Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Bagian 1
METEOR, KUPU-KUPU DAN PEDANG I
Semasa hidupnya, Gu Long pernah mengakui bahwa dirinya sangat terpengaruh oleh para
pengarang Barat, antara lain Mario Puzo dengan Godfathernya, Ian Fleming dengan James
Bond, dan Agatha Cristie dengan kisah teka-teki pembunuhannya.
Ramuan dari para pengarang Barat itulah yang bisa kita rasakan dari karya-karyanya di luar
kisah Pendekar Binal (Jue Dai Shuang Jiou/The Remarkable Twins/Legendary Sibling) yang
masih terbawa pakem "cersil lama" ala Jin Yong atau Liang Yusheng.
Dari para pengarang Barat itu Gu Long meracik resep, melahirkan karya yang sangat
digemari pembaca dan kemudian menjadi "genre" baru dunia cersil, sekaligus menjadi
"trade mark"-nya
Meteor, Butterfly, and Sword (Liu Xing Hu Die Jian, 1974) merupakan salah satu karya
"masterpiece" Gu Long, yang juga telah membawa ketenaran dirinya di kalangan elit
perfilman Hong Kong. Kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul Killer Clans (Shaw
Brothers, 1976) Meteor, Butterfly, and Sword adalah cerita yang kelam, sarat dengan intrik, konspirasi, tipu
muslihat, darah, sex, dan kekerasan. Di sini Gu Long sangat terpegaruh oleh gambaran
seorang Godfather ala Mario Puzo. Konon, mantan Presiden Soeharto (alm) sangat menyukai
kisah ini dan menonton filmnya berkali-kali.
PARA TOKOH Kisah ini akan melibatkan banyak tokoh. Sulit membedakan mana kawan mana
lawan. Untuk memudahkan pembaca, berikut ini diberikan daftar para tokoh yang
akan di-update sesuai kemunculan pada setiap babnya.
Meng Xin Hun Pembunuh bayaran berdarah dingin yang mulai jenuh dengan profesinya.
Pedangnya sangat mematikan.
Gao Lao Da Kakak tertua. Di usia tiga belas ia telah membuat empat keajaiban. Ia
menyelamatkan empat nyawa: Ye Xiang, Shi Qun, Xiao He, dan Meng Xin Hun.
Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati kecil.
Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun memberitahunya.
Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun boleh dilakukan.
Ye Xiang Pembunuh bayaran yang sudah tiga kali gagal dan kini hanya bisa bermabukkan. Ia
sangat mengkhawatirkan nasib Meng Xin Hun.
Sun Yu Bo Ia senang membantu orang, dan orang-orang memanggilnya Paman Bo. Ia bangga
dan senang membantu seperti ia menyukai bunga-bunga yang bermekaran.
Han Tang Ia galak tapi sopan, matanya selalu memancar dingin. Tidak ada yang mau
berteman dengannya. Ia sendiri tidak mau dekat dengan orang lain. Ia sudah
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang, juga tidak akan ada orang
lagi yang akan melakukannya
Sun Jian Anak Sun Yu Bo. Seperti ayahnya, ia juga senang menolong. Sifat Sun Jian sangat
keras seperti bara, berangasan, setiap saat dapat meledak. Sifat seperti ini sering
membuatnya salah langkah. Karena itu juga ia sering kehilangan teman.
Lu Xiang Chuan Tangan kanan Sun Yu Bo, sekaligus sudah dianggap anak sendiri. Ia tidak
memerlukan senjata karena sanjatanya adalah senjata rahasia. Ia terlihat sangat
terpelajar, terkadang musuh meremehkannya, menganggap ia tidak bisa apa-apa.
Ini adalah kesalahan sepele yang bisa berakibat fatal.
Wan Peng Wang Musuh terbesar dan terkuat Sun Yu Bo. Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada
yang tahu asalnya. Sesudah berumur tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah
perusahaan. Setengah tahun kemudian, ia sudah naik jabatan. Pada umur sembilan
belas, ia membunuh bos perusahaannya dan menjadi bos perusahaan itu. Setahun
kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi. Dalam tiga tahun, ia
menangkap dan membunuh sejumlah penjahat. Semenjak itu, ia punya dua puluh
satu pembantu yang sangat setia padanya. Waktu berumur dua puluh empat, ia
keluar dari kepolisian dan mendirikan perkumpulan Da Peng. Mula-mula hanya
memimpin 100 orang, tapi sekarang anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu
orang. Kekayaanya sudah tidak terhitung lagi.
Xiao Tie Gadis setan arak, sangat cantik. Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik
selalu menebar pesona pada sekelilingnya. Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain,
seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.
Xiao He Paling kecil di antara empat bocah yang diselamatkan Gao Lao Da. Waktu Gao Lao
Da mengangkat tiga bocah lain, ia iri dan marah, dan karenanya sering mengadu
domba mereka. 1. Meng Xin Hun 1. Meng Xin Hun Meski cahaya meteor hanya singkat, tak satu pun isi semesta yang mampu
menandingi pendar gemilangnya. Manakala meteor muncul ke permukaan,
bahkan bintang abadi yang paling terang pun tak mampu menandingi
kemilaunya. Hidup seekor kupu-kupu begitu rapuh, bahkan lebih rapuh dari setangkai
bunga yang luruh. Kupu-kupu hanya hidup di musim semi. Ia begitu indah,
bebas melayang kemana pun terbang. Dalam usianya yang singkat,
kupu-kupu tetap abadi dikenang.
Hanya pedang yang sejatinya mendekati keabadian. Hidup mati seorang
pendekar sangat tergantung pada pedangnya. Jika pedang memiliki perasaan,
haruskah hidup mati seorang pendekar sesingkat meteor"
Tatkala meteor jatuh, ia sedang berbaring di atas sebuah batu cadas.
Ia senang berjudi dan minum arak. Pun ia senang main perempuan. Selama
ini dalam hidupnya ia sudah mencicipi berbagai macam perempuan. Juga
membunuh orang. Namun manakala meteor muncul ke permukaan, ia tidak pernah
melewatkannya. Ia selalu berbaring di sana menanti meteor membelah
angkasa. Selama ia bisa merasakan pendar cahayanya, menikmati kilatan pesonanya,
ia akan berbaring di sana.
Itulah saat terindah bagi dirinya.
Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu sedikit pun karena itu merupakan
satu-satunya kesenangan dalam hidupnya.
Pernah ia bermimpi menangkap meteor. Mimpi itu sudah lama berselang.
Sekarang mimpinya sudah tidak banyak lagi, malah hampir tidak ada. Karena
kini bagi orang semacamnya, bermimpi semata perbuatan yang menggelikan
dan sia-sia. Dan di sinilah ia tengah berbaring, di atas sebuah cadas di puncak bukit,
tempat terdekat bagi jatuhnya meteor.
Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih menyala. Saat
bayu berhembus, sayup-sayup terdengar suara tawa dan orang bersulang
terbawa angin. Itulah rumah kayunya, araknya, juga perempuannya. Namun ia lebih suka
berbaring di sini, memilih menyendiri di tempat ini.
Cahaya meteor sudah lama menghilang. Air di pinggiran batu masih
mengembang. Waktu sudah lewat untuk bersenang-senang. Sekarang ia
harus kembali menjadi dingin dan tenang. Benar-benar dingin dan tenang.
Sebab, sebelum membunuh, seseorang memang harus bersikap dingin dan
tenang. Dan ia harus membunuh orang.
Tapi ia tidak suka membunuh orang. Setiap kali pedangnya menusuk jantung
dan darah menetes di ujung pedangnya, ia tidak merasa senang.
Ia justeru menderita. Walau ia sangat menderita, ia berusaha menahannya karena ia harus
membunuh. Bila tidak membunuh, ia yang akan dibunuh.
Terkadang manusia hidup bukan untuk menikmati kesenangan, melainkan
menanggung penderitaan, karena hidup adalah sebuah perjuangan. Juga
tanggung jawab. Siapa pun tidak ada yang bisa lari dari tangung jawab itu!
Maka ia pun mulai mengenang saat pertama membunuh orang.
Luo Yang. Sebuah kota besar.
Di kota itu terdapat berbagai macam orang. Ada pahlawan, ada pesilat. Ada
orang orang kaya, ada orang miskin. Ada berbagai macam perkumpulan dan
nama besar lainnya. Namun nama-nama mereka tidak ada yang seperti Jin Qiang Li, "Li si Tombak
Emas". Orang yang bagaimana kaya pun belum tentu bisa menyamai setengah dari
kekayaan Jin Qiang Li. Juga tidak ada yang bisa menahan jurus Qi-qi-si-shi-jiu
dari Jin Qiang Li. Musuhnya sangat banyak hingga Jin Qiang Li sendiri sulit
mengingatnya. Tapi selama ini tidak ada yang berani mencoba membunuh Jin Qiang Li.
Bahkan sekedar berpikir untuk membunuhnya pun tidak ada yang berani.
Anak buah Jin Qiang Li sangat tangguh, kungfu mereka sangat terkenal, juga
terdapat dua "raksasa" berbadan sangat besar yang selalu membopong tandu
Jin Qiang Li "si Tombak Emas" ke mana pun pergi. Dan masih ada lagi:
tubuhnya selalu dibalut pakaian yang kebal dari pedang dan parang.
Maka mustahil untuk membunuhnya.
Jadi, walau kungfumu lebih hebat dari Jin Qiang Li, tapi bila ingin
membunuhnya, kau harus melewati tujuh lapis penjagaan dari para penjaga
yang memiliki kungfu teramat tinggi.
Supaya berhasil, sekali menyerang kau harus mengarah tenggorokannya dan
harus sekaligus membunuhnya. Bila meleset, kau tidak punya kesempatan
untuk membunuh lagi, dan bahkan kaulah yang akan terbunuh.
Maka tidak ada seorang pun yang coba membunuhnya. Tidak seorang pun
yang sanggup untuk membunuhnya. Kecuali, satu orang.
Orang itu adalah Meng Xin Hun.
Meng Xin Hun menghabiskan waktu setengah bulan pertama untuk sekedar
menyelidiki kehidupan Jin Qiang Li. Semua gerak geriknya diamati, semua
tindak tanduknya dicatat dengan teliti.
Selanjutnya Meng Xing Hun menghabiskan waktu satu bulan untuk bisa
mendapatkan kesempatan memasuki rumah Jin Qiang Li, menyamar sebagai
tukang pikul air di belakang dapur.
Setelah itu pun Meng Xing Hun masih harus menghabiskan waktu setengah
bulan lagi untuk menanti waktu yang paling tepat, saat yang benar-benar tepat!
Setelah terlaksana, semua terdengar akan begitu mudah. Tapi, menunggu dan
menentukan waktu yang tepat, benar-benar tidaklah mudah.
Sungguh Jin Qiang Li ibarat perawan dingin, tidak memberi kesempatan untuk
didekati. Saat mandi atau ke kamar kecil pun selalu ada yang menemani.
Namun bila sabar menunggu, kesempatan itu pasti datang.
Bukankah perawan, betapa pun dinginnya, bila waktunya tiba juga harus
menjadi isteri dan ibu"
Setelah menunggu dan menanti, akhirnya kesempatan itu datang juga.
Pada suatu hari, angin bertiup sangat kencang dan membuat topi Jin Qiang Li
terlepas. Empat orang pengawal berebut mengambil topinya.
Pandangan Jin Qiang Li mengkuti kemana topi itu terbang terbawa angin.
Di saat tidak ada yang memperhatikan, itulah satu-satunya kesempatan,
karena kecerobohan para pengawalnya mereka meninggalkan sang majikan
begitu saja, merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Di saat itulah Meng Xing Hun sudah berada di belakang Jin Qiang Li dan
langsung menusuknya. Hanya satu kali tusukan. Tidak lebih tidak kurang. Satu tusukan.
Tusukannya langsung menikam dari belakang leher dan keluar dari
tenggorokan. Ketika pedang dicabut, darah muncrat seperti kabut.
Kabut darah menutupi pandang setiap orang. Kilat pedang mencabut nyawa
satu orang. Nyawa Jin Qiang Li. Begitu kabut darah menghilang, Meng Xin Hun sudah jauh dari para pengawal
Jin Qiang Li. Tidak ada yang bisa melukiskan kecepatan tangan dan
pedangnya. Menurut cerita, ketika Jin Qiang Li dimasukan ke dalam peti mati, matanya
masih terbuka dan menyorotkan rasa curiga tak percaya. Ia tidak percaya
dirinya bisa mati dan ia tidak percaya bahwa ada yang mampu membunuhnya.
Kematian Jin Qiang Li menggegerkan dunia persilatan. Tapi, nama Meng Xin
Hun tidak ada yang mengetahui.
Karena tidak ada yang mengetahui siapa yang membunuh Jin Qiang Li, maka
tidak ada yang berani bersumpah akan membalaskan dendam bagi Jin Qiang
Li. Sebaliknya, ada pula yang menganggap pembunuh Jin Xiang Li "bintang
penyelamat". Begitu menemukan mereka berjanji akan berlutut mencium
kakinya untuk berterima kasih karena telah menyingkirkan seorang penjahat.
Juga ada sejumlah pesilat muda yang ingin terkenal mencari nama, coba
menemukan pembunuh Jin Qiang Li untuk bertarung membuktikan pedang
siapa yang paling cepat. Tapi semua tidak diperdulikan oleh Meng Xin Hun.
Sesudah membunuh ia biasanya seorang diri berlari ke pondok kayunya yang
kecil di kaki bukit dan bersembunyi di pojok sana sambil menangis dan
mengeluarkan segala isi perutnya.
Muntah! Tapi sekarang ia sudah tidak menangis lagi. Air matanya sudah lama
mengering. Namun setiap kali habis membunuh orang dan melihat darah yang
tersisa di ujung pedangnya, ia masih terus lari sembunyi.
Dan muntah. Sebelum membunuh, ia tampak dingin dan tenang. Namun setelah
membunuh, ia tidak lagi bisa bersikap dingin dan tenang.
Maka ia harus berjudi, minum arak hingga mabuk, kemudian mencari
perempuan guna melupakan kejadian saat ia mencabut nyawa. Namun tetap
sulit baginya untuk melupakan dan terus terbayang setiap memejamkan mata.
Karenanya ia harus terus berjudi, terus mabuk, dan terus main perempuan,
hingga membunuh lagi. Dan setelah itu ia akan kembali melarikan diri ke gunung, berbaring di sebuah
batu cadas, tidak mau memikirkan apa-apa, tidak mau berpikir apa-apa.
Ia hanya memaksakan diri untuk tenang dan siap membunuh lagi.
Orang yang ia bunuh tidak ia kenal, juga tidak ada dendam, bahkan seringkali
belum pernah bertemu. Orang itu hidup atau mati tidak ada hubungan
dengannya. Namun, ia tetap harus membunuhnya.
Ia harus membunuh karena begitulah perintah Gao Lao Da.
2. Gou Lou Da Ia memanggilnya Kakak Tertua Gou, "Gou Lou Da".
Saat pertama ia bertemu Gou Lou Da, usianya baru enam tahun. Waktu itu ia
sudah tidak makan selama tiga hari tiga malam. Rasa lapar bagi anak berusia
enam tahun lebih mengerikan daripada kematian.
Sebagai anak berusia enam, ia telah tahu bagaimana rasanya kematian. Ia
terkapar lapar hingga pingsan di tengah jalan.
Waktu itu ia merasa sudah benar-benar mati. Mungkin ia memang sebaiknya
mati. Namun ia tidak mati karena ada sepasang tangan yang menolongnya,
sepasang tangan yang berbentuk indah walau agak sedikit kebesaran. Tangan
itu memberinya setengah kerat bakpau karena setengah kerat lagi tetap
dimakan oleh sang pemilik tangan.
Sepasang tangan milik Gou Lou Da.
Bakpau itu dingin lagi keras. Begitu ia menerima sepotong bakpau dari tangan
Gou Lau Da, air matanya bercucuran seperti mata air di musim semi,
membasahi bakpau itu. Selamanya ia tidak akan pernah melupakan rasa air
mata yang asin dan pahit bercampur dengan rasa bakpau yang keras dan
dingin. Ia pun selamanya tidak akan pernah melupakan tangan Gou Lou Da.
Kelak kemudan hari, sepasang tangan itu tidak lagi semata memberi sekerat
bakpau keras dan dingin, melainkan uang, emas, dan permata. Berapa pun
yang ia minta, apa pun yang ia minta, asalkan dirinya meminta, Gou Lou Da
pasti akan memberikan. Dan terkadang sepasang tangan itu juga memberinya secarik kertas. Di atas
kertas biasanya tertulis nama orang, tempat, dan jangka waktu
Kertas itu adalah kertas tagihan nyawa.
Kali ini kertas itu berbunyi: Sun Yu Bo, Shu Zhou, 4 Bulan.
Artinya, dalam empat bulan Sun Yu Bo dari kota Shu Zhou harus mati di
tangan Meng Xin Hun. Semenjak Meng Xin Hun membunuh Jin Qiang Li, ia tidak perlu menghabiskan
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu hingga tiga bulan untuk mencabut nyawa orang.
Sejak membunuh Jin Qiang Li, waktu terlama yang ia perlukan sebagai
malaikat pencabut nyawa cukup 41 hari. Tidak kurang, tidak lebih.
Itu bukan berarti karena pedangnya cepat, tapi karena hatinya dingin.
Dan tangannya terlebih dingin lagi.
Sejak itu ia tahu, sebagai pembunuh berdarah dingin tidak perlu
menghabiskan waktu tiga bulan dalam menyelesaikan pekerjaan. Dan Gou
Lou Da pun mengetahui itu.
Namun sekarang waktu yang diberikan Gou Lou Da padanya adalah empat
bulan. Artinya, Sun Yu Bo adalah orang yang hebat. Membunuh orang ini pasti
sangat sulit. Nama Sun Yu Bo bagi Meng Xin Hun tidaklah terlalu asing lagi. Setiap orang di
dunia persilatan pasti tahu siapa Sun Yu Bo. Bagi yang tidak mengenal Sun Yu
Bo, ibarat pengikut Budha yang tidak mengenal Dewa Ru Lai.
Dalam pandangan para tokoh dunia persilatan, Sun Yu Bo adalah Dewa Ru
Lai, dewa kematian, dalam wujud manusia. Bila ia sedang baik, ia bisa
mengemong dengan sabar seorang anak yang tidak ia kenal selama tiga hari
tiga malam. Akan tetapi di kala murka, dalam tiga hari ia bisa meratakan tiga
buah gunung. Namun nama Sun Yu Bo yang terkenal itu bagi Meng Xin Hun tiada arti.
Karena, baginya, nama itu hanya berarti satu kata: mati!
Terbayang oleh Meng Xin Hun saat pedangnya menusuk jantung Sun Yu Bo.
Ia pun dapat merasakan pedang Sun Yu Bo menusuk jantungnya. Bila bukan
Sun Yu Bo yang mati, maka dirinyalah yang mati. Baginya tidak ada pilihan,
membunuh atau dibunuh. Siapa yang akan mati, ia tidak terlalu perduli.
Subuh tiba. Ia masih berbaring di atas cadas.
Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan. Di ufuk timur,
cahayanya semakin gemilang. Kabut pagi terlihat menggumpal, perlahan
menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya.
Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana, seperti juga
tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana.
Apakah kehidupan Meng Xin Hun pun seperti kabut" Entah datang dari mana
dan menghilang entah kemana"
Di antara kabut tipis yang tersisa perlahan ia berdiri di atas cadas, berjalan
perlahan menuruni kaki bukit.
Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih tetap menyala.
Saat bayu berhembus, sayup-sayup terdengar tawa dan suara orang
bersulang terbawa angin. Itulah rumahnya, araknya, juga perempuannya.
Orang di dalam rumah itu tidak mengetahui bahwa kegembiraan mereka
sudah akan berakhir mengikuti hilangnya malam yang telah berganti pagi,
menghadirkan kesedihan nyata mengikuti datangnya hari ini.
Meng Xin Hun mendorong pintu, berdiri di sana, dan melihat sekitarnya.
Mereka yang berada di dalam tinggal empat atau lima orang. Sebagian hampir
telanjang, sisanya sudah sepenuhnya telanjang. Ada yang tertidur, ada yang
meniduri, ada yang mabuk, ada juga yang termenung semata.
Saat melihat kedatangannya, orang yang mabuk mulai setengah sadar, yang
tidur tetap tertidur, yang meniduri berhenti meniduri, yang termenung tidak lagi
termenung. Dua perempuan telanjang berlari menghampiri Men Xin Hun. Dua pasang
payudara yang hangat kenyal menempel ke tubuhnya. Mereka sangat cantik
lagi muda, payudaranya putih lagi besar. Sedemikian putih dan kenyalnya
hingga urat-urat darah yang kebiruan samar membayang indah mengikuti
setiap geletarnya. Bagi mereka, menjual diri bukan hal memalukan, pun
memamerkan keindahan tubuh justeru membanggakan. Karenanya, tanpa
sungkan mereka tertawa riang berlompatan menimbulkan geletar yang
menggairahkan. "Kemana saja" Kami di sini tak bisa minum tanpamu," kata salah seorang
perempuan itu dengen kenes.
Meng Xin Hun memandangnya dingin.
Wanita-wanita ini sengaja datang ke rumahnya untuk bertemu dengannya.
Demi wanita-wanita ini uang Meng Xin Hun mengalir sederas air.
Setengah hari yang lalu mungkin ia masih bisa memeluk para gadis itu, bagai
seseorang pembaca buku cerita-cerita manis yang bahkan ia sendiri pun tidak
mempercayainya. Tapi sekarang ia hanya ingin berkata satu patah saja. "Keluar!" bentaknya.
Lelaki yang tadi meniduri dan masih berbaring di atas ranjang tiba-tiba berdiri.
Tubuhnya yang telanjang seperti tembaga, berkilau layaknya ikan. Pakaiannya
telah terlempar entah ke mana.
Namun di sisinya nampak sebilah golok.
Seperti tubuh telanjangnya, golok itu berwarna tembaga, batang goloknya
berkilauan seperti sisik ikan, sementara kelelakiannya telah separuh tertidur
masih berkilat kelelahan. Bagi lelaki itu, mengenakan atau tidak mengenakan
pakaian sama saja. Malahan jika sebilah golok tidak berada di tangannya, ia
juseru merasa telanjang. Meng Xin Hun dingin menatapnya, sesaat kemudian bertanya, "Kau siapa?"
Lelaki itu tertawa kemudian menjawab, "Kau sudah mabuk. Aku ini siapa pun
kau lupa. Aku adalah tamu yang kau udang. Kita awalnya minum arak lalu
berkenalan. Kau sendiri yang mengajakku ke mari." Tiba-tiba seperti teringat
sesuatu ia murka dan berkata, "Aku ke sini karena ada perempuanmu.
Mengapa pula kau usir mereka?"
Dingin tatapan Meng Xin Hun. "Kau pun keluar!"
Wajah lelaki itu berubah seketika. Tangannya yang besar dan kasar seketika
menarik goloknya keluar. "Apa kau bilang?" bentaknya sangat marah. Begitu cahaya golok diayun,
orangnya sudah meloncat dan berteriak, "Bila kau mabuk dan melupai aku itu
tidak mengapa. Tapi, jangan lupakan golok sisik ikanku!"
Golok sisik ikan bukan golok sembarangan, harganya mahal, pun golok itu
sangat berat. Hanya orang kaya yang bisa memilikinya, hanya pesilat tangguh
yang bisa menggunakannya.
Di seantero dunia persilatan hanya tiga orang yang menggunakan golok
semacam itu. Tapi Meng Xin Hun tidak perduli siapa orang ini. Meng Xin Hun
hanya bertanya, "Apa pernah kau gunakan golokmu membunuh orang?"
"Ya!" "Sudah berapa membunuh orang?"
Dengan sombong orang itu menjawab, "Dua puluh, mungkin lebih! Tidak ada
gunanya mengingat hal itu."
Men Xin Hun mendelik padanya. Tubuhnya serasa terbakar mendengar
jawaban itu. Meng Xin Hun merasa membunuh merupakan hal menyedihkan.
Ia tidak mengerti mengapa ada manusia yang sudah membunuh pun masih
merasa bangga dan begitu angkuh. Ia membenci orang seperti itu seperti ia
membenci seekor ular beracun.
Wajah seperti tembaga itu tertawa dingin. "Hari ini aku sedang tidak ingin
membunuh, apalagi tadi aku sudah minum arak dan main dengan tiga
perempuanmu." Meng Xing Hun seketika meloncat ke depan lelaki itu. Begitu orang sadar
bahwa Meng Xin Hun sudah di depannya, sebuah kepalan keras telah
menghajar wajahnya. Para gadis menjerit ketakutan. Lelaki itu seketika merasa langit runtuh, tanah
terbelah. Ia tidak lagi merasakan pukulan kedua. Bahkan sakit dan takut pun
sementara ia tidak rasakan lagi.
Setelah lama ia baru merasakan angin dingin menerpa wajahnya. Angin itu
terasa seperti jarum menusuk tulang dan menyengat otaknya. Tidak sengaja ia
meraba mulutnya, terasa lembut seperti sepotong daging yang remuk; tapi
tidak teraba bentuk bibir, juga tidak gigi, tidak pula hidung.
Sekarang ia baru merasa takut. Rasa takut yang keluar dari hatinya yang
paling dalam. Kemudian ia berteriak sekerasnya.
Teriakannya sedemikian menyayat seperti lolong anjing hutan yang digorok
pisau pemburu. * Di rumah kecil itu kini tinggal ia seorang serta sebotol arak di atas meja.
Meng Xin Hun meraihnya, membawanya berbaring di ranjang, kemudian
menaruh botol itu di dada dengan posisi miring ke tepi bibirnya.
Arak secara perlahan mengalir ke mulutnya, setengah lagi mengalir seperti
sungai tumpah ke dadanya.
Arak yang pahit mencecap lidah, naik ke tenggorokan, dan terus hingga
menendang ke kepala. Seketika seperti dirinya tenggelam di lautan arak.
Pun tiba-tiba ia merasa pening.
Sebelum membunuh, Meng Xing Hun selalu berada dalam keadaan sadar dan
tidak pernah mabuk. Namun kali ini berbeda. Ia merasa tidak sanggup membunuh Sun Yu Bo.
Ia merasa Sun Yu Bo akan membawa kesialan baginya.
* Tujuh poci arak sudah ia minum. Mata perempuan itu semakin besar dan
berbinar. Orang yang meminum arak bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, bila
sudah meminum arak matanya jadi merah dan suram. Kebanyakan orang
adalah tipe seperti ini. Namun perempuan itu tidak seperti kebanyakan orang, tidak masuk kategori
pertama. Begitu ia meminum poci kesembilan, matanya semakin seperti
bintang. Jelas ia masuk kategori kedua.
Di rumahnya ada enam hingga tujuh orang sedang melempar dadu. Suara
dadu di kocok seperti genta bertalu.
Lampu terbuat dari perak. Cahaya lampu menyinari baran-barang antik dan
mewah di seluruh ruangan, juga menyinari meja besar yang seluruhnya
terbuat dari giok itu. Wajah-wajah mereka berkeringat di bawah cahaya lampu.
Dan perempuan itu merasa sangat puas.
Iniah rumahnya. Semua barang mewah di rumah ini miliknya. Dan semua ini
hanya sebagian dari kekayaannya.
Mereka yang berada di rumahnya adalah orang-orang kaya, ternama, dan
berpengaruh. Dulu mereka sama sekali tidak memandang sebelah mata
padanya. Tapi sekarang mereka semua adalah temannya.
Perempuan itu tahu, begitu ia membuka mulut, mereka akan rela memenuhi
segala permintaannya. Karena, mereka pun sering meminta bantuan
kepadanya. Kapan pun, ia siap meladeni permintaan mereka, yang paling
aneh sekali pun. Orang yang duduk di dekat pintu adalah lelaki setengah baya. Kota ini
bernama Lu Dong. Dan lelaki itu adalah orang paling kaya dan berpengaruh di
Lu Dong. Pernah suatu kali di kala mabuk lelaki itu berkata, "Semua makanan pernah
kucicipi, hanya belum pernah kumakan daging unta yang utuh dipanggang."
Hari kedua ketika membuka mata, ia melihat empat orang masuk menggotong
sarapannya, yaitu seekor unta utuh yang sudah matang dipanggang.
Di rumah perempuan itu siapa pun boleh meminta yang aneh-aneh, dan
barang sekali pun ia tidak pernah mengecewakan.
Sepuluh tahun yang lalu perempuan itu tidak memiliki apa-apa. Pakaian utuh
pun ia tidak punya. Ia terpaksa membiarkan mata lelaki melihat bagian-bagian
tubuhnya yang tidak tertutup sempurna.
Waktu itu siapa pun yang memberinya selembar pakaian pasti akan mendapat
semua miliknya, yang paling berharga sekali pun.
Namun sekarang ia sudah memiliki segalanya.
* Bila mata perempuan itu sudah semakin terang berarti ia sudah banyak
meminum arak. Bila dadu terus berdenting berarti barang taruhan pun semakin banyak.
Melihat wajah orang-orang itu ia merasa lucu. Lelaki yang biasanya terlihat
sangat sopan manakala sudah berjudi dan main perempuan seketika berubah
menjadi segerombolan anjing dan babi.
Ingin muntah ia melihatnya.
Tiba-tiba ada yang berteriak, "Aku yang jadi bandar, apakah Nyonya Besar
ingin bertaruh?" Perempuan itu menghampiri dan menaruh selembar cek di atas meja.
Yang menjadi bandar adalah seorang kaya. Biasanya ia selalu memamerkan
tubuhnya yang tinggi besar di hadapan para perempuan. Juga sering
memamerkan cincin gioknya yang mahal. Ia melakukan semua itu untuk
membuktikan bahwa dirinya adalah seorang kaya raya bertubuh kekar.
Perempuan itu tahu lelaki ini sedang menggodanya.
Ia sudah sering digoda, tapi itu dulu. Sekarang ialah yang memilih lelaki,
bukan lelaki yang memilihnya. Ia yang menggoda lelaki, bukan lelaki yang
menggodanya. Lelaki bandar itu melempar dadu, yang keluar angka sebelas. Ia tertawa
seperti anjing lapar hingga terlihat giginya berwarna kuning dan hitam.
Perempuan itu mengambil dadu, mengocoknya, dan yang keluar angka 4
merah. Dalam keterpaksaannya, sang Bandar masih coba tertawa. Ia kalah total!
Ketika ia meraih cek di atas meja, angka yang tertulis adalah 50.000 tail.
Wajah lelaki itu berubah lebih hitam dan lebih kuning daripada giginya.
Perempuan itu tertawa renyah. Katanya, "Janganlah terlalu dibuat serius, ini
hanya permainan. Bila Tuan tidak cukup membawa uang, cukuplah diganti
dengan dua kali gongngongan anjing. Semua kami di sini pasti senang."
Siapa pun rela mengganti 50.000 tail dengan dua kali salakan anjing asalkan
dianggap lunas. Namun dengan cepat perempuan itu membuka pintu dan segera berlalu.
Ia takut jika tetap di ruangan itu akan muntah di hadapan tamu-tamunya.
* Subuh tiba. Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan. Di ufuk timur,
cahayanya semakin gemilang. Kabut pagi yang terlihat menggumpal perlahan
menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya.
Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana. Seperti juga
tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana.
Perempuan itu menelusuri jalan kecil membelah kabut, melewati pegunungan,
hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu di kaki bukit.
Begitu masuk, ia menjumpai sosok Meng Xin Hun yang berbaring entah
tertidur entah mabuk. Perlahan perempuan itu menghampiri dan mengulurkan
tangannya. Sebenarnya Meng Xin Hun tidak tertidur, juga tidak mabuk. Ia hanya tidak mau
tahu akan keadaan sekitarnya.
Mendengar langkah orang ia membuka sedikit mata dan melihat tangan
perempuan itu, sepasang tangan berbentuk indah walau agak sedikit
kebesaran. Pemilik tangan seperti itu pasti mempunyai sikap yang keras, hati
yang keras. Siapa pun tidak akan percaya bahwa tangan itu pernah menggali tanah untuk
mendapat ubi jalar, juga pernah bekerja di tambang batu bara.
Perempuan itu menatap Meng Xing Hun dan mengamil botol arak dari
dadanya. "Kau tidak boeh minum terlalu banyak," katanya.
Suara perempuan itu lembut namun nadanya memerintah. Memang hanya
perempuan ini yang bisa memerintah Meng Xin Hun. Perempuan itulah yang
pernah menolong jiwanya ketika berusia enam, ketika sekerat bakpau dingin
lagi keras lebih mewah daripada emas permata.
Itulah jaman perang saat banyak orang mati kelaparan. Di masa itu lumrah jika
ada orang mati kelaparan. Sebaliknya, jika ada yang tidak mati kelaparan,
itulah kejadian luar biasa.
Tanpa rumah, tidak ada ayah, tidak ada ibu, namun anak berusia enam tahun
bisa bertahan hidup benar-benar suatu mukjizat yang luar biasa.
Mukjizat itu diciptakan oleh Gao Lao Da.
Gao Lao Da bukan berarti "kakak lelaki paling besar", melainkan "kakak
perempuan paling besar".
Ia menciptakan empat mukjizat.
Empat anak telah ia selamatkan dan mengikutinya. Yang paling kecil berusia
lima tahun, sementara usia Gao Lao Da saat itu baru 13 tahun.
Demi menghidupi empat anak dan dirinya, semua pekerjaan sudah pernah ia
kerjakan. Ia pernah mencuri, mencopet, menipu.
Ia juga pernah menjual diri.
Saat usianya 14 tahun, ia tukar keperawanannya dengan dua kilo daging. Ia
tidak pernah melupakan wajah si tukang daging.
Lima belas tahun kemudian ia datang kembali ke tukang daging itu dan
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasukkan sebilah pedang panjang.
Tepat ke dalam rongga mulutnya.
3. Dewi Musim Semi Matahari terus merangkak semakin tinggi di permukaan.
Seiring halimun yang menguap terbakar matahari, silau cahayanya
menerawangi kertas jendela.
Dan Gao Lao Da menarik tirai jendela. Ia tidak menyukai cahaya matahari,
karena cahaya matahari selain membuat kulit cepat tua juga memperjelas
garis-garis yang mulai muncul di wajahnya.
Tiba-tiba Meng Xing Hun bertanya, "Kau datang untuk memerintahkanku
melakukan hal itu?" Gou Lou Da tertawa. "Kau tidak perlu diperintah, karena kutahu kau tidak akan
mengecewakanku?" "Namun kali ini?"
"Mengapa kali ini?"
"Kalau aku tidak pergi, bagaimana?"
Gao Lao Da sejenak memelototi Meng Xin Hun, tanyanya, "Kenapa" Apa kau
takut pada Sun Yu Bo?"
Meng Xing Hun tidak menjawab, sebab ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia
semata terdiam, mencoba mencari jawab pada diri sendiri.
"Kau takut?" ulang Gao Lao Da lagi.
Sekarang ia sudah tahu jawabannya: ia tidak takut! Ia tidak takut mati karena
ia sudah pernah mati saat berusia enam. Kalau seseorang sudah tidak takut
mati, apa lagi yang harus ditakuti"
Jawaban yang benar adalah: kejenuhan! Kejenuhan yang sudah merasuk
tulang dan bercampur dengan darah. Ya, bukan kematian yang
menakutkannya, tapi kejenuhan yang merasuki dirinya. Kejenuhan yang telah
menghilangkan segala semangat dan gairah pada kehidupan.
"Aku tidak mau pergi!" ucap Meng Xin Hun lirih.
Gao Lao Da membeku, sesaat kemudian baru berkata. "Tidak bisa, kau harus
pergi! Kau tahu, Shi Qun sedang di Utara, Xiao He ada di Ibu Kota. Dua
"saudara"-mu itu tidak bisa pulang. Maka, hanya kau saja yang bisa
melakukannya. Hanya kau yang bisa menghadapi Sun Yu Bo."
Gao Lao Da saat berusia 13 tahun sudah membuat empat keajaiban, empat
anak telah ia selamatkan dan mengikutinya hingga sekarang.
"Bagaimana dengan Ye Xiang?" tanya Meng Xin Hun.
"Ye Xiang sekarang hanya bisa membopong anak."
"Ye Xiang dulu bisa melakukan ini!"
"Tapi Ye Xiang dulu tidak sama dengan Ye Xiang sekarang," ujar Gao Lao Da
keras. Tapi perlahan ia mulai melembut, katanya, "Aku sudah memberinya
kesempatan tiga kali, tapi tiga kali pula dia mengecewakanku."
Wajah Meng Xin Hun tetap tanpa ekspresi, tapi mata kanannya mulai
berkedut. Manakala ia merasa sakit di hati atau marah, sudut mata kanannya
selalu berkedut. Hubungannya dengan Shi Qui, Xiao He, dan Ye Xiang ibarat saudara
sekandung. Sebenarnya Ye Xiang adalah pemimpin di antara mereka empat
lelaki. Usianya paling tua, paling pintar, paling kuat. Tapi, sekarang"
"Aku lelah?" kata Meng Xin Hun lirih memejam mata.
Gao Lao Da menarik nafas, kemudian duduk merapatkan diri di sisinya. "Aku
tahu kau sudah lelah, sudah jemu. Tapi kehidupan memang begini. Bila kita
ingin bertahan hidup, kita tidak boleh berhenti."
Hidup" Siapa yang perduli dengan hidup" Tapi ia tahu, dalam hidup tetap ada
hal yang harus diperdulikan. Maka ia berkata dengan terpejam, "Baiklah, jika
kau menyuruhku pergi, aku akan pergi."
Gao Lao Da memegang lengan Meng Xin Hun. "Kutahu kau tidak akan
mengecewakanku." Tangan Gao Lao Da terasa lembut dan hangat. Sejak Meng Xin Hun berusia
enam, tangan itu sudah memegang lengannya. Gao Lao Da adalah temannya,
kakak perempuannya, juga merangkap ibunya.
Namun sekarang ia merasa sepasang tangan itu menggenggam tidak seperti
biasa. Tak tahan ia membuka mata, melihat sepasang tangan yang indah walau agak
kebesaran, masih tangan Kakak Gao yang dulu. Kemudian pandangannya
perlahan beralih naik ke pangkal lengan, dan terus ke atas pada dadanya,
hingga akhirnya bertemu mata Kakak Gao.
Sepasang mata itu begitu jernih dan terang.
Tapi wajah Meng Xin Hun justeru muram seperti pelita kehabisan minyak.
* Matahari sudah lama bersinar terang. Lampu"lampu entah kapan sudah mati
kehabisan minyak. Meng Xin Hun tiba-tiba merasa Kakak Gao-nya seperti orang yang lain.
Seorang perempuan yang cantik dan lain.
Saat itu Kakak Gao juga sedang menatapnya. Setelah lama baru berkata
perlahan, "Kau sudah bukan anak kecil lagi."
Meng Xin Hun memang bukan anak kecil lagi. Sejak usia tiga belas, ia sudah
bukan anak-anak lagi. "Kutahu, kau sering mencari perempuan?"
"Benar, banyak sekali," jawabnya.
"Apa kau pernah menyukai mereka?"
"Tidak pernah,"
"Jika kau tidak menyukai mereka, artinya mereka tidak bisa memuaskanmu.
Bila lelaki selalu tidak puas, lama-lama ia pasti akan jenuh?" Kakak Gao
tertawa, begitu lembut dan feminin. Perlahan ia melanjutkan, "Sebagai lelaki
mungin kau tidak memahami perempuan, seperti juga kau tidak tahu betapa
perempuan bisa mendukung dan memotivasi lelaki?"
Meng Xin Hun tidak bicara, ia hanya menatap Kakak Gao
Kakak Gao berdiri perlahan, gerakannya anggun, begitu lembut menawan.
Lengannya bergerak ke dada, mulai membuka kancingnya satu persatu. Gao
Lao Da membiarkan pakaiannya tanggal, jatuh ke bawah.
Ia memang tidak muda lagi, tapi juga tidak seperti wanita yang telah
kehilangan masa remaja, ia tahu bagaimana cara merawat tubuh.
Berdiri di bawah matahari pagi yang mengintip dari balik jendela, ia seperti
Dewi Musim Semi. Dadanya yang terbuka membusung indah dengan
putik-putik pada pucuknya telah mengeras kaku. Nafasnya selembut angin
musim semi membawa harum memabukkan.
Apakah Gao Lao Da sudah mabuk dengan araknya"
Mabuk atau tidak mabuk, tidakkah ia tetap wanita"
Dan Meng Xin Hun adalah lelaki!
* Angin menderu. Dedaunan berterbangan.
Apakah musim gugur sudah tiba" Ataukah itu sekedar pertanda hujan yang
akan tiba" Akankah cerahnya matahari hari ini berlalu begitu saja"
Meng Xin Hun berlari sekencangnya membelah deru angin pagi seperti hewan
yang terluka mengejar matahari.
Ia terus berlari dan berlari seakan enggan berhenti, sementara air matanya
terus mengalir seperti ribuan mutiara menetes terbang ke belakang terbawa
angin. Ia ingin. Ia mau. Tapi, ia tidak bisa! Pernah saat mereka masih berkelana dulu, di umurnya yang baru tiga belas
itu, mereka harus beristirahat di sebuah gudang entah milik siapa.
Musim semi baru tiba. Cuaca terasa begitu panas dan gerah. Sedemikian
gerah dan panasnya hingga ia terbangun di tengah malam dan tanpa sengaja
melihat Kakak Gao sedang mandi di pojok gudang sana.
Sinar bulan mengintip dari jendela, menyinari tubuh putih halus yang basah
tersiram air segayung demi segayung.
Tubuh itu berkilauan. Air itu mengalir pada setiap lekuknya, pada celah bukit dadanya, menetes
melalui perut dan pusarnya, pada lembah subur di bawah sana, sebelum
akhirnya membasahi jenjang paha dan betisnya.
Seketika Meng Xin Hun merasa bara api di perutnya, atau lebih tepat lagi: di
bawah perutnya! Membuat ia memejam mata, namun keringat sudah
membasahi pakaiannya. Usianya tiga belas. Tapi sejak itu ia menjadi lelaki!
Mulai saat itu ia sering memikirkan Kakak Gao, memikirkan kilau tubuhnya,
lekuk tubuhnya, keindahan yang terpampang di hadapannya.
Dewi Musim Semi! Sejak itu pula setiap tidur malam ia selalu membalik tubuh ke arah tembok,
tidak berani sembarang memejam mata. Karena setiap kali matanya terpejam,
yang terbayang adalah Dewi Musim Semi.
Manakala bayangan itu datang padanya ia merasa berdosa, melarang dirinya
membayangkan hal itu lagi. Hingga akhirnya ia menyimpan sebuah jarum.
Setiap kali bayangan itu datang padanya, ia mengambil jarum guna menusuk
kakinya. Usianya semakin bertambah. Bekas tusukan jarum di kakinya pun semakin
bertambah. Hingga ahirnya ia memiliki wanitanya sendiri. Tapi, tetap saja
manakala matanya terpejam di atas tubuh wanita itu, yang terbayang adalah
Kakak Gao. Dan akhirnya di hari ini ia benar-benar bisa mendapatkan Kakak Gao.
Sungguh ia tidak pernah menduganya, tidak percaya. Walau tidak percaya, ia
harus percaya. Ia ingin. Ia mau. Tapi, ia tidak bisa! Sewaktu Meng Xin Hun berlari dari rumah kayu itu ekspresi wajah Kakak Gao
seperti ditampar kencang sekali. Bagi seorang wanita, ditinggal lelaki seperti
itu adalah penghinaan terbesar.
Dan Meng Xin Hun tahu perasaan Kakak Gao.
Tapi ia tetap harus menolaknya.
Baginya, Kakak Gao adalah kakak perempuannya, ibunya, temannya. Ia tidak
mau merusak hubungannya dengan Kakak Gao. Juga tidak mau menggeser
kedudukan Kakak Gao di hatinya.
Tempat di hati itu tidak akan pernah tergeser oleh siapa pun.
Siapa pun! 4. Ye Xiang Meng Xin Hun masih berlari sekencangnya membelah angin seperti hewan
yang terluka mengejar matahari hingga ia kelelahan dan akhirnya berhenti.
Sebatang pohon besar berkulit kasar berdiri kekar di sana.
Ia menangis menggerung memeluk pohon itu erat-erat, menggosokkan
wajahnya ke kulit pohon kuat-kuat. Ia merasa wajahnya basah, entah oleh air
mata atau darah" Matahari semakin tinggi. Mendung hilang entah kemana. Di luar hutan tampak
sebuah rumah di sisi kali. Pemandangan begitu menawan. Seindah lukisan.
Seakan di dunia ini tak ada yang lebih indah selain pemandangan di tempat
itu. Ke tempat itu bermacam orang dari berbagai lokasi datang bertandang, ibarat
lalat melihat segumpal darah di atas sekerat daging telanjang, berbondong
menghampiri. Di situ mereka rela menghabiskan uang sebanyak-bayaknya karena itulah
sebuah rumah pelesiran. Di tempat itu kau bisa membeli arak, memilih perempuan yang paling cantik,
juga membeli mimpi yang tidak bisa kau raih. Bahkan bila kau berani
mengeluarkan banyak uang, kau bisa membeli nyawa seseorang.
Di sana tidak ada barang yang tidak bisa dibeli. Pun tidak ada barang yang
bisa dibeli tanpa uang. Pokoknya, setiap orang yang datang harus membawa
uang, tanpa pengecualian, termasuk Meng Xin Hun.
Itulah rumah milik Gao Ji Ping, biasa dipangil Gao Lao Da.
Hidup berkelana selama 20 tahun mengajarkan Gao Lo Da satu hal: lebih baik
mempunyai uang daripada mempunyai anak. Tidak ada yang bisa
menyalahkan Gao Lao Da atas prinsipnya.
Pengalaman telah mengajarkan padanya, kehidupan yang miskin lebih
menyakitkan daripada memotong sekerat daging sendiri.
* Beberapa lelaki terlihat ke luar dari rumah plesiran itu.
Mereka memeluk pinggang perempuan masing-masing sambil membicarakan
hasil perjudian tadi. Berjudi semalam suntuk terkadang lebih melelahkan daripada pertarungan
hidup dan mati. Meng Xin Hun mengenali lelaki yang pertama keluar, bermarga Qing, tengah
memeluk wanita yang lebih cocok menjadi cucunya.
Orang bermarga Qing itu bertubuh kuat, masih terawat, semangatnya masih
menggebu. Setiap musim gugur ia datang ke tempat itu dan menginap selama
beberapa hari. Meng Xin Hun bertanya dalam hati, "Tidak banyak yang mampu membeli
nyawa Sun Yu Bo, diakah salah satunya?"
Nyawa Sun Yu Bo berharga sangat tinggi. Dulu setiap Meng Xin Hun
membunuh orang, ia tidak perduli siapa yang membeli. Tapi kali ini lain, ia
ingin tahu. Sepertinya malam tadi Qing menang besar, tawanya keras tergelak-gelak, tapi
tiba-tiba terhenti. Ia melihat seseorang melintas mendatangi.
Orang itu bertubuh tinggi besar, gagah, mengenakan jubah panjang berwarna
hijau, rambutnya mulai memutih, dan tangannya memegang dua lempengan
besi. Dari posisi Meng Xin Hun di tepi hutan di belakang sana, ia tidak bisa melihat
wajah lelaki itu dan hanya bisa melihat wajah si Qing.
Di dunia persilatan marga Qing lumayan terkenal, namun begitu melihat wajah
lelaki yang mendatangi dari depannya, seketika si Qing berubah hormat,
menyingkir ke tepi, memberi jalan sambil membungkuk.
Lelaki itu hanya menganguk, mengucapkan dua kata, dan terus berlalu.
Siapakah dia" Meng Xin Hun ingin tahu, tapi tidak bisa!
Di tempat itu Meng Xin Hun ibarat setan tanpa bayangan. Ia tidak boleh
mempunyai nama maupun marga, tidak boleh mengenal orang, juga tidak
boleh dikenal orang. Gao Lao Da telah memerintahkannya agar tidak seorang pun boleh
mengenalnya. Maka, ia tidak boleh memiliki perasaan, teman, dan juga kehidupan pribadi.
Bahkan, nyawa sendiri pun bukan miliknya. Ia hanya mempunyai tugas.
Tugasnya hanya satu: mencabut nyawa.
* Meng Xin Hun coba berdiri tegak dengan tetap memeluk pohon itu.
Tiba-tiba dari atas pohon terjulur sebuah tangan, gemetar menawarkan seguci
arak, di kuti datangnya sebuah suara serak. "Sepagi ini sudah bangun, bukan
hal yang baik, mari minum bersama!"
Meng Xin Hun menyambut guci arak tanpa menengadah. Walau ia tidak
mengenal suara seraknya, tapi ia bisa mengenali sepasang tangannya.
Tangan itu sangat besar dan tipis, artinya bisa memegang benda apa pun
dengan kuat dan cepat. Maka, bila tangan itu memegang pedang, pastilah
tiada seorang pun yang luput dari pedangnya.
Itulah tangan Ye Xiang. Namun tangan itu sudah lama tidak memegang pedang. Pedangnya sudah
lama ia gantungkan. Dulu, sekali pedang Ye Xiang berkelebat, selamanya mengenai sasaran
dengan tepat. Gao Lao Da mempercayai Ye Xiang. Ye Xiang pun penuh percaya diri. Tapi
sekarang untuk memegang seguci arak pun tangannya terlihat gemetar.
Di tangan itu tampak bekas luka yang panjang dan dalam, luka yang ia dapat
saat terakhir bertugas membunuh orang.
Orang itu bernama Yang Yu Ling, seorang kroco yang tidak terkenal.
Sebelumnya, semua yang dibunuh Ye Xiang jauh lebih lihai daripada Yang Yu
Ling. Gao Lao Da menyuruh Yeng Xiang membunuh Yang Yu Ling semata untuk
memulihkan kepercayaan dirinya karena ia sudah dua kali gagal.
Tapi kali ini pun ia tetap gagal. Yang Yu Ling nyaris memotong putus tangan
Ye Xiang. Semenjak itu Ye Xiang tidak pernah membunuh lagi, kerjanya seharian hanya
bermabukan semata. * Arak itu terasa pahit dan pedas.
Hanya sekali tenggak, alis Meng Xin Hun langsung berkerut.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ye Xiang tertawa, "Ini memang bukan arak bagus, tapi tidak ada arak bagus
tetap lebih baik daripada tanpa arak." Ia kembali tergelak sebelum
melanjutkan, "Gao Lao Da masih mengijinkanku meminum arak pun sudah
suatu kebaikan. Orang sepertiku pantasnya menenggak kencing kuda!"
Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa, sementara Ye Xiang sudah
melorot turun dari pohon dan tersenyum memandangnya.
Namun Meng Xing Hun tidak mau melihatnya. Ia tidak tega. Orang yang
pernah mengenal Ye Xiang pasti tidak tega melihat ia berubah drastis seperti
ini. Sebenarnya Ye Xiang adalah lelaki yang ganteng dan kuat, tenaganya besar,
suaranya berat berwibawa. Tapi sekarang pedangnya sudah berkarat,
wajahnya kuyu, suaranya berubah serak.
Ye Xiang menenggak araknya lagi sambil menghela nafas. "Sekarang semakin
jarang kita berjumpa. Biar pun kau menghina diriku, itu pantas bagiku. Bila
tidak ada dirimu, aku sudah mati di tangan Yang Yu Ling."
Terakhir kali Gao Lao Da menyuruh Ye Xiang membunuh orang, ia menyuruh
Meng Xin Hun menguntit dari belakang.
Ye Xiang tertawa. "Sebenarnya hari itu kutahu kau ada di belakangku, karena
itu?" Meng Xing Hun seketika menyela, "Seharusnya aku memang tidak pergi!"
"Kenapa?" tanya Ye Xiang.
"Gao Lao Da menyuruhku mengikutimu karena ia menghawatirkanmu. Kau
tahu itu! Karena itu, kau tidak percaya diri. Bila saat itu aku tidak mengikutimu,
kau pasti bisa membunuh Yang Yu Ling."
Ye Xiang tertawa sedih. "Kau salah! Waktu aku gagal membunuh Lei Lao San,
aku tahu selamanya tidak bisa membunuh lagi." Lei Lao San adalah kegagalan
pertamanya. Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dalam-dalam. "Lei Lao San seorang
tengkulak, biasanya kau paling benci orang macam ini. Aku heran, kenapa kau
tidak bisa membunuhnya?"
Ia tertawa kecut. "Aku pun tidak tahu mengapa, yang kutahu aku merasa
sangat lelah. Sedemikian lelahnya hingga enggan melakukan apa pun."
Setelah terdiam sesaat, Ye Xiang menghela nafas, "Kau tidak akan pernah
mengerti perasaan seperti ini?"
Lelah! Kata itu tajam menusuk ulu hati Meng Xin Hun, sudut matanya mulai
berkedut. Lama ia baru berkata, "Aku mengerti!"
"Kau mengerti apa?"
"Aku sudah membunuh sebelas orang!"
"Kau tahu berapa orang yang kubunuh?"
Meng Xin Hun tidak tahu. Kecuali Gao Lao Da tidak ada yang tahu. Setiap kali
menjalankan tugas, itulah misi rahasia, tidak ada orang lain yang boleh tahu.
"Aku sudah membunuh tiga puluh orang. Tidak lebih tidak kurang, tiga puluh!"
Tangannya gemetar, ia cepat-cepat menenggak araknya. "Kau pun akan
membunuh dalam jumlah banyak, mungkin lebih banyak dariku. Karena jika
tidak, kau akan menyerupai nasibku?"
Lagi, seolah tendangan keras menghantam ulu hati Meng Xin Hun. Ia sudah
benar-benar merasa mual, ingin muntah: Ye Xiang adalah cermin dirinya.
Sementara Ye Xiang melanjutkan berkata, "Setiap orang memiliki nasib dan
takdirnya sendiri, jarang ada yang bisa menghindari dan mengubahnya.
Sebetulnya aku pernah memiliki kesempatan untuk mengubah takdirku?"
"Kau pernah miliki kesempatan itu?"
Ye Xiang membuang pandang jauh-jauh. "Pernah suatu kali aku bertemu
dengan seorang wanita, ia membantuku sepenuh hati. Kalau waktu itu aku
bertekad pergi dengannya, mungkin hidupku tidak begini. Seandainya pun
mati, matiku jauh lebih baik daripada begini?"
"Kenapa kau tidak pergi dengannya?"
Mata Ye Xiang menyorot sedih, perlahan ia berkata lirih, "Karena aku seorang
bodoh. Sangat goblok. Goblok sekali! Aku tidak berani?"
"Bukannya tidak berani," Meng Xin Hun menatap penuh simpati, "mungkin
karena kau tidak tega."
"Tidak tega pun suatu kebodohan!" hentaknya. "Kuharap kau tidak sebodoh
diriku." Ia memegang tangan Meng Xin Hun, menatapnya dalam-dalam.
"Kesempatan hanya datang sekali. Jika sudah lewat, ia tidak akan kembali.
Dalam hidup setiap orang pasti akan datang satu kesempatan! Karena itu
kumohon padamu, bila kesempatan itu datang padamu, janganlah kau
sia-siakan." Sehabis berkata ia membalik tubuh, ia tidak mau Meng Xin Hun melihat air
matanya. Ia mengucapkan semua itu bukan hanya demi Meng Xin Hun, tapi juga untuk
dirinya. Ia tahu seumur hidupnya sudah tidak punya kesempatan lagi,
karenanya ia berharap Meng Xin Hun dapat melanjutkan hidup dengan lebih
baik daripada dirinya. Sementara Meng Xin Hun hanya terdiam. Ia tidak bicara karena tidak bisa
mengutarakan isi hatinya. Perasaannya pada Gao Lao Da hanya dirinya yang
tahu. Demi Kakak Gao, ia rela mati.
Ye Xiang kembali bertanya, "Apa kau akan membunuh lagi?"
Meng Xin Hun mengangguk. "Kali ini siapa yang akan kau bunuh?"
"Sun Yu Bo." Itulah rahasianya. Tapi, dihadapan Ye Xiang, ia tidak bisa menyimpan rahasia
itu. "Sun Yu Bo" Apakah Sun Yu Bo yang tinggal di Jiang Nan?"
"Kau mengenalnya?" Meng Xin Hun balik bertanya.
"Aku pernah bertemu dengannya!"
"Dia seperti apa?"
"Tidak ada yang tahu dia seperti apa. Aku hanya mengetahui satu hal saja."
"Apa?" "Jika aku adalah kau, aku tidak akan pergi membunuhnya."
Meng Xin Hun menghela nafas, berkata perlahan, "Aku juga hanya
mengetahui satu hal saja."
"Apa?" "Aku harus membunuhnya!"
5. Lao Bo Ketika Fang You Ping pulang, ia sudah mabuk seperti melayang. Ia tidak ingat
di mana minum arak, juga tidak tahu bagaimana ia bisa pulang. Yang pasti,
jika ia tidak mabuk, ia tidak akan pulang.
Sebenarnya ia punya keluarga yang hangat dan bahagia. Tapi tujuh bulan
yang lalu rumah tangganya tidak hanya hangat, melainkan sudah sangat
panas. Sedemikian panasnya hingga ibarat neraka membuatnya enggan
pulang. Ketika malam ini ia pulang, seisi rumah sudah tertidur lelap. Di tangannya
masih ada setengah botol arak yang masih ia coba tenggak. Belum lagi
terminum, ia malah muntah. Setelah muntah ia jadi agak sadar.
Sebenarnya ia tidak mau sadar. Setelah sadar, keadaannya malah lebih
runyam daripada mabuk. Karenanya, ia memilih mabuk daripada sadar. Ia
segera menenggak setengah botol arak yang tersisa di tangannya.
Sesungguhnya ia lelaki yang punya uang dan nama. Lelaki yang punya uang
dan nama pasti memiliki istri yang mempesona.
Istrinya memang cantik, sangat cantik malah. Boleh dikata, kecantikan istrinya
begitu menggoda. Tapi ia paling tidak tahan jika kaum lelaki memandang istrinya dengan mesum,
serasa ingin ia cungkil setiap pandangan lelaki seperti itu.
Sayangnya, ia pasti tidak akan sanggup melakukannya. Karena kalau ia
sanggup, entah berapa banyak mata lelaki yang harus ia cungkil.
Namun istrinya sangat suka dengan pandangan binal seperti itu, suka bila
lelaki menatapnya dengan mesum. Semakin mesum, semakin baik malah.
Walau di luaran wajah istrinya sedingin es, tapi ia tahu di dalam hati istrinya
sedang membayangkan naik ranjang bersama lelaki yang memandang mesum
itu. Pada malam pertama pernikahannya, ia hampir mencekik mati sang istri. Tapi
begitu melihat sepasang mata yang besar dan lincah, memandangi mulut yang
ranum merekah, tangannya yang terjulur mencekik seketika berubah jadi
pelukan. Ia hanya bisa menangis di dada istrinya.
Entah berapa banyak lelaki yang sudah naik ke ranjang sebelum dirinya, ia
tidak mau tahu. Tapi belakangan yang ia tahu hanya satu: jika istrinya tidak
ada di tempat tidur, berarti tengah berada di tempat tidur lelaki lain.
Begitu sadar ia pasti mengingat hal itu. Maka Fang You Ping segera lari ke
ruang tamu, setengah arak tersisa tidak cukup membuatnya mabuk. Ia
mencari sebotol arak lagi, itu pun kalau masih ada.
Tiba-tiba terdengar suara di luar jendela, kibar pakaian diterpa angin.
Sebelum menikah dengannya, istrinya adalah seorang maling perempuan
yang lumayan ternama, bernama Zhu Qing. Ilmu meringankan tubuh isterinya
bahkan lebih lihai daripadanya.
Setelah menikah ternyata ilmu meringankan tubuh Zhu Qing tetap berguna, ia
bisa keluar dari jendela kapan pun mau dan pulang menjelang pagi.
Sejak menikah, Zhu Qing tidak lagi mencuri barang karena suaminya sudah
cukup menyediakan barang. Ia hanya perlu mencuri lelaki.
Lilin hampir padam. Fang You Ping sudah separuh mabuk separuh sadar.
Tiba-tiba Zhu Qing muncul dengan pandangan menghina.Wajahnya terlihat
pucat, bola matanya hitam, penampilannya dingin tapi anggun.
"Kau dari mana?" tanya Fang You Ping. Sebetulnya ia sudah tahu
jawabannya, tapi tetap bertanya.
Zhu Qing menjawab dengan nada menghina, "Mencari seseorang."
"Mencari siapa?"
"Mencari Mao Wei."
Di kota itu semua kenal Mao Wei. Harta Mao Wei sangat banyak. Dalam
hitungan sepuluh orang, paling sedikit enam di antaranya membeli pakaian di
toko Mao Wei. Beras pun dibeli dari toko Mao Wei. Kalau berjalan entah ke
mana, tanah yang kau pijak mungkin masih dimiliki Mao Wei. Bila kau melihat
seorang perempuan cantik, kemungkinan perempuan itu milik Mao Wei atau
sudah pernah dipermainkan Mao Wei.
Pokoknya, di tempat itu, apa pun yang kau lakukan, apa pun yang kau lihat,
seputar mata memandang, pasti ada hubungan dengan Mao Wei.
Wajah Fang Yao Ping terlihat merah, marah ia bertanya, "Untuk apa kau cari
Mao Wei?" "Kau mau tahu jawabnya?" Mata Shu Qin menyorot sinar menggoda.
Wajahnya yang pucat mulai memerah, kemudian melanjutkan berkata, "Ia juga
minum arak sepertimu. Tapi, tidak sepertimu, walau mabuk ia masih bisa
melakukannya." Tiba-tiba Fang You Ping meloncat dan mencekik leher Zhu Qing. "Kubunuh
kau!" teriaknya. Meledak tawa Zhu Qing. Ia cekikikan, "Silahkan bila ingin membunuhku, tidak
ada yang kubuat kagum padamu. Bila kau memarahi Mao Wei, barulah
kukagum padamu." Fang Yaou Ping tidak berani memarahi Mou Wei, juga tidak berani mencekik
mati istrinya karena Mao Wei pasti akan mencarinya. Dalam keadaan mabuk
pun ia tidak berani melakukannya!
Tangan Fang You Ping gemetaran kemudian ia mulai melonggarkan
cekikannya. Namun begitu melihat wajah Zhu Qing yang menghina, tangannya
kembali mencengkram erat.
Tiba-tiba Zhu Qing berteriak, "Jangan memukuli wajahku!" Walau ia berteriak,
tapi tidak terlihat ketakutan dalam nadanya, malah terdengar tawa dalam
suaranya. Fang You Ping memukul perut Zhu Qing hingga terjatuh.
Zhu Qing mengait leher Fang You Ping, menariknya supaya ikut terbaring di
lantai dan membiarkan Fang You Ping menghirup aroma tubuhnya.
Fang You Ping terus memukuli dada Zhu Qing yang kenyal. Tapi, ia memukul
terlalu ringan. Zhu Qing malah tertawa cekikikan, ia mengangkat gaun panjangnya
tinggi-tinggi, mengeluarkan sepasang kakinya yang jenjang dan putih, juga
menunjukkan bahwa ia tidak mengenakan apa-apa lagi di balik gaunnya.
Fang You Ping seperti sapi yang terengah. Ia membenamkan wajahnya
dalam-dalam di sana. Menghirup seluruh aroma kewanitaan istrinya.
Kemudian ia mengangkat tubuhnya, meletakkan persis di bawahnya. Dan
Fang You Ping mulai coba memasuki diri istrinya. Ia merasa betapa
kewanitaan istrinya sudah begitu basah.
Namun betapa pun mencoba, ia tetap tidak mampu.
Akhirnya ia berguling dari atas tubuh Zhu Qing, jatuh ke samping persis pada
bekas muntahnya sendiri. Ia kembali ingin muntah, tapi tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis.
Zhu Qing perlahan berdiri, merapikan rambutnya yang kusut. Hanya dalam
waktu sekejap ia berubah dari perempuan genit menjadi perempuan anggun.
Dengan dingin ia menatap Fang You Ping. "Aku tahu, sekali mabuk kau tak
dapat melakukannya dan selalu mengecewakanku. Sekarang aku mau tidur,
jangan coba ganggu, karena aku harus tidur nyenyak supaya besok punya
tenaga buat menemui Mao Wei."
Ia membalik tubuh, masuk ke kamar tidur. Sebelum masuk ia masih sempat
berkata, "Kecuali kau membunuh Mao Wei, setiap malam aku akan tetap
mencari dia." Fang You Ping mendengar pintu dikunci.
Dan ia terus menangis. Hingga akhirnya nama itu melintas dalam benaknya. Seseorang dapat
membantunya. Ya, hanya seorang saja yang bisa membantunya.
Lao Bo! Begitu teringat nama Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia tahu Lao Bo
akan membereskan masalahnya.
Hanya Lao Bo. Tidak ada yang lain! * Zhang Lao Tou, si "Pak Tua Zhang", berdiri di dekat tempat tidur memandangi
anak perempuannya yang cantik dengan air mata bercucuran.
Ia adalah seorang tua yang memiliki penghidupan susah, seumur hidup
membantu orang bekerja di sawah, saat panen pun hasilnya masih milik orang
lain. Hanya anak perempuan satu-satunyalah yang bisa membahagiakannya, yang
ia banggakan dan perlakukan sebagai putri raja. Namun sekarang putrinya
telah dirusak oleh segerombolan bejat.
Semenjak pulang kemarin malam putrinyanya pingsan dan belum sadarkan diri
hingga sekarang. Sewaktu di gendong ke dalam, semua pakaiannya sobek, memperlihatan kulit
putih mulus yang penuh lebam.
Mengapa ia bisa mengalami kejadian seperti ini"
Zhang Lao Tou tidak habis pikir. Ia pun tidak tega memikirkannya.
Sewaktu megambil air kemarin anak itu masih tampak polos dan gembira,
masih punya mimpi-mimpi indah. Tapi saat ia pulang kehidupannya sudah
berubah menjadi mimpi buruk.
Sebelum pingsan ia masih sempat menyebut nama dua orang: Jiang Feng dan
Jiang Ping. Zhang Lao Tou ingin mencekik leher mereka, namun ia tidak sanggup.
Jiang Feng dan Jiang Ping adalah tamu dari Xu Qing Song yang kaya raya. Xu
Qing Song adalah teman baik ayah kedua pemuda itu.
Selain itu, kedua kakak beradik ini lumayan punya nama di dunia persilatan.
Mereka pernah membunuh harimau tanpa senjata.
Rasanya mustahil bagi Zhang Lao Tou yang miskin dan renta untuk
membalaskan dendamnya. Namun Xu Qing Song dikenal sebagai orang yang sangat adil. Karenanya,
Zhang Lao Tou datang kepadanya. Ia percaya Xu Qing Song pasti akan
membela dirinya. Xu Qing Song tengah berdiri di depan Jiang bersaudara. Mukanya merah. Ia
menggulung lengan baju seakan ingin mencekik mati kedua pemuda itu.
Walaupun Jiang bersaudara menunduk sangat dalam, tapi dari sorot mata
mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sama sekali.
Jiang yang lebih muda menunduk melihat sepatunya sendiri yang ternoda
darah perawan putri Zhang Lao Tou. Ia merasa sayang karena sepatu itu baru
dibeli di Ibu Kota Binatang jahat! Maki Zhang Lao Tou dalam hati, ia gemetar menahan geram,
namun tetap mencoba menahan diri karena percaya Xu Qing Song akan
memberi keadilan padanya.
Suara Xu Qing Song sangat tegas ketika berkata, "Apa kalian yang melakukan
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini" Jawab dengan jujur!"
Jiang bersaudara mengangguk.
Xu Qing Song sangat marah dan membentak, "Tidak kusangka kalian bisa
melakukan hal ini. Apa kalian melupakan begitu saja ajaran orangtua" Aku
adalah sahabat orangtua kalian, paling sedikit harus menggantikan dia
menghajar kalian! Apa kalian bisa menerima?"
Jiang bersaudara mengiyakan.
Wajah Xu Qing Song tidak marah lagi dan berkata, "Kelakuan kalian walau
sangat memalukan tapi masih mau mengakui kesalahan. Di depanku pun
kalian berkata jujur. Anak muda seperti kalian karena sudah mengaku
bersalah, tentu masih bisa ditolong dan dimaafkan. Untunglah Nona Zhang
lukanya tidak seberapa?"
Zhang Lao Tou seketika pening. Kata-kata Xu Qing Song sulit didengarnya
lagi. Xu Qing Song masih melanjutkan berkata, "Sekarang kutanya pada kalian,
kelak apa masih berani melakukan perbuatan seperti ini?"
Jiang bersaudara mengeluarkan senyum licik, mereka tahu masalah sudah
beres. Dengan cepat si kakak berkata, "Tidak berani" Tidak berani lagi."
Xu Qing Song melanjutkan, "Karena kalian baru pertama melakukannya dan
berani mengakui kesalahan, maka hukumannya agak ringan. Kalian dihukum
selama tujuh hari di rumahku, dan semua upah kalian diberikan kepada Nona
Zhang." Xu Qing Song sejenak merapikan lengan bajunya. "Kalau lain kali
kalian masih berani melakukan hal ini, aku tidak akan mengampuni lagi!"
Zhang Lao Tou merasa darahnya terhisap habis, untuk marah pun ia tidak
bisa. Ia hanya terkulai lemas.
Bila sehari mendapat tiga tail perak, dalam tujuh hari ada dua puluh satu tail.
Dua puluh satu tail bagi Jiang bersaudara seperti setitik debu, dan itulah nilai
yang ditukar untuk membeli kebahagiaan anak perempuannya seumur hidup.
Jiang bersaudara berjalan sambil menunduk dan terus keluar. Saat melalui
Zhang Lao Tou mereka meliriknya, penuh kemenangan.
Zhang Lao Tou orang yang sabar, selama hidup menanggung kesulitan. Ia
tetap sabar ketika menerima banyak siksaan dan penghinaan, namun sekali ini
ia tidak kuat menanggungnya.
Zhang Lau Tou menggeram. Ia berlari menghampiri dan menjambak baju di
dada Jiang Feng. "Aku juga punya dua pulus satu tail perak, bawa adik
perempuanmu ke sini. Aku juga mau melakukanya!"
Jiang Feng dingin menatapnya, tidak bergerak sedikit pun. Pukulan Zhang Lau
Tou di dadanya seperti lalat menggoyang penglari.
Dua orang pelayan datang menarik tangan Zhang Lao Tou dan langsung
menyeretnya pergi, membuat ia merasa diperlakukan seperti seekor monyet.
Seumur hidup ia biasa dihina, tapi tidak pernah terhina seperti ini.
Xu Qing Song justeru marah dan berkata, "Kalau bukan anak peremuanmu
yang menggoda duluan, mana mungkin Jiang bersaudara akan melakukan hal
itu" Mengapa mereka tidak melakukannya pada perempuan lain" Perempuan
di desa ini bukan hanya anakmu saja, tahu!" Xu Qing Song mengebas
tangannya. "Cepat pulang, ajari anak perempuanmu. Jangan marah-marah
seperti orang gila di sini!"
Zhong Lau Tou merasa air pahit keluar dari tenggorokannya, ia ingin muntah
tapi tidak bisa. Maka ia mengikat tali di atas penglari rumah.
Ia marah karena dirinya tidak berguna, marah pada dirinya karena tidak bisa
mencari keadilan bagi anaknya yang diperkosa.
Ia rela mengorbankan segalanya demi sang anak, tapi sekarang ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Bila hidup seperti ini, tidakkah lebih baik mati"
Ia mengikat tali dan memasukkan kepala pada lubang simpulnya. Saat itulah ia
melihat di pojok ruangan beberapa labu dan setumpuk anggur.
Setiap panen musim gugur ia akan memilih labu yang paling besar dan anggur
yang paling manis, kemudian mengantarkannya kepada orang itu.
Ia melakukan karena rasa hormat dan cinta pada orang itu. Dan sekarang ia
memikirkan nama itu. Lao Bo! Begitu teringat Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia percaya Lao Bo
akan mengembalikan keadilan untuknya.
Hanya Lao Bo. Tidak ada yang lain! * Tujuh Pemberani, itulah gelar mereka.
Mereka tujuh pemuda, berani, dan penuh tenaga kehidupan. Tapi mereka
sendiri tidak begitu mengerti makna kata "berani" pada gelar mereka.
Yang mereka tahu, mereka berani mengatakan dan melakukan apa pun.
Mereka tidak tahun bahwa "berani berkata dan berbuat" pun suatu kebodohan.
Yang tertua di antara ketujuh pemuda pembrani itu adalah Tie Cheng Gang. Ia
berbeda dengan keenam pemuda lainya, ia bukan anak piatu. Persamaan
dirinya dengan keenam pemuda lainnya adalah mereka senang berpetualang.
Salah satu petualangan yang mereka suka adalah berburu. Dan musim gugur
merupakan saat tepat untuk berburu.
Hari itu Tie Cheng Gang membawa keenam temannya buat berburu. Mereka
baru mendapat dua ekor rusa, seekor kucing gunug, dan beberapa kelinci.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah rumah terbakar di kaki bukit. Rumah Duan Si
Ye. Duan Si Ye adalah paman Tie Cheng Gang.
Ketika mereka tiba, api sudah besar melalap rumah. Tidak tampak seorang
pun yang berusaha memadamkannya. Ke mana tujuh puluh hingga delapan
puluhan penghuninya"
Mereka berlari masuk ke dalam rumah dan menemukan jawabannya. Di rumah
itu semua lelaki, perempuan, tua, muda, semua sudah jadi mayat.
Total, tujuh puluh sembilan mayat, dan salah satunya adalah mayat Duan Si
Ye. Tombak perak yang biasa digunakan Duan Si Ye telah putus menjadi dua.
Ujung tombak menancap di dadanya, namun gagang tombak tidak ada di
tangannya. Sepasang tangan Duan Si Ye justeru mengepal dengan keras, hingga
urat-urat nadi di tangannya merongkol seperti ular mati berwarna hijau
kebiruan. Barang apa yang digenggam Duan Si Ye begitu erat hingga mati pun ia tidak
rela melepaskannya" Tidak ada yang tahu, bahkan sepertinya Duan Si Ye pun tidak memiliki
kesempatan untuk mengetahuinya hingga mati pun ia tidak sempat menutup
mata. Melihat keadaan mayat sang paman, hati Tie Cheng Gang sakit sekali,
lambung pun terasa menciut.
Ia berjongkok dan menutup kelopak mata Duan Si Ye, kemudian berusaha
membuka genggaman tangan sang paman.
Gengaman itu sangat sulit dibuka. Tangan Duan Si Ye menggengam terlalu
erat, dan kini otot dan tulangnya sudah mengeras kaku.
Api semakin mendekat, mulai memanggang wajah Tie Cheng Gang. Dari
rambutnya pun mulai tercium bau hangus.
Teman-temannya berteriak, "Cepat lari! Kita keluar dulu baru bicara lagi!"
Dengan menggigit bibir Tie Cheng Gang mencabut golok dan memengal
sepasang tangan pamannya untuk kemudian ia simpan dalam pakaiannya
serta berlari ke luar sana.
Sesampai di luar, teman-temanya merasa heran. "Jika kau ingin melihat apa
yang digengamnya kenapa tidak kau bopong saja tubuhnya keluar?"
Tie Cheng Gang mengeleng kepala. "Mending paman sekalian dikremasi
saja." Ia tidak pernah berbohong pada teman-temannya, tapi kali ini ia tidak
mengatakan yang sejujurnya.
Sebetulnya ia merasa firasat tidak enak, membuatnya memutuskan
membiarkan mayat pamannya tetap di dalam.
Teman-temannya menatap dengan heran, "Apa kita biarkan keadaan seperti
ini?" "Habis bagaimana lagi?" Tien Cheng Gang balik bertanya.
"Paling sedikit kita harus tahu siapa yang membakar rumah ini."
Tie Cheng Gang belum menjawab, ia melihat kedatangan tiga biksu
mengenakan baju berwarna biru. Di pedang mereka terlihat pita berwarna
kuning berkibar tertiup angin seiring dengan jengot mereka yang belang dan
juga terkibarkan angin. Mereka sepeti tiga dewa yang baru turun dari langit. Ketiganya pasti bukan
pembunuh. Entah mengapa melihat mereka hati Tie Cheng Gang terasa berat.
Sebaliknya, teman-temannya malah merasa senang.
Huang Shan San You sudah datang. Asalkan ada tiga biksu sepuh itu semua
masalah pasti beres. Huang Shan San You adalah sebutan untuk Yi Shi, Yi Yun, dan Yi Qiang.
Walau mereka adalah biksu, namun ilmu pedangnya sangat tinggi. Mereka
juga sangat adil. Tidak heran jika banyak anak muda yang belajar pedang
mengidolakan mereka. Tidak terduga wajah Huang Shan San You terlihat marah. Begitu berhadapan,
Yi Qiang si "Satu Mata Air" berseru, "Kalian sangat berani!"
Yi Yun si "Satu Awan" menyahuti, "Kutahu kalian biasa melakukan hal-hal
yang berani, tidak disangka kalian juga berani melakukan ini!"
Yi Shi si "Satu Batu" selalu jarang bicara. Ia diam seperti sebongkah batu.
Lebih keras dan lebih dingin daripada batu.
Enam orang dari Tujuh Pemberani itu wajahnya sudah berubah. Mereka bukan
takut, tapi kaget setengah mati.
"Memangnya kami sudah melakukan apa?" tanya salah satunya, sementara
yang lain berkata, "Perbuatan ini bukan kami yang melakukan!"
Yi Qiang murka, "Kalian masih berani menyangkal?"
Yi Yun pun marah, "Bila bukan kalian, lantas siapa" Darah di pisau kalian pun
belum dibersihkan!" Keenam pemuda dari kaget menjadi heran dan gelisah. Mata Huang Shan San
You begitu jeli, masakah tidak bisa membedakan darah manusia atau hewan"
Tapi Tie Cheng Gang terlihat tenang, ia sudah melihat permasalahanya dan
tahu bahwa tiada seorang pun yang bisa membela mereka dari tuduhan itu.
Ia tidak mau mati sebagai kambing hitam. Lebih-lebih ia tidak mau keenam
kawan setianya menemaninya mati. Karena itu, ia harus tenang.
Yi Qiang bertanya, "Apa lagi yang ingin kalian bicarakan?"
Tie Cheng Gang tiba-tiba menukas, "Aku semua yang lakukan ini! Mereka
tidak tahu apa-apa."
"Apa kau suruh aku melepas mereka?" tanya Yi Qiang.
Tie Cheng Gang menjawab, "Asal kalian melepas mereka, kujamin satu patah
pun tak kan kubantah!"
Mata Yi Shi menyipit. "Satu pun tidak bisa dilepaskan. Bunuh semua!"
Pedangnya lebih cepat daripada suaranya. Saat kilatan pedang berayun, satu
nyawa sudah melayang. Tujuh Pemberani tidak seperti orang lain. Mereka bersatu bukan karena teman
sekedar minum arak dan daging. Di antara mereka benar-benar terjalin
perasaan yang erat. Bila ada yang mati, yang lain matanya akan memerah
karena marah. Sekarang mata mereka sudah merah karena marah. Walau mereka tahu
bukan tandingan Huang Shan San You, mereka tidak takut mati.
Mereka adalah anak muda yang darahnya mudah bergolak, tidak mengerti arti
kehidupan dan makna selembar nyawa yang mahal. Mereka juga tidak
mengerti ketakutan dan kematian. Karenanya, mereka pantang lari dari
masalah. Tie Cheng Gang adalah yang tertua di antara mereka. Tiba-tiba ia justeru
membalikkan tubuh dan lari masuk ke dalam kobaran api.
Ia lari bukan karena takut mati, ia hanya tidak mau mati tanpa tahu penyebab
kematiannya. Ia juga tahu, jika ia mati, Tujuh Pemberani akan dicap sebagai pembunuh
yang membakar rumah Duan Si Ye. Nama buruk Tujuh Pemberani tidak akan
bisa dibersihkan dan pembunuh sebenarnya akan tetap bebas berkeliaran.
Ia pun tahu, Huang Shan San You tidak akan membiarkannya lolos, karenanya
ia berlari masuk ke dalam kobaran api.
Yi Shi sangat marah, beteriak, "Jangan biarkan dia lolos! Bunuh dia! Lima
orang ini cukup kuhadapi sendiri saja."
Ia mengayunkan pedangnya dari kiri ke kanan, kemudian dari atas ke bawah.
Jalur yang dilalui pedangnya seketika menyembur darah.
Sementara Yi Qiang dan Yi Yun menerjang kobaran api mengejar Tie Cheng
Gang. Walau api sudah lama berkobar, nyalanya masih besar.
Jenggot mereka yang belang sudah habis terbakar, tubuh pun di beberapa
tempat juga hangus terbakar.
Kehidupan Huang Shan San You biasanya sangat tenang dan damai.
Pembawaannya pun selalu anggun seperti dewa. Tapi sekarang keadaan
mereka tampak kacau begini.
Mengapa mereka mengangap nyawa Tie Cheng Gang begitu penting dan
berharga" Yi Qiang berteriak, "Tie Cheng Gang, apa kau tidak mendengar jerit
teman-temanmu" Apa kau tidak perduli dengan mereka" Teman macam apa
kau?" Tidak ada sahutan. Yang terdengar hanya gemeretak kayu terbakar api.
Yin Yun sudah tidak tahan lagi kemudian berkata, "Kita mundur dulu, Tie
Cheng Gang tidak mungkin lolos."
Walau pun Tie Cheng Gang bisa lolos dari api, tapi ia tidak akan bisa lolos dari
pedang Huang Shan Sou You. Bila tetap bertahan di kobaran api, ia akan mati
terpanggang. Api sudah padam. Huang Shan San You mulai membersihkan sisa-sisa kebakaran. Mayat-mayat
pun sudah seluruhnya hangus terbakar.
"Ada berapa mayat?" tanya Yi Shi.
"Delapan puluh lima," jawab Yi Qiang.
Wajah Yi Shi langsung berubah. Setelah lama ia baru berkata, "Tie Cheng
Gang belum mati!" Yi Qiang menganguk. "Benar dia belum mati."
"Dia harus mati!" kata Yi Shi.
Yi Qiang menganguk dan mereka mulai mencari lagi.
Akhirnya mereka menemukan sebuah jalan bawah tanah di reruntukan puing
bekas kebakaran itu. Wajah Yi Qiang terlihat semakin marah. "Tie Cheng Gang sudah lari lewat
jalan ini." "Dia masih keluarga Duan, tentu sudah pernah ke sini. Ia pasti tahu jalan ini."
"Mari kita kejar."
Yi Qiang berkata dingin, "Harus dikejar ke mana pun pergi, tidak boleh
dibiarkan lolos!" Tiga malam berlalu. Jangkrik berderik.
Tie Cheng Gang menelungkup di semak-semak berduri, tidak berani bergerak
sama sekali. Tubuhnya terluka tusukan duri-duri semak. Darah masih mengalir. Ia juga
sudah tiga hari tiga malam tidak makan dan minum.
Ia lapar hingga matanya lamur. Pun bibirnya sudah pecah kekeringan. Namun
ia tetap tidak berani bergerak.
Ia tahu ada orang yang mengejarnya. Pendekar Zhao Xiong sudah
memerintahkan seluruh anak buah untuk menangkapnya.
Sesungguhnya Zhao Xiong adalah teman baik ayahnya. Tie Cheng Gang
datang ke tempat itu untuk meminta pertolongan, perlindungan, serta keadilan.
Nyatanya, Zhao Xiong lebih mendengar kata-kata Huang Shan Sao You. Jika
Tie Cheng Gang tidak keburu tahu bahwa Zhao Xiong sudah bersekongkol
dengan ketiga pendeta itu, mungkin sekarang ia sudah mati.
Zhao Xiong tidak percaya padanya. Lantas kepada siapa lagi ia dapat
percaya" Orang-orang dunia persilatan tidak ada yang mau melindunginya pun tidak
ingin bermusuhan dengan Huang San Sao You.
Wajah Tie Cheng Gang menempel ke tanah yang basah oleh air matanya.
Ia tidak mudah menangis. Mati pun ia tidak mau menangis. Namun sekarang
ia justeru menangis karena sedih dan putus asa.
Sepasang tangan yang kering dan keriput itu masih ada di dalam pakaiannya.
Tangan yang menggengam suatu barang itu adalah bukti yang kuat buat ia
membela diri. Tapi ia tidak bisa mengeluarkan bukti itu kepada orang lain karena tidak ada
yang mempercayainya.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang lain pasti akan membawa sepasang tangan itu kepada Huang Shan
Sao You dan mereka pasti akan memusnahkan bukti itu. Kalau situasi sudah
begini, Tie Cheng Gang mati pun sudah tidak ada tempat lagi.
Saat ini ia seperti anjing liar. Sedih, tiada yang mau membantunya. Dingin.
Lapar. Bahkan kehidupan anjing liar mungkin lebih baik daripada dirinya.
Ia membalik tubuh, menelentang, menatap langit.
Bintang-bintang bertebaran di angkasa.
Begitu terang. Begitu indah.
Sinar bintang selalu memberi harapan.
Tiba-tiba ia terpikir nama seseorang.
Lao Bo! Satu-satunya orang yang bisa ia percaya di dunia ini dan memecahkan
masalahnya hanya Lao Bo. Tidak ada yang lain! * Tempat itu sangat indah, rumput sangat hijau, pemandangan begitu
mempesona. Berbaring di tepat itu siapa pun bisa melihat gunung yang hijau, awan yang
bergerak perlahan, juga bisa melihat pemandangan kota yang indah di kaki
gunung. Itulah sebuah kota tua. Kota itu sudah hancur sepuluh tahun yang lalu, tapi Wan Peng Wang
memperbakinya dan menjadikannya hidup kembali.
Berkat jasanya, kota itu sudah menjadi pusat perkumpulan Shi Er Fei Pang
Bang dengan ketuanya Wan Peng Wang.
Ia tinggal di kota itu. Orang-orang di dunia persilatan tidak ada yang berani sembarangan di sana,
bahkan merusak sehelai rumput pun mereka tidak berani.
Sekarang bunga-bunga berguguran dan rerumputan mulai menguning.
Namun dua sejoli itu tidak perduli.
Asalkan bisa berkumpul bersama hal lain mereka tidak perdulikan lagi.
Walau bunga mekar atau layu, entah musim semi atau gugur, asalkan bisa
b e r s a m a mereka bahagia. Mereka masih muda dan saling mencinta.
Yang lelaki berusia delapan belas, sang gadis berusia hampir sama, berbaring
di pelukannya. Bagi mereka, angin begitu halus dan hujan begitu lembut.
Wajah si gadis selalu tersenyum puas. Ia berterima kasih atas kehidupan yang
begitu indah. Tapi bila ia melihat rumah kokoh di bawah gunung sana, keceriaannya
seketika menghilang. Matanya dikabuti kesedihan.
Si Gadis menghela nafas, "Xiau Wu sebenarnya kau tidak boleh mencintaiku
dan tidak boleh memperlakukanku begini baik."
Tangan Xiau Wu lembut merapikan rambutnya, "Kenapa?"
"Karena aku tidak pantas menerimanya."
Mata gadis itu mulai memerah dan air mata mengalir. "Kau tahu, aku hanya
seorang pelayan, tubuhku milik orang lain. Jika orang menyuruhku mati pun
aku tidak bisa hidup lagi."
Xiao Wu memeluknya erat. "Dai Dai, janganlah kau berkata begitu. Hatimu
adalah milikku, hatiku pun milikmu. Jangan takut." Ia memeluk begitu erat
membuat si gadis luluh. Tapi air mata Dai Dai terus mengalir. Dengan sedih ia berkata, "Aku tidak takut
dengan yang lain, hanya kuatir hubungan kita diketahui orang lain."
Ia sangat takut karena pernah melihat majikannya marah. Majikannya adalah
Wan Peng Wang. Bila Wan Peng Wang marah, tidak seorang pun yang bisa
menahannya. Gadis itu membalas pelukan Xiao Wu. "Majikanku tidak akan mengijinkan kita
bersama. Dia selalu bertindak kejam pada pelayan-pelayannya. Kalau dia
tahu?" Xiao Wu tiba-tiba menutup mulut Dai Dai dengan mulutnya, tidak
mengijinkannya melanjutkan kata-kata.
Tapi bibir Xiao Wu sendiri terasa dingin dan gemetar. Sesaat ia melepaskan
gadisnya dan berkata, "Aku tidak akan mengijinkan siapa pun memisahkan
kita. Tidak pernah?"
Ia menghentikan kata-katanya karena merasa tubuh Dai Dai tiba-tiba
mengejang kaku. Ia segera membalik tubuh dan melihat Wan Peng Wang
sudah berdiri di sana. Di mata setiap orang, Wan Peng Wang bagaikan dewa. Bila benar ada dewa,
dewa itulah Wan Peng Wang.
Orang ini tubuhnya seolah lebih besar dan tinggi daripada dewa. Wajahnya
lebih berwibawa daripada dewa. Walau ia tidak bisa membuat petir, sekali
tangannya mengayun bisa secepat angin dan sekeras petir.
Xiao Wu adalah seorang pelajar, namun kungfunya lumayan lihai. Tapi begitu
tangan Wan Peng Wang mengayun, ia tidak mampu menahan dan
mengelakkannya. Ia hanya bisa mendengar suara tulang retak. Dalam keadaan separuh sadar ia
mendengar tangis Dai Dai serta langkah suara Wan Peng Wang yang
mendekati. "Aku tahu kau adalah anak Wu Lao Dao, ia pernah bekerja padaku," kata Wan
Peng Wang pada Xiou Wu, "Hari ini aku tidak membunuhmu, tapi lain kali
kalau berani datang kemari akan kubuh kau dengan cara ditarik lima ekor
kuda." Bila Wan Peng Wang sudah berkata begitu, setiap orang pasti
mempercayainya. Bila ia mengatakan akan membunuh dengan cara ditarik
lima ekor kuda, ia tidak akan menggunakan cara lain untuk membunuh.
"Gotong dia pulang! Beritahu kepada Wu Lao Dao jika ingin anaknya selamat,
jangan biarkan keluar rumah!"
Semenjak itu Wu Lao Dao tidak pernah mengijinkan anaknya keluar rumah
karena ia sangat menyayangi anaknya.
Tapi ia juga tidak sanggup melihat anaknya semakin hari semakin kurus dan
merana. Maka ia mendatangi Wan Peng Wang agar Dai Dai bisa menikah
dengan anaknya. Jawaban yang ia dapat hanyalah sebuah gaplokan.
Bila Wan Peng Wang menolak, ia hanya akan menolak satu kali saja karena
tidak ada yang berani meminta untuk kedua kali.
Saat panen musim gugur, nyawa Xiao Wu hampir berahir.
Xiao Wu tidak mau makan dan minum, tidak mau tidur dan tetap terjaga.
Dalam jaganya, setiap hari ia seperti linglung terus menerus menyebut nama
Dai Dai. Hati Wu Lao Dao serasa hancur mendengar tangis anaknya. Ia rela
mengorbankan segalanya demi sang anak, tapi sekarang ia tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia hanya bisa pasrah melihat anaknya mati perlahan. Ia sendiri sudah tidak
mau hidup lagi. Di saat itulah ia menerima sebuah undangan perayaan ulang tahun, datang
dari temannya sejak kecil.
Walau umurnya tidak jauh berbeda, tapi ia memanggilnya, "Lao Bo". Hanya
dua kata itu saja. Lao Bo, berarti "Paman Bo", itu sudah menunjukkan betapa Wu Lao Dao
sangat menghormati Lao Bo. Ia sangat benci pada dirinya karena tidak sedari
kemarin teringat nama itu.
Satu-satunya orang yang bisa menjadi dewa penolong anaknya hanyalah Lao
Bo. Tidak ada yang lain! Lao Bo adalah Sun Yu Bo. * Dunia ini memang tidak adil dan banyak orang yang mengalami ketidakadilan
itu. Untunglah selain Thian, masih ada orang bernama Sun Yu Bo.
Walau kau sangat miskin tetapi manakala kau mengalami suatu ketidakadilan
dan datang padanya, maka ia akan mengangap masalahmu sebagai
masalahnya dan akan memikirkan cara untuk memecahkannya.
Sun Yu Bo tidak akan mengecewakan orang yang datang padanya.
Kau tidak perlu membayar apa pun, semua pasti akan ditolongnya, entah ia
teman atau bukan, miskin atau kaya, ia tetap akan membantumu. Karena, ia
senang menegakkan keadilan dan membenci segala ketidakadilan seperti
petani membenci hama. Walau ia tidak menerima bayaran, secara tidak sengaja orang-orang sudah
memberi sesuatu kepadanya. Bayaran itu berupa penghormatan dan
persahabatan. Karena itu pula mereka memanggilnya Lao Bo, "Paman Bo".
Dan ia bangga dengan panggilan itu.
* Ia memang senang membantu orang seperti ia menyukai bunga yang
bermekaran. Karenanya tidaklah mengherankan jika tempat tinggal Lao Bo bagai sebuah
kota bunga. Di setiap musim berbeda pasti ada jenis bunga yang berbeda keindahan dan
berbeda waktu mekarnya. Dan Lao Bo selalu berada di tempat di mana bunga
mekar sedang indah-indahnya.
Bunga yang paling banyak mekar saat ini adalah chrysan, maka Lao Bo pun
berada di sana sambil menjamu para tamunya.
Tamu-tamu Lao Bo datang dari berbagai daerah dan wilayah, membawa
berbagai macam bingkisan, mulai dari yang mahal hingga buah dan sayuran,
atau hanya sekedar membawa diri dan perasaan hati yang tulus.
Lao Bo menganggap mereka sama, ia tetap akan melayani setiap tamunya
dengan cara yang sama. Terutama pada hari ini, ia lebih ramah daripada
biasanya karena hari ini istimewa.
Inilah hari ulang tahunnya.
Sebenarnya tubuh Lao Bo tidak tinggi, tapi orang-orang bilang tubuh Sun Yu
Bo terlihat paling tinggi.Wajahnya selalu tersenyum, tapi keramahannya tidak
mengurangi wibawanya. Semua orang tetap menghormatinya.
Di samping Lao Bo berdiri Sun Jian yang lebih muda. Jelas terlihat mereka
lebih menghormati Sun Yu Bo daripada Sun Jian.
Sun Jian bertubuh tidak begitu tinggi, tapi dari keseluruhan posturnya seperti
mengandung tenaga besar yang tidak ada habisnya
Sun Jian adalah putra Lao Bo. Seperti ayahnya, ia juga senang menolong
orang. Ia sering melepas bajunya buat membantu siapa pun. Tapi orang selalu
menganggap ia tidak seperti ayahnya.
Sifat Sun Jian sangat keras seperti bara, setiap saat dapat meledak. Sifat
seperti itu sering membuatnya salah langkah. Karena itu juga ia sering
kehilangan teman. Orang lain bukan tidak mau mendekatinya, melainkan takut pada sifatnya itu.
Tapi kaum perempua adalah pengecualian.
Walau perempuan takut padanya, tapi sulit menolak daya tariknya. Banyak
perempuan rela mengikutinya.
Sekarang Sun Jian berdiri di luar taman chrysan menemani ayahnya
menyambut tamu. Ia kesal karena sudah lama berdiri di sana. Untungnya sekarang sudah
waktunya makan dan sudah cukup banyak tetamu yang hadir.
Di antara para tetamu ada yang ia kenal, tapi banyak juga yang tidak ia kenal.
Salah seorang di antaranya adalah pemuda yang mengenakan pakain
sederhana dan berwajah dingin. Pemuda itu datang membawa bingkisan yang
tidak terlalu mahal juga tidak terlalu murah.
Namun ayah dan anak Sun tidak mengenalnya. Tentu hal ini tidak masalah
karena mereka senang berteman. Pintu rumah Lao Bo selalu terbuka untuk
semua orang. Asal kau datang, Lao Bo pasti senang.
Apalagi pemuda asing itu terlihat menyenangkan. Ayah dan anak Sun sangat
senang menyambutnya. Sun Jian juga suka berteman. Karenanya ia sengaja melihat kartu nama yang
tertera pada bingkisan yang dibawa pemuda itu.
Namanya Chen Zhi Ming. Nama yang sangat biasa.
Mata Sun Yu Bo sangat awas dalam mengenali bakat dan perbawa
seseorang, segera ia bisiki anaknya, "Apa kau pernah mendengar nama ini?"
"Tidak," balas berbisik Sun Jian.
Sun Yu Bo mengerut dahi. "Dua tahun belakangan ini kau senang berkelana,
masakah tidak mengetahui nama ini?"
"Kemungkinan nasibnya kurang mujur, jadi namanya tidak dikenal."
Sun Yu Bo berfikir sebentar kemudian katanya, "Nanti kau harus tanya Lu
Xiang Chuan, mungkin ia tahu siapa pemuda ini."
"Baiklah," jawab Sun Jian.
Walau Sun Jian berjanji untuk bertanya, namun ia tidak sempat
menanyakannya ke Lu Xiang Chuan karena tamu yang berdatangan semakin
banyak dan ia segera melupakan kejadian tadi.
Seandainya Sun Jian tidak lupa pun belum tentu ia akan bertanya ke Lu Xiang
Chuan. Ia menganggap Lu Xiang Chuan kebanci-bancian dan ia tidak suka
lelaki seperti itu. Seandainya ia mengikuti nasihat ayahnya guna mencari tahu siapa pemuda
itu, mungkin banyak hal yang akan membuat darah bergolak dan air mata
mengalir bisa dicegah. Sebetulnya pemuda itu bukan bernama Chen Zhi Ming, ia datang ke tempat itu
hanya untuk membunuh orang, dan orang yang ingin ia bunuh adalah Sun Yu
Bo. Nama asli Chen Zhi Ming adalah Meng Xin Hun.
6. Han Tang Bila Sun Jian sempat bertanya kepada Lu Xiang Chuan, ia pasti akan
menyelidiki pemuda itu. Jika tidak berhasil, ia tidak akan puas begitu saja dan
akan terus mencari hingga menemukan jawaban.
Lu Xiang Chuan sebenarnya tidak seperti perempuan, tapi ia seorang yang
teliti, sedemikian teliti dan hati-hatinya sehingga melebihi perempuan.
Lu Xiang Chuan dan Sun Jian memiliki sifat yang bertolak belakang, wajah
mereka pun berbeda. Sun Jian berwajah gagah, beralis tebal, bermata besar, berkulit coklat terbakar
matahari. Saat ia memelototi dirimu maka kau tidak akan bisa mengalihkan
pandanganmu kepada orang lain dan tidak akan punya kekuatan untuk
memandang yang lain. Lu Xiang Chuan berwajah pucat, terlihat sangat terpelajar, terkadang musuh
meremehkannya, menganggap ia tidak bisa apa-apa. Dan ini merupakan
kesalahan sederhana yang bisa berakibat fatal.
Lu Xiang Chuan adalah tangan kanan Sun Yu Bo. Ia pesilat tangguh yang
tidak memerlukan pedang, golok, pisau, atau parang, karena ia menggunakan
senjata rahasia. Seseorang yang di balik tubuhnya penuh dengan senjata
rahasia tentu tidak memerlukan senjata lain.
Senjata rahasianya sangat menakutkan, mungkin di dunia ini tidak ada yang
bisa menandinginya. Ia bisa mengeluarkan senjata rahasinya kapan pun ia
mau. * Sun Yu Bo melihat labu dan anggur di dalam keranjang. Ia tahu Zhang Lao
Tou sudah datang. Dalam setahun Zhang Lao Tou rajin bekerja, jarang memiliki waktu luang,
jarang menikmati hidup. Hanya saat berkunjung ke tempat Lao Bo ia bisa
bersenang-senang, menikmati makanan dan hiburan yang tidak pernah ia
nikmati di tempat lain. Karena itu setiap kali Zhang Lao Tou datang pasti terlihat riang. Tapi kali ini ia
datang dengan air mata bercucuran.
Dengan kasih sayang Lao Bo membawa Zhang Lao Tou ke perpustakaan,
memberinya secangkir arak dan pipa rokok agar Zhang Lao Tou bisa lebih
tenang. Ruang itu hening dan kedap suara dengan privasi tinggi, siapa pun yang
bercakap di dalamnya tidak akan terdengar orang lain.
Akhirnya Zhang Lao Tou menceritakan kemalangan putrinya yang diperkosa
Jian bersaudara. Setelah mendengar cerita itu Lao Bo marah hingga wajahnya
kehijauan. Walau Sun Yu Bo tidak menjanjikan apa pun, tapi Zhang Lao Tou tahu ia pasti
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan menyelesaikan masalah dan menghukum dua binatang itu dengan adil.
Sewaktu Zhang Lao Tou meninggalkan perpustakaan, hatinya tenang dan
sangat berterima kasih. Demikian pula halnya dengan Fang You Ping yang menceritakan hubungan
istrinya dengan Mao Wei, juga Wu Lao Dou yang mengadukan nasib anaknya,
Xiao Wu. Kemudian ada pula beberapa tetamu yang meminjam uang dan permasalahan
lain. Mereka pulang dengan puas.
Siapa pun yang meminta keadilan pada Lao Bo pasti tidak akan kecewa.
* Setelah para tetamu yang berkeluh kesah pergi, Lao Bo memangil Lu Xiang
Chuan. Lu Xiang Chuan tahu Sun Yu Bo akan memberi tugas padanya. Perintan Sun
Yu Bo biasanya sangat sederhana.
Lao Bo mengusulkan agar dalam tiga hari sudah ada yang mendatangi rumah
Qu Xing Song guna mencari Jiang bersaudara dan memberi pelajaran pada
keduanya. Tidak usah sampai mencabut nyawa, tapi cukup agar mereka
terkapar selama tiga bulan.
Lu Xiang Chuan setelah berpikir lalu berkata, "Bagaimana kalau menugaskan
Wei Hu dan Wei Bao" Mereka sangat berpengalaman mengurus hal ini."
Sun Yu Bo mengangguk. Kemudian ia beralih pada kasus Fang You Ping.
Setelah menjelaskan permasalahannya, Lao Bo berkata, "Mao Wei harus
dihadapi langsung oleh Sun Jian."
Lu Xiang Chuan tertawa, ia sudah mengetahui maksud Lao Bo. Jika ia
menyuruh putranya menghadapi seseorang, berarti kiamat bagi orang itu.
Sun Yu Bo berlanjut pada permasalahan Xiao Wu. "Sebaiknya yang
menyelesaikan masalah ini kau sendiri. Wan Peng Wang orang yang sangat
menyusahkan, kuharap kau pulang membawa anak gadis bernama Dai Dai
itu." Lao Bo hanya memerintah, tidak menjelaskan. Ia menyuruhmu melaksanakan
perintahnya dan tidak boleh gagal. Bagaimana kau melakukan dan dengan
cara apa menyelesaikannya itulah urusanmu sendiri.
Lu Xiang Chuan tahu tugas ini sangat sulit, namun wajahnya tidak
menampakkan kesusahan. Semua orang tahu, demi Lao Bo, Lu Xiang Chuan
mau melakukan apa pun. Lao Bo memberi tugas yang paling sulit padanya,
artinya Lao Bo mempercayainya.
Memikirkan hal ini Lu Xiang Chuan tersenyum sendiri.
Lao Bo seperti bisa membaca isi hatinya, ia menepuk pundak Lu Xiang Chuan.
"Kau anak baik, kuharap kau adalah anak lelakiku sendiri."
Lu Xiang Chuan menahan gejolak hatinya.
Setelah pembagian tugas selesai, akhirnya Lu Xiang Chuan berkata, "Han
Tang sudah datang, ia sudah lama menunggu di luar. Ia ingin berpamitan pada
Tuan." Mendengar nama Han Tang wajah Lao Bo seketika membeku. "Seharusnya ia
jangan datang." Lu Xiang Chuan tidak berkata apa-apa karena ia tidak tahu Han Tang orang
macam apa. Lu Xiang Chuan jarang bertemu Han Tang, namun kala bertemu
ia hanya bisa bergidik ngeri. Mengapa bisa begitu, Lu Xiang Chuan sendiri
tidak memahami. Han Tang tidak galak tapi sopan, matanya selalu memancar dingin. Tidak ada
yang mau berteman dengannya. Ia sendiri tidak mau dekat dengan orang lain.
Bila ada yang mendekatinya, ia segera menjauh.
Di depan Lao Bo pun Han Tang jarang membuka mulut. Sepertinya, ia hanya
menggunakan isyarat untuk mengutarakan maksudnya.
Lu Xiang Chuan melihat di antara Han Tang dan Lao Bo seperti tidak ada
persahabatan, hanya rasa hormat.
Akhirnya Lao Bo menghela nafas. "Jika ia sudah datang, persilahkan masuk."
Begitu Han Tang memasuki perpustakaan, ia langsung berlutut, mencium kaki
Lao Bo. Kelakuan ini sungguh berlebihan, membuat orang tertawa. Namun bila yang
melakukan Han Tang, tidak seorang pun yang tertawa. Walau ia melakukan
sesuatu yang lucu, orang tidak akan tertawa. Karena ia adalah Han Tang. Dan
Han Tang selalu mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati. Kesungguhannya membuat orang ikut terpengaruh, malah terkadang takut.
Sun Yu Bo menerima penghormatan itu tanpa basa-basi. Hal ini jarang terjadi.
Selamanya Lao Bo tidak mau ada yang berlutut untuknya. Lu Xiang Chuan
tidak mengerti mengapa Han Tang merupakan pengecualian.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lao Bo.
"Ya." jawab Han Tang.
"Apa sudah punya kekasih?" tanya Lao Bo lagi.
"Belum." "Kau harus mencari perempuan."
"Aku tidak percaya perempuan."
Lao Bo tergelak. "Terlalu percaya perempuan tidak baik, tidak percaya
perempuan pun tidak baik. Perempuan bisa menyenangkan lelaki."
"Perempuan juga bisa membuat lelaki gila," jawab Han Tang.
"Kau sudah melihat si cantik Xiao Fang?"
"Ia tidak melihatku."
Lao Bo mengangguk seperti menyetujui pernyataan itu.
Han Tang tiba-tiba berkata, "Walau melihatku, ia pasti tidak mengenaliku."
Setelah menyatakan itu matanya yang dingin sedikit terlihat ekspresi, seperti
menertawakan sesuatu. Lu Xiang Chuan tidak pernah melihat ekspresi itu di
mata orang lain. "Kau boleh pergi," kata Lao Bo, "tahun depan tidak perlu kemari. Aku sudah
mengerti isi hatimu."
Han Tang menunduk, setelah lama baru berkata, "Tahun depan aku tetap
akan datang. Tiap tahun aku hanya keluar sekali."
Di dalam hati Lao Bo merasa kasihan padanya, tapi ia tidak menunjukkan itu.
Hanya Lao Bo yang mengerti kesulitan Han Tang. Namun Lao Bo tidak mau
membantunya, ia juga tidak dapat membantunya. Karena itukah Lao Bo
enggan bertemu Han Tang"
Han Tang sudah membalik tubuh, siap beranjak keluar ruangan.
Lu Xiang Chuan tidak tahan berseru penuh simpati, "Kamarku kosong, tidak
ada orang lain, bila kau mau, bisa tinggal sehari dua hari buat mengobrol
denganku." Han Tang menggeleng kepala, langsung keluar.
Lu Xiang Chuan tiba-tiba merasa Lao Bo menatap tidak senang padanya.
Setelah Han Tang berlalu, Lao Bo baru bertanya, "Kau kasihan padanya?"
Lu Xiang Chuan menunduk kepala, menganguk.
"Bila kau merasa kasihan pada orang, itulah suatu kebaikan. Tapi, jangan kau
merasa kasihan padanya."
Lu Xiang Chuan ingin bertanya tapi tidak berani.
Akhirnya Lao Bo sendiri yang menjelaskan, "Bila kau kasihan padanya, dia
bisa gila." Lu Xiang Chuan tidak mengerti.
Lao Bo menarik nafas. "Sebenarnya dari dulu dia sudah gila dan sebenarnya
dia sudah mati. Tapi sekarang dia masih bertahan hidup karena dia merasa
semua orang tidak ada yang baik padanya. Karena itu, jangan berbaik
padanya!" Lu Xiang Chuan tetap tidak mengerti, akhirnya bertanya, "Sebenarnya dia
macam apa" Apa pula yang sudah dia lakukan?"
Wajah Lao Bo terlihat gusar. "Kau tidak perlu tahu dia macam apa! Banyak hal
yang tidak perlu kau ketahui!"
Lu Xiang Chuan menunduk dan berkata, "Ya."
Lao Bo akhirnya menarik nafas. "Biarlah kuberitahu sedikit. Dia sudah
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang, juga tidak akan ada
orang lagi yang akan melakukannya."
Memangnya apa yang sudah dilakukan Han Tang"
Lu Xiang Chuan masih menunduk kepala. Saat ia keluar ruangan, tiba-tiba
terjadi keributan besar. Banyak orang berteriak. * Yang membuat heboh ternyata Tie Cheng Gang. Ia terlihat sangat
menakutkan. Sekujur tubuhnya penuh luka, rambutnya habis terbakar, wajahnya hangus
hingga berubah bentuk, matanya merah seperti darah, bibirnya kering dan
pecah seperti padang tandus.
Ia menerobos masuk layaknya binatang liar yang dikejar pemburu. Dari
tenggorokannya keluar suara terengah dan berteriak. Hampir tidak ada yang
bisa menangkapnya, padahal yang ia teriakkan hanya satu nama: Lao Bo.
Ketika itu Sun Jian sedang mengobrol dengan seorang perempuan. Ia tidak
tahu siapa perempuan itu, yang pasti perempuan itu bukan istri orang dan
bukan perempuan baik-baik. Saat itulah ia melihat Tie Cheng Gang.
Ia sudah lama mengenal Tie Cheng Gang, namun sekarang ia hampir tidak
mengenalinya. Sun Jian mendekati Tie Cheng Gang kemudian memapahnya
ke dalam. "Kenapa kau seperti ini?" tanya Sun Jian sambil mengayun tangan meminta
arak. Setelah arak datang ia meminumkannya pada Tie Cheng Gang.
Sekarang Tie Cheng Gang sedikit tenang, namun masih belum bisa bicara.
Sorot matanya sangat ketakutan.
"Tidak perlu takut," kata Sun Jian, "Bila sudah di sini, kau tidak perlu takut.
Tidak akan ada yang berani melukaimu lagi!"
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar orang berkata, "Kalimat terahir itu
tidak boleh diucapkan!"
Yang bicara adalah Yi Qiang. Ternyata Huang Shan San You sudah mengejar
Tie Cheng Gang hingga ke sini.
"Kenapa tidak boleh?" tanya Sun Jian.
"Mungkin kau belum tahu, ia seorang pembunuh. Yang dibunuh adalah
pamannya sendiri," kata Yi Qiang.
"Aku hanya tahu ia adalah temanku," kata Sun Jian gusar, "Sekarang ia terluka
dan kutahu ia percaya padaku, karenanya datang ke sini. Tiada seorang pun
yang bisa membawanya dari sini."
Yi Qiang marah. "Suruh ayahmu ke luar, kami ingin bicara dengannya."
Urat dahi Sun Jian seketika menonjol. "Omongan ayah akan sama denganku.
Siapa pun tidak ada yang bisa membawanya dari sini!"
"Kau sangat lancang! Ayahmu pun tidak berani sembarangan dengan kami!"
Tiba-tiba terdengar jawaban, "Kau salah! Ia lancang karena itulah sifat turunan.
Bahkan ayahnya lebih lancang lagi!"
Kata-kata itu terdengar sangat tenang, berwibawa.
Yi Qiang bertanya, "Bagaimana kau tahu?"
"Aku pasti tahu, karena aku ayahnya."
Yi Qiang melengak. Ia hanya pernah mendengar nama Lao Bo, tapi belum
pernah bertemu dengannya.
Yi Yun ikut bicara, "Mungkin Tuan Sun tidak mengenal kami, maka bicara
begitu." "Andai pun kukenal kalian," kata Sun Yu Bo, "perkataanku sama saja!"
Yi Qiang marah sekali. "Sudah lama kudengar bahwa Sun Yu Bo orang yang
sangat adil, kenapa hari ini melindungi seorang pembunuh?"
"Seandainya ia pembunuh pun kita harus menunggu lukanya sembuh, baru
bertanya," kata Sun Yu Bo, "Apalagi, tidak ada yang bisa membuktikan bahwa
ia pembunuh." "Kami melihat dengan mata kepala sendiri, apa itu tidak cukup?" tanya Yi Yun.
Sun Yu Bo menanggapi, "Kalian melihat sendiri, tapi aku tidak melihatnya. Aku
hanya tahu bila ia seorang pembunuh, ia tidak akan berani menemuiku."
Memang tidak ada yang berani menipu Lao Bo. Jika ada yang berani tidak
jujur pada Lao Bo, sama dengan mencari kubur sendiri.
Yi Yun berteriak, "Apakah kata-kata Huang Shan San You kau tidak percaya?"
"Huang Shan San You manusia, Tie Cheng Gang juga manusia. Semua orang
punya hak bicara. Sekarang aku mau dengar apa yang ingin ia katakan."
Sekuat tenaga Tie Cheng Gang berteriak, "Mereka adalah pembunuh, aku
punya buktinya. Mereka tahu aku memiliki bukti itu, karenanya mereka ingin
melenyapkanku." "Mana buktinya?" tanya Sun Yu Bo.
Tie Cheng Gang dengan payah berusaha duduk, dari pakaiannya ia keluarkan
sepasang tangan yang sudah kering.
Melihat sepasang tangan itu wajah Huang Shan San You berubah. Yi Shi
berteriak, "Pembunuh ini harus mati, tidak perlu banyak bicara lagi, bunuh dia!"
Pedangnya lebih cepat daripada suaranya, secepat kilat menusuk tenggorokan
Sun Yu Bo. Pedang Yi Qiang dan Yi Yun pun tidak kalah cepat, yang mereka
arah adalah Tie Cheng Gang dan Sun Jian.
Lao Bo tidak bergerak. Jari-jarinya pun tidak bergerak. Semua orang merasa
marah dan berlari ke arah Sun Yu Bo untuk melindungi.
Saat pedang Yi Shi baru menusuk, ia sudah terjatuh dan tersungkur.
Tangannya yang memegang pedang sudah penuh dengan paku.
Paku-paku itu senjata rahasia.
Yi Shi tidak melihat senjata rahasia itu datang dari mana. Ia hanya melihat
seorang pemuda terpelajar berdiri di belakang Sun Yu Bo mengayun lengan
perlahan. Tiba-tiba, senjata rahasia telah menusuk tangannya.
Rasa sakit tidak ia rasakan karena tiba-tiba mati rasa.
Di sat itu Sun Jian mengamuk seperti singa, ia menerkam Yi Qiang. Ia tidak
perduli kalau Yi Qiang masih memegang pedang yang bisa mencabut
nyawanya. Bila ia sedang marah, walau ada bahaya di depan mata, ia tetap akan
menerjang musuhnya. Yi Qiang tidak pernah berpikir di dunia ini ada orang semacam ini. Saat ia
terkejut, pedangnya sudah dicengkram sebuah tangan. Itulah sebuah tangan
yang hidup. Hanya terdengar suara "krek!" Dan pedang yang terbuat dari baja
murni itu putus menjadi dua.
Dari tangan Sun Jian mengalir darah merah.
Bagi Sun Jian, darah yang tumpah tidak menakutkannya. Baginya, asalkan
bisa mengalahkan lawan, apa pun ia tidak perduli
Yin Yun yang berada di sisi Yi Qiang turut terkejut, gerakannya sedikit
melambat. Di saat itulah datang berkelebat seseorang memasuki arena pertempuran.
Begitu cepat, tidak ada yang bisa melihat, yang terlihat hanyalah lelaki itu
mengenakan jubah kelabu. Walau tidak jelas sosoknya, setiap orang jelas mendengar ucapannya, "Siapa
yang tidak hormat pada Lao Bo harus mati!"
Mengucapkan kata-kata itu tidak membutuhkan waktu yang panjang. Begitu
selesai ucapannya, Huang Shan San You sudah menjadi tiga mayat.
Ketiga biksu itu dalam waktu bersamaan sudah putus nyawa.
* Tidak ada yang bisa melihat jelas kejadian tadi. Namun jika diputar dalam
adegan lamban kurang lebih terlihat begini:
Ketika lelaki berjubah kelabu itu menerjang, belati yang dipegang di tangan
kirinya sudah menusuk ketiak Yi Qiang. Begitu berhasil menusuk, tangannya
melepaskan belati. Segera terdengar suara kepalan tangan memukul hidung Yi Shi, tangan
kanannya pun mencekal ikat pinggang Yi Yun.
Yi Yun sangat terkejut dan mengayunkan pedangnya. Pedang belum sempat
diayunkan, namun orangnya sudah terlempar. Kepalanya remuk membentur
batu. Semua orang bisa mendengar suara tengkorak yang retak.
Sewaktu tangan kanannya melempar Yi Yun, ia segera melumuri wajahnya
dengan tangan kiri yang telah bersimbah darah Yi Shi, hingga orang sulit
mengenalinya. Sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu, karena semua orang dalam keadaan
terkejut, tidak sempat memperhatikan wajahnya.
Yang datang ke tempat itu tokoh-tokoh dunia persilatan. Namun mereka tetap
terkejut dengan tindakan tadi.
Membunuh dua hingga tiga orang bagi kaum persilatan bukan hal yang aneh,
yang menakutkan justeru cara lelaki jubah kelabu itu membunuhnya. Cepat.
Tepat. Kejam. Sangat telengas.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak seorang pun yang pernah melihat cara membunuh secepat, setepat,
sekejam, dan setelengas itu.
Sebelum kejut orang-orang hilang, lelaki jubah kelabu sudah pergi entah
kemana. * Sepasang tangan kering dan keriput akhirnya dengan paksa berhasil
direntang. Itulah sepasang tangan yang dibawa Tie Cheng Gang.
Barang yang digengam erat ternyata separuh pita kuning serta secarik kain
biru yang terdapat kancing berwarna kuning.
Pita pedang itu dengan pita pedang Huang Shan San You sama. Perca kain
dengan pakaian mereka pun sama.
Namun bukti itu tidak penting. Pokoknya, mereka sudah tidak sopan kepada
Lao Bo. Karenanya, Huang Shan San You harus mati!
Kata-kata itu pasti disetujui semua orang. Kata-kata itu pun tidak akan
dilupakan semua orang, termasuk Meng Xing Hun.
Ketika Huang Shan San You tewas, Meng Xing Hun sudah meninggalkan
taman crysan itu. Ia tidak perlu ada di sana lagi karena sudah cukup melihat dan mendengar. Ia
pun sekarang cukup tahu kekuatan Lao Bo: seorang putra, seorang tangan
kanan, lelaki jubah kelabu, dan entah apa lagi"
Profesinya adalah pembunuh. Tugasnya membunuh orang. Langkah pertama
yang harus dilakukan seorang pembunuh bayaran adalah mengetahui
kekuatan target sasarannya.
Itulah yang terpenting, hal lain bisa menunggu lain hari. Ia tidak tergesa.
Batas waktu yang diberikan Kakak Gao masih 113 hari lagi.
* Sun Jian paling benci pada orang yang kerjanya tidak tegas, pun ia tidak suka
mengulur-ulur waktu. Dalam mengerjakan segala sesuatu, ia lebih menyukai cara langsung, tepat
menuju sasaran, dan tidak mau dihalangi sebelum mencapai tujuan.
Ketika Lao Bo menyuruhnya mencari Mao Wei, tanpa banyak kata ia langsung
menuju rumah Mao Wei. Mao Wei sedang duduk di ruang tamu, minum-minum ditemani anak-anak
buahnya. Ketika itulah penjaga pintu menghantarkan kertas putih yang bertuliskan dua
huruf sangat besar: Sun Jian.
Mao Wei mengerut alis. "Siapa pernah dengar nama ini?"
7. Sun Jian "Sepertinya dia anak Sun Yu Bo," jawab salah seorang anak buahnya.
"Maksudmu Sun Yu Bo yang biasa dipangil Lao Bo itu?"
"Benar, ia senang dipanggil Lao Bo."
"Ada apa anaknya mencariku?"
"Kata orang, Lao Bo senang berteman. Mungkin dia datang buat berteman
dengan Tuan." Sesungguhnya anak buah Mao Wei tahu mengapa Sun Jian datang, mereka
hanya memilih kata-kata yang enak didengar majikannya.
Mao Wei tertawa. "Kalau begitu, persilahkan masuk."
Sun Jian tidak perlu dipersilahkan masuk, ia sudah masuk sendiri sebab tidak
suka menunggu terlalu lama di luar. Mereka yang melarangnya sudah terkapar
dan tidak dapat bangun. Mao Wei berdiri dan memelototinya.
Sun Jian tidak berlari, juga tidak melompat, namun hanya dengan dua tiga
langkah ia telah berada di hadapan Mao Wei. Tidak ada yang bisa melukiskan
kecepatan geraknya. Mao Wei mulai takut. "Apa Tuan yang bernama Sun?"
Sun Jian hanya mengangguk, balik bertanya, "Dan kau adalah Mao Wei?"
"Apa maksud Tuan ke sini?" tanya Mao Wei.
"Apa kau mengenal istri Fang You Ping?" Sun Jian balas bertanya, "Benarkah
kau berhubungan gelap dengannya?"
Pertanyaannya cekak aos, langsung ke permasalahan, membuat wajah Mao
Wei seketika berubah. Anak buahnya pun sudah berada di dekatnya. Satu di
antaranya yang berwajah bopeng mendekati Sun Jian, bermaksud mendorong
dada putra Lao Bo itu. Sun Jian membentak, "Kau berani"!"
Bila Sun Jian marah dari tubuhnya memancar tenaga yang sulit ditakar
kekuatannya. Tangan si Bopeng segera ditarik kembali.
Menjadi tukang pukul memang tidak mudah, harus siap menjual nyawa demi
majikan. Beberapa tahun belakangan Mao Wei semakin terkenal, sehingga si
Bopeng jarang mengeluarkan tenaga guna menjalankan tugas.
Sudah beberapa tahun ini si Bopeng keenakan hidup, ia tidak ingin kehilangan
pekerjaan. Segera ia mengepal tangan memukul dada Sun Jian.
Sun Jian tiba-tiba memegang pergelangannya, membalikan telapaknya, dan
seketika memukul punggungnya.
Si Bopeng berteriak. Bersamaan dengan teriakan si Bopeng, terdengar tulang
retak. Begitu ia roboh, tubuhnya langsung lemas seperti lumpuh.
Sun Jian melakukannya dengan tuntas, ia tidak ingin terlalu banyak berurusan
dengan kroco seperti ini.
Anak buah yang tadi bersama-sama si Bopeng garang mengurung Sun Jian,
sekarang tidak ada yang berani menyerang. Mereka sadar, melaksanakan
tugas memang penting, tapi kalau harus menyerahkan nyawa begitu saja,
mereka harus berpikir ulang.
Sun Jian enggan berurusan dengan mereka. Ia terus memelototi Mao Wei.
"Pertanyaanku tadi sudah kau dengar?"
Wajah Mao Wei sudah merah dan nadi di leher sudah merongkol keluar. "Apa
hubungannya denganmu?" tanyanya.
Sekali tangan Sun Jian mengayun langsung menghajar rusuk Mao Wei. Ini
bukan jurus yang istimewa, tapi sangat cepat dan tepat, sama sekali tidak
memberi kesempatan Mao Wei mengelak.
Teriakan Mao Wei lebih histeris daripada si Bopeng. Sudah puluhan tahun ia
tidak kena pukul orang. "Kali ini kau beruntung, tidak kupukul wajahmu. Lain kali, aku tidak akan
sungkan lagi." Wajah Mao Wei sudah mengerut kejang menahan sakit, tapi ia masih
berusaha mengangguk. "Sekarang aku bertanya, dan kau harus jawab sejujurnya, mengerti?" tanya
Sun Jian sambil menjambak baju di dada Mao Wei. Ia memelototinya dengan
tajam. Mao Wei hanya bisa mengangguk.
"Betulkah kau menggoda istri Fang You Ping?"
Mao Wei mengganguk lagi. "Apa kau masih ingin berselingkuh dengannya?"
Mao Wei menggeleng kepala. Tiba-tiba dari tenggorokkannya keluar teriakan
bercampur erangan, "Perempuan itu anjing betina, dia pelacur!"
Sun Jian melihat Mao Wei begitu marah. Sudah tentu kelak ia tidak akan
berselingkuh lagi dengan perempuan itu. Mao Wei pasti menilai bahwa
siksaan yang ia terima saat ini gara-gara perempuan itu.
Mao Wei, seperti kebanyakan orang yang bersalah, saat mengalami masalah
cenderung menyalahkan orang lain. Ia sama sekali tidak merasa bersalah dan
tidak mau disalahkan. Sun Jian merasa sangat puas. "Baiklah, bila kau berjanji tidak akan
berselingkuh lagi dengannya, umurmu lebih panjang."
Mao Wei menarik nafas, mengira urusan selesai.
Ternyata Sun Jian masih berkata, "Kelak bila perempuan itu berselingkuh lagi
dengan orang lain, aku tetap akan mencarimu."
Mao Wei terkejut. Ia langsung protes, "Perempuan itu sudah terlahir sebagai
pelacur, mana bisa kuawasi dia?"
"Kupikir kau pasti punya cara yang baik," dingin jawaban Sun Jian.
Sesat Mao Wei tertegun, akhirnya berkata, "Baiklah, aku mengerti!"
Pertama kali Mao Wei melihat senyum di wajah Sun Jian saat ia berkata,
"Betul, perempuan itu memang sudah ditakdirkan sebagai pelacur, kapan pun
ia bisa berselingkuh lagi. Kau sudah mempunyai cara. Bila dijalankan, semakin
cepat semakin baik."
"Aku tahu," kata Mao Wei patuh.
Tiba-tiba tangan Sun Jian kembali bergerak, kali ini menghantam tepat ulu hati
Mao Wei. Mao Wei langsung terbungkuk. Sayur dan arak yang tadi dimakannya tumpah
semua. Wajah Sun Jian tetap tersenyum. "Ini bukan untuk memberi pelajaran,
melainkan hanya kenang-kenangan saja."
Sekali Sun Jian memukul orang, sekurangnya setengah bulan tidak bisa
bangun. Barusan ia bilang, itu bukan pukulan sesunguhnya, membuat Mao
Wei tertawa tidak menangis pun tidak.
Tapi ia tahu, setiap kata Sun Jian harus didengar!
Sun Jian mendekati meja dan menghabiskan arak yang tersisa. Seketika ia
mengerut dahi. "Dasar Orang Kaya Baru, tidak bisa membedakan arak bagus
atau jelek, mana bisa membedakan perempuan baik atau tidak?"
Mao Wei menanggapi. "Walau perempuan itu pelacur, tapi sungguh
perempuan yang menarik."
"Bagaimana dengan istri-istrimu?"
"Mereka tidak dapat menandinginya."
Sun Jian memelototi Mao Wei, kemudian mengeleng-geleng kepala. "Aku tidak
percaya kata-katamu. Arak saja tidak bisa kau bedakan, apalagi perempuan!"
Belum habis perkataannya, ia sudah berkelebat masuk ke bagian dalam
rumah karena melihat di balik tirai banyak perempuan yang mengintip. Begitu
masuk ke dalam, Sun Jian langsung memilih yang tercantik dan
membopongnya. Perempuan itu sangat terkejut, tidak berani bergerak.
Mao Wei pun terkejut. "Kau" apa yang kau lakukan?"
"Tidak melakukan apa-apa, hanya melakukan yang biasa kau lakukan," jawab
Sun Jian. Dengan sebelah tangan ia membopong perempuan itu, sebelah
tangan lainnya menarik Mao Wei dan membentak, "Hayo, antar aku keluar."
Ia tidak ingin di tengah jalan bercapai lelah menghadapi para pengawal Mao
Wei. Bukannya takut, hanya malas direpotkan saja.
Terpaksa Mao Wei mengantarkannya keluar. Air matanya hampir menetes.
"Asal kau mau melepaskan Feng Jian, akan kuberi kau 1.000 tail emas."
Sun Jian mengedip mata sambil menepuk pantat perempuan yang
digendongnya. "Apa harga Feng ini begitu mahal?"
Mao Wei tidak menjawab. "Apa kau menyukainya?"
Tetap tidak menjawab. Sun Jian tertawa. "Lain kali kalau kau ingin berselingkuh dengan istri orang,
kau pikir dulu istri sendiri."
* Seekor kuda tinggi besar berada di depan pintu. Itulah kuda yang sangat
bagus. Begitu Sun Jian keluar pintu, ia langsung meloncat ke atas kuda, tidak
memberi kesempatan Mao Wei bertindak.
Itulah pelajaran yang diberikan Sun Jian.
Sun Jian tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya sulit
dilupakan. Kuda sudah menempuh jarak puluhan kilometer, perempuan yang berada di
pundak Sun Jian tiba-tiba tertawa.
Sun Jian turut tertawa. Tanyanya, "Kau tidak pingsan?"
Feng Jian tetap tertawa. "Aku" Tidak! Sebenarnya sudah sedari tadi kuingin
mengikutimu pergi." "Kenapa?" "Karena kau lelaki jantan, kusangat tertarik padamu."
"Apa perlakukan Mao Wei baik padamu?"
"Ia punya banyak uang, sangat pelit, tapi cukup baik padaku. Kalau tidak,
mana mau ia mengeluarkan 1.000 tail emas?"
Sun Jian mengangguk, tidak bicara lagi.
Feng Jian justeru berkata, "Aku di punggungmu, sungguh tidak nyaman, lebih
baik turunkan aku. Aku ingin duduk di pangkuanmu."
Sun Jian menggeleng-geleng kepala. Tadi ia memilih perempuan ini karena
punya alasan sendiri, terutama karena tatapan perempuan ini yang begitu
binal padanya. Feng Jian menghela nafas. "Kau memang lelaki aneh."
Sun Jian membedal kuda lebih cepat lagi. Di depan tampak hutan yang luas.
Begitu sepi, tidak ada orang.
"Kemana kau mau membawaku?" tanya Feng Jian.
"Ke suatu tempat yang tak terpikir olehmu."
Feng Jian tertawa genit. "Kutahu kau tertarik padaku. Sebenarnya mau di sini
atau di sana, di mana saja, ya sama saja?" Karena tidak mendapat tangapan,
ia melanjutkan, "Aku mengenal seorang perempuan bernama Zhu Qing."
"Oh!" hanya itu reaksi Sun Jian.
"Perempuan itu memang ditakdirkan sebagai pelacur. Tiap hari kerjanya hanya
begituan melulu. Bila menyuruhnya tidak selingkuh, seperti berharap matahari
terbit dari utara. Aku tidak mengerti dengan cara apa Mao Wei akan
menghukumnya." Sun Jian berkata dingin, "Pelacur yang mati tidak akan bisa selingkuh lagi."
Seiring ucapannya, tangan yang tadi membopong Feng Jian tiba-tiba dilepas
begitu saja. Seketika perempuan itu jatuh seperti kantung terigu.
"Ada apa denganmu?" teriak Feng Jian.
Kuda Sun Jian sudah berlari beberapa meter ke depan sana, kini kembali lagi.
Dingin tatapan Sun Jian dari atas kuda.
Feng Jian mengulur tangan. "Cepatlah tarik aku ke atas."
Tanya Sun Jian, "Bila aku menarikmu naik, buat apa kubiarkan kau jatuh?"
Tadinya Feng Jian masih ingin bersikap genit, tapi sekarang wajahnya telah
kaku karena takut. 8. Lu Xiang Chuan Dengan berteriak, Feng Jian berkata, "Kau menculikku! Apa kau membawaku
ke sini hanya untuk dilempar begitu saja?"
"Sedikit pun tidak salah."
"Apa maksudmu?"
Sun Jian tertawa dan ia membedal kuda meninggalkan Feng Jian. Ia merasa
tidak perlu menjelaskan perbuatannya.
Feng Jian marah dan memaki. Seluruh perkataan kotor keluar dari mulutnya,
kemudian menangis tersedu.
Ia menangis bukan karena tulangnya sakit terjatuh tadi, bukan pula karena
harus pulang jalan kaki. Ia menangis karena tahu Mao Wei tidak akan
mempercayai kata-katanya, juga tidak percaya bahwa Sun Jian tidak
melakukan apa-apa padanya.
Bila Sun Jian benar-benar melakukannya, Feng Jian malah merasa tidak sakit
hati. Memang terkadang di dunia ini terdapat semacam perempuan yang tidak bisa
membedakan antara harga diri dan penghinaan.
Feng Jian adalah perempuan semacam itu. Jika orang lain menghinanya, ia
malah senang. Jika tidak menghinanya, harga dirinya malah terganggu.
Ya, mengapa Sun Jian tidak melakukannya"
Harga diri Feng Jian sungguh terusik. Selamanya ia tidak bisa mengerti
maksud Sun Jian. Padahal, Sun Jian melakukan itu hanya ingin agar Mao Wei tahu bagaimana
rasanya bila istri diculik orang. Ia pun sengaja menculik Feng Jian, sekali
pandang ia bisa mengenali istri macam apa perempuan itu. Karenanya, ia
perlu memberi pelajaran. Sekali tepuk dua nyawa! * Hutang darah bayar darah, pikir Sun Jian. Bukankah itu yang diajarkan Lao
Bo" Lao Bo menggunakan cara seperti ini untuk membunuh penjahat, pikirnya
dalam hati. Sun Jian tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik lagi, karena
memang tidak ada cara yang lebih baik daripada caranya itu. Memikir apa
yang telah ia lakukan, Sun Jian tertawa sendiri.
Lao Bo tidak pernah memberi petunjuk cara membereskan masalah. Sun Jian
percaya, jika Lao Bo sendiri yang melakukannya, belum tentu akan lebih baik
daripada caranya tadi. Dalam beberapa tahun ini Sun Jian sedikit demi sedikit merasa sudah bisa
meniru cara dan teknik Lao Bo memecahkan masalah.
Dan Sun Jian merasa sangat puas.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
* Senja. Lao Bo masih berada di taman bunga.
Ia sedang membuang ulat yang berada pada sekuntum chrysan serta
menggunting dedaunan yang layu.
Itulah bagian dari pekerjaannya. Lao Bo senang melakukan pekerjaan itu
sendiri. Itu adalah hiburan dan hobinya, dan karenanya ia tidak memberi
pekerjaan membuang ulat dan menggunting daun pada orang lain.
Di saat itu Wen Hu dan Wen Bao bersaudara masuk. Lao Bo meletakkan
gunting yang dipegangnya.
Menghadapi anak buah pun bagian dari pekerjaannya. Ketika bekerja, ia akan
lakukan dengan sepenuh hati. Begitu pula saat ia melaksanakan hobi dan
kesenangannya. Lao Bo tidak mencampuradukkan kedua tugas itu.
Wen Hu dan Wen Bao, dua pemuda sangat pemberani, sering melakukan
tugas berat. Wajah mereka mulai keriput, apakah karena tugas yang dipikul
terlalu berat" Wajah itu kali ini pun terlihat lelah. Dua hari ini mereka telah bekerja keras.
Tapi hanya dengan melihat senyum Lao Bo, kelelahan itu seketika lenyap.
Sambil tersenyum, Lao Bo bertanya, "Apa tugas kalian sudah selesai?"
Wen Hu menjawab penuh hormat, "Ya."
"Ceritakanlah padaku," perintah Lao Bo dengan gembira.
"Kami sudah menyelidiki, ternyata Xu Qing Song punya seorang putri, dan
kami pun menculiknya." kata Wen Hu langsung pada masalah.
Tanya Lao Bo, "Berapa usia Nona Xu" Apa sudah menikah?"
"Putri Xu Qing Song dua puluh satu tahun," jawab Wen Hu, "dan belum
menikah, wajah maupun sifatnya sangat buruk. Konon, Nona Xu pernah
bertunangan, tapi ia mengusir calon mertuanya."
"Teruskan ceritamu," Lao Bo mengangguk.
"Sebelumnya, kami berkenalan dulu dengan Jiang bersaudara, mencekok
mereka dengan arak sampai mabuk, lalu membawa kehadapan Nona Xu,"
jelas Wen Hu. Wen Bao melanjutkan cerita kakaknya dengan bangga, "Jiang bersaudara
selagi mabuk seperti lalat melihat darah, tidak perduli siapa pun perempuan
itu. Begitu bertemu Nona Xu, mereka segera melakukan pekerjaan bejat itu."
Giliran Wen Hu meneruskan, "Begitu selesai melakukannya, kami beri mereka
pelajaran." Kata Wen Bao, "Kami menghajar mereka dengan hati-hati, selalu menghindari
kepala bagian belakang supaya tidak sampai gegar otak. Tapi dalam dua tiga
bulan, berani jamin, mereka tidak bisa bangun dari tempat tidur."
Wen Hu dan Wen Bao memiliki jurus lihai, yang satu bernama "Jurus Memukul
Harimau", satunya lagi "Jurus Telapak Tangan Besi". Kungfu mereka pun
seperti anak buah Lao Bo yang lain, tidak ada yang aneh-aneh, tapi kecepatan
dan kekuatannya sangat dahsyat.
Lao Bo selalu berkata, kungfu bukan untuk dipamerkan. Jadi, tidak perlu
aneh-aneh. Kalau Jiang bersaudara tidak mabuk, barangkali masih bisa menahan
serangan mereka. Tapi karena sudah mabuk, yang terdengar hanya jerit
kesakitan. Jiang bersaudara tidak bisa apa-apa lagi.
"Kemudian kami menyewa tandu, mengantarkan mereka pada Xu Qing Song,"
jelas Wen Hu. "Sayang kami tidak bisa melihat ekspresi Xu Qing Song," lanjut Wen Bao.
Penjelasan Wen bersaudara sangat singkat. Begitu habis cerita, mereka
langsung berhenti. Mereka tahu, Lao Bo tidak suka bertele-tele.
Nyatanya, mendengar sampai di sini, senyum Lao Bo hilang.
Hati Wen bersaudara seketika tengelam. Melihat ekspresi Lao Bo, mereka
menduga telah berbuat salah. Dan siapa melakukan kesalahan harus
dihukum, begitu prinsip Lao Bo.
Setelah lama, Lao Bo berkata gusar, "Kalian tahu sudah melakukan kesalahan
apa?" Wen bersaudara menunduk kepala.
Kata Lao Bo, "Jiang bersaudara tidak bisa bangun dalam tiga bulan itu tidak
masalah, ketidakadilan Xu Qing Song pun pantas diberi ganjaran. Untuk kedua
hal ini kalian sudah melakukan tugas dengan baik." Tiba-tiba nada bicara Lao
Bo semakin tegas, "Lantas, apa kesalahan Nona Xu hingga kalian
memperlakukannya seperti itu" "
Wen bersaudara seketika berkeringat dingin. Mereka hanya bisa tertunduk.
Bila Lao Bo sedang marah, siapa pun tidak berani memandangnya.
Setelah lama, kemarahan Lao O sedikit reda. "Ini ide siapa?" tanyanya.
Wen bersaudara menjawab bersamaan, "Aku!"
Lao Bo melihat keduanya, kemarahannya semakin berkurang. Perlahan ia
berkata, "Wen Hu lebih jujur, pasti bukan idenya."
Tunduk Wen Bao semakin dalam. "Sejak awal kakak sudah tidak setuju
dengan ideku ini." Lao Bo menatap Wen Bao, "Apa kau sudah menikah?"
"Belum," jawab Wen Bao.
"Segera ambil undanganku. Kita kerumah Xu Qing Song melamar Nona Xu."
Kaki Wen Bao seperti digigit ribuan semut. "Tapi" tapi?"
Lao Bo kembali marah, "Tidak ada tapi-tapian, segera lamar Nona Xu. Idemu
Naga Naga Kecil 1 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Kisah Pedang Di Sungai Es 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama