Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 7
masih mengira dia itu seorang gila. Tetapi apa yang terjadi saat ini".ah, sekalipun andaikata
pengemis tua ini beruntung dapat keluar dan makam tua ini, kelak pengemis tua tak mau keluar
kedunia persilatan lagi."
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, "Ah, tak kira saudara Cong yang biasanya selalu bersikap
gembira, juga dapat mengeluarkan ucapan begitu!"
Ketua Lembah-seribu racun tertawa dingin, "Orang yang mau mati, kata-katanya tentu baik.
Pengemis tua mungkin sudah tahu kalau takkan hidup lebih panjang"."
"Bukan begitu," tukas Ih Thian-heng.
"Bukan begitu?" sahut ketua Lembah seribu-racun. "apakah engkau kira aku dan engkau akan
dapat keluar dengan selamat dari makam tua ini"."
Kata Ih Thian- heng, "Kata peribahasa, dua orang yang bersatu hati, kekuatannya tak dapat
diperkirakan. Apalagi kita sekian banyak orang dengan berbagai kesaktian dan kepandaian.
Apabila dapat bersatu padu, jangan lagi hanya sebuah makam tua seperti ini, liang nerakapun kita
tentu dapat menerobos keluar!"
Dalam berkata-kata itu, mata Ih Thian-heng berkeliar memandang kewajah sekalian tokoh
untuk menyelidik kesan mereka.
Ketua Lembah-seribu-racun memandang Ca Cu-jing dan jago tua she Ca itu, segera berkata
dengan sarat, "Benar, benar!"
Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang Ih Thian-heng, katanya, "Saudara Ih, sebenarnya
aku ingin bersatu dengan engkau. Tetapi tiba-tiba saja aku teringat akan sebuah cerita."
"Cerita bagaimana?" tanya Ih Thian heng." "Cerita tentang kelinci yang mengadakan perjanjian
dengan seekor serigala. Mereka hendak berhasil melintasi sungai, serigala itupun terus menerkam
kelinci dan memakannya!"
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak!
"Cerita yang bagus, benar bagus. Tetapi kalau kelinci itu tak mau berkawan dengan serigala,
dia tentu akan dimakan oleh harimau yang sudah berada didapat tempatnya!"
Ca Cu-jing tertegun dan berpaling, "Bagaimana pendapat saudara Ting?"
TingKo memondong tubuh puterinya menyahut dingin "Bagiku untuk bekerja sama dengan Ih
Thian-heng, syaratnya dia harus menghidupkan lagi jiwa puteriku!"
"Tepat," seru Pengemis sakti Cong To, "aku pengemis tuapun sejak saat ini tak mau lagi
bekerja-sama dengan seorang manusia yang selicik itu!"
Ih Thian-heng menengadah tertawa, "Bagus, bagus"."
Tiba-tiba Leng Kong-siau, kakek pendek ketua dari Lembah-seribu-racun menutuk jalandarah di
punggung Ting Ko. Serempak dengan itu Ca Cu jingpun berseru nyaring, "Saudara Ih, aku bersama saudara
Siangkwan Ko dan leng Kong-siau. berdiri difihakmu!" Habis berkata dia terus menerobos kearah
pintu merah. Ternyata ketiga orang itu, ketua Lembah-seribu-racun, Siangkwan Ko dan Ca Cu-jing diam-diam
telah berunding dengan menggunakan ilmu Menyusup-suara. Mereka memutuskan, lebih dulu
menggabung diri dengan Ih Thian-heng untuk melawan orang Lam-hay bun. Diperhitungkan,
walaupun Pengemis sakti Cong To dan mereka yang tak setuju dengan Ih Thian-heng, teiapi tentu
takkan membantu orang Lam hay-bun. Setidak-tidaknya mereka tentu netral.
Seiring dengan gerakan tubuh ketua Lembah-seribu-racun, dia mengayunkan kedua tangan dan
berpuluh puluh larik sinar perak sehalus bulu kerbau segera memancar kemuka.
Ong Kwan-tiong menggembor keras. Senjata Liang-gi-ci di ayunkan. Tring, tring, tring, senjata
rahasia yang dilepas ketua Lembah-seribu-racun itu, berhamburan lenyap.
Ca Cu jing dan Siangkwan Kopun bergerak. Yang satu melintas dari kiri kekanan, yang satu
memotong dari kanan ke kiri. Mereka menyerang barisan pedang ke delapan kacung. Seketika
pecahlah pertempuran, seru. Pedang dari kedelapan kacung baju biru itu segera berhamburan
bagai hujan mencurah. Walaupun Ca Cu jing dan Siangkwan Ko itu tokoh-tokoh yang hebat, namun mereka tetap tak
mampu maju setapakpun juga.
Ih Thian-heng berpaling "Harap saudara2 tunggu dan melihat di samping. Biarlah aku yang
akan membuka jalan-darah untuk saudara2."
"Kentut!" bentak Pengemis-sakti Cong To, "siapa suruk engkau membuka jalan!"
Memang pengemis tua itu masih berdarah panas. Walaupun ia menyadari bahwa ucapan ih
Thian-heng itu hanya suatu provokasi untuk membakar hati orang, namun pengemis tua tak dapat
menahan diri. Habis berkata ia terus menerjang maju.
Ong Kwan-tiong membentak, "Urusan ini bukan main-main. Kalau saudara2 berkeras hendak
masuk, jangan salahkan kalau kami orang Lam-hay bun akan membuka pantangan membunuh!"
"Silahkan." Ih Thian-heng tersenyum.
Dalam berkata itu dia sudah lancarkan tujuh buah serangan sehingga membuat si Pendek tak
sempat menggunakan senjata pit-nya. Barulah saat itu si Pendek terbuka matanya bahwa durjana
nomor saru dalam dunia persilatan Tiong goan, benar-benar seorang tokoh yang sakti dan cerdas.
Ketika deru sambaran pedang sedang berkecamuk hebat, tiba-tiba dari dalam piatu terdengar
suara nenek Bwe berseru, "Harap tangcu memberi perintah supaya para ketua dan tokoh-tokoh
terkemuka dalam dunia persilatan Tiong-goan suka bersabar karena sebentar lagi tangcu akan
keluar menyambut mereka."
Ong Kwan-tiong tertegun sejenak. Sesaat kemudian ia merasa longgar hati karena tahu bahwa
suhunya tak kurang suatu apa.
Kiranya dengan memodong tubuh si dara baju ungu masuk kedalam pintu merah, Didalam
pintu terbentang sebuah lorong panjang yang tanpa penerangan. Tetapi keadaan lorong itu
remang2 tidak gelap sekali. Ada semacam sinar lembut yang memancar, entah dari mana"."
Nenek Bwe tak berani gunakan ilmu Meringankan tubuh lagi. Selangkah demi selangkah ia
maju kedepan. Pada ujung lorong tergantung sehelai tirai mutiara. Dari tirai mutiara itulah kiranya
sinar remang tadi memancar.
Dengan hati-hati nenek bwe menyingkap tirai mutiara itu. Didalamnya ternyata sebuah ruang
yang bersih, tanpa meja kursi dan alat-alat perabot lainnya. Hanya disudut dinding berjajar
belasan kim-teng atau dingklik emas. Namun suasana ruang itu cukup indah berwibawa.
Seorang lelaki tua baju biru, rambut panjang menjulai ke bahu, tengah duduk membelakangi
pintu. Dia berhadapan dengan seorang wanita pertengahan umur yang cantik dengan sanggul
rambut dan pakaian indah seperti puteri keraton. Seri wajahnya yang berseri gemilang laksana
bidadari, membuat orang tak berani beradu pandang.
Mereka berdua menunduk dan mencurahkan seluruh semangatnya untuk beradu tenaga-dalam.
Suatu pertempuran maut dari sepasang suami isteri yang aneh.
Melihat adegan itu, teganglah hati nenek Bwe. Maju selangkah ia berseru gemetar, "Cukong,
cubo. Toto datang!" Tetapi baik lelaki tua baju biru maupun wanita berpakaian puteri keraton itu tetap pejamkan
mata tak menghiraukan. Nenek Bwe bercucuran airmata dan berseru dengan terisak-isak, "Toto". telah menggigit
hancur mutiara beracun itu!"
Kata-kata yang diucapkan dengan pelahan dan sepatah demi sepatah oleh nenek Bwe itu, bagai
halilintar meledak disiang hari. Lelaki tua dan wanita cantik itu serempak gemetar.
Tangan mereka yang tangan melekat erat itu, serentak tersiak satu dim.
Tiba-tiba tongkat bambu yang digenggam erat dalam jari manis dan jari kelingking: tangan
kanan nenek Bwe, berayun menyusup ke tengah kedua pasang tangan suami isteri itu. Dan
orangnyapun melesat datang.
Tetapi rupanya cara penjagaan diri dari nenek Bwe itu, tiada gunanya. Lelaki tua dan wanita
cantik saat itu sudah menari tangan masing-masing. Wajah mereka tak mengunjuk rasa menderita
luka melainkan mengerut kecemasan.
Dan serempak pula keduanya terus melonjak menyongsong nenek Bwe, "Toto! Toto".
Baik silelaki baju biru maupun wanita cantik keduanya sama-sama menyongsongkan kedua
tangannya kemuka untuk menyambut tubuh si dara baju ungu. Tetapi tanpa sengaja ujung jari
kanan silelaki baju biru telah menyentuh ujung jari kiri siwanita cantik. Kedaanya serentak cepatcepat
menarik tangannya karena seperti membentur besi.
"Bwe Nio, siang malam engkau menjaga To-ji, mengapa dia sampai menggigit mutiara beracun
itu?" bedak lelaki tua baju biru dengan bengis.
Wanita cantik menyelutuk, "Mengapa To ji sampai dihina orang" Mengapa engkau biarkan
orang menghinanya?" Walaupun kata-katanya tidak tajam, tetapi nadanya saat bengis sekali.
Bwe Nio menghela napas panjang, "Soal itu panjang ceritanya. Aku juga tak berdaya untuk
mencegahnya"." Wanita keraton itu mengerut wajah dan menukas, "Tidak berdaya". hm, mungkin tak mampu
berdaya?" Nenek Bwe tak berani membantah. ia tundukkan kepala. Lelaki baju biru pelahan lahan ulurkan
tangan. Ternyata wanita keraton itu tak mengulurkan tangan sehingga tubuh si darapun disambut!
oleh leiaki tua itu lalu diletakkan diatas lim-teng.
Lelaki tua itu mulai memeriksa mata, pergelangan tangan si dara lalu menghela napas panjang
tetapi longgar. "Ah, untung aku berada disini. To ji tentu tak kena apa-apa dan engkaupun jangan
mendamprat Bwe Nio lagi," katanya kepada wanita kraton itu.
Wanita kraton hanya mendengus. Tanpa memandang lelaki baju biru itu, ia berkata sarat, "Bwe
NiO siapakah yang menghina atau yang menyebabkan To ji marah?"
"Ji"." baru nenek Bwe berkata sepatah hendak menyebut nama ji Han Ping, tiba-tiba ia
teringat bahwa cubo (majikan perempuan) itu beradat keras sekali. Dan ia tahu bahwa cubo-nya
itu keliwat sayang sekali kepada si dara. Apabila ia menyebut nama pemuda itu, tentulah cubo-nya
akan menyelesaikan Han Ping.
Pada hal nenek bwe tahu Han Ping itu pemuda yang dicintai si dara.
"Mengapa engkau tak berani menyebut namanya" Apakah engkau bersekongkel dengan dia?"
bentak wanita keraton. Tiba-tiba nenek Bwe mendapat pikiran dan cepat berseru, "Ih Thian-heng "
"Ih Thian-heng?" teriak wanita cantik itu, "siapakah Ih Thian-heng itu" Dimanakah dia saat ini?"
"Diluar pintu." sahut nenek Bwe.
"Suruh dia masuk!" teriak wanita keraton itu dengan bengis.
Nenek Bwe mengiakan. Segera ia berputar tubuh keluar dan berseru memerintahkan
rombongan tokoh-tokoh itu masuk.
Sekalian tokoh-tokoh silat Tiong-goan tergetar hatinya. Lam-hay Ki-siu, tokoh sakti dan aneh
dari dunia persilatan akan berhadapan dengan mereka.
Ih Thian-heng cepat menyelinap kesamping Ting Ko dan menepuk jalandarahnya yang tertutuk
tadi, tertawa, "Kalau saudara Ting hendak minta ganti jiwa puteri saudara, nanti saja setelah kita
keluar dari makam ini."
Ting Ko tertawa nyaring. Nadanya macam hantu meringkik. Setelah meletakkan tubuh Ting
Ling, ia segera ayunkan tangan lepaskan sebuah pukulan dari jauh kearah ketua Lembah-seriburacun
yang telah menutuk jalandarahnya tadi.
Serangkum hawa dingin segera melanda kearah katua Lembah-seribu-racun. Karena tak
menduga, Leng Kong-siau ketua Lembah-seribu racun itu tak sempat menghindar. Segera ia
rasakan tubuhnya dilanda hawa dingin.
Ting Ko berseru dingin, "Tadi saudara Leng telah memberi sebuah tutukan kepadaku. Sekarang
akupun menghaturkan sebuah pukulan Han-im-ciang. Jadi kita sudah tak saling berhutang budi,
ha, ha,". ha, ha"."
Ih Thian-heng mengeluarkan dua butir pil putih, tertawa, "Saudara Leng. silahkaa pilih yang
mana." Leng Kong siau menendang keangan Ih Thian-heng. Dilihat tanya kedua butir pil itu sama
besarnya, warnanyapun serupa. Segera ia mengambil sebutir.
Ih Thian-heng segera menelan yang sebutir, katanya, "Pil Kun-goan-sin-tan ini khasiatnya
untuk menolak segela macam racun Im-han yang dingin. Setelah makan pil itu, tentulah saudara
Leng tak usah menderita luka akibat pukulan saudara Ting tadi. Aku menelannya sebutir, agar
saudara Leng jangan ragu-ragu."
Leng Kong-siaupun segera menelannya dan mengucapkan terima kasih. Ih Thian-neng
tersenyum, ujarnya, "Paling tidak, saat ini kita sama-sama mendayung dalam sebuah perahu
melintasi gelombang besar.
Segala dendam kesumat harap dipertangguhkan dahulu setelah kita nanti keluar dari makam
ini." Habis berkata ia lintangkan sebelah tangan kedada dan sebelah tangan siap memukul, lalu
melangkah kearah pintu merah.
Pun Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau menghampiri Leng Kong-siau dan menghiburnya, "Saudara
Leng, harap bersabar dulu.
Kedua orang itupun sagera mengikuti jejak Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko menghela napas panjang, bisiknya kepada ketua Lembah-raja-setan Ting Ko:
Kehilangan anak perempuanku, seperti tercabut nyawaku. Aku hanya mempunyai seorang anak
perempuan tetapi anakku ternyata telah dicelakai oleh orang-orang Lam-hay-bun sehingga
kehilangan kesadaran pikirannya"."
Ting Ko menyambut dingin, "Saudara Siangkwan menderita karena kehilangan anak, apakah
aku juga tak menderita perasaan demikian karena anakku meninggal itu" Kalau menghendaki aku
supaya membantu ih Thian-heng, syaratnya hanyalah kalau dia dapat mengembalikan jiwa anakku
itu." "Saudara Ting salah faham," kata Siangkwan Ko. "maksudku bukan menganjurkan supaya
saudara Ting jangan membalas dendam itu. Tetapi saat ini keadaannya lain. Daripada seorang diri,
kurasa lebih baik saudara ting untuk sementara ini mau bekerja sama dengan mereka untuk
menghadapi ancaman Lam-hay Ki-sau. Setelah keluar dari makam ini barulah nanti kita membuat
perhitungan lagi. Ting Ko merenung sejenak, menghela napas, "Demi memandang muka saudara Siangkwan
biarlah aku mengalah kali ini."
Siangkwan Ko terus menarik tangan Ting Ko diajak masuk kedalam pintu merah.
Han Ping memberi hormat kepada Ong Kwan-tiong, serunya, "Jenazah nona Ting dan nona
Siangkwan itu, mohon saudara Ong suka mengurusnya."
Ong Kwan-tiong menyilangkan senjatanya dan balas memberi hormat, "Harap saudara Ji tak
usah kuatir. Kalau engkau masih dapat keluar dari makam ini dengan selamat, kujamin jenazah
nona Ting tentu takkan terganggu dan nona Siangkwan pun pasti tak kurang suatu apa."
Kembali Han Ping memberi hormat, "Ji Han Ping menghaturkan terima kasih atas kebaikan
saudara."Habis berkata bersama Pengemis-sakti Cong To dia terus ayunkan langkah.
Nenek Bwe dengan tongkat bambunya mengikuti paling belakang. Benar-benar Tiong suatu
barisan yang keramat dari tokoh Tiong-goan.
Berjalan lebih kurang lima enam tombak. Ih Thian-heng yang berada paling depan, mereka tiba
diujung lorong dan berada dalam sebuah ruang yang terang benderang.
Lelaki tua baju biru yang rambutnya menjulai pada bahu, tampak duduk bersila di sudut ruang.
Dibelakangnya tertelentang tubuh si dara baju ungu. Kedua tangan lelaki tua itu tengah menguruturut
tubuh si dara. Rupanya ia tengah mencurahkan perhatian untuk menolong si dara sehingga
seolah-olah tak mengetahui bahwa rombongan tokoh-tokoh Tiong-goan itu sudah masuk kedalam
ruang. Seorang wanita yang berpakaian seperti puteri keraton tengah tegak berdiri dibelakang dinding.
Wajahnya yang cantik gemilang, menyilaukan pandang mata sekalian orang.
Tetapi wanita itu tampak tenang sekali Ia tak mengacuhkan kedatangan rombongan jago2 silat
itu. Setelah semua rombongan sudah masuk barulah ia membuka mulut dengan nada dingin,
"Yang manakah Ih Thian-heng itu?"
Ih Thian-heng memberi hormat dan menyahut tertawa, "Aku yang rendah inilah Ih Thian-heng.
Adakah hujin (nyonyah) hendak memberi perintah kepadaku?"
Wajah wanita keraton yang segar kemerah-merahan itu segera berkabut dengan hawa
pembunuhan, serunya, "Apakah engkau yang menghina anakku?"
Sambil mengabarkan pandang kearah si dara baju ungu yang masih berbaring di tanah, Ih
thian heng tertawa hambar! "Kalau benar, Lalu bagaimana?"
"Membunuh orang harus mengganti jiwa. Engkau berani menghina puteriku sampai dia mati
penasaran, mengapa engkau masih berani hidup?" teriak wanita berpakaian seperti puteri keraton
itu. Kata-katanya penuh dengan nada keangkuhan.
Tiba-tiba ih Thian-heng tertawa sekeras-kerasnya, "Dalam dunia persilatan Tiong-goan,
siapakah yang tak kenal aku Ih Thian-heng ini seorang yang kejam dan ganas, memandang jiwa
manusia itu hanya seperti jiwa semut saja" Aku sudah terlanjur berlumuran darah hidupku, kalau
tambah satu dua jiwa lagi menjadi korban keganasanku, pun tak apa."
Wanita keraton itu kerutkan alis dan berseru dingin, "Karena engkau tak mau membunuh diri
menebus dosa, terpaksa aku harus- turun tangan!"
"Dengan segala kerendahan dan kegembiraan hati, aku menunggu pelajaran hujin," sahut Ih
thian-heng. Wanita cantik itupun segera mengangkat tangan kanannya. Tetapi biru akan diayunkan tibatiba
terdengar seseorang berseru, "Tunggu!"
Ketika wanita cantik itu berpaling, dilihatnya seorang pemuda cakap yang gagah, melengkang
ke hadapannya. "Siapa engkau?" tegur wanita itu.
Pemuda itu menjurah dengan hormat, "Aku yang rendah ini Ji Han Ping."
Wanita cantik membentak, "Ji Han Ping, engkau mau apa?"
Jawab Han PinG, "Seorang lelaki tak mau membiarkan orang lain mewakili menerima
kesalahannya. Yang membuat marah sampai puterimu binasa itu adalah aku. Ih Thian-heng tak
ada sangkut pautnya. Kalau engkau meminta ganti jiwa, mintalah kepadaku."
Wanita rantik itu tertegun Cepat ia memandang kearah BWe NIo, adunya, "Bwe Nio,
bagaimana ini?" SejenaK merenung, Bwe Niopun menyahut, "Ya Memang mereka berdua yang menjadi
pembunuhnya " "bagus wanita keraton ItU tertawa, memang kalau sebuah jiwa hanya diganti dengan sebuah
jIWa kupikir tentu masih merugikan putriku."
Ih Thian-heng berpaling kearah Han Ping, hendak membuka mulut tetapi tak jadi.
Wanita cantik ini berkisar dua langkah kemuka lalu berderu bengis, "Kalian boleh maju berdua"
Han Pingpun tiba-tiba melangkah setindak kemuka, "Kalau lo-ciunpwe hendak menuntut ganti
jiwa puteri- lo cianpwe, memang aku harus menerima."
Wanita keraton itu berseru tawar "Mati dulu atau mati belakangan, hanya sekejab saja
terpautnya"." ia terus ayunkan tangan menghantam.
Hantamannya itu tak menerbitkan deru angin maupun suara keras. Indah dan lemah gemulai.
Wajah Han Ping tampak mengerut serius, "Locianpwe, maafkan kalau aku bertindak kurang
tata krama" Diam-diam iapun kerahkan tenaga-dalam kearah tangan dan menangkis pukulan wanita itu.
Tetapi rupanya wanita itu tak mau tangannya berbentur dengan tangan Han Ping. Maka cepat
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia mengendapkan tangannya dan terus menarik pulang.
Han Ping hendak maju mendesak tetapi tiba-tiba ia merasa dilanda oleh segelombang tenaga
gelap. Ia terkejut, pikirannya, "Kepandaian wanita ini, benar-benar tak boleh dipandang rendah.
Dia dapat menyimpan tenaga-dalam yang hebat di telapak tangannya. Begitu tangan ditarik
kembali, tenaga-dalam terus berhamburan memancar.
Hebatnya gelombang tenaga yang melanda tangan Han Ping itu hebat sekali sehingga Han Ping
terpaksa harus mundur selangkah.
Pun wanita, cantik itu tak kurang kejutnya. Ia duga dengan pancaran tenaga-dalam yang
dilakukan secara tiba-tiba itu, Han Ping tentu terluka berat dan binasa.
Paling tidak tentu akan rubuh pingsan. Tetapi ternyata dugaannya itu meleset. Walaupun
anakmuda itu tersurut mundur selangkah tetapi dapat menyambut serangannya.
Kini baik Han Ping maupun wanita cantik itu sama-sama menyadari bahwa lawan tak boleh
dipandang ringan. Setelah sama-sama tertegun sejenak keduanya baru mulai melakukan
serangan. Han Ping mengeluarkan ilmu istimewa dari perguruan Siau-lim si yalah Cap ji kin-liang jiu atau
duabelas sambaran menangkap naga. Jari jemarinya menjulur surut untuk mencengkeram jalandarah
tangan siwanita Kin-liong-jiu itu memiliki gerak yang luar biasa dan sukar diduga sama
sekali. Gerakan tangan wanita itu biasa saja. Cara menangkis dan menyerang, dilakukan dengan gerak
yang sederhana. Tetapi ternyata jurus2 yang sederhana itu, dimainkan dengan tenaga yang
mengejutkan orang. Dalam jurus permainan yang sederhana itu mengandung gerak perobahan
yang aneh dan luar biasa.
Kedua belas jurus ilmu Kim-liongjiu yang dimainkan Han Ping itu boleh mengunjuk kesaktiannya
yang luar biasa. Tetapi kesemuanya itu dapat dilenyapkan dengan jurus2 yang sederhana dari
siwanita cantik. Dalam beberapa kejab saja, keduanya sudah bertempur lebih dari duapuluh jurus. Namun tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Lelaki tua baju biru itu seolah-olah tak mengacuhkan pertempuran itu. Dia menundukkan
kepala dan masih sibuk mengurut si dara.
Sedang Ih Thian-heng memandang tak berkesiap pertempuran antara wanita cantik lawan Han
Ping itu. Wajah wanita cantik itu mulai mengunjuk kerut keheranan. Namun dia tetap tak mau balas
menyerang. Rupanya dia hendak memancing agar Han Ping mengeluarkan seluruh kebiasaannya.
Sejenak Ih Thian heng memandang kearah lelaki baju biru lalu gunakan ilmu Menyusup suara
berkata, "Hati-hati saudara Ji, wanita itu hendak memikat engkau supaya mengeluarkan selaruh
kepandaianmu"."
Han Ping berobah kerut wajahnya. Tiba-tiba tangannya menyerang lebih dahsyat. Setiap jurus
pukulan dan tamparannya, benar-benar merupakan ilmu silat yang jarang tertampak dalam dunia
persilatan. Mau tak mau wanita itu harus mengimbangi permainan Han Ping. Diapun mengeluarkan jurus2
yang aneh dan istimewa. Yalah ilmu untuk menutuk jalandarah dan menabas uratnadi.
Jurus yang dimainkan Han Ping telah mencapai tingkat yang sukar d kendalikan lagi. Tetapi
karena ditekan oleh permainan siwanita cantik, Han Ping tak dapat mengembangkan gerakannya.
Sekonyong konyong wanita itu melepaskan dua buah pukulan sehingga gerakan Han Ping
menjadi terlambat. Kemudian ia menarik pukulannya dan mundur seraya berseru, "Berhenti!"
Sambil hentikan tangannya, Han Ping bertanya, "Lo cianpwe, hendak memberi perintah apakah
kepadaku?" Wajah wanita itu bertebar merah. Hendak membuka mulut tetapi tak jadi bicara.
Han Ping tertegun, serunya, "Jika lo cianpwe hendak memberi pesan apa-apa, silahkan
mengatakan." Lelaki tua baju biru yang sibuk mengurut tubuh si dara baju ungu tadi, saat itu mengangkat
kepala. Sepasang matanya berkilat-kilat mencurah kepada Han Ping. Ia mendengus dingin lalu
lepaskan pukulan. "Siapa suruh engkau campur tangan!" tiba-tiba wanita cantik itu membentak marah seraya
gerakkan tangan menangkis pukulan lelaki itu.
Nenek Bwe menghela napas, "Tancu, cubo musuh sudah didepan mata masakan kalian tak
saling memaafkan dan bersatu untuk menghadapi mereka?"
Wanita cantik itu makin marah, serunya "Bagus, Bwe Nio, engkau juga berani mengurus aku"
"Maaf cubo, hamba sekali-kali tak berani," nenek Bwe tundukkan kepala.
Wajah lelaki baju biru itu berkerenyutan sejenak lalu mengatupkan mata. Jelas hatinya amat
tegang tetapi terpaksa ditindasnya.
Dalam pada memperhatikan suasana disitu Ih Thian-heng cepat mendapat kesan bahwa
diantara lelaki tua baju biru dengan wanita keraton yang cantik itu terdapat suatu dendam
permusuhan. Diam-diam Ih Thian heng girang, Kalau ia dapat menemukan soal2 yang menjadi
sebab perselisihan kedua orang itu tentulah ia dapat memanfaatkannya untuk mengadu domba
agar keduanya saling bertempur lagi.
Dengan pemikiran itu Ih Thian-hengpun segera tertawa nyaring. Karena tertawanya yang
mendadak itu, sekalian tokohpun terkejut.
"Mengapa saudara Ih tertawa?" tegur Ca Cu-jing.
Ih Thian-heng hentikan tertawanya lalu menyahut, ?"Tiba-tiba saja aku teringat akan sebuah
cerita. Cerita itu amat lucu sekali sehingga aku tak dapat menahan rasa geliku"."
"Cerita bagaimanakah sehingga begitu lucu itu?" Nyo Bun-giau menyelutuk, "apakah saudara
mau mengatakan agar kami juga dapat mengetahui?"
Nyo Bun-giau ini juga cerdik sekali. Cepat sekali ia menarik kesimpulan bahwa tak mungkin Ih
Thian heng akan tertawa begitu keras apabila tak ada sesuatu.
Sejenak memandang kearah lelaki tua baju biru, Ih Thian-heng berkata, "Berpuluh tahun yang
lalu, hidup dua orang yang menganggap dirinya paling pandai didunia. Keduanya berwatak angkuh
dan keras kepala. Mereka hidup bersama, menjadi pencari kayu"."
Lelaki tua baju biru tiba-tiba mengangkat kepala dan memandang Ih Thian-heng lalu berseru
dingin, "Apakah engkau yang bernama Ih Thian-heng?"
Ih Thian heng tersenyum, "Benar, bagaimana?"
"Lalu bagaimana?" Ca Cu jing menyelutuk pula.
Ih Thian-heng melanjutkan ceritanya, "Pada hari itu ketika mereka pergi ke hutan, mereka
menemui seekor anak macan. Yang seorang hendak membunuhnya tetapi yang seorang
mencegah dan ingin memelihara anak macan itu. Tak berapa lama anak macan itu pun tumbuh
besar"." "Macan setelah besar memakan pencari kayu itu. Kebaikan budi hanya menimbulkan bahaya"
tiba-tiba terdengar suara melengking merdu dan serentak dengan itu si dara baju ungupun
menggeliat duduk. Ih Thian heng tertawa, "Nona menebak jitu. Aku inilah salah seorang dari kedua pencari kayu
itu. Dan masih ada seorang pencari kayu lagi, entah siapa?"
Dara baju ungu membentak, "Ih Thian-heng, sayang usahamu sia2 saja. Aku dapat sembuh
terlalu pagi"."
Tiba-tiba mata si dara baju ungu itu terbentur kearah siwanita keraton. Seketika gemetarlah
tubuh dara itu. "Yah, apakah itu ibuku?" bisik si dara kepada lelaki tua baju biru.
Lelaki tua baju biru itu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba Han Ping memberi hormat kepada wanita cantik itu, "Puterimu sudah sembuh,
diantara kita sudah tiada permusuhan lagi"."
Tiba-tiba Han Ping berputar tubuh, mencabut pedang Pemutus-asmara dan memandang Ih
Thian-heng, serunya, "Ih Thian-heng, kita sudah bertemu muka dengan pemilik makam ini. Entah
mati atau hidup, nanti kita tentu segera mengakhiri keadaan di sini. Sekarang jika aku tak lekas
menuntut dendam kepadamu, mungkin nanti tak ada kesempatan lagi."
Ih Thian hengpun mengeluarkan sepasang gelang emas dari bajunya, sahutnya, "Selama ini
aku tak pernah menggunakan senjata apabila bertempur dengan orang. Tetapi hari ini terpaksa
aku harus menghapus pantangan itu."
"Terima kasih karena engkau memandang tinggi kepadaku," kata Han Ping.
Nyo Bun-giau kerutkan alis, serunya, "Kurasa dendam permusuhan kalian ini, nanti saja
diselesaikan setelah keluar dari makam ini."
Han Ping tertawa, "Cerita Ih Thian-heng tentang pencari kayu yang memelihara anak harimau
tadi, telah memberi peringatan kepadaku.
Apabila lepaskan harimau kembali ke gunung,akan menimbulkan bahaya dikemudian hari."
Han Ping menutup kata-katanya dengan tusukkan pedang.
ih Thian-hengpun cepat memutar kim-juan atau lingkaran-emas untuk menangkis seraya
berseru, "Gelang emas ini kulengkapi dengan bermacam alat rahasia yang hebat, harap engkau
berhati -hati!" Han Ping mengulapkan tangan, menarik pulang pedang dan berseru, "Silahkan engkau
menggunakannya. Kalau mati, Ji Han Ping takkan penasaran!"
Segera ia gerakkan pedangnya dengan jurus yang istimewa yalah Ban-lun-hud-Kong atau
Lingkaran sinar-Buddha. Pedang Pemutus-asmara pun segera memancarkan hamburan sinar yang
menyelubungi tubuh Han Ping.
Walaupun hanya sebuah jurus, tetapi Ban-lun-hud kong itu mengandung perobahan yang tak
terduga dan tak terhitung jumlahnya, Sebuah jurus ilmupedang yang benar-benar sakti.
Lingkaran sinar pedang Pemutus-asmara itu tiba-tiba pecah menjadi tiga gunduk sinar, terus
menyerang Ih Thian-heng. Tring, tring, tring". terdengar dering melengking memekakkan telinga ketiKa sinar lingkaran
dari sepasang Gelang emas Ih Tian heng berhantam dengan gumpalan sinar pedang PemutusAsmara. Sinar pedang Pemutus-asmara menggembung panjang, berganti bentuk menjadi semacam
bianglala yang melingkari sinar gelang emas" Sekalian orang yang menyaksikan permainan kedua
orang itu tersengsam kesima.
Semula Nyo Bun-giau dan Ca Cu jing hendak menasehati agar kedua orang itu untuk sementara
mau menghentikan permusuhannya. Tetapi demi melihat sinar gelang dan sinar pedang seolah
membungkus tubuh mereka, tokoh-tokoh itupun bingung untuk melerai mereka.
Sinar pedang Pumutus-asmara memancarkan hawa dingin dan gelang emaspun berkilaukemilau
sinarnya. Tetapi sedikitpun tidak menghamburkan suara apa-apa.
Sekalian tokoh yang berada di ruang itu, semua tokoh-tokoh silat yang berilmu tinggi. Mereka
segera tahu bahwa kedua orang yang bertempur itu telah mengeluarkan ilmu tenaga dalam yang
tinggi. Ujung pedang dan gelang emas, mengandung tenaga, dalam yang dahsyat sekali. Tidak
terdengarnya suara benturan kedua senjata itu jelas mengunjuk bahwa keduanya telah
menumpahkan seluruh kepandaiannya untuk menggunakan jurus2 simpanannya yang istimewa,
mengalahkan lawan. Benar-benar sebuah pertempuran yang dahsyat dan sengit sekali. Seluruh mata dan perhatian
sekalian tokoh terpikat pada pertempuran itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah dengus tertahan dan sinar pedangpun tiba-tiba menyurut, sinar
gelang emas lenyap. Tubuh Han Ping terhuyung mundur tiga langkah. Wajahnya pucat lesi,
keringat mencurah seperti hujan. Lengan kirinya menjulai lemas. Jelas dia telah menderita luka
parah. Dilain fihak, tampak Ih Thian-heng kerutkan sepasang alis dan mengatup bibirnya erat2.
Rupanya diapun sedang berusaha untuk menahan kesakitan.
Setelah saling bertukar pandang beberapa saat, tiba-tiba Han Ping berseru, "Ih Thian-heng,
Tiga Pendekar dari Lam gak, mempunyai dendam permusuhan apa dengan engkau" Mengapa
engkau membunuh ayahku dan mengapa pula engkaupun tak mau memberi ampun kepada
suhuku?" Ih Thian-heng menyahut pelahan, "Sederhana saja, mereka telah menghianati aku."
Mata Han Ping berkilat kilat memancarkan sinar pembunuhan".
JILID 7 Banteng lawan harimau. "Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?" seru Han Ping dengan mata berapi-api.
Ih Thian- heng sejenak memandang kesekeliling ruang lalu menyahut dingin, "Soal itu aku tak
mau memberi jawaban."
"Pertempuran terakhir yang akan kita langsungkan ini, masih belum dapat dipastikan siapa
yang akan menang, "kata Han Ping pula.
"Ya, memang aku juga mempunyai kesimpulan begitu," sahut Ih Thian-heng.
"Kalau engkau kubunuh aku tentu masih tak mengetahui mengapa alasanmu membunuh kedua
orangtuaku itu." Ih Thian-heng segera menjawab, "Kalau engkau mati di tanganku, tentulah engkau akan dapat
berkumpul dengan kedua orangtuamu di alam baka."
Han Ping tertawa dingin. "Arwah ayahku tentu tahu dan tentu akan membantu aku menyelesaikan dendam jiwa ini!"
serunya tegas. Kemudian ia terus perlahan-lahan mengangkat pedangnya keatas.
Melihat itu Ih Thian-hengpun segera bergerak. Ia pindahkan gelang emas ke tangan kiri lalu
tangan kanannya mengambil sebatang pedang pendak yang panjangnya seperti pedang Pemutusasmara.
Hanya batang pedang itu dihias dengan tujuh buah bintang.
Sepasang galang-emas yang dicekal ditangan kiri dijulurkan lurus kemuka dan pedang
pendekpun dilintangkan siap menyambut serangan musuh.
Tampak wajah Han Ping yang semula pucat, pelahan lahan berwarna merah pula. Sepasang
matanya memancar sinar tajam kearah lawan. Tangan kiri yang menjulai tadi, pun pelahan-lahan
diangkat keatas untuk mengimbangi permainan pedangnya.
Tiba-tiba mata silelaki tua baju biru atau Lara-hay Ki-siu ketua dan perguruan Lam-hay-bun,
tampak terkesiap. Rupanya dia terkejut melihat cara Han Ping menyiapkan ilmupedang yang akan
dilancarkan itu. Dalam pada itu wanita cantikpun segera menarik lengan Siau Toto atau si dara baju ungu terus
dipeluknya dengan mesra. "Nak, jangan takut bisiknya.
"Aku tak takut. Tetapi ah, siapakah yang akan menang dalam pertempuran itu?" tanya si dara.
"Tak peduli siapa yang akan menang toh sama saja," kata wanita keraton itu, tetapi tiba-tiba ia
terus berganti pembicaraan, "tetapi ilmupedang dari Ji Han Ping itu memang termasuk ilmupedang
tingkat tinggi. Kemungkinan dia menang, memang lebih banyak."
Ketika memandang kemuka tempat Han Ping dan Ih Thian-heng masing-masing sudah sama
menjulurkan pedangnya dan saling beradu pandang. Makin lama keduanya tampak makin tegang
dan setam. Wajah keduanyapun mengembang warna merah, Seolah2 keduanya sedang berusaha
untuk menekan perasaan dadanya yang hendak meledak.
Sekonyong konyong han Ping menggembor keras. Pedang Pemutus-asmara diayunkan dan
seketika memancarlah sinar kebiru-biruan yang menggelembung panjang.
Tetapi pada saat Han Ping menggembor itu, pedang Ih Thian-hengpun tiba-tiba disapukan
membentuk segumpal lingkaran sinar yang melingkari tubuh.
Ca Cu jing menghela napas panjang, "Ah, ilmu Pedang terbang"."
Tring! terdengar dering pelahan dan kedua pedang itupun tercerai lagi. Kedua orang itu tetap
berdiri ditempatnya semula. Mata saling beradu pandang.
Hanya wajah mereka yang berwarna merah tadi, kini lenyap dan berganti kerut kepayahan.
Sinar mata mereka yang berkilat-kilat tajam, pun redup dan pudar.
Pedang Ih Thian-heng ternyata sudah kutung terpapas pedang Pemutus asmara. Sisa
kutungannya yang separoh masih berada ditangannya.
Han Ping merghela napas, serunya, "Ih Thian-heng, cukup asal engkau menjawab sepatah saja.
Ibuku apakah engkau yang membunuhnya?"
Ih Thian-heng tak menjawab. Pelahan-lahan ia membuka genggam tangannya dan jatuhlah sisa
kutungan pedang ditangannya itu ketanah. Rupanya dia kehabisan tenaga sehingga tak kuasa lagi
untuk menguasai pedang dan sisa kutungan pedang itupun jatuh menukik lurus ketanah.
Ih Thian-heng, apakah engkau tak berani mengaku?" bentak Han Ping dengan sengit.
Tubuh Ih Thian-heng gemetar. Tiba-tiba ia menghela napas, "Kalau ya, lalu bagaimana?"
Han Ping tertawa nyaring, "Membunuh orang harus mengganti jiwa!"
Sekali tangan bergerak maka sinar birupun segera menabur kemuka. Setiap kali membicarakan
dendam darah orangtuanya, darahnya tentu mendidih dan tenaganyapun menggelora. Dia tentu
akan turun tangan dengan buas.
Setitikpun Ih Thian-heng tak menyangka bahwa dalam keadaan tenaganya habis ternyata Han
ping masih dapat melancarkan serangan sedemikian hebatnya. Ih Thian-heng terkejut. Dalam
gugup ia cepat lepaskan sepasang gelang emas. Gelang emas itu malayang menyongsong sinar
pedang. Tring, tring". terdengar dering pelahan dan sepasang gelang emas itupun terpapas kutung.
Tetapi serentak dengan itu, batang gelang itupun menghamburkan air hitam.
Ternyata senjata Kim-juan atau Gelang emas milik Ih Thian-heng itu diisi dengan air beracun
dan alat rahasia. Apabila alat itu dipijat, air beracunpun tentu meluncur keluar sampai jauh. Tetapi
hamburan air itu halus seperti asap sehingga musuh tentu tak dapat melihatnya. Sekali mengenai
tubuh orang, segera daging orang itu tentu akan membusuk. Racun berwarna hitam itu memang
luar. biasa ganasnya. Apabila Han Ping tak melancarkan serangan yang begitu tiba-tiba dan tak dapat diduga Ih
Thian-heng, tentulah nanti akhirnya pemuda itu akan tersembur oleh air racun.
Setelah dapat menghancurkan gelang emas Han Pingpun menghentikan serangannya.
Ih Thian-heng terkejut sekali melihat peristiwa yang tak terduga-duga itu. Tetapi pada lain saat
ia tertawa nyaring, serunya, "Ah saudara Ji, rejekimu sungguh besar sekali. Kalau engkau tak
memapas kutung gelang-emas itu,tentulah engkau terluka tersiram air beracun itu."
Han Ping memandang ke tanah yang ditimpahi air beracun. Ia terkejut, pikirnya, "Hm entah
apa ramuan racun itu sehingga sampai begitu hebat. Tanahpun sampai berlubang-lubang begitu
macam. Kalau sampai mengenai tubuh orang, tentu hancur."
Hati Ping geleng2 kepala dan menghela napas, "Ih Thian heng sekarang baru kubuktikan
sendiri kalau engkau ini memang manusia berhati serigala."
Ih Thian-heng malah tertawa keras, "Dalam tempat yang begini berbahaya, kesempatan hidup
amat kecil sekali. Sekalipun engkau memaki aku dengan kata-kata yang lebih kotor lagi, akupun
takkan mempedulikan"
"Siapa bilang tempat ini sebuah tempat maut. Yang benar, hidup dan mati kalian ini tergantung
dari keputusanku," tiba-tiba lelaki tua baju biru berseru.
Jawab Ih Thian-heng, "Betapapun kesaktianmu, namun rasanya tentu sukar menghadapi
serangan bersama dari tokoh-tokoh Tiong-goan. Menilik engkau saat ini sedang menderita luka
dalam yang parah, engkau tentu kalah dan menggerakkan alat rahasia dalam makam ini agar kita
mati bersama-sama semua."
Lain-hay Ki-siu tertawa dingin.
"Melihat keadaan disini, rasanya tiada seorangpun yang dapat melawan aku," serunya dengan
congkak.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sombong benar!" seru Ih Thian-heng lalu berpaling memandang Han Ping. Tampak pemuda
itu kerutkan alis dan berkilat-kilat matanya. Wajahnya mengunjuk rasa tak puas terhadap ucapan
ketua Lam-hay-bun tadi. Melihat suasana itu tergeraklah pikiran Nyo Bun-giau, cepat ia menyelutuk, "Apabila kita semua
tokoh Tiong-goan dapat memikirkan kepentingan bersama, sementara menghapus dulu
kepentingan pribadi, lalu menghadapi engkau. Hm, kemungkinan bukan kami tetapi kalian orangorang
Lam-hay-bun akan menjadi penghuni makam tua ini."
Berulang kali wajah Han Ping tampak menggelombang perobahan tetapi sampai lama, dia tetap
belum membuka mulut, Beberapa waktu kemudian baru berkata dengan nada dingin, ?"Dendam
kehilangan ayah dan bunda, bagai gunung yang selalu mengganjel mata. Aku takkan hidup tenang
sebelum dapat membasmi musuh itu, menggorek hatinya untuk kusembahyangkan dimuka pusara
ayah-bundaku, Ih Thian-lieng dendam permusuhan kita, tak mungkin diundurkan lagi. Saat ini
kalau bukan engkau, akulah yang akan mati!"
Ih Thian-heng merogoh kedalam bajunya dan mengeluarkan sebatang sabuk kulit, lebarnya
lima dim. Ujung sabuk ditancapi golok liu-yapto (golok setipis daun liu) yang berwarna kebirubiruan.
Kemudian tangan kiri merogoh kedalam baju lagi dan mengeluarkan sebatang pedang Jit
sing kiam (pedang Tujuh-bintang).
"Memang sudah jauh2 hari aku menduga tentang pertempuran terakhir antara kita berdua.
Demi menghadapi pedang pusaka Pemutus asmara yang luar biasa tajamnya itu, aku sengaja
membuat lima batang pedang pendak Tujuh-bintang dan duapuluh hui-to (golok terbang) yang
berlumur racun"." seru Ih Thian-heng.
"Berapa banyak senjata yang engkau bawa, silahkan menggunakan semua," tukas Han Ping.
Ih Thian heng tertawa, "Duabelas batang hui-to beracun dan lima batang pedang Tujuh
bintang yang terbuat dari baja murni dan sepasang gelang-emas berisi racun sama sekali
berjumlah duapuluh tujuh buah. Sampai saat ini engkau sudah berhasil menhancurkan sebatang
pedang dan sepasang gelang emas"."
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Dua puluh batang huuo ini. racunnya luar biasa
ganasnya. Engkau harus hati-hati!"
Memandang kearah golok yang disiapkan Ih Thian-heng itu, diam-diam Han Ping menimang
dalam hati, "Hui-to itu hanya lima dim besarnya. Tentu mengandung suatu alat rahasia lagi. Jika
dia menyerang dengan terpencar, betapapun hebatnya dibawah taburan hui-to beracun, sungguh
tak sesuai. Setelah merenungkan hal itu, Han Ping lalu kerahkan tenaga-dalam. Tegak dengan siapkan
pedang. Wajahnya mengerat serius, sepasang matanya mencurah kearah ujung pedang. Sikapnya
penuh wibawa. Sekonyong-konyong ketua Lam-hay-bun menjerit tertahan lalu serentak berdiri dan mundur
kebelakang. Sekalian tokoh cepat memandang kearah ketua La m hay-bun itu lalu ikut menyingkir
mundur kesudut dinding. Ih Thian-heng kerutkan alis. Dua butir keringat menetes turun. Tenang sekali ia segera
memasang sabuk kulit berujung hui-to itu kepinggangnya Ia menjemput hui~to dengan tangan
kanan. Sedang tangan kiri bersiap dengan pedang Tujuh-bintang.
Suasana dalam tempat itu sunyi senyap. Sekalian tokoh menumpahkan perhatian kepada
pertempuran maut antara harimau lawan naga.
Tampak wajah kedua seteru itu agak berbeda. Seri wajah Han Ping makin lama makin cerah
dan gagah. Sedang Ih Tnian-heng tampak tegang regang. Ubun-ubun kepalanya bercucuran
keringat. Tiba-tiba si dara baju ungu menghela napas dan berbisik kepada ibunya, "Adakah sikap berdiri
sambil menyandang pedang yang dilakukan pemuda itu, merupakan sikap pembukaan dari suatu
ilmu pedang yang sakti?"
Wanita cantik mengiakan, "Benar . .
Tiba-tiba Ih Thian-heng bersuit panjang. Sekali tangan kanannya bergerak maka tiga batang
hui-topun segera melayang.
Han Ping menghembus napas. Sekali memutar tangan kanan maka pedang pusaka Pemutus
asmara pun segera berhamburan membentuk segumpal sinar pelangi.
Tring, tring. tring". ketiga hui-to itupun berhamburan jatuh ke tanah menjadi enam potong.
Han Ping tampak tenang dan serius lagi. Ia tegak dengan sikap mempersembahkan pedang.
Tiba-tiba Ih Thian-heng tertawa panjang. Nadanya macam naga meringkik. Kumandangnya
tertawa itu memenuhi segenap ruangan.
Nyo Bun-giau berpaling memandang Ca Cu-jing, bisiknya, "Saudara Ca, rupanya Ih Thian-heng
sudah gentar terhadap kesaktian pemuda itu. Dalam suara tertawanya itu, nadanya penuh dengan
kerawanan . . Berkata Ca Cu jing, "Kalau kita hendak membantunya, saat ini memang saat yang tepat."
Dengan gunakan ilmu Menyusup suara, Nyo Bun-giau berkata pula, "Tetapi entah apakah ketua
Lembah-seribu racun dan Siangkwan Ko itu menyetujui tindakan kita atau tidak. Dan si Pe-ngemis
sakti itu entah akan menghalangi kita atau tidak. Jika fihak Lam hay-bun akan menggunakan
kesempatan ketika kita saling berhantam sendiri mereka turun tangan. Tentulah mereka akan
mendapat keuntungan macam si penangkap ikan yang memperoleh keuntungan karena kurang
bertanding dengan burung bangau."
Ca Cu-jing juga gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab, "Aku tak menguatirkan si
Pengemis-tua Cong To dan orang Lam hay-bun, Yang penting apakah Leng Kong-siau, Siangkwan
Ko dan Ting Ko mau bersatu dengan kita atau tidak. Asal ketiga orang itu setuju, ditambah dengan
Ih Thian-heng, kita tentu dapat lolos dari tempat ini. Sebenarnya baik Ih Thian-heng maupun Ji
Han Pinng itu, adalah musuh kita bersama. Kalau kedua orang itu saling bertempur sendiri,
memang menguntungkan bagi kita. Tetapi entah bagaimana, aku mempunyai perasaan bahwa
Han Ping itu lebih menakutkan daripada Ih Thian-heng. Menilik jalannya pertempuran, jelas Ih
Thian-heng tentu kalah. Aku sendiri memang tak faham tentang ilmupedang tetapi kudengar
keterangan dari tokoh-tokoh pedang bahwa ilmu Pedang terbang itu merupakan ilmupedang yang
paling tinggi tingkatnya. Sikap tegak sambil mempersembahkan pedang kemuka yang dilakukan
Han Ping itu jelas merupakan sikap pembukaan dari ilmu Pedang terbang. Tampaknya nyali Ih
Thiau-heng yang kenal akan ilmupeang itu, sudah berantakan."
"Pendapat saudara Ca itu memang sama dengan pendapatku," kata Nyo Bun-giauw, "akupun
merasa kalau Ji Han Ping itu jauh lebih menakutkan dari Ih Thian-heng. Dia masih muda,
darahnya masih panas dan keras Kepala tak-mau memikirkan kepentingan orang banyak. Mungkin
Ih Thian heng ingin menundukkan Dua Lembah dan Tiga Marga, Tetapi Ji Han Ping mungkin akan
membunuh semua orang kedua lembah dan ketiga marga itu".
Walaupun dengan menggunakan ilmu Menyu-Sup-suara lain orang tak dapat mendengar tetapi
karena melihat bibir kedua orang itu bergerak-gerak, tahulah sekalian orang kalau kedua orang itu
tengah berunding. Leng Kong-siau ketua Lembah-seribu-racun tak dapat menahan kesabarannya. Ia tertawa
dingin dan berseru, "Mengapa kalian kasak-kusuk sendiri?"
"Sekalipun saudara Leng tak bertanya, akupun tentu juga akan minta petujuk kepadamu,"
sahut Nyo Bun-giau. Leng Kong-siau tertegun, serunya, "Soal apa?"
"Menurut pendapat saudara Leng, bapakah diantara Ih Thian-heng dan Ji Han Ping yang
mempunyai kemungkinan besar untuk menang?"
Jawab Leng Ko-ig siau, "Sebelumnya nyali Ih Thian-heng sudah runtuh, semangat tempurnya
sudah lenyap. Tanda-tanda akan menderita kekalahan, sudah jelas. Sekalipun kepandaian mereka
berimbang, tetapi Ih Thian-heng sudah kalah moril. Apalagi Ji Han Ping masih mempunyai pedang
pusaka. Menurut pendapatku, sukar bagi Ih Thian-heng untuk mempertahankan diri."
"Tadi akupun berunding soal itu dengan saudara Ca. Entah bagaimana penilaian saudara Leng
terhadap kedua orang itu," kata Nyo Bun-giau pula.
Jawab Leng Kong-siau, "Dalam keadaan dan tempat seperti ini, rasanya Ih Thian-heng lebih
berguna kepada kita daripada Ji Han Ping."
"Ah, pendapat kaum pendekar itu kiranya tentu sama," kata Nyo Bun-giau," aku dan saudara
Ca juga berpendapat begitu Tadi aku berunding dengan saudara Ca untuk menggabungkan tenaga
kita, yalah saudara Leng sendiri, saudara Siangkwan dan saudara Ting untuk membantu Ih Thian
heng. Entah bagaimana pendapat saudara Leng?"
Leng Kong-siau tersenyum, "Asal saudara Ting dan saudara Siangkwan setuju, akupun juga
setuju." "Baiklah, aku akan merundingkan hal ini kepada kedua saudara itu," kata Nyo Bun giau lalu
kisarkan tubuh dan berkata, "Saudara Ting dan saudara Siangkwan, aku hendak mohon petunjuk
kepada saudara berdua "
Kedua tokoh itu berpaling dan menghampiri ketempat Nyo Bun giau.
Ting Ko tertawa dingin, "Soal apakah yang saudara Nyo hendak tanyakan?"
"Bagaimana pendapat saudara berdua tentang pertempuran kedua orang itu?" tanya Nyo Bun
giau. "Paling baik keduanya sama-sama mati." sahut Ting Ko.
"Tetapi sayang keadaan tak seperti yang saudara harapkan," kata Nyo Bun-giau, "diantara
kedua orang itu hanya ada seorang yang masih dapat hidup."
"Sudah jelas kalau Ih Thian-heng tak mempunyai kesempatan untuk menang," tiba-tiba
Siangkwan Ko menyeletuk. "Pandangan saudara Siangkwan memang tepat," kata Nyo Bun-giau, "begitu pula anggapanku,
saudara Ca dan saudara Leng."
"Lalu bagaimana maksud saudara Nyo, harap mengatakan dengan jelas," kata Ting Ko.
"Ah, saudara Ting memang tangkas. Baiklah, aku tak mau menggunakan kata-kata yang
berliku-liku lagi. Kami bertiga tadi telah berunding dan merencanakan untuk membantu Ih Thianheng.
Entah apakah saudara berdua dapat menyetujui dan suka membantu tindakan kita itu?"
"Ini". ini"."
Belum selesai Siangkwan K o mengucap, Nyo Bun giau cepat menyusuli kata-kata lagi,
"Walaupun Ih Thian-heng itu memusuhi kita, tetapi Ji Han Ping lebih menakutkan lagi. Dia sudah
menukas hubungan kasih dengan si dara baju ungu puteri dari ketua Lam-haybun. Saat ini si dara
sudah sembuh. Apabila Ih Thian-heng mati ditangan Ji Han Ping, keadaan tentu sudah jelas.
Bagaimana akibatnya nanti andaikata Ji Han Ping bersekutu dengan fihak Lam-hay-bun tak perlu
kuterangkan, saudara berdua tentu sudah dapat membayangkan sendiri."
"Dalam hal apa ih Thian-heng itu tergolong manusia baik?" seru Ting Ko.
Jawab Nyo Bun-giau, "Walaupun dia bukan orang baik, tetapi sekurang-kurangnya dia tentu
takkan bersekutu dengan fihak Lam hay bun. Kecuali kalau suasana berganti begini: Han Pin.;
menggempur Lam-hay-bun lebih dulu baru kemudian menyelesaikan Ih Thian-heng, kita memang
takkan memikirkan tindakan apa-apa". "
"Apabila tindakan kita ini malah akan mendesak Han Ping berfihak kepada Lam hay-bun,
bukankah lebih runyam lagi," kata Ting Ko.
Nyo Bun giau tak pernah membayangkan akan menerima pertanyaan semacam itu dari Ting
Ko. Maka untuk sesaat ia tak dapat menjawab.
Dalam pada ia merenung itu keadaan dalam medan pertenpuranpun sudah berobah. Tampak
Ih Thian heng sedang menaburkan lima batang golok hu yap-to yang berlumur racun Kelima
batang golok tipis itu hebat sekali melayangnya.
Bagai burung walet, kelima batang hui to itu meluncur urut-urutan seperti berbaris.
Dua batang hui-to yang melayang dimuka, ketika hampir tiba-tiba pada Han Ping kira2 kurang
sekilan, tiba-tiba menjungkat keatas. Sedang tiga batang hui-to yang dibelakang, malah tiba lebih
dulu. Jadi yang meluncur dibelakang malah mendahului menyerang Han Ping. Ketiga huito itu
meluncur dengan pesat dan berpencaran. Yang satu menyerang dada, satu mengarah tengorokan
dan satu lagi menyerang perut.
Cepat Han Ping memutar pedang Pemutus-asmara. Tring tring, ketiga hui-to itupun
berhamburan lenyap tersapu pedang.
"Awas, hati-hatilah dengan dua batang hui-to yang dibelakang itu!" teriak Pengemis-sakti Cong
To. Baru Ia memberi peringatan, tiba-tiba kedua batang hui to yang melekat satu sama lain tadi,
meluncur kebawah dan mencurah ke dada han Ping. Saat itu Han Ping belum sempat menarik
pulang pedangnya dan kedua batang hui-to itu sudah dekat pada dada.
"Ih"." tiba-tiba si dara baju ungu menjerit dan terus pingsan dalam pelukan ibunya.
Memang dara itu walaupun sudah tertolong tetapi tubuhnya masih lemah. Melihat Han Ping
akan binasa dibawah curahan hui-to beracun, terkejutlah hati dara itu. Seketika darahnya meluap
dan iapun terus pingsan".
Memang Han Ping sendiri juga terkejut. Dalam gugup, han Ping masih sempat mengempiskan
perut dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya, ia menyurut mundur dua langkah.
Dua batang huito, meluncur menyerempet pakaian Han Ping dan terus jatuh ketanah.
Tetapi dalam pada ituIh Thian-hengpun cepat menggunakan kesempatan untuk menyerang.
Pedang Tujuh-bintang ditaburkan menjadi tiga gumpal lingkaran sinar, lalu menusuk ke muka.
Dalam pertempuran diantara tokoh sakti seperti yang dilakukan Han Ping dengan Ih Thianheng,
memang detik-detik yang bagaimana kecilnya pun amat penting dan dapat merobah jalan
pertempuran. Walaupun Han Ping memegang pedang pusaka Pemutus asmara yang hebat, tapi karena ia
baru saja menghindari hui-to maut dan belum sempat memperbaiki posisinya, maka serangan Ih
Thian-heng yang dahsyat dan cepat itu tak sempat ditangkisnya. Terpaksa anakmuda itu
menghindar ke samping. Tetapi sekalipun begitu Dia harus menderita luka tusukan pedang,
Bahunya sebelah kiri kena tertusuk ujung pedang lawan, darah menyembur keluar membasahi
pakaian, bahkan tembus sampai ke pakaian dalam.
Bahu yang tertusuk itu meninggalkan luka sepanjang tiga dim.
Melihat tusukannya berhasil, Ih Thian-heng, ia terus hendak menyusuli lagi tetapi secepat itu
pula Han Pingpun sudah ayunkan kakinya menendangnya. Terpaksa lh Thian-heng mundur dua
langkah. Dengan peristiwa itu, keadaan pertempuran berobah delapan puluh derajat. Han Ping yang
sudah menguasai pertandingan, ternyata berbalik menderita luka. Tetapi Ih Thian-hengpun
kehilangan kesempatan bagus untuk menyelesaikan lawan. Terpaksa dia loncat kembali
ketempatnya semula. Han Pingpun tegak sambil luruskan pedang kemuka dada, siap2 menghadapi serangan lawan.
Tetapi dalam pada itu diam-diam ia menggunakan kesempatan untuk menyalurkan tenaga-dalam
menghentikan pendarahannya.
"Saudara, lekas salurkan tenaga dalammu untuk menutup jalandarah di lenganmu yang terluka
itu. Hati-hati jika pedang ih Thian heng itu beracun," seru Pengemis-sakti ih Thian-heng.
Han Ping tersenyum, "Terima kasih"."
"Jangan bicara," cepat-cepat Cong To melarangnya.
Han Ping menurut, Saat itu keduanya saling berhadapan lagi dengan pandang mata saling
memperhatikan gerak gerik lawan.
Rupanya luka pada bahu Han Ping itu cukup berat. Darah sampai membasahi ke lengan
bajunya. ih thian heng merogoh lagi kedalam bajunya.
ia mengeluarkan enam batang hui-to beracun. Serunya, "Ji Han Ping, apakah lengan kirinya
sudah lumpuh?" Han Ping mengertek gigi. Ia hendak menjawab tetapi tak jadi.
Ih Thian-heng tertawa hambar, "Sesungguhnya ilmupedang saudara itu hebat sekali, lebih
unggul dari aku. Tetapi sayang pengalaman dalam bertempur, saudara masih belum cukup."
Han Ping tetap diam. Ih Thian-heng tertawa pula, "Jika saudara merasa luka saudara itu keliwat berat sehingga sukar
melanjutkan pertempuran, dapatlah pertempuran hari ini kita tunda dulu Tunggu satelah luka
saudara sembuh, baru kitalanjutkan lagi"."
Mendengar itu Han Ping tak dapat menahan hatinya lagi, ia menjawab, " Tak perlu."
Ih Thian-heng tertawa, "Bahu kiri saudara yang terluka itu kemungkinan sudah menyusup
ketulang. Apabila melanjutkan bertempur, mungkin sukar untuk menutup jalandarah untuk
menghentikan pendarahannya. Dan lagi menilik luka".
"Dendam berdarah dari ayahbunda, telah menghayati darah dagingku bahwa aku takkan hidup
bersama dalam satu kolong langit dengan engkau, Kecuali engkau dapat memapas tubuhku
kutung, pertempuran hari ini harus selesai sampai ada yang menjadi mayat!" tukas Han Ping.
Tiba-tiba terdengar si dara baju ungu menghela napas panjang dan membuka mata Demi
melihat Han Ping masih berdiri tak kurang suatu apa, legahlah hati dara itu. Ia rebahkan kepala
kedada ibunya dan berkata dengan bisik-bisik, "Mah, selama beberapa tahun ini, dimanakah
engkau" Ai, walaupun tiada seorangpun yang memberitahu kepadaku bahwa mamahku masih
hidup, tetapi hatiku tetap yakin bahwa mamah".
Wanita cantik itu mendengus dingin, "Bagaimana" Mereka mengatakan aku sudah mati"katanya
sambil memindahkan jari untuk mengurut-urut jalandarah puterinya.
Dara baju ungu mengangguk, "Tidak, memang tak ada seorangpun yang mau memberitahukan
tentang keadaanmu sehigga aku merasa seperti seorang anak perempuan yaug terapung-apung
seorang diri di samudra raya."
Wanita cantik itu menghela napas, "Seharusnya engkau kubawa pergi bersama"." pelahanlahan
ia hendak menarik ujung selubung sutera yang menutup muka puterinya. Dengan mata
berlinang-linang ia berkata, "Nak, kasihlah mamah melihat wajahmu"."
"Jangan menyentuh aku!" tiba-tiba dara itu melengking kaget.
Wanita cantik tertegun dan lepaskan tangan yang memegang ujung kain selubung, "Nak,
mengapa engkau ini" Tiba-tiba dara itu lunglai terus jatuhkan diri kedada ibunya dan menangis terisak isak.
Wanita cantik terkejut, tanyanya gopoh, "Nak, engkau kenapa?"
Tetapi dara itu tak menjawab melainkan terus menangis tak henti-hentinya. Suara tangisnya
makin lama makin merawankan dan makin menyayat hati orang. Sekalian tokoh yang sedang
tegang menghadapi pertempuran maut itu, entah bagaimana, tergerak -hatinya dan ikut
berlinang-linang sedih. Tampak Han Ping dan Ih Thian-hengpun menurunkan pedangnya. Wajah mereka yang penuh
hawa pembunuhan, pun mulai lenyap.
Wajah sekalian orang yang berada dalam ruangan itu diliputi dengan kerut kesedihan. Seolah2
mereka sedang berkabung. Dunia ini dirasakan seperti tertutup kabut kesedihan, kegelapan dan
kehampaan". Tanpa disadari semangat sekalian tokoh itu telah dicengkam oleh suara tangis si dara Dan
beberapa saat kemudian, entah siapa, tiba-tiba terdengar suara orang menangis keras. Belum
sempat orang memperhatikan siapa yang menangis itu, sudah disusul lagi dengan orang lain yang
menangis keras. Lalu seorang lagi dan seorang lagi sehingga sekalian tokoh itu serempak
menangis semua. Tring, tring". pedang Han Ping dan pedang Ih thian-hengpun berhamburan jatuh ketanah.
Didalam ruang itu hanya lelaki tua baju biru yang tak terpengaruh dengan suara tangis si dara.
Dia tetap duduk bersila pejamkan mata. Tetapi wajahnya menebar warna merah. Jelas dia sedang
mengerahkan tenaga-dalam untuk menolak tenaga-dahsyat yang berhamburan memenuhi
ruangan tetapi yang tak tampak.
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dara baju ungu itu mengangkat mukanya, memandang kesekeliling ruangan. Demi melihat
sekalian orangpun sama menangis, ia segera hentikan tangisnya dia pelahan-lanan ayunkan
langkah kemuka. Karena sedang dicengkam oleh kesedihan, sekalian tokoh-tokoh itu tak tahu kalau siara sudah
maju kemuka. Ternyata dara itu menghampiri kesamping Han Ping. Ia memungut pedang Pemutus-asmara,.
Kemudian menghampiri ke tempat Ih Thian-heng lalu mengankat pedang itu dan diarahkan
kedada Ih Thian-heng. Asal dara itu menggunakan sedikit tenaga saja, betapapun kesaktian Ih Thian-heng, namun
tetap tak mungkin dapat menahan pedang pusaka itu. Dia tentu, terluka. Ini sudah pasti.
"To-ji, lekas mundur kembali, apakah engkau tak sayang jiwamu?" tiba-tiba terdengar suara
seruan pelahan. Suara itu tak asing bagi si dara dan ketika berpaling ia dapatkan yang berseru itu memang
ayahnya, ketua Lam-bay-bun tengah deliki mata dan melambaikan tangan memanggilnya.
Dara baju ungu menghela napas dan pelahan-lahan menghampiri kesamping Han Ping, menarik
tangan kanan pemuda itu dan tiba-tiba mengigitnya keras"
Han Ping merasa sakit dan tiba-tiba ia tersadar. Si darapun lalu menyerahkan pedang pusaka
Pemutus-asmara kepadanya, "Kalau hendak membalas dendam sakithati orangtuamu, segeralah
engkau bunuh dia!" Dara baju ungu itu menginsyafi bahwa dengan tenaganya yang masih lemah, tentu tak
mungkin dapat menyadarkan Han Ping. Maka ia lalu menggigitnya sehingga pemuda itu dapat
siuman dari kehilangan semangat.
Menyambut! pedang, Han Ping memandang lekat2 ke wajah dara itu seolah- olah hendak
menembus kain selubung yang menutup wajah dara itu.
"orang mengajakmu bicara, mengapa engkau tak mendengar?" lengking si dara.
"Soal apa?" sahut Han Ping gopoh.
"Jika engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, lekaslah engkau turun tangan. Saat ini
dia sudah kehabisan tenaga."
Diluar dugaan Han Ping gelengkan kepala, "Seorang lelaki jantan, mana mau bertindak
terhadap orang yang sedang terluka. Aku hendak menunggu sampat sadar baru akan
menempurnya lagi." "Dia telah menggunakan hui-to untuk menyerang engkau secara gelap. Dan dia berhasil
melukai sebelah lenganmu. Kalau saat ini engkau membunuhnya bagaimana orang akan menuduh
engkau bertindak menindas orang yang sedang terluka"."
Berhenti sejenak dara itu melanjutkan kata" katanya pula, "ih Thian-heng seorang durjana
besar. Tetapi dia pura2 bersikap seperti seorang budiman. Semua tokoh yang berada di ruang ini,
telah terpengaruh dengan sikap dan omongan palsu dari Ih Thian-heng. Seluruh kaum persilatan
dunia Tiong goan menganggap engkau lebih berbahaya dari Ih Thian-heng. Mereka takut dan
gentar kepadamu dan ingin melenyapkan engkau. Hm, memang didunia ini terdapat manusia2
yang menganggap dirinya sok pintar seperti mereka itu!"
"Mengapa?" tanya Han Ping masih ragu," pada hal aku dengan mereka tiada mempunyai
dendam permusuhan apa-apa. Mengapa mereka harus membunuh orang yang tak bermusuhan
dengan mereka?" Dara baju ungu menghela napas rawan "Setiap pemenang tentu mengundang perasaan iri hati
orang. Yang keras, tentu mudah putus. Apakah engkau tahu ujar2 itu?"
Han Ping terlongong-longong tak dapat bicara.
Tiba-tiba dara ungu itu berkata pula: Tahukah engkau bahwa sudah berulang kali ih Thian-heng
berusaha untuk mencelakai engkau secara diam-diam"
Lekaslah engkau bertindak saat ini juga!"
Han Ping mengangkat pedang Pemutus-asmara lalu bergerak maju.
"Bagus!" seru si dara baju ungu.
Tetapi baru dua langkah, Han Ping mundur lagi. Tring". pedang Pemutus-asmarapun jatuh
menukik ke lantai. Ujungnya menancap di lantai sampai satu dim dalamnya.
Dara baju ungu banting2 kaki pelahan, lengkingnya, "Jika memiliki budi welas-asih seperti
wanita, walaupun mempunyai keberanian seperti raja Pah-ong, juga tak terhitung seorang
pahlawan. Karena akhirnya harus menemui kesulitan dikepung dan bunuh diri di tepi bengawan
Oh-kiang. Keadaanmu saat inipun serupa dengan raja Pah ong dahulu kala. Selekas Ih Thian-heng
sudah sadarkan diri, engkau tentu akan terkepung dalam sorak kemenangan mereka. Saat itu,
menyesal pun takkan berguna lagi!"
Han Ping menghela napas panjang, "Raja Co Pah-ong memang seorang pahlawan besar.
Walaupun dia gagal dalam usahanya, tetapi dia telah menderita kekalahan secara gilang gemilang,
kalah dengan kejayaan.?"
Si dara tertegun sejenak, serunya, "Tetapi". tetapi adakah engkau lupa bahwa ih Thian-heng
itu musuhmu bebuyutan?"
Tubuh Han Ping gemetar. Ia mengambil pedang Pemutus-asmara lagi dan berdiri tegak.
Si dara memandang Han Ping. Dilihatnya wajah pemuda itu bercucuran keringat. Ia tahu bahwa
pemuda itu sedang mengalami pertentangan batin dan tak dapat mengambil keputusan.
Han Ping masih menjulaikan ujung pedang kebawah dan tangannyapun bergemetaran.
Kemudian tubuh juga mulai menggigil.
Memang detik-detik itu amat menegangkan dan penting sekali artinya. Setiap keputusan yang
diambilnya akan menentukan kalah menangnya dan nasib seluruh dunia persilatan.
Melihat pemuda yang dikasihnya itu tegang, si dara baju ungupun ikut tegang, serunya, "Setiap
kesempatan harus cepat disertai keputusan Bila berayal, tentu akan timbul perobahan lagi.
Biasanya engkau tangkas dan cepat menghadapi setiap persoalan, mengapa hari ini"."
"To-ji," tiba-tiba terdengar suara seruan pelahan, "engkau harus mengetahui bahwa seorang
lelaki yang tegak di dunia dan melakukan suatu tindakan, sang isteri tak boleh turut campur.
Sebaiknya engkau "lekas mundur kemari dan biarkanlah dia sendiri yang mengambil keputusan!"
Suara yang bernada tajam dan keras itu mengandung kasih sayang yang penuh. Ternyata yang
bicara itu adalah ayahnya, Lam hay Ki-siu.
Diam si dara menghela napas. Walaupun hati penasaran tetapi ia tak berani membantah kata
ayahnya. Tetapi tiba-tiba pula terdengar suara seorang wanita yang merdu disertai dengan tawa dingin,
"Siapa bilang lelaki berbuat apa-apa, isteri tak boleh ikut campur" Aku hendak bertanya, apakah
alasannya?" Ternyata yang bicara itu adalah ibu si dara baju ungu.
Tiba-tiba Han Ping berseru nyaring, "Aku sudah mengambil keputusan ,"."
Mendengar itu si dara yang sudah berputar tubuh dan ayunkan langkah menyingkir, berhenti
dan cepat berpaling. Dilihatnya Han Ping melangkah dengan tegap kesamping Ih Tnian-heng.
Serentak si dara girang dan berseru lembut, "Asal engkau mau menabas, bukan saja engkau
dapat membalas sakit hati orangtuamu, pun berarti engkau telah membasmi seorang durjana
besar!" Tetapi ternyata tindakan Han Ping itu sungguh diluar dugaan si dara. Dia memang mengangkat
tangan tetapi tidak menahasnya melainkan terus dilekatkan ke punggung Ih Thian-heng. Ih Thianheng
sedikit gemetar tetapi pada lain saat iapun tersadar.
Han Ping terus lanjutkan lagi kepada Ca Cu-jing dan lain2 tokoh sehingga dalam beberapa saat
saja mereka sudah tersadar semua.
Tokoh-tokoh itu terkejut dan memandang kepada Han Ping Mereka menyadari bagaimana
keadaan mereka beberapa saat yang lalu. Apabila Han Ping ayunkan pedang, mereka tentu sudah
jadi mayat semua. Tetapi ternyata anakmuda itu tak mau bertindak curang malah dia menampari
agar mereka tersadar dari cengkaman tenaga sakti yang terpancar dari tangis si dara baju ungu.
Ca Cu jing menghela napas pelahan, bisiknya kepada Nyo Bun-giau, "Saudara Nyo, dia masih
muda tetapi tindakannya amat tegas dan gemilang,"
Nyo Bun giau tak menyahut tetapi dalam hati diam-diam ia mengeluh, "Anak itu memang jujur
sekali. Dengan tindakannya tadi, jelas dia telah merebut hati sekalian orang. Rasanya jerih
payahku untuk mengajak sekalian orang membunuhnya, tentu akan gagal."
Setelah selesai membuka jalandarah sekalian tokoh, Han Ping terus melankkah ketengah
gelanggang dan berseru kepada Ih Thian-heng, "ih thian-heng, apakah kesadaran pikiranmu
sudah sembuh sama sekali?"
Ih Thian-heng, tersenyum, "Ya, sudah. Tindakan saudara ji yang begitu perwira, sungguh
membuat orang kagum dan tunduk hati."
"Seorang lelaki memang harus bertindak yang perwira," sahut Han Ping. Tiba-tiba ia tertegun
sejenak lalu berkata pula, "Aku ingin mengadakan perjanjian dengan engkau. Apakah engkau
meluluskan?"" "Silahkan mengatakan," sahut Ih Thian-heng.
Dengan nada bersungguh, Han Ping berkata, "Pertempuran hari ini, sudah jelas harus ada
penyelesaiannya. Entah siapa yang akan menang dan kalah, tentu bakal ada salah seorang yang
rubuh bermandi darah. Dengan disaksikan oleh sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, matipun
takkan penasaran." Jawab Ih Thian-heng: Mendapat seorang lawan yang berimbang kekuatannya, sungguh
menggembirakan sekali. Matipun juga suatu kesudahan yang menyenangkan. Tetapi entah apakah
lenganmu yang kiri yang terluka tadi, apakah masih dapat digerakkan?"
Sambil dua kali menggerakkan lengannya, Han Ping menyahut, "Meskipun lukanya sampai
mengenai tulang, tetapi tak sampai lumpuh,"
"Aku harus mengucap selamat kepada saudara Ji," seru Ih Thian heng. "ah, dalam pertempuran
memang masing-masing terpaksa harus berlaku kejam. Hal itu menang tak dapat dihindari lagi."
"Aku hendak mengadakan perjanjian dengan Ih cianpwe. Dalam pertempuran nanti, apabila
aku beruntung memenangkan sejurus, kuminta Ih cianpwe suKa menjawab sebuah
pertanyaanku." Ih Thian-heng merenung, sahutnya, "Kalau aku yang beruntung menang?"
"Terserah Ih cianpwe hendak bertindak bagaimana," jawab Han Ping.
"Menurut penilaianku," kata Ih Thian heng, "dalam pertempuran nanti, kita masing-masing
mempunyai kesempatan untuk menang. Dengan demikian menang kalah, masih sukar diketahui "
"Kutahu kalau sukar untuk mengalahkan engkau, apalagi lenganku kiri menderita luka parah,
sehingga tenagakupun banyak berkurang".
"Lalu kalau menurut perjanjianmu, sampai berapa lamakah kita harus bertempur" Ketahuilah,
untuk merebut suatu kesempatan, kita masing-masing memang sukar melakukan. Tetapi setelah
memenangkan sebuah jurus, harus berhenti untuk membicarakan suatu peristiwa yang lampau"."
Dia berhenti sejenak tiba-tiba tertawa keras, "Perjanjian yang engkau kehendaki itu, rasanya
apa tidak merugikan engkau. Engkau tentu akan menanyakan tentang sebab2 kematian
orangtuamu ditanganku itu. Tebusan yang engkau lakukan untuk hal itu, sungguh terlalu berat
Bukan aku Ih Thian-heng bermulut besar. Tetapi semua peristiwa dalam dunia Tiong-goan selama
berpuluh2 tahun ini, walaupun aku tak langsung ikut campur, tetapi aku tentu tahu jelas. Apabila
harus menceritakan, belum tentu dalam tiga hari tiga malam akan selesai."
"Walaupun aku tak melihat sendiri engkau membunuh suhuku tetapi kutahu bahwa engkaulah
pembunuh dari kedua orangtuaku. oleh karena, belum jelas, maka aku ingin mengetahui apa
sebab engkau membunuh orangtuaku dan dengan cara bagaimana engkau membunuh mereka!"
Ih Thian hener tertawa hambar tak menyahut.
Han Ping menghela napas panjang lalu berkata pula, "Kita bertempur dengan senjata atau
dengan tangan kosong?"
"Terserah kepadamu," sahut Ih Thian-heng.
Tiba-tiba Han Ping letakkan pedang Pemutus-asmara, serunya, "Pedangku ini memang terlalu
tajam sekali. Kalau terkena tentu mati atau luka parah. Sebelum aku memperoleh apa yang
hendak kuketahui itu, aku tak ingin engkau mati dibawah pedang ini."
Ih Thian hengpun melepas sabuk bertabur hui-to beracun dan pedang Tujuh-bintang. Kedua
benda itu dilempar ketanah.
Tiba-tiba Pengemis-sakti Cong To tertawa mengejek, "Ih Thian heng, tiga pedang pandek yang
tersimpan dalam badanmu itu mengapa tak engkau keluarkan juga?"
Ih Tbian-heng tertawa, "Jangan kuatir ia terus mengeluarkan tiga batang pedang pandak dan
dilemparkan di tanah. Sejenak bersangsi, kembali ia mengeluarkan sebatang benda hitam
semacam penggaris yang panjangnya sekilan. Lalu berseru kepada sekalian orang, "Adakah
saudara2 pernah mengenal senjata ini?"
Sekalian tokoh mencurahkan pandang. Tetapi tiada seorangpun yang kenal akan senjata itu.
Tiba-tiba Han Ping memberi hormat, serunya, "Ih locianpwe, hati-hatilah aku hendak mulai
menyerang," Ia menutup kata-kata dengan melangkah maju dan terus ayunkan tangan.
"Aha, entah bagaimana kesaktian tangan saudara Ji ini." sambil menangkis, Ih Thiang-heng
tertawa. Darr". ketika kedua tangan mereka saling beradu, Han Ping tersurut mundur tiga langkah
tetapi Ih Thian-hengpun terdorong selangkah ke belakang.
Tetapi selekas mundur, Han Ping terus menendang perut Ih Thian-heng.
Sambil menghindar kesamping, Ih Thian-heng berseru, "Tenaga pukulan saudara ternyata
hebat juga. Tadi aku sudah menggunakan delapan bagian tenagaku."
Dalam berkata-kata itu, sepasang tangannya bergerak dan berturut turut melancarkan tiga
jurus serangan. Han Ping tak mau meladeni bicara. Ia tun pahkan selurvh perhatiannya uniuk melawan. U ngan
kirinya memang tciluka parah sehingga ta leluasa digerakkan, Maka terpaksa ia gunakan tin]
tendangan untuk menutup kekurangan lengan kil nya itu.
Demikian pertempuran berjalan seru. Pukulan dan tendangan berhamburan dengan cepat dan
dahsyat. Beberapa saat kemudian, luka pada lengan Han Ping itu merekah pula. Darah merah
bercucuran ke tanah. Tetapi dia memukul dan menendang dengan gagah perkasanya.
Dalam beberapa kejab saja, keduanya telah bertempur lebih dari duapuluh jurus. Tiba-tiba Ih
Thian heng miringkan tubuh, menghindari pukulan lalu menyelonong maju dan menebas lengan
kiri Han Ping. Oleh karena lengan kiri Han Ping itu terluka dan tak dapat bergerak dengan leluasa, maka
tampaklah pemuda itu tentu akan menderita lagi.
Dara baju ungu mendengus dingin dan hendak memaki Ih Thian-heng. Tetapi tiba-tiba tangan
kanan Han Ping berputar seperti hendak menghantam. Belum sampai pada sasaran, sekonyongkonyong
ditarik kembali dan disapukan ke persambungan lengan kanan Ih Thian heng. Lengan
kanan Ih Thian-heng tiba-tiba menjulai turun.
Kemudian Han Ping agak menengadahkan tubuh dan menyurut mundur seraya berseru, "Maaf,
maaf, aku beruntung dapat memenangkan jurus ini."
Ih Thian-heng tertawa tawar, "Bertanyalah tetapi hanya terbatas tentang seseorang sebuah
peristiwa." "Apakah engkau yang membunuh ayah bundaku" tanya Han ping.
"Sudah kukatakan," kata Ih Thian-heng, "hanya terbatas untuk satu orang dan satu peristiwa.
Ayah dan ibumu, dua orang dan dua buah dua orang dan dua peristiwa, jangan dicampur
adukkan" "Baik, aku menurut syaratmu. Apakah ayahku engkau yang membunuhnya?"
"Boleh dikata ya, boleh dikata tidak."
"Apa artinya omonganmu itu?" Han Ping marah, "kita sudah berjanji dan semua orang yang
berada disini menjadi saksi. Apakah engkau masih hendak menyangkal?"
Ih Thian heng tersenyum, "Apa yang kukatakan itu memang sungguh-sungguh. Kematian
ayahmu, meskipun memang aku yang memerintahkan tetapi yang membunuhnya bukan aku."
"Walaupun bukan engkau yang membunuhnya, tetapi pembunuhan itu adalah atas perintahmu.
Engkau tetap menjadi biangkeladinya," kata Han Ping.
"Aku tak mengingkari." kata Ih Thian heng.
"Lalu siapakah yang membunuhnya?"
"Perhitungkan saja hal itu kepadaku, tak perlu mencari orang lain," kata Ih thianheng.
Tiba-tiba Kim loji berteriak keras, "Pingji, Ping-ji, akulah Ih Thian-heng hendak menangkap
ayahmu dan akan dibunuh dengan ditarik lima ekor kerbau. Aku kuatir ayahmu tak dapat
menahan penderitaan itu maka terus kutabasnya dengan golok!"
Bruk".! selesai memberi keterangan, tiba-tiba Kim loji benturkan kepalanya pada dinding batu.
han Ping tak mengira sama sekali bahwa satu-satunya orang yang dianggap sebagai keluarganya
dan yang paling dihormatinya, ternyata pembunuh dari ayahnya.
Sesaat Han Ping terlongong dicengkam dalam kesedihan dan kedukaan".
Tetapi ketika terdengar bunyi batok kepala pecah karena terbentur dinding karang, seketika
Han Pingpun tersadar. "Paman, paman"." Ia terus lari menghampiri dan mengangkat tubuh Kim loji. Tetapi karena
separoh dari batok kepalanya sudah pecah Han Ping tak berdaya menolongnya lagi.
Airmatanyapun bercucuran seperti hujan deras".
Kemudian letakkan tubuh Kim loji lalu bersuit panjang, serunya, "Ih Thian-heng, hutang
darahmu tambah satu rekening lagi!"
Han Ping menutup katanya dengan lontarkan sebuah pukulan Sin-lioug-jut-hun atau Nagasaktikeluar
dari awan. Ih Thian hengpun segera gerakkan tangan kanan untuk menangkis, menyusul tangan kirinya
balas memukul dengan pukulan Angin-puyuh-menampar-pohon.
Demikian keduanya segera bertempur dengan lebih dahsyat dan ganas. Benar-benar
merupakan suatu pertempuran maut. Setiap pukulan dan tendangan, semua merupakan gerak
yang mematikan. Sekalian orang yang menyaksikan pertempuran itu, terlongong-longong kesima.
"Awas!" tiba-tiba ih Thian heng berseru dingin seraya mecengkeram siku lengan kanan Han
Ping. "Ah, belum tentu," kata Han Ping lalu memutar kelima jarinya menggurat lengan kanan Ih
Thian heng. Seketika Ih Thian-heng rasakan lengannya kesemutan dan gerakannyapun terlambat. Han Ping
menyusuli sebuah tendangan ke perut sehingga ih Thian heng tergopoh-gopoh mundur dua
langkah. Han Ping menarik tangannya dan tegak berdiri, serunya, "Ih Thian heng, yang ini engkau
anggap atau tidak?" Sambil mencekal lengan kanannya dengan tangan kiri Ih Thian-heng menjawab, "Sudah tentu
dianggap Silahkan engkau bertanya tentang sebuah peristiwa!"
"Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?" segera meluncur pertanyaan dari mulut Han
Ping/ "Bukan," Ih Thian heng gelengkan kepala.
Sambil berpaling kearah mayat Kim loji, Han Ping bertanya pula, "Apakah juga paman Kim loji
yang membunuhnya" Hm, karena dia sudah mati engkau tentu dapat menimpahkan segala dosa
kepadanya." Ih Thian heng tertawa dingin, "Saudara memandang diriku Ih Thian-heng ini sebagai orang
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
macam apa". ." Ia menengadahkan kepala dan bersuit panjang untuk menumpahkan kesesakan dadanya, lalu
melanjutkan berkata pula, "Tentang ibumu ". memang bukan Kim loii yarg membunuhnya."
"Lalu siapa pembunuhnya?"
"Dia bunuh diri sendiri dihadapan makam ayahmu!"
Han Ping menghela napas rawan, "Benarkan keteranganmu itu?"
"Soal itu menyangkut kesucian nama ibumu, bagaimana aku berani omong sembarangan"
sahut Ih Thian-heng. "Dimanakah makam ayahbundaku itu?"
"Digunung Lam gak. Tetapi karena peristiwa itu sudah berselang lebih dari sepuluh lahun yang
lalu, tentang letaknya yang tepat, aku sudah tak ingat jelas lagi."
"Baik, sekarang silahkan engkau membuka serangan," kata Han Piiig.
Ih Thian-heng melangkah maju terus menutuk dengan jarinya. Han Ping menghindar lalu
lancarkan tiga buah serangan.
Setelah dua kali mengalami kekalahan, Ih Thian-hengpun tak berani memandang rendah lagi.
Dia tumpahkan seluruh perhatian dan semangat untuk menyerang. Pun Han Ping juga tak berani
lengah. Keduanya bertempur makin seru dan ganas. Jurus2 yang dilancarkan, benar-benar
ilmusilat yang jarang tertampak didunia persilatan.
Sekalian tokoh yang menyaksikan pertempuran itu mendapat kesan bahwa ilmusilat Han Ping
itu seolah olah air sungai yang tak pernah kering.
Setiap kali berhenti, tentu malah tambah semangatnya dan mengeluarkan ilmusilat yang baru
lagi. Tetapi karena lengannya terluka, setelah berhenti untuk menutup pendarahan, apabila
bertempur lagi luka itu tentu akan merekah dan mengucurkan darah. Dan karena darahnya
banyak keluar, tenaga- dalamnyapun terganggu.
Memang setiap kali Ih Thian-heng selalu menderita tekanan dari permainan Han Ping. Tetapi
dia seorang tokoh yang berpengalaman, Dia tak gugup menghadapi ilmu serangan lawan yang
selalu baru dan luar biasa. Dia tetap tenang melayaninya.
Tiba-tiba Han Ping lancarkan sebuah jurus yang disebut Se-lay-coh-im atau Doa-nyanyian-daribarat.
Yang diarah yalah dada lawan. Serangan itu memang aneh. Gayanya seperti orang hendak
menutuk dengan jari tetapipun seperti orang yang hendak menghantam.
Ih Thian-heng cepat gunakan jurus Pit-jong-tui-gwat atau Menutup jendela-mendorong-bulan,
Kedua tangannya melingkar jadi sebuah bayangan dan menutup tubuhnya.
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba tangan Han Ping berputar dan terus menyusup masuk kedalam
lingkar bayangan tangan lawan, terus mengancam dada ih Thian-heng.
Melihat Han Ping luruskan tangan hendak mengancam dadanya, ih Thian heng tak keburu
untuk menangkis lagi. Segera dia mengambil putusan untuk menggunakan tenaga-dalamnya yang
kokoh, mementalkan balik tangan lawan.
Memang dia seorang tokoh yang tajam pandangannya dan kaya pengalaman. Segera ia
mengetahui bahwa luka lengan Han Ping itu mengeluarkan banyak sekali darah dan diam-diam ia
memperhatikan bahwa tenaga Han Ping mulai berkurang. Sekalipun dadanya tersodok tangan Han
Ping, ia rasa takkan menderita luka parah.
Demikian segera ia kerahkan tenaga-dalam. Satelah itu ia terus songsongkan dadanya kemuka
untuk menyambut tangan Han Ping. Dan tepat sekali dadanya membentur tangan kanan Han Ping
yang menyodok itu. Sebenarnya Han Ping masih belum mau melukainya karena ia perlu akan bertanya lagi. Maka
ketika tangan hampir menyentuh dada orang, cepat ia lambatkan gerakannya. Tetapi sedikitpun ia
tak menduga bahwa Ih Thian-heng akan gunakan tenaga-dalam membalik. Begitu tangan
menyentuh bahu Ih Thian-heng, Han Ping segera rasakan suatu tenaga-mental yang amat kuat
sekali melandanya. Mau tak mau anakmuda itu menyurut mundur dua langkah.
Menderita kekalahan tetapi merebut kemenangan -secara gelap, maka tertawalah ih Thianheng
dengan hambar, "Ilmu pukulan saudara Ji hebat sekali. Kali ini aku mengaku kalah lagi."
Tetapi diam-diam Ih Thian-heng girang dalam hati karena tahu bahwa Han Ping saat itu sudah
seperti pelita yang kehabisan minyak. Ia yakin dalam beberapa waktu lagi tentu dapat mengambil
jiwanya. Setelah berhenti sejenak untuk memulangkan tenaga, Han Ping berkata pula, "Dalam babak ini,
seharusnya tiada yang menang. Karena tenaga dalammu telah menindas aku".
"Ah, karena saudara Ji bermurah hati maka baru aku dapat selamat," kata Ih Thian heng.
Diam-diam Han Ping menimang. Kalau menurut peraturan pertandingan, dialah yang
memenangkan bapak pertempuran tadi.
"Kalau begitu, aku masih akan mengajukah sebuah pertanyaan lagi," katanya.
"Silahkan." kata Ih Thian-heng.
"Ada seorang paderi yang bernama Hui Gong taysu, apakah engkau mengenalnya?" tanya Han
Ping. "Sudah lama mendengar namanya tetapi belum pernah melihat orangnya,"
"Apakah engkau tahu akan kisah hidupnya?"
Ih Thian-heng tertawa, "Dalam dunia persilatan dewasa, ini, kecuali aku, mungkin tiada lain
orang lagi yang tahu hal itu"."
Kemudian ia beralih memandang mayat Kim loji, ujarnya, "Kalau dia belum mati, dia tentu tahu
lebih banyak dari aku. Sayang"."
"Hai, pernah apa engkau dengan Hui Gong taysu?" sekonyong-konyong wanita cantik ibu dari si
dara baju ungu melengking.
Han Ping terkesiap dan berpaling. Dilihatnya wanita cantik itu tegang sekali wajahnya bahkan
gemetar dan berlinang-linang airmata. Han Ping heran dan diam-diam membatin, "Aneh, mengapa
dia kenal pada Hui Gong taysu"."
Belum sempat ia memberi jawaban, ih Thian-hengpun sudah menyelutuk, "Hui Gong seorang
pendekar aneh. Baru tiga tahun keluar di dunia persilatan, namanya sudah termasyhur dan
menggetarkan dunia persilatan. Sayang ibarat bunga, selekas mekar selekas itu pula ia
menghilang tanpa bekas. Kabarnya dia telah dihukum oleh suhunya dalam penjara gereja Siaulimsi. Dan sejak itu tak ketahuan beritanya lagi"."
Sejenak berhenti, ia melanjutkan pula, "Pada masa dia muncul didunia persilatan, tersiarlah
berita tentang sebuah kisah asmara yang menggemparkan. Karena kedua fihak yang
bersangkutan itu, merupakan pendekar2 yang cemerlang dalam angkasa persilatan. Hui Gong
telah menyeleweng keluar dari lingkungan dinding merah gereja dan itulah yang menimbulkan
kegemparan"." Kedengaran wanita cantik berpakaian puteri keraton itu tertawa dingin, "Ketahuilah, bahwa
dalam ruangan sini masih terdapat dua orang yang tahu akan sepak terjang Hui Gong taysu.
Sepatah saja engkeu salah menceritakan, jangan harap engkau dapat hidup"."
Kedengaran lelaki tua baju biru mendengus dingin lalu pelahan-lahan pejamkan kedua mata.
"Hm, mengapa engkau mendengus" Taciku sudah berpuluh tahun meninggal, masakan engkau
masih merasa minum cuka?" wanita cantik melengking marah.
Tanpa membuka mata lelaki baju biru itu menyahut hambar, "Tetapi engkau dan paderi tua Hui
Gong itu masih belum mati."
"Mengapa engkau tak membunuhnya" Hm, bukankah karena engkau tahu kepandaianmu tak
dapat menghadapinya?" wanita cantik itu makin marah.
H an Ping menghela napas, serunya melerai, "Sudahlah harap kalian berdua jangan bertengkar
Hui Gong taysu memang sudah menutup mata."
Rupanya wanita cantik itu masih penasaran. Ia hendak mendamprat lagi tetapi si dara baju
ungupun menghela napas dan berkata, "Mah, dengan memandang mukaku, kuminta engkau
jangan berbicara panjang lagi,"-ia menghampiri lalu jatuhkan diri kedada ibunya.
?"Harap menceritakan lagi" kata Han Ping kepada Ih Thian-heng.
Ih Thian-heng tersenyum, katanya, "Lebih dulu aku hendak menjelaskan bahwa aku belum
pernah bertemu dengan tim Gong taysu. Apa yang kuketahui tentang dirinya itu, hanyalah dari
kabar2 diluar. Dan aku takan menambah maupun mengurangi sepatahpun juga. Maka yang akan
kuceritakan itu hanya keadaan menurut kabar saja, tentang sepak terjangnya itu benar atau salah,
aku"." Dengan tegas Han Ping cepat menukas, "hui Gong taysu seorang, paderi yang luhur. Baik ilmu
kepandaian dan wataknya, memang tak sembarang manusia dapat menyamainya. Kalau ada
desas desus, tentulah hanya ditiupkan orang yang hendak merugikan nama baiknya"."
Ih Thian heng tertawa, "Aku hanya akan mengatakan apa yang kudengar, harap saudara suka
mendengarkan saja"."
Ia batuk" sejenak lalu melanjutkan pula, "Sebelum Hui Gong taysu muncul di dunia persilatan,
dunia persilatan tiong-goan telah lebih dulu muncul seorang wanita siluman yang gerak geriknya
sukar diketahui". "
"Siluman wanita! Bukan, dia seoiang pendekar wanita!" teriak wanita cantik dengan marah.
Ih Thian-heng tertawa tawar, "Baiklah, anggap saja dia seorang pendekar wanita. Pendekar
wanita itu mengenakan kerudung muka hitam, wajahnya buruk bukan main Kabarnya karena dia
menderita patah hati dalam asmara, maka dia mendendam kebencian yang menyala nyala"."
"Tunggu dulu!" wanita cantik itu melengking pula.
Ih Thian-heng memberi hormat, serunya, "Nyonya hendak memberi pesan apa?"
Wanita cantik itu berkata, "Taciku seorang wanita orang yang luar biasa cantiknya. Hanya saja,
dia tak suka wajahnya dilihat orang. Dengan demikian maka dia sengaja membuat dua buah
kedok muka dari kulit."
Ih Thian-heng berkata, "Mungkin demikianlah. Kalau dia benar seperti desus orang yang
mengatakan dia berwajah buruk tak mungkin seorang paderi seukuran Hui Gong taysu nekad akan
lolos dari lingkungan dinding gereja."
Menjawab pula Han Ping dengan penuh keyakinan, "Hui Gong taysu mempunyai peribadi yang
kuat dan tinggi. Dia terlena fitnah sehingga menderita harus ditaruh dalam ruang tahanan gereja.
Dalam kata-katamu nanti, harap jangan dibumbui dengan nada yang menyinggung peribadinya."
Sejenak memandang kearah orangtua baju biru atau Lam-hay Ki-siu, Ih Thian-heng tertawa
gelak-gelak, katanya lebih lanjut, "Taruh kata saja dia berpambek tinggi dan luhur. Pendekar
wanita berkerudung muka pada saat itu sudah menggetarkan empat penjuru dunia persilatan.
Semua tokoh-tokoh sakti dari dunia persilatan Tionggoan sudah ditundukkannya. Disepanjang
daerah sungai, dari utara sampai selatan, sudah tiada lagi orang yang berani menyambut
tantangannya". Tiba-tiba terdengar Lam-hay Ki-siu mendengus dingin. Matanya memancarkan sinar yang
berkilat-kilat2 menyeramkan lalu menukas, "Perlu kujelaskan lebih dahulu. Bahwa sebelum
pendekar wanita itu bertempur dengan Hui Gong taysu, ia sudah pernah menderita kekalahan satu
kali." Ih Thian-heng tertawa tawar, "Bukankah yang mengalahkan pendekar wanita berkerudung
hitam, saudara sendiri?"
Habis bertanya ia berhenti sejenak lalu tanpa menunggu penyahutan orang, Ih Thian-heng
segera melanjutkan ceritanya, "Tetapi peristiwa kekalahannya itu belum tersiar didunia persilatan.
Baik tokoh-tokoh golongan Hitam maupun Putih dari segenap penjuru dunia persilatan Tionggoan,
semua tahu bahwa pendekar wanita yaug tiada lawannya itu, akhirnya harus menderita kekalahan
di tangan Hui Gong taysu. Soal pendekar wanita itu sebelumnya juga pernah menderita kekalahan
dari lain orang, dunia persilatan Tiong-goan tak pernah mendengarnya."
"Katak dalam tempurung!" dengus Lam-hay Ki-siu dengan geram.
Tetapi Ih Thian-heng tak menghiraukan. Memandang kearah pedang Pemutus-asmara yang
berada disamping Han Ping, ia melanjutkan pula, "Senjata dari pendekar wanita itu yalah pedang
Pemutus-asmara yang dibawa saudara Ji. Tetapi sesungguhnya pedang itu bukan berasal dari dia,
melainkan jauh sebelum dia muncul di dunia persilatan, sudah pernah dipakai oleh seorang nona.
Entah karena menderita luka hati yang bagaimana, nona itu mengandung dendam kesumat yang
besar. Tak peduli siapa saja, barang siapa pria yang melihatnya dan terus tergerak hati
kepadanya, tentulah akan ditusuk uluhatinya dengan pedang pusaka itu. Dengan berlumuran kisah
berdarah itulah maka pedang tersebut diberi nama pedang Pemutus-asmara"."
Ih Thian-heng berhenti untuk tertawa nyaring, lalu melanjutkan, "Tetapi bagaimanapun maut
menghadang dan merintang, tetap jago silat berbondong bondong menghadap dan menyembah
dibawah kakinya. Mati bukan halangan asal mereka dapat menikmati kebahagiaan bersanding
dengan sijelita. Dalam beberapa tahun saja, lebih dari seratus jago2 silat yang mati dibawah ujung
pedang Pemutus-asmara. Karena tindakannya itu orang persilatanpun segera mempersembahkan
sebuah gelaran kepada si jelita, yakni si Jelita-buta-hati.
Cerita tentang kisah si Jelita-buta-kasih dan pedang Pemutus-asmara menjadi kembang bibir
setiap orang persilatan. Pada suatu saat, tiba-tiba Jelita-buta-kasih itu lenyap Dia datang bagai
angin prahara yang mendampar dan menghancurkan hati orang, lalu tiba-tiba menghilang tanpa
bekas! Berpuluh tahun kemudian dunia persilatan kembali menerima kemunculan seorang gadis
berkerudung muka yang menggunakan pedang Pemutus-asmara. Sepak terjangnya serupa dengan
si Jelita-buta-kasih, bahkan ada beberapa hal yang lebih ganas. Maka dalam waktu -yang singkat
saja, namanya sudah disebut-sebut oleh setiap orang persilatan. Golongan Hitam maupun Pulih
menggigil apabila mendengar nama gadis berkerudung muka itu.
Pada masa nama gadis berkerudung hitam itu menjulang, Hui Gong taysupun muncul. Dia
mencari jejak gadis berkerudung itu. Akhirnya mereka bertemu dan bertempur diluar kota Kimleng.
Ternyata kepandaian Hui Gong taysu lebih tinggi setingkat. Setelah bertempur mati-matian
selama setengah malam, akhirnya ia berhasil merebut pedang Pemutus asmara itu dari tangan
gadis lawannya. Dengan hasil pertempuran itu, dalam waktu semalam saja, nama Hui Gong taysu
sudah menjadi pujaan setiap orang persilatan. Dengan sendirinya pamor Siau-lim-sipun ikut
menjulang kelangit". Tetapi pertempuran itupun berakhir dengan kesudahan yang aneh dan tak
tersangka-sangka. Hui Gong taysu lupa bahwa dirinya adalah murid gereja. Dia menang
bertempur adu kesaktian, te
tapi dia menderita kekalahan yang parah. Hatinya kena terpanah asmara oleh lirikan yang
tajam dari mata si jelita.
Peristiwa asmara itu telah menimbulkan kehebohan besar. Dengan dipimpin sendiri oleh ketua
Siau-lim-si. Maka berangkatlah rombongan paderi Siau lim-si untuk menangkap Hui Gong taysu
dan dibawa pulang ke gereja. Tetapi kabarnya jelita itu amat setya pada Hui Gong. Dia pernah
tiga kali menjenguk ke gereja Siau-lim si ,". "
Berhenti sejenak. Ih Thian-heng melanjutkan pula, "Begitulah kisah Hui gong taysu yang
kuketahui. Seorang pendekar besar dalam jamannya, seorang ksatrya yang patah hati. Jika fihak
Siau-lim-si tak segera bertindak untuk menangkapnya, mungkin dunia persilatan akan lain
keadaannya." Berkata Han Ping, ?"Aku menyaksikan sendiri ketika Hui Gong taysu menghembuskan napasnya
yang terakhir. Menurut ucapannya, memang agaknya tak jauh bedanya dengan keteranganmu
itu." Ketua ih Thian-heng, "Yang kuketahui hanya begitu saja dan itupun berasal dari berita2 yang
kukumpul dalam perjalanan. Belum tentu sesuai."
"Benarkah Hui Gong sudah meninggal dunia?" tiba-tiba wanita cantik itu menyeletuk.
"Ya, memang sudah meninggal," kata Han Ping, "sampai lama aku menangis disamping
jenazahnya, masakan aku salah lihat!"
Wanita cantik itu terlongong sejenak lalu berkata dengan pelahan, "Sudah mati" Kalau sudah
mati biarlah mati. Apa yang kalian tunggu". lekas". tempur". lagi!"
Han Ping dan Ih Ihian-heng tak mengacuhkan wanita cantik itu. Mereka memang menganggap
harus melanjutkan pertempuran lagi.
"Silahkan Ih cianpwe memulai," seru Han Ping. "Baik," kata Ih Thian-heng yang sudah
mempunyai rencana bagaimana kali ini ia harus menghadapi pemuda itu. Dua kali menderita
kekalahan cukup suatu tamparan bagi mukanya. Ia harus mengembalikan gengsinya di mata
sekian banyak tokoh. Dan diapun telah mengetahui bahwa kali ini harus gilirannya yang menangkarena
pemuda itu sudah hampir habis tenaganya.
Demikian keduanya segera bertempur lagi dengan seru. Ih Thian-heng menggunakan siasat
untUK bertahan diri dan memperpanjang pertempuran untuk memeras tenaga lawan yang sudah
hampir habis itu. Tenang sekali ia bertempur, Terutama serangannya selalu diarahkan kesamping
kiri lawan karena dilihatnya tangan kiri Han Ping sudah makin kaku.
Han Pingpun tahu akan hal itu. Maka ia segera lancarkan serangan deras agar lawan tak
sempat mengembangkan permainannya.
Ih Thian-heng seorang tokoh tua yang kaya pengalaman, _ berilmu tinggi dan licik.
Han Ping seorang pemuda yang berbakat luar biasa dan mendapat rejeki yaug luar biasa pula.
Tetapi yang dia terluka pada lengan kirinya dan luka itu mengucurkan banyak sekali darah
sehingga mengurangkan tenaganya. Dia memang memiliki beraneka jurus ilmusilat yang luar biasa
tetapi bagi ih Thian-heng si rubah tua yang kaya pengalaman itu, serangan2 anakmuda itu dapat
dihadapinya dengan tenang.
Sekalian tokoh makin tersengsam menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka makin
mengagumi akan kelihaiyan Han ping yang walaupun sudah menderita luka berat, namun masih
dapat melancarkan serangan2 maut yang membuat tokoh semacam ih Thian-heng harus berhatihati.
Tiba-tiba Ih Thian heng berteriak, "Sekarang giliranmu yang harus kalah!" tangannya
menyelonong kemuka untuk memukul dada Han Ping.
"Jangan terburu-buru dulu," sahut Han Ping seraya miringkan tubuh dan secepat kilat
selundupkan tinjunya untuk menghantam dada Ih Thian heng yaug tak terlindung.
Tetapi ternyata pukulan Ih Thian-heng hanya sebuah siasat untuk memancing lawan. Begitu
Han Ping majukan tubuh memukul, ih Thian heng segera menyurut mundur seraya mengangkat
kaki kirinya menendang perut Han Ping.
"Ah, kali ini aku benar-benar kalah," seru Han ping seraya menyurut mundur.
Tetapi tak urung ujung kaki ih Thian-heng sempat mengenai ikat pinggang Han Ping.
tampak pemuda itu berdiri dengan tegak Wajahnya sama sekali tak mengunjuk ketakutan
Bahkan sekalian tokoh yang menyaksikan kesudahan itu diam-diam cemas dan gelisah. Mereka
tahu siapakah Ih Thian-heng itu. Dengan kemenangan itu, Ih Thian-heng pasti akan membuat Han
Ping menderita. Jelas dia tentu tak mau melepaskan kesempatan itu.
Berpuluh puluh pasang mata segera mencura kearah ih thian-heng.
Tampak ih Thian heng tersenyum sinis, serunya, "Tabaslah kedua tanganmu"."
Sekalian tokoh terkejut mendengar kata-kata itu. Wajah mereka berobah tegang. Tiba-tiba Ih
Thian heng menyusuli pula kara-katanya itu, "Sebenarnya aku tak suka mengucapkan kata-kata
itu. Aku belum punya muka untuk mengatakan."
Han Ping menggembor marah: Han Ping mengharapkan belas kasihanmu. Sekalipun engkau
membelah kepalaku, tak nanti aku mengernyit takut!"
Ih Thian-heng tersenyum, "Saudara Ji benar tak mengecewakan sebagai musuhku bebuyutan
Tetapi saat ini cukuplah aku hendak mengajuku sebuah pertanyaan kepadamu."
"Mau tanya apa?" seru Han Ping.
"Ilmu kepandaianmu hebat dan luar biasa sekali sehingga baru pertama kali ini aku dapat
melihatnya. Apakah ilmu kepandaianmu itu berasal dari Hui Gong taysu?"
Han Ping merenung sejenak, sahutnya, "Benar, walaupun beliau memang menurunkan ilmu
kepandaian itu kepadaku tetapi antara aku dan beliau tak ada ikatan guru dan murid."
"Kalau tak ada ikatan guru dan murid, bagaimana mungkin dia mau memberi pelajaran
kapadamu ." Ketahuilah, bahwa menerima pelajaran secara diam-diam, adalah pantangan besar
Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagi setiap perguruan silat," kata Ih Thian-heng.
"Dia kalah bertaruh dengan aku." jawab Han Ping.
"Hm, itu memang suatu cara yang baik. Dengan alasan kalah bertaruh kepandaian lalu
menurunkan pelajaran"." kata lh Thian-heng, "cukuplah. Sekarang silahkan engkau turun tangan.
Tetapi ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan. Kalau engkau kalah lagi dalam babak ini,
pertandingan ini tentu sudah tamat!"
"Kalau aku yang menang?" tanya Han Ping.
ih Thian-heng tertawa, "Kalau aku tak salah tafsir, memang dalam hatimu masih banyak sekali
soal2 yang hendak engkau tanyakan". ."tiba-tiba ia berhenti dan tertawa panjang. Matanya
berkilat-kilat memancar sinar tajam, serunya, "Tadi dalam mengikat janji pertandingan ini, engkau
telah melakukan kesalahan besar yang sangat sangat merugikan dirimu sendiri."
Han Ping merenungkan ucapan itu dan memang ia mengakui kebenarannya. Satu-satunya cara
untuk menghindari kesulitan yang mungkin akan menimpah dirinya, yalah hanya membunuh Ih
Thian-heng. Karena kalau ia yang kalah, tentulah Ih Thian-heng takkan memberi ampun lagi.
Perlu diketahui bahwa pertempuran antara dua tokoh setingkat kedua orang itu, untuk
memenangkan sejurus saja, bukan main sukarnya. Setiap cewatkan sebuah kesempatan, berarti
harus memeras keringat dan tenaga yang banyak, Apalagi setiap babak selesai lalu berhenti untuk
menanyakan keterangan tentang peristiwa yang lampau, setelah itu baru bertanding lagi seperti
cara yang diambil Han Ping itu, sudah jelas tentu bakal kehilangan kesempatan untuk membunuh
lawan. Setelah merenung sampai beberapa saat barulah Han Ping mengangkat muka dan berkata,
"Dalam bertempur memang ada bedanya cara untuk menggunakan pukulan yang berat dengan
yang ringan. Kalau rasanya aku masih mempunyai kesempatan untuk mengalahkan engkau,
kemungkinan cara untuk turun tangan juga tentu bertambah keras."
Ih Thian-heng sejenak sapukan pandang mata kesekeliling tokah2 itu. katanya, "Kita yang
bertempur mati-matian, orang lain yang enak2, menyaksikan dan malah dapat tambahkan
mendengarkan rahasia2 dalam dunia persilatan yang selama ini jarang diketahui orang"."
"Peristiwa itu bukan suatu rahasia yang tak boleh didengar orang. Kurasa, aku tak berbuat
sesuatu yang salah," sahut Han Ping.
Melihat sudah sekian lama bicara sehingga Han Ping mendapat kesempatan untuk menjalankan
peredaran tenaga dalam menutup pendarahan pada bahunya, Ih Thian-heng tiba-tiba berseru
keras, "Saudara Ji, awaslah!"
Wut, ia segera melontarkan sebuah pukulan Menjolok-naga-kuning kearah dada Han Ping.
Han Ping miringkan tubuh menghindar. Dua buah jari tangan kanannya segera menutuk
lambung lawan. Tetapi Ih thian-hengpun tak mau menangkis, melainkan berkisar menghindari.
Pertempuran kali ini dilakukan dengan hati-hati sekali oleh keduanya. Mereka tak mau
menggunakan cara adu kekerasan pukulan lagi ataupun adu tenaga-dalam.
Makin lama pukulan kedua orang itu makin cepat dan makin terbenam dalam permainan yang
mengasyikkan. Cepat lawan cepat, tangkas teradu tangkas. Keduanya sama mengembangkan
perobahan2 jurus yang dapat mendahului menindas gerakan lawan.
Cepat sekali mereka menyerang, pun cepat juga mereka menarik pulang.
Apabila diketahui lawan mengunjuk tanda-tanda gerakan dapat memecahkan serangan, cepat
sekali tentu sudah ditarik pulang dan dirobah jurusrnya.
Demikian dalam beberapa kejab saja, keduanya sudah bertempur sampai lima enampuluh
jurus. Tiba-tiba Han Ping mengebor keras. Dua sosok bayangan segera saling bertumbuk. Gerak
bayangan pukulan dan jari yang memenuhi udara, seketikapun lenyap.
Ternyata keduanya telah mengganti acara pertempurannya. Dari serang menyerang secara
cepat, kini mereka berganti dengan adu tenaga-dalam. Dari gerakan yang tangkas, berobah
menjadi pertempuran yang tenang. Masing-masing menjulurkan sebuah tangan dan saling
melekatkan telapak tangannya.
Tak berapa lama kemudian, tampak wajah kedua orang itu mulai bertebar warna merah dan
pelahan-lahan merekapun mulai mengatupkan mata. Rupanya mereka hendak mengerahkan
seluruh tenaga-dalam kearah tangannya.
Beberapa saat lagi, mereka mulai bercucuran keringat. Wajah mereka yang merah, pun mulai
makin cerah. Celakanya, luka pada bahu Han Ping itu merekah pula. Darahnya berkes-ketes ke lantai.
Pengemis-sakti Cong To yang menyaksikan ditepi gelanggang, diam-diam menghela napas,
pikirnya, Lukanya berdarah lagi, entah sampai berapa lama ia mampu bertahan" Sekalipun
tenaga-dalamnva lebih kuat dan ih Thian-heng tetapi tak urung tentu akan menderita kekalahan.
Hm, aku harus mencari akal untuk membantunya . . "
Tiba-tiba Ih Thian-heng mendengus pelahan. Tangannya makin menindih kuat-kuat dan
tubuhnya juga maju selangkah lalu menekankan tangannya hendak memaksa tangan lawan
menjulai kebawah. Han Ping tertawa dingin. Segera ia mengempos semangat dan salurkan tenaga-murni.
Segelobang arus tenaga-panas segera memancar dari perut dan menyalur kearah lengan
kanannya, mengalir ke telapak tangan dan melanda kearah tangan lawan.
Ih Thian-heng yang tengah membanjiri lawan dengan tenaga-dalam yang tak putus-putusnya
itu, tiba-tiba merasa telapak tangannya diterjang gelombang aliran hawa panas yang dahsyat. Ia
terkejut dan menyurut mundur dua langkah.
Han Ping berhasil memberi tekanan pada lawan tetapi pada saat itu ia rasakan matanya
berkunang gelap sehingga hampir saja ia rubuh.
Kesempatan itu digunakan Ih Thian heng untuk menyalurkan napas lalu mengadakan serangan
balasan. Menyambuti serangan itu, mata Han Ping terasa gelap lagi. Ia menyadari bahwa karena terlalu
banyak mengeluarkan darah, tenaganyapun sudah tak dapat bertahan lama. Apabila bertempur
terus, tentu ia akan kehabisan darah dan tentu lemas.
Han Ping menginsyafi keadaan dirinya yang berbahaya itu. Kecuali dalam dua tigapuluh jurus ia
dapat menghantam rubuh Ih Thian heng, barulah ia dapat lolos dari bencana. Kalau tidak, jelas
dia tentu aKan menderita kekalahan.
Dengan pemikiran itu segera ia mengambil Keputusan. Empat jurus serangan istimewa segera
dilancarkan dengan dahsyat. Serangan itu memaksa Ih Thian-teng sibuk tak keruan.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi berderak-derak yang keras sehingga ruangan itu mulai
berputar". "Siapa?" tiba-tiba ketua Lam-hay-bun tertawa dingin seraya ulurkan tangan menekan ujung
dinding. Terdengar bunyi dinding berderak-derak berkisar. Arahnya dibelakang tempat duduk wanita
cantik ibu si dara baju ungu. Dan pada lain saat dindingpun terbuka sebuah pintu.
"umitohud!" terdengar pula suara paderi berseru. Menyusul seorang paderi tua jubah kuning
dengan mencekal sebatang tongkat sian ciang, melangkah masuk.
Kemunculan paderi yang tak terduga-duga itu lelah mengejutkan sekalian orang sehingga Han
Ping dan Ih thian-hengpun hentikan pertempuran.
Ketika berpaling, segera nan Ping memberi hormat, "Semoga lo siansu baik2 saja selama ini,"
Raja Naga 7 Bintang 4 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Panji Wulung 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama