi ia menduga keliru. Yo Lian tertawa berkakakan. "Si
Tjong tidak kurang suatu apa, apa lagi yang aku kuatirkan?"
katanya. "Hm!" mengejek pula si nona. "Kau mengatakannya kau
adalah menteri yang setia, tetapi setelah kau mampus, di
dalam istana adalah penghianat semua! Tidakkah itu berarti
bahwa daerahnya Kerajaan Beng menjadi semakin lekas
tamatnya?" Kata-kata ini mengejutkan hati sanubarinya Yo Lian. Tapi
tetap dia berkeras kepala
"Foei!" demikian suaranya. "Adakah kau sangka menterimenteri
setia dapat dibikin habis" Apakah kau kira di dalam
40 istana sudah tak ada manusianya" Kau lihat, setelah Him
Teng Pek mati, di sana masih ada Wan Tjong Hoan! Yap
Siang Kho pergi, lalu ada Ang Sin Tioe yang
menggantikannya! Kerajaan Beng tak dapat dirampas bangsa
Ouw itu! Kamu bangsa berandal juga tak dapat
merampasnya!" Yo Lian mulai dari Menteri Perang lalu menjadi Tjohhoe
Touwgiesoe, menteri muda yang mendampingi kaisar, dan ia
telah memangku pangkat beberapa tahun lamanya, tidak
heran kalau ia menjadi sangat setia. Ia anggap, pemerintah
ialah ia, ia ialah pemerintah. Tidak pernah ia memikir,
kesetiaan caranya itu adalah kesetiaan yang sesat.
Karenanya, meski orang datang untuk menolongi dia,
penolong ini masih ia anggap sebagai "berandal kucar-kacir",
sebagai musuh negara. Sama sekali Yo Lian tidak dapat
meramalkan bahwa Kerajaan Beng itu dapat dirampas bangsa
Boan setelah ia mati, dan kemudian, Ang Sin Tioe yang
diharapkan dan dipuji itu toh pada akhirnya menjadi
penghianat bangsa juga...
Giok Lo Sat menjadi gusar, ia menjadi sengit sekali.
"Hm! Jikalau kau tidak dipersakiti hingga begini, tentulah
aku bunuh padamu!" katanya dalam murkanya itu.
Rupa-rupa perasaan lantas timbul pada nona ini. Ia
berkasihan kepada menteri celaka ini, ia merasa jenaka juga.
Ia mendongkol, ia membencinya, tapi pun ia menghargainya,
ia mengagumi. Ia kagum untuk nyali besar orang, yang tak jeri
untuk pengaruh musuh, ia hargai keberanian mendakwa


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dorna-dorna kebiri. Ia anggap jenaka dan mendongkol sebab
itulah kesetiaan yang tolol...
Mengapa, sampai akan menghadapi kematian, orang
masih tak sadar, tak insaf"
Yo Lian berkata pula, kali ini dengan perlahan.
"Sudah, pergilah kau..." demikian katanya. "Kalau nanti kau
bertemu anakku, kau beri dia nasihat supaya jangan mau
menjadi pembesar negeri. Kau sendiri, jangan kau ajari dia
menjadi bandit..." Mau atau tidak, Giok Lo Sat tertawa.
41 "Ha, kau masih pikirkan juga hari kemudian puteramu?"
katanya. "Hm! Dia jauh terlebih gagah daripada kau! Tidak
nanti aku ajarkan dia untuk tiru teladanmu yang gila ini!"
Kedua matanya Yo Lian mendelik dengan tiba-tiba, lalu
rapat pula. Ludahnya pun naik, hingga karenanya, ia menjadi
pingsan. Berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar suara
berlari-lari, suara mana disusul dengan teriakan berulangulang:
"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat pembongkar
penjara!" Kalau ia mau. dapat Giok Lo Sat membawa minggat Yo
Lian yang tengah pingsan itu. akan tetapi di detik terakhir itu.
ia ubah pikirannya. Tanpa bilang suatu apa, ia lompat keluar
dari kamar penjara, terus ia lompat lebih jauh. naik ke atas
genteng. Di atas genteng, Tiat Hoei Liong sedang beraksi. Dengan
menggunakan genteng sebagai senjata, ia timpuki anggautaanggauta
Kimiewie yang berada di bawah. Jitu timpukannya
jago tua ini, setiap gentengnya membikin orang-orang terluka.
Ketika ayah angkat ini tampak puterinya bertangan kosong,
ia kecele. "Apakah kau tak dapat cari dia?" dia ambil kesempatan
akan tanya anak angkat itu.
"Aku tidak hendak menolongi dia!" jawab si anak.
"Inilah adat bocah yang aneh..." kata Hoei Liong dalam
hatinya. Tidak sempat ia bertanya banyak-banyak. Mereka
telah mensia-siakan tempo. Ketika itu sudah ada beberapa
pahlawan Kimiewie, yang berhasil lompat naik ke genteng.
Jadi, untuk membongkar penjara, temponya sudah tidak ada
lagi. pikir jago tua ini.
"Sekarang marilah kita menyerbu keluar!" katanya
kemudian. Giok Lo Sat sedang mendongkol, ia memang tak
mempunyai ketika untuk melampiaskan itu. Sekarang tempo
itu datang. Segera ia perdengarkan tertawanya yang nyaring
dan panjang, terus dia lompat, sambil mengayunkan
pedangnya, ia menyerbu antara pahlawanpahlawan itu. la
tidak kenal takut. Ia pun berlaku bengis. Ia cari setiap
42 anggauta berbahaya dari musuh-musuhnya itu. Maka
sebentar saja, beberapa pahlawan telah roboh terguling jatuh
ke tanah, mereka perdengarkan jeritan-jeritan seram.
"Anak Siang, jangan lakukan terlalu banyak
pembunuhan!..." Tiat Hoei Liong peringatkan. Ia sendiri pun
bekerja terus, habis menggunakan genteng, ia terus pakai
tangannya yang kosong yang liehay.
"Mari!" ia mengajak. Dan mereka lompat untuk berlalu dari
tembok penjara, akan melenyapkan diri di genteng rumah
penduduk, di tempat yang gelap.
Ruang penjara, sebaliknya, segera menjadi terang.
Begitu lekas berlalunya Giok Lo Sat, Yo Lian tahu bahwa
dia tidak bakal hidup lewat malam ini. Ia sadar dengan cepat.
Ia tidak usah menanti lama atau di situ muncul Paktin Boesoe
Khouw Hian Soen bersama Tjiehoei Tjoei Eng Goan, kepala
dari Kimiewie yang ditugaskan melindungi penjara istana itu.
Di belakang mereka ini turut dua pegawai penjara, yang
menenteng sebuah karung yang dimuatkan tanah.
"Yo Taydjin, harap maafkan yang aku berlaku kurang ajar,"
berkata Khouw Hian Soen pada Tjohhoe Touwgiesoe itu.
"Malam ini kami hendak antar taydjin pulang ke langit barat..."
Yo Lian tertawa berkakakan. "Kamu tunggu sebentar," ia kata.
"Aku hendak menulis surat darah, yang aku minta kamu suka
tolong persembahkan pada Sri Baginda. Maukah kamu
mengijinkannya?" "Silakan tulis, taydjin," sahut Tjoei Eng Goan.
Yo Lian gigit jarinya hingga berdarah, ia robek ujung
bajunya yang putih, di situ ia tulis pesannya:
"Lian telah terbinasa di bawah rotan. Adalah tekadku untuk
membalas budi Sri Baginda. Maka harap Baginda jangan
pikirkan pula pada hamba ini. Lian tidak sudi buron sebagai
Thio Kiam, Lian tidak mengharapkan obat sebagai Yo Tjin.
Lian tidak menyesal, tidak terhadap Thian, tidak terhadap
sesama manusia. Lian cuma ingat, sebagai hamba, Lian
pernah terima budi. Khong Tjoe pun membilang, 'Memesan
anak tunggal, mengirim jiwa, meski menghadapi saat
berbahaya, kehormatannya tak dapat diganggu'. Inilah
peganganku, dengan begini bisalah Lian melihat Sri Baginda
43 marhum, tak malu menghadap dua kakek dan sepuluh
moyang. Bisa juga Lian menghadap Raja Langit dan Ratu
Bumi. Hidup kekal Sri Baginda/ Lian puas!..."
Tjoei Eng Goan kagum membaca tulisan itu, tidak demikian
dengan Khouw Hian Soen, yang menjadi anak pungut dari
Goei Tiong Hian, hingga wajahnya jadi suram.
"Apa kau belum menulis habis?" dia tanya.
Yo Lian berdarahkan pula jarinya, lalu ia lanjutkan menulis:
"...Dagingku remuk, darahku berlumuran, saat kematianku
tinggallah sedetik lagi. Sebenarnya aku mengejar si dorna,
untuk labrak padanya. Tapi, adalah itu
kebijaksanaannya Sri Baginda"
Tak lebih tak kurang, musuhku meminta jiwaku untuk
keinginannya memperoleh anugrah, agar jasa-jasaku lalu
menjadi kepunyaannya, untuk nanti dikemukakan kepada Sri
Baginda..." Melihat orang menulis demikian, Khouw Hian Soen habis
sabarnya. "Hm! Sampai sekarang kau masih sesalkan tjiangsin,
binatang!" katanya. (Tjiangsin itu ada menteri penguasa atas
pahlawan-pahlawan dari Tongtjiang dan Seetjiang, ialah Goei
Tiong Hian). "Sudah, lekas kerjakan!"
Kedua pegawai penjara segera menungkrap kepalanya Yo
Lian dengan karung yang bermuatkan tanah itu, sampai
sebatas dada. maka tak lama kemudian putuslah jiwa Yo Lian.
Ia memang sudah sangat payah.
"Bereskan juga Tjoh Kong Tauw dan Goei Tay Tiong!"
Khouw Hian Soen berikan titahnya. "Kita mesti cegah mereka
dibawa buron!" Karena cuma mereka bertiga yang dibebaskan, maka Tjioe
Tiauw Soei bersama Wan Hoa Tiong dan Kouw Tay Tjiang
lolos dari kematian. Tentu saja surat rahasia dari Yo Lian itu tidak disampaikan
kepada raja oleh Khouw Hian Soen, akan tetapi Tjoei Eng
Goan telah ingat di luar kepala, la memang bersimpati kepada
menteri yang bercelaka itu. Maka kemudian, ketika Tjoei Eng
Goan meletakkan jabatan dan pulang ke kampung
halamannya, bunyinya pesan itu telah tersiar luas.
44 Menurut surat rahasia itu, Yo Lian memang tolol, karena ia
berkorban tanpa perlunya, tetapi di sebelah itu, orang mesti
puji kesetiaan dan kegagahannya.
Ketika Giok Lo Sat dan Tiat Hoei Liong sampai di
piauwkiok, membicarakan halnya Yo Lian itu, si nona masih
mendongkol dan penasaran. Ia anggap menteri itu sangat
tolol. "Dia tolol tetapi dia setia, dia pun gagah," kata Hoei Liong.
"Syukur jikalau Sri Baginda mengeluarkan firman untuk
memerdekakan dia." Jago ini tak tahu, seberlalunya mereka, algojo telah datang
dan telah lantas menjalankan tugasnya.
Terhibur juga Giok Lo Sat ketika ia mendengar
perkataannya ayah angkat itu. Ia pun masih punya harapan
yang raja nanti akan membebaskan menteri itu.
"Sekarang mari kita kembali kepada maksud tujuan kita
datang ke kota raja ini," kata si nona. "Bukankah tujuan kita
ada tiga" Pertama kita mesti cari orang yang dapat diberikan
pesan rencana dari Him Kengliak. Kedua kita harus menuntut
balas untuk adik San Ho, guna mencari Bouwyong Tjiong dan
Eng Sioe Yang. Dan ketiga, untuk menolongi menteri yang
kukuh dan tolol itu. Untuk yang pertama itu, bisa kita
menemukannya, tak dapat kita mencarinya dengan meminta.
Untuk yang kedua dan ketiga, kita mesti masuk ke dalam
istana. Baiklah, ayah, besok malam aku masuk seorang diri ke
istana, guna melihat Bouwyong Tjiong sudah pulang atau
belum..." Hoei Liong tunduk, ia tidak menjawab, ia cuma
perdengarkan suara perlahan.
"Biarkan aku pergi, ayah!" kata anak pungut ini. "Tentang
keadaan dalam istana, aku lebih paham daripada ayah.
Malam ini kita telah mengacau di penjara, pasti pahlawanpahlawan
yang liehay telah dikerahkan di sana, dengan begitu
bisalah aku masuk dengan gunai kesempatan ini."
"Baik, asal kau waspada!" kata sang ayah akhirnya. Ia tahu
dalam hal enteng tubuh, ia kalah dari anak angkat ini. "Jikalau
Bouwyong Tjiong sudah pulang, jangan kau ganggu dia. Kau
tunggu aku memikirkan akal untuk tantang dia pieboe satu
45 sama satu." Giok Lo Sat manggut. "Baik," sahutnya. Nona ini
tidak pernah menduga, belum setengah jam ia meninggalkan
penjara istana. Yo Lian sudah menemui ajalnya secara
mengenaskan itu. Dengan memperlihatkan nyalinya yang besar, besok
malamnya Giok Lo Sat nelusup masuk ke dalam istana. Tapi
dia tak tahu di mana kamarnya raja.
"Akan tetapi aku tahu tempatnya si babu susu, Keksie yang
cabul itu," pikirnya. "Baiklah aku pergi dulu ke sana. Mungkin
sekali si raja cilik ada di sana..."
Dengan hati-hati, dan cepat, si Raksasi Kumala telah
sampai di Lengnio hoe, ialah gedung dalam istana yang
menjadi tempat kediamannya si babu susu raja. Ketika ia
sampai di atas wuwungan gedung, di dalam situ kebetulan
Keksie lagi pasang omong dengan anak perempuannya.
"Katanya anak Keksie ini ada muridnya Anghoa Koeibo,
entah bagaimana sifatnya dia..." ia berpikir. Karenanya, ia
memasang kuping. "Anak Teng, kau bukannya masih kecil," demikian
terdengar suaranya si babu susu, inang pengasuh raja,
"bagaimana jikalau aku suruh raja ambil kau sebagai selir?"
"Mama." berkata Kek Peng Teng, "kau masih belum terlalu
tua, mengapa kau ngaco begitu rupa?"
"Kaulah yang ngaco!" kata ibunya. "Apa jeleknya untuk
menjadi selir" Di belakang hari aku nanti berdaya supaya Sri
Baginda singkirkan permaisuri! Bila itu sampai terjadi, kaulah
pengganti permaisuri itu!"
"Aku tidak memikir untuk menjadi janda!" anak itu kata.
"Eh, apa kau bilang?" Keksie tanya. "Kenapa kau sumpahi
anakku Yoe Kauw lekas mati?"
"Siapa yang sumpahi dia, mama?" Peng Teng balik
menanya. "Mama harus ketahui, aku toh sudah mempelajari
ilmu silat" Aku pandai melihat orang dengan tubuh lemah dan
tubuh kuat. cukup aku melihatnya satu kali saja. Memang raja
kecil itu kelihatannya tidak kurang suatu apa, akan tetapi
ketika dia bicara, suaranya sangat mendesak, pendek, tidak
ada suaranya. Tubuhnya pun sangat kosong, selagi berjalan,
dia mirip angin halus. Sekarang ini dia dapat bertahan karena
46 dia selalu mengandalkan obat. Aku berani bertaruh, pasti
sekali dia tidak bakal hidup sampai tiga tahun lagi!"
Keksie berpikir. Memang, kata-kata anaknya ini benar. Tapi
ia berpikir lain. "Kalau begitu katamu, kita mesti bersiap-siap untuk daya
kita!" katanya. "Sekarang aku berkuasa, berpengaruh, tetapi
kedudukanku aneh. Coba pikir, sejak jaman purbakala, di
mana ada babu susu yang dapat tetap menguasai istana
selama-lamanya" Cuma ibu suri yang dapat turut memerintah
negara. Maka, anak, jikalau kau menjadi permaisuri, dan nanti
raja wafat, kau lantas dapat menjadi ibu suri. Nah, dalam
waktu itu puaslah kau, dapat kau bikin apa kau suka! Apakah
kau masih takut menjadi janda?"
"Hai, perempuan ini sangat tidak tahu malu!" pikir Giok Lo
Sat. "Jikalau aku tidak kuatir nanti mengagetkan di luar, tentu
sekarang juga aku bikin habis jiwanya!..."
Kek Peng Teng pun sangat masgul. Sejak dia masuk dalam
istana, dia telah menyaksikan kecabulan ibunya itu, hingga
hampir tak dapat dia melihat terus. Sekarang dia dengar
anjuran luar biasa dari ibunya ini. Dia malu. dia mendeluh.
"Mama, besok hendak aku pulang!" katanya tiba-tiba.
"Pulang?" kata ibu itu heran. "Pulang ke mana" Ini toh
rumahmu?" "Aku hendak cari guruku!" kata anak itu, menerangkan.
Keksie menghela napas. "Gurumu itu," katanya, "dia benar
punyakan kepandaian silat yang nomor satu dalam dunia ini,
tetapi dia tidak kenal jaman..."
"Tidak peduli, mama, hendak aku cari dia!" kata anak itu.
"Ah, anak, kau adalah anakku satu-satunya?" berkata dia.
"Kau harus ketahui, keadaan dalam istana ini sangat
berbahaya. Jangan kau anggap sekarang aku lagi berkuasa
dan berpengaruh. Umpama kata anak Yoe Kauw mati, ada
kemungkinan aku nanti dibinasakan orang. Kau pandai silat,
aku mengandalkan kau untuk melindungi aku."
Basah matanya Peng Teng. "Jikalau begitu, jangan mama
paksa aku menjadi selir," dia kata. "Bila mama memaksa,
segera aku angkat kaki!"
47 "Baik," jawab sang ibu. "Karena kau tidak setuju, nanti aku
carikan lain pasangan untukmu. Bagaimana kalau satu
tjonggoan baru" Kau dapat memilihnya, boetjonggoan atau
boentjonggoan!" (Tjonggoan = mahasiswa tingkat paling
tinggi. Boen = sipil. Boe = militer.). Mukanya anak itu merah.
"Mama, aku larang kau mengucap demikian!" katanya,


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. "Sebetulnya hatiku sudah pepat berdiam di dalam
istana ini. Besok hendak aku pergi ke Seesan, untuk melihat
bunga. Mama ingin turut atau tidak?"
"Aku sudah tua, aku tidak punyakan kegembiraan untuk
itu," jawab sang ibu. "Jikalau kau hendak pergi ke sana,
pergilah naik kereta kurung. Dari dalam kereta itu kau dapat
mengintai orang di luar, sedang orang di luar tak dapat melihat
padamu. Kau lihat, bagaimana ibumu kurang sayang
padamu... Baru saja aku titahkan tukang membuatnya. Kereta
itu sekarang sudah ditaruh di luar."
Peng Teng tersenyum mendengar kata-kata ibunya itu.
"Sekarang tolong siapkan semangkok somthung untuk Sri
Baginda!" kata ibu itu kemudian.
"Ah, aku tidak mau!" anaknya menolak.
"Nah. nah, kembali kau membawa adatmu!" kata ibunya.
"Kau tidak mau pergi, baiklah! Tjoen Koei, Tjoen Koei, mari!"
Tjoen Koei adalah satu dayang, dialah yang dititahkan
menyuguhkan kuah somthung untuk raja.
Dayang itu membawa sebuah peti terbuat dari besi, di
dalam peti itu -- yang bagaikan kuali, -- terdapat kuah
somthung itu. Di bawah peti ada api menyala, yang
membuatnya somthung itu tetap hangat.
Giok Lo Sat dengar semua pembicaraan ini, dan yang
terakhir membuat ia girang. Begitu lekas dayang itu berangkat,
dia tinggalkan tempat sembunyinya untuk menguntit. Dia
mengintil tanpa diketahui si dayang.
Keraton tempat kediaman raja terpisah tak jauh dari
gedungnya Keksie, maka itu, jatarTbelum lama, sampailah si
dayang di sana. Giok Lo Sat lihat ada pengawal yang menjaga di luar
keraton, maka itu ia lantas umpetkan diri di pojok gununggunungan.
Ia tunggu sampai dayang tadi keluar pula, lalu
48 dengan sepotong tanah, ia timpuk dayang itu. Timpukannya
itu jitu, yang mengenai jidatnya si dayang. "Aduh!" teriaknya,
kesakitan. "Ada apa?" teriak satu pengawal, sambil lari
menghampiri. "Ada orang serang aku," sahut si dayang. "Lihat, rambutku
kusut" Sakit..."
"Ah, kau melihat setan! si pengawal tertawa. "Coba aku
lihat, bagian mana yang terserang..."
Dengan tangannya, ia usap muka orang.
Menggunakan ketika si pengawal meleng, Giok Lo Sat
keluar dari tempat sembunyinya, untuk terus lompat naik ke
atas genteng, yang terbuat dari kaca, dari situ, ia lompat
masuk ke pekarangan dalam. Dari sini terus ia pergi keluar
kamar tulis raja. Di luar, si pengawal asyik bercanda dengan si dayang, dia
tidak tahu ada orang sudah nelusup masuk.
Di dalam kamar tulisnya, Yoe Kauw sedang memeriksa
surat-surat. Semua suratnya menteri besar telah disingkirkan
Goei Tiong Hian, maka itu raja ini cuma bisa periksa
laporannya pembesar-pembesar setempat.
"Ah, orang ini besar nyalinya!" kata dia seorang diri.
"Bagaimana dia berani memohon keadilan untuk Him Teng
Pek! Dia minta kami bunuh Goei Tiong Hian. Coba kami lihat
namanya..." Yoe Kauw bukannya seorang yang terlalu tolol, hanya
karena sudah lama ia dipengaruhi Keksie, hingga ia tak dapat
mengangkat dirinya sendiri. Ia sekarang adalah satu pemuda
yang berusia dua puluh tahun, ia mengerti, sungguh
menyebalkan untuk menjadi raja boneka.
"Wan Tjong Hoan, penulis pada tangsi tentara di
Liauwtong," ia membaca. "Baik aku ingatkan nama ini. Aku
mesti berdaya untuk pakai dia kelak. Ah, ia telah datang ke
kota raja untuk menantikan pengangkatan... Baik, beberapa
hari lagi. nanti aku titahkan panggil dia menghadap. Tapi,
bagaimana kami mesti urus permohonannya ini?"
Tidak berani raja ini mengabulkan permohonan itu, iapun
tidak ingin serahkan itu pada Goei Tiong Hian. Maka ia
menjadi bingung. 49 Sedangnya kaisar ini pusing, tiba-tiba kain jendela
terpentang, angin menghembus masuk, suatu suara perlahan
menyusul di atas meja. la menjadi kaget, hingga ia
mengeluarkan jeritan. Di tengah-tengah meja kemudian menancap pisau belati,
dan pada belati itu tertusuk selembar kertas yang ada
tulisannya, bunyinya: "Lekas bebaskan Yo Lian! Kubur Him Kengliak dengan cara
hormat! Jikalau kau tidak turut, akan aku ambil kepalamu!"
"Mana orang!" teriak kaisar ini dalam kagetnya itu. Dia
kelabakan. Lalu kagetnya bertambah, apabila dia dapatkan,
suratnya Wan Tjong Hoan lenyap...
Giok Lo Sat unjuk kesehatannya. Sedang orang menoleh
ke belakang, ia lompat masuk dan menyambar suratnya Wan
Tjong Hoan itu. la bekerja cepat sekali. Tapi sedangnya ia
menyingkir melewati gunung-gunungan, tiba-tiba ia rasakan
angin berseliwir keras, lalu satu bayangan bagaikan segumpal
awan merah menyambar ke arahnya. Ia berbalik, pedangnya
dipakai membabat. Nona ini menjadi kaget, karena ia rasakan pedangnya
seperti terjepit dan keras untuk ditariknya, hingga ia mesti
pakai tenaga besar. Waktu pedangnya itu terjepit, ia dengar
suara sangat nyaring dan berisik, mirip dengan suara
gembreng pecah, yang menulikan kuping.
Segera ia berhadapan dengan satu pendeta lhama yang
memakai jubah merah yang gerombongan.
Itulah Tjiang Kim Lhama, pelayannya kaisar, yang
ditugaskan oleh Goei Tiong Hian. Dia bertenaga besar dan
pandai silat, pandai juga ilmu obat-obatan untuk plesiran di
dalam kamar. Jadi raja hendak diloloh obat pelesiran, supaya
dia gemar main perempuan...
Senjata pendeta itu berasal dari Tibet, yaitu sepasang
cecer tembaga. Dia anggap dirinya sudah liehay, maka itu ia
kaget ketika ia dapatkan si nona dapat meloloskan pedangnya
dari jepitan cecernya itu.
Si Raksasi Kumala menjadi gusar dan penasaran, melihat
pendeta itu tercengang ia lantas menyerang, ketika si Ihama
50 menangkis, ia ulangi serangannya. Dengan begitu mereka jadi
bertempur. Tjiang Kim mainkan sepasang cecernya itu. dia ingin
menjepit pula pedang si nona, akan tetapi kali ini. dia tidak
berhasil. Malah dia sendiri, dibikin sangat kaget waktu si nona
membabat ke arah perutnya, hingga dia mesti kempeskan
perutnya itu sambil menjepit pula. Kembali dia gagal, sedang
ikat pinggangnya terbabat kutung. Karena kagetnya, dia lantas
lompat mundur. Si nona gunakan ketika ini, ia pun lompat mundur juga.
untuk terus memutar tubuh dan berlalu...
Ketika itu riuhlah sekitar istana, karena tanda ada bahaya
terdengar dari sana-sini, dan banyak pengawal lari memburu.
Di atas genteng kaca dari keraton Kengdjin kiong segera
terdengar satu seruan dari satu bayangan manusia: "Giok Lo
Sat, kau bernyali besar, tetapi kali ini, tidak dapat kau terbang
lolos!" Itulah Bouwyong Tjiong si pemimpin pahlawan istana, ia
tahu si nona liehay. maka itu tidak mau ia hampirkan nona itu,
untuk bertempur. Kembali ia perdengarkan suaranya yang
nyaring: "Jangan kamu bingung! Lekas tutup pintu luar!
Pasang lentera! Lepaskan panah! Jagalah tembok! Habis itu,
kamu menggeledah! Tidak nanti dia lolos!"
Oleh karena ia mempunyai Iweekang yang mahir,
Bouwyong Tjiong punyakan suara nyaring luar biasa,
terdengarnya keras dan jauh.
Segera keraton menjadi terang. Banyak sekali lentera yang
dipasang dan dipancarkan, hingga kelihatan nyata munculnya
pelbagai pahlawan. Giok Lo Sat cerdik, dia berlaku tenang. Dia tahu. biar
lentera-lentera sangat terang, cahayanya toh tidak dapat
menembusi taman, maka itu, ia nelusup di antara pohonpohonan.
Ia mengenakan pakaian malam warna hitam, ini
membantu banyak padanya, la selalu cari tempat yang gelap.
Ia juga gunakan akal. Ialah tiap-tiap kali ia jumput batu dengan
apa ia timpuk sana-sini. hingga ia menerbitkan suara
berisik. Orang menduga ia berada di timur, tak tahunya ia
51 nyelusup ke barat. Dengan jalan cerdik ini, akhirnya ia dapat
meloloskan diri ke Lengnio hoe.
Keksie ketakutan bukan main apabila ia dengar suara
berisik, ia kunci pintu kamar, ia lari masuk ke dalam kamar
rahasianya di dalam tanah. Peng Teng sebaliknya menghunus
pedang, bersiap akan melindungi ibunya.
Ketika Giok Lo Sat lari sampai di luar gedungnya Keksie, ia
tidak lihat ada orang di situ. Ketika ia tampak kereta kurung, ia
tersenyum. Ia singkap tendanya, lalu ia lompat naik masuk ke
dalamnya, sesudah mana. ia turunkan pula tenda itu.
Kawanan pengawal masih mencari terus, mereka tidak
mendapat hasil. Tidak ada orang di dalam, tidak ada yang
molos keluar. Tentu sekali, mereka menjadi heran.
Bouwyong Tjiong berlaku teliti, ia pasang orang-orangnya,
ia pun bantu mencari. Tapi semua ini sia-sia saja. Terus
sampai terang tanah istana itu digeledah, tetapi mereka tidak
menemukan orang yang dicari itu. Maka Bouwyong Tjiong jadi
sangat mendongkol, menyesal dan berduka. Ia menyangka si
nona telah memperlihatkan kemahiran ilmu enteng tubuhnya
dan dapat lolos dari kepungannya itu. Maka akhirnya, ia
titahkan untuk berhenti mengadakan pemeriksaan. Tetapi
penjagaan tetap diperkeras.
Selama itu. si Raksasi Kumala sendiri sedang asyik
menyenderkan tubuhnya di dalam kereta yang empuk.
Setelah pengepungan dihentikan, istana jadi tenang pula.
Cuma suasana yang tetap tegang. Karena berkuatir pada
Keksie, maka Peng Teng tidak jadi keluar pagi-pagi, ia keluar
setelah matahari naik tinggi. Ia keluar dari gedungnya dengan
naik kereta kurung yang indah. Ia memang biasa keluar
pelesir, maka keretanya dapat keluar masuk dengan bebas.
Walaupun dalam keadaan tegang, tidak ada pahlawan yang
berani periksa kereta si inang pengasuh raja, menanyakan
pun tidak. Benar-benar nyaman kereta kurung itu untuk didudukinya.
Empuk dan tidak bergoncang keras.
Tidak lama sampailah kereta itu di Seesan, Gunung Barat.
Selagi Peng Teng hendak turun dari keretanya, untuk melihatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
52 lihat bunga-bunga yang indah dan menghirup baunya yang
harum, tiba-tiba terdengar suara perlahan di dalam keretanya
itu. seperti tikus sedang makan sesuatu. Ia menjadi heran.
"Kereta masih begini baru dan indah, mustahil sudah
menjadi sarang tikus?" kata dia seorang diri.
Ia hendak angkat bantal itu, tetapi belum sampai ia
mengangkatnya. Ia telah merasakan tenaga yang menolak
bantal itu, hingga ia menjadi kaget dan mencelat.
Segera jok itu terangkat, maka di bawah itu, yang lega bisa
muat berbareng dua orang, berbangkit satu orang dan duduk.
Orang itu pun lantas tertawa.
"Kau baik?" tanya orang itu. "Terima kasih untuk buah
angtjo dan buah toh ini!"
Giok Lo Sat merasa lapar, ia hajar bekalan buah tjo dan toh
yang manis itu, saking napsunya, ia sampai perdengarkan
suara njiplak, suara beradunya kedua baris giginya.
Peng Teng terkejut, tetapi belum sempat ia hunus
pedangnya, Giok Lo Sat sudah hajar jendela kaca, terus ia
lompat keluar dari kereta itu lalu sambil lari, dia berteriak:
"Orang she Kek, gurumu sudah mati! Jikalau kau tidak berlalu
dari keraton, nanti sia-sia saja ilmu silat yang gurumu wariskan
padamu!" "Apakah ada yang bunuh guruku itu?" Peng Teng berkaok,
menanya. "Siapa?"
"Siapa pun tidak ada yang bunuh padanya!" sahut Giok Lo
Sat. "Dia mati karena jengkelkan suami bangsatnya itu!
Sekarang ini orang yang mewariskan kepandaian tinggal kau
seorang! Sebab anaknya adalah satu bantong, yang tidak ada
gunanya! Maka itu jika kau tidak merantau, untuk mengangkat
nama, guna kemasyuran gurumu, pasti dia mati dengan mata
tak meram!" Itulah suara yang terakhir, Peng Teng tidak melihat lagi si
nona. Maka lenyaplah kegembiraannya.
Tiat Hoei Liong di tempat mondoknya berkuatir apabila ia
menunggu dengan sia-sia kepada anak pungutnya, yang itu
malam tidak kembali, sampai paginya; selagi ia menanti terus
53 dengan gelisah, barulah sesudah jauh siang, ia lihat anak itu
pulang. "Ah, ke mana saja kau pergi?" tanya dia.
"Aku mengacau di dalam istana," sahut sang anak seraya
terus memberikan keterangannya.
Mendengar Bouwyong Tjiong telah kembali, wajahnya Hoei
Liong menjadi merah. "Kau nakal!" katanya, tertawa, waktu si anak menceritakan
ketika ia makan buah-buahannya Kek Peng Teng,
"Sekarang ini sulit juga untuk cari Bouwyong Tjiong," kata si
nona sesudah selesai menutur. "Tentang ia baiklah kita
lakukan lain kali. Sekarang telah aku dapatkan orangnya yang
tepat untuk diserahkan kitab rencananya Him Kengliak."
"Apakah kau maksudkan Wan Tjong Hoan?" tanya Hoei
Liong. Orang tua ini dapat menduga.
"Benar." jawab sang anak. "Tentang dia mulanya aku
dengar dari Touw Beng Tiong, yang memujinya, tapi aku
masih sangsi. Yo Lian pun mengatakannya, Tjong Hoan itu
dapat menggantikan Kengliak, masih juga aku ragu-ragu. Tapi
sekarang, setelah melihat surat permohonannya itu kepada
raja, baru aku percaya dia bernyali besar. Rencana itu baiklah
dihaturkan kepadanya. "Rencananya Kengliak adalah mengenai nasib negara,


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk itu harus kita hati-hati," kata Hoei Liong. "Karena
sekarang ia berada di kota raja, nanti aku minta Liong Toako
tolong carikan tempat pemondokannya, sesudah itu, kita nanti
pergi padanya. Lebih dahulu kita mesti uji dia."
Memang Wan Tjong Hoan dari perbatasan telah ditarik
pulang ke kota raja, untuk menanti tugas yang baru.
Punggawa setingkat ia, di kota raja ada banyak sekali, di mata
Kementerian Perang, dia tidak terlihat. Tapi dia bukan seperti
punggawa-punggawa yang kebanyakan itu, maka itu ia
mengetahui keadaan di istana, dengan berani dia telah
mengajukan permohonannya mengenai sepak terjang Goei
Tiong Hian. Kesudahannya, dia jadi sangat masgul, dia tidak
dengar suatu apa dari permohonannya itu.
Itu hari dia duduk seorang diri di tempat kediamannya.
Setelah menyeduh teh, lantas ia membaca kitab ilmu perang
54 dari Soen Boe Tjoe. Tiba-tiba pintu kamarnya ada yang tolak,
lalu satu nona bertindak masuk, bersama nona ini ada
seorang tua. "Wan Tjong Hoan. nyalimu sangat besar!" sekonyongkonyong
si nona membentak. "Kenapa kau berani satrukan
Goei Kongkong" Apakah dengan perbuatanmu itu kau masih
mengharap hidup!" (Kongkong ?" panggilan untuk orang
kebiri.). Wan Tjong Hoan tidak takut, ia hanya heran.
"Siapa kamu?" ia balik tanya. "Kamilah yang datang untuk
membunuh kau!" sahut si nona. ialah Giok Lo Sat. yang
datang bersama ayahnya. Ia rogoh sakunya untuk
mengeluarkan surat permohonan, lalu ia lemparkan di atas
meja. "Bukankah kau yang tehtfi menulis ini?" ia tegaskan.
Tergerak juga hatinya punggawa itu.
"Setelah aku sampai di kota raja ini, aku dengar suratku ini
ditahan Keksie," dia berpikir. "Aku juga dengar Keksie
mempunyai satu anak dara yang pandai silat. Apakah benarbenar
Keksie telah melihat suratku ini dan sekarang dia
mengirimkan gadisnya serta pahlawan untuk membunuh
aku?" Tapi ia tidak takut. Maka dengan suara keras, ia
menjawab: "Ya, aku yang menulisnya! Sekarang kamu mau
apa?" II "Ah, apakah benar-benar kau tidak takut mampus?" Giok
Lo Sat tertawa, la lantas ulurkan tangannya yang halus
bagaikan kemala nampaknya, lalu jerijinya digurat-guratkan di
Petualang Asmara 1 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Menjenguk Cakrawala 5

Cari Blog Ini