Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Oleh karena itu, keduanya bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak,
"Kim-thouw Thian-li, jangan menjual lagak di depan kami!"
Ilmu pedang dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara kembar, maka dalam permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan yang amat cocok, seperti dua orang satu perasaan saja sehingga kelihatan mereka kalau maju bersama amat hebat.
Tadi saja masing-masing dapat memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat mereka bukanlah tingkat jago silat sembarangan, sekarang mereka maju bersama mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang merupakan gulungan sepasang sinar pedang yang amat kuat. Ketua Ngo-lian-kauw itu diam-diam terkejut dan cepat menahan desakannya terhadap Souw Ki untuk menghadapi dua orang lawan baru ini. Cepat dan kuat gerakan dua pedang dari saudara kembar itu, maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita tua Ketua Ngo-lian-kauw ini benar-benar hebat, biarpun dikeroyok tiga ia masih dapat mengimbangi permainan lawannya.
bagian 64 Kun Hong yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena ia sekarang dapat menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu, malah ia dapat menduga bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw Thian-li akan kalah, biarpun mungkin wanita ini akan dapat melukai seorang di antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Agaknya penilaian Kun Hong ini sama dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun maklum bahwa setelah dua saudara Bu itu memasuki gelanggang pertempuran, Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat menahan. Tentu saja kalau ia membantu Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sukar bagi mereka berdua untuk mengalahkan tiga orang busu ini, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan mereka.
Maka ia lalu meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya berseru, "Cukup... cukup... untuk apa bertempur terus?"
Terdengar bunyi "trang-trang" beradunya senjata dan baik ruyung baja di tangan Souw Ki maupun pedang dl tangan kedua orang saudara Bu itu terpental ke belakang ketika terbentur tongkat hitam. Tiga orang busu ini kaget dan melompat ke belakang, diam-diam mengakui kelihaian Si Setan Obat.
"Sam-wi Busu, setelah mendapat kenyataan bahwa aku bukanlah pengacau Istana Kembang, harap laporkan kepada Pangeran dan janganlah melanjutkan pertempuran yang tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua), harap kau mengalah."
Kim-thouw Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa sendiri betapa lihainya Sam-wi Busu!"
Wajah tiga orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa mereka bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apalagi Yok-mo yang sekali menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka terpental. Mereka maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap mengalah karena takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh untuk tidak tahu diri dan mencari perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah sekarang tidak terdapat bukti, kiranya tidak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.
"Kauwcu sungguh lihai," kata Souw Ki, "dan Yok-mo karena tidak ada bukti terpaksa sementara ini kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tiga orang busu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan mengangkat dada. Betapapun. juga, mereka belum kalah, dan andaikata mereka datang bertujuh, biarpun di situ ada Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw.
Setelah tiga orang itu pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa, lalu Kim-thouw Thian-li memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw. Akan tetapi Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi bersembunyi, harus kita sambut dulu." Ia lalu memandang ke arah tempat sembunyi Kun Hong dan berseru keras,
"Sahabat tak perlu bersembunyi lagi, kalau ada perlu keluarlah!"
Kun Hong kaget dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam keasyikannya menonton pertempuran ia kurang hati-hati dan memperlihatkan diri dari balik batang pohon sehingga terlihat oleh kakek itu.
Ia berjalan keluar dan berkata,
"Toat-beng Yok-mo, aku memang datang hendak menemui kau dan mengembalikan kitab-kitabmu!" Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah kitab dari dalam kantong bajunya yang selama ini ia simpan dan ia pelajari.
Sejenak Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di tangan pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran,
"Kau... masih hidup....?"" Tentu saja ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari Bukit Hoa-san, pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang lihai itu. Ia bukan girang, karena pemuda itu masih hidup, melainkan girang karena tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini ternyata masih utuh. Cepat ia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,
"Dan manakah katak putih dalam tabung itu?"
"Ah, menyesal sekali, Yok-mo, katak itu telah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko (Kakak Rajawali Emas)." Kemudian pemuda ini segera balas bertanya, "Yok-mo, aku tadi mendengar tentang urusan para busu mencari dua orang gadis.
Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat mereka, Yok-mo?"
Pada saat itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengar suara,
"Bagus sekali, Toat-beng Yok-mo, kau telah menipu kami!" Dan muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini bukan lain adalah Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw Thian-li.
Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi seorang di antara tujuh jagoan istana. Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw Thian-li berlaku mengalah dan tidak suka bermusuhan dengan Souw Ki bertiga tadi, akan tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap Souw Ki yang sombong dan tidak mengindahkannya. Ketika Souw Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman mereka, Thian It Tosu. Mereka berterus terang tentang kecurigaan mereka terhadap Toat-beng Yok-mo dan menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw tadi.
Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal telah terjadi peristiwa itu.
"Marilah kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak sekali terhadap Kauwcu."
Souw Ki dan dua orang saudara kembar itu menurut, maka empat orang ini segera kembali ke situ dan kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan tadi. Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari tahanan. Sekarang ternyata pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar dari tahanan" Juga Thian It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak suka melihat perhubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang, dialah orang yang paling "dekat" dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia menjadi pengawai Pangeran lalu mendengar kedatangan Yok-mo tentu saja ia menjadi iri hati dan cemburu.
"Toat-beng Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu tentang pengacauan di Istana Kembang, tapi ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andikata benar bukan kau yang mengacau di Istana Kembang, sudah dapat dipastikan bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan adalah kau!"
kata Souw Ki dengan suara marah.
"Toat-beng Yok-mo dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau menyeret nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!" kata Thian It Tpsu sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.
Melihat empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo hanya terkekeh lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda ini, habis kalian mau apakah" Heh-heh-heh!"
"Yok-mo, kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.
Sementara itu, ketika Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini, mukanya menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi. Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ!
"Hee, hendak lari ke mana kau?" Souw Ki melompat dan ruyungnya dipergunakan menyerampang kaki Kun Hong dari belakang. Ia memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan tetapi alangkah herannya ketika sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai angin karena kaki pemuda itu bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali. Ternyata dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya dari sambaran ruyung. Melihat pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari mengejar. Kun Hong terkurung oleh empat orang busu. Pemuda ini bi-ngung, lalu mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan. Kalau tidak terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding dengan orang lain.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara parau dan disusul suara melengking yang menusuk telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar yang berpakaian serba putih. Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, memberi hormat dan menegur,
"Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan,"
Empat orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, segera memberi hormat kepada Song-bun-kwi, akan tetapi, kakek itu menerimanya acuh tak acuh. Souw Ki dan dua orang saudara kembar, biarpun pernah mendengar nama Song-bun-kwi, akan tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota, maka tentu saja sikap mereka angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tidak memandang sebelah mata! Setelah memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong lagi.
"Yok-mo, siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya dan diam-diam kakek ini heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang dalam pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali.
Yok-mo tertawa, "Heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan fitnah bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku telah mengeluarkan pemuda itu dari dalam tahanan.
Lucu sekali!" "Ah, kiranya anjing-anjing istana. He, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana Kembang, menculik dua orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"
Bukan main kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu.
Kalau Thian It Tosu merasa kaget dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng girang.
"Aha, dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri. Bagus! Kakek, dosamu terlalu besar, kau menyerahlah saja daripada rusak badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak dan serta merta bersama teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan menghampirl Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw Ki. Hebat dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai kepala kakek ini, kiranya akan pecah berhamburan karena ruyung baja ini di tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang keras. Karena maklum bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.
Hebat sekali Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti kata mengelak, seakan-akan ia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat itu. Baru setelah ruyung tinggal satu dim lagi dari keningnya kakek ini membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.
"Souw-busu, jangan....!" Thian It Tosu mencoba untuk mencegah temannya yang sembrono menyerang Song-bun-kwi, namun terlambat. Terdengar suara keras ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, disusul jeritan Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh tangan kanan kakek itu. Sambil tertawa bergelak-gelak, Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan. Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong Souw Ki keluar dari air, namun jagoan ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan mukanya biru matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawanya maka jagoan yang galak ini tidak sampai mati.
"Song-bun-kwi, iblis tua, lihat pedang!" Sepasang saudara kembar she Bu itu marah sekali, melihat teman mereka dirobohkan sedemikian mudahnya oleh kakek ini, Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu dengan ganas. Mereka bekerja sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya dari samping dengan memutar-mutar pedangnya, siap untuk menanti kesempatan menyerang apabila serangan kakaknya gagal.
Song-bun-kwi mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah.
Tentu saja sama sekali ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini, dengan mengebutkan lengan bajunya pedang itu meleset dan tangan Bu Sek serasa hendak robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya, terhuyung mundur dua langkah karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.
Thian It Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah bertempur mengeroyok Song-bun-kwi, segera meloncat ke depan dan berkata,
"Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto berlaku kurang ajar karena kau berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!" Tosu ini mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang Song-bun-kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang jagoan istana yang lihai ini, Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu kalau tidak dilegos, tentu ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan yang dimiringkan!
Kim-thouw Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Ketua Ngo-lian-kauw itu merasa serba salah, akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam lapangan pertempuran, ia segera dapat memilih pihak mana yang harus dibantu. Memihak Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau tidak membantu utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan merupakan bahaya bagi pendirian Ngo-lian-kauw. Cepat ia melolos pedang dan sabuk merahnya, tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus membentak,
"Song-bun-kwi, melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan terpaksa aku menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha, Kim-thouw Thian-li, sejak kapan kau menjadi anjing Pangeran"
Baik, baik, bagus, majulah hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut dengan baik!"
Marahlah Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, Im-sin Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan tongkatnya.
"Song-bun-kwi, kau makin tua makin jahat, suka bikin kacau saja!
Perbuatanmu mengacau Istana Kembang membikin namaku rusak, orang mengira aku yang melakukannya. Kau harus mencuci namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha, maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak dan tiba-tiba ia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu menjerit kaget karena pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah sedangkan Thian It Tosu terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju. Song-bun-kwi tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong,
"Hayo kau ikut aku!" Tangan Kun Hong sudah dicekalnya dan pemuda ini dibawahya lari seperti terbang cepatnya! Biarpun ganas dan tidak takut siapapun juga, Song-bun-kwi masih cukup cerdik untuk menanam permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya dan ia membawa pergi Kun Hong, karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak. serangan Souw Ki.
"He, kakek tua, hendak kaubawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak sepanjang jalan, akan tetapi kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang dicekal erat.
"Kakek tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari seperti orang dikejar setan" Apakah kau takut kalau mereka itu mengejarmu?"
Kalau saja Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini takkan mempedulikannya dan lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek itu tiba-tiba berhenti dan memandang marah,
"Aku takut kepada mereka" Eh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk Song-bun-kwi," jawab Kun Hong.
Kakek tua itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut julukannya, bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut dunia kang-ouw"
"Bocah, kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe, aku adalah Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari Ayah."
"Siapa ayahmu" Lekas katakan!"
"Ayah adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong" Kau adik siluman betina" Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.
Pemuda ini kaget setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan memperkenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tidak akan mengganggunya, siapa tahu malah justeru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.
Akan tetapi ternyata yang kaget sekali malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, kini tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala dan tangan kiri menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh sekali dan tak mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan orang yang diserangnya. Angin yang panas hawanya mendahului penyerangan ini. Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lalu menyerang dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil mengeluarkan suara melengking berkali-kali.
Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang tergetar-getar karena suara lengkingan itu, dan menghadapi serangan-serangan Song-bun-kwi, ia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.
"Locianpwe, kenapa kau menyerangku" Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya, namun hal ini malah merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua penyerangannya itu dipandang rendah saja.
Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biarpun sampai belasan jurus ia belum mampu memukui roboh Kun Hong, namun ia sebetulnya cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh dan langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek itu akan mengenal sedikit gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya.
Sekali saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.
bagian 65 Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini.
Celaka, pikirnya, apakah dia gila mendadak" Lebih baik lari saja. Setelah berpikir demikian, ia menanti kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba berjongkok dengan kedua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor katak hendak melompat tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri. Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam, menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan Iwee-kang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.
Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan ginkangnya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong. Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Adakalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur dan lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak berhasil mencengkram pemuda aneh itu. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi.
Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah ia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh. Pemuda itu seperti bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas dan kelihatan takut-takut dan bingung, seperti orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak patut disebut ilmu silat, seperti ayam dikejar atau seperti burung. Mereka berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan membentak,
"Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!" Ia masih merasa malu kepada diri sendiri untuk mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apalagi kalau harus menggunakan senjata gelap! Kali ini benar-benar kehormatannya tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang.
Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena tiba-tiba terdengar suara orang mengejek,
"Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan" Ha-ha-ha!"
Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia menghentikan pengejarannya, lalu membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.
"Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut" Kau sudah bosan hidup!" Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi.
Kakek itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri. Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di situ"
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi. Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya dan sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai. Kebetulan sekali di hutan ini ia melihat Song-bun-kwi yang mengejar-ngejar seorang pemuda yang kelihatan ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek.
Ketika Song-bun-kwi dengan marah menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras dan menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang ampuh. Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebat. Sambaran angin pukulan mereka membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar dan pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi dan suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi.
Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong berdiri bengong. Bukan main kagumnya menyaksikan pertandingan yang hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ia masih berlari-iari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "He, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?"
Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera ia berhenti dan memandang dengan muka merengut.
"Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?"
Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia mengenal Kun Hong. Alisnya yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.
"Eh, kiranya kaukah ini" Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada seakan-akan kecewa telah menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah dari mana Kun Hong datang.
Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, sepertl orang berjalan-jalan menjual aksi saja, Dan alangkah angkuh dan sombongnya. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapapun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong. Apalagi pembesar itu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti dan tertimpa malapetaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.
"He, tunggu dulu!" teriaknya mengejar.
Pemuda itu menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.
Kun Hong menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!"
Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut segala obrolan kosongmu?"
"Sombong kau! Siapa mengobrol kosong" Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan jahat."
Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu. Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru,
"Betulkah Song-bun-kwi di sana?" Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu lalu berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan.
Sejenak Kun Hong terlongong. Gilakah orang muda itu" Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau tidak gentar menghadapi singa" Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di luar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!
"Heee, jangan ke sana....!" serunya berkali-kali dan Kun Hong kagum sekali ketika melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang.
Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga agar jangan sampai ia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.
Ketika ia tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambut dengan suara marah,
"Kau pembohong besar. Mana dia Song-bun-kwi" Bayangannya pun tidak ada di sini?"
Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena ia tidak ingin diketahui orang bahwa ia pun pandai ilmu lari cepat. "Waah" kau lari seperti kijang melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi, kalau tidak kau tentu akan dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur dengan kakek aneh itu. Siapa membohong" Hayo kau kembalikan pedangku yang kau rampas tempo hari!"
Pemuda itu mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang pusaka?"
"Eh-eh, soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah pedangku, apakah kau nekat hendak merampas pedang orang" Benar-benar tak bermalu!"
Mendengar kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang tergantung di pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun pedang itu berikut sarungnya amblas ke tanah sampai setengahnya!
"Nah, nih pedangmu pemotong ayam!"
Kun Hong menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut.
Pemuda itu memandang dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah sengaja pura-pura mengerahkan seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di tangan.
Pemuda itu terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa" Paling-paling di tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari dari tahanan, siapa yang menolongmu" Apakah Kakek Song-bun-kwi" Dan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"
"Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Eh... para penjaga tahanan yang mengeluarkan aku, kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Tentang dua orang keponakanku itu, justeru aku hendak mencari mereka."
"Ke mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin mereka ke Thai-san... eh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun Hong memandang dengan tajam penuh curiga. Melihat pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata,
"Kudengar mereka cantik-cantik, aku senang gadis-gadis jelita!"
Wajah Kun Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu dengan lagak seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal ia berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar, dengarlah baik-baik!
Kalau bukan keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, tak sudi aku memberi nasihat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, jangan kau bertingkah seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya sendiri. Kau berlagak seperti... seperti seorang banci, laki-laki pesolek yang mata keranjang. Kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu" Awas kau kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm...."
Pemuda itu membusungkan dada, mengedikkan kepalanya dan berkata menantang, "Kalau aku ganggu mereka, kau mau apakah" Apa kau berani berkelahi melawanku?"
Merah muka Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apalagi dengan p-muda yang seperti kanak-kanak ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi pemuda ini benar-benar memanaskan perutnya.
"Huh, lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada seorang laki-laki muda penuh aksi roboh dan mampus oleh dua orang gadis keponakanku itu! Sudah, tak sudi aku bicara lagi denganmu!"
Dengan marah Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya ia betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia marah dan mendongkol kepada orang lain seperti kepada orang muda sombong ini.
"He! kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"
Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"
Terdengar pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah sini, bukan sana!"
Kalau tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu ia kaget dan cepat-cepat menghentikan tindakannya dan menengok.
Pemuda itu dengan lagak angkuh sudah berjalan pergi ke jurusan yang berlawanan. Ia ragu-ragu. Betulkah kata pemuda itu bahwa ia menuju ke arah yang berlawanan dengan Thai-san" Tadi dalam kegugupannya ketika dibawa lari Song-bun-kwi, dia tidak sempat memperhatikan jalan lagi. Karena ia tidak kenal jalan dan pemuda itu agaknya tidak asing lagi dengan wilayah itu, terpaksa ia lalu berjalan ke arah perginya pemuda itu dengan hati mengkal.
Akan tetapi di samping rasa mendongkol terhadap pemuda yang penuh aksi dan angkuh itu, juga hatinya senang karena Ang-hong-kiar telah dikembalikan.
Ia tidak mengira bahwa pemuda congkak itu begitu mudah mau mengembalikan pedangnya, padahal melihat gerak-gerik pemuda itu, kiranya dia memiliki kepandaian silat yang tinggi juga. Biasanya orang di kalangan kang-ouw kalau melihat senjata pusaka, amat tamak dan ingin memilikinya.
Ketika melewati sebuah dusun di luar hutan, Kun Hong mencari keterangan dan dengan lega mendengar bahwa memang arah Thai-san yang ditempuh pemuda itu betul. Maka ia lalu mempercepat jalannya akan tetapi tak dapat menyusul pemuda itu yang melakukan perjalanan cepat sekali. Beberapa hari kemudian sampailah Kun Hong di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Karena hari sudah menjelang senja ketika ia tiba di kota Tiang-bun ini, ia lalu menuju ke sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambutnya dengan muka menyesal sambil berkata,
"Maaf, Tuan Muda. Kamar sudah penuh semua, sayang sekali kau terlambat datang karena kamar terakhir yang cukup besar telah disewa oleh seorang kongcu."
Kun Hong kecewa sekali. "Apakah di kota ini tidak terdapat rumah penginapan lain?"
Pelayan itu menggeleng kepala, dan memandang dengan kasihan melihat pemuda ini kelihatan lelah sekali. "Ada dua jalan untuk menolongmu, Tuan Muda. Pertama, harap kau menjumpai kongcu yang menyewa kamar besar itu karena dia hanya seorang diri dan kamar itu cukup besar sehingga kalau dia tidak keberatan, tentu kongcu itu dapat membagi kamarnya denganmu. Jalan ke dua, kalau toh dia berkeberatan, yaaah, untuk melepas lelah saja, kiranya Tuan Muda dapat tidur di bangku di ruangan tengah.
Kun Hong menghela napas. Apa boleh buat, dalam keadaan seperti itu terpaksa menerima usul ini. "Sebetulnya aku tidak suka mengganggu lain orang, akan tetapi karena menurut katamu dia seorang kongcu, kiraku tiada salahnya untuk mencoba. Twako, antarkan aku ke kamar pemuda itu."
Dengan gembira karena mengharapkan hadiah, pelayan itu segera mendahuluinya. Kun Hong yang berjalan di belakang pelayan itu ketika sampai di ruangan tengah, melihat dua orang laki-laki tinggi besar duduk menghadapi arak di atas meja. Ketika Kun Hong melewat, dua orang yang tadinya bercakap-cakap itu tiba-tiba berhenti dan biarpun mereka tidak berkata apa-apa, namun mereka memandang penuh kecurigaan ketika melihat pelayan itu membawa Kun Hong ke kamar yang berada di ujung belakang. Kun Hong bermata tajam dan ia dapat melihat betapa sinar mata kedua orang itu amat tajam dan mengandung kecurigaan terhadap dirinya. Akan tetapi ia tidak mengacuhkan mereka karena tidak merasa mengenal orang-orang itu.
Sementara itu pelayan tadi telah mengetuk pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara, tidak begitu jelas karena pintu itu rapat sekali.
"Siapa?" "Maaf, Kongcu, aku pelayan!" kata pelayan itu dengan suara manis, "Harap Kongcu suka membuka pintu sebentar, ini ada seorang tuan muda yang tidak kebagian kamar, hendak mohon Kongcu sudi membagi kamar dengan dia."
"Hemm, aku tidak suka diganggu!" terdengar jawaban dan pintu kamar di buka dari dalam.
Begitu pintu kamar dibuka dan Kun Hong melihat seorang pemuda di ambang pintu, ia segera membuang muka dan menarik tangan pelayan itu sambil berkata,
"Twako, aku lebih suka tidur di bangku di luar atau kalau perlu di emper rumah penginapan ini daripada tidur di kamar ini!" Kemarahan dan kemendongkolan hati Kun Hong ini dapat dimengerti ketika ia mengenal
"kongcu" itu bukan lain adalah Si Pesolek tadi.
bagian 66 "Hemm, siapa sudi tidur sekamar dengan kutu buku jembel ini?" kata Si Pemuda menghina sambil menutupkan pintunya kembali, akan tetapi seperti kilat pandang matanya menyambar ke arah dua orang laki-laki tinggi besar yang mendengar dan melihat semua itu dari ruangan tengah. Pelayan itu hanya bisa melongo dan mengangkat pundak, tapi dengan baik hati ia lalu menyediakan sebuah bangku panjang yang ia letakkan di dalam ruang belakang untuk memberi tempat istirahat kepada Kun Hong. Setelah mandi dan makan, saking lelahnya Kun Hong terus saja menggeletak berbaring di atas bangku panjang, berselimutkan sebuah baju luar yang lebar.
Ia mendengar betapa pemuda sombong itu berteriak memanggil pelayan dan memerintahkan pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, banyak sekali air yang dimintanya, kemudian memesan makanan yang mahal-mahal. Hemm, seorang pemuda kaya yang mewah dan pesolek, pikirnya. Juga dilihatnya betapa dua orang laki-laki tinggi besar tadi beberapa kali memandang ke arah kamar pemuda itu dan mereka bicara berbisik-bisik. Diam-diam ia menaruh curiga, pemuda mewah yang bodoh pikirnya. Melakukan perjalanan dengan cara demikian mencolok, jelas sekali membayangkan bahwa kantongnya penuh bekal emas, menarik perhatian kaum penjahat. Biarpun dia sendiri masih belum matang pengalamannya dalam perjalanan jauh, akan tetapi kiranya tidak setolol pemuda itu. Akan tetapi karena ia masih merasa jengkel karena beberapa kali dimaki kutu-buku, jembel, ia tidak mengacuhkan pemuda itu dan kalau pemuda itu keluar kamar, ia pura-pura tidur mendengkur. Akan tetapi entah mengapa, mungkin karena gangguan kegemasannya terhadap pemuda yang tentu enak tidur di dalam kamar yang hangat, tidak seperti dia yang kedinginan karena angin malam bebas menghembus memasuki ruangan itu, dia tidak segera dapat pulas.
Keadaan rumah penginapan itu sudah sunyi sekali, agaknya semua tamu sudah tidur pulas. Hanya Kun Hong saja masih gelisah dan mendongkol karena bayangan nyamuk yang mengiang-ngiang di sekitar telinganya.
Ia menimpakan kemendongkolannya kepada pemuda sombong itu. Andaikata pemuda itu tidak sesombong itu, atau andaikata tamu itu orang lain, sudah tentu ia akan dapat bagian dalam kamar dan tidak menderita seperti ini.
Dalam kemendongkolannya, Kun Hong tidak ingat bahwa sebenarnya bukanlah hawa dingin atau nyamuk yang membuat ia tidak dapat tidur karena biasanya ia dapat tidur nyenyak walau di atas atau di bawah pohon dalam hutan.
Sesungguhnya, wajah pemuda itu selalu terbayang di pelupuk matanya, mendatangkan rasa mengkal dalam hati.
Tiba-tiba ia mendengar suara perlahan sekali. Dari balik selimutnya ia mengintai dan melihat sesosok bayangan melayang turun ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang gerakannya amat gesit dan ringan, tanda bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi. Orang itu menghampiri kamar kedua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan, Pintu segera dibuka dan orang itu masuk, pintu kamar segera ditutup lagi. Kun Hong menjadi curiga sekali dan merasa tidak enak hatinya.
Dua orang tinggi besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik. Pikirannya berjalan cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang lalu diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan dia sendiri lalu melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh ia melompat ke atas genteng.
Hatinya berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya di puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud mengintai kamar orang lain! Di puncak dahulu sudah biasa ia melompati jurang-jurang lebar, tentu saja, meloncat ke atas genteng merupakan pekerjaan mudah baginya, akan tetapi karena tidak biasa, ia menjadi berdebar dari berhati-hati sekali. Cepat ia bersembunyi di belakang wuwungan rumah dan memasang telinga mendengarkan percakapan di dalam kamar dua orang laki-laki tinggi besar itu. Segera ia mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara orang yang baru datang tadi,
"Ji-Wi laote, Twako kita melarang kalian mengganggu pemuda yang hendak pergi ke Thai-san itu. Menurut Twako, kalau kita turun tangan di sini, paling banyak hanya dapat merampas bekal dan pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan berhati-hati."
"Hemm, habis, apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara lain.
"Sekarang Twako Sedang mengumpulkan semua saudara, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko (Kakak ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang bersedia membantu. Twako menyuruh aku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang ke sana, mendengar petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan."
"Baiklah." Terdengar jendela dibuka dari dalam dan berturut-turut tiga sosok bayangan orang melesat keluar terus meloncat ke atas genteng. Kun Hong bersembunyi cepat dan ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri.
Perbuatannya ini menolongnya karena ia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali berkelebat mengejar tiga sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu. Ia menahan napas. Untung ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu orang ke empat itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah adanya orang ke empat itu yang seperti juga dia, melakukan pengintaian. Orang itu tidak terlihat mukanya, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping kecil. Karena ia tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama maupun oleh orang ke empat yang, mengikuti tiga orang itu, Kun Hong sengaja berlari mengejar dari jauh.
Kurang lebih sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan ternyata tiga orang itu memasuki sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah rawa yang sunyi. Kun Hong membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas genteng lebih dulu, baru kemudian ia menyelinap di antara pohon-pohon di belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari sebuah jendela yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.
Di dalam kuil itu terdapat ruangan yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang di, situ berkumpul beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja sembahyang. Lima batang lilin menyala menerangi ruangan dan keadaan amat seram dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan. Seorang penakut tentu akan menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu. Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.
Pertama-tama ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah penginapan. Dua orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ke tiga yang duduk dekat mereka agaknya adalah orang yang menyusul ke rumah penginapan tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan di punggungnya tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang. Sekarang Kun Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Seorang bertubuh pendek gemuk berperut besar berusia lima puluh tahun lebih akan tetapi mukanya segar kemerahan dan bundar seperti muka kanak-kanak, gerak-geriknya halus akan tetapi Kun Hong yang sudah membaca kitab-kitab ilmu pengobatan dari Yok-mo, tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam) yang lihai. Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako (Kakak Tertua) tadi. Orang di sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok, matanya juling, di punggungnya tampak gagang senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak ke Dua). Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas semacam cambuk. Diam-diam Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak ke dua lebih tua daripada kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ke tiga oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda. Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan yang disebut Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!
Girang hati Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua orang tinggi besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan karena hal ini sama dengan memberi tahu kepadanya siapa adanya orang-orang itu.
Dari perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng sebelah kanan itulah yang tadi oleh Si Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Si Naga Terbang). Adapun dua orang laki-laki tinggi besar yang bermalam di rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya Kam Ki Hoat dan Kam Siong.
"Ji-wi Kam-laote," antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata kepada kedua orang saudara Kam, "menurut keterangan Si-te (Adik keEmpat), Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan seorang muda dari Thai-san-pai.
Betulkah itu?" "Betul sekali, karena dua pasang mata kami takkan salah melihat orang.
Sungguhpun tldak jelas bagi kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa tahu dia itu orang Thai-san-pai yang sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau begitu" Kami rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako menghendaki lain, habis bagaimana selanjutnya?"
Twako itu tersenyum. "Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita"
Heh-heh, lucu kalau benar demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?" Kun Hong yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki Hoat menja-wab,
"Lagaknya seperti seorang pemuda kaya-raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit mengerti ilmu silat.
Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya."
"Kalau begitu, mengapa harus takut dia dapat memata-matai kita" Jangan pedulikan bocah masih ingusan itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberitahukan kepada Hui-liong Sam-heng-te.
Dengan berpencar kita naik ke Thai-san, menggunakan kesempatan Thai-sanpai dibuka pendiriannya, kita mengaku orang-orang kang-ouw yang akan memberi selamat dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah tiba di sana kita harus dapat berkumpul di dekat meja penerimaan sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh besar seperti orang she Tan itu, sudah pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh kang-ouw di empat penjuru. Nah, kalau saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan."
"Twako, apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan tiba?" Kam Ki Hoat bertanya ragu.
Si Twako ini tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. "Siapa bilang takkan tiba" Aku yakin dan berani bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan dipergunakan oleh mereka yang telah dihina oleh Si Raja Pedang.
Bahkan aku dapat menduga bahwa iblis-iblis empat penjuru akan muncul, berlumba untuk menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-sanpai itu."
Kun Hong yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya.
Ia dapat menduga bahwa orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan atau tiga golongan, adalah orang-orang jahat yang hendak merampok Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu pertemuan itu kacau karena terjadinya keributan. Agaknya Tan Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah seringkali ia dengar namanya, yang digelari orang Raja Pedang itu, telah menanam bibit permusuhan yang banyak sekali. Diam-diam Kun Hong mengerutkan keningnya. Andaikata sembilan orang yang berada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan Beng San dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak sebelum tahu sebab-sebab permusuhannya. Akan tetapi sembilan orang ini hendak merampok benda-benda berharga. Hemm, kalau sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas bahwa mereka ini bukanlah orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka, pikirnya, mendahului mereka naik ke Thai-san dan memberitahukan apa yang ia lihat ini kepada Tan Beng San. Kalau sudah diberi tahu tentu dapat berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir saja!
Baru saja ia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di depan itu pun bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong heran. Siapakah dia itu" Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja lenyap. Ah, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena bayangan itu pun mengikuti Si Muka Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat.
Sekarang kembalinya, karena tidak mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin kagum terheran-heran.
Hati-hati ia memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang diselimutinya masih tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari. Ia terbangun karena mendengar suara pemuda pesolek itu berteriak-teriak memanggil pelayan,
"Hee, pelayan, tulikah engkau" Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat pagi-pagi!"
Kun Hong memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului orang-orang itu ke Thai-san, akan tetapi meiihat pemuda itu ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang masih tidur, ia mendongkol dan berkata, "Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih tidur?"
Pemuda itu hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar tanpa mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas, membersihkan mata dan membeli sarapan di warung depan rumah. Ketika ia kembali ke rumah penginapan untuk membayar sewa ia bermalam, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah berangkat.
"Hemmm, anak manja itu sudah pergi?" tanyanya kepada pelayan yang memberinya tempat bermalam.
Pelayan itu tertawa, mengangguk. "Anak orang kaya sudah biasa dimanja memang, Tuan Muda," katanya. "Segala keinginannya harus terkabul."
Pada saat itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki Hoat dan Kam Siong, juga sudah siap dan dengan suara keras memanggil pelayan, mengadakan perhitungan lalu meninggalkan rumah penginapan itu tanpa menengok sedikit pun kepada Kun Hong. Pemuda ini kaget. Ah, sama sekali ia tidak mengira kalau mereka pun sepagi itu berangkat. Lebih baik ia mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki Gunung Thai-san. Siapa tahu dengan mengikuti mereka secara diam-diam, ia akan dapat lebih banyak memberi keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka yang memusuhi Raja Pedang ini, ada hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng dan Hui Cu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa dua orang itu ternyata mempunyai dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah penginapan dan sekarang mereka telah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia tidak menduga akan hal ini"
Terpaksa ia melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tak mungkin ia harus berlari-lari mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan orang-orang yang melihatnya. Setelah ia keluar dari dusun itu, dan berada di tempat yang sunyi, barulah ia berani berlari-iari cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.
Ia telah tiba di dalam hutan malam tadi dan dari jauh ia sudah melihat kuil tua yang dijadikan tempat pertemuan orang-orang yang memusuhi Tan Beng San.
Berdebar hatinya meiihat beberapa orang di depan kuil dan mendengar suara pertengkaran. Cepat ia menyusup-nyusup di antara pohon dan semak-semak mendekati tempat itu. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat pemuda pesolek sombong itu berdiri di depan kuil berhadapan dengan sembilan orang yang semalam telah ia lihat di dalam kuil. Ia merasa kuatir sekali karena dapat menduga bahwa akhirnya sembilan orang penjahat itu toh akan mengganggu juga pemuda yang mereka anggap sebagai seorang anak murid Thai-san-pai.
Yang membuat Kun Hong mendongkol adalah melihat sikap pemuda itu sendiri. Di hadapan sembilan orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kangouw dengan nama-nama menyeramkan, mengapa masih tersenyum-senyum dengan bibir yang selalu mengejek" Alangkah sombongnya! Biarpun hatinya menjadi gemas dan ingin ia melihat pemuda pesolek macam ini menerima hajaran keras, namun mengingat bahwa pemuda itu boleh jadi benar-benar orang Thai-san-pai, tak enak kalau ia harus membiarkan saja pemuda itu dalam bahaya. Diam-diam Kun Hong bersiap sedia, kalau nanti melihat pemuda itu terancam, pasti ia akan keluar dan membantunya. Sementara itu, ia mencari persembunyian yang lebih dekat dan menonton.
Orang pendek gemuk bermuka kanak-kanak yang mengepalai rombongan sembilan orang itu terdengar berkata sambil tertawa, "Orang muda, apakah niatmu menghadang kami di sini" Siapakah kau?"
Pemuda itu dengan lagak sombong mengerutkan kening menjawab, "Kong Houw perut gendut, tak usah kau berpura-pura lagi. Kau tahu bahwa aku datang dari Thai-san-pai, akulah anak murid Thai-san-pai."
"Kau kenal namaku?"" Si Gendut itu berseru kaget.
"Hemm, siapa tidak mengenal nama busukmu" Kau tokoh tertua dari Lam-thian Si-houw, di selatan menjadi momok yang ditakuti rakyat. Akan tetapi jangan kira Thai-san-pai takut kepadamu!"
Kang Houw melirik kepada teman-temannya, kemudian ia tertawa lagi dengan muka ramah dan berkata, "Aha, kiranya saudara ini adalah orang Thai-san-pai.
Bagus sekali, kalau begitu kita adalah orang-orang sendiri. Saudara muda, ketahuilah bahwa kami sembilan orang ini adalah orang-orang yang mengagumi ketuamu, Raja Pedang Tan-tai-hiap dan kami sengaja hendak pergi ke Thai-san untuk memberi selamat dan hormat atas pendirian Thai-sanpai. Harap kau orang muda jangan salah duga."
bagian 67 Orang muda itu mencibirkan bibirnya, suatu kebiasaan yang memanaskan perut Kun Hong karena gerakan ini benar-benar membuat orang menjadi gemas dan mendongkol! "Kang Houw perut gendut! Siapa sudi membeli daganganmu" Kalian hanya pura-pura saja hendak memberi selamat kepada Thai-san-pai, akan tetapi kalian sebetulnya adalah maling-maling kecil yang sudah mengilar begitu mengingat akan barang-barang sumbangan yang berada di meja penerimaan di Thai-san-pai! Siapa yang tidak tahu akan hal itu" Hemm, kalian ini sama dengan tikus-tikus kecil yang mau coba-coba meraba kumis harimau."
Berubahlah sikap sembilan orang itu mendengar kata-kata ini, juga Kun Hong yang berada di tempat persembunyiannya tercengang keheranan. Bagaimana pemuda itu bisa tahu akan hal ini" Hatinya berdebar penuh dugaan. Jangan-jangan bayangan yang bergerak cepat seperti iblis malam tadi adalah dia ini!
Mungkinkah pemuda sombong ini memiliki kepandaian begitu tinggi"
"Twako, ternyata dia mata-mata seperti yang kami sangka. Menghadapi bocah seperti ini perlu apa banyak bicara" Twako, biarlah kami berdua membereskannya di sini, siapa yang akan tahu?" kata Kam Ki Hoat. Ketika melihat Kang Houw si gendut muka kanan-kanak itu mengangguk perlahan, Kam Ki Hoat berkata kepada adiknya, "Mari kita tamatkan setan ini." Dengan sikap mengancam dan menakutkan, kedua orang tinggi besar yang kelihatan amat kuat itu menghampiri pemuda yang tubuhnya kecil dan kelihatan lemah itu.
"Bocah yang telalu lebar telinganya, terlalu besar matanya dan terlalu lebar mulutnya! Bersiaplah menghadap raja akhirat!" teriak Kam Ki Hoat.
Kun Hong memandang tajam, akan tetapi melihat sikap yang tenang sekali dari pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu belum terancam bahaya, maka ia hanya memegangi dua buah batu kecil di kedua tangannya, siap menolong.
Pemuda itu benar-benar amat tenang menghadapi dua orang yang tinggi besar dan mengancamnya itu. Dengan tersenyum mengejek ia berkata, "Dua ekor monyet besar menjual lagak. Siapa takut gertakanmu?"
Kam Ki Hoat dan Kam Siong berseru keras, dengan berbareng mereka maju menerjang dari kanan kiri. Kam Ki Hoat menggunakan gerakan Harimau Menerkain Domba, kedua tangannya meluncur ke arah leher pemuda itu untuk memukul patah atau mencengkeramnya. Dari kiri Kam Siong menggunakan gerakan Kilat Menyambar Batu, kedua tangannya yang terkepal sebesar kepala orang itu memukul bergantian ke arah lambung dan ulu hati lawan. Sekaligus pemuda itu diserang dari kanan kiri ke arah atas dan bawah tubuhnya, dengan penyerangan yang dahsyat dan penuh tenaga yang amat kuat. Anehnya, pemuda itu diam saja tak bergerak, seakan-akan tidak tahu bahwa dia diserang orang dari kanan kiri! Akan tetapi, ketika empat buah tangan itu sudah mendekati tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan, tangan kakinya bergerak dan... dua orang saudara Kam itu berteriak kesakitan. Apa yang terjadi" Ternyata serangan Kam Hoat malah mengancam leher Kam Siong sedangkan pukulan-pukulan Kam Siong mengancam ulu hati dan lambung kakaknya! Mereka kaget dan berusaha menarik kembali serangan, akan tetapi tetap saja masih saling menggebuk yang membuat keduanya terpental dan jatuh terduduk, saling memandang dengan mata, melotot heran. Adapun pemuda itu masih! berdiri di tempat tadi, tersenyum penuh ejekan yang memanaskan perut.
Tujuh orang lainnya yang melihat ini, menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak dapat melihat nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang saudara Kam sudah saling memukul sendiri. Gilakah dua orang saudara Kam itu" Ataukah memang tadi gerakan mereka itu keliru dan justeru saling bertentangan" Hanya Kun Hong yang diam-diam kagum sekali juga kaget karena ternyata olehnya bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang pandai sekali. Sekarang makin besar dugaannya bahwa bayangan hitam tadi tentulah pemuda ini pula orangnya. Ia tidak mengenal gerakan Si Pemuda ketika menjatuhkan kedua lawan tadi, akan tetapi dapat mengikuti dengan pandang matanya dan ia tahu bahwa pemuda menggunakan kelincahannya dan ilmu
"menggunakan sedikit tenaga meminjam tenaga lawan", sambil mengelak cepat sekali ia menggencet kaki kedua lawannya bergantian selagi kedua lawan itu menyerang, melejit ke kanan mendorong Kam Ki Hiat ke depan sehingga tak dapat dicegah lagu kedua saudara itu berubah arah penyerangan mereka dan terjadi saling gebuk sendiri!
Tentu saja Kam Ki Hoat dan Kam Siong marah sekali, juga malu karena terang-terangan mereka tadi dipermainkan oleh pemuda itu. Sambil mengeluarkan gerengan seperti macan kelaparan, keduanya menerjang kembali dari kanan kiri. Kam Ki Hoat mengeluarkan ilmu tendangan yang jarang dapat dihadapi lawan, tendangan geledek yang akan dapat menumbangkan sebatang pohon besar. Sedangkan dari kiri Kam Siong juga mengeluarkan ilmu pukulannya, pukulan geledek yang akan dapat meremukkan kepala seekor harimau! Pendeknya, sekali ini dua orang saudara ini hendak menghancurkan tubuh pemuda kurus itu dari atas dan bawah agar menjadi hancur dan lumat seperti tahu dicacah!
Seperti juga tadi, pemuda itu kelihatannya tenang dan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini tujuh orang penjahat lainnya memandang penuh perhatian. Takkan salah lagi, pikir mereka, sekarang pemuda ini pasti akan mampus! Hanya Kun Hong yang diam-diam tersenyum karena timbul kekaguman dan kepercayaan besar dalam hatinya terhadap kelihaian pemuda ini. Ia juga memandang penuh perhatian, ingin sekali melihat dengan cara bagaimana pemuda ini akan mengalahkan lawan-lawannya. Dan ia kembali kagum sekali melihat cara pemuda itu berkelebat mengelak sambil mengerahkan ginkangnya, menyelinap di antara pukulan dan tendangan.
Ketika kaki Kam Ki Hoat menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menangkap tumit lawan dan mendorong, dan pada saat yang hampir bersamaan, pukulan geledek Kam Siong juga meluncur lewat, tangan kanannya bergerak menangkap pergelangan tangan itu dan mendorong.
Akibatnya... tubuh Kam Ki Hoat terlempar ke atas sampai tiga meter sedangkan tubuh Kam Siong terdorong ke depan berjungkir-balik dan terguling-guling sampai lima enam meter! Kedua orang ini agak nanar, menggerak-gerakkan kepala dengan mata menjuling dan berkunang-kunang.
Beberapa lama kemudian keduanya dapat merangkak bangun dan kemarahan mereka memuncak. Tampak benda berkilat ketika kedua orang saudara Kam ini mencabut golok mereka yang besar, tajam dan meruncing.
"Bocah iblis, rasakan pembalasanku!" Kam Ki Hoat berteriak sambil lari menerjang.
"Mampus, kau setan!" Kam Siong juga berseru marah sambil memutar-mutar goloknya menyerang.
Agak kuatir juga hati Kun Hong melihat betapa dua orang tinggi besar itu mainkan golok yang demikian tajamnya. Mengerikan sekali. Apalagi karena ia dapat melihat bahwa ilmu mereka bermain golok agaknya lebih lihai daripada ilmu pukulan mereka. Bagaikan kilat menyambar-nyambar, dua batang golok itu menyerang dari kanan kiri, sedangkan pemuda itu tetap saja bertangan kosong, tidak mau mencabut pedangnya dan malah enak-enak saja menanti datangnya dua batang golok yang mengancamnya!
Penyerangan maut kali ini akibatnya hebat sekali. Tujuh orang penjahat itu sampai terbelalak mata mereka saking kaget dan herannya. Hanya tampak dua tubuh saudara Kam yang tinggi besar itu seperti bola-bola ditendang melayang ke arah pohon besar, disusul melayangnya dua benda gemerlapan dan tahu-tahu dua orang saudara Kam itu telah tergantung di batang pohon dengan leher baju terpantek pada batang itu oleh golok mereka sendiri!
Agaknya pemuda yang aneh dan luar biasa itu secara cepat bukan main telah berhasil melontarkan tubuh mereka ke arah pohon sambil merampas golok, kemudian menggunakan golok-golok itu sebagai golok terbang yang langsung memantek dua orang tinggi besar itu melalui leher baju mereka. Kini tubuh dua orang itu tergantung, kedua kaki mereka bergerak-gerak dan mereka kelihatan ketakutan sekali karena golok mereka sendirl begitu dekat dengan leher!
Kun Hong mengerutkan keningnya. Hatinya memang girang sekali melihat bahwa pemuda ini walaupun sombong, kiranya tidak kejam dan tidak mau menbunuh atau melukai berat kepada lawan. Akan tetapi diam-diam ia mulai ragu apakah perlu ia membantu karena melihat gerakan-gerakan tadi, terutama ketika menyambit dengan golok-golok itu, ia sangsi apakah dia sendiri becus melakukannya. Ia sangsi apakah dia sendiri mampu mengalahkan pemuda yang benar-benar luar biasa ini. Tak terasa lagi dua buah batu yang tadi dipegangnya dalam persiapan menolong, terlepas dari tangannya dan ia menonton lagi dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik.
Tiba-tiba dua bayangan orang melesat ke arah pohon itu dan cepat sekali dua bayangan itu telah melayang turun lagi sambil mengempit tubuh kedua saudara Kam dan memegang golok yang tadi memantek dua orang ini pada pohon. Hebat gerakan itu, sekaligus melayang, mencabut golok dan mengempit orang sambil melayang turun kembali. Kiranya dua orang ini adalah dua orang di antara Hui-liong Sam-heng-te. Setelah menurunkan kedua orang saudara Kam itu, tiga orang kakak beradik Si Naga Terbang ini maju menghampiri pemuda tadi. Sikap mereka tenang akan tetapi pandang mata mereka penuh ancaman. Tiga orang ini berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh kurus-kurus sesuai dengan keahlian mereka, yaitu ilmu meringankan tubuh yang membuat mereka dijuluki Naga Terbang. Mereka ini adalah kakak beradik she Cong berasal dari daerah Kang-lam dan nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai ahli-ahli ginkang dan ahli pedang yang jarang bandingnya.
Pemuda itu tersenyum. "Ah, pantas kalian dijuluki Hui-liong (Naga Terbang), hanya sayang bahwa julukan itu terlalu muluk untuk tiga saudara maling kecil.
Sayang orang-orang yang sudah memiliki kepandaian sebaik itu merusak nama sendiri dan menjadi maling-maling tak tahu malu."
Tiga orang itu kaget juga. Pemuda ini kelihatannya masih hijau, akan tetapi ternyata sudah mengenal nama mereka. Apakah karena nama mereka yang sudah terlalu populer. Akan tetapi berbareng mereka juga merasa marah sekali dimaki sebagai maiing-maling kecil.
"Bocah bermulut lancang! Kami Hui-liong Sam-heng-te bukanlah maling-maling kecil, keparat!"
' "Ah" Betulkah" Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin mencuri barang-barang berharga dari Thai-san-pai nanti?"
Merah muka tiga orang kurus itu. Tak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan Lam-thian Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan tetapi hal itu bukan hanya karena barang-barang itu tentulah merupakan barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk melampiaskan dendam kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka beberapa tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tidak boleh dianggap sebagai perbuatan "maling-maling kecil"!
"Kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah denganmu" Kau siapa?" tanya seorang di antara mereka, yang tertua.
Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Bukankah kalian tadi menganggap aku anak murid Thai-san-pai" Nah, aku memang murid Thal-sanpai. Kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-san-pai" Ih, benar-benar tak tahu diri!
Bercerminlah lebih dulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk mengganggu Thai-san-pai!"
Kemarahan Hui-liong Sam-heng-te tak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Si Pemuda tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah. Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.
"Eh, eh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!" pemuda itu berseru. Tiga orang itu tertegun dan saling pandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.
"Hemm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!"
"Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?" teriak orang yang termuda.
"Eh, kalian tidak percaya" Nih, lihat!"
Pemuda itu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang pedang.
"Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu" Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang aseli, melainkan sudah campur aduk seperti masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai."
Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu ketika menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang amat mengherankan bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus mereka. Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-lun-pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang akan belajar ilmu pedang. Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka" Biarpun mereka bukan murid-murid aseli dari Kun-lun-pai, namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.
"Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu," kata orang tertua dari ketiga Naga Terbang.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu membolang-balingkan ranting di tangannya., "Menghadapi ilmu pedang cap-cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!"
Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang.
Mereka malu sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan ke arah pemuda itu.
Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar mainkan Ilmu Silat Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini. Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka bertiga! Tentu saja mereka tidak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka dilanjutkan. Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali seorang di antara mereka menusuk atau membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.
"Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?" pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang betul-betul dilakukan sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!
Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang, ranting di tangannya berkelebat cepat sekali dan di lain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa. Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat. Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu.
Melihat hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh terguling. Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.
Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong lalu berkata, "Eh, bagaimana sekarang" Apakah Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya" Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-san-pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san."
Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu sekali. Benarkah pemuda ini anak murid Thai-san-pai" Kalau hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ah, kiranya takkan mungkin bergerak di Thai-san.
"Tuan Muda, sebenarnya, siapakah kau?"
"Hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?"
Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju. "Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah ini." Twakonya mengangguk.
"He-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!" seru Si Pemuda.
"Apakah kehendakmu" Lebih baik kau ajak tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!"
Bi youw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang merah. "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu."
Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura. "Iihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal" Habis ke mana mencari gantinya nanti" Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sandiri."
"Bangsat, lihat pedang!" Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu,
"Hayaaaa, ada tikus bermain siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!"
Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedangnya. Bi Houw mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Bagaikan sebuah, bayang-bayang saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.
"Awas, pedangmu beradu!" pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan "traaanggg!" benar saja, dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.
"Iihhh!" Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.
"Awas, buntutmu putus!" Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga... "brettt" kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!
"Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul....!" Bi Houw yang marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus.
Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dtngin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian ia hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
"Bocah, kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan dan orang ke tiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak" Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kausuruh maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.
bagian 68 "Sombong rasakan cambukku!" Orang ke tiga yang bernama Teng Houw ini segera menyerang, cambuknya mengeluarkan bunyi tar-tar keras dan ujung cambuk bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu, Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya ia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu hanya membunyikan cambuknya dan mengamang-amangkan untuk menggertak saja. Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, ia tadinya merasa jengah untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah berapa banyak nyawa lawan direnggutnya. Kiranya pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum dan memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas. Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bcrgerak mendahului gerakan cambuk dan sedikitpun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Malah ia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan"
Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton." Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tak lama kemudian, benar saja matanya menjadi makin juling kctika ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar -putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka, ia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi-buta, seakan-akan menyerang bayangan setan. Tiba-tiba terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha menbetot gagangnya namun makin dibetot makin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik! Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi berhasil menyambar ujung cambuk dan melilitkannya di leher lawan sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Baru setelah twakonya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri.
Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan. Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Ia sudah banyak pengalaman maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu.
Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran terdahulu, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang amat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah memiliki kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu apamukah?"
Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan, "Eh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai menantumu" Apakah anak menantumu tidak juling seperti kau" Sudahlah, jangan banyak tanya cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak tapi tidak becus apa-apa, berani hendak mengacau Thai-san-pai" Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari "Thai-san-pai!"
Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus ia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa biarpun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik Iwee-kang maupun gin-kangnya dari tingkat tinggi. Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya juga mata keranjang. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Ia melintangkan ruyung di depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahu siapa namamu" Kau sudah mengenal kami semua, memang kau memiliki mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tiada artinya bagimu. Kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan takkan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan kalau kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kaupun akan bertangan kosong saja?"
Pemuda itu sejenak meragu. Biarpun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling." Ucapan ini benar-benar amat takabur karena keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan lebih banyak pengalamannya sehingga lebih patut kalau yang tua yang mengalah.
Namun kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata,
"Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!" Baru saja habis ucapannya ini, ruyung telah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang hebat, ruyungnya yang berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!
"Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring karena ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang "berisi", jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka ia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang-kadang juga untuk baias menyerang. Anehnya, kedua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang amat janggal, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi dengan sengit juga balas menyerang setiap kali mendapat kesempatan. Hebatnya tak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalas, sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu berseru memuji karena ternyata segera bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang amat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan ia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam diri pemuda ini dari segala jurusan. Melihat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapapun tak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tidak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, ia pun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu. Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san pai dan tidak membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah ia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik dan ketika turun ia disambut hantaman ruyung, kembali ia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas. Pertunjukan ini hebat sekali sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji.
Agaknya Si Mata Juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya" Dengah penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehlngga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg! Aduhhh....!" Tampak bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan ruyungnya sapat ujungnya, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada di tangan kanannya! Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak saja untuk menangkis, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas senjata! serunya dengan suara nyaring, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Sl Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu telah berputar di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Si Mata Julingi dengan wajah pucat memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau apanya Si Raja Pedang....?"
Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat Si Pemuda harus mengerahkan kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, kemudian tubuhnya melesat ke sana ke mari dan kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat Si Pemegang Ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan. Pada saat Si Mata Juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu dengan gerakan yang amat ringan seperti burung walet terbang, meloncat ke atas. Namun lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuh? nya masih di udara itu!
Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong Si Pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. Biarpun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup malah.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, setelah bawahanmu kalah semua, apakah kau pun ingin coba-coba?"
Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas mcmbayangkan kekaguman.
"Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kangouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini!
Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"
Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis akan tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. "Mengapa tidak berani" Kau adalah seorang ahli Iwee-kang, namun Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lwee-kang!"
"Bagus, kau boleh coba menyambut ini!" Kakek gendut itu lalu memukul dengan! tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pernuda. Melihat ini pemuda itu dengan berani sekali lalu menyambut pukulan dengan tangan kanannya. Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru celaka, karena ia maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga Iwee-kang yang amat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut" Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk" Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu maka ia sengaja mengajak adu tenaga Iwee-kang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel tangan kirinya, kemudian datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat mempergunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong.
Begitu kedua telapak tanganya itu bertemu, tubuh keduanya tergetar, akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, namun yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia maklum bahwa pemuda itu lihai karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di "tempel". Inilah yang ia kehendaki. Sambli tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat, sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk. Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepala seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya amat cekatan dan tangkas tidak kalah dengan gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...."bretttt" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa!" Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga pelan-pelan kedua tangan itu terlepas, dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga Iwee-kang yang membalik.
Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara. Sama-sama mereka membebaskan diri dari penyerangan tenaga Iwee-kangnya yang membalik, namun tentu saja gerakan pemuda itu jauh lebih indah dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua dan pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrak pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya" Mari kita serbu bersama!"
teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha, sudah sejak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, ia merasa tepukul dan malu sekali. Nama mereka sembilan orang laki-laki gagah yang namanya tidak asing lagl di dunia persilatan, hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak" Akan tetapi, kalau pemuda in! tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak,
"Orang muda, biarpun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya. "Siapa takut kepada kalian" Kalau aku tidak mampu merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, benar-benar keadaannya berbahaya. Biarpun seorang melawan seorang dia telah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja. Selain ini, kalau dikeroyok, kiranya pemuda itu tidak akan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah, Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras,
"Tahan dulu, jangan berkelahi!!" Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran.
bagian 69 Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa" Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batinnya sepcrti yang ia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini" Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam" Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau pergi saja sebelum kalian mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!" Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Akan tetapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil, bibirnya membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot seakan-akan hendak keluar biji mata mereka dari ruangnya. Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri seperti patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk "mengatur" matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang makin menjuling. Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, lalu ia berteriak,
Sebilah Pedang Mustika 6 Renjana Pendekar Karya Khulung Hina Kelana 39
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama