Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 3

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Mayaresmi adalah puteri tunggal seorang warok gemblengan yang tinggal di daerah Pacitan, dekat laut kidul. Warok ini bernama Wirobandot dan selain terkenal sakti, juga dia seorang yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk memaksakan keinginannya. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ketika Ki Ageng Jaya giri yang ketika itu berusia lima puluh tiga tahun, kebetulan lewat di pantai laut kidul, dia dihadang oleh Warok Wirobandot dan anak buahnya, lalu dirampok. Akan tetapi, Ki Ageng Jayagiri mengalahkan mereka semua, dan Wirobandot sendiri juga kalah.
Ki Ageng Jayagiri mengampuninya dan karena girang dan kagumnya warok itu mempersilakan pertapa Gunung Merbabu itu untuk singgah di rumahnya.
Koleksi Kang Zusi Ketika itu Mayaresmi berusia dua puluh tahun. Wanita ini memang cantik manis, akan tetapi dalam pernikahannya, ia tidak beruntung. Sudah dua kali ia menikah dengan pemuda-pemuda di daerah itu, akan tetapi pernikahannya selalu gagal dan ketika Ki Ageng Jayagiri singgah di situ!
Mayaresmi telah menjanda dua kali tanpa anak. Selain cantik jelita juga Mayaresmi terkenal sebagai seorang ledek pilihan. Tidak mengherankan kalau banyak pria tergila-gila kepadanya. Akan tetapi, tidak ada pria yang berani kurang ajar atau memaksakan kehendak, karena tentu saja mereka takut kepada ayah wanita itu, yaitu warok Wirobandot. Selain itu, juga Mayaresmi sendiri bukanlah wanita lemah, dan kalau hanya laki-laki biasa saja, betapa kuatpun, tidak akan mampu menandinginya.
Dalam pertemuannya itulah, Ki Ageng Jayagiri yang sudah belasan tahun menduda, terpikat hatinya dan bangkit nafsunya sehingga dia lupa diri. Apa lagi ketika Mayaresmi mendengar betapa ayahnya dikalahkan oleh pertapa itu, ia merasa kagum sekali dan mempergunakan segala muslihat untuk memikat hati sang pertapa. Mayaresmi ingin mendekati Ki Ageng Jayagiri bukan karena kejantanannya atau ketampanannya karena tentu saja pria itu sudah terlalu tua bagi Mayaresmi. Akan tetapi Mayaresmi tertarik kepandian Ki Ageng Jayagiri, dan terutama sekali ia kagum bukan main karena ayahnya yang dianggap paling tangguh itu dikalahkannya. Melihat betapa anaknya dan Ki Ageng Jayagiri kelihatan saling tertarik, Wirobandot tidak merasa keberatan bahkan girang sekali kalau dia dapat menarik orang sakti itu sebagai mantunya. Maka, menikahlah Ki Ageng Jayagiri dengan Mayaresmi. Wanita itu diboyong ke pertapaan di padepokan lereng Gunung Merbabu dan tinggal di sana sebagai isteri Ki Ageng Jayagiri.
Selama dua tahun, Mayaresni menimba ilmu kedigdayaan dari suaminya.
Akan tetapi di samping kesenangan bisa mempelajari ilmu-ilmu kesaktian, wanita muda inipun merasa tersika karena ia tidak mendapatkan kepuasan bersuamikan seorang yang jauh lebih tua darinya. Untuk memuaskan nafsunya dengan murid atau cantrik, tentu saja ia tidak berani. Maka, akhirnya nampaklah watak aslinya dan iapun melakukan hubungan gelap dengan seorang pria muda di dusun tetangga. Ki Ageng Jayagiri menangkap Koleksi Kang Zusi
basah kedua orang yang berjina itu. Sebagai seorang yang sudah mampu menguasai amarahnya, Ki Ageng Jayagiri hanya menegur kedua orang itu dan sama sekali tidak membuka rahasia mereka sehingga tidak ada seorangpun murid atau cantrik yang mengetahuinya. Dan Mayaresmi yang merasa malu sendiri akhirnya melarikan diri meninggalkan padepokan. Ki Ageng Jayagiri juga tidak melakukan pengejaran, membiarkan Mayaresmi pergi dan memberi kebebasan kepada wanita muda itu.
Setelah bebas dari suaminya, Mayaresmi lalu menjadi seorang wanita petualang. Ia memiliki ilmu kepandaian sehingga ia mampu malang-melintang seorang diri ke manapun ia suka. Ia bahkan telah menyusup ke dalam kadipaten Ponorogo dan berkat kepandaiannya dan juga kecantikannya, ia dapat melampiaskan dorongan nafsu birahinya untuk mengadakan hubungan dengan pria manapun yang menarik hatinya! Dalam petualangannya ini ia bertemu dengan Brantoko dan tentu saja keduanya saling tertarik dan di antara mereka terjalin hubungan yang akrab, bukan saja sebagai kekasih akan tetapi juga sebagai sekutu. Brantoko bahkan menghadapkan Mayaresmi kepada sang adipati Ponorogo dan menjadi orang kepercayaan pula. Demikian juga Warok Wirobandot, ayah wanita itu, mendapatkan kepercayaan untuk membantu kadipaten Ponorogo.
Pertemuan Mayaresmi dengan Nurseta bukanlah hal yang kebetulan saja, melainkan pertemuan yang sudah direncanakan. Gangguan dua orangt tinggi besar terhadap Mayaresmi di dalam hutan itu merupakan siasatnya. Mata-mata Ponorogo sudah mendengar bahwa Raden Nurseta merupakan orang ke dua setelah Ki Sinduwening yang diutus Raja Mataram untuk melakukan penyelidikan ke daerah Ponorogo, maka panglima muda ini perlu diperhatikan. Siasat diatur dan Mayaresmi diberi tugas untuk memikat Nurseta untuk menjadi sekutu atau untuk dibunuh kalau membahayakan, setidaknya ditangkap dan ditawan seperti halnya Ki Sinduwening.
Demikianlah, dengan siasat yang amat cerdik, akhirnya Mayaresmi berhasil mengelabui Nurseta dan berhasil pula mengajak pemuda itu untuk berkunjung ke pondokannya yang berada di sebuah dusun kecil dan sepi.
Nurseta memberi isarat kepada para pengikutnya untuk menantinya di luar dusun agar tidak menarik perhatian, dan dia sendiri melanjutkan perjalanan berboncengan kuda dengan Mayaresmi memasuki dusun kecil Koleksi Kang Zusi
menuju ke sebuah rumah mungil di sudut dusun.
Seorang wanita berusia enam puluhan tahun menyambut mereka dengan hormat dan ramah. "Raden, ini Mbok Giyem, pembantuku yang menjaga rumah. Mbok Giyem, cepat masak air untuk Raden Nurseta. Dan apakah sudah ngliwet" Sembelih ayam dan masaklah yang enak untuk kami."
Wanita itu tersenyum sehingga nampak giginya yang ompong dan iapun masuk ke bagian belakang. Nurseta mengamati rumah itu. Kecil namun mungil dan isinya cukup leng- kap dan bersih. Mereka segera duduk berhadapan di ruangan rumah yang dikelilingi pohon-pohon sehingga amat teduh itu.
"Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu, Mayaresmi. Apa saja yang kaualami sejak meninggalkan padepokan bapa guru, dan bagaimana pula engkau berada di hutan itu dan diganggu dua orang tadi."
"Nanti dulu, Raden. Hari telah mulai gelap, sebaiknya kunyalakan dulu lampu penerangan". Mayaresmi menyalakan lampu penerangan dan barulah teringat oleh Nurseta betapa perjalanan tadi cukup jauh dan makan waktu setengah hari! Hari menjelang malam dan dia akan terpaksa melewatkan malam di dusun ini. Dia teringat akan anak buahnya.
"Ahh, tak terasa senja telah lewat. Di mana anak buahku akan melewatkan malam?" katanya sambil bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, mereka dapat berpencar dan bermalam di rumah-rumah penduduk dusun ini. Aku tanggung mereka akan aman, Raden. Biar kusuruh Siman tetanggaku untuk memberi tahu kepada mereka, menyampaikan pesanmu." Tanpa menanti jawaban, Mayaresmi menghampiri jendela samping dan berseru memanggil nama Siman. Seorang pemuda remaja Koleksi Kang Zusi
dusun muncul dan wanita itu menyuruh dia pergi ke luar dusun, menemui dua belas orang berkuda yang berada di sana, membawa pesan Raden Nurseta bahwa mereka dapat melewatkan malam di dusun ini, menumpang kepada rumah-rumah di dusun itu. Siman menyanggupi dan diapun lari meninggalkan pondok itu.
Nurseta tersenyum. "Mayaresmi, agaknya engkau berpengaruh juga di tempat ini."
"Ah, dusun sekecil ini, semua penduduknya rukun dan bergotong royong, Raden. Jangan khawatir, mereka adalah orang-orang sderhana dan akan merasa bangga menerima tamu orang-orang kota yang semua dianggap priyayi."
Mereka kembali duduk berhadapan dan di bawah sinar lampu yang kemerahan, wajah Mayaresmi nampak semakin cantik jelita dan menggairahkan. Pandang mata dan senyum wanita itu jelas sekali mengundang dan manantang, membuat jantung Nurseta terasa tergetar dan berdebar. Dia teringat betapa dahulu, ketika menjadi murid Ki Ageng Jayagiri dan bertemu dengan wanita ini, dia hanya menganggap bahwa bapa gurunya mempunyai isteri yang cantik muda. Akan tetapi tidak pernah dia membayangkan yang bukan-bukan, apa lagi terpikat dan tertarik. Hal itu adalah karena pertama kali dia meng- anggap wanita itu sebagai isteri bapa gurunya dan kedua terutama sekali karena sikap wanita itupun lugas dan wajar, sama sekali tidak memikat seperti saat ini. Sekarang, wanita di depannya itu jelas menantang!
"Nah, sejak tadi aku sudah menanti untuk mendengar ceritamu," Nurseta berkata dan sinar matanya nampak lahap seperti hendak menelusuri seluruh tubuh wanita itu. Melihat iri, Mayaresmi tersenyum dan merasa girang, yakin bahwa umpannya mengenai sasaran.
Koleksi Kang Zusi "Apa yang harus kuceritakan, Raden" Aku meninggalkan Ki Ageng Jayagiri dan pulang ke rumah ayahku di Pacitan, membantu pekerjaan ayah dan menjadi petani dan nelayan di pesisir laut kidul.
"Nanti dulu, Mayaresmi, katakan dulu mengapa engkau meninggalkan padepokan bapa guru yang ketika itu menjadi suamimu."
Wajah wanita itu berubah menjadi merah dan senyumnya mengandung sikap malu.
"Ah, apa yang dapat kukatakan, Raden" Tentu andika sudah dapat membayangkan sendiri perasaan seorang wanita muda seperti aku yang menikah dengan seorang pria tua, pertapa lagi. Selama dua tahun kutahan-tahankan, namun akhirnya aku tidak dapat bertahan lagi. Kesepian menggerogoti hatiku maka hari itu kuputuskan untuk meninggalkan Ki Ageng Jayagiri dn pulang ke rumah orang tuaku sendiri."
Nurseta mengangguk-angguk, akan tetapi masih merasa penasaran.
"Maafkan pertanyaanku, Maya," singkatan panggilan nama ini terasa lebih mesra, baik oleh pemanggilnya maupun yang dipanggil, "Akan tetapi ketika engkau menjadi isteri bapa guru, engkau sudah tahu bahwa beliau adalah seorang pria tua. Kenapa waktu itu engkau yang masih muda mau saja diambil isteri olehnya?"
Mayaresmi nampak tersipu. "Raden, kalau bukan kepadamu, tentu aku tidak mau berterus terang. Akan tetapi seperti kataku tadi, engkau telah menolongku,dan aku berhutang budi, kehormatan dan nyawa kepadamu.
Apapun yang kautanyakan akan kujawab, apapun yang kaukehendaki dari diriku, akan kutaati untuk sekedar membalas budimu yang setinggi langit, sebesar gunung dan seluas lautan. Ketahuilah bahwa ketika itu, Ki Ageng Koleksi Kang Zusi
Jayagiri pernah mengalahkan ayahku yang jagoan. Ayah kagum sekali, demikian pula aku, karena belum pernah aku melihat ada yang akan mampu menandingi ayahku. Dan ketika aku bertemu dengan Ki Ageng Jayagiri, aku telah menjanda dua kali. Dua orang suamiku yang dahulu adalah pemuda-pemuda dusun yang brengsek. Nah, dalam keadaan seperti itu, ketika Ki Ageng Jayagiri meminangku, aku yang janda dan yang kagum kepadanya lalu menerimanya, demikian pula ayah. Baru setelah dua tahun hidup di Padepokan yang sunyi, di samping suamiku yang lebih senang bersamadhi dari pada mendekatiku, aku merasa tersiksa."
Nurseta kembali mengangguk-angguk dan merasa puas dengan jawaban itu. "Lalu, setelah engkau meninggalkan padepokan, selama beberapa tahun ini engkau tidak menikah lagi?"
Mayaresmi menggeleng kepala. "Tidak, Raden. Aku sudah jera karena selalu gagal. Pula, laki-laki manakah yang sudi kepada aku, seorang janda tiga kali ini" Perempuan dusun yang bodoh lagi."
"Ah, jangan merendah seperti itu, Maya. Engkau masih muda, engkau cantik jelita, tidak kalah oleh puteri-puteri istana......"
"Ihhh, engkau ini hanya merayu, memuji kosong saja, Raden. Aku yakin bahwa biarpun mulutmu memuji, akan tetapi engkau akan merasa jijik berdekatan dengan perempuan seperti aku......."
"Jijik" Aku akan bangga dan berbahagia!" kata Nurseta dan di lain saat Mayaresmi telah berada dalam pelukannya. Wanita itu bukan saja menyerah, bahkan membalas belaian Nurseta dan tak lama kemudian, keduanya sudah tenggelam ke dalam lautan nafsu yang menggelora.
Di luar dugaan Nurseta, Mayaresmi adalah seorang wanita yang jauh lebih Koleksi Kang Zusi
pandai dan berpengalaman dari pada dia, dan kalau tadinya dia menganggap bahwa dia mampu menundukkan Mayaresmi, sebaliknya, tanpa disadarinya, dialah yang dijadikan semacam tanah liat yang dapat dibentuk bagaimanapun juga menurut kehendak hati Mayaresmi! Dialah yang bertekuk lutut tanpa syarat, merasa betapa dia telah menemukan seorang wanita yang membahagiakan dirinya lahir batin.
Semalam suntuk mereka berenang di lautan nafsu, dan Nurseta sudah tergila-gila, membujuk wanita itu agar suka ikut dengan dia ke Mataram.
"Maya, aku cinta padamu. Setelah selesai tugasku di sini, aku akan membawamu ke Mataram di mana engkau akan hidup mulia dan berbahagia di sampingku. Aku akan menikahimu......."
Mayaresmi mencium pemuda itu dengan mesra. "Raden, engkau adalah seorang senopati muda, kedudukanmu tinggi, engkau bangsawan yang mulia dan terhormat. Bagaimana engkau akan memperisteri aku seorang janda tiga kali yang tidak muda lagi" Engkau akan menjadi bahan tertawaan d sana, Raden."
"Hushh, jangan bicara seprti itu. Maya. Engkau belum tua, engkau cantik jelita, dan tentang engkau janda tiga kali, aku tidak peduli. Tidak akan ada yang berani menertawakan kita. Siapa berani tertawa, akan kurobek mulutnya."
"Biarpun demikian, Raden, aku....... terus terang saja, biarpun aku juga amat cinta padamu, biarpun aku merasa berbahagia dapat membalas budimu dengan penyerahan jiwa ragaku, akan tetapi aku tidak mau kalau andika boyong ke Mataram. Tidak sekarang, Raden."
"Kenapa, Mayaresmi" Bukankah di Mataram keadaannya lebih ramai, lebih besar dan engkau akan hidup serba kecukupan, kusediakan kereta dengan Koleksi Kang Zusi
empat ekor kuda untukmu, pakaian serba indah, perhiasan emas intan, kehormatan."
"Raden Nurseta, bagaimanapun juga, andika hanyalah seorang senopati muda yang hidupnya selalu terancam bahaya. Dan Mataram hendak memusuhi Ponorogo, hendak memeranginya. Bagaimana aku dapat tinggal di kerajaan yang hendak menyengsarakan rakyat di daerahku" Sang Prabu di Mataram hanya bersenang-senang saja, mengorbankan perang yang akan membakar rakyat, menewaskan para perajuritnya, termasuk mungkin juga andika sendiri. Sedangkan Sang Prabu hanya bersenang-senang di sana, menanti datangnya berita kesenangan dan akan berpesta pora kalau menang, sebaliknya akan menghukum para senopatinya kalau kalah. Tidak, Raden, aku mau hidup di sampingmu selamanya, akan tetapi ada syaratnya."
"Apa syaratanya?"
"Andika harus tinggal di sini, di daerah Ponorogo."
"Tapi aku kawula Mataram, aku senopati muda Mataram, dan bahkan ayahku adalah seorang demang di dusun Praban!"
Wanita itu tersenyum dan merangkul. "Tadi sudah kuceritakan semua itu, Raden. Akan tetapi apa halangannya" Andika bisa pindah ke sini, dan tentang kedudukan, kalau andika mau, tentu Sang Adipati Ponorogo akan dapat memberi kedudukan yang lebih tinggi padamu. Kalau andika menerima usul ini, aku akan berterima kasih sekali, Raden dan sebagai balas jasa, aku akan mengabdi selama hidupku kepadamu, dijadikan apapun aku terima. Aku tidak mengharapkan menjadi isteri pertama. Dijadikan selirpun sudah berterima kasih sekali karena aku hanya seorang janda.
Akulah yang akan membantumu untuk mencapai kedudukan setingginya, dan aku pula yang akan membantu kalau andika ingin mempersunting seorang puteri menjadi isteri kelak."
Koleksi Kang Zusi Mendengar ini Nurseta termenung dan dia membayangkan wajah Mawarsih. Bagaimana pandainya wanita ini menyenangkan hatinya, dia tak mungkin dapat melupakan Mawarsih, dara perkasa itu dan alangkah akan senangnya kalau Mawarsih, dapat menjadi isterinya kelak, dan di antara para selir-selirnya terdapat Mayaresmi! Selagi dia bimbang ragu, Mayaresmi sudah memeluknya dan dengan bisikan-bisikan mesra ia merayu dan mulai membujuk pemuda itu.
"Coba saja andika ingat akan kedudukan ayhmu. Sudah betapa besar jasanya untuk Mataram, akan tetapi apa pangkatnya" Hanya demang!
Gurumu sendiripun sejak mudanya telah berjuang untuk kepentingan Mataram, ikut pula membangun Mataram. Akan tetapi sekarang hanya menjadi pertapa miskin. Sekarang karena tenagamu masih diperlukan, andika dijadikan senopati muda. Kalau andika tidak tewas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu dikobarkan Mataram, kelak pun andika akan dicampakan begitu saja, atau diberi kedudukan kecil sebagai lurah atau demang." Demikian antara lain Mayaresmi mengilik pemuda itu.
Sebelum lewat malam, Nurseta yang sudah benar-benar jatuh menceritakan semua rahasianya. Bahwa dia jatuh cinta kepada Mawarsih, dan betapa kini dia melakukan tugas untuk menjadi pemimpin pasukan penyelidik, menggantikan Ki Sinduwening yang menjadi tawanan di Ponorogo. Dengan cerdik Mayaresmi menjanjikan akan membantu pemuda itu asal Nurseta suka menerima usulnya tadi, yaitu membantu Ponorogo dalam perjuangannya melawan Mataram yang hendak menundukannya.
"Andika dapat membuat laporan-laporan dari hasil penyeidikan itu, dan tentu saja dengan sepengetahuan sang adipati Ponorogo melalui aku sehingga kami dapat mengatur kekuatan berlawanan dengan isi laporanmu.
Dengan adanya laporan itu, kami bahkan dapat menjebak dan menghancurkan setiap pasukan Mataram yang berani datang menyerbu.
Dan nanti dapat diatur agar andika yang membebaskan Ki Sinduwening sehingga bukan saja andika dianggap berjasa dan semakin dipercaya Koleksi Kang Zusi
kerajaan Mataram, akan tetapi juga andika akan membuat gadis puteri Ki Sinduwening itu berterima kasih. Aku akan membantu agar Mawarsih itu kelak menjadi isterimu, Raden.
Mayaresmi adalah puteri seorang warok yang bukan saja digdaya, akan tetapi juga mahir menggunakan ilmu hitam dan guna-guna, ilmu yang sudah pula dikuasainya. Maka, dalam bujuk rayunya ini, ia pun mengerahkan aji guna-guna itu sehingga Nurseta yang jauh kalah pengalamannya itu benar-benar bertekuk lutut malam itu. Apa lagi ketika dia mendengar Mayaresmi bersenandung di dekat telinganya. Suara Mayaresmi amat merdunya dan memang wanita itu bekas ledek yang tentu saja mempunyai suara merdu, pandai menembang dan pandai pula menari.
Ketika pada keesokan harinya Nurseta bersama dua belas orang anak buahnya meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanan dan melaksanakan tugasnya, telah terjadi perubahan besar di dalam hatinya yang tidak diketahui orang lain. Dia telah mengatur siasat itu dengan Mayaresmi yang kini sudah tahu akan rahasia tempat pertemuan para penyelidik Mataram itu, ialah di warung Pak Jiyo di Ponorogo. Dan Nurseta sudah tahu ke mana dia akan dapat mengadakan pertemuan dengan Mayaresmi kalau dia berada di Ponorogo.
Tidak ada godaan yang lebih kuat di antara segala godaan bagi hati seorang pria, dari pada seorang wanita! Secara alami wanita memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi pria dan sekali seorang pria sudah tertarik dan jatuh cinta, maka apa pun akan dikorbankan demi wanita yang dicintanya itu. Betapa banyaknya bukti tercatat di dalam sejarah dari negara di bagian manapun di dunia ini, sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, betapa pria yang terkenal karena kejayaannya, kesaktiannya, kepandaiannya, pada suatu ketika bertekuk lutut tanpa syarat di depan kaki wanita yang dicintanya! Betapa kuatnya kerling mata yang jeli itu memikat hati pria, melebihi belenggu baja yang paling kuat, dan betapa manis memabokkan mulut yang mungil itu kalau tersenyum manja. Bibir merah muda merekah bagikan setangkai bunga mawar, memperlihatkan deretan gigi seperti mutiara, lidah yang segar kemerahan dan rongga mulut yang lebih merah lagi. Pria yang biasanya mampu melawan musuh yang kokoh kuat, tegar menghadapi serangan senjata pedang atau tombak, Koleksi Kang Zusi
begitu berhadapan dengan kerling mata dan senyum mulut seorang wanita yang menarik hatinya, akan luluh dan lemas bagaikan tanah liat.
Kenyataan ini sudah diketahui orang sejak ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu, banyak sekali wanita yang cantik dan pandai dipergunakan oleh suatu golongan untuk meruntuhkan hati seorang tokoh yang berada di pihak lawan. Raja-raja besar berjatuhan, senopati-senopati yang gagah perkasa beruntuhan, bahkan pertapa-pertapa sakti dan saleh tergelincir oleh wanita!
Tidaklah terlalu mengherankan kalau kini Raden Nurseta juga tergelincir.
Apa lagi dia hanya seorang pemuda yang memang mempunyai watak mata keranjang dan suka mengejar kesenangan dengan wanita cantik. Pria yang jauh lebih kuat batinnya dibanding Nurseta sekalipun akan mudah jatuh oleh bujuk rayu Mayaresmi.
Sesungguhnya, kecantikan wanita, seperti kecantikan dan keharuman bunga, atau segala sesuatu yang nampak indah menyenangkan bagi kita, merupakan suatu anugerah dari Tuhan melalui panca indera kita. Kita dapat menikmati hidup ini karena nafsu. Nafsu adalah peserta kita sejak lahir dan merupakan anugerah karena dengan adanya nafsu maka hidup ini menjadi berarti. Hati dan akal pikiran bekerja karena dorongan nafsu sehingga kita dapat mengadakan segala macam benda demi kenikmatan hidup di dunia ini. Nafsu disertakan kita sebagai pembantu yang amat berguna, sebagai alat agar hidup kita di dunia ini menjadi suatu pengalaman yang membahagiakan. Akan tetapi, nafsu pula yang menyeret kita ke dalam lembah kejahatan, kehinaan dan kehancuran, yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan. Kita mudah sekali dihanyutkan nafsu, sehingga kalau nafsu ini pada hakekatnya menjadi hamba yang harus membantu kita, maka kalau dibiarkan nafsu akan merajalela dan dari hamba menjadi majikan! Kita yang diperhamba dan kalau sudah begitu, maka celakalah kita! Kalau sudah begitu, maka akan muncul perbuatan-perbuatan yang merugikan pada orang lain mau pun diri sendiri, perbuatan yang pada umumnya dinamakan kejahatan dan kemaksiatan.
Koleksi Kang Zusi Hal ini sudah pula diketahui manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Jadi, bukan pada kecantikan wanitalah letak bahayanya, melainkan pada diri sendiri. Yang berbahaya adalah nafsu diri sendiri. Karena kesadaran ini, maka timbul bermacam usaha manusia untuk menjauhi nafsu, untuk mengendalikan nafsu, dan sebagainya. Orang melakukan tapa-brata, mengasingkan diri ke gunung-gunung, hidup di gua-gua yang sunyi, menjauhkan diri dari keramaian dunia dan dari pergaulan manusia, bahkan ada pula yang menyiksa diri, semua itu dimaksudkan untuk mengendalikan atau menundukkan, mengalahkan nafsunya sendiri. Betapa sulit dan sukarnya! Dan betapa jarang yang berhasil. Mengapa sukar untuk dapat berhasil" Karena hati dan akal pikiranpun sudah dicengkeram nafsu, sudah diliputi dan bergelimang nafsu itu sendiri. Manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa nafsu. Memang kalau tidak ada rangsangan dari luar, nampaknya saja tertidur. Akan tetapi, sekali menghadapi rangsangan dari luar, nafsu yang lama ditekan untuk tidak aktip itu akan menjadi berkobar lagi, bahkan lebih besar dari pada yang sudah-sudah, bagaikan api dalam sekam yang nampaknya saja sudah padam, akan tetapi begitu ada angin bertiup, apinya akan bernyala dan berkobar.
Melalui panca indera kita menikmati kehidupan ini,dan nafsulah yang mendatangkan kenikmatan itu. Tidak akan ada suara merdu bagi telinga yang tidak mengandung nafsu. Tidak ada ganda harum, rasa lezat dan sebagainya tanpa adanya nafsu. Tidak akan ada kenikmatan hidup. Namun, sekali nafsu yang menjadi majikan dan kita menjadi hambanya, kita dipaksa oleh nafsu untuk melakukan apa saja demi mengejar kenikmatan itu! Kalau nafsu amat penting bagi hidup akan tetapi juga amat berbahaya, merupakan musuh utama yang menyeret kita ke dalam penyelewengan, lalu bagaimana" Baru dapat dikatakan wajar dan sempurna kalau nafsu dalam diri manusia itu menduduki tempat semula ketika disertakan kepada manusia, yaitu sebagai alat! Sebagai pembantu, demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Itu saja! Dan cara apapun yang ditempuh manusia, selama cara itu merupakan hasil usaha hati akal pikiran, maka sukar dapat dicapai hasilnya, karena hati akal pikiran ini pun sudah bergelimang dengan nafsu. Bagaimana mungkin nafsu dapat menertibkan diri sendiri" Nafsu maunya hanya ingin menang, ingin menguasai, ingin menonjol, ingin senang dan untung sendiri, jadi, usaha hati akal pikiran yang begelimang nafsu itu, betapa halus dan berlika-liku sekalipun, tujuannya hanya satu, yaitu menang, untung dan senang! Memang kadang-kadang nafsu bekerja teramat licik dan halus, dan demikian memang kepandaian setan, sehingga Koleksi Kang Zusi
kita mudah tertipu. Kita menolong orang lain agar mendapat pahala, baik di dunia atau di akhirat, berbeda dengan kita menolong orang lain karena digerakkan getaran perasaan iba. Yang pertama itu bekerjanya nafsu, pertolongan itu hanya merupakan cara untuk mencapai tujuan, yaitu pahala atau artinya kesenangan. Melakukan segala macam kebaikan agar kelak mendapat surga juga merupakan pekerjaan nafsu, karena kebaikan itu hanya dijadikan cara untuk mencapai tujuannya, yaitu surga atau kesenangan lagi! Andaikata surga itu digambarkan tidak menyenangkan, tentu kebaikan tidak akan dilakukan! Berbeda dengan melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban hidup dari seorang manusia yang sudah dibekali pengetahuan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Lalu, apa yang harus kita perbuat agar nafsu tidak menjadi majikan, melainkan tetap menjadi alat atau pembantu kita" Jawabnya mungkin hanya: Kita tidak berbuat apa-apa! Karena apapun yang kita perbuat, itu masih merupakan pekerjaan nafsu pula. Tidak berbuat apa-apa bukan berarti acuh, bukan berarti tidak perduli, melainkan tidak berbuat apa-apa agar Kekuasaan Tuhan yang berbuat, yang bekerja! Kita menyerah saja, penuh kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, dengan bekal iman kepada Tuhan Sang Maha Pencipta! Nafsu adalah ciptaan Tuhan pula, maka hanya Sang Pencipta yang akan dapat mengatur sehingga nafsu akan kembali ke tempat semula sebagai abdi kita.
*** Malam sudah larut, mendekati tengah malam. Malam yang gelap kerena selain belum waktunya bulan muncul, juga langit tertutup mendung tipis.
Hanya ada beberapa buah bintang yang sempat nampak sebelum tertutup awan yang lewat. Kota kadipaten Ponorogo sudah sepi. Orang lebih suka berada di dalam kamar rumahnya dari pada di luar rumah yang sepi, gelap dan dingin.
Warung wedang itu pun sudah sepi. Pemiliknya, pak Jiyo yang agak Koleksi Kang Zusi
bongkok dan berusia enam puluh tahunan itu sudah siap menutup warungnya ketika nampak bayangan orang memasuki warung. Seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Akan tetapi sebagai pemilik warung yang harus ramah terhadap setiap orang pembelanja, Pak Jiyo tidak jadi menutup gebyok warungnya dan mempersilakan tamunya duduk di lincak (bangku bambu) menghadapi meja panjang di mana terdapat bermacam makanan kering dan basah.
"Mau minum apa, den?" tanya Pak Jiyo. Joko Lawu mengeluh dalam hatinya. Betapa baikpun penyamarannya, sukar baginya untuk meninggalkan kesan bahwa dia bukan seorang priyayi. Ke manapun dia pergi, selalu orang menyebutnya raden.
"Teh saja, paman. Jangan terlalu kental dan jangan terlalu manis,"
jawabnya sambil menyandarkan punggungnya yang lelah ke sandaran bilik, dan matanya mengamati keadaan di warung itu. Sebuah warung yang tidak besar, paling banyak hanya dapat menampung belasan orang tamu yang duduk berhimpitan di atas beberapa buah lincak menghadapi meja panjang penuh penganan. Nampak ada dua buah pintu kamar dari bambu, akan tetapi di ujung kanan terdapat sebuah lorong menuju ke belakang, dan lorong tanpa daun pintu itu tertutup kain hitam yang butut. Jawaban joko Lawu itu membuat si pemilik warung mengerutkan alisnya. Memang jawaban yang ganjil dan belum pernah dia mendengar ada tamu minta teh yang tidak kental dan tidak manis. Biasanya, setiap orang tamu sudah pasti memesan air teh yang kental dan manis!
Setelah disruputnya dua tiga teguk air teh panas yang dihidangkan tukang warung. Joko Lawu melihat-lihat makanan yang tersedia di atas meja.
Tidak ada yang mengundang seleranya.
"Paman, apakah paman menjual nasi" Saya lapar dan ingin makan."
Koleksi Kang Zusi "Biasanya memang saya menjual nasi, den. Akan tetapi lauknya sudah habis, tinggal nasinya dan duduh jangan (kuwah masak sayuran)......"
"Itupun sudah cukup. Kulihat ada goreng ikan asin di sini." kata Joko Lawu.
Pak Jiyo menghidangkan nasi dengan kuwah sepiring, dan Joko Lawu makan dengan lahapnya karena memang perutnya lapar. Sejak pagi tadi dia belum makan nasi.
Pak Jiyo duduk dan memperhatian tamunya itu. Seorang pemuda, masih remaja, tampan dan halus. "Raden, siapakah andika dan datang dari mana?"
"Aku bukan raden, paman. Namaku Joko Lawu dan aku tinggal di lereng Lawu. Aku datang ke Ponorogo ini untuk mencari seseorang. Dapatkah paman menolongku?" Joko Lawu sudah selesai makan dan Pak Jiyo menyingkirkan piring dan membersihkan meja dengan kain lap.
"Siapa sih orang yang andika cari itu, nak?" tanyanya, tidak lagi menyebut raden.
"Namanya Ki Sinduwening, paman." kata Joko Lawu dan dia pun memandang ke luar warung, suaranya pun lirih. Di luar warung itu sudah sepi sekali, akan tetapi mendengar disebut nama ini, Pak Jiyo kelihatan terkejut dan celingukan ke kanan kiri.
"Saya........... saya tidak tahu, nak Joko. Tapi....... ada hubungan apakah dengan orang itu?"
Koleksi Kang Zusi Joko Lawu sudah mendapat keterangan dari anak buah ayahnya yang tewas itu dan dia pun percaya sepenuhnya kepada pemilik rumah minum ini.
"Bukankah paman yang bernama Pak Jiyo?"
"Benar aku sendiri orangnya." kata pula Pak Jiyo semakin heran.
"Paman, Ki Sinduwening adalah ayahku."
Mendengar ini, tiba-tiba saja sikap Pak Jiyo berubah. Wajahnya keruh dan dia nampak marah. "Saya tidak tahu! Saya tidak mengenal orang yang andika sebutkan itu. Ki Sanak, harap suka meninggalkan warung ini karena malam sudah larut, saya hendak menutup warung, maaf." Melihat sikap yang tidak ramah itu dan mendengar orang itu kini menyebutnya ki sanak dan seperti orang marah, Joko Lawu memandang heran. Akan tetapi dia segera dapat menyadari kesalahannya. Tentu saja, kalau tempat ini menjadi tempat pertemuan para penyelidik, anak buah ayahnya, tentu Pak Jiyo ini sudah mengenal ayahnya dan sudah tahu pula akan keadan ayahnya.
Tentu dia tahu bahwa ayahnya tidak mempunyai seorang putera, hanya mempunyai seorang anak perempuan. Maka, ketika dia tadi mengaku sebagai putera Ki Sinduwening, tentu saja Pak Jiyo menjadi curiga kepadanya.
"Kalau begitu, mari kubantu menutupkan warungmu, paman." Kemudian, sambil membantu menutupkan gebyok warung, dia berkata lirih, "Paman tentu sudah mendengar bahwa Ki Sinduwening hanya mempunyai seorang anak perempuan barnama Mawarsih. Nah, akulah Mawarsih, paman Jiyo."
Kini dia menggunakan suaranya sendiri, suara wanita. Pak Jiyo tidak menjawab, hanya matanya terbelalak mengamati Joko Lawu di bawah sinar lampu yang remang-remang itu. Akan tetapi dia mempercepat menutupkan warungnya.
Koleksi Kang Zusi "Mari kita bicara di dalam." bisiknya setelah menutupkan daun pintu depan. Tanpa bicara Joko Lawu mengikuti tuan rumah ke belakang melalui lorong yang ditutup kain hitam itu.
Ternyata Pak Jiyo tinggal seorang diri saja di rumah merangkap warung itu dan di ruangan sebelah dalam rumahnya dan cukup luas itu kosong.
Mereka kini duduk berhadapan terhalang meja dan sebuah lampu duduk menerangi muka mereka. Sejenak Pak Jiyo mengamati wajah Joko Lawu dan setelah dia mendengar bahwa pemuda tampan di depannya ini adalah puteri Ki Sinduwening, barulah dia melihat jelas raut wajah seorang gadis cantik manis.
"Jadi andika inikah puteri Ki Sinduwening," katanya. "Saya sudah mendengar bahwa dia mempunyai seorang puteri bernama Mawarsih yang memiliki kedigdayaan seperti ayahnya. Akan tetapi sungguh tidak saya sangka, andika sebagai seorang gadis berani menyamar pria dan memasuki Ponorogo. Alangkah besar bahayanya!"
"Paman Jiyo, aku meninggalkan Mataram untuk mencari ayah karena aku tidak betah seorang diri di sana."
"Nanti dulu, nak," kata Pak Jiyo sambil menatap wajah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Katakan dulu bagaimana andika dapat mengetahui tempat ini."
"Aku hendak mencari ayah dan meninggalkan Mataram, menyamar sebagai pria untuk memudahkan perjalanan. Dalam perjalanan aku melihat seseorang dikeroyok oleh dua orang warok dan mendengar orang itu disebut mata-mata Mataram, aku lalu menolongnya. Dua orang warok itu Koleksi Kang Zusi
melarikan diri akan tetapi orang itu terluka parah. Sebelum tewas dia memberitahu kepadaku bahwa ayahku ditawan di Ponorogo dan kalau aku ingin tahu tentang ayah, aku disuruh mencari warung Pak Jiyo di Ponorogo.
Nah, itulah yang membawa aku berkunjung malam ini, paman."
Pak Jiyo mengangguk-angguk dan kini barulah dia tidak ragu-ragu lagi. Dia tidak merasa heran bahwa seorang dara berani melakukan perjalanan berbahaya seperti itu, bahkan dia kagum karena memang dia sudah mendengar akan kegagahan Mawarsih.
"Berita itu memang benar, nak. Ayahmu. Ki Sinduwening, memang telah ditangkap oleh Adipati Ponorogo secara licik sekali. Ayahmu telah mengadakan pertemuan dan perundingan di sini dengan anak buahnya, dan ayahmu menyatakan hendak membujuk sang adipati agar tidak melakukan pemberontakan. Ayahmu tidak ingin melihat kejadian perang antara Ponorogo dan Mataram karena hal itu merupakan perang saudara yang hanya akan mendatangkan banyak korban di antara rakyat jelata. Kami semua sudah menyatakan kekhawatiran kami akan keselamatan ayahmu.
Akan tetapi beliau memaksa dan akhirnya, terpaksa kami melepas beliau pergi seorang diri menghadap sang adipati. Dan akibatnya, bukan saja sang adipati tidak memenuhi permintaannya, tidak menyetujui nasihatnya, bahkan ayahmu ditangkap dan ditawan."
Joko Lawu mengerutkan alisnya. "Dan paman sekalian yang menjadi anak buah ayah diam-diam saja, tidak melakukan usaha untuk membebaskan ayahku?"
Pak Jiyo menarik napas panjang. "Kami semua tidaklah begitu pengecut untuk membiarkan saja ayahmu menjadi tawanan, akan tetapi juga kami bukan orang bodoh yang membunuh diri secara konyol. Kalau sang adipati tidak membunuh Ki Sinduwening, melainkan menawannya, hal itu dapat diartikan sebagai suatu umpan pancingan. Tentu sang adipati dan para senopatinya mengharapkan agar teman-teman ayahmu akan datang untuk mencoba membebaskannya, dan tentu telah dipasang perangkap sehingga kalau kami yang jumlahnya tidak banyak melakukan usaha itu, kami akan Koleksi Kang Zusi
seperti sekelompok laron yang menyerbu api! Andaikata ada usaha melakukan percobaan menolongnya, hal itu hanya dapat dilakukan oleh satu dua orang saja yang menyelundup ke tempat tahanan. Akan tetapi di antara kami tidak ada yang memiliki kemampuan seperti itu. Haruslah dicari orang yang mempunyai aji kesaktian untuk mencoba membebaskan Ki Sinduwening."
"Aku akan melakukannya sendiri, paman!"
"Andika" Andika seorang wanita....... terlalu berbahaya, nak. Adipati Ponorogo memiliki banyak jagoan yang sakti mendraguna, dan tempat itu tentu dijaga ketat oleh pasukan yang besar jumlahnya."
"Aku tidak takut, paman. Untuk menyelamatkan ayah, aku siap untuk mempertaruh- kan nyawaku. Aku hanya ingin mendapat keterangan dari paman, keterangan yang jelas di mana ayahku ditawan, dan bagaimana pula keadaan tempat tawanan itu, bagaimana pula kekuatan penjagaannya."
"Ki Sinduwening ditawan dalam sebuah tempat tahanan di kadipaten, demikian keteranga yang diperoleh penyelidik kami yang dapat menghubungi seorang perajurit kadipaten. Hanya tawanan yang amat penting saja yang ditahan di dalam istana kadipaten, bukan di tempat tawanan biasa. Akan tetapi menurut keterangan itu, Ki Sinduwening diperlakukan dengan cukup baik, tidak disiksa karena pihak kadipaten masih mengharapkan agar Ki Sinduwening suka membantu Ponorogo."
Joko Lawu mengepal tinju. "Tidak mungkin! Ayah tidak akan sudi mengkhianati Mataram! Dia seorang ksatria sejati yang siap mengorbankan nyawa demi negara dan bangsa. Sekarang aku hanya minta penggambaran tentang letak dan keadaan di kadipaten Ponorogo, paman."
Koleksi Kang Zusi Semalam suntuk mereka tidak tidur dan Joko Lawu mendapatkan gambaran yang jelas dari Pak Jiyo yang hafal benar akan keadaan istana di kadipaten, tahu pula di mana letak kamar tahanan itu dan tahu pula keadaan para penjaga yang bertugas di sana. Semua itu dipelajari dan dicatat dalam hati oleh Joko Lawu yang sudah mengambil keputusan bulat untuk menolong ayahnya. Dia tidak minta bantuan, juga tidak ingin dibantu karena kalau pembantunya kurang pandai, dia bukan membantu sebaiknya malah akan menjadi rintangan baginya. Selain mempelajari keadaan istana kadipaten berikut tempat tahanan di mana ayahnya dikeram, Joko Lawu juga mendengar banyak dari Pak Jiyo tentang kadipaten Ponorogo yang memberontak. Setelah mendengar cerita itu, baru Joko Lawu mengerti mengapa ayahnya berusaha keras untuk menaklukkan ponorogo dengan jalan damai, mencoba untuk membujuk Adipati Ponorogo agar tidak memberontak terhadap Mataram.
Pak Jiyo adalah seorang penyelidik kawakan dari Mataram dan mengetahui dengan jelas semua persoalan Mataram dan daerah-daerah yang memberontak. Joko Lawu mendengar bahwa pemberontakan di Demak dan Ponorogo dipimpin oleh keluarga Sang Prabu sendiri. Pemberontakan di Demak yang baru saja dapat ditundukkan oleh pasukan Mataram dipimpin oleh pangeran Puger. Adapun pemberontakan di Ponorogo dipaimpin Adipati Ponorogo yang juga seorang pangeran, yaitu Pangeran Jayaraga. Baik Pangeran Puger maupun Pangeran Jayaraga adalah saudara-saudara seayah dari Sang Prabu Hanyokrowati, seayah berlainan ibu karena mereka semua adalah putera mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati. Jelaslah persoalannya bahwa pemberontakan-pemberontakan itu didasari iri hati dan usaha meperebutkan kekuasaan, yaitu tahta kerajaan Mataram. Ketika Sang Prabu Hanyokrowati, yaitu dahulunya Pangeran Raden Mas Jolang, oleh mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati diangkat menjadi putera mahkota yang menggantikan kedudukannya, banyak pangeran yang merasa iri hati. Biarpun mereka itu sudah diberi kedudukan adipati, mereka tidak merasa puas karena hanya menguasai daerah kecil saja. Itulah sebabnya setelah ayah mereka wafat, para pangeran itu tidak mau mengakui kekuasaan saudara mereka, Sang Prabu Hanyokrowati dan melakukan pemberontakan.
Tentu saja senopati Ki Sinduwening yang sejak muda membela Mataram, Koleksi Kang Zusi
merasa bersedih melihat adanya perebutan kekuasaan ini dan setelah dia diangkat menjadi pemimpin pasukan penyelidik, diapun berusaha untuk mengingatkan Pangeran Jayaraga yang telah menjadi Adipati Ponorogo agar tidak melanjutkan sikapnya yang memberontak. Dia ingin mencegah terjadinya perang saudara yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata.
Akan tetapi akibatnya, karena Ki Sinduwening tidak mau dibujuk membantu Ponorogo, dia malah ditahan, walaupun dijadikan tahanan yang diperlakukan dengan baik.
Demikianlah, pada keesokkan harinya Joko Lawu bersiap-siap setelah ia mendengar suara keterangan Pak Jiyo. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyusup ke istana di siang hari. Hal itu akan berbahaya sekali dan kalau sampai ketahuan, akan gagallah usahanya membebaskan ayahnya. Dia harus dapat sekali menyusup berhasil, karena kalau tidak tentu penjagaan akan diperketat dan akan sulitlah menolong ayahnya.
Setelah pagi hari itu Joko Lawu beristirahat karena semalam suntuk tidak tidur, pada waktu menjelang sore, lewat tengah hari, diapun meninggalkan warung Pak Jiyo dan pergi berjalan-jalan untuk mengenal lebih baik keadaan kota Ponorogo. Dia bersikap biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan dan tidak menarik perhatian, bahkan memilih jalan yang sepi.
Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota sebelah selatan, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang abdi, menuntun dua ekor kuda yang tinggi besar. Biarpun dua ekor itu merupakan kuda pilihan, namun yang menarik perhatian Joko Lawu bukanlah dua ekor binatang itu, melainkan penuntunnya. Tentu saja dia segera mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Aji! Keponakan lurah dusun Muncang itu berada di Ponorogo dan menuntun dua ekor besar yang pasti milik seorang bangsawan!. Agaknya tidak mungkin kalau dua ekor kuda besar itu milik Aji.
Pakaian pemuda itu menunjukkan bahwa dia seorang abdi, bukan seorang bangsawan. Karena tertarik, Joko Lawu membayangi dari jauh. Melihat Aji menuntun dua ekor kuda itu keluar pintu gerbang, diapun membayangi, keluar dari pintu gerbang selatan kota Ponorogo.
Kiranya pemuda itu membawa dua ekor kudanya ke lembah sungai selatn kota. Ponorogo memang dikepung beberapa sungai yang datang dari pegunungan Wilis, Liman dan bukit-bukit di barat. Sungai-sungai yang Koleksi Kang Zusi
cukup besar, apalagi kalau musim hujan, di antaranya adalah Kali Watu dan Kali Ngebel yang datang dari timur, dan Kali Tempuran yang datang dari barat, semua airnya bersatu dengan Kali Madiun yang datang dari selatan untuk mengalir terus ke utara dan akhirnya menjadi satu dengan Bengawan Solo. Di daerah lembah sungai memang merupakan daerah subur, dan banyak terdapat rumput yang gemuk. Aji membawa dua ekor kuda itu ke padang rumput dan melepas mereka di sana. Dia sendiri lalu menggunakan sebuah arit untuk membabat rumput yang dimasukkannya ke dalam empat buak keranjang yang tadi dia bawa di atas punggung kuda.
Aji yang sedang asik menyabit rumput, mengangkat muka ketika mendengar langkah orang mendekat. Di tempat yang amat sunyi itu, siapakah yang menghampiri dan mengganggu pekerjaannya" Dua pasang sinar mata bertemu dan Aji terbelalak. Tentu saja dia segera mengenal pemuda tampan yang membuat dia kagum bukan main dalam pesta pernikahan saudara misannya, yaitu anak lurah dusun Muncang. Pemuda yang selain pandai menari dengan amat indahnya, juga memiliki kedigdayaan yang mengagumkan. Otomatis dia menghentikan gerakan tangannya menyabit rumput, melongo saking heran dan kagetnya karena pertemuan ini sungguh tak pernah disangkanya.
"Ki sanak, engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali." kata Joko Lawu untuk membuka percakapan, diam-diam merasa geli melihat pemuda yang pandai meniup suling, pandai beryanyi, bahkan pandai menari itu melongo seperti seorang yang kehilangan akal.
Aji bangkit berdiri, sudah dapat menguasai kekagetan dan ketegangan hatinya. "Ah, kiranya andika, orang muda aneh yang sakti mandraguna itu, yang muncul di pesta paman lurah seperti seorang ksatria dalam dongeng saja. Siapa pula namamu, ki sanak" Kalau tidak salah, namamu Joko Lawu, bukan?"
Joko Lawu berlagak seolah-olah baru dia teringat. "Ah, benar! Kiranya Koleksi Kang Zusi
andika adalah pemuda yang pandai menari tayuban itu, andika......... eh, keponakan ki lurah Muncang, bukan" Namamu........ ah, aku lupa lagi, kisanak."
"Panggil saja aku Aji."
"Oh, benar. Namamu Aji, engkau yang kejatuhan sampur, dipilih oleh ledek yang manis itu. Siapa pula namanya! Madu..... Madu......."
"Madularas. Akan tetapi, dibandingkan andika, aku kalah jauh, baik dalam kepandaian menari, dalam menarik hati Madularas, apa lagi dalam hal kepandaian berkelahi. Ki Sanak Joko Lawu, bagaimana tiba-tiba saja andika dapat muncul di sini" Tempat ini amat sepi........"
"Pertanyaanku tadi belum habis dan belum sempat kaujawab. Engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali. Milikmukah ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Aji tertawa dan Joko Lawu memandang dengan jantung berdebar. Alangkah tampan pemuda ini kalau tertawa. Nampak lebih muda dan giginya yang berderet rapi dan putih terawat itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Juga tawanya amat menular. Mau tidak mau diapun harus tersenyum karena sukarlah menahan diri untuk tidak ikut tertawa melihat dan mendengar pemuda itu tertawa.
Kiranya pemuda itu membawa dua ekor kudanya ke lembah sungai selatn kota. Ponorogo memang dikepung beberapa sungai yang datang dari pegunungan Wilis, Liman dan bukit-bukit di barat. Sungai-sungai yang cukup besar, apalagi kalau musim hujan, di antaranya adalah Kali Watu dan Kali Ngebel yang datang dari timur, dan Kali Tempuran yang datang dari barat, semua airnya bersatu dengan Kali Madiun yang datang dari selatan untuk mengalir terus ke utara dan akhirnya menjadi satu dengan Bengawan Koleksi Kang Zusi
Solo. Di daerah lembah sungai memang merupakan daerah subur, dan banyak terdapat rumput yang gemuk. Aji membawa dua ekor kuda itu ke padang rumput dan melepas mereka di sana. Dia sendiri lalu menggunakan sebuah arit untuk membabat rumput yang dimasukkannya ke dalam empat buak keranjang yang tadi dia bawa di atas punggung kuda.
Aji yang sedang asik menyabit rumput, mengangkat muka ketika mendengar langkah orang mendekat. Di tempat yang amat sunyi itu, siapakah yang menghampiri dan mengganggu pekerjaannya" Dua pasang sinar mata bertemu dan Aji terbelalak. Tentu saja dia segera mengenal pemuda tampan yang membuat dia kagum bukan main dalam pesta pernikahan saudara misannya, yaitu anak lurah dusun Muncang. Pemuda yang selain pandai menari dengan amat indahnya, juga memiliki kedigdayaan yang mengagumkan. Otomatis dia menghentikan gerakan tangannya menyabit rumput, melongo saking heran dan kagetnya karena pertemuan ini sungguh tak pernah disangkanya.
"Ki sanak, engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali." kata Joko Lawu untuk membuka percakapan, diam-diam merasa geli melihat pemuda yang pandai meniup suling, pandai beryanyi, bahkan pandai menari itu melongo seperti seorang yang kehilangan akal.
Aji bangkit berdiri, sudah dapat menguasai kekagetan dan ketegangan hatinya. "Ah, kiranya andika, orang muda aneh yang sakti mandraguna itu, yang muncul di pesta paman lurah seperti seorang ksatria dalam dongeng saja. Siapa pula namamu, ki sanak" Kalau tidak salah, namamu Joko Lawu, bukan?"
Joko Lawu berlagak seolah-olah baru dia teringat. "Ah, benar! Kiranya andika adalah pemuda yang pandai menari tayuban itu, andika......... eh, keponakan ki lurah Muncang, bukan" Namamu........ ah, aku lupa lagi, kisanak."
Koleksi Kang Zusi "Panggil saja aku Aji."
"Oh, benar. Namamu Aji, engkau yang kejatuhan sampur, dipilih oleh ledek yang manis itu. Siapa pula namanya! Madu..... Madu......."
"Madularas. Akan tetapi, dibandingkan andika, aku kalah jauh, baik dalam kepandaian menari, dalam menarik hati Madularas, apa lagi dalam hal kepandaian berkelahi. Ki Sanak Joko Lawu, bagaimana tiba-tiba saja andika dapat muncul di sini" Tempat ini amat sepi........"
"Pertanyaanku tadi belum habis dan belum sempat kaujawab. Engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali. Milikmukah ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Aji tertawa dan Joko Lawu memandang dengan jantung berdebar. Alangkah tampan pemuda ini kalau tertawa. Nampak lebih muda dan giginya yang berderet rapi dan putih terawat itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Juga tawanya amat menular. Mau tidak mau diapun harus tersenyum karena sukarlah menahan diri untuk tidak ikut tertawa melihat dan mendengar pemuda itu tertawa.
"Heh-heh-heh, jangan mengejek, sobat. Orang seperti aku ini mempunyai dua ekor kuda seperti ini" Ha-ha-ha, ketahuailah, kawan, biar aku bekerja sampai tua, aku tidak akan mampu membeli seekor saja kuda seperti ini!
Bahkan lebih lagi, harga dua ekor kuda ini jauh lebih tinggi dari pada harga diriku sebagai manusia."
Joko Lawu mengerutkan alisnya. "Hemm, andika terlalu merendahkan diri, sobat. Bukankah andika keponakan lurah Muncang" Dan bagaimana pula harga diri seorang manusia kalah oleh dua ekor kuda?" Joko Lawu tidak Koleksi Kang Zusi
setuju sama sekali mendengar pemuda itu merendahkan diri sedemikian rupa. Orang boleh rendah hati, bahkan sepatutnya manusia rendah hati, akan tetapi rendah diri" Ini hanya kelakuan seorang penakut, seorang pengecut yang sudah tidak percaya lagi kepada dirinya sendiri. Dan dia tidak melihat pemuda ini seorang manusia semacama itu. Bukankah di medan pesta itu Aji memperlihatkan harga dirinya sebagai manusia" Dia berani membela seorang ledek dari penghinaan orang kasar, walaupun dia tidak memiliki kedigdayaan apapun.
"Apa artinya keponakan seorang lurah" Hanya lurah, dan hanya keponakan.
Di kadipaten ini, seorang lurah tidak ada artinya, apa lagi hanya keponakan lurah. Dan tentang harga diri, maksudku begini. Aku bekerja sebagai tukang memelihara kuda di kadipaten. Andika lihat kuda ini. Kuda tunggangan sang pangeran, sang adipati sendiri. Dan kalau sampai dua ekor kuda ini hilang atau mati selagi kurawat, mungkin saja aku akan dihukum mati. Nah, bukankah itu berarti harga diriku lebih rendah dari pada harga dua ekor kuda ini" Akan tetapi jangan khawatir, dua ekor kuda ini takkan hilang atau mati, aku merawatnya baik-baik dan dalam hal merawat kuda, aku boleh berbangga diri. Aku ahlinya!"
Hanya ada satu hal yang seketika amat menarik hati Joko Lawu dalam kata-kata yang agak panjang itu, yaitu bahwa Aji adalah seorang hamba kadipaten Ponorogo!
"Ah, kiranya andika seorang abdi kadipaten Ponorogo yang setia" Akan tetapi bukankah belum lama ini aku melihat andika di Muncang?"
"Ketika itu, aku sudah menjadi abdi kadipaten. Karena seorang saudara misanku di Muncang, anak paman lurah, menikah, maka aku mohon ijin dan diberi ijin untuk cuti beberapa hari. Aku sudah hampir setahun bekerja sebagai perawat kuda di kadipaten ini."
Koleksi Kang Zusi Joko Lawu memperhitungkan dalam benaknya. Kalau begitu, mungkin setelah pertemuan dengannya terakhir di lereng Lawu, Aji lalu ke Ponorogo dan bekerja di kadipaten. Inilah kesempatan yang amat baik baginya! Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana sikap dan pendirian Aji. Kalau dia seorang abdi yang setia terhadap kadipaten Ponorogo, tentu tidak mungkin dapat dimanfaakan kedudukannya.
"Joko Lawu, kenapa andika termenung saja?" Aji menegur ketika melihat pemuda tampan itu diam seperti patung mendengar keterangannya itu.
Joko Lawu sadar dan tersenyum. "Aku hanya tidak mengira sama sekali akan bertemu denganmu di sini dan andika menjadi abdi kadipaten.
Bukankah bekerja di kadipaten sekarang ini amat berbahaya" Aku mendengar desas-desus di mana-mana bahwa akan terjadi perang saudara antara kadipaten dan kerajaan Mataram."
Aji tertawa. "Aku tidak ingin berperang. Aku hanya perawat kuda, aku bukan perajurit."
"Tapi, tetap saja engkau akan terlibat dalam pertempuran. Tentu engkau akan membela kadipaten Ponorogo mati-matian dengan taruhan nyawamu, bukan?"
Aji terbelalak. "Ah, siapa bilang" Aku bekerja untuk mencari sesuap nasi, bukan untuk mempertaruhkan nyawa."
"Akan tetapi, engkau tentu akan membela Ponorogo kalau terjadi perang!"
Koleksi Kang Zusi "Tidak, aku bukan perajurit."
"Kalau begitu engkau akan membela Mataram?" Joko Lawu memancing.
"Juga tidak! Sang Adipati di Ponorogo juga seorang pangeran, masih saudara dari Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram. Kalau terjadi perang saudara, mudah-mudahan tidak, aku akan bebas, tidak mau mencampuri.
Pula, aku takut berkelahi dalam pertempuran. Mengerikan!"
Kembali Joko Lawu termenung. Sungguh sukar untuk mengambil keputusan. Keterangan Aji membuat dia ragu-ragu dan tidak tahu bagaimana pendirian pemuda ini sesungguhnya.
"Joko Lawu, ada apakah! Engkau termenung lagi."
Joko Lawu tersenyum. "Sebetulnya, aku ingin sekali minta pertolongan darimu, akan tetapi aku tidak tahu apakah engkau mau menolongku ataukah tidak."
"Tentu saja aku mau. Andika seorang pemuda yang amat baik. Di Muncang, andika tidak saja telah menyelamatkan Madularas dari penghinaan, akan tetapi juga membikin terang muka pamanku, lurah Muncang. Nah, katakan saja, pertolongan apa yang dapat kuberikan kepadamu?"
"Aku ingin agar engkau suka menyelundupkan aku ke dalam kadipaten."
Koleksi Kang Zusi Berkata demikian, Joko Lawu mengamati wajah Aji dengan sinar mata penuh selidik untuk melihat bagamana tanggapan pemuda itu atas permintaannya. Aji terbelalak dan alisnya berkerut, sinar matanya juga mengamati wajah Joko Lawu penuh selidik. "Ehh" Apa maksudmu hendak menyelundup ke kadipaten" Kalau engkau hendak menculik puteri........
memang puteri sang adipati cantik-cantik, akan tetapi........."
"Hushh, aku bukan penculik puteri, bukan mata keranjang!" Joko Lawu cepat mencela.
Aji tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu, ki sanak! Andika membuat Madularas tergila-gila, namun andika acuh saja. Mengagumkan!"
Joko Lawu tersenyum mengejek. "Hemm, karena aku tahu bahwa andika dan Madularas saling mencinta, bagaimana aku berani mengganggunya?"
Aji terbelalak, "Heiii, jangan sembarangan menuduh. Madularas, biarpun seorang ledek terkenal di Pacitan, tidak dapat disamakan dengan para ledek lainnya. Ia seorang gadis baik-baik dan kenapa andika menduga aku dan ia saling mencinta?"
"Hemm, sikapmu demikian manis ketika kalian menari."
"Wahh, kalau bicara tentang sikap manis dan keserasian, andika dan ia lebih cocok lagi, lebih bermanis-manis dan lebih masra."
"Kalau aku lain lagi. Aku tidak tergila-gila kepadanya."
Koleksi Kang Zusi "Akupun tidak."
Joko Lawu mengerutkan alisnya, mangkel hatinya kepada diri sendiri.
Kenapa pembicaraan menjadi nyeleweng lagi ke soal menari dengan Madularas" Kenapa hatinya selalu terasa panas kalau membayangkan Aji berjoget dengan ledek muda yang jelita itu"
"Sudahlah, kau boleh yakin bahwa aku ingin memasuki kadipaten bukan untuk mencari puteri."
Sikap Aji serius lagi. Dia menunduk dan mengerutkan alisnya, seperti memeras otaknya. Tiba-tiba dia mengangkat muka dan berseru keras, mengejutkan Joko Lawu, "Wah, celaka! Engkau tentu ingin membunuh sang pangeran adipati atau siapa di sana!"
"Ngawur lagi!" Joko Lawu cemberut. "Aku tidak ingin membunuh siapapun juga, bahkan ingin mencegah terjadinya pembunuhan. Aku ingin menyelamatkan seseorang dari sana." Terpaksa dia harus berterus terang dan mendapat keputusan sekarang juga bagaimana sikap Aji, suka membantunya ataukah tidak. Dia sudah terlanjur menyatakan keinginannya menyelundup ke kadipaten, suatu pekerjaan yang akan penuh bahaya dan juga amat sukar karena tentu tempat tahanan di kadipaten itu terjaga ketat. Kalau dia dapat menyusup masuk dengan bantuan Aji, dia dapat bekerja dengan diam-diam dari dalam.
Mendengar ucapan Joko Lawu, Aji mengerutkan alisnya dan mengamati wajah yang tampan itu dengan penuh selidik. "Mencegah pembunuhan"
Menyelamatkan seseorang" Apa maksudmu?"
Koleksi Kang Zusi Joko Lawu merasa sudah terlanjur melangkah. Mundur salah, hanya akan menimbulkan kecurigaan, kalau maju masih untung-untungan, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Aji adalah seorang pemuda yang pandai dan tidak jahat. Andaikata pemuda itu setia kepada Ponorogo sekalipun, orang seperti Aji tidak mungkin mau mencelakai orang lain.
"Aji, apakah engkau tahu bahwa di kadipaten terdapat sebuah tempat tahanan bagi tawanan yang penting?"
Aji mengangguk. "Lalu kenapa?" Dia mendesak.
"Dalam kamar tahanan itu terdapat seorang tawanan penting yang baru beberapa pekan ini ditawan. Kenalkah engkau dengan tawanan itu?"
Aji meraba dagunya yang tak berjenggot. "Hemm, kulihat ada beberapa orang di sana. Siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Ki Sinduwening. Kenalkah engkau kapada orang itu?"
Aji mengangguk-angguk. "Seorang tawanan penting dan istimewa. Aku mendengar bahwa dia lebih tepat dikatakan seorang tamu yang tidak boleh keluar dari tempat tahanan itu dari pada seorang tawanan. Demikian kabarnya yang kudengar dari para perajurit penjaga. Lalu kenapa?"
Koleksi Kang Zusi "Aku ingin menolong dan membebaskan orang itu." kata Joko Lawu dan kembali pandang matanya tajam penuh selidik.
Aji memandang heran. "Ehh" Kenapa" Apamukah Ki Sinduwening itu?"
"Nanti dulu. Tahukah engkau siapa Ki Sinduwening itu dan mengapa pula dia ditawan, Aji?"
Aji menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku pernah mendengar nama Ki Sinduwening sebagai seorang tokoh di Pegunungan Lawu, seorang tokoh yang terkenal sakti mandraguna dan yang mengasingkan diri di tempat sunyi di lereng Lawu."
Joko Lawu mengangguk. Tentu saja Aji telah mendengar tentang Ki Sinduwening dari Bayu, pikirnya. "Benar sekali, akan tetapi di samping itu, dia adalah utusan Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram."
"Utusan" Kenapa ditawan?"
"Itulah yang membuat hatiku penasaran. Dengar baik-baik, Aji. Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang memiliki rasa keadilan dalam hatimu dan aku percaya kepadamu. Ki Sinduwening dalah seorang senopati Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan di Ponorogo karena sang prabu mendengar bahwa Ponorogo hendak memberontak. Ki Sinduwening adalah seorang gagah yang tidak ingin melihat terjadinya pertumpahan darah yang mengorbankan rakyat karena adanya perang saudara antara Pangeran Jayaraga yang menjadi adipati di Ponorogo dan Mataram. Maka, dengan nekat dia lalu menghadap Adipati Ponorogo untuk membujuk pangeran yang dikenalnya dengan baik itu agar menghentikan gerakannya memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi, ternyata maksud baik Ki Sinduwening itu dibalas dengan cara yang amat curang. Dia ditangkap dan Koleksi Kang Zusi
ditahan, walaupun diperlakukan dengan baik, tetap saja kebebasannya dirampas dan dia menjadi orang tawanan."
"Hemm, kenapa begitu" Apa maksudnya Gusti Adipati memperlakukannya seperti itu?"
"Karena Sang Adipati menginginkan agar Ki Sinduwening suka membantu Ponorogo memberontak kepada Mataram dengan janji-janji muluk. Akan tetapi, Ki Sinduwening adalah seorang ksatria yang tidak sudi menjual negara."
Aji mengangguk-angguk kagum. "Bukan main! Akan tetapi, Joko, kenapa engkau ingin membebaskannya" Pekerjaan itu berbahaya sekali. Kalau ketahuan, engkau akan dikeroyok dan di sana terdapat banyak orang digdaya."
"Aku tidak takut! Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk menolong dan membebaskannya."
"Engkau sungguh gagah dan pemberani, akan tetapi juga nekat, Joko.
Apamukah Ki Sinduwening itu sehingga engkau siap mempertaruhkan nyawamu untuk menolongnya?"
Betapapun hatinya untuk memperkenalkan diri sebagai Mawarsih, sebagai dara yang pernah berkenalan dengan Aji, diperkenalkan oleh Bayu. Akan tetapi, Joko Lawu merasa belum waktunya membuka rahasia penyamarnnya. "Aku adalah seorang keponakannya. Paman Sinduwening harus kuselamatkan dan kalau engkau suka menolongku, aku akan berterima kasih sekali."
Koleksi Kang Zusi Hening sejenak. Aji nampak berpikir-pikir, kemudian dia memandang wajah Joko Lawu. "Ada dua hal yang membuat aku bertanya-tanya.
Pertama, kenapa engkau percaya kepadaku, Joko" Aku adalah seorang asing bagimu, bagaimana kalau aku melaporkanmu kepada gusti adipati"
Bagaimana kalau aku mengkhianatimu?"
"Andika bukan orang asing bagiku, Aji. Bukankah kita pernah saling berjumpa di Muncang" Aku percaya kepadamu dan biasanya, suara hatiku menyakinkan dan tidak pernah salah menilai orang."
"Terima kasih, Joko. Dan hal ke dua yang membuat aku bertanya-tanya adalah apa yang dapat kubantu" Aku hanya seorang tukang merawat kuda, tempatku di kandang kuda, di bagian belakang. Aku tidak mempunyai kedudukan apa-apa di kadipaten, hanya sebagai abdi yang paling bawah.
Bagaimana mungkin aku dapat menolong engkau yang mempunyai niat melakukan pekerjaan yang demikian berbahaya dan penting?"
"Aku tidak minta banyak darimu, Aji. Cukuplah kalau engkau suka membawaku ke kadipaten, membantu aku agar aku dapat memasuki istana sang adipati. Setelah itu, aku akan bekerja sendiri, dan andaikata aku gagal, aku tidak akan melibatkan dirimu. Aji."
Aji mengangguk-angguk. Lalu dia menyerahkan aritnya kepada Joko Lawu dan berkata, "Kalau begitu, cepat kaulanjutkan pekerjaanku menyabit rumput. Penuhi sampai empat keranjang ini, aku akan mengurus kuda-kudaku. Setelah cuaca gelap, kau ikut aku ke kadipaten sambil memikul keranjang rumput. Engkau menjadi langgananku mencarikan rumput untuk kuda-kuda di kadipaten."
Joko Lawu girang sekali. Dia tahu sudah akan maksud Aji yang hendak Koleksi Kang Zusi
membawanya memasuki kadipaten sebagai seorang penjual rumput untuk kuda-kuda di kadipaten. Pikiran yang bagus sekali! Dan diapun mengerahkan tenaganya, dengan cepatnya dia menyabit rumput dan memenuhi empat keranjang rumput. Setelah senja lewat, Aji mengajak Joko Lawu untuk mengantarkan rumput yang dipikulnya ke kadipaten.
Benar saja para penjaga yang telah mengenal baik Aji peraat kuda, tidak menaruh curiga ketika melihat seorang pemuda lain memikul keranjang penuh rumput memasuki pintu gerbang dan langsung menuju ke kandang kuda di belakang melalui jalan samping dekat taman. Malam hampir tiba, cuaca sudah remang-remang. Memang sering kali terdapat penjual rumput diajak oleh Aji mengantar rumput ke kandang kuda maka kemunculan Joko Lawu sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan tak seorangpun penjaga bertanya-tanya, dan mungkin juga tidak ada yang mengingatnya lagi. Aji sudah mempersiapkan jawaban seandainya ada yang teringat dan menanyakan mengapa penjual rumput itu tidak nampak keluar lagi malam itu. Dia akan menjawab bahwa penjual rumput itu adalah seorang kenalannya yang akan dimintai tolong untuk membantunya membersihkan kandang, maka ditahannya agar menginap di situ bersama dia.
Akan tetapi, sampai malam tiba, tidak ada seorangpun perajurit penjaga yang datang ke kandang, apa lagi bertanya. Hal ini tentu saja melegakan hati Aji, terutama Joko Lawu yang sama sekali tidak menghendaki pemuda yang telah menolongnya itu akan terlibat dalan urusannya. Andaikata dia gagal menolong ayahnya, tertawan atau tewas sekalipun, dia rela. Akan tetapi kalau sampai Aji yang tidak tahu apa-apa tersangkut dan ikut menderita, dia akan merasa menyesal sekali.
Atas nasihat Aji, baru menjelang tengah malam Joko Lawu meninggalkan kuda di mana terdapat sebuah kamar yang menjadi tempat tinggal Aji, dan dia menyelinap dan menghilang ke dalam kegelapan malam. Dari Aji dia mendapat tambahan keterangan yang lebih jelas tentang letak tempat tahanan, di mana adanya para penjaga malam, dan bila mana diadakan ronda malam. Jalan mana yang paling aman untuk ditempuh ketika mendekati empat tahanan. Semua ini memudahkan gerakan Joko Lawu dalam usahanya menyelamatkan ayahnya.
Koleksi Kang Zusi Sesuai dengan petunjuk Aji, tanpa banyak mengalami kesukaran, akhirnya Joko Lawu dapat berada di atas wuwungan kamar tahanan itu. Seperti yang telah direncanakan sesuai dengan petunjuk Aji, dia mendekam di wuwungan sambil mengamati gerakan di bawah sana. Ada belasan orang penjaga di luar tempat tahanan, ada yang sedang santai mengobrol, ada pula yang melenggut karena kantuk, ada yang merokok dan sebagainya.


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang tengah malam itu, tepat seperti yang didengarkan dari keterangan Aji, nampak dua belas orang penjaga baru datang menggantikan penjaga yang sudah berjaga sejak sore tadi. Untung dia tahu akan hal itu dan tidak tergesa bergerak, karena kalau hal itu terjadi, tentu akan ketahuan para penjaga baru sehingga dia harus menghadapi dua losin penjaga. Setelah penggantian penjaga selesai, selosin perajurit yang diganti pergi meninggalkan tempat itu dan selosin yang baru mulai melakukan tugas mereka. Empat orang diantara mereka berangkat melakukan perondaan sehingga di tempat itu tinggal delapan orang perajurit yang berjaga. Inilah kesempatan yang dinanti nantinya. Dia sudah mempersiapkan sekantung batu-batu kecil sebesar telur ayam. Menyerang mereka dengan batu hanya akan menimbul- kan kegaduhan karena tidak mungkin merobohkan mereka dengan sambitan batu dengan serentak.
Lebih baik meninggalkan tempat penjagaan yang hanya diterangi sebuah lampu gantung. Kedua tangan Joko Lawu bergerak menyambit-nyambitkan batu ke kanan kiri. Dia mencoba untuk melihat reaksi mereka. Terdengar suara gaduh di kanan kiri akibat sambitan batu-batu tadi.
"Ehh" Apa itu?"
"Mari kita lihat!"
Dua orang segera pergi ke kanan dan dua orang ke kiri. Joko Lawu menyambit lagi ke sana sini dan empat orang sisanya berpencaran melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tentu saja mereka tidak menemukan sesuatu dan mereka berkumpul lagi di depan pintu rumah tahanan.
Koleksi Kang Zusi "Heran, suara apa sih yang ribut-ribut tadi?"
"Seperti ada yang menyabiti dengan batu."
"Tapi tidak nampak seorangpun."
"Jangan-jangan setan........"
"Ihhh! Jangan membikin takut saja?"
"Ini kan malam Jum"at?"
Orang tertua di antara mereka, yang menjadi kepala jaga, menggerakkan tangan kehilangan kesabarannya. "Sudah, sudah, jangan ribut sendiri.
Lebih baik sekarang periksa apakah tawanan yang kita jaga masih berada di dalam. Itu yang terpenting!"
Dia lalu mengambil sebuah kunci besar yang tergantung di paku dinding, lalu menggunakan kunci itu untuk membuka gembok yang dipasang di pintu tempat tahanan. Itulah yang dicari Joko Lawu. Sekarang dia tahu di mana kunci itu disimpan. Sederhana saja. Tergantung di paku yang menancap di dinding di sudut. Dia memperhatikan cara penjaga itu membuka gembok dan daun pintu tempat tahanan. Dua orang penjaga, dengan tombak di tangan, memasuki pintu itu. Dia tidak melihat ayahnya, juga tidak mendengar suaranya. Akan tetapi, dua orang penjaga itu tidak lama keluar lagi dengan wajah lega.
Koleksi Kang Zusi "Dia tidur, keadaan aman." kata si kepala jaga dan daun pintu tempat tahanan itu ditutup dan digembok lagi. Dengan hati girang Joko Lawu melihat betapa kunci itu digantung lagi di tempat semula dan agaknya para penjaga sudah melupakan lagi peristiwa tadi. Mereka mengobrol dengan santai. Kurang lebih setengah jam, rombongan peronda pertama dari empat orang itu datang dan melapor kepada kepala jaga bahwa semua dalam keadaan aman. Kedatangan empat orang peronda ini memancing percakapan tentang kegaduhan tadi dan kini mereka semua bertanya-tanya suara apakah tadi.
Joko Lawu tetap mengintai dengan sabar. Dia tetap mencari kesempatan terbaik untuk turun tangan. Empat orang di antara mereka mendapat giliran meronda. Tengah malam sudah lama lewat. Suasana semakin sunyi.
Hawa udara semakin dingin dan delapan orang yang ditinggal meronda itu nampak mengantuk.
Tibalah saat yang dinanti-nanti Joko Lawu. Dia menyilangkan kedua lengan depan dada, menundukkan mukanya dan memejamkan mata. Sebelum mulai dengan aji penyirepan Begananda, teringat olehnya akan pesan ayahnya ketika ia mempelajari aji ini, bahwa aji ini, seperti semua ilmu yang dipelajarinya, harus dipergunakan demi kebaikan, dan sama sekali pantang untuk dipergunakan sebagai cara untuk melakukan kejahatan. Sekali ini, dia menggunakan Aji Sirep Begananda demi untuk menolong dan membebaskan ayahnya, maka dia mengerahkan seluruh tenaga batinnya dan seluruh dirinya dipusatkan kepada mantram yang dibisikkannya.
"Hong, niatingsung matak aji sirep Begananda, Aji patunggengan Sang Aji Saka.
Aing sapa katiban, jin setan peri prayangan padha mati.
Koleksi Kang Zusi Aja maneh pecaking janma manusa,
Ora wani ambleg sek turune kaya mati,
Ora pisan-pisan tangi yen aku durung lungo."
Tanah yang diambilnya dari kuburan dan yang telah dipersiapkannya dalam kantung bersama batu-batuan tadi, dia genggam dan dia lemparkan ke atas gardu penjagaan di mana delapan orang itu berada.
Tak lama kemudian, delapan orang yang terkena pengaruh Aji Sirep Begananda itu tak dapat menahan kantuk mereka dan mereka semua tertidur. Nyenyak sekali. Terdengar suara dengkur mereka saling sahutan.
Bayangan Joko Lawu berkelebat dan dia sudah mengambil kunci dari paku di dinding gardu penjagaan, melangkahi tubuh-tubuh para penjaga yang malang-melintang.
Dengan mudah dia membuka gembok dengan kunci, mendorong daun pintu dan memasuki rumah tahanan. Dilihatnya ayahnya tidur di atas sebuah dipan, dalam sebuah kamar yang cukup bersih dan lengkap. Memang benar, ayahnya diperlakukan sebagai seorang tamu, dan hatinya merasa lega.
Bagaimanapun juga, ayahnya menjadi seorang tawanan dan dia harus membebaskannya. Dia mendorong daun pintu kamar tahanan itu. Tidak terkunci, akan tetapi agak sukar dibuka seolah ada yang menahannya. Dia manambah tenaga dan daun pintu itupun terbuka. Dia meloncat masuk dan berlutut di dekat tempat tidur ayahnya. Hatinya tegang, terharu dan juga girang. Dijamahnya pundak ayahnya.
"Bapa...., bapa...... bangunlah.....!"
Koleksi Kang Zusi Guncangan lembut di pundak itu menggugah Ki Sinduwening. Dia membuka mata, menoleh dan bangkit duduk dengan mata terbelalak. Sejenak dia terheran melihat seorang pemuda tampan kini duduk di tepi pembaringan, akan tetapi dia mengenal suara itu! Dan kini setelah penglihatannya sama sekali terbebas dari kantuk, dia mengenal pula pandang mata dan senyum itu.
"Mawar.......!"
"Ssttt, bapa. Aku sekarang menjadi Joko Lawu, aku datang untuk membebaskanmu. Mari, bapa. Delapan orang penjaga itu sedang tidur oleh aji sirepku......."
Ki Sinduwening meloncat turun dan ketika dia memandang ke arah pintu kamar tahanannya yang terbuka, dia terbelalak. "Celaka, Mawar! Engkau telah memandang rendah kekuatan di sini. Pintu itu akan memberitahu kepada senopati pasukan penjaga. Larilah, cepat kau lari sebelum terlambat. Aku di sini tidak apa-apa. Aku akan membantumu lari. Hayo cepat!"
Ki Sinduwening mendorong puterinya ke luar dari dalam kamar itu. Joko Lawu terkejut dan merasa heran karena dia melihat betapa keadaannya aman dan dia bahkan sudah berhasil memasuki kamar ayahnya dan mengajaknya keluar! Mereka meoncat keluar dan setelah tiba di luar rumah tahanan itu, barulah Joko Lawu maklum mengapa ayahnya gelisah seperti itu. Kiranya, di depan rumah itu telah datang puluhan orang prajurit pasukan penjaga! Dia tidak tahu betapa pintu kamar tahanan ayahnya dipasang tali yang kecil namun kuat. Tali ini direntang keluar dari rumah tahanan itu dan kalau pintu kamar itu dibuka paksa, maka tali itu akan menarik sebuah genta kecil yang dipasang di rumah senopati yang menjadi panglima pasukan penjaga di kadipaten itu! Tentu saja ketika tadi Joko Lawu memaksa pintu kamar tahanan itu sampai terbuka, alat rahasia ini bekerja dan Senopati Surodigdo segera mengerahkan lima puluh orang Koleksi Kang Zusi
prajuritnya yang dengan cepat telah tiba di depan rumah tahanan dan mengepungnya.
"Cepat lari!" Ki Sinduwening berseru dan diapun sudah menerjang Senopati Surodigdo agar senopati yang tangguh itu tidak dapat menghalangi larinya Joko Lawu. Karena diserang Ki Sinduwening, terpaksa Surodigdo melawannya dan kedua orang senopati yang digdaya ini sudah saling hantam dengan dahsyatnya. Joko Lawu maklum bahwa dia gagal.
Kalau dia sampai tertawan pula, lenyaplah harapan untuk menolong ayahnya.
Maka, dengan berat hati diapun lalu mengamuk dan mencari jalan keluar.
Para perajurit itu merupakan lawan yang lunak, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, diapun kewalahan dan akhirnya dia terpaksa meloncat jauh dan melarikan diri ke tempat gelap, dikejar oleh puluhan orang perajurit.
Sukar bagi Joko Lawu untuk dapat membebaskan diri karena ke manapun dia lari, dia dikejar dan dari mana-mana berdatangan perajurit penjaga keamanan. Beberapa kali dia terkepung dan dikeroyok lagi. Hanya berkat kelincahan gerakan tubuhnya saja dia tidak sampai terluka dan sudah banyak pengeroyok yang roboh oleh tamparan dan tendangannya. Dia mulai terdesak dan hampir kehabisan tenaga.
Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan beberapa orang pengeroyok berpelantingan. Bagaikan seekor burung garuda, bayangan hitam itu mengamuk, berkelebat ke sana-sini merobohkan banyak pengeroyok, membuat para perajurit Ponorogo menjadi gentar. Joko Lawu melihat bahwa yang membantunya adalah seorang yang berpakaian serba hitam dan mukanya tertutup kain hitam pula. Hanya sepasang matanya yang nampak, seperti mata harimau,mencorong di dalam kegelapan. Gerakan orang itu tangkas bukan main dan tahulah Joko Lawu bahwa dia ditolong oleh seorang ksatria yang sakti mandraguna. Karena banyaknya pengeroyok, baju penolong itu robek di sana-sini terkena tusukan tombak dan keris, bacokan pedang dan golok. Akan tetapi tidak ada setetespun darah keluar. Hal ini menunjukkan bahwa dia memiliki aji kekebalan yang hebat.
Koleksi Kang Zusi "Cepat lari, ke sini........!" Si kedok hitam berbisik ketika dia mendekati Joko Lawu yang juga mengamuk. Joko Lawu melompat dan mengikuti larinya si kedok hitam. Bukan lari ke arah kandang kuda seperti niatnya semula, melainkan lari ke taman kadipaten di sebelah kiri. Para perajurit mengejar sambil berteriak-teriak karena kini musuh menjadi dua orang, sedangkan orang kedua yang berkedok itu bahkan lebih ganas dari pada orang pertama.
Joko Lawu dan penolongnya lari sambil kadang melawan para pengejar terdekat, dan dalam keadaan kacau melarikan diri itu, Joko Lawu tidak mengenal keadaan taman itu dalam kegelapan malam, hanya dapat mengikuti penolongnya, dengan hati tetap gelisah memikirkan ayahnya.
"Cepat ke sini, loncat keluar pagar tembok melalui pohon mangga itu!" kata orang berkedok, Joko Lawu maklum. Dia lalu meloncat dan menyambar dahan pohon mangga, memanjat ke atas dan memang dari pohon itu, mudah baginya untuk meloncat ke atas pagar tembok, kemudian dari situ meloncat keluar. Si kedok hitam meloncat di belakangnya dan tak lama kemudian, dengan si kedok hitam sebagai penunjuk jalan, mereka berlari-larian di antara rumah-rumah penduduk Ponorogo dan berhenti di dekat rumah Pak Jiyo.
"Terima kasih, ki sanak. Andika siapakah?" Joko Lawu bertanya.
Akan tetapi orang itu mengacuhkan pertanyaannya. "Sebaiknya andika cepat bersembunyi. Aku harus pergi."
"Tapi........ tapi........ dia...... Ki Sinduwening......." kata Joko Lawu yang mengkhawatirkan ayahnya. Terhadap si kedok inipun yang telah menolongnya, dia tidak berani membuka rahasia antara dia dan ayahnya, dan tidak berani mengaku ayah. Dia belum mengenal siapa yang berada di Koleksi Kang Zusi
balik kedok hitam itu. "Ayahmu tidak akan diganggu. Nah, selamat tinggal!" Dia pun berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam. Joko Lawu juga cepat menyelinap masuk ke dalam rumah Pak Jiyo karena dia mendengar suara orang menuju ke situ.
Di sebelah dalam rumah itu, Pak Jiyo menyambutnya dan cepat menyuruh dia bersembunyi ke dalam sebuah ruangan bawah tanah yang sengaja dibuat oleh mata-mata Mataram itu. Ruangan ini sengaja digali seluas kamar biasa. Di bawah dapur dan di atasnya terdapat tumpukan kayu dan jerami kering di mana tersembuyi sebuah lubang sebagai pintu kamar di bawah tanah. Joko Lawu menyelinap masuk ke dalam terowongan yang segera ditutup lagi dengan kayu dan jerami kering oleh Pak Jiyo. Beberapa menit kemudian, dua orang perajurit menggedor pintu. Setelah Pak Jiyo terbongkok-bongkok membukakan pintu, dua orang perajurit itu menghardiknya.
"Pak Jiyo, apakah andika melihat seorang asing di sini?"
"Orang asing" Tidak, saya tidak melihatnya."
"Seorang pemuda tampan, dan seorang lagi berpakaian hitam dan berkedok kain hitam."
"Saya tidak melihat siapa pun, saya sudah sejak sore tadi tidur."
Koleksi Kang Zusi "Apakah ada tamu yang datang bermalam di warungmu?"
"Tidak ada," "Jangan bohong, ada yang melihat seorang laki-laki muda kemarin di warungmu."
"Ah, benar, memang ada seorang tamu. Akan tetapi dia sudah pergi lagi, tidak bermalam di sini."
Dua orang perajurit itu masih penasaran dan mereka melakukan penggeledahan. Akan tetapi, Pak Jiyo adalah seorang mata-mata kawakan yang sudah banyak pengalaman. Sejak Joko Lawu pergi, dia sudah menyingkirkan semua bekas dan jejak sehingga ketika dua orang perajurit itu melakukan pemeriksaan, mereka tidak menemukan apa pun dalam dua buah kamar di rumah itu. Merekapun pergi dengan kecewa.
Setelah keadaan benar aman, barulah Pak Jiyo memasuki ruangan bawah tanah itu. Dia mendapatkan Joko Lawu sedang duduk bersila dan wajahnya yang tertimpa sinar dian minyak kelapa yang kecil itu nampak muram dan penuh kegelisahan, Joko Lawu menceritakan semua pengalamannya.
"Untung ada si kedok hitam yang menolongku, paman Jiyo. Aku tidak tahu siapa dia. Apakah paman dapat menduga siapa si kedok hitam itu?"
Orang itu menggeleng kepala. "Saya tidak dapat menduganya. Di antara para kawan anak buah ayahmu tidak ada yang mengunakan kedok hitam."
Koleksi Kang Zusi "Aku hanya mengkhawatirkan keadaan ayahku......."
"Harap jangan khawatir, nak. Saya yakin bahwa Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo, tidak akan menggangu ayahmu. Beliau amat mengharapkan bantuan ayahmu yang dikenalnya sebagai senopati yang pernah berjasa di masa pemerintahan Sang Prabu Panembahan Senopati."
"Lalu apa yang harus kulakukan, paman" Kegagalan ini membuat aku menjadi sedih dan bingung. Aku harus membebaskan bapaku, harus!"
"Tenanglah, nak. Kita harus bersabar, menaati sampai keadaan tenang kembali. Sekarang ini, tentu saja mereka akan memperkuat penjagaan dan tidak akan mungkin mengulangi percobaan itu. Kita harus berhati-hati dan bersembunyilah dulu di sini sampai beberapa hari. Kalau keadaan sudah aman, saya akan memberitahu. Akan saya beritahukan kawan-kawan agar membantumu."
Karena tidak ada jalan lain yang lebih baik, terpaksa Joko Lawu menurut.
"Ada satu hal yang ingin kulakukan, paman, yaitu menghubungi Aji. Dia adalah perawat kuda yang bekerja di kadipaten Ponorogo. Dialah yang telah membantuku masuk ke dalam kadipaten sebagai penjual rumput. Dia sering membawa kuda kadipaten keluar masuk kota, ke lembah sungai untuk mencari rumput. Kalau saja dia suka membantu, kiranya dia akan mudah menyelidiki keadaan ayah."
"Kalau begitu, saya akan menyuruh seorang kawan untuk menghubunginya."
Koleksi Kang Zusi "Jangan, paman. Jangan!" seru Joko Lawu yang merasa khawatir sekali.
Kalau hal itu dilakukan, maka berarti keselamatan Aji terancam. Andaikata ada yang tahu bahwa Aji si tukang kuda itu membantu orang yang menjadi mata-mata Mataram, akan celakalah pemuda itu. Tentu akan dihukum, disiksa, mungkin dibunuh!
"Eh, kenapa?" "Jangan hubungi dia. Jangan libatkan dia dalam urusan kita. Dia mau membantuku" karena kami oernah bertemu dan berkenalan. Dia seorang abdi kadipaten Ponorogo, mungkin sekali dia setia kepada Ponorogo. Akan celakalah kita kalau dia tahu tempat persembunyian ini. Biar nanti kalau keadaan sudah aman, aku sendiri yang akan mencarinya."
"Baiklah kalau begitu." kata Pak Jiyo dan sejak malam itu, terpaksa Joko Lawu tidak berani meninggalkan rumah itu, bahkan tidak berani memperlihatkan diri di dalam rumah. Setiap saat dia siap untuk memasuki kamar bawah tanah kalau ada bahaya mengancam.
Sama sekali Joko Lawu tidak tahu bahwa memang ada bahaya besar mengancamnya. Ayahnya memang tidak diapa-apakan. Ki Sinduwening dihadapkan Adipati Ponorogo setelah peristiwa malam itu. Ketika ditanya siapa pemuda tampan yang hendak membebas- kannya, KI Sinduwening menjawab dengan sikap tenang.
"Paduka maklum bahwa saya telah diangkat sebagai seorang senopati oleh Sang Prabu Hanyokrowati. Sebagai senopati tentu saja saya mempunyai anak buah dan melihat saya ditawan di sini, tentu ada anak buah yang berusaha untuk membebaskan saya."
Koleksi Kang Zusi "Paman, andika telah kami perlakukan dengan baik sebagai tamu, kenapa andika membantu pengacau itu dan menyerang Senopati Surodigdo, menghalangi Surodigdo untuk menangkapnya?"
"Kanjeng Pangeran, anak buah itu datang untuk menyelamatkan saya tanpa menghiraukan kaselamatan dirinya sendiri. Setelah dia ketahuan dan terancam bahaya, sebagai seorang senopati dan ksatria, bagaimana mungkin saya dapat tinggal diam saja tanpa menolongnya" Apa yang kami lakukan, dia sebagai anak buah saya dan saya sebagai atasannya adalah wajar saja. Kalau paduka hendak menghukum saya silakan!"
Adipati Ponorogo dapat menerima alasan itu dan diapun tidak menjatuhkan hukuman keoada Ki Sinduwening, bahkan tidak bertanya lagi. Akan tetapi, dia bukan seorang bodoh dan setelah berunding dengan para pembantunya, Pangeran Jayaraga dan para senopatinya dapat menduga bahwa tentu orang berkedok yang membantu anak buah Ki Sinduwening sehingga dapat melarikan diri dan tidak tertangkap itu seorang mata-mata dari Mataram yang sudah berhasil menyelundup ke kadipaten dan sudah dikenal. Oleh karena itu, maka agar dirinya tidak dikenal, dia menggunakan kedok hitam.
Akan tetapi siapakah yang patut dicurigai" Abdi di kadipaten amat banyknya, termasuk para senopati, perwira dan para perajurit pasukan pengawal dan penjaga.
Kemudian Mayaresmi, janda yang cantik jelita itu! Dan wanita yang setia kepada Ponorogo ini melapor bahwa ia berhasil membujuk Nurseta yang kini menggantikan Ki Sinduwening menjadi pemimpin pasukan mata-mata di Ponorogo. Bahkan ia menceritakan betapa di Ponorogo, para mata-mata dari Mataram itu mempunyai tempat pertemuan rahasia, yaitu di warung Pak Jiyo! Terkejutlah Pangeran dan para pembantunya. Siapa kira bahwa tempat sederhana, warung yang dikelola Pak Jiyo, orang tua yang dikenal oleh banyak orang itu, menjadi sarang para mata-mata yang amat berbahaya bagi Ponorogo. Mereka lalu berunding dan mengatur siasat.
Koleksi Kang Zusi "Kalau begitu, tangkap Pak Jiyo dan seret ke sini, hancurkan warung itu dan ratakan dengan tanah!" Pangeran Jayaraga berkata marah.
"Maaf, kanjeng pangeran!" kata Mayaresmi sambil menyembah. "Hamba mohon agar dipetimbangkan masak-masak sebelum perintah itu dilaksanakan. Hamba kira keuntungannya sedikit kalau hanya menghancurkan warung Pak Jiyo, bahkan akhirany kita menderita rugi.
Hamba telah berhasil membujuk Nurseta dan kalau kita membiarkan dia bekerja sebagai pemimpin pasukan mata-mata kemudian melaporkan ke Mataram, dan kita menjadikan laporannya itu sebagai bahan mengatur siasat, tentu kita akan mampu mengalahkan Mataram yang dapat kita jebak dengan laporan Nurseta. Kita ubah keadaan pertahanan kita sedemikian rupa, dan dengan bantuan Nurseta, kita akan memperoleh kemenangan. Sebaliknya, kalau kita melakukan perintah paduka, Nurseta tentu akan terkejut dan tidak percaya lagi kepada hamba. Bahkan kita harus membantu dia agar dia berjasa kepada Mataram dan dipercaya, misalnya dengan membiarkan dia menolong Ki Sinduwening. Kalau dia dipercaya oleh Mataram, tentu semua laporannya tentang Ponorogo diterima dan dipercaya, dan penyerbuan Mataram ke Ponorogo akan sesuai dengan laporan itu."
Semua orang mengangguk-angguk dan kagum akan siasat yang direncanakan wanita cantik itu. Brantoko mengajukan usul.
"Hamba kira semua laporan dan usul mbakayu Mayaresmi benar dan tepat, kanjeng pangeran. Lebih baik kalau kita pura-pura tidak tahu tentang mata-mata itu, agar mereka tidak curiga dan kita akan lebih mudah mengamati mereka. Dan tentang orang yang berusaha membebaskan Ki Sinduwening itu, hamba kira ia adalah puteri Ki Sinduwening sendiri yang bernama Mawarsih. Menurut hasil penyelidikan hamba, bentuk tubuh dan wajah pemuda tampan itu mengingatkan hamba akan puteri Ki Sinduwening.
Kalau kita dapat menawannya pula maka hal itu akan menguntungkan, dan Koleksi Kang Zusi
kalau kelak kita membiarkan Nurseta menolong ayah dan anak itu, maka dia akan lebih dipercaya oleh Mataram sehingga mbakayu Mayaresmi akan lebih dapat memanfaatkannya demi kemenangan Ponorogo. Karena itu kalau paduka dan para senopati menyetujui, hamba akan menggunkan siasat, memanggil Pak Jiyo dengan alasan dimintai keterangan, dan hamba akan melakukan pemeriksaan yang teliti. Hamba yakin di tempat itu dijadikan tempat persembunyian mereka yang hendak menolong Ki Sinduwening."
Pangeran Jayaraga mendengar usul-usul, memperbincangkan siasat yang akan mereka laksanakan dan akhirnya Ki Danusengoro berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Kanjeng Pangeran setelah mendengarkan semua usul yang diajukan, memang hamba merasa yakin bahwa kalau Nurseta dapat dibujuk Mayaresmi membantu Ponorogo, hal itu memang jauh lebih menguntungkan dari pada kalau seandainya kakang Sinduwening yang membantu paduka.
Hamba mengenal kakang Sinduwening, kakak seperguruan hamba.
Andaikata dia mau membantu, tentu bantuannya itu hanya terbatas pada tenaganya saja. Dia tidak akan mau disuruh menjebak pasukan Mataram seperti halnya Nurseta. Hamba sendiri mengenal Nurseta, murid keponakan hamba sendiri karena kabarnya dia adalah murid kakang Ageng Jayagiri. Akan tetapi kalau menurut laporan Mayaresmi tadi, agaknya orang muda itu lebih dapat dimanfaatkan. Tenaga bantuan kakang Sinduwening tidak artinya kalau dibandingkan dengan bantuan Nurseta yang dapat membawa pasukannya membantu Ponorogo, apa lagi kalau dapat mempergunakan dia untuk menjebak pasukan musuh. Dan hamba kira Mayaresmi lebih mengenal pemuda murid bekas suaminya itu."
Semua orang mengangguk-angguk pula dan diaturlah siasat untuk memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Inilah bahaya yang mengancam, bahaya yang sama sekali tidak diketahui Joko Lawu yang bersembunyi di dalam kamar bawah tanah di warung Pak Jiyo.
*** Dua orang yang berpakaian petani itu nampak kelelahan ketika memasuki warung Pak Jiyo. Mereka duduk di atas bangku panjang dan memesan Koleksi Kang Zusi
wedang teh. Nampaknya mereka baru saja pulang dari pasar menjual hasil ladang mereka. Pak Jiyo yang bongkok menyambut mereka, melayani dan bahkan menyuguhkan dua piring nasi yang mereka pesan. Tanpa bicara mereka itu makan sampai nasi mereka habis, lalu minum air teh panas.
Mereka hanya saling bertukar pandang dengan Pak Jiyo yang melayani beberapa orang langganan lain. Setelah para tamu lainnya pergi meninggalkan warung dan hanya dua orang itu saja yang tinggal, Pak Jiyo yang mengelap meja membersihkan bekas teh tumpah di sudut yang lain, berbisik, "Ada kabar apa?"
Seorang di antara mereka, setelah melihat ke kanan kiri dan yakin bahwa tidak ada orang lain mendengar, berbisik kembali, "Raden Nurseta menggantikan Ki Sinduwening. Bersama pengawalnya dia kini sudah berada di luar Ponorogo. Malam nanti akan masuk ke sini. Bersiaplah menyambutnya."
Pak Jiyo mengangguk-angguk dan kedua orang itu lalu pergi meninggalkan warung. Mereka adalah mata-mata Mataram yang diutus oleh Nurseta untuk menghubungi Pak Jiyo. Sebelum gelap, dia tidak berani lancang memasuki Ponorogo. Bagaimanapun juga, dia seorang senopati yang cukup dikenal. Dia khawatir akan diketahui kedatangannya di Ponorogo oleh pihak lawan, walaupun Mayaresmi telah menjamin bahwa dia tidak akan diganggu kalau memasuki Ponorogo.
Baru saja dua petani itu pergi muncul empat orang di warung itu dan sekali ini Pak Jiyo benar-benar terkejut, walaupun dia bersikap tenang saja.
Empat orang itu dikenalnya sebagai perajurit pengawal kadipaten!
"Mari, silakan duduk. Andika sekalian hendak minum apa?" sapanya dengan sikap hormat.
Koleksi Kang Zusi Seorang di antara mereka berkata, "Kami datang bukan untuk minum Pak Jiyo, melainkan untuk menjemputmu. Andika dipanggil oleh atasan kami.
Senopati Surodigdo."
Pak Jiyo terkejut dan terbelalak memandang kepada mereka. "Ehh?"
Akan tetapi saya......... saya tidak melakukan sesuatu yang salah........"
"Jangan takut, pak. Andika hanya dipanggil untuk dimintai keterangan saja. Tutuplah warungmu sebentar dan mari kami hadapkan kepada beliau."
Tentu saja Pak Jiyo tidak berani membantah. Dia menutup warungnya dan kalau kini dia nampak gemetar ketakutan, hal itu tidak perlu dia sembunyikan lagi. Siapa orangnya yang tidak akan memperlihatkan perasaan takut kalau dipanggil Senopati Surodigdo, kepala atau panglima pasukan keamanan yang kabarnya amat galak itu" Bahkan akan nampak mencurigakan kalau dia tidak tajut.
Setelah Pak Jiyo menutup warungnya dan dibawa pergi empat orang perajurit itu, muncullah Brantoko yang diikuti lima orang anak buahnya.
Lima orang ini merupakan perwira-perwira pembantunya yang semua memiliki kepandaian dan merupakan pembantu yang tangguh. Dia harus berhati-hati menghadapi Mawarsih yng selain galak dan berani, juga digdaya itu. Dia sendiri saja tidak dapat mengungguli dara itu. Kepandaian dan kekuatan mereka seimbang. Akan tetapi kalau dia di bantu lima orang ini, dia yakin akan mampu menundukkan puteri Ki Sinduwening itu.
Setelah berhasil membuka pintu dan memasuki rumah Pak Jiyo, Brantoko dan lima orang pembantunya lalu melakukan penggeledahan. Karena kini mereka mencari orang yang diduganya bersembunyi di situ, tentu saja mereka teliti sekali danakhirnya mereka dapat menemukan ruangan yang berada di bawah dapur itu. Gembira sekali hati Brantoko dan dia merasa yakin bahwa orang yang dicarinya tentu berada di dalam ruangan itu, apa lagi dia sudah melihat gerakan sesosok bayangan dalam ruangan yang gelap Koleksi Kang Zusi
itu. Mereka memasuki ruangan bawah tanah. Orang yang berada di tempat persem- bunyian itu menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi betapa kecewanya hati Brantoko ketika mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sudah lima puluh tahun, sama sekali bukan Joko Lawu yang dicarinya. Tanpa banyak cakap lagi, laki-laki yang mengaku bernama Jangir itu mereka tangkap dan mereka bawa pergi dari warung Pak Jiyo.
"Paksa dia agar mengaku di mana adanya Joko Lawu!" kata Brantoko kepada para pembantunya. Jangir lalu disiksa, dipaksa untuk mengaku.
Dalam keadaan seperti itu, di bawah siksaan yang mengerikan, orang akan mengaku apa saja asal siksaan dihentikan. Apalagi kalau mengetahui apa yang ditanyakan.
Jangir tidak tahan dan khirnya dalam keadaan sekarat, dia mengaku bahwa orang yang dicarinya itu semalam telah meninggalkan warung Pak Jiyo, dan bersembunyi di luar kota Ponorogo, sebelah selatan dan tinggal di sebuah gubuk kecil di lembah sungai. Sungguh sia-sia belaka, pengakuan Jangir kerena begitu dia mengaku, penyiksaanya memberi pukulan terakhir yang membuat dia tewas!
Tidak seperti yang dia khawatirkan, Pak Jiyo yang dipanggil panglima pasukan diperlakukan dengan baik. Sama sekali tidak disiksa seperti yang dia ditakutkan, juga tidak dicurigai sebagai mata-mata, melainkan ditanya apakah malam peristiwa di kadipaten itu dia tidak melihat orang laki-laki muda tampan berbana Joko Lawu, dan seorang yang mengenakan kedok hitam. Senopati Surodigdo menjanjikan hadiah yang banyak kalau dia dapat memberi keterangan tentang dua orang itu. Pak Jiyo dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak melihat mereka.
Koleksi Kang Zusi "Kalau benar andika tidak melihat mereka, sudahlah. Akan tetapi, kami harap andika suka membantu. Kalau andika melihat dua orang seperti yang kami gambarkan tadi, harap cepat memberi laporan kepada perajurit keamanan." demikian pesan panglima itu setelah mengakhiri pemeriksaan itu. Pak Jiyo hampir tidak percaya akan nasib baiknya. Tadinya dia sudah merasa hampir putus asa. Dia sejak lama menjadi mata-mata Mataram, sengaja membuka warung di Ponorogo dan bertugas mengamati keadaan di kadipaten itu. Kemudian, dia pula yang pertama kali melaporkan akan gejala yang timbul, betapa Ponorogo menyusun kekuatan dan bermaksud memberontak kepada Mataram. Dia pula yang menampung semua penyelidik dari Mataram dan warungnya menjadi pusat pertemuan. Maka ketika dia dipanggil, tentu saja menduga bahwa rahasianya telah diketahui dan akan berakhirlah riwayatnya. Siapa kira, dia hanya ditanya tentang Joko Lawu dan orang berkedok yang membikin kacau di kadipaten!
Dia mendapatkan rumahnya tidak berubah. Akan tetapi ketika dia melongok ke dalam ruangan bawah tanah, dia terkejut dan cepat dia masuk ke dalamnya, meneliti bekas-bekas di tempat itu. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada tanda bekas perkelahian atau sebagainya. Padahal ketika dia pergi, di situ terdapat si Jangir, seorang mata-mata yang datang malam tadi. Bahkan Jangir yang mengantar Joko Lawu keluar dari Ponorogo mencari tempat persembunyian lain di luar kota agar dia dapat leluasa bergerak. Malam tadi, Joko Lawu sudah meninggalkan warungnya dan kini bersembunyi di lembah sungai di selatan, sedangkan Jangir yang kini berada di warung. Ketika dia didatangi empat orang perajurit, Jangir cepat bersembunyi di dalam kamar bawah tanah. Kenapa sekarang dia tidak ada di situ" Jangir telah pergi dengan diam-diam, mungkin saja Jangir mengkhawatirkan keadaannya dan pergi menyelidiki, mengira dia ditangkap.
*** Joko Lawu duduk termenung di atas batu besar di dekat padang rumput lembah sungai itu. Usahanya membebaskan ayahnya telah gagal! Biarpun dia merasa kecewa dan menyesal sekali, namun hatinya lega melihat ayahnya dalam keadaan selamat dan sehat. Selama ayahnya dalam keadaan selamat dan dia sendiri masih bebas, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan ayahnya. Dia tidak akan pernah berhenti berusaha. Karena dia ingin segera mencoba lagi membebaskan ayahnya, maka bersembunyi di Koleksi Kang Zusi
dalam kamar bawah tanah di warung Pak Jiyo membuat dia tidak tahan lagi. Dia harus keluar dan harus berusaha lagi. Oleh karena itu, ketika pada malam hari itu seorang anak buah ayahnya muncul, yaitu mata-mata yang bernama Jangir, dia diantar Jangir mencari tempat persembunyian baru, di luar kota. Malam tadi dia sudah melewatkan malam seorang diri di dalam sebuah gubuk di lembah sungai. Dan sore hari ini dia suda menanti munculnya Aji di padang rumput itu. Siapa lagi yang dapat dia harapkan bantuannya kecuali Aji" Setidaknya, dari pemuda yang mengabdi di kadipaten sebagai perawat kuda itu, dia akan mencari berita tentang keadaan ayahnya setelah terjadi percobaan membebaskan yang gagal itu.
Juga dari Aji dia mengharapkan keterangan, siapa tahu pemuda itu dapat menceritakan siapa adanya orang berkedok hitam yang menolongnya, setidaknya dapat membantunya menduga-duga siapa orangnya. Dan mungkin saja Aji dapat menolongnya lagi, memberi jalan kapadanya agar di dapat menyelundup lagi ke dalam kadipaten. Pendeknya, dia tidak akan berhenti berusaha menolong ayahnya!
Tiba-tiba wajahnya berseri penuh harapan. Dia mendengar derap kaki kuda! Siapa lagi kalau bukan Aji yang datang bersama kuda-kuda yang digembalanya" Joko Lawu sudah bangkit berdiri dan dengan wajah berseri menanti datangnya orang yang sejak tadi dinanti-nantinya. Akan tetapi, alisnya berkerut ketika dia melihat tidak kurang dari lima orang penunggang kuda datang dari depan, membalapkan kuda mereka ke arah tempat ia berdiri. Dia merasa curiga dan selagi dia hendak pergi menyembunyikan diri, terdengar derap kuda dari kanan kiri dan ketika dia memandang, dari arah kanan dan kiri bermunculan pula banyak penunggang kuda. Dia sudah dihadang dari depan, kanan dan kiri, sedangkan di belakangnya adalah sungai! Tidak ada lagi jalan pelarian baginya. Terpaksa dia berdiri tegak, siap menghadapi banyak orang itu.
Betapa marahnya ketika sedikitnya dua puluh orang itu sudah berloncatan turun dan mengepungnya, dia melihat bahwa yang memimpin gerombolan itu bukan lain adalah Brantoko! Akan tetapi dia teringat bahwa dia dalam penyamaran. Dia tidak ingin dikenal sebagai Mawarsih, karena dia masih mempunyai tugas penting, yaitu membebaskan ayahnya. Kalau dia dikenal sebagai Mawarsih, tentu akan lebih sulit menolong ayahnya. Biarlah dia dikenal sebagai Joko Lawu dan tentu hanya akan dikira seorang di antara anak buah ayahnya yang hendak menolong pemimpinnya yang tertawan.
Maka, diapun menahan kemarahannya melihat Brantoko yang sebetulnya Koleksi Kang Zusi
masih ada hubungan perguruan dengannya. Ketika mereka semua sudah berdiri mengepungnya, diapun membentak marah.
"Siapa kalian dan mau apa kalian mengepungku?"
Brantoko yang tampan dan bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bocah bagus! Aku seperti telah mengenalmu baik-baik, dan mustahil kalau mataku menipuku. Bocah bagus, engkau menyerahlah saja menjadi tawanan kami. Sayang kalau terpaksa kami menggunakan kekerasan dan kulitmu yang halus itu akan pecah-pecah!"
Diam-diam Joko Lawu bergidik. Agaknya Brantoko sudah mengenalnya.
Sungguh mengerikan kalau membayangkan dia akan ditawan pemuda itu sebagai Mawarsih, jauh lebih mengerikan dari pada ancaman maut kalau dia ditawan sebagai Joko Lawu.
"Jahanam, kalian pengecut-pengecut rendah, jangan harap dapat menawanku hidup-hidup!" bentaknya dan diapun sudah menerjang ke depan sambil menyerang dengan Dahsyat. Sekali terjang saja, dua orang pengepung terjengkang. Mereka segera mengepung dan mengeroyok.
Ketika melihat anak buahnya mencabut senjata, Brantoko berseru, suaranya lantang.
"Jangan pergunakan senjata. Aku ingin menawan dia hidup-hidup!"
Brantoko sendiri sudah menerjang ke depan dengan tangan kosong, mencoba untuk meringkus Joko Lawu. Namun, Joko Lawu menyambutnya dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepalanya. Brantoko manangkis dan dua lengan bertemu dengan sama kuatnya.
Koleksi Kang Zusi "Dukkk!" Brantoko terhuyung dan diapun semakin yakin bahwa yang dihadapinya adalah Mawarsih.
Joko Lawu mengamuk. Akan tetapi pihak lawan terlalu banyak. Brantoko sendiri sudah merupakan seorang lawan yang tangguh yang kepandaiannya seimbang dengan dia, apa lagi kini Brantoko dibantu oleh belasan orang yang kesemuanya merupakan perajurit pilihan. Segera dia terdesak dan terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya dan kecepatannya untuk meloncat ke sana sini, mengelak dan menangkisi serangan yang bertubi-tubi datangnya. Belasan pasang tangan itu silih berganti menyerangnya dengan cengkeraman, tangkapan, tamparan sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang sama sekali. Ketika untuk ke sekian kalinya Joko Lawu terhuyung dan hampir roboh, Brantoko tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, bocah bagus, menyerahlah saja. Akan kuhadapkan engkau kepada kanjeng adipati!"
Melihat dirinya terancam bahaya, Joko Lawu cepat melolos senjatanya, yaitu sehelai kemben (sabuk) merah yang panjangnya satu setengah meter.
Begitu dia menggerakkan kembennya, nampak sinar merah berkelebat dan dua orang pengeroyok terjungkal! Melihat kemben ini, Brantoko semakin yakin siapa yang dihadapinya, maka diapun berteriak kepada anak buahnya.
"Jangan takut, kepung yang ketat. Tangkap dia hidup-hidup!" Dan dia sendiri lalu menghadapi kemben merah itu dengan senjata kerisnya.
Kemben merah itu membentuk sinar merah bergulung-gulung disertai ledakan-ledakan ujung sabuk yang melecut-lecut, namun karena di situ terdapat Brantoko dengan kerisnya yang berbahaya, dan pula para pengeroyok itu banyak di antaranya mempergunakan senjata kolor lawe Koleksi Kang Zusi
yang ampuh, kembali Joko Lawu terdesak hebat. Agaknya setiap saat dia pasti akan roboh dan tertawan.
Pada saat itu, terjadi kekacauan pada para pengeroyok. Bahkan seorang demi seorang roboh berpelantingan. Kiranya si kedok hitam kembali muncul dan mengamuk dari luar kepungan! Si kedok hitam juga mempergunakan senjata yang aneh, yaitu sebatang suling! Dan biarpun hanya terbuat dari pada bambu kuning, namun suling itu hebat bukan main. Demikian cepatnya suling itu digerakkan sehingga yang nampak hanya sinar kuning bergulung-gulung dan suling bambu kuning itu bahkan berani menyambut serangan kolor lawe yang ampuh! Tentu saja keadaan menjadi kacau. Si kedok hitam itu memang tangguh. Setiap kali sinar sulingnya mencuat, seorang pengeroyok yang berusaha menangkis atau mengelak maka selalu gagal dan roboh. Apa lagi nyali para pengeroyok, kecuali Brantoko sendiri, sudah menjadi kecil ketika melihat si kedok hitam. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang si kedok hitam yang pernah pula menolong Joko Lawu sehingga dapat meloloskan diri dari kadipaten.
Panji Tengkorak Darah 8 Playboy Dari Nanking Karya Batara Pendekar Sakti Suling Pualam 8

Cari Blog Ini