Ceritasilat Novel Online

Maling Romantis 6

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 6


long ternyata bukan seorang diri datang ke Tionggoan, dia masih
membawa dua orang putra kandungnya. Setelah dia mati, seorang anaknya
dia titipkan kepada Jin Jip supaya diasuh sampai besar, lalu seorang anak
lainnya" Kepada siapa dia serahkan anaknya yang lain" Siapa pula yang tahu
mengenai keajadian ini?"
Peristiwa itu sudah berlalu selang duapuluh tahun lamanya, kini boleh
dikata sudah tiada sumber yang dapat dibuat bahan penyelidikan.
Mendadak Coh Liu-hiang melompat bangun, katanya keras: "Aku sudah
tahu. Kalau Thian-hong-cap-si-long menyerahkan anaknya yang kecil kepada
Jin Jip, putra besarnya tentu dia serahkan kepada tokoh kosen yang
bertanding pertama kali dengan dia. Asal aku bisa menemukan siapa orang
ini, tentulah dapat menemukan siapa si "dia" itu."
Kini Coh Liu-hiang memang belum tahu siapakah tokoh silat yang
bergebrak dengan Thian hong cap-si-long sebelum Jin Jip, tapi dia sudah
tahu: Pertama: Tingkat kedudukan dan nama tokoh itu tentu amat tinggi dan
tenar, baru Thian-hong-cap-si-long sudi mencarinya, lalu menghadapi Jin
Jip. Tidak banyak tokoh-tokoh silat di kalangan kangouw yang lebih tinggi
tingkatannya dan ketenarannya dari Kaypang Pangcu, maka kemungkinannya
bisa lebih diperkecil. Kedua: Ilmu silat orang ini teramat tangguh, maka bisa melukai Thianhongcap-si-long. Ketiga: Watak dan martabat orang ini tentu seperti Jin Jip, berjiwa
besar, lapang dada dan welas asih, maka dia bersedia menerima anak yatim
Thian-hong-cap-si-long, malah menurunkan ilmu silatnya yang tiada taranya
kepada si bocah. Keempat: Orang ini tentu tidak suka mengagulkan diri dan membuat
sensasi, maka walaupun dia berhasil unggul dan mengalahkan pendekar
pedang (pendekar samurai) tersohor dari Tang-ni (Jepang), tiada tokoh
Kangouw yang tahu akan kejadian besar itu.
Kelima: Tokoh ini tentu menetap di daerah Binglam atau lingkungan yang
tidak jauh dari sana, maka setelah Thian-hong-cap-si-long terkalahkan
dengan luka parah, dia masih sempat memburu ke tempat pertandingan
yang dia janjikan dengan Jin Jip.
Coh Liu-hiang menghela napas panjang-panjang, ujarnya: "Kini terhitung
tidak sedikit hasil analisaku ini."
Lekas ia memburu keluar, galah dia samber terus mendorong kapalnya ke
tepi. Sekali lompat ia dapat mendarat dengan enteng. Mendadak derap
kuda berlari mendatangi, seseorang membedal kudanya lari mendatangi.
Belum lagi dekat, badannya sudah mencelat tinggi lepas dari punggung
kudanya meluncur hinggap di depannya, siapa dia kalau bukan Hek-tin-cu si
Mutiara Hitam. "Ternyata kau bisa menemukan aku," sambut Coh Liu-hiang: "Mana dia?"
Hek-tin-cu tidak lantas menjawab. Sesaat ia pandang orang, sahutnya
dingin: "Dia memang penurut dan dengar kata, kini sudah berangkat
pulang." Mendadak matanya melotot, katanya keras: "Tapi ingin aku tanya
kau, sebetulnya di mana ayahku berada" Kenapa selama ini kau mengulurulur
waktu tak mau jelaskan tempat tinggalnya?"
Coh Liu-hiang tertunduk, sahutnya: "Ayahmu sudah.... sudah meninggal
dunia." Tersentak badan Hek-tin-cu, serunya serak: "Kau.... apa katamu?"
"Aku sudah mengurus baik-baik jenazah ayahmu di Ang-giok-gay di Lohtiong.
Di dusun nelayan di pesisir laut sana, ada seorang bernama Li Thocu.
Kalau kau pergi ke sana, boleh kau minta kepadanya untuk mengantarmu
ke atas kapalku. Setelah kau bertemu So Yong-yong, kau akan bertemu
dengan jenazah atau pusara ayahmu."
Hek-tin-cu mendesak maju menarik lengannya, bentaknya beringas:
"Jenazah ayahku kenapa bisa berada di atas kapalmu" Apakah kau yang
mencelakai jiwanya?"
"Seluk-beluk persoalan ini sulit untuk dijelaskan dalam waktu singkat, tapi
Yong-ji akan menjelaskan sedetailnya kepadamu.... Mengenai pembunuh
ayahmu, kini berada di dalam sampan itu." Belum habis kata-katanya, Hektincu sudah melesat naik ke atas sampan.
Jelalatan sorot mata Coh Liu-hiang, mendadak ia berseru lantang:
"Kupinjam kuda saktimu sekali lagi, kelak pasti akan kukembalikan!" Belum
lenyap suaranya, badan sudah melejit naik mencemplak ke punggung kuda
terus dibedal kencang ke arah selatan.
Setelah Coh Liu-hiang berhasil menemui Ciu Ling-Siok di Ni-san, lalu ia
ambil kudanya yang dititipkan di rumah seorang pemburu langsung kembali
ke Kilam, tujuan utamanya adalah menemui Lamkiong Ling, maka untuk
memburu waktu ia belum kembalikan kuda hitam itu kepada pemiliknya
Hek-tin-cu, cuma ia titipkan ke sebuah hotel yang berdekatan. Waktu ia
tiba di Hian-tong Kaypang, kuda yang cerdik ini menjebol kandang
menerjang keluar mencari pemiliknya. Lantaran kuda inilah maka Hek-tincu
dan It-tiam-ang baru tahu bahwa Coh Liu-hiang sudah kembali ke Kilam,
maka mereka menyusul tiba pada saatnya dan berhasil menolong So Yongyong
pula. Mengandalkan kepintaran kuda ini pula sehingga Coh Liu-hiang dalam
waktu yang tersingkat memburu waktu pula menuju ke Bianglam. Tetapi,
setiba di Bianglam, mau tidak mau ia jadi putus asa dan kecewa dibuatnya.
Kejadian dua puluh tahun yang lalu orang-orang sudah lupa sama sekali,
sedang keluarga besar dari marga Tan dan Lim yang merupakan simbol
kebesaran kaum Bulim di daerah Binglam ini hakikatnya tidak tahu-menahu
siapakah sebenarnya Thian-hong-cap-si-long.
Hari itu Coh Liu-hiang tiba di Sian-yu yang merupakan kota terbesar dan
teramai. Banyak tempat-tempat tamasya di sini. Hati Coh Liu-hiang sedang
masygul dan kesal, maka selera minum dan makan menjadi kendor, yang
diinginkan hanyalah minum dua cangkir teh kental yang pahit.
Binglam merupakan daerah penghasil daun teh yang termashur. Di dalam
kota Sian-yu banyak terdapat warung-warung teh, alat-alat untuk minum
teh di sini pun jauh berbeda dengan tempat lain, tampak setiap orang yang
duduk di warung teh menikmati minuman tehnya sambil memejamkan mata,
menggunakan cioki yang lebih kecil dari cangkir arak untuk menikmati atau
menilai rasa air teh itu. Orang yang minum teh dengan cawan besar di sini
dalam pandangan masyarakat Binglam tak ubahnya dipandang sebagai
kerbau dungu. Tidak ketinggalan Coh Liu-hiang pun minta disediakan Thi-koan-im yang
rasanya pahit getir dan wangi. Kalau ditenggak teh ini memang pahit dan
getir. Namun setelah masuk ke perut, mulut terasa wangi dan semerbak
sampai sekian lama tak hilang-hilang.
Setelah menghabiskan dua poci kecil, rasa masygul dan kesal Coh Liuhiang
sudah semakin sirna dan ketenangan kembali menggayuti
sanubarinya. Dan baru sekarang dia mengerti aturan-aturan untuk minum
teh di sini sedemikian banyaknya, tujuannya adalah untuk menekan perasan
dan melatih kesabaran. Cara atau kepandaian membina dan melatih watak
dan kesabaran ternyata hasil gemblengan dari air teh kental yang pahit
getir dari sepoci-poci kecil ini.
Jauh berlainan dengan warung arak di tempat lain yang penuh sesak, tentu
timbul keributan. Warung teh ini penuh sesak, namun setiap orang bicara
secara bisik-bisik, tindak-tanduk orang pun amat hati-hati, kuatir
mengganggu orang lain. Bab 15 Diambil dari jilid 11 Pendekar Pengejar Nyawa dihttp://www.langka.info
atas ijin bung bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: ferawati, axd002, monica, kalenteha, tanjung, mtv2006,
agusis ------------------------------------------------------------------Tatkala itulah mendatangi dua laki-laki besar berjubah sutera memasuki
warung teh ini sambil mengobrol panjang pendek. Salah seorang laki-laki
bermuka burik, di punggungnya menggendong sebuah buntalan kain kuning,
sembari jalan ia berkata dengan tertawa: "Bertemu sahabat karib di
rantau, sungguh merupakan kesenangan yang tak terhingga. Hari ini Siaute
harus ajak Pang-heng minum sepuasnya!"
Laki-laki yang lain mukanya penuh ditumbuhi cambang bauk yang kaku,
katanya bergelak tawa: "Chi-heng sudah lama menetap di Binglam ini,
apakah hobimu hanya minum teh saja dan tak suka minum arak lagi?"
"Arak!" seru laki-laki burik tertawa lebar. "Pang-heng, setiap hari kau
sudah biasa minum arak, tapi hari ini akan kusuguh kepadamu air teh yang
lain dari yang lain, boleh dikata sebagai dewa di antara teh. Bukan Siaute
suka membual, air teh seperti ini mungkin seumur hidup Pang-heng belum
pernah merasakannya."
Serta-merta perhatian dan pandangan semua hadirin dalam warung teh itu
tertuju ke arah mereka. Tapi laki-laki burik ini anggap sekelilingnya
seperti tiada orang lain, dari buntalan kain kuningnya ia keluarkan sebuah
bumbung bambu sepanjang satu kaki. Begitu ia membuka sumbat bumbung,
bau harum seketika merangsang setiap hadirin, seketika semangat terasa
segar seperti memabukkan.
Laki-laki cambang bauk itu bergelak tawa, ujarnya, "Harum benar teh ini!
Beberapa tahun tak berjumpa, tak nyana Chi-heng sekarang menjadi begini
kikir." Dengan hati-hati laki-laki burik itu menuangkan secomot daun teh, lalu
suruh pelayan menyeduhnya dengan air panas yang paling bening dari
sumber asli, barulah dia berpaling dan berkata tertawa: "Bicara terus
terang, walau sudah lama aku menyimpan daun teh sepeti ini, tapi jikalau
tidak bertemu dengan Pang-heng sahabat lamaku, rasanya Siaute amat
sayang untuk meneguknya meski hanya seteguk saja."
Laki laki brewok itu tertawa, tanyanya: "Kalau Chi-heng begini kikir dan
sayang meminumnya, kenapa selalu kau bawa-bawa ke mana kau pergi?"
"Lantaran daun teh ini adalah kegemaran seorang tokoh kosen Bulim
Cianpwe. Dulu Siaute pernah mendapat budi pertolongannya, tiada sesuatu
yang dapat kubalas, maka selama beberapa tahun ini dengan susah payah
aku berusaha menemukan daun teh ini untuk kuhaturkan kepada beliau,
terhitung sebagai balasan budi kebaikannya dulu. Kalau kuberikan benda
lainnya, tentu beliau tidak mau terima!"
Kata laki-laki brewok: "Entah siapakah Bulim Cianpwe itu" Begitu patuh
dan hormat sikap Chi-heng terhadapnya?"
Senyuman laki-laki burik itu semakin pongah, katanya kalem: "Tentunya
Pang-heng pernah dengar nama besar Thian-hong Taysu?"
"Thian-hong Taysu"...." jerit laki-laki brewok. "Apakah Ciangbunjin Siaulimsi sekte Selatan, Hong-tiang Taysu dari Siau-lim-si di Poh-han?"
"Betul, memang beliau adanya!" sahut laki-laki burik dengan bangga.
Tergerak tiba-tiba hati Coh Liu-hiang. Tak tahan segera ia maju
menghampiri, serunya: "Boan-tian-sing (bintang bertaburan di langit), aku
ini kan teman lamamu, kenapa kau tak undang aku minum teh?"
Laki-laki burik itu meliriknya sekilas, seketika ia menarik muka, katanya:
"Siapa saudara ini" Cayhe agaknya amat asing terhadapmu."
Coh-Liu-hiang tersenyum, ujarnya; "Tujuh tahun yang lalu di lorong Thisaycu di Pak-khia, memangnya Chi-heng sudah melupakan kejadian dulu?"
Belum habis ia berkata, laki-laki burik itu sudah melonjak bangun, serunya
bergetar: "Apakah tuan adalah........"
Coh Liu-hiang terloroh-loroh, tukasnya: "Cukup asal kau masih ingat, buat
apa kau singgung namaku."
Tersipu-sipu laki-laki burik menjatuhkan diri berlutut dan menyembah,
serunya hormat: "Tujuh tahun yang lalu, jikalau..... berkat pertolongan
Kongcu, kalau tidak aku Chi-ma-cu (Chi si burik) tentu sejak dulu sudah
terjungkal oleh Bwe-hoa-kiam Pui Hoan dan Siang-ciang-hoan-thian
(Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ko. Aku Chi-ma-cu setiap saat
selalu ingat dan ingin membalas budi pertolongan Kongcu dulu, sungguh
amat gegetun karena jejak luhur Kongcu tidak menentu, sungguh tidak
nyana hari ini akhirnya bisa bertemu dengan Kongcu di sini, sungguh aku
ketiban rejeki besar."
Agaknya laki-laki brewok itu amat heran dan tergerak hatinya melihat
Chi-ma-cu yang terkenal susah dilayani dan lincah tangan ini sudi berlutut
dan bersikap hormat terhadap anak muda ini. Tapi dia pun seorang
kawakan Kangouw, bisa melihat gelagat lagi, lapat-lapat dia sudah dapat
meraba bahwa pemuda ini tidak suka namanya disinggung di depan umum,
sehigga asal-usulnya tidak diketahui orang banyak, maka ia pun tidak
banyak tanya. Lekas ia pun bersoja dan menyapa: "Cayhe Pang Thian-ho,
kelak kemudian harap Kongcu suka memberi petuah!"
Coh Lin-hiang tertawa lebar, ujarnya: "Nama besar Ya-yu-sin (Malaikat
Gelandangan Malam), Cayhe pun pernah mendengarnya seperti geledek
yang menyambar di pinggir telinga."
Bertiga beruntun mereka menghabiskan tiga poci air teh kental. Setelah
mengobrol ala kadarnya, barulah Coh Liu-hiang mulai memancing ke
persoalan yang dituju. Katanya sambil pandang Chi-ma-cu dengan serius:
"Tadi kudengar Chi-heng menyinggung nama Thian Hong Taysu, apakah
Hweesio yang kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan pada empat
puluh tahun yang lalu, dengan pukulan tangan memberantas Pat-ok (delapan
durjana) dan melawan Thian-bun-su-lo seorang diri itu?"
"Ya, memang beliau," sahut Chi-ma-cu.
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Kabarnya Taysu ini sudah lama
mengasingkan diri, tak nyana sampai sekarang masih punya hobi menikmati
daun teh." Chi-ma-cu ikut tertawa, katanya: "Dulu setelah Jip Sin Taysu wafat,
seharusnya beliau orang tua yang mewarisi Ciangbunjin Siau-lim-pay. Tapi
beliau orang tua malah menyerahkan kepada Ji-sutenya Thian Ouw Taysu.
Jauh-jauh dia malah hijrah ke Binglam sini, konon lantaran menyukai daundaun
teh yang nikmat dan enak di sini."
Cob Liu-hiang menepekur, katanya: "Sudah berapa lama Thian Hong Taysu
pegang tampuk pimpinan Siau-lim-si di Poh-thian ini?"
"Hitung-hitung sudah lebih dari dua puluh tahun."
Mendadak Coh Liu-hiang gebrak meja, serunya keras: "Tidak salah lagi!
Tentu dia! Pasti dia! Seharusnya sudah kuingat akan dirinya."
Chi-ma-cu melongo heran, tanyanya: "Apa Kongcu pun kenal baik dengan
beliau?" Selebar muka Coh Liu-hiang riang gembira, katanya: "Coba kau katakan,
ketenaran nama besar Thian Hong Taysu, apakah jauh lebih unggul dari
Jin-lopangcu dari Kaypang yang terdahulu?"
Chi-ma-cu tidak tahu ke mana juntrungan pertanyaan ini, katanya hambar:
"Beliau orang tua boleh dikatakan merupakan simbol tertinggi dari seluruh
Bulim di jaman ini. Memang ketenaran Jin-lopangcu amat berkumandang,
tapi kalau dibandingkan beliau orang tua, kukira setingkat lebih rendah."
"Ilmu silat beliau orang tua tentunya teramat tinggi dan susah diukur,"
kata Coh Liu-hiang pula. "Betapa tinggi kepandaian silatnya, mungkin Kongcu sendiri..." Chi-ma-cu
merandek, "bukan tandingannya."
Coh Liu-hiang tertawa: "Beliau punya latihan yang lebih ampuh dan
membekal Lwekang yang tiada taranya, sudah tentu tak terkatakan tingkat
kepandaian silatnya, seumpama pedang pusaka yang selalu disimpan tak
pernah memperlihatkan pancaran sinarnya yang cemerlang!"
Chi-ma-cu pun tertawa, katanya: "Dalam kalangan Kangouw tersiar kabar
bahwa lantaran senang minum teh maka beliau orang tua terima hijrah ke
Binglam ini. Tapi menurut perkiraan Cayhe, mungkin beliau orang tua tidak
suka keramaian dan memegang jabatan memikul tugas berat lagi, maka
beliau tidak mau terima jabatan Ciangbunjin Siau-lim-pay di Siong-san."
"Itulah benar. Sebelum Jin Jip, tokoh kosen yang bertanding dengan
Thian-hong-cap-si-long, kecuali dia, siapa lagi" Bahwa Thian-hong-cap-silong
bisa menyerahkan putra sulungnya kepada beliau, sudah tentu mati
pun ia bisa meram dengan tenteram!"
Chi-ma-cu semakin heran mendengar kata-kata ini, tanyanya
memberanikan diri: "Siapa pula Thian-hong-cap-si-long itu?"
"Itulah seorang yang amat aneh." sahut Coh Liu-hiang. "Walaupun berita
kematiannya terbenam dalam keramaian, namun ia berhasil membuat
Pangcu dari suatu sindikat terbesar di dunia ini dan Ciangbunjin dari
golongan silat terbesar di Tionggoan, terima mewakili dirinya mengasuh
dan mendidik kedua putra-putranya sampai dewasa." Tiba-tiba tergerak
hatinya, mendadak ia menjerit tanpa kuasa: "Dia menantang bertanding
dengan Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, bukan mustahil memang
bertujuan menyerahkan kedua puteranya kepada beliau" Memang dia


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri pernah mengalami derita hidup yang menyedihkan hatinya sehingga
dia bosan hidup dan mencari jalan pendek, maka ia harap putra-putranya
kelak bisa menonjol dan menjadi manusia besar yang berguna" Atau
sebelumnya dia memang sudah berkeputusan pasrah jiwanya di tangan
Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu, tujuannya supaya kedua orang ini
dengan tekun dan gigih mendidik putra-putranya?"
Semakin bingung Chi-ma-cu mendengar omongan yang tak kenal
juntrungan ini, tak tahan ia menyela pula: "Kongcu bermaksud Thian-hongcapsi-long itu, demi.... ia rela korbankan jiwanya sendiri?"
"Dia tahu dua tokoh kosen seperti Thian-hong Taysu dan Jin-lopangcu
tentulah tidak akan sembarangan mau menerima dan mendidik anak orang
lain. Tapi jiwanya justru ajal di tangan mereka. Karena terpaksa, mau tidak
mau tak bisa menolak lagi...."
"Sungguh patut dibanggakan dan harus dipuji ayah yang demikian, entah
siapakah kedua putranya itu?" tanya Chi-ma-cu.
"Seorang adalah Lamkiong Ling," sahut Coh Liu-hiang.
"Apakah Kaypang Pangcu yang baru?"
"Benar!" "Dan seorang lagi?"
"Seorang lagi adalah... adalah..." Mendadak Coh Liu-hiang mendongak
sambil tertawa getir, katanya setelah menghela napas: "Semoga tebakanku
meleset. Dia sudah membunuh sembilan jiwa orang yang tak berdosa,
sasaran selanjutnya...." Mendadak Coh Liu-hiang berjingkrak berdiri,
teriaknya: "Sasaran selanjutnya apa bukan Thian-hong Taysu?"
"Untuk ini Kongcu tak usah kuatir," kata Chi-ma-cu yakin. "Peduli siapa pun
orang itu, kalau dia ingin mencelakai jiwa Thian-hong Taysu, mungkin
memang saat ajalnya sendiri sudah tiba. Meski Thian-hong Taysu sudah
lama tidak mencampuri urusan duniawi, namun ilmu silatnya belum pernah
berhenti dilatih." Coh Liu-hiang menghela napas, katanya dengan tertawa kecut: "Kalau kau
tahu siapa orang itu, tentu takkan mengeluarkan kata-kata seperti ini,
"dia"...."
Tak tahan Chi-ma-cu mengajukan pertanyaan pula: "Siapakah dia
sebetulnya?" Agaknya Coh Liu-hiang segan mengatakan siapakah sebenarnya si "dia" itu.
Sesaat ia menepekur, tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Kebetulan aku
ada urusan hendak menemui Thian-hong Taysu, kebetulan bisa membawa
sekalian daun tehmu, kau kuatir tidak kalau kuantarkan?"
Bergegas Chi-ma-cu menurunkan buntalan kuning itu terus diangsurkan ke
hadapan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Jangan hanya soal daun teh,
umpama Chi-ma-cu menyerahkan jiwa raganya, aku Chi-ma-cu pun tak perlu
kuatir." Coh Liu-hiang tertawa-tawa. Belum sempat ia bicara lebih lanjut,
mendadak dilihatnya pemilik warung teh ini menghampiri dirinya dengan
sangat tergopoh-gopoh. Ia menjura hormat kepada Coh Liu-hiang, lalu
berkata dengan unjuk seri tawa: "Seorang tamu yang duduk di meja pojok
sebelah sana ingin bicara beberapa patah kata dengan Kongcu, entah Koncu
sudi pindah ke meja sana sebentar?"
Di pojok ruangan sebelah sana memang ada sebuah meja dengan tiga buah
kursi. Seorang berpakaian abu-abu sedang duduk menghadap pojok
dinding, sejak tadi dia memang sudah duduk di sana, bergerak pun tidak,
seperti patung layaknya. Orang ini mengenakan topi rumput datar sebesar
baskom, kini topi besarnya itu dia tanggalkan ke belakang lehernya,
sehingga batok kepalanya tertutup dan tidak terlihat dari belakang, yang
kelihatan hanya gulungan rambutnya yang sudah ubanan.
Sejak datangnya tadi, belum pernah dia menoleh atau mengamati Coh Liuhiang
dengan jelas. Coh Liu-hiang pun belum pernah melihat raut mukanya,
kenapa pula mendadak orang itu minta Coh Liu-hiang pindah ke sana untuk
bicara" Karena hati merasa heran, Coh Liu-hiang jadi tertarik dan ingin ke sana
untuk melihat apa sebenarnya yang diinginkan orang itu. Baru saja kakinya
melangkah ke sana, orang itu pun sudah bangkit dari tempat duduknya
walau orang ini tetap tidak mau berpaling, seolah-olah di belakang
punggungnya tumbuh sepasang mata saja.
Tergerak hati Coh Liu-hiang, sekonyong-konyong ia bergelak tawa,
ujarnya: "Apakah tuan ini adalah Sin-eng Go-lopothau?"
Badan orang itu agaknya rada tergetar, namun lekas sekali Coh Liu-hiang
sudah menghampiri dan duduk di belakangnya, katanya tertawa besar: "Di
kolong langit ini, kecuali Go-lopothau (opas tua she Go), siapa lagi yang
mempunyai ketajaman telinga sesakti ini?"
Orang itu tertawa getir, katanya: "Di kolong langit ini, memang kenyataan
tiada sesuatu yang dapat mengelabui Coh Liu-hiang si Maling Romantis."
Tampak muka orang ini luar biasa sekali, tulang pipinya menonjol, dagunya
pendek, biji matanya berkilat, sepasang kupingnya berwarna abu-abu putih,
kiranya terbuat dari perak murni. Kalau tidak tertutup oleh topi
rumputnya, sekali pandang saja orang lain akan tahu bahwa orang ini
mengenakan telinga palsu.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Sejak berpisah di kota raja, tahutahu
beberapa bulan sudah berselang, tak nyana suara aku orang she Coh
ternyata masih belum terlupakan oleh Go-lopothau. Yang amat
mengherankan, seingatku hari itu Cayhe seperti tidak mengeluarkan
perkataan apa pun, entah dari mana Go-lopothau bisa tahu dan
membedakan suaraku."
Sin-eng tertawa: "Manusia di kolong langit ini bukan saja nada suara
bicaranya berlainan, sampai pun derap kakinya waktu berjalan pun
berbeda. Coh Liu-hiang si Maling Romantis membekal Ginkang yang tiada
taranya, sudah tentu suara langkah kakinya jauh berlainan dengan orang
lain. Aku si tua kecil ini kalau tidak bisa membedakan langkah kaki si Raja
Maling, sepasang kupingku ini patut kuberikan kepada anjing saja biar
digegares habis." "Pek-ih-sin-ji (Kuping Sakti Baju Putih) ternyata tidak bernama kosong,"
Coh Liu-hiang memuji sambil mengacungkan jempol.
Mendadak ia menekan suara, lalu berkata dengan pelan-pelan: " Dari jarak
laksaan li Go-lopothau mengejar sampai di sini, apakah tujuanmu adalah
Pek-giok-bi-jin itu?"
Sin-eng segera unjuk tawa dibuat-buat, sahutnya: "Umpama Losiu punya
nyali setinggi langit, sekali-kali tidak akan berani minta barang yang sudah
berada di tangan Maling Budiman!"
Coh Liu-hiang menatapnya lekat-lekat, "Lalu untuk apa pula tuan ke mari?"
Sin-eng pun menekan suaranya, sahutnya: "Losiu sedang menguntit jejak
Boan-thian-sing Chi-ma-cu itu ......."
Coh Liu-hiang mengerutkan kening, katanya: "Apakah karena peristiwa di
lorong Thi-say-cu tujuh tahun yang lalu itu?"
Sin-eng tertawa getir pula, ujarnya : "Semula Losiu tidak tahu bila
peristiwa itu ada hubungan dengan Maling Budiman, kalau tidak sekali-kali
aku tidak akan berani mencampuri persoalan ini. Tentunya kau tahu,
seseorang bila dia menerima sesuap nasi dari jabatan dan tugas yang
diberikan pemerintah, selama hidupnya jangan harap kau bisa bebas dari
segala beban pertanggung-jawaban dari tugas yang dipikulnya. Ada urusan
seumpama kau tidak suka mengurusnya, tapi terpaksa dan dipaksa untuk
membereskannya." Berkata Coh Liu-hiang dengan heran : "Peristiwa tujuh tahun yang lalu
memang Chi-ma-cu ada salahnya, tapi Bwe-hoa-kiam dan Siang-ciang-hoanthian
Cui Cu-ho mengandalkan kekuasaannya menindas orang, perbuatannya
patut ditumpas dan diberantas. Apalagi karena peristiwa itu Chi-ma-cu
insaf diri dan selanjutnya mencuci tangan dari pergaulan Kangouw, jauhjauh
menyingkir ke tempat ini. Ke mana pun ia pergi, Go-lopothau harus
mengejarnya sampai di sini dan hendak memberantasnya" Janganlah kau
mendesak orang sedemikian rupa."
"Losiu hidup setua ini memangnya tidak bisa melihat gelagat dan tak tahu
urusan ?" ujar Sin-eng tersenyum. "Sekarang aku sudah tahu bahwa Maling
Budiman ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini, masakah aku berani
banyak urusan lagi?" Ia menghela nafas panjang, lalu menambahkan : "Losiu
mohon Kongcu bicara di sini sebenarnya masih ada persoalan lain yang
mohon penjelasanmu."
"Masih ada urusan apa?" tanya Coh Liu-hiang mengerutkan alis.
Sesaat Sin-eng ragu-ragu, katanya tandas: "Lamkiong Ling, Pangcu dari
Kaypang, sepuluhan hari yang lalu sudah meninggal di Tay-bing-ouw di
Kilam, kejadian itu entah apakah Maling Budiman sudah tahu?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Tentunya Go-Lopothau tidak
beranggapan akulah yang telah membunuh Lamkiong Ling, bukan?"
Lekas Sin-eng unjuk tawa pula, sahutnya : "Mana berani Losiu punya
pikiran seperti itu, cuma . . . . . . . . . "
"Cuma apa ?" Coh Liu-hiang mendesak.
"Cuma kematian Lamkiong Ling Pangcu sungguh amat mengerikan.
Kabarnya, setelah ajal, badannya dicacah hancur berkeping-keping oleh
orang, maka seluruh anggauta Kaypang semua bersumpah hendak
menemukan si pembunuh."
Coh Liu-hiang mengerutkan alis, sudah tentu dia tahu siapa orang yang
mencincang badan Lamkiong Ling sampai berkeping-keping, dia bukan lain
adalah Mutiara Hitam yang menuntut balas bagi kematian ayahnya. Sudah
tentu terpikir juga olehnya bahwa murid Kaypang sampai sekarang belum
tahu akan intrik Lamkiong Ling dengan si dia itu serta rencana jahatnya
jangka panjang. Tapi semua persoalan ini dia tidak ingin diketahui atau
dibicarakan dengan orang lain.
Terdengar Sin-eng berkata pula setelah menghela nafas: "Peristiwa saling
bunuh-membunuh di kalangan kangouw memang tidak pantas losiu tanyakan
atau mencampurinya, cuma soalnya Losiu ada hubungan amat intim
beberapa puluh tahun dengan beberapa anak murid Kaypang, kali ini aku
bertemu mereka di tengah jalan."
"Memangnya anak murid Kaypang semua menyangka akulah yang turun
tangan membunuh Lamkiong Ling?"
"Sekali-kali mereka pun tidak berani curiga kepadamu, cuma mereka
mengatakan Maling Budiman pasti tahu siapakah biang keladi pembunuh
dari Lamkiong Ling, oleh karena itu mereka mohon kepada Losiu bila
bertemu dengan kau mewakili mereka tanyakan hal ini. Peduli kau Maling
Budiman ini tahu atau tidak, cukup asal sepatah katamu saja, seluruh
murid-murid Kay pang pasti tiada yang berani banyak komentar lagi."
"Peristiwa itu ya memang aku mengetahuinya," sahut Coh Liu-hiang dengan
mata bersinar. "Kalau Maling Budiman tahu, entah sudikah memberi penjelasan?" seru
Sin-eng dengan jantung berdebar-debar.
Berkata Coh Liu-hiang dengan nada berat: "Seumpama aku memberitahu,
kau pun takkan bisa berbuat apa-apa, namun . . . " Mendadak ia bangkit
berdiri serta menambahkan: "Tiga hari lagi, boleh kau menunggu kabarku
di taman besar keluarga Lim di Poh-thian. Sampai saatnya pasti akan
kujelaskan siapakah biang keladi dari pembunuhan Lamkiong Ling dan
kuserahkan orangnya kepadamu."
*** Tanpa kenal lelah Coh Liu-hiang seharian itu bertunggang di punggung
kuda dan membedal kudanya dengan kencang, langsung menuju Poh-thian.
Maghrib kembali menjelang. Setelah menitipkan kudanya di tempat yang
aman, cuaca petang gelap ini amat kebetulan malah untuk dirinya sehingga
dengan leluasa langsung meluncur ke Siau-lim-si. Terasa olehnya waktu
sudah terlalu banyak terbuang percuma, maka tidak sempat lagi ia datang
secara sewajarnya sebagai tamu, tanpa memberitahu kedatangannya lagi.
Siau-lim-si di Poh-thian ini memang tidak sebesar dan seangker Siong-san
Siau-lim-si, tapi kuil besar yang tenggelam dalam tabir malam ini kelihatan
angker serta terasa amat seram seperti raksasa yang bercokol di atas
gunung. Angin malam menghembus sejuk dan sepoi sepoi basa, sayup-sayup
terdengar suara tembang mantra, asap dupa kelihatan mengepul tinggi.
Lapat-lapat terendus bau kayu cendana yang terbakar harum semerbak,
alam diliputi keheningan yang khidmat dan agung, maka terasa hawa
membunuh atau watak kekejian lenyap di sini.
Angin musim rontok menghembus gundul dedaunan dan
menghamburkannya ke atas undakan batu. Pintu besar di ujung undakan
batu di sana terbuka lebar, dari luar pintu di kejauhan samar-samar
kelihatan pepohonan yang tumbuh tinggi besar di tengah pekarangan
kelenteng. Maju lebih jauh ke depan, itulah ruang pemujaan dan kamar berhala yang
besar dan angker. Di tempat ini setiap orang, pada jam-jam tertentu,
boleh keluar masuk dengan leluasa, tapi pada saat-saat tertentu bukan
sembarang orang yang berani sembarang memasukinya. Nama Siau-lim
memang sudah menggetarkan dunia, peduli siapa pun bila dia tiba di tempat
ini, mau tidak mau pasti timbul rasa patuh, hikmah dan kewaspadaannya.
Walau pintu di sini terbuka lebar, tapi siapa pula yang berani sembarangan
melangkah ke tempat seram ini"
Coh Liu-hiang tidak masuk dari pintu besar, dia langsung melompati pagar
tembok. Dalam relung hatinya lapat-lapat sudah mendapat firasat jelek,
terasa meski waktu sesingkat apa pun tak bisa ditunda-tunda lagi.
Sinar surya yang terakhir masih memancar dengan cahaya kuning
kemerah-merahan redup. Wuwungan rumah yang berlapis-lapis seperti
berlomba mengadu ketinggian. Di bawah pancaran cahaya sinar matahari
yang menguning ini, selayang pandang seperti puncak-puncak gunung yang
bersambung, seolah-olah warna darah sudah bertaburan di puncak bukit.
Di manakah Thian-hong Taysu" Bagai burung walet, Coh Liu-hiang
meluncur dari satu wuwungan ke wuwungan yang lain. Diam-diam hatinya
bimbang dan bertanya-tanya. Tidak lebih badannya sedikit lebih merandek,
maka terdengarlah seruan sabda Budha: "Omitohud!"
Belum lagi seruan pendek ini sirap suaranya, di wuwungan rumah yang
tinggi ini berturut-turut berkelebat naik empat sosok bayangan gundul.
Keempat orang ini sama mengenakan jubah agama warna abu-abu,
mengenakan kaos kaki warna putih, rata-rata berusia empat puluhan,
empat raut muka yang angker dan serius, masing-masing memiliki sepasang
biji mata berkilat tajam. Keempat pasang mata yang tajam bersinar ini
semua menatap lekat-lekat ke muka Coh Liu-hiang.
Mau tidak mau Coh Liu-hiang amat terkejut dibuatnya: "Padri-padri Siaulim
ternyata memang tidak boleh dipandang rendah!" Hati membatin,
sementara lahirnya tetap wajar, katanya tersenyum simpul: " Para Taysu,
apa sudah makan?" Pertanyaan yang sudah biasa dan umum dalam pergaulan, sekedar basabasi
seseorang yang bertemu menjelang saat-saat waktu makan dengan
teman baiknya, kebanyakan sering mengajukan pertanyaan seperti ini.
Akan tetapi dalam keadaaan dan di tempat seperti ini, tak urung keempat
padri itu sekilas tertegun kemekmek. Padri tertua yang berdiri di paling
kiri segera angkat bicara dengan suara sangat tajam: "Dua puluh tahun
terakhir sudah tidak ada orang Kangouw yang pernah berpijak di atas
wuwungan Siau-lim-si. Sicu (tuan budiman) hari ini ternyata melanggar
kebiasaan ini, tentunya ke mari dengan sesuatu tujuan tertentu, silahkan
kau jelaskan maksud kedatanganmu!"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Maksud kedatanganku, seumpama sudah
kujelaskan, tentunya para Taysu tak mau percaya."
Beringas muka padri tertua ini, bentaknya: "Kalau Sicu tidak mau
menjelaskan maksud kedatanganmu, jangan heran kalau pinceng (Padri
miskin) beramai akan turun tangan secara gegabah."
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Selama hidup Cayhe paling pantang
bergebrak dengan anak murid Siau-lim, buat apa para Taysu harus
mendesak begini rupa melanggar kebiasaan lagi."
Padri tertua itu menjadi marah, bentaknya: "Kalau Sicu tidak terus
terang, silahkan ikut Pinceng turun ke bawah." Seiring dengan
bentakannya, lengan jubahnya yang gombrong itu tiba-tiba dikebutkan,
melambai enteng laksana awan mengambang, pesat dan kuat seperti kilat
menyambar, langsung menerjang ke tenggorokan Coh Liu-hiang serta
membelitnya. Sebagai seorang beragama, tidak enak para padri Siau-lim membawa
senjata di kandang sendiri, maka lengan baju panjang dan gombrong ini
sebagai ganti gaman mereka, dalam dunia persilatan hanya dikenal Lip-inthisia (Lengan Besi Mega Mengalir) adalah pelajaran tunggal dari Butongpay, diluar tahu khalayak ramai bahwa kepandaian kebutan tangan


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jubah anak murid Siau-lim bukan saja tidak lebih asor dari kepandaian
tunggal Bu-tong-pay itu, malah betapa besar dan kokoh kekuatan kebutan
mungkin lebih unggul dan hebat luar biasa.
Serangan Hwi-siu-kang padri setengah baya ini bukan saja dapat dibuat
menyerang secara kekerasan, dapat pula diubah secara lebih lunak, tenaga
lunaknya malah jauh lebih bermanfaat karena sekaligus bisa untuk
merebut gaman yang dipakai. Sementara kekuatan kerasnya menggetar
putus urat nadi lawannya.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Murid-murid Siau-lim semua baik
dan alim, cuma wataknya saja yang rada berangasan." Mulut bicara,
sementara badannya sudah melambung tinggi ke udara bagai burung
bangau melejit naik ke angkasa. Di kala kata-kata terakhirnya habis
diucapkan, seenteng burung walet badannya sudah melesat empat tombak
jauhnya. Begitu kebutan lengannya mengenai tempat kosong, seketika tersirap
darah padri setengah baya ini, serunya: "Sicu, hebat benar Ginkangmu, tak
heran kau berani bertingkah dan mencari gara-gara di Siau-lim-si."
Serempak keempat padri bergerak dengan tangkas, masing-masing
bergerak menurut posisi masing-masing. Mereka sudah memperhitungkan,
betapa pun jauh lompatan Coh Liu-hiang, tentu badannya akan meluncur
turun dan pinjam wuwungan genteng untuk berpijak. Begitu kaki menyentuh
genteng, berarti orang sudah masuk ke dalam barisan keempat padri ini.
Di luar tahu mereka, kehebatan Ginkang Coh Liu-hiang justru lain dari
yang lain, ternyata badannya bisa meluncur terus tanpa mencari tempat
berpijak. Badannya laksana ikan dalam air, sekali meliuk dan melejit pula,
tahu-tahu badannya sudah melesat empat tombak pula ke depan dengan
kepala di bawah kaki di atas, langsung ia menukik turun dan menghilang di
bawah emperan yang gelap pekat. Terdengar suaranya berkumandang dari
kejauhan: "Cahye ke mari bukan untuk bertingkah. Setelah urusan
kuselesaikan, pasti aku akan menemui para taysu untuk mohon maaf
sebesar-besarnya." Keempat padri ini sama menjublek di tempat, rona muka mereka berubah
beberapa kali. Padri tertua itu bersuara dengan nada berat: "Hian-hoat segera memberi
kabar akan terjadi perubahan. Hian-thong dan Hian-biau, ikuti jejakku."
Sembari bicara, lekas ia menubruk ke arah datangnya suara Coh Liu-hiang.
Tapi bintang kelap-kelip di angkasa raya, angin malam menghembus sepoisepoi
menggerakkan dedaunan pohon, mana kelihatan bayangan Coh Liuhiang
lagi" Coh Liu-hiang maklum kalau saat sekarang dia minta bertemu dengan
Thian-hong Taysu, sekali-kali para padri Siau-lim ini takkan sudi membawa
dirinya. Kalau toh dijelaskan takkan menjadi beres, terpaksa ia main
terobos dan bertindak kasar.
Begitu bayangan tubuhnya menyusup ke tempat gelap, cepat sekali sudah
meluncur terbang pula ke depan, tidak menuju ke tempat lain, kembali dia
melesat balik ke wuwungan rumah yang paling tinggi di mana tadi dirinya
berpijak. Dilihatnya ketiga padri yang memburunya berkelebat lewat di bawah
emper rumah, siapa pun tiada yang menduga bahwa dia balik ke tempatnya
semula, maka melirik pun tidak ke arah sini.
Coh Liu-hiang menunggu kira kira beberapa menit, maka terdengarlah di
berbagai bangunan kelenteng yang luas dan besar ini suara ketukan Bokkhi
yang bersuara datar, rendah dan berat. Beruntun kelihatan bayangan
orang yang gesit dan tangkas berterbangan lompat dari satu wuwungan
dengan lincah sekali. Naga-naganya Siau-lim-si meski tempat yang aman tenteram, tapi betapa
cepat dan cekatan gerak-gerik mereka dalam menghadapi perubahan ini
serta kewaspadaan yang tinggi, sungguh tidak malu dipandang sebagai
tempat terlarang dan angker bagi kaum persilatan.
Dengan tertawa kecut Coh Liu-hiang membatin: "Maksudku supaya bisa
selekasnya berhadapan dengan Thian-hong Taysu, siapa tahu dengan
adanya keadaan serba tegang dan ribut ini mungkin tidak leluasa aku
bertindak." Teringat akan keadaan Thian-hong Taysu yang sungguh amat mendesak
dan berbahaya, mau tidak mau hatinya jadi bingung dan gelisah. Apa boleh
buat, sampai detik ini dia sendiri masih belum tahu di mana letak tempat
bersemayam Thian-hong Taysu.
Kini suara Bok-khi sudah berhenti, suasana kelenteng kuno yang angker ini
semakin hening lelap dan seram menakutkan.
Tapi terasa oleh Coh Liu-hiang suasana hening dan ketenangan yang luar
biasa ini justru lebih berbahaya bagi dirinya. Kelenteng yang kelihatan
dilingkupi ketenangan ini bahwasanya tersembunyi suatu mara bahaya yang
hebat dan mengancam jiwa.
Namun tiada tempo buat dia untuk banyak berpikir. Sekilas ia pejamkan
mata berpikir sebentar, mendadak ia menerjang keluar dari tempat gelap
dan melesat ke sebuah wuwungan kelenteng di seberang sana.
Pakaiannya melambai melawan angin, badannya sudah melambung tinggi,
seluruh bangunan kelenteng Siau-lim-si seolah-olah berada di bawah
kakinya. Betul juga, jejaknya seketika kelihatan oleh orang di bawah.
Tampak bayangan orang mulai bergerak, berkelebat secepat kilat, dari
pekarangan luas di berbagai tempat di bawah sana langsung menubruk ke
suatu arah yang sama, cuma pekarangan kecil di sebelah barat sana sedikit
pun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tanpa menunggu kedatangan mereka, cepat Coh Liu-hiang melesat ke arah
sana, serunya sambil tertawa panjang, "Cang-king-kek, perpustakaan Siaulim
terkenal di seluruh jagat, para Taysu apakah boleh pinjamkan kepadaku
untuk kubaca sekedarnya?"
Begitu lenyap suara tawanya, cepat sekali luncuran badannya membelok
arah, tidak ke arah selatan, malah menuju ke beberapa gerombolan pohonpohon
besar yang rimbun dengan dedaunannya, ke sana ia melesat dan
menyembunyikan diri. Terdengar sahut-menyahut di bawah sana berkata:
"Ternyata benar orang tu hendak menyatroni ke Cang-king-kek."
"Awas, hati-hati! Perhatikan Cang-king-kek!"
Kekayaan buku-buku agama yang tersimpan di Siau-lim-si memang
menjagoi di seluruh dunia. Orang-orang yang menyerempet bahaya
menyelundup masuk ke Siau-lim memang kebanyakan bertujuan mencuri
kitab-kitab pelajaran silat, agama dan lwekang dan buku macam lainnya
yang tak terhitung banyaknya, rata rata buku pusaka yang tak ternilai
harganya. Para padri Siau-lim sudah tentu sama menyangka Coh Liu-hiang
meluruk datang hendak mengincar sesuatu di Cang-king-kek, siapa pula
yang tahu dan sadar bahwa dia sengaja memancing mereka bersuara di
timur menggempur di barat, sengaja ia main petak umpet secara lihai.
Tampak bayangan orang berkelebat dan berlari-lari menuju ke timur,
cepat sekali Coh Liu-hiang sudah meluncur ke arah barat, arah yang
berlawanan. Kali ini dia tidak meluncur di atas genteng, tapi menyusuri serambi
panjang dari bangunan-bangunan megah itu. Di balik bayang-bayang
pepohonan, semua kamar-kamar yang dilalui tiada kelihatan sorot api. Di
antara keresekan bunyi dedaunan pohon, sayup-sayup terdengar tembang
mantra yang mengalun lirih.
Pekarangan nan sepi tak kelihatan bayangan manusia, terasa dilingkupi
suasana kesunyian yang tak terkendalikan. Kehidupan para padri di dalam
kelenteng kuno yang serba sunyi ini, entah bagaimana mereka melewatkan
hari demi hari dalam kehidupan yang tawar ini.
Tanpa berlambat-lambat lagi Coh Liu-hiang terus beranjak maju,
sementara dalam hati diam-diam ia menghela napas. Bagi orang-orang yang
tahan hidup dalam kesunyian ini, betapa pun dalam hati ia menaruh hormat
dan salut setinggi-tingginya.
Soalnya Coh Liu-hiang cukup prihatin, dia sendiri pernah mengalami, tiada
sesuatu kesunyian di dalam kehidupan duniawi seperti ini yang bisa
ditahan. Begitulah, dengan tindakan cepat, dari satu bangunan ke bangunan lain,
dari pekarangan sini lewat ke pekarangan yang satunya pula, serambi sini,
membelok ke sana, kamar-kamar yang dilewati semua gelap gulita. Lantai
papan batu hijau yang kelihatan mengkilap tersorot sinar bintang-bintang
di langit, sepetak demi sepetak meluncur mundur pesat sekali.
Sekonyong-konyong didengarnya suara bentakan yang berat: "Sicu harap
berhenti!" Segulung tenaga pukulan yang membawa deru angin amat dahsyat tahutahu
sudah merangsek tiba ke mukanya.
Coh Liu-hiang kertak gigi, tidak berkelit tidak menyingkir, ia pun tidak
balas menyerang. Dengan kekerasan kulit dagingnya, ia mandah digenjot
oleh sejurus Pek-poh-sin-kun (Pukulan Sakti dari Ratusan Langkah) yang
cukup ampuh untuk menghancurkan batu gunung sekalipun.
Tampak badannya bagai dilanda gelombang pasang yang dahsyat sehingga
badannya terpental terbang ke belakang.
Padri beralis putih berjenggot panjang di hadapannya agaknya merasa di
luar dugaan bahwa dengan sekali pukulannya dengan telak merobohkan
lawan. Tapi terasa pandangannya serasa kabur, pemuda yang digenjotnya
terpental terbang itu tahu-tahu melejit bangun dan terbang kembali ke
hadapannya, malah berseri tawa lagi. Bukan saja gerak-geriknya cekatan
dan enteng, pergi datang seperti kilat, lebih hebat lagi bahwa pukulan
sakti dengan jurus Khek-san-bak-gu (Dari Balik Gunung Memukul Kerbau)
dari Siau-lim ternyata sedikit pun tidak melukai anak muda ini.
Keruan si Taysu pengawas gereja yang punya latihan silat puluhan tahun
dengan keyakinan lwekangnya yang tiada taranya seketika melongo dan
menjublek di tempatnya. Dengan mendelong ia mengawasi Coh Liu-hiang,
sesaat lamanya tak kuasa bersuara.
Coh Liu-hiang sengaja mandah terpukul, tujuannya memang hendak bikin si
padri terkesima dan sementara tak bersuara membuat kaget orang lain.
Kalau tidak, betapapun raganya bukan dibuat dari baja, memangnya ia kuat
bertahan dari pukulan beruntun yang sudah cukup membuatnya kapok ini"
Akhirnya si padri berkata dengan pelan-pelan: "Sicu memiliki ilmu silat
setinggi ini, Loceng belum pernah menghadapinya, entah dapatkah Sicu
memperkenalkan diri?"
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Kalau Cahye perkenalkan namaku,
mungkin Taysu akan sangka kedatanganku ini hendak mencuri buku pusaka
di sini." Padri alis putih berkata: "Kalau Sicu hendak mencuri sesuatu di sini,
pastilah kau tidak akan datang ke tempat ini."
Coh Liu-hiang tertawa, terpaksa ia perkenalkan diri: "Cahye Coh Liuhiang!"
Mencelos hati si padri alis putih, serunya tertahan: "Apakah Maling
Romantis Coh Liu-hiang?"
Coh Liu-hiang mengelus hidung, sahutnya tertawa: "Taysu jauh berpisah
dengan duniawi, tak nyana ternyata tahu juga julukan busuk Cayhe yang
memalukan itu?" Roman muka si padri yang semula tegang dan membesi sekarang kelihatan
mengendor dan unjuk rasa gembira. Sorot matanya yang berkilat dingin
kini terunjuk senyuman riang pula, katanya kalem: "Walau Loceng sudah
lama terasing dari keramaian diunia persilatan tapi aku punya seorang Sute
yang punya pengalaman luas dan pergaulan bebas. Setiap kali dia datang ke
mari, tentu dia bercerita banyak persoalan lucu-lucu, aneh dan kisah yang
menarik. Demikian juga kebesaran serta kepahlawanan Coh Liu-hiang yang
perwira, merupakan kisah-kisah petualangan yang menarik di antara
cerita-cerita yang kudengar."
"Orang yang Taysu maksudkan apakah Bu Hoa?" tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum, ujarnya; "Selama ratusan tahun ini, murid
Siau-lim yang punya pergaulan dan pengalaman luas seperti itu hanya dia
seorang." "Dia....apakah sekarang dia berada di sini?" tanya Coh Liu-hiang tak sabar.
"Kedatangan Sicu apakah hendak mencari dia?"
"Maksud utama kedatangan Cayhe sebetulnya hendak mohon bertemu
dengan Thian-hong Taysu."
"Ciangbun-suheng sudah lama tidak menerima tamu orang luar, tapi
terhadap Coh-sicu tentunya dia masih suka menerimanya, cuma sayang
kedatangan Sicu sekarang kurang kebetulan."
"Apakah Thian-hong Taysu sudah..." tanya Coh Liu-hiang gugup.
Padri alis putih tersenyum lebar, katanya: "Ciangbun-suheng sudah bebas
dari segala kesulitan pikiran yang mengganggu kehidupan manusia pada
umumnya, kini hanya punya hobi suka menikmati berbagai macam dedaunan
teh, sejak kedatangannya dulu sampai sekarang kesenangannya belum
pernah luntur dan berubah. Sekarang dia sedang melihat daun teh, siapa
pun dilarang mengganggunya."
Coh Liu-hiang menghela napas lega, katanya tertawa lebar berseri:
"Jikalau Thian-hong sedang menikmati teh dengan penilaiannya seorang
diri, sekali-kali Cayhe tidak berani mengganggu dan tidak segugup ini,
cukup asal aku bisa bertemu lebih dulu dengan Bu Hoa Suheng juga sama
sajalah." "Kalau kedatangan Sicu kebetulan tidak bisa berhadapan dengan
Ciangbun-suheng, maka jangan harap kau bisa bertemu dengan Bu Hoa
pula." "Kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.
Padri alis putih tersenyum pula, ujarnya: "Murid Siau-lim kami yang pandai
dan pernah menikmati serta menilai kenikmatan teh dari Tang-ni juga
cuma Bu Hoa seorang. Asal dia datang ke mari, tugas pertama yang dia
lakukan ialah menggodok wedang menyeduh teh bagi Ciangbun-suheng."
Seketika berubah hebat air muka Coh Ling-hiang, jeritnya: "Jadi Bu Hoa
sekarang sedang bantu Thian-hong Taysu menggodok wedang menyeduh
teh?" Padri alis putih manggut-manggut, sahutnya tertawa: "Kalau Coh-sicu ingin
bertemu dengan mereka, mungkin harus tunggu sampai besok pagi."
Boleh dikata saking gugupnya Coh Liu-hiang sudah hampir gila, namaun
akhirnya dia bisa berlaku tenang, katanya: "Apakah di pekarangan belakang
sana tempat mereka menikmati air teh?"
"Betul!" sahut padri alis putih manggut.
Tiba-tiba Coh-Liu-hiang menuding ke belakang padri alis putih, katanya:
"Tapi yang mendatangi di belakang Taysu itu bukankah Bu Hoa?"
"Di mana?" tanya padri alis putih sambil berpaling.
Begitu dia berpaling, di belakangnya kosong melompong tak terlihat
bayangan seorang pun. Waktu ia berpaling ke muka pula, Coh-Liu-hiang di
hadapannya tahu-tahu sudah lenyap tak karuan perannya.
Begitu kepala gundul si padri berpaling, badan Coh Liu-hiang lantas
menerjang terbang ke sana. Luncuran tubuhnya ini sudah ia kerahkan
seluruh kekuatannya. Sebelumnya dia sudah incar dan siapkan tempat
injakan kakinya. Begitu ujung kaki menutul bumi, kembali badannya melesat
empat tombak. Belum lagi padri alis putih sempat berpaling, bayangannya
sudah berkelebat puluhan tombak jauhnya. Ginkang Coh Liu-hiang yang
tiada bandingannya di seluruh jagat, setelah dikembangkan di saat yang
teramat genting ini, tempo kecepatannya sungguh luar biasa. Menunggu
kepala si padri berpaling pula, bayangannya sudah menyelinap ke pinggir
pagar tembok yang lebih rendah di belakang sana.
Di belakang pagar tembok yang rendah ini, terdapat sebuah pekarangan
kecil pula, rumput dan pepohonan kembang tumbuh subur dan terawat baik
di sini. Di tengah rumpun bambu di sebelah kiri sana, terdapat tiga
bilangan gubuk pintu terbuka dengan kerai bambu menjuntai turun. Dari
sela-sela kerai yang lembut memandang ke dalam, samar-samar kelihatan
dua sosok bayangan orang sedang duduk bersimpuh berhadapan di atas
lantai. Suasana di sini sunyi senyap, angin menghembus dedaunan, bayangan orang
di atas kerai jadi bergerak-gerak turun naik, seolah-olah mereka berdua
sedang berada di khayangan.
Orang di sebelah kanan terang adalah Bu Hoa.
Sebuah anglo kecil yang terbuat dari tanah merah berada di depannya.
Selain sebuah ceret tembaga dan sebilah kipas, terdapat pula seperangkat
peralatan minuman teh yang amat bagus. Saat itu, tiga buah mangkok kecil
sebesar cangkir arak sudah sama diisi penuh air teh, serangkum bau teh
yang semerbak terendus keluar dari celah-celah kerai bambu, ditambah
bebauan kuntum kembang harumnya sungguh memabukkan.
Yang duduk di hadapan Bu Hoa adalah seorang padri tua yang lanjut usia
dengan badan kurus kering, jenggot dan alisnya sudah memutih. Saat itu


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia sedang menerima secangkir air teh dari tangan Bu Hoa. Sambil
pejamkan mata, pelan-pelan ia angkat cangkir teh itu ke dekat mulutnya
hendak ditenggaknya habis.
Sekonyong-konyong Coh Liu-hiang membentak keras. Secepat anak panah
ia menerjang masuk ke balik kerai bambu seraya berseru: "Air teh ini tak
boleh diminum!" Begitu melihat dirinya, seketika berubah roman muka Bu Hoa, tapi cepat
sekali sikapnya sudah tenang kembali.
Sebaliknya kulit daging di ujung mulut Thian-hong Taysu sedikit bergerak
pun tidak. Naga-naganya, andaikan dunia kiamat dan langit jatuh di
hadapannya, roman mukanya pun takkan berubah atau terkejut.
Namun dengan kalem ia meletakkan cangkir tehnya, pelan-pelan pula
membuka matanya yang terpejam.
Dipandang oleh sorot mata yang tajam ini, Coh Liu-hiang sendiri merasa
rikuh dan serba salah malah.
KENANGAN MASA LALU Berkata Thian-hong Taysu tawar: "Sicu ke mari main terjang secara
gegabah, apakah tidak merasa terlalu kasar?"
Lekas Coh Liu-hiang menjura, sahutnya, "Cahye terlalu terburu nafsu,
harap Taysu suka maafkan kekasaran Cayhe!"
Sesaat lamanya Thian-hong menatapnya lekat-lekat, katanya pula kalem:
"Selama duapuluh tahun ini, yang bisa menerjang masuk ke mari sepanjang
jalan ini, Sicu merupakan orang pertama. Kalau kau mampu ke mari,
tentulah bukan orang sembarangan. Silakan duduk dan minum teh dulu,
bagaimana?" Padri agung dari Siau-lim ini ternyata latihannya sudah mencapai puncak
kesempurnaannya, sedikit pun tidak timbul amarahnya karena
ketenangannya terganggu, mau tidak mau Coh Liu-hiang merasa kagum dan
memuji dalam hati. Bu Hoa ikut tersenyum, timbrungnya: "Benar, kalau toh Coh-heng sudah ke
mari, kenapa tidak duduk dulu minum secangkir teh untuk menghilangkan
lelah di tengah jalan."
Thian-hong Taysu tertawa tawar, katanya: "Ternyata Coh-sicu adanya, tak
heran Ginkangmu begitu tinggi, dalam dunia ini tiada orang kedua yang bisa
menandingi." "Tidak berani!" sahut Coh Liu-hiang merendahkan diri.
Berkata Thian-hong Taysu tertawa: "Walau sudah lama Lo-ceng terpisah
dari urusan duniawi, tapi bisa berhadapan dengan kegagahan dan
kehebatan tunas muda jaman ini, sungguh hatiku teramat gembira. Kuilku
yang bobrok ini tiada arak untuk menyambut kedatanganmu, silahkan Cohsicu
minum teh saja." Kembali ia angkat cangkir teh pula.
Lekas Coh Liu-hiang berseru mencegahnya lagi: "Teh ini tidak boleh
diminum." "Walau air teh ini belum termasuk minuman dewata, sudah terhitung
kualitas pilihan juga, kenapa tidak boleh diminum?"
Sekilas mengerling kepada Bu Hoa, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: "Cayhe terima titipan seorang sahabat, kini kubawakan daun teh
yang terbaru dan pasti luar biasa rasanya, dan lagi Cayhe yakin benar
mengenai penilaian kualitas air teh ini Cayhe pun cukup ahli. Masakan Taysu
tidak sudi mencicipinya lebih dulu?"
Seketika terbuka seri tawa Thian-hong Taysu, katanya senang: "Kalau
demikian, biarlah Lo-ceng tunda minum yang ini dan rasakan dulu teh yang
kau bawa." Padri tua yang sudah mencapai puncak kesempurnaan latihan Lwekang dan
silatnya ini, menghadapi persoalan apa pun takkan tergoyahkan imannya,
tapi mendengar adanya seduhan air teh dari seorang ahli, seketika tak
terkendali rasa senangnya.
Dalam hati Bu Hoa teramat gusar, namun sikap dan mimik wajahnya
sedikit pun tidak pernah menampilkan perasan hatinya. Ternyata ia pun
tersenyum, katanya: "Tak nyana Coh-heng pun punya kegemaran ini. Bagus,
sungguh bagus!" Segera ia bangkit berdiri, tempat menyeduh teh ia berikan pada Coh Liuhiang,
sedang beberapa cangkir teh yang sudah dia seduh tadi semuanya
dia buang keluar perkarangan.
Coh Liu-hiang memandangnya sekali, katanya tertawa: "Air yang begitu
berharga dibuang begitu saja, apa tidak sayang?"
Dia tidak mengatakan 'teh' namun menyebut "air", cuma saja tidak secara
langsung ia menyebut nama Thian-it-sin-cui. Namun sikap Bu Hoa tetap
tenang dan wajar, sahutnya tertawa: "Air hasil saringan dari cairan salju
murni ini memang cukup berharga, namun simpanan dalam kuil kami tidak
sedikit jumlahnya. Coh-heng kalau punya hasrat boleh nanti bawa
segentong kalau mau pulang!"
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, dengan laku hormat ia
bersimpuh dan mulai membuat api menggodok wedang.
Tiba-tiba Thian-hong Taysu tertawa tawar, katanya: "Sekarang airnya
belum matang, Coh-sicu berkesempatan mengutarakan maksud
kedatanganmu. Menghadapi teh kualitas paling baik adalah pada saat-saat
hati Lo-ceng paling riang. Jikalau Coh-sicu ada persoalan yang perlu
dibicarakan, kinilah saatnya yang terbaik."
Mendadak terasa oleh Coh Liu-hiang senyum dikulum padri tua kosen yang
tawar ini hakikatnya mengandung kecerdasan luar biasa yang tak terukur
tingginya. Sorot mata yang tenang dan kalem ini seolah-olah bisa main
selidik akan isi hati seseorang yang dipandangnya.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Kedatangan
Wanpwe hanya ingin mohon Taysu suka mendongeng."
"Mendongeng?" Thian-hong Taysu rada mengerutkan kening.
"Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pendekar samurai bernama Thianhongcap-si-long yang datang dari negeri seberang. Beliau pernah
menantang bertanding kepandaian silat dengan para tokoh-tokoh silat
kosen dari Tionggoan, satu di antaranya adalah Jin-lopangcu dari Kaypang,
seorang yang lain entah apa benar Taysu adanya?"
Lama Thian-hong Taysu berdiam diri, entah sedang menepekur, baru
akhirnya ia tarik napas panjang, katanya prihatin: "Peristiwa dua puluh
tahun yang sudah lalu, Lo-ceng sudah hampir melupakannya,tak nyana hari
ini Sicu menyinggung pula peristiwa itu... Benar, orang kedua yang Sicu
maksudkan memang Lo-ceng adanya."
Bersinar biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Thian-hong-cap-si-long
menyeberangi lautan untuk menantang bertanding, namun tiada minatnya
untuk mencapai kemenangan dan tidak mencari ketenaran, sebaliknya
malah pasrah nasib dan terima binasa demikian saja. Kalau rabaan Wanpwe
tidak meleset, apakah dia membekal sesuatu urusan hati yang
menyedihkan?" Kembali Thian-hong Taysu menepekur sekian lamanya, sahutnya pelanpelan
: "Rabaanmu tidak meleset, memang dia punya urusan yang
menyedihkan." "Jikalau Taysu sudi menjelaskan, sungguh tak terhingga rasa terima kasih
Wanpwe!" Coh Liu-hiang mohon setulus hati.
Berkilat tajam mata Thian-hong Taysu. Lama ia tatap Coh Liu-hiang,
katanya menghela napas. "Pengalaman lalu laksana asap mega, sebetulnya
Lo-ceng tidak mau menyinggungnya pula. Tapi Sicu datang dari tempat nan
jauh, maksudnya hanya ingin tahu seluk-beluk peristiwa itu, dalam hal ini
persoalan satu sama lain yang bersangkut-paut tentu amat besar artinya."
Coh Liu-hiang mengangguk, ujarnya: "Taysu bijaksana dan tahu betapa
pentingnya urusan ini. Wanpwe tidak akan menyimpan rahasia persoalan ini,
sangkut-paut urusan ini memang amat penting dan besar artinya, tapi
Wanpwe boleh berjanji dan bersumpah bahwa Wanpwe bersusah payah
hendak membikin terang peristiwa misterius ini sekali-kali bukan demi
kepentingan pribadi atau hendak mencari ketenaran, terutama bukan
untuk maksud kejahatan."
Thian-hong Taysu tertawa tawar, ujarnya: "Kalau Sicu punya maksud jahat
dan tujuan pribadi, mana mungkin bisa duduk di tempatku ini?"
Bergetar jantung Coh Liu-hiang, lekas dia membungkuk hormat dan
berkata: "terima kasih akan kebijaksanaan Taysu dan sukalah
memeriksanya." Thian-hong Taysu pejamkan kelopak matanya, katanya pelan-pelan:
"Thian-hong-cap-si-long teguh hati dan perkasa sekali. Sedemikian besar
hobinya akan ilmu silat, namun sayang dia pun seorang yang terlalu
romantis. Dua puluh tahun lebih yang lalu, Hoa-san dan Ui-san dua keluarga
besar persilatan terjadi bentrokan hebat sehingga pertarungan
berlangsung sampai bertahun-tahun, dengan akibat yang amat fatal bagi
kedua belah pihak. Terutama pihak Ui-san, akhirnya mengalami kekalahan
total dan habis-habisan, terakhir yang masih bertahan hidup tinggal Li Ki
seorang." Tak tahan Coh Liu-hiang bertanya: "Apa sangkut-pautnya peristiwa ini
dengan Thian-hong-cap-si-long?"
Tutur Thian-hong Taysu lebih lanjut tanpa hiraukan pertanyaan Coh Liuhiang:
"Demi menyelamatkan diri, nona Li Ki naik kapal dagang ikut
berlayar ke negeri seberang, yaitu Hu-siang. Waktu itu dia sendiri pun
terluka dalam yang cukup parah, ditambah kehidupan di atas lautan yang
serba kekurangan, setiba di Hu-siang-to maka penyakitnya sudah teramat
parah dan sukar disembuhkan lagi."
"Apakah nona Li Ki ini akhirnya bertemu dengan Thian-hong-cap-si-long di
Hu-siang-to itu?" tanya Coh Liu-hiang pula.
Thian-hong menghela napas, katanya: "Begitulah kejadiannya. Diam-diam
sejak melihat pertama kalinya, Thian-hong-cap-si-long pun jatuh cinta
kepadanya, sampai beberapa hari tidak bisa tidur tidak enak makan.
Dengan segala jerih payah dan usahanya, lambat laun ia mengobati dan
menyembuhkan nona Li. Sudah tentu mau tidak mau nona Li teramat haru
dan merasa hutang budi akan ketelitian rawatannya yang begitu telaten.
Hari keempat setelah luka-lukannya sembuh, lantas dia menjadi suami
isteri dengan Thian-hong-cap-si-long."
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Perjodohan ditentukan takdir dan
kehendak Thian. Akad nikah terjadi di luar lautan, benar-benar merupakan
suatu legenda yang menawan hati."
"Cuma sayang kehidupan yang mereka kecap bersama tidak terlalu
panjang. Setelah nona Li melahirkan dua orang putera Thian-hong-cap-silong,
suatu ketika mendadak dia tinggal pergi tanpa pamit, hanya
meninggalkan sepucuk surat."
Coh-Liu-hiang terperanjat, jeritnya: "Masakah dia kembali ke Tiong-toh
pula?" "Meski hal itu belum berani dipastikan lagi, kejadian tentu seperti
terkaanmu, karena tidak lama setelah nona Li meninggalkan Thian-hongcapsi-long, empat orang dari Hoa-san-cit-kiam yang masih ketinggalan
hidup mendadak semua menemui ajalnya secara mengenaskan. Banyak
tersiar kabar simpang siur di kalangan Kang ouw. Katanya, nona Li Ki, satusatunva
keluarga yang masih hidup dari warga Ui-san-pay, pulang menuntut
balas bagi kematian ayah dan para saudaranva."
Coh Liu-hiang menepekur, katanva kemudian: "Kalau demikian, pada waktu
di Hu-siang to tentu nona Li ini pernah mempelajari semacam ilmu
kepandaian silat yang tiada taranya, atau mungkin pula hasil pelajaran dari
Thian-hong-cap-si-long!"
"Dalam hal ini terkaanmu tidak seluruhnya benar," ujar Thian-hong Taysu.
"Sekali-kali Thian-hong-cap-si-long tidak pernah mengajarkan sejurus ilmu
silat kepadanya. Dia pasti pernah menemukan sesuatu keajaiban yang
besar artinya. Mengenai rejeki besar apa yang dia pernah peroleh, hal itu
dia rahasiakan dan mengelabui Thian-hong-cap-si-long pula."
"Benar, penemuan nona Li itu pastilah amat luar biasa anehnya. Kalau tidak
di dalam jangka waktu yang begitu pendek, ilmu silatnya takkan mungkin
bisa maju berlipat ganda tingginya, sekaligus ia berhasil membunuh Hoasansu-kiam..... Tapi setelah ia berhasil menuntut balas, apakah dia tidak
kembali ke Tang-ni untuk menengok dan mengasuh pula kedua putranya?"
"Tidak," sahut Thian-hong Taysu. "Waktu itu putranya yang kecil masih
merupakan orok kecil yang memerlukan air tetek ibunya. Betapa pedih dan
marah Thian-hong-cap-si-long waktu itu, maka ia cepat-cepat berlayar
pulang ke Tiong-toh dengan membawa kedua anaknya itu untuk mencari
ibunya." "Apakah dalam kalangan Kangouw wakiu itu tiada mendengar kabar
beritanya nona Li itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Justru di situlah letak keanehannya," ujar Thian-hong Taysu. "Setelah
nona Li itu melakukan peristiwa besar yang mengejutkan langit
menggetarkan bumi itu, ternyata lantas menghilang entah menyembunyikan
diri di mana, seolah-olah ia menghilang dari permukaan bumi ini. Dengan
susah payah Thian-hong-cap-si-long mencarinya selama setahun lebih
tanpa hasil, akhirnya dia putus asa.... Waktu itulah baru dia datang ke
mari." "Jadi, begitu tiba di Tiong-toh, dia tidak lantas menantang bertanding
dengan Taysu?" Coh Liu-hiang menegas.
Thian-hong Taysu menarik napas panjang, ujarnya: "Dia mendesak dan
ribut kepadaku menantang bertanding, aku berkukuh menampiknya.
Belakangan, saking kewalahan, dia main kasar dan membakar Cang-kingkek.
Aku terdesak dan apa boleh buat, terpaksa kuterima tantangannya
untuk mengadu tiga kali pukulan tapak tangan. Siapa tahu... siapa tahu
waktu aku lancarkan pukulan yang ketiga, ternyata dia tidak berkelit dan
tidak menyingkir, tidak lantas menyerang atau melawan pula, karena tak
sempat menarik kembali, sehingga dia terluka parah."
Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya: "Ternyata tidak meleset terkaan
Wanpwe. Waktu itu dia sudah putus asa dan dingin perasaannya, tiada
niatnya hidup lebih lama pula, maka dia pikir hendak menyerahkan kedua
putranya kepada dua orang yang cocok dipasrahi, maka tanpa tanggungtanggung
sengaja dia terima dilukai oleh Thian-hong Taysu."
Tutur Thian-hong Taysu lebih lanjut dengan rawan: "Setelah aku
melukainya, segera kupapah dia masuk ke tempat semediku. Siapa tahu, di
saat aku mengambil obat, tahu-tahu dia sudah pergi tanpa pamit, hanya
meninggalkan sepucuk surat. Dibeberkannya pengalaman hidupnya, minta
pula kepadaku supaya mau menerima putra sulungnya serta mendidiknya.
Waktu aku menyusul ke tempat yang dia tunjuk dalam suratnya, pikirku
hendak mengembalikan putra sulungnya itu, ternyata di tempat itu aku
bertemu dengan Jin-lopangcu, barulah aku tahu bahwa dia sudah menemui
ajal di tangan Jin-lopangcu."
Cerita panjang yang merupakan tragedi yang menyedihkan ini dituturkan
oleh seorang padri tua dengan tenang dan mantap bagaikan sang Budha,
lebih terasa merasuk dan mengundang kepiluan yang menyesakkan napas
dan misterius. Sejak tadi Bu Hoa duduk dengan tenang di tempatnya, sekalipun tidak
kentara perubahan mimik mukanya. Thian-hong Taysu dan Coh Liu-hiang
sejak tadi pun tak berpaling kepadanya, seolah-olah tiada kehadirannya di
tempat itu. Seolah-olah seorang yang berada di luar lingkungan dan persoalan yang
dibicarakan sedikit pun tiada sangkut paut dengan dirinya, cerita
memilukan yang dikisahkan Thian-hong Taysu itu seperti tidak pernah
mengetuk sanubarinya. Sesaat keheningan melingkupi ruang semedi yang kecil ini, disusul suara
air bergolak memecah kesunyian.
Dengan laku hati-hati dan pelan-pelan Coh Liu-hiang mulai menyeduh daun
teh yang dia bawa. Bab 16 Keterangan: Diambil dari 1/2 bagian jilid 12 Pendekar Pengejar Nyawa
dihttp://www.langka.info atas ijin bung bagusetia sebagai admin-nya.
Kontributor: budiwibowo, monica
----------------------------------Setiap gerak-gerik tangannya sedemikian hati-hati, waspada dan tepat,
memang dia sedang pinjam gerakan yang lambat dan mantap ini untuk
menekan dan mencuci bersih pikiran batinnya yang sedang kalut dan risau.
Lalu dengan kedua tapak tangannya ia bimbing secangkir air teh yang
masih panas mengepul itu dan diangsurkan ke hadapan Thian-hong Taysu
dengan laku hormat, katanya dengan suara berat, "Terima kasih, Taysu!"
Dengan kedua tangannya pula Thian-hong Taysu menerima cangkir teh itu,
katanya kalem, "Peristiwa dulu serta urusan yang ingin kau ketahui, kini
sudah tahu belum?" Coh Liu-hiang mengiakan sambil manggut-manggut.


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hong Taysu tertawa tawar, ujarnya, "Bagus sekali, apa yang dapat
Lo-ceng uraikan ya hanya sebegitu saja!"
Ternyata dia tidak tanya kepada Coh Liu-hiang untuk apa dia ingin tahu
peristiwa masa lalu yang terpendam ini. Mulailah dia menghirup air teh itu
dengan laku yang penuh perhatian dan nikmat sekali. Sekilas itu raut
mukanya yang semula kelihatan serius dan angker seketika mengendur dan
luluh. Nampak sorot matanya yang mengandung kepedihan itu tampak
semakin tebal, maka mulailah dia pejamkan kelopak matanya pelan-pelan,
gumamnya, "Secangkir air teh ini memang jauh lebih nikmat dan baik
kualitasnya dari air teh yang terdahulu tadi."
Lama Coh Liu-hiang mengawasi raut mukanya serta gerak-geriknya dengan
segala perhatiannya, sungguh tak teraba olehnya bahwasanya padri tua
yang punya kedudukan luar biasa ini entah berapa banyak mengetahui
seluk-beluk persoalan yang dia hadapi, tak tertahan ia bertanya, "Apa
tiada sesuatu yang Taysu hendak tanyakan kepada Cayhe?"
Sesaat Thian-hong taysu diam saja, katanya tawar, "Apakah Jin-lopangcu
sudah wafat?" Matanya tidak terbuka, seolah-olah pertanyaan ini ia ajukan sambil lalu
saja. Sebaliknya Coh Liu-hiang menghela nafas panjang, cepat ia mengiakan.
Kembali ia suguhkan secangkir air teh yang sama, katanya, "Apa yang ingin
Taysu ketahui, sekarang tentunya sudah jelas seluruhnya."
Thian-hong Taysu hanya manggut-manggut tanpa bersuara lagi.
Perlahan-lahan Coh Liu-hiang bangkit berdiri, katanya, "Entah bisakah
Taysu memberi ijin supaya Wanpwe berbicara beberapa patah kata dengan
Bu Hoa Suheng?" Sahut Thian-hong Taysu pelan-pelan, "Persoalan yang perlu dibicarakan
memang perlu dikatakan. Pergilah kalian!"
Baru sekarang Bu Hoa bangkit berdiri. Sikap dan tindak-tanduknya
kelihatan masih sedemikian adem-ayem dan seperti tidak terjadi apa-apa.
Dengan hormat ia menjura kepada Thian-hong Taysu, tanpa bersuara diamdiam
ia mengundurkan diri. Sepatah kata pun ia tak bersuara.
Waktu badannya sudah hampir mundur keluar dari kerai bambu, Thianhong
Taysu mendadak pentang mata memandangnya sekilas. Arti yang
terkandung dalam sorot matanya kelihatannya amat ruwet dan tak dapat
dibedakan. Tapi sepatah kata pun dia tak bicara lagi.
*** Malam sudah larut. Jalan di belakang gunung sini amat sempit dan memanjang berliku-liku. Di
bawah penerangan sinar bintang-bintang kecil, membayangi dedaunan
pohon di kedua pinggir jalan, seluruh alam semesta seolah-olah sudah
tenggelam dalam suasana kepedihan nan dingin dan kabut yang tebal.
Coh Liu-hiang sedang beranjak adu pundak dengan Bu Hoa di jalanan
sempit dan berliku-liku itu. Sampai detik ini mereka pun tiada yang
bersuara lebih dulu. Begitu sunyi senyap laksana dalam neraka pegunungan
yang gelap gulita ini. Akhirnya Bu Hoa unjuk senyuman, katanya, "Meskipun kau tidak langsung
membongkar kedokku, tapi aku tidak menaruh hormat padamu. Itulah
karena kau kuatir Thian-hong Taysu bersedih hati saja, benar tidak?"
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya, "Menurut pendapatmu, kecuali itu,
tiada sebab lainnya" Umpama persahabatan kita berdua!"
"Persahabatan kita, sampai sekarang yang masih ketinggalan tidak lebih
besar dari kerikil yang menyusup masuk ke dalam mata belaka."
"Benar," ujar Coh Liu-hiang. "Kalau mata kelilipan kerikil, air mata pasti
bercucuran." "Tiada halangannya sekarang kau beritahu kepadaku," pinta Bu Hoa.
"Sebetulnya berapa banyak persoalan yang sudah kau ketahui?"
Pelan-pelan Coh Liu-hiang menjawab, "Sudah banyak persoalan yang
kuketahui, namun masih banyak pula yang belum kuketahui."
"Apa saja yang sudah kau ketahui?" tanya Bu Hoa tersenyum. "Apa-apa
pula yang masih belum kau ketahui dan pahami?"
"Aku sudah tahu kau adalah putra sulung Thian-hong-cap-si-long itu,
saudara atau engkoh Lamkiong Ling, tapi dari mana pula kau bisa tahu
bahwa Lamkiong Ling adalah adikmu" Terang Thian-hong Taysu takkan
pernah memberitahukan kepadamu."
"Sebab ini sebetulnya kau bisa merabanya," sahut Bu Hoa. "Waktu ayahku
almarhum meninggal, aku sudah berumur tujuh tahun. Memang ada kalanya
aku tidak tahu urusan, tapi sedikit banyak mungkin sudah bisa
membedakan sesuatu urusan yang cukup banyak pula, dan yang penting
selamanya aku takkan melupakan kejadian-kejadian yang kuketahui itu."
"Apa yang kau ketahui mungkin terlalu banyak," kata Coh Liu-hiang.
"Tentunya kau pun sudah tahu. Thian-it-sin-cui, akulah yang mencurinya."
"Tidak salah," sahut Coh Liu-hiang menyengir kecut. "Walau Sin-cui-kiong
melarang semua laki-laki keluar masuk, tapi seorang beribadah yang alim
dan beriman tinggi tentulah di luar batas larangan itu.
Dalam pandangan manusia umumnya, biasanya mereka pandang orang-orang
beribadah atau Hwesio bukan sebagai laki-laki sejati. Bahwasanya di
antara seluk-beluk persoalan ini bukan mustahil bakal terjadi suatu
kelemahan dalam penyakit pandangan atau penilaian, sayang sekali dan
kasihan nona romantis yang masih hijau itu, akhirnya dia harus gugur dan
berkorban demi kau...."
Bu Hoa tetap tersenyum, katanya, "Seorang perempuan yang belum
pernah sentuh badan dengan laki-laki, selalu takkan kuat dipelet atau
dibujuk rayu. Kalau toh dia sendiri merasa rela dan tenteram dalam
menghadapi kematiannya, kenapa pula kau harus merasa sayang bagi
dirinya?" Coh Liu-hiang menatapnya nanar, sekian lama baru katanya, "Kau ini
memang orang yang aneh. Betapa pun perbuatan kotor, rendah, serta kata
hina dan jahat, bila keluar dari mulutmu, kau bisa menyetirnya sedemikian
halus dan lembut, menggunakan nada yang paling merdu dan mengasyikkan."
Tak berubah sikap dan mimik Bu Hoa, katanya tertawa pula, "Kau sendiri
kan juga tahu aku menghabiskan jerih payah dari cucuran darah dan
keringatku mencuri Thian-it-sin-cui, apa maksud tujuanmu?"
"Karena Jin-lopangcu dan Thian-hong Taysu tidak akan gampang bisa
dibunuh oleh sembarang orang, apalagi kau menghendaki kematian mereka
tidak menunjukkan sesuatu bekas yang mungkin bisa menimbulkan rasa
curiga orang-orang lain atas perbuatan dirimu."
"Uraianmu amat tepat sekali," puji Bu Hoa.
"Orang yang menyamar menjadi Thian-hong-cap-si-long di jembatan balok
kayu itu tentunya kau adanya, demikian pula yang membunuh Thian-jiangsing
Song Kang dan Thian-ing-cu dari Lam-hay-pay, orang yang menghilang
ke Tay-bing-ouw menggunakan ilmu Jin-sutnya itu tentulah kau pula
adanya," demikian Coh Liu-hiang membuka tabir rahasia yang mencurigakan
hatinya selama ini. "Benar," Bu Hoa pun mengakui terus terang.
Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya, "Hari itu juga aku melihatmu di
Tay-bing-ouw, seharusnya aku sudah bercuriga atas dirimu. Cuma sayang,
seumpama waktu itu aku menaruh curiga terhadap setiap manusia yang
berada di dunia ini, sekali-kali takkan menaruh curiga terhadap Bu Hoa
yang tidak sudi mendengar petikan harpa yang mengandung nada
membunuh ini!" "Kau tidak usah rawan hati," sela Bu Hoa. "Sekali tempo setiap orang pasti
pernah melakukan kelalaian."
"Di dalam Oh-i-am, murid Siok-sim Taysu yang pikun itu...." ujar Coh Liuhiang
tertawa getir, "Sebelum ajal sebetulnya dia sudah membongkar
rahasia dirimu, sayang dia hanya sempat mengatakan "Bu" saja lantas putus
nafas. Lebih disayangkan pula kesimpulanku tidak tertuju kepada namamu.
Sungguh tidak pernah terpikir olehku, "Bu" yang dimaksudkan adalah
petikan dari pelengkap Bu Hoa."
"Aku sendiri pun tidak menyangka sebelum ajal ternyata kesadarannya
pulih kembali. Kalau tidak, waktu aku membunuh Siok-sim Taysu tentu
kubereskan dia sekalian."
"Tapi kenapa kau bunuh Siok-sim Taysu pula?"
"Setiap orang yang ada sedikit sangkut-pautnya dengan peristiwa ini,
tidak bisa aku membiarkannya hidup lebih lama lagi," sahut Bu Hoa tandas.
"Kau tahu, setiap tindakan dan perbuatanku selamanya amat teliti dan
cermat, selamanya aku tidak mau main spekulasi atau menyerempet
bahaya." "Oleh karena itu, kau pun ingin membunuhku?" tanya Coh Liu-hiang.
Bu Hoa menghela nafas, ujarnya, "Sesungguhnya aku mengharap kau tidak
terlibat dalam peristiwa ini. Siang-siang sudah kukatakan kepada Lamkiong
Ling, bila di dunia ini ada orang yang bisa membongkar rahasia kita, orang
itu tentulah Coh Liu-hiang."
"Di Tay-bing-ouw, dalam Oh-i-am, di atas balok batu jembatan itu," kata
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Beberapa kali kau sudah turun tangan, kau
hendak membunuhku, hal ini tidak perlu kubuat heran. Tapi kenapa pula kau
hendak membunuh Yong-ji?"
"Sebelumnya aku sudah menduga kau tentu akan mengutus dia pergi ke
Sin-cui-kiong menyelidiki peristiwa tercurinya Thian-it-sin-cui dan sebabmusabab
kematian gadis pingitan itu, maka cepat sekali aku sudah
berkesimpulan bahwa orang yang kau janjikan untuk bertemu di Tay-bingouw
sore hari itu tentulah dirinya. Tentunya kau pun mengerti, aku ini kan
bukan orang bodoh." "Seseorang kalau terlalu pintar seharusnya bukan sesuatu yang patut
dibuat girang atau menguntungkan bagi diri sendiri."
"Memangnya kau ini seorang bodoh?" tanya Bu Hoa tersenyum.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya, "Baru sekarang aku tahu, bahwasanya
aku tidak sepintar yang pernah kubayangkan sendiri, kalau tidak
seharusnya sudah lama aku sudah berhasil dengan usahaku, bila keadaan
mendadak dan memang diperlukan, kau pasti akan membunuh Lamkiong Ling
sekalian untuk menutup mulutnya."
Bu Hoa pun menghela nafas, ujarnya, "Ternyata aku tidak sepintar apa
yang pernah kubayangkan sendiri. Kusangka, bila Lamkiong Ling mati,
segala sumber penyelidikanmu akan terputus seluruhnya. Persoalan tidak
akan merembet ke atas diriku, kalau tidak masakah aku tega membunuh
adik kandungku sendiri?"
"Titik tolak dari kunci persoalan ini, yang terpenting adalah lantaran dia
mengatakan sebelum ajalnya bahwa kalian adalah bersaudara. Jikalau tidak
karena bahan rahasia ini, aku pun takkan bisa mencarimu ke mari."
Lama Bu Hoa membungkam. Kabut di samping gunung semakin tebal.
Hembusan angin pegunungan sudah membawa pertanda bakal menjelangnya
musim dingin. Hawa mulai dingin sehingga sekujur badan terasa hampir
membeku. "Sampai sekarang yang belum bisa aku pahami betul adalah segala
perbuatanmu ini sebetulnya hendak menuntut balas ataukah untuk
merebut kekuasaan" Sebetulnya semua ini maksud dari nuranimu sendiri
ataukah pesan peninggalan ayahmu sebelum beliau wafat?" Secara blakblakan
Coh Liu-hiang ajukan ganjalan hatinya.
Terangkat alis Bu Hoa, sahutnya, "Dari mana kau bisa berpikir bahwa
ayahku almarhum ada meninggalkan pesan warisannya?"
"Bahwa kau ikut dibawa ke Tionggoan, sudah tentu Jin-sut dan ilmu
pedang yang kau pelajari adalah hasil didikan dari ayahmu. Tapi waktu
beliau wafat, usiamu masih kecil, sekali-kali tidak mungkin membekal
kepandaian tingkat tinggi yang sedemikian hebat, untuk ini dengan mudah
dapat dimengerti bahwa pasti dia meninggalkan buku pelajaran ilmu silat
tunggalnya kepadamu. Secara rahasia kau menyembunyikannya pula, sampai
pun Thian-hong Taysu tidak tahu dan kena kau kelabui."
"Ya, tepat terkaanmu," sahut Bu Hoa mengakui terus terang.
"Oleh karena itu segera aku teringat, tanpa pamrih tidak mungkin dia
mengorbankan jiwa raganya secara sia-sia, tujuannya supaya kalian masuk
ke dalam perguruan Siau-lim dan Kaypang, bukan mustahil setelah kalian
sama tumbuh dewasa beruntun bisa mewarisi jabatan aliran ilmu silat dari
golongan terbesar dan pimpinan sindikat terbesar pula, selangkah lebih
lanjut yaitu menjagoi atau merajai seluruh dunia persilatan. Mungkin ini
hanya cita-cita impiannya yang ingin dia capai, tapi sayang dia sudah mati
sebelum cita-citanya terlaksana, maka kalianlah yang mewarisi tugas untuk
mencapai cita-citanya ini, kalau tidak masakah dengan rela dia terima
binasa demikian saja."
Kembali Bu Hoa membungkam lama, akhirnya tersenyum simpul. Katanya,
"Tahukah kau kenapa selama ini aku menyukaimu" Karena kau punya otak.
Sering aku berkata, setiap orang yang kenal kau dari dekat, peduli dia
kawan atau lawan, sama saja merupakan suatu keberuntungan dan patut
dibuat girang." "Kalau demikian, jadi analisaku tepat semuanya?"
"Mungkin analisamu benar, mungkin pula salah, kelak perlahan-lahan kau
akan tahu sendiri..." Mendadak Bu Hoa menghentikan langkah. Pelan-pelan
dia putar badan menghadapi Coh Liu-hiang, katanya, "Apa pun yang telah
terjadi, kau sudah membongkar kedok rahasiaku, membongkar segala
perbuatanku. Apa pula yang kau kehendaki?"
Dengan nanar Coh Liu-hiang menatapnya dan lama kemudian baru dia
menghela nafas, katanya, "Kau tahu aku selamanya tidak suka membunuh
orang, apalagi membunuhmu!"
Bu Hoa tertawa, katanya kalem, "Tapi kau pun harus tahu, sekarang kau
tidak bunuh aku, sebaliknya akulah yang akan membunuhmu."
"Benar, asal kau dapat membunuhku, maka kau bisa bebas dan
bersimaharaja di dunia ini secara lalim, karena orang yang tahu seluk-beluk
rahasiamu di dunia ini hanya aku satu-satunya!"
Bu Hoa berkata pelan-pelan, "Jadi sekarang kau sedang menunggu aku
turun tangan?" "Meskipun aku tidak menghendaki, agaknya tiada jalan pilihan lainnya lagi."
Keduanya tidak banyak bicara lagi.
Mereka sama tahu, perkataan yang perlu mereka bicarakan sudah habis.
Angin di atas gunung semakin keras dan menderu-deru, hujan bayu segera
akan meliputi alam semesta ini. Pakaian dan rambut mereka sama
terhembus melambai-lambai, tapi sikap keduanya masih tegak di
tempatnya dengan tenang dan wajar, namun sorot mata keduanya sudah
mencorong terang mengandung hawa membunuh.
Sekonyong-konyong terdengar ledakan keras disertai kilat menyambar.
Dibarengi dengan geledek mengguntur, air hujan pun seperti dituang dari
tengah angkasa. Berbareng dengan guntur menggelegar dan kilat
menyambar ini, kedua kepalan Bu Hoa langsung menjojoh dengan dahsyat.
Itulah pukulan sakti yang kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan
dari Siau-lim-pay, pertama kali dalam penyerangan dia gunakan ilmu
pukulan dari pelajaran perguruannya. Pukulan yang dahsyat, keras dan
kokoh kuat ini diiringi dengan sambaran kilat dan geledek mengguntur,
sungguh hebat pukulannya ini laksana menggetarkan bumi mengejutkan
langit layaknya! Jikalau tidak menghadapinya secara langsung, mungkin
siapa pun takkan percaya bahwa Bu Hoa yang biasanya alim dan lemah
lembut itu ternyata bisa melontarkan jurus pukulan yang begitu dahsyat.
Sebat sekali badan Coh Liu-hiang berputar, tampak tangannya tegak
miring menebas ke urat nadi Bu Hoa, serangan balasannya ini kelihatan
biasa dan enteng sekali, dibanding dengan kepalan Bu Hoa itu boleh dikata
jauh ketinggalan dan bukan apa-apa.
Tapi serangan tapak tangan yang biasa dan tiada sesuatu yang
menakjubkan ini justru telak sekali mematahkan gaya pukulan Bu Hoa yang
lihay itu. Cepat sekali Bu Hoa kembangkan kelincahan badannya. Belum lagi suara
guntur yang bergema di tengah angkasa sirap, beruntun dia sudah
lontarkan empat jurus pukulan Kiang-hiong-hu-hou (Menundukkan Naga
Mengalahkan Harimau), setiap serangan dahsyat ini merupakan inti sari
pukulan sakti dari Siau-lim-pay yang teramat ampuh.
Namun dengan gampang Coh Liu-hiang dapat mematahkan semua
rangsekan hebat ini, malah di samping mematahkan dia masih sempat balas
menyerang, jauh berkelebihan tenaga serangan balasannya.
Setelah delapan belas jurus pukulannya dilontarkan, sedikit pun Bu Hoa
tidak berhasil menempatkan posisinya di tempat yang menguntungkan.
Kepalan kanan mendadak ia tarik mundur. Waktu ia sodokkan keluar pula,
tiba-tiba terdengar "Ser!," dari pukulan tahu-tahu ia rubah menjadi
tutukan jari. Selentikan jarinya ini merupakan pemusatan tenaga dalamnya yang


Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilandasi kekuatan Tan-ci sin-thong (Selentikan Jari Sakti), segulung angin
kencang yang menderu pesat sekali meluncur ke arah Ki-bun dan Ciang-tai,
dua hiat-to yang terletak di bawah bahu kanan.
Tak usah kena tertutuk telak oleh jari lawan, cukup tersapu oleh
samberan anginnya saja setengah badan Coh Liu-hiang seketika akan linu
kemeng tak mampu bergerak, maka dalam kilasan lain jiwanya pasti akan
melayang di bawah tepukan tapak tangan Bu Hoa yang menyusul datang
pula. Tapi badan Coh Liu-hiang tiba-tiba doyong ke samping, gerakan miring
yang lincah dan seenaknya saja. Desiran angin tutukan jari yang kuat itu
hanya menyapu lewat dari pinggir pakaiannya saja. Sebaliknya tapak tangan
kirinya tahu-tahu sudah menyelonong tiba di bawah ketiak Bu Hoa.
Maka rangsekan Bu Hoa yang dahsyat ini terpaksa terhalang oleh
gerakannya sendiri untuk bertahan membela diri, dari menyerang berubah
membela diri, tangan kanan tersurut balik, sementara tangan kiri yang dia
tepukkan ke depan sudah berubah menjadi serangan tapak tangan pula,
pinggir tapak tangannya mengiris miring mengarah Ki-ti-hiat di badan Coh
Liu-hiang. Lekas Coh Liu-hiang melintangkan kaki ke kiri, badan ikut berputar,
sementara sikut kirinya ikut bergerak menyodok dengan keras.
Terpaksa Bu Hoa harus batalkan serangannya dan merubah permainan
pula. Seketika terlihat bayangan tapak tangan bergulung-gulung menari
turun naik, laksana menari-nari di tengah angin badai. Itulah Hong-pingciang,
kepandaian terdahsyat dari aliran Gwakeh Siau-lim-pay.
Sesuai dengan namanya, ilmu pukulan ini tidak melulu mengutamakan
kekuatan Lwekang namun mengutamakan kelincahan dan kecepatan
menempuh kemenangan. Gaya permainannya seperti capung terbang
melawan angin, seperti kupu menari berebutan madu. Gerak-geriknya
lincah disertai variasi perubahan yang menakjubkan sperti main sulapan
saja. Serangan gertakan yang kosong jauh lebih banyak dari pukulan telak
yang sesungguhnya. Tapi setiap kali ia lontarkan pukulan telak yang sesungguhnya, seketika
pula terbendung tak berkutik oleh tipu permainan Coh Liu-hiang.
Dalam waktu yang begitu singkat, beruntun Bu Hoat sudah ganti berbagai
mainan dari Siau-lim-sin-kun (Pukulan Sakti Siau-lim-pay), Tan-ci-sinthong,
Hong-ping-ciang, tiga macam ilmu dahsyat yang dibanggakan dari
Siau-lim-si. Ketiga macam ilmu silat ini masing-masing mencakup perubahan
dari dasar kekerasan yang dahsyat, kelincahan nan meruncing tajam, serta
variasi perubahan yang rumit dan susah diselami. Jalan permainannya satu
sama lain jauh berbeda, namun masing-masing merupakan ilmu silat sejati
yang teramat ampuh, kenamaan dan menggetarkan dunia persilatan.
Sebaliknya jurus permainan yang digunakan Coh Liu-hiang sebaliknya
merupakan ilmu silat paling umum, biasa dan paling dikenal di kalangan
Kangouw, entah berapa banyak mungkin laksaan kaum persilatan di
Kangouw yang mampu memainkan jurus-jurus tipu silat seperti itu.
Tapi sama-sama jurus tipu yang rendahan dan umum ini, dalam permainan
Coh Liu-hiang justru jauh sekali perbedaannya. Setiap gerak yang dia
permainkan, telak dan persis tanpa tergeser sepersepuluh mili umpamanya.
Setiap gerakan yang dia lancarkan boleh dikata tiga kali lipat lebih cepat
dari tokoh-tokoh silat terlihay mana pun.
Kalau dinilai secara tunggal, gerak permainannya itu mungkin terlalu tawar
dan tiada sesuatu yang menakjubkan. Tapi kalau dimainkan di saat kedua
orang bergebrak, setiap jurus tipu permainannya justru dia kembangkan
secara luar biasa dengan perbawa yang teramat ampuh pula.
Adakalanya hampir tak terpikir dalam benak Bu Hoa bahwa jurus tipu
permainan ilmu silatnya yang begitu lihay dan aneh ini bagaimana mungkin
bisa dipunahkan sedemikian gampang oleh Coh Liu-hiang menggunakan
jurus tipu yang paling sepele dan umum" Bukan saja dipunahkan, malah
dirinya balas diserang lagi.
Kembali kilat menyambar, halilintar memekakkan telinga, hujan semakin
deras. Hujan bayu membuat alam semesta seakan hampir kiamat, di atas gunung
belukar ini gelap gulita laksana di tanah pekuburan.
Bahwasanya mereka sudah tidak melihat bayangan bentuk badan lawan,
tapi mengandalkan ketajaman telinga mendengarkan deru angin pukulan
lawan untuk menghadapi serta mengatasinya. Tapi hujan bayu sedemikian
derasnya, lama-kelamaan deru angin pukulan mereka pun kelelap tak
terdengar pula. "Dar!" guntur menggelegar disertai kilat menyambar pula. Secepat kilat
itu pula Coh Liu-hiang gerakkan kakinya berkelit, sementara Bu Hoa
melejit melambung ke tengah udara. Puluhan bintik sinar kelap-kelip
seperti sinar bintang yang dingin sederas hujan bayu ini melesat tiba ke
arahnya. Dalam malam yang begitu gelap, untuk menghindarkan diri dari serangan
senjata rahasia sekencang ini boleh dikata tak mungkin lagi. Waktu badan
Bu Hoa meluncur turun, ujung mulutnya sudah mengulum senyum sinis.
Tepat di tengah suara guntur yang menggelegar itulah terdengar Coh Liuhiang
mengeluarkan jerit kaget yang kelelap. Disusul sinar kilat kembali
berkelebat. Tapi bayangan Coh Liu-hiang pun tak kelihatan lagi.
Di tengah kegelapan, nafas Bu Hoa memburu turun naik, serunya
menggembor, "Coh Liu -hiang, Coh Liu-hiang! Di mana kau?"
Terdengar seseorang menjawab dengan suara kalem di belakangnya, "Aku
di sini!" Keruan terkejut Bu Hoa laksana disengat kala, hampir saja jantungnya
melonjak keluar dari rongga dadanya.
Tapi dia tidak perlu membalikkan badan, dia hanya berdiri kaku dengan
tenang. Sesaat kemudian pelan-pelan kepalanya ditundukkan, katanya
penuh kekecewaan, "Bagus sekali, baru hari ini aku betul mendapatkan
bukti bahwa aku memang benar-benar bukan tandinganmu."
Lagu suaranya sedemikian datar, wajar dan tenang, seperti baru saja
memperoleh bukti tentang suatu permainan judi yang tidak begitu besar,
siapa pun takkan dapat merisaukan bahwa dia sudah pertaruhkan jiwanya
di dalam permainan judi yang sekaligus bakal menentukan mati hidupnya
pula. Coh Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Meski kau sudah kalah, tapi
bagaimanapun kekalahan tak perlu dibuat malu, karena kau sudah
membawakan sikap seorang jantan!"
Bu Hoa mengeluarkan tawa yang pendek, katanya, "Jikalau aku yang
menang, jauh lebih jantan lagi, cuma sayang hal itu selamanya tidak akan
ada kesempatan lagi untuk membuktikannya, benar tidak?"
"Benar, memang kau tiada punya kesempatan lagi untuk menang."
"Sebagai pihak yang menang, sikap kejantananmu ternyata patut dipuji
juga, mungkin lantaran kau sudah terbiasa menjadi pihak yang menang,
seolah-olah selamanya kau takkan pernah punya waktu untuk kalah!"
Coh Liu-hiang berkata dengan suara berat, "Seorang bila berdiri di pihak
yang sejajar dengan musuhnya, selamanya dia takkan bisa dikalahkan."
Sekonyong-konyong Bu Hoa mendongak sambil terkial-kial panjang, gelak
tawanya melolong berkumandang di tengah hujan air yang deras ini seperti
gelak tawa orang yang kesurupan setan. Katanya kemudian, "Apakah aku
salah... Jikalau aku berhasil dengan sukses, siapa pula yang berani
mengatakan aku salah..." bunyi guntur yang memekakkan telinga memutus
loroh tawanya yang menggila itu.
Sesaat Coh Liu-hiang berdiam diri, katanya kalem, "Kenapa kau tidak
lari?" Gelak tawa Bu Hoa menjadi helaan nafas rawan, sahutnya, "Lari" Apakah
aku ini manusia yang patut melarikan diri" Seseorang bila dia hendak
menikmati ajaran ilmu silat yang dia latih, maka dia harus belajar lebih
dulu cara bagaimana untuk menerima kekalahan..."
Tiba-tiba kembali ia terloroh, katanya menyeringai, "Betapapun besar
kemenangan itu, takkan bisa membuatku kesenangan sampai lupa diri!
Betapapun besarnya kekalahan itu, juga takkan bisa membuatku lari
mencawat ekor seperti anjing liar yang digunduli!"
"Kau memang tidak pernah membuatku kecewa," ujar Coh Liu-hiang rawan.
"Sekarang apa yang kau inginkan atas diriku?"
"Aku hanya bisa membongkar rahasiamu, tapi tak bisa aku menjatuhkan
hukuman kepadamu, karena aku bukan penegak hukum, bukan malaikat atau
dewata, aku tiada hak kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman kepadamu!"
BUNUH DIRI ITU MENEBUS DOSA
"Ap apun yang telah terjadi, kesimpulanmu ini sungguh harus dipuji dan
dibanggakan. Sejak dulu kala, mungkin tiada seorang pun tokoh kosen
dalam Kangouw yang mempunyai jalan pikiran seperti itu," Bu Hoa balas
memuji. "Kelak setelah beberapa tahun berselang, orang yang mempunyai pikiran
seperti ini dari hari ke hari akan bertambah banyak. Kelak masyarakat
akan tahu sendiri, kekuatan kasar takkan bisa menyelesaikan segalanya,
tiada seorang pun dalam dunia ini yang punya kuasa untuk mencabut jiwa
orang lain!" "Ya, itu urusan kelak, sekarang...."
"Sekarang aku akan serahkan dirimu kepada orang yang patut
menjatuhkan hukuman kepada dirimu."
"Kau hendak menyerahkan diriku kepada orang lain?"
"Tidak salah." "Kalau toh kau sendiri tak kuasa menjatuhkan hukuman kepadaku, siapa
pula manusia di dunia ini yang setimpal menjatuhkan hukuman kepadaku?"
"Orang-orang itu meski belum mempunyai jiwa yang luhur dan bajik, tapi
mereka mengerti hukum dan undang-undang. Siapa pun harus mematuhi
hukum dan undang-undang-undang."
"Apakah kau sendiri selamanya mematuhi undang-undang itu?" jengek Bu
Hoa. "Yang kami pandang hina hanyalah undang-undang yang ditegakkan oleh
sementara orang yang lalim belaka. Hukum peraturan seperti itu sudah
tentu tidak patut kami hormati atau patuhi. Tapi budi wening dan keadilan
serta kebenaran, siapa pun tak pantas memandangnya rendah!"
"Coh Liu-hiang! Kau memang seorang yang aneh betul-betul. Tapi apa pun
yang terjadi, jangan harap kau bisa menyerahkan aku kepada orang-orang
macam itu." "Kenapa?" Coh Liu-hiang menegas. "Kau sebenarnya seorang agung, tangantangan
kotor orang-orang itu memang tidak seharusnya menyentuh
pakaianmu, tapi siapa suruh kau melakukan kejahatan keluar batas yang
berdosa begitu besar. Seumpama maharaja pun kalau dia melanggar hukum,
dia pun patut dijatuhi hukuman seperti rakyat jelata. Memangnya kau
tidak paham akan arti kata-kata ini?"
Bahwasanya Bu Hoa seperti tidak pernah mendengar kata-katanya ini,
dengan tersenyum ia menggumam, "Coh Liu-hiang, bagaimanapun jangan kau
harap jari-jari orang-orang itu bisa menyentuh seujung jariku saja." Habis
berkata-kata, tahu-tahu badannya perlahan-lahan meloso roboh.
Halilintar kembali menggelegar, kilat menyambar berulang kali.
Lekas Coh Liu-hiang memburu maju memayang badannya. Di tengah
sambaran kilat, meski hanya sekilas saja, namun ia lihat raut mukanya yang
ganteng, halus dan alim itu kini sudah berubah sedemikian kaku dan
membesi hijau. Coh Liu-hiang amat kaget, serunya, "Bu Hoa, kau... kenapa kau begitu
bodoh" Mati.. memangnya bukan cara yang paling rendah untuk lari dari
pertanggung-jawaban?"
Bu Hoa membuka mata, sekuatnya ia unjuk tawa, sahutnya, "Aku bukan lari
dari pertanggungan-jawab, bukan aku tidak berani menghadapi mereka,
tidak lain karena aku tidak sudi tunduk di hadapan manusia-manusia hina
dina itu." Tiba-tiba sorot matanya memancarkan cahaya cemerlang, katanya pula,
"Peduli kesalahan apa pun yang pernah kulakukan, betapa pun aku masih
seorag agung yang terpandang, jauh lebih agung dan terpandang dari
kebanyakan orang-orang di dunia ini! Coh Liu-hiang, apakah kau tidak
mengakui akan hal ini?"
Perlahan-lahan kelopak matanya terpejam.
Selamanya dia takkan bisa mendengar jawaban Coh Liu-hiang lagi. Kilat
menyambar pula, roman mukanya sudah kembali seperti biasa, tenang
tenteram dan sentosa, malah ujung mulutnya mengulum senyum mekar.
* * * Di dalam taman kembang nan luas di lingkungan keluarga besar she Lim di
Poh-tian, kembang-kembang sedang mekar harum semerbak.
Opas kenamaan, Sin-eng Go-lopothau, bersama seorang Kaypang Tianglo
yang berbadan tinggi kurus bermuka tegang, sedang menunggu di bawah
pohon dengan gelisah. Terdengar Kaypang Tianglo itu sedang bertanya, "Kau pikir, apakah dia
akan datang?" Sin-eng tersenyum, sahutnya, "Peduli Coh Liu-hiang itu manusia baik atau
jelek, jujur atau jahat, tapi kalau dia sudah mengatakan hendak datang,
dia pasti datang. Siapa pun, urusan apa pun, jangan harap bisa menghalangi
dirinya." Terdengar seseorang berkata kalem di atas pohon, "Benar, peduli Sin-eng
ini orang baik atau jelek, jujur atau jahat, tapi pandangannya terhadap Coh
Liu-hiang ternyata memang tidak meleset."
Di tengah kata-katanya, Coh Liu-hiang melayang dari atas pohon, sedikit
pun tak bersuara waktu kakinya menyentuh tanah.
Dengan tersenyum, kembali ia menambahkan, "Tapi bukankah Sin-eng
sudah mendengar bila aku berada di atas pohon maka sengaja kau
mengeluarkan kata-kata ini?"
Sin-eng tertawa besar, serunya, "Kata-kata Coh Liu-hiang laksana kuda
lari dapat dikejar, selalu menepati janji, hal ini memang sejak lama Siauloji
mengetahuinya!" Tak tahan berkata Kaypang Tianglo itu, "Pembunuh itu, apakah Coh Liuhiang
sudah membawanya ke mari?"
Guram raut muka Coh Liu-hiang, sahutnya sambil menarik nafas panjang,
"Dia sudah meninggal!"
"Sudah mati?" teriak Sin-eng kaget.
"Benar!" "Dia... cara bagaimana kematiannya?" tanya Sin-eng.
"Kalau dia sudah mati, peduli cara bagaimana kematiannya, apakah tidak
sama saja?" "Tapi..." "Kukatakan dia sudah mati!" bentak Coh Liu-hiang aseran. "Masakah kau
tidak percaya omonganku?"
Sin-eng lekas unjuk tawa dibuat-buat, ujarnya, "Setiap patah kata Maling
Budiman, masa si tua bangka seperti aku ini tidak mempercayainya, tapi
dia... siapakah dia sebenarnya?"
Sesaat Coh Liu-hiang mempertimbangkan, katanya, "Walau dia amat jahat
dan keji, tapi tidak rendah dan hina dina. Meski dia seorang pembunuh,
tapi tidak malu kalau dia disebut seorang Kuncu sejati. Kini kalau dia sudah
mati, buat apa kalian harus tanya siapa dia. Manusia setelah mati, namanya
ikut terkubur!" Kaypang Tianglo tiba-tiba menukas, "Tapi di mana jenazahnya" Seumpama
dia sudah mampus, murid-murid Pang kita pun harus..."
"Apa yang hendak kalian lakukan atas jenazahnya" Jadi kau hendak
menghadapi seseorang yang sudah mati, bukankah jalan pikiran dan niat
kalian ini jauh lebih rendah dan hina dina dari si pembunuh itu?"
Biasanya, menghadapi persoalan apa pun, selamanya tidak pernah Coh Liuhiang
dipengaruhi emosinya. Kaypang Tianglo ini belum pernah menghadapi amarahnya yang begini
besar. Seketika ia bungkam dan amat jeri hatinya.
Berkata Coh Liu-hiang dengan lantang, "Kuberitahu kepada kalian bahwa
dia sudah mati, kematiannya berarti mencuci segala dosa semasa hidupnya.
Jikalau kalian tidak percaya, jikalau kalian masih belum puas, silakan kalian
berdaya upaya sendiri! Tapi jika kalian berani datang merecoki aku pula,
jangan salahkan bila aku bertindak kasar tidak tahu rasa sungkan lagi!"
lenyap suaranya, bayangannya pun sudah menghilang di kejauhan. Sin eng
dan Kaypang Tianglo berdiri menjublek di tempatnya.
Sampai pun Coh Liu-hiang sendiri tidak tahu dan heran kenapa dirinya hari
ini berubah begini uring-uringan dan marah-marah. Mungkin menghadapi
kematian Bu Hoa dia teramat sedih, pilu dan rawan. Atau mungkin lantaran
dia teramat penat.

Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa pun yang telah terjadi, setelah pengalamannya ini, yang terpikir
dalam angan-angannya adalah selekasnya pulang ke kapalnya, mengerek
layar berlayar jauh ke tengah samudera meninggalkan khalayak ramai yang
membosankan ini. Dia hanya memikirkan, di dalam pelukan lautan teduh, hembusan angin laut
nan hangat di bawah terik sinar matahari yang keemasan, mengendorkan
seluruh urat syaraf dan otot-otot badannya, rebah dan istirahat dengan
nyaman beberapa hari, minum beberapa arak anggur yang nikmat segar,
makan buah-buahan segar dan hidangan lezat masakan Song Thiam-ji,
rebah di samping So Yong-yong dan mendengarkan kisah dongengan Li
Ang-siu yang mempesonakan.
TAMAT Pendekar Latah 27 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 24

Cari Blog Ini