Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 18

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 18


Walau kelihatan Ui Yong menggeletak di tanah tak berkutik, asal melangkah maju beberapa tindak segera dapat menawannya, tapi keselamatan diri sendiri jauh lebih penting, maka cepat ia putar rodanya, tiba2 ia pura2 menghantam ke atas kepala Bu Siu-bun.
Dalam keadaan terluka parah sebenarnya Kim-lun Hoat-ong tak punya tenaga lagi, asal Siu-bun berani menangkis mungkin roda besinya akan terlepas dari tangan, namun Bu Siu-bun sudah jeri, mana berani ia tangkis serangan itu, lekas2 ia buang batu yang hendak dipindahnya terus menyelinap masuk barisan batu.
Sesaat Kim-lun Hoat-ong terbingung di tempatnya, pikirnya bergolak: "Kalau kesempatan ini di-sia2kan, mungkin kelak sukar lagi diketemukan.
Apa memang Thian melindungi Tay Song (ahala Song Raya) dan tugasku harus gagal begini" Tampaknya banyak sekali bibit2 muda di kalangan Bu-lim di daerah Tionggoan, melulu beberapa muda-mudi ini saja sudah pandai dalam segala hal dan tak boleh dipandang enteng, agaknya ksatria2 dari Mongol dan Tibet masih jauh kalau dibandingkan mereka!" Karena itu ia menghela napas dan sesal diri, tiba2 ia putar tubuh terus melangkah pergi.
Tapi baru belasan tindak, mendadak terdengar suara gemerenceng riuh, roda besinya terjatuh, tubuhnya pun ter-huyung2.
Terkejut sekali si Darba, "Suhu!" teriaknya cepat sambil memlburu maju memayangnya dan menanya pula : "Kenapa kau, Suhu?" Kim-lun Hoat-ong mengerut kening tak menjawab, ia gunakan tangan menahan di atas pundak Darba, habis ini barulah bersuara pelahan: "Sayang, sungguh sayang, marilah kita pergi!" Sementara seorang jagoan Mongol telah membawakan kuda Hoat-ong, namun karena lukanya yang parah hampir2 tiada tenaga buat naik ke atas kuda kalau tidak Darba menaikkan sang guru ke atas kudanya, kemudian rombongan merekapun kabur ke arah timur.
Setelah tolong semua orang, si gadis baju hijau tadi pe-lahan2 keluar dari gundukan batu, ketika berlalu di samping Nyo Ko yang menggeletak di tanah itu, tiba2 ia berhenti, ia ragu2 apa harus periksa luka orang tidak, ia berpikir sejenak, akhirnya ia berjongkok juga untuk memeriksa lukanya karena pukulan Kim-lun Hoat-ong tadi.
Tatkala itu hari sudah gelap, untuk bisa melihat wajah orang dengan jelas terpaksa ia menunduk dekat, ia lihat kedua mata Nyo Ko terpentang lebar, pandangannya kabur tak bersemangat pipinya merah dan napasnya memburu, tampaknya tidak ringan lukanya itu.
Dalam keadaan remang2 tak sadar tiba2 Nyo Ko melihat sepasang mata bersinar halus berada di dekat mukanya, mirip seperti sinar mata Siao-liong-li bila lagi pandang padanya, begitu halus hangat dan begitu kasih sayang, tanpa tertahan ia pentang tangan mendadak terus peluk tubuh orang sambil berteriak : "Kokoh, O, Kokoh, Ko-ji terluka, janganlah kau tinggalkan aku begitu saja!" Sungguh tak pernah diduga si gadis baju hijau itu bahwa orang akan merangkulnya, keruan ia malu dan gugup, ia sedikit merontak, karena itu dada Nyo Ko yang terluka menjadi sakit, ia berteriak merintih.
Si gadis tak meronta lagi, dengan suara pelahan ia berkata: "Aku bukan Kokohmu, lekas lepaskan aku!" Tapi dengan mata tak berkedip Nyo Ko masih pandang sepasang mata bola si gadis.
"Kokoh, O, Kokoh, jangan kau tinggalkan aku, ak.
. . aku adalah kau punya Ko-ji!" tiba2 ia memohon.
Hati si gadis menjadi luluh, tapi tetap dijawabnya dengan halus : "Aku bukan Kokoh-mu.
" Karena hari sudah gelap, maka wajah si gadis yang jelek seram itu tenggelam ditelan kegelapan, hanya sepasang matabolanya yang kelip2 bersinar Nyo Ko masih terus tarik tangannya dan memohon lagi: "Ya, ya, kaulah Kokoh!" Karena dipeluk tiba2 oleh seorang pemuda dan tangannya digenggam kencang pula, gadis itu malu tidak kepalang hingga seluruh tubuhnya panas dingin, ia bingung cara bagaimana harus dilakukannya.
Tak lama kemudian mendadak Nyo Ko jernih kembali pikirannya, ketika diketahui di hadapannya bukan Siao-liong-li, ia menjadi kecewa, pikirannya pepet lagi dan akhirnya jatuh pingsan.
Gadis itu terkejut, ia lihat Kwe Hu dan kedua saudara Bu lagi sibuk mengerumuni Ui Yong dan tiada yang mau gubris Nyo Ko, ia pikir luka pemuda ini sangat parah, kalau tidak dicekoki "Kiu-hoa-giok-loh-wan" (pil sari sembilan warna bunga), mungkin jiwanya tak tertolong lagi, Keadaan terpaksa, iapun tak hiraukan adat istiadat lagi, lekas2 ia angkat pinggang Nyo Ko, dengan setengah tarik dan setengah seret ia bawa Nyo Ko keluar dari barisan batu itu.
Hendaklah diketahui bahwa bukanlah Kwe Hu terlalu kejam dan tak berbudi, soalnya ibunya terluka parah karena tenaga goncangan Kim-lun Hoat-ong tadi dan menggeletak tak bisa bangun, cinta antara anak dan ibu sudah tentu Nyo Ko harus dikesampingkan dahulu, Sedang kedua saudara Bu jelas tak mau urus Nyo Ko.
Gadis itu memayang Nyo Ko keluar hutan Iebat itu, kuda kurus milik Nyo Ko memang cerdik dan kenal majikan, cepat ia mendekati mereka.
Setelah Nyo Ko dinaikkan kudanya, mengingat diri sendiri masih gadis, si nona tak mau bersatu tunggangan, maka tali kendali kuda dituntunnya dan ia berjalan kaki sendiri.
Keadaan Nyo Ko tempo2 sadar, kadang2 remang2 lagi, tempo2 ia merasa gadis di sampingnya ini adalah Siao-liong-li hingga berteriak girang, tapi kadang2 tahu juga orang bukan Kokoh yang dirindukannya itu hingga ia menjadi sedih, tubuhnya menggigil kedinginan.
Entah berapa lamanya sudah, ketika tiba2 terasa olehnya bau harum segar menembus luka di dadanya melalui kerongkongannya dan rasanya menjadi nyaman luar biasa, pe-lahan2 iapun pentang matanya, ia menjadi heran dan terkejut, ternyata dirinya sudah rebah di atas sebuah ranjang, tubuhnya berlapiskan selimut pula, ia hendak bangun duduk, mendadak tulang dadanya kesakitan, nyata ia masih belum boleh bergerak ia lihat di depan jendela satu gadis benbaju hijau dengan tangan kiri menahan kertas di atas meja dan tangan kanan memegang pit lagi menulis sesuatu dengan tenang.
Gadis itu duduk mungkur hingga tak kelihatan mukanya, tapi melihat potongan tubuhnya yang langsing, pinggangnya ramping, tentu orangnya juga amat cantiknya.
Tempat beradanya sekarang ternyata ruangan dari sebuah rumah gubuk beratap aIang2, tapi cara mengaturnya ternyata sangat rajin dan necis, di dinding sebelah timur tergantung sebuah lukisan wanita cantik sedang bersolek dan beberapa lukisan pemandangan sedang dinding barat dihiasi se-perangkap lukisan tulisan.
Dalam herannya Nyo Ko tak sempat menikmati benda2 seni itu, ia lihat asap dupa mengepul dari sebuah anglo di suatu meja kecil, ia tak tahu kamar orang kosen siapa atau pujangga yang mana" Teringat olehnya pertarungan di barisan batu di hutan lebat dengan Kim-lun Hoat-ong dan terluka, kenapa sekarang bisa berada disini, seketika ia menjadi bingung tak mengarti, ia coba meng-ingat2, lapat2 dapat diiingat dirinya waktu itu ber-tiarap di atas kuda dan ada orang menuntun kuda itu, orang itupun seorang perempuan ia lihat gadis di depannya ini lagi menulis penuh perhatian, ia merebah di atas ranjang, dengan sendirinya tak tahu apa yang sedang ditulisnya, tapi melihat gaya tangannya yang ber-gerak2 dengan manisnya dan bagus luar biasa.
Keadaan kamar itu sunyi senyap, dibanding pertarungan sengit di barisan batu itu kini se-akan2 berada di suatu dunia lain.
Meski Nyo Ko sudah mendusin, tapi tak berani bersuara mengganggu si gadis itu, maka ia terus rebah diam-diam.
Sekonyong-konyong pikiran Nyo Ko tergerak lagi, ia kenali si gadis baju hijau di hadapannya ini bukan lain adalah gadis yang beberapa kali mengirim berita peringatan padanya dalam perjalanan tempo hari dan belakangan ber-sama2 menolong Liok Bu-siang itu, ia menjadi heran, bukan sanak bukan kadang, kenapa gadis ini begitu baik terhadapku " Terpikir akan itu, tak tahan lagi tiba2 ia berseru: "Eh, cici, kiranya kau lagi2 yang menolong jiwaku.
" Gadis itu berhenti menulis, tapi tak menoleh, hanya dengan suara halus ia menjawab: "Tak dapat dikatakan menolong jiwamu, aku hanya kebetulan lewat di situ dan melihat Hwesio Tibet itu berbuat se-wenang2, pula kau terluka.
. . " - sampai disini kepalanya me-nunduk2 malu.
"Cici," kata Nyo Ko lagi, aku.
. . aku. . . " - tapi karena tergoncangnya perasaan, seketika tenggorokannya serasa tersumbat hingga tak sanggup meneruskan lagi.
"Hatimu baik, tak pikirkan jiwa sendiri dan menolong orang lain, aku hanya kebetulan saja bisa membantu sedikit padamu, ini terhitung apa?" demikian kata gadis itu.
"Kwe-pekbo berbudi karena pernah membesarkan aku, dia ada kesulitan, sudah semestinya aku membantu, tapi aku dan cici.
. . " "Aku bukan maksudkan Kwe-pekbomu, tapi aku maksudkan Liok Bu-siang, adik dari keluarga Liok itu," potong si gadis.
Sudah lama nama Liok Bu-siang tak pernah terpikir lagi oleh Nyo Ko, kini mendengar orang menyebutnya, cepat iapun menanya: "Eh, ya, apakah nona Liok baik2 saja" Lukanya sudah sembuh bukan?" "Terima kasih atas perhatianmu," sahut gadis itu, "lukanya sudah lama sembuh, nyata kau masih belum lupa padanya.
" Mendengar lagu suara orang seperti sangat rapat hubungannya dengan Liok Bu-siang, maka Nyo Ko bertanya lagi: "Entah hubungan apakah antara cici dan nona Liok ?" Tapi gadis itu tak penjawab, ia tersenyum dan berkata: "Tak perlu kau panggil aku cici terus, umurku belum setua kau.
" ia merandek sejenak, lalu dengan tertawa disambungnya: "Ha, entah sudah berapa kali memanggil "Kokoh", kini hendak merubahnya mungkin agak terlambat.
" Muka Nyo Ko menjadi merah, ia menduga waktu dirinya terluka dan dalam keadaan tak sadar tentu telah salah anggap orang sebagai Siao-liong-Ii dan terus2an memanggil "Kokoh" padanya, boleh jadi ada pula perkataan2 diluar batas, makin pikir makin tak enak perasaannya.
"Kau. . . kau tidak marah bukan?" tanyanya kemudian.
"Sudah tentu aku tak marah, bolehlah kau rawat lukamu tenang2 di sini," sahut si gadis tertawa, "Nanti bila lukamu sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu.
" Beberapa kata2 itu diucapkannya dengan begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis2 lain yang dikenal Nyo Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar, rasanya bila gadis ini berada di sampingnya, segalanya menjadi aman dan damai, ia tidak lincah dan nakal seperti Liok Bu-siang, juga tidak secantik tapi tinggi hati seperti Kvve Hu.
Pula tidak sama dengan Yali Yen yang gagah terus terang atau Wanyan Peng yang lemah dan harus dikasihani Apalagi watak Siao-liong-li lebih2 lain daripada yang lain, mula2 ia bisa sedingin es, tapi akhirnya karena pengaruh cinta asmara iapun tidak segan2 ikat janji sehidup semati, wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.
Hanya si gadis baju hijau inilah ternyata sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata2nya selalu memikirkan kepentingan Nyo Ko, ia tahu pemuda ini merindukan "Kokoh", lantas ia menghiburnya agar rawat lukanya baik2 dan supaya lekas sembuh dan segera pergi men-carinya.
Begitulah sesudah ia ucapkan kata2 tadi, kembali ia angkat pit dan menulis lagi.
"Cici, siapakah she-mu yang mulia?" tanya Nyo Ko.
"Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah yang tenang dan jangan berpikir yang tidak2 lagi," sahut si gadis.
"Baiklah," kata Nyo Ko, "memangnya akupun tahu percuma bertanya, wajahmu saja tak mau perlihatkan padaku, jangankan namamu.
" "Parasku sangat jelek, toh bukannya kau tak pernah melihatnya," sahut gadis itu menghela napas.
"Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai kedok kulit," ujar Nyo Ko.
"Kalau wajahku secantik Kokohmu, buat apa aku memakai kedok ?" kata si gadis.
Mendengar orang puji kecantikan Siao-liong-Ii, senang sekali Nyo Ko.
"Darimana kau tahu kokoh ku cantik" Apa kau pernah melihat dia?" tanyanya.
"Tak pernah aku melihatnya," kata gadis itu.
"Tapi begitu kau rindu padanya, dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor satu di jagat ini.
" "Jika kau pernah melihat dia, pasti kau akan lebih memuji kecantikannya," ujar Nyo Ko gegetun.
Kata2 Nyo Ko ini kalau didengar Kwe Hu atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok2, tapi gadis ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata: "Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan lagi.
" - Habis berkata kembali ia menunduk menulis pula.
Nyo Ko ter-mangu2 sejenak memandangi langit kelambunya, tak tahan lagi ia berpaling dan memandang potongan tubuh orang yang ramping itu dari belakang, "Cici, apa yang kau tulis" Apa sangat penting?" tanyanya pula.
"Aku lagi melatih tulisan," sahut si gadis.
"Kau memakai tulisan gaya apa?" tanya Nyo Ko.
"Ah, tulisanku terlalu jelek, mana bisa dibilang gaya apa segala?" kata si gadis.
"Kau suka merendah diri saja, aku menduga pasti tulisanmu sangat indah," kata Nyo Ko.
"Aneh, darimana kau bisa menduganya?" sahut gadis itu tertawa.
"Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu pun lain dari pada yang lain," ujar Nyo Ko.
"Cici, bolehkah tulisanmu itu diperlihatkan padaku.
" Gadis itu tertawa lagi, "Ah, tulisanku se-kali2 tak bisa dilihat orang, nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih harus minta petunjukmu," demikian katanya.
Diam2 Nyo Ko malu diri, karena itu juga ia sangat berterima kasih pada Ui Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis di Tho-hoa-to dulu, kalau waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai kini ia akan tetap buta huruf.
Setelah ter-menung2 sebentar, ia merasa dadanya rada sakit, lekas2 ia jalankan Lwekangnya hingga darah jalan lancar, pe-lahan2 ia merasa segar kembali dan akhirnya iapun tertidur.
Waktu ia mendusin, hari sudah gelap, gadis itu telah taruh nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak ditepi ranjangnya agar si Nyo Ko dahar sendiri.
Lauk-pauk itu hanya sebangsa sayur mayur, tahu, telur dan beberapa potong ikan, tapi cara mengolahnya ternyata sangat lezat sekaligus Nyo ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa berhenti, habis itu barulah ia memuji ber-ulang2.
Meski muka gadis itu memakai kedok kulit hingga tak kelihatan sesuatu perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya tertampak juga, menyorot cahaya yang senang.
Besok paginya keadaan luka Nyo Ko tambah baikan, gadis itu ambil sebuah kursi dan duduk di depan ranjang untuk menambal bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik.
"Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju serombeng ini?" kata si gadis kemudian.
Sembari berkata iapun berjalan keluar, waktu kembali, ia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Nyo Ko yang sobek itu dan di-potongnya untuk membuatkan baju baru.
Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18 -19 tahun saja, tapi terhadap Nyo Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, bahkan penuh kasih seorang ibu kepada anaknya.
Sudah lama Nyo Ko ditinggalkan ibundanya, kini ia menjadi terbayang masa anak2nya dahulu, ia sangat berterima kasih dan heran juga, "Cici," tanyanya, "kenapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak berani menerimanya.
" "Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang baik?" sahut si gadis, "Kau mati2an menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi.
" Pagi hari itu berlalu dengan tenang, lewat lohor kembali si gadis menghadapi meja dan melatih tulis pula, pingin sekali Nyo Ko hendak melihat apakah sesungguhnya yang ditulisnya, tapi beberapa kali ia memohon selalu ditolak si gadis.
Kira2 ada sejam gadis itu tekun menulis, habis selembar ditulisnya, lalu ia ter-menung2, ia robek kertasnya dan kembali menulis lagi, tapi tetap seperti tak memuaskan tulisannya, maka habis tulis lantas dirobek pula, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu tak menulis lebih lanjut.
"Kau pingin makan apa, biar kubuatkan," tanyanya kemudian pada Nyo Ko.
Tergerak pikiran Nyo Ko tiba2.
"Terima kasih, hanya membikin repot kau saja," sahutnya.
"Apakah, coba bilang," kata si gadis.
"Aku sungguh ingin makan bakcang," ujar Nyo Ko.
Gadis itu rada tertegun, tapi segera iapun berkata: "Repot apa, hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri memang juga pingin makan, Kau suka yang manis atau yang asin?" "Boleh seadanya, asal ada makan aku sudal puas, mana berani pilih2 lagi?" sahut Nyo Ko.
Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan beberapa buah kue bakcang pada Nyo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih, yang asin pakai daging samcan bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan.
Keruan saja beruntung sekali mulut si Nyo Ko, sembari makan iapun tiada hentinya memuji-muji.
"Kau sungguh pintar, akhirnya dapat kau menerka asal usul diriku," kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.
Nyo Ko menjadi heran, ia tidak sengaja menerka, kenapa bilang asal-usul orang kena diterkanya" Namun begitu, ia toh berkata: "Kenapa kau bisa tahu?" "Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan bakcang," sahut si gadis.
Tergerak pikiran Nyo Ko. Teringat olehnya beberapa tahun yang lalu di Ohciu telah dijumpai Kwe Cing dan Ui Yong, pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya.
Mengenai permintaannya ingin makan bak-cang adalah karena dia mempunyai tujuan lain, pada waktu hampir selesai makan, ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di telapak tangannya dan sedang si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat sekali ia ambil seutas benang yang ketinggalan ketika gadis itu menjahit baju untuknya tadi, ujung benang ia ikat bakcang yang ia sisakan tadi terus disambitkan ke meja, sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue bakcang itu, lalu ia tarik benang-nya dan membacanya, tapi ia menjadi melongo, kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali berbunyi: "Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak senang?" Lekas2 Nyo Ko sembunyikan kertas itu, ia lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas, ia lihat tetap di atasnya tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek.
Hati Nyo Ko memukul keras, be-runtun2 ia sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya, tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-b"alik tetap 8 huruf itu2 juga, ia coba selami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia ter-mangu2 sendiri.
Tiba2 didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi telah masuk kamar lagi.
Lekas2 Nyo Ko selusupkan kertas2 itu ke dalam selimutnya.
sementara si gadis kumpulkan sisa2 kertas robekan tadi dan dibakarnya keluar kamar.
"Kata2 "dikau" yang ditulisnya itu jangan2 maksudkan aku?" demikian diam2 Nyo Ko berpikir sendiri, "Tapi bercakap saja belum ada beberapa patah kata aku dengan dia, apanya yang menyenangkan dia akan diriku ini" Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini tiada orang lain.
" Sedang ia ter-menung2, gadis itu telah masuk kamar lagi, setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api lilin disirapnya.
Sinar rembulan remang2 menyorot masuk melalui jendela.
"Cici," Nyo Ko memanggil pelahan.
Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia berjalan keluar, Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang ulem, sebuah lagu merdu gayup2 berkumandang.
Pernah Nyo Ko rnelihat gadis itu memakai seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah, siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar.
Dulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala iseng ia sering mendengarkan Siao-liong-li mena-buh khim, (kecapi) dan pernah belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan iapun sedikit paham seni suara.
Waktu ia mendengarkan terus dengan cermat, akhirnya dapat diketahuinya orang lagi melagukan suatu bagian dari isi kitab "Si-keng" yang terdiri dari lima bait yang memuji seorang laki2 cakap, laki2 ini dikatakan ramah tamah dan suci bersih bagai batu jade yang telah diukir dan halus bagai gading yang sudah dikerik.
Setelah mendengarkan lagi, tak tahan Nyo Ko getol juga oleh lagu itu, ia lihat di tepi ranjang sana ada sebuah kecapi tujuh senar terletak di atas meja, pe-lahan2 ia berduduk dan mengambil kecapi itu, ia menyetel senarnya lalu ditabuhnya mengiringi suara seruling si gadis.
Kecuali lima bait dalam "Si-keng" itu sebenarnya masih ada beberapa kalimat lanjutannya yang bilang laki2 sejati yang gagah berani itu sesungguhnya sukar dilupakan orang.
Selagi ia hendak menyambung kalimat2 itu, mendadak suara seruling berhenti.
Nyo Ko tertegun, tapi lapat2 ia paham juga akan maksud orang: "Ah, maksudnya meniup seruling mula2 hanya untuk menghibur diri saja, sesudah diiringi suara kecapiku ia tahu perasaannya telah dapat dipecahkan olehku, Tapi karena terputusnya suara seruling yang mendadak ini apa bukan lebih menandakan akan maksud isi hatinya itu?" Besok paginya, ketika gadis itu mengantarkan sarapan pagi, ia lihat Nyo Ko telah memakai kedok kulit, ia menjadi heran: "He, kenapa kaupun pakai barang ini?" tanyanya tertawa.
"Bukankah ini pemberianmu ?" sahut Nyo Ko.
"Kau tak mau perlihatkan muka aslimu, biarlah akupun memakai topeng saja.
" Tahulah si gadis bahwa orang sengaja hendak pancing dirinya membuka kedoknya, tapi bila ingat kalau kedoknya ditanggalkan, apa yang terpikir dalam hatinya dengan sendirinya akan tertampak di-wajahnya, hal ini berarti menambah banyak susah baginya, maka kemudian ia menjawab dingin: "Boleh juga bila kau ingin memakainya.
" Habis berkata itu, ia letakkan barang sarapan terus keluar lagi, Sehari itu iapun tidak bicara lagi dengan Nyo Ko.
Tentu saja pemuda ini rada tak enak, ia kuatir telah membikin marah padanya, hendak minta maaf pikirnya, tapi tidak pernah lagi gadis itu tinggal sejenak di dalam kamar.
Sampai malamnya, ketika gadis itu bebanah mangkok piring dan hendak keluar lagi, tiba2 Nyo Ko memanggilnya: "Cici, tiupan serulingmu itu sangat merdu, sukalah kau meniupnya satu lagu lagi?" Gadis itu termenung sejurus.
"Baiklah," katanya kemudian.
Lalu iapun pergi mengambil serulingnya, ia duduk didepan ranjang si Nyo Ko dan meniupnya pelahan, Lagu yang ditiupnya sekali ini adalah "Geng-sian-khek" atau menyambut tamu dewata lagunya ramah dan hangat seperti tuan rumah yang lagi menjamu tetamunya dengan gembira.
"Kiranya di waktu meniup seruling kaupun memakai kedok dan sama sekali tak ingin kelihatan perasaan hatimu," demikian Nyo Ko membatin.
Tapi sebelum habis selagu ditiup, ketika sinai bulan pe-lahan2 menyorot naik ke dinding, mendadak gadis itu letakkan serulingnya dan menjerit sambil berdiri, suaranya terdengar begitu kaget dan kuatir.
Melihat perubahan orang yang hebat dan aneh ini, seketika Nyo Ko ikut terkejut, waktu ia pandang menurut arah sinar mata orang, ia lihat di atas dinding terang kelihatan ada tiga buah cap tangan merah, Ketiga cap tangan ini sangat tinggi, harus melompat baru bisa mencapnya, karena warnanya merah berdarah, di bawah sorotan sinai bulan tampaknya menjadi tambah seram.
"Cici, permainan apakah dan perbuatan siapa kah itu?" tanya Nyo Ko tak mengerti akan maksud tiga cap tangan itu.
"Kau tak tahu?" menegas si gadis, "Jik-lian sian-cu !" "Li Bok-chiu maksudmu?" tanya Nyo Ko.
"Bilakah ia tinggalkan cap tangan ini?" "Tentunya pada waktu kau tidur semalam," kata gadis itu.
"Di sini memangnya ada tiga orang.
" "Tiga orang?" Nyo Ko menegas dan tidak paham.
"Ya," kata si gadis, "la tinggalkan tiga cap tangan, maksudnya ialah memberi peringatan akan membunuh tiga orang penghuni rumah ini" "Kecuali kau dan aku, siapakah gerangan orang ketiga itu?" tanya Nyo Ko.
"Aku," sambung suara seorang tiba2 dari luar.
Ketika pintu terpentang, dari luar masuk seorang gadis berbaju kuning muda, perawakannya langsing, raut mukanya potongan daun sirih, siapa lagi dia kalau bukan Liok Bu-siang yang jiwanya pernah beberapa kali ditolong oleh Nyo Ko.
"Haha, Tolol, sekali ini giliranmu terluka, ya?" demikian Bu-siang menyapa dengan tertawa.
"Bini. . . " mendadak Nyo Ko berhenti, sebenarnya ia hendak panggil orang "bini cilik", tapi baru setengah ucapan tiba2 teringat olehnya masih ada gadis berbaju hijau yang ramah itu berdiri disamping, maka iapun tak berani bergurau lagi.
"Piauci, begitu aku terima beritamu, segera juga aku datang ke sini," kata Bu-siang lagi, "He, Tolol, siapakah yang melukai kau?" Belum Nyo Ko menjawab, tiba2 si gadis baju hijau menuding cap tangan di dinding itu.
Seketika Liok Bu-siang berseru kaget, air mukanya berubah hebat bagai melihat momok, pemandangan waktu kecil di kampung halamannya Ling-oh-tin di Ohciu, di mana Li Bok-chiu meninggalkan cap tangan dan membunuh seluruh isi keluarganya tak tertinggal sejiwapun, seketika terbayang olehnya.
Begitulah dalam berdukanya air matanya ber-kilau2 hendak menetes, mendadak ia ulur kedua tangannya dan sekaligus menarik kedua kedok dari muka Nyo Ko dan si gadis baju hijau sambil berkata: "Lekasan kita berdaya menghadapi iblis jahat ini, buat apa kalian berdua masih memakai barang tak genah ini.
" Karena ditanggalkannya kedok, seketika mata Nyo Ko terbeliak, ia lihat gadis itu berkulit putih bersih bagai salju, parasnya bundar telur dan pipinya terdapat dekik kecil yang manis, meski tak secantik Siao-liong-li yang tiada taranya, tapi terhitung juga satu nona yang amat ayu.
Kiranya gadis ini memang Piauci atau kakak misan Liok Bu-siang, ialah Thia Eng, si gadis cilik pemetik ubi teratai yang kita kenal pada permulaan cerita ini.
Seperti diketahui dahulu ia tertawan Li Bok-chiu dan hampir teraniaya oleh tangan kejinya.
Kebetulan Tho-hoa Tocu (pemilik pulau Tho-hoa) Ui Yok-su lewat disitu dan menolong jiwanya.
Sejak puterinya (Ui Yong) menikah, Ui Yok-su lantas mengembara ke mana saja, meski jiwanya sangat sederhana dan terbuka, tapi seorang tua hidup sebatangkara mau-tak-mau terasa kesepian juga.
Tatkala itu Thia Eng yang lemah tiada sandaran telah menimbulkan rasa kasihannya, ia sembuhkan racun luka Thia Eng dan karena gadis cilik ini pintar meladeninya melebihi Ui Yong, maka dari kasihan timbullah rasa sayang hingga akhirnya Ui Yok-su menerimanya sebagai murid secara resmi.
Meski kepintaran dan kecerdasan Thia Eng tidak menimpali Ui Yong, tapi ia bisa berlaku sangat hati2 dan giat belajar, maka berhasil juga dilatih nya tidak sedikit kepandaian kebanggaan Ui Yok su.
Tahun ini baru saja ia tamat belajar ilmu silat permulaannya, ia minta ijin sang guru dan kembali ke utara mencari Piaumoay, kebetulan di tengah jalan diketemukannya Nyo Ko dan Liok Bu-siang yang sedang di-uber2 Li Bok-chiu, lantas ia bantu memberi peringatan dan tengah malam menolongnya pula.
Habis pertempuran di restoran dan mendadak Nyo Ko tinggal pergi tanpa pamit, lalu Thia Eng membawa Liok Bu-siang ke tanah pegunungan sunyi ini dan mendirikan gubuk untuk merawat lukanya, Beberapa hari yang lalu setelah luka Liok Bu-siang sembuh sama sekali, gadis ini pesiar keluar dengan seorang kawannya, siapa tahu di tengah jajan dipergokinya Ui Yong lagi bertahan melawan Kim-lun Hoat-ong dengan memasang "Loan-ciok-tin" Tentang ilmu pengetahuan yang aneh2 itu pernah juga Thia Eng belajar dari Ui Yok-su, meski tak banyak yang dipahaminya, tapi sedikit yang dipelajarinya itu secara kebetulan Nyo Ko dapat ditolongnya.
Kini tiga muda-mudi berkumpul ketika membicarakan Li Bok-chiu barulah mereka tahu di waktu kecilnya pernah bertemu di 0hciu.
Sebelah mata Li Bok-chiu buta justru karena dipatuk burung merahnya Nyo Ko.
Tatkala itu Li Bok-chiu kena diatasi Ui Yok-su hingga pernah ditempeleng empat kali oleh Thia Eng.
Paling akhir ini Liok Bu-siang telah menggondol lari kitab pusakanya: "Panca-bisa", tentu saja gadis ini lebih2 ingin dibekuknya.
Kalau dibicarakan, maka ketiga muda-mudi ini semua adalah musuh besar Jik-lian-sian-cu, kini mendadak ia datang lagi, ia tak mau binasakan Nyo Ko secara diam2 selagi orang terluka, tetapi malah tinggalkan tanda peringatan tiga cap tangan, suatu tanda ia sudah yakin tiga sasarannya ini tidak nanti bisa loIos.
Nyo Ko sendiri terluka dan tak bisa berkutik, kalau melulu andalkan Thia Eng dan Liok Bu-siang sesungguhnya susah melawannya, setelah ketiga orang berunding, merekapun merasa tak berdaya.
"Aku masih ingat tempo dulu iblis ini mendatangi rumah Piaumoay waktu hari hampir terang tanah," demikian kata Thia Eng, "kini kalau dia datang juga sebelum fajar tiba, sementara ini kita masih ada waktu beberapa jam, kuda tunggangan Nyo-heng sangat bagus, biarlah sekarang juga kita lari, belum tentu iblis itu bisa menyandak kita.
" "Ya, bagaimana Tolol, kau terluka, sanggup naik kuda tidak?" tanya Bu-siang.
"Terpaksa harus dicoba juga," sahut Nyo Ko.
"Daripada mati konyol di tangan iblis ini.
" "Piauci", kata Bu-siang pula, "kau kawani si Tolol lari ke barat, aku nanti pancing dia kejar ke timur.
" "Tidak, kau saja yang temani Nyo-heng," sahut Thia Eng rada jengah, "Diantara kita bertiga permusuhanku dengan dia paling ringan, sekalipun aku tertangkap belum pasti dia membunuh aku, sebaliknya bila kau yang terpegang, dapat dipastikan kau bakal celaka," "Tujuan kedatangannya ini adalah diriku, kalau ia dapatkan aku bersama dengan si Tolol ini, bukankah akan bikin susah dia?" ujar Bu-siang.
Terharu sekali Nyo Ko mendengar pembicaraan mereka, ia pikir kedua nona ini ternyata berbudi luhur semua, dalam keadaan berbahaya dengan sukarela bersedia menolong jiwanya, kalau aku sampai ketangkap dan tewas oleh iblis itu, hidupku ini rasanya pun tidak sia-sia.
"He, Tolol, coba katakan, kau suka lari diiringi Piauci atau dikawani aku?" tiba2 didengar-Bu-siang bertanya.
Belum Nyo Ko menjawab, Thia Eng telah menyela: "Kenapa kau terus memanggilnya Tolol, apa kau tak takut Nyo-heng menjadi marah?" Bu-siang melelet lidah jenaka, lalu dengan tertawa ia bilang: "Coba begitu ramah kau terhadapnya, tentu saja engkoh Tolol ini pilih diiring kau.
" Dari sebutan "Tolol" sekarang ia ganti dengan memanggil engkoh Tolol, hal ini boleh dikatakan Bu-siang telah menaikkan harga si Nyo Ko.
Keruan saja Thia Eng merah jengah, "Eh, bukankah orang juga panggil kau/bini cilik" Dan sebagai bini cilik tak mengurusnya, lalu kiramu siapa yang akan urus dia?" demikian batasnya menggoda Dengan begitu giliran Liok Bu-siang kini yang merah jengah, ia ulur tangan lantas akan meng-kili2 Thia Eng dan terjadilah udak2an.
Suasana dalam kamar seketika menjadi berubah, mereka bertiga tidak ketakutan lagi seperti mula2 tadi.
"Kalau nona Thia yang iringi aku lari, tentu bini cilik berbahaya jiwanya, sebaliknya bila bini cilik yang kawani aku, nona Thia juga amat ber-bahaya," demikian Nyo Ko berpikir.
Karena itu, begini baik padaku, sungguh aku berterima kasih sekali.
Maka kupikir paling baik kalian berdua lekas menyingkir dari sini, biar aku tinggal sendiri melayani iblis itu.
Guruku dan dia adalah saudara seperguruan, rasanya ia akan ingat pada hubungan perguruan, pula ia takut pada guruku, agaknya tidak sampai berbuat apa2 padaku" "Tidak, tidak," sela Bu-siang sebelum Nyo Ko selesai.
Nyo Ko menduga kedua nona itu tidak nanti mau melarikan diri meninggalkan dirinya, maka dengan suara lantang ia bilang lagi: "Kalau begitu biarlah kita bertiga menempuh jalan bersama, kalau benar2 terkejar oleh iblis itu, kita bertiga lawan saja mati2an, hidup atau mati biarlah terserah takdir.
" "Baiklah, begini paling baik," sahut Bu-siang setuju.
"Datang dan perginya iblis itu sangat cepat, kalau kita berjalan bersama pasti akan disusul olehnya", ujar Thia Eng sesudah merenung sejenak "Daripada bergebrak dengan dia di tengah jalan, adalah lebih baik di sini saja kita tunggu dia?" "Ya, betul," kata Nyo Ko.
"Cici mahir ilmu pengetahuan yang aneh2 sampai Kim-lun Hoat-ong juga kena kau kurung, tentu Jik-lian-sian-cu juga belum bisa membobolnya.
" Karena kata2 Nyo Ko ini, pada ketiga orang ini lantas timbul sinar harapan.
"Barisan batu2 itu adalah Kwe-hujin yang reka, aku hanya ikut merubahnya saja, kalau aku sendiri harus memasangnya, inilah belum cukup kepandaianku.
Tapi biarlah, kita usahakan sebisanya menurut nasib," demikian kata Thia Eng, "Piaumoay, marilah kau membantu aku.
" Lalu kedua saudara misan itu membawa alat2 cangkul dan sekop keluar rumah, mereka menggali tanah dan menumpuk batu.
Setelah sibuk lebih satu jam, sajup2 terdengar ayam berkokok di kejauhan, sementara itu Thia Eng sudah mandi keringat karena kerja keras itu.
Waktu dipandangnya gundukan tanah yang dia tumpuk dan atur itu, kalau dibanding barisan batu yang dipasang Ui Yong, sesungguhnya daya-gunanya masih selisih jauh, diam2 Thia Eng bersedih, "Kepintaran Kwe-hujin sungguh beratus kali lebih tinggi dariku.
Ai, dengan gundukan tanah yang kasar jelek ini rasanya sulit hendak merintangi Jik-lian-sian-cu itu", demikian ia mengeluh.
Tapi karena kuatir Piaumoay dan Nyo Ko ikut ber-sedih, maka pikirannya ini tak diutarakannya.
Setelah sibuk "kerja-bakti", di bawah sinar bulan remang2 Bu-siang melihat wajah sang Piauci agak berlainan, ia tahu pasti orang tak yakin bisa menahan musuh.
Tiba2 ia keluarkan sejilid kitab-dari bajunya, ia masuk rumah dan diangsurkan pada Nyo Ko.
"ToloI, inilah kitab "panca-bisa" guruku itu," katanya.
Melihat kulit kitab itu merah bagai darah.
Nyo Ko rada terkesiap. "Aku telah membohongi Suhu bahwa kitab itu telah direbut Kay-pang, maka kuatir bila sebentar lagi aku tertangkap olehnya bisa digeledahnya," kata Bu-siang.
"Maka bolehlah kau membacanya sekali, setelah kau apalkan lalu bakar saja sekalian.
" Biasanya kalau bicara dengan Nyo Ko selamanya Bu-siang suka olok2 dan main bengis, tapi disaat jiwa terancam, ia tidak sempat berkelakar Iagi.
Melihat sikap si gadis muram durja, Nyo Ko mengangguk dan terima kitab itu.
Lalu Bu-siang keluarkan lagi sepotong sapu tangan sulaman, dengan suara lirih ia bilang lagi: "Jika tak beruntung kaupun jatuh di tangan iblis itu dan dia hendak celakai jiwamu, hendaklah kau lantas unjukkan sapu tangan ini padanya.
" Nyo Ko lihat sapu tangan itu yang sebelah jelas kelihatan bekas sobek, bunga merah sulam juga tersobek separoh, ia tak tahu maksud Bu-siang, maka ia bingung tak menerima.
"Apakah ini?" tanyanya.
"Aku minta kau sampaikan ini padanya, maukah kau?" sahut Bu-siang.
Nyo Ko angguk2, lalu terima dan ditaroh samping bantalnya.
Tapi tiba2 Bu-siang mendekatinya dan ambil saputangan itu terus dimasukkan ke baju Nyo Ko, mendadak diciumnya bau khas orang laki2 teringat olehnya pengalaman tempo hari pernah bajunya dilepas pemuda ini dan menyambung tulangnya, malahan pernah tidur bersama seranjang, terguncanglah hatinya, ia pandang Nyo Ko sekejap, lalu keluar kamar.
Melihat kerlingan mata si gadis sebelum pergi ini penuh arti, hati Nyo Ko ikut terguncang keras.
Selang tak lama barulah ia membalik halaman2 kitab "panca-bisa", ia lihat kitab itu sudah berubah kuning saking tuanya, apa yang tertulis ialah sebangsa pelajaran cara2 menangkap makluk berbisa,merendam senjata rahasia dengan racun serta cara-cara pengobatannya.
Dari awal sampai akhir Nyo Ko baca kitab "Panca-bisa" itu sampai beberapa kali dan mengingatnya baik2.
ibunya tewas karena pagutan ular berbisa, peristiwa ini meninggalkan luka yang dalam di hati sanuharinya, maka demi dilihatnya kitab itu tercatat begitu banyak dan jelas tentang cara2 membuat racun serta cara mengobatinya, tanpa terasa ia berpikir: "Ah, jika dulu2 aku paham begini banyak cara menyembuhkan racun yang bagus ini, tentulah aku dapat menolong jiwa ibuku, Dan ia pasti akan kasih-saysng padaku dan tidak sampai ter-lunta2 menjadi yatim-piatu seperti sekarang ini.
" Teringat akan itu, tak tahan lagi air matanya me-netes2 ke atas kitab itu.
Tiba2 didengarnya suara pintu didorong, ketika ia memandang, ia lihat Thia Eng dengan kedua pipi merah jengah lagi mendekati pembaringan-nya, pada jidat gadis ini masih penuh butir2 keringat "Nyo-heng, aku telah pasang barisan gundukan tanah di luar pintu, tapi paling banyak hanya sekadar merintangi saja, untuk menahan iblis terkutuk itu terang sukar," demikian kata Thia Eng perlahan sambil keluarkan sepotong saputangan sutra dari bajunya dan diangsurkan pada Nyo Ko, "Maka bila sampai iblis itu menerjang masuk, serahkanlah saputangan ini padanya.
" Nyo Ko lihat saputangan ini hanya separuh juga, kainnya dan kembangnya serupa dengan potongan saputangan yang diterimanya dari Bu-siang tadi, ia menjadi heran sekali.
Waktu ia angkat kepala, tiiba2 sinar matanya kebentrok dengan sinar mata -si gadis, di bawah sorot lampu dilihatnya airmata mengaca di kelopak matanya dengan wajah malu2 girang, selagi Nyo Ko hendak tanya, tiba2 muka Thia Eng merah dan berkata pula lirih: "Se-kali2 jangan diketahui Piaumoayku.
" Habis ini iapun jalan keluar.
Nyo Ko keluarkan setengah saputangan yang diterimanya dari Liok Bu-siang tadi dan digabung menjadi satu, nyata kedua belah saputangan itu persis berwujud selembar, cuma saputangan itu sudah terlalu tua sutera putih sudah berubah kuning, hanya bunga merah sulaman itu kelihatan masih segar.
Nyo Ko tahu saputangan ini pasti mengandung arti yang dalam, cuma kedua gadis itu mengapa masing2 menyerahkannya separoh" Dan kenapa ingin serahkan pada Li Bok-chiu dan mengapa tidak diketahui masing2 pihak" Sedang diwaktu memberikan saputangan wajah kedua gadis itu mengunjuk rasa malu2! Nyata karena hati Nyo Ko sudah tertambat atas diri Siao-liong-li, terhadap Liok Bu-siang dan Thia Eng hanya anggap sebagai sahabat baik saja, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa kedua gadis itu sebenarnya sangat mendalam mencintai-nya, sudah terang saputangan itu akan merindukan Li Bok-chiu pada kisah asmaranya dulu dan akan mengampuni jiwa mereka, tapi mereka justru memberikan itu padanya.
Begitulah Nyo Ko ter-mangu2 duduk di atas ranjangnya, tiba2 didengarnya suara ayam berkokok lagi di kejauhan, menyusul mana terdengar juga suara suling yang merdu, kiranya Thia Eng telah meniup serulingnya, agaknya sesudah atur barisan gundukan tanah dan merasa lega, maka ditiupnya sebuah lagu "liu-po", suara sulingnya halus tenang tak berduka, suatu tanda orang lagi merasa senang tanpa kuatir sesuatu.
Setelah dengar sejurus, tiba2 Nyo Ko ambil kecapi dan mengiringi seruling orang, suara kecapi itu nyaring hingga merupakan paduan suara yang sangat serasi dengan suara seruling.
Bu-siang duduk di belakang gundukan tanah, ia terpesona mendengarkan sang Piauci meniup seruling mengiringi suara kecapi Nyo Ko, sementara itu ufuk timur sudah remang2, fajar telah mendatang, tak tahan lagi ia berpikir: "Ah, sekejap lagi Suhu bakal datang, jiwaku tak nanti bisa tertolong dalam sejam ini.
Harap saja Suhu melihat sapu-tangan itu dan mengampuni jiwa Piauci dan dia, mereka berdua.
. . " Sebenarnya watak Bu-siang nakal dan licin, biasanya Thia Eng suka mengalah padanya sejak kecil.
Tapi dalam keadaan bahaya sekarang, dalam hati Bu-siang justru berharap Nyo Ko bisa selamat, cintanya ternyata sudah mendalam dan diam2 berdo'a agar pemuda itu terhindar dari malapetaka.
Selagi ter-mangu2, ketika mendadak ia angkat kepalanya, tiba2 dilihatnya di luar gundukan tanah sana sudah berdiri seorang To-koh (imam wanita) berjubah putih, tangan kanan membawa kebut, siapa lagi kalau bukan Suhunya, Li Bok-chiu.
Bu-siang berseru tertahan, cepat ia lolos pedang dan berdiri, sementara itu Nyo Ko lagi tabuh khim dan sampai pada saat yang tegang, Thia Eng juga lagi asyik meniup serulingnya, perhatian mereka penuh dicurahkan pada alat musik mereka meski Bu-siang menjerit tertahan, namun ternyata tak digubrisnya.
Tapi aneh juga, Li Bok-chiu hanya berdiri tegak tak bergerak, ia malah pasang kuping mendengarkan dengan cermat.
Kiranya suara paduan khim dan siau (seruling) itu mengingatkannya pada masa mudanya waktu sama2 main musik dengan kekasihnya, Liok Tian-goan, malahan lagu "liu-po" yang dibawakan orang sekarang ini adalah lagu yang sering dibawa-kannya dahulu.
Kejadian itu sudah lalu berpuluh tahun, tapi kenangan itu sukar dilupakan, maka diam2 ia berdiri di luar sana mendengarkan suara kecapi dan seruling yang sahut menyahut dengan mesranya, tiba2 ia berduka, se-konyong2 ia menangis ter-gerung2 keras.
Tangisannya yang amat sedihnya ini membikin Liok Bu-siang tak mengerti, biasanya gurunya terkenal kejam, mana pernah mengunjuk hati lemah" Kini terang2an ia datang hendak membunuh orang, kenapa malah menangis di luar pintu" Dan bila didengarnya tangisan Li Bok-chiu begitu sedih memilukan, tak tahan iapun menangis.
Dan karena menangisnya Li Bok-chiu itu, segera Nyo Ko dan Thia Eng mengetahuinya juga, suara khim dan siau mereka rada terpengaruh hingga sedikit kacau iramanya.
Tergerak pikiran Li Bok-chiu, mendadak dari menangis ia berubah menyanyi keras dengan suaranya yang memilukan.
Sebenarnya suara khim dan siau tadi penuh membawa perasaan gembira, tapi karena nyanyian Li Bok-chiu yang bukan saja syairnya sangat sedih, nadanya pun amat memilukan, bahkan iramanya berlainan sama sekali dengan lagu Nyo Ko berdua, baru saja Li Bok-chiu mulai menyanyi, suara seruling Thia Eng segera hampir2 mengikuti iramanya.
Keruan Nyo Ko terkejut, lekas2 ia tambahi suara kecapinya lebih keras dan menarik kembali suara seruling Thia Eng.
Makin lama suara nyanyian Li Bok-chiu makin kecil, tapi makin kecil makin melengking tinggi juga nadanya, Rada kacau Nyo Ko terpengaruh oleh suara tangisnya, satu saat iapun tertarik menuruti irama orang tanpa sadar, Thia Eng memangnya lebih cetek lagi keuletannya, lebih2 ia tak bisa menguasai diri.
Diam2 Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir tanpa turun tangan, cukup dengan suara nyanyianku saja sudah bisa bikin kalian hilang semangat dan menyerah.
Siapa tahu sedikit ia bergirang, suara nyanyiannya segerapun timbul reaksi dan ikut menunjuk rasa girang juga.
Kesempatan ini digunakan Nyo Ko dengan baik untuk membelok kembali iramanya, menyusul Thia Eng pun bisa menguasai diri kembali ke lagu mereka tadi.
Melihat usahanya gagal, tidak kepalang gusarnya Li Bok-chiu, suara nyanyiannya bertambah tinggi dan beberapa kalimat lanjutannya dinyatakan secara lebih pilu tapi bengis mengadung rasa marah, tapi Nyo Ko dapat melawannya dengan kuat.
Di antara empat orang ilmu silat Liok Bu siang adalah paling rendah, mula2 ia heran mengapa gurunya mendadak menarik suara dan menyanyi, baru kemudian ia paham bahwa hakikatnya kedua pihak sedang saling gebrak, cuma bukan gebrak dengan kaki tangan, melainkan adu pengaruh batin, termasuk Lwekang.
ia lihat paduan suara musik Nyo Ko dan Thia Eng masih tak sanggup menahan gempuran suara nyanyi gurunya, ia tahu gurunya tak berani sembarang menyerbu masuk karena dirintangi barisan gundukan tanah di luar rumah itu, maka dengan suara nyanyian hendak bikin kacau dulu semangat mereka bertiga, habis itu tanpa banyak buang tenaga barisan gundukan tanah akan dibobolnya.
Sejenak kemudian didengarnya suara kecapi dan seruling mulai kisruh, ia tahu Nyo Ko dan Thia Eng sudah repot melawan musuh, cuma sayang ia tak berdaya buat membantunya, tiada jalan lain kecuali berkuatir saja diam-diam.
Suatu saat, tiba-tiba Li Bok-chiu meninggikan iramanya hingga lebih sedih dan seram kedengarannya, Sukar Nyo Ko dan Thia Eng hendak melawannya, ketika nada suara kecapi makin lama makin tinggi juga, akhirnya terdengarlah suara "creng", senar pertama kecapi itu telah putus.
Thia Eng terkejut, suara serulingnya rada kacau, kembali senar kedua kecapi Nyo Ko putus pula.
Ketika Li Bok-chiu tarik suaranya lebih tinggi segera senar ketiga lagi2 gugur.
Dengan demikian suara seruling Thia Eng tak bisa lagi berpaduan dengan suara kecapi yang telah pincang itu.
Tadi waktu Li Bok-chiu mendatangi rumah gubuk itu, dari jauh sudah dilihatnya barisan gundukan tanah yang kelihatan tertumpuk serabutan itu, tapi di dalamnya sebenarnya penuh perubahan2 menurut lukisan Pat-kwa, cuma belum sempurna.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya pada waktu senar kecapi Nyo Ko putus dan suaranya rada kacau, segera ia bisa menyerbu rnasuk, tapi ia masih jeri terhadap barisan gundukan tanah itu.
Tiba2 tergerak pikirannya, cepat ia memutar ke sebelah kiri itu, dibarengi suara nyanyianrya yang bernada tinggi, ia melompati segundukan tanah terus membobol dinding rumah dan menyerbu ke dalam.
Kiranya barisan gundukan tanah yang dipasang Thia Eng itu melulu mengutamakan menjaga pintu depan dan tidak memikirkan bahwa dinding rumah reyot yang kurang kokoh.
Kini Li Bok-chiu secara cerdik hindarkan pintu depan dan main pintu belakang, ketika kedua telapak tangannva memukul keras, dinding gubuk itu kena dirobohkannya dan diterjang masuk.
Terkejut sekali Liok Bu-siang dan Thia Eng, ke-dua2nya berlari masuk ke dalam dengan pedang siap di tangan.
Melihat Li Bok-chiu masuk dengan membobol dinding Nyo Ko pun terkejut.
Tapi bila ingat ia sendiri terluka dan tak mampu melawan, segera ia menjadi nekad, mati hidup tak dipikirnya lagi, ia ganti nada kecapinya dan tukar sebuah lagu "tho-yao" yang menyanyikan pasangan muda-mudi pada hari penganten baru dengan penuh rasa bahagia.
Melihat si Nyo Ko begitu tenang, musuh di depan mata masih unjuk senyuman, diam2 Li Bok-chiu kagum akan nyali orang, tapi demi mendengat suara kecapinya yang mesra menarik itu, tak tahan harinya terguncang.
"Mana kitabnya" sebenarnya direbut orang Kay-pang atau tidak?" tanya Li Bok-chiu tiba2 pada Liok Bu-siang.
Bu-siang tak menjawab. sebaliknya Nyo Ko gunakan tangan kiri buat memetik kecapi dan tangan kanan melemparkan kitab "panca-bisa" itu kepadanya.
"Ui-pangcu dari Kay-pang adalah seorang berbudi luhur dan punya harga diri, mana ia sudi melihat kitabmu yang kotor ini" Malah dia telah memberi perintah pada anak murid Kay-pang agar tidak membalik barang sehalaman bukumu ini," demikian kata Nyo Ko.
Melihat kitab pusakanya masih baik2 tak kurang suatu apapun, girang sekali Li Bok-chiu, iapun kenal kelakuan orang Kay-pang yang biasanya sangat terpuji, peraturan merekapun sangat keras, mungkin juga belum pernah ada yang membuka kitabnya dan membacanya, Karena girangnya itu pengaruh suara sedihnya tadi lantas berkurang beberapa bagian.
Kemudian Nyo Ko keluarkan lagi dua potong belahan saputangan bersulam dan dibentang di atas meja, "Saputangan inipun kau ambil saja sekalian.
" katanya pula. Air muka Li Bok-chiu berubah hebat melihat saputangan itu, begitu kebutnya menyamber, kedua potong saputangan itu sudah terbelit dan sampai di tangannya, ia terkesima memandangi saputangan itu, seketika perasaannya timbul tenggelam bagai ombak mendampar.
Di lain pihak Thia Eng dan Liok Bu-siang telah saling pandang sekejap, paras merekapun merah jengah, sungguh tak terduga masing2 telah memberikan saputangan sendiri2 pada Nyo Ko, sedang pemuda ini justru unjukkan saputangan itu di hadapan mereka.
Kedua saudara misan ini siulan sama tahu masing2 jatuh hati pada Nyo Ko, tapi sifat anak gadis dengan sendirinya sukar diucapkannya terus terang.
Mendadak Li Bok-chiu merobek kedua potong saputangan itu menjadi empat potong, "Kejadian sudah lalu buat apa disesalkan pula?" katanya tiba-tiba.
Dan ketika tangannya menyobek lagi terus-dilempar ke udara, tahu2 sobekan saputangan tadi berhamburan bagai bunga rontok.
Nyo Ko terkejut, "creng", kembali terdengar suara nyaring, seutas senar kecapi yang lain kembali putus.
"Kalau kini kubunuh kau, gampang bagai membalik tanganku sendiri," bentak Li Bok-chiu.
"Tapi kau terluka, bila kubunuh kau mungkin kan pun tidak rela, Cis, putus lagi seutas !" Betul saja senar kecapi kelima kembali putus menyusul suara ejekannya itu.
Kini kecapi yang tadinya bersenar tujuh itu tinggal dua senar saja, betapa pandai Nyo Ko memainkan kecapi sukar lagi membentuk irama pula.
"Hayo lekas petik beberapa suara sedih saja biar kalian menangis, dunia fana ini selalu membikin orang menderita, apa senangnya orang hidup?" demikian tiba2 Li Bok-chiu membentak.
Tapi watak si Nyo Ko sangat bandel, ia justru pelik kedua senar kecapinya keras2 dan tetap dengan nada nyanyian gembira kemanten baru tadi.
"Baik, biar aku bunuh seorang dulu, coba kau bakal sedih dan pilu tidak?" kata Bok-chiu pula.
Karena kata2nya ini, kembali seutas senar kecapi gugur lagi.
Habis itu Bok-chiu angkat kebutnya terus hendak disabetkan ke kepala Liok Bu-siang, namun Thia Eng segera angkat pedang siap adu jiwa dengan musuh.
Insaf tak bisa menghindarkan ancaman musuh lagi, tiba2 Nyo Ko malah tertawa, "Hari ini kami bertiga bisa mati bersama di suatu tempat dan saat yang sama senang dan bahagia, sungguh jauh lebih enak daripada kau hidup sebatangkara di dunia ini dengan hati kosong," demikian ia ejek musuh.
"Hayo, Eng-moay, Siang-moay, marilah kalian ke sini!" Segera Thia Eng dan Bu-siang mendekati Nyo Ko sebuah tangan pemuda ini memegang Thia Eng dan tangan lain pegang Bu-siang, lalu dengan tertawa ia berkata: "Biarlah kita mati bersama, di tengah jalan menuju alam baka kita masih dapat bicara sambil bergurau, bukankah jauh lebih baik daripada perempuan jahat dan keji ini?" "Ya, ya, Tolol, sedikitpun tak salah katamu," sahut Bu-siang tertawa, karena itu Thia Eng ikut tersenyum hangat.
Karena tangan kedua saudara misan ini dipegang Nyo Ko, seketika keberanian merekapun bertambah lipat ganda, perasaan mereka amat senangnya.
"Apa yang dikatakan bocah ini tidak salah juga, kalau mereka mati secara demikian, betul juga jauh lebih enak daripada hidupku," diam2 Bok-chiu membatin dengan wajah sedingin es.
Tapi hatinya yang kejam itu segera berpikir lagi: "Ah, mana boleh begitu enak bagi mereka" Aku justru ingin membikin kalian mati dengan menderita lebih dulu.
" Habis ini ia geraki kebutnya pelahan terus mulai menyanyi lagi, lagunya masih tetap seperti tadi, cuma nadanya bertambah sedih bagai keluhan janda terbuang, seperti tangisan setan gentayangan di malam sunyi.
Tangan Nyo Ko bertiga masih saling genggam hangat, setelah mendengarkan tak lama, tiba2 timbul rasa pilu mereka yang tak tertahankan lwekang Nyo Ko lebih tinggi ia coba kumpulkan semangat agar tak terpengaruh dengan pertahankan senyumannya.
Hati Bu-siang juga lebih keras dan tidak gampang terguncang, tapi Thia Eng agaknya tak tahan, air matanya meleleh.
Suara nyanyian Li Bok-chiu makin lama makin rendah, sampai akhirnya menjadi begitu lirih seperti terputus, lalu menyambung lagi Kelopak mata Nyo Ko mulai merah, hidungnya mulai basah ingusan.
Jik-lian-sian-cu sedang menunggu, asal ketiga orang mengalirkan air mata berbareng, begitu kebutnya menyabet, segera mereka akan dibinasakannya.
Tapi pada saat nyanyiannya bertambah sedih luar biasa itu, mendadak didengarnya di luar rumah ada orang datang dengan bergelak tertawa, sambil bertepuk tangan dan bendendang.
Suara nyanyian itu suara kaum wanita, kedengaran usia yang menyanyi pasti tidak muda lagi, tapi lagu yang dibawakannya justeru lagu kanak-kanak yang riang gembira, karena itu nada suara Li Bok-chiu yang sedih itu menjadi kacau balau.
Suara nyanyian itu makin mendekat, sejenak kemudian masuklah seorang perempuan setengah umur dengan rambut semrawut, kedua matanya besar bulat dan tertawa ketolol-tololan, sebelah tangannya membawa sebatang garpu besar yang biasa dipakai tukang api.
Li Bok-chiu terkejut heran perempuan itu dapat masuk ke rumah ini dengan mengitari barisan gundukan tanah yang diatur oleh Thia Eng itu, jika perempuan sinting ini bukan sekomplotan dengan Thia Eng bertiga, tentu dia mahir ilmu perhitungan bintang yang mujizat itu.
Lantaran pikirnya terganggu oleh pikiran lain, seketika pengaruh nyanyiannya yang bernada sedih itupun surut, tidak selihay tadi.
Thia Eng sangat girang melihat datangnya perempuan setengah umur itu, segera ia berseru: "Suci, orang ini hendak mencelakai diriku, lekas engkau membantu adikmu ini.
" Kiranya perempuan ini, adalah murid Ui Yok-su, namanya Sah Koh (si nona tolol).
ia tidak menjawab seruan Thia Eng itu, tapi melanjutkan bernyanyi sambil tertawa.
Lagunya tetap lagu kanak2 yang bersuka ria sehingga tidak terpengaruh oleh nada nyanyian Li Bok-chiu yang sangat sedih itu.
Lama-lama Li Bok-chiu menjadi murka, ia pikir perempuan sinting ini harus dibereskan lebih dulu, Maka sebelum berhenti suara nyanyiannya, serentak kebutnya menyabet ke arah kepala Sah Koh.
Sungguh aneh, sama sekali Sah Koh tidak ambil pusing akan serangan Li Bok-chiu itu, sebaliknya ia angkat garpunya terus menusuk ke dada lawan.
Melihat serangan lawan sangat kuat, kembali Li Bok-chiu terkejut ia tidak paham mengapa perempuan sinting ini memiliki kekuatan sedemikian hebat.
Cepat ia menggeser ke samping, menyusul kebutnya menyabet pula ke leher orang.
Tapi Sah Koh tetap tidak pedulikan serangan musuh, kembali garpunya menusuk lurus ke depan, Waktu Li Bok-chiu memutar kebutnya untuk membelit ujung garpu, namun Sah Koh anggap tidak tahu saja, ujung garpu tetap menusuk ke depan.
Kiranya Sah Koh ini aslinya adalah anak murid Ui Yok-su yang bernama Ki Leng-hong.
Watak Ui Yok-su terkenal aneh, eksentrik, Leng-hong telah menjadi korban wataknya yang luar biasa itu, Karena menyesal Ui Yok-su telah pungut anak perempuan Ki Leng-hong, yaitu Sah Koh dan berjanji pada diri sendiri akan mendidik Sah Koh dengan segenap kepandaian yang dimilikinya.
Cuma sayang, lantaran syaraf nya terganggu ketika menyaksikan ayahnya tewas, maka otaknya menjadi miring, terbatas oleh bakatnya ini maka sia-sia saja jerih payah Ui Yok-su yang berusaha menurunkan segenap kepandaiannya kepada nona itu, walaupun begitu, selama belasan tahun ini dapat pula dilatihnya suatu permainan ciang-hoat (pukulan dengan telapak tangan) dan permainan Jeh-hoat (permainan garpu).
Apa yang disebut suatu permainan sebenarnya cuma terdiri dari tiga jurus saja setiap macamnya, soalnya Ui Yok-su memaklumi bakat Sah Koh yang kurang itu, kalau diajari perubahan yang aneh dan rumit tentu malah tak dapat diingatnya, Maka ia sengaja menciptakan tiga jurus ilmu pukulan dan tiga jurus serangan garpu, keenam jurus ini sangat berbahaya, tiada sesuatu perubahan sampingan dan tiada gerakan yang aneh, begitu2 melulu, letak kelihaiannya hanya soal keteguhan pikiran dan kemantapan hati saja, latih terus keenam jurus itu sekuatnya, lain tidak.
Karena itulah keenam jurus Sah Koh itu tak dapat dipandang enteng, malah ketika ujung kebut Li Bok-chiu melilit ujung garpu si Sah Koh, ternyata lawan tak ambil pusing, garpunya juga tidak berhenti, tapi tetap lurus menusuk ke depan, sekejap saja ujung garpu sudah sampai di depan dadanya.
Syukur Li Bok-chiu memang seorang tokoh maha sakti, pada detik garpu musuh sudah hampir melubangi buah dadanya itulah, mendadak ia berjumpalitan ke belakang, dengan demikian terhindarlah dia dari renggutan maut, walaupun begitu keringat dinginpun telah membasahi tubuhnya.
Setelah berjumpalitan ke belakang, malahan ia tidak berhenti, segera ia melompat maju, kebutnya menyabet pula dari atas.
Tapi lagi-lagi Sah Koh tidak pedulikan serangan lawan, kembali garpunya menusuk lurus ke depan.
Karena sekali ini Li Bok-chiu sedang melompat, maka garpu itu jadinya mengarah ke perutnya.
Melihat ancaman bahaya itu, terpaksa Li Bok-chiu tarik kebutnya untuk menangkis garpu orang, berbareng itu melompat ke samping.
ia pandang Sah Koh dengan tidak habis mengerti apa sebabnya setiap tusukan garpu lawan yang sederhana itu seketika dapat mematahkan sabetan kebutnya yang beraneka ragam perubahannya, padahal selama ini tokoh silat manapun tidak berani meremehkan serangan kebutnya itu.
jelas perempuan sinting ini memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur, jaIan paling selamat rasanya tiada pilihan Iain kecuali angkat langkah seribu saja.
Tapi baru saja Li Bok-chiu hendak kabur melalui lubang dinding yang dibobolnya tadi, tiba2 terlihat di tepi bobolan dinding itu sudah berduduk seorang berjubah hijau dan berjenggot panjang siapa lagi dia kalau bukan Tho-hoa-tocu Ui Yok su adanya.
Ui Yok-su berduduk menghadap sebuah bangku pendek, di atas bangku terletak kecapi Nyo Ko tadi, Padahal Li Bok-chiu maha cerdik, biarpun sedang bertempur juga panca inderanya selalu waspada terhadap segala gerak-gerik di sekitarnya, Tapi kini Ui Yok-su masuk rumah, mengambil kecapi dan berduduk di situ di luar tahunya sama sekali, bilamana Ui Yok-su mau menyergapnya, maka jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.
Sembari bertempur melawan Sah Koh tadi, kuatir kalau Thia Eng bertiga ikut mengerubutnya, maka Li Bok chiu tidak pernah menghentikan nyanyinya untuk mengganggu pemusatan pikiran Thia Eng bertiga.
Kini mendadak nampak Ui Yok-su berduduk di situ sambil memetik kecapi, saking kagetnya seketika iapun lupa menyanyi lagi.
Mendadak Ui Yok-su memetik senar kecapi hingga menimbulkan suara "creng" yang nyaring, lalu dia mulai bemyanyi, yang dibawakan ternyata adalah lagu yang dinyanyikan Li Bok-chiu tadi, padahal senar kecapi itu tinggal satu saja, tapi Ui Yok-su adalah seorang mahaguru ilmu silat, dari sebuah senar itu dapatlah dipetiknya menjadi berbagai irama yg diinginkannya, malahan nada duka suara kecapinya ini jauh, melebihi suara nyanyian Li Bok-chiu tadi.
Karena lagu ini sudah apal bagi Li Bok-chiu, sekali nadanya dikerahkan, seketika reaksi yang timbul dalam perasaannya menjadi berlipat ganda terlebih hebat daripada Nyo Ko bertiga.
Ui Yok-su tahu kejahatan yang diperbuat Li Bok-chiu, kesempatan ini akan digunakan untuk menumpasnya.
Asalkan lagu yang dipetiknya itu selesai, andaikan tidak mampus juga Li Bok-chiu akan menjadi gila.
Di luar dugaan, ketika mendadak si Sah Koh melihat Nyo Ko, di bawah cahaya lilin yang remang, ia lihat wajah Nyo Ko mirip benar dengan mendiang ayah Nyo Ko, yaitu Nyo Khong.
Biasanya Sah Koh sangat takut pada setan iblis, dahulu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Nyo Khong mati keracunan, apa yang dilihatnya itu sukar terlupakan baginya, Kini dilihatnya Nyo Ko duduk termangu di sana, disangkanya arwah Nyo Khong hendak menggodanya, keruan ia kaget dan ketakutan, ia tuding Nyo Ko dan berseru: "He, kau.
. . kau. . . . saudara Nyo,jangan. . . jangan kau membikin. . . membikin susah aku. . . bukan aku yang mencelakai kau.
. . pergilah kau men. . . mencari orang lain saja!" Sebenarnya saat itu Ui Yok-su sudah mulai meninggikan nada kecapinya dan sejenak lagi Li Bok-chiu pasti akan celaka, tapi mendadak terganggu oleh jeritan Sah Koh dan senar kecapi yang terakhir segerapun putus.
Sah Koh sembunyi di belakang sang guru sambil berteriak: "Setan.
. . ada setan, Suhu ! Setan saudara Nyo !" Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Li Bok-chiu, dengan kaburnya ia padamkan api lilin, cepat ia menerobos keluar melalui bobolan dinding itu.
Karena gagal membinasakan iblis itu dengan suara kecapi, untuk menjaga harga diri.
Ui Yok-su tidak ingin mengejarnya lagi ----------- gambar ------------Ui Yok-su menyanyikan lagu yang dibawakan Li Bok-chiu tadi dengan iringan petikan kecapi yang tinggal seutas senar saja.
Perasaan Li Bok-chiu terguncang hebat berlipat ganda dari Nyo Ko bertiga.
---------------------------------Dalam kegelapan Sah Koh menjadi lebih takut, teriakannya bertambah keras: "Ada setan, Suhu !" Thia Eng menyalakan pula lilin itu, lalu memberi hormat kepada sang guru serta menguraikan asal-usul Liok Bu-siang dan Nyo Ko secara singkat.
Lebih dulu Ui Yok-su membentak Sah Koh agar diam, lalu berkata kepada Nyo Ko dengan tertawa: "Dia kenal ayahmu, kau memang sangat mirip dengan ayahmu.
" Nyo Ko memberi hormat di atas pembaringan dan berkata: "Maaf, karena Tecu terluka, maka tidak dapat memberi sembah kepada locianpwe !" Dengan ramah Ui Yok-su berkata: "Dengan mati-matian kau telah menolong puteriku, kau sungguh anak yang baik.
" Kiranya Ui Yok-su sudah bertemu dengan Ui Yong dan mengetahui duduknya perkara, mendengar Thia Eng telah menolong pergi si Nyo Ko, segera ia membawa Sah Koh mencarinya ke sini.
Begitulah Ui Yok-su lantas mengeluarkan obat luar dalam untuk Nyo Ko, lalu menggunakan Lwe-kangnya yang tinggi untuk mengurut urat nadi Nyo Ko, di mana teraba oleh tangan orang tua itu.
Ketika mendadak merasakan kulit daging pemuda itu bergetar dan merasakan Lwekangnya cukup kuat, segera Ui Yok-su menambahkan tenaganya.
Selang tak lama, sekujur badan Nyo Ko, terasakan nyaman sekali dan akhirnya ia terpulas.
Besoknya, begitu mendusin segera Nyo Ko melihat Ui Yok-su berduduk di tepi pembaringannya.
Cepat ia bangkit berduduk dan memberi hormat.
"Apakah kau tahu julukanku di kalangan Kangouw?" tanya Ui Yok-su.
"Engkau adalah Tho-hoa-tocu," jawab Nyo Ko.
"Apalagi?" tanya Ui Yok-su pula, "Semula Nyo Ko merasa sebutan "Tang Sia" (si eksentrik dari timur) kurang sedap untuk diucapkan Tapi segera terpikir olehnya, kalau orang tua ini berjuluk "Sia" atau eksentrik, maka wataknya tentu juga aneh dan lain daripada yang lain.
Karena itu, dengan tabah ia menjawab pula : "Engkau adalah Tang Sia !" Ui Yok-su terbahak-bahak," katanya: "Benar, Akupun pernah mendengar orang berkata bahwa ilmu silatmu tidak rendah, hatimu baik, tapi tindak-tandukmu juga sangat eksentrik, Kabarnya kau hendak ambil gurumu sebagai isteri, apa betul ?" "Betul," jawab Nyo Ko.
"Locianpwe, setiap orang menganggap tidak pantas aku beristerikan guruku, tapi matipun aku ingin menikahinya.
" Mendengar ucapan pemuda yang tegas dan pasti itu, Ui Yok-su memandangnya kesima sejenak, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga dinding rumah gubug itu bergetar.
"Apanya yang lucu?" kata Nyo Ko dengan gusar.
"Kau berjuluk Tang Sia, kukira kau pasti lain daripada yang lain, siapa tahu kaupun sama buruknya dengan manusia umumnya itu.
" "Bagus, bagus, bagus !" seru Ui Yok-su, habisi itu ia terus keluar rumah.
Nyo Ko duduk termenung sendirian, ia pikir apa yang diucapkannya barangkali telah membikin marah Locianpwe itu, tapi tampaknya air muka orang tua itu mengunjuk rasa senang.
Kiranya watak Ui Yok-su itu memang aneh, selama hidupnya malang melintang di dunia Kang-ouw, dia jemu dan benci pada adat istiadat yang berlaku pada jaman itu, tindak-tanduknya selalu berlawanan dengan adat umum, malahan suka menuruti keinginan hati sendiri, sebab itulah dia mendapatkan julukan "Sia" Lantaran wataknya yang eksentrik itu, selamai hidup itu hampir boleh dikatakan tidak mempunyai sahabat karib, sekalipun anak perempuan dan menantu sendiri juga tidak seluruhnya cocok dengan pikirannya.
Siapa duga kini, dikala usianya sudah tua, tiba2 ia bertemu dengan Nyo Ko yang juga bertabiat aneh, Sudah lama ia mendengar cerita tentang Nyo Ko memberontak pada perguruannya sendiri, yaitu Coan-cin-kau, menghajar gurunya sendiri serta macam-macam perbuatan yang khianat, kini dia sempai berbicara berhadapan dengan pemuda itu dan satu dan lain ternyata sangat cocok dengan seleranya.
Begitulah petangnya kembali Ui Yok-su mendatangi kamar Nyo Ko, katanya kepada pemuda itu "Nyo Ko, bagaimana jika kau memberontak lagi pada Ko-bong-pay dan berguru saja padaku.
" Sejenak Nyo Ko termangu, lalu bertanya.
"Mengapa begitu?" "Lebih dulu kau tidak mengakui Siao-liong-li sebagai gurumu, habis itu baru mengambilnya sebagai isteri, dengan begitu semuanya kan menjadi lebih pantas?" Nyo Ko pikir usul orang memang cukup bagus, tapi bahwasanya antara guru dan murid tindak boleh terikat menjadi suami-isteri, siapakah yang menetapkan peraturan ini.
Karena pikiran yang aneh itu, dengan tegas ia menjawab: "Tidak, aku justeru ingin memanggil dia sebagai guru dan juga mengambil dia sebagai isteriku.
" "Hahaha ! Bagus, bagus ! Jalan pikiranmu ini ternyata jauh lebih tinggi satu tingkat daripada jalan pikiranku !" puji Ui Yok-su sambil bergelak tertawa, lalu ia memijati tubuh Nyo Ko pula untuk menyembuhkan Iukanya.
Katanya pula dengan gegetun: "Sebenarnya aku ingin kau menjadi ahliwarisku agar dunia mengetahui bahwa sehabis Ui- losia (si eksentrik tua she Ui) ada lagi seorang Nyo siausia (eksentrik kecil she Nyo), Tapi kau menolak menjadi muridku, ya, apa boleh buat "!" Kini Nyo Ko benar2 memahami watak Ui Yok-Su, semakin aneh dari apa yang dikatakan dilakukan, semakin mencocoki pula selera orang tua itu, Karena itu ia lantas berkata lagi: "Antara kitapun tidak perIu harus menjadi guru dan murid untuk bisa dijadikan ahliwarisnya, jika engkau anggap usiaku terlalu muda dan kepandaianku masih rendah, maka kita boleh bersahabat atau mengangkat saudara saja.
" Tapi Ui Yok-su menjadi marah, ujarnya: "Kau ini sungguh berani aku bukanlah si Lo-wan tong Ciu Pek-thong, mana boleh bergaul secara sembarangan dengan kau?" "Siapa Lo-wan-tong Ciu Pek-thong itu?" tanya Nyo Ko.
Maka Ui Yok-su lantas menguraikan sekadarnya kisah Ciu Pek-thong yang berjuluk Lo-wan-tong (si anak nakal tua) itu, lalu menceritakan pula cara bagaimana Ciu Pek-thong mengangkat saudara dengan Kwe Cing, padahal usia antara kedua orang itu selisih sangat jauh.
Omong punya omong, ternyata keduanya menjadi sangat cocok, Dasar Nyo Ko memang pintar bicara, ditambah lagi wataknya sangat mendekati watak Ui Yok-su yang aneh itu.
Setiap kata pemuda itu selalu membuat Ui Yok-su manggut2 dan merasa benar-benar menemukan sahabat sejati, saking cocoknya, malamnya ia suruh Thia Eng menyiapkan sebuah tempat tidur lagi di kamar Nyo Ko itu agar kedua orang dapat bicara sepanjang malam.
Beberapa hari kemudian, luka Nyo Ko sudah mulai sembuh, hubungannya dengan Ui Yok-su juga bertambah akrab, begitu erat seakan-akan sukar dipisahkan.
sebenarnya Ui Yok-su akan membawa Sah Koh ke daerah Kanglam, tapi sekarang sama sekali tak dipikirkan lagi keberangkatannya.
Melihat kedua orang itu, yang satu tua dan yang lain muda.
siang malam senantiasa bicara dan ngobrol dengan asyiknya, diam-diam Thian Eng dan Liok Bu-siang menjadi geli dan heran pula.
Mereka anggap yang tua tidak jaga diri dan yang muda jugf teramat sembrono.
Bicara tentang ilmu pengetahuan dan pengalaman sebenarnya Nyo Ko tiada dapat dibandingkan dengan Ui Yok-su, cuma pemuda itu memang punya mulut manis, apa saja yang dikatakan Ui Yok-su, selalu ia menyatakan akur dan setuju, malahan terkadang ia menambahkan sedikit bumbu dan dirasakan Ui Yok-su menjadi lebih cocok lagi, maka tidak heran Ui Yok-su benar-benar menganggap Nyo Ko sebagai sahabat paling karib selama hidupnya ini.
Selama itu dengan sendirinya Ui Yok-su mengajarkan segenap kepandaiannya kepada Nyo Ko.
Meski kedua orang resminya bukan guru dan murid, tapi cara Ui Yok-su mengajar Nyo Ko ternyata lebih sungguh2 daripada dia mengajar muridnya.
Selain belajar silat dan mengobrol bersama Ui Yok-su, yang selalu terpikir oleh Nyo Ko adalah apa yang diucapkan Sah Koh yang bersangkutan dengan mendiang ayahnya itu.
Dari ucapan Sah Koh itu jelas dia mengetahui sebab musabab kematian ayahnya serta siapa yang membunuhnya, ia pikir dari orang sinting ini mungkin akan dapat dipancing keterangan yang lebih jelas.
Suatu hari lewat lohor, di luar rumah Nyo Ko bertemu dengan sah Koh sendirian, segera ia memanggilnya: "Sini, Sah Koh aku ingin bicara dengan kau.
. . " Sah Koh merasa Nyo Ko teramat mirip dengan Nyo Khong dan takut, maka ia menggeleng kepala dan menjawab : "Aku tak mau bermain dengan kau," "Aku bisa main sulap, kau mau lihat tidak?" bujuk Nyo Ko.
"Tidak, kau bohong," jawab Sah Koh sambit menggeleng.
Tiba-tiba Njo Ko mendapat akal, cepat ia berjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia gunakan ilmu ajaran Auyang Hong, ia berjalan dengan kepala dan melompat-Iompat ke sana.
Sah Koh menjadi ketarik, tanpa pikir ia bersorak gembira dan ikut menuju ke suatu tempat yang lebat dengan pepohonan dan cukup jauh dari gubuk Thia Eng itu.
Di situ Nyo Ko lantas berhenti dan berkata: "Sah Koh, marilah kita bermain sembunyi, kita taruhan.
" Sifat Sah Koh memang kekanak-kanakan, suka bermain.
Tapi selama ini lebih sering ikut Ui Yok-su ke sana sini, maka hampir tidak pernah ada kawan bermain.
Kini Nyo Ko mengajak dolanan dengan dia, tentu saja dia sangat senang, serentak ia bertepuk tangan menyatakan setuju, rasa takutnya tadi sudah terlupakan seluruhnya.
"Baik sekali saudara cilik, coba katakan cara bagaimana kita bermain?" jawab Sah Koh dengan gembira, Dia sebut ayah Nyo Ko sebagai saudara, kini ia pun sebut Nyo Ko sebagai saudara.
Nyo Ko mengeluarkan saputangan untuk menutup kedua mata Sah Koh, lalu berkata: "Boleh kau tangkap diriku.
jika berhasil apa saja yang kau tanya tentu akan kujawab dan tidak boleh berdusta sedikitpun sebaliknya kalau kau tidak mampu menangkap aku, nanti akupun menanyai kau dan kaupun harus menjawab apa yang kutanyakan.
" "Bagus, bagus!" seru Sah Koh.
"Nah, mulai! Aku di sini, hayo coba tangkap!" seru Nyo Ko sambil melompat mundur.
Segera Sah Koh pentang kedua tangannya dan mengejar ke depan mengikuti suara.
Ginkang yang dipelajari Nyo Ko adalah Ginkang khas dari Ko-bong-pay, jangankan mata Sah Koh ditutup dengan sapu tangan, sekalipun mata dapat memandang juga belum tentu mampu menyusulnya.
Maka setelah menguber kian kemari, bukannya Nyo Ko yang ditangkapnya, berbalik batok kepalanya benjut kebentur batang pohon yang kena dirangkulnya, keruan ia berteriak kesakitan Kuatir Sah Koh menjadi kapok dan tidak mau bermain lagi, Nyo Ko sengaja perlambat langkahnya di depan orang diserta suara berdehem, mendengar suara itu, segera Sah Koh, melompat maju dan berhasil mencengkeram punggung si Nyo Ko jambil berseru: "Aha, tertangkap sekarang!" -berbareng ia menanggalkan saputangan yang menutupi kedua matanya itu dengan wajah ber-seri2.
"Baiklah, aku kalah," ujar Nyo Ko.
"Sekarang boleh kau mengajukan pertanyaan padaku !".
. Hal ini ternyata merupakan soal sulit bagi Sah Koh, iamemandang Nyo Ko dengan melenggong bingung, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakan.
Selang agak lama barulah ia membuka uara: "Saudara cilik, kau sudah makan belum ?" Sungguh tidak kepalang rasa geli Nyo Ko, berpikir sekian lama, yang ditanyakan ternyata adalah hal sepele ini.
Tapi iapun menjawab dengan sikap sungguh-sungguh: "Sudah, aku sudah makan.
" Sah Koh mengangguk lalu tidak bertanya pula.
"Kau ingin tanya apa lagi?" kata Nyo Ko.
Tapi Sah Koh menggeleng, katanya: "Tidak ada, marilah kita bermain lagi.
" "Baik, lekas kau tangkap diriku !" seru Nyo Ko sambil mundur.
"Sekali ini giliranmu menangkap diriku!" ujar Sah Koh sambil meraba keningnya yang merah benjut itu.
Bahwa Sah Koh mendadak tidak bodoh lagi hal ini sungguh di luar dugaan Nyo Ko.
Tapi ia pun tidak menolak, segera ia menutup mata sendiri dengan saputangan dan berlagak mengejar.
Meski bodoh dan sinting, tapi Ginkang Sah Koh ternyata sangat hebat, dalam keadaan mata tertutup sukar juga bagi Nyo Ko untuk menangkapnya.
ia mendapat akal, ia pura-pura memburu ke sana sini, diam-diam ia robek sedikit saputangan itu, maka dapat dilihatnya Sah Koh bersembunyi di balik pohon besar, ia pura-pura meraba ke sana sambil berseru: "Di mana kau sembunyi?" Sejenak kemudian mendadak ia melompat balik dan berhasil memegang tangan Sah Koh, cepat ia melepaskan saputangan dan dimasukkan saku agar kecurangannya tidak diketahui orang, Lalu dengan tertawa berkata: "Sekali ini aku yang harus bertanya padamu.
" Belum sampai pertanyaan orang diajukan, lebih dulu Sah Koh sudah menjawab dengan rasa kagum: "Aku sudah makan !" Nyo Ko tertawa, katanya : "Aku tidak tanya urusan itu, Aku ingin tanya padamu, kau kenal ayahku, bukan?" "Ayahmu?" Sah Koh menegas.
"Ya, Seorang yang sangat mirip dengan diriku, siapakah dia?" kata Nyo Ko.
"O, itulah saudara Nyo.
" jawab Sah Koh, "Kau menyaksikan saudara Nyo itu dicelakai orang, bukan?" tanya Nyo Ko pula.
"Benar, tengah malam di kelenteng itu, banyak sekali burung gagak, aok, aok, aok!" Sah Koh menirukan suara burung gagak, suasana di tempat itu memangnya sunyi senyap dan rindang, suara gagak yang ditirukan Sah Koh itu menjadi seram rasanya.
Tubuh Nyo Ko rada bergetar, ia coba mengorek lagi: "Cara bagaimana saudara Nyo itu tewas?" "Kokoh (bibi) suruh aku bicara, tapi saudara Nyo melarang aku, lalu saudara Nyo memukul Kokoh sekali, lalu dia tertawa, haha.
. . haha. . . . haha !" sedapatnya Sah Koh ingin menirukan suara tertawa Nyo Khong menjelang ajalnya, maka makin meniru makin tidak keruan sehingga akhirnya ia sendiri merasa mengkirik.
Nyo Ko bingung oleh uraian Sah Koh itu, ia coba tanya pula: "Siapakah Kokoh yang kau maksudkan?" "Kokoh ya Kokoh, siapa lagi?" jawab Sah Koh.
Darah di rongga dada serasa bergolak karena Nyo Ko tahu rahasia kematian ayahnya segera akan dapat dibongkarnya, Selagi dia hendak tanya lebih Ipijut, tiba-tiba terdengar seorang berkata di belakangnya: "Kalian berdua sedang bermain apa?" Ternyata suaranya Ui Yok-su.
"Saudara Nyo sedang bermain sembunyi2-an dengan aku," jawab Sah Koh.
Ui Yok-su tersenyum sambil memandang Nyo Ko sekejap dengan penuh mengandung arti seakan akan sudah dapat menerka apa kehendak Nyo Ko itu.
Hati Nyo Ko berdebar, sedianya dia hendak berkata untuk menutupi maksud tujuannya itu, tiba2 terdengar suara orang berlari mendatangi Thia Eng dan Liok Bu-siang tampak muncul dan melapor kepada Ui Yok-su: "Dugaan Suhu ternyata tidak keliru, dia memang masih berada di sana!" - Sembari berkata Thia Eng menuding ke balik gunung di sebelah barat sana.
"Siapa maksudmu?" tanya Nyo Ko.
"Li Bhok chiu !" jawab Thia Eng.
Nyo Ko sangat heran mendengar Li Bok-chiu, masih berada di balik gunung sana, ia pikir mengapa iblis itu begitu berani ia coba memandang Ui Yok-su dengan harapan agar orang tua itu suka memberi penjelasan.
Tapi Ui Yok-su hanya tertawa saja dan berkata: "Marilah kita melongok ke sana !" Berada bersama orang tua itu, dengan sendirinya Nyo Ko dan lain-Iainnya tidak perlu takut terhadap Li Bok-chiu.
Maka beramai-ramai mereka lantas menuju ke balik gunung di sebelah barat sana.
Thia Eng tahu rasa sangsi Nyo Ko, maka dengan suara pelahan ia berkata padanya: "Maksud Suhu, Li Bok-chiu yakin Suhu pasti menjaga harga diri sekali gagal membunuhnya di gubuk itu, tentu malu untuk bertindak kedua kalinya.
" "Oh, makanya dia berani bercokol di sini untuk mencari kesempatan lagi buat membunuh kita bertiga," kata Nyo Ko.
Tidak Iama kemudian mereka berlima sudah sampai di balik bukit, tertampak di samping sebatang pohon besar ada sebuah gubuk yang sudah bobrok, pintu gubuk tertutup rapat, di daun pintu terpaku sehelai kertas yang tertulis: "Tho-hoa-tocu mempunyai anak murid banyak, dengan lima lawan satu, sungguh mentertawakan!" Ui Yok-su tertawa melihat tulisan olok-olok itu, ia jemput dua potong batu kecil dan diselentikkan, "plak-plok", kedua batu kecil itu menghantam kedua sayap daun pintu dari jarak belasan langkah, kontan daun pintu terpentang, sungguh luar biasa tenaga jari sakti Tho-hoa-tocu yang termashur itu.
"Tertampaklah di mana pintu terpentang, Li Bok-chiu berduduk semadi di atas tikar dengan tangan memegang kebut, sikapnya agung, wajahnya kereng, seharusnya dia seorang alim yang beribadat tinggi kalau saja tidak tahu akan perbuatan yang pernah dilakukannya, siapapun pasti tidak percaya bahwa dia adalah seorang iblis yang maha jahat.
Melihat Li Bok-chiu, serentak Liok Bu-siang teringat kepada ayah bundanya yang terbunuh, segera ia melolos pedang dan berseru: "ToIol, piauci, tidak perlu Tocu turun tangan, marilah kita bertiga melabrak dia saja.
" "Dan masih ada aku.
. . " sambung Sah Koh sambil menyingsing lengan baju dan menggosok kepalan.
Li Bok-chiu membuka mata dan memandang sekejap kepada kelima orang itu, lalu memejamkan matanya lagi, sedikitpun ia tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata ini.
Thia Eng memandang sang guru untuk menantikan perintahnya.
Tapi Ut Yok-su berkata sambiT menghela napas: "Sudahlah, memang Ui-losia" mempunyai anak murid banyak, andaikata salah seorang muridku diantara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari tangannya, Ialu ia memberi tanda dan berkata pula : "Hayolah, pergi!" Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham maksudnya dan terpaksa ikut kembali ke gubuknya.
Tertampak Ui Yok-su muram durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur.
Meski Thia Eng adalah murid Ui Yok-su, tapi dia sama sekali tidak mengetahui kejadian di masa lampau tentang Ui Yok-su pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to, ia mengira sang guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu itu, ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ui Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri di masa lampau, kini anak muridnya itu sudah meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.
Bok-chiu. Nyo Ko yang tidur menyebelah dengan Ui Yok-su juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi, iapun memikirkan olok-olok Li Bok-chiu itu, ia pikir kini lukaku sudah sembuh, rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik diam-diam aku menempur sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus dapat menghilangkan rasa dongkol Ui-tocu.
Setelah ambil keputusan itu, segera ia bangun dengan pelahan, ia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah tentu jiwa sendiri bisa melayang.
Karena itu diperlukan persiapan yang baik, Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan sendiri untuk mengumpulkan tenaga dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian.
Bersemadi sekian lamanya, mendadak pandangannya terbeliak, di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa dari mulut mengeluarkan suara raungan yang keras dan berkumandang jauh, Kiranya Lwekang seorang kalau sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara aneh.
Ui Yok-su sudah mengetahui gerak-gerak Nyo Ko ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Lwekang pemuda itu ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang pula.
. Suara Nyo Ko yang kuat itu terus bertahan hingga lama dan pelahan mulai berhenti Ui Yok-su sangat heran akan tingkatan yang dicapai Nyo Ko itu, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu setelah menginjak pertengahan umur, kini usia Nyo Ko masih muda belia, tapi sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda itu.
Sesudah Nyo Ko selesai berlatih, kemudian Ui Yok-su bertanya padanya : "Nyo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li Bok-chiu yang paling lihay?" Nyo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri, cuma dari pertanyaan Ui Yok-su itu, ia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah diketahui orang tua itu, maka iapun menjawab: "Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang dan permainan kebutnya" "Benar," kata di Yok-su, "Dengan dasar Lwekangmu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu kepandaiannya itu.
" Girang sekali Nyo Ko, cepat ia menyembah, sebenarnya watak Nyo Ko sangat angkuh, meski ia mengakui Ui Yok-su sebagai kaum cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir itu, tapi lahirnya dia tak mau tunduk padanya, Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu akan dapat dipatahkan dengan mudah, kesan ia menjadi kagum dan tunduk.
Ui Yok-su lantas mengajarkan ilmu "jari sakti" padanya, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan kebut musuh.
Setelah mendapatkan petunjuk dan kunci ilmu kepandaian itu, kemudian Nyo Ko menimang, untuk bisa menggunakan kepandaian itu dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika pasti menang atas Li Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun.
Karena itu ia coba bertanya: "Ui-tocu, bila ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapam lagi".
. "Waktu tiga tahun dalam sekejap saja berlalu", ujar Ui Yok-su sambil menghela napas, kini usiamu baru 22 tahun dan sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?" Dengan kikuk Nyo Ko menjawab: "Maksudku bukan.
. . bukan untuk diriku. " Ui Yok-su menepuk bahunya dan berkata "Asal kau dapat membunuhnya tiga tahun yang akan datang, untuk itu aku sudah puas dan berterima kasih padamu.
Dahulu aku telah menghancurkan anak muridku sendiri, jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga pantas.
" Tanpa pikir Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah kepada Ui Yok-su sambil memanggil "Suhu!" Kiranya keduanya sama-sama orang yang maha cerdik dan saling memahami pikiran masing2.
Nyo Ko tahu tujuan Ui Yok-su mengajarkan ilmu padanya adalah ingin dia membalaskan penghinaan Li Bok-chiu, yang telah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, untuk mana antara Nyo Ko dan Ui Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi.
Sebaliknya Ui Yok-su tahu keakraban hubungan Nyo Ko dengan Ko-bong-pay, betapapun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi pada pihak lain.
Karena itu Ui Yok-su lantas Nyo Ko dan berkata padanya: "Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan akan ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau.
Nah, adik Nyo Ko, mengerti tidak ?" "Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung mendapatkan sahabat baik seperti engkau," jawab Nyo Ko dengan tertawa.
"Akupun merasa berbahagia dapat bertemu dengan kau!" ujar Ui Yoksu.
Lalu kedua orang saling berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira.
Ui Yok-su lantas menuturkan lebih jauh.
semua kunci rahasia kedua ilmu kepandaian yang di-ajarkannya tadi.
Melihat cara mengajar Ui Yok-su yang begitu jelas dan lengkap Nyo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan dia.
Dengan murung ia lantas berkata: "Kakak Yok-su, kapan kita baru dapat berjumpa pula?" "Jauh di mata dekat di hati, asal hati kita tetap bersatu, biarpun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu.
" ujar Ui Yok-su dengan tertawa.
"Kelak bila kutahu ada orang hendak merintangi perkawinanmu, biarpun jauh berada di ujung langit sana juga aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau.
" .

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. Nyo Ko sangat terhibur oleh dukungan moril Ui Yok-su itu, dengan tertawa ia berkata: "Tapi orang pertama yang akan merincangi maksudku itu mungkin ialah puteri kesayanganmu sendiri.
" "Dia sendiri dahulu juga kepala batu ketika mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masakah sekarang dia tidak memikirkan penderitaan rindu dendam orang lain?" ujar Ui Yok su.
setelah memikir sejenak, dalam kegelapan ia lantas mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan kepada Nyo Ko dan berkata: "Jika puteriku itu merintangi lagi kehendakmu, maka boleh kau perlihatkan suratku ini.
". - Habis berpesan ia lantas melangkah pergi dengan bergelak tertawa, hanya sekejap saja suara tertawanya sudah berada jauh, sejenak pula orang dan suara tertawanya telah ditelan kegelapan malam.
Untuk sesaat Nyo Ko duduk termenung, mengingat kembali keadaan yang baru dipelajarinya tadi.
Tidak lama fajarpun menyingsing, tertampak di atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng.
ia coba mengambil gunting di dalam keranjang rotan itu dan dibuat memain sejenak, kemudian tiba2 pintu terdorong dan masuklah Thia Eng dengan bersenyum dan membawa sepotong baju warna hijau.
"Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?" kata Thia Eng dengan tersenyum.
Alangkah rasa terima kasih Nyo Ko, waktu menerima baju baru- itu, tanganpun sedikit gemetar.
Ketika dia beradu pandang sekejap dengan si nona, tertampak sorot matanya yang lembut penuh arti, ia coba memakai baju baru itu dan terasa pas.
"Sungguh aku sangat ber.
. . berterima kasih padamu," kata Nyo Ko.
Kembali Thia Eng tersenyum, tapi di antara sorot matanya lantas mengunjuk rasa sedih, katanya: "Dengan kepergian Suhu ini, entah kapan baru dapat bertemu lagi.
" Mestinya ia ingin berbicara lagi dengan Nyo Ko, tapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar, ia tahu itulah Liok Bu-siang yang berseliweran diluar, ia tahu sang Piau-moay juga hati terhadap Nyo Ko, maka ia lantas meninggalkan kamar pemuda itu.
Kemudian Nyo Ko meneliti baju tersebut, tampak jahitannya sangat rapi, dalam ia bergetar, pikirnya: Nona ini jatuh hati padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi, jika aku tidak lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran," Sehari suntuk ia memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya, ia kuatir pula bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu melancarkan serangan, maka ia coba mengintai ke balik gunung sana, dilihatnya gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu itu hanya setumpuk puing belaka, gubuk itu sudah terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi setelah membakar gubuknya sendiri.
Maka tekad Nyo Ko menjadi bulat untuk pergi, malamnya ia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu, Bila teringat kepada kebaikan hati kedua nona itu, tanpa terasa hati Nyo Ko menjadi muram.
Malam itu ia bergulang-guling tak dapat pulas.
Saat pagi, selagi layap2, tiba-tiba terdengar suara Liok Bu-siang memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup, Cepat Nyo Ko melompat bangun dan keluar.
Terasa angin pagi meniup silir, hari belum lagi terang benderang, tapi tampak jelas Liok Bu-siang merasa takut dan menuding pada daun pintu sebelah-sana.
Waktu Nyo Ko memandangnya, ia menjadi kaget, Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah.
Terang itulah tanda pengenal Li Bok-chiu.
Agaknya semalam iblis itu telah datang dan mengetahui Ui Yok-su sudah pergi, maka dia sengaja meninggalkan daftar calon yang akan dibunuhnya yaitu Nyo Ko, Thia, Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan pula si Sah Koh.
Tidak lama Thian Eng juga muncul, iapun merasa sedih melihat cap tangan itu.
Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah untuk berunding.
. . "Tempo hari iblis itu telah dihajar oleh "garpu api Sah Koh dan melarikan diri mengapa sekarang dia tidak takut lagi?" ujar Liok Bu-siang.
"Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu saja, setelah direnungkan tentu iblis itu sudah mendapatkan cara mematahkan serangan garpu Sah Koh" kata Thia Eng.
"Tapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?" kata Bu-siang pula.
Nyo Ko tertawa, katanya: "Tolol laki ditambah tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat segala?" Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tapi mengingat betapapun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk menjaga diri walaupun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok akan menempur iblis itu dengan mati-2an.
"Besok barlah kami berdua orang tolol menghadapi dia dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri," ujar Nyo Ko, "Marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu" Mereka menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tak kenal ampun itu, sedikit lengah saja jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah.
Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata tak diketemukan.
Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ.
Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis.
Waktu diperiksa, pada punggung Sah Koh ada bekas telapak tangan yang merah, jelas itulah pukulan berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang, Cepat ia memanggil Nyo Ko dan Liok Bu-siang, segera pula ia memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu Giok-loh-wan.
Nyo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li Bok-chiu yang dicuri Liok Bu-siang itu tertera cara menyembuhkan akibat pukulan berbisa itu, maka cepat ia mengerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah Koh.
Sejenak tampak Sah Koh tersenyum ketolol-tololan dan berkata: "Tokoh busuk itu menyerang dari.
. . dari belakang, tapi kupersen ia dengan.
. . dengan sekali gamparan. " Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah itu ilmu ajaran Ui Yok-su.
Meski Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tapi pergelangan tangan pun juga kena digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tidak berani menyerang lebih, lanjut sehingga jiwa Sah Koh dapat diselamatkan.
Begitulah mereka lantas menggotong Sah Koh kembali ke gubuk itu, mereka berduduk terpekur sedih, antara mereka berempat kini salah seorang cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu.
Sambil memandang Thia Eng dan lain saat memandang Bu-siang, secara iseng Nyo Ko mengambil gunting yang berada di keranjang jahitan Thia Eng itu dan mengguntingi seutas benang hingga menjadi potongan kecil-kecil.
Sekonyong-konyong Sah Koh yang rebah di pembaringan itu berseru: "Gunting saja, itu kebut si Tokoh busuk, gunting putus dia!" Mendadak hati Nyo Ko tergerak, ia pikir kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apapun sukar menabasnya, jika ada sebuah gunting raksasa dan sekaligus ujung kebut musuh itu digunting putus, maka segalanya menjadi beres, iblis itu tentu akan berkurang keganasannya.
Tanpa terasa gunting yang dipegangnya itu lantas bergaya ke sana dan ke sini seperti sedang mematahkan serangan musuh Melihat itu, pahamlah Thia Eng dan Bu-siang apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.
Thia Eng berkata: "Beberapa li di sebelah barat sana ada seorang pandai besi.
. . " "Benar marilah kita pergi ke sana dan minta dia membuatkan sebuah gunting besar" sahut Bu-siang cepat.
Nyo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sukar juga membuat senjata demikian itu, tapi tiada jeleknya untuk dicoba, sebenarnya ia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tapi kuatir kalau mendadak Li Bok-chiu melakukan serangan, Kalau Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih berbahaya pula.
Kini mereka berempat tak dapat berpisah sejenakpun.
Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur di atas kuda untuk tempat merebahkan si Sah Koh, lalu mereka berangkat ke tempat pandai besi.
Bengkel itu ternyata sangat jorok dan sederhana keadaannya, begitu memasuki pintu bengkel, segera tertampak sebuah tatakan besi, yaitu tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorangpun.
Melihat keadaan bengkel itu, Nyo Ko pikir pandai besi begini masakah mampu membuatkan senjata apa segala" Tapi sudah terlanjur datang, tiada jeleknya ditanyai dulu.
Maka ia lantas berseru: "Hai, adakah yang punya rumah ?" Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek yang sudah ubanan meski usianya tampaknya baru 50-an, mungkin penderitaan kehidupan dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak matanya, sebelah kakinya juga pincang.
Sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, orang tua itu menegur: "Tuan tamu ada keperluan apa?" Baru saja Nyo Ko hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dua penunggang kuda telah berhenti di depan bengkel, kedua penunggangnya adalah tentara-tentara Mongol seorang yang mukanya penuh berewok, lantas bertanya: "Mana si pandai besi she Pang?" Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi hormat, jawabnya: "Hamba adanya !" "Perintah atasan, agar segenap pandai besi diwilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul ke dalam kota untuk wajib dinas bagi pasukan kerajaan," seru opsir itu pula, "Nah, besok juga kau harus lapor ke kota, jelas tidak?" "Tapi hamba sudah tua.
. . " belum selesai pandai besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu telah menyabetnya dengan cambuk sambil membentak: "Besok tidak datang, awas dengan kepalamu !" Habis berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka.
Pandai besi tua itu menghela napas dan berdiri terkesima.
Thia Eng merasa kasihan padanya, ia mengeluarkan 20 tahil perak dan ditaruh di atas meja, lalu katanya : "Pak pandai besi, engkau sudah tua, jalanpun tidak leluasa, jika diwajibkan bekerja bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma.
Kukira lebih baik engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu yang kuberi ini" "Terima kasih atas kebaikan hati nona," jawab pandai besi itu sambil menghela napas, "Sebenarnya hidup atau mati bagi orang tua macam diriku ini tidak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa malapetaka.
" Myo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya: "Malapetaka" Ada urusan apa?" "Panglima Mongol sedang mengumpulkan segenap pandai besi, jelas tujuannya senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup, kalau sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada rencana hendak menyerbu ke selatan," Tutur kata pandai besi tua itu ternyata masuk di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka hendak tanya lagi, pandai besi itu telah tanya mereka ada keperluan apa" "Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk mengganggu orang yang sedang ada urusan, tapi lantaran terdesak keperluan penting, terpaksa kami minta pertolonggan bapak," jawab Nyo Ko.
Lalu iapun menjelaskan maksud kedatangannya dan memberikan gambar contoh gunting yang diperlukan.
Kalau orang memberi pekerjaan misalnya minta dibuatkan cangkul atau arit atau golok tentulah tidak mengherankan tapi kini barang pesanan Nyo Ko adalah sebuah gunting raksasa, hal ini sebenarnya luar biasa, tapi pandai besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran, setelah mendapatkan keterangan pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api tungku dan membakar dua potong besi besar untuk digembleng.
"Entar, malam ini dapat jadi tidak?" tanya Nyo Ko.
"Akan kuusahakan secepatnya," jawab si pandai besi she Pang itu.
Habis itu ia percepat bara dalam tungku, hanya sekejap saja kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak.
Nyo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam, meski sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, tapi demi mendengar kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapapun mereka merasa masgul sedih.
Sah Koh mendekap di atas meja, setengah berduduk dan setengah bersandar, memang keadaannya sangat lelah, maka apapun yang terjadi di sekitarnya tak sempat diperhatikannya.
Selang tak lama, kedua potong besi yang dibakar itu sudah lunak, segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu dan mulai digembleng dengan sebuah palu besar, Meski usianya sudah lanjut, tapi tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan leluasa tanpa susah payah, kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting.
"Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi petang nanti," kata Bn-siang dengan girang.
Pada saat itulah mendadak di belakang mereka ada suara orang berkata: "Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu" Hendak digunakan memotong kebutku bukan?" Nyo Ko bertiga terkejut, cepat mereka berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kebutnya yang lihay itu.
Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum jadi dibuat, tapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu.
Cepat Thia Eng dan Liok Bu-sang melolos pedang, Nyo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal musuh menyerang segera besi itu akan disambernya untuk digunakan sebagai senjata.
"Hm, memotong ksbutku dengan gunting, pintar juga jalan pikiranmu," demikian jengek Li Bok-chiu pula, "Tapi boleh dicoba juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, habis itu barulah kita bertempur.
" Habis berkata ia seret sebuah bangku ke dekat pintu dan berduduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya itu dianggapnya seperti barang sepele saja.
"Bagus sekali jika begitu, tampaknya nasib kebutmu itu harus dipotong putus oleh guntingku nanti," kata Nyo Ko.
Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja, diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang, padahal orang yang terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam saja, Kemudian ia bertanya pula: "Mana Ui Yok-su?" Mendengar disebutnya nama "Ui Yok-su", si pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu menunduk lagi meneruskan pekerjaanmu.
"Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada di sini, tapi sengaja tanya," ejek Thia Eng "Jika beliau masih tinggal di sini, hm, biarpun nyalimu sebesar gajah juga takkan berani datang.
" Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia mengeluarkan sehelai kertas dan berkata pula: "Ui Yok-su hanya bernama kosong saja, paling-paling main kerubut karena bermurid banyak.
Tapi, hm, antara murid-muridnya itu masakah ada seorangpun yang betul-betuI berguna?" Habis berkata, sekali tangannya bergerak, kertas itu mendadak melayang ke depan dan "crit", kertas itu terpaku pada tiang kayu oleh sebuah jarum perak yang disambitkannya.
Lalu Li Bok-chiu menyambung: "Nah, biarkan tulisan ini sebagai bukti.
Kelak kalau Ui-losia kembali ke sini supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridmu ini " Mendadak ia berpaling dan membentak si pandai besi: "Hayo, lekas! Tempoku tidak banyak menunggu kau.
" Sambil memicingkan matanya si pandai besi she Phang itu memandangi kertas yang bertuliskan kaia-kata yang mengolok-olok Ui Yok-su itu, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan termangu-mangu.
"Hayo, kenapa kau berhenti?" bentak Li Bok-chiu.
"Ya, ya, baik !" pandai besi itu seperti tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi Tapi sebelah tangannya mendadak gunakan tanggam besi nya yang panjang itu untuk menjepit jarum perak berikut kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku, tentu saja hanya sekejap kertas itu, sudah terbakar menjadi abu.
Li Bok-chiu menjadi gusar, segera kebutnya diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu, Tapi dia sudah berpengalaman luas, mendadak terpikir olehnya bahwa seorang pandai besi tua renta dan kampungan ini masakan begini berani, bukan mustahil dia seorang luar biasa.
Tadinya ia sudah berbangkit, maka pelahan ia duduk kembali, lalu menegur: "Siapakah kau ini?" "Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang pandai besi," jawab orang she Pang itu.
"Mengapa kau membakar kertasku itu?" tanya Li Bok-chiu pula.
"Yang tertulis di situ tidak betul maka janganlah ditempel di tempatku ini," jawab si orang tua.
"Apa katamu?" bentak Li Bok-chiu.
"Tho-hoa-tocu mempunyai kepandaian maha sakti, setiap anak muridnya asalkan memperoleh sejenis kepandaiannya saja sudah cukup untuk malang melintang di dunia ini," kata pandai besi itu.
"Muridnya yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur badannya keras laksana otot kawat tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?" Sambil bicara palunya masih terus memukuli lempengan besi yang digemblengnya itu.
Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong, tidak saja Li Bok-chiu terkejut dan heran, bahkan Nyo Ko dan lain-Iain juga merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga secrang pandai besi tua kampungan ternyata kenal juga tokoh-tokoh Kang-ouw termashur.
Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya : "Em, konon Tan Hian-hong mati ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak kelihayannya?" "O," terdengar pandai besi itu bersuara ragu, Lalu disambungnya: "Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Ciau-hong, terkenal dengan Ginkangnya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya.
" "Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat) Auyang Hong.
" "Begitukah?" tukas si pandai besi, ia termenung haru sejenak, lalu berkata pula: "Tapi sama sekali aku tidak mengetahui kejadian itu.
Dan murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki Leng-hong terlebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh) terkenal amat ganas.
" "Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya ada seorang pencuri berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang dan telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentulah orang itu ialah Ki Leng-hong yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya" Hehe" Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk "ces-ces", dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu dan terbakar menjadi uap.
Liok Bu-siang berduduk paling dekat dengan orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang mengucur dari mata orang tua itu, Diam-diam ia merasa heran, Tertampak orang tua itu mengangkat palunya terlebih tinggi dan memukul dengan lebih keras.
Sejenak kemudian pandai besi she Pang itu membuka suara lagi: "Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya, masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok, Murid keempat, Liok Seng-hong, selain terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau bisa celaka.
" "Hm, ilmu mujizat apa gunanya?" jengek Li Bok-chiu.
"Liok Seng-hong membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di tepi danau Thay-ouw, tapi hanya dengan sebuah obor saja orang telah membumi hanguskan perkampungannya itu pula dia lantas kehilangan jejak, bisa jadi iapun sudah terbakar menjadi abu oleh api itu.
" Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li Bok-chiu dan berseru dengan bengis.
"Kau Tokoh ini berani mengaco-belo, setiap anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, manabisa semuanya terbinasa.
Hm, kau kira aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?" "Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga bocah ini," jengek Li Bok-chiu.
Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng, maka ia berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar yang penuh mengandung tanda tanya.
Dengan muram Thia Eng lantas berkata: "Sungguh malang perguruanku yang telah kekurangan tenaga andalannya kini, Wanpwe juga merasa malu karena belum lama masuk perguruan sehingga belum mampu membela nama kehormatan Suhu.
Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhuku?" Pandai besi tua itu tidak menjawab, ia hanya mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya: "Apakah paling akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?" Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat, tiba-tiba hati Thia Eng tergerak, jawabnya: "Suhu merasa kesepian dan perlu orang meIayaninya.
sebenarnya anak muda macam diriku ini mana berani mengaku sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah menginjakkan kaki di Tho-hoa-to.
" Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja ia telah mengaku dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to.
Tertampak pandai besi tua itu manggut2, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti sanak keluarga sendiri lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali, tampaknya sambil merenungkan sesuatu.
Melihat gerakan palu si pandai besi sangat mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau-tak-mau Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, ia berkata: "Di waktu iseng Suhu suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dahulu, bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang jahat tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat sebenarnya tidak berdosa, terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya juga pantas dikasihi, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa menyesal" Padahal watak Ui Yok-su sangat eksentrik, biarpun hatinya berpikir begitu, tidak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan berperasaan halus, di kala sang guru kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Ui Yok-su itu dapatlah diterka akan jalan pikiran sang guru itu, maka sekarang ia sengaja memperbesar apa yang didengarnya itu.
Jaka Lola 10 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Pendekar Setia 4

Cari Blog Ini