Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 8

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


kelilingnya, juga ke permukaan air dan ke dalam alang-alang! Andaikata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh untuk menembus kulit kepala!
Setelah berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. la lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan. Tiba-tiba gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas. Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondongnya, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawanya, yang biarpun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.
"Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin" Biar kubuatkan api unggun."
Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ah, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi" Kenapa dia begini kurang hati-hati" Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberitahukan tempatnya kepada Song-bun-kwi. Biarpun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.
"Bagaimana baiknya" Kau kedinginan, Bi Goat."
Gadis cilik itu hanya menggeleng kepala, lalumemberi isyarat kepada Beng San untuk melanjutkan perjalanan ke utara. "Kau tentu ikut denganku, bukan" Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?"
Bi Goat mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, ialu ujung sepatunya bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu. Huruf-huruf itu berbunyi: Harus sampai di kelenteng sebelum matahari terbit.
Beng San memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman. "Kau hebat! Biar gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! He-bat, Bi Goat, kau hebat.....!"
Gadis cilik itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Tidak heran karena pakaian basah kuyup ditambah berlari-larian di dalam udara yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu. Beng San mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa ditubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin.
Mendadak Bi Goat mengeluarkan suara "Uhhh!" dan melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan. Beng San maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka.
Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasai serangan tenaga dalam!
"Bi Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh," Beng San berkata. Bi Goat memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San memiliki ilmu kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak melawan ketika pemuda itu sambil berjalan menyalurkan hawa panas yang diterimanya dengan gembira karena tak lama kemudian gadis cilik itu merasa hangat tubuhnya, tidak menderita kedinginan lagi.
Hari telah menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan ta-ngan tiba di perbatasan Shan-si. Kelen-teng Hok-thian-tong berdiri di luar sebuah dusun, hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-ho. Dengan gembira dan penuh harapan Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu.
Betapa kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa yang dulunya merupakan bangunan-bangunan kelenteng yang besar, tua dan kuat, sekarang hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka. Bangunan-bangunan itu ternyata telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan saja Kelenteng Hok-thian-tong kebakaran. Beng San berdiri bengong.
Bi Goat yang semenjak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. la segera menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.
"Celaka sekali, Bi Goat," kata Beng San perlahan. "Agaknya terjadi sesuatu yang hebat dengan Kelenteng Hok-thian-tong. Ah, bagaimana nasibnya para hwesio dan ke mana perginya mereka itu?" Dasar Beng San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, sebentar saja dia sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi dirinya dan menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang.
Dengan suara ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas ia kelihatan memperingatkan Beng San akan bahaya yang mengancam mereka. Barulah dia sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-bun-kwi yang setelah malam terganti pagi tentu akan lebih memudahkan kakek itu mencari mereka. la ingat bahwa tak jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan beberapa orang tua di dusun itu yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung Kelenteng Hok-thian-tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya untuk bersembunyi. Setelah berpikir demikian Beng San lalu menarik tangati Bl Goat, diajak berlari menuju ke dusun itu.
Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumah pun belum memuika pintunya" Sambil menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung yang sunyi itu. Jangankan mianusia, seekor anjing pun tak tampak di situ. Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa Kelenteng Hok-thian-tong. la segera menuju ke rumah kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la dapat mempercayai penuh kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dan aman kecuali rumah kakek Sam itu.
Diketuknya pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali kakek Sam sudah membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan kakek Sam untuk minta keterangan tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng Hok-thian-tong.
"Tok-tok-tok!" Untuk ke empat kalinya dia mengetuk, kini agak keras Belum juga ada jawaban dari dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh, Beng San menjadi pucat mukanya, Bi Goat memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini terhuyung. Bi Goat dengan muka gelisah menuding-nudingkan telunjuknya seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan..... Beng San meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor ular menyerbu keluar dari pintu rumah yang baru terbuka itu!
"Celaka! Bi Goat, mundur....." teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.
Pengalaman dengan ular-ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok dahulu ini dan dia masih bergidik kalau mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan ekor ular yang menjijikkan.
Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak kelihatan takut kepada barisan ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh-ah dan menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana masih terdengar lengking tangis sayup sampai.
Celaka betul, pikir Beng San. Dari belakang mengejar Song-bun-kwi, dan depan menghadang barisan ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi Goat" Mungkin Bi Goat takkan diganggu Song-bun-kwi, akan tetapi ular-ular ini"
Sekali lagi Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dengan benda yang diambilnya itu di tangan, Bi Goat melangkah maju dan..... dengan enaknya ia berjalan diantara barisan ular itu yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali. Beng San terheran-heran dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di ta-ngan Bi Goat. Agaknya benda itulah yang membikin takut barisan ular itu.
Suara lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang melindunginya dari ular-ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tak usah khawatir akan dicelakai orang. Apalagi Song-bun-kwi sudah datang dekat, siapa berani mengganggunya" Berpikir demikian, Beng San lalu berkata.
"Bi Goat, selamat tinggal!" Dan dia talu lari terus ke utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling pinggir. Anehnya, serdadu itu segera; menyelinap dan menyembunyikan diri ketika melihat Beng San lari lewat. Beng San tidak peduli dan lari terus Sampai ke pinggir Sungai Huang-ho, kemudian lari di sepanjang tepi sungai menuju ke barat.
Setelah dia berlari belasan li jauhnya dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar dari ancaman Song-bun-kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di belakangnya! Beng San menjadi kaget setengah mati dan dia mempercepat lagi larinya. Napasnya sampai hampir putus dan dia terengah-engah ketika di sebuah tikungan dia melihat iringan-iringan gerobak.
Ada tujuh buah gerobak banyaknya. gerobak mengangkut karung-karung gandum.
Iring-inngan gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan "pajak"
dari para petani, dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota, disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apabila melihat pawai gerobak ini karena di situlah adanya hasil jerih payah mereka selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh dibilang mereka tidak ke bagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan untuk menyambung hidup.
Beng San melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan disetiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis d!
belakangnya sudah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat Beng San tidak berpikir panjang lagi. Diam diam dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu dan tanpa diketahui para pengawal, dia meloncat ke dalam gerobak bersembunyi di antara karung-karung gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan basih. Ia mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya. Bocah ini nampak melenggut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri gerobaknya karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya tinggal mengikuti yang depan.
Tiba-tiba setelah iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, terdengar bentakan-bentakan di luar dan gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar suara Song-bun-kwi yang galak berpengaruh.
"Aku mencari seorang anak laki-laki -bermuka hitam, kadang-kadang putih, kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?"
Terdengar suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang diantara para pengawal membentak, "Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami"
Akan tetapi ucapan ini disusul pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga.
Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa kakek Song-bun-kwi, ketawa yang seperti orang menangis.
"Anjing-anjing Mongol berani kurang ajar terhadapku" Mau tahu siapa aku" Song-bun-kwi inilah aku!" Kembali terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.
"Ampun, Locianpwe, ampunkan kami ..... di sini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe maksudkan tadi....."
"Hah, siapa percaya mulut anjlng Mongol" Biar kuperiksa sendiri!" Song-bun-kwi menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San. Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka berkarung-karung banyaknya, bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa Song-bun-kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang meninggi seperti orang menangis.
Buru-buru para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman mereka yang mati oleh pukulan Song-bun-kwi, dimasukkan ke dalam gerobak dan iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya. Kemanakah perginya Beng San"
Bagaimana Song-bun-kwi tidak bisa menemukannya" Kalau saja Song-bun-kwi tidak begitu tergesa-gesa, kiranya di gerobak ke tiga dia akan melihat sebuah karung gandum yang agak lain daripada yang lain karena di dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng San! Anak yang amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong di situ, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Di antara puluhan karung gandum itu sepintas lalu memang takkan dapat terlihat perbedaannya. la bernapas lega ketika Song-bun-kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu sudah berjalan kembali. Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum bahwa, watak Song-bun-kwi takkan putus asa begitu saja. la segera mencari akal dan keluar dari karung gandum.
Benar saja dugaan Beng San. Belum tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.
"Apakah yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe" Ada keperluan apa gerangan Locianpwe kembali?" terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.
"Buka semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!"
Para pengawal sibuk membukai tenda gerobak. Song-bun-kwi meneliti dengan penuh perhatian. Di gerobak ke tiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang bergerak-gerak!
"Ha..ha..ha..hi..hi! Beng San bocah setan, kau hendak lari ke mana?" Sambil tertawa-tawa gembira Song-bun-kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu.
Para pengawal saling pandang dengan heran. Bagaimana di antara gandum berkarung-karung itu terdapat manusianya" Tergesa-gesa mereka melanjutkan perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-bun-kwi memang membikin takut semua orang dari golongan manapun juga.
Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.
"Keparat, kusirnya tertidur agaknya!" bentak kepala pengawal sambil berlari menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini. Ketika dia memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada kusirnya! Ke mana perginya kusir yang masih muda itu" Tadi masih nampak melenggut, melindungi mukanya dari sinar matahari.
Semua pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat ketika kepala pengawal berseru, "Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi Song-bun-kwi adalah dia!"
Kekhawatiran mereka terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-bun-kwi sudah datang membawa karung, yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-bun-kwi berkelebatan ke sana ke mari. Beberapa belas menit kemudian ketika kakek ini pergi, di situ sudah tidak ada lagi manusia hidup. Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-bun-kwi si Iblis Berkabung!
Apakah yang terjadi" Ke mana perginya Beng San" Kalau saja Beng San tahu apalagi melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatannya, kiranya dia takkan suka melakukan akalnya itu. Tadi setelah selamat tidak dapat ditemukan Song-bun-kwi ketika dia bersembunyi di dalam karung gandum, dia merasa pasti bahwa kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat dia mengambil keputusan menggunakan siasat. Dari dalam gerobak dia merayap ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda itu, menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya.
Kemudian dia memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir, memakai topi caping lebar menutupi mukanya. Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-bun-kwi datang lagi dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi. la merasa beruntung sekali bahwa kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu. Setelah kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan liar di tepi Sungai Huang-ho.
Karena takut kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-bun-kwi, Beng San berlari terus menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia berhenti. la telah sekali, lelah dan lapar. Agaknya malapetaka masih banyak mengelilingi dirinya. Baru saja dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam berkilau!
"Eh, eh..... ada apa..... mau apa.....?"! Beng San berseru gagap dan merayap hendak bangun.
"Heh..heh..heh!" Seorang di antara mereka, yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali. "Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman gandum dan arak.
Heh..heh..heh!" "Apa.....?"" Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat. "Kalian ii manusia hendak makan daging manusia" Apakah kalian ini iblis?"
"Sekarang ini jamannya orang makan orang, heh..heh..heh, apa anehnya kalau kami hendak makan engkau, bocah" setiap hari di kota, di dusun, kau melihat, orang makan orang, ha..ha..ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain. Heh..heh..heh!"
Para pengurung itu yang wajahnya liar dan bengis-bengis merapat maju. Beng San menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul, tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul amarahnya.
Masa dia harus menyerah meptah-mentah saja untuk dijadikan mangsa orang-orang liar ini" Tidak, dia harus melawan! Latihannya ilmu silat telah banyak maju, setiap saat terluang tak pernah dia lupa melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak.
Mendadak terdengar bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Di antara orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata rahasia menancap pada batang pohon.
"Ah, Pek-lian-pai yang datang.....! Kawan-kawan, lari.....!" seru kepala gerombolan liar itu, Mereka lari cerai-berai sambil menyeret mereka yang tadi terjungkal roboh.
Sebentar saja di situ tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya di sana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk bunga teratai putih. Itulah Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggota perkumpulan Pek-lian-pai. Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu memanggil.
"Tan-twako...., aku Beng San di sini .....!"
Dari dalam hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah, ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita di antara mereka cantik dan gagah, sudah setengoh tua akan tetapi masih cantik dan gesit gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang di antaranya bertanya ramah.
"Kau tadi memanggil Tan-twako, siapakah yang kaumaksudkan?"
Beng San melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan keren. "Kumaksudkan pemimpin rombongan Pek-lian-pai yang bernama Tan Hok, dia adalah sahabat baikku."
Terdengar seruan-seruan heran dan kaget di antara belasan orang Pek-lian-pai itu. Si pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang. "Aha, kiranya kau yang bernama Beng San" Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang memimpin rombongan Pek-lian-pai dari selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu Beng San seperti pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami tidak ragu-ragu untuk mengusir perampok-perampok pemakan manusia itu".
Beng San segera memberi hormat dan berkata, "Banyak terima kasih kuucapkan kepada kakak-kakak yang gagah perkasa. Makin yakinlah hatiku sekarang bahwa Pek-lian-pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?" Beng San merasa sungkan sekali karena beberapa orang Pek-lian-pai itu sudah mengeluarkan roti dan air minum untuknya.
"Kaumakanlah dulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau kenalan saudara Tan Hok saja mengapa kami menolongmu, akan tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San."
Karena perutnya memang lapar sekali, Beng San tanpa malu-malu lagi lalu makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman Song-bun-kwi. Akan tetapi setelah mengambil paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggota Pek-lian-pai itu seorang demi seorang pergi dari tempat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi bicara dengan Beng San, yang masih duduk menghadapi anak itu.
"Ke mana perginya teman-teman tadi?" Beng San bertanya sehabis makan, karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apalagi setelah keadaan menjadi makin gelap.
"Ah, sudah menjadi kebiasaan klta tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah mi,"
pemimpin Pek-Lian-pai itu berkata.
Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang sudah kosong. "Sekali lagi terima kasih, Twako..... eh, siapakah nama Twako?"
"Namaku Ciu Tek," jawab orang itu, singkat.
"She Ciu....." kalau begitu Twako ini masih terhitung keluarga dengan pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?"
Orang itu nampak gugup, tapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan mukanya. "Aaahhh..... orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang" Eh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau pernah bertemu de-=ngannya dan di mana dia sekarang?"
"Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi belum pernah aku bertemu muka dengannya dan tentu saja aku tidak tahu di mana tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?"
"Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku ingin mendapat kepastian lebih dulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kaubuka baju atasmu, ingin aku membantu Beng San melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan diceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.
Dengan sebatang obor yang dinyalakannya Ciu Tek menerangi dada dan pundak Beng San. Tiba-tiba dia nampak gembira, tertawa-tawa dan menudingkan telunjuknya ke arah pundak Beng San. "Bagus, kaulah anak mereka! Ha..ha..ha, tak salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!"
Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya. "Ciu-twako, apa kaubilang" Aku anak siapa" Harap kaujelaskan, jangan main-main." Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka!
Mereka siapa" "Adik Beng San, jawab dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?"
Beng San mengangguk, membasahi, bibirnya dengan lidah. "Aku..... aku sudah lupa segala..... aku terdampar ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng.....
aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kauberi penjelasan, apa artinya semua ini?"
Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira, "Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carimu ke mana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau di sini.
Ah, girang sekali hatiku!"
Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali" Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu" la sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk.
Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.
"Ciu-twako...... di mana..... di mana..... mereka itu.....?" Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.
"Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu."
Ciu Tek memberi isyarat dengan siutan. Muncullah seorang temannya, seorang anggota Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.
"Kui-moi, kauantarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga,"
kata Cin Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu. Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.
"Ciu-twako, jadi aku she..... she Ouw" Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho" Ah, Twako yang baik, ceritakanlah, aku tak sabar menanti." Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.
"Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik)."
Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenal di kaiangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalan kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.
Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!
"Ciu-twako," katanya dengan Suara gemetar, "kalau ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?"
"Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat songai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap....."
Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari.
Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, saat ia menjadi kacung di kelenteng, diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu. Dan sekarang kelenteng itu sudah habis di makan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.
"Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu."
Akan tetapi mana Beng San mau tidur" la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur. Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya. la akan bertemu dengan ayah bundanya" Ah, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk mempercayanya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya.
Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadi suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya menjelang tiba.
Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain tidak peduli lagi.
Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya di antara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah dua orang.
Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, bermata sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dua orang ini sambil tersenyum-senyum menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng San segera bangkit berdiri, memandang kepada dua orang itu, ganti-berganti. Lehernya terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.
"Adik Beng San, itulah mereka, ayah dan ibumu. Sambutlah," kata Ciu Tek sambil tersenyum. "Baik-baiklah kau dengan ayah ibumu, aku harus pergi." Ciu Tek segera meninggalkan tempat itu tanpa mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri memandang dua orang yang baru datang itu.
"Beng San, ahhh..... kau sudah begini besar..... ah, sampai pangling aku..... hampir delapan tahun kau lenyap..... ah, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San.
Betulkah kau Beng San anakku" Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?" Wanita itu berkata dengan suara terputus-putus dan saputangannya digosok-gosokkan matanya yang bercucuran air mata.
Laki-laki itu pun melangkah maju, suaranya besar parau. "Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kaulepas bajumu....."
Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya di saat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya sehingga baju itu terbuka dan tampak dada dan pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan merangkulnya.
"Ah, kau betul Beng San anakku...." Diciuminya pipi dan leher Beng San. Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu bisik hati nuraninya, kan dia ibuku" Tapi entah, tanpa dia sengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal dan berbau harum minyak wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika tersenyum.
"Beng San, anakku..mari sini, Nak... biarkan ibumu memelukmu....."
Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula dia pun menangis terisak-isak.
"Ayah..... Ibu.....?"! Kenapa..... kenapa.." bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.
"Kenapa" Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San.....?" Ibunya bertanya.
Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini..... pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.
"Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?"
"Membiarkan terlunta-lunta" Ah, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk mencarimu," kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. "Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru." la berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari sutera indah berwarna biru muda untuk Beng San.
Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu. "Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri." la menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar, cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. la hanya merangkapkan pakaian baru di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.
"Ah, coba lihat. Alangkah tampannya anak kita....." Sambil tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San.
Beng San mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja.
Agaknya ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. la merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Temyata ibunya memang pandai bicara. la teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara daripada Kui Lok atau Thio Ki.
Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara daripada laki-laki"
"Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kenapa dia tidak tahu bahwa aku anak Ayah Ibu?"
Ayahnya nampak bingung. "Tan-twa-ko....." Siapa itu..... ah, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?"
"Ketahuilah, Beng San," Ibunya menyambung cepat. "Tan Hok itu adalah pemimpin Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata betul, terima kasih kepada para sianli (dewi) di kahyangan"
Hemmm, isinya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia terasa dirinya asing.
"Sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu semenjak kau terbawa hanyut. oleh Sungai Huang-ho, anakku," Ibunya berkata sambil duduk di sebelahnya, memegangi tangannya dengan sikap yang penuh kasih sayang. Terharu juga Beng San melihat sikap Ayahnya diam saja, hanya membuat api unggun dan memanggang daging yang agaknya tadi sengaja dibawa. Hal yang amat kecil ini saja tidak terluput dari perhatian Beng San. Kenapa ayahnya yang memanggang daging" Bukankah seharusnya ibunya yang melakukannya" Kenapa ibunya agaknya tidak mengacuhkan dan kenapa ayahnya kelihatan takut-takut kepada ibunya"
"Beng San, kenapa melamun" Aku minta kauceritakan pengalamanmu."
Ketika hendak mulai bercerita, Beng San tiba-tiba teringat bahwa keadaan dirinya amat berbahaya. la teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee. Karena dia mengerti tentang Im-yang Sin-kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw Lee, dirinya menjadi terancam, dicari oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Kalau sekarang dia menceritakan semua itu kepada ayah bundanya, bukankah itu sama saja dengan menimpakan semua bahaya ini ke pundak orang tuanya juga"
"Aku tidak tahu bagaimana asal mulanya, tak ingat lagi," ia mulai menuturkan pengalamannya, "tahu-tahu aku sudah berada di Kelenteng Hok-thian-tong menjadi kacung melayani para hwesio di sana." la menarik napas panjang karena teringat lagi kepada kelenteng yang terbakar itu. "Aku tidak ingat apa-apa lagi, yang kuingat hanya bahwa aku hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho dan bahwa namaku Beng San."
"Kasihan kau, anakku....." Bhe Kit Nio memeluknya dan kembali air matanya bercucuran. Beng San merasa heran betapa mudahnya air mata mengucur dari sepasang mata ibunya. "Lalu bagaimana lanjutannya, Nak?"
Sementara itu, Ouw Kiu sudah pula duduk di situ, mendengarkan cerita Beng San sambil memegang ujung ranting yang dipergunakan untuk menusuk dan memanggang daging. Matanya yang bersinar suram itu lebih banyak menatap daging di dalam api, jarang sekali menatap wajah Beng San, bahkan agaknya menghindari pandang mata Beng San yang tajam luar biasa itu.
Beng San lalu menuturkan dengan suara perlahan semua pengalamannya, bahkan menuturkan dengan bangga bahwa dia telah diangkat sebagai murid dan ahli waris oleh mendiang Phoa Ti dan The Bok Nam yang tewas di dalam jurang.
Ketika dia bercerita sampai di sini, ayahnya nampak tenang saja, akan tetapi ibunya berseru kaget.
"Apa?"" Kau diambil murid Thian-te Siang-hiap" Kalau begitu kau menjadi ahli warisnya dan mewarisi Im-yang Sin-kiam-sut?" Sepasang mata ibunya terbelalak memandangnya, alisnya diangkat dan mulutnya terbuka. Kembali Beng San merasa bahwa ibunya ini dalam segala gerak-geriknya terlalu dibuat-buat. Ia lebih bangga akan sikap ayahnya yang pendiam dan seakan-akan tidak peduli, patut menjadi sikap seorang gagah perkasa, sungguhpun corak ayahnya lebih menakutkan daripada gagah.
Betapapun juga, dia merasa bangga bahwa ibunya juga mengenal nama Thian-te Siang-hiap dan tahu akan Im-yang Sin-kiam-sut.
"Ah, aku hanya baru mempelajari teorinya, Ibu, prakteknya sih masih jauh dari pada sempurna. Aku masih sedang melatihnya, baru pada tingkat permulaan."
"Bagus, anakku. Ah, kau anakku yang beruntung, anakku yang bernasib baik!"
Ibunya memeluknya dan mencium keningnya. Kembali Beng San merasa pipinya merah dan panas, hatinya malu dan jengah. "Teruskanlah, Nak, teruskan penuturanmu."
"Ah, Ibu, kau bilang aku beruntung dan bernasib baik. Sebaliknya daripada itu, setelah menerima warisan ilmu itu, hidupku seperti terkutuk. Aku dipakai rebutan antara orang-orang jahat, malah hampir saja beberapa kali aku dibunuh karena warisan ini, Beng San berkata menyesal.
"Ehhh.....?" Siapa berani mengganggumu, siapa sih berani mau membunuhmu"
Keparat, kuhancurkan kepalanya nanti!" Nyonya muda itu mengepal tinjunya yang kiri sedangkan tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Sikapnya mengancam dan gagah sekali. Untuk sejenak hati Beng San terhibur. Bangga dia melihat sikap orang yang menjadi ibunya ini, yang demikian ganas hendak membelanya.
"Ah, Ibu..... itulah celakanya..... selama ini yang mengejar-ngejarku dan, mengancam keselamatanku adalah orang-orang yang layak disebut iblis, tokoh besar yang amat sakti dan tinggi kepandaiannya, sukar sekali dilawan....."
"Hemmm, siapa mereka" Katakan!" tiba-tiba Ouw Kiu yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suaranya yang parau. Kembali Beng San merasa bangga karena ayahnya ini pun agaknya marah mendengar bahwa dia hendak diganggu orang. Baru sekarang dia merasa betapa enak dan senangnya berayah ibu, ada orang melindungi dan membelanya!
"Pertama adalah Song-bun-kwi, ke dua Hek-hwa Kiri-bo, dan masih banyak lagi, mungkin semua orang di dunia kang-ouw hendak menangkapku karena mereka hendak merebutkan Im-yang Sin-kiam-sut." Beng San memandang tajam ayah bundanya, dia takkan heran kalau melihat mereka kaget dan khawatir. Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat ayahnya mengangguk-angguk dan ibunya malah tertawa nyaring!
"Ha..ha..ha, Beng San. Cuma orang-orang macam Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo saja kauanggap hebat" Ah, kukira tadi ibJis neraka yang mengganggumu. Kalau hanya mereka itu, andaikata ibumu ini tidak kuat melawannya, pasti mereka diganyang mentah-mentah oleh ayahmu! Jangan khawatir, anakku. Kau belum tahu bahwa ayah ibumu juga bukan orang lemah, apalagi ayahmu. Hemmm, kiranya pasangan kami tak kalah terkenalnya. Kebetulan sekali kau segera dapat kami temukan, kalau tidak, ahhh..... amat berbahaya. Kau harus lekas beritahukan Im-yang Sin-kiam-sut kepada kami. Di bawah pimpinan ayahmu, kau akan dapat kemajuan pesat dan akan kuat membantu kami menghadapi musuh-musuhmu itu."
Tapi Beng San masih ragu-ragu. Betulkah ayah bundanya akan mampu menghadapi Hek-hwa Kui-bo atau Song-bun-kwi" la tidak mau menyeret ayahnya atau ibunya sehingga jiwa mereka terancam pula. la menggeleng kepala dan berkata, "Biarlah, Ibu. Biar aku sendiri saja yang mengerti ilmu sial itu, agar Ayah jangan ikut terancam keselamatannya".
Hemmmm, agaknya kau belum percaya akan kepandaian ayahmu. Biarlah lain waktu kau akan melihat sendiri buktinya. Sekarang, kaulanjutkan ceritamu."
Beng San lalu menceritakan pengalamannya ketika dia ditolong Lo-tong Souw Lee dan kemudian menerima latihan-latihan dari kakek buta itu dan mendapat penjelasan-penjelasan bagaimana dia selanjutnya harus melatih diri untuk mempelajari Im-yang Sln-kiam-sut yang sudah dihafalnya di luar kepala itu.
"Ahhh..... kau malah bertemu dengan dia" Apakah Liong-cu Siang-kiam masih ada padanya?" tanya ibunya, nampak kaget dan terheran-heran.
"Masih ada. Bagaimana Ibu bisa tahu tentang Liong-cu Siang-kiam dan apakah Ibu mengenal Lo-tong Souw Lee?"
"Hi..hi..hi, bocah bodoh. Siapa tidak tahu tentang Liong-cu Siang-kiam yang dicuri kakek itu dan menghebohkan orang seturuh negara" Dan tentang Lo-tong Souw Lee sendiri..... ah, dia itu adalah sahabat baik ayahmu!"
"Sahabat baik Ayah?" Beng San menengok kepada ayahnya yang sudah memandang panggang dagingnya dengan muka muram lagi. "Akan tetapi dia su-dah amat tua, dan malah sudah buta, sedangkan Ayah..... Ayah masih muda....."
"Dalam persahabatan orang tidak melihat perbedaan usia," bantah ibunya, "ayahmu sahabat baik Lo-tong Souw Lee. Kalau bukan sahabat baik, apakah ayahmu tidak sudah pergi mencarinya untuk merampas kembali Liong-cu Siang-kiam seperti tokoh-tokoh lain" Karena sahabat baik, ayahmu segan melakukan itu. Sekarang kebetulan sekali, Beng San. Kalau Lo-tong Souw Lee sudah berlaku amat baik kepadamu, kepada anak kami, sudah selayaknya kalau kami membelanya dari ancaman orang-orang kang-ouw. Kuusulkan supaya kita bertiga pergi mengun-junginya, di sana kau boleh memperdalam Ilmu Im-yang Sin-kiam-sut di bawah asuhan ayahmu sementara kita bersama menjaga keselamatan orang tua yang sudah buta itu." Ibunya laki meraba pundak ayahnya dan bertanya, "Eh, bagaimana pendapatmu?"
Ouw Kiu menoleh dan tersenyum masam kepada isterinya. "Boleh,.... boleh....."
"Beng San, kaukatakan di mana tempat sembunyinya kakek tua buta itu" Kita segera pergi mengunjunginya sekarang juga."
Beng San ragu-ragu. Benarkah kedua orang tuanya akan dapat melindungi Lo-tong Souw Lee" Kalau tidak betul, berarti mengunjunginya sama dengan memancing datangnya bahaya untuk kakek yang sudah buta itu. la harus melihat gelagat, jangan sampai membahayakan keselamatan Lo-tong Souw Lee juga keselamatan ayah bundanya.
Tiba-tiba Beng San terkejut sekali. Telinganya mendengar sesuatu, perasaannya tersentuh dan tahulah dia bahwa ada orang pandai di dekat situ. Sebelun. dia dapat bicara, tiba-tiba terdengar bentakan .
"Sin-siang-hiap (Sepasang Pendekar Sakti) Serahkan anakmu kepadaku!"
Dan tiba-tiba di situ sudah muncul! Hek-hwa Kui-bo dengan sikap mengancam sekali. Beng San memandang dengan mata terbelalak kaget dan penuh kekhawatiran.
Ibunya segera melompat mendekatinya dan memeluknya. "Jangan takut, lihat saja ayahmu menggempurnya," bisiknya.
Ouw Kiu, ayah Beng San, berdiri dengan malas-malasan, memandang kepada Hekhwa Kui-bo dan berkata.
"Hek-hwa-toanio, harap kau jangan mengganggu anakku." Sambil berkata demikian Ouw Kiu merangkapkan kedua tangan memberi hormat. Hek-hwa Kui-bo mengeiuarkan suara menyindir dan tiba-tiba tubuhnya melayang dan kedua tangannya sudah melakukan pukulan, mendorong ke arah dada Ouw Kiu. Ouw Kiu dengan tenang membuka kedua lengannya dan sepasang telapak tangannya menyambut serangan nenek itu. Terdengar suara keras dan..... tubuh nenek itu mencelat ke belakang lalu terhuyung-huyung, mukanya berubah pucat. Sedangkan Ouw Kiu masih berdiri tegak sambil tersenyum tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Sambil mengeluarkan pekik mengerikan, tubuh Hek-hwa Kui-bo berkelebat dan lenyap dari situ. Keadaan kembali sunyi dan Beng San memandang kepada ayahnya penuh kekaguman, matanya melotot dan mulutnya melongo. Demikian mudah ayahnya mengalahkan Hek-hwa Kui-bo. Padahal nenek itu ditakuti oleh seluruh dunia kangouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya. Saking girang, kagum dan bangganya, dia lari menghampiri ayahnya, memeluk pinggang ayahnya sambil terisak-isak. Baru kali ini dia berpelukan dengan ayahnya yang hanya mengelus-elus rambut kepalanya.
Kini Beng San tidak ragu-ragu lagi untuk mengajak kedua orang tuanya mengunjungi Lo-tong Souw Lee. Bertiga melakukan perjalanan cepat melalui sepanjang Sungai Huang-ho sambil melihat-lihat keindahan pemandangan. Memang, lembah Sungai Huang-ho menjadi tamasya alam yang amat indahnya di waktu airnya tidak mengamuk. Akan tetapi kalau musim hujan tiba dan sungai itu mengamuk, semua pemandangan indah akan lenyap dan berubah menjadi keadaan yang mengerikan.
Dengan gembira ayah ibu dan anak ini melakukan perjalanan. Hati Beng San tenang dan tentram. Ayahnya demikian lihai, tentu ibunya juga. la takut apa"
Bahkan ketika mereka bertiga pada suatu hari, beberapa pekan kemudian, tiba-tiba berhadapan muka dengan Song-bun-kwi, Beng San masih enak-enak dan malah tersenyum mengejek. "Eh, Song-bun-kwi, kalau sekarang kau masih berani menggangguku, barulah kau boleh membanggakan diri sebagai seorang jagoan. Hayo, kaulawan ini Ayah dan Ibuku. Sin-siang-hiap!" Ayah dan ibunya dijuluki Sin-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Sakti, karena bukankah keduanya memakai julukan yang ada huruf saktinya" Ayahnya berjuluk Naga Sakti Terbang, ibunya berjuluk Pedang Sakti Cantik, jadi keduanya mendapat julukan Sepasang Pendekar Sakti!
Song-bun-kwi berdiri bengong, seperti terheran-heran melihat anak yang selama ini dicari-carinya tak tersangka-sangka dapat bertemu dengannya di tepi Sungai Huang-ho dan begini enak-enak dan tenang saja, tidak lari seperti dulu. Sementara itu, Beng San menoleh kepada orang tuanya dan bukan main herannya ketika dia melihat orang tuanya itu nampak pucat sekali berhadapan dengan Song-bun-kwi. Lebih-lebih lagi herannya ketika dia melihat tubuh ayahnya menjadi gemetar, kedua kakinya menggigil. Ibunya juga pucat dan hanya meraba gagang pedang tanpa mencabutnya.
"Sin-siang-hiap" Ha..ha..ha, Sin-siang-hiap?" Song-bun-kwi mengeluarkan suara mengejek dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus dia telah mengirim dua serangan ke arah Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio. Dua orang suami isteri ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja mereka keserempet angin pukulan Song-bun-kwi sampai terlempar beberapa meter dan bergulingan jauh. Kiranya mereka memang sengaja menggunakan Ilmu Trenggiling Turun Gunung itu, untuk menggelindingkan tubuhnya sampai jauh, kemudian sama-sama meloncat bangun dan..... melarikan diri!
Beng San heran Can marah. Akan tetapi kemarahannya lebih besar lagi. Ia menerjang maju sambil memaki, "Iblis tua, berani kau memukul ayah bundaku!"
Song-bun-kwi mengelak dan hendak menangkap tangan Beng San, akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu menyelinap ke bawah dan tahu-tahu pahanya kena dipukul oleh Beng San! Ia merasa seakan-akan tulang pahanya hendak patah dan terasa dingin seperti kemasukan es. la kaget sekali, maklum bahwa dia kena pukulan Im-sin-kiam dari bocah ! itu. Bukan main keder hatinya. Andaikata anak itu sudah lebih matang latihannya, sangat boleh jadi pahanya akan patah! Hebat sekali, anak ini tak boleh dibuat main-main, pikirnya. la lalu mengamuk dengan pukulan-pukulan aneh kalang-kabut. Kasihan sekali Beng San. Betul bahwa dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sekali, akan tetapi justru karena terlalu tinggi ilmu itu, sebelum dia melatihnya dengan sempurna, kepandaian silatnya amat terbatas. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, mana dia bisa menandinginya" Dalam beberapa belas jurus saja dia sudah roboh tertotok jalan darahnya, tak mampu bergerak lagi karena lumpuh kaki tangannya! Sambil tertawa-tawa Song-bun-kwi mengempit tubuh Beng San dan membawanya lari pergi dari tempat itu, terus berlari di sepanjang tepi Sungai Huang-ho sampai dia tiba di daerah tepi sungai yang bertebing tinggi dan curam. Beng San masih tak dapat bergerak sedikit pun juga, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan berusaha membebaskan diri dari totokan.
"Heh, bocah setan!" Song-bun-kwi berkata sambil tertawa-tawa. "Akhirnya kau terjatuh juga di tanganku. Hayo sekarang kauberikan Im-yang Sin-kiam-sut kepadaku dan beri tahu di mana tempat sembunyinya si maling Lo-tong Souw Le itu."
Beng San lumpuh hanya kaki tangannya, tapi dia mempergunakan panca inderanya, dapat pula bicara. Akan tetapi terhadap Song-bun-kwi dia tidak sudi membuka mulut, maka dia hanya memandang lalu menggeleng kepala.
"Bocah bandel, apakah kau lebih sayang Im-yang Sin-kiam-sut dan lebih sayang kakek buta mau mampus itu daripada nyawamu" Lihat ke bawah itu, air Sungai Huang-ho amat dalam dan deras di bawah itu. Kalau kau tetap membandel aku akan melempar engkau ke sana!" la memegang tubuh Beng San sedemikian rupa di atas tebing sehingga muka anak itu menghadap ke bawah, melihat air yang mengalir deras dan berombak-ombak mengerikan. Dari atas, air itu kelihatan seperti air yang mendidih. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya perasaan ini, Beng San merasa ketakutan hebat melihat air itu. Baru kali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan yang amat sangat menyesakkan dadanya. Semua bulu di tubuhnya meremang dan mukanya menjadi pucat kehijauan. la melihat air yang bergolak itu seperti ribuan muka iblis yang amat menakutkan, yang akan menerkamnya, akan menghanyutkannya. Saking takutnya dia sampai tidak mendengar ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Song-bun-kwi sehingga dia sama sekali tidak menjawab, hanya terbelalak memandang ke arah air di bawah itu.
"Iblis cilik, kalau begitu kau harus mampus. Agar rohmu tidak menjadi setan penasaran yang menggangguku, dengar apa sebabnya aku membunuhmu. Hal Pertama karena kau tidak mau membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut dan tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee, kedua karena kau mengetahui rahasia Yang-sin-kiam yang kumiliki. Nah, jadilah setan Sungai Huang-ho!" Song-bun-kwi lalu melempar tubuh Beng San ke bawah! .
Beng San mengeluarkan pekik mengerikan saking takutnya. Dan pada saat itu terdengar pekik lain, pekik yang melengking tinggi dari bayangan merah yang berkelebat cepat ke tempat itu. Di lain saat, bayangan merah yang ternyata adalah Bi Goat si bocah gagu itu telah melemparkan segulung tambang ke bawah. Dengan gerakan istimewa, tambang yang meluncur seperti ular ini berhasil menggulung tubuh Beng San pada ujungnya sehingga tubuh Beng San tergantung di udara, tidak terbanting ke air dan batu-batu karang. Bukan hal kebetulan saja Bi Goat membawa tambang, karena memang Song-bun-kwi mengajaknya berkeliaran di tepi sungai, di tebing-tebing tinggi itu untuk mencari sarang burung dan mereka memerlukan tambang yang panjang untuk mencari sarang ini di tempat-tempat yang sukar.
"Bi Goat, kurang ajar kau!" Song-bun-kwi berteriak dan sekali renggut dia telah merampas ujung tambang itu dan sekali dorong tubuh Bi Goat sudah terjengkang.
Song-bun-kwi lalu mengulur tambang itu sehingga tubuh Beng San sekarang terapung di air yang mengamuk. Beng San masih menjerit-jerit ketakutan, apalagi sekarang setelah dia dipermainkan air yang berombak-ombak itu. la meronta-ronta, tanpa dia sadari dia telah bebas dari totokan dan sekarang dia mencoba untuk berenang sambil menjerit-jerit. Akan tetapi tentu saja usahanya ini sia-sia karena tambang itu masih mengikat pinggangnya dengan erat. Ketika dia melihat ke atas sambil terengah-engah, dia melihat Bi Goat berlutut sambil bergerak-gerak seperti menangis di depan Song-bun-kwi, telunjuknya menuding-nuding ke arah bawah, ke air di mana Beng San dipermainkan maut.
"Bi Goat...... tolong.....?" Beng San menjerit sekerasnya dan suaranya nyaring sekali.
Bi Goat kini melompat berdiri, menjambak-jambak rambut dan membanting-banting kaki di depan Song-bun-kwi yang hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian Song-bun-kwi menjenguk ke bawah dan berteriak, suaranya dikerahkan dengan kekuatan khikang mengatasi suara air dan dapat terdengar oleh Beng San.
"He, Beng San iblis cilik! Bagaimana apakah kau menyerah" Kalau kau mau memenuhi permintaanku tadi, kau akan kunaikkan dan tidak jadi mampus ditelan air!"
Beng San memang takut, takut bukan main, malah takut yang tidak sewajarnya, mungkin karena dulu di waktu kecil dia pernah mengalami pula ketakutan sehebat ini ketika dia hanyut oleh air bah Sungai Huang-ho. Akan tetapi jiwa satria masih bersemayam di tubuhnya. la tidak suka melanggar janjinya, janji terhadap Phoa Ti dan The Bok Nam yang sudah mati, bahwa dia akan memegang teguh rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, juga janjinya terhadap Lo-tong Souw Lee takkan menceritakan tempat sembunyi kakek itu. Lebih baik mati daripada melanggar janji sendiri. Demikianlah pendirian seorang satria, seorang pendekar. Beng San tidak takut mati, akan tetapi sekarang dia benar-benar takut. Setiap pucuk ombak air merupakan cakar iblis yang hendak mencekik dan mencengkeramnya.
"Song-bun-kwi, kau boleh minta apa saja, tapi yang dua itu tidak mungkin!"
jawabnya di antara suara air.
Song-bun-kwi marah, mengangkat tambang dan melepaskannya kembali sampai tubuh Beng San tenggelam ke dalam air, mengangkat lagi, melepaskan lagi. Berkali-kali tubuh Beng San timbul tenggelam di antara deru suara air yang mengalir deras. la takut setengah niati, takut dan juga gelagapan sukar bernapas. Entah bagaimana, sekarang baginya tidak ada Song-bun-kwi lagi, tidak ada siapa-siapa, yang teringat olehnya hanyalah air, air, air! la merasa dihanyutkan air yang luar biasa kerasnya, merasa takut dan tiba-tiba dia teringat akan ayahnya, akan ibunya, akan kakaknya!
"Ayahhh.....!" la berteriak-teriak mengbayangkan wajah ayahnya.
"Ibuuu.....!" Kembali dia berteriak-teriak ketika mendapat kesempatan, yaitu ketika Song-bun-kwi menarik tambang ke atas.
"Kakak....,Kakak Kui...." Ia menjerit lagi.
Pada saat itu, Bi Goat juga berteriak-tenak menangis, berusaha mencegah Song-bun-kwi menyiksa Beng San. Akan tetapi Song-bun-kwi malah memaki dan menendangnya. Bi Goat berkali-kali menengok ke bawah dan ketika dia melihat betapa Beng San menjerit-jerit dengan muka ketakutan setiap kali tubuhnya timbul di permukaan air, dia mengeluarkan teriakan melengking tinggi lalu..... Bi Goat melompat ke bawah. Air sungai muncrat tinggi ketika tubuh Bi Goat menimpanya dan tertelan air yang mendidih itu.
Biarpun tadinya memaki-maki dan menendang Bi Goat, namun begitu melihat anak itu dengan nekat terjun ke bawah, Song-bun-kwi menjadi bingung dan kaget sekali.
Keselamatan anaknya berbahaya sekali, terancam maut yang mengerikan. Cepat dia menggerakkan tambang yang dipegangnya dan ujung yang melibat tubuh Beng San segera terlepas. Kemudian dengan gerakan yang aneh tambang itu meluncur ke arah jatuhnya Bi Goat. Tepat setelah tubuh anak baju merah ini timbul di permukaan air, melibat pinggangnya dan sekali sendal saja tubuh Bi Goat melayang kembali ke darat!
Akah tetapi ketika Song-bun-kwi menjenguk ke bawah, tubuh Beng San sudah lenyap. Tentu anak itu setelah tidak terikat oleh tambang lagi, sudah terbawa hanyut oleh air yang amat derasnya. Bi Goat menangis, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan, pakaiannya basah kuyup.
"Sudah, diamlah. Dia anak jahat, kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi kelak hanya akan menimbulkan geger saja. Sakitkah badanmu" Apakah tidak terluka?"
Song-bun-kwi yang tiba-tiba merasa kasihan kepada anaknya, mendekati Bi Goat lalu memondongnya, merangkulnya. Bi Goat hanya menangis di pundak ayahnya yang aneh itu. Perlahan-lahan Song-bun-kwi yang memondong anaknya pergi dari situ, seperti orang melamun. Ia merasa lega karena mengira bahwa Beng San, anak yang menjadi orang ke dua setelah dia yang mengerti akan Ilmu Silat Yang-sin Kiam-sut, sekarang tentu telah mati tenggelam di dasar Sungai Huang-ho.
Betulkah Beng San sudah mati seperti yang diharapkan dan diduga oleh Song-bun-kwi" Agaknya kakek yang sakti ini lupa bahwa mati hidup seseorang tergantung sepenuhnya kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Apabila Tuhan belum menghendaki matinya seseorang, jangankan baru dia terancam bahaya maut seperti Beng San, biarpun orang itu diancam bahaya maut dengan hujan api sekalipun, dia akan selamat dan terluput dari bahaya maut yang mengancamnya itu. Sebaliknya, apabila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, biarpun dia akan berlari ke ujung dunia atau berlindung ke dalam gedung baja, maut tetap akan mencabut nyawanya tanpa dapat ditawar-tawar atau diperpanjang sedikit pun lagi.
Kelihatannya memang Beng San sudah tak berdaya, dan memang anak ini sudah kehabisan akal. Bagaikan seorang yang sudah berubah ingatannya, Beng San terbawa hanyut oleh air dan setiap kali kepalanya tersembul di permukaan air, jauh dari tempat dia hanyut tadi, dia memekik-mekik memanggil ayahnya, ibunya, dan seorang yang dia panggil Kui-ko (kakak Kui). Akhirnya saking lelah dan banyak minum air sungai, Beng San tak ingat diri lagi dan tahu-tahu ketika dia siuman kembali, dia mendapatkan dirinya sudah menggeletak di dalam sebuah perahu kecil. Tubuhnya sudah terbaring di situ, telanjang bulat dan terbungkus selimut hangat. Ketika dia melirik, dia mendapatkan pakaian bututnya sedang dijemur di pinggir perahu dan di kepala perahu kecil itu duduk berjongkok seorang laki-laki tua bertopi lebar, mukanya kurus penuh gurat-gurat hidup tanda banyak menderita. Laki-laki itu duduk tak bergerak, matanya sayu melamun ke permukaan air, melihat tali pancingnya yang bergerak-gerak perlahan, terbawa aliran air yang tenang di bagian itu. Di dekatnya kelihatan tiga ekor ikan sebesar betis yang sudah mati, tapi masih segar.
Beng San diam saja, mengingat-ingat. Mula-mula dia teringat akan air besar yang menghanyutkan, yang mengerikan dan sekaligus dia membayangkan kembali wajah seorang laki-laki tua yang berpakaian sebagai petani, yang bermata tajam dan bermulut selalu tersenyum, wajah yang amat disayangnya, wajah ayahnya. Lalu menyusul wajah yang menimbulkan rasa mesra di hatinya, wajah seorang wanita yang agung, berkulit hitam manis, berambut hitam panjang digelung di belakang leher, wajah yang bermata sayu dan lembut, yang selalu bicara halus penuh kasih sayang kepadanya, wajah ibunya! Dan terbayang olehnya wajah seorang anak laki-laki yang nakal, yang sering kali menggodanya akan tetapi yang menjadi temannya bermain semenjak kecil, wajah kakaknya yang bernama Tan Beng Kui. Dan dia sendiri bernama Tan Beng San! Kini dia teringat semua, malah dusunnya dia ingat pula bentuk dan macamnya, ada telaga kecil di dekat sungai, telaga yang banyak ikannya, sering kali dia dan kakaknya diajak mancing ikan di telaga itu oleh ayahnya. Hanya nama ayah ibunya dan nama dusun itu dia tidak tahu.
Berdebar hati Beng San teringat akan ini semua. la tidak tahu bahwa dia kehilangan ingatan oleh air Sungai Huang-ho dan sekarang dia mendapatkan kembali ingatannya, oleh air Sungai Huang-ho pula. Yang membuat Beng San berdebar-debur adalah karena sekarang dia teringat akan Ouw Kiu dan Bhe Kit Nio yang mengaku menjadi ayah bundanya! Bagaimana bisa terjadi demikian" Betulkah mereka itu kedua orang tuanya" Ataukah bayangan laki-laki petani dan wanita berwajah agung itu orang tuanya yang sesungguhnya" Dan Tan Beng Kui"
Beng San masih bingung, lalu kepalanya membayangkari Bi Goat. Gadis cilik yang gagu itu, yang menangis dan berusaha menolongnya, malah yang kemudian secara nekat nieloncat ke air untuk menolongnya, tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Teringat akan ini, membayangkan wajah Bi Goat menangis untuk dirinya, berganti-ganti dengan wajah ayahnya, wajah ibunya, dan wajah kakaknya, tak terasa lagi Beng San mengeluh dan dua titik air mata yang panas mengalir keluar membasahi pipinya.
"He, kau sudah bangun?" Tukang pan-cing itu mendengar keluhannya, berdiri lalu menghampiri. Perahu kecil itu goyang-goyang ketika si tukang pancing berjalan.
Ternyata dia seorang kakek yang berusia lima puluh tahunan, bertubuh kurus, wajahnya kering terbakar matahari dan penuh guratan, matanya sayu tapi kadang-kadang lincah berseri, mulutnya yang ompong membayangkan ketenangan batin seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia.
Beng San segera bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya dan menjatuhkan diri berlutut, "Kakek yang baik, agaknya kau yang telah menolongku dari dalam air."
Kakek itu memegang pundak Beng San. "Kukira tadi, kau ikan besar, tersangkut di pancingku. Aku sudah girang sekali, mengira mendapat ikan yang besar sekali, ketika kutarik....."
"Kau kecewa karena hanya aku..." sambung Beng San tak dapat menahan kata-katanya ini karena melihat sikap tukang pancing itu lucu dan jenaka.
"Ha..ha..ha, tidak demikian. Aku malah lebih gembira, pertama karena tanpa kusengaja aku dapat menolong seseorang dari kematian, ke dua, aku bakal mendapatkan kawan baik untuk bekerja sama mencari ikan. Eh, anak nakal, siapa namamu dan kenapa kau hendak menyaingi ikan-ikan di air, berkeliaran di dalam air Sungai Huang-ho?"
Melihat sikap kakek itu dan mendengar kata-katanya yang jenaka, sebuah plkiran baik menyelinap ke dalam otak Beng San. Mengapa tidak" Akan aman dia kalau berada di dekat kakek ini, menyamar sebagai tukang ikan, setiap hari di perahu mencari ikan. la bisa menyembunyikan diri dari Song-bun-kwi dan yang lain-lain.
Tentu mereka itu tidak ada yang mengira bahwa Beng San, anak yang mewarisi Im-yang Sin-kiam dan yang mengetahui tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee telah menjadi nelayan
"Kakek yang baik hati, namaku Sihuw-kui (Setan Kecil), sebatangkara di dunia ini.
Kalau kau mau mengambil aku sebagai pembantumu, ah, kakek yang baik, setiap malam aku akan bersembahyang kepada dewa-dewa sungai agar kau diberi umur panjang dan banyak rejeki."
Kakek itu tertawa bergelak, terlihat mulutnya yang tak bergigi. "Ha..ha..ha, siapa butuh umur panjang" Tentang rejeki, asal kau mau benar-benar membantuku, tentu banyak ikan dapat diangkat ke perahu."
Kakek itu adalah seorang nelayah tua bernama Gan Kai, seorang duda tua yang juga hidup sebatangkara, malah tidak mempunyai rumah tinggal, rumahnya ya perahu kecil itulah! Maka sungguh tepat sekali bagi Beng San untuk tinggal bersama kakek Gan ini, karena selain terjamin hidupnya, dia pun dapat bersem-bunyi dan setiap saat dapat berlatih ilmu silat dengan amat tekunnya, la mengambil keputusan untuk melatih dengan giat, setelah sempurna kepandaiannya, dia akan mengunjungi Lo-tong Souw Lee, kemudian dia akan mencari ayah bundanya, dan juga kakaknya. la tidak tahu lagi nama orang tuanya, juga dia tidak tahu lagi nama dusunnya, akan tetapi asal dia menjelajahi di dusun-dusun tepi sungai di sekitar Kelenteng Hok-thian-tong, masa tidak akan dapat dia temukan"
* * * Setiap orang yang mengingat-ingat masa lampau, mengenang kembali masa lampau beberapa tahun yang lalu, akan mendapat kesan betapa cepatnya jalannya sang waktu.
Penulis sendiri setiap kali mengenangkan masa kahak-kanaknya yang sudah puluhan tahun yang lalu, selalu merasa seakan-akan masa itu baru terjadi kemarin-kemarin ini, serasa masih membayang di pelupuk mata ketika dia bermain-main dengan anak-anak lain, mencari ikan-ikan kecil di sungai, atau bertiduran di punggung kerbau, atau bermain-main di bawah air hujan!
Memang waktu berlalu amat cepatnya, sampai-sampai tidak terasa oleh manusia di dunia. Demikian pula dengan jalannya cerita ini. Baru saja kita mengikuti pengalaman-pengalaman Beng San. sebentar kita tinggalkan, eh, tahu-tahu delapan tahun sudah lewat dengan amat pesatnya!
Selama itu, Tiongkok mengalami kekacauan terus-menerus. Bahkan kekacauan ini mempengaruhi keadaan penghidupan di dalam istana. Pangeran-pangeran yang berkuasa saling memperebutkan kekuasaan, saling berkomplot dengan pembesar-pembesar bu (militer), saling jatuh-menjatuhkan sehingga dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh lima tahun (1307-1332) saja pemerintah Goan (Mongol) ini sudah berganti raja sebanyak delapan kali! Ketika cerita ini terjadi, raja terakhir yang menduduki tahta adalah Kaisar Sun Ti. Di bawah tekanan Kaisar Sun Ti inilah penghidupan rakyat pribumi (Han) amat tertindas dan tak tertahankan lagi. Dan mulailah timbul pemberontakan di sana-sini. Yang terbesar dan terkenal adalah Partai Teratai Putih (Pek-lian-pai) yang pada mulanya hanyalah merupakan pemberontakan dari para petani di utara yang sudah tidak kuat lagi menderita penindasan para hartawan dan bangsawan setempat. Lama kelamaan partai ini menjadi makin kuat bahkan diikuti atau dimasuki oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga merupakan kesatuan yang amat ditakuti oleh bangsawan-bangsawan Mongol.
Pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini pecah, satu dihancurkan timbul dua, dan semenjak Kaisar Sun Ti naik tahta, kaisar ini tak pernah mengenal apa yang disebut aman dan damai di Tiongkok. Banyak pendekar-pendekar dan pahlawah-pahlawan tercatat namanya dengan tinta emas di lembaran sejarah, misalnya Liu Hok Tung, Kok Ci Seng, Thio Se Cheng, Tan Yu Liang, dan masih banyak lagi orang-orang gagah yang memimpin rakyat untuk menghalau penjajah Mongol dari tanah air mereka. Tiga puluh tahun lebih pemberontakan-pemberontakan ini berjalan, makin hari makin hebat sehingga akhirnya, seperti tercatat dalam sejarah pemberontakan pemberontakan inilah yang akhirnya menumbangkan kekuasaan Mongol yang menjarah daratan Tiongkok hampir seratus tahun lamanya.
Seperti telah disebut di atas, waktu delapan tahun berjalan dengan amat cepatnya dan waktu itu keadaan masih penuh kekacauan yang diakibatkan oleh pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Goan-tiauw.
Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di depan sebuah gua yane dinamai Gua Ular, nampak seoran pemuda tengah berlutut di depan seorang kakek yang sudah tua sekali. Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya, muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Adapun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.
"Mohon Locianpwe sudi memberi maaf sebesarnya bahwa teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita," terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.
Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan.
"Ah, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu.
Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan....." Kakek itu lalu duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman, "Hebat...,., aku pun dahulu tidak sekuat engkau sekarangkan makin, ah, kalau saja aku mendapat kesempatan melihat..... eh, maksudku mendengar kau main Liong-cu Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, mati pun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh..... Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilau cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi.
Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,
"Locianpwe, benarkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?"
Kakek buta itu tersenyum. "Beng San, apakah kau sudah lupa lagi" Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo" Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya milik seorang pendekar terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak mempergunakannya, karena hanya kau yang menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kaumainkan Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!" Kakek itu terengah-engah, nampaknya tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah..
Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan gua itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigapnya. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!,
Tiba-tiba muka Lo-tong Souw Lee" yang amat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua., tangan seperti hendak mencengkeram depan dan dia berteriak, penuh kepahitan, "Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam..... itu..... itu.....
ah, kau bukan Beng San..... aduhai celaka, kau bukan Beng San.....!"
Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh. "Beng San..... sia-sia aku menanti sampai tahunan...... aduh, mataku yang buta...... celaka....."
Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan gua itu. Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.
Kurang lebih tiga jam. Berikutnya seorang pemuda lain, yang berpakaian sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas, mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, sepasang matanya tajam sinarnya melebihi sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh, tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya, kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Dari gerak kakinya yang tetap dan tidak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.
Akhirnya, dengan langkah yang tak pernah mengendur akan tetapi tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan Gua Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh kakek yang menggeletak tertelungkup di depan gua, kedua kakinya bergerak dan tubuhnya berkelebat. Tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh kakek itu dan mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.
"Kakek Souw...... Kakek Souw..... kau kenapakah?"
Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak, "Ah..... Beng San..... sekarang benar kau Beng San..... kenapa aku begini bodoh....?" Kakek itu terisak-isak!
Beng San kaget sekali. Ketika tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa Lo-tong Souw Lee tidak terluka "Ada apakah, Kakek Souw" Apa yang telah terjadi...,.?"
"Ah, Beng San. Aku bodoh..... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku..... pedang Liong-Siang-kiam telah diambil orang yang mengaku sebagai kau...... dia juga memiliki ilmu tinggi..... masih muda..... sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya......dia..... dia memiliki tenaga dalam yang hebat....."
Beng San dapat menguasai hatinya. "Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja" Aku tidak begitu mengingininya....."
"Apa.....?", Tiba-tiba kakek itu berkata keras. "Sepasang pedang itu adalah punyamu!
Mengerti kau" Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri orang dan kau..., kau bilang tidak mengingininya" Lepaskan aku, lepaskan.....!" Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi keatas tanah.
Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa telah bicara seenaknya dan lancang.
"Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka kehilangan Liong-cu Siang-kiam."


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu. "Biarlah..... biar aku mampus......
aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal sayang orang.....
biar aku mampus karena kau ...".
Beng San menjatuhkan diri berlutut. "Kakek Souw, ampunkanlah aku..... ampunkan, aku sama sekali tidak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus kulakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu."
"Betul kata-katamu itu?" Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul, Kakek Souw."
"Kau berani bersumpah?"
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah, "Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apabila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw"
Kakek itu nampak lega dan bangun duduk dengan payah, dibantu oleh Beng San.
r"Aku tidak minta kau becbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik.
Pertama-tama, aku minta supaya kau berusaha mencari pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam, setelah dapat kautemukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya.
Kalau dia wanita....." Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Ya....." Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya"
"Apa.....?"" Beng San melompat tinggi seperti orang yang kaget karena diserang ular.
Sepasang matanya terbelalak lebar, dia merasa bulu tengkuknya berdiri. "Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras"
"Tentu saja aku waras" bentak kakek tua itu marah "Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kaubunuh. Kalau dia itu wanita tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah..... tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya agar Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang lain."
"Mana ada aturan begini?" Beng San membantah. "Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Kalau dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya" Soal kedua, kalau dia itu wanita..... dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku bisa mengawininya" Ah, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu. Siang-kiam."
"Jadi kau hendak melanggar sumpah?"
"Kakek Souw, aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perikebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Kalau kauanggap penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kauanggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali. "Begitulah seharusnya seorang laki-laki!" katanya gembira.
"Rela mengorbankan nyawa sendiri daripada melakukan sesuatu yang tidak patut.
Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siang-kiam!" kembali kakek itu tertawa-tawa. Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.
"Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku takkan minta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat menyelami watakku, kalau tidak demikian, mana kau berani mengucapkan sumpah tadi" Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah Mongol....." Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang. "Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tapi aku tidak suka melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Tapi sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kaulakukan itu bukan untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?"
"Aku akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw, Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai".
"Sekarang permintaan ke tiga," kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa. "kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang".
Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek itu yang napasnya sudah sengal-sengal! menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata, "Setiap dua puluh lima tahun sekali di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong cu Siang-kiann. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Semenjak itu dia mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi..... kau..... kau harus mewakili aku, merebut gelar itu....."
"Kakek Souw.....!" Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek itu sudah berhenti! Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan.
"Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi pengharapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir."
Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini lalu mengurus jenazah kakek Souw, menguburknya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san. Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai seorang pemuda sebatangkara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw Lee, tugas yang amat berat. Namun dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu.
* * * Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhanlah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu. Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Apabila hati sudah betul-betul dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, apabila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik maupun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka ia takkan terlalu merasa sengsara apabila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul.
Sudah terlalu banyak sebetulnya contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri. Sudah betapa seringnya terjadi dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan"
Berlawanan sama sekali dengan apa yang kita kehendaki" Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita" Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa" Ini keliru, ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapapun pahit bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apakah yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi. Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apabila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.
Semua manusia, baik dia itu orang biasa maupun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk kepada kekuasaan Tertinggi. Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dibangun oleh Jenghis Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan ke selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia berikut bala tentaranya yang besar tak berdaya.
Pemberontakan tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini tentu ada sebabnya seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah kaisar Ini meninggal dunia.
Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara para raja muda dan pangeran. Apabila seorang raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja. Apalagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali! Karena selalu ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar ji istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri. Pemerasan terjadi di mana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini ditambah dengan bertcana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan dan tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat.
"Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah selatan maupun di utara. Memang harus diakui bahwa pemerintah Mongol itu mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan dan segera dapat menindih dan membasmi para pemberontak yang terjadi di sana-sini secara kecil-kecilan, namun mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini amat hebat karena mereka mendapatkan pemimpin-pemimpin yang pandai. Di antara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Adapun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-lian-pai.
Belasan tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah.
Perang terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang, Sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak. Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi dalam menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apabila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi bentrokan antara dua golohgan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu membahu melawan serdadu-serdadu Mongol!
Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok di masa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian selalu dirasakan rakyat apabila negara dilanda perang.
Perubahan besar ini amat terasa oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini Beng San setiap hari hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama kakek nelayan. Tak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.
Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-ling-san. la menyaksikan para petani yang kurus-kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan. Ketika memasuki sebuah dusun di mana justru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepungnya dan hendak menangkapnya karena dia dituduh anggota pemberontak. Beng San tidak mau melayani mereka, merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu telah lenyap dari depan mata! Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati dan selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak.
Betapapun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan di dalam kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia. Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan dalam negeri sedang kacau oleh perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi. Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.
"Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar," pikirnya. Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, maka sekarang juga dia mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya di pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar. Akan tetapi kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang tidak tampak, juga tidak ada toapekongnya.
Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semua dan tempat itu kotor sekali. Tidak kelihatan seorang pun hwesio di situ, sebagai gantinya, halaman depan kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.
Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang mata belasan orang jembel yang duduk dan tiduran malang-melintang di tempat itu. Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya.
"Kau pengungsi dan dusun" Hendak mencari tempat menginap di sini" Silakan, banyak tempat..... banyak tempat. " Belum makan" Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini" Pengemis itu usianya takkan lebih dari empat puluh tahun, tubuhnya tinggi.
kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut "hidangan raja" itu adalah beberapa potong roti kering yang kelihatannya keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.
Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.
"Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah."
Beng San mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.
"Arak selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya..... eh, terpaksa diperbanyak dengan air." la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San. Pemuda ini tersenyum pula lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.
"Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum jembel....." Orang itu menarik napas panJang dan memandang kepada Beng San. Pemuda ini tidak menjawab menoleh ke kanan kiri dan bertanya.
"Kenapa kelenteng ini terlantar" Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar juga."
"Betul dugaanmu itu," jawab pengemis, "memang kelenteng ini besar. Tapi sayang semua hwesionya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara."
"Kenapa?" Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh dan dipenjara,".
"Mereka membantu pemberontak," kemudian pengemis itu bisik-bisik, "Sobat, kau petani, kenapa kau tidak ikut kawan-kawanmu" Apakah kedatanganmu ini pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota pemberontak" Atau barangkali dengan anggota Pek-lian-pai?"
Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.
"Kalau kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang saja, barangkali aku dapat membantumu....." Kembali orang itu berbisik.
"Tidak..... tidak..... aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Tenma kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak." Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, lalu mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.
Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang ganti-berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu. la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya. Akan tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apabila muncul wajah seorang anak perem-puan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang mata yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat.
Wajah Bi Goat, si bocah gagu! Segera dia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang" Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu"
Beng San sudah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum. Adapun suara-suara bisikan itu terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya Beng San dapat menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.
"Betulkah penyelidikanmu itu" Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-lian-pai yang mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan.
Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!"
Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San menanti dengan hati penuh curiga, tapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi.
Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang itu pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Ia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan "pemuda tani yang tampan" tadi dia orangnya.
Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!
"Eh, eh..... mengapa kalian menangkap aku?" Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.
"Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"
Seorang di antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San.
Biarpun di dalam gelap, pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. la mengelak, kedua lengannya bergerak dan di lain saat tiga orang peringkusnya itu telah terlempar cerai-berai ke belakang dan ketika mereka mengaduh-aduh dan bangun, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!
Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap dia masih melihat sesosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa peorang di antara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya. la mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Disuatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.
Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman malapetaka. Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan..... rumah gedung itu telah kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.
Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis stu menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa. Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang.
Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah yang tiada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka. Sambil tertawa kecil Beng San teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.
Sepasang Garuda Putih 1 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Naga Dari Selatan 6

Cari Blog Ini