Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 17
"Tidak, aku tahu pasti adalah Nyo Cay-hin," demikian orang yang pertama tetap ngotot.
Kiranya dari suara orang-orang itu dapatlah Gak Put-kun dan istrinya mengenali mereka bukan lain daripada Tho-kok-lak-sian.
Cepat ia memberi isyarat, segera bersama sang istri serta Peng-ci dan Leng-sian mereka sembunyi di belakang patung. Ia dan istrinya sembunyi di sisi kiri, Leng-sian dan Peng-ci di sebelah kanan.
Diam-diam Put-kun merasa cemas bilamana sebentar lagi rombongan Lo Tek-nau dan lain-lain datang, tentu mereka akan kepergok dan ini berarti malapetaka bagi mereka.
Dalam pada itu karena pertengkaran mengenai Toapekong yang dipuja di kelenteng itu, akhirnya salah seorang dari manusia aneh itu berkata, "Coba kita melihatnya ke dalam kelenteng."
Menyusul seorang di antaranya lantas berteriak, "Aha, coba lihat! Bukankah di atas situ jelas tertulis patung yang dipuja ini adalah patung Nyo Cay-hin?"
Ternyata yang bicara itu adalah Tho-ki-sian. Kemudian ia berseru pula, "Wahai Nyo Cay-hin, asalkan kau memberkahi Lakte kami agar jangan mati, boleh juga aku menjura beberapa kali padamu. Biarlah sekarang juga aku memberi persekot lebih dulu."
Habis berkata ia terus berlutut dan menyembah.
Mendengar itu, Put-kun saling pandang sekejap dengan sang istri, air muka mereka sama memperlihatkan rasa lega dan girang. Pikir mereka, "Dari ucapannya tadi agaknya orang yang tertusuk pedangnya itu belum mati."
Sementara itu Tho-hoa-sian lagi ikut berkata, "Tapi bagaimana kalau Lakte jadi mati?"
"Kalau Lakte sampai mati, tentu patung ini akan kuhancurkan, lalu akan kukencingi pula," sahut Tho-ki-sian.
"Tapi kalau Lakte benar-benar mati, apa gunanya kau mengencingi dan bahkan memberaki sekalipun juga percuma," ujar Tho-hoa-sian.
"Benar juga," sahut Tho-ki-sian. "Mari kita kembali ke sana untuk tanya dia apa Lakte dapat disembuhkan, bila sudah sembuh baru kita datang ke sini untuk sembahyang, kalau tidak dapat sembuh akan kita beraki."
"Wah, kalau Lakte tidak dapat disembuhkan, lalu kita tidak kencing dan tidak berak, apa perut kita takkan kembung?" kata Tho-kin-sian.
"Ya, betul, jika kita tidak berak dan tidak kencing, tentu kita akan mati kembung," seru Tho-kan-sian. Maka menangislah dia dengan sedih.
Mendadak Tho-ki-sian bergelak tertawa, "Jika Lakte tidak mati, bukankah sia-sia saja kau menangis" Ayo pergi ke sana, kita harus tanya yang jelas kalau perlu baru menangis."
Begitulah kelima orang itu sambil ribut mulut terus keluar lagi dari kelenteng dengan langkah cepat.
"Entah bagaimana keadaan orang aneh yang kau tusuk itu" Sumoay, hendaknya kau tunggu di sini bersama Peng-ci dan Sian-ji, biar kuperiksa ke sana," kata Put-kun.
"Daripada sendirian menghadapi bahaya, biar kupergi bersamamu," kata Gak-hujin, habis itu segera ia mendahului keluar kelenteng.
Gak Put-kun juga tidak banyak bicara pula, segera mereka berdua mengikuti jejak kelima orang aneh tadi. Dari jauh tertampak Tho-kok-ngo-koay itu membelok ke suatu tanah tanjakan melalui suatu jalan kecil. Sepanjang jalan kelima orang itu masih terus ribut mulut sehingga memudahkan penguntitan Gak Put-kun berdua.
Sesudah menyusuri jalan pegunungan itu, tertampaklah di balik beberapa puluh pohon Liu yang rindang di depan sana ada sebuah sungai kecil, di tepi sungai sana ada beberapa buah rumah genting. Terdengar suara ribut kelima orang aneh itu menggema masuk ke rumah genting itu.
"Mari kita mengitar ke belakang rumah," ajak Put-kun kepada istrinya.
Dengan Ginkang yang tinggi suami istri lantas mengitar jauh ke belakang rumah-rumah genting itu. Sesudah dekat, terlihat di belakang rumah itu pun terdapat sebaris pohon Liu yang rindang, kedua orang lantas sembunyi di balik semak pohon.
Terdengar suara Tho-kok-ngo-koay lagi berkaok-kaok di dalam rumah, "He, kau telah membunuh Lakte kami."
"Wah ken ... kenapa kau membedah dadanya?"
"Keparat, kami harus cabut nyawamu sebagai ganti nyawa Lakte! Kami harus bedah juga dadamu!"
"Ai, Lakte, sedemikian ngeri kematianmu, biar kami selamanya takkan ... takkan berak agar mati kembung bersamamu!"
Begitulah Ngo-koay itu berteriak dan berjingkrak tak keruan.
Gak Put-kun terkejut, pikirnya, "Kenapa ada orang membedah dada Lakte mereka?"
Perlahan mereka lantas merunduk maju, sampai di bawah jendela, mereka coba mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah.
Tatkala itu hari sudah mulai gelap, di dalam rumah tampak terang benderang dengan beberapa buah pelita. Di tengah rumah tertaruh sebuah dipan dan di atasnya terbaring seorang lelaki dalam keadaan telanjang bulat. Dadanya telah terbedah, darah mengucur. Kedua mata orang itu tampak tertutup rapat, agaknya sudah mati sekian saat.
Dari wajahnya segera Gak-hujin mengenalnya sebagai Tho-sit-sian yang terkena tusukan pedangnya di puncak Hoa-san tempo hari. Tho-kok-ngo-koay tampak berkerumun di sekitar saudara mereka dan mencaci maki kepada seorang laki-laki pendek gemuk.
Laki-laki buntak itu tingginya tidak lebih dari empat kaki, tapi lebar pundaknya juga hampir empat kaki, kepalanya sangat besar, pakai kumis tikus, mukanya sangat lucu. Kedua tangannya berlumuran darah, tangan kanan memegang pisau yang juga berlepotan darah.
Dengan mata melotot ia pandang Ngo-koay yang sedang berkaok-kaok itu, selang sejenak dengan suaranya yang berat barulah ia tanya, "Sudah habis belum kentut kalian?"
"Sudah, kau sendiri mau kentut apa?" sahut Tho-kok-ngo-koay berbareng.
"Dada saudara kalian yang lebih mirip mayat hidup ini terkena pedang, dari tempat jauh kalian membawanya kemari dan minta aku menolong jiwanya," demikian kata si buntak. "Tapi perjalanan kalian terlalu lambat, lukanya telah membusuk, urat nadinya juga kacau, untuk menolong jiwanya tidaklah sukar, tapi sesudah sembuh ilmu silatnya akan punah, setengah badan bagian bawah akan lumpuh. Orang cacat begitu apa gunanya biarpun disembuhkan?"
"Biarpun cacat juga lebih baik daripada mati," kata Tho-kin-sian.
"Tidak bisa," teriak si buntak dengan gusar. "Kalau mau mengobati orang harus kusembuhkan betul-betul, kalau menyembuhkan orang menjadi cacat ke mana mukaku ini harus ditaruh" Sudahlah, aku tidak jadi mengobati dia, tidak jadi! Lekas kalian gotong pergi mayat hidup ini!"
"Jika kau tidak mampu menyembuhkan Lakte kami, kenapa kau membedah dadanya?" tanya Tho-kan-sian. "Sebenarnya kau ... kau ...."
"Hm, coba katakan, apa julukanku?" tanya si buntak dengan mendengus.
"Julukan setanmu adalah Sat-jin-beng-ih!" sahut Tho-kan-sian.
Seketika Gak Put-kun dan istrinya terkesiap dan saling pandang. Kiranya si buntak yang berwajah lucu itu tak-lain tak-bukan adalah si tabib sakti pembunuh Peng It-ci yang maha termasyhur itu
Dalam pada itu terdengar Peng It-ci sedang berkata pula, "Jika sudah tahu aku berjuluk 'Sat-jin-beng-ih', kalau cuma membunuh satu orang masakah kau parau?"
"Apa sulitnya membunuh satu orang?" kata Tho-hoa-sian. "Jika kau cuma pandai membunuh orang dan tak becus mengobati orang, kan percuma saja julukanmu memakai kata 'Beng-ih' segala?"
"Siapa bilang aku tidak becus mengobati orang?" teriak Peng It-ci dengan gusar, "Aku telah membedah dada mayat hidup ini, sesudah kusambung urat nadinya, setelah sembuh nanti dia akan sehat seperti sediakala, ilmu silatnya juga takkan punah. Dengan demikian barulah kelihatan kepandaian Sat-jin-beng-ih!"
"Aha, kiranya kau dapat menyelamatkan Lakte kami, jika begitu kami telah salah mengomelimu," seru Ngo-koay bersama. "Ayolah lekas bekerja, dada Lakte telah kau bedah, darahnya mengucur terus, kalau tidak lekas diobati tentu akan terlambat."
"Tabibnya kau atau aku?" tiba-tiba Peng It-ci bertanya.
"Sudah tentu engkau, buat apa tanya lagi?"
"Jika aku, dari mana kau mengetahui terlambat atau tidak" Sesudah membedah dadanya mestinya aku sudah siap mengobati dia, tapi kalian berlima setan alas ini keburu datang lantas ribut tak keruan, padahal aku menyuruh kalian pergi pesiar seharian penuh, mengapa kalian sedemikian cepat kembali. Lalu cara bagaimana aku sempat mengobati dia?"
"Lekas mulai saja, kau sendiri yang rewel, mengapa bilang kami yang ribut?" sahut Tho-kan-sian.
Peng It-ci mendelik pula padanya. Sekonyong-konyong ia membentak, "Ambilkan jarum dan benang!"
Tho-kok-ngo-koay dan Gak Put-kun suami-istri sampai terkejut oleh suara bentakannya yang menggeletar itu. Maka tertampaklah seorang wanita tinggi kurus melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa sebuah nampan, tanpa bersuara nampan itu ditaruhnya di atas meja.
Usia wanita itu antara 40-an tahun, wajahnya pucat bagai mayat, matanya sayu, seperti orang sakit-sakitan.
"Kalian minta aku menyelamatkan kawanmu ini, apakah kalian sudah tahu peraturanku?" tiba-tiba Peng It-ci tanya Ngo-koay.
"Sudah tentu tahu," sahut Ngo-koay. "Tak peduli membunuh siapa, silakan mengatakan saja, kami berenam saudara pasti akan menurut."
"Baiklah jika begitu," ujar Peng It-ci. "Tapi sekarang aku belum tahu siapa orang yang harus dibunuh. Nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan. Sekarang kalian harus berdiri di pinggir sana, dilarang mengeluarkan suara, asal bersuara sedikit saja segera aku akan berhenti kerja, dan mati atau hidup kawanmu ini aku tidak peduli lagi."
Selama hidup Tho-kok-lak-sian tak pernah diperintah orang sesukanya, sekarang mereka diharuskan berdiri diam, dilarang mengeluarkan suara, padahal ribut mulut adalah kegemaran mereka. Keruan larangan itu lebih menderita daripada mereka dipukul.
Tapi demi untuk menyelamatkan saudara mereka, tiada jalan lain terpaksa mereka berdiri dengan mulut tertutup dan mata mendelik penuh mendongkol.
Sementara itu Peng It-ci telah ambil sebuah jarum besar dari nampan di atas meja, dipasang seutas benang putih bening lalu mulai menjahit dada Tho-sit-sian yang terbedah itu.
Jangan dikira kesepuluh jarinya itu pendek dan kasar sehingga mirip sepuluh batang wortel, gerak-geriknya ternyata sangat lincah melebihi anak gadis yang pandai menyulam.
Hanya sekejap saja sudah selesai menjahit rapat jalur luka sepanjang belasan senti itu.
Agaknya sudah lama Tho-sit-sian tak sadarkan diri, sama sekali ia tidak bersuara. Maka dengan leluasa Peng It-ci membubuhkan macam-macam obat di atas lukanya. Lalu ia mencekoki Tho-sit-sian dengan beberapa macam air obat pula, akhirnya noda darah di badannya dibersihkan dengan sepotong kain basah.
Si wanita tinggi kurus setengah umur itu sejak tadi membantunya dari samping mengembalikan jarum, memberikan obat gerak-geriknya juga sangat cepat dan lancar.
Kemudian Peng It-ci memandang Tho-kok-ngo-koay, tertampak bibir kelima orang itu bergerak-gerak, terang mereka ingin lekas-lekas diperbolehkan bicara.
"Kawanmu ini belum lagi hidup kembali, tunggu sesudah dia sadar baru kalian boleh bicara," kata Peng It-ci.
Keruan Tho-kok-ngo-koay sangat mendongkol dan serbarunyam.
Peng It-ci tidak menggubrisnya lagi, ia duduk sendiri di samping. Ngo-koay hanya saling pandang saja dengan menyengir.
Wanita tinggi kurus itu lantas menyingkirkan nampan yang berisi jarum dan peralatan lain.
Gak Put-kun bersama istrinya yang mengintip di luar jendela pun menahan napas. Dalam keadaan sunyi senyap itu, asal sedikit bergerak saja pasti akan diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah.
Dalam keadaan sunyi senyap tiba-tiba dari kamar sebelah ada orang bertanya dengan suara serak, "Sute, hidup tidak orang yang kau obati?"
"Sudah tentu hidup, masakah pasienku bisa mati?" sahut Peng It-ci.
Lalu terdengar suara pintu didorong, seorang kakek gemuk melangkah masuk. Orang ini lebih tinggi sedikit daripada Peng It-ci, rambutnya beruban semua, mukanya sudah keriput.
Sesudah mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, mendadak kakek itu tabok "Pek-hwe-hiat" di atas ubun-ubun Tho-sit-sian.
Serentak enam orang menjerit bersama, yang lima orang adalah Tho-kok-ngo-sian, yang satu lagi adalah Tho-sit-sian yang tadinya tak bisa berkutik itu, tapi sekarang ia dapat bersuara terus bangkit duduk sambil memaki, "Keparat, mengapa kau pukul kepalaku?"
Si kakek beruban balas memaki, "Keparat, jika Locu tidak menyalurkan hawa murni ke Pek-hwe-hiatmu, apa kau bisa sembuh begini cepat?"
"Persetan, Locu akan sembuh dengan cepat atau lambat, peduli apa denganmu?" sahut Tho-sit-sian.
"Keparat, Locu ada urusan penting yang harus berunding dengan Suteku, jika kau terus menggeletak tak bisa sembuh bukankah Locu harus menunggu lama?" semprot si kakek pula.
"Baik, biar Locu pergi sekarang juga, memangnya Locu ingin tinggal di sini?" sahut Tho-sit-sian. Habis berkata, serentak ia berdiri terus melangkah pergi.
Melihat saudaranya sekali bilang pergi segera juga pergi, sembuhnya sedemikian cepat, keruan Tho-kok-ngo-sian terkesiap dan bergirang pula. Mereka ikut di belakang Tho-sit-sian dan pergi tanpa pamit.
Terkejut Gak Put-kun dan istrinya, bahwa ilmu pertabiban Peng It-ci benar-benar sangat menakjubkan, Lwekang Suhengnya itu juga luar biasa, hanya sekali tabok saja telah menyalurkan tangan murni melalui Pek-hwe-hiat di ubun-ubun kepala Tho-sit-sian dan membuatnya sadar seketika.
Dalam pada itu Tho-kok-lak-sian sudah pergi jauh, sedangkan si kakek beruban telah duduk berhadapan dengan Peng It-ci di dalam kamar, maka Gak Put-kun dan istrinya tidak berani sembarangan bergerak lagi, mereka tahu betapa lihainya kedua orang di dalam rumah itu, jika sekarang mereka bergerak pergi tentu akan ketahuan, terpaksa mereka harus menunggu kesempatan lain lagi.
Terdengar si kakek beruban sedang tanya Peng It-ci, "Kau hendak menyuruh Tho-kok-lak-sian membunuh siapa?"
"Sekarang aku belum ingat siapa yang harus dibunuh," sahut Peng-It-ci. "Eh, Suko, menurut pendapatmu sebaiknya suruh mereka membunuh siapa?"
"Dari mana aku bisa tahu apa kehendak yang terkandung di dalam hatimu?" sahut si kakek. Setelah merandek sejenak, lalu ia meneruskan, "Kukira akan kau peralat mereka untuk membantumu pergi ke Jian-jiu-kiong untuk mengambil pusaka, bukan?"
"Hm, mengambil pusaka ke Jian-jiu-kiong?" jengek Peng It-ci. "Sekali kau Pek-hoat-tongcu sudah menyatakan akan pergi ke sana, di dunia ini siapa lagi yang berani berebut denganmu?"
Mendengar sampai sini, Gak Put-kun mengangguk-angguk terhadap sang istri, katanya di dalam hati, "Kiranya kakek ini adalah Pek-hoat-tongcu (si bocah berambut ubanan) Yim Bu-kiang. Konon orang ini berhati kejam, membunuh mata pun tidak berkedip, namun sudah 20-an tahun lamanya jarang terdengar namanya, tak tersangka bahwa dia adalah Suheng si tabib sakti pembunuh Peng It-ci."
Sebaliknya Gak-hujin tidak tahu asal usul Pek-hoat-tongcu segala, cuma dari anggukan sang suami serta matanya yang penuh rasa waswas itu segera ia pun paham asal usul si kakek beruban itu pasti tidak sembarangan.
Dalam pada itu si kakek beruban, Pek-hoat-tongcu Yim Bu-kiang, tampak sedang berjingkrak tertawa kekanak-kanakan dan berkata, "Sute, dahulu waktu Jian-jiu-kiong dibuka, tatkala itu aku baru saja mulai meyakinkan Liong-siang-ciang (pukulan naga dan gajah), aku menyadari belum mampu memasuki istana itu. Kini sesudah dengan susah payah menunggu 30 tahun dengan sendirinya aku akan mencoba-cobanya. Padahal jika kau pergi bersama aku juga boleh, kita berdua bergabung tentu jauh lebih kuat daripada aku pergi sendiri."
"Sudah, sudah, lebih baik aku tidak pergi ke Jian-jiu-kiong dan kita masih tetap berhubungan dengan baik," sahut Peng It-ci. "Tapi sekali timbul maksudku akan pergi ke sana, mungkin sebelum meninggalkan Cu-sian-tin ini jiwaku sudah melayang di bawah Liong-siang-ciangmu. Di dunia ini terang tiada tabib sakti pembunuh yang mampu menyembuhkan aku?"
"Hah, orang yang terkena pukulan Liong-siang-ciangku, sekalipun kau si tabib sakti sendiri yang mengobati juga belum tentu mampu menolongnya," ujar Yim Bu-kiang dengan tertawa.
"Benar," sahut Peng It-ci, "membunuh orang lebih gampang daripada menolong orang, ini memang kenyataan yang tak terbantahkan."
"Ya, tapi itu pun harus dilihat siapa yang akan dibunuh dan siapa yang hendak ditolong," kata Yim Bu-kiang. "Umpama orang ingin membunuh aku Pek-hoat-tongcu, terang tidak gampang."
"Tepat, sangat tepat," seru Peng It-ci. "Selama ini entah berapa banyak orang Kangouw yang ingin mencacah dirimu, tapi Yim-suhengku ini toh bisa hidup langgeng sampai rambut pun sudah ubanan semua. Tampaknya engkau masih dapat hidup aman sentosa untuk 60-70 tahun lagi."
"Hahahaha!" Yim Bu-kiang bergelak tertawa. "Usiaku sekarang sudah 74, jika hidup 60-70 tahun lagi bukankah akan berubah menjadi siluman?"
"Suko," tiba-tiba Peng It-ci berkata, "sekarang juga aku akan pergi mengobati seorang, apakah engkau ada minat untuk ikut pergi berjalan-jalan."
"Memangnya aku sudah merasa sebal meringkuk di gubukmu ini, ikut pergi berjalan-jalan akan lebih baik," sahut Yim Bu-kiang dengan tertawa.
Begitulah kedua orang itu sambil bicara terus berjalan menuju ke sebuah rumah yang lain.
Gak Put-kun cepat memberi tanda kepada sang istri, dengan hati-hati mereka lantas meninggalkan rumah itu, sesudah beberapa puluh meter jauhnya barulah mereka berani berjalan dengan cepat.
"Lwekang kakek beruban itu agaknya jauh lebih tinggi daripada tabib sakti pembunuh itu," ujar Gak-hujin di tengah jalan. "Suko, sebenarnya dari golongan manakah kedua orang itu?"
"Konon menurut cerita orang bahwa guru Peng It-ci itu adalah seorang Tosu tua yang menyepi di pegunungan Hok-gua-san, soal asal usul dan dari golongan mana tidak ada orang Bu-lim yang tahu," sahut Put-kun.
"Tapi dari tingkah laku mereka berdua tampaknya lebih jahat daripada baiknya," ujar Gak-hujin.
"Karena Tho-kok-lak-sian juga berada di sini, sebaiknya kita lekas meninggalkan tempat ini," ajak Gak Put-kun.
Gak-hujin tidak menanggapi lagi ucapan sang suami, ia merasa nasib mereka benar-benar sedang apes, suami adalah tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang terhormat, tapi selama beberapa bulan terakhir ini terpaksa harus menyingkir kian kemari seakan-akan di dunia ini tiada tempat meneduh lagi bagi mereka.
Tidak lama kemudian mereka berada kembali di kelenteng, tertampak Leng-sian, Peng-ci, Lo Tek-nau dan murid-murid lain sedang menunggu dengan tidak sabar dan cemas.
"Marilah kita kembali ke perahu," ajak Gak Put-kun.
Para muridnya sudah mendapat tahu bahwa Tho-kok-ngo-sian berada di sekitar situ, maka tanpa bertanya mereka buru-buru ikut berangkat.
Lo Tek-nau cukup paham perasaan sang guru, setiba di perahu segera ia bicara kepada juragan perahu agar segera berangkat. Sudah tentu si tukang perahu sangat heran tanyanya, "Mengapa kita tidak bermalam dulu di sini" Arus sungai sangat deras berlayar di malam hari sangat berbahaya, akan lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi saja."
Segera Tek-nau mengeluarkan lima tahil perak dan diberikan kepada tukang perahu itu, katanya, "Berangkat saja sekarang ini untukmu!"
Karena mendapat persen cukup banyak, pula melihat rombongan Lo Tek-nau sama membawa senjata, mau tak mau si tukang perahu menurut juga walaupun dengan ogah-ogahan.
Tapi baru saja tukang perahu itu hendak angkat sauh, pada saat itulah terdengar suara teriakan Tho-kok-ngo-sian, "Lenghou Tiong! Di mana kau berada, Lenghou Tiong"!"
Seketika air muka Gak Put-kun dan murid-muridnya berubah hebat. Dalam pada itu terlihat ada tujuh orang telah memburu sampai di tepi dermaga. Selain Tho-kok-ngo-sian, yang dua orang lagi ternyata adalah Peng It-ci dan Yim Bu-kiang.
Tho-kok-ngo-sian sudah kenal Gak Put-kun suami istri, begitu melihat dari jauh mereka lantas berjingkrak kegirangan. Sesudah dekat, serentak mereka berlima meloncat ke atas perahu.
Tanpa ayal Gak-hujin lantas melolos pedang dan menusuk ke dada Tho-kin-sian. Sebelum serangan sang istri dilancarkan, berbareng Gak Put-kun juga sudah mencabut pedang. "Trang", tahu-tahu ia tahan batang pedang sang istri ke bawah, menyusul tangan lain meraup ke depan, ia rampas pedang istrinya itu sambil membisikinya, "Jangan sembrono!"
Nyata Gak Put-kun telah memperhitungkan datangnya Tho-kok-ngo-sian sekaligus itu, andaikan satu-dua orang di antaranya dapat dirobohkan toh pihak sendiri tetap bukan tandingan sisa musuh yang lain.
Dalam pada itu terasa haluan perahu rada tenggelam ke bawah, Tho-kok-ngo-sian sudah berdiri di situ. Tho-kin-sian lantas berseru, "Lenghou Tiong, kau sembunyi di mana" Mengapa tidak lekas keluar?"
Lenghou Tiong menjadi gusar, katanya, "Memangnya aku takut kepada kalian" Buat apa aku sembunyi?"
Pada saat itulah sekonyong-konyong perahu mereka oleng ke kiri, keruan para murid wanita Hoa-san-pay sama menjerit kaget. Syukur perahu itu lantas miring pula ke sebelah lain lalu bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Tahu-tahu di haluan perahu sudah bertambah dua orang, yang seorang adalah si tabib sakti Peng It-ci dan yang lain adalah Suhengnya, Pek-hoat-tongcu Yim Bu-kiang.
Kedua orang ini punya potongan tubuh yang serupa, sudah pendek lagi gemuk, bobot setiap orang sedikitnya 200 kati. Padahal perahu itu cukup besar, daya angkutnya paling sedikit beberapa puluh ribu kati, kalau cuma ditambah dengan muatan empat lima ratus kati saja seharusnya tidak sampai bergoyang. Sebabnya perahu tadi oleh tentulah karena kedua orang itu serentak menggunakan tenaga "Jian-kin-tui" (tekanan ribuan kati) yang lihai.
Diam-diam Gak Put-kun terkejut, pikirnya, "Mengapa mereka berdua menyusul kemari" Jangan-jangan mereka telah mengetahui perbuatan kami yang mengintip tadi" Tho-kok-ngo-koay saja sudah sukar dilayani, sekarang bertambah lagi dua tokoh lihai ini, agaknya jiwa kami hari ini akan melayang di sini."
Tiba-tiba terdengar Peng It-ci berseru, "Yang manakah Lenghou-hengte?"
Nadanya kedengaran sangat sungkan dan hormat.
Perlahan Lenghou Tiong berjalan ke haluan perahu, katanya, "Aku inilah Lenghou Tiong, entah siapakah nama kalian yang mulia dan ada keperluan apa?"
Lebih dulu Peng It-ci mengamati-amatinya sejenak, lalu katanya, "Ada orang minta aku mengobati dirimu."
Habis berkata, sekali tangannya bergerak tahu-tahu pergelangan tangan Lenghou Tiong sudah kena dipegang, jari telunjuknya terus menekan di atas nadinya.
"Heh," mendadak ia bersuara heran sambil berkerut kening. Selang sejenak dahinya terkerut semakin terkejut dan kembali bersuara, "Eh!"
Sambil memeriksa nadi, Peng It-ci menengadah pula sembari garuk-garuk kepala dengan tangan yang lain, ia bergumam heran, "Aneh, sungguh aneh!"
Selang sekian lama baru ia ganti memegang nadi tangan Lenghou Tiong yang lain. Mendadak ia bersin lalu berkata, "Sangat aneh! Selama hidupku belum pernah menemukan penyakit seaneh ini."
"Apanya yang perlu diherankan?" demikian mendadak Tho-kin-sian menukas. "Dia terluka dalam, sudah lama aku menyembuhkan dia dengan hawa murni dari Lwekangku."
"Bukan kau yang menyembuhkan dia, tapi akulah yang menyalurkan tenaga padamu, kalau tidak, bocah ini masakah dapat hidup sampai sekarang?" sela Tho-hoa-sian.
Tho-ki-sian, Tho-yap-sian dan Tho-hoa-sian juga tidak mau kalah, beramai-ramai mereka pun menyatakan dirinya yang menyembuhkan Lenghou Tiong.
"Kentut! Kentut!" sekonyong-konyong Peng It-ci membentak.
"Kentut apa?" sahut Tho-kin-sian dengan gusar. "Kau yang kentut atau kami berlima yang kentut?"
"Kalian berenam yang kentut!" sahut Peng It-ci. "Jelas di dalam tubuh Lenghou-hengte ini ada dua arus hawa murni yang sangat kuat, rasanya adalah tenaga yang disalurkan oleh Put-kay Hwesio, selain itu ada enam arus tenaga pula yang lebih lemah, besar kemungkinan inilah berasal dari kalian berenam manusia tolol ini."
Gak Put-kun saling pandang sekejap dengan istrinya, katanya di dalam hati, "Peng It-ci ini benar-benar luar biasa. Bukan saja sekali pegang nadi dia dapat mengetahui adanya delapan arus tenaga murni yang berbeda di dalam tubuh Tiong-ji itu, anehnya dia dapat mengetahui asal usulnya bahwa dua arus tenaga murni di antaranya adalah berasal dari Put-kay Hwesio."
Dalam pada itu terdengar Tho-kan-sian lagi berseru dengan gusar, "Mengapa kau bilang tenaga kami berenam lebih lemah daripada si kepala gundul Put-kay" Sudah terang tenaga kami lebih kuat, dia punya lebih lemah!"
"Huh, tidak tahu malu," ujar It-ci. "Dengan tenaganya seorang dapat menahan tenaga kalian berenam, apakah ini namanya kalian lebih kuat?"
Sampai mati pun Tho-hoa-sian juga tidak mau mengaku kalah, segera ia pun menjulur sebuah jarinya pura-pura hendak memeriksa nadi Lenghou Tiong, katanya, "Menurut pemeriksaanku tempo hari, terang tenaga kami berenam yang mendesak hawa murni si gundul Put-kay sehingga tak bisa bergerak ...."
Mendadak ia menjerit, jarinya kesakitan seperti digigit orang, cepat ia tarik kembali tangannya sambil berteriak, "Aduh! Keparat!"
Peng It-ci bergelak tertawa senang.
Semua orang tahu tentu tabib sakti itu menggunakan Lwekangnya yang lihai dan melalui tubuh Lenghou Tiong telah "menyetrum" jari Tho-hoa-sian.
Sesudah tertawa, tiba-tiba Peng It-ci menarik muka dan berkata, "Kalian harus menunggu di ruangan perahu sana, siapa pun dilarang bersuara."
"Persetan kau!" semprot Tho-yap-sian. "Kenapa kami harus tunduk pada perintahmu."
"Aku tidak menyuruh kalian tunduk kepada perintahku," sahut Peng It-ci. "Tapi kalian sudah pernah bersumpah akan membunuh seorang bagiku bukan?"
"Ya, aku menyanggupi akan membutuhkan seorang bagimu, tapi toh tidak berjanji akan menurut perintahmu," sahut Tho-ki-sian.
"Menurut perintahku atau tidak memang adalah hak kalian dan terserah kepada kalian untuk menentukannya," kata si tabib sakti. "Tapi bagaimana pendapat kalian seumpamanya kusuruh kalian harus membunuh Tho-sit-sian, orang keenam dari Tho-kok-lak-sian kalian?"
"He, mana bisa jadi! Baru saja kau menyembuhkan dia, mana boleh kau suruh kami membunuhnya?" teriak Tho-kok-ngo-sian berbareng
"Coba jawab, kalian telah bersumpah apa di hadapanku?" tanya Peng It-ci.
"Kami bersumpah apabila engkau dapat menolong jiwa saudara kami Tho-sit-sian, maka permintaanmu agar kami membunuh satu orang bagimu, tak peduli siapa pun yang harus dibunuh pasti akan kami laksanakan dan takkan menolak," sahut Tho-kin-sian.
"Betul. Dan sekarang aku sudah menyelamatkan saudara kalian atau tidak?"
"Sudah!" "Dia orang atau bukan?"
"Sudah tentu orang, memangnya kau kira dia setan?"
"Bagus, dan sekarang aku minta kalian pergi membunuh satu orang. Orang itu bukan lain adalah Tho-sit-sian!"
Keruan Tho-kok-ngo-sian saling pandang dengan melenggong karena permintaan yang sukar dibayangkan itu.
"Tampaknya kalian enggan membunuh Tho-sit-sian bukan" Baiklah, bila perlu boleh juga dirunding lagi. Pendek kata kalian mau menurut pada perkataanku atau tidak" Aku suruh kalian duduk baik-baik di ruangan perahu sana, siapa pun tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak," kata Peng It-ci pula.
Terpaksa Tho-kin-sian berlima mengiakan. Hanya sekejap saja mereka berlima sudah duduk anteng dengan tangan bersimpuh di atas lutut dan tidak berani cerewet lagi.
"Peng-locianpwe," demikian Lenghou Tiong lantas berkata, "konon engkau menolong seseorang selalu dengan satu syarat, yaitu bila orang itu sudah disembuhkan, maka orang itu diharuskan membunuh satu orang bagimu."
"Betul, memang itulah peraturan yang kutetapkan," sahut Peng It-ci.
"Jika demikian Wanpwe tidak sudi membunuh orang bagimu, maka engkau pun tidak perlu menyembuhkan penyakitku," kata Lenghou Tiong.
"Hahahaha!" hanya ini saja reaksi Peng It-ci demi mendengar ucapan Lenghou Tiong itu.
"Hmk!" Yim Bu-kiang juga cuma mendengus.
Kembali Peng It-ci mengamat-amati Lenghou Tiong dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala seakan-akan sedang memeriksa sesuatu barang antik yang aneh dan menarik. Selang sejenak barulah ia membuka suara pula, "Pertama, penyakitmu terlalu berat, aku tidak mampu menyembuhkannya. Kedua, andaikan dapat kusembuhkan juga sudah ada orang lain yang menyanggupi akan membunuh orang bagiku, kau sendiri tidak perlu turun tangan."
Walaupun Lenghou Tiong sudah putus asa dan merasa bosan hidup karena patah hati berhubung cinta Gak Leng-sian telah beralih kepada pemuda lain, tapi kini demi mendengar tabib sakti yang termasyhur ini pun menyatakan tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, mau tak mau timbul juga rasa dukanya.
"Sute," tiba-tiba Yim Bu-kiang membuka suara, "siapakah gerangan yang minta kau mengobati pemuda ini" Orang macam apakah yang dapat mengundang 'Sat-jin-beng-ih' keluar dari tempat tinggalnya untuk mengobati orang sakit?"
Peng It-ci menggeleng, sahutnya, "Aku tidak mampu mengobati penyakitnya, aku merasa malu, buat apa membicarakan dia?"
"Biasanya orang yang sudah sekarat, sudah 99 persen juga dapat kau sembuhkan kembali, sekarang pemuda ini tampaknya sehat-sehat saja, kenapa kau malah tidak mampu mengobati dia?" ujar Yim Bu-kiang.
"Di dalam tubuhnya ada delapan arus hawa murni yang aneh, tak dapat dipunahkan dan sukar diatasi, itulah kesukarannya," kata Peng It-ci.
"Masakah begitu lihai?" ucap Yim Bu-kiang. Kedua tangannya segera pegang nadi tangan Lenghou Tiong, tapi hanya sejenak saja ia lantas lepas tangan sambil mendengus, "Hmk!"
"Lenghou-hengte," kata Peng It-ci kemudian, "aku telah diminta orang untuk mengobati penyakitmu, ini menyangkut hawa murni dan Lwekang yang sukar diobati begitu saja seperti penyakit biasa. Selama melakukan pertabiban belum pernah kutemukan penyakit seaneh ini, aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa, sungguh aku sangat malu."
Sembari bicara ia pun mengeluarkan sebuah botol porselen, ia menuang keluar sepuluh biji pil berwarna merah tua, katanya pula, "Sepuluh butir 'Tin-sim-li-gi-wan' ini terbuat dari bahan obat-obatan yang sangat berharga. Setiap sepuluh hari boleh kau minum satu biji dan dapat memperpanjang jiwamu selama seratus hari."
Lenghou Tiong menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih.
Peng It-ci lantas putar tubuh, tapi sebelum melompat ke daratan, tiba-tiba ia berpaling dan berkata pula, "Di dalam botol ini masih ada dua butir, biarlah kuberikan sekalian padamu."
Namun Lenghou Tiong tidak mau menerima, jawabnya, "Sedemikian bagus obat ini, tentu Cianpwe masih perlu menggunakannya untuk menolong orang lain, maka lebih baik kau simpan kembali saja. Sekalipun Wanpwe dapat hidup lebih lama sepuluh hari atau dua puluh hari juga tiada faedahnya baik untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain."
Untuk sejenak Peng It-ci mengamat-amati Lenghou Tiong pula, katanya kemudian, "Tidak memikirkan mati atau hidup, ini benar-benar jiwa seorang laki-laki sejati."
Lalu ia mengangguk kepada Yim Bu-kiang, kedua orang lantas melompat ke daratan, hanya sekejap saja bayangan mereka sudah lenyap.
Mereka datang dan pergi sesukanya, sama sekali tidak pandang sebelah mata terhadap seorang tokoh seperti Gak Put-kun, keruan Put-kun sangat mendongkol. Cuma di dalam perahu sekarang masih duduk lima orang aneh, cara bagaimana mengenyahkan mereka masih merupakan persoalan.
Tertampak Tho-kok-ngo-sian sedang duduk anteng bagai kaum padri bersemadi tanpa bergerak sedikit pun, jika tukang perahu disuruh menjalankan kendaraan air itu tentunya kelima malaikat maut itu pun terpaksa dibawa serta. Jika perahu tidak diberangkatkan, lalu sampai kapan kelima orang itu mau pergi, jangan-jangan mereka akan menyerang mendadak untuk membalas dendam dilukainya Tho-sit-sian oleh Gak-hujin.
Begitulah diam-diam Gak Put-kun serbasusah, begitu pula Lo Tek-nau, Gak Leng-sian dan murid-murid Hoa-san-pay yang lain, semuanya merasa khawatir dengan beradanya Tho-kok-ngo-sian di atas perahu mereka.
Sementara itu Lenghou Tiong telah masuk ke dalam ruangan perahu, katanya kepada Tho-kok-ngo-sian, "He, buat apa kalian tinggal di sini?"
"Kami harus duduk anteng di sini, tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak," sahut Tho-kin-sian.
"Kami sudah akan berangkat, silakan kalian naik ke daratan saja," kata Lenghou Tiong.
"Menurut pesan tabib Peng It-ci, kami disuruh duduk baik-baik di dalam perahu ini, kalau kami sembarangan omong dan bergerak tentu kami akan disuruh membunuh saudara kami sendiri. Sebab itulah kami harus duduk saja di sini dan tak berani bergerak dan sembarangan bicara," demikian sahut Tho-kan-sian.
Tak tertahan rasa gelinya, Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Sudah sejak tadi Peng-tayhu (tabib Peng) telah mendarat, kalian sudah boleh sembarangan omong dan bergerak."
"Tidak boleh, jika tingkah laku kami sampai dilihatnya tentu urusan bisa runyam," ujar Tho-hoa-sian sambil menggeleng.
Pada saat itulah tiba-tiba di daratan sana ada suara seorang yang agak serak sedang berseru, "He, di mana beradanya kelima makhluk yang tidak mirip manusia dan tidak mirip setan itu?"
"Siapa yang dia maksudkan, apa kita?" demikian kata Tho-kin-sian.
"Kukira bukan, memangnya kita tidak mirip manusia dan tidak mirip setan?" ujar Tho-kan-sian.
Dalam pada itu orang tadi sedang berseru lagi, "Di sini pun kubawa suatu makhluk yang tidak mirip manusia dan tidak mirip setan, dia baru saja disembuhkan oleh Peng-tayhu. Kalian mau ambil kembali dia atau tidak" Kalau tidak, biar kubuang dia ke dalam sungai untuk umpan ikan."
Mendengar itu, serentak Tho-kok-ngo-sian melompat keluar perahu dan berdiri di tepi dermaga. Terlihat wanita setengah umur yang tinggi kurus pembantu Peng It-ci yang menjahit dada Tho-sit-sian ketika dibedah itu sedang berdiri di sana, tangan kiri wanita itu menjulur lurus ke samping menjinjing sebuah usungan, di atas usungan itu Tho-sit-sian tampak rebah telentang.
Sungguh tidak nyana wanita yang tampaknya kurus kering itu ternyata bertenaga sedemikian besar, ia jinjing tubuh Tho-sit-sian yang beratnya ratusan kati ditambah dengan usungan kayu itu, tampaknya sedikit pun tidak makan tenaga.
Begitulah cepat-cepat Tho-kin-sian menanggapi ucapan wanita tadi, "Sudah tentu kami mau, mengapa tidak?"
"Kenapa kau memaki orang" Mengapa kau bilang kami tidak mirip manusia dan tidak mirip setan?" semprot Tho-kan-sian.
"Padahal rupanya juga tidak lebih cakap daripada kita," demikian mendadak Tho-sit-sian yang menggeletak di atas usungan itu menimbrung.
Kiranya sesudah luka Tho-sit-sian dijahit rapat kembali oleh Peng It-ci dan diberi obat mujarab, kemudian ubun-ubunnya ditabok sekali oleh Yim Bu-kiang, saluran hawa murni itu seketika membuatnya dapat bergerak kembali.
Cuma dia sudah terlalu banyak kehilangan darah, tidak jauh ia berjalan lantas jatuh pingsan lagi, si wanita setengah umur itu lantas membawanya kembali ke sana. Dalam keadaan payah toh sifat Tho-sit-sian yang tidak mau kalah bicara itu tetap dipertahankan, segera ia balas mengolok-olok wanita itu.
Maka wanita itu berkata pula dengan dingin, "Apakah kalian tahu, selama hidup Peng-tayhu itu, apa yang paling ditakutinya?"
"Tidak tahu," sahut Tho-kok-lak-sian berbareng. "Dia takut apa?"
"Dia paling takut bini!" ucap si wanita.
Bab 50. Minum Arak Juga Ada Seninya
"Hahahaha!" Tho-kok-lak-sian bergelak tertawa. "Orang yang tidak takut langit dan tidak gentar pada bumi seperti dia ternyata takut bini. Haha, sungguh menggelikan!"
"Apa yang menggelikan" Aku inilah bininya!" jengek si wanita.
Seketika Tho-kok-lak-sian bungkam, tidak berani bersuara lagi.
Maka si wanita berkata pula, "Segala perintahku tentu akan dia turut. Jika aku ingin membunuh siapa tentu dia akan menyuruh kalian membunuhnya."
"Ya, ya, entah Peng-hujin ingin membunuh siapa?" sahut Tho-kok-lak-sian.
Wanita itu tidak menjawab, tapi sorot matanya yang tajam terus menatap ke arah Gak Put-kun, lalu Gak-hujin, Gak Leng-sian dan lain-lain. Semua orang sama mengirik karena sinar matanya yang tajam itu.
Mereka tahu, asalkan wanita bermuka buruk ini menuding salah seorang di antara mereka, seketika juga Tho-kok-ngo-sian pasti akan melompat maju dan menyobeknya, sekalipun tokoh terkemuka seperti Gak Put-kun juga sukar terhindar dari malapetaka.
Sorot mata wanita itu perlahan dialihkan kembali ke arah Tho-kok-lak-sian. Hati keenam orang aneh itu berdebar-debar.
"Hmk!" wanita itu mendengus.
"Ya, ya," cepat Tho-kok-lak-sian menjawab bersama.
"Sekarang aku belum tahu akan membunuh siapa," kata wanita itu. "Tapi Peng-tayhu sudah mengatakan bahwa di dalam perahu ini ada seorang tuan Lenghou ... Lenghou Tiong yang sangat dihormati olehnya, karena itu kalian harus melayani dia sebaik-baiknya sampai Lenghou-siansing itu meninggal dunia. Apa yang dikatakan Lenghou-siansing harus kalian kerjakan, segala perintahnya harus kalian turut dan tidak boleh membantah."
"Melayani dia sampai dia meninggal dunia?" Tho-kok-lak-sian menegas dengan ragu.
"Ya, melayani dia sampai dia meninggal dunia," sahut Peng-hujin. "Cuma jiwanya hanya tinggal 100 hari saja, dalam 100 hari ini kalian harus menurut segala perintahnya."
Mendengar tugas mereka hanya terbatas 100 hari saja, seketika Tho-kok-lak-sian menjadi girang seru mereka, "Hanya melayani dia 100 hari saja masih boleh juga dan tidak sukar."
Tiba-tiba Lenghou Tiong menyela, "Maksud baik Peng-locianpwe sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Namun Wanpwe tidak berani membikin capek dan dilayani Tho-kok-lak-sian, biarlah silakan mereka mendarat saja, sekarang juga Wanpwe ingin mohon diri."
Wajah Peng-hujin tidak menampilkan sesuatu perasaan senang atau marah, katanya dengan dingin, "Peng-tayhu mengatakan bahwa penyakit Lenghou-hengte itu adalah karena gara-gara keenam orang tolol ini, bukan saja jiwa Lenghou-hengte akan melayang, bahkan membikin malu Peng-tayhu karena tidak sanggup menyembuhkannya sehingga tidak dapat pula bertanggung jawab kepada orang yang minta Peng-tayhu mengobatimu. Untuk ini keenam orang goblok ini harus diberi hukuman yang setimpal. Sebenarnya Peng-tayhu hendak menyuruh mereka membunuh salah seorang saudara mereka sendiri sesuai dengan sumpah mereka, tapi sekarang mereka diberi kelonggaran, mereka hanya dihukum sebagai jongos agar melayani Lenghou-hiante."
Setelah merandek sejenak, kemudian ia menyambung pula, "Dan kalau keenam orang tolol ini berani membantah sesuatu perintahmu, bila diketahui Peng-tayhu, segera juga nyawa salah seorang di antara mereka berenam akan dicabut."
"Karena penyakit Lenghou-hiante ini adalah gara-gara perbuatan kami, memang pantas jika kami merawat dia sebagaimana mestinya, ini namanya laki-laki yang dapat membalas budi," kata Tho-hoa-sian.
"Ya, seorang laki-laki biasanya rela berkorban bagi kesukaran kawan, apalagi cuma merawat penyakit saja," timbrung Tho-ki-sian.
Begitulah, biarpun mau tak mau Tho-kok-lak-sian harus menurut kepada perintah Peng It-ci itu, tapi dasar sifat mereka yang mau menang sendiri, di mulut mereka tetap tidak mau kalah omong.
Dan di tengah cerewet mereka itulah Peng-hujin hanya mendelik saja dan segera tinggal pergi.
Tho-ki-sian dan Tho-kan-sian lantas mengangkat usungan yang berisi Tho-sit-sian itu dan dibawa melompat ke atas perahu dan diikuti saudara-saudaranya yang lain-lain.
Tho-kin-sian lantas berteriak, "Angkat sauh, jalankan perahunya!"
Melihat gelagatnya sudah terang sukar menolak ikut sertanya Tho-kok-lak-sian, segera Lenghou Tiong berkata, "Eh, keenam Tho-heng, boleh juga kalau kalian mau ikut bersama kami. Tapi terhadap guru dan ibu guruku kalian harus bersikap sopan dan hormat, inilah perintahku yang pertama. Jika kalian tidak mau menurut, maka sekarang juga aku menolak pelayanan kalian."
"Tho-kok-lak-sian memangnya adalah laki-laki sopan santun yang termasyhur, jangankan guru dan ibu gurumu, sekalipun murid atau cucumu juga kami akan menghormatinya," demikian sahut Tho-yap-sian.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli mendengar dia mengaku sebagai laki-laki yang sopan santun. Segera ia berkata kepada Gak Put-kun, "Suhu keenam Tho-heng ini ingin menumpang perahu kita, entah bagaimana pendapat Suhu?"
Gak Put-kun pikir keenam orang itu sekarang toh tidak sampai mencari perkara kepada Hoa-san-pay, apalagi melihat gelagatnya terang tak bisa mengusir mereka. Untungnya meskipun kepandaian keenam orang itu sangat tinggi, tapi sifatnya dogol dan angin-anginan, jika dilayani dengan akal rasanya masih dapat diatasi. Maka sahutnya kemudian sambil mengangguk, "Baiklah, jika mereka mau menumpang kapal juga boleh. Cuma watakku suka ketenangan, aku tidak suka mendengar mereka ribut mulut dan suka berdebat."
"Ucapan Gak-siansing ini terang salah," kata Tho-kan-sian. "Manusia dilahirkan dengan sebuah mulut, mulut ini selain berguna untuk makan nasi juga perlu untuk bicara. Kecuali itu manusia pun punya sepasang telinga yang gunanya untuk mendengarkan pembicaraan orang lain. Jika sifatmu suka ketenangan, kan sia-sia maksud baik Thian yang menciptakan sebuah mulut dan sepasang telinga bagimu."
Gak Put-kun tahu bila terlibat dalam perdebatan dengan mereka, maka sukarlah untuk berakhir. Maka ia hanya ganda tersenyum saja dan lantas berseru, "Tukang perahu berangkatlah!"
Di tengah suara perdebatan Tho-kok-lak-sian itu si tukang perahu sudah angkat sauh dan menolak perahunya. Tanpa terasa Gak Put-kun dan istrinya memandang sekejap kepada Lenghou Tiong lalu memandang pula kepada Tho-kok-lak-sian, kemudian saling pandang sendiri.
Yang terpikir oleh suami istri itu adalah satu persoalan yang sama, yaitu, "Peng It-ci mengatakan dimintai orang agar mengobati Tiong-ji, dari ucapannya jelas orang yang minta pertolongannya pasti mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan terhormat di Bu-lim sehingga meski dia tidak pandang sebelah mata kepada seorang ketua Hoa-san-pay, sebaliknya berlaku sungkan terhadap seorang murid Hoa-san-pay malah. Sesungguhnya siapakah orang yang minta Peng It-ci mengobati Tiong-ji itu?"
Jika hari biasa tentu sejak tadi mereka suami istri sudah memanggil menghadap Lenghou Tiong untuk dimintai keterangannya. Tapi sekarang tanpa terasa guru dan murid itu sudah timbul macam-macam prasangka, maka suami-istri itu merasa belum tiba waktunya untuk menanyai Lenghou Tiong.
Karena mendapat angin buritan, pula menuju ke hilir, maka perahu itu berlayar dengan sangat lajunya. Waktu berlabuh pada malamnya sudah tidak jauh lagi dari kota Lauhong.
Sementara itu si tukang perahu telah menyiapkan daharan bagi mereka. Selagi mereka hendak bersantap, tiba-tiba ada suara orang berseru lantang di daratan, "Numpang tanya, apakah para kesatria Hoa-san-pay menumpang di perahu ini?"
Sebelum Gak Put-kun menjawab, di sebelah sana Tho-ki-sian sudah mendahului berteriak, "Ya, para kesatria gagah Hoa-san-pay dan Tho-kok-lak-sian berada perahu ini. Ada urusan apa?"
"Syukurlah jika demikian," seru orang itu dengan girang. "Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo, lekas, lekas dibawa kemari!"
Maka tertampak belasan orang laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah kotak bercat merah.
Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati perahu, katanya dengan hormat, "Majikan kami mendapat tahu bahwa kesehatan Lenghou-siauhiap terganggu, beliau ikut sangat prihatin, mestinya beliau akan datang menjenguk, cuma sayang tidak keburu pulang, maka hamba sekalian disuruh mengantarkan sedikit oleh-oleh, mohon Lenghou-siauhiap sudi menerimanya."
Rombongan orang-orang itu lantas berjalan ke atas perahu, belasan kotak merah itu ditaruh di geladak perahu.
Lenghou Tiong menjadi heran, ia tanya, "Entah siapakah majikan kalian" Mengapa memberikan hadiah sebanyak ini, sungguh aku merasa malu dan tidak berani menerimanya."
"Bila Lenghou-siauhiap sudah membuka kotak-kotak ini tentu akan tahu sendiri," sahut laki-laki baju biru tadi. "Semoga kesehatan Lenghou-siauhiap selekasnya pulih kembali, untuk itu diharap Lenghou-siauhiap suka menjaga diri baik-baik."
Habis berkata mereka memberi hormat pula lalu mohon diri dan tinggal pergi.
Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, katanya, "Sungguh aneh bib ajaib, entah siapakah gerangan orang yang mengantarkan oleh-oleh padaku ini."
Dasar watak Tho-kok-ngo-sian itu memang tidak sabar, beramai-ramai mereka berkata. "Coba buka saja kotak-kotak itu, bukanlah orang tadi mengatakan asalkan kotak-kotak ini dibuka dan segera akan tahu sendiri siapa pengantarnya."
Tanpa disuruh lagi, beramai ramai Tho-kok-ngo-sian lantas membuka tutup kotak-kotak merah itu, maka tertampaklah isi kotak-kotak itu ada penganan alias jajanan yang bagus sekali buatannya, ada panggang ayam, ham dan makanan lain yang cocok untuk minum arak. Bahkan ada pula Jinsom, Yan-oh (sarang burung), Ho-siu-oh dan lain-lain macam bahan obat yang tak ternilai harganya.
Dua kotak paling akhir ternyata penuh berisi emas perak, agaknya disediakan sebagai bekal sangu perjalanan Lenghou Tiong. Melulu isi kedua kotak emas perak ini saja rasanya sudah cukup biaya orang-orang Hoa-san-pay buat beberapa tahun lamanya.
Tho-kok-ngo-sian tidak tahu apa artinya sungkan-sungkan segala, tanpa disuruh lagi segera mereka comot makanan di dalam kotak itu terus dijejalkan ke mulut sambil berteriak teriak, "Enak, lezat sekali!"
Akan tetapi di dalam belasan kotak makanan itu ternyata tiada sesuatu surat atau kartu nama segala, jadi siapa sebenarnya pengirim oleh-oleh itu tetap tidak diketahui.
"Suhu," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun, "urusan ini benar-benar membikin bingung padaku. Pengirim oleh-oleh ini tampaknya tidak punya maksud jahat, tapi juga tidak seperti sengaja bergurau."
Sambil berkata ia pun mengambilkan makanan untuk disuguhkan kepada guru dan ibu-gurunya serta para Sute dan Sumoay.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau punya kawan Kangouw yang tinggal di daerah sini?" tanya Put-kun.
Lenghou Tiong berpikir sejenak, sahutnya kemudian sambil menggeleng, "Tidak ada."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang ramai, ada delapan penunggang kuda sedang membalap tiba. Seorang di antaranya berseru, "Apakah Lenghou-siauhiap dari Hoa-san-pay berada di sini?"
"Ya, di sini, di sini!" beramai ramai Tho-kok-lak-sian menjawab. "Barang enak apa lagi yang kalian antar kemari?"
"Pangcu kami mendapat tahu akan kedatangan Lenghou-siauhiap, beliau mendengar bahwa Lenghou-siauhiap gemar minum barang beberapa cawan, maka hamba disuruh mencari 16 macam arak enak terpilih dan khusus diantar kemari, mohon Lenghou-siauhiap sudi memberi penilaian atas ke-16 guci arak ini," demikian seru orang tadi.
Sesudah dekat, benar juga pada kedelapan ekor kuda itu masing-masing tergantung dua guci arak. Di atas setiap guci itu ada plakat yang bertuliskan nama arak yang bersangkutan.
Melihat arak sebanyak itu keruan girang Lenghou Tiong melebihi diberi hadiah paling berharga sekalipun, cepat ia memapak ke haluan perahu katanya sambil memberi salam, "Maafkan atas kebodohanku, entah dari Pang (perkumpulan) apakah saudara-saudara ini" Siapa pula nama saudara yang terhormat."
Orang itu tertawa dan menjawab, "Pangcu kami telah memberi pesta wanti-wanti agar jangan menyebutkan nama Pang kami karena hanya akan membikin malu saja."
Ketika ia memberi tanda komando, serentak para penunggang kuda itu mengangkat guci-guci arak itu ke atas geladak perahu.
Dari dalam ruangan perahu Gak Put-kun coba mengamat-amati, dilihatnya kedelapan laki-laki itu semuanya sangat cekatan, setiap tangan mengangkat sebuah guci arak dan dapat melompat ke atas perahu dengan gesit dan enteng, hanya saja dari golongan mana kepandaian mereka itu tidak dapat diketahui, terang mereka bukan dari suatu perguruan yang sama, hanya sama-sama anggota sesuatu Pang apa.
Sesudah mengusung ke-16 guci arak itu ke atas perahu, kedelapan orang itu memberi hormat kepada Lenghou Tiong, lalu mencemplak ke atas kuda terus pergi pula dengan cepat.
"Suhu, kejadian ini benar-benar sangat aneh," kata Lenghou Tiong kepada Gak Put-kun dengan tertawa. "Entah siapakah yang sengaja berkelakar dengan Tecu dan mengirim arak sebanyak ini?"
"Jangan-jangan Dian Pek-kong," ujar Gak Put-kun sesudah termenung sejenak. "Atau mungkin juga Put-kay Hwesio?"
"Ya, kelakuan kedua orang itu memang aneh dan sukar diduga, memang bisa jadi adalah perbuatan mereka," sahut Lenghou Tiong. "Hei, Tho-kok-lak-sian, ada arak sebanyak ini, kalian mau minum atau tidak?"
"Hahaha, tentu saja minum, masakah tidak mau?" sahut Tho-kok-lak-sian berbareng.
Tanpa disuruh lagi segera Tho-ki-sian dan Tho-hoa-sian mengangkat dua guci arak di antaranya, sesudah tutup guci dibuang, isinya lantas dituang dalam mangkuk. Seketika bau harum menyampuk hidung, tanpa sungkan-sungkan lagi Lak-sian lantas menenggak sendiri arak enak itu.
Lenghou Tiong juga menuang semangkuk dan diaturkan kepada Gak Put-kun, katanya, "Suhu, silakan mencicipi, boleh juga baunya ini."
Put-kun mengerut kening. Sebelum menerima arak itu, terdengar Tek-nau berkata, "Suhu, tiada jeleknya kalau kita berhati-hati. Arak ini entah pemberian siapa, entah di dalam arak terdapat sesuatu yang mencurigakan atau tidak?"
"Ya, Tiong-ji, akan lebih baik berhati-hati sedikit," kata Put-kun mengangguk.
Begitu mengendus bau arak tadi Lenghou Tiong sudah hampir mengiler, mana dia tahan lebih lama lagi, dengan tertawa ia berkata, "Umur Tecu memang sudah tidak lama lagi, jika di dalam arak ini ada racun juga tiada alangannya bagiku."
Habis itu segera ia angkat mangkuk, hanya beberapa kali tenggak saja isi mangkuk itu sudah habis, ia menjilat-jilat bibir, lalu memuji, "Ehm, arak bagus, arak bagus!"
Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara itu, tertampaklah di bawah pohon Liu sana ada seorang Susing (pelajar) berbaju kotor dan penuh tambalan, tangan kanan memegang sebuah kipas rusak, kepala mendongak lagi mengendus bau arak yang teruar dari perahu, terdengar pujiannya pula, "Ya, benar-benar arak yang sedap!"
"Eh, saudara itu," sapa Lenghou Tiong dengan tertawa, "engkau kan belum mencicipi araknya, dari mana mengetahui baik atau jeleknya arak ini?"
"Arak ini adalah Hun-ciu yang sudah tersimpan 60 tahun lamanya, begitu mengendus baunya segera kutahu rasa araknya," sahut Susing miskin ini.
Lenghou Tiong sangat senang, katanya, "Jika saudara tidak menampik, boleh silakan kemari untuk minum beberapa cawan."
Susing itu menggeleng kepala dan berkata, "Ah, selamanya kita belum kenal, hanya secara kebetulan bertemu di sini, dengan mengendus bau araknya saja sudah mengganggu, mana aku berani merasai arak saudara yang enak itu. Jangan, jangan!"
"Di segenap penjuru lautan ini adalah saudara semua," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. "Dari ucapan saudara tadi jelas saudara adalah ahli arak angkatan tua, justru kuingin minta petunjuk lebih banyak, boleh silakan naik ke atas perahu dan jangan sungkan-sungkan lagi."
Perlahan Susing itu menyusuri papan loncatan ke atas perahu, sesudah berhadapan ia memberi hormat, katanya, "Cayhe she Coh, Coh berarti kakek moyang, nama Jian-jiu yang berarti seribu musim, sebagai kiasan panjang umur. Mohon tanya juga nama saudara yang mulia?"
"Cayhe she Lenghou dan bernama Tiong," sahut Lenghou Tiong.
"Ehm, she yang bagus, namanya juga baik," ujar Coh Jian-jiu.
Lenghou Tiong tersenyum, katanya di dalam hati, "Aku mengundangmu minum arah, sudah tentu segala apa kau puji dengan baik."
Segera ia menuangkan semangkuk arak dan diaturkan kepada Coh Jian-jiu sambil berkata, "Silakan minum!"
Usia Coh Jian-jiu itu kira-kira 50-an, kulit mukanya kuning kecokelat-cokelatan, matanya sayu, jenggotnya jarang-jarang, bajunya kotor, bagian tertentu agaknya sering dipakai untuk mengusap sehingga tampak mengilap. Kedua tangannya yang terjulur keluar dari lengan berbaju itu tertampak kesepuluh kuku jarinya hitam kotor.
Coh Jian-jiu lantas menerima suguhan arak Lenghou Tiong itu, katanya, "Lenghou-heng, meski engkau punya arak bagus, tapi tidak punya wadah yang baik, sungguh harus disayangkan."
"Di tengah perjalanan hanya ada mangkuk kasar dan cawan lama, harap Coh-siansing suka memaklumi," ujar Lenghou Tiong.
Tapi Coh Jian-jiu telah menggeleng, katanya, "Jangan, sekali-kali tak boleh begitu. Sedemikian gegabah caramu menilai peralatan arak, nyata sekali dalam hal ini minum arak kau kurang memahami. Minum arak harus mengutamakan juga wadah araknya, arak apa yang diminum harus memakai cawan arak tertentu. Kalau minum Hun-ciu harus memakai cawan kemala. Ini terbukti pada syair di zaman kuno yang menyatakan: Mangkuk kemala dapat menambah indah warnanya arak."
Karena memang tidak paham seluk-beluk uraian orang, Lenghou Tiong hanya mengiakan saja.
Lalu Coh Jian-jiu menyambung pula, "Arak putih dari Kwan-gwa mempunyai rasa yang sangat enak, cuma sayang kurang berbau harum, maka paling baik kalau dipakai cawan dari tanduk badak kemudian diminum, dengan demikian rasanya dan baunya akan terasa tiada bandingannya. Hendaklah maklum bahwa cawan kemala bisa menambah cemerlang warnanya arak, cawan dari tanduk badak dapat menambah bau harumnya arak, agaknya orang zaman kuno menang tidak membohongi kita."
Selama hidup Lenghou Tiong memangnya paling gemar minum arak, cuma sahabatnya kebanyakan adalah orang-orang Kangouw, yang bisa membedakan baik jeleknya arak saja sudah jarang diketemukan, dari mana ada yang paham tentang "seni minum arak" dengan cawan kemala, cawan tanduk badak segala" Sekarang sesudah mendengar cerita Coh Jian-jiu itu, Lenghou Tiong merasa dirinya seperti orang bodoh yang mendadak menjadi pintar.
Begitulah Coh Jian-jiu mencerocos terus tentang cawan-cawan lain lagi yang tepat untuk wadah berbagai macam arak bagus yang dibawa oleh ke-8 orang laki-laki tadi. Katanya untuk arak anggur harus dipakai Ya-kong-pwe (cawan gemerlap di waktu malam), kalau Ko-liang-ciu harus pakai cawan tembaga hijau, bila minum Bi-ciu (arak beras) harus memakai gantang yang besar agar terasakan meresapnya seni minum arak.
Sejak tadi Gak Put-kun juga memerhatikan obrolan Coh Jian-jiu itu, ia merasa ucapan orang terlalu dilebih-lebihkan, tapi rasanya ada benarnya juga dan masuk di akal. Dilihatnya pula di sebelah lain Tho-ki-sian dan kawan-kawannya sedang sibuk membuka satu guci arak, isi guci itu tercecer memenuhi meja, sama sekali mereka tidak menghiraukan betapa bernilainya arak bagus itu. Walaupun Gak Put-kun tidak gemar minum, tapi dari baunya yang harum semerbak memabukkan ia pun tahu bahwa arak itu memang benar arak bagus, sungguh sangat sayang dihambur-hamburkan secara sembrono oleh Tho-kok-lak-sian.
Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus membual tentang jenis-jenis arak lain, katanya Siau-hin-ciu harus memakai cawan porselen kuno, minum Le-hoa-ciu harus memakai cawan hijau zamrud, bila minum Giok-loh-ciu lebih tepat memakai gelas karena arak Giok-loh-ciu ada buih-buih kecil seperti mutiara, di tengah gelas yang bening tembus itu dapat kelihatan letak kebagusan Giok-loh-ciu yang lain daripada yang lain.
Begitulah dalam sekejap saja ia telah menguraikan delapan macam arak dengan cawan yang harus dipakai. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berolok-olok, "Huh, membual, jual jamu!"
Ternyata pengolok-olok itu adalah Gak Leng-sian. Cepat Gak Put-kun berkata, "Anak Sian, jangan sembrono, apa yang diuraikan Coh-siansing tadi memang masuk di akal."
"Masuk di akal apa?" ujar Leng-sian. "Minum arak sekadar membangkitkan semangat memang boleh juga, tapi kalau siang dan malam selalu menenggak arak melulu, ditambah lagi macam-macam cara yang dinamakan seni apa segala, apakah itu kelakuan seorang kesatria atau pahlawan sejati?"
"Salah, salah ucapan Siocia ini," kata Coh Jian-jiu. "Dahulu Han-ko-co Lau Pang sehabis mabuk baru memulai dengan pergerakannya, akhirnya dia mendirikan kerajaan Han dan diakui sebagai pahlawan."
"Jika Coh-siansing sudah tahu arak bagus, katanya pahlawan sejati harus pula minum arak bagus, tapi mengapa engkau sejak tadi tak mau minum?" ujar Lenghou Tiong dengan tertawa
"Sejak tadi juga aku sudah bilang, kalau minum tanpa memakai wadah yang baik kan hanya menyia-nyiakan arak bagus saja?" kata Coh Jian-jiu.
"Ah, kau membual tentang cawan zamrud, Ya-kong-pwe dan cawan kemala apa segala, di dunia ini mana ada cawan arak demikian?" tiba-tiba Tho-kan-sian mengejek. "Ya, seumpama ada paling-paling juga cuma satu-dua macam saja, siapa orangnya yang mampu memiliki cawan sekomplet itu?"
"Ahli minum arak yang tahu apa artinya seni tentu mempunyai peralatan secara komplet," sahut Coh Jian-jiu. "Jika minum cara kerbau menyeruput seperti kalian, dengan sendirinya dapat pakai mangkuk besar dan cawan kasar seadanya."
"Kau sendiri apakah terhitung ahli minum yang tahu seni?" tanya Tho-yap-sian.
"Tidak banyak dan tidak sedikit, kalau tiga bagian sebagai ahli yang tahu seni kukira masih ada," sahut Coh Jian-jiu.
"Hahaha, jika begitu, cawan untuk minum kedelapan macam arak bagus ini kau membawanya berapa biji?" tanya Tho-kok-lak-sian dengan gelak tertawa.
"Bilang banyak tidak banyak, katakan sedikit juga tidak sedikit, tapi setiap macamnya satu sih aku membawanya," sahut Coh Jian-jiu.
"Hahahaha! Tukang 'ngecap', jual jamu!" Tho-kok-lak-sian tertawa pula.
"Eh, mari kita bertaruh saja," demikian Tho-kok-lak-sian mendadak. "Jika kau benar-benar membawa kedelapan macam cawan itu, biarlah aku nanti akan makan satu demi satu cawan itu ke dalam perutku. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan, lalu bagaimana?"
"Jika begitu aku akan makan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku," sahut Coh Jian-jiu.
"Bagus, bagus!" seru Tho-kok-lak-sian. "Coba kita lihat cara bagaimana dia ...."
Belum habis teriakan mereka, tiba-tiba Coh Jian-jiu sudah memasukkan tangannya ke dalam baju yang gondrong itu, waktu tangan ditarik kembali, tahu-tahu sebuah cawan arak sudah dirogoh keluar. Cawan itu halus gilap, nyata adalah sebuah cawan kemala putih susu yang sangat indah. Keruan Tho-kok-lak-sian terkejut sehingga tidak menyambung lagi olok-olok mereka.
Dalam pada itu Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawannya sebuah demi sebuah. Benar juga, ada cawan zamrud, ada cawan tanduk badak, ada cawan gelas dan lain-lain, semuanya berjumlah delapan cawan, komplet seperti apa yang dia uraikan tadi.
Meskipun kedelapan cawan mestika itu sudah komplet, tapi Coh Jian-jiu masih terus mengeluarkan cawan-cawan yang lain, ada cawan emas yang gemilapan, ada cawan perak yang berukir indah, ada cawan batu yang berwarna-warni, ada lagi cawan gading, cawan kulit, cawan bumbung bambu, cawan kayu, cawan gigi harimau dan lain-lain lagi, besar dan kecil tidak sama.
Keruan semua orang sama terkesima, siapa pun tidak menduga bahwa di dalam baju Susing rudin itu ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu, mereka heran apakah Susing miskin itu memiliki kantong wasiat"
"Bagaimana?" tanya Coh Jian-jiu kepada Tho-ki-sian.
Sahut Tho-ki-sian dengan air muka sedih, "Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu."
Habis berkata ia terus comot cawan kemala putih tadi, "krak", ia keremus cawan itu, lalu dikunyah sehingga berbunyi kertak-kertuk, ia ganyang mentah-mentah cawan kemala itu dan dilalap habis ke dalam perut.
Semua orang sama terkesiap melihat cara Tho-ki-sian yang nekat itu, masakah cawan kemala itu benar-benar dimakan begitu saja dan diganyang sungguh-sungguh.
Segera Tho-ki-sian menjulur tangan hendak mengambil cawan zamrud pula. Tapi Coh Jian-jiu keburu ayun tangan kirinya ke bawah untuk memotong nadi orang. Cepat Tho-ki-sian menggeser tangannya, berbareng tangannya membalik hendak memegang pergelangan tangan Coh Jian-jiu.
Namun Coh Jian-jiu lantas menyelentik dengan jari tengah, yang diarah adalah Lo-kiong-hiat di tengah telapak tangan. Tho-ki-sian terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, serunya, "He, kenapa kau tidak jadi memberi makan cawanmu padaku?"
"Sudahlah, aku kagum padamu, kedelapan awan ini anggap saja sudah kau lalap ke dalam perutmu," ujar Coh Jian-jiu. "Kau berani makan cawan secara nekat, tapi aku yang rugi."
Semua orang bergelak tertawa geli.
Semula Gak Leng-sian rada takut kepada Tho-kok-lak-sian, tapi sesudah sekian lama berdampingan, ia merasa mereka toh bukan manusia jahat, malahan tingkah laku mereka sesungguhnya sangat jenaka. Dengan tabahkan hati ia lantas tanya Tho-ki-sian, "He, enak tidak rasanya cawan kemala itu?"
"Rada pahit, tidak enak," sahut Tho-ki-sian dengan mulut masih berkecap-kecap.
Dalam pada itu Coh Jian-jiu tampak mengerut kening, katanya, "Wah, cawan kemala telah kau makan, tapi urusanku ini bisa runyam. Ai, sekarang arak Hun-ciu ini harus ditadahi dengan cawan apa yang tepat" Ah, terpaksa memakai cawan batu saja untuk sementara."
Lalu ia ambil sebuah cawan batu, ia mengeluarkan sepotong saputangan untuk mengusap cawan batu itu. Cawan batu itu mestinya cukup bersih sebaliknya saputangannya tampak sudah hitam lagi dekil, masih mendingan kalau tidak dilap, sekali dilap bukannya cawan batu itu menjadi bersih sebaliknya makin dilap makin kotor.
Sesudah mengusap sekian lama barulah ia taruh cawan batu itu di atas meja, kedelapan cawan pilihan itu berjajar satu baris sedangkan cawan-cawan lain yang tidak terpakai dimasukkan kembali ke dalam baju. Lalu ia menuang delapan jenis arak ke dalam delapan cawan yang bersangkutan sesuai dengan uraiannya tadi.
Selama menuang arak, ia menghela napas lega, lalu berkata kepada Lenghou Tiong, "Lenghou-heng, kedelapan cawan arak ini silakan minum satu per satu kemudian aku akan mengiringimu minum delapan cawan juga, habis itu barulah kita bertukar pikiran untuk menilai di mana perbedaan cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum dahulu."
"Baik," sahut Lenghou Tiong. Ia angkat cawan batu yang berisi Hun-ciu (arak semerbak), sekali tenggak ia habiskan isinya. Ia merasa arak itu sangat pedas, begitu masuk mulut rasa pedas itu terus menyusup ke dalam perut. Keruan ia terperanjat, pikirnya, "Aneh, mengapa rasa arak ini sedemikian aneh?"
Tiba-tiba Coh Jian-jiu berkata, "Cawan-cawan arakku ini benar-benar adalah benda mestika bagi kaum peminum arak. Cuma kalau kaum pengecut, bila merasa arak yang diminumnya ada rasa yang aneh, setelah minum cawan pertama lantas tidak berani minum kedua lagi. Dari dahulu kala sampai sekarang, orang yang sanggup minum delapan cawan sekaligus sesungguhnya belum ada."
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Sekalipun dalam arak ada racun, memangnya jiwaku sudah tidak lama lagi akan menemui ajal, biarpun mati diracun juga aku tidak mau kalah pamor."
Maka tanpa pikir lagi ia angkat cawan dan beruntun minum dua cawan arak itu. Ia merasa arak yang satu cawan sangat pahit, sedangkan cawan yang lain rasanya pesing, daripada dibilang rasa arak enak, akan lebih tepat dikatakan rasa air kencing.
Waktu Lenghou Tiong hendak mengambil cawan arak keempat, tiba-tiba Tho-ki-sian berseru, "Aduh, celaka! Perutku rasanya sangat panas seperti dibakar!"
"Kau telah ganyang mentah-mentah sebuah cawan kemalaku, tentu saja perutmu kesakitan?" kata Coh Jian-jiu dengan tertawa. "Lekas kau banyak minum obat cuci perut agar dapat dikuras keluar, kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus minta pertolongan kepada Sat-jin-beng-ih Peng-tayhu untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan kemala itu."
Seketika Lenghou Tiong tergerak pikirannya, "Ah, kedelapan cawan araknya ini tentu ada sesuatu yang luar biasa. Tho-ki-sian telah makan cawan kemala itu, seumpama kemala adalah benda keras dan tak bisa dicernakan juga tidak sampai timbul rasa panas seperti dibakar" Tapi, ah, seorang laki-laki sejati pandang kematian seperti pulang ke asalnya, kenapa mesti takut" Biarlah semakin jahat racunnya semakin baik bagiku."
Dan sekali tenggak kembali ia menghabiskan isi secawan arak pula.
"Toasuko," tiba-tiba Leng-sian berseru, "arak itu jangan diminum lagi, jangan-jangan dalam arak itu beracun. Engkau pernah membutakan orang-orang itu, hendaknya waspada kalau orang mencari balas padamu."
Lenghou Tiong tersenyum pedih, katanya, "Coh-siansing ini adalah seorang laki-laki yang suka blak-blakan, rasanya tidak sampai meracuni diriku. Pula, jika dia mau membunuh aku bisa segera dilakukannya, mengapa mesti banyak membuang waktu dan pikiran?"
Tanpa pikir lagi segera ia minum pula dua cawan.
Arak dari cawan keenam ini rasanya rada asam dan asin, bahkan rada berbau bacin. Waktu mengalir masuk ke perut, mau tak mau keningnya terkerut.
Melihat Lenghou Tiong menenggak arak sendirian, Tho-kin-sian menjadi kepingin dan ingin mencicipi arak-arak itu. Katanya, "Sisa kedua cawan itu berikan saja padaku."
Berbareng tangannya lantas hendak mengambil cawan arak ketujuh.
Tapi mendadak Coh Jian-jiu mengayun kipasnya dan mengetuk punggung tangan Tho-kin-sian, katanya sambil tertawa, "Nanti dulu, bergiliran, jangan berebutan, setiap orang harus minum delapan cawan secara berurut-urutan, dengan demikian baru dapat merasakan intisari arak-arak ini yang sesungguhnya."
Melihat ketukan kipas Coh Jian-jiu itu sangat keras, bila kena tentu tulang tangannya akan remuk, cepat Tho-kin-sian putar tangan dan berbalik hendak merampas kipas orang. Bentaknya, "Aku justru hendak minum dulu secawan ini, kau bisa berbuat apa?"
Kipas Coh Jian-jiu itu sebenarnya terlempit menjadi satu potong, ketika jari tangan Tho-kin-sian hampir mencengkeram tiba, mendadak kipas menjepret lebar, pinggang kipas lantas menjentik ke jari telunjuk Tho-kin-sian.
Kejadian di luar dugaan ini membikin Tho-kin-sian kerepotan dan lekas menarik kembali tangannya, namun tidak urung jari telunjuknya sudah keserempet dan terasa kesemutan, sambil berkaok-kaok cepat ia melompat mundur.
"Lenghou-heng, lekas minum habis isi kedua cawan itu ...." belum lenyap suara Coh Jian-jiu, dari sebelah sana Tho-hoa-sian sudah menjulur tangan hendak mengambil cawan-cawan arak itu. Waktu Coh Jian-jiu mengayun tangan untuk menangkis, dari sebelah lain kembali Tho-ki-sian hendak rebut lagi cawan itu.
Meski kepandaian Coh Jian-jiu tidak lemah, tapi di bawah kerubutan Tho-kok-ngo-sian yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu, terang sukar baginya untuk menahan serobotan kelima orang yang hendak rebut kedua cawan arak itu. Tangan yang satu ditangkis pergi, tangan yang lain sudah menyambar pula dari belakang.
Dalam keadaan yang serbasusah untuk merintangi Tho-kok-ngo-sian itu, tiba-tiba Coh Jian-jiu mendapat akal teriaknya, "Hah, kiranya Tho-kok-lak-sian sama sekali tidak punya rasa persaudaraan, tahunya hanya berebut ini dan itu, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!"
Usia di antara Tho-kok-lak-sian satu sama lain hanya terpaut satu tahun, selamanya mereka belum pernah berpisah barang satu hari pun, meski setiap hari mereka suka bertengkar dan ribut mulut, tapi sebenarnya rasa persaudaraan mereka sangat akrab. Maka demi mendengar Coh Jian-jiu menuduh mereka tidak punya rasa persaudaraan, mereka menjadi gusar dan berhenti semua sambil membentak, "Kentut! Kentutmu busuk!"
Bab 51. Pil Penyambung Nyawa Menolong Lenghou Tiong
"Kalian yang berbau busuk," sahut Coh Jian-jiu. "Tho-sit-sian jelas terbaring tak bisa berkutik karena terluka sehingga tidak dapat ikut berebut minum arak enak ini, tapi kalian tidak ambil pusing dan berebut sendiri, bukankah kalian sama sekali tidak memikirkan persaudaraan sendiri?"
Tho-kin-sian melengak, tapi segera ia berdebat, "Siapa bilang kami berebut arak sendiri" Kami justru hendak merampas arak ini untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian."
"Ya, Lakte kami terluka, segala arak enak dan daharan lezat sudah tentu kami suruh dia mencicipi lebih dulu," timbrung Tho-ki-sian.
"Tapi apakah kalian tahu bahwa kedelapan cawan arak bagus ini harus diminum satu per satu, dengan demikian baru dapat dirasakan betapa enaknya, baru bisa tahu bahwa di dunia ini tiada arak rasa seenak ini," kata Coh Jian-jiu. "Tapi kalau cuma minum satu cawan saja bukannya rasa enak yang dirasakan, sebaliknya rasanya akan pahit dan kecut. Sekarang kalian ingin rebut kedua cawan arak ini, mendingan bila kalian minum sendiri, karena cuma kalian sendiri yang tertipu, namun katanya kalian merebutnya untuk diminumkan kepada Tho-sit-sian, padahal dia dalam keadaan tak bisa berkutik dan kalian mencekoki arak yang rasanya pahit dan kecut ini, apakah cara kalian ini bisa dikatakan cinta pada saudara?"
Kembali Tho-kok-ngo-sian melengak. Tho-hoa-sian lantas berkata, "Siapa yang bilang kami hendak rebut arak ini" Kami hanya pura-pura hendak rebut arak untuk menguji sampai di mana tinggi kepandaianmu, tahu?"
"Benar, benar," Tho-kan-sian menyambung. "Memangnya kau kira kami ini anak kecil dan tidak tahu kedelapan cawan arak itu harus diminum sekaligus baru bisa tahu rasanya yang sejati."
"Ayolah Lenghou-hengte, lekas minum habis arak-arak itu agar benar-benar merasakan enaknya."
Di tengah cerewet Tho-kok-ngo-sian itulah Lenghou Tiong telah selesai menghabiskan isi kedua cawan tadi. Arak kedua cawan ini tidak berbau lagi, tapi rasanya yang satu cawan sangat tajam, tenggorokan seperti diiris-iris pisau. Yang satu cawan lagi berbau obat, sama sekali tidak mirip arak, tapi baunya melebihi obat-obatan waktu dimasak.
Melihat air muka Lenghou Tiong rada aneh, Tho-kok-lak-sian merasa heran dan ingin tahu, mereka lantas tanya, "Bagaimana rasanya sesudah kedelapan cawan arak itu kau minum habis?"
"Sudah tentu enak sekali," sela Coh Jian-jiu.
Di luar dugaan, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong Tho-kan-sian berempat menubruk maju sekaligus, masing-masing memegangi sebelah tangan dan kaki Coh Jian-jiu.
Biarpun ilmu silat Coh Jian-jiu amat tinggi, tapi caranya Tho-kok-lak-sian memegang kaki dan tangan orang adalah sangat aneh dan terlalu cepat sehingga sukar baginya untuk menghindar. Maka tahu-tahu tangan dan kaki Coh Jian-jiu sudah terpegang dan badan lantas terangkat ke atas.
Para anggota Hoa-san-pay sudah pernah menyaksikan adegan mengerikan cara Tho-kok-si-sian menyobek tubuh manusia sehingga tanpa terasa mereka menjerit khawatir demi melihat Coh Jian-jiu kena dipegang tangan dan kakinya.
Pikiran Coh Jian-jiu juga bekerja secepat kilat, ia tahu menyusul keempat orang itu pasti akan membetot sekuat-kuatnya dan itu berarti tubuh akan robek menjadi empat potong. Cepat ia berteriak-teriak, "Di dalam arak itu ada racunnya, obat penawarnya tersimpan dalam bajuku!"
Tho-kok-si-sian sendiri tadi sudah cukup banyak menenggak arak, demi mendengar bahwa di dalam arak itu beracun mereka jadi melengak.
Dan yang diharapkan Coh Jian-jiu adalah sedetik keragu-raguan keempat orang itu. Mendadak ia berteriak pula, "Lepas, keparat!"
Tahu-tahu Tho-kok-si-sian merasa tangan mereka tergetar dan memegang tempat kosong, menyusul terdengarlah suara "blang" yang keras, wuwungan perahu itu telah jebol disundul menjadi sebuah lubang besar, Coh Jian-jiu telah melarikan diri menembus wuwungan perahu itu.
Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian tidak berhasil menangkap apa-apa, sebaliknya tangan Tho-hoa-sian dan Tho-yap-sian masing-masing masih memegangi sebuah kaus kaki yang berbau bacin dan sebuah sepatu yang kotor dan butut.
Gerakan Tho-kok-ngo-sian juga amat cepat serentak, mereka pun memburu ke dermaga, tapi bayangan Coh Jian-jiu sudah lenyap.
Selagi mereka hendak menguber ke depan, tiba-tiba di ujung jalan sana ada suara teriakan orang, "Hai, Coh Jian-jiu, kau kutu busuk ini lekas kembalikan obatku, jika kurang satu biji saja tentu akan kubetot ototmu dan kubeset kulitmu."
Sambil berteriak-teriak orang itu pun berlari mendatang dengan cepat.
Mendengar orang itu pun mencaci maki pada Coh Jian-jiu, jadi sepaham dengan mereka, maka Tho-kok-ngo-sian menjadi ingin tahu tokoh macam apakah orang ini, segera mereka berhenti di situ dan memandang ke depan.
Terlihatlah sebuah bola daging sedang "menggelinding" tiba, makin menggelinding makin dekat. Kemudian barulah diketahui bahwa "bola daging" itu kiranya adalah seorang laki-laki yang sangat pendek dan sangat gemuk.
Kepala orang buntak ini begitu rupa sehingga tampaknya gepeng, pipih, tapi sangat lebar. Melihat kepalanya itu orang akan menduga mungkin pada waktu dia dilahirkan kepalanya telah dipalu sehingga buah kepalanya menjadi gepeng lebar sampai muka dan hidung serta mulut pun berubah bentuk.
Melihat muka sedemikian anehnya, semua orang sama merasa geli. Pikir mereka, "Peng It-ci dan Yim Bu-kiang itu sudah terhitung orang buntak tapi kalau dibandingkan orang ini boleh dikata si kerdil ketemu raksasa."
Dan memang bedanya terlalu mencolok. Kalau Peng It-ci dan Yim Bu-kiang hanya pendek dengan pundak lebar, sebaliknya orang ini jauh lebih pendek, bahkan punggung dan dada seakan-akan tergencet sehingga menonjol keluar. Ditambah lagi kaki dan tangan juga sangat pendek, tangan seakan-akan cuma ada lengan bawah tanpa lengan atas, kakinya juga seperti cuma ada betis tanpa paha.
Setiba di samping perahu, dengan menolak pinggang orang itu lantas tanya, "Bangsat keparat Coh Jian-jiu itu sembunyi di mana?"
"Bangsat keparat itu sudah lari," tukas Tho-kin-sian dengan tertawa. "Dia berkaki panjang dan berlangkah lebar, caramu menggelinding demikian tentu saja tidak dapat menyusul dia!"
Orang itu mendengus, matanya yang bulat kecil itu mendelik. Sekonyong-konyong ia berteriak pula, "Obatku! Obatku!"
Begitu kakinya bekerja, "bola daging" itu lantas membalik dan masuk ke dalam ruangan perahu.
Tiba-tiba hidungnya berkerut-kerut dan mengendus-endus, ia sambar sebuah cawan di atas meja, lalu dicium baunya. Sekonyong-konyong air mukanya berubah hebat. Memangnya dia bertampang sangat jelek, perubahan itu semakin menambah aneh dan lucu raut mukanya itu.
Tapi dari air muka orang dapatlah Lenghou Tiong melihat perasaan orang itu pasti sangat berduka. Orang buntak itu berturut-turut memeriksa dan mencium ketujuh cawan.
"O, obatku!" keluhnya. Habis itu tak tertahankan lagi rasa sedihnya, ia duduk terkulai dan menangkis tergerung-gerung.
Melihat si buntak menangis sedih, Tho-kok-ngo-sian semakin heran dan tertarik, beramai-ramai mereka mengelilingi si buntak dan bertanya, "He, mengapa menangis" Eh, apakah kau diakali keparat Coh Jian-jiu itu" Jangan menangis, nanti kalau kami menemukan bangsat itu pasti akan kami robek dia menjadi empat potong!"
Seru orang itu sambil menangis, "Obatku telah dimakan dia bersama arak, sekalipun dia dibunuh juga tiada gunanya lagi."
Tergerak hati Lenghou Tiong, cepat ia tanya, "Obat apa maksudmu?"
"Dengan susah payah selama 12 tahun aku mencari dan mengumpulkan bahan obat berharga seperti jinsom, Hokleng, Siuho, Lengci, Siahio dan lain-lain, akhirnya dapatlah kubikin delapan biji "Siok-beng-wan" (pil penyambung nyawa), tapi sekarang obatku yang tiada terkira nilainya itu dicuri keparat Coh Jian-jiu dan telah diminum bersama arak."
Lenghou Tiong tambah terkejut, tanyanya pula, "Kedelapan biji pil itu apakah mempunyai rasa yang sama?"
"Sudah tentu tidak sama," sahut si buntak. "Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang rasanya panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asal sudah minum kedelapan biji Siok-beng-wan tersebut, biarpun luka dalam atau luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong."
"Wah, celaka!" seru Lenghou Tiong sambil tepuk paha. "Coh Jian-jiu itu telah mencuri obatmu Siok-beng-wan itu, tapi dia tidak makan sendiri, sebaliknya di ...."
"Diapakan?" tanya orang itu.
"Di ... dicampur dalam arak dan menipu aku untuk meminumnya," sahut Lenghou Tiong. "Sesungguhnya aku tidak tahu bahwa di dalam arak teraduk obat sebaik itu, malahan aku menyangka dia hendak meracuni aku."
"Racun" Racun kentutmu!" damprat orang itu dengan gusar. "Jadi kau yang telah minum aku punya Siok-beng-wan itu?"
Lenghou Tiong menjawab, "Coh Jian-jiu itu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku minum habis seluruhnya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang berbau bacin dan macam-macam lagi. Tapi obat apa segala aku sendiri tidak melihatnya."
Orang itu menatap Lenghou Tiong dengan mata mendelik, sekonyong-konyong ia berteriak, tubuhnya mencelat ke atas terus menubruk ke arah Lenghou Tiong.
Sejak tadi Tho-kok-ngo-sian sudah berjaga-jaga, maka begitu tubuh si buntak membal ke atas, berbareng Tho-kok-si-sian lantas turun tangan secepat kilat, mereka pegang kedua tangan dan kedua kaki si buntak.
"Jangan mencelakai jiwanya!" seru Lenghou Tiong.
Namun aneh juga, biarpun kaki tangan si buntak kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, tapi anggota badannya itu malah mengkeret lebih pendek lagi sehingga badannya lebih menyerupai bola yang bulat.
Tho-kok-si-sian terheran-heran, mereka membentak bersama terus menarik. Terlihat kaki dan tangan si buntak dapat dibetot keluar, makin ditarik makin panjang, lengan dan pahanya sampai ikut mulur keluar dari tubuhnya. Sungguh mirip benar dengan seekor kura-kura yang keempat kakinya kena dibetot keluar dari kulitnya.
"Jangan mencelakai jiwanya!" kembali Lenghou Tiong berseru.
Karena itu Tho-kok-si-sian sedikit mengendurkan daya tariknya sehingga anggota badan si buntak mengkeret lagi, tubuhnya menjadi bulat pula.
Tho-sit-sian yang terbaring di atas usungnya ikut tertarik, ia berseru, "Wah, sungguh aneh dan hebat! Ilmu apakah itu?"
Waktu Tho-kok-si-sian membetot lagi, kembali tangan dan kaki si buntak kena ditarik keluar.
Melihat adegan yang lucu itu Gak Leng-sian dan murid perempuan Hoa-san-pay yang lain sama tertawa geli.
"Hei, biar kami tarik panjang kaki dan tanganmu agar kau bertambah lebih cakap," seru Tho-kin-sian.
"Ai, jangan!" teriak orang itu.
Tho-kok-si-sian melengak, tanya mereka, "Sebab apa?"
Di luar dugaan mereka, sedikit lena saja mendadak si buntak meronta sekerasnya dan memberosot keluar dari pegangan Tho-kok-si-sian. "Blang", tahu-tahu dasar perahu kena diterobos olehnya sehingga berlubang, secepat belut si buntak telah melarikan diri melalui sungai.
Di tengah jerit kaget orang banyak terlihatlah air sungai terus memancur naik melalui lubang di dasar perahu itu.
Lekas-lekas Gak Put-kun memberi perintah, "Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan lekas melompat ke daratan."
Lubang yang jebol di dasar perahu itu hampir satu meter persegi, merembesnya air sungai sangat cepat, hanya sekejap saja air di ruangan perahu itu sudah setinggi dengkul. Untung mereka sempat melompat ke daratan dengan selamat.
Juragan perahunya tampak muram durja dan bingung, Lenghou Tiong menghiburnya, "Kau tidak perlu khawatir, berapa harganya perahumu akan kuganti lipat dua."
Diam-diam Lenghou Tiong juga sangat heran, selamanya tidak kenal Coh Jian-jiu itu, tapi mengapa dia sengaja mencuri obat itu untuk diminumkan padanya dengan segala tipu dayanya" Ia coba mengerahkan tenaga, terasa di dalam perut panas seperti dibakar, tapi delapan arus hawa murni itu masih terus tumbuk sini dan terjang sana, masih tetap tak bisa bergabung.
Sementara itu Lo Tek-nau telah dapat menyewa sebuah perahu lain, semua barang bawaan mereka telah dipindah ke perahu itu.
Sebenarnya Gak Put-kun ingin lekas meninggalkan tempat yang tidak aman itu, terutama tokoh-tokoh aneh yang susul-menyusul muncul itu. Cuma hari sudah mulai gelap, sungai di daerah itu juga berliku-liku dan tidak leluasa untuk berlayar malam hari, terpaksa ia istirahat saja di dalam perahu.
Tho-kok-lak-sian juga merasa kesal, berturut-turut dua kali mereka gagal menangkap Coh Jian-jiu dan manusia bola daging itu, hal ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup mereka, walaupun mereka coba membual dan menutupi rasa malu kegagalan mereka, tapi sampai akhirnya mereka pun merasa kurang masuk di akal alasan yang mereka kemukakan. Maka sesudah minum arak sekian banyak akhirnya mereka pun tertidur.
Gak Put-kun berbaring di tempat tidurnya, tapi tak bisa pulas, pikirannya bergolak. Di tengah malam sunyi itu terdengar suara air sungai yang mendampar tepian gili-gili. Pikirnya, "Coh Jian-jiu dan manusia yang mirip bola daging itu benar-benar sangat aneh, ilmu silat mereka terang juga tidak lemah, entah mengapa mereka ikut-ikutan mencari Tiong-ji ke sini?"
Segera teringat pertentangan antara sekte Khi dan Kiam dalam Hoa-san-pay sendiri, lain saat terpikir pula cara Lenghou Tiong membutakan mata ke-15 tokoh lihai dengan ilmu pedang yang sakti dan aneh tempo hari itu.
Sampai lama sekali pikirannya terus bergolak. Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang berjalan dari jauh dan semakin mendekat. Indra pendengaran Gak Put-kun sangat peka, begitu didengarkan lebih cermat, tahulah dia bahwa ada dua orang yang memiliki Ginkang tinggi sedang mendatang.
Segera ia bangkit duduk, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah jendela, di bawah sinar bulan terlihatlah dua sosok bayangan orang sedang mendatang dengan kecepatan luar biasa. Sekonyong-konyong seorang di antaranya mengangkat tangannya memberi tanda, kedua orang lantas berhenti kira-kira beberapa meter jauhnya dari perahu.
Gak Put-kun tahu jika kedua orang itu berbicara tentu juga dilakukan dengan bisik-bisik. Segera ia menarik napas dalam-dalam, ia mengerahkan "Ci-he-sin-kang". Begitu ilmu sakti Ci-he-sin-kang dikerahkan, bukan saja setiap detik dapat digunakan untuk membela diri bilamana mendadak diserang, bahkan pancaindranya seketika juga bertambah lebih tajam.
Maka terdengarlah seorang di antaranya sedang berkata dengan suara perlahan, "Pasti perahu ini. Di tiang layar sudah terpancang sebuah bendera kecil, rasanya takkan salah."
"Baiklah, Suko, marilah kita lekas pulang memberi lapor kepada Supek," kata kawannya.
"Aneh, entah mengapa "Tok-seng-bun" kita sampai mengikat permusuhan dengan Hoa-san-pay sehingga Supek perlu mengerahkan segenap tenaga hendak mencegat mereka secara besar-besaran?" demikian kata orang pertama tadi.
Mendengar nama "Tok-seng-bun", Gak Put-kun terkejut. Dan karena sedikit lengah saja kekuatan Ci-he-sin-kang lantas menyurut sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak terdengar. Waktu ia mengerahkan ilmu sakti pula, yang terdengar adalah suara tindakan orang, nyata kedua orang tadi sudah pergi.
Sudah lama Gak Put-kun mendengar nama Tok-seng-bun sebagai suatu aliran tersendiri di daerah perairan Oulam. Ilmu silat anak murid Tok-seng-bun tidak dapat dikatakan tinggi, tapi mahir memakai racun sehingga orang sukar menjaga diri. Sering orang terbunuh oleh mereka tanpa mengetahui siapa pembunuhnya.
Ciangbunjin (ketua) Tok-seng-bun diketahui she Cu bernama Put-hoan dan punya julukan yang sangat aneh, yaitu "Tok-put-su-jin" (tak bisa meracun orang sampai mati). Konon julukan itu diberikan orang lantaran kepandaian Cu Put-hoan dalam hal menggunakan racun sudah terlalu hebat dan tiada bandingannya. Kalau meracuni orang hingga mati adalah soal mudah, setiap orang juga mampu melakukannya, maka tidak mengherankan, tapi cara Cu Put-hoan justru berbeda daripada orang lain.
Sesudah dia memberikan racun, yang kena racun takkan binasa seketika, hanya pada tubuh terasa seperti disayat-sayat oleh senjata tajam atau seperti digigit-gigit oleh semut atau serangga lain, pendek kata rasanya sangat menderita, bagi si penderita akan merasa lebih baik mati daripada hidup tersiksa, tapi untuk mati justru sukar. Jadi mau tak mau harus pasrah nasib kepada Cu Put-hoan dan tiada pilihan lain.
Sebab itulah Gak Put-kun merasa ngeri demi mendengar nama Tok-seng-bun disebut. Pikirnya, "Mengapa Tok-seng-bun bisa memusuhi Hoa-san-pay kami" Apalagi katanya Supek mereka sengaja mengerahkan segenap tenaganya untuk mencegat perahu ini, sebenarnya apakah sebabnya?"
Sesudah dipikir ia menarik kesimpulan hanya ada dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh Hong Put-peng dan kawan-kawannya untuk mencari perkara pada dirinya. Kedua, mungkin di antara ke-15 orang yang dibutakan oleh Lenghou Tiong itu terdapat anak murid Tok-seng-bun.
Sedang Gak Put-kun menimbang-nimbang tak menentu, tiba-tiba didengarnya pula di daratan sana ada suara seorang perempuan sedang berkata dengan suara tertahan, "Sesungguhnya di rumahmu apakah terdapat Pi-sia-kiam-boh?"
Segera Put-kun mengenali suara itu adalah suara putrinya sendiri. Maka tanpa mendengarkan suara orang kedua juga dia dapat menduga tentu orang itu adalah Lim Peng-ci. Entah sejak kapan kedua muda-mudi itu telah berada di tepi dermaga.
Diam-diam Put-kun dapat memahami perasaan kedua muda-mudi itu, ia tahu hubungan putrinya dengan Peng-ci makin hari makin erat, pada siang hari mereka tidak berani bergaul terlalu mencolok karena khawatir ditertawai orang lain, sebab itulah mereka sengaja mengadakan pertemuan di tengah malam sunyi.
Orang persilatan seperti mereka mestinya tidak terlalu terikat oleh adat kuno, pergaulan muda-mudi yang sedang pacaran dengan sendirinya lebih bebas daripada orang biasa. Cuma Gak Put-kun sendiri berjuluk "Kun-cu-kiam", selamanya terkenal sopan dan tertib, jika putrinya sekarang ternyata berbuat sesuatu yang melampaui garis kesusilaan dengan Peng-ci, bukankah akan ditertawai oleh kawan Bu-lim"
Coba kalau malam ini Put-kun tidak mengerahkan ilmu sakti Ci-he-sin-kang untuk mengikuti gerak-gerik kedatangan musuh, tentu ia tidak tahu rahasia putrinya yang sedang "ada main" dengan Lim Peng-ci.
Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berkata, "Keluargaku memang punya Pi-sia-kiam-hoat, aku pun sudah sering perlihatkan padamu permainan ilmu pedang itu, tapi tentang Kiam-boh apa segala sesungguhnya tidak ada."
"Jika begitu mengapa Gwakong dan kedua pamanmu mencurigai Toasuko, katanya Toasuko telah mengangkangi Kiam-bohmu?" tanya Leng-sian.
"Mereka yang curiga, aku sendiri kan tidak mencurigai Toasuko," kata Peng-ci.
"O, baik juga kau ini, biar orang lain yang curiga, sebaliknya kau sendiri tidak menaruh curiga sedikit pun."
Peng-ci menghela napas, katanya, "Jika keluargaku benar-benar memiliki Kiam-boh yang hebat itu, tentu Hok-wi-piaukiok kami tidak sampai hancur dan keluargaku berantakan atas perbuatan Jing-sia-pay itu."
"Ucapanmu pun masuk di akal," ujar Leng-sian. "Jika demikian, mengapa kau tidak membela Toasuko atas kecurigaan Gwakongmu dan paman-pamanmu itu kepada Toasuko."
"Sebenarnya ucapan apa yang ditinggalkan ayah dan ibu, karena aku tidak mendengar dengan telinga sendiri, hendak membelanya juga sukar," kata Peng-ci.
"Jadi di dalam hatimu betapa pun kau merasa curiga juga bukan?" kata Leng-sian.
"Ah, jangan sekali-kali berkata demikian, kalau diketahui Toasuko bukankah akan memburukkan hubungan baik sesama saudara seperguruannya?" ujar Peng-ci.
"Hm, bisa saja kau pura-pura?" jengek Leng-sian. "Kalau curiga ya curiga, kalau tidak ya tidak. Bila aku menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Toasuko secara blakblakan."
Setelah merandek sejenak lalu katanya pula, "Watakmu ternyata sangat mirip dengan ayah. Kedua orang sama-sama menaruh curiga terhadap Toasuko dan menduga dia telah menggelapkan Kiam-bohmu itu ...."
"Suhu juga menaruh curiga?" Peng-ci memotong.
Leng-sian tertawa, katanya, "Jika kau sendiri tidak curiga mengapa kau pakai istilah "juga?" Aku bilang watakmu serupa dengan ayah, ada apa-apa hanya disimpan dalam batin, tapi di mulut sama sekali tidak menyinggungnya."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari dalam sebuah perahu di samping perahu yang ditumpangi rombongan Hoa-san-pay itu berkumandang suara bentakan orang, "Binatang kecil yang tidak tahu malu, berani sembarangan menuduh di belakang orang. Lenghou Tiong adalah seorang kesatria sejati, masakah kalian berani memfitnahnya?"
Suaranya berkumandang dari dalam perahu yang jaraknya beberapa puluh meter jauhnya, bukan saja membikin terkejut para penumpang perahu yang lain sehingga terjaga bangun, sampai-sampai burung yang bersarang di pepohonan sekitar situ juga sama kaget dan bergemeresik riuh ramai.
Habis itu, dari atas perahu itu mendadak melesat sesosok bayangan raksasa terus menubruk ke tempat Peng-ci dan Leng-sian dengan amat cepat. Di bawah cahaya bulan tampaknya seperti seekor burung raksasa yang mendadak menyambar ke bawah.
Keruan Peng-ci dan Leng-sian terkejut. Waktu keluar mereka tidak membawa senjata, terpaksa mereka pasang kuda-kuda dan siap melawan.
Ketika mendengar suara bentakan orang, Gak Put-kun sudah lantas tahu Lwekang orang sangat tinggi dan pasti tidak di bawahnya. Sekarang melihat loncatan dan tubrukannya itu, jelas Gwakangnya juga amat lihai, keruan ia menjadi gugup melihat putrinya terancam bahaya, cepat ia berteriak, "Tahan dulu!"
Segera ia pun meloncat ke tepi dermaga dengan menjebol jendela.
Tapi baru saja tubuhnya terapung di udara, dilihatnya tangan raksasa tadi sudah berhasil mencengkeram Peng-ci dan Leng-sian terus dibawa lari ke depan sana.
Sungguh kejut Gak Put-kun tak terkatakan, begitu kaki menginjak tanah segera ia kerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Pedang yang sudah siap lantas menusuk punggung orang itu dengan jurus "Pek-hong-koan-jit" (pelangi putih menembus sinar matahari).
Karena perawakan orang itu sangat tinggi besar, dengan sendirinya langkahnya juga lebar, cukup ia melangkah satu tindak ke depan dan tusukan Gak Put-kun lantas mengenai tempat kosong.
Waktu Put-kun meloncat maju dan menusuk pula, tapi lagi-lagi raksasa itu melangkah lebar ke depan sehingga serangannya kembali luput.
Walaupun sangat terkejut dan cemas, tapi Put-kun dapat melihat setelah raksasa itu memegang Peng-ci dan Leng-sian, karena beban yang cukup berat itu, biarpun memiliki tenaga sakti juga tidak dapat berlari cepat dengan menggunakan Ginkang. Yang diandalkan hanya kakinya yang panjang dan langkah yang lebar, kalau diburu terus akhirnya pasti dapat menyusulnya.
Maka sekuatnya Put-kun menarik napas dalam-dalam, ia mengejar terlebih cepat. Benar juga, segera jaraknya dengan raksasa itu jadi lebih dekat. Diam-diam ia berpikir, "Jika tidak kau lepaskan Peng-ci dan Sian-ji, tusukanku ini pasti akan menembus tubuhmu!"
Mendadak ia bersuit nyaring dan berteriak, "Awas!"
Serangannya selalu dilakukan dengan terang-terangan, selama hidup dia tak sudi menyerang secara pengecut, sebab itulah orang memberikan julukan "Kun-cu-kiam" padanya. Maka sebelum dia menusuk dengan jurus "Jing-hong-san-song" (angin meniup semilir), lebih dulu ia memperingatkan lawannya agar awas dan siap.
Tak tersangka raksasa itu seakan-akan tidak mendengar dan tak menggubris padanya. Tampaknya ujung pedang hanya tinggal belasan senti saja dari sasarannya, pada saat itu juga tiba-tiba angin berkesiur, dua jari orang menyambar ke arah matanya. Keruan Put-kun terkejut.
Tempat itu adalah ujung jalan yang penuh rumah penduduk di kanan-kiri, cahaya rembulan teraling oleh rumah-rumah itu. Namun reaksi Gak Put-kun cepat luar biasa, begitu mengetahui ada musuh lain bersembunyi di situ dan menyergapnya, cepat ia mendak tubuh, sebelum melihat jelas siapa lawannya kontan ia balas menusuk dengan pedang.
Musuh itu menggeser samping terus mendesak maju lagi, jari kembali menyambar tiba hendak menutuk "Tiong-wan-hoat" di perut Gak Put-kun.
Tanpa ayal lagi Put-kun menendang, terpaksa orang itu berputar ke sebelah lain dan kembali menyerang punggungnya.
Tanpa balik tubuh segera pedang Gak Put-kun menebas ke belakang dengan cepat lagi jitu. Tapi orang itu kembali dapat menghindarkan diri, menyusul ia menubruk maju lagi hendak mengincar tenggorokan Gak Put-kun.
Diam-diam Put-kun merasa gusar. Pikirnya, "Kurang ajar benar orang ini, berani dia lawan pedangku dengan tangan kosong, bahkan terus-menerus melancarkan serangan. Jika malam ini aku kecundang lagi, lalu apakah masih ada muka bagiku untuk berkecimpung di dunia persilatan?"
Segera ia kumpulkan semangat, setiap jurus dan setiap gerakan dilakukannya dengan sangat prihatin, belasan jurus kemudian, sayup-sayup timbul suara mendengung. Nyata ia telah salurkan Lwekang ke dalam setiap jurus serangan pedangnya.
Mendadak orang itu menyerang tiga kali sehingga Put-kun terdesak mundur, cepat orang itu melompat mundur sambil berseru, "Sampai bertemu pula kelak!"
Segera ia putar tubuh terus hendak tinggal pergi.
"Tunggu, ingin kuminta penjelasan dahulu," bentak Gak Put-kun dan pedang terus menebas musuh.
Tapi orang itu menundukkan kepala untuk menghindar. Tidak tersangka serangan Gak Put-kun ini hanya pancingan belaka, pedang hanya menebas sampai setengah jalan lantas diputar balik dan berubah menusuk dada orang dengan cepat.
Akan tetapi orang itu menggeser ke samping menyusul ia terus mendesak maju, kedua tangan mengincar perut Gak Put-kun.
Dalam keadaan demikian terpaksa Gak Put-kun harus membela diri lebih dulu, pedang berputar terus menusuk mata musuh pula. Namun orang itu pun sangat gesit, jari menyelentik pedang dan baru saja tangan lain hendak meneruskan serangannya tadi, mendadak Gak Put-kun sedikit miringkan pedangnya, dari menusuk berubah menjadi menebas.
"Cret", kopiah orang itu kena ditebas jatuh sehingga kelihatan kepalanya yang gundul. Kiranya orang itu adalah Hwesio.
Begitu Hwesio itu menggenjot kedua kakinya, dengan cepat luar biasa tubuhnya lantas melayang ke belakang.
Karena pedang kena diselentik tadi, Put-kun merasa tangannya linu kesemutan. Ketika ia hendak mengejar, mendadak jari tangan terasa kaku, hampir saja pedang terlepas dari cekalan, cepat ia pegang dengan tangan yang lain. Di bawah sinar bulan tertampaklah kelima jari tangan kanan itu sama bengkak, keruan kejutnya tak terkatakan.
Dan sedikit merandek itulah Gak-hujin pun sudah menyusul tiba dengan senjata terhunus. "Bagaimana anak Sian?" tanya kepada sang suami.
"Ke sana! Mari kejar!" sahut Put-kun sambil menuding ke depan dengan ujung pedang.
Suami istri lantas mengudak ke jurusan lari si raksasa tadi. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu persimpangan jalan, mereka menjadi bingung entah musuh lari ke arah mana. Tentu saja yang paling gelisah adalah Gak-hujin.
"Orang yang menculik anak Sian itu adalah kawan Tiong-ji, rasanya mereka takkan membikin susah padanya," demikian Put-kun berusaha menghibur sang istri. "Marilah kita pulang menanyai Tiong-ji dan tentu akan tahu perkaranya."
"Benar, menurut orang itu tadi, katanya anak Sian dan Peng-ci sembarangan memfitnah Tiong-ji, entah apa alasannya?"
"Tentu saja ada sangkut pautnya dengan Pi-sia-kiam-boh itu," kata Put-kun.
Waktu mereka pulang kembali ke perahu, terlihat Lenghou Tiong dan para murid sedang menunggu di tepi dermaga dengan rasa khawatir dan cemas.
Sesudah masuk ke dalam ruangan perahu, baru saja Gak Put-kun hendak panggil menghadap Lenghou Tiong, tiba-tiba terlihat di atas meja ada secarik kertas putih yang ditindih dengan tatakan lilin, kertas itu ada tulisan yang berbunyi, "Di Ngo-pah-kang putrimu akan dikembalikan, Ci-he-sin-kang ternyata sekian saja kesaktiannya."
Tulisan itu tampaknya digores hanya dengan arang sumbu lilin saja. Put-kun meremas kertas itu dan dimasukkan ke dalam saku. Kemudian ia tanya tukang perahu di mana letak Ngo-pah-kang itu, terletak di perbatasan antara Holam dan Soatang, kalau perahu berangkat besok pagi-pagi, pada petang harinya bisa sampai di sana.
Diam-diam Put-kun berpikir, "Lawan menantang aku untuk bertemu di Ngo-pah-kang, pertemuan ini mau tak mau harus dilakukan, tapi rasanya sudah pasti akan mengalami kekalahan dan tipis harapan untuk menang."
Selagi ragu-ragu, tiba-tiba terdengar pula suara teriakan orang di daratan sana, "Keparat, di mana beradanya Tho-kok-lak-kui (enam setan dari Tho-kok) itu" Inilah aku malaikat Ciong Siu (nama dewa penangkap setan) datang hendak menangkap setan-setan itu!"
Mendengar itu, tentu saja Tho-kok-lak-sian sangat gusar. Kecuali Tho-sit-sian yang tak bisa berkutik, kelima orang berbareng lantas melompat ke gili-gili. Cepat Put-kun dan lain-lain juga keluar ke tepi perahu untuk melihat.
Ternyata orang yang berteriak tadi memakai kopiah tinggi lancip, tangan membawa sehelai bendera putih yang berkibar-kibar, pada bendera itu jelas tertulis, "Khusus menangkap Tho-kok-lak-kui bernyali sekecil tikus, aku berani bertaruh untuk menangkap Tho-kok-lak-kui."
Tho-kin-sian berlima berjingkrak murka, secepat terbang mereka lantas mengejar. Ginkang orang berkopiah lancip itu pun sangat hebat, hanya sekejap saja sudah di kejauhan sana.
"Sumoay," kata Put-kun, "agaknya inilah tipu "memancing harimau meninggalkan gunung", kita harus waspada, marilah masuk saja ke dalam."
Tapi baru saja Lo Tek-nau dan lain-lain hendak naik ke atas perahu, sekonyong-konyong dari samping sana satu gulungan bayangan manusia telah menggelinding tiba. Sekali pegang dada Lenghou Tiong, orang itu lantas berteriak, "Ikut pergi padaku!"
Kiranya bukan lain daripada si buntak yang mirip bola daging itu. Sekali kena dicengkeram, sama sekali Lenghou Tiong tak mampu meronta, terpaksa ia membiarkan dirinya diseret pergi.
Tapi baru saja bola daging itu hendak lari, mendadak dari pojok rumah sana menerjang luar pula seorang terus menendang si buntak. Kiranya penyerang ini adalah Tho-ki-sian.
Ilmu silat Tho-ki-sian sangat tinggi, tetapi nyalinya sangat kecil. Ketika melihat tulisan pada bendera putih yang dibawa orang berkopiah lancip tadi, ia menjadi jeri dan tidak berani ikut mengejar bersama saudara-saudaranya, ia sembunyi di pojok rumah sana. Baru kemudian waktu melihat si buntak membawa lari Lenghou Tiong, terpaksa ia muncul untuk menolongnya.
Melihat Tho-ki-sian menubruk tiba, cepat manusia bola daging itu melepaskan Lenghou Tiong, sekali lompat ia lantas mendekati Tho-sit-sian yang terbaring itu, sebelah kaki terangkat dengan gerakan hendak menginjak dada Tho-sit-sian.
Keruan Tho-ki-sian terkejut, teriaknya, "Jangan mencelakai saudaraku!"
"Locu ingin mampuskan dia, peduli apa denganmu?" seru si buntak.
Tapi secepat terbang Tho-ki-sian telah memburu maju, tanpa ayal lagi ia terus rangkul Tho-sit-sian dan diangkat bersama usungannya.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesungguhnya si buntak tidak sengaja hendak menyerang Tho-sit-sian, tujuannya hanya untuk memancing Tho-ki-sian saja. Maka dengan cepat ia melompat balik, sekali cengkeram kembali ia bekuk Lenghou Tiong terus dipanggul dan segera dibawa lari pergi.
Diam-diam Tho-ki-sian berpikir, "Wah, celaka. Peng-tayhu menyuruh kami menjaga Lenghou Tiong ini, sekarang dia diculik orang, kelak cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan?"
Tapi ia tidak tega meninggalkan Tho-sit-sian yang belum sembuh itu, terpaksa ia pun angkat Tho-sit-sian lalu mengejar ke arah si buntak.
Gak Put-kun memberi isyarat kepada sang istri, katanya, "Kau jaga para murid, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya."
Gak-hujin mengangguk. Mereka sama-sama tahu bahwa di sekeliling mereka sekarang penuh musuh tangguh, kalau mereka suami-istri pergi semua mungkin seluruh anak muridnya akan disergap musuh.
Dalam hal Ginkang boleh dikata si buntak dan Tho-ki-sian adalah sama tingginya, tapi kedua orang sama-sama membawa beban seorang sehingga kecepatan lari mereka tidak secepat dalam keadaan bertangan kosong. Maka dengan Ginkang Gak Put-kun yang cukup tinggi, lambat laun ia pun sudah dapat menyusulnya. Didengarnya sepanjang jalan Tho-ki-sian terus berkaok-kaok menyuruh si buntak melepaskan Lenghou Tiong, kalau tidak tentu dia akan mengudak terus biar sampai ujung langit sekalipun.
Bab 52. Hong-ho-lo-coh, Dua Tokoh Aneh Sungai Kuning
Meskipun tubuh Tho-sit-sian tak bisa berkutik, tapi mulutnya tetap tidak mau menganggur, terus-menerus ia berdebat dengan Tho-ki-sian, katanya, "Toako dan lain-lain tidak ada di sini, biarpun kau dapat menyusul si buntak juga tak bisa mengapa-apakan dia. Jika tak mampu mengapa-apakan dia, kau bilang akan mengudak dia sampai ke mana pun kan hanya gertak sambal belaka?"
"Walaupun cuma gertak sambal juga ada faedahnya untuk menggertak musuh daripada tidak berbuat apa-apa," ujar Tho-ki-sian.
Ginkang Tho-ki-sian benar-benar hebat, tenaga dalamnya juga sangat kuat, biarpun membawa beban satu orang sambil mulut mencerocos, tapi kecepatan larinya tak pernah kendur.
Diam-diam Gak Put-kun terperanjat. Ia tidak tahu dari golongan manakah kepandaian keenam manusia kosen itu" Untung mereka suka angin-anginan, tingkah lakunya rada dogol, kalau tidak tentu akan merupakan musuh yang sukar dilayani.
Begitulah tiga orang itu kejar-mengejar dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, nyata mereka sedang mendaki jalan pegunungan.
Mendadak Gak Put-kun teringat, "Jangan-jangan si buntak itu menyembunyikan bala bantuan lihai di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku" Jika demikian sungguh teramat bahaya jika aku masuk perangkapnya."
Selagi ia merandek untuk memikir, tertampak si buntak yang membawa lari Lenghou Tiong itu telah menuju ke suatu rumah genting di lereng gunung sana, sesudah dekat ia terus melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.
Kelihatan Tho-ki-sian yang memondong Tho-sit-sian itu juga lantas melompati pagar tembok. Tapi mendadak terdengar suara jeritannya, nyata dia telah masuk perangkap yang terpasang di balik pagar tembok.
Gak Put-kun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu, tapi ia lantas berhenti dan pasang kuping. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, "Sudah lama kukatakan padamu agar hati-hati, coba sekarang kau kena diringkus orang di dalam jaring sehingga mirip seekor ikan, sungguh sialan."
"Pertama, bukan seekor, tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?" demikian sahut Tho-ki-sian.
"Eh, dahulu waktu kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga orang yang pohonnya berada di halaman rumah, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati" Masakah kau sudah lupa?"
"Itu kan dahulu, kejadian 40 tahun yang lalu ada sangkut paut apa dengan kejadian sekarang ini?" sahut Tho-ki-sian.
"Sudah tentu ada sangkut pautnya," Tho-sit-sian. "Karena dahulu kau kurang hati-hati sehingga terperosot jatuh dan ditangkap orang dan dihajar. Untung Toako, Jiko dan lain-lain keburu datang menolong dan membunuh habis keluarga orang itu. Sekarang kau kurang hati-hati lagi dan kembali tertangkap pula."
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 3 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama