Ceritasilat Novel Online

Makam Asmara 4

Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 4


Ping itupun masih mempunyai pedang pusaka Pemutus-asmara."
Ca Giok tertawa hambar, "Saat ini dalam makam tua disini penuh dengan alat-alat pekakas
yang berbahaya. Betapapun erat hubungan orang hingga seperti ayah dan anak, tetapi juga tak dapat saling
memberi bantuan. Ting Ling tertawa, "Ih, engkau dapat memikir terang juga"
Sejenak mengeliarkau pandang mata, nona itupun melanjutkan pula, "Mengapa engkau hanya
seorang diri saja" Dimana Ih Thian-heng" Beri tahu terus terang, akupun akan memberitahu kepadamu tentang
keadaan ayahmu yang sebenarnya"
"Sejak engkau melarikan diri, Ih Thian heng marah sekali. Dua orang anak buahnya dihantam
mati lalu menyuruh seluruh orang-orangnya mencarimu kesegenap penjuru. Bermula aku bersama
ayahku tetapi ditengah jalan bertemu dengan ketua Lembah-seribu racun. Ayah dan ketua
Lembah-seribu-racun saling berhantam. Akupun juga berbaku bantam sampai tiga jurus dengan
pengikut2 ketua Lembah-seribu-racun "Tak perlu kutanya, tentu engkaulah yang kalah," kata Ting
Ling. "Tiga jurus, belum ada yang kalah dan menang. Tetapi perkelahian iiu telah menyebabkan aku
terpisah dengan ayah. Aku tersesat jalan dan membelok kemari sehingga tanpa sengaja bertemu
dengan nona." Ting Ling mencibirkan bibir, "Mengapa engkau tak mengakui kalau engkau kalah dan dikejar
musuh sehingga menyusup kemari?"
"Silahkan saja nona mengatakan bagamana. Aku tak memasukkan dalam hati. Tetapi kuminta
nona suka memberitahu dimana berad-nya ayahku itu."
"Ya, baiklah," kata Ting Ling, "dengan terus terang kuberitahu bahwa aku benar-benar tak
pernah melihatnya." "Apakah omongan nona tadi hanya isapan jempol belaka?" Ca Giok menegas.
"Siapa bilang isapan jempol?" kata Ting Ling, "yang jelas Han Ping tidak memburu ayahmu."
"Lalu siapa?" "Nyo Bun-giau serupa dengan ayahmu, keduanya golongan macan hitam."
Ca Giok tertawa, "Harap nona jangan lupa. Ayahmu dan ayahku itu tokoh termasyhur diduma
persilatan. Nama dari Lembah-raja-setan sesungguhnya tak dibawah marga Ca."
Tiba-tiba Ting Ling berpaling kearah orangtua jenggot panjang dan berseru, "Maju dan serang
dia sampai tiga jurus!"
Tanpa bicara apa-apa, orangtua jenggot panjang itu terus maju menyerang Ca Giok sampai tiga
jurus. Hebatnya bukan main sehingga Ca Giok sampai mundur enam langkah. Darah dalam tubuhnya
bergolak keras, mata berkunang kunang.
Untung setelah tiga jurus, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya dan mundur
kembali ketempatnya semula.
Ca Giok menghela napas panjang, memandang Ting Ling dan berkata, "Orangtua ini, hebat
sekali pukulannya." Ting Ling hanya tertawa hambar, "Kalau engkau bicara tak keruan, tentu akan kusuruh dia
membunuhmu." "Ya, dia memang mampu."
"Nah, kalau engkau sudah tahu, baiklah," kata Ting Ling, "engkau jawablah beberapa
pertanyaanku tetapi harus mengatakan sejujurnya. Nanti tentu kubebaskan."
"Seorang lelaki dapat bersikap keras, pun dapat lunak. Silahkan engkau bertanya."
"Engkau memang pandai merangkai kata-kata dan mengambil muka orang, "kata Ting Ling,"
dan pandai berbohong. Tetapi engkau harus mengerti, bahwa justeru aku ini paling dapat meneliti kebohongan orang.
Tiap patah kata engkau berkata bohong, tentu akan kupotong jari tanganmu.
"Jangan kuatir," kata Ca Giok, "orang" yang berada dalam makam tua ini memang tipis
harapannya dapat keluar lagi dengan selamat. Disini memang merupakan gelanggang perebutan
jiwa dengan menggunakan ilmu kepandaian.
Kalau aku tak ingin cepat mati lebih dulu, tentu takkan membohongi engkau."
"Hm. tak kira kalau engkau masih bersikap begitu perwira," kata Ting Ling.
Tiba-tiba nona itu kerutkan wajah dan melanjutkan berkata, "Ih thian-heng, ayahmu dan Nyo
Bun-giau, dengan tujuan apa menyebarkan surat kepada tokoh-tokoh persilatan, mengundang
mereka datang ke makam tua sini?"
"Bagaimana engkau tahu kalau ayah dan Ih Thian-heng mengundang mereka"! Ca Giok balas
dapat tanya. Hm, dengan menerka saja tentu sudah dapat menerka tepat."
"Benar, engkau memang menerka tepat," kata Ca Giok," lh Thian heng hendak meminjam alatalat
rahasia dalam makam ini untuk membinasakan seluruh tokoh persilatan!"
"Ya, hai itu memang aku sudah tahu," kata Ting Ling, "yang kutanyakan kepadamu yalah
tentang rencananya."
"Pada setiap pintu terowongan, ia selalu menyuruh seorang anak buah yang mahir
menggunakan senjata rahasia beracun untuk menjaga. Tak peduli siapa saja yang masuk pintu
terowongan, tentu akan dihantam dengan senjata rahasia beracun.
Alat rahasia yang sudah hebat di tangan dengan seorang penjaga yang berilmu tinggi, benarbenar
merupakan pintu maut bagi setiap orang persilatan yang melalui pintu itu. betapapun
tingginya kepandaian orang itu."
"Rencananya itu memang bagus. Sayang dalam dunia masih banyak orang yang lebih cerdas
dari dia," dengus Ting Ling.
"Benar," sahut Ca Giok, "aku sendiri memang tak percaya bahwa di dunia ini terdapat orang
yang paling uomor satu. Karena setiap orang itu mempunyai bakat dan kecerdasan sendiri2."
"Pandanganku justeru berlainan dengan engkau," kata Ting Ling.
"Aku ingin mendengar alasan nona"
"Ilmu kepandaian yang dicapai orang dengan bakat kecerdasan memang mempunyai
hubungan. Maka sejak dahulu sampai sekarang, belum pernah terdapat orang yang tidak cerdas
dapat memiliki kepandaian yang tinggi."
Saat itu Ca Giok tak mau adu lidah dengan Ting Ling maka ia hanya tertawa saja, "Mungkin
pendapat ia lebih benar."
"Hm, memang sehenarnya aku harus dapat melebihi engkau!" dengus Ting Ling.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Giok-ji". Giok ji"."
Ca Giok terkejut. Giok ji artinya anak Giok, yalah panggilan yang biasa dilakukan ayahnya
kepadanya. Segera ia mengempos semangat dan berseru nyariug, "Yah, apakah engkau?"
Wut, iapun segera lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun kearah Kim Loji.
Baru saja Kim Loji menambal bobolan dinding atau begitu mendengar deru angin pukulan
terpaksa cepat-cepat ia menyingkir kesamping.
Habis memukul, Ca Giokpun segera loncat ketempat bobolan dinding dan terus menghantam
penutupnya. Brak". penyumbat dinding itupun berantakan.
"Lekas bunuh dia, makin cepat makin baik!" segera Ting Ling memberi perintah kepada
orangtua jenggot panjang.
Tetapi orangtua "jenggot panjang itu kerutkan dahi seolah-olah segan melakukan perintah Ting
Ling. Tetapi sesaat kemudian akhirnya ia melesat mengejar Ca Giok.
Setelah menyingkir kesamping, Kim Loji terus membabat dengan golok tetapi saat itu Ca Giok
yang sudah melayang ditanah, segera berputar tubuh, menghindari tabasan golok lalu
menghantam sekuat-kuatnya kepada orangtua jenggot panjang.
Orangtua jenggot panjang menangkis. Tetapi walaupun dapat menahan pukulan Pek-poh-sin
kun namua tak urung terpental juga di ketanah.
Tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk kedalam lubang itu dan terus menghantam Kim Loji
Cepat sekali orang itu bergerak sehingga tahu-tahu Kim lo ji sudah direbut goloknya. Dan secepat
itu pula pendatang itupun sudah menghadang dimuka Ca Giok, memutar golok menyeraug
orangtua jenggot panjang yang mendesak Ca Giok.
Ting Ling cepat mendekat orangtua alis panjang dan membisikinya, "Lo cianpwe, harap lekas
suruh kera bulu emas turun tangan "
Orangtua alis panjang itu tertawa gelak-gelak, "Jangan kuatir nak, sekalipun pendatang itu
sakti sekali tetapi aku tentu mempunyai daya untuk menghadapinya."
"Bukankah engkau tak mengerti ilmusilat?" tanya Ting Ling heran.
Jawab orangtua alis panjang, "Apakah membunuh orang itu harus menggunakan ilmu silat
saja" asal engkau dapat membuatnya dekat kepadaku dalam jarak tiga langkah, aku tentu dapat
menguasainya." Saat itu pendatang tadi hentikan serangannya dan berpaling kepada Ca Giok, "Nak, apakah
engkau terluka?" "Tidak".," sahut Ca Giok. Kemudian ia menunjuk pada orangtua jenggot panjang, "Orang itu
sakti sekali," kalau menghadapinya harap ayah hati-hati."
Sejenak memandang kepada orangtua jenggot panjang, ayah Ca Giok, berseru, "Hai, apakah
saudara bukan saudara Theng Ban-li si Pukulan besi itu?"
Orangtua jenggot panjang tertawa, "Ah, kiranya saudara Ca masih ingat kepadaku."
"Ai, jenggot saudara Theng yang indah itu sungguh tiada keduanya dalam dunia.
Karena memandang jenggot itulah maka aku terhindar akan saudara Theng. Teringat ketika
pertemuan digunung Heng-san kita saling menuturkan pengalaman masing-masing."
Sambil menjuntaikan jenggotnya yang bodol, orang she Theng itu itu tertawa, "Ah, jenggot itu
sekarang sudah habis."
"Ah. saudara Taeng masih tetap sama dengan dahulu".kata Ca Cu lalu berpaling kearah Ca
Giok, "Inilah Theng supeh, dengan sepasang pukulan besi dia pernah mengaduk daerah Kwangwa
dan tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hayo, lekas engkau memberi hormat kepadanya."
Ca Giokpun segera melakukan perintah ayah. Tersipu-sipu ia memberi hormat, "Harap Theng
locianpwe suka memberi maaf."
Theng Ban-li tertawa, "Harimau pasti takkan beranak anjing. Kepandaian hian-tit, sungguh
membuat aku kagum sekali."
Ca Giok hanya tersenyum, "Ah, harap Theng supeh jangan keliwat memuji.
Kalau supeh tak bermurah hati aku tentu sudah terluka."
Ca Cu-jing cepat dapat mengetahui suasana dalam ruang itu. Dihatnya orangtua alis panjang
itu duduk meramkan mata. Sikapnya membuat orang sukar menduga betapakah ilmu kepandaian orang itu.
Diam-diam Ca Cu-jing heran mengapa Theng Ban-li mau menerima perintah Ting Ling.
Namun sebagai seorang tak mau cepat-cepat membuka rahasia orang sebelum tahu duduk
persoalannya yang jelas. Sambil memberi salam kepada Ting Ling, ia berseru, "Ah, kepandaian hiat-titli sungguh
membuat kita orang-orang tua ini kagum dan malu hati."
Selama Ca Cu jing hercakap cakap dengan Theng Ban-li tadi, diam-diam Ting Ling sudah
memperhitungkan kekuatan kedua belah pigak.
Walaupun sakti tetapi Theng Ban-li itu ternyata bersahabat baik dengan Ca Cu-jing.
Sedang walaupun orangtua alis panjang itu manhir dalam ilmu racun tetapi dia tak mengerti
ilmusilat. Kalau sungguh terjadi pertempuran, tentu tak berguna. Sedang ia sendiri bersama Kim Loji
tetap bukan tandingan Ca Cu jing. Dan apabila ia mendesak pada Theng Ban-h untuk bertindak
kemungkinan orangtua jenggot panjang itu tentu akan nekad menentangnya. ".
Sekalipun masih muda tetapi Ting Ling memang luar biasa cerdasnya.
Dalam menghadapi kesulitan yang bagaimanapun sukarnya ia tetapi berlaku tenang.
"Terima kasih paman Ca," serunya tersenyum Berkata pula Cujing, "Sejak masuk kedalam
makam ini, ih Thian-heng semakin gila.
Bukan saja mempunyai rencana hendak menumpas seluruh kaum persilatan, pun Nyo Bun-giau
dan diriku, juga akan dibunuhnya.
Dia memang berhati ganas dan beracun seperti ular berbisa. Sukar untuk diajak kerja sama"."
"Ting Ling tertawa, "Kalau paman dapat menyadari hai itu, aku sungguh gembira sekali."
"Ayahmu juga sudah masuk kedalam makam ini, berita itu tentulah engkau sudah tahu," kata
Ca Cu jing pula. "O. apakah ayah juga datang" Bilakah paman berjumpa dengan ayah " tanya Ting Ling.
Ca Cuing tertawa, "Suara suitan aneh dari ayahmu, tiada orang didunia ini yang dapat meniru.
Aku mendengar suara suitannya, apakah hal itu tidak seperti melihatnya wajahnya?"
"Tetapi memang kuharap ayah datang kemari agar aku dapat menceritakan tentang
pengalaman pahit yang kuderita"."
Tiba-tiba angin berkesiur dan seorang yang tubuhnya berlumuran darah menerobos masuk.
Rambutnya kusut masai, pakaian compang camping dan darah yang berhamburan mengotori
mukanya itu, menyebabkan wajahnya yang aseli tak kelihatan.
Walaupun Ca Cu-jing luas pengalaman tetapi untuk sesaat ia tetap tak dapat mengenali orang
itu. Suasana dalam makam itu penuh diselimuti hawa pembunuhan Maka setiap orang selalu siap
siaga menjaga diri. Munculnya pendatang yang menyeramkan itu, tak disambut dingan tindakan yang bersikap
hendak menolongnya. Tampak tubuh pendatang itu terhuyung-huyung. Rupanya dia sudah tak kuat untuk berdiri
tegak. Sambil menghampiri, Ca Cu-jing menegurnya, "Siapakah engkau?"
Karena lukanya parah, orang itu Pejamkan mata dan menyahut dengan sisa tenaga yang masih
dipunyai, "Ca Cu-jing"
Ca Cu-jing terkejut. Diam-diam ia berpikir, Memang banyak tokoh persilatan yang kenal
kepadanya. Tetapi yang langsung memanggil namanya begitu saja, sedikit sekali jumlahnya. Kalau orang
itu memanggilnya begitu, tentulah seorang yang hebat. "Siapa saudara ini" Mengapa memanggil
namaku?" tegurnya. Orang itu menggeliat bangun dan melangkah beberapa tindak, medekap meja dan berpaling,
"Apakah saudara Ca benar-benar tak kenal lagi padaku?"
Ca Giok seperti kenal dengan nada suara orang itu tetapi sesaat ia masih belum ingat sekali.
"Saudara menderita luka parah sekali. Harap jangan banyak bicara. Bolehkah aku membantu
mengobati luka saudara?" serunya.
Dengan susah payah orang itu menjawab, "Tubuhku telah menderita tujuhbelas tusukan
pedang. Sekalipun makan obat dewa, mungkin tak dapat menolong jiwaku.
Walaupun sudah mendekap meja tetapi tubuh orang itu tetap gemetar ketika bicara.
Ca Cu-jing buru-buru menyanggahnya, "Saudara menderita tujuh belas tusukan pedang namun
masih kuat bertahan benar-benar
saudara hebat sekali."
Setelah mendapat bantuan tangan Ca Cu jing. orang itu dapat berdiri tegak, serunya: Beberapa
nadi dalam tubuhku sudah putus, darah yang masih tersisa dalam tubuhku, segera akan
mengalir"." Bluk, ia tak dapat melanjutkan katanya karena saat itu iapun rubuh.
Ca Cu jing memeriksa luka orang itu dan dapatkan bahwa hampir sekujur tubuhnya berhias
luka berat sehingga pakaiannya merah dengan darah.
Ca Cu jing tak mempedulikan kematian orang itu Karena bagaimanapun dengan menderita
sehebat itu, tak mungkin dapat ditolong jiwanya. Yang menjadi pemikirannya yalah siapakah yang
membunuhnya" Ya, ia ingin tahu.
Segera ia lekatkan telapak tangannya ke punggung orang itu dan menyalurkan tenaga dalam,
serunya, "Luka yang begitu hebat, telah menyebabkan nada suara saudara agak berobah sehingga
aku benar-benar tak dapat mengenali saudara.
Harap saudara suka memberitahu nama saudara agar kelak apabila bertemu dengan putera
saudara, dapat kuberitahukan kepadanya."
Serangkum hawa hangat segera memancar pada jalan darah di pusar orang itu sehingga dia
dapat siuman lagi. "Aku Thay ou Ong". " belum selesai berkata tiba-tiba orang itu muntah darah.
Ca Cu-jing lerkejut, serunya, "Saudara ini saudara Ong Tay-ki dari telaga Thay-cu?"
"Benar"." "Saudara Ong terluka ditangan siapa?"
Baru Ong Tay-ki hendak menjawab tiba-tiba dari lubang bobolan dinding terdengar suara orang
berseru dingin, "Terluka ditanganku "
Cepat Ca Cu-jing berpaling dan tampak seorang lelaki berjubah panjang, berjalan menghampiri.
Tetapi serempak dengan itu ia merasakan tubuh Ong Tay-ki yang disanggah dalam tangannya
itu mengulai kesamping terus terkapar jatuh ke tanah Can putuslah jiwanya.
Pelahan lahan Ca Gu jing mengangkat tangan kanan, dijulurkan jurus kemuka dada. Diam-diam
ia menyalurkan tenaga-dalam Pek poh-sin kun. Asal pendatang itu hendak menyerang iapun
hendak mendahului menghantamnya.
"Kalau sudaura dapat memberi tusukan tujuhbelas buah kepada Ong Tay-ki, jelas saudara tentu
seorang tokoh yang ternama.
Bolehkah aku mendapat tahu nama saudara yang mulia?" serunya. Sebagai seorang yang
pengalaman, cepat ia dapat mengetahui bahwa pendatang itu mengenakan wajah palsu dati
kedok kulit. Pendatang itu mencekal sebatang pedang di tangan kanan sedang tangan kiri mengusap kedok
mukanya lalu tertawa nyaring, "Saudara Ca, mengapa sama sekali engkau tak dapat mengenali
nada suaraku?" Demi melihat wajah orang itu, gemetarlah Ca Cu-jing, serunya, "O, saudara Ih?"
Ya, yang muncul itu memang Ih Thian-heng, jago yang menggangap dirinya sebagai tokoh
nomor satu diduma. Dia memang merencanakan untuk menjaring seluruh orang persilatan kedalam makam itu
untuk dibasmi. "Benar. memang aku," Ih Thian-heng tertawa.
Tokoh itu mengeliarkan pandang mata kedalam ruang.
Ca Cujingpun segera menurunkan tangannya yang menjulur kemuka dada itu lalu tertawa,
"Karena saudara Ih menggunakan logat daerah, sudah tentu aku tak dapat menangkap
maksudnya. Orang persilatan mengatakan bahwa saudara Ih paham semua logat bahasa daerah, ternyata
memang benar." "Ah, saudara Ca keliwat memuji"." kata Ih Thian-heng, "tetapi apakah saudara Ca pernah


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjumpa dengan Nyo Bun-giau "
Ca Cu-jing gelengkan kepala, "Tidak, aku tak pernah kesampokan dengan saudara Nyo."
"Bilakah saudara Ca menemukan nona Ting itu?" Ih Thian heng tertawa dingin.
"Aku baru saja tiba disini"." kata Ca Cu jin seraya memandang kearah Theng Ban-li dan
berkata, "Dia adalah Pukulan-besi Theng Ban-li dari Kwan-gwa, seorang tokoh ternama dari
gunung Pek-san." Memandang kepada mayat itu, Ih Thian-heng berseru, "Bagus, bagus, saudara Theng ternyata
juga datang kemari mengantar jiwa.
Theng Ban-li mejulaikan jenggotnya, berkata, "Kalau bicara, harap saudara Ih sedikit pakai
kesungkanan" Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa dan mengangkat, tangan menunjuk Ting Ling, "Makam ini
merupakan sebuah tempat yang melingkar-lingkar bundar tak peduli nona akan bersembunyi
dimana, tentu tak dapat lolos dari tanganku."
Ting Ling melihat alis Ih Thian-heng mengerut hawa pembunuhan. Sikapnyapun mengunjuk
hendak segera turun tangan.
Tetapi ia tak tahu siapakah yang akan dibunuh. Kemungkinan Theng Ban-h, kemungkin ia
sendiri. Tetapi Ca Cu-jing pun juga bukannya tak mungkin.
"Apakah engkau hendak mencari Nyo Bun-giau?" akhirnya ia bertanya.
"Dimana dia?" "Aku pernah berjumpa tetapi tak tahu sekarang ini dia masih hidup atau sudah mati?"
?"Apakah dia berjumpa dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay bun itu?"
"Bukan," Ting Ling gelengkan kepala."Ketua Lembah-seribu racun?"
"Juga bukan"."
JILID 4 Persekutuan serigala. Ih Thian-heng menyimpan kedok muka kedalam baju lalu tertawa keras, "Aku tak peduli
tentang mati hidupnya Nyo Bun-giau.
Dia bertemu siapa dan mati ditangan siapa, bagiku tiada kepentingannya.
Hanya kalau nona hendak meminjam tempat ini untuk mengulur waktu, akupun hendak
bertanya separah kata kepadamu"."
Sejenak berhenti, Ih thian-hengpun berkata pelahan-lahan, "Apakah dia bukan bertemu dengan
Thian Hian totiang?"
Ting Ling tertawa, "Engkau sudah tahu bahwa jiwaku berada dalam genggamanmu maka
berani sja engkau hendak mengulur waktu.
Karena engkau mempunyai anggapan begitu, baiklah, akupun tak mau berbantah lagi dengan
engkau, nanti akhirnya tentu tahu sendiri. Dan karena engkau bertanya, akupun tak keberatan
untuk menjawab Ting Ling tertawa pula.
"Orang yang dijumpahi Nyo Bun giau, walaupun tiada terdapat nama Thian Hian totiang.
Namun dalam ilmu pedang, kiranya tak kalah dengan Thian Hian totiang," katanya pelahan.
Tiba-tiba wajah Ih Thian-heng membesi, serunya, "Apakah bukan Ji Han ping?"
Sambil mengelus rambut, Ting Ling tertawa ringan, "Benar, memang Han Ping."
Mata lh Thian-heng berkilat, wajahpun tampak agak berobah. Tiba-tiba ia tertawa, "Bagus,
bagus! Ji Han Ping, Ji Han Ping, akhirnya engkau juga datang kemari!"
Walaupun nada tertawanya melantang keras namun tak dapat disembunyikan bahwa dalam
kilatan matanya itu jelas tak tenang.
Ting Ling dapat memperhatikan hal itu dan diam-diam menarik kesimpulan bahwa nyata Ih
Thian-heng itu sudah menempatkan Ji Han Ping sebagai lawan yang paling berat, satu satunya
orang yang mampu mengimbangi kepandaiannya".
Rupanya sikap Ih Thian-heng itu, tak luput juga dari pengawasan Ca Cu jing dan Theng Uan-li.
Diam-diam kedua tokoh itu heran mengapa seorang tokoh durjana yang paling ditakuti oleh
segenap orang persilatan ternyata begitu memandang berat pada seorang pemuda yang belum
terkenal. "ji Han Ping?" seru Theng Ban-li," siapakah dia" Mengapa aku belum pernah mendengar nama
itu?" Ih Thian-heng tersenyum, "Karena saudara Theng lama tinggal didaerah Kwan-gwa, tentulah
tak begitu faham akan jago2 silat daerah Tiong-goan. Misalnya, Ji Han Ping."
"Ji Han Ping itu satu-satunya jago muda yang dapat menggetarkan nyali Ih Thian-heng," tibatiba
Kim loji menukas sambil busungkan dada. Walaupun sudah lama Kim loji hidup dalam tekanan
Ih Thian-heng, tetapi pada saat itu samangatnya menggelora, seolah-olah ia turut menikmati
nama Han Ping yang gemilang.
Ih Thian-heng berpaling menyapukan pandang kearah Kim loji, serunya pelahan, "Benarkah
aku gentar terhadap anak itu?"
Kim loji buru-buru hindarkan pandang mata dari sinar mata Ih Thian-heng, sahutnya, "Benar
atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu."
Ca Gu jing dan Theng Bau- lipun mencurah pandang kepada Ih Thian heng. Tiba-tiba Ih Thianheng
tertawa gelak-gelak, "Benar, memang aku agak gentar kepadanya"."
Setelah berhenti tertawa, ia berkata pula dengan pelahan, "Oleh karena itu dengan bermacam
siasat, aku hendak membasminya!"
Kim loji tertawa dingin, "Mungkin". belum tentu". engkau dapat membunuhnya"."
"Memang ada beberapa orang dalam pandanganku, kalau dia hidup tak membahayakan,
kalaumatipun tak ada kepentingan bagiku.
Orang-orang semacam itu. aku tak peduli mati atau hidup."
Kemudian ia menatap Kim loji, "Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini engkau masih bisa
bernafas " Seketika wajah Kim loji pucat lesi, tak dapat bicara lagi.
"Tetapi ada beberapa orang, walaupun hanya hidup sehari saja, tetap meresahkan hatiku dan
harus kubasmi. Aku ingin hidup tenang maka harus lekas-lekas dia kulenyapkan," kata Ih Thian-heng pula.
"Kalau begitu, engkau tentu akan melenyap kan aku," seru Ting Ling, "oleh karena aku ini juga
termasuk duri dalam mata."
"Benar," sahut Ih Thian-heng.
Ting Ling tertawa ringan: Aku sungguh berbahagia sekali tiba-tiba ia mengangkat tangan dan
segulung asap segera meluncur, tanpa diketahui orang sama sekali.
Ih Thian heng tertawa gelak-gelak, "Hai, budak perempuan yang ganas!" ia terus tamparkan
lengan jubah sehingga bubuk racun itu berhamburan kemana-mana.
Melihat itu pucatlah Ting Ling. Cepat-cepat ia berseru, "Lekas tutup pernapasan!"
Tetapi terlambat. Kini lojipun sudah terjungkal rubuh ditanah.
Ih Thian heng menengadahkan kepala tertawa, "Bubuk Bi-yokhun dari Lembah-raja-setan
memang hebat sekali. Tetapi kalau gagal mencelakai orang, tentu akan mencelakai diri sendiri.
Pengalaman ini harap nona Ting jangan lupa dan ingat baik2"
Habis berkata ia terus melangkah ketempat Ting Ling.
Wajah Ting Ling berobah tegang, "Tok lo-cianpwe, kera bulu emas"."
Serentak terdengar suitan tajam dan kera itupun sudah melesat kesamping Ting Ling, terus
menyerang Ih Thian-heng. Ih Thian-heng menghindar kesamping. Ting Lingpun cepat-cepat mengambil bubuk obat lagi
dau dilumurkan ke hidung Kim loji.
Terkamannya luput, kera bulu emas itu marah sekali. Bulu sekujur tubuhnya tegak berjuntai,
kedua tangannya yang bercakar runcing, tampak menelungkupi Ih Th-an-heng.
Tetapi Ih Thian-heng hanya ganda tertawa, "Apakah hanya begitu saja kepandaian binatang
ini?" Ia tamparkan tangannya.
Kera itu menghindar kesamping tetapi telah disambut dengan tamparan tangan Ih Thian heng
yang tepat mengenai dadanya.
Kera itu meraung keras lalu mencelat sampai setombak tingginya dan tubuh disudut dinding.
Orangtua alis panjang terkesiap. Ca Cu-jing dan Iheng Ban-li menghela napas. Ting Ling
tegang. Kim Loji menggigil lalu menggeliat berdiri, tegak terlongong longong.
Ih Thian heng berkata tawar, "Kalau nona Ting mempunyai siasat apa lagi, silahkan menge
luarkan semua agar aku dapat melihatnya."
Tiba-tiba Ting Ling berseru, "Theng Ban-li apa kah engkau lupa perjanjian kita" Lekas serang
dia sampai tigaratus jurus!"
Sebenarnya saat itu Theng Ban-li sudah le paskan tangannya yang mengurut jenggot tadi dan
tegak termangu. Ih Thian-heng tertawa dingin, "Hm. saudara Theng sudah tua mengapa mau menjadi hamba
yang diperintah nona Ting Kalau hal itu tersiar didunia persilatan, bukankah mereka akan tertawa
geli?" Wajah Theng Ban-li merah padam, serunya ketus, "Saudara Ih mengatakan begitu, apakah"."
Tiba-tiba kata-katanya terputuskan oleh teriakan Nyo Bun-giau, yang dari jauh makin lama
makin dekat dan akhirnya sudah berada diluar ruang.
Tangan yang sudah diangkat dan hendak di pukulkan oleh ih Thian-heng terpaksa diturunkan
lagi. Ia berpaling memandang kearah lubang din ding, serunya, "Apakah itu saudara Nyo" Lekas
masuk kemari!" Sesosok tubuh menyelinap masuk dan muncullah Nyo Bun-giau.
Ting Ling yang licin dan cerdik, pada saat orang ribut2 menunggu kedatangan Nyo Bun giau
cepat sudah menyambar sebuah cawan perak terus ditimpukkan kearah lentera kaca yang
tergantung pada wuwungan guha. Pyur". lenterapun pecah berhamburan jatuh ketanah.
Karena lentara pecah maka mutiara yang ter pasang diempat dinding ruangan, pun padam
sinarnya. Ruangan gelap. Dan setelah menimpuk lentera kaca, Ting Ling cepat menyambar tangan orangtua alis panjang
diajak bersembunyi pada sebuah gundukan batu.
Suasana kacau. Ih Thian heng cepat lepaskan hantaman kearah tempat yang diduduki Ting
Ling tadi. Prang". alat-alat makan terbuat dari perak dan porselein yang terletak diatas meja,
berhamburan jatuh keseluruh tempat, Mejapun terjungkir balik menghantam dinding dan seketika
ruangan itupun terasa berputar-putar.
Theng Ban-li meraung keras lalu menghantam dua buah cawan perak yang dipukul lh
Thianheng dan melayang kearahnya.
Prangng". cawan itupun melayang kembali.
Ruangan itu hanya dua tombak luasnya. Yang berada dalam ruangan itu tak kurang dari tujuh
orang. Sedang suasananya kacau balau. Pada saat Theng Ban-li lepaskan pukulan, justeru Ca Cu-jing
loncat melintas dihadapannya.
Berbareng dengan terhantamnya cawan perak, bahu kanan Ca Cu jingpun kena hantaman
sehingga dia menyingkir mundur dua langkah ke samping.
Ca Cu jing mendengus, berpaling dan lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun.
Tetapi saat itu Theng-Ban-Iipun sudah menyingkir ke samping dan kebetulan Ih Thian-hengpun
mundur. Dialah yang termakan pukulan Pek-poh-sin-kun.
In Thianheng memang sakti dan memiliki reaksi yang tajam. Begitu merasa serangkum angin
pukulan yang luar biasa tajamnya, ia menyadari kalau tak sempat menangkis.
Maka ia meminjam angin pukulan itu untuk ayunkan tubuhnya loncat kesamping lagi.
Tetapi celaka! Secercah sinar perak berkelebat menyongsong kearahnya. Ih Thianheng cepat
empos semangatnya dan hentikan gerakan tubuhnya, menyalurkan tenaga-dalam ke punggung
untuk menahan pukulan Pek-poh-sin-kun sambil kebutkan lengan baju untuk menghalau tusukan
pedang, "Hm, saudara Nyo"."
Rupanya Nyo Bun giau tak tahu jelas siapa yang dalang itu. Maka cepat-cepat ia menarik
pedang dan berkata, "Harap saudara lh maafkan kehilafanku."
Ih Thian-heng tertawa dingin, "Ca Cu-jin telah menghantam aku dengan Pek-poh sin-kun."
Mendengar itu cepat-cepat Ca Cu jing berseru, "Harap saudara Ih jangan salah faham, karena
gelap aku tak sengaja"."
Tiba-tiba ia berhenti berkata, berputar diri dan menghantam, "Hai, siapa itu" Mengapa berani
menyerang secara gelap kepadaku?"
Terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, "Aku,si pengemis tua"."
Dan serentak terdengar deru angin bergetargetar. Suatu pertanda bahwa kedua orang itu
sudah bertempur. "Pengemis budak, engkau juga akan mengantar jiwa kemari!" teriak Ca Cu-jing marah lalu
lepaskan hantaman. Tiba-tiba terdengar suara sedingin es, "Hm, saudara Ca, kalau menyerang orang, apakah tak
dapat melihat lagi?"
Ca Cu-jing tertegun. Diam-diam ia heran mengapa dalam beberapa waktu saja ruangan itu
sudah penuh dengan pendatang2 baru.
Baru ia menimang-nimang, tiba-tiba serangkum angin pukulan melandanya hingga ia terhuyung
dua langkah kebelakang. Buru-buru ia empos semangat dan balas mendorongkan kedua tangannya kemuka, seraya
berseru, "Hai, apakah yang datang ini bukan saudara Ting?"
"Ya, memang aku Ting Ko," sahut pendatang itu.
Ih Thian-heng tertawa gembira, "Bagus, saudara Ting Ko yang sudah berpuluh tahun tak keluar
ke dunia persilatan, ternyata juga mempuyai selera datang ke makam ini!"
Ting Ko tertawa dingin, "Ih Thian-heng, tak perlu jual kebanggaan. Aku hendak bertanya
kepada sebuah hal, engkau harus menjawab dengan terus terang."
"Aku orang she Ih tak percaya bahwa orang yang masuk kedalam makam ini akan dapat keluar
dengan selamat. Karena semua bakal mati, maka tak perlu aku harus bicara dengan sembunyi2."
"Hm, apakah engkau hendak merencanakan untuk membasmi seluruh kaum persilatan"
Ho, kemungkinan angan2 itu sukar terlaksana," dengus Ting Ko.
Tiba-tiba serangkum angin berkesiur lagi. Jelas seorang pendatang baru, muncul pula kedalam
ruangan situ. Theng Ban-li tertawa, serunya, "Bagus, tak kira setelah kubuka dinding ruangan ini, akan
mengundang sekian banyak jago2 persilatan."
Mendengar ayahnyapun datang, semangat Ting Lingpun bertambah besar. Walaupun hubungan
antara ayah dan putrinya itu dingin, tetapi demi menjaga kebesaran nama Lembah-raja setan,
tentulah Ting Ko takkan membiarkan pulennya menderita.
Maka Ting Lingpun memberesi rambutnya lalu berbangku, serunya, "Yang mengundang datang
orang itu yalah sinar lentera kaca. Terowongan makam gelap gulita, karena melihat sepercik sinar,
sudah tentu mereka terkejut dan buru-buru menghampiri tempat ini."
Tiba-tiba orangtua alis panjang menutupkan sebuah benda mirip lilin ke tangan Ting Ling,
katanya, "Sulutlah lilin ini."
"Baik." kata Ting Ling, "dengan menyalakan lilin tentu dapat diketahui calon2 mayat yang
berada dalam ruangan ini."
Cres, ia nyalakan korek dan menyulut lilin itu. Seketika ruanganpun terang.
Baru nona itu keliarkan pandang mata untuk meneliti orang-orang yang berada dalam ruangan
tiba-tiba Ting Ko berteriak, "Hai, Ling ji, engkau seorang diri masuk juga kedalam makam ini?"
Betapapun Ting Ko itu adalah ayah kandungnya, maka tergetarlah hati Ting Ling mendengar
suara ayahnya. Tetapi ia tahu akan watak sang ayah yang paling benci terhadap orang yang minta belas
kasihan. Maka dengan sikap garang, ia menjawab, "Yah. engkau juga disini"."
Sejenak berhenti, nona itu berkata pula, "Ya,memang aku seorang diri!"
Ting Ling tertawa aneh serunya, "Bagus, tak kecewa menjadi puteri Ting Ko."
"Ah, yah, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang budak perempuan yang membikin malu
nama ayah saja." Kata-kata Ting Ling itu cepat dapat ditanggapi Ih Thian-seng yang mempunyai perasaan tajam.
Segera ia membentak, "Hm, budak setan, lilin apakah yang engkau sulut itu?"
Pertanyaan Ih Thian-heng itu menimbulkan keheranan pada sekalian orang yang berada dalam
ruangan itu. Memang saat itu merekapun mencium bau yang aneh.
"Huh, rupanya bau ini tidak wajar," dengus Ca Cu-jing.
Sekalian memang curiga pada lilin di tangan Ting Ling tetapi tiada seorangpun yang turun
tangan merebut lilin itu.
Rupanya orang-orang itupun gentar juga terhadap Ting Ko.
Ting Ling sendiri juga merasakan bau yang tak wajar. Diam-diam ia berpikir, "Eatah apa
maksud orangtua alis panjang ini.
Apakah lilin ini bukan terbuat dari ramuan obat racun untuk merubuhkan orang-orang disini"
Kalau benar begitu, alangkah baiknya"."
Ting Ling sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidupnya, Dia tak memperdulikan pandang
mata dari sekalian orang, pelahan diletakkannya lilin itu dialas sebuah meja.
Kemudian ia berseru, "Ih Thian-heng, walaupun engkau telah memasang bermacam alat
pekakas rahasia, namun makam ini merupakan sebuah tempat maut. Sekalipun engkau dapat
melenyapkan tokoh-tokoh persilatan yang berada dalam makam ini, tetapi pada akhirnya engkau
sendiri tentu takkan terluput dan kematian juga!"
Ucapan yang dilantangkan sepatahdemi sepatah oleh Ting Ling itu, mau tak mau
menggerakkan hati sekalian orang.
Ting Ling tertawa mengikik dan mendahului berkata lagi, "Yang dapat masuk kedalam makam
ini kalau bukan seorang gagah tentu seorang pendekar besar. Mereka tentu mempunyai
pengalaman dalam dunia persilatan.
Nah, silahkan kalian membuka mata lebar-lebar. Adakah ruangan ini mirip dengan sebuah
tempat kuno yang tak pernah dibersihkan orang?"
Ih Thian-heng memandang kesekeliling tempat tiba-tiba ia berseru uyaring, "Saudara Cong,
Saudara Cong, yang dipanggil itu yalah Pengemis-sakti Cong To. Dengan cepat mata Ih Thianheng
dapat mengetahui bahwa pengemis sakti itu sudah tak berada dalam ruangan situ.
Rupanya ketua Lembah-raja-setan Ting Ko menyadari bahwa liln yang disulut puterinya itu
mengeluarkan bau yang tak wajar, maka buru-buru ia membentak, "Ling ji, padamkanlah lilin itu!"
Ting Ling tak menjawab perintah ayahnya, sebaliknya berseru nyaring, "Adakah saudara2
sudah memilih lawan saudara masing-masing" Nah, lilin ini segera kupadamkan!"
Kecuali Ih Thian-heng, Ting Ko dan Ting Ling bertiga, lain2 orang tak ada yang bicara. Mereka
tengah menutup pernapasannya.
Kiranya karena mencium bau yang aneh, mereka sama menutup pernapasan dan tak berani
bicara. Pelahan-lahan Ting Ling mengambil lilin istimewa itu lalu berkata kepada Ting Ko, "Ayah,
diantara orang-orang yang berada dalam ruangan ini, hanya ih Thian henglah yang paling
bernafsu hendak membunuh aku. Dia rupanya masih sungkan turun tangan terhadap seorang


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anakmuda seperti diriku. Tetapi begitu lilin padam, kemungkinan sukarlah jiwaku terjamin
keselamatannya." "Tak apa. padamlah lilin itu," kata Ting Ko, "aku tak percaya kalau dia berani membunuh
engkau didepan mataku."
"Kalau ayah takpercaya omonganku, boleh dicoba saja," kata Ting Ling, lalu meniup padam lilin
itu. Ruangan itupun kembali gelap gelita lagi. Terdengar beberapa dengusan dan geram kemarahan
lalu menyusul deru suara pukulan, tinju dan tamparan berhamburan kian kemari.
Rupanya sebelum lilin itu padam, masing-masing sudah mengincar musuh, letak beradanya
musuh itu. Maka begitu lilin padam, mereka terus melancarkan serangannya.
Dalam pada itu Ting Lingpun sudah kerahkan tenaga dalam bersiap-siap. Begitu angin serangan
melanda kepadanya, cepat ia loncat kesamping.
Antara Ting Ling dengan ayahnya, memang dingin hubungannya. Sejak besar, Ting Ling tak
mendapat kasih sayang ayahnya. Maka pada saat ia mendengar ayahnya menyatakan hendak
melindungi jiwanya, tergeraklah hati nona itu. Ia menurut perintah ayahnya dan memadamkan
lilin. Ingin ia menguji sampai di mana sang ayah akan melaksanakan janjinya.
Ternyata walaupun di ruang itu telah pecah pertempuran seru tetapi Ting Ling aman, tiada
terlanda angin pukulan. Tiba-tiba terdengar Ting Ko berseru nyaring, "Ling-ji, apakah engkau tak kurang suatu apa?"
Ting Ling gembira sekali, serunya, "Aku tak apa-apa, ayah!
"Ternyata dugaanmu memang tepat. Begitu lilin padam, Ih Thian-heng memang menyerang
engkau. Tetapi dia lalai bahwa kepandaian ayahmu ini, walaupun lebih jauh dari jarak tempat ini tepat
dapat dapat melindungimu.
Hm. orang mengatakan kepandaian lh Thian-heng itu hebat sekali. Tetapi dimara ayahmu,
tidaklah berapa"."
Tiba-tiba saja. kata-kata Ting Ko terhenti. Rupanya Ih Thian-heng telah melancarkan serangan
yang lebih seru kepadanya sehingga dia tak sempat bicara.
Ting Ling menghela napas, "Ah, hari ini baru aku tahu bahwa aku ini memang anak kandung
ayah.?" Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri. Dan menyusul terdengar pula suara tubuh rubuh.
Tentulah ada seorang yang terluka.
Diantara suara hiruk pikuk itu tiba-tiba terdengar sebuah seruan melantang, "Saudara2, apakah
didalam ruang ini terdapat Ih Thian heng?"
Suara itu dari arah lubang dinding Rupanya seorang pendatang yang belum masuk kedalam
ruangan situ. Tetapi Ting Ling cepat mengenali siapa pendatang itu. Entah bagaimana hatinya amat tegang
dan berserulah ia kepadanya, Ji siang-kongkah itu?"
Orang itu tertawa nyaring, "Apakah nona Ting" Ya, memang aku Han Ping. Siapakah orang
yang bertempur disitu?"
"Banyak sekali." sahut Ting Ling, "Ih Thian-heng, Nyo Bun-giau, Ca Cu jing semua berada
disini"." Berhenti sejenak ia menyusuli kata-kata pula: Dan ayahku pun juga datang kesini!"
Sejak kecil ia tak mendapat perhatian ayahnya. Maka apa yang diucapkau sang ayah kepanya,
benar-benar menyentuh perasaan hatinya. Ia merasa mesranya kecintaan seorang ayah.
Maka iapun menaruh perhatian pada ayahnya itu.
"Apakah Ting Ko dari Lembah-raja-setan itu?" seru Han Ping.
"Ya, dia ayahku. Mengapa engkau memanggil namanya begitu Saja?"" tegur Ting Ling.
Han Ping menyulut korek dan orang-orang yang ber tempur itupun segera berhenti.
Ketika berpaling mereka melihat seorang pemuda yang tangan kirinya mencekal sebatang
pedang berkilau-kilauan. Dia berdiri diambang lubang dinding dan memandang berkilat-kilat kedalam ruangan.
Tiba-tiba ia kiblatkan pedang pandak yang berada ditangan kiri. Dan orang yang berada agak
dekat, terpaksa menyingkir kesamping.
Ting Ling menghela napas dan diam-diam memuji pemuda itu, "Ah, alangkah gagahnya dia!
Alangkah berwibawa sikapnya!"
Nyala korek api itu memancar ke mutiara yang menghiasi dinding ruangan, demikianpun
pedang pusaka yang dibawanya itu.
Mutiara dan pedang pusaka, sama-sama memancarkan sinar yang cukup menerangi keadaan
ruangan itu. Setelah mengetahui siapa pemuda itu, Ting Ko agak terkesiap lalu mendengus dan memakinya:
Ho, dia sungguh panjang umurnya!"
Namun Han Ping tak mempedulikan semua orang kecuali Ih Thian-heng. Dengan mata berkilat2
ia memandang wajah musuhnya itu dan pelahan-lahan maju menghampirinya.
Sekalian tokoh-tokoh rupanya terpengaruh oleh sikap Han Ping yang penuh wibawa itu. Mereka
diam-diam mengaguminya. Ih Thian-heiig sendiripun agak gentar. Cepat ilmu Hian-im-gi-kang dari Lembah raja setan,
merupakan aliran ilmu silat yang tersendiri. Tadi telah kucoba ilmu Im-hong-ci dari Ling Ko,
ternyata memang tak bernama kosong!"
Im-hong ci artinya tutukan jari yang memancarkan tenaga dalam Im.
"Ah, jangan memuji begitu," seru Ting Ko. Tetapi diam-diam dalam hatinya mengeluh: Ah, malu
aku ini". Kiranya waktu adu pukulan dengan Ih Thian-heng tadi sampai sepuluhan jurus, tiba-tiba ia
merasa ada seseorang yang diam-diam membantunya sehingga ia dapat menghadapi pukulan Ih
thian-heng. Tetapi Ih Thian heng dihadapan sekian banyak orang sengaja memuji. Sudah tentu ia
malu dalam hati. Entah bagaimana begitu melihat Han Ping muncul, mau lak mau tergetar juga hati Ih Thianheng.
Melihat pemuda itu menghampiri, iapun kerutkan alis dan berkata pelahan kepada Ting Ko,
"Saudara Ting, kenalkah engkau kepadanya!"
"Dia sudah terkena racun hebat, entah bagaimana sampai saat ini dia masih hidup.?" kata Ting
Ko. Ih Thian heng tertawa " Dia memang seperti mempunyai tiga lembar jiwa. Aku seudinpuu
pernah menyaksikan dia terluka dan hampir mati."
Dalam pada itu Nyo Bun-giau segera gunakan ilmu Menyusup Suara, kepada Ih Thian-heng,
"Saudara Ih, tampaknya kepandaian anak itu sekarang lebih hebat lagi. Dan lagi dia membawa
pedang pusaka Pemutus-asmara. Kalau dibiarkan hidup tentu merupakan bahaya dikemudian hari.
Tadi waktu bertempur dengan dia, hampir saja aku terluka.
Maka lebih baik sekarang dia dilenyapkan saja "
Ih Thian-heng alihkan pandang mata kearah Ca Cu-jing lalu gunakan ilmu Menyusup-suara
cenyahut, "Ca Cu jing jelas telah mengingkari perjanjian. Pada saat tadi aku adu pukulan dengan
Ting Ko, beberapa kali dia telah menyerang aku"
Sejenak berhenti ia melanjutkan lagi, "Tetapi ditempat dan saat seperti, memang kurang layak
kalau cari perkara dengan dia.
Baiklah engkau berunding dulu dengan dia!"
Saat itu Han Pingpun sudah tiba di dekat tokoh-tokoh itu. Demi menjaga gengsi, Theng Ban-li
tak mau menyingkir ke samping.
Ih Thian-hengpun maju selangkah menjajari Ting Ko, bisiknya, "Saudara Ting, apakah anak itu
hendak mencari engkau T"
"Kemungkinan memang begitu," sahut Ting Ko.
"Kalau saudara Ting turun tangan, aku sedia memberi bantuan," kata Ih Thian-heng.
Ting Ko mendengus dingin, "Hm. apakan aku takut kepadanya"." ia berhenti lalu menyambung
lagi, "asal jangan diwaktu aku sedang bertempur lalu diam-diam saudara Ih menyerang aku, tentu
dalam seratus jurus aku dapat membuatnya rebah dalam genangan darah."
Ih Thian-heng tertawa, "Bukan aku memuji lawan dan meremehkan kekuatan kita. Tetapi
rasanya tokoh-tokoh yang berada ruangan ini, kecuali aku tak mungkin dapat menandingi
kesaktiannya. Kalau saudara Ting tak percaya"."
Dikili oleh Ih Thian-heng, seketika meluaplah kemarahan ting Ko. Ia tertawa dingin, "Aku
memang tak percaya!"
Ia terus mengangkat tangan kanan dan menutuk kearah Han Ping. Serangkum angin dingin
segera melancar keluar dari jarinya.
"Ho, Ih Thian-heng, mengapa engkau suruh orang lain menjual jiwa untukmu!"
rian Ping gerakkan pedang pusaka menabas dari samping. Serangkum angin pedang yang
dinginpun segera melancar.
"Tenaga-dalam dari ahli pedang!" teriak Ting Ko yang cepat-cepat menarik pulang tangannya.
Diam-diam Ih Thian heng menghela napas, "Ah, kepandaian anak itu memang maju pesat
sekali. Namun walaupun hatinya berkata begitu, mulutnya tersenyum, "Apakah engkau sungguhsungguh
hendak mengajak aku bertempur?"
"Dari luar aku memburu masuk kedalam makam ini tak lam karena hendak mencarimu untuk
bertempur," sahut Han Ping.
Ih Thian-heng yang sombong, mau tak mau tampak meragu. Pelauan-lahan ia memandang
kearah Nyo Bun giau, serunya, "Cobalah pinjam pedang pusakamu."
Nyo Bun giau memberikan pedangnya dan berkata, "Saudara Ih, pedang Pemutus-asmara,
dapat membelah besi seperti mengiris tanah liat saja"."
Sambil menyambuti pedang Ih Thian heng menjawab, "Ya, aku tahu"."
Tiba-tiba dia berseru meminta sekalian orang menyisih ke pinggir, "Walaupun pemuda Ji itu
muda usianya tetapi dalam pandanganku, dia adalah musuhku yang nomor satu. Ilmu kepandaian
dan ilmupedangnya, telah mencapai tataran yang sempurna.
Bukan aku hendak membanggakan diri tetapi pertempuran ini benar-benar merupakan sebuah
pertempuran yang jarang terdapat dalam dunia persilatan"."
Han Ping tengadahkan muka tertawa panjang, "Begitu tinggi engkau memandang diriku, ah,
benar-benar aku menduga sama sekali."
Ih Thian-heng hanya tersenyum, "Bisa memperoleh seorang lawan yang seimbang seperti
engkau, selama aku berdiri di dunia persilatan, baru saat ini aku benar-benar tercapai
keinginanku." Dengan wajah mengerut serius, Han Ping berkata, "Dalam pertempuran ini, aku atau engkau
yang akan mati. Maka sebelum dimulai, lebih dulu aku hendak bertanya sedikit kepadamu."
Ih Thian-heng gelengkan kepala, tertawa, "Walaupun aku mengagumi kepandaianmu, tetapi
aku tak bersedia menjawab pertanyaanmu!"
"Mengapa?" wajah Han Ping berobah.
"Dalam hidupku, banyak sekali pekerjaan yang telah kulakukan sehingga banyak bal yang aku
lupa. Dan aku tak, mau membohongimu dalam jawabanku itu."
Han Ping berseru dingin, "Kalau engkau tak dapat mengalahkan aku, engkau mau bilang atau
tidak?" "Ha, ha, sekarang ucapanmu agak tekebur Ih Thian-heng tertawa mengejek.
Han Ping taburkan pedang Pemutus-asmara, menabas dari samping untuk menusuk dada
orang. "llmupedang yang bagus! "Ih Thian-heng berseru memuji, seraya hamburkan pedangnya untuk
melindungi dada. Dua buah sinar pedang saling berbentur dan keduanya sama mundur selangkah. Ternyata
pedang mereka tak sampai terbentur, hanya pancaran sinar pedangnya saja.
Tampak wajah Han Ping dan Ih Thiang-heng sama" pucat lesi. Jelas dalam jurus pertama itu
saja mereka telah menumpahkan seluruh semangat dan jiwanya.
Sehabis itu, merekapun tegak berdiri mematung. Hanya korek api yang dicekal tangan kiri Han
Ping masih menyala. Dengan mata borkilat-kilat, Ih Thian-heng memandang mata Han Ping. Pedangnyapun pelahan
lahan bergerak lagi, dari kiri ke kanan, membentuk setengah lingkaran.
Setiap dim pedangnya-bergerak, hawa pembunuhan dalam ruangan itupun bertambah tinggi.
Sekalian orang menahan napas, memperhatikan dengan seluruh semangat. Karena mereka
menyadari, bahwa nasib duma persilatan bakal tergantung dari hasil pertempuran kedua orang itu.
Tiba-tiba Hi Thiau-heng memekik keras. Pedangnya berhamburan bagai ribuan bintang yang
menimpali dada Han Ping. Han Pimgpun segera gerakkan pedangnya. Tring, tring, tring". terdengar beberapa kali dering
senjata beradu. Korek api di tangan Han Pingpun padam. Cahaya dari mutiara diruaugan itupun ikut padam dan
gelaplah ruang itu. Melihat pertempuran gebrak pertama dari Han Ping lawan Ih Thian-heng yang mengejutkan itu.
diam-diam Ca Cu jing menimang dalam hati, "Walaupun Ih Thian-hcng itu bukan kawanku tetapi
pemuda Han Ping itu lebih membahayakan"."
Tepat pada saat itu Nyo Bun-giau membisiki kedekat telinganya, "Ji Han Ping itu"."
Tiba-tiba Ca Cu-jing mengepal tangan Nyo Bun-giau. Mereka saling bersentuhan lengan tangan.
Dengan demikian walaupun mulut tak menyatakan apa-apa, tetapi dalam hati keduanya sudah
saling mengerti. Memang kedua tokoh itu memiliki ke
kecerdasan yang luar biasa. Keduanya saling setuju untuk melenyapkan Han Ping Ca Cu jing
segera merogoh baju dan mempersiapkan jarum beracun. Sedang Nyo Bun-giaupun sudah
mengepal tangan, entah menggenggam senjata rahasia apa.
Tiba-tiba api menyala lagi. Ternyata Ting ling yang menyulut korek api.Ternyata Han Ping dan
lh Thian-heng sudah bertukar tempat.
Ca Cu-jing bertukar pandang dengan Nyo Bun-giau lalu diam-diam keduanya mengisar kaki
ketempat Han Ping. Karena api menyala maka dapatlah diketahui bahwa ruang itu penuh dengan taburan sinar
pedang, sinar biru dan sinar putih. Setelah sinar pedang masing-masing bergabung maka Han Ping
Dan Ih Thian hengpun menyusup masuk kedalam lingkaran sinar pedang. Begitu cepat dan ketat
keduanya bergerak sehingga orang-orang tak dapat melihat Jelas bagaimana gerakan mereka itu.
Tring". terdengar bunyi mendering pula. Tetapi kali ini lebih tajam dari yang tadi. Dan kedua
pedang itupun berpencar lagi. Pedang Han Ping condong ke samping dan Ih Thian-heng
menyelinap tiga langkah kesamping.
Pedangnya telah terpapas kutung oleh pedang Han Ping. Tetapi durjana besar dari dunia
persilatan itu, tetap tak berobah kerut wajahnya.
Walaupun sudah siap menaburkan jarumnya,tetapi ia tak berani sembarangan turun tangan.
Dia menyadari bahwa apabila taburannya itu gagal, bukan melainkan akan merosotkan namanya
didunia persilatan, pun tentu akan membangkitkan kemarahan Han Ping. Dan dia tahu bahwa dia
memang tak mampu manghadapi serangan pedang anakmuda itu.
Berpaling kebelakang, dilihatnya Nyo Ban-giaupun sedang memandang kepadanya. Mereka
bertukar isyarat mata. Tiba-tiba Ting Ling mengoncangkan korek api dan berseru lantang, "Ca lo cianpwe, apabila
jarum beracun dalam tanganmu itu engkau taburkan, yang akan menderita bukan melainkan Ji
Han ping seorang saja."
Meluaplah amarah Ca Cu jing. Wajahnya merah padam. Tetapi ia tak dapat melampiaskan
kemarahannya. Maka terpaksa ia hanya tertawa menyeringai lalu berseru, "Ha, ternyata hiantitli juga mau
berolok-olok dengan aku siorang tua ini". "
Ting Ling hanya tertawa mengikik, serunya, "Nyo lo-cianpwe"."
Setelah mendengar bagaimana nona itu membuka rahasia Ca Cu jing yang hendak siapkan
serangan dengan jarum beracun, Nyo Bun-giau cepat dapat menerka apa yang akan diucapkan
nona itu kepada. Tentu kata-kata yang tak sedap di dengar.
Maka buru-buru ia mendahului menukas dengan tertawa, "Nanti sekeluarnya dari makam ini
aku tentu menyediakan diri sebagai comblang untuk melaksanakan perjodohan nona dengan
putera saudara Ca. Dan saat itu aku tentu akan menagih arak kebahagiaan kepada saudara Ting."
Ting Ling terlawa dingin, "Apakah lo-cianpwe tak keberatan untuk memperlihatkan kepadaku
senjata rahasia yang tergenggam ditanganmu itu?"
Demikian percakapan dari kedua orang itu, yang satu ngalor yang satu ngidul.
Tiba-tiba terdengar Ih Thian heng menghela napas, "Ah, benar-benar seorang lawan kuat yang
seumur hidup baru kujumpahi ia terus membabatkan pedangnya yang kutung.
Tetapi kali ini gerakannya amat pelahan sekali, seolah-olah dia tumpahkan seluruh tenaganya.
Kepalanya hasah keringat, lengannya gemetar seperti rak kuat mengangkat pedangnya.
Wajah Han Pingpun berobah gelap. Pelahan-lahan ia mengangkat pedang pusaka Pemutusasmara.
Gerakan kedua seteru itu luar biasa lambatnya. Tetapi ketika kedua pedangnya hampir
berbenturan, tiba-tiba gerakannya berubah cepat.
Pedang kutung dari Ih Thian- heng berhamburan menebarkan sinar perak sehingga saat itu
Han Ping seperti terbungkus dalam gulungan sinar pedang lawan.Sekonyong konyong segulung
sinar pelangi memancar, menerobos keluar dari lingkupan sinar perak. Sosok tubuh merekapun
tampak lagi dan serentak mulut sama mendesuh dan mengerang.
Pada lain saat, kedua sinar pedang itu bergabung rapat lalu tiba-tiba tercerai daa lenyap".
Ih Thian heng mundur liga langkah. Pedang di julaikan ketanah untuk menyanggah tubuhnya.
Kaki Han Pingpun terhuyung, kedua bahunya berguncang-guncang seperti orang mabuk.
Setelah berputar-putar berapa kali, akhirnya ia dapat paksakan berdiri tegak.
Serempak kedua orang itu menghela napas sarat. Keringat bercucuran turun ke tanah. Dan
sekalian tokoh-tokoh silat yang berada dalam ruangan itu sama berdiam diri menahan napas.
Tiba-tiba Ca Cu jing berputar tubuh, melangkah dua tindak ke samping Ting Ling.
Ketua Lembah raja setan Ting Ko membentak, "Aku masih hidup!"
Ca Cu-jing tersenyum, "Harap saudara Ting jangan salah faham. Sama sekali aku tak
bermaksud hendak mencelakai hiantit-li (Ting Ling)."
"Itu bagus," sahut Ting Ko.
Tiba-tiba Ting Ling meletakkan korek lalu bergegas lari kepada ayahnya dan, "Ayah"." ia terus
rebahkan kepalanya kedada sang ayah.
Sejak kecil, belum pernah ia mendapat perhatian yang sedemikian mesra seperti saat itu.
Maka meledaklah perasaan nona itu, sehingga ia lupa keadaan ditempat itu.
Sambil membelai-belai bahu puterinya, Ting Ko berkata, "Belasan tahu aku sebagai ayah
memang tak memperhatikan dirimu sehingga kalian berdua telah banyak menderita "."
Ketua Lembah-raja-setan itu menghela napas, "Kemanakah si Hong" Kalau dia sampai binasa,
sungguh merupakan suatu pukulan batin yang besar bagiku karena pada saat ini aku sudah
mencairkan hatiku yang dingin terhadap kalian."
Sambil mengusap airmatanya yang membasahi kedua pipi, Ting Ling menerangkan bahwa
adiknya, Ting Hong, telah dipungut murid oleh Thian Hian totiang Ting Ko deliki mata. Wajahnya
agak menampil rasa tak senang, serunya, "O, benarkah itu?"


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana aku berani membohongi ayah!"
Tiba-tiba terdengar angin pukulan menderu dan korek itupun padam. Entah siapa yang
melakukan itu. Dan selekas ruangan gelap maka berhamburan pula sinar pedang. Dan serempak itu, Han
Pingpun menggembor marah lalu berhamburan melepaskan pukulan.
Ting Ling menghela napas pelahan, "Ah, Ca Cu jing telah melepas senjata rahasia jarum Hong"
wi-iok-ciam"." Kata-kata Ting"Ling terputus oleh dua buah erang tertahan. Rupanya ada orang yang terkena
taburan jarum beracun dari Ca Cu-jing.
Dalam kekacauan itu tiba-tiba ruangan mulai bergerak berputar putar. Kursi dan meja saling
berbentur, orang"pun hiruk pikuk tak keruan. Ditambah pula dengan pekik auman yang aneh dari
kera bulu emas. Benar-benar telah menjadikan suasana ruang itu seperti kiamat.
Bum". tiba-tiba pula terdengar bunyi menggemuruh dan goncangan keras dari gunung
meletus. Dan pada ujung ruang itu tiba-tiba terbuka sebuah lubang pintu yang bundar. Lentera
kaca karena diguncang oleh letusan dahsyat, berayun-ayun keras, memancarkan sinar, menimpah
mutiara dan mutiara itupun segera memantulkan cahaya yang menerangi ruangan.
Peristiwa aneh itu telah menyebabkan sekalian orang tertegun.
"Ah, dalam makam tua ini seperti benar-benar ada orangnya, "Ih Thian-heng menghela nupas
panjang. "Hm, apa engkau baru tahu sekarang?" seru Ting Ling.
Ih Thian heng tak mau meladeni si nona. Pelahah-lahan ia memutar tubuh dan memandang
Han Ping, "Anak muda, apakah engkau terluka?"
"Kalau terluka lalu bagaimana,?" balas Han Ping dengan nada dingin.
Ih Thian- heng tertawa hambar, "engkau adalah satu-satunya lawan yang dapat mengimbangi
kepandaianku. Akupun ingin sekali dapat bertempur dengan engkau sampai selesai, agar dapat
diketahui siapa yang lebih unggul."
Berhenti sejenak. Ih Thian-heng menyusuli, "Tetapi sayang, suasana tempat ini"."
"Tak peduli suasana bagaimana, kita harus mencari penyelesaian kalah menang!" tukas Han
Ping. Ih Thian-heng kerutkan alis, "Umurmu masih amat muda dan aku sudah tua Apakah engkau
takut kalau aku tiba-tiba akan mati" Dan setiap kali aku bertempur dengan engkau, selalu
kurasakan kepandaianmu bertambah maju. Makin pertempuran kita itu lebih lama
dilaksanakannya, bukankah sangat menguntungkan engkau"."
Ih Thian heng menghela napas, "Entah siapakah orang yang memiliki kecerdasan sedemikian
luar biasa untak menciptakan bangunan makam ini. Ai, sebuah tempat jebakan semacam ini telah
dapat tersiar luas sampai berpuluh-puluh tahun tanpa ada crang yang dapat mengetahui. Hebat,
ya, hebat sekali orang itu karena dia dapat mengelabui seluruh kaum persilatan didunia"."
Ting Ling berseru dingin . "Biarlah kujelaskan untukmu! Soal dapat mengelabuhi tokoh-tokoh
persilatan, soal kecil. Tetapi seorang tokoh sehebat engkau pun dapat juga terkena tipu, bukankah
engkau merasa penasaran sekali?"
Ih Thian-heng hanya terseuyum, "Sayang engkau hanya seorang anak perempuan."
Kalau bukan anak perempuan, lalu bagaimana?" tanya Ting Ling.
"Kalau engkau bukan anak perempuan, engkau tentu akan kuambil sebagai murid dan akan
kuwariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu."
"Kalau begitu lebih baik aku tetap menjadi anak perempuan saja," sahut Ting Ling.
Mata Ih Thian-heng mengeliar lalu Tertawa, "Ah, sungguh seorang budak perempuan yang
bermulut tajam. Kalau tadi aku sama-sama mati dengan Ji Han Ping, mungkin kalian tentu akan
berkurang harapan untuk hidup"."
Ia pelahan-lahan kisarkan pandang mata menatap Ting Ling, serunya, "Apakah engkau masih
mendendam atas hukuman yang kuberikan kepadamu tadi?"
Ting Ling tertawa hambar, "Apa perlunya aku harus mendendam" Bukankah aku tak dapat
mengalahkan engkau?"
Tiba-tiba Han Ping melangkah maju, serunya, "Ih Thian heng, apakah engkau menghendaki
aku berganti senjata?"
"Apakah engkau yakin tentu dapat mengalahkan aku " tanya Ih Thian- heng.
"Kita masing-masing mempunyai setengah bagian harapan. Kalau aku tak menggunakan
pedang pusaka, kemungkinan aku bisa menang, memang berkurang."
Ih Thian-heng mengangguk, "Dalam hidupku, setiap langkah yang kuambil tentu kuputuskan
dengan tegas. Tetapi setiap kali berhadapan dengan engkau, aku selalu meragu. Ah, apakah
benar-benar engkau dilahirkan untuk mengalahkan aku" Walaupun ilmu kepandaianku tak kalah
dengan engkau, tetapi belum2 aku sudah kalah moril."
"Itu karena engkau banyak melakukan ke dosaan," sahut Han Ping.
Tiba-tiba wajah Ih Thian-heng berobah, serunya, "Dengan baik2 aku berunding bersama
engkau, sekali2 bukan karena aku takut kepadamu. Kalau engkau selalu mendesak aku saja,
jangan engkau sesalkan kalau aku terpaksa menindak engkau!"
Han Ping tertawa dingin, "Tindakan bagaimana saja, silahkan engkau mengeluarkan semua!"
"Kalau aku bersama ca Cu-jing menyerangmu, engkau yakin dapat menghadapi sampai berapa
jurus seru Ih Thian heng, Han Ping terkesiap, "Ini"."
"Apabila ditambah lagi dengan Nyo Bun-giau, dalam sepuluh jurus saja engkau tentu sudah
tamat riwayatmu 1" kata Ih Thian-heng pula.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, "Ah, mungkin tidak
semudah itu Tangan sipengemis tua ini masih belum jompo, ditambah dengan seorang Siangkwan
Ko, jadilah kita tiga pasang lawan yang seimbang."
Sekalian orang cepat berpaling. Ternyata pada lubang bobolan dinding, dua orang lelaki tegak
berdiri dengan tenang. Yang sebelah kiri, rambutnya terurai kusut, muka kotor dan punggungnya
menyanggul sebuah buli2 arak warna merah. Dialah Pengemis-sakti Cong To.
Sedang yang disebelah kanan seorang lelaki tua baju biru. berjenggot panjang dan menyanggul
sepasang pedang dipunggung.
"Aha, sungguh kebetulan sekali sudara Cong datang," Ih Thian-heng menyambut dengan
tertawa dingin. Pengemis-sakti Cong To berpaling kepada lelaki jenggot panjang lalu mengambil buli2 araknya,
meneguk dua kali lalu tertawa . "Begitu ramah sekali nada ucapanmu, tentulah engkau hendak
minta tolong kepada pengemis tua ini."
"benar," sahut Ih Thian- heng, "memang aku hendak minta bantuan kepadamu tentang sedikit
urusan." "Ai, sungguh sukar dicari Kesempatan seperti saat ini"." seru Cong To, lalu meneguk buli2 arak
sampai dua kali, baru berkata pula, "baik, pengemis tua bersedia mendengarkan."
"Keadaan saat ini, penuh bahaya," Ih Thian-heng, mulai bicara, "seluruh kaum persilatan telah
dikelabuhi orang sampai berpuluh-puluh tahun. Oleh karena itu aku memutuskan untuk
menyingkap tubir rahasia makam tua ini.
Kuharap saudara suka kerja-sama dengan aku."
"Bukankah engkau menghendaki supaya aku menganjurkan Han Ping membatalkan
permusuhan?" "Ah, tak perlu begitu," kata Ih Thian-heng, "cukup kupinjam kewibawaan saudara Cong agar
mengatakan kepadanya untuk menunda dendam permusuhannya kepadaku sampai nanti rahasia
makam ini sudah terbongkar, aku tentu akan menyelesaikan hal itu lagi."
Walaupun Cong To seorang yang terbuka tangan dan lapang dada, tetapi iapun dapat
menempatkan diri pada setiapkeadaan. Sejenak merenung, ia menjawab, "Walaupun pengemis
tua ini tak setuju pada pribadimu tetapi bicaramu tadi cuKup beralasan. Rupanya aku dapat
memberi bantuan." Tiba-tiba Ih Phian-hem seperti mendapat semangat. Ia menyapukan pandang mata kearah
tokoh-tokoh yang berada dalam , ruang itu, serunya, "Dapat tidaknya rahasia makam mi kita
bongkar, akan menyangkut kepentingan nasib dunia persilatan. Aku bersedia menjadi pelopor."
"Pengemis tua juga mempunyai sedikit soal yang hendak minta bantuanmu" tiba-tiba pengemis
sakti Cong To menyelutuk.
?"Harap mengatakan."
"Dalam ruang ini terdapat dua orang yang terkena senjata rahasia. Kalau engkau benar
bermaksud sungguh hendak membongkar rahasia makam ini, harap menlong kedua orang itu
dulu." Mata Ih Thian-heug berkisar memandang ca Cu-jing, serunya, "Saudara Ca, apakah engkau
membawa obatnya?" Dalam keadaan yang terpojok itu, mau tak mau ia harus mempertimbangkan. Kalau tak mau
memberikan obat itu, tentu kemarahan orang akan tertumpah kepadanya. Namun kalau memberi,
obat itu hebat itu sekali khasiatnya. Setelah minum, tak sampai sepenanak nasi lamanya, kedua
korban itu temu sudah siuman.
Cong To pelahan lahan menghampiri ke samping Han Ping, ujarnya, "Engkoh kecil"."
Rupanya Han Ping tahu apa yang akan dikatakan Cong To. Pelahan lahan ia menyimpan
pedang Pemutus asmara, serunya, "Lo-cianpwe adalah orang yang paling kuindahkan. Kalau
hendak memberi perintah, silahkan."
Cong To tertawa, "MembongKar rahasia makam tua ini, bukan melainkan hanya keinginan lh
Thian-heng seorang tetapi boleh dikata seluruh tokoh-tokoh persilatan yang berada dalam ruang
ini, lentu juga menginginkan. Bahkan pengemis tua ini sendiri juga kepingin mengetahui apakah
rahasia yang sebenarnya dari makam tua ini. Makam ini penuh dengan alat pekakas rahasia yang
ketat dan maut. Sekalipun jago silat yang memiliki ilmu ginkang tinggi, juga sukar untuk
meloloskan diri dari Sini. Begitu rahasia makam ini sudah terbongkar, bolehlah engkau lanjutkan
lagi perhitunganmu dengan ih Thian-heng."
"Baiklah, lo-cianpwc," kata Han Ping.
Cong To tertawa, "Sayang diantara pemimpin2 dari fihak It-kiong dan ketiga Marga itu hanya
empat orang yang datang. Masih kurang Thian Hian totiang dan ketua Lembah-seribu-racun. Jika
merekapun datang, maka lengkaplah sudah rapat kematian dalam makam tua ini!"
"Ketua Lembah-seribu-racun sudah bersama aku masuk kemari. Tetapi entah dia berada
dimana," Han Ping menerangkan.
Tiba-tiba kakek bertubuh kekar yang menyanggul sepasang pedang dipunggungnya itu berseru,
"Ji Han Ping, apakah engkau masih kenal padaku?"
"Siangkwan pohcu yang termasyhur didunia persilatan masakan wanpwe tak kenal " seru Han
Ping. "Aku hendak tanya kepadamu tentang seseorang "
"Apakah bukan puteri lo-cianpwe?" tukas Han Ping.
"Benar, dimanakah anakku itu" Masih hidup atau sudah mati?"
Han Ping menerangkan bahwa Siangkwan Wan-ceng bersama dengan ketua Lembah seriburacun.
"Hm, bagaimana tua bangka beracun itu memperlakukan anakku?"
"Sangat memperhatikan dan sayang seperti anaknya sendiri," kata Han Ping.
"Benarkah itu?" SiangKwan Ko agak heran, ?"siapakah tokoh persilatan yang tak tahu akan
keganasan tua bangka beracun itu. Mengapa dia bersikap baik kepada puteriku, aku sukar
mempercayai hal itu."
"Puteri lo-cianpwe telah meluluskan untuk menjadi isteri putera ketua Lembah-seribu-racun
maka ketua Lembah-seribu racun memperlakukannya dengan baik sekali," kata Han Ping.
"Huh, siapakah puteriku itu" Mana boleh dijodohkan dengan anaK buruk dari tua bangka
beracun itu" Kalau engkau bohong, hati-hatilah jiwamu" seru Siangkwan Ko.
Teringat akan budi kebaikan Siangkwan wan-ceng kepadanya, mau tak mau Han Ping harus
menghormat ayah gadis itu. Ia tertawa hambar, "Puteri lo cianpwe bersama ketua Lembah-seriburacun,
saat ini masih berada dalam makam ini. Nanti tentu mudah berjumpa. Kalau lo-cianpwe tak
percaya keterangan wanpwe, silahkan bertanya kepada nona Siangkwan sediri. Sepatah saja
wanpwe bohong, lo-cianpwe boleh menghukum wanpwe."
Tiba-tiba Kim loji yang sejak beberapa lama diam, menyelutuk, "Memang ketika puteri locianpwe
meluluhkan perjodohan itu kepada ketua Lembah-seribu racun, aku sendiri hadir dan
mendengarkan." Tiba-tiba Siangkwan Ko teringat peristiwa puterinya telah makan racun dan menunggu
kematian, mau tak mau ia menghela napas, ujarnya, "Apapun kalian hendak mengatakan, aku
tetap tak percaya!" Han Ping tahu bahwa dalam hati orangtua itu sebenarnya tujuh bagian sudah percava. Tetapi
hanya tak mau mengakui. Maka Han Ping berpaling kepada Cong To, "Lo-cianpwe dalam makam
ini kecuali banyak dipasang alat-alat pekakas berbahaya, pun pada tiap2 pintu dijaga oleh mahluk2
beracun. Pintu rahasia ruangan ini tiba-tiba telah terbuka dan lenterapun bersinar Jelas pemilik
makam ini memang hendak bertemu dengan kita. Jika terlalu lama. pintunya rahasia tertutup, kita
tentu harus membuang waktu dan jerih payah untuk mencari dia!"
"Benar," tiba-tiba ih Thian heng menanggapi lalu mendahului ayunkan langkah.
Sekalian orang hendak, mengikuti tetapi tiba-tiba Theng Ban-li berteriak nyaring, "Ca Cu jing!"
"Mengapa" "Ca Cu iing berpaling, "Jarum beracunmu lelah melukai diriku apakah aku dibiarkan
terluka begini saja?" seru jago tua itu.
Sahut Ca Cu-jing, "Tadi waktu bertempur acak-acakan, hampir anakkupun terluka oleh saudara
Theng. Bukankah aku juga menerima saja hal itu?"
Ih Thian-heng menyela, "Dalam pertempuran kalang kabut tadi, siapapun yang terluka itu
masih untung karena tak sampai binasa. Saat ini kita ibarat berlayar dalam satu perahu. Harus
kerjasama bahu membahu. Segala dendam peribadi, supaya dihapus dulu agar kita dapat bersatu
untuk membongkar rahasia penipuan besar-besaran, yang telah mencelakai dunia persilatan
selama berpuluh-puluh tahun.
Ca Cuj-ing tertawa gelak-gelak, "Bagus, ucapan saudara Ih memang tepat."
Theng Ban-li berpaling kearah orangtua alis panjang dan menggerutu, "Kalau begitu aku dan
locianpwe ini, menjadi korban jarum beracun yang sia-sia "
"Engkau mau menyamai aku, hm, sekalipun beberapa batang jarum beracun lagi mengenaiku,
aku masih tak apa-apa," dengus orangtua alis panjang.
Ca Cu-jing tersenyum. Karena sekalian tokoh menganggap enteng urusannya, apabila ia berkeras hendak membalas
Ca Cu jing, tentu akan menimbulkan kemarahan orang. Apalagi orang alis panjang itupun
menytakan tak apa-apa. Terpaksa ia diam dan terus menghampiri Ting Ling.
"Berhenti!" bentak ketua Lembah-raja-setan seraya deliki mata.
"Ah, tak apa-apa, ayah," Ting Ling tertawa! "dia hanya akan minta obat kepadaku."
Ting Ling; mengambil sebutir pil lalu diberikan kepada theng Ban li yang terus menelannya.
Han Ping menghampiri ketempat orangtua alis panjang, "Lo-cianpwe, apakah perlu ku papah?"
Orangtua alis panjang serentak berbangkit, "Tidak! ia menepuk bahu kera bulu emas,
menyuruhnya bangun. Kera bulu emas yang tampak tidur pulas, begitu ditepuk orangtua alis panjang, serentak loncat
bangun. Dalam pada itu berkatalah Ih Thian-heng kepada Pengemis-sakti Cong To, "Saudara Cong,
apabila kita berhasil keluar dari makam ini dengan selamat, kelak aku tentu akan menjadi sahabat
saudara yang baik." Pengemis sakti Cong To tertawa: Setiap orang yang hendak mati, bicaranya tentu baik. Apakah
engkau sudah tahu kalau bakal tak dapat keluar dari makam ini?"
Ih Thian heng tersenyum, "Menurut pandanganku, siapa yang masuk kedalam makam ini, tentu
sukar dapat keluar dengan masih selamat."
Habis berkata ia terus lanjutkan langkah. Sekalian tokoh pun sebera mengikuti dibelakangnya.
Setelah keluar dari pintu rahasia, mereka menyusur terowongan yaag diterangi lentera dan sinar
mutiara. Pintu rahasia yang tiba-tiba terbuka tadi, seperti ada orang yang membuka. Dan ternvata
begitu anggauta terakhir dari rombongan tokoh-tokoh itu melangkah keluar, pintu rahasia itupun
tiba-tiba metutup lagi. Ih Thian hens" tertawa dingin, ujarnya, "Ah. memang hebat sekali persiapannya, sebuah
ciptaan yang luar biasa!" Habis berkata ia terus kencangkan langkah berlari kemuka.
Terowongan yang panjangnya 15-16 tombak itu dengan cepat telah dilintasi mereka. Tiba di
ujung terowongan, pecah menjadi dua, ke kanan dan ke kiri. Tetapi dalamnya hanya setombak
lebih. Ujungnya terhadang dinding putih.
Terowongan yang menyimpang kesebelan kiri, dindingnya tertulis, "Jalan ke Kematian."
Sedang terowongan yang memecah ke kanan, dindingnya bertulis, "Jalan menuju Hidup."
Hurufnya yang besar ditulis dengan tinta merah sehingga tampak jelas sekali.
Berkata pula Ih Thian heng kepada pengemis tua, "Saudara Cong, Kita jalan ke Jalan Mati atau
ke Jalan Hidup?" Pengemis-sakti menjawab, "Menilik kita ini mengandung hati penasaran, lebih baik kita menuju
ke Jalan Mati saja."
"Akupun berpendapat begitu juga," kata Ih Thian-heng, "kiranya pandangan seorang ksatrya
itu tentu sefaham." "Biar kucobanya dulu sampai dimana kerasnya dinding itu!" seru Ca Cu-jing seraya lepskan
pukulan Peh-poh-sin-kun. Wut, angin berhamburan keras sekali.
Theng Ban-lipun segera mengeluarkan palu besinya dan berseru, "Akupun hendak bantu
membukanya!" ia terus maju menghampiri dinding.
Keadaan yang aneh dari makam itu menyebabkan sekalian orang-orang gagah itu melepaskan
perasaan dendam mereka. Ih Thian heng menumpah pandang kearah Han Ping, "Pedang Pemutus asmara milik saudara
Ji, dapat membelah logam seperti memotong tanah liat. Walaupun dinding itu keras bukan
kepalang tetapi tentu tetap terbelah dengan pedang pusaka saudara itu."
Han Ping mendengus dingin dan melangkah maju kemuka.
"Jangan"." tiba-tiba Ting Ling berseru menengah.
Han Ping tertegun dan hentikan langkah lalu berpaling, "Mengapa?"
"Berikanlah pedang pusakamu kepada Ih Thian-heng, biar dia saja yang memapas dinding!"
seru si nona. Tiba-tiba Han Ping teringat akan peristiwa Kim loji yang kehilangan sebelah lengannya karena
alat rahasia dalam makam itu. Mau tak mau ia meragu juga.
Ih Thian heng tersenyum, "Saudara Ting, puterimu banyak curiga!"
Lalu ia mengulurkan tangan, "Saudara Ji, apakah engkau mau meminjamkan pedangmu
kepadaku?" Bum". terdengar letupan dahsyat dan dindingpun berhamburan rontok. Ternyata Theng Ban-li
sudah mulai menghantam dengan palu besinya.
"Mengapa tak boleh?" kata Han Ping seraya menyerahkan pedang Pemutus asmara.
Seteleh menyambuti pedang berkatalah Ih Thianghtng, "Kalau aku tak mau mengembalikan
pedang ini kepadamu, dalam pertempuran dengan aku, engkau tentu kehilangan sebagian
kesempatan menang." "Kalau engkau benar mengandung pikiran seperti itu. sekalian orang gagah dalam dunia
persilitan tentu akan menghancurkan engkau," seru Ting Ling.
"Budak setan, tak perlu engkau mengucap kata-kata yang membikin panas hatiku. Setelah
rahasia makam ini terbongkar, biarlah engkau terbuka mata akan kesaktian Ih Thian heng.


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapapun yang akan menantang, aku tetap akan melayani."
Ih terus maju menghampiri dinding.
Dalam pada itu Theng Ban li tetap masih giat menghantamkan palu besinya. Tulisan Jalan Mati,
sudah separoh bagian yang hancur.
"Harap saudara Theng berhenti, biar aku yang mencoba kekuatan dinding itu." kata Ih Thianheng.
"Huh, dinding ini memang keras sekali. Palu besiku tak mempan." gumam Theng ban li. iapun
mundur tiga langkah Namun Ih Thian-heng tetap minta dia mundur lebih jauh lagi.
"Mengapa?" Theng Ban-li heran.
"Dia suruh engkau memberi jalan untuk meloloskan diri!" teriak Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa hambar, "Hm. sungguh seorang budak perempuan yang pandai. Dapat
menebak tepat lagi."
Ting Ling tertawa dingin, "Hm. betapa permainan yang hendak engkau unjukkan, tentu akan
dapat kuketahui!" Ih Thian-heng tak mau melayani nona itu lagi dan mulai mengangkat pedang pusaka, menusuk
dinding. Pedang Pemutus asmara memang hebat sekali. Dinding yang sekeras baja dapat ditusuk seperti
menusuk kayu saja. "Harap saudara2 mundur!" tiba-tiba Ih Thian-heng berseru. Dan serempak ia sendiripun sudah
melesat mundur ke sudut, Sekalian orang menunggu dengan menahan napas. Tetapi sampai
beberapa lama belum juga terjadi suatu perubahan apa-apa. Dinding batu itu tetap tegak dengan
kokohnya. "Bagaimana dengan tajamnya pedang Pemutus-asmara itu?" Ca Cu jing berpaling kearah Ih
Thian-heng. "Silahkan engkau lepaskan sebuah pukulan Peh poh- sin-kun!"
Ca Cu jing melakukan permintaan itu dan lepaskan sebuah pukulan Bum". terdengar suara
dahsyat dan tembokpun berlubang hampir satu meter luasnya.
Ternyata setelah menusukkan pedang Pemutus-asmara, Ih Thian-heng lalu memutarnya,
membuat sebuah lingkaran bundar. Maka waktu Ca Cu jing menghantam, terbukalah sebuah
lubang. melihat itu mau tak mau Ca Cu-jing memuji tenaga Ih Thian-heug yang hebat.
"Hm, apakah tak sungkan mengobral segala pujian?" Ting Ling menyeJutuk.
Merahlah muka Ca Cu iing mendengar dampratan halus itu. Serentak ia berpaling kearah ting
Ko. serunya, "Puteri saudara Ting itu seharusnya diberi ajaran yang tepat."
"Apakah suruh aku membunuhnya?" Ting Ko tertawa hambar.
Ca Cu-jing marah, serunya, "Kalau engkau taK mau memberi ajaran, akupun dapat mewakili
engkau mengajarnya."
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, "Ho, barangsiapa berani menganggu
anak-angkatku, tentu akan kupotong sepuluh jarinya."
Ca Cu-jing tahu kalau tak mampu menandingi Cong To dan Ting Ko berdua, terpaksa ia
menahan kesabaran, serunya, "Tak perlu saudara Cong unjuk kegarangan. Nanti setelah keluar
dari makam ini, aku tentu akan minta pelajaran dari engkau."
Pengemis-sakti Cong To tertawa lepas, "Tetapi menurut pandanganku, jangan harap kita dapat
keluar dari makam ini dengan selamat."
"Saudara Cong, kapankah anakku itu engkau pungut menjadi anak-angkat?" tiba-tiba Ting Ko
berseru. Cong To deliki mata, "Bagaimana" Apakah engkau tak senang"."
"Jangan salah faham," cepat Ting Ko menukas, "bahwa anakku telah mendapat rejeki sebesar
itu, sudah tentu aku merasa gembira sekali."
Ting Lingpun tertawa, "Ayah-angkatku itu memang suka bergurau, mengapa ayah masukkan
dalam hati"." Kemudian nona itu beralih pandang kepada Ih Thian-heng, serunya, "Seharusnya engkau
kembalikan pedang Pemutus-asuiara itu kepada yang empunya."
Ih Thian-heng mengangguk, tertawa, "Ya, benar, nona Ting." ia terus pelahan-lahan
menyerahkan pedang dan Han Pingpun segera ulurkan tangan menymbuti.
"Jangan bergerak!" tiba-tiba Ting Ling berseru.
Han Ping tertegun dan saat itu Ting Lingpun sudah melangkah maju, menyambuti pedang lalu
diterimakan kepada Han Ping, serunya, "Dia tak dapat menggunakan kesempatan mengembalikan
pedang,untuk membunuh aku."
Ih Thian-heng tengadahkan kepala, tertawa, "Nona Ting, tahukah engkau, tempat ini
sebenarnya makam milik siapa?"
Ting Ling tertegun, lalu menyahut, "Ko Tok lojin"."
Walaupun ia cerdas tetapi menerima pertanyaan Ih Thian-heng yang begitu mendadak, mau
tak mau ia terkesiap dan tak dapat menyingkap maksud orang yang sesungguhnya.
"Tahukah engkau apa sebab orangtua itu mengasingkan diri disini?" tanya ih Thian heng
dengan tersenyum. Dan belum si nona menjawab, ia sudah melanjutkan lagi, "Karena dia memang
seorang manusia yang melebihi dan orang biasa. Tak punya kawan dan tak punya lawan. Coba
nona pikirkan, anda kata pada suatu hari dia mendapatkan lawan yang diangap menyamai
kecerdasannya, apakah dia akan membunuh lawan itu atau tidak?"
Ting Ling kerutkan alis lalu menyahut dingin, "Walaupun Ko Tok lojin tidak melakukan hal itu,
tetapi engkau sendiri yang belum dapat dipastikan."
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, "Kalau aku ini manusia dibelakang layar seperti yang
engkau bayangkan itu, bukankah sangat berbahaya bagimu dikala menyambuti pedang tadi?"
"Ah, anda keliwat memuji, terima kasih," kata Ting Ling.
Omongan kedua orang itu bernada sinis dan tajam. Tokoh-tokoh semacam Ca Cu-jing. Nyo
bun-giau dan lain2 yang tajam perasaannya, cepat dapat menarik kesimpulan bahwa Ih Thianheng
telah menentukan dua orang sebagai musuhnya yang berat. Dalam ilmu kesaktian, dia
menganggap Han Ping sebagai satu-satunya lawan yang berat. Dalam ilmu kecerdikan, Ting
Linglah satu-satunya yang dapat menandinginya.
Dalam pada itu, Han Pingpun segera hendak menerobos masuk melalui lubang dinding. Tetapi
Cong To dan Ki loji cepat mencegahnya: Tunggu dulu " kedua orang itupun serempak loncat
kemuka Han Ping. Ih Thian-heng tertawa, ?"Karena yang membuat lubang dinding itu aku, maka akulah yang akan
masuk lebih dulu." Ia terus melangkah kelubang itu.
"Walaupun licik dan ganas tetapi tak kecewalah Ih Thian-heng itu sebagai seorang lelaki
ksatrya!" seru Cong To.
Tiba-tiba Ih Thian-heng muncul di lubang dinding itu lagi dan berkata kepada Han Ping,
"Apakah saudara Ji dapat meminjamkan pedang pusaka itu kepadaku lagi?"
Tanpa banyak bicara, Han Ping terus mengangsurkan pedang.
"Ih, apakah didalam masih terdapat dinding batu?" seru Ting Ling.
"Ya" sahut Ih Thian-heng terus menyusul masuk. Cong To dan Han Pingpun cepat menyusul.
Ternyata dibelakang lubang dinding itu hanya terdapat tanah lapang satu meter, lalu teraling
lagi oleh sebuah dinding batu. Ih Thian-heng gunakan pedang pusaka untuk membobol sebuah
lubang lagi. Tetapi ternyata di dalamnya masih terdapat selapis dinding batu.
Sama sekali ih Thian-heng harus menghadapi lima lapis dinding tembok batu. Berkat pedang
pusaka Pemutus-asmara yang tajam, dapatlah ia membobol kelima lapis dinding tembok itu. Pada
dinding tembok lapis Keenam, terdapat tulisan yang berbunyi, "Karena sok pintar, harus
membuang banyak tenaga. Kalau kalian mengambil Jalan Hidap, tentu tak usah harus bersusah
payah membobol dinding! Memandang tulisan yang indah perkasa itu. hati lh Thian-heng agak menyesal.
"Hai, nyata dalam makam ini memang terdapat orangnya," seru Cong To.
Ih Thian-heng menghela napas, "Bukan manusia biasa tetapi manusia luar biasa. Tetapi
betapapun aku memeras otak tetap tak dapat mengetahui siapa orang itu!"
Habis berkata ih Thian-heng terus menyusup masuk diikuti oleh sekalian orang.
Ternyata dinding keenam itu merupakan".
Tempat itu merupakan sebuah ruang besar, diterangi oleh selusin lentera kaca yang menyala
terang benderang. Tetapi karena empat dindingnya dicat warna hitam, sinar lentera itupun tak
dapat memantul gemilang dan hanya menimbulkan suatu suasana yang agak menyeramkan.
Dan yang lebih menyeramkan yalah terdapatnya duabeias peti mati warna hitam yang
diletakkan berjajar jajar rapi dibelakang keduabelas lampu tersebut. Peti ditutup rapat2, seolaholah
memberi kesan bahwa peti mati itu sudah terisi mayat dan ditutup sejak lama.
Setelah mengamati keadaan sekeliling kamar, ih Thian-heng berseru memuji, "Suasana ini
benar-benar dapat menimbulkan rasa ngeri sehingga orang merasa seperti mati, seram dan
ketakutan. Sungguh hebat dia dapat mengatur begitu .
Kemudian ia berputar tubuh menyerahkan pedang pusaka Pemutus asmara kepada Han Ping,
"Menilik keadaan tempat ini kita seperti memasuki sebuah tempat yang berbahaya. Setiap saat
tentu akan terjadi perubahan. Pedang ini luar biasa tajamnya, dapat menjadi alat untuk menjaga
diri yang hebat." Sambil menyambali pedang Han Ping menyahut, "Mudah-mudahan apa yang engkau kehendaki
itu dapat terlaksana. Dapat berjumpa dengan pemilik makam dan membongkar rahasianya.
Dan yang penting engkau harus dapat menyelamatkan jiwamu, agar kita nanti dapat
melaksanakan pertempuran kita yang terakhir itu"
Ih thian heng tertawa, "Kukira aku tentu takkan mengecewakan harapanmu"." tiba-tiba ia
maju dua langkah menghampiri kemuka sebuah peti mati lalu ulurkan tangan hendak membuka
penutup peti. Han Ping melirik kearah Nyo Bun giau. Tampak kedua mata orang itu berkilat-kilat menumpah
kearah Ih Thian-heng. Melihat itu Han Ping tak sabar lalu, berteriaknya, "Berhenti!"
Ih Thian-heng berpaling tertawa, "Mengapa?"
"Aku hendak melakukan pembalasan dengan tanganku sendiri dan tak menghendaki engkau
mati di tangan orang lain," seru Han Ping.
"Kepandaian dan kecerdasanmu, dapat meningkat cepat dengan serempaK. Demi
kepentinganku, seharusnya kuselesaikan pertempuran dengan engkau ini sekarang juga, "kata Ih
Thian-heng." Plak". tiba-tiba ia menampar peti mati. Habis menampar ia terus loncat kebelakang beberapa
langkah. Sekalian orangpun cepat bersiap-siap.
Peti mati yang kokoh itu, begitu ditampar Ih Thian heng, segeia pecah menjadi dua. Terdengar
peti berderak-derak dan dari dalam peti itu menjulur sebuah tangan manusia. Jari2nya begitu
kurus dan pucat seperti salju. Jelas merupakan jari dari seorang wanita.
Ih ihian-heng tertawa dingin, "Asal dapat berjumpa dengan manusia hidup, tentu tak sukar
untuk mencari keterangan."
Tampak lengan yang putih itu bergerak-gerak seperti orang yang tengah bangun tidur. Setelah
ditekuk kebawah seperti orang yang bercekak pinggang, lalu pelahan-lahan rebah kedalam peti
lagi. Mata sekalian orang mencurah kearah lengan dalam peti mati itu. Mereka bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan Tetapi sampai beberapa lama, belum juga lengan itu menjulur
keluar lagi. Seolah-olah orangnya tidur lagi.
Ih Thian-heng tak sabar lagi. Ia berseru dingin, "Kalau tetap bertingkah aneh, jangan sesalkan
aku Ih Thian-heng akan bertindak ganas. Sekalipun engkau memiliki ilmusilat yang sakti, pun
tetap sukar menerima seranganku secara tiba-tiba."
Rupanya orang didalam peti itu tetap tidur pulas dan tak menyahut.
Rupanya Nyo Bun-giau kuatir kalau Ih Thian-heng akan mencurigai kawan2 sendiri, maka buruburu
ia tampil, "Saudara ih, biarlah aku yang maju,"
Habis berkata ia terus menghampiri peti mati sambil kerahkan tenaga dalam.
Ih Thiang heng berpaling memandang Ca Cu-jing, serunya, "Harap saudara Ca siapakan
pukulan Peh-poh-siu-kun untuk membantu saudara Nyo."
Sambil berkata Ih Thian -hengpun melangkah kemuka.
Satelah tiba dimuka peti mati, Nyo Bun-giau batuk-batuk sejenak lalu mendorong tutup peti.
Karena tutup peti itu sudah dihancurkan Ih Thian-heng maka sekali dorong saja, tutup itu pun
jatuh ke lantai. Seketika terdengarlah jerit mdengking dan menyusul sesosok tubuh wanita yang rambutnya
terurai menutup bahu, duduk didalam peti. Wajahnya cantik, sepasang matanya bundar bagai
bintang kejora, bibirnya semerah delima. Pelahan-lahan ia berdiri.
Nyo Bun-giau mundur dua langkah, serunya bengis, "Angkat kedua tanganmu!"
Sambil mengeliarkan sepasang matanya kepada rombongan orang-orang itU Si wanita cantik
pelahan-lahan mengangkat kedua tangannya. Ternyata lengannya telanjang.
"Hai, apakah engkau tak berpakaian?" seru Nyo Bun-giau pula.
Gadis itu kedip-kedipkan sepasang matanya yang i.idah lalu menatap Nyo Buu-giau. Sesaat
kemudiaan ia mengangkat kakinya keluar peti.
"Hai, mengapa telanjang bulat!?" teriak Siang-kwan Ko.
Ternyata setelah keluar dari peti mati, gadis itu hampir tak mengenakan pakaian. Hanya bagian
dada dan bawan perut yang dibalut dengan sehelai kain cawat.
Dengan tenang ia melangkah keluar dan seolah-olah tak menghiraukan suara Nyo Bun-giau.
Saat itu Ih Thian-hengpun sudah berada di belakang Nyo Bun giau, bisiknya, "Siudara Nyo,
siapkan lima bagian tenaga dan cobalah gadis itu dengan sebuah pukulan."
Nyo Bun-giau menurut apa yang diperintah Ih Thian-heng. Ia mengangkat tangan kanan lalu
diayunkan kearah gadis itu.
Aduh".terdengar mulut si jelita melengking lalu rubuh kebelakang. Melihat itu Nyo Bun-giau
tertegun kaget. Tiba-tiba ia mendengar suara alunan musik. Bermula hanya dari suara harpa tetapi lama
kelamaan diserempaki pula dengan beberapa macam bunyi bunyian. Belum dia sempat meneliti,
tiba-tiba irama musik itu berganti dengan irama yang sedih merawankan.
"Dari manakah suara musik itu?" seru Nyo Bun-giau seraya memandang kesekeliling."
"Dari makam ini" kara Ih Thian-heng.
Pengemis-sakti Cong To mengambil buli2 arak. meneguknya seraya berkata Melihat keanehan
jangan merasa aneh, keanehan itu tentu akan tak aneh. Tak perlu kita hiraukan dia. mari kita
lanjutkan berjalan lagi."ia terus mendahului ayunkan lagkah menuju kebelakang dinding.
"Saudara Nyo, coba engkau dekati dan periksa keadaan gadis itu, aku tak percaya kalau dia
mati " Nyo Bun giau maju menghampiri. Pada saat hampir tiba disisi si gadis, tiba-tiba dia menendang
rusuk kanan gadis itu. Tendangan Nyo Bun-giau itu hebat sekali, jangan kata hanya tubuh manusia, sedang batu
karang yang keraspun tentu hancur.
Melihat itu Han Ping tak sampai hati. Cepat ia berseru, "Nyo Bun-giau, jangan
menendangnya"."ia terus hendak menyergap Nyo Bungian.
Tetapi Ih Thian-heng membentak seraya lintangkan tangannya menghandang, "Hai,
engkau mau apa?" Han Ping empos semangat untuk menghentikan gerakan maju dari tubuhnya. Begitu tegak
ditanah, ia berkata, "Cara yang dilakukannya terhadap seorang wanita, sungguh keterlaluan."
Ih Thian-heng tertawa, "Tadi aku masih memuji engkau seorang pemuda yang cerdas. Tetapi
mengapa dalam waktu beberapa kejab saja, engkau sudah terpikat kebaikan terhadap seorang
wanita" Ketahuilah, saat ini kita sedang terkurung dalam sebuah tempat yang berbahaya. Setiap
saat, kita dapat terancam maut. Setitik budi Kebaikan, mungkin akan menimbulkan bahaya maut
pada diri kita sendiri."
"Gadis itu sudah rubuh terpukul Nyo Bun-giau. Apakah masih harus diremukan lagi "
"Apabila dugaanku taksalah," kata Ih Thian-heng, "dia tentu tak mati, cobalah engkau lihat
kemari." Setelah bertempur sekali dengan Han Ping, memang Nyo Bun-giau merasa agak gentar kepada
kesaktian pemuda itu. Waktu mendengar Han Ping berterak mencegahnya jangan menendang,
iapun hentikan kakinya. Han Ping berpaling dan menyahut kata-kata Ih Thian-heng, "Kemanakah gerangan perginya ke
Keenam bocah pengawalmu dan ke tigapuluh enam pengawal barisan Thtan-kong-si-wi itu?"
"Dalam waktu dan tempat seperti ini, mengapa engkau ingat akan hal itu?" sahut Ih Thianheng
dengan tertawa hambar. "Kalau engkau tak membawa mereka bersamamu, sebelumnya tentulah engkau sudah
mempunyai persiapan?" tanya Han Ping pula.
Ih Thian heng tertawa, "Selamanya aku tak mau mengambil resiko begitu"."
Sejenak kemudian ia berkata pula, "Dalam hidupku hanya ada dua buah persiapan yang
kurencanakan. Pertama ialah masuk kedalam makam tua ini"." tiba-tiba ia berhenti berkata.
"Lalu yang kedua?" tanya Han Ping.
"Yang kedua yalah, dua kali telah melepaskan kesempatan untuk membunuhmu."
"Tetapi sekarang toh belum terlambat," seru Han Ping dengan garang.
"Keadaan saat ini telah memaksa kita membagi rata kesempatan kalah menangnya. Aku
menang pengalaman, engkau menang tenaga. Dan pula engkau masih mempunyai sebatang
pedang pusaka yang hebat. Dengan pedang itu engkau dapat menghadapi beberapa jurus
seranganku yang istimewa. Maka dengan begitu kukatakan, kita sama-sama serie, sama-sama
mempunyai kesempatan kalah atau menang."
"Kalau aku tak menggunakan pedang itu, entah apakah aku mampu mengalahkan engkau atau
tidak?" kata Han Ping seraya maju dua langkah ke hadapan gadis telanjang itu, lalu ulurkan
tangan untuk memeriksa pernapasannya.
Ternyata gadis itu memang masih bernapas.
"Sudah mati atau masih hidup?" seru NyO Bun giau.
"Masih bernapas, tetapi lemah sekali. Entah dapat hidup atau tidak," sahut Han Ping.
Mengikuti gerak gerik Han Ping, seketika Ting Ling makin yakin bahwa pemuda itu memang
telah dianggap sebagai duri dalam mata Ih thian-heng. Han Ping benar-benar dianggap sebagai
musuh yang paling berat oleh Ih Thian heng. Dan ketika nona itu mengawasi perobahan airmuka
Nyo Ban-giau, cepat ia berseru kepada Han Ping, "Ji Siaug-kong, hati-hati dengan orang yang
hidup!" Memang Nyo bun giau mengandung rencana untuk menyerang Han Ping secara mendadak.
Bahwa saat itu dia sudah kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan kanan. Ia menunggu pada
saat Han Ping mengangkat tubuh, terus segera akan turun tangan.
Seruan Ting Ling itu benar-benar mengejutkan Nyo Bun-giau yang lalu buru-buru mundur dua
langkah. Han Pingpun pelahan-lahan bangkit, memandang tajam kepada Nyo Bun-giau, serunya, "Kalau
bukan nona Ting yang membuat engkau kaget, engkau tentu akan merasakan kelihayan dan
ilmupedang Tat-mo-sam-kiam!"
Tat-mo sam-kiam atau Tiga jurus ilmupedang ajaran Tat Mo cousu atau cikal bakal pendiri
gereja Siau lim-si. "Tat-mo-sam-kiam!" Ih Thian-heng berseru kaget.
Rupanya Han Ping menyadari kalau kelepasan bicara. Maka iapun cepat menyahut,
"Bagaimana?" Ih Thtin-heng tertawa, "Tat-mo sam-kiam merupakan ilmupedang yang sudah lama lenyap dan


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia persilatan. Bagaimana saudara Ji dapat mempelaiari ilmu itu?"
"Sekalipun aku dapat mempelajarinya dengan sempurna, tak nanti kuberi tahu kepadamu,"
sahut Han Ping. Tiba-tiba terdengar suara Pengemis-sakti Cong To berseru, "Saudara, pinjamkan pedang
pusakamu kepada pengemis tua."
Saat itu suara musikpun makin terdengar nyaring dan makin rawan menyayat hati. Tetapi
rombongan yang masuk kedalam makam itu terdiri dari tokoh-tokoh yang hebat kepandaiannya.
Mereka tetap dapat bertahan dan tak menderita suatu apa karena hanburan suara musik yang
mengandung tenaga-dalamn aneh itu.
Han Ping mengiakan. Setelah menampar jalan darah dipunggung gadis yang menggeletak di
tanah itu, ia terus melangkah ketempat pengemis tua.
Berseru Ih Thian-heng, "Selagi mereka belum memperhebat serangannya, kalau saudara2 suka
mendengar kata-kata aku siorang she Ih, lebih baik kita mendahului menghancurkan peti mati
itu." Habis berkata Ih Thian hengp terus loncat ketempat sigadis dan menginjak dadanya. Gadis itu
membuka kedua mata, tiba-tiba ia deliki mata lulu secepat kilat berguling-guling sampai beberapa
langkah jauhnya, loncat bangun dan mengeluarkan sebuah suitan perak lalu ditiupnya keras2.
Terdengar suara lengking yang dahsyat dan tiba-tiba kesebelas peti mati itupun terbuka
tutupnya. Setiap peti mati diisi dengan gadis cantik yang tak berpakaian dan mengurai rambut. Dan ketika
tangan mereka menjulur, ternyata mereka membawa bermacam2 alat musik, antara lain seruling,
hapa, tambur dan lain2. Serentak terdengarlah mereka memetik dan musikpun makin memekakkan telinga sehinga
perasaan para rombongan orang gagah itu mulai terpengaruh, jantungnya berdebar-debar.
Ih Thian-heng empos semangat lalu lepaskan sebuah hantaman yang dahsyat. Kawanan gadis
telanjang dengan rambut terurai itu segera menyisih kesamping. Tetapi alat-alat tetabuhan
ditangan mereka tetap bergetar-getar memancarkan nada suara yang menggetarkan urat2
jantung. Pukulan yang dilancaikan Ih Thian-heng itu paling sedikit tentu menggunakan tujuh bagian
tenaganya. Angin menderu-deru hebat, menyibak kain cawat melada para gadis itu dan
menyiakkan rambut mereka. Saat itu Han Ping sudah berjalan setombak jauhnya. Melihat
perobahan suasana dalam ruang itu, iapun hentikan langkah. Dan cepat pada saat itu angin
pukulan Ih Tnian heng ilu pun melanda datang. Untuk memberi jalan kepada angin pukulan itu.
terpaksa Han Ping loncat kesamping. Tetapi justeru arahnya bersamaan dengan para gadis yang
juga menyingkir ke samping.
Seketika itu telinga Han Ping tergiang lengking petikan senar harpa sehingga ia pejamkan mata
lalu palingkan muka. Tepat pada saat ia berbuat begitu, tiba ia rasakan pantatnya yang kiri agak sakit seperti
tertusuk jarum. Jelas orang telah menyerangnya secara gelap.
Han Ping marah. Dengan mendengus dingin ia balikkan tangan menghantam. Prang". tiba-tiba
seorang gadis yang memegang tambur kulit, cepat menyodorkan tamburnya untuk menyongsong
pukul an Han Ping. "Hati-hati, alat tetabuhan mereka itu mengandung senjata rahasia!" tiba-tiba Ting Ling berseru.
Berseru Ih Thian-heng pula, "Dalam saat dan tempat seperti ini, kita sudah berada dalam
perangkap maut. Setitik rasa hati kasihan akan menimbulkan setitik ancaman maut"."
Tiba-tiba dari dalam duabelas peti mati itu lompat keluar duabelas gadis2 cantik lalu menarinari
menurutkan irama musik. Ih Thian neng sudah menyala-nyala nafsu membunuhnya. Cepat ia menghantam salah seorang
gadis itu. Angin pukulan melanda dan terdengarlah lengking jeritan tajam. Sesosok tubuh dan seorang
dara cepat loncat menyambut jeritan itu.
Nyo Bun giaupun segera menyambar lengan kanan seorang gadis lalu ditekannya. Gadis itu
menjerit lalu terkapar rubuh. Rupanya tulang lengannya patah hingga ia pingsan, Dalam saat itu,
pun Ca Cu jing juga lepaskan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun, merubuhkan seorang gadis.
Myo bun giau heran dan berseru, "Saudara Ih,gadis2 itu tak mengerti ilmusilat."
Sahut Ih Thlan heng, "Ya, akupun merasa begitu juga"."
Tiba-tiba dari dinding batu sebelah muka terdengar suara berderak derak. Dinding merekah,
menyiak ke samping. Sebuah gelombang sinar yang keras segera memancar sehingga keduabelas
lentera kaca itu pudar cahayanya.
Ketika sekalian orang memandang kemuka ternyata dibalik lubang dinding yang merekah itu
terdapat duapuluh tempat batang obor yang menyala terang benderang.
Ih Thian-heng memandang sejenak kearah ruang besar itu. Tiba-tiba ia melangkah maju.
Dalam pada itu Ting Lingpun mengamati keadaan disekelilingnya. Tampak dalam ruangan itu
terkapar tubuh dari keduabelas gadis dengan alat tetabuhannya. Mereka mengerang dan merintih.
Jelas kalau mereka itu hanya gadis biasa, tak mengerti ilmusilat Keadaan mereka sungguh
menyedihkan. Ada yang sudah mati ada pula yang terluka berat dan merintih-rintih memilukan
hati. Sekalian orang segera mengikuti jejak Ih Thian heng yang melangkah masuk kedalam ruangan
besar. Pada saat dinding merekah tadi, suara musikpun serentak berhenti.
Ternyata ruangan itu amat bersih dan putih, dihias dengan bunga2 kertas dan lilin.
Papan yang tergantung diatas ruang itu tertulis empat huruf yang berbunyi, "Hati temaha
mengundang bahaya." "Hm, kata-kata yang sombong," kata Ih Thian-heng seraya mencabut kertas tulisan itu.
Dibelakang papan itu masih terdapat sebuah kain putih yang bertuliskan, "Hidup tak lebih baik
dari mati." "Hm, hendak kulihat, berapa banyak kain bertulisan yang engkau sediakan disini," Ih Thianheng
tertawa lalu hendak merobek. Sekonyong-konyong terdengar suara berderak derak.
Pengemis-sakti Cong To tertawa gelak-gelak, "Ho, muncul sebuah permainan baru lagi."
"Disini!" terdengar suara orangtua yang parau. Dari ujung sudut ruang, tampillah seorang
nenek berambut putih yang berjalan pelahan dengan sebatang tougkat bambu. Ah, nenek itu
bukan lain yalah nenek Bwe atau Bwe Nio inang pengasuh dari dara baju ungu. puteri ketua
perguruan Lam-hay-bun. "Apakah saudari baru datang?" tegur Ih Thian-heng tertawa.
Sambil gentakkan tongkat bambunya. Bwe Nio menyahut, "Selama engkau belum mati, mana
aku bisa datang terlambat."
Dari balik jajaran kain bertulisan tadi, muncul pula seorang dara baju ungu yang mukanya
ditutup dengan kain kerudung sutera hitam. Dibelakangnya diiring Ong Kwan-tiong suheng dari
dara itu serta seorang lelaki kaki buntung yang mengenakan baju merah.
Sejenak memandang kearah dara baju ungu. Ih Thian-heng memberi salam, "Nona, terlambat
selangkah, " Dengan suaranya yang merdu, dara baju ungu itu berkata, "Dari kedua Lembah dan ketiga
marga, entah sudah berapa orang yang datang?"
Jawab Nyo Bun giau, "Nona tak perlu memikirkan hal itu"."
Dara baju ungu tertawa dingin, ?"Jangan bicara yang tak betguna. Akan kuberi kalian seorang
pembantu." Ia segera bertepuk tangan pelahan.
Kain terangkat dan muncullah si Bungkuk dan si Pendek. Keduanya menggandeng seorang
lelaki bertubuh pendek dan seorang gadis baju biru.
Melihat kedua orang itu, Pengemis-sakti Cong To serentak berseru, "Leng lotoa!"
"Ceng ji" teriak Siangkwan Ko pula seraya loncat ketempat gadis itu. Tetapi bwe Nio cepat
lintangkan tongkatnya dan membentak, "Berhenti!"
Siangkwan Ko rasakan gerakan tongkat nenek berambut putih itu selain dahsyat pun juga
aneh. Terpaksa ia mundur dua langkah.
Tiba-tiba dara baju ungu berseru, "Lepaskan!
Biar ayah dan puterinya itu menuturkan pengalamannya masing-masing."
Si Bungkuk mengiakan. Ia segera menepuk bahu si nona atau Siangkwan Wan-ceng. Nona itu
deliki mata kepada si Bungkuk. Sesaat kemudian ia melengking memanggil ayahnya seraya lari
menghampiri. Siangkwan Ko menyambut puterinya dengan dekapan yang amat mesra. Airmatanya berderaiderai
membasahi pipi yang kempot.
"Ah, nak, engkau tentu menderita," katanya.
"Aku sungguh tak mengira kalau masih dapat bertemu dengan ayah"."
Tiba-tiba Ih Thian-heng menghampiri dan berkata dengan bisik-bisik, "Saudara Siangkwan"."
Siangkwan Ko yang masih belum hilang keharuannya itu cepat berpaling, sahutnya,
"Bagaimana, apakah saudara ih menganggap aku"."
JILID 5 Bara Asmara. Siangkwan Ko hendak marah tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa Ih Thian-heng itu pernah menolong
jiwa puterinya. Terpaksa ia menghela napas dan tak lanjutkan kata-katanya.
Ih Thian-heng tersenyum, "Harap saudara Siang-kwan jangan salah faham. Sungguh
menggirangkan sekali kalian ayah dan anak dapat berjumpa kembali. Tentu banyak sekali yang
hendak diceritakan maka silahkan saja. Akupun hendak bicara dengan nona ini"."
Tiba-tiba ia berhenti tetapi menggunakan ilmu Menyusup-suara, melanjutkan bicara kepada kedua
ayah dau puterinya itu, "Kalau bicara disini, kurasa kurang leluasa. Kalau musuh menyerang,
kukuatir kalian tentu sukar menghindar."
"Terima kasih saudara Ih," Tiba-tiba Siangkwan Ko menghaturkan terima kasih lalu memimpin
Siangkwan Wan-ceng menuju kesudut.
Pengemis sakti Cong To tertawa dingin. Ia mengambil buli2 araknya dan meneguk dua kali.
Ih Thian-heng berpaling kearah pengemis itu, tertawa, "Apakah saudara Cong mencurigai aku
mengadu domba saudara dengan saudara Siang-kwan?"
"Hm, mulut anjing tentu tak dapat tumbuh gading gajah," sahut Cong To.
Berobahlah seketika wajah Ih Thian-heng, "Dengan baik2 aku bicara kepada saudara, mengapa
saudara menghina begitu" Apakah saudara kira akan takut kepadamu?"
"Memang bicaraku kasar," sahut Cong To," kalau engkau tak suka dengar, jangan bicara lagi
dengan aku." "Ih Thian-heng," tiba-tiba dara baju ungu itu berseru," apakah perjanjian kita masih berlaku?"
Ih Thian-heng tertawa, "Aku memang hendak bicara penting dengan nona."
"Bicaralah!" "Kecerdasan nona, aku sangat mengagumi," kata Ih Thian-heng," tetapi bahwa dalam makam ini
ternyata terdapat penghuninya, adakah nona sudah menduga hal itu?"
"Sebelumnya memang tak tahu," sahut dara baju ungu.
"Nah. begitulah." kata Ih Thian-heng, "kepandaian dari pencipta makam ini, bukan saja jauh diatas
kepandaianku, tetapipun juga lebih tinggi dari nona."
"Kalau dinilai dari bangunan yang diciptakan ini, memang benar begitu," kata dara baju ungu.
"Kalau nona mempunyai anggapan begitu, itu memang benar," kata Ih Thiang heng pula.
"Apakah engkau bermaksud hendak menasehati aku supaya bekerja-sama dengan engkau untuk
membuka rahasia makam ini?" tanya si dara.
Ih Thian-heng berpaling memandang kepada rombongan jago2 silat yang berdiri dibelakangnya,
tertawa, "Tokoh-tokoh silat yang berkumpul disini, kebanyakan satu sama lain tentu mempunyai
dendam permusuhan. Tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini, mereka rela untuk
melepaskan urusan ptribadi masing-masing. Dan mereka mau bersatu padu untuk menbungkar
rahasia makam ini, menghadapi orang gang menciptakan makam ini.
Apabila nona mau bekerja sama dengan aku, aku siorang she Ih ini tentu yakin akan menang."
"Jika sudah dapat menciptakan bangunan sehebat ini dengan perlengkapan pekakas2 rahasia yang
sedemikian hebat, orang itu tentu sudah mempunyai rencana yang sempurna"." tiba-tiba dara
baju ungu itu berhenti, melangkah dua tindak kemuka lalu menyandarkan diri pada tubuh nenek
Bwe, ujarnya pulA,, "Menilik keadaan saat ini, betapa hebat orang itu menyediakan alat dan orang,
tetapi tentu tak mampu mengadu kekerasan dengan kita. Dalam ilmu kepandaian silat saja,
merekapun tentu tak dapat mengimbangi kita. Tetapi apabila sebelumnya mereka memang sudah
mengatur berbagai alat pekakas rahasia, persoalannya tentu lain lagi. Taruh kata dia kalah,
kitapun tentu tak dapat keluar dari tempat ini atau berarti kita akan mati bersama-sama lawan."
Ih Thian-heng tertegun, serunya, "Ah, aku tak memikirkan sampai langkah itu."
"Karena itu," kata dara baju ungu pula, "apa bila kalian hendak mengharapkan kesempatan hidup,
kalian harus mendengarkan perintahku."
Kata-kata itu diucapkan dengan nyaring sehingga sekalian orang dapat mendengar jelas.
Ih Thian heng tersenyum, serunya, "Ah, nona terlalu menganggap diri nona kelewat tinggi. Terus
Kisah Si Rase Terbang 14 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Rahasia Lukisan Kuno 3

Cari Blog Ini