Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 3

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 3


Setelah merenung sejenak, akhirnya Peng-ci keluar lagi dengan membawa pelita minyak, dilihatnya jenazah suami istri pemilik warung itu masih menggeletak di situ.
Mendadak angin dingin berkesiur, pelita minyak itu lantas padam. Berada di tengah-tengah mayat dalam keadaan gelap gulita, mau tak mau Peng-ci sampai mengirik, kaki pun terasa lemas.
Dengan langkah setengah diseret Peng-ci kembali ke dapur untuk menyalakan pelita pula. Lalu mayat pemilik warung itu diseretnya ke sana untuk dilucuti pakaiannya. Coba kalau hari-hari biasa, jangankan memegang mayat, baru melihat saja tentu dia sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi sekarang demi untuk menolong ayah-bundanya, biarpun pekerjaan yang sukar bagaimanapun juga dilakukannya.
Setelah menanggalkan pakaian orang mati, mendadak ia pencet hidungnya sendiri, baunya jangan ditanya lagi. Mestinya ia ingin mencuci bersih dahulu pakaian itu, tapi tentu akan makan tempo lama sehingga kehilangan kesempatan untuk menolong ayah-ibunya, bila demikian tentu dirinya akan menyesal untuk selama hidup.
Dengan nekat ia lantas membuka bajunya sendiri hingga bersih, lalu memakai baju bekas orang mati dengan menahan napas karena baunya. Untunglah pakaian itu cukup pas baginya. Kemudian ia bungkus mayat telanjang bulat itu dengan pakaiannya sendiri tadi, bersama mayat wanita lantas dimasukkan ke dalam liang, lalu diuruknya dengan tanah. Pikirnya, "Belatiku sudah dibawa pergi nona itu, aku harus mencari suatu senjata lagi."
Ia coba memeriksa sekitarnya, tertampak pedangnya sendiri dan pedang ayahnya serta golok ibunya, semuanya sudah patah menjadi dua dan terlempar di atas tanah. Tanpa pikir ia jemput pedang patah ayahnya itu dan dibungkus dengan sepotong kain kotor, lalu diselipkannya di pinggang.
Ketika melangkah keluar warung nasi itu, terasalah kesunyian yang demikian memilukan, hampir-hampir ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Sekuatnya ia lemparkan pelita itu, "plung", pelita itu jatuh ke dalam kolam dan padam seketika, sekelilingnya kembali gelap gulita lagi.
"Lim Peng-ci, wahai Lim Peng-ci! Jika kau kurang waspada dan tidak sabaran sehingga jatuh ke dalam cengkeraman bangsat-bangsat Jing-sia-pay lagi, maka nasibmu akan serupa dengan pelita yang kecemplung ke dalam kolam itu," demikian ia memperingatkan dirinya sendiri.
Tanpa merasa ia angkat lengan baju untuk mengucek-ngucek mata, tapi mendadak ia menyengir dan hampir-hampir muntah-muntah, kiranya terciumlah bau lengan baju yang bacin itu. "Wahai Lim Peng-ci, jika cuma bau busuk begini saja kau tidak tahan, percumalah kau menjadi manusia, apa lagi hendak menolong ayah-ibumu?" demikian ia berteriak sendiri. Segera ia angkat kaki menuju ke depan.
Tidak berapa jauhnya, ubun-ubun kepalanya terasa kesakitan lagi. Ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya sehingga jalannya menjadi tambah cepat malah.
Ia terus berjalan tanpa kenal arah di lingkungan jalan pegunungan yang naik turun itu. Sampai fajar menyingsing, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang. Seketika hati Peng-ci terkesiap. "Kedua bangsat itu hendak menggiring ayah-ibuku ke Jing-sia-san yang terletak di Sucwan. Padahal Sucwan terletak di daerah barat, mengapa aku malah menuju ke arah timur?"
Maka cepat ia putar tubuh dan ganti haluan dengan berjalan membelakangi sinar matahari. Pikirnya, "Ayah-ibu sudah digiring pergi setengah malaman, aku telah berjalan salah arah pula, jarak dengan mereka menjadi semakin jauh. Aku harus membeli seekor kuda saja, entah berapa harganya?"
Tapi ia lantas mengeluh ketika merogoh saku. Kiranya keberangkatannya kali ini seluruh barang bekalnya tertaruh di kantong kulit yang digantungkan di samping pelana kuda. Maka keadaannya sekarang benar-benar bokek, tidak punya barang sepeser pun. Ini namanya sudah sial tertimpa malang lagi, "Wah, bagaimana ini, bagaimana baiknya ini?" demikian ia menjadi bingung.
Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia pikir paling penting harus menolong ayah bundanya dahulu, masakah dirinya khawatir mati kelaparan" Maka dengan langkah lebar segera ia meneruskan perjalanan ke depan dan menuruni bukit.
Menjelang tengah hari, saking laparnya perutnya mulai berkeruyukan. Tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada belasan pohon lengkeng dengan buahnya yang besar, walaupun belum masak, tapi sudah cukup sekadar buat tangsel perut.
Segera ia menuju ke bawah pohon, tangan terangkat ke atas hendak memetik buah lengkeng itu. Tapi baru saja jarinya menyentuh buah yang bundar-bundar itu, sekilas teringat olehnya, "Hok-wi-piaukiok kami adalah keluarga yang terhormat, buah lengkeng ini ada yang punya, jika aku mengambilnya tanpa permisi, ini berarti aku telah mencuri. Turun-temurun keluarga Lim melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang, selama itu selalu menjadi lawan kaum penjahat, sekarang aku sendiri mana boleh melakukan perbuatan mencuri" Jika perbuatanku kepergok orang, lalu aku dimaki sebagai pencuri di depan ayah, lantas ke mana ayah akan menyembunyikan mukanya" Hok-wi-piaukiok tidak sukar untuk dibangun kembali, tapi sekali anggota keluarga Lim menjadi pencuri, maka merek Hok-wi-piaukiok pasti susah dipasang lagi."
Sejak kecil Peng-ci telah mendapat didikan dan petuah-petuah, ia tahu kawanan perampok asalnya adalah pencuri kecil, pencuri itu mula-mula cuma menggerayangi benda-benda kecil yang tak begitu berharga, akan tetapi dari sedikit kemudian menjadi banyak, dari kecil kemudian menjadi besar dan akhirnya lantas menjadi biasa. Kalau kaki sudah kejeblos ke dalam lumpur, maka sukarlah ditarik keluar.
Teringat demikian, tanpa merasa keluarlah keringat dinginnya. Segera ia menetapkan tekad, "Pada suatu hari akhirnya aku dan ayah pasti akan menegakkan kembali nama baik Hok-wi-piaukiok. Seorang laki-laki sejati harus berpijak pada tempat yang betul, aku lebih baik menjadi pengemis daripada menjadi pencuri."
Begitulah ia segera meneruskan perjalanan dengan langkah lebar dan tidak mau mengincar sekejap pun pada buah lengkeng di tepi jalan itu.
Setelah beberapa li lagi, sampailah dia di suatu desa kecil. Ia coba mendatangi rumah seorang petani, dengan rasa kikuk ia ingin minta sedikit makanan. Padahal selama hidupnya dia sudah biasa dilayani, segala apa serbakecukupan, belum pernah dia minta-minta kepada orang lain. Sebab itulah baru saja bicara beberapa kata, belum-belum mukanya sudah merah jengah.
Dasar perempuan desa itu baru saja bertengkar dengan suaminya, habis dihajar oleh suaminya, memangnya rasa dongkolnya belum terlampiaskan, sekarang datang Lim Peng-ci hendak mengemis, kontan saja ia menyambutnya dengan dampratan habis-habisan, dia sambar sebatang sapu dan membentak, "Kau maling kecil ini, tentu kau yang telah mencuri ayamku yang baru saja hilang itu, sekarang kau datang hendak menggerayangi lagi. Biarpun aku ada nasi sisa juga tidak memberi sedekah kepada maling kecil seperti kau. Kau mencuri ayamku, akibatnya lakiku keparat itu marah-marah dan menggebuki aku sampai babak belur dan matang biru sekujur badanku ...."
Setiap kali perempuan desa itu memaki satu kalimat, kakinya juga lantas mendesak maju, sebaliknya Peng-ci lantas mundur satu langkah. Semakin memaki perempuan itu semakin bersemangat, sampai akhirnya mendadak dia mengangkat sapu terus hantam ke muka Peng-ci.
Peng-ci menjadi gusar, sambil mengegos sebelah tangannya lantas balas memukul. Tapi mendadak terpikir olehnya, "Aku mengemis dan tidak diberi, sebaliknya aku lantas menyerang perempuan desa yang bodoh ini, bukankah terlalu menertawakan?"
Karena itu, sekuatnya ia lantas menarik kembali pukulannya itu.
Tak tersangka dia terlalu nafsu mengeluarkan tenaga, untuk menarik kembali tangannya menjadi rada kagok, apalagi kepalanya masih cekot-cekot, gerak-geriknya kurang gesit, sedikit terhuyung, sekonyong-konyong sebelah kakinya menginjak di atas setumpuk tahi kerbau dan terpeleset, "syurrr ... bluk", ia jatuh terjengkang. Sudah begitu sapu si perempuan desa tidak urung sempat mampir juga di atas mukanya.
Melihat kelakuan Peng-ci yang lucu itu, perempuan desa itu mengakak geli. Dampratnya pula, "Maling busuk, berdiri saja tidak kuat, ingin memukul nyonya besarmu. Huh!"
Habis itu kembali ia angkat sapu terus memukul lagi dan mengusruk-usrukkan ujung sapu itu di muka Peng-ci. Ia tambahi lagi dengan meludahi pemuda itu, kemudian barulah dia balik ke dalam rumah.
Alangkah gusar dan penasaran Peng-ci mengalami hinaan demikian, ditambah lagi ruas tulang seluruh tubuhnya sakit tidak kepalang. Maklumlah bagian "Pek-hwe-hiat" di ubun-ubun kepalanya ditendang oleh Pui Jin-ti, kalau tidak mati saja sudah mujur baginya, ditambah lagi entah berapa lamanya dia dikubur hidup-hidup di dalam liang, memangnya keadaannya sudah sekarat, sebabnya dia dapat merangkak keluar liang kubur hanyalah berkat tekad baktinya yang ingin menolong ayah-ibunya. Sekarang dia terbanting jatuh lagi, maka terasalah badannya yang payah itu dan sukar merangkak bangun lagi.
Beberapa kali ia bermaksud merangkak bangun, tapi saking laparnya tenaga pun tak ada, setiap kali baru saja setengah tubuh terangkat, segera jatuh lagi sehingga muka dan tangan berlumuran kotoran kerbau.
Selagi Peng-ci berkutetan hendak bangkit, tahu-tahu si perempuan tani tadi telah keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas, agaknya baru saja diambil dari dalam kuali.
"Ini makanlah, setan!" omel perempuan tani itu dengan tertawa sambil menyerahkan jagung-jagung rebus ke dalam tangan Peng-ci. "Kau dikaruniai dengan muka yang tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuan orang. Tapi kau justru tidak berkelakuan baik, suka makan malas kerja. Huh, apa gunanya"!"
Peng-ci menjadi gusar, segera ia hendak membanting jagung-jagung rebus yang diterimanya itu.
Tapi si perempuan tani lantas berseru dengan tertawa, "Baik, boleh kau banting saja, lekas buang semua! Jika kau tidak takut mati kelaparan, hayolah lekas banting semua jagung itu, biar kau maling cilik ini mati kelaparan!"
Diam-diam Peng-ci membatin, "Kalau tidak tahan soal kecil, tentu akan bikin runyam urusan besar. Asal aku dapat menyelamatkan ayah dan ibu serta membangun kembali Hok-wi-piaukiok, apa sih halangannya jika cuma dihina oleh seorang wanita desa saja?"
Karena itu ia lantas mengucapkan terima kasih, lalu jagung-jagung rebus itu digerogotinya.
"Hm, aku sudah menduga kau takkan membuangnya," jengek perempuan tani itu dengan tertawa. Lalu ia putar balik ke dalam rumah pula sambil menggumam sendiri, "Setan cilik ini kelihatan sangat kelaparan, tampaknya ayamku itu bukan dicuri olehnya."
Karena laparnya, dengan cepat sekali Peng-ci sudah menghabiskan empat batang jagung rebus itu, sebutir pun tidak ketinggalan dilalap olehnya. Maka terasalah sudah setengah kenyang, semangatnya lantas terbangkit. Segera ia merangkak bangun dan meneruskan perjalanan ke arah barat. Sepanjang jalan ia hidup dengan mengemis, terkadang juga menangsel perut dengan buah-buahan bilamana berada di tengah jalan pegunungan yang sunyi.
Untunglah tahun ini provinsi Hokkian lagi makmur, panen berlimpah-limpah, rakyat ada kelebihan bahan makanan. Walaupun Peng-ci telah poles mukanya sehingga kotor, tapi tutur katanya cukup sopan dan menyenangkan orang, maka untuk mengemis makan saja tidak sampai mengalami kesukaran.
Sepanjang jalan ia pun mencari berita tentang ayah-bundanya, tapi tiada mendapatkan sesuatu kabar apa-apa. Beberapa hari kemudian sampailah dia di wilayah provinsi Kangsay. Setelah tanya jelas arahnya, langsung Peng-ci menuju ke kota Lamjiang. Ia pikir di kota itu ada kantor cabang Hok-wi-piaukiok, di sana tentu akan bisa diperoleh berita tentang ayah-ibunya, paling tidak juga dapat mengambil sedikit uang bekal dan untuk membeli kuda.
Siapa duga, setiba di kota Lamjiang, ketika dia tanya di mana letak Hok-wi-piaukiok, tiba-tiba orang yang ditanya menjawab, "Untuk apa kau tanya Hok-wi-piaukiok" Perusahaan itu sudah terbakar habis menjadi runtuhan puing, bahkan tidak sedikit tetangga di kanan-kirinya juga ikut terbakar ludes."
Diam-diam Peng-ci mengeluh. Ia coba mendatangi tempat kantor cabang itu. Benar juga puing memenuhi sepanjang jalan. Ia coba tanya anak di tepi jalan, kiranya kebakaran itu terjadi enam hari yang lalu. "Belasan orang Piaukiok ikut terbakar mati, baunya tidak keruan!" demikian anak kecil itu menambahkan.
Dihitung dari harinya, Peng-ci menduga tentulah perbuatan Pui Jin-ti dan kawan-kawannya yang telah datang lebih dahulu dengan menunggang kuda. Ia tertegun sejenak, diam-diam ia bersumpah, "Kalau sakit hari ini tidak kubalas, percumalah aku menjadi manusia."
Ia coba tanya kepada seorang tukang kereta tentang jalan menuju ke Sucwan. Kiranya kalau dari Kangsay hendak ke Sucwan dapat ditempuh dua jalan, melalui sungai Tiangkang atau dengan jalan darat yang lebih sukar ditempuh karena mesti banyak melintasi lereng bukit yang sunyi. Peng-ci pikir kalau menumpang kapal, pertama ia tidak punya bekal, pula sukar mencari jejak ayah-ibunya. Maka tanpa sangsi lagi, segera ia berjalan ke arah barat.
Suatu hari, sampailah dia di kota Tiangsah, ibukota provinsi Oulam. Di kota ini pun terdapat kantor cabang Hok-wi-piaukiok, tapi ia menduga kantor cabang itu pun pasti sudah dibakar musuh.
Tatkala itu hawa rada hangat, di undak-undakan batu di depan sebuah kelenteng di tepi jalan tertampak berduduk tiga orang pengemis dengan tubuh bagian atas telanjang, mereka sedang menjemur sambil membalik-balik baju mereka. Rupanya mereka sedang mencari kutu sambil terkadang-kadang memasukkan kutu yang diketemukan ke dalam mulut terus dikertak sehingga mengeluarkan suara.
Dengan tersenyum yang dibuat-buat, Peng-ci mendekati mereka dan bertanya, "Numpang tanya kepada ketiga Toako, apakah kalian mengetahui bilakah Hok-wi-piaukiok di sini telah terbakar?"
Rupanya ketiga pengemis itu tidak jelas terhadap logat bahasa Hokkian yang diucapkan Peng-ci itu, dengan mata melotot mereka menghardik, "Kau bilang apa?"
Terpaksa Peng-ci mengulangi lagi pertanyaannya. Maka seorang di antaranya yang lebih tua lantas berkata, "Jangan ngaco-belo segala! Jika didengar oleh tuan-tuan dari Piaukiok itu mustahil kau tidak diberi hajaran yang setimpal!"
Sungguh girang Peng-ci tidak terhingga mendengar jawaban itu, cepat ia menjawab, "Ya, ya! Entah Piaukiok itu terletak di jalan mana?"
"Itu bukan?" kata pengemis itu sambil menuding sebuah gedung yang terletak beberapa puluh meter dari situ. "Jika kau ingin minta sedekah, lebih baik ikut kami saja. Jika kau mengira akan mendapatkan apa-apa dari Piaukiok itu, hm, jangan-jangan pantatmu bisa pecah ditendang orang."
Karena mendapat tahu cabang Piaukioknya tidak berhalangan, Peng-ci tidak mau gubris lagi kepada pengemis-pengemis itu. Segera ia berjalan ke tempat Piaukiok dengan langkah lebar.
Sampai di depan kantor cabang itu, dilihatnya gedungnya walaupun tidak semegah kantor pusat di Hokciu, tapi juga cukup mentereng, kedua daun pintu besar dicat merah, kanan-kiri terdapat dua ekor singa-singaan batu yang angker. Ia coba melongok ke dalam, tapi tiada tertampak seorang pun. Ia menjadi ragu-ragu, kalau dirinya masuk begitu saja dalam keadaan tak ubahnya seperti pengemis, apakah takkan dipandang hina oleh para Piauthau di dalam kantor cabang itu"
Ketika mendadak ia mendongak, tiba-tiba tertampak papan merek yang berhuruf emas itu tidak terpasang sebagaimana mestinya, papan merek yang bertuliskan "Hok-wi-piaukiok cabang Oulam" itu ternyata terbalik pasangnya. Tentu saja ia heran, apakah para Piauthau di sini sedemikian sembrono sampai-sampai papan merek yang harus dijaga baik-baik itu terpasang terbalik"
Waktu ia menoleh dan memerhatikan panji perusahaan yang terpancang di tiang bendera, seketika ia terkesiap.
Ternyata tiang bendera sebelah kiri terpancang sepasang sepatu rusak, sedangkan tiang bendera sebelah kanan terpancang sehelai celana wanita yang robek dan melambai-lambai tertiup angin.
Selagi bingung, tiba-tiba dari dalam Piaukiok berjalan keluar seorang dan membentak padanya, "Anak kura-kura, kerja apa longak-longok di sini" Mau mencuri ya?"
Mendengar logat orang sama dengan rombongan Ih Jin-gan, Keh Jin-tat dan lain-lain, terang adalah orang Sucwan, maka Peng-ci tidak berani bertingkah lagi di situ, segera ia hendak menyingkir. Tapi mendadak angin menyambar dari belakang, pantatnya telah didepak orang itu sehingga dia jatuh terjerembap.
Dengan murka segera Peng-ci bermaksud merangkak bangun untuk melabrak orang itu. Tapi lantas teringat olehnya, "Cabang Piaukiok di sini terang juga telah dikangkangi oleh orang Jing-sia-pay, aku masih harus mencari ayah dan ibu, mana boleh sembrono mengumbar nafsu marah?"
Segera ia pura-pura tidak mahir ilmu silat dan meringis kesakitan, sampai lama sekali masih tidak sanggup berdiri. Untung ilmu silat orang itu pun tidak tinggi sehingga tidak tahu lagak Peng-ci yang pura-pura itu. Sebaliknya ia bergelak tertawa sambil memaki "anak kura-kura" pula lalu tinggal masuk ke dalam.
Perlahan-lahan Peng-ci merangkak bangun, dengan jalan terpincang yang dibuat-buat ia menyingkir ke suatu gang kecil dan mengemis semangkuk nasi kepada seorang penduduk. Pikirnya, "Di sekelilingku sekarang banyak musuh, aku harus waspada dan hati-hati."
Segera ia mencari sedikit debu hangus untuk mengusap mukanya sehingga kelihatan hitam kotor. Kemudian ia berbaring di pojok dinding rumah sana untuk mengaso.
Akhirnya hari pun menjadi gelap. Ia ringkaskan pakaiannya, pedang patah yang terselip di dalam bajunya disiapkan di pinggang. Lalu ia putar ke pintu belakang cabang Piaukiok. Setelah tiada mendengar sesuatu suara apa-apa di balik dinding barulah dia melompat ke atas pagar tembok. Ternyata di dalamnya adalah sebuah kebun sayur. Dengan perlahan-lahan ia melompat turun, selangkah demi selangkah ia merayap maju menyisir tembok.
Sebenarnya kantor cabang di kota Tiangsah itu adalah cabang yang terbesar, seluruh pegawainya meliputi 60-70 orang. Tapi sekarang keadaan di dalam gedung itu ternyata gelap gulita, tidak ada sinar lampu, juga tidak ada suara orang.
Dengan hati berdebur-debur Peng-ci merayap maju terus dengan sangat hati-hati agar tidak menerbitkan suara sedikit pun. Setelah melintasi pekarangan dalam, tertampaklah jendela di kamar serambi timur sana ada sinar lampu, sayup-sayup terdengar ada suara orang pula. Dengan nekat Peng-ci mendekati jendela itu dengan berjinjit-jinjit dan menahan napas. Sesudah merunduk sampai di bawah jendela, dengan hati-hati ia meringkuk di situ untuk mendengarkan.
Baru saja ia duduk di kaki dinding di bawah jendela itu, segera terdengar suara seorang sedang berkata, "Besok pagi-pagi kita lantas membakar habis Piaukiok kura-kura ini, supaya tidak mencolok mata saja."
Tapi seorang lagi lantas menjawab, "Jangan! Sekali ini kita tak boleh bakar lagi. Piaukiok kura-kura di Lamjiang itu telah kita bakar sehingga merembet pada belasan rumah tetangga di sekitarnya, kejadian demikian akan kurang menguntungkan nama baik Jing-sia-pay kita."
Maka jelaslah bagi Peng-ci bahwa terbakarnya kantor cabang di Lamjiang itu memang sengaja dilakukan oleh orang Jing-sia-pay, tapi sekarang mereka masih berpikir tentang nama baik apa segala.
Dalam pada itu terdengar orang pertama tadi telah berkata pula, "Tidak dibakar, apakah dibiarkan begini saja?"
"Sifatmu yang keras ini rupanya tidak bisa berubah, Kiat-sute," ujar kawannya dengan tertawa. "Kita telah jungkir balikkan papan Piaukiok ini, telah menggantung celana wanita dan sepatu rusak di tiang benderanya, selanjutnya apakah nama Hok-wi-piaukiok mereka takkan runtuh habis-habisan di dunia Kangouw. Kita biarkan celana robek itu tetap melambai-lambai di tiang benderanya, buat apa mesti membakar lagi?"
"Betul juga, Sin-suko," kata si orang she Kiat dengan tertawa. "Hehe, celana wanita itu benar-benar membikin sial Hok-wi-piaukiok mereka, tanggung selama 300 tahun mereka akan selalu celaka."
Maka tertawalah kedua orang itu dengan terbahak-bahak. Lalu si orang she Kiat berkata pula, "Besok kita akan pergi ke Heng-san untuk mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong, sebaiknya kita membawakan hadiah apa untuknya" Berita ini kita terima secara tiba-tiba sehingga tidak keburu melapor kepada Suhu, jika kado kita ini kurang bernilai tentu akan merendahkan derajat Jing-sia-pay kita."
"Kado ini siang-siang sudah kusediakan," kata orang she Sin dengan tertawa, "untuk ini harap kau jangan khawatir, tanggung takkan membikin malu Jing-sia-pay kita. Boleh jadi dalam perjamuan merayakan 'cuci tangan' Lau Cing-hong nanti, yang akan paling menonjol mungkin adalah hadiah kita ini."
"He, kado berharga apakah itu" Mengapa sedikit pun aku tidak tahu?" seru si orang she Kiat dengan senang. "Ya, Sin-suko memang banyak akal, mungkin Pui-suheng yang terkenal cerdik pandai itu pun tidak dapat membandingi kau."
Si orang she Sin tertawa gembira. Katanya, "Hadiah ini sebenarnya juga cuma meminjam milik orang lain saja. Coba kau lihat, apakah barang ini cukup mentereng atau tidak?"
Lalu terdengarlah suara keresek-keresek, suara orang membuka bungkusan apa-apa. Kemudian terdengar orang she Kiat sampai berseru kaget, katanya, "Wah, hebat, hebat sekali. Sungguh mahasakti kepandaian Sin-suko, dari manakah kau mendapatkan benda-benda berharga seperti ini?"
Mestinya Peng-ci ingin mengintip melalui celah-celah jendela untuk mengetahui benda apa yang diributkan itu, tapi khawatir perbuatannya itu diketahui orang, terpaksa ia mengekang maksudnya itu.
Maka terdengar si orang she Sin telah menjawab, "Memangnya apakah usaha sia-sia saja kita merebut Hok-wi-piaukiok ini" Sepasang kuda kemala dan sepasang merak zamrud ini mestinya hendak kubawa pulang untuk dipersembahkan kepada Suhu, tapi sekarang agaknya si tua Lau Cing-hong yang akan terima benda-benda ini."
Kembali hati Peng-ci merasa gemas, pikirnya, "Kiranya dia telah merampok benda mestika Piaukiok kami, sebaliknya digunakan untuk mengambil hati orang lain, perbuatan mereka ini bukankah tiada ubahnya seperti bandit kalangan Lok-lim" Ya, kantor cabang Tiangsah sini memangnya tersimpan tidak sedikit harta benda yang merupakan barang langganan yang harus dikawal. Sepasang kuda kemala dan merak zamrud itu tentu tidak terhingga nilainya, jika sampai hilang tentu ayah yang harus ganti kerugian ini."
Dalam pada itu terdengar si orang she Kiat lagi berkata, "Sin-suko, hubungan Lau Cing-hong dengan Suhu agaknya tidak terlalu akrab, kukira hadiah kita ini cukup satu macam saja, sisanya lebih baik kita persembahkan kepada Suhu."
Bab 8. Harta Karun di Dalam Peti
"Rupanya kau tidak mengetahui persoalan ini," ujar si orang she Sin dengan tertawa. "Sekali ini Lau Cing-hong merayakan pesta 'cuci tangan', tentu tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan dan aliran akan ikut hadir. Maka hadiah kita ini bukan untuk mengambil hatinya Lau Cing-hong, tapi lebih tepat adalah untuk menonjolkan nama Jing-sia-pay kita agar mereka lebih kenal siapakah Jing-sia-pay."
"O, ya, betapa pun memang Sin-suko lebih dapat berpikir panjang," kata si orang she Kiat. "Hanya saja kalau ... kalau kita pulang dengan tangan kosong, walaupun Suhu takkan marah, tapi kita ... kita sendiri ...."
"Jangan khawatir," ujar si orang she Sin. "Biasanya benda-benda begini saja takkan berharga dalam pandangan Suhu. Kukira justru ibu-guru muda yang harus kita persembahi apa-apa. Dan hadiah baginya juga sudah kusediakan. Untuk ini kau pun jangan khawatir, Kiat-sute. Hadiah ini menggunakan atas nama kita berdua, tidak nanti Suhengmu ini melupakan dirimu."
"Banyak terima kasih, Sin-suko," sahut si orang she Kiat dengan girang.
"Terima kasih apa" Kita berdua yang telah merebut Piaukiok ini, kita mengeluarkan tenaga bersama, sudah tentu kita menerima pahala bersama pula," kata orang she Sin.
Maka bergelak tertawalah kedua orang itu.
Habis itu, terdengar si orang she Sin menyambung lagi, "Nah, Kiat-sute, di sini telah kusediakan empat buntal, satu buntal kita persembahkan kepada para Susiok, sebuntal lagi untuk para Suheng dan Sute, dan kedua buntal ini adalah bagian kita berdua. Boleh kau pilih sendiri saja!"
"Barang apakah itu?" tanya si orang she Kiat.
Keadaan lalu sunyi, menyusul hanya terdengar suara keresek-keresek seperti tadi. Habis itu mendadak terdengar orang she Kiat itu berseru kaget. Katanya, "Wah, kiranya emas intan seluruhnya. Waduh, sekali ini kita benar-benar kaya mendadak. Anak kura-kura, selama ini Hok-wi-piaukiok ini ternyata tidak sedikit mengumpulkan harta benda. Sin-suko, dari mana kau menemukannya" Padahal aku sudah mencari belasan kali, sampai-sampai ubin juga hampir kugali, tapi yang kudapatkan hanya ratusan tahil perak saja. Tapi diam-diam kau malah dapat menguras keluar harta pusaka mereka."
Si orang she Sin sangat senang dan merasa bangga, jawabnya dengan tertawa, "Harta benda perusahaan Piaukiok mana boleh ditaruh di tempat sembarangan" Haha, selama beberapa hari ini diam-diam aku telah mengikuti caramu membongkar lemari, mendongkel dinding, membalik meja dan membobol laci, sibuknya tidak keruan!"
"Ya, kagum, kagum! Sebenarnya dari mana kau menemukannya, Sin-suko?" tanya pula si orang she Kiat.
"Kiat-sute," jawab si orang she Sin, "kita mengembara Kangouw, ilmu silat memang penting, tapi yang lebih penting adalah ini ...." ia ketok-ketok dahi sendiri dengan jari, lalu menyambung, "Coba kau pikir, adakah sesuatu yang tidak masuk di akal dalam Piaukiok ini?"
"Yang tidak masuk di akal" Hahaha! Kukira banyak sekali hal-hal yang tak masuk di akal dalam Piaukiok ini, mana aku dapat menyelidikinya satu per satu?"
"Sebab itulah, maka kau, Kiat-sute, kukira untuk selanjutnya kau harus lebih banyak menggunakan otak," ujar si orang she Sin dengan tertawa. "Misalnya, gedung Piaukiok mereka yang megah ini kenapa di ruangan samping ditaruh sebuah peti mati yang besar, apakah ini masuk di akal?"
"Ah, aku tidak punya tempo senggang untuk mengurusnya, apakah mereka suka menaruh peti mati atau menaruh telaga tahi di situ, peduli apa dengan aku?"
"Makanya, sekali lagi kubilang kau harus menggunakan otak, Kiat-sute," kata orang she Sin. "Coba pikirkan, untuk apa mereka taruh peti mati di kamar sebelah, memangnya dia sayang menguburnya karena yang mati adalah anaknya atau bininya" Haha, kukira tidak. Lalu apakah tiada tersimpan sesuatu di dalam peti mati itu untuk mengelabui orang lain ...."
"Aha, benar!" seru si orang she Kiat sambil melonjak bangun. "Engkau benar-benar lihai, Sin-suko. Tentunya harta yang kau ketemukan itu tersimpan di dalam peti mati itu, bukan" Haha, bagus, bagus! Para Piausu anak kura-kura ini memang macam-macam dan ada-ada saja. Mereka sengaja menyimpan harta karun ini di dalam peti mati, tentu saja sukar diketemukan biarpun Piaukiok ini kedatangan garong. Eh, Sin-suko marilah kita mencuci kaki, lalu tidur saja."
Habis berkata ia menguap kantuk, lalu membuka pintu dan keluar.
Dengan mendekam di bawah jendela Peng-ci tidak berani bergerak sedikit pun, ia coba melirik ke dalam melalui celah-celah jendela, dari bayangannya kelihatan orang she Kiat itu berperawakan pendek gemuk, besar kemungkinan adalah orang yang mendepaknya siang tadi.
Selang tak lama, si orang she Kiat telah masuk kembali ke kamar dengan membawa satu baskom air panas, katanya, "Sin-suko, kali ini Suhu telah mengutus kita berjumlah 16 orang keluar, tampaknya kita berdua yang mendapatkan rezeki paling banyak, berkat kelihaian Sin-suko aku pun ikut berjasa. Bak-sute bertugas menyerang cabang Kwiciu, Kong-suko menyerang cabang Hangciu, tapi biarpun mereka melihat peti mati juga belum tentu tahu di dalamnya tersimpan harta karun sebanyak ini."
"Tapi Pui-suko dan Uh-sute yang ditugaskan mengubrak-abrik kantor pusat di Hokciu, hasil mereka tentu jauh lebih besar daripada kita," sahut orang she Sin dengan tertawa. "Cuma jiwa putra kesayangan ibu-guru itu telah melayang di Hokciu, jasa mereka mungkin dapat menutupi kesalahan mereka di hadapan Suhu, namun ibu-guru muda tentu tak mau mengampuni mereka."
"Ya, aku pun heran," demikian kata si orang she Kiat. "Pada waktu Suhu mengirim kita keluar, katanya Hok-wi-piaukiok sudah tiga turunan melakukan usaha pengawalan, orangnya banyak, pengaruhnya besar, kepandaian warisan keluarga Lim berupa 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang dan 18 batang panah tidak boleh dipandang enteng, kita disuruh menyerang secara mendadak dan serentak baik di kantor pusat maupun di kantor cabangnya. Siapa duga Hok-wi-piaukiok hanya punya nama kosong saja, dengan mudah Pui-suko sudah menangkap Lim Cin-lam dan istrinya. Tampaknya sekali ini Suhu sendiri pun salah mata."
Keringat dingin sampai memenuhi dahi Peng-ci yang mendengarkan di luar jendela itu. Pikirnya, "Jika demikian jadi Jing-sia-pay memang mempunyai rencana untuk mencari perkara kepada Piaukiok kami dan bukanlah lantaran aku salah membunuh orang she Ih itu. Menurut rencana mereka, andaikan aku tidak membunuh keparat she Ih itu juga mereka tetap akan menghancurkan Piaukiok kami. Tapi entah kesalahan apa yang telah kami perbuat terhadap Jing-sia-pay sehingga mereka turun tangan sekeji ini?"
Berpikir sampai di sini, rasa menyesalnya semula atas diri sendiri yang telah menimbulkan malapetaka ini menjadi berkurang, sebaliknya rasa dendam dan gusar lantas bergolak. Kalau tidak sadar bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan lawan, sungguh dia ingin menerjang masuk untuk membinasakan kedua jahanam itu.
Sementara itu terdengar suara gemerciknya air di dalam kamar, rupanya kedua orang itu sedang mencuci kaki. Terdengar si orang she Sin lagi berkata, "Bukanlah Suhu salah mata, sesungguhnya Hok-wi-piaukiok memang mempunyai kepandaian sejati, kalau tidak masakah namanya selama ini sedemikian disegani di provinsi-provinsi antarpantai. Besar kemungkinan keturunan mereka yang tidak becus, tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur sendiri. Padahal Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang benar-benar sangat ternama di kalangan Bu-lim dan bukanlah omong kosong."
Muka Peng-ci sampai merah jengah dalam kegelapan demi mendengar orang mencerca "keturunan mereka yang tidak becus dan tidak mampu mewariskan kepandaian leluhur". Diam-diam ia harus mengakui akan kebenaran ucapan lawan.
Sementara itu orang she Sin telah menyambung, "Waktu kita hendak berangkat Suhu telah mengajarkan cara-cara mematahkan Pi-sia-kiam-hoat dan Hoan-thian-ciang pada kita, walaupun dalam waktu belasan hari saja sukar mempelajarinya dengan sempurna, tapi tampaknya ilmu pedang dan ilmu pukulan itu memang mempunyai kekuatan tersembunyi yang tidak mudah untuk dimainkan. Kau sendiri dapat memahami berapa banyak, Kiat-sute?"
"Ah, Suhu sendiri mengatakan bahwa sampai-sampai Lim Cin-lam sendiri pun tidak memahami intisari ilmu-ilmu pedang dan pukulan leluhurnya itu, maka aku pun malas untuk menyelaminya lebih mendalam," sahut orang she Kiat. "Eh, Sin-suko, sesudah Pui-suko berhasil menawan Lim Cin-lam dan istrinya, mengapa mereka tidak terus pulang ke Jing-sia, tapi membawanya ke Heng-san malah?"
"Pada waktu Lau Cing-hong mengadakan perayaan 'cuci tangan' nanti, tentu banyak tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai golongan akan hadir untuk mengucapkan selamat padanya. Sekarang Pui-suheng dan Uh-sute dapat membekuk pemimpin Hok-wi-piaukiok yang termasyhur, dengan sendirinya mereka ingin pamer sedikit di tengah perjamuan besar itu."
"Pui-suheng dan Uh-sute sih masih boleh, tapi Keh Jin-tat si keparat itu kutu busuk macam apa, masakah dia juga ada harganya untuk membual dan pamer di depan orang banyak?" kata orang she Kiat.
"Ada harganya atau tidak, habis siapa yang suruh kita menjadi saudara seperguruan dengan dia" Sudahlah, tidur saja!" sahut orang she Sin dengan tertawa.
"Dasar anak kura-kura!" terdengar orang she Kiat memaki. Habis itu mendadak daun jendela dibuka olehnya.
Keruan Peng-ci terperanjat dan mengira jejaknya telah dipergoki. Baru saja dia bermaksud lari, sekonyong-konyong "byuurrrr", kepalanya tersiram sebaskom air hangat, saking kagetnya hampir-hampir Peng-ci menjerit. Syukurlah daun jendela itu lantas tertutup pula. Menyusul pandangannya menjadi gelap, kiranya pelita di dalam kamar telah dipadamkan.
Belum lagi tenang perasaan Peng-ci, terasalah air menetes-netes dari atas kepala dan mukanya, baunya jangan ditanya. Baru sekarang diketahuinya air itu adalah air kotor bekas air cuci kaki yang telah disiramkan oleh orang she Kiat sehingga dia basah kuyup, walaupun tidak disengaja, tapi Peng-ci sudah terhina. Namun begitu ia menjadi girang malah sebab berita tentang ayah-ibunya telah diperoleh, jangankan cuma disiram air bekas cuci kaki, biarpun air kencing sekalipun takkan berhalangan baginya.
Suasana selanjutnya menjadi sunyi senyap, kalau dia lantas pergi saja khawatir didengar oleh kedua orang di dalam kamar. Ia pikir biarlah tunggu sesudah mereka tidur dahulu. Maka ia tetap duduk bersandar di dinding, di bawah jendela.
Selang tak lama, terdengarlah suara mendengkur yang sahut-menyahut di dalam kamar. Perlahan-lahan barulah Peng-ci berdiri. Tapi mendadak ia kaget dan cepat mendak ke bawah lagi ketika melihat sesuatu bayangan orang tersorot di atas jendela oleh cahaya bulan, bahkan daun jendela itu tampak tergoyang-goyang perlahan.
Sesudah ditunggu sejenak dan diperhatikan pula barulah Peng-ci tahu duduknya perkara, rupanya sesudah membuang air kotor tadi si orang she Kiat telah lupa memasang palang jendela sehingga daun jendela itu masih terbuka sedikit.
"Inilah kesempatan bagus untuk menuntut balas!" demikian pikir Peng-ci. Segera ia melolos pedang patah yang terselip di pinggang itu, perlahan-lahan ia menolak daun jendela itu hingga terpentang, dengan gerakan "Leng-niau-hi-tiap" (kucing lincah menggoda kupu-kupu), dengan enteng sekali ia melompat masuk ke dalam kamar. Dari sinar bulan yang remang-remang dapatlah dilihatnya dua dipan di kanan-kiri kamar itu tertidur dua orang.
Tatkala itu baru permulaan musim semi, nyamuk masih jarang-jarang, kelambu tempat tidur tidak terurai, maka dapat tertampak jelas seorang berbaring miring menghadap ke dinding, kepalanya rada botak. Seorang lagi tidur telentang, alisnya tebal dan berewok pendek kaku. Di tengah-tengah tempat tidur terdapat sebuah meja di mana tertaruh lima buntalan, di samping itu ada sebatang golok dan sebatang pedang.
Golok itu lantas dipegang Peng-ci, pikirnya, "Sekali bacok satu nyawa, gampangnya seperti memotong sayur."
Dan baru saja goloknya hendak membacok ke leher si berewok, tiba-tiba terpikir lagi olehnya, "Cara kubunuh mereka begini apakah perbuatan seorang kesatria" Kelak kalau aku sudah berhasil meyakinkan ilmu silat leluhur sendiri barulah akan kugunakan untuk menumpas kawanan bangsat Jing-sia-pay ini."
Maka dia batalkan maksudnya membunuh orang, ia kumpulkan golok, pedang dan kelima buntalan itu di atas meja depan jendela. Dilihatnya di atas meja ada alat tulis, segera ia angkat pit (pensil) dan membasahi dengan sedikit tinta, lalu dia menulis di atas meja: "Lim Peng-ci dari Hok-wi-piaukiok baru saja pesiar ke sini."
Selesai menulis, didengarnya suara mendengkur si berewok semakin keras. Seketika timbul sifat kanak-kanaknya dan bermaksud mencoret-coret muka si berewok. Tapi akhirnya ia dapat menahan maksud jahilnya itu, pikirnya, "Jika dia sampai terjaga bangun, tentu celakalah aku!"
Begitulah perlahan-lahan ia melompat keluar jendela, ia selipkan golok dan pedang di pinggang sendiri, tiga buntalan itu digendongnya, setiap tangan membawa satu buntalan pula, lalu dengan langkah berjinjit-jinjit ia berjalan ke pekarangan belakang.
Sampai di kandang kuda, ia tuntun keluar seekor kuda yang paling tinggi besar, ia membuka pintu belakang dan keluar dari Piaukiok itu. Setelah agak jauh meninggalkan Piaukiok barulah dia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan ke pintu selatan.
Tatkala itu masih terlalu pagi, pintu kota belum dibuka. Ia tuntun kudanya ke belakang sebuah gundukan tanah. Di situlah ia pindahkan buntalan-buntalan yang digendongnya untuk digantungkan pada pelana kuda. Khawatir kalau kedua orang Jing-sia-pay itu mengejarnya, hati Peng-ci menjadi berdebar-debar. Syukurlah tidak lama kemudian fajar pun menyingsing, pintu kota telah dibuka, segera ia mencemplak ke atas kuda dan dilarikan keluar kota.
Sekaligus ia melarikan kudanya sejauh belasan li barulah merasa aman. Lalu melambatkan kudanya. Sejak meninggalkan kota Hokciu baru sekarang perasaannya terasa longgar.
Waktu melihat di tepi jalan ada sebuah warung makan, ia berhenti untuk sekadar menangsel perut. Ia tidak berani berhenti terlalu lama, ia hanya makan semangkuk bakmi, lalu merogoh buntalan untuk mengambil uang. Tapi ketika dikeluarkan, ia terperanjat. Ternyata yang dirogoh keluar itu adalah sepotong lantakan emas. Lekas-lekas ia masukkan lagi ke dalam buntalan dan meraba barang lainnya. Akhirnya dapat dikeluarkan sepotong lantakan perak.
Ia gunakan pedang untuk memotong ujung lantakan perak itu guna membayar bakmi. Tapi meski penjual bakmi itu telah mengumpulkan seluruh uang receh hasil jualannya juga masih belum cukup buat mengembalikan uang perak Peng-ci itu.
"Sudahlah, ambil semua!" kata Peng-ci dengan royal. Sepanjang jalan dia telah kenyang dihina orang, baru sekaranglah untuk pertama kalinya dia pulih kembali sebagai juragan muda yang royal.
Setelah melanjutkan perjalanan beberapa puluh li lagi, sampailah dia di suatu kota besar. Ia mencari suatu hotel dengan kamar yang terpilih. Setelah menutup rapat pintu kamar, segera ia membuka kelima buntalan itu dan memeriksa isinya, ternyata seluruhnya terdiri dari emas perak, perhiasan batu permata. Pada buntalan kelima isinya adalah sepasang kuda-kudaan buatan batu yade putih serta sepasang merak zamrud, semuanya sebesar belasan senti tingginya.
Sejak kecil dia sudah biasa melihat benda-benda mestika, namun kedua pasang kuda-kudaan dan merak-merakan itu membuatnya terpesona juga. Ia pikir di kantor cabang Piaukiok tersimpan benda-benda berharga demikian, pantas juga kalau Jing-sia-pay mengincarnya.
Segera ia keluarkan sedikit pecahan perak untuk bekal, isi keempat buntalan tadi dia bungkus lagi menjadi satu dan digendongnya. Ia pikir seekor kuda saja tidak cukup, sebaiknya beli lagi dua ekor kuda bagus agar dapat memburu perjalanan lebih cepat untuk mencari ayah-ibunya.
Begitulah ia lantas pergi ke pasar untuk membeli dua ekor kuda bagus, dengan tiga ekor kuda ia dapat bergantian menunggangnya tanpa berhenti. Setiap hari ia hanya tidur dua-tiga jam saja, siang malam ia menempuh perjalanan secara nonstop.
Hari itu sampailah dia di Heng-san. Begitu masuk kota, lantas melihat banyak sekali orang-orang Kangouw berlalu-lalang di jalanan. Khawatir kalau ketemu dengan Pui Jin-ti dan rombongannya, Peng-ci berjalan dengan menunduk untuk mencari rumah penginapan.
Tak terduga beruntun-runtun tiga hotel yang didatangi selalu menyatakan kamar sudah penuh. Terpaksa Peng-ci mencari ke jalan yang agak sepi, setelah mencari lagi beberapa tempat akhirnya barulah mendapatkan sebuah kamar sederhana di suatu hotel kecil.
Ia pikir agar tidak dikenali orang, paling baik kalau menyamar saja. Maka datanglah ia ke rumah obat untuk membeli tiga helai koyok (obat tempel). Dua helai ia tempelkan di ujung dahi sehingga kedua alisnya tertarik ke atas, lalu yang sehelai ditempel di atas pipi sehingga bibirnya tertarik sampai terbuka dan kelihatan giginya yang menyengir. Ia coba bercermin, ia merasa rupanya sendiri jeleknya tak terkatakan, sampai dirinya sendiri juga merasa muak, jangankan orang lain.
Kemudian ia membungkus emas perak dan batu permata itu secara gepeng memanjang, lalu diikat rapat di punggungnya dan ditutup dengan baju luar, sedikit membengkok seketika jadilah dia seorang bungkuk yang punggungnya membungkuk. "Dalam keadaan demikian, sekalipun ayah dan ibu juga takkan mengenali diriku lagi," demikian ia merasa puas atas penyamarannya sendiri.
Sesudah makan semangkuk bakmi, lalu ia keluar pesiar ke-pelosok-pelosok kota. Pikirnya, "Paling baik kalau bisa memergoki ayah dan ibu, kalau tidak, asalkan bisa memperoleh sedikit kabar tentang orang-orang Jing-sia-pay tentu juga akan berfaedah bagiku."
Setelah berjalan ke sana kemari sampai setengah harian, tiba-tiba turun hujan gerimis. Memang daerah selatan Oulam paling banyak air hujan, sekarang lagi permulaan musim semi, kalau sudah hujan terkadang sampai beberapa hari tidak berhenti-henti.
Peng-ci membeli sebuah caping bercat minyak di tepi jalan dan dipakai sebagai payung. Hari mendung semakin gelap, tampaknya hujan takkan berhenti. Ia coba membelok ke jalan sebelah sana, tiba-tiba dilihatnya sebuah rumah minum yang banyak berjubel-jubel para tamu.
Pada umumnya kalau rumah makan dan minum sampai penuh tetamu, soalnya cuma ada dua kemungkinan, yakni kalau bukan daharan yang dijualnya terkenal lezat, tentulah karena harganya murah.
Maka Peng-ci lantas masuk juga ke rumah minum itu, ia mencari suatu tempat kosong dan minta dibuatkan suatu poci teh enak, pelayan lantas membawakan pula satu piring kecil kuaci dan satu piring kacang goreng.
Setelah minum satu cangkir teh, selagi Peng-ci menyisil kuaci untuk menghilangkan rasa kesal, tiba-tiba terdengar suara orang berkata, "Bungkuk, kita duduk bersama ya?"
Dan tanpa menunggu jawaban Peng-ci, orang itu lantas duduk di sebelahnya, menyusul ada dua orang berduduk pula di samping.
Semula Peng-ci tidak mengira kalau yang diajak bicara oleh orang itu adalah dirinya. Tapi segera teringat bahwa yang disebut "bungkuk" itu adalah dirinya. Maka cepat ia menjawab dengan ramah, "Boleh, boleh! Silakan!"
Ia lihat ketiga orang itu semuanya berpakaian hitam, pinggang bergantungkan golok. Ketiga laki-laki itu lantas minum teh dan mengobrol sendiri tanpa menggubris Peng-ci lagi.
Terdengar seorang di antaranya yang lebih muda mulai berkata, "Peng-toako, kali ini Lau-samya mengadakan pesta 'Kim-bun-swe-jiu', tampaknya tidaklah sederhana cara merayakannya, lihat saja, waktunya masih tiga hari, tapi kota Heng-san ini sudah penuh dengan tamu-tamu yang akan memberi selamat padanya."
Kim-bun-swe-jiu, cuci tangan di baskom emas, maksudnya sebagai upacara menyatakan dirinya telah cuci tangan dan meninggalkan lapangan kerja yang pernah dilakukannya.
Maka seorang kawannya yang buta sebelah telah menjawab, "Tentu saja. Heng-san-pay sendiri sudah cukup terkenal, ditambah lagi gabungan nama Ngo-gak-kiam-pay, sudah tentu pengaruhnya sangat besar di dunia persilatan, siapa orangnya yang tidak ingin bersahabat dengan mereka" Pula Lau Cing-hong, Lau-samya, sendiri juga seorang tokoh Kangouw terkemuka, dia punya 36 jurus 'Hwe-hong-lok-gan-kiam' terkenal sebagai jago kedua dari Heng-san-pay, dia hanya kalah setingkat daripada Ciangbunjin sendiri, yaitu Bok-taysiansing. Biasanya orang ingin bersahabat dengan dia, tapi tiada kesempatan. Sekarang dia mengadakan pesta 'cuci tangan', dengan sendirinya orang-orang gagah dari Bu-lim sama berkumpul di sini, kukira besok suasana kota tentu akan lebih ramai daripada sekarang."
"Tapi jika dikatakan semua orang datang buat menyatakan persahabatan dengan Lau Cing-hong, kukira juga tidak tepat seluruhnya, misalnya tujuan kedatangan kita bertiga kan tidak demikian maksudnya, bukan?" ujar kawannya lagi yang berjenggot putih. "Padahal orang yang menyatakan 'cuci tangan', artinya sejak kini di dunia Kangouw takkan terdapat lagi tokoh seperti dia. Jika sudah demikian, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tiada gunanya lagi. Buat apa orang lain mesti mendekati dia dan menyatakan persahabatan segala?"
"Soalnya bukan begitu, Peng-toako," kata yang muda. "Walaupun resminya Lau-samya sudah 'cuci tangan', tapi apa pun juga, dia adalah tokoh nomor dua dari Heng-san-pay, siapa-siapa yang bersahabat dengan Lau-samya akan berarti bersahabat dengan Heng-san-pay dan berarti pula bersahabat dengan Ngo-gak-kiam-pay!"
"Ngo-gak-kiam-pay" Hm, apakah kau memenuhi syarat?" ejek si jenggot putih she Peng.
"Bukan demikian soalnya, Peng-toako," si buta juga menyanggah. "Sesama orang Kangouw, apa jeleknya kalau bisa tambah seorang sahabat. Biarpun ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay teramat tinggi, tapi rasanya mereka tidak sampai memandang rendah pada pihak lain. Sebab kalau mereka itu merasa angkuh dan sombong, masakan sekarang ada sekian banyak tetamu yang datang memberi selamat padanya?"
"Hm," si jenggot putih mendengus, selang sejenak barulah ia berkata dengan suara perlahan, "Sebagian besar adalah manusia-manusia penjilat belaka, bila melihat mereka hatiku lantas gemas!"
Mestinya Peng-ci ingin ketiga orang itu mengobrol lebih banyak tentang Ngo-gak-kiam-pay, tak terduga pembicaraan mereka ternyata tidak sepaham sehingga tidak dilanjutkan.
Bila teringat kepada si nona burik yang pernah memaksanya minum arak berbisa itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Ya, apa yang dikatakan si jenggot putih ini memang betul juga. Seperti Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay, bukankah mereka adalah setali tiga uang" Apalagi Ngo-gak-kiam-pay segala" Huh, gagak sama hitamnya, kukira mereka juga bukan manusia baik-baik."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar ada orang bicara dengan suara perlahan di bagian belakang, "Ong-jicek, kabarnya usia Lau-samya dari Heng-san-pay itu baru 50-an tahun, ilmu silatnya seharusnya lagi meningkat ke puncaknya, mengapa mendadak 'cuci tangan' segala" Bukankah percuma saja kegiatannya selama ini?"
"Banyak sekali alasannya bagi orang Bu-lim yang cuci tangan pada usia masih muda," sahut seorang tua. "Jika seorang bandit besar dari kalangan Hek-to merasa sudah terlalu banyak berdosa, setelah 'cuci tangan' berarti dia telah meninggalkan perbuatan membegal dan membunuh, ini namanya kembali ke jalan yang bajik, sedikitnya akan meninggalkan nama baik bagi anak-cucunya, pula dapat menghindarkan tuduhan andaikan terjadi lagi sesuatu perkara besar di tempat kediamannya. Tapi keluarga Lau turun-temurun sudah terkenal kaya raya, sudah tentu hal ini tidak ada hubungannya dengan dia. Lain soal lagi adalah untuk menghindari permusuhan lebih jauh, misalnya Lau-samya mengumumkan di depan tamu-tamu undangannya bahwa sejak kini ia telah 'cuci tangan' dan tidak main senjata lagi, itu berarti musuh-musuhnya boleh tak usah khawatir akan dituntut balas lagi olehnya, sebaliknya juga diharapkan musuh-musuh itu tidak datang mencari perkara lagi padanya."
"Ong-jicek, kukira cara demikian akan merugikan dia sendiri," ujar si orang muda.
"Rugi apa?" Ong-jicek, paman kedua Ong, bertanya.
"Lau-samya boleh menyatakan takkan menuntut balas lagi, tapi orang lain toh setiap saat dapat mencari perkara padanya?" ujar si orang muda. "Jika orang hendak membunuhnya dan karena dia sudah menyatakan takkan bermain senjata lagi bukankah dia akan terima disembelih orang sesukanya?"
"Kau ini memang hijau pelonco," omel paman Ong itu. "Jika orang hendak membunuh kau, apakah kau terima saja dan takkan membela diri" Padahal tokoh semacam Lau-samya dengan Heng-san-pay yang begitu besar pengaruhnya, kalau dia tidak merecoki orang lain saja sudah untung, masakah ada orang lain berani mencari perkara padanya?"
Tiba-tiba si jenggot putih yang duduk di depan Peng-ci itu menggumam sendiri, "Ah, yang pandai ada yang lebih pandai, siapa yang berani mengaku paling jempolan?"
Karena ucapannya itu perlahan, kedua orang di meja belakang itu tidak mendengarnya. Terdengar orang yang dipanggil Ong-jicek itu berkata pula, "Umpamanya ada pengusaha Piaukiok yang telah cukup mengeduk keuntungan, kalau dia bisa tahu batas dan mengundurkan diri pada waktunya, cuci tangan saja daripada adu nyawa dengan senjata, cara demikian boleh dikata cukup cerdik. Cuma Lau-samya sendiri toh bukan Piausu, pula tidak menjadi bandit. Sudah tentu lain soalnya."
Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan orang itu. Pikirnya, "Apa yang dia maksudkan ialah kakek-besarku" Jika kakek-besarku tahu batas dan mencuci tangan pada waktunya yang tepat, lantas bagaimana jadinya?"
Pada saat itu, sekonyong-konyong seorang laki-laki setengah umur di meja pojok kiri sana telah berkata, "Beberapa hari yang lalu di Bu-han aku telah mendengar cerita dari kawan Bu-lim, katanya sebabnya Lau-samya mencuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim sesungguhnya mempunyai alasannya sendiri yang sukar diterangkan."
"Bagaimana cerita kawan-kawan Bu-lim di sana" Apakah sobat ini dapat memberi penjelasan?" si mata satu bertanya sambil menoleh.
"Ah, penyakit kebanyakan datang dari mulut, urusan begini hanya boleh dibicarakan di kota Bu-han, berada di kota Heng-san sini tidak boleh lagi sembarangan diceritakan," sahut orang itu dengan tertawa.
Mendadak seorang pendek gemuk dengan suara kasar lantas menanggapi, "Ala, tidak kau katakan juga banyak orang sudah tahu. Kabarnya karena ilmu silat Lau-samya terlalu tinggi, orangnya suka bersahabat, makanya terpaksa Kim-bun-swe-jiu. Mungkin orang lain akan merasa heran, akan tetapi bagi yang tahu latar belakangnya tentu tidak perlu heran lagi."
Karena suaranya sangat keras, maka pandangan semua orang sama dipusatkan ke arahnya. Beberapa orang di antaranya lantas tanya, "Mengapa ilmu silatnya tinggi dan orangnya suka bersahabat berbalik mesti cuci tangan dan mengundurkan diri dari Bu-lim" Bukankah ini terlalu aneh" Apa sih latar belakangnya?"
Akan tetapi si pendek gemuk hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
"Ah, buat apa kalian tanya padanya?" tiba-tiba seorang kurus di meja sebelah menyela dengan nada mengejek. "Padahal dia sendiri pun tidak tahu, dia hanya omong kosong saja."
Rupanya si pendek gemuk tidak tahan olok-olok itu, teriaknya kasar, "Siapa bilang aku tidak tahu" Sebabnya Lau-samya mengundurkan diri adalah demi kebaikan orang banyak agar tidak terjadi pertengkaran di dalam Heng-san-pay sendiri."
"Pertengkaran apa?"
"Masakan di antara saudara seperguruan Heng-san-pay mereka juga terjadi percekcokan?" demikian beramai-ramai orang banyak menegas.
Si pendek gemuk sengaja jual mahal, ia melirik hina kepada si kurus tadi. Kemudian menjawab, "Meski orang luar mengatakan Lau-samya adalah jago nomor dua dari Heng-san-pay, tapi setiap orang Heng-san-pay sendiri cukup tahu bahwa ke-36 jurus 'Hwe-hong-lok-gan-kiam' (ilmu pedang angin puyuh menjatuhkan belibis) Lau-samya sebenarnya sudah jauh lebih tinggi daripada Ciangbunjin mereka, yaitu Bok-taysiansing. Bahwasanya sekali tusuk pedang Bok-taysiansing dapat menjatuhkan 3 ekor belibis, tapi pedang Lau-samya sekali tusuk dapat menjatuhkan 5 ekor. Malahan anak murid Lau-samya rata-rata juga lebih pandai daripada murid Bok-taysiansing. Keadaan sekarang saja sudah begitu, lewat beberapa tahun lagi pengaruh Bok-taysiansing tentu akan kalah besar daripada Lau-samya. Konon kedua pihak diam-diam sudah pernah bentrok. Harta milik keluarga Lau cukup besar, Lau-samya tidak sudi berebut nama kosong dengan Suheng sendiri, makanya lebih suka 'cuci tangan' saja untuk menikmati hari tua di rumah sendiri."
"O, kiranya demikian. Sungguh bijaksana sekali Lau-samya itu," ujar beberapa orang peminum teh. Lantas ada pula yang berkata, "Ya, tindakan ini terang salahnya Bok-taysiansing, setelah Lau-samya mengundurkan diri, bukankah berarti melemahkan kekuatan Heng-san-pay sendiri?"
"Segala urusan di dunia ini mana ada yang sempurna, asalkan kedudukanku sebagai Ciangbunjin aman tenteram, peduli apa dengan lemah atau kuat golongannya sendiri?" jengek laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi.
Dalam pada itu si pendek gemuk telah menghabiskan tehnya, lalu ketok-ketok poci di atas meja sambil berseru, "Tambah air lagi! Lekas!"
Lalu ia menyambung uraiannya, "Maka dari itu, peristiwa ini terang adalah urusan penting Heng-san-pay sendiri, dari golongan lain sudah banyak yang datang buat mengucapkan selamat, sebaliknya orang Heng-san-pay sendiri ...."
Baru sampai di sini, tiba-tiba di ambang pintu bergemalah suara orang bernyanyi dalam lakon drama opera diiringi suara rebab yang digesek dengan nada yang panjang. Lagunya sedih mengharukan.
Waktu semua orang berpaling, tertampaklah di samping meja tempel panjang dekat pintu itu berduduk seorang tua tinggi kurus, mukanya cekung, berbaju hijau panjang yang sudah luntur, jelas seorang tua miskin tukang minta-minta.
"Hus, membisingkan telinga seperti jeritan setan. Mengganggu orang bicara saja!" bentak si pendek gemuk.
Seketika orang tua itu merendahkan suara rebabnya, tapi masih bernyanyi-nyanyi kecil meneruskan lagu dramanya yang mengharukan itu.
"Sobat, tadi kau bilang orang-orang Heng-san-pay bagaimana?" demikian seorang lantas bertanya kepada si pendek gemuk.
"Kumaksudkan selain anak murid Lau-samya sendiri yang sibuk menerima tamu, apakah kalian ada melihat anak murid Heng-san-pay yang lain di kota ini?" jawab si buntak.
Untuk sejenak semua orang saling pandang-memandang lalu berkata, "Ya, memang, seorang pun tidak tampak."
"Maka dari itu, kubilang kalian ini janganlah takut, biarpun kita membicarakan urusan Heng-san-pay toh takkan didengar oleh mereka," sela laki-laki setengah umur berbaju sutera tadi.
Pada saat itulah mendadak suara rebab si orang tua tadi digesek keras sehingga nadanya meninggi, lalu orang tua itu pun menyanyi dengan lebih lantang.
"Ah, hanya mengacau saja! Ini, ambillah!" bentak si orang muda sambil mengayun sebelah tangannya. "Plok", serenceng uang tembaga tepat jatuh di atas meja di depan si orang tua.
Sambil mengucapkan terima kasih orang tua itu memasukkan uang tembaga itu ke dalam bajunya, tapi ternyata tidak berlalu dari situ.
Dalam pada itu si pendek gemuk telah memuji, "Wah, kiranya saudara muda ini adalah ahli senjata rahasia, timpukanmu barusan ini boleh juga!"
Si orang muda tertawa senang, sahutnya, "Ah, permainan kecil saja! Eh, menurut uraian Toako tadi, jadi Bok-taysiansing juga takkan datang ke Heng-san sini?"
"Mana dia mau datang kemari?" sahut si buntak. "Bok-taysiansing dan Lau-samya boleh dikata sudah mirip api dan air, bila bertemu tentu akan main senjata. Jika sekarang Lau-samya mau mengalah padanya, sepantasnya dia harus merasa puas."
Tiba-tiba si orang tua tadi bangkit, perlahan-lahan ia mendekati si pendek gemuk dan memandangnya dari sisi kanan dan sisi kiri.
"Kurang ajar! Kau mau apa, tua bangka?" bentak si buntak dengan gusar.
"Kau ngaco-belo!" sahut si orang tua sambil geleng-geleng kepala. Lalu putar tubuh hendak menyingkir.
Si buntak menjadi murka, segera punggung orang tua itu hendak dicengkeramnya. Tapi mendadak matanya menjadi silau, sinar hijau berkelebat, sebatang pedang tipis telah menyambar ke permukaan meja, berbareng terdengarlah suara "tring-tring" beberapa kali.
Dengan kaget si buntak lantas melompat mundur, khawatir kalau-kalau pedang orang bersarang di tubuhnya. Tapi lantas tertampak orang tua itu sudah memasukkan kembali pedangnya ke dalam rebabnya sehingga lenyap seluruhnya.
Kiranya pedang orang tua itu tersimpan di dalam rebab, batang pedang menembus melalui badan rebab sehingga dilihat dari luar siapa pun tidak tahu bahwa di dalam rebab yang sudah tua itu tersembunyi senjata yang lihai.
Lalu si orang tua menggeleng kepala dan berkata pula, "Kau ngaco-belo belaka!"
Habis itu perlahan-lahan ia lantas tinggalkan rumah minum diiringi pandangan semua orang sampai bayangannya menghilang di tengah hujan. Menyusul suara rebab yang sedih merawankan hati sayup-sayup terdengar lagi dari jauh.
"Hahh! Lihatlah kalian!" demikian mendadak ada orang berseru kaget.
Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya tujuh buah cangkir teh yang terletak di atas meja si pendek gemuk tadi, setiap cangkir itu sudah tertebas putus setinggi dua senti. Tujuh buah cincin porselen jatuh di samping cangkir, tapi cangkir teh itu sebuah pun tidak jatuh atau pecah.
Bab 9. Suara Rebab Bok-taysiansing Mengejutkan Orang Banyak
Melihat keadaan yang luar biasa itu, serentak beberapa puluh orang yang berada di rumah minum itu berkerumun maju dan beramai-ramai membicarakan kelihaian ilmu pedang orang tua itu.
Segera seorang di antaranya berkata kepada si pendek buntak tadi, "Untunglah tuan tua itu bermurah hati, kalau tidak buah kepalamu tentu sudah berpisah dengan tubuhmu seperti cawan ini."
Tapi seorang lagi lantas menanggapi, "Ah, kukira seorang kosen seperti Losiansing ini tentu sungkan untuk berurusan dengan orang kecil sebagai kita."
Dalam pada itu si pendek gemuk hanya termangu-mangu saja memandangi ketujuh cawan kutung itu, wajahnya pucat sebagai mayat, apa yang dibicarakan orang-orang itu hakikatnya tidak masuk ke dalam telinganya.
Si lelaki berbaju sutera tadi lantas berkata, "Nah, apa kataku tadi" Penyakit kebanyakan timbul dari mulut, tapi kau masih suka mencerocos saja. Di kota Heng-san sekarang entah terdapat berapa banyak orang kosen. Seperti orang tua barusan ini tentu adalah sahabat baik Bok-taysiansing, karena kau sembarangan mengoceh tentang Bok-taysiansing, maka dia sengaja memberi sedikit ajaran padamu."
"Huh, sobat baik Bok-taysiansing apa" Justru dia sendiri adalah 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing!" demikian tiba-tiba si jenggot putih she Pang tadi menjengek.
Kembali semua orang terkejut. "Apa katamu" Dia ... dia sendiri adalah Bok-taysiansing" Da ... dari mana kau tahu?" beramai-ramai mereka menegas.
"Sudah tentu aku tahu," sahut si jenggot putih. "Bok-taysiansing suka main rebab, dia punya lagu 'Siau-siang-ya-uh' (hujan gerimis di waktu malam) sedemikian bagus dan mengharukan sehingga membuat pendengarnya dapat mengucurkan air mata. 'Di dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab', kata-kata ini adalah gambaran ilmu silat yang dimiliki Bok-taysiansing, kalian sudah berada di kota Heng-san, masakah kalian tidak tahu hal ini" Tadi saudara itu mengatakan Lau-samya sekali tusuk pedangnya dapat menjatuhkan lima ekor belibis dan Bok-taysiansing cuma dapat tiga ekor. Sekarang dia sengaja menebas tujuh cawan sekaligus agar kalian tahu. Makanya dia mendamprat saudara itu ngaco-belo belaka."
Rupanya si pendek gemuk masih belum tenang kembali dari rasa kejutnya tadi, dia menunduk dan tak berani menjawab. Lekas-lekas si lelaki berbaju sutera membayar rekening dan menarik kawannya meninggalkan rumah minum itu.
Semua orang menjadi ngeri juga sesudah menyaksikan 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing memperlihatkan kepandaian saktinya yang mengejutkan itu. Ketika si pendek gemuk memuji-muji Lau Cing-hong dan mengolok-olok Bok-taysiansing tadi, sedikit banyak mereka pun memberi suara setuju, jangan-jangan lantaran itu akan menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri. Maka demi tampak si baju sutera menarik pergi si pendek gemuk, segera mereka pun beramai-ramai membayar rekening, dalam sekejap saja rumah minum yang tadi penuh sesak itu lantas menjadi sepi.
Diam-diam Peng-ci membatin sambil memandangi tujuh cawan dengan tujuh cincin kutungannya yang terletak di atas meja itu, "Sekali tebas saja orang itu dapat memotong tujuh buah cawan, jika aku tidak keluar dari Hokciu tentu tidak tahu bahwa di dunia ini ternyata ada orang yang sedemikian lihainya. Aku benar-benar seperti katak di dalam sumur yang tidak tahu luasnya jagat ini, tadinya kukira orang yang paling lihai di dunia ini juga tidak lebih hebat daripada ayahku. Ai, jika aku dapat berguru kepada orang kosen ini dan belajar dengan giat, mungkinlah aku dapat membalas sakit hatiku. Kalau tidak, selama hidup ini tentu tiada harapan buat menuntut balas lagi."
Kemudian terpikir pula olehnya, "Mengapa aku tidak pergi mencari Bok-taysiansing itu dan mohon dengan sangat agar beliau mau menolong ayah-bundaku serta menerima aku sebagai murid?"
Begitulah serentak ia berbangkit hendak berangkat. Tapi mendadak terpikir lagi, "Dia adalah Ciangbunjin dari Heng-san-pay, agaknya Ngo-gak-kiam-pay setali tiga uang saja dengan Jing-sia-pay, masakan dia sudi membela seorang yang tak pernah dikenalnya untuk bercekcok dengan kawan sendiri?"
Berpikir demikian ia menjadi lemas dan duduk kembali dengan lesu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring merdu sedang berkata, "Jisuko, hujan ini tidak berhenti-henti, bajuku sampai basah kuyup. Marilah kita minum teh dulu di sini."
Seketika Peng-ci terkesiap, suara itu dikenalnya sebagai suara si nona penjual arak di luar kota Hokciu itu. Cepat ia lantas menundukkan kepala lebih rendah supaya tidak dikenali orang.
Maka terdengarlah suara seorang tua menjawab, "Baiklah, kita minum satu cangkir teh hangat untuk membuat panas perut."
Lalu masuklah dua orang ke dalam rumah minum itu dan mengambil tempat duduk di sebelah muka-samping Peng-ci. Ketika Peng-ci meliriknya, benar juga dilihatnya si nona penjual arak itu berpakaian hijau berduduk membelakangi dirinya, di sebelahnya duduk orang tua yang mengaku she Sat dan menyaru sebagai kakek si nona.
Diam-diam Peng-ci mendongkol, pikirnya, "Rupanya kalian berdua adalah saudara seperguruan, tapi sengaja menyaru sebagai kakek dan cucu untuk melakukan sesuatu muslihat keji di Hokciu. Dasar mataku sudah buta, masakah secara ngawur membela dua orang ini sehingga keluargaku sendiri berantakan tak keruan, bahkan jiwaku sendiri hampir-hampir melayang."
Dalam pada itu pelayan telah membersihkan meja kedua orang itu dan membawakan teh baru. Sekilas si kakek melihat di atas meja sebelah terdapat tujuh buah cawan yang cuma tinggal setengah potong. Ia bersuara kaget dan berkata kepada sang Sumoay, "Lihatlah, Siausumoay!"
Nona burik itu pun terkejut. Katanya, "Ya, hebat benar kepandaian ini, siapakah yang mampu sekali tebas dapat memotong tujuh buah cangkir?"
Ia lihat di dalam rumah minum itu selain Peng-ci hanya ada dua orang lagi yang sedang mengantuk sambil mendekap kepala di atas meja. Mestinya ia hendak tanya Peng-ci, tapi kelihatan Peng-ci menghadap keluar seperti sedang merenungkan sesuatu, maka ia urung bertanya.
"Siausumoay, coba aku akan menguji kau," demikian si kakek berbisik-bisik pula. "Sekali tebas tujuh gerakan, tujuh buah cangkir ini siapakah yang memotongnya?"
"Aku toh tidak menyaksikan, dari mana tahu ...." demikian omel si nona. Tapi mendadak ia berseru sambil tertawa, "Aha, tahulah aku! Tiga puluh enam jurus Hwe-hong-lok-gan-kiam, pada jurus ke-17 dengan gaya berantai sekaligus tujuh menjatuhkan sembilan ekor burung belibis. Tentu ini adalah perbuatan ... 'Siau-siang-ya-uh' Bok-taysiansing!"
Sekonyong-konyong bergemuruhlah suara tertawa beberapa orang, semuanya berseru, "Tajam benar pandangan Siausumoay!"
Peng-ci sampai terkejut dan heran, dari manakah mendadak muncul orang sebanyak ini" Waktu ia melirik, ternyata dua orang yang sedang mengantuk tadi juga sudah berbangkit. Selain itu ada lima orang lagi tampak muncul dari ruangan dalam rumah minum, ada yang berdandan sebagai kuli, ada yang membawa Swipoa seperti pedagang kecil, ada pula yang membawa seekor kera kecil di atas pundaknya seperti pengamen topeng monyet.
"Aha, kiranya serombongan kaum gelandangan bersembunyi di sini sehingga membikin kaget padaku!" seru si nona burik dengan tertawa. "He, di manakah Toasuko?"
"Baru bertemu mengapa sudah memaki kami sebagai kaum gelandangan?" omel si pemain kera.
"Habis main sembunyi-sembunyi, kan sama seperti perbuatan kaum gelandangan Kangouw yang rendah?" sahut si nona dengan tertawa. "Di manakah Toasuko, mengapa tiada bersama kalian?"
"Tidak tanya soal lain, yang ditanya hanya Toasuko melulu," ujar si pemain kera dengan tertawa. "Baru saja bicara tiga kalimat, dua kalimat di antaranya berturut-turut menanyakan diri Toasuko. Aneh, mengapa tidak tanya tentang diri Laksuko (kakak-guru keenam) saja?"
"Fui, kau si monyet ini kan baik-baik saja berada di sini, tidak mampus dan tidak sekarat, buat apa bertanya tentang dirimu?" sahut si nona dengan uring-uringan.
"Haha, dan Toasuko toh juga tidak mampus dan tidak sekarat, mengapa kau menanyakan dia?" kata si pemain monyet dengan tertawa menggoda.
"Sudahlah, aku tak mau bicara padamu," omel si nona. "Eh, Sisuko (kakak guru keempat), hanya engkau saja orang yang baik. Di manakah Toasuko?"
Belum lagi orang yang berdandan sebagai kuli itu menjawab, beberapa orang kawannya sudah lantas tertawa dan berkata, "Hanya Sisuko saja orang baik, jadi kami ini adalah orang busuk semua" Losi, jangan katakan padanya."
"Tidak katakan ya sudah, memangnya aku kepingin?" omel si nona dengan mendongkol. "Kalian tidak mau bicara, maka aku pun tidak mau menceritakan pengalaman anehku dengan Jisuko dalam perjalanan kami."
Lelaki yang berdandan sebagai kuli itu sejak semula tidak berkelakar dengan si nona, rupanya dia seorang yang jujur dan pendiam, baru sekarang dia membuka suara, "Kemarin kami baru saja berpisah dengan Toasuko di kota Heng-yang, dia suruh kami berangkat lebih dulu. Saat ini besar kemungkinan mabuknya juga sudah sadar dan dapatlah menyusul kemari."
"Kembali dia minum sampai mabuk?" si nona menegas sambil mengerut kening.
Orang yang berdandan sebagai kuli itu mengiakan. Sedangkan orang yang membawa Swipoa lantas berkata, "Sekali ini dia benar-benar minum dengan sepuas-puasnya, dari pagi minum sampai siang, dari siang minum lagi hingga petang, kukira paling sedikit juga ada dua-tiga puluh kati arak bagus yang masuk ke dalam perutnya."
"Cara minum begitu apa takkan merusak kesehatannya" Mengapa kalian tidak menasihati dia?" omel si nona.
Orang yang membawa Swipoa itu meleletkan lidahnya, lalu berkata, "Toasuko mau terima nasihat orang" Haha, tunggu nanti jika matahari sudah terbit dari barat! Ya, kecuali Siausumoay yang menasihati dia, mungkin dia mau mengurangi sedikit minumannya itu."
Maka tertawalah semua orang.
Segera si nona berkata pula, "Mengapa dia minum besar-besaran" Apakah dia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan lagi?"
"Pertanyaan ini harus diajukan kepada Toasuko sendiri," ujar orang yang membawa Swipoa. "Besar kemungkinan dia mengetahui akan bertemu dengan Siausumoay di sini, saking senangnya dia terus minum besar-besaran."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ngaco-belo!" semprot si nona. Namun tidak urung kelihatan rada senang. Lalu katanya pula, "Dari mana kalian mengetahui aku dan Jisuko akan datang ke sini" Kalian toh bukan malaikat dewata."
"Kami memang bukan malaikat dewata, tapi Toasuko adalah malaikat dewata," kata si pemain monyet dengan tertawa.
Mendengar kelakar sesama saudara seperguruan itu, diam-diam Peng-ci merasa heran, pikirnya, "Dari pembicaraan mereka, agaknya nona itu menaruh hati kepada Toasuhengnya. Namun Jisuhengnya saja sudah begitu tua, tentu Toasuheng lebih-lebih tua lagi. Padahal usia nona ini paling-paling cuma 16-17 tahun, masakah dia mencintai seorang kakek-kakek berusia lanjut?"
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Ya, tentulah nona ini merasa mukanya sendiri burik dan jelek, terpaksa ia mencintai seorang tua yang sudah duda. Hm, dasar nona ini memang berhati buruk, katanya Toasuhengnya juga seorang pemabuk, mereka benar-benar setimpal satu sama lain."
Dalam pada itu si nona burik telah bertanya pula, "Apakah kemarin pagi-pagi Toasuheng sudah lantas minum arak?"
Si pemain monyet itu menjawab, "Kalau tidak dijelaskan, tentu kau masih terus bertanya. Kejadiannya adalah begini: kemarin pagi-pagi waktu kami berdelapan hendak berangkat, tiba-tiba Toasuko mengendus bau arak yang harum, seketika ia celingukan ke sana kemari, akhirnya dilihatnya seorang pengemis sedang menenggak arak dari sebuah Houlo (buli-buli dari sejenis buah labu) besar. Seketika Toasuko ketagihan arak, ia coba maju mengobrol dengan si pengemis dan memuji araknya sangat harum, ditanyanya pula arak apakah itu"
"Si pengemis menjawab, 'Ini adalah arak kera!'
"'Kok aneh namanya arak kera"' tanya Toasuko. Maka pengemis itu menerangkan bahwa di tengah hutan pegunungan Oulam barat ada kawanan kera yang mahir membuat arak dari buah-buahan, araknya sangat enak, kebetulan pengemis itu memergoki simpanan arak itu kawanan kera kebetulan tidak ada, segera ia mencuri tiga buli-buli arak, bahkan menangkap pula seekor monyet kecil. Nah inilah dia!"
Ia mengakhiri ceritanya sambil menunjuk kera yang hinggap di atas pundaknya. Pinggang binatang itu terikat oleh seutas tali yang digandeng di atas lengannya, gerak-geriknya sangat jenaka.
"Lak-suko," kata si nona sambil memandangi kera itu dengan tertawa, "pantas kau berjuluk 'Lak-kau-ji' (si kera keenam), tampaknya kau dan binatang cilik ini akrab benar seperti saudara sekandung."
"Bukan, kami bukan saudara sekandung, tapi saudara seperguruan," sahut si pemain monyet dengan menarik muka. "Binatang cilik ini adalah Sukoku, aku Sutenya."
Serentak bergelak tertawalah semua orang.
Si nona juga tertawa sambil mengomel, "Awas, secara berputar kau memaki Toasuko sebagai monyet, biarlah akan kulaporkan padanya kalau kau ingin dihajar dengan beberapa bogem mentah!"
Lalu ia tanya pula, "Dan cara bagaimana saudaramu ini sampai di tanganmu?"
"Saudaraku" O, apakah kau maksudkan binatang cilik ini?" si pemain monyet alias Lak-kau-ji menegas. "Wah, panjang sekali kalau diceritakan dan memusingkan kepala saja."
"Tidak kau ceritakan juga aku dapat menerka," ujar si nona dengan tertawa. "Tentulah Toasuko telah menyerahkan monyet ini padamu supaya kau mendidiknya untuk membuatkan arak bagi Toasuko, bukan?"
"I ... iya ... tepat sekali kau menerka," sahut Lak-kau-ji.
"Toasuko memang suka main-main dengan urusan yang aneh-aneh," kata si nona. "Di gunung barulah monyet dapat membuat arak, kalau sudah ditangkap orang masakah mampu membuat arak lagi?"
Sesudah merandek sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kalau tidak, masa selama ini Lak-kau-ji kita tidak pernah membuat arak?"
"Sumoay, janganlah kurang ajar kepada Suheng, ya!" mendadak Lak-kau-ji berlagak marah.
"Aduuh, baru sekarang berlagak kereng sebagai Suheng," sahut si nona dengan tertawa. "Eh, Lak-suko, ceritamu belum selesai. Coba teruskan, cara bagaimana sampai Toasuko minum arak terus-menerus siang dan malam?"
"Begini," tutur Lak-kau-ji. "Waktu itu sama sekali Toasuko tidak pikirkan kotor atau tidak, dia terus minta arak kepada pengemis itu. Padahal, idiih! Daki di badan pengemis sedikitnya ada tiga senti tebalnya, kutu berkeliaran di atas bajunya, ingusnya meleleh menjijikkan, besar kemungkinan di dalam buli-buli araknya itu sudah banyak bercampur dengan ludah riaknya ...."
Si nona menjadi ikut-ikutan jijik, ia mengerut kening dan menutup hidung, katanya, "Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, membikin orang muak saja."
"Kau muak, tapi Toasuko justru tidak muak," ujar Lak-kau-ji. "Malahan waktu si pengemis menolak permintaannya, segera Toasuko mengeluarkan tiga tahil perak, katanya bayar tiga tahil perak hanya untuk minum satu ceguk saja."
"Cis, dasar rakus!" omel si nona dengan mendongkol dan geli pula.
"Karena itu barulah si pengemis meluluskan permintaan Toasuko. Sesudah menerima uang ia berkata, 'Baiklah, kita berjanji hanya satu ceguk saja dan tidak lebih!' Toasuko menjawab, 'Ya, sudah janji satu ceguk sudah tentu satu ceguk kalau lebih bayar lagi nanti!' Siapa duga, begitu buli-buli itu menempel mulut Toasuko, isi buli-buli itu lantas seperti dituang ke dalam tenggorokannya, sekaligus ia telah habiskan sisa arak yang lebih dari setengah buli-buli itu tanpa ganti napas.
"Kiranya Toasuko telah menggunakan 'Kun-goan-it-ki-kang' ajaran Suhu yang hebat itu sehingga tanpa ganti napas sekaligus ia telah hirup habis seluruh isi buli-buli. Coba kalau Siausumoay waktu itu ikut berada di sana, tentu kau pun akan kagum tak terkatakan menyaksikan ilmu sakti Toasuko yang sedemikian hebatnya itu."
Saking geli si nona tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Dasar mulutmu memang kotor, sedemikian caranya kau melukiskan kerakusan Toasuko."
"Habis memang begitu sih, kelakuannya," sahut Lak-kau-ji dengan tertawa. "Sekali-kali aku tidak membual, para Suheng dan Sute ikut menjadi saksi. Boleh kau tanya mereka apakah Toasuko tidak menggunakan 'Kun-goan-it-ki-kang' untuk menenggak arak kera itu."
"Ya, Siausumoay, sesungguhnya memang begitu," kata beberapa orang Suhengnya.
Si nona menghela napas, katanya setengah menggumam, "Alangkah sukarnya ilmu itu, kita tak dapat mempelajari semua, hanya dia seorang yang dapat, tapi dia justru menggunakannya untuk menipu arak si pengemis."
Nadanya menyesalkan tapi juga mengandung rasa memuji.
"Karena araknya dihabiskan Toasuko, dengan sendirinya pengemis itu tidak mau terima," demikian Lak-kau-ji menyambung. "Dia pegang baju Toasuko sambil berteriak-teriak, 'Katanya sudah janji hanya minum satu ceguk, kenapa sekarang seluruh isi Houlo dihabiskan!' Tapi Toasuko telah menjawab dengan tertawa, 'Ya aku memang benar-benar cuma minum satu ceguk, apakah kau melihat aku berganti napas" Tidak ganti napas berarti hanya satu ceguk. Sebelumnya toh kita tidak berjanji apakah satu ceguk besar atau satu ceguk kecil. Padahal barusan aku juga cuma minum setengah ceguk saja. Kalau satu ceguk harganya tiga tahil perak, maka setengah ceguk hanya satu setengah tahil saja. Nah mana uangnya, kembalikan satu setengah tahil perak.'"
"Hihi, sudah minum arak orang, hendak anglap uang orang lagi," ujar si nona dengan tertawa.
"Ya, keruan saja si pengemis itu hampir-hampir menangis," sambung Lak-kau-ji. "Toasuheng lantas berkata, 'Lauheng (saudara), janganlah khawatir, tampaknya kau juga seorang tukang minum arak. Marilah, mari, biar kutraktir kau untuk minum sepuas-puasnya.'
"Segera si pengemis diseretnya ke dalam sebuah warung arak di tepi jalan, kedua orang itu lantas minum besar-besaran. Kekuatan minum pengemis itu lumayan juga, semangkuk demi semangkuk mereka terus menenggak tanpa berhenti. Kami menunggu sampai siang, dari siang sampai petang, mereka masih terus minum. Akhirnya pengemis itu menggeletak dan tak sanggup bangun lagi. Tapi Toasuko sendiri masih terus menuang dan menenggak, cuma bicaranya juga sudah mulai pelo. Kami disuruh berangkat ke sini dahulu dan dia akan menyusul kemudian."
"O, kiranya demikian," kata si nona. Dan sesudah merenung sejenak, kemudian ia bertanya pula, "Apakah pengemis itu dari Kay-pang?"
"Bukan!" sahut orang yang berdandan sebagai kuli. "Dia tidak mahir ilmu silat, punggungnya juga tidak membawa kantong."
Si nona memandang keluar rumah minum, hujan masih rintik-rintik tak berhenti-henti. Ia menggumam sendiri, "Jika kemarin dia ikut berangkat tentu hari ini tidak perlu kehujanan lagi."
Kemudian Lak-kau-ji berkata pula, "Suhu memberi pesan pada kami agar sesudah mengantarkan kado dan memberi selamat kepada Lau-samya di sini, lalu berangkat ke Hokkian untuk mencari kalian. Tak terduga kalian malah sudah datang ke sini lebih dulu. Eh, Siausumoay, tadi kau bilang mengalami kejadian-kejadian aneh di tengah jalan, sekarang menjadi gilirannya untuk menuturkan pengalamannya kepada kami."
"Buat apa buru-buru?" sahut si nona. "Nanti saja kalau Toasuko sudah datang barulah kuceritakan supaya aku tidak capek mengulangi lagi. Kalian telah berjanji akan berkumpul di mana?"
"Tiada perjanjian," sahut Lak-kau-ji. "Heng-san toh tidak terlalu besar, tentu kita dapat bertemu dengan mudah. He, kau menipu aku menceritakan kejadian Toasuko minum arak kera, tapi pengalamanmu sendiri sengaja dijual mahal dan tidak diceritakan."
Pikiran anak dara itu tampaknya agak melayang, ia berkata, "Jisuko, silakan kau saja yang bercerita."
Ia pandang sekejap ke arah Peng-ci yang duduk mungkur itu, lalu sambung pula, "Di sini terlalu banyak mata dan telinga, sebaiknya kita mencari hotel dahulu baru nanti kita bicara lagi."
Seorang di antaranya yang berperawakan tinggi sejak tadi tidak ikut bicara, baru sekarang ia berkata, "Hotel di dalam kota Heng-san sudah penuh semua, kita pun tidak ingin membuat repot keluarga Lau, biarlah sebentar lagi jika Toasuko sudah datang, kita lantas mencari pondok di kelenteng atau rumah berhala lain di luar kota saja. Bagaimana Jisuko?"
Karena Toasuko belum datang, dengan sendirinya si kakek sebagai Jisuko adalah pemimpin mereka. Maka dia mengangguk dan menjawab, "Baik, bolehlah kita menunggu di sini saja."
Dasar julukannya monyet, maka watak Lak-kau-ji juga tidak sabaran seperti kera, dengan bisik-bisik ia berkata, "Bungkuk itu besar kemungkinan adalah seorang linglung, sudah duduk di situ sejak tadi tanpa bergerak, buat apa kita urus dia" Nah, Jisuko, engkau dan Siausumoay pergi ke Hokciu, bagaimana hasil penyelidikan kalian" Hok-wi-piaukiok sudah dibabat habis oleh Jing-sia-pay, apakah keluarga Lim benar-benar tidak mempunyai kepandaian sejati?"
Mendengar nama keluarganya disinggung, segera Peng-ci lebih memusatkan perhatian untuk mendengarkan.
Tak terduga si kakek malah balik bertanya, "Sebab apakah mendadak Bok-taysiansing muncul di sini dan mengeluarkan kepandaiannya Kin-lian-hoan dan sekali tebas mengutungkan tujuh cangkir" Tadi kalian ikut menyaksikan semua, bukan?"
"Ya," sahut Lak-kau-ji. Lalu ia mendahului bercerita apa yang terjadi tadi.
"Oh, begitu," kata si kakek. Selang sejenak baru sambungnya, "Orang luar semua mengatakan Bok-taysiansing dan Lau-samya tidak akur, sekali ini Lau-samya hendak 'cuci tangan' dan mengundurkan diri, tapi Bok-taysiansing muncul pula di sini secara rahasia dan mencurigakan, sungguh sukar untuk diraba apa sebab musababnya."
"Jisuko, kabarnya Ciangbunjin dari Thay-san-pay, Thian-bun Cinjin sendiri juga telah hadir di rumah Lau-samya?" tanya orang yang membawa Swipoa.
Si kakek rada terkejut, sahutnya, "Thian-bun Cinjin sendiri juga datang" Wah, sungguh suatu kehormatan besar bagi Lau-samya. Dengan hadirnya Thian-bun Cinjin, bila benar-benar terjadi percekcokan antara Lau-samya dan Bok-taysiansing, rasanya Lau-samya tidak perlu gentar lagi kepada Bok-taysiansing."
"Jisuko, lalu Ih-koancu dari Jing-sia-pay akan membantu siapa?" tiba-tiba si nona burik bertanya.
Dada Peng-ci seperti dihantam godam demi mendengar nama "Ih-koancu dari Jing-sia-pay".
Dalam pada itu Lak-kau-ji dan yang lain beramai-ramai telah tanya juga, "He, Ih-koancu juga datang?"
"Tumben ada orang dapat mengundang dia turun dari Jing-sia!"
"Wah, sedemikian banyak tokoh-tokoh terkemuka yang berkumpul di kota Heng-san ini, mungkin akan terjadilah pertarungan sengit."
"Eh, Siausumoay, dari mana kau mendapat tahu kedatangan Ih-koancu?"
"Kenapa mesti mendapat tahu dari mana" Aku sendirilah yang melihat kedatangannya," sahut si nona.
"Kau telah melihat Ih-koancu?" Lak-kau-ji menegaskan. "Di Heng-san sini?"
"Bukan saja aku melihatnya di sini, di Hokkian juga aku melihatnya, di Kangsay juga aku melihatnya," sahut si nona.
"Oo, Ih-koancu sudah pergi ke Hokkian?" tukas si orang pembawa Swipoa. "Kali ini secara besar-besaran Jing-sia-pay merecoki Hok-wi-piaukiok, sampai-sampai Ih-koancu juga maju sendiri, kukira pasti ada sebab yang amat penting. Siausumoay, untuk ini kukira engkau tentu tidak tahu."
"Gosuko, kau tidak perlu membikin panas hatiku," sahut si nona. "Mestinya aku hendak cerita, tapi kau sengaja mengipasi, maka aku justru tidak jadi cerita lagi."
Lak-kau-ji memandang sekejap pula ke arah Peng-ci, lalu berkata, "Mengenai Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok, andaikan didengar oleh tamu juga tidak menjadi soal. Jisuko, untuk apakah Ih-koancu pergi ke Hokkian" Cara bagaimana kalian memergoki dia?"
Ia tidak tahu bahwa diam-diam Peng-ci merasa sangat berterima kasih atas pertanyaannya itu. Sebab memang demikianlah yang ingin diketahui Peng-ci.
"Bulan 12 yang lalu," demikian si kakek melanjutkan, "ketika di kota Hantiong, Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong dari Jing-sia-pay ...."
Mendengar nama kedua orang itu, mendadak Lak-kau-ji tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa yang kau tertawakan?" semprot si nona dengan mendelik.
"Aku menertawai kedua manusia yang sombong itu, nama mereka pakai 'Jin-eng' (pahlawannya manusia) dan 'Jin-hiong' (jantannya manusia) segala, haha, malahan orang Kangouw menyebut mereka sebagai 'Eng-Hiong-Ho-Kiat, Jing-sia-su-siu', kan lebih baik pakai nama 'Liok Tay-yu' seperti aku saja dan habis perkara," demikian kata Lak-kau-ji dengan tertawa.
Kiranya nama Lak-kau-ji yang sebenarnya adalah Liok Tay-yu. Liok artinya Lak atau enam, kebetulan urut-urutannya dalam perguruan juga nomor enam, maka orang lantas memberi julukan Lak-kau-ji, si kera keenam, padanya.
Segera seorang lagi mengomeli, "Sudahlah, jangan kau ganggu cerita Jisuko."
"Baiklah," sahut Liok Tay-yu, tapi tidak urung ia terkekeh-kekeh pula.
"Sebenarnya apa sih yang kau gelikan" Kau memang suka mengacau!" omel si nona.
"Aku jadi teringat pada waktu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong itu dihajar oleh Toasuko sampai jungkir balik dan terguling-guling, tapi mereka masih belum tahu siapakah orang yang menghajar mereka, lebih-lebih tidak tahu lantaran sebab apa kok menerima hajaran," sahut Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Kiranya Toasuko menjadi geregetan bila mendengar nama mereka, maka sambil minum arak Toasuko lantas berteriak-teriak, 'Anjing liar babi hutan, empat binatang dari Jing-sia'. Sudah tentu Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong menjadi marah, segera mereka hendak melabrak Toasuko, tapi belum apa-apa mereka sudah didepak terguling ke bawah loteng rumah arak itu. Hahaha, sungguh sangat lucu!"
Hati Peng-ci sangat terhibur mendengar cerita itu. Timbul juga rasa simpatiknya kepada Toasuko dari Hoa-san-pay ini. Meski dirinya belum kenal Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi kedua orang itu adalah Suheng Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho, mereka telah ditendang terguling-guling oleh "Toasuko" orang-orang Hoa-san-pay ini, paling tidak rasa dendamnya sudah terlampiaskan sedikit. Padahal kejadian itu adalah bulan 12 tahun yang lalu, jadi belum terjadi permusuhan antara Jing-sia-pay dan Hok-wi-piaukiok.
Dalam pada itu si nona burik telah mengolok-olok Lak-kau-ji, "Kau cuma pintar menonton saja, bila kau yang berkelahi dengan orang, rasanya belum tentu kau mampu menandingi 'Jing-sia-su-siu' (empat jago muda Jing-sia-pay)."
"Ah, juga belum tentu begitu," sahut Lak-kau-ji. "Kau toh belum kenal siapa-siapa Jing-sia-su-siu itu."
"Dari mana kau mengetahui bahwa aku belum kenal mereka" Malahan orang Jing-sia-pay sudah merasakan hajaranku," sahut si nona.
Mendengar itu, para Suhengnya lantas bertanya cara bagaimana nona itu pernah menghajar orang Jing-sia-pay"
Tapi si nona sengaja jual mahal dan tidak mau cerita. Maklumlah, Keh Jin-tat yang dia lemparkan ke dalam kolam lumpur itu terhitung jago nomor buntut di antara murid-murid Jing-sia-pay, kalau dia ceritakan rasanya juga kurang gemilang.
Maka Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji lantas berkata, "Siausumoay, kepandaianmu rasanya selisih tidak jauh daripadaku, jika orang Jing-sia-pay dapat kau hajar, tentu aku pun mampu menghajar mereka."
"Hihi, tentang Jing-sia-su-siu sih aku belum tentu mampu menandingi mereka, cuma saja mereka yang gentar padaku," ujar si nona sambil tertawa.
"Inilah aneh," kata Liok Tay-yu. "Kau tidak dapat menandingi mereka, tapi mereka malah gentar padamu. Ini ma ... mana bisa terjadi?"
"Sudahlah, Lak-kau-ji, jangan menimbrung saja, dengarkan dulu ceritanya Jisuko," kata si jangkung.
Biasanya Lak-kau-ji memang agak jeri kepada Samsuko si jangkung itu, maka ia tidak berani cerewet dan tertawa-tawa lagi.
"Meski Toasuko telah menghajar Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong, tapi waktu itu dia pun tidak tahu persis siapakah mereka itu, sesudah itu barulah dia mengetahuinya," demikian tutur si kakek lagi. "Sebab itulah Ih-koancu lantas menulis surat kepada Suhu, isi suratnya sih sangat ramah, dia bilang kurang keras mendidik muridnya sehingga membikin marah muridmu, maka sengaja menulis untuk minta maaf segala."
"Hah, orang she Ih itu sungguh sangat licin," sela Liok Tay-yu. "Tampaknya dia menulis surat dan minta maaf, padahal maksudnya adalah mengadu kepada Suhu. Keruan Toasuko yang terima akibatnya dengan dihukum berlutut tujuh hari tujuh malam, sesudah para Suheng dan Sute memintakan maaf baginya, barulah Suhu mau mengampuni dia."
"Ampun apa, bukankah tetap dihukum rangket 30 kali?" ujar si nona.
"Ya, aku pun ikut-ikut dipersen 10 kali rangketan," kata Liok Tay-yu. "Hehe, cuma cara Hau Jin-eng dan Ang Jin-hiong terguling-guling ke bawah loteng rumah arak itu keadaannya benar-benar sangat konyol. Biarpun dirangket 10 kali aku merasa tidak rugi. Hahahaha!"
"Hm, macammu ini, sudah dirangket 10 kali toh masih belum kapok," kata si jangkung. "Waktu itu mestinya kau dapat mencegah Toasuko. Memang dugaan Suhu tidak salah, beliau cukup kenal watakmu, bukannya mencegah, tentu kau malah mengadu dan mendorong dari belakang. Makanya pantas kau dirangket juga."
"Ai, sekali ini Suhu benar-benar telah salah menaksirkan diriku," ujar Liok Tay-yu. "Jika Toasuko mau tendang orang, apakah aku mampu mencegahnya" Apalagi betapa cepat Toasuko mengayun kakinya, belum sempat aku melihat jelas, tahu-tahu kedua 'kesatria besar' yang menubruk dari kanan-kiri itu sudah terguling ke bawah loteng tanpa berhenti. Mestinya aku hendak memerhatikan kepandaian Toasuko yang istimewa, supaya aku pun dapat belajar tendangan 'Pah-bwe-kah' (tendangan ekor macan tutul) itu, namun sama sekali aku tidak sempat menyaksikan dengan jelas, jangankan hendak belajar."
Bab 10. Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat
"Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang 'empat binatang dari Jing-sia', tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?" demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede.
"Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara," sahut Liok Tay-yu. "Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?"
"Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru," ujar si badan gede.
"Ya, peringatan Suhu terhadap Toasuko itu memang perlu juga diingat baik-baik oleh kita semua," kata si kakek pula. "Menurut Suhu, banyak orang persilatan memang suka memakai julukan yang muluk-muluk dan berlebihan, tapi masakah kita dapat mengurusnya satu per satu" Orang mau menyebut dirinya sebagai 'kesatria' atau 'pahlawan' boleh biarkan saja, buat apa ambil pusing. Tentang perbuatannya, tingkah lakunya, apakah betul-betul kesatria atau pahlawan atau cuma 'jual kecap' melulu, tentu orang persilatan umumnya akan memberi penilaian sendiri, kita tidak perlu ambil tindakan sendiri-sendiri."
Semua orang mengiakan uraian sang Jisuko. Maka dengan tersenyum kakek itu meneruskan, "Setelah kejadian Hau-Jin-eng dan Ang Jin-hiong dihajar oleh Toasuko, tentu saja hal mana bagi Jing-sia-pay merupakan suatu hinaan besar dan sangat memalukan, maka sama sekali mereka tidak berani membicarakannya, bahkan anak murid mereka sendiri jarang yang mengetahui kejadian itu. Suhu juga wanti-wanti memperingatkan kita agar jangan menyiarkan kejadian itu keluar untuk menghindari percekcokan kedua pihak. Maka selanjutnya kita pun jangan membicarakannya lagi, awas kalau didengar orang luar dan disiarkan."
"Ah, padahal kepandaian Jing-sia-pay kukira juga cuma membual belaka," ujar Liok Tay-yu. "Biar kita menyalahi mereka juga tidak menjadi soal ...."
"Laksute," bentak si kakek, "jika kau sembarangan omong lagi, awas kalau kulaporkan kepada Suhu, tentu kau akan terima rangketan lagi. Dapatnya Toasuko menggulingkan kedua lawan dengan gerakan 'Pah-bwe-kah', pertama adalah karena pihak mereka sama sekali tidak siap, kedua, Toasuko adalah jago muda yang paling menonjol dari golongan kita yang sukar dibandingi orang lain. Coba kau sendiri saja, apakah kau mampu menendang orang sehingga terguling ke bawah loteng?"
Liok Tay-yu melelet-lelet lidah, jawabnya, "Ya, jangan bandingkan Toasuko dengan aku, dong!"
"Maka dari itu janganlah kita tinggi hati. Ih-koancu, ketua Jing-sia-pay, sesungguhnya adalah tokoh pilihan di dunia persilatan pada zaman ini, siapa berani memandang enteng padanya tentu akan merasakan akibatnya," kata si kakek dengan sungguh-sungguh. "Kau, Siausumoay, kau sudah pernah melihat Ih-koancu, coba bagaimana pendapatmu tentang dia?"
"Tentang Ih-koancu maksudmu?" si nona menegas. "Aku ... aku menjadi takut bila melihatnya. Lain ... lain kali aku tidak ingin melihat dia lagi."
"Bagaimana sih macamnya Ih-koancu itu sehingga Siausumoay kita sampai ketakutan padanya" Apakah mukanya sangat bengis dan jahat?" tanya Liok Tay-yu.
Anak dara itu agaknya masih merasa ngeri, maka badannya agak mengkeret dan tidak menjawab pertanyaannya.
Si kakek lantas menyambung ceritanya, "Karena Toasuko masih belum juga datang, daripada iseng biarlah kuceritakan sekalian dari awal mula. Sesudah kita mengetahui seluk-beluk urusan ini, kelak bila bertemu dengan orang-orang Jing-sia-pay dapatlah kita dapat berjaga-jaga sebelumnya dan tahu bagaimana cara bagaimana menghadapi mereka. Hari itu sesudah Suhu terima suratnya Ih-koancu, dengan marah beliau lantas memberi hukuman rangket kepada Toasuko dan Laksute. Besoknya beliau lantas menulis surat balasan dan menyuruh aku mengantarkannya ke Jing-sia-san ...."
"O, makanya hari itu kau turun gunung dengan tergesa-gesa, kiranya kau diutus pergi ke Jing-sia?" seru beberapa Sutenya.
"Benar," sahut si kakek. "Suhu suruh aku jangan mengatakan kepada kalian supaya tidak timbul hal-hal yang tak diinginkan."
"Hal-hal yang tak diinginkan apa sih" Itu kan cuma pikiran Suhu yang biasanya memang sangat hati-hati," ujar Liok Tay-yu.
"Kau tahu apa?" omel Samsuhengnya. "Bila Jisuko mengatakan padamu, tentu kau akan usil mulut dan menyampaikannya pula kepada Toasuko. Andaikan Toasuko tidak berani membangkang perintah Suhu, tapi dia tentu akan menggunakan akal aneh-aneh untuk mengacau pihak Jing-sia-pay."
"Benar juga ucapan Samte," kata si kakek. "Toasuko mempunyai banyak sekali sahabat Kangouw, untuk melakukan sesuatu tidak perlu mesti dia sendiri yang melaksanakannya. Menurut Suhu, dalam surat mengatakan kedua murid yang nakal telah diberi hukuman yang setimpal, mestinya akan dipecat dari perguruan, tapi khawatir hal ini akan menimbulkan salah sangka orang Kangouw seakan-akan kedua aliran kita telah terjadi keretakan, maka sekarang kedua murid nakal itu sudah diberi hukum rangket sehingga tidak mampu berjalan, sebab itulah sengaja menyuruh Jitecu bernama Lo Tek-nau untuk minta maaf. Urusan yang ditimbulkan oleh murid nakal ini hendaklah Ih-koancu mengingat hubungan baik kedua pihak dan janganlah marah dan macam-macam ucapan merendah lagi."
Mendengar uraian isi surat itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Hubungan Hoa-san-pay kalian dan Jing-sia-pay ternyata sangat akrab, pantas nona burik itu tidak mau menyalahi mereka hanya untuk membela aku dan ayah saja."
Dalam pada itu si kakek yang bernama Lo Tek-nau telah meneruskan ceritanya, "Sesampainya aku di Jing-sia-san, masih mendingan si Hau Jin-eng itu, yang kurang ajar adalah si Ang Jin-hiong, beberapa kali dia mengejek dan mencemooh, bahkan menantang aku untuk berkelahi ...."
"Keparat! Labrak saja, takut apa, Jisuko" Masakah keparat she Ang itu mampu menandingi kau?" seru Liok Tay-yu dengan gemas.
"Tapi Suhu menyuruh aku ke Jing-sia-san untuk meminta maaf dan bukan untuk mencari perkara," sahut Lo Tek-nau. "Maka sedapat mungkin aku hanya bersabar saja. Aku menunggu enam hari di sana, sampai hari ketujuh barulah Ih-koancu menemui aku."
"Hm, lagaknya!" omel Liok Tay-yu. "Selama enam hari enam malam itu tentu engkau sangat tersiksa, Jisuko."
"Ya, sudah tentu aku kenyang disindir dan diejek," sahut Lo Tek-nau. "Syukurlah aku cukup sadar akan tugas yang dibebankan Suhu kepadaku, bahwasanya aku yang diutus ke Jing-sia bukan lantaran ilmu silatku melebihi orang lain, beliau tahu usiaku paling tua dan jauh lebih sabar daripada para Sute. Sesudah menemui aku, Ih-koancu juga tidak bilang apa-apa, dia hanya menghibur aku beberapa patah, malamnya lantas mengadakan perjamuan untukku. Besok paginya dia sendiri yang mengantar keberangkatanku, sedikit pun tidak kurang adat. Tapi mereka tidak menduga bahwa selama enam hari aku dibiarkan tinggal di Siong-hong-koan mereka tanpa digubris sesungguhnya malah merugikan mereka sendiri.
"Karena aku belum dapat bertemu dengan Ih-koancu, dengan sendirinya aku menjadi menganggur saja. Hari ketiga pagi-pagi sekali aku telah bangun dan keluar jalan-jalan, sampai di lapangan berlatih di belakang kuil mereka itu, terlihat ada beberapa puluh murid Jing-sia-pay sedang latihan. Kita mengetahui orang Bu-lim paling pantang kalau mengintip orang lain yang sedang berlatih, maka cepat-cepat aku memutar balik ke kamar. Akan tetapi hanya sekilas pandang itu saja aku sudah lantas timbul rasa curiga. Kulihat beberapa puluh murid Jing-sia-pay itu semuanya menggunakan pedang dan sedang berlatih sesuatu ilmu pedang baru, sebab tampaknya gerakan mereka masih kaku. Cuma sekilas saja aku pun tidak jelas ilmu pedang apa yang mereka latih itu.
"Sepulangnya di kamar, hatiku semakin curiga. Aku tidak habis mengerti mengapa murid-murid Jing-sia-pay itu tanpa kecuali sekaligus telah latihan bersama sebuah ilmu pedang. Apalagi di antara mereka juga termasuk empat tokoh muda yang terkenal sebagai Jing-sia-su-siu, yaitu Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho dan Lo Jin-kiat. Coba para Sute, jika kalian yang memergoki keadaan begitu, bagaimana dugaan kalian?"
"Mungkin Jing-sia-pay baru menciptakan semacam ilmu pedang," ujar orang pembawa Swipoa.
"Semula aku pun berpikir begitu," sahut Lo Tek-nau. "Tapi setelah kupikir lagi kukira tidak tepat. Ilmu pedang Ih-koancu sudah cukup terkenal, jika dia berhasil menciptakan ilmu pedang baru, maka ilmu pedang ini pasti luar biasa dan tidaklah mungkin serentak diajarkan kepada semua muridnya tanpa membedakan tingkatan. Paling-paling dia cuma pilih dua-tiga muridnya yang paling pandai untuk melatihnya. Maka pagi hari berikutnya kembali aku memutar ke belakang kuil lagi, lewat di lapangan berlatih, kembali kulihat mereka masih latihan ilmu pedang. Sekilas pandang pula aku dapat mengingat baik-baik dua jurus di antaranya dengan maksud sepulangnya di Hoa-san akan kuminta keterangan kepada Suhu. Maklumlah aku menjadi curiga jangan-jangan Jing-sia-pay hendak memusuhi Hoa-san-pay kita, bukan mustahil ilmu pedang mereka yang baru itu khusus akan ditujukan untuk mengalahkan kita, untuk mana kita harus siap siaga sebelumnya."
"Jisuko, apakah tidak mungkin mereka sedang berlatih semacam Kiam-tin (barisan pedang)?" tiba-tiba si badan gede ikut tanya.
"Hal ini pun sangat mungkin. Cuma dari cara latihan mereka itu kukira bukanlah sebuah Kiam-tin apa-apa," sahut Lo Tek-nau. "Ketika esok paginya aku pura-pura lalu di lapangan latihan itu, namun keadaan sunyi senyap tiada seorang pun. Kutahu mereka sengaja menghindari aku, maka rasa curigaku semakin menjadi. Malamnya selagi aku hampir pulas, tiba-tiba dari jauh terdengar suara saling benturnya senjata. Aku terkejut, apakah Siong-hong-koan mereka telah kedatangan musuh" Pikiranku yang timbul pertama adalah: jangan-jangan Toasuko yang sengaja menyatroni mereka karena merasa dendam habis dimarahi Suhu" Jika demikian halnya, seorang diri tentu Toasuko sukar melawan orang banyak, aku harus keluar untuk membantunya. Karena aku tidak membawa senjata, terpaksa dengan bertangan kosong aku lantas keluar ...."
"Wah, tabah benar, Jisuko," puji Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Jika aku tentu tidaklah berani melawan Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay itu dengan bertangan kosong".
"Kau omong melantur saja, monyet," semprot Lo Tek-nau. "Aku toh tidak mengatakan akan menempur Ih-koancu. Aku cuma khawatirkan keselamatan Toasuko, biarpun berbahaya juga terpaksa ikut maju. Memangnya kau suruh aku enak-enak tidur dan mengkeret di dalam selimut seperti kura-kura?"
Mendengar itu, para Sutenya lantas bergelak tertawa.
Liok Tay-yu menyengir, sahutnya, "Aku kan memuji kau, kenapa kau marah malah?"
"Terima kasih saja, pujianmu itu tidak enak didengar," ujar Lo Tek-nau.
"Sudahlah Jisuko, lanjutkan saja ceritamu, jangan gubris Lak-kau-ji yang mengacau melulu itu," kata Sute-sutenya yang lain.
"Ya, maka diam-diam aku lantas keluar dari kamar, kudengar suara senjata itu makin lama makin ramai, hatiku semakin berdebar juga. Kedengaran suara senjata itu datang dari ruangan belakang, terlihat pula di balik jendela ruangan belakang itu memang terang benderang, segera aku menuju ke sana. Waktu kuintip ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela, maka legalah hatiku. Kiranya curigaku itu tidaklah beralasan, hanya lantaran Ih-koancu tidak menemui aku sampai beberapa hari, maka aku selalu berpikir hal-hal yang buruk. Ternyata di dalam ruangan pendopo belakang itu ada dua pasangan sedang bertanding pedang, yang satu partai adalah Hau Jin-eng melawan Ang Jin-hiong, partai lain adalah Pui Jin-ti melawan Uh Jin-ho."
"Wah, giat amat anak murid Jing-sia-pay itu, sampai malam hari juga berlatih," Liok Tay-yu mengolok-olok.
Lok Tek-nau melototinya sekali, lalu menyambung dengan tersenyum, "Kulihat di tengah ruangan itu duduk seorang Tojin pendek kecil berjubah hijau, usianya sekitar 50-an tahun, mukanya kurus ciut, melihat macamnya itu bobot badannya paling-paling cuma 60-70 kati saja. Orang-orang Bu-lim memang mengetahui ketua Jing-sia-pay adalah seorang Tojin yang pendek dan kecil, tapi kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak tahu sampai begitulah pendek dan kecilnya, apalagi percaya bahwa dia adalah Ih-koancu yang namanya termasyhur.
"Di sekeliling ruangan itu berdiri beberapa puluh anak muridnya, semuanya sedang mengikuti pertandingan ilmu pedang di tengah kalangan itu. Sesudah mengintip beberapa jurus saja aku lantas tahu bahwa ilmu pedang yang dimainkan mereka itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu pedang yang pernah kulihat di lapangan latihan itu.
"Kutahu keadaanku waktu itu sangat berbahaya, jika sampai ketahuan orang Jing-sia-pay, bukan saja aku akan mengalami hinaan, bahkan akan merugikan nama baik perguruan kita. Peristiwa Toasuko menendang terguling kedua jago muda Jing-sia-pay itu walaupun mengakibatkan Suhu menghukum Toasuko, tapi di dalam hati Suhu mungkin juga ada perasaan senang. Sebab apa pun juga Toasuko toh sudah menonjolkan namanya, apa yang disebut Jing-sia-su-siu itu ternyata tidak tahan oleh sekali tendang murid utama Hoa-san-pay kita. Akan tetapi lain soalnya jika aku ketangkap basah selagi mengintip orang lain berlatih, maka dosaku pastilah tak terampunkan, bukan mustahil aku akan diusir keluar dari perguruan kita.
"Namun menghadapi pertandingan orang yang menarik itu, boleh jadi ada sangkut pautnya pula dengan kepentingan Hoa-san-pay kita, masakah aku mau tinggal pergi begitu saja" Diam-diam aku berjanji hanya akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi. Tapi beberapa jurus ditambah beberapa jurus lagi, makin melihat makin tertarik sehingga aku tetap mengintip terus. Kulihat ilmu pedang yang dimainkan mereka itu agak aneh, tapi toh tiada sesuatu yang lihai, mengapa orang Jing-sia-pay sedemikian tekun melatihnya"
"Sesudah mengintip beberapa jurus lagi, aku tidak berani mengintip terus, perlahan-lahan aku pulang ke kamar. Kukhawatir bila pertandingan mereka sudah berhenti, dalam keadaan sunyi, asal sedikit aku bergerak saja pasti akan diketahui oleh Ih-koancu. Maka untuk dua malam selanjutnya aku tidak berani pergi mengintip lagi. Padahal jika sebelumnya aku tahu mereka berlatih di hadapan Ih-koancu betapa pun aku tidak berani mengintipnya. Soalnya cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka. Maka dari itu pujian Laksute tentang ketabahanku sebenarnya aku tidak berani terima. Malam itu bila Laksute melihat mukaku yang pucat takut itu mustahil takkan mengatakan Jisukomu ini sebagai seorang pengecut nomor satu yang takut mati."
"Ah, mana berani aku berkata begitu," ujar Liok Tay-yu dengan tertawa. "Paling-paling Jisuko adalah penakut yang nomor dua. Sebab bila aku yang mengintip waktu itu, aku sih tidak takut dipergoki Ih-koancu, karena saking takutnya aku tentu menjadi kaku dan tak bisa bergerak, bernapas pun tak dapat, maka tak perlu khawatir diketahui oleh Ih-koancu, tidak nanti Ih-koancu mengetahui di luar jendela ada 'tokoh' nomor satu sebagai diriku ini sedang mengintip."
Serentak tertawalah semua orang mendengar ucapan Lak-kau-ji yang lucu itu.
Lalu Lo Tek-nau melanjutkan lagi, "Akhirnya Ih-koancu menerima aku juga. Dia bicara dengan sangat sungkan, katanya hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya sangat baik, kalau anak murid bertengkar adalah seperti anak kecil berkelahi saja, buat apa orang tua ambil pusing. Malamnya aku lantas dijamu, besoknya waktu berangkat Ih-koancu mengantar sendiri keluar Siong-hong-koan. Sebagai kaum muda waktu mohon diri sudah seharusnya aku berlutut untuk menjura padanya. Tapi baru sebelah kakiku berlutut, tangan kanan Ih-koancu sudah lantas menyanggah perlahan sehingga aku terangkat bangun.
"Tenaga Ih-koancu benar-benar luar biasa, seketika badanku terasa enteng, sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenagaku, kalau dia mau melemparkan aku, tentu aku akan terguling-guling beberapa meter jauhnya. Dengan tersenyum dia tanya padaku, 'Toasukomu masuk perguruan lebih dahulu beberapa tahun daripadamu" Apakah kau berguru sudah memiliki ilmu silat"'
Pedang Ular Merah 8 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pendekar Lembah Naga 26

Cari Blog Ini