Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 4
diubah lagi," katanya.
Dengan berbareng Oey Yap Toodjin, Pek Sek Toodjin, Ang
In Toodjin dan Tjeng So Toodjin lompat naik ke atas batu yang
merupakan panggung lebar itu, dan Pek Sek perdengarkan
tertawanya mengejek. "Meyakinkan ilmu pedang, pedang, pedang!" serunya,
menghina, karena sengitnya. "Paling dahulu Boetong pay
larang orang mendakinya dengan membawa-bawa pedang!"
"It Hang, apakah kau sudah pasti dengan putusanmu?"
Oey Yap masih tegaskan. It Hang tidak menyahuti, hanya dengan perlahan ia
mengangguk. "Kau berdiri di pinggiran!" bentak Oey Yap. "Selama kau
belum memberitahukan niatmu kepada roh gurumu, kau masih
tetap murid dari Boetong pay merangkap ketuanya!" ia
peringatkan. It Hang menurut, ia bertindak ke samping.
Oey Yap lantas menghadap Giok Lo Sat.
"Di kolong langit ini ada banyak pria, mengapa kau justeru
melibat dia ini?" dia tanya nona itu.
Si Raksasi Kumala murka tak kepalang. Bila tidak dalam
keadaan demikian, pasti ia sudah tikamkan pedangnya ke
dadanya Oey Yap, akan tetapi sekarang, masih ia dapat atasi
dirinya sendiri. Begitulah ia tertawa dingin.
"Di kolong langit ini ada banyak perkara yang terlebih
penting, mengapa kau tidak pergi mengurusnya?" dia balik
menanya. "Kenapa kamu justeru usil dalam perkara remeh
ini?" Oey Yap gerakkan tangannya. Itulah satu tanda.
Gie Sin Seng bersama tiga saudara seperguruannya, yang
menjadi empat murid kepala, karena mereka adalah muridmurid
ke empat dari Boetong Ngoloo, Lima Tertua, sudah
lantas lompat naik ke atas panggung, lalu mereka disusul oleh
163 beberapa murid lain, yang sudah tinggi kedudukannya, yang
tugasnya mengepalai masing-masing bagian.
"Giok Lo Sat," Oey Yap lantas tanya, "apakah kali ini kau
datang untuk mengacau, atau kau berniat membawa lt Hang
pergi?" "Sama sekali tidak aku paksa dia!" jawab si nona tak
langsung. "Kalau kau hendak pergi, tidak ada halangannya," kata Oey
Yap. "Asal kau letakkan dulu pedangmu..."
Giok Lo Sat lirik It Hang. Pemuda itu menyangka bila Giok
Lo Sat meletakkan pedangnya, ia dan Giok Lo Sat akan
diijinkan berlalu. "Inilah aturan di gunung ini," ia kata dengan perlahan pada
kekasihnya. Si Raksasi Kumala tertawa, ia lemparkan pedangnya ke
batu. "Aku suka turut aturan kamu," katanya. "Apa sekarang
kamu ijinkan aku dan dia pergi?"
Gie Sin Seng jemput pedang itu, ia bawa ke atas kepalanya
"Siluman dari partai asing sudah menyerah dan
memberikan pedangnya, silakan tiangloo memberi putusan!"
katanya. Dalam generasi kedua, kedudukan Gie Sin Seng ini adalah
yang paling berkuasa. Ialah yang bertugas melindungi atau
menjalankan segala aturan partai Boetong pay. Maka dalam
keadaan seperti itu, dia maksudkan Giok Lo Sat sebagai
musuh sudah terkalahkan. Karena itu, hendak ia jalankan
upacara menyerahkan pedang pihak yang takluk itu.
Hampir meledak dadanya si Raksasi Kumala menyaksikan
perlakuan orang atas dirinya itu, apapula ketika ia dengar
kata-katanya Oey Yap terhadapnya: "Karena kau telah
menyerahkan pedangmu, suka aku tidak memperpanjang
perbuatanmu yang sudah-sudah. Lekas kau turun, pergi dari
gunung ini! To It Hang adalah tjiangboendjin kami, mana dia
pantas menjadi pasangan dari satu perempuan siluman! Baik
kau matikan saja hatimu itu!"
Terbeliak kedua matanya si nona. Tak terhingga
kemendongkolan-nya. 164 "Aku tidak mau pergi!" katanya dengan keras. Ia pun
tertawa dingin. Pek Sek dan Ang In, kedua tetua yang pernah diperhina
nona ini, lompat maju. "Kau hendak berlalu atau tidak?" mereka tegaskan.
"Sungguh belum pernah aku melihat seorang perempuan hina
dina semacam kau ini! Dengan tak tahu malu berani datang ke
Boetong san untuk mencari suami!"
Kembali si nona tertawa dingin, Tetapi kali ini dibarengi
dengan mencelatnya tubuhnya, hingga tahu-tahu dengan
berkelebatnya tubuhnya itu. terdengarlah satu suara keras.
Sebab Pek Sek Toodjin tiba-tiba kena disentil kupingnya!
Dalam kaget dan murkanya, Pek Sek hunus pedangnya.
Justeru itu waktu, terdengar jeritannya Gie Sin Seng, sebab
selagi ia bertindak dengan tegap, untuk serahkan pedang
kepada Oey Yap Toodjin, mendadak Giok Lo Sat lompat
kepadanya, ia rampas pedang di tangannya itu sambil
menyentil kupingnya seperti ia menyentil kupingnya Pek Sek
Toodjin! Semua itu dilakukan si Raksasi Kumala dengan cepat
sekali. "Hajar dia!" teriak Pek Sek dan Ang In yang berbareng
maju menyerang, malah mereka membidik bagian tubuh yang
berbahaya dari si nona. Kedua tetua dari Boetong pay ini tak
dapat mengendalikan hawa amarah mereka lagi.
Dengan satu lompatan pesat, Giok Lo Sat berkelit melewati
atas kepalanya kedua imam itu. Ia sengaja tidak buang diri ke
samping atau ke belakang, hanya ke depan sekali!
Berbareng dengan itu, Oey Yap pun berseru: "Kamu semua
lihat tjiangboen soeheng! Hari ini dia sedang sakit, pikirannya
kurang sehat, sebab dia terpengaruh iblis, jaga supaya dia tak
pergi tanpa tujuan!"
Itu artinya, ketua yang muda itu mesti diawasi.
lt Hang ketahui maksud dari paman gurunya itu, ia
mendongkol bukan main. Meski begitu, tidak berani ia
bertindak. Giok Lo Sat berpaling kepada si anak muda, yang terus
duduk tegak di atas batu. tubuhnya tidak bergeming, wajahnya
165 merah padam dan pucat bergantian. Tapi tak sempat ia
mengawasi lama-lama, karena Pek Sek dan Ang In. yang
telah memutar tubuh, sudah mulai menyerang pula
kepadanya. Ia jadi sangat putus asa.
"It Hang..." pikirnya, "kau telah bicara dengan pasti, kenapa
sekarang kau diam saja, tidak hendak kau wujudkan
putusanmu itu?" Tetapi, ia tak dapat berpikir banyak, karena ia harus
melayani kedua tetua Boetong pay itu, malah ia harus
pusatkan perhatiannya kepada pertempuran, kepada lain-lain
imam dari Boetong san serta murid-murid mereka sekalian.
Dengan berkelebat, pedangnya Pek Sek Toodjin meluncur
ke arah tenggorokan si nona. Pedang itu berkilau kehijauhijauan.
Hampir si nona kena tertikam, hingga karenanya, ia
menjadi sangat gusar. Ia berkelit, pedangnya disabetkan ke
arah lengan lawan itu, yang hendak ditabas kutung. Akan
tetapi Ang In menggantikan saudaranya menangkis, guna
menghalau ancaman bencana itu, setelah mana, berdua
mereka mengepung. Dalam sengitnya, Giok Lo Sat berkelahi dengan keras,
maka itu, walaupun ia dikepung, ia justeru yang bisa
mendesak kedua lawan itu, sampai mereka ini main mundur
secara repot. Dengan tetapkan hatinya, Pek Sek dan Ang In bela diri.
Mereka rasakan sampokan angin pedang, mata mereka
seperti silau karena cahaya pedang.
Guna mengumbar kemendongkolannya, sambil berkelahi,
Giok Lo Sat perdengarkan suaranya yang nyaring.
"Pek Sek, imam bangsat! Kau telah bawa tentara negeri
menyerang bentengku di Benggoat kiap! Tahukah kau, karena
perbuatan hina dari kau itu, banyak sekali entjie dan adikku
yang telah terbinasa di tangan kamu" Meski demikian, aku
telah memikir untuk memberi ampun kepada kau, tetapi
sekarang kau begini banyak tingkah! Pek Sek, jikalau hari ini
aku tidak berikan tanda mata padamu, percuma aku menjadi
Giok Lo Sat!" 166 Nona ini menggerakkan pedangnya demikian rupa, hingga
pedang itu berkilau-kilau, seperti kilat saling sambar, hebat
sekali serangannya. Oey Yap terperanjat menyaksikan keliehayan si nona.
"Benar liehay siluman ini..." pikirnya. "Dia lakukan apa yang
dia pikir. Tak dapat dia dibiarkan melukai Pek Sek Soetee! Di
depan mata orang banyak, inipun kurang baik kelihatannya..."
Maka ia minta agar Tjeng Soo Toodjin maju membantui.
Biar bagaimana, ia masih hendak pegang derajatnya, untuk
tidak segera turun tangan akan kepung nona itu. Ia masih
terlalu agung, ia merasa malu di hadapan begitu banyak
murid. Boetong Soeloo mesti kepung satu musuh, malah satu
musuh wanita... Tjeng Soo Toodjin liehay dengan ilmu pedangnya, akan
tetapi begitu ia maju, ia disambut tertawanya si nona.
"Bagus! Bagus!" demikian nona itu. "Kembali maju satu
Boetong Tiangloo! Kalian anggap diri kalian sebagai ahli-ahli
pedang nomor satu di kolong langit ini, kiranya kalian dapat
merebut kemenangan karena andalkan jumlah yang banyak!"
Bertiga Pek Sek, Ang In dan Tjeng Soo membungkam,
dengan pedangnya masing-masing, mereka merangsak
dengan hebat, dengan beraturan, dengan begitu hendak
mereka kurung si nona. Biar ia tangguh, dikepung tiga jago Boetong pay, Giok Lo
Sat repot juga, Tak dapat ia loloskan diri dari kepungan.
Dengan perlahan-lahan ia mulai merasa bahwa ia harus peras
keringat. Pek Sek Toodjin merasakan bahwa perlawanan nona itu
mulai kurang kerasnya, lantas saja ia perdengarkan suaranya.
"Kau lihat bagaimana liehaynya ilmu pedang Boetong pay?"
demikian katanya. "Hm! aku hendak lihat, bagaimana kau bisa
lukai aku" Atau akulah yang akan melukai kamu. Lihat
pedang! Lihat pedang!"
Dengan dua tusukan hebat saling susul, ia desak si nona.
Tapi nona itu tidak mau kalah, tiba-tiba dia perdengarkan
tertawanya yang nyaring dan panjang.
167 "Kodok dalam sumur!" teriaknya, dengan ejekannya. "Mana
kau tahu berapa luasnya lautan" Akan aku bikin kau
membuka matamu lebar-lebar!"
Setelah menangkis, nona ini ubah jalan ilmu silatnya, yaitu
seperti naga bermain di air, atau burung garuda beterbangan
di udara, atau ia menunjuk ke timur, menyerang ke barat, atau
menuding ke selatan, menghajar ke utara, tubuhnya bergerak
gesit sekali, demikian pun pedangnya, hingga bayangan
tubuhnya seperti berseliweran di empat penjuru.
Setelah dua kali bertarung dengan Anghoa Koeibo yang
liehay, bagaikan murid yang cerdas, banyak pelajaran yang
Giok Lo Sat terima. Karena ia ingat baik-baik ilmu silatnya jago
wanita tua itu. Dengan begini, sanggup ia melayani ketiga
musuh tangguh itu. Jangan diharapkan ia dapat menang,
tetapi terang dapat ia bertahan.
"Tiga orang ini liehay tetapi mereka sepadan dengan
Anghoa Koeibo," demikian pikirnya. "Mereka menang tenaga
tetapi aku mahir dalam kegesitan tubuhku, sekarang baiklah
aku gunakan kegesitanku seperti di waktu melayani Anghoa
Koeibo guna menandingi mereka ini bertiga. Aku harus dapat
mengalahkan mereka..."
Begitulah ia senantiasa menyingkir dari bentrokanbentrokan
hebat, selalu ia berkelit atau lompat, guna
menjauhkan diri dari setiap tikaman atau tusukan dahsyat.
Tiap-tiap kali ia lolos dari ancaman bahaya pedangnya ketiga
lawan liehay itu, yang berkelahi dengan liehaynya.
Setelah si nona perlihatkan kemahiran enteng tubuhnya,
ketiga lawan ini seperti kabur matanya, hingga dengan
sendirinya kurang sempurna lagi caranya mereka mengurung,
hingga mereka tidak dalam keadaan mengepung lagi...
Sesudah bertempur kira-kira enam puluh jurus, kacaulah
permainan pedang dari ketiga tiangloo itu, ketiga tetua dari
Boetong pay. To It Hang saksikan pertempuran itu, ia menjadi bingung
dan bergelisah. Terpaksa ia berteriak: "Permusuhan harus
dihabiskan, jangan diperhebat! Inipun bukannya permusuhan
hebat sekali! Berhenti sudah!"
168 Tapi kata-kata ini membuat ke empat jago Boetong pay
sangat tidak puas. Malah si nona sendiri mendapat kesan
yang tidak menggembirakan.
"Hm, To It Hang membantu orang luar!" demikian
anggapan dari Boetong Soeloo.
Giok Lo Sat sebaliknya berpikir: "Baru sekarang setelah
aku menang di atas angin kau buka mulutmu untuk minta
pertempuran dihentikan" Apakah kau menghendaki aku
diperhina melek-melek" Di saat yang dahsyat ini ?" saat
mati atau hidup -- bukannya kau bicara dengan pasti, untuk
perlihatkan ketegasan dirimu tetapi kau justeru datang
memisah?" Sebagai akibat dari seruan itu. kedua pihak bertempur
makin hebat. Oey Yap, yang penasaran, karena hilang sabarnya,
mendekati It Hang. "Hari ini adalah hari kehinaan atau kehormatannya Boetong
pay!" kata paman guru ini, suaranya dalam dan berpengaruh.
"Keadaan sudah menjadi demikian rupa, jikalau kau masih
ingat persahabatan pribadimu dan hendak kau berbuat
sesuatu untuk dia, maka kau bukan lagi murid partai kita, di
samping kau menjadi murid murtad, yang memberontak dan
berkhianat, kau juga akan dibenci kaum Rimba Persilatan di
kolong langit ini! Kau bukannya satu murid biasa, kau harus
insaf bahwa kau adalah murid yang menjadi ketua kami!
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adalah kewajibannya satu tjiangboendjin akan berkelahi untuk
kehormatan atau kehinaan partai, untuk itu, sekalipun
tubuhnya mesti hancur lebur, tak dapat ia mundur!
Tahukah kau, ini adalah tugasmu?"
Susah hatinya It Hang, hingga ketika ia bicara, suaranya
seperti menangis: "akan tetapi dialah satu nona sebatang
kara! Dia bersendirian, dapatkah dia menangkan partai kita"
Soesiok, jangan kau paksa aku memusuhi dia!"
Mukanya Oey Yap Toodjin menjadi pucat dan merah
bergantian, kedua matanya bersinar bagaikan api.
"Aku beri kau ketika untuk berpikir masak-masak!" katanya
bengis. "Kau ada seorang terpelajar dan sadar, maka itu tak
169 ingin aku melihat kau runtuh sebagai murid murtad yang dicaci
orang ramai!" Kedua matanya bersinar pula, menyapu si anak muda.
Setelah itu, baru ia berpaling ke arah pertempuran.
Hebat caranya si nona menyerang ia membuatnya ketiga
tiangloo tak dapat berhubungan lagi satu dengan lain.
Rupanya karena kemenangannya di atas angin ini. Giok Lo
Sat bertempur sambil kadang-kadang tertawa. Nyata sekali, ia
tak pandang ketiga tetua Boetong pay itu.
Oey Yap menjadi mendongkol dan gusar.
"Iblis wanita yang kejam!" teriaknya. "It Hang, bagus
macamnya sahabatmu ini! Dia hendak mengilas-ilas kami
kaum Boetong pay di bawah telapakan kakinya! Jikalau kau
sebagai tjiangboendjin tidak mau turun tangan, baiklah aku si
tua bangka, biar tubuhku hancur lebur, tidak nanti aku ijinkan
dia mengganas di sini!"
Sampai di situ, dengan napas mendesak bahna gusarnya,
tetua ini hunus pedangnya, terus ia lompat masuk ke dalam
kalangan. Ia tidak sadar bahwa dengan begitu jumlah mereka
menjadi empat -- semuanya tetua Boetong pay yang kesohor!
Dan itulah hanya untuk mengeroyok satu nona!
It Hang sangat bersusah hati, hingga ia menangis tanpa
menerbitkan suara. Sulit benar kedudukannya waktu itu:
membantu tetua mereka salah, tidak membantu salah juga. Di
sampingnya terdapat sejumlah kakak dan adik seperguruan,
tetapi tidak ada satupun yang menghibur dia.
Oey Yap mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
ketiga saudara seperguruannya, ilmu silatnya pun sangat
liehay, maka itu dapat dimengerti bagaimana hebatnya akibat
dari turun tangannya itu. Pedang berkilau-kilauan sambil
perdengarkan hembusan angin. Hingga dalam sekejap saja
pedangnya Giok Lo Sat seperti kena dihalang-halanginya.
Pek Sek bertiga mendapat napas, mereka lantas mendesak
pula. Giok Lo Sat tertawa terbahak-bahak.
170 "Ha-ha! Boetong Soeloo telah maju semua!" katanya. "Hari
ini aku telah melayani jago-jago Boetong pay, sungguh aku
merasa sangat beruntung?"
Sama sekali ia tidak jeri terhadap kepungan jago-jago
Boetong pay itu, Mendengar kata-kata orang itu, Oey Yap merasa malu
berbareng mendongkol, hingga ia menjadi sangat gusar.
"Perempuan siluman, jangan kau bertingkah!" teriaknya.
"Lihat pedang ini!"
Dan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, tetua
Boetong pay ini berikan serangannya dengan jurus "Hongloei
kiauwkie" atau "Badai dan geledek saling sambar".
Si Raksasi Kumala tangkis serangan itu, atas mana ia rasai
lengannya menggetar, maka terus saja ia lompat, guna
menikam Pek Sek Toodjin yang berada di arah ke mana ia
lompat itu. Ia menyerang dengan tipu silat "Bengkee toksiok"
atau "Ayam galak mematuk gabah".
Akan tetapi serangan itu adalah ancaman belaka, karena di
saat si imam hendak menangkis. Giok Lo Sat tarik kembali
pedangnya, untuk diteruskan kepada kakinya Ang In.
Ang In Toodjin terkejut, dengan pedangnya ia menangkis
ke bawah, guna menyapu pedang lawan itu.
Giok Lo Sat biarkan pedangnya kena disampok, lalu
mengikuti melayangnya pedang itu, ia teruskan menusuk
pinggangnya Tjeng Soo Toodjin, yang sudah berhadapan
dengannya. Kali ini ia menyerang dengan tipu silat "Kimpeng
liamek", atau "Garuda emas nelusupkan sayap". Ujung
pedangnya mengarah jalan darah tjiangboen hiat.
Tentu saja Tjeng Soo menjadi terkejut, akan tetapi masih
dapat ia elakan dirinya. Oey Yap Toodjin pun terkejut melihat kegesitan dan
keliehayan nona ini. Pantas si nona menjadi berkepala besar.
Karena ini, ia lantas maju, guna melindungi ketiga soetee-nya
itu. Ia gunakan ilmu silat "Eiamdjie kiat", atau "Rahasia
menempel huruf. Tipu ini di gunakan untuk merapatkan
senjata lawan, agar lawan tak berdaya dan sukar bergerak.
Untuk ini, orang harus mahir ilmu tenaga dalam. Dan imam ini
mempunyai kemahiran itu. 171 Segera juga Giok Lo Sat kena terdesak, sebab di samping
harus waspada terhadap imam itu, iapun harus berjaga-jaga
terhadap tiga imam lainnya, yang ia tetap tak dapat pandang
ringan. Ia masih dapat membuat perlawanan akan tetapi ia
telah berada di bawah angin. Maka itu ia harus berkelahi
dengan hebat dan hati-hati.
Dalam sekejap saja. Giok Lo Sat bermandikan keringat.
Sia-sia saja ia mencoba memecah desakan, tidak pernah ia
berhasil meloloskan diri. Dalam keadaan terancam itu, ia
masih tidak gentar, malah sebaliknya, karena penasaran, ia
menjadi nekat, hingga ia tak pikirkan lagi kematian. Begitulah
ia menyerang dengan bengis sekali, bergantian terhadap Pek
Sek, Ang In dan Tjeng Soo. Selalu ia qpba menjauhkan diri
dari Oey Yap. Kembali Oey Yap Toodjin menjadi heran, ia pun bergelisah
juga. Beberapa kali rasanya dapat ia lukai si nona, atau di saat
sangat berbahaya itu, ia mesti lindungi salah satu soetee-nya,
disebabkan si nona, yang licik dan lincah, yang menggunakan
ketikanya untuk mengancam salah satu dari ketiga soetee itu
hingga ia mesti batalkan serangannya.
Ini terjadi berulang kali. "Akan aku jaga pedangnya!"
akhirnya ia beritahu ketiga saudaranya. "Kamu semua
menyerang!" Oey Yap terpaksa mengucap demikian, tidak peduli si nona
dapat mendengarnya. Perkataannya ini segera ia buktikan, ia
lantas mencoba dengan pelbagai ancamannya, guna
membuat nona itu repot. Pek Sek bertiga, di pihak lain, turut petunjuk soeheng-nya
itu, mereka lantas perkeras serangan mereka.
Giok Lo Sat rasa seolah-olah ia menghadapi tembok, ke
mana pedangnya menuju, di sana ia terhalang. Ia telah
saksikan, pedangnya Pek Sek bertiga maju berbareng atau
bergantian dengan beraturan. Hingga cahaya ke lima pedang
itu berkilauan. Dalam keadaan seperti itu, si Raksasi Kumala mencoba
menenangkan diri, ia pasang kuping dan matanya. Ia melawan
dengan mengandalkan tubuhnya yang sangat enteng dan
gesit gerakannya itu. 172 Begitulah pertempuran berjalan untuk banyak jurus.
Semua murid Boetong pay menjadi sangat kagum. Inilah
pertempuran yang belum pernah mereka saksikan. Terutama
mereka mesti kagumi nona itu, yang benar-benar liehay luar
biasa. Sinar pelbagai pedang itu membuat mata silau.
Setelah menyaksikan sekian lama, Gie Sin Seng berkata
pada To It Hang: "Ke empat soesiok telah lanjut usianya,
mereka mesti keluarkan tenaga mereka untuk melayani nona
itu, bagaimana andaikata mereka salah menggerakkan
tangan" Apakah kita tidak bakal menjadi sangat malu"
Tjiangboen soeheng, bagaimana pikiranmu?"
It Hang mendengarkan seperti tanpa perhatian, ia tidak
menjawab. Gie Sin Seng tertawa dingin. "Soesiok semua
sedang adu jiwa, apakah kita yang menjadi murid-muridnya
mesti menonton saja dari pinggiran?" dia berkata pula.
Oey Yap, Pek Sek, Ang In dan Tjeng Soo, masingmasing
mempunyai murid kepalanya. Murid-murid ini adalah
yang dinamakan soetoa teeijoe, atau empat murid kepala,
dari teedjiepwee, yaitu golongan atau generasi kedua. Gie Sin
Seng adalah murid kepala dari Oey Yap di samping itu, ada
pula tiga saudara seperguruannya, masing-masing murid
kepalanya Pek Sek, Ang In dan Tjeng Soo. Karena It Hang
tidak pedulikan dia, dia jadi habis sabar.
"Mari kita maju bersama untuk mengatur Boetong Kiamtin
guna membantu soesiok semua!" demikian katanya. "Kita
mesti jaga supaya perempuan siluman ini tidak dapat
meloloskan diri." "Boetong Kiamtin" adalah semacam "barisan pedang"
Boetong pay. Habis mengucap demikian, Gie Sin Seng menghadap It
Hang untuk memberi hormat sambil menjura, lalu dia berkata:
"Tjianboen soeheng, harap maafkan kita yang tanpa titah lagi
dari kau sudah melancangi maju!"
Kata-kata Sin Seng itu pun ditaati ketiga saudara
seperguruannya, maka begitu ia maju, guna mengatur diri,
mereka bertiga turut maju juga. Dengan begitu, Oey Yap
173 berempat seperti terlapis kurungan penjagaan, mengurung
Giok Lo Sat. Menampak demikian, It Hang menjadi sangat bersusah
hati. Justeru itu ia dengar suara mengejek di belakangnya,
apabila ia berpaling, ia kenali saudara seperguruannya ialah
Keng Tjiauw Lam yang menunjukkan roman sangat
memandang enteng. Ketika mata It Hang bentrok dengan
mata saudara itu, ia seperti tidak ambil mumat, dia melengos
ke jurusan lain... Keng Tjiauw Lam ini pernah mendapat malu dari Giok Lo
Sat, yang telah menabas kutung jeriji tangannya, dari itu dia
benci betul pada si Raksasi Kumala, akan tetapi dia tahu diri,
ialah karena ilmu silatnya belum mencapai tarap
kepandaiannya ke empat soeheng itu tidak berani dia
sembarangan maju untuk membantu ke empat paman guru
itu. Tapi ini tidak menjadi sebab yang ia tidak akan berpikir
terus. Ia selalu pikirkan jalan guna menggosok It Hang,
soeheng-nya itu. It Hang menjadi sangat serba salah, sudah paman-paman
gurunya tegur dia, saudara-saudara seperguruannya pun
memandang enteng terhadapnya. Ia merasakan pukulan yang
hebat pada batinnya Begitu keras ia berpikir, sampai ia jadi
seperti waswas. Pertempuran pun berjalan terus dengan keadaan tidak
menyenangi bagi Giok Lo Sat. Sudah repot melayani ke empat
tetua Boetong pay, sekarang ia dilapis oleh empat anak muda
murid-murid Boetong Soeloo yang pun dapat menyerang
langsung. Biar bagaimana, ke empat anak muda itu tidak
dapat dipandang ringan. Dari dikepung di empat penjuru, sekarang si Raksasi
Kumala tertutup jalannya di delapan jurusan, biar bagaimana
liehay, ia toh kewalahan. Ia bagaikan sebuah perahu kecil di
tengah laut membadai. tiba-tiba ia terlibat dalam pusar air.
Kiamtin dari Boetong pay jauh terlebih liehay daripada
Tjittjoat tin di puncak Hoasan dahulu, anggauta-anggauta yang
mengurungnya pun jauh terlebih liehay lagi. maka itu.
menyaksikan bahaya yang mengancam si nona U Hang
174 bergidik sendirinya hingga akhirnya tak dapat ia berdiam lebih
lama. dengan perlahan ia bertindak maju...
Dengan tiba-tiba saja Keng Tjiauw Lam tertawa terbahakbahak,
kemudian ia cekal lengannya It Hang, lalu ia berkata:
"Tjiangboen soeheng, kau lihat, kau lihat! Bagaimana
liehaynya pedang dari Oey Yap Soesiok itu! Pun tidak tercela
pedangnya Pek Sek Soesiok! Ah, sayang, sayang! Terangterang
ujung pedang Tjeng Soo Soesiok telah di arahkan ke
tenggorokan si perempuan siluman, heran, dia dapat
mengelakan diri... Ah, saudara Sin Seng juga tidak mau
ketinggalan di belakang, hampir dia locotkan dengkulnya
siluman itu! Oh, bagus, bagus, akhirnya dia terkena juga!"
Benar-benar Giok Lo Sat perdengarkan jeritan "aduh!" tapi
tidak keras, yang segera disusul dengan yang kedua.
It Hang lihat si nona sempoyongan, tubuhnya
terhuyung hampir jatuh, akan tetapi dia masih membuat
perlawanan, masih dia mencoba menoblos kurungan yang
rapat dan kuat itu, namun selalu menemui tembok yang
tangguh. Yang membuat It Hang kaget adalah baju si nona,
yang berlumuran darah. Sebab nona itu telah terluka,
darahnya mengucur keluar. Bahna kagetnya hampir ketua
Boetong pay ini pingsan...
Pundak kiri si nona telah terlanggar ujung pedangnya Oey
Yap, ini menyebabkan dia mandi darah, setelah mana, lengan
kanannya pun menjadi merah, karena pedangnya Pek Sek
dapat melukainya. Ia terhuyung, pikirannya kalut,
semangatnya seperti tergempur. Selagi begitu, tiba-tiba ia
dengar jeritan kaget dari It Hang.
"Ah, kiranya dia masih ingat aku..." tiba-tiba ia dapat
pikiran. Dan tiba-tiba juga semangatnya terbangun, hingga ia
mendapat tenaga baru, ia mainkan pula pedangnya dengan
dahsyat. Mula-mula pedangnya diputar, menutupi tubuhnya
habis itu ia mencelat ke arah Oey Yap Toodjin.
Oey Yap tetap gunakan Liamdjie kiat. guna mencegah si
nona, agar dia terus terkurung, akan tetapi kali ini, Giok Lo Sat
menyerang secara luar biasa, maka ketika dua pedang
bentrok keras, ujung pedang si imam tertabas buntung!
Oey Yap menangkis dan tangan kirinya dipakai menolak!
175 Giok Lo Sat gunakan tangan kirinya, untuk menangkis,
tetapi ia kena tertolak mundur, meski demikian, ia tidak roboh
karenanya, hanya ketika ia terhuyung ke arah Ang In, siapa ia
terus tabas, di antara suara bentrokan, imam itu menjadi
sangat kaget, sebab juga ujung pedangnya kena ditabas
kutung! Giok Lo Sat tertawa berkakakan, menyusul tertawanya itu
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia serang Pek Sek Toodjin. Sebenarnya ia arah lengannya si
imam, akan tetapi waktu Pek Sek menangkis, ia ubah
gerakannya itu, ia menikam tenggorokan!
Pek Sek terkejut, untuk membela diri, dia melenggak ke
belakang, dia membuang diri. Di pihak lain, Tjeng Soo Toodjin
maju untuk menolongi saudaranya itu dengan menalangi
menangkis pedang lawan. Hampir berbareng dengan gagalnya serangannya terhadap
Pek Sek, Giok Lo Sat menjerit "Aduh!" dengan keras, kedua
matanya membeliak, menampak mana Tjeng Soo Toodjin
menjadi heran sekali. Segera terdengar suaranya si nona: "It Hang, oh, kau juga
berlaku demikian terhadap aku?"
Duduknya hal adalah, sewaktu pedangnya Oey Yap dan
Ang I n tertabas kutung dan Pek Sek terancam bahaya maut,
Keng Tjiauw Lam di belakang It Hang sudah berteriak keras di
kupingnya soeheng itu: "Tjiangboen soeheng, apakah kau
masih tidak hendak tolongi Pek Sek Soesiok" Gunakan
senjata rahasia ini! Lekas!"
Dan tankiongnya, semacam jepretan, ia berikan kepada
soeheng itu. It Hang sedang bingung, dalam keadaan waswas itu, ia
terpengaruh si soetee, maka untuk menolongi Pek Sek,
beruntun tiga kali ia lepaskan tiga peluru.
Giok Lo Sat dapat tangkis ketiga peluru itu. yang disampok
jatuh dengan pedangnya, ia tidak terkena, akan tetapi, hatinya
telah terluka... Pek Sek Toodjin lolos dari bahaya maut, ia menjadi sangat
gusar dan penasaran, setelah maju pula, ia menyerang
dengan sangat bengis. Ia lompat, sambil memutar pedangnya.
176 Tjeng Soo Toodjin juga maju menyusul saudaranya itu,
hingga kedua pedang menyambar ke arah dada dan pinggang
si nona. Selagi Pek Sek menyerang secara hebat itu, kembali
terdengar seruannya It Hang, kali ini: "Eh, apa yang telah
kuperbuat" "- apa yang telah kuperbuat?"
Suara itu disusul dengan suara robohnya satu manusia.
Pek Sek dan Tjeng Soo girang. Mereka menyerang tetapi
mereka ingin menawan hidup-hidup lawan itu, supaya si nona
nanti dapat diadili di muka kaumnya. Maka itu, senjata mereka
masing-masing mencari jalan darah.
Dalam keadaan sangat berbahaya itu, dan ia sudah sangat
letih, karena melihat bahaya. Giok Lo Sat masih dapat empos
semangatnya, maka dengan sekuat tenaga, ia menangkis
kedua pedang lawan itu. Dengan satu suara nyaring, Pek Sek dan Tjeng Soo
merasakan pedang mereka tersampok keras, hingga terpental
dari cekatannya. Oey Yap Toodjin lihat kejadian itu, ia kaget tak terkira. Ia
insyaf akan bahaya yang mengancam kedua saudaranya itu,
hingga ia menjerit: "Celaka!" sesudah mana, ia lompat
mencelat, guna menolongi kedua saudara itu.
Pesat sekali gerakannya Oey Yap ini, akan tetapi tak
kurang sehatnya adalah si Raksasi Kumala, belum sampai
Oey Yap Toodjin mencapai maksudnya, dua saudaranya
sudah menjerit, sebab mereka telah dilukai si nona pada
tekukan lengannya! Oey Yap menyerang dengan tangan kirinya. Giok Lo Sat
tidak menangkis, ia hanya lompat berputar untuk menjauhkan
diri lalu sambil lompat ia tertawa tergelak-gelak!
Dari empat tiangloo Boetong san, dua telah tertabas ujung
pedangnya, dan terluka, maka itu empat jago muda dari
tingkat kedua menjadi jeri, tidak berani mereka mencegat si
Raksasi Kumala, hingga dengan mudah dia dapat menoblos
kurungan. Begitulah dia lompat turun dari batu lebar itu. untuk
angkat kaki. Hingga Oey Yap Toodjin cuma bisa awasi orang
berlalu sambil perdengarkan tertawanya yang panjang...
177 Setelah menghela napas, Oey Yap menghampiri Pek Sek
dan Tjeng Soo, untuk periksa luka mereka-luka di jalan darah,
hingga ia menggeleng-gelengkan kepala, karena ia tak
dapat segera membebaskannya. Maka guna meringankan, ia
melainkan bisa menguruti.
Sesudah itu, ke empat murid itu menggotong mereka ke
kamar, supaya mereka dapat beristirahat, nanti dalam waktu
dua belas jam, mereka dapat pulih kembali.
Kembali Oey Yap menghela napas apabila ia saksikan ke
empat murid itu lesu semuanya, ia tidak awasi mereka, ia
hanya ambil kedua pedang yang buntung, untuk dibuang ke
dalam lembah, sesudah mana, ia bertindak perlahan-lahan
menghampiri It Hang. Tjiangboendjin itu -- si ahli waris Boetong pay, ketua yang
belum diresmikan kedudukannya, -- rebah tak sadarkan diri,
kedua tangannya masih memegangi tankiong, biang
pelurunya. "Di dalam saat yang genting itu, kau membantu dengan
pelurumu, kau masih bisa dibilang murid Boetong pay..."
berkata Oey Yap sambil mengawasi anak muda itu, sesudah
mana ia ulur sebelah tangannya, guna menepuk jalan darah
hoktouw hiat. Begitu lekas ia ditotok, It Hang berseru keras, tubuhnya
segera bergerak, lompat bangun berdiri, menyusul mana,
dengan pelurunya ia menyerang kalang kabutan, ke empat
penjuru. "Hajar! hajar!" ia pun berseru berulang-ulang. "Siapa berani
mendaki Boetong san" Hajar padanya! Siapa berani rintangi
aku" Hajar dia! Siapa yang usilan, hajar juga padanya! Hahahaha,
nyalimu besar bagaikan langit! Tapi kau telah berlaku
kurang ajar terhadap Tjouwsoeku, kau mesti dihajar! dihajar!"
Oey Yap heran. "Apakah kau telah jadi gila?" tanyanya.
It Hang mendelik terhadap paman guru itu, ia lompat sambil
berseru-seru. Oey Yap lompat, untuk menyampok jepretannya, setelah
mana Keng Tjiauw Lam lompat menubruk, guna memeluk
178 soeheng itu. Tapi It Hang berbalik sambil sebelah tangannya
menyambar. "Plok!" demikian terdengar suara keras di pipi, menyusul
mana Keng Tjiauw Lam berkaok dan dari mulutnya
menyembur darah disebabkan dua buah giginya patah
sebagai akibat gaplokan itu!
Oey Yap segera totok It Hang, pada urat pingsannya.
"Tjiauw Lam, soeheng-mu ini terganggu pikirannya," ia
kata. "Apakah kau tidak terluka parah?"
Mukanya orang she Kheng itu bengap, warnanya merah.
"Syukur cuma luka di luar," sahutnya.
"Kau pondong padanya, kau kuncikan dia pintu di kamar
belakang," Oey Yap menitah. "Kau jaga dia baik-baik."
Keng Tjiauw Lam turut titah gurunya itu.
Bersama Ang In, Oey Yap lantas mengangkat Pek Sek dan
Tjeng Soo. Karena kekacauan ini, upacara sembahyang untuk Tjie
Yang Tootiang menjadi kacau juga, hingga tak dapat
dilakukan. Ketika itu Giok Lo Sat kabur dengan hatinya terluka, ia
gusar, ia mendongkol, iapun penasaran dan menyesal. Semua
perasaan itu terkumpul menjadi satu. Ia juga berdahaga,
karena sudah berkelahi begitu lama, dan iapun merasa _
lapar. Ketika ia lihat tubuhnya, ia dapatkan dirinya berlumuran
darah. Kembali timbul kemurkaannya.
"Biarlah, habis beristirahat, aku nanti tempur pula semua
iman hidung kerbau itu!" katanya dengan sengit. "Aku juga
hendak bekuk dia dan minta penjelasan, apakah dia hendak
turut aku pergi atau tidak! ?" Kau telah bicara sungguhsungguh,
mungkinkah itu kedustaan belaka?" ia tambahkan,
seperti ia bicara terhadap It Hang -- orang yang ia maksudkan
dengan "dia" itu. "Ha-ha! kau juga serang aku dengan peluru!
kau telah serang aku! Hahaha! baiknya aku tidak terbinasa!..."
Ia terdiam sekejap lantas ia berpikir pula.
"Tetapi," katanya, "jikalau tadi dia tidak berseru, pasti aku
tidak punyakan tenaga tambahan untuk bertempur terus... It
Hang, kau aneh! Kau membantu aku meloloskan diri dari
kepungan, tetapi kau juga serang aku dengan senjata rahasia!
179 Adakah kau inginkan kematianku setelah kau menolongnya"
Atau, apakah sebenarnya yang kau pikir" Kau pandang aku
sebagai sahabat kekal atau lawan?"
Itulah cinta di puncaknya, penasaran yang melewati batas,
atau penasaran yang berlebih-lebihan yang mendatangkan
cinta sangat. Tak tahu Giok Lo Sat. apakah ia mencintai
atau membenci, atau dua-duanya digabung menjadi satu.
Kacau pikirannya, limbung tindakannya. Ia sangat letih, iapun
terluka. Tapi ia masih ingat, ketika ia sampai di lembah, ia cari
sumber air. untuk minum dan mencuci luka-lukanya, untuk
dipakaikan obat, lalu dibalut. Lukanya itu tidak berbahaya dan
darahnya dapat berhenti dengan segera. Syukur ia masih
mempunyai bekal rangsum kering, maka sambil beristirahat, ia
tangsal perutnya. Masih ia beristirahat terus, sambil
memejamkan kedua matanya. Rupanya tak kuat ia melawan
keletihannya, tanpa merasa ia jatuh tertidur, kakinya melonjor
hingga masuk ke dalam air solokan, yang tak ia sadari.
Dalam tidurnya. Giok Lo Sat lihat It Hang datang padanya.
Anak muda itu menghampiri dengan wajah tersenyum berseriseri.
Ia ulurkan tangannya, untuk menekan dahinya pemuda
itu. "Sama sekali tidak kuniat melukai kau," kata It Hang. "Aku
menyerang kau karena dipaksa mereka..."
"Apakah kau seorang bocah atau seorang dewasa?" tanya
Giok Lo Sat. "Apakah kau tidak mempunyai pikiran sendiri?"
"Aku bukannya satu bocah, aku seekor kambing domba,"
sahut It Hang. "Baik!" kata si nona. "Kau ada seekor domba, akulah
gembalanya. Hendak aku gunakan cambuk untuk menghajar
padamu!" Dengan secara tiba-tiba saja. Giok Lo Sat seperti
mendapatkan cambuk di tangannya, lalu diayunkannya
cambuk berulang kali hingga terdengar suara menjeter.
Berbareng dengan itu, sekonyong-konyong It Hang lenyap dan
sebagai gantinya seekor anak kambing mendekam di kakinya,
tubuh kambing itu merah, kedua matanya bersinar sebagai
memohon belas kasihan. Giok Lo Sat yang menggerakkan
tangannya segera menarik kembali, lalu ia ulurkan tangannya,
180 guna mencekal tanduknya kambing itu. Dengan tiba-tiba anak
kambing itu berbunyi keras, lalu dia menjadi bukan lagi seekor
kambing melainkan seekor harimau yang bengis, kukunya
terbuka, mulutnya terpentang, begitu dia menubruk, Giok Lo
Sat roboh terguling, maka dalam sekejap saja, raja hutan itu
sudah menerkam, menggigit tenggorokannya! Giok Lo Sat
gagah perkasa, entah kenapa, di saat itu, habis tenaganya,
tenggorokannya kena digigit. Karena kaget, Giok Lo Sat
menjerit bangun dan mendusin...
Di situ tidak ada To It Hang, tidak ada anak kambing, juga
tidak ada si raja hutan! Matanya si nona mengawasi matahari
yang sedang bersinar menyilaukan mata! Nyata dia telah
bermimpi. Ia rasakan lehernya dingin, ketika dipegang ia dapat
kenyataan, air solokan yang membanjir itu muncrat sampai di
lehernya, sedang tadi, lehernya mengenai sebuah batu, ialah
yang di dalam impian menjadi harimau!
Dengan tidak keruan rasa, Giok Lo Sat duduk dengan
rambutnya terurai ke belakang. Ia duduk menghadapi air. tibatiba
pada permukaan air itu tampak bayangan seorang
perempuan dengan rambut putih seperti uban. Ia menjadi
kaget sekali, hingga ia keluarkan jeritan. Karena
pemandangan ini lebih menakutkan daripada si harimau
dalam impian tadi! "Apakah aku masih tidur dan mimpi dan belum sadar?" kata
dia dalam hatinya. Ia masukkan jari tangannya ke dalam mulutnya dan
menggigitnya "Aduh!" ia menjerit sendirinya karena sakitnya,
sebab jeriji tangannya terluka dan mengeluarkan darah, rasa
sakitnya sampai di ulu hati.
"Terang aku tidak tengah bermimpi..." pikirnya pula. Ia
pegang rambutnya itu, untuk dibawa ke depan mukanya,
dilihat dan diawasi dengan teliti.
Tidak salah, itulah rambut ubanan, tak sedikit jua yang
masih hitam! Si Raksasi Kumala berjingkrak bangun.
"Inilah bukan aku, bukan aku!" dia berseru seorang diri.
Bayangan di dalam air itu pun berjingkrak bangun,
bergoyang-goyang menuruti gerakan si nona. Dan dalam
181 kagetnya itu, nona ini seperti dengar bayangan itu berkata
padanya: "Aku adalah kau, aku adalah kau!..."
Ia lantas berdiri menjublak. Si Raksasi Kumala tahu ia
sangat cantik, bukan main ia sayangi kecantikannya itu. akan
tetapi sekarang, dalam semalaman saja ia telah berubah
menjadi satu nenek! Alangkah sedih hatinya, lalu ia robohkan
dirinya... Ia rebah celentang, ia tampak gumpalan-gumpalan mega
melayang lewat. Ia pun tampak matahari menyinari mega,
yang membuat warnanya berubah-ubah. Hidungnya mencium
harumnya bunga, yang terbawa oleh angin dan burung-burung
berkicauan diiringi suara daun cemara yang tertiup angin pagi
itu. Dalam keadaan seperti itu, Giok Lo Sat seperti melihat It
Hang di antara gumpalan mega, yang mengawasi sambil
tersenyum, dan ia juga dengar suara halus di telinganya:
"Entjie Lian. parasmu harusnya menjadi seperti bunga yang
tak dapat layu dan rusak..."
Seolah-olah ia menyahuti: "Manusia tolol, kau sedang
bermimpi! Di mana di kolong langit ini ada manusia yang
muda selama-lamanya" Jikalau lain kali kau bertemu pula
denganku, aku kuatir yang rambutku telah putih semuanya
sebagai rambut nenek-nenek!"
"Jikalau nanti rambutmu ubanan, akan aku pergi mencari
obat dewa untuk memulihkan pula usia mudamu!"
Itulah pembicaraan dahulu, ketika Giok Lo Sat dan It Hang
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkumpul di selat Benggoat kiap. Dan pembicaraan itu timbul
dalam lamunan si Raksasi Kumala ini dalam keadaan tak
sadar. "Di kolong langit ini mana ada obat manjur demikian?" kata
Giok Lo Sat sambil tertawa. "Selama hidupku ini, aku tidak
akan bertemu pula dengan kau..."
Demikian kata si nona waktu itu, atau sekarang benarbenar
rambutnya itu telah berubah warna sedang ia telah
memikir untuk pergi mendaki pula gunung Boetong san untuk
minta penegasan To It Hang. Maka ia jadi sangat berduka,
pikirannya menjadi kalut sekali. Sekarang ini, andaikata To It
182 Hang yang datang padanya, mungkin ia akan menjauhkan
diri... Setelah rebah sekian lama, kering sudah pakaiannya Giok
Lo Sat. Ketika itu dari kejauhan terdengar suara genta sayup-sayup
dibawa angin, entah dari kelenteng mana. Mendengar itu, tibatiba
si nona tertawa sedih, lalu ia ambil keputusan. Ia berdiri
menghadapi angin dan berkata dengan nyaring: "Sejak hari ini
dalam dunia sudah tidak ada Giok Lo Sat lagi! Hendak aku
pergi ke tempat ke mana selayaknya aku pergi!"
Dan, tanpa berpaling, ia lari turun gunung dengan keras
sekali. Pada waktu itu di gunung Boetong san, pihak Boetong pay
sedang sangat berduka. Kekalahan mereka adalah kekalahan
yang sangat besar dan sangat menyedihkan, hingga
mendatangkan penyesalan sangat besar.
Pek Sek Toodjin dan Tjeng Soo Toodjin mesti rebah terus
selama dua belas jam, setelah mana barulah jalan darah
mereka dapat terbuka sendirinya. Meski demikian,
penderitaan mereka tidak lantas menjadi berkurang,
penderitaan itu tetap hebat dan menyedihkan; karena otot-otot
mereka telah terputus oleh ujung pedang si Raksasi Kumala.
Karena itu tak dapat mereka gunakan pula pedang mereka.
Untuk dapat sembuh kembali, mereka harus dirawat
sedikitnya setengah tahun, sambungan tulang dan otot
mereka harus ditambal dengan batang cabang yanglioe...
Maka dari itu, setelah pertempuran dahsyat itu, kecil
hatinya Oey Yap Toodjin. Ia sangat berkuatir Giok Lo Sat nanti
datang pula. Tanpa bantuan Pek Sek dan Tjeng Soo,
bagaimana nona itu bisa dilayani bertarung" Maka tak hentihentinya
jantungnya berdenyut. Syukur waktu telah berlalu
tanpa si Raksasi Kumala muncul pula, hingga hatinya imam itu
menjadi lega juga. Di samping itu, Oey Yap pun merasa lega ketika melihat
keadaan To It Hang telah reda. Pemuda itu tidak lagi kalap
dengan berkaok-kaok atau omong keras-keras. Hanya,
setelah menjadi pendiam, sinar matanya ahli waris ini menjadi
guram, menjadi tolol nampaknya, hingga paman guru itu
183 menjadi tambah berduka dan menyesal, la lantas larang
semua murid Boetong pay bicara tentang Giok Lo Sat di
hadapan tjiangboendjin ini. Dan dengan sabar, ia rawat anak
muda itu. Tiga bulan berselang, It Hang tampaknya mendapat
kemajuan. Ia pun tampak sudah sehat betul, cuma bedanya,
sekarang tak suka, ia bicara banyak, dan sikapnya terhadap
paman gurunya dan semua saudara seperguruannya, menjadi
tawar sekali. Oleh karena kekuatirannya Oey Yap Toodjin tugaskan
beberapa muridnya dengan bergantian mengawasi
tjiangboendjin itu, baik siang atau malam, pintu kamar It Hang
setiap saat dijaga. Imam itu kuatir si anak muda nanti nekat
dan menghabiskan jiwanya sendiri, hingga sering-sering di
waktu malam ia datang sendiri untuk mengintai di jendela.
Setiap kali Oey Yap mengintai, ia dapatkan It Hang duduk
bersemedhi dengan kedua mata dimeramkan. Terang pemuda
itu sedang melatih diri dalam Iweekang, ilmu dalam. Selama
itu, tidak pernah ia pergoki gerak-gerik orang yang luar biasa.
Maka lama kelamaan, hatinya menjadi sedikit lega.
"Dia dapat melatih diri, tidak nanti dia berpikir pendek lagi."
kata Oey Yap dalam hatinya.
Keadaannya It Hang itu membuat beberapa murid Boetong
pay yang memikir untuk mencopot kedudukannya sebagai
tjiangboendjin, supaya Boetong pay tidak terlalu lama
kehilangan ketuanya, akan tetapi Oey Yap berpikir lain, imam
ini masih dapat bersabar, maka saran itu telah ditolak. Lagi
pula sukar untuk mencari pengganti yang cocok dan tepat
sebagai It Hang itu, yang harus dipuji batinnya dan ilmu
silatnya juga. Banyak waktu telah lalu, kemudian, pada suatu hari,
Boetong san telah kedatangan satu tetamu yang tidak
diundang. Tetamu itu adalah Bouwyong Tjiong, itu pahlawan
dari istana kaisar. Dia datang dengan maksud yang baik.
Sejak dia sembuh dari lukanya, Bouwyong Tjiong telah
meninggalkan kota raja, dia pergi melakukan perjalanan untuk
menghibur dirinya. Selama itu ia ingat akan budi kebaikannya
Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat, karenanya mau ia melakukan
184 sesuatu untuk nona kosen itu. Maka ketika itu hari ia lewat di
Boetong san, tanpa ayal lagi, ia mampir. Ia tahu persahabatan
erat antara To It Hang dan Giok Lo Sat, ia tahu juga Pek Sek
Toodjin telah menghalang-halangi jodohnya sepasang anak
muda itu, maka timbullah dalam pikirannya: "Dalam
permusuhan antara Boetong pay dan Giok Lo Sat, sedikitnya
aku harus bertanggung jawab juga. Dahulu dengan bekerja
sama dengan Pek Sek Toodjin, aku telah menggempur
bentengnya Giok Lo Sat di selat Benggoat kiap, hingga
karenanya permusuhan antara kedua belah pihak menjadi
semakin menghebat. Sekarang ini aku dengan Giok Lo Sat
dari musuh telah menjadi sahabat, maka baiklah aku dayakan
supaya reda dan habis juga dendam di antara Boetong pay
dan Giok Lo Sat." Lalu mendakilah ia ke Boetong san di mana
ia minta bertemu dengan Pek Sek Toodjin.
Pek Sek masih belum sembuh, ia harus beristirahat terus di
dalam kamarnya, karena itu, tidak dapat ia menemui
tetamunya. Bouwyong Tjiong lantas minta bertemu dengan To
It Hang, yang ia menyebutnya tjiangboendjin.
Melihat karcis nama dari Bouwyong Tjiong, nama siapa ia
kenal, malah ia tahu, ada perkenalan antara orang she
Bouwyong itu dengan partainya, Oey Yap sediakan diri untuk
menyambut tetamu itu. Ia berlaku sebagai wakilnya Pek Sek
Toodjin. Setelah bertemu, kedua pihak saling mengutarakan
kekaguman masing-masing. Tidak lama, Ang In pun muncul untuk temani tetamu itu.
"Bouwyong Tjongkoan," kata Ang In kemudian, "bagaimana
senggang hingga kau dapat mengunjungi gunung kami yang
sepi ini. Sekarang ini dalam jaman banyak urusan, bagaimana
Sri Baginda dapat berlega hati membiarkan tjongkoan
melakukan perjalanan ini?" Tetamu itu tertawa "Sekarang ini
aku telah merdeka" sahut Bouwyong Tjiong. "Aku tidak
memangku jabatan lagi, tak mau aku bergulat pula di
lapangan kepangkatan."
Ang In heran mendengar keterangan ini, akan tetapi ia tidak
hendak minta penjelasan, maka ia terus berdiam.
185 Bouwyong Tjiong tidak menjelaskan bahwa ia sudah
meletakkan jabatan, dan lebih dahulu daripada itu, Oey Yap
pun tidak menegaskannya. Oey Yap Toodjin tertawa. "Bagus,
bagus!" katanya. "Hidup merdeka bagaikan burung hoo
memang jauh terlebih baik daripada berpangkat tinggi!"
Bouwyong Tjiong tersenyum.
Habis itu, ia mohon bertemu dengan To It Hang.
"Dia kurang sehat," jawab Oey Yap dengan ringkas.
"Dia mendapat sakit apa?" tanya tetamu itu.
"Ia tidak sakit apa-apa..." jawab Oey Yap, yang tidak
pernah berdusta, hingga tak bisa ia menjawab secara
langsung. Ia pun tampak sungguh-sungguh.
Bouwyong Tjiong tidak puas dengan jawaban itu, ia
menjadi kurang senang. "Dengan saudara To, aku adalah kenalan baik," katanya
"karena itu dari tempat ribuan lie sengaja aku datang kemari.
Aku harap tootiang suka memberikan ketika untuk aku
bertemu dengannya." Oey Yap dan Ang In tidak menyahuti.
"Partai tootiang adalah gunung Taysan atau bintang
Paktauw dari kaum Rimba Persilatan," kata Bouwyong Tjiong,
"karenanya aku Bouwyong Tjiong tidak mempunyai derajat
kehormatan untuk bertemu dengan tjiangboendjin kamu..."
Bouwyong Tjiong termasuk orang kenamaan dari Rimba
Persilatan, dia meminta secara lisan untuk bertemu dengan
ketua mereka, jikalau permintaan itu ditampik, itu adalah suatu
penghinaan baginya. Maka tidaklah heran apabila ia merasa
tersinggung. "Maaf, Bouwyong Tjongkoan," kata Oey Yap akhirnya.
"Baiklah, nanti aku suruh It Hang keluar."
Dan imam ini, ketua tidak resmi dari Boetong pay. memberi
titahnya kepada salah satu muridnya maka tidak lama
berselang, muncullah To It Hang dengan dikawani Gie Sin
Seng dan Keng Ti'auw Lam.
Bouwyong Tjiong segera dapat lihat It Hang bertindak gesit
dan tetap, wajahnya pun bersemu merah, tanda dari
kesehatan yang terpelihara.
"Saudara To. kau baik!" tegurnya.
186 To It Hang belum tahu yang orang she Bouwyong ini sudah
akur dengan Giok Lo Sat, maka itu, ia mengawasi dengan
tajam. "Terima kasih, aku baik," jawabnya. "Untuk apa kau datang
kemari?" "Pertama-tama aku ingin menanyakan kesehatanmu,"
sahut Bouwyong Tjiong. "Kedua aku ingin tanya kau perihal
Giok Lo Sat. Di mana adanya nona itu sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Oey Yap dan Ang In terkejut.
"Aku tidak tahu!" It Hang menjawab, suaranya keras.
"Saudara To, harap kau tidak keliru mengerti," Bouwyong
Tjiong berkata. Ia pun tidak menjadi kurang senang. "Aku
datang bukan untuk menuntut balas, sebaliknya aku cari dia
guna membalas budi. Sekarang ini aku tahu, Giok Lo Sat
adalah satu nona yang keras tabiatnya satu nona luar biasa
yang pemurah dan budiman."
It Hang heran hingga ia tercengang, tak sempat ia
mengatakan sesuatu, dengan tiba-tiba ia menangis tersedusedu.
Bouwyong Tjiong mengerti kesulitan orang itu.
"Kau pun seorang yang baik hati, saudara To," berkata dia,
"dan kamu saling mcnyintai, sudah seharusnya kamu menjadi
pasangan yang saling mengasihi. "Oey Yap Tootiang," ia
teruskan, kepada siapa ia berpaling, "sukalah kau memaafkan
kelancanganku, tetapi aku ingin menjadi orang perantara guna
merekoki jodoh mereka berdua Ha-ha!"
Romannya Oey Yap Toodjin menjadi merah, tanda yang ia
sangat tak senang. "Aku larang orang menyebut nama dari hantu wanita yang
centil itu!" ia kata dengan keras. "It Hang, pergi undurkan diri!
Sin Seng, Tjiauw Lam, pimpin dia masuk!"
Bouwyong Tjiong adalah seorang kenamaan, ia pun pernah
memangku kedudukan tinggi, biasanya ia beradat tinggi, ia
melainkan kagumi Tiat Hoei Liong dan Giok Lo Sat, dari itu.
tak senang ia terhadap sikap tuan rumah ini -- ia menjadi
gusar sekali. 187 "Oey Yap Toodjin!" serunya, "masih tidak apa kau
menghina aku tetapi kau telah menodai indjinku!" -- (indjin =
tuan penolong). Dan sebelah tangannya segera melayang!
Oey Yap tangkas, ia tangkis sampokan itu.
Di antara dua orang ini, tenaganya Bouwyong Tjiong ada
terlebih besar, maka itu ketika kedua tangan bentrok, Oey Yap
Toodjin terpental tubuhnya! Bouwyong Tjiong sendiri cuma
terhuyung tiga tindak. Segera setelah berdiri tetap, orang she Bouwyong ini
menghadap It Hang. "To It Hang, kau melainkan pandai menangis! Apakah kau
tidak malu?" dia serukan. "Giok Lo Sat berani berbuat, berani
bertanggung jawab! Apakah kau kalah dengan satu wanita?"
Sudah beberapa bulan It Hang terbenam dalam kedukaan,
pikirannya kacau, keadaannya itu mirip gunung api yang
tertutup, maka perkataannya Bouwyong Tjiong telah
membakar semangatnya. Dengan segera ia susut air matanya
"Soesiok, harap kau beri maaf kepadaku!" berkata dia
nyaring. "Silakan soesiok pilih lain tjiangboendjin! Teetjoe akan
pergi sekarang!" Oey Yap dan Ang In terperanjat.
"Aku larang kau pergi!" mereka berteriak.
Dan Oey Yap lompat guna mencegah.
Tapi Bouwyong Tjiong berikan tonjokkannya yang hebat,
atas mana Oey Yap menangkis sambil mundur.
Ang In pun ulurkan sebelah tangannya, guna menjambak
pundaknya It Hang, akan tetapi segera ia merasakan
tangannya seperti licin, sebab dengan satu mendakan kepala
dan pundak, pemuda ini lolos bagaikan ikan melejit...
Sebab, kepandaiannya It Hang sekarang ini sudah sepadan
dengan kepandaian paman gurunya, sedang Ang In, di waktu
menjambak, sudah tidak berlaku kejam.
Tentu saja, Ang In menjadi penasaran, maka ia maju untuk
mengejar. Bouwyong Tjiong kembali menjadi penghalang.
188 "Mundur!" bentak bekas tjongkoan dari istana kaisar itu,
sambil menyambar bahunya dengan tangan kiri dan kaki
kanannya menyapu! Ang In lihat gerakan orang itu, sambil menarik kembali
tangannya, ia lompat, hingga ia lolos dari sapuan kakinya si
tjongkoan, sapuan mana, apabila mengenainya, akan
membikin ia menubruk lantai.
Dalam murkanya, Bouwyong Tjiong berteriak.
"Imam bangkotan berhidung kerbau!" demikian ia mencaci,
"kamu tolak aku sebagai orang perantara, tak suka aku, tak
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat aku terima itu!"
Oey Yap tidak menjawab, ia lompat, niatnya mengejar It
Hang. Kembali Bouwyong Tjiong menghalangi, lagi-lagi ia
gunakan tangan dan kakinya, maka ia jadi bertarung dengar.
Oey Yap. Sama sekali ia tidak jeri walaupun ia seperti berada
di gua harimau. Gie Sin Seng dan Keng Tjiauw Lam maju, untuk merintangi
To It Hang. Tentu saja mereka bukan tandingan dari soeheng
itu, malah ketika It Hang menolak ke kiri dan kanan, keduanya
mereka terguling roboh! Bukan main murkanya Oey Yap dan Ang In, yang
belakangan ini segera bantui saudaranya, hingga dia tak
sadar bahwa dia telah main keroyok.
Bouwyong Tjiong bergelar Sinkoen Boetek, si Kepalan
Malaikat Tanpa Tandingan, menghadapi Oey Yap dan Ang In.
ia perlihatkan kegagahannya. Ia menghalang bagaikan satu
Kimkong, satu Arhat, yang menjaga pintu. Maka itu, meski
sudah belasan kali kedua imam itu terjang padanya, ia tidak
pernah mundur dari tempatnya merintang. Ia tidak membalas
menyerang hebat, ia cuma menjaga saja, guna menghalanghalangi,
selama itu ia telah menunggu. Ia tunggu sampai
rasanya It Hang sudah lari turun gunung, lantas ia tertawa
berkakakan. "Imam tua bangkotan hidung kerbau!" katanya kemudian,
"tjiangboendjin-mu itu bukannya satu bocah cilik, sekarang dia
mau pergi mencari pasangannya, perlu apa kamu
mengekangnya" Ha-ha-ha! Jangan kamu gelisah tidak
189 keruan, aku pun tidak dapat menemani kamu lama-lama, aku
hendak pergi menyusul tjiangboendjin kamu itu untuk tenggak
arak pengantin! Maaf, maaf!"
Selagi orang mengucap demikian, Oey Yap maju dengan
serangannya, disusul dengan terjangan Ang In. Malah yang
belakangan ini menggunakan kedua kepalannya.
Kembali Bouwyong Tjiong, tertawa berkakakan. Dia sudah
putar tubuhnya, untuk menyingkir, berhubung dengan
datangnya serangan Oey Yap, ia menangkis ke belakang
dengan jurus "Gohouw hweetauw" atau "Harimau membalik
kepala". Maka dengan tepat ia menyampok, hingga si imam
tertolak mundur. Habis itu, ia lompat mundur, sedikit ke
samping, kedua kakinya berbareng dipakai mendupak, dalam
tipu silat "Hoenhoa hoetlioe" atau "Memecah bunga, mengebut
yanglioe". Dengan cara ini ia sambut Ang In, yang menyusul
soeheng-nya itu. Ang In Toodjin tidak menyangka orang demikian liehay,
tidak sempat ia mengelak, atau ia telah kena terdupak, hingga
bagaikan bola, tubuhnya terpental jauh kira-kira setumbak. ia
jatuh dengan kepala membentur meja, hingga dahinya benjut.
Syukur untuknya, tendangan itu tidak terlalu hebat, kedua
tangannya masih dapat melindungi dirinya.
Selagi Oey Yap tercengang dan Ang In mencoba
berbangkit. Bouwyong Tjiong sudah angkat kedua tangannya,
untuk memberi hormat kepada mereka itu.
"Maaf, maaf," katanya. "Maafkan aku, tak dapat aku temani
kamu!" Ang In lompat bangun, napasnya tersengal.
"Soeheng, mari bunyikan genta!" katanya, mendongkol.
"Kita mesti kumpulkan semua murid untuk kejar dia!"
Oey Yap tertawa meringis.
"Sudah, tak usah banyak urusan lagi," katanya. "Kita sudah
punya satu musuh, apa itu belum cukup"
Jangan kita menambah pula yang baru..."
Sebenarnya, Ang In juga cuma meluapkan hawa
amarahnya, hingga ia mengucap tanpa dipikir. Ia telah
menginsyafi, Pek Sek dan Tjeng Soo sedang terluka dan ia
berdua soeheng itu bukan tandingan tetamunya itu, apa yang
190 mereka bisa berbuat" Mana sanggup sekalian murid mereka
membantu mengepung Bouwyong Tjiong"
"Kita jangan pedulikan lagi Bouwyong Tjiong," Oey Yap
berkata pula. "Tapi It Hang mesti dicari, untuk diajak pulang.
Selama belakangan ini, makin lama aku makin insaf, jikalau
kita tidak bisa dapatkan satu tjiangboendjin yang liehay,
beberapa tahun lagi, nama Boetong pay akan menjadi
semakin tak terdengar..."
Akan tetapi It Hang sudah kabur, ke mana dia hendak
dicari" Inilah yang menambah pusingnya imam itu.
Sementara itu Tiat Hoei Liong berdua Kek Peng Teng, yang
sudah pulang ke Liongboen, di propinsi Shoasay, siang dan
malam, telah mengharap dengan sia-sia saja kedatangannya
Giok Lo Sat bersama To It Hang. Dari hari ke hari, sampai
beberapa bulan, tetap pengharapan mereka tak terpenuhi.
Mereka telah menanti-nanti, dari permulaan musim rontok
sampai di musim dingin. Pada akhirnya, Peng Teng menjadi
berduka dan gelisah. "Apa mungkin entjie Lian telah dicelakai imam-imam dari
Boetong san?" kata nona Kek itu. Hoei Liong tertawa. "Itulah
tidak akan terjadi!" berkata orang tua itu, yang hatinya besar.
"Apa yang aku kuatirkan adalah kalau-kalau It Hang
mengubah pikirannya..."
"Kalau begitu, di musim semi marilah kita pergi ke Boetong
san," Peng Teng usulkan. "Perlu kita mencari tahu!"
"Aku percaya, walaupun lambat. Giok Lo Sat akan datang
juga," kata Hoei Liong, yang sabar luar biasa. "Aku dengannya
adalah sama dengan anak sendiri dan dengan kau dia
bagaikan entjie kandungmu, maka tidak nanti dia tidak ingat
kita. Menurut perangainya, umpama kata benar ia gagal
dalam percintaan, tidak nanti ia menjadi nekat atau
menghabiskan jiwanya sendiri. Baiklah kau tunggu saja."
Peng Teng suka tungkuli diri, suka ia terus menantikan,
akan tetapi hari terus berlalu, dan Giok Lo Sat belum juga
datang, maka itu, ia tetap masgul dan berkuatir.
Selama ini, Peng Teng telah peroleh kemajuan dengan ilmu
silatnya. Ia telah dapatkan kitab simpanan ilmu silat dari
Anghoa Koeibo, ia telah yakinkan itu dengan sungguhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
191 sungguh, ia telah peroleh hasil. Hanya pelajaran inilah yang
membuat ia dapat sabarkan diri.
Pada suatu malam Peng Teng bermimpi, atau mendadak
ada orang menongolkan kepalanya masuk ke dalam
jendelanya. Itulah kepala seorang wanita dengan rambut putih
semua, wajahnya pucat pasi, hanya kedua matanya yang
bersinar tajam. Ia kaget hingga ia menjerit sekuatnya: "Ada
setan!" Atas jeritan itu, kepala "setan", itu hilang lenyap.
Hoei Liong dengar jeritan itu, ia mendusin, terus ia lompat
ke jendela, yang daunnya segera ia tolak. Ia pun terkejut
ketika ia lihat orang dengan rambut ubanan itu. Akan tetapi ia
adalah satu jago, ia tidak menjadi takut karenanya, apapula
ketika orang itu menjura dua kali kepadanya, sesudah mana,
dia itu memutar tubuh untuk berjalan pergi.
"Anak Siang, kembali!" teriak jago dari Barat utara ini.
"Peng Teng, lekas keluar, sambut entjie-mu!"
Peng Teng segera kerebongi tubuhnya, lalu ia lompat
keluar, tetapi waktu itu, si rambut putih itu sudah berada di
pekarangan. Keduanya menyusul terus.
"Anak Siang, kembali!" seru yang satu.
"Entjie, kembali!" teriak yang lain.
"Adik Teng, bukan niatku membikin kau kaget," kata si
rambut putih itu sambil membalik tubuh.
"Aku tidak takut, entjie!" jawab Peng Teng. "Aku tidak takut
meskipun kau benar-benar menjadi setan!..."
"Adik Teng, aku minta sukalah kau merawat ayah baikbaik,"
kata pula si rambut putih itu. "Bila kau yang
mendampingi dan merawatnya, aku tidak kuatirkan apa-apa
lagi..." "Kau kembali, anak!" kata Hoei Liong.
Si rambut putih itu menjura pula, lagi dua kali.
"Ayah, harap kau rawat diri baik-baik," berkata dia. "Aku
hendak memenuhi pengharapan dari guruku, aku hendak
pergi menelad contohnya Gak Beng Kie!"
Lalu ia putar tubuhnya, untuk segera angkat kaki. Mulanya
masih terlihat bayangannya di atas salju, lalu perlahan-lahan
192 dia lenyap, hingga melainkan bintang-bintang saja yang
berkelip-kelip di atas langit...
Hoei Liong menjadi sangat berduka, dengan wajah guram,
ia kembali ke dalam rumah. Ia tidak mengejar, karena ia tahu,
tidak nanti ia dapat menyandak.
Peng Teng, telah bermandikan air mata.
"Kenapa entjie Lian menjadi demikian rupa?" kata nona ini,
suaranya tak tegas. "Sayang kecantikannya itu, belum dia
berusia tua, rambutnya sudah ubanan semua. Dia sungguh
keras hatinya. Kenapa tak sudi dia tinggal bersama kita"..."
Hoei Liong menarik napas panjang.
"Pasti, It Hang telah mengubah pikirannya," katanya
dengan masgul. "Memang, siapa bersusah hati, dia lekas
menjadi tua. Dahulu Ngouw Tjoe Sie, satu malam saja ia
melintasi kota Tjiauwkwan, rambutnya berubah menjadi uban
semua. Bahwa kesusahan hati dapat merusak seseorang,
beginilah buktinya. Entjie-mu sangat menyayangi
kecantikannya maka mendengar kata-katanya itu, sekarang
pasti ia hendak pergi ke suatu tempat yang sepi untuk
meyakinkan ilmu silat pedang, dan untuk selanjutnya, tidak
ingin dia menemui orang biasa lagi..."
Kembali orang tua ini menghela napas.
Peng Teng menghela napas juga. Sampai besok paginya,
Peng Teng masih tetap berduka, maka seorang diri ia keluar
dari rumahnya, ia pergi keluar kampung, untuk berjalan-jalan,
dengan niat melegakan hati. Tibatiba ia dengar suara
kelenengan kuda di kejauhan, makin lama makin tegas
suaranya, sesaat kemudian tampaklah seekor kuda tengah lari
mendatangi. Apa yang membuat ia kaget dan heran ialah
setelah kuda itu datang dekat di depannya, penunggang itu
roboh dari kudanya. Iapun lihat pada bebokong kuda itu
nancap beberapa batang panah. Maka setelah
penunggangnya jatuh, sambil meringkik keras, kuda itu kabur
terus Segera Peng Teng hampiri penunggang kuda itu, ialah
seorang muda dengan mata lebar dan alis tebal.
"Apakah ini Tiat keetjhung dari Liongboen?" tanya si anak
muda. 193 "Benar," jawab Peng Teng. "Kau siapa?"
"Kau tolong aku!" kata si anak muda, tanpa menjawab.
VI Anak muda itu terluka parah, iapun sangat lelah, begitu ia
roboh dari kudanya, tak dapat ia merayap bangun, maka Peng
Teng membantu ia berdiri.
"Sebenarnya kau siapa?" tanya Peng Teng.
"He, nona cilik, kau banyak omong!" kata anak muda itu.
"Jikalau kau suka tolong aku, lekas panggil Tiat Hoei Liong
keluar. Jikalau tidak, tolong kau hunus golokku dan serahkan
itu padaku!" Peng Teng heran atas sikap orang itu. Sebetulnya masih
hendak ia bertanya pula, akan tetapi melihat lukanya orang itu,
ia merasa kasihan. Waktu itu di luar kampung terdengar pula suara kelenengan
kuda, tapi masih samar-samar.
"Sudah tidak keburu!" teriak si anak muda. "Mari golokku!"
"Buat apa golokmu?" tanya si nona, yang menjadi
bertambah heran. "Biar mesti mati, tak sudi aku jatuh dalam tangan orang
jahat!" sahut si anak muda.
"Orang ini polos..." pikir Peng Teng. "Dia lebih suka
terbinasa daripada terhina, dia bukannya orang jahat." Maka ia
lantas berkata: "Baiklah, akan aku tolong padamu!"
Suara kuda mendatangi terdengar semakin tegas.
Tidak tunggu lagi, Peng Teng peluk anak muda itu, lalu
diangkat dan diletakkan di tepi jalan di mana terdapat
tumpukan jerami gandum, hingga tubuh orang itu tak terlihat.
Seumurnya belum pernah Nona Kek ini melanggar tubuh
orang lelaki sebagai kali ini. Juga tubuh pemuda itu berat
sekali, hingga ia mesti pakai tenaga besar dan menahan
panas. Baru ia berlega hati setelah orang itu dapat
disembunyikan. Justeru itu pengejar si anak muda telah sampai di mulut
kampung. 194 Peng Teng cerdik sekali, ia tahu bagaimana ia harus
berbuat. Ia lantas buka baju luarnya, yang terkena darahnya si
anak muda ia masukkan itu ke dalam tumpukan rumput, lalu ia
ambil lumpur untuk digosokkan pada kedua tangannya hingga
darah di tangannya itu menjadi kotor.
Iapun usap mukanya Dengan segera tibalah si pengejar,
yang terdiri dari lima penunggang kuda, semua berpakaian
sebagai hamba negeri. "Eh, nona kecil!" tegur seorang di antaranya, yang rupanya
menjadi kepala "adakah kau melihat satu anak muda dengan
tubuh terluka" Dia menunggang kuda dan barusan kabur ke
arah sini." "Aku melihatnya," sahut Peng Teng. "Dia kabur ke depan
sana" sambil menunjuk ke arah Tiat keetjhung.
Kudanya si anak muda telah terluka oleh panah, selagi
binatang itu kabur, darah menetes di sepanjang jalan, maka
itu, ke lima orang itu dapat melihat tanda-tanda darah di tanah.
Mereka itu mengawasi ke arah kampung.
"Eh, apakah itu Tiat keetjhung?" tanya satu di antaranya
suaranya seperti heran atau kaget.
"Benar," jawab Peng Teng. "Anak muda tadi telah masuk
ke dalam Tiat keetjhung."
Ke lima penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya
masing-masing, mereka berkumpul sambil berbisik-bisik.
Teranglah mereka sedang asyik berdamai.
"Tiat Hoei Liong aneh perangainya, terhadapnya tak dapat
kita bicara keras," kata yang satu.
"Mustahil kita berlima tidak sanggup melawan dia?" kata
orang yang kedua.
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah kita gunakan adat sopan santun dulu, kalau kita
tak berdaya, baru kita gunakan kekerasan. Kita mesti minta si
anak muda." Orang yang ketiga menggelengkan kepalanya, tandanya ia
tak setuju. Peng Teng berdiri tetap di tempatnya, ia awasi mereka itu.
Sebaliknya, ke lima orang itu sering-sering berpaling
kepadanya. Tiba-tiba satu orang maju dua tindak, mendekati si nona.
195 "He, kau siapa?" mendadak dia tanya, sambil tertawa.
"Aku adalah anaknya seorang tani," jawab Peng Teng. "Aku
biasa keluar dari rumah pagi-pagi untuk mencari rumput."
"Bukankah kamu dari Tiat keetjhung?" tanya orang itu pula.
"Bukan. Aku adalah dari kampung sana."
Sejak tinggal di Tiat keetjhung, Peng Teng tidak suka lagi
berhias atau memakai pupur dan yantjie seperti masih di
istana, malah pakaiannya pun seperu-orang desa, maka
setelah sekarang parasnya yang cantik kotor dengan lumpur,
tidak nanti ada orang yang menyangka bahwa belum lama
berselang ia adalah satu nona agung mirip dengan puteri raja.
Akan tetapi penunggang kuda itu bermata liehay, terang ia
seorang kangouw yang berpengalaman. Ia awasi si nona,
lantas ia tertawa berkakakan.
"Kita sudah merantau ke selatan dan utara, hampir saja kita
dikelabui bocah ini!" katanya sambil tertawa pula "Coba kamu
lihat!..." Dan ia tunjuk mukanya Peng Teng. "Lihat ini!
Mukanya benar kotor dengan lumpur, akan tetapi pakaiannya
bersih! Dia pun bicara dengan teratur sekali, masa dia
anaknya seorang dusun?"
Hatinya Peng Teng tersentak. Ia heran akan
penglihatannya orang itu.
"Lekas bicara!" orang itu membentak, sikapnya bengis.
"Di mana kau sembunyikan anak muda itu" Dia adalah satu
penjahat busuk yang tak dapat diberi ampun. Beranikah kau
menyembunyikan dia" Apakah kau sudah tidak sayang akan
jiwamu?" "Apakah dia penjahat atau bukan, aku tidak tahu," sahut
Peng Teng dengan sikapnya berpura-pura.
"Kau menyangkal?" bentak orang itu, sambil lompat maju,
kedua tangannya diangkat, agaknya dia hendak menubruk.
"Tahan!" cegah salah satu kawannya "Jangan sembrono!
Baik tanya dulu, dia pernah apa dengan Tiat Hoei Liong."
"Gadisnya Tiat Hoet Liong sudah mati!" kata orang yang
bengis itu. "Aku tahu, Tiat Hoei Liong juga tidak punya murid
perempuan. Dia tentu konconya si penjahat!"
Dia maju pula, untuk membekuk si nona.
Peng Teng berkelit, tak dapat ia ditangkap.
196 "Hai, dia lincah sekali!" kata orang itu heran. "Ah. dia
mengerti ilmu silat!..."
Ke empat orang lainnya pun heran, segera mereka percaya
nona ini mesti bukan gadis dusun sembarangan.
Si orang bengis tidak mau mengerti, untuk bisa bekuk si
nona ia maju pula Kali ini ia menyerang.
Dengan terpaksa, Peng Teng melayani orang berkelahi,
karena tak mau ia diperlakukan kasar.
Orang bengis itu berkepandaian tak lemah, ilmu silatnya
pun berasal dari golongan utara Dia berkelahi
dengan gunakan Patkwa tjiang, hebat gerakan kaki
tangannya Peng Teng telah perlihatkan kepandaiannya, warisan dari
Anghoa Koeibo. Ia belum mencapai kemahiran gurunya itu
tetapi ia berhasil membuat penyerangnya itu kewalahan.
"Pasti sekali bocah ini ada konconya si penjahat itu, mari
kita ringkus padanya!" kata satu penunggang kuda lainnya,
apabila ia saksikan sampai sebegitu jauh kawannya masih
belum berhasil membekuk si nona.
Nyata ke lima orang itu adalah boesoe atau pengawal
pahlawan dari Tan Kie Djie, tjongtok dari Siamsay, dan
mereka bertugas untuk menawan si anak muda. Mereka pun
terdiri dari dua golongan. Ialah yang tiga berasal dari
penjahat, yang terima "panggilan tjiauwan dari Tan
Tjongtok, dan yang dua lagi adalah pahlawan dari Tongtjiang
dari Pakkhia yang dikirim ke Siamsay diperbantukan untuk
menindas kawanan bandit. Orang yang pertama turun tangan terhadap Peng Teng
adalah dari golongan yang tiga itu dan ia menjadi kepala di
antara kawannya maka itu, setelah dengar anjurannya dua
kawannya lantas hunus senjata mereka untuk mengepung si
nona Kedua pahlawan dari Tongtjiang tidak lantas turun
tangan, mereka tetap berdiri menyaksikan. Mereka saling
pandang, agaknya mereka heran menyaksikan liehaynya si
nona. Dikepung tiga musuh, Peng Teng tidak menjadi jeri. ia
berikan perlawanan yang baik. terus sampai lima puluh jurus,
ia masih bertahan. Adalah selewatnya itu. baru ia repot juga.
197 Ia kalah tenaga, ia kalah ulet. Ketiga musuh itu juga
menggunakan senjata, ia sendiri bertangan kosong. Ia sampai
bermandikan keringat, hingga wajahnya yang kotor menjadi
bersih, dan hingga sekarang tampaklah kulitnya yang putih
halus, romannya yang cantik.
"Aduh!" teriak nona ini ketika pundaknya kena dihajar
ruyung lawan. Dalam repotnya, ia tak sempat menangkis dan
berkelit. "Hahaha!" tertawa si penyerang itu. "Kau masih tidak mau
menyerah, penjahat" Lekas kau berikan keteranganmu!"
Peng Teng tidak menjawab, ia hanya menjerit: "Ayah, ayah,
lekas! Ada orang perhina anakmu!" Mendengar itu ketiga
lawan itu terperanjat. "Tiat Hoei Liong itu apa kamu?" tanya mereka.
"Ia adalah ayahku!" sahut Peng Teng. "Kamu mau apa?"
Ketiga orang itu melengak sejenak lantas mereka tertawa
bergelak. "Kau dustai kami!" kata mereka. "Kau hendak gertak kami"
Hahaha!" Dan mereka menyerang pula dengan terlebih sengit lagi.
Di antara tumpukan rumput terdengar suara berkeresek,
rumput pun bergerak, menyusul mana. muncullah si anak
muda yang terluka, yang merayap keluar dari tempatnya
sembunyi. Ia telah dengar semua pembicaraan kedua pihak
itu, tak mau ia tak bertanggung jawab.
"Jangan kamu ganggu dia!" ia berteriak. "Dia tidak ada
sangkutannya! Aku ada di sini!"
Hal ini membuat heran ke lima pahlawan itu. tidak
terkecuali si nona. Malah ketiga pengepung itu. setelah
berseru, mereka tinggalkan Peng Teng, untuk lari kepada si
anak muda itu. Peng Teng melengak karena kagetnya.
Berbareng dengan itu ada orang berseru: "Eh, bukankah
kau kiongtjoe kita" ?" Lo Liong Loodjie, tahan dulu! Nona ini
adalah Tjiankim dari Hong Seng Hoedjin (Tjiankim = seribu
emas, artinya: anak gadis terhormat).
Dua pahlawan itu, semasa masih di istana, pernah melihat
Peng Teng -- pernah beberapa kali mereka melihatnya. Itu
198 waktu, kedudukan mereka masih rendah tidak dapat mereka
datang dekat pada nona Kek, inilah yang menyebabkan
mereka tidak lantas kenali si nona, apapula sekarang, nona itu
beda dandanannya dan mukanya pun kotor. Adalah setelah
keringat itu menghilangkan lumpur di muka si nona. baru
mereka dapat melihat dengan tegas.
Ketiga pahlawan yang mengepung si nona ini kaget, hingga
mereka berdiri menjublak.
Juga si anak muda menjadi heran, sampai ia turut
bengong, tetapi sejenak saja, ia lantas berseru: "Apa" Kau
anaknya Keksie" Kau....kenapa kau tolongi aku" Oh, tidak,
tidak suka aku menerima budimu! -- Hayo, tangkaplah aku!"
Peng Teng melengak. Dengan tiba-tiba saja, ia rasakan
hatinya sakit. "Kiranya orang kangouw membenci ibuku hingga demikian
rupa," pikirnya. Kedua pahlawan dari Tongtjiang itu segera memberi
hormatnya. "Kiongtjoe." kata satu di antaranya, "orang ini adalah
pemberontak yang menyatrukan pemerintah agung, dialah
yang Goei Tjongtjoe hendak tawan, untuk dihukum. Kami
mohon supaya kiongtjoe suka menyerahkan ia kepada kami,
untuk dibawa pulang."
"Pergi kamu!" bentak Peng Teng. "Tinggalkan orang ini di
sini! Jikalau kamu hendak menawannya, pergi suruh Goei Tiong
Hian datang sendiri kemari!"
Tiga pahlawan asal penjahat itu menjadi bersangsi.
"Inilah sukar," pikir mereka.
"Nona ini adalah mestikanya Keksie, sekarang dia kena
dihajar, kalau nanti dia pulang ke istana, pasti kita sukar lolos
dari hukuman mati... -Daripada mati, apa tidak lebih baik kalau
sekarang kita bunuh dia, untuk tutup mulutnya"..."
Nyata si orang bengis itu bisa ambil putusan cepat.
"Ngaco!" teriaknya, dengan kedua matanya dibelalakkan.
"Mana dapat kau menjadi kiongtjoe" Di kolong langit ini
memang banyak orang yang roman nya mirip satu dengan
199 lain! Jikalau kau benar kiongtjoe. mustahil kau kabur
meninggalkan istana untuk tinggal menyendiri di satu dusun?"
Kata-kata ini dapat dimengerti oleh kedua pahlawan
Tongtjiang itu, walaupun demikian, untuk sesaat mereka
masih bersangsi ?" tak tahu mereka. lebih baik turut
pikirannya rekan itu membinasakan Peng Teng atau
menolongi puterinya Keksie ini. Tapi tidak sempat mereka
berpikir lama, atau ketiga kawan itu sudah lantas maju pula,
untuk menyerang si nona. Waktu itu tampaklah satu orang berlari-lari mendatangi dari
arah liat keetjhung. dengan cepat sekali, dia telah sampai di
tempat pertempuran Lantas saja dia unjuk kemurkaannya.
"Siapa menghina anakku?" dia berteriak, dengan kumis
jenggot-nya bangkit berdiri, matanya terpentang lebar,
romannya bengis sekali, suaranya pun nyaring dan
berpengaruh. Dan begitu ia sampai di depan ketiga pahlawan
itu. ia tangkis mereka yang sedang mengancam Peng Teng.
Hebat tangkisannya itu, yang dibarengi dengan tendangan,
hingga ketiga orang itu terpukul roboh.
Kedua pahlawan dari Tongtjiang menjadi kaget. Mereka
segera kenali orang yang baru datang ini.
"Tiat Looenghiong. tidak ada sangkutannya kami dengan
mereka itu!" kata mereka.
"Apakah mereka belum turun tangan?" Hoei Liong tanya
anak angkatnya. "Belum. Berikan mereka ampun." sahut Peng Teng.
"Dia adalah anakku!" bentak Hoei Liong. "Jikalau kamu
hendak cari kiongtjoe. pergi cari di lain tempat! Jikalau kalian
berani datang mengganggu pula padaku, segera akan aku
patahkan kakimu anjing!"
Jago tua ini mengatakan demikian karena ia belum tahu
kawanan pahlawan itu hendak
menangkap siapa, ia sangka mereka hendak mencari Peng
Teng. Kedua pahlawan Tongtjiang itu sangat jeri. mereka segera
menyingkir. Perbuatan ini segera ditelad oleh yang lain.
Nona Kek tertawa geli melihat tingkah laku orang itu.
200 "Ayah." katanya pada ayah angkatnya itu. "mereka bukan
hendak cari aku. mereka hanya hendak menawan anak muda
itu," sambil menunjuk ke arah si anak muda yang terluka.
Hoei Liong segera memandang ke arah yang ditunjuk itu.
"Tadinya aku sangka kaulah yang melukai dia," kata ayah
ini. "Eh, kau siapa?" ia terus tanya pemuda itu. "Bukankah kau
anak tolol yang baru-baru ini ikut Ong Tjiauw Hie?"
Anak muda itu niat bicara se&ari tadi, tapi tidak sempat,
sekarang, setelah ditanya, ia lantas tertawa.
"Benar." demikian sahutnya. "Loodjinkee. kuat ingatanmu.
Aku adalah Pek Bin. Soemoay-ku pernah tinggal di rumah
loodjinkee." "Hoei Liong tidak ingat akan namanya. karenanya ia
menyebutnya si "anak tolol", ia tertawa mendengar anak muda
itu tidak menyangkal. "Aku sudah tua, ingatanku sudah berkurang." katanya.
"Harap kau tidak kecil hati. Eh. ya, kenapa kau terluka" Coba
kau berikan keterangan padaku."
"Aku dititahkan saudara Tjiauw Hie mengunjungi
loodjinkee," kata Pek Bin.
Hoei Liong heran. "Dia sedang membantu Giam Ong, pasti dia sedang repot
dengan urusan ketentaraan, tetapi ia toh masih ingat aku."
katanya. "Tetapi ia tidak menitahkan langsung aku menyambanginya
loodjinkee," Pek Bin jelaskan. "Dia memesan, apabila aku
lewat di sini, supaya aku perlukan berkunjung. Ah, sebenarnya
panjang untuk diceritakan..."
Hoei Liong girang melihat orang bicara secara jujur itu.
"Tetapi ayah," Peng Teng menyelak. "Dia terluka parah,
baik ajak dia pulang dulu, supaya dia dapat beristirahat, nanti
baru ayah ajak dia bicara..."
"Ah. aku sampai lupa!" tertawa ayah angkat itu. "Aku
pelupa, kalah aku dengan kau! Tapi jangan kuatir tentang
lukanya, walaupun nampaknya dia terluka hebat, dia cuma
terluka enteng bekas golok atau panah. Aku tanggung dalam
tempo lima hari aku dapat mengobati dia hingga sembuh!"
201 Pek Bin mempunyai tubuh kuat, dugaan Hoei Liong tidak
salah. Malah baru selang tiga hari, dia sudah dapat bergerak
dengan leluasa. Peng Teng segera juga bergaul dengan anak muda ini,
yang karena polosnya tampak tolol. Selama di istana, ia biasa
menghadapi segala kedustaan, atau akal muslihat, pada Pek
Bin, ia tampak kejujuran. Pek Bin sebaliknya, dapat bergaul
dengan siapa saja. Hoei Liong heran menampak sikapnya Peng Teng itu, di
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hatinya ia merasa lucu.
"Dasar jodoh manusia!" katanya di dalam hatinya. "Peng
Teng yang biasa hidup mewah dan dimanja dapat bergaul
dengan bocah tolol ini..."
Tetapi walaupun demikian, jago tua ini tidak menghalanghalangi.
Sekarang, setelah sembuh dari lukanya, Pek Bin tuturkan
pengalamannya. Lie Tjoe Seng, sesudah mengundurkan diri ke pegunungan
Tjinnia, setelah dapat beristirahat beberapa tahun, berhasil
mengumpulkan tenaganya. Kemajuan juga telah diperoleh
tentara rakyat di Siamsay dan Shoasay selama dua tahun
yang terakhir ini. Maka Lie Tjoe Seng lantas mengatur
persediaan untuk kembali ke Siamsay, supaya dia bisa
muncul pula di kota Tongkwan untuk mewujudkan cita-citanya.
Untuk itu terlebih dahulu ia serahkan tanggung jawab kepada
Ong Tjiauw Hie, putera dari Ong Kee In bekas pemimpin
umum dari pelbagai rombongan tentara rakyat di Siamsay
Utara. Dan untuk menunaikan tugasnya, Ong Tjiauw Hie
mengirim Pek Bin untuk mewartakan dan meminta pelbagai
pemimpin tentara rakyat di Siamsay dan Shoasay itu nanti
mengadakan pertemuan umum. Mereka yang berada di
Siamsay telah dapat dihubungi, dan yang di Shoasay ?"
telah ditetapkan " akan berkumpul berselang tujuh hari di
gunung Tiongtiauw san, gunung mana terpisah dari Tiat
keetjhung kira-kira tiga ratus lie. Maka itu Ong Tjiauw Hie
memesan pada Pek Bin, setelah ia selesai, supaya diperlukan
mampir di Liongboen, guna menyambangi Tiat Hoei Liong.
Tapi di luar dugaannya orang-orangnya Tan Kie Djie dapat
202 tahu tugas dari Pek Bin itu, mereka lantas menyusul, belum
lagi Pek Bin sampai di Liongboen, dia telah kecandak dan
dikeroyok hingga dia mendapat luka-luka, dia terus dikejar tak
hentinya, sampai dia datang dekat Tiat keetjhung. karena dia
tak tahan lagi, dia roboh, hingga dia ditolong Peng Teng, yang
melindungi padanya. Dia ada satu laki-laki, maka ketika ia lihat
si nona dikepung, dia menjadi tidak senang, dia merasa malu
terhadap nona Kek, maka itu, tak peduli akan luka-lukanya,
dia muncul untuk menolongi nona itu. Syukur untuknya, Hoei
Liong keburu datang. "Saudara Tjiauw Hie sudah siap, lagi dua tiga hari dari
tanggal pertemuan, pasti dia akan tiba," Pek Bin menutur
ter4ebih jauh. "Dia suruh aku menantikan di sini. Dia pun
mengandung maksud untuk mohon loodjinkee turut ambil
bagian dalam gerakannya itu."
Hoei Liong urut-urut kumis jenggotnya sambil tertawa.
"Aku sudah tua, sudah tak berguna!" katanya. "Mungkin
anakku ini kelak dapat membantu."
"Bukankah dia anaknya Keksie?" tanya Pek Bin.
Hoei Liong tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada anak
angkatnya. "Mereka itu menyatrukan pemerintah, tak dapat mereka itu
berdiri sama-sama Goei Tiong Hian, sudikah kau membantu
mereka?" ia tanya anak itu.
"Bila ayah mengatakan aku boleh membantu, maka nanti,
sesudah selesai pelajaranku, pasti aku bersedia memberikan
tenagaku!" sahut sang anak.
Mendengar itu, Pek Bin pentang lebar kedua matanya.
Segera juga berubahlah pandangannya terhadap si nona
gadisnya Keksie. Hoei Liong pun lantas ingat halnya dahulu ia pernah niat
merekoki jodoh gadisnya dengan Ong Tjiauw Hie.
"Apakah Tjiauw Hie telah menikah dengan Nona Beng?"
tanyanya. "Aku malah sudah mempunyai keponakan umur dua
tahun!" sahut Pek Bin dengan gembira. "Beng Soemoay itu,
orangnya kecil dan pendiam, akan tetapi bayinya putih dan
203 montok sekali dan sangat bengal. Ya, Beng Soemoay juga
ingin melihat kau, loodjinkee!"
"Aku juga ingin melihat mereka," kata Hoei Liong.
Dua hari berselang dari hari yang dijanjikan, Tjiauw Hie
tidak muncul, hal ini membuat Pek Bin bergelisah.
"Mari kita papak dia," Hoei Liong mengajak. "Bukankah
lukamu sudah sembuh benar?"
"Ya, sudah sembuh!" jawab Pek Bin.
Maka bersama-sama Peng Teng, mereka berangkat ke
arah Tiongtiauw san. Selagi Hoei Liong bertiga menuju ke Tiongtiauw san, di tepi
gunung tampak satu orang sedang berjalan seorang diri.
Dialah To It Hang, yang kabur dari gunungnya sendiri.
"Maukah dia menemui aku" Apakah dia akan pedulikan
aku?" demikian anak muda itu tergoda pikirannya. Inilah
gangguan, yang tidak dapat ia singkirkan. Pemecahannya, ia
tahu. adalah nanti, setelah ia bertemu dengan Giok Lo Sat.
Karena itu. bulat tekadnya untuk mencari si Raksasi Kumala,
tak peduli orang nanti suka menemui dia atau tidak, tak peduli
ia mesti pergi ke ujung langit atau ke pangkal lautan...
"Tetapi, ke mana aku mesti cari dia?" tanyanya berulang
kali seorang diri. Karena kerasnya It Hang berpikir, sampai ia ingat kepada
Tiat Hoei Liong. "Hoei Liong adalah ayah angkatnya Giok Lo Sat, tentu ia
ketahui tentang anaknya itu. Atau mungkin Giok Lo Sat berada
di rumahnya..." Maka jalanlah lt Hang. siang dan malam, melawan angin,
menggadangi sinar rembulan. Ia hanya singgah atau
bermalam apabila ia butuhkan itu dengan sangat. Demikian
sampailah ia di Ouwpak, dari sana ia menuju ke Soetjoan, lalu
memasuki Siamsay. dari mana ia maju terus ke Shoasay.
Beberapa bulan telah lewat, hingga dari musim rontok
sampailah ia di musim dingin, dan daun-daun yang rontok
diganti dengan beterbangannya salju-salju bagaikan bunga...
Demikian hari itu, tibalah ia di Tiongtiauw san, dari sana,
kira-kira tiga ratus lie lagi ia sampai di Tiat keetjhung.
204 Keadaan langit waktu itu mendung, karena kecuali hari
sudah larut, salju pun turun makin lama makin lebat.
"Lagi dua hari, akan bertemulah aku dengan dia..."
demikian pikir tjiangboendjin dari Boetong pay, maka ia tak jeri
terhadap hawa yang sangat dingin itu, yang seperti
menyerang sampai kepada tulang-tulang sumsumnya. Di
samping itu, ia rasakan hatinya panas. Maka ia jalan terus
hingga melewati tempat di mana ia harus singgah, dan sesaat
kemudian, jagat telah menjadi gelap, tandanya sang malam
telah tiba. Jalan di tanah pegunungan ada sukar, apapula dilakukan di
waktu malam dengan tidak ada sinar bulan, dan salju tersebar
di sekitarnya. It Hang memandang ke empat penjuru, ia jalan terus. Hawa
dingin mengganggu hebat, apapula itu waktu, perutnya sudah
meminta makan. Ia telah berjalan jauh, ia menjadi letih sekali.
Akhir-akhirnya tibalah It Hang pada sebuah kuil tua, di
mana penduduknya menghormati malaikat gunung, akan
tetapi di musim dingin seperti itu, kuil itu tidak pernah didatangi
orang-orang yang bersujut, keadaannya sangat sunyi, hingga
di sana kampret dan burung-burung hutanlah yang bertempat
tinggal dengan sarang-sarangnya. Melihat ada manusia
datang, semua binatang bersayap itu kaget dan beterbangan.
"Biarlah aku berkawan dengan burung-burung, malam ini
aku tidur di sini," berkata It Hang dalam hatinya.
Di dalam kuil malaikat gunung ini. It Han mencari air dingin,
yang ia pakai untuk menurunkan rangsum kering yang ia
bekal, kemudian ia singkap kelambu dari patung malaikat itu,
hingga di belakang meja ia tampak satu ruang lega di mana ia
dapat merebahkan diri. Pada mulanya ia berpikir untuk
beristirahat saja, akan tetapi karena letihnya, tak lama setelah
ia meletakkan kepalanya ia jatuh tertidur.
Berapa lama ia sudah tidur, It Hang tidak ketahui. Ia hanya
tampak-dalam tidurnya itu ?" Giok Lo Sat bertindak
menghampiri ke arahnya. Dengan sekonyong-konyong si nona
berseru nyaring dan panjang, la kaget, segera ia mendusin.
Sesudah sadar, rasanya masih belum lenyap seruan itu dari
205 kupingnya. Hanya sejenak kemudian, seruan itu berubah
dengan pekik hebat dari burung hantu, hingga ia terkejut.
"Bukankah aku sedang bermimpi?" tanya It Hang dalam
hatinya. Ia terbenam dalam keragu-raguan. "Apakah benarbenar
entjie Lian yang datang" Bukan, bukannya dia...
Seruannya tidak demikian mengejutkan "- seruan ini adalah
menakutkan..." Sedangnya It Hang berniat menggerakkan tubuhnya, untuk
merayap bangun, kupingnya mendengar tindakan kaki orang
yang berjalan masuk ke dalam kuil. Lekas-lekas ia
menyingkap kelambu, untuk melihat, la menjadi kaget sampai
hampir ia perdengarkan seruan.
Di paseban di mana terdapat tumpukan salju, yang
sinarnya putih bergemerlapan, ada dua makhluk yang
menakutkan, sebab romannya adalah tiga bagian manusia,
tujuh bagian hantu, mukanya pucat, tak ada darahnya, Dan
kedua makhluk itu tengah tertawa, suara tertawanya
menyebabkan orang menggigil sendirinya. Rambut kedua
makhluk itu terurai, tubuhnya kurus dan jangkung, keduanya
mirip satu pada lain. It Hang tabahkan hatinya untuk dapat mengawasi terus.
"Loodjie, mari kita gertak dia, untuk membuat dia takut."
begitu ia dengar makhluk yang satu berkata, kepada
kawannya. Lalu ia merogoh sakunya, untuk mengeluarkan dua benda
bundar, apabila It Hang mengawasinya dengan tegas, ia
dapatkan itu adalah dua kepala manusia!
Makhluk yang membuka suara itu menghampirkan meja, di
atas itu, ia letakkan kedua kepala itu. Dengan diletakkannya
kedua kepala itu, It Hang tidak dapat melihat lagi orang itu, ia
hanya dengar bunyinya letusan api, menyusul mana terlihat
cahaya api dan asap yang menyepatkan mata. Ia tidak tahu,
apa yang kedua orang itu perbuat.
Tidak lama antaranya, di luar kuil terdengar suara kuda
berbunyi. Mendengar suara kuda itu, kedua orang itu lompat bangum
206 "Sungguh saudara Ong sangat boleh dipercaya!" berkata
mereka. "Benar-benar kau datang pada waktu yang tepat! Di
sini ada sahabat kekalmu sedang menantikan..."
Dari luar segera terdengar jawaban.
"Sien Lootoa, Sien Loodjie, kamu datang siang sekali!"
demikian suara itu, rupanya dari si orang she Ong
sebagaimana dia disebutnya tadi oleh kedua orang itu. "Siapa
lagi yang kamu janjikan untuk datang kemari" Apakah tidak
lebih baik untuk kita bicara dahulu dengan jelas?"
It Hang heran. Ia kenali suaranya si orang she Ong itu.
Itulah Ong Tjiauw Hie. Seumurnya, It Hang hanya mempunyai dua sahabat kekal.
Yang satu adalah Gak Beng Kie, dan yang iainnya adalah Ong
Tjiauw Hie. Dengan Tjiauw Hie ia berlainan paham akan tetapi
hati mereka cocok satu dengan lain, maka itu dapat mereka
bersahabat. Sekarang It Hang dengar suara sahabat itu, ia
heran berbareng girang. Di pihak lain, ia pun terkejut
mendengar pembicaraan mereka itu. Itulah suara dari
permusuhan. "Sin Lootoa... Sien Loodjie...?" ia ulangi kedua nama itu
yang disebutkan Tjiauw Hie, sambil menyebut, ia berpikir dan
mengingat-ingat. "Oh, oh! Bukankah mereka itu Siampak
Djiesien, yaitu Sien Tay Goan dan Sien It Goan" sudah lama
aku dengar nama mereka, yang ilmu silatnya luar biasa, dan
tingkah polahnya aneh. Mengapa Ong Tjiauw Hie janjikan
mereka di sini?" -- (Siampak Djiesien = Dua Sien dari Siamsay
Utara). Segera juga Ong Tjiauw Hie bertindak masuk. Ketika ia
mendekati meja, dengan mendadak saja ia berseru bahna
kagetnya. "Bukankah ini Yamiau tjee Touw Ngo dan Shiathian tiauw
Thio Soe?" tanyanya heran. "Kamu... kamu mengapa turun
tangan atas mereka?"
Sien Tay Goan tertawa terbahak-bahak, suara itu
terdengarnya aneh. "Mereka itu tidak taati titahnya Pat Tayong, maka itu
terpaksa kita memotong ayam untuk menghormati kunyuk!"
katanya, dengan jawabannya yang diumpamakan.
207 "Pasti ini bukan kehendaknya
Pat Tayong," kata Ong Tjiauw Hie. "Pat Tayong itu dengan
Siauw Giam Ong kita ada bersaudara angkat, cara bagaimana
maka dia dapat membinasakan orang kami?"
"Siauw Giam Ong" Hm. apa Siauw Giam Ong?" teriak Sien
It Goan. "Ketika kami sudah bekerja, dia masih ada dalam
perut! Apakah yang dia buat andalan maka hendak dia
memerintah kami orang-orang gagah dari dua propinsi
Shoasay dan Siamsay" Boleh Pat Tayong kesudian angkat
saudara dengannya tetapi kita. kita tak sudi!"
Pat Tayong itu adalah Thio Hian Tiong dan Siauw Giam
Ong ialah Lie Tjoe Seng. Pada beberapa puluh tahun yang
lampau. Pat Tayong telah memegang pimpinan atas tiga puluh
enam rombongan berandal, yang terdiri dari dua puluh laksa
lebih, dengan itu dia telah menyerbu propinsi Shoasay,
tetapi dia dapat dikalahkan Ang Sin Tioe. tjongtok di bawah
pemerintahan kerajaan Beng, sisanya kabur ke Hoolam dan
Hoopak. di Hoolam, mereka dipegat tentara Beng. lalu mereka
kabur lebih jauh ke Ouwpak, dari mana mereka mutar ke
Soetjoan. Ketika itu Lie Tjoe Seng dari Siamsay masuk ke
Soetjoan. di mana di pegunungan Tjinnia ia melatih tentara, di
situ mereka berdua bertemu, lanias mereka mengangkat
saudara. Hanya di Soetjoan itu, pengaruhnya Thio Hian Tiong ada
lebih besar, maka Lie Tjoe Seng telah membuat perjanjian
dengannya, yaitu ia serahkan Soetjoan, untuk dijadikan
markasnya, ia sendiri pulang ke Siamsay. Sedang Shoasay
adalah tempat asalnya tetapi setelah mendapatkan Soetjoan,
Thio Hian Tong merasa puas dan betah tinggal menetap di
sana. Sebab dilihat dari letaknya Soetjoan adalah daerah
subur dan makmur, Shoasay miskin. Tentu saja senang ia
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan Lie Tjoe Seng berkedudukan di propinsi
Shoasay itu. Karena ia mendapat tempat miskin itu, Lie
Tjoe Seng menugaskan Ong Tjiauw Hie mencari sahabat
dan kawan di Siamsay dan wilayah Shoasay lainnya. Tapi hal
ini tidak disukai kedua saudara Sien. Kedua saudara ini
ketahui tentang perjanjian antara Pat Tayong dan Siauw Giam
Ong itu, walaupun demikian, mereka telah menemui Pat
208 Tayong untuk menyatakan tidak seharusnya Shoasay
dilepaskan dan diserahkan pada Siauw Giam Ong. Pat
Tayong kena digosok oleh kedua saudara Sien ini, tetapi ia
malu merobek surat perjanjian itu, hingga pada akhirnya, ia
beri kemerdekaan untuk Tay Goan dan It Goan melakukan
apa yang mereka suka. Kedua saudara Sien mendapat lahu Lie Tjoe Seng telah
memanggil berkumpul pelbagai kepala rombongan, untuk
bertemu di Tiongtiauw san, maka untuk mendahului, dua hari
di muka, mereka telah mengundang Ong Tjiauw Hie untuk
berkumpul di kuil malaikat gunung itu.
Ong Tjiauw Hie telah mendengar kabar hal sepak
terjangnya Tay Goan dan It Goan di wilayah Shoasay, ia
terima baik undangan itu, sebab ia pikir, ia dapat menanyakan
dengan jelas tentang sikapnya itu. Adalah di luar dugaannya,
kedua saudara Sien itu telah menunjukkan
ketelengasannya. yaitu mereka sudah membinasakan
Touw Ngo dan Thio Soe, dua kepala rombongan yang
berpengaruh dan mentaati undangannya Tjiauw Hie. Lebih
heran lagi kepala orang itu dibawa-bawa, sengaja dipakai
untuk menggertak... Kedua pihak sudah lantas mulai dengan pembicaraan
mereka. Selama itu Ong Tjiauw Hie telah kendalikan diri,
untuk tidak mengutarakan kemendongkolan dan
kemurkaannya. Akan tetapi, makin lama, suasana menjadi
makin genting karena sikap keras dan menantang dari kedua
saudara Sien itu. Pada akhirnya, Tjiauw Hie berkata juga: "Yang pantas, kita
kedua pihak mesti bekerja sama dengan sesungguh hati,
untuk usaha besar kita bersama. Untuk aku, siapa yang
menjadi pemimpin, adalah sama saja. Tapi ingin aku
menjelaskan, setelah kita membagi wilayah, untuk bekerja
masing-masing, tidaklah seharusnya kita saling berebutan
pengaruh, hingga karenanya, kita mesti saling bunuh. Kamu
sebaliknya sudah lakukan perbuatan kamu ini. Tentang
perbuatanmu, aku tidak hendak bilang suatu apa. baik kita
tunggu saja sampai rapat nanti, untuk minta orang banyak
yang memberikan putusannya.
209 Mendengar itu, matanya Sien Tay Goan membelalak, terus
dia tertawa tergelak-gelak.
"Apakah kau masih memikir untuk hidup sampai nusa?"
katanya, jumawa. Baru sekarang habis kesabarannya Tjiauw Hie,
"Habis apa yang kau mau," dia tanya.
"Hai, anak muda!" bentak Sien Tay Goan. "Di masa
hidupnya, ayahmu tidak berani menegur aku, maka kenapa
kau begini kurang ajar" Tidak ada lain jalan, kami terpaksa
mesti minta kau ambil jalan yang sama dengan Yamiauw tjoe
dan Shiathian tiauw!"
"Apakah kamu berani melakukan itu?" bentak Tjiauw Hie.
Sien Tay Goan tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kami tidak berani?" dia membaliki. Dan dia lompat,
dengan sebelah tangannya menyambar.
Tjiauw Hie berkelit, setelah mana, ia hunus pedangnya.
Kembali Sien Tay Goan melayangkan tangannya.
Kali ini Tjiauw Hie tidak berkelit, ia hanya menyambut
dengan sabetan pedangnya. Kalau ia mengenai sasarannya,
mesti buntung tangannya orang she Sien itu.
Akan tetapi Tay Goan telah menarik kembali tangannya
dengan sebat. Kembali dia tertawa besar.
"Eh, bocah, kau mempunyai kepandaian apa?" tanyanya
dengan mengejek. "Hayo, kau keluarkan semua itu!"
Dengan berani dia majukan diri, tangan kirinya menyambar,
disusul dengan serangan tangan kanan. Tangan kanan ini
hanya menyambar ke bawah, ke arah perut. Itulah salah satu
jurus dari "Yaho Koen" atau ilmu silat "Rase Liar".
Nyatalah Sien Tay Goan telah berpikir, kegagahannya Ong
Kee In ada seimbang dengan ia sendiri, dari itu, mustahil
anaknya Kee In bisa melebihkan ayahnya itu. Maka ia
percaya, kali ini tidak nanti Tjiauw Hie bisa loloskan diri.
Akan tetapi Ong Tjiauw Hie telah membuktikan kata-kata,
"hijau itu berpokok pada biru", dan dia telah melebihkannya,
maka dia telah melampaui kepandaian ayahnya. Dia tidak
gentar atas serangan Tay Goan. Kembali dia gerakkan
pedangnya, untuk membabat. Dia mempunyai kesehatan
untuk menarik kembali pedangnya itu. Di lain pihak, tangan
210 kirinya tidak tinggal diam. Secara begini dapatlah dia
memecahkan serangan lawan yang jumawa itu.
Mau atau tidak, Sien Tay Goan menjadi terkejut. Inilah ia
tidak sangka. Karena itu, ia menjadi penasaran. Setelah
menarik kembali kedua tangannya, untuk mengelakkan
babatan, ia putar tubuhnya, begitu gesit, hingga segera ia
berada di belakang lawan dari mana tangannya yang dibuka
lebar, dipakai menghajar batok kepala lawan.
Benar-benar luar biasa gerakan dan serangannya.
Ong Tjiauw Hie berkelit sambil mendek, lalu sambil
memutar tubuh, pedangnya dipakai membabat ke bawah.
Secara begini ia membuat pembalasan.
"Bagus!" seru Sien Tay Goan sambil lompat mental,
dengan begitu ia hindarkan diri dari serangan. Sesudah itu,
dengan tidak kalah sehatnya seperti tadi ia mcrangsak pula, ia
ulangi serangannya, kali ini dengan saling susul dengan cepat
sekali. Ia menyerang sambil menggunakan ilmu totok.
Tjiauw Hie menggunakan pedang, akan tetapi didesak
secara demikian, ia terpaksa mesti main mundur, ia
senantiasa mesti bela diri.
Pertempuran ini, yang mendatangkan suara berisik,
membuatnya semua kampret kaget, hingga binatang-binatang
itu beterbangan sambil memperdengarkan suaranya yang
recet. Selama itu To It Hang telah saksikan jalannya pertempuran,
ia dapat kenyataan, meski Tjiauw Hie mempunyai kepandaian
tinggi, dia toh terdesak, dia lebih banyak menangkis daripada
menyerang. Tentu saja berkelahi secara demikian ada
berbahaya. Sedang di pihak lain, ilmu silatnya Tay Goan
benar-benar luar biasa, nampaknya ia mengarah bagian ini,
tidak tahunya ia serang bagian sana.
Heran juga It Hang menyaksikan cara berkelahi itu.
Makin lama desakannya Tay Goan jadi makin seru.
Perlawanan dari Tjiauw Hie tetap hebat, akan tetapi,
kalangannya menjadi semakin ciut, pedangnya berkilauan
bagaikan bianglala. 211 "Koko, jangan cuma libat dia, lekaslah kirim dia pergi!" Sien
It Goan berteriak sesudah lama ia saksikan cara kakaknya
berkelahi itu. Ia menjadi hilang sabar.
"Baik!" jawab Tay Goan, kakak itu. "Kau boleh gunakan
tangan berat untuk gempur bebokongnya!"
Nyata sudah biasa kedua saudara Sien ini, bila mereka
menemui lawan yang tangguh, yang tak dapat dirobohkan
dengan seorang diri, lantas mereka main kepung. Ialah selagi
yang satu melayani terus, yang lain maju membantui dari
belakang, dengan tiba-tiba.
Tay Goan dan It Goan memandang enteng kepada Tjiauw
Hie, itulah sebabnya kenapa si kakak yang maju terlebih dulu,
tetapi segera terbukti, pandangan mereka keliru, benar Tay
Goan menang di atas angin tapi dia tak sanggup segera
menjatuhkan lawan itu. Maka It Goan tidak suka berlaku ayal
lagi. Dengan segera ia serukan kakaknya. Dan begitu lekas ia
peroleh jawaban dari sang kakak, ia segera maju menyerang.
Sekarang Tjiauw Hie dikepung berdua, satu di depan, satu
di belakang. Tentu saja ia menjadi semakin repot, hingga ia
memikir untuk angkat kaki. Tidak mau ia dirobohkan kedua
lawan yang curang itu. Sambil berkelahi, Sien Tay Goan perdengarkan tertawa
ejekannya yang nyaring. "Kecuali malaikat kuil ini perlihatkan diri, untuk menolongi
padamu, walau kau memikir untuk kabur, tidak nanti kau dapat
lakukan itu!" katanya dengan godaannya. Ia juga desak
lawannya, yang mesti main mundur, hingga di lain saat, orang
she Ong itu terdesak sampai di dekat meja suci.
Kembali Sien It Goan kirim serangan bokongannya, begitu
hebat, ketika serangan itu gagal, tirai di belakang meja
menjadi tersingkap. Akan tetapi berbareng dengan itu, dari
belakang tirai itu menyambar satu sinar hijau bagaikan kilat,
atas mana Sien Tay Goan keluarkan jeritan dari kesakitan.
Sebab kakinya telah terkena tusukan pedang secara tiba-tiba.
Tusukan pedang itu dibarengi dengan suara tertawa dan
disusul dengan kata-kata: "Aku si malaikat gunung datang!"
Ong Tjiauw Hie segera lihat munculnya satu orang dari
belakang tirai itu, malah ia segera mengenalinya, hingga tak
212 tahan dia untuk tidak berseru: "Ah, saudara To! Kenapa kau
ada di sini?" To It Hang, orang yang baru muncul itu, tidak menyahuti,
dia hanya lantas berkata: "Mari kita bereskan kedua manusia
jahat itu! Sebentar baru kita pasang omong!"
Dan dengan pedangnya, ia terus serang Sien It Goan.
Tjiauw Hie menurut, ia segera hadapi Sien Tay Goan, yang
tidak terluka parah, hingga dia masih dapat berkelahi.
Sien It Goan lantas kenali It Hang, ia jadi tidak memandang
mata. Ia malah maju mendesak. Begitulah selagi tangan
kirinya mengancam, untuk merampas pedang, tangan
kanannya menyambar ke dengkul. Untuk ini ia pasang kudakuda
rendah. It Hang tarik kembali pedangnya sambil lompat berputar,
dengan begitu, meski Sien It Goan berlaku sangat sebat,
serangan kepada dengkul tidak mengenai sasarannya. Tanpa
merasa, ia menjadi kaget sendirinya.
Di pihak lain. It Hang memutar terus tubuhnya, hingga ia
jadi berbalik menghadapi pula lawannya itu. Ia juga berlaku
sangat gesit, maka berkelebatlah pedangnya dengan sinarnya
yang hijau. Ia telah menyerang dengan tipu silat "Sengliong
inhong" atau "Menunggang naga untuk memancing burung
hong". Dan "Bret!"
Karena kagetnya, bajunya It Goan kena kesamber pedang
hingga robek. Untung untuknya, ia berkelit dengan cepat,
jikalau tidak, tentu pedang itu mengenai tubuhnya. Hal ini
membuat ia kaget berbareng gusar sekali. Ia tidak menjadi
jeri, sebaliknya, ia merangsak. Ia gerakkan kedua tangannya
begitu rupa sampai ototototnya perdengarkan suara meretek.
Segera ia totok jalan darah kieboen hiat di iga kiri It Hang.
Itulah ilmu silat simpanan Keluarga Sien itu.
Sebenarnya sangat sukar satu lawan meloloskan diri
dari serangan istimewa dari ilmu silat pihak Sien ini, tetapi
syukur untuk It Hang, di sampingnya ilmu silatnya telah mahir,
ia pun sudah menonton cara orang itu berkelahi, yang luar
biasa itu, maka ia tidak menjadi terkesiap hatinya atas
serangan yang berbahaya itu. Malah sebenarnya, sejak siangsiang
ia sudah siap sedia untuk sesuatu serangan. Demikian
213 ketika lt Goan serang padanya, anak muda ini berkelit sambil
lompat ke kiri, dan pedangnya disabetkan ke belakang, untuk
menabas lengan orang. Habis itu, It Hang lantas membuat penyerangan membalas.
Sekarang ilmu pedangnya hebat, yang telah peroleh kemajuan
pesat, maka setelah ini, ialah yang dapat mendesak lawannya,
hingga It Goan mesti main mundur dan mesti waspada luar
biasa Di lain pihak, pertempuran Tay Goan dengan Tjiauw Hie
berlangsung terus dengan hebat, Tay Goan lebih mahir, akan
tetapi kakinya telah terluka sebelah, biar bagaimana,
kesehatannya agak berkurang, maka sekarang ia jadi
berimbang terhadap orang she Ong itu, yang tadinya ia
pandang enteng. Karena ini, Tjiauw Hie menjadi dapat napas - ia pun teiah mendapat hati karena munculnya It Hang tanpa
disangka-sangka -- maka setelah berkelahi dengan hebat, ia
mulai menang di atas angin. Tay Goan kena terdesak.
Sesudah bertempur pula sekian lama, Sien Tay Goan dan
Sien It Goan insaf bahwa mereka tidak bakal peroleh hasil,
oleh karena itu, mereka lantas saling memberi tanda, untuk
sama-sama menyingkirkan diri.
Ong Tjiauw Hie benci sangat kedua orang ini. Terang
sudah mereka telah merusak usahanya Giam Ong. Maka itu
tak mau ia memberi ketika pada mereka akan angkat kaki, ia
mendahului lompat ke pintu, untuk menghalang musuhnya.
Sien Tay Goan terluka pada kakinya, karena itu tak dapat ia
lompat dengan leluasa, tak dapat ia susul lawannya itu akan
lari ke pintu, di samping itu ia pun repot atas desakannya
Tjiauw Hie. Keadaannya Sien It Goan ada lebih buruk lagi daripada
kandanya itu, It Hang tidak sudi mengasih hati, ia telah putar
pedangnya dengan apa ia kurung lawannya ini hingga
walaupun dia tangguh, It Goan toh kewalahan.
Selagi keadaan ada demikian genting untuk kedua saudara
Sien, di luar kuil dengan mendadak terdengar riuh suara kuda
disusul dengan berisiknya serombongan orang, yang rupanya
telah lompat turun dari kudanya dan terus berlari-lari
mendatangi. 214 "Ong Tjiauw Hie!" tegur Sien Tay Goan dengan
dampratannya. "Kenapa kau tidak hargai kehormatanmu"
Kenapa kau janjikan kawan untuk curangi kami?"
Orang she Sien ini berani menegur demikian tanpa berpikir
bahwa mereka sendiri sudah berlaku curang telah
mengeroyok lawannya. Tapi juga Tjiauw Hie heran dan ia menyangka dua saudara
Sien itu telah minta bantuan kawan, maka, mendengar
tegurannya lawan ini, ia terkejut.
"Apakah kamu tidak janjikan kawanmu?" dia tanya. "Kalau
Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu, jangan kita bertempur terus! Itulah tentara negeri yang
datang!" Segera juga terdengar pintu kuil digempur hingga pecah
dan roboh, menyusul mana belasan boesoe menerjang
masuk, yang menjadi kepala segera dikenali adalah Lian Seng
Houw dan Kim Tjian Giam. Ketika itu Lian Seng Houw telah menjadi tjongkoan dari
Tongtjiang menggantikan kedudukannya Bouwyong Tjiong.
akan tetapi karena keadaan genting, dia telah diberi tugas lain,
yaitu ia di kirim ke garis depan untuk "membasmi berandal",
dan pangkatnya adalah tjongkam.
Kim Tjian Giam, keponakannya Kim Tok Ek, berhubung
dengan kebinasaannya Tok Ek di tangannya Gak Beng Kie,
karena jeri terhadap Anghoa Koeibo, sudah tidak berani
pulang, dari itu terpaksa dia masuk dalam kalangan Seetjiang
di mana dia diangkat jadi tongleng, komandan, kemudian
setelah Anghoa Koeibo mati, dia lantas menjadi kepala besar,
sebab tak ada lagi orang yang dia malui. Kali ini dia diberi
tugas untuk turut Lian Seng Houw.
Tjongtok Tan Kie Djie mendapat tahu Ong Tjiauw Hie
sedang bekerja di Shoasay dan Siamsay, ia segera minta
bantuannya Lian Seng Houw dan Kim Tjian Giam untuk
menawan orang she Ong itu. Maka tjongkoan dari Tongtjiang
dan tongleng dari Seetjiang itu sudah lantas bertindak, hingga
mereka mendapat dengar selentingan di mana adanya Tjiauw
Hie itu. Maksud utama dari Lian Seng Houw adalah menawan Ong
Tjiauw Hie, akan tetapi kapan ia tampak dua saudara Sien dan
215 To It Hang ada bersama orang she Ong itu, ia menjadi girang
bukan main. Tay Goan dan It Goan adalah penjahat-penjahat
besar dari Siamsay Utara yang sedang dicari pembesar
Pedang Asmara 19 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama