Ceritasilat Novel Online

Hina Kelana 37

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 37


Dua murid Co Leng-tan mengiakan terus meloncat ke atas panggung dan berseru, "Suhu, marilah kita turun saja!"
Namun Co Leng-tan masih terus menantang, "Hayolah maju Gak Put-kun!"
Ketika seorang muridnya menjulurkan tangan buat memapahnya, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah tertebas menjadi dua mulai dari bahu kanan ke pinggang sebelah kiri. Menyusul sinar pedang berkelebat pula, muridnya yang lain juga mengalami nasib yang sama, tubuhnya tertebas menjadi dua sebatas dada.
Keruan semua orang menjerit kaget. Betapa lihai ilmu pedang Co Leng-tan jelas tertampak dari tebasannya barusan ini. Namun Gak Put-kun toh mampu menandinginya tadi, hal ini pun luar biasa.
Perlahan-lahan Gak Put-kun melangkah ke tengah panggung dan mengambil kembali pedangnya, lalu berkata, "Co-heng, karena kau sudah cacat, maka aku takkan mengusik kau lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau masih ingin berebut menjadi ketua Ngo-gak-pay dengan aku?"
Co Leng-tan angkat pedangnya perlahan-lahan, ujung pedang terarah tepat ke dada lawan. Darah bertetes-tetes menitik jatuh dari batang pedangnya, semua orang sampai menahan napas karena ingin tahu apakah Co Leng-tan akan menusukkan pedangnya itu dan dapatkah Gak Put-kun menangkisnya"
Tampaknya Co Leng-tan telah mengerahkan segenap tenaganya pada pedangnya itu, sebaliknya Gak Put-kun juga menghimpun kekuatan Ci-he-sin-kang dan siap untuk menghadapi serangan menentukan dari Co Leng-tan itu.
Namun pada detik berbuat dan tidak itu, dalam benak Co Leng-tan tiba-tiba timbul macam-macam pikiran, ia pikir kalau serangan terakhir ini tidak mampu membinasakan Gak Put-kun atau kena ditangkis, maka diri sendiri yang sudah buta tentu tiada pilihan lain kecuali mati konyol di tangan Gak Put-kun, dan itu berarti pula buyarlah semua jerih payah sendiri dalam usaha menjagoi Ngo-gak-pay yang telah berjalan sekian lamanya. Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dada terasa panas, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Gak Put-kun yang berdiri berhadapan itu tidak berani bergerak sedikit pun karena khawatir tidak sanggup menahan serangan lawan yang tiba-tiba datangnya, maka mukanya dan sekujur badan menjadi basah kuyup tersembur oleh darah yang ditumpahkan Co Leng-tan itu.
Mendadak Co Leng-tan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, lalu ia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga berkumandang jauh dan menggema angkasa pegunungan.
Habis tertawa ia terus melangkah ke bawah punggung. Ketika sampai di tepi dan sebelah kakinya menginjak tempat kosong, namun dia sudah siap sebelumnya, sebelah kakinya lantas melayang ke depan sehingga tubuhnya menurun ke bawah dengan tegak.
Setiba di bawah panggung, anak murid Ko-san-pay lantas merubunginya dan berseru, "Suhu, marilah kita terjang mereka dan cincang segenap orang Hoa-san-pay itu."
Namun Co Leng-tan lantas berseru lantang, "Tidak! Seorang laki-laki harus pegang janji. Sebelumnya sudah ditentukan bertanding untuk berebut juara, kalau Gak-siansing jelas lebih unggul daripadaku, kita semua harus mengangkatnya menjadi ketua, mana boleh ingkar janji?"
Ketika kedua matanya mendadak dibutakan tadi, saking kaget dan murkanya ia telah mencaci maki lawannya, tapi sesudah tenang kembali segera pulih pula sikap dan gayanya sebagai seorang pemimpin persilatan yang besar.
Para penonton sama kagum juga melihat Co Leng-tan yang berani menghadapi kenyataan itu, coba kalau sampai terjadi pertarungan besar, tentu pihak Hoa-san-pay akan sukar menghadapi pihak Ko-san-pay yang berjumlah lebih banyak dan keuntungan tempat pula.
Di antara hadirin sudah tentu banyak di antaranya terdiri dari manusia-manusia "plinplan" yang cuma mengikuti arah angin, demi mendengar ucapan Co Leng-tan itu, serentak mereka bersorak-sorai, "Hidup Gak-siansing! Silakan Gak-siansing menjadi ketua Ngo-gak-pay!"
Tentu saja anak murid Hoa-san-pay lebih-lebih gembira dan teriakan mereka paling lantang. Kemenangan Gak Put-kun yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi terlalu cepat dan sama sekali di luar dugaan mereka sendiri.
Setelah mengusap darah yang mengotori mukanya, Gak Put-kun lantas maju ke tepi panggung, serunya sambil memberi hormat kepada para hadirin, "Pertandingan Cayhe dengan Co-suheng sebenarnya diharapkan berakhir dalam batas-batas tertentu. Namun kepandaian Co-suheng ternyata terlalu hebat sehingga pedangku tergetar lepas, pada saat berbahaya itu Cayhe terpaksa harus menyelamatkan diri sehingga tidak dapat menguasai diri dan akhirnya kedua mata Co-suheng menjadi korban, sungguh Cayhe merasa tidak enak hati."
"Senjata tidak bermata, siapa bisa menjamin takkan cedera dalam pertarungan sengit itu," seru seorang penonton.
Tiba-tiba seorang lagi berseru, "Sekarang kalau ada lagi yang ingin menjadi ketua Ngo-gak-pay, hayolah silakan naik ke atas untuk bertanding pula dengan Gak-siansing!"
Suasana ternyata sepi-sepi saja. Maka beratus-ratus orang lantas berteriak pula, "Gak-siansing yang pantas menjadi ketua Ngo-gak-pay!"
Menunggu setelah suara ramai itu rada tenang barulah Gak Put-kun berkata dengan suara lantang, "Atas dukungan Saudara-saudara, terpaksa Cayhe tak bisa menolak. Ngo-gak-pay mulai hari ini didirikan, segala apa masih harus diatur, Cayhe hanya dapat memimpin secara garis besar saja. Maka urusan-urusan di Heng-san diharap Bok-taysiansing tetap memegangnya, urusan di Hing-san hendaklah Lenghou Tiong, Lenghou-hiante, yang melanjutkan. Sedangkan urusan di Thay-san harap Giok-seng dan Giok-im berdua Totiang yang memimpin bersama. Adapun urusan Ko-san-pay, karena pandangan Co-suheng kurang leluasa, kukira harus diperbantukan... baiklah, silakan Han Thian-peng, Han-suheng sudi bantu Co-suheng mengurus pekerjaan sehari-hari."
Usul Gak Put-kun ini sama sekali di luar dugaan tokoh tua she Han dari Ko-san-pay tadi, ia sampai tergagap-gagap tak bisa bicara.
Orang-orang Ko-san-pay dan lain-lain sama heran juga. Padahal Han Thian-peng itu tadi paling tegas memusuhi Gak Put-kun dengan olok-oloknya secara kasar, siapa duga Gak Put-kun malah menunjuknya sebagai pembantu Co Leng-tan untuk memimpin pekerjaan di Ko-san. Karena itu rasa gusar orang-orang Ko-san-pay karena kedua mata pemimpin mereka dibutakan Gak Put-kun segera rada berkurang demi melihat tokoh Ko-san-pay mereka masih cukup dihargai oleh Gak Put-kun.
Kemudian Gak Put-kun membuka suara pula, "Untuk selanjutnya segenap anggota Ngo-gak-kiam-pay kita harus bersatu padu, kalau tidak, maka tiada artinya lagi peleburan ini. Cayhe sendiri sebenarnya tidak punya kepandaian apa-apa, untuk sementara dipilih memegang pimpinan, maka banyak pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dirundingkan dengan Saudara-saudara sekalian. Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan Saudara-saudara mengaso saja dan dahar dulu!"
Maka bersoraklah semua orang dan beramai-ramai turun menuju ke halaman markas Ko-san-pay. Ketika Gak Put-kun turun dari panggung, beramai-ramai Hong-ting Taysu, Tiong-hi, dan lain-lain lantas maju memberi selamat padanya. Tokoh-tokoh itu sama merasa lega setelah Ngo-gak-pay dapat diduduki oleh Gak Put-kun yang dipandang sebagai kesatria yang baik daripada Co Leng-tan yang kejam dan culas itu.
"Gak-siansing," dengan suara perlahan Hong-ting berkata kepada Gak Put-kun, "menurut pendapatku bukan mustahil pihak Ko-san masih akan mencari perkara padamu. Sebaiknya Gak-siansing berjaga-jaga dan berhati-hati."
"Terima kasih atas petunjuk Taysu," kata Put-kun.
"Siau-sit-san tidak terlalu jauh dari sini, bila perlu apa-apa silakan memberi kabar," kata Hong-ting pula.
"Maksud baik Taysu sungguh kuterima dengan terima kasih tak terhingga," kata Put-kun sambil memberi hormat. Dan setelah beramah tamah sejenak dengan Tiong-hi, Pangcu dari Kay-pang, dan lain-lain, lalu ia mendekati Lenghou Tiong dan menyapa, "Tiong-ji, apakah lukamu tidak menjadi halangan?"
Sejak Lenghou Tiong dipecat dari Hoa-san-pay baru pertama kali ini Gak Put-kun memanggil "Tiong-ji" sedemikian ramahnya kepada Lenghou Tiong.
Tapi Lenghou Tiong kini sudah bukan Lenghou Tiong dulu lagi, ia tidak menjadi senang, sebaliknya merasa seram malah, jawabnya dengan suara tak lancar, "O, ti... dak apa-apa."
"Maukah kau ikut aku pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu sekalian berkumpul beberapa hari dengan ibu-gurumu?" kata Put-kun pula.
Kalau beberapa jam sebelumnya Gak Put-kun mengajak demikian tentu Lenghou Tiong akan kegirangan serta menerimanya tanpa pikir. Tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu dan takut-takut untuk ikut ke Hoa-san.
"Bagaimana, mau?" tanya pula Put-kun.
"Obat luka Hing-san-pay cukup baik, biarlah sesudah luka Tecu sem... sembuh baru mengunjungi Suhu dan Sunio," jawab Lenghou Tiong.
Untuk sejenak Gak Put-kun memandang tajam wajah Lenghou Tiong seakan-akan ingin mengetahui apa sesungguhnya yang dipikir oleh pemuda itu. Selang sejenak barulah ia berkata pula, "Begitu pun boleh. Hendaklah kau merawat dirimu dengan baik dan selekasnya berkunjung ke Hoa-san."
Lenghou Tiong mengiakan dan meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.
"Sudahlah, tak perlu," kata Put-kun ramah sambil mengulur tangan untuk memegang lengan kanan orang.
Tapi Lenghou Tiong lantas mengelakkan tubuhnya, air mukanya tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.
Gak Put-kun mendengus perlahan, sekilas mukanya bersungut, tapi segera pula ia tersenyum, katanya dengan gegetun, "Siausumoaymu sungguh keterlaluan, untung tidak mengenai tempat yang berbahaya."
Habis itu perlahan-lahan ia memutar tubuh dan melangkah ke sana dengan diiringi beberapa ratus pendukungnya.
Pandangan Lenghou Tiong mengikuti bayangan sang guru perlahan-lahan menghilang di balik lereng gunung sana, begitu pula para hadirin berturut-turut juga sudah pergi. Tiba-tiba didengarnya suara seorang perempuan mendengus, "Hm, munafik!"
Kata-kata itu entah diucapkan oleh murid perempuan Hing-san-pay yang mana, yang pasti kata "munafik" benar-benar menyentuh lubuk hati Lenghou Tiong. Dalam saat demikian tiada istilah lain yang lebih cocok untuk mencerminkan apa yang dirasakannya sekarang ini. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan dikasihinya sekonyong-konyong telah terbuka kedoknya sehingga tertampak mukanya yang bengis menyeramkan, muka yang culas dan keji.
Sementara itu hari sudah gelap, di samping Hong-sian-tay itu tinggal orang-orang Hing-san-pay saja, yang lain-lain sudah pergi semua.
"Lenghou-toako, apakah kita juga akan turun ke bawah?" tanya Gi-ho.
"Bagaimana kalau kita bermalam saja di sini?" ujar Lenghou Tiong. Ia merasa akan lebih baik juga bisa menjauhi Gak Put-kun, maka tidak ingin bertemu muka dengan gurunya di markas Ko-san-pay.
Ternyata ucapan Lenghou Tiong sangat cocok dengan pikiran para murid Hing-san-pay, mereka sama bersorak menyatakan persetujuan. Soalnya mereka pun muak terhadap Gak Put-kun. Seperti diketahui, ketika di Kota Hokciu dahulu mereka pernah minta bantuan kepada Gak Put-kun ketika menerima berita Ting-sian Suthay sedang dikerubut musuh, namun Gak Put-kun telah menolak permintaan mereka tanpa mengingat hubungan baik sesama Ngo-gak-kiam-pay. Sekarang Lenghou Tiong dilukai pula oleh Gak Leng-sian, malah kedudukan ketua Ngo-gak-pay kena direbut oleh Gak Put-kun, sudah tentu mereka sangat mendongkol dan lebih suka bermalam di tempat terbuka, seperti di samping Hong-sian-tay itu, daripada mesti berkumpul dengan Gak Put-kun dan begundalnya.
Maka Gi-jing lantas berkata juga, "Lenghou-suheng terluka, memang paling baik kalau tinggal di sini saja daripada banyak bergerak. Hanya saja Toako ini...." sampai di sini matanya melirik ke arah Ing-ing.
"Dia bukan toako, tapi Yim-toasiocia," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sedari tadi Ing-ing masih terus memapah Lenghou Tiong. Ia menjadi malu karena mendadak Lenghou Tiong membongkar rahasia penyamarannya itu, cepat ia lepaskan tangan dan berbangkit.
Lantaran tidak berjaga-jaga, keruan tubuh Lenghou Tiong menjadi terhuyung ke belakang. Untung Gi-lim yang berdiri di sebelahnya lantas memegangi bahu kirinya sambil berseru, "Eh, hati-hati!"
Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain memang sudah mengetahui kisah cinta antara Ing-ing dan Lenghou Tiong yang mendalam dan lain daripada yang lain, yang satu pernah mendatangi Siau-lim-si, rela mengorbankan jiwa sendiri demi menyelamatkan jiwa kekasih, yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang Kang-ouw menyerbu Siau-lim-si untuk menolongnya, peristiwa itu pernah mengguncangkan seluruh dunia Kang-ouw dan diketahui oleh setiap orang bu-lim. Kini demi diketahui bahwa lelaki berewok di depan mereka ini ternyata Yim-toasiocia dari Tiau-yang-sin-kau yang termasyhur itu, banyak di antara mereka sampai berseru kaget tercampur girang.
Pada umumnya anak murid Hing-san-pay jarang berkelana di dunia Kang-ouw, maka mereka pun tidak banyak bermusuhan dengan Tiau-yang-sin-kau atau yang biasa disebut Mo-kau, apalagi dalam pandangan mereka Yim-toasiocia ini sudah mereka anggap sebagai calon istri sang ketua, tentu saja pertemuan mereka sekarang menjadi sangat menyenangkan.
Segera Gi-ho dan lain-lain mengeluarkan perbekalan sebangsa ransum kering dan air untuk dibagi-bagikan, habis makan mereka lantas merebahkan diri di samping Hong-sian-tay itu. Lenghou Tiong sendiri terluka, dengan sendirinya sangat lelah dan lemah badannya, maka tidak lama ia lantas terpulas.
Sampai tengah malam, tiba-tiba di kejauhan ada suara bentakan kaum wanita, "Siapa itu?"
Meski terluka parah, namun dengan lwekang yang tinggi segera Lenghou Tiong terjaga bangun. Dari suara tadi ia tahu anak murid Hing-san-pay yang dinas jaga sedang menegur kaum pendatang.
Maka terdengar seorang menjawab, "Sesama kawan Ngo-gak-pay, murid Gak-siansing dari Hoa-san."
Ternyata suara Lim Peng-ci adanya.
"Ada urusan apa malam-malam datang ke sini?" tanya pula murid Hing-san-pay tadi
"Cayhe ada janji dengan orang untuk bertemu di bawah Hong-sian-tay, sebelumnya tidak tahu kalau para Suci beristirahat di sini, harap maaf kalau mengganggu," jawab Peng-ci dengan sopan.
Pada saat itulah dari arah barat sana berkumandang suara seorang tua, "Bocah she Lim, kau telah menyiapkan teman Ngo-gak-pay kalian di sini, apakah kau ingin main kerubut dan mencari perkara padaku?"
Dengan jelas Lenghou Tiong dapat mengenali pembicara itu adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay yang berbadan pendek kecil itu. Ia rada terkejut dan membatin, "Lim-sute dan Ih Jong-hay telah mengikat permusuhan berhubung terbunuhnya kedua orang tuanya, sekarang mereka berjanji bertemu di sini tentu untuk membereskan persoalan utang darah ini."
Maka terdengar Lim Peng-ci sedang menjawab teguran Ih Jong-hay tadi, "Sebelumnya aku tidak tahu kalau para Suci dari Hing-san-pay bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak mengganggu ketenangan orang lain."
"Hahahaha! Ketenangan orang lain sudah kau ganggu, tapi kau masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik hati. Dasar, ada bapak mertua begitu tentu juga ada menantu begini. Nah, apa yang akan kau katakan lekas dikeluarkan agar sama-sama bisa tidur nyenyak."
"Hm, ingin tidur nyenyak" Jangan kau harapkan lagi selama hidupmu ini," jengek Lim Peng-ci. "Orang-orang Jing-sia-pay kalian yang datang seluruhnya ada 24 orang termasuk kau, aku mengundang kalian datang semua ke sini, mengapa yang datang sekarang cuma tiga orang?"
"Hm, kau ini barang macam apa" Masakah kau berani suruh aku begini dan begitu?" jawab Ih Jong-hay dengan tertawa. "Aku cuma mengindahkan bapak mertuamu karena dia baru saja menjabat ketua Ngo-gak-pay, makanya aku mau penuhi undanganmu. Nah, kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas lolos senjata, biar kulihat apakah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kalian sudah lebih maju atau tidak."
Perlahan-lahan Lenghou Tiong bangkit berduduk, di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Peng-ci berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak beberapa meter jauhnya. Ia masih ingat Lim Peng-ci pernah menolongnya ketika ketua Jing-sia-pay itu hendak menghantamnya di Kota Heng-san selagi dia terluka parah, kalau pukulan Ih Jong-hay dahulu itu kena, tidak mungkin dirinya sanggup hidup sampai sekarang. Sekarang Lim-sute itu menantang Ih Jong-hay ke sini, mungkin sekali Suhu dan Sunio akan segera datang untuk membantunya. Kalau Suhu dan Sunio tidak datang dengan sendirinya aku tak bisa tinggal diam. Demikian pikir Lenghou Tiong.
Dalam pada itu terdengar Ih Jong-hay sedang mengolok-olok, "Hm, kalau kau berani seharusnya kau datang seorang diri untuk menuntut balas padaku di Jing-sia-san, cara beginilah baru terhitung perbuatan seorang laki-laki sejati, tapi sekarang kau menantang aku ke sini, sebaliknya secara licik menyiapkan serombongan kaum nikoh di sini untuk mengeroyok aku. Huh, sungguh tidak tahu malu. Benar-benar menggelikan."
Gi-ho tidak tahan karena pihaknya disinggung-singgung, segera ia berseru, "Persetan dengan urusan kalian, kalau kalian mau berkelahi hingga mampus semua juga Hing-san-pay kami takkan ambil pusing. Hm, kau tojin pendek ini sebaiknya jangan ngaco-belo, kalau memang takut boleh lekas lari saja, tapi Hing-san-pay kami jangan diikutcampurkan."
Ia tidak tahu dahulu Lim Peng-ci pernah menyelamatkan nyawa Lenghou Tiong, soalnya ia tidak suka kepada Gak Leng-sian dan dengan sendirinya juga jemu terhadap suami Leng-sian.
Ih Jong-hay sendiri mempunyai hubungan yang cukup rapat dengan Co Leng-tan, kehadirannya ke Ko-san sekarang juga atas undangan Co Leng-tan untuk memperkuat barisannya. Ketika sampai di Ko-san dalam dugaan Ih Jong-hay tentulah Co Leng-tan yang akan menduduki jabatan ketua Ngo-gak-pay, sebab itulah ia tidak menaruh perhatian terhadap orang Hoa-san-pay yang memusuhinya. Siapa duga akhirnya jabatan ketua Ngo-gak-pay kena direbut Gak Put-kun, ia menjadi kecewa dan malam-malam bermaksud meninggalkan Ko-san.
Tapi waktu turun dari puncak Ko-san itu, tiba-tiba Lim Peng-ci menghampirinya, dengan suara perlahan pemuda itu mengajaknya mengadakan pertemuan di pelataran Hong-sian-tay. Meski Peng-ci bicara dengan suara perlahan, namun sikapnya angkuh dan kasar sehingga Ih Jong-hay sangat mendongkol dan terima baik tantangannya.
Bab 118. Cara Balas Dendam yang Luar Biasa
Yang dikhawatirkan Ih Jong-hay hanya kalau pihak lawan main kerubut. Maka kedatangan ke Hong-sian-tay sengaja diperlambat sedikit sehingga berada di ke belakang Lim Peng-ci, tujuannya ingin tahu apakah pemuda itu membawa bala bantuan. Tak terduga Peng-ci ternyata datang sendirian ke tempat yang dijanjikan ini. Diam-diam Ih Jong-hay bergirang, anak murid Jing-sia-pay yang dibawanya lantas ditinggalkan, hanya dua orang muridnya saja yang diajak naik ke Hong-sian-tay agar tidak dipandang hina oleh pihak lawan. Anak muridnya yang lain tersebar di sekeliling puncak gunung itu untuk memberi bantuan bila perlu.
Ketika sampai di puncak atas, dilihatnya di samping Hong-sian-tay banyak orang berbaring di situ, tidak Lim Peng-ci saja yang kaget, bahkan Ih Jong-hay juga terkejut dan mengira dirinya tertipu. Tapi kemudian demi mendengar ucapan Gi-ho, walaupun secara kasar Gi-ho menyebutnya sebagai "tojin pendek", namun nadanya menyatakan takkan bantu pihak mana pun, maka legalah hati Ih Jong-hay.
"Baik sekali jika kalian takkan membantu pihak mana pun," kata Jong-hay kemudian. "Silakan kalian menyaksikan saja, bagaimana hasilnya nanti pertandingan antara ilmu pedang Jing-sia-pay melawan ilmu pedang Hoa-san-pay."
Setelah merandek sejenak, kemudian ia menyambung pula, "Jangan kalian mengira Gak Put-kun dapat mengalahkan Co-suheng secara kebetulan lantas ilmu pedangnya sudah jempolan. Seumpama ilmu pedangnya memang nomor satu di antara Ngo-gak-pay, namun tiap-tiap golongan dan aliran persilatan di bu-lim masing-masing mempunyai ilmu silat tunggal sendiri-sendiri, betapa pun Hoa-san-kiam-hoat juga belum pasti terhitung nomor satu di dunia ini. Menurut pandanganku, melulu ilmu pedang Hing-san-pay saja sudah jelas lebih bagus daripada Hoa-san-kiam-hoat."
Dengan ucapannya itu, pertama ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan membikin senang hati anak murid Hing-san-pay agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lim Peng-ci. Dan asalkan pertarungan satu lawan satu, maka hampir dapat dipastikan dirinya akan mengalahkan bocah she Lim itu dengan mudah.
Sudah tentu nada ucapan Ih Jong-hay yang punya arti tertentu itu pun dapat ditangkap oleh orang-orang Hing-san-pay. Segera Gi-ho berkata pula, "Jika kalian mau berkelahi boleh silakan sesukamu, kenapa mesti mengganggu ketenteraman orang yang hendak tidur" Hm, kau tahu aturan tidak?"
Diam-diam Ih Jong-hay sangat gusar, pikirnya, "Kurang ajar kaum nikoh busuk ini, saat ini aku tidak sempat membikin perhitungan dengan kalian, kelak kalau orang Hing-san-pay kalian kepergok aku di kalangan Kang-ouw barulah kalian tahu rasa."
Dasar Ih Jong-hay memang berjiwa sempit, sudah biasa anggap dirinya paling hebat, paling jempol, angkatan muda persilatan kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesukaran. Seperti kata-kata kasar Gi-ho tadi, di waktu biasa tentu Ih Jong-hay sudah marah-marah dan mendampratnya.
Dalam pada itu Peng-ci telah melangkah maju dua-tiga tindak, lalu berkata, "Ih Jong-hay, kau pernah mengincar kiam-boh pusaka keluarga kami, kau membunuh pula ayah-bundaku, belasan anggota Hok-wi-piaukiok kami juga tewas di tangan Jing-sia-pay kalian, utang darah itu sekarang harus kau bayar dengan darahmu pula."
Ih Jong-hay menjadi gusar, teriaknya, "Putraku sendiri mati di tangan kau binatang cilik ini, andaikan kau tidak mencari aku juga aku yang akan cari kau dan mencincang anjing kecil kau ini sampai hancur luluh. Apa kau kira berlindung di bawah Hoa-san-pay lantas bisa menyelamatkan jiwamu?"
"Sret", segera ia melolos pedangnya. Di bawah sinar bulan pedangnya tampak gemerdep.
Namun Peng-ci masih tidak mengeluarkan senjatanya, ia maju dua langkah pula sehingga jaraknya dengan Ih Jong-hay sekarang tinggal dua-tiga meter jauhnya, dengan kepala rada miring ia melototi Ih Jong-hay.
Mendongkol juga Ih Jong-hay melihat lawannya belum mau melolos senjata, pikirnya, "Berani kau pandang enteng padaku" Hm, sebentar asal pedangku bergerak sedikitnya akan kurobek perutmu hingga ke tenggorokan. Soalnya kau terhitung angkatan muda, tidak enak bagiku untuk menyerang lebih dulu."
Maka segera ia membentak, "Hayo lolos pedangmu!"
Dia sudah bersiap-siap, begitu Peng-ci memegang gagang pedangnya dan menariknya, sebelum pedang lawan terlolos keluar dari sarungnya segera akan mendahului membedah perut lawan.
Melihat gaya pedang Ih Jong-hay itu, cepat Lenghou Tiong memperingatkan Peng-ci, "Awas, Lim-sute, dia akan menusuk perutmu!"
Tapi Peng-ci hanya mendengus, sekonyong-konyong ia menerjang ke depan, hanya dalam sekejap saja jaraknya dengan Ih Jong-hay tinggal satu kaki jauhnya, begitu dekat sehingga hidung kedua orang hampir-hampir saling cium.
Gerak terjangan Lim Peng-ci ini sungguh sukar dibayangkan orang, betapa cepat gerak tubuhnya juga sukar dilukiskan. Karena terjangan Peng-ci yang merapat itu kedua tangan dan pedang yang dipegang Ih Jong-hay sekarang menjadi berada di belakang lawan malah kalau dijulurkan.
Tentu saja Ih Jong-hay tidak dapat menekuk pedangnya membalik untuk menusuk punggung Peng-ci, pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Peng-ci sudah mencengkeram pundak kanannya dan tangan kanan menahan di ulu hatinya. Seketika Ih Jong-hay merasa koh-cing-hiat di pundak lemas linu, lengan kanan menjadi lumpuh tak bertenaga, pedang hampir terlepas dari cekalan.
Hanya sekali gebrak saja Lim Peng-ci sudah menguasai lawannya, geraknya yang aneh tampaknya malah lebih hebat daripada cara Gak Put-kun mengalahkan Co Leng-tan, namun gaya permainan Peng-ci ternyata serupa dengan Gak Put-kun.
"Tonghong Put-pay!" tanpa terasa Lenghou Tiong dan Ing-ing menyebut bersama dan saling pandang. Keduanya sama-sama melihat sorot mata masing-masing mengandung rasa kaget dan bingung.
Nyata jurus yang dipakai Lim Peng-ci tadi persis adalah ilmu silat yang digunakan Tonghong Put-pay di Hek-bok-keh tempo hari.
Agaknya Peng-ci tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangan yang menahan di depan dada lawan tadi. Di bawah sinar bulan dilihatnya sorot mata Ih Jong-hay memperlihatkan rasa kaget dan takut yang luar biasa, alangkah senang rasa hati Peng-ci, ia merasa kalau musuh dibunuh secara begitu saja akan terlalu murah baginya.
Pada saat itulah dari jauh bergema suara Gak Leng-sian yang sedang memanggil-manggil, "Adik Peng, Adik Peng! Ayah suruh kau mengampuni dia sekali ini!"
Sambil berseru ia pun berlari-lari ke atas puncak.
Ketika tiba-tiba melihat Peng-ci berdiri berhadapan dengan Ih Jong-hay dalam jarak begitu dekat, Leng-sian menjadi tertegun. Dengan khawatir ia memburu maju pula, tapi ia menjadi lega ketika melihat sebelah tangan Peng-ci memegangi hiat-to penting di tubuh Ih Jong-hay dan tangan lain menahan di depan dada musuh itu.
"Ayah bilang, betapa pun hari ini Ih-koancu adalah tamu kita, maka janganlah kita membikin susah padanya," kata Leng-sian pula.
Peng-ci hanya mendengus saja, tangan kiri yang memegang koh-cing-hiat di pundak Ih Jong-hay itu mencengkeram terlebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.
Ih Jong-hay tambah kesakitan dan linu hiat-to bagian pundak itu, tapi lantas dirasakan tenaga dalam lawan sebenarnya cuma sebegitu saja, celakanya hiat-to sendiri terpegang sehingga tak bisa berkutik, kalau tidak, melulu lwekang masing-masing saja dirinya jelas jauh lebih kuat. Seketika ia menjadi gemas dan sedih pula. Sudah terang ilmu silat lawan sangat rendah, meski berlatih sepuluh tahun lagi juga bukan tandingan dirinya, tapi sedikit lengah tadi dirinya juga kena dibekuk lebih dulu, maka hancurlah nama baiknya selama ini, bahkan besar kemungkinan lawan takkan tunduk kepada perintah Gak Put-kun lantaran ingin menuntut balas kematian ayah-ibunya, jiwa sendiri bisa jadi akan melayang segera.
Syukur didengarnya Gak Leng-sian berkata pula, "Ayah suruh kau mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas masakah khawatir dia bisa terbang ke langit?"
Mendadak Peng-ci angkat tangan kiri, "plak-plak", Ih Jong-hay ditempelengnya dua kali.
Gusar Ih Jong-hay tidak kepalang, tapi apa daya, sebelah tangan Peng-ci masih menempel di ulu hatinya, biarpun lwekang pemuda itu tidak seberapa, tapi sedikit mengerahkan tenaga sudah cukup membuat ulu hatinya tergetar pecah, bila sekaligus terbinasa masih mendingan, yang dikhawatirkan adalah tenaga Peng-ci yang kepalang tanggung itu hanya membuatnya setengah mati setengah hidup, itulah yang celaka. Lantaran begitu, maka sedikit pun Ih Jong-hay tidak berani meronta.
Setelah menempeleng dua kali, sambil tertawa panjang Peng-ci lantas melompat mundur beberapa meter jauhnya, matanya tetap melototi Ih Jong-hay, cuma tidak bicara lagi.
Mestinya Ih Jong-hay bermaksud melabrak pemuda itu, tapi mengingat sekali gebrak saja dirinya sudah keok, hal ini disaksikan orang banyak dengan jelas. Kalau sekarang dirinya melabrak lagi, ini berarti tidak mengakui kekalahannya tadi, cara memalukan ini betapa pun tak bisa dilakukannya, maka urunglah dia melangkah maju.
Di lain pihak tertampak Peng-ci hanya mendengus saja, lalu putar tubuh dan tinggal pergi tanpa pedulikan sang istri.
Leng-sian membanting kaki tanda mendongkol, sekilas dilihatnya Lenghou Tiong duduk di pinggir Hong-sian-tay, segera didekatinya dan menyapa, "Toasuko, apakah lukamu tidak... tidak berhalangan?"
"Aku... aku...." begitu melihat siausumoay ini, seketika jantung Lenghou Tiong berdebar-debar sehingga bicara pun sukar.
"Jangan khawatir kau, dia takkan mati!" Gi-ho menimbrung.
Dengan menunduk kepala perlahan-lahan Leng-sian melangkah pergi, ketika akan turun ke bawah puncak, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, "Toasuko, kedua Suci utusan Hing-san-pay yang tertahan di Hoa-san kami itu segera akan kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami itu memang kurang sopan, harap dimaafkan."
"Ya, baik, baik!" sahut Lenghou Tiong dengan tergagap, rasanya seperti kehilangan sesuatu menyaksikan kepergian Gak Leng-sian itu.
Tiba-tiba terdengar Gi-ho menjengek, katanya, "Hm, di mana kebaikan perempuan seperti ini" Dibandingkan Yim-toasiocia kita, biarpun dijadikan tukang gosok sepatu juga belum memenuhi syarat."
Lenghou Tiong terkejut, baru sekarang ia ingat bahwa Ing-ing saat itu pun berada di sebelahnya, tentu saja si nona dapat menyaksikan betapa dirinya menjadi linglung menghadapi siausumoaynya itu, seketika wajah Lenghou Tiong menjadi merah. Dilihatnya Ing-ing bersandar pada dinding Hong-sian-tay seperti lagi mengantuk, diam-diam ia berharap semoga Ing-ing benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi.
Namun Ing-ing adalah nona yang cerdik dan cermat, dalam saat demikian mana bisa dia tertidur" Dengan pikirannya itu Lenghou Tiong juga tahu dirinya sedang menipu dirinya sendiri. Ia bermaksud mengada-ada untuk mengajak omong Ing-ing, tapi bingung juga sebab tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Kalau menghadapi siausumoaynya ia menjadi gugup, tapi menghadapi Ing-ing segera Lenghou Tiong menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, cara yang paling baik adalah tidak bicara apa-apa, bahkan cara yang lebih baik adalah membelokkan perhatian Ing-ing ke urusan lain. Maka perlahan-lahan Lenghou Tiong lantas merebahkan dirinya, sesudah berbaring mendadak ia merintih perlahan seakan-akan lukanya menimbulkan rasa sakit.
Benar juga Ing-ing menjadi khawatir, ia menggeserkan tubuhnya mendekat dan bertanya dengan perlahan, "Apakah lukamu tersentuh sakit?"
"O, tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong sambil memegangi tangan si nona. Ing-ing bermaksud melepaskan tangannya, tapi terasa genggaman Lenghou Tiong sangat kencang, khawatir kalau gerak tangannya membikin sakit luka Lenghou Tiong, terpaksa Ing-ing membiarkan tangannya digenggam.
Rupanya Lenghou Tiong menjadi sangat lelah karena terlalu banyak keluar darah, tidak lama kemudian ia pun terpulas. Esok paginya ketika terjaga bangun, ternyata sinar sang surya sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Lenghou Tiong bangkit berduduk, ternyata tangan Ing-ing masih tergenggam olehnya, ia tersenyum kepada si nona. Dengan wajah merah cepat Ing-ing menarik tangannya.
"Marilah kita pulang ke Hing-san saja!" seru Lenghou Tiong.
Sementara itu Dian Pek-kong sudah menyiapkan sebuah usungan kayu, bersama Put-kay Hwesio segera mereka berdua menggotong Lenghou Tiong turun dari puncak Ko-san.
Ketika lewat di kuil induk kediaman orang Ko-san-pay, tertampak Gak Put-kun dan anak muridnya berdiri di depan pintu, dengan muka berseri-seri ia mengantarkan keberangkatan Lenghou Tiong dan pengiringnya. Hanya Gak-hujin dan Gak Leng-sian tidak tampak berada di antara orang-orang Hoa-san-pay itu.
"Maaf Suhu, Tecu tidak dapat memberi hormat padamu untuk mohon diri," kata Lenghou Tiong.
"Ah, tidak usah," jawab Gak Put-kun. "Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berunding lebih jauh. Dengan menjabat ketua Ngo-gak-pay ini aku masih perlu pembantu-pembantu yang dapat dipercaya, kelak masih banyak diharapkan bantuanmu."
Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Langkah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio ternyata sangat cepat, dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan puncak Ko-san itu. Setiba di bawah gunung barulah mereka menyewa beberapa kereta keledai untuk menampung Lenghou Tiong yang terluka dan Ing-ing.
Menjelang magrib sampailah mereka di suatu kota kecil. Terlihat di depan sebuah warung makan yang beratap bambu penuh berduduk tamu yang sedang minum, ternyata orang-orang Jing-sia-pay semua, Ih Jong-hay juga berada di antaranya.
Melihat kedatangan rombongan Hing-san-pay, air muka Ih Jong-hay berubah seketika, ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.
Karena kota kecil itu tiada warung makan lain, terpaksa orang-orang Hing-san-pay mencari tempat duduk di emper rumah seberang. The Oh dan Cin Koan lantas mendatangi warung itu untuk pesan wedang panas bagi Lenghou Tiong.
Selagi tukang warung memasak air untuk menyiapkan pesanan tamunya, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, debu mengepul tinggi dari arah sana, dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Setiba di depan warung itu, sekonyong-konyong kedua penunggang kuda itu menarik tali kendali. Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.
"Ih Jong-hay, jelas kau mengetahui aku pasti mencari kau lagi, kenapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?" teriak Peng-ci.
Lenghou Tiong yang berada di dalam kereta itu dapat mengenali suara pembicara itu, ia berkata, "Apakah Lim-sute yang menyusul tiba?"
Ing-ing mengiakan, segera ia menggulung tirai kereta agar Lenghou Tiong dapat melihat keadaan di luar.
Ih Jong-hay duduk di atas bangku dan sedang menghirup secangkir teh panas, mula-mula ia tidak gubris, setelah habis minum barulah menjawab, "Hm, memangnya aku sedang menunggu kau mengantarkan jiwamu!"
"Baik!" kata Peng-ci. Begitu tercetus ucapannya itu, tahu-tahu pedang sudah terlolos dan melompat turun dari kudanya, sekali pedang menusuk ke samping, menyusul ia mencemplak kembali ke atas kudanya, sekali membentak, bersama Gak Leng-sian mereka melarikan kudanya dengan cepat. Ternyata seorang murid Jing-sia-pay yang berdiri di tepi jalan perlahan-lahan roboh terkulai, darah segar mengucur keluar dari dadanya.
Sungguh sukar diperkirakan orang cara Peng-ci menyerang tadi. Dia melolos pedang dan melompat turun dari kuda, tujuannya jelas hendak melabrak Ih Jong-hay. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Jing-sia-pay itu, sebab ia tahu baik ilmu pedang maupun lwekang pemuda lawan itu sangat cetek, diam-diam Ih Jong-hay bergirang, ia yakin sekali bergebrak dengan mudah jiwa Lim Peng-ci pasti akan dibikin melayang, maka akan terbalaslah rasa malunya di Hong-sian-tay semalam. Bahwasanya kelak Gak Put-kun mungkin akan menuntut balas padanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.
Tapi siapa dapat menduga bahwa serangan Lim Peng-ci itu ternyata tidak ditujukan padanya, tapi di tengah jalan mendadak ganti sasaran, seorang muridnya ditusuk mati, lalu mencemplak kembali ke atas kuda dan tinggal pergi begitu saja.
Kaget dan gusar pula Ih Jong-hay, dengan cepat ia melompat bangun terus mengudak, namun lari kuda Peng-ci dan Leng-sian terlalu cepat baginya, betapa pun sukar untuk menyusulnya.
Cara Peng-ci menyerang yang luar biasa tadi membikin Lenghou Tiong melongo juga, ia pikir kalau serangan demikian itu ditujukan padanya mungkin sukar juga menangkisnya jika kebetulan tidak bersenjata, maka tiada pilihan lain kecuali tertusuk mati. Sebenarnya kalau bicara tentang ilmu pedang, Lenghou Tiong yakin masih jauh di atas Lim Peng-ci, cuma terhadap tipu serangan Peng-ci tadi Lenghou Tiong benar-benar bingung dan tiada cara baik untuk mematahkannya.
Saat itu Ih Jong-hay sedang mencaci maki sambil tuding Lim Peng-ci yang sudah kabur jauh, sudah tentu caci makinya itu tak terdengar. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Ih Jong-hay memutar balik terus memaki orang-orang Hing-san-pay, "Hm, kawanan nikoh busuk, kalian sudah tahu anak jadah she Lim itu mau datang ke sini, maka kalian datang lebih dulu menunggu di sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau berani marilah kita saja yang bertempur."
Di antara anak murid Hing-san-pay, watak Gi-ho paling berangasan, segera ia lolos pedang dan menjawab, "Hm, mau berkelahi hayolah maju, siapa yang takut padamu?"
Padahal orang Hing-san-pay jauh lebih banyak daripada pihak Jing-sia-pay, ditambah lagi Put-kay Hwesio, Dian Pek-kong, Ing-ing, dan Tho-kok-lak-sian, kalau benar-benar bertempur terang pihak Jing-sia-pay tak bisa melawannya. Sudah tentu kekuatan yang tak seimbang ini cukup diketahui Ih Jong-hay, soalnya dia sedang murka sehingga hatinya tak tahan meski biasanya dia dapat berpikir panjang dan banyak tipu akalnya.
Syukur Lenghou Tiong lantas mencegah, serunya, "Gi-ho Suci, jangan gubris padanya!"
Ing-ing lantas membisiki Tho-kok-lak-sian. Sekonyong-konyong Tho-kin-sian, Tho-yap-sian, Tho-kan-sian, dan Tho-hoa-sian berempat terus melompat ke sana menubruk kepada seekor kuda yang tertambat di tepi warung sana.
Kuda itu adalah kuda tunggangan Ih Jong-hay. Hanya terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu kuda itu telah dibetot dan robek menjadi empat bagian sehingga isi perut berceceran dan darah berhamburan.
Badan kuda itu tinggi besar, tapi dengan bertangan kosong Tho-kok-si-sian telah merobeknya menjadi empat dengan membetot keempat kakinya, betapa hebat tenaga mereka sungguh luar biasa. Keruan anak murid Jing-sia-pay sama ketakutan, anak murid Hing-san-pay juga berdebar hatinya menyaksikan adegan ngeri itu.
"Ih-loto, orang she Lim bermusuhan dengan kau, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton saja di pinggir, janganlah kau menyangkutpautkan kami. Kalau benar-benar mau berkelahi jelas kalian tak bisa menang, sebaiknya kau tahu diri sedikit," kata Ing-ing.
Setelah menyaksikan kelihaian Tho-kok-si-sian tadi, seketika lagak garang Ih Jong-hay tadi lenyap, ia simpan kembali pedangnya dan berkata, "Jika kita tidak saling mengganggu, maka bolehlah kita ambil jalan sendiri-sendiri, silakan kalian jalan dahulu!"
"Itu tidak bisa, kami harus mengikuti kalian," kata Ing-ing.
"Apa sebab?" tanya Ih Jong-hay dengan mengerut kening.
"Terus terang, karena ilmu pedang orang she Lim itu teramat aneh, kami ingin melihat secara jelas," kata Ing-ing.
Terkesiap hati Lenghou Tiong, apa yang dikatakan Ing-ing ternyata sama dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lim Peng-ci sampai Tokko-kiu-kiam juga sukar mematahkannya, maka ia memang ingin mengetahui gerak ilmu pedang Peng-ci itu secara jelas.
Terdengar Ih Jong-hay menjawab, "Kau ingin tahu ilmu pedang bocah she Lim itu, tapi apa sangkut pautnya dengan aku?"
Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan dirinya dengan keluarga Lim terlalu mendalam, tidak mungkin Lim Peng-ci akan puas hanya membunuh seorang dua muridnya saja, tentu pemuda itu masih akan mencari perkara padanya. Dan maksud orang-orang Hing-san-pay justru ingin tahu cara bagaimana Peng-ci memainkan ilmu pedangnya dan cara bagaimana orang Jing-sia-pay dibunuh.
Bahwasanya setiap jago silat tentu tahu ilmu silat orang lain yang lihai memang bukan sesuatu yang aneh. Cuma cara orang Hing-san-pay mengikuti rombongan Jing-sia-pay, seakan-akan orang-orang Jing-sia-pay itu sudah menjadi hewan yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, dan cara penjagal menyembelih itulah yang akan dilihat, sungguh suatu perbuatan yang terlalu menghina.
Saking gusarnya segera Ih Jong-hay bermaksud memaki Ing-ing, tapi syukur ia masih sanggup menguasai perasaannya, ia hanya mendengus saja sekali, pikirnya, "Bocah she Lim itu menyerang aku secara licik, memangnya dia punya kepandaian yang luar biasa" Baik, boleh kalian mengikuti aku agar kalian bisa melihat jelas cara bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh."
Dia kembali ke warung itu untuk minum lagi. Tapi mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi gemertak, kiranya tutup poci tergetar oleh tangannya yang gemetar. Anak muridnya menyangka tangan sang guru itu gemetar karena terlalu gusar, padahal dalam hati Ih Jong-hay sebenarnya ketakutan luar biasa. Ia sadar bahwa serangan Lim Peng-ci yang aneh itu kalau ditujukan padanya hakikatnya dia tidak mampu menangkisnya.
Sementara itu Ing-ing sudah kembali pada dandanan aslinya sebagai wanita, berada di tengah-tengah anak murid perempuan Hing-san-pay itu tiada seorang pun yang merasakan Ing-ing mempunyai sesuatu yang istimewa. Dia sendiri tinggal di suatu kereta keledai, ia selalu memisahkan keretanya agak jauh dari kereta Lenghou Tiong. Biarpun jalinan cintanya dengan Lenghou Tiong sekarang telah diketahui hampir setiap orang Kang-ouw, namun rasa kikuknya toh masih belum lenyap. Bila anak murid Hing-san-pay mengobati luka Lenghou Tiong, maka ia sengaja tidak mau melihatnya.
The Oh, Cin Koan, dan lain-lain kenal watak putri gembong Mo-kau itu, senantiasa mereka memberitahukan keadaan luka Lenghou Tiong padanya, Ing-ing hanya mengangguk saja tanpa memberi komentar. Kini melihat Ih Jong-hay sudah kembali ke tempatnya sendiri, maka Ing-ing juga lantas kembali ke dalam keretanya.
Sehabis minum, perasaan Ih Jong-hay ternyata masih belum tenang, ia perintahkan anak muridnya menggotong mayat murid yang mati itu untuk dikubur di luar kota, rombongan mereka lantas bermalam di depan warung makan itu.
Penduduk setempat sementara itu menjadi ketakutan melihat pertarungan dan pembunuhan yang terjadi itu, sejak tadi penduduk sudah sama tutup pintu tak berani keluar lagi.
Duduk di dalam keretanya Lenghou Tiong coba merenungkan jurus ilmu pedang Lim Peng-ci tadi, ia merasa jurus serangan itu sendiri tiada sesuatu yang luar biasa, hanya datangnya teramat cepat, sebelumnya juga tiada tanda-tanda ke mana serangannya akan dituju. Kalau serangan demikian itu dilontarkan, sekalipun tokoh paling lihai juga sukar menahannya.
Waktu Tonghong Put-pay menempur mereka berempat tempo hari, senjata yang dipakai hanya sebuah jarum sulam saja, tapi mereka berempat toh tak bisa melawan. Kalau dipikirkan secara cermat sekarang hal itu bukan lantaran lwekang atau jurus serangan Tonghong Put-pay sangat hebat, soalnya gerak-geriknya secepat kilat, serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya sehingga setiap serangannya selalu di luar perhitungan lawan.
Cara Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan mudah dan caranya membunuh anak murid Jing-sia-pay tadi, gaya ilmu silatnya serupa benar dengan Tonghong Put-pay. Sedangkan cara Gak Put-kun membutakan kedua mata Co Leng-tan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama gayanya, apakah barangkali ilmu silat mereka ini pun "Pi-sia-kiam-hoat" adanya" Terpikir olehnya, "Orang yang mampu melayani ilmu pedang aneh ini pada zaman sekarang mungkin hanya Hong-thaysuco saja. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu berkunjung pula ke Hoa-san untuk minta pengajaran kepada Hong-thaysuco cara-cara mematahkan ilmu pedang aneh ini."
Tapi lantas terpikir lagi, "Tonghong Put-pay sudah mati, Gak Put-kun adalah guruku, Lim Peng-ci adalah suteku, mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat itu terhadap diriku, lalu buat apa aku mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka itu dengan susah payah?"
Tiba-tiba teringat olehnya bahwa ilmu silat Tonghong Put-pay itu bersumber pada "Kui-hoa-po-tian", sedangkan ilmu silat Suhu dan Sute berasal dari Pi-sia-kiam-hoat, kalau menurut cerita Hong-ting Taysu tempo hari memang asal-usul ilmu silat mereka itu semuanya memang berasal dari sumber yang sama, hanya saja... sekonyong-konyong teringat pula sesuatu olehnya, cepat ia bangkit berduduk, karena gerakan mendadak, lukanya lantas terasa sakit lagi, tanpa terasa ia merintih perlahan.
"Apakah kau haus?" cepat Gi-lim yang berdiri di samping keretanya bertanya.
"Tidak," jawab Lenghou Tiong. "Siausumoay, harap undang Nona Yim ke sini."
Gi-lim mengiakan. Tidak lama Ing-ing lantas muncul bersama Gi-lim. "Ada urusan apakah?" tanya Ing-ing.
"Tiba-tiba aku ingat sesuatu," tutur Lenghou Tiong. "Tempo hari ayahmu pernah mengatakan bahwa kitab Kui-hoa-po-tian agama kalian itu telah beliau berikan kepada Tonghong Put-pay. Waktu itu aku mengira ilmu silat yang terdapat di dalam Kui-hoa-po-tian itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang diyakinkan oleh ayahmu sendiri, makanya ayahmu mau menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Put-pay, akan tetapi...."
"Kemudian ternyata ilmu silat ayahku tidak lebih tinggi daripada Tonghong Put-pay, begitu kau ingin katakan, bukan?" sela Ing-ing.
"Benar," jawab Lenghou Tiong. "Sebab musabab urusan ini benar-benar membikin bingung diriku."
Rasa bingung Lenghou Tiong ini memang bukan tidak beralasan. Maklumlah, pada umumnya setiap jago silat bila melihat sesuatu kitab ilmu silat yang hebat mustahil tak ingin dimilikinya sendiri, bahwa Yim Ngo-heng justru sengaja memberikan kitab pusaka kepada Tonghong Put-pay, hal ini benar-benar luar biasa.
"Aku pun pernah tanya Ayah tentang ini," kata Ing-ing. "Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera di dalam kitab itu tak boleh dipelajari, kalau paksakan diri belajar tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Kedua, beliau pun tidak tahu bahwa setelah berhasil meyakinkan ilmu silat dalam kitab itu ternyata bisa sedemikian lihai."
"Jadi menurut beliau ilmu silat itu tidak boleh dipelajari" Tidak boleh" Apa sebabnya?" Lenghou Tiong menegas.
Tiba-tiba air muka Ing-ing berubah merah, jawabnya kemudian, "Apa sebabnya tidak boleh dipelajari, aku sendiri pun tidak tahu."
Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, "Seperti nasib yang dialami Tonghong Put-pay itu, apakah baik kalau begitu?"
"O," Lenghou Tiong sadar akan persoalannya, dalam hati kecilnya lapat-lapat merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh suhunya seperti sedang menuju ke arah yang dialami Tonghong Put-pay itu.
"Kau harus merawat lukamu dengan tenang, jangan banyak berpikir," kata Ing-ing. "Aku akan pergi tidur saja."
Lenghou Tiong mengiakan. Ia menyingkap tirai kereta, sinar bulan yang lembut menyoroti wajah Ing-ing yang cantik itu, mendadak Lenghou Tiong merasa sangat menyesal karena apa yang dilakukannya tidak memadai cinta si nona kepadanya.
"Baju yang dipakai Lim-sute-mu itu kain kembang belaka," tiba-tiba Ing-ing menambahkan lagi, habis itu barulah ia melangkah kembali ke keretanya.
Keruan Lenghou Tiong merasa heran, pikirnya, "Apakah maksudnya dia mengatakan baju Lim-sute terdiri dari kain kembang belaka" Lim-sute baru menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang mewah. Dasar anak perempuan, tidak perhatikan ilmu pedang orang, tapi yang diperhatikan adalah baju yang dipakai orang lain, sungguh lucu."
Sambil pejamkan mata ia coba membayangkan keadaan Lim Peng-ci waktu melabrak Ih Jong-hay, tapi baju kembang apa yang dipakai Peng-ci waktu itu sudah lupa olehnya.
Tidur sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda sedang mendatangi. Lenghou Tiong lantas bangkit berduduk dan menyingkap tirai kereta, dilihatnya anak murid Hing-san dan Jing-sia-pay juga sudah bangun semua. Anak murid Hing-san-pay segera mengambil tempat masing-masing dalam bentuk barisan pedang untuk menjaga segala kemungkinan. Sedangkan anak murid Jing-sia-pay sudah mengeluarkan senjata masing-masing, ada yang menjaga di tepi jalan, ada yang siap siaga di sekeliling sang ketua. Semuanya tegang dan gelisah.
Tidak lama tertampaklah dua penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat, di bawah sinar bulan dapat terlihat dengan jelas, siapa lagi mereka kalau bukan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian.
Begitu mendekat segera Lim Peng-ci berteriak, "Ih Jong-hay, karena kau ingin mencuri Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, maka ayah ibuku telah kau bunuh. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang kau cari itu sejurus demi sejurus, hendaklah kau mengikuti dengan jelas."
Ia menahan kudanya, lalu melompat turun, pedang tersandang di belakang punggungnya, dengan langkah cepat ia lantas mendekati orang-orang Jing-sia-pay.
Ketika Lenghou Tiong memerhatikan, dilihatnya Peng-ci memakai baju warna kuning muda, ujung baju dan lengan baju bersulam bunga-bunga kuning tua, pinggir baju dilapis dengan renda kuning pula, pinggang juga memakai ikat pinggang kuning emas sehingga memantulkan gemerdep kuning bila berjalan, tampaknya memang sangat perlente. Pikirnya, "Biasanya Lim-sute sangat sederhana, sesudah menjadi pengantin sifatnya lantas berbeda seketika. Tapi juga tak bisa menyalahkan dia, pemuda mendapatkan jodoh yang setimpal sudah tentu sangat girang, pantas kalau dia berdandan secakap mungkin."
Semalam ketika Lim Peng-ci membekuk Ih Jong-hay dengan bertangan kosong di samping Hong-sian-tay, lagaknya sama seperti sekarang ini. Sudah tentu pihak Jing-sia-pay tak memberi kesempatan lagi padanya untuk mengulangi serangannya yang licik itu. Sekali Ih Jong-hay menggertak, serentak empat muridnya menerjang maju dengan pedang terhunus, dua pedang menusuk dadanya dari kanan dan kiri, dua pedang lain menebas pula kedua kakinya.
"Awas, Cah!" seru Tho-hoa-sian dan Tho-sit-sian berbareng, betapa pun mereka ikut khawatir juga bagi Lim Peng-ci.
Tak terduga Peng-ci tetap tenang-tenang saja, dengan cepat luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur ke depan, menyusul tangannya lantas menyampuk ke samping sehingga tangan kedua orang yang menusuk dadanya itu terdorong, maka terdengarlah jeritan ngeri empat orang, dua orang kontan roboh terkulai. Dua orang yang mestinya menusuk dadanya itu karena tersampuk tangan masing-masing sehingga pedang memutar balik dan menusuk ke dalam perut kedua teman sendiri.
"Inilah jurus kedua dan ketiga Pi-sia-kiam-hoat, sudah lihat jelas tidak?" seru Peng-ci. Lalu ia putar tubuh dan mencemplak ke atas kudanya, terus dilarikan pergi.
Bab 119. Suami Istri yang Tidak Bahagia
Orang-orang Jing-sia-pay sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang mengejar musuh, ketika mereka mengawasi kedua kawannya yang lain, kiranya kedua orang itu pun terkena oleh senjata kawan sendiri yang menebas dari kanan kiri tadi, cuma mereka masih berdiri tegak, tapi sebenarnya sudah mati.
Cara Peng-ci menjulur tangan dan menyampuk sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Lenghou Tiong, ia terkejut dan kagum pula, diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu silat Lim Peng-ci, jelas itu adalah ilmu pedang dan bukan ilmu silat biasa.
Di bawah sinar bulan tertampak bayangan Ih Jong-hay yang pendek itu berdiri kesima di samping keempat mayat muridnya. Anak murid Jing-sia-pay mengelilingi sekitar sang guru, tapi dari jarak rada jauh, tiada seorang pun yang berani buka suara.
Selang agak lama, Lenghou Tiong coba memandang keluar kereta, dilihatnya Ih Jong-hay masih tetap berdiri tegak tak bergerak, sedangkan bayangannya sudah tambah panjang, suatu tanda sudah sekian lamanya dia termangu aneh tak terkatakan. Sebagian anak murid Jing-sia-pay juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir pergi, sebagian pula sudah berduduk, tapi Ih Jong-hay tetap berdiri kaku di situ.
Dalam hati Lenghou Tiong sekonyong-konyong timbul rasa kasihan kepada Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay yang terkenal itu ternyata sama sekali tak berdaya menghadapi seorang lawan muda.
Karena sudah mengantuk, Lenghou Tiong lantas pejamkan mata untuk tidur. Dalam mimpinya tiba-tiba terasa keretanya berguncang, menyusul terdengar suara bentakan kusir kereta. Kiranya hari sudah terang, rombongan sudah berangkat.
Ia coba melongok keluar, dilihatnya jalan besar yang lurus itu banyak orang berlalu lalang, rombongan Jing-sia-pay berjalan di depan, ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki, memandangi bayangan belakang mereka terasa semacam keharuan yang sukar dikatakan, sama halnya serombongan hewan yang sedang digiring ke tempat pejagalan saja.
Pikir Lenghou Tiong, "Mereka cukup menyadari bahwa Peng-ci pasti akan datang lagi, mereka pun tahu semua bahwa sekali-kali tidak sanggup melawannya, kalau melarikan diri secara terpencar, maka itu berarti tamatlah riwayat Jing-sia-pay. Tapi kalau Lim Peng-ci sampai meluruk ke Jing-sia-san, apakah di Siong-hong-koan (kuil ketua Jing-sia-pay) tiada bala bantuan lagi yang sanggup melawan musuh?"
Menjelang tengah hari sampailah di suatu kota rada besar, rombongan Jing-sia-pay lantas memasuki sebuah restoran besar dan makan minum sepuasnya. Sedangkan orang-orang Hing-san-pay hanya beristirahat di warung makan di depan restoran besar itu.
Menyaksikan orang-orang Jing-sia-pay sama makan minum besar di restoran depan itu, para nikoh Hing-san-pay sama terdiam. Mereka tahu orang-orang Jing-sia-pay sedang menghadapi maut, mumpung masih hidup, maka sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan di dunia ini.
Sorenya sampailah di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derapan kuda, kembali Lim Peng-ci suami-istri memburu tiba.
Gi-ho bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih mencorong terang, tertampak dua penunggang kuda mendatangi menyusur tepi sungai. Sesudah dekat, Leng-sian menahan kudanya, sedangkan Peng-ci masih terus maju ke depan.
Mendadak Ih Jong-hay memberi tanda, bersama anak muridnya mereka terus putar tubuh dan lari ke arah sana menyusur tepi sungai.
"Hai, Ih Pendek, hendak lari ke mana kau?" seru Peng-ci sambil bergelak tertawa, segera, ia pun membedal kudanya mengejar.
Sekonyong-konyong Ih Jong-hay membalik, secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lim Peng-ci. Sama sekali Peng-ci tidak menduga akan serangan lawan yang lihai itu, cepat ia lolos pedang dan menangkis.
Susul-menyusul Ih Jong-hay melancarkan serangan kilat, mendadak melompat ke atas, lain saat mendak ke bawah. Tidak nyana orang tua seperti dia masih lincah seperti anak muda, gerak pedangnya selalu mengambil jalan menyerang secara cepat. Bahkan tujuh-delapan orang murid Jing-sia-pay segera mengelilingi kuda Lim Peng-ci dan mengerubutnya pula, tapi yang diserang bukan orangnya melainkan kudanya.
Hanya mengikuti beberapa saat saja Lenghou Tiong lantas tahu maksud tujuan Ih Jong-hay. Bahwasanya kelihaian Peng-ci terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas kuda, dengan sendirinya keunggulannya itu menjadi berkurang, sebab kalau mau menyerang terpaksa ia harus mendoyongkan tubuhnya, kuda tunggangnya tentu tidak selincah kalau dia menggunakan kaki sendiri.
Sekarang anak murid Jing-sia-pay itu sengaja mengepungnya di tengah agar dia tidak sempat turun dari kudanya, asalkan Peng-ci tetap berada di atas kuda belum tentu dia mampu melawan Ih Jong-hay.
Diam-diam Lenghou Tiong mengakui kecerdikan ketua Jing-sia-pay itu, caranya benar-benar lihai. Ia coba memerhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Peng-ci, gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Ih Jong-hay masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa pandangannya beralih ke arah Gak Leng-sian yang berada di tempat rada jauh sana. Seketika tubuh Lenghou Tiong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa anak murid Jing-sia-pay yang lain telah mengepung Leng-sian dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.
Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Leng-sian meringkik dan berjingkrak sehingga Leng-sian terbanting ke bawah. Rupanya kuda itu telah terkena tusukan pedang. Cepat Leng-sian melompat bangun sambil mengegos untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun anak murid Jing-sia-pay itu segera menyerang pula dengan mati-matian.
Enam murid Jing-sia-pay itu terhitung jago-jago pilihan, biarpun Leng-sian berhasil mempelajari ilmu pedang yang terukir di gua Hoa-san itu dan telah mengalahkan jago-jago dari Thay-san-pay, Hing-san-pay, dan lain-lain, namun ilmu pedang lihai itu ternyata tidak mempan digunakan terhadap jago Jing-sia-pay.
Lenghou Tiong dapat melihat sang sumoay tidak mampu melawan serangan murid-murid Jing-sia-pay yang nekat itu. Sedang khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang Jing-sia-pay, rupanya sebelah lengannya telah kena ditebas kutung oleh Gak Leng-sian.
Giranglah hati Lenghou Tiong, ia berharap orang Jing-sia-pay yang lain tentu akan jeri dan mundur teratur. Tak terduga kelima orang lain tidak mundur setapak pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah lengannya itu.
Melihat lawan yang mandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, Leng-sian menjadi jeri sendiri malah, ia terdesak mundur, mendadak sebelah kakinya terpeleset menginjak batu karang yang berlumut licin, kontan ia jatuh ke dalam air.
"Celaka!" seru Lenghou Tiong khawatir.
"Beginilah cara kita melayani Tonghong Put-pay tempo hari," tiba-tiba terdengar Ing-ing berkata.
Betul juga pikir Lenghou Tiong. Pertempuran di Hek-bok-keh tempo hari sudah jelas mereka berempat tidak sanggup melawan Tonghong Put-pay, untung Ing-ing ganti haluan dan menyerang Nyo Lian-ting sehingga perhatian Tonghong Put-pay terpencar dan akhirnya dapatlah membinasakan gembong Mo-kau itu. Sekarang cara yang dipakai Ih Jong-hay juga sama dengan tipu Ing-ing dahulu itu. Cara bagaimana Yim Ngo-heng dan Lenghou Tiong berempat membinasakan Tonghong Put-pay sudah tentu tidak diketahui Ih Jong-hay, tapi akal yang terpikir ternyata sama tanpa berembuk.
Lenghou Tiong menduga Lim Peng-ci tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak terduga pemuda itu masih terus menempur Ih Jong-hay dengan sengit, sama sekali tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.
Rupanya anak murid Jing-sia-pay sama menyadari mati-hidup Jing-sia-pay dan keselamatan sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini, oleh karena itu mereka bertempur dengan nekat. Mendadak orang yang buntung tangannya itu membuang pedangnya terus menjatuhkan diri dan menggelundung ke arah Leng-sian, segera ia rangkul kaki Leng-sian dengan kencang.
"Adik Peng, lekas bantu aku, lekas!" seru Leng-sian khawatir.
"Ih Pendek ingin tahu Pi-sia-kiam-hoat, maka biar dia lihat secara jelas agar mati pun dia tidak menyesal," kata Peng-ci sambil menyerang lebih cepat sehingga Ih Jong-hay hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Pi-sia-kiam-hoat yang dimainkan Peng-ci, meski di atas kuda, namun ilmu pedangnya yang lihai itu pun mendesak Ih Jong-hay sehingga kelabakan dan mati kutu.
"He, kau... kau...." bentak Lenghou Tiong dengan gusar. Tadinya ia mengira Peng-ci tidak mampu melepaskan diri dari kerubutan Ih Jong-hay dan murid-muridnya, tapi dari ucapannya tadi jelas Peng-ci sama sekali tidak menghiraukan keadaan bahaya Leng-sian, yang diutamakan hanya cara bagaimana meledek dan mempermainkan Ih Jong-hay yang sudah tak berdaya itu.
Dari jauh dapat terlihat dengan jelas air muka Lim Peng-ci yang memperlihatkan rasa gemas, dendam, dan bersemangat pula. Mungkin saat itu hati pemuda itu sedang diliputi rasa tekad yang ingin membalas sakit hati.
"Adik Peng, lekas tolong, lekas!" terdengar Leng-sian berseru pula dengan suara serak, keadaannya sudah sangat gawat.
"Segera aku datang, kau bertahan sebentar lagi, aku harus menyelesaikan Pi-sia-kiam-hoat agar dia dapat melihat dengan jelas," sahut Peng-ci. "Ih Pendek ini sebenarnya tiada permusuhan apa-apa dengan kita, dia sengaja mengirim begundalnya ke Hokkian hanya bertujuan mencari Pi-sia-kiam-boh, maka pantaslah kalau dia melihat sejelasnya ilmu pedangku ini dari awal sampai akhir. Betul tidak?"
Dia bicara dengan teratur, terang bukan diperdengarkan kepada sang istri, tapi lebih tepat kalau dikatakan sedang bicara pada Ih Jong-hay, bahkan dia khawatir pihak lawan kurang jelas, akhirnya ditambahkannya lagi pertanyaan, "Ih Pendek, betul tidak?"
Habis itu serangannya tambah gencar, gayanya indah sehingga lebih mirip dengan Giok-li-kiam yang dipelajari murid perempuan Hoa-san-pay.
Memangnya Lenghou Tiong bermaksud melihat bagaimana gerak serangan Pi-sia-kiam-hoat Peng-ci untuk kemudian dipikirkan cara mematahkannya. Kini melihat Peng-ci memperlihatkan segenap jurus ilmu pedangnya kepada Ih Jong-hay, keruan hal ini kebetulan bagi Lenghou Tiong.
Namun saat itu perhatian Lenghou Tiong sedang terganggu oleh keadaan Gak Leng-sian yang berbahaya itu, dengan sendirinya dia tidak punya peluang untuk memerhatikan jurus pedang Lim Peng-ci. Ia mendengar Gak Leng-sian lagi berteriak-teriak minta tolong, sungguh ia tidak tahan lagi, segera berkata, "Gi-ho Suci dan Gi-jing Suci, harap kalian menolongi Nona Gak. Dia... dia dalam bahaya!"
"Kita sudah menyatakan tidak membantu pihak mana pun juga, rasanya tidak enak ikut turun tangan," jawab Gi-jing.
Hendaklah maklum bahwa orang bu-lim paling mengutamakan "setia kawan" dan "pegang janji". Kalau dibandingkan memang kesetiaan lebih penting sedikit daripada janji, tapi sebagai kesatria dari golongan beng-bun-cing-pay (murid perguruan ternama dari golongan baik) betapa pun harus memegang teguh kepada apa yang telah diucapkan.
Mendengar jawaban Gi-jing itu, Lenghou Tiong merasa apa yang dikatakan itu memang benar, semalam mereka sudah menyatakan dengan tegas kepada Ih Jong-hay bahwa sekali-kali Hing-san-pay takkan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Gak Leng-sian, itu berarti merusak nama baik Hing-san-pay. Keruan Lenghou Tiong menjadi gelisah dan tak berdaya.
Syukur pada saat itu juga mendadak Ing-ing melompat ke sana, ketika tangannya menggagap pinggang, segera tangannya sudah memegang sebilah golok melengkung. Teriaknya, "Hai, hendaklah kalian melihat jelas. Aku adalah Ing-ing, putri kesayangan Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Kalian berenam lelaki mengeroyok seorang perempuan, betapa pun membikin penonton merasa muak. Karena melihat ketidakadilan, terpaksa Nona Yim harus ikut campur."
Girang sekali Lenghou Tiong melihat Ing-ing maju ke sana, ia menghela napas lega, tiba-tiba lukanya terasa sakit, ia jatuh terduduk lagi di dalam kereta.
Ternyata anak murid Jing-sia-pay sama sekali tidak menghiraukan campur tangan Ing-ing, mereka masih terus menyerang Gak Leng-sian secara kalap. Saat itu Leng-sian terdesak mundur-mundur lagi beberapa tindak, "plung", tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, Leng-sian menjadi gugup, permainan pedangnya menjadi kacau. Pada saat itulah pundak kiri terasa sakit, rupanya kena ditusuk oleh pedang musuh. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk merangkul kaki Leng-sian seperti diceritakan tadi. Segera Leng-sian ayun pedangnya untuk membacok dan tepat mengenai punggung si buntung, tapi orang itu masih terus merangkul dengan kencang, sedikit pun tidak mau lepas tangan.
Saking cemasnya pandangan Leng-sian menjadi gelap, ia mengeluh bisa celaka. Dari jauh dilihatnya Lim Peng-ci sedang memperlihatkan ilmu pedangnya yang hebat secara teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan sengaja memamerkan ilmu pedang belaka.
Terangsang oleh rasa mendongkol, hampir-hampir Leng-sian jatuh kelengar. Syukur mendadak serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mencelat ke atas, menyusul terdengar mendeburnya air, dua murid Jing-sia-pay telah terjungkal ke dalam sungai.
Karena pikiran sudah kacau, Leng-sian juga terbanting jatuh. Untung Ing-ing telah putar goloknya, dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid Jing-sia-pay juga telah dilukai, senjata pun terlepas dari cekalan, terpaksa mereka mengacir mundur.
Sekali tendang Ing-ing membikin murid Jing-sia-pay yang buntung itu terpental sehingga rangkulannya pada kaki Leng-sian terlepas. Segera ia menyeret bangun Gak Leng-sian yang sudah basah kuyup itu, pakaiannya juga berlepotan darah, perlahan-lahan dipapahnya ke tepi sungai.
Dalam pada itu terdengar Peng-ci sedang berseru, "Nah, Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami sudah kau lihat dengan jelas, bukan?"
Menyusul di mana sinar pedangnya berkelebat, kontan dua murid Jing-sia-pay yang ikut mengerubutnya lantas terguling.
Sekali Peng-ci menarik tali kendali kudanya, dengan cekatan kudanya lantas melompat melintasi kedua tubuh yang barusan roboh itu. Keadaan Ih Jong-hay sudah payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.
Peng-ci melarikan kudanya ke arah Leng-sian dan Ing-ing. "Naik kemari!" serunya kepada sang istri.
Sekonyong-konyong Leng-sian merasa benci dan muak terhadap sang suami, ia merasa lebih baik mati seketika daripada ikut bersama Peng-ci. Dengan mata melotot ia memandangi Peng-ci sejenak, kemudian berkata dengan mengertak gigi, "Kau pergi sendiri saja."
"Dan kau?" tanya Peng-ci.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buat apa kau mengurusi diriku," jawab Leng-sian.
Peng-ci memandang sekejap kepada anak murid Hing-san-pay, lalu mendengus sekali, kuda dikempitnya kencang terus dilarikan pergi dengan cepat.
Sama sekali Ing-ing tidak menduga bahwa Peng-ci akan memperlakukan sedemikian dingin terhadap istrinya yang baru dinikahnya ini. Katanya kemudian, "Nyonya Lim, silakan kau mengaso ke dalam keretaku saja."
Kelopak mata Leng-sian sudah penuh digenangi air mata, sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak sampai menetes, katanya dengan terguguk-guguk, "Aku... aku tidak mau, ken... kenapa kau menolong diriku?"
"Bukan aku yang menolong kau, toasukomu Lenghou Tiong yang ingin menolong kau," kata Ing-ing sejujurnya.
Hati Leng-sian menjadi pilu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Katanya kemudian, "Dapatkah kau... me... meminjamkan seekor kuda padaku?"
Ing-ing mengiakan, lalu pergi membawakan seekor kuda.
"Banyak terima kasih, kau sungguh be... beruntung!" kata Leng-sian, cepat ia mencemplak ke atas kuda dan melarikan kudanya ke jurusan sana. Arah yang ditempuh ternyata berlawanan dengan Peng-ci, agaknya kembali ke jurusan Ko-san.
Ih Jong-hay juga heran melihat Leng-sian lewat di sebelahnya, tapi ia pun tidak merintangi, pikirnya, "Malam nanti atau besok tentu bocah she Lim itu akan datang membunuhi beberapa orangku lagi, dia hendak membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal aku sebatang kara, habis itu barulah giliranku dikerjai olehnya."
Lenghou Tiong tidak tega menyaksikan keadaan Ih Jong-hay yang mengenaskan itu, katanya kepada Gi-ho dan lain-lain, "Marilah kita berangkat!"
Ketika kusir-kusir kereta membentak dan membunyikan cambuknya, segera keledai menarik keretanya ke depan.
Lenghou Tiong bersuara heran ketika melihat arah yang ditempuh Gak Leng-sian ternyata berlainan, mestinya ia ingin mengikuti jurusan sang sumoay itu, tak terduga keretanya ternyata dijalankan ke jurusan lain. Mendelong perasaannya, ia tidak enak untuk memerintahkan keretanya memutar haluan, hanya tirai kereta bagian belakang disingkapnya untuk memandang ke belakang, namun bayangan Leng-sian sudah tidak tampak lagi. Seketika perasaannya tertekan, pikirnya, "Sumoay terluka, dia menuju ke sana sendirian, apa takkan terjadi sesuatu atas dirinya?"
Tiba-tiba terdengar Gi-lim berkata di sampingnya, "Dia tentu pulang ke Ko-san, dia tentu akan aman berada di samping ayah-ibunya, kau tidak perlu khawatir."
Rada lega hati Lenghou Tiong, ia mengiakan. Dalam hati ia membatin, "Sumoay cilik ini benar-benar sangat cermat, dia selalu dapat menerka apa yang menjadi pikiranku."
Esok paginya waktu tengah hari mereka berhenti di suatu rumah makan kecil. Sesungguhnya tak bisa dikatakan rumah makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan, gubuk tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang.
Dibanjiri oleh rombongan Hing-san-pay, seketika warung makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk. Syukur rombongan Gi-ho sendiri membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak juga terbawa. Segera mereka membuat api dan menanak nasi di samping gubuk-gubuk itu.
Terlalu lama duduk di dalam kereta, Lenghou Tiong merasa sebal juga, syukur lukanya sudah rada baikan sesudah dibubuhi obat luka Hing-san-pay yang mustajab. Gi-lim dan Gi-ho lantas memayangnya turun dan duduk mengaso di bawah gubuk. Ia memandang ke timur, hatinya berpikir, "Entah Siausumoay akan datang kemari tidak?"
Dilihatnya debu mengepul tinggi dari sana, serombongan orang sedang mendatangi, kiranya rombongan Jing-sia-pay. Setiba di warung gubuk itu, orang-orang Jing-sia-pay juga lantas berhenti untuk menanak nasi. Ih Jong-hay tampak duduk sendirian menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.
Agaknya Ih Jong-hay menyadari ajalnya sudah dekat, maka ia tidak perlu sirik dan menghindari rombongan Hing-san-pay lagi, ia pikir paling-paling hanya mati saja, apa halangannya kalau orang-orang Hing-san-pay menyaksikan cara bagaimana dia akan mati nanti"
Tidak lama kemudian, benar juga dari jurusan barat terdengar derapan kaki kuda, seorang penunggang kuda makin mendekat dengan perlahan, penunggang kuda itu memakai baju sulam, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci.
Setiba di depan gubuk, Peng-ci menghentikan kudanya. Orang-orang Jing-sia-pay ternyata tidak ambil pusing padanya, melirik saja tidak, semuanya sibuk dengan tugas masing-masing, yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap enak-enak minum.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci malah. Segera ia bergelak tertawa, katanya, "Kalian tidak mau menyerang lebih dulu, aku pun tetap mau bunuh orang."
Ia melompat turun dari kudanya, sekali pantat kuda itu ditepuk, menyingkirlah binatang itu pergi makan rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih ada bangku yang kosong, segera ia mendekati dan duduk di situ.
Begitu Peng-ci memasuki gubuk itu segera Lenghou Tiong mencium bau wangi semerbak. Kiranya pakaian Peng-ci sangat rajin, sekujur badannya menguarkan bau harum.
Tertampak kopiah Peng-ci tersemat sebuah batu zamrud, jarinya memakai cincin bermata mirah delima, sepatunya juga berhiaskan mutiara, dandanan demikian bukan lagi dandanan jago silat, tapi lebih mirip tuan muda dari keluarga hartawan yang kaya raya.
Setelah ambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Peng-ci menyapa, "Lenghou-heng, baik-baik kau!"
"Baik," sahut Lenghou Tiong sambil mengangguk.
Peng-ci berpaling ke sana, dilihatnya seorang murid Jing-sia-pay sedang menuangkan minuman panas kepada Ih Jong-hay. Mendadak Peng-ci naik darah dengan suara keras ia menegur, "Hai, kau bernama Ih Jin-ho bukan" Dahulu waktu membunuh orang di rumahku di antaranya juga termasuk kau. Biar kau menjadi abu juga aku kenal kau."
Mendadak Ih Jin-ho gabrukkan pocinya di atas meja, dengan cepat ia membalik sambil pegang gagang pedang dan berkata, "Memang betul aku Ih Jin-ho adanya, kau mau apa?"
Walaupun nada jawaban kasar, namun suaranya rada gemetar dan mukanya pucat.
Peng-ci tersenyum, katanya kemudian, "Eng Hiong Ho Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay. Menurut urut-urutan kau terhitung nomor tiga, tapi sedikit pun tidak bersemangat kesatria. Sungguh menggelikan."
Eng, Hiong, Ho, Kiat, empat kesatria muda Jing-sia-pay, yang dimaksudkan adalah Kau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Ih Jin-ho, dan Lo Jin-kiat. Di antaranya Lo Jin-kiat sudah tewas dibunuh Lenghou Tiong di Kota Heng-san dahulu. Kau Jin-eng dan Ang Jin-hiong sekarang juga berada bersama di samping Ih Jong-hay.
Maka Peng-ci menjengek lagi, "Hah, kalau menurut penilaian Lenghou-heng itu, kalian lebih tepat disebut empat binatang dari Jing-sia. Padahal kalau menurut penilaianku, haha, kalian bahkan lebih rendah daripada binatang."
Tidak kepalang gusar Ih Jin-ho, tangannya sudah memegang gagang pedang, tapi pedang tetap tak dilolosnya keluar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur sana ada suara berdetaknya kaki kuda, dua penunggang kuda tampak mendatang dengan cepat. Setiba di depan gubuk, seorang yang berada di bagian depan lantas menghentikan kudanya. Waktu semua orang berpaling, segera ada orang bersuara kaget.
Kiranya penunggang kuda itu adalah seorang bungkuk yang bertubuh gemuk pendek, yaitu Bok Ko-hong yang terkenal dengan julukan "Say-pak-beng-tho" (Si Bungkuk dari Utara). Yang aneh adalah penunggang kuda di belakangnya itu ternyata Gak Leng-sian adanya.
Melihat Leng-sian, hati Lenghou Tiong menjadi senang. Tapi dilihatnya kedua tangan Leng-sian terikat menelikung di belakang, tali kendali kudanya juga dipegang oleh Bok Ko-hong. Jelas dia tertawan oleh musuh dan dipaksa ikut datang. Segera Lenghou Tiong bermaksud bertindak, tapi lantas terpikir, "Suaminya kan berada di sini, buat apa orang luar seperti aku mesti bertindak baginya" Jika suaminya tidak ambil pusing barulah nanti aku mencari akal untuk menolongnya."
Dalam pada itu Lim Peng-ci juga girang tidak kepalang melihat datangnya Bok Ko-hong. Ia membatin, "Orang yang mencelakai ayah-ibuku juga termasuk si bungkuk ini, sungguh tidak nyana hari ini dia mengantar kematian sendiri ke sini, Thian memang mahaadil."
Sebaliknya Bok Ko-hong tidak kenal Lim Peng-ci. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Heng-san, tapi waktu itu Peng-ci menyamar sebagai bungkuk, mukanya benjal-benjol, sama sekali berbeda daripada pemuda cakap seperti sekarang ini.
Bok Ko-hong menoleh kepada Gak Leng-sian dan berkata, "Mengingat sekian banyak teman berkumpul di sini, seharusnya kita berhenti mengaso juga buat minum teh. Tapi kakekmu ini ada urusan penting, marilah kita berangkat saja."
Rupanya dia rada gentar melihat orang-orang Hing-san-pay dan Jing-sia-pay, daripada nanti kebentrok ada lebih baik menyingkir saja lebih dulu. Sekali membentak segera ia hendak melarikan kudanya. Di luar dugaan, mendadak Leng-sian menjerit terus terperosot jatuh dari atas kuda.
Kiranya kemarin waktu Leng-sian terluka dan ingin kembali ke Ko-san untuk bergabung dengan ayah-bundanya, tapi di tengah jalan ia lantas kepergok Bok Ko-hong.
Rupanya si bungkuk ini menaruh dendam kepada Gak Put-kun lantaran perebutan Pi-sia-kiam-boh dahulu, kemudian didengarnya putra keluarga Lim diambilnya sebagai murid, bahkan dijadikan menantu malah, maka ia menduga kitab pusaka keluarga Lim tentu juga sudah ikut dikangkangi oleh Gak Put-kun.
Tentang upacara penggabungan Ngo-gak-kiam-pay ia pun mendapat kabar, cuma orang-orang Ngo-gak-kiam-pay biasanya memandang hina padanya, Co Leng-tan juga tidak mengirim kartu undangan padanya. Dasar jiwanya memang sempit, diam-diam Bok Ko-hong sembunyi di sekitar Ko-san, kalau ada orang Ngo-gak-pay yang kebetulan jalan sendirian segera akan disergapnya untuk melampiaskan rasa dendamnya. Dan kebetulan dilihatnya Gak Leng-sian jalan sendirian, segera ia mencegatnya.
Dengan kepandaian Leng-sian sekarang mestinya tidaklah gampang bagi Bok Ko-hong untuk mengalahkannya. Soalnya Leng-sian baru terluka, Bok Ko-hong merunduk pula secara mendadak sehingga akhirnya Leng-sian tertawan olehnya.
Ketika Leng-sian menggertaknya dengan mengatakan siapa dia, Bok Ko-hong tambah senang malah. Ia telah ambil keputusan akan menyembunyikan Gak Leng-sian dan suruh Gak Put-kun menebus diri anak perempuannya itu dengan Pi-sia-kiam-boh. Tak terduga di tengah jalan ia kepergok oleh orang-orang Hing-san dan Jing-sia-pay.
Leng-sian sendiri berpikir kalau sampai dirinya dibawa lari pula, maka tipislah harapan akan tertolong. Maka tanpa hiraukan lukanya, ia sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.
Bok Ko-hong memaki sambil melompat turun dari kudanya untuk mencengkeram kembali Gak Leng-sian.
Menurut perkiraan Lenghou Tiong, tentu Peng-ci takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Siapa tahu Peng-ci tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas lempit terus mengipas perlahan-lahan. Padahal saat itu adalah musim semi, salju di daerah utara saja masih membeku, buat apa menggunakan kipas segala" Jelas lagak Peng-ci itu hanya sengaja memperlihatkan keisengan dan ketidakacuhan terhadap segala apa yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu Leng-sian sudah dicengkeram bangun oleh Bok Ko-hong dan dinaikkan lagi ke atas kuda. Ia sendiri pun lantas mencemplak ke atas kuda dan segera hendak dilarikan.
"Orang she Bok," tiba-tiba Peng-ci berkata, "di sini ada orang mengatakan ilmu silatmu sangat rendah tak bernilai, apakah memang begitu halnya?"
Bok Ko-hong tercengang, ia melihat Peng-ci duduk sendirian, tampaknya bukan orang Jing-sia-pay dan juga bukan Hing-san-pay, seketika ia menjadi ragu-ragu, tanyanya kemudian, "Siapa kau?"
Peng-ci tersenyum, jawabnya, "Buat apa kau tanya diriku" Yang bilang ilmu silatmu rendah toh bukan aku."
"Siapa yang bilang?" tanya Bok Ko-hong.
"Cret", Peng-ci lipat kembali kipasnya terus menuding ke arah Ih Jong-hay, katanya, "Yakni Ih-koancu dari Jing-sia-pay ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan sejurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia ini, kalau tidak salah seperti Pi-sia-kiam-hoat namanya."
Mendengar nama "Pi-sia-kiam-hoat", seketika semangat Bok Ko-hong terbangkit. Ia coba melirik Ih Jong-hay, terlihat ketua Jing-sia-pay itu memegangi sebuah cangkir teh dan sedang termenung-menung, terhadap apa yang diucapkan Peng-ci seperti tidak mendengar. Seketika Bok Ko-hong menjadi ragu-ragu apakah ucapan Peng-ci tadi sungguh-sungguh atau kelakar belaka.
Akhirnya ia tanya Ih Jong-hay, "Hai, Ih Pendek, selamat padamu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini tentu betul toh?"
"Memang betul," jawab Ih Jong-hay. "Cayhe memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir."
Kejut dan girang pula Bok Ko-hong, cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Ih Jong-hay, lalu bertanya, "Kabarnya kiam-boh itu telah jatuh di tangan Gak Put-kun dari Hoa-san-pay, cara bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?"
"Aku tidak melihat kiam-boh segala, yang kulihat adalah orang yang mahir memainkan ilmu pedang itu," sahut Ih Jong-hay.
"O, kiranya demikian. Tapi Pi-sia-kiam-hoat ada yang tulen dan ada yang palsu. Seperti keturunan Hok-wi-piaukiok di Hokciu juga pernah mempelajari apa yang disebut Pi-sia-kiam-hoat segala, tapi ilmu pedang yang diperlihatkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat tentulah yang tulen."
"Aku tidak tahu apakah tulen atau palsu, yang jelas orang yang mahir ilmu pedang itu adalah keturunan Hok-wi-piaukiok dari Hokciu," jawab Jong-hay.
"Hahahaha!" Bok Ko-hong bergelak tertawa. "Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai tulen atau palsu sesuatu ilmu pedang juga tidak bisa membedakan. Bukankah Lim Cin-lam dari Hok-wi-piaukiok itu tewas di tanganmu?"
"Tulen atau palsunya Pi-sia-kiam-hoat memang aku tak bisa membedakan," jawab Ih Jong-hay. "Bok-tayhiap lebih berpengalaman, tentu dapat membedakannya."
Padahal Bok Ko-hong tahu tojin pendek di depannya ini terhitung tokoh kelas satu, baik ilmu silatnya maupun pengetahuannya yang luas, tapi mengapa sekarang bicara demikian, tentu mengandung arti yang dalam. Maka Bok Ko-hong hanya menyengir saja sambil memandang sekelilingnya, dilihatnya semua orang sedang memandang padanya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah omong sesuatu. Maka dengan ragu-ragu terpaksa ia berkata, "Kalau aku dapat melihatnya sendiri, betapa pun akan kubedakan yang tulen dan yang palsu."
"Kalau Bok-tayhiap ingin lihat, kukira tidaklah susah. Sekarang juga seorang yang berada di sini justru mahir main Pi-sia-kiam-hoat," kata Ih Jong-hay.
Keruan Bok Ko-hong terkesiap, sorot matanya kembali menatap orang-orang sekelilingnya. Dilihatnya Lim Peng-ci paling tak acuh, segera ia tanya, "Apakah pemuda ini yang kau maksudkan?"
"Hebat, sungguh aku sangat kagum terhadap pandangan Bok-tayhiap yang tajam, sekali pandang saja lantas tahu," kata Jong-hay.
Baru sekarang Bok Ko-hong mengamat-amati Lim Peng-ci mulai dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun kepala. Dilihatnya dandanan Peng-ci sangat perlente, jelas seorang putra keluarga hartawan. Pikirnya, "Ucapan Ih Pendek itu tentu mengandung sesuatu tipu muslihat bagiku. Buat apa aku terlibat dalam sengketa mereka, paling selamat lekas berangkat saja. Asalkan Nona Gak ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Gak Put-kun takkan menebusnya dengan kiam-boh yang kuinginkan itu."
Maka dia sengaja tertawa, katanya, "Haha, Ih Pendek, rupanya kau memang suka berkelakar padaku. Hari ini Si Bungkuk ada urusan lain, terpaksa aku mohon diri dahulu. Tentang Pi-sia-kiam-hoat itu apakah benar tulen atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa pula."
Habis berkata, sekali loncat, tahu-tahu ia sudah berada kembali di atas kudanya.
Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi loncatan ke atas kuda itu ternyata sangat gesit dan cepat.
Bab 120. Matinya Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.
Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.
Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada apa-apa yang telah dikerjainya.
Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.
Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumput-rumput yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.
Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala penuh darah.
Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, "Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang di tengah malam."
Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, "Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ih-pendek bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku."
Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar biasa.
"Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu," sahut Peng-ci. "Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil daripada Ih Jong-hay itu."
Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, "Dia berani menantang diriku, dengan sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya."
Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik"
Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak Leng-sian adanya.
Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk. Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan susulan meski dalam hati sangat gemas.
Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, "Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali padaku sambil memanggil "kakek" tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?"
Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil "kakek" tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.
Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, "Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni."
Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan memanggil "kakek" padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, "Ih-pendek, kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku saja."
Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.
Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, "Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay."
Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja, sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.
Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, "Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda."
Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.
Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus bau harum yang sedap.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh terkulai dengan dada mengucurkan darah.
Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak terkatakan kagumnya di samping waswas pula.
Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke pinggang Peng-ci.
Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu. Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.
Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan sama melongo.
Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.
Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. "Sret-sret-sret", kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar suara "trang-trang" yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.
Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud sebuah jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi serangan maut.
Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.
Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok Ko-hong untuk menangkis.
Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam, namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang bengkok itu.
Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi, ia bersuit nyaring terus menerjang maju, "sret-sret-sret" tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di punggung Lim Peng-ci.
Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.
Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu"
Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.
Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Peng-ci itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang diputar kencang untuk melindungi tubuh. Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk lutut.
"Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ...." Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih Jong-hay, lalu menyambung, "namun sudah terlambat!"
"Trang," kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.
Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang, sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.
Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.
Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, "Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu."
Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya hidup di dunia ini" Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh. Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.
Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.
Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Ko-hong.
Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.
"Blus", mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.
Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.
Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.
Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.
Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar. Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas tanah yang berlumuran darah, menyusul "sret-sret-sret" beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang Jing-sia-pay itu.
Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.
Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi Peng-ci.
Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-san-pay sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.
Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.
Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.
Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur. Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.
Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, "Suhu, Suhu! Engkau jangan meninggalkan kami!"
"O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!"
Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, "Sakit hatiku sudah terbalas!"
Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk membubuhi obat lagi.
Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, "Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu."
Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, "Sakit hatiku sudah terbalas, sudah terbalas!"
Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, "Bagaimana dengan kedua matamu" Air berbisa itu harus dicuci."
Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.
Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-sia-pay terkejut mendengar jeritan seram itu.
"Siausumoay," kata Lenghou Tiong. "Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk mengaso."
"Ba ... banyak terima kasih," sahut Leng-sian.
Mendadak Peng-ci berteriak, "Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya dengan dia?"
Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, "Bilakah aku bersalah padamu" Mengapa kau begini benci padaku?"
Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, "Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab, kalau orang sudi mem ...."
"Orang sudi apa?" bentak Peng-ci dengan gusar.
Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, "Hm, kau selalu mengatakan kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja" Buat apa kau mengurus diriku?"
Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu"
Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, "Orang telah menyelamatkan jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?"
Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.
Bentrok Para Pendekar 8 Payung Sengkala Karya S D Liong Rahasia 180 Patung Mas 14

Cari Blog Ini