Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Koleksi Kang Zusi Kidung senja di mataram Cerita Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Sang Bagaskara mengundurkan diri
ke balik puncak bukit sebelah barat,
mengakhiri tugasnya sehari penuh di
bagian bumi sebelah sini dan mulai
menunaikan tugasnya di bagian bumi
sebalah sana. Surutnya sang raja
siang masih meninggalkan bekas
kebesarannya. Langit di barat
dibakarnya, menjadi hamparan merah
dihias awan putih di sana-sini, di
seling warna biru di antara sinar
redup keemasan. Senja di Pegunungan
Lawu amatlah indahnya, indah dan
agung, bukti kekuasaan, kebesaran
dan keagungan Sang Maha Pencipta.
Tiga ekor kerbau melangkah santai melintas padang rumput, ayem dan senang karena perut mereka kenyang, menuju pulang kandang. Perasaan mereka seolah hanyut oleh lengking suling yang ditiup anak laki-laki yang duduk di punggung kerbau terbesar yang berjalan di depan. Lengking yang lembut dengan lagu Dandanggula yang sederhana, namun suara itu menjadi suci karena menyatu dengan keadaan, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari alam di senja itu. Lengking suling dalam lagu Dandanggulo tanpa kata itu, membangkitkan perasaan trenyuh dan nglangut dalam hati para pendengarnya. Hati mengikuti irama tembang dan bersenandunglah mereka itu dalam tembang masing-masing, mengikuti irama suling, lagunya Dandanggula.
Koleksi Kang Zusi Suara suling terbawa angin, sayup-sayup terdengar oleh seorang dara yang sedang sibuk di dapur sebuah rumah terpencil di luar dusun Sintren.
Mendengar lengking suling itu, ia tersenyum dan sambil mencuci beras yang hendak di tanaknya, ia pun bersenandung dalam tembang Dandanggula, mengikuti irama suling.
"Sipat iman, mantu bilahi,
tegesipun pracaya mring Allah,
Mring Pangeran sejatine ya pangeran kang agung kang akarnya bumi dan langit
angganjar lawan niksa mring manungsa sagung langgeng tur murba misesa
Maha Suci angganjar paring rejeki,
aniksa angapura." "Weladalah! Sekarang sudah lewat maghrib, kok ngliwet sambil rengeng-rengeng. Apa engkau sudah sholat, cahayu?"
Dara yang menanak nasi, menembang dan melamun itu tadi terkejut ketika tiba-tiba ditegur ayahnya. Ia menoleh sambil tetap berjongkok menghadapi api kayu bakar yang berasap, memandang pria setengah tua itu dan berkata, lembut akan tetapi kenes.
Koleksi Kang Zusi "Aduh, bapa membikin kaget saja. Aku sudah sembahyang tadi, bapa." Ia melanjutkan pekerjaannya.
Sejenak pria berusia lima puluhan tahun itu mengamatinya, mengangguk-angguk dan tersenyum. Dapur itu sudah remang-remang, akan tetapi cahaya api menyinari muka si dara, membuat wajah itu nampak kemerahan seperti disepuh emas, dan rambut yang hitam panjang digelung sederhana, dengan sinom awut-awutan dan melingkar-lingkar di dahi, menjadi cantik jelia. Kakek itu menghela napas panjang penuh kebahaggaan dan batinnya mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberkahinya dengan seorang gadis seperti Mawarsih.
"Mawar, bagaimana engkau masih dapat kaget" Engkau memiliki aji kanuragan, digdaya dan pandai membela dan melindungi diri sendiri, engkau beriman, percaya kepada kekuasaan Allah, berarti engkau sudah kuat lahir batin. Kenapa mudah terkejut?"
"Aih, siapa yang tidak kaget" Aku sedang melamun, tiba-tiba saja bapa muncul dan menegur." gadis itu membela diri.
"Ha-ha-ha, kiranya tadi engkau sedang asyik. Tangan bekerja menanak nasi, mulut berdendang menembang Dandanggula, dan pikiran melamun entah melayang ke mana! Jangan membiasakan diri melamun, anakku yang manis, melamun itu membuka pintu masuknya setan. Hemm, agaknya engkau melamun karena peristiwa tiga hari yang lalu itu, bukan?"
Tangan itu berhenti menggerakkan irus mengaduk beras. Setelah menutupi kuali tempat menanak nasi, gadis itu menghadapi ayahnya yang sudah duduk di atas bangku bambu. Ia sendiri masih duduk berjongkok di atas dingklik (bangku pendek). Sepasang alis yang panjang hitam dan kecil melengkung itu berkerut. Mawarsih mengenang kembali peristiwa tiga hari yang lalu. Ketika itu, datang dua orang tamu yang sudah amat dikenalnya, karena mereka adalah paman gurunya, yang tinggal di kaki Gunung Lawu Koleksi Kang Zusi
sebelah timur. Ki Danusengoro adalah adik seperguruan Ki Sinduwening ayahnya, dan Ki Danusengoro mempunyai seorang murid pria bernama Brantoko. Kunjungan kedua orang yang sudah dikenalnya itu tentu saja diterima dengan gembira oleh Mawarsih dan ayahnya, disuguhi minuman dan jadah ketan yang kebetulan masih ada.
Ki Danusengoro berusia lima puluhan tahun, sebaya dengan Ki Sinduwening, bertubuh pendek gemuk, kumis dan jenggotnya jarang dan tubuhnya kacau, membuat wajahnya nampak aneh dan menyeramkan.
Muridnya, Brantoko adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang berwajah tampan, bertubuh tinggi besar dan dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tangguh dari gurunya sehingga di daerah Lawu dia terkenal sebagai pemuda yang digdaya. Akan tetapi, ada beberapa hal yang mendatangkan perasaan tidak suka dalam hati gadis itu terhadap saudara seperguruannya, yaitu pandang matanya yang penuh gairah kepadanya dan sikapnya yang tinggi hati dan mengagulkan keopandaian sendiri. Namun, perasaan ini dipendamnya dalam hati saja, dan ia memperlihatkan sikap gembira dan ramah ketika menyambut Ki Danusengoro dan Brantoko.
Akan tetapi setelah dua orang tamu itu makan dan minum sekedarnya dan saling tegur sapa menanyakan keselamatan masing-masing, Ki Danusengoro memberitahukan maksud kunjungannya yang amat mengejutkan hati Mawarsih, yaitu mereka datang untuk melamar! Ki Danusengoro meminang Mawarsih untuk dijodohkan dengan Brantoko!
Ki Sinduwening menyambut pinangan itu dengan sikap tenang, kemudian menjawab bahwa dia dan puterinya telah mengambil keputusan dan kesepakatan bahwa Mawarsih hanya mau diperisteri seorang perjaka dengan persyaratan bahwa perjaka itu mampu mengalahkannya, dan ayah atau walinya dapat mengalahkan Ki Sinduwening. Jawaban ini membuat Ki Danusengoro menjadi marah.
"Kakang Sinduwening!" kata Ki Danusengoro dengan kumis bergetar, Koleksi Kang Zusi
"Kakang anggap siapakah kami ini, maka kakang mengajukan syarat seperti itu" Aku adalah saudaramu tunggal guru, dan engkau sudah mengenal benar siapa aku. Brantoko ini adalah muridku yang telah mewarisi semua ilmu kepandaianku. Pinanganku bermaksud mengumpulkan balung pisah, agar ikatan persaudaraan antara kita semakin kuat. Kenapa kakang mengajukan syarat seperti itu" Apakah kakang Sinduwening tidak percaya kepadaku?"
"Demi Allah Yang Maha Mengetahui, adi Danusengoro, bukan aku tidak percaya kepadamu. Kami tidak memandang rendah kepadamu, dan kami berterima kasih atas kebaikan niatmu meminang Mawarsih. Akan tetapi, kami harus jujur terhadap keputusan kami sendiri. Siapapun dia yang datang meminang Mawarsih, harus memenuhi syarat itu. Kalau kami membebaskan adi Danusengoro dari syarat itu, bukankah itu berarti kami tidak jujur dan tidak adil terhadap orang-orang lain yang mungkin mempunyai niat yang sama terhadap Mawarsih?"
"Kakang Sinduwening, kita sama-sama murid Bapa Guru Sunan Gunung Jati! Beliau adalah bekas panglima besar yang amat terkenal, bahkan menjadi adipati yang menguasai seluruh daerah barat dari Banten sampai Cirebon. Namun, dengan kedudukan yang demikian tingginya, beliau tidak pernah congkak dan selalu mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana dan tidak tinggi hati. Sebagai seorang bangsawan tinggi dan guru besar yang pandai, beliau hidup dan wafat dalam keadaan yang sederhana. Akan tetapi mengapa engkau sekarang bersikap tinggi hati, kakang" Kebiasaan mengadakan sayembara pilih mantu adalah kebiasaan para puteri raja!
Engkau hanyalah seorang petani, sama dengan aku, kenapa mengadakan sayembara seperti ini" Begitu tinggi hati!"
"Adi Danusengoro, tenanglah dan larutkan amarahmu ke dalam keheningan pikiran. Yang mendorong atau mendasari keputusan kami untuk mengadakan syarat bagi perjodohan Mawarsih, sama sekali bukan kecongkakan. Kami tidak tinggi hati. Akan tetapi keputusan itu mempunyai dasar yang kuat, demi kebahagian Mawarsih di hari depan, dalam kehidupan rumah tangganya. Kedua persyaratan itu adalah bijaksana dan........"
Koleksi Kang Zusi "Bijaksana apa?" Ki Danusengoro memotong dengan berang. "Engkau mengharuskan ayah atau wali pelamar untuk menandingi kesaktianmu.
Bukankah itu merupakan suatu kesombongan untuk pamer kekuatan?"
"Tidak sama sekali, Adi Danusengoro. Syarat itu diajukan agar kami merasa tenang di kemudian hari. Kalau ayah atau wali pelamar seorang sakti mandraguna, maka kelak dia akan mampu melindungi anakku yang menjadi mantunya. Kemudian, mengapa calon suami Mawarsih harus dapat mengalahkannya" Hal ini mengandung banyak kebaikan. Pertama, calon suami itu seorang perjaka yang tangguh dan pantas disuwitani dan dijadikan pelindung anakku. Ke dua, memberi kesempatan kepada Mawarsih untuk melakukan pemilihan sendiri terhadap calon suaminya tanpa memaksanya. Kalau memang ia setuju menjadi isteri seorang perjaka, maka dalam pertandingan itu tentu ia akan mengalah! Sebaliknya kalau ia tidak setuju, ia akan melawan mati-matian. Dan aku sendiripun akan melawan mati-matian terhadap wali si pelamar kalau melihat anakku memperlihatkan ketidaksenangan hatinya terhadap pelamar. Nah, mengertikah engkau, Adi Danusengoro?"
Ki Danusengoro masih cemberut. "Akan tetapi yang melamar adalah aku, kakang Sinduwening! Aku, saudara seperguruanmu! Dan aku melamar untuk muridku, si Brantoko ini! Engkau dan puteramu sudah mengenal siapa kami!
Perlu apa diadakan pertandingan-pertandingan lagi" Lebih baik kalau kalian menyatakan secara terus terang, dapat menerima pinangan kami atau tidak. Kalau dapat, kami akan berbahagia sekali dan mengucap alhamdulillah, sebaliknya kalau pinangan kami ditolak, nyatakanlah terus terang apa sebab penolakan itu. Ini baru adil dan jujur namanya!"
"Adi Danusengoro yang baik, dalam hal lain kita memang sepatutnya bertenggang rasa. Akan tetapi, perjodohan menyangkut nasib kehidupan seseorang, maka seyogianya dipertimbangkan baik-baik dan dalam hal ini, aku menyerahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan, yaitu Mawarsih.
Ia sudah mengajukan persyaratan itu, maka keputusan itu tidak dapat diubah. Walau seorang pangeran putera raja sekalipun yang datang Koleksi Kang Zusi
meminang dia harus memenuhi persyaratan itu!"
"Babo-babo........., ucapanmu merupakan tantangan, kakang! Belum pernah selama ini ada orang berani menantang Ki Danusengoro! Akan tetapi, aku masih ingat bahwa kakang Sinduwening adalah saudara seperguruanku, maka aku memberi waktu selama sepekan kepadamu untuk mempertimbangkan pinanganku. Sepekan kemudian, kami akan datang lagi, kakang. Selamat tinggal dan terima kasih atas suguhannya." Dengan sikap kaku dan marah Ki Danusengoro meninggalkan rumah Ki Siduwening, diikuti muridnya.
Peristiwa itulah yang dimaksudkan oleh Ki Sinduwening ketika tiga hari kemudian dia bicara dengan puterinya di dalam dapur rumah mereka.
Teguran ayahnya yang mengingatkan akan peristiwa tiga hari yang lalu itu membuat Mawarsih melamun di atas dingkliknya. Ki Sinduwening hanya mengamati puterinya dengan senyum di bibir, membiarkan puterinya tenggelam sejenak ke dalam lamunannya. Kemudian dia berbatuk beberapa kali dan Mawarsih memperoleh kembali kesadarannya yang tadi hanyut dalam lamunan.
"Bapa, kalau aku mengenang peristiwa itu, entah mengapa, hatiku merasa amat tidak enak, seolah ada firasat akan datangnya hal yang amat tidak baik untuk kita, bapa."
"Angger Mawarsih, anakku yang manis. Kekhaatiran masuk menggangu batin melalui pikiran yang mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan. "Teguhkan imanmu kepada Tuhan dengan penuh penyerahan dan semua rasa khawatir dan takut akan sirna! Kekhawatiran timbul dari kuasa syaitan dan hanya kekuasaan Allah saja yang dapat melenyapkannya.
Kekuasaan Allah akan bengkit dan bekerja membimbing kita kalau kita menyerah dengan penuh ketawakalan, keikhlasan dan tanpa pamrih."
"Bapa, anakmu ini tidak pernah melupakan Allah dalam keadaan Koleksi Kang Zusi
bagaimanapun juga seperti yang bapa ajarkan. Aku tidak khawatir, bapa, hanya ada perasaan yang tidak enak."
"Aku mengerti, Mawar, karena aku pun merasakan itu. Kita harus waspada dan berjaga-jaga akan segala kemungkinan, didasari keimanan dan kepasrahan kepada Tuhan. Kalau Allah menghendaki, apapun dapat terjadi atas diri kita. Bukan berarti menyerah saja dan membiarkan kekuasaan Tuhan bekerja tanpa membantu dengan ikhtiar. Penyerahan tanpa iktiar merupakan pelanggaran terhadap kewajiban dalam hidup ini. Teruskan pekerjaanmu, nini, aku akan menanti sambil memuja ke hadirat Tuhan agar supaya kita selalu mendapat bimbingan dan perlindunganNya."
*** Malam itu bulan sedang purnama. Langit bersih dan bintang-bintang hanya nampak di sana-sini dengan sinar yang suram karena terang sinar bulan purnama yang keemasan. Cahaya bulan menyepuh segala sesuatu dipermukaan bumi dengan warna redup keemasan. Dingin dan lengang.
Angin semilir menggerakkan pucuk pohon-pohon cemara, seolah pohon-pohon itu menari lembut merayakan kemunculan sang candra purnama.
Bukit-bukit hanya nampak garisnya saja pada langit yang terang. Suara jangkrik dan belalang berlomba merdu dengan irama syahdu. Indah tak terlukiskan! Keindahan alam, kebesaran alam menjadi bukti dan saksi akan kekausaan Tuhan, dan keindahan muncul dan ada di mana-mana, disetiap saat, nampak dalam segumpal rumput, sejengkal lumut, sebongkah batu, sampai dalam hutan rimba raya, pegunungan, lautan dan angkasa yang amat luas. Kalau pikiran sedang hening, kekuasaan Tuhan yang menciptakan segala keindahan itu dapat terasa oleh panca indera, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan.
Akan tetapi, segala keindahan tidak akan nampak, tidak akan terasa apabila pikiran mengguncang batin. Bagaikan bulan purnama akan nampak bayangannya dengan jelas di permukaan air yang diam dan jernih, akan tetapi bilamana air terguncang dan keruh, bayangan bulan purnama takkan nampak sama sekali, bahkan yang ada hanya kekacauan.
Dua orang yang sedang duduk bersila di lereng bukit itupun sama sekali Koleksi Kang Zusi
tidak dapat melihat dan merasakan segala keindahan itu, bahkan sebaliknya, mereka sedang digetarkan nafsu yang menguasai diri. Mereka adalah Ki Danusengoro dan muridnya, Brantoko. Keduanya duduk bersila di atas tanah, bertelanjang dada, tidak bergerak seperti arca dan mata mereka terpejam. Apa yang dilakukan dua orang guru dan murid ini di larut malam yang dingin, di tempat terbuka dan tubuh bagian atas telanjang"
Sudah ada dua jam mereka duduk bersila seperti itu, tenggelam dalam samadhi, akan tetapi bukan mengheningkan pikiran, bahkan mengisi pikiran sepenuhnya dengan satu tujuan sehingga kalau mereka berdua sama sekali tidak dapat merasakan keindahan sekeliling mereka, hal itu karena batin mereka dipenuhi satu keinginan saja, yang dipusatkan untuk memperkuat tujuan mereka. Pada saat itu, hampir berbareng guru dan murid itu menggerak-gerakkan bibir, mengucapkan mantera dengan berbisik-bisik.
Brantoko membisikkan mantranya, kedua tangannya kini diletakkan telentang di atas sehelai ikat (kain pengikat kepala) wulung yang dibentangkan di depannya.
"Hong wilahing sing manggon ing iket wulung, kowe dak kongkon, jupuken ati lan sukmane Mawarsih, Lebokna iket wulungku, dak bundelne,
ora pati-pati ucul yen ora dak udari."
Pemuda itu memusatkan perhatiannya sampai nampak bayangan Mawarsih, lalu kedua tangannya membuat gerakan seperti menangkap bayangan itu, diletakkan ke tengah hamparan ikat kepala di depannya, lalu diikatkan ke empat ujung kain wulung itu.
Sementara itu, Ki Danusengoro sendiri juga berkemak-kemik membaca mantra dengan suara bisik-bisik pula.
Koleksi Kang Zusi "Hong wilahing niat ingsun matak ajiku
Wiruta Wiruna, gantewang ratuning sambang ngabai Wiruta, pathing sambang dewi Wiruna,
siro dan kongkon lebanana Ki Sinduwening,
pedhoten ontonge, irisen rempelone,
obrak-abriken jorang-jaringane jabang bayine si Sinduwening salah saking tindake dhewe, yu hu khak!"
Setelah selesai membaca mantra dan merasa yakin bahwa aji santet atau guna-guna mereka akan mengena, keduanya bangkit berdiri dan Ki Danusengoro memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikutinya. "Mari kita lihat hasil usaha kita."
Kedua orang guru dan murid itu mempergunakan ilmu kepandaian mereka, dengan cepat mereka berlari mendaki gunung di bawah sinar bulan purnama, menuju tempat tinggal Ki Sinduwening di luar dusun Sintren.
Bulan purnama sudah naik tinggi dan hawa udara pegunungan Lawu semakin dingin menyusup tulang.
Sementara itu, Mawarsih gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya. Ia merasa heran. Tidak biasanya, ia merasa gelisah seperti itu, tanpa sebab.
Malam itu adalah malam terakhir hari ke lima sejak Ki Danusengoro datang meminangnya. Besok mereka, guru dan murid itu tentu akan datang untuk minta keputusan. Ia turun dari pembaringan, membesarkan sumbu pelita dan keluar dari dalam kamarnya, membawa dian menuju ke kamar ayahnya.
Akan tetapi, pintu kamar ayahnya terbuka dan ketika ia menjenguk ke dalam kamar itu kosong. Ayahnya tidak berada di situ.
"Mawarsih, aku berada di sini. Kesinilah, nini." terdengar suara ayahnya Koleksi Kang Zusi
dari belakang, dari ruangan yang dipergunakan ayahnya sebagai sanggar pamujan, tempat mereka sholat.
Ketika Mawarsih memasuki ruangan itu, ternyata ayahnya telah duduk bersila di tempat itu. "Bapa, aku tidak dapat pulas, perasaanku gelisah........." kata dara itu lirih.
"Taruh saja dian itu di sudut, dan kau duduklah di sini, Mawar."
Mawarsih mentaati perintah ayahnya dan tak lama kemudian, iapun sudah duduk bersimpuh di dekat ayahnya. Ia sudah mengenal baik watak ayahnya.
Kalau ayahnya diam saja mendengar laporannya dan bersikap tegas seperti itu, berarti ayahnya sudah tahu akan keadaannya dan tentu sedang terjadi sesauatu yang gawat. Ia lalu mendengar suara ayahnya lirih berdoa menggunakan ayat Al Kursi. Tahulah ia bahwa jelas terjadi sesuatu yang gawat dan yang mengancam mereka karena doa itu merupakan doa penolak pengaruh jahat. Ia pun lalu berdhikir, menyebut berulang-ulang nama Gusti Allah dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa.
Kemudian, terdengar ayahnya bertembang!
"Ana kidung rumekso ing wengi,
teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tenung tan wani, miwah panggawe ala, gunaning wong luput,
geni atemahan tirto, maling adoh ton ana ngarah mring kami,
guna duduk pan sirna."
Koleksi Kang Zusi Mawarsih masih melanjutkan dhikir di dalam batin. Suara ayahnya menembang kidung Dandanggula itu merupakan kidung penolak bala dan suara ayahnya memang merdu. Kidung ini mendatangkan perasaan tenang tenteram dalam hatinya dan ia pun makin tenggelam dalam penyerahannya kepada kekuasaan Gusti Yang Maha Agung.
Di dalam dunia ini berkeliaran banyak roh-roh penggoda manusia, daya-daya rendah yang selalu menyeret manusia untuk menjadi hambanya, melakukan segala macam bentuk perbuatan yang jahat dan merusak. Sukar bagi manusia, dengan kekuatan sendiri, untuk menanggulangi dan mengatasi pengaruh daya rendah yang dapat berbentuk ilmu sihir, ilmu hitam, tenung, teluh, santet atau guna-guna ini. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menolak semua kekuatan syaitan dan iblis itu, dan kekuasaan Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang dengan tulus ikhlas, dengan tawakal, menyerah kepadaNya. Tanpa iman dan pangeran yang mutlak kepada Tuhan, betapapun pandainya seorang manusia dia akan mudah menjadi permainan nafsu daya rendah, mudah terpengaruh oleh kekuasaan syaitan.
Kokok ayam jantan menyambut datangnya fajar. Fajar menyingsing di ufuk timur. Sang Surya muncul dari balik lengkung gunung, bagaikan Raja yang menduduki singgasana, didahului cahaya keemasan yang amat cerah.
Terang menggantikan tugas gelap. Burung-burung berkicau dan beterbangan. Kecerahan cuaca mendatangkan kecerahan pula di hati Mawarsih yang sepagi itu sudah sibuk di dapur, memasak air untuk membuatkan minuman ayahnya. Lenyaplah semua sisa keseraman dan kerisauan yang datang bersama malam gelap, terhapus oleh cahaya matahari pagi, Ki Sinduwening juga sudah berada di luar rumah, di pekarangan depan, duduk di atas sebuah bangku bambu, menghirup udara pagi yang sejuk dan jernih. Seperti biasa, kakek ini duduk menikmati keindahan pagi setelah melakukan sholat subuh. Biarpun dia dan Mawarsih tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir janji Ki Danusengoro dan muridnya untuk datang menagih jawaban yang pasti, namun ayah dan anak ini bersikap tenang saja. Ki Sinduwening tidak memberitahu kepada puterinya akan hal yang diduganya, yaitu bahwa semalam ada kuasa-kuasa hitam yang menyerang mereka berdua, namun berkat kewaspadaan mereka dan penyerahan mereka disertai iman yang sepenuhnya kepada Tuhan, Koleksi Kang Zusi
kekuasaan gelap itupun dapat mereka hindarkan. Dan dia menduga bahwa pengirim serangan gelap itu tentulah Ki Danusengoro, karena dia tahu bahwa adik seperguruannya itu mempelajari ilmu-ilmu sesat dari daerah Ponorogo. Karena dia maklum bahwa orang yang telah membiarkan dirinya terseret ke dalam ilmu sesat tidak segan-segan melakukan perbuatan curang, maka pada hari terakhir itu dia sengaja berjaga di luar pondok agar jangan terjadi penyerangan gelap yang akan membahayakan mereka, terutama sekali puterinya yang sudah sibuk di dapur.
Apa yang dikhawatirkannya memang terjadilah. Belum juga matahari naik tinggi, Ki Danusengoro dan muridnya, Brantoko, telah muncul dan memasuki pekarangan rumah Ki Sinduwening. Guru dan murid ini nampak berang dan penasaran sekali melihat Ki Sinduwening duduk dengan santai saja, dalam keadaan sehat dan berwajah cerah seolah-olah semalam tidak pernah terjadi sesuatu! Dan pada saat itu, muncul pula dalam pondok Mawarsih yang membawa minuman hangat untuk ayahnya. Gadis itupun nampak segar dan sehat, sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang sedang dimabok asmara karena pengaruh guna-guna! Tahulah Ki Danusengoro dan Brantoko bahwa semua usaha mereka semalam sia-sia belaka. Mereka telah gagal, tidak berhasil, bahkan tidak memperlihatkan bekas apapun.
"Selamat pagi, adi Danu. Sepagi ini andika sudah datang bersama muridmu.
Kalian masuklah dan mari kita sarapan seadanya. Mawar, siapakah sarapan untuk pamanmu Danusengoro dan Brantoko." Ki Sinduwening menyambut dengan ramah.
Akan tetapi Ki Danusengoro yang diam-diam merasa rikuh dan malu mengingat akan ulahnya semalam, berkata dengan suara kaku, "Kakang Sinduwening. Kedatangan kami sepagi ini bukan untuk sarapan. Sarapan dan ramah tamah dapat dilakukan nanti setelah urusan di antara kita selesai.
Kami berkunjung untuk mendapatkan kepastian jawabanmu."
Ki Sinduwening tersenyum tenang. Dia sudah dapat menduga bahwa Koleksi Kang Zusi
saudara seperguruannya ini tentu akan memaksakan kehendaknya, maka dengan lembut diapun berkata, "Adi Danusengoro, jawaban kami tidak akan berubah. Anakku Mawarsih hanya akan berjodoh dengan orang yang memenuhi persyaratan kami seperti yang sudah kuceritakan kepadamu."
Ki Danusengoro yang tadi sudah duduk di bangku bambu, kini bangkit berdiri dan matanya terbelalak marah memandang kepada tuan rumah yang masih tetap duduk tenang. "Kakang Sindu! Apakah benar-benar engkau ingin membikin putus tali persaudaraan kita?"
"Tidak ada yang membikin putus, kecuali kalau andika sendiri yang menghendaki, adi Danu. Tali persaudaraan bukan hanya ada karena orang berbesan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan persyaratan kami. Siapapun yang datang meminang Mawarsih, harus melalui persyaratan itu."
"Babo-babo, andika benar menantang kami, kakang Sindu" Padahal maksudku hanya untuk mendekatkan persaudaraan. Sekarang begini saja, soal perjodohan kita bicarakan kelak saja kalau pikiranmu lebih jernih.
Sekarang aku menawarkan kerja sama kepadamu, kakang Sindu."
Sinduwening mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik.
"Adi Danusengoro, apa maksudmu" Katakanlah, kerja sama yang bagaimana kautawarkan itu?"
"Adipati Ponorogo waktu ini amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai, dan aku sendiripun sudah membantunya. Beliau mengharapkan agar kakang Sinduwening suka membantu kadipaten Ponorogo. Nah, dengan demikian, kita dapat bekerja sama, kakang, dan berarti persaudaran kita semakin dekat walaupun urusan pinangan kami boleh ditunda dulu dan akan kami ajukan pada waktunya yang tepat kelak."
Koleksi Kang Zusi Wajah Ki Sinduwening menjadi kemerahan. Kumisnya tergetar dan ini menandakan bahwa dia marah. Suaranya terdengar lantang dan tegas ketika dia menjawab. "Adi Danusengoro! Penawaran macam apakah ini"
Engkau membujuk aku untuk membantu orang yang mempunyai niat memberontak kepada Mataram" Adi Danu, tentu andika sudah mengenal kakang seperguruanku ini! Aku adalah kawula Mataram yang setia. Bahkan andika sendiripun bersama aku dahulu menjadi perajurit yang setia, membantu Kanjeng Sunan ketika beliau masih menjadi adipati Mataram berjuluk Panembahan Senopati, ikut pula menyerbu Pajang dan membantu gerakan pasukan Mataram yang menyerbu ke Demak. Akan tetapi kenapa sekarang, setelah kita mengundurkan diri dan sudah mulai tua, andika malah membujuk aku untuk membantu kaum pemberontak?"
"Ha-ha-ha-ha, kakang Sinduwening, bualanmu itu hanya dapat membohongi anak kecil saja. Andika bicara tentang pemberontak dan pengkhianat.
Siapa sebenarnya yang pemberontak dan pengkhianat" Ingatlah, Kakang.
Mataram dahulupun merupakan bagian dari Pajang, Pangeran Sutawijaya yang kemudian berjuluk Panembahan Senopati menjadi adipati di Mataram, kemudian dia menyerang Pajang dan bahkan membunuh Sultan Adiwijaya yang menjadi raja di Pajang. Bukankah dia yang mengkhianati Pajang dan memberontak" Aku dahulu memang membantu Mataram karena terbujuk olehmu dan tidak ada pilihan lain bagiku. Akan tetapi sekarang aku tinggal di daerah kadipaten Ponorogo. Kami sedang membantu persiapan untuk melawan Mataram yang angkara murka hendak menaklukkan seluruh raja muda di Jawa dwipa."
"Adi Danusengoro, sadarilah keadaan baik-baik. Kalau kini Sunan Mataram hendak menyatukan seluruh kadipaten di Jawa-dwipa, hal itu adalah karena kita harus menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Belanda yang semakin kuat di Jayakarta. Tanpa adanya persatuan, maka akan selalu terjadi persaingan dan pertengkaran, bahkan pertempuran di antara kadipaten-kadipaten yang akhirnya hanya akan melemahkan bangsa sendiri."
"Huhh, itu hanya alasan saja! Kita berdua dahulu memang menjadi perajurit setia dari Panembahan Senopati. Akan tetapi beliau telah wafat Koleksi Kang Zusi
dan kini aku tidak perlu lagi setia kepada sunan yang baru. Pangeran Mas Jolang hanya seorang yang tamak. Kadipaten Ponorogo berhak untuk berdiri sendiri. Marilah, kakang, sekali lagi kuminta agar engkau membantu kami, dan akan kumintakan kedudukan yang patut untukmu di Ponorogo."
"Semoga Allah mengampunimu, adi Danu!" Kita adalah orang-orang tua yang seyogyanya mulai mesuraga dan mesubrata (mengendalikan raga menaklukan nafsu), bertaubat kepada Gusti Allah dan tidak menuruti berkobarnya api hawa nafsu. Bahkan Matarampun kini tidak kubantu, bagaimana andika dapat mengharapkan aku membantu Ponorogo" Sudahlah, adi Danu, semua kata-katamu itu kuanggap seperti angin lalu saja dan tidak perlu kaulanjutkan. Aku tidak ingin mendengar lagi!"
Danusengoro ang sudah menjadi marah itu mengepal tinju dan dia membentak dengan suara kasar, "Babo-babo, Sinduwening! Jawabanmu memerahkan telinga! Kalau begitu, sekarang juga aku dan Brantoko akan memasuki sayembara. Bersiaplah andika dan anak andika!"
Sejak tadi Mawarsih hanya mendengarkan saja. Akan tetapi semakin lama, semakin panas rasa perutnya dan kini ia sudah menalikan ujung kainnya ke belakang pinggang dan ia menghampiri ayahnya.
"Kenapa bapa bersabar untuk banyak cakap lagi" Agaknya paman Danusengoro memang hendak mancari keributan. Mari kita tandangi mereka!" Gadis ini sudah menghadapi Brantoko dengan sikap menantang.
"Seorang ksatria meminang dan memenuhi syarat dengan sikap ksatria, tidak seperti kalian ini yang bersikap seperti raksasa atau setan brekasakan yang hendak memaksakan kehendak sendiri."
"Nimas Mawarsih!" kata Brantoko yang baru sekarang bicara, suaranya lembut disertai senyum memikat pada wajahnya yang tampan. "Sejak Koleksi Kang Zusi
andika masih remaja, aku sudah tergila-gila dan jatuh cinta padamu, manis.
Sekarang bapa guru dan aku datang meminang, maksudnya secara baik-baik bukankah cintaku padamu sudah merupakan jaminan yang cukup" Akan tetapi, kalian menghendaki kami memasuki sayembara mengadu kepandaiaan. Aku hanya menyayangkan kalau sampai kulitmu yang halus mulus itu lecet, adindaku, dan rambutmu yang halus panjang itu akan putus."
"Cerewet" Tak perlu merayu, majulah kalau memang engkau seorang ksatria yang digdaya, bukan seorang pemuda ceriwis yang pengecut!"
Mawarsih sudah siap siaga dan memasang kuda-kuda. Kaki bersilang tumit diangkat, kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri dengan tangan tengadah, kepala menoleh ke arah lawan, kuda-kuda ini nampak indah dan juga terbuka, seperti memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang. Melihat ini, Brantoko yang memang berwatak tinggi hati itu tersenyum.
"Bagus, Mawarsih indah sekali tarianmu, itu!" Akan tetapi sebelum habis kata terakhir diucapkan, dia sudah menubruk. Cara ini amat curang dan kedua tangannya menuju ke arah dada Mawarsih! Bukan hanya curang akan tetapi juga jelas mengandung maksud yang tidak sopan terhadap lawan seorang gadis.
Namun dara itu membuat gerakan dengan kakinya. Tubuhnya mengelak turun merendah dan memutar sehingga terkaman lawan luput. Lalu sambil memutar tubuhnya, kaki kanannya menyambar ke arah lambung lawan.
Brantoko adalah seorang murid kesayangan Ki Danusengoro, tentu saja sudah memiliki ketangkasan dan diapun melihat sambaran kaki itu, tidak mengelak melainkan mencoba untuk menangkap betis yang memandi bunting dan berkulit kuning mulus itu. Cepat sekali tangan itu menyambar dari telapak tangan itu nampak uap mengepul. Uap putih! Kiranya dara perkasa ini maklum akan ketangguhan lawan, sudah mengeluarkan Aji Nirada Seta (Awan Putih), semacam ilmu pukulan yang mengandung tenaga sakti sehingga kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih! Melihat Koleksi Kang Zusi
ini Brantoko terkejut, Wataknya yang mata keranjang membuat dia terpesona oleh kecantikan dara yang menjadi lawannya membuat dia hampir lupa bahwa yang dilawannya adalah puteri Ki Sinduwening yang sakti! Melihat sambaran tangan kiri itu, dia terkejut dan teringat betapa bahayanya tamparan itu, maka cepat diapun menangkis.
"Plakkk!!" Keduanya terdorong dua langkah ke belakang dan kini Brantoko menjadi waspada dan hati-hati karena baru dalam hal mengadu tenaga saja, dia tidak dapat memastikan bahwa dara itu kalah kuat olehnya.
Diapun tidak diberi kesempatan untuk banyak berpikir dan terlalu lama tertegun karena dara itu sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang cepat dan dahsyat, diseling tendangan kaki yang juga berbahaya sekali bagi lawan. Terjadilah pertandingan yang seru di antara dara dan pemuda itu dan memang tingkat kepandaian mereka seimbang, apa lagi mereka memang memiliki dasar dari satu sumber, maka sebagian besar serangan lawan dapat dikenal oleh masing-masing.
Sementara itu, Ki Danusengoro juga sudah mulai menyerang Ki Sinduwening dengan dahsyatnya. Gerakan Ki Danusengoro amat hebat, cepat dan bertenaga, dan diberengi teriakan-teriakan yang mirip gerengan atau aum seekor singa marah. Teriakan itu meng- getarkan tanah dan tentu saja dimasudkan untuk mempengaruhi perasaan lawan. Namun, Ki Sinduwening tetap tenang saja dan dia melayani semua serangan saudara seperguruan itu dengan memainkan Aji Hasta Legawa yang cepat dan juga amat tangguh. Aji ini dipelajarinya dari mendiang Sunan Gunung Jati dan tentu saja Ki Danusengoro mengenal ilmu ini yang juga dikuasainya. Dia sengaja mempergunakan Aji Singa Dibya (Singa Sakti), semacam gerak silat yang dipelajarinya dari para datuk di Ponorogo agar lawan tidak mengenal ilmu itu. Akan tetapi, diapun maklum bahwa Ki Sinduwening telah memiliki tubuh yang kebal, gerakan yang amat cekatan dan juga ketenangannya membuat dia mampu menghadapi serangan yang betapa dahsyatpun. Bahkan dalam hal tenaga sakti, Ki Danusengoro tidak mampu menandingi kakak seperguruannya itu.
Bukan hanya Ki Danusengoro saja yang terdesak oleh kakak Koleksi Kang Zusi
seperguruannya, juga muridnya, Brantoko, mulai terdesak oleh tamparan-tamparan sakti yang dilakukan Mawarsih. Hal ini dapat terjadi karena pemuda itu tidak ingin melukai dara yang membuatnya tergila-gila. Dia hanya berusaha mengalahkan atau kalau mungkin menangkap, meringkus dara itu, sebaliknya Mawarsih menyerang dengan sungguh-sungguh karena dara ini memang tidak sudi menjadi jodoh pemuda itu. Demikian pula Ki Senduwening. Dia tahu bahwa puterinya tidak suka menerima pinangan Brantoko, maka tentu saja diapun harus mendukung dan membela Mawarsih. Dia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membendung semua serangan Ki Danusengoro, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya, membuat adik seperguruannya itu terdesak dan beberapa kali terhuyung ke belakang.
Ketika untuk ke sekian kalinya Ki Danusengoro terhuyung ke belakang, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya teriakan ini merupakan isarat karena kini di balik semak yang berada di samping pondok, bermunculan enam orang berpakaian serba hitam dan bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang sekepal sebelah. Mereka semua menggunakan senjata sabuk lawe yang panjang dan yang menjadi ikat pinggang mereka. Mereka memutar-mutar kolor lawe itu sambil mengeluarkan suara gerengan dan seorang di antara mereka membantu Brantoko mengeroyok Mawarsih, sedangkan lima orang lain membantu Ki Danusengoro mengeroyok Ki Sinduwening!
"Danusengoro, apa yang kaulakukan ini!" bentak Ki Sinduwening dengan marah sambil melompat ke belakang, mendekati puterinya yang juga melompat ke belakang. Ayah dan anak itu hendak saling melindungi ketika melihat betapa dua orang lawannya memanggil enam orang kawan mereka.
Dari penampilan mereka, Ki Sinduwening dapat menduga bahwa mereka adalah jagoan-jagoan Ponorogo yang disebut warok.
Ki Danusengoro tertawa. "Ha-ha-ha, kakang Sinduwening. Lebih baik andika dan puteri andika menyerah, kuhadapkan kepada Sang Adipati di Ponorogo!"
Koleksi Kang Zusi "Bedebah, engkau manusia licik!" bentak Ki Sinduwening. "Mulai saat ini, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Aku adalah kawula Mataram dan aku tidak sudi menyerah kepada pemberontak Ponorogo!"
"Keparat! Tangkap mereka hidup-hidup!" bentak Ki Danusengoro sambil menghunus kerisnya. Si pendek gendut ini mempunyai sebatang keris yang ampuh, yang diberi nama Ki Margapati (Jalan Maut). Empat orang warok membantunya mengepung Ki Sinduwening, sedangkan dua orang warok lainnya membantu Brantoko mengepung Mawarsih. Mereka berenam itu memutar-mutar kolor lawe putih yang nampak kuat dan menyeramkan itu.
Bratoko sendiri tidak menggunakan senjata, dan bahkan dia berseru kapada para warok agar jangan sampai membuat kulit yang putih kuning mulus itu lecet!
Dengan kemarahan yang ditahan-tahan, Ki Sinduwening melolos senjatanya, yaitu sebatang pecut yang tadinya dililitkan di pinggang sebagai sabuk, sedangkan Mawarsih juga melolos kembennya, yaitu kemben merah sepanjang satu setengah meter yang tadinya melilit pinggangnya yang ramping, menutupi kemben hitam. Ia memegang kemben dengan kedua tangan siap melawan pengeroyokkan musuh, dan seperti juga ayahnya, ia tidak mau menjauhkan diri dari ayahnya sehingga mereka tidak akan diserang dari belakang. Ayah dan anak ini berdiri saling membelakangi sehingga mereka masing-masing hanya menghadapi kepungan setengah lingkaran di depan dan dan kanan kiri saja.
"Serbu! Tangkap!!" Ki Danusengoro kembali memberi aba-aba dan mereka mulai bergerak menyerang Ki Sinduwening dan Mawarsih. Ayah dan anak inipun cepat menggerakkan senjata di tangan mereka. Terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil ketika pecut di tangan Ki Sinduwening menyambar-nyambar, menangkis dan mambagi-bagi serangan kepada para pengeroyoknya. Mawarsih juga tidak tinggal diam. Ia sudah memutar kemben merah itu sehingga nampak gulungan sinar merah yang membentuk perisai yang melindungi dirinya. Betapapun juga, karena mereka berdua dikeroyok delapan orang, sedangkan para warok itupun rata-rata merupakan orang-orang yang tangguh, sebentar saja ayah dan anak ini Koleksi Kang Zusi
sudah didesak hebat dan bahkan Ki Sinduwening sudah terkena hantaman ujung kolor lawe pada paha kirinya, membuat paha kiri terasa nyeri dan gerakannya menjadi agak lambat.
Pada saat yang amat gawat bagi Mawarsih dan ayahnya, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan tiga belas orang penunggang kuda tiba di dekat pekarangan yang menjadi medan pertempuran itu. Mereka berloncatan turun dan melihat seorang dara dan seorang pria setengah tua dikeroyok delapan orang yang sudah mendesak mereka, pria muda yang memimpin rombongan itu berseru nyaring.
"Hentikan perkelahian!"
Dia seorang pemuda yang dari pakaiannya mudah diketahui bahwa dia seorang pemuda bangsawan, sedangkan dua belas orang pria yang lain adalah perajurit pengawal. Agaknya mereka sedang berburu karena nampak ada beberapa ekor menjangan mati yang melintang di atas punggung kuda beberapa orang di antara para perajurit. Pemuda bangsawan itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tegap, berkulit kuning dan wajahnya tampan dan anggun. Ketika melihat seruannya tidak diperdulikan delapan orang pengeroyok itu, dia mengerutkan alisnya dan meloncat turun dari atas kudanya, memberi isyarat kepada perajurit pengawal untuk turun pula dari kuda mereka. Hanya dua orang perajurit yang tidak meninggalkan kuda, yaitu mereka yang membawa hasil buruan.
"Hentikan pengeroyokan ini atau kami akan turun tangan!" kembali pemuda bangsawan itu berseru dengan suara nyaring. Agaknya para warok itu mengenal pakaian perajurit Mataram dan mereka nampak gelisah, akan tetapi Ki Danusengoro yang sudah hampir berhasil menangkap Ki Sinduwening dan Mawarsih, mendesak mereka dengan bentakan.
"Teruskan, tangkap mereka!"
Koleksi Kang Zusi "Melihat ini, pemuda itu memberi isyarat dan sepuluh orang perajurit segera menyerbu ke dalam medan pertempuran. Pemuda bangsawan itu sendiri sudah menerjang ke arah Brantoko yang tadinya sudah hampir dapat menangkap Mawarsih.
"Tak tahu malu, banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita!" bentak pemuda itu dan tangan kirinya menampar dari samping Brantoko yang juga marah sekali malihat ada orang luar mencampuri urusannya, membalik, mengerahkan tenaga dan manangkis dengan kedua tangannya yang nampak kemerahan. Pemuda ini memang mengerahkan Aji Hasta Rudiro (Tangan Darah) ketika melawan Mawarsih, untuk mengimbangi Aji Awan Putih dari dara itu.
"Desss...........!!" Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, Brantoko terjungkal! Tentu saja dia terkejut setengah mati. Tadinya dia mengharapkan tangkisan itu akan mematahkan lengan si pemuda usil dan membuat orang-orang itu mundur ketakutan. Siapa kira, pemuda itu memiliki tenaga yang hebat sehingga kalau pertemuan lengan itu membuat si pemuda hanya melangkah mundur dengan kaget, dia sendiri sampai terpelanting dan terjungkal!
Melihat ini Ki Danusengoro terkejut juga dan cepat meloncat ke samping, menyambar lengan muridnya dan melarikan diri! Enam orang warok itupun tentu saja menjadi ketakutan dan setelah menerima beberapa kali pukulan pada tubuh kebal mereka, enam orang yang bertubuh tinggi besar itu berloncatan dan mengejar guru dan murid yang telah melarikan diri ke jurusan timur itu.
Karena tidak mengenal mereka semua, tidak tahu pula urusan yang menyebabkan terjadinya pengeroyokan tadi, pemuda itu melarang para perajurit pengawal malakukan pengejaran. Dia lalu mengahampiri Ki Sinduwening yang merangkul puterinya.
Koleksi Kang Zusi "Bapa, engkau terluka! Bagaimana rasanya pahamu, bapa" Parahkah?"
tanya Mawarsih sambil memandang ke arah paha kiri ayahnya yang nampak biru dan tadi dia melihat ayahnya agak terpincang. Ki Sinduwening mengelus paha kirinya dan tersenyum.
"Tidak apa-apa. Mari kita berterima kasih kepada penolong kita."
Pemuda itu berdiri di depan mereka dan kini sinar matanya ditujukan kepada ayah dan anak itu penuh kagum. Pria tua yang berpakaian serba hitam seperti petani sederhana itu sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang sakti. Akan tetapi tadi dia malihat betapa hanya dengan senjata pecut, orang tua itu dengan gagahnya mampu menandingi pengeroyokan para warok yang jelas amat tangguh itu. Dan yang lebih mengagumkan hatinya adalah gadis itu. Demikian muda, baru belasan tahun, baru menjelang dewasa, dan cantik jelita tidak kalah dibandingkan puteri-puteri istana, akan tetapi tadipun dengan gagah perkasa mengamuk dan melawan pengeroyokkan orang-orang yang tangguh dengan senjata kemben merah!
Sebagai seorang pemuda bangsawan yang sudah berpengalaman, tahulah pemuda itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pria yang sakti mandraguna dan puterinya yang juga merupakan seorang dara perkasa.
Diapun tidak segan-segan untuk memberi hormat kepada petani setengah tua itu setelah memberi isarat kepada dua belas orang pengikutnya untuk mundur dan menenangkan kuda mereka.
"Paman, harap suka memaafkan kalau tadi kami lancang mencampuri urusan paman dan nimas roro, akan tetapi kami merasa penasaran melihat mereka itu mengeroyok andika berdua."
Ki Sinduwening tersenyum dan memandang kagum kapada pemuda itu.
Koleksi Kang Zusi Jelas dia seorang pemuda bangsawan, pikirnya, akan tetapi begitu sopan dan rendah hati, bersikap penuh hormat kepada dia dan puterinya. Padahal pemuda itu datang menolongnya, bahkan menyelamatkan dia dan puterinya!
"Alhamdullah, puji syukur kepada Gusti Allah yang telah mengirim paduka untuk menyelamatkan kami berdua, Raden. Harap paduka jangan begitu merendahkan diri terhadap kami, Raden. Kami hanyalah ayah dan anak petani dusun biasa, sedangkan paduka tentulah seorang bangsawan tinggi......."
"Pamanlah yang merendahkan diri. Saya melihat tadi sepak terjang paman dan nimas roro ini demikian hebatnya. Jelas bahwa andika berdua adalah orang-orang pandai, membuat hati saya kagum bukan main. Perkenalkan, paman, nama saya Nurseta dan saya adalah putera Ki Demang Padangsuta di Kademangan Praban."
"Maaf, Raden. Saya melihat paduka dikawal pasukan pengawal dari Mataram. Benarkah?"
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum, mengerling ke arah Mawarsih yang hanya menjadi penonton dan mendengar saja. "Kiranya paman mengenal pula pasukan pengawal. Memang benar, dan sekarang saya bertugas di Mataram. Oleh Sang Prabu saya diangkat menjadi senopati muda pasukan pengawal yang bertugas menjaga keamanan."
Ki Sinduwening cepat membungkuk dengan sikap hormat. "Tidak keliru dugaan saya. Paduka adalah seorang bangsawan tinggi. Kiranya seorang senopati muda, putera Ki Demang di Praban pula. Maafkan kalau kami besikap kurang hormat. Saya bernama Ki Sinduwening dan ini puteri saya bernama Mawarsih. Delapan orang tadi adalah orang-orang Ponorogo yang membujuk saya untuk membantu Ponorogo. Tentu saja kami menolaknya.
Koleksi Kang Zusi Kami tidak suka membantu Adipati Ponorogo yang agaknya hendak memberontak terhadap Mataram, karena kami merasa sebagai kawula Mataram yang setia."
"Bagus sekali! Sungguh mengagumkan sekali. Kiranya paman dan puteri paman adalah orang-orang yang berwatak ksatria."
"Harap paduka tidak terlalu memuji, Raden. Kami hanya kawula yang setia kepada Mataram. Akan tetapi, kalau boleh kami bertanya, bagaimana paduka dapat secara kebetulan berada di sini sehingga kami dapat tertolong?"
"Seperti dapat paman lihat, kami sedang berburu, sekalian melakukan penyelidikan di daerah pegunungan Lawu ini. Kami melihat keadaan di sini tenteram saja, tidak nampak kekacauan dan rakyat hidup dalam dalam suasana tenang. Kalau saja tidak melihat perkelahian tadi, kami sama sekali tidak akan menyangka bahwa Ponorogo mempunyai niat untuk memberontak. Kiranya diam-diam mereka itu agaknya hendak menyusun kekuatan, membujuk orang-orang berkepandaian untuk membantu mereka."
Dengan ramah Ki Sinduwening mempersilakan Raden Nurseta untuk singgah di pondoknya. "Paduk nampak lelah, silakan beristirahat di pondok kami yang kecil dan buruk, Raden Nurseta."
Pemuda itu menerima dengan senang hati dan ketika tuan rumah juga memper- silakan para perajurit pengawal untuk memasuki pondok, Nurseta menolak dan menyuruh anak buahnya untuk beristirahat di luar pondok saja. Pondok itu tidak cukup besar untuk menampung tamu sebanyak itu.
Mawarsih sibuk di dapur membuatkan minuman untuk tamu ayahnya, juga untuk selosin perajurit yang beristirahat di luar pondok. Kebetulan Koleksi Kang Zusi
kemarin ia panen jagung dan dipilihnya jagung-jagung yang masih muda dan digodoknya beberapa puluh jagung muda.
Sementara itu, Raden Nurseta, panglima muda itu, sudah bercakap-cakap dengan Ki Sinduwening. Makin kagum dan girang hati pemuda itu ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa orang tua yang gagah perkasa itu dahulu pernah membantu Panembahan Senopati ketika pasukan Mataram mengalahkan Pajang kemudian menyerbu Demak. Di lain pihak, Ki Sinduwening juga semakin menghormati pemuda itu ketika Nurseta menceritakan bahwa dari pihak ibunya, dia masih berdarah keluarga raja Mataram karena ibunya adalah puteri sunan dari seorang selir yang dihadiahkan kepada ayahnya sebagai imbalan jasa-jasa ayahnya. Itulah sebabnya maka dia diterima oleh Sang Prabu di Mataram ketika menghambakan diri, karena Sribaginda Mas Jolang adalah adik tiri ibunya.
Tentu saja yang menetukan kedudukannya sebagai panglima pasukan pengawal keamanan adalah kedigdayaannya, bukan hanya karena dia masih keponakan Sang Prabu.
"Mengagumkan sekali!" Ki Sinduwening memuji dengan kagum. "Masih begini muda, sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kedudukan yang tinggi pula. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah guru paduka yang mengajarkan semua ilmu kepada paduka?"
Pada saat itu, Mawarsih memasuki ruangan itu dari dapur, membawa godogan jagung yang masih mengepung uap panas. Sebagaian dari hidangan itu tadi telah diberikan kepada perajurit yang menerimanya dengan gembira.
Melihat gadis itu menghidangkan jagung godokan dengan kedua pipi kemerahan karena sejak tadi sibuk di dapur, Raden Nurseta berseru,
"Wah, saya merepotkan saja padamu, nimas Mawarsih."
Gadis itu tersenyum. "Ah sama sekali tidak, Raden. Ini hanya godogan Koleksi Kang Zusi
jagung, makanan dusun yang sederhana."
Pemuda itu terpesona. Tadipun dia sudah tertarik sekali dan amat kagum melihat dara dusun yang demikian cantik jelita, manis dan memiliki kedigdayaan pula. Kini, ketika tersenyum, gadis itu nampak semakin mempesona. Bibir yang merah basah itu merekah seperti setangkai bunga mawar yang sedang mekar, dihias lekuk manis di pipi kanan dan tahi lalat kecil di pipi kiri, matanya berbinar-binar dan kedua pipi bagian atas di bawah kedua mata itu merah segar, merah asli tanda sehat. Langkahnya ketika memasuki ruangan itu seperti langkah seekor harimau bermalas-malasan, sama sekali tidak membayangkan bahwa dara itu seorang wanita yang tangkas dan tangguh, melainkan garakan kewanitaan yang lemah gemulai. Tentu saja Mawarsih dapat merasakan kekaguman yang tercermin di wajah dan pandang mata tamu itu, dan ia pun menundukkan mukanya.
Juga Ki Sinduwening melihat ini. Orang tua ini tersenyum senang. Betapa akan senangnya kalau puterinya dapat menjadi jodoh seorang pemuda hebat seperti Raden Nurseta ini, pikirnya. Seorang pemuda yang selain gagah perkasa, juga menjadi seorang senopati, seorang panglima yang berkedudukan baik, seorang ksatria yang sikapnya sopan. Dinilai dari segala sudut, pemuda ini memenuhi syarat!
"Nini, engkau duduklah di sini. Tidak setiap hari kita menerima seorang tamu seperti Raden Nurseta yang patut kita sambut dengan hormat."
"Wah, paman Sinduwening dan nimas Mawarsih sungguh menumpuk kebaikan yang membuat saya merasa berhutang budi. Paman, harap jangan memuji terlalu tinggi karena sayapun hanya seorang manusia biasa saja."
Setelah Mawarsih duduk bersimpuh di dekat ayahnya dengan sikap anggun, Ki Sinduwening barkata, "Raden, saya ulangi pertanyaan tadi.
Siapakah guru paduka?"
Koleksi Kang Zusi "Ketika saya masih remaja, yang mengajarkan ilmu membela diri adalah ayah saya sendiri, kemudian selama tiga tahun saya mempelajari ilmu kanuragan dari bapa guru Ki Ageng Jayagiri......" Pemuda itu menghentikan ucapannya karena melihat betapa ayah dan anak itu nampak terkejut.
"Mengapa, paman" Apakah paman sudah mengenal bapa guru Ki Ageng Jayagiri?"
Mawarsih yang menjawab dengan cepat. "Tentu saja mengenal, karena Ki Ageng Jayagiri adalah kakak seperguruan ayah saya!"
Tentu saja Nurseta menjadi kaget dan juga gembira bukan main mendengar keterangan ini. "Aduh, kiranya paman adalah paman guru saya sendiri! Paman, terimalah sembah hormat saya!" Dan dari tempat dia duduk bersila, dia menghaturkan sembah kepada orang tua itu. "Harap paman jangan terlalu merendah kepada saya, dan andika, diajeng Mawarsih, kita adalah saudara seperguruan, aku ini sama dengan kakangmasmu sendiri!"
"Jagat Dewa Bathara.......!" Ki Sinduwening berseru. "Kiranya andika adalah murid Kakang Jayagiri, Raden." Tadi dia wajah terkejut dan wajahnya berubah mendengar disebutnya nama Ki Ageng Jayagiri, akan tetapi sekarang dia telah dapat menguasai perasaan hatinya yang terguncang, keadaan yang hanya diketahui sendiri.
"Akan tetapi, kenapa bapa guru Jayagiri tidak pernah menyebut nama paman" Sungguh saya tidak pernah mendengar bahwa bapa guru mempunyai adik seperguruan di sini."
Ki Sinduwening menghela napas panjang. "Perpisahan di antara kami sudah terjadi belasan tahun yang lalu, ketika adimu Mawarsih ini berusia dua Koleksi Kang Zusi
tahun. Dan sejak itu, kami tidak pernah saling jumpa lagi. Ketika itu, aku sendiri membantu gerakan Panembahan Senopati bersama adi Danusengoro, yaitu seorang adik seperguruan kami. Gurumu itu murid pertama, aku ke dua dan adi Danusengoro murid ke tiga. Kami bertiga mendapat gemblengan ilmu dari mendiang Sunan Gunung Jati. Sayang, akhirnya kami bertiga berpencar menempuh jalan hidup masing-masing."
"Paman Danusengoro" Di mana adanya paman guru saya itu sekarang?"
"Baru saja engkau bertemu dengan dia, kakangmas!" kata Mawarsih. Gadis ini memang biasanya bersikap bebas dan santai, tidak pemalu. Apa lagi setelah kini ia mengetahui bahwa pemuda itu adalah kakak seperguruannya sendiri, ia tidak merasa canggung lagi.
"Ehhh" Siapa......... apa yang kau maksudkan, diajeng?"
"Seorang di antara para pengeroyok tadi yang melawanku dan bertubuh gemuk pendek, dialah Ki Danusengoro, paman gurumu itu, Raden. Dan pemuda yang melawan Mawarsih tadi adalah Brantoko, muridnya.
Sedangkan enam orang lainnya adalah sekutu mereka, yaitu warok-warok dari Ponorogo."
Nurseta terbelalak. "Tapi....... tapi kenapa dia menyerang andika berdua?"
Ki Sinduwening menghela napas lagi. "Kalau kami mengambil jalan hidup masing-masing, itu masih tidak mengapa selama jalan hidup kami bersimpang. Akan tetapi sayang, jalan hidup itu bertemu dan bertentangan. Tadinya Danusengoro datang bersama Brantoko untuk meminang adimu si Mawarsih, Raden."
Koleksi Kang Zusi "Ahhh.....?"" Nurseta memandang kepada Mawarsih yang kelihatan marah.
Dara ini yang melanjutkan.
"Mereka datang meminang dan bapa memberitahu bahwa kami telah mengajukan persyaratan kami, yaitu bahwa si pelamar dan walinya harus dapat mengalahkan aku dan bapa. Dan pagi ini mereka datang untuk memasuki sayembara itu. Mereka menandingi kami akan tetapi ketika mereka terdesak, mereka memanggil enam orang warok itu lalu mengeroyok kami setelah tidak berhasil membujuk bapa untuk mengabdi kepada adipati di Ponorogo."
"Ah, kiranya begitu" Kalau begitu, paman guru Ki Danusengoro mengabdi kepada kadipaten Ponorogo, paman?"
"Tidak ada salahnya dalam hal itu, Raden. Dia memang tinggal di sebelah timur gunung yang termasuk daerah kadipaten Ponorogo. Baik saja kalau dia menghambakan diri kepada kadipaten Ponorogo. Akan tetapi, sungguh menyedihkan sekali kenapa dia hendak memaksakan kehendak, hendak memaksa aku untuk ikut membantu Ponorogo. Sungguh tidak kusangka bahwa adi Danusengoro telah melakukan penyelewengan sampai sekian jauhnya, dan agaknya dia terpengaruh oleh para jagoan dan Warok Ponorogo."
"Dan tentang pinangan itu sendiri bagaimana, paman?"
"Kami juga tidak tahu apakah pinangan itu dilakukan dengan setulus hati, ataukah hanya merupakan siasat untuk menarik kami menjadi sekutu Ponorogo, Raden. Akan tetapi, aku adalah kawula Mataram dan aku tidak akan mengkhianati Mataram!" kata Ki Sinduwening penuh semangat. "Demi Allah, sampai matipun aku tidak sudi membantu pemberontak dan Koleksi Kang Zusi
berkhianat kepada Mataram."
Nurseta mengangguk-angguk, memandang kepada paman gurunya penuh kagum.
"Bagaimanapun juga, paman Danusengoro telah menyeleweng dari pada watak ksatria, paman. Persyaratan sebagai sayembara yang paman dan diajeng Mawarsih adakan itu memang sudah sepatutnya dan saya pun mendukung sepenuhnya. Sudah sepantasnya kalau diajeng Mawarsih mendapatkan jodoh yang terbaik. Akan tetapi, paman Danusengoro hendak mempergunakan tindak kekerasan, hendak memaksakan kehendak. Kalau tahu begitu, tadi tentu akan saya kerahkan pasukan untuk menangkap dia dan Brantoko!"
Ki Sinduwening mengangkat kedua tangan ke atas. "Semoga Gusti Allah mengampuninya, Raden, bagaimanapun juga, dia adalah paman gurumu sendiri, oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau kita memaafkan dia."
"Kakangmas Nurseta, bagaimana keadaan uwa guru Jayagiri" Aku sendiri hanya mendengar namanya saja dari bapa. Apakah beliau mempunyai anak?"
Mawarsih bertanya untuk mengalihkan percakapan.
Nurseta menggeleng kapala. "Setahuku, bapa guru tidak mempunyai anak.
Beliau hidup seorang iri di lereng Gunung Merbabu, bersama beberapa orang cantrik yang diambil dari penduduk sekitar tempat itu. Menurut para cantrik, setahun sebelum aku menjadi muridnya di sana, bapa guru ditinggal oleh isterinya."
Tiba-tiba Ki Sinduwening bertanya, suaranya seperti orang yang dicekam Koleksi Kang Zusi
ketegangan. "Ditinggal mati.......!!"
"Tidak, paman. Menurut keterangan para cantrik, isteri bapa guru pergi meninggalkan bapa guru, entah ke mana." Tentu saja Nurseta tidak berani menceritakan semua yang pernah didengarnya dari para cantrik, bahwa ibu guru itu jauh lebih muda dan cantik, bahwa di antara bapa guru dan isterinya sering terdengar percecokan!
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, kenapa isteri uwa guru meninggalkan suaminya, Kakangmas?"
Mawarsih bertanya heran. Nurseta hanya menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, diajeng. Para cantrik tidak berani bercerita banyak."
"Sudahlah, tidak baik membicarakan keadaan rumah tangga orang lain,"
kata Ki Sinduwening. "Paman Sinduwening, menurut pendapat saya, setelah terjadi peristiwa tadi, sungguh tidak aman bagi paman dan diajeng Mawarsih untuk tinggal di sini. Saya khawatir bahwa mereka akan merasa penasaran dan masih akan mendendam, dan bukan tidak mungkin mereka akan datang kembali membawa gerombolan yang lebih banyak dan lebih kuat untuk memaksa paman dan diajeng Mawarsih mengabdi kepada Ponorogo.
Ki Sinduwening manarik napas panjang. "Kalau terjadi demikian, aku akan melawan sampai titik darah terakhir!"
"Akupun tidak takut menghadapi mereka!" kata pula Mawarsih dengan sikap gagah.
Koleksi Kang Zusi "Saya percaya kepada paman dan diajeng Mawarsih akan berani membela diri akan tetapi hendaknya paman ingat bahwa persoalannya bukan sekedar mempertahankan nama dan kehormatan belaka. Harap paman ingat bahwa diajeng Mawarsih masih amat muda, masa depannya masih terbentang luas.
Apakah paman tega membiarkan ia terancam bahaya, menempuh bahaya dan mempertaruhkan nyawa hanya untuk urusan kecil seperti itu" Paman, marilah paman dan diajeng Mawarsih meninggalkan tempat ini dan ikut bersama saya ke Mataram......"
"Hemm, dan membiarkan Danusengoro menertawakan kami dan menganggap kami pengecut yang lari ketakutan darinya?" kata Ki Sinduwening.
"Sama sekali tidak, paman. Yang penting adalah kenyataannya. Biarkan saja mereka menyangka bagaimanapun. Paman dan diajeng Mawarsih bukan melarikan diri dari Ki Danusengoro dan muridnya. Merekalah yang bersikap pengecut, melakukan pengeroyokan, dibantu para warok. Paman dan diajeng Mawarsih meninggalkan tempat ini untuk mengabdi kepada Mataram.
Paman saat ini Mataram membutuhkan bantuan orang-orang gagah seperti paman. Tentu paman sudah mendengar bahwa semua daerah pesisir utara yang dahulu sudah ditaklukan oleh Kanjeng Eyang Senopati, kini telah memberontak kembali. Untuk mempersatukan seluruh daerah itu, terpaksa Sribaginda mengirim pasukan untuk menundukan mereka kembali. Tenaga paman amat dibutuhkan di Mataram. Juga saya akan memberi kabar kepada ayah saya yang menjadi demang di Praban untuk mengirim pasukan penjaga di daerah ini, untuk menghadang kalau-kalau orang Ponorogo membuat kerusuhan di daerah perbatasan. Nah, sekali lagi, paman bukan melarikan diri dari Ki Danusengoro, melainkan pergi ke Mataram untuk mengabdi."
Ki Sinduwening mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan murid keponakan itu. Kalau di nekat menanti datangnya serangan balasan dari Danusengoro dan Brantoko yang tentu akan membawa gerombolan warok Ponorogo yang lebih kuat, tentu Koleksi Kang Zusi
keadaannya terancam dan betul seperti yang dikatakan Nurseta, dia tidak boleh membiarkan puterinya terancam bahaya. Mungkin lebih mengerikan daripada bahaya maut kalau sampai Mawarsih tertawan oleh mereka. Dan kini Mataram membutuhkan bantuannya. Dia masih kuat, apa yang lebih menyenangkan baginya seorang ksatria dari pada berjuang demi kepentingan negara" Juga Mawarsih sudah mulai dewasa. Kalau anaknya itu dibiarkan hidup di pegunungan ini, tentu akan sukar memperoleh jodoh yang baik.
"Usul yang andika itu baik sekali, Raden. Berikan waktu kepada kami selama sepekan ini untuk mengambil keputusan. Kalau kami berdua telah mengambil keputusan dan sepakat, kami akan segera berangkat ke Mataram."
Nurseta menjadi girang bukan main. "Baik, paman. Saya akan menanti di sana akan dapat menghadapkan paman kepada Sribaginda. Hari ini juga saya akan menghubungi ayah agar mengirim pasukan keamanan untuk menjaga di perbatasan, sengaja agar orang-orang Ponorogo tidak melanggar perbatasan dan membikin kekacauan di daerah ini."
Nurseta lalu berpamit dan meninggalkan padepokan Ki Sinduwening bersama dua belas orang perajurit pengawalnya. Akan tetapi setibanya di luar pedusunan, dia menghentikan pasukannnya, kemudian memerintahkan enam orang perajurit untuk tinggal di sekitar daerah itu melakukan pengawasan dan menjaga kalau-kalau gerombolan datang menyerang Ki Sinduwening. Dia sendiri bersama enam orang pengawal lalu membalapkan kuda menuju ke kademangan Praban.
*** Suara suling itu mendayu-dayu, dengan lembut namun kuat menyusup-nyusup di relung kalbu. Tidak seperti suara suling pada senja-senja yang lalu, kini suara suling itu tidak melengking, melainkan lembut dan menggetar, lirih namun menembus.
Koleksi Kang Zusi Mawarsih merasa trenyuh. Semenjak pertemuannya dengan Nurseta, kemudian bapanya memberitahu bahwa mereka akan meninggalkan dusun, pindah ke Mataram, perasaannya mudah ternyuh, mudah hanyut dan terharu. Sejak kecil ia tinggal di daerah pegunungan yang sunyi itu, tempat yang tenteram penuh damai, di mana hawa udaranya selalu sejuk dan segar, di mana ia hidup demikian dekat dengan alam sekitarnya, amat dekat dengan tanah, tumbuh-tumbuhan, burung-burung dan angin. Ia merasa bersatu, menjadi bagian yang utuh dengan alam sekitarnya. Dan dalam waktu tiga hari ia akan meninggalkan semua itu! Ia akan hidup di kota, di tengah masyarakat ramai, tempat yang penuh sesak dengan manusia, tempat yang bising di mana akan sukar dapat menikmati kicau burung, kerik jangkrik, kokok ayam, koak katak, apa lagi suling yang mengalun lembut menyusup perasaan itu.
Ia segera menyelesaikan mandinya. Berganti pakaian bersih, mengeringkan rambut basah yang tadi dikeramisinya, membiarkannya tergantung di punggungnya. Rambut yang amat hitam, gemuk dan panjang itu sampai ke pinggulnya, Mawarsih lalu meninggalkan pondok, berjalan agak cepat menuju ke arah suara suling, ia tahu siapa yang meniup, bahkan sudah dikenalnya. Anak penggembala itu bernama Bayu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun yang lincah dan cerdik. Dia menggembala kerbau milik kepala dusun Pancol. Bayu anak yatim piatu, masih kemenakan ki lurah Pancol dan tinggal di rumah pamannya itu sebagai seorang pembantu yang rajin. Mawarsih suka kepada bocah itu, yang lincah jenaka akan tetapi sopan dan pandai membawa diri, dan terutama sekali, yang pandai meniup suling melagukan kidung-kidung merdu. Ia tahu bahwa pada saat seperti sekarang ini. Bayu tentu sudah mengandangkan kerbau-kerbaunya dan kalau meniup suling di senja hari, biasanya berada di tepi anak sungai yang jernih airnya itu. Ia pun menuju ke sana.
Tiba-tiba dara itu menahan langkah kakinya. Tiupan suling itu baru saja mengakhiri kidung Pangkur dan kini terdengar tiupan kidung Asmaradana.
Ia merasa kagum. Anak itu memang cerdik sekali. Biasanya dia hanya pandai meniup kidung Dandanggula, Kinanti dan Pangkur saja. Sekarang sudah pandai memainkan Kidung Asmaradana, entah kapan belajarnya! Dan tiupannya juga berbeda dari biasanya. Tidak terlalu melengking-lengking Koleksi Kang Zusi
lagi, melainkan lembut dan merdu, tanda bahwa tiupannya lebih mendalam.
Semakin trenyuh hatinya mendengar kidung Asmaradana yang meliuk-liuk itu, dan ia pun mempercepat langkahnya menuju ke arah suara yang datangnya dari anak sungai.
Ketika dia melewati jalan setapak yang menikung dan tiba di balik batu gunung, tiba-tiba ia kembali menghentika langkahnya dan kini bahkan ia menyelinap di balik sebatang pohon cemara. Ia mengintai dengan mata terbelalak heran. Bayu memang berada di sana, di tepi anak sungai seperti biasa, akan tetapi tidak sendirian. Bahkan yang meniup suling bukan anak itu, melainkan seorang pemuda yang memakai kain sebatas pinggang, dan tubuh atasnya bertelanjang. Kiranya bukan Bayu yang meniup suling. Pantas ada perbedaan. Setelah tembang Asmaradana selesai dimainkan, terdengar pemuda itu bertanya, "Bagaimana, Bayu, apakah engkau sudah hafal tembang Asmaradana tadi?"
Bayu mengangguk. "Sudah, kakang Aji. Akan tetapi aku ingin sekali menghafal tembang tentang Waringin Sungsang itu, kakang."
Pemuda itu tersenyum dan Mawarsih merasa betapa jantungnya berdebar.
Belum pernah selama hidupnya ia merasakan debar jantung seperti saat ia melihat pemuda itu tersenyum. Wajah itu! Bentuk tubuh itu! Semuanya serba pas, serba cocok dan serba indah baginya. Bentuk tubuh yang sedang saja, semua jelas nampak membanyang di dada yang bidang dan pundak yang tegap itu kekuatan yang tersembunyi di balik kulit yang gelap dan mengkilap tertimpa cahaya matahari pagi yang cerah, seperti dilapis baja.
Tentu pemuda itu seorang petani yang rajin. Pekerjaan berat setiap hari membuat tubuh itu menjadi kuat dan sehat. Kain sarung yang dipakainya juga sedehana namun bersih. Dan wajahnya! Mengingatkan Mawarsih akan wajah tokoh wayang kesayangannya, yaitu Wisanggeni, putera Arjuna yang terkenal sakti mandraguna. Wajah itu tampan dan manis, terutama sekali mulut dan dagunya, dan senyumnya membuat matahari nampak semakin, cerah. Dan sepasang matanya itu! Demikian lembut, demikian tenang, namun juga mengandung kekuatan aneh. Heran, bagaimana di dusun terdapat seorang pemuda tani seperti ini!
Koleksi Kang Zusi "Ah, kaumaksudkan tembang Durma" Bukankah kemarin dulu engkau sudah dapat memainkan tembang itu?"
"Akan tetapi, aku ingin sekali menghafal kata-kata dalam kidung itu, kakang Aji. Kata-katanya demikian indah. Aku baru hafal sedikit, belum seluruhnya. Maukah engkau mengulang dan menembangkannya agar aku dapat menghafalnya, kakang?"
Kembali pemuda itu tersenyum. "Wah, sore-sore begini orang disuruh menebang. Kalau ada orang lain melihat dan mendengar, tentu mengira aku ini seorang yang suka bermalas-malasan."
"Tidak, kakang Aji. Suaramu merdu, dan setiap orang yang mendengarnya akan menikmati kidung senja ini. Ayolah, kakang, jangan pelit. Beberapa bagian saja, tidak seluruhnya. Ayolah, kakang Aji!" Bayu merengek sambil memegang dan mengguncang lengan pemuda itu.
"Baiklah, akan tetapi lirih-lirih saja. Malu kalau terdengar orang lain,"
kata pemuda itu. Kemudian diapun mulai menembang, lirih akan tetapi cukup keras bagi Mawarsih yang bersembunyi tak jauh dari situ. Dan ia pun terpesona! Suara itu lembut dan merdu, tembangnya pun sederhana saja, akan tetapi getaran suara itu mampu menyusup ke sanubarinya.
"Waringin sungsang wayahipun tumuruna,
ngaubi awak mami, tur tinuting bala,
pinacak suci kembar, pipita jujur maripit,
asri yen siang, angker kalane wengi.
Koleksi Kang Zusi Duk samana akepel kumpuling rasa,
metraku dadi dingin, metraningsun emas,
puputihe mutiara, ireng treng wesi manik,
ceploking netra, waliker uda ratih,
Rambut kawat sinomku pamor angrayap,
batuk sela cendani, kupingku salaka,
pilingan ingsun gongsa, irungku wesi"duaji, pasu kulewang, pipiku wesi kuning.
Guluningsun paron wesi galigiran,
dada wesi sadacin, pundak wesi akas,
walikat wesi ambal, salangku wesi walungin, bauku denda, sikutku pukul wesi."
Bayu bersorak gembira dan bertepuk tangan. "Bagus sekali, kakang Aji.
Aku ingin sekali menjadi seperti itu!"
"Seperti apa?" Koleksi Kang Zusi "Itu lho, badanku serba besi, otot kawat tulang besi, tidak tedas tapak paluning pande!" Bayu bangkit berdri, membusungkan dada, menepuk-nepuk dadanya dengan telapak tangan, sikapnya seperti Sang Gatutkaca menantang lawan.
Pemuda itu tertawa, suara tawanya renyah dan bebas. "Ha-ha-ha, untuk apa engkau ingin menjadi orang digdaya, Bayu?"
"Kalau aku digdaya, akan kutangkapi maling dan rampok, akan kuhajar mereka yang sewenang-wenang mempergunakan harta, kekuasaan da kekuatan untuk menindas orang lain."
"Hemmm, engkau ini seorang bocah yang bercita-cita menjadi ksatria?"
Mawarsih tidak dapat menahan kegembiraan dan juga kinginan hatinya untuk menemui dan bicara dengan mereka, maka iapun muncul dari balik batang pohon cemara.
"Bayu.........!" serunya memanggil, berlagak seperti baru tiba.
Bayu membalikkan tubuhnya dan wajahnya berseri. Wajah anak itu cukup tampan dan matanya jelas membayangkan kecerdikan walaupun gerak-geriknya lugu seperti biasa anak-anak dusun yang sederhana.
"Bmkayu Mawar...........!" Dia meloncat dan lari menyambut. "Mari, Ayu, di sana ada kakang Aji. Engkau sudah mengenalnya, bukan?"
Koleksi Kang Zusi Pemuda yang disebut Aji oleh Bayu itu bangkit berdiri, perlahan-lahan dia membetulkan kain sarungnya dan memandang ke arah dara yang datang bergandeng tangan dengan Bayu itu. Dia terpukau. Dara itu melangkah santai, lenggangnya seperti seorang penari, tubuhnya padat dengan lekuk lengkung sempurna, kulit pundak dan dada bagian atas yang tidak tertutup itu demikian putih kuning mulus seperti gading, wajah itu, leher itu, rembut itu! Aji teringat bahwa tidaklah pada tempatnya dan melanggar kesusilaan untuk memandangi seorang dara seperti itu, maka cepat ia menundukkan mukanya sehingga dia tidak melihat betapa pada saat yang bersamaan, dara itupun menundukkan muka yang berubah kemarahan.
"Kakang Aji, ini adalah mbakayu Mawarsih. Apakah kalian belum pernah saling jumpa?" kata Bayu setelah mereka datang dekat.
Aji dan Mawarsih berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang sejenak lalu mereka menunduk kembali. Mawarsih hanya menggeleng dan Aji berkata, "Bayu, aku belum mendapat kehormatan untuk berkenalan dengan adik ini......." Dia menyebut adik kerena dia yakin bahwa biarpun usia mereka sebaya, dia tentu lebih tua satu atau dua tahun.
"Ah, ya,aku lupa. Kakang Aji adalah seorang pendatang baru, dan tidak pernah meninggalkan dusun Pancot. Kakang, mbakayu Mawarsih ini bersama ayahnya yang bernama Ki Sinduwening, tinggal di balik jurang itu, di luar dusun Sintren. Ayu, ini adalah kakang Aji, masih keponakan paman lurah sendiri yang baru kurang lebih satu bulan datang berkunjung ke Pancol."
Dua orang muda itu kembali mengangkat muka, saling pandang dan setelah kini diperkenalkan, mereka tidak begitu sungkan lagi. Mawarsih bukan seorang dara pemalu, akan tetapi entah mengapa, beradu pandang mata Koleksi Kang Zusi
terlalu lama dengan pemuda itu membuat ia merasa canggung dan salah tingkah!
"Kalau begitu, dia masih kadangmu sendiri, Bayu?" tanya Mawarsih.
"Benar mbakayu Mawar. Kakang Aji adalah keponakan paman lurah, sedangkan aku adalah keponakan isteri paman lurah."
Karena pemuda itu diam saja dan kelihatan canggung, Mawarsih juga tidak menyapanya, sebaliknya ia lalu duduk di atas batu besar dan menyanggul rambutnya yang sudah mulai kering. Gerakan seorang wanita menyanggul rambut dalah gerakan yang amat indah, penuh kelembutan dan keluwesan.
Gerakan jari-jari tangan, lekukan pergelangan dan siku, terangkatnya lengan dengan sopan berirama dengan gerakan leher dan kepala, disemarakkan oleh tergerainya rambut, sungguh seperti gerakan tari yang membuat hati orang tergetar karena indahnya, seperti halnya pemuda itu yang menjadi terpesona ketika mengerling ke arah gadis itu. Gerakan dara itu mengingatkan Aji kapada ibunya. Bayangan ibunya menyanggul rambutnya merupakan bayangan yang tak pernah dilupakannya, dan selalu kalau dia teringat ibunya, dia membayangkan ibunya menyanggul rambut seperti itu, penuh gerakan lembut dan luwes, gerakan wanita sepenuhnya dan selalu menimbulkan kerinduan di hatinya kepada ibunya. Pesona yang seolah menyihirnya itu membuat Aji menjadi bengong terlongong menatap Mawarsih, seolah setiap gerakan jari tangan gadis itu telah menyihirnya.
Mawarsih yang sedang menyanggul rambutnya, seperti merasakan pandang mata itu karena tiba-tiba, ia yang tadinya menunduk, seperti ada daya tarik kuat yang membuat ia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan Mawarsih mengerutkan alisnya.
"Ihh, kenapa engkau memandangku seperti itu?" Tiba-tiba ia merasa rikuh dan teringat betapa kedua lengannya terangkat ketika ia menyanggul rambut, betapa kedua ketiaknya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus itu Koleksi Kang Zusi
nampak! Cepat ia menurunkan kedua lengannya dan menatap wajah pemuda itu dengan tajam penuh teguran.
Teguran itu membuat Aji menjadi sadar dari pesona. Dia menjadi salah tingkah, menunduk dan mukanya berubah kemerahan, senyumnya untuk menutupi rasa malunya menjadi senyum masam, jari tangan kiri menggosok-gosok dagu yang belum berjenggot. Gerakan otomatis tanpa disadari ini merupakan ciri khasnya.
"Eh, ahh....... aku...... tidak apa-apa. Tidak bolehkah memandang?" Aji mengelak dan balas menyerang, sepasang matanya yang tajam mencorong itu kini mengamati wajah Mawarsih penuh selidik.
Kini Mawarsih yang tersipu dan kedua pipinya yang sudah jambon itu menjadi semakin merah. Diam-diam ia merasa heran bukan main. Kenapa ia menjadi begini celingus" Kenapa pandang mata dan senyum malu-malu pemuda ini dapat membuat ia menjadi salah tingkah, merasa seolah-olah setiap gerak-geriknya diamati dan setiap denyut jantungnya didengar"
Di lain pihak, Aji semakin terpesona. Melihat serangannya tadi membuat Mawarsih tersipu malu dan agaknya tidak mampu menglak atau menangkis, hanya menunduk, timbul perasaan iba di hatinya.
"Maafkan......," katanya lirih suaranya penuh penyesalan seolah-olah dia telah melakukan dosa besar, ".......maafkan aku. Aku tidak bermaksud tidak sopan......."
Dan hati Mawarsihpun luluh. Kenapa ia begitu keras hati, menegur orang yang memandang kepadanya" Pandang mata pemuda ini penuh kagum Koleksi Kang Zusi
kepadanya, seperti juga pandang mata Brantoko ketika datang meminangnya, akan tetapi kekaguman pemuda ini tidak membayangkan suatu perasaan yang kurang ajar. Kekagumannya demikian wajar, kenapa ia tadi menegurnya"
"Sudahlah, ki sanak......"
"Namaku Aji, Banuaji......"
Mawarsih tersenyum dan terpaksa Aji menundukan pandang matanya, senyum yang membuat wajah itu nampak demikian jelita dan manisnya tentu akan membuat dia terpesona lagi.
"Baiklah, akan tetapi engkau juga harus memanggil aku Mawarsih."
"Terima kasih, Mawar, aku senang sekali......."
"Aji, eh, kumaksud Kakang Aji, tidak ada sesuatu yang harus dimintakan maaf di antara kita. Kita sudah berkenalan dan berarti manjadi sahabat, bukan" Kusebut engkau kakang, karena aku yakin kau lebih tua dariku.
Usiaku sudah tujuh belas tahun."
"Aku berusia sembilan belas tahun, Mawar. Aku hanya seorang pemuda pedusunan yang tidak mengenal tata-krama, maka kalau ada sikap dan kata-kataku yang kurang sopan, harap kau maklumi."
Mawarsih tertawa dan menutupi mulut sehingga diam-diam Aji Koleksi Kang Zusi
menyayangkannya. Kenapa penglihatan yang demikian indah menarik ditutupi dan disembunyikan di balik tangan"
"Kakang Aji, engku ini orangnya terlalu rendah hati. Aku sendiri bocah desa, dan mendengar ucapanmu, engkau seorang yang bersusila, kata-katamu teratur dan sikapmu lemah lembut, pantasnya engkau ini seorang pangeran yang menyamar sebagai pemuda dusun."
Mendengar ini, pemuda itu tertawa bergelak sambil menengadah.
Wajahnya nampak kekanak-kanakan ketika dia tertawa lepas seperti itu dan suara tawanya membawa daya tular yang kuat sehingga Mawarsih juga ikut tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, di mana di dunia ini ada pangeran seperti aku" Aku hanya seorang pemuda dusun yng pandainya hanya bertani, mencangkul, menyabit rumput, menggembala kerbau.............!"
"Jangan lupa, kakang Aji ini pandai sekali meniup suling dan menembang, mbakayu Mawar!" sambung Bayu yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Wah, kepandaianmu itu sudah cukup banyak, kakang Aji. Akupun hanya seorang bocah dusun yang kebiasaannya menanak nasi, menjerang air, mencuci pakaian dan segala pekerjaan dapur......."
"Jangan lupa, mbakayu Mawarsih inipun pandai berpencak silat, digdaya dan kalau hanya lima sampai sepuluh orang maling atau perampok saja tentu akan dihajarnya sampai tunggang langgang........."
Koleksi Kang Zusi "Ihh, Bayu, jangan banyak membual kau!" Mawarsih berlagak menghardik.
Bayu yang sudah mengenal baik watak dara itu, menyeringai, "Siapa membual, mbakayu Mawar" Kakang Aji, mbakayu Mawar ini dan ayahnya terkenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna!"
Banuaji mamandag kagum, hampir tidak percaya. "Wah, kalau begitu aku telah bersikap lancang dan kurang hormat! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara seperti mas ayu ini, yang begini lemah lembut, begini...... eh, cantik jelita dan halus, ternyata memiliki kedigdayaan. Maafkan kelancanganku tadi,mas ayu Mawarsih......."
"Hushhh! Kalau kalian bersikap begini, sebaiknya aku pulang saja!" kata Mawarsih, cemberut dan membuat gerakan melangkah pergi dari situ.
"Wah, jangan pergi, mbakayu! Kalau begitu maafkan aku, mbakayu." kata Bayu. Anak ini sudah mendahului dan menghadang di depan gadis itu. Aji juga cepat menghampiri dan berkata dengan sikap hormat.
"Maafkan kami. Bukan maksud kami menyinggung perasaan......"
Bayu membuat gerakan seperti hendak menyembah. "Akulah yang bersalah, mbakayu, biarlah aku minta ampun, kalau perlu dengan menyembahmu......."
Melihat sikap anak itu, Mawarsih tersenyum dan menangkap pundak anak itu, ditariknya bangkit lagi. "Asal kalian tidak bicara lagi tentang kedigdayaan, aku mau bercakap-cakap dengan kalian. Kita adalah orang-Koleksi Kang Zusi
orang dusun biasa, tidak perlu banyak membual dan berlagak."
Mereka lalu duduk di atas batu-batu di tepi sungai kecil itu, dan Aji tak dapat lagi menahan hatinya yang diliputi penuh kekaguman. "Aku merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dan berkenalan denganmu, mas ayu......"
"Nah mulai lagi ini rupanya!" Mawarsih menegur, akan tetapi sambil tersenyum. "Kakang Aji, kalau engkau masih bersungkan-sungkan, akupun tidak suka menjadi sahabatmu. Namaku Mawarsih dan sebut saja namaku tanpa embel-embel lain."
"Maaf, Mawar...... ah, aku memang serba canggung. Maklumlah, sejak kecil aku berada di dusun pegunungan, kurang mengerti tata-krama."
Mawarsih tersenyum, "Apa sih tata-krama itu kakang Aji" Biasanya, di balik tata-krama itu terkandung kepalsuan. Tata krama hanya dipergunakan untuk menutupi niat buruk, hanya untuk bermanis-manis dan berpalsu-palsu. Aku lebih menghargai sikap yang polos, jujur dan terbuka, biarpun nampaknya kadang kasar dan bodoh. Kepolosan seorang petani dusun jauh lebih murni daripada sikap bermanis-manis palsu yang dinamakan tata-krama para priyayi. Karena itu, aku merasa senang kalau engkau dan Bayu bersikap biasa, tidak memakai kedok tata krama sehingga aku tidak dapat melihat wajah kalian yang sebenarnya."
Sepasang mata pemuda itu memancarkan kekaguman yang tidak disembunyikan lagi. "Andika hebat, Mawar! Seorang dara yang hidup di pedusunan, di pegunungan, akan tetapi selain memiliki kedigdayaan, juga memiliki pandangan yang demikian luas, berani mengemukakan hal yang berlawanan dengan pendapat umum walaupun yang dikemukakan itu merupakan kenyataan yang benar. Aku kagum, Mawar, dan kekagumanku Koleksi Kang Zusi
bukan untuk bermanis-manis!"
Kini Mawarsih yang mangamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, lalu iapun tersenyum. "Dan engkaupun tidak dapat menyembunyikan keadaan dirimu di balik ke- sederhanaanmu, kakang Aji."
Pemuda itu nampak terkejut. "Maksudmu bagaimana, Mawar" Aku seorang pemuda dusun, dari kaki Gunung Lawu sebelah timur, aku tidak menyembunyikan apa-apa."
Mawarsih tersenyum. "Engkau mungkin memang pemuda dusun, akan tetapi dari cara engkau bicara dapat diketahui bahwa engkau bukan seorang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas."
"Mbakayu Mawar, kakang Aji memang seorang seniman tulen. Bukan saja pandai meniup suling dan menembang, akan tetapi juga pandai menari, memainkan semua gamelan, bahkan mendalang."
"Wah-wah, engkau bisa membikin kepalaku membesar, Bayu. Jangan membual terlalu jauh."
"Nah, sikapmu yang pandai merendah itu, kakang aji, menunjukkan bahwa andika bukan orang yang tinggi hati dan sombong, aku yakin andika terlalu banyak pula mempelajari kitab-kitab para pujangga. Engkau tentu seorang seniman sejati."
"Seniman sejati" Apakah gerangan yang dinamakan seniman itu, nimas?"
Koleksi Kang Zusi "Menurut ayahku, seorang seniman itu seorang ahli seni, seorang yang berbakat seni, dan seorang seniman berperasaan halus, rendah hati, dan mencintai keindahan bahkan dapat melihat keindahan pada apa saja, di mana saja dan kapan saja. Karna itu, seorang seniman selalu mamayu hayuning bawono, tidak pernah merusak melainkan menjaga kelestarian dan keindahan alam dan lingkungan, membangun dan memperbaiki."
"Wah-wah-wah, aku merasa seperti melayang di awang-awang atau terapung dibuai arus samudera. Gambaranmu itu terlampau tinggi, Mawar, akan tetapi terima kasih karena andika telah memberi contoh gambaran bagaimana seyogianya seorang hidup di dunia ini."
Mawarsih mengadah, memandang langit yang mulai suram. "Wah, tidak terasa malam hampir tiba, aku harus segera pulang menanak nasi. Bayu, sebetulnya aku mencarimu untuk pamit."
"Ehh" Pamit" Andika hendak pergi ke manakah, mbakayu Mawar?"
"Beberapa hari lagi, ayah dan aku akan meninggalkan dusun Sintren. Kami akan pindah ke Mataram." Suara gadis itu menjadi lemah. Memang berat rasa hatinya harus meninggalkan tempat itu, tempat yang dikenalnya sejak kecil, membuat ia akrab dengan segala yang terdapat di situ, dengan bukit-bukitnya, dengan pohon-pohonnya, dengan batu dan sungai, dengan penduduk, terutama Bayu,
Penggembala kerbau itu pun tertegun. "Pindah" Pergi dari sini, mbakayu"
Ah, kenapa?" Koleksi Kang Zusi Melihat anak itu memandang kepadanya dengan muka membayangkan kekecewaan, Mawarsih menghampiri dan membelai kepala anak itu. "Jangan tanya kenapa, Bayu, ini kehendak ayah dan aku harus mengikutinya. Kau jaga baik-baik dirimu, Bayu, dan engkau beruntung dekat dengan kakang Aji ini. Dia akan dapat menuntun dan menasehatimu. Kau taatilah segala petunjuknya dan kelak engkau akan mnjadi orang yang berguna. Nah, selamat tinggal, Bayu. Kakang Aji, selamat berpisah."
"Aduh, kenapa begini, Mawar" Kita baru saja bertemu, pertemuan yang amat membahagiakan hatiku, dan kita harus berpisah. Andika pindah ke Mataram, berarti belum tentu kita dapat saling jumpa kembali. Aku hanya dapat membekali puja puji semoga andika selalu mendapat berkah dan bimbingan Yang Maha Kasih."
"Terima kasih, kakang Aji. Bayu sampaikan salamku kepada semua orang yang tidak sempat kupamiti."
Bayu hanya terlongong saja, merasa kehilangan, memandang kepada dara yang berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Belum terlalu jauh Mawarsih meninggalkan tempat itu, ia mendengar suara suling ditiup melengking-lengking. Indah sekali suara itu, melagukan tembang Megatruh yang membuat hati merasa nglangut dan trenyuh. Mawarih tersenyum, menoleh dan ia melihat Aji yang meniup suling itu. Ia merasa betapa pemuda itu sengaja meniup suling untuknya, dan merasa lengking itu sebagai temannya berjalan pulang.
*** Kerajaan Mataram adalah kerajaan yang masih muda, namun berkat kebesaran Panembahan Senopati, yaitu Adipati Mataram yang ke dua.
Mataram menjadi besar dan menaklukan sebagian besar kadipaten di seluruh pulau jawa. Tadinya Mataram hanya merupakan kadipaten yang kecil saja, merupakan bagian dari kerajaan Pajang yang ketika itu diperintah oleh Sultan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan bumi Mentaok kepada seorang panglimanya yang berjasa besar, yaitu Ki Panembahan. Oleh Ki Panembahan, bumi Mentaok yang tadinya kecil tak berarti itu dibangun dengan kerja keras Koleksi Kang Zusi
penuh semangat dan menjadi tempat yang makmur dan banyak orang berdatangan untuk tinggal di situ. Ki Panembahan lalu mengangkat diri menjadi Adipati Mataram dengan julukan Ki Ageng Pemanahan. Kemudian dia mengundurkan diri dan puteranya yang tadinya menjadi panglima perang dengan pangkat Senopati Hing Ngalogo, diangkat menggantikannya sebagai pewaris Bumi Mataram. Putera Ki Panembahan ini bernama Sutawijaya, seorang pemuda yang cakap dan bijaksana.
Setelah menjadi adipati menggantikan ayahnya, Sutawijaya berjuluk Panembahan Senopati [1575-1601]. Sebelum menjadi adipati, dia adalah seorang senopati [panglima], maka begitu menjadi adipati, diapun bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya. Pertama-tama, adipati Mataram ini mengyerang karajaan Pajang. Perang saudara yang besar terjadi bertahun-tahun lamanya. Akhirnya, setelah Sultan Hadiwijaya dari Pajang meninggal dunia, Pajang dapat ditundukkan oleh Mataram. Tidak puas dengan kemenangan itu, Panembahan Senopati mengerahkan pasukannya untuk menundukkan semua daerah yang dikuasai para raja muda dan adipati. Panembahan Senopati sendiri lalu mengangkat diri menjadi Sunan Mataram. Dia mengerahkan pasukan menundukkan daerah di pesisir utara. Pertama-tama diserbunya Demak dan ditundukkannya, kemudian pasukannya bergerak ke Jawa Timur, Surabaya, Pasuruan, Kediri, Madiun dan Ponorogo, semua satu demi satu jatuh dan menaluk. Bahkan dalam tahun 1595 pasukan Sunan Mataram Panembahan Senopati menyerang dan menundukan Cirebon dan kerajaan Galuh.
Akan tetapi ketika Sunan Mataram Panembahan Senopati meninggal dunia dalam tahun 1601, hampir semua daerah yang tadinya ditundukan oleh Mataram, memberontak dan tidak mengakui kekuasaan raja baru.
Pengganti Panembahan Senopati adalah puteranya yaitu Pangeran Mas Jolang yang telah dinobatkan menjadi sunan Mataram berjuluk Sang Prabu Hanyokrowati. Melihat betapa daerah pesisir dan Jawa Timur yang tadinya sudah takluk kini memberontak kembali, terpaksa Sunan Prabu Hanyokrowati menggerakkan pasukan untuk menyerbu dan menundukkan kembali daerah-daerah itu. Perang saudara terjadi di mana-mana. Padahal, mendiang Panembahan Senopati telah bersikap bijaksana. Daerah-daerah yang sudah ditundukkan itu diberi hak untuk berdaulat sendiri sebagai kadipaten bahkan diantaranya dipimpin oleh seorang adipati yang masih kerabat sendiri dari Sunan Mataram. Namun setelah Sunan Mataram meninggal dunia, tetap saja hampir semua daerah taklukan itu ingin Koleksi Kang Zusi
melepaskan diri dari kekuasaan Mataram.
Maka terulang kembali perang saudara ketika Sang Prabu Hanyokrowati berusaha menundukkan kembali kadipaten-kadipaten yang memberontak itu. Ketika cerita ini terjadi, Demak baru saja ditundukkan kembali oleh pasukan Mataram, pada tahun 1604, setelah terjadi perang dengan Demak selama kurang lebih dua tahun. Dan kini Mataram sudah siap-siap untuk menundukkan kembali daerah di Jawa Timur. Namun, karena baru saja pasukan Mataram melakukan gerakan besar-besaran menundukkan Demak dan semua daerah pasisir, maka Mataram harus menyusun kembali kepala pasukannya dan memberi waktu kepada pasukannya untuk beristirahat sebelum menyerbu ke Jawa Timur. Dan waktu luang ini dipergunakan Mataram untuk menyusun kekuatan, juga untuk mengirim penyelidik-penyelidik ke daerah Jawa Timur yang akan diserbu dan akan ditundukan kembali.
Ketika Raden Nurseta dan pasukan kecilnya menolong Ki Sinduwening dan Mawarsih yang dikeroyok oleh Ki Danusengoro dan Brantoko dibantu para warok Ponorogo, panglima pasukan pengawal itu juga sedang melakukan penyelidikan di perbatasan untuk mengamati keadaan Gunung Lawu yang bagian timurnya termasuk wilayah Ponorogo pada waktu itu. Maka, ketika berkenalan dengan Ki Sinduwening dan diapun membujuk orang tua itu untuk pindah ke Mataram dan menyumbangkan tenaganya untuk negara.
Hal ini dia lakukan bukan saja sehubungan dengan tugasnya, akan tetapi juga karena dia tertarik sekali kepada Mawarsih, bahkan begitu berjumpa dan menyaksikan ketangkasan dara perkasa itu, dia merasa kagum dan jatuh cinta! Kalau ayah gadis itu pindah ke Mataram, berarti dia akan selalu dekat dengan dara itu.
Sang Prabu Hanyokrowati atau Mas Jolang segera mengenal Ki Sinduwening ketika Nurseta mengajak bekas senopati itu menghadap. Ki Sinduwening pernah menjadi tokoh penting yang dahulu membantu Sunan Mataram Panembahan Senopati. Ketika Sang Prabu Hanyokrowati masih menjadi Pangeran Raden Mas Jolang, dia sudah mengenal Ki Siduwening.
Setelah mendengar laporan Nurseta dan menerima sembah Ki Koleksi Kang Zusi
Sinduwening, Sang Prabu dengan wajah cerah menerima penawaran dari Ki Sinduwening.
"Paman Sinduwening, kami merasa gembira sekali bahwa paman dalam usia lanjut masih setia kepada kami dan suka menghambakan diri demi kepentingan Mataram. Kami sudah mengenal pengabdian paman kepada mendiang ramanda sunan, maka kami tidak ragu-ragu untuk menyerahkan tugas penting kepada paman, dan mengangkat paman sebagai seorang panglima perang."
Ki Sinduwening memberi hormat dengan sembah. "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas kepercayaan dan karunia paduka, Sang Prabu.
Akan tetapi, sesungguhnya hamba menghadap paduka bukan untuk mengharapkan pangkat atau kedudukan. Hamba bertemu dengan Raden Nurseta dan mendengar akan pemberontakan para adipati terhadap Mataram. Hamba ingin berbakti kepada Mataram selagi hamba masih kuat, untuk membalas budi kebaikan mendiang Kanjeng Sunan dan untuk berbakti kepada negara."
Sang Prabu Hanyokrowati tertawa. "Kami tahu, paman. Kami sudah mengenal watak andika. Setelah dahulu kanjeng rama berhasil menundukkan semua kadipaten, andika juga tidak bersedia menerima anugerah pangkat dan bahkan mengundurkan diri dan menyepi. Akan tetapi, untuk tugas mempimpin pasukan, bagaimana mungkin anak buah pasukan akan mentaati andika, kalau andika tidak memegang jabatan panglima" Paman Sinduwening mulai saat ini, andika kami beri pangkat senopati dan memimpin pasukan penyelidik, untuk melakukan penyelidikan ke timur. Pertama-tama ke Ponorogo dan andika akan kami beri kekuasaan untuk bertindak atas sebuah kadipaten sebagai kuasa dan wakil kami."
Pada hari itu juga, Sang Prabu Hanyokrowati memerintahkan agar kepada Ki Sindu- wening diberikan sebuah rumah gedung lengkap dengan perabotnya untuk menjadi tempat tinggal senopati baru itu. Ki Sinduwening merasa terharu dan hanya mengucapkan sembah terima kasih, dan berjanji dalam hatinya bahwa dia akan berjuang sekuat tenaga untuk Koleksi Kang Zusi
mengabdi kapada Mataram dengan setia.
Sebelum berangkat menunaikan tugasnya Ki Sinduwening lebih dahulu mengatur rumah baru pemberian Sang Prabu, bersama Mawarsih. Dalam pekerjaan ini, Nurseta mengulurkan tangan membantu, bahkan mencarikan seorang pembantu wanita untuk menjadi pelayan dalam rumah dan seorang pembantu pria untuk bekerja di luar rumah. Ayah dan anak itu merasa berterima kasih kepada Nurseta. Setelah selesai mengatur rumah baru itu, Ki Sinduwening berangkat meninggalkan Mataram bersama seratus orang anak buah yang merupakan perajurit penyelidik yang berpengalaman.
Dia membawa anak buahnya menyusup ke daerah Jawa Timur.
*** Ada suatu hal yang menjadi ganjalan di hati Mawarsih. Sebelum ayahnya pergi, orang tua itu telah meninggalkan pesan kepada Nurseta di depannya, ketika pemuda itu datang berkunjung untuk mengantar kepergian Ki Sinduwening. Di depannya, ayahnya itu meninggalkan pesan kepada Nurseta agar selama menunaikan tugas, pemuda itu suka mengawini, menjaga dan mengamati Mawarsih! Kemudian, di dalam kamarnya, ayahnya meninggalkan pesan kepadanya tanpa diketahui orang lain.
"Mawar, anakku yang manis. Selama ayah pergi, baik-baiklah engkau menjaga diri di rumah. Kalau ada keperluan apapun, sampaikan saja kepada Raden Nurseta. Dilah orang yang telah menolong kita dan karena bantuannya maka kita dapat menerima anugerah dari Sang Prabu. Dan kalau Gusti Allah menghendaki, hatiku akan merasa bahagia apabila engkau dapat menjadi jodohnya."
Pesan inilah yang menjadi ganjalan di hati Mawarsih. Bukan ia tidak suka kepada Nurseta. Pemuda itu memenuhi segala syarat untuk menjadi seorang suami yang mem- banggakan. Berwajah tampan, memiliki kegagahan, juga memiliki kedudukan tinggi dan kuasa, berwatak gagah perkasa, dan masih murid dari uwa gurunya sendiri. Mau apa lagi" Akan tetapi, entah mengapa, ia tidak mempunyai perasaan kasih sayang kepada Koleksi Kang Zusi
pemuda ganteng itu. Bahkan ada sesuatu pada diri Nurseta yang mendatangkan perasaan tidak enak dalam hatinya.
Perasaan tidak enak itu terasa setelah ayahnya pergi. Nurseta terlalu sering datang berkunjung dan pemuda tampan itu selalu nampak rapi, dengan dandanan seorang pesolek, pakaian serba indah dan mahal, sikap dan gerak-geriknya genit dan mengandung rayuan. Ia yang biasa hidup di pedusunan, yang biasanya melihat sikap dan gerak-gerik yang jujur dan polos serta wajar dari para penghuni dusun, kini melihat dengan jelas sekali gerak-gerik orang yang dianggapnya tidak wajar, dibuat-buat dan palsu. Bagi gadis-gadis lain, terutama gadis-gadis dusun, keadaan dan sikap pemuda ganteng ini tentu akan mempunyai daya tarik yang amat kuat dan akan dapat merobohkan hati mereka dengan mudah. Namun Mawarsih bukanlah dara biasa. Sejak kecil ia telah menerima gemblengan dari ayahnya, gemblengan lahir batin. Ia bukan seorang dara yang mudah silau oleh gemerlapnya sesuatu dari luar. Bahkan ayahnya sendiri sering kali menasihatinya agar ia tidak mudah terkecoh oleh segala sesuatu yang nampak indah menarik dari luar.
"Nini, jangan menilai sesuatu dari kulitnya. Engkau akan terkecoh dan kecelik. Buah mundu itu kulitnya halus warnanya menimbulkan selera, namun isinya masam. Sebaliknya, buah durian kulitnya buruk tidak menarik, namun isinya manis dan lezat. Demikianpun manusia. Jangan menilai seseorang dari ketampanan wajahnya, besarnya kekayaannya atau tingginya kedudukannya. Semua itu palsu dan dapat menyesatkan."
Demikianlah nasihat ayahnya dan gemblengan batin dari ayahnya membuat ia menjadi seorang gadis yang tidak mudah tertarik oleh sesuatu yang indah, kalau keindahan itu keindahan buatan, buka sewajarnya. Andaikata Nurseta seorang sederhana, tidak pesolek, tidak genit sikapnya, bersikap wajar saja, tentu akan mudah bagi Mawarsih untuk jatuh cinta. Pemuda itu memiliki kagagahan dan sudah memperlihatkan budi kebaikan dengan menolong ayahnya, bahkan sudah membantu ketika ia dan ayahnya terdesak dan terancam oleh Ki Danusengoro dan anak buahnya. Akan tetapi sayang, Nurseta memang seorang pemuda yang lincah jenaka, perayu dan pesolek sehingga Mawarsih melihat dia sebagai seorang pria yang dibungkus kepalsuan.
Koleksi Kang Zusi Yang membuat ia tak senang adalah seringnya pemuda itu datang berkunjung, mengajaknya bercaka-cakap, bersenda-gurau, bahkan selalu merayu dan mengambil hati. Ia terpaksa harus menerima setiap kunjungan pemuda itu, bukan hanya karena pemuda itu penolong ayahnya atau karena ayahnya sudah meninggalkan pesan, akan tetapi juga demi kesopanan.
Selama pemuda itu datang dengan iktikat baik, ia tidak dapat menghindarinya, tidak dapat pula menolaknya. Hanya sikap yang bermanis muka, menjilat dan merayu itulah yang membuat hatinya merasa muak.
Raden Nurseta yang yakin sepenuhnya akan kemampuan dirinya, yakin bahwa dia tampan dan berkedudukan, apa lagi karena selama ini tidak ada seorangpun wanita yang mampu bertahan dari rayuannya, sekali ini benar-benar jatuh cinta kepada Mawarsih. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati dan tidak berani lancang mulut menyatakan cintanya. Rayuannya berupa puji-pujian, sering membawakan hadiah dan sikapnya yang manis budi, selalu dibatasi kesopanan. Kalau dara yang dicintanya ini sampai marah, berbahaya baginya dan dia tidak mau kehilangan Mawarsih. Oleh karena itu, dia bersikap sabar dan sopan, namun selalu berusaha menyenangkan hatinya.
Justru sikap pemuda ini yang membuat Mawarsih merasa tidak enak dan serba salah. Andaikata pemuda ini bersikap kasar dan kurang ajar, tentu ia akan mendapatkan alasan untuk mengusirnya dan memutuskan hubungan.
Akan tetapi, pemuda ini bersikap sopan dan baik, dan tetap selalu mengunjunginya setiap ada kesempatan. Hal ini membuat Mawarsih merasa tersiksa dan mulailah ia menjadi gelisah dan tidak kerasan berada di rumah. Ia mulai merasa kehilangan ayahnya, dan terutama sekali kehilangan lingkungan yang amat tenteram menyenangkan di lereng Lawu itu.
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Mataram, pergi mencari ayahnya! Ia tidak dapat bertahan lagi. Dan mengingat akan pesan Koleksi Kang Zusi
ayahnya, iapun segera memberitahukan maksud hatinya itu kepada Nurseta. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa ia hendak mencari ayahnya, karena hal itu tentu akan menimbulkan keributan di pihak Nurseta.
"Kakangmas Nurseta, aku merasa rindu sekali kepada kampung halamanku di lereng Lawu, apa lagi karena kepergian ayah membuat aku merasa kesepian. Aku ingin pergi berkunjung ke dusun Sintren."
"Aku akan menemanimu, diajeng. Biar kuantarkan engkau ke sana, kerena kebetulan sekali tidak ada tugas bagiku. Dan kita singgah di kediaman orang tuaku. Aku ingin memperkenalkan diajeng kepada ayah ibuku."
Mawarsih menggerakkan tangan mencegah. "Tidak usah ditemani, kakangmas. Aku akan pergi sendiri saja."
"Tapi, diajeng Mawarsih. Engkau adalah seorang wanita, bagaimana akan melakukan perjalanan seorang diri" Perjalanan itu melewati bukit, jurang dan hutan belukar!"
"Kakangmas Nurseta, andika lupa agaknya bahwa aku bukanlah seorang wanita lemah. Aku akan melakukan perjalanan sendiri saja dan hendak kulihat, siapa yang akan berani dan mampu menggangguku" kata Mawarsih dengan suara tegas.
Nurseta menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dia memaksa untuk mengawal gadis ini, Mawarsih akan menjadi marah. "Baiklah, kalau andika menghendaki begitu, diajeng. Berapa lama diajeng hendak berkunjung ke dusun itu" Aku telah dititipi paman Sinduwening, maka akulah yang Koleksi Kang Zusi
bertanggung jawab atas keselamatanmu. Maka, aku perlu mengetahui berapa lama diajeng akan meninggalkan rumah ini."
Mawarsih tidak tahu berapa lama ia akan dapat menemukan ayahnya. Akan tetapi, untuk berkunjung ke dusun Sintren, ia harus menentukan batas waktunya.
"Paling lama satu bulan aku akan kembali ke sini, kakangmas."
Nurseta tidak dapat berbuat lain kecuali menyetujui dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mawarsih meninggalkan ibu kota Mataram, membawa buntalan pakaian sebagai bekal. Kalau ada orang melihat isi buntalan itu, tentu akan merasa heran karena dalam buntalan itu terisi pakaian untuk pria! Dengan hati penuh kekecewaan dan penyesalan bahwa dia tidak dapat menemani dara perkasa yang dicintainya itu, Nurseta terpaksa melepas Mawarsih pergi.
Setelah jauh meninggalkan Mataram dan berada di dalam sebuah hutan yang sunyi, barulah Mawarsih bersembunyi di balik semak belukar. Untuk beberapa lamanya ia berada di balik semak. Setengah jam kemudian, muncullah dari balik semak itu seorang pemuda tampan, yang berpakaian seperti seorang pemuda dusun, dengan ikat kepala berwarna hitam.
Pemuda tampan ini kelihatan seperti seorang pemuda remaja berusia lima belas atau enam belas tahun saja. Dia adalah Mawarsih yang menyamar sebagai pria. Niatnya untuk pergi mencari ayahnya sudah dipikirkan selama beberapa pekan dan diam-diam ia telah membuat persiapan untuk menyamar sebagai pria, bahkan sudah berlatih di dalan kamarnya bagaimana untuk berlagak kalau ia berpakainya pria. Kini lenyaplah Mawarsih, dan muncullah seorang pemuda remaja tampan yang mengenakan nama sederhana sekali, yaitu Joko Lawu!
Koleksi Kang Zusi Mawarsih atau lebih baik kita sebut Joko Lawu memang benar-benar mendaki pegunungan Lawu, akan tetapi dia tidak pergi ke dusun Sintren.
Walaupun memang dia merasa rindu kepada kampung halamannya itu, namun dia sedang mencari ayahnya, menyusul ke daerah Ponorogo di mana ayahnya bertugas dan dia sedang dalam penyamaran, maka tentu saja tidak baik kalau dia memperlihatkan diri sebagai Joko Lawu kepada penduduk dusun itu. Kalau ada yang mengenalnya, maka mereka tentu akan merasa heran dan penyamarannya akan terbuka. Dia mengambil jalan lain, melintasi perbukitan dan menuju ke lereng Lawu sebelah timur.
Pendekar Bodoh 18 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Bayangan Setan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama