Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 10

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


"Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian"
Heiii, di mana engkau....?" Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia meli-hat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.
Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerah-kan seluruh kepandaian ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok. Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang
mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah- jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.
Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.
Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ke-tika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergu-nakan kesempatan itu untuk melayang dan menyam-bar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mam-pu mengeluarkan suara! Dan diapun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan di-ri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!
Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi pena-saran dan timbullah keinginannya untuk menguji ke-pandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walaupun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
276 nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekalipun! Dia lalumempergunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya. Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian.
Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walaupun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu.
Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa ada-nya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali. De-ngan sepasang matanya yang masih awas ia meman-dang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enampuluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu. Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"
"Omitohud....!" Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona. Bukan main wanita ini, pikirnya. Biarpun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih be-gitu langsing dan padat, dan wajahnya masih memba-yangkan kecantikan walaupun rambutnya sudah ba-nyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!
"Omitohud apa! Orang macam engkau ini ha-nya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau sebelum kau mampus tanpa na-ma!"
"Omitohud.... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."
"Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In dan ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sin-kang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tigabelas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!
Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai
mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang.
Dia tidak berani membalik-kan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat dan sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil ber-loncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.
"Haiiittt....!" Tiba-tiba dia berteriak dan tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sin-kangnya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sin-kang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
277 Akan tetapi nenek itu tertawa. "Heh-heh, pende-ta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"
Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandang mata Sai-cu Lama!
Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyeli-muti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu. Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terha-lang oleh sinar pedangnya.
Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.
"Omitohud, kiranya engkau siluman betina....!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia samasekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu. Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan iapun terbela-lak melihat pedang itu.
"Ban-tok-kiam....! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu" Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?" bentaknya dengan terheran-heran. Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pen-dekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubung-an pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir"
"Ha-ha-ha, anggap saja pinceng ini Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawa-mu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memu-tar lagi Ban-tok-kiam lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.
Nenek Teng Siang In tak pernah membawa sen-jatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjatapun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka cepat ia me-nyambar sebatang ranting dan berteriak sambil me-mutar rantingnya, "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"
Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujungnya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.
"Omitohud....!" Kakek itu berseru dan kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya, sambil mengerah-kan tenaga diapun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar...."
Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusuk-kan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disu-sul serangkaian tendangan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
278 yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi. Mu-lai khawatirlah nenek Teng Siang In. Lawan ini ter-lalu tangguh, tak dapat ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu me-ngandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Ra-cun)! Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantu-nya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini.
Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihir-nya, sedangkan Sai-cu Lama dapat menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka diapun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andaikata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walaupun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-be-nar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.
"Lumpuhlah kau! Kakimu keduanya lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!"
bentak-an-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh! Kalau saja tidak memutar pe-dang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu berubah lihai sekali.
Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau
setidak-nya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.
"Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"
"Jahanam busuk lepaskan cucuku!" dengan ne-kat nenek Teng Siang In maju lagi dan menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menen-dang dari sana-sini mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu ti-ba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan pung-gungnya untuk
menangkis tendangan! "Ayaaaa! Nenek Teng Siang In menje-rit karena terkejut. Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu dan dalam keadaan yang demikian berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuh-kan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pa-hanya perih dan panas dan ketika kembali ia melon-cat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah.
Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnnya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
279 Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya, maka dengan nekat, tanpa
memperdulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In me-nubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-ten-dangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut. Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Ka-lau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.
Akan tetapi, baru saja dia memutar pedang hen-dak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkele-bat bayangan biru dan sebuah tendangan yang menge-luarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang bermaksud
me-rampas anak perempuan di punggung kakek itu ter-paksa menarik kembali tangannya.
Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!
Seperti telah kita ketahui ketika kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat mengeroyok kakek yang tangguh itu.
Kemudian setelah cinta-nya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah dia menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terha-dap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya, untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan ke kota raja tentang pembesar bernama Hou Seng yang kabarnya meraja-lela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka. Sesuai dengan petunjuk suhunya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di te-ngah perjalanan, dia melihat perkelahian itu.
Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya. Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan ma-ti-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka dia pun sekali turun tangan sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali
kepandaiannya. Teng Sian, In, sejak mudanya, berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa Lama yang menjadi lawannya itu hebat bukan main kepandaiannya. Ia tidak ingin ada orang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau orang mati karena membantunya.
"Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Per-gilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang lagi dengan ten-dangan-tendangan ampuhnya.
"Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku ju-ga, nek!" kata Hong Beng dan diapun sudah menye-rang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biarpun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
280 udara, akan tetapi setiap "coretan" me-rupakan serangan yang amat ampuh dan
mendatang-kan hawa dingin seperti es!
Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?"
tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.
"Guru saya bernama Suma Ciang Bun...."
"Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"
Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya!
Kalau begitu tentu ne-nek ini ibu dari Suma Ceng Liong!
"Baik....!" Dan diapun kini cepat mengerahkan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sin-kang yang bersumber dari Soat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api. Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin.
Namun, itupun sudah hebat karena dia sudah mengu-asai hampir setengah bagian dari kedua ilmu penge-rahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu aseli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat. Ilmu ini sehenarnya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-ge-rakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat ta-ngan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan. Dia
mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama terdesak mundur!
Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia ta-hu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengan-dung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.
Hong Beng pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia.
Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Se-lain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau mempergunakan senjata gelap dalam perkelahian.
Kini dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan -yang terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu pe-rempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia per-caya bahwa biarpun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
281 usianya baru kurang lebih duabelas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia dapat dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!
Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan de-ngan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Na-manya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Ketika bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram keri-kil-kerikil tanpa diketahui lawan.
Mereka berdua masih berusaha mendesak terus dan tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng bergerak-gerak ke depan menyam-bitkan batu kerikil-kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.
Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil.
Selain batu- batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini sudah mampu bergerak lagi."
Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Biarpun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak berge-rak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk ramhut terbuat dari emas yang berujung run-cing!
Ia lalu berpikir-pikir. Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan da-rah, akan tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu
dengantepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik. Akan tetapi sasar-an itu amat mudah, tinggal mengangkat dan menu-sukkan benda runcing itu saja. Ia mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu dia akan mengetahuinya, akan tetapi pa-da saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mende-sak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kaulihat baik-baik jimat-ku!" Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis- cilik itu mengangkat tangan.
Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut-.
"Crottt....!" "Aduhhhh....!" Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena keti-ka benda itu, menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak -tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan ben-da runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip perut orok" Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika ta-ngan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
282 pingsan! Sai-cu Lama telah terluka. Biarpun tidak terlalu dalam, akan tetapi dia semakin khawatir.
Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia akan celaka! Maka, dia memutar Ban-tok--kiam sedemikian rupa sehingga kedua orang lawan-nya terpaksa
berloncatan ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!
Hong Beng berseru marah, "Kakek jahat, hendak lari ke mana?" Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "....jangan.... kejar...."
Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling ro-boh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka diapun cepat meloncat meng-hampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.
"Bagaimana baiknya, locianpwe....?" tanya-nya, bingung.
"Aku....keadaanku....payah....lekas bawa aku pulang.... kita laporkan hal ini.... kepada....
Ceng Liong...." Ia me-nuding ke barat dan terkulai, pingsan.
Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Diapun tadi sudah mendapat kete-rangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seor-ang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya me-reka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat.
Mereka sedikitpun tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dipondong seorang pemuda dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!
"Apa yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibu-nya sudah biru menghitam.
"Di mana anakku, Suma Lian" Di mana ia....?"
Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu tadi melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhunya kepadanya. Seorang pria berusia sekitar tigapuluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhunya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhunya. juga isteri susioknya itu menurut gurunya, memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Su-ling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepa-sang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan ga-gah sekali. Akan tetapi, saat itu, suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
283 "Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu.
Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya...."
"Cukup! bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?"
"Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara," jawab Hong Beng.
Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!
Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung.
Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.
"Siapa kau?" Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyeli-diki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasihat dari Susiok."
"Hemm, kaujaga dulu ibuku ini. Ia sudah.... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"
"Dengan Ban-tok-kiam."
"Ban-tok-kiam" Bagaimana kau bisa tahu.... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kaujaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng. Pe-muda ini semakin kagum dan diapun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mende-ngarkan
percakapan mereka dan percaya kepada pe-muda ini yang mengaku murid keponakan
majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu. "Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Na-pasnya masih belum terhenti, terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan diraba-nya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada de-nyut sama sekali.
Diapun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai-kata masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih da-hulu akan menolong dan mengobati ibunya.
Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk mem-bantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biarpun hal itu bukan merupakan pertolongan terha-dap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walaupun hanya untuk beberapa detik lamanya.
Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, di lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut le-ngan kanan.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
284 Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak dan memandang dengan wajar kepadanya tanpa menoleh. Hong Beng mende-katkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak--gerak. Nenek itu berbisik-bisik.
"Kau.... berjanjilah untuk mentaati peri-ntahku...."
Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.
"Saya berjanji untuk mentaati, nek."
"....ber.... bersumpah!"
Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata "Saya bersumpah, nek!"
Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau.... kau harus menjadi suami Suma Lian...."
Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek!
Nenek.... ah, nenek....ini tidak bisa.... nek....!" percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!
Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemu-dian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!
Tak seorangpun memperdulikan Hong Beng yang duduk di ruangan luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis.
Dia memang merasa menyesal bukan main. Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya" Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati pe-rintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila" Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami.... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu" Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini" Suma Lian adalah puteri tung-gal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia" Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana.
Seorang pemuda yang sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeserpun ti-dak, rumah tidak dan keluargapun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami! Dan siapa berani
memberitahukan pesan itu kepada keluarga susioknya" Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapapun juga!
Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
285 "Hayaaaaa.... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila"
Eng-kau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya...." Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang ja-uh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain.
Akan tetapi urus-an pesan nenek itu" Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut.
Bukan hanya diri Suma Lian lang-sung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa buruk-nya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pu-lau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu! Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri,
"Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka agak pucat mengandung kegelisahan hati.
Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya te-tangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak memperdulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah. Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Pa-ra tamu wanita itu, para tetangga, harus mem-perlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di de-pan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, yang lainpun tanpa diperintah lagi, otomatis air matapun bercucur-an!
Perempuan namanya! Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya, seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pem-bawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keada-an sekarat. Bagaimana mungkin dia, si pembawa be-rita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu" Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikan-nya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu ini!
Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus dicari di istana kota raja" Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberitahukan hal itu.
Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, akan tetapi pikiran-nya melarangnya. Mengapa harus memberitahukan me-reka" Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu! Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan mem-peristerinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud me-nyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menun-tut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya.
Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cu-kuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepa-lang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau menga-laminya untuk ke dua kalinya.
Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wa-nita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaianpun tidak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
286 ada gunanya" Buktinya, kepandaiannya itu tidak mampu menyelamatkan nenek itu, tidak mampu merampas Su-ma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan
kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhunya, dan sekarang ditam-bah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah di-tentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pe-ngejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tang-guhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,
"Paman, tolong nanti beritahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang ber-layat.
Mengapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis" Meng-apa dalam urusan hidup dan mati kitapun masih mem-pergunakan perhitungan rugi untung" Merasa ber-untung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggauta keluarga" Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati"
Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat ka-lau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggauta keluarga meninggal dunia.
Jawaban itu tentu, perta-ma : Karena mencinta yang mati dan merasa kehilang-an maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah : Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu" Be-narkah kita menangis karena kita mencinta si mati" Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis"
Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu" Sakitkah" Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati" Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi" Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada diri sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya" Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagai-mana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk sela-manya" Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bu-kan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sen-diri"
Kemudian jawaban pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka ber-duka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kita me-nyedihi kematiannya"
Bukankah kesedihan itu muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati" Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan. Dan cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta se-perti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka. Cinta membuat kita INGIN MELIHAT
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
287 YANG DICINTA ITU BERBAHAGIA! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia
kalau masih hidup" Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai berta-hun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sa-yang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata
"cinta" ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku "cinta".
Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sem-pat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat me-ngubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mere-ka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian. Mereka merasa menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya. Walaupun pemuda itu sendiripun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu da-pat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja ber-ada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian. Pedang Ban-tok--kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mung-kin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.
Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu. Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri inipun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.
*** Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sukar didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam. Bahkan para pemburu-pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang ber-bahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di se-kitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hu-tan-hutan yang luas.
Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-pun-caknya, nampaklah bagian timur yang datar dan ren-dah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu. Akan tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, ma-ka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan dae-rah-daerah tandus yang tinggi.
Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, amat indahlah pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa, nampak kalau pagi matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis jauh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
288 sepanjang mata memandang, dan nam-pak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin ting-gi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merahpun berganti keemasan, lalu kalau sudah ber-ubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.
Namun, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilu-kiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang me-ngandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam. Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagi-an kecil saja dari alam, ikut berputar dalam arus keku-asaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna. Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, uda-ra, bumi, air, pohon-pohonan. Semua sudah teratur, sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam. Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja
memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipalingdahulukan! Padahal, tanpa pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekali-pun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan me-nemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam! Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar maupun tidak, seolah-olah hidup tersendiri. Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan" Bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan yang pernah kita alami dan meng-hindari hal-hal yang tidak menyenangkan" Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala macam nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling memperebutkan kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk--muluk. Bahkan perangpun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pri-badi.
Hampir setiap pagi, di atas satu di antara puncak--puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyam-but munculnya matahari sambil meniup sulingnya. Ke-adaan di sekitarnya,
pemandangan alam yang nampak oleh matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur diganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, ke-haruman tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu tertentu!
Semua yang didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak dia masukkan ke dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.
Pria itu berusia tigapuluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, namun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
289 sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata orang yang pernah dilanda duka. Pakai-annya sederhana sekali, namun bersih. Dia duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan sua-ra sulingnya akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai menyilaukan ma-ta. Begitu suara sulingnya berhenti, ramailah terde-ngar suara burung-burung berkicau dan pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana menjadi gembira sekali, seolah-olah burung-burung itu bergembira menyambut hari yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.
Melihat sulingnya yang mengeluarkan cahaya ke-tika tertimpa sinar matahari yang mulai naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu, terbuat dari pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong--siauw-kiam (Pedang Suling Naga) dan
pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih me-rupakan keluarga mendiang ibunya.
Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu Kang Bu. Ketika
berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin Lo-sian dan meneri-ma hadiah Liong-siauw-kiam itu. Karena pedang ini amat cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka diapun menyerahkan kembali suling emas yang diterima dari ibunya dahulu, juga mengembalikan Koai-liong Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.
Semenjak itu, diapun merantau selama tujuh tahun, dan pedangnya yang sudah mengalahkan entah berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi se-makin rendah hati. Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri dengan kebe-saran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesung-guhnya bukan apa-apa, hanya kebetulan menjadi pe-waris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang ampuh begitu saja. Seperti juga semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia ke-lihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hi-dupnya selalu sebatangkara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak memi-liki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan kalau sampai berusia tigapuluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama seka-li bukan karena dia pantang menikah, melainkan ka-rena dia belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling mencinta dengan dia! Dia tidak mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan pertalian perjodohannya dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita sebelum dia yakin benar bahwa cintanya tidak akan bertepuk ta-ngan sebelah. Dan sampai sekarang, dia masih mera-sa belum bertemu dengan jodohnya. Kalau ada wa-nita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apapun, kecuali saling mencinta. Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai sebagai dasar atau ukuran. Cin-ta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan ke-cantikan adalah urusan badan. Walaupun ada kaitannya, namun keindahan lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.
Kadang-kadang timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
290 kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah dia takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, akan tetapi menghadapi kesepian ini kadang-kadang membuatnya merasa nge-ri! Haruskah hidupnya selalu begini, seorang diri saja" Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada-.
"Bagus sekali, mengapa berhenti?" Tiba-tiba terdengar suara halus. Sejak tadi, pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu berhenti sampai lama. Biarpun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi andaikata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, dia ten-tu akan dapat melindungi dirinya. Karena sudah tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika mendengar teguran itu.
Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan terhe-ran, cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang adalah seorang wanita dan teguran tadipun sama sekali tidak menunjukkan nada permu-suhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia me-noleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak dela-panbelas tahun usianya dan dara itu manis sekali. Kini gadis itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau terse-nyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka, akan tetapi kalau ia ter-senyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!
Akhirnya dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan diapun berta-nya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi, "Apa yang kaukatakan tadi?"
"Aku berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi kenapa berhen-ti?"
Sim Houw tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu. "Tiupanku hanya asal bunyi saja, bagaimana bisa bagus" Dan aku berhenti meniup karena memang sudah habis." Sukar dia mengurai-kan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh sua-sana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.
"Eh, lagu apakah tadi" Indah sekali!" kembali gadis itu bertanya sambil mendekat.
"Lagu asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana hendak ke mana" Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan apa?"
"Wah-wah-wah, pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau bertanya-tanya" Apakah puncak ini milikmu?"
Ditanya demikian, Sim Houw membelalakkan matanya. Suasana menjadi demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah itu, atau senyumnya yang manis, atau juga ka-rena kata-katanya yang jenaka.
"Puncak ini" Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau mengakui-nya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
291 "Wah, jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau mengakui-nya?"
"Siapa pula yang mau memiliki gunung" Aku bertanya karena merasa heran bagaimana engkau bisa datang ke sini."
"Aku datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya"
"Akan tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apa lagi bagi seorang...."
"Bagiku mudah saja!"
Mengertilah Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini. "Kalau boleh aku bertanya, apakah ke-perluanmu datang ke sini?"
"Mencari orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas dengan satu pertanyaan saja. Setelah kau-jawab, aku segera pergi dari sini tidak akan men-ganggumu lagi."
Sim Houw tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu dan lincah jenaka.
"Tanyalah, adik yang baik, bukan hanya sebuah pertanyaan, biar selosinpun akan kujawab."
"Tak usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang mengobrol. Be-gini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang mung-kin berada di puncak ini. Nah, akupun datang di sini dan karena engkau pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu.
Tentu saja kecuali kalau ada penyuling lain lagi."
Hati Sim Houw mulai merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tenang dia menyimpan Liong--siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya jang panjang, dan dia bertanya. "Nona, siapakah yang kaucari itu?"
Dara itu bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau ia hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san karena pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka iapun langsung saja pergi ke Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk Pendekar Suling Naga.
"Yang kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw." Sepasang mata yang jernih ta-jam itu memandang penuh selidik. "Tahukah engkau, paman?"
Sim Houw mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia mengapa
dicari oleh dara muda ini hatinya merasa tegang, padahal andai-kata yang mencarinya itu beberapa orang yang kelihat-an jahat dan mengambil sikap bermusuh sekalipun, belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.
"Nona," dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
292 "paman" dan memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah kalau dia disebut paman. "Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?"
Bi Lan melongo dan kini sepasang matanya me-mandang pria itu dari kepala ke kaki dengan penuh selidik. "Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali itu" Ah, siapa kira...."
"Ternyata hanya begini saja, ya?" Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi orang yang tidak dikenal, sehingga ti-dak ada yang kecewa atau heran melihat keadaannya.
"Ah, bukan begitu. Tapi hemm, bentuk ba-dan dan wajah memang agak cocok dengan keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak setua ini!
Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi biarpun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana, sama sekali bukan se-perti pendekar."
"Kalau pendekar itu harus seperti bagaimana?" Sim Houw yang ketularan kejenakaan gadis itu, ber-tanya sambil berkelakar.
"Seperti.... seperti....apa ya" Aku sendiri-pun tidak tahu." Ia teringat akan Gu Hong Beng dari Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan tetapi merekapun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekarpun orang, maka ten-tu tidak ada bedanya dengan orang lain.
"Nona, siapakah sucimu itu" Dan apa keperlu-anmu mencari aku?"
"Beberapa tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu.... ah, pantas, sudah lewat beberapa tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?"
Melihat betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim Houw tak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan kini nampak bahwa dia sesungguhnya belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.
"Eh, kenapa kau malah tertawa" Apakah engkau mentertawakan aku?" Pandang mata Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut. Tiba-tiba saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa kalau dia tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarangpun sudah menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!
"Aku tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu. Kalau mau tahu usiaku, aku berusia tigapuluh tiga tahun seka-rang. Nah, memang sudah tua, bukan?"
"Engkau tidak tua tidak muda, engkau.... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak, begitu-lah andaikata engkau ini buah."
"Siapa bilang belum tua" Sudah seratus tahun kurang...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
293 "Eh" Jadi kau tadi membohong ketika meng-aku berumur tigapuluh tiga...."
"Seratus tahun kurang enampuluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang." Sim Houw yang bii-sanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.
"Huh, kalau begitu akupun seratus tahun kurang! Kaukira aku ini anak kecil, mudah saja dibohongi?"
"Kau bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah, katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu paling banyak enambelas ta-hun." Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya un-tuk menggoda.
Akan tetapi Bi Lan girang sekali. "Masih kelihatan begitu muda" Padahal, aku sudah hampir dela-panbelas tahun! Eh, paman.... bagaimana ya baiknya kupanggil paman atau kakak?"
"Terserah kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kausebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja."


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aha, kaupandai berkelakar, ya" Lucu ya" Tidak lucu, ah!"
Kembali Sim Houw tertawa. Bukan main gem-bira hatinya. Selama hidupnya baru satu kali ini dia benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang. Gadis remaja yang satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya, kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.
"Eh, ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar" Tidak berwibawa seujung rambutpun. Pantasnya kau ini...." Gadis itu memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.
"Pantasnya jadi apa?" tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggeli-kan. Dia tak mungkin bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!
"Hemm.... jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku, melamun, baca buku sambil mena-ngis sendiri, tertawa sendiri...."
"Wah, seperti orang gila" Menangis sendiri tertawa sendiri?"
"Bukan gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu, ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Eh, benarkah kau ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?"
"Namaku memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
294 menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar."
"Tapi kata suciku, Pendekar Suling Naga mem-punyai sebuah pusaka, yaitu Liong-siauw-kiam!"
Sim Houw dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan
pedang itu, maka diapun mencabut Liong-siauw-kiam dari sa-rungnya. "Inilah Liong-siauw-kiam, suling yang ku-tiup tadi."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat berbentuh naga, berlubang-lubang seperti suling, dan tajam juga runcing seperti pedang, akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula. "Itu" Yang kautiup tadi" Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan diperebutkan oleh begitu banyuk orang" Aihhh, apakah mereka semua itu sudah gila?"
Sim Houw menyarungkan lagi pedangnya, "Gila" Mereka siapa yang gila?"
"Tentu saja yang memperebutkannya dengan ta-ruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan dipere-butkan" Engkau juga termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan ta-ruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suciku yang berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Akupun termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suciku untuk merampas pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku sendiri tidak sudi! Apa lagi harus merampas segala macam!"
Sim, Honw terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam hati-nya. Gadis ini murid Sam Kwi" Dan datang diutus oleh Bi-kwi, wanita iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini" Sungguh sukar untuk dipercaya. Dan pandangannyapun berubah! Dia kini mengang-gap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk menjatuhkan hatinya, untuk me-rayunya! Dan memang gadis ini telah berhasil me-narik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepa-da gadis ini. Akan tetapi begitu dia mendengar bah-wa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa suka itu, walaupun dengan hati penuh penye-salan dan kekecewaan.
Tidaklah aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung atau rugi"
Baik untung rugi batin maupun untung rugi lahir. Kalau menguntung-kan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik. Kita suka atau tidak suka kepada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tidak mengherankan apa bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini disuka, besok dibenci, karena perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa merugikan atau menguntungkan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan selanjutnya.
Kalau saja kita dapat menghadapi apa dan siapa saja TANPA PENILAIAN INI, tentu kita akan terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang. Dengan kebe-basan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat me-nyinari batin.
"Hemm, jadi engkau ini murid Sam Kwi" Dan ke sini mencari aku untuk mewakili sucimu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?" tanya Sim Houw, terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang tingkatnya masih se-perti kanak-kanak ini.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
295 Bi Lan mengangguk. "Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut ceritanya, eng-kau lihai bukan main. Agaknya akupun bukan tan-dinganmu dan aku akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu."
"Kalau begitu, kenapa engkau datang juga, seo-rang diri tanpa pembantu pula" Apa yang memak-samu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau takkan
berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?" tanya pula Sim Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia meng-anggap gadis ini nekat atau jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan kepandaiannya bicara.
Yang memaksaku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimanapun juga aku sudah
memenuhi janji dan sumpahku. Seba-liknya kalau aku tidak berani melakukannya, biarpun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang meng-ingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa guna.
Kembali Sim Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari hati anak itu sendiri ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan hatinya" Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong saja.
"Heiiii! Kau mendengar atau tidak" Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Berikan
kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan meram-pasnya darimu!"
Ditegur demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimanapun juga, anak perempuan ini murid Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walaupun memi-liki daya tarik yang luar biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, walau-pun sifatnya untuk memberi hajaran saja.
"Mau merampas Pedang Suling Naga" Boleh, silahkan kalau kau mampu," katanya tenang.
Bi Lan sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki ilmu ke-pandaian yang demikian dipuji-puji sucinya, maka ia-pun tidak main-main lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua lengan-nya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biarpun perlahan, bunyi berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik menarik memiliki ilmu kepandaian yang hanya pan-tas dimiliki orang sesat!
"Orang she Sim, awas sambut seranganku ini!" bentak Bi Lan dan ia telah menyerang dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Ju-rus Lutung Hitam) yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali
gerakannya. Mula-mula Bi Lan menggunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam
Mendorong Gunung), dua lengannya itu didorong-kan ke arah dada lawan sambil
mengerahkan tenana sin-kang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur dan kedua
tangannyadengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan! Kiranya lengan gadis muda itu dapat me-manjang seperti karet. Dan inipun kehebatan dari il-mu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Bi-arpun kedua lengan Bi Lan tidak dapat memanjang seperti kalau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
296 Hek-kwi-ong sendiri yang melakukan-nya, namun sempat membuat Sim Houw terkejur.
"Ehhh....!" Serunya ketika, di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu masih mampu mengejar terus. Terpaksa dia menggunakan kelincahan kakinya untuk
melangkah ke kiri dan menarik kembali tubuhnya. Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lu-tung Hitam Mercari Bunga) dan kedua tangannya sudah
membalik dan kalau tangan kanan mencengkeram ke arah kepala lawan, tangan kiri
menghantam ke lambung kanan. Gerakannya cepat dan kedua ka-kinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung. Ilmu silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauw-kun (Silat Monyet) yang mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sin-kang dan juga keanehan kedua lengan yang dapat memanjang.
Namun kini Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu maka menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, diapun
mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak itu sehingga lebih jauh dari biasa. Dengan demikian, lima kali serangan dari lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Na-ga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu silatnya. Kini, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua kakinya yang melakukan penyerangan. Bukan serangan biasa, me-lainkan tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan serangan ber-tubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari Sam Kwi.
Kembali Sim Houw kagum, akan tetapi merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang dahsyat, -akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi
keluwesannya, tanpa memperhi-tungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet menari-nari.
Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biarpun masih muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi.
Dia sudah tidak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari sucinya itu.
Ketika Sim Houw menggunakan lengannya menangkis, sambil mengerahkan sin-kangnya, tubuh Bi Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu, begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka dengan gemas ia mengubah lagi ilmu se-rangannya, sekali ini mengeluarkan Ilmu Hun-kin--tok-ciang! Dari telapak tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak ada uap agak kehitaman ketika kedua tangan itu bergerak. Gerakan kaku, seolah-olah kedua lengan gadis itu tidak dapat dite-kuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu silat dari Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Pu-tuskan Otot) memang
mengandung hawa beracun, dan jari-jari tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.
"Ihhh....!" Sim Houw mencela ilmu yang dianggapnya keji ini dan diapun kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas dengan tamparan-tamparan dan ten-dangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa melukai hebat. Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula menghindarkan diri dari se-rangan-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
297 serangan balasan itu. Dan beberapa jurus ke-mudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia mendesak lawan, ia mem-pergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun! Inilah Ilmu Tigabelas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa selama satu tahun, ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar Suling Naga yang me-nurut penuturan murid mereka amat lihai itu.
Dan kini Sim Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini memang mempergunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main. Gerakan-gerakan-nya aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!
"Aih, engkau sungguh nekat!" bentaknya marah.
"Serahkan Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!" bentak Bi Lan.
"Srattt....!" pedang kayu berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw merasa kewalahan menghadapi Sam Kwi Cap-sha-ciang. "Inilah pusaka itu, bukan untuk diserahkan kepada siapapun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat buruk."
Bi Lan melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang kayu begitu saja, mana ia takut" Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi Apa lagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.
"Wir-wirrr....!" Nampak sinar berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking dan gadis itu menjadi terkejut bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika seperti kacau gerakannya dan iapun merasa tenaganya lemas karena jantungnya tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking! Dari pedang itu keluar tenaga yang hebat karena ketika ia dengan nekat mengadu tangannya yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain merasa tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja ia roboh. Dengan marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.
"Takkk!" Tangan itu tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapapun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.
"Wuuuuttt....!" Kini tangan kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui kanannya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
298 Bi Lan mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang, akan teta-pi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung de-ngan kedua lengannya ditarik ke belakang oleh lawan yang sudah berada di belakangnya! Dengan keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah murid Sam Kwi yang pernah meneri-ma gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal biarpun kedua lengannya sudah ditelikung ke belakang. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang, lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu sa-ja kaki itu menuju ke arah selangkangan lawan, tem-pat yang paling lemah dan berbahaya kalau diserang bagi kaum pria!
Kalau sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahu-lu sehingga sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk mem-beri hajaran. Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali melepaskan ke-dua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.
Bi Lan cepat membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, ia mulai memasang kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan
pedang pu-sakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagai-kan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, seperti terbang saja menyerang lawan! Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah men-dengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat di-mainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri!
Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!
"Rasakan kau sekarang!" seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerak-annya semakin aneh dan dari kedua telapak tangan-nya keluar angin berdesir. Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, iste-ri pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Pende-kar Naga Sakti Gurun Pasir itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke bela-kang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.
"Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah eng-kau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?"
Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.
"Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!" Ia memaki-maki marah. "Selama hidup Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
299 aku tak pernah mencuri!" Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!"
Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki kare-na cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekalipun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pemba-waan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekaii bukan suatu permainan sandiwara. An-daikata semua tadi hanya rayuan atau sandiwara, tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!
"Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi" Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?"
"Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!"
"Kalau begitu, dari mana engkau bisa memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Huh! Itu masih belum, sobat!" kata Bi Lan mengejek. "Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusa-kamu dari kayu itu!"
"Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!" teriak Sim Houw semakin heran. "Bagaimana pula bisa menjadi milik-mu?"
Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
"Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?"
"Tentu saja.... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?"
"Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!"
"Minta maaf?" Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan. "Untuk apa?"
"Karena kau tadi menuduh aku menecuri."
Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan diapun tersenyum. "Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, usap dulu keringatmu, lihat, dahi dan lehermu basah semua!" Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah memba-sahi pipi.
Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan iapun lalu menyeka keringatnya de-ngan saputangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya. "Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!"
"Wah, mana mungkin....!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
300 "Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain."
Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.
"Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap ke-luarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan ba-giku engkau bukan seorang musuh. Marilah kita du-duk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau dapat menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, akan tetapi di lain pihak engkaupun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam."
Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilahkan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya.
Akan tetapi Bi Lan menolak. "Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!"
"Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini.
Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sam-pai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri."
"Benar" Tidak bohong?"
Sim Houw menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah berbohong."
"Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?"
"Kalau perlu, boleh saja." Sim Houw tersenyum. "Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!"
Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu ke-padanya. Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi hidup dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja iapun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.
"Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantu-mu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
301 Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum! Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan seng-sara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehi-dupan ini!
Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menang-kap bau badan gadis yang
berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!
"Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu, menceri-takan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa
memperoleh pedang pu-saka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu."
Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.
"Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini...."
"Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kaukatakan tigapuluh tahun" Siapa
isterimu?" Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya lalu setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan senyumnya sudah
membayang lagi di bibirnya, "Aku tidak punya isteri...."
"Ahh....! Sudah.... sudah matikah ia" Atau.... bercerai?"
Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan. "Aku belum pernah beristeri."
"Aneh, seusia engkau ini belum beristeri" Tapi.... sucikupun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma.... ia mempu-nyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah.... apakah engkaupun begitu?"
"Begitu bagaimana maksudmu!" tanya Sim Houw hampir membentak.
"Seperti suciku itu" Berganti-ganti pacar?"
Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu.
"Tidak! Dan jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
302 yang men-jadi sumoinya, tidak sama dengan sucimu itu, bergan-ti-ganti pacar?"
"Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!"
"Nah, dengarkan saja, kalau begini terus cerita-ku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?"
Bi Lan yang tadi dibentak, kini mengangguk-ang-guk. "Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar...." Ia tersenyum memandang ke-pada Sim Houw yang juga tersenyum senang. "Dan bagaimana tentang
Liong-siauw-kiam itu?"
"Seorang kakek pertapa di Himalaya yang ber-nama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu me-ngenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya pantas untuk memiliki-nya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi dan dia mulai mencari orang yaug akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang dapat mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, keti-ka dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku."
Bi Lan mengangguk-angguk. "Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu" Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang hebat. Aku sendiripun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii....! Mengapa....?" Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda inipun terloncat bangun.
"Mengapa....apa....?" tanyanya bi-nguug karena gadis itu kembali sudah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.
"Mengapa engkau tidak membunuhku atau seti-daknya merobohkan aku" Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam" Ehh, engkau.... engkau.... bukan sebangsa jai-hoa-cat, ya?"
Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin me-nampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain. "Kenapa kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja mendongkol karena jai-hoa-cat (penjahat pemer-kosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.
"Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tapi.... tapi.... ahh, engkau ten-tu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"
Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw.
"Seka-rang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubungan-mu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
303 "Sam Kwi bukan saja guru-guruku, melainkan juga penolongku dan penyelamat nyawaku.
Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku me-ninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena adanya perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah per-jalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati." Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pan-tas gadis ini memiliki watak aneh. Begitu kecil su-dah mengalami musibah yang demikian hebat.
"Nah, sejak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggauta pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali kepadaku. Akan tetapi suciku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diseleweng-kan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu.
Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lama-nya."
Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia me-ngerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepulut tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.
"Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakai-mu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja dise-satkan itu?"
"Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk mencip-takan ilmu silat baru yang hebat untuk kami paksa menghadapimu...."
"Ah, ilmu silat yang hebat tadi" Bukan main, memang Sam Kwi lihai...."
"Itulah Ilmu Sam Kwi cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan me-rampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi mengadakan pesta makan minum
untuk mengucapkan selamat ja-lan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku di-bikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diper-kosa...."
"Ahhh....! Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.
"Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermak-sud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau.
Mereka mengancam akan memperko-sa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan,
membe-baskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam."
Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
304 nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat. "Kemudian bagaimana?"
Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian.
"Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang be-kerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"
"Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang pa-ling penting padaku."
"Apa itu?" "Namamu!" Bi Lan tertawa dan ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng.
Ia memang merupa-kan seekor kuda betina yang tadinya liar atau setang-kai bunga mawar hutan yang tak pernah terawat dengan baik, walaupun hal itu tidak mengurangi ke-indahan dan keharumannya.
"Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."
"Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"
"Tentu saja, dan aku akan menyebut twa-ko (ka-kak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung
suheng dariku. Sim-twako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"
"Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"
"Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku dapat menemukanmu di Pegu-nungan Tai-hang-san."
"Cu Kun Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"
"Apa" Bagaimana ini" Dia masih muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"
"Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah pa-man mendiang ibuku. Bukankah dengan
demikian Cu Kun Tek itu pamanku" Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia sejak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek" Bagaimana dapat berke-nalan dengan dia?"
"Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
305 mengamuk sehingga kami ber-dua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."
Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia dua-belas tahun itu kini telah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula men-jadi pemilik Koai-liong Po-kiam! Dia merasa gem-bira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapus-lah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.
Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku di sini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.
"Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."
"Jadi kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.
"Nanti dulu, jangan tergesa mengambil kesimpul-an. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan te-tapi akupun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada sucimu, dan pada saat itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau.... engkau?"
Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang akupun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terse-rah."
"Di mana dia sekarang?"
"Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."
"Di kota raja?"
"Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan menggabung ke sana mencari kedudukan. Kebetulan sekali akupun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang telah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."
"Ah, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"
Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu ber-juluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu ber-ada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu- pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus
merampasnya kembali, betapapun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Dendam Empu Bharada 30

Cari Blog Ini