Ceritasilat Novel Online

Kisah Para Penggetar Langit 11

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 11


Walaupun sejak kecil Cio San sudah diajari sopan santun, dan tata bahasa yang tinggi oleh ayahnya, tetap saja ia merasa lebih enak bergaul dengan para "Siau Jin" (orang rendahan). Baginya mereka adalah bagian dari
dirinya, dan dirinya adalah bagian dari mereka.
Saat enak-enakan mabuk dan duduk di tepi jalan, mata Cio San tertumbuk pada seseorang.
Mey Lan! Mengapa Mey Lan ada disini"
"Kalian tunggu di sini ya, aku segera kembali" katanya kepada para anak buahnya.
"Siap ketua!" Ia lalu bangkit dan menguntit Mey Lan.
Rupanya Mey Lan sedang berbelanja. Ia memasuki sebuah toko perhiasan
yang sangat besar. Saat membaca papan namanya, tahulah Cio San jika itu adalah toko milik Khu Hujin juga.
Lama sekali Mey Lan berada di toko itu.
Ada dua hal kesukaaan perempuan yang lelaki paling malas menungguinya.
Berbelanja dan berdandan. Ironisnya, jika hasil belanja itu ia pakai, dan hasil dandanannya terlihat cantik, justru laki-lakilah yang paling bahagia.
Kini Mey Lan telah keluar toko itu. Wajahnya terlihat lebih berseri-seri daripada sebelum masuk tadi. Rupanya ia sudah membeli barang yang
disukainya. Kerinduan dan rasa kangen setelah sekian lama berpisah, membuat Cio San sudah tak dapat menahan dirinya lagi.
"Meymey" panggilnya.
Kwee Mey Lan menoleh. Ketika dilihatnya orang yang memanggilnya itu tidak ia kenal, ia
meneruskan lagi jalannya.
"Meymey pasti sudah lupa ya?" kata Cio San lagi.
Mey Lan hafal sekali suara itu. Tapi kenapa pemilik suaranya berbeda"
"Tuan apa salah mengenal orang?" tanyanya
"Ah tentunya meymey pangling dengan aku ya. Aku adalah San-ko (kakak
San) mu" kata Cio San sambil tersenyum.
"San-ko" Hah" Bagaimana mungkin. Kau mabuk ya?" ia berkata begitu
karena mencium arak dari mulut dan tubuh Cio San. Cepat-cepat ia
berpaling dan ingin berlari
Jika ada orang berbau arak yang tidak kau kenal menyapamu, tentulah kau akan berpikir dia sedang mabuk berat.
"Masih ingat di telaga Lin Cin" Kau berlari mengejar kupu-kupu sampai terjatuh dan lututmu luka" Kau memintaku untuk tidak menceritakannya
kepada ayahmu. Karena ia telah melarangmu untuk pergi kesana mengejar kupu-kupu. Karena saat kau kecil, kau pernah terperosok di jurang karena hal itu"
"Atau kau masih ingat saat malam-malam kita menyelinap pergi ke toko
man thau karena tiba-tiba kau ingin makan man thau. Saat pulang kau ku ajak adu lari"
"Atau masih ingat kah kau saat kau kupetikkan bunga lalu kau marah-marah karena kau lebih suka bunga tetap menempel pada pohonnya?"
Mey Lan berbalik. Cerita itu tentu saja diingatnya.
Diingat sepenuh hatinya. Kenapa orang kotor berbau arak di depannya ini tahu sekali"
"San-ko"kenapa"kenapa wajahmu berubah" Kau bukankah tadi yang
berada dipinggir jalan bersama orang-orang itu kan" Aku melihat kalian keluar dari rumah judi"
"Saat bersama engkau dulu, aku sedang sakit. Sakit itu mempengaruhi
wajahku sehingga pucat dan berkerut-kerut. Aku pun pergi meninggalkanmu adalah untuk menyembuhkan sakitku itu. Kini aku sudah sembuh"
"Aih benarkah. Aku turut bahagia untukmu San-ko" kata Mey Lan sambil
tersenyum. Tapi Cio San merasakannya.
Sesuatu yan berbeda. Kenapa senyumnya terasa pahit" Kenapa ia tidak segera lari memelukku"
Apakah karena aku kotor dan berbau arak"
"Kau..kau ada apa ke kota ini?" tanya Mey Lan. Ia tidak melangkah maju ke depan, tapi agak mundur sedikit ke belakang.
"Eh..aku berkelana saja. Sebenarnya aku dalam perjalanan pulang ke Lai-Lai"
"Oh" Mey Lan hanya mengangguk-angguk.
Mengapa semua ini terasa aneh"
"Lan-mey (adik Lan), siapa ini?" tiba-tiba ada suara yang keluar dari toko di sebelah Cio San.
"Eh, Bun-ko (kakak Bun)" Mey Lan terlihat kaget. "Perkenalkan, ini A San.
Dulu pernah bekerja sebagai pegawai ayah. Dia tukang masak kami"
katanya "Oh.." kata orang yang dipanggil Bun-ko oleh Mey Lan ini.
"Salam kenal" kata Cio San menjura. Padahal lelaki di depannya ini tidak menjura kepadanya.
"A San, ini suamiku namanya Lim Gak Bun. Dia pendekar dari Kun Lun Pay"
kata Mey Lan kepadanya. "Ah, pendekar dari Kun Lun Pay" Sungguh gagah" puji Cio San tulus sambil menjura lagi.
Lim Gak Bun hanya mengangguk sedikit.
"Kau sudah selesai berbelanja?" tanya Lam Gak Bun.
"Belum. Masih ada beberapa barang lagi yang harus ku beli" kata Mey Lan.
"Perlu kutemani?"
"Tidak usah, Bun-ko. Kau tunggu saja di restoran itu. Aku sebentar saja, kok" kata Mey Lan.
"Baiklah" Ia menoleh dan mengangguk sedikit kepada Cio San lalu kembali ke restoran tempat tadi ia menunggu.
"A San, aku pergi dulu. Sampai jumpa ya. Kau mampir-mampir lah ke Lai Lai" kata Mey Lan
Ditinggal pergi oleh dua orang ini, Cio San jadi bingung sendiri. Akalnya sudah bisa membaca cerita yang baru saja terjadi di depannya.
Segera ia pergi juga. Tapi ia memutar jalan. Begitu dilihatnya Mey Lan memasuki sebuah sebuah jembatan kecil, dia pun sudah tiba di belakang Mey Lan.
"Meymey, kau bisa jelaskan semua kejadian tadi?"
Mey Lan berhenti berjalan. Ia hanya diam dan tidak menoleh.
Ketika menoleh, air mata sudah menetes dari pipinya.
"Kau kemana saja selama ini" Selama beberapa bulan ini kenapa kau begitu egois dan meninggalkan aku" Apa kau tahu aku kesepian, dan
merindukanmu?" Cio San tak tahu harus berkata apa.
"Lalu dia datang. Dengan segala kegagahannya. Dengan segala
perhatiannya. Ia mengisi ruangan kosong yang telah kau tinggalkan. Apakah aku salah memilihnya" Apakah aku terlalu bodoh untuk tidak menunggumu"
Menunggu kepulanganmu yang tidak pernah pasti. Bagaimana jika kau tidak pernah kembali?"
"Apa kau akan menuduhku kejam karena memilih sesuatu yang pasti
daripada sesuatu yang tidak pasti?"
"Aku..aku hanya bosan menunggumu. Aku bosan dalam ketidakpastian.
Umurku bertambah. Waktu berjalan sangat cepat dan tahu-tahu kita
menjadi tua. Lalu dia datang. Menawarkan tangannya untuk kugenggam.
Menawarkan hidupnya untuk ku masuki. Apakah aku salah?"
"Ia menwarkan hidup yang menggairahkan. Petualangan. Dunia dan tempat baru yang tidak pernah ku lihat. Aku tak ingin seumur hidup menghabiskan waktu di Lai Lai. Aku ingin berkembang dan melihat dunia luar. Aku ingin merasakan serunya berpetualang."
"Aku"aku tak ingin hidupku dihabiskan hanya untuk memasak saja."
"San-ko bisa mengerti aku?"
Cio San mengangguk. Walau air matanya menetes pun, ia tetap
mengangguk. Entah kenapa hujan pun turun. Mungkin langit ingin membantunya
menyembunyikan air mata. Ataukah langit pun ingin turut menangis
bersama mereka. Perempuan meneteskan air mata.
Lelaki pun juga. Langit pun juga. Seluruh dunia sebenarnya menangis. Lalu kenapa perempuan disalahkan
karena terlalu sering menangis" Dan kenapa pula lelaki disalahkan karena ikut meneteskan air mata juga"
Manusia menangis, karena sudah tak ada kata-kata yang sanggup keluar
dari mulut mereka. Seharusnya namanya bukan air mata. Harusnya namanya adalah air hati.
Karena air itu benar-benar lahir dari hati. Mata hanya muaranya.
Entah kenapa pula hujan menjadi selebat ini"
Kedua orang itu berdiri di atas jembatan.
Saling menatap dan tak bergerak.
Lalu Cio San mengangguk dan berkata,
"Meymey pergilah. Aku telah rela. Aku tak akan menahanmu, tak akan
menuduhmu yang macam-macam. Tak akan menyalahkanmu. Semua ini
adalah kesalahanku." Ia berkata begitu sambil tersenyum.
Mey Lan pun tersenyum. Bagaimana pun lelaki di depannya ini pernah datang mengisi hari-harinya.
Pernah hidup di dalam mimpi-mimpinya. Dan pernah cinta di dalam relung hatinya.
"Pernah datang, pernah hidup, dan pernah cinta" hanya ucapan itu yang keluar dari bibir Mey Lan.
Tapi Cio San mengerti sekali artinya.
Kata "pernah" adalah kata yang paling menghujam jiwa.
Karena pernah, bisa berarti "sudah tidak".
Jika perempuan yang kau cintai sudah tidak mencintaimu, maka adalah hal yang paling memalukan untuk memaksanya kembali mencintaimu. Karena
cinta adalah hal yang paling tidak bisa dipaksakan di muka bumi ini.
Hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah merelakannya pergi, sambil
menyimpan baik-baik kenangan yang tersisa.
Hal terbaik yang bisa kau harapkan adalah mengharapkannya bahagia
bersama siapapun yang kini ia cintai.
Yang paling terhormat adalah mundur sejauh-jauhnya dan mengakui
kekalahanmu. Bahwa kau tak mampu mempertahankan hal paling penting
dalam hidupmu. Jika kau memaksakannya untuk kembali kepadamu, bukankah itu berarti
kau tak cinta kepadanya" Jika kau cinta, maka kau akan ikut bahagia
melihatnya bahagia. Kau boleh menangis atau meratap. Tapi kau pun tak boleh menipu dirimu sendiri dengan berharap bahwa masih ada sedikit sisa-sisa cinta di hatinya untukmu.
Karena jika wanita sudah pergi, maka ia akan pergi selamanya. Ia tak akan meninggalkan sisa-sisa cintanya kepadamu.
Maka, kau hanya bisa mengucapakan "selamat jalan" kepadanya. Berharap ia akan menemukan apa yang selama ini dicari-carinya.
Kau pun tak mungkin bisa membencinya, karena sebenci-bencinya kau
kepadanya, toh dalam hatimu kau tahu kau menyayanginya.
Cinta di hati lelaki, kadang hilang tak berbekas. Namun kadang juga masih menempel bagai noda yang tak bisa hilang.
Noda noda ini mengisi hatimu, menjadikan hidupmu lebih berwarna.
Memberimu banyak pelajaran tentang kehidupan.
Bahkan mungkin noda inilah yang membangkitkanmu dari tidur panjang dan kelenaanmu. Karena kadang kebahagiaan membuat orang terlena dan cepat puas.
Hanya rasa sakitlah yang membuat seseorang bangkit dan menyongsong
kehidupan. Hanya kepedihanlah yang mampu memicu seseorang untuk
memperbaiki masa depannya.
Dan di suatu saat nanti, di masa depan nanti, kau akan menatap hari ini dengan penuh senyuman, dan berkata:
"Hari itu adalah hari di mana aku jatuh, tapi juga hari di mana aku bangkit"
Hari itu yang membuatku kini kuat dan gagah seperti sekarang ini.
Hari itu adalah hari dimana aku membuktikan diri kepada dunia bahwa tak ada satu pun hal yang mampu menistakan harga diriku!
Tak ada satu pun hal yang mampu memisahkanku dari takdir masa
depanku! Tak ada satu pun hal yang mampu meruntuhkan jiwaku!
Api Jiwaku tak akan padam oleh banyaknya air mata yang ku teteskan hari ini!
Cio San lalu berbalik pergi. Mey Lan memanggilnya,
"San-ko, maukah kau mendengar pesan terakhirku untukmu?"
Ia tak melanjutkan langkahnya. Bibirnya berujar pelan, "katakanlah"
"Kau hiduplah sebagai orang baik. Karena aku tahu kau adalah orang yang baik. Berusahalah untuk melihat dunia lebih terbuka dan lebih luas. Ada hal-hal di dunia ini yang masih bisa kau pelajari. Jadilah pria yang yang bisa melindungi kekasihnya. Jadilah pria yang bisa menghidupi kekasihnya. Kau tahu maksudku. Bukan?"
Cio San melangkah pergi. Ia takut jika ia menoleh, ia tak akan sanggup pergi. Sama seperti dulu saat pertama kali ia meninggalkan Mey Lan.
Tapi di lubuk hatinya ia tahu, perginya kali ini adalah kepergian untuk selama-lamanya dari kehidupan Mey Lan.
Ia pun tahu, walaupun hatinya sanggup merelakannya, bibirnya ini tentu saja tak sanggup mengucapakan "selamat tinggal".
Heran. Mengapa ia yang melangkah pergi, tetapi terasa justru nona itu lah yang pergi"
Orang-orang yang meninggalkanmu"
Mereka tidak benar-benar pergi,
Mereka menjadi bagian dari dirimu,
Menjadi pembentuk jiwamu,
Dalam hatinya ia tahu, sangat menyakitkan untuk berpisah dengannya, tapi amat jauh menyakitkan untuk bertemu kembali dengannya
Langkahnya tetap ia ayunkan. Walaupun setiap langkah itu terasa bagai anak panah yang menghujam dadanya. Ia tetap melangkah. Selain
melangkah pergi, memangnya apa yang bisa kau lakukan terhadap
perempuan yang sudah tidak mencintaimu"
Datang. Pergi. Bukankah itu inti dari kehidupan manusia"
Mengapa tak ada seorang pun yan menyadarinya" Jika manusia
menyadarinya tentulah mereka tak akan banyak menangis.
Jika kau benar-benar pergi dari kehidupannya, jalan satu-satunya untuk tetap mencintainya adalah bukan berusaha untuk memilikinya lagi. Jalan satu-satunya adalah mendoakannya setiap saat. Mendoakan agar ia benar-benar bahagia atas pilihan-pilihannya.
Doa yang tulus seperti itu adalah doa-doa yang menggetarkan langit.
Di dunia ini, begitu banyak orang seperti ini. Yang tetap mendoakan hal terbaik bagi orang yang pernah menyakiti dan melukainya. Orang-orang
seperti inilah yang pantas di sebut sebagai PARA PENGGETAR LANGIT.
Langit pun tergetar oleh ketulusan mereka.
Apalagi dunia" Dunia mungkin akan menertawakan mereka. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, orang-orang di dunia in pun mengakui betapa beruntungnya mereka
menjadi orang-orang yang tulus.
Cio San melangkah pergi. Entah ia kini sudah berada di mana.
Ia duduk di pinggir sungai. Sudah beberapa jam ia ada di sana. Melihat airnya yang bening yang menadahi hujan yang deras. Hati manusia haruslah seperti itu.
Apapun ia terima, dan menjadikannya bagian dari dirinya. Orang boleh
melemparkan apapun ke sungai. Langit boleh menurunkan apapun ke
sungai. Tapi sungai tetaplah sungai. Dengan kelembutannya,
ketenangannya, dan kedamaiannya.
Ia kini duduk dan tersenyum. Senyum yang gagah. Seorang laki laki boleh dilukai, boleh dihina, boleh diremehkan. Tetapi ia akan bangkit dan
membuktikan bahwa ia justru lebih baik dari semua itu.
Lelaki seperti ini, akan menjatuhkan hati siapa saja. Waktulah yang akan membuktikan semuanya.
"tolong..tolong" tiba tiba terdengar suara seorang wanita.
Sekejap saja Cio San sudah berada di hadapan wanita itu, "Ada apa?"
"Anakku tercebur selokan. Airnya menyeretnya. Tolong tuan..tolong tuan"
Dengan pandangannya yang tajam, Cio San sudah berhasil melihat anak itu.
Dengan sekali gerakan ia sudah melompat, menangkap anak itu sambil
bersalto. "Oh terima kasih"terima kasih"." Kata Ibu itu sambil menangis. Cio San memeriksa anak itu, "untunglah belum terlambat" Dengan sekali menekan sebuah titik di dadanya, anak itu sudah memuntahkan air yang tadi
ditelannya. "terima kasih tuan"terima kasih"
Cio San mengangguk, dan beranjak pergi.
Ada kebahagiaan di hatinya saat menolong orang.
Memang kebahagiaan terbaik adalah saat engkau berguna bagi orang lain.
Jika di dunia ini pilihanmu cuma bahagia dan kecewa, mengapa kau pilih kecewa"
Ia berjalan lagi. Tubuhnya kini bau comberan setelah tadi menolong dan menggendong anak kecil yang terjatuh itu. Tiba-tiba ia teringat,
"Ah bukankah undangan Khu Hujin itu saat ini ya?" katanya dalam hati. Ia lalu pergi ke tempat kediaman Khu Hujin.
Rumahnya sungguh besar. Tanah halamannya saja luasnya hampir tak
dapat dipercaya. Di gerbang depan rumah ini sudah terlihat keramaian.
Huna Biau berada di depan menerima tamu. Hujan sudah tidak sederas tadi, tapi masih banyak tamu yang datang memakai payung.
"Ah Cio-tayhiap silahkan-silahkan" kata Huan Biau menyambutnya. Ia tidak bisa bercakap-cakap lama dengan Cio San karena harus menyambut tamu
yang lain. Cio San melangkah masuk. Banyak sekali orang yang datang. Semua datang dengan pakaian bagus dan kering. Hanya Cio San yang muncul dengan
pakaian basah dan berbau comberan pula. Di halaman ini ia banyak
menemui orang tak dikenalnya.
Tapi ada juga beberapa orang yang ia kenal,
5 pedang butongpay salah satunya,
"Selamat siang saudara" katanya sambil menjura.
Mereka menatapnya penuh kebencian. "Selamat siang" mereka menjawab
pendek. Lalu mempercepat jalannya.
Cio San tersenyum saja sambil geleng-geleng.
Mereka kemudian sampai ke sebuah balairung yang sangat luas. Sudah
banyak meja yang tertata disana. Orang sebanyak ini, tidak ada satu pun yang tak dapat tempat. Semua duduk di meja masing-masing. Karena di
setiap meja terdapat nama-nama.
Cio San melihat ada Mey Lan juga bersama suaminya. Gaunnya terlihat
cantik. Perhiasan yang dipakainya pun tampak sangat indah.
Melihat Cio San datang, Mey Lan malah semakin mesra kepada suaminya.
Menggelayut di lengannya, dan berbicara sangat mesra kepada suaminya
itu. Wanita jika memiliki kekasih, sejelek apapun, ia tetap ingin
memamerkannya kepada dunia.
Tetapi lelaki jika memiliki kekasih buruk rupa, sebisa mungkin ia
menyembunyikan mereka di dapur.
Dan kadang-kadang, jika seorang wanita tahu kau menyukainya, maka ia
akan semakin mesra kepada kekasihnya di hadapanmu. Hanya untuk
sekedar membuatmu merasa gila.
Cio San tersenyum saja melihatnya. Lam Gak Bun tidak membalas
senyuman itu dan berlagak tidak kenal. Tukang masak seperti A San, mana berharga di depan matanya"
Ia menuju meja satu persatu. Mencari namanya. Orang yang sudah duduk
duluan di meja, seperti hendak menutup hidung ketika ia lewat.
Penampilannya saat itu memang jauh lebih buruk dari angota Kay Pang
manapun. Di meja berikutnya pun, Cio San diperlakukan sama.
"Meja ini bukan untukmu!" bentak orang yang duduk di situ.
"Baik. Maaf-maaf" kata Cio San sambil tersenyum dan terbungkuk-bungkuk.
Dia sudah mengelilingi semua meja, tapi tidak ada satu pun tempat baginya.
Orang-orang di sana pun tak ada yang mau jika Cio San duduk di situ.
Akhirnya dia memilih berdiri saja di pojok belakang ruangan.
Saat ini, kau mungkin hanya duduk di pinggiran. Menatap orang yang lewat, melihat tawa dan kebahagiaan mereka. Lalu mungkin kau bertanya-tanya kepada dirimu sendiri, "kapan aku akan seperti mereka?". Hingga tanpa kau sadari, ketika dunia berputar, orang lain lah yang bertanya-tanya kepadamu
" Kapan aku seperti engkau?"
Tibalah saatnya. Sang tuan rumah memasuki ruangan.
Khu hujin nampak sangat cantik dan berwibawa.
Beliau berbasa-basi sebentar. Mengucapkan selamat datang kepada tamu.
Acara ini memang hanya sekedar acara ramah tamah, guna saling


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperkenalkan diri. Para enghiong yang berada di sana juga semuanya orang-orang tersohor.
Cio San beruntung sekali diundang kesini, dengan begitu ia dapat mengenal banyak orang.
"Semua sudah memperkenalkan nama, bukan" Kini saatnya aku
memperkenalkan seseorang yang sangat dekat denganku. Bahkan sudah
kuanggap anak sendiri. Para enghiong harap perkenalkan, Cio San. Kaucu dari Mo Kauw sekaligus Pangcu dari Kay pang"
Cio San terhenyak. Orang-orang di sana lebih terhenyak lagi.
Siapa gerangan di dunia ini yang bisa menjadi ketua dari dua partai yang jumlah anggotanya paling banyak di seluruh dunia Kang Ouw ini"
"Mari San-ji maju saja, jangan malu-malu" Khu Hujin memanggilnya San-ji, Anak San!
Cio San melangkah maju. Betapa kaget orang-orang ketika tahu bahwa Pangcu merangkap kaucu ini adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang bajunya kotor serta
tubuhnya berbau comberan ini" Dari mulutnya tercium bau arak pula!
"Kau dari mana saja San-ji" Mengapa basah kuyup begitu?" tanya Khu Hujin sambil tersenyum.
Entah mengapa Cio San merasa Khu Hujin ini memandangnya seperti
pandangan seorang ibu memandang calon menantunya.
"Anak tadi terpeleset dan jatuh ke dalam comberan, Hujin"
"Hahaha" semua orang tertawa.
Seorang Kaucu merangkap Pangcu bisa jatuh terpeleset ke dalam
comberan" Jika ini bukan hiburan lawak yang disiapkan Khu hujin, orang-orang ini pasti menyangka mereka sedang bermimpi.
"Bajumu baru saja disiapkan. Kau ganti bajulah dulu" kata Khu Hujin.
Seorang pelayan menjemput Cio San dan mengantarkannya mandi dan
membersihkan diri. Begitu kembali lagi, terperangah lah orang-orang
melihat ketampanan dan kegagahan Cio San.
Tiba-tiba terdengar suara.
"Tamu dari Kaypang dan Mo Kauw sudah tiba"
Ratusan orang di luar kini memasuki ruangan. Herannya ruangan ini seperti mampu menampung lagi ratusan orang ini. Bahkan meja-meja sudah
disiapkan dengan cepat bagi mereka.
Ada Cukat Tong, dan Ang Lin Hua ada juga di dalam rombongan ini.
"Ah, ada Raja Maling dan putri mendiang Ang-kaucu, Ang-siocia. Selamat datang" sambut Khu Hujin.
Semua orang menoleh. Ingin melihat seperti apa rupa si Raja Maling.
Mereka juga terpesona dengan Ang Lin Hua yang cantik. Walaupun
rambutnya masih putih semua, wajahnya kini telah kehilangan kerutankerutannya. Cio San tersenyum memandang mereka.
Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi serba salah seperti ini.
Berdiri di depan, dan menjadi pusat perhatian orang-orang.
Terdengar lagi suara dari luar.
"Beng Liong-tayhiap dari Butongpay dan Hong Sam Hwesio dari Siau Lim
Pay tiba" Semua orang kembali menoleh.
Hong Sam Hwesio muncul dengan wajah tersenyum dan wibawa yang
sangat kuat. Yang paling mencengangkan tentu saja Beng Liong. Wajah tampannya,
wangi tubuhnya, serta ketenangan dan pembawaannya yang begitu gagah,
membuat hadirin perempuan yang ada di sana semua terpana.
Dalam ruangan itu, ada dua orang pria tampan yang membuat para wanita tak berani bernafas. Jika mereka disuruh memilih, mereka tentu akan
melakukannya sambil tutup mata. Kedua-duanya sama tampan, sama
gagah, dan sama menawannya.
"Mari Liong-tayhiap, dan Hong-totiang (tetua Hong), silahkan duduk di sini"
kata Khu Hujin mempersilahkan. Dalam budaya Tionghoa, orang yang paling terhormat duduk di sebelah tuan rumah.
Mereka berdua duduk di sebelah kiri Khu Hujin. Hong Sam hwesio duduk di sebelah Khu Hujin, sedankan Beng Liong duduk di sebelah Hong Sam
Hwesio. Masih ada satu kursi kosong di sebelah kanan Khu Hujin.
"Aih, San-ji, mengapa kau berdiri saja di sana" Mari duduk sini"
Duduknya tepat di sebelah kanan Khu Hujin.
Cio San merasa malu sekali duduk di sana. Apalagi ia kini merasa sebagai pusat perhatian. Semua hadirin kini memandangnya. Walaupun sambil
bercakap-cakap dan menikmati hidangan, pandangan mereka tidak lepas
dari Cio San. Di dunia ini, masakah ada orang seberuntung itu"
Menjadi ketua Mo Kauw, menjadi ketua Kay Pang, dan bahkan dianggap
sebagai anak oleh wanita paling berkuasa dan paling kaya di seluruh
Tionggoan. Masih sangat muda dan tampan pula.
Ia tak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Mendapat kehormatan seperti ini.
Cio San pun tahu ada sepasang mata yang tak pernah melepaskan
pandangan darinya. Mey Lan. Dari kejauhan ia memandang Cio San.
Entah apa arti sinar matanya itu.
Tak terasa, bibir Cio San pun berucap,
"Pernah datang, pernah hidup, pernah cinta"
Bab 56 Lelaki Sejati Makanan dan sajian dari Khu Hujin sungguh nikmat. Seperti tak ada habis-habisnya makanan di keluarkan dari dapur. Segala jenis makanan dan arak yang paling enak di seluruh Tionggoan sepertinya disajikan di sini.
Cio San yang memang kesukaannya adalah makanan enak, tentu saja
menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia tidak perduli jika ada
orang yang menganggapnya rakus. Makanan disajikan untuk dimakan,
bukan" Kerlingan mata gadis-gadis dan para lie-hiap (pendekar wanita) kepadanya bukan tidak ia sadari. Ia tahu, dirinya dan Beng Liong yang menjadi pusat perhatian sekarang ini. Sepak terjang Beng Liong yang gagah dan
mengagumkan menjadi daya tarik tersendiri selain ketampanan dan
keharuman tubuhnya yang tersohor.
Jika orang memperhatikan, betapa miripnya Beng Liong dan Cio San, tetapi juga terasa mereka sungguh jauh berbeda. Kedua-duanya sama-sama
tampan, dan gagah. Muda dan terkenal pula. Siapa juga yang menyangsikan kehebatan ilmu silat mereka"
Tapi Beng Liong halus tutur kata dan gerak geriknya. Sedangkan Cio San lebih sembarangan dan bebas. Jika ketampanan Beng Lion membuat orang
kagum dan sungkan, ketampanan Cio San membuat orang ingin akrab
dengannya. "Cio-tayhiap, masih ingat dengan cayhe?" terdengar suara seorang gadis
"Ah, Khu-siocia (nona Khu), bagaimana mungkin cayhe berani lupa?" jawab Cio San sambil menjura.
"Kejadian di restoran Lai-Lai beberapa bulan yang lalu, masih cayhe ingat selalu. Cayhe pun ingat belum sempat berterima kasih kepada tayhiap" kata gadis itu yang rupanya adalah Khu Ling Ling.
"Haha, kenapa panggil tayhiap", jika aku sudah memanggilnya "anak",
bukankah kau harus memanggilnya "sicek" (paman)?" kata Khu Hujin sambil tertawa, dan diikuti tertawa hadirin yang lain.
Tinggal Cio San yang tersenyum masam.
Tiba-tiba seseorang menukas,
"Khu-hujin, lebih pantas lagi jika Khu-siocia memanggil Cio-tayhiap dengan sebutan "suami?"
"Hahahahah" semua orang di dalam ruangan itu tertawa terbahak-bahak.
Khu Ling Ling wajahnya memerah, dan untuk menyembunyikannya ia
menenggak cawan araknya perlahan-lahan.
Khu Hujin hanya tersenyum simpul memandang cucunya yang malu-malu
itu. Lalu katanya, "Urusan jodoh kan urusan anak muda. Kita yang tua-tua ini mengikut saja"
Seseorang kembali menukas,
"Jika Khu-siocia tidak cepat-cepat mengiyakan, bisa-bisa jodoh sebaik ini direbut gadis-gadis lain"
Semua orang tertawa lagi.
Khu Ling-Ling semakin perlahan meminum cawan araknya.
Cio San senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala.
Tapi matanya pun tertumbuk kepada sepasang mata. Mata Kwee Mey Lan
yang sejak tadi hampir tak pernah lepas memandang dirinya.
Di dunia ini, hanya perempuan satu-satunya makhluk yang sanggup
memandangmu dengan perasaan cinta, benci, rindu, marah, cemburu, dan
terluka sekaligus. Itulah kenapa laki-laki tak pernah paham arti pandangan itu.
"Khu hujin yang kami hormati, dari mana asal usul Cio-tayhiap yang
terhormat ini?" tanya salah seorang dari 5 Pedang Butong.
Pertanyaan ini halus dan wajar, tapi mengandung racun.
Khu Hujin tidak langsung menjawab, ia malah memandang Cio San. Begitu beliau ingin membuka mulut, Cio San sudah berdiri dan menjura.
"Rasa-rasanya harus cayhe sendiri yang bercerita tentang asal usul cayhe"
Ia lalu bercerita. Sebuah cerita panjang yang mengagumkan.
Tentang siapa orang tuanya. Bagaiamana mereka meninggal. Lalu kemudian ia berguru di Butongpay. Cerita tentang kematian gurunya Tan Hoat, yang meninggal secara mengenaskan. Cerita tentang pelariannya bersama A
Liang. Tentang kehidupannya di dalam goa. Dan lain-lain. Semua ia
ceritakan dengan ringkas dan jelas.
Orang-orang hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Jadi kau"kau yang membawa lari kitab sakti Kam Ki Hsiang itu?" tanya salah seorang
"Cayhe tidak membawa lari apa-apa tayhiap. Sungguh cayhe tidak
berbohong" jawab Cio san jujur.
"Tidak mungkin ilmumu meningkat begitu cepat tanpa guru yang mengajari.
Tentunya pasti karena Cin-keng (kitab sakti) " tukas salah seorang.
"Benar! Kami saja bisa ia kalahkan dalam satu jurus! Jika bukan karena kitab sakti tidak mungkin ada orang yang sanggup berbuat demikian"
Kata salah seorang anggota 5 Pedang Butongpay
"Kembalikan kitab itu!" semua orang kini sudah berdiri.
"Pertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Pengkhianat harus dihukum!"
"Saudara-saudara harap tenang! Mari kita bicarakan baik-baik" Khu Hujin mencoba menenangkan mereka, tetapi suasana sudah terlanjur memanas.
"Dengar!" teriak Cio San.
Kegagahan dan wibawanya kini tampak.
"Aku sudah bilang jika aku tidak mencuri kitab apapun. Siapapun yang tidak percaya, silahkan lakukan apa yang ingin dilakukannya terhadapku!"
"San-ji. Tenanglah" Khu Hujin menyentuh punggung Cio San mencoba untuk menenangkannya.
"Semua sudah seperti ini, hujin. Mungkin ini yang harus terjadi agar semua kesalahpahaman bisa diselesaikan" kata Cio San dengan tenang kepada
nyonya besar itu. "Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu" kata Khu Hujin sambil
mengangguk dan tersenyum.
Cio San lalu melompat ke tengah-tengah ruangan yang memang kosong
karena tata letak meja tamu-tamu berbentuk lingkaran.
"Aku tidak sanggup mengelak tuduhan, dan tidak punya bukti-bukti yang bisa membersihkan diriku. Siapapun yang merasa tidak puas, silahkan
maju" Golongan Mo Kauw dan Kay Pang yang semenjak tadi diam saja, kini pun
mulai marah dan berkata, "Siapa yang mengganggu ketua kami, akan berhadapan dengan kami!"
Mereka semua telah melompat ke tengah ruangan pula.
"Anggota Mo Kauw dan Kay Pang, dengarkan perintah!" kata Cio San
dengan gagah "Siap dengarkan perintah!" mereka semua berlutut dan berteriak. Teriakan itu membahana mengisi seluruh ruangan.
"Tidak boleh ada satupun anggota yang turut campur dalam masalahku. Jika tidak kuperintahkan bergerak, tidak ada satupun yang boleh meninggalkan mejanya. Sekarang kembali ke tempat semula!"
"Siap laksanakan perintah!"
Mereka semua kembali ke tempat semula. Dengan perasaan kagum dan
bangga melihat kegagahan dan keberanian ketua mereka.
Ini baru yang namanya ketua!
"Nah, siapa yang masih tidak puas dengan penjelasanku, silahkan maju"
kata Cio San tenang. Seseorang melompat ke depan,
"Aku" Tadi saat berkenalan, Cio San tahu orang ini bernama Su Beng Kong. Ketua Kong Tong pay!
"Salam hormat" kata Cio San menjura.
"Tidak berani..tidak berani" mulutnya tersenyum tapi tangannya tidak
menjura. "Jika kau kalah, apa yang akan kau lakukan?" tanya Su Beng Tong.
"Apapun yang kau inginkan" kata Cio San
"Aku ingin kau mengaku salah, dan mengembalikan kitab sakti itu
kepadaku" "Mengembalikan" Memangnya sebelumnya kitab itu punyamu?"
"Kitab itu adalah kitab rebutan orang-orang kang ouw. Sudah menjadi
aturan, siapapun berhak merebutnya" kata Su Beng Kong.
"Baiklah. Bagaimana jika aku menang?" tanya Cio San
"Kau tak akan menang!" ia lalu membuat kuda-kuda.
Kong Tong pay terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Jurus "Tangan Besi dari Utara" mereka sudah tersohor di dunia sejak lama.
Terlihat tangan Su Beng Kong mengeras dan mengeluarkan bunyi
gemeratak. Seperti ada cahaya yang keluar dari kepalannya.
Jurus pertama! Tangan Besi Meraih Awan. Jurus ini terlihat lamban, tetapi menyimpan kekuatan dan tipu daya yang hebat. Tinju itu mengarah ke kepala Cio San. Anak muda ini mencoba
menangkisnya, tetapi entah bagaimana tinju itu terbuka dan jari-jarinya sudah mengincar mata Cio San!
Ia hanya memundurkan badannya. Kakinya tetap "tertancap" di tanah. Jari-jari ganas itu tetap mengincar matanya.
Kepalan tangan Su Kong Beng yang satunya lagi sudah menuju ke dada Cio San pula. Sangat cepat dan berat.
Dengan tangan kanannya Cio San hanya "menyentuh" kepalan yang
menyerang dadanya itu. Tapi kepalan itu malah meluncur deras ke arah
kepala si pemukul sendiri.
Begitu derasnya sampai ia tak bisa menghentikan tangannya sendiri.
Dengan tangan satunya ia terpaksa menangkis serangan tangannya sendiri!
Beng Liong dan 5 Pedang Butongpay yang merupakan murid-murid utama
Butongpay saja, belum pernah melihat Thay Kek Kun yang seperti itu.
Mampu membelokkan tinju penyerang, untuk menyerang si penyerang itu
sendiri! Betapa kagetnya ketua Kong Tong Pay ini melihat begitu mudah jurusnya dipatahkan oleh anak ingusan seperti Cio San. Ia lalu menyiapkan jurus kedua,
Tangan Besi Menantang Api
Tinjunya dilancarkan sangat cepat. Seperti hendak memadamkan api.
Memang angin yang ditimbulkan tinju ini terasa berat dan kuat. Bahkan piring-piring di belakang Cio san ikut tersapu karena angin ini!
Jurus ini malah mengingatkan Cio San kepada jurus 18 Tapak Naga.
Angin deras itu dihadapi dengan angin deras juga oleh Cio san. Dengan menggabungkan 18 tapak Naga dan Thay Kek Kun, ia menciptakan angin
berputar yang menghilangkan semua angin serangan dari lawannya itu.
Begitu angin serangannya buyar, segera Su Beng Kong melenting dan
dengan kakinya mengincar dagu Cio San. Tendangan mencungkil itu hanya tipuan, karena begitu Cio San menangkis tendangan itu, tinju Su Beng Tong sudah menghujam mengincar batok kepalanya.
Melihat serangan ganas ini, Cio San menerimanya dengan tangan kirinya yang mengeluarkan suara derik ular.
Blaaaangggg! Terdengar suara seperti baja bertemu baja.
Tubuh Su Kong Beng sampai terlempar ke atas karena beradunya dua
tenaga dahsyat itu. Cio San terlempar ke belakang, tapi dengan Thay Kek Kun ia sudah dapat mengatur langkah, dan menyalurkan tenaga dorongan
itu ke kakinya. Dengan menggunakan tenaga dorongan itu, ia malah mampu melenting
dengan sangat cepat ke atas menyusul Su Beng Kong. Tendangan
mencungkil yang tadi dikeluarkan Su Beng Kong kini dilakukan Cio San
dengan lebih dahsyat, lebih cepat, dan lebih bertenaga.
Tendangan ganas itu pun tidak ia lancarkan ke dagu, hanya ke arah paha Su Beng Tong.
Kraaakkkk! Terdengar suara patah. Tentu saja tulang paha bagian belakang Su Beng Tong yang patah.
Ia terlempar lebih jauh lagi.
Untunglah Beng Liong sudah menangkapnya dengan menggunakan Thay
Kek Kun sehingga ia tidak jatuh terhujam dengan deras ke lantai.
"San-te (adik San), berhati-hatilah" kata Beng Liong yang ditanggapi Cio San dengan senyuman.
"Terima kasih, Liong-ko" kata Cio San sambil menjura.
Aksi Beng Liong menangkap derasnya tubuh Su Beng Tong mendapat decak
kagum pujian dari orang-orang karena hal ini sangat susah dilakukan. Tanpa Thay Kek Kun, malah hal ini menjadi mustahil. Karena jika tidak, derasnya tenaga hujaman ini malah berbahaya bagi orang yang mencoba
menangkapnya. Sebaliknya jika tenaga orang yang menangkap memang
lebih kuat, maka bertemunya tenaga hujaman dan tenaga orang yang
menangkap, akan sangat berbahaya bagi orang yang jatuh itu. Itulah
sebabnya sangat sulit dilakukan.
Tapi Beng Liong melakukannya dengan santai seperti tanpa kesulitan
apapun. Su Beng Kong meringis kesakitan karena tulang pahanya remuk. Sampaisampai ia tak sempat mengucapkan terima kasih kepada Beng Liong yang
tadi menolongnya. Ia kini duduk saja menyalurkan tenaga dalam ke
kakinya, dan telah menotok beberapa titik untuk menghilangkan rasa sakit.
Cio San bertanya kepadanya,
"Su-tayhiap, bagaimana"
Su Beng Kong hanya mengangguk-angguk.
Dengan kalahnya ketua Kong Tong Pay ini, tentu saja mereka yang ilmunya dibawah orang ini, langsung mengkeret dan tak berani buka suara.
Seseorang melompat maju ke depan. Kali ini Cio San juga mengenal
namanya, Sengkoan To. Ketua dari partai Pek Thian Pang. Sengkoan To
adalah seorang yang berumur 50an, berbadan tegap dan rambutnya
setengah botak. Ilmu tombak besinya sudah lumayan cukup memberi nama
besar kepadanya. "Cayhe mohon pelajaran dari Mo Kauw kaucu dan Kay Pang pangcu" katanya menjura.
"Silahkan" kata Cio San sambil memainkan ujung rambutnya.
Tangan kirinya sudah ia lipat ke belakang. Posisi bertarung yang paling disukainya.
Tombak telah keluar! Sambarannya mengeluarkan suara "wuuuuuunggggg" yang memekakkan
telinga. Tombak ini keseluruhannya dibuat dari besi baja murni yang sangat berat.
Dengan Thay Kek Kun, Cio San menyambut tombak itu. Tangan kanannya
menerima tombak itu sambil tubuhnya serong ke kiri. Saat tombak itu
terpegang, Sengkoan To memutar tombak itu dengan pergelangan
tangannya. Gerakan ini sangat kuat, dan memang Sengkoan To telah


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melatihnya sejak bertahun-tahun, sehingga kekuatan putaran itu sukar
dibayangkan. Siapa yang pergelangan tangannya tidak kuat, tentunya telapak tangan dan jari-jarinya akan hancur jika memegang tombak yang berputar kencang itu.
Begitu merasakan putaran kencang itu mulai menjalar ke lengannya, Cio San melakukan hal yang sangat tepat. Ia tidak melawan putaran itu,
melainkan tubuhnya menempel di tombak itu sambil mengikuti alur
putarannya yang dahsyat itu.
Sengkoan To yang merasa berat karena tombaknya ketambahan berat
badan Cio San sampai terkaget-kaget. Bagaimana mungkin manusia bisa
menempel pada badan tombak yang berputar dahsyat seperti itu.
Ia lupa bahwa tadi Cio San bercerita bahwa ia sempat mempelajari gerak ular saat hidup berada dalam gua.
Begitu Cio San menempel di tombak itu, ia menambah tenaga putaran itu menjadi lebih hebat lagi sehingga justru kini Sengkoan To yang tidak bisa menahan putaran tombaknya sendiri.
"Lepaskan tombak!" teriak Cio San.
Tapi Sengkoan tak mau mendengar. Baginya tombaknya adalah harga
dirinya, jika lepas, maka hilanglah harga dirinya.
Justru itulah kesalahan terbesarnya.
Putaran tombak yang dayanya sudah berlipat ganda karena putaran tubuh Cio San itu malah menyerang balik pemiliknya sendiri. Sengkoan To yang bertahan melawan tenaga putaran itu malah berteriak kesakitan karena kini tangannya lah yang remuk.
Cio San lalu melompat seketika melepaskan diri dari tombak agar cedera lawannya tidak parah. Begitu ia terlepas dari tombak Cio San dengan
kecepatan yang sukar diduga segera 'menyerang' Sengkoan To. Gerakan
serangan Thay Kek Kun ini ia lancarkan tepat ke sambungan lengan dan
bahu Sengkoan To. Tubuh Sengkoan To melayang dan berputar pula seperti tombaknya.
Sungguh ia sebenarnya beruntung dan harus berterima kasih. Karena Cio San telah menyelamatkan nyawanya dari kedahsyatan putaran tombaknya
sendiri! Tangan kanannya kini lunglai. Tapi tidak copot dan remuk parah. Ia pun menyadari betapa Cio San telah menyelamatkan nyawanya dan masa
depannya sebagai pendekar tombak.
"Terima kasih atas kemurahan hati, tayhiap. Mulai saat ini Sengkoan To dan Pek Thian Pang tak akan mencampuri urusan tayhiap" ia tak dapat menjura karena tangannya lumpuh sementara.
"Sama-sama, Sengkoan-tayhiap. Jika kulihat cedera tanganmu parah namun masih bisa diobati, jika tayhiap menemukan tabib terbaik, maka cedera Tayhiap akan pulih dalam setengah tahun" kata Cio San sambil menjura.
Ia kini menatap lagi orang-orang di sana. Seperti bertanya, "Ada lagi?"
Lam Gak Bun berdiri. Suami Mey Lan ini pun kemudian buka suara,
"Cayhe tahu ilmu cayhe masih sebatas silat pinggir jalan. Tetapi sejak dulu, Ciangbunjin partai kami telah memerintahkan seluruh anggotanya untuk
mencari keberadaan kitab ini. Harap maafkan cayhe yang tidak tahu diri meminta petunjuk dari kaucu."
Mey Lan seperti hendak mencegahnya, namun sudah terlambat. Lelaki
gagah dan tegap itu kini sudah meloncat ke tengah.
Lelaki memang selalu menjadi lebih gagah jika ada kekasihnya di
sampingnya. Lam Gak Bun sendiri bukan tidak tahu bahwa sejak tadi istri barunya itu tak pernah melepas pandangan dari Cio San. Api cemburu membakar hatinya
sehingga ia tidak perduli lagi dengan kemampuan sendiri.
"Cayhe bertarung dengan pedang. Silahkan kaucu memilih senjata" katanya.
"Cayhe selalu bertarung dengan tangan kosong apapun senjata lawan" kata Cio San tenang.
"Baik. Semua orang sudah mendengar bahwa Cio tayhiap sendiri yang
memilih mengunakan tangan kosong. Berarti bukan cayhe yang berbuat
tidak adil" kata Lam Gak Bun kepada semua orang.
Mereka semua mengangguk. Tapi dalam hati mereka ragu, apakah anak
muda dari Kun Lun Pay ini sanggup menghadapi Cio San. Ketua partainya sendiri belum tentu sanggup menghadapi Cio San!
Sriiingg! Ia sudah mengeluarkan pedang dari sarung yang tersandang di
punggungnya. Cio San berpikir, untunglah tidak ada Suma Sun di sini. Jika ada, tentulah si dewa pedang itu yang memaksakan diri maju melawan Lam Gak Bun.
Jurus pertama Ilmu Pedang Sembilan Awan dari Kun Lun Pay.
Hujan Pedang di Barat, Hujan Pedang di timur.
Dan memang gerakannya seperti hujan deras yang melanda tubuh Cio San.
Pedang itu menyerang segala titik di tubuh Cio San. Tak tersisa satu pun ruang baginya untuk mundur!
Para hadirian disana pun sontak terkaget-kaget, karena walaupun tersohor, Ilmu Pedang Kun Lun Pay belum pernah terlihat selihay ini!
Pedangnya cepat sekali. Sangat cepat. Bahkan hampir-hampir Cio San tak dapat melihatnya.
Tetapi "hampir tak dapat melihat" juga berarti "masih bisa melihat".
Gerakan menghindar dan menangkis Cio San jauh lebih cepat lagi!
Bagaimana mungkin ada orang bisa menangkis pedang dengan tangan
kosong" Tapi Cio San bisa. Ia menangkis pedang itu dengan tinjunya. Tinju yang terlihat bercahaya dan mengeluarkan suara derik pula.
Ia telah berhasil menggabungkan jurus Tinju milik Su Beng Kong tadi
dengan jurus ular derik miliknya sendiri.
Pedang Lam Gak Bun patah dan hancur berkeping-keping.
Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa!
Dengan amarah membara ia menerjang Cio San. Ilmu tangan kosong Kun
Lun Pay pun sangat hebat. Tapi apalah artinya dibandingkan Cio San yang kini di tahap puncak ilmu silat"
Dengan sekali menghindar, ia sudah berhasil menghindari serangan bertubi-tubi Lam Gak Bun. Semua orang bisa melihat betapa Cio San menahan diri untuk tidak menyerang balik Lam Gak Bun.
"Ayo hajar dia, Bun-ko" teriak Mey Lan memberi semangat kepada
suaminya. Mendengar itu jantung Cio San berdegup. Ada perasaan nyeri di hatinya melihat mantan kekasihnya itu berkata seperti itu. Pertarungan satria hebat haruslah bersih dari segala macam pikiran dan gangguan. Mendengarkan hal itu, telah membuat pemusatan pikiran Cio San buyar, dan gerakannya
menjadi kacau. Inti silat Cio San memang adalah pada pemusatan pikiran dan gerakan
mengikuti alam. Mengikuti alur serangan lawan, untuk bisa memahami, dan melawan serangan itu. Jika pikiran kacau dan hati tidak tenang, maka
segala gerakan yang harusnya alami dan mengalir lancar menjadi
terganggu. Oleh karena itu sebuah tinju milik Lam Gak Bun telah masuk ke ulu hati Cio san.
Tak ada thay kek Kun yang melindunginya. Tak ada tenaga sakti yang
menahan tinju itu. Karena pikiran Cio san telah terpenuhi hal selain
bertempur. Selain bergerak bebas dan alami.
Tinju itu membuatnya terdorong mundur beberapa tombak. Darah segar
keluar dari mulutnya. Melihat serangannya berhasil, Lam Gak Bun semakin bersemangat.
Orang-orang pun menyorakinya dengan semangat.
Suara sorakan itu menghingar bingar, tetapi kenapa suara Mey Lan saja yang terdengar oleh Cio San"
"Ayo Bun-ko, hajar lagi! Hajar lagi!" suara Mey Lan terdengar bagai
menusuk-nusuk telinganya.
Cio San telah kehilangan pemusatan pikirannya. Gerak silatnya menjadi sangat kacau. Pukulan dan tendangan Lam Gak Bun telah masuk berkali-kali ke tubuhnya.
Ia telah kehilangan semangat bertarungnya.
Bukan pukulan dan tendangan Lam Gak Bun yan menyakitinya, nmelainkan
teriakan Mey lan yang benar-benar menghujam jantung dan batinnya.
"Kau sudah mencampakkanku, dan kini masih tetap ingin aku mati?"
Hanya itu yang ada di pikiran Cio San.
Perempuan adalah makhluk bumi yang paling aneh. Mereka bisa berubah
dari mencintaimu sepenuh hati, menjadi membencimu sepenuh jiwa hanya
dalam hitungan detik. "San-te, berusahalah" terdengar bisikan Beng Liong yang ia kirimkan melalui ilmu mengirimkan suara.
Darah mengucur dari hidung dan mulut Cio San. Tak ada tenaga sakti yang melindunginya lagi. Memang benar kata orang, semua berasal dari pikiran.
Jika engkau berpikir bahwa kau adalah orang yang baik, maka segala
perbuatanmu akan mengikuti pikiranmu. Jika engkau berpikir bahwa engkau tidak mampu, maka engkau benar-benar tidak akan mampu.
Jika engkau berpikir bahwa dunia ini sudah tiada artinya lagi, maka dunia benar-benar sudah tidak ada artinya lagi.
Jika seseorang jatuh, ia jatuh karena pikiran-pikirannya sendiri.
Jika seseorang bangkit, ia bangkit karena pikirannya sendiri.
Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi menderanya.
Teriakan Mey Lan bertubi-tubi menghujam jiwanya.
"Kalian ingin aku mati" Baik aku mati saja. Mungkin dengan itu kalian akan lebih berbahagia"
Ia berdiri dengan gagah menantang.
Satu serangan ganas dari Lam Gak Bun mengincar jantungnya. Jika ia
terpukul, pasti urat-urat jantungnya akan putus dan ia mati seketika!
"Mati" Ya mati saja. Bukan perbuatan yang sulit."
Aku segera akan menyusul ayah bundaku, kakek dan keluargaku, guruku?"
Terbayang semua bayangan orang-orang yang ia cintai.
"Aku akan menyusul kalian, wahai orang-orang tercinta."
Bayangan mereka sudah muncul di depan matanya.
Tapi tidak ada satupun dari mereka yang tersenyum kepadanya. Semua
menatap marah! Jika kau mati, siapa yang mengusut kematian kami" Siapa yang
membalaskan dendam kami"
Seketika ia tersadar. Tugas berat belum lagi ia selesaikan. Mengapa ia begitu terlalu mementingkan dirinya sendiri" Terlena oleh perasaan-perasaan hatinya sendiri.
Segala kejadian ini terjadi dalam sekelebatan mata. Tinju Lam Gak Bun belum lagi sampai kepada jantungnya.
Segera semangatnya pulih.
Tidak! Aku belum boleh mati. Cinta" Masih bisa dicari yang baru. Yang lebih cantik, yang lebih baik, dan yang lebih setia.
Tapi orang-orang yang ia sayangi yang telah meninggalkannya tak akan
mungkin kembali. Begitu semangatnya pulih, tenaga saktinya kembali melindungi dirinya.
Pikirannya telah kembali bersih dari segala kesedihan.
Tinju itu menghujam jantungnya.
Tetapi Thay kek Kun sekali lagi menunjukkan keistimewaannya. Tenaga
pukulan itu telah tersalurkan dengan alami, dan jantungnya selamat.
Malah Lam Gak Bun yang kini merasa tangannya telah terhisap oleh pusaran badai yang sangat dahsyat!
"Naga Menggerung Menyesal!" ia meneriakkan kata itu.
Pukulan dahsyat itu pun keluar!
Ilmu legendaris yang dipercayai telah hilang dari dunia persilatan.
18 Tapak Naga! Lam Gak Bun terlempar dengan luka dalam yang amat parah.
Semua orang berdiri terhenyak. Kaget, kagum, dan takut. Tak menyangka dalam hidup mereka, akan menyaksikan ilmu pukulan yang begitu ternama, begitu sakti, dan begitu menyeramkan.
"Dari mana kau mempelajarinya?" teriak Hong San Hwesio.
"Cayhe melihat Ji Hau Leng menggunakannya, Hong-totiang (tetua Hong)"
jawab Cio San jujur. "Sekali melihat, kau langsung bisa?" tanya Hong Sam Hwesio
"Benar, totiang"
"Kau berbohong" kata sang Hwesio
"Apa maksud totiang?" tanya Cio San heran
"Di dunia ini masakah ada manusia yang sekali lihat langsung bisa
melakukannya" Apalagi ilmu dahsyat semacam 18 Tapak Naga?" sanggah
sang Hwesio. Semua orang diam membisu dan mendengarkan.
Hong Sam Hwesio melanjutkan,
"Para hadirin sekalian, ketahuilah. Satu-satunya kitab 18 Tapak Naga yang tersisa di muka bumi ini berada pada ketua kami. Seperti yang saudara sekalian tahu, ketua kami berhak menyimpan dan mempelajari banyak kitab sakti, karena beliau adalah Bu Lim Beng Cu (ketua kaum persilatan).
Tapi kitab-kitab kuno ini, banyak yang tulisannya sudah kabur dan
menghilang. Itu karena usianya yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah 18 tapak naga ini. Sehingga ketua kami memutuskan untuk tidak
mempelajarinya, karena jika tidak lengkap, ilmu ini bisa berbahaya dan balik menyerang dirinya sendiri.
Karena hubungan baik Siau Lim Pay kami dengan Kay pang, maka kami
mengijinkan mendiang Ji Hau Leng untuk mempelajarinya. Karena memang
ilmu 18 Tapak Naga adalah ilmu kebanggan Kay pang. Ia datang ke kuil
kami lalu mencatat seluruh isi kitab yang tidak lengkap itu.
Beberapa saat yang lalu, kami mendengar bahwa kitab itu hilang. Dan kini Cio San sudah menguasainya. Saudara sekalian mengerti maksud kami
bukan?" "Mengerti!" semua orang menjawab serempak. Hanya anggota Mo Kauw dan
Kay Pang yang tidak menjawab.
Hong Sam Hwesio melanjutkan lagi,
"Beberapa waktu belakangan ini, terjadi begitu banyak pembunuhan,
pencurian kitab, dan lain-lain. Apakah saudara-saudara semua tidak curiga siapa pelakunya"
Jika kita lihat ilmu dan kesaktiannya. Dan berapa beruntungnya ia bisa menjadi ketua Mo kauw dan Kay pang, apakah saudara-saudara sekalian
tidak curiga?" "Ya..ya" semua orang mengangguk setuju.
"Cio San! Mengakulah bahwa itu semua adalah perbuatanmu!" Hong Sam
Hwesio menudingnya. "a"aku..ah" Cio San tidak bisa menjawab.
Khu Hujin malah yang membelanya,
"Tuan-tuan, tanpa bukti yang jelas, kita tidak boleh sembarangan menuduh orang. Biarkan aku menahan Cio San disini. Sampai segalanya jelas dan terbukti"
"Semuanya telah terang benderang. Dulu saat kejadian pembakaran kapal Mo Kauw, aku berada di sana. Aku sempat membelanya. Bahkan bekerja
sama dengannya untuk mencari pelakunya. Tetapi setelah ku pikir-pikir, Justru orang inilah pelakunya. Saat itu aku berada bersamanya. Aku masuk ke bilikku lalu aku diserang seseorang yang sangat sakti. Saat itu Cio San berada di ruang depan. Begitu penyerang itu menghilang, justru Cio San baru masuk. Saat kami mencari di sekeliling, tiada seseorang pun yang terlihat. Padahal mataku belum lamur!" kata Hong Sam Hwesio dengan
keras. "Ini fitnah"ini fitnah!" seluruh anggota Mo Kauw dan Kay Pang melompat maju ke tengah ruangan.
"Ketua kami adalah orang baik. Kami sudah mengalaminya sendiri. Kami
sangat mengenalnya!"
"Anggota Kaypang dan Mo Kauw, dengarkan perintahku! Kalian semua
mundur sampai ke gerbang kota bagian timur. Jika tidak kupanggil, jangan menampakkan diri!"
"Tapi"tapi.." mereka semua ragu.
"Laksanakan perintahku!"
Dengan berat hati mereka mengangguk dan pergi dari situ. Bahkan ada
yang menangis meneteskan air mata.
Cio San tahu, ia tidak boleh melibatkan anggotanya ini ke dalam masalah yang sudah sedemikan ruwetnya. Ia tidak punya bukti, tidak punya saksi, tidak punya apapun dan siapapun yang sanggup membelanya.
Hanya Khu Hujin yang membelanya, Beng Liong pun kini berdiri di
sebelahnya. Hanya mereka berdua yang terlihat perduli dengannya.
Tetapi ia tidak mau melibatkan mereka ke dalam urusan ini. Karena ia tahu siapa pelaku sebenarnya! Siapa otaknya. Dan otaknya berada di sini!
Sedang menikmati hasil karya akal kepintarannya.
Hanya saja Cio san tidak punya bukti apapun untuk membuktikannya!
Betapa hebat si otak besar ini!
"Saudara-saudara sekalian! Aku berani bersumpah demi langit dan bumi
bahwa bukan aku pelakunya. Tetapi aku tahu kalian tak akan percaya. Maka silahkan kalian menempurku. Tapi kali ini aku jamin, TIDAK ADA SEORANG
PUN YANG AKAN SELAMAT"
Dalam kemarahan dan keputusasaannya ia menjadi begitu gagah.
"San-te, tahan dirimu, mari kita bicarakan ini baik-baik, aku akan
membelamu" Cio san tersenyum pahit, "Tidak perlu Liong-ko. Tiada seorang pun yang mendengarkan. Manusia hanya percaya terhadap apa yang ingin
dipercayainya" "Majulah!" kata Cio san menantang
Tak seorang pun berani maju. Mereka telah melihat kedahsyatan jurus
pertama 18 Tapak Naga. Siapapun tidak berani ambil resiko menjadi korban kedua keganasan ilmu itu. Bagaimana jika pemuda ingusan ini sudah
menguasai seluruh 18 jurusnya"
"Mari kita serang bersama-sama!" ajak Hong Sam Hwesio
"Mari!" semua bilang begitu, tetapi tak ada seorang pun yang bergerak.
Cio San hanya berdiri memainkan ujung rambut sambil melipat tangan
satunya ke belakang. Ruangan seramai itu, tidak ada satupun suara terdengar.
Lalu terdengar suara Duaaaaaaarrrrrrrrrrrr!
Atap ruangan itu telah jebol oleh sebuah ledakan.
Cio San sudah melayang ke atas.
Ada Cukat Tong yang melayang dengan burungnya di sana. Cio San
mengaitkan kakinya ke kaki Cukat Tong.
Oran-orang tadi terkaget kaget sekarang sudah sadar jika Cio San akan meloloskan diri, mereka baru bergerak menyerang dengan lemparan
tombak, pedang, golok, dan senjata rahasia.
"Naga Terbang Di Langit!"
Jurus kedua 18 Tapak Naga itu datang berbarengan denga teriakan Cio san.
Seluruh serangan itu pun musnah oleh angin pukulannya.
Cio San dan Cukat tong terbang membumbung tinggi. Meninggalkan ratusan orang dibawah yang memaki-maki
"Pengecut! Pengecut!"
Khu Ling Ling menggenggam tangan neneknya. Ia menangis bersedih. Khu
Hujin hanya bisa menggenggam balik tangan cucunya, dan berkata,
"Kau jangan menangis. Itulah contoh lelaki sejati. Dia tidak lari
menyelamatkan diri. Justru jika ia tidak pergi, orang-orang di sinilah yang akan mati semuanya."
"Lelaki sejati" hanya itu yang keluar dari bibir gadis cantik itu.
Bab 57 Di Tepi Hutan Bambu
"Di mana anggota Kay Pang dan Mo Kauw?" tanya Cio San.
"Seperti perintahmu, mereka pergi ke arah gerbang timur" jawab Cukat
Tong. "Baik, ayo kita cari mereka"
Tak sampai berapa lama terbang, rombongan ratusan orang itu sudah
kelihatan berlari dengan cepat ke arah timur. "Itu mereka" kata Cukat Tong.
Segera mereka menukik ke bawah.
Dengan ginkangnya Cio San meluncur dengan indah ke bawah. Tahu-tahu ia sudah muncul di hadapan ratusan orang anak buahnya itu.
"Saudara-saudara. Aku meminta maaf hal ini harus terjadi. Apakah kalian masih percaya kepadaku?"
"Percaya sepenuhnya tuan!" jawab mereka semua dengan lantang.
"Baiklah. Mulai hari ini kita semua berpisah. Silahkan berpencar sendiri-sendiri. Manusia-manusia munafik yang tadi telah menuduhku, mungkin
akan mencari alasan untuk menyerang Kay Pang dan Mo Kauw. Partai kita telah mengalami berbagai macam hal dan cobaan. Kita tak akan mungkin
kalah hanya karena masalah begini saja bukan?"
"Tak akan pernah!" jawab mereka serentak.
"Baiklah. Aku akan bertemu dengan saudara lagi secepatnya. Tunggu
perintah dari ku. Cun-totiang, mohon totiang segera ke kotaraja. Bawa beberapa orang yang paling engkau percaya. Tunggu perintahku. Jangan
keluar kotaraja sebelum ada perintah dariku"
"Siap pangcu!" jawab Pengemis Cun
"Yan Bun Thian, kau bertugas melanjutkan perjalanan ke puncak Thay San.
Bawa beberapa orang saudara pula bersamamu"
"Siap kaucu!" jawab Yan Bun Thian.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketua cabang Mo Kauw di kota ini, silahkan maju" kata Cio San
Seorang pemuda yang lumayan tampan maju ke depan. Dia tadi tidak ikut mabuk-mabukan karena ada beberapa urusan sebentar. Tadi ia pun datang sendirian ke rumah Khu Hujin. Untuk menyemunyikan jati dirinya. Kini
ketika Mo Kauw sedang mengalami kesulitan, ia bergabung kembali.
"Gouw Sam menerima perintah" kata pemuda tampan itu.
"Jaga jangan sampai Mo Kauw di kota ini hancur berantakan. Tetap siapkan orang untuk menguatkan pertahanan kita. Aku akan memerinthakan
anggota dari kota lain untuk membantumu"
"Siap. Ada lagi kaucu?" tanya Gouw Sam.
"Mata-matai Khu Hujin dan anggota-anggotanya. Aku butuh kabar tentang pergerakan mereka"
Semua orang terhenyak. Khu hujin kan baru saja mengangkat anak
kepadanya" Cio San rupanya paham isi hati anggotanya, ia lalu tersenyum dan berkata,
"Jangan khawatir. Percayalah kepadaku"
Entah kenapa senyumnya ini bisa begitu meyakinkan semua orang. Ada
sesuatu pada dirinya yang membuat orang cepat percaya dan merasa dekat.
"Baiklah saudara-saudara. Silahkan berpencar!"
Begitu kata-katanya selesai diucapkan. Semua orang sudah menghilang dari hadapannya.
Hanya ada satu orang yang tetap tinggal.
Ang Lin Hua. Gadis cantik itu menatapnya.
Ada satu kelebihan perempuan. Yaitu ketika ia menatapmu, ia sanggup
membuatmu merasa sebagai orang yang paling berdosa di muka bumi ini.
Cio San tak tahu apa yang harus ia perintahkan kepada nona ini. Ia takut jika ia membuka mulut dan mengeluarkaan perkataan yang salah, tatapan nona ini malah akan membetot sukmanya.
"Cukat Tong! Kau bisa membawa seorang lagi?"
"Tidak bisa! Membawa dua orang saja sudah sangat payah" jawab Cukat
Tong. "Baiklah. Kita berpisah di sini. Kita bertemu beberapa hari lagi"
"Baik" Cukat Tong segera pergi. Ia tidak bertanya bertemu di mana dan kapan. Tapi segera ia bertanya, " Bagaimana dengan Suma Sun?"
"Suma Sun adalah Suma Sun" jawab Cio San enteng.
"Haha. Betul juga" Cukat Tong hanya tertawa dan menghilang dari situ bersama burun-burungnya
Cio San menoleh kepada Ang Lin Hua
"Nona ikutlah denganku"
Ang Lin Hua mengangguk. Cio San telah menggenggam tangannya. Mereka berlari kencang sekali.
Ketika gelap, mereka telah sampai di sebuh hutan.
"Kita istirahat sebentar" kata Cio San.
Ang Lin Hua mengangguk. Kadang-kadang hal yang paling menyenangkan dari perempuan bukanlah
kecantikan atau dandanannnya. Tapi adalah saat ketika ia mengangguk
mengiyakan terhadap semua perkataanmu.
Cio San segera melompat ke pucuk pepohonan dan memetik beberapa
buah-buahan segar. "Silahkan nona" katanya
"Terima kasih. Kaucu" kata Ang Lin Hua.
Mereka makan dengan lahap dan tenang.
"Nona kenapa sejak tadi diam saja"
"Tidak apa-apa, kaucu".
Jika perempuan mendiamkanmu dan berkata tidak ada apa-apa. Itu berarti engkau telah membuat kesalahan besar terhadapnya.
Cio San paham ini. "Katakan saja, nona"
"Mo Kauw adalah partai besar dan selama ini tidak ada orang yang berani macam-macam dengan kita" kata Ang Lin Hua.
"Kau marah karena aku tidak melawan balik?"
Si nona hanya diam dan menatap Cio San.
"Aku hanya tak ingin membunuh orang" kata Cio San
"Tapi mereka semua ingin membunuh tuan" sahut Ang Lin Hua
Cio San hanya tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.
"Orang rendahan macam Lim Gak Bun itu pun bahkan bisa kubunuh dengan
satu pukulan" kata si nona
Senyum Cio San tambah lebar. Ia baru ingat ternyata luka di tubuhnya
parah juga. Tapi kenapa sekarang sakitnya sudah berkurang seluruhnya"
"Kenapa tuan membiarkan ia mempermalukan tuan?"
Perempuan yang cantik, jika marah biasanya kecantikannya tidak hilang.
Tapi kau justru lebih takut kepadanya daripada kepada setan gunung.
Oleh sebab itu Cio San diam saja.
"Apakah karena istrinya itu?" kata Ang Lin Hua.
Memang di dunia ini, satu-satunya makhluk yang bisa mengerti perasaan perempuan, hanyalah perempuan sendiri.
Cio San hanya bisa menatap Ang Lin Hua.
Laki-laki paling pintar di seluruh dunia pun kadang menjadi manusia paling bodoh di hadapan seorang perempuan. Hal senyata ini kenapa masih ada
orang yang menganggap laki-laki lebih kuat daripada perempuan"
"Benar, bukan?"
Cio San tidak bisa menjawabnya.
"Tuan, jika itu urusan pribadi tuan, hamba tak akan mencampuri. Tetapi tuan membawa nama besar Mo Kauw di pundak tuan"
"Aku mengerti, nona. Maafkan aku memang punya banyak kekurangan"
Laki-laki jika ingin mengakui kesalahannya pasti akan berkata seperti itu.
"Sebenarnya siapa perempuan itu" Apakah kekasih lama tuan?"
"Ya" "Ia meninggalkan tuan?"
"Ya" "Kenapa tidak cari yang baru?"
"Mencari kekasih kan tidak semudah mencari anggota Mo Kauw atau Kay
Pang" kata Cio San sambil tertawa.
Ang Lin Hua tidak tertawa.
"Mengapa kini ia begitu benci kepada, tuan?"
"Aku sendiri tidak tahu"
"Apakah tuan pernah mengkhianatinya atau membohonginya?"
"Setahuku tidak pernah"
"Hanya ada dua hal yang membuat perempuan berpaling dari laki-laki.
Pengkhianatan laki-laki atau adanya laki-laki yang lain"
"Menurutmu, urusanku ini masuk bagian yang mana?"
Dengan sendirinya Ang Lin Hua tidak perlu menjawab.
Ia lalu mengalihkan pembicaraan,
"Tuan sudah tahu bukan siapa si otak besar ini?"
"Sudah" "Kenapa tidak dibunuh saja?"
"Aku kan sudah bilang aku tidak akan membunuh orang lagi" tukas Cio San.
"Tapi bukankah jika tuan membunuhnya, itu dapat menghentikan
banyaknya kejahatan yang akan ia timbulkan?" tanya Ang Lin Hua.
Cio San tak dapat berkata apa-apa.
Ia hanya takut, beban itu terlalu berat untuk ia pikul.
Ada sementara hal di dunia ini, yang semua orang di muka bumi ini yakin kau sanggup melakukannya, dan hanya kau lah yang sanggup
melakukannya. Tapi dalam hatimu, kau tahu bahwa sesungguhnya kau tak
memiliki kemampuan apa-apa.
"Aku tak punya hak untuk mengadili atau menghukum seseorang. Jika aku melakukannya pun, aku harus memiliki bukti yang kuat dan nyata" kata Cio San.
"Tuan, berhentilah bersikap gagah dan suci. Mohon maaf jika hamba harus mengatakan ini. Tapi tuanlah yang selama ini terus difitnah, terus
dikorbankan, dan terus dilukai. Mengapa tidak berdiri dan pergi
menantangnya" Dengan ilmu dan kemampuan tuan, tidak ada satu orang
manusia pun yang tidak sanggup tuan hadapi" ada secuil kemarahan di
mata Ang Lin Hua. "Dan bagaimana jika aku salah" Bahwa dugaanku keliru dan aku kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah?" tanya Cio San
"Aku saja yakin sepenuhnya kepada tuan, kenapa tuan sendiri tidak yakin terhadap diri tuan sendiri?" kata Ang Lin Hua balas bertanya.
"Aku bukan Tuhan yang selalu benar, yang selalu adil penghakimannya. Aku hanya percaya bahwa orang yang berbuat kesalahan, suatu saat akan
menerima hasil dari apa yang ditanamnya"
"Sekali lagi hamba mohon maaf, tapi bagi hamba perkataan itu adalah
perkataan pengecut" Di dunia ini, baru satu orang inilah yang berani menyebutnya "pengecut".
Kadang-kadang kau marah jika ada orang mengatakan hal ini kepadamu.
Tapi lebih sering kemarahanmu muncul karena jauh di lubuk hatimu kau
tahu perkataannya benar. Tapi Cio San tak marah. Ia hanya tersenyum dan berkata,
"Aku akan menghentikannya pada saatnya. Jika saat itu tiba ia tak akan sanggup berkelit dan lari lagi. Tapi tidak saat ini."
"Dan tuan rela melihat banyak korban yang akan jatuh saat tuan
membiarkannya berkeliaran saat ini?" tanya Ang Lin Hua.
Kau tahu beratnya menjadi pemimpin"
Itu adalah saat di mana semua orang yang kau pimpin merasa dirinya benar, dan segala keputusan yang kau ambil salah di hadapan mereka.
Cio San tahu ia tidak cocok dan tidak pantas menjadi pemimpin. Ia lebih suka hidup dengan bebas tanpa memikirkan segala tetek bengek urusan
dunia. Jika boleh memilih, tentu ia akan memilih hidup sendirian di atas puncak Butong San ditemani sebuah Khim.
Para pemimpin sejati tidak diciptakan, dimunculkan, dipilih, atau
diperjuangkan. Mereka dilahirkan. Oleh sebab itu sungguh dungu dan tolol jika ada orang yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin. Mengajukan dirinya untuk dipilih sebagai
pemimpin. Karena pemimpin sejati itu datang di saat dunia begitu
membutuhkan kehadirannya.
Kau boleh ditakdirkan lahir sebagai kaisar. Tapi belum tentu ditakdirkan lahir sebagai pemimpin. Karena kaisar hanyalah jabatan. Sedangkan pemimpin
adalah anugerah. Anugerah yang datang dari langit kepada manusia.
Karena itu kaisar boleh berganti setiap masa. Tapi pemimpin sejati hanya datang di saat masa tertentu hanya untuk membuat dunia sedikit lebih
cerah dan indah di tengah kemuraman dan ketidakadilan.
Cio San sungguh-sungguh paham bahwa ia tak memiliki takdir seperti itu, Tapi bukankah kita baru mengetahui takdir setelah takdir itu terjadi"
Siapa yang menyangka seorang anak kurus yang sakit-sakitan mampu
menjadi lelaki dewasa yang ilmu silatnya sangat mengagumkan"
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Tujuannya tentu saja adalah
puncak Thay San. Tetapi mereka memilih jalur yang jarang ditempuh oleh orang lain yang berupa jalur mendaki yang curam, hutan-hutan lebat, dan lembah-lembah tak bernama.
Selama di perjalanan Ang Lin Hua terus melatih ilmu yang dipelajarinya dari Cio San. Kecantikannya pulih seluruh walaupun rambutnya masih tetap
putih. Di hari kesembilan mereka beristirahat di tepi sebuah hutan bambu. Musim gugur telah merayap datang. Walaupun bambu-bambu masih menguning,
dedaunannya sudah mulai berhamburan dengan indah.
Mereka bersandar di bawah pohon pinus. Menikmati angin pegunungan yang sejuk dan lembut.
Lalu tiba-tiba seseorang muncul di hadapan mereka.
Entah dari mana dia. Tahu-tahu muncul seperti setan di hadapan mereka berdua.
Orang yang bisa tahu-tahu muncul di hadapan Cio San tanpa sebelumnya ia sadari, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari tangan sebelah.
"Kau yang bernama Cio San?"
Ia adalah seorang kakek tua yang masih terlihat gagah di umurnya yang sekitar 80 tahun. Rambutnya dikuncir sederhana. Pakaiannya pun
sederhana. Cio San dan Ang Lin Hua berdiri dan menjura,
"Boanpwee (saya yang lebih muda) adalah Cio San dan ini sahabat
boanpwee bernama Ang Lin Hua"
"Pilih senjatamu" kata kakek tua itu.
"Boanpwee tidak membawa senjata" kata Cio San
"Aku tahu. Orang sepertimu kan bisa pakai apa saja. Ambil apa saja!" kata kakek tua itu tegas.
Cio San pergi dan mematahkan sebuah ranting pohon. Ia kembali dan
berkata, "Boanpwee hanya menemukan ini"
Entah bagaimana di tangan si kakek pun sudah ada ranting yang sama
panjangnya dengan ranting di tangan Cio San. Ia sendiri tak tahu kapan si kakek bergerak mengambil ranting itu.
"Jika kau punya permintaan terakhir, katakan sekarang. Sebisa mungkin akan kulaksanakan setelah kau mati" si kakek berkata itu dengan ringan seolah-olah Cio San memang sudah akan mati.
"Tidak ada" kata Cio San enteng pula
"Bagus. Kuberi kesempatan menyerang tiga kali. Silahkan"
"Cianpwee (anda yang lebih tua) tak akan menyerang sebelum boanpwe
menyerang?" "Kau meragukan kata-kataku?"
"Tentu tidak. Baiklah"
Ia berkata "baiklah" tapi tidak menyerang. Ia justru duduk dengan tenang membuka buntalan perbekalan yang biasanya dibawa Ang Lin Hua.
"Marilah minum dulu cianpwee" katanya tersenyum sambil membuka guci
arak yang sangat wangi bau isinya.
"Aku datang untuk membunuhmu. Bukan untuk minum"
"Silahkan cianpwee. Tapi bukankah cianpwee sendiri yang berjanji untuk tidak menyerang boanpwee sebelum boanpwee menyerang 3 kali?" katanya
sambil tersenyum. Ia bangkit lalu menyodorkan secawan arak kepada kakek tua itu.
Si kakek hanya menatap cawan anggur itu dan bekata,
"Aku kagum dengan kecerdasanmu. Tetapi mengapa kau pakai untuk
melakukan hal-hal bejat?"
"Cianpwee apakah selama beberapa hari ini menelusuri jejak boanpwee
apakah karena mendengar keributan di rumah Khu hujin?"
Si kakek hanya diam. Karena kadang-kadang diam berarti mengiyakan.
"Sesungguhnya tidak ada satu pun hal yang sanggup membuktikan
ketidakbersalahan boanpwee. Tetapi jika cianpwee memang ingin
membunuh boanpwee, baiklah. Harap perhatikan serangan"
Dengan ranting kayu ia menyerang pundak kakek tua itu tiga kali. Tapi serangan itu sungguh aneh. Tidak ada sesuatu pun di dalam serangan itu.
Hanya 3 kali sentuhan ke pundak kakek itu. Sentuhan yan sopan dan halus.
"Nah. Bonapwee hanya meminta, jika hari ini boanpwee mati, boanpwee
memohon agar cianpwee mengusut siapa yang benar-benar bertanggung
jawab di balik semua kejadian ini, dan cianpwee menghukumnya atas
kejahatannya. Di dunia ini mungkin hanya cianpwee yang pantas
melakukannya" Selesai berkata begitu ia berpaling kepada Ang Lin Hua dan tersenyum.
"Aku pergi duluan"
Ang Lin Hua bisa berdiri menatapnya dan meneteskan air mata.
Cio San lalu lalu kembali menghadap si kakek dan berkata,
"Silahkan cianpwee"
Ia duduk berlutut dan kepalanya menengadah sambil tersenyum. Saat ini terasa seluruh beban di pundaknya terangkat sepenuhnya. Jika kakek sakti di hadapannya ini sudah mau turun tangan, tentulah keadaan dunia Kang Ouw akan membaik sepenuhnya.
Si kakek termenung dan tak sanggup berkata apa-apa. Ia lama terdiam, lalu kemudian berkata,
"Berdirilah. Hidupku sudah mengalami berbagai hal sehingga aku tahu mana orang yang jujur dan mana yang bukan"
Dengan kecewa Cio San berdiri. Di dunia ini orang yang kecewa karena tidak jadi mati mungkin hanya Cio San seorang.
"Kau tahu siapa aku?" tanya si kakek.
"Pengetahuan boanpwee sungguh cetek, tapi jika boanpwee tidak salah,
cianpwee adalah sang pendekar pedang kelana, Hu Liu Hoa-tayhiap"
Si kakek hanya mengangguk.
"Perlihatkan silatmu" katanya.
Jika seorang sepuh dan dikagumi di dalam dunia kang ouw memintamu
memperlihatkan silatmu, itu berarti ia memujimu.
Cio San lalu bergerak. Bergerak sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Gerakannya lugas, luwes, lincah, dan penuh tenaga. Ia bergerak seperti sedang
bertarung dengan musuh bebuyutannya. Padahal ia bersilat seorang diri.
Entah sudah berapa jurus. Entah jurus apa. Entah berapa lama.
Sang kakek menyaksikan dengan kagum, dan sesekali memuji,
"Bagus!" "Gerakan hebat!"
"Pintar sekali!"
Begitu Cio San selesai bersilat, si kakek tersenyum senang. Lalu bertanya,
"Kau menciptakan sendiri gerakan-gerakan itu bukan?"
"benar cianpwee"
"Memang. Ilmu silat seperti itu tak akan mampu dipelajari manusia. Silat seperti itu hanya lahir dari pemikiran yang cerdas. Belajar seribu tahun pun tidak ada manusia yang sanggup menguasainya."
"Cianpwee terlalu memuji" kata Cio San menjura.
"Selama puluhan tahun aku mencari orang untuk mewariskan ilmu
pedangku, syukurlah hari ini ku temukan orangnya" kata si kakek, lalu lanjutnya
"Tapi kau tak akan ku angkat menjadi murid"
"Dengan pemahamanmu kau tak perlu orang untuk mengajarimu. Justru jika ada orang yang mengajarimu, kau tak akan bisa mengerti"
Dengan mata dan pengalamannya si kakek bisa memahami pribadi Cio San.
Hal yang dulu tidak dapat dilihat oleh para guru di Butongpay. Karena memang di dunia ini ada orang yang jika belajar sendiri kemajuannya justru lebih cepat dibandingkan jika diajari orang lain.
"Bolehkah aku meminta tolong kepadamu, Cio San?" tanya si kakek.
"Apapun, cianpwee" jawab Cio San penuh hormat.
"Lihatlah permainan pedangku"
"Baik, cianpwee"
"Ilmu pedang ini sangat dalam tapi juga sangat dangkal. Kau tidak perlu mempelajarinya. Cukup kau lihat dan pikirkan saja maksud gerakan-gerakannya. Aku hanya akan memperlihatkannya kepadamu sekali saja.
Seberapa jauh jodohmu terhadap ilmu pedang ini, hanya Thian yang tahu"
kata si kakek. Segera si kakek bersilat. Ia hanya menggunakan ranting pohon.
Gerakan sederhana. Tapi indah. Tidak ada gerakan percuma. Hampir seperti ilmu pedang Suma Sun. Tapi terlihat lebih indah, lebih luwes, dan lebih bertenaga.
"Kau sudah lihat?"
"Sudah cianpwee"
"Seberapa dalam yang kau paham?"
"Tidak paham sama sekali" kata Cio San jujur.
"Hahaha bagus. Sekarang aku akan menyerangmu. Perhatikan serangan"
Si kakek menyerang dengan dahsyat.
Cio San menyambutnya dengan cara yang sama.
Dua orang bersilat dengan jurus yang sama, tapi juga terlihat seperti jurus yang berbeda satu sama lain.
Ratusan jurus mereka lalui. Bagi Cio San ini pertempuran paling lama yang pernah dijalaninya. Bagi si kakek ini pertempuran paling menyenangkan yang pernah dialaminya.
Mereka berdua bertarung dengan gembira.
Setelah selesai, si kakek berkata,
"Kini kau sudah menguasai ilmu pedangku. Aku tidak menganggapmu
sebagai murid dan kau jangan memanggilku sebagai guru. Aku hanya
meminta kau menjaga ilmu pedang ini. Jika kau menemukan seseorang


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berbakat dan memiliki jiwa yang lurus, ajarkanlah ilmu pedangku ini kepadanya."
"Boanpwee berjanji, cianpwee. Boanpwee memiliki seorang sahabat yang
sangat berbakat dalam ilmu pedang"
"Maksudmu Suma Sun?" tanya si kakek
"Benar, cianpwee"
"Ilmu pedangnya tak akan berkembang lagi"
"Ah?" "Kau mengasihaninya" Ilmu pedangnya tak akan berkembang karena dia
telah memilih jalur lain"
"Jalur apa, suhu?"
"Ia memilih ilmu membunuh"
Lanjut si kakek, "Ketahuilah, orang jika terlalu berbakat dalam ilmu pedang, maka lama kelamaan ia akan kehilangan jati dirinya. Lama-lama ia berubah dari
manusia menjadi sebuah besi dingin yang tajam. Padahal pedang
seharusnya tetap menjadi pedang, dan manusia tetap menjadi manusia"
"Itulah sebabnya aku memilihmu. Karena kau tidak memiliki jiwa dan bakat ilmu pedang sebesar Suma Sun. Pada akhirnya ilmu pedangmu akan jauh
melampauinya." "Maksud cianpwee, boanpwee akan sanggup mengalahkannya?" tanya Cio
San "Ya. Kau akan sanggup mengalahkannya. Tapi kau tidak akan sanggup
membunuhnya. Justru ialah yang mungkin akan membunuhmu"
"Teecu mengerti"
"Kau mengerti?"
"Ilmu pedang dan ilmu membunuh dengan pedang, adalah dua hal yang
jauh berbeda. Meskipun terlihat tiada perbedaannya, siapapun yang
mencoba memahami, tentu suatu saat akan melihat perbedaannya" kata Cio San.
"Haha, Bagus"Bagus. Aku tak salah menitipkan ilmu pedang ini kepadamu.
Kau memiliki bakat menjadi pendekar besar. Hanya saja kau tak memiliki bakat menjadi pendekar pedang" kata si kakek. "Tetapi justru orang yang tidak memiliki bakat besar lah yang kadang-kadang berhasil. Di dunia ini kejadian seperti ini sudah sangat sering ku lihat"
Lalu si kakek berkata, "Aku jarang sekali terjun ke dalam urusan Bu Lim (persilatan). Tetapi sewaktu-waktu, jika ada manusia-manusia bejat merajalela, aku baru mau turun tangan. Sudah sangat lama aku menghilang ke selatan, dan baru kali ini kembali. Urusan pembunuhan bertopeng ini harus segera kau selesaikan supaya aku dapat tidur dan mati dengan tenang"
Kata-kata ini menghujam dada Cio San. Ia tahu saat perpisahan segera tiba.
Itulah sebabnya butir-butir air mata mengalir di pipinya.
"Bagus. Bagus. Kau punya hati yang lemah lembut. Itu tandanya kau masih memiliki nurani. Sungguh mataku tak salah memilihmu."
"Cio San, mungkin sampai di sini jodoh kita. Kita tak akan bertemu lagi. Tapi pertemuan beberapa jam ini, sudah cukup bagiku. Memuaskan pencarianku selama ini. Ada kau, aku bisa menghilang dengan tenang"
"Cianpwee, perkenankan boanpwee untuk berbakti kepadamu. Walau hal
kecil, setidaknya bisa memuaskan hati boanpwee"
"Silahkan" Cio San lalu berlutut dan membersihkan sepatu kakek itu. Ini ia lakukan dengan air mata berlinang-linang. Bahkan sepatu itu pun basah oleh air matanya. Ia bersujud dan menciumi kaki sang kakek.
Mengapa orang-orang seperti ini selalu menghilang begitu cepat dari
hidupku" Ia lalu berdiri, membersihkan baju orang yang sangat dihormatinya itu dari dedauanan yang gugur.
Sang kakek menatapnya sambil tersenyum, tapi air matanya berlinang pula.
"Sungguh aku tidak salah. Sungguh aku tidak salah" begitu yang terbesit di hati si kakek tua.
Akhirnya mereka berpelukan. Dua orang yang baru bertemu selama
beberapa jam, tapi saat berpisah sungguh menyentuh nurani mereka.
Dan mereka pun berpisah. Si kakek berjalan dengan tenang dan hilang di balik pepohonan. Cio San bersujud sampai entah berapa lama.
Manusia. Jika ia menunjukkan kasih sayang dan cinta, barulah ia menjadi manusia seutuhnya. Karena kemanusiaan seseorang sungguh tidak diukur
dari pangkatnya, jabatannya, hartanya, atau segala kebanggaannya.
Kemanusiaan seseorang hanya bisa diukur dari seberapa tulusnya ia
mencintai orang lain. Betapa berartinya ia bagi orang lain bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa.
Selain cinta dan kasih sayang, memangnya apa yang bisa dibanggakan
manusia" Document Outline Prakata KISAH PARA PENGGETAR LANGIT PARA TOKOH
Kisah Para Penggetar Langit
Jodoh Rajawali 32 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Kisah Pedang Bersatu Padu 19

Cari Blog Ini