Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 10
kehormatannya tentu mesti ada sebabnya-sebabnya,
yang tak dapat dielakkan oleh si nona jagoan.
Ia merasa kasihan pada Bwee Hiang yang masih
meneteskan air mata dengan kepala nunduk. Pelan-pelan
tangannya memegang tangan Bwee Hiang. Dari perlahan
memegangnya, makin erat dan Bwee Hiang diam saja.
Kim Liong makin tabah, lalu memegang pundak Bwee
Hiang dan diputar duduknya hingga mereka jadi
berhadapan. "Kau mau apa, engko Liong?" tanya si gadis dengan
suara lembut. Sebagai jawaban tepat, Kim Liong telah merangkul
Bwee Hiang, didekapnya si nona erat-erat didadanya
yang bidang. "Adik Hiang, apa juga yang terjadi atas
dirimu, kau tetap akan menjadi isteriku?" demikian
bisiknya halus, seperti merdunya suara musik Bwee
Hiang rasakan mengiang ditelinganya.
Bwee Hiang dongakan mukanya, menatap wajah Kim
Liong yang penuh dengan goresan barang tajam. Si anak
muda balas menatap, dua pasang mata beradu
pandangan penuh arti. Tiba-tiba saja hati Kim Liong
berdebaran, ia kewalahan menahannya, akhirnya... dua
pasang bibir telah merapat jadi satu.
Bwee Hiang merasakan kehangatan dari cinta murni.
Ia membiarkan sepasang bibirnya yang merah delima
dan mungil dikecup lama-lamaan oleh pemuda yang
telah mencintainya dengan segenap hatinya yang tulus.
"Engko Liong, kasihlah aku bernapas dulu ?""
terdengar Bwee Hiang memohon.
Kim Liong melepaskan ciumannya, tapi hanya sejenak,
sebab dilain saat kembali sepasang bibir telah merapat,
melekat seakan-akan sukar dipisahkan meskipun ada
bom meledak dengan sekonyong-konyong disampingnya.
Itulah Kim Liong yang telah melepasLan rindu kepada
gadis pujaannya, yang setiap saat telah terbayang
dikelopak matanya ..... ==oo0dw0oo== Bab 38 Eng Lian . . . Mari kita melihat Eng Lian yang sadah lama kita
tinggalkan. Gadis nakal berandalan itu, setelah kehilangan Bwee
Hiang dan Kwee In, hatinya menjadi kesepian. Tiap hari
ia menghibur dirinya dengan kawanan monyetnya atau
pasang omong dengan Jie-hek dan Siauw-hek.
Terkadang ia pesiar dengan burung raksasanya,
menjelajah lembah dengat pengharapan kalau-kalau ia
dapat menemukan jejaknya Kwee In. Namun Kwee In
tak ketemu jejaknya, apalagi orangnya, sehingga ia
menjadi kesal. Ia tidak tahu kalau Kwee In pada waktu ini sedang
berada dalam goa engkong dan neneknya dibalik tirai air
terjun. Kalau saja Eng Lian berani dan iseng-iseng
memasuki tirai air terjun, pasti ia akan menemui si bocah
yang sedang diobati oleh Kwee Eng Siang dan Thio Leng
San, yang menjadi kakek dan neneknya.
Dengan kawanaa monyet yang banyak itu, sering Eng
Lian menemukan mereka sedang berpacaran dengan
mesra sekali, saling peluk dan berlari-larian saling uber
dari satu kelain cabang. Dilain pihak terlihat adeganadegan
yang mendebarkan hati, kawanan monyet itu
sedang sengit melampiaskan napsu birahinya.
Itulah pada suatu sore, ketika Eng Lian dengan diamdiam
mengunjungi gubuk dua gorillanya. Secara iseng
mengintip dari renggangan jendela kedalam, ingin tahu
apa yang sedang dikerjakan oleh dua gorillanya itu.
Biasanya. Eng Lian suka dapatkan mereka sedang
duduk-duduk saling mencari kutu. Kali ini si dara cilik
disuguhkan pemandangan istimewa. mereka bukan
sedang mencari kutu, tapi tengah saling merangkul
mesra. Ji-hek, sang ibu, sedang mainkan alat vital Siauw hek,
sebaliknya si anak. Siauw-hek, tangannya tidak diam
saja, hingga Ji-hek menggeliat-geliat kegelian dan
keluarkan dengusan yang menyeramkan. Ji-hek coba
singkirkan tangan Siauw hek, tapi tak dapat dilakukan,
hingga Ji-hek seperti kebingungan. Mendengusnya lebih
keras lagi, seakan-akan tengah menekan rangsangan
napsu. Ji-hek menggeram dan cowat-cowet dalam bahasanya.
Eng Lian mengerti. Ji. hek minta tangan anaknya ditarik
pulang, tapi Siauw-hek malah nyengir dan makin hebat
mempermainkan ibunya. Ji-hek kewalahan dan memeluk
Siauw-hek, kemudian duduk dipangkuannya Siauw-hek,
yang sudah siap-sedia dan Siauw-hek memeluk kencang
perut ibunya, matanya kedap-kedip seperti merasakan
kenikmatan Segera terdengar dengusan napas keras dari kedua
binatang raksasa itu ketika hendak menyelesaikan babak
terakhir. Pinggulnya Ji-hek bergerak lebih cepat dan
Siauw-hek memeluk lebih erat pula. Seakan-akan tidak
menghendaki pantat ibunya terangkat dari pangkuannya.
Memang hebat dan mendebarkan kalau kedua gorilla itu
sedang bertarung. Eng Lian diam-diam telah meninggalkan tempat itu
dengan pikiran melayang-layang.
Dara kecil kita telah dibikin matang oleh adeganadegan
yang menggelisahkan hatinya.
Malamnya. Eng-Lian tidak bisa tidur dan memikirkan
apa yang akan dirasakan oleh dua gorilla itu dalam
pertarungannya mati hidup. Ia memikirkan Kwee In,
gemas hatinya melihat si bocah masih juga belum
muncul. Demikian, Eng Lian rasakan dirinya hari-hari seperti
tersiksa memikirkan Kwee-In.
Ia mau menyusul Kwee In, kenapa ia harus
menyusulnya" Kalau ia keluar lembah, Kwee In nanti
kembali bagaimana" Ia nanti saling cari tidak ada
putusnya, kalau lekas ketemu lagi tidak apa. namun
kalau lama, mereka dapat bertemu seperti dulu, siapa,
bisa tanggung akan keselamatannya dalam perjalanan"
Ia ngeri jalan sendiri sekarang, setelah menemukan
kejadian hampir menjadi korbannya Tiat Cie Hwesio.
Kalau tidak ada Bwee Hiang waktu itu, dengan cara
kebetulan menolong dirinya. pasti menjadi mangsanya si
Hweshio rakus. Eng Lian jadi kebingungan cara bagaimana ia harus
mengambil keputusan"
Dalam kesepiannya, iseng-iseng Eng-Lian suka ajak
Siauw-hek bercanda. Gorilla itu sebenarnya paling takut pada Eng Lian, tapi,
setelah Eng Lian mengasi hati mengajak ia bercanda,
perasaan takutnya bertukar jadi berani. Sampai ada
kejadian Siauw-hek berani memeluk Eng Lian dan si dara
cilik membiarkan dirinya dipeluk dan didekap didadanya
Siam- hek yang lebar kuat. Ia rasakan saat itu seperti
sedang menyandarkan dirinya diatas dadanya Kwee In
yang kuat. Hangat rasanya. maka Eng Lian jadi
ketagihan kalau sehari saja tidak berada dalam
pelukannya Siauw- hek. Ganjil sebenarnya melihat perbuatan Eng Lian.
Dara cilik itu kurang didikan dari orang tua.
kesopanannya kurang, sering membawakan kemauannya
sendiri. Dengan Kwee In memang paling cocok ia
bergaul. Pikirannya jauh dibandingkan dengan Bwee Hiang
yang terpelajar. Bwee Hiang hidup dalam keluarga
hartawan dan mendapat didikan baik sebagai manusia
yang sopan santun. Kalau Bwee Hiang, tentu jijik. dirinya dipeluk-peluk
oleh dinatang gorilla seperti Siauvv-hek. Bau badan
Siauw-hek saja sudah memuakkan, apalagi harus
dipeluk-peluk dan dipondong pergi datang seperti anak
kecil. Eng Lian tidak demikian, malah ia senang dan gembira
saling kejar bercanda diatas pohon dengan Siauw-hek. Si
gorilla sebenarnya tak dapat mengejar Eng Lian yang
ginkangnya hebat, hanya dengan kerelaan si data cilik
saja Siauw-hek dapat mengejarnya dan memeluk si dara
dengan mesra sekali. Eng Lian hanya ketawa-ketawa saja
kapan dirinya dipeluki Siauw-hek.
Belakangan ini Ji-hek jarang kelihatan muncul,
perutnya sedang membesar dan ia sedang hamil. Ia
kelihatan tidak bernapsu bercanda dengan Siauw-hek
lantaran kehamilannya ia tidak jadi cemburu kapan
melihat Sianw-hek saling kejar dan berpelukan dengan
Eng Lian. Ia tahu Eng Lian adalah manusia, tidak mungkin
Siauw-hek main gila dengan manusia dan Eng Lian juga
mana mau kasihkan dirinya dikotori oleh binatang gorilla.
Itu adalah pendapatnya Ji-hek, maka ia tidak cemburu
dan malah ia ketawa melibat dua insan itu bercanda
dengan sangat gembira. Malah Ji-hek merasa berterima kasih kepada Eng Lian
yang sudah mewakili dirinya mengajak Siauw-hek
bercanda, jadi mengalihkan napsunya si anak gorilla
untuk berhubungan sex dengannya yang sudah hamil
besar. Pada suatu ketika, Eng Lian yang duduk
dipangkuannya Siauw-hek sedang ketawa-ketawa
dipeluki oleh anak gorilla itu, tiba-tiba hatinya
berdeharan merasakan ada barang keras bergerak-gerak
dibawah pantatnya seperti mencari lubang. Ia ada pakai
celana, in tidak takut barang itu menemukan sasarannya,
maka diam diam Eng Lian geli ketawa merasakan
bergeraknya barang itu makin lama makin binal. Eng Lian
diam saja, pinggulnya tidak bergerak seperti Ji-tek. la
biarkan barang itu mencari lubang, celananya cukup kuat
sebagai rintangan barang itu menemukan sasarannya.
Namun, sentuhan-sentuhan yang galak dari barang itu
telah menimbulkan perasaan aneh bagi si data cilik yang
baru pernah mangalaminya. Ia jadi gelisah, hingga
dengan sendirinya pinggulnya jadi menggeser pergi
datang tanpa disadari. Menyusul Eng Lian rasakan kedua
lengannya Siauw-hek yang kuat memeluk erat sekali
melibat perutnya, hingga si dara merasakan sakit dan
meronta-ronta, tapi sudah tentu saja mana dapat
melepaskan diri dari pelukannya gorilla yang bertenaga
raksasa. Berbareng ia hentikan rontakannya, Siauw-hek
sudah keluarkan dengusan keras menyeramkan,
kemudian melepaskan palukannya.
Kapan Eng Lian turun dari pangkuannya Siauw-hek, ia
rasakan celananya basah dibahagian yang diamuk
barang keras tadi. Ia meraba-raba, ia heran kenapa ada
air membasahi celananya" Apa barusan si gorilla
kencing" Samua menjadi pertanyaan dalam hatinya si dara
yang masih hijau. Ia meninggalkan Siauw-hek, dan terus pulang untuk
tukaran. "Kurang ajyar, ia main-main telah mengencingi
celanaku!" Eng Lian mangomel.
Beberapa hari berikutnya, Eng Lian tidak mau
mendekati dan mengajak Siauw-hek bercanda, ia takut
dikencingi lagi. Ia hanya mendekati untuk diajak
bercakap-cakap sekedarnya yang ia mengerti dalam
bahasa gorilla. Pada suatu malam sunyi . . .
Eng Lian tidak bisa tidur, pikirannya gelisah
memikirkan Kwee In. "Adik In, kenapa kau belum datang-datang juga?" ia
berkata sendirian. "Kau tidak tahu encimu lagi kesepian
begini, oh, kalau saja kau ada disamping encimu
sekarang, encimu rela menyerahkan dirinya untuk
kau........ ." Eng Lian hentikan bicaranya. Ia kaget dirinya tiba-tiba
dipeluk orang, ketika ia menoleh, bukan main girangnya
yang memeluk dirinya adalah Kwee In, si bocah yang
sangat diharap-harapkan kedatangannya. Mereka jadi
saling peluk sambil bertiduran.
"Adik In, kau mau apa?" bisik Eng Lian, ketika
merasakan dirinya dipeluki.
Eng Lian rasakan celananya tidak diloloskan lagi, tapi
dirobek oleh Kwee In. Si dara cilik berdebaran hatinya, tatkala ada sesuatu
yang menyentuh pintunya yang sempit. Makin lama
barang itu nerobos makin dalam dan Eng Lian merasakan
nyeri. "Adik In, encimu sudah menyerah, kenapa kau
tidak sabaran," ia meratap.
Tapi Kwe In tidak menghiraukan ratapannya si data
cilik. Eng Lian pikir. benar-benar adik ln nya ini kejam,
sudah dikasih masih tidak sabaran, caranya rakus.
Meskipun nyeri. Eng Lian terus pertahankan untuk
membikin senang adik Innya.
Si dara cilik merasakan rikmat yang belum pernah
dialaminya, menyusul napas Kwee In mendengus keras,
hingga Eng Lian kaget dan ketika membuka matanya . .
Astaga .. , itu bukannya Kwee In yang mendengus
tadi, hanya Siauw-hek yang tengah menindihi tubuhnya.
Eng Lian ketakutan. tapi sudah kasip untuk ia
menyelamatkan kehormatannya, benteng terlarangnya
sudah ditembusi tanpa syarat oleh tombaknya Siauwhek.
Dara cilik kita yang gagah perkasa. hanya bisa
menangis tatkala tahu dirinya dipermainkan oleh Siauwhek.
Itulah gara-garanya in iseng-iseng dalam kesepian,
hingga kesudahannya membawa kehancuran untuk
menempuh hidupnya bersama-sama Kwee In yang
sangat ia cintai. Namun, ia masih belum mau disalahkan, ia malah
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menialahkan Kwee In yang telah menyebabkan ia
menemui kehancuran itu. Coba kalau Kwee In cepatcepat
pulang, tidak sampai ia kena dikerjai oleh si anak
gorila yang sekarang sudah bukan anak-anak pula.
Begitulah jalannya nasib . ."
Guratan nasib tak dapat dielakkan oleh oleh manusia.
Bwee Hiang dan Eng Lian tadinya sudah bersepakat,
akan menjadi isterinya Kwee In yang baik. Dua-dua
berjanji akan tidak menaruh cemburu satu dengan lain,
masing-masing berjanji sama-sama akan menyenangkan
si Bocah Sakti. Tapi........ ......... kenyataannya lain.
Bwee Hiang telah menemukan kehancuran
dipermainkan oleh si kepala bajak laut dari telaga Tong
teng, sedang Eng Lian, dara nakal yang luwes dan cantik
itu, telah menjadi mangsanya gorilla.
Kasihan nasibnya dua gadis jelita yang kosen dan
pernah menunjukkan kepandaiannya dalam dunia Kangouw
tidak menemukan tandingan, akhirnya telah
menemukan nasib yang sangat tidak beruntung, jauh
dari cita-citanya yang pernah dipikirkan.
Eng-Lian yang mula-mula mentertawakan perutnya Jihek
yang gendut, tiba-tiba ia jadi kaget dengan lewatnya
hari perlahan-lahan perutnya juga menjadi membesar.
Makannya kepingin yarg asam-asam saja dan itulah
tanda bahwa si dara cilik telah mengandung bayi.
Tiga bulan sudah Eng Lian dalam mengandung, pada
suatu hari selagi ia sedang bercanda dengan Siauw-hek,
tiba tiba terdengar siulan nyaring, siulan yang Eng Lian
harap-harap siang dan malam, itulah siulan menandakan
kedatangannya Kwee In. Eng Lian. kagetnya bukan main. Ia bingung,
bagaimana ia harus mempeitanggung, jawabkan
kehamilannya yang sudah tiga bulan itu kepada pemuda
pujaannya" Siauw-hek juga kelihatan gelisah malah ia
sudah lari keluar rumah. Sebentar lagi diambang pintu telah muncul Kwee In,
wajahnya tampak lebih cakap dari Eng Lian pernah lihat
paling belakang. Tampak Kwee In sedang berseri-seri
kearahnya. Eng Lian yang biasanya menyambut dengan senyum
yang memikat dan menyongsong kedatangannya Kwee
In, kala itu ternyata diam saja dan menundukkan kepala
dengan hati berdebaran dan kebingungan.
"Enci Lian, kau kenapa?" kata Kwee In, seraya
menghampiri dan merangkul Eng Lian.
"Sudahlah, adik In"..!" kata Eng Lian, sambil
tangannya mendorong ketika Kwee In menciumi
wajahnya dengan penuh kerinduan.
Ketika Kwee In masih belum mau malepaskan.
pelukannya. Eng Lian mendorong lebih keras "Kau tidak
mau lepaskan encimu!" bentaknya kasar.
Ini bentakan yang pertama kali Kwee In dengar dari
mulutnya si dara nakal. "Kau kenapa, enci Lian?" tanya Kwee In heran, seraya
melepaskan rangkulannya. Eng Lian tidak menjawab, hanya ia menangis.
Makin heran Kwee In. Ia mendekati kembali
merangkul dan manciumi encie Liannya, yang biasanya
sangat jinak, tapi sekarang telah meronta-ronta dan
mendorong keras badannya Kwee In, hingga Kwee In
menjadi sangat heran. "Kau marah padaku. enci Lian" Aku terlambat kembali,
lantaran aku menemukan banyak halangan, nanti aku
ceritakan perlahan-lahan padamu," kata Kwee In. dengan
masih tidak melepaskan rangkulannya.
"Adik In, mulai hari ini kita tidak ada hubungan lagi.
Nasib yang memisahkan perhubungan kita, kau jangan
menyesal . . ." kata Eng Lian dan menangis
sesenggukkan. Kwee In mana mau mengerti melihat sikap Enci
Liannya yang seaneh itu, maka ia menarik pula tubuh si
jelita untuk dipeluk dan berbisik dikupingnya: "Enci Lian,
apa artinya perkataanmu itu?"
Eng Lian belum menyahut, tiba-tiba badannya Kwee In
telah terlempar jauh dari badannya si dara nakal.
Menyusul suara menggerang menakutkan. Itulah
Siauwhek yang marah melihat 'isterinya' dipeluki oleh
Kwee In. Entah dari mana masuknya si gorilla, tahu-tahu sudah
menjambret Kwee In yang tidak berjaga-jaga dan
dilemparkan jauh dari Eng-Lian.
"Hei. Siauw-hek. kau kenapa?" bentak Kwee In tidak
senang. Siauw-hek tidak menyahut. ia mengeram aneh dan
kembali menyerang Kwee In.
Kali ini ia menyerang dengan maksud mau membeset
tubuhnya Kwee in, akan tetapi Kwee In adalah gurunya,
mana bisa murid mercelakakan guru. Kalau tadi ia
berhasil melemparkan Kwee In. karena jago kita sedang
tidak berjaga-jaga. Jambretan Siauw-hek telah menemukan sasaran
kosong. sedang Kwee In sudah menghilang dan berada
dibelakangnya. Ketika Kwee In merasa berulang-ulang dalam bahasa
gorilla apa sebabnya Siauw-hek marah padanya, tidak
juga diladeni, malah Siauw-hek makin marah dalam
serangannya yang saling susul tidak menemukan
sasarannya. Kwee In jadi tidak senang.
Gorilla yang tidak punya terima kasih (boceng) ini
lebih baik dimampusi saja, pikIr Kwee In, dari pada ia
menyusahkan kegembiraannya dengan Eng Lian.
Maka, ketika si gorilla dengan gusarnya kembali
menyerang, Kwee In berkelit, dari samping ia
melancarkan pukulan keras yang membikin kepalanya
Siauw-hek seketika itu remuk dan berantakan otaknya. Ia
rohoh terbanting dilantai dengan tidak mengeluarkan
suara jeritan sedikitpun.
Eng Lian ngeri melihat kematian Siauwhek demikian
rupa. Ia menangis mengeerung gerung. lalu menyerang
dengan pakulan yang mematikan pada Kwee In. Jago
kita kaget. nampak Eng Lian menyerang padanya dengan
kalap dan pukulan yang berbahaya.
Ia berkelit dan menjauhkan diri, tapi Eng Lian sudah
sangat gusar, ia menyerang lagi dan menyerang lagi
seperti Siauw-hek tadi. Makin tidak mengerti Kwee in
dengan kejadian yang dihadapinya itu. Apa Eng Lian
sudah jadi gila" Tanyanya dalam hati kecilnya, seraya
mengengos dari serangan si dara nakal.
Dalam kalap menyerang, Eng Lian melupakan
kandungannya. Tiba-tiba ia merasa sakit, rupanya sang
anak kandungan berontak, maka sambil memegangi
perutnya, Eng Lian telah roboh mendeprok di lantai.
Ia menangis sesenggukkan seraya menekan-nekan
perutnya yang kesakitan. Kwee In dengan heran datang mendekati. Ia
menanya: "Enci Lian, kau kenapa?"
Dengan air mata berkaca-kaca, ia angkat kepalanya
mengawasi Kwee In, ia tersenyum getir dan berkata:
"Adik In, kau telah membunuh bapak dari anak yang
dalam kandunganku ini. . ."
"Hah! Apa kau kata?" tanya Kwee In terkejut.
"Kau telah membunuh bapak dari anak yang dalam
kandungan ini,?".. menegaskan Eng Lian.
"Kau sedang mengandung?"........ tanya Kwee In tidak
percaya. "Ya, aku sedang mengandung..?" sahut Eng Lian"
menangis terisak-isak. Kalau petir berbunyi pada saat itu, mungkin tidak apaapa
bagi Kwee In tidak seperti ia mendengar enci Liannya
mengaku bahwa ia sedang hamil.
Kwee In rasakan kepalanya seperti digempur palu
besar. Ingatanya jadi linglung, pikirannya hampa, kakinya
pun jadi lemas dengan mendadak, ia terkulai dan jatuh
duduk didekat Eng Lian. Si nona masih terus menangis terisak-isak.
"Enci Lian, apa kan sudah tidak ingat pada adikmu?"
tanya Kwee In tiba-tiba. "Justeru lantaran aku selalu ingat padamu, aku
sekarang jadi begini. . ."
"Bagaimana kau bisa kasikan dirimu dipermainkan
Siauw hek?" "Adik In, aku sangat kesepian dengan tidak adanya
kau . . ." Eng Lian mengaku blak-blakan. Malam itu
sangat sunyi, aku Iihat kau datang memeluk aku. Aku
sangat kegirangan, tapi kemudian aku terkejut ketika kau
menindih aku. Aku diam saja ketika kau merobek
celanaku kemudian dengan rakus kau permainkan diriku,
aku membiarkan untuk bikin kau senang meski pun saat
itu aku menggigit bibirku menahan rasa nyeri. Tiba-tiba
kau mendengus keras membikin aku kaget dan ketika
aku membuka mataku ". astaga, bukan kau diatas
badanku hanya si Siauw-hek yang sedang sengitnya. Aku
berontak sia-sia karena tenaga Siauw-hek yang kuat dan
akhirnya aku cuma bisa menangis dipermainkan Siauw
hek"... Adik In, encimu sudah tak berharga lagi
untukmu, maka sejak saat ini kita putus hubungan dalam
cinta dan harap saja dilain penitisan kita dapat berjumpa
lagi dan kita bisa menjadi suami isteri yang
berbahagia".." Itulah Eng Lian, gadis nakal yang lincah, telah
memberikan pengakuarmya yang tidak pakai tedeng
aling-aling. Kalau gadis lain, mana berani berikan
pengakuan yang terang terangan ketika ia dikerjai oleh
Siauw-hek. Eng Lian adatnya polos, ia tidak suka
menyimpan rahasia dalam tindak-tanduk dan ucapan
katanya selalu terang terangan.
Kwee In sangat menyayangkan apa yang terjadi
dengan Eng Lian. yang tadinya ia bayangkan gadis lincah
dan nakal itu bakal menjadi isterinya yang tercinta
disamping enci Hiangnya yang berbudi luhur, yang
sangat ia hormati. Terdengar Kwee In beberapa kali menghela napas.
Siauw hek terima banyak budi dari Kwee In, apalagi
mengingat anak gorilla itu boleh dikata sudah mampus
waktu kecilnya jatuh dari gendongan ibunya (Jihek),
kalau tidak ada Kwee In yang menolong, pasti ia sudah
mati. Tapi dasar binatang, ia tidak ingat budi orang. Eng
Lian yang sangat dicintai oleh Kwee In telah diganyanng
olehnya. Itupun tidak terlalu disalahkan kepada Siauwhek
sendiri. Karena kalau tidak Eng-Lian yang mulai kasi
hati mengajak ia bercanda yang bukan-bukan, sudah
tentu si gorilla tidak berani kurang ajar pada si nona
nakal yang galak. Eng-Lian merasa kasihan pada adik In-nya yang
kembali mendengarkan elahan napasnya beberapa kali.
"Adik In, sekarang encimu sudah tidak berharga untuk
menjadi isterimu, maka kau carilah enci Hiang. Ia adalah
satu gadis baik, aku percaya dengan enci Hiang kau bisa
hidup heruntung........ Kau carilah enci Hiang, adik In. . .
!" Sementara ia memberi nasehat untuk pemuda yang
dipujanya itu, air matanya Eng Lian tidak berhentinya
mengucur deras. Hatinya sangat sedih, yang tidak
pernah ia alami sebelumnya. Ia sayang dan mencintai
adik In-nya, tapi apa mau sang nasib membelokkan ia
kelain arah. "Tidak, tidak, disamping enci Hiang. kau mesti ada
disampingku juga." kata Kwee In tegas, hingga Eng Lian
menjadi terkejut. "Adik In!" serunya dengan tergugu. "Mana bisa,
encimu sudah dikotori Siauw hek, mana ada harganya
untuk menjafi teman hidupmu.... Hilhihi.... kau mimpi
yang tidak-tidak, adik In. Buanglah keinginan yang gila
itu, biarkan encimu menyendiri..."
Eng Lian terkejyut melihat dengan tiba-tiba Kwee In
merangkul dan tidak mengasi kesempatan ia berontak
melepaskan diri. "Adik In, kau tidak jijik encimu yang
sudah kotor....?" "Enci Lian, tetap kau akan menjadi isteriku...." bisiknya
dan Eng Lian tak dapat menyingkirkan mulutnya yang
mungil dan hidungnya yang bangir disedot oleh Kwee In.
Eng Lian merasakan hangatnya kecintaan Kwee In
yang murni, sesaat ia melupakan apa yang telah terjadi
dengan dirinya, membalas ciuman-ciuman Kwee In yang,
hangat dengan bernapsu hingga Kwee in merasa
kewalahan. Perlahan-lahan mereka melepaskan pelukannya.
Eng Lian kembali teringat akan nasibnya yang buruk,
kembali matanya berkaca-kaca menangis, ia menatap
wajahnya Kwee In yang cakap dengan tidak berkatakata.
"Enci Lian, kau kenapa menangis lagi?" tanya Kwee In
heran. Eng Lian tidak menyahut, ia hanya menundukkan
kepalanya. Pikirnya : "Adik in sungguh kasihan kau masih
mengharap encimu yang sudah rusak, kau seharusnya
mencari Bwee Hiang, jangan kukuh mengharap encimu
yang sudah tidak berharga. Oh. adik In, biar bagaimana
juga encimu tak tega diakhirnya kau akan peroleh
penyesalan lantaran mengambil isteri encimu yang sudah
kotor ini".." "Enci Lian, kenapa kau tidak menyahut pertanyaanku
barusan?" Kwee In menanya lagi.
"Adik In, sebaiknya kau melihat Ji-hek sana, ia sedang
bunting besar dan mungkin sekarang ia sudah
beranak...." kata Eng Lian.
Kwee In baharu ingat akan Ji-hek. "Baiklah, memang
aku juga ingin menegur gorilla tua itu yang sudah
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan anaknya mangganggu kau, enci Lian".."
Kwee In berkata sembari bangkit dari duduknya. la
membantu Eng Lian bangkit berdiri, yang kelihatannya
lemah sekali disebabkan anaknya dalam kandungan
berontak- rontak barusan.
"Kau pergilah tengok Ji-hek sana. adik In!" menyuruh
Eng Lian. Kwee In menurut dan ia meninggalkan si nona, yang
saat itu masih tinggal berdiri.
Sampai digubuknya Ji-hek, Kwee In masuk dan
nampak si gorilla tua sedang tiduran dan perutnya sudah
hamil besar, hingga Kwee In tidak tega hendak menegur
dengan keras-keras kepada Ji-hek.
Binatang gorilla itu melihat majikannya datang
menjenguk sudah lantas turun dari rebahannya dan
berlutut menyembah didepan Kwee In.
Kwee In menegur dengan halus, kenapa Ji-hek
biarkan saja Siauw-hek melakukan perbuatan kurang ajar
kepada Eng Lian" Seharusnya Siauw-hek melindungi Eng
Lian sementara ia dalam bepergian, namun kenapa ia
tidak berbuat demikian, sebaliknya telah menggangu Eng
Lian sehingga orang menjadi bunting"
Kwee In dapat bercakap cakap dalam bahasa gorilla
dengan lancar. Ji-hek terima salah atas teguran Kwee In, namun ia
juga majukan pembelaan, bahwa anaknya (Siauw hek)
tidak boleh terlalu disalahkan, karena Siauw-hek
makanya berani kurang ajar, disebabkan kelakuannya
Eng Lian yang genit. Setiap hari mereka bercanda saling
kejar dan saling berpelukan diatas pohon, dengan
keadaan demikian, siapa bisa tanggung kalau lama-lama
mereka tidak kesetanan dan melakukan pelanggaran.
Kwee In mendengar pembelaannya Ji-hek, hatinya
menjadi tidak enak. la sesalkan kelakuannya Eng Lian
demikian. Ia percaya keterangannya Ji-hek, bahwa
Siauw-hek tidak berani kurang ajar kepada si gadis nakal,
kalau tidak dikasi hati, lantaran ia melihat sendiri Eng
Lian sangat galak kepada Ji-hek dan Siauw-hek dan dua
gorilla itu takut kepadanya. Maka dengan tindakan lesu ia
kembali keumah Eng Lian, maksudnya dengan halus ia
mau sesalkan perbuatannya Eng Lian yang tidak benar.
Ketika ia masuk kedalam rumah, ia tidak nampak Eng
Lian, Ia teriaki beberapa kali, tidak kelihatan si nona
unjukkan batang hidungnya. Ia lalu mencari kedalam dan
sekitarnya rumah, namun Eng Lian tidak kedapatan.
Dengan lesu akhirnya Kwee In menjatuhkan diri diatas
bangku dekat meja, matanya tiba-tiba melirik keatas
meja dan ia dapatkan tulisan Eng Lian yang berbunyi:
"JANGAN CARI ENCI LIAN YANG SUDAH KOTOR. . . . "
Kwee In menghela napas melihat itu. Tiba-tiba
matanya tertumbuk kepada mayatnya Siauw-hek,
amarahnya meluap, ia bangkit menghampiri pada Siauwhek
yang sudah tidak bernyawa. Tiba-tiba saja kakinya
bergerak menendang bangkai Siauw hek, hingga tubuh
Siauw- hek yang sudah tidak bernyawa itu melayang
keluar rumah dan buk! saja jatuh terbanting ditanah.
Kwee In segera menyusul keluar, ia bcrsiul nyaring
memanggil burung garudanya, namun beberapa kali
siulannya diulangi, si burung raksasa tidak kelihatan
muncul. Si Rajawali Emas memang sudah lama tidak ada disitu,
ia rupanya jemu dengan kelakuannya Eng Lian yang suka
berpelukan dengan si gorilla. Jarang Eng Lian menaiki
dan mengajak si Rajawali Emas pelesir, selalu si nona
kegilaan Siauw-hek. Oleh karena merasa dirinya sudah tidak diperlukan
lagi, tambahan Kwee In tidak ada di situ, si Rajawali
telah pulang ketempatnya di gua tirai air terjun
berkumpul dengan isterinya. Seperti diketahui, sepasang
rajawali itu adalah miliknya Kwee Eng Siang yang
bertapa dalam goa air terjun.
Kwee In makin gusar melihat burung raksasanya tidak
ada. Ia panggil berkumpul kawan-kawan keranya dan
memaki-maki habis-habisan. Tidak mau menjaga Eng
Lian, sehingga menjadi permainannya Siauw-Hek.
Kawanan monyet itu cecowetan membuat pembelaan,
bahwa mereka tidak berdaya menghadapi Siauw-hek
yang kuat seperti raksasa. Apa mereka dapat bikin,
meskipun dalam hati tidak setuju pergaulan Siauw-hek
dengan Eng Lian yang makin lama makin akrab saja.
Dalih yang dikemukakan oleh kawanan monyet itu dapat
diterima oleh Kwee In, sebab lantas Kwee. In hentikan
makiannya. Penasaran ia kehilangan jejaknya Eng Lian, maka ia
sudah mencari pula disekitarnya tempat itu, namun si
dara cilik tidak juga diketemukan.
Dalam uring-uringannya, jago kenamaan kita telah
mengamuk dalam rumah, ia tendang tendangi kursi meja
sampai terbalik-balik, kemudian ia meninggalkan tempat
itu dengan perasaan tidak puas. Pikiraanya sangat
kecewa. Tadinya ia dapat mengampuni perbuatan Eng Lian,
mengingat mereka bersahabat bukannya sedikit waktu.
Eng Lian adalah gadis impiannya dan ia merasa
berhutang budi juga kepada dara cilik itu mengenai
lwetam (nyali) dari Tok-gan Sian-cu, yang diberikan Eng
Lian kepadanya, hingga luka parahnya digebuk oleh Ang
Hoa Lobo menjadi sembuh dan kekuatannya banyak
meningkat, gara-gara nyali ular yang hebat khasiatnya
itu. Pandangannya hanya didepan mata saja, ialah ia tidak
mau kehilangan Eng-Lian. Sebaliknya dengan Eng Lian yang berpemandangan
lain. Ia tidak hanya memandang didepan mata saja, ia
memandang jauh kebelakang. Kalau seandainya ia
menuruti Kwee In dan dijadikan isterinya, sedang ia
mengandung anak gorilla, apakah Kwee In belakangan
hari tidak akan menyesal" Ia yakin, Kwee In akan
menyesal, maka dari itu dari pada ia nanti menderita
kedukaan oleh sikapnya Kwee In, lebih baik sekarang ia
menjauhkan diri dari pemuda pujaannya. Ia
mengharapkan Kwee In akan hidup beruntung dengan
Bwee Hiang. Seminggu lamanya Kwee In masih mencari-cari
disekitar lembah, namun si dara nakal tidak juga
diketemukan bayangannya, apa-pula wujud orangnya.
Kesal hatinya Kwee ln. Satu-satunya hiburan adalah ia
mencari Bwee Hiang, dari siapa ia harap mendapat
hiburan. Ia akan mengajak Bwee Hiang ke Sucoan untuk
menuntut balas pada Sucoan Sam-sat. setelah selesai, ia
akan ajak Bwee Hiang menjadi suami isteti. Bwee Hiang
pasti akan menyambut ajakannya karena memang
janjinya si nona, asal ia sudah membalas sakit hati
keluarganya terhadap Sucoan Sam-sat, ia bersedia akan
menjadi isterinya jago kita.
==oo0dw0oo== Bab 39 Teng Leng Siong?" Dengan hilangnya Eng Lian, Kwee in teringat akan
Leng Siong. adik kembarnya Eng Lian. Bayangan Eng
Lian akan segera dapat dlihat bila orang melihat Leng
Siong, yang segala galanya sama dengan Eng Lian,
seperti pinang dibelah dua hanya adatnya. kalau Eng
Lian nakal dan berandalan liar, Leng Siong halus dan tiap
kata-kataaya meresap kedalam hati pendengarnya. Kwee
in hampir melupakan dara cantik jelita ini, manakala ia
tidak kehilangan Eng Lian, enci Liannya yang sangat ia
cintai. Eng Lian melarang ia mencarinya, manurut tulisan si
dara cilik diatas meja, Kwee In berjanji tidak akan
memikirkannya pula. Ia masih ada Leng Siong, sehagai
cadangan untuk menggantikan Eng Lian menjadi
isterinya disamping enci Hiangnya yang botoh.
Usia dewasa membuat Kwee In jadi repot memikirkan
soal asmara. Ia melupakan soal It-sin keng (Kitab Mujijad) yang
masih terus hangat dan tokoh-tokoh persilatan tengah
mengarah dirinya yang dianggap menyimpan kitab sakti
itu. Belum lama Kwee In meninggalkan lembah Tonghonggay, tiba-tiba ia lihat, dari kejauhan ada tiga orang
kepala gundul mendatangi.
Ia menduga akan kedatangannya hweship-hweshio
dari Siauw-lim-sie, tapi ketika mereka berpapasan,
ternyata tiga kepala gundul itu bukannya Hui Hong dan
kawan-kawannya. Kwee In lari cepat seperti angin, hingga mencurigakan
hatinya tiga Hweshio itu.
Segera juga mereka menghadang depan Kewe In dan
satu diantaranya telah berkata: "Sicu, berhenti dulu,
Pinceng ada bicara sebentar!"
Kwee In hentikan larinya dihadang oleh mereka.
"Siauwte ada urusan penting, kenapa kalian
menghadang perjalanankur?"
"Maaf, kalau tidak ada urusan, tentu kami tidak akan
menganggu Sicu," kata si Hweshio yang bicara tadi.
"Sam wie taysu ini dari kuil mana?" tanya Kwee In.
"Kami dari Pek-wan-bio. pasti Sicu sudah
mengenalnya." "Sianwte baru mendengar Pek-wan-bio."
"Hm!" mendengus Hweshio yang lainrya. "Kami Tok
Kak. Tok Bong dan Tok Liong dari Pek-wan-bio, siapa
yang tidak mengenalnya?"
"Kalau Sianwte tidak kenal, apa harus disuruh kenali?"
kata Kwee In. "Kau harus mengenali kami yang dijuluki Sam Tok
Hweshio!" jengek Tok Liong.
Sam Tok Hwesnio artinya Tiga pedeta beracun.
"Oo, kalian jadi Sam Tok Hwesbio, ma'af, maaf....."
sahut Kwee In sembari angkat tangannya bersoja. Ada
urusan apa kalian menahan Siauwte?"
"Kami menahan Sicu tentu ada sebabnya," berkata
Tok Kak Hweshio. "Yaitu mengenai kematiannya dari tiga
murid kami tidak jauh dari lembah Tong-hong-gay."
"Apa sangkutannya kematian tiga murid Taysu dengan
Siauwte?" "Dilihat caranya Sicu menggunakan ginkang tadi,
Pinceng menduga Sicu dari lembah Tong-hong-gay. Sicu
pernah apa dengan Hek-bin Sin -tong?"
"Siauwte ada kacungnya Hek-bin Sin- tong."
"Bagus, sekarang Sicu antarkan kami menemai Hekbin
Sin-tong." "Urusan apa kalian hendak menemui Hek-bin Sin
tong?" "Segala kacung untuk apa mengetahui, lekas antarkan
kami kesana!" bentak Tok Liong.
Kwee In ketawa menyeringai.
Jago kira memang paling jinak kalau diajak bicara
lemas lunak, tapi paling nakal dan jadi jail kalau diajak
bicara keras-keras kasar.
Mendengar perkataan Tok Liong yang seperti tidak
memandang diriya, maka Kwee In menjawab: "Aku tidak
ada tempo mengantar kalian kesana. kalau ada urusan,
katakan saja padaku. nanti akan aku sampaikan
pada.......Hek bin Sin-tong!"
"Mana boleh kacung mau tahu urusan tuannya, maka
antarkanlah kami kesana!" berkata Tok Kak yang lebih
sabar dari dua kawannya. "Aku tidak ada tempo, aku masih ada urusan penting
untuk di urus sekarang."
Hm! Kacung berani membantah pada Sam Tok
Hweshio?" mengejek Tok Liong.
"Meskipun aku kacung pangkatnya, namun aku
mempunyai kekuasaan besar untuk memutuskan segala
apa mengenai dirinya Hek-bin Sin-tong!" jawab Kwee In
ketanya tenang. Tok Kak menatap wajahnya Kwee In yang cakap.
la menduga tentu Hek-bin Sin-tong sendiri yang berdiri
didepannya ini, namun dugaannya buyar sendiri
manakala ia lihat Kwee In tidak hitam wajahnya.
"Apa Sicu sendiri adalah Hek bin Sin-tong?" Tok Kak
iseng-iseng menanya. "Si kacung dengan Hek-bin sin-tong sama saja
kedudukannya. maka kalau ada apa-apa, lekas kasi tahu
aku sudah cukup," jawab Kwee In.
Tok Kak cariga mendengar perkataan Kwee In.
"Jadi Sicu benar Hek-bin Sin-tong?" Tok Kak
menegaskan. "Kalau benar kau man apa?" jawab Kwee In tegas.
Tok Kak melengak sejenak, tapi kemudian ia berkata
pula: "Kalau begitu, kami minta pertanggungan jawab
atas kematiannya tiga murid kami yang telah kau
banuh." "Aku tidak merasa pernah membunuh Hweshiohweshio
dan Pek-wan-bio!" "Jangan menyangkal, satu laki-laki berani berbuat
harus berani tanggung jawab!" nyeletuk Tok Bong, yang
dari tadi mendongkol melihat sikapnya Kwee In.
"Untuk apa menyangkal," sahut Kwee In. "Hek -bin
Sin-tong selalu mempertanggung jawabkan setiap
perbuatannya!" "Bagus. tapi sekarang kau menyangkal," jengek Tok
Liong. "Sekarang begini saja," menyelak Tok Kak. "Kalau kau
tidak berani pertanggung jawabkan perbuatanmu,
sebaiknya kau menyerahkan It-sin keng kepada kami,
urusan akan menjadi beres dan kematian tiga murid kami
tidak akan ditarik panjang!"
"Bagus, sudah bicara berputar-putar, akhirnya ke Itsinkeng juga!" jengek Kwee In.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang maksud kami mau dapatkan It-sin-keng,
lekas kau keluarkan!" kata Tok Kak.
"Kalau kau ada nyali, cari di goa ular, kenapa kalian
gerembengi aku?" "Suheng, orang begitu jangan diajak banyak-banyak
bicara, hajar saja sudah!" nyeletuk Tok Liong yang
berangasan tabiatnya. Maksud Tok Kak memang begitu, hanya ia takut-takut
kalau anak muda itu mempunyai kepandaian silat yang
tinggi. Kalau salah tindak, bisa-bisa kepala pecah oleh
karenanya, maka Tok Kak tetap bersabar dan mendesak
supaya Kwee In keluarkan kitabnya.
Kwee In memang tidak membawa-bawa Kitab Mujijad
itu, mana ia bisa berikan itu"
"Kalian cari di badanku, meskipun kau belek juga tidak
akan ketemukan Kitab Mujijad itu Paling baik kalian
dengar nasihatku, untuk pulang ke kuilmu, dan disana
hidup bersenang-senang, untuk apa capekan diri kesiri?"
"Bangsat, kau berani membangkang perintah orang
tua?" kata Tok Hong.
Kwee In ketawa terbahak-bahak, hingga tiga pendeta
itu menjadi sangat gusar.
"Kau ganti tiga murid kami atau menyerahkan It-sinkang,
boleh pilih. Kami kasi tempo lima menit!" kata Tok
Kak, dengan sikap jumawa.
"Aku kenal juga belum denpan tiga muridmu yang
sudah dikirim menghadap Giam-lo-ong," sahut Kwee In
tenang-tenang saja. Perihal It-sin-keng. Kalian janganlah
mengimpikannya!" Panas hatinya Tok Liong melihat Kwee-In seperti tidak
memandang mata kepada mereka, sedang kedudukan
mereka di kuilnya disanjung puja seperti juga dewa.
Menggunakan kesempatan Kwee In sedang bicara,
tiba-tiba saja Tok Liong telah menyerang dengan jurus
Kim liong-tam-jiauw' atau 'Naga emas mengulurkan
kukunya." sasarannya adalah sepasarg matanya Kwee In.
Namun, dengan seenaknya saja Kwee In telah mengegos
dan serangan Tok Liong gagal menemukan susarannya.
Tok Liong tidak sampai disitu saja, ia merangsek dan
mengirim pula serangan yang mematikan, sayang juga
gagal, hanya dilayani dengan berkelit oleh Kwee In
sambil ketawa haha hehe yang membuat hati lawan
mendelu bukan main. Melihat saudaranya sudah bergebrak dan berulang kali
gagal serangannya. maka Tok Bong, si Siluman beracun,
telah turun tangan membantu. Tapi, dengan dikeroyok
dua orang kuat dari Pek-wan bio, Kwee In masih diatas
angin. Hal mana membuat Tok Kak tidak sabaran dan
lalu maju mengeroyok. Memang kepandaian tiga kepala gundul itu bukannya
rendah, terbukti dari serangan-serangan yang
dilancarkan telah mengeluarkan suara angin menderu.
Lweekangnya masing-masing kuat dan jarang mereka
menemukan tandingan. Tapi Kwee In adalah jago sakti, meskipun lawannya
adalah musuh berat, sama sekali tidak dipandang
olehnya. Saban-saban mereka telah kehilangan
bayangannya Kwee In yang gesit luar biasa, hingga
mereka rada-rada jerih melayani jago kita.
Satu kali Kwee In digencet dari tiga jurusan. Tok Kak
menggunakan jurus 'Hong-hong-tian-cie' (Burung hong
buka sayap), kedua tangannya dipentang hendak
menyergap. Tok Bong menggunakan jurus 'Tiat-so-hongciu'
(Rantai besi melintangi perahu), sasarannya adalah
pinggang lawan. Sedang Tok Liong mengunakan jurus
'Ciuhong-sauw yap' atau 'Angin musim rontok menyapu
daun', menyerang dari bawah menggunakan kakinya
yang keras. Diserang dari tiga jurusan oleh jago-jago kelas wahid,
sebenarnya tidak mudah mengelakkannya. Salah satu
serangan mereka pasti ada yang mengenakan
sasarannya. Namun, jago kita tidak jerih, ia enjot
tubulnya mencolot deng:in menggunakan gerakan 'Yan
cu- teng-kong' (Burling walet mumbul keudara).
Gerakannya demikian manis dan dilakukan seperti kilat,
hingga kabur pemandangannya ketiga jago kepala
gundul itu. Mereka siap untuk menggunakan Kimkong- ciang
(pukulan udara kosong) untuk membikin Kwee In terus
mumbul diangkasa, namun, kepandaiannya Kwee In
sangat tinggi. Sebelum mereka dapat melancarkan
serangannya. Kwee In sudah turun seperti bintang jatuh.
Kwee In menggunakan ilmu liu seng-lok tee atau
'Bintang meluncur jatuh dibumi', suatu gerak tipa yang
meminta lwekang yang tinggi, sebab kalau Iwekang
orang yang menggunakan gerakani itu kepalang
tanggung bisa susah ditunggu oleh lawannya disebalah
bawah. Kwee In yang menggunakan gerakan itu betulbetul
hebat, sebab tahu-tahu ia sudah berdiri pula
menghadapi lawan-lawannya, yang menjadi gugup tidak
tahu sejak kapan Kwee In sudah turun dari angkasa tadi.
"Kalian bukan tandingan Siauwya (tuan muda), maka
kalau tahu gelagat, lebih baik menggelinding pergi, kalau
tidak, jangan sesalkan Siauwya kan kasi persen tanda
mata satu persatu." Itu adalah perkataan yang temberang sekali dalam
anggapannya Tiga Hweshio Beracun.
Sam Tek Hwesio belum pernah mendengar
kejumawaan musuh yang demikian, maka mereka lantas
melancarkan pula serangan yang hebat sekali, namun
Kwee In melayani dengan tenang saja, malah ia
menggodai, katanya : "Tiga kepala keledai, kalau tidak
mau menggelinding dari sekarang. mau tunggu kapan
lag,?" Tok Liong yang sudah meluap amarahnya, tidak tahan
ia mendengar kata-kata Kwee In yang dirasakan sangat
menghina, maka diam-diam ia merogoh senjata
rahasianya yang berupa bumbung mungil dimana
didalamnya ada tersimpan duabelas buah jarum maut
(jarum yang direndam racun).
Ia pencet alat rahasianya, kontan duabelas jarum
melesat dari tempatnya saling susul menyerang Kwee In.
Menurut theori, Kwee In pasti tidak berdaya diserang
dengan mendadak secara demikian, namun, dasar jago
kita sakti, semua jarum nempel ditangan bajunya begitu
di kebaskan oleh Kwee In dengan pelan.
"Masih kurang banyak jarum mautmu!" Kwee In
menjengeki lawannya. Tok Liong berdiri bengong sejenak melihat kepandaian
Kwee In yang luar biasa. kemudian ia ceburkan diri lagi
mengeroyok jago muda kita. Di lain pihak Tok Kak dan
Tok Hong kelihatan main mata, masing-masing telah
mengeluarkan senjata rahasianya seperti yang
dikeluarkan oleh Tok Liong.
Kwee In berlagak pilon melihat orang mengarah
jiwanya. Sakarang dua kali duabelas buah jarum yang
menyambar pada Kwee In, ialah dari bumbung Tok Kak
dan Tok Bong. Mereka kegirangan, merasa yakin bahwa
senjata rahasianya bakal mengambil korban, namun.
diluar dugaan mereka, tampak Kwee In berputar
badannya seperti gasing. Kapan ia berputar, tahu-tahu
jarum-jarum sudah nempel dilengan bajunya Kwee In.
"Inilah jarum-jarum beracun dari kalian, semuanya
ada tiga kali duabelas buah, sama dengan ttgapuluhenam
buah. Senjata rahasia yang sangat jahat, dan
entah berapa banyak korban yang telah binasa oleh
jarum maut kalian," berkata Kwee In dengan serius.
Tok Kak dan dua saudaranya hanya ketawa haha hahe
saja, mereka anggap, yang telah mereka lakukan itu
adalah perbuatan biasa saja. Hanya mereka menyesal
Kwee In tidak sampai menjadi korbannya jarum maut
yang ganas. "Sekarang," kata Kwee In dengan nyaring. "Sekarang
untuk membebaskan mereka yang akan menjadi kurban
jarum maut kalian, terimalah kembali jarum beracun
kalian........" Kwee In menutup perkataannya seraya mengebutkan
tangan bajunya yang penuh dengan jarum beracun
kearah Sam Tok Hweshio kaget bukan main ketiga
kepala gundul itu, namun bagaimana juga mereka
keluarkan kesebatannya untuk menyelamatkan dirinya,
tidak urung mereka telah ditembusi beberapa jarumnya
sendiri, mereka pada menjerit dan jatuh ditanah dengan
muka pucat ketakutan. Jahat sekali bekerjanya racun
jarum itu, sebab dalam tempo pandek saja tampak
wajahnya Tok Kak dan dua saudatanya berubah menjadi
hitam, tubuhnya pun lantas mengejang, menyusul
berkelejetan jiwanya pun telah melayang menyusul
arwah tiga muridnya yang telah jalan lebih dahulu di
kirim oleh si Naga Api Gan Lok.
Itulah yang dikatakan senjata makan tuan. Kuil Lutung
Putih kembali telah kehilangan orang kuatnya yang
diandalkan. Kwee In yang dalam keadaan uring-uringan tidak
menghiraukan kematian dari tiga kepala gundil itu, ia
meneruskan perjalanannya dengan tujuan mencari Leng
Siong di Suyungtin. Dalam perjalanan Kwee In sudah membayangkan
Leng Siong yang tidak kalah dengan Eng Lian,
senyumannya yang lembut menawan hati, perilakunya
yang sabar dan ramah membuat setiap orang senarg
bergaul dengan nona jelita itu. Semuanya telah
terbayang dikelopak matanya Kwee In, ia jadi berseri-seri
sendiri dan melamun, alangkah bahagianya ia mendapat
Leng Siong sebagai gantinya Eng Lian yang
menyeleweng. Dalam perjalanan, ia tidak menemukan rintangan apaapa,
pada suatu sore ia sampai di rumahnya Teng Haim
(ayahnya Leng Siong). Kunjungan jago kira tentu
disambut dengan girang oleh keluarga Teng. Kwee In
spesial dijamu diwaktu malam oleh tuan rumah yang
mengundang Kie Giok Tong. Song Cie Liang. Tan Him
dan Cia Sin Eng. semua Lima Harimau (Suyangtin Ngohouw)
dari Suyangtin hadir komplit.
Mereka terpesona oleh wajah tanpan Kwee In, yang
tempo dahulu hitam legam.
Dalam perjamuan, kelihatan Kwee In lebih toapan
(tidak pemaluan) dari dulu, yang selalu manja ditemani
saja oleh Bwee Hiang atau Eng Lian, ngobrol lama-lama
dengan kaum tua, kelihatannya tidak betah.
Nyonya Teng juga turut meramaikan perjamuan untuk
menghormat kedatangannya Kwee In hingga tanpak
kemeriahan dalam perjamuan
Suyangtin Ngo houw bergiliran menanyakan
perjalanan Kwee In sejak mereka berpisah untuk mana
Kwee In tidak berkeberatan menuturkan dengan ringkas.
Dalam omong-omong, Kwee In dengan tidak malumalu
menanyakan halnya Leng Siong.
Ia berkata: "Aku tidak melihat enci Leng Siong
meramaikan perjamuan, apakah ia sakit?"
"Oh, anak Siong tidak ada disini," jawab nyonya Teng.
"Ada dimana enci Siong, bibi?" tanya Kwee In lantas.
"Sayang kau datang terlambat, anak In, kalau tidak,
kau turut meramaikan pesta kami pada minggu yang
lalu." "Memangnya bibi mengadakan pesta apa?"
"Pesta pernikahannya Leng Siong ..." sahut nyonya
rumah ketawa. Kwee In rasakan kepalanya seperti pecah disambar
petir, mendengar kabar itu. Jauh-jauh ia datang mencari
Leng Siong, tidak tahunya si jelita sudah direbut orang
lain, sungguh sialan nasibnya.
Tampak Kwee In seperti linglung, hingga Teng Hauw
dan saudara-sandaranya menjadi heran. tapi mereka
tidak mau menganggu si jago sakti.
Kwee In duduk termangu mangu, napsu makannya
lenyap seketika. Kie Giok Tong dan saudara-saudaranya
bergiliran menganjurkan ia banyak dan makan arak, tapi
Kwee In seperti seperti acuh tak acuh. Hanya sabansaban
ia bersenyum sendiri, seperti orang yang hilang
ingatannya. Yang lebih mengerti akan keadaan Kwee In
adalah nyonya Teng sendiri.
Ia perhatikan Kwee In bergembira mengobrol, tapi
setelah mendengar Leng Siong telah menikah, lantas saja
berubah sikapnya Kwee In, seakan-akan kabar itu
diterima dengan kaget yang luar biasa, yang tak dapat
diterima oleh si jago muda.
"Kenapa Kwee In" Apakah ia sudah janji dengan Leng
Siong?" Tapi kenapa Leng Siong tidak menceriterakan
janji sehidup semati dengan Kwee In ketika si nona
dilamar dan dinikahkan" Pertanyaan-pertanyaan ini
semua berkecamuk dalam otaknya nyonya Teng.
Sementara orang bingung nampak perubahan sikap
Kwee In yang mendadak sontak itu, tiba-tiba terdengar
nyonya rumah berkata: "Anak In, rupanya kau ada
sedikit kurang enak badan, mari, mari ikut bibimu masuk
kedalam, disana ada tempat tidur untuk menghilangkan
keletihan. . ." Nyonya Teng berkata sambil bangkit dan mengedipi
matanya kepada sang suami (Tang Hauw) tanganaya
diulur untuk menarik Kwee In bangkit dari duduknya.
Kwee In tidak membantah, ia mengikuti nyonya rumah
yang mengajak ia masuk kedalam sementara pesta
dilanjutkan oleh Suyanatin Ngo-houw dengan masingmasing
mencurigakan sikapnya si anak muda, bahwa ia
ada hubungan dengan Leng Siong, makanya begitu
kagetnya mendengar Leng Siong menikah dan pikirannya
berubah menjadi linglung.
Mereka kasak-kusuk tukar pikiran, tapi tidak ada yang
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menentukan lantaran apa sebenarnya Kwee In bisa
demikian kagetnya" Sementara itu didalam, nyonya Teng membimbing
Kwee In dan disuruh tiduran diatas dipan yang empuk.
Kwee In menurut dan merebahkan dirinya dengan mata
berkaca-kaca. Nyonya rumah menggeser bangku dan duduk didekat
dipan dengan maksud mau meneliti pikiran Kwee In yang
mendadak lesu mendengar anak gadisnya telah menikah.
Nyonya Teng kaget kapan melihat matanya Kwee In
berkaca-kaca menangis. "Anak In, kau kenapa menangis" Ada apa-apa kan
boleh cerita pada bibimu yang nanti akan membantumu
." kata nyonya Teng.
Kwee In tidak menyahut, matanya menatap pada
langit-langit rumah, seperti hilang pikirannya, hingga
nyonya Teng jadi kebingungan.
"Anak In, kau datang cuma sendiri, kemana si Lian"
Kenapa ia tidak ikut?" tanya nyonya Teng, seperti baru
ingat kepada anak kembarnya itu.
Disebutnya nama Eng Lian membuat Kwee In tambah
sedih dan air matanya sekarang mengucur deras dan
menangis sesenggukkan. Hatinya nyonya Teng menjadi tidak enak melihat
sikapnya Kwee In. Tadi, ia hanya berkaca-kaca menangis, tapi setelah
disebutnya nama Eng Lian, lantas saja air matanya
mengucur seperti dituangkan dan menangis
sesenggukkan. Dalam bingung, ia lari keluar dan memanggil suaminya
masuk. "Teng-ko," kata nyonya rumah pada suaminya: "Aku
tidak tahu apa yang dipikirkan anak In. Ketika ia
merebahkan dirinya, matanya berkaca-kaca menangis.
setelah aku tanya halnya si Lian, mendadak saja air
matanya mengucur seperti air dituang dan sesenggukkan
menangis. Apa sebabnya aku tidak tahu, ia tidak
manjawab apa yang kutanyakan, seakan"akan pikirannya
telah hilang. Celaka, bagaimana ini . . .?"
Teng Hauw menghampiri Kwee In yang masih
menangis. "Anak In, kau kenapa" Ada apa-apa kau katakan pada
kami orang tua, nanti kami akan menolong
memecahkannya . ," kata Tang Hauw.
Namun, kembali Kwee In tidak menyahut. Ia seakanakan
tidak mendengar perkataan Teng Hauw, matanya
menatap terus pada langit2 rumah dengan air mata
meleleh dikedua belah pipinya.
Teng Hauw menyusuti air mata itu, tapi begitu kering
lantas merembes lagi, hingga tuan rumah menjadi repot.
"Teng-ko. coba kau berdamai dengan Kiw toako
sekalian, bagaimana baiknya untuk menolong anak In
ini?" berkata sang isteri.
Teng Hauw menurut. Ia keluar dan berunding dengan
Kie Giok Tong dan lain-lain saudaranya. Kie Giok Tong
yang sudah banyak pengalaman dapat menyelami pikiran
Kwee In yang mengalami shock (kekagetan) dengan
tiba-tiba. Ia menyatakan pikirannya: "Menurut
pendapatku, meskipun sampai besok pagi anak In tidak
nanti menjawab pertanyaan dari Teng siete suami isteri,
kecuali orang yang berkepentingan yang
menanyakannya." "Toako, kau maksudkan siapa yang berkepentingan?"
tanya Tang Hauw. "Itu anak Lang Siong sendiri. Tanpa ia yang
memajukan pertanyaan, pasti anak In tidak akan
menjawab, cuma saja anak Siong sekarang sudah ada
yang punya." "Untuk menolong anak In, tidak apa anak Siong
dipanggil kemari." nyeletuk Song Cie Liang, ayah mertua
Leng Siong. Kie Giok Tong kegirangan. "Nah, kalau Song-jite beri
kesanggupan begitu, baik sekali, cuma saja anak Liong
apa mau mengerti isterinya didatangkan kemari untuk
bertemu dengan seorang pria muda seperti anak In?"
"Hahaha . :." Song Cie Liang tertawa. "Si Liong anak
baik, tidak nanti ia cemburu apa lagi untuk menolong
anak In yang ia sangat kagumi sepak terjangnya. Lagi
pula anak Liong sekarang tidak ada dirumah. Ia keluar
dusun mengurus pekerjaannya untuk untuk satu minggu
lamanya. Ada apa-apa buat urusan anak Liong, aku yang
nanti bereskan," Demikian Song Cie Liang memberi
kesanggupannya. Kie Giok Tong dan Tong Hauw kegirangan.
"Bagus, bagus," kata Kie Giok Tong. "Siete, kan boleh
suruh orang memanggil anak Siong sekarang juga:" ia
menyuruh Teng Hauw. Tuan rumah mengiakan, sambil bangkit dari duduknya
dan masuk kedalam menyampaikan keputusan pada
isterinya untuk memanggil Leng Siong.
Nyonya Teng juga kegirangan mendengar keputusan
yang tepat itu. Lalu ia memanggil salah satu pelayannya disuruh pergi
memangil Leng Siong datang sekarang juga, ada urusan
yang hendak didamaikan. Katakan, Song-loya sudah
memberi ijin ia datang sekarang kesini. Lekas pergi dan
lekas balik, kalau bisa bersama dengan nonamu!"
Pelayan mengiakan dan lalu pergi ke rumahnya Song
Cie Liang yang letaknya tidak seberapa jauh dari
rumahnya Teng Hauw. Kiranya Leng Siong telah di nikahkan dengan Song
Tek Liong. anaknya Song Cie Liang pada seminggu
berselang atas persetujuan kedua belah pihak.
Keluarga Teng setuju punya mantu Tek Liong,
sebaliknya Cie Liang juga sangat setuju Leng Siong
menjadi nona mantunya. Ia tahu Leng Siong selainnya
cantik jelita juga berkepandaian silat tinggi.
Leng Siong mula-mula ragu-ragu menerima
lamarannya keluarga Song. mengingat hubungannya
dengan Kwee In, siapa tahu sewaktu-waktu Kwee In
akan datang melamar dirinya dan ia bertiga dengan
encinya (Eng Lian) dan Bwee Hiang sama-sama melayani
Kwee In seumur hidupnya. Tapi, kapan ia ingat Kwee In
hanya main-main saja, tidak mengucapkan kata apa-apa
selama mereka bergaul dan juga melihat Bwee Hiang
dan Eng Lian ada demikian mencintai Kwee In, ia pikir,
dirinya tidak bakal mendapat perhatian Kwee In. Dari
pada ia nanti gagal menantikan Kwee In, lebih baik ia
menikah dengan Tek Liong seorang muda yang berparas
cakap dan setimpal menjadi suaminya. Juga ia tahu Tek
Liong anak baik dan disuka oleh ibu dan ayahnya.
Oleh sebab itu, maka lamarannya Song Cie Liang telah
diterima baik. Kemudian mereka menikah. ialah barusan saja satu
minggu lamanya. Demikian dengan tergesa-gesa Leng-Siong datang
kerumahnya dan menanyakan pada ibunya ada urusan
apa sampai tidak ada tempo sampai besok saja"
"Anak Siong, aku panggil kau untuk urusan anak In."
sahut sang ibu ketawa. "Hah!" Leng Siong kaget. "Kenapa dengan adik In,
dimana ia sekarang?"
"Sabar," kata sang ibu, yang menyelami gejolak
hatinya sang puteri. "Anak In ada disini dan ia rindu
menemui kau.........."
"Ibu kau berkelakar didepan anakmu" Hihihi. .. adaada
saja......... Mana bisa adik In ada disini, ia sekarang
sedang enak-enakan dengan enci Lian di lembah Tonghonggay. "Anak Siong, kau jangan berkata begitu, kalau benar
anak In ada disini, kau mau bilang apa?" menggoda sang
ibu. "Ibu, kau jangan godai anakmu, katakan ada urusan
apa memanggil aku?" "Aku panggil untuk urusannya anak In, kau masih
tidak percaya?" Berdebar hatinya Leng Siong. Ia membayargkan Kwee
In, si hitam legam telah berubah wajahnya menjadi
pemuda cakap luar biasa dan telah menawan hatinya. Ia
menekan gejolak hatinya tatkala ibunya menarik
tangannya dibawa keruangan dimana Kwee In sedang
berbaring. Leng Siong berdiri terpaku melihat Kwee in
tidur celetang, matanya tidak berkesir mengawasi langitlangit
rumah. "Ibu, adik In sakit apa?" tanya Leng Siong, suaranya
agak serak lantaran terharu.
"Ia tidak sakit, cuma ketika ia sedang gembira makanmakan
dengan para pamanmu; tiba-tiba saja ia hentikan
makannya dan sikapnya menjadi layu ketika ibu
menyatakan tentang dirimu sudah keluar pintu."
Leng Siong merangkul ibunya dan menangis
sesenggukan. "Ibu, ia pasti mengalami kekagetan tiba-tiba, kasihan
adik In. . ," bisiknya pada sang ibu, yang mengelus-elus
rambutnya yang tebal hitam.
"Sekarang, hanya kau yang dapat memulihkan
pikirannya anak In, kau adalah tabib satu-satunya yang
dapat menyembuhkannya dari hilang pikiran. Nah
pergilah kau kesana menemui adik In!" menyuruh
ibunya. Lang Siong melepaskan rangkulannya, pelan-pelan ia
menghampiri Kwee in, berlutut ditepi dipan Kwee In
berbareng. Matanya berkaca-kaca menangis.
"Adik In, kau kenapa. . . .?" Leng Siong mulai
menanya, seraya memegang lengannya si anak muda,
kemudian digoyang-goyangkan tatkala Kwee In masih
belum menjawab ditanya berkali-kali. Leng Siong
kemudian memegang pipinya dan dibaliki supaya
bertemu pandangan dengannya. "Adik In, kau masih
mengenali encimu?" Kwee In agak mencelak matanya melihat Leng Siong.
"Enci Lian. kau juga ada disini"' Tiba-tiba Kwee In
berkata, seraya menggeliat bangun turun dart dipan.
Dengan sebatnya, belum Leng Siong tahu apa-apa, ia
sudah diraih dari berlututnya dan diduduki diatas dipan.
"Oh, enci Lian, kau juga datang kesini. . . ." Kwee In
berkata sambil merangkul Leng Siong dan menciumi
bertubi-tubi, hingga Leng Siong rasakan panas pipinya
dan meronta-ronta dari pelukan Kwee In.
"Adik In, ingat, aku bukannya enci Lian" eh, kau
jangan memeluk begini, nanti orang lihat tidak baik. . . ."
Leng Siong mengeluh, dikala merasakan hidung dan
bibirnya telah menjadi sasaran bibirnya Kwee In.
Namun, Kwee In tidak menghiraukan kata-kata Leng
Siong, ia malah memeluk makin erat dan Leng Siong
akhirnya apa boleh buat menyerah dengan pengharapan
akhirnya Kwee In sadar dari pikiran linglungnya.
la tidak usah takut-takut, sebab dalam ruangan itu,
kecuali ibunya, tidak ada siapa-siapa lagi yang
menyaksikan adegan dirinya dalam pelukan Kwee In,
pemuda cakap dan menjadi. impian tiap wanita.
Dari merasa panas dan jengah malu, Leng Siong
menjadi jinak dalam kekuasaan Kwee In dan ia malah
merasa bahagia berada dalam pelukan pemuda yang
menjadi impiannya selama ia belum menikah. Ia tidak
menduga sama sekali, kalau impian bahagianya kini telah
menjadi kenyataan. Ketika Kwee In sudah reda melepaskan rindunya,
terdengar Leng Siong berbisik: "Adik In, aku bukan enci
Lian, aku Leng Siong. ".. Kau tidak boleh begini
terhadap enci Siongmu."
Terputus kata-kata Leng Siong karena Kwee In
kembali mengulangi perbuatannya tadi yang membuat
Leng Siong susah napas. Bibirnya rapat, merapat jadi
satu, seakan-akan tak dapat dipisahkan walaupun
disambar geledek. Kapan Leng Siong merasakan tangannya Kwee In
merayapi buah dadanya, hatinya menjadi gelisah dan
berdebaran. Perasaan takut timbul seketika, sambil
mendorong dan menyingkirkan tangan Kwee In, si nona
berkata:........ "Adik In, kau ingat, aku bukannya enci
Lian. ... aku....... Leng Siong, Leng Siong, kau dengar".
Tiba-tiba saja Kwee in melepaskan pelukannya dan
menatap wajah Leng Siong.
Barusan si nona menyebut nama Leng Siong, dengan
suara nyarmg, nyelusup dalam anak telinganya Kwee In,
hingga peIan-pelan ia tersadar dari pikiran linglungnya.
Makanya ia terus melepaskan Leng Siong dan menatap
wajah si nona. Pakaiannya Leng Siong kusut dan rambutnya juga
awut-awutan, sedang bibirnya yang disepuh merah telah
hilang merahnya pindah kebibirnya Kwee In. Sungguh
lucu kalau orang melihat keadaan Leng Siong saat itu.
Sambil merapikan pakaiannya dan rambutnya, Leng
Siong berkata lagi: "Adik In, ingat. aku bukan enci Lian,
aku Leng-Siong . . . Leng Siong . . , kau dengar?"
Kata-kata Leng Siong kali ini benar-benar telah
memulihkan pikiran sehatnya Kwee In.
Ia ketawa menyeringai, katanya: "Enci Siong, selamat
bertemu! Sejak kapan kau datang menjenguk aku"........
Oh, enci Siong, sekarang kau sudah menjadi milik orang
lain, sungguh beruntung ia yang memiliki dirimu yang
cantik jelita?""
"Hust! Jangan ngaco belo yang tidak kepuguhan ?"...
" Leng Siong menyetop nyerocosnya Kwee In. Air
mukanya si nona bersenyum lembut. senyuman yang
belum pernah dilupakan oleh Kwee In sepanjang
ingatannya. "Sejak kapan enci Siong datang kemari?" tanya Kwee
In.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Siong deliki matanya, disusul oleh senyuman
lembutnya. Dalam hatinya berkata: "Hmm! Pakai tanyatanya
lagi, siapa yang barusan bikin pakaian encimu
kusut, konde sungsang sumbel dan sepuhan dibibir
pindah tempat" Dasar anak nakal" sudah tahu, masih
belagak pilon lagi. Sayang aku sudah ada yang punya,
kalau belum, pasti akan kucubit kau sampai teraduhaduh
. . . " Leng Siong berpikir demikian, karena ia tidak
memperhitungkan Kwee In yang pikirannya tadi dan ia
tidak sadar waktu memeluk Leng Siong dan memberikan
ciumannya yang bertubi-tubi, sehingga si jelita susah
bernapas. "Ibu, coba kau datang kemari. Ini orang linglung
sekarang sudah sadar," Leng Siong memanggil ibunya
yang_ sembunyi tidak jauh dari mereka.
Nyonya Teng menonton adegan seru barusan,
bagaimana napsunya Kwee In telah menciumi anaknya
yang dikira Eng Lian, ia jadi bengong dibuatnya. Hampir
ia menjerit ketika Kwee In merayapi buah dadanya Leng
Siong, kalau tidak si nona keburu dapat menyadarkan
pikirannya Kwee In. Ia bersyukur, kejadian hanya sampai
disitu saja, kalau sampai kesetanan dua insan itu
bergulat menuruti napsu mudanya, bagaimana ia dapat
mempertangung-jawabkan kepada Song Cae Ling yang
telah meminjamkan mantunya dengan suka rela malam
itu untuk menolong memulihkan pikirannya Kwee In yang
linglung. "Anak In, kau sudah sembuh dari pikiran yang
linglung?" tanya nyonya Teng, ketika menghampiri si
anak muda yang sedang duduk berdampingan dengan
Leng Siong. "Memangnya aku kenapa, bibi?" tanya Kwee In heran.
"Hihihi.... !" nyonya Teng ketawa. Lalu ia
menceritakan duduknya perkara, ketika sedang enaknya
makan, tiba-tiba pikirannya si anak muda terganggu
setelah mendengar tentang pernikahan Leng Siong. Ia
jadi kebingungan, kemudian mereka berdamai dan
akhirnya didatangkan Leng Siong untuk menolong
memulihkan pikiran si anak muda yang hilang.
Kwee In mendengar penuturan nyonya Teng dengan
terbengong bengong. "Adik In, kau nakal, sampai sepuhan bibir encimu
pindah dibibirmu tuh . Hihihi. . . .!" Leng Siong ketawa
nyekikik. Kwee In sadar atas perkataan Leng-Siong, cepat ia
mengusap bibirnya, benar saja bibirnya kemerahmerahan.
Ia mengerti barusan dengan tidak sadar, ia
telah menciumi Leng Siong dengan bertubi-tubi.
Ia ketawa nyengir. Leng Siong sebaliknya deliki
matanya yang halus dan menjebikan bibirnya dengan
gaya yang lucu sekali, hingga hatinya anak muda
mencelos, sebab semua itu ia sering dapatkan dari
dirinya Eng Lian. Entahlah Eng Lian sekarang sedang
berada dimana, yang telah melaraag ia mencarinya.
Leng Siong menyesal telah deliki Kwee In dan
menjebikan bibirnya, sebab si anak muda kelihatan lesu
dan menundukkan kepalanya. Ia menduga perbuatannya
tadi telah menyinggung hatinya Kwee In, tapi ia tidak
tahu kalau Kwee Iu bukannya memikirkan itu, ia
memikirkan tentang nasibnya yang malang.
Sementara nyonya Teng ingat akan anak kembarnya,
maka ia lain menanya: "Anak In. kau datang hanya
sendirian saja, kemana Eng Lian?"
Kwee In angkat mukanya, "Enci Lian enci Lian, eh
........" Kwee In berkata dengan gugup.
Nyonya Teng tidak enak hatinya. Pikirnya, anak In
demikian gugup ditanya halnya Eng Lian, apakah yang
telah terjadi dengan si dara nakal itu"
Ia lalu mendesak pula menanyakan halnya Eng Lian,
akan tetapi Kwee In hanya unjuk ketawa getir, tidak
mengatakan apa-apa. Nyonya Teng jengkel, mulai ketus ia menanya.
Leng Siong cepat mangedipi matanya kepada sang ibu
dan ditariknya menjauhi Kwee In yang kelihatan kambuh
kembali linglungnya. "Ibu, rupanya penyakit lirglungnya datang kembali. Ia
kelihatan tidak mau menceritakan tentang enci Lian,
harap ibu bersabar, nanti anak yang membujuknya
supaya ia mau cerita tentang enci Lian yang sangat ia
cintai," demikian Leng Siong menghibur ibunya dengan
suara sabar dan halus. Nyonya Teng dapat dikasih mengerti.
Ia menghela napas mengawasi pada Kwee In yang
sedarg duduk dengan pikiran melayang rupanya, sebab
ia diam saja, seperti hilang ingatannya.
"Aku percaya kau dapat menghibur anak In," kata
sang ibu, "Cuma saja kapan ingatannya anak In kembali
normal". Sedang kau sekarang sudah menjadi isteri
orang, bagaimana kau dapat lama-lama disini menemani
anak In?" Leng Siong ketawa. "Kau jangan khawatir ibu, engko
Liong tidak akan menaruh cemburu. Ia sangat
menghargai adik In, maski pun sendirinya belum kenal
dengan adik In. Melalui ayahnya, dan aku sendiri, suka
ceritera tentang kepandaiannya adik In, kelihatannya
engko Liong sangat mengagumi sepak terjangnya adik
In. Biarlah aku temani untuk beberapa hari, sampai adik
In kembali pikirannya yang normal."
"Terserah padamu, anak Siong." sahut sang ibu,
"hanya ibu pesan kau harus dapat menjaga diri baik-baik,
jangan sampai kesetanan, sebab aku ngeri melihat
sikapnya anak In dalam keadaan tidak sadar telah
menciumi kau bertubi-tubi. Rupanya ia mengira kau
adalah si Lian, makanya ia berani melakukan perbuatan
yang tak dapat dibenarkan terhadap dirimu."
Leng Siong agak jengah juga mendengar perkataan
ibunya. Tapi ia lantas menjawab: "Ibu, kau jangan
serampang, anakmu dapat menjaga diri. Adik In adalah
anak baik dan ia dapat dikasi mengerti, asal pikirannya
sudah normal. Aku juga kepingin tahu halnya enci Lian
dan enci Bwee Hiang?"
"Anak In adalah satu pemuda sangat cakap, kau
jangan sampai tergelincir. ." pesan nyonya Teng ketawa
pada puterinya. "Percaialah, aku dapat menjaga diri, ibu," sahut Leng
Siong juga ketawa. Nyonya Teng masih meragukan pertahanan dari
puterinya. maka ketika Leng Siong kembaIi menghampiri
Kwee In, ia tidak buru-buru meninggalkan ruangan itu.
Ia sembunyi dan diam-diam memperhatikan gerak
geriknya dua pemuda-pemudi itu.
Ia melihat ternyata Kwae In tidak unjukkan kelakuan
kurang ajar lagi kepada Leng Siong, senang hatinya
nyonya Teng. Sebaliknya ia cemas. karena Kwee In
saban ditanya halnya Eng Lian, tidak memberikan
penyahutan yang di harap. Matanya hanya menatap
wajah Leng Siong dengan ketawa nyengirnya yang khas.
"Adik In, encimu ini Leng Siong, Leng Siong, kau
dengar! Ibu ingin mendengar halnya enci Lian, lekas kau
kasi tahu kenapa dengan enci Lian?"
Kwae In diam saja. Ia menundukan kepala, pelanpelan
dari sela-sela matanya merembes keluar air mata.
Kwee In menangis, membuat Leng Siong kaget dan
duduknya menggeser lebIh dekat pada di pemuda.
"Kenapa kau menangis, adik In?" tanya Leng Siong
seraya mengulur tangannya yang putih halus, dengan
setangannya ia menyeka air mata yang berlinang-linang
dipipinya si anak muda. "Adik In, ada apa-apa kau
ceritakan pada encimu, akan kubantu kau dari
kedukaanmu!" menyambung Leng Siong dengan suara
menyayang. Malam itu Leng Siong gagal mengorek rahasia
kedukaannya si anak muda, sebab Kwee In saban
ditanya hanya geleng kepala atau diam-diam
mengucurkan air matanya. Belum pernah Leng Siong menyaksikan Kwee In
menangis, maka ia sangat heran kenapa anak muda itu
bisa mengeluarkan air mata seperti air yang dibuang.
Hatinya Leng Siong yang memang mencintai Kwee In,
merasa sangat kasihan melihat keadaan si pemuda. Ia
tidak tahu Kwee In berduka karena apa, namun dari
kelakuannya yang demikian sedihnya, Leng Siong duga
tentu ada apa-apa mengganjal dalam hatinya si anak
muda yang tak mudah dihibur.
Atas perkenan Song Cie Liang, mertuanya, Leng Siong
mendapat kebebasan untuk menungkuli Kwee In dalam
sakit ingatannya. Dengan sabar dan ramah tamah Leng
Siong perlakukan Kwee In. Selama dua hari menemani
Kwee In, penyakit hilang ingatannya Kwee In masih
belum sembuh, hingga Leng Siong jadi kebingungan.
Teng Hauw suami isteri pun jadi gugup, tidak tahu
mereka harus berbuat apa"'' Tapi Kie Giok Tong dan
Song Cie Liang menghibur, agar mereka jangan
kebingungan. Biarkan Kwee In ditemani oleh Leng Siong
selama seminggu, kalau niasih juga penyakitnya belum
kembali sembuh, mereka akan berunding lagi bagaimana
baiknya. Ketika Leng Siong berpisah di Coa-kok dengan K wee
In dan lain-lainnya, anak dara itu pulang ke kampung
halamannya diantar oleh Kim Wan Thauto. Mereka
sampai di Suyangtin dengan selamat dan menggirangkan
hati keluarga Teng. Kim Wan Thauto yang bisa bergaul sangat
menyenangkan hatinya Suyangtin, maka tidak heran
kalau kedatangannya itu disambut dengan perjamuan
yang meriah oleh Lima Harimau dari Suyangtin.
Kim Wan Thauto hanya menginap tiga malam
dirumahnya Teng Hauw, dan kemudian ia pamitan untuk
meneruskan perjalanannya. Katanya ia masih banyak
urusan yang harus dibereskan, maka tidak lama-lama ia
merepotkan Suyangtin Ngo-houw.
Juga Kim Wan Thauto mendapat ucapan selamat jalan
dari Leng Siong. Si dara jelita berkaca-kaca matanya menangis
berpisahan dengan Kim Wan Thanto yang berhati baik
dan menyayanginya. "Toako, kau kapan kembali untuk menjenguk aku?"
tanya Leng Siong, dengan air mata masih berkaca kaca.
la mengikuti Kwe In dan Bwee Hiang memanggil Toako
kepada si Thauto. "Ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah,
janganlah kau anggap perpisahan kita ini untuk
selamanya, anak Siong."' kata si Thauto dengan suara
menyayang seperti seorang ayah. "Ada satu waktu kita
nanti berkumpul pula dengan anak In, Hiang dan Lian.
Kau jangan berduka untuk perpisahan ini. Mungkin anak
In lebih cepat menemui kau, anak Siong, kau tunggu saja
si bocah nakal itu........ "
-oo0dw0oo- Jilid 14 BAB-40 KIM WAN THAU TO bergurau, tapi Leng Siong
memerah jengah pipinya. Dengan senyum dikulum. ia menyahut: "Toako. kau
godai aku, sedang adik In tidak memikirkan tentang
diriku sedikitpun" Kim Wan Thauto ketawa. "Anak Siong." katanya.
"Toakomu sudah kawakan dalam menyelami pikiran
orang, maka pandanganku tidak bisa salah lagi, si bocah
itu naksir padamu. Kau bertiga dengan anak Hiang dan
Lian akan menjadi miliknya si bocah yang besar rejekinya
itu, sungguh membikin aku ngiri, Tiga jelita
disampingnya. mau apa lagi" Hahaha...."
Kim Wan Thauto berkakakan ketawa enak.
Leng Siong tertusuk hatinya oleh kata-kata Kim Wan
Thauto. Ia memang melibat gerak-geriknya Kwee In terhadap
dirinya seperti yang ada 'mau'-nya, cuma saja belum
dikatakan blak-blakan oleh si bocah.
Setelah Kwee In wajahnya balik kepada wajah aslinya,
begitu cakap dan ganteng, telah mempesonakan hatinya
Leng Siong dan rela ia dibuat isteri ketiga oleh si bocah.
Ia melamun-lamun tentang kedatangannya Kwee In,
namun lama ditunggu, belum juga si bocah kelihatan
bayangannya datang. Dalam putus asa mengharap
kedatangannya Kwee In, tiba-tiba datang lamarannya
Song Cie Liang. Ia kenal Tek Liang, anaknya seorang she
Song adalah satu anak baik dan rajin bekerja, juga
tampangnya tidak mengecewakan jika menjadi
pasangannya. lantas saja Leng Siong menyatakan setuju
ketika ia ditanyakan pikirannya oleh kedua orang tuanya.
Dengan begitu perkawinan Leng Siong dan Tek Liong
telah dirayakan. Apa mau. baru saja seminggu mereka menikah. telah
kedatangan Kwet In. pemuda pujaannya yang telah
merindukan dirinya. Pada suatu hari,selagi Leng Siang menemani Kwee In
diserambi belakang, hatinya, merasa kesal, karena Kwee
In yang ditemani, sikapnya seperti patung saja. Kalau
diajak bicara hanya manggut, geleng kepala dan
menunduk. seakan-akan sudah bisu.
Lebih banyak Kwee In duduk dengan bengong
terlongong-longong, membuat Leng Siong tidak mengerti
apa yang sedang di-pikirkan oleh Kwee In.
Leng Siong jadi serba salah untnk menyadarkan
pikiran Kwee In yang sehat.
Pada saat ia sedang termangu-mangu, tiba-tiba
muncul seorang yang ia tidak duga duga.
"Oh, Toako, kau kapan sampai...?" tanya Leng Siong
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil bangkit. dari duduknya menyapa orang yang baru
muncul itu. "Ha ha, anak Siong. seperti aku sudah katakan, anak
In akan datang lebih dahulu menyengak kau daripada
aku..." orang itu berkelakar, ternyata bukan lain adalah
Kim Wan Thauto, Leng Siong deliki matanya, namun disusul oleh
ketawanya yang lembut. "Anak Siang, katanya anak In hilang pikirannya, apa
kau sudah sembuhkan?"
"Apa yang disembuhkan. sudah beberapa hari aku
temani, kelihatannya penyakitnya bukannya menjadi
baik, malah tambah parah..."
Kim Wan Thauto lain menghampiri Kwee In yang
sedang duduk dergan termanggu-manggu.
"Anak In, anak In, kau tidak mengenali Toakomu ini?"
tanya Kim Wan Thauto seraya menarik sebuah bangku
dan duduk dihadapannya Kwee In.
Kwee In menatap wajahnya si Thauto, ia hanya
nyengir sebentaran dan matanya lantas dialihkan kelain
jurusan, "Anak In, kenapa kau jadi begini?" Kim Wan Thauto
berkata lagi. seraya menggoyang-goyangkan pundaknya
Kwee In, tatapi pemuda tinggal diam saja.
Kim Wan Thauto tidak jadi putus asa, coba dan coba
lagi ajak Kwee In bicara tapi pemuda yang
kepandaiannya sangat tinggi itu tinggal diam saja,
Kim Wan Thauto menjadi heran-Melihat si Thauto
tertegun, Leng Siong berkata: "Nah, apa aku bilang,
bukankah penyakitnya makin angot" Kemarin-kemarin ia
masih bisa berseri seri, sekaraug ia berubah menjadi
betul becul pendiam. seakan akan patung bernyawa-."
Kim Wan Thauto tidak menjawab, ia seperti sedang
memikirkan apa-apa. "Anak Siong, coba nanti aku berdamai sebentar
dengan ayah dan ibumu," kata Kim Wan Thauto, seraya
bangkit dan duduknya dan jalan masuk kedalam.
Kim Wan Thauto berunding dengan Teng Hauw dan
isterinya. Nyonya Teng menuturkan sebab mulanya si bocah
telah kehilangan pikirannya setelah mendengar tentang
pernikahannya Leng Siong,
"Nah, inilah pokok sebabnya yang menyebabkan anak
In hilang pikirannya," kata Kim Wan Thauto. "Anak In
datang tanpa anak Lian, mesti ada apa-apa diantara
mereka, dalam putus-asa. ia mencari Leng Siong, gadis
yang wajahnya sama dengan anak Lian. Apa mau, ia
mendengar anak Siong telah dimiliki orang lain, kembali
ia putus-asa dan dalam kagetnya, pikirannya menjadi
terganggu. Penting sekali kita mengembalikan pikirannya
yang normal, supaya kita dapat tahu halnya anak Lian
dan Bwee Hiang juga."
"Aku duga juga begitu," berkata nyonya rumah.
"makanya aku suruh anak Siong temani anak In dan
pelan pelan dapat memulihkan pikirannya yang sehat.
Tapi, anak Siong sekarang sudah menjadi isteri orang,
kalau lama-lama kita biarkan mereka bergaul, ada kurang
baik dan nanti menimbulkan kecurigaan orang. Sekarang,
bagaimana Taysu pikir?"
Kim Wan Thauto tidak menjawab. tapi ia mengasah
otaknya untuk mencari akal bagaimana dapat
mengembalikan pikiran sehat Kwee In.
"Kalau memangnya saudara Song sudah kasi
kemerdekaan pada anak Siong, untuk menolong
menyembuhkan pikiran anak In, sebaliknya
kebebasannya jagan terbatas dalam rumah saja,
kasihkan mereka bargaul di Giok-lie-teng (paseban
bidadari), di mana duluan mereka pernah berkumpul.
Siapa duga pikiran anak In tertarik oleh keadaan
disana dan pelan.pelan dapat disadarkan pikiran
sehatnya." "Begitupun baik. bagaimana baiknya saja, kami
serahkan Taysu yang atur dun pemuda itu. supaya cepat
cepat pikirannya Kwee In kembali normal," berkata
nyonya. Kim Wan Thauto suruh pelayan memanggil Leng Siong
masuk. Tidak lama Leng Siong sudah berkumpul dengan
mereka, Kim Wan Thauto berkata: "Anak Siong. kau
temani anak In, jangan bulak balik dalam rumah saja,
harus bebas untuk menarik ingatan sehatnya anak In "
"Bebas bagaimana " coba Toako kasih usul.
bagaimana aku harus berbuat?"
"Kau ajak anak In bermain di Giok-Lie teng, bukankah
dulu kalian pernah berkumpul disana" Siapa tahu
pikirannya anak In tertarik dengan Giok-lie-teng dan
pelan pelan pikiran sehatnya sadar "
"Aku memang bermaksud mau mengajak adik In
kesana, cuma saja aku takut ayah dan ibu tidak
memperkenankan kami main disana, sebab seperti
sekarang. Toako telah tahu. aku sudah tidak merdeka
pula, aku sudah punya suami."
"Sekarang kedua orang tuamu sudah setuju, pergilah
kau ajak adik In-mu ke-sana. Aku juga disana. kau
jangan sebut-sebut anak Lian dulu, kau timbulkan
namanya anak Hiang. Lihat bagaimana reaksinya. Kalau
sudah betul betul pikirannya sehat kembali, baru kita
nanti menanyakan halnya enci Lian-mu. Anak In
kelihatan sangat berduka kalau di sebut namanya Eng
Lian, tentu ada apa-apa yang terjadi di antara mereka.
Kau paham apa yang aku pesan, anak Siong?"
"Paham, aku nanti coba menyadarkan pikirannya
dengan namanya enci Hiang.."
Kwee In seperti anak kecil saja diajak jalan oleh Leng
Siong ke Giok-lie teng. Sekitar paseban bidadari itu ada pohon-pohon siong
dan yangtiu, disamping pohon besar yang rindang
daunnya. yang membuat keadaan disitu menjadi adem
teduh. Pohon-pohon bunga yang tersebar disana sini
membantu keindahan pemandangan disekitarnya.
Dibawah paseban mengalir air sungai kecil yang
jernih. Dalam cuaca cerah dan teduh adem orang dudukduduk
mengangin dalam paseban bidadari itu, betulbetul
mengesankan dan tak mudah dilupakan.
Tampak disitu ada muda mudi yang sedang duduk
berhadapan, menghadapi hidangan kuwe-kuwe dan
buah-buahan sederhana untuk menghilangkan iseng.
Mereka itu bukan lain adalah Leng Siong dan Kwee In.
Sesaat kelihatan Kwee In seperti masih linglung,
matanya. hanya memandang kesatu arah saja. ialah
kedepan dengan mulut membisu seribu bahasa.
"Adik In," berkata Leng Siong dengan suara halus
"Aku merindukan enci Hiang, dimana ia sekarang
berada" enci Hiang, Hiang, adik In....!"
Mula-mula rupanya tidak masuk dalam telinga Kwee
In. tapi setelah Leng Siong menegaskan dengan nyaring
namanya Bwee Hiang, tampak sikapnya Kwee In
berubah. Pandangannya sekarang beralih ketempat lain,
matanya memandang kesekitarnya paseban. Melihat itu,
Leng Siong berdebaran hatinya, apa yang dipikirkan oleh
Kim Wan Thauto rupanya akan menjadi kenyataan.
"Adik In, aku merindukan enci Hiang. enci Bwee
Hiang.. enci Bwee Hiang, dimana ia sekarang-?" Leng
Siong mengulangi. Kwee In sekarang menatap wajah Leng Siong yang
cantik jelita, bersenyum lembut kearahnya, bibirnya yang
mungil kecil. seolah-olah bergerak gerak seperti hendak
mengulangi kata katanya yang barusan dikeluarkan
dengan nyaring. "Eh, kau " tiba-tiba kata-kata ini meluncur dan mulutnya
Kwee In. Berdebar keras hatinya Leng Siong, tampak Kwze in
yang sudah beberapa hari membisu. telah mengeluarkan
suaranya, "Kau, kau siapa, Adik In...?" tanya Leng Siong.
Kwee In nyengir ketawa. "Kau. enci Lian, kau juga ada
disini..." sahut Kwee In dengan roman kegirangan.
Leng Siong girang Kwee In mulai sadar akan
pikirannya yang linglung, tapi ia kaget dirinya disangka
Eng Lian. Ia takut Kwee In akan mengulangi lain
kelakuannya seperti malam itu, hingga ia merasakan
hampir macet napasnya diciumi si bocah.
Belum hilang kagetnya tahu-tahu tangannya dipegang
dan digengam Kwee In. Leng Siong coba menariknya,
malah ia menggunakan lwekangnya. namun tidak
berhasil. Leng Siong jadi kebingungan, melihat Kwee In
bangkit dari duduknya dan merangkul dirinya.
"enci Lian, seperti kukatakan. apa juga yang terjadi
dengan dirimu, tetap kau akan menjadi isteriku..," Kwee
In berbisik dikupingnya Leng Siong, menyusul anak muda
itu seperti kalap, telah menciumi Leng Siong.
Mau tidak mau, Leng Siong harus meyerah, leher, pipi
sampai pada bibirnya yang mungil, menjadi sasaran
kecupan Kwee In. Lama Kwee In menciumi bibirnya sampai rasanya
napas Leng Siong terhenti oleh karenanya. Leng Siong
berusaha untuk melepaskan bibirnya dan kecupan Kwee
In yang hebat, ingin ia bernapas dan berkata pada si
pemuda. Baru saja ia dapat ketika untuk bicara, Kwee In
sudah mendahului berkata: "Mana bisa kau menyingkir
dari sampingku, kau pergi meninggalkan aku, akhirnya
toh kujumpai juga, enci Lian..."
Kembali Leng Siong rasakan bibirnya ditekan, ia
berontak. tetapi tidak berdaya, karena yang mencium itu
justeru adalah pemuda pujaannya, pemuda yang menjadi
impiannya. Pikirnya, biarlah untuk sementara ia
menjalankan peranan seperti Eng Lian sampai Kwee In
rela melepas rindunya. Sebaliknya, ia jadi bertanya tanya selama ia dalam
pelukan Kwee In. apa maksudnya kata-kata Kwee In
yang telah berkata demikian"
Inilah pertanyaan yang ia ingin pecahkan.
Ia tidak ingin Kwee In kembali pikirannya menjadi
linglung, maka ia biarkan dirinya menjadi bulan bulan
atau sasaran kerinduan si anak muda. Ia mengharap
Kwee In akan sadar betul-betui dan dapat ditanyakan hal
enci Lian-nya. Ia tidak mendorong tubuhnya Kwee In yang memeluk
erat padanya dan mengaku dirinya bukan Eng Lian, ia
khawatir dengar mengaku Leng Siong. pikiran Kwee In
yang hendak kembali normal, nanti menjadi batal seperti
malam itu. Repot juga leng Siong dikala tangannya Kwee In yang
nakal menjamah dan hendak mainkan buah dadanya
yang padat terisi. Ingin ia melarangnya dan coba
menyingkirkan tangan nakal itu, namun, hatinya tidak
tega melihat Kwee In bernapsu melepaskan rindunya.
Dengan begitu. kembali pakaiannya si rona menjadi
awut-awutan dan rambut kondenya miring sana miring
sini. sepuhan bibirnyapun otomatis pindah kebibirnya
Kwee In. Hebat Kwee In memperlakukan Leng Siong, namun ia
tidak berani melanggar kesopanan dengan meraba
bagian vital si nona. Tangannya yang nakal hanya
berbayas kepada buah dada si nona yang sedang
kencangnya. Ia menggeliat-geliat kegelian dikala bagian
itu diremas remas Kwee In. perasaan aneh timbul
seketika. hingga si nona mengeluarkan keluhan lirih dan
balas memeluk Kwee In dengan eratnya.
Kini benar kedua insan itu tengah melepaskan
rindunya tanpa disadari, bahwa kelakuan itu dilarang,
tidak dibenarkan baik oleh keluarga Teng maupun Song.
karena Leng Siong bukannya nona merdeka lagi, ia
sudah mempunyai suami. yang kalau di-ketahui oleh
suaminya. Entah bagaimana jadinya melihat Leng Siong
sedang berpelukan dengan Kwee In demikian mesranya
dan lupa daratan" Tatkala Kwee In melepaskan pelukannya. Leng Siong
merasa puas impiannya dalam pelukan Kwee In telah
menjadi kenyataan. Sambil merapikan pakaian dan
rambutnya yang kusut, Leng Siong berkata: "Adik In, aku
merindukan enci Hiang, dimana ia sekaraug?"
"enci Hiang entah dimana ia sekarang, maka juga aku
ingin ajak kau mencarinya," sahut Kwee In lesu.
"Memangnya enci Hiang kenapa?" tanya Leng Siong
pula. "Ia rupanya diculik oleh lawannya, apa enci Lian
lupa?" Dari jawaban Kwee In, si nona libat Kwee In masih
menganggap dirinya adalah Eng Lian, gadis pujaannya,
Leng Siong sadar Kwee In begitu dalam cintanya kepada,
enci Lian-nya, seperti barusan dibuktikan demikian hebat
Kwee In telah menuangkan rindunya. Ia bsrsyukur Kwee
In menyatakan rindunya tidak sampai melewati batas,
kalau sampai Kwee In kesetanan, apa si nona bisa bikin,
sedang ia juga napsunya tatkaia itu tak tertahankan.
Pasti akan terjadi skandal yang tak terlupakan oleh kedua
keluarga Teng dan Song. Leng Siong pasti akan menuruti
keinginannya Kwee In dengan suka rela, sebab memang
ia cinta pada pemuda tampan dan ganteng itu.
"Adik In, coba kau perhatikan betul, apakah ini enci
Lian-mu?" kata Leng Siong.
Kwee In menatap wajah Leng Siong. Lama ia menatap
dengan termanggu-manggu, hingga si nona merasa
jengah juga ditatap demikian rupa oleh Kwee In.
"Kau belum bisa bedakan?" tegurnya kcmudian, ketika
Kwee In diam saja. "Kau bukannya enci Lian ..." jawabnya lesu.
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana kau tahu aku bukan enci Lian-mu?" tanya
Leng Siong. "enci Lian ada tahi lalat diatas alis mata kanannya,"
sahut Kwee In. "Bagus, jadi aku ini siapa?"
"Kau tentu enci Leng Siong."
Leng Siong ketawa cekikikan. "Kau tahu aku Leng
Siong, bukan enci Lian-mu, tapi, kenapa barusan kau
bikin aku hampir tidak bernapas?" Leng Siong
menggodai. "Memangnya aku kenapa, enci Siong?" tanya Kwee In
heran. Leng Siong jebikan bibirnya yang mungil. Katanya:
"Nih, kau lihat. sepuhan bibirku sampai pindah semua
kebibirmu ..." Leng Siong berkata satnbil menunjuk
bibirnya. Kwee In kaget. Ia cepat mengusap bibirnya, benar
saja sepuhan merah melekat dibibirnya. Ia sekarang
mengerti, kenapa Leng Siong berkata demikian tadi.
Kwee In ketawa nyengir. "Maaf, enci Siong! aku
lakukan itu dengan tidak disadari. Mungkin aku mengira
kau adalah enci Lian..." Kwee In mohon maaf.
Leng Siong bersenyum manis. "Maaf, aku dapat
memaafkan asal kau mau cerita!" kata Leng Siong
kemudian. "Aku harus cerita apa?" tanya Kwet In heran.
"Kau harus cerita tentang enci Hiang, Bwee Hiang.
kemana ia?" "Oh. enci Hiang " Dalam suatu pertempuran. dimana
aku tidak menyaksikan. enci Hiang rupanya kena
dipancing oleh musuhnya dan telah menghilang sampai
sekarang." "Kenapa kau tidak mencarinya" Apakah kau tidak ingat
kebaikannya enci Hiang?"
Kwee In tundukkan kepalanya, ia merasa ketusuk oleh
perkatannnya Leng Siong. Membayangkan kebaikan-kebaikan Bwee Hiang
terbadap dirinya, memang tidak seharusnya ia tinggal
diam dengan menghilangnya si nona botoh ttu, apalagi
Bwee Hiang sudah ia calonkan menjadi bakal isterinya. Ia
menyesal banyak, perkara yang merintangi saling susul,
hingga maksud untuk mencari enci Hiang menjadi
tertunda. "Memang aku bermaksud mencarinya, cuma lantaran
banyak urusan yang merintangi, penyelidikan pada
dirinya enci Hiang menjadi tertunda."
"Eng Lian dan enci Hiang adalah teman baik, kenapa
enci Lian diam saja dengan menghilangnya enci Hiang?"
Kwee In terkejut disebutnya 'enci Lian', tiba tiba saja
wajahnya menjadi lesu. Leng Siong perhatikan gerak-gerik Kwee In.
"Kau ada begitu mencintai enci Lian, begitu akrab
hubunganmu dengannya, kenapa kau datang kemari
sendirian saja, tidak dengan enci Lian?"
"Sebaiknya jangan disebut sebut lagi nama enci Lian,
aku datang kemari sebelumnya hendak mencari enci
Siong buat nantinya enci Lian..."
"Hei, apa artinya omonganmu itu, adik In?" tanya
Leng Siong heran. "Maksudku datang kemari hendak mencari enci Siong
bersama-sama mencari enci Hiang, tidak kukira kalau
enci sudah ada yang punya. Aku terkejut seperti
disambar petir, hingga aku telah kehilangan ingatanku
yang sehat." Leng Siong tidak mengerti kemana arahnya omongan
adik In-nya itu" Kenapa ia mencari dirinya, bukannya dengan Eng Lian
ia pergi mencari enci Hiang yang hilang itu" Apakah
hubungan Kwee In dengan Eng Lian sudah retak"
Ketika ia hendak membuka mulut menanya, Kwee In
sudah berkata lagi : "enci Siong. aku kenal watakmu
lebih halus dari enci Lian, maka aku ingin mengambil kau
sebagai gantinya enci Lian disampingku. namun kau
sudah dimiliki orang. Aku jadi putus asa, hilanglah
harapanku untuk mendapatkan kau sebagai isteriku..."
Leng Siong semu-semu merah wajahnya mendengar
Kwee In blak-blakan mau ambil dirinya sebagai isterinya.
Diam-diam ia bersyukur bahwa Kwee In tidak melupakan
dirinya. Tapi, ia heran. kenapa dengan Eng Lian" Ada
bentrokan apakah Kwee In dengan enci Lian-nya"
Demikian hebatnya, sehingga merenggangkan
perhubungannya yang sangat erat itu"
"Adik In," kata Leng Siong serius. "kau sebenarnya
kenapa dengan enci Lian" "
"Hh, sudahlah, untuk apa menceritakan halnya enci
Lian..." sahut Kwee in lesu.
"Adik In. ingat. aku tidak dapat memaafkan
perbuatanmu. manakala kau tidak mau menceritakan
halnya enci Lian." "Sudahlah, Untuk apa cerita halnya enci lian. Kalau diceritakan
juga, hanya memalukan saja.. Meskipun begitu,
aku tak dapat melupakan enci Lian, hanya ia melarang
aku mencarinya. Ia sudah tidak mau berhubungan pula
dengan aku..." Makin heran Leng Siong mendengar jawaban Kwee In.
Sebagai adik, tentu saja Leng Siong ingin tahu
duduknya perkara perpisahannya Kwee In dan Eng Lian
yang tadinya demikian rapat hubungannya. Malah sampai
detik itu, dapat dirasakan cintanya Kwee In yang besar
terhadap Eng Lian, seperti yang dituangkan atas dirinya
(Leng Siong) oleh Kwee In dalam keadaan tidak sadar.
Dengan sabar dan halus Leng Siong sudah membujuk
Kwee In untuk menuturkan halnya Eng Lian, akhirnya si
Bocah Sakti mau juga menuturkan apa yang terjadi
dengan Eng Lian, hingga hatinya si bocah jagoan
menjadi merana. Leng Siong tidak memotong penuturan-nya Kwee In
yang diseling dengan air mata mengalir dikedua belah
pipinya yang halus tampan.
Leng Siong hampir tidak percaya akan penuturannya
Kwee In, kalau anak muda itu tidak menutur sambil
menangis sedih. Bukan saja Kwee In yang merasakan
hancur hatinya kehilangan Eng Lian. tapi Leng Siong juga
merasakan remuk hatinya mendengar Kwee In telah
mengalami nasibnya yang malang.
Ia sangat sesalkan perbuatannya sang enci (Eng Lian)
yang telah kasikan dirinya dipermainkan oleh gorilla
piaraannya sampai menjadi hamil. Pantasan Kwee In
telah kehilangan pikiran sehatnya tatkala mendengar ia
(Leng Siong) sudah menikah, lantaran maksud
kedatangannya adalah hendak mencari ia untuk gantinya
Eng Lian. Bagaimana besar cintanya Kwee In kepada Eng Lian
dapat dinyatakan dari sikapnya, dengan bercucuran air
mata, ia menuturkan, ia telah kehilangan orang yang
sangat ia cintai. Ia sudah mengampuni perbuatannya
Eng Lian. tapi si nona menolak untuk berhubungan lebih
jauh dengan Kwee In karena merasa dirinya sudah kotor
ternoda. Leng Siong juga menepis air matanya, ikut sedih ia
melihat nasibnya Hek-bin Sin tong, pemuda gagah tanpa
tandingan dalam dunia persilatan pada masa itu.
"Adik In..." menghibur Leng Siong seraya menyusut air
matanya. "enci Lian sudah membelakangi kau, sedang
aku juga sudah ada yang punya, tidak bisa aku
menggantikan tempatnya enci Lian, maka kau dan enci
Hiang, aku percaya enci Hiang akan menjadi isterimu
yang tercinta dan setia..."
Kwee In tidak menjawab, ia tundukkan kepala seraya
menyeka air matanya yang masih berlinang-linang
dikedua belah pipinya yang putih halus.
"Kita manusia, tidak dapat mengelakkan kemauannya
nasib. Apa yang kau alami semua adalah nasib, kemauan
Thian yang sudah ditetapkan dengan tulisan. kau tak
usah merasa kaget dan takut untuk menghadapinya.
Tabahkanlah hatimu, carilah enci Hiang, gadis itu pasti
akan membikin kau beruntung sampai dihari tua."
Kwee In kembali tidak memberikan jawabannya. Ia
membisu seribu bahasa. "Adik In, jodoh manusia tidak bisa dipaksakan, siapa
tahu sekarang kau kehilangan enci Lian dan aku, nanti
kau mendapatkan pula gantinya yang lebih mencocokkan
seleramu, maka itu. kau jangan putus asa. Kau masih
terlalu muda untuk merasakan patah hati oleh karena
urusan asmara.." Kali ini Kwee In mengangkat kepalanya dan ketawa
nyengir. Leng Siong berdebaran hatinya nampak ketawa
nyengir yang khas dari Kwee In, sebab itulah yang selalu
dibayanginya dalam sadar dan pulas diwaktu ia masih
belum menikah "enci Siong, kau benar," tiba-tiba Kwee In menjawab.
"Aku masih terlalu muda untuk merasakan patah hati,
karena asmara. Seharusnya aku berlaku tabah. Kau
benar enci Siong, terima kasih atas nasehatmu itu. Nah,
sampai disini saja aku mohon diri.."
Kwee In bangkit berdiri, angkat tangannya menyoja
pada Leng Siong. "Hei, adik In, kau mau kemana ?" seru Leng Siong,
sambil memburu untuk menjambret bajunya Kwee In
dan menahannya. Tapi tidak keburu. meskipun Leng Siong sudah berlaku
gesit luar biasa. Kwee In dengan sekali enjot tubuhnya
sudah melambung tinggi keluar dari Giok-lie-teng. Begitu
kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melambnng
lagi. Hanya dua tiga kali kakinya menotol tanah,
tubuhnya Kwee In sudah lenyap dari pemandangannya
Leng Siong yang berkaok-kaok memanggil tanpa diladeni
oleh si bocah Sakti. Leng Siong menangis kehilangan adik In-nya.
Sebenarnya ia ingin bicara sedikit rahasia dalam
perkawinannya dengan Tek Liong. tapi tidak keburu ia
membicarakannya dengan Kwee In yang mendadak
sontak saja telah mohon diri berpisah. Sama sekali ia
tidak menduga akan kepergiannya Kwee In yang
demikian mendadak, ia duga Kwee In akan menginap
satu-dua hari lagi dalam rumahnya, dan selama itu. ia
akan menggunakan kesempatan untuk menghibur Kwee
In dan menceritakan rahasia perkawinannya dengan Tek
Liong. Rahasia apa yang hendak diceritakan Leng Siong
kepada Kwee In, entahlah"
Sementara Leng Siong sedang menangis
sesunggukkan kehilangan Kwee In, dari belakangnya ada
yang menegur: "Anak Siong kenapa kau menangis?"
Leng Siong cepat menoleh kebelakang, kiranya Kim
Wan Thauto yang tengah berdiri ketawa kearahnya.
"Toako. ia sudah pergi... " Leng Siong berkata, seraya
menubruk pada si Thauto dan menangis terisak-isak
didadanya Kim Wan Thauto yang bidang.
Kim Wan Thauto menyayangi Leng Siong seperti
anaknya sendiri, maka sambil mengelus-elus rambutnya
si nona yang bagus, ia menghibur: "Anak Siong. ia pergi,
biarkan ia pergi, kalau jodoh, masa akan kemana?"
Leng Siong terkejut. Ia merasa seperti Kim Wan
Thauto dapat meraba isi hatinya terhadap si bocah
jagoan. Maka nangisnya Leng Siong makin menjadi,
hingga pakaian si Thauto dibagian dadanya menjadi
basah oleh air mata. Kim Wan Thauto dapat menyelami alam pikirannya si
nona yang kehilangan pemuda pujaannya. maka ia
biarkan saja Leng Siong habiskan rasa sedihnya,
meskipun ia merasa pakaian dibagian dadanya sudah
basah dengan air mata. Ia menghibur, menghibur, hingga kesedihannya si
nona menjadi reda. Leng Siong menuturkan halnya Eng Lian, tapi Kim
Wan Thauto mencegah. katanya: "Anak Siong. kau tak
usah cerita lagi, semua yang kau bicarakan dengan si
bocah, aku sudah dapat dengar tegas. Kasihan Eng Lian,
nasibnya tidak beruntung, ia kehilangan pemuda
pujaannya lantaran tidak bisa menjaga diri. Lebih kasihan
si bocah yang kehilangan gadis impiannya dan hatinya
merana, sayang anak Siong tidak dapat menggantikan
kedudukannya anak Lian. kalau tidak, kesedihannya si
bocah pasti akan lenyap tanpa bekas, itulah wataknya
Kwee In anaknya Kwee Cu Ge Tayhiap..."
"Toako," bisik Leng Siong pelan. "Kau mendengar
semua percakapan kami. kau juga tentu menyaksikan
adegan yang tidak dibenarkan aku dan adik In, bukan?"
Kim Wan Thauto ketawa. "Aku sudah tua, aku dapat
menyelami kerinduan dari anak-anak muda. Kwee In
telah memeluk dan menciumi kau tanpa disadari olehnya,
lantaran mengira kau Eng Lian, sedang kau menyambut
kerinduan Kwee In demikian mesra, lantaran aku tahu
memang kau ada mencintai si bocah. Saat-saat yang
demikian itu, memang menjadi impianmu, bukan?"
Tergetar hatinya Leng Siong mendengar jawaban Kim
Wan Thauto yang blak-blakan.
"Toako, kau bisa saja." bisik Leng Siong, tangannya
mencubit tangan si Thauto perlahan hingga membuat
Kim Wan Thauto tertawa gelak-gelak.
Pada saat itulah muncul Teng Hauw dengan isterinya,
yang segera menanyakan halnya Kwee In telah pergi
tanpa pamit pula pada tuan dan nyonya rumah.
Leng Siong sambil menangis seakan telah
menceritakan kepada kedua orang tuanya halnya Eng
Lian dan kedatangann Kwee In.
Nyonya Teng menangis mengingat nasibnya sang
puteri sulung (Eng Lian) yang telah jadi bininya gorilla. Ia
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memikirkan juga puterinya yang sedang hamil, dimana ia
akan melahirkan bayinya, siapa yang akan menolongnya"
"ooOdwOoo" BAB-41 KWEE IN dalam perjalanannya lebib jauh ia
memikirkan akan nasibnya yang buruk.
Hatinya menyesal telah kehilangan Eng Lian.
kemudian ia kehilangan juga Leng Siong si jelita yang
tadinya ia mau angkat menjadi gantinya Eng Lian.
Kesal bila mengingat akan nasibnya yang tidak
beruntung. Ia duduk termenung-menung ditepinya sungai kecil
adem dan teduh, disitu lantaran ada pohon besar yang
memayungi. Ia melamun pada masa masa yang lampau,
bagaimana bahagianya ia ditemani oleh tiga dara, Bwee
Hiang, Eng Lian dan Leng Siong. Diwaktu ini diam-diam
ia sudah memutuskan akan mengambil tiga-tiganya
menjadi kawan hidupnya. Wajahnya berseri-seri kapan ia
membayangkan bagaimana ia mencium Eng Lian yang
nakal jenaka, bagaimana ia mengecup bibirnya Bwee
Hiang yang botoh dan serba padat tubuhnya. Sungguh
menggairahkan Bwee Hiang itu, entah dimana adanya
sekarang si nona yang baik hati itu"
Kwee In akui kebaikannya Bwee Hiang, selama ia
berkawan dengan si nona. segala keperluannya
ditanggung oleh si gadis. Ini tidaklah heran, karena si
gadis adalah gadis hartawan ahli waris dari Liu Wangwe
yang terkenal di dusun Kunhiang.
Ia ingat janjinya Bwee Hiang ketika barusan saja lepas
dan pelukannya, si nona berjanji akan menyerahkan
dirinya mana-kala urusan dengan Sucoan Sam sat sudah
diselesaikan. Hatinya Bwee Hiang keras, ia berkeras
untuk menuntut balas kepada Sucoan Sam-sat yang
menjadi musuh buyutnya. Mengingat bagaimana ia merasakan sangat
berbahagia bercumbu-cumbu dengan Bwee Hiang,
membuat Kwee In menjadi rindu akan si nona botoh itu.
"Aku harus mencarinya, aku harus mendapatkan enci
Hiang... aku akan membujuk ia supaya jangan
menunggu sampai selesainya pembalasan terhadap
Sucoan Sam sat, sebelumnya itu ia sudah menjadi
isteriku.. oh, enci Hiang. kau dimana sekarang?"
Demikian Kwee In berkata-kata sendirian seperti
orang hilang ingatan. tiada seorang yang mendengarnya.
Hanya angin pegunungan yang berlalu lalang dan air
sungai yang jernih yang mengalir lewat seperti
menertawakan si bocah. Kembali ia memikirkan Eng Lian dan Leng Siong, dua
gadis jelita yang ia sudah hitung pasti bakal menjadi
kawan hidupnya, telah lolos dari tangannya.
Saking kesal dan putus asa, ia meremas-remas
rambutnya sendiri seperti orang gila.
Dalam kalapnya itu, tiba-tiba ia menjadi tenang,
tenang seperti rela menghadapi kehancuran asmaranya.
Kenapa" Kiranya Kwee In tiba-tiba telah teringat akan
nasehat dari engkong dan neneknya ketika ia hendak
meninggalkan goa yang berurai air terjun.
Bahwa ia harus berlaku tabah kapan menghadapi
goncangan hati, bahwa ia harus ingat kepada Yaya dah
Poponya, nama kala ia menghadapi perkara-perkara
yang menggoncangkan hati dan menggempur jiwanya.
Oh, bagaimana halus dan lembut sang kakek dan
nenek menasehatkan dirinya untuk menghadapi sesuatu
yang hebat dengan segala ketabahan. ia membayangkan
wajah yang sangat sayang dari Yaya dan Poponya.
Teringat akan nasehatnya sang kakek dan nenek yang
baik hati itu, tiba tiba saja pikirannya Kwee In menjadi
tenang. Ia percaya apa yang telah terjadi sudah menjadi
guralan tangan, manusia tidak bisa mengelakkannya.
Demikian pengharapan satu-satunya sekarang
mendapatkan enci Hiangnya, yang ia akan desak supaya
segera menjadi isterinya, tak usah menunggu sampai
urusan menuntut balas pada Sucoan Sam-sat selesai.
Setelah melamun jauh, Kwee In tengkurap ditepi kali.
Ia menyendok air kali dengan tangannya dan dicacapi
kepalanya serta membersihkan wajahnya yang kotor,
yang banyak debunya. Ia rasakan air sungai yang jernih
itu sangat dingin adem rasanya ketika dicacapi
kekepalanya Pikirnya, kalau ia minum air kali itu, pasti adem sekali
masuk kedalam perutnya. Ia segera menyendok dengan tangannya, ketika ia
dekati kemulutnya, tiba-tiba terasa ada batu yang
menyambar jatuh persis dekat tangannya yanh
menyendok air, hingga air muncrat dan membasahi
wajahnya. Sekali lagi ia menyendok dan cepat ia
menghirupnya. batu jatuh pula dan air muncrat
membasahi wajahnya. tTrlambat sedetik, sebab air sudah dihirup oleh Kwee
In. Berbareng Kwee In melejit bangun, segera didepannya
sudah berdiri seorang tua dengan jenggot panjang dan
bagus. "Adik kecil. maaf terlambat Lohu menolongi kau..."
ujar orang tua itu. Kwee In heran. Ia menanya. "lo-pek. kau mengatakan
demikian. memangnya aku dalam bahaya" Ah, Lopek kau
jangan menakut-nakuti aku."
"Lohu bukannya menakt nakuti kau, memang kau
dalam bahaya." "Bahayanya dari mana?" tanya Kwee In heran.
"Lohu tadi sudah peringatin kau dengan menimpukkan
batu. supaya kau jangan minum air sungai disini. Kau
bukannya sadar ada bahaya. malah dengan sengaja kau
gunakan kepandaianmu mencoba kepandaian lohu,
hingga lemparan batu Lohu jadi terlambat dan kau sudah
meminum air sungai" "Lantas apa bahayanya." tanya Kwee In
"Bahayanya, siapa yang minum air sungai disini, akan
keracunan dan mati tanpa ada obatnya pula. Inilah,
maka Lohu bilang terlambat menolong kau..."
Kwee In kaget bukan main mendengar keterangan itu.
"KaIau begitu aku harap Lopek suka menolongku,"
memohon Kwee In. "Ada obat juga tak dapat menolong kau. lantaran air
sudah ditelan olehmu dan sekarang sudah mulai beredar
bercampur dengan darahmu."
Kwee In gelisah mendengar keterangan itu.
"Bagaimana Lopek tahu air sungai ini beracun."
"Lantaran Lohu mengasingkan diri disini."
Katanya orang tua itu. yang usianya kira-kira lima
puluh lebih telah mengasingkan diri dipegunungan situ
dan sudah tahu bahwa air sungai itu ada beracun.
Kebanyakan ia sering berada diatas pohon,
mengamat-amati orang yang kebetnlan lewat, berasa
haus dan mau minum air sungai itu, ia mencegah dengan
lontaran sebuah batu sebagai peringatan- Seperti
kejadian dengan Kwee In, cuma saja anak muda kita sok
jagoan. ia telah menguji kecepatan lontaran batu si
orang tua dengan hirupan air di tangannya...Ia berhasil
mengalahkan kecepatan siorang tua namun ia harus
menerima akibatnya yang pahit, yang menurut si orang
tua ia bakal mati keracunan.
"Sebelumnya kau mati, adik kecil, mari kita duduk
mendongeng," Kata orang tua itu, seraya menarik
tangannya Kwwe In diajak duduk ditepi sungai tadi,
dimana Kwee In duduk mengangin. Kwee In menurut
dan duduk berhadap-hadapan.
"Lopek namanya siapa?" tanya Kwee In
"Ya... baik juga kau ketahui, sebelumnya kau mati,"
sahut orang tua iru. "Aku she Ong bernama Pok, orang
kasi gelaran Siok-beng Ong padaku."
Siok beng Ong, ialah si Ong tukang menolong jiwa.
"Bagus gelaran lopek " kata Kwee In, "Tapi. kenapa
Lopek tidak bisa menyambung jiwaku yang terancam
kematian?" "Adik kecil. itu lain," sahut Siok-Beng Ong. "Air sungai
yang beracun sudah tercampur dalam darah dan
beredar, maka aku dapat menyembuhkannya?"
Kwee In tundukkan kepalanya memikirkan nasibnya.
Barusan saja ia memikirkan akan menjadi suami istri
dengan Bwee Hiang, sekarang ia akan menemukan
ajalnya, betul-betul sialan dirinya. Ia tidak takut mati,
malah kepingin mati. Kalau menghadapi kecemasan
mengenai Eng Lian dan Leng Siong yang lolos dari
tangannya, sebaliknya ia masih kepingin hidup,
mengingat kebahagiaan yang dibayangkan apabila ia
menemukan enci Hiang-nya yang botoh dan menyayangi
dirinya. Sementara itu, Ong Pok telah mengisahkan suatu
cerita yang menarik seperti berikut:
Dalam sebuah dusun yang berpenduduk beberapa
puluh keluarga, diantaranya ada keluarga Ong yang
terkenal hidupnya mampu dan pandai mengatur urusan.
Oleh karenanya, Ong Ceng Hin, kepala dari keluarga
Ong itu telah diangkat menjadi kepala kampung oleb
rakyat Ceng Hin tidak menampik dengan pengangkatan
itu. Dibawah pengurusannya Ong Ceng Hin, kampung itu
telah mendapat kemajuan pesat dengan pertaniannya
yang subur. Ong Ceng Hin mempunyai seorang anak gadis. Ong
Hui Lan namanya cantik luar biasa, hingga banyak
penduduk hartawan dari dusun itu ingin memiliki Hui Lan
sebagai mantunya. Tapi semua lamaran telah ditolak.
dengan alasan Hui Lan masih terlalu muda untuk
menikah, ia ketika itu baru masuk usia enam belas tahun.
Dalam usia demikian. sebenarnya umurnya Hui Lin masih
kecil, namun, karena ia badannya bongsor, maka seperti
sudah berusia delapan belas tahun.
Memang Hui Lan sangat cantik. Wajahnya lonjong
telur, alisnya lentik, hidungnya bangir, dibawahnya
bersemajam sepasang bibir yang merah delima. mungil
dan lembut, membuat orang yang melihatnya kepingin
mengecupnya. Hui Lan pusing juga menerima lamaran dari sana sini
yang disampaikan oleh ibunya kepadanya. Sang ibu
membujuk supaya ia suka menerima salah satu lamaran
yang diajukannya itu. Malah pada suatu hari, ibunya
telah berkata: "Anak Lan, lamaran lain boleh kau tidak
hiraukan, tapi lamaran dari paman paman Lie, Tan dan
Thio, kau harus pikirkan. Kau tahu sendiri ayahmu
menjadi kepala kampung telah mendapat dukungan kuat
dari ketiga hartawan ini, malah sampai sekarang
kelihatannya mereka bersahabat lebih dari saudara
putusan perut akurnya."
Hui Lan bersenyum lembut. Ia menyahut: "Sayang aku
dilahirkau begini cantik, kalau tidak, pasti aku tidak
digerembengi orang banyak. Aku masih terlalu muda
untuk menikah, maka aku harap ibu jangan suka
timbulkan soal kawin dulu untuk sementara ini"
"Soal kawin ada perkara belakangan." sahut sang ibu.
"Yang penting kau harus memilih anak siapa diantara
ketiga pamanmu itu yang kau setujui akan jadi kawan
hidupmu. Soal mereka berjanji akan menanti sampai
usiamu sudah masuk dewasa, mereka tidak berkeberatan
menunggu, asal sudah mendapat kepastian dari
sekarang." Hui Lan kewalahan. Ia menghela napas panjangpanjang
dengan alis dikerutkan. "Kasilah tempo untuk aku berpikir" akhirnya si nona
berkata. Sang ibu lalu meninggalkan anaknya, untuk
melaporkan kepada suaminya. ia sudah mendesak
puterinya untuk melakukan pemilihan.
Ong Ceng Hin senang isterinya telah melakukan
tugasnya dengan baik. "Anak Lan memang keras kepala, sampai sebegitu
jauh menolak saja kalau kita timbulkan soal
perjodohannya," menyatakan sang suami. "Lantaran
terlalu laku, aku khawatir akan nasibnya puteri tunggal
kita itu." Nyonya Ong anggukkan kepalanya, "Mudah-mudahan
ia selamat..." sahutnya.
Malamnya Hui Lan duduk termenung dalam kamar
tidurnya. Ia kenal dengan putera-putera dari ketiga
pamannya. Keluarga Lie puteranya berperawakan tinggi
kurus. wajahnya berseri meskipun tidak cakap. Anaknya
keluarga Tan berbadan sedang, wajahnya biasa saja,
hanya ia pintar cari uang membantu perusahaan
ayahnya. Sedang patera dari keluarga Thio
perawakannya kekar kuat, wajahnya cakap, hanya
adatnya angin-anginan seperti orang sehat pikirannya.
Thio Liang wajahnya cakap ganteng, setimpal
dengannya kalau sampai menjadi suami istri. tanya si
nona sangsikan apakah ia bisa hidup beruntung
disebelahnya seorang kawan hidup yang adatnya anginanginan
demikian" Ia alihkan pilihan kepada Tan Lie, mungkin dengan
Tan Lie ia bisa hidup cocok, hanya diragukan apakah Tan
Lie dapat membahagiakan ia dalam hidupnya sebagai
suami isteri" Tan Lie kelihatannya tidak romantis, ia lebih
mementingkan mencari uang dari pada kesenangan
hidup didunia. Pilihannya beralih kepada Lie Seng, pemuda she Lie ini
perawakan badannya boleh dan wajahnya juga tidak
jelek, cuma agak genit. Ia khawatir salah pilih kalau
sudah memilih Lie Seng, diragukan cintanya yang murni
Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhadap dirinya. melihat pemuda itu seperti pemuda
bangor. Pusing Hui Lan menghadapi pilihannya itu. ia belum
dapat mengambil keputusan.
Tiba-tiba ia bangkit dari duduknya dan menghampiri
jendela, ia membukanya, ia rasakan hawa segar telah
menghembus masuk dari luar jendela kamarnya persis
berhadapan dengan taman bunga yang tengah
menyiarkan keharumannya diwaktu malam
Senang Hui Lan berdiri melamun di jendela itu seraya
memegangi dagunya. Pikirannya melayang layang dibawa oleh harumnya
bunga. "Ong Siocia, kau sedang melamun apa begitu
asyiknya?" tiba-tiba Hui Lan dibikin terkejut oleh suara
orang menegur. Hui Lan segera mengawasi orang yang menegur tadi.
Ia ternyata adalah seorang muda dengan dandanan
orang terpelajar (Siauchay). wajahnya bundar tampan,
alisnya berdiri bagus sekaii menawungi sepasang
matanya yang bercahaya tajam, hidungnya bangir,
sepasang bibirnya yang tipis bergerak-gerak
Pendekar Naga Mas 2 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama