Ceritasilat Novel Online

Pendekar Binal 7

Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 7


Akan tetapi dalam keadaan memaksa dia harus giat berlatih dan baru disadarinya betapa hebat khasiat belasan macam obat yang telah dimakannya itu, jika disia-siakan sungguh teramat sayang. Maka dia mulai mengerahkan tenaga dalam lebih teratur, ia sampai lupa akan urusan mati-hidupnya sendiri.
Entah sudah lewat berapa lama, entah berapa jam atau berapa hari, yang jelas kalau merasa lapar ia lantas makan obat yang berada di sakunya itu, dengan begitu hilanglah rasa lapar dan juga tidak kedinginan lagi.
Tapi bila mengingat dirinya tidak mampu keluar, lambat atau cepat akan mati kelaparan terkurung di situ, lalu apa gunanya andaikan berhasil meyakinkan ilmu mahasakti"
Jika teringat hal itu, Siau-hi-ji lantas patah semangat dan masa bodoh. Tapi bila dia tidak berlatih, segera rasa dingin menyerang pula. Bukan soal baginya jika dia harus mati, tapi tersiksa di kala dia masih hidup, betapa pun hal ini tak bisa diterimanya.
Apa pun juga dia bukan malaikat dewata, akhirnya perutnya terasa lapar pula, ransum sudah habis sehingga laparnya tak tertahankan, dengan sendirinya semangat untuk berlatih juga tak ada karena perut kosong, dan karena lapar, rasa dingin semakin menjadi-jadi. Maka tahulah Siau-hi-ji ajalnya sudah tidak jauh lagi.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa orang mahapintar seperti dia ini akhirnya bisa mati terkurung di sini, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa ia mati di tangan orang perempuan. Baru sekarang ia menyadari bahwa sesungguhnya perempuan tidak sederhana dan begitu bodoh sebagaimana anggapannya semula.
Dia mulai menyesal dan memaki dirinya sendiri, tiada hentinya dia bergerundelan dan mengomel. "Ah, tampaknya menjadi orang baik memang sukar, kalau saja kubunuh Siau-sian-li dan Buyung Kiu, tentu takkan terjadi seperti sekarang ini ...." Lalu dia menyesali Ban Jun-liu pula. Kalau tiada bimbingan tabib sakti itu, betapa pun dirinya akan tetap menjadi orang jahat, dan biarpun orang jahat selalu dibenci dan dimaki orang, tapi sedikitnya akan lebih panjang umur, akan hidup lebih lama daripada orang baik.
Begitulah sekujur badan mulai menggigil karena kedinginan, lapar membuatnya kepala pusing dan perut nyeri, ia bergumam sendiri, "Ai, mau mati bolehlah mati, setiap manusia akhirnya toh harus mati, sesudah mati sedikitnya juga ada sesuatu kebaikan, yakni takkan mendengar lagi kejudesan perempuan."
Mendadak, ia merasa tidak kedinginan lagi. Bukan saja tidak dingin, sebaliknya malah merasa kegerahan. Ia terkejut dan heran pula, ia coba pentang mata lebar-lebar dan segera dilihatnya sesuatu keanehan, balok es yang besar itu sepotong demi sepotong mulai cair. Ia coba meraba dinding, ternyata dinding juga panas sekali.
"He, apa-apaan ini?" Siau-hi-ji melonjak kaget. "Apakah si budak Buyung Kiu itu belum puas membikin aku mati beku dan sekarang hendak memanggang diriku" Tapi ... ah, tidak mungkin, beberapa kamar kakaknya itu dirawatnya sebaik itu, mana bisa dia membakarnya malah?"
Ia coba mengelilingi ruangan itu, dinding sekeliling terasa panas, seperti dibakar, hanya bagian yang membelakangi bukit saja masih hangat-hangat.
Tiba-tiba terpikir olehnya, "Ah, tahulah aku, tentunya keluarga Buyung ini kedatangan musuh, selain membunuh, rumah ini juga dibakarnya. Tetapi ...
sungguh keparat, orang-orang tolol itu tentunya tidak tahu bahwa kalau rumah keluarga Buyung ini dimusnahkan, maka orang paling pintar di dunia ini juga akan ikut menjadi korban!" Sambil mengomel, segera ia mencak-mencak sendiri dan mencaci maki.
Tidak lama kemudian, balok-balok es itu sudah cair semua, Siau-hi-ji sudah terendam di dalam air, hendak mencak-mencak juga tiada tempat berpijak pula.
Air itu mula-mula belum begitu panas sehingga tidak begitu tersiksa terendam di situ, bahkan karena tidak berdaya, Siau-hi-ji sekalian mandi dan berenang sepuasnya.
Dasar sifatnya binal dan bengal, kalau belum melihat peti mati tidak mungkin mengucurkan air mata, sebelum menghadapi jalan buntu sungguh-sungguh tak nanti dia bergelisah atau takut. Tapi kini dia benar-benar sudah menghadapi jalan buntu.
Air sudah mulai panas dan bukan mustahil sebentar lagi akan mendidih. Siauhi-ji mulai kelabakan di dalam air, mirip seekor ikan yang dilemparkan ke dalam wajan yang berisi air panas, dia mulai menggelepar dan kebingungan.
Yang dia harap semoga api dapat membakar hancur dinding ruangan itu, tapi dinding keparat itu justru kukuh luar biasa, bukan saja tidak rusak, bahkan retak pun tidak.
Sampai akhirnya ia pun kehabisan tenaga dan mulai tenggelam, hidungnya terasa pepet, "krok-krok", mulutnya tercekok beberapa teguk air.
Siau-hi-ji meringis dan membatin, "Wah, sungguh sayang hanya aku sendiri yang menikmati kuah ikan masak jamur ini ...."
Pada saat itulah tiba-tiba ada suara nyaring orang menggedor pintu tembaga.
Seketika semangat Siau-hi-ji terbangkit, pikirnya, "Bagus, bakal ada orang yang akan menemani aku minum kuah ikan ini."
Sudah terpikir olehnya meski pintu tembaga tak dapat rusak terbakar, tapi timah yang menyumbat lubang kunci tentu akan cair, per kunci tentu juga akan lunak setelah terbakar, maka cukup orang menyongkelnya dari luar dengan alat sebangsa obeng dan sebagainya tentu pintu akan mudah terbuka.
Belum lagi habis terpikir, benar juga pintu itu mendadak terpentang, air bah terus saja membanjir keluar, Siau-hi-ji juga diam saja membiarkan dirinya terhanyut oleh air bah.
Sudah tentu dua orang yang sedang kutak-kutek di luar itu sama sekali tidak menyangka dari balik pintu akan membanjir air sedahsyat itu. Keruan mereka terkejut dan basah kuyup. Bahkan mimpi pun mereka tidak menduga di tengah air banjir itu terdapat pula satu orang.
Cukup jauh juga Siau-hi-ji terhanyut air bah itu, ia terus rebah tak bisa bergerak di lantai, maklumlah, memangnya dia sudah lapar setengah mati dan juga megap-megap karena sekian lamanya terendam. Dengan setengah memicingkan matanya ia coba mencuri lihat keadaan di situ, terlihat api sudah padam, apa yang tertampak di luar rumah sana hanya puing belaka dan sebagian masih mengepulkan asap.
Waktu ia melirik kedua orang itu, yang di depan bertubuh tinggi besar, daging mukanya benjol-benjol dan berewok kaku, meski basah kuyup oleh air bah tadi, tapi masih tampak gagah perkasa.
Melihat manusia begini, hati Siau-hi-ji menjadi lega. Menurut jalan pikirannya, manusia yang anggota badannya berkembang lebih besar daripada orang kebanyakan, otaknya tentu terhimpit oleh daging lebih hingga mengecil, maka dengan sedikit tipu akal saja ia percaya akan dapat mengerjai serta menundukkan orang demikian.
Tapi seorang lagi baginya terasa rada ngeri. Orang ini berbaju putih, bungkuk, muka lebar bagian atas dan sempit bagian bawah, pada dagunya yang kecil itu berjenggot seperti kambing, seumpama dicampurkan dengan anak kambing mungkin juga sukar diketahui dia ini manusia.
Memangnya tubuhnya kurus kecil, ditambah bungkuk lagi, tingginya tiada sebatas dada kawannya yang kekar itu, tampaknya dia berpuluh kali lebih menakutkan daripada kawannya.
Dari bentuk kedua orang itu, segera Siau-hi-ji tahu mereka ini pasti anggota Cap-ji-she-shio, itu kawanan bandit dengan dua belas lambang kelahiran.
Kedua orang ini tentulah si kambing dan si sapi.
Sungguh ia merasa anggota Cap-ji-she-shio itu tidak satu pun memper manusia, tapi lebih mirip binatang yang diwakili mereka. Sukar diketahui dari manakah kedua belas orang itu bisa muncul dan bergabung menjadi satu sehingga terbentuk kedua belas lambang kelahiran, yaitu tikus, sapi, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam jago, anjing dan babi.
Tentu saja kedua orang itu kaget demi kemudian melihat Siau-hi-ji ikut hanyut keluar oleh air bah, mereka sama melenggong kesima.
"Nah, apa kataku tadi" Jika mau menurut kataku, tentu dapat rezeki,"
demikian terdengar si "kambing" berkata.
"Hah, rezeki apa" Basah kuyup begini kau anggap mendapat rezeki?" jengek si sapi. "Kau bilang di dalam sini pasti banyak harta mestika, sekarang coba lihat, mana harta mestika yang kau maksudkan itu?"
"Bocah inilah mestikanya," kata si kambing sambil memandang Siau-hi-ji.
"Kulit daging bocah ini memang cukup halus, kalau saja Li-toako berada di sini tentu beliau akan membuat Ang-sio-bak dan dahar enak, tapi kau hanya kambing yang suka makan rumput, memangnya akan kau apakan dia?"
Siau-hi-ji sebenarnya lagi sedih melihat kambing putih itu, demi mendengar ucapan si sapi, seketika semangatnya terbangkit dan hilanglah segala rasa khawatirnya. Mendadak ia tertawa dan menyapa, "He, bandot tua dan sapi gede, maukah kalian masuk kemari?"
Tampak si sapi melenggong heran, katanya, "Eh, bocah ini kenal kita."
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, "Di waktu iseng sering kudengar cerita Li-toako, Li Toa-jui, katanya di antara 'Cap-ji-she-shio' hanya si sapi paling perkasa dan si kambing paling cerdik, tak terduga sekarang dapat kujumpai kalian di sini."
"Hahahaha! Terima kasih atas pujianmu ...." kata si sapi dengan terbahak-bahak, tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menegur dengan mata mendelik, "Dar ... dari mana kau kenal ... kenal Li Toako kita?"
Biji mata Siau-hi-ji berputar dan seperti berpikir sesuatu, katanya, "Menurut kakak Toa-jui, katanya si sapi dari Cap-ji-she-shio adalah angkatan mudanya jika diurut menurut tingkatan keluarga, kini kau menyebutnya sebagai Toako, apakah mungkin kau ini paman atau mamak si sapi dalam Cap-ji-she-shio?"
Muka si sapi tampak merah, jawabnya, "Aku sendiri inilah si sapi."
"Jika begitu, biarpun di belakang sepantasnya kau menyebut kakak Toa-jui sebagai paman, kau sembarangan memanggilnya, kalau diketahuinya tentu kau akan dimarahi," kata Siau-hi-ji.
"Ya, ya, ya, aku ... caihe ...." si sapi tergagap.
"Huh, kalau saja kau tidak keluar bersama aku, seumpama kau dijagal orang juga tidak tahu siapa penjagalnya," tiba-tiba si kambing menjengek.
Si sapi mendelik, teriaknya, "Apa artinya ucapanmu?"
"Kau percaya penuh bahwa bocah ini adalah adik cilik Li-locianpwe?" kata si kambing. "Hm, melihat usianya, biarpun dia menjadi putra Li-locianpwe juga masih kurang umur."
Si sapi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya, "Tapi ... tapi apa yang dikatakannya kan betul juga?"
"Tolol," omel si kambing. "Apa yang diucapkan adalah bersumber pada kata-katamu sendiri. Coba pikir, kalau benar dia saudara Li-locianpwe, mengapa dia berada di Buyung-san-ceng ini"
"Bisa ... bisa jadi dia dikurung di sini oleh budak Buyung itu," ujar si sapi.
"Huh," jengek si kambing, "untuk apakah kedua ruangan ini, masakah kau tak dapat membedakannya" Budak Buyung itu juga bukan orang gila, mana mungkin dia mengurung orang di kamar rahasianya tempat meracik obat dan tempat menyimpan pusaka. Kalau bocah ini bisa berada di sini, maka di mana tempat penyimpanan benda mestika keluarga Buyung pasti dia tahu, makanya tadi kubilang mestikanya ialah dia ini."
Kembali si sapi garuk-garuk kepala, katanya sambil memandang Siau-hi-ji,
"Buset, tadi aku malah berusaha membela dirimu, tak tahunya kau ini penipu cilik celaka!"
"Hm, goblok!" damprat Siau-hi-ji. "Memangnya tempat ini pasti tempat penyimpan benda mestika" Kalau tidak digunakan sebagai tempat penyimpanan mestika apakah tidak boleh digunakan untuk mengurung orang" Budak Buyung itu kan bukan orang gila, kalau ruangan ini banyak benda mestikanya, kenapa dia rendam dengan air sepenuh ini?"
"Benar, tepat!" seru si sapi sambil berkeplok. "Umpamakan tanganku ini, selain dapat digunakan mencolek pipi si cantik, kan juga dapat digunakan untuk menempeleng orang. Ruangan tempat penyimpan mestika kenapa tidak boleh dipakai untuk mengurung orang?"
"Dan usiamu selisih tak banyak dengan Li Toa-jui, tapi dia adalah angkatan tua kalian, sebaliknya usiaku walaupun selisih rada banyak dengan dia, mengapa aku tidak boleh menjadi saudaranya?" kata Siau-hi-ji pula.
Kembali si sapi menggaruk-garuk kepala, katanya sambil memandang si kambing, "Iya, betul juga ucapannya. Bukankah adik perempuan Liong-toako kita juga baru berumur belasan"!"
"Di dunia ini kalau ada orang tua kena diakali anak kecil, maka orang itu ialah kau ini," jengek si kambing. "Bagiku, hm, kecuali dia ...."
"Eh, coba kau kemari, ingin kuperlihatkan sesuatu padamu," tiba-tiba Siau-hi-ji memanggilnya.
Semula si kambing ragu-ragu, tapi akhirya ingin tahu barang apa yang ditawarkan anak muda itu, segera ia melangkah ke sana.
Saat itu Siau-hi-ji masih berbaring di lantai dengan basah kuyup, baru saja si kambing sampai di depannya, mendadak tubuh anak muda itu melejit dan sekaligus melancarkan empat kali pukulan dan tiga kali tendangan.
Empat pukulan dan tiga tendangan itu dilontarkan sekaligus dalam sekejap, di dunia ini hanya Li Toa-jui saja yang mahir gerak serangan aneh itu. Soalnya gerak serangan demikian kedengarannya memang lihai, tapi sebenarnya kurang tepat dan kurang manjur. Bayangkan saja, orang baik-baik mana mungkin berkelahi dengan orang sambil berbaring kecuali dia sengaja pura-pura sakit atau berlagak mati dan harus menyergap lawan secara tiba-tiba.
Tapi di dunia ini selain manusia macam Li Toa-jui yang lahirnya tampak jujur, tapi hatinya jahat dan keji, rasanya orang lain pun tiada yang sudi memeras otak menciptakan jurus serangan yang aneh ini.
Jadi gerak serangan istimewa ini boleh dikatakan ilmu silat khas Li Toa-jui, usaha tunggal, tidak membuka cabang, tulen, tak mungkin ditiru.
Begitulah dalam keadaan terkejut karena diserang secara mendadak, ya pukulan, ya tendangan, seketika si kambing meloncat kaget setengah mati, lebih mirip loncatan kelinci menghindari terkaman anjing liar daripada loncatan kambing takut diterkam harimau. Untung Siau-hi-ji dalam keadaan lemah lunglai, kalau tidak tentu dia sudah menjadi bangkai kambing.
"Nah, sekarang kau percaya tidak?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa sambil bangun duduk.
Si kambing belum sanggup bicara karena napasnya terengah-engah. Tapi si sapi sudah lantas menjura dan berkata, "Ya, ya, paman cilik, betapa pun umurmu, biarpun baru lahir tiga hari, asalkan engkau adalah saudara Li-locianpwe, maka engkau juga paman cilikku."
"Dan kau bagaimana bandot tua?" tanya Siau-hi-ji kepada si kambing.
Sinar mata si kambing tampak gemerdip, dia mendongak, katanya dengan perlahan, "Apakah baik-baik saja hidup Li-locianpwe di lembah sana?"
"Orang baik tidak panjang umur, tapi beliau jelas takkan mati," kata Siau-hi-ji.
"Penghuni lembah sana semuanya panjang umur, dengan sendirinya Li-locianpwe lebih suka menikmati kebahagiaan hidup di sana daripada keluar tersiksa di dunia luar," kata si kambing dengan tersenyum licik.
"Sebenarnya dia memang tidak ingin keluar lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Si kambing melengak dan menukas, "Dan se ... sekarang ?"
"Sekarang, bukan saja Li-toako, bahkan, Toh-toako, Im-toako, To-toasoh dan lain-lain .... Hehe, jika mereka tidak keluar, masakah aku berani keluyuran sendirian."
Seketika air muka kambing berubah, katanya tergagap, "Tapi ... tapi mereka
...." "Mereka sudah sebal mendekam sekian tahun di sana, sudah berhasil pula meyakinkan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia Kangouw, jika kau menjadi mereka, kau ingin keluar tidak?" tanya Siau-hi-ji.
"Ya, ya, saudara .... O, Cianpwe, apakah tahu kini mereka berada ...." Meski si kambing bicara dengan tertunduk, tapi sinar matanya tampak berjelilatan, jelas tidak mengandung pikiran baik.
Sudah tentu Siau-hi-ji dapat meraba jalan pikiran orang, dengan tersenyum ia menjawab, "Tingkah laku mereka itu selamanya sukar diterka dan sulit diduga, aku pun tidak tahu di mana jejak mereka sekarang."
Tampaknya si kambing diam-diam menghela napas lega. Tapi Siau-hi-ji lantas menambahkan, "Akan tetapi, bisa jadi saat ini juga mereka berada di belakangmu di luar tahumu."
Kembali si kambing terkesiap, ingin menoleh untuk melihat belakang, tapi tidak berani.
Dalam pada itu si sapi lantas berseru dengan tertawa gembira, "Ahaa, bila Li-toasiok benar-benar datang, maka beruntunglah kita, beberapa budak keluarga Buyung itu tidak perlu kita takuti lagi betapa pun lihainya mereka."
"Jadi mereka telah lolos?" tanya Siau-hi-ji dengan tak acuh.
Si sapi menghela napas, katanya, "Kedatangan kami ini meski atas ajakan si ular hijau, tapi sesungguhnya kami juga sudah lama mengincar Buyung-san-ceng ini."
"Ya, obat mujarab dan benda mestika keluarga Buyung memang membuat orang mengiler," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Cuma sayang budak Buyung itu benar-benar setan cerdik, entah dari mana dia mengetahui akan kedatangan kami secara besar-besaran, sebelum kami tiba dia sudah kabur lebih dulu," ucap si sapi dengan menyengir.
"Kabur?" Siau-hi-ji menegas dengan terkejut.
"Bukan saja orangnya kabur, bahkan segala benda yang bernilai juga dibawa seluruhnya, bahkan pintu juga tidak terkunci, hanya tertinggal secarik kertas yang tertempel di depan pintu, bunyinya, 'Mati bagi yang berani masuk'. Hm, kentut busuk belaka," demikian ucap si sapi dengan gemas.
"Benar, pada hakikatnya lebih busuk daripada kentut," tukas Siau-hi-ji. Kini ia sudah dapat menerka apa sebab kepergian Buyung Kiu-moay.
Bahwa Siau-sian-li dan Thi Sim-lan sama mengira Siau-hi-ji sudah kabur, dengan sendirinya mereka buru-buru ingin pergi mencarinya. Buyung Kiu tahu biarpun di mulut kedua nona itu bicara garang terhadap Siau-hi-ji, tapi di dalam hati sebenarnya lunak, maka dengan sendirinya ia tidak mau memberitahukan tentang terkurungnya Siau-hi-ji, bahkan dia sengaja mengiringi Siau-sian-li dan Thi Sim-lan pergi mencari si anak muda ....
Berpikir sampai di sini, dengan mendongkol Siau-hi-ji lantas mencaci maki pula, "Sungguh budak setan lebih busuk daripada kentut, bahkan lebih jahat daripada ular berbisa. Sungguh terpuji kalian telah membakar rumahnya, siapa yang pertama kali membakarnya, aku harus mentraktir dia minum dua cawan besar."
Dengan tertawa si sapi menanggapi, "Meski yang membakar bukan kami, tapi kita juga boleh ..."
"Benar, kita boleh minum barang beberapa cawan. Ah, beberapa ratus cawan juga boleh," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Marilah kita berangkat, sembari berjalan sambil minum, akan kubawa kalian menemui Li Toa-jui, jika terlihat anak dara yang menarik dalam perjalanan, kita dapat pula ... hahaha, dapat apa tentunya kau sudah tahu sendiri bukan?"
"Haah, bagus, bagus!" sambut si sapi sambil berkeplok gembira.
"Dan kau bagaimana, bandot tua?" tanya Siau-hi-ji.
"Untuk ini, aku ... Cayhe ...." si kambing terbata-bata.
"Tidak soal bila kau tidak mau ikut," ujar Siau-hi-ji. "Nanti kalau bertemu dengan kakak Toa-jui akan kukatakan bahwa kau ada urusan lain dan tidak ingin menemuinya."
"Siapa bilang aku tidak mau ikut pergi" Sapi, kaukah yang bilang begitu?"
teriak si kambing. Lalu ia dorong si sapi dan menambahkan, "Ayolah berangkat, tunggu apalagi?"
***** Begitulah mereka bertiga lantas berangkat bersama, sambil berjalan sembari minum arak. Tiba-tiba Siau-hi-ji menemukan dirinya sendiri dalam hal minum arak ternyata juga berbakat, seakan-akan tak pernah mabuk biarpun minum betapa pun banyak.
Terkadang ia pun heran, ke mana larinya arak yang masuk perutnya itu"
Padahal ia sudah teliti perutnya sendiri yang berukuran tidak lebih besar daripada perut orang lain.
Si kambing dan si sapi ternyata tunduk munduk-munduk kepada segala kehendak Siau-hi-ji, makan, minum, tidur, sama sekali anak muda itu tidak perlu pusing kepala, semuanya disediakan dan diatur oleh kedua orang itu dengan baik dan lengkap. Mau berhenti atau mau terus berangkat, si kambing dan si sapi juga menurut saja, bahkan sama sekali tidak pernah tanya ke mana anak muda itu hendak pergi. Bahwa dua gembong dari Cap-ji-she-shio yang terkenal buas itu mau tunduk kepada seorang anak kecil sebagai Siauhi-ji sungguh sama sekali sukar dibayangkan orang.
Dengan sendirinya sepanjang jalan mereka pun sering bertemu dengan tokoh-tokoh Kangouw, kebanyakan memberi hormat dari kejauhan lalu menyingkir pergi dengan cepat, ada juga yang tidak kenal mereka, tapi demi nampak bentuk si kambing dan si sapi yang aneh itu, lekas saja sama menghindar dan tiada yang berani mencari perkara kepada mereka.
Namun sesudah melintasi Kiam-bun-koan (gerbang tembok besar di ujung barat), tiba-tiba Siau-hi-ji merasakan adanya perubahan, ada sebagian orang cepat menyingkir pergi jika kepergok mereka, tapi ada sebagian pula yang diam-diam mengintil di belakang mereka. Ke mana mereka pergi, ke situ pula orang-orang itu mengikut. Sikap setiap orang sangat menghormat, tidak bicara juga tiada tanda-tanda hendak menyatroni mereka.
Siau-hi-ji coba mengawasi si kambing dan si sapi, air muka mereka juga tenang-tenang saja tanpa berubah, seakan-akan tidak pernah melihat sesuatu yang ganjil, maka Siau-hi-ji juga tidak mau bicara. Petangnya mereka sampai di Kiam-kok, mereka mendapatkan sebuah hotel dan bermalam di situ.
"Arak keras berlauk-pauk ayam cabai, walau pasti mandi keringat, namun makin dimakan makin nafsu," ucap Siau-hi-ji.
"Cocok, arak keras berlauk-pauk ayam cabai, sungguh nikmat," teriak si sapi sambil tertawa.
Sudah biasa, asalkan Siau-hi-ji buka mulut, maka si kambing dan si sapi segera menyiapkan apa yang dikehendaki anak muda itu. Tapi aneh, sekarang meski kedua orang itu sudah bersorak menyatakan setuju, tapi mereka diam saja tanpa bergerak.
Setelah menunggu sejenak, Siau-hi-ji berkata pula, "Kalau cocok, mengapa tidak lekas kalian sediakan."
"Mulai sekarang, kami tidak perlu sediakan apa-apalagi," ucap si sapi dengan tertawa.
"Tidak kalian sediakan, memangnya aku yang harus menyediakan?" kata Siau-hi-ji.
"Masa kami berani membikin repot engkau," ujar si kambing.
"Habis kalau kita tidak mengambilnya sendiri dan juga tidak pesan pelayan, apakah arak dan ayam goreng itu akan jatuh dari langit atau tumbuh dari bawah bumi?" kata Siau-hi-ji.
"Sabar sebentar, lihat saja nanti," ucap si sapi dengan tertawa.
Siau-hi-ji tidak berkata pula, ia mondar-mandir di dalam ruangan, sejenak kemudian terdengar pintu diketuk, cepat ia membuka pintu, ternyata tiada bayangan seorang pun, tapi di lantai terdapat sebuah baki besar berisi satu porsi kari ayam, satu porsi daging rebus, satu porsi jerohan babi, satu mangkuk besar kuah ayam, ada pula satu poci arak.
Mata Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "He, kiranya kalian ini mahir ilmu gaib menyuruh setan mengantar barang."
"Ini bukan ilmu gaib suruh setan mengantar barang, tapi suruh anak cucu mengantar santapan," ujar si sapi dengan tertawa.
"O," Siau-hi-ji bersuara singkat.
"Apakah engkau sudah melihat orang-orang yang mengintil di belakang kita sepanjang jalan itu?" tanya si kambing.
"Haha, kukira kalian tidak tahu ada pengikut sebanyak itu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Masakah kami tidak tahu," kata si sapi. "Justru bocah-bocah itulah anak cucu yang taat dan berbakti kepada kami."
"Kiranya mereka itu adalah anak murid kalian," kata Siau-hi-ji.
"Anak murid kentut anjing, bahkan kenal saja tidak," ucap si sapi.
"Aneh, kalau tidak kenal, mengapa mereka mengintil di belakang kalian?"
tanya Siau-hi-ji. Dengan tertawa si sapi menutur, "Setiap orang Kangouw tahu bila Cap-ji-she-shio berada dalam perjalanan, maka di sana pasti ada jual-beli besar, sedangkan kawanan anak cucu itu tidak berani jual-beli sendiri, mereka selalu mengintil saja di belakang kami, soalnya Cap-ji-she-shio biasanya cuma mengambil benda mestika, emas perak tidak disukai, maka anak cucu yang mengintil di belakang itu sedikit banyak akan kebagian rezeki sampingan."
"Ya, makanya ke mana perginya Cap-ji-she-shio kami, ke situ pula kami selalu disambut dengan hormat," sambung si kambing. "Dan kalau ada keperluan apa-apa, segera mereka menyiapkan bagi kami, bila terjadi sesuatu, tanpa kami mencari tahu mereka pun akan memberi laporan."
"Haha, pantas Cap-ji-she-shio jarang bergerak keluar, tapi kalau sudah bergerak sekali tembak tentu kena, rupanya kalian mempunyai pengikut anak cucu sebanyak itu yang sama sekali tidak diketahui orang luar," kata Siau-hi-ji dengan kagum.
"Akan tetapi sekali ini mereka telah tertipu," kata pula si sapi, "Bahkan mereka telah banyak berkorban secara sia-sia, seperti menimpuk anjing dengan daging, umpan hilang hasil nihil, jangankan untung, modal saja takkan kembali."
"Tapi semua itu mereka lakukan secara sukarela, kami pun menikmatinya tanpa sungkan-sungkan, kan bukan salah kita," sambung si kambing dengan bergelak.
Perjalanan mereka selanjutnya sudah tentu terlebih senang, tak peduli apa kehendak mereka, asalkan mereka bicara rada keras, hanya sebentar saja segera diantarkan orang.
Setelah melintasi Kiam-bun-koan, Siau-hi-ji tidak mengarah ke timur lagi, tapi malah berbelok ke barat daya, dengan melalui kota-kota Liongcoan, Baysan, tampaknya seperti hendak menuju ke Gobi yang terletak di wilayah Sujwan.
Pemandangan alam daerah Sujwan memang indah permai dan berbeda jauh dengan suasana di daerah terpencil di luar tembok besar sana. Siau-hi-ji sangat gembira, apalagi makanan dan minuman Sujwan sangat mencocoki seleranya sehingga membuatnya tidak habis memuji.
Sampai di Gobi, sedikit si sapi dan si kambing lengah, tahu-tahu Siau-hi-ji telah mengeluyur pergi sendirian, sampai tengah malam buta barulah dia pulang ke tempat pondokan.
Si sapi dan si kambing juga tidak menegurnya ke mana perginya anak muda itu, Siau-hi-ji sendiri juga tidak bicara. Esoknya ia pun tidak menyatakan berangkat, tapi petangnya ia mengeluyur pergi pula.
Begitulah berturut-turut tiga hari telah berlalu, Siau-hi-ji tidak bilang mau berangkat, si kambing dan si sapi juga tidak tanya dan tidak tegur, pada hakikatnya lebih menurut daripada anaknya. Tampaknya meski Li Toa-jui sudah lama mengasingkan diri, tapi dalam hati orang-orang itu masih ditakuti.
Nama "Cap-toa-ok-jin" atau sepuluh top penjahat ternyata tidak boleh dibuat main-main.
Lewat lohor hari ketiga, seorang diri Siau-hi-ji putar kayun pula di kota, dilihatnya banyak restoran dan warung makan hampir semuanya ada tamu yang diketahui pasti kaum Kangouw. Tapi mereka hanya duduk-duduk dan minum iseng belaka, sama sekali tidak banyak bicara dan bergurau, pada hakikatnya bicara sepatah kata dua saja tidak.
Sudah tentu Siau-hi-ji tidak tahu nama mereka, apakah orang-orang itu dari Hek-to (kalangan hitam) atau Pek-to (kalangan putih), tokoh-tokoh yang sudah ternama atau kaum keroco yang tak terkenal" Siau-hi-ji sama sekali juga tidak ambil pusing.
Di jalan raya terkadang juga berlalu lalang kaum Tojin (penganut agama To) yang berjubah merah dan berpedang dengan sikap yang angkuh luar biasa seakan-akan tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Tapi lebih sering pula kaum tojin itu mengawasi orang lain dengan sorot mata yang tajam. Tojin-tojin itu seperti lagi berjalan-jalan iseng di kota, tapi air muka mereka tampaknya sangat prihatin.
Siau-hi-ji tahu para Tojin itu pasti anak murid Go-bi-pay. Ilmu pedang Go-bi-pay terkenal lihai, pantas kalau anak muridnya juga sok berlagak, apalagi di sini adalah kaki gunung Go-bi-san, tempat pangkal mereka, dengan sendirinya mereka suka pasang aksi seperti sedang mengawasi gerak-gerik setiap pendatang.
Setelah putar kayun, Siau-hi-ji membeli sebuah "Hiang-tay", yaitu kantongan yang berisi hiosoa (dupa lidi) lilin dan sebagainya untuk sembahyang. Lalu dia membeli pula satu kati Loh-se-bak (daging masak) yang terkenal lezat di kota ini, habis itu barulah dia pulang ke hotel.
Di kamar hotel sudah tersedia satu meja perjamuan, si kambing dan si sapi tampak duduk menunggu, santapan sudah hampir dingin semuanya, tapi kedua orang itu sama sekali tidak berani mengutik-utik santapan itu.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata kepada mereka, "Selama tiga hari ini kalian ternyata lebih alim daripada gadis pingitan, melangkah keluar kamar saja tidak pernah, padahal di luar sangat ramai, masakah kalian tidak pingin melihatnya?"
"Memangnya siapa yang tidak pingin melihat keramaian?" ujar si sapi dengan menyengir. "Cuma bagi kami berdua rasanya tidak leluasa bergerak di kaki gunung Go-bi ini, maka lebih baik minum arak saja di dalam rumah."
"Hah, masakah kaum Tosu Go-bi-pay itu sedemikian lihai sehingga kalian takut kepada mereka?" ucap Siau-hi-ji.
Si sapi mengangkat cawan arak dan mengajak minum, katanya sambil menghela napas, "Sudahlah, kita tak usah bicara urusan itu, marilah, Siautit (keponakan) menyuguh secawan kepada paman."
Tapi Siau-hi-ji lebih dulu membuka bungkusan Loh-se-bak yang dibelinya tadi, katanya dengan tertawa, "Konon Loh-se-bak ini dibuat dengan kuah simpanan tahunan sehingga rasanya empuk dan lezat, lain daripada yang lain, silakan kalian mencobanya dahulu."
"Sudah banyak cucu yang menyediakan santapan sebaik ini, buat apa engkau orang tua mengeluarkan biaya pula?" ucap si sapi.
"Ah, setiap hari makan enak, bosan rasanya, ganti cita rasa kan juga ada baiknya," ujar Siau-hi-ji.
"Orang tua menyuguh jangan ditolak," kata si kambing, segera ia mendahului menyumpit sepotong Loh-se-bak terus dilalap sembari tiada hentinya memuji kelezatannya. Setelah dia habis makan sepotong, dalam pada itu si sapi sudah melalap lima potong.
Siau-hi-ji juga habis meneguk dua cawan arak sehingga semakin menambah rasa gembiranya. Katanya kemudian, "Tampaknya ilmu pedang Go-bi-pay memang hebat, setiap kawan Kangouw yang datang ke sini ternyata bicara sedikit keras saja tidak berani, haha, lambat atau cepat aku harus belajar kenal dengan ilmu pedang mereka."
"Bila engkau orang tua sudah turun tangan, pasti kawanan Tosu Go-bi-pay itu akan lari kalang kabut," demikian si sapi mengumpak.
Si kambing menatap kantongan Hiosoa yang dibawa Siau-hi-ji itu, tanyanya,
"Apakah engkau orang tua akan naik ke Go-bi-san?"
"Sebenarnya aku ingin pergi bersama kalian agar kalian bertambah pengalaman, tapi kalian ternyata tidak berani perlihatkan diri di depan umum, terpaksa aku pergi sendirian."
"Bilakah engkau akan berangkat?" tanya si sapi.
"Besok pagi-pagi," jawab Siau-hi-ji.
Tiba-tiba si sapi menghela napas dan berkata, "Cuma sayang rencanamu perlu diubah lagi."
"Mengapa harus diubah?" tanya Siau-hi-ji sambil mengernyitkan kening.
Si sapi tidak menjawab melainkan tertawa saja, tertawa yang sangat aneh.
Dengan tertawa terkekeh si kambing lantas menukas, "Hah, masakah kau anak jadah ini belum lagi mengetahui?"
Bahwa dari sebutan "engkau orang tua" mendadak berubah menjadi "anak jadah", betapa pun Siau-hi-ji terkejut juga. "Brak", anak muda itu lantas menggebrak meja dan berbangkit mendadak sambil mendamprat, "Kau bandot tua, berani kau ...." belum habis ucapannya, dengan lemas ia lantas roboh terkulai.
"Hehe, anak jadah, sekarang tentunya kau tahu persoalan bukan?" kata si kambing.
"A ... arak itu beracun!" ucap Siau-hi-ji dengan suara lemah.
"Nah, kau baru nyaho sekarang," jengek si sapi. "Karena khawatir sukar mengakali kau, kami minum bersamamu dari poci arak yang sama, namun sebelumnya kami sudah minum obat penawar."
"Meng ... mengapa kalian berbuat begini?" tanya Siau-hi-ji.
"Memangnya kau kira kedatangan kami ke Buyung-san-ceng itu lantaran kami mengincar obat mujarab Buyung" Huh, kalau cuma obat buatan budak-budak keluarga Buyung itu kiranya belum perlu bikin repot Cap-ji-she-shio."
"Bicara terus terang, kedatangan kami ke sana adalah untuk mencari kau,"
demikian si sapi menyambung.
"Soalnya di dunia ini mungkin hanya kau saja yang mengetahui tempat penyimpanan harta karun Yan Lam-thian itu," kata si kambing pula. "Demi berhasil membekuk dirimu, Coa-lolak (si ular nomor enam, maksudnya Pek-coa-sin-kun) kita telah memasang mata-mata di sekeliling Buyung-san-ceng di samping mengirimkan berita merpati kepada kami. Siapa tahu baru saja kami menyusul ke sana, si budak Buyung Kiu itu ternyata sudah kabur tanpa bekas."
"Tapi jelas kau masih ditinggalkan di dalam perkampungannya," sambung si sapi pula. "Kami lantas masuk ke situ untuk mencarimu, tapi meski kami sudah mencari ubek-ubekan, bayanganmu sama sekali tak ditemukan.
Saking mendongkol kami lantas menyalakan api dan membakar perkampungan Buyung itu."
"Setelah rumah-rumah itu menjadi puing barulah kami melihat gudang batu itu," si kambing menyambung pula. "Rupanya kau anak jadah ini berbuat sesuatu sehingga kau dikurung di penjara berair itu."
"Sebenarnya tidak perlu heran," ujar si sapi, "Si budak Buyung Kiu memang suka girang dan marah tidak menentu ...."
"Tapi mengapa kemudian tertinggal kalian berdua saja?" tanya Siau-hi-ji.
"Sebelumnya kami sudah tahu kau anak jadah ini banyak tipu muslihat,"
jawab si sapi dengan tertawa. "Kalau kami paksa kau mengaku di mana tempat penyimpanan harta karun itu, bukan mustahil kau akan menjebak kami dengan akal setanmu. Selain itu kalau kau sembarangan menunjukkan sesuatu tempat, bukankah kami akan berputar sia-sia bersamamu, belum lagi kalau di tengah jalan kau sempat lolos, bukankah tambah penasaran?"
"Tapi saudara sapi kita sudah memperhitungkan dengan tepat, apabila kau dapat bergerak, maka tempat yang pertama-tama yang kau tuju pasti tempat penyimpanan harta karun Yan Lam-thian itu," ujar si kambing. "Makanya dia lantas memasang jeratan ini agar kau masuk perangkap."
"He, jadi kau yang mengatur perangkap ini?" tanya Siau-hi-ji sambil menatap tajam kepada si sapi.
"Tak terduga olehmu bukan?" jawab si sapi.
Karena terkena obat bius yang dicampur di dalam arak, tubuh Siau-hi-ji tak dapat bergerak, terpaksa dia menghela napas dan berkata sambil meringis,
"Sungguh orang tidak boleh dinilai berdasarkan bentuknya, sapi goblok sebagai kau ternyata juga mempunyai akal setan, sungguh mimpi pun tak pernah kuduga."
"Hah, orang Kangouw yang pernah terjebak oleh akal saudara sapi kita jumlahnya sukar dihitung, kau anak jadah ini juga bukan orang pertama, kenapa kau mesti menyesal dan gegetun?" ujar si kambing dengan terkekeh.
"Tapi dari mana kau kenal diriku?" tanya Siau-hi-ji.
"Kau berada bersama putri Ong-say Thi Cian, dengan sendirinya kau ada hubungan erat dengan Cap-toa-ok-jin," tutur si sapi. "Makanya aku sengaja mengucap salah seorang di antara kesepuluh top penjahat itu dan kau terus percaya penuh dan masuk perangkap sendiri."
"Ini namanya salah pukul tapi kena dengan tepat, anggaplah kalian lagi mujur," kata Siau-hi-ji.
"Memangnya aku pun lagi heran Cap-ji-she-shio yang terkenal mahabusuk, mengapa bisa berubah sedemikian penurut. Hah, tak tahunya bagiku juga ada kalanya terjadi 'kapal terbalik di selokan'."
"Huh, memangnya kau anak jadah kecil ini menganggap dirimu paling pintar?" jengek si sapi sambil tertawa. "Terus terang kukatakan, untuk dapat berkecimpung di dunia Kangouw, kau masih terlalu jauh dan perlu belajar sepuluh tahun lagi."
"Kami Cap-ji-she-shio ini tokoh macam apa, kalau saja kami tidak sengaja hendak menipu kau, mana bisa kami bersikap begini padamu?" kata si kambing. "Hm, biarpun Li Toa-jui datang sendiri juga kami menganggapnya sebagai kentut belaka, apalagi cuma anak jadah kecil macam dirimu ini."
"Sekarang kalau kau mau mengaku di mana letak tempat penyimpanan harta karun itu bisa jadi kami akan mengampunimu," ucap si sapi dengan menyeringai. "Kau bukan anak bodoh, tentu tahu bagaimana akibatnya jika tetap bandel."
Dengan mata terbelalak Siau-hi-ji mendengarkan ocehan mereka, setelah ocehan mereka agak kendur, mendadak ia bergelak tertawa dengan gaya sangat gembira.
Si kambing menjadi gusar, dampratnya, "Haram jadah kecil, memangnya kau kira kami tidak mampu membuat kau mengaku terus terang?"
"Haram jadah tua, memangnya kau kira aku benar-benar terjebak oleh perangkap kalian?" Siau-hi-ji balas berolok-olok dengan tertawa.
"Hah, kau masih ada permainan apa, coba katakan," ucap si sapi.
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, jawabnya, "Ai, untuk berkata sih tidak sulit, yang kukhawatirkan adalah sebelum habis kubicara mungkin jiwa kalian sudah melayang."
"Apa betul?" kata si sapi tetap dengan tertawa.
Siau-hi-ji juga tertawa, jawabnya, "Tidak betul! Soalnya Loh-se-bak yang kalian makan itu tidak beracun, sedikit pun tiada racunnya."
Belum habis ucapannya, si sapi dan si kambing sama-sama tidak dapat tertawa lagi. Segera si kambing mencengkeram leher baju Siau-hi-ji dan membentak, "Haram jadah kecil, apa katamu?"
"Kataku kalian jadah tua ini sangat pintar dan aku ini orang tolol," jawab Siauhi-ji dengan tertawa. "Sebab besok juga aku akan berangkat dan mulai mencari harta karun, meski kalian tidak diperbolehkan ikut, aku tidak sampai hati meracuni kalian, makanya tidak kutaruh racun dalam Loh-se-bak yang kalian makan itu."
Semakin dia bilang tidak menaruh racun, semakin ketakutanlah si kambing, air mukanya bertambah pucat, dengan suara parau ia membentak pula, "Le ...
lekas keluarkan obat penawarnya!"
"Ya, ya jangan khawatir, pasti akan kuserahkan obat penawarnya agar nanti kalian dapat membunuhku dengan bebas," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Hahaha, jangan lupa, selama kalian memerlukan diriku untuk menemukan harta karun, selama itu pula takkan meracuni aku. Sebaliknya aku tidak memerlukan kalian, memangnya aku tidak berani meracuni kalian" Haha, jangan lupa pula bahwa obat bius takkan membinasakan orang, sedangkan racun dapat membuat jiwa kalian melayang."
Tiba-tiba si sapi tertawa, ia menarik tangan si kambing dan berkata, "Benar, memang benar, kita ini tolol dan tidak tahu urusan. Kita dikatakan kena racunnya, maka kita benar-benar menganggap diri kita sudah keracunan."
"Ya, hendaklah kalian jangan mau percaya," tukas Siau-hi-ji. "Tapi kalau saat ini kalian mau meraba tulang iga kelima di sisi kiri, yakni di bagian Ling-kin-hiat, kutanggung takkan terdapat sesuatu tanda penyakit apa pun, maka sebaiknya kalian tidak usah merabanya."
Belum habis dia bilang "tidak usah meraba", tanpa kuasa tangan si sapi dan si kambing sudah lantas meraba Ling-kin-hiat di bagian iga masing-masing.
Celakanya, begitu tempat itu teraba, seketika wajah berubah menjadi pucat, kedua orang saling pandang memandang dengan melongo.
"O, tidak menjadi soal kalau di situ terasa kemeng," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kujamin dalam waktu sejam-dua jam kalian takkan mati, jika perlu kalian masih sempat membunuhku lebih dulu."
Meski dia suruh mereka membunuhnya, tapi biarpun nyali kedua orang itu ditambah satu kali lipat juga mereka tidak berani turun tangan. Maklumlah, kalau Siau-hi-ji mati, lalu siapa yang akan memberikan obat penawar"
Akhirnya si kambing bertanya, "Kau ... kau sesungguhnya mau apa?"
"Apabila kujadi kalian, saat ini aku akan tunduk dan menawarkan dulu obat bius yang diminum olehku, habis itu berusaha menjilat dan mengambil hatiku agar rasa dongkolku terlampiaskan, kemudian bersumpah berat bahwa kalian akan senantiasa tunduk kepada perintahku, sedikit pun tidak berani membangkang ...."
"Tapi kalau sudah kutawarkan obat bius yang kau minum, lalu kau tidak menawarkan racun kami, lantas bagaimana?" ucap si sapi dengan napas tersengal.
"Ya, ya, benar juga, jika kau tidak menawarkan obat biusku, masakah aku mesti menawarkan racunmu?"
Si kambing dan si sapi saling pandang sekejap, habis itu mendadak mereka mendekati Siau-hi-ji.
Namun dengan adem ayem anak muda itu berkata pula, "Racun di dunia ini terkadang tak dapat ditawar dengan obat, apalagi selain yang menaruh racun, orang lain sukar mengetahui sampai di mana kadar racunnya. Tapi kalau kalian tidak percaya, boleh juga silakan kalian mencobanya."
Serentak si sapi dan si kambing tidak jadi melangkah maju, suruh mereka mencoba dengan barang lain tentu jadi, tapi suruh mereka mencoba dengan jiwa mereka sendiri, betapa pun mereka harus pikir-pikir dulu. Di dalam hati mereka serentak pula timbul pikiran yang sama, "Biarpun kami bersumpah dan setelah minum obat penawar, memangnya kami tidak dapat membinasakan dia" Sumpah bagi kami adalah seperti omong kosong belaka."
Maka mereka tidak bicara lagi, berbareng mereka berlutut dan mengucapkan sumpah yang paling keras, lalu dengan sangat hormat mereka mengeluarkan obat penawar dan dilolohkan ke mulut Siau-hi-ji.
Selang tak lama, dapatlah Siau-hi-ji berdiri, ia tepuk-tepuk debu di bajunya, lalu berkata dengan tertawa, "Obat bius dan obat penawar Cap ji-she-shio ternyata sama manjur."
"Hehe, obat penawar engkau orang tua tentu terlebih manjur," ucap si sapi dengan menyengir.
"Obat penawar apa?" tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.
Seketika perut si sapi dan si kambing seakan-akan ditendang orang, serentak mereka berteriak, "He, kau ... kau ...."
"Jangan khawatir, hahaha, aku hanya menggoda kalian saja," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa sambil mengeluarkan sebuah botol kecil, lalu menambahkan,
"Sebenarnya obat penawar berada di bajuku, mengapa kalian tadi tidak mau menggeledah badanku" Ai, manusia terkadang memang tidak boleh terlalu percaya kepada ucapan orang lain."
Sungguh gusar dan geregetan si sapi dan si kambing, kalau bisa mereka ingin mencekik mampus anak muda itu. Tapi menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting, tanpa pikir si sapi lantas mendahului menyerobot botol kecil yang dipegang Siau-hi-ji itu dan sebagian besar isi botol itu dituang sekaligus ke dalam mulutnya.
"He, mengapa kau minum se ... sebanyak itu"!" bentak si kambing cemas.
Dengan tertawa si sapi menjawab, "Tubuhku lebih gede, adalah pantas kalau mendapat bagian lebih banyak."
Dengan mendongkol si kambing merampas botol kecil itu dari tangan si sapi, sisa obat lantas diminumnya semua, habis itu mereka memandang Siau-hi-ji, dalam hati mereka berpikir, "Haram jadah kecil, sekarang coba kau akan lari ke mana."
Siau-hi-ji juga sedang memandang mereka, katanya, "Sekarang coba kalian meraba tempat tadi, apakah masih kemeng atau tidak."
Tanpa terasa kedua orang lantas meraba iga masing-masing dan benar juga rasa sakit kemeng tadi sudah lenyap.
"Mujarab benar obat penawarmu ini," ujar si kambing dengan tertawa.
"Dan sekarang coba kau ...."
Belum habis ucapan si sapi, tiba-tiba Siau-hi-ji bergelak tertawa dan berkata pula, "Tadi waktu meraba bagian iga, di situ kebetulan adalah tempat pertemuan aliran darah di tubuh kalian, biarpun diraba perlahan juga akan terasa sakit dan kemeng, kini aliran darah itu sudah lewat ke tempat lain, dengan sendirinya tidak terasa sakit lagi"
Keterangan ini membuat pula si sapi dan si kambing gemas setengah mati sehingga dada mereka seakan-akan meledak.
"Haram jadah kecil, kiranya kau menipu kami," teriak si kambing dengan suara serak.
"Benar, aku memang sengaja menipu kau si haram jadah tua ini," jawab Siauhi-ji dengan tertawa. "Mengapa kalian tidak berpikir, kan Loh-se-bak itu bukan buatanku, cara bagaimana aku dapat menaruh racun di situ" Apalagi kalau kutaruh racun, mengapa kalian tidak mampus keracunan?"
"Hahahaha!" mendadak si sapi bergelak tertawa. "Ya, anggaplah kau memang pintar dan cerdik, tapi kami juga tidak goblok. Ketahuilah bahwa bius itu meski sudah punah, tapi dalam setengah jam kau tetap belum mampu mengerahkan tenaga dan dengan mudah saja dapat kucabut nyawamu."
"O, betul begitukah?" ucap Siau-hi-ji.
"Tidak betul, masakah kusampai hati menyembelih kau, aku cuma mau memotong hidungmu, sebelah telingamu, sebelah tanganmu, dan sebelah kakimu," kata si sapi dengan menyeringai.
"Aduh, celaka, aku menjadi ketakutan!" ujar Siau-hi-ji sambil berlagak ngeri.
"Jangan takut, aku bukan Li Toa-jui, takkan makan kau, hanya akan memotong dagingmu untuk umpan anjing," kata si sapi sembari mendekati anak muda itu.
Akan tetapi Siau-hi-ji tidak ambil pusing padanya, bahkan memandangnya saja tidak, mulutnya bergumam perlahan, "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh ...." Baru saja menghitung sampai tujuh, saat itu tangan si sapi pun menghantam tiba.
Namun Siau-hi-ji tetap diam saja dan sama sekali tidak menggubrisnya.
Aneh juga, entah mengapa, baru saja pukulan si sapi dilontarkan, belum lagi mencapai sasarannya, tahu-tahu tubuh sendiri jadi gemetar, air mukanya berubah, mendadak ia jatuh terjungkal. Tertampak kedua matanya mendelik dan mulut berbusa laksana orang sakit ayan.


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, ken ... kenapa jadi begini?" teriak si kambing kaget.
"Ah, tidak apa-apa, Loh-se-bak yang dimakannya tak beracun, tapi obat penawarnya yang beracun," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Lantaran dia suka main serobot dan ingin makan lebih banyak, dengan sendirinya ia pun roboh terlebih-dahulu dan lebih cepat."
5 Jilid 5. Pendekar Binal Si kambing menggerung gusar terus menubruk maju, tapi baru saja badan terapung ke atas, laksana balok saja terus terjungkal ke bawah sehingga batok kepalanya membentur lantai dan benjut.
"Hahaha, sekali ini kau benar-benar jadi kambing bertanduk ...." Siau-hi-ji berkeplok tertawa.
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong seorang membentak di luar,
"Huh, sudah tua begitu kena dipermainkan anak kecil, kalian si kambing dan si sapi ini masakah ada muka buat berkecimpung pula di dunia Kangouw?"
"Siapa itu"!" bentak Siau-hi-ji kaget.
Tertampak jendela terbuka sedikit, seorang manusia ular terus memberosot masuk, tubuhnya menghijau gilap dan licin. Siapa lagi dia kalau bukan Pek-coa-sin-kun, si ular dari Cap-ji-she-shio.
Berputar biji mata Siau-hi-ji, segera ia menegur dengan tertawa, "Eh, sudah lama tak bersua, baik-baikkah engkau" Silakan duduk dan minum-minum dulu."
Pek-coa-sin-kun menyeringai, katanya dengan dingin, "Supaya kau tahu, obat bius yang mereka taruh di dalam arak itu adalah buatanku yang khas, terhadap khasiat obat bius itu rasanya akulah yang paling tahu, biarpun kau membual untuk mengulur waktu juga tiada gunanya, seumpama kau mengoceh lagi setengah hari juga tetap sukar bagimu untuk mengerahkan tenaga."
"Wah, jika begitu tampaknya hari ini aku memang lagi apes dan sukar lolos dari maut," ucap Siau-hi-ji.
"Betul, memang begitulah?" ujar Pek-coa-sin-kun.
Dalam pada itu terdengar si kambing dan si sapi sedang merintih, mata mereka masih dapat memandang, sekujur badan terasa kaku, kaki dan tangan tak bisa bergerak, ingin bicara juga sukar, obat bius ini ternyata berpuluh kali lebih lihai daripada obat bius buatan Pek-coa-sin-kun.
Keruan mau tak mau Pek-coa-sin-kun terkesiap juga melihat kedua temannya itu, tanpa terasa ia berseru, "He, 'Kiang-si-san' (puyer mayat hidup) si setengah manusia separo setan Im Kiu-yu!"
"Hah, tampaknya pandanganmu juga cukup tajam," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, "tadi mereka berebut minum obat, kukira setengah jam lagi mereka akan berubah menjadi mumi (mayat yang kaku). Meski tidak lantas mampus, tapi selanjutnya mereka hanya dapat berjalan jalan dengan berlompat-lompat.
Haha, bakal ada kambing dan sapi berkeluyuran sepanjang jalan, kukira pasti sangat menarik."
Mendengar ucapan anak muda itu, keringat dingin sama merembes keluar sebesar kedelai di jidat si kambing dan si sapi, suara rintihan mereka pun bertambah keras.
Pek-coa-sin-kun memandang mereka sekejap, katanya, "Apakah kedua saudara ingin kutolong kalian lebih dulu?"
Sekuatnya si sapi dan si kambing berusaha mengangguk, namun kepala mereka hanya dapat bergerak sedikit saja.
"Hehehe!" Pek-coa-sin-kun menyeringai. "Rezeki kalau terbagi menjadi tiga, rasanya terlalu sedikit jumlahnya, apalagi kalian sudah berjanji akan meninggalkan tanda sepanjang jalan agar aku dapat menyusul kemari, tapi mana itu tanda-tanda" Untung sebelumnya Siaute sudah tahu kepribadian kalian dan diam-diam menugaskan orang bercampur baur di antara anak cucu yang membuntuti kalian, kalau tidak mungkin saat ini sukar bagiku untuk menemukan kalian di sini."
Keringat dingin semakin menderas di dahi si sapi dan si kambing, sorot mata mereka mengunjuk rasa takut.
Berkedip-kedip sinar mata Pek-coa-sin-kun, katanya pula dengan terkekeh,
"Biasanya kalian memang suka bermain setan-setanan, kalau sekarang kalian benar-benar berubah menjadi mumi, bukankah sangat menarik juga."
Habis itu mendadak tertawanya berhenti terus melangkah ke arah Siau-hi-ji.
"Eh, kalau kau hendak menutuk Hiat-toku, kuharap jangan terlalu keras," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Soalnya saat ini aku tak dapat mengerahkan tenaga, jika kumati tertutuk, tamatlah segalanya."
"Jika begitu aku takkan menutuk Hiat-tomu," kata Pek-coa-sin-kun dengan menyeringai, "Cukup kusuruh 'Pek-si' menggigit perlahan sekali, kau takkan merasa sakit, bahkan terasa rada-rada gatal dan nikmat, rasanya jauh lebih enak daripada memeluk perempuan."
Di tengah ucapannya itu, tiba-tiba tertampak seekor ular kecil warna hijau gilap menyusup keluar dari lengan bajunya, ular itu hanya sebesar cacing, tapi lidahnya yang merah itu tampak mulur mengkeret dan merayap dengan gesit sekali, sungguh mengerikan dan menakutkan.
Betapa pun tabahnya Siau-hi-ji, tidak urung berubah juga air mukanya sekarang.
Anehnya lengan baju Pek-coa-sin-kun itu seolah-olah ada sarang ularnya, hanya sekejap saja belasan ular hijau sebesar cacing dan sepanjang sumpit sama merayap ke kuduknya, ada pula yang menyusup ke leher bajunya.
Belasan ekor ular kecil yang dingin dan licin itu merayap-rayap di seantero tubuh, rasanya dapatlah dibayangkan.
Sekujur badan Siau-hi-ji serasa kaku, biarpun bertenaga juga tidak berani sembarangan bergerak.
Pek-coa-sin-kun mengacungkan jari tengah dan ibu jarinya serta berkata,
"Asalkan jariku menjentik perlahan, segera kau akan tenggelam ke surga impian, hehe, seakan-akan belasan perempuan merangkul kau sekaligus, rasa nikmat itu sungguh menggetar kalbu, selain kau kiranya tiada orang lain yang mampu merasakannya."
"Jika begitu rasanya merangkul perempuan, pantaslah kalau orang cerdik pandai lebih suka menjadi Hwesio," ucap Siau-hi-ji.
"Huh, kau sendiri belum merasakan, dari mana tahu ...."
"Ahah, terima kasih banyak-banyak, rasa nikmat ini lebih baik tak kurasakan,"
seru Siau-hi-ji. "Maksudmu kau minta ampun?"
"Sudahlah," ucap Siau-hi-ji dengan menyengir, "Kau ingin ke mana, biarlah kubawa kau ke sana."
Bercahaya sinar mata Pek-coa-sin-kun, saking girangnya suaranya sampai serak, katanya, "Apakah memang betul tempat penyimpanan harta karun itu terletak di atas Go-bi-san sini?"
"Ya, sedikit pun tidak salah," sahut Siau-hi-ji.
Pek-coa-sin-kun menelan air liur, katanya pula, "Jika demikian, malam nanti dapatlah kutemukan harta karun itu."
"Bukan saja dapat kau temukan, bahkan boleh kau bawa pergi."
"Jika begitu, ayolah berangkat!" serentak Pek-coa-sin-kun melompat bangun.
"Berangkat" Tapi ... tapi ... ular-ular ini?"
"Kubiarkan tubuhmu dirangkul kawanan ular betina cantik ini, boleh dikatakan kau mendapat rezeki besar."
"Dirangkul si cantik sebanyak ini, mana aku sanggup berjalan pula?"
"Soalnya aku merasa tidak mampu mengawasi dirimu terpaksa kuminta bantuan mereka. Asalkan kau menurut, mereka pasti lemah lembut padamu, tapi kalau kau sembarangan bergerak, bila mulut mereka yang mungil itu mencium tubuhmu, hehehe, hahaha ...." mendadak Pek-coa-sin-kun terkekeh-kekeh.
Tiada jalan lain, terpaksa Siau-hi-ji menurut perintah, ia berdiri terus berangkat, sama sekali tidak sembarangan bergerak, bahkan batuk saja tidak berani. Selama hidupnya belum pernah sealim ini.
Sekeluarnya dia masih terdengar suara rintihan si kambing dan si sapi yang masih tergeletak di lantai kamar itu, suaranya memelas, seperti mohon ampun dan seperti juga sedang mencaci maki, biarpun orang berhati baja juga pasti terharu bila mendengar. Tapi hati Pek-coa-sin-kun ternyata jauh lebih keras daripada baja, pada hakikatnya dia tidak ambil peduli, apalagi Siau-hi-ji, keselamatannya sendiri saja tak terjamin, bagaimana dia dapat mengurusi kepentingan orang lain"
Tiba-tiba dari depan datang seorang pelayan, melihat Siau-hi-ji, pelayan itu memberi hormat dan menyapa, "Siauya, engkau ...." tapi belum habis ucapannya, demi nampak muka Siau-hi-ji, seketika ia menjerit dan jatuh kelengar saking kagetnya seperti melihat hantu.
Dengan meringis Siau-hi-ji berucap, "Saat ini bentukku sangat menarik, telingaku berhias dua ekor ular, leherku juga berkalung ular, pergelangan tangan memakai gelang ular, jadi komplet perhiasan yang kupakai, kelak kalau ada kesempatan, perhiasan ini harus kuhadiahkan kepada Buyung Kiu."
Dia bergumam sendiri, Pek-coa-sin-kun sama sekali tidak menggubrisnya.
"Sebenarnya peta harta karun itu tidak begitu jelas lukisannya, aku memerlukan dua malam suntuk barulah dapat meraba letak tempatnya, siapa tahu kau yang mendapatkan untungnya," demikian Siau-hi-ji berkata pula.
"Di mana tempatnya" Bagian depan atau belakang gunung?"
"Belakang gunung ...." belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong kepalanya telah dikerudungi sepotong kain hitam.
"Dari sini ke belakang gunung tidak memerlukan petunjukmu," kata Pek-coa-sin-kun dengan dingin. "Jika kau cerdik, kau harus menurut saja dan jangan coba-coba bertingkah untuk menarik perhatian orang lain."
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, tapi di mulut ia berkata dengan tertawa, "Untuk apa kutarik perhatian orang lain" Di dunia ini aku hanya punya musuh, mana ada kawan?"
"Tutup mulut!" bentak Pek-coa-sin-kun mendadak.
"Ai, bicara saja tidak boleh?" omel Siau-hi-ji. Dia benar-benar seperti orang buta dan dituntun orang, tapi kini dia terpaksa berubah pula menjadi bisu.
Kalau Pek-coa-sin-kun berjalan cepat, terpaksa, ia ikut cepat, bila orang berjalan lambat, mau tak mau ia pun melangkah perlahan, mengenai tempat mana yang dilaluinya sama sekali ia tidak tahu.
Tidak lama, suasana terasa mulai sepi, angin meniup sejuk, sekonyong-konyong Siau-hi-ji merasa ditarik orang ke tengah semak-semak. Seketika terpikir olehnya, "Apa barangkali keparat ini melihat seseorang yang ditakutinya ...."
Segera terdengar Pek-coa-sin-kun mengancam di tepi telinganya, "Awas, jangan bersuara jika sayang akan jiwamu."
Baru saja habis ucapannya, kira-kira belasan meter di sebelah sana berjangkit suara orang berkata, "Budak she Thi itu mengapa mendadak menghilang di sekitar sini?"
Mendengar suara nyaring itu, setiap katanya selalu membuat jantung Siau-hi-ji berdegup. Kiranya itulah suara Siau-sian-li Thio Cing. Mengapa nona itu bisa muncul di sini"
Menyusul lantas terdengar suara seorang lagi berkata, "Bisa jadi dia mengetahui penguntitan kita." Suara orang ini dingin ketus, jelas suara Buyung Kiu-moay.
Seketika jantung Siau-hi-ji berdetak-detak keras, biasanya dia sudah kabur secepatnya apabila tahu kedua nona itu berada di dekatnya. Tapi kini dia berbalik berharap semoga kedua nona itu lekas kemari, makin cepat makin baik. Tiba-tiba ia merasakan kedua nona ini meski musuhnya, tapi juga dapat dianggap sebagai anggota keluarganya.
Terdengar Siau-sian-li sedang berkata pula, "Kita menguntit dia sepanjang jalan dan dia tidak tahu sedikit pun, masakah sampai di sini mendadak dia menyadari jejaknya dikuntit" Melihat tingkah lakunya yang linglung, yang dipikirnya jelas cuma si setan cilik itu melulu, seumpama di belakangnya mengintil satu barisan orang juga dia tidak merasakannya."
"Jika begitu masakah kau khawatir takkan menemukan dia?" ucap Buyung Kiu dengan hambar.
"Yang kukhawatirkan adalah ... adalah ...."
"Tak dapat menemukan setan cilik itu, maksudmu?" jengek Buyung Kiu.
"Benar," jawab Siau-sian-li. "Aku benar-benar khawatir tak dapat menemukan setan cilik itu dan khawatir tak dapat mengorek hatinya untuk dilihat bagaimana bentuk dan warnanya."
"Tidak perlu dilihat juga kau harus tahu ... pasti hitam!" kata Buyung Kiu.
Suara mereka ternyata tidak mendekat, sebaliknya malah semakin menjauh.
Sungguh Siau-hi-ji ingin berteriak memanggil mereka, tapi ia menyadari bila dirinya bersuara, maka kawanan ular "cantik" akan menggigitnya sekaligus dan urusan pasti runyam. Terpaksa ia bersabar, asalkan jiwa selamat, segala urusan masih dapat dipikirkan.
Dari percakapan kedua nona tadi Siau-hi-ji dapat menerka Buyung Kiu-moay dan Siau-sian-li pasti sengaja membebaskan Thi Sim-lan, habis itu mereka lantas menguntitnya secara diam-diam. Ini adalah akal kuno dan sederhana, tapi akal ini justru paling mudah dilaksanakan. Lantas ke manakah Thi Sim-lan saat ini"
Beradanya Thi Sim-lan di sini sudah tentu bukan harta karun itu, dia hanya ingin menunggu Siau-hi-ji di sini, ia tahu harta karun tersebut tersimpan di Go-bi-san, ia pun tahu Siau-hi-ji pasti akan datang kemari. Tapi Buyung Kiu-moay sendiri telah mengurung Siau-hi-ji di ruangan batu itu, dengan sendirinya ia yakin anak muda itu tak mungkin akan datang ke sini. Lalu, untuk apakah dia juga ikut kemari" Masakah perempuan yang berhati dingin ini pun menaruh perhatian terhadap harta karun"
Dalam pada itu Pek-coa-sin-kun telah membisiki Siau-hi-ji dengan nada bengis, "Jangan-jangan kau juga memberitahukan tempat harta karun ini kepada orang lain?"
"Kau kira aku akan berbuat begitu atau tidak?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Adakah orang lain yang mengetahui tempat itu selain dirimu?"
"Kukira Yan Lam-thian sendiri pasti tahu."
Pek-coa-sin-kun merasa lega, katanya pula, "Kita sudah sampai di belakang gunung Go-bi-san, sekarang boleh kau menunjukkan jalannya."
Segera pandangan Siau-hi-ji terbeliak, kerudung kepalanya telah ditanggalkan, walaupun di tengah malam gelap, tapi rasanya cahaya bintang malam ini jauh lebih terang daripada biasanya dan jauh lebih mempesona bagi anak muda itu.
"Ai, baru sekarang kutahu rasanya jadi orang buta memang tidak enak," ucap Siau-hi-ji dengan menghela napas panjang.
Pegunungan Go-bi yang tinggi dan terjal itu kelihatan sangat mengerikan.
Lebih-lebih di bagian belakang gunung, terasa berpuluh puncak yang menjulang tinggi itu seakan-akan roboh menindih ke bawah.
Di mana berada sekarang adalah suatu bagian paling terpencil di atas Go-bisan, tidak lama mereka mendaki segera kabut tebal timbul dari bawah kaki mereka, setiba di pinggang gunung mereka pun sudah terbenam di tengah lautan awan dan kabut tebal.
Meski Siau-hi-ji bermaksud menggunakan kegesitan dan kelincahannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Pek-coa-sin-kun, terpaksa ia urungkan niatnya mengingat belasan ular hijau kecil masih membelit di tubuhnya. Satu-dua jam kemudian, napas kedua orang itu pun terengah-engah.
"Sudah sampai belum?" tanya Pek-coa-sin-kun sambil tersengal-sengal.
"Memangnya kau merasa kurang cepat?" jawab Siau-hi-ji. "Tanpa petunjukku, seumpama kau tahu tempatnya, biarpun kau mencarinya tujuh atau sepuluh hari juga belum tentu dapat menemukannya."
Mendadak Pek-coa-sin-kun tertawa dan berkata, "Haha, kau sungguh anak yang pintar dan tangkas, jauh lebih cekatan daripadaku."
"Itu dia, sebelum menemukan harta karun itu memang perlu kau menjilat pantatku," kata Siau-hi-ji, "Nanti kalau harta karun sudah ditemukan bolehlah kau menyembelih dan mencincang diriku."
"Jangan khawatir," kata Pek-coa-sin-kun dengan suara halus. "Setelah menemukan harta karun itu aku malah takkan membunuh kau, bahkan akan kuberikan kebaikan kepadamu, kau ...." mendadak ia berteriak gusar, "Setan cilik, ayo keluar, lekas keluar ...."
Kiranya selagi dia mencerocos dan lupa daratan, tahu-tahu Siau-hi-ji telah menghilang.
Keruan Pek-coa-sin-kun kelabakan hingga keringat dingin merembes memenuhi dahinya, ia berteriak murka pula, "Setan cilik, jika tidak lekas keluar, sekali aku bersuit segera kau bisa mampus! Tiada gunanya biarpun kau lari ke mana pun."
Tapi di tengah malam kelam berkabut tebal itu bayangan Siau-hi-ji tetap tidak kelihatan.
Pek-coa-sin-kun seperti orang kebakaran jenggot, ia berteriak pula,
"Dengarkan setan cilik, ular itu bernama Pek-si-coa (ular benang hijau) dan juga disebut belatung penyusup tulang, tanpa perintahku, selamanya ular-ular itu akan terus menempel di tubuhmu sampai kau menjadi bangkai. Nah, pikirkan sendiri, apakah tindakanmu ini tepat atau tidak?"
Sekonyong-konyong terdengar orang mengikik tawa di sebelahnya, suara Siau-hi-ji lagi berkata, "Hihi, aku berada di sini, apa yang kau ributkan?"
Pek-coa-sin-kun mengamat-amatinya hingga sekian lama, akhirnya baru dilihatnya di sebelah sana ternyata ada sebuah gua, banyak akar-akaran yang bergelantungan hingga menutupi mulut gua. Entah sejak kapan Siau-hi-ji telah menyusup ke gua itu.
"Ayolah kemari, di sinilah jalan masuk ke tempat harta karun itu," seru Siauhi-ji.
Sebenarnya Pek-coa-sin-kun sangat gemas, tapi mendengar ucapan anak muda itu, seketika sirap api amarahnya, cepat ia menyusup ke sana, segera pula ia merasa hawa dingin menyambar dari depan, tanpa terasa ia menggigil, katanya dengan gegetun, "Sungguh hebat Yan Lam-thian itu dapat menemukan tempat begini ...."
Kalau tempat ini sedemikian rahasia dan tersembunyi, maka betapa besar jumlah harta karun yang terpendam di sini dapatlah dibayangkan. Teringat akan rezeki nomplok ini, seketika Pek-coa-sin-kun kegirangan sehingga tidak merasakan dingin lagi.
Gelap gulita di dalam gua itu sehingga jari sendiri saja tidak kelihatan, Pek-coa-sin-kun lantas menyalakan geretan api, tapi mereka lantas menjerit kaget begitu api menyala. Ternyata di dalam gua itu membujur tiga sosok mayat.
Ketiga sosok mayat itu sangat perlente, tangan masing-masing memegang pedang yang kemilau, tampaknya bukan sembarangan pedang. Tapi mayat-mayat itu melingkar dengan mengenaskan.
Waktu diperiksa, meski kaki tangannya sudah dingin, tapi tubuh mayat itu masih lemas, belum kaku, suatu tanda kematian ketiga orang itu belum lama, tidak lebih daripada satu jam.
Pek-coa-sin-kun membalik ketiga sosok mayat itu dan memeriksa mukanya, seketika air mukanya berubah pucat serupa ketiga mayat itu, tangannya yang memegangi obor juga rada gemetar.
"Kau kenal mereka?" tanya Siau-hi-ji.
"Kim ... Kim-leng-sam-kiam, tajam pedangnya dapat memotong emas!" ucap Pek-coa-sin-kun dengan tergagap.
"Kiranya mereka juga tokoh ternama," ujar Siau-hi-ji.
"Bukan saja ternama, bahkan terhitung jago kelas satu," kata si ular. "Jika tempat penyimpanan harta karun ini tidak diketahui orang lain, mengapa mereka dapat tiba di sini?"
Siau-hi-ji juga mengernyitkan kening, katanya, "Ya, ini memang rada-rada aneh."
"Kau hanya heran saja?" bentak si ular dengan bengis.
Siau-hi-ji angkat pundak, jawabnya, "Toh ketiga orang ini sudah mati, buat apa kita merecokinya?"
"Meski mereka sudah mati, tapi orang yang membunuh mereka pasti masih berada di dalam gua ini," kata si ular dengan gusar. "Kalau orang ini sekaligus mampu membinasakan Kim-leng-sam-kiam (tiga pendekar pedang dari Kim-leng), bukankah dia terlebih menakutkan pula?"
"Aneh, siapakah gerangannya" Mengapa dia tahu rahasia tempat ini?" kata Siau-hi-ji.
"Memangnya kau tidak tahu" Masakah bukan kau yang memberitahukan mereka" Peta harta karun ini tentunya cuma selembar saja dan berada padamu, kecuali kau ...."
Belum habis ucapan si ular, sekonyong-konyong padam obor yang dipegangnya. Tentu saja ia terkejut, tapi ia pun tahu pasti ada orang diam-diam mengerjainya, cepat ia melangkah mundur mepet dinding gua, lalu membentak, "Siapa itu main sembunyi-sembunyi di situ?"
Dalam kegelapan seorang menjawab dengan perlahan, "Dugaanmu memang tidak salah, orang yang membunuh Kim-leng-sam-kiam memang betul masih berada di sini, ialah aku!"
Suara itu tenang dan biasa saja, tiada sesuatu yang menonjol kedengarannya, tapi justru nada yang teramat biasa inilah kedengarannya menjadi rada menakutkan di dalam gua yang seram dan misterius ini, sampai tokoh macam Pek-coa-sin-kun juga bergidik.
"Sia ... siapa engkau?" tanya si ular.
"Apakah kau ingin tahu siapakah diriku?" kata suara itu.
Dengan tabahkan diri Pek-coa-sin-kun menyalakan obornya lagi, di tengah berkelebatnya cahaya obor, tertampak seorang berbaju kelabu melangkah keluar dari dalam gua. Wajah orang juga remang-remang kelabu, tidak kelihatan hidung dan matanya, semuanya tidak kelihatan, selembar mukanya sungguh mirip serabi bulukan sehingga jauh lebih seram dan menakutkan daripada muka yang paling jelek di dunia ini.
Walaupun tahu orang ini pasti memakai kedok, namun tidak urung Siau-hi-ji juga merasa ngeri. Kalau kedoknya menutupi mulut dan hidungnya, kenapa matanya juga dikerudungi" Jika mata terkerudung, mengapa dia dapat berjalan dengan bebas" Padahal tidak enak rasanya menjadi orang buta, Siau-hi-ji sendiri sudah merasakannya tadi.
Terlihat dahi Pek-coa-sin-kun berkeringat dingin, katanya pula dengan terputus-putus, "Engkau ... engkau ini Hwe-pian-hok (si kalong kelabu)?"
"Hehe, jadi kau sudah melihat jelas?" kata si kelabu dengan tertawa hambar.
"Apakah Niau-thau-eng (burung kepala kucing, burung hantu atau kokokbeluk) juga ...." belum habis ucapan Pek-coa-sin-kun, seketika tubuhnya mematung kaku, serupa patung yang memegang obor, hanya keringat dingin masih mengucur dari keningnya.
Kiranya dari belakang Hwe-pian-hok itu tiba-tiba muncul seorang. Tampaknya orang ini juga tiada sesuatu yang istimewa, tapi matanya melotot dan besarnya luar biasa serta bercahaya.
Dengan tertawa si baju kelabu lantas berkata, "Kalau Hwe-pian-hok berada di sini, dengan sendirinya Niau-thau-eng takkan berada jauh. Lain kali kalau kau bicara dengan orang yang berdiri di depan, janganlah lupa memperhatikan belakangnya."
Sepasang mata Niau-thau-eng tampak melotot kepada Siau-hi-ji, katanya dengan terkekeh-kekeh, "Hehehe, sungguh aku ingin tanya kalian, cara bagaimana kalian dapat menemukan tempat ini?"
Kalau dia tidak bicara memang tidak menarik, sekali dia membuka suara, benarlah namanya sesuai dengan julukannya, suaranya memang mirip burung hantu.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya, "Pakai tanya lagi, bukankah kau yang memberi tahu padaku?"
Niau-thau-eng, si kokokbeluk, melengak, "Aku yang memberitahukan padamu?"
"Memangnya siapa lagi kalau bukan kau?" ucap Siau-hi-ji. "Peta harta karun tinggalan Yan Lam-thian hanya satu helai, kalau bukan kau yang memberitahukan kami, cara bagaimana kami dapat menemukan tempat ini"
Malahan kau minta bantuan kami untuk membinasakan Hwe-pian-hok supaya kau dapat mencaplok sendiri harta karun ini, mengapa sekarang kau ingkar janji dan pura-pura tidak tahu" Apa barangkali kau sudah mendapatkan bala bantuan yang lain lagi?"
Anak muda itu bicara dengan mendelik sambil bertolak pinggang, lagaknya seperti bersungguh-sungguh dan tak bisa dibantah.
Keruan tidak kepalang gusar si kokokbeluk, dampratnya, "Kau setan alas, sekecil ini usiamu, tapi sudah pandai memfitnah, kalau sudah besar bukankah akan jauh lebih jahat daripada gurumu?"
"Betul, sebaiknya lekas kau membunuh aku agar tiada saksi dan tiada bukti lagi," ucap Siau-hi-ji.
"Aku justru ingin membinasakan kau keparat jahanam ini!" teriak Niau-thau-eng dengan murka, berbareng kedua tangannya dengan jari-jarinya yang tajam terus mencakar ke dada dan tenggorokan Siau-hi-ji.
Tapi sedikit pun Siau-hi-ji tidak bergerak, maklumlah kalau sembarangan bergerak, ia khawatir kawanan si "cantik" yang merayapi tubuhnya itu akan menggigit dan itu berarti akan tamatlah riwayatnya.
Syukurlah pada detik berbahaya itu, tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap maju dan mengadang di depannya, kiranya si kalong yang bertindak membelanya sambil membentak, "Mengapa kau turun tangan sekeji ini kepada seorang anak kecil?"
Terpaksa Niau-thau-eng menarik mentah-mentah serangannya, teriaknya dengan gemas, "Mengapa kau merintangi aku" Jangan-jangan kau percaya pada ocehan setan cilik ini?"
"Aku cuma rada heran, jelas peta wasiat ini hanya ada satu lembar dan cuma kita berdua saja yang tahu, mengapa orang-orang ini dapat datang pula ke sini?" kata Hwe-pian-hok dengan hambar.
"Kita sudah bersahabat karib selama lebih dua puluh tahun, masakah kau tidak percaya padaku?" teriak Niau-thau-eng dengan parau.
"Sudah biasa orang buta diakali orang melek, mau tak mau rasa curiganya juga besar," ucap Hwe-pian-hok.
"Bagus, tampaknya kau sendiri yang ingin mencaplok harta karun ini, makanya mencari alasan untuk menumpas kawan sendiri," kata Niau-thau-eng dengan gemas. "Hm, sebenarnya sudah lama kudengar si kalong buta sukar dipercaya, sayangnya aku tidak percaya kepada nasihat orang, sekarang ternyata ...." belum habis ucapannya, mendadak Hwe-pian-hok memukul dari jauh sehingga obor padam seketika.
Agar tidak ketiban pulung, cepat Siau-hi-ji melompat mundur.
Pada saat itulah mendadak terdengar Niau-thau-eng menjerit kaget, "Bagus, bagus, kau benar-benar turun tangan keji!" Menyusul lantas terdengar pula serentetan angin pukulan dahsyat.
Diam-diam Siau-hi-ji menduga si kokokbeluk pasti celaka, ia tahu si kalong itu buta, dalam keadaan gelap tentu mempunyai kepandaian yang istimewa, biarpun si burung hantu juga dapat melihat dalam kegelapan, tapi seketika pasti akan kecundang lebih dulu.
Benar saja, segera terdengar suara "krak-krek" beberapa kali, suara tulang patah. Menyusul lantas terdengar jerit ngeri Niau-thau-eng, "Kejam amat kau
... suatu ... suatu hari pasti kau akan ... akan menyesal." Setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, kembali terdengar keluhan tertahan, lalu tak terdengar sesuatu suara lagi.
Kemudian mulai terdengarlah gema suara Hwe-pian-hok, si kalong kelabu, ucapnya sekata demi sekata, "Di manakah kau anak kecil?"
Siau-hi-ji menahan napas, tapi di dalam gua yang seram ini, saking tegangnya dari tubuhnya keluar hawa panas yang cukup menjadi petunjuk bagi si kalong untuk mendekatinya. Maklumlah pada umumnya orang buta tentu indera pendengarannya dan penciumannya jauh lebih tajam daripada orang biasa.
Terdengar suara langkah si kalong semakin mendekat, dahi Siau-hi-ji sudah penuh keringat, bajunya yang mepet dinding gua juga sudah basah kuyup.
"Kiranya kau berada di sini," kata si kalong dengan suara halus. "Eh, mengapa kau tidak lekas lari?"
Tapi Siau-hi-ji tetap diam saja sambil menggigit bibir, keringat berketes-ketes melalui batang hidungnya ke mulut, ia merasa risi dan gatal, ingin sekali untuk mengusap dan menggaruknya, tapi ia tidak berani bergerak sama sekali, selama hidupnya belum pernah merasa ketakutan seperti sekarang ini.
Terasa tangan si kalong mulai terjulur ke arahnya, sekujur badan Siau-hi-ji serasa menegang, tapi masih tetap tidak bergerak.
Perlahan tangan si kalong meraba ke lehernya, katanya, "Jangan khawatir, takkan kubikin kau menderita, akan kupencet dengan pelahan saja dan kau akan mati dengan enak, jangan kau salahkan aku, rezeki kalau dibagi dua rasanya terlampau sedikit ...." Pada saat itulah mendadak ia menjerit kaget dan segera melompat mundur, serunya dengan suara gemetar, "Le ...
lehermu ...." Kiranya jarinya yang meraba ke leher Siau-hi-ji itu mendadak kena dipagut oleh ular hijau yang ngendon di situ. Seharusnya orang dapat melihat ular kecil yang melilit di leher Siau-hi-ji itu, namun Hwe-pian-hok buta, mana dia menduga akan leher Siau-hi-ji berkalungkan ular berbisa begitu"
"Nah, baru sekarang kau tahu rasanya ular sakti pelindung badanku ya?"
ucap Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. "Hahaha! Orang buta macam kau juga ingin membunuhku" Haha, masakah begitu mudah?"
"Ular ... ular berbisa ...." Hwe-pian-hok berteriak serak. Di tengah teriakan ketakutan itu ia terus menerjang keluar.
Tapi belum seberapa jauhnya dia berlari, terdengar suara gedebukan keras, ia roboh terjungkal.
Kaget dan girang Siau-hi-ji, girangnya karena musuh sudah mati, kagetnya karena ular piaraan Pek-coa-sin-kun itu ternyata lihai benar-benar. Ia menghela napas lega dan bergumam, "Wahai Hwe-pian-hok, apabila kau tidak begitu keji, tidak menyerang tenggorokanku, tentu jiwaku sudah melayang sejak tadi. Tapi kutahu tempat yang kau serang pasti tempat mematikan, padahal bagian-bagian tubuhku yang penting itu sama dililit oleh ular berbisa. Ai, ular yang dimaksudkan membunuhku kini berbalik telah menyelamatkan jiwaku, setiap kejadian di dunia ini terkadang memang aneh dan sukar dibayangkan."
Lemah lunglai tubuh Siau-hi-ji seperti kehabisan tenaga, maklumlah, tadi jiwanya memang ibarat telur berada di ujung tanduk, sesungguhnya dia telah menggunakan jiwa sendiri untuk bertaruh dengan Hwe-pian-hok. Di dunia ini kecuali Siau-hi-ji siapa pula yang berani bertaruh secara demikian"
Begitulah ia termenung sejenak, ia bermaksud meraba geretan api milik Pek-coa-sin-kun, tapi tak berani pula sembarang bergerak, kelihaian ular-ular kecil itu sudah disaksikannya tadi.
Tanpa terasa ia menghela napas gegetun pula, "Ai, belatung menempel tulang! Benar-benar belatung nempel tulang, kalau tak dapat membersihkan mereka, sungguh lebih baik mati saja."
Pada saat itulah, tiba-tiba ada cahaya api berkelebat di kejauhan, seorang lelaki kekar berewok berjubah sulam dengan membawa obor tampak memasuki gua, meski gua ini lembab dan seram, namun orang itu tampaknya tak gentar apa pun juga.
Sudah tentu Siau-hi-ji terkejut, tapi orang itu pun tidak kurang kagetnya demi nampak Siau-hi-ji serta mayat yang bergelimpangan di situ. Seketika ia menyurut mundur dua-tiga tindak, lalu menegur bengis, "Siapa kau?"
"Kau sendiri siapa?" jawab Siau-hi-ji.
"Aku saja kau tidak kenal, berani kau berkecimpung di dunia Kangouw?"
teriak orang itu. "Wah, tampaknya kau ini rada-rada terkenal ya?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Aku inilah Congpiauthau dari gabungan tujuh belas Piaukiok di barat-laut, si kepalan baja dan telapak besi menggetar Tiongciu, she Tio bernama Coan-hay, nama ini tentunya pernah kau dengar bukan?"
"Wah, panjang amat namamu, kedengarannya memang mentereng, tapi apakah kau tahu siapa diriku ini?" jawab Siau-hi-ji dengan tersenyum.
Lelaki yang mengaku Tio Coan-hay itu mendengus, katanya, "Hm, kau ini terhitung barang apa?"
"Hm, supaya kau tahu," Siau-hi-ji juga mendengus, "aku inilah si raja diraja, si agung dari semua pendekar pedang, yang dipertuan dari semua ular, menyapu bersih tiga gunung enam bukit tanpa tandingan di dunia ini, penggetar langit dan pengguncang bumi Giok-ong-cu, pernahkah kau dengar namaku ini?"
Sekaligus ia menyebut nama dan julukannya yang dua kali lipat lebih panjang daripada nama dan julukan Tio Coan-hay tadi, keruan orang she Tio itu benar-benar dibuatnya melenggong.
"Ya, belum pernah kudengar tokoh Kangouw demikian ini!" ucap Tio Coan-hay kemudian.
"Meski kau tidak pernah dengar, boleh kau pulang dan tanya pada gurumu, tentu dia tahu," kata Siau-hi-ji. "Tokoh angkatan tua di dunia Kangouw pasti tunduk bila melihat diriku."
"Huh, anak ingusan seperti kau juga berani sembarangan mengoceh?"
damprat Tio Coan-hay dengan gusar.
"Hm, kau kira usiaku ini masih kecil, begitu?"
"Memangnya berapa umurmu" Anakku juga lebih tua daripadamu."
"Barangkali kau belum tahu bahwa ilmu silat yang sudah terlatih sempurna dan mencapai puncaknya dapat membikin orang tua kembali muda?"
Kembali Tio Coan-hay melengak, ia menatap Siau-hi-ji dengan terkesima, tampaknya menjadi ragu-ragu, setengah percaya setengah sangsi.
Siau-hi-ji berkata pula, "Orang yang kubunuh hari ini sudah cukup banyak, aku sudah malas turun tangan pula, mengingat kau juga seorang lelaki gagah bolehlah kuampunimu dan lekas kau pergi."
"Hanya kau saja ingin menggertak lari diriku?" bentak Tio Coan-hay dengan gusar.
"Supaya tidak menyesal, coba silakan lihat dulu tokoh-tokoh macam apakah yang mampus ini," kata Siau-hi-ji.
Waktu Tio Coan-hay mengawasi mayat-mayat yang menggeletak itu, air mukanya berubah seketika, ia bergumam, "Kim-leng-sam-kiam ... Hwe-pian-hok ... Niau-thau-eng dan ... dan ...."
"Pek-coa-sin-kun dari Cap-ji-she-shio, kau tidak kenal dia?" sambung Siau-hi-ji.
Tio Coan-hay merasa ngeri, katanya, "Masakah betul mereka ... mereka mati di tanganmu?"
"Ah, soal kecil bagiku," kata Siau-hi-ji acuh. "Boleh kau tanya kepandaianmu sendiri apakah lebih tinggi daripada orang-orang ini?"
"Tapi ... tapi dengan susah payah baru akhirnya Cayhe sampai di sini, kalau
... kalau Cianpwe suruh Cayhe pergi begini saja, sungguh terasa penasaran,"
kata Coan-hay setelah termangu sejenak. Meskipun dia belum mau pergi, namun dalam hal bicara sudah berganti nada dan menyebut Siau-hi-ji sebagai "Cianpwe".
"Habis apa kehendakmu?" tanya Siau-hi-ji dengan tersenyum.
"Asalkan Cianpwe memperlihatkan sejurus dua padaku, habis itu segera Cayhe akan angkat kaki tanpa syarat," kata Tio Coan-hay.
"Kau ingin tahu ilmu silatku" Apa sukarnya" Asalkan kau dapat membinasakan semua ular yang berada dalam tubuhku ini tanpa melukai sedikit pun diriku, dan kalau perlu harta karun ini pun akan kuberikan padamu," ucap Siau-hi-ji dengan tenang.
"Sungguh?" Tio Coan-hay menegas dengan sangsi.
"Kaum Cianpwe masakan omong kosong kepada kaum Wanpwe?" jawab Siau-hi-ji.
Dengan langkah lebar Tio Coan-hay lantas mendekati Siau-hi-ji, dengan melotot ia pandang ular-ular yang merayap di tubuh anak muda itu. Diam-diam Siau-hi-ji bergirang dan berharap semoga orang ini memang punya kemampuan.
Tak terduga pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendering beradunya senjata. Umumnya kalau pedang atau golok beradu tentu waktunya berselang sejenak, habis itu baru berbunyi. Tapi sekarang beradunya senjata itu sedemikian kerap dan nyaring, seakan-akan suara satu dan lain berbunyi sekaligus.
Dengan kaget Tio Coan-hay berpaling, katanya dengan keder, "Siapa lagi yang datang, cepat amat gerak pedangnya!"
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, "Jangan khawatir, asalkan kau berdiri di sampingku, siapa pun takkan berani melukaimu."
Tio Coan-hay memandangnya sekejap, lalu memandang ular-ular yang menghiasi anggota badan anak muda itu, bentuk yang aneh ini membuatnya mau tak mau harus percaya bahwa orang yang dihadapinya ini memang tokoh kosen angkatan tua. Setelah memandang lagi sekejap, akhirnya ia memberi soja (menghormat dengan kedua kepalan di depan dada) dan mengucap terima kasih.
Suara beradunya pedang tadi datangnya benar-benar cepat, tadi kedengaran masih berada di mulut gua, tapi kini sudah mendekat. Terdengar seorang menjengek dengan suara dingin, "Swat-hoa-to (golok bunga salju), kau benar-benar hendak mengadu jiwa dengan aku?"
Seorang lagi menjawab, "Sudah lama kudengar ilmu pedangmu teramat cepat dan tiada tandingan di daerah Kwan-gwa. Kini kau ternyata mengetahui juga tempat harta karun ini, terpaksa harus kutentukan mati hidup denganmu." Suara ini lembut dan tajam, mirip suara perempuan.
"Apakah Swat-hoa-to itu perempuan?" tanya Siau-hi-ji.
Tio Coan-hay menghela napas gegetun, jawabnya, "Ya, dia adalah salah satu dari 'Sam-lo-sat' (tiga setan buas) yang terkenal dan pernah disegani orang Kangouw dahulu. Ilmu goloknya memang sangat lihai."
"Lalu siapa lagi yang seorang?"
"Dari ucapan Swat-hoa-to tadi, mungkin orang ini adalah tokoh terkemuka dari Tiang-pek-pay, si pedang naga sakti Pang Thian-ih. Kecepatan ilmu pedang orang ini memang tiada bandingannya di daerah Kwan-gwa."
"Ai, mungkin usiaku sudah lanjut sehingga berbagai tokoh ternama dari angkatan muda tak kukenal lagi," ucap Siau-hi-ji dengan lagak menyesal.
Alis Tio Coan-hay tampak berkerut, katanya, "Tempat harta karun ini sedemikian rahasia, mengapa sekaligus datang orang sebanyak ini"
Sungguh aneh dan mengherankan."
Dalam pada itu kelihatan sinar golok dan cahaya pedang bergulung-gulung menggelinding tiba, di tengah sinar pedang yang kemilau itu ada dua sosok bayangan orang, yang satu kurus tinggi berbaju hitam, yang lain berpakaian putih mulus dan berperawakan ramping. Kedua orang bertempur dengan sengit.
Hati Tio Coan-hay ikut kebat-kebit menyaksikan pertarungan kedua orang itu.
Sedangkan Siau-hi-ji acuh-tak-acuh, katanya, "Meski ilmu silat kedua orang ini lumayan juga, tapi banyak juga ciri kelemahannya. Kalau melayani aku, mungkin mereka tidak sanggup bertahan sepuluh jurus."
Mendadak terdengar suara "creng" yang panjang, sinar pedang dan cahaya golok sirna seketika, si baju hitam dan perempuan baju putih sudah berhenti bertempur dan melompat ke depan Siau-hi-ji.
Kini terlihat jelas si perempuan baju putih, yaitu si Swat-hoa-to, berusia setengah baya, tapi masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya di masa muda, perawakannya juga masih ramping. Kini ia pun dapat melihat Tio Coan-hay juga berada di situ, tiba-tiba ia berseru, "He, Coan-hay, kau pun datang ke sini."
Tio Coan-hay menyengir, jawabnya, "Sudah lama tak berjumpa, tampaknya engkau masih tetap cantik."
"Terima kasih," kata si Swat-hoa-to dengan tersenyum manis. "Sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini. Rasanya sudah sebelas tahun ... ah, malah sudah hampir dua belas tahun kau tidak mencari diriku, memangnya kau hanya berpikir tentang nama dan harta saja dan tidak memikirkan urusan lain?"
Tio Coan-hay berdehem-dehem beberapa kali, jawabnya dengan kikuk, "O, aku ... aku ...."
"Hahaha, bagus, bagus!" si baju hitam alias pedang naga sakti Pang Thian-ih mendadak mengejek, "Kiranya kekasih lama bertemu kembali. Tapi biarpun Liu Giok-ju ditambah lagi seorang Tio Coan-hay juga aku Pang Thian-ih tidak gentar."
Merasa sudah mendapatkan bala bantuan, Swat-hoa-to Liu Giok-ju hanya mendengus saja dan tidak pedulikan olok-olok Pang Thian-ih itu, dia mengerling ke arah Siau-hi-ji yang berdiri di sisi Tio Coan-hay dan berkata,
"He, apakah kau membawa muridmu" Mengapa bentuknya seaneh ini?"
"Bu ... bukan," jawab Tio Coan-hay dengan tergagap, "Inilah Giok ... Giok-locianpwe."
Seketika mata Liu Giok-ju melotot heran. "Giok-locianpwe?" ia menegas.
"Ya," kata Tio Coan-hay. "Kim-leng-sam-kiam, Hwe-pian-hok, Niau-thau-eng dan Pek-coa-sin-kun yang menggeletak di sini semuanya binasa di tangan Giok-locianpwe ini."
Keterangan ini bukan saja membikin Liu Giok-ju terkejut, bahkan Pang Thian-ih juga kaget, serentak mereka menyurut mundur dua-tiga tindak, mereka mengamat-amati Siau-hi-ji dengan ragu-ragu sambil menggenggam erat senjata masing-masing.
Diam-diam perut Siau-hi-ji hampir meledak saking gelinya, tapi lahirnya dia tenang-tenang saja. Bahkan dia sengaja menegur, "Apakah nona Liu juga memiliki peta harta karun?"
"Ehm," Liu Giok-ju mengangguk.
Sorot mata Siau-hi-ji beralih ke arah Pang Thian-ih dan bertanya pula, "Dan kau?"
"Kalau tiada peta wasiat, cara bagaimana dapat kutemukan tempat ini," jawab Pang Thian-ih dengan dingin.
Gemerlap sinar mata Siau-hi-ji, katanya pula, "Sampai saat ini, peta harta karun sudah muncul enam helai. Sungguh lucu, suatu harta karun enam peta, benar-benar aneh."
Mendadak Pang Thian-ih angkat pedangnya dan berteriak, "Tak peduli berapa orang yang datang kemari, kalau sudah mati semua, sisa orang terakhir, dialah majikan harta karun ini."
"Hm, jika kau ingin mampus saat ini juga pasti tiada yang keberatan," kata Siau-hi-ji acuh. "Tapi apakah kau tidak mati penasaran apabila tempat penyimpanan harta karun itu belum pernah kau lihat barang sekejap saja?"
Pang Thian-ih melengak, tanpa terasa pedangnya diturunkan kembali.
"Ucapan Giok-locianpwe memang benar," kata Tio Coan-hay. "Apa pun juga kita harus melihat buktinya dulu, kalau sudah jelas ditemukan harta karunnya barulah kita saling labrak mati-matian."
"Ehm, mendingan pandangan Congpiauthau kita ini," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu ia mendahului melangkah ke dalam gua, tapi baru saja beberapa langkah, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada Tio Coan-hay,
"Eh, tolong periksakan apakah di dalam baju Pek-coa-sin-kun itu terdapat barang apa-apa."
Benar juga, dari saku baju Pek-coa-sin-kun ditemukan tiga buah kotak kecil buatan kayu cendana. Bentuk tiga kotak itu serupa, cuma masing-masing ditempeli secarik kertas kecil, yang satu tertulis "Bi-hun" (bius), yang kedua
"Kay-tok" (penawar racun) dan yang ketiga jelas tertulis "Coaliang" (makanan ular).
Sungguh girang Siau-hi-ji tak terkatakan setelah menerima kotak-kotak itu, hampir saja ia berjingkrak kegirangan. Ia tahu dengan kotak makanan ular itu pasti dapat memancing pergi semua ular yang bersarang di tubuhnya itu. Tapi setelah ia pikir, ia ambil keputusan untuk sementara takkan mengutik-ngutik kawanan ular itu, maka kotak itu hanya di masukkannya ke dalam baju saja.
Rupanya tiba-tiba ia temukan suatu resep mujarab untuk menggertak orang, yaitu dengan menggunakan ular-ular hijau itu. Pada saat ini, detik ini, dia memang perlu main gertak pada beberapa orang itu.
***** Gua itu ternyata sangat dalam, bahkan berlekuk-lekuk dengan hawa dingin menyeramkan.


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hi-ji berjalan paling depan diikuti Tio Coan-hay yang mengangkat obor, Liu-Giok-ju sengaja membiarkan Pang Thian-ih berjalan di depan. Tapi orang she Pang itu tak gentar, dengan pedang terhunus ia terus mengintil di belakang Tio Coan-hay.
Tidak lama, tiba-tiba gua itu meluas, suasana menjadi terang dengan cahaya beraneka warna, banyak batu-batu berwarna aneh memenuhi dinding gua. Di situ tertancap dua obor besar dan di bawah cahaya obor terlihat ada lima orang, yang tiga berdiri dan dua lagi duduk bersila berhadapan, empat tangan mereka saling menempel, kiranya sedang mengadu tenaga dalam.
Kedua orang yang bertanding itu seorang adalah Hwesio berjubah dan yang lain seorang tua kurus kering.
Rupanya kedua orang sudah cukup lama mengadu tenaga, biji mata keduanya tampak melotot dan butiran keringat memenuhi dahi masing-masing.
Ketiga orang yang berdiri di samping pun tampak prihatin dan tegang. Meski Siau-hi-ji berempat sudah mendekati mereka, tapi ketiga orang itu seperti tidak ambil pusing.
Waktu Siau-hi-ji menoleh, dilihatnya air muka Tio Coan-hay, Liu Giok-ju dan Pang Thian-ih sama berubah pucat, agaknya mereka kenal kelima orang ini, bahkan pasti merasa jeri kepada mereka. Tampaknya baik ilmu silat maupun nama kelima orang itu pasti jauh di atas Tio Coan-hay bertiga.
"Aneh, mengapa kelima makhluk aneh ini pun datang ke sini?" demikian Tio Coan-hay bergumam sendiri.
"Seorang kalau dijuluki makhluk aneh, rasanya pasti cukup terkenal," ujar Siau-hi-ji.
"Bukan cuma terkenal, bahkan disegani," tukas Tio Coan-hay. "Pernahkah Cianpwe mendengar Eng-jiau-kang keluarga Ong di daerah Hwaylam" Ilmu cakar elang sakti mereka ini sudah sangat terkenal di dunia Kangouw sejak 70 tahun yang lampau."
"Ya, pernah kudengar," kata Siau-hi-ji.
"Orang tua kurus kecil itulah tokoh utama Eng-jiau-bun sekarang," tutur pula Tio Coan-hay. "Namanya Ong It-jiau berjuluk 'Si-jin-ji-keh' (memandang orang seperti ayam)."
"Si-jin-ji-keh" Sungguh aneh, terhitung nama apakah ini?" kata Siau-hi-ji.
"Dia sendiri yang memilih nama begitu," kata Tio Coan-hay dengan menyengir. "Artinya, tidak peduli siapa pun juga dalam pandangannya tidak lebih hanya seperti anak ayam belaka. Elang menyambar anak ayam biasanya kan cuma sekali cengkeram saja?"
"Hm, aneh sekali namanya, besar amat nadanya ...." jengek Siau-hi-ji. Waktu ia berpaling ke arah Hwesio jubah kuning, dilihatnya tubuh paderi itu sangat kekar, sama-sama duduk, tapi satu kepala lebih tinggi daripada si kakek yang bernama Ong It-jiau alias Si-jin-ji-keh.
Kini keempat tangan kedua orang itu saling menempel sehingga Ong It-jiau sendiri mirip anak ayam di bawah cakar si elang. Siau-hi-ji menjadi geli, ia coba tanya Tio Coan-hay dengan perlahan, "Menurut kau siapa di antara kedua orang ini yang lebih mirip anak ayam?"
Tio Coan-hay merasa geli juga, tapi tidak berani tertawa sehingga lebih tepat dikatakan menyengir. Dia berdehem untuk menutupi rasa kikuknya itu, lalu berkata, "Paderi jubah kuning ini adalah Ui-keh Taysu (pendeta agung ayam kuning) dari Keh-bing-si di Ngo-tay-san."
Siau-hi-ji bergelak tertawa saking gelinya, katanya, "Yang mirip anak ayam justru menganggap dirinya elang, yang menyerupai elang justru bernama ayam. Tampaknya kedua orang ini memang dilahirkan untuk menjadi musuh satu sama lain. Entah mereka ...."
"Tutup mulut?" mendadak seorang membentak. Suaranya tidak terlalu keras, tapi terasa memekak telinga.
Kiranya yang membentak adalah salah seorang kakek berbaju biru yang berdiri di samping itu, dia membentak tanpa menoleh, perhatiannya terarah kepada Ong It-jiau dan Ui-keh Taysu yang sedang mengadu tenaga dalam.
"Orang macam apa pula bocah ini?" ucap Siau-hi-ji dengan lagak jagoan.
Muka Tio Coan-hay menjadi pucat, ia pandang si kakek jubah biru dan memandang pula ular yang memenuhi tubuh Siau-hi-ji, akhirnya dia berkata dengan suara tertahan, "Tuan inilah It-ho-kay-san (sekali bersuara menggugurkan gunung) Siau-hun Kisu yang terkenal dengan Khikangnya, dia adalah sahabat karib Ui-keh Taysu, boleh dikatakan sehidup semati persahabatan antara mereka berdua."
"Jika sahabat sehidup semati, mengapa dia tidak turun tangan membantu si Hwesio ayam kuning itu?" ujar Siau-hi-ji.
Tio Coan-hay berbisik pula terlebih lirih, "Dengan sendirinya Ong It-jiau juga tidak datang sendirian, kedua orang yang berdiri di belakangnya itu, yang seorang adalah tokoh Thian-lam-kiam-pay dan terkenal dengan ilmu pukulan serta ilmu pedangnya, seorang lagi adalah Khu Jing-po, Khujiya yang mengepalai keluarga Khu dari Ciatkang dengan ilmu tombaknya yang terkenal. Keluarga Khu dan keluarga Ong adalah sahabat turun temurun, dengan sendirinya mereka pun siap membela Ong It-jiau, cuma ... cuma Ui-keh Taysu dan Ong It-jiau tentu juga jaga gengsi dan tidak suka dibantu."
"Gengsi kentut anjing," jengek Siau-hi-ji, "Kalau Ong It-jiau datang sendirian, mustahil kalau si tua Siau-hun tidak mengerubutnya ...." habis ini mendadak ia melangkah maju dan memberi salam kepada Khu Jing-po serta menegur,
"He, apakah Khu-jite (adik kedua) selama ini baik-baik saja?"
Wajah Khu Jing-po itu putih bersih, dia sedang mengawasi pertarungan temannya dengan prihatin. Tapi demi nampak bentuk Siau-hi-ji yang aneh ini, mau tak mau ia pun melengak, jawabnya, "Jite siapa" Dari mana kau kenal diriku dan cara bagaimana kau pun datang ke sini?"
"Haha, kau tidak kenal aku, tapi kukenal kau," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Sekali ini kubawa serta Tio Coan-hay, Pang Thian-ih dan nona Liu, si golok bunga salju, justru kami hendak membantumu, silakan kau dan saudara dari Thian-lam-kiam-pay itu turun tangan terhadap si tua Siau-hun, kutanggung mengantar si Hwesio ayam kuning pergi ke langit barat (artinya mati)."
Kejut dan heran pula Khu Jing-po, selagi bingung, tampak air muka Siau-hun Kisu berubah hebat, mendadak ia bersuit panjang nyaring sehingga api obor sampai tergoyang-goyang.
Dengan sendirinya perhatian Ong It-jiau dan Ui-keh Taysu juga terpengaruh oleh suara suitan keras itu, empat tangan yang tadinya saling menempel itu bergetar lepas seketika.
Kelima orang itu adalah tokoh-tokoh yang sudah berpengalaman luas dan berkepandaian tinggi, dengan sendirinya reaksi mereka pun sangat cepat.
Serentak senjata mereka sudah tergenggam di tangan, Ui-keh Taysu melompat bangun sehingga mirip gumpalan awan kuning yang mengambang di udara.
Terdengar Siau-hun Kisu membentak, "Dengan nama kebesaran keluarga Ong dan Khu, apakah kalian juga ingin main kerubut?"
Tiba-tiba Siau-hi-ji bergelak tertawa dan menimbrung, "Katanya kalian berlima adalah tokoh-tokoh luar biasa, padahal kalian juga tiada bedanya dengan kawanan bandit, kedua pihak sama-sama tidak dapat mempercayai pihak lain, masing-masing sama bermaksud busuk."
Dengan murka Siau-hun Kisu membentak, "Siapa kau, sebenarnya apa kehendakmu?"
"Jangan khawatir," jawab Siau-hi-ji, "Aku takkan membela pihak mana pun, aku cuma tidak tega melihat kalian saling bunuh sebelum menemukan harta karunnya, bukankah kalian akan mati konyol dan sia-sia belaka?"
"Sesungguhnya siapa kau?" tegur Ong It-jiau dengan sorot mata tajam.
"Kau tidak kenal aku?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tanyakan saja padanya." Dia menuding Tio Coan-hay, maka lima pasang mata serentak menatap tajam ke arah orang she Tio itu.
Keder juga Tio Coan-hay, dengan menunduk ia berkata dengan gelagapan,
"Inilah Giok ... Giok-locianpwe, si raja diraja, yang dipertuan dari segenap ilmu pedang, yang diagungkan oleh semua ular, mengguncang bumi dan menggetar langit tanpa tandingan, Giok-ong-cu, Giok-locianpwe ...."
"Hehe, walaupun kelompatan beberapa kalimat, tapi boleh juga," ucap Siauhi-ji sambil manggut-manggut. "Nah, kalau kalian tidak pernah dengar namaku ini, maka berarti kalian yang cetek pengalaman dan cupet pendengaran."
"Hm, bocah ingusan juga pakai serentetan nama begitu?" damprat Ong It-jiau.
"Tapi ... tapi Lwekang Giok-locianpwe ini sudah mencapai puncaknya," tutur Tio Coan-hay. "Kiam-leng-sam-kiam, Hwe-pian-hok, Niau-thau-eng dan Pek-coa-sin-kun, semuanya binasa di tangan Giok-locianpwe ini."
Sudah tentu keterangan ini membuat gempar Ong It-jiau berlima. Dengan sorot mata tajam Siau-hun Kisu membentak Tio Coan-hay, "Orang-orang itu mati di tangannya, dari mana kau tahu" Apakah kau menyaksikan sendiri?"
"Aku ... aku, sudah tentu kusaksikan sendiri, mayat mereka saat ini pun masih menggeletak di luar sana," jawab Tio Coan-hay. Meski dia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tapi dalam hati dia sudah percaya penuh.
Apalagi dalam keadaan demikian, ibarat orang sudah menunggang harimau dan sukar lagi turun, terpaksa ia harus menyatakannya secara tegas.
Seketika Ong It-jiau dan Khu Jing-po berlima saling pandang memandang, bila kemudian mereka berpaling ke arah Siau-hi-ji, maka sorot mata dan sikap mereka sudah jauh berbeda daripada tadi.
Maklumlah, meski kelima orang ini tidak memandang sebelah mata akan ilmu silat Tio Coan-hay, tapi terhadap keterangan orang she Tio itu mereka tak berani meremehkannya. Nama Congpiauthau gabungan tujuh belas perusahaan pengawalan dari propinsi Holam dan Hopak betapa pun juga berbobot, kalau dibawa ke rumah gadai sedikitnya laku berapa tahil perak.
Dengan berseri-seri Siau-hi-ji mengerling semua orang, lalu berkata pula dengan tersenyum, "Harta karun ini ada beberapa buah peta, apakah kalian tidak merasa heran atas kejadian ini dan tidak ingin mencari tahu sebab musababnya?"
Jika uraian Siau-hi-ji ini diucapkan tadi mungkin takkan diperhatikan dan direnungkan oleh orang-orang itu, kini kedudukannya sudah lain dalam pandangan mereka, dengan sendirinya bobot perkataannya juga sudah berbeda.
Segera pikiran Ong It-jiau dan lain-lain bekerja cepat, mereka pun merasa urusan ini rada ganjil dan mencurigakan.
Waktu Siau-hi-ji menengadah, terlihat di atas gua ada sebuah lubang angin, kelihatan bintang-bintang di langit, bahkan cahaya bulan juga menembus masuk dari situ.
"Sudah tiba saatnya!" serentak orang-orang itu berseru.
Siau-hun Kisu bersuit, Ong It-jiau terus ayun tangannya, api obor segera padam, hanya sinar bulan saja yang tepat menyoroti sebuah tonggak batu.
Rupanya tempat yang tersorot cahaya bulan itulah tepat jalan masuk ke tempat penyimpanan harta karun.
Ong It-jiau lantas mendahului melompat ke tonggak batu itu, sudah tentu yang lain tidak mau ketinggalan, beramai-ramai mereka memburu maju.
Tonggak batu itu memang benar dapat digeser, ketika obor dinyalakan pula, tertampaklah mulut lorong di bawah tanah yang penuh rahasia ini, belasan undak-undakan batu tampak menjurus ke bawah.
Segera Ong It-jiau mendahului turun ke situ, disusul oleh Ui-keh Taysu, Khu Jing-po dan lain-lain, satu mengawasi yang lain, khawatir ketinggalan rezeki.
Semuanya dengan perasaan tegang sehingga napas pun sama tersengal seakan-akan menghadapi musuh di medan perang.
Siau-hi-ji berada paling belakang, wajahnya masih tersenyum simpul, namun perasaannya rada tegang dan juga bersemangat, betapa pun rahasia di tempat ini belum jelas baginya.
Sekonyong-konyong terdengar Ong It jui bersuara "he", menyusul Ui-keh Taysu juga bersuara sama. Kedua orang ini terhitung tokoh suatu aliran tersendiri, kalau tidak melihat sesuatu yang aneh luar biasa, rasanya tidak mungkin mengeluarkan suara keheranan begitu.
Dengan sendirinya orang-orang yang mengintil di belakang mereka pun memburu ke sana, maka sejenak kemudian Sun Thiam-lan, Tio Coan-hay dan lain-lain juga sama bersuara heran, semuanya berdiri terkesima dan tak dapat bersuara pula.
Kiranya di ujung lorong sana tiada terdapat harta karun apa segala, yang ada cuma beberapa buah peti mati. Peti mati bercat hitam, di dalam gua yang remang-remang oleh cahaya obor tampaknya menjadi sangat seram dan misterius.
Di depan setiap peti mati itu ada tempat sembahyang, yaitu meja kecil dengan papan tanda pengenal dihiasi kelambu kuning. Angin yang meniup masuk melalui lorong itu membuat kelambu kuning itu berkibar sehingga menambah seram suasananya.
Tanpa terasa Liu Giok-ju bergidik dan merapatkan tubuhnya ke dada Tio Coan-hay. Diam-diam ia menghitung, peti mati itu seluruhnya ada tiga belas buah.
Karena berada paling belakang, ketika Siau-hi-ji sampai di tempat, sementara itu obor yang dibawa Tio Coan-hay dan Pang Thian-ih sudah padam. Di tengah ruangan batu yang luas itu hanya terlihat kelap-kelip sepasang lilin kecil yang menyala di meja sembahyang pada peti mati paling tengah, cahaya lilin yang redup itu menyinari sebuah Lengpay (papan pengenal orang mati di meja sembahyang) yang bertuliskan: "Tempat abu para Cosu turun temurun".
Di atas tulisan itu lamat-lamat ada pula dua huruf, tapi tertutup oleh kelambu hiasan sehingga tidak jelas terbaca.
Diam-diam Siau-hi-ji menarik napas dingin, katanya, "Tempat apakah ini?"
"Ditaksir dari tempatnya, di sini adalah tengah-tengah belakang gunung Go-bi," demikian Khu Jing-po berkata, "Konon di belakang Go-bi-san ada suatu tempat terlarang, yaitu tempat pemakaman para ketua Go-bi-pay turun temurun. Jangan-jangan tempat inilah tempat terlarang yang dimaksud itu?"
Ui-keh Taysu mengernyitkan kening, katanya, "Jika betul tempat ini, lebih baik kita lekas keluar saja!"
"Benar, salah memasuki tempat larangan orang lain adalah pantangan besar kaum persilatan kita," ucap Siau-hun Kisu.
Sinar mata Ong It-jiau tampak gemerlap, selanya, "Jika demikian, silakan kalian lekas keluar saja."
Ui-keh Taysu tampak ragu-ragu, sejenak kemudian ia jadi putar tubuh hendak keluar.
"Nanti dulu, Taysu" tiba-tiba Pang Thian-ih berseru, "Janganlah kita kena tipu orang."
"Tipu" Tertipu bagaimana?" tanya Ui-keh Taysu.
"Coba pikirkan, adakah tempat penyimpanan harta pusaka di dunia ini yang lebih baik daripada peti mati?" tanya Pang Thian-ih.
Tergerak juga hati Ui-keh Taysu, serentak Siau-hun Kisu dan Ong It-jiau terus menyerbu ke samping peti mati paling tengah itu.
Tak terduga pada saat. itu juga, dinding batu sekeliling ruangan itu serentak terbuka delapan buah pintu, delapan jalur cahaya lampu yang kuat terus menyorot tiba sehingga semua orang yang hadir di situ terlihat jelas.
Karena sorot lampu yang mendadak itu, seketika semua mematung tak berani bergerak, bahkan mata pun silau dan sukar terpentang. Samar-samar cuma kelihatan di balik sinar lampu sana banyak bayangan orang serta berkelebatnya sinar pedang, tapi tak jelas siapa-siapa mereka itu.
Kesatria Baju Putih 18 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 25

Cari Blog Ini