Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 41
Lenghou Tiong terbahak-bahak saking gelinya, katanya, "O, kiranya engkau mencukur rambutku adalah ingin aku menjadi hwesio, lalu mengawini si nikoh cilik. Lakimu dulu berbuat begitu, jadi sekarang kau pun minta aku menjiplak caranya itu" Apakah ini tidak melanggar hak cipta lakimu?"
"Ya, begitulah maksudku, melanggar hak cipta orang atau tidak adalah tanggung jawabku," sahut si nenek.
"Tapi di dunia ini teramat banyak orang yang berkepala gundul, kepala gundul tidak berarti pasti hwesio, bukan?"
"Soal ini gampang saja, akan kuselomot kepalamu dengan api dupa sehingga terdapat sembilan bekas selomotan api. Kepala gundul memang tidak selalu adalah hwesio, tapi kepala gundul ditambah dengan bekas selomotan api dupa adalah tanda pengenal kaum hwesio, bukan?" Habis berkata segera si nenek hendak mulai "bekerja".
"Eh, nanti dulu, sebentar lagi," lekas-lekas Lenghou Tiong mencegah. "Suruh orang menjadi hwesio harus secara sukarela, masa ada cara paksa begini?"
"Hanya ada dua pilihan, menjadi hwesio atau menjadi thaykam (orang kebiri, dayang istana raja)," kata nenek.
Lenghou Tiong menjadi khawatir, kelakuan nenek ini angin-anginan, segala apa mungkin diperbuatnya, paling perlu sekarang harus cari akal untuk mengulur waktu. Maka ia lantas menjawab, "Bila aku dijadikan thaykam, jangan-jangan pada suatu saat mendadak pikiranku berubah dan kepingin mengawini Gi-lim Sumoay, lalu bagaimana" Kan bisa runyam" Hidup kami berdua bukankah akan tersiksa?"
"Orang persilatan seperti kita ini harus blakblakan terhadap sesuatu, bicara tegas, berbuat cepat, mana boleh ragu-ragu dan mencla-mencle. Mau jadi thaykam ya jadi thaykam dan ingin jadi hwesio ya jadi hwesio, seorang laki-laki sejati kenapa harus plinplan seperti kau?"
"Tapi kalau jadi thaykam tak dapat dikatakan lagi sebagai laki-laki sejati," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Persetan!" omel si nenek. "Kita sedang bicara urusan penting, bukan lagi bergurau, tahu?"
Lenghou Tiong menyengir. Pikirnya, "Gi-lim Sumoay cantik molek, cintanya juga mendalam terhadapku, bila dia jadi istriku adalah suatu kebahagiaan bagiku. Tapi hatiku sudah lama terisi oleh Ing-ing, mana boleh aku mengingkari dia" Nenek gila ini memaksa aku secara kasar, seorang jantan biarpun mati juga pantang menyerah."
Karena pikiran demikian segera ia menjawab, "Nenek, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, orang begini baik tidak?"
"Masakah perlu tanya lagi" Orang demikian sudah tentu lebih kotor daripada babi dan anjing, percuma saja menjadi manusia," jawab si nenek.
"Nah, itu dia," kata Lenghou Tiong. "Gi-lim Sumoay adalah nona cantik, sangat baik pula padaku, kenapa aku tidak ingin memperistrikan dia" Soalnya sudah lama aku mempunyai ikatan jodoh dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku, seumpama diriku kau cencang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku mengingkari dia. Sebab kalau aku mengingkari dia, bukankah aku akan berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan" Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Put-kay Taysu itu akan kurebut?"
"Nona yang kau maksudkan itu tentunya Yim-toasiocia dari Mo-kau, yaitu nona yang pernah menolongmu waktu kau dikepung anggota Mo-kau dahulu itu, betul bukan?" tanya si nenek.
"Benar, memang dia adanya, engkau sendiri pun sudah melihatnya," kata Lenghou Tiong.
"Gampang urusannya jika begitu," ujar si nenek. "Akan kusuruh Nona Yim itu membuang dirimu, anggap saja dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia."
"Dia pasti takkan mengingkari diriku, dia sudah sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, maka aku pun bersedia berkorban baginya. Aku pasti takkan mengingkari dia dan dia pun pasti takkan mengkhianati aku."
"Kalau urusan sudah mendesak, kukira ia pun tak bisa berbuat apa-apa," ujar si nenek lagi. "Di paviliun Hing-san sana banyak sekali laki-laki busuk, boleh dicari salah seorang untuk menjadi suaminya."
"Ngaco-belo!" damprat Lenghou Tiong dengan gusar.
"Apa kau sangka aku tak bisa melaksanakan hal itu?" tanya si nenek. Segera ia melangkah keluar, terdengar pintu kamar sebelah dibuka, lalu si nenek kembali lagi dengan membawa seorang anak perempuan dengan kaki-tangan terikat telikung, siapa lagi kalau bukan Ing-ing.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Ing-ing juga jatuh dalam cengkeraman si nenek. Tapi ia pun merasa lega ketika melihat keadaan Ing-ing baik-baik saja tanpa terluka apa-apa. "Kau pun berada di sini, Ing-ing!" serunya.
"Ya, aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian," sahut Ing-ing dengan tersenyum. "Engkau menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku sangat senang."
"Di hadapanku tak boleh omong hal-hal yang tidak tahu malu begitu," bentak si nenek. "Nona cilik, katakan saja terus terang, kau inginkan hwesio atau jadi...."
Muka Ing-ing menjadi merah, jawabnya, "Huh, omonganmu ini benar-benar tidak tahu malu."
"Ya, aku sudah memikirkan secara cermat, kupercaya bocah Lenghou Tiong ini sukar meninggalkanmu untuk disuruh mengawini Gi-lim," kata si nenek.
"Bagus! Sejak kau mulai buka mulut, hanya ucapan inilah yang paling baik," sorak Lenghou Tiong.
"Baiklah, biar aku pun berbuat sesuatu yang lebih baik lagi," kata si nenek. "Aku mau mengalah sedikit, tapi bikin enak bocah Lenghou Tiong ini. Biarlah dia mengawini kalian berdua sekaligus. Jadi cuma ada dua kemungkinan, dia boleh jadi hwesio saja dan punya dua istri atau menjadi thaykam tanpa istri. Hanya saja sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian dua istri sama-sama derajat, tiada istri pertama atau istri kedua. Namun Gi-lim boleh memanggil cici padamu mengingat usiamu memang lebih tua beberapa tahun."
"Tapi aku...." baru saja Lenghou Tiong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menutuk hiat-to yang membuatnya menjadi bisu.
Menyusul si nenek menekan hiat-to Ing-ing, lalu berkata, "Sekali aku sudah ambil keputusan, maka kalian tiada hak bicara lagi. Hm, masakah kau tidak senang, sekaligus mendapat dua istri yang cantik molek" Coba, bangsat gundul Put-kay itu sungguh tidak becus, anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan kelabakan saja tanpa berdaya. Sebaliknya aku cuma turun tangan sedikit saja segala urusan lantas beres."
Habis berkata, segera ia melangkah pergi pula.
Lenghou Tiong dan Ing-ing hanya saling pandang dengan menyengir saja, bicara tidak dapat, hendak memberi isyarat juga tak bisa bergerak.
Sementara itu sang surya baru saja menongol di ufuk timur, sinarnya yang terang memancar masuk melalui jendela. Lenghou Tiong menatap wajah Ing-ing yang cantik menggiurkan itu. Dilihatnya sinar mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang tertaruh di atas bangku, air mukanya berseri-seri, jelas menandakan nona itu sedang menertawai Lenghou Tiong yang hampir-hampir saja dikebiri.
Tapi segera sorot mata si nona beralih dan menunduk kepala dengan wajah bersemu merah, agaknya ia merasa malu karena urusan begitu tidak pantas diucapkan, bahkan juga tidak pantas dipikirkan.
Melihat wajah si nona yang kikuk malu itu, tanpa terasa hati Lenghou Tiong berguncang, terbayang olehnya, "Coba kalau saat ini tubuhnya dapat bebas bergerak, sebaliknya dia tak bisa berkutik, sungguh aku ingin mendekatinya, memeluk dan menciumnya. Betapa pun dia akan merasa malu toh tak bisa mengelak."
Dilihatnya sinar mata Ing-ing perlahan menggeser ke arahnya, ketika sinar mata kedua orang kebentrok, cepat Ing-ing berpaling, pipi yang bersemu merah tadi sebenarnya sudah hilang tapi sekarang mendadak timbul lagi.
"Cintaku terhadap Ing-ing adalah suci dan teguh, selamanya takkan berubah," pikir Lenghou Tiong. "Tapi kalau nenek gila itu memaksa aku menikahi Gi-lim, demi mencari selamat, terpaksa aku menurut untuk sementara, bila dia sudah melepaskan hiat-to dan aku sudah pegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Betapa pun hebat kepandaian nenek jahat ini kalau dibandingkan Co Leng-tan, Yim-kaucu, dan lain-lain tentu masih selisih jauh. Lebih-lebih dalam hal ilmu pedang, tentu tak mampu menandingi aku. Dia unggul dalam hal kegesitan pergi-datang tanpa suara dan melakukan sergapan mendadak. Tapi kalau berkelahi sungguh-sungguh, kuyakin Ing-ing akan dapat mengalahkan dia, bahkan Put-kay Hwesio juga lebih kuat daripada dia."
Ia termenung-menung sendiri, sekilas dilihatnya Ing-ing juga sedang memandangnya lagi. Cuma sekarang si nona tidak merasa malu-malu lagi, agaknya sudah tidak memikirkan hal thaykam segala. Sorot mata si nona dari wajah Lenghou Tiong beralih ke atas dengan tersenyum simpul, terang Ing-ing sedang menertawai kepalanya yang gundul itu. Jadi tidak berpikir soal thaykam, tapi sekarang menertawakan hwesio.
Lenghou Tiong sendiri ingin tertawa, cuma mulutnya saja entah mengap dan tak dapat mengeluarkan suara. Dilihatnya Ing-ing tambah senang tertawanya, tiba-tiba biji mata si nona tampak mengerling aneh, memperlihatkan air muka yang nakal, berwajah mengejek lalu memicingkan sebelah matanya menyusul memicing sekali lagi.
Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu apa maksud si nona itu, dilihatnya si nona kembali main mata lagi dua kali. Mau tak mau terpikir olehnya. "Dia mengedip dua kali, apa artinya" Ah tahulah aku, tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa mengawini dua istri."
Segera ia pun balas main mata dengan memicingkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang serius, Maksudnya hendak mengatakan. "Aku cuma kawin denganmu seorang saja, pasti tidak akan ambil istri kedua."
Tapi Ing-ing tampak menggeleng kepala perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Ia bermaksud menggeleng kepala sedikit keras untuk menunjukkan tekadnya, cuma seluruh tubuh tertutuk terlalu banyak, sukar mengeluarkan tenaga, terpaksa memperlihatkan sikap dan air muka yang sungguh-sungguh dan setulusnya.
Ing-ing kelihatan mengangguk perlahan, sorot matanya beralih pula ke tempat pisau cukur, lalu perlahan menggeleng lagi. Mungkin maksudnya hendak mengatakan, "Aku tahu tekadmu, tapi harus ingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu."
Lenghou Tiong tidak memberi reaksi lagi, ia cuma menatap tajam kepada si nona, sinar mata Ing-ing kemudian juga menggeser dan saling pandang dengan dia.
Jarak kedua muda-mudi itu ada dua-tiga meter jauhnya, namun dari pandangan empat mata itu, tiba-tiba pikiran satu sama lain seakan-akan terbaca masing-masing, mereka merasa bicara atau tidak adalah sama saja, yang penting kedua pihak sama-sama memahami perasaan masing-masing, maka mereka tiada sangsi sedikit pun, bukan saja mereka tidak pikirkan lagi apakah Gi-lim harus dikawin atau tidak, bahkan juga tidak penting bagi mereka apakah akan menjadi hwesio atau jadi thaykam, malahan baik hidup atau mati bagi mereka berdua juga tidak menjadi soal, yang pasti mereka berdua sudah bersatu hati, satu perasaan, hal ini sudah puas bagi mereka, saat yang mereka hadapi ini dirasakan seperti sudah kekal, abadi, sekalipun langit runtuh dan bumi ambruk juga takkan merampas saat bahagia demikian ini.
Begitulah kedua orang saling pandang dengan penuh rasa mesra, entah sudah lewat berapa lama lagi tiba-tiba terdengar suara tangga loteng berbunyi, ada orang naik lagi ke atas loteng barulah rasa mesra kedua orang yang tak terperikan itu mulai buyar dan mendusin dari alam bahagia yang tak terbatas itu.
Terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, "Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku ke sini?"
Terang itulah suara Gi-lim.
Lalu terdengar dua orang memasuki kamar sebelah dan duduk, lalu si nenek berkata dengan perlahan, "Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu, aku sama sekali tidak bisu."
"Hahh, jadi... jadi... engkau tidak... tidak bisu" Engkau sudah sembuh?" seru Gi-lim dengan terkejut.
"Memangnya aku bukan orang bisu," sahut si nenek.
"Jika begitu kau pun... kau pun tidak tuli, kau... kau dapat mendengar... mendengar ucapanku?" Gi-lim menegas pula, nadanya memperlihatkan rasa kejut dan heran tak terhingga.
"Kenapa kau takut, Nak!" kata si nenek. "Jika aku dapat mendengar ucapanmu kan lebih baik?"
Untuk pertama kalinya Lenghou Tiong mendengar nada ucapan si nenek itu penuh mengandung rasa kasih sayang, hal ini menandakan hati orang tua itu bukanlah batu, nyatanya di depan putri kandung sendiri akhirnya mengalir juga perasaan kasih sayang seorang ibu.
Namun Gi-lim rupanya masih sangat terperanjat, dengan suara rada gemetar ia menjawab, "Ti... tidak, aku... aku akan pergi saja!"
"Nanti dulu, duduklah sebentar lagi," kata si nenek. "Aku ingin bicara sesuatu hal penting padamu."
"Tidak, aku... aku tidak mau dengar," jawab Gi-lim. "Engkau... engkau telah menipu aku, selama ini kusangka engkau tak dapat mendengar, maka.... maka aku bicara macam-macam padamu. Ternyata... ternyata engkau menipu aku."
Suaranya parau dan terputus-putus, tampaknya hampir menangis.
Perlahan si nenek menepuk bahu Gi-lim, katanya dengan suara halus, "Anak baik, anak manis, jangan khawatir, aku tidak sengaja menipumu, aku hanya khawatir kau jatuh sakit menahan perasaanmu, maka membiarkan kau bicara agar hatimu lebih lapang. Selama aku berada di Hing-san sini selalu menyamar sebagai orang bisu dan tuli, hal ini tidak diketahui oleh siapa pun maka bukan maksudku menipumu saja."
Gi-lim menangis dengan tersedu-sedu. Dengan suara halus kembali si nenek berkata, "Aku hendak bicara sesuatu urusan bagus padamu, setelah mendengar tentu kau akan girang?"
"Apakah urusan ayahku?" tanya Gi-lim.
"Tentang ayahmu" Huh, peduli dia akan mampus atau hidup," jengek si nenek. "Yang akan kubicarakan adalah urusan Lenghou-toakomu."
"Tidak engkau jang... jangan singgung-singgung dia lagi, aku... aku takkan menyinggung dia lagi untuk selanjutnya," kata Gi-lim dengan suara terputus-putus. "Sudahlah, aku akan pulang untuk sembahyang."
"Jangan, tunggu dulu, dengarkan uraianku," kata si nenek. "Lenghou-toakomu bilang padaku bahwa sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu, jauh lebih suka padamu daripada Yim-siocia dari Mo-kau, boleh dikata berpuluh kali lipat lebih suka padamu daripada terhadap nona Mo-kau itu."
Lenghou Tiong memandang sekejap pada Ing-ing, dalam hati ia memaki, "Perempuan tua bangka, pembohong paling besar di dunia ini!"
Dalam pada itu terdengar Gi-lim sedang menghela napas lalu berkata, "Engkau tidak perlu dusta padaku. Ketika mula-mula aku kenal dia, Lenghou-toako hanya menyukai dia punya siausumoay seorang, kemudian sesudah siausumoaynya meninggalkan dia dan kawin dengan orang lain, lalu dia melulu menyukai Yim-siocia saja, cintanya juga kelewat-lewat, dalam lubuk hatinya juga melulu Yim-siocia saja seorang."
Kembali sinar mata Lenghou Tiong kontak dengan sinar mata Ing-ing, dalam hati kedua orang sama-sama merasakan nikmat dan bahagia sekali.
Terdengar si nenek lagi berkata, "Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu, hanya saja kau adalah seorang cut-keh-lang, dia adalah ketua Hing-san-pay pula, maka dia tidak dapat mengutarakan isi hatinya. Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menggantungkan cita-cita, sudah bertekad akan mengawinimu, sebab itulah dia sudah cukur rambut dulu dan menjadi hwesio."
"Hahhh!" kembali Gi-lim menjerit kaget. "Tidak... tidak bisa jadi! Tidak... tidak boleh jadi! Harap kau suruh... suruh dia jangan menjadi hwesio."
"Sudah terlambat," sahut si nenek dengan gegetun. "Kini dia sudah menjadi hwesio. Katanya betapa pun dia harus memperistrikan kau. Kalau gagal, dia akan bunuh diri atau akan menjadi thaykam saja."
"Menjadi thaykam?" Gi-lim menegas. "Apa thaykam itu?"
Nenek itu menjadi sulit juga untuk menerangkan arti thaykam, ia hanya mendengus, lalu berkata, "Thaykam adalah dayang yang melayani kaisar dan keluarganya, kaum hamba yang tidak terhormat."
"Tapi Lenghou-toako adalah orang yang tinggi hati, orang yang suka kebebasan, mana dia sudi menjadi pelayan kaisar segala?" ujar Gi-lim. "Kukira menjadi kaisar sekalipun dia tidak mau, jangankan lagi melayani sang kaisar. Maka pasti dia tidak mungkin menjadi thaykam."
"Menjadi thaykam juga tidak sungguh-sungguh harus melayani kaisar segala, itu cuma perumpamaan saja," kata si nenek. "Orang yang sudah menjadi thaykam selama hidupnya tak bisa punya anak lagi."
"Ah, masakah begitu" Aku tidak percaya," kata Gi-lim. "Kelak bila Lenghou-toako kawin dengan Yim-toasiocia, dengan sendirinya mereka akan punya beberapa anak yang mungil. Mereka berdua sama-sama cakap, putra-putri mereka tentu juga bagus dan menyenangkan."
Lenghou Tiong coba melirik Ing-ing, dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah, di antara rasa malunya terlihat rasa senang yang tak terhingga.
Dalam pada itu agaknya si nenek menjadi gusar, katanya dengan suara keras, "Sekali kukatakan dia tak bisa punya anak, maka pasti dia takkan punya anak. Jangankan anak, beristri juga tidak dapat. Dia sudah bersumpah berat, mau tak mau dia harus mengawini dirimu."
"Tapi aku tahu dalam hatinya cuma terisi oleh Yim-siocia seorang," kata Gi-lim.
"Dia sudah mengawini Yim-siocia dan juga mengawinimu, paham tidak?" kata si nenek. "Jadi seluruhnya dia punya dua istri. Lelaki di dunia ini banyak yang punya tiga istri dan beberapa gundik, jangankan cuma dua istri saja."
"Ah, tidak, tidak bisa," kata Gi-lim. "Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan juga cuma orang itu melulu, pagi dipikir malam terkenang, waktu makan terkenang tatkala tidur juga terkenang, mana bisa dia memikirkan lagi orang kedua. Seperti halnya Ayah, sejak Ibu meninggalkan dia, maka beliau telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari Ibu. Di dunia ini masih banyak wanita lain, kalau seorang boleh punya dua istri mengapa Ayah tidak kawin lagi dengan perempuan lain?"
Seketika nenek itu terdiam, agaknya kata-kata Gi-lim itu dirasakan ada benarnya juga. Dia menghela napas, lalu berkata, "Semula ayahmu berbuat salah, mungkin kemudian dia... dia merasa menyesal."
"Sudahlah, aku akan pulang saja," kata Gi-lim. "Nenek, bila engkau bicara pada orang lain tentang Lenghou-toako ingin mengawini aku segala, bisa jadi aku tidak... tidak mau hidup lagi."
"Apa sebabnya" Dia memang ingin mengawinimu, masakah kau tidak suka malah?" tanya si nenek.
"Tidak, tidak!" jawab Gi-lim. "Hatiku senantiasa memikirkan dia, aku selalu berdoa agar dia diberkati hidup bahagia dan gembira, semoga dia bebas dari kesukaran dan lepas dari bencana, biar terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan Yim-toasiocia. Mungkin engkau tidak paham hatiku, Nenek, yang kuharapkan asalkan hati Lenghou-toako merasa senang, mereka bahagia, maka aku pun akan merasa senang dan bahagia."
"Jika dia tidak berhasil mengawinimu, maka dia pasti takkan senang dan tidak bahagia, menjadi manusia mungkin juga tiada artinya," ujar si nenek.
"Ai, semuanya memang salahku, kukira engkau tidak dapat mendengar, maka banyak kuceritakan hal-hal mengenai Lenghou-toako," kata Gi-lim. "Dia adalah pahlawan besar pada zaman kini, seorang kesatria pujaan, sebaliknya aku cuma seorang nikoh cilik yang tak berarti. Dia pernah bilang padaku bahwa setiap kali ketemu nikoh, bila judi pasti kalah. Melihat aku saja membuatnya sial, mana bisa dia mengawini aku malah" Aku sudah pasrahkan diriku ke dalam agama Buddha, aku harus menghilangkan segala pikiran keduniawian, aku tak dapat memikirkan hal-hal begitu lagi. Nenek, selanjutnya engkau jangan menyinggung-nyinggung lagi, seterusnya aku pun takkan... takkan menemuimu pula."
Agaknya si nenek menjadi kelabakan, katanya, "Kau budak cilik ini memang aneh dan membingungkan. Lenghou Tiong sudah menjadi hwesio demi dirimu, dia sudah menyatakan harus mengawinimu, bila Buddha marah biarlah dia yang dimarahi."
Gi-lim menghela napas, sahutnya, "Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku" Tentu tidak. Ibuku cantik dan cerdik, perangainya halus orangnya ramah, boleh dikata wanita yang paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi hwesio demi ibuku adalah pantas tapi aku... aku sedikit pun tak bisa memadai diri ibuku."
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, pikirnya, "Ibumu cantik cerdik, rasanya kurang tepat, perangainya halus, lebih-lebih tidak sesuai. Dibandingkan dirimu, harus dikatakan sedikit pun ibumu tak bisa memadaimu."
Dalam pada itu terdengar si nenek lagi bertanya. "Dari mana kau dapat tahu?"
"Tentu saja tahu," sahut Gi-lim. "Setiap kali Ayah bertemu dengan aku, beliau selalu bercerita tentang kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus, selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang, selama hidup Ibu tak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tak pernah terinjak olehnya. Katanya biarpun seluruh wanita baik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tak bisa membandingi ibuku seorang."
"Be... betulkah dia berkata demikian" Ah... mungkin... mungkin pura-pura saja," kata si nenek dengan suara rada gemetar, suatu tanda perasaannya rada terguncang.
"Sudah tentu betul," sahut Gi-lim. "Aku adalah anak perempuannya, masakah Ayah mendustai diriku?"
Seketika suasana di Leng-kui-kok itu menjadi sunyi senyap, agaknya nenek itu tenggelam dalam lamunannya.
"Nenek, aku akan pulang," kata Gi-lim kemudian. "Selanjutnya aku takkan menemui Lenghou-toako lagi, hanya setiap hari aku berdoa semoga Dewi Koan-im suka memberkahi dia."
Lalu terdengar suara tindakan perlahan turun ke bawah.
Agak lama berselang barulah si nenek seperti tersadar dari impian, terdengar ia bergumam perlahan, "Masakah dia mengatakan aku adalah wanita paling baik di dunia ini" Dia telah menjelajahi segenap pelosok dunia ini untuk mencari aku" Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan orang yang doyan perempuan?"
Sekonyong-konyong ia berseru keras-keras, "Gi-lim, Gi-lim! Di mana kau?"
Namun Gi-lim sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, segera ia berlari-lari ke bawah loteng.
Dia lari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara tindakannya tetap perlahan sekali, hampir-hampir tak terdengar, suatu tanda ginkangnya memang luar biasa.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, seketika macam-macam pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Sinar sang surya memancar tiba melalui jendela, pisau cukur yang tajam itu berkelip-kelip kemilauan. Diam-diam Lenghou Tiong merasa bersyukur bahwa bencana yang mengancamnya tadi ternyata telah terhindar secara begitu saja.
Bab 132. Antara Mati dan Hidup
Tiba-tiba terdengar di bawah Sian-kong-si itu ada suara orang bicara, cuma jaraknya jauh maka tak jelas terdengar. Selang sejenak, terdengar ada orang mendekati kuil itu.
"Ada orang datang!" seru Lenghou Tiong. Karena seruan ini barulah ia tahu hiat-to bisu yang tertutuk si nenek tadi kiranya sudah terlepas.
Di antara berbagai hiat-to di tubuh manusia, "ah-hiat" atau hiat-to bisu adalah hiat-to yang paling cetek, dasar tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ing-ing, maka dia dapat melepaskan diri lebih dulu dari tutukan itu.
Tertampak Ing-ing mengangguk perlahan. Segera Lenghou Tiong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, tapi ternyata belum dapat berkutik. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, "Mungkin musuh, kita harus lekas melepaskan hiat-to yang tertutuk."
Kembali Ing-ing mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu agaknya ada tujuh atau delapan orang yang telah memasuki Sian-kong-si.
Lenghou Tiong pikir, "Semoga mereka naik ke Sin-coa-kok sebelah sana saja, semakin lama semakin ada harapan aku akan dapat membuka hiat-to sendiri."
Akan tetapi harapan ternyata bertentangan dengan kenyataan, beberapa orang itu justru menaiki tangga yang menuju ke atas Leng-kui-kok.
Terdengar seorang di antaranya yang bersuara kasar sedang berkata, "Setan saja tidak ada di Sian-kong-si ini, apanya yang mesti dicari?"
Terang itulah suara Siu Siong-lian.
Keruan Lenghou Tiong terkejut dan heran, "Dia" Untuk apa dia mencari ke sini" Masakah gerakan mereka sudah berhasil?"
Menyusul terdengar Say-po Hwesio sedang berkata, "Perintah dari atasan, lebih baik kita menurut saja."
Sembari bicara beberapa orang itu lantas naik ke tingkat kedua.
Sekuatnya Lenghou Tiong mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang hiat-to yang tertutuk, akan tetapi tenaga dalamnya yang utama asalnya diperoleh dari orang lain, meski tenaga dalamnya sangat kuat, namun tidak lama dan tidak dapat digunakan secara leluasa, semakin terburu-buru, semakin macet.
Dalam pada itu terdengar Giam Sam-seng lagi berkata, "Gak-siansing mengatakan bila kita sudah berhasil, beliau akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita, kulihat ucapannya ini sukar dipercaya. Coba pikir, orang yang berjuang ke Hing-san sini tak terhitung banyaknya, kita juga belum berjasa apa-apa, mengapa Gak-siansing melulu berjanji akan menurunkan kiam-hoat itu kepada kita?"
Tengah bicara beberapa orang di antaranya sudah sampai di tingkat ketiga, begitu pintu didorong, segera tertampak Lenghou Tiong dan Ing-ing dikerek di atas belandar dengan kaki tangan tertelikung. Berbareng mereka menjerit kaget tercampur heran.
"He, mengapa Yim-toasiocia berada di sini?" kata si licin Yu Siok. "O, ada lagi seorang hwesio."
"Siapakah yang berani kurang ajar begini terhadap Yim-toasiocia?" seru Thio-hujin. Segera ia mendekati Ing-ing dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.
"Jangan, tunggu dulu, Thio-hujin!" seru Yu Siok.
"Tunggu apa lagi?" tanya Thio-hujin.
"Biar kupikirkan dulu dengan lebih masak," sahut Yu Siok. "Melihat gelagatnya, tampaknya Yim-siocia diringkus orang sehingga tak bisa berkutik, ini benar-benar aneh bin ajaib."
"He, ini bukan hwesio, tapi dia adalah... adalah... Lenghou-ciangbun, Lenghou Tiong, Lenghou-kongcu adanya!" tiba-tiba Giok-leng Tojin berseru kaget.
Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Lenghou Tiong, maka dia lantas dikenali seketika. Biasanya kedelapan orang itu sangat hormat dan segan terhadap Ing-ing, terhadap Lenghou Tiong juga sangat jeri, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, tiada seorang pun berani mengemukakan pendapat.
Sejenak lagi, mendadak Giam Sam-seng dan Siu Siong-lian bicara berbareng, "Ini dia, kita benar-benar berjasa besar!"
"Benar!" sambung Giok-leng Tojin. "Mereka hanya dapat membekuk beberapa orang nikoh cilik, buat apa" Dapat membekuk ketua Hing-san-pay barulah benar suatu jasa mahabesar."
Thio-hujin yang telanjur mengulurkan tangan hendak membuka tali ringkusan Ing-ing tadi tidak lantas ditarik kembali tangannya, ia tanya, "Lantas bagaimana?"
Di bawah pengaruh wibawa Ing-ing, kedelapan orang itu merasa segan juga untuk tidak menolong melihat Ing-ing dalam keadaan begitu. Tapi mereka sama-sama mempunyai suatu pikiran pula, "Jika Yim-toasiocia dilepaskan, jangankan Lenghou Tiong tak bisa ditawan, bahkan jiwa kita ini akan segera melayang, lantas bagaimana baiknya"
Dengan cengar-cengir kemudian Yu Siok membuka suara, "Kata peribahasa, hati kecil bukan jantan, tidak kejam bukan laki-laki. Bukan jantan masih boleh juga, tidak menjadi laki-laki rasanya sayang, terlalu sayang!"
"Apakah kau maksudkan kesempatan ini harus kita gunakan untuk bereskan mereka, bunuh orang buat tutup mulut?" tanya Giok-leng Tojin.
"Bukan aku yang mengatakan, kaulah yang berkata demikian," jawab Yu Siok.
Mendadak dengan suara bengis Thio-hujin menghardik, "Kita semua utang budi kepada Seng-koh, siapa yang berani kurang ajar terhadap beliau, akulah orang pertama yang tidak terima."
"Bila kau lepaskan dia sekarang, apakah kau sangka dia mau terima kebaikanmu?" kata Siu Siong-lian. "Selain itu apakah dia mau membiarkan kita membekuk Lenghou Tiong?"
"Jelek-jelek kita juga pernah menggabungkan diri ke dalam Hing-san-pay, sekarang kita melawan dan memberontak kepada ketua sendiri, ini namanya khianat!" seru Thio-hujin, berbareng tangannya menjulur lagi hendak membuka ringkusan Ing-ing.
"Tunggu dulu!" bentak Siu Siong-lian dengan suara bengis.
"Kau bicara dengan membentak, memangnya kau hendak menggertak orang?" jawab Thio-hujin dengan gusar.
"Sret", dengan cepat Siu Siong-lian mengeluarkan goloknya.
Namun gerakan Thio-hujin juga sangat sengit, tahu-tahu dia sudah melolos keluar belatinya, "sret-sret", tali yang mengikat kaki dan tangan Ing-ing kena dipotong putus. Ia pikir ilmu silat Ing-ing sangat tinggi, semua orang yang berada sekarang ini bukan tandingannya, asalkan tali ringkusannya dilepaskan, biarpun ketujuh orang itu mengerubutnya sekaligus juga tidak perlu gentar.
Dalam pada itu Siu Siong-lian juga tidak tinggal diam, segera goloknya membacok ke arah Thio-hujin. Namun Thio-hujin juga tidak kurang cepatnya, "sret-sret" tiga kali, kontan ia desak Siu Siong-lian melangkah mundur lagi.
Melihat Ing-ing sudah terlepas dari ringkusan tali, orang-orang lain menjadi jeri dan sama mundur ke pinggir, segera mereka bermaksud melarikan diri. Tapi ketika melihat Ing-ing yang menggeletak itu tak bisa berkutik, tidak terus melompat bangun, barulah mereka tahu bahwa hiat-to nona masih tertutuk, serentak mereka melangkah maju lagi.
"Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik, buat apa mesti main senjata segala, kan cuma bikin susah kedua pihak saja?" kata Yu Siok dengan cengar-cengir.
"Kalau hiat-to Nona Yim sudah terbuka, apakah jiwa kita dapat dipertahankan?" teriak Siong-lian. Habis berkata kembali ia menerjang Thio-hujin lagi.
Jangan dikira tubuh Siu Siong-lian itu tinggi besar, senjatanya juga berat, tapi di bawah serangan Thio-hujin dari jarak dekat thauto itu sedikit pun tidak lebih unggul dan berulang-ulang bahkan terdesak mundur.
"E-eh, jangan berkelahi, jangan berkelahi, ada urusan dibicarakan saja dengan baik-baik," kata Yu Siok sambil tertawa dan mendekati kalangan dengan mengebas-ngebas kipasnya.
"Minggir sana! Jangan mengganggu orang!" bentak Siu Siong-lian.
"Baik, baik!" sahut Yu Siok dengan tetap tertawa, ia putar kembali, tapi sekonyong-konyong kipasnya bekerja, terdengar Thio-hujin menjerit ngeri, tahu-tahu kipas Yu Siok yang gagangnya terbuat dari baja itu telah menancap di tenggorokan nyonya malang itu.
"Ai, ai, sudah kukatakan kita semua adalah kawan sendiri dan buat apa main senjata, tapi kau tetap tidak menurut, bukankah terlalu mementingkan diri sendiri?" kata Yu Siok sambil menarik kipasnya, kontan darah segar menyembur keluar dari leher Thio-hujin.
Apa yang terjadi ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, Siu Siong-lian melompat mundur dengan terkejut sambil memaki, "Sontoloyo, kiranya anak kura-kura ini membantu aku."
"Tidak bantu dirimu, apakah mesti bantu orang lain?" sahut Yu Siok dengan tertawa. Ia berpaling dan berkata kepada Ing-ing, "Yim-toasiocia, engkau adalah putri kesayangan Yim-kaucu. Kita semua segan padamu lantaran menghormati ayahmu. Tapi keseganan kita lebih banyak disebabkan kau memegang obat penawar pil maut yang pernah kami makan. Kalau obat pemunah itu diberikan kepada kami, maka Seng-koh macam dirimu menjadi tiada artinya lagi."
"Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!" seru keenam orang lain beramai-ramai.
"Tapi kita harus bersumpah dahulu barang siapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia akan mati membusuk oleh ratusan racun pil maut yang telah dimakannya," kata Giok-leng Tojin.
Beberapa orang itu sudah tiada pilihan lain kecuali membunuh Ing-ing, cuma mereka memang sangat takut kepada Yim Ngo-heng, bila peristiwa ini diketahui ketua Mo-kau itu, betapa pun luasnya dunia ini rasanya akan sukar mendapatkan tempat sembunyi bagi mereka. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi mereka lantas mengangkat sumpah.
Lenghou Tiong tahu bila sumpah mereka itu selesai, tentu Ing-ing akan segera dibunuh mereka. Cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk menerjang beberapa tempat hiat-to yang tertutuk, tapi ternyata tiada sesuatu tanda hiat-to bersangkutan akan lancar kembali. Keruan ia menjadi gelisah.
Ia coba memandang Ing-ing, dilihatnya si nona juga sedang memandangnya dengan penuh rasa mesra, sedikit pun tiada mengunjuk rasa khawatir dan gentar.
Legalah hati Lenghou Tiong, pikirnya, "Biarpun kami berdua akan mati, bahagia juga rasanya jika kami berdua dapat mati bersama pada saat dan tempat yang sama pula."
"Ayolah, lekas turun tangan," seru Siu Siong-lian kepada Yu Siok.
"Kukira lebih baik Siu-heng saja yang turun tangan, biasanya Siu-heng terkenal sigap dan tegas menghadapi setiap urusan, maka silakan engkau saja yang turun tangan," kata Yu Siok.
"Bangsat, kau tidak turun tangan segera kubunuh kau," damprat Siu Siong-lian.
"Kalau Siu-heng tidak berani, biar kita minta Giam-heng saja yang turun tangan," ujar Yu Siok dengan tertawa.
"Nenekmu," Siu Siong-lian memaki pula. "Mengapa aku tidak berani" Soalnya hari ini orang she Siu tidak ingin membunuh orang."
"Sebenarnya siapa pun yang turun tangan adalah sama saja, kan tidak bakal ada orang yang membocorkan kejadian ini," kata Giok-leng Tojin.
"Jika begitu, bagaimana kalau Giok-leng Toheng saja yang turun tangan?" ujar Say-po Hwesio.
"Ai, kenapa mesti ogah-ogahan begitu" Jika siapa pun tidak percaya kepada orang lain, marilah kita sama-sama lolos senjata dan berbareng kerjakan senjata kita pada tubuh Yim-toasiocia saja," seru Giam Sam-seng.
Orang-orang ini adalah manusia jahat dan kejam, tapi juga pengecut. Pada saat menentukan untung-rugi bagi diri sendiri sedapat mungkin mereka ingin mengelakkan tanggung jawab kepada orang lain.
"Nanti dulu," Yu Siok menyesal pula. "Biar kuambil dulu obat penawarnya."
"Kenapa kau yang mengambilnya?" kata Siu Siong-lian. "Setelah kau ambil tentu kau akan menggunakan obat pemunah itu sebagai alat pemerasan terhadap teman-teman lain. Biar aku saja yang ambil."
"Kau yang ambil" Lalu siapa yang percaya kau takkan memeras teman lain?" sahut Yu Siok tak terima.
"Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!" seru Giok-leng Tojin. "Bila terlalu lama, jangan-jangan dia punya hiat-to terbuka sendiri, kan urusan bisa runyam. Paling perlu binasakan dia dahulu baru nanti membagi obat penawarnya."
"Sret", segera Giok-leng mendahului lolos pedang, yang lain beramai-ramai juga lantas siapkan senjata masing-masing dan merubung di sekitar Ing-ing.
Melihat ajal sudah tiba, dengan mata tanpa berkedip Ing-ing memandang Lenghou Tiong, teringat saat-saat bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, tersembul senyuman mesra pada wajahnya.
"Sekarang aku akan menyebut satu-dua-tiga lalu kita turun tangan bersama!" seru Giam Sam-seng. "Nah, mulai! Satu... dua... tiga!"
Begitu kata-kata tiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata menyambar ke arah tubuh Ing-ing sekaligus. Siapa duga, di tengah gemerlapnya sinar pedang dan golok, ketujuh senjata itu tanpa komando serentak berhenti di depan badan Ing-ing dalam jarak kira-kira belasan senti.
"Pengecut!" omel Siu Siong-lian. "Kenapa tidak diteruskan" Huh, selalu ingin orang lain yang membunuh agar diri sendiri tidak menanggung dosanya."
"Dan kau sendiri juga kenapa begitu?" jawab Say-po Hwesio. "Golokmu juga berhenti setengah jalan, kenapa tidak hinggap di tubuh Yim-siocia jika kau memang pemberani?"
Kiranya ketujuh orang itu sama-sama punya pikiran busuk, berjiwa licik. Setiap orang mengharapkan orang lain yang membunuh Ing-ing agar senjata sendiri tidak perlu bernoda darah. Soalnya memang tidaklah mudah bila mendadak mereka disuruh membunuh seorang yang selama ini sangat dihormat dan ditakuti seperti Ing-ing.
"Baiklah, kita ulangi kembali!" seru Siu Siong-lian. "Sekali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia adalah bangsat anak lonte, anjing, babi! Nah, aku yang memberi komando. Satu... dua... tiga...."
Belum lagi kata "tiga" disebut, mendadak Lenghou Tiong berseru, "Pi-sia-kiam-hoat!"
Serentak ketujuh orang itu menoleh demi mendengar istilah itu. Ada empat di antaranya lantas tanya berbareng, "Kau bilang apa?"
Memang maksud tujuan kedatangan mereka ini yang diharap tiada lain adalah Pi-sia-kiam-boh, kitab rahasia pelajaran Pi-sia-kiam-hoat.
Bahwasanya Gak Put-kun membutakan Co Leng-tan dengan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini telah menggemparkan dunia persilatan, hal ini pula membikin ketujuh orang ini kagum tak terhingga. Maka demi mendengar nama ilmu pedang itu, serentak mereka melenggong.
"Pi-sia-kiam-hoat, ilmu pedang mahaagung. Latih dulu kiam-khi, lalu latih kiam-sin. Khi dan sin sudah kuat, ilmu pedangnya akan sempurna dengan sendirinya. Cara bagaimana menimbulkan kiam-khi (kekuatan pedang), cara bagaimana melahirkan kiam-sin (kesaktian pedang)" Rahasia keajaibannya boleh dicari di dalam kitab ini," demikian Lenghou Tiong bergumam sendiri pula.
Setiap ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu menggeser langkah ke arahnya, selesai dia menyebut enam-tujuh kalimat, tahu-tahu ketujuh orang itu sudah meninggalkan Ing-ing dan kini sudah mengitari Lenghou Tiong malah.
"Apakah ini... ini yang terdapat di dalam Pi-sia-kiam-boh?" tanya Siu Siong-lian ketika Lenghou Tiong tidak melanjutkan lagi uraiannya.
"Bukan Pi-sia-kiam-boh, memangnya kau kira Sia-pi-kiam-boh?" sahut Lenghou Tiong.
"Coba uraikan lanjutannya," pinta Siu Siong-lian.
Lenghou Tiong juga tidak menolak, segera ia menyebut lagi dua-tiga kalimat, tapi lantas berhenti.
"Ayo teruskan, teruskan!" desak Say-po Hwesio. Sedangkan Giok-leng Tojin tampak komat-kamit mengulangi kalimat yang disebut Lenghou Tiong itu, agaknya dia sedang menghafalkannya di luar kepala.
Padahal Lenghou Tiong belum pernah membaca isi Pi-sia-kiam-hoat, apa yang dia uraikan itu sama sekali bukan Pi-sia-kiam-hoat segala, melainkan beberapa kalimat kata pengantar Hoa-san-kiam-hoat, hanya saja dia sengaja mengubah beberapa kata-kata di antaranya. Tapi Siu Siong-lian dan lain-lain tidak pernah kenal Hoa-san-kiam-hoat, pula mereka memang sudah keranjingan Pi-sia-kiam-hoat, maka demi mendengar uraian Lenghou Tiong itu, seketika mereka tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak.
Dengan sengaja Lenghou Tiong menjual murah kembali, ia menyebut lagi beberapa kalimat, sampai di sini ia mulai tahan harga. Ia pura-pura lupa, lalu berlagak mengingat-ingat, tapi tetap tak dapat menutur lebih lanjut.
"Di mana kiam-bohnya?" dengan tidak sabar Say-po Hwesio dan lain bertanya.
"Kiam-bohnya... yang pasti tidak berada padaku," sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura melirik sebagian perut sendiri. Keruan hal ini menimbulkan curiga orang banyak. Serentak dua buah tangan menggerayangi bajunya, yang satu adalah tangan Say-po Hwesio dan yang lain adalah tangan Siu Siong-lian.
Tapi sekonyong-konyong terdengar Say-po Hwesio dan Siu Siong-lian menjerit ngeri, kepala Say-po Hwesio yang gundul itu hancur luluh, otaknya muncrat, sedangkan punggung Siu Siong-lian tertembus pedang, ternyata mereka masing-masing telah kena dibereskan oleh Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin.
"Hm, dengan susah payah kita telah mencari kiam-bohnya, akhirnya diketemukan di sini, tapi kedua anak kura-kura ini bermaksud mengangkanginya, masa di dunia ini ada urusan begini enak?" kata Giam Sam-seng dengan tertawa dingin. Menyusul "blang-blang" dua kali, kontan ia tendang kedua sosok mayat itu hingga mencelat ke pinggir.
Tujuan Lenghou Tiong pura-pura menyebut Pi-sia-kiam-boh tadi adalah karena melihat Ing-ing dalam keadaan bahaya, sedapat mungkin ia mencari akal buat membelokkan perhatian orang-orang itu, dengan demikian dia berharap dapat mengulur waktu, syukur dalam pada itu hiat-to sendiri atau Ing-ing dapat dilancarkan kembali. Tak tersangka akalnya ternyata sangat manjur, bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ing-ing, bahkan mereka dipermainkan hingga saling membunuh, tujuh orang ini tinggal lima orang saja, tentu saja Lenghou Tiong sangat senang di dalam hati.
"Sabar dulu," tiba-tiba Yu Siok menyela lagi. "Apakah kiam-boh ini benar berada pada Lenghou Tiong atau tidak belum tahu dengan pasti, sebab tiada seorang pun di antara kita yang melihatnya, tapi kita sendiri sudah saling ingin membunuh, bukankah akan merugikan...."
Belum habis ucapannya dia sudah dipelototi, Giam Sam-seng menegurnya pula, "Hm, kau anggap kami tidak sabar, kau merasa tidak senang, bukan" Barangkali kau ingin mengangkangi sendiri kiam-boh ini?"
"Mengangkangi sendiri sih tidak berani, siapa yang ingin meniru hwesio gundul yang kepalanya hancur ini, memangnya enak kalau begini?" sahut Yu Siok. "Soalnya kita mempunyai tujuan bersama, kiam-boh yang terkenal di seluruh jagat ini setiap orang tentu ingin melihatnya. Maka apa salahnya kalau kita miliki bersama?"
"Benar," ujar Tong-pek-siang-ki. "Siapa pun tidak boleh mengangkangi, biarlah kita membacanya bersama nanti."
Padahal di dalam hati setiap orang sama timbul hasrat untuk mengangkangi sendiri kiam-boh yang termasyhur itu. Soalnya keadaan tidak mengizinkan, asal seorang ingin mengangkangi, empat orang yang lain tentu akan mengerubutnya bersama, maka dapat diramalkan nasibnya pasti akan menuju ke akhirat.
Di antara kelima orang ini, Yu Siok dan Giok-leng Tojin termasuk orang yang lebih cerdik dan dapat berpikir, kedua orang ini mempunyai pikiran yang sama, yakni, "Biarlah aku tidak ikut turun tangan dan cuma tinggal menonton saja, paling baik kalau di antara mereka saling cekcok dan bunuh-membunuh, paling akhir barulah aku turun tangan, dengan demikian aku dapat mengeduk hasilnya dengan mudah."
Tapi Giam Sam-seng ternyata tidak bodoh, katanya kepada Yu Siok, "Baiklah, biar kau saja yang mengambil kiam-boh itu dari baju orang she Lenghou."
Namun Yu Siok menggeleng dengan tersenyum, "Tidak usah ya! Aku sekali-kali tidak punya niat mengangkangi sendiri kiam-boh itu, bahkan juga tidak punya hasrat akan membacanya paling dulu. Biar Giam-heng saja mengambilnya, nanti aku cuma numpang baca sedikit saja, rasanya sudah puas bagiku."
"Jika begitu, kau saja yang mengambilnya," kata Giam Sam-seng kepada Giok-leng.
"Kukira lebih baik Giam-heng sendiri saja," jawab Giok-leng Tojin.
Ketika Giam Sam-seng memandang Tong-pek-siang-ki, ternyata kedua orang itu pun menggeleng kepala, suatu tanda mereka pun enggan.
Nyata kelima orang itu cukup menyadari siapa saja yang mengulur tangan ke dalam baju Lenghou Tiong hal ini berarti punggungnya tak terjaga, bila keempat orang lain serentak menyergapnya pasti sukar menyelamatkan diri.
Begitulah dengan suara gusar Giam Sam-seng lantas mengomel, "Hm, apa pikiran kalian berempat anak kura-kura ini memangnya aku tidak tahu" Kalian ingin aku mengambil kiam-bohnya, lalu kalian akan menyergap diriku. Hm, orang she Giam sekali-kali tidak sudi ditipu mentah-mentah. Orang she Yu, kau saja yang mengambilnya."
Yu Siok mundur dua langkah, katanya dengan tertawa seraya kebas-kebas kipasnya, "Hehe, tidak usah ya...!"
Kelima orang sama tidak mau tertipu, satu sama lain tidak yakin akan dapat menang bila menggunakan kekerasan, maka untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja, keadaan menjadi buntu.
Lenghou Tiong khawatir perhatian kelima orang itu beralih pula kepada Ing-ing, maka ia coba membuka suara, "Eh, kalian tidak perlu terburu-buru, biar aku mengingat-ingatnya lagi. O, ya, kalau tidak keliru, beginilah kalimat selanjutnya: Pedang Pi-sia muncul, bunuh bersih habis-habisan, tidak habis makan sendiri... eh, keliru, tidak habis... tidak habis jual lagi... eh, keliru pula. Wah, konyol, isi kiam-boh ini memang terlalu dalam maknanya sehingga sukar dipahami."
Padahal Lenghou Tiong sengaja mengoceh tak keruan, sebaliknya yang dipikir kelima orang itu hanya mendapatkan kiam-boh melulu, mereka tidak perhatikan ocehan Lenghou Tiong yang ngawur itu, sebaliknya mereka makin getol mendapatkan kitab yang diidam-idamkan itu.
Dengan tak sabar segera Giam Sam-seng mengangkat goloknya, lalu berseru, "Baiklah, biar aku yang mengambil kiam-boh itu dari baju bocah she Lenghou itu. Tapi untuk itu kalian berempat harus menyingkir keluar pintu sebagai jaminan keselamatanku."
Tong-pek-siang-ki tanpa bicara terus mengundurkan diri keluar. Dengan cengar-cengir Yu Siok juga ikut jejak kedua kawannya itu. Hanya Giok-leng Tojin saja yang merasa sangsi dan cuma mundur dua-tiga langkah.
"Kau pun enyah keluar sana!" bentak Giam Sam-seng.
"Apa-apaan main bentak-bentakan" Memangnya aku gentar padamu" Mau keluar atau tidak kan bergantung padaku, dengan hak apa kau memerintah aku?" jawab Giok-leng dengan gusar. Tapi tidak urung ia pun mengundurkan diri ke luar pintu.
Begitulah dengan mata tanpa berkedip keempat orang itu terus mengawasi gerak-gerik Giam Sam-seng, mereka yakin berada di dalam Leng-kui-kok yang setengah terapung di udara itu tiada jalan lain untuk meloloskan diri kecuali melalui tangga yang menurun ke bawah itu, maka mereka tidak khawatir Giam Sam-seng akan kabur dengan menggondol kiam-boh yang diperolehnya.
Segera Giam Sam-seng berdiri mungkur, membelakangi Lenghou Tiong dan mengawasi keempat orang di luar pintu itu seakan-akan khawatir keempat teman itu serentak menyergapnya berbarengan. Dengan tangan kiri Giam Sam-seng menjulur ke belakang untuk menggagap saku baju Lenghou Tiong.
Akan tetapi meski sudah menggagap sini dan meraba sana, nyatanya tiada sesuatu benda apa pun yang disentuhnya. Ia masih penasaran, ia gunakan mulut untuk menggigit golok, tangan kiri digunakan mencengkeram dada Lenghou Tiong, tangan kanan terus menggagap pula saku pemuda itu.
Di luar dugaan, sedikit tangan kirinya mengeluarkan tenaga, seketika ia merasa tenaga dalam sendiri mengalir keluar melalui tangan kiri sendiri.
Ia terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun tangan itu seperti kena lem saja, melekat di tubuh Lenghou Tiong, betapa pun dibetot sukar lagi ditarik kembali.
Keruan ia tambah khawatir dan buru-buru mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menarik diri. Tapi lebih celaka lagi baginya, semakin kuat dia mengerahkan tenaga, semakin cepat dan deras pula tenaga dalamnya bocor keluar. Semakin dia meronta dengan mati-matian, semakin membanjir keluar tenaga dalamnya laksana air bah yang sukar dibendung.
Ketika Lenghou Tiong terkurung dalam penjara di bawah danau di Hangciu dahulu, tanpa sengaja dia pernah menyedot tenaga dalam Hek-pek-cu dengan Gip-sing-tay-hoat yang baru saja diyakinkannya. Kini pada detik yang berbahaya, kembali disaluri pula oleh tenaga dalam musuh, keruan ia sangat girang. Tapi dia sengaja berkata, "He, kenapa kau pencet nadi dadaku" Lekas lepaskan, biar kuuraikan kunci ilmu pedang itu padamu."
Lalu ia pura-pura menggerakkan bibir seperti orang sedang bicara.
Melihat demikian, Giok-leng berempat yang siap di luar pintu itu mengira Lenghou Tiong benar-benar sedang menguraikan isi kiam-boh kepada Giam Sam-seng, mereka merasa akan rugi jika tidak ikut mendengarkan. Maka serentak mereka lari ke hadapan Lenghou Tiong.
"Ya, ya, buku itulah kiam-boh yang kau cari, keluarkan saja, biar dibaca orang banyak!" seru Lenghou Tiong sengaja. Padahal tangan Giam Sam-seng sudah melekat pada tubuhnya, mana bisa ditarik keluar.
Namun Giok-leng Tojin menyangka Giam Sam-seng benar-benar telah menemukan kiam-boh yang digagap dalam baju Lenghou Tiong. Disangkanya pula Giam Sam-seng tidak mau mengeluarkan kiam-boh yang ditemukan, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam, segera ia pun menjulurkan tangan ke dalam baju Lenghou Tiong, kontan tangannya juga lengket, tenaga dalamnya juga mengocor keluar dengan derasnya.
"He, he, kalian berdua jangan berebut, nanti kiam-boh bisa robek dan tak bisa dibaca lagi!" demikian Lenghou Tiong sengaja memberi isyarat, menyusul sinar kuning berkelebat, dua batang tongkat tembaga mengemplang dari atas. Tanpa ampun lagi, kepala Giam Sam-seng dan Giok-leng Tojin pecah berantakan, otak pun berceceran.
Begitu kedua orang itu mati, tenaga dalam mereka pun buyar, kedua tangan mereka yang lekat di tubuh Lenghou Tiong juga lantas terlepas, tergeletaklah mayat mereka berdua.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong mendapatkan saluran tenaga dalam orang, maka hiat-to yang tadinya tertutuk itu kena diterjang hingga tertembus dan lancar kembali seketika.
Betapa hebat tenaga dalam Lenghou Tiong yang sudah ada, sedikit menggunakan tenaga kontan tali yang mengikat tangannya lantas putus sendiri, segera ia pegang gagang pedangnya seraya berkata, "Ini kiam-bohnya berada di sini, siapakah yang mau ambil?"
Rupanya otak Tong-pek-siang-ki kurang cepat kerjanya, mereka belum mengetahui bahwa kedua tangan Lenghou Tiong sudah terlepas dari ringkusan, mereka menjadi girang malah ketika mendengar Lenghou Tiong menawarkan kiam-boh, tanpa pikir mereka terus mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya.
Tapi mendadak sinar perak menyambar, bukannya kiam-boh yang diserahkan, sebaliknya terdengar suara "crat-cret" dua kali, tangan kanan masing-masing telah tertebas buntung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai. Keruan Tong-pek-siang-ki menjerit ngeri sambil melompat mundur.
Lenghou Tiong lantas mengerahkan tenaga pada kakinya sehingga tali pengikat kaki juga diputuskan, menyusul ia lantas melompat ke depan Ing-ing lalu berkata kepada Yu Siok, "Sekali ilmu pedang sudah manjur, serentak bunuh bersih habis-habisan! Nah, Yu-heng, itulah kalimat kunci Pi-sia-kiam-hoat, kau ingin membaca kiam-bohnya tidak?"
Bab 133. Ketololan Tho-kok-lak-sian dan Kedogolan Put-kay Hwesio
Betapa pun licik dan licin Yu Siok, tidak urung mukanya menjadi pucat seperti mayat, dengan suara gemetar ia menjawab, "Ter... terima kasih, aku tidak... tidak ingin membacanya!"
"Ah, jangan sungkan-sungkan, baca saja kan tidak apa-apa toh?" ujar Lenghou Tiong dengar tertawa. Berbareng ia tepuk-tepuk dan urut-urut punggung serta pinggang Ing-ing untuk membuka hiat-to si nona yang tertutuk.
Dengan badan gemetar Yu Siok berkata, "Lenghou... Lenghou-kongcu, Leng... Lenghou-tayhiap, engkau... engkau... engkau..." mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, lalu melanjutkan, "Siaujin (hamba) memang pantas dihukum mati, asalkan Seng... Seng-koh dan Ciangbunjin ada perintah, biarpun ke lautan api atau terjun air mendidih juga... juga hamba takkan menolak."
"Kabarnya Tiau-yang-sin-kau ada obat yang enak sekali, setiap orang yang sudah makan obat itu akan selalu ketagihan," dengan tertawa Lenghou Tiong meledek.
Berulang-ulang Yu Siok menjura, katanya, "Seng-koh dan Ciangbunjin mahabijaksana, Siaujin mohon ampun dan izinkan Siaujin menebus dosa dengan mengabdi segenap jiwa raga...."
Tiba-tiba Ing-ing melihat Tong-pek-siang-ki masih berdiri sejajar di situ, meski masing-masing orang sudah terkutung sebelah tangannya dan darah masih mengucur, namun tiada sedikit pun rasa gentar tertampak pada wajah mereka.
Ing-ing lantas bertanya, "Apakah kalian suami-istri?"
Tong-pek-siang-ki itu memang terdiri dari laki-perempuan, yang lelaki bernama Ciu Koh-tong, yang perempuan bernama Go Pek-eng, meski kedua orang resminya bukan suami-istri, tapi selama 20-an tahun mereka hidup bersama di dunia Kang-ouw, praktiknya adalah suami-istri.
Maka dengan ketus Ciu Koh-tong menjawab, "Kami telah jatuh di tanganmu, mau dibunuh atau hendak disembelih boleh silakan saja, buat apa banyak bertanya segala?"
Ing-ing sangat suka kepada sifatnya yang angkuh itu, dengan dingin ia berkata pula, "Aku tanya kalian apakah suami-istri bukan?"
"Kami bukan suami-istri nikah, tapi selama 20-an tahun kami hidup lebih bahagia daripada suami-istri resmi," sahut Go Pek-eng.
"Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang jiwanya dapat diampuni," kata Ing-ing. "Kalian masing-masing sudah cacat sebelah tangan dan akan..." teringat kepada ayah sendiri juga buta sebelah, ia tidak melanjutkan lagi, setelah merandek sejenak barulah menyambung, "Nah, bolehlah kalian turun tangan membunuh salah seorang, sisa seorang lagi boleh pergi dengan bebas."
"Baik," seru Tong-pek-siang-ki berbareng, tongkat mereka bergerak, masing-masing mengemplang batok kepala sendiri.
"Nanti dulu!" seru Ing-ing sambil putar pedangnya, "trang-trang" dua kali, tongkat kedua orang kena ditangkis.
"Biar aku membunuh diri saja, Seng-koh sudah menyatakan akan membebaskan kau, kenapa kau tidak mau?" seru Ciu Koh-tong kepada kawannya.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku saja yang mati dan biar kau yang hidup, kenapa mesti berebutan?" sahut Go Pek-eng.
"Bagus, cinta kalian memang teguh sejati, sungguh aku sangat menghargai kalian," kata Ing-ing. "Nah, kalian tiada satu pun kubunuh, lekas kalian membalut tangan kalian yang buntung itu."
Girang sekali Tong-pek-siang-ki, cepat mereka membuang tongkat masing-masing dan berusaha membalut tangan pihak lain.
"Tapi ada sesuatu, kalian harus melaksanakannya dengan taat," kata Ing-ing pula.
Berbareng Tong-pek-siang-ki mengiakan.
"Begini," kata Ing-ing, "setelah pergi dari sini, kalian harus segera mengadakan upacara nikah secara resmi. Kalian sudah hidup bersama, kalau tidak menikah secara resmi kan...." mestinya ia hendak mengatakan "kan tidak pantas", tapi lantas teringat dirinya juga sudah sekian lamanya bergaul dengan Lenghou Tiong dan juga belum menikah secara resmi, maka wajahnya menjadi merah jengah.
Tong-pek-siang-ki saling pandang sekejap, lalu keduanya memberi hormat dan mengucapkan terima kasih.
"Dengan budi luhur Seng-koh kalian telah diampuni, bahkan mengingatkan kepentingan kehidupan kalian," timbrung Yu Siok yang sok itu. "Sungguh rezeki kalian tidak kecil, memangnya aku sudah tahu Seng-koh sangat baik hati terhadap bawahannya."
"Kedatangan kalian ke Hing-san ini sebenarnya atas perintah siapa dan ada rencana muslihat apa?" tanya Ing-ing.
"Hamba telah tertipu oleh si keparat anjing Gak Put-kun," tutur Yu Siok. "Katanya dia mendapat titah Hek-bok-leng dari Yim-kaucu yang menugaskan dia menangkap segenap nikoh Hing-san-pay untuk digiring ke Hek-bok-keh."
"Katanya usaha kalian berhasil?" tanya Ing-ing. "Sebenarnya bagaimana persoalannya?"
"Ada orang menaruh racun di dalam beberapa buah sumur di atas gunung sini sehingga tidak sedikit nikoh Hing-san-pay yang terbius itu," tutur Yu Siok. "Banyak juga di antara anggota yang tinggal di paviliun ikut jatuh terbius. Saat ini sudah sebagian digiring menuju ke Hek-bok-keh."
"Adakah orang-orang yang terbunuh?" tanya Lenghou Tiong.
"Beberapa anggota yang tinggal di paviliun sana telah menjadi korban, tapi... tapi mereka bukan teman Lenghou-tayhiap," tutur Yu Siok.
Lenghou Tiong manggut-manggut merasa lega.
"Marilah kita turun dari sini," ajak Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan sambil menjemput pedang tinggalan Say-po Hwesio tadi, katanya dengan tertawa, "Bila ketemu perempuan galak itu harus coba-coba mengukur tenaganya."
"Banyak terima kasih atas pengampunan Seng-koh dan Lenghou-tayhiap," kata Yu Siok yang mengira dirinya tak dipersoalkan lagi.
"Ah, jangan rendah hati," ujar Ing-ing, sekonyong-konyong pedang pendek di tangan kiri disambitkan "crat", kontan menancap di dada Yu Siok, manusia yang selama hidupnya suka sok itu seketika melayang jiwanya.
Lenghou Tiong dan Ing-ing lalu turun dari loteng itu, suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terdengar suara burung berkicau. Ing-ing mengikik tawa setelah melirik sekejap ke arah Lenghou Tiong.
"Mulai hari ini Lenghou Tiong sudah cukur rambut dan menjadi hwesio, sejak kini sudah meninggalkan khalayak ramai, maka di sinilah kita berpisah," kata Lenghou Tiong sambil menghela napas.
Ing-ing tahu pemuda itu hanya bergurau saja, tapi karena cintanya yang mendalam, tanpa merasa hatinya tergetar khawatir, katanya, "Engkoh Tiong, janganlah kau bergurau se... secara begini, aku... aku...."
Lenghou Tiong menjadi terharu, ia pura-pura keplak kepala gundul sendiri dan berkata pula, "Tapi karena ada seorang istri cantik jelita demikian, si hwesio terpaksa kembali ke dunia ramai lagi."
"Cis, marilah kita bicara hal yang penting saja," omel Ing-ing dengan tertawa. "Menurut Yu Siok tadi, sebagian anak murid Hing-san-pay sudah digiring pergi, bila sampai di Hek-bok-keh tentu sukar untuk menolongnya, bahkan akan merusak hubungan baik antara aku dan Ayah...."
"Ya, bahkan lebih merusak hubungan baik antara aku sebagai menantu dengan bapak mertua," sambung Lenghou Tiong.
Ing-ing melirik si pemuda, namun hatinya terasa manis sekali.
"Urusan jangan terlambat, marilah kita lekas menyusul ke sana untuk menolong para kawan," ajak Lenghou Tiong.
"Ya, sapu bersih seluruhnya, jangan diberi sisa agar Ayah tidak tahu," kata Ing-ing. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.
Lenghou Tiong dapat memahami perasaannya, sebab urusan sepenting ini tentu tidaklah gampang mengelabui mata telinga Yim Ngo-heng, namun diri sendiri menjabat ketua Hing-san-pay, kini anak buahnya ditawan orang, masakan boleh tinggal diam tanpa menolongnya" Si nona memang sudah bertekad membela pihaknya, sekalipun melawan perintah ayah juga siap sedia.
Mengingat urusannya sudah lanjut begini, segala sesuatu harus ada suatu ketegasan juga, Lenghou Tiong lantas ulur tangan kiri untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ing-ing. Semula si nona hendak meronta, tapi melihat sekitarnya sepi tiada seorang lain pun, akhirnya diam saja membiarkan tangannya dipegang Lenghou Tiong.
"Ing-ing, aku paham perasaanmu," kata Lenghou Tiong. "Urusan ini tentu akan membikin kalian anak dan ayah berselisih paham, sungguh aku merasa tidak enak di hati."
"Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan turun tangan terhadap Hing-san-pay," kata Ing-ing sambil menggeleng perlahan. "Menurut dugaanku, caranya menghadapi kau agaknya tiada bermaksud buruk."
Seketika Lenghou Tiong dapat menangkap maksud ucapan Ing-ing itu, katanya, "Ya, agaknya ayahmu sengaja menangkap anak buahku sebagai alat pemeras agar aku masuk Tiau-yang-sin-kau."
"Benar," ujar Ing-ing. "Sesungguhnya Ayah sangat suka padamu, apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris ilmu saktinya."
"Aku sudah pasti tidak sudi masuk Sin-kau," kata Lenghou Tiong. "Aku menjadi muak dan ngeri bila mendengar sanjung puji anggota Sin-kau kalian terhadap ayahmu."
"Ya, aku tahu, makanya aku pun tak pernah membujuk kau masuk menjadi anggota," kata Ing-ing. "Bila kau masuk Sin-kau, kelak engkau diangkat menjadi kaucu, siang-malam kau akan selalu mendengar ucapan sanjung puji yang membikin risi dirimu itu, maka sifatmu pasti juga akan berubah dan takkan seperti sekarang ini. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Hek-bok-keh, pribadinya sudah berubah dengan cepat."
"Tapi kita pun tak boleh membikin marah pada ayahmu," ujar Lenghou Tiong, berbareng ia genggam pula tangan kiri si nona, lalu menyambung, "Ing-ing, setelah kita bebaskan anak buah Hing-san-pay, segera kita melangsungkan pernikahan, kita tidak perlu gubris tentang keputusan orang tua, tentang perantara comblang segala. Biarlah kita berdua mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup mengasingkan diri takkan ikut campur urusan luar, yang kita utamakan melulu bikin anak saja."
Semula Ing-ing mendengarkan dengan termangu, air mukanya bersemu merah, hatinya girang tak terkatakan. Tapi demi mendengar kata-kata terakhir, ia terkejut, sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya yang dipegang Lenghou Tiong itu.
"Setelah menjadi suami istri kan mesti punya anak?" dengan tertawa Lenghou Tiong menjelaskan.
"Jika engkau sembarang omong lagi, tiga hari aku takkan bicara dengan kau," ancam Ing-ing.
Lenghou Tiong cukup kenal watak si nona yang berani berkata berani berbuat, maka terpaksa ia menjawab dengan menyengir, "Baiklah, urusan penting harus kita selesaikan dulu. Marilah kita coba menjenguk ke Kian-seng-hong sana."
Dengan ginkang yang tinggi mereka lantas mendaki puncak gunung itu. Setiba di sana, ternyata kuil induk tiada seorang pun, tempat tinggal para anak murid juga kosong melompong, isi rumah berserakan di sana-sini, pedang golok juga tercecer tak keruan. Syukur tiada terdapat noda darah, agaknya tidak sampai jatuh korban.
Mereka coba ke paviliun di Thong-hoa-kok, di situ juga tiada seorang pun. Hanya di atas meja masih penuh macam-macam daharan dan arak. Seketika Lenghou Tiong ketagihan minum, tapi mana dia berani minum seceguk sisa arak itu" Katanya, "Perut sudah lapar, marilah kita tangsel perut dulu ke bawah gunung."
Setiba di bawah gunung hari sudah jauh lewat tengah hari, di suatu rumah makan kecil mereka tangsel perut sekenyangnya. Ing-ing merobek sepotong kain baju Lenghou Tiong untuk membungkus kepalanya yang kelimis itu.
"Ya, harus begini, kalau tidak, wah, jangan-jangan disangka seorang hwesio menculik anak gadis orang," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Begitulah mereka lantas berangkat ke arah Hek-bok-keh dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba terdengar di balik gunung sana sayup-sayup ada suara orang membentak dan memaki, waktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan cermat, kedengarannya adalah suara Tho-kok-lak-sian.
Cepat mereka menyusul ke arah suara itu, lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, memang betul adalah suara Tho-kok-lak-sian.
"Entah keenam mestika hidup ini sedang cekcok dengan siapa?" kata Ing-ing dengan suara tertahan.
Setelah membelok suatu tanah tanjakan, mereka lantas sembunyi di balik pohon, terdengar Tho-kok-lak-sian masih membentak-bentak sambil mengepung satu orang sedang bertempur dengan sengit. Orang itu bergerak dengan cepat luar biasa, hanya tertampak sesosok bayangan menyelinap kian-kemari di antara keenam lawannya. Ketika diperhatikan, kiranya adalah ibu Gi-lim, yaitu si nenek penjaga Sian-kong-si yang pura-pura bisu-tuli itu.
Sejenak kemudian, terdengar suara "plak-plok" beberapa kali, Tho-kin-sian dan Tho-sit-sian lantas berkaok-kaok, nyata masing-masing telah kena ditampar oleh si nenek.
Melihat si nenek, Lenghou Tiong menjadi girang, bisiknya kepada Ing-ing, "Ini namanya bayar kontan keras! Biarlah aku pun cukur bersih rambutnya,"
Segera ia bersiap-siap, bilamana Tho-kok-lak-sian kewalahan ia akan melompat keluar untuk membantu.
Dalam pada itu terdengar suara "plak-plok" berulang-ulang, keenam saudara dogol itu berturut-turut kena digampar oleh nenek itu. Tho-kok-lak-sian sangat murka, maksud mereka hendak memegang kaki dan tangan lawan agar dapat membesetnya menjadi empat potong.
Tapi gerakan si nenek memang cepat sekali laksana bayangan setan, beberapa kali tampaknya Tho-kok-lak-sian hampir berhasil pegang kaki atau tangannya, tapi selalu terpaut satu-dua senti dan si nenek keburu lolos. Habis itu kembali mereka kena tempelengan lagi.
Rupanya si nenek juga sadar akan kelihaian keenam lawannya, ia pun khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh lawannya.
Tidak lama kemudian, nenek itu merasa sukar memperoleh kemenangan, cepat ia membuka serangan pula "plak-plok-plak-plok", berturut-turut ia gampar lagi muka empat lawannya, habis itu mendadak ia melompat ke belakang terus melarikan diri.
Gerak larinya benar-benar secepat kilat, hanya dalam sekejap saja sudah berada berpuluh meter jauhnya, biarpun Tho-kok-lak-sian membentak-bentak dan berkaok-kaok, namun sukar untuk menyusulnya.
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil melintangkan pedang dan membentak, "Lari ke mana?"
Sinar putih berkelebat, segera ujung pedang mengarah leher si nenek.
Karena serangan yang mengarah tempat mematikan itu, si nenek terkejut, dengan sebelah tangan ia coba mencengkeram pedang lawan. Namun Lenghou Tiong lantas miringkan pedangnya ke samping untuk menusuk bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.
Tapi Lenghou Tiong lantas menusuk maju pula sehingga nenek itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan pedang di tangan, jelas si nenek tak mampu menandinginya. "Sret-sret-sret", kembali Lenghou Tiong mendesak mundur si nenek beberapa langkah. Kalau dia mau habiskan jiwanya, dengan gampang saja riwayat si nenek bisa ditamatkan.
Melihat itu, Tho-kok-lak-sian bersorak gembira, sementara itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah menuding di depan dada si nenek dan membuatnya tak berani bergerak lagi. Pada saat itulah Tho-kok-lak-sian terus memburu maju, empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan si nenek terus diangkat ke atas.
"Jangan mencelakai jiwanya!" bentak Lenghou Tiong.
Tapi Tho-hoa-sian masih penasaran, ia tampar sekali muka si nenek.
"Kerek saja dia!" seru Lenghou Tiong.
"Ya, benar, mana talinya?" seru Tho-kin-sian.
Tho-kok-lak-sian tidak satu pun membekal tali, di tengah hutan belukar juga sukar mencari tali, Tho-hoa-sian dan Tho-kan-sian berusaha mencari di sekitar situ, ketika mendadak pegangan mereka rada kendur, segera si nenek meronta melepaskan diri, ia menggelundung di atas tanah terus memberosot pergi.
Baru saja si nenek bermaksud melarikan diri sekencangnya, sekonyong-konyong punggung terasa tertusuk sesuatu yang tajam, terdengar Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, "Berhenti!"
Nyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.
Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Lenghou Tiong bisa sedemikian hebat, ia menjadi gentar dan terpaksa tidak berani bergerak.
Segera Tho-kok-lak-sian memburu maju, enam jari bekerja bersama, masing-masing menutuk satu tempat hiat-to di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang bengep kena gambaran si nenek tadi segera Tho-kan-sian bermaksud balas menampar.
Lenghou Tiong merasa tidak enak hati bila ibu Gi-lim sampai teraniaya, cepat ia berseru, "Nanti dulu, biarlah kita kerek dia saja di atas pohon."
Mendengar itu, Tho-kok-lak-sian sangat senang, tanpa disuruh lagi segera mereka mengelotoki kulit batang pohon untuk dipintal menjadi tali. Lalu Lenghou Tiong coba tanya mereka sebab musababnya mereka berkelahi dengan si nenek.
"Kami berenam sedang berak di sini, selagi menguras perut dengan senangnya, tiba-tiba perempuan ini berlari ke sini," demikian Tho-ki-sian menutur. "Datang-datang perempuan ini terus bertanya, "Hai, apakah kalian melihat seorang nikoh cilik?" " Bicaranya kasar, pula mengganggu isi perut kami yang hampir terkuras bersih...."
Mendengar penuturannya yang menjijikkan itu, Ing-ing mengerut kening dan berjalan menyingkir ke sana.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, "Ya, perempuan ini memang tidak kenal sopan santun pergaulan."
"Sudah tentu kami tidak gubris padanya dan suruh dia lekas enyah," Tho-ki-sian melanjutkan. "Tapi perempuan ini terus main pukul dan beginilah kami lantas berhantam dengan dia. Coba kalau Lenghou-hengte tidak lekas datang tentu dia sudah lolos."
"Juga belum tentu mampu lolos dia," sanggah Tho-hoa-sian. "Kita kan sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu menyusulnya, supaya dia gembira sia-sia."
"Ya, di bawah tangan Tho-kok-lak-sian tidak pernah terjadi musuh dapat lolos, kami pasti dapat membekuk dia kembali," sambung Tho-sit-sian.
"Cara kami ini namanya kucing mempermainkan tikus," Tho-kin-sian menambahkan.
Lenghou Tiong kenal watak mereka yang tidak mau kalah, betapa pun ingin menjaga gengsi. Maka ia pun tidak heran dan malah memuji akan kehebatan mereka.
Dalam pada itu tali sudah selesai dipintal dari kulit pohon, segera kaki dan tangan si nenek ditelikung dan diikat kencang, lalu dikerek di atas pohon.
Dengan pedangnya yang tajam Lenghou Tiong menebang dari atas batang pohon sehingga terpapas sepanjang dua-tiga meter, lalu dengan pedang ia gores beberapa huruf yang berbunyi: "Gentong cuka nomor satu di dunia ini."
"Lenghou-hengte, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia" Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat?" tanya Tho-kin-sian. "Ah, aku tidak percaya, boleh coba kita lepaskan dia, aku ingin berlomba dengan dia."
"Minum cuka adalah kata olok-olok," Lenghou Tiong menerangkan. "Kalian Tho-kok-lak-sian adalah pahlawan yang tiada bandingannya, perempuan itu mana sanggup menandingi kalian, buat apa berlomba apa segala."
Dasar Tho-kok-lak-sian memang suka dipuji, keruan mereka menjadi senang, dengan tertawa gembira mereka mengiakan.
"Sekarang aku ingin tanya keenam Tho-heng," kata Lenghou Tiong pula. "Sebenarnya kalian melihat Gi-lim Sumoay atau tidak?"
"Apakah kau maksudkan nikoh cilik jelita dari Hing-san-pay itu?" sahut Tho-ki-sian. "Nikoh cilik itu sih kami tidak lihat, tapi hwesio besar ada dua yang kami lihat."
"Seorang adalah ayah si nikoh cilik dan satu lagi adalah muridnya," sambung Tho-kok-lak-sian.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Lenghou Tiong.
"Mereka sudah lewat ke sana kira-kira sejam yang lalu," tutur Tho-yap-sian. "Mereka mengajak kami minum arak di kota depan sana, kami bilang habis berak segera menyusul. Siapa tahu perempuan ini keburu datang dan merecoki kami."
Tiba-tiba hati Lenghou Tiong tergerak, katanya, "Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana dahulu."
Ia tahu Ing-ing suka kepada kebersihan dan tidak ingin berada bersama keenam orang dogol itu, maka cepat ia mengajak Ing-ing berangkat.
"Kau tidak cukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat diri Gi-lim Sumoaymu," kata Ing-ing dengan tertawa. "Dan balas dendammu jadinya cuma terbalas tiga bagian saja."
Setelah berjalan belasan li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota yang cukup ramai, pada rumah makan kedua dapatlah diketemukan Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong sedang duduk menyanding daharan dan minuman. Melihat Lenghou Tiong dan Ing-ing, kedua orang itu berseru girang, cepat Put-kay menyuruh pelayan menambahkan daharan dan arak.
Ketika Lenghou Tiong tanya mereka ada kejadian apa, Dian Pek-kong lantas menutur, "Karena kejadian yang memalukan di Hing-san itu, aku minta Thaysuhu lekas-lekas pergi saja dari sana."
Dari uraian Dian Pek-kong itu Lenghou Tiong menarik kesimpulan mereka berdua belum tahu tentang diculiknya anak murid Hing-san-pay. Untuk menyelamatkan anak murid Hing-san-pay tanpa diketahui oleh Yim Ngo-heng, Lenghou Tiong pikir paling baik dirinya turun tangan secara diam-diam bersama Ing-ing, semakin sedikit diketahui orang luar semakin baik.
Maka ia lantas berkata kepada Put-kay, "Taysu, aku ingin minta bantuanmu untuk menyelesaikan sesuatu urusan, apakah kau mau?"
"Mau saja, lekas katakan," sahut Put-kay.
"Tapi urusan ini perlu dirahasiakan, cucu-muridmu ini sekali-kali tidak boleh ikut campur," kata Lenghou Tiong.
"Apa susahnya" Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan dilarang mengganggu urusanku, kan beres segalanya?" ujar Put-kay.
"Baiklah. Sekarang dengarkan, dari sini ke timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang tinggi ada seorang teringkus dan dikerek tinggi di atas...."
"Keparat, kembali perbuatan bangsat piaraan biang anjing lagi," kontan Put-kay memaki dengan gusar.
Lenghou Tiong meringis tanpa bisa berbuat apa, katanya dalam hati, "Buset, jadi di hadapanku kau memaki aku terang-terangan."
Tapi ia lantas berkata pula kepada Put-kay, "Orang yang dikerek tinggi di atas pohon itu adalah temanku, aku minta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya."
"Apa susahnya untuk berbuat demikian?" ujar Put-kay. "Tapi mengapa kau sendiri tidak menolongnya?"
"Terus terang, temanku itu adalah seorang perempuan," kata Lenghou Tiong dengan sengaja menahan suara sambil mengerotkan mulutnya ke arah Ing-ing, "Aku merasa tidak leluasa karena berada bersama Yim-siocia."
"Hahahaha!" Put-kay bergelak tertawa. "Ya, ya, tahulah aku! Tentunya kau takut kalau-kalau Yim-toasiocia minum cuka (maksudnya cemburu)."
Ing-ing melotot sekejap kepada mereka berdua. Tapi dengan tertawa Lenghou Tiong berkata pula kepada Put-kay, "Justru perempuan itulah suka cemburuan. Dahulu suaminya cuma memandang sekejap saja kepada seorang nyonya dan memujinya sepatah tentang kecantikan nyonya itu, tapi perempuan itu lantas minggat tanpa pamit, akibatnya membikin susah suaminya mencari ke seluruh pelosok selama belasan tahun dan tetap tidak ketemu."
Mendengar kata-kata Lenghou Tiong itu, makin melotot pula biji mata Put-kay, napasnya juga memburu, katanya dengan terputus-putus, "Apakah dia... dia... dia...." tapi tak sanggup dilanjutkannya.
"Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencarinya dan tetap belum bertemu," sambung Lenghou Tiong.
Sampai di sini, tertampak Tho-kok-lak-sian naik ke atas loteng rumah makan itu dengan bersenda gurau. Tapi Put-kay seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka, kedua tangannya memegang erat-erat lengan Lenghou Tiong dan menegas, "Apakah ben... benar katamu ini?"
"Dia sendiri yang berkata padaku," sahut Lenghou Tiong. "Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia, biarpun berlutut dan menyembah padanya juga dia tak mau berkumpul kembali dengan sang suami. Sebab itulah bila kau melepaskan dia, segera dia akan kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat, hanya sekejap mata saja dia sudah lenyap."
"Aku pasti takkan... takkan mengedip mata, pasti tidak," ujar Put-kay.
Bab 134. Menyusuri Jejak Musuh
"Kutanya dia pula mengapa tidak mau bertemu dengan suaminya, dia bilang suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan, biarpun bertemu kembali juga tiada gunanya."
Mendadak Put-kay berteriak satu kali, segera ia putar tubuh hendak lari pergi. Namun Lenghou Tiong keburu menariknya dan membisikinya, "Akan kuajarkan suatu akal bagus padamu, tanggung dia takkan dapat melarikan diri."
Put-kay terkejut dan bergirang, ia tertegun sejenak, mendadak ia berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Lenghou Tiong sambil berkata, "Lenghou-hengte, o, tidak, Lenghou-ciangbun, Lenghou-kongkong, Lenghou-suhu, kumohon engkau lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku, biarlah aku meng... mengangkat kau sebagai guruku."
"Ah, mana aku berani, lekas bangun!" sahut Lenghou Tiong dengan menahan geli. Lalu ia menarik bangun Put-kay sambil berbisik di tepi telinganya, "Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka hiat-to yang tertutuk, tapi kau pondong dia ke suatu hotel, sewa satu kamar di situ. Nah, coba kau pikirkan sendiri, dengan cara bagaimana supaya seorang perempuan tidak berani lari keluar hotel?"
Put-kay menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul, katanya, "Aku... aku tidak tahu."
"Gampang saja," kata Lenghou Tiong. "Belejeti pakaiannya. Dalam keadaan telanjang bulat masakah dia berani lari keluar?"
Put-kay menjadi girang, ia bertepuk tangan dan berseru, "Bagus! Akal bagus! Suhu, budi kebaikanmu...." tidak sampai habis ucapannya, terus saja ia melompat keluar melalui jendela dan lenyaplah dalam sekejap.
"Eh, sungguh aneh kelakuan hwesio gede itu" Mau apa dia pergi secara begitu terburu-buru?" kata Tho-kin-sian.
"Tentu dia kebelet berak, makanya terburu-buru," kata Tho-kin-sian.
"Tapi kenapa dia menyembah kepada Lenghou-hengte dan memanggil suhu, padanya?" ujar Tho-hoa-sian. "Sudah tua begitu masakah berak saja perlu diajar oleh orang lain?"
"Berak ada sangkut paut apa dengan tua-mudanya usia?" bantah Tho-yap-sian. "Apakah anak umur tiga tahun bisa berak sendiri tanpa diajarkan orang tua?"
Ing-ing tahu pembicaraan keenam orang dogol itu makin lama tentu semakin tak keruan, maka ia lantas memberi isyarat kepada Lenghou Tiong dan meninggalkan rumah makan itu.
"Keenam Tho-heng," seru Lenghou Tiong sebelum pergi, "biasanya kalian terkenal ahli minum arak tanpa ada tandingan, maka silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini, aku sendiri tidak sanggup minum banyak-banyak, terpaksa berangkat lebih dulu."
Karena dipuji sebagai ahli minum arak, Tho-kok-lak-sian menjadi senang, dalam anggapan mereka bila tidak minum habis beberapa guci rasanya akan berdosa kepada Lenghou Tiong yang telah memujinya. Maka beramai-ramai mereka menjawab, "Ya, kesanggupanmu minum arak tentu saja selisih jauh dengan kami. Baiklah, boleh kau berangkat dahulu, setelah kami kenyang minum segera kami menyusul."
Lalu seorang lagi berteriak, "Hai, pelayan! Lekas bawakan enam guci arak enak!"
Begitulah, cukup Lenghou Tiong mengucapkan satu kalimat saja sudah dapat menghindarkan diri dari recokan keenam manusia dungu itu.
Setiba di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ing-ing berkata kepada Lenghou Tiong, "Kau telah memulihkan hubungan suami istri orang, jasamu sungguh tak terbatas. Hanya saja cara yang kau ajarkan dia rasanya agak... agak...." sampai di sini mendadak wajahnya menjadi merah dan menunduk jengah.
Lenghou Tiong hanya memandangi si nona dengan tertawa tanpa buka suara.
Setelah keluar kota, sudah sekian jauhnya Lenghou Tiong masih tetap tersenyum saja sambil memandangi Ing-ing.
"Melihat apa" Apakah tidak kenal lagi padaku?" omel si nona.
"Aku lagi berpikir, perempuan itu pernah mengerek aku di atas pohon, maka satu dibalas satu, aku pun mengerek dia di atas pohon," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Dia mencukur rambutku, aku balas dia dengan menyuruh suaminya membelejeti dia hingga telanjang bulat, inilah satu lawan satu namanya."
"Satu lawan satu katamu?" si nona menegas dengan melirik dan tersenyum.
"Ya, semoga Put-kay Taysu tidak sembrono dan tidak main kasar, semoga mereka suami-istri dapat berkumpul kembali dengan bahagia," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tapi, awas, lain kali bila ketemu lagi dengan perempuan itu tentu kau boleh rasakan pembalasannya."
"Aku membantu mereka suami-istri berkumpul kembali, dia justru harus berterima kasih padaku," sahut Lenghou Tiong. Lalu ia pandang beberapa kejap lagi kepada Ing-ing sambil cengar-cengir, sikapnya sangat aneh.
"Apa yang kau tertawakan lagi?" tanya si nona.
"Aku pikir entah apa yang akan dikatakan Put-kay Taysu di dalam kamar hotel nanti," sahut Lenghou Tiong.
"Tapi mengapa kau memandangi aku saja?" omel Ing-ing. Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Lenghou Tiong. Rupanya pemuda "bergajul" ini sedang membayangkan betapa suasana di kamar hotel di kala Put-kay Hwesio membelejeti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya melayang ke kamar hotel, tapi yang dipandang adalah dirinya, maka dapat dibayangkan apa yang terpikir di dalam benak pemuda itu. Seketika wajah Ing-ing menjadi merah, segera ia hendak memukul Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, katanya dengan tertawa, "E-eh, bini pukul suami, ini namanya perempuan jahat!"
Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan, Ing-ing kenal itu adalah suara suitan penghubung antara sesama anggota Tiau-yang-sin-kau.
Ing-ing memberi tanda kepada Lenghou Tiong dengan beberapa gerak tangan, lalu mengajaknya berlari ke arah datangnya suara suitan tadi.
Tidak jauh, tertampaklah seorang yang berdandan sebagai pelayan restoran berlari datang dari jurusan barat sana. Tempat sekitar situ cukup lapang, tiada tempat baik untuk bersembunyi. Orang itu rada tercengang ketika mendadak kepergok dengan Ing-ing.
Terpaksa orang itu memberi hormat kepada Ing-ing sambil menyapa, "Hu-hiangcu Ih Tiong dari Thian-hong-tong di dalam agama menyampaikan salam hormat kepada Seng-koh. Hidup Kaucu sepanjang masa, merajai Kang-ouw sampai akhir zaman!"
Ing-ing mengangguk. Menyusul tertampak dari arah timur sana muncul pula seorang tua yang pendek kecil, berbaju warna cokelat tua, dandanannya mirip hartawan kampungan. Dengan langkah cepat ia mendekati Ing-ing dan memberi hormat, katanya, "Cin Peng-hui menyampaikan sembah bakti kepada Seng-koh, semoga Seng-koh hidup bahagia."
"Engkau juga berada di sini, Cin-tianglo?" tanya Ing-ing, ia kenal baik Cin Peng-hui sebagai satu di antara kesepuluh tianglo di dalam agama.
Dengan hormat Cin Peng-hui menjawab, "Hamba ditugaskan Kaucu mencari berita di sekitar sini. Ih-hiangcu, adakah sesuatu berita yang kau peroleh?"
"Lapor Seng-koh dan Cin-tianglo," tutur Ih Tiong, "pagi ini hamba ketemu dengan rombongan Ko-san-pay yang berjumlah ratusan orang di bawah pimpinan putra Co Leng-tan yang bernama Co Hui-eng, katanya mereka menuju ke Hoa-san."
"Jadi benar-benar mereka menuju ke Hoa-san?" Cin Peng-hui menegas.
"Ada urusan apa orang-orang Ko-san-pay pergi ke Hoa-san?" sela Ing-ing.
"Menurut berita yang diperoleh Kaucu, kabarnya sejak Gak Put-kun menjabat ketua Ngo-gak-pay lantas ada maksud memusuhi agama kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang sibuk menghimpun anak murid dari Ngo-gak-kiam-pay untuk berkumpul di Hoa-san. Melihat gelagatnya ada kemungkinan mereka bermaksud menyerang Hek-bok-keh kita secara besar-besaran," tutur Cin Peng-hui.
"Betulkah demikian?" ujar Ing-ing, ia merasa sangsi jangan-jangan Cin Peng-hui yang tua dan kecil-kecil licin ini sengaja mengelakkan tanggung jawab, padahal mungkin dia yang memimpin penangkapan anak murid Hing-san-pay. Hanya apa yang dikatakan Ih Tiong tampaknya bukan pura-pura, agaknya di dalam persoalan ini memang ada sesuatu persoalan. Segera Ing-ing berkata pula, "Lenghou-kongcu sendiri adalah ketua Hing-san-pay, mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi, sungguh aneh."
"Hamba mendapat keterangan bahwa anak murid Thay-san dan Heng-san-pay sudah menuju ke Hoa-san, hanya pihak Hing-san-pay saja yang belum tampak bergerak," tutur Cin Peng-hui. "Menurut perintah yang kuterima dari Hiang-cosu kemarin, katanya Pau-tianglo dengan anak buahnya sudah menyusup ke paviliun Hing-san untuk menyelidiki keadaan di sana, hamba diperintahnya menghubunginya di sekitar sini. Kini hamba sedang menunggu berita dari Pau-tianglo."
Ing-ing saling pandang sekejap dengan Lenghou Tiong dengan rada sangsi, bahwasanya Pau-tianglo menyusup ke Hing-san memang tidak salah, Cin Peng-hui jelas tidak bohong dalam hal ini, lantas apa yang dia katakan tadi apa memang betul semua"
Cin Peng-hui lantas memberi hormat kepada Lenghou Tiong dan minta maaf, "Hamba hanya melaksanakan tugas saja, dari itu mohon Lenghou-ciangbun jangan marah."
Lenghou Tiong membalas hormat dan berkata, "Tidak lama lagi aku dan Yim-siocia akan menikah...."
Mendengar itu, dengan muka merah Ing-ing sampai berseru kaget, ia tidak menyangka Lenghou Tiong akan mengumumkan hal demikian di depan orang lain, tapi ia pun tidak membantahnya.
Maka Lenghou Tiong lantas melanjutkan, "Karena itu, sebagai orang muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab terhadap perintah bapak mertua sebagaimana sedang dilaksanakan oleh Cin-tianglo sekarang."
Dengan wajah gembira Cin Peng-hui dan Ih Tiong lantas mengucapkan selamat kepada Ing-ing dan Lenghou Tiong berdua. Dengan jengah Ing-ing berjalan menyingkir ke sana.
Lalu Cin Peng-hui menutur pula, "Sering Hiang-cosu memberi pesan kepada hamba dan Pau-tianglo agar jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap anak murid Hing-san-pay, hanya boleh mencari berita saja, dilarang main kekerasan, maka hamba pasti akan menurut perintah dengan taat."
Sekonyong-konyong di belakang sana suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, "Ilmu pedang Lenghou-kongcu tiada tandingannya di dunia ini, bahwa Hiang-cosu suruh kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi keselamatan kalian sendiri."
Waktu Lenghou Tiong memandang ke sana, dari semak-semak pohon sana muncul seorang perempuan, kiranya adalah Na Hong-hong, itu ketua Ngo-tok-kau yang cantik. "Eh, kiranya kau, Na-kaucu!" sapanya.
"Engkau baik-baik, Lenghou-kongcu," Na Hong-hong juga menyampaikan salam kepada Lenghou Tiong. Habis itu mendadak ia berpaling kepada Cin Peng-hui dan menegur, "Jika kau ingin menyapa padaku lekas silakan, mengapa mesti pakai mengerut kening segala."
"Ah, mana aku berani," sahut Peng-hui. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh benda berbisa, lebih baik jangan direcoki. Segera ia mendekat Ing-ing dan berkata, "Cara bagaimana hamba harus bertindak selanjutnya terhadap urusan di sini, mohon Seng-koh memberi petunjuk."
"Lakukan saja sesuai perintah Kaucu," sahut Ing-ing.
Cin Peng-hui mengiakan dengan hormat. Bersama Ih Tiong mereka lantas mohon diri.
Setelah ketua orang itu pergi, Na Hong-hong berkata kepada Lenghou Tiong, "Para nikoh Hing-san-pay telah dibekuk orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?"
"Kami baru saja menyusul dari Hing-san, sepanjang jalan tidak tampak jejak musuh," kata Lenghou Tiong.
"Jalan ini bukan jurusan ke Hoa-san, kalian telah kesasar," ujar Na Hong-hong.
"Ke Hoa-san?" Lenghou Tiong menegas. "Jadi mereka ditawan ke Hoa-san" Kau sendiri melihatnya?"
"Di paviliun Hing-san kemarin aku merasa air teh yang kuminum rada aneh, aku pun diam saja tanpa membongkar rasa curigaku itu, setelah orang-orang lain sama roboh aku pun pura-pura roboh tak sadarkan diri," tutur Na Hong-hong.
"Ya, memangnya, main racun terhadap Na-kaucu dari Ngo-sian-kau sama saja main kapak dengan tukang kayu," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
Na Hong-hong tertawa senang, katanya, "Keparat-keparat itu memang rada-rada tidak tahu adat bukan?"
"Dan tidak kau balas mereka dengan beberapa cekokan racun pula?" tanya Lenghou Tiong.
"Masakah aku sungkan-sungkan kepada mereka" Tentu saja aku balas mereka secara kontan," sahut Na Hong-hong. "Eh, ada dua bangsat malah mengira aku benar-benar jatuh pingsan, mereka mendekati aku dan bermaksud main gila dan menggerayangi tubuhku, kontan mereka kubinasakan dengan racun. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat, katanya aku sudah mati toh masih penuh racun."
Habis berkata ia pun tertawa geli.
"Kemudian bagaimana?" tanya Lenghou Tiong.
"Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri," tutur Na Hong-hong. "Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Kian-seng-hong dengan menculik satu rombongan nikoh cilik, kulihat yang mengepalai kawanan bangsat ini adalah suhumu, Gak-siansing. Lenghou-toako, tampaknya gurumu itu rada-rada tidak beres. Tempo hari waktu engkau menyelamatkan jiwaku di depan Siau-lim-si, jelas gurumu itu berhasrat membunuh kau. Kini engkau menjabat ketua Hing-san-pay, tapi dia malah memimpin anak buahnya datang ke sini dan sekaligus menangkap sekian banyak nikoh bawahanmu, caranya ini bukankah sengaja hendak memusuhi kau?"
Lenghou Tiong tidak menanggapinya, ia tahu Na Hong-hong adalah wanita suku Miau yang pada umumnya berwatak polos, lugu, apa yang ingin dikatakannya segera diucapkan tanpa pikir.
"Melihat perbuatannya itu sungguh aku sangat gemas," tutur Na Hong-hong pula. "Pada waktu itu juga aku bermaksud meracun dia biar mampus. Tapi kemudian kupikir entah bagaimana pikiranmu terhadap gurumu itu, andaikan perlu mampuskan dia rasanya juga tidak perlu terburu-buru, setiap saat dapat kulaksanakan."
"Kau selalu mengingat akan diriku, aku harus berterima kasih padamu," kata Lenghou Tiong.
"Ah, biasa," ujar Na Hong-hong. "Kudengar pula percakapan mereka bahwa mumpung engkau tiada di atas Hing-san, maka mereka harus lekas-lekas pergi agar tidak kepergok olehmu bila engkau pulang. Tapi ada lagi yang berkata bahwa sayang engkau tiada di Hing-san, kalau ada dan sekaligus engkau ditawan pula, maka bereslah segala urusan. Huh, enak saja mereka bicara!"
"Aku selalu didampingi oleh adikmu ini, rasanya tidaklah gampang jika mereka hendak menangkap diriku," kata Lenghou Tiong.
Na Hong-hong sangat senang, katanya dengan tertawa, "Boleh dikata beruntung bagi mereka, coba mereka berani mengganggu seujung rambutmu, hm, sedikitnya akan kuracun mampus mereka seratus orang."
Lalu ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, "Yim-toasiocia, janganlah engkau minum cuka (maksudnya jangan cemburu), aku anggap Lenghou-toako seperti saudara sendiri saja."
Wajah Ing-ing menjadi merah, ia pun tahu watak Na Hong-hong yang polos itu, dengan tersenyum ia menjawab, "Lenghou-kongcu sendiri sering bicara padaku tentang dirimu, katanya engkau sangat baik padanya."
"Bagus sekali kalau begitu!" seru Na Hong-hong kegirangan. "Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak berani menyebut namaku di hadapanmu."
"Katanya kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka?" tanya Ing-ing.
"Lantaran takut kepada tubuhku yang beracun mereka tiada seorang pun yang berani menyentuh diriku," tutur Na Hong-hong pula. "Ada di antaranya menyarankan agar aku dibacok mati saja dengan golok, ada pula yang mengusulkan membunuh aku dengan senjata rahasia, akan tetapi di mulut mereka bicara demikian, namun tiada seorang pun yang berani turun tangan, lalu beramai-ramai mereka kabur. Aku telah mengikuti jejak rombongan mereka, setelah yakin mereka menuju ke jurusan Hoa-san, segera aku berusaha mencari Lenghou-toako untuk menyampaikan berita penting ini."
"Sungguh aku harus berterima kasih padamu, kalau tidak ketemu kau, tentu kami akan kecelik menuju ke Hek-bok-keh," kata Lenghou Tiong. "Sekarang urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, marilah kita lekas menyusul ke Hoa-san."
Begitulah mereka bertiga lantas membelok ke barat dan melanjutkan perjalanan kilat, tapi sepanjang jalan ternyata tiada menampak sesuatu tanda yang mencurigakan.
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama ragu-ragu dan heran, sepantasnya rombongan yang berjumlah ratusan orang sepanjang jalan tentu meninggalkan jejak, mustahil tiada orang yang melihatnya kecuali kalau jalan yang ditempuh bukanlah jalan ini.
Pada hari ketiga, di suatu rumah makan kecil diketemukan empat orang Heng-san-pay, yaitu murid angkatan kedua yang belum pernah ikut hadir dalam pertemuan di Ko-san, maka mereka tidak kenal Lenghou Tiong dan lain-lain, sebaliknya melihat dandanan mereka segera Lenghou Tiong kenal asal-usul mereka dan ternyata tujuan mereka memang pergi ke Hoa-san. Diam-diam Lenghou Tiong mengikuti percakapan mereka. Bahkan melihat kegembiraan mereka itu, agaknya di Hoa-san terdapat banyak harta karun yang sedang menunggu kedatangan mereka untuk mengambilnya.
Terdengar seorang di antaranya berkata, "Syukur Wi-suheng sangat baik hati dan sudi mengirim kabar kepada kita, untung juga kita berada di Holam sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sedangkan para suheng dan sute yang berada di Heng-san tentu tidak beruntung seperti kita."
"Tapi kita juga jangan gembira lebih dahulu, paling penting kita harus menyusul selekasnya ke sana," demikian seorang lagi menanggapi. "Urusan demikian ini kukira setiap saat bisa terjadi perubahan."
Lenghou Tiong menjadi sangat ingin tahu ada urusan apa yang begitu menarik sehingga keempat orang itu begitu berhasrat menuju ke Hoa-san secara terburu-buru, tapi keempat orang itu sama sekali tidak menyinggung soal yang dimaksudkan mereka itu.
"Apakah perlu robohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?" tanya Na Hong-hong kepada Lenghou Tiong.
Tapi mengingat kebaikan Bok-taysiansing, Lenghou Tiong merasa tidak pantas membikin susah anak muridnya, maka jawabnya, "Kukira kita tidak perlu ganggu mereka, asalkan kita lekas berangkat ke Hoa-san dan tentu akan mengetahui persoalannya."
Na Hong-hong mengiakan, segera mereka melanjutkan perjalanan mendahului keempat murid Heng-san-pay itu.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kaki gunung Hoa-san. Saat itu hari sudah magrib, namun Lenghou Tiong yang dibesarkan di pegunungan itu sudah tentu sangat hafal keadaan setempat, katanya, "Marilah kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu takkan ketemu orang lain."
Hoa-san terkenal paling curam di antara kelima gunung (ngo-gak), jalan kecil di belakang gunung lebih-lebih terjal dan sukar didaki. Syukur ilmu silat ketiga orang sama-sama tinggi, tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka, walaupun begitu ketika mereka mencapai puncak Hoa-san tertinggi sementara itu pun sudah lewat tengah malam.
Lenghou Tiong membawa kedua temannya langsung menuju ke ruangan besar, keadaan di situ ternyata gelap gulita, mereka coba pasang kuping, keadaan pun sunyi senyap. Waktu mendatangi tempat tinggal para murid Hoa-san-pay, di situ juga kosong melompong. Ketika Lenghou Tiong menyalakan geretan api, kamar yang kosong itu penuh debu, beberapa kamar yang diperiksa semuanya serupa, hal ini menandakan anak murid Hoa-san-pay sudah lama tidak pulang ke Hoa-san.
Na Hong-hong menjadi kikuk karena tidak sesuai dengan laporannya, katanya, "Apa barangkali aku tertipu oleh kawanan bangsat itu" Mereka bilang datang ke Hoa-san sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?"
Lenghou Tiong juga merasa sangsi dan khawatir, teringat olehnya kejadian menyerbu Siau-lim-si dahulu, waktu itu mereka pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya, jangan-jangan Gak Put-kun kembali menggunakan tipu muslihat lama itu" Tapi sekarang mereka hanya bertiga, umpama masuk perangkap juga gampang untuk meloloskan diri, yang dikhawatirkan adalah para anak murid Hing-san-pay itu, jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat yang dirahasiakan dan sukar lagi diketemukan mengingat sudah sekian hari mereka digiring kemari.
"Coba kita memencarkan diri untuk mencarinya, satu jam lagi kita berkumpul kembali di sini," kata Na Hong-hong.
Lenghou Tiong setuju akan usul itu, ia pikir kepandaian menggunakan racun Na Hong-hong teramat lihai, tentu tiada seorang pun yang sanggup menghadapi dia, tapi ditambahkan pesan pula, "Orang lain tidak kau takuti, tapi bila ketemu guruku hendaklah kau hati-hati terhadap gerak pedangnya yang cepat luar biasa."
Na Hong-hong menjadi terharu mendengar pesan yang penuh simpatik itu, jawabnya, "Baiklah Toako, aku tahu."
Lalu ia keluar dari ruangan itu dan memisahkan diri.
Lenghou Tiong bersama Ing-ing memeriksa lagi ke beberapa tempat lain, sampai-sampai tempat tinggal pribadi Gak Put-kun di Thian-kim-kiap juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun diketemukan.
"Keadaan ini sungguh mengherankan," kata Lenghou Tiong kepada Ing-ing, "biasanya kalau orang-orang Hoa-san-pay kami turun gunung, sedikitnya tertinggal beberapa orang sebagai penjaga rumah, mengapa sekarang tiada seorang pun yang tinggal di sini?"
Paling akhir mereka mendatangi tempat tinggal Gak Leng-sian yang terletak di sebelah Thian-kim-kiap, jadi berdampingan tidak jauh dari tempat tinggal Gak Put-kun.
Sampai di depan pintu, Lenghou Tiong menjadi terharu dan mencucurkan air mata mengenangkan masa kecilnya yang selalu bermain bersama sumoay cilik itu, namun sekarang sang sumoay sudah meninggal untuk selamanya.
Ia coba mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ing-ing lantas melompati pagar dan membuka palang pintu. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan kamar itu pun kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot yang pantas di kamar anak perempuan juga tiada terdapat satu pun. Padahal Siausumoay belum lama menikah dengan Lim-sute, apa barangkali mereka mempunyai kamar pengantin baru lain dan tidak tinggal lagi di sini" Demikian pikir Lenghou Tiong.
Ia coba periksa laci meja, di dalam laci banyak tersimpan mainan anak-anak sebangsa boneka, binatang-binatang kecil dari kayu, gundu, dan lain-lain, itulah mainan yang pernah mereka gunakan dahulu di waktu kecil, semuanya masih tersimpan baik-baik di situ. Lenghou Tiong menjadi pedih teringat kepada masa lalu dan masa kini, siausumoaynya kini sudah berada di alam baka, tanpa terasa ia mencucurkan air mata pula.
Agar Lenghou Tiong tidak lebih berduka, Ing-ing memadamkan api lilin dan mengajaknya keluar. Katanya kemudian, "Engkoh Tiong, di atas Hoa-san ini ada suatu tempat yang besar kepentingannya dalam hidupmu, maukah kau membawa aku ke sana?"
"O, yang kau maksudkan adalah Su-ko-keh (karang dosa)," kata Lenghou Tiong. "Baiklah, marilah kita ke sana."
Segera ia mendahului jalan di depan dan menuju ke puncak karang, di mana dahulu ia pernah dihukum menyendiri oleh gurunya. Karena jalanan sudah hafal, meski letak puncak itu di belakang gunung dan jaraknya tidak dekat, namun tiada seberapa lama sampailah mereka di situ.
Setiba di atas puncak itu, sambil gandeng tangan Ing-ing berkatalah Lenghou Tiong, "Aku pernah tinggal di gua ini...." baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara "creng-creng" dua kali, dari dalam gua mengumandangkan suara benturan senjata yang nyaring.
Keruan mereka terkejut, cepat mereka memburu ke depan gua, menyusul lantas terdengar jeritan orang, agaknya terluka, mereka kenal suara itu seperti suara Bok-taysiansing dari Heng-san-pay.
"Seperti suara Bok-supek, marilah kita lekas masuk melihatnya," kata Lenghou Tiong.
Segera mereka melolos senjata dan berlari masuk ke dalam gua. Bagian depan gua tiada terdapat orang, tapi lorong yang menembus ke dalam gua sana tertampak ada cahaya api.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Bok-taysiansing, tanpa pikir Lenghou Tiong terus melompat ke dalam sana, tapi ia menjadi tertegun dan hati tergetar, tertampak di dalam gua itu terang benderang oleh berpuluh-puluh obor, sedikitnya ada ratusan orang sedang asyik memandangi gerak ilmu silat yang terukir di dinding gua itu. Karena asyik benar perhatian semua orang itu kepada ukiran di dinding sehingga suasana menjadi sunyi senyap.
Ketika mendengar jeritan ngeri Bok-taysiansing tadi, Lenghou Tiong dan Ing-ing membayangkan bila mereka menerjang ke dalam gua, keadaan di dalam gua yang akan mereka saksikan kalau tidak gelap gulita tentu adalah pertarungan mati-matian dan banjir darah. Siapa tahu sekarang keadaan di dalam gua ternyata terang benderang, bahkan penuh berdiri orang dan sedang memandangi ukiran dinding dengan asyiknya.
Bagian belakang gua itu agak luas, meski berdiri ratusan orang masih kelihatan ada tempat luang, hanya saja orang sebanyak itu berdiri bungkam sebagai mayat hidup, tampaknya menjadi seram.
Ing-ing coba berdiri merapat Lenghou Tiong. Melihat air muka si nona rada pucat dan menunjuk rasa takut, perlahan-lahan Lenghou Tiong merangkul pinggangnya.
Dari dandanan ratusan orang yang berbeda-beda itu, sedikit diperhatikan segera dapat diketahui mereka terdiri dari anak murid Ko-san-pay, Thay-san-pay, dan Heng-san-pay. Di antaranya adalah orang tua yang sudah beruban, ada pula orang muda yang masih gagah perkasa. Jelas banyak tokoh-tokoh terkemuka dari ketiga aliran itu pun ikut hadir di sini, hanya anak murid Hoa-san-pay dan Hing-san-pay tidak tampak berada di situ.
Sedikit memikir Lenghou Tiong lantas paham persoalannya. Orang-orang ketiga aliran itu sama-sama sedang memandangi ukiran dinding, tapi mereka berkelompok di antara golongannya sendiri-sendiri, tidak bercampur aduk. Orang Ko-san-pay memandangi gerak ilmu pedang Ko-san-kiam-hoat yang terukir di dinding, begitu pula orang-orang Thay-san-pay dan Heng-san-pay juga asyik mengikuti gerak tipu ilmu silat golongan masing-masing yang terukir itu.
Tiba-tiba Lenghou Tiong ingat kepada percakapan keempat murid Heng-san-pay yang diketemukan di rumah makan kecil dalam perjalanan itu, katanya mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Hoa-san sini, yang mereka maksudkan tentunya adalah berita tentang diketemukannya ilmu pedang mukjizat yang terukir di dinding gua Hoa-san ini.
Lenghou Tiong coba pandang sekeliling situ, ternyata tiada tampak Bok-taysiansing, di dalam gua juga tiada tanda-tanda baru terjadi pertarungan, akan tetapi suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi sekali-kali bukan salah dengar, jangan-jangan Bok-taysiansing dicelakai di bagian belakang gua sana"
Untuk mencapai jalan belakang gua harus menyusuri orang banyak itu, di antara orang-orang itu hanya orang-orang Heng-san-pay tidak bermusuhan dengan Lenghou Tiong, sedangkan orang-orang Thay-san-pay dan Ko-san-pay besar kemungkinan akan mempersulit padanya. Apalagi kalau Ing-ing dikenali mereka, tentu akan menimbulkan persoalan. Segera ia berkata kepada Ing-ing dengan suara tertahan, "Kau tunggu saja di sini, biar kumasuk ke sana untuk melihatnya."
Ing-ing mengangguk. Meski suara Lenghou Tiong sangat perlahan, namun dalam suasana yang sunyi senyap itu suaranya tetap terdengar oleh orang lain, serentak beberapa orang menoleh dan melotot padanya. Namun orang-orang itu segera berpaling kembali untuk mengikuti ukiran di dinding pula, agaknya ajaran ilmu silat yang terukir itu besar sekali daya tariknya.
Dengan langkah perlahan Lenghou Tiong menyelinap di tengah orang banyak itu, semula ia pun kebat-kebit, khawatir timbul keonaran, tapi demi teringat bahwa ilmu silat yang terukir itu cukup dipahaminya, betapa pun juga bukan tandingan Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkannya dengan masak, segera semangatnya terbangkit, hatinya menjadi mantap dan melangkah maju dengan tabah.
Sekonyong-konyong terdengar seorang di belakangnya membentak, "Kau bukan murid Ko-san-pay, mengapa kau mengikuti ukiran dinding ini?"
Bab 135. Pergulatan Antara Mati dan Hidup di Dalam Gua
Waktu Lenghou Tiong berpaling, dilihatnya seorang tua berbaju kuning sedang melotot kepada seorang laki-laki jangkung pertengahan umur, bahkan sambil mengacungkan ujung pedangnya ke dada si jangkung.
Tapi si jangkung telah menjawab dengan tertawa, "Bilakah aku memandangi ukiran yang kau katakan itu?"
"Kau berani menyangkal?" damprat orang tua itu. "Mendingan jika kau cuma ingin mencuri ilmu pedang Ko-san-pay kami, tapi mengapa kau memandangi gerak tipu silat yang khusus digunakan untuk membobol ilmu pedang Ko-san-pay kami?"
Lenghou Tiong tahu dinding gua itu terukir macam-macam ilmu silat Ngo-gak-kiam-pay yang hebat, selain itu juga terukir cara mematahkan ilmu silat kelima aliran itu, yaitu ukiran yang sengaja dibuat oleh kesepuluh Mo-kau-tianglo (tokoh-tokoh tua Mo-kau), semuanya merupakan ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu. Jadi kalau ada orang sengaja mengikuti ilmu silat yang khas untuk mengalahkan ilmu pedang Ngo-gak-kiam-pay itu, dengan sendirinya orang-orang kelima aliran itu tak bisa terima, termasuk di antaranya orang-orang Ko-san-pay.
Laron Pengisap Darah 9 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama