Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
kakek gundul ini mengayun tongkatnya menyerang pemuda
itu agar jangan sampai mencelakai Hong Kin dan isterinya.
Akan tetapi dengan enak saja Cui Kong meloncat maju,
huncwenya menangkis tongkat dan lengan kering yang
dipegangnya menyambar. "Krakk!" Jari-jari tangan lengan kering itu tepat
menghantam leher Hwa Thian Hwesio. Dunia menjadi gelap
di depan mata hwesio semua kesadarannya masih membuat
ia lekas-lekas melempar diri ke belakang. Ia bergulingan di
atas lantai dan pingsan Baiknya ia tadi melempar diri ke
belakang kalau tidak, tentu ular putih yang melingkar di
8 lengan itu akan menggigitnya dan kalau hal ini terjadi,
nyawanya tentu sudah melayang.
"Iblis keji, rasakan pembalasanku!" Li Hwa menjerit marah dan pedangnya yang berubah menjadi segunduk
sinar hijau menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk.
Cui Kong kewalahan juga menghadapi ilmu pedang yang
lihai ini, maka terpaksa untuk sementara meninggalkan
Hong Kin dan Hui Lian, mencurahkan perhatiannya
menghadapi serangan Li Hwa. Setelah ia melawan dengan
sepenuh tenaga, baru ia dapat membendung gelombang
serangan sinar hijau itu.
Sementara itu, biarpun matanya sukar di buka lamalama, Hui Liao dan Hong Kin dapat menangkap suara
pertempuran itu dan tahu bahwa Ouw Beng Sin dan Hwa
Thian Hwesio sudah roboh oleh pemuda lihai itu. Mereka
menjadi nekat. Dengan mata dipaksa terbuka, Hui Lian
menerjang dengan pedangnya. Hong Kin juga demikian,
menyerang mati-matian membantu Li Hwa.
"Adik Hui Lian, jangan dekat "..!" seru Li Hwa. "Biar aku menghadapi setan ini !" Nyonya ini maklum bahwa
kedatangan Cui Long adalah hendak membunuh suami isteri
ini dan melihat keadaan mereka, sukar untuk mengalahkan
Cui Kong. Kalau saja mata suami isteri ini tidak terpengaruh
asap beracun, tentu mereka bertiga dapat menandinginya,
akan tetapi keadaan sekarang lain. Amat berbahaya kalau
Hong Kin dan Hui Lian maju. Akan tetapi mana suami isteri
yang berjiwa gagah itu mau mundur membiarkan Li Hwa
seorang diri menghadapi musuh yang tangguh" LI Hwa
hendak menolong mereka tampa memperdulikan
keselamatan nyawa sendiri, mereka juga tidak akan
mundur, tidak takut mati dalam menghadapi musuh
membantu Li Hwa. "Ha-ha.ha, ayah bunda Tiang Bu, si keparat ternyata
tidak seberapa! Ha-ha!" Cui Kong mengejek sambil memutar
dua senjatanya yang aneh.
9 Sebetulnya ilmu kepandaian Hong Kin tidak rendah. Apa
lagi Hui Lian. Nyonya ini adalah adik seperguruan dari Liok
Kong Ji sendiri. Ilmu pedangnya lihai bukan main. Akan
tetapi, kini mereka tidak dapat bergerak leluasa karena mata
terasa sukar sekali dibuka terus. Dan yang mereka hadapi
adalah Liok Cui Kong, seorang pemuda gemblengan yang
amat luar biasa ilmu kepandaiannya. Selain mendapat
petunjuk dari Liok Kong Ji sendiri, juga pemuda ini adalah
murid dari Lothian-tung Cun Gi Tosu.
Hui Lian marah bukan main. Sambil menggertak gigi ia
membuka matanya yang pedas itu lebar-lebar. kemudian ia
menggerakkan pedangnya dari atas ke bawah lalu membalik
dengan mendadak dimiringkan dengan gerakan menyerong
dan ujungnya membuat lingkaran- lingkaran.
Inilah gerakan yang disebut Hui-in-ci-tian (Awan
Mengeluarkau Kilat ), sebuah gerakan tipu dalam ilmu
Pedang Pak-kek Kiam-sut. Hebatnya bukan kepalang ! Tidak
percuma Hui Liang menjadi puteri pendekar besar Go Ciang
Lee. Cui Kong benar-benar terkejut. Baru terbuka matanya
bahwa dua orang suami isteri yang secara menggelap telah
ia serang dengan asap ini adalah ahli-ahli pedang yang lihai.
Cepat ia meninggalkan Li Hwa, menggunakan tongkatnya
menangkis sinar pedang yang menyambar-nyambar leher
dan kepalanya. "Plaak !" Tongkatnya menempel pada pedang dan tak
dapat ditarik kembali karena tiba-tiba pedang nyonya itu
diputar cepat sehingga tongkatnya turut berputaran.
"Mampuslah kau, bedebah!" Hui Lian membentak sambil
memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar lawannya.
Pukulan ini juga bukan serangan biasa, melainkan gerakan
Hai ti lap-liong (Menyelam ke Laut Mengejar Naga) dari Ilmu
silat Thian-hong cianghwat peninggalan ayahnya.
Keistimewaan pukulan ini yalah dilakukan dalam keadaan
tak tersangka-sangka dan luar biasa cepat datangnya.
10 Sebelum Cui Kong sempat mengelak atau menangkis,
pukulan sudah sampai di pusarnya ! Pemuda itu pasti akan
terjungkal mampus kalau saja tenaga lweeeang dari Hui Lian
lebih besar lagi. Sayangnya, tenaga dalam nyonya itu masih
kalah jauh oleh Cui Kong, pemuda ini dengan muka pucat
cepat merendahkan diri sehingga pukulan itu tidak
mangenai pusarnya, melainkan mengenai dada. Ia
mengerahkan sinkangnya menyambut datangnya pukulan,
akan tetapi berbareng mengerjakan lengan kirinya ke arah
leher Hui Lian. Dada Cui Kong terpukul dan pemuda itu terhuyung
mundur dengan muka pucat, akan tetapi Hui Lian mengeluh
perlahan dan roboh dengan pedang masih di tangan.
Ternyata bahwa leher nyonya perkasa ini telah terpagut ular
putih yang melingkar di pergelangan lengan kering itu dan
dalam sekejap saja racun ular telah menjalar ke seluruh
tubuhnya. Sungguh sayang nyonya yang perkasa ini
terpaksa harus melepaskan napas terakhir dalam tangan
Liok Cui Kong. Hong Kin mengeluarkan seruan kaget dan marah bukan
main. Ia menubruk maju dan menukan pedangnya secepat
kilat. Gerakannya ini sudah bukan gerakan menurut ilmu
pedang lagi yang selain mengandung sifat menyerang selalu
ada sifat melindungi diri. Serangan Hong Kin kali ini sama
sekali tidak mengandung unsur penjagaan diri, seratus
prosen menyerang dengan nekat dan cepat sekali.
Menghadapi kenekatan seorang ahli pedang seperti Hong
Kin, betapapun lihai adanya Cui Kong tetap saja ia tidak
keburu mengelak. Hampir saja lehernya tertembus pedaug
kalau saja ia tidak sempat membuang diri ke kanan
sehingga hanya kulit leher dan pundaknya yang terkena
pedang sampai mengeluarkan darah banyak sekali.
Marahlah Cui Kong, dengan sepenuh tenaga lengan
kering itu di sabetkan kepada Li Hwa yang sudah
mendesaknya lagi, sedangkan huncwenya ia pukulkan ke
11 depan menghantam kepala Hong Kin. Hong Kin mencoba
untuk menangkis pukulan ini dengan pedangnya, namun ia
kalah tenaga. Benar huncwe dapat tertangkis, akan tetapi
melesat dan dengan tepat mengenai pinggir kepala di atas
telinga. "Prakk !" Tanpa mengeluarkan keluhan. Tubuh Hong Kin terguling dan bergelimpangan di dekat jenazah isterinya, tak
bernyawa lagi ! "Iblis terkutut ! Mari kita mengadu jiwa !" seru Li Hwa
marah sekali dan kedua matanya bercucuran air mata
melihat nasib dua orang sahabat baiknya itu. Pedangnya
mendesak dan kemarahannya membuat gerakannya lebih
hebat daripada biasanya. Juga kini tangan kirinya sudah
mengeluarkan Cheng-jouw-cian ( Jarum Rumput Hijau) siap
untuk menyerang lawan tangguh itu dengan senjata
rahasianya yang sudah amat terkenal itu.
Cui Kong tertawa bergelak. Girang sekali hatinya dapat
menewaskan Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Himpas sudah
sakit hatinya terhadap Tiang Bu yang dalam penyerbuan Uiliok-lim telah menewaskan banyak kawan dan merusak
bangunan itu semau-maunya.
"Ha-ha-ha, Tiang Bu ! Aku ingin melihat mukamu kalau
kau melihat ayah ibumu menggeletak tak bernyawa oleh
tanganku. Ha ha ha !" Sambil tertawa-tawa Cui Kong
melawan Li Hwa. Memang ilmu kepandaian pemuda ini
hebat sekali, bahkan Li Hwa masih bukan tandingannya.
Ular di lengan kering itu terus menerus mengancam,
membuat Li Hwa tak dapat mendesaknya. Sebaliknya,
nyonya yang terkenal dengan julukan Hui eng Niocu ini
sekarang terpaksa mundur selalu untuk menghindarkan
sepasang senjata aneh dari lawannya yang masih muda.
"Ha ha ha, nyonya manis, kepandaiannya boleh juga.
Akan tetapi tuan mudamu tak boleh kaupandang rendah !
Nah, terima seranganku !" Huncwe mautnya bekerja cepat
sekali. Li Hwa masih menangkis dengan pedangnya dengan
12 maksud mematahkan huncwe itu dengan Cheng-liong-kiam.
Namun, huncwe di tangan Cui Kong itu terbuat dari bahan
yang amat keras. Huncwe terpental, akan tetapi bukan
terpental membalik, melainkan menyerong ke atas dan tahutahu huncwe itu telah berhasil mengetuk pundak kiri Li Hwa
! Nyonya ini terhuyung sambil memegangi pundaknya.
Cui Kong tertawa terbahak-bahak sumbil melompat
keluar karena pada saat itu di luar rumah terdengar amat
banyak orang. 0rang-orang penduduk P ulau Kim-ban-yo
yang datang tertarik oleh ribut-ribut di dalam. Li Hwa
menggigit bibirnya, melepaskan pe dang dan tangan
kanannya yang masih dapat sigerakkan lalu menghujankan
Cheng-jouw-ciam ke arah bayangan Cui Kong.
Namun percuma saja. Cui Kong gesit sekali gerakannya
dan sebentar sudah menghilang melalui atas genteng. Hanya
suara ketawanya yang bergema menyeramkan. Ketika
pe nduduk datang menyerbu ke dalam. mereka hanya dapat
menolong para korban keganasan Liok Cui Kong. pute ra
angkat Liok Kong Ji yang telah mewarisi kekejaman ayah
angkatnya. -oo(mch)oo- Pada s uatu pagi yang indah di kaki Pegunungan Tapiesan, matahati sudah naik tinggi dan pagi hari itu benarbenar indah. Di pinggir jalan, para pe tani sibuk beke rja di sawah ladang di mana batang-batang padi sudah satu kaki
tingginya, hij au segar bergoyang- goyang tertiup angin
seperti penari penari bergerak lincah. Para petani bekerja
riang, dan digembirakan oleh harapan panen baik.
Burung-burung beterbangan, diteriaki dan disoraki,
ditakut-takuti oleh para petani yang amat membenci mereka.
Biarpun barang padi belum berbuah, namun para petani
sudah benci melihat kedatangan burung-burung ini.
Sebagian besar para petani mencabut-cabuti rumput liar
13 yang tumbuh di sekitar padi. Sebagian pula mengatur
perairan agar sawah mereka tidak kekurangan air.
Dari arah utara kelihatan seorang gadis menuntun seekor
kuda tinggi besar. Gadis ini sampai turun dan kudanya dan
berjalan kaki agar dapat lebih menikmati pemandangan alam
indah di pagi cerah itu. Pakaian gadis ini sederhana saja,
rambutnya yang hitam dibiarkan tergantung ke belakang
punggung, diikat pita di tengah-tengah. Namun
kesederhanaannya tidak menyembunyikan kecantikannya
yang menawan hati. Gadis ini manis benar, usianya paling
banyak sembilan belas tahun. Pada wajahnya yang manis
dan halus itu terbayang kegagahan, terutama sekali
terpancar dari pasang matanya yang tajam. Memang tidak
sukar menduga bahwa dia adalah seorang gadis kangouw
yang memilliki kepandaian ilmu silat. Seorang gadis muda
melakukan perjalanan seorang diri, membawa seekor kuda
yang kelihatan liar dan tinggi besar. sudah barang tentu
gadis itu bukan sembarang wanita. Tanpa memiliki
kepandaian, mana seorang gadis seperti dia berani
menunggang kuda setinggi itu.
Dara manis ini bukan lain adalah Lie Ceng, puteri Pektouw tiauw ong Lie Kong. Usianya delapan belas tahun dan
semerjak Ceng Ceng dikalahkan oleh Tiang Bu dahulu ketika
ia berusia lima belas tahun, gadis ini melatih diri dengan
tekun sehingga ia mewarisi kepandaian ayah bundanya, juga
ia kini telah dapat mewarisi isi kitab Pat-sian-jut-hun yang
didapat oleh ayahnya dari Omei-san. Kepandaiannya sudah
meningkat tinggi sekali, akan tetapi wataknya masih tetap
seperti dulu gembira, lincah dan galak!
Seperti telah dituturkan di bagian depan, tiga tahun yang
lalu pernah ia bertemu dengan Tiang Bu dan kedua orang
tuanya malah sudah menetapkan untuk menjodohkan dia
dengan Tiang Bu. Akan tetapi Ceng Ceng dengan tegas
menolak perjodohan itu, 14 Berkali-kali kedua orang tuanya mendesaknya, namun
tetap saja Ceng Ceng tidak mau. Akhir-akhir ini, ayah
bundanya mengalah dan ayahnya berkata gemas.
"Ceng Ceng, kau sekarang sudah berusia delapan belas
tahun dan ayah bundamu sudah ingin sekali mempunyai
anak mantu. Dalam pandangan kami selin Tiang Bu di mana
lagi ada pemuda yang patut menjadi sisianmu diukur dari
kepandaiannya" Apakah kau tidak kecewa kalau
medapatkan pemuda yang kepandaiannya rendah" Kalau
kau selalu menolak untuk menikah, habis kau. Hendak
hendak menanti sampai berusia berapa?"
"Biar aku berusia sampai seratus tahun tak menikah,
apa sih salahnya, ayah" Apakah pernikahan itu suatu
keharusan hidup?" "Sudah tentu, Ceng Ceng !" kata ibunya marah.
"Bagaimana kau masih bertanya lagi ?"
"Ehm, begini, ibu. Kalau memang betul ini suatu
keharusan, siapakah gerangan yang mengharuskan ?"
Memang Ceng Ceng sebagai anak tunggal semenjak kecil
dimanjakan dan sudah biasa berdebat dengan ayah
bundanya. "Yang mengharuskan siapa....... ?" bentak ibunya gemas.
"Kau..... kau memang anak terlalu manja".." karena tidak
bisa menjawab, nyonya Lie Kong hanya bisa menunjuknunjuk muka anaknya dengan telunjuknya.
"Ceng Ceng. seorang manusia harus mengalami tiga
kejadian. Pertama Lahir, ke dua kawin, ke tiga mati. Orang
terlahir pasti akan mati dan matinya itu baru sempurna
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau dia meninggalkan keturunan. Kalau tidak kawin,
bagaimana bisa meninggalkan keturunan " Salah satu di
antara sifat-sifat tidak berbakti yang paling penting adalah
tidak punya keturunan. Kalau kau tidak ingin disebut anak
puthauw (anak durhaka), kau harus memilih jodohmu agar
15 ayah bundamu dapat menikmati kebahagiaan menimang
cucu." Merah wajah Ceng Ceng mendengar kata-kata ayahnya
yang diucapkan dengan tenang namun sungguh-sungguh
ini. "Akan tetapi, ayah," bantahnya berkepala batu, "kalau aku tidak suka, masa aku harus dipaksa ?"
"Akan datang saatnya timbul rasa suka kalau kau sudah
bertemu dengan jodohmu. Kau menolak seorang pemuda
seperti Tiang Bu, yang kau cari orang macam apakah?"
Dengan kepala tunduk Ceng Ceng menjawab perlahan,
"Dia harus memiliki kepandaian labih tinggi dari pada
kepandaianku, dia harus gagah perkasa, harus berbudi
mulia, dan dia harus berwajah tampan......."
lbunya menggeleng-geleng kepala, akan tetapi Lie Kong
tertawa. "Semua wanita tentu saja mencari suami begitu !
Akan tetapi kau lupa sedikit, Ceng Ceng anakku yang manja.
Yang harus diutamakan adalah sifat jujur dan setia ! Tiang
Bu memiliki kejujuran, juga dia seorang yang memiliki
kegagahan dan kesetiaan. Memang harus aku nyatakan
bahwa dia tidak tampan. Akan tetapi jangan kau ngukur
watak manusia dari tampangnya. Banyak sekali laki-laki
yang kelihatan gagah, tampan dan mulia, padahal semua itu
palsu belaka. Aku amat khawatir kau akan terpikat oleh
macam itu. Ceng Ceng. Sekali lagi kunasehatkan, jangan
kau terlalu percaya kepada wajah tampan."
Ceng Ceng diam saja, akan tetapi di dalam hatinya ia
tetap berkeras bahwa dia hanya kawin dengan seorang
pemuda yang tampan, ganteng dan mendatangkien rasa
suka di dalam hatinys, Tidak seperti Tiang Bu yang
berhidung pesek berbibir tebal!
Semenjak kecil Ceng Ceng memang suka pergi bermainmain sampai jauh. Setelah dewasa dan kepandaiannya tinggi
dia sering kali pergi jauh ke kota lain sampai berhari- hari.
Ayah bundanya membolehkannya saja. Pertama agar gadis
16 itu bertambah pengalaman serta pengetahuannya, ke dua
siapa tahu kalau di kota lain bertemu jodohnya.
Demikianlah, pada pagi hari itu Ceng Ceng juga sedang
melakukan perantauannya. Ia mendaki Bukit Tapie-san dan
kini sedang berada dalam perjalanan pulang. Tertarik oleh
keindahan alam dan kesibukan para petani, gadis ini
melompat turun dari kuda, lalu berjalan perlahan menuntun
kudanya yang besar dan bagus itu. Ceng Ceng memang
semenjak kecil suka akan keindahan. Kepada orang tuanya
ia selalu minta apa-apa yang serba indah. Pakaian
sederhana yang dipakainya itu hanya untuk menutupi
pakaian indah dan mewah yang tersembunyi di dalamnya. Ia
selalu menutupi pakaiannya yang indah apabila melakukan
perjalanan, pertama tama untuk menjaga agar pakaiannya
yang indah tidak menjadi kotor terkena debu, kedua kalinya
agar jangan menarik perhatian orang-orang jahat. Kudanya
pun kuda mahal, kuda pilihan yang amat kuat.
Ceng Ceng berdiri di pinggir sawah dan tersenyum
gembira melihat dua orang anak laki-laki berusia enam
tujuh tahun mengejar-ngejar burung. Memang amat nakal
burung-burung kecil berdada kuning itu. Digebah dari sini
turun di sana, diusir dari sane hinggap di sini. Burung yang
berkelompok itu seakan-akan tahu bahwa yang mengusir
mereka hanya dua orang bocah maka sengaja menggoda dan
mengejek. Dipermainkan oleh burung kecil ini, dua orang
bocah cilik itu marah-marah. Mereka berteriak-teriak dan
menyambitkan batu. "Awas kalian, perampok perampok kecil. Kalau terjatuh
ke dalam tanganku, kau tentu akan kucabuti bulumu,
kupuntir batang lehermu, kupanggang sampai kuning !" kata
seorang anak. "Setan-setan kelaparan !" memaki anak kedua. "Kami
bersusah payah bekerja, ayah dan kerbau meluku, Ibu
menanam, aku membersihkan rumput, kami menunggu
17 panen dan kalian ini setan setan selalu mengganggu. Enyah
keparat !" Bocah-bocah itu lari ke sana ke mari sambil memakimaki. "Kami makan tak pernah memakai daging, kalau kami
dapat menangkapmu, kami makan kepalamu !"
Melihat bocah-bocah ini dan para petani yang sepagi itu
sudah bekerja keras dan rajin di sawah ladang, timbul
pikiran di dalam kepala Ceng Ceng betapa sukarnya orang
bekerja untuk menghasilkan bahan makanan. Dia setiap
hari makan nasi akan tetapi belum pernah bekerja di ladang
untuk manuai padi, apa lagi meluku dan mencangkul.
Alangkah senangnya orang kota, hidup mewah dan setiap
hari makan nasi dari padi terbaik. Sebaliknya para petani
yang setiap hari semenjak pagi buta sampai malam gelap
bekerja membanting tulang memeras keringat di sawahnya,
hidup serba kurang dan miskin.
Ceng Ceng membungkuk, mengambil segenggam pasir,
menanti sampai kelompok burung dada kuning itu terbang
lewat. tangannya digerakkan, pasir menyambar mekar jala
dan....... belasan ekor burung runtuh ke atas tanah, sisanya
terkejut dan terbang jauh-jauh.
Dua orang bocah itu memandang dengan mata terbelalak
lebar dan mulut bengong, kemudian mel ihat burung-burung
be rgeletakan di atas tanah, mereka bersorak-sorak girang
dan berlari-lari menghampiri untuk mengambil bangkai
burung-burung itu. "Hebat, timpukan yang lihai sekali?"!" dengan suara
halus memuji. Ceng Ceng cepat menengok dan melihat seorang pemuda
tampan lewat di atas jalan itu. Pemuda ini berpakaian
seperti seorang ahli silat, akan tetapi sikap dan gerakgeriknya halus seperti seorang pelajar. Ketika Ceng Ceng
menengok, pemuda itu mempercapat langkahnya dan
sebentar saja sudah jauh.
18 Ceng Ceng tertarik. Sikap pemuda itu gagah bukan main,
juga wajahnya amat tampan, agaknya seorang pendekar
perantau. Di pinggangnya terselip sebatang bambu kecil,
bukan pedang. Biarpun amat tertarik dan ingin tahu
siapakah gerangan pemuda itu dan sampai di mana
kelihaiannya, namun sebagai seorang wanita tentu saja Ceng
Ceng tidak berani menegur. Apa lagi pemuda itu sudah pergi
jauh dan sebentar saja bayangannya lenyap di tikungan
jalan sebelah selatan. Gadis itu lalu melanjutkan perjalanannya, melompat ke
atas kuda yang dilarikan ke selatan. Ia hendak mencari ayah
bundanya yang berada di kota Kiu-kiang yang terletak di
dekat Telaga Poyang. Perjalanan masih jauh, makan waktu
dua hari lagi. Malam hari itu Ceng Ceng tiba di sebuah dusun yang
cukup ramai. Ia bermalam di rumah perginapan,
memberikan kudanya kepada pelayan sambil memesan.
"Beri makan dan minum secukupnya pada kudaku ini
dan masukkan dalam kandang yang baik dan terlindung dari
angin malam. Jaga dia baik-baik. besok kuberi hadiah."
Pelayan itu mengangguk-angguk lalu menuntun kuda
besar itu ke samping hotel. Lewat tengah malam, Ceng Ceng
terkejut bangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya digedor
orang. "Siocia....... siocia....... bangunlah ! Kuda itu dilarikan orang !"
Ceng Ceng mendengar suara kaki kuda berderap lewat di
depan hotel. Dengan cepat ia melompat turun, menyambar
pedangnya lalu menerjang pintu luar. Begitu mendadak dan
cepat ia membuka pintu sehingga pelayan yang melaporkan
tentang kehilangan kuda dan tadinya berdiri di luar pintu,
terjengkang tunggang-langgang ketika pinta dibuka. Akan
tetapi Ceng Ceng tidak memperdulikannya lagi, terus saja
melompat keluar dan lari mengejar ke arah suara kuda
19 melarikan diri ke barat. Malam itu baiknya terang bulan,
dan ternyata malam sudah larut sekali dan sudah menjelang
fajar. Ceng Ceng memiliki ginkang yang tinggi warisan dari
ayah bundanya. Kalau hanya kuda biasa saja yang dilarikan
orang, kiranya ia masih akan sanggup menyusulnya, akan
tetapi kudanya yang dieuri ini bukanlah kuda biasa,
melainkan kuda pilihan dari utara yang sanggup lari seribu
li sehari semalam. "Maling kuda pengecut jahanam! Berhentilah kalau kau
memang jantan l? teriak Ceng Ceng sambil mengerahkan
tenaga dalamnya agar suaranya terdengar jauh. Akan tetapi
pencuri kuda itu bahkan membalapkan kudanya dan hanya
suara ketawanya terdengar dari jauh. Diam-diam Ceng Ceng
terkejut. maklum bahwa pencuri kudanya itu bukanlah
pencuri biasa. Orang yang suara ketawanya dari tempat
sejauh itu dapat terdengar, tentu memiliki Iweekang tinggi.
Ia mempereepat larinya, akan tetapi percuma saja. Makin
lama derap kaki kuda makin menghilang berikut bayangan
kuda. Ceng Ceng membanting banting kakinya dengan
gemas ketika ia berdiri di luar sebuah hutan. Ia tidak tahu
kemana pencuri itu melarikan kudanya.
Dengan hati mendongkol sekali Ceng Ceng berjalan terus
sampai pagi. Ia keluar dari hutan dan mengambil keputusan
untuk mencari terus kudanya yang hilang sebelum pergi
menyusul ayah bundanya. ia merasa penasaran sekali kalau
belum mendapatkan kembali kudanya, terutama sekali
kalau belum mamberi hajaran kepada pencuri kuda yang
kurang ajar itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkikan kuda dari arah kiri.
Girangnya bukan main karena ia segera mengenal suara
kudanya ! Biarpun sudah letih karena bangun pada tengah
malam tidak tidur lagi, ia segera lari ke arah kiri dengan
cepat. Dan betul saja. ia melihat kudanya sedang makan
rumput di bawah pohon dilepas begitu saja ! Dengan
20 beberapa kali lompatan Ceng Ceng sudah tiba di dekat
kudanya dan segera ia memegang kendalinya. Dan pada saat
itu baru ia melihat bahwa tidak jauh dari situ, di atas barubaru besar, duduk seorang pemuda tampan yang bersila dan
sedang bersamadhi ! Pemuda ini bukan lain adalah pemuda
yang memujinya kemarin ketika ia menyambit burtingburung dengan pasir. Peniuda Itu meramkan mata. bibirnya
agak tersenyum, tampan sekali, kedua tangan di depan dada
dan sebatang bambu yang ternyata adalah huncwe terselip
di pinggangnya. Sampai lama Ceng Ceng berdiri memandang, kemudian
ia menjadi marah. Tentu pemuda ini yang telah mencuri
kudanya ! Ia melepaskan kendali kudanya, melangkah maju
mendekati pemuda itu sambil membentak.
"Pencuri kuda kurang ajar ! Turunlah kau menerima
hajaran!" Pemuda itu membuka matanya memandang kepada Ceng
Ceng dengan mata bersinar dan bibir tersenyum. "Nona, kau memaki siapa ?" tanyanya, suaranya halus, sikapnya sopan.
"Memaki kau, siapa lagi " Kau pencuri kuda hina,
turunlah kalau kau mempunyai kepandaian !" Dilolosnya
pedang dari pinggangnya dan gadcis ini siap untuk
menyerang. Pemuda itu tersenyum tenang. "Nona, aku Cui
Kong selamanya tidak pernah mencuri kuda. Harap kau
dapat memperbedakan antara pencuri kuda dan orang baikbalk." Memang pemuda ini bukan lain adalah Liok Cui Kong.
Setelah berhasil membunuh Coa Hong Kin dan Go Hui Lian,
pemuda ini lalu melakukan perjalanan ke selatan menuju ke
tempat tinggal ayah angkatnya yang baru, yaitu di sebuah
pulau di pantai selatan, mendekati Lo thian-tung Cun G i
Tosu yang juga melarikan diri ke selatan setelah di utara ia
tidak diterima baik oleh Jengis Khan.
Kobetulan sekali di tengah jalan ia melihat Ceng Ceng.
Sebagai seorang pemuda mata kerarjang yang bejat
moralnya, tentu saja melihat seorang dara cantik seperti
21 Ceng Ceng. hati Cui Kong tergorcang hebat. Akan tetapi,
melihat sikap dan gerak gerik Ceng Ceng, pula menyaksikan
kepandaian gadis ini, timbul perasaan aneh dalam diri Cui
Kong. Berbeda dengan perasaan kalau melihat gadis-gadis
lain. ia amat tertarik dan timbul kasih sayang. Inilah
agaknya cinta yang bersemi di dalam hatinya, oleh karena
manusia bagaimana jahatpun sekali waktu akan jatuh hati
kepada seorang tertentu. Ini pula sebabnya maka Cui Kong tidak mau bermain
kasar. Ia sengaja mencari kuda nona itu dan sekarang
menanti di sini, siap mencari alasan baik untuk berkenalan.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar jawaban
pemuda itu. Ia tidak mengenal nama Cui Kong, dan ia raguragu apakah ucapan itu betul.
"Bagaimana kau bisn bilang bukan pencuri kuda kalau
kudaku hilang dari rumah penginapan, dibawa orang pada
tengah malam, terus kukejar di sini dan kudapatkan kuda
itu berada di sini bersamamu" Bagaimana kau bisa
menyangkal ?" Cui Koug mengangguk-angguk berkata, masih tersenyum
memikat hati. "Memang ada kulihat tadi seorang laki-laki
membalapkan kuda lewat dekat ini. Karena curiga melihat
orang pagi-pagi membalapkan kuda yang besar dan indah,
aku menegurnya. Akan tetapi orang itu malah mengayun
pecut menyerangku. Aku menangkap pecutnya dan
membetotnya sehingga orang tidak punya guna itu roboh
terjungkal. Dua kali ia menyerangku lagi akan tetapi dua
kali ia terjungkal lalu melarikan diri. Kuda itu ia tinggalkan dan kuda baik ini ternyata tidak mau pergi. Nah, aku sudah
memberi keterangan, apakah kau masih hendak memaki
aku sebagai maling kuda?"
Ceng Ceng memang seorang gadis lincah pandai
berdebat. Mendengar penuturan ini ia menjawab, "Enak saja kau mendongeng! Apa buktinya kebenaran dongenganmu itu
dan siapa bisa bilang kalau kau tidak membohong?"
22 "Nona, ada dua sebab kuat yang menjelaskan bahwa aku
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan pencuri kuda. Aku sudah menyaksikan
kepandaianmu, kalau aku yang mencuri, perlu apa aku
masih melarikan diri " Kedua, andaikata aku yang mencuri
lalu lari ketakutan, perlu apa aku sekarang musti
menantimu di sini" Coba kau pikir baik-baik."
Memang beralasan sekali ucapan ini, akan tetapi perut
Ceng Ceng sudah menjadi panas. Kalau saja Cui Kong
memberi alasan yang ke dua saja, ia sudah akan meras a
puas dan percaya. Akan tetapi, alasan pertama dari pemuda
itu menyatakan bahwa pemuda itu memandang rendah
kepadaianya ! Cui Kong bilang bahwa dia sudah
menyaksikan kepandaian Ceng Ceng dan andaikata dia yang
mencuri kuda, ia takkam lari. Bukankah itu berarti bahwa
pemuda i ni menganggap kepandaian Ceng Ceng tidak berapa
" "Bagus, tidak tahunya kau selihai itukah " Boleh, boleh
kita coba-coba. Kalau kau betul sudah dapat mengalabkan
pencuri kuda, tent u kepandaianmu lebih tinggi dari pada
aku. Turunlah ?" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng
menggunakan kakinya mendorong baru besar yang diduduki
oleh Cui Kong. Hebat sekali lweekang nona ini. Batu yang
be ratnya ada seribu kali ini menjadi miring !
"Ayaaa, kiranya kau sekuat ini!" Seru Cui Kong, benarbenar terkejut. Tadinya ia hanya mel ihat gadis itu
menimpukkan pasir merobohkan banyak burung sekaligus.
Kepandaian ini indah, akan tetapi belum menunjukkan
bahwa gadis itu seorang ahli silat tinggi. Melihat usianya
yang bogitu muda, Cui Kong menganggap gadis itu tentu
tidak sedemikiah hebat. Akan tetapi dorongan kaki pada
batu besar tadi benar-benar mendemonstrasikan tenaga
yang hebat dan kepandaian yang tinggi !
Sementara itu, Ceng Ceng juga kagum melihat tubuh
yang tadinya bersila di atas batu, kini, "melayang" turun dalam kedudukan masih bersila seakan-akan pemuda itu
23 pandai terbang. Padahal inipun demonstrast ginkang yang
hebat dari Cui Kong, yang mempergunakan ujung-ujung jari
kakinya menotol batu di bawahnya sehingga tubuhnya dapat
mencelat turun. Ketika tiba di tanah, kedua kakinya dilepas
sehingga ia jatuh be rdiri dengan ringan dan tenang.
Ceng Ceng bersiap-siap, ia mengandalkan Ilmu silat nya
Pat-sian-jut-bun, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda
di depannya inipun ahli dalam ilmu silat itu ! Soalnya begini.
Seperti telah diceritakan dahulu, kit ab Pat-sian-jut -bun yang tadinya terjatuh ke dalam tangan Pek-thouw tiauw ong Lie
Kong dan diberikan Ceng Ceng, telah dirampas ole h Cui Lin
dan Cui Kim dan akhirnya terjatuh ke dalam tangan Liok
Kong Ji. Akan tetapi se belum terjatuh ke dalam tangan Liok
Kong Ji, Cui Kong sudah mencuri lihat dan otaknya yang
cerdas dapat menghafal isinya dan diam-diam iapun
mempelajari ilmu silat ini. Oleh Liok Kong Ji kitab itu
bahkan dijadikan bahan untuk mengatur barisan bambu di
Ui tiok-lim, yang makin disempurnakan ilmu dari kitab ini.
Demikianlah Ceng Ceng sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa ia berhadapan dengan tokoh Ui-tiok lim
atau kakak angkat dari dua orang gadis yang mencuri
kitabnya dan yang sekarang masih dicarinya itu.
"Nona, kau betul-betul hendak mengujiku " Boleh, boleh,
akupun ingin sekali tahu sampai di mana tingginya
kepandaianmu. Akan tetapi harap kauingat bahwa aku
betul-betul bukan pencuri kudamu dan kita bertempur
hanya sebagai pibu persahabatan saja."
"Jangan banyak cingcong ! Keluarkan senjatamu !" seru Ceng Ceng. Gadis ini belum tahu sampai di mana tingkat
kepandaian pemuda ini. Biarpun ia tertarik akan
ketampanan wajah pemuda ini dan sifat-sifainya yang gagah,
namun sebelum mengukur tinggi rendah kepandaiannya,
mana bisa ia menarh penghargaan "
Cui Kong mencabut keluar huncwenya menjawab, "Aku
masih muda dan tidak doyan menghisap tembakau, akan
24 te tapi huncwe ini sudah menjadi kawau lama yang selalu
melindungiku, inilah senjataku nona. Kau majulah!"
Diam-diam Ceng Ceng menjadi agak gembira. Seorang
yang mempergunakan senjata begitu aneh, tentu memiliki
kepandaian tinggi dan ia ingin sekali tahu sampai
bagaimana tingginya. "Lihat pedang !" serunya dan dengan ge rakan manis
sekali ia menusuk ke arah te nggorokan lawannya, kemudian
pedang diteruskan dengan gerakan memutar ke atas ke
bawah sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada.
Sekaligus ujung pedang itu menyerang tiga bagian tubuh
yang berbahaya. Melihat gerakan ini, Cui Kong terkejut
sekali. Itulah gerakan Cui sian-sia-ciok ( Dewa Arak
Mamanah Batu) sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pat sianjut-bun! Ia cepat memutar huncwenya ke depan tubuh
sambil melompat mundur dan berkata.
"Nanti dulu, nona. Seranganmu be gitu Iihai dan ganas,
kalau sampai mengenai aku, bukankah nyawaku akan
menghadap Giam-kun (Dawa Maut)?" ia berkelakar.
Ceng Ceng cemberut. "Kalau takut pedang jangan bicara
sombong !" "Aku seorang jantan tulen tidak takut mati, nona. Hanya
aku khawatir akan mati dengan mata melek karena
penasaran sebelum aku tahu siapa orangnya yang akan.
membunuhku. Pedang tidak bermata, nona. Sebelum ada
kemungkinan dada ini tergores pedang aku harus tahu siapa
gerangan nona yang gagah perksa ini" Kau sudah tahu,
namaku Cui Kong. Akan tetapi siapa nona dan dari ali ran
manakah ?" "Namaku Lie Ceng, bukan dari aliran mana-mana.
Ayahku Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong."
Cui Kong pura-pura terkejut girang, padahal di dalam
hatinya ia benar-benar terkejut dan cemas. Ia merasa punya
dosa terhadap Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong karena
25 bukankah Cui Lin dan Cui Kim telah me ncuri kitab gadis
ini" Dengan air muka kelihatan tercengang girang ia berseru
sambil merangkapkan kedua tangan memberi hormat,
"Aduh, kiranya li-hiap (pendekar wanita) adalah puteri
dari Lie-locianpwe yang mulia. Maaf, maaf, aku yang bodoh
tidak tahu dan berlaku kurang hormat. Memang li-hi ap
tentu saja tidak mengenal namaku yang t erpendam ke dalam
lumpur, akan tetapi sebaliknya dari bawah lumpur aku
sudah melihat rajawali kepala putih terbang melayang di
angkasa raya." Mendengar pujian yang muluk ini tentu saja hati Ce ng
Ceng merasa senang, akan tetapi ia mas ih penasaran.
Seranga n pertamanya tadi ternyata dengan mudah dapat
ditangkis oleh Cui Kong, apakah pemuda ini betul-betul
akan dapat menangkan dia....... " Kalau betul demikian .....
hemmm, pemuda seperti ini lah kiranya yang patut.......
menjadi jodohnya! Merah muka Ceng Ceng dengan
sendirinya ketika ia berpikir sampai di situ.
"Sudahlah, tak perlu banyak peradatan ini. Hayo kita
selesaikan pibu kita !"
Cui Kong merasa girang mendengar nona itu menyebut
"pi-bu", bukan pert andingan sungguh-sungguh, maka ia
segera bersiap dan berkata, "Aku yang bodoh sudah s iap
menerima petunjuk dari li-hiap."
Ceng Ceng tidak mau berlaku sungkan lagi. Pedangnya
digerakkan amat cepatnya, menyambar-nyambar bagaikan
seekor burung rajawali mengamuk. Sinar putih seperti perak
bergulung-gulung mengurung diri Cui Kong yang berlaku
tenang tenang saja. Pemuda yang sudah tahu akan kelihaian
ilmu Pak-sian-jut -bun ini, tidak mau berlaku gugup dan
tidak mau mengikuti pergerakan pedang lawan. Kalan ia
mengikutinya, akan celakalah dia. Inilah kehebatan ilmu
pedang itu yang harus dilawan dengan tenang. Ia hanya
memperhatikan sinar pedang menyambar ke arahnya untuk
ditangkis dengan huncwenya. ilmu silat Cui Kong masih
26 setingkat lebih tinggi dari pada gadis ini, juga tenaganya
lebih besar. Oleh karena itu ia dapat melayani Ceng Ceng
dengan baik. Andaikata ia belum mencuri baca kitab Patsian-jut -bun, kiranya dia takkan depat menghadapi gadis ini
demikian enak, sedikitnya dia harus mengerakkan seluruh
kepandaiannya untuk mengi mbangi.
Sebaliknva, Ceng Ceng merasa seakan-akan menghadapi
tembok baja yang amat kuat. Biarpun pemuda itu berge rak
lambat dan tenang namun ke mana saja pedangnya
menyerang di situ sudah ada huncwe yang menangkis. Dan
setiap tangkisan huncwe membuat telapak tangan tergetar.
Hati Ce ng Ceog ikut tergetar pemuda itu benar-benar lihai.
Kiranya tidak kalah lihai oleh Tiang Bu.
Akan tetapi dia pernah dikalahkan oleh Tiang Bu dan ia
merasa penasaran apakah pe muds tampan yang lihai inipun
dapat mengalahkannya. "Hayo kaubalas menye rang !" bentaknya berulang-ulang melihat pemuda itu hanya menjaga diri saja.
"Mana aku berani !" jawab Cui Kong mengambil hati.
Tentu saja pemuda ini tidak tahu akan s uara hati gadis ini.
Dia tertarik kepada Ceng Ceng dan berusaha mengambil
hatinya, ia takut kalau kalau gadis itu akan merasa terhina
dan marah kalau sampai ia mengalahkannya, maka i a hanya
mempertahankan diri saja. Tidak tahunya gadis ini bahkan
menghendaki sebaliknya. "Bagaimana tidak berani ini pi-bu namanya ! Hayo
kaubalas, hendak kulihat apa kau mampu mengalahkan
aku." "Aku tidak berani melukaimu. nona. Aku tidak mau kau
menjadi sakit hati dan marah," jawab Cui Kong halus sambil
menangkis tusukan pedang sehingga lagi lagi terdengar
bunyi "tringg" yang amat nyaring dibarengi bunga api berpijar.
27 "Bodoh ! Kalau pedangku terlepas dari tangan aku
menyerah kalah," kata pula Ceng Ceng.
Mendengar ini, Cui Kong cepat menggerakkan
huncwe nya, kini membalas dengan totokan-totokan
berbahaya. Gerakannya cepat sekali karena ia telah mainkan
ilmu pedang yang ia pelajari dari gurunya, mengambil dari
kitab Omei-san yang terjatub ke dalam tangan Lo. Tniantung Cun Gi Tosu, yaitu kitab Soanhong-kiam-coan-si (Kitab
Ilmu Pe dang Angin Puyuh). Pedang ini sekarang diganti
dengan huncwe dan diputar sampai mengeluarkan angin
dingin. Sebetul nya, sama-sama kitab dari Omei-san
kehebatan ilmu yang dimainkan oleh Cui Kong dengan Patsian jut-bun yang dimainkan Ce ng Ceng itu mempunyai
keistimewaan se ndiri-sendi ri. Namun karena Cui Kong
memangnya menang setingkat, tentu saja permainannya
juga lebih lihai dan Ceng Ce ng sebentar saja merasa pe ning.
Ia mencoba menangkis dengan pedangnya, akan tetapi
pedang itu tertempel huncwe dan ikut be rputaran dan
te rlepas dari pegangannya, berpindab ke tangan kiri Cui
Kong ! Dengan sikap manis budi dan merendah Cui Kong
memutar pedang itu dan memegang ujungnya. Gagangnya ia
angsurkan ke pada Ceng Ceng sambil berkata.
"Karena kurang hati-hati pedangmu terlepas, nona.
Terimalah kembal i dan maafkan aku, kiam-hoatmu benarbenar hebat sekali aku merasa kagum."
Ucapan ini dikeluarkan dengan sikap sungguh-sungguh
sehingga sama sekali Ceng Ceng tidak merasa diejek. Akan
tetapi, te tap s aja mukanya menjadi me rah sekali ketika ia
nerima kembali pedangnya dan me masukannya kedalam
sarung pedang. "Dalam ilmu pedang aku telah kalah, akan tetapi aku
masih hendak menecoba ilmu silat tangan kosong!" kata
Ceng Ceng. I a tahu bahwa sikapnya ini kete rlaluan. Sudah
je las bahwa ia kalah lihai, tantangannya ini benar-benar
28 bocengli (tidak pakai aturan). Akan tetapi gadis ini memang
ke ras ke pala dan pada saat itu ia memang ingin sekali tahu
apakah benar-benar pemuda tampan ini lebih lihai dari
padanya dalam sagala macam ilmu silat.
Cui Kong tersenyum. Gadis ini cantik jelita dan keras
hati, puteri Pak-thouw-tiauw-ong pula. Hemm, aku harus
dapat me nundukkannya. Jarang di dunia ini bisa
kudapatkan gadis sehebat ini.
"Baiklah, nona. Aku yang bodoh hanya menurut saja atas
segala kehendakmu, dan tentu saja aku girang mendapat
petunjuk-petunjuk dari puteri Pek-thouw-tiauw-ong yang
te rnama." "Lihat pukulan !" Ceng Ceng terus saja menyerang tanpa
mau membuang waktu lagi. Begitu me nyerang ia
mempergunakan ilmu silat ciptaan ayahnya, yaitu Pektiauw-kun-hwat (Ilmu Silat Rajawali Putih). Ayahnya
mencipta ilmu silat ini dari gerak-gerak pek-thouw-tiauw
(rajawali kepala putih) peliharaannya. Ketika dua ekor
rajawali itu pertama kali dipeliharanya dan masih liar, sering kali Lie Kong sengaja mengajaknya bertempur atau ia
menyuruh isterinya melayani mereka dan diam-diam ia
memperhatikan ge rak gerik mereka. Cara mereka mengelak,
menangkis dan menyerang. Dari "latihan" inilah pendekar
pantai timur ini akhirnya berhasil mencipta Pek-tiauw-kunhwat yang merupakan gabungan dari gerak gerak rajawali
dicampur gerak-gerak tipu ilmu silat tinggi yang sudah ia
pelajari semenjak kecil. Gerakan Ceng Ceng amat lincah. Kedua tangannya
bergerak-gerak, kadang-kadang mekar seperti sayap
rajawali, kadang-kadang menotok seperti paruh rajawali,
tubuhnya menyambar ke atas ke bawah, ke dua kakinya
kadang-kadang berjungkit, kadang-kadang merendah atau
meloncat loncat tinggi. Pendeknya amat indah dipandang
akan tetapi amat berbahaya dihadapi lawan.
29 "Bagus sekali ! Kau hebat, nona," berkali-kali Cui Kong
mengeluarkan suara pujian bukan hanya sekedar untuk
mengambil hati akan tetapi memang ia me rasa kagum
sekali. Sifat gadis yang lincah jenaka ini memang cocok
sekali dengan ilmu silat ini. Dan Cui Kong girang mendapat
kesempatan "main-main" dengan gadis seperti ini,
sungguhpun main-main ini dapat membahayakan
keselamatannya karena pukulan-pukulan gadis itu ternyata
bukan main-main. Tingkat kepandaian Cui Kong memang
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih menang setingkat, akan tetapi ia harus berlaku hatihati sekali kalau tidak mau terkena pukulan yang
berbahaya. Seratus jurus lewat dan belum juga Ce ng Ceng dapat
mendesak Cui Kong. Sebenarnya kalau Cui Kong mau, ia
tentu akan dapat robohkan lawannya ini dalam seratus
jurus, dia sudah banyak mempunyai ilmu pukulan yang
aneh-aneh dan beracun. Namun menghadapi Ceng Ceng ia
menjadi lemah, tidak tega me ncelakainya. Ia ingin me rebut
hati gadis ini tanpa kekerasan, melainkan dengan kehalusan
dan cinta kasih. Di lain pihak, Ceng Ceng makin lama makin kagum
terhadap pemuda ini. Belum pernah ia bertemu dengan
seorang pemuda demikian pandainya, kecuali Tiang Bu. Ia
sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja
tidak mampu ia mendesak. Pertahanan pemuda itu kuat
seperti baja se hingga semua serangannya membalik.
Cui Kong berpikir bahwa kalau dalam pertandingan
tangan kosong ini ia mengalahkin gadis itu, mungkin gadis
itu akan menjadi tersinggung hatinya dan berbalik
membencinya. Harus kuberi kesempatan kepadanya supaya
kali ini dia menang, pikirnya. Cepat ia menyerang akan
tetapi berbalik memberi kesempatan dan lowongan. Sebagai
seorang ahli silat ia tentu saja Ceng Ceng dapat mel ihat
lowongan ini dan tidak menyia-nyiakan kesempatan baik.
Tangan kirinya menyambar ke arah dada yang terbuka
30 dengan pukulan keras, akan tetapi segera kepalannya
dibuka dan hanya telapak tanganuya yang mendorong
sekuat tenaga. "Bukk !" Cui Kong terjengkaog dan berjungkir balik ke
belakang, Sedangkan Ceng Ceng me rasa tangannya
kesemutan dan kaku. Bukan main kagetnya dan diam-diam
ia menjadi makin kagum karena hal itu membuktikan bahwa
tenaga lweekang pemuda itu tinggi.
"Nona lihai sekali. Aku Cui Kong mengaku kalah," kata Cui Kong sambil mengebut-ngebutkan bajunya.
Akan tetapi Ceng Ceng bukan anak kecil. Kini ia maklum
bahwa pemuda itu sengaja mengalah dan merahlah
mukanya. Makin tertatarik hatinva, pemuda ini selain gagah
perkasa, juga berbudi manis dan pandai merendah. Di lain
fihak, Cui Kong hampir menari kegirangan karena ketika
merubah pukulan menjadi dorongan tadi. Ia dapat menduga
bahwa sedikitnya gadis itu mempunyai pandangan baik
te rhadap dirinya dan tidak mempunyai sikap bermusuh lagi
! "Ah, kau terlalu memuji. Sebetulnya akulah yang kalah
dan terus terang saja aku mengakui kelihaianmu, saudara....
saudara,...." "Cui Kong namaku, nona. Kau selalu merendah, nona
Lie. Sebetulnya saja kepandaian kita setingkat, mungkin aku
sodikit lebih kuat, ini tidak aneh karena kau seorang wanita, Akan tetapi, dibandingkan dengan ayahmu tentu aku kalah
jauh sekali. Sudahlah, tertang kepandaian memang tidak
ada batasnya, nona. Bolehkah aku bert anya, nona hendak
pergi kemanakah?" "Aku pergi merantau meluaskan pengalaman," jawab
Ceng Ceng s ingkat."
Wajah Cui Kong berseri. "Aah, tentu saja begitu. Puteri
seorang pendekar tentu ingin pula mengetahui bagaimana
keadaan dunia kang-ouw. Akupun mempunyai keinginan
31 seperti itu, nona. Hanya bedanya, kalau ayah bundamu
terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, adalah aku
seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini,
hanya mempunyai seorang ayah angkat. Akan tetapi ....."
Cui Kong menarik napas panjang, "Ayah angkat inipun
hanya menambah beban hidupku. Aku ...... aku terpaksa lari
dari rumahnya....." Mendengar ucapan terputus-putus dan tidak jelas ini,
hati Ceng Ceng tertarik. Kepribadian pemuda itu memang
telah menarik hatinya. ingin sekali ia mengetahui keadaan
pemuda ini. "Mengapa ...... " Mengapa kau....... lari?"
Diam-diam Cui Kong makin gembira. Jelas bahwa nona
ini menaruh perhatian kepada dirinya. Ia harus berlaku hatihati. Nona ini bukan nona sembarangan, melainkan puteri
dari Pek.thouw-tiauw-ong Lie Kong. Ia harus menggunakan
akal dan siasat untuk mendapatkan gadis yang benar-benar
yang benar-benar telah membetot semangatnya ini.
"Ahh, kepada orang lain biar mati aku takkan mau
menceritakan urusan keluargaku, nona. Akan te tapi
terhadapmu....... entah mengapa biarpun baru sekarang
bertemu, aku merasa ...... seakan-akan kita sudah menjadi
sahabat baik puluhan tahun lamanya......." Ia berhenti
sebentar untuk melihat bagaimana reaksi kata-katanya yang
berani ini, apakah gadis ini akan marah" Tidak, Ceng Ceng
malah menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Ia
menjadi makin berani dan melanjutkan kat a-katanya,
"Sebenarnya, ayah angkatku hendak memaksa aku untuk
menikah dengan seorang gadis kampungku. Maka aku .....
lari pergi !" Tanpa disengaja Ceng Ceng tertawa kecil mendengar ini.
Ia memandang muka pemuda itu dan bertanya jenaka sudah
timbul sifatnya yang jenaka dan lincah. `Mengapa lari" Apa
dia itu buruk rupa?"
32 "Tidak buruk, bahkan cantik menjadi kembang
kampungku. Akan tetapi, nona Lie yang baik, bukan seorang
gadis cantik yang lemah menjadi idam-idaman hatiku. Gadis
itu benar cantik, akan tetapi dia lemah dan bodoh. Kakinya
sebesar kepalan tangan ....."
"Eh. bukankah itu baik sekali" Kata orang kaki wanita
harus kecil, makin kecil makin baik." Diam-diam ia melirik
ke arah kakinya yang biarpun tidak besar dan mungiL
namun tidak bisa dibilang kecil seperti kaki wanita dusun
yang semenjak bayi dibungkus dan diikat.
"Mana bisa dibilang baik" Kaki kecil bengkok, jalannya
terpincang-pincang. Ah, tak sudi aku dekat wanita demikian.
lemah berpenyakitan. Idaman hatiku, kalau orang buruk
rupa dan bodoh semacam aku ini laku kawin, calon isteriku
harus seorang wanita yang gagah perkasa. Tak usah dibilang
lagi kalau gagahnya seperti engkau, nona, baru memiliki
kegagahan setengah kepandaianmu saja, aku s udah akan
merasa bahagia sekali. Kalau ......... andaikata....... dia itu seperti engkau baik rupa maupun kepandaian....... ah.
aku....... aku mau berlutut di depannya, nona!" Sambil
berkata demikian, Cui Kong betul betul menjatuhkan diri
berlutut di depan Ceng Ceng. Deikian pandainya Cui Kong
mengambil hati ! Ceng Ceng cepat membalikkan tubuh tidak
mau menerima penghormatan itu s ambil berkata, "Jangan
begitu! Tidak patut orang-orang muda seperti kita bicara
tertang perjodohan. "Itu urusan orang tua. Berdirilah agar
kita bisa bicara dengan baik." Diam-diam gadis ini me rasa
girang sekali hatinya. Sudah lama ia mengidamkaa seorang
calon suami yang tidak saja tampan dan halus budinya,
akan tetapi juga me miliki kepandaian yang melebihi
ke pandaiannya. Dan pemuda ini tidak saja sudah memenuhi
semua syarat, bahkan terang-terangan sudah me nyatakan
cinta kepadanya ! 33 "Kau tidak marah " Terima kasih, nona. Agaknya hari ini
Thian menuntunku ke jalan babagia." Cui Kong berdiri dan nona itu kembali menghadapinya.
"Seperti juga kau. aku dipaksa oleh ayah untuk menikah
dengan seorang pemuda yang tidak kusetujui. Aku tadinya
hendak dipaksa menjadi jodoh seorang pemuda bernama .....
Tiang Bu." Kalau Cui Kong tidak mempunyai ke pandaian menguasai
diri, tentu ia akan tersentak kaget mendengar disebutnya
nama ini. Hendak dijodohkan dengan Tiang Bu pemuda sakti
nu, Hatinya berdebar keras. Alangkab kebetulan. Kalau ia
bisa mendapatkan gadis ini , tidak saja hatinya akan puas
karena memang ia tartarik dan cinta kepada Ceng Ceng,
Akan tetapi juga sekaligus itu merupakan pukulan terhadap
Tiang Bu, merupakan sebagian dari pada balas dendam
kepada pemuda yang dibencinya itu.
"Mengapa kau tidak setuiu, nona " Apakah Tiang Bu itu
seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian silat?" ia
pura.pura bertanya. Ceng Ceng tersenyum. "Tentang kepandaian silat aku
sama sekali tidak dapat menang melawan dia, mungkin kau
dapat mengalahkannya. He mm, aku ingin sekali melihat kan
dan dia bertempur." Diam-diam Cui Kong mengeluh di dalam hatinya. Kalau
saja Ceng Ceng tahu betapa Tiang Bu sudah membikin
kocar.kacir Ui-tiok-lim ! Dikeroyok tujuh saja masih tidak
kalah, bagaimana Cui Kong harus menghadapi Tiang Bu
seorang diri" memikirkan hal ini saja bulu te ngkuknya
sudah berdiri saking ngerinya.
"Ah, kalau begitu dia seorang yang berkepandaian tingi"
Mengapa kau menolaknya. nona?" tanyanya
menyimpangkan pembicaraan tentang kepandaian silat.
Kemudian disambungnya cepat agar dianggap sopan. "Ah,
34 maaf beribu maaf, sebetulnya tidak patut aku be rlancang
mulut. Malutku patut digampar!"
Cenga Ceng yang tadinya hendak marah menjadi
tersenyum, "Apakah kepandaian tinggi saja cukup menjadi
syarat perjodohan" Kalau hati tidak suka, siapa bisa
memaksaku?" Cui Kong bertepuk tangan, wajahnya berseri. "Bagus!
Barus! Memang menjadi orang muda barus demikian. Aku
girang sekali bahwa ternyata pendirianku ada yang
menyamai, keadaanku dan keadaanmu cocok sekali, nona."
Kembali Ceng Ceng menjadi merah mukanya, akan tetapi
dia memang bukan gadis pemalu. Ditatapnya wajah pemuda
itu penuh selidik, lalu bertanya.
"Kau telah mempe rkenalkan nama, akan tetapi siapa she
( nama keturunan ) mu " Dan kemana kau hendak pergi ?"
"Aku she Kwe dan seperti juga kau, aku pergi merantau
menjauhkan diri dari paksaan ayah angkatku." Kemudian ia berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Nona Lie Ceng,
aku Kwee Cui Kong biasa bicara jujur dan terbuka, sesuai
dengan sikap orang gagah yang tidak suka me nyimpan
perasaan sendiri sebagai rahasia. Terus terang nona. Begitu
bertemu dengan nona, apa lagi setelah mengadu
kepandaian, aku meras a cocok sekali denganmu, dan.......
apa bila nona setuju".. maafkan kelancanganku karena aku
suka berterus terang menyatakan isi hatiku, apabila nona
setuju, aku ingin ikut nona menemui orang tua nona
untuk........ untuk mengajukan pinangan atas diri nona."
Dapat dibayangkan betapa likat dan malu rasa hati Ceng
Ceng se bagai seorang dara mendengar kata-kata yang terus
terang seperti ini. Akan tetapi diam-diam ia memuji
keberanian pemuda ini dan sama sekali ia tidak bisa marah
karena memang pemuda ini tidak bisa dibilang kurang ajar.
Bahkan ucapan itu membuktikan betapa jujur dan gagah
sikapnya ! Memang Ceng Ceng hanya pandai ilmu silat akan
35 tetapi pengalamannya masih hijau sekali. Tentu saja
menghadapi seorang "buaya " seperti Cui Kong, ia terpikat !
Sampai lama Cang Ceng tidak bisa bi cara, akhirnya
sambil menundukkan muka i a berkata, "Urusan jodoh
urusan orang tua, bagaimana jika kau hendak bertemu
sendiri dengan ayah bundaku ?"
Sudah menang setengah bagian, pikir Cui Kong! Terang
gadis ini setuju, kalau tidak masa bertanya demikian, tentu
marah. Kalau gadis ini marah dan me nolaknya, tentu Cui
Kong hendak menggunakan kekerasan menculiknya, akan
tetapi ia lebih senang mengambil jalan halus karena memang
kali ini ia bersungguh-sungguh, begitu berjumpa dengan
Ceng Ceng ia tertatik sekali. Apa lagi kalau diingat bahwa
dara ini puteri Pek-tbouw-tiauw-ong, dia harus berhati-hati.
"Ucapanmu itu memang tepat sekali, nona, dan akupun
tentu akan mematuhi peraturan dan kesopanan. Akan tetapi
apa mau dikata, seperti tadi telah kuceritakan, aku adalah
seorang anak yatim piatu, tiada ayah bunda lagi........"
Sampai di sini dengan pandai sekali sepasang mata Cui
Kong menjadi basah oleh air mata ! "Ayah angkatku
memaksaku menikah dengan seorang gadis kampungku
puteri seorang hartawan, kalau kuceritakan kepadanya
tentang niatku ini sudah past i ia akan marah-marah dan
menolak. Oleh karena itu, lebih baik aku datang sendiri
kepada ayah bundamu dan menyatakan bahwa di dunia ini
tidak ada lagi waliku sehingga terpaksa aku mengajukan
pinangan sendiri. Nona Lie yang mulia. sudikah kau
menyetujui permohonanku ini ?"
Ceng Ceng menjadi terharu. Hatinya sudah jatuh betulbetul. akan tetapi sebagai seorang gadis terhormat,
bagaimana dia bisa menjawabnya ? Tiba-tiba kudanya
meringkik dan menggaruk-garuk tanah dengan kaki depan.
Kuda itu sudah tidak sabar dan minta diberi kesempatan
lari. 36 "Aku memang hendak manyusul ayah di kota Kiu-kiang.
Kalau kau hendak mencari kami, datang saja di Telaga Poyang, di sana ayah mempunyai perahu besar tempat kami
pelesir. Nah, aku pergi dulu !" Dengan gerak ringan sekali
Ceng Ceng melompat ke atas punggung kudanya. Sekali
menarik kendali kuda itu meringkik dan melompat jauh
terus berlari ce pat. "Nona, bagaimana aku tahu yang mana perahu ayahmu?"
Cui Kong berteriak keras.
"Carl saja burung pek-thouw-tiauw, tentu ketemu!" jawab
Ceng Ceng sambil menoleh dan melambaikan tangannya.
Ke mudian kuda itu membalap cepat, sebentar saja lenyap di
sebuah tikungan jalan. Cui Kong berdiri be ngong, meras a
hatinya dan semangatnya terbawa lari oleh kuda itu.
Akhirnya ia menghela napas panjung dan berkata heran,
"Cui Kong ......Cui Kong....... mengapa hatimu seaneh ini"
Hemm, banyak sekali wani ta cantik, akan tetapi tak
seorangpun dapat menandingi Ceng Ceng. Dia itulah calon
isteriku ! Aku harus mendapatkan dia !" Kemudian iapun lari
cepat menuju ke Kiu-kiang.
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-oo(mch)oo- Telaga Poyang adalah sebuah telaga besar di Propinsi
Kiang-si. telaga yang indah dan juga ramai. Telaga ini
menjadi pusat ke ramaian dan tempat orang berpelesir,
terutama sekali oleh karena letaknya di dekat kota-kota
besar seperti Nan ciang dan lain-lain. Para saudagar tidak
ada yang tidak melewatkan waktu untuk mengunjungi telaga
ini apa bila maraka kebetulan lewat di daerah ini, juga para
pembesar setempat selalu menghibur hati di telaga dengan
perahu-perahu mereka yang se rba mewah dan indah. Telaga
ini menjadi pusat para se niman di mana mereka menvari
ilham di tempat sunyi indah ini untuk menghasiIkan karyakarya besar. Hanya rakyat kecil, kaum petani dan nelayan
yang agaknya tidak menaruh perhatian atas segala
37 keindahan alam ini, pandangan mata mereka jauh sekali
bedanya dengan orang-orang kota itu.
Mengapa demikian " Ole h karena rakyat kecil yang
selamanya tinggal di dusun-dusun ini sudah biasa dengan
segala keindahan alam semenjak mereka ke cil. Mere ka te lah
menjadi satu dengan keindahan tamasya alam se hingga para
pe lukis dan penyajak tidak pernah lupa menyebut mereka
ini dalam lukisan atau sajak mereka. Memang sagala
keindahan itu akan kehilangan rasanya apabila telah
dimiliki. Di antara puluhan buah perahu indah millik para
pembes ar dan saudagar, terdapat se buah perahu cat putih
yang sedang saja besarnya. Akan tetapi tentu saja sudah
termasuk besar dan mewah apa bila dibandingkan dengan
perahu-perahu butut milik para se niman dan nelayan yang
banyak be rkeliaran di permukaan telaga. Perahu bercat
putih ini sudah tiga bulan berada di situ, dimiliki oleh
sepasang suami isteri pendekar yang amat ternama, yaitu
Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya Souw Cui Eng.
Bagi orang-orang yang sudah biasa merantau di dunia
kangouw, melihat dua ekor burung pak-thouw-tiauw yang
sering kali hinggap di atas pe rahu atau terbang berputaran
di atasnya, tentu akan mengenal siapa pemilik perahu itu.
Pada suatu pagi, ketika matahari mulal memancarkan
sinarnya di permukaan telaga suami isteri pendekar ini
sudah kelihatan duduk di atas dek perahu mereka. Sudah
jadi kebiasaan mereka untuk "mandi cahaya matahari" di waktu pagi yang me rupakan sebagian dari pada latihan
mereka sehingga tubuh selalu sehat dan awet muda. Inilah
saatnya mereka be rcakap cakap dengan asyik, si isteri
melayani suami minum teh hangat dan sekedar santapan
pagi. "Heran mengapa Ceng Ce ng masih juga belum kembali "
Apa dia lupa bahwa dalam bulan ini kita akan meninggalkan
38 Po-yang ?" terdengar Lie Kong berkata sambi l menghirup teh
panasnya. "Anak ini kalau sudah bertamasya lupa waktu." jawab Souw Cui Eng. "Akan tetapi pada saatnya ia tentu akan
datang. Biarpun suka pelesir, Ceng Ceng selalu ingat akan
pesan ki ta. Kurasa sebelum lewat bulan ini tentu ia akan
pulang." Lie Kong menarik napas panjang, "Tabun ini Ceng Ceng
sudah berusia delapan belas lebih, dan kita belum
mendapatkan calon jodohnya......."
Isterinya juga menarik napas panjang. "Anak itu agak
bandel. Akupun sudah setuju sekali kalau dia menjadi isteri
Tiang Bu pemuda yang sakti itu. Akan tetapi, aahhh,
memang Ceng Ceng amat bandel".."
"Tunggu saja sampai kita bertemu dengan keluarga di
Kim-bun-to, tentu hal perjodohan ini akan kujadikan," kata
Lie Kong, Tiba-tiba terdengar pekik nyaring. Suami isteri itu
menoleh ke darat se belah timur s ambil mengerutkan kening.
Sekali lagi pekik terde ngar dan tak lama kemudian seekor
buruag rajawali berkepala putih datang beterbangan di alas
perahu, berputar-putar sambil cecowetan.
"Hemm, betinanya ke mana?" tanya Lie Kong sambil
memandang burungnya itu. "Celaka, tentu terkena be ncana. Hayo kita lihat !" kata
isterinya yang amat sayang kepada separang burungnya.
Suami isteri ini cepat minggirkan pe rahu, diikuti oleh pokthouw-tiauw dari atas. Dengan sigap mereka me lompat ke
darat meninggalkan perahu lalu berlari mengikuti burung
mereka yang menjadi penunjuk jalan.
Burung itu terbang terus ke sebuah hutan keci l di
sebelah timur telaga. Setelah memaauki hutan, mereka
meli hat enam orang laki-laki aneh yang berdiri saling
39 berhadapan. Lie Kong dan isterinya berdiri bengong seperti
patung! Apa yang mereka lihat memang luar biasa ane hnya.
Tiga di antara enam orang itu pernah mereka lihat, yaitu
bukan lain adalah Pak-ke k Sam-kui (Tiga Iblis Kutub Utara)
yang bernama Giam lo-ong Ci Kui, Liok-to Mo-ko Ang Bouw,
dan Sin sai-kong Ang Louw.
Akan tetapi, tiga orang ini sekarang berdiri berhadapan
dengan tiga orang Pak kek Sam-kui pula! Tegasnya pada
saat itu terdapat dua orang Ci Kui, dua orang Ang Bouw,
dan dua orang Ang Louw. tiga pasang manusia kembar yang
sukar sekali dibedakan mana aseli mana palsu! Hanya
bentuk pakaian mereka yang agak berbeda, selebihnya
mereka serupa benar. Saking heran dan terkejut
menyaksikan pemandangan ganjil ini, Lie Kong dan isterinya
sampai tak dapat mengeluarkan suara. Burung pek-thouwtiauw betina sedang dipe gang sayapnya oleh seorarg Ci Kui
dan burung itu sama sekall tak dapat berkutik. Memegang
burung besar yang amat kuat seperti itu menunjukkan
keahlian sipemegangnyaa. "Ha, pemilik pek thouw tiauw sudah datang kau masih
juga belum melepaskannya!" kata Ci Kui kedua kepada Ci
Kui pert ama. Ci Kui yang memegang burung mengeluarkan
ketawa sambil memandang kepada Lie Kong, agaknya ia
jerih dan sekali menggerakkan tangan, burung pek thouw
tiauw betina itu sudah terbang tinggi mengeluarkan pekik
marah. Ci Kui kedua yang menyuruh Ci Kui pertama tadi lalu
menjura kepada Lie Kong. "Si-cu harap sudi memaafkan
kami. tiga orang adik kakak ini membuat kesalahan
terhadadap sicu, kami yang mintakan maaf. Sekarang kami
enam orang kakak beradik masih mempunyai urusan
panting sekali, harap sicu mengalah dan mundur."
Lie Kong cepat -cepat mengerahkan tenaganya ketika dari
sepasang kepalan itu menyambar angin yang amat kuatnya.
Ia membari penghormatan itu dengan merangkap kedua
40 tangan ke dada dan digerakkan ke depan. Dua tenaga
dahsyat saling berte mu dan Lie Kong tergeser sedikit kaki
kirinya, tanda bahwa orang tinggi kurus itu benar-benar
lihai sekal i. Hal ini mengejutkan hati Lie Kong. Ia tahu
bahwa tiga orang Pak kek Sam kui lihai, akan tetapi tidak
mungkin seorang saja dari mereka dapat me nandinginya.
Akan tetapi karena orang bicara dengan cengli (menurut
aturan), iapun tidak mau banyak cakap. Burungnya tidak
terganggu, mengapa ia harus banyak ribut" Ia mengangguk
kepada isterinya, lalu mengundurkan diri.
Akan tetapi oleh karena hutan itu tempat umum, ia
berani dengan isterinya duduk di bawah pohon agak jauh
dari situ untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi
antara tiga pasang manusia kembar yang aneh-aneh se perti
siluman itu. Dua pasang Pak-kek Sam kui selanjutnya tidak
memperdulikan lagi akan hadirnya Lie Kong dan isterinya
dan mereka saling be rhadapan, sikapPak-kek Sam kui
pertama menantang dan Pak-kek Sam -kui kedua sikapnya
tenang, sabar membujuk. "Bagaimana, apakah kalian masi h berkeras kepala tidak
mau ikut kami pulang ke utara?" terdengar Ci Kui kedua
be rtanya. Ci Kui pertama menjawab, "Tidak! Kami bebas
melakukan apa saja yang kami sukai dan kalian tak perlu
mencampuri urusan kami!" Agaknya se perti juga Ci Kui
ke dua, yang pertama inipun mewakili kawan-kawannya.
"Hemmm, kalian ini benar-benar tak tahu diri. K ami
sebagai saudara-s audara tua masih bersikap sabar sekali.
Kalian patut dilenyapkan dari muka bumi. Kalian se cara tak
tahu malu sekali me ncemarkan nama saudara tua,
membantu manusia manusia jahat dan pengkhianat
semacam Liok Koug Ji dan Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Di
mana sifat kegagahanmu" Raja besar kami sedang sibuk
memukul ke barat , kalian anak-enak hedak mengikuti Liok
41 Kong Ji yang bersembunyi di Pulau Pe k-houw-to (Pulau
Harimau Putih) di laut selatan. Sudah banyak kejahatan
kalian lakukan sebagai kaki tangan Liok Kong Ji sudah
banyak kalian membuat permusuhan dengan orang-orang
gagah di dunia selatan. Dari pada kelak kalian mampus di
tangan orang-orang gagah, lebih baik sekarang kalian roboh
oleb tangan kami sendiri .
(Bersambung jilid ke XXI)
42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XXI MENDENGAR ini, Pak-kek Sam-kui pertama menggereng
marah dan mereka mulai menyerang. Ci Kui pertama
menyerang kakaknya, demikian pula Ang Bouw dan Ang
Louw. Pertempuran hebat terjadi, pertempuran aneh antara
orang-orang kembar yang aneh !
Memang membingungkan sekali melihat pertempuran
antara orang-orang ganjil itu. Sabenarnya, tiga orang yang
biasa disebut Pak-kek sam-kui yaitu yang sekarang menjadi
Pak-kek Sam-kui pertama, adalah adik-adik kembar dari Pak
kek Sam kui ke dua. Mereka adalah tiga pasang orang
kembar dari daerah Mongol yang semenjak ke cil menjadi
sahabat. Kemudian setelah mereka dewasa, mereka te rpisah,
merupakan dua kolompok. Yang tua melanjutkan ilmu
mereka, menyembunyikan diri di gunung sedangkan yang
muda. yaitu Pak-kek Sam-kui yang sudah banyak dikenal,
membantu perjuangan Temu Cin atau Jengis Khan. Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Pak-kek Sam-kui ini
terpikat oleh Li Kong Ji dan menjadi kaki tangannya.
1 Ketika saudara saudara tua mereka mendengar akan
penyelewengan adik-adiknya ini mereka turun gunung,
membantu Jengis Khan kemudian mereka menuju ke
selatan untuk mencari adik-adik mereka yang mengikuti Li
Kong Ji. Tidak mengherankan apabila kepandaian mereka
lebih tinggi dari pada Pak kek Sam-kui yang sudah dikenal
Lie Kong. Sekarang dapat menduga pula akan hal itu setelah
mendengar percakapan tadi. Yang menggirangkan hatinya
adalah berita tentang tempat tinggal Liok Kong Ji, akan
tetapi berbareng juga membuatnya tidak mengerti. Ia sedang
berusaha mencari Ui tiok lim tempat tinggal Liok Kong Ji
untuk mencari kembali kitab Ome i-san yang dirampas oleh
dua orang gadis Ui -tiok-lim dari tangan Ceng Ceng. Mengapa
sekarang Liok Kong Ji sudah ke Pek-houw-to"
Ketika ia memandang ke arah pertempuran, mudah saja
ia menduga bahwa tak lama lagi Pak kek Sam-kui yang
muda akan kalah. Pertempuran itu memang hebat,
dilakukan dengan tangan kosong saja akan tetapi angin
pukulan mereka membuat batang pohon bergoyang-goyang
dan daun-daun rontok semua seperti ada enam ekor gajah
mengamuk. Betul saja dugaannya, hampir berbareng tiga orang Pakkek Sam-kui yang muda terpukul roboh dan pingsan.
Masing-masing mengangkat adik sendiri, memanggulnya dan
tanpa menole h lalu lari pergi dari situ.
"Sam-bengcu, tunggu!" teriak Lie Kong sambil melompat
mengejar. "Hendak kutanya sedikit, bukankah Liok Kong Ji berada di Ui tiok-lim " Mengapa sam-wi tadi mengatakan dia
sudah pindah ke Pek-houw to ?"
Si jangkung gundul yang memanggul tubuh Ci Kui
menengok dan berkata, "Kami juga tadinya menyusul ke Uitiok-lim, ternyata di sana sudah rusak, dihancurkan oleh
seorang pemuda perkasa bernama Tiang Bu. Sekarang Liok
Kong Ji dan Cun Gi Tosu berada di Pek-houw-to, kedudukan
2 mereka lebih kuat lagi !" Setelah berkata de mikian, bersama kawan-kawannya ia lari cepat sekali, sebentar saja sudah
lenyap dari situ. Lie Kong menarik napas panjang dan berkata kepada
isterinya, "Benar benar banyak sekali orang pandai di dunia ini. Baiknya tiga orang saudara tua Pak-kek Sam kui itu
tergolong orang orang baik, kalau mereka jahat seperti adikadiknya, entag siapa yang dapat menghadapi mereka.
Sekarang kita sudah tahu bahwa Liok Kong Ji berada di Pek
houw to, tentu kitab Pat-sian-jut -bun juga ia bawa ke sana.
Kita menanti kembalinya Ceng Ceng, kemudian kita harus
mengejar ke Pek-houw to."
Suami isteri ini lalu kembali ke perahu mere ka di Telaga
Po-yang. Alangkah kaget dan girang hati mereka me lihat
Ceng Ceng sudah tiba di situ, kudanya ditambatkan di
pinggir telaga dan gadis itu sendiri duduk melamun di atas
dek perahu. "Ceng Ceng....... !" ibunya berseru girang.
"Ayah ....... ! Ibu....... !" seru gadis itu, sadar dari lamunannya.
Setelah bertemu dengan ayah bundanya, Ceng Ceng
mendapatkan kembali kelincahannya dan sebentar saja ia
sudah s ibuk manceritakan pengalaman perjalanannya
kepada ayah bundanya. Diceritakannya keindahan alam
yang dilihatnya di Tapie-san, tentang para petani dan
tentang bagaimana ia me mbantu anak pe tani menangkap
burung. Akhirnya ia berkata tentang Cui Kong setelah bicara
tentang hal yang sepele-sepele, "Ayah, Aku bertemu dengan seorang pemuda dan aku....... aku kalah bertanding ilmu
silat olehnya."
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa kau bertempur dengan orang ?" kontan
ayahnya menegur. "Dia mengalahkanmu! Waah, tentu dia lihai sekali". Siapa
pemuda itu " Agaknya kau kagum padanya," komentar
3 Ibunya. Memang wanita lebih tajam perasaannya dalam hal
ini. Ceng Ceng sekaligus me njawab pertanyaan ayah dan
ibunya, "Aku salah kira, tadinya ia kusangka pencuri
kudaku, tidak tahunya dia malah yang merampas kembali
kudaku dari tangan pe ncuri. Dengan singkat dia
menceri takan pengalamannya tentang kuda yang dicuri
orang pada malam hari, lalu tentang pertemuannya dengan
Cui Kong. "Kami bertempur, mula-mula dengan senjata lalu
bertangan kosong. Akan tetapi dua kali aku kalah. Dia she
Kwee seorang yatim piatu. ....."
"Eh. eh. alangkah tak patutnya kau sampai berkenalan
dengan orang asing !" tegur Lie Kong.
"Habis dia memperkenalkan diri, masa aku harus
menutupi kedua telingaku," bantah Ceng Ceng manja. "Dia
...... dia bilang mau datang ke sini...... mau berjumpa dengan ayah ibu....." Sampai di sini muka gadis itu menjadi merah
sekali dan ia berlari memas uki kamarnya sambil berkata,
"Ayah, aku lelah sekali hendak me ngaso."
Lie Kong saling pandang dengan isterinya, lalu keduanya
mengangguk-angguk maklum. "Bagaimanapun juga, kita
harus berlaku hati-hali dalam me milih calon jodohnya," kata Lie Kong dan untuk ini isterinya setuju.
Pada keesokan harinya, Cui Kong sudah tiba di tepi
Telaga Po-yang karena ia telah me lakukan perjalanan cepat
sekali. Banyak terdapat perahu-perahu besar di telaga yang
luas itu. Akan tetapi tidak sukar untuk mencari perahu yang
dimaksudkan oleh Ceng Ceng. Dari tepi pantai ia sudah
melihat dua ekor burung, yang seekor hinggap di at ap
perahu, yang seekor lagi beterbangan di atap perahu,
berputaran. Burung-burung yang indah dan besar.
Berdebar hati Cui Kong. Ia sudah mendengar nama besar
Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, yang berilmu tinggi, juga
4 kabarnya Lie adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Ia
tahu pula bahwa ayahnya tidak cocok dengan suami isteri
pendekar ini dan bahwa dahulu ketika beramai-ramai
menyerbu ke Omei-san suami isteri inipun mendapatkan
sebuah kitab yang akhirnya terjatuh ke tangan ayah
angkatnya. Ia harus berlaku hati-hati dan pandai beraksi.
Disewanya sebuah perahu kecil dan didayungnya perahu
itu ke tengah telaga, mehampiri perahu cat puti h yang
kelihatannya tidak ada penghuninya. Akan tetapi setelah
perahu kecilnya mendekati perahu besar cat putih itu, tibatiba terdengar suara bersuit dan burung pek thouw tiauw
yang yadinya enak enak melengut di atas atap perahu
mengulur kepala dan memandang ke arah perahu kecil
kemudian ia terbang menyambar menyerang Cui Kong
dengan ganasnya! Cui Kong adalah seorang ce rdik. ia dapat menduga
bahwa perbuatan burung ini tentu ada yang mengaturnya.
Kalau burung itu memang liar dan menyerang semua orang
asing, sudah tentu telaga itu takkan aman. Setiap orang
tentu akan diserang burung ini dan sebentar saja telaga itu
akan kosong ditinggal pergi para pengunjung. Jadi jelas
bahwa burung ini tentu ada yang meme rintah maka
menyerangnya. Dan justeru dia yang diserang! P asti orang
yang menyuruhnya itu hendak nenguji sepandaiannya. Dia
tadi sudah mendengar suitan nyaring sebagai tanda, Ce ng
Cengkah gerangan yang menyuruh burung itu
menyerangnya " Tak mungkin.
Gadis itu "ada hati" kepadanya, tak mungkin hendak
mencelakainya dan untuk coba-coba, gedis itu sudah cukup
tahu akan kepandaiannya. Tak bisa salah lagi, pikirnya,
tentu pemilik burung itu, Pek-thouw-tiauw-ong sendiri atau
isterinya yang menyuruh burung rajawali ini menyerangnya.
Dan ini-pun tidak mungkin kalau tidak ada sebabnya. Pekthouw.tiauw-ong dan isterinya belum mengenalnya,
mengapa turun tangen " Jawaban satu satunya, cukup
5 mudah, tentu Ceng Ceng sudah menceritakan hal dirinya
kepada ayah bundanya dan sekarang be gitu tiba ia diuji oleh
ayah gadis itu yang ingin melihat sendiri sampai di mana
ke lihaian pemuda yang dibicarakan oleh anaknya !
Cui Kong memikirkan ini semua sambil mengelak. Sedikit
saja miringkan tubuh patukan dan cakaran burung itu
mengenai tempat kosong. Lewatnya tubuh burung besar itu
membawa angin yang cukup santer, membuat ikat kepala
Cui Kong berkibar-kibar. Memang dugaan Cui Kong tepat sekali. Da balik dinding
balik perahu, Lie Kong, isterinya dan Ceng Ceng mengintai
ke luar dan tad Lie Kong yang memberi aba-aba kepada
burung rajawalinya untuk "mencoba" kepandaia pemuda
yang ditunjuk oleh puterinya. Melihat betapa mudahnya Cui
Kong menghindarkan sambaran burungnya, kembali Lie
Kong bersuit lebih keras. Sekarang tidak saja burung betina
yang tadi menyerang pula, bahkan burung jantan yang
beterbangan di atas ikut pula menyambar dan mengepung
Cui Kong. Cui Kong terkejut. Ia maklum bahwa burung itu kuat
bukan main dan sekali kena disamhar, buarpun ia depat
mengebalkan diri dan tidak terluka, akan tetapi ada
bahayanya, ia akan terlempar dari perahu dan jatuh ke
dalam air telagu ! Tentu saja dengan pukulan tin-san-kang
ia dapat memukul mampus dua burung itu, akan tetapi
inipun tidak baik. Kalau ia membikin mati burung-burung
kesayangan orang tua Ceng Ceng. bukankah berarti ia akan
mengecewakan dan membikin marah Pek.thouw tiauw ong
Lie Kong" Kalau terjadi demikian, mana ada harapan
baginya untuk meminang gadis itu "
Pada saat yang kritis ini, Cui Kong mendapt pikiran baik.
Perahu itu adalah perahu nelayan dan di pojok perahu
terdapat sebuah jala ikao. Cepat ia menyambar jala itu dan
begitu dua ekor burung menyambar dekat, ia menggetakkan
jala ikan ke atas memapaki. Jala itu milik seorang nelayan
6 miskin, sudah robes-robek dan butut. Alan tetapi di dalam
tangan Cui Kong yang memiliki lweekang tinggi, jala itu
rupakan senjata hebat. Sekali lempar saja ia telah berhasil
menangkap dua ekor burung itu ia dalam jala. Cepat ia
memutar-mutar jala itu sehingga tubuh dan kaki dua pekthouw-tiauw itu tergubat sama sekali. Dua ekor burung itu
meronta kuat, namun Cui Kong lebih kuat lagi. Dengan
tenang Cui Kong lalu mengge njot tubuhnya dan melompat ke
atas dek, jala terbuka dan dua ekor burung tadi terbang
tinggi sambil berteriak- teriak ketakutan ! Lie Kong dan isterinya kagum sekali. Kini mereka percaya bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ceng Ceng. Cara yang dipergunakan untuk menghadapi dua e kor burung pek thouw-tiauw tadi saja sekaligus telah
membuktikan adanya kecerdikan, kegesitan dan
tenaga lweekang yang mengagumkan. Muncullah Lie Kong den Souw Cui Eng dari dalam bilik perahu, diikuti oleh Ceng Ceng yang menundukkan muka kemalu-maluan dan mengerling
dengan ekor matanya ke arah Cui Kong.
Pemuda itu cepat -cepat menjatuhkan berlutut di depan
Pek thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya sambil berkata,
"Mohon locianpwe yang budiman sudi memaafkan boanpwe
7 yang berlaku lancang. Tanpa diundang boanpwe Kwee Cui
Kong berani lancang naik ke perabu locianpwe, tidak lain
oleh karena di tengah jalan boanpwe mendapat kehormatan
bertemu dengan puteri locianpwe yang terhormat. Boanpwe
sudah berjanji hendak datang ke sini menghadap locianpwe
berdua." Sow Cui Eng berseri girang mel ihat sikap yang amat
sopan santun dan merendah dari pemuda ini. Benar-benar
seorang pemuda yang pandai membawa diri, tepat sekali
menjadi mantuku, pikirnya. Akan telapi Lie Kong
mengerutkan alisnya. Hatinya tak senang melihat sikap
berlebih-lebihan dan agak menjilat dari pemuda ini. Bukan
sikap seorang gagah, piki rnya. Akan tetapi oleh karena orang sudah berlutut, tidak baik kalau tidak disambut. Ia lalu
membungkuk dan berkata. "Orang muda, jangan terlalu
sungkan, bangunlah." Dipegangnya kedua pundak Cui Kong
untuk ditarik baneun tambil dikerahkan sedikit tenaganya.
Merasa betapa dua tangan itu mengenai pundaknya
seperti bukit karang menindihnya, Cui Kong cepat -cepat
mengerahkan lweekangnya menahan sehingga Lie Kong
memegang pundak yang lunak seperti tidak bertulang. Pekthouw- tiauw-ong mengangpuk-angguk. Diam-diam ia agak
terkejut karena dari sentuhan ini ia dapat menaksir babwa
tenaga lweekang pemuda ini sudah hampir mengimbanginya.
"Bangunlah, aku sudab tahu akan kepandaianma yang
tinggi." Setelah Cui Kong bangkit berdiri, kembali Lie Kong
mengerutkan keningnya. Sepasang mata pemuda ini benarbenar tidak me nyenagkan perasaan batinya. Mata yang
tajam liar, mengsndung sesuatu yang mangerikan seperti
bukan mata manusia. Mata Ibl is! Sabaliknya, Souw Cui Eng
memandang kagum kepada pemuda ini. Dia juga tahu
betapa suaminya telah mencoba tenaga pemuda yang
agaknya menjadi pilihan hati puterinya.
8 "Sekarang katakan apa kehendakmu mengunjungi kami,"
tanya Lie Kong, suaranya dingin dan tenang. Hati Cui Kong
berdebar. Suara ini nadanya tidak memberi banyak harapan,
akan tetapi ia dapat menenteramkan hatinya, menarik napas
panjang lalu berkata, "Maafkan, boanseng yang berani mati menghadap
locianpwe mengandung maksud hati. Bososeng sudah
bertemu dengan puteri locianpwe, tak disengaja mencoba
kepandaian dan boanseng menganggap di dunia ini tidak
ada gadis yang lebih sampurna dari pada puteri loeianpwe.
Oleh karena itu, melupakan kerendahan diri sendiri,
bounseng datang untuk mohon tangan puteri locianpwe.......
" "Hemm, orang muda berani mati! Mana ada aturan orang
meminang sendiri?" bentak Lie Kong.
"Boanpwe seorang yatim piatu, hidup sebatangkara di
atas.dunia tiada sanak kadang. siapa yang sudi menjadi wali
boanpwe?" "Menilik gerakanmu tadi, kau seorang ahli waris
kepandaian dari utara, siapa -gurumu dan mengapa gurumu
tidak mewakilimu mengajukan pinangan?"
Cui Kong terkejut. Alangkah tajam pe mandangan
pendekar ini. Ketika ia mainkan dua ekor pek thouw tiauw
tadi, ternyata pe ndekar ini sudah dapat melihat nya bahwa ia mewarisi ilmu silat utara.
"Memang sesungguhnya boanpwe adalah murid seorang
tosu perantau di perbatasan utara dan sekarang suhu telah
meninggal dunia. Oleh karena tidak mempunyai wali lain,
terpnaksa boanpwe memberanikan diri menghadap
locianpwe," jawabnya sedih sekali. Ia dapat mengatur
suaranya demikian berduka sehingga Ceng Ceng dan ibunya
merasa terharu. Akan tetapi Lie Kong memandang tajam penuh selidik ke
arah pemuda di depannya itu, kemudian ia berkata,
9 suaranya tetap tenang akan tetapi dingin dan berpengaruh,
"Orang muda, tidak gampang mendapatkan tangan puteri
tunggal kami secara begitu saja. Kepandaianmu memang
memenuhi syarat, cukup tinggi. Akan tetapi kepandaian
tidak akan ada artinya kalau orang tidak dapat
mempergunakannya untuk maksud baik. Sekarang
dangarlah syarat kami. Kami telah kehilangan sebuah kitab
pelajaran ilmu Silat Pat-s iat -jut bun. Kitab itu dicuri oleh dua orang perempuan jahat dari Ui-tiok-lim, sarang pe njahat
iblis Liok Kong Ji. Kalau kau bisa merampas kembali kitab
itu dan membe rikannya kepada kami, nah, permintaanmu
akan dapat kami pertimbangkan."
Mendengar ini, berseri wajah Cui Kong. Kalau hanya itu
syaratnya, apa sih sukarnya" Kitab pe lajaran Pat sian-jutbun telah berada di tangan ayahnya, dan bukan hal yang
sukar baginya untuk mencurinya,
"Baiklah, locianpwe. Boanpwe sanggup dan paling lama
dalam waktu satu bulan kitab itu pasti akan boanpwe
haturkan di depan locianpwe. Selamat tinggal, boanpwe
be rmohon diri." Setelah berkata demikian, Cui Kong
memberi hormat kepada Lie Kong suami isteri, mengerling
diiringi se nyum manis kepada Ceng Ceng, kemudian dengan
sigapnya ia meloncat ke atas perahu kecilnya yang masih
tarapung-apung tak jauh dari situ. Ini saja sudah
membuktikan kelihaiannya. Perahu kecilnya terpisah empat
tombak lebih dan meloncat ke atas perahu kecil ringan yang
bergoyang-goyang. Itu merupakan kepandaian ginkang yang
tinggi. Karena terlampau girang mendengar syarat yang amat
mudah baginya itu, Cui Kong berlaku kurang hati-hat i. Ia
tidak tahu betapa Lie Kong makin me naruh curiga
kepadanya. Permintaan Lie Kong ini sebetulnya sama sekali
tak boleb dibilang ringan. Bagi orang lain, merampas
kembali kitab dari tangan Lie Kong Ji di Ui-tiok-lim, bukan
hal semudah itu. Akan tetapi pemuda ini bahkan dengan
10 muka berseri berani memastikan akan berhasil dalam satu
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bulan. Hal ini sudah merupakan jawaban yang amat
mencurigakan Pertama, kalau pemuda itu tidak pas ti akan
berhasil, tak mungkin dia begitu bergembira. Ke dua. Ulan
dia berani memastikan dapat berhasil dalam satu bulan, itu
berarti bahwa pemuda ini sudah tahu akan kepindahan Liok
Kong Ji ke laut selatan. Karena, andaikata mencari kitab itu
ke Ui-tiok-lim, perjalanan pulang pergi saja ke Ui tiok-lim
akan mamakan waktu berbulan-bulan !
"Pemuda it u mencurigakan sekali," kata pendekar yang
cerdik dan waspada ini, "s iapa tahu kalau-kalau dia itu mempunyai hubungan dengan penjahat iblis Liok Kong Ji."
"Akan tetapi sikapnya demikian sopan santun juga
kepandaiannya demikian tinggi," bantah isterinya.
"Kau tabu apa?" kata Lie Kong mencela. "Dahulu di
waktu mudanya Liok Kong Ji si Iblis juga seorang pemuda
sopan dan berkepandaian tinggi."
"Ayah menurut pendapatku. dia bukan orang jahat
Buktinya dia telah merampaskan kembali kudaku dari
tangan pencuri se la Ceng Ceng berani.
"Hem hem, apa kau melihat sendiri " Betul dia berkata
demikian, akan tetapi kau tidak melihat sendiri ia bettempur
melawan pencuri kuda."
"Kau memang terlalu curiga," mencela Souw Cui Eng
kepada suaminya. "Kita lihat saja. Mudah-mudahan kecurigaanku keliru."
-oo(mch)oo- Apa yang didengar oleh Pek-thouw- tiauw-ong Lie Kong
dari percakapan Pek-kek Sam-kwi tentang Liok Kong Ji
memang betul. Orang yang licin sekali itu setelah terlepas
11 dari tangan Tiang Bu dapat menyelamatkan diri dan pindah
ke selatan. I a merasa tidak aman. Tadinya hanya Wan Sin
Hong seorang yang ia takuti. Malah bel akangan ini ia tidak
begitu jerih lagi terhadap Sin Hong setelah ia tinggal di Ui
tiok-lim dan selain kepandaiannya sendiri sudah banyak
maju, juga ia dilindungi oleh lima orang saudara angkatnya.
Akan tetapi, sungguh tidak nyana sekali lima orang
pembantunya itu tewas semua oleh Tiang Bu puteranya
sendiri, putera keturunannya yang hanya satu-satunya.
Malah ia sendiri hanya dengan kecerdikannya saja dapat
meloloskan diri. Sekarang merasa makin tidak aman lagi,
tahu bahwa Tiang Bu takkan mau berhenti mencarinya
untuk membalas dendam, untuk membunuhnya. Kalau
Kong Ji teringat betapa putera keturunannya sendiri hendak
membunuhnya, mau tak man hatinya menjadi perih sekali.
Ia takut melawan Tiang Bu, maklum bahwa kesaktian
pemuda itu sekarang bahkan jauh melebihi kepandaian Sin
Hong atau kepandaian tokoh yang manapun juga yang
pernah ia ketahui. Kemudian ia teringat kepada Lo-thian tung Cun Gi Tosu,
kakek buntung yang amat lihai. Hanya kakek buntung ini
yang akan dapat membantunya. Dan kebetulan sekali, kakek
itu sekarang s udah pindah ke selatan, tempat yang amat
terpencil, di sebuah pulau kosong yang disebut Pek houw-to
(Pulau Macan putih), Andaikata kakek itu masih berada di
utara masih ada bahaya lain. Di utara adalah tempat
pasukan-pasukan Mongol, ia tahu bahwa diam-diam Jengis
Khan tidak suka kepadanya. Raja besar itu memberi hadiah
kepadanya karena memang t adinya ia membantu, akan
tetapi setelah ia me ngundurkan diri tidak mau membantu
penyerbuan orang Mongol ke barat, Jengis Khan menjadi
curiga dan tentu akan mencelakainya.
Demikian, Liok Kong Ji lalu pergi menyusul Cun Gi Tosu
ke P ulau Pek-houw to. I a diterima baik oleh kawannya ini
yang maklum bahwa kedatangan Kong Ji berarti memperkut
12 kedudukannya. Kong Ji diam-diam lalu mendatangkan selirselirnya yang ia sayang, lima orang jumlahnya dan sebentar
saja pulau kosong itu berubah menjadi ramai dan indah,
be rkat pembiayaan Kong Ji yang masih mempunyai harta
simpanan. Hanya Cui Kong yang tidak betah tinggat lamalama di pulau itu dan pemuda ini se ring kali pergi merantau
ke luar pulau. Di atas pulau ini, Liok King Ji me mperdalam ilmu
silatnya. Dengan tekun ia mempelari kitab-kitab dari Omeisan yang terjatuh ke dalam tangannya. Dia sendiri
mendapatkan kitab Swat lian-kiam-coan-si yang sudah
dilatih dengan baik, kemudian kitab silay Pat-sian-jut-bun
yang didapatkan oteh Cui Lin din Cui Kim juga telah
dipelajari sampai hafal benar. Akhirnya ia membuka-buka
kitab Delapan Jalan Utama yang ia ambil dari mayat Toatbe ng Kui bo. Tadinya Cun Gi Tosu yang mempelajari kitab
ini, akan tetapi tosu ini terlalu bodoh sehingga mengira
bahwa kitab ini hanya kitab pelajaran Buddha biasa saja.
Akan tetapi begitu Kong Ji melihatnya dengan girang ia
dapat memecahkan rahasia kitab itu. Sama sekali bukan
hanya sekedar pelajaran kebatinan dari Agama Buddha,
melainkan pelajaran ilmu silat yang amat hebat. Akan tetapi
di samping kehebatannya, juga sukarnya bukan main
sehingga payah Kong Ji mempelajarinya. Isi kitab ini
mengandung delapan sari pelajaran lweekang dan penyatur
hawa dalam tubuh, setiap pelaj aran mempunyai pecahan pecahan yang amat banyak.
Setiap huruf mengandung pelajaran tinggi dan Kong Ji
bukanlah seorang ahli dalam ilmu sastera, maka dapat
dibayangkan betapa ia memeras otaknya dan dalam waktu
setengah tahun ia baru dapat memetik buahnya dua saja di
antara delapan mata pelajaran itu. Sungguhpun begitu, yang
dua ini sudah mendatangkan kepandaian yang mujijat,
te naga lweekangnyat meningkat tinggi dan sinkang (bawa
sakti) di dalam tubuh dapat ia salurkan sampai ke ujung
13 pedang. Semua ini ia lat ih se cara diam-diam. Cun Gi Tosu
sendiri sampai tidak mengetahuinya.
Demikianlah, sekali lagi Kong Ji mengalami hidup
tenteram dan aman. Ia pikir, tak mungkin Sin Hong atau
Tiang Bu dapat mencarinya. Andaikata mere ka dapat
mencarinya, ia juga tidak takut. Selain di sampingnya ada
Cui Kong dan Cui Gi Tosu yang lihai, juga dia sendiri
sanggup menghadapi mereka. Ia malah ingin se kali mencoba
kepandaian barunya dengan Sin Hong atau Tiang Bu.
Sementara itu, Wan Leng. puteri Sin Hong yang diculik
oleh Cun Gi Tosu juga hidup di Pulau Pe k Houw-to, ia
dirawat oleh para selir Liok Kong Ji yang rata-rata sayang
kepada bocah mungil ini. Juga Cun Gi Tosu kelihatan
sayang kepada calon muridnya.
Kita ikuti perjal anan Pendekar Sakti Wan Sin Hong yang
mencari jejak Can Gi Tosu, penculik puterinya. Seperti telah
dituturkan di bagian depan, setelah me ngurus pernikahan
antara Wan Sun dan Coa Lee Goat. Wan Sin Hong lalu
meninggalkan Kim bun-to untuk pergi mencari puterinya
yang di culik oleh Lethian-tung Cun Gi Tosu. Ia sudah
mendengar bahwa bala tentara Mongol kini menghentikan
serangannya ke selatan dan mengalihkan perahatiannya ke
barat. Dan ia tahu bahwa musuh besarnya itu ialah pembantu
orang Mongol, di samping Liok Kong Ji. Oleh karena itu,
walaupun perjalanan ke utara amat berbahaya dan tidak
sembarang orang berani ke sana, Sin Hong me lupakan
bahaya, merantau ke utara lewat perbatasan Tiongkok utara
untuk mencari jejak musuh besar yang melarikan puterinya
itu. Tepat sekali keputusan yang diambil Sin Hong untuk
melakukan perantauan seorang diri tampa membawa
isterinya, karena perjalanan yang ditempuhnya ini memang
amat berbahaya. Sungguhpun isterinya juga gagah perkasa
dan jarang ada orang yang mampu me nandinginya, namun
14 memasuki wilayah Mongol yang rakyatnya sedang bergolak
itu, apa lagi menghadapi Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji,
benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya. Baru saja
memasuki wilayah Mongol, selagi enak berjalan di dalam
hutan belukar, tiba-tiba dari kanan kiri menyambar belasan
batang anak panah yang cepat sekali datangnya!
Baiknya Sin Hong bukan pendekar basa saja, melainkan
seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi dan
kewaspadaan yang mengagumkan. Begitu mendengar
bersiutnya anak panah dan melihat sinar berkelebat dari
kanan kiri, cepat ia telah menggerakkan kedua tangannya ke
kanan kiri dan ujung lengan bajunya dengan tepat mengibas
runtuh belasan anak panah itu.
Melihat bentuknya anak panah yang bergerak lalu,
tahulah Sin Hong bahwa dia dikepung orang Mongol.
Memang anak panah Mongol amat terkenal dan di dalam
perang di selatan yang lalu, tentara Tiong-goan kewalahan
menghadapi serangan anak panah ya amat kuat dan laju ini.
Benar saja dugaannya tempat yang tadinya sunyi itu tibatiba menjadi ramai dengan munculnya dua puluh orang
Mongol dan terdengar suara kuda meringkik. Heran hati Sin
Hong bagaimana kuda dapat dilatih sampai berdiam diri
tanpa mengeluarkan suara apa-apa dalam pemasangan bai
hok (barisan pendam) itu.
Sambil berteriak-teriak menyeramkan, dua puluh orang
Mongol seorang di antaranya berpakaian sebagai perwira,
menerjang dan mengeroyoknya tanpa bertanya lagi. Ini tidak
aneh karena dalam masa seperti itu, kedatangan seorang
berpakaian seperti orang Han tentu dianggap musuh atau
mata-mata. Senjata senjata bermacam macam, ada pedang,
golok dan tombak. Bagaikan hujan sekalian sanjata itu
menyambar ke arah tubuh Wan Sin Hong dan kalau
semuanya mengenai tubuh, tentu tubuh itu akan menjadi
hancur. 15 Sin Hong tidak sudi hanyak bersoal jawab. Wal aupun dia
tidak perdulikan urusan negara dan perang, akan tetapi
orang-orang Mongol sudah banyak merampok, membunuh
dan me mbakari rumah rakyat, dengan demikian mereka
menjadi juga musuhnya. Tampak sinar menyilaukan mata
berkelebatan ke sana kemari, disusul jerit dan keluh
kesakitan. Sebentar saja sembilan be las orang serdadu
Mongol telah bergeletakan mandi darah di atas tanah dan
perwira tadipun sudah kehilangan pedangnya dan sekali
totok perwira itu menjadi lemas.
Sin Hong sengaja tidak mau membunuh perwira itu.
"Katakan di mana adanya thian-tung Cun Gi Tosu dan Liok
Kong Ji." Sin Hong mengancam dengan ujung pedangnya.
Semua perwira Mongol mempunyai ke gagajan yang luar
biasa. Mereka itu rata-rata tidak takut mati dan melakukan
perjuangan sampai titik darah penghabisan. Inilah sebuah di
antara rahasia kekuatan bal atentara Mongol, setia dan
berdisiplin. Demikian pula perwira yang sudah terjatuh ke
dalam tangan Wan Sin Hong ini. Dia sudah tertotok dan
tubuhnya tak dapat bergerak pula. Akan tetapi ia masih
dapat bicara dan mendengar pertanyaan serta ancaman
musuhnya ini, ia tertawa besar.
"Aku seorang perajurit sejati, sudah terjatuh ke dalam
tangan musuh, mau bunuh mau siksa, silahkan. Kaukira
aku takut mati?" jawabnya gagah.
Diam-diam Sin Hong kagum sekali. Tadi pun ketika ia
mengamuk, tak se orangpun antara para perajurit Mongol itu
ke lakutan atau mel arikan diri, sungguhpun kawan-kawan
mereka roboh seorang demi seorang oleh pedang pendekar
sakti itu. Kalau saja bala tentara Kin demikian setia dan
gagah berani tidak nanti Kerajaan Kin demikian mudah
dibikin kocar kacir oleh Jangis Khan, pikir Sin Hong.
"Kau benar-benar seorang tai -tiang-bu (seorang gagah
setia) tulen. Aku suka benar akan orang yang berhati jujur
dan setia. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke utara
16 ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang,
melainkan untuk urusan pribadi. Salahmu sendiri kau
datang-datang menyerangku dengan anak buahmu sehingga
terpaksa aku harus membela diri. Juga sedikitnya
merupakan hukuman akan perbuatan terkutuk anak
buahmu ketika menyerbu ke se latan. Aku menanyakan dua
orang itu, terutama Lo-thian-tung Cun Gi Tosu, adalah
karena urusan pribadi. Kau sdalnh pecundangku dan sudah menjadi hak yang
menang untuk mengambil nyawa yang kalah. Akan tetapi
melihat keset iaan dan kegagahanmu, aku mau menukar
nyawamu dengan keterangan di mana adanya dua orang itu,
atau terutama sekali Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Agar kau
tidak ragu-ragu, baik kau ketahui bahwa aku sedang
mencarinya untuk merampas kembali puteriku yang ia
culik." Si n Hong yang sudah banyak pengalaman dan amat
cerdik itu tahu bahwa berhadapan dengan orang yang jujur
dan setia seperti ini, lebih baik ia berterus terang.
"Mata-mata selatan memang pandai menipu dan
membohong," jawab Perwira Mongol itu berkeras.
"Aku bukan mata-mata. Kalau aku mata-mata masa aku
memasuki wilayah Mongol secara berterang begi ni?" Wan Sin
Hong menjawab sabar. "Bagaimana aku bisa yakin sebelum tahu betul siapa kau
" Siapa namamu ?"
Wan Sin Hong mulai jengkel. Dia menang dia yang
menawan, akan tetapi sebaliknya dia malah "diperiksa" oleh tawanannya ini. Akan tetapi karena membutuhkaa
keterangan di mana adanya musuh besarnya, ia menahan
sabar dan menjawab, "Namaku Wan Sin Hong"
Perwira itu membelalakkan matanya. "Kau ....... Wan Sin
Hong yang disebut Wan-bengcu " Raja besar kami sering kali
menyebut-nye but namamu sebagai seorang pendekar besar
17 yang sakti, bukan pembela kerajaan selatan akan tetapi
sayang tidak mau membantu pergerakan kami yang suci.
Pantas saja aku dan sembilan be las orangku kalah ! Ah, jadi
kau Wan-bangcu....... ?"
"Apa kau sekarang mau menolongku ?"
"Tentu saja! Manusia-manusia macam Cun Gi Tosu dan
Liok Kong Ji itu mana ada harga kulindungi namanya !"
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin Hong cepat membuka totokannya, membebaskan
kembali orang itu. "Nah, ceritakanlah di mana me reka."
"Mereka tidak membantu kami lagi. Malah mereka itu
diancam oleh raja besar kami karena mereka me ngingkari
janji, tidak mau membantu pe nyerbuan ke barat. Kalau kami
mendapat kese mpatan menyerbu ke wilayah selatan lagi,
manusia-manusia macam itu past i akan kami binasakan !
Menurut kete rangan para penyelidik kami, Liok Kong Ji
sekarang bersembunyi di Ui-tiok-lim di lembah Sungai Luanho di luar tembok Kota Raja Kin, sedangkan Cun Gi Tosu
katanya melarikan diri ke selatan dan kabarnya tinggal di
sebuah pulau kosong di laut se latan, namanya Pulau
Harimau Putih. Wan Sin Hong percaya penuh. Keterangan seorang setia
seperti ini tak mungkin bohong. Ia mengangguk-angguk lalu
berkata, "Terima kasih aku harus kembali ke selatan."
Perwira itu memandang kepadanya dengan mulut
celangap, "Kau ..... kau membebaskan aku " Tidak
membunuhku ?" "Mengapa harus kubunub " Kita t idak bermusuhan."
"Akan tetapi ..... kalau aku menjadi engkau, setiap orang musuhku tentu akan kubunuh. Negara kita kan sedang
saling berperang." Saking jujurnya perwira itu malah
menyatakan keheranannya mengapa ia tidak dibunuh !
18 Sin Hong tersenyum. Ia memang kagum sekali kepada
orang ini, maka ia suka membuang waktu untuk memberi
sedikit kuliah, "Perang adalah perjuangan bunuh
membunuh di antara sesama manusia yang sama sekali
tidak punya urusan pribadi, bahkan saling tidak mengenal!
Memang seorang perajurit harus membunuh musuhnya
selagi negara dalam perang bukan sekali-kali membunuh
karena rasa benci perseorangan, melainkan membunuh agar
jangan dibunuh dan membunuh untuk meme nuhi kewajiban
sebagai perajurit terhadap negara. Memang perjuangan
dalam perang untuk membela nusa bangsa adalah tugas
suci setiap orang gagah."
"Akan tetapi sekali saja kau membunuh tentara lawan
dengan hati mengandung kebencian pribadi, maka sifat
membunuh itu menjadi keji dan hina ! Kau boleh
membunuh seribu orang tentara lawan tanpa
memperdulikan s iapa lawan itu, tanpa rasa benci kepada
orangnya, dengan pegangan bahwa dia itu musuh negara
dan harus dibunuh. Akan tetapi, sekal i-kali kau tidak boleh
membunuh dengan rasa benci perseorangan.
Kalau aku me mbunuhmu, apa alasanku" Aku tidak ada
parmusuhan dengan kau, juga aku bukan tentara lawanmu.
Kalau tadi aku membunuh anak buahmu adalah karena aku
dikeroyok dan aku diserang lebih dulu sehingga aku harus
membela diri. Dengan kau lain lagi, kau seorang gagah dan
setia, kau telah memberi keterangan penting kepadaku, Nah,
selamat tinggal." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sin Hong
sudah lenyap dari depan mata perwira itu yang mula-mula
melongo, kemudian ia berjingkrak se perti orang kemasukan
setan. "Ha ha. Aku sudah bertemu dengan Wan Sin Hong ! Aku
mengalami hal luar biasa yang dapat kudongengkan kepada
anak cucuku ! Baru kali ini aku mengalami kekalahan
terhormat dari orang besar seperti Wan-bengcu!" Orang itu
19 tertawa-tawa kemudian lari ke utara untuk mencari kawankawan guna merawat para korban pedang Wan Sin Hong.
Wan Sin Hong memutar perjalanannya sembilan puluh
derajat. Ia kini memutar ke selatan. Ada keinginan hatinya
untuk mencari Liok Kong Ji di Ui-tiok-lim. untuk membuat
perhitungan terakhir dengan musuh lama ini. Akan tetapi ia
mene kan keinginan ini karena perhatiannya tercurah kepada
puterinya. la harus mencari dan menolong dulu puterinya, baru
kelak membereskan perhitungan dangan Kong Ji. Oleh
karena itu ia tidak mencari ke Ui-tiok-lim, melainkan terus
melakukan perjalanan ke selatan yang luar biasa jauhnya.
Di dalam perjalanan ini, Wan Sin H ong teringat akan
perjalanannya, ketika ia mencari Tiang Bu yang terculik oleh
Hui-eng Ni ocu yang sekarang sudah menjadi isterinya.
Kalau saja ia lebih dulu pergi ke Ui-tiok- lim, ada
kemunngkinan ia akan menjadi saksi betapa Tiang Bu
mengobrak-abrik tempat persembunyian Liok Kong Ji ini.
Dalam melaksanakan perjalanan ke selatan, Wan Sin Hong
menuju ke barat lebih dulu sampai ia bertemu dengan
Sungai Huang-ho, kemudian ia nyambung perjalanannya
dengan sebuah perahu setelah lebih dulu ia singgah di
Luliang san untuk mengunjungi makam suhunya.
Pe rjalanan dengan perahu amat cepat karena selain perahu
dibawa aliran sungai, juga Sin Hong menambah dengan
dayungnya yang digerakkan dengan tenaga.
Terjadi pertemuan dan peristiwa yang menarik hati ketika
ia tiba di dekat kota Lok yang, di mana air Sungai Huang-ho
dari utara itu membelok ke timur. Memang Sin Hong hendak
mendarat dan melanjutkan perjalanan darat lagi terus ke
selatan. Akan tetapi sebelum ia mendarat, ketika perahunya
tiba di daerah berhutan yang liar, tiba-tiba di depannya
menghadang lima buah perahu kecil yang diatur berjajar,
sengaja menghalangi perahunya.
20 Dari pengalamannya. Wan Sin Hong tahu bahwa
penghadangnya tentulah golongan bajak. Akan tetapi ia
tidak menjadi gentar. Empat buah perahu masing-masing
hanya ditumpangi dua orang berpakaian hitam yang
memegang golok, sedangkan perahu ke lima diduduki ti ga
orang, yaitu seorang kakek, seorang pemuda tampan dan
seorang gadis cant ik. Tiga orang ini lebih menarik perhatian Sin Hong karena mereka memperlihatkan sifat-sifat gagah.
Selagi Sin Hong hendak menegur mengapa ia dihadang, tiba
tiba ia mendengar suara khim (alat musik) ditabuh oleh
pemuda itu dan si gadis cantik bernyanyi, sedangkan kakek
itu mengambil irama dengan ketokan dayungnya pada air,
Sin Hong memasang telinga memperhatikan isi nyanyian.
"Serigala utara pergi menghilang
Datang banjir dan belalang
Tinggalkan uang dan barang
Baru perahu takkan terhalang !
Hati siapa takkan risau"
Siapa pula akan hirau"
Membuka yangan membant u petani ,
Kalau bukan bangsa sendiri.
Suara gadis itu hal us dan merdu, akan tetapi
mengandung kekuatan dapat menembus angin dan
mencapai telinga Sin Hong, demikian pula permainan khi m.
Ini semua selain merupakan pernyataan "mint a barang dan
uang", juga merupakan demonstrast lweekang yang tinggi
dari pemuda dan gadis itu. Akan tetapi, sudah tentu saja
demonstrasi pemuda dan gadis itu merupakan permainan
biasa bagi Sin Hong. Yang amat menarik perhatian Sin Hong
adalah kakek yans memukul-mukulkan dayungnya ke air
untuk menerbitkan suara berirama.
Dayung itu dipukul-pukulkan biasa saja akan tetapi
perahu sedikitpun tidak bergoyang dan air sedikitpun tidak
21 memercik ke atas . Nainun, setiap kali dayung mengenai air
terde ngar bunyi "plak" yang keras dan air tertekan ke dalam sedangkan di se kitarnya menaik ke atas ! demonstrasi
tenaga lwrekang yang benar-benar tak boleh dipandang
ringan. Melihat betapa tiga orang itu mendemonstrasikan
kepandaian, timbul sifat gembira dalam hati Wan Sin Hong.
Iapun berdiri di kepala perahunya, dayungnya digerakgerakkan perlahan menahan majunya perahu dan ia
bersajak. "Serigala suara pergi menghilang
Datang banjir dan belalang.
Memang merisaukan hati kawan !
Sudah barang tentu bangsa sendiri membantu,
Akan tetapi membajak, apakah itu perlu"
Apa lagi yang dihadapi adalah seorang dungu,
Yang t idak mempunyaI sepeser di dalam s aku !"
Terdengar kakek itu tertawa, lalu ia berdiri se hingga
kelihatan tubuhnya yang jangkung. Sajak Sin Hong tadi
biasa saja, akan tetapi cara Sin Hong menahan majunya
parahu dengan menggerak gerakkan dayung perlahan di
atas air sungguh bukan perbuatan biasa.
"Tamu yang lewat bilang tidak punya sepeser, mana bisa
melakukan perjalanan" Pedang bagus dis impan di dalam
baju, siapa tahu kalau tidak digunakan menambah sengsara
rakyat" Jaman ini banyak sekali anjing busuk, Aah, Harus
diseli diki betul-betul."
Wan Sin Hong te rcengang mendengar kata-kata kakek
pemimpin bajak sungai itu. Alanglah tajam pandang mata
kakek itu yang dari jarak jauh dapat melihat pedang Pakkek.sin-kiam yang ia sembunyikan di balik baju. Juga katakata kake k itu menunjukkan bahwa kakek ini bukanlah
bajak sungai bias a saja. Hatinya timbul ingin mencoba
ke pandaian kakek itu dan belajar kenal. Dengan tenang Sin
Hong lalu menggerakkan perahu ke pinggir sambil be rkata,
22 "Aku bukan termasuk golongan buaya bicara di atas air
sungguh tidak leluasa, Kal au sahabat tua ingin bicara, mari
ke darat !" Dongan sekali melompat Sin Hong telah tiba di
darat dan berdiri menanti sambil terse nyum tenang.
Memang Sin Hong seorang pendekar yang hati-hati sekali.
Biarpun ia tidak gentar menghadapi bajak sungai itu, akan
tetapi kalau sampai terjadi perkelahian di atas perahu, ia
bisa menderita rugi. Sekali saja perahunya digulingkan, ia
akan berada di fihak lemah. Oleh karena itu ia mendahului
menantang sambil mendarat.
Kakek itu melihat cara Sin Hong melompat, berseru
gembira. "Aha. kiranya memiliki sedikit kepandaian. Aku
akan manyelidiki di atas darat. Kalau kawan boleh terus
kalau lawan baru me ninggalkan barang!" Sambil berkata
demikian, iapun melompat dari perahunya ke atas darat
de ngan gerakan yang ringan sekali. Berturut-turut pemuda
dan pemudi yang duduk seperahu dengan kakek itupun
melompat dengan gerakan yang menunjukkan ilmu ginkang
yang sudah tinggi. "Bagus!" kata Sin Hong sambil tersenyum. "Sudah kuduga bahwa kalian tentu bukan bajak-bajak sungai biasa.
Sekarang dengan cara bagaimana kalian hendak memeriksa
dan me nyelidik apakah aku seorang baik atau busuk
menurut ukuranmu?" Kakek itu mengurut urut jenggotnya yang panjang dan
matanya memandang penuh selidik, "Hemm. sikapmu
mengingatkan aku akan seorang yang s udah sering kali
kudengar namanya disebut-sebut orang. Akan tetapi tak
mungkin kau orang itu. Mau tahu bagaimana cara kami
menyelidik " Bersiaplah dengan pedang yang
kausembunyikan itu. Kalau kau bisa mempertahankan
pedang itu dari rampasan kami, kami mengaku kalah dan
kau boleh melanjutkan perjalanan diiringi hormatku." Sin Hong tersenyum. "Hemm, begitukah cara seorang bajak
23 bertindak " Benar-benar sombong! Siapa di antara kalian
yang hendak maju?" "Thia-thia (ayah), biarlah aku memberi hajaran kepada
orang yang banyak lagak ini," kata gadis cantik yang tadi bernyanyi sambil mecabut pedangnya. Sikapnya galak dan
pipinya kemerahan menambah ke cantikannya. Kakek itu
hendak mencegah akan tetapi gadis yang lincah dan galak
itu telah menikam dada Sin Hong dengan pedangnya.
Wan Sin Hong adalah seorang pendekar besar dan sudah
berusia setengah tua. kesabarannya tebal bukan main. Mana
ia mau me layani seorang dagis remaja yang bertingkah"
Dengan te nang ia mengulur tangan dan di lain saat ia telah
mencengkeram pedang itu. di betot dan pedang telah
terampas olehnya! "Ang Lian, mundur kau!" seru si pe muda s ambil
menyerang dengan pedangnya tanpa minta perkenan kakek
itu. Sin Hong nienggerakkan pedana rampasan yang dipegang
pada bagian tajamnya, dengan sekali ia memapaki ujung
pe dang pemuda menggoyangkan gagang pedang yang dia
pegang dan..... benang ronce hiasan gagang pedang
rampasan itu melibat pedang pemuda itu tak dapat ditarik
pula. Sekali Sin Hong me mbetot, pedang pemuda itu terlepas
dari pe gangan dan sudah be rpindah ke tangan pendekar
besar ini ! "Pek Lian, kau telah sombrono!" mence la kakek itu
sambil tertawa. Sin Hong memandang kepada Ang Lian dan "pemuda"
yang ternyata seorang gadis berpakaian pria bernama Pek
Lian itu. tersenyum dan menyerahkan pedang-pedang
rampasannya kembali. Ang Lian dan Pek Lian bermerah
muka, malu untuk menerima kembali pedang yang sudah
terampas. 24 "Pek Lian, Ang Lian, terima kembali pedang kalian dan
haturkan terima kasih!" kata kake k itu yang bukan lain
adatah Huang-ho Sian-jin, "datuk" bajak sungai di sepanjang sungai Huang-ho. Dua orang gadis itu melangkah maju
menerima pedang masing-mas ing dan bibir mereka berbisik
menyatakan terima kasih. Mereka merasa heran dan kagum
bukan main. Dahulu mereka dibikin kagum dan tidak
berdeya terhadap seorang pemuda bernama Tiang Bu,
sekarang kembali mereka be rtemu "guru" yang lihai bukan main. Mas a dalam segebrakan saja pedang mereka sudah
terampas secara aneh! Sementara itu, Huang-ho Sian-jin menghadapi Wan Sin
Hong dengan mata bersinar-sinar. Ia merasa gembira sekali
dapat bertemu dengan orang selihai ini. Ia sudah dapat
menduga siapa orang ini, Akan tetapi dia bukan ayah Ang
Lian yang keras kepala kalau dia sendiri tidak kepala batu!
"Orang gagah, aku tidak memparkenalkan nama dan
tidak akan menanyakan namamu sebelum kita mengukur
kepandaian. Kepandai anmu hebat sekali, ingin aku
mencobanya. Cabut pedangmu itu dan mari kita main-main
sebentar"!" Setelah berkata demikian, ia menyambar dayung
perahunya. Dayung itu terbuat dari pada baja panjaog dan
berat berwarna hitam. Wan Sin Hong adalah seorang
Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pe ndekar sakti. Tidak saja ilmu silaynya tinggi sekali, juga ia memiliki kecerdikan melebihi orang banyak. Orang
kebanyakan menilai kepandaian murid dari kepandaian
gurunya, akan tetapi Sin Hong dapat menilai kepandaian
guru terlihat dari kepandaian muridnya. Ia tahu bahwa dua
orang gadis itu adalah puteri kakek ini, tentu mendapat
warisan ilmu silat sebanyaknya. Dan ia sudah dapat menilai
bakat dua orang gadis tadi. Dari perhitungan ini ia sudah
dapat menduga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian
kakek itu dan ia tahu bahwa ia akan dapat
mengalabkannya. 25 "Pedangku sudah kusembunyikan di balik baju, biarlah
ia tinggal bersembunyi di sana karena aku tidak bisa
mempergunakan kalau bukan berhadapan dengan musuh
jahat . Sahabat tua he ndak main-main, biarlah aku minta
bantuan anakmu meminjam pedang." Baru ucapannya
habis. Pek Lian yang berdiri dekat, kurang lebih tujuh
langkah dari Sin Hong, tiba-tiba meras a ada angin
menyambar dan di lain saat pedangnya sudah terambil lagi,
terpegang oleh orang sakti itu.
"Maaf anak yang baik. Aku pinjam sebentar pedangmu,"
kata Sin Hong, suaranya halus dan ramah sehingga Pek Lian
tidak bisa marah. Sin Hong tahu bahwa kalau ia mencabut
pedangnya, s elain mungkin se kali, kakek itu akan mengenal
Pak-kek-sin kiam. juga ke menangannya takkan ada artinya.
Pe dang pusakanya amat tajam dan kalau se kali tangkis
dayung lawannya putus , berarti ia akan menang
mengandalkan ketajaman pedang pusaka maka ia sengaja
meminjam pedang biasa kepunyaan Pek Lian.
Perbuatan dan sikap Sin Hong ini memang boleh
dipandang sebagai suatu kesombongan atau sikap
memandang rendah lawan, biarpun Huang-ho Sian-jin
seorang kakek yang banyak pengalaman dan memiliki
kesabaran besar, ia menjadi mendongkol juga. Tanpa
sungkan-sungan sebagai imbalan atau imbangan sikap Sin
Hong itu, ia menggerakkan dayungnya, diputar di atas
kepala lalu berseru. "Awas, lihat senjata !"
Bagaikan seekor ikan besar menyambar mangsanya,
dayung itu bergerak miring dan sekaligus melancarkan
serangan yang mempunyai pecahan lima macam banyaknya.
Lima macam pukulan susul-menyusul dan bertubi-tubi
dilakukan dengan kedua ujung dayung, dalam cara dan
gerak yang berbeda sifatnya, bergantian me ngandung tenaga
ke ras dan lemas! Inilah serangan hebat sekali yang amat
sukar dihindari. Dayung itu panjang dan berat , digerakkan
26 oleh seorang yang memiliki lweekang tinggi, datangnya
cepat, tidak terduga dan kuat sekali.
Akan tetapi, datuk bajak itu menghadapi Wan Sin Hong,
seorang pendekar s akti yang tinggi ilmu silatnya bahkan
yang pernah di pilih menjadi be ng-cu dari para orang gagah.
Biarpun harus ia mengakui bahwa serangan kakek itu benar
luar biasa dahsyatnya dan berbahaya, namun ia bersikap
tenang sekali. Dari sambaran angin pukulan ia dapat
membeda-bedakan tenaga yang dipergunakan kakek itu.
Harus diketahui bahwa selama "bertapa" di Luliang-san.
Wan Sin Hong telah dengan amat tekun melatih diri dan
mempelajari serta memperkuat tenaga lweekang sehingga ia
boleh dibilang seorang ahli Yang-kang dan Im-kang. Maka
Pendekar Kelana 6 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama