Ceritasilat Novel Online

Rajawali Emas 9

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, biarpun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali memilih ketua baru selama Lo-kai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?" Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau kau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."
"Aku tidak sudi selama Lo-kai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan tidak sudi membiarkan seorang di antara kamu menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang.
Apalagi seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke arah muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi merah sekali.
"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."
"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah. Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.
"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lo-kai berseru untuk melerai mereka.
"Biarlah, Lo-kai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.
"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus. Adapun para anggauta Hwa-i Kai-pang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka.
Keadaan menjadi berisik sekali sehingga suara Hwa-i Lo-kai hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang. Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut, Di lain pihak, Coa-lokai adalah seorang ahli gwa-kang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai seperti sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang keras dan berat.
Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-i Lo-kai, maka biarpun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini, menjadi, tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.
Hwa-i Lo-kai menjadi bingung, Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, akan tetapi apa gunanya" Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu takkan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, malah ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan kedua lengan di belakang, namun siap setiap saat apabila seofang diantara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah.
Pada saat dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh dengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk telinga semua orang.
Heii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"
Karena suara ini hebat dan nyaring semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak demikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis sungguhpun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng. Adapun orang yang berjalan di sampingnya, agak terbelakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya, pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.
Siapakah dua orang ini" Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong!
Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu" Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar semenjak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kai-pang.
Telah dituturkan di bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ini di mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san"
Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkannya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat makin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nan-king). Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia telah berada di kota raja. Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja" Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini.
Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Tapie-san. Setelah turun naik lereng bukit, ia merasa lelah dan mengaso di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.
Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya.
Setelah merasa tubuhnya segar kembali, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.
Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran mengapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tidak dapat ia tangkap artinya. Akan tetapi kenapa tidak pernah, ada suara lain yang menjawabnya" Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!
"Ah, di manakah dia" Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak salah lagi..., tapi betulkah ini dia" Jangan-jangan aku salah duga kecele lagi...."
Tergerak hati Kun Hong. Suara agak menggetar, dan dapat diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi. Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek berpakaian compang-camping, berdiri dengan tongkat tertekan tangan seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri, tangan kiri ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu"
Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini.
Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang, pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana-sini, sepatunya sudati bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu. Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya"
Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.
"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini" Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.
"Mencari apakah yang hilang" Di mana hilangnya" Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.
"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya...."
tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Kaubilang kau hendak bantu aku mencarinya" Huh, betulkah itu" Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.
Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.
"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makah bersama,"
bujuknya. Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.
"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini...
hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."
Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka kelihatan serti orang tidak waras pikirannya.
"Aku pun merasa gembira dapat berjumpa dengan kau di sini kakek yang baik.
Sebetulnya, siapakah yang kaucari itu" Benda ataukah manusia" Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."
Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!" Ia nampak bersemangat dan gembira, tidak melihat betapa muka Kun Horng sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.
"Waaahhh.... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"
Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.
"Siapa bilang tidak boleh" Dia itu musuh besarku, dia telah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya akhirnya aku tahu bahwa dia telah berganti nama... ha-ha-ha...
berganti nama menjadi Hwa-i Lo-kai ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti akan terpegang kau olehku."
"Kau salah, Kek. Betapapun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum, karma yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."
"Uahhh, kau anak kecil tahu apa" Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku membunuhnya karena aku hendak mencari kebahagiaan, kau tahu" Tak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan, seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, samadhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan" Phuah! Omong kosongnya seorang kepala angin.
Kaulihat ini" Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau memiliki harta benda sebanyaknya!" Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!
Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, lalu mengangguk-angguk, tidak heran melihat oraog membuang sebongkah emas yang berharga itu.
"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus, kau sependapat, kalau kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau memiliki kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi" hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"
Kakek itu menoleh ke kiri, tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!
"Apakah ini yang dapat mendatangkan bahagia" Celaka, si manusia sombong.
Kalau penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkait, bisa apakah dia dengan, ilmu saktinya" Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"
Diam-diam Kun Hong terkejut dan sama sekali tidak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini, ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
bagian 49 Sekali remas saja batu hitam hancur lebur, wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.
"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak dalam ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya" Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah maran-marah, jengkel, bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya" Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"
"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan, akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Kenapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The" Bagaimana ini" Harap kaujelaskan, Kek," agar hatiku tidak mengandung penasaran.
"Heh-heh-heh, kau baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Sekarang aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah dalam hatiku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku sudah berhasil membunuh si manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apabila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kaumaksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kaucari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku di saat ini," Di wak tu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Mula-mula kakek itu melengak heran, selalu merah mukanya dan ia menenjadi marah sekali.
"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok."
"Apa boleh buat kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu takkan dapat menemui kebahagiaan."
"Keparat kau kurang ajar sekali akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. He, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apalagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhuku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena terlampau banyak membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua dan anak-anaknya" Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati.
Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kaukira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati" Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi!
Kalau sudah begitu, mana bisa kaubilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"
Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah" Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya karena banyak membunuh orang?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhuku, hanya membaca kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya, dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."
"Dia...." Bu Beng Cu...." Kau muridnya?"" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong. Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.
"Heh, kaubilang muridnya" Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya" Dia itu suhengku (kakak seperguruan), kau tahu" Kalau betul kau telah mewarisi tulisan-tulisan harap kaujejaskan bagaimana bunyi peninggalannya itu!"
Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ta tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!
"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa perbuatan itu baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku yang tidak bisa memberi kehidupan bagaimana aku berhak mengakhirr kehidupan" Aku berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapapun jahatnya si manusia itu, bukanlah berbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula. Nah, begitulah tuiisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."
Kakek itu terlongong kembali, tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulhat apakah benar pedang suhengku!"
Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang ia sembunyikan di balik jubahnya itu" Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan ia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!
"Ah... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam.... ah, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan... meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini...."
"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," kata Kun Hong yang sekarang menyebut locianpwe karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kaulihat sendiri, setelah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, maka kalau kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"
Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, kini memandang "
kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.
"Kau betul... orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ah... selamanya suhengku itu memang bijaksana.... agaknya kau mewarisi kebijaksanaannya
... memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kaukatakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"
Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri.
Bagaimana dia bisa menerangkan kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini" Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.
"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau takkan membunuh orang bernama The Kok itu."
"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberitahukan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."
Lega hati Kun Hong. Betapapun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah dapat membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.
"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagaimanapun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari...."
"Apa kaukata" Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada" Jangan kau main-main!"
Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang mempergunakan penjelasan tentang persoalan yang mengandung filsafat hidup dan sulit itu.
"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak ada.
Kebahagiaan memang ada. Akan tetapi jangan keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Adapun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata.
Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, bukan lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andaikata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasai kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mernpunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di situ akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Apabila orang, mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah dapat ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apalagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya," Sampai berkeringat, kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat, Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, kemudian matanya membelalak dan wajahnya berseri-seri.
"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini.. Kau bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu" Aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"
"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."
"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah...."
"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu: Kebahagiaan seperti bayangan serasa tergenggam di jari tanpa bekas kau lari tak dikejar mendekati dikejar kau menjauhi memang kau bayanganku tak pernah berpisah dariku bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri"
"Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada dalam diri setiap mahluk, setiap yang mengejarnya dia tersesat jauh karena memang tidak dapat dan tidak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati Ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak ataupun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk, taat dan menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan, manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, ia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyah. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."
Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ah, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kauterangkan, kalau ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?"
"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justeru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula" Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah" Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh" Ah, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"
Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku mempunyai alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."
"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan" Kiraku pasti ada alasannya. Betapapun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Kalau Locianpwe membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak dapat tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tidak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang dinamakan menyesuaikan diri dengan sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri" Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah minta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita" Alam merupakan cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan.
Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang dapat menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapapun juga" Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."
"Ah... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), tapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. "Eh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi murid mu. Siapakah namamu?"
"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suhengku, tapi kenapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat" Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kauhafal itu, hendak kulihat."
Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat."
"Hee....?" Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu itu, hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ah, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe." .
Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia berseru,
"Aku akan menyerangmu dan kalau kau, terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!" Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat.
Kun Hong kaget sekali dan otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab, kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan... pukulan itu tidak mengenai tubuhnya. Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek ,itu hanya memukul angin belaka.
bagian 50 Tiba-tiba ia berhenti dan bertepuk tangan.
"Bagus... bagus....! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat...
hebat!" Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon.
"Mana roti keringmu tadi" Keluarkan aku lapar sekali!"
Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya, lalu ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini..
"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik" Ha-ha-ha benar-benar kau merendah.
Bukan main sedapnya roti ini!"
Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia" Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali" Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!
"Eh..., ini... ini... bagaimanakah ini" Mengapa bisa begini, Locianpwe....?"
tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha! Biarpun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan" Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"
"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...." Kenapa roti keringku bisa berubah?"
"Tak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.
"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."
Melihat kakek itu agaknya kesereten (Bhs. Jawa=makanan mengganjal di kerongkongan), Kun Hong menjadi kasihan dan segera ia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.
"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ah, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?" Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya benar-benar adalah arak dalam cawan perak yang indah.
"Eh, bagaimana pula ini...." Locianpwe, apakah aku sudah gila" Ataukah aku sedang mimpi....?"" teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita.
Nanti kuceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.
Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.
"Kaulihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa," Kun Hong melihat dan... betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui.
"Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.
"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat.
Hitam atau putihnya, jahat ataupun baiknya, tergantung dari si pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap" Dan bukankah menambah kenikmatan setelah ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi"
Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kaubaca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini." Ia mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang sekali mendapat hadiah kitab istimewa itu.
"Sekarang, marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang."
Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak...."
Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-Ha! kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.
Demikianlah kisah pertemuan Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok.
telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kai-pang. Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu dan ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua. Kun Hong merasa kuatir sekali dan ia dari jauh segera berteriak-teriak,
"Heeiii..., berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?"
Semua pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera menengok. Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itu pun menghentikan perkelahian mereka dan menengok karena suara teriakan itu benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.
Sementara itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang pertempuran menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.
"Ji-wi Lo-enghiong, kenapa saling hantam sendiri " Aku mendengar bahwa Ji-wi memperebutkan kedudukan Ketua Hwa-i Kai-pang. Kalau tidak salah Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis, kenapa yang hendak menjadi ketuanya menggunakan kekerasan" Apakah hendak menjadi ketua perkumpulan tukang pukul" Benar-benar salah sekali."
Coa-lokai memandang dengan mata terbelalak marah. "Kau ini bocah kurang ajar datang dari mana dan apa urusanmu dengan kami?"
Beng-lokai pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang temannya saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak "Bocah tak tahu adat! Kau ini datang-datang mengacau, kau disuruh kai-pang dari manakah?"
Diserang bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja akan tetapi sebelum ia menjawab, kakek pengemis tua yang berdiri di situ, Hwa-i Lo-kai, berseru keras,
"Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau akhirnya datang juga mencariku. Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kai-pang ke dalam urusan pribadi kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah itu aku siap untuk mati di tanganmu!"
Semua mata sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok.
"Heh-heh-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab dan kasihan sekali kau melarikan diri dan bersembunyi sampai belasan tahun."
Kakek ini terkekeh-kekeh menertawakan.
Muka Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lo-kai menjadi merah sekali. Ia merasa malu dikatakan pengecut di depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka cepat ia menjawab dengan suara keras,
"He, Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan bersembunyi darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi adalah sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku bermusuhan dengan muridmu ketika aku merampok seprang pembesar korup dan muridmu itu membela pembesar tadi, Terjadi pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung tombakku. Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid Sin-eng-cu Lui Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum dan menjunjung tinggi nama pendekar besar Sin-eng-cu Lui Bok. Sekarang aku telah membunuh muridnya.
Aku menyesal dan ada dua hal yang menyebabkan aku melarikan dan menyembunyikan diri. Pertama, karena aku maklum bahwa aku takkan menang, ke dua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat bertanding sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung tinggi sebagai seorang pendekar budiman. Itulah Sin-eng-cu, yang menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan bersembunyi.
Akan tetapi hukum karma tak dapat dihindarkan manusia, agaknya Thian yang menuntunmu sampai ke sini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak menghabisi nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua Hwa-i Kai-pang setelah itu terserah kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua, Sin-eng-cu."
Lega hati Sin-chio The Kok setelah mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh semua orang itu, akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja dan diam-diam hati kakek ini pun girang bahwa dia sebelumnya bertemu dengan Kun Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang sayang sekali. Apalagi ia pun maklum bahwa muridnya telah membela orang yang terkenal sebagai seorang pembesar korup dan sewenang-wenang, sungguhpun pembesar itu adalah paman muridnya.
Akan tetapi Coa-lokai yang amat setia kepada Hwa-i Lo-kai, ketika mendengar bahwa kakek tua renta yang kelihatan kurus kering itu adalah musuh besar ketuanya, segera membentak marah, "Kau tua bangka berani menghina pangcu kami! Rasakan tanganku!" Coa-lokai menerjang dan langsung menyerang.
"Coa-lokai, jangan....!" Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lo-kai mencegah, namun terlambat sudah. Coa-lokal sudah menyerang dengan hebat, malah mempergunakan pedangnya. Semua orang melihat betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas dan agaknya kakek yang diserangnya itu sama sekali tidak bergerak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang berkerontangan di atas lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya mengangkat sedikit tongkatnya yang butut!
Ketika dilihat ternyata Coa-lokai yang merintih-rintih itu patah tulang lengannya!
Sin-chio The Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian dari Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia cepat menjura dan berkata,
"Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu, akulah yang mintakan maaf dan harap Sin-eng-cu suka bersabar menanti sampai aku selesai mengadakan pemilihan ketua."
Sin-eng-cu Lui Bok tertawa dan hanya berkata, "Silakan..., silakan...."
Kun Hong melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kai-pang itu.
"Tidak tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan sekarang menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang. Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu mendengar bahwa di sini hendak diadakan pemilihan ketua baru.
Kenapa kau membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan ketua"
Kalau kau sendiri yang menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi" Kulihat kau seorang yang berjiwa gagah, kenapa hendak mundur" Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib orang-orang jembel yang sengsara ini terjatuh ke dalam tangan ketua tukang berkelahi, bukankah akan celaka?"
"Ha, betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!" Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah berdiri lagi dengan tangan dibalut berkata keras. "Memang Pangcu tidak perlu diganti lagi!"
"Pangcu, kalau terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang patut menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini," Kun Hong menudingkan telunjuknya ke arah Coa-lokai. "Dia jujur dan setia sekali kepadamu."
Memang biarpun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja ia tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali tidak memiliki pamrih untuk memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi, kemudian kata-katanya sekarang.
Diam-diam Hwa-i Lo-kai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan ucapannya seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini menyebut susiok (paman guru) kepada Sin-eng-cu, tentulah dia memiliki kepandaian hebat pula.
Pada saat itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai berseru marah, "Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu" Usir saja dia dari sini, mengacaukan pemilihan ketua!"
"Betul, Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik kau tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan dengan kepalanku!"
"Ji-wi Lo-kai jangan kurang ajar terhadap tamu!" Hwa-i Lo-kai cepat mencegah karena ia merasa tidak enak sekali terhadap Sin-eng-cu.
Kun Hong tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum saja. "Pangcu, apakah dua orang ini juga pembantu-pembantumu" Alangkah jauh bedanya dengan Coa-lokai."
"Eh, orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Ada hak apakah kau mencampuri urusan Hwa-i Kai-pang?" bentak, Sun-lokai.
Kini Kun Hong bicara dengan muka sungguh-sunggu,"Lo-kai, aku mendengar bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan Hwa-i Kai-pang dan perkumpulan pengemis tentu bertujuan untuk menolong para pengemis dan memperbaiki nasib mereka. Akan tetapi mengapa untuk menentukan seorang ketua harus memilih yang pandai ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri" Apakah Hwa-i Kai-pang mau dijadikan perkumpulan tukang pukul?"
"Kau mengaku keponakan Sin-eng-cu, tapi omongan apa yang kau keluarkan ini?" Sun-lokai membentak, makin marah, "Kalau ketua kita seorang yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kai-pang?"
"Ah, salah sama sekali!" Kun Hong berseru penasaran, "Apakah hanya seorang tukang pukul saja yang dapat memimpin" Memimpin dengan cara ,kekerasan dan kekuatan sama sekali tidak baik."
Kini Beng-lokai juga mendekati Kun Hong. "Kau anak kecil bicara besar! Kalau seorang pemimpin tidak memiliki ilmu silat tinggi dan menggunakan kekerasan, mana bisa para anggauta dipimpin dan mana mereka bisa menaati ketuanya?"
KunHong mengalihkan pandangnya kepada pengemis tua gemuk pendek ini.
"Inilah sebabnya kukatakan salah. Memimpin dengan kekerasan mengandalkan kepandaian silat memang bisa membikin anggautanya taat, akan tetapi taat karena terpaksa! Bukan taat yang timbul dari hati sejujurnya, melainkan taat untuk menjilat. Seharusnya kalian mempunyai seorang ketua yang bijaksana, yang betul-betul dapat mengatur sehingga di antara para pengemis tidak saling gempur, dapat menuntun mereka ke arah kejujuran, kesetiaan dan jalan benar sehingga mereka dapat menemukan kembali lapangan pekerjaan yang terhormat."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat semua orang menengok karena yang tertawa terkekeh-kekeh ini adalah Sin-eng-cu Lui Bok yang kini semua orang di situ tahu sebagai musuh besar Ketua Hwa-i Kai-pang. "Heh-heh-heh, Sin-chio The Kok, kalau benar-benar sayang kepada perkumpulanmu, kalau kau ingin melihat perkumpulanmu menjadi maju dan sempurna, kau angkatlah Kwa Kun Hong ini menjadi ketua menggantikanmu!"
Merah muka Ketua Hwa-i Kai-pang itu dan ia memandang tajam. "Sin-eng-cu, apakah selain datang hendak mengambil nyawaku kau pun bermaksud merampas kedudukan kai-pang untuk murid keponakanmu?" Pertanyaan ini keras dan pedas dan para anggauta Hwa-i Kai-pang juga menjadi berisik.
"Ho-ho-ho, setelah berkumpul dengan orang-orang jahat kau makin tersesat, Sin-chio The Kok. Memang tadinya ketika aku mengabarkan kedatanganku kepadamu, sudah bulat dalam hatiku untuk membunuhmu, membalaskan muridku yang kaubunuh dahulu. Akan tetapi ketahuilah, setelah aku bertemu dengan murid keponakanku yang hebat ini, sekaligus dia bisa mengusir niatku itu dari otakku! Aku tidak ingin membunuhmu lagi, The Kok. Ha-ha-ha, benar dia ini, kau sudah cukup tersiksa akibat perbuatanmu sendiri. Biarpun dia ini murid keponakanku, dalam hal kebijaksanaan aku boleh berguru kepadanya.
Karena itu, kalau dia yang menjadi ketua, aku tanggung Hwa-i Kai-pang akan menjadi perkumpulan yang besar dan maju, dan anak buahmu ini sebentar saja akan berubah menjadi manusia-manusia benar. Tidak seperti kalau kau atau pengemis-pengemis bangkotan ini yang menjadi ketua, para pengemis diajar silat, kelak dari pengemis berubah menjadi perampok. Heh-heh-heh!"
Kaget bukan main hati The Kok mendengar ini. Ada perasaan lega, girang, terharu dan juga malu. Ia menoleh dan memandang kepada Kun Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Jadi bocah yang sikapnya aneh ini malah telah menolong nyawanya dari ancaman Sin-eng-cu! Ia tadinya sudah maklum bahwa ia pasti akan tewas di tangan Sin-eng-cu karena dalam hal ilmu silat, ia jauh di bawah tingkat kakek itu. Sekarang Sin-eng-cu malah mengusulkan supaya pemuda yang bernama Kwa Kun Hong ini menjadi ketua Hwa-i Kai-pang.
"Sin-eng-cu, kau mengaku dia sebagai murid keponakanmu, sebetulnya pemuda ini murid siapakah?" tanyanya, agak meragu.
Kakek kurus itu tertawa lagi, "Ha-ha-ha, jangan bicara tentang ilmu silat dengan Kun Hong, karena mungkin dia tidak akan mampu dan suka membunuh seekor kucing pun, akan tetapi dia ini murid suhengku, gurunya adalah mendiang Bu Beng Cu."
Tidak ada yang mengenal Bu Beng Cu, juga Sin-chio The Kok tak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau pemuda ini murid suheng dari Sin-eng-cu, sudah dapat dipastikan kepandaiannya tinggi juga. Persoalan Ketua Hwa-i Kai-pang bukanlah hal yang remeh, untuk memilih ketua harus dipilih orang yang betul-betul tepat. Bagaimana ia bisa menerima seorang pemuda yang sama sekali belum ia ketahui keadaannya ini untuk memimpin anggauta. Hwa-i Kai-pang yang ratusan orang jumlahnya"
Selagi ia ragu-ragu, Beng-lokai dan Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Beng-lokai berkata kepada Kun Hong,
"Bocah ini mau menjadi ketua kami" Ha-ha-ha, boleh saja asalkan dia mampu mengalahkan aku!"
"Juga harus bisa merobohkan aku, baru berhak menjadi ketua!" kata Sun-lokai sambil menggeser kaki mendekati.
Melihat ini, tiba-tiba Sin-chio The Kok mendapatkan pikiran amat bagus. Dua orang pembantunya ini memang tepat untuk menguji kepandaian pemuda itu.
Maka ia berkata kepada Sin-eng-cu, "Kalau pemuda ini berani menghadapi Beng-lokai dan Sun-lokai serta mengalahkan mereka, aku menerimanya menjadi ketua Hwa-i Kai-pang menggantikan aku. Memang betul bahwa untuk membimbing para anggauta tak perlu dipergunakan ilmu silat, akan tetapi tanpa memiliki kepandaian tinggi, mana mampu menjaga keamanan perkumpulan dan mana bisa menghalau segala orang-orang jahat?"
"Orang muda, kau dengar sendiri. Ketua kami sudah mengijinkan kami berdua menghadapimu. Hayo kau robohkanlah kami!" kata Beng-lokai dengan sikap mengejek dan terdengarlah suara tertawa para pengemis pengikut kedua orang pembantu ini.
Kun Hong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah berkelahi dan aku pun tidak mau berkelahi. Aku bukanlah tukang pukul!"
Ucapan ini memancing datangnya tertawaan lagi di kalangan anggauta Hwa-i Kai-pang. Perkumpulan ini mengutamakan ilmu silat dan kegagahan, malah semua orang anggautanya mempelajari ilmu silat. Bagaimana sekarang hendak mengangkat seorang pemuda lemah seperti itu sebagai ketua"
Kun Hong tidak peduli akan suara tertawa dan ejekan yang dilontarkan kepadanya, akan tetapi Sin-eng-cu menjadi merah mukanya. "Eh, Kun Hong, kau memalukan aku saja. Apakah kau takut menghadapi dua orang pengemis busuk ini?"
Sepasang mata Kun Hong berkilat dia adalah keturunan seorang pendekar besar, ibunya pun seorang pendekar wanita, darah kesatria mengalir di tubuhnya dan bagi keluarganya, kata-kata takut tidak terdapat dalam kamus,
"Aku tidak takut kepada siapapun juga, aku hanya takut kalau-kalau aku akan menyimpang dari kebenaran." Jawaban Kun Hon ini adalah ucapan kuno yang pernah ia baca dalam kitab-kitabnya.
"Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo lawan kami berdua!"
Beng-lokai berkata lagi. Karena maklum bahwa Kun Hong tak mungkin mau menyerang orang, Sin-eng-cu lalu berkata kepada dua orang pembantu ketua itu, "Heh, dua orang jembel busuk, terhadap dua orang badut seperti kalian yang jauh lebih rendah tingkatnya, murid keponakanku mana mau turun tangan" Jangan kalian hanya petentang-petenteng menjual lagak, kalau ada kepandaian, hayo kalian boleh menyerang.
Sun-lokai orangnya cerdik. Kalau kakek ini mencampuri dan turun tangan tentu mereka akan kalah. Tadi sudah terbukti betapa hebatnya kepandaian kakek ini ketika merobohkan Coa-lokai. Malah Hwa-i Lo-kai sendiri kelihatan takut kepada kakek ini. Ia lalu tertawa dan berkata,
"Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang Locianpwe yang tingkatnya lebih tinggi dari kami yang bodoh. Kalau Locianpwe maju membantu bocah ini nanti, kami tentu akan kalah akan tetapi bukan kami yang akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw."
Sin-eng-cu memandang dengan mata melotot. "Monyet kau. Kalau aku memang berkehendak merobohkan manusia-manusia monyet macam kau, perlu apa aku banyak cerewet lagi" Kalian boleh serang dia, biarpun dia sampai terpukul mampus oleh kalian, aku tidak akan membantunya. Dengar janjiku ini!"
bagian 51 Lega dan girang hati Sun-lokai mendengar ini. Ia sudah berhasll membakar hati kakek itu dan sekarang ia dan Beng-lokai tidak usah takut akan turun tangannya kakek yang lihai itu. Mereka berdua memberi isyarat dengan pandang mata, lalu berbareng mereka menyerang Kun Hong sambil berkata,
"Bocah sombong, awas, kalau sakit atau mati jangan persalahkan kami!"
Selama hidupnya Kun Hong belum pernah berkelahi. Kini menghadapi dua orang yang tiba-tiba menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat, ia menjadi kaget dan gugup. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari penyerangan dua orang itu. Dalam pandangannya, penyerangan dua orang ini amat lambat dan mudah dikelit. Rajawali Emas kalau sedang melatihnya jauh lebih gesit dan berbahaya. Oleh karena itu, dengan tenang-tenang dan mudah Kun Hong berhasil mengelakkan semua serangan yang datang bertubi-tubi dari dua orang pengemis lihai tadi.
Bagi semua orang, kecuali Sin-eng-cua lui Bok, gerakan-gerakan Kun Hong tidak karuan dan kacau-balau, kelihatan seperti orang ketakutan dan beberapa kali hendak roboh, terhuyung-huyung, kadang-kadang berjongkok, berdiri, berlari kecil, malah kadang-kadang merangkak. Akan tetapi semua serangan selalu mengenai tempat kosong, menyentuh ujung bajunya pun tidak dapat.
Makin lama para pengemis yang menonton menjadi makin tegang dan kemudian bersorak-sorak karena perkelahian yang tidak seimbang itu memang amat lucu. Kun Hong seperti seekor tikus yang dikejar dan diperebutkan dua ekor kucing, ditubruk sini nyelinap sana, diterkam sana mengelak ke sini. Tak seorang pun menganggap bahwa pemuda itu pandai ilmu silat karena gerakan-gerakan yang kacau balau dan tidak teratur itu mana bisa disebut. ilmu silat"
Bagi mereka, dianggapnya bahwa Kun Hong ketakutan dan kebingungan dan bahwa dua orang lokai itu memang sengaja tidak mau melukainya atau hendak mempermainkannya terlebih dulu. Tak seorang pun tahu bahwa diam-diam dua kakek pengemis itu kaget dan heran bukan main, tengkuk mereka terasa dingin dan bulunya pada berdiri. Hampir mereka itu tak dapat mempercayai kalau tidak mereka hadapi sendiri. Siapa tidak menjadi seram kalau sudah mengeluarkan seluruh kepandaian untuk memukul roboh pemuda lemah ini, akan tetapi tak perah mengenai sasaran" Padahal tampaknya pukulan-pukulan, dan tendangan-tendangan sudah tepat, namun heran sekali, begitu tiba pada sasaran, mendadak yang dijadikan sasaran sudah berpindah tempat. Maka kedua orang pengemis ini setelah lewat lima puluh jurus, menjadi pucat dan penuh keringat.
Selain Sin-eng-cu yang diam-diam mengagumi Kim-tiauw-kun ciptaan suhengnya, juga Sin-chio The Kok memandang dengan mata terbelalak. Ia pun bingung dan merasa heran, apalagi kalau melihat gerakan Kun Hong begitu kacau-balau seperti orang mabuk. Akan tetapi karena memang tingkat kepandaian The Kok sudah tinggi, makin lama makin teranglah baginya bahwa gerakan atau langkah-langkah kaki Kun Hong itu biarpun kelihatan kacau, sebenarnya adalah langkah-langkah ajaib yang luar biasa sekali. Begitu ia memperhatikan langkah-langkah itu, terasa matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia terkejut dan cepat mengumpulkan Iwee-kang untuk menahan kepusingan. Ia mengerahkan tenaga untuk memperhatikan terus, akan tetapi akhirnya ia harus mengalah, harus mengalihkah perhatiannya.
Langkah itu demikian ajaib dan luar biasa sehingga kalau ia paksa, mungkin akan membuat ia jatuh pingsan!
Ketua Hwa-i Kai-pang ini maklum bahwa pemuda aneh itu benar-benar telah mewarisi ilmu yang ajaib dan tahu bahwa kedua orang pembantunya tentu akan menderita celaka kalau dilanjutlkan, maka ia bermaksud nnenghentikan pertempuran itu. Akan tetapi sebelum ia membuka mulut, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gesit sekali dibarengi bentakan halus.
"Dua orang tua bangka tak tahu malu berani kau menghina pamanku?"
Gerakan bayangan ini gesit sekali, berbareng menyambar sinar hitam dan tahu-tahu Beng-lokai dan Sun-lokai terhuyung-huyung ke belakang!
Ketika semua orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, yang memegang sehclai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua orang itu sehingga mereka terhuyung-huyung kebelakang. Pada saat berikutnya, kembali berkelebat bayangan orang dan seorang gadis lain yang juga cantik manis sudah berdiri disitu dengan sikap gagah.
Beng-lokai dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda. Berbareng mereka mencabut pedang dan siap menerjang dua orang gadis itu. Gadis yang memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga tiba-tiba menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam telah berada di tangannya.
"Hi-hik, kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup" Cu-cici (Kakak Cu), mari kita basmi dua ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman Hong ini!"
Kun Hong segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang bermata seperti bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh gadis ini ke atas pohon mempergunakan sabuk sutera hitam itu.
"Eh... eh... kau... anak nakal... jangan berkelahi!" katanya mencegah.
Sementara itu, Hwa-i Lo-kai juga mernbentak kedua orang pembantunya,
"Beng-lokai dan Sun-lokai, harap kalian mundur dan simpan senjata!"
Suaranya berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih penasaran itu tidak berani membantah lagi, dengan muka keruh mereka segera mundur.
Sementara itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya berkerut. Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah seorang gadis yang berwatak nakal dan jahat, suka berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan bencana, bunuh membunuh antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu itu. Akan tetapi ia jaga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!
"Eh, Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan aku menjadi pamanmu?" tegurnya dengan suara galak.
Gadis itu yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka dan ia tidak menjawab, melainkan ia menoleh kepada gadis ke dua yang bukan lain adalah Thio Hui Cu. "Cu-cici, benar tidak ceritaku"
Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya membuat aku terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat, berani merantau sampai ke sini, malah baru saja kita lihat tadi dia dikejar-kejar dua ekor keledai, tapi sedikit pun tidak takut. Agaknya disamping kelucuan dan keanehannya, dia pun memiliki nyawa rangkap."
Hui Cu yang alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas berani menatap wajah Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.
"Hee, jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan berdasarkan apa kau mengaku sebagai, keponakanku?"
Senyum Li Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan tetapi di balik keramahan dan kejenakaannya tersembunyi sifat nakal yang terpancar keluar dari sepasang matanya.
"Paman Hong yang tercinta...."
"Hush....!" Merah muka Kun Hong. "Bicara yang benar jangan berolok-olok!"
"Kau memang pamanku sejak aku lahir dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu adalah kakek guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku" Bukan hanya aku, malah Cici Hui Cu ini pun keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari Supek (Uwa Guru) Thio Ki."
Kun Hong sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya. "Apa kaubilang" Mana bisa Suko (kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai anak?"
Li Eng terkikik sambil menutupi mulutnya. "Tentu saja yang beranak bukan Supek melainkan isterinya, hi-hi-hik."


Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hui Cu tak dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan. "Ih, Eng-moi, jangan bicara tidak karuan."
Juga muka Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia benar-benar tidak mengerti. Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, di antaranya adalah tentang riwayat sukonya itu, tidak tahu sama sekali bahwa sukonya yang dahulu bernama Thio Ki itu pernah punya isteri.
"Jangan kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?"
Kembali Li Eng menoleh kepada Hui Cu, "Kaulihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping lucu aneh dan berani, juga ininya... kurang sekali." Ia menunjuk ke arah dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang kebodohan Kun Hong.
"Paman Hong, nanti kalau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya. Pendeknya, Cici Cu ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu."
Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping pengetahuannya yang mendalam tentang iimu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.
"Aduh senangnya....! Aku mempunyai keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini... eh, cantik dan manisnya, Kau bernama Hui Cu" Tentu namamu Hui Cu... tapi kenapa kau tidak mirip Suko" Ah" tentu mirip ibumu."
Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, tentu orang-orang akan menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main. Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya, dan ia hanya tersenyum sedikit, memandang sekilas lalu tunduk dengan telinga merah, apalagi diketawai oleh Li Eng dan malah mendengar suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir di situ.
"Iih, Paman Hong. Kau bikin aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu, aku pun keponakanmu, apa kau lupa?"
Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya berkerut. "Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?"
Li Eng cemberut. "Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku, sudahlah....! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"
Hui Cu merangkul Li Eng. "Adik Eng, jangan ngambek. Eh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-san-pai."
"Begitukah?" Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya, lalu ia menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan. "Bagus, kau puteri mereka" Ha, ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-sanpai" Aduh senangnya!"
"Hish... apa-apaan kau ini, Paman Hong?" Li Eng menjadi malu juga karena ia dipaksa menari-nari tidak karuan, "Dilihat banyak orang, apa tidak malu" Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong mengharap-harap kembalimu."
Kun Hong melepaskan gandengannya. "Aku pun hendak kembali, apalagi sekarang setelah semua berada di sana." Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira.
Terhadap kakek ini Kun Hong menjura dan berkata, "Susiok, perkenankan teecu pergi, karena teecu harus kembali ke Hoa-san."
Sin-eng-cu Lui Bok tersenyum dan berkata, "Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Aku pun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana." Setelah berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok berjalan membungkuk-bungkuk sambii memutar-mutar tongkatnya, biarpun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata.
Kun Hong berpaling kepada Hwa-i Lo-kai dan menjura.
"Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu.
Setelah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu." Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu dan berkata gembira,
"Hayo, anak-anak! Hui Cu dan... eh, kau yang nakal siapa namamu?"
Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini. "Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"
"Hayo kita pergi dari sini!" kata lagi Kun Hong.
Akan tetapi Hwa-i Lo-kai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata,
"Nanti dulu, Siauw-sicu. Aku atas nama Hwa-i Kai-pang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-i Kai-pang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-i Kai-pang!"
Sin-cio The Kok atau Hwa-i Lokai adalah seorang yang amat luas pandangannya.
Memang ia bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-i Kai-pang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat ke sempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu. Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa, sungguhpun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribadi tinggi dan pengetahuan luas. Apalagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok pemuda ini.
Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sin-eng-cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan Hoa-san-pai. Kalau Hwa-i Kai-pang dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoa-san-pai sehingga menjadi amat kuat"
Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Ia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak. "Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang?"
Pada saat itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar, "Saudara-saudara para anggauta Hwa-i Kai-pang yang masih setia kepada Hwa-i Lo-kai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!" Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, di belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Beng-lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka merah. Kun Hong makin gugup, apalagi ketika melihat Hwa-i Lo-kai sendiri menjura dan mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai yang memelopori para anggauta itu, ia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan jelas, kelihatan ia menderita rasa sakit yang hebat, sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok.
Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata,
"Lo-kai, kau ke sinilah!"
Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong, Pemuda ini tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, melainkan terlepas sambungannya. Memang semenjak ia membaca kitab pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-beng Yok-mo, pengetahuannya tentang luka dalam dari segala macam penyakit menjadi luar biasa sekali.
"Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu," katanya perlahan.
"Lain kali jangan kau memandang rendah orang seperti dia, Lo-kai." Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan lengan itu mengempis lagi. "Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan selama sehari semalam.
Tentu akan sembuh kembali."
Tidak hanya Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ terheran-heran, termasuk Li Eng dan Hui Cu.
"Terima kasih banyak atas pertolongan Pangcu," kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.
"Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lo-kai itulah," kata Kun Hong.
"Tidak, kaulah Pangcu yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya dariku." Hwa-i Lo-kai lalu mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah, diangsurkan kepada Kun Hong.
Tentu saja Kun Hong tidak mau menerimanya. "Jangan, Pangcu. Aku tidak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah di antara pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san."
Berkerut kening Hwa-i Lo-kai dan wajah kakek ini menjadi pucat. "Sicu, ada satu peraturan yang kami pegang keras, yaitu apabila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan. Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, karena kau adalah seorang mulia dan budiman yang telah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan Sin-eng-cu, bagaimana aku dapat berbuat dosa terhadapmu" Karena itu, apabila kau tetap menolak untuk menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i Kai-pang, aku tua bangka akan membunuh diri di depan kakimu untuk menebus penghinaan ini dan selanjutnya tentang Hwa-i Kai-pang kuserahkan kepadamu!" Setelah berkata demikian, kakek itu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.
"Heeiii, jangan...!" Kun Hong maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang, "Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya" Kau tidak boleh membunuh diri!"
"Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."
bagian 52 Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.
"Baiklah... baiklah, kausimpan dulu pedangmu."
Dengan muka girang Hwa-i Kai-pang menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun Hong menerimanya dan para pengemis anggauta Hwa-i Kai-pang bersorak girang, kecuali mereka yang tidak setuju.
"Begini Hwa-i Lo-kai. Setelah aku menjadi ketua, tentu semua anggauta Hwa-i Kai-pang, termasuk kau sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"
"Tentu saja, biarpun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu" kata Hwa-i Lo-kai penuh semangat.
"Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua) yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kai-pang jika aku tidak berada di sini. Kau boleh memilih pembantu sendiri , dan selama aku tidak berada di sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya. Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang menjadi wakilku untuk sementara."
Semua orang tahu belaka bahwa ini adalah akal pemuda itu, akan tetapi karena merupakan perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.
"Tentu saja Lo-kai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini sebagai main-main dan jangan menegakan kami Hwa-i Kai-pang," kata kakek itu.
Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang kang-ouw, maka ia segera berkata kepada Hwa-i Lo-kai, "Lo-kai, harap kaumaklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera tunggal dari Ketua Hoa-san-pai, sebelum menerima ijin ayahnya, mana dia berani berdiam di sini menjadi ketua Hwa-i Kai-pang?"
Hwa-i Lo-kai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.
"Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin!
Tentu saja perintah Pangcu kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan membuang waktu untuk menengok keadaan kami."
Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa salahnya" Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Akan tetapi dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai dan Sun-lokai ini tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui Bok masih berada di situ karena maklum akan kelihaian kakek itu.
Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.
"Tidak adil sekali keputusan ini!" seru Sun-lokai.
"Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!" seru Beng-lokai.
"Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga lo-kai, dan di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih seorang bocah luar yang masih ingusan" Aku tidak setuju akan keputusan ini!" kata pula Sun-lokai.
"Betul sekali ucapan Sun-lokai. Aku pun tidak mau terima, kalau bocah tolol ini dapat memecahkan dadaku, baru aku mau mengakui Ketua Hwa-i Kai-pang!
Eh, bocah sombong, hayo maju dan lawanlah aku!" Beng-lokai menantang.
"Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!" tantang pula Sun-lokai dan dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.
"Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lo-kai harap sabar dan mundur karena mulai sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kai-pang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau anggauta Hwa-i Kai-pang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan. Ji-wi akan memberi contoh yang buruk kepada para anggauta. Harap Ji-wi mundur."
Bukan main marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat! "Kau...
kau...!" Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap mengancam.
Hwa-i Lo-kai membentak, "Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai saat ini kalian bukan pembantu pengurus dan dikeluarkan dari keanggautaan. Lepaskan tali-tali putih dari pinggang kalian."
Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya, tanpa berkata sesuatu mereka melepaskan ikat pinggang putih tujuh helai dari pinggang masing-masing, kemudian dengan suara lantang mereka berkata kepada Kun Hong,
"Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kai-pang untuk mengadu kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i Kai-pang hanyalah seorang pengecut hina...." Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti karena tiba-tiba Hui Cu sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.
"Keparat bermulut kotor!" gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api, "Manusia, tak tahu diri, pamanku sengaja mengalah kepadamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan mulutmu melebar. Siapa sih yang takut kepada manusia macammu" Biar ada sepuluh orang macam kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan biar yang sepuluh itu dilawan oleh aku seorang!"
"Hi-hik!" Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. "Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar, sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"
Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui Cu, "Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!!"
Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, "Paman Hong, yang begini ini sebetulnya tak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."
Tentu saja Beng-lokai menjadi makin marah. Orang bicara seenaknya saja tentang dirinya, seakan-akan dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanak-kanak. Ia mengeluarkan suara menggereng,
"Ketua baru benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita...."
"Plakk!" Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu telah menampar pipi kanan Beng-lokai, membuat kakek ini sempoyongan dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah dan napasnya berat, tanda bahwa kemarahannya sudah memuncak. Saking marahnya ia sampai tidak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.
"Hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh tangan kirimu yang berbau keledai!" Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama dari pihak para anggauta yang tldak suka kepada Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang berwatak nakal dan pandai bicara.
Beng-lokai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. Di sinilah Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo. Sebagai putera pendekar, tentu saja ia seringkali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, seperti orang menari saja. Beng-lokai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang. Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa!
Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biarpun ia belum mewarisi seluruhnya ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari. Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.
Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu takkan kalah maka ia pun lalu menghampiri Sun-lokai dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung pengemis yang agak bongkok itu.
"Apa kau juga ingin menantang pamanku" Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku. Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak kau?" Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biarpun tua dan bongkok, Sun-lokai mempunyai watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hatinya sudah berdebar tidak karuan.
"Li Eng, kau pun tidak boleh membunuh orang!" Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong membentak ke arah Li Eng. Ia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu, maka ia benar-benar kuatir kalau-kalau
"keponakan" ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.
Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba terhadap rajanya sambil berkata, "Hamba mentaati perintah Paduka Paman Raja!"
Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru kaget, "Li Eng, awas belakangmu!"
Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun-lokai sudah menerjang maju menusukkan pedangnya ke punggung gadis itu. Hwa-i Lo-kai membentak marah dan kaget menyaksikan ini, juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti ,akan menewaskan Li Eng.
Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng ,menggerakkan tangannya dan seperti ada mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya menyambar ke belakang dan menangkis tusukan pedang itu. Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini.
Apalagi ketika Li Eng dengan gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan bunyi seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang semua bagian tubuh yang berbahaya dari Sun-lokai!
Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai maupun Sun-lokai berada di pihak yang terdesak hebat. Juga Beng-lokai amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu, yang indah namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu. Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena semenjak Li Eng menghadapinya, ia sama sekali ,tidak dapat balas menyerang, melainkan harus menangkis dan mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali.
Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Tidak berhenti sampai di situ saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya ke muka, leher, dan dadanya. Sun-lokai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya terus. Bahkan ketika ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu mengeluarkan bunyi "tar-tar-tar!" melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan! Dan pada saat itu pun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.
"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau kedua orang gadis itu akan turun tangan terus dan membunuh orang.
Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa dua orang gadis keponakan "ketua baru" itu benar-benar lihai sekaii, apalagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.
"Hwa-i Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!" terdengar beberapa suara orang dan ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan pengemis baju hijau dan baju merah. "Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel" Yang tidak puas dengan pimpinan Hwa-i Kai-pang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara sekalian!"
Hwa-i Lo-kai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah para rombongan tamu yang berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan kecewa adalah ketika ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kai-pang, pergi pula meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.
"Hwa-i Lo-kai harap jangan berduka," kata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i Kai-pang. Karena mereka tidak mempunyai harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi orang-orang seperti itu. Sekarang aku minta diri, Lo-kai, karena aku harus pulang ke Hoa-san."
Hwa-i Lo-kai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa hari lagi akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya.
Akhirnya Hwa-i Lo-kai terpaksa melepaskan mereka pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru bersama dua orang keponakannya itu.
Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong memberi tanda berhenti. Hui Cu dan Li Eng segera menahan kuda masing-masing.
"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun Hong.
Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah. "Paman Hong ini bagaimana sih" Perjalanan kita amat jauh, menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"
"Kau anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i Kai-pang lebih membutuhkannya daripada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan bisa berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."
"Ah, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak dikembalikan" Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?" lagi-lagi Li Eng membantah dengan bibir semberut.
Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera memanggiinya dan pengemis ini segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena ia pun mengenal ketua baru ini bersama dua orang keponakannya yang lihai.
"Pangcu hendak memerintah apakah?" tanyanya.
"Lo-kai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lo-kai, katakan bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."
Sejenak pengemis itu terlongong, akan tetapi ia tidak berani membantah lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Tapie-san.
Ada pun Kun Hong mengajak dua orang keponakannya melanjutkan perjalanan.
"Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan manis," kata Kun Hong.
Makin meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya" Kami memiliki ilmu berlari cepat dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman Hong" Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu perlahan-lahan.
Perjalanan kita masih jauh sekali, kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita takkan bisa pulang ke Hoa-san!"
Kun Hong tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, melakukan perjalanan bersama kalian berdua aku takkan menjadi bosan."
"Iihhh, dasar...." Li Eng melerok.
Hui Cu yang sejak tadi diam saja sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang wajah pemuda itu, "Paman agaknya belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san."
"Heee....?" Ke Thai-san" Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun Hong bertanya dengan tercengang.
"Kalau dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng sudah gembira kembali dari kecewanya kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Tai-hiap itu Raja Pedang, kau adalah raja pengemis!"
bagian 53 Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda. "Bagus, bagus, kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng, jangan main-main lekas ceritakan betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"
Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja.
Hamba tidak berani main-main lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba berdua disuruh... eh, melamar untuk Paduka Paman Raja."
"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur.
Li, Eng tersenyum lebar dan memandang kepada Kun Hong sambil berkata,
"Apa salahnya, Cu-cici" Kalau bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani monggoda dan main-main. Betul tidak, Susiok?" pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.
Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,
"Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui Cu, coba kauceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san."
Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap di Thai-san-pai hendak meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."
"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali. Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru dunia tanpa hasil.
Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"
Kun Hong kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" ia bertepuk tangan.
"Aku pun hendak ikut ke Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua menjadi teman, wah, senang sekali!"
"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-san," kata Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara dan kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah main-main seperti Li Eng yang jenaka.
Kun Hong mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"
"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.
"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi Paman Hong mana bisa lari cepat?"
"Ah, begitu dekat" Sehari juga sampai kalau naik kim-tiauw...." tiba-tiba Kun Hong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan tangan sendiri.
Dua orang gadis itu memandang heran, malah Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam penuh selidjk. "Apa maksudmu, Susiok"
Kaubilang tadi menunggang kim-tiauw" Apakah kau bertemu dengan rajawali emas?" tanya Hui Cu, mukanya berubah.
Li Eng memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas" Di mana" Lekas beritahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"
Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya burung rajawali seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala.
Kalian tahu, malah burung rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"
"Di maha dia" Di mana....?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya tidak sabar lagi. Hal ini tidak mengherankan kalau keduanya memang sudah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan menyusahkan kedua orang tua mereka.
"Aaah, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa kalian kira akan dapat dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu" Rajawali emas itu hebat sekali, bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak mampu menandinginya."
Dua orang gadis itu saling pandang lagi, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau bertemu pula dengan Toat-beng Yok-mo" Dan setelah bertemu dengan rajawali emas, tentu kau telah bertemu pula dengan... iblis betina itu?"
tanya Hui Cu, suaranya sungguh-sungguh.
"Iblis apa" Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina maupun iblis jantan," jawab Kun Hong, heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.
"Hong-susiok, ceritakanlah semua pengalamanmu itu, ceritakan tentang pertemuanmu dengan rajawali emas, Aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan pemuda, itu.
"Kalian ingin mendengar" Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan tangan kirinya untuk menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan sambil bergandengan tangan. Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu ia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng, akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu"
"Ketika dulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali ke sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarang pun aku benci melihat pembunuhan, kalau kalian membunuh orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, hampir mati."
"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh ayah ibumu" kata Li Eng.
Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya telah melukai, malah banyak membunuh orang. "Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong kepadaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah Sungai Huai. Karena kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang jalan berpekan-pekan lamanya."
Li Eng tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, anaknya yang menolong malah menggendongnya sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis macam Toat-beng Yok-mo ditolong, malah digendong-gendong!"
Akan tetapi Hui Cu diam saja dan... diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan rajawali emas, Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.
"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta diturunkan dan ternyata ia sembuh kembali dan kuat."
"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia hanya mempergunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu," kata pula Li Eng.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.
"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah Toat-beng Yok-mo tukang mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai, tentu saja dapat dijadikan perisai yang amat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."
"Eh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menegur.
Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"
"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.
"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol, bukan aku, lho!"
"Heee, kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.
"Kalau pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh oleh Toat-beng Yok-mo seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," ia melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya, seekor burung rajawali emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci. Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo lalu menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi berkali-kali Toat-beng Yok-mo roboh oleh burung itu, malah akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh hantaman sayap burung."
Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar dari mulutnya tanda kagum dan terkejut.
Kalau orang seperti Toat-beng Yok-mo dapat dikalahkan sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung itu. Apalagi pemiliknya!
"Kemudian rajawali emas itu menyambarku dan membawaku jauh sekali, ke puncak sebuah gunung yang tak kuketahui namanya. Di sana, dalam sebuah gua, aku hidup bersama burung itu sampai satu setengah tahun lamanya."
Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun manusia hidup di sana. Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan ia mengerti kata-kataku, setelah satu setengah tahun, aku menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak bisa turun sendiri dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah tiba di bawah gunung, burung itu terbang kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku sesat jaian dan sampai ke sini, karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-i Kai-pang sampai kalian berdua muncul." Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca, malah ada empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-beng Yok-mo dan sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari Sin-eng-cu Lui Bok.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 20 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Rajawali Hitam 4

Cari Blog Ini