Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri 20

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 20


permainan memang masih teratur, tapi mau tidak mau dia menjadi
cemas juga. Mendelong pandangan Thay-siang yang sudah pudar, katanya
lirih: "Nak, jangan hiraukan aku, lekas maju ke sana, Toaci bukan tandingan Han Janto, hanya Ih thiankiam yang dapat
menundukkan dia. . . . :"
Sambil mengawasi Thay-siang, Kun-giragu: "Tapi, bibi. .. .. "
Kata Thay-siang dengan ter-senggal2: "Jangan hiraukan aku, aku akan segera mangkat . . . .O. nak, masih ada satu hal, semula aku ingin menjodohkan Bok-tan padamu, Bok-tan anak baik, tapi
kalau kau suka So-yok, aku juga tidak menentang, boleh kau pilih dan putuskan sendiri, di antara kedua anak ini, kau harus pilih salah satu, kelak setelah punya anak, jangan lupa berikan satu di antaranya untuk marga Thi supaya tidak putus turunan . . . ."
Kembali suara benturan nyaring memekak telinga, terdengar
Han Janto tertawa latah: "Thi Ji-giok, berapa jurus lagi kau mampu menandangi aku?"
Bergetar hati Kun-gi, pelan2 Thay-siang ulur tangannya yang
gemetar, katanya gugup: "Nak . . . . lekaslah . . . . "
Pelan2 Ling Kun-gi merebahkan Thay-siang, katanya: "Bibi
istirahat saja, keponakan pasti . . . ."
"Ingat pesanku," ucap Thay siang lemah, "setelah kalian punya anak. . . . akuingin memungutsatu. . . "
Kun-gi mengangguk dengan berlinang air mata, tak sempat
bicara lagi, dia jemput Ih-thiankiam terus melompat ke sana. Ihthiankiam berubah selarik sinar hijau meluncur di tengah udara
sambil berteriak keras: "Bu, biar anak yang membereskan bangsat durjana ini."
Putaran pedang Han Jan to yang kencang itu sudah bikin Thihujin terdesak di bawah angin, dia mengejek sambll tertawa
senang: "Bagus, kalian ibu dan anak boleh maju bersama, supaya menghemat waktu dan tidak menghabiskan tenagaku."
Sebagai seorang yang sudah kenyang mencicipi asam garamnya
percaturan Kangonw, baru habis kata2nya, seketika dia merasakan keganjilan dari samberan sinar pedang Ling Kun-gi, belum lagi
lawan menerjang tiba, hawa pedang yang dingin tajam terasa
sudah mencekam perasaannya. Sudah tentu dia kenal baik
Ih-thiankiam di tangan Ling Kun-gi yang tajam luar biasa ini.
Keruan mencelos hatinya. pikirnya: "Kepandaian silat bocah ini ternyata tidak lebih asor dari ibunya." Sebat sekali dia berkisar ke samping, berbareng pedangnya menabas miring.
Ilmu pedangnya boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan
tertinggi, maka perhitungan waktunya sudah tentu amat tepat,
begitu tebasan pedang terayun ke depan, pada saat itu pula Ling Kun-gi akan hinggap turun di tanah, malah dalam waktu yang
sama pula dia berhasil menghindarkan ancaman pedang Ling
Kun-gi dengan berkelit ke samping. Walau tebasan pedang itu
dilancarkan sambil berkelit,
tapideruanginpedangnyaternyatakerassekali.
Dikala melayang turun tadi. Kun-gi sempat mengegos
kesamping, namun dia toh merasakan tekanan hawa perdang
musuh, hawa murni pelindung badannya memperlihatkan
keampuhannya, pakaiannya tampak melembung, mau tidak mau ia
terkejut juga, batinnya: "Keparat ini memang lihay,"
Begitu Kun-gi hinggap di tanah, Thi-hujin lantas tanya dengan
gugup: "Nak, bagaimana keadaan adik?"
"Lekas ibu menengoknya, bibi terluka parah, mungkin tak
bertahan lagi," sahut Kun-gi.
Tersirap darah Thi-hujin, teriaknya: "Baik, hadapi dia dengan baik, lebih baik kalau kau bekuk hidup2, ibu akan jaga bibimu."
Cepat dia memburu ke tempat Thay-siang merebahkan diri.
Han Jan to menyeringai, serunya: "Lihat pedang, anak muda!"
Sekali berkelebat bayangannya, orangnyapun mendesak maju,
selariksinar kemilau langsung membelah.
Pedang Kun-gi pelan2 didorongnya ke depan, mulutnya
membentak: "Orang she Han, ibu berpesan untuk membekukmu
hidup2, kalau tidak dalam beberapa jurus saja pasti kubereskan
jiwa anjingmu ini." "Anak bagus," teriak Han Janto ter-gelak2, "agaknya kau lebih congkak daripada bapakmu ....."
Mendengar orang menyinggung ayahnya, semakin berkobar
dendam Kun-gi, sekali menghardik, pedang dia pindah ketangan
kiri, dengan sengit ia mencecar dengan serangan maut. Dengan
pedang di tangan kiri, dia coba mengembangkan ilmu pedang
Tat-mo-kiamhoat secara kidal, pedangnya memancarkan cahaya
dingin, rangsakannya sengit dan ketat. Tat-mo-kiam-hoat ajaran
Siau-lim-si memang terkenal ketat, kini dimainkan secara kidal oleh Ling Kungi, permainan yang serba berlawanan dengan aslinya ini
kelihatan lebih aneh dan banyak ragamnya, orang sukar berjaga
dan meraba arahnya. Mengingat pesan ibunya tadi agar membekuk lawan ini hidup2,
maka dia kombinasikan juga per-mainan telapak tangan kanan
dengan Cap-ji-kim-liong jiu yang lihay, jari2 tangan kadang2
menutuk mencengkeram, memegang, menarik, menyodok dan
macam2 gerakan lain yang diincar adalah Hiat-to Han Janto.
Perubahannya serba aneh dan lihay.
Han Janto terhitung ahli pedang juga, kapan dia pernah
menyaksikan atau berhadapan dengan lawan yang main pedang
secara kidal" Yang dimainkan justeru berlawanan dari ilmu pedang aslinya". Karena belum menempatkan diri pada posisi yang
meyakinkan, dia terdesak mundur, batinnya: "Apa yang dimainkan bocah ini pasti ilmu pedang ciptaan Hoanjiu-ji-lay, sungguh aneh dan lihay," Hati berpikir sementara pedangnya bergerak
melingkar2, di samping bertahan iapun berusaha balas menyerang, rangsakan Ling Kun-gi yang aneh2 ternyata dapat ditandingi
dengan sengit pula. Puluhan gebrak kemudian Han Janto menjadi hilang sabar,
sambil mengeluarkan suara aneh, mendadak ia meloncat ke udara
sambil pedang terayun, pedang berubah sejalur bayangan hitam
menjulang tinggi ke udara. Diam2 Kun-gi tertawa dingin, iapun
tidak mau ketinggalan, sekali pedang menggaris iapun enjot tubuh melejit ke atas.
Padahal Han Janto sudah tiga tombak di udara, melihat Ling
Kungi juga meniru perbuatannya, diam2 ia bergirang dan
menyeringai. Karena kali ini dia melambung lebih dulu, Kun-gi
mengejar selangkah agak terlambat. Dikala Han Janto mencapai
ketinggian tiga tombak, Kun-gi baru mencapai dua tombak, sudah
jelas posisinya lebih menguntungkan. Pada keadaan yang
menguntungkan inilah mendadak dia putar haluan, dengan
menukik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, pedang hitam di tangannya melingkar2 membawa bayangan hitam bagai jala
menyebar ke empat penjuru, kepala Ling Kun-gi menjadi sasaran
langsung. Thi-hujin yang menyaksikan di sebelah sana menjadi kaget,
teriaknya gugup: "Awas anak Gi" Maklum, di tengah udara orang sukar bergerak leluasa seperti di atas tanah, sekali kesempatan di dahului lawan, maka awaksendiri akan menjadibulan2an.
Bagai percikan lelatu api singkatnya, dikala Kun-gi menjulang ke atas mencapai ketinggian dua tombak, badannya yang masih terus
menerobos naik itu mendadak meliuk minggir terus menerjang dari samping, secara tepat dan indah dia berhasil menghindarkan jaring pedang Han Jan to yang lihay.
Seperti diketahui Han Janto buru2 menukik turun ketika dia
mencapai ketinggian tiga tombak maka terjangan Ling Kun-gi dari samping ini bukan saja berhasil meluputkan diri dari serangan
pedang lawan, malah sekaligus mengungguli lawan dan berada di
sebelah atas Han Janto. Hal ini dengan jelas disaksikan oleh Han Janto waktu dia
kembangkan serangannya, gaya Ling Kun-gi ternyata amat aneh
dan luar biasa seperti naga sakti yang hidup, tahu2 bayangannya sudah menerobos lewat lebih tinggi di sebelah atasnya, seketika dia insaf keadaan berbalik tidak menguntungkannya. Untunglah
selama puluhan tahun meyakinkan Hwi-liong-sam-kiam, ketiga
jurus ilmu pedang ini boleh dikatakan sudah mendarah-daging
dengan jiwa raganya, sudah tentu permainannya dapat terkendali
sesuai jalan pikirannya. Begitu mengamati gerakan Ling Kun-gi yang aneh, segera dia
memberatkan badan, seperti burung merpati yang melingkupkan
sayap dan menukik ke bawah, bayangan pedang hitam seketika
kuncup, secepat meteor dia jatuh anjlok ke bawah. Soalnya dia
kuatir Kun-gi bakal menyerang dari atas, maka dia merasa perlu
buru2 melayang turun. Di luar dugaan Ling Kun-gi tidak lantas menyerang, tapi iapun
mengejar turun pula. Sudah tentu kali ini Han Janto lebih dulu
mencapai tanah. Diam2 dia tertawa dingin, pikirnya: "Bocah keparat, bila kau lancarkan serangan dari udara mungkin
tuanbesarmu dapat kau kalahkan, tapi kesempatan sebaik ini kan
sia2kan, kembali aku mendahului anjlok ke bawah, nah, sekarang
rasakan pedangku." Pikiran berjalan tanganpun bergerak, sebelum Kun-gi hinggap di
tanah, mendadak dia menghardik sekali, pedang hitam di
tangannya kembali menaburkan jaringan sinar menggulung ke arah
Kun-gi. Kun-gi belum sempat hinggap di tanah, mendadak ia ter-gelak2,
bagai angin menghembus dahan pohon, tiba2 tubuhnya melayang
ke sana, Ih-thiankiam memancarkan cahaya hijau memanjang,
bayangan pedang tampak ber-lapis2 balas menyerang dari sebelah
atas. Betapa hebat dan cepat gempuran kedua pihak ini, begitu
cahaya pedang kedua pihak saling bentrok maka terdengarlah
suara rentetan nyaring benturan senjata. Sesosok bayangan orang tahu2 menerjang keluar dari lingkaran sinar pedang. Itulah Han
Janto, jubah abu2 bersulam naga yang indah itu sudah koyak2 di
beberapa tempat, pedang panjang tiga kaki di tangannyapun telah terpapas kutung tinggal satu kaki lebih. Setelah mundur beberapa langkah, mendadak dia menggerung gusar, dia timpukkan pedang
kutung sebagai senjata rahasia mengincar dada Ling Kun-gi.
Begitu kutungan pedang lepas dari tangan, sebat sekali dia
putar tubuh sambil menjejak kedua kaki, bagai burung yang sudah ketakutan mendengar suara jepretan, cepat2 dia berlari secepat
terbang keluar lembah. Jurus tandingan yang dilancarkan Ling Kun-gi dalam gebrak
terakhir ini adalah jurus ke 7 dari ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin yang terukir di dinding gua itu. Maklum, baru pertama kali ini dia kembangkan, latihan belum matang, apalagi mengingat pesan ibunya untuk membekuk lawan hidup2, maka Han Janto
sempat lolos dari jaringan sinar pedangnya. Kini melihat orang
menyerang dengan pedang kutung sebagai senjata rahasia, segera
ia menyampuk, "trang", pedang kutung kena diketuk jatuh, mulutnyapun menghardik:. "Mau lari ke mana?"
Baru saja Kun-gi hendak mengejar, didengarnya seorang
bersuara dengan nada berat berwibawa: "Dia tidak akan lolos."
Sesosok bayangan orang meluncur tiba dan tahu2 sudah mencegat
jalan lari Han Janto, malah sekaligus dia lancarkan sekali pukulan telapak tangan. Pencegat ini adalah Yong King-tiong.
"Yong King-tiong," Han Janto berteriak kalap "berani kau merintangi aku!" Tangan kanan menyodok sementara telapak
tangan kiri menggempur. "Blang", telapak tangan kedua orang beradu dengan telak, masing2 tergentak mundur satu langkah. Betapapun Han Janto
sudah mengalami pertempuran seru sejak tadi, tenaganya banyak
terkuras karena adu pukulan secara keras ini, dadanya tampak naik turun, napasnya memburu.
"Han Janto," bentak Yong King-tiong mendelik, "keadaanmu sudah payah, lebih baik kau menyerah saja."
Tertampak oleh Han Janto, delapan jago pedang seragam hitam
berdiri di belakang Yong King-tiong, semuanya gagah memeluk
pedang, naga2nya mereka sudah dibujuk dan tunduk pada Yong
King-tiong, kini keadaan awak sendiri sudah terpencil, dia tahu gelagat yang tidak menguntungkan ini. Cepat sekali otaknya
bekerja, tiba2 ia membentak: "Pengkhianat bernyali besar,
memangnya kalian mau berontak?" belum habis bicara, kedua
telapak tangan terangkap, dengan sekuatnya dia menggempur
maju, berbareng kaki kanan menendang dada Yong King-tiong.
Dalamsekali gebrak ini tiga jurus serangan sekaligus dilontarkan.
Yong King-tiong tertawa, kedua telapak tadgan berputar ke atas
lalu dari depan dada. pelan2 dia dorong ke depan, dengan jurus Ji-liong-huncui (dua naga membagi air), dia berusaha mematahkan
serangan Han Janto, menyusul tubuh mengapung ke atas,
berbareng kaki kanan juga menyepak kaki kanan Han Janto yang
menendang datang. Kedua jarus serangan inipun dilontarkan
secepat kilat. "Blum" "plak", benturan keras serasa menggoncang bumi, empat telapak tangan beradu lebih dulu disusul kaki
masing2pun berhantam. Posisi kedua pihak berbeda, maka
kesudahannyasegeratampaksiapalebihunggul danasor.
Selama dua puluh tahun ini Yong-King-tiong tak pernah unjuk
kepandaian aslinya, betapa tangguh Lwekangnya, begitu anjlok
turun dia hanya bertolak mundur selangkah. Tidak demikian
dengan Han Janto yang sudah mulai lemah, darah serasa hampir
tumpah dari mulutnya, tanpa terasa dia terhuyung tiga tindak.
Sekuatnya dia tahan darah yahg hampir menyembur dan menahan
sakit luka2 dalamnya, baru saja dia hendak putar badan,
mendadak kedua pundak terasa pegal kaku, tulang pundak kanan
kiri tahu2 telah terpegang orang, seluruh tenaganya seketika
lunglai, mana dia mampu meronta atau melawan lagi"
Maka didengarnya suara Ling Kun-gi membentak di belakang:
"Han Janto seharusnya kau tahu, sejak tadi orang she Ling sudah berada dibelakangmu"
Terdengar seruan Thi-hujin dari sana: "Anak Gi, jaga dia, jangan sampai dia menggigit putus lidahnya."
Kun-gi berpaling katanya: "Ibu tak usah kuatir, anak tidak akan memberi kesempatan padanya untuk bunuh diri." Tangan kiri
segera menutukAh-bunhiatdi belakang leher HanJanto.
Thi-hujin mendekatinya, sekali raih, dia tarik kedok muka orang, desisnya dengan menggereget: "Bangsat she Han, dikala kau
menjual Hek-liong-hwe dulu, pernah kau pikirkan akan nasibmu
seperti sekarang ini?"
Dulu Han Janto berwajah tampan, putih halus, romannya yang
agakkurus dulu kinitampak gemuk.
Cuma hidang betetnya yang tidak berubah, tapi bentuk dan
rona mukanya sekarang mempertebal perasaan orang akan
jiwanya yang culas dan keji.
Kini jiwa raga sudah jatuh ke tangan musuh, Hiat-to tertutuk,
badan lemas lunglai, jangankan melawan untuk merontapun tak
mampu lagi, akhirnya dia pasrah nasib memejamkan mata saja
tanpa bersuara. Sebetulnya memang dia tidak mampu bersuara
karena Ah-bun hiat tertutuk.
"Anak Gi," kata Thi hujin, "kau gusur dia marilah, kita ke pusara ayahmu, secara hidup2 akan kukorek ulu hatinya untuk sembayang
arwah ayahmu . . . . . . . ." tanpa terasa suaranya tersendat dan pilu, air matapun bercucuran.
Kun-gi menahan isak tangisnya, katanya terguguk: "Apakah
pusara ayah berada di sini?"
Dengan berlinang air mata Thi-hujin menjawab: "Tidak salah, ayahmu dikebumikan di lembah sebelah timur sana."
"Kongcu," Yong King-tiong menimbrung, "serahkan saja. Han Janto pada mereka." Lalu dia berputar ke arah kedelapan jago pedang seragam hitam, katanya: "Kalian gusur dia, pergilah ke Say-cu-kau."
Dua diantara jago pedang itu segera tampil ke depan, bahu
kanankiri HanJantodikempitterusberjalan mendahuluididepan.
'Hujin", kata Yong King-tiong, "biarlah Lo-siu berangkat dulu."
Lalu dia mengikuti kedelapan jago pedang itu berangkat lebih dulu.
Kun-gi celingukan ke sekelilingnya, bayangan Thay-siang tidak
kelihatan, tapi di pinggir Hek-liong-tam sana bertambah satu
gundukan tanah, cepat dia bertanya. "Bu. apakah bibi sudah wafat?"
Ber-kaca2 mata Thi-hujin, katanya mengangguk: "Adik sudah
mangkat, dua puluh tahun perselisihan dengan ibu, sampai detik2
sebelum ajalnya baru dia sadar dan insaf akan kekhilapannya, dia punya sebuah angan2, minta supaya kau menyambung keturunan
keluarga Thi, ibu sudah menerima dan berjanji padanya, ibu juga termasuk anggota keluarga Thi, maka adalah pantas kalau kaulah
yang harus meneruskan keturunan keluarga Thi . . . . " ia angkat kepala lalu menambahkan: "Mari!ah kita susul mereka."
Kun-gi mengintil di belakang ibunya. Jalan kecil ini berliku dan belak-belok, seperti berputar di lereng gunung, kecuali lumut yang licin dan berbahaya, rumput atau tetumbuhan lain tiada yang
bersemi di sini. Kira2 setengah li jauhnya, setelah membelok sebuah pengkolan
pinggang gunung, betul juga tam-pak di tengah selat gunung yang diapit dinding curam menjulang tinggi terdapat sebuah batu nisan.
Yong King-tiong bersama kedelapan jago pedang yang menggusur
Han Janto sudah menunggu di depan pusara itu, delapan jago
pedang itu berpencar berjaga terhadap segala kemungkinan.
Mengikuti langkah ibunya Kun-gi, tiba di depan pusara, tampak
di atas sebuah batu nisan besar bertatahkan huruf yang berbunyi
"Pusara almarhum Hwecu Ling Tiang-hong".
Yong King-tiong menjura kepada Thi-hujin, katanya: "Tempat ini terselubung dari tiga jurusan, kalau orang2 Hek-liong-hwe
mendengar kabar mungkin bisa meluruk kemari, hal itu akan
mendatangkan kesukaran bagi kita. Hujin, Kongcu, silakan
bersembahyang, Lobsiu akan bertugas di mulut lembah sana untuk
menjaga segala kemungkinan."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Pendapat Yong-congkoan
memang betul, kalau demikian bikin capai dirimu saja."
"Hujin terlalu sungkan, ini menjadi tugas dan kewajiban Losiu,"
ucap Yong King-tiong, dua jago yang menggusur Han Janto
ditinggalkan, enam jago pedang yang lain dia bawa naik ke atas
ngarai sana." "Anak Gi," ucap Thi-hujin, "punahkan saja ilmu silat orang she Han, baru kau buka Hiat-tonya."
Kun-gi mengiyakan sambil menghampiri Han Janto, pelan2
telapak tangannya menepuk pundak orang untuk membuka Hiat-to
orang, berbareng dua jari tangan kiri secepat kilat menutuk
Kui-hayhiat. Kontan badan Han Jan to mengejang dan gemetar
keras, sambil meraung keras ia jatuh terguling.
Tanpa membuang waktu beruntun Kun-gi unjuk kemahiran ilmu
tutukannya, cepat sekali kembali dia tutuk Pak-liong dan Bweliong kedua Hiat-to ditubuh orang, terakhir dia menutuk pula
Pek-hwehiat diubun2kepalaHan Janto.
Seperti balon yang kempes Han Janto roboh di tanah, badan
lunglai tak mampu bergerak, pelan2 dia angkat kepala, kedua bola matanya mendelik berwarna merah menatap Thi-hujin, serunya
dengan suara serak: "Thi Ji-giok, kau . . . . . bunuhlah aku. Berilah aku kematian secepatnya."
Membesi hijau muka Thi-hujin, teriaknya murka: "Memberi
kematian secepatnya" Kau keparat yang lupa leluhur, rela menjadi budak musuh dengan menjual bangsa dan negara, kau sampah
persilatan, kau mencelakai suamiku, betapa banyak patriot yang
kau bunuh, ingin aku membeset kulitmu dan mencacah dagingmu,


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syukurlah Thian maha adil, hari ini kau terjatuh di tanganku, akan kukorek ulu hatimu hidup2 . . . . . . . " maki punya maki amarahnya semakin memuncak, mendadak ia memburu maju, kaki melayang,
muka Han Janto ditendangnya sekali. Bentaknya: "Hayo berlutut, mintalah ampun dan akui segala dosa dan kejahatanmu dulu."
Karena ilmu silatnya sudah punah, Han Janto meraung
kesakitan karena tendangan itu, sesaat lamanya mulutnya masih
mengerang dan merintih, mukanya basah kuyup oleh butiran
keringat sebesar kacang, tiba2 ia merangkak ke depan batu nisan serta bergelak tertawa dengan mendongak: "Thi Ji-giok," serunya,
"kepada siapa aku harus berlutut" Kau kira di sini kuburan suamimu?"
Thi-hujin melenggong, tanyanya terkesiap: "Apa" Tulang
suamiku tidakdalam kuburan ini?"
HanJanto menyeringaiseram: "Ketahuilah, ini hanyasegundukan tanah belaka, hakikatnya tiada tulang belulang Ling Tiang-hong."
"Kau bohong," teriak Thi-hujin, "bukankah batu nisan ini sudah terukir namanya?"
"Kau tahu tempat apakah ini?" jengek Han Janto, "tempat ini dinamakan Say-cu-kau (mulut singa) karena tiga jurusan terkepung buntu, bisa masuk tapi keluar sukar, memang sengaja kubuat
kuburan palsu ini untuk menjebak kedatanganmu, dasar kau yang
mujur dan diberkati umur panjang, selama ini tidak pernah muncul, maka kuburanpalsu inipun tetapberadadisini."
Diam2 Kun-gi maklum kenapa Yong King-tiong merasa perlu
hawa enam jago pedangnya untuk berjaga di mulut lembah di atas
ngarai sana. Tak tertahan dia membentak, gusar: "Keji benar perbuatan kalian."
"Lalu di mana tulang jenazah suamiku?" tanya Thi-hujin, "di mana kalian menguburnya?"
"Biar terus terang kuberitahu padamu, Ling Tiang-hong adalah pengkhianat Hek-liong-hwe dan Hwecu buronan, walau dia sudah
mampus, tapi pihakpemerintahtetapharus memeriksajenazahnya.
..." Bagai dihunjam belati perasaan Thi-hujin, badannya sampai
gemetar menahan gejolak hati, desisnya sambil menggertak gigi:
"Sampaipun jenazahnya juga tidak kalian bebaskan?"
Sudah tentu darah Kun-gi juga mendidih, lekas dia papah sang
ibu, katanya sambil berlinang air mata: "Bu, tenangkan hatimu."
"Durjana, katakan siapakah yang berkeputusan tentang hal ini?"
. "Hal inijangan salahkan aku,"ujar HanJanto, "Im-si-boankoanCi Kun jin dan Ki Seng jiang berdualah yang mengajukan tipu
muslihat ini, bila buronan tertangkap harus segera diserahkan
kepada pihak yang berwenang . . . . "
"Siapa itu Ci Kun jin?" tanya Thi-hujin.
'Ci Kunjin adalah penasihat gubernur Soa-tang dua puluh tahun
yang lalu. Dia pula yang mengatur dan merencanakan penyerbuan
ke Hek-liong-hwe." "Di mana dia sekarang?"
"Setelah Kok Thay, gubernur Soatang meninggal, dia lantas
meninggalkan gelanggang pemerintahan, konon dia sekarang
berada di Jet-ho." "Dan Ki Seng-jiang," ucap Kun-gi, "apakah Cengcu dari Coat-seng-sanceng"'
"Dia adalah anak angkat Ciok-boh Lojin dari Ui-san, kepandaian silatnya amat tinggi, sejak lama dia sudah berkiblat pada kerajaan, waktu itu dia sudah menjadi Siwi kelas tiga istana raja yang
tergabungdalamSinki-engyangtersohoritu . . . ."
"Dan sekarang?" sela Thi-hujin.
"Sekarang dia berkuasa diPi-sok-sanceng."
"Pi-sok-san ceng" Di mana letaknya?"
"Sanceng terletak di Jet-ho, namanya saja perkampungan, yang benar itulah sebuah pesanggerahan yang mirip istana."
"Haa," Thi-hujin menggeram, "meski berada di istana raja, tetap akan kurenggut jiwa anjingnya." Sampai di sini mendadak dia tatap Han Janto, hardiknya beringas: "Masih ada pesan apa kau?"
Sesaat Han Janto pandang Thi hujin dengan mendelong,
katanya kemudian: "Tiada pesan apa-apa, aku memang berutang dan patut membayar padamu, dapat mati ditanganmu, tiada yang
perlu kusesalkan lagi."
"Baik!" dengus Thi-hujin. Pedang terangkat terus menusuk ulu hati orang.
Sambil berlutut di tanah Han Janto sudah pejamkan mata.
"Bles" ujung pedang menghujam ke dalam dadanya, giginya gemerutuk menahan sakit pelan2 badannya lantas roboh
terjengkang ke belakang, darahsegera muncratbagaianakpanah.
Thi-hujin menarik pedang, darah mengalir dan bertetesan di
ujung pedangnya, dengan pedang menopang bumi, air matanya
bercucuran, kepalanya menengadah, mulutnya bergumam: "Tianghong, akhirnya berhasil aku menuntut sakit hatimu, dengan
tanganku sendiri kubunuh keparat ini, tapi meski berhasil aku
menuntut balas, lalu di mana kau" Aku tetap takkan berhasil
menemui kau, selamanya takkan bisa menemukan kau . . . . . " tak tertahan akhirnya dia menangis ter-gerung2.
Kun-gi berlutut di atas tanab, katanya dengan berlinang air
mata: "Bu, kau telah menuntut balas, di alam baka ayah pasti juga tahu, ibu harus merasa lega hati, anggaplah aku telah berbakti
kepada ayah, musuh telah kutawan hidup2."
"Nak, ucapanmu hanya untuk menghibur ibu saja, yang benar
orang sudah mati, mana dia bisa tahu" Menuntut balas adalah
kewajiban setiap orang hidup, meski aku sudah bunuh Han Janto,
memangnya dia bisa mengembalikan suamiku dan ayahmu?"
mendadak pandangannya menatap jauh ke depan, rona mukanya
menampilkan tekad yang keras untuk menuntut balas, katanya
tegas : "Tapi aku masih harus menemukan Ci Kunjin dan Ki Sengjiang kedua bangsat itu, patriot bangsa yang gugur harus
menuntut balas pula, supaya manusia di kolong langit ini tahu
bahwa durjana penjual bangsa dan negara akhirnya pasti
mendapat ganj-aran setimpal."
"Bu, kau sudah menuntut balas sakit hati ayah, kedua orang itu serahkan saja kepada anak, demikian pula tulang jenazah ayah,
anak pasti akan menemukannya kembali," demikian janji Kun-gi kepada ibunya.
Menyinggung tulang jenazah suaminya, tak tertahan Thi-hujin
mencucurkan air mata pula, katanya sedih: "Urusan sudah
berselang dua puluh tahun, ke mana kau akan mencarinya?"
"Mereka mencelakai ayah, pasti menguburnya pada suatu
tempat, tentunya ada orang tahu di mana beliau dikubur," kata Kungi.
Tengah ber-cakap2, mendadak berkumandang suara benturan
senjata dari sebelah atas. Thi-hujin segera melengak, katanya
kuatir: "Agaknya ada orang bertempur dimulut lembah, lekas kita tengok ke sana."
Memang hanya ada satu jalan keluar dari Say-cu-kau, mungkin
kawanan bangsat dari Hek-liong-hwe mendapat kabar dan
menyusul tiba sehingga terjadilah pertempuran dengan Yong
King-tiong serta kedelapan jago pedang yang berjaga di mulut
lembah. Bergegas Thi-hujin bersama Kun-gi berlari ke arah mulut
lembah. Dalam sekejap itu, tampak tanah kuning di atas gundukan bukit sudah berceceran darah segar, empat jago pedang anak
buah Yong King-tiong tampak menggeletak binasa dengan
tenggorokan tertembus pedang, cara kematian keempat orang ini
serupa satu dengan yang lain.
Pemimpin rombongan musuh adalah seorang gadis berpakaian
serba putih yang berparas jelita, tampak alisnya lencik, matanya bundar menyerupai mata burung Hong, wajahnya bulat telur cerah
bagai bunga mawar, sikapnya agung mempesona. Cuma sikapnya
yang dingin kaku tampak serius dan berwibawa, orang menjadi
kederdantakberani memandangnyaterlalu lama.
Empat gadis lagi berada pada dua sisi gadis baju putih,
semuanya memegang pedang yang berlepotan darah segar. Paling
belakang adalah sebarisan delapan laki2 baju hijau ketat, mereka adalah orang2 dari Ceng-liong-tong.
Diam2 cemas Ling Kun-gi, dirinya pernah bergebrak dengan
jago2 pedang anak buah Yong King-tiong, tarap kepandaian ilmu
pedang mereka boleh diagulkan, sejak mendengar benturan
senjata tadi sampai dia berlari tiba di tempat ini, paling hanya beberapa kejap saja, entah cara bagaimana keempat jago pedang
itu terbunuh oleh pedang para gadis2 jelita ini"
Terdengar Yong King-tiong tengah bicara sambil menjura:
"Walau Cui-tongcu telah membunuh empat jago pedangku, tapi ada Losiu di sini, jangan harap Cui-tongcu bisa melampaui diriku untuk ke bawah sana."
Ternyata gadis baju putih ini adalah Cui-tongcu dari Ceng-liongtong.
Sorot mata Cui-tongcu yang dingin sekilas melirik ke arah Thi
hujin dan Ling Kun-gi yang mendatangi, katanya mengejek: "Yong King tiong, kau memang berhasil, nah itu mereka telah keluar dari Say-cu-kau."
AgaknyaYongKing-tiong naikpitam, serunya:
"Peduli kau ini utusan macam apa dari kotaraja, Losiu tetap ingin menjajal kepandaianmu."
"Wut"tiba2 dia menghantamlebihdulu.
"Kau ingin gebrak dengan aku?" ejek Cui-tongcu, tiada tampak bergeming, kaki tidak bergerak, hanya badan sebelah atas sedikit bergeliat, dengan mudah dia sudah meluputkan diri dari pukulan
Yong King-tiong, Segulung angin pukulan kencang menyamber
lewat diatas pundaknya. Setelah menghindari samberan angin pukulan, Cui-tongcu
mengejek: "Peranan penting sudah tiba, aku malas bergebrak dengan kau."
Selama dua puluh tahun ini Yong King-tiong menyembunyikan
diri dengan sabar, kepandaian aslinya yang tinggi tak pernah
dipamerkan, kini sepak terjang dirinya sudah terang2an, maka dia merasa tidak perlu takut lagi bertindak blak2an, melihat
pukulannya dapat dihindarkan lawan, hatinya semakin murka,
kembali dia melontarkan pukulan. Gempuran ulangan ini sudah
tentu lebih hebat lagi kekuatan pukulannya, angin pukulan segera mencrpa dengan dahsyatnya.
Cui-tongcu menanggapi dengan tak acuh dan dingin: "Kau kira aku tidak berani melawanmu?"
Kali ini dia memang tidak berkelit, tangannya yang halus
bergerak memutar, entah bagaimana dia membalik telapak tangan,
tahu2 dia sambut pukulan Yong King-Tiong dengan kekerasan
pukulan pula. Dua pukulan dahsyat saling bentrok di udara
menimbulkansuarakeras, ternyatasetalitigauang aliassama kuat.
Sudah tentu kesudahan adu kekuatan pukulan ini amat di luar
dugaan Yong King-tiong, soalnya dia hanya tahu bahwa Cui-tongcu ini berkepandaian tinggi, tapi tak pernah terpikir bahwa gadis
selembut ini memiliki Lwekang setangguh ini.
Thi-hujin ikut kaget, tanpa terasa dia menatap orang lebih
tajam, tanyanya: "Yong-congkoan, siapa-kah nona ini?"
"Nona ini?" sabut Yong King-Tiong, "dia inilah pengawas utusan kotaraja, Cui Kinin yang menjabat Ceng-liong-tong Tongcu, atau
lebih jelas lagi Han Janto hanyalah seorang pemimpin boneka saja, kekuasaan Hek-liong-hwe hakikatnya berada di tangan perempuan
ini." Cui Kinin tertawa manis, katanya berseri: "Jelas sekali caramu memperkenalkan diriku," kata nya ditujukan kepada Yqng Kingtiong, tapi dia mengirim senyuman manis ke arah Ling Kun-gi.
Semula sikapnya dingin kaku, tapi seri tawanya ini betul2 laksana bunga mekar di musim semi, segar mempesona.
Thi-hujin menarik muka, jengeknya: "Kau bangsa Ki-jin
(golongan bangsawan)?"
"Apakah aku orang Ki-jin atau bukan, apa sangkut pautnya
dengan kau?" sahut Cui Kinin.
"Kalau betul kau Ki-jin, aku tidak akan melepasmu," ancam Thihujin.
"Paling mati di tanganmu?" tanya Cui Kinin dingin.
"Betul, aku pula yang membunuh Han Janto."
"Kau ini Thay-siang (maha ketua) Pek-hoa-pang."
"Bukan." "Lalu siapa kau?"'
"Akulah janda Ling Tiong-hong, buronan yang dicari oleh kalian gerombolan cakar alap2."
"O, kiranya Ling-hujin," ucap Cui Kinin, matanya melirik ke arah Ling Kun-gi, tanyanya: "Siapa pula dia?"
"CayheLingKun-gi,"lekasKun-gibersuarasambil menjura.
Tanpa terasa Cui Kinin memandangnya beberapa kali, katanya
kemudian: "Cong-hou-hoat-su-ciadariPek-hoa-pang?"
"Cayhe bukan anggota Pek hoa-pang lagi."
"Lho, mengapa bukan?"
"KukiraCayhetidakperlu menjelaskanpada-mu."
"Ya, betul, kau masuk ke Ui-liong-tong," berapa jiwa orang yang telah melayang di tanganmu," kata Cui Kinin sambil melirik Leliong-cu yang tergantung di pinggang Ling Kun-gi. "Kupikir, mungkin kau inilahputeraLing Tiang-hong, betultidak?"
"Betul, kedatangan Cayhe untuk menuntut balas sakit orang
tuaku." Cui Kinin. menggeleng dan berkata kalem: "Kalian sudah
membunuh HanJanto, sakithatipun sudahterbalas, betultidak?"
"Setiap cakar alap2 kerajaan adalah musuh besar kami," Thihujin berkata tegas.
"Teramat luas arti perkataanmu, hanya kalian ibu beranak
ditambah seorang Yong King-tiong" Hek-liong-hwepun belum tentu
dapat kalian kuasai."
"Aku bisa masuk kemari, sudah tentu juga bisa keluar," jengek Thi-hujin.
Kembali Cui Kinin melirik ke arah Ling Kun-gi, katanya: "Kukira tidak mungkin, sulit kalian bisa menembus pertahananku, tapi . . . .
. . " suaranya sengaja dia tarik panjang.
"Tapi apa?"bentak-Thi-hujin.
Gigi Cui Kinin nan rata seperti biji ketimun menggigit bibir,
katanya kemudian setelah tepekur sekejap: "Aku ada sebuah
syarat, entah kalian mau terima tidak?"
"Kau ada syarat apa?" tanya Thi-hujin.
"Han Janto meski hanya Siwi kelas tiga, kalian telah
membunuhnya, itu berarti kalian membunuh pembesar kerajaan,
sepakterjangseorangpemberontaktulen . . . . . . . "
"Tutup mulutmu!" bentak Thi-hujin.
"Jangan naik pitam Ling-hujin, dengarkan penjelasanku."
"Baik, katakan!"
"Kau menuntutbalassakithati suami ataudendamorangtua, hal ini boleh dianggap sebagai peristiwa balas membalas kaum persilatan umumnya, aku takkan menarik panjang soal ini . . . . . . " sebagai
"pengawas" yang berkuasa besar dari kotaraja, sudah tentu dia punya hak dan kewajiban memutuskan sesuatu menurut hematnya
sendiri.. Terdengar Cui Kinin berkata lebih lanjut: "Kecuali Yong
King-tiong sebagai Congkoan Hek-liong-hwe dan sekarang
sekongkol dengan pembeberontak, aku tidak memberi kebebasan
padanya, tentang kalian ibu beranak, asal Ling-kongcu sudi
menyerahkan Leliong-cu, aku akan memberi putusan memberi izin
pada kalian untuk meninggalkan tempat ini, meninggalkan
Kunlunsan dengan selamat, bagaimana?"'
Ternyata yang diincar adalah Leliong-cu. Jelas tujuannya untuk
mendapatkan buku daftar anggota Thay-yang-kau yang disimpan
dalam kamar batu di dasar kolam naga hitam, sedemikian besar
arti dan pentingnya buku daftar itu, sampai kematian Han Janto
boleh diremehkan. Memangnya Han Janto hanyalah seorang tamak
yang mengejar keuntungan pribadi, peranannya tidak penting lagi bagi kerajaan. Dari sini dapat disimpulkan tugas apa yang dipikul Cui Kinin di dalam Hek-liong-hwe.. Sudah tentu di luar tahunya
bahwa buku daftar anggota Thay-yang-kau itu sudah dimusnahkan
oleh Ling Kun-gi. Belum habis Cui Kinin bicara, mendadak Yong King-tiong
mendelik gusar, katanya sambil bergelak tawa: "Cui-tongcu tidak akan membebaskan Losiu, memangnya Losiu perlu dibebaskan
olehmu?" "Yong-congkoan," Thi-hujin mengulap tangan: "biarlah aku menjawab pertanyaannya."
"Baiklah Hujin," ujar Yong King-tiong
Kaku dan ketus sikap Thi-hujin, katanya: "Pendapat Cui-tongcu memang tidak keliru."
"JadiLing-hujin menerimausulku?"
"Cui-tongcu anggap harga jiwa kami ibu beranak lebih tinggi daripada mutiara ini" Tapi bagi pandanganku justeru sebaliknya, mutiara ini berlipat ganda lebih berharga daripada jiwa raga kami berdua. Karena mutiara ini menyangkut laksaan jiwa manusia yang tersebar luas di utara dan selatan sungai besar, oleh karena itu kami ibu beranak sekali2 tidak mau sembarangan menyerahkan
mutiara ini kepada siapapun, kecuali Cui-tongcu memiliki
kepandaian dan dapatmerebutnyadaritangan kami."
Cui Kinin melenggong sebentar, katanya: "Jadi Ling-hujin ingin bergebrak dengan aku?"
"Keadaan sekarang bagaikan anak panah yang sudah terpasang dibusuryangterentanglebartidakbisatidakharus dibidikkan, selain berhantam mungkin tiada jalan lain lagi."
"Baiklah kalau begitu,"ucap Cui Kinin.
"Cui-tongcu,"ujarThi-hujin, "kaupakaisenjataatau........"
Melihat kedua orang siap bergebrak, tak tertahan Yong Kingtiong ter-bahak2, serunya: "Tunggu sebentar Hujin."
"Ada apa Congkoan?" tanya Thi-hujin.
"Maafkan Hujin," ucap Yong King-tiong, "barusan Cui-tongcu bilang Losiu bersekongkol dengan pemberontak, dosanya tak
terampunkan, bahwa Losiu hidup terhina dan sengsara selama 20an tahun di sarang penyamun ini, kini tibalah saatnya akan
kuberitahu kepada Cui-tongcu bahwa Yong King-tiong adalah laki2
sejati, sebagai bangsa Han yang cinta bangsa dan tanah air
leluhurnya, anggota Thay-yang-kau yang setia, sebagai Hek-lionghwe Cong-koan dari Hek-liong-hwe yang menentang kerajaan
Ceng dan berusaha membangkitkan kembali kerajaar Bing, jadi
bukan antek Hek-liong-hwe yang dikua-sai cakar alap2 kerajaan
Ceng, padahal di dalam pandangan kalian para cakar alap2
kerajaan ini, tentunya Losiu dianggap sebagai pengkhianat, kenapa harus ditambahiembel2sekongkol denganpemberontak segala."
Cui Kinin tidak berbicara, tapi sorot matanya yang tajam dingin manampilkanhasrat membunuhnyayang mulaiberkobar.
Yong King-tiong tidak peduli, katanya lebih lanjut: "Jabatan dan kedudukan Cui-tongcu di sini cukup istimewa, Komisaris besar
utusan kerajaan yang mengusai Hek-liong-hwe ini, kalau
Cui-tongcu sudah menyatakan takkan melepaskan Losiu, demi
mempertahankan diri adalah pantas kalau aku mohon pengajaran
dulu pada Cui-tongcu, karena itu, pertarungan Hujin melawan Cuitongcu ini harap ditunda dulu, biarlah Losiu yang membuka perang tanding ini."
Cui Kinin bersikap semakin dingin, katanya mengejek: "Bagus sekali, bahwa kau sudah mengakui seluruhnya, sebagai Komisaris
umum dari Hek-liong-hwe, sudah semestinya kalau kulabrak kau
lebih dulu." Sampai di sini mendadak dia menoleh, katanya: "Harap Ling-hujin tunggu sebentar." Sikapnya angkuh seolah2 tidak memandang sebelah mata kepada Yong King-tiong.
Setelah beradu pukulan tadi Yong King-tiong tahu bahwa
lwekang perempuan ini amat tangguh, taraf kepandaiannya
agaknya tidak lebih rendah dari dirinya, sudah tentu dia tak berani pandang ringan lawannya yang muda ini, maka di kala orang
bicara, diam2 ia kerahkan hawa murni mempersiapkan diri. Segera dia merangkap kedua tangan, katanya menjura: "Baiklah, siiakan Cui -tongcu memberi petunjuk."
Cui Kinin nielirik sekejap ke arahnya, suaranya dingin: "Apakah main kepelan, telapak tangan atau pakai senjata, Yong-congkoan
lebih suka yang mana, silakan pilih sendiri?"
"Losiu sih terserah saja apa kehendakmu?"
"Baiklah, adu kepelan dan pukulan telapak tangan saja."
"Silakan Cui-tongcu mulai dulu."
Cui Kinin melangkah maju dua tindak, ia membetulkan dulu
sanggul rambutnya, katanya: "Baiklah, aku mulai lebih dulu."
tangannya terayun dan menepuksekali.
Jubah hijau Yong King-tiong tampak melembung dan melambai,
sigap sekali dia sudah menyingkir beberapa kaki, berkelit sambil balas menyerang, serangan balasannya ternyata tidak kalah


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepatnya. Cui Kinin tidak menghiraukan serangan balasan ini, beruntun dia gunakan kedua tangan memukul pula secara bergantian, jadi
menyerang untuk menandingi serangan lawan. Begitu mulai gebrak
kedua orang sama bunjuk kemahirand ilmu pukulan daan
kesebatan gebrak badan, serangan semakin gencar, jurus demi
jurus semakin cepat dan lihay, ba-yangan kedua orang maju
mundur saling berputar dan melejit kian kemari, keduanya sama
gesit dan tangkas. Dengan tekun Kun-gi mengikuti pertempuran kedua orang,
pandangannya amat tajam, sudah tentu dia tidak dikaburkan oleh
kecepatan gerak yang terselubung oleh bayangan kepelan kedua
orang. Terasa Kungfu Yong King-tiong ternyata beraneka ragam,
dalam setiap gerakan kedua kepelan tangannya ternyata
mengandung tipu2 Siau-lim, Bu-tong, Hoa-san, Go-bi dan Liok-hap, serta Pat-kwa-bun dan lain2 aliran kelas tinggi, meski jurus yang satu tidak berurut dan bergandeng dengan jurus selanjutnya, tapi perubahan dan variasinya dapat dia mainkan dengan mahir dan
leluasa, tak pernah putus dan macet. Seolah2 dia sudah mahir
betul akan ilmu kepalan dari berbagai aliran itu serta
dikombinasikan dengan baik, malah perbawanya juga amat
mengejutkan. Tangan Cui Kinin tetap terselubung di dalam lengan bajunya,
tapi jari2 tangannya yang runcing halus sering terjulur keluar dikala mencengkeram, menutuk dan menabas, permainan lincah cepat
dan rangsakannya deras, bagai bidadari menyebarkan bunga,
bayangan telapak tangannya yang putih mu-lus itu bertaburan
bagai kuntum bunga, jari2nya yang runcing dengan kuku2nya yang
panjang laksana jarum perak, setiap gerakan tutukannya amat
aneh dan lihay, agaknya iapun telah keluarkan seluruh
kemahirannya. Terutama gerakan tangan dibarengi dengan
permainan langkah yang gesit dan membingungkan, meski Yong
King-tiong mencecar dengan pukulan keras, dia dapat berkelit ki-an kemari, Ujung bajupun tak mampu disentuh lawan.
Sekejap saja, keduanya sudah saling labrak lima-enam puluh
jurus, keadaan tetap berimbang, tiada satu pihak yang
memperoleh keuntungan. Thi-hujinpun saksikan pertempuran ini tanpa berkedip, lama2
roman mukanya menunjukkan mimik aneh penuh keheranan dan
kaget, tanyanya berpaling: "Anak Gi, kalau kau yang melawan dia kau yakin dapat, mengalahkan dia?"
"Ilmu pukulan dan gerak langkahnya serba aneh, paling2 anak hanya sama kuat melawannya, untuk mengalahkan dia agak sulit
juga, tapianakyakin sekalipukuldapat membunuhnya."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Kalau perempuan ini tidak
dilenyapkan, kelakpasti menimbulkan marabahayabagi kita."
Tengah bicara, di tengah gelanggang yang sedang berhantam
sengit itu terdengar suara Cui Kin in yang merdu: "Berhenti!"
Sesosok bayangan tiba2 melompat keluar dari arena serta mundur
beberapa langkah dan berdiri tak bergerak.
Yong King tiong juga menarik kedua tangan, katanya dengan
lantang: "Ada petunjuk apa Cui-tongcu?"
"Apakah Kim-biansanjiu dari Kunlun yang kau lancarkan barusan ini?" tanya Cui Kinin.
"Losiu tidak menganut sesuatu aliran, bermain sekenanya saja asal dapat menghadapi lawan, tak kupusing apakah Kim-bian atau
bukan segala." "Meski Kim-biansanjiu dari Kunlunpay merupakan kombinasi dari inti ilmu silat yang ada di dunia ini, di dalamnya mengandung
kesaktian yang tiada taranya, aku tidak percaya tidak mampu
memecahkannya." Yong King-tiong tersenyum lebar, katanya: "Cui-tongcu, boleh kau coba memecahkannya."
"Baik, akan kutunjukkan padamu," jengek Cui Kinin. Mendadak kedua tangan dilancarkan bersama, beruntun dia menyerang tiga
jurus. Setiap jurus pukulan menimbulkan kekuatan dahsyat yang
menerpa ke depan. "Serangan bagus," Yong King-tiong menghardik dengan
pujiannya. Kaki berdiri sekukuh tonggak, kedua tangan berjaga di depan dada, beruntun iapun melontarkan tiga kali pukulan.
Inilah cara adu pukulan secara keras, maka terdengarlah
benturan, ternyata tiada satu pihak yang lebih unggul. Cui Kinin tertawa dingin, kedua ta-ngan kembali melancarkan lima kali
pukulan secara berantai, Gelombang pukulannya bagai badai bergulung2 menerjang dengan hebat.
Diam2 Yong King-tiong tersirap darahnya, perempuan muda
berusia dua puluhan ini bagaimana mungkin memiliki Lwekang
seampuh ini" Hati berpikir, keadaan sudah mendesak, tak mungkin dia mundur, maka tenaga dia kerahkan di kedua lengan, mendadak
mulutnya menghembuskan serangkum hawa, lima kali ia
menyongsong pukulan lawan.
Kali ini tangan kedua pihak sama2 dilandasi kekuatan penuh,
begitu pukulan saling beradu, udara menjadi bergolak dan meledak dengan dahsyatnya.
Jenggot ubanan Yong King-tiong tampak bergerak melambai,
jubah hijaunyapun seperti terhembus badai, tanpa kuasa badannya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini siapa unggul siapa asor sudah kelihatan, Cui Kinin adalah anak perempuan muda beliau,
meski ilmu silatnya maha tinggi, jelas latihannya lebih cetek
daripada Yong King-tiong.
Setelah mengalami adu pukulan lima kali, wajahnya yang jelita
bagai bunga mekar di musim semi itu seketika berubah pucat,
beruntun ia tersurut lima langkah. Belum lagi berdiri tegak dan napas masih sengal2, mendadak alisnya menegak, sepasang mata
burung Hongnya memancarkan kemilau biru, nafsu membunuhnya
berkobar, hardiknya: "Nah, hati2lah kau." Tangan kiri bergerak naik turun menjaga keseimbangan dan akhirnya berhenti di depan
dada, sementara telapak tangan kanan tegak bagai golok pelan2
didorong keluar. Mehhat gerakan telapak tangan orang, seketika berubah hebat
air muka Yong King-tiong, teriaknya tertahan: "Toa-jiu-in dari Ih-ka bun!" Mulut berteriak lekas kedua tangannya melindungi dada, kembali kakinya menyurut lebih jauh, matanya menatap tajam,
sikapnya amat tegang. Pada detik gawat itulah didengarnya Ling Kun-gi berteriak:
"Mundurlahpaman Yong, jurus inibiarSiautityang menyambutnya."
Belum habis bicara, bayangannya sudah berkelebat mengadang di
depan orang. Jaraknya dengan Cui Kinin hanya satu tombak, ia
berdiri tegak dengan, menekan telapak tangan kiri kebawah,
telapak tangan kanan tegak miring, dari kejauhan dia ikuti gerakan Cui Kinin.
Baru saja dia hendak melancarkan Mo-ni-in dari aliran Hud,
Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar bentakan serak
bertenaga kuat. "Jangan muridku!" Suaranya bergema di angkasa, seperti disuarakan dari tempat yang jauh, tapi kedengaran amat
jelas seperti berbicara berhadapan.
Kun-gi tersentak kaget mendengar seruan ini, lekas dia menarik
tangan dan membatalkan serangannya, tanpa terasa dia
mendongakdan berteriak:"YaSuhu!"
Perlu diketahui bahwa Mo-ni-in adalah ajaran sakti aliran Hud
peranti menundukan dan memecahkan ilmu hitam, kekuatan dan
perbawanya tiada taranya. Walau Kun-gi belum lagi sempat
melontarkan pukulan, tapi gaya dan kuda2 yang sudah dia
tunjukkan laksana anak panak terpasang dibusur yang terpentang
dan siap dilepaskan dengan keku-atan dahsyat. Hawa murni sudah
melingkupi sekujur badannya, dalam jarak beberapa kaki sudah
padatdiliputi kekuatansekukuhtembokbajayangtidak kelihatan.
Toa-jiu-in yang dilontarkan Cui Kinin meski lambat, tapi tekanan yang keluar dari pukulan hebat ini sungguh laksana gugur gunung yang menimpa. Beberapa kaki menerjang ke depan Ling Kun-gi
ternyata Toa-jiu-in menemukan pengalang seteguh gunung, bagai
air bah yang terintang bendungan.
Air mengalir tersibak ke penjuru lain, meski kuat dan keras daya terjangnya, tapi kebentur kekuatan sekukuh baja ini, sedikitpun kekuatan Toa-jiu-in tak mampu maju lebih lanjut.
Begitu tenaga pukulannya menghadapi rintangan, segera Cui
Kinin lantas memperoleh firasat jelek, terasa dinding tak kelihatan sekeras baja pertahanan lawan membendung terjangan Toa-jiu-in,
dirinya, daya tolak balik bukan olah2 dahsyatnya, kalau tidak mau dibilang berlipat ganda malah, keruan kagetnya bukan main.
Pikirnya: "Toa-kok-su pernah bilang bahwa Toa-jiu-in adalah ilmu sakti dari Ih-ka-bun yang tertinggi, tiada ilmu pukulan macam lain dikolong langit ini yang mampu menandinginya, memangnya ilmu
apa pula yang di-pertontonkan pemuda ini" Tampaknya dia belum
lagi melontarkan kekuatan pukulannya, lantas membatalkan
niatnya. Kepada siapa pula dia memanggil Suhu?"
Kiranya dia tidak mendengar suara serak tua yang kumandang
seperti dari tempat jauh, karena ilmu gelombang suara itu hanya ditujukan kepada seseorang, maka hanya Kun-gi saja yang
mendengarnya. Sudah tentu Yong King-Tiong dan Thi-hujin juga tidak
mendengar, tapi "Ya, Suhu" seruan Ling Kun-gi tadi jelas didengar oleh semua orang.
Terunjuk mimik bingung dan heran pada wajah Thi-hujin,
tanyanya: "Anak Gi, apakah maksudmu Taysu juga datang?" Sudah tentu pertanyaan ini juga dia kirim dengan ilmu gelombang suara.
Kun-gi mengangguk, dia balas menjawab dengan ilmu yang
sama: "Ya, barusan sebelum anak melancarkan serangan kudengar peringatan Suhu yang melarang anak menggunakan Mo-ni-in."
"Aneh kalau begitu," ucap Thi hujin..
Cui Kin in juga tahu diri, lekas dia tarik serangannya, tanyanya sambil menatap Kun-gi: "Kau berani turun galanggang mewakili Yong King-tiong, kenapa berhenti setengah jalan?"
Menghadani tatapan mata orang yang bundar jeli, diam2
terkesiap Kun-gi, sesaat dia menjadi bingung, katanya kemudian :
"Bukankah Cui-tongcu juga berhenti setengah jalan?" Sudah tentu dia tidak mau menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.
Berkedip mata Cui Kinin, katanya : "Ingin aku tanya, ilmu apa yangbarusanhendakkau lancarkan?"
Sudah tentu Kun-gi tidak mau berterus terang, katanya tertawa
tawar : "Sungguh menyesal, jurus yang akan Cayhe lancarkan tadi tidakpunya nama."
Sedikit berubah rona muka Cui Kinin, katanya sambil
menjengek: "Kenapa tidak kau bilang tak sudi memberitahu" Tidak mau menjelaskan ya sudahlah, memangnya siapa yang pingin
tahu?" tanpa menunggu reaksi Ling Kun-gi dia menambahkan:
"Kau berani tampil ke muka, tentu ingin bergebrak dengan aku, biarlah kita tentukan siapa menang dan kalah."
Dengan kalem tapi angkuh Kun-gi berkata "Caybe menurut saja kehendak Cui-tongcu."
"Kudengar ilmu pedangmu amat lihay, marilah kita bertanding senjata?"
"Katakansajacaranya, pastiCayheiringi keinginanCui-tongcu."
Dengan lekat Cui Kinin menatap Kun-gi sekilas, katanya sambil
mencibir: "Hm, kau angkuh sekali."
"Selamanya memangbeginilahwatakCayhe,"sahutKun-gi.
Terunjuk rasa gusar pada wajah Cui Kinin, dia melambai ke arah
dayang berpakaian hijau di belakangnya. Tampak seorang gadis
baju hijau segera maju sambil menjinjing sebilah pedang, dengan hormat dia angsurkan senjata itu kepada majikannya.
Pelan2 Cui Kinin melolos pedangnya, sebilah pedang panjang
tiga kaki memancarkan kemilau hijau menyilaukan mata, itulah
sebilah pedang yang tipis tajam luar biasa. Tiba2 Cui Kinin pegang gagang pedang dengan kedua tangannya terus dibentang ke
samping, ternyata pedang seta serangka ini merupakan sepasang
pedang, dengan tangan kirikanan masing2 memegang sebatang
pedang, Cui Kinin melangkah maju beberapa tindak. katanya
dingin: "Ling Kungi, keluarkan senjatamu"
Kun-gi tertawa lebar. "Creeng", tangan kanannya terangkat, tahu2Ih-thiankiamsudah terlolos.
Terbeliak Cui Kinin, tanpa terasa dia berseru memuji: "Pedang bagus!"
Dengan menenteng pedang Kun-gi tidak membuka jubah juga
tidak pasang kuda2, hanya seenaknya saja dia menjura dan
berkata: "Silahkan Cui-tongcu!" Makin wajar seenaknya dia menjura, semakin kentara sikapnya yang gagah dan tampan.
Sesaat Cui-Kinin melenggong dibuatnya, kedua tangan tetap
terbentang, memegang sepasang pedang, sesaat wajahnya
bersemu merah jengah, tanyannya: "Kau tidak menanggalkan
jubah?" Umumnya orang yang turun gelanggang mau bertandang harus
mencopot jubahnya, kecuali yakin akan kepandaian sendiri yang
lebih unggul daripada lawannya, kalau tidak jubah itu akan
mempengaruhi gerak-geriknya. Tapi hal ini apa pula sangkut
pautnyadenganCuiKinin, kanmenguntungkandiamalah"
Kun-gi tertawalebar, katanya:"Tidakapalah"
"Ini kan bertanding pedang, senjata tak bermata, kau tidak kuatir aku memungut keuntungan dalam hal ini?"
"Tidakapa, tidakapa,"jawab Kun-gi.
"Kau sombong." jengek Cui Kinin mencibir pula sekali gentak, kedua bilah pedang ditangannya bergetar menggaris bundar
menciptakan dua lingkaran sinar pedang sebesar mulut mangkuk,
tapi dia belum menyerang, kedua pedang tetap berhenti di depan
dada, katanya dingin: "Ling Kun-gi, apakah aku yang harus turun tangan lebih dulu?"
"Boleh silakan Cui-tongcu," ucap Kun-gi.
Terpancar sinar membara pada sorot mata Cui Kinin. "Baik,"
serunya. Lenyap suaranya pedang di tangan kanan mendadak
membentuk tabir cahaya kemilau, deru hawa dingin setajam pisau
dengan secepat kilat menyambar ke depan.
Ling Kun-gi bergerak mundur, miring setengah langkah,
sementara Ih-thiankiam sudah pindah ke tangan kiri, ujung pedang menegak ke atas terus menyampuk ke depan. Panjang
Ih-thiankiam ada empat kaki, satu kaki lebih panjang daripada
pedang umumnya, maka sebelum pedang Cui Kinin menyerang
tiba sudah kena diketuk pergi. "Trang", ternyata sepasang pedang Cui Kinin juga pedang mestika, kalautidaksekali
benturtaditentusudah terpapaskutung.
Lenyap suara benturan, Cui Kinin lantas mengejek,
bayangannya berkelebat lincah, tahu2 dia menyelinap ke samping
kanan Kun-gi, pergelangan tangan berputar, secepat kilat ia
menusuk iga kanan lawan. Gerakan tubuh serta gaga pedangnya
sungguh lincah menakjubkan.
Yong-King-tiong yang menonton di luar gelanggang sampai
berjingkat kaget, teriaknya tanpa terasa: "Awas Ling-kongcu!"
Belum habis dia bicara, keadaan sudah berubah..
Ternyata setelah pedang di tangan kiri Kun-gi berhasil
menyampuk pedang Cui Kinin, waktu Cui Kinin menyelinap ke
kanan, cepat sekali diapun sudah pindah pedang ke tangan kanan
pula dan menahan ke bawah, "Trang," kembali kedua pedang beradu.
Tusukan Cui Kin in kembali dipatahkan, tapi Cui Kinin memang
hebat, selicin belut badannya tiba2 berputar, kakinya seperti tidak menyentuh tanah, tahu2 bayangannya sudah berada di depan Kungi. Seiring dengan putaran tubuhnya pedang kanan ikut berputar
menusuk ke pundak kiri, sementara pedang kiri ditarik mundur lalu membabat pinggang.
Bukan saja cepat perubahan tipu serangannya kedua
pedangpun bergerak menyilang dengan tusukan dan membabat
dengan lihay dan sukar diduga.
Agaknya Kun-gi sengaja pamer kepandaian, pedang kembali dia
geser ke tangan kiri, tusukan pedang lawan kearah pundaknya
kembali ditangkisnya, lalu dia kembalikan pula pedang ke tangan kanan untuk menangkis tebasan pedang lawan yang mengincar
pinggangnya. "Trang, tring!" dua kali secara beruntun hampir terjadi bersama, suara pertama adalah tangkisan pada pedang lawan yang menusuk
pundak, suara kedua yang lebih keras adalah sampukan keras
pada pedang lawan yang membabat pinggang.
Karena kedua kali bentrokan keras ini, kedua pedang Cui Kinin
tergetar sehingga tak kuasa mengendalikan badan, langkahnya
tersurut mundur, terpaksa dia tarik kedua pedang sambil menatap tajamLing Kun-gi, katanya dingin: "Kau memang hebat sekali."
"Cui-tongcuterlalu memuji!", ucap Kun-gitawar.
"Kenapa kau hanya bertahan dan tidak balas menyerang?"
"Gerak pedang Cui-tongcu teramat lincah dan cepat, bahwa
Cayhe mampu menangkis sudah beruntung, mana ada kesempatan
balas menyerang?" Cui Kinin tertawa, tawa manis karena umpakan ini, katanya:
"Ternyata kau pandai merendah juga." Tiba2 kuncup
senyumannya, katanya pula dingin: "Setelah saling gebrak, kita harus menentukan siapa unggul dan asor, Nah, hati2lah."
Pada ucapannya terakhir, sebat sekali dia lantas menubruk
maju, pedang kiri menusuk dan pedang kanan menabas, kalau
tangan kanan membabat tangan kiri menyontek, serangan yang
kiri lebih cepat dari yang kanan, menyusul serangan kanan
melebihi melebihi kecepatn yang kiri, disamping ganas dan keji, serangan inipun tambah gencar, sekaligus dia sudah menyerang
delapan belas jurus. Ling Kun-gi ternyata tidak berebut mendahului, dia tetap
bertahan dengan mantap dan tenang, pedang dia pindah ke
tangan kiri seenaknya dia mengembangkan Tat-mo-hoanjiu-kiam,
ilmu pedang Tat-mo-co-su yang dimainkan dengan tangan kidal,
berbeda dengan ilmu pedang aslinya yang dimainkan dengan
tangan kanan, tipu2nya serba berbeda, isi kosong sukar dijajagi, belum lagi jurus yang satu dilancarkan tahu2 sudah berganti jurus yang lain, apalagi setiap gerakannya mengandung perubahan,
menyerang juga bertahan, di waktu bertahan ada pula gerak
menyerang. Permainannya sungguh amat indah dan lihay. Karena
dia ber-main pedang dengan tangan kidal, Cui Kinin menjadi
kebingungan dan tidak tahu arah mana yang dituju serangan
lawan. Semakin tempur kedua orangbergeraksemakin cepatdansengit,
yang kelihatan melulu sinar hijau dan cahaya perak yang
melingkar, selulup timbul silih berganti, deru angin pedang
bergolak menimbulkan angin kencang, suaranya semakin ribut
seperti benda keras yang tiba2 sobek tergetar, lama kelamaan
menjadi sukar dibedakan mana lawan dan mana pula kawan.
Pertempuran berjalan lagi tiga puluhan jurus, keadaan tetap
berimbang sama kuat. Cui kinin tampak semakin bernapsu, selebar mukanya membara, tiba2 dia menjerit sambil menggentak pedang,
permainan pedangnya mendadak berganti, kini dia bergerak
selincah kupu2 terbang di atas rumpun bunga, menyelinap kian
kemari dan menari dengan lemah gemulai, gerak sepasang
pedangnya semakin lincah dan cepat, bukan saja lebih aneh dan
banyak ragamnya, setiap gerakan pasti mencari peluang
menyerang ke pertahanan lawan. Suatu ketika Ling Kun-gi


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak sedikit lambat, "cret", pedang Cui Kin in segera menyelonong masuk, jubah hijaunya tertusuk robek.
Tidak kepalang kaget Kun-gi, baru sekarang dia benar2 insaf
akan permainan pedang Cui Kinin yang lihay ini, mau tidak mau dia lantas berpikir, "Untuk mengalahkan dia, terpaksa aku harus mengembangkan Hwi-liong-kiam-hoat." Segera ia bersiul panjang, tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, sejalur cahaya pedang
lantas membumbung ke udara laksana naga sakti mengamuk.
Agaknya Cui Kinin tidak menduga pada saat menghadapi
serangan segencar ini, Ling Kun-gi masih sempat melambung ke
udara, terdengar ia menggerung lirih, tiba2 iapun tutul kedua
kakinya, sepasang pedang menggaris lintang, menyusul kedua
tangan menggapai dengan kedua pedang berputar mirip sayap
burunghong lagiterbang. Sementara itu Kun-gi tengah mengembangkan jurus
Sinliong-juthun, waktu badan mencapai ketinggian tiga tombak, dia lantas pemukik balik, pergelangan tangan bergetar, pedang
mengeluarkan sinar cemerlang laksana pancaran kembang api
yang meledak, berubah menjadi hujan cahaya yang bertebaran di
angkasa. Waktu Cui Kinin menyusul keatas, kebetulan dia papak Kun-gi
yang menukik turun, karena berada di tengah udara, menghadapi
serangan lihay lagi, ternyata sedikitpun dia tidak jeri dan gugup, kedua pedangnya masih terus bergerak dengan garis silang dan
naik turun mirip burung Hong yang sedang terbang di udara.
Kalau yang lelaki laksana seekor naga me-lingkar2 di tengah
mega, maka yang perempuan mirip burung Hong yang terbang di
angkasa. Gerak pedang kedua pihak sama2 cepat laksana kilat,
dengan benturan senjata berkumandang menimbulkan gema
nyaring di lembah pegunungan.
Air muka Yong King-tiong tampak berubah berulang kali,
katanya dengan penuh keheranan: "Aneh, memangnya dia
memainkan Hwihong-kiam-hoat?"
Bahwa Cui Kinin mampu menandingin Hwi-liong-sam-kiam
warisan keluarganya, ini sudah membuat Thi-hujin ikut berubah air mukanya, kini mendengar Yong King tiong menyebut nama Hwihong-sam-kiam, tanpa terasa ia bertanya: "Hwi-hong-kiam-hoat"
Kenapanamainitidakpernah kudengar?"
"Hwi-hong-kiam-hoat," ujar Yong King-tiong, "adalah ciptaan Soat-sansinni dulu, Sinni adalah sahabat karib Tuan Puteri,
bagaimana mungkin anak murid didiknya bisa berkiblat kepada
pihak kerajaan. . . . ."
"Kulihat dia memang seorang Kinjin," kata Thi-hujin.
Sambil mengelus jenggot Yong King-tiong mengangguk,
katanya: "Sejaktadi Losiusudah curigaakanhalini."
SementaraitusetelahLingKun-gidanCuiKinin mengadupedang
keduanya lantas turun ke atas tanah. Belum lagi Kun-gi berdiri
tegak, Cui Kinin sudah melompat maju lagi menyerang dengan
gencar. Keruan Kun-gi naik pitam, kaki menjejak tanah kembali ia
melejit keatas, menyusuldia menukikpula menubruk kearah lawan.
Karena kedua pedangnya menyerang tempat kosong, Cui Kinin
melanjutkan meluncur lurus ke depan. Dari atas Kun-gi lancarkan jurus Lui-kong-pit-bok (geledek membelah kayu)
Tiba2 Cui Kinin membalik, kedua pedang tersilang, dengan tepat
dia tahan pedang Kun-gi. Karena sedang terkunci oleh kedua
pedang Cui Kinin hati Kun-gi semakin berang, belum lagi kakinya menyentuh tanah, segera dia kerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat, tenaga dikerahkan di lengan, pedang di tekan sekeras2nya ke
bawah. Karena badan Kun-gi masih terapung, sementara tabasan
pedangnya kena dikunci oleh sepasang pedangnya, maka Cui Kinin
dapat meluangkan sebilah pedangnya untuk menyerang sebelum
Kun-gi hinggap di tanah, serangannya pasti akan berhasil, umpama tidak berhasil membunuh Kun-gi, sedikitnya kedua kaki lawan
dapat ditabas kutung. Tidak terduga selagi dia me-nimang2 itulah, terasa berat
pedang Kun-gi yang terjepit di antara kedua pedangnya itu
bertambah lipat seolah2 tekanan ribuan kati, hampir saja kedua
tangan sendiri tak mampu memegang pedang, dengan sendirinya
tak sempat meluangkan sebilah pedang untuk menyerang lawan"
Wajahnya nan molek itu kontan berubah pucat hijau lalu merah,
keringatpun membasahi jidat, kedua tangan yang pegang
sepasang pedang yang menyilang itu tampak gemetar, pelan2
tertekan turun seperti tak tahan lagi. Kalau ia tak kuasa manahan tekanan pedang lawan, berartiiasendiribakalterbelah menjadi
duadanbinasa. Tapi pada detik gawat itulah, mendadak terasa tenaga ribuan
kati yang menindih itu tiba2 sirna, sedikit meminjam tenaga
pertahanan pedang Cui-Kinin, Kun-gi terus melambung ke
belakang. Jelas dalam gebrak ini dia menaruh belas kasihan.
Hampir meledak tangis Cui Kinin saking dongkol, sejak kecil dia berlatih pedang, Hwi-hong-kiam-hoat juga merajai Bu-lim, dia kira tiada tandingan lagi di kolong langit ini, tapi kini dirinya kecundang dua kali oleh Ling Kun-gi. Diam2 dia mengertak gigi, tanpa
bersuara mendadak dia memburu maju, sepasang pedangnya
menaburkan cahaya kemilau menggulung ke arah Ling Kun-gi.
Agaknya Cui Kinin benar2 naik pitam sehingga melancarkan
serangan gencar dan sengit, ingin rasanya membikin beberapa
lubangditubuh Kun-gi yangdibencinyaini.
Tapi Kun-gi juga kembangkan ilmu pedangnya, Ih-thiankiam
ditangannya dimainkan begitu rupa sehingga sekujur badan seperti terbungkus cahaya, deru anginpun mendengung keras.
Kembali kedua jago pedang ini berhantam dengan seru,
masing2 keluarkan seluruh kemahiran sendiri, sudah tentu adegan kali ini jauh lebih menegangkan daripada pertempuran terdahulu
tadi. Tiga jalur sinar pedang saling gubat. kadang2 seperti rantai perak yang menjulang ke atas, tiba2 pula laksana gumpalan mega
mengambang di udara dengan enteng. Yang satu laksana burung
Hong menari2 diudara, yanglain sepertinaga mengaduksungai.
Makin sengit pertempuran makin kejut hati Ling Kun-gi, bila dia belum masuk ke dasar kolam naga hitam dan berhasil mempelajari
ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin, dengan bekal Hwiliong-sam-kiam saja, terang dia bukan tandingan nona ini. Memang sembilan jurus ilmu pedang yang dia pelajari dari ukiran dinding itu belum apal dan mahir betul, maka dalam permainan adu pedang
ini lebih sering dia mengulang permainan Hwi-liong-sam-kiam.
Sementara enam jurus yang lain karena hanya hanya dilandasi
dengan kecerdasan otaknya saja, maka dalam prakteknya masih
agak kaku, tapi toh tetap dia kembangkan sembari diselami.
Memang sekaranglah kesempatan latihan untuk memperdalam
ilmu pedangnya itu, apalagi lawan tandingannya adalah Cui Kinin, nona jelita yang berkepandaian ilmu pedang yang tinggi, yang
dimainkan juga ilmu pedang kelas tinggi yang aneh dan banyak
perubahan dan variasi, pula sama2 harus dilancarkan dengan cara mengapung di udara, Hwi-hong-kiam-hoat lawan memang serasi
sebagai kawan latihan yang sempurna.
Lekas sekali seratus jurus telah dicapai, lama kelamaan Kun-gi
menjadi apal dan leluasa memainkan Hwi-liong-kiu-sek. Di tengah pertempuran sengit itu terdengar suara benturan keras dibarengi cipratan kembang api yang menyilaukan mata, sekonyong2 cahaya
pedang sama kuncup, dua bayangan orangpun terpental mundur.
Rambut Cui Kinin kusut masai, wajahnya tampak membesi
hijau, sekilas dia melirik ke atas tanah, mendadak dia merangkap kedua pedang serta dimasukkan ke dalam sarungnya, lalu berseru
lirih: "Hayo pulang!" Tanpa berpaling segera dia melangkah pergi.
Di tanah menggeletak secomot rambut, kiranya hasil tabasan
pedang Ling Kun-gi. Tak heran wajahnya bersungut dan uring2an,
maka cepat2 dia membawa anak buahnya pergi.
"Cui-tongcu,"seraThihujin dingin, "kau inginpergi beginisaja?"
Cui Kinin sudah memutar badan, tiba2 dia menghentikan
langkah, tanyanya sambil berpaling: 'Apa kehendak kalian?"
Yong King-tiong bergelak tertawa, katanya: "Sebagai Komisaris umum, adalah tidak pantas kalau Cui-tongcu tinggal pergi begini saja."
Rasa marah menjalari selebar muka Cui Kinin, alisnya menegak,
katanya sambil tertawa dingin: "Aku ingin pergi boleh segera pergi, siapa dapat menahanku"
"Sreng", The hujin melolos pedang, jengeknya: "Urusan sudah selanjutini, betapapunkauharus kamitawan."
"Bagussekali! Nah,cobasajakalau mampu,"ejekCuiKinin.
Pada saat itulah, mendadak dari tempat jauh berkumandang
suaraserakberkata:"NonaCui, kaubolehpergi saja."
Thi-hujin dan Ling Kun-gi tampak melenggong, bukankah
Put-thong Taysu yang berbicara"
Terunjuk rasa kaget dan heran, tanya Cin Kui-in sambil
mendongak: "Siapa kau?"
"Tak usah tanya siapa aku," sahut suara serak tua itu, "kau masih punya urusan sendiri, pergilah, jangan terburu nafsu."
Sekilas melirik Thi-hujin, Cui Kinin, lantas turunkan pedang dan melangkah pergi. Empat gadis baju hijau bersama delapan laki2
berpedang segera merubung maju berbaris dibelakangnya dan
angkat langkah. Karena yang bersuara adalah guru Ling Kun-gi, yaitu Hoanjiu-jilay Put-thong Thaysu, sudah tentu tak enak Thi-hujin merintangi Cui Kinin, maka dia diam saja membiarkan mereka pergi, namun
tak tertahan iapun mendongak dan bertanya: 'Kau ini . . . . .
"Jangan banyak tanya Hujin," sahut suara itu, "kalianpun harus lekaspergi." Sampaiakhir katanyasuaranyasudahsemakin jauh.
"Kenapa Suhu berulang kali menampilkan diri, memberi
keringanan kepada Cui Kinin?" demikian Kun-gi ber-tanya2
keheranan. "Pasti Taysu punya maksud tertentu dengan tindakannya ini,"
ujar Thi-hujin. "Yang bicara barusan, apakah guru Ling-kong-cu?" tanya Yong King-tiong.
Thi-hujin hanya mengangguk.
Sambil mengelus jenggotnya, tiba2 Yong King-tiong menghela
napas, katanya: "Berapa tinggi kepandaian nona muda ini sungguh jarang ada tandingannya jaman ini, hari ini kita tak bisa
melenyapkan dia mungkin kelak bisa menimbulkan banyak
kesukaran bagi kita semua."
"'Bahwa Taysu berulang kali memberi muka padanya, tentu ada alasannya, kalau betul kelak dia akan mendatangkan kesulitan bagi kita, kukira Taysu takkan melepaskan dia pergi," demikian ucap Thihujin, lalu dia menengadah melihat cuaca, katanya pula: "Anak Gi, sebelum ajal bibimu ada pesan bahwa Bok-tan dan So-yok
masing2 diberikan gambar peta, sebelum terang tanah seharusnya
mereka sudah kumpul di Hek-liong-tam, tapi sampai sekarang
masih belum kelihatan bayangan mereka, mungkin di tengah jalan
mereka disergap musuh tangguh, bibimu amat kuatir, maka kau
disuruh memberi bantuan."
Ling Kun-gi mengiakan. "Tadi Han Janto bilang bahwa lorong2 rahasia dalam perut
gunung ini sudah banyak yang di pugar, kalau mereka bekerja
sesuai gambar peta yang diberikan bibimu, tanpa lawan turun
tangan dengan sendirinya mereka akan masuk perangkap dan
menemui ajal, kukira Yong-lopek tahu liku2 jalan rahasia di sini, pergilah kau bersama Yong-lopek, tolonglah dan kumpulkan dulu
kedua rom-bongan Pek-hoa-pang yang tercerai berai itu,"kata Thihujin pula.
"Dan ibu?" tanya Kun-gi, "engkau . . . . . . . "
"Ibu masih ada urusan lain, setelah kalian bertemu dengan
mereka dan berhasil menggempur Ceng-liong dan Hwi liong tong,
bawalahBok-tandanSo-yokkeGak-kohbio menemuiaku."
Kembali Kun-gi mengiakan.
Berkata Thi-hujin kepada Yong King-tiong: "Yong Congkoan,
mohon pertolonganmu suka membantunya."
Lekas Yong King-tiong menjura, katanya: "Hujin ada urusan
boleh silakan, Losiu akan mem-bantu Ling-kongcu menyelesaikan
urusan di sini." Tak banyak bicara lagi Thi-hujin terus melejit jauh berlari
kencang bagai terbang. 'Ling-kongcu, tiba saatnya kitapun harus berangkat" ucap Yong King tiong.
"Dari sini keluar entah mana yang lebih dekat antara
Ceng-liongtong dan Hwi-liong-tong?" kata Kun-gi.
"Sudah tentu Ceng liong-tong lebih dekat, Ceng-liong-tong
adalah seksi dalam, letaknya di sebelah kiri markas pusat, maka kita harus ke Ceng-liong-tong menolong orang dulu baru nanti
dilanjutkan menuju ke Hwi liong-tong"
"Masih ada sebuah hal, ingin Wanpwe tanya kepada Yonglopek." "Soal apa ingin Kongcu tanyakan?"
"Ada dua teman wanpwe yang tertawan orang2 Hek-liong-hwe,
mereka dianggap orang Pek-hoa-pang, entah di mana sekarang
mereka disekap?" "Beberapa hari yang lalu memang pernah kudengar pihak Ceng-liong-tong berhasil menawan beberapa orang laki-perempuan,
katanya orang Pek-hoa-pang, setiap tawanan yang digusur ke
gunung ini pastidisekapdi markaspusat."
"Kalau begitu, marilah Yong-lopek antar aku pergi menolong orang saja."
"Kamar tahanan tidak melulu di markas pusat saja, letaknya yang tepat adalah di perut gunung sebelah belakang
Ceng-liong-tong, jalan menuju ke sana adalah daerah rawan yang
juga dilewati orang2 Pek-hoa pang, di sana pulalah mereka
terjebak dalam perangkap."
Sembari bicara tanpa terasa mereka sudah tiba pula di pinggir
Hek-liong-tam. "Yong-lopek, kita telah berada di Hek-liong-tam pula," ucap K
urngi. "Tiga seksi Hek-liong-hwe semuanya didirikan dalam perut
gunung, hanya Hek-liong-tam yang letaknya di bagian luar, tapi di sini dikelilingi dinding gunung yang mencakar langit, putus
hubungan dengan dunia luar, untuk keluar sudah tentu kita harus kembali ke sini," sembari mengelus jenggot Yong King-tiong menambahkan dengan tertawa: "Dan lagi, sekarang sudah hampir lohor, marilah kita makan dulu, apalagi selain Siau-tho, Lo-siu masih ada delapan pembantu, sudah sekian tahun mereka
melayani Losiu, setelah keluar dari sini mungkin Losiu takkan
kembali lagi, merekapun harus dibubarkan."
Di bawah petunjuk Yong King-tiong mereka menuju kearah
barat, tak lama kemudian tampak di bawah dinding curam sebelah
sana terdapat sebuah lubang gua yang terhimpun dari tumpukan
batu2 padas. Mulut gua amat besar, tingginya ada beberapa
tombak, karena di sini ada pancaran sinar mentari, maka keadaan tidak begitu gelap, tepat di tengah gua terdapat dua baris meja batu dan beberapa kursi, dinding di kanan kiri masing2 terdapat sebuah pintu, Yong King tiong bawa Kun-gi masuk ke dalam gua
lalu berhenti, katanya kepada keempat jago pedang baju hitam:
"Kalian pergilah makan siang, lalu bebenah bekal kalian masing2, kumpul lagidisini, nanti ikut Losiu keluar."
Keempat jago pedang itu mengiakan terus mengundurkan diri.
"Marilah Ling-kongcu ikut Losiu," ajak Yong King-tiong. Dia melangkah ke pintu sebelah kanan.
Kun-gi ikut di belakangnya terus melangkah masuk, sementara
Yong King-tiong mengeluarkan sebuah bumbung obor. "Cres", dia nyalakan api dan menyulut obor itu. Jelas itulah sebulah lorong, dinding kedua sisi ditatah rata dan licin, lebarnya hanya tiga kaki, cukupuntukjalanduaorang berjajar.
Langkah merekaamatcepat, taklama kemu-dian tibalah di ujung
lorong. Yong King-tiong maju selangkah, ia menekan sesuatu di
dinding, maka terbukalah sebuah pintu. Begitu mereka melangkah
masuk, Siau-tho, pelayan baju hijau itu segera memapak maju,
katanya sambil membungkuk: "Cong-koan sudah kembali."
'Hidangan makan siang sudah kau siapkan belum' tanya YongKing-tiong. "Koki barusan sudah datang dan tanya apakah hidangan siang perlu diantar sekarang" Karena Congkoan belum pulang, hamba
suruh mereka menunda sebentar."
"Baiklah, sekarang kau suruh koki siapkan pula beberapa
macam hidangan dan arak, masih ada kerja lain yang akan
kusuruh kau." Siau-tho mengiakan terus melangkah keluar.
Yong King-tiong mendekati dinding, dia membuka sebuah pintu
dan beriring melangkah masuk. Ternyata mereka telah berada di
kamar rahasia dimana kemaren malam mereka berbicara.
"Silakan duduk Kongcu," ucap Yong King tiong, "semalam suntuk kau tidak tidur, boleh silakan istirahat sebentar."
"Wanpwe tidak merasa letih," sahut Kun-gi. Mereka duduk berhadapan menyandang meja kecil.
Tanya Yong King-tiong: "Bagaimana pengalaman kau semalam
waktuselulupkedasarkolamdan masukkekamarguaitu?"
"Memang akan kulaporkan kepada paman." ujar Kun-gi. Lalu dia bercerita ringkas jelas pengalamannya didasar kolam ibtu.
Yong-king-tiong mendengarkan dengan seksama, setelah Kun-gi
habis bercerita, baru dia manggut2 sambil mengelus jenggot,
katanya: "Syukurlah kalau sudah kau hancurkan, cita2 Losiu selama ini sudah tercapai. Mengenai tiga gambar semadi itu,
kemungkinan adalah penuntun dasar untuk meyakinkan ilmu
pedang dengan jalan semadi, kalau sembilan jurus terdepan sudah Kongcu latih dengan mahir, boleh kau lanjutkan dengan ajaran
semadi yang terukir di dinding itu."
"Pendapat paman memang betul."
Tengah bicara pintu kembali terbuka, Siau-tho melangkah
masuk sambil membawa tenong, dia taruh arak dan piring
mangkok yang berisi ber-macam2 hidangan di atas meja, lalu
katanya sambil membungkuk: "Congkoan dan Kongcu silakan
makan bersama." "Di sini tidak perlu pelayananan lagi, kaupun pergi makan, setelah itu suruh orang di dapur membenahi bekal masing2 dan
kumpul di depan, nanti ikut Losiu pergi."
Siau-tho melenggong, tanyanya: "Congkoan hendak
meninggalkan tempat ini?"
"Jangan banyak tanya, semua orang akan pergi, kaupun lekas bebenah, dengarkan pesan Losiu selanjutnya."
Dengan terbelalak heran sesaat Siau-tho menatap Yong King
tiong, akhirnya dia menunduk sambil mengiakan dan
mengundurkan diri. "Marilah Ling-kongcu, tidak usah sungkan, lekas kita makan seadanya."
Masih banyak urusan yang harus dikerjakan, maka Kun-gi tidak
sungkan2 lagi, segera mereka makan sekenyangnya. Siau-tho
tampak melangkah masuk pula, membawa dua cangkir teh wangi
serta hendak mengangkuti piring mangkok.
"Siau-tho," kata Yong King-tiong setelah meneguk secangkir teh, "tidak usah diangkuti lagi, pergilah kau bebenah barang2mu saja, kita akan segera berangkat."
"Kecuali beberapa perangkat pakaian, hamba tidak punya bekal apa2 lagi,"sahut Siau-tho.
"Baiklah marikitaberangkat,"ajakYongKing-tiong.
Siau-tho berlari keluar, cepat sekali dia sudah berlari datang
pula dengan menjinjing sebuah buntalan kecil, dipinggang masih


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyoreng sebatang pedang.
Yong King-tiong mendahului berdiri, katanya: "Mari berangkat Ling-kongcu."
Kun-gi ikut berdiri, bertiga mereka keluar dari kamar rahasia itu, Yong King-tiong menoleh dengan perasaan berat, katanya lirih:
"Sejak umur likuran tahun Losiu atas perintah perguruan
mendharma-baktikan diri di Hek-liong-hwe. Empat puluh tahun
lamanya tinggal di sini, kini harus pergi takkan kembali lagi, hati merasa amat berat sekali."
Lalu dia mendahului melangkah keluar menuju ke lorong
panjang sana, kembali ke kamar batu di bagian luar gua, keempat jago pedang bersama lima laki2 dan dua perempuan tua yang
biasa kerja di dapur sudah lama menunggu dengan menyandang
buntalan masing2. Melihat Congkoan datang serempak mereka
berdiri. Yong King-tiong membuka pintu sebelah kiri, dari dalamnya dia
menyeretkeluarseonggokuang perakterusdibagikan kepadaorang
banyak, setiap orang kebagian dua ratus tahil perak, katanya
kemudian: "Kalian boleh pergi dan carilah nafkah secara halal, sekedar pesangon ini boleh buat modal dagang atau untuk usaha
lain, selanjutnya jangan singgung soal Hek-liong-hwe." Lalu dia berpesan pula: "Loh Jongi, kau harus mengawal mereka keluar, pergilah ke Gak-koh-bio menunggu Losiu di sana."
Salah seorang jago pedang baju hitam mengiakan sambil
menjura. Tiba2 Siau-tho maju menjatuhkan diri berlutut, katanya sambil menyembah: "Cong-koan yang terhormat, sejak kecil
hamba dibawa kemari, entah di mana ayah bundaku sekarang,
tiada tempat yang kutuju dan tiada sanak kadang yang bisa
kupercaya biarlah hamba mendampingi Cong-koan saja, mohon
Congkoan menaruh belas kasihan, jangan suruh hamba pergi."
Yong King-tiong menjadi kasihan melihat gadis remaja ini
bercucuran air matanya, katanya: "Lohu akan meninggalkan
tempat ini, selanjutnya kalian tak usah pangil Congkoan kepadaku, apalagi kerajaan tidak akan membiarkan Lohu, mana boleh kau ikut Lohu
menempuhbahaya, akanlebih baik..."
"Setelah meninggalkan tempat ini, hamba akan pandang engkau sebagai kakek, tolong engkau menerimaku sebagi cucu saja."
Demikian ratap Siau-tho dengan sesenggukan.
Memang Siau-tho tidak punya sanak kadang, gadis
sebatangkara bagaimana bisa hidup di masyarakat luas yang
banyak godaan, maka Yong King-tiong lantas mengulap tangan
kepada Loh Jonggi, katanya: "Baiklah, kau bawa mereka pergi lebih dulu."
Loh Jonggi mengiakan, ia pimpin orang banyak keluar dari pintu
sebelah kiri. Bahwa Yong King-tiong menerima permohonannya, keruan
Siautho kegirangan, berulang kali dia menyembah pula baru berdiri ke pinggir.
"Phoa Sib-bu, Go Nui-cu, Kik Su-hou boleh ikut lohu, di jalan peduli siapapun kalau tiada pesan lohu, kularang kalian turun
tangan," kata Yong King-tiong pada sisa ketiga jago pedang uang masih tinggal.
Tiga jago pedang yang masih berdiri di pojok sana mengiakan
bersama. "Silahkan Ling-kongcu," kata Yong-tiong lebih lanjut, lalu dia mendahului menunjuk jalan. Kembali mereka berada di lorong2
panjang yang gelap, cuman lorong di sini cukup luas, rata dan
bersih, jelas lorong ini menjurus ke Ceng-liong-tong.
Yong King-tiong di depan, Kun-gi mengikut di belakangnya,
Siautho dan tiga jago pedang baju hitam berada di belakang
Kun-gi, tiada seorangpun yang buka suara, hanya derap langkah
mereka ber-lari kecil saja yang terdengar.
Kira2 setengah li baru lorong ini berakhir, mendadak langkah
Yong King-tiong diperlambat, lalu berhenti di bawah dinding, ia menekan pada sebuah sasaran di dinding, lalu terdengar suara
gemuruh terbukalah sebuah pintu di tengah dinding.
Yong King-tiong mendahului melangkah masuk dengan kedua
tangan melintang di depan dada, hanya beberapa langkah saja lalu dia berhenti.
Membiarkan Kun-gi, Siau-tho dan ketiga jago pedang sama
masuk, lalu dia menekan pula ke dinding dua kali, pintu batu
pelan2 menutup rapat pula. Mendadak dia ayun telapak tangan
terus menghantam keras2 ke tempat yang ditekannya tadi. Maka
terdengar suara keras bergema, begitu keras getaran yang
terjangkit akibat pukulan itu sehingga debu beterbangan dari atap lorong.
"Alat rahasia pintu2 lorong yang menembus ke Hek-liong-tam telah lohu rusak, selanjutnya takkan bisa dibuka lagi," demikian kata Yong King-tiong dengan nada rawan, lalu dia beranjak
mendekati dinding sebelah kanan, pelan2 menempelkan kuping ke
dinding seperti mendengarkan apa2 sekian lama, selanjutnya dia
pindah ke dinding sebelah kiri, menempelkan kuping pula
mendengarkan dengan seksama.
Melihat tindak-tanduk orang, Kun-gi maklum apa artinya,
apalagi sepanjang perjalanan dan pengalamannya selama di
lorong2 gelap itu menambah pengetahuannya, dia menduga pada
dinding di kanan kiri ini pasti terpasang pintu rahasia.
Setelah mendengarkan sekian lama, mendadak Yong King-tiong
mengetuk kaki dinding sebelah kiri dengan tungkak kakinya,
pelan2 tangan kananpun mendorong ke depan. Tempat di mana
dia berada ternyata betul, adalah sebuah pintu rahasia, didorong pelan2 pintu batu yang tebal berat itupun terbuka.
"Tunggu sebentar Ling-kongcu," ucap Yong King-tiong, "pintu ini berputar bolak-balik, setelah lohu masuk ke sana baru boleh mendorongnya pula" Habis bicara dia terus melangkah ke sana, pintuitupunterbalikdan menutuprapat.
Menuruti pesan orang, Kun-gi mendorong pintu serta
melangkah ke sana, demikian yang lain2 satu persatu meniru
orang yang duluan. Di balik pintu sudah tentu merupakan lorong
panjang pula. Cuma lorong di sini jauh lebih sempit, sama2 gelap gulita pula. Dengan tangan kiri mengangkat tinggi obor, tangan
kanan melindungi dada, Yong King-tiong berpaling dan berkata
lirih: "Tempat ini sudah masuk daerah Ceng-liong-tong yang terlarang, banyak dipasang perangkap, keadaan sebenarnya Losiu
tidak begitu jelas, maju lebih lanjut lagi setiap saat menghadapi sergapan. Kongcu genggam saja Le liong-cu, supaya cahaya
mutiara itu tidak terlihat oleh orang lain, lebih baik kau menghunus pedang juga, supaya tidak menimbulkan suara."
Melihat orang berpesan dengan nada serius, pelan2 Kun-gi
keluarkan pedang serta menanggalkan mutiara dan di genggam di
tangannya, karena lorong di sini sempit, Ih-thiankiam terlalu
panjang, maka dia memakai pedang pandak.
Sedang Siau-tho dan ketiga jago pedang juga menyiapkan
pedang masing2. Bukan saja gelap gulita, lorong yang sempit dan panjang inipun terasa sunyi lenggang. Suara pedang terlolos dari serangka mereka menimbulkan pantulan gema yang cukup keras
juga. Maka terdengar sebuah bentakan keras berkumandang dari
arah depan: "Siapa di sana?"
"Lohu", seru Yong King-tiong, suaranya kereng dan berat, sehingga menimbulkan pantulan suara yang bergema
mendengung. Makateguranorangdidepan tidak bersuaralagi.
Tanpa memadamkan obor, Yong King-tiong berpaling, katanya:
"Mari ikut aku."
Cepat sekali langkah mereka, kira2 sebidikan panah jauhnya,
mendadak terdengar pula bentakan lebih keras: "Siapa yang
datang" Hayo berhenti!" Tampak selarik sinar api dengan
mengeluarkan deru angin kencang meluncur tiba. "Blup", api itu jatuh di depan kaki Yong King tiong, seketika meledak dan apipun berkobar.
Itulah panah buatan khusus, nyala api amat keras dan besar
sehingga jalan lorong selebar tiga kaki terbendung oleh kobaran api. Belum api padam, dari arah depan muncul seorang berpakaian hijau, tanyanya: "Siapa kalian?"
Terpaksa Yong King-tiong berhenti, dengusnya: "Memangnya
Tang-heng sudah tidak kenal lagi pada Lohu?"
Si baju hitam melenggong, serunya: "Apakah Yong-congkoan
yang datang?" Di bawah cahaya api, jarak dalam tiga tombak cukup terang, tapi karena teraling asap tebal sehingga sukar
melihat jelas orang di seberang.
"Betul, inilah Lohu," kata Yong King-tiong.
Mendengar yang datang betul Yong King-tiong, pejabat Hekliong-tam Congkoan, kedudukannya sejajar dengan para Tongcu
yang mengetuai setiap seksi, sudah tentu orang itu tidak berani ayal, lekas dia merangkap tangan menjura, katanya: "Ham-ba tidak tahu akan kedatangan Yong-congkoan, harap dimaafkan kelalaian
ini." Habis kata2nya, kembali terdengar suara "Blub", api yanrg masih berkobar besar itu seketika padam, asap juga sirna seketika.
Yong King-tiong memuji di dalam hati: "Peralatan senjata api orang ini memang lihay."
Diam2 iapun heran, batinnya: "Setelah mengundurkan diri dari Say-cu-kau, Cui Kinin sudah berangkat setengah jam lebih dulu,
seharusnya dia sudah menyampaikan perintah untuk berjaga lebih
ketat, tapi dari nada Tang Kim-seng, agaknya dia belum tahu kalau aku sudah berontak?" Sembari membatin segera ia melangkah
maju, katanya: "Apakah Tang-heng berdinas di daerah ini?"
"Hamba diperintahkan membantu Nyo-heng di sini."
"Di mana Nyo Ci-ko sekarang"' tanya Yong King tiong.
"Hamba bertugas jaga pintu ini, Nyo-heng ada di dalam."
Dengan kalem Yong King-tiong menghampiri dan berhenti di
depan orang, katanya: "Lohu mendapat perintah kemari untuk membekuk orang, entah siapa saja yang terperangkap di dalam
sana" "Jumlahnya tidak banyak, tapi Kungfu mereka rata2 tinggi,
agaknya ada Pangcu Pek-hoa-pang, cuma sekarang kita hanya
berhasil mengurung mereka, belumbisa membekuknyahidup2."
"Baiklah, biar Lohu periksa di dalam," kata Yong King-tiong.
Terunjuk mimik serba salah pada muka Tang Kim-seng,
katanya: "Hamba mendapat kuasa dari Cui-congkam (komisaris besar) untuk melarang keras, siapapun tidak boleh masuk kecuali membawa medaliemas, Yong-congkoan. . . . "'
Tanpa menunggu orang bicara habis, Yong King-tiong lantas
menukas: "Cui-tongcu suruh aku kemari membekuk musuh, sudah tentu memberikan medali kebesarannya" Nah, lihatlah yang jelas
Tang-heng', tangan kanan segera diangsurkan kemuka orang.
Tak pernah terpikir oieh Tang Kim-seng bahwa orang akan
bertindak mendadak, sambil mengiakan segera ia hendak
menerima. Tak terduga tangan yang disodorkan ke depan tahu2
terpegang pergelangan tangannya, kelima jari Yong King-tiong
telah menjepit sekeras tanggam, keruan ia berjingkrak kaget,
serunya bingung: "Yong-congkoan . . . . ?"
Yong King-tiong tahu orang ini mahir menggunakan berbagai
alat rahasia yang serba berapi, lihaynya bukan main, begitu
berhasil pegang urat nadi orang, segera dia kerahkan tenaga pada lima jarinya, katanya sambil tertawa ejek: "Tang-heng tidak usah banyak bicara, ikuti saja kehendakku." Lalu dia melangkah ke depan.
Karena pergelangan tangan kanan terpegang, badan Tang Kimseng menjadi lemas, sudah tentu tak mampu meronta lagi,
terpaksa ia ikuti saja kehendak orang, katanya: "Yong-congkoan, lepaskan peganganmu, hamba akan menunjukkan jalan bagimu."
"Tang Kim-seng," jengek Yok King-tiong, "jangan kau kira Lohu gampang dipedayai, kau dan Nyo Ci-ko adalah anak buah Cui Kinin yang diutus kerajaan sebagai cakar alap2 di sini, hayolah ikuti perintah Lohu, jiwamu masih dapat kuampuni." Sambil bicara mereka sudah tiba di depan sebuah dinding.
Yong King-tiong bertanya: "Di balik pintu ini apakah ada orang2
Ceng-liong-tong yang jaga?"
"Sebelum terang tanah hamba baru bertugas di sini dan ada
perintah jika ada orang menerjang keluar, siapapun harus dibunuh tanpa perkara, tentang keadaan di dalam, sungguh hamba tidak
tahu apa2." "Kau bicara sejujurnya?" Yong King-tiong menegas.
"Setiap patah kuucapkan dengan sejujurnya," sahut Tang Kimseng.
"Baik, Ling-kongcu, tolong kau tutuk Ah-bunhiat dan Hongbwehiatnya," pinta Yong King-tiong. Ah-bunhiat bikin orang bisu sementara, Hong-hwehiat bikin kedua lengan sementara lumpuh
tak bertenaga.. "Congkoan. . . . . . " teriak Tang Kim-seng kaget. Belum selesai dia bicara beruntun Kun-gi sudah menutuk Hiat-tonya.
Kini Yong King-tiong berani melepaskan pegangan tangannya, ia
menekan sebuah tombol, segera terdengar suara gemuruh dinding,
dan lantai lorong terasa bergetar, pelan2 terbuka sebuah lubang pintu didinding.
Dengan penerangan obor Yong King-tiong menuding ke depan,
bentaknya: 'Tang Kim-seng, kau di depan tunjukkan jalannya."
Karena Hiat-to tertutuk, tangan tak mampu bergerak dan mulut
tak dapat bicara, sudah tentu Tang Kim-seng tidak berani
bertingkah, terpaksa dia melangkah masuk ke balik pintu. Maklum meski beberapa hiat-to tertutuk, tapi ilmu silatnya belum punah seluruhnya, kedua kaki masih dapat berjalan dengan langkah lebar dan cepat. Semula dia masih berjalan dengan baik, tapi begitu tiba di balik pintu, langkahnya segera dipercepat, seperti serigala yang lepas dari kurungan, secepat anak panah dia melesat sejauh dua
tombak. Melihat orang mendadak lari, Yong King-tiong hanya
mendengus, baru saja dia angkat tangan hendak menyusul dari
kejauhan Tang Kim-seng yang sudah sejauh dua tombak itu tiba2
berkelebat ke tempat gelap, tiga bintik seperti kunang2 mendadak meluncur tiba menerjang Yong King-tiongdengan formasisegi tiga.
Sudah lama Yong King-tiong tahu bahwa senjata rahasia berapi
Tang Kim-seng memang lihay, maka dia suruh Ling Kun-gi
menutuk Hong-hwehiat supaya kedua tangannya tak dapat
bergerak, sungguh tak pernah terpikir bahwa tanpa menggunakan
tangan orangpun dapat menimpukkan senjata rahasia.
Melihat tiga bintik sinar melesat tiba, ia tak berani
menyambutnya, sembari membentak keras, tangan yang sudah
terayun dia tepuk ke depan. Ke tiga bintik sinar dingin seketika tersampuk pergi dan "Ting, tring, tring." semuanya terpental balik memukul dinding, menyusul suara itu terdengar pula tiga kali
ledakan lemah, berhamburlah kembang api dan asap tebal yang
menyala didinding. Mencelos juga hati Yong King-tiong melihat kehebatan senjata
rahasia berapi Tang Kim-seng, kalau terkena badan orang tentu
akan terbakar mampus. Karena sedikit gangguan ini bayangan
Tang Kim-sengpun sudah lenyap entah ke mana.
Terpaksa Yong King-tiong hanya angkat pundak saja, setelah
orang banyak masuk ke lorong di balik pintu baru dia berpesan
dengan suara lirih: "Setelah kita masuk ke pintu ini, apalagi keparat she Tang itu sempat lolos, keadaan selanjutnya pasti amat berbahaya, sembarang waktu mungkin menghadapi sergapan serta
berhantam sengit dengan musuh, maka kalian harus lebih
waspada, lebih baik setiap orang mengambil jarak tertentu, supaya bebas bergerak."
"Kekuatiran paman memang beralasan," Kun-gi menyokong pendapatnya.
Dengan mengacungkan obor Yong King-tiong lantas melangkah
ke depan, sebelah tangannya melintang menjaga dada, mata
kuping di jaga seksama memeriksa keadaan sebelah depan. Tak lama
kemu-dian, tiba2 terdengar suara hardikan orang, disusul suara
gerungan tertahan, suara gerungan itu seperti suara seorang yang tenggorokannya tersumbat sehingga susah bersuara.
"KeparatsheTang ituagaknyamengbadapi musuh,"kata Kun-gi.
"Betul," sahut Yong King-tiong mengangguk.
Beberapa langkah pula mereka maju, mendadak terdengar
bentakan keras dari lorong depan sana: "Yang merintangi aku mampus!" Berbareng sesosok bayangan orang menerjang datang.
Dengan mengangkat tinggi obornya Yong King-tiong memapak
maju mengadangditengahjalan,bentaknya:"Berhenti!"
Tapi gerak terjangan orang itu amat cepat, baru Yong
King-tiong melangkah setindak mengadang di tengah lorong, orang itupun sudah menerjangtibadi depannya, keduapihak jadisaling
papak. Melihat ada orang mengadang jalan, orang itupun membentak
bengis: "Minggir!" Tanpa tanya siapa di depannya, jari tangannya terus menutuk.
Di bawah penerangan, obor Yong King-tiong melihat jari lawan
berwarnamerah menyolok, itulahHiat-ing-ci(jaribayangandarah).
Sambil tertawa dingin Yong King-tiong menyambut serangan
orang sambil membentak: "Siapa kau, kenapa main serang?" .
Tutukan jari yang merah mengeluarkan desis angin kencang
seketika bentrok dengan pukulan yang mengeluarkran damparan
angtin pula. Mulut qpenerjang itu mrasih terus mengoceh: "Yang merintangi aku mampus!?" Tapi badannya terpental mundur tiga langkah oleh benturan angin keras tadi.
Jarak Kun-gi dengan Yong King-tiong ada beberapa kaki, begitu
mendengar bentakan kedua pi-hak, lekas dia memburu maju;
teriaknya: "Kendurkan pukulanmu paman Yong, dia orang Pek-hoapang."
Begitu berdiri tegak pula orang itu lantas membentak lagi sambil menerjang maju.
Mendengar oraug ini adalah anggota Pek-hoa-pang, Yong Kingtiong bersuara tertahan dan menyingir ke samping. Sementara
Kungi sudah melompat maju mengadang di depan orang itu,
teri-aknya: "Liang-heng, lekas berhenti!". Ternyata orang ini adalah Hiat-ing-ci Liang Ih-jun.
Tampak pakaiannya sudah koyak2, badannya terluka puluhan
goresan pedang, kedua bola matanya merah mendelik, seperti
tidak kenal Ling Kun-gi lagi, mulutnya menghardik: "Yang
merintangi aku mampus!" Jari tengah disurung ke depan, secepat kilat jari yang berwarna merah itu menutuk ke muka Kun-gi.
Baru sekarang Yong King-tiong kaget, serunya cepat: "Orang ini sudah kehilangan ingatan, awas Ling-kongcu."
Ling Kun-gi mengegos ke samping, sebat sekali tangannya
menangkap pergelangan tangan Liang ih-jun, berbareng ia berkisar memutar ke belakang orang, sementara jari tangan kanannya
menutuk ke Ling-tai hiat Liang lh-jun. tiga gerakan dia laksanakan sekaligus, bukan saja lincah dan gesit juga amat mempesona,
keruan Yong King-tiong bersorak memuji.
Terpentang mulut Liang Ih-jun memuntahkan sekumur darah,
pelan2 badannya menjadi lemas terus mendeprok duduk di tanah,
kedua matanya terangkat dan jelilalan mengawasi Ling Kun-gi
sekian lamanya, mendadak tampak secercah sinar jernih pada
sorot matanya, mulutpun berteriak gi-rang: "Cong-coh . . . . "
agaknya dia hendak meronta bangun.
Lekas Kun-gi menahan pundakmya, katanya: "Liang-heng terlalu capai, setelah mengalami pertempuran sengit dan lama, kini kau
lekas himpun tenaga dan pusatkan hawa murni, jangan bicara
lagi." Tapi Liang Ih-jun masih memaksa bicara dengan tersendat:
"Pangcu . . . . mereka . . . . terkurung di dalam . . . . alat2 rahasia .
. . disini amat berbahaya."
Kun-gi mengangguk, bujuknya: "Liang-heng tak usah banyak
bicara, keadaandisini sudah kuketahui."
Liang Ih jun tahu bahwa luka2nya amat parah, kini setelah
bertemu dengan Ling Kun-gi, hatipun merasa lega, maka dia tidak banyak bicara lagi, ia duduk bersemedi memulihkan kesehatan
badan. Yong King tiong menoleh kepada kedua jago pedangnya, dan
memberi pesan supaya mereka berjaga disini melindungi Liang Ihjun, jadi tidak usah ikut maju lebih lanjut. Kedua jago pedang itu mengiakan.
'Marilah Ling kongcu," ajak Yong King-tiong.
"Paman Yong," ujar Kun-gi, "maju lebih lanjut kemungkinan akan bersua dengan orang2 Pek-hoa-pang, biarlah wanpwe yang
berjalan didepansupayatidak terjadisalah paham."


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitupun baik," ucap Yong King-tiong sambil mengelus jenggot, "tadi kalau aku tidak tahu cara memecahkan Hiat-ing-ci, hampir saja aku jadi korban."
Tanpa banyak bicara Kun-gi lantas berjalan mendahului, tempat
itu kebetulan berada di belokan, beruntun membelok dua kali,
beberapa tombak kemudian terdengarlah suara keresek lirih di
sebelah depan. Padahal dalam lorong gelap gulita, tapi karena
KungipegangLeliong-cu, musuhditempatgelappihaksendiriditempat
terang, jadi lebih jelas dan mudah disergap, maka untuk maju lebih lanjut sudah tentu harus lebih hati2. Mendengar suara keresekan itu, Kun-gi bertambah waspada lagi, tapi begitu dia pasang kuping mendengarkan, suara itupun lenyap.
Berkepandaian tinggi nyali Kun-gi pun besar, langkahnya tidak
berhenti, sekejap saja dia sudah tiba di tempat suara keresekan tadi. Dalam keadaan gelap pancaran sinar Leliong-cu dapat
mencapai tiga tombak, waktu diba pandang ke dedpan, dilihatnyaa di sebelah depban ada dinding yang mengadang. Di sebelah kiri
mepet dinding ada bayangan seorang berdiri tegak. Orang ini
berpakaian ketat warna hijau, dari kejauhan Kun-gi sudah melihat dan mengenali bahwa orang itu berseragam Hou-hoat Pek-hoapang. Maka ia lantas bersuara lantang: "Aku Ling Kun-gi; entah siapa di depan?"
Sambil berdiri mepet dinding, orang itu tidak hiraukan seruan
Kun-gi, tetap berdiri tak bergeming seperti tidak mendengar dan melihat.
Waktu bersuara, Kun-gi sudah maju lebih dekat, dalam jarak
dua tombak dia sudah melihat jelas wajah orang itu, dan bukan
lain adalah Yap Kay-sian yang serombongan dengan
Pek-hoa-pangcu Bok-tan, bersama Liang Ih-jun kedua orang ini
bertugas melindungi Pangcu. Tampak mukanya pucat seperti
kertas, kedua mata. terpejam, mepet dinding seperti kehabisan
tenaga. Dilihat dari pakaiannya yang koyak2 disana-sini, sekujur badan berlepotan darah, paling sedikit ada puluhan luka di
badannya, jelas barusan telah mengalami pertempuran dahsyat,
luka2nya amat parah dan kinitengah menghimpuntenagadan
memulihkansemangat. Diam2 Kun-gi kaget dan kuatir, dengan bekal kepandaian Liang
Ih-jun dan Yap Kay-sian yang merupakan jago2 kelas utama, tapi
kedua orang itu mengalami luka parah dengan puluhan luka, kalau tidakkebentur jagoahlipedang, terang merekabaru lolosdari suatu barisan pedang yang lihay. Maka cepat2 Kun-gi memburu maju
dan berteriak: "Bagaimana lukamu, Yap-heng . . . . "
Mendadak dilihatnya dua gulung sinar terang meleset keluar
dari bawah ketiak Yap Kay-sian, meluncur ke arah dirinya. Waktu melesat keluar kedua gulung sinar itu hanya sebesar kacang, tapi setelah mencapai satu tombak bertambah terang dan membesar
nyala apinya juga berubah biru terang.
Pandangan Kun-gi tajam luar biasa, sekilas pandang dia sudah
melihat kedua gulung sinar biru ini ternyata adalah puluhan batang Bwehoa-ciam warna biru, pada setiap ekor jarum membawa
percikanapiyang menyalaterang.
Pada detik2 genting itu, Yong King-tiong berseru gugup di
belakang: "Awas Ling-kongcu, itulah Ceng-ling-ciam milik Tang Kimseng, bila menyentuh benda lantas menyala."
Tapi Kun-gibergerak lebih cepatdari padaperingatannya, tangan
membalik pedang pandak seketika menaburkan jaring cahaya hijau
di depan badannya. Dua rumpun Ceng-ling-ciam menyamber datang bagai kilat itu,
begitu menyentuh cahaya hijau laksana bunga salju yang
beterbangan tertimpa sinar matahari, seketika rontok berjatuhan.
Nyala api di ekor jarumpun seketika sirna tak berbekas.
Ternyata setiap rumpun Ceng-ling-ciam Tang Kim-seng ini
berjumlah tiga puluh enam batang dengan kedua tangan
menyambit bersama, dua rumpun berarti berjumlah tujuh puluh
dua, jika sebatang di antaranya mengenai tubuh manusia, api akan segera berkobar, malah api yang ada pada ekor ja-rum ini sudah
dibikin sedemikian rupa dengan obat beracun, bila sudah nyala,
sebelum habis terbakar api tidak akan padam.
Tapi kali ini tujuh puluh dua batang Ceng-ling-ciam seluruhnya
kena ditabas kutung oleh ketajaman pedang Ling Kun-gi, malah
tepat kena ekor jarumnya, betapapun buas dan besar daya nyala
api beracun ini, sekali tersampuk oleh hawa dingin pedang pusaka Ling Kun-giseketikapadamsendirinya.
Dalam waktu sedetik itulah Ling Kun-gi sudah melihat jelas
bahwa di belakang Yap Kay-sian ada bersembunyi seorang, jelas
orang yang sembunyi ini adalah Tang Kim-seng. .Agaknya Yap
Kaysian terluka parah, maka dengan mudah dia tertawan oleh
Tang Kim-seng, oleh karena itulah seruannya tadi tidak terjawab.
Mengingat jiwa teman terancam bahaya, mendadak Kun-gi
menghardik sekali, jari tengahnya teracung terus menutuk ke arah Yap Kay-sian dari kejauhan. Hardikannya itu ditekan keluar dengan Lwekang, suaranya bagai halilintar menggelegar sampai Tang Kimseng merasakan kupingnya pekak mendengung, sudah tentu
jantungnya serasa hampir melonjak keluar. Pada saat itulah
didengarnya pula sejalur angin tutukan mendesis kencang dan
"Crat" mengenai dinding batu di belakang telinga kanannya, batu seketika muncrat beterbangan, terasa belakang kepalanya sakit
pedas. Ling Kun-gi memang sengaja mengincar tempat yang
miring, kalau tidak jiwa Yap Kay-sian sendiripun bakarl terancam.
Tapi gertakannya ini justeru bikin Tang Kim-seng kaget bukan
main, tak pernah diduganya bahwa pemuda di depannya ini
memiliki kepandaian dan Lwekang setangguh ini.
Walau dalam waktu singkat ini dia berhasil membuka tiga
Hiat-to yang ditutuk Ling Kun-gi tadi, tapi dikala melarikan diri tadi dalam lorong kesamplok dengan Liang Ih-jun, tanpa sengaja dia
dilukai oleh Hiat-ing-ci Liang Ih-jun, maka sekarang dia merasa perlu
menggunakan Yap Kay-sian sebagai tameng untuk menyelamatkan
diri, malah dia membokong dengan Ceng-ling-cam yang keji.
Kini mendengar hardikan Ling Kun-gi sekeras halilintar, kepala
menjadi pusing, mata ber-kunang2, ditambah angin tutukan yang
menyakitkan belakang kepalanya, karena sakit dia menjadi nekat
serta ber-teriak: "Rasakan ini!" Tenaga dia sudah kerahkan pada dua lengan, tahu2 Yap Kay-sian dia angkat terus dilempar ke arah Ling Kun-gi, berbareng dia lantas mengegos ke samping dan baru
sajakeduatanganbergerakhendak menimpuk......."
Melihat Tang Kim-seng betul2 terjebak oleh tipu dayanya, Yap
Kay-sian dilemparnya, sementara lawan lantas mengegos ke
pinggir, keruan hatinya senang, dengan tangan kiri Kun-gi
menahan ke depan menyambut badan Yap-Kay-sian yang
melayang datang, tangan kanan menyusul menepuk sekali,
segulung angin pukuian segera menerjang ke arah Tong Kim-seng.
Kejadian ini berlangsung singkat dan cepat, Tang Kim-seng baru
mengegos ke pinggir dan hendak menggerakkan kedua tangan,
mendadak dirasakan segulung tenaga keras menerjang dirinya,
tadi ia sudah merasakan kelihayan tutukan jari Ling Kun-gi, sudah tentu menghadapi gelombang pukulan orang dia sekali2 tak berani manyambutnya dengan keras, tak sempat lagi dia keluarkan
senjata apinya dia berkisar ke sebelah kanan terus menyurut
mundur. Sementara itu tangan kiri Kun-gi sudah ber-hasil menyambut
badan Yap Kay-sian, tapi begitu dia menyambut badan Yap Kaysian, Kun-gi tertegun, seketika itu pula hawa amarahnya berkobar.
Ternyata badan Yap Kay-sian yang disambutnya itu sudah dingin
kaku, hanya sesosok mayat belaka.
Biarpun Ling Kun-gi tidak berniat menjadi Cong-houhoat Pekhoa-pang, tapi dia pernah bekerja dan menduduki jabatan itu, Yap Kay-sian adalah Hou-hoat Pek-hoa-pang, jelek2 anak buahnya.
Bukan saja soal dinas, persahabatan mereka sudah terjalin dengan baik dan akrab, adalah pantas dan menjadi kewajibannya untuk
menuntut balas kematian Yap Kay-sian.
Sekejap itu mata Ling Kun-gi mendadak mencorong terang,
tangan kiripun dia tarik mundur terus diangkat tinggi lurus ke atas kepala, lalu pelan2 bergerak menurun lalu didorong ke depam.
Tang Kim-seng yang mengegos tadi berhasil menghindarkan diri
dari pukulan Ling Kun-gi, serentak dia ayun kedua tangan, dari
bawah lengan bajunya tiba2 melesat keluar puluhan jalur sinar
perak. Itulah tiga belas batang anak panah pendek warna putih perak,
kelihatannya seperti rantai perak, secara beruntun meluncur keluar dari lengan bajunya, daya luncurnya keras sekali, tapi belum
seberapa jauh luncurannya mendadak berubah lam-ban. Setelah
yang di depan menjadi lamban, yang di belakang menyusul, tiba
juga ikut bergerak lamban. Maka tiga belas batang anak panah
pendek itu kini berjajar menjadi satu baris berhenti di udara,
seperti kebentur oleh sesuatu dan tak mampu maju lagi. .
Rupanya ketiga belas batang anak panah itu terbendung oleh
tenaga pukulan Mo-ni-in yang di-lancarkan Ling Kun-gi, tenaga
yang tidak kelihatan tahu2 menindih tiba bagai gugur gunung
dahsyatnya mendadak ketiga belas anak panah Ginling-cian itu
memutar balik terus meluncur kembali menyerang Tang Kim-seng
malah. Kekuatan atau daya bakar Cinling-cian berpuluh kali lebih besar dari Ceng-ling ciam, sudah tentu panah perak berapi inipun bisa menimbulkan daya bakar yang luar biasa.
Melihat Ginling-sian menemui rintangan dan tak mampu melukai
musuh, Tang Kim-seng sudah merasakan gelagat jelek, kini melihat senjata putar balik hendak makan tuannya, keruan ia semakin
gugup, dia hendak berkelit, namun tidak sempat lagi, dengan
menjerit keras ia roboh ke belakang.
Waktu pukulannya berhasil menghantam mampus Tang Kimseng, sementara tangan kiri Ling Kun-gi sudah menurunkan
jenazah Yap Kay-sian, sesaat lamanya dia periksa dengan
seksama, ternyata sekujur badan Yap Kay-sian terdapat delapan
belas goresan luka pedang, luka2 tabasan yang paling berat dan
menyebabkan kematiannya terletak pada pinggang kanannya,
begitu dalam tabasan pedang di sini sehingga mencapai lima dim.
Dari sini dapat dibuktikan bahwa Yap Kay-sign sebetulnya tidak
mati di tangan Tang Kim-seng, tapi Tang Kim-seng adalah cakar
alap2 kerajaan dengan senjata rahasia jahat yang berapi, manusia jahat seperti ini memang pantas menemui ajalnya oleh senjata keji sendiri.
Yong King-tiong maju mendekat, katanya setelah memeriksa
jenasah Yap Kay-sian: "Apakah dia juga orang Pek-hoa-pang?"
Dengan prihatin Kun-gi menjawab: "Dia bernama Yap Kay-sian ialah seorang Houhoat Pek-hoa-pang, ilmu silatnya cukup tinggi, tapi hampir pada saat yang sama sekujur badannya terkena
tabasan pedang, menurut luka2nya ini dapatlah diketahui kalau
ilmu pedang lawannya itu sangat cepat, telak dan kuat, kukira
masih jauh lebih unggul di-bandingkan Cap-coat-kiam-tin, paling sedikit ada delapan belas jago pedang kelas tinggi sekaligus
mengeroyok dan menghujani tubuhnya sehingga tak mungkin dia
dapat menyelamatkan diri, tubuhnya terluka delapan belas goresan pedang. Yong-lopek, tahukah kau barisan pedang apakah ini, masa begini lihay?"
Yong King-tiong geleng2 kepala, katanya: "Cui Kinin adalah Ceng-liong-tongcu, tapi diapun merangkap Komisaris umum Hekliong-hwe, tiada bedanya sebagai maha ketua Hek-liong-hwe, Losiu tahu waktu dia datang dari kotaraja hanya membawa seorang
Lama yang mengaku saudara seperguruan dengan dia, dua orang
lagi adalah Nyo Ci-ko dan Tang Kim-seng, kabarnya merekapun
anggota Siwi kelas tiga di istana raja, jabatan dan kedudukan
mereka tidak lebih rendah dari Han Janto, kecuali tiga orang ini, seingatku tiada orang lain lagi, kecuali itu Ceng-liong-tong hanya ada beberapa jago pedang dan dayang pribadi Cui Kinin, mengenai jago2 pedang itu memang memiliki Kungfu yang tidak lemah, tapi
tingkat mereka setingkat dengan jago2 pedang bawahan Losiu,
jadi tiada seorang kosen yang betul2 dapat diagulkan."
Terkerut alis Kun-gi, katanya: "Aneh kalau begitu, dengan bekal kepandaian silat Yap Kay-sian, jelas tak mungkin dalam waktu
sekejap sekaligus badannya terluka oleh delapan belas serangan
pedang. . . . " "'Betul", ucap Yong King-tiong manggut2, "Walau Losiu tak pernah menyaksikan taraf kepandaian orang she Yap ini, tapi kalau Ling-kongcu bilang kungfunya tinggi, jelas tak perlu diragukan, tapi dari delapan belas luka2 ini dapat kita nilai, tampaknya dia tidak mampu lagi membela diri, hanya berdiri diam saja membiarkan
Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Pendekar Kelana 3

Cari Blog Ini