Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 1
"KUDA BESI atau Kuda Hitam Dari Istana Biru
Karya: S. D. Liong Kiriman Gun gun Asdf dalam bentuk word dan di pdfkan oleh kang zusi
Jilid 1 Hah" Empat wajah beku yang duduk mengitari meja yang diterangi dengan sebatang lilin itu, tampak dicengkam ketegangan.
Halilintar meringkik-ringkik menggetarkan bumi. Api lilinpun memantulkan cahaya bayangan yang bergoyang gontai.
Setiap kali kilat mencuatkan cahaya menerangi tempat kegelapan, keempat orang itu serempak mengangkat kepala memandang ke luar jendela.
Namun tiap kali, wajah merekapun hanya menyuram kecewa. Mereka tampak menanti kedatangan seseorang tetapi yang ditunggu tak kunjung tiba.
Diantara keempat misteri guest atan tetamu misterius itu, terdapat seorang wanita yang cantik. Usianya lebih kurang tigapuluh tahun.
Wanita itu mengenakan chang-ih (semacam long dress) dari sutera warna gres atau soklat muda. Wajah dan penampilannya mempunyai, daya yang mempesona.
Kemudian seorang pria yang brewok. Dihadapannya seorang sasterawan setengah baya. Wajah sasterawan itu pucat seperti mayat sehingga menyeramkan orang.
Yang misterius sendiri adalah orang keempat. Bagaimana raut wajahnya tak diketahui karena dia mengenakan kain cadar atau kerudung muka. Tetapi yang jelas, tubuhnya pendek kecil seperti seorang anak.
Tak berapa lama kemudian hujanpun turun seperti dicurahkan dari langit. Tiba2 si brewok berbangkit dan berseru dengan suara menggeledek, "Menjemukan sekali, maaf, aku tak dapat menemani kalian lebih lama !"
Sambil berkata diapun sudah ayunkan langkah keluar. Tetapi baru dua langkah, dia sudah berhenti.
Saat itu hujan mencurah deras dan halilintar tak henti-hentinya mengamuk tetapi sayup2 terdengar suara derap kuda berlari pesat. Makin lama makin dekat.
"Katanya menjemukan, mengapa anda tak jadi pergi," tiba2 sasterawan berwajah pucat berseru dengan nada dingin.
Si brewok berputar tubuh. Tangannya melekat pada punggung kim to (golok emas) yang terselip di pinggangnya. Dipandangnya sasterawan itu dengan geram.
Sasterawan itu tertawa mengekeh. Secara seperti tak sengaja, kipas yang berada ditangannya ditebar-katupkan. Waktu menebar kipas itu seperti memantulkan bunyi mendering lembut menandakan bahwa kipas itu terbuat dari logam.
Tring . . . . si brewok mencabut golok kim-tonya yang tipis dan ditudingkan ke arah sasterawan.
"Siapakah Nyo toaya (tuan besar Nyo) ini" Masakan sudi duduk bersama manusia semacam mayat hidup!"
Tampak sasterawan itu seperti agak membungkukkan tubuh sambil membenturkan kipasnya ke ujung golok si brewok.
Si brewok mengendap tubuh dan menggentakkan goloknya keatas. Melihat itu sasterawan berwajah pucatpun menekankan kipasnya lebih keras.
Baik wanita cantik maupun orang yang memakai kerudung muka, mengira tentu akan terjadi benturan keras antara golok dan kipas.
Tetapi suatu peristiwa yang tak terduga telah muncul. Pada saat golok dan kipas hanya terpaut beberapa inci, sekonyong-konyong pintu ruangan didobrak dan seseorang terus. menerobos masuk.
Baik si brewok maupun sasterawan berwajah, pucat, walaupun terkejut tetapi masih sempat untuk menarik pulang senjatanya masing-masing.
Sasterawan cepat duduk kemball di kursinya.
Tetapi si brewok lain. Dia cepat ulurkan tangan kirinya untuk menyambar pendatang itu. Sambarannya cepat dan tepat. Dia dapat mencengkeram bahu orang itu.
Tetapi gerak terjangan orang itu waktu menerobos masuk, cepat dan dahsyat, maka diapun terus melaju sehingga bahu bajunya saja yang robek... brakkkkk
Meja berhamburan jungkir balik. Lilinnyapun tumpah dan padam. Wanita cantik dan sasterawan berwajah pucat loncat ke belakang.
Kini ruang itu gelap gelita.
Wut, wut .... terdengar deru tinju menghamburkan angin. Tetapi dalam ruang yang gelap itu tak dapat diketahui apa yang terjadi. Siapa yang memukul dan siapa yang dipukul, tak diketahui dengan jelas. Untuk menjaga keselamatan diri masing-masing maka setiap orang melintangkan tangan untuk melindungi diri masing-masing.
"Siapa yang datang itu?" tiba2 si brewok berseru memecah kesunyian, sedangkan tangannya masih mengepal secabik kain baju yang berasal dari pendatang itu.
Tetapi tiada penyahutan sama sekali.
Kilat memancar. disusul dengan raung guruh yang menggerung-gerung di angkasa. Pada lain saat sinar kilat itupun lenyap dan ruangan menjadi gelap lagi.
Namun walaupun hanya sekejab mata, pancaran sinar kilat yang merekah kedalam ruang gelap, memberi penerangan yang cukup jelas bagi keempat orang itu untuk melihat keadaan dalam ruang itu.
Pendatang yang menerjang masuk tadi, saat itu sedang ngelumpruk diatas permukaan meja yang remuk tadi.
'"Lekas sulut korek!'' teriak si brewok pula.
"Cresss . . . terdengar suara orang membenturkan goresan korek api. Ternyata yang menyulut korek itu adalah orang kate yang mukanya bertutup kain kerudung hitam.
Dan dua buah lubang pada kain kerudung hitam, tampak kedua gundu mata si kate itu bersinar tajam. Dia memungut lilin yang jatuh dilantai, menyulutnya lalu diangkatnya untuk menyuluhi pendatang yang rebah di meja itu.
"Mati!" serunya dengan nada sedingin es.
"Mati?" teriak si brewok, "siapakah dia" Apakah orang yang mengirim surat undangan tanpa nama itu" Mengapa dia mati?"
Rupanya si brewok itu memang seorang limbung. Kalau tidak masakan dia bertanya mengapa orang itu bisa mati" Bukankah dia sudah tahu kalau orang itu menerjang masuk dengan laju sekali dan terus membentur meja sehingga meja hancur berantakan"
Si brewok maju menghampiri ke tempat orang itu lalu membalikkan tubuhnya. Sedang si katepun lalu menyuluhi muka orang tak dikenal itu.
Ihhhhh . Mereka berempat serempak mendesis kaget. Bukan karena ngeri melihat wajah orang tak dikenal itu. Memang wajahnya menampiikan kerut orang yang menderita kesakitan hebat. Tetapi mereka berempat sudah biasa melihat orang yang menampilkan wajah begitu. Mereka berempat adalah tokoh2 persilatan yang ternama. Sepanjang perjalanan hidup mereka, entah sudah berapa banyak lawan yang harus mereka hadapi. Dan banyak pula lawan yang dikalahkannya itu juga menampilkan kerut wajah ngeri seperti itu.
Bukan, bukan karena hal itu yang menyebabkan keempat tokoh itu mendesis kaget tetapi karena mereka kenal dengan wajah itu.
Orang yang menerjang masuk, membentur meja dan terus rubuh tak bernyawa itu tak lain adalah seorang tokoh persilatan yang ternama yakni kepala cong-cu keluarga Lui di wilayah Ou-pak.
Lui Toa Gui, demikian nama kepala dari marga Lui yang menggeletak tak bernyawa itu, seorang jago silat yang termasyhur. Dia bergelar Sip-jiu-lo-han atau Malaekat-bertangan-sepuluh.
Bluk . . . begitu si brewok lepaskan cekalannya, mayat Lui Toa Guipun jatuh ke lantai lagi.
Sasterawan berwajah pucat cepat merogoh kedalam baju dan terus melontarkan sebuah surat. Surat itu bertebaran melayang-layang ke atas. Ditengah cahaya lilin, orangpun dapat membaca jelas huruf2 yang tertera pada kertas surat itu:
"Kepada Im kaucu ketua perkumpulan Thian-sim-kau di Bu-ih san.
Apabila pada tanggal empat-belas bulan enam, anda tiba di per-batasan Oupak di Istana-biru yang terletak di kaki gunung Bok-tok-san Anda tentu akan mengalami peristiwa yang amat menggembirakan sekali.
Kecuali anda, pun ketua Hoasan-pay Naga-emas-sakti Nyo Hwat, Siluman-cantik Pik Ing Ing dari Thay-san, Lui Toa Gui kepala marga Lui, Thian-san-sin-kau ( kera-sakti gunung Thian-san) Lo Pit Hi, dan ketua Ceng-shia-pay Thian Go lojin juga menerima undangan ini..."
Kertas surat yang dilontar dengan tenaga dalam oleh sasterawan berwajah pucat, pelahan-lahan melayang keatas sampai beberapa meter, kemudian melayang-layang turun dengan pelahan.
Cret .... tiba2 sasterawan berwajah pucat itu menutuk kertas dengan kipasnya sehingga kertas itu berlubang.
Lubang dari tutukan kipas itu tepat sekali menembus pada huruf yang berbunyi: Lui Toa
Gui kepala marga Lui. Ketiga orang kawannya tahu maksud sasterawan itu yang hendak menyatakan bahwa Toa Gui sudah mati.
Tokoh bermuka brewok itu tak lain adalah Nyo Hwat ketua partai Hoa-san-pay. Dia bergelar Cek-kim-sin-liong atau Naga-emas-sakti..
"Hm," desuhnya, "aku tak sudi menunggu lagi. Siapa sih yang kenal dengan pengirim surat itu!"
Dia terus hendak ayunkan langkah tetapi pada saat itu dari arah pintu besar terdengar bunyi berderek-derek ....
Mereka berempat setelah menerima surat undangan yang aneh itu, sebenarnya tak mau menghiraukan. Tetapi makin dekat waktunya yakni 14 bulan enam, keinginan untuk mengetabui makin bergolak dalam hati mereka.
Keempat tokoh itu berasal dari partai perguruan yang tak sama. Dan tak sama pula alirannya. Walaupun mereka sudah mempunyai nama besar dalam dunia persilatan dan sudah banyak sekali pengalaman-pengalamannya, namun tetap mereka tak mampu menebak siapakah orang yang mengirim surat undangan itu dan apakah maksud tujuannya.
Sekalipun begitu, akhimya keempat tokoh itupun pergi juga untuk memenuhi undangan misterius itu.
Pada waktu mereka tiba di sebuah kopoh (istana kuno) yang bercat warna biru di kaki gunung Bo-tok-san, waktu mendorong pintu gerbang dari istana itu, daun pintu yang engselnya sudah berkarat, mengeluarkan bunyi berderak-derak.
Maka pada saat mendengar dari arah pintu gerbang terdengar bunyi berderak-derak, ketua Hoa-san-pay Nyo Hwat hentikan langkah dan ketiga orang yang lainnyapun terkesiap. Mereka serempak memandang kearah luar.
Pintu yang diterjang oleh Lui Toa Gui tadi masih terpentang sehingga mereka dapat memandang keluar.
Pada lorong yang gelap, terdengar suara langkah orang berjalan pelahan-lahan. Bahkan langkah itu halus sekali sehingga keempat tokoh yang berada dalam ruangan itupun menjadi sangat tegang.
Memang sebenarnya mereka menduga bahwa pengirim surat undangan itu adalah orang yang mereka kenal yang sengaja suruh orang untuk mengantar undangan itu dengan cara yang misterius. Untuk berolok-olok, demikian dugaan mereka berempat.
Tetapi setelah terjadi peristiwa yang mengejutkan dalam ruangan itu tadi, dimana tokoh Lui Toa Gui yang termasyhur begitu menerjang masuk terus rubuh binasa, keempat orang itupun serentak menyadari bahwa anggapan mereka terhadap pengirim surat undangan itu salah. Peristiwa yang akan mereka hadapi bukan hanya sekedar olok-olok saja tetapi benar2 serius sekali.
Maka suara langkah kaki orang di lorong itu, cepat menimbulkan rasa tegang dalam hati mereka berempat.
Walaupun mereka itu tokoh2 persilatan yang ternama namun menghadapi keadaan yang sedemikian aneh yalah surat undangan yang tak diketahui pengirimnya dan kematian Lui Toa Gui yang begitu mendadak sekali, mau tak mau mereka menjadi gelisah sekali. Diam2 merekapun bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Saat itu langkah kaki orang yang berasal dari lorong serambi makin lama makin lambat. Rupanya setiap berjalan selangkah, orang itu berhenti beberapa saat.
Keempat tokoh yang berada dalam ruanganpun makin dicengkam rasa tegang karena harus menunggu begitu lama.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, tiba2 terdengar suara bergedebuk di lantai, seperti sebuah benda berat yang jatuh.
"Haya, ada yang mati lagi!"' serentak Naga-emas-sakti Nyo Hwat, ketua Hoa-san-pay melonjak kaget.
"Ngaco!" bentak si cantik Pek Ing Ing, "Thian Go lojin kan bukan tokoh sembarangan mana mungkin akan bernasib seperti Lui Toa Gui!"
Diantara mereka berempat, walaupun ada yang belam pernah bertemu muka dengan Thian Go lojin ketua partai Ceng-shia-pay, tetapi mereka rata2 sudah pernah mendengar nama tokoh yang termasyhur itu. Apalagi dalam surat undangan itu pun disebut juga nama Thian Go lojin turut diundang. Oleh karena itu mereka segera dapat menebak siapakah kiranya yang menjadi korban diluar ruangan itu.
Wanita cantik itu jelas adalah Thay-san-yau-ki atau Siluman-cantik-gunung-Thay-san yang terkenal ganas. Dia seorang tokoh dari aliran hitam.
Sasterawan berwajah pucat itu adalah ketua perkumpulan Thian-sim-kau dari gunung Bu-ih-san, bernama Im Som. Peraturan dari perkumpulan agama Thian-sim-kau itu amat keras sekali. Anak muridnya tak boleh mengadakan hubungan dengan orang luar. Oleh karena itu tiada seorang pun tak mengetahui bagaimana keadaan perkumpulan itu, demikian pula tak ada orang yang tahu bahwa Im Som, ketua perkumpulan agama itu sendiri sering mengembara dalam dunia persilatan.
Memang ilmu kepandaian Im Som, sakti dan aneh sekali. Karena tak tahu jelas akan dirinya maka kaum persilatanpun tak mau memusuhinya.
Sementara si pendek kecil yang mukanya bertutup kain hitam itu adalah tokoh yang paling memusingkan kaum persilatan. Dia bernama Thian-san-sin-kau atau Kera-sakti-gunung-Thian-san Lo Pit Hi. Wataknya nyentnk dan suka mengolok-olok orang hingga orang sampai tobat, terutama tokoh aliran hitam, mereka tentu gemetar apabila mendengar nama Lo Pit Hi.
Dalam surat undangan itu disebut lima tokoh yang diundang. Yang sudah datang empat orang dengan begitu jelas yang akan datang dan mungkin yang jatuh bergedebuk itu, tentulah ketua partai Ceng-shia-pay Thian Go lojin.
Tetapi hal itu memang sukar dipercaya. Siluman-cantik Pek Ing Ing juga tak percaya kalau seorang tokoh seperti Thian Go lojin, belum datang sudah binasa.
"Kita lihat!" seru Nyo Hwat ketua Hoa-san-pay.
Mereka berempat serempak melangkah keluar. Si setan pendek yang mukanya berkerudung kain hitam menyuluhi dengan lilin.
Tiba dilorong serambi mereka melihat sesosok tubuh berpakaian hitam, menggeletak ditanah tak berkutik lagi.
Naga-emas-sakti Nyo Hwat melesat maju dan mencongkel tubuh orang itu dengan ujung kaki. Begitu tubuh orang itu terbalik tertelentang, tampaklah wajahnya dengan jelas. Tubuhnya kurus kering, jari2nya seperti seekor kera. Wajah, mulut dan pipinya juga mirip orangutan.
Saat itu ujung mulutnya mengumur darah dan tubuhnya tak berkutik sama sekah. Jelas dia sudah mati!
Sesaat Nyo Hwat terkesima lalu menjerit, "Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi!"
"Ya, memang dia," sahut Pek Ing Ing.
Im Som ketua Thian-sim-kau serempak ber-balik tubuh memandang si setan pendek. Siluman-cantik Pek Ing Ing dan ketua Hoa-san-pay Nyo Hwatpun juga serempak memandang kearah setan pendek itu dan serempak berseru menegurnya, "Siapakah anda ini?"
Sebenarnya mereka sudah menduga bahwa setan pendek yang mukanya bertutup kain kerudung itu adalah Lo Pit Hi. Tetapi saat itu ketika melihat Lo Pit Hi menggeletak di lantai serambi dalam keadaan tak bernyawa lagi, serempak mereka terkejut dan heran. Bukankah orang yang mukanya ditutup kain kerudung itu juga Lo Pit Hi"
Ah, tidak, Lo Pit Hi jelas yang menggeletak tak bernyawa itu. Dan jelas pula bahwa orang pendek yang mukanya bertutup kain kerudung itu tentu bukan Lo Pit Hi dan tentu seorang tokoh luar yang misterius.
Mendengar pertanyaan ketiga orang itu, setan pendek bertutup kain kerudung serentak mundur selangkah.
Sekali lintangkan tangannya, lilin yang dipegangnya itu disongsongkan kearah kipas Im Som.
Cret .... karena Im Som menyalurkan tenaga-dalam yang kuat kearah kipasnya maka lilin itupun padam seketika. Serambi itu menjadi gelap gelita lagi.
"Jangan lepaskan dia!" teriak Im Som.
Naga-emas-sakti Nyo Hwat cepat menabaskan goloknya tetapi serempak pada saat itu Pek Ing Ing membentaknya, "Sudah bosan hidup, ya?"
Dan saat itu juga Nyo Hwa merasakan sebuah gelombang tenaga dahsyat melanda ke arah dadanya dan hidungnyapun tertampar bau yang amat harum.
Nyo Hwat menyadari bahwa tabasannya tadi telah salah alamat, menuju ke arah Pek Ing Ing. Dan Pek Ing Ingpun lantas melontarkan sebuah hantaman yang beracun. Sudah tentu Nyo Hwat terkejut dan cepat2 enjot tubuhnya mundur menghindar.
Saat itu Nyo Hwat berada di samping pintu gapura. Saat itu kilat memancar dan Nyo Hwat tiba2 melihat seseorang berada di sampingnya. Sudah dia kaget sekali dan terus menarik tangannya lalu menabas kearah orang itu.
Nyo Hwat adalah ketua partai Hoa-san-pay. Dalam ilmu golok, partai Hoa-san-pay memang menjagoi dunia persilatan. Sebagai ketua partai itu, sudah tentu ilmu kepandaian Nyo Hwat hebat sekali. Apalagi dia menabas dengan kecepatan yang luar biasa.
Jurus yang dimainkannya itu disebut Sun-cui-jip-jing atau Air-mengalir-mencurah-cinta. Lengan agak ditekuk, siku terpisah beberapa dim dari pinggang, tangkai golok dikepit diantara pinggang sedang ujung golok mencuat keluar.
Senjata goloknya disebut Cek-kim-to atau golok-emas-ungu. Panjangnya satu meter. Sekali dimainkan segera menimbulkan sinar setengah ling-kar. Setiap musuh yang dekat kepadanya tentu tak dapat menghindar lagi. Jurus Sun-cui-jip-jeng itu merupakan jurus permainan yang istimewa untuk membabat musuh yang berani mendekati.
Tetapi pada lain saat, terkesiaplah Nyo Hwat ketika merasakan ujung goloknya seperti tergetar. Hal itu menandakan bahwa sekalipun ujung goloknya berhasil memapas tetapi bukan mengenai tubuh orang melainkan hanya menabas pakaiannya saja. Dan orang itu tetap berada di dekatnya. Je-las bahwa orang itu tentu seorang yang berkepan-daian luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu, sebelum jurus selesai Nyo Hwat sudah berganti dengan lain gerak memutar golok untuk melindungi diri.
Dalam menggerakkan tiga buah lingkaran golok untuk melindungi tubuhnya itu, sempat pula Nyo Hwat memandang ke muka untuk mengetahui situasi. Ternyata yang berada di sebelah muka, hanya Siluman-cantik Pek Ing Ing, ketua Thian-san-sin-kau Im Som yang tengah bertarung dengan setan pendek bertutup kain kerudung tadi, orang yang dilihatnya berada disampingnya tadi tak tampak sama sekali.
"Apakah aku tadi khilaf?" mau tak mau Nyo Hwat tertegun.
Kilat memancar dan pada lain saat serambi itupun gelap lagi. Nyo Hwat maju menghampiri dan membentak, "Ho, sahabat, bagaimana engkau mung-kin menang kalau berhadapan dengan dua tokoh seperti mereka" Mengapa tak lekas menyerah saja!"
Tetapi baru saja ia membuka mulut, tiba2 ia merasa sebuah gelombang tenaga-dalam yang amat lunak, meniup kearah pinggangnya. Nyo Hwat terkejut dan cepat membabat. Tring, sebelum babatan golok tiba, kembah sudah terdengar dering dan su-atu senjata yang membentur goiok Nyo Hwat.
Sebenarnya senjata itu hendak ditujukan ke pinggang Nyo Hwat. Tetapi karena walaupun kea-daarrnya gelap sekali, Nyo Hwat dapat merasakan bahwa benda membentur pedangnya itu sebenarnya suatu gerak hendak menutuk lumbungnya Maka cepat diapun melintangkan golok untuk menangkis.
Tring ..... Baru dia melintangkan golok, batang golok-nya sudah terbentur dengan sebuah senjata lain. Memang karena suasana gelap, dia tak dapat me-lihat apa2 di sekelilingnya. Tetapi sebagai seorang ketua partai persilatan yang berilmu tinggi, diapun dapat merasakan bahwa yang membentur batang pedangnya itu adalah sebuah benda runcing yang biasa digunakan untuk menutuk jalan darah. Dan cepat diapun membayangkan bahwa jago yang me-miliki senjata penutuk jalan darah bukan lain, adalah Im Som ketua perkumpulan agama Thian-sim-kau. Ya, siapa lagi kalau bukan orang itu. De-ngan begitu jelas kalau Im Som diam2 hendak mencelakai dirinya ...
Seketika meluaplah kemarahan Nyo Hwat.
?"Bajingan! Kalau engkau bisa menyerang secara gelap, apakah aku tidak mampu berbuat begitu juga!" dia memaki keras dan terus menyerang dengan jurus Ceng-hong-te-lui atau Tawon-hijau-memetik-madu, kearah tempat Im Som.
Tetapi baru begerak sampai setengah jalan, tiba2 ia mendengar Pek Ing Ing membentaknya, "Mau cari mati?"
Menyusul sebuah angin pukulan yang berbau anyir segera melandanya.
Nyo Hwat terkejut sekali. Dia tahu kalau pukulan itu bukan dari Im Som. Maka buru-buru ia alihkan goloknya kepada Pek Ing Ing untuk menghapus pukulan kemudian dia loncat mundur.
"Harap sekalian berhenti dulu," serunya.
"Uh, apa engkau tak ingin bertempur lagi?" seru Pek Ing Ing dengan nada mengejek.
Nyo Hwat merasakan suatu gelombang angin pukulan kembali meniup ke arahnya. Ia tahu kalau Pek Ing Ing menyerangnya lagi.
Nyo Hwat seorang limbung. Karena merasa diserang dia tak mau ambil pusing lagi siapa Pek Ing Ing itu jika tadi dia hanya menangkis dan terus mundur, sekarang dia marah dan terus menyerang wanita cantik itu. Dalam beberapa saat saja dia segera terlibat pertempuran dengan Pek Ing Ing.
Keduanya bergerak dengan cepat sekali. Dalam beberapa kejab saja Nyo Hwat sudah melancarkan tujuhbelas jurus.
Tiba2 pada saat itu dari arah pintu gerbang istana terdengar suara orang membentak dengan keras.
Karena mendengar suara teriakan yang nya-ring tanpa disadari Nyo Hwat hentikan serangan dan mundur selangkah. Tetapi karena takut Pek Ing Ing akan menyerang, maka diapun tetap bersiaga.
Tetapi ternyata Pek Ing Ing tak bergerak. Jelas dia sendiri juga terkejut akan suara bentakan yang nyaring itu.
Pada lain saat itu tepi pintu gapura yang terbuat dari besi itu tampak api menyala terang. Pada saat itu juga Nyo Hwat baru tahu kalau Pek Ing Ing berdiri di mukanya, lebih kurang satu dua meter jaraknya. Karena kaget, Nyo Hwat menyurut mundur tiga empat langkah lagi supaya lebih jauh,
Tetapi Pek Ing Ing sendiri juga tak kalah kagetnya. Melihat Nyo Hwat dekat dengan dia, diapun terus menyurut beberapa langkah.
Setelah keduanya saling menyurut mundur, baru mereka melihat ke pintu. Ternyata pada saat itu di ambang pintu gerbang tampak tegak seorang lelaki setengah tua dengan mengenakan jubah warna biru, seorang pria yang tinggi besar, sehingga seperti sebuah tiang yang tegak di tengah ambang pintu. Sikapnya gagah berwibawa.
Orang itu menyalakan korek, sepasang matanya berkilat-kitat memandang keempat penjuru. Begitu kesompokan dengan pandang mata Nyo Hwat dan Pek Ing Ing yang tengah memandang kepadanya, orang itupun tertawa dingin.
"Ah, kiranya kalian berdua sudah datang lebih dulu!" serunya.
Nyo Hwat dan Pek Ing Ing cepat mengenali orang itu. Tokoh tinggi besar itu bukan lain adalah kepala dari Ngo-toa-kiam-pay.
Dalam dunia persitatan, terdapat berbagai persilatan, dengan dasar ilmu pelajaran yang diutamakan masing2. Ada yang mengutamakan ilmusilat tangan kosong dengan ilmupukulan dahsyat, baik ilmupukulan dengan tenaga-luar (gwa-kang) maupun pukulan tenaga-dalam (lwekang). Tetapi ada juga partai persilatan yang mengutamakan ilmu senjata. Dan ilmu bermain senjata yang paling disegani adalah ilmu pedang Partai persilatan yang terkenal dengan pelajaran ilmu pedangnya disebut Kiam-pay. Toa-kiam-pay artinya partai persilatan ilmupedang yang tergolong besar atau kelas satu Ngo-toa-kiam-pay artinya, lima perguruan ilmupedang.
Tokoh tinggi besar yang diagungkan sebagai pemimpin perguruan ilmupedang itu tak lain adalah Thian Go lojin, ketua dari partai Ceng-shia-pay.
Sudah tentu Nyo Hwat kesima. Masakan seorang tokoh besar seperti Thian Go lojin juga menerima undangan yang misterius itu.
Tidak demikian sambutan Pek Ing Ing. Wanita cantik itu diam2 terkejut setengah mati.
Thian Go lojin seorang tokoh yang paling membenci kejahatan. Dia berwatak berangasan dan keras. Thian Go lojin dengan Pek Ing Ing, iba-rat air dengan api. Yang satu membenci kejahatan, yang satu berlumuran kejahatan. Apalagi Pek Ing Ing dulu pernah melukai dua orang murid ang-katan ketiga dari partai Ceng-shia-pay.
Dalam menghadapi penstiwa itu, walaupun partai Ceng-shia-pay memberi keterangan kepada orang luar bahwa kedua mundnya itu yang salah karena mudah terpikat oleh paras cantik dan Ceng-shia-paypun tak mau mencari Pek Ing Ing untuk membuat perhitungan, tetapi sejak itu Ceng-shia-pay tak mau berhubungan lagi dengan Pek Ing Ing. Dengan begitu jelas kedua belah fihak masih mendendam permusuhan.
Waktu datang memenuhi undangan, sebenarnya Pek Ing Ing sudah tahu juga kalau Thian Go lojin juga menerima undangan. Tetapi ia memperhitungkan, menilik kedudukan Thian Go lojin, sebagai tokoh yang termasyhur, tentulah tak mau datang.
Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Apa boleh buat, terpaksa Pek Ing Ing mengiakan tetapi tanpa disadari diapun menyurut.
Begitu Pek Ing Ing mundur selangkah, Thian Go lojin maju selangkah. Melihat itu Pek Ing Ing mundur lagi selangkah. Tetapi Thian Go lojin maju selangkah pula.
Begitulah berulang suatu adegan. Yang satu mundur selangkah, yang satu maju selangkah. Yang seorang mundur, yang seorang maju. Dalam beberapa kejab keduanya sudah mundur sampai tujuh delapan langkah.
Melihat Thian Go lojin tak mau melepaskannya, diam2 Pek Ing Ing terkejut dan gelisah. tetapi dia hanya main mundur saja dan tak sempat memperhatikan keadaan tanah yang diinjaknya. Pada saat dia mundur sampai langkah yang kedelapan, tiba2 tumitnya membentur sesosok benda yang lunak sehingga dia hampir terhuyung ja-tuh.
Untunglah kepandaian siluman cantik itu hebat. Cepat ia menggunakan ujung tumit untuk menyongsongkan tubuhnya melayang ke samping sampai tiga empat meter jauhuya. Dan waktu masih melayang, dia sempat mencuri kesempatan untuk melihat benda yang dibenturnya tadi. Ah, ternyata sesosok tubuh manusia yang menggeletak di lantai.
"Ah, tentulah mayat dari Kera-sakti Lo Pit Hi," pikirnya.
Tiba2 ia terkejut ketika mendengar orang yang disangka mati itu kedengaran merintih pelahan.
Pek Ing Ing memandang dengan seksama. Saat itu baru dia melihat jelas bahwa yang menggeletak di lantai bukan Kera-sakti Lo Pit Hi tetapi Im Som, ketua partai Thian-sim-kau dari gunung Bu-ih-san.
Jelas saat itu Im Som sedang menderita luka sehingga menggeletak tak dapat berkutik. Dan mayat Lo Pit Hi tadi, entah kemana perginya. Dan si setan pendek yang mukanya bertutup kain hi-tam itu juga tak tampak lagi.
Pek Ing Ing benar2 tak mengerti mengapa seorang tokoh sehebat Im Som, dalam waktu yang singkat saja, sudah mendenta luka berat. Tetapi dia tak sempat memikirkan hal itu lagi. Buru2 ia mengangkat kepala memandang ke arah Thjan Go lojin.
Tampak Thian Go lojin masih memandang-nya dengan berapi-api. Melihat itu siluman cantik yang ternasuk durjana perempuan nomor satu da-lam dunia persilatan, diam2 merasa ngeri juga.
Sambil berbatuk-batuk, dia berseru, "Apakah anda juga datang keman?"
Dengan nada dingin Thian Go lojin menja-wab, "Siapa yang menjadi tuan rumah" Apakah belum unjuk diri?"
"Kami semua telah dipermainkan orang," seru Nyo Hwat.
Thian Go lojin terus melangkah maju dan ayunkan tangan, banggg .... sebuah pintu kayu yang besar dan kokoh, sempal seketika dan papannya berhamburan jatuh. Thian Go lojin memungut sebilah papan lalu disulut dengan api. Seketika lorong serambipun terang.
Pertama-tama, ketua partai Ceng-shia-pay itu memandang ke arah Im Som. Saat itu Im Som sudah merangkak bangun dan berdiri. Wajahnya pucat seperti kertas. Tanpa berkata apa2 dia terus melangkah keluar.
Saat itu hujan sudah berkurang. Sejenak ber-henti di halaman, Im Som terus melanjutkan lang-kah menerobos hujan.
"Im kaucu, apakah engkau memerlukan ban-tuanku?" teriak Pek Ing Ing, sambil melesat keluar.
Memang cerdik sekali siluman cantik itu. Sebenarnya mana dia begitu baik hati menawarkan tenaganya" Adalah karena hendak menghindar te-kanan Thian Go lojin maka ia menggunakan kesempatan itu untuk ngacir.
Karena hujan masih mencurah, Pek Ing Ing menjadi basah kuyup. Tetapi dia merasa lega juga karena melihat Thian Go Iojin tak mengejarnya. Dia tak lari terus melainkan melesat ke samping dan bersembunyi di balik segunduk batu besar.
Dari tempat persembunyiannya itu Pek Ing Ing dapat melihat keadaan dalam istana itu. Sedangkan orang-orang yang masuk keluar Istana tidak dapat melihatnya.
Tetapi dia tak dapat terhindar dan curahan hujan sehingga dalam beberapa kejab saja pakaiannya basah kuyup. Terpaksa dia menyalurkan hawa cin-gi (murni) untuk menahan dingin.
Setelah Pek Ing Ing pergi, Thian Go lojin beralih pertanyaan kepada ketua Hoa-san-pay, "Saudara Nyo, sudah berapa lama engkau datang di tempat ini?"
Golok-emas-sakti Nyo Hwat menjawab, "Akulah yang pertama sendiri.
Thian Go lojin menengadah memandang ke atas. Istana itu mempunyai tangga-lingkar yang menghubungkan ke tingkat dua. Walaupun obor kayu itu masih menyala terang tetapi sinarnya tak dapat mencapai ke wuwungan yang begitu tinggi dan gelap.
Beberapa saat kemudian tampak ketua partai Ceng-shia-pay itu kerutkan kening.
"Apakah didalam istana ini terdapat peng-huninya?" tanyanya sesaat kemudian.
"Waktu aku datang, telah kuperiksa dengan teliti tetapi dimana-mana hanya kawanan kelelawar yang muncul. Tak ada seorang manusiapun juga. Thian Go lojin, menurut dugaanmu siapakah yang mengirim surat undangan kepada kita itu?"
Thian Go lojin gelengkan kepala.
"Kurasa," kata Nyo Hwat menjawab pertanyaannya sendiri. "tentu ada orang yang sengaja hendak mempermainkan kita ...'."
Tiba2 dia hentikan kata-katanya. Seketika dia teringat akan Lui Toa Gui yang sudah mati. Teringat akan Lo Pit Hi yang menderita luka dan teringat pula akan Pek Ing Ing yang ngacir pergi tanpa alasan. Terakhir ia teringat akan setan pendek yang mukanya ditutup kain hitam. Ah, teringat akan hal itu semua, ia malu sendiri mengucapkan kata2 tadi. Adakah kesemuanya itu hanya suatu olok-olok saja" Begitukah cara orang berolok-olok"
Jilid 2. Dara centil. Saat itu Wi Kun Hiap merasa tenaganya hilang. Dia memang ingin memenuhi perintah suara lembut tadi tetapi ia tak tahu bagaimana harus bergerak.
Tiba2 pinggangnya terasa kesemutan lagi, Eh, tahu2 darah didalam tubuhnya terasa melancar longgar. Ia menghembuskan napas untuk melonggarkan kesesakan dada lalu menggeliat bangun.
Serentak matanya terkesiap. Disebelah muka tampak seorang dara berpakaian merah. tengah melenggang-lenggok berjalan pergi. Tanpa banyak pikir lagi, Kun Hiappun segera mengikutinya.
Tak berapa lama mereka masuk kedalam sebuah hutan yang lebat.
Setiba ditengah hutan, dara itu tertawa mengikik dan tiba2 berhenti lalu berputar tubuh. Kun Hiap terpaksa juga hentikan langkah.
Saat itu barulah dia dapat memandang wajah dara itu, Dia terlongong-longoug seketika. Yang dihadapannya itu ternyata seorang dara remaja. Dara itu tengah memandangnya lekat2.
"Kalau yang lain aku memang tak kenal, te-tapi masakan paman Lo aku tak kenal " Bagaimana engkau sampai menyalahinya " Dia paling benci pada manusia yang jahat. Engkau tentu bukan orang baik, bukan ?" serunya.
Mendengar dara itu mengoceh tak karuan jun terungannya, Kun Hiap geram tetapi geli juga.
Kun Hiap tersipu- sipu. Mukanya terasa pa-nas, "Engkau . . . . engkau siapa ?" tegurnya.
Dara itu cebirkan bibir, balas bertanya. "Dan engkau siapa?"
"Namaku Wi Kun Hiap."
Dara itu menegadahkan kepala, memandang cakrawala dan berkata, "Karena tak dapat mene-mukan engkau, Thian-san-sin-kau tentu akan muring-muring."
Kun Hiap terkesiap. . "Thian-san-sin-kau ?" ulangnya.
"Ya" sahut dara itu, "kalau aku terlambat sedikit saja untuk menarik engkau, engkau tentu sudah terjirat tali dari Thian-san-sin-kau."
"Aku memang bukan orang baik." katanya, "tetapi mengapa engkau tak membiarkan aku ditangkap Thian-san-sin-kau ," tiba2 Kun Hiap tak melanjutkan kata-katanya. Ia teringat kalau dara itu telah salah faham. Dia mengira orang berkerudung kain hitam itu adalah Thian- san-sin-kau. Padahal bukan. Sekarang mengapa dia sendiri juga menganggap bahwa orang berkerudung kain hitam itu Thian-san-sin-kau " Ah, dia juga limbung namanya.
Dara itu tertawa lagi, serunya. "Engkau berdiri terlongong-longong, rasanya koq seperti itik tolol. Itulah sebabnya aku lalu ingin berolok-olok dengan engkau. Hm, tetapi kalau engkau memang seorang manusia jahat, tentu takkan kulepaskan !"
"Nona," buru2 Kun Hiap berkata, "engkau salah faham. Orang yang mukanya berselubung kain hitam itu bukan Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi."
Dara itu tertawa melengking.
Kun Hiap goyang2 tangannya, "Sudahlah, jangan berolok-olok saja. Kuberitahu, orang yang mukanya berkerudung kain hitam itu bukan Lo Pit Hi. Lo tayhiap sudah meninggal dunia."
"Fui," dengus dara itu, "waktu engkau mati, dia masih hidup segar bugar lho!"
Melihat dara itu tak mau menerima keterangannya. Kun Hiap juga pasrah2 penasaran. "Kalau tak percaya, terserah saja. Tetapi dia jelas meninggal disampingku ..."
Tiba2 Kun Hiap teringat bahwa semua peristiwa aneh yang dialaminya beberapa hari ini, boleh dibilang karena gara2 Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi.
Waktu mau meninggal dunia, dia tak tahu apa yang hendak diucapkan Lo Pit Hi saat itu. Hanya ada sebuah pesan yang masih diingatnya yalah supaya dia mencari seseorang.. Tetapi apa orang itu, lelaki atau perempuan, Lo Pit Hi tak sempat mengatakan.
Semasa hidupnya, Lo Pit Hi tinggal seorang diri di gunung Thian-san. Tiada sanak, tiada sahabat. Tetapi tadi dara itu menyebutnya dengan kata 'paman Lo'. Ah, kemungkinan dara itu tahu tentang keadaan mendiang Lo Pit Hi.
Sejenak teringat akan hal itu, Kun Hiap buru2 bertanya, "Nona, tahukah engkau siapa yang hendak dicari Thian-san-sin-kau Lo tayhiap itu?"
Dara itu deliki mata, balas bertanya, "Cari siapa ?"
"Begini," Kun Hiap menerangkan, "bersama dengan susiok-ku aku ikut dalam rombongan pengantar barang ke Yang-ciu . . . ."
"Hi, hi, hi," tiba2 dara itu tertawa mengikik. "Orang semacam engkau, juga menjadi pengantar Po-piau (barang berharga)" Bisa mati tertawa lho aku ?"
Sudah tentu KunHiap marah diejek begitu rupa.
"Siapa bilang aku tak dapat menjadi pengantar poh-piau "'' serunya.
Tiba2 dara itu mengisar langkah dan seperti air mengalir, dia berputar mengelilingi Kun Hiap. Seperti orangyang meneliti barang, dia mengamat-amati tubuh anakmuda itu dari kaki sampai keatas kepala.
Sudah tentu Kun Hiap risih. Masa seorang. cewek berani meneliti cowok " Apa-apaan nih. aku kan bukan patung antik, pikirnya.
"Uh, apa yang engkau, lihatin ?" tegurnya geram.
Dara itu berhenti. "Mau melihat apakah dirimu itu mempunyai wibawa sebagai seorang poh-piau. Sayang aku tak mendapatkan, walaupun hanya setitik saja," kata si dara.
Kun Hiap seorang anakmuda yang berdarah panas juga. Sebenarnya ia mempunyai kesan baik terhadap dara itu. Tetapi karena dia diolok-olok begitu rupa, mau tak mau naiklah darahnya.
"Mengapa aku tak dapat menjadi seorang poh-piau ( pengantar barang) " Coba katakan apa kekuranganku ?"
"Eh, engkau masih tak malu menanyakan hal itu ?" seru si dara. ''Seperti tadi, sekali tersebat kakimu, engkau terus rubuh dan diseret kedalam semak. Kalau engkau sendiri begitu, apakah barang2 yang engkau antar itu takkan terbang melayang-layang ?"
Merah padam muka Kun Hiap ditelanjangi boroknya. Dia menggeram keras, ?"'Huh, menyerang orang dengan cara menggelap, macam apa itu !"
Dara itu bercekak pinggang dan melantang, "O, kalau begitu, jika secara terang-terangan aku mau merebut barang2 antaranmu itu, engkau mampu menjaganya ?"
"Tentu !" seru Kun Hiap dengan Lantang.
Dara itu tertawa, "Bagus, sekarang aku hendak menerjangmu, apakah engkau mampu menahan"
Kun Hiap merabah tangkai pedangnya lalu menyahut, "Silakan turun tangan lebih dulu."
"Perlu apa aku harus pakai turun tangan lebih dulu," seru si dara. "aku hanya membentakmu suruh engkau enyah, engkau mau menyerahkan barang2mu atau tidak ?"
Perut Kun Hiap seperti kaku karena digelitik dengan kata2 dara itu. Omongan dara itu sukar dirabah. Setengahnya seperti serius, tetapi setengah nya seperti orang guyon.
Nada kata2 dara itu seperti kanak2 yang merebut barang antaran.-Namun karena dirinya dipandang rendah begitu rupa, ingin dia hendak unjuk gigi.
"Tidak, aku tak mau pergi!" serunya diluar kemengkalan, Tetapi pada lain kilas, diam2 dia merasa gelo. "Ah, mengapa aku harus melayani seorang dara yang ceriwis ?" pikirnya.
Dara itu masih bercekak pingang, tegak menantang dihadapannya.
"Kalau engkau tak mau enyah, terpaksa harus kugebah?" serunya.
Tring, Kun Hiap cepat mencabut pedang. Ayahnya, Wi Ki Thian. adalah seorang jago pedang yang ternama. Kaum persilatan menyanjung-nya dengan gelar Kim-liong-kiam-khek atau pendekar pedang si Naga-emas.
Kun Hiap telah mewarisi ilmupedang ayahnya. Sudah tentu ilmu pedangnya lihay sekali. Waktu pedang ditarik keluar, pedang itu memancarkan sinar hitam kemilau. Sayap2 seperti merupakan seekor naga yang mempunyai lima buah cakar, sedang siap hendak melambung ke angkasa.
Setelah tangan Kun Hiap berhenti, barulah tampak jelas kalau batang pedangnya itu berwarna hitam mulus, lebih lebar sedikit dari ukuran pedang biasa. Gigirnya berbentuk seperti seekor naga yang mencengkeram.
JelaS pedang itu bukan pedang sembarangan.
Sejenak memandang pedang itu, melengkinglah mulut si dara, "Idih. pedang sih bagus, boleh dibuat tumbal penolak setan . . . ."
Dara itu tertawa mengikik, serunya pula, "Lebih baik engkau ganti pekerjaan saja. Jangan jadi pengawal antaran barang tetapi jadilah imam hidung kerbau tukang mengusir setan!"
Dada Kun Hiap benar2 hampir meledak, "Nona, hati-hatilah, pedang itu tak bermata!"
Kata2 itu merupakan istilah dalam persilatan yang memperingatkan lawan, bahwa dalam pertempuran pedang, sering terjadi hal2 yang diluar kehendak orang. Orang tak mau melukai tetapi kadang2 karena cepatnya gerakan pedang, dapat juga kecelakaan itu terjadi. Jelasnya, lawan supaya ber-hati-hati menjaga diri.
Tetapi begitu mendengar kata2 Kun Hiap, dara itu malah melengking lagi, "Ih, apakah di dunia terdapat pedang yang mempunyai mata" Coba katakan, senjata apa saja yang bermata itu ?"
Saking marahnya, Kun Hiap sampai terhentak tak dapat berkata apa2. Pedang dijulurkan lurus ke muka. Gerakannya pelahan sekali dengan gerak itu, dia tak mau bertindak secara ganas.
Tetapi diluar dugaan, dara itu malah makin tertawa terkial-kial.
"Ayo, menilik caramu menggerakkan pedang, jadi tukang usir setan, pun tak lulus. Paling cocok jadi tukang sulam saja. . ."
Mendengar ejekan dirinya dianggap lebih sesuai menjadi seorang anak perempuan yang pandai menyulam, Kun Hian tak dapat menahan kesaba-rannya lagi.
Setelah menghimpun tenaga, ia ajukan sebelah kaki ke depan sembari mengendapkan tubuh dan cret... dengan gerak yang teramat cepat sekali, dia terus menusuk pinggang dara centil itu.
Jurus itu disebut Liong-tin-hun-sik atau Naga-menerobos-kedalam-awan. Merupakan jurus pembukaan dari ilmupedang keluarga Wi. Jurus itu mengandung banyak sekali gerak2 perobahan yang sukar diduga. Melihat bagaimana reaksi lawan, barulah akan menyusuli dengan serangan lebih lanjut. Benar2 sebuah jurus yang indah bukan buatan.
Tetapi dara itu tetap santai2 saja menghada-pi serangan pedang. Sedikitpun ia tak membuat gerakan. Celaka! Saat itu ujang pedang sudah menyentuh pakaian si dara yang berwarna merah. Dan dara itu tetap tegak seperti patung saja.
Uh . . . . dengus Kun Hiap tersentak rasa kejut dan cepat menghentikan pedangnya. Ia tahu bahwa jurus ilmupedang yang dimainkan itu, hebat sekali. Tak peduli lawan hendak menghindar kemana saja, ke kanan, ke kiri, ke bawah bahkan loncat ke atas, tetap akan dibayangi pe-dangnya.
Tetapi karena si dara diam saja, Kun Hiap pun kehilangan faham, hendak dikemanakan pedangnya itu. Sebenarnya dia memang tak sampai hati untuk melanjutkan tusukannya kepada tubuh si dara.
Sesaat Kun Hiap terlongong, dara itupun tertawa mengikik, "Ih, katanya mau menyerang, me-ngapa engkau menjublek seperti patung ?"
"Mengapa engkau tak menghindar?" tegur Kun Hiap.
'"Lucu," teriak si dara, "kalau orang bertempur, lawan mau bertindak bagaimana, itu kan bebas. mengapa harus diperintahkan untuk menghindar " Apakah aku harus menurut perintahmu ?"
Kun Hiap benar2 tak dapat menjawab. Ucap-an dara itu memang liar sekali tetapi kalau ditimbang-timbang, memang benar juga.
Kun Hiap mendengus, serunya, "Hm, kalau tak mau menghindar, sekali kutusuk, engkau tentu mati!"
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Tusuk saja," seru sidara, '"kalau engkau mampu menusuk aku sampai mati, barulah kukatakan engkau memang cakap menjadi seorang pe-ngantar barang!"
Sebenarnya Kun Hiap tak tega untuk melukai dara itu. tetapi karena dia dipojokkan begitu rupa oleh ucapan sidara, diapun mengertak geraham. Sejenak menimang, ia memutuskan untuk melukai saja tetapi jangan sampai membahayakan jiwanya.
Setelah mengambil keputnsan, segera dia ajukan lagi pedangnya yang berhenti setengah jalan tadi.
Baru dia bergerak tiba2 dara itu melengking, "Ayo, apa engkau sungguh2 mau menusuk aku ?"
Tubuh dara itu gemetar dan wajahnya pucat.
Kun Hiap terkejut. Cepat ia menarik tangannya, "Engkau . . . engkau bagaimana ?"
Sambil mendekap pinggang kanannya, dara itu terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah. Bluk . . . . ia jatuh terduduk di tanah.
Saat itu wajahnya pucat seperti kertas dan sepasang matanyapun meram2 melek. Dengan napas terengah-engah ia berkata, "Aku tak mempunyai dendam permusuhan dengan engkau . . . mengapa .... engkau menusuk aku sungguh-sungguh .. . . ."
Kun Hiap bergegas lari menghampiri, terus berjongkok disampingnya.
"Nona,"' katanya terbata-bata penuh sesal, "sebenarnya aku tak bermaksud melukaimu, teta-pi engkau memojokkan aku begitu rupa. Terpaksa . . . aku . . . hendak melukaimu sedikit .... lalu bagaimana keadaanmu sekarang?"
Tampak napas dara itu makin lama makin memburu keras dan akhimya berseru, "'Aya . . . aku .... aku tak kuat lagi . . . aku mati ditanganmu. Siapakah namamu " Jangan sampai mati, aku tak tahu nama orang yang membunuhku ...."
"Aku bernama Wi Kun Hiap," cepat Kun Hiap berkata, "sudah kukatakan kepadamu .... ah, nona, rasanya tak mungkin engkau meninggal. Tusukan pedangku tadi tak berapa keras, jangan takut, aku akan berusaha ...."
Belum selesai dia bicara, tiba2 tubuh dara itu menggigil keras sehingga kerongkongannya sampai bergemerutuk. Ia meregang, kedua matanya membalik dan pada lain saat terus tak berkutik.
Bukan kepalang sedih Kun Hiap. Dia benar2 tak menyangka bahwa tindakannya yang tak disengaja untuk membunuh dara itu ternyata benar2 telah meminta korban jiwa dari seorang dara yang tak dikenal dan tak mempunyai dendam permusuhan kepadanya.
Ah, benar2 dia merasa berdosa. Bahkan siapakah nama dara cantik yang menjadi korban pedangnya itu, ia belum sempat tahu sama sekali.
Keringat dingin sebesar kedele berketes-ketes' mencucur dari dahi Kun Hiap yang saat itu masih berjongkok disisi si dara.
Entah berapa lama dia berada disamping si dara, atau saat itu dia ingin berbangkit berdiri.
Empat penjuru keliling, sunyi senyap. Tiba2 timbul pikirannya untuk melarikan diri saja. Bukankah tak ada orang yang melihat peristiwa itu" Apabila dia sudah pergi, walaupun nanti ada orang yang menemukan jenasah dara itu, juga tak tahu siapa yang telah membunuhnya.
Tetapi pada lain kilas, tersentuhlah pikiran Kun Hiap. Dia memang dapat melarikan diri dan lepas dari dugaan orang. Tetapi orang persilatan itu lihay. Siapa tahu kalau orangtua, saudara entah keluarga dara itu akan menyelidiki peristiwa kematian itu dan akhirnya kelak akan mencarinya untuk menuntut balas.
Dan lepas dari persoalan melarikan diri atau takut akan dicari keluarga si dara, ada pula lain perasaan yang mencengkam hati Kun Hiap. Dia memang bersedih sekali. Ingin menangis rasanya saat itu untuk menebus dosanya.
Pelahan lahan dia mulai bangkit. Karena sudah lama berjongkok, kedua kakinya seperti kesemutan. Dengan bantuan ujung pedang ditekan-kan ke tanah, barulah dia dapat mengangkat tubuhnya berdiri.
Tepat pada saat itu matanya terbentur pada sebuah pemandangan. Ujung pedangnya masih hitam berkilau-kilauan. Tak ada noda darah sama sekali.
Kun Hiap tercengang seketika. Buru2 dia memandang kearah sidara yang masih rebah di tanah lagi. Dan astaga, ternyata saat itu si dara sedang membuka sepasang matanya lebar2. Begitu melihat Kun Hiap memandangnya, cepat2 dara itu pejamkan mata lagi.
Lagi2 Kun Hiap harus terkesiap, Tetapi pada lain kilas, dia segera tahu apa yang terjadi se-benarnya. Dia sekarang tahu bahwa tusukan pedangnya tadi sama sekali tidak menembus kulit dara itu. Tak tahu dia dengan cara apa dara itu dapat menghindari tusukan pedangnya tadi.
Jelas, ya, sudah jelas sekarang. Dara itu tidak-kena tusukan pedang dan tidak menderita luka apa2. Tetapi mengapa dara itu sengaja pura2 mati.
Dara itu memang pintar sekali. Caranya dia pura2 mati begitu rupa sehingga seperti orang ma-ti sesungguhnya. Dan karena dikelabuhi, Kun Hiap sampai seperti mewek-mewek karena merasa menyesal dan sedih.
Sesaat merenungkan hal itu, seketika meluaplah kemarahan Kun Hiap. Dia merasa dipermain-kan dara itu.
"Apa-apaan engkau masih pura2 mati!" bentaknya dengan keras.
Ha, ha, hi, hi, hi...," dara itu tertawa mengikik dan terus melenting berdiri lalu bertepuk tangan.
"Bagus, menggembirakan sekali," serunya, , "engkau menganggap engkau seharusnya menusuk aku sungguh2, bukan ?"
Kun Hiap tahu, kalau dia meladeni bicara, tentu akan menderita olok2 yang menyakitkan ha-ti, Tiba2 dia ayunkan pedang, menabas dari samping. Jurus itu amat bengis, tak kenal ampun.
"Aduh ....." mulut melengking, tubuh da-ra itupun melangkah ke belakang. Melihat gerakannya melayang, benar2 selembut seperti daun gugur dari dahan.
Tadi jelas dara itu hanya berpura-pura mati. Dia dapat berpura-pura begitu rupa sehingga benar2 tak ubah seperti orang mati. Sekarang ia melihat gerakan tubuh dara itu sedemikian indah dan lihay.
Mau tak mau Kun Hiap harus mengakui bahwa kepandaiau dara itu memang lebih tinggi dari dirinya. Apabila dia tetap terlibat, tentulah dia nanti akan menderita lebih hebat karena di permainkan dara itu.
Selekas dara itu melayang ke belakang, Kun Hiappun segera loncat ke belakang dan terus lari.
"Hai, mengapa engkau lari ?" teriak si dara, "kalau engkau lari, tentu engkau tak layak menjadi seorang poh-piau !"
Mendengar itu hati Kun Hiap seperti digelitik. Dia hentikan langkah.
"Apa kehendakmu ?" bentaknya dengan marah.
Kembali wajah dara itu menampilkan rasa sedih dan rawan, katanya, "Engkau telah bertindak bengis, mencabut pedang lalu menusuk dan menabas. Sekarang malah bertanya, apa kemauanku. Engkau ini benar2 limbung sekali!"
Kun Hiap kehilangan faham. Apa boleh buat, terpaksa dia menyimpan pedangnya dan memberi hormat. "Nona memiliki ilmusilat tinggi dan mulut lincah. Aku mengaku kalah."
Dalam berkata itu dalam hati diam2 Kun Hiap mengeluh. Dia lebih suka bertemu dengan lawan lelaki yang ganas dan kejam daripada se-orang dara cantik yang begitu centil.
Si dara kembali tertawa. "Engkau mau mengaku kalah?" serunya.
"Ya, soal itu tak jadi apalah," sahut Kun Hiap, sejenak si dara kerutkan dahi lalu berseru.
"Belum selesai."
Hampir saja Kun Hiap melonjak kaget men-dengar kata2 si dara.
"Belum selesai" Lalu engkau mau apa?" serunya.
"Ih, apa engkau lupa ?" seru si dara, "bukankah tadi engkau mengatakan tentang perkenalanmu dengan paman Lo. Ceritamu tadi baru sampai pada keterangan bahwa engkau menjadi seorang pengawal barang antaran, lalu putus dan belum selesai."
"Ya, benar," sahut Kun Hiap dengan enggan. Memang tadi sebenarnya dia hendak menuturkan dengan jelas tentang perkenalannya dengan Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi. Maksudnya, apabila dara itu memang kenal dengan Lo Pit Hi, mungkin dia akan mendapat keterangan yang lebih lengkap tentang tokoh Lo Pit Hi itu.
Tetapi setelah dipermainkan begitu rupa oleh sidara, lenyaplah keinginan Kun Hiap untuk bicara lebih lama dengan dara itu. Makin lekas dia menghindari dara itu, makin baik.
Pengalaman beberapa saat yang lalu mengatakan kepadanya, Bahwa kalau berada dengan dara itu, lama-lama tentu akan digojlok dengan olok-olok yang memerahkan telinga. Bahkan bukan mustahil, dara itu akan mempermainkan sehingga dia akan mengeluarkan keringat dingin.
Setelah menimang-nimang. akhirnya Kun Hiap memutuskan untuk menceritakan hal itu secara ringkas saja.
"Dalam mengikuti rombongan susiokku, tak berapa lama setelah tiba di daerah ini, aku lalu bertemu dengan Lo tayhiap. Dia menatap aku dan tak henti-hentinya berkata 'aneh, aneh . . . .'"
"Apanya yang aneh itu ?" tukas si dara. Kun Hiap deliki mata, "Bagaimana aku tahu" Itu dia yang berkata..."
'"Ih, siapa yang hendak mengajak engkau bertengkar " Mengapa kasar sekali nada bicaramu?" tegur si dara.
Dengan menahan dada yang sesak, Kun Hiap terpaksa melanjutkan. "Setelah berkata begitu, dia lantas suruh aku ikut. Dia mengatakan kalau dia mempunyai suatu urusan penting yang akan dirundingkan dengan aku . . ."
"Dia mempunyai urusan penting yang akan dirundingkan dengan engkau tetapi mengapa tak mau berkata terus saja kepadamu dan hanya suruh engkau mengikutinya ?" kembali dara itu menukas.
"Aku ......" Kun Hiap memekik sekeras-kerasnya tetapi pada lain saat ia menghela napas dan beralih kata dalam suara yang pelahan, "aku tak tahu."
"Apakah engkau mengikutinya?" tanya si dara.
"Ya, aku mengikutinya," jawab Kun Hiap,"Waktu tiba di dekat sebuah istana kuno, dia suruh aku supaya menunggu dalam sebuah hutan kecil. Lalu dia pergi. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sudah kembali. Tetapi dengan membawa luka parah. Waktu itu malam hari dan hujan deras. Tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk bi'cara, dia terus suruh aku membawanya kedalam istana kuno itu. Tiba di pintu istana, dia sendiri terus masuk tetapi baru beberapa langkah ketika sampai disebuah lorong, dia roboh dan meninggal..."
Aneh, dara itu setitikpun tidak terkejut mendengar cerita Kun Hiap.
"Eh, tak mungkin dia bisa mati," katanya.
"Benar," sahut Kun Hiap, "dia memang tidak mati melainkan pura2 mati."
Dara itu tertawa mengikik. Dia teringat akan sandiwara yang diperankannya sebagai orang mati tadi.
Kun Hiap deliki mata," Didalam istana kuno itu terdapat beberapa orang lain. Mereka bertempur dalam kegelapan. Mungkin karena takut terlibat dalam pertempuran maka Lo tay-hiap lalu pura-pura mati."
"Bagaimana engkau tahu ?" tiba2 dara itu bertanya.
Kun Hiap menghela napas, katanya, "Nona, janganlah setiap kali engkau selalu hendak menentang aku saja, maukah?"
"Fui!" desis si dara. "engkau melihat setan ditengah hari barangkali. Siapa yang menentang engkau. Apakah engkau menghendaki supaya eng-kau boleh mengoceh sesukamu sendiri, lain orang tak berhak bertanya ?"'
Kembali Kun Hiap mati kutu tak dapat b"rkutik. Setelah tertegun beberapa jenak, dia berkata lagi, "Dia suruh aku membawanya ke sebuah kamar di loteng atas. Setelah itu baru dia menceritakan apa sebab dia suruh aku mengikutinya. Tak lain dia minta kepadaku supaya mencari seseorang."
Sekonyong-konyong dara itu membungkukkan tubuh memberi hormat kepada Kun Hiap se-hingga pemuda itu terbeliak keheran-heranan.
"Apa-apaan ini?" serunya.
Si dara tertawa, "Hamba akan mohon bertanya, apakah Wi siauhiap sudi menjawab ?"
Diolok-olok dengan cara begitu, kembali Kun Hiap tak dapat omong apa2 lagi.
'"Paman Lo suruh engkau mencari siapa ?" tanya dara itu.
Setelah menghembus napas sejenak, baru Kun Hiap berkata, "Dia belum sempat mengatakan kepadaku, Kali ini dia benar2 mati."
"Tak mungkin dia mati!" seru si dara.
"Dia sudah mati !"
"Dia tak mungkin mati !" bentak si dara.
"Dia matiiiii!" karena tak tahan lagi. Kun Hiap berteriak sekeras-kerasnya," sekali lagi kukatakan, dia sudah mati!"
"Hm," dengus si dara, "sekalipun engkau menjerit lebih keras lagi tetapi percuma saja. Aku akan tetap mengatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati."
Kun Hiap marah benar2, serunya, "Mayatnya masih berada dalam istana kuno itu. Kalau mau lihat mari kuantarkan kesana."
"Baik," jawab si dara, tetapi bagaimana ka-lau keteranganmu itu hanya ocehan kosong ?"
"Ini urusan yang penting sekali, bagaimana aku masih dapat berbohong ?" kata Kun Hiap.
"Baik, mari kita kesana."
Selekas mendengar kata2 si dara, sesaat Kun Hiap menyesal. Ah, mengapa dia harus ngotot de-ngan dara itu " Bukankah lebih baik kalau ia mengiakan saja bahwa Lo Pit Hi tidak mati " Dengan begitu bukankah dia terus dapat menghindari dara itu.
"Celaka," pikirinya, "karena sekarang sudah mengikat janji, berarti aku tak dapat pergi dari sini."
Dalam menimang itu, diam2 Kun Hiap sempat melirik si dara. Wajahnya putih semu jambon, sepasang bola matanya berkilau-kilauan laksana air telaga. Memang seorang dara yang cantik sekali.
Tiba2 timbul suatu pikiran dalam hatinya. Kalau dara itu bermulut lemah lembut, tentulah ia senang mempunyai kawan hidup seperti dia.
Dara itu juga memandang Kun Hiap dan tersenyum simpul.
"Hayo, sekarang kita ke sana," kata Kun Hiap.
"Baik, sahut si dara," jalanlah dulu aku mengikutimu."
Sekali mengempos semangat, Kun Hiap terus ayunkan tubuh dan melayang sampai dua tiga tombak. Begitu tiba di tanah dia terus melayang lagi ke muka. Dengan cara begitu, ia memang sengaja hendak mengunjuk kepandaian kepada dara itu.
Ilmusilat dari keluarganya memang hebat dan Kun Hiap memang mempunyai dasar2 latihan yang kuat. Dia mau unjuk gigi, memamerkan ilmu gin-kangnya kepada dara itu.
Beberapa saat kemudian ia hentikan gerakannya dan berpaling. Ternyata dara tadi tak kelihatan dibelakangnya. Diam2 dia gembira. "Hm, kali ini tahu rasa kalau ketinggalan jauh dibelakang," pikirnya.
Dia sengaja hendak mengusap k"ringat pada dahinya tetapi tiba2 serangkum hawa wangi menghembus diri belakang dan sebuah tangan yang putih mulus menjulurkan sehelai saputangan wangi kepadanya, "Untuk penghapus keringatmu , . . ."
Bukan kepalang kejut Kun Hiap sehingga dia terlongong-longong kehilangan faham.
Buru2 dia berputar tubuh dan terus lari lagi. Tetapi suara dara itu masih tetap berkumandang dibelakangnya, "Kalau cape lari, lebih baik beristirahat dulu."
Kun Hiap hendak mendengus tetapi tak keluar suaranya karena kerongkongannya seperti tersumbat kemarahan. Dia lanjutkan lari dan tak berapa lama dia sudah melihat bayang-bayang istana kuno dibawah kaki gunung itu.
Selekas tiba di muka istana, dia terus menuding, "Disinilah t"mpatnya !"
Ternyata dara itupun sudah berada dibelakangnya. Kalau Kun Hiap terengah-engah napasnya, dara itu tetap biasa saja, seperti orang yang berjalan dua tiga langkah belaka.
Si dara menyelinap maju dan leletkan lidah, "Ih, istana tua itu seram sekali, mungkin ada setannya !"
"O, engkau takut setan" Ah, seharusnya setan yang takut kepadamu," seru Kun Hiap.
Si dara tidak marah tetapi malah mengikik. "Tepat sekali kata-katamu itu. Misalnya seperti saat ini, ada seorang setan kecil yang ketakutan setengah mati kepadaku."
Ka.rena sejak tadi selalu diguling-gulingkan oleh mulut si dara yang tajam, sebenarnya kali ini Kun Hiap hendak balas mengoloknya; Tetapi siapa tahu, dengan cepat dan tangkas sekali si dara sudah dapat mengembalikan 'serangan' mulut Kun Hiap. Saking marahnya, mata Kun Hiap sampai melotot keluar.
"Cepat masuk !" teriaknya. Si dara m"ndorong pintu. Terdengar bunyi berderak-derak ketika pintu besi itu merentang.
Si dara dan Kun Hiap terus melangkah masuk. Baru berapa langkah, krak, krak . . pintu itu sudah menutup sendiri lagi.
Kun Hiap dan si dara cepat berbalik diri. Ternyata pada pintu besi itu telah muncul seorang wanita baju putih yang rambutnya terurai lepas.
Di tempat yang begitu gelap dan tahu2 muncul seorang wanita yang menyerupai hantu. mau tak mau Kun Hiap berdebar keras. Untung saat itu segera ia mengenali siapa wanita itu, yalah Siluman-cantik dari Thaysan, Pek Ing Ing.
Tetapi Kun Hiap tak mau lekas2 menyapa. Dia hendak membalas si dara itu agar kali ini si dara menjadi ketakutan.
Ketika ia berpaling, diluar dugaan didapatinya wajah dara itu tenang sekali, tidak kaget melainkan mengunjuk keheranan.
"Ih. bibi Pek. mengapa engkau berada disini ?" seru dara itu.
Pek Ing Ing yang bersembunyi dalam istana tua itu, waktu tahu ada orang masuk, dia terus hendak melakukan siasatnya untuk meruntuhkan nyali orang.
Dia merentang kedua tangan hendak menebarkan pakaiannya dan terus menerjang. Tetapi baru ia hendak bergerak tiba2 si dara sudah menyapanya.
Pek Ing Ing terus melesat selangkah ke muka. Sejenak menatap dengan tajam, ia kembali menyurut mundur lagi. Wajahnya tampak berobah.
Hampir Kun Hiap tak dapat mempercayai matanya. Siluman-cantik dari Thay-san, Pek Ing Ing, yang begitu sakti kepandaiannya. salah seorang tokoh hitam yang terkemuka, selama beberapa puluh tahun telah malang melintang seorang diri di dunia persilatan. Selama itu tak ada seorangpun yang berani menentangnya. Tetapi mengapa seka-rang, dia takut terhadap seorang dara saja " Apa-kah pek Ing Ing juga takut akan mulut sidara yang tajam itu "
Terdengar Pek Ing Ing tertawa hambar.
'"Sam-kouu-nio, sudah lama kita tak berjumpa. Ah, engkau sudah begini besar. Hampir saja aku tak mengenalimu . . . ."
"Bibi Pek," seru si dara tertawa, "kalau engkau benar2 tak mengenali aku, lalu apa saja yang akan engkau lakukan kepadaku ?"
Pertanyaan si dara itu membuat Pek Ing Ing tertawa meringis.
"Ah, harap sam kouniojangan menertawakan aku. Aku . . . aku . . . hendak pamit pergi."
"Maaf, tak dapat mengantarkan, bibi Pek," sahut si dara.
Baru mundur selangkah, Pek Ing Ing hentikan langkah dan mengerut dahi lalu berseru, "Sam-kounio, apakah engkau yang berolok-olok kepada kami itu ?"
<< halaman terobek separuh >>
"Berolok-olok apa?" tanya si dara dengan heran
"Mengundang kami ke gedung istana ini."
Sidara gelengkan kepala, "Darimanakan datangnya persoalan ini?"
"Ah, ya kalau begitu ya biar ku pergi saja," Pek Ing Ing terus berjalan keluar.
"Bibi Pek Ing Ing...." si dara berseru
Anehnya... orang sebagai... segan dan ... itu masuk ... surat dari dalam...
"Sam-kounio ... ini engkau ...," katanya.
Rupanya ... dekati si dara ... undangan itu .... menyambuti, ... membacanya. Tiba2 ...
"Wah, ..." "Ah, ... Sam-kounio," sahut Pek Ing Ing ... menderita luka berat .... semua."
"Sekonyong-konyong... hai, apa ..." serunya, seraya ...
... dar melesat ke-... terus ditutup ...
... ang-pau (long ...) ... pintu. Dia ... menariknya separoh dari pada .... jendela pintu. ... diri.
... maaf, tak dapat ... ... saat itu be... ...serunya se... apan dalam ... Pek Ing Ing .. tangan si dara.
... coba engkau ... ... Kun Hiap tertawa ... .. menghampiri. Wajah... "Coba engkau bilang aku ini mirip siapa ?" seru dara itu.
Kun Hiap melongo tak dapat berkata apa2. Baru setengah hari yang lalu dia berkenalan dengan dara itu namun dia sudah berulang kali tertegun dan tak dapat bicara. Siapakah sesungguhnya dara itu " Sudah berulang kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tetap tak dapat memberi jawaban.
Satu-satunya jejak si dara yang diketahuinya yalah dara itu menempati urutan yang ketiga. Hal itu terbukti ketika Pek Ing Ing memanggilnya dengan sebutan 'sam-kounio' atau nona yang ketiga. Selain itu, dia tak menemukan lain2 ciri dari gadis itu.
Melihat Kun Hiap seperti patung, si dara tertawa mengikik, "Itik lonjong, dimana mayat paman Lo ?"
"Diatas loteng," sahut Kun Hiap.
"Bawa aku kesana lekas, mengapa berhenti, memangnya disini !"
Tanpa menjawab, Kun Hiap terus menuju ke loteng. Dia merasa, berada bersama dara itu, dia benar2 kalah suara.
Dengan berjalan beriring. keduanya tiba di muka ruang dimana Lo Pit Hi memberi pesan kepada Kun Hiap.. Pemuda itu mendorong pintu.
Diam2 dia kuatir kalau mayat Lo Pit Hi lenyap benar2. Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana nanti ia menghadapi ejekan dara itu "
Karena selama beberapa hari ini dia mengalami banyak sekali peristiwa2 yang ganjil maka ia telah membekali hatinya dengan suatu pegangan. Apabila nanti mayat Lo Pit Hi tak ada dalam ruang itu, dia harus tak boleh terkejut.
Untunglah, ternyata, mayat Lo Pit Hi masih didalam ruangan itu. Kun Hiap dengan lantang terus berseru, "Lihatlah, apakah itu bukan mayat Lo tayhiap" Apa engkau masih mau membantah lagi ?"
Setelah melangkah masuk dan memandang kearah yang ditunjuk Kun Hiap, tampaknya dara itu juga terlongong. Karena apa yang dilibatnya, mayat yang menggeletak di ruang itu memang be-nar Lo Pit Hi.
Letak mayat Lo Pit Hi itu masih dalam posisi seperti ketika Kun Hiap meninggalkan ruang itu. Lo Pit Hi menjulurkan jari telunjuk menuding pada sebuah sudut ruang.
"Hm." tiba2 dara itu kedengaran mendesuh, "wajah orang bisa saja mirip, begitu juga benda banyak yang sama satu dengan lain. Setan yang mati itu sepintas memang menyerupai paman Lo tetapi siapa yang dapat memastikan kalau benar2 dia "
Mendengar dara itu masih berkeras kepala menyangkal kenyataan itu, Kun Hiap kheki sekali. Dia tertawa dingin, geli juga.
"Kalau bukan Lo Pit Hi, lalu siapa?"' serunya.
Dengan sikap acuh tak acuh dara itu menyekapkan kedua tangannya ke dada dan sambil bergoyang tubuh, berseru, "Siapa yang tahu . . . ."
Baru dia berkata begitu tiba2 matanya terbentur pada lukisan yang tertempel pada tembok.
"Ih, apa itu?" serunya.
Sudah beberapa waktu ia mencari kesempatan untuk balas mengolok-olok si dara. Mendengar pertanyaan itu, Kun Hiap merasa bahwa saat itulah kesempatan yang baik untuknya balas mengolok-olok.
Tidak menjawab pertanyaan si dara yang terakhir, dia masih melanjutkan persoalan tentang diri Lo Pit Hi, serunya, "Tadi engkau mengatakan kalau Lo tayhiap tak mungkin bisa mati. Tetapi bukankah dia memang yang menggeletak tak bernyawa itu ?"
Tetapi dara itu tak menghiraukan. Dia terus menghampiri ke muka lukisan dan tertawa gelak2, "O, kiranya lukisan dirimu."
"Bukan aku!" teriak Kun Hiap.
Si dara gelengkan kepala, "Kalau bukan engkau lalu siapa " Aneh, aneh. Hai, ada tulisannya berbunyi, Poa Su Cay dari Oupak, mempersembahkan lukisan ini kepada In Tiong He ! Ho, Poa Su Cay itu ahli tulis yang nomor satu di dunia. Tak heran kalau lukisannya begitu bagus seperti hidup sungguh. Ih, salah. ... "
Tiba2 dara itu berpaling memandang Kun Hiap lekat2. Sebenarnya Kun Hiap sendiri juga heran pada lukisan yang menempel dinding tembok itu. Tetapi dikarenakan selama dua hari ini dia ba-gaikan layang-layang yang putus tali alias tak ta-hu apa yang akan terjadi, dia sampai tak sempat untuk meneliti sampai dimana kemiripan wajah pada lukisan itu dengan wajahnya sendiri.
Mendengar si dara menyebut nama Poa Su Cay barulah Kun Hiap tahu kalau lukisan itu di-buat oleh tokoh she Poa yang termasyhur.
Poa Su Cay sebenamya seorang pendekar besar dalam dunia persilatan. Tetapi diapun juga seorang pelukis yang ternama. Bun-bun-cwan-cay atau tokoh serba bisa baik dalam ilmu silat mau-pun sastera. Namanya terkenal sekali.
Diam2 Kun Hiap mengambil keputusan. Apabila ada kesempatan dia hendak mencari tokoh Poa Su Cay itu untuk meminta keterangan, siapakah gerangan orang yang wajahnya mirip dengan diri-nya itu.
Beberapa saat kemudian terdengar si dara berkata pula, 'Tokoh yang dilukis itu jelas bukan engkau. Poa Su Cay sudah mengundurkan diri pada 27 tahun yang lalu. Tak mungkin dia akan meminta engkau untuk dilukis."
"Kan sejak tadi aku sudah bilang kalau bukan aku," sungut Kun Hiap.
Si dara mengikik, "Kalan engkau melihat lukisan itu, seperti halnya kalau engkau berhadapan dengan kaca, bukan " Nah, dengan begitu mayat itu belum tentu kalau paman Lo Pit Hi."
Sebelumnya, Kun Hiap merasa kali ini akan menang angin tetapi siapa tahu dalam beberapa percakapan saja. kembali dia sudah kalah suara. Dia makin mangkel.
"Kalau engkau mengatakan yang mati itu bukan Lo tayhiap, ya sudahlah. Anggap saja begitu. Maaf aku hendak pergi...." ia memberi salam dan terus mundur.
Dara itu hanya tersenyum simpul memandangnya dan tak mencegahnya.
Brukkkk, setelah keluar dari pintu, Kun Hiap terus mengabrukkan pintu lagi dan terus melesat keluar. Tiba2 dia mendengar si dara menangis dalam ruang tadi.
Kun Hiap tertegun. Sesaat kemudian timbullah keinginamiya untuk mengetahui apa yang terjadi pada dara itu. Dengan langkah berjungkat-jungkat supaya tidak menerbitkan suara. dia kembali ke muka pintu.
Sudah berpuluh-puluh tahun istana kuno itu tak pernah diperbaiki. Pintunya banyak lubang2 retak. Dari retak2 itu dia mengintip kedalam. Dilihatnya dara itu tengah berlutut disamping mayat Lo Pit. Hi. Mukanya basah dengan cucuran airmata. Ia tengah merabah-rabah baju Lo Pit Hi seperti sedang mencari sesuatu.
Benar juga. Tak berapa lama, dara itu telah menemukan sebuah benda dari baju Lo Pit Hi.
Melihat itu, heranlah Kun Hiap. Tetapi dia tak dapat melihat benda apa yang diperoleh si da Ta. Hanya samar2, ia melihat benda itu sebesar kepalan tangan, berwarna hitam mengkilap.
Setelah mendapat benda itu, sidarapun ber-henti menangis, Dia membolak-balikkan benda itu dan menelitinya. Saat itu barulah Kun Hiap dapat melihat jelas bahwa benda itu terayata sebuah benda berbentuk seekor kuda kecil, terbuat dari besi. Indah sekali kuda itu.
Sejenak memain-mainkan benda itu, walaupun mukanya masih basah dengan airmata tetapi dara itu tampak berseri gembira. Dia memasukkan kuda hitam itu kedalam baju lalu pelahan-lahan berbangkit.
Melihat itu Kun Hiap terus h"ndak melesat pergi. Tetapi saat itu sidara hanya menghampiri kemuka lukisan. Sejenak menandang baru berpaling dan berseru dengan tertawa, "Ih, perlu apa engkau main mengintip di luar?"
Bukan main kejut Kun Hiap, ia tak menyangka kalau dirinya telah diketahui si dara. Wut, dia cepat enjot tubuhnya melayang mundur.
Dia terkejut dan tergopoh-gopoh loncat dengan sepenuh tenaga maka begitu kaki menginjak papan loteng yang kayunya sudah lapuk, pantai papan itu amblong, kaki terperosok dan tubuh pun ikut merosot ke bawah, brak.
Kun Hiap gelagapan. Cepat ia mengempos semangat, bluk.. begitu terbanting ke tanah dia dapat melenting bangun lagi.
Pada saat dia berdiri tegak, dara tadipun sudah meluncur turun dan berdiri di hadapannya.
Kun Hiap benar2 kerupukan sekali. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan si dara terhadap dirinya. Ia mencuri kesempatan untuk melirik kepada dara itu. Tampak dara itu tengah kerutkan sepasang alis, macam kucing yang telah menangkap seekor tikus dan tengah menimang-nimang bagaimana akan mempermainkannya.
Dan memang benar. Kun Hiap seperti seekor tikus yang menghadapi kucing. Hatinya kebat kebit tak keruan.
Tetapi dara itu tak sempat membuka mulut karena pada saat itu dari arah luar istana, terdengar suara yang kasar berteriak-teriak, "Sam-moay, sam-moay!"
Walaupun nadanya kasar tetapi jelas berasal dari suara seorang wanita. Aneh mengapa seorang wanita suaranya kok begitu kasar tak sedap didengar, pikir Kun Hiap.
Tetapi bagi Kun Hiap, lebih enak mendengar suara kasar begitu daripada lengking suara si dara yang walaupun merdu tetapi seperti duri tajam yang menusuk-nusuk daging.
"Aku disini !" teriak si dara.
"Lekas keluarlah," ke
mbali suara parau di luar itu berseru.
Tampak si dara bersikap enggan menurut tetapi dia tak berani membangkang. Sejenak deliki mata kepada Kun Hiap, dia terus melesat keluar. Cepatnya bukan main, sekali bergerak sudah berada diluar istana.
Melihat dara itu sudah pergi, Kun Hiap merasa seperti terlepas dari himpitan batu karang yang berat. "Apalagi yang akan ditunggu kalau tidak saat itu aku tidak pergi." katanya seorang diri.
Sebenarnya dia hendak keluar melalui pintu besar. Tetapi ia kuatir akan kesompokan dengan dara centil tadi. Sejenak memandang kian kemari, dilihatnya ada sebuah pintu samping di sebelah kanan. Cepat dia melesat masuk.
"Huh !" begitu dia melangkah masuk pintu samping itu. Serentak diapun sudah tertegun seperti patung.
Ternyata didalam pintu samping itu terdapat sesosok mayat manusia.
Setelah menenangkan diri, dia memeriksa mayat itu, Ah, ternyata dia kenal siapa orang itu.
Pada waktu ayahnya merayakan ulang tahun yang ke 50. Orang itupun datang untuk menghaturkan selamat. Kun Hiap masih ingat, bahwa orang itu bernama Lui Toa Gui, kepala desa marga Lui dari wilayah Oupak. Sungguh tak pernah diduganya bahwa jago she Lui itu juga datang ke istana situ.
Setelah lepas dari kejut, tiba2 dia melihat di lantai itu terdapat sehelai kertas. Cepat dia me-ngambil dan membacanya.
Ternyata tempat dimana Kun Hiap berada saat itu adalah ruang dimana beberapa saat yang lalu ditempati oleh Pek Ing Ing, Nyo Hwat, Im Som dan lain2. Dan kertas itu tak lain adalah surat undangan yang diterima oleh Im Som dari orang yang tak dikenal dan pada waktu berada di ruangan itu telah diselentiknya ke udara dengan tenaga-dalam. Dan tepat pada nama Lui Toa Gui yang tertera pada surat itu, telah ditusuk dengan ujung kipas oleh sasterawan baju putih.
Sebenarnya Kun Hiap tak tahu menahu soal pertemuan jang diadakan oleh surat undangan tak bernama itu. Tetapi setelah membaca surat itu barulah dia tahu bahwa kedatangan beberapa kojiu ke istana tua itu, adalah karena disebabkan surat undangan tanpa nama tersebut.
Kun Hiap, sudah tak betah berada dalam istana tua yaug penuh misteri itu. Dia ingin lekas2 pergi. Maka tanpa banyak membuang waktu untuk mengadakan penyelidikan lebih jauh, dia te-rus menghampiri jendela dan dari situ dia hendak loncat keluar.
"Uhhhh...," karena tak hati2 kakinya membentur tubuh mayat Lui Toa Gui. Cukup keras juga benturan kaki Kun Hiap itu sehingga tangan Lui Toa Gui yang semula tertindih dibawah tubuhnya telah menjungkat terangkat keatas, dukk .... dari tangan Lui Toa Guipun meluncur jatuh sebuah benda.
Menurut arah suara benda yang jatuh itu, Kun Hiap melihat sebuah kuda dari besi yang besarnya menyamai kepalan tangan. Benda itu berada pada jarak satu meter di mukanya.
Walaupun heran tetapi Kun Hiap memungut benda itu juga. Ah, ternyata amat berat sekali.
Dia tak tahu apa gunanya mainan kuda-kudaan besi itu. Dan mengapa bisa berada di tangan mayat Lui Toa Gui.
Tiba2 ia teringat waktu si dara centil menggeledah tubuh mayat Lo Tetapi, juga menemukan mainan kuda seperti itu. Ah, tentu ada apa-apa-nya, pikirnya.
Dia menyimpan kuda besi itu kedalam baju setelah itu. lalu melangkah ke muka jendela dan terus loncat keluar. Dia melayang turun di bawah kaki pagar tembok. Disitu penuh ditumbuhi rumput dan ilalang yang setinggi manusia.
Kun Hiap jatuh kedalam gerumbul ilalang dan seketika tenggelam tertutup semak.
Pada saat dia hendak berusaha memberosot keluar, tiba2 dia mendengar dari arah muka suara seorang dara. "Ji-ci, tunggu dulu, aku segera datang.. .."
Dan suara wanita yang seperti kaleng pecah tadi, berseru pula. "Tidak! Kalau engkau pergi lagi, tentu akan menimbulkan perkara!"
Kun Hiap leletkan lidah. Diam2 dia bersyukur karena tidak tergesa-gesa keluar dari semak. Dara centil itu seorang saja sudah kewalahan, apa lagi kalau harus ditambah dengan jici atau taci seperguruan yang nomor dua. Tentu dia akan mati karena perut kaku.
Menurut arah suara mereka, Kun Hiap melihat dara centil tadi sedang berbantah dengan seorang nona baju hitam.. Keduanya berada dibawah pohon besar.
Karena berdiri membelakangi Kun Hiap, maka Kun Hiap tak dapat melihat bagaimana wajah si nona baju hitam itu.
"Ji-ci, aku akan masuk lagi sebentar saja terus keluar," kata si dara.
Tetapi nona baju hitam itu terus menarik tangan si dara, "Ayuh, kita pergi..."
Dalam mengucap kata2 mengajak pergi itu, kedua nona itu sudah melambung ke udara dan melayang ke muka. Gerak mereka secepat angin
Hampir Kun Hiap tak dapat mempercayai bahwa di dunia terdapat ilmu gin-kang yang sed"mikian hebatnya. Dia mengusap-usap mata untuk memandang dengan lebih seksama. Tetapi pada saat selesai mengucal-ucal mata, ternyata kedua nona itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi.
"Hebat," kata Kun Hiap seorang diri. Dia akan menanyakan siapa kedua nona itu apabila nanti bertemu dengan pamannya, Wi Kiam Liong. Tak mungkin kedua gadis itu orang biasa. Tentu mempunyai asal usul yang hebat. Kalau tidak bagaimana. mungkin mereka memiliki ilmu kepandai-an yang begitu hebat, bahkan seorang siluman wanita seperti Pek Ing Ing juga jeri terhadap mereka.
Kun Hiap keluar dari gerumbul ilalang. Sekali ayun tubuh dia melayang sampai tujuh delapan tombak. Setelah itu baru berani berpaling meman-dang kearah istana kuno.
Tak putus-putus keheranan Kun Hiap. Jelas2 dia merasa tak pernah datang dan tak ada hubu-ngan dengan istana kuno yang berwarna biru itu. Dia hanya mengikuti Thian-san-sin-kau Lo Pit Hi datang ke tempat itu. Lo Pit Hi suruh dia men-cari seseorang. Tetapi sampai jago tua itu meng-hembuskan napas terakhir, tak sempat menyebut nama orang itu.
Tiba2 Kun Hiap merasa bahwa kemungkinan istana kuno itu memang mempunyai hubungan dengan dirinya.
Memang di dunia ini terdapat orang2 yang wajahnya mirip satu sama lain. Tetapi kalau tak ada hubungan apa2. tak mungkin persamaan wa-jah itu begitu persis, antara lukisan yang terdapat pada tembok ruangan tadi dengan dirinya. Tetapi dia benar2 tak tahu apa sesungguhnya hubungan dirinya dengan istana tua itu.
Setelah beberapa saat terlongong-longong memandang istana tua itu, dia tertawa rawan, lalu lari melanjutkan perjalanan lagi.
Waktu dia dikuasai oleh orang yang muka-nya bertutup kain hitam tadi, dia tak dapat me-manggil nama pamannya.. Pada hal jelas bagaima-na tadi paman Wi Kiam Liong telah berteriak-teriak memanggilnya dengan penuh kecemasan.
Dia tak tahu kemanakah orang aneh yang mukanya bertutup kain hitam itu " Ah, peduli apa dengan orang itu" Lebih baik dia segera mencari paman Wi Kiam Liong saja.
Dia kuatir karena paman.Wi tak dapat menemukan dirinya, tentu segera akan memberi berita kepada ayahnya (ayah Kun Hiap). Ah, merepotkan paman Wi saja. Maka dia memutuskan untuk segera menemui paman Wi dan menyatakan kalau dirinya tak kurang suatu apa.
Kun Hiap segera mengembangkan ilmu gin-kang untuk berlari cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah mencapai sepuluhan li dan didepan sana sudah tampak jalan besar, yang menuju ke perkampungan marga Li.
Tetapi pada saat itu juga, diapun mendengar suara orang meniup terompet dan memukul genderang. Ternyata disebelah muka tampak se-rombongan orang tengah berjalan mendatangi ke-arahnya, Merekalah yang meniup dan memukul tetabuhan itu. Dari jalan besar mereka masuk ke jalan kecil.
Ah, umumnya rombongan begitu adalah rombongan mempelai lelaki yang hendak menjemput mempelai perempuan. Pikimya. Dia tak berminat mengetahui siapa yang tengah mengadakan perala-tan kawin itu dan terus hendak melanjutkan perjalanan.
Tetapi baru berjalan dua langkah. tiba2 ada sesuatu perasaan yang meresahkan hatinya. Ia merasakan keadaan yang dihadapinya saat itu, tidak seperti yang diduganya. Jalan yang akan ditempuh-nya itu, sampai sepanjang berpuluh li di sebelah muka, tak terdapat perumahan orang, Dan jalan kecil itu akan menuju kearah istana tua lagi. Ka-lau memang hendak menjemput mempelai perem-puan, mengapa rombongan orang tadi harus me-lalui jalan kecil itu "
Rombongan itu makin dekat. Dan ketika mereka lalu disamping Kun Hiap, pemuda itu makin heran. Setelah rombongan itu jauh, barulah ia agak tenang.
Dia memang curiga tetapi dia tak mau banyak urusan lagi. Setelah mengempos semangat, dia terus lari. Tetapi belum berapa jauh, dia mendengar suara derap kuda berlari riuh.
Kembali Kun Hiap menyaksikan sebuah pe-mandangan yang aneh. Memang saat itu dia belum jelas, apakah yang lari menghampiri kearahnya itu. Tetapi cepat sekali mahluk itu barlari dan pada lain saat sudah tiba di depannya. Kini dia dapat melihat jelas dan lalu tertawa urung.
Ternyata mahluk yang lari begitu cepat itu tak lain adalah seekor keledai kecil yang berbulu putih mulus. Keledai itu dinaiki oleh seorang yang mengenakan pakaian serba hitam semua. Dia bertubuh tinggi kurus, mirip dangan batang pohon.
Ditempat yang sunyi, melihat seekor keledai putih berlari cepat membawa seorang penunggang baju hitam, memang menimbulkan rasa kejut dalam hati Kun Hiap.. Dan yang lebih membuatnya tersentak heran adalah cara orang itu menaiki keledai. Dia tidak naik seperti lazimnya orang naik kuda, melainkan dengan tubuh membalik atau menghadap ke belakang.
Kun Hiap membatasi diri. Walaupun heran tetapi dia tak mau usil. Dia menyingkir ke tepi untuk memberi jalan.
Keledai itu cepat sekali liwat disampingnya, Setelah terpaut dua tiga meter dari anak-muda itu, tiba2 penunggang yang tinggi kurus itu membungkuk badan dan julurkan kepalanya ke muka.
Sungguh aneh sekali. Bukan saja tubuhnya panjang, juga lehernya luar biasa panjangnya. Se-kali menjulurkan kepala, pucuk hidungnya hampir melekat pada pucuk hidung Kun Hiap.
Bukan main kejut Kun Hiap. Buru2 dia menyurut langkah ke belakang. Memandang kemuka, dia merasa geli. Ternyata waktu kepala orang itu menjulur panjang kepadahya, indera mukanya ber-obah lucu sekali, mukanya hampir datar . . . . !
Karena Kun Hiap menyurut mundur, orang itu duduk lurus lagi, serunya, "Apakah engkau baru datang dari istana tua itu?"
Mendengar pertanyaan itu timbullah kesan Kun Hiap. Ia teringat bahwa setiap tokoh persilatan yang sakti kebanyakan tentu mempunyai watak yang nyentrik. Dan dunia persilatan memang banyak sekali terdapat tokoh2 sakti yang nyentrik begitu. Diam2 dia memutuskan, lebih baik jangan terlibat dengan manusia2 semacam itu. Lebih banyak ruginya daripada untungnya.
"Istana tua apa?" ia berseru seraya geleng2 kenala, "aku tak tahu. Aku hanya kebetulan saja lewat ditempat ini."
Orang tinggi kurus itu mendengus, "Uh, buyung, jalanan ini hanya menuju kearah istana tua. Jangan engkau coba2 membohongi orang!"
Kun Hiap mengkal, serunya, "Kalau sudah tahu jalan ini akan menuju ke istana tua, perlu apa bertanya?"
Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang aneh itu mengekeh, serunya, "Apakah mereka sudah datang semua?"
Kun Hiap terkesiap, serunya, "Siapa yang engkau maksudkan mereka itu?"
"Uh, engkau datang dari istana tua. masakan tidak tahu?"
Tiba2 Kun Hiap teringat sesuatu. Dia terus bertanya, "O, ternyata yang menulis surat undangan tanpa nama itu engkau toh " Ya, mereka sudah datang."
Tampak wajah orang aneh itu berseri, "Apa kah mereka sudah membawa semua?"
Setiap patah dari mulut orang aneh itu selalu mengejutkan dan merupakan teka teki bagi , Kun Hiap, Dengan nada geram2 jemu, Kun Hiap. menjawab, "Apa itu semua sudah membawa " Aku tak mempunyai sangkut paut dengan urusan mereka, bagaimana aku harus mengetahui ?"
Begitu mendengar ucapan Kun Hiap, tiba2 orang itu menjulurkan lehernya lagi. Tadi Kun Hiap sudah mundur selangkah, tetapi begitu menjulurkan leher, pucuk hidung orang aneh itu kembali hampir menyentuh pucuk hidung Kun Hiap. Tubuh dan leher orang itu seperti terbuat dari karet, dapat dijulur-surutkan menurut sekehendak hatinya.
Kun Hiap cepat2 mundur selangkah lagi..
"Sudahlah. buyung, memandang muka ayahmu, aku tak mau mengganggumu lebih lanjut," orang aneh itu tertawa.
Kejut Kun Hiap seperti disengat kalajengking, Apabila dia pernah bertemu dengan orang yang luar biasa anehnya seperti itu, tentulah dia takkan pernah lupa. Tetapi seingatnya, selama ini dia belum pernah bertemu. Mengapa orang aneh itu tahu akan nama ayahnya "
Selagi Kun Hiap masih termenung-menung, tiba2 orang itu kepitkan kedua kakinya ke perut kuda dah tak. tak, tak.... keledai itupun segera jalan lagi. Setelah beberapa langkah, baru orang aneh itu berkata. "Buyung, ilmu kepandaian Kim-kong-cwan-hwat ayahmu, dalam beberapa tahun ini tentu maju. Sampaikah salamku kepadanya !"
Saat itu sebenarnya Kun Hiap juga sudah berputar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Begitu mendengar kata2 si orang aneh, dia berhenti.
Ayah Kun Hiap digelari orang sebagai Kim-liong-kiam-khek atau pendekar Pedang-naga-emas. Senjatanya sebatang pedang Naga-emas yang bentuknya panjang dan lebar. Ilmupedang Kim-liong-kiam-hwat merupakan ilmupedang yang termasyhur dalam dunia ilmupedang.. Jauh lebih unggul darl ilmupedang yang terdapat di dunia persilatan lain-nya. Semua orang persilatan tahu hal itu.
Tetapi mengapa orang aneh tadi menanyakan apa itu 'Kim-kong-cwan' atau tali Malaekat. Kapankah ayahnya pernah menggunakan senjata macam begitu "
Buru2 Kun Hiap berputar diri hendak bertanya tetapi pada saat itu si orang aneh sudah jauh. Kun Hiap segan untuk mengejar. Dia terus melanjutkan perjalanan menuju ke perkampungan marga Li.
Selama dalam perjalanan itu tak henti-hentinya dia merenungkan tentang permintaan Lo Pit Hi pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.
Lo Pit Hi minta supaya Kun Hiap mencari seseorang. Tetapi siapakah orang itu, Lo Pit Hi tak sempat menyebutkan. Kalau orang lain. tentu takkan menghiraukan lagi pesan Lo Pit Hi yang tak jelas itu. Tetapi ternyata Kun Hiap seorang pemuda yang bertanggung jawab sampai tuntas akan segala persoalan yang disanggupinya. Dia merasa aneh dan seperti mendapat firasat bahwa kesemuanya itu tentu ada kaitan dengan dirinya. Tetapi kaitan bagaimana. dia sendiri tak dapat mengatakan dan memang tak mengerti. Itu hanya perasaan hatinya saja.
Sambil berpikir, dia masih berlari.. Tak berapa lama dia melihat serombongan penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba. rombongan penunggang kuda itu serempak berhamburan loncat turun dan lari ke muka Kun Hiap.
Mereka empat orang dan ternyata para piau-thau (pengawal) yang ikut dalam rombongan pengantar barang pimpinan Wi Kiam Liong.
Wajah mereka resah gelisah dan begitu melihat Kun Hiap, mereka terus berebut teriak, "Wi kongcu, harap lekas ke Li-ke cung, Wi cong-piauthau kelabakan setengah mati!"
Li-ke-cung artinya desa marga Li. Cong piauthau artinya. kepala pengawal dari sebuah piaukiok atau perusahaan mengantar barang.
"Mengapa ?" balas Kun Hiap.
"Memikirkan engkau !" seru mereka serempak, "sauya, regu gerak-cepat telah berjalan untuk sambung-menyambung (estafet) menyampaikan berita kepada loya!"
Kun Hiap kerutkan dahi, katanya. "Ah, mengapa harus mengganggu ketenangan beliau orang tua lagi."
"'Lekaslah. jangan membuang waktu," beberapa piauthau itu mendesak dan terus mengajak Kun Hiap naik kuda lalu dilarikan.
Tak berapa lama desa marga Li (Li-ke-cung) sudah tampak didepan.
"Wi kongcu datang! Wi kongcu datang!" teriak dua orang piauthau dalam rombongan Kun Hiap.
Kedua orang itu biasanya meniadi tongcu atau pelopor dalam rombongan piaukiok. Tugasnya berjalan paling muka dari rombongan piaukiok untuk berteriak-teriak sepanjang jalan tentang rombongannya. Dengan demikian apabila di daerah itu terdapat orang2 persilatan yang mempunyai maksud buruk atau penjahat yang hendak merampas barang2 antaran, karena mendengar nama piau kiok tersebut, akan mengurungkan maksud jahat-nya.
Karena tugasnya, kedua piauthau itu dipilih dari mereka yang memiliki suara yang lantang dan berkumandang. Karena gembira dapat menemukan Kun Hiap, kedua piauthau itupun berteriak-teriak sepanjang jalan dengan suara yang keras dan nyaring. Hal itu menyebabkan Kun Hiap tak enak sendiri.
Tak berapa lama keempat kuda itu sudah tiba di pintu desa. Mereka segera turun, Li-ke-cung merupakan desa yang paling besar diseluas 100-an li sekeliling. Kepala desa bernama Li Siu Goan, bergelar Kim-tiau atau rajawali-emas. Juga seorang tokoh persilatan yang ternama.
Keempat penunggang kuda itu terkesiap dan tercengang heran karena mendapatkan bahwa desa itu sunyi senyap suasananya. Seolah tiada seorang penghuninya.. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Ih, mengapa tiada orangnya " Kemana saja mereka itu ?" Kun Hiap mendahului membuka suara.
Tepat pada saat itu dari arah belakang desa terdengar bunyi berderak-derak dari roda kereta yang berjalan. Kun Hiap mencongklangkan kudanya naik keatas sebuah tanah tanjakan yang tinggi. Dari situ dia melongok memandang ke belakang desa. Kembali dia harus terbeliak.
Dilihatnya saat itu berpuluh-puluh kereta besar sedang berjalan menuju kearah barat. Dibelakang rerotan kereta itu ikut berpuluh-puluh rakyat yang berjalan saling bimbing-membimbing dan setiap orang masing2 memanggul pauhok (buntalan) pada punggungnya. Ada juga yang menuntun binatang ternak seperti sapi, kambing dan kerbau. Jelas mereka itu adalah penduduk Li-ke-cung. Tetapi mengapa mereka seperti hendak pindah ke lain tempat "
Kun Hiap gopoh turun kebawah dan lari masuk kedalam desa. Baru setengah jalan, dilihatnya paman Wi Kiam Liang sudah keluar menyambutnya.
Kepala piauthau itu masih belum sembuh dari lukanya yang berat. Wajahnya masih pucat. Begitu melihat Kun Hiap, Wi Kiam Liong terus langsung menariknya.
"Kun Hiap, engkau sudah kembali" Mudah-mudahan saja ayahmu lekas datang dan bereslah semua."
Ah, aku toh sudah kembali. perlu harus merepotkan ayah, pikir Kun Hiap. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, seorang lelaki tua sudah niuncul. Wajahnya yang terang menandakan dia seorang yang banyak rejeki. Namun pada saat itu kerut dahinya sudah menampilkan kerut kecemasan, namun sikapnya masih tenang.
Kun Hiap segera maju menyongsong memberi hormat. "Li congcu, maaf, karena banyak merepotkan cungcu."
Wi Kiam Liong tertawa hambar, "Kun Hiap, kita telah mendatangkan bahaya kepada Li cungcu."
Li Siu Goan, kepala desa marga Li, tertawa gelak2, Sambil menepuk-nepuk bahu Wi Kiam Liong, dia berkata, "Wi laute, mengapa engkau berkata begitu " Karena sudah sengaja mengabdi pada ilmusilat, kitapun hidup diantara bayang-bayang golok dan pedang. Apa yang engkau katakan bencana atau keberuntungan itu ?"
Kun Hiap ccpat menyadari bahwa di desa itu tentu telah terjadi suatu peristiwa besar.
"Li cungcu," katanya. "apakah yang telah terjadi ?"
"Silakan masuk kedalam ruang besar, hian-tit tentu tahu," kata Li cungcu.
Mendengar itu Kim Hiap bergegas masuk ke dalam gedung. Ruang besar disitu biasanya digunakan untuk pertemuan para tokoh persilatan yang tinggal didaerah sekeliling 100-an li. Dibangan dengan megah dan kokoh. Keempat tiang besar besarnya sepemeluk tangan orang dengan pondasi yang menyerupai sebuah genderang batu.
Selekas tiba di ruang besar itu, segera Kun Hiap melihat sesuatu yang mengejutkan. Dua dari keempat tiang besar itu sudah lepas dari pondasinya. Pondasi itupun bengkah dan ujung tiang juga miring. Atap2 wuwungan berserakan ada beberapa genteng yang pecah.
Kun Hiap terkejut. Maju beberapa langkah lagi, didapatinya cat merah pada sebuah tiang besar telah dikorek dengan senjata dan merupakan tulisan yang berbunyi demikian:
Angkat tangan menyerahkan piau
akan terbuka sebuah jalan.
Melihat itu marahlah Kun Hiap. Jelas yang dimaksud dengan piau itu adalah barang2 antaran yang sedang dikawal rombongannya. Barang2 berharga itu telah dititipkan di Li-ke-cung. Dengan begitu jelas orang itu tak memandang mata kepada Li cungcu. Sungguh besar sekali nyalinya.
Bukti yang terbentang dihadapan Kun Hiap, bahwa dua buah tiang besar telah bergeser dari pondasinya, membuktikan betapa hebat kepandaian orang itu. Adalah karena merasa memiliki kepandaian yang sakti maka orang itupun berslkap sombong sekali.
Pelahan-lahan Kun Hiap berpaling dan bertanya, "Siapakah orang itu?"
Li Siu Goan tertawa rawan, "Sungguh memalukan sekali. Aku juga tak tahu."
Kun Hiap hampir tak percaya pendengarannya. Dengan menggeser tiang raksasa dari pondasinya sehingga wuwungan menjadi retak dan genteng2 berhamburan pecah, tentulah akan menimbulkan goncangan dan suara yang dahsyat. Tetapi anehnya mengapa orang2 dalam gedung itu tak tahu sama sekali "
Kun Hiap terlongong-longong memandang Li Siu Goan sehingga kepala Li-ke-cung itu sam-pai tersipu-sipu.
"Waktu kami mendengar suara dahsyat, kamipun segera keluar. Tetapi orang itu sudah lenyap."
Dengan suara sarat, Kun Hiap berkata, "Li cungcu, sebaiknya kami akan segera membawa pergi barang2 antaran itu dari sini agar Li-ke-cung tidak terlibat bahaya."
Li Siu Goan tertawa keras. Nadanya perkasa garang tetapi mengandung getar2 kerawanan hati, sebagaimana seorang ksatrya yang menghadapi pilihan teraknir.
"Wi laute, kalau kalian pergi, dimana kelak aku akan menaruhkan mukaku ini " Wanita dan anak2 serta orang2 tua disini, sudah kuungsikan semua ke barat. Harta benda, pun sudah kusingkirkan. Aku seorang diri, sudah tak perlu ada yang dikuatirkan lagi. Akan kusediakan jiwa dan raga yang lapuk ini untuk membantu laute."
Suaranya makin gagah, jenggotnya yang putih bertebaran tertiup angin, Tiba2 dia berputar tubuh dan tring..... sekali getarkan tangan melintaslah sekilas cahaya pelangi hitam dan tahu-tahu tangannya sudah mencekal poan-koan-pit, senjata yang telah bertahun-tahun mengangkat namanya. Dan guratan huruf pada tiang besar tadi, terhapus semua.
Wi Kiam Liong melangkah maju dan memberi hormat, "Li congcu, aku yang rendah Wi Kiam Liong, mungkin dalam hidup sekarang ini tak dapat membalas budi, tetapi kelak dalam penitisanku yang akan datang, aku pasti takkan melupakan budi Li congcu."'
Kedua jago itu saling berjabatan tangan dan sama2 tertawa keras.
Diam2 Kun Hiap yang memperhatikan gerak gerik kedua jago tua itu, mendapat kesan bahwa sekalipun keduanya tertawa garang tetapi sebenar-nya mereka sudah merasa putus asa dan pasrah nasib, karena mereka menyadari kalau bukan tandingan dari orang misterius itu.
Diam2 Kun Hiap gelisah juga. Pada saat dia hendak berkata, Wi Kiam Liong sudah hentikan tawanya dan berseru, "Kun Hiap, engkau tak perlu disini, pulanglah."
Kun Hiap memang sudah menduga kalau su-sioknya (paman guru) akan berkata begitu. Maka buru2 dia berkata juga, "Susiok, kalau aku pulang, bukankah seumur hidup aku akan terkungkung di-rumah tak pernah keluar di dunia ramai?"
Wi Kiam Liong terbeliak dan tak bicara apa2. Tiba2 seorang penduduk berlari-lari menghadap Li Siu Goan, "Lapor kepada cung-cu, Siluman-cantik dari gunung Thay-san Pek Ing Ing mohon meng-hadap.'"
Wi Kiam Liong dan Li Siu Goan terkejut dan saling berpandangan. Mungkinkah dia .... demikian diam2 kedua jago tua itu menduga dalam hati masing2.
"Silakan," Li Siu Goan memberi isyarat dan orang itupun terus keluar. Tak berapa lama tampak Pek Ing Ing muncul.
Li Siu Goan cepat maju menyambut keluar, "Apakah sahabat Pek hendak datang merebut Piau itu ?"
Wajah Pek Ing Ing terkejut sekali, "Apa artinya kata2 congcu ?"'
Belum sempat Li Siu Goan menjawab, orang yang melapor tadi. kembali muncul.
"Lapor kepada congcu!"' katanya, "ketua Hoa san-pay Cek-kim-sin-to Nyo Hwat dan ketua Ceng-shia-pay Thiah Go lojin datang hendak minta bertemu congcu."
Mendengar nama kedua tetamu itu, berserilah airmuka Li Siu Goan. Kedua tetamu itu adalah tokoh2 terkemuka dari aliran Ceng pay atau Putih. Kini walaupun musuh sangat lihay tetapi tak perlu dikuatirkan lagi.
Belum Li Siu Goan memberi pernyataan, Wi Kiam Liong sedah mendahului suruh orang itu lekas mempersilakan kedua tetamu itu masuk. Orang itupun cepat mengundurkan diri.
Pek Ing Ing berobah wajahnya, "Hm, sungguh tak enak. Lagi2 ketemu dia," pikirnya. Tetapi saat itu dia tak dapat menghindari lagi. Apa boleh buat, terpaksa dia menindas perasaan dan menunggu." Tak berapa lama Nyo Hwat dan Thian Go lojinpun melangkah masuk.
Kedua tokoh itu sama2 mempunyai perawakan tinggi besar.. Ketui Hoa-san-pay bermuka brewok, ketua Ceng-shia-pay bagai seorang dewa yang rambutnya putih seperti perak. Waktu berjalan bersama, menimbulkan suatu pandangan yang kontras sekali. Mirip seorang raksasa dengan seorang dewa..
Sebelum orangnya tiba, suara Nyo Hwat sudah berkumandang lantang, "Li lothay, apakah ada orang yang hendak mencabut bulumu, si Rajawali-emas ?"
Li Siu Goan tertawa getir, "Sekalipun ada orang yang hendak
Jilid 3. Ayah aneh. Pek Ing Ing lebih terkejut lagi. Maju dua langkah dia berseru . "Li cung-cu, aku mohon pamit!"
Dan tanpa menunggu jawaban tuan rumah wanita itu terus memberi hormat dan angkat kaki
Sepeminum teh lamanya barulah kicau burung kenari itu berhenti. Tetapi serempak pada saat itu, dari ujung tenggara terdengar cuit burung seriti yang membawakan suara cerah sehingga membuat hati orang senang.
Wi Kun Hiappun mulai dapat tertawa lagi. Mendengar itu Wi Kiam Liong berputar diri. Demi melihat ujung mata pemuda itu bernoda air mata, dia tertegun.
"Kun Hiap, mengapa engkau menangis?" serunya. Tetapi serentak itu diapun merasakan pipinya seperti lembab dan ketika merabahnya, ah .. . ternyata ada dua butir airmata yang mengalir turun ke pipinya.
Kejut Wi Kiam Liong bukan alang kepalang. mengapa aku juga memtikkan airmata, pikirnya.
"Celaka, jelas suara kicau hurung tadi tidak wajar," serunya ketika menyadari hal itu.
Sebenarnya saat itu Thian Go lojin, Nyo Hwat dan Li Siu Goan bertiga tengah tersenyum mendengar kecerahan burung seriti bercicit memberi makan anaknya. Wajah mereka tampak te-nang dan bahagia semisal saat itu mereka tengah dirubung oleh cucu-cucunya yang nakal dan tengah menarik-narik jenggot mereka.
Tetapi sesaat Wi Kiam Liong berteriak kaget tadi, mereka bertigapun terkesiap dan sama-sama tertegun. - Mereka menyadan bahwa suara burung itu memang tidak sewajarnya.
Sejenak saling bertukar pandang, merekapun lalu mengerahkan semangat menenangkan pikiran.
Suara cicit burung seritipun berhenti. Tetapi, serempak pada saat itu juga_dari ujung sebelah barat laut terdengar suara burung gagak yang melengking kaget karena tersingsal dari rombongannya. Nadanya amat menggetarkan hati orang.
Suara itu makin dekat dan suara burung gagak itu tak sedap didengar. Apalagi beberapa burung gagak yang berkaok-kaok kehilangan rombongannya. Selain menusuk telinga juga seperti menyayat-nyayat hati.
Segenap orang yang berada dalam ruangan itu, termasuk Thian Go lojin, mau tak mau tergetar hatinya.
Nyo Hwat tak dapat bertahan lagi. Dia serentak menjerit histens, "Hai, sahabat dari mana itu yang berani jual lagak disini" Hayo, gantilah dengan nada yang sedap didengar!"
"Saudara Nyo, jangan terperangkap!" Li Goan Siu cepat memberi peringatan. Tetapi sudah terlambat.
Pada saat Nyo Hwat melengking tadi, sekonyong-konyong terdengar bunyi burung prenjak berdendang riuh rendah seperti ribuan kuda lari bergemuruh. Yang lain masih tak memperlihatkan reaksi apa-apa tetapi entah bagaimana Nyo Hwat serentak seperti orang kesurupan. Dia beranjak dari kursi dan terus menan-nari...
Kalau melihat seorang dara cantik tengah menari-nari dengan lincah dalam alunan kicau burung prenjak, tentulah orang akan kesengsam melihatnya. Tetapi yang berjoget pada saat itu adalah seorang lelaki brewok, setengah tua dan ketua da-ri sebuah perkumpulan persilatan yang terkenal. Sudah tentu wagu dan menusuk mata kalau harus memandang bagaimana brewok dan bulu tangannya bertebaran seperti monyet menari.
Melihat itu Thian Go lojin menggembor ke-ras dan terus mencengkeram bahu Nyo Hwat. Tetapi sebagai seorang ketua partai persilatan sudah tentu tenaga Nyo Hwat luar biasa kuatnya. Thian Go lojin tak mampu mencekal bahunya.
Melihat itu Li Goan Siu segera bersuit nyaring dan loncat ke udara, plak ..... dia menghantam punggung Nyo Hwat.
Menerima pukulan itu tubuh Nyo Hwatpun terhuyung selangkah kedepan. Li Goan Siu dan Thian Go lojin serempak bersuit nyaring lagi. Tetapi karena tenaga-dalam Thian Go lojin jauh lebih sakti maka suara suit Li Goan Siu itupun terbenam oleh suitan Thian Go.
Rupanya Li Siu Goan tahu diri.. Dia segera hentikan suitannya dan maju dua langkah untuk memapah tubuh Nyo Hwat yang jatuh di lantai itu.
Tampak wajah ketua Bu-tong-pay itu ber-warna biru lesi dan semangatnya loyo.
"Nyo-heng, Nyo-heng!" Li Siu Goan memanggilnya.
Nyo Hwat menghembus napas longgar, serunya: "Apakah kita ini bermimpi?"
Li Siu Goan tak tahu bagaimana haros men jawab. Dia lalu memapah Nyo Hwat duduk di kursi. Saat itu suara burung prenjakpun berhenti karena suitan Thian Go lojin tadi.
Dalam ruangan kecuali hanya suara napas Nyo Hwat ketua Hoa-san-pay, yang lain2 tidak bicara. Beberapa jenak kemudian barulah taan ru-mah Lt Siu Goan membuka mulut.
"Thian Go lojin, apakah tadi bukan Pek-kin cinjin Kong~yap Ciau yang mengacau?"
Kong-yap Ciau seorang pertapa yang mahir dalam ilmu menirukan segala jenis binatang. Oleh karena itu dia diberi gelar Pek-kin lojin atau per-tapa Ratusan-binatang. Dia mengatakan kalau masih keturunan dari Kong-yap Ceng, seorang tokoh yang mengerti akan bahasa burung dan memiliki kepandaian silat yang sakti.
Kong-yap Ciau mempunyai watak yang a-neh. Seorang tokoh golongan ganas yang menye-ramkan setiap orang persilatan.
Thian Go lojin, ketua partai Ceng-shia-pay, gelengkan kepala, "Yang kudengar Kong-yap Ciau itu tahu bahasa burung akan tetapi belum pernah kudengar kalau dia juga amat pandai menirukan suara segala burung. Dan lagi gelom-bang suara hurung2 itu juga paling tidak berasal dari jarak empat lima li jauhnya. Nyo ciang-bun begitu buka suara terus termakan serangan suara itu. Kurasa Kong Yap Ciau juga takkan selihay itu.."
"Kalau begitu dia lebih lihay dari Kong Yap Ciau?" Li Siu Goan terkejut.
Thian Go lojin tak menyahut.
Tiba2 Wi Kiam Liong berpaling dan berje-ngit, "Ih, mengapa Pek Ing Ing tidak kelihatan?"
"Kapan dia pergi?" kata Nyo Hwat yang sa-at itu sudah makin membaik keadaannya.
Wajah Thian Go lojin dan Li Siu Goan serentak berobah. Kedua tokoh itu juga tak tahu kapan wanita cantik itu meninggalkan ruang.
Sebenarnya hal itu bukan karena Pek Ing Ing memiliki iimu gin-kang yang luar biasa saktinya tetapi karena pada waktu dia ngacir pergi, tokoh2 yang berada di ruang itu sedang menum-pahkan perhatian kepada suara beberapa burung yang aneh. Sedemikian terpikat semangat dan perhatian mereka sehingga mereka tak tahu kalau Pek Ing Ing diam2 sudah menyelinap pergi.
Jika ada seorang pergi tak diketahui, pun kalau ada orang masuk tentu juga tak diketahui. Serempak kedua tokoh itupun mengerlingkan pandang matanya ke sekehling ruang besar disitu te-tapi mereka tak melihat barang seorang pendatang baru.
Wi Kiam Liong menghela napas, "Orang menyuarakan bunyi burung.... apakah bukan lawan dari orang yang meninggalkan tulisan diatas tiang?"
Sret, serentak Li Siu Goan sudah mencabut senjatanya. Kim-tiau-hoan atau Rajawali-emas-berbalik, demikian nama dan senjatanya yang telah mengangkat namanya ke jeojang kemasyhuran dalam dunia persilatan. Suatu jenis senjata yang istimewa. Bentuknya hampir menyerupai sebatang Poan-koan-pit ( pena). Batang senjata hanya le-bih kurang setengah meter panjangnya. Ujungnya berbentuk cakar burung rajawali yang tengah menebar. Memancarkan sinar kemilau emas, besarnya sebesar genggam tangan orang.
Ujung yang lain, bulat tumpul seperti jari orang. Ujung depan yang berbentuk cakar itu dapat digunakan untuk menerkam, sedang ujung belakang dapat digunakan untuk menutuk.
Senjatanya itu merupakan senjata yang pandak Tetapi justeru senjata yang pandak itu lebih berbahaya. Li Siu Goan telah menciptakan sendiri permainan senjata itu, terdiri dari 72 jurus. setiap jurus serangan selalu mengarah jalandarah berbahaya dari lawan.
Sekali tangan menggertak, cret .... ujung cakar dari senjatanya segera menyusup masuk ke permukaan meja. Dan tepat pada saat itu juga, tiba2 setiup angin lembut berhembus dan tanpa mengeluarkan sedikit suarapun juga, tahu2 dalam ruang itu sudah muncul seorang pendatang baru.
Begitu mendadak sekali kemunculan orang itu sehmgga sekalian orang tertegun dan serempak mencurah pandang kearahnya.
Ah, terdengar Wi Kiam Liong yang pertama-tama menghela napas longgar. Pendatang itu bukan lain adalah si dara yang disebut Sam-kounio yang pernah menertawakannya.
Wi Kiam Liong cepat melengos tetapi dara itu sudah menghambur tawa, "Ala, tak usah main sembunyi. Aku toh sudah melihat."
Sekalian orang masih tercengkam dengan gerak kedatangan si dara yang begitu luar biasa itu sehingga tak seorangpun yang membuka mulut.
Baru setelah dara itu berbicara maka Li Siu Goanpun berseru, "Dari manakah nona ini" Tempat ini bakal terjadi sesuatu, lebih baik nona tinggalkan tempat mi."
Tetapi dara itu tak mengacuhkannya. Ia maju selangkah dan ulurkan tangan menyambar senjata cakar Kim-tiau-hoan yang masih menancap di meja.
Seperti telah diterangkan dimuka, senjata Kim-tiau-hoan itu, merupakan senjata andalan Li Siu Goan yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan. Gelar dari Li Siu Goan juga di-dasarkan pada nama senjatanya itu. Maka begitu melihat si dara hendak lancang mengambil, cepat2 Li Siu Goan ulurkan tangan hendak mencekal tangan si dara.
Li Siu Goan bergerak amat cepat sekali. Tetapi astaga, ternyata cekalannya itu hanya menemui angin kosong. Dan ketika mengangkat muka, dilihatnya senjata Kim-tiau-hoan itu sudah berada di tangan si dara.
Sudah tentu kejut Li Siu Goan bukan alang kepalang, Dia benar2 tak tahu cara bagaimana senjata itu bisa pindah ditangan si dara. Dia terlongong-longong kesima. Dan pada waktu dia hendak membuka mulut, sidara sudah mendahului.
"Ih, senjata untuk menggaruk gatal benar2 hebat sekali buatannya," serunya.
Mendengar itu, kata2 yang hendak diluncur-kan Li Siu Goan itu ditelan kembali. Wajahnya berobah pucat.
Alat penggaruk gatal di tubuh orang, hanya-lah terbuat dari pada bambu, tetapi senjata Kim-tiau-hoan adatah senjata istimewa yang mengge-tarkan dunia persilatau. Masa dara itu menyamakan senjata Kim-tiau-hoan dengan bambu penggaruk gatal.
"Itu bukan alat penggaruk gatal! " seru Li Siu Goan dengan nada bengis.
Dara itu mengikik, " Kalau bukan alat penggaruk gatul, lalu apa?" Sambil berkata dia julurkan Kim-tiau-hoan itu untuk menggaruk muka Li Siu Goan.
Seketika Li Siu Goan merasa seperti dua buah sinar kemilau memancar dihadapannya dan tahu2 pipi kanan dan kirtnyaseperti telah digaruk oleh senjatanya sendiri itu. Dan pada saat itu juga dia ngelumpruk duduk di kursi, wajah pucat dan tak berkutik lagi.
Sebenarnya garukan pada kedua pipinya itu hanya ringan sekali dan tak menimbulkan luka berat. Tetapi mengapa dia sampai begitu lunglai kehilangan semangat" Hal itu tak lain dikarenakan dia menyadari bahwa berhadapan dengan si dara yang tak dikenalnya itu, dia seperti tak dapat berbuat apa2. Ilmu kepandaiannya jauh terpautnya dengan dara itu. Itulah yang menyebabkan dia lemas dan tak dapat bicara apa2.
Dara itu tertawa pula dan berseru, " Hayo, katakanlah, apakah bukan alat penggaruk gatal?"
Dengan tertawa pahit Li Siu Goan menyahut " Ya, ya, benar, memang alat penggaruk gatal.
Cret . . . . kembali Kim-tiau-hoan itu menancap di meja ketika tangan si dara berayun. Kemudian dara itu tertawa kepada Kun Hiap yang saat itu berada di belakang Wi Kiam Liong. Nadanya bergemericik laksana petikan yang~khim yang merdu memikat.
Tetapi anehnya, Kun Hiap malah terus ber-putar tubuh, wajahnya berobah pucat seperti melihat sesosok Siluman yang menyeramkan..
Wi Kiam Liong juga terkejut ketika menyaksikan kepandaian yang dipertunjukkan dara itu.
"Apakah nona tak keberatan untuk memberi tahu, apa tujuan nona datang kemari"' serunya. Diam2 dia mengharap agar nona itu jangan orang yang menulis pada tiang itu.
"Ih, kiranya kalian masih belum tahu?" tiba tiba dara itu melengking, "bukankah sudah kutulis pada tiang itu kedatanganku kemari tak lain hanyalah untuk menerima barang itu.
Mendengar itu wajah Wi Kiam Liong berobah lesi seketika. Dia tak dapat omong lagi. Sedang tuanrumah, Li Siu Goan, jugu masih lunglai di kursinya dan tak omong apa2 lagi.
Sedangkan Kun Hiap, setelah tahu dara itu hendak merampas barang antaran yang dikawal pamannya, marah sekali.. Tetapi karena menyadari dia tak mampu melawannya maka dia terus berputar diri dan membentak sekeras-kerasnya, "Engkau..."
Tetapi saat itu Thiau Go lojin mendahului kebutkan lengan jubahnya untuk mencegah Kun Hiap melanjutkan kata-katanya.
"Siapakah nama nona?" kata Thian Go lojin.
Dara itu tertawa mengikik, "Karena Thian Go cianpwe yatig bertanya, akupun tak berani membohongi. Aku orang she Tian, nama Hui Yan."
Thian Go tak menghiraukan siapa nama dara itu. Dia hanya memperhatikan she nona itu. Segera dia menggali ingatannya untuk mencari siapa-siapa tokoh she Tian dalam dunia persilatan itu. Dan apakah dia itu tergolong aliran putih atau hitam.
Memang dia dapat menemukan beberapa jago she Tian.. Tetapi kepandaian mereka hanya biasa-biasa saja. Jauh sekali bedanya dengan dara yang mengaku she Tian itu.
Thian Go lojin tahu bahwa dunia persilatan itu luas sekali. Banyak tokoh2 sakti yang masih tersembunyi. Dan yang muncul baru sebagian saja. AkhitnyaThian Go lojin hentikan renungannya..
"Nona Tian, kalau engkau hendak merampas barang antaran itu, apakah tidak tepat waktunya," seru ketua dari partai Ceng-shia itu.
Gundu mata si dara Thian Hui Yan berputar sehentar lalu berkata, "O, aku mengerti. Apakah karena Thian Go cianpwe berada disini?"
Thian Go lojin mengurut-urut jenggotnya tak mau bicara. Suatu pertanda bahwa maksudnya memang seperti yang dikata dara itu.
Dara itupun tertawa mengikik dan berseru pula, "Thian Go cianpwe, sering kudengar orang berkata, bahwa 'pohon kalau sudah tua tentu tengahnya (hatinya) kosong". Dan orang kalau sudah tua, uh, juga tak hanyak gunanya lagi!"
Dendam Iblis Seribu Wajah 14 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama