Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 7
Ih Jong-hay hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya. Ia memberi tanda kepada anak muridnya dan berkata, "Kita pergi saja!"
Lalu bersama rombongannya mereka meninggalkan tempat itu.
Ting-yat Suthay dan murid-muridnya karena buru-buru ingin menemukan Gi-lim, maka sejak tadi mereka sudah mencari ke lain tempat.
Lau Cing-hong anggap setiap keselamatan tamunya adalah tanggung jawabnya, hilangnya Gi-lim betapa pun dia tidak boleh tinggal diam. Maka bersama orang-orangnya segera mereka pun mencari ke jurusan lain. Hanya dalam sekejap saja di luar rumah pelacuran itu cuma tinggal Bok Ko-hong dan Lim Peng-ci berdua saja.
"Wah, bukan saja kau cuma menyaru sebagai bungkuk, bahkan sebenarnya kau adalah bocah yang tampan," demikian kata Bok Ko-hong dengan tertawa, "Nak, kau tak perlu panggil kakek lagi padaku. Biarlah si Bungkuk menerima kau sebagai murid saja."
Peng-ci sendiri masih kesakitan karena ditarik dan diseret oleh kedua tokoh itu dengan tenaga dalam. Sekarang mendengar ucapan Bok Ko-hong itu, diam-diam ia membatin, "Ilmu silat Bungkuk ini berpuluh kali lebih tinggi daripada ayahku, sampai Ih Jong-hay juga merasa jeri padanya. Jika aku ingin menuntut balas kepada Ih Jong-hay, terpaksa aku harus berguru pada si Bungkuk barulah ada harapan. Akan tetapi waktu murid Jing-sia-pay tadi hendak membunuh aku, sedikit pun dia tidak ambil pusing, ketika mendengar Pi-sia-kiam-boh dari keluargaku barulah dia mau turun tangan. Sekarang secara sukarela dia menyatakan mau menerima aku sebagai murid, terang dia tidak mengandung maksud baik."
Melihat pemuda itu tidak menjawab, sebaliknya tampak ragu-ragu, segera Bok Ko-hong membujuk pula, "Ilmu silat dan kemasyhuran jago Bungkuk dari utara tentu sudah kau ketahui. Sampai saat ini seorang murid pun aku belum pernah terima. Di dunia ini bukanlah tidak ada pemuda yang bagus, cuma sudah lama aku pilih ke sana kemari tiada seorang pun yang cocok bagiku. Jika kau mau berguru padaku, si Bungkuk tentu akan mengajarkan segenap kepandaiannya kepadamu. Dengan demikian, jangankan orang-orang Jing-sia-pay, bahkan Ih Jong-hay sendiri kelak juga bukan tandinganmu. Nah, mengapa kau tidak lekas menyembah dan mengangkat guru padaku?"
Tapi semakin dia membujuk, Peng-ci tambah sangsi malah. Pikirnya, "Jika Bungkuk ini benar-benar suka kepadaku, mengapa tadi dia telah mencengkeram pundakku dengan sekeras-kerasnya, bahkan katanya akan saling betot dengan Ih Jong-hay supaya aku lekas mati. Rupanya dia telah menduga Ih Jong-hay sedang mengincar Pi-sia-kiam-boh keluargaku dan sekali-kali tak mungkin membinasakan aku pada waktu sekarang, maka dia sengaja merebut diriku ke pihaknya. Orang yang berhati keji dan licin begini, jika aku mengangkat guru padanya tentu kelak akan banyak mendatangkan kesukaran bagi diriku sendiri. Di antara Ngo-gak-kiam-pay tidak sedikit orang-orang cerdik pandai, bila aku ingin mencari guru yang baik, aku harus mencari di antara mereka, betapa pun aku tidak boleh mempunyai seorang guru seperti si Bungkuk ini."
Melihat Peng-ci masih tetap ragu-ragu, lambat laun Bok Ko-hong menjadi gusar. Pikirnya, "Entah berapa banyak orang Kangouw yang berusaha dengan segala daya upaya kepingin menjadi muridku, tapi tiada seorang pun yang sudi kuterima. Sekarang aku sendiri yang menyatakan mau menerima kau sebagai murid, hal ini boleh dikata sangat diharapkan oleh setiap orang Bu-lim, sebaliknya kau malah berlagak dan jual mahal di hadapan si Bungkuk. Huh, kalau bukan lantaran Pi-sia-kiam-boh itu, tentu sekali gaplok saja sudah kumampuskan kau!"
Bab 19. Gak Put-kun, Ketua Hoa-san-pay, Guru Lim Peng-ci yang Baru
Tapi dasar Bok Ko-hong memang seorang yang culas dan licin, walaupun batinnya mendongkol, tapi lahirnya dia masih tertawa-tawa dan berkata, "Bagaimana" Apakah kau anggap kepandaian si Bungkuk belum cukup untuk menjadi gurumu?"
Sekilas Peng-ci melihat air muka si Bungkuk berubah menjadi bengis dan murka, walaupun perasaan demikian itu segera lenyap, tapi tanpa merasa Peng-ci sudah bergidik. Ia merasa keadaannya serbasulit dan serbasalah, jika menolak menjadi muridnya, boleh jadi dia lantas mengamuk dan bukan mustahil dirinya akan terus dibinasakan olehnya. Terpaksa ia menjawab, "Bok-tayhiap, kau sudi menerima aku sebagai murid, sungguh hal ini adalah jauh di luar harapanku. Cuma yang kupelajari adalah ilmu silat keluarga kami sendiri, jika perlu berguru pada orang luar harus mendapatkan izin dahulu dari ayah. Cara demikian adalah hukum keluarga dan hukum Bu-lim yang telah sama-sama kita ketahui pula."
Bok Ko-hong manggut-manggut, katanya, "Ya, beralasan juga ucapanmu ini. Cuma sedikit permainanmu ini hakikatnya belum dapat dimasukkan dalam hitungan ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas. Untung bagimu hari ini hatiku lagi senang dan mendadak suka menerima kau sebagai murid, lewat sebentar lagi mungkin pikiranku ini akan segera berubah. Jadi kesempatan ini hanya dapat kau ketemukan secara kebetulan dan tidak dapat dicari. Tampaknya kau cukup cerdik, mengapa justru begini tolol" Sudahlah, kau boleh menyembah dan mengangkat guru dulu padaku, kelak aku sendiri yang akan bicara dengan ayahmu, rasanya dia pun takkan berani menolak."
Tiba-tiba pikiran Peng-ci tergerak. Segera ia berkata pula, "Bok-tayhiap, saat ini ayah-ibuku berada di dalam cengkeraman orang-orang Jing-sia-pay dan tidak jelas mati-hidupnya. Untuk mana kuharap Bok-tayhiap sukalah pergi menolong mereka, bila berhasil, untuk membalas budi kebaikanmu, apa pun yang Bok-tayhiap inginkan pasti akan kupenuhi."
"Apa" Kurang ajar! Jadi kau berani main tawar-menawar dengan aku?" semprot Bok Ko-hong dengan gusar. "Huh, kau bocah ingusan ini, memangnya anggap dirimu sebagai apa sehingga kau kira kakek harus menerima kau sebagai murid dan berani main tawar-menawar padaku" Hm, kurang ajar!"
Cepat Peng-ci berlutut dan berkata, "Tentang Pi-sia-kiam-boh apa segala sebenarnya Wanpwe sama sekali tidak tahu. Andaikan Bok-tayhiap telah menerima aku sebagai murid juga tidak ada gunanya. Tapi ayah-ibuku tentu tahu akan Kiam-boh yang dimaksud itu. Bila Bok-tayhiap dapat menyelamatkan ayah-ibuku, barulah dapat mencegah jatuhnya Kiam-boh itu ke dalam tangan Ih Jong-hay."
Sesungguhnya Peng-ci sendiri memang tidak tahu Pi-sia-kiam-boh itu benda macam apa. Tapi mengingat Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong sedemikian menghargai barang itu, tentulah Kiam-boh itu menyangkut sesuatu yang mahapenting. Segera ia berkata pula, "Jika Ih Jong-hay berhasil mendapatkan Kiam-boh, boleh jadi ilmu silatnya akan jauh lebih lihai daripada Bok-tayhiap, bilamana dia mencari perkara padamu, tentu Bok-tayhiap yang terpaksa harus sembunyi ke sana ke mari untuk menghindari."
"Kentut, kentut! Mana bisa jadi!" semprot Bok Ko-hong. "Bila memang Kiam-boh milik keluargamu itu memiliki mukjizat demikian, mengapa ayah-ibumu kena ditawan oleh Ih Jong-hay?"
Walaupun demikian mulutnya berkata, tapi diam-diam ia pun percaya Pi-sia-kiam-boh tentu bukan sembarangan kitab pelajaran ilmu pedang, hal ini dapat dilihat dari sikap Ih Jong-hay yang lebih mementingkan Kiam-boh itu daripada sakit hati kematian putranya. Ia lihat Peng-ci masih terus berlutut di hadapannya, segera ia berkata, "Jika begitu, hayo lekaslah menjura padaku. Asal kau menjura tiga kali saja kau sudah terhitung muridku. Ayah-ibu muridku sendiri sudah tentu akan kuperhatikan dan Ih Jong-hay tentu takkan berani main gila kepada kedua orang tua muridku."
Karena memikirkan keselamatan ayah-bundanya, Peng-ci merasa biarpun terpaksa harus mengangkat guru kepada seorang yang mestinya tidak disukai, asal dapat menolong kedua orang tuanya, apa artinya menahan sedikit perasaan. Dan baru saja ia bermaksud menjura, sekonyong-konyong Bok Ko-hong telah menggunakan tangannya untuk menekan kepalanya ke bawah agar menjura. Rupanya si Bungkuk khawatir Peng-ci tidak jadi menjura padanya, maka sengaja main paksa.
Seharusnya Peng-ci sudah akan menjura, tapi karena kepalanya ditekan ke bawah secara paksa, kontan timbul perlawanannya, ia justru bikin kaku lehernya dan enggan menunduk ke bawah.
"He, apakah kau tidak mau menjura?" bentak Bok Ko-hong dengan gusar. Segera ia tambahkan tenaga tekanannya.
Dasar watak Peng-ci memang tidak doyan kekerasan. Dalam usahanya menolong ayah-ibunya mestinya ia sudah mau telan segala perasaan dan penderitaan dan akan menjura kepada Bok Ko-hong. Tapi sekali Bok Ko-hong main paksa, bukannya Peng-ci menurut, sebaliknya ia malah melawan. Dengan suara keras ia menjawab, "Jika kau berjanji akan menolong ayah-ibu, maka aku pun akan berjanji berguru padamu. Tapi saat ini tidak mungkin suruh aku menjura padamu."
"Hah, tidak mungkin?" jengek Bok Ko-hong. "Baik, ingin kulihat apakah benar-benar kau takkan menjura padaku!"
Habis berkata, kembali tenaganya bertambah kuat untuk menahan kepala Peng-ci ke bawah.
Sekuatnya Peng-ci bermaksud menegakkan kepala dan berdiri, tapi tenaga tekanan Bok Ko-hong terlalu kuat baginya sehingga mirip tertindih batu yang beribu kati beratnya, sampai-sampai kedua tangannya dipakai menahan di atas tanah, tapi tulang leher terasa berkeretekan seakan-akan patah dan tetap tak dapat berbangkit.
Bok Ko-hong terbahak-bahak, katanya, "Kau mau menjura atau tidak" Jika tanganku tambahi tenaga pula, tentu lehermu ini bisa patah."
"Tidak, aku justru tidak mau menjura!" teriak Peng-ci dengan merah padam.
"Betul-betul tidak mau?" jengek Bok Ko-hong sambil menahan lebih kuat, makin tekan makin ke bawah sehingga batok kepala Peng-ci hampir-hampir menyentuh tanah.
Pada saat itulah sekonyong-konyong Peng-ci merasa punggungnya menjadi panas, ada suatu arus hawa hangat menyalur masuk ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba daya tekanan di atas tengkuknya menjadi kendur, begitu kedua tangannya menahan tanah, seketika dia dapatlah berdiri.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci, bahkan Bok Ko-hong juga terkejut. Sekilas itu si Bungkuk itu lantas tahu bahwa tenaga hangat yang mematahkan daya tekanannya itu adalah "Kun-goan-kang", semacam Lwekang berasal dari Hoa-san-pay.
Walaupun datangnya arus Lwekang itu sangat mendadak, dalam keadaan belum siap sehingga dirinya tergetar dan Peng-ci sempat meronta berbangkit, tapi Kun-goan-kang itu jelas sudah sangat sempurna, bahkan tenaga susulannya masih terus membanjir tiba.
Dalam kagetnya dengan cepat sekali tangan Bok Ko-hong lantas menahan pula ke atas kepala Peng-ci, bahkan sekali ini ia pun menggunakan semacam Lwekang yang mahalihai. Tapi begitu tenaganya membentur kepala Peng-ci, tiba-tiba terasa Kun-goan-kang seperti tadi timbul pula dari ubun-ubun pemuda itu. Begitu kedua arus tenaga saling bentur, seketika tangan Bok Ko-hong kesemutan, dada pun terasa sakit.
Cepat si Bungkuk mundur dua langkah, serunya sambil tertawa, "Haha! Gak-heng, mengapa diam-diam kau sembunyi di pojok sana dan bergurau dengan si Bungkuk?"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa orang di balik pojok rumah sana, seorang Susing (kaum terpelajar) berbaju hijau dan berjubah ringan telah muncul. Sambil tangan kanan menggoyang-goyangkan kipas lempit, orang itu berkata, "Engkoh Bungkuk, sudah lama tak bertemu, ternyata ketangkasanmu tidak berkurang dari dahulu, sungguh harus diberi selamat."
Susing berbaju hijau yang baru muncul ini memang betul adalah Kun-cu-kiam, si pedang jantan, Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay yang termasyhur.
Biasanya Bok Ko-hong memang rada jeri terhadap ketua Hoa-san-pay itu. Apalagi sekarang dia kepergok sedang memaksa seorang anak muda, keruan ia serbarunyam. Tapi dasar dia memang orang yang licin dan tidak kenal malu, dengan cengar-cengir ia lantas menyapa, "Gak-heng, makin lama makin muda kau ini, sungguh si Bungkuk ingin mengangkat guru padamu untuk belajar ilmu awet muda itu."
"Hus, kau makin tua makin tak genah," semprot Gak Put-kun. "Kenalan lama baru saja bertemu dan kau sudah mengoceh tak keruan."
"Habis, usiamu mestinya sudah 60-70 tahun, mengapa mendadak muda kembali dan kelihatannya malah seperti cucu si Bungkuk saja," ujar Bok Ko-hong dengan tertawa.
Ketika Bok Ko-hong mengendurkan tangannya tadi, dengan cepat Peng-ci sudah lantas melompat bangun. Dilihatnya Susing baju hijau itu berjenggot cabang lima, mukanya putih bersih dan berwibawa, seketika timbul rasa kagum dan hormatnya. Ia tahu orang inilah yang tadi telah menolongnya dari paksaan Bok Ko-hong. Setelah mendengar si Bungkuk itu memanggilnya sebagai "Gak-heng" (saudara Gak), seketika pikirannya tergerak, "Apakah tokoh yang mirip dewa ini jangan-jangan adalah Gak-siansing, ketua Hoa-san-pay yang sering disebut-sebut oleh orang banyak selama beberapa hari ini" Cuma usianya kelihatannya baru 40 tahun, entah betul atau tidak?"
Tapi kemudian sesudah mendengar Bok Ko-hong memuji orang she Gak itu awet muda, segera Peng-ci teringat kepada cerita ibunya dahulu bahwa tokoh-tokoh Bu-lim yang memiliki Lwekang tinggi bukan saja bisa panjang umur, bahkan mukanya juga awet muda. Maka ketua Hoa-san-pay ini mungkin juga memiliki ilmu Lwekang yang tinggi itu. Keruan ia tambah kagum tak terkatakan.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah berkata dengan tersenyum, "Bok-heng, pemuda ini adalah seorang anak berbakti, juga punya jiwa kesatria, sungguh suatu bakat yang sukar dicari, pantas Bok-heng jatuh hati padanya. Padahal semua penderitaan yang menimpa dia itu adalah lantaran tempo hari dia telah membela keadilan dan menolong putriku si Leng-sian, maka sekarang terpaksa aku harus turun tangan juga, diharap suka memandang diriku, sukalah Bok-heng membebaskan dia saja."
"Apa katamu?" Bok Ko-hong menegas dengan keheran-heranan. "Hanya dengan sedikit kepandaian bocah ini saja dia mampu menolong keponakan perempuan si Leng-sian" Aha, kukira ucapanmu itu harus dibalik, mungkin si dara jelita itulah yang telah ...."
Gak Put-kun tahu ucapan si Bungkuk selanjutnya tentu adalah ocehan yang tidak enak didengar, maka cepat ia menyela, "Sesama orang Kangouw adalah jamak saling memberi pertolongan, membantu dengan bertempur mati-matian termasuk menolong, membantu dengan ucapan saja juga menolong, maka tak dapat memandangnya dari soal ilmu silatnya tinggi atau rendah. Bok-heng, bila kau berkeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang paling baik kalau membiarkan dia minta izin dulu kepada ayah-ibunya, dengan demikian kedua pihak menjadi sama-sama baiknya."
Bok Ko-hong sadar urusan hari ini bila Gak Put-kun sudah ikut campur, maka terang sukar terlaksanalah keinginannya. Segera ia geleng-geleng kepala dan menjawab, "Tidak. Hanya seketika timbul maksud si Bungkuk ingin menerimanya sebagai murid, tapi sekarang hasratku itu sudah hilang, biarpun sekarang bocah ini menjura seribu kali padaku juga aku tidak sudi menerimanya."
Setelah berkata begitu, mendadak "plok", kontan Lim Peng-ci ditendangnya hingga terpental dan terguling sampai beberapa meter jauhnya.
Serangan Bok Ko-hong ini benar-benar di luar dugaan Gak Put-kun sehingga ingin mencegah juga tidak keburu lagi. Apalagi gerakan kaki si Bungkuk juga sangat cepat, caranya juga sangat aneh dan sukar dibayangkan orang sebelumnya.
Untunglah sesudah terguling, seketika Peng-ci dapat melompat bangun, tampaknya tidaklah terluka.
"Bok-heng, mengapa sifatmu seperti anak kecil saja, barang yang tidak dapat kau peroleh lantas kau buang. Kubilang kaulah yang telah kembali muda dan bukan aku," demikian Gak Put-kun balas mengolok-olok.
Bok Ko-hong tertawa. Jawabnya, "Jangan khawatir, Gak-heng. Betapa pun besarnya nyaliku juga tak berani menyalahi kau punya ... kau punya ... kau punya apa ya" Ah, sudahlah, sampai berjumpa pula. Sungguh tidak nyana Hoa-san-pay yang sudah begini ternama juga menaruh perhatian juga terhadap 'Pi-sia-kiam-boh' itu."
Sembari bicara ia terus memberi hormat dan mundur teratur.
"Kau mengoceh apa, Bok-heng?" teriak Gak Put-kun sambil mendesak maju selangkah. Seketika air mukanya bersemu ungu, tapi air muka demikian hanya timbul sekilas saja lantas hilang.
Melihat air muka bersemu ungu itu, hati Bok Ko-hong tergetar. Pikirnya, "Wah, itu adalah 'Ci-he-kang' (ilmu pelangi ungu) yang merupakan Lwekang tertinggi. Selama ratusan tahun ini kabarnya belum pernah ada tokoh Hoa-san-pay yang mampu meyakinkannya. Tapi Gak Put-kun ternyata berhasil melatih ilmu sakti itu. Wah, si Bungkuk tidak boleh membikin marah padanya."
Tapi lahirnya dia tenang-tenang saja, ia masih cengar-cengir dan menjawab, "Entahlah, aku pun tidak tahu Pi-sia-kiam-boh itu benda macam apa. Cuma kulihat Ih Jong-hay telah mengincar Kiam-boh itu dengan mati-matian, maka tanpa sengaja aku telah sembarangan mengoceh, harap Gak-heng jangan pikirkan."
Habis berkata, ia putar tubuh terus melangkah pergi.
Setelah si Bungkuk lenyap dalam kegelapan, Gak Put-kun menghela napas dan berkata, "Tokoh berbakat kelas tinggi dunia persilatan seperti dia ini justru berkelakuan tidak genah."
Sekonyong-konyong Peng-ci berlari maju terus berlutut dan menyembah tak berhenti-henti kepada Gak Put-kun, katanya, "Mohon Suhu mau menerima diriku sebagai murid. Tecu pasti akan taat kepada tata tertib perguruan dan giat belajar, sedikit pun tidak berani membantah titah guru."
Gak Put-kun tertawa, katanya, "Jika aku menerima kau sebagai murid, tentu kelak akan diolok-olok si Bungkuk bahwa aku berebutan murid dengan dia."
"Begitu melihat Suhu, seketika Tecu merasa sangat kagum, permohonan ini adalah timbul dari ketekadan Tecu sendiri," kata Peng-ci sambil terus menyembah.
"Baiklah," sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Untuk menerima kau adalah tidak sulit, cuma kau belum memberitahukan kepada ayah-ibumu, entah mereka mengizinkan atau tidak."
"Asal Tecu dapat diterima, tentu ayah dan ibu akan kegirangan, mustahil beliau-beliau itu takkan meluluskan," ujar Peng-ci.
Put-kun manggut-manggut. "Baiklah, lekas bangun saja!" katanya kemudian. Lalu ia menoleh dan berseru, "Tek-nau, A Hoat, Sian-ji, keluarlah semua!"
Maka muncul segera satu rombongan orang dari balik rumah sana. Kiranya adalah anak murid Hoa-san-pay yang sejak tadi sudah sembunyi di sana. Rupanya Gak Put-kun sengaja suruh mereka jangan tampakkan diri agar tidak membikin malu kepada Bok Ko-hong.
Sesudah berhadapan, segera Lo Tek-nau berkata dengan girang, "Terimalah ucapan selamatku, Suhu. Engkau telah menerima seorang Sute baru yang mempunyai hari depan yang gilang-gemilang."
"Peng-ci," kata Gak Put-kun kemudian. "Para Sukomu ini sudah pernah kau lihat di rumah minum itu. Sekarang kalian boleh berkenalan secara resmi."
Memang sebagian besar anak murid Hoa-san-pay itu sudah dikenal Peng-ci. Yaitu, yang tua adalah Jisuko Lo Tek-nau, yang bertubuh tegap adalah Samsuko Nio Hoat. Yang berdandan sebagai kuli adalah Sisuko Si Cay-cu. Yang selalu membawa Swipoa (alat hitung) adalah Gosuko Ko Kin-beng. Laksuko Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji adalah tokoh yang paling gampang diingat, karena dia selalu membawa seekor monyet kecil. Selain mereka terdapat lagi Citsuko To Kun dan Patsuko Eng Pek-lo yang masih muda-muda.
Sesudah satu per satu Peng-ci memberikan hormat, tiba-tiba dari belakang Gak Put-kun ada suara mengikik tawa yang nyaring genit. Lalu berkata, "Dan aku terhitung Suci atau Sumoay, Ayah?"
Untuk sejenak Peng-ci melengak. Ia kenal suara itu adalah si gadis penjual arak yang pernah dijumpainya di luar kota Hokciu itu, para murid Hoa-san-pay sama memanggilnya sebagai "Siausumoay" (Sumoay cilik), kiranya dia adalah putri sang guru sendiri.
Sekilas Peng-ci melihat sebagian roman muka yang putih bersih dengan sebelah mata yang tampak hitam jeli sedang mengintipnya sekejap, lalu mengkeret kembali ke belakang Gak Put-kun.
Keruan Peng-ci terheran-heran, "Nona penjual arak itu berwajah burik dan sangat buruk, mengapa sekarang telah ganti rupa?"
Nona itu hanya melongok sedikit saja, lalu mengkeret kembali, dalam kegelapan tidaklah jelas. Tapi bahwasanya wajahnya pasti sangat cantik adalah tidak perlu disangsikan lagi.
Maka terdengar Gak Put-kun telah menjawab dengan tertawa, "Setiap Sukomu yang hadir di sini semuanya masuk perguruan lebih lambat daripadamu, tapi semuanya juga memanggil kau Siausumoay. Rupanya nasibmu menjadi Sumoay sudah ditakdirkan. Maka sekali menjadi Siausumoay, tentu saja kau tetap adalah Siausumoay."
"Tidak, tidak bisa! Sejak kini aku harus menjadi Suci juga," ujar nona itu dengan tertawa. "Ayah, Lim-sute harus panggil aku sebagai Suci. Selanjutnya bila ayah menerima seratus atau dua ratus murid lagi juga harus memanggil Suci padaku."
Sambil bicara dan tertawa nona itu lantas muncul dari belakang Gak Put-kun. Di malam gelap, samar-samar Peng-ci hanya melihat raut muka yang bulat telur itu agaknya sangat cantik. Sinar mata si nona yang tajam terasa sedang menatap ke arahnya.
Cepat Peng-ci memberi hormat dan menyapa, "Gak-sumoay, hari ini Siaute telah diterima sebagai murid oleh Suhu yang berbudi. Yang masuk perguruan dulu adalah lebih tua, Siaute sudah sepantasnya mengaku sebagai Sute."
Putri Gak Put-kun itu bernama Gak Leng-sian, dengan girang ia lantas berkata kepada sang ayah, "Nah, kau dengar sendiri, Ayah. Dia sendirilah yang suka memanggil aku sebagai Suci, tapi bukan aku yang memaksa dia, lho!"
"Orang baru saja masuk perguruan kita dan kau sudah bicara tentang 'paksa' apa segala, jangan-jangan nanti dia akan menyangka setiap muridku akan sama seperti kau, yang tua suka memaksa yang muda, apakah kau takkan membikin takut padanya?" demikian kata Put-kun.
Maka bergelak tertawalah para muridnya.
Gak Leng-sian lantas berkata pula, "Ayah, Toasuko sembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya, tadi kena dihantam sekali pula oleh Ih Jong-hay, keadaannya tentu tambah payah. Hayolah lekas kita menjenguknya."
Dengan mengerut kening Gak Put-kun menggeleng kepala, katanya, "Bolehlah Kin-beng dan Cay-cu saja, kalian menggotong keluar Toasukomu."
Ko Kin-beng dan Si Cay-cu mengiakan berbareng, lalu melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. Tapi lantas terdengar seruan mereka, "Suhu, Toasuko tidak berada di sini, di dalam kamar juga ... juga tidak ada orang."
Menyusul tertampaklah cahaya api, mereka sudah menyalakan lilin di dalam kamar.
Dahi Gak Put-kun terkerut makin kencang. Dia tidak sudi masuk ke rumah pelacuran yang kotor dan hina itu. Maka katanya kepada Lo Tek-nau, "Coba kau masuk ke sana untuk memeriksanya."
Tek-nau mengiakan dan mendekati jendela.
"Biar aku juga masuk ke sana untuk melihatnya," kata Leng-sian.
Namun Gak Put-kun lantas menarik tangan putrinya itu sambil membentak, "Hus! Tempat begini mana boleh sembarangan kau datangi?"
Karena cemasnya hampir-hampir Leng-sian menangis. Serunya khawatir, "Tapi ... tapi Toasuko terluka parah, mungkin dia ... dalam keadaan payah."
"Jangan khawatir," bisik Gak Put-kun. "Dia telah dibubuhi obat Thian-hiang-toan-siok-ko dari Hing-san-pay, tidak nanti jiwanya berbahaya."
Leng-sian menjadi girang-girang khawatir, katanya, "Da ... dari mana engkau tahu, Ayah?"
"Ssst, jangan ceriwis!" Put-kun mendesis.
Kiranya dalam keadaan terluka parah dan kesakitan, namun pikiran Lenghou Tiong masih cukup sadar. Ia dapat mengikuti suara pertengkaran antara Bok Ko-hong dan Ih Jong-hay dan kemudian orang-orang itu pergi satu per satu dan akhirnya didengarnya Suhunya sendiri telah datang.
Lenghou Tiong adalah seorang yang tidak gentar kepada siapa pun juga, di dunia ini hanya ada seorang yang disegani olehnya, yaitu sang guru.
Maka ketika mendengar Suhunya sedang berbicara dengan Bok Ko-hong, ia pikir daripada nanti dipergoki sang guru di tempat yang tak senonoh itu, lebih baik menyingkir dulu dari situ. Maka sambil menahan rasa sakit cepat ia menyingkap selimut dan berbisik kepada Fifi dan Gi-lim, "Wah, celaka! Guruku sudah datang, kita lekas lari!"
Segera ia mendahului keluar dari kamar itu dengan berpegangan dinding. Cepat si Fifi juga lantas menarik bangun Gi-lim dan lari keluar. Tertampak Lenghou Tiong sedang sempoyongan dan tidak kuat berjalan, lekas-lekas ia berlari maju untuk memayangnya.
Dengan menahan sakit Lenghou Tiong berjalan sekuatnya ke depan, sesudah menyusur sebuah serambi panjang, ia tahu mata-telinga Suhunya sangat tajam, bila keluar seketika akan ketahuan. Dilihatnya di sebelah kanan ada sebuah kamar, tanpa pikir ia terus masuk ke kamar itu diikuti Fifi dan Gi-lim.
"Lekas tutup pintu dan jendela," kata Lenghou Tiong dengan suara lemah.
Fifi melaksanakan permintaan itu. Lenghou Tiong sendiri sudah sangat lemas, sambil merebah di atas ranjang, napasnya tersengal-sengal.
Ketiga orang itu tidak berani bersuara sedikit pun. Mereka pasang kuping setajam mungkin. Selang agak lama barulah terdengar suaranya Gak Put-kun berkumandang dari jauh, "Rupanya dia sudah pergi dari sini. Sudahlah, kita pun pergi saja!"
Lenghou Tiong menghela napas lega. Selang tak lama, tiba-tiba terdengar suara orang berjalan dengan langkah perlahan sedang mendatangi, "Toasuko! Toasuko!" demikian terdengar orang itu memanggil dengan suara tertahan.
Itu suaranya Liok Tay-yu. Kiranya dia mengkhawatirkan keselamatan Lenghou Tiong, maka sesudah sang guru dan para saudara seperguruannya berangkat, diam-diam ia putar balik untuk mencari sang Toasuko.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa Lak-kau-ji, si monyet, memang lebih setia kawan daripada saudara-saudara seperguruannya yang lain. Segera ia bermaksud menjawabnya. Tapi mendadak terasa kain kelambu bergetaran, kiranya Gi-lim yang duduk di tepi ranjang itu merasa ketakutan dan gemetar.
"Ya, bilamana aku bersuara menjawab tentu akan merusak nama baik Siausuhu ini," pikir Lenghou Tiong. Maka urunglah dia menjawab panggilan Lak-kau-ji tadi.
Terdengar Liok Tay-yu berjalan lewat di luar jendela sambil memanggil terus dan makin lama makin menjauh dan akhirnya suaranya tak terdengar lagi.
"He, Lenghou Tiong, kau akan mati atau tidak?" tiba-tiba Fifi bertanya.
"Masa aku akan mati" Jika aku mati kan akan membikin rusak nama baik Hing-san-pay." sahut Lenghou Tiong.
"Sebab apa?" tanya Fifi heran.
"Lukaku telah dibubuhi obat mujarab keluaran Hing-san-pay, jika tak bisa sembuh, bukankah aku Lenghou Tiong akan merasa sangat menyesal terhadap ... terhadap Siausuhu dari Hing-san-pay ini?" kata Lenghou Tiong.
Dalam keadaan terluka toh pendekar muda itu masih sempat berkelakar, diam-diam Gi-lim kagum kepada ketabahannya. Segera ia pun berkata, "Lenghou-toako, kau telah kena dipukul pula satu kali oleh Ih-koancu itu. Coba kulihat keadaan lukamu."
Mestinya Lenghou Tiong hendak bangun, tapi telah dicegah Fifi. Melihat pakaiannya berlepotan darah, Gi-lim tidak sempat memikirkan lagi pantangan antara laki-laki dan perempuan, segera ia membuka baju Lenghou Tiong, lalu mengambil sebuah baskom di samping sana, dengan sepotong handuk untuk membersihkan darah di tempat luka itu, lalu membubuhi pula dengan obat Thian-hiang-toan-siok-ko.
"Wah, obat sebaik ini kan sayang dihabiskan untuk lukaku ini," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Ah, janganlah Lenghou-toako berkata demikian," sahut Gi-lim dengan malu-malu. "Atas pertolonganmu, sampai-sampai Suhuku juga memuji akan jiwa kesatriamu."
"Puji sih tidak perlu, asal beliau tidak mendamprat aku saja aku sudah banyak terima kasih," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Mana bisa beliau mendamprat padamu?" kata Gi-lim. "Lenghou-toako, engkau harus istirahat dulu supaya lukamu tidak pecah pula, dengan demikian tentu akan cepat sembuhnya."
"Enci Gi-lim," tiba-tiba Fifi menyela, "silakan engkau menjaganya kalau-kalau ada orang jahat datang lagi. Kakek tentu sedang menunggu, aku harus lekas-lekas pulang."
"Tidak, tidak jangan! Mana boleh aku tinggal sendirian di sini!" seru Gi-lim.
"Bukankah Lenghou Tiong juga berada di sini" Masakah kau bilang sendirian?" ujar Fifi dengan tertawa. Lalu ia putar tubuh dan hendak melangkah pergi.
"Jangan pergi!" cepat Gi-lim berseru pula.
Namun Fifi sudah lantas melayang keluar jendela sambil mengikik tawa. Ginkang dara cilik itu sangat hebat, Gi-lim merasa tak mampu mengejarnya. Dengan cemas dan gelisah ia putar balik ke depan ranjang dan berkata, "Wah, Lenghou-toako, dia ... dia sudah pergi!"
Tapi waktu itu kekuatan obat sedang bekerja, Lenghou Tiong dalam keadaan sadar tak-sadar sehingga tidak menjawabnya.
Saking bingungnya Gi-lim menjadi gemetar. Selang agak lama barulah ia dapat tenang kembali, cepat ia menutup jendela. Pikirnya, "Aku harus lekas-lekas pergi dari sini atau tidak" Apa jadinya bila ada orang melihat aku berada di sini berduaan dengan Lenghou-toako" Tapi ... tapi lukanya begini parah, biarpun seorang anak kecil saja sudah cukup untuk membunuhnya, mana boleh aku meninggalkan dia di sini?"
Dalam kegelapan hanya terdengar di lorong yang sunyi itu terkadang ada suara anjing menggonggong, selain itu keadaan hening lelap. Penghuni rumah pelacuran itu sudah kabur semua, ia merasa di dunia ini seakan-akan tertinggal Lenghou Tiong seorang saja yang berada di atas ranjang, lain tidak.
Sambil duduk di atas kursi, sedikit pun Gi-lim tidak berani sembarangan bergerak. Selang agak lama, mulai terdengarlah suara ayam berkokok, fajar sudah hampir tiba.
Gi-lim menjadi kelabakan, pikirnya, "Jika hari sudah terang, tentu akan ada orang datang ke sini. Wah, lantas bagaimana baiknya?"
Sejak kecil dia sudah cukur rambut dan menjadi Nikoh di bawah asuhan Ting-yat Suthay, maka sedikit pun tiada pengalaman apa-apa. Dalam keadaan bingung sekarang ia tambah tak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berjalan, ada tiga-empat orang sedang mendatangi dari ujung gang sana. Dalam keadaan sunyi senyap suara langkah orang-orang itu menjadi terdengar sangat jelas.
Sampai di depan rumah pelacuran itu, orang-orang itu lantas berhenti. Terdengar seorang di antaranya berkata dengan suara perlahan, "Kalian berdua periksa sebelah timur sana, kalian berdua akan menggeledah sebelah barat. Jika ketemukan Lenghou Tiong harus ditangkap hidup-hidup. Dia terluka parah, tidak nanti bisa melawan kita."
Memangnya Gi-lim sudah khawatir, didengar pula kedatangan orang-orang itu hendak menangkap Lenghou Tiong, keruan ia tambah takut. Sekilas timbul suatu pikirannya, "Betapa pun aku harus menyelamatkan Lenghou-toako."
Dengan tekad demikian itu, rasa takutnya lantas lenyap, pikirannya menjadi jernih kembali. Cepat ia mendekati ranjang, ia gunakan selimut untuk membungkus rapat tubuh Lenghou Tiong dan dipondongnya, lalu perlahan-lahan membuka pintu dan menyelinap keluar.
Dalam keadaan demikian ia tidak dapat membedakan arah lagi, yang dituju adalah jurusan yang berlawanan dengan suara orang-orang tadi. Dalam sekejap saja ia sudah tiba di sebuah kebun sayur dan sampai di pintu belakang.
Dilihatnya pintu itu setengah terbuka, rupanya orang-orang Kun-giok-ih tadi buru-buru melarikan diri dan tidak sempat menutup kembali pintu itu.
Sambil memondong Lenghou Tiong cepat Gi-lim berlari keluar terus menyusur gang yang kecil dan sepi. Terdengar suara ayam berkokok dan anjing menggonggong tambah ramai, namun tanpa pikir ia berlari terus.
Sampai di pinggir benteng kota, ia pikir harus keluar dari kota saja, di dalam kota musuh Lenghou-toako terlalu banyak. Segera ia menyusur dinding benteng, tidak lama kemudian, tertampak belasan orang desa bergegas-gegas lalu dengan memikul sayur, rupanya adalah tukang-tukang sayur di sekitar kota yang tiap hari berjualan di pasar.
Sambil menunduk Gi-lim bersimpang jalan dengan tukang-tukang sayur itu. Sampai di pintu kota, cepat sekali ia berlari keluar. Tatkala itu hari masih remang-remang, prajurit penjaga tidak sempat bertanya, tahu-tahu Gi-lim sudah berlari pergi cukup jauh.
Sekaligus Gi-lim berlari-lari sampai beberapa li jauhnya, yang dituju selalu tanah pegunungan yang sepi. Sampai akhirnya ia telah berada di suatu gua. Setelah perasaannya agak tenang, ia coba menunduk memandang Lenghou Tiong. Ternyata pemuda itu sudah sadar dan sedang tersenyum padanya.
Melihat wajah yang tersenyum-senyum itu, Gi-lim menjadi gugup, tangannya menjadi lemas, hampir-hampir saja ia lepaskan tubuh yang dipondongnya itu. Namun tidak urung ia pun terhuyung-huyung ke depan.
"Kau sudah lelah, Siausumoay! Silakan mengaso saja dulu," kata Lenghou Tiong.
Gi-lim mengiakan. Perlahan-lahan ia menaruh Lenghou Tiong di atas tanah. Ia sendiri pun tidak sanggup berdiri lagi, terus saja ia menjatuhkan diri berduduk dengan napas terengah-engah. Selang sejenak barulah ia bertanya, "Bagaimana keadaan lukamu, Lenghou-toako?"
"Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi, semuanya ini berkat obatmu yang mustajab itu," puji Lenghou Tiong. Habis ini mendadak ia menghela napas, katanya pula dengan menyesal, "Cuma sayang aku terluka parah sehingga kena dihina oleh kaum keroco, bahkan hampir-hampir saja kenyang disiksa oleh kawanan keparat dari Jing-sia-pay itu bila aku kena diketemukan mereka tadi."
"Kiranya engkau telah mengikuti semua kejadian tadi?" Gi-lim menegas. Demi teringat dirinya tadi memondongnya sambil berlari-lari sekian lamanya, entah sejak kapan pemuda itu sudah sadar dan telah memandang padanya, tanpa merasa wajah Gi-lim menjadi merah.
Lenghou Tiong tidak tahu mengapa Nikoh jelita itu mendadak merasa malu. Disangkanya mungkin terlalu lelah. Maka katanya, "Sumoay, harap kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan secara teratur supaya tidak terluka dalam."
Gi-lim mengiakan. Lalu ia duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil pejamkan mata. Akan tetapi perasaannya menjadi gelisah, betapa pun sukar tenang lagi. Hanya sebentar saja ia lantas membuka mata dan melirik ke arah Lenghou Tiong.
Begitulah sebentar-sebentar ia membuka mata dan memandang pemuda itu untuk melihat apakah lukanya ada perubahan atau pemuda itu apakah sedang mengintip padanya. Ketika pandangan ketiga, kebetulan Lenghou Tiong juga lagi menatap padanya. Keruan ia terkejut. Sebaliknya Lenghou Tiong lantas terbahak-bahak.
"Ada ... ada apa kau tertawa?" tanya Gi-lim dengan kikuk.
"Kau masih terlalu muda, belum sempurna latihanmu bersemadi sehingga sukar memusatkan pikiran," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Sudahlah, kau jangan khawatir. Tenagaku sudah mulai pulih kembali. Andaikan orang-orang Jing-sia-pay itu menyusul kemari juga kita tak perlu takut lagi. Tentu aku akan suruh mereka merasakan ... merasakan gaya belibis jatuh dengan pantat menghadap ke belakang."
"Sudahlah, engkau jangan banyak bicara lagi, silakan mengaso saja," kata Gi-lim.
"Wah, sesungguhnya aku ingin sekali bisa segera berbangkit dan berkunjung ke rumah Lau-susiok untuk melihat keramaian," kata Lenghou Tiong. "Guruku sampai datang sendiri, kuyakin pasti akan terjadi sesuatu yang gawat."
Melihat bibir pemuda itu sampai kering, matanya cekung, Gi-lim tahu dia tidak sedikit kehilangan darah dan perlu diberi minum sebanyak mungkin. Maka ia lantas berkata, "Biarlah kupergi mencari air. Tentu kau sangat haus, bukan?"
"Waktu datang tadi kulihat di tepi jalan sebelah timur sana di tengah sawah banyak tumbuh semangka yang sudah masak, silakan kau pergi memetiknya beberapa buah," kata Lenghou Tiong.
"Baiklah," sahut Gi-lim sambil berbangkit. Tapi ketika meraba saku, ternyata tiada sepeser pun. Segera katanya pula, "Apakah engkau ada uang, Lenghou-toako?"
"Untuk apa?" tanya Lenghou Tiong heran.
"Buat beli semangka!"
"Buat apa beli" Petik saja. Toh tiada penduduk di sekitar sini. Penanam semangka itu tentu tinggal sangat jauh dari sini. Kepada siapa kau akan membeli?"
"Mengambil tanpa permisi, itu kan men ... mencuri namanya. Suhu bilang sekali-kali tidak boleh mencuri. Jika tidak punya uang boleh minta sedekah saja. Hanya minta sebuah semangka rasanya mereka pun akan memberi."
"Ai, kau ini ...." mestinya Lenghou Tiong hendak mengomelinya, tapi mengingat dia masih terlalu muda, pula telah menolong dirinya dengan mati-matian, maka urunglah mengucapkan omelannya.
Melihat pemuda itu merasa kurang senang, Gi-lim tidak berani membantah lagi. Segera ia menuju ke jalan tadi. Kira-kira dua li jauhnya, benar juga tertampak ada beberapa bidang sawah yang penuh tanaman semangka dengan buah semangka yang besar-besar. Suasana sunyi, hanya suara tonggeret ramai bersahutan di pucuk pohon, sekitar sawah itu ternyata tiada seorang pun.
Bab 20. Mengambil Tanpa Permisi Namanya kan Mencuri
Ia turun ke sawah dan mendekati buah semangka. Ia menjadi ragu-ragu. Tangannya sudah menjulur, tapi segera ditarik kembali. Terbayang olehnya wajah sang guru yang kereng yang telah memberi pesan tentang pantangan-pantangan bagi orang beribadat, terutama dalam hal mencuri.
Akan tetapi segera timbul pula wajah Lenghou Tiong yang pucat dan cekung dengan bibirnya yang kering. Mendadak ia menjadi nekat, dengan menggigit bibir ia terus betot sebuah semangka sehingga putus dari akarnya. Pikirnya, "Untuk menolong jiwa Lenghou-toako terpaksa aku melanggar pantangan dan biarlah aku rela masuk neraka asalkan Lenghou-toako dapat selamat."
Lenghou Tiong adalah seorang pemuda yang berpikiran bebas dan berpandangan luas, ia hanya merasa Nikoh cilik Gi-lim itu masih hijau, tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa untuk memetik sebuah semangka saja telah terjadi pertentangan batin sedemikian hebatnya dalam benak Nikoh jelita itu. Maka ia menjadi girang ketika melihat Gi-lim sudah kembali dengan membawa buah semangka. Pujinya, "O, Sumoay yang baik, nona yang manis!"
Keruan Gi-lim tergetar demi mendengar pujian yang demikian itu, hampir-hampir saja semangka itu jatuh dari pangkuannya. Lekas-lekas ia memegangnya dengan lebih kencang.
"He, mengapa kau begini gugup" Apakah kau diuber orang karena kau mencuri semangka ini?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak, aku tidak diuber siapa-siapa," sahut Gi-lim sambil berduduk perlahan-lahan.
Tatkala itu sang surya telah menyingsing di ufuk timur dengan sinarnya yang cerlang-cemerlang, suatu pagi yang cerah dengan hawa yang sejuk.
Gi-lim mencabut pedangnya yang ujungnya sudah patah itu, terpikir olehnya, "Ilmu silat Dian Pek-kong itu benar-benar sangat hebat, kalau Lenghou-toako tidak menolong aku dengan mati-matian, tentu saat ini aku tidak dapat duduk di sini dengan selamat."
Sekilas dilihatnya kedua mata Lenghou Tiong melekuk cekung, wajahnya pucat. Diam-diam ia membatin, "Demi dia, biarpun aku lebih banyak berdosa juga takkan menyesal."
Karena pikiran demikian, segera rasa berdosanya lantaran mencuri semangka tadi lantas lenyap semua. Segera ia memotong semangka dengan pedang kutung itu.
Semangka itu rupanya dari jenis yang bagus, begitu terbelah lantas terendus bau yang harum segar.
"Semangka bagus!" puji Lenghou Tiong.
Segera Gi-lim memotong semangka itu menjadi selapis, sesudah dibuang bijinya, lalu sepotong demi sepotong diberikannya kepada Lenghou Tiong yang segera dimakannya dengan nikmat.
Gi-lim merasa senang melihat pemuda itu makan semangka dengan nikmat sekali. Dilihatnya air semangka menetes dan membasahi lehernya karena Lenghou Tiong makan semangka sambil berbaring, maka untuk selanjutnya Gi-lim mengiris semangka itu menjadi potongan kecil-kecil sehingga air semangka tidak sampai mengalir keluar mulut lagi.
Tapi setiap kali Lenghou Tiong mengulurkan tangan buat menerima semangka selalu meringis menahan sakit, tanpa merasa Gi-lim lantas menyuapi.
Setelah makan hampir separuh buah semangka itu, barulah Lenghou Tiong ingat bahwa Gi-lim sama sekali belum makan, segera ia berkata, "Kau sendiri pun silakan makan."
"Nanti, biar kau makan secukupnya dulu," sahut Gi-lim.
"Sudah, aku sudah cukup, silakan kau makan saja," kata Lenghou Tiong.
Sesungguhnya Gi-lim memang juga sangat haus, maka setelah menyuapi satu-dua potong lagi ke mulut Lenghou Tiong, kemudian ia pun masukkan sepotong semangka ke dalam mulut sendiri. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi memandang padanya, dengan malu ia lantas duduk membelakangi pemuda itu.
"Ah, sungguh sangat indah," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong memuji.
Gi-lim tambah malu, ia tidak tahu mengapa mendadak pemuda itu memuji keindahannya.
"Coba lihatlah, alangkah bagusnya!" terdengar Lenghou Tiong berkata pula.
Waktu Gi-lim sedikit menoleh, tertampak jari pemuda itu menuding ke arah barat. Ia coba memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya di ujung langit di kejauhan sana tertampak lengkung pelangi dengan tata warna yang sangat indah.
Baru sekarang Gi-lim mengetahui bahwa yang dimaksudkan "indah" oleh Lenghou Tiong kiranya adalah pelangi, jadi dirinya sendiri yang telah salah wesel. Kembali ia merasa malu lagi. Cuma rasa malu sekarang berbeda dengan rasa malu tadi yang mengandung girang-girang kikuk.
"Eh, coba kau dengarkan!" kata Lenghou Tiong pula.
Waktu Gi-lim mendengarkan dengan cermat, terdengar di arah pelangi sana sayup-sayup ada suara gemercaknya air. "Ya, seperti suara air terjun," katanya.
"Betul, sehabis hujan, di tanah pegunungan tentu banyak air terjun," kata Lenghou Tiong. "Marilah kita coba pergi ke sana untuk melihatnya."
Gi-lim tidak tega mengecewakan keinginannya, segera ia memayangnya bangun. Mendadak wajahnya bersemu merah pula. Ia menjadi ragu-ragu apakah dirinya sekarang masih harus memondongnya pula" Mengapa pemuda ini tiba-tiba ingin pergi melihat air terjun, jangan-jangan hanya sebagai alasan saja agar dirinya memondong pula" Demikian pikirnya.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Lenghou Tiong menjemput sebatang kayu di sebelahnya dan digunakan sebagai tongkat, lalu berjalan perlahan-lahan ke depan. Nyata kembali Gi-lim salah wesel lagi. Cepat ia memburu maju untuk memegangi badan pemuda itu sambil mengomeli dirinya sendiri yang suka berpikir tak keruan, padahal Lenghou-toako adalah seorang kesatria sejati, mana boleh disamaratakan dengan kelakuan Dian Pek-kong yang jahat itu"
Lenghou Tiong benar-benar seorang pemuda yang kuat. Lukanya itu baru selang dua hari, tapi sekarang dia sudah dapat berjalan, walaupun langkahnya belum mantap, tapi cukup kuat untuk bertahan.
Tidak seberapa lama, Gi-lim mengajaknya mengaso dan duduk di atas sepotong batu besar. "Di sini juga boleh, apakah kau harus pergi melihat air terjun?" tanyanya.
"Dasar aku memang kepala batu, apa yang kupikir tentu harus kukerjakan," sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, pemandangan yang indah di sana itu mungkin akan membantu mempercepat sembuhnya lukamu," ujar Gi-lim.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sesudah melintasi sebuah tanjakan, terdengarlah suara gemerujuknya air terjun yang makin keras. Sesudah menyusur pula sebuah hutan akhirnya tertampaklah sebuah air terjun dengan airnya yang putih laksana dituang dari atas langit.
"Di puncak Giok-li-hong di atas Hoa-san kami juga terdapat sebuah air terjun yang hampir sama dengan air terjun ini," tutur Lenghou Tiong. "Di waktu iseng Sumoayku suka menyeret aku berlatih pedang di depan air terjun itu. Dengan nakal terkadang dia terus menerobos ke balik air terjun. Beberapa kali ia pun minta aku berlatih pedang dengan dia di bawah air terjun itu, katanya tenaga air yang dituang dari atas itu akan dapat memperkuat daya permainan pedang. Kami sering basah kuyup tersiram oleh air terjun, bahkan pernah hampir-hampir terperosok ke dalam kolam air yang dalam itu."
Mendengar pemuda itu menyinggung Sumoaynya, mendadak Gi-lim sadar sebabnya Lenghou Tiong berkeras ingin datang ke tempat air terjun itu rasanya bukanlah untuk menikmati pemandangannya, tapi adalah untuk mengenangkan sang Sumoay. Segera ia tanya, "Kau mempunyai berapa orang Sumoay?"
"Hoa-san-pay kami seluruhnya ada tujuh orang murid wanita," tutur Lenghou Tiong. "Leng-sian Sumoay adalah putri Suhu sendiri, enam Sumoay yang lain adalah murid ibu-guru kami."
"O, kiranya dia adalah putri Gak-supek. Tentu dia ... dia sangat baik padamu?"
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berduduk, lalu menjawab, "Aku adalah anak yatim piatu, 13 tahun yang lalu aku telah diterima oleh Suhu yang berbudi. Tatkala itu Leng-sian Sumoay baru berumur lima tahun. Aku lebih tua daripada dia, sering kali aku membawanya pergi mencari buah-buahan dan menangkap kelinci. Jadi kami boleh dikata dibesarkan bersama. Suhu tidak punya anak laki-laki sehingga aku dianggap sebagai putranya sendiri dan Leng-sian Sumoay juga sama seperti adikku sendiri."
"O, kiranya demikian," kata Gi-lim. Selang sejenak, ia berkata pula, "Aku pun seorang anak yatim piatu, sejak kecil aku sudah menjadi Nikoh di bawah asuhan Suhu."
"Sayang, sayang! Jika kau tidak menjadi murid Ting-yat Suthay, tentu aku dapat mohon kepada ibu-guru agar suka menerima kau sebagai murid dan Leng-sian Sumoay tentu akan sangat suka pula kepadamu."
"Cuma sayang aku tidak punya rezeki sebesar itu. Namun aku pun merasa bahagia tinggal di Pek-hun-am, Suhu dan para Suci juga sangat baik padaku."
"O, ya, ya! Aku yang salah bicara. Ilmu pedang Ting-yat Susiok sangat lihai, Suhu sendiri sering memuji beliau. Masakah Hing-san-pay kalah daripada Hoa-san-pay kami?"
"Lenghou-toako," tiba-tiba Gi-lim bertanya, "Tempo hari kau bilang kepada Dian Pek-kong, katanya bertempur dengan berdiri Dian Pek-kong terhitung jago nomor 14 dan Gak-supek adalah nomor 6. Lalu Suhuku terhitung nomor berapa?"
"Ah, aku kan cuma menipu Dian Pek-kong saja, masakah kau percaya sungguh-sungguh?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang selalu mengalami perubahan, ada yang semakin maju, ada yang sudah mundur karena lanjut usianya, mana ada patokan yang menentukan siapa lebih tinggi dan siapa nomor sekian" Ilmu silat Dian Pek-kong itu memang tinggi, tapi belum tentu dia dapat dihitung sebagai jago nomor 14 di dunia ini. Aku hanya sengaja mengumpak dia agar dia senang."
"O, kiranya kau cuma membohongi dia saja," kata Gi-lim. Untuk sejenak ia termangu-mangu memandangi air terjun. Kemudian ia bertanya pula, "Lenghou-toako, apakah kau sering membohongi orang?"
"Haha, untuk itu kita harus melihat keadaan," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Yang perlu dibohongi harus dibohongi, yang tidak boleh dibohongi jangan sekali-kali berbohong padanya. Seperti Suhu dan Subo (ibu-guru), biarpun mereka hendak memotong kepalaku juga aku juga tidak berani membohongi mereka."
"Dan bagaimana dengan Sute atau Sumoaymu" Misalnya ... misalnya kau punya Leng-sian Sumoay, apakah kau suka membohongi dia?"
"Ah, itu harus melihat keadaan dan mengenai soal apa" Di antara sesama saudara seperguruan kami sering saling berkelakar. Bergurau tanpa tipu-menipu dan bohong-membohongi tentu akan kurang menarik. Terhadap ... terhadap Leng-sian Sumoay, bila mengenai urusan penting, sudah tentu aku takkan membohongi dia. Tapi di waktu bermain dan bergurau sudah tentu tak terhindar dari tipu-menipu."
Selama Gi-lim tinggal di Pek-hun-am, karena harus taat kepada agama dan tata tertib perguruan, maka hidupnya sangat sederhana dan kaku, di antara para Sucinya juga tak pernah bersenda gurau, walaupun satu sama lain saling mencintai. Maka ia menjadi sangat tertarik dan merasa kagum terhadap sesama murid Hoa-san-pay yang gembira ria sebagaimana yang diceritakan Lenghou Tiong, sungguh ia ingin sekali dapat berkunjung ke Hoa-san dan bergaul dengan mereka. Tapi bila teringat kejadian yang menimpa dirinya sekarang ini, boleh jadi sesudah pulang sang guru takkan mengizinkan keluar kuil lagi, maka hasratnya ingin datang ke Hoa-san hanya menjadi lamunan belaka. Andaikan sudah bergaul, tapi kalau Lenghou-toako senantiasa cuma mendampingi dia punya Leng-sian Sumoay, lalu aku tertinggal sendirian dan siapa yang akan mengawani aku" Berpikir demikian, hatinya menjadi pilu dan hampir-hampir meneteskan air mata.
Rupanya Lenghou Tiong tidak memerhatikan perubahan Gi-lim itu, dia masih memandang ke arah air terjun dan berkata, "Aku dan Leng-sian Sumoay memang sedang meyakinkan semacam Kiam-hoat dengan bantuan tenaga air terjun yang mencurah dari atas itu. Kami anggap tenaga air itu sebagai tenaga dalam serangan musuh, bukan saja kami harus menghalaukan tenaga dalam musuh, bahkan kami harus memperalat kembali tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri. Ilmu pedang kami itu takkan kelihatan daya serangannya terhadap lawan yang berkepandaian rendah, sebaliknya akan besar manfaatnya bila menghadapi musuh yang bertenaga dalam yang mahakuat."
Melihat pemuda itu bercerita dengan gembira, Gi-lim tidak ingin membuatnya kecewa. Ia hanya tanya, "Dan kalian berhasil meyakinkan ilmu pedang itu belum?"
"Belum, belum!" sahut Lenghou Tiong. "Apa kau sangka gampang untuk menciptakan sesuatu ilmu pedang?"
"Apa namanya ilmu pedang kalian itu?" tanya Gi-lim perlahan.
"Ah, mestinya tak dapat diberi nama apa-apa, tapi Leng-sian Sumoay berkeras ingin memberikan suatu nama, dia menyebutnya 'Tiong-leng-kiam-hoat', yaitu diambil dari nama kami masing-masing satu huruf."
"Tiong-leng-kiam-hoat" Ehm, nama ini mengandung namamu dan namanya, bila diturunkan di kemudian hari setiap orang akan tahu ilmu pedang ini adalah ciptaan kalian ... kalian berdua."
"Ah, hanya gara-gara Leng-sian Sumoay saja, padahal dengan kemampuan kami masakan dapat menciptakan ilmu pedang apa segala" Hendaklah jangan sekali-kali kau katakan kepada orang lain supaya tidak dijadikan bahan lelucon orang Kangouw."
"Baiklah, tentu takkan kukatakan pada orang lain," sahut Gi-lim. Sesudah merandek sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tersenyum, "Tapi ilmu pedang ciptaanmu sudah lebih dulu diketahui oleh orang lain."
"Apa ya?" Lenghou Tiong terkesiap. "Apakah Leng-sian Sumoay pernah beri tahukan kepada orang lain?"
Gi-lim tertawa, katanya, "Kau sendirilah yang telah beri tahukan Dian Pek-kong. Bukankah kau mengatakan kau telah menciptakan semacam ilmu pedang penusuk lalat pada saat berjongkok di kakus?"
"Hahahaha! Aku sengaja membual saja padanya, tapi kau ternyata masih terus mengingat-ingatnya ... auuuuh!" demikian mendadak Lenghou Tiong mengerut kening, karena tertawa sehingga lukanya kesakitan.
"Ai, semuanya salahku sehingga membikin lukamu kesakitan lagi. Janganlah kau bicara pula, silakan mengaso saja secara tenang," seru Gi-lim gugup.
Lenghou Tiong lantas pejamkan mata. Tapi hanya sebentar saja kembali ia melek lagi. Katanya, "Tadinya kukira pemandangan di sini tentu sangat indah, tapi setiba di sini malahan tidak dapat menyaksikan pelangi yang bagus tadi."
"Pelangi mempunyai keindahan sebagai pelangi, air terjun juga mempunyai keindahan air terjun sendiri," ujar Gi-lim.
"Ya, betul juga ucapanmu. Di dunia ini mana ada sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang dicari oleh seseorang dengan susah payah, sesudah diperoleh tentu akan merasakan kiranya juga cuma begini saja. Sebaliknya barang yang dimilikinya semula malah sudah dibuang olehnya."
"Ucapan ini terasa mengandung filsafat orang hidup, Lenghou-toako," kata Gi-lim dengan tertawa. "Sayang pengetahuanku terlalu cetek sehingga tidak paham artinya yang dalam."
"Ah, masakah aku tahu filsafat apa segala?" ujar Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Uh, alangkah lelahnya!"
Lalu perlahan-lahan ia pejamkan mata, lambat laun lantas terpulas.
Gi-lim duduk di sampingnya dan menghalaukan lalat atau serangga kecil yang mengganggunya. Kira-kira sejam lamanya, ia pikir sebentar bila Lenghou-toako sudah mendusin tentu akan merasa lapar. Di sini tiada yang dapat dimakan, biarlah kupergi memetik dua buah semangka pula yang dapat dibuat tangsel perut dan mencegah dahaga.
Maka dengan langkah cepat ia mendatangi sawah semangka pula, ia petik dua buah semangka dan buru-buru kembali untuk menjaga di samping Lenghou Tiong.
"Kukira kau sudah pulang," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong membuka mata dengan tersenyum.
"Mengira aku pulang?" Gi-lim menegas heran.
"Ya, bukankah Suhu dan para Sucimu sedang mencari kau" Mereka tentu sangat mengkhawatirkan dirimu."
Sebenarnya Gi-lim tak teringat akan soal itu, demi mendengar ucapan Lenghou Tiong, ia menjadi gelisah juga. Pikirnya, "Bila ketemu Suhu besok, entah beliau akan marah padaku atau tidak?"
"Siausumoay, sungguh aku sangat berterima kasih, kau yang telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang aku sudah tidak berhalangan lagi, kau boleh lekas pulang saja," kata Lenghou Tiong pula.
"Tidak, mana boleh kutinggalkan kau sendiri di tanah pegunungan sepi begini?" ujar Gi-lim.
"Setiba di rumah Lau-susiok, diam-diam boleh kau beritakan kepada para Suteku dan tentu mereka akan datang kemari untuk menjaga diriku," kata Lenghou Tiong.
Perasaan Gi-lim menjadi pedih, ia pikir kiranya Lenghou-toako ingin kedatangan Sumoaynya, makanya aku diharapkan lekas pergi saja. Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran.
Lenghou Tiong menjadi heran, tanyanya cepat, "He, ken ... kenapa kau menangis" Apakah kau takut akan dimarahi Suhumu?"
Gi-lim menggeleng-geleng.
"Ah, barangkali kau khawatir kepergok Dian Pek-kong lagi" Jangan takut, selanjutnya dia pasti tidak berani merecoki kau lagi. Bila melihat kau, tentu dia sendiri yang akan lari terbirit-birit."
Tapi kembali Gi-lim geleng-geleng kepala.
Lenghou Tiong menjadi bingung. Tiba-tiba dilihatnya semangka yang baru dipetiknya itu, seketika ia sadar dan berkata pula, "O, tentu kau merasa berdosa karena kau telah melanggar larangan agama bagiku, bukan" Tapi itu adalah dosaku dan tiada sangkut pautnya dengan kau."
Namun Gi-lim tetap menggeleng-geleng saja, air matanya menetes semakin deras.
Melihat tangis Gi-lim yang semakin menjadi itu, Lenghou Tiong tambah tidak mengerti, katanya pula, "Baiklah, mungkin aku telah salah omong. Biarlah aku minta maaf padamu saja, Siausumoay, harap engkau jangan marah."
Perasaan Gi-lim rada lega mendengar ucapan yang halus itu. Tapi lantas terpikir olehnya, "Rupanya dia sudah biasa merendah diri dan minta maaf kepada Sumoaynya, maka sekarang sekenanya ia pun ucapkan padaku."
Mendadak ia menangis lebih sedih dan berkata sambil membanting kaki, "Aku ... aku toh bukan Sumoaymu ...." tapi lantas teringat olehnya sebagai seorang Nikoh adalah tidak pantas mengomel dengan kata-kata demikian itu. Seketika wajahnya menjadi merah dan lekas-lekas berpaling ke arah lain.
Sekilas Lenghou Tiong melihat muka Gi-lim berubah merah dengan air matanya masih meleleh, dalam sekejap tampaknya menjadi mirip butiran embun yang belum kering di atas kelopak bunga mawar di musim semi, cantiknya sukar dilukiskan.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia merasa kecantikan Gi-lim ternyata tidak kalah daripada Sumoaynya, si Leng-sian. Katanya kemudian, "Usiamu jauh lebih muda daripadaku, sesama orang Ngo-gak-kiam-pay kita dengan sendirinya kau adalah Siausumoay. Adakah sesuatu kesalahanku sehingga membikin kau marah, maukah kau katakan padaku?"
"Kau tidak bersalah apa-apa," sahut Gi-lim. "Kutahu kau ingin aku lekas-lekas pergi dari sini agar tidak membikin muak padamu, supaya tidak membikin sial seperti pernah kau katakan 'asal melihat Nikoh, bila berjudi tentu kalah ....'" sampai di sini kembali ia menangis lagi.
Lenghou Tiong menjadi geli sendiri, pikirnya, "Kiranya dia merasa tersinggung karena ucapanku yang tak pantas di Cui-sian-lau itu. Ya, untuk ini aku memang harus minta maaf."
Segera ia pun berkata, "Ya, memang mulutku tidaklah bersih sehingga apa yang kukatakan di Cui-sian-lau tempo hari telah menyinggung kehormatan Hing-san-pay kalian. Aku pantas dihajar, pantas dipukul!"
Lalu ia angkat tangan dan menampar pipinya sendiri beberapa kali.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan, jangan kau tampar sendiri lagi, aku ... aku tidak marah padamu, aku hanya khawatir ... khawatir membikin sial padamu," cepat Gi-lim mencegah.
"Tidak, harus dihajar adat!" seru Lenghou Tiong dan "plak", kembali ia tampar pipi sendiri satu kali pula.
"Sudahlah, Lenghou-toako, aku tidak ... tidak marah lagi," kata Gi-lim gugup.
"Kau menyatakan tidak marah lagi?" Lenghou Tiong menegas.
Gi-lim manggut-manggut. "Tapi kau belum tertawa, terang kau masih marah," ujar Lenghou Tiong.
Terpaksa Gi-lim tertawa. Tapi mendadak teringat kepada nasibnya sendiri, hatinya menjadi pilu, tanpa merasa air matanya berlinang-linang lagi. Cepat ia berpaling ke arah lain.
Melihat Nikoh jelita itu masih menangis, mendadak Lenghou Tiong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Gi-lim berhenti menangis, tanyanya dengan suara lirih, "Ken ... kenapa engkau menghela napas?"
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Ia pikir dasar nona cilik yang masih hijau sehingga gampang ditipu. Biasanya di kala dia bermain dengan Leng-sian, bila sang Sumoay mengambek dan tak mau gubris padanya, maka Lenghou Tiong lantas mencari akal untuk memancing anak dara itu membuka suara. Bila tetap tak digubris, ia lantas berdaya upaya dan berlagak sesuatu yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu sang Sumoay sehingga anak dara itu berbalik menanya lebih dulu padanya.
Selama hidup Gi-lim jarang bergaul dengan orang luar, tak pernah mengambek dan muring-muring, maka dengan gampang saja ia kena dipancing oleh Lenghou Tiong. Namun dengan sengaja Lenghou Tiong menghela napas pula dan berpaling ke arah lain tanpa menjawab.
"Apakah kau marah, Lenghou-toako?" tanya Gi-lim pula.
"Ah, tidak, aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
Melihat sikap Lenghou Tiong itu, Gi-lim menjadi gugup. Ia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong hanya pura-pura saja dan di dalam perut pemuda itu sedang terpingkal-pingkal geli.
Segera Gi-lim bertanya pula, "Akulah yang salah sehingga kau memukuli dirimu sendiri, biarlah aku ... aku membayar kembali pukulanmu itu."
Habis berkata mendadak ia pun menampar pipinya sendiri.
Waktu ia akan menampar pula, cepat Lenghou Tiong bangun berduduk untuk memegang tangan Gi-lim. Tapi sekali bergerak, seketika ia merintih kesakitan.
"Ai, lekas berbaring, lekas! Jangan sampai lukamu pecah lagi," kata Gi-lim dengan khawatir sambil membantu merebahkan Lenghou Tiong, lalu ia menyesali dirinya sendiri, "Aku benar-benar sangat bodoh, berbuat segala apa selalu salah. Apakah ... apakah engkau masih kesakitan, Lenghou-toako?"
Tempat luka Lenghou Tiong itu memang terasa sakit, jika keadaan biasa tentu dia takkan mengaku. Sekarang mendadak timbul akalnya untuk memancing supaya Gi-lim yang menangis itu berubah menjadi tertawa. Maka sengaja ia mengernyit kening sambil merintih-rintih pula beberapa kali.
Keruan Gi-lim menjadi khawatir. "Apakah sangat sakit?" tanyanya sambil meraba jidat pemuda itu.
"Ya, sakit sekali," sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura meringis. "Alangkah baiknya bila ... bila Laksute juga berada di sini."
"Ada apa" Dia punya obat?" tanya Gi-lim.
"Ya, obatnya adalah dia punya mulut," sahut Lenghou Tiong. "Dahulu bila aku terluka dan kesakitan, Lak-kau-ji selalu menghibur aku dengan macam-macam lelucon yang menggelikan, dengan demikian aku lantas lupa akan rasa sakit. Sayang dia tidak berada di sini. O, sakit ... sungguh sakit sekali!"
Gi-lim menjadi serbasusah. Selama berguru kepada Ting-yat Suthay, tugas yang dilakukannya setiap hari adalah sembahyang dan membaca kitab, semadi dan main pedang, selamanya juga jarang mengobrol, jangankan lagi bergurau dan tertawa. Sekarang Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji yang dikatakan pintar mendongeng dan melucu itu tidak berada di sini, bila dirinya yang harus melucu, wah, ini benar-benar mahasulit baginya.
Mendadak pikirannya tergerak, teringat sesuatu olehnya. Segera ia berkata, "Lenghou-toako, aku sih tidak bisa melucu, cuma aku pernah membaca suatu kitab yang isinya sangat menarik, nama kitab itu adalah 'kitab seratus dongeng'. Di dalamnya banyak cerita-cerita yang lucu."
"Baiklah, harap engkau menceritakan beberapa bagian yang lucu-lucu itu," pinta Lenghou Tiong yang memang sengaja memancing agar Nikoh jelita itu berbicara.
Untuk sejenak Gi-lim mengingat-ingat, lalu ia mulai bercerita dengan tersenyum. "Baiklah, lebih dulu aku akan bercerita tentang seorang gundul dan seorang petani. Si gundul itu adalah pembawaan, sejak lahir kepalanya sudah kelimis, jadi bukan dicukur seperti kami di kala menjadi Nikoh. Entah urusan apa si gundul telah cekcok dengan petani itu. Dengan marah petani itu telah mengetok kepala gundul dengan paculnya sehingga berdarah. Akan tetapi si gundul tidak melawan dan tidak menghindar, dia terima dipukul, bahkan tertawa malah. Orang lain merasa heran dan tanya dia mengapa tertawa malah. Si gundul menjawab, 'Petani itu adalah orang tolol, kepalaku yang gundul ini disangkanya sepotong batu, maka ia menggunakan paculnya untuk mengetok batu. Jika aku menghindar, bukankah akan membikin dia berubah menjadi pintar"'"
Sampai di sini Lenghou Tiong telah bergelak tertawa. Katanya, "Cerita bagus! Si gundul itu benar-benar sangat pintar, biarpun dipukul mampus juga dia takkan menghindar."
Melihat Lenghou Tiong tertawa senang, segera Gi-lim menyambung pula, "Sekarang akan kuceritakan pula tentang seorang raja dan seorang tabib. Watak raja itu tidak sabaran, dia mempunyai seorang putri kecil, tapi sangat ingin dibesarkan dengan cepat. Maka telah dipanggilnya seorang tabib dan diperintahkan memberi suatu resep obat yang dapat membuat sang putri segera menjadi besar. Tabib itu menyatakan ada obatnya, tapi untuk mengumpulkan bahan-bahan obat dan meraciknya diperlukan waktu yang lama, ia sanggup membawa sang putri ke rumah dan membesarkannya asalkan raja tidak mendesaknya agar resep obat itu harus lekas selesai. Raja menerima baik usul itu. Sang putri lantas dibawa pulang oleh si tabib dan setiap beberapa hari memberi laporan kepada raja bahwa obatnya sudah mulai dikumpulkan dan diracik. Selang 12 tahun kemudian, tabib memberi lapor bahwa obat mukjizat sudah jadi dan hari ini juga sudah diminumkan kepada sang putri. Segera sang putri dibawa menghadap raja. Sungguh senang raja tak terkatakan ketika melihat putrinya yang tadinya masih bayi sekarang sudah sedemikian besarnya. Ia memuji kepandaian tabib itu yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan baik, segera raja memberikan hadiah besar kepada sang tabib."
Kembali Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kau bilang raja itu tidak sabaran, padahal dia sudah menunggu 12 tahun lamanya. Bila aku menjadi tabib itu, cukup satu hari saja aku sudah dapat menjadikan putri bayi itu menjadi putri dewasa yang cantik jelita."
"Dengan cara bagaimana" Apakah engkau bisa menyulap?" tanya Gi-lim dengan mata membelalak lebar.
"Gampang sekali caranya, asalkan kau mau membantu," ujar Lenghou Tiong.
"Aku membantu?" Gi-lim menegas.
"Ya, segera aku membawa pulang putri bayi itu dan memanggil empat orang tukang menjahit ...."
"Tukang menjahit" Untuk apa?" Gi-lim bertambah heran.
"Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus bagimu. Besoknya pagi-pagi dengan kopiah keputrian berhias mutiara, berbaju sulam yang baru, dengan sepatu berbingkai batu permata, lalu akan kubawa engkau menghadap raja. Tentu raja akan sangat girang melihat putrinya yang cantik laksana bidadari hanya dalam semalam saja sudah berubah sedemikian besarnya sesudah makan obat dari tabib sakti Lenghou Tiong. Saking gembiranya beliau tentu tidak periksa lagi apakah putrinya itu tulen atau palsu dan pasti si tabib sakti Lenghou Tiong akan diberi anugerah besar."
Gi-lim tertawa geli selesai Lenghou Tiong bicara, saking gelinya ia sampai menungging dan memegangi perut sendiri. Selang sejenak barulah dia dapat bicara, "Kau memang jauh lebih cerdik daripada tabib dalam dongeng itu. Cuma sayang, wajahku sedemikian ... sedemikian jelek, sedikit pun tidak mirip seorang putri."
"Jika kau dianggap jelek, maka di dunia ini tidak ada wanita cantik lagi," ujar Lenghou Tiong. "Padahal sejak dulu sampai sekarang rasanya tiada seorang putri yang dapat membandingi kecantikanmu. Sungguh aku ...." mendadak ia merasa tidak pantas bicara demikian kepada seorang Nikoh muda belia yang suci bersih itu, padahal mengajaknya bersenda gurau saja sudah melanggar pantangan agama mereka, apalagi sekarang dirinya sembarangan omong. Maka ia urung meneruskan, ia pura-pura menguap mengantuk.
"Ah, engkau sudah lelah, Lenghou-toako," kata Gi-lim. "Silakan kau mengaso saja."
"Baiklah," kata Lenghou Tiong. "Dongenganmu ternyata sangat manjur, sekarang lukaku tidak sakit lagi."
Karena maksud tujuannya membikin Gi-lim bicara dan tertawa sudah tercapai, maka ia lantas pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga.
Saking isengnya menunggui Lenghou Tiong, ditambah suasana yang sunyi dengan angin sayup-sayup, Gi-lim menjadi lelah sendiri dan merasa mengantuk, akhirnya ia terpulas sambil berduduk.
Dalam mimpi ia merasa dirinya benar-benar telah memakai jubah putri raja yang mewah, dengan dituntun oleh seorang pemuda ganteng sebagai Lenghou Tiong mereka masuk ke sebuah istana yang besar dan megah. Mendadak muncul seorang Nikoh tua dengan pedang terhunus dan mata melotot merah, itulah Suhunya, Ting-yat Suthay. Saking takutnya cepat-cepat Gi-lim menarik lengan Lenghou Tiong untuk melarikan diri, tapi tarikannya telah mengenai tempat kosong, seketika suasana menjadi gelap gulita dan dirinya terjatuh. Saking kagetnya Gi-lim sampai berteriak-teriak, "Lenghou-toako!"
Tapi mendadak ia terjaga bangun dan ternyata hanya impian belaka. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi memandang padanya dengan mata terbelalak lebar. Gi-lim jadi kikuk sendiri dengan wajah merah.
"Kau bermimpi?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas air muka Lenghou Tiong tertampak sangat aneh, seperti sedang menahan rasa sakit. Cepat ia tanya, "Apakah lukamu sangat kesakitan?"
"Ya, rada-rada sakit!" sahut Lenghou Tiong, namun suaranya kedengaran agak gemetar. Selang sejenak keringat pun merembes di dahinya. Terang sekali rasa sakitnya pasti tidak kepalang.
Tentu saja Gi-lim sangat khawatir. "Wah, bagaimana ini?" demikian ia menjadi kelabakan sendiri. Ia mengeluarkan saputangan untuk mengusap keringat Lenghou Tiong. Terasa dahi pemuda itu sangat panas sebagai dibakar.
Dari Suhunya, Gi-lim pernah mendengar bila seorang menjadi demam karena terluka senjata, maka keadaannya menjadi berbahaya. Saking cemasnya tanpa merasa Gi-lim terus sembahyang dan berdoa. Semula suaranya agak gemetar, tapi lambat laun perasaannya mulai tenang sehingga suara sembahyangnya kedengaran sangat nyaring dan jelas, penuh kepercayaan.
Semula Lenghou Tiong merasa geli melihat kelakuan Gi-lim itu. Tapi sesudah mengikuti doa khotbah yang khidmat dan mohon Buddha memberi berkah baginya itu, mau tak mau ia menjadi terharu dan mengembeng air mata.
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah yatim piatu, walaupun Suhu dan Subo sangat baik padanya, namun dia sendiri kelewat nakal, maka dia lebih sering dihajar daripada mendapatkan belaian kasih sayang. Para Sutenya menghormatinya karena dia adalah Toasuheng. Walaupun Leng-sian sangat baik padanya, tapi tidak begitu memerhatikan dia seperti Gi-lim sekarang ini yang sudi menanggung segala penderitaan di dunia ini asalkan dia selamat dan hidup bahagia.
Sifat Lenghou Tiong sukalah bergurau, kecuali guru dan ibu-gurunya, tiada orang lain lagi yang diindahkan olehnya. Sekarang melihat Gi-lim bersembahyang sedemikian khidmat baginya, sungguh ia tidak tahu betapa terima kasihnya kepada Nikoh jelita itu.
Suara sembahyang Gi-lim itu makin lama makin merdu dan enak didengar, Lenghou Tiong merasa terharu dan terhibur pula. Tanpa merasa demamnya menjadi berkurang, akhirnya dia terpulas di tengah suara doa Gi-lim yang halus itu.
Jika suasana di tanah pegunungan itu aman tenteram, sebaliknya di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, di mana telah berkumpul berbagai jago silat dari berbagai aliran dan golongan sedang terjadi pertarungan sengit.
Sesudah Gak Put-kun menerima Lim Peng-ci sebagai muridnya, bersama anak muridnya mereka lantas menuju ke Heng-san.
Ketika mendapat kabar, Lau Cing-hong terkejut dan bergirang pula. Tak tersangka olehnya bahwa tokoh yang termasyhur di dunia persilatan sebagai "Kun-cu-kiam" Gak Put-kun itu juga berkunjung sendiri ke tempatnya. Bersama Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay, Ih Jong-hay dan lain-lain, cepat ia menyambut keluar dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun adalah seorang yang ramah tamah, dengan berseri-seri ia pun mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong. Lalu sang tamu disilakan masuk ke dalam rumah.
Sebagai orang yang berdosa, diam-diam Ih Jong-hay merasa tidak enak. Pikirnya, "Rasanya Lau Cing-hong takkan mendapat kehormatan sebesar ini sehingga ketua Hoa-san-pay sudi berkunjung padanya, tentu kedatangannya ini ditujukan kepadaku. Biarpun Ngo-gak-kiam-pay mereka berjumlah lebih banyak, tapi Jing-sia-pay kami juga bukan golongan yang gampang dihina. Bila Gak Put-kun berani mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, biarlah lebih dulu aku akan tanya dia perbuatan macam apa muridnya yang bernama Lenghou Tiong itu masuk rumah pelacuran dan main perempuan" Jika tiada persesuaian paham, kalau perlu biarlah main senjata saja." Ia turun ke sawah dan mendekati buah semangka. Ia menjadi ragu-ragu. Tangannya sudah menjulur, tapi segera ditarik kembali. Terbayang olehnya wajah sang guru yang kereng yang telah memberi pesan tentang pantangan-pantangan bagi orang beribadat, terutama dalam hal mencuri.
Akan tetapi segera timbul pula wajah Lenghou Tiong yang pucat dan cekung dengan bibirnya yang kering. Mendadak ia menjadi nekat, dengan menggigit bibir ia terus betot sebuah semangka sehingga putus dari akarnya. Pikirnya, "Untuk menolong jiwa Lenghou-toako terpaksa aku melanggar pantangan dan biarlah aku rela masuk neraka asalkan Lenghou-toako dapat selamat."
Lenghou Tiong adalah seorang pemuda yang berpikiran bebas dan berpandangan luas, ia hanya merasa Nikoh cilik Gi-lim itu masih hijau, tidak tahu seluk-beluk kehidupan manusia. Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa untuk memetik sebuah semangka saja telah terjadi pertentangan batin sedemikian hebatnya dalam benak Nikoh jelita itu. Maka ia menjadi girang ketika melihat Gi-lim sudah kembali dengan membawa buah semangka. Pujinya, "O, Sumoay yang baik, nona yang manis!"
Keruan Gi-lim tergetar demi mendengar pujian yang demikian itu, hampir-hampir saja semangka itu jatuh dari pangkuannya. Lekas-lekas ia memegangnya dengan lebih kencang.
"He, mengapa kau begini gugup" Apakah kau diuber orang karena kau mencuri semangka ini?" tanya Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Tidak, aku tidak diuber siapa-siapa," sahut Gi-lim sambil berduduk perlahan-lahan.
Tatkala itu sang surya telah menyingsing di ufuk timur dengan sinarnya yang cerlang-cemerlang, suatu pagi yang cerah dengan hawa yang sejuk.
Gi-lim mencabut pedangnya yang ujungnya sudah patah itu, terpikir olehnya, "Ilmu silat Dian Pek-kong itu benar-benar sangat hebat, kalau Lenghou-toako tidak menolong aku dengan mati-matian, tentu saat ini aku tidak dapat duduk di sini dengan selamat."
Sekilas dilihatnya kedua mata Lenghou Tiong melekuk cekung, wajahnya pucat. Diam-diam ia membatin, "Demi dia, biarpun aku lebih banyak berdosa juga takkan menyesal."
Karena pikiran demikian, segera rasa berdosanya lantaran mencuri semangka tadi lantas lenyap semua. Segera ia memotong semangka dengan pedang kutung itu.
Semangka itu rupanya dari jenis yang bagus, begitu terbelah lantas terendus bau yang harum segar.
"Semangka bagus!" puji Lenghou Tiong.
Segera Gi-lim memotong semangka itu menjadi selapis, sesudah dibuang bijinya, lalu sepotong demi sepotong diberikannya kepada Lenghou Tiong yang segera dimakannya dengan nikmat.
Gi-lim merasa senang melihat pemuda itu makan semangka dengan nikmat sekali. Dilihatnya air semangka menetes dan membasahi lehernya karena Lenghou Tiong makan semangka sambil berbaring, maka untuk selanjutnya Gi-lim mengiris semangka itu menjadi potongan kecil-kecil sehingga air semangka tidak sampai mengalir keluar mulut lagi.
Tapi setiap kali Lenghou Tiong mengulurkan tangan buat menerima semangka selalu meringis menahan sakit, tanpa merasa Gi-lim lantas menyuapi.
Setelah makan hampir separuh buah semangka itu, barulah Lenghou Tiong ingat bahwa Gi-lim sama sekali belum makan, segera ia berkata, "Kau sendiri pun silakan makan."
"Nanti, biar kau makan secukupnya dulu," sahut Gi-lim.
"Sudah, aku sudah cukup, silakan kau makan saja," kata Lenghou Tiong.
Sesungguhnya Gi-lim memang juga sangat haus, maka setelah menyuapi satu-dua potong lagi ke mulut Lenghou Tiong, kemudian ia pun masukkan sepotong semangka ke dalam mulut sendiri. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi memandang padanya, dengan malu ia lantas duduk membelakangi pemuda itu.
"Ah, sungguh sangat indah," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong memuji.
Gi-lim tambah malu, ia tidak tahu mengapa mendadak pemuda itu memuji keindahannya.
"Coba lihatlah, alangkah bagusnya!" terdengar Lenghou Tiong berkata pula.
Waktu Gi-lim sedikit menoleh, tertampak jari pemuda itu menuding ke arah barat. Ia coba memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya di ujung langit di kejauhan sana tertampak lengkung pelangi dengan tata warna yang sangat indah.
Baru sekarang Gi-lim mengetahui bahwa yang dimaksudkan "indah" oleh Lenghou Tiong kiranya adalah pelangi, jadi dirinya sendiri yang telah salah wesel. Kembali ia merasa malu lagi. Cuma rasa malu sekarang berbeda dengan rasa malu tadi yang mengandung girang-girang kikuk.
"Eh, coba kau dengarkan!" kata Lenghou Tiong pula.
Waktu Gi-lim mendengarkan dengan cermat, terdengar di arah pelangi sana sayup-sayup ada suara gemercaknya air. "Ya, seperti suara air terjun," katanya.
"Betul, sehabis hujan, di tanah pegunungan tentu banyak air terjun," kata Lenghou Tiong. "Marilah kita coba pergi ke sana untuk melihatnya."
Gi-lim tidak tega mengecewakan keinginannya, segera ia memayangnya bangun. Mendadak wajahnya bersemu merah pula. Ia menjadi ragu-ragu apakah dirinya sekarang masih harus memondongnya pula" Mengapa pemuda ini tiba-tiba ingin pergi melihat air terjun, jangan-jangan hanya sebagai alasan saja agar dirinya memondong pula" Demikian pikirnya.
Tengah ragu-ragu, tiba-tiba Lenghou Tiong menjemput sebatang kayu di sebelahnya dan digunakan sebagai tongkat, lalu berjalan perlahan-lahan ke depan. Nyata kembali Gi-lim salah wesel lagi. Cepat ia memburu maju untuk memegangi badan pemuda itu sambil mengomeli dirinya sendiri yang suka berpikir tak keruan, padahal Lenghou-toako adalah seorang kesatria sejati, mana boleh disamaratakan dengan kelakuan Dian Pek-kong yang jahat itu"
Lenghou Tiong benar-benar seorang pemuda yang kuat. Lukanya itu baru selang dua hari, tapi sekarang dia sudah dapat berjalan, walaupun langkahnya belum mantap, tapi cukup kuat untuk bertahan.
Tidak seberapa lama, Gi-lim mengajaknya mengaso dan duduk di atas sepotong batu besar. "Di sini juga boleh, apakah kau harus pergi melihat air terjun?" tanyanya.
"Dasar aku memang kepala batu, apa yang kupikir tentu harus kukerjakan," sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, pemandangan yang indah di sana itu mungkin akan membantu mempercepat sembuhnya lukamu," ujar Gi-lim.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sesudah melintasi sebuah tanjakan, terdengarlah suara gemerujuknya air terjun yang makin keras. Sesudah menyusur pula sebuah hutan akhirnya tertampaklah sebuah air terjun dengan airnya yang putih laksana dituang dari atas langit.
"Di puncak Giok-li-hong di atas Hoa-san kami juga terdapat sebuah air terjun yang hampir sama dengan air terjun ini," tutur Lenghou Tiong. "Di waktu iseng Sumoayku suka menyeret aku berlatih pedang di depan air terjun itu. Dengan nakal terkadang dia terus menerobos ke balik air terjun. Beberapa kali ia pun minta aku berlatih pedang dengan dia di bawah air terjun itu, katanya tenaga air yang dituang dari atas itu akan dapat memperkuat daya permainan pedang. Kami sering basah kuyup tersiram oleh air terjun, bahkan pernah hampir-hampir terperosok ke dalam kolam air yang dalam itu."
Mendengar pemuda itu menyinggung Sumoaynya, mendadak Gi-lim sadar sebabnya Lenghou Tiong berkeras ingin datang ke tempat air terjun itu rasanya bukanlah untuk menikmati pemandangannya, tapi adalah untuk mengenangkan sang Sumoay. Segera ia tanya, "Kau mempunyai berapa orang Sumoay?"
"Hoa-san-pay kami seluruhnya ada tujuh orang murid wanita," tutur Lenghou Tiong. "Leng-sian Sumoay adalah putri Suhu sendiri, enam Sumoay yang lain adalah murid ibu-guru kami."
"O, kiranya dia adalah putri Gak-supek. Tentu dia ... dia sangat baik padamu?"
Perlahan-lahan Lenghou Tiong berduduk, lalu menjawab, "Aku adalah anak yatim piatu, 13 tahun yang lalu aku telah diterima oleh Suhu yang berbudi. Tatkala itu Leng-sian Sumoay baru berumur lima tahun. Aku lebih tua daripada dia, sering kali aku membawanya pergi mencari buah-buahan dan menangkap kelinci. Jadi kami boleh dikata dibesarkan bersama. Suhu tidak punya anak laki-laki sehingga aku dianggap sebagai putranya sendiri dan Leng-sian Sumoay juga sama seperti adikku sendiri."
"O, kiranya demikian," kata Gi-lim. Selang sejenak, ia berkata pula, "Aku pun seorang anak yatim piatu, sejak kecil aku sudah menjadi Nikoh di bawah asuhan Suhu."
"Sayang, sayang! Jika kau tidak menjadi murid Ting-yat Suthay, tentu aku dapat mohon kepada ibu-guru agar suka menerima kau sebagai murid dan Leng-sian Sumoay tentu akan sangat suka pula kepadamu."
"Cuma sayang aku tidak punya rezeki sebesar itu. Namun aku pun merasa bahagia tinggal di Pek-hun-am, Suhu dan para Suci juga sangat baik padaku."
"O, ya, ya! Aku yang salah bicara. Ilmu pedang Ting-yat Susiok sangat lihai, Suhu sendiri sering memuji beliau. Masakah Hing-san-pay kalah daripada Hoa-san-pay kami?"
"Lenghou-toako," tiba-tiba Gi-lim bertanya, "Tempo hari kau bilang kepada Dian Pek-kong, katanya bertempur dengan berdiri Dian Pek-kong terhitung jago nomor 14 dan Gak-supek adalah nomor 6. Lalu Suhuku terhitung nomor berapa?"
"Ah, aku kan cuma menipu Dian Pek-kong saja, masakah kau percaya sungguh-sungguh?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang selalu mengalami perubahan, ada yang semakin maju, ada yang sudah mundur karena lanjut usianya, mana ada patokan yang menentukan siapa lebih tinggi dan siapa nomor sekian" Ilmu silat Dian Pek-kong itu memang tinggi, tapi belum tentu dia dapat dihitung sebagai jago nomor 14 di dunia ini. Aku hanya sengaja mengumpak dia agar dia senang."
"O, kiranya kau cuma membohongi dia saja," kata Gi-lim. Untuk sejenak ia termangu-mangu memandangi air terjun. Kemudian ia bertanya pula, "Lenghou-toako, apakah kau sering membohongi orang?"
"Haha, untuk itu kita harus melihat keadaan," sahut Lenghou Tiong tertawa. "Yang perlu dibohongi harus dibohongi, yang tidak boleh dibohongi jangan sekali-kali berbohong padanya. Seperti Suhu dan Subo (ibu-guru), biarpun mereka hendak memotong kepalaku juga aku juga tidak berani membohongi mereka."
"Dan bagaimana dengan Sute atau Sumoaymu" Misalnya ... misalnya kau punya Leng-sian Sumoay, apakah kau suka membohongi dia?"
"Ah, itu harus melihat keadaan dan mengenai soal apa" Di antara sesama saudara seperguruan kami sering saling berkelakar. Bergurau tanpa tipu-menipu dan bohong-membohongi tentu akan kurang menarik. Terhadap ... terhadap Leng-sian Sumoay, bila mengenai urusan penting, sudah tentu aku takkan membohongi dia. Tapi di waktu bermain dan bergurau sudah tentu tak terhindar dari tipu-menipu."
Selama Gi-lim tinggal di Pek-hun-am, karena harus taat kepada agama dan tata tertib perguruan, maka hidupnya sangat sederhana dan kaku, di antara para Sucinya juga tak pernah bersenda gurau, walaupun satu sama lain saling mencintai. Maka ia menjadi sangat tertarik dan merasa kagum terhadap sesama murid Hoa-san-pay yang gembira ria sebagaimana yang diceritakan Lenghou Tiong, sungguh ia ingin sekali dapat berkunjung ke Hoa-san dan bergaul dengan mereka. Tapi bila teringat kejadian yang menimpa dirinya sekarang ini, boleh jadi sesudah pulang sang guru takkan mengizinkan keluar kuil lagi, maka hasratnya ingin datang ke Hoa-san hanya menjadi lamunan belaka. Andaikan sudah bergaul, tapi kalau Lenghou-toako senantiasa cuma mendampingi dia punya Leng-sian Sumoay, lalu aku tertinggal sendirian dan siapa yang akan mengawani aku" Berpikir demikian, hatinya menjadi pilu dan hampir-hampir meneteskan air mata.
Rupanya Lenghou Tiong tidak memerhatikan perubahan Gi-lim itu, dia masih memandang ke arah air terjun dan berkata, "Aku dan Leng-sian Sumoay memang sedang meyakinkan semacam Kiam-hoat dengan bantuan tenaga air terjun yang mencurah dari atas itu. Kami anggap tenaga air itu sebagai tenaga dalam serangan musuh, bukan saja kami harus menghalaukan tenaga dalam musuh, bahkan kami harus memperalat kembali tenaga musuh untuk menghantam musuh sendiri. Ilmu pedang kami itu takkan kelihatan daya serangannya terhadap lawan yang berkepandaian rendah, sebaliknya akan besar manfaatnya bila menghadapi musuh yang bertenaga dalam yang mahakuat."
Melihat pemuda itu bercerita dengan gembira, Gi-lim tidak ingin membuatnya kecewa. Ia hanya tanya, "Dan kalian berhasil meyakinkan ilmu pedang itu belum?"
"Belum, belum!" sahut Lenghou Tiong. "Apa kau sangka gampang untuk menciptakan sesuatu ilmu pedang?"
"Apa namanya ilmu pedang kalian itu?" tanya Gi-lim perlahan.
"Ah, mestinya tak dapat diberi nama apa-apa, tapi Leng-sian Sumoay berkeras ingin memberikan suatu nama, dia menyebutnya 'Tiong-leng-kiam-hoat', yaitu diambil dari nama kami masing-masing satu huruf."
"Tiong-leng-kiam-hoat" Ehm, nama ini mengandung namamu dan namanya, bila diturunkan di kemudian hari setiap orang akan tahu ilmu pedang ini adalah ciptaan kalian ... kalian berdua."
"Ah, hanya gara-gara Leng-sian Sumoay saja, padahal dengan kemampuan kami masakan dapat menciptakan ilmu pedang apa segala" Hendaklah jangan sekali-kali kau katakan kepada orang lain supaya tidak dijadikan bahan lelucon orang Kangouw."
"Baiklah, tentu takkan kukatakan pada orang lain," sahut Gi-lim. Sesudah merandek sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tersenyum, "Tapi ilmu pedang ciptaanmu sudah lebih dulu diketahui oleh orang lain."
"Apa ya?" Lenghou Tiong terkesiap. "Apakah Leng-sian Sumoay pernah beri tahukan kepada orang lain?"
Gi-lim tertawa, katanya, "Kau sendirilah yang telah beri tahukan Dian Pek-kong. Bukankah kau mengatakan kau telah menciptakan semacam ilmu pedang penusuk lalat pada saat berjongkok di kakus?"
"Hahahaha! Aku sengaja membual saja padanya, tapi kau ternyata masih terus mengingat-ingatnya ... auuuuh!" demikian mendadak Lenghou Tiong mengerut kening, karena tertawa sehingga lukanya kesakitan.
"Ai, semuanya salahku sehingga membikin lukamu kesakitan lagi. Janganlah kau bicara pula, silakan mengaso saja secara tenang," seru Gi-lim gugup.
Lenghou Tiong lantas pejamkan mata. Tapi hanya sebentar saja kembali ia melek lagi. Katanya, "Tadinya kukira pemandangan di sini tentu sangat indah, tapi setiba di sini malahan tidak dapat menyaksikan pelangi yang bagus tadi."
"Pelangi mempunyai keindahan sebagai pelangi, air terjun juga mempunyai keindahan air terjun sendiri," ujar Gi-lim.
"Ya, betul juga ucapanmu. Di dunia ini mana ada sesuatu yang sempurna. Sesuatu yang dicari oleh seseorang dengan susah payah, sesudah diperoleh tentu akan merasakan kiranya juga cuma begini saja. Sebaliknya barang yang dimilikinya semula malah sudah dibuang olehnya."
"Ucapan ini terasa mengandung filsafat orang hidup, Lenghou-toako," kata Gi-lim dengan tertawa. "Sayang pengetahuanku terlalu cetek sehingga tidak paham artinya yang dalam."
"Ah, masakah aku tahu filsafat apa segala?" ujar Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Uh, alangkah lelahnya!"
Lalu perlahan-lahan ia pejamkan mata, lambat laun lantas terpulas.
Gi-lim duduk di sampingnya dan menghalaukan lalat atau serangga kecil yang mengganggunya. Kira-kira sejam lamanya, ia pikir sebentar bila Lenghou-toako sudah mendusin tentu akan merasa lapar. Di sini tiada yang dapat dimakan, biarlah kupergi memetik dua buah semangka pula yang dapat dibuat tangsel perut dan mencegah dahaga.
Maka dengan langkah cepat ia mendatangi sawah semangka pula, ia petik dua buah semangka dan buru-buru kembali untuk menjaga di samping Lenghou Tiong.
"Kukira kau sudah pulang," demikian tiba-tiba Lenghou Tiong membuka mata dengan tersenyum.
"Mengira aku pulang?" Gi-lim menegas heran.
"Ya, bukankah Suhu dan para Sucimu sedang mencari kau" Mereka tentu sangat mengkhawatirkan dirimu."
Sebenarnya Gi-lim tak teringat akan soal itu, demi mendengar ucapan Lenghou Tiong, ia menjadi gelisah juga. Pikirnya, "Bila ketemu Suhu besok, entah beliau akan marah padaku atau tidak?"
"Siausumoay, sungguh aku sangat berterima kasih, kau yang telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang aku sudah tidak berhalangan lagi, kau boleh lekas pulang saja," kata Lenghou Tiong pula.
"Tidak, mana boleh kutinggalkan kau sendiri di tanah pegunungan sepi begini?" ujar Gi-lim.
"Setiba di rumah Lau-susiok, diam-diam boleh kau beritakan kepada para Suteku dan tentu mereka akan datang kemari untuk menjaga diriku," kata Lenghou Tiong.
Perasaan Gi-lim menjadi pedih, ia pikir kiranya Lenghou-toako ingin kedatangan Sumoaynya, makanya aku diharapkan lekas pergi saja. Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran.
Lenghou Tiong menjadi heran, tanyanya cepat, "He, ken ... kenapa kau menangis" Apakah kau takut akan dimarahi Suhumu?"
Gi-lim menggeleng-geleng.
"Ah, barangkali kau khawatir kepergok Dian Pek-kong lagi" Jangan takut, selanjutnya dia pasti tidak berani merecoki kau lagi. Bila melihat kau, tentu dia sendiri yang akan lari terbirit-birit."
Tapi kembali Gi-lim geleng-geleng kepala.
Lenghou Tiong menjadi bingung. Tiba-tiba dilihatnya semangka yang baru dipetiknya itu, seketika ia sadar dan berkata pula, "O, tentu kau merasa berdosa karena kau telah melanggar larangan agama bagiku, bukan" Tapi itu adalah dosaku dan tiada sangkut pautnya dengan kau."
Namun Gi-lim tetap menggeleng-geleng saja, air matanya menetes semakin deras.
Melihat tangis Gi-lim yang semakin menjadi itu, Lenghou Tiong tambah tidak mengerti, katanya pula, "Baiklah, mungkin aku telah salah omong. Biarlah aku minta maaf padamu saja, Siausumoay, harap engkau jangan marah."
Perasaan Gi-lim rada lega mendengar ucapan yang halus itu. Tapi lantas terpikir olehnya, "Rupanya dia sudah biasa merendah diri dan minta maaf kepada Sumoaynya, maka sekarang sekenanya ia pun ucapkan padaku."
Mendadak ia menangis lebih sedih dan berkata sambil membanting kaki, "Aku ... aku toh bukan Sumoaymu ...." tapi lantas teringat olehnya sebagai seorang Nikoh adalah tidak pantas mengomel dengan kata-kata demikian itu. Seketika wajahnya menjadi merah dan lekas-lekas berpaling ke arah lain.
Sekilas Lenghou Tiong melihat muka Gi-lim berubah merah dengan air matanya masih meleleh, dalam sekejap tampaknya menjadi mirip butiran embun yang belum kering di atas kelopak bunga mawar di musim semi, cantiknya sukar dilukiskan.
Untuk sejenak Lenghou Tiong tertegun, ia merasa kecantikan Gi-lim ternyata tidak kalah daripada Sumoaynya, si Leng-sian. Katanya kemudian, "Usiamu jauh lebih muda daripadaku, sesama orang Ngo-gak-kiam-pay kita dengan sendirinya kau adalah Siausumoay. Adakah sesuatu kesalahanku sehingga membikin kau marah, maukah kau katakan padaku?"
"Kau tidak bersalah apa-apa," sahut Gi-lim. "Kutahu kau ingin aku lekas-lekas pergi dari sini agar tidak membikin muak padamu, supaya tidak membikin sial seperti pernah kau katakan 'asal melihat Nikoh, bila berjudi tentu kalah ....'" sampai di sini kembali ia menangis lagi.
Lenghou Tiong menjadi geli sendiri, pikirnya, "Kiranya dia merasa tersinggung karena ucapanku yang tak pantas di Cui-sian-lau itu. Ya, untuk ini aku memang harus minta maaf."
Segera ia pun berkata, "Ya, memang mulutku tidaklah bersih sehingga apa yang kukatakan di Cui-sian-lau tempo hari telah menyinggung kehormatan Hing-san-pay kalian. Aku pantas dihajar, pantas dipukul!"
Lalu ia angkat tangan dan menampar pipinya sendiri beberapa kali.
"Jangan, jangan kau tampar sendiri lagi, aku ... aku tidak marah padamu, aku hanya khawatir ... khawatir membikin sial padamu," cepat Gi-lim mencegah.
"Tidak, harus dihajar adat!" seru Lenghou Tiong dan "plak", kembali ia tampar pipi sendiri satu kali pula.
"Sudahlah, Lenghou-toako, aku tidak ... tidak marah lagi," kata Gi-lim gugup.
"Kau menyatakan tidak marah lagi?" Lenghou Tiong menegas.
Gi-lim manggut-manggut. "Tapi kau belum tertawa, terang kau masih marah," ujar Lenghou Tiong.
Terpaksa Gi-lim tertawa. Tapi mendadak teringat kepada nasibnya sendiri, hatinya menjadi pilu, tanpa merasa air matanya berlinang-linang lagi. Cepat ia berpaling ke arah lain.
Melihat Nikoh jelita itu masih menangis, mendadak Lenghou Tiong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Gi-lim berhenti menangis, tanyanya dengan suara lirih, "Ken ... kenapa engkau menghela napas?"
Diam-diam Lenghou Tiong geli. Ia pikir dasar nona cilik yang masih hijau sehingga gampang ditipu. Biasanya di kala dia bermain dengan Leng-sian, bila sang Sumoay mengambek dan tak mau gubris padanya, maka Lenghou Tiong lantas mencari akal untuk memancing anak dara itu membuka suara. Bila tetap tak digubris, ia lantas berdaya upaya dan berlagak sesuatu yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu sang Sumoay sehingga anak dara itu berbalik menanya lebih dulu padanya.
Selama hidup Gi-lim jarang bergaul dengan orang luar, tak pernah mengambek dan muring-muring, maka dengan gampang saja ia kena dipancing oleh Lenghou Tiong. Namun dengan sengaja Lenghou Tiong menghela napas pula dan berpaling ke arah lain tanpa menjawab.
"Apakah kau marah, Lenghou-toako?" tanya Gi-lim pula.
"Ah, tidak, aku tidak apa-apa," sahut Lenghou Tiong.
Melihat sikap Lenghou Tiong itu, Gi-lim menjadi gugup. Ia tidak tahu bahwa Lenghou Tiong hanya pura-pura saja dan di dalam perut pemuda itu sedang terpingkal-pingkal geli.
Segera Gi-lim bertanya pula, "Akulah yang salah sehingga kau memukuli dirimu sendiri, biarlah aku ... aku membayar kembali pukulanmu itu."
Habis berkata mendadak ia pun menampar pipinya sendiri.
Waktu ia akan menampar pula, cepat Lenghou Tiong bangun berduduk untuk memegang tangan Gi-lim. Tapi sekali bergerak, seketika ia merintih kesakitan.
"Ai, lekas berbaring, lekas! Jangan sampai lukamu pecah lagi," kata Gi-lim dengan khawatir sambil membantu merebahkan Lenghou Tiong, lalu ia menyesali dirinya sendiri, "Aku benar-benar sangat bodoh, berbuat segala apa selalu salah. Apakah ... apakah engkau masih kesakitan, Lenghou-toako?"
Tempat luka Lenghou Tiong itu memang terasa sakit, jika keadaan biasa tentu dia takkan mengaku. Sekarang mendadak timbul akalnya untuk memancing supaya Gi-lim yang menangis itu berubah menjadi tertawa. Maka sengaja ia mengernyit kening sambil merintih-rintih pula beberapa kali.
Keruan Gi-lim menjadi khawatir. "Apakah sangat sakit?" tanyanya sambil meraba jidat pemuda itu.
"Ya, sakit sekali," sahut Lenghou Tiong sambil pura-pura meringis. "Alangkah baiknya bila ... bila Laksute juga berada di sini."
"Ada apa" Dia punya obat?" tanya Gi-lim.
"Ya, obatnya adalah dia punya mulut," sahut Lenghou Tiong. "Dahulu bila aku terluka dan kesakitan, Lak-kau-ji selalu menghibur aku dengan macam-macam lelucon yang menggelikan, dengan demikian aku lantas lupa akan rasa sakit. Sayang dia tidak berada di sini. O, sakit ... sungguh sakit sekali!"
Gi-lim menjadi serbasusah. Selama berguru kepada Ting-yat Suthay, tugas yang dilakukannya setiap hari adalah sembahyang dan membaca kitab, semadi dan main pedang, selamanya juga jarang mengobrol, jangankan lagi bergurau dan tertawa. Sekarang Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji yang dikatakan pintar mendongeng dan melucu itu tidak berada di sini, bila dirinya yang harus melucu, wah, ini benar-benar mahasulit baginya.
Mendadak pikirannya tergerak, teringat sesuatu olehnya. Segera ia berkata, "Lenghou-toako, aku sih tidak bisa melucu, cuma aku pernah membaca suatu kitab yang isinya sangat menarik, nama kitab itu adalah 'kitab seratus dongeng'. Di dalamnya banyak cerita-cerita yang lucu."
"Baiklah, harap engkau menceritakan beberapa bagian yang lucu-lucu itu," pinta Lenghou Tiong yang memang sengaja memancing agar Nikoh jelita itu berbicara.
Untuk sejenak Gi-lim mengingat-ingat, lalu ia mulai bercerita dengan tersenyum. "Baiklah, lebih dulu aku akan bercerita tentang seorang gundul dan seorang petani. Si gundul itu adalah pembawaan, sejak lahir kepalanya sudah kelimis, jadi bukan dicukur seperti kami di kala menjadi Nikoh. Entah urusan apa si gundul telah cekcok dengan petani itu. Dengan marah petani itu telah mengetok kepala gundul dengan paculnya sehingga berdarah. Akan tetapi si gundul tidak melawan dan tidak menghindar, dia terima dipukul, bahkan tertawa malah. Orang lain merasa heran dan tanya dia mengapa tertawa malah. Si gundul menjawab, 'Petani itu adalah orang tolol, kepalaku yang gundul ini disangkanya sepotong batu, maka ia menggunakan paculnya untuk mengetok batu. Jika aku menghindar, bukankah akan membikin dia berubah menjadi pintar"'"
Sampai di sini Lenghou Tiong telah bergelak tertawa. Katanya, "Cerita bagus! Si gundul itu benar-benar sangat pintar, biarpun dipukul mampus juga dia takkan menghindar."
Melihat Lenghou Tiong tertawa senang, segera Gi-lim menyambung pula, "Sekarang akan kuceritakan pula tentang seorang raja dan seorang tabib. Watak raja itu tidak sabaran, dia mempunyai seorang putri kecil, tapi sangat ingin dibesarkan dengan cepat. Maka telah dipanggilnya seorang tabib dan diperintahkan memberi suatu resep obat yang dapat membuat sang putri segera menjadi besar. Tabib itu menyatakan ada obatnya, tapi untuk mengumpulkan bahan-bahan obat dan meraciknya diperlukan waktu yang lama, ia sanggup membawa sang putri ke rumah dan membesarkannya asalkan raja tidak mendesaknya agar resep obat itu harus lekas selesai. Raja menerima baik usul itu. Sang putri lantas dibawa pulang oleh si tabib dan setiap beberapa hari memberi laporan kepada raja bahwa obatnya sudah mulai dikumpulkan dan diracik. Selang 12 tahun kemudian, tabib memberi lapor bahwa obat mukjizat sudah jadi dan hari ini juga sudah diminumkan kepada sang putri. Segera sang putri dibawa menghadap raja. Sungguh senang raja tak terkatakan ketika melihat putrinya yang tadinya masih bayi sekarang sudah sedemikian besarnya. Ia memuji kepandaian tabib itu yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan baik, segera raja memberikan hadiah besar kepada sang tabib."
Kembali Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kau bilang raja itu tidak sabaran, padahal dia sudah menunggu 12 tahun lamanya. Bila aku menjadi tabib itu, cukup satu hari saja aku sudah dapat menjadikan putri bayi itu menjadi putri dewasa yang cantik jelita."
"Dengan cara bagaimana" Apakah engkau bisa menyulap?" tanya Gi-lim dengan mata membelalak lebar.
"Gampang sekali caranya, asalkan kau mau membantu," ujar Lenghou Tiong.
"Aku membantu?" Gi-lim menegas.
"Ya, segera aku membawa pulang putri bayi itu dan memanggil empat orang tukang menjahit ...."
"Tukang menjahit" Untuk apa?" Gi-lim bertambah heran.
"Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus bagimu. Besoknya pagi-pagi dengan kopiah keputrian berhias mutiara, berbaju sulam yang baru, dengan sepatu berbingkai batu permata, lalu akan kubawa engkau menghadap raja. Tentu raja akan sangat girang melihat putrinya yang cantik laksana bidadari hanya dalam semalam saja sudah berubah sedemikian besarnya sesudah makan obat dari tabib sakti Lenghou Tiong. Saking gembiranya beliau tentu tidak periksa lagi apakah putrinya itu tulen atau palsu dan pasti si tabib sakti Lenghou Tiong akan diberi anugerah besar."
Gi-lim tertawa geli selesai Lenghou Tiong bicara, saking gelinya ia sampai menungging dan memegangi perut sendiri. Selang sejenak barulah dia dapat bicara, "Kau memang jauh lebih cerdik daripada tabib dalam dongeng itu. Cuma sayang, wajahku sedemikian ... sedemikian jelek, sedikit pun tidak mirip seorang putri."
"Jika kau dianggap jelek, maka di dunia ini tidak ada wanita cantik lagi," ujar Lenghou Tiong. "Padahal sejak dulu sampai sekarang rasanya tiada seorang putri yang dapat membandingi kecantikanmu. Sungguh aku ...." mendadak ia merasa tidak pantas bicara demikian kepada seorang Nikoh muda belia yang suci bersih itu, padahal mengajaknya bersenda gurau saja sudah melanggar pantangan agama mereka, apalagi sekarang dirinya sembarangan omong. Maka ia urung meneruskan, ia pura-pura menguap mengantuk.
"Ah, engkau sudah lelah, Lenghou-toako," kata Gi-lim. "Silakan kau mengaso saja."
"Baiklah," kata Lenghou Tiong. "Dongenganmu ternyata sangat manjur, sekarang lukaku tidak sakit lagi."
Karena maksud tujuannya membikin Gi-lim bicara dan tertawa sudah tercapai, maka ia lantas pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga.
Saking isengnya menunggui Lenghou Tiong, ditambah suasana yang sunyi dengan angin sayup-sayup, Gi-lim menjadi lelah sendiri dan merasa mengantuk, akhirnya ia terpulas sambil berduduk.
Dalam mimpi ia merasa dirinya benar-benar telah memakai jubah putri raja yang mewah, dengan dituntun oleh seorang pemuda ganteng sebagai Lenghou Tiong mereka masuk ke sebuah istana yang besar dan megah. Mendadak muncul seorang Nikoh tua dengan pedang terhunus dan mata melotot merah, itulah Suhunya, Ting-yat Suthay. Saking takutnya cepat-cepat Gi-lim menarik lengan Lenghou Tiong untuk melarikan diri, tapi tarikannya telah mengenai tempat kosong, seketika suasana menjadi gelap gulita dan dirinya terjatuh. Saking kagetnya Gi-lim sampai berteriak-teriak, "Lenghou-toako!"
Tapi mendadak ia terjaga bangun dan ternyata hanya impian belaka. Dilihatnya Lenghou Tiong lagi memandang padanya dengan mata terbelalak lebar. Gi-lim jadi kikuk sendiri dengan wajah merah.
"Kau bermimpi?" tanya Lenghou Tiong.
Gi-lim merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas air muka Lenghou Tiong tertampak sangat aneh, seperti sedang menahan rasa sakit. Cepat ia tanya, "Apakah lukamu sangat kesakitan?"
"Ya, rada-rada sakit!" sahut Lenghou Tiong, namun suaranya kedengaran agak gemetar. Selang sejenak keringat pun merembes di dahinya. Terang sekali rasa sakitnya pasti tidak kepalang.
Tentu saja Gi-lim sangat khawatir. "Wah, bagaimana ini?" demikian ia menjadi kelabakan sendiri. Ia mengeluarkan saputangan untuk mengusap keringat Lenghou Tiong. Terasa dahi pemuda itu sangat panas sebagai dibakar.
Dari Suhunya, Gi-lim pernah mendengar bila seorang menjadi demam karena terluka senjata, maka keadaannya menjadi berbahaya. Saking cemasnya tanpa merasa Gi-lim terus sembahyang dan berdoa. Semula suaranya agak gemetar, tapi lambat laun perasaannya mulai tenang sehingga suara sembahyangnya kedengaran sangat nyaring dan jelas, penuh kepercayaan.
Semula Lenghou Tiong merasa geli melihat kelakuan Gi-lim itu. Tapi sesudah mengikuti doa khotbah yang khidmat dan mohon Buddha memberi berkah baginya itu, mau tak mau ia menjadi terharu dan mengembeng air mata.
Sejak kecil Lenghou Tiong sudah yatim piatu, walaupun Suhu dan Subo sangat baik padanya, namun dia sendiri kelewat nakal, maka dia lebih sering dihajar daripada mendapatkan belaian kasih sayang. Para Sutenya menghormatinya karena dia adalah Toasuheng. Walaupun Leng-sian sangat baik padanya, tapi tidak begitu memerhatikan dia seperti Gi-lim sekarang ini yang sudi menanggung segala penderitaan di dunia ini asalkan dia selamat dan hidup bahagia.
Sifat Lenghou Tiong sukalah bergurau, kecuali guru dan ibu-gurunya, tiada orang lain lagi yang diindahkan olehnya. Sekarang melihat Gi-lim bersembahyang sedemikian khidmat baginya, sungguh ia tidak tahu betapa terima kasihnya kepada Nikoh jelita itu.
Suara sembahyang Gi-lim itu makin lama makin merdu dan enak didengar, Lenghou Tiong merasa terharu dan terhibur pula. Tanpa merasa demamnya menjadi berkurang, akhirnya dia terpulas di tengah suara doa Gi-lim yang halus itu.
Jika suasana di tanah pegunungan itu aman tenteram, sebaliknya di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, di mana telah berkumpul berbagai jago silat dari berbagai aliran dan golongan sedang terjadi pertarungan sengit.
Sesudah Gak Put-kun menerima Lim Peng-ci sebagai muridnya, bersama anak muridnya mereka lantas menuju ke Heng-san.
Ketika mendapat kabar, Lau Cing-hong terkejut dan bergirang pula. Tak tersangka olehnya bahwa tokoh yang termasyhur di dunia persilatan sebagai "Kun-cu-kiam" Gak Put-kun itu juga berkunjung sendiri ke tempatnya. Bersama Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay, Ih Jong-hay dan lain-lain, cepat ia menyambut keluar dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih.
Gak Put-kun adalah seorang yang ramah tamah, dengan berseri-seri ia pun mengucapkan selamat kepada Lau Cing-hong. Lalu sang tamu disilakan masuk ke dalam rumah.
Sebagai orang yang berdosa, diam-diam Ih Jong-hay merasa tidak enak. Pikirnya, "Rasanya Lau Cing-hong takkan mendapat kehormatan sebesar ini sehingga ketua Hoa-san-pay sudi berkunjung padanya, tentu kedatangannya ini ditujukan kepadaku. Biarpun Ngo-gak-kiam-pay mereka berjumlah lebih banyak, tapi Jing-sia-pay kami juga bukan golongan yang gampang dihina. Bila Gak Put-kun berani mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, biarlah lebih dulu aku akan tanya dia perbuatan macam apa muridnya yang bernama Lenghou Tiong itu masuk rumah pelacuran dan main perempuan" Jika tiada persesuaian paham, kalau perlu biarlah main senjata saja."
Bab 21. Rahasia Lau Cing-hong Mengundurkan Diri dari Dunia Persilatan
Tak terduga, begitu bertemu, Gak Put-kun terus memberi salam padanya dan berkata, "Ih-koancu, sudah lama tak bertemu, tampaknya menjadi makin gagah. Kabarnya Ih-koancu sudah berhasil meyakinkan 'Ho-lui-kiu-siau-sin-kang' yang tiada taranya, sungguh harus diberi selamat dan dipuji."
Pendekar Jembel 9 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama