Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 9

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


dan merasa suka dan sayang. "Masih begini muda. lebih
muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah me miliki ilmu silat
yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena
gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan
memakinya maling kecil. He mm, baru berhasil menipuku
begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.
"Siapa maling kecil " Nona cilik, biarpun kaki tanganmu
lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja
ditipu orang. Me reka berdua itu adalah perampok keji yang
merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang
mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka,
bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling"
Dan kau percaya saja. membantu perampok. Apakah kau
juga sebangsa perampok?"
"Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok
dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis
kau sendiri apakah" Kau hanya maling kecil yang mencuri
hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur
sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah
39 ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah
Tiong-eu-hiat. "Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejat i, tidak sudi menjadi maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan
merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim
sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini
bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak
kukirimkan kembali kepada pemiliknya, Pangeran Wanyen
Ci Lun di kota raja."
Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya
yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar
penuh selidik kemudian ia tertawa geli. "Kau........... " Kau mengira orang macam apa kau ini" Berlaku gagah-gagahan,
memangnya kau pendekar sakti dari mana sih " Ketahuilah,
manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari
Huang-ho Sian-ji n!"
"Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab
marah. "Dan aku tidak kenal s iapa itu Huang-ho Sian-jin, mengapa kausebut -sebut" Yang aku tahu Sungai Huang-ho
adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan
malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia
Dewa) di sana" Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw
koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?"
Gadis lincah itu tertawa geli, "Kau betul, kau betul !"
Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan
menekan perut menahan geli. "Krucuk atau cacing cauk
macam kau ini mana mengenal nama Huang ho Sianjin "
Dia memang betul ada itu Huang-hu Youw koai. Justeru
kare na Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka
kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala
macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari
Kerajaan Kin itu !' Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa
dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya
jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu
40 bukan bermaksud mempermainkan. "Apa artinya kata
katamu itu" Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau
menang sendiri." 'Adik Ceng Ceng terhadap maling ke cil ini me ngapa mesti
banyak bicara " Banting s aja biar gepeng !" kata Ang Lian yang gemas me lihat Tiang Bu karena beberapa kali ia
dipe rmainkan dan dikalahkan.
"Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi !" Pek Lian
mence la adiknya. Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil Cang itu mengerling
ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu ce mberut.
"Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kaubanting
sampai gepeng orang ini dan membiarkan dia me rampas
empat kantongmu?" Merah wajah Ang Lian. "Aku ..... aku..." katanya gagap.
(Bersambung jilid ke XIII )
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XIII "CENG-MOI, kau teruskanlah. Kami berdua sebetulnya
tadi sudah menyerangnya dan kami kalah." kata Pe k Lian.
Suaranya lemah-lembut penuh kejujuran dan diam-diam
Tiang Bu memuji nona berpakaian pria itu, juga merasa
kasihan. "Bukan kalah, memang belum bertempur sungguhsungguh dan aku yang mendahului lari cepat-cepat. Kalau
bertempur sungguh-sungguh, nona yang berpakaian pria itu
lihai bukan main, aku tidak berani memastikan akan
menang." Ceng Ceng menyentak Tiang Bu. "Kau kasihan kepada
enci Pek Lian, ya" Kau......... kau?". tergila-gila kepadanya agaknya, ya" Jangan kau kurang ajar, manusia tak tahu diri
!" Thing Bu kaget bukan main. Perangai nona cilik ini,
benar-benar aneh. Baru saja ramah-tamab sekali, tahu-tahu
seperti minyak dijilat api, tiba-tiba marah-marah seperti
orang mabok. Saking herannya Tiang Bu memandang
bengong. 1 "Jiwi cici, jangan salah s angka. Aku sengaja memberi
penjelasan kepada bocah ingusan ini?""
"Aku bukan bocah ingusan, kau ......... bocah sombong!"
Tiang Bu be rte riak marah karena beberapa kali ia dihina.
Ceng Ceng tersenyum mengejek dan tidak
memperdulikannya, "Bocah rewel dan manja ini harus diberi penjelasan agar nant i kalau mampus olehku dia tidak
penasaran lagi. Jangan sampai arwahnya menghadap Giamkun (Raja Maut) dan melaporkan bahwa kita ini perampokperampak jahat, kan cialat (celaka) untuk kita!"
Terpaksa Ang Lian dan Pek Lian tersenyum lagi dan
kembali sikap Ceng Ceng seperti tadi, manis jenaka. "Bocah, kau mau tahu segalanya, bukan" Nah, kau dengar baikbaik. Pada dewasa ini, Huang-ho Yauw-koai iblis di Sungai
Huang-ho yang agaknya kalau bukan ayahmu tentu
mertuamu itu".."
"Setan kau ..... !" Tiang Bu me maki.
"Iblis sungai itu sedang mengamuk." Ceng Ceng
melanjutkan, tidak perduli akan makin Tiang Bu, "membuat air sungai membanjir dan banyak rakyat kehilangan semua
benda bahkan banyak yang kehilangan nyawa. Akibatnya
kelaparan merajalela. Nah, ayah mengajak aku mengunjungi
Huang-ho Sian-jin yang seperti biasa tiap tahun kalau
terjadi banjir, sibuk menolong rakyat.
Kali ini benar benar dibutuhkan banyak uang untuk
mencegah orang-orang mati kelaparan, maka sengaja
Huang-ho Sian-jin mengutus dua orang anaknya untuk
merampas harta yang tidak halal dari pembesar tukang
catut itu. Aku diperintah oleh ayah untuk mengamat-amati,
takut kalau-kalau ada bocah-bocah ingusan nakal macam
engkau ini mengganggu jiwi cici di tengah jalan."
"Bagaimana kau tahu kalau barang-barang berharga
yang dirampok ini barang barang tidak halal?"
2 ?"Ho-ho kau tidak saja masih ingusan, bahkan kepalamu
masih berbau bawang (sindiran untuk orang yang masih
hijau). Masa gitu saja tidak tahu" Biarpun masih pelonco,
kalau sudah terjun di dunia kangouw harus tahu
membedakan ini. Bangsat she Kwee itu adalah seorang
pengkhianat yang mengekor Kerajaan Kin. Tadinya ia miskin
akan tetapi setelah bekerja di sana, memperoleh kekayaan
berlimpah-limpah dan sekarang karena takut akan serbuan
balatentara Mongol, ia membawa hartanya lari ke selatan.
Dari mana lagi ia mendapat harta begitu banyak kalau
bukan dari memeras rakyat dan mencatut Kerajaan Kin" Dia
bukan pedagang yang bisa menarik banyak keuntungan.
Apakah orang macam itu harus didiamkan saja, dia memang
banyak harta rakyat sampai berlebih-lebihan, tidak habis
biarpun dimakan oleh anak cucunya sampai tujuh turunan,
sedangkan rakyat di sepanjang lembah Huangho menderita
kelaparan?" "Hemmm, kalau betul kata-katamu ini, memang usaha
kalian hebat sekali, patut dipuji. Akan tetapi, aku
mendengar dari orang-orang Siang kim-sai Piauwkiok,
benda-benda di dalam peti ukiran Kilin itu adalah milik
Pangeran Wanyen Ci Lun yang dititipkau. Kilian tidak boleh
mengganggu miliknya. Aku mendengar bahwa Pangeran
Wanyen Ci Lun adalah seorang gagah yang berbudi." kata
Tiang Bu. "Kau mendengar. kau mendengar..... agaknya kau terlalu
mengandalkan daun telingamu yang lebar seperti telinga
gajah itu. Tidak perduli Wanyen Ci Lun seorang baik seperti
dewa, namun ia tetap seorang pangeran yang takkan
mampus kelaparan kalau hartanya yang sebegini saja
diambil orang. Sebaliknya, harta ini bisa menolong nyawa
ribuan, bahkan puluhan ribu orang di sepanjang sungai
yang pada saat ini sudah hampir mati kelaparan !"
3 Tiang Bu melongo. Baru kali ini ia mendengar pidato
yang begitu panjang akan tetapi mengenai betul pada
hatinya. Tepat dan hebat.
"Kau betul...." akhirnya ia berkata. "Akan tetapi aku masih belum percaya. Aku harus menyaksikan sendiri. Dan
lagi, kau ini siapakah begini pandai bicara seperti tukang
jual obat?" "Ha, jadi kau sudah percaya" Kalau begitu lebih baik lagi.
Tak usah aku menambah dosa mengantar nyawamu ke alam
baka. Serahkan yang dua bungkus itu dan pergilah kau
cepat-cepat." "Eh, eh, nanti dulu, nona cilik."
"Aku tidak cilik lagi. Usiaku sudah lima belas tahun,
tahu "!" "Benarkah?" Tiang Bu sekarang mendapat kesempatan
membalas godaan-godaan dan hinaan tadi. ia tersenyum dan
matanya berseri-seri. "Kau tidak patut kalau berusia lima belas tahun pantasnya kau......... sembilan tahun atau dua
puluh tahun." "Kau edan !" Ceng Ceng menjerit. "Masa kalau tidak
sembilan tahun dua puluh tahun. Te rkaan macam apa ini?"
"Dibilang sudah tua, kau suka menggoda dan menghina
orang seperti anak kecil saja, maka kau patut berus ia
sembilan tahun. D ibilang kecil, kau pandai bicara seperti
orang tua saja, maka kau tentu lebih dari dua puluh
tahun......... " "Eh. kacoa ! Kau sudah bosan hidup, ya ......... " Kau
mau mampus, ya... " Hemm, sekali tusuk lenyap nyawamu.
....." Sambil berkata demikian, gadis itu melangkah maju dan
ujung rantingnya mengancam jalan darah kematian. Ketika
Tiang Bu mundur-mundur dia maju-maju terus mengancam,
marahnya bukan main. 4 "Sudahlah, apa kau ini tukang bunuh orang" Masa
denok-denok kok keji, tidak patut, dong ! Pantasnya orang
cantik itu ramah-tamah dan halus?"."
Tangan yang memegang ranting menjadi lemas dan
ranting itu diturunkan ke bawah.
"Awas, adik Ceng Ceng. Jangan kena tipu muslihatnya.
Biarpun mukanya seperti monyet hitam, namun ia pandai
memikat hati. Cici Pe k Lian sendiri hampir-hampir terpikat
olehnya........." "P lak !" Pipi Ang Lian kena ditampar ole h Pek Lian yang menjadi merah sekali mukanya. "Ang Lian, sekali lagi kau bicara begitu akan kulaporkan kepada ibu supaya kau
dirangket." Sementara itu, sepasang mata Ceng Ceng berapi-api
mendengar ini. Ranting di tangannya tergetar. "Betul
begitukah " Kalau begitu harus mampus........"
"Hayaaa, kalian ini memang orang orang aneh sukar
sekali diajak urusan," kata Tiang Bu. "Aku tidak ingin bertempur. Tentang harta ini, biarlah aku ikut kalian, aku
hendak menyaksikan sendiri apakah betul ada usaha orang
tua kalian menolong rakyat jelata yang kelaparan. Kalau
memang betul, tidak hanya empat kantong benda ini
kuserahkan dengan rela, bahkan aku sendiri bersedia
disuruh membantu apa saja untuk meringankan beban
rakyat di sana." "Tapi kauserahkan dulu yang dua kantong itu !" kata Ccng Ceng.
"Bodoh, mana boleh begitu " Aku akan diejek orang di
jalan kalau membiarkan kalian orang-orang wanita
membawa barang berat sedangkan aku enak-enak saja.
Bahkan kalau kalian percaya, yang dua itu boleh
kubawakan." 5 "As taga ! Jadi dia akan melakukan perjalanan bersama
kita " Aku tidak sudi !" kata Ang Lian.
"Jangan kuatir, enci Ang Lian. Aku tidak akan pergi
bersama-sama. Kalian boleh jalan dulu, aku menyusul
belakangan karena aku masih ada sedikit urusan di sini."
Memang Tiang Bu tentu saja tidak mau pergi begitu saja
sebelum urusannya yang penting di selesaikan, yaitu
mencari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong di lembah Sungai
Yangce yang berada tak jauh dari kota Wu-keng. Setelah
bertemu dengan orang yang dicarinya dan urusan minta
kembali kitab beres, baru ia hendak menyusul ke lembah
Sungai Huang-ho. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak setuju. Selagi ia
hendak membantah, tiba-tiba terdengar derap banyak kaki
kuda dan tak lama kemudian muncullah delapan orang
penunggang kuda yang terdiri dari orang-orang bertubuh
gagah perkasa dan di tengah-tengah mereka terdapat orang
yang memegang sebuah bendera besar.
"Nah, nah, agaknya pentolan-pentolan Siang-kim sai
Piauw-kiok telah menyusul kita ...... !" kata Ang Lian dengan nada menyesal mengapa Ceng Ceng dan Tiang Bu
membuang-buang waktu dengan mengobrol tidak karuan.
Memang dugaan Ang Lian ini betul. Yang datang adalah
Siang-kim-sai (Sepasang Singa Emas) sendiri, yaitu Twa kimsai Yo Sang dan Ji-kim-Sai Yo Teng, diantar oleh enam orang
murid-muridnya yang pandai. Siang-kim-sai memang pantas
berjuluk Singa Emas, karena kedua saudara kakak-beradik
ini memiliki wajah yang berbentuk se gi empat seperti muka
singa, bermata lebar dan galak, bertubuh tegap kuat. Yo
Seng muka kuning sedangkan adiknya, Yo Teng bermuka
merah. Begitu mendengar laporan Lu Tiang Sek bahwa peti
berukir sepasang Kilin dirampas oleh dua orang puteri


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Huang-ho Sian-jin. dua orang piauwsu ini segera membawa
murid-murid mereka melakukan pengejaran.
6 Kini melihat di tempat itu selain dua orang gadis yang
merampas barang berharga masih terdapat seorang gadis
muda dan seorang pemuda yang keduanya membawa
buntalan-buntalan itu, mereka menjadi heran akan tetapi
girang. Melihat empat kantong itu masih berada bersama
para perampok, berarti ada harapan mcrampasnya kembali.
Apalagi empat orang perampok itu hanya tiga gadis ayu dan
seorang pemuda tanggung. "Anak-anak Huang-ho Sian-jin, kalian sungguh lancang
sekali berani mengganggu kumis singa !" datang-datang Ji-kim-sai Yo Teng yang berusia empat puluh tahun dan
wataknya agak mata keranjang tak boleh melihat jidat halus
ini, berkata dengan sombong ..... "Hayo maju menghadap,
hanya kalau kalian mengembalikan barang rampasan dan
minta maaf sambil berlutut baru kami dapat mengampuni
kalian!" "Enci Pek, kaulihat dia ini. Mengakunya singa akan tetapi kalau kulihat baik-baik kok mukanya kaya kucing pemakan
bangkai ?" "Mai moi, jangan bergurau, mari kita siap menghadapi
Siang kim-sai," jawab Pek Lian s ambil melangkah maju dan mencabut pedangnya. Kemudian ia berkata kepada Yo Seng
dan Yo Teng, "Jiwi piauwsu mau apakah " Memang betul
kami telah mengambil barang yang didapatkan secara tidak
halal oleh pembasar Kin pengkhianat bangsa itu."
Yo Seng sudah mendengar bahwa gadis pertama yang
berpakaian pria me miliki kepandaian tinggi, maka kepada
Pe k Lian ia berkat a. "Nona, melihat muka ayahmu. Huang-ho Sian-jin, biarlah kita habiskan urusan ini asal saja kau
suka mengembilikan barang-barang itu. Biar lain kali kami
datang mencari ayahmu untuk me nghaturkan terima kasih."
Kalau seorang piauwsu hendak mengadakan kunjungan
kepada seorang tokoh Liok-lim dan menghaturkan terima
kasih, itu artinya sang piauwsu merendahkan diri dan
7 mengalah, tentu akan datang untuk memberi "apa-apa"
sekedar tanda penghormatan.
"Tidak bisa, barang yang sudah kami rampas. tak dapat
kami kembalikan begitu saja. Kalau jiwi piauwsu ada
kemampuan, boleh coba rampas kembali," kata Pek Lian
tenang. Mendengar ini, Yo Teng marah. "Koko, mengapa
mendengarkan ocehan bocah" Kau tangkap yang banci itu,
biar aku tangkap yang galak ini" Sambil berkata demikian, Yo Teng menubruk maju hendak me nangkap Ang Lian.
"Kucing pemakan bangkai, mana kumismu?" Ang Lian
mengejek dan pedangnya ditusukkan ke depan menyambut
tubrukan Yo Teng. Piauwsu ini kaget sekali, dan menyesal
telah berlaku sembrono. Tak disingkanya bahwa gadis itu
memiliki gerakan yang amat cepat. Namun piauwsu ini
be rkepandaian tinggi, dan cepat ia dapat menggulingkan diri
ke kiri dan bergulingan di atas tanah menghindari kejaran
lawan. "Hi hi hi, belum apa-apa kucing busuk sudah gulung
koming!" Ang Lian mengejek. Yo Teng marah dan kini ia
sudah mencabut goloknya, senjata yang amat ia andalkan.
Ejekan gadis itu mele nyapkan rasa sayangnya ke pada gadis
berwajah manis ini. Sambil mengeluarkan geraman seperti
singa mengaum, ia menerjang lagi, mempergunakan
goloknya. Ang Lian cepat menangkis dengan pedangnya.
Tidak berani berlaku sembrono karena dari gerakan golok
lawan, ia maklum bahwa piauwsu ini kepandaiannya lihai.
Sementara itu, melihat adiknya sudah mulai bertempur,
Yo Seng juga mencabut golok dan berkata kepada Pek Lian.
"Menyesal sekali kau keras kepala. Terpaksa aku harus
melayani tantanganmu!" Setelah berkata demikian iapun
berseru keras dan goloknya be rkelebat dahsyat. Namun Pek
Lian yang sikapnya tenang itu sudah siap pula dengan
pedangnya. Dengan tangkas dan berani gadis berpakaian
8 pria ini mengangkat pedang menangkis golok, bahkan cepat
lakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.
He batnya perte mpuran antara Ang Lian melawan Yo Teng
dan Pek Lian melawan Yo Seng ini. Kepandaian mereka
berimbang hanya Ang Lian masih kalah kuat oleh Yo Teng
yang memiliki kepandaian sama dengan kakaknya.
Sementara itu, Tiang Bu dan Ceng Ceng hanya menonton
saja. Melihat jalannya pertandingan, Tiang Bu mengerutkan
alisnya dan merasa khawatir akan keselamatan dua orang
gadis muda itu. Keadaan Pek Lian masih ti dak begitu buruk,
karena ilmu pedang dari gadis ini berar-be nar lihai sehingga tak usah kalah atau terdesak oleh lawannya, keadaan dia
dan lawannya benar-benar seimbang dan masih sukar untuk
menentukaa siapa yang akan kalah. Yo Seng lebih kuat dan
senjatanya amat berat sehingga dalam setiap bentrokan
senjata, piauwsu ini dapat melakukan tekanan-tekanan.
Akan tetapi, Pek Lian lebih lincah dan cepat maka gadis
ini dapat menutup kerugiannya kalah tenaga dengan
kecepatannya se hingga pedangnya seakan-akan me ngurung
lawan. Yang amat menggelisahkan hati Tiang Bu adalah
keadaan Ang Lian. Gadis ini biarpun lihai namun ilmu
pedangnya belum sematang ilmu pedang cicinya, dan pula
gerakan-gerakanya masih ceroboh, karena Ang Lian
memounyai nafsu besar dan selalu menuruti nafsunya
hendak cepat-cepat merobohkan lawannya, akan tetapi
ternyata ia kalah setingkat oleh Yo Teng sehingga dialah
yang akhirnya terdesak oleh golok lawan.
Tiang Bu melirik ke arah Ceng Ceng yang berdiri di
sebelahnya. Ia melihat gadis ayu ini berdiri sambil
menonton, agaknya tertarik dan gembira sekali, tandanya
sepasang mata bintang itu tidak berkejap sejak tadi dan
sinarnya berseri-seri. Benar benar denok anak ini pikir Tiang Bu dan ia kaget sekali. Lagi-lagi ada dorongan aneh dari
dalam dadanya, dorongan yang hampir sama dengan
dorongan selera orang kelaparan melihat makanan lezat.
9 Dalam perantauannya, bukan jarang Tiang Bu merasa
kelaparan karena berhari-hari tidak bertemu nasi, maka ia
sudah sering kali merasai bagaimana nafsu se leranya timbul
apabila dalam keadaan demikian itu ia mencium bau capcai
goreng atau melihat ayam panggang digantung dalam
res toran. Sekarang ia kaget sekali karena semenjak bertemu
dengan Ang Lian dan Pek Lian, nafsu selera yang hampir
sama, bahkan lebih me rangsang, selalu timbul di dalam
dadanya tiap kali ia melihat gadis cantik. Apalagi melihat
wajah Ce ng Ceng dari samping ini tanpa diketahui oleh gadis
itu, benar-benar membuat ia terpesona dan dia diam-diam
Tiang Bu merjadi takut. Ia takut kalau dorongan yang
merangsang itu akan mengalahkannya, dorongan yang
mendatangkan keinginan yang maha kuat untuk menubruk
dan memeluk Ceng Ceng ! "Setan bodoh!" dengan muka panas Tiang Bu menampar
pipinya sendiri dan benar saja dorongan nafsu itu segera
terbang pergi dan pi pinya terasa pedas panas . Akan tetapi
Tiang Bu masih terus menampari pipinya sampai e mpat lima
kali. Mendengar suara plak plak plok di sebelahnya, Ce ng
Ceng me nengok dan mata serta mulutnya tadinya terbuka
lebar saking herannya, kemudian tertawa geli.
"Lho ......! Kau ini sudah kumat gendengmu ataukah
memang sebangsa o.t.m. (otak miring)" Kok pipi sendiri
ditampari, kalau sudah gatal ingin ditampar kenapa tidak
maju saja ke medan pertempuran?"
Tiang Bu bersungut-sungut. Bocah pere mpuan ini selalu
mempergunakan satiap kesempatan untuk mengejek dan
menghinanya. Ia melirik dan matanya yang bundar besar itu
mendelik. "Kau bisa mengejek orang, kau sendiri ini orang
macam apa" Benar-benar seorang sahabat yang bagus! Dua
orang kawanmu terancam bahaya dan kau enak-enak saja
menjadi penonton tanpa bayar, bahkan seperti kelihatan
10 senang melihat kawan-kawan terancam bahaya. Hah, tak
tahu malu !" "Aaahh, kau anak kecil tahu apa" Mereka itu dua lawan
dua, masa aku harus turun tangan mengeroyok " Laginya,
membantu enci Pek Lian atau enci Ang Lien sebelum mereka
mundur dan mengaku kalah, berarti menghina mereka. Ahh,
kau ini benar -benar belum tahu apa-apa. Kasihan!"
Untuk kesekian kalinya Tiang Bu menjadi merah
telinganya. Biarpun ia mendongkol, terpaksa ia mengakui
kebenaran ucapan nona ini yang agaknya sudah memiliki
pengalaman luas dalam dunia kang-ouw. ia me lirik ke arah
muka Ceng Ceng yang berdiri di sebelah kirinya, menjadi geli
melihat wajah yang masih kekanak-kanakan itu berlagak
tua. "Kau berkali-kali menyebutku anak kecil " kata Tiang Bu, suaranya menyatakan kemendongkolan hati. "Padahal kau
sendiri baru berusia dua belas tahun, sedikitnya aku lebih
tua beberapa bulan atau setahun! Sepatutnya kau
menyebutku koko (kakak) kepadaku?""
Bibir gadis itu berjebi. "Cihh, siapa sudi ......... "
Pada saat itu terdengar suara keras dan pe dang di
tangan Ang Lian terlempar ole h sampokan keras golok Yo
Teng. Ang Lian menge luarkan seruan kaget dan melompat
jauh sambil berseru, "Ceng moi, tolong gantikan aku ......... !"
Entah kapan ia melompat, tahu-tahu tubuh Ceng Ceng
sudah mencelat dan ujung rantingnya ditodongkan ke depan
hidung Yo Teng yang hendak mengejar Ang Lian.
"Biarkan aku menawan perampok wanita itu!" Yo Teng
berseru sambil mendelik kepada Ceng Ceng.
"Jangan maju hidungmu akan rusak !" bentak Ceng Ceng
yang tetap menodongkan rantingnya di depan hidung Ji-kimsai Yo Teng. 11 Marahlah Yo Teng dan ketika ia memperhatikan te rnyata
gadis ini malah lebih cantik manis dari pada Ang Lian dan
lebih hebat lagi. Gadis ini di pundaknya membawa dua
kantong rampasan itu. "Bagus, kau kutawan lebih dulu," serunya menubruk
maju. "Rusak hidungmu!" bentak Ceng Ceng.
"Aduhhh....!" Ji-kim-sai Yo Teng menjerit dan terhuyunghuyung ke belakang sambil me megangi hidungnya yang
sudah berlepotan darah. Ujung hidungnya yang bes ar telah
pecah-pecah terkena tus ukan ranting Ceng Ceng, dan
biarpun ia tadi sudah mengelak sambil menangkis, tetap
saja hidungnya rusak. Di samping suara ketawanya dan gelak tawa Ang Lian
yang merasa puas dan senang sekali melihat musuhnya
dibalas, terdengar suara Ceng Ceng.
"Enci Pek Lian. t inggalkan singa kertas itu, biar aku
menghadapi mereka berdua, biar lebih enak bagiku !"
Pek Lian me mang sudah merasa bingung sekali karena
semenjak tadi belum juga ia dapat mendesak lawannya yang
ternyata benar-benar tangguh. Kini melihat Ceng Ceng
sudah turun tangan dan mendengar permintaannya, dengan
senang hati ia melompat mundur.
Yo Teng marah bukan main. Biarpun ia tidak terluka
parah yang membahayakan nyawa, namun hi dung adalah
benda lunak dan mudah berdarah, laginya merupakan alat
penting di samping perhiasan muka yang mutlak. Kini
hidungnya dirusak, tentu saja Singa Emas ke Dua ini marah
bukan main. Sambil menggereng ia me mutar goloknya, te rus
menerjang maju, sama sekali tidak perduli bahwa lawannya
hanya seorang dara belasan tahun yang bertenjatakan
sebatang ranting kecil. Akan tetapi sekali menggerakkan
kakinya melakukan langkah yang aneh Ceng Ceng terhindar
dari serangan Yo Teng dan ketika ranting diayun ke bawah
...... "tukk......... !!" disusul pekik Yo Teng lagi, kini dibarengi 12
peringisan dan kaki kirinya diangkat ke atas, ke dua tangan
memegang tulang kering kaki itu dan kaki kanan
berloncatan. "Aduh......... kurang ajar......... aduh ...... !!" Orang dapat membayangkan betapa sakitnya tulang kering dipukul
sampai hitam, tidak sampai remuk atau patah akan tetapi
mendatangkan rasa sakit yang membuat Yo Teng lupa akan
malu lagi berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
"Hi hi -hi-hi ......!" Ang Lian tertawa girang dan anak perempuan ini juga meniru-niru Yo Teng berjingkrak-jingkrak.
Melihat adiknya dipermainkan orang. Yo Seng cepat
melompat maju dan baiknya ia cukup cepat sehingga ia
dapat menangkis ranting yang kini sudah menyambar cepat
dengan totokan ke arah dada Yo Teng.
"Tranggg?"..!" Yo Seng merasa telapak tangan yang
memegang gagang golok tergetar dan kesemutan. Ia kaget
bukan kepalang. Bagaimana benturan golok dengan hanya
sebatang ranting kecil mendatangkan rasa seperti itu" Ia
lebih lebih heran me lihat betapa gadis muda itu masih
remaja puteri, tak pantas memiliki lweekang setinggi itu.
"Tahan dulu l" bentaknya sambil menyeret tangan
adiknya ke belakang. Yo Seng berlaku cerdik. Karena
menduga ia berhadapan dengan orang pandai, ia sengaja
be rhenti hendak tahu siapakah lawannya berbareng
memberi kesempatan kepada adiknya untuk memulihkan
kakinya. "Tahan tahan apa lagi! Kalian dua ekor singa kertas
menjemukan sekali. Lekas pergi dari sini kalau masih
sayang jiwa." kata Ceng Ceng dengan sikap angker.
"Kami sudah mengenal dua orang puteri Huang-ho
Sianjin. Sekarang muncul kau ini siapakah, nona" Siapa
ayahmu dan mengapa pula kau mencampuri urusan ini"
13 Apakah kau juga ingin merampas barang barang itu?" tanya Yo Seng.
"Jangan banyak cerewet. Aku siapa tak perlu kalian tahu.
Yang penting, dua orang cici ini merampas barang untuk
menoIong rakyat, cukup. Dan aku yang akan menghajar
kalian kalau tidak lekas lekas pergi."
"Koko, hantam saja bocah kurang ajar ini!" tiba-tiba Yo
Teng berseru. Kakinya sudah tak sakit lagi dan sekarang
dengan marah ia menyerbu. Yo Seng juga menggerakkan
goloknya dan di lain saat Ceng Ceng sudah dikeroyok oleh
kakak beradik yang di daerah Kiangse sudah amat terkenal
ini. Tiang Bu menonton dan memperhatikan ge rakan-gerakan
Ceng Ceng. Ia kagum sekali karena gerak kaki dan tangan
gadis ini benar-benar luar biasa, bahkan pada dasarnya
tidak berbeda banyak dengan ilmu-ilmu silat yang pernah di
pelajari dari kake k-kakek sakti Omei-san. Siapakah gurunya


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan siapa ayahnya " Diam diam Tiang Bu ingin sekali tahu
akan hal ini. Sementara itu, kedua saudara Yo yang merasa takkan
dapat me nangkan gadis luar bias a ini, se gera memberi tanda kepada murid-muridnya. Enam orang murid itu serentak
mencabut golok-goloknya. Akan tetapi baru s aja golok
dicabut keluar dari sarungnya, tiba tiba berkelebat sesos ok
bayangan dan terde ngar "bayangan" itu berkata. "Tak boleh main keroyok!" Ketika bayangan itu berkelebat dari orang
pertama, ke dua, dan selanjutnya, eh ".. tahu-tahu semua
golok telah terbang dari tangan enam orang murid Siangkim-sai dan telah pindah ke dalam tangan Tiang Bu yang
sudah berdiri kembali di tempat semula. Kemudian dengan
masih tersenyum-senyum Tiang Bu menonton pertempuran
lagi. Ceng Ceng lihai sekali. Biarpun ia sedang bertempur
dike royok dua orag yang tak sekali-kali boleh disebut lemah, matanya yang tajam itu masih dapat melihat bahwa Tiang
14 Bu telah turun tangan membantunya melucuti enam orang
lawan yang hendak mengeroyok, ia menjadi gemas dan tidak
mau kalah muka. Tiba-tiba rantingnya berge rak makin ce pat
lagi dan dalam enam jurus berikutnya, Yo Te ng te rlempar
dalam keadaan le mas tertotok sedangkan Yo Se ng te rpaksa
melompat karena goloknya terlepas dari pegangan.
Perge langan tangannya telah kena "dicium" ujung ranting yang runcing dan kalau dia tidak cepat-cepat melompat
mundur, tentu ia sudah terguling.
"Hebat." ia menjura, "kami mengaku kalah, nona. Akan
tetapi kuharap nona yang memiliki kepandaian tinggi cukup
bersikap gagah dan jujur, mau memperkenalkan diri kepada
kami agar kami tahu siapakah yang bert anggung jawab atas
perampasan barang-barang ini."
Ceng Ceng tersenyum mengejek. "Diberi tahu namaku
sekalipun kau mana kenal " Barangkali kau sudah
mendengar nama ayah. Ayahku bernama Pek-thouw-tiauwong Lie Kong." "Hayaaaa ....." Teriakan ini keluar dari mulut Tiang Bu
yang memandang kepada Ceng ceng dengan mulut celangap.
"Eh, kau kenapa?" tanya Ang Lien yang berdiri dekat
Tiang Bu. Gadis ini tadi meli hat sepak terjang Tiang Bu
melucuti orang meras a kagum dan mendekat jejaka itu.
Ditegur dengan tiba-tiba oleh Ang Lian yang menggaplok
punggungnya, Tiang Bu kaget dan s adar. "Tidak apa-apa,"
jawabnya tenang namun hatinya berdebar tidak karuan.
Jadi Ceng Cang itu puteri Lie Kong malahan.
Juga Twa-kim-sai Yo Seng terkejut bukan main. Tentu
saja dia mengenal nama Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong yang
boleh dibilang merajai dunia persilatan di bagian timur
menjadi locianpwe atau datuk yang disegani, Ia menjadi
makin gelisah karena kalau datuk itu yang merampas
barang-barang kawalannya, hebat! I a cepat menjura sampai
dalam dan rendah di depan Ceng Ceng yang sebenarnya
15 bernama Lie Ceng, akan tetapi sejak kecil biasa dis ebut Ceng Ceng.
"Ah, tidak tahunya kami be rhadapan dengan Lie-lihiap
puteri taihiap Pek-thouw tiauw-ong! Maafkan kalau kami
bermata tak dapat mel ihat. Kalau kami mengetahui, bi ar
matipun kami takkan berani melawan. Akan tetapi
lihiap......... hendaknya diketahui bahwa barang-barang itu
bukan milik sembarangan orang. Kalau milik kami sendiri
tanpa dimintapun kami rela memberi sebagai tanda
penghormatan kepada lihiap. Akan tetapi benda-benda itu
menurut Kwee taijin adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun
di kola raja Kerajaan Kin, dan harganya tak dapat terbeli?"
Bagaimana pertanggungan jawab kami terhadap Pangeran
Wanyen Ci Lun kelak........!" Suara piauws u tua itu betulbetul terdengar sedih dan putus asa, maka diam-diam Ceng
Ceng merasa kas ihan juga. Biarpun harta benda itu barang
tidak halal, juga dirampasnya untuk menolong rakyat, akan
tetapi orang she Yo, yang tidak berdosa ini, kasihan juga
kalau harus me nanggung akibatnya yang berat.
"Aku tidak tahu dan tidak perduli. Kami hanya
melakukan perintah orang-orang tua kami . Kalau Yo piauwsu merasa pe nasaran boleh kau kelak menyusul ayah yang
sekarang berada di kediaman Huang ho Sian-jin di lembah
Sungai Kuning. At au boleh juga kelak kau menemui ayah di
rumah kami kalau ayah sudah pulang dari sana. Sekarang
pergilah, jangan ganggu kami lebih lama legi!"
Sikap Ceng Ceng angker dan tak dapat dibantah lagi. Yo
Seng tahu diri dan jalan yang ditunjuk oleh gadis muda itu
memang tepat dan merupakan jalan satu-satunya baginya.
Maka ia lalu mengumpulkan muri d-muridnya untuk diaj ak
pulang dengan sikap lesu. Tak lama kemudian derap kaki
kuda rombongan piauwsu ini meninggalkan tempat itu.
"Wah. adik Ceng Ceng memang hebat. Mudah saja
mengundurkan mereka yang galak." Memuji Pek Lian sambil
16 menjura. "Aku benar-benar merasa takluk, kepandaianmu
makin hebat saja, adik Ceng Ceng."
"Tiang Bu ini juga hebat, kiranya tidak kalah oleh Cengmoi?" tiba tiba Ang Lian berkata. "Enam orang piauwsu sekaligus dilucuti secara aneh."
Mendengar ini, Ceng Ceng mengerling kearah Tiang Bu
dan mulutnya mengejek. "Apa sih anehnya merampas
senjara dari tangan gentong-gentong nasi kosong" Lebih
mudah merampas senjata dari tangan bangkai ! Kesinikan
dua bungkusan itu, harus aku sendiri yang membawanya!"
bentaknya kemudian sambil menghampiri Tiang Bu.
Tiang Bu yang sekarang sudah tahu bahwa ayah nona ini
adalah Pek-thouw tiauw-on Lie Kong yang ia cari dan bahwa
orang itu kini juga berada di lembah Huang-ho, mengalah. la
tersenyum dan memberikan dua buah kantong itu kepada
Ceng Ceng, lalu berkata, "Aku kagum dan takluk juga
menyaksikan kelihaianmu. Nah, bawalah kalau
kaukehendaki." Setelah menerima dua bungkusan itu, Ceng Ceng lalu
melompat ke atas kuda hitamnya dan berkata, "Mari kita
pergi!" Pek Lian dan Ang Lian juga melompat ke atas kuda.
Melihat Ce ng Ceng melarikan kuda tanpa menoleh lagi
kepada Tiang Bu, Pek Lian agak ragu-ragu. Tak terasa lagi
gadis berpakaian pria itu menoleh sekilas pandang ke arah
Tiang Bu, kemudian iapun mengeprak kudanya menyusul
Ceng Ceng sambil berseru, "Mari, moi-moi."
Ang Lian tersenyum kepada Tiang Bu dan mengejek,
"Kau mau ikut" Kenapa tidak membonceng di belakang
enciku" Hi-hi, kau larilah, selamat berlari-larian." Sambil tertawa-tawa gadis itupun membedal kudanya me nyusul
Ceng Ceng dan Pek Lian. Tiang Bu tersenyum. Tak lama kemudian iapun berlari
cepat dan Ang Lian sama sekali ti dak heran ketika melihat
17 bayangan Tiang lu menyusulnya dan melewatinya. Juga Pek
Lian yang sudah maklum akan kepandaian pemuda ini tidak
merasa heran. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat
bayangan pemuda ini menjajari kuda hitamnya, ia menjadi
marah dan menyumpah-nyumpah, lalu kudanya dibalapkan
makin cepat lagi! Demikianlah, dengan ilmu larinya yang tinggi, Tiang Bu
menyertai perjalanan tiga orang dara jelita itu menuju ke
Sungai Huang-ho di utara.
-oo(mch)oo- Mari kita tinggalkan dulu orang-orang muda itu dan
menengok kejadian penting yang terjadi di atas sebuah
perahu besar yang bergoyang-goyang di tepi laut selatan. Di
atas perahu besar ini, dua orang sedang bercakap-cakap
menghadapi meja dengan sikap bersungguh-sungguh,
sedangkan dua orang muda, seorang gadis dan seorang
pemuda berdiri mendengarkan percakapan mereka itu tanpa
borgerak. Yang duduk bcrcakap-cakap adalah seorang
setengah tua yang barpakaian seperti panglima perang dan
kepalanya gundul, mukanya keren dan bersifat kejam. Yang
duduk di depannya bercakap-cakap dengan dia adalah
seorang nenek yang mengerikan seperti iblis, bahkan tiga
ekor kelelawar yang selalu beterbangan di at as kepalanya
dan kadang-kadang hinggap di pundaknya, menambah
keseramannya. Nenek ini adalah Toat-beng Kui bo, nenek aneh dari
pantai selatan. Adapun panglima gundul itu bukan lain
adalah Tee tok Kwa Kok Sun ! Dan pemuda- pe mudi itu "
Yang laki-laki adalah Wan Sun dan yang wanita Wan Bi Li,
putera dan pateri Wanyen Ci Lun atau wurid-murid Ang-jiu
Mo-li yang sakti. Wan-Sun telah menjadi seorang pemuda
tampan sekali, sedangkan Bi Li juga telah me rupakan
seorang dara yang luar biasa cantiknya, demikian luar
biasanya sehingga ia terkenal di kota raja sebagai seorang
18 dara yang cantik jelita gagah perkasa. Bahkan orang-orang
menganggapnya sebagai "bunga kota raja".
Benar-benar mengherankan sekali, bagaimana Wan Kok
Sun manusia berbisa itu kini menjadi seorang panglima
besar Kerajaan Kin dan berada di satu perahu dengan
putera-puteri Pangeran Wanyen Ci Lun " Unt uk mengetahui
hal ini mari kita sapintas lalu meninjau keadaan Kwan Kok
Sun yang ia alami baru baru ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tee tok Kwan
Kok Sun Si Racun Bumi ini bersama Thai Gu Cinjin
menyerbu Omei-san. Adalah siasat Thai Gu Cinjin untuk
membakar pondok kakek 0mei-san itu di bagian
perpustakaannya sehingga keadaan menjadi kacau balau
dan Thai Gu Cinjin mendapat kesempatan untuk mencuri
sebuah kitab. Kwan Kok Sun sendiri yang mendapat tugas
melakukan pembakaran di sana-sini, tidak sempat pula
untuk ikut-ikut mencuri kitab. Ia diberi janji oleh Thai Gu
Cinjin bahwa pendela Lama Jubah Merah ini akan
mengambilkan sebuah untuknya atau kalau hanya
mendapat sebuah, Kwan Kok Sun juga berhak sebagian
tegasnya ia boleh juga kelak mempelajari isi kitab itu.
Demikianlah setelah berhasil mendapatkan kitab, Thai
Gu Cinjin melarikan diri bersama Tee-tok Kwan Kok Sun,
berlari turun dari puncak Omei-san dan terus melarikan diri
ke arah utara dengan cepat. Setelah turun gunung dan lari
jauh selama setengah hari tanpa berhenti, Kwan Kok Sun
dengan napas terangah-engah bertanya,
"Losuhu, bagaimana hasilnya Apakah losuhu tidak lupa
untuk membawakan sebuah untukku ?"
"Tidak ada kesempatan......... tidak ada kesempatan
......... Tiong Jin Hwesio keburu datang dan siapa sanggup
menandingi kakek sakti itu" Kalau pinceng tidak cepat-cepat
lari tentu tidak se mpat lagi turun gunung...." Ia menarik napas panjang dan matanya melirik ke arah Kwan Kok Sun.
19 Tee tok Kwan Kok Sun curiga sekali dan tidak percaya,
akan tetapi karena maklum akan kelihaian Thai Gu Cinjin,
ia diam saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda sesuatu.
Akan tetapi dalam hatinya ia mendongkol bukan main. Ia
dapat menduga bahwa hwesio Lama dari Tibet ini tentu
menipunya dan tentu di dalam saku jubah yang lebar itu
tersimpan entah beberapa buah kitab.
"Jadi petpustakaan itu dibakar untuk percuma saja dan
semua kitab di tempat itu habis terbakar" Aduh, sayang
sekali !" seru Kwan Kok Sun sewajarnya. Diam-diam ia
mengatur sias at untuk mendapatkan kitab di dalam saku
baju hwesio Lama itu. Biarpun belum melihat buktinya,
namun Kwan Kok Sun bukanlah anak kecil dan
pengalamannya dalam hal tipu-tipu muslihat orang kangouw, sudah cukup banyak. Akan tetapi di lain fihak, Thai Gu Cinjin juga bukan
orang biasa, malah kalau dibandingkan dengan Kwan Kok
Sun, ia menang banyak dalam hal tipu muslihat. Thai Gu
Cinjin adalah seorang tokoh yang sudah amat terkenal
kecerdikannya dan ke licikannya, dan inipun Kwan Kok Sun
sudah tahu. Ia mau kerja sama dengan Thai Gu Cinjin
hanya karena mengingat akan pe rsamaan daerah, juga Kwan
Kok Sun berasal dari daerah barat, lebih barat dari Tibet
malah. Ayahnya, See-thian Tok-ong Si Raja Racun dari Baral
adalah seorang peranakan India. Untuk turun tangan sendiri
di Omei-san mencuri kitab, bagi Kwan Kok Sun merupakan
pekerjaan yang tidak mungkin, te rlampau berat. Oleh karena
itu ia bersedia bekerja sama dengan Thai Gu Cinjin dengan
harapan, mendapatkan bagian. Akan tetapi, se perti yang
sudah ia sangsikan setelah berhasil, Thai Gu Cinjin hendak
menipunya. Diam-diam Thai Cu Cinjin juga mengatur siasat untuk
menyingkirkan Kwan Kok Sun. Memang kalau tidak amat
terpaksa, ia tidak hendak membunuh Tee-tok Kwan Kok Sun
20 mengingat bahwa dahulu Thai Gu Cinjin pernah menerima
pelajaran dari See-thim Tok-ong ayah Kwan Kok Sun
sehingga biarpun amat jauh, di antara mereka ada
perhubungan persahabatan yang sudah lama. Kalau Kwan
Kok Sun tidak membuat banyak ribut dan tidak
mengganggunya dengan kitab yang berhasil dicurinya,
cukuplah. "Losuhu, setelah aku membantumu dalam penyerbuan
Omei-s an, biarpun sayang sekali tidak menghasilkan
ses uatu, maka sekarang gil iranku untuk mohon bantuanmu
seperti pernah kunyatakan sebelum kita berangkat ke Omeisan," kata Kwan Kok Sun.
"Baleh, boleh sekali. Memang bantuanmu di Omei-san
harus pinceng balas. Pinceng bukan orang yang tak kenal
budi. Ceritakan sahabatku, urusan apa itu di kota raja?"
"Losuhu, sesungguhnya aku mempunyai rahasia besar di
kota raja Kerajaan Kin. Aku mempunyai seorang anak
perempuan yang kini berada di rumah seorang pangeran
besar. Thai Gu Cinjin membelalakkan matanya dan tertawa
lebar. "Ha-ha ha, Tee-tok Kwan-Kok-Sun. Dulu pernah
pinceng mendengar bahwa kau mempunyai isteri akan tetapi
kau juga punya anak" Ha-ha-ha, benar-benar aneh
kedengarannya orang seperti kau ini bisa punya isteri dan
anak. Teruskan, teruskan!"
"Isteriku meninggal dunia, meninggalkan seorang anak
kecil. Karena amat sukar mengurus arak pula karena ingin
sekali melihat anakku itu berada dalam perawatan baik

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik, maka aku lalu meninggalkan anakku itu di rumah
seorang pangeran yang bernama W anyen Ci Lun, di kota
raja. Sampai sekarang hal itu telah terjadi tiga belas tahun
lebih dan anak itu sekarang tentu berusia e mpat belas
tahun. Aku ingin sekali mengambilnya kembali, akan tetapi
karena rumah Pangeran besar itu terjaga kuat, aku tidak
21 berani. Sekarang aku mohon pertolongan losuhu untuk
membantu aku mengambil kembali anak itu."
"Ha-ha-ha-ha, hal semudah itu apa sih sukarnya " Tentu
saja pinceng sanggup membantumu. Jangan khawatir,
sahabat. Pinceng pasti akan dapat mengambil puterimu itu."
Demikianlah, dengan amat cerdik Kwan Kok Sun
mengatur siasatnya untuk menjebak Thai Gu Cinjin, Apa
yang diceritakan oleh Kwan Kok Sun itu memang tidak
bohong dan anak yang ia maksudkan itu bukan lain adalah
Bi Li yang ia tinggalkan di dalam taman keluarga Wanyen Ci
Lun ketika Bi Li baru berusia setengah tahun. Akan tetapi ia
membohong kalau bilang bahwa ia ingin mengambil anak itu
kembali. Ia tahu bahwa anak i tu kini telah menjadi murid
Ang jiu Mo-li yang lihai.
Oleh karena inilah ia hendak memancing Thai Gu Cinjin
agar menculik Bi Li sehingga akan berhadapan dengan Ang
Jiu Mo-li se ment ara ia akan muncul sebagai penolong Bi Li
agar bisa mendapat kepercayaan Pangeran Wanyen Ci Lun
dan bisa berkumpul dengan anak itu.
Setelah Thai Gu Ci njin melihat bahwa Kwan Kok Sun
tidak menyinggung-nyinggung soal kitab O mei-san, ia
menjadi lega dan de ngan sungguh-sungguh ia ingin
membantu Kwan Kok Sun menculik kembali anaknya dari
gedung pangeran itu. Dengan cepat mereka melakukan
perjalanan dan setelah tiba di kota raja, mere ka menanti
sampai malam tiba. Sementara itu Kwan Kok Sun sudah
pergi menyelidiki dan mendengar bahwa Ang-jiu Mo Li
kebetulan berada di rumah Wanyen Ci Lun, ia menjadi lega.
Tadinya ia khawatir kalau wanita sakti itu tidak ada. Kalau
demikian halnya, tentu ia akan merubah rencananya.
Biarpun jalan masuk ke lingkungan bangunan istana
terjaga kuat sekali, namun bagi orang selihai Thai Gu Cinjin
dan Tee-tok Kwan K ok Sun, menyelinap masuk ke
lingkungan itu bukanlah hal yang sukar. Juga penjagapenjaga di sekeliling dinding tembok pekarangan gedung
22 Pangeran Wanyen Ci Lun bukan apa-apa bagi mereka.
Dengan ginkang me reka yang tinggi, bagaikan dua sosok
bayangan iblis mereka melewati dinding tembok tanpa
terlihat oleh seorangpun penjaga yang umumnya hanya
memiliki kepandaian silat biasa saja. Di lain saat Thai Gu
Cinjin dan Kwan Kok Sun telah berada di atas genteng
rumah gedung Pangeran Wanyen Ci Lun.
Keadaan sunyi sekali karena waktu telah menjelang
tengah malam dan agaknya seisi rumah telah tidur pula.
Akan te tapi se orang sakti seperti Ang jiu Mo Li sudah tentu saja memiliki pendengaran yang amat tajam. Kalau orang
lain masih enak pulas karena jejak kaki Thai Gu Cinjin dan
Kwan Kok Sun memang tidak menerbitkan suara, adalah
Ang Jiu Mo-li telah mendengar suara yang mencurigakan di
atas genteng. Pendengaran wanita sakti ini sudah de mikian
terlatih tajam sehingga ada seekor kucing saja berjalan di
atas genteng, kiranya ia akan mendengarnya juga.
Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati Thai Gu
Cinjin ketika tiba tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di
bawah sinar bulan ia melihat Ang-jiu Mo-li telah berdi ri di
depannya! "Ang-jiu Mo-li ...... kau di sini?" tak terasa lagi saking kagetnya Thai Gu Cinjin berseru, hatinya gelisah.
"Hemm, kiranya Thai Gu Cinjin si gundul penipu ulung
yang datang malam-malam seperti seorang maling kecil. Kau
mau apa?" Thai Gu Cinjin yang memang sudah kaget dan gelisah.
dibentak demikian oleh wanita sakti yang ditakutinya itu
menjadi lebih gugup, "Ang-jiu Mo-li, pinceng......... . pinceng kesasar ........ tak tahu kau di sini......... "
"Penjahat berjubah pendeta. Setelah kau melakukan
pembakaran yang mengacaukan puncak Omei-san, kau
sekarang muncul di kota raja ini mau apa" Dan mengapa
justeru tempat ini yang kaukunjungi?"
23 Disebutnya peristiwa di 0mei-san menimbulkan akal
dalam kepala Thai Gu Cinjin yang penuh tipu muslihat itu.
Wajahnya segera berubah terang dan ia berkata.
"Terhadap kau mana bisa orang membohong. Ang jiu Moli" Sesungguhnya pince ng datang ke kota raja ini sengaja
hendak menemuimu. Bukankah kau dahulu telah berhasil
menggondol pergi sebuah kitab dari Omei-san?"
Ang.jiu Mo-li mengerutkan keningnya dan mata yang
tajam itu memandang penuh curiga. Memang ia tidak takut
sama sekali menghadapi Thai Gu Cinjin oleh karena sudah
beberapa kali ia ukur kepandaian pendeta Lama ini dan
selalu menang. Akan tetapi, dise butnya perkara pencurian
kitab di Omei-san itu membikin ia merasa tidak enak hati,
sungguhpun dua orang kakek sakti di Omei-san telah tewas.
Pengaruh nama besar dua orang kakek sakti dan luar biasa
itu rupa-rupanya masih cukup hebat untuk membikin jerih
hati seorang lihai seperti Aug jiu Mo-li.
"Kau membuka mulut seperti membuka peti sampah
saja! Andaikata betul aku mendapatkan kitab, habis kau
mau apakah" Mau merampasnya?"
"Ha ha ha, Ang- jiu Mo-li, kau s elalu menganggap jahat
pada pinceng. Kau harus ingat bahwa kalau pinceng tidak
membakar perpustakaan di puncak Omei san, begaimana
kau dapat merampas kitab dari tangan dua orang kakek
sakti itu " Sedikit banyak kau mendapatkan kitab adalah
karena jasaku ! Oleh karena itulah aku datang ini untuk
minta balasan kebaikanmu, mengingat akan jasa pinceng
yaitu untuk meminjam kitab Omei-san itu barang satu dua
bulan. Bukankah permintaan ini adil namanya ?"
Memang Thai Cinjin orangnya cerdik Begitu ketemu
batunya, ia dapat mencari jalan yang lain, untuk
menghindarkan diri. I a tahu bahwa takkan menang melawan
Ang-jiu Mo-li dan merasa khawatir kalau kalau maksud
sesungguhnya dari kedatangannya bersama Kwa Kok Sun
malam itu akan diketahui oleh Ang jiu Mo-li ! Maka ia
24 memutarbalikkan persoalan dan sengaja mercari alasan
untuk menutupi maksudnya menculik anak Kwan Kok Sun
yang katanya dititipkan di rumah Pangeran Wanyen Ci Lun.
Diam diam Kwan Kok Sun kaget dan kagum sekali akan
kecerdikan pendeta Lama ini. Ia sudah mulai khawatir kalau
kalau siasatnya takkan berhasil.
Akan tetapi Ang-jiu Moli juga bukan seorang bodoh.
Biarpun kemarahannya memang agak berkurang ketika
mendengar kata-kata Thai Gu Cinjin yang memang masuk di
akal itu, namun ia masih selalu bercuriga.
"Thai Gu Cinjin, kau pandai bicara. Kalau mau bicara
tentang pencurian atau perampokan di puncak Omei-san,
maka kaulah maling dan rampoknya! Kau yang membakar
rumah orang, kau yang sengaja dat ang untuk mencuri kitab.
Sudah tentu kau telah mendapatkan beberapa buah kitab.
Seperti aku andaikata mendapatkan kitab, itupun bukan
pencurian atau perampasan, paling paling dapat disebut
menyelamatkan kitab dari pada jadi makanan api. Kau mau
pinjam kitab " Boleh, boleh, akan tet api kaupun harus
mengeluarkan kitab Omei-san yang kaucuri untuk
kupinjam. Kita sama-sama meminjam untuk satu dua
bulan, bukankah ini namanya saling menguntungkan ?"
Thai Gu Cinjin menjadi pucat, dan untungnya sinar
bulan memang sudah membuat muka erang kelihatan pucat
maka kepucatan mukanya, tidak kentara. Diam diam ia
mengeluh di dalam hatinya. Bagaimana mungkin bertukar
kitab" Ang-jiu Mo-li tentu sudah mempelajari atau sudah
menghafal isi kitab yang dimilikinya, maka andaikata kitab
itu hilang sekalipun tidak akan rugi. Sebaliknya untung
kalau dapat meminjam kitab yang dikantongi Thai Gu Cinjin
karena berarti mendapatkan ilmu silat tinggi yang baru. Di
lain fihak, dia sendiri belum mempelajari kit ab rampasannya
itu, bagaimana dia bisa me mbe rikan kepada orang lain"
Juga untuk mengaku terhadap seorang seperti Ang-jiu Mo li
adalah berbahaya se kali.
25 Kwan Kok Sun yang mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li
menjadi senang hatinya. Akan tetapi ia pura-pura ketakutan
dan ke turunan See -thian Tok-ong Si Raja Racun dari barat
ini cepat melompat sambi l berkata dengan nada takut, "Lo suhu, mari kita pergi saja."
Bagi Thai Gu Cinjin, perbuatan Kwan Kok Sun ini
dianggap karena takutnya kepada Ang jiu Mo li, akan tetapi
bagi Ang-jiu Mo-li makin bertambah tebal dugaannya bahwa
tentu Thai Gu Cinjin benar-benar telah berhasil mengambil
banyak kitab Omei-san ! Memang inilah yang dikehendaki
oleh Kwan Kok Sun supaya Ang-jiu Mo li terpancing dan
tidak mau melepaskan Thai Gu Cinjin.
"Baik, kita pergi saja kalau Ang-jiu Mo-li tidak ingat budi dan tidak mau me minjamkan kitabnya," kata Thai Gu Cinjin yang menjadi makin gelisah karena sikap takut-takut Kwan
Kok Sun tidak menguntungkan dia. Dengan cepat ia
mengipatkan ujung lengan bajunya tubuhnya yang tinggi
besar itu me lesat seperti terbang cepatnya menyusul Kwan
Kok Sun. "Thai Gu......... jangan pergi sebelum meninggalkan kitabkitabmu !" Ang- jiu Mo-li berseru dan bagaikan burung walet
cepatnja wanita yang lihai inipun melesat dan mengejar.
Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya ke belakang.
Gerakan serentak ini ia lakukan untuk menyerang
pengejarnya secara tiba-tiba dan dia setengah yakin bahwa
biarpun Ang.jiu Mo-li lihai sekali, kiranya serangannya yang
dilakukan dengan tiba tiba dan disertai pengerahan te naga
ini akan mengenai sasaran. Akan tetapi benar-benar hebat,
dengan tangan kiri dimiringkan di depan dada dan tangan
kanan dikibaskan, sikapnya agung sekali, Ang-jiu Mo li
sudah dapat menghindarkan diri dari serangan itu. Thai Gu
Cinjin kaget. Belum pernah ia melihat gerakan seperti itu.
Ang-jiu Mo-li memang orangnya cantik, akan tetapi ketika
melakukan gerakan tadi kelihatan agung sekali seperti
seorang pandeta wanita, atau lebih tepat lagi seperti seorang 26
de wi. Tentu saja Thai Gu Cinjin menjadi makin jerih dan ia
tidak tahu bahwa yang baru saja digunakan oleh Ang-jiu Moli untuk mengehadapi serangannya yang dahsyat tadi adalah
jurus dari ilmu Silat Kwan Im-cam-mo (Dewi Kwan lm
Menaklukkan lblis) yaitu ilmu silat yang terdapat dal am
kitab Omei-san yang diselamatkan dari api oleh Ang-jiu Mo
li. Selagi Thai Gu Cinjin kebingungan, dari se belah kanan
melesat bayangan lain dan tahu-tahu sinar pedang yang
aneh gerakannya me layang ke arah tenggorokannya. Pendeta
Lama ini berkepandaian tinggi, biarpun keadaannya sangat
berbahaya, namun ia masih dapat menggerakkan
tongkatnya dan menangkis. Pedang itu terpental dan hatinya
lega. Ternyata yang me nyerangnya adalah seorang gadis
tanggung yang memegang sebatang pedang. Serangan gadis
ini cukup gesit dan cepat, namun tenaganya masih jauh
kalau dibandingkan dengan Thai Gu Cinjin. Munculnya
gadis ini bahkan menolong Thai Gu Cinjin oleh karena
serangan pembalasan dari Ang jiu Mo-li jadi tertunda atau
terhalang. "Bi Li, mundur! Biar aku menangkap pendeta gundul ini!"
Ang-jiu Mo-li berseru. Dara itu mengendurkan kejarannya
dan Ang j Mo-li, gurunya melesat di sebelahnya. Akan tetapi
kesempatan itu diperpunakan oleh Thai Gu Cinjin untuk
melarikan diri dalam ge lap.
"Ssst, losuhu, sini ......... !" tiba-tiba dari tempat gelap terdengar suara Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin yang sudah
hasil meninggalkan Ang-jiu Mo-li karena terlindung dalam
gelap pada saat awan menutupi bulan, cepat melompat ke
arah suara itu. Tempak Kwan Kok Sun telah berse mbunyi di
bawah sebuah jembatan di lingkungan istana. Kwan Kok
Sun menyambar tongkat Thai Gu Cinjin dan menarik kawan
ini. "Kau pengecut ......... meninggalkan pinceng ......... !" Thai Cu Cinjin me negurnya.
27 "Sstt, jangan keras-keras, losuhu. Si apa tahu kalau di
sini ada siluman wanita itu ?"
"Hampir celaka ......... " kata Thai Gu Cinjin berbisik.
"Kita harus dapat melarikan diri malam ini juga. Kalau
lewat malam ini, besok pagi tak mungkin kita dapat kel uar
dari dinding yang melingkungi istana. Dan agaknya Ang-jiu
Mo-li terus mengejar losuhu. Celakanya dia tahu bahwa
losuhu membawa kitab-kitab....."
Dalam kebingungan dan kegelisahannya, Thai Gu Cinjin
kurang hati-hati dan lupa bahwa ia telah menyangkal
kepada Kwan Kok Sun tentang kitab Omei-san.
"Gila betul, dia hendak memaksa pinceng me ngeluarkan
kitab ........" tiba-tiba ia berhenti dan memandang ke arah
Kwan Kok Sun. Tangannya bergerak dan di lain saat
pergelangn tangan Kwan Kok Sun sudah dipegangnya eraterat. Akan tetapi di dalam gelap itu, biarpun kepandaiannya
kalah tinggi, Kwan Kok Sun dapat melakukan ancaman
balasan. Jari-jari tangannya yang penuh hawa-hawa Hek-tok
(Racun Hitam) sudah menempel di lambung pendeta Lama.
`"Losuhu, jangan main main, kalau aku mati, kaupun
takkan keluar dari sini dalam keadaan bernyawa. Apa
maksudmu?" kata Kwan Kok Sun dengan suara lirih.
"Lepaskan tangan hitammu!" Thai Gu Cinjin membentak,
suaranya mengandung ancaman hebat.
"Thai Gu Cinjin, jangan kau main curang. Aku tadinya
percaya penuh kepadamu, me ngapa kau berkali-kali
menipu" Bukankah selama ini aku selalu membantumu"
Kau mendapatkan kitab-kitab 0mei -san, mengapa kau
membohong" Sekarang dalam menghadapi ancaman, kau
masih tidak percaya kepadaku padahal aku selalu se tia dan
kaulah yang curang."
Thai Gu Cinjin melepaskan cengkeramannya dan
menarik napas panjang. 28 "Kau benar, menghadapi Ang-Jiu Mo-li kita harus
bersatu. Sekarang bagaimana baiknya, Tee tok ?"
"Tidak ada lain jalan, serahkan kitab-kitab itu padaku !"


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau gila .....!" kembali Thai Gu Cinjin menggerakkan
tangannya, akan te tapi biarpun gelap, Kwan Kok Sun dapat
mendengar gerakan ini dan cepat ia menyingkir sambil
berkata. "Sabaarr.......! Kalau Losuhu memberikan kitab-kitab itu kepadaku, losuhu akan selamat. Bukankah yang dicari oleh
Ang-jiu Mo-li itu kitab-kitab Omei-san" Kalau losuhu
menyerah kemudian dia mendapat kenyataan bahwa benarbenar losuhu tidak membawa kitab bukankah losuhu dapat
keluar dari tempat itu " Scdangkan aku dengan mudah
dapat keluar karena memang Ang-jiu Mo li tidak ada urusan
apa apa dengan aku. Lain orang aku tidak takut."
"Akan tetapi kitab itu ........ kuberikan kepadamu......"
Enak saja kau !" "Losuhu masih tidak percaya kepadaku" bukan diberikan
melainkan dititipkan. Kitab-kitab itu......... "
"Hanya sebuah!"
"Hemm, hanya sebuahkah " Nah, baiklah. Sebuah kitab
itu adalah hak milik kita berdua. Biarlah kubawa dulu
kemudian kalau losuhu sudah dapat melepaskan diri dari
Ang-jiu Mo-li, kelak kita pelaj ari bersama. Aku menanti
losuhu di sebelah selatan pintu gerbang kota raja."
"Dan kau nanti lari minggat dengan kitab itu?" kata Thai
Go Cinjin me ngejek. "Losuhu, berapakah lebarnya langkahku" Tentu akhirnya
dapat kaususul. Sudahlah, sekarang tidak ada waktu lagi,
kau tinggal pilih saja. Kautit ipkan kitab itu kepadaku dan
aku me nantimu di selatan pintu gerbang kota raja, atau aku
pergi meninggalkan kau dan kau boleh berebutan kitab
29 dengan Ang-jiu Mo-li !" Setelah berkata demikian, Kwan Kok
Sun hendak melangkah pergi.
Thai Gu Cinjin yang biasanya banyak tipu muslihatnya,
kini tak terdaya. Memang jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diri dan kitabnya hanya menuruti usul
Kwan kok Sun. Kecuali itu tidak ada pemecahan lain. Kalau
ia muncul dari bawah jembatan tentu akan terdapat oleh
Ang-jiu Mo-li dan kalau wanita iblis itu mendapatkan kitab
Omei- san dalam kantungnya, pasti ia celaka. Sebaliknya,
kalau Kwan Kok Sun dapat nenyelamatkan kitab, kelak
mudah saja ia mencari dan merampas nya kembali.
Pokoknya asal ia bisa lolos malam ini dari ancaman Ang jiu
Mo-li. "Ni h, kaubawalah ! Lekas kau pergi dan tunggu di luar
tembok kota," katanya menyodorkan scbuah kitab yang
diambilnya dari saku jubah sebelah dalam.
Kwan Kok Sun menerima kitab itu, memasukkannya ke
dalam saku, lalu pergi s ambil berkata. "Terima kasih atas kepercayaanmu."
Setelah bayangan Kwan Kok Sun menghilang ke dalam
gelap, Thai Gu Cinjin juga keluar dari tempat
pe rsembunyiannya dengan hati-hati. Biarpun kini ia tidak
membawa kitab yang dicari-cari oleh Ang-jiu Moli, bahaya
bagi dirinya tidak begitu besar lagi, namun lebih selamat dan baik kalau tidak bertemu sama sekali dengan Ang-jiu Mo-li.
Akan te tapi belum ia berlari dengan hat i-hati menuju ke
pintu gerbang sebelah selatan tiba-tiba seorang pemuda
tampan membentaknya dengan pedang ditodongkan.
"Berhenti! Bukankah kau ini Thai Gu Cinjin yang dicari
oleh guruku ?" Sebelum pendeta lama itu menjawab, terdengar bentakan
lain, merdu, akan te tapi nyaring.
"Betul dia. koko. Serang saja!"
30 Bentakan ini dtsusul dengan berkelebatnya pedang dan
dara tanggung yang tadi membantu Ang-jiu Mo-li menyerang
Thai Gu Cinjin, sekarang sudah muncul lagi dan datangdatang menyerang pendeta Lama itu dengan pedangnya yang
ganas! Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Sun putera
Pangeran Wanyen Ci Lun, melihat adiknya menyerang lawan
lalu membantu dengan pedangnya sehingga Thai Gu Cinjin
harus cepat-cepat memutar tongkatnya untuk menangkis
serangan dua pedang yang cukup lihai itu.
"Sabar dulu orang-orang muda. Panggil gurumu Ang-jiu
Mo-li, pinceng mau bicara dengan dia !" Dia sengaja tidak balas menyerang karena kalau sampai ia melukai orangorang muda ini tentu Ang jiu Mo-li tidak mau
mengampuninya. Akan tetapi gadis muda itu, Wan Bi Li, yang sudah
mendengar dari gurunya bahwa pendeta Lama ini jahat dan
gurunya hendak mcrampas kitab-kitab Omei-san dari
pendeta ini , terus menyerang sambil membentak.
"Tak usah banyak rewel. Menyerah dan serahkan kitabkitab !" "Pinceng tidak membawa kitab." Thai Cinjin mengelak sambil coba memberi keterangan. Hatinya mendongkol
bahwa ia harus me ngalah terhadap seorang gadis seperti ini.
Tentu saja ia melakukan ini mengingat bahwa Ang-jiu Moli
berada di sekitar tempat ini. Kalau tidak demikian halnya,
mana dia suka mengalah terhadap dua orang muda yang
masih hijau seperti ini"
"Bohong ! Koko, mari kita robohkan dia, ini kehendak
Nio-nio !" seru Bi Li yang menyereng terus. Wan Sun
menyerang juga mendengar ucapan adiknya ini.
"Celaka, gadis setan ini berwatak seperti gurunya........"
Thai Gu Cinjin menge luh dan kembali ia menangkis
sehingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar
ketika dua pedang bertemu dengan tongkatnya. Kali ini Thai
31 Gu Cinjin mempergunakan tenaga sepenuhnya untuk
membikin senjata dua orang muda itu terlepas dari
pegangan. Namun pedang itu tetap berada di tengan Bi Li
dan Wan Sun, biarpun keduanya me rasa telapak tangannya
sakil-s akit dan pedang masing-masing tadi terpental keras.
Melihat ini, Thai Gu Cinjin kagum dan ia lalu me mutar
tubuh, terus lari. Tak perlu ia melayani dua orang muda
keras kepala ini, pikirnya. Lebih baik berusaha melarikan
diri dan nanti kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li,
baru bicara. Akan tetapi ia memandang dua orang muda itu terlampau
rendah kalau ia kira bisa mele paskan diri begitu mudah dari
kejaran mereka. Begitu ia me larikan diri, Wan Bi Li
membentak, "Kepala gundul jangan lari !" Dan menyusul bentakan ini, menyambar beberapa peluru pat-kwa-ci
dengan cepatnya ke tubuh Thai Gu Cinjin.
Pendeta Lama ini kaget sekali dan cepat ia membalikkan
tubuh, mengibaskan lengan bajunya memukul runtuh
semua peluru beebentuk bundar segi delapan itu. Akan
tetapi gerakannya ini tentu saja menghambat usahanya
melarikan diri dan dua orang muda itu sudah berada di
depannya lagi, langsung dua batang pedang yang cepat
ge rakannya menyerangnya.
"Kurang ajar!" Thai Gu Cinjin membentak. P ende ta Lama
ini tidak biasa bersikap sabar, maka kali inipun ia tak dapat menahan lagi untuk tidak me mbalas serangan lawan yang
mendesaknya. Demikianlah, sebelum lari lagi, ia balas
menyerang dengan maksud memukul runtuh pedang dua
orang lawannya. "Thai Gu Cinjin, kau berani menyerang dia "..?"
Berbareng dengan bentakan suara ini, seekor ular hitam
yang panjang menyambar ke arah leher Thai Gu Ci njin
untuk menggigit ! Bukan main kagetnya hati Thai Gu Cinjin,
kaget, heran dan marah. 32 "Kwan Kok Sun ......... iblis jahanam ".!" Tongkatnya
diputar ke arah Tee-tok Kwa Kok Sun dan tangan kirinya
menyambar ke arah kepala ular hitam untuk dicengkeram.
"Ular bagus.......... !" Wan Bi Li berseru kagum melihat
"senjata" yang dipergunakan oleh Kwan K ok Sun yang tak
dikenalnya itu. Karena Thai Gu Cinjin hendak
mencengkeram kepala ular itu, Bi Li lalu menyerang pende ta
Lama ini dengan tutukan ke arah lambung kirinya yang
terbuka. Terpaksa Thai Gu Cinjin mengurungkan niatnya
mencengkeram kepala ular dan tangan kirinya ditarik lagi,
siku dibengkokkan dan ujung lengan baju digerakkan ke
arah pedang Bi Li, terus dilibat dan dibetot. Di lain saat
pedang gadis itu telah kena dirampas . Wan Sun s udah
menyerang dari samping, membabat pundak lawannya,
namun hanya dengan merendahkan pundaknya Thai Gui
Cinjin dapat meluputkan diri. Sementara itu tongkatnya
kembali sudah menyambar ke arah Kwan Kok Sun. Angin
menderu keras dan sambaran tongkat ini karena dalam
marahnya Thai Gu Cinjin sudah mengeluarkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkan bekas kawan
yang kini mengkhianatinya itu.
Tentu saja Kwan Kok Sun menjadi sibuk se kali,
melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri.
Namun Thai Gu Cinjin mendesak terus.
Wan Bi Li yang kini bertangan kosong, mulai menyerang
lawan dengan pukulan tangan dan ayunan amgi (senjata
pelap) Pat-kwa-ci, sedangkan Wan Sun terus mendesakdesak dengan pedang. Namun Thai Gu Cinjin yang sudah
mengambil keputusan membunuh Kwan Kok Sun, tidak
melayani dua orang muda ini. Semua serangan hanya
dielakkan atau ditangkis, sebaliknya semua serangan ia
kerahkan untuk merobohkan Kwan Kok Sun.
"Kwan Kok Sun pengkhianat keji, kau harus mampus!"
katanya berulang-ulang di antara dengusan nafas tertahan.
Tongkatnya kini dipegang di bagian tengah dan dua
33 ujungnya bergerak-gerak menyambar bergantian,
mengeluarkan suara dan angin. Biarpun Kwan Kok Sun juga
bukan orang lemah dan dua orang muda itu me mbantunya,
tetap saja ia terdesak hebat. Dal am des akan bertubi-tubi,
terpaksa Kwan Kok Sun tak dapat menyelamatkan diri
hanya dengan jalan mengelak, karena tongkat itu yang
kedua ujungnya bekerja, amat cepat datangnya.
Dalam kegugupannya ia hendak mengadu nyawa dan
melihat tongkat menyambar cepat, ia melepaskan ularnya ke
arah perut lawan. Ular hitam itu bukan main berbahayanya,
karena sekali gigit biarpun orang berilmu tinggi seperti Thai Gu Cinjin te ntu akan mati juga. Thai Gu Cinjin cukup
maklum akan hal itu. Ia tidak sudi mengadu nyawa dan
tongkat ditarik kembali lalu sekali kemplang kepala ular
hitam itu pecah berantakan! Benar-benar Thai Gu Cinjin
lihai sekali dan ilmu tongkat nya bukan main kuatnya.
Dike royok oleh tiga orang lawan yang sudah termasuk
orang-orang berilmu silat tinggi, ia tidak terdesak se dikitpun juga malah mendapatkan keuntungan.
"Thai Gu Cinjin jangan kau banyak lagak!"
Bentakan ini membuat Thai Gu Cinjin merasa bulu
tengkuknya berdiri karena ia me ngenal suara Ang-jiu Mo-li.
"Ang-jiu Mo-li, murid-muridmu mendesakku dan terus
terang saja, pinceng tidak bawa kitab, biarkan pirccng pergi
dari sini," sambil memutar tongkatnya, Thai Gu Cinjin
melompat hendak lari. "Ang-jiu Toanio, dia itu bohong. Dia penipu besar !
Memang dia mencuri kitab- kitab Omei-san dan
disembunyikan!" teriak Kwa-Kok Sun sambil melakukan
pukulan dari tempat ia berdiri ke arah Thai Gu Cinjin
dengan tangan. Inilah Hek tok-ciang yang lihai. Thai Gu
Cinjin maklum akan bahayanya pukul an ini, maka iapun
mengerahkan lweekangnya dan memutar tongkatnya di
depan tubuhnya untuk menolak kembali angin pukulan
beracun itu. 34 Ang-jiu Mo li menjadi heran, tidak tahu me ngapa Kwan
Kok Sun tiba-tiba memihak dia dan memusuhi Thai Gu
Cinjin. Akan tetapi ia tidak perduli dan mendengar kata-kata
itu, makin besar nafsunya untuk merampas kitab-kitab itu
dari tangan Thai Gu Cinjin.
"Gundul busuk, serahkan kitab-kitab itu kepadaku kalau
tidak ingin mampus!" teriaknya.
Sementara itu, Thai Gu Cinjin marah luar biasa kepada
Kwan Kok Sun. Mendengar ucapan Ang-jiu Mo-li ini, ia tak
dapat me njawab, bahkan sambil mengeluarkan suara
gerengan ia maju menubruk Kwan Kok Sun sambil
mengerjakan tongkatnya. Betapapun tinggi kepandaian Kwan Kok Sun, namun
tingkatnya masih kalah jauh kal au dibandingkan dengan
Thai Gu Cinjin. Ia me ncoba untuk mengelak, namun angin
pukulan pendeta Lama bermuka ungu itu membuat dia tak
dapat me mpertahankan diri dan jatuh terguling. Thai Gu
Cinjin memburu de ngan tongkat diangkat tinggi, siap
dipukulkun ke arah kepala Kwan Kok Sun.
"Traaanggg......!" Untuk kedua kalinya pedang di tangan Wan Bi Li terlempar. Tadi. pedangnya telah terampas akan
tetapi di pertempuran berikutnya, Thai Gu Cinjin lemparkan
pedang itu yang dipungut kembali oleh Bi Li. Baru saja
melihat betapa Kwan Kok Sun, berada dalam bahaya maut
sedangkan Bi Li ingin sekali bicara tentang senjata ular
dengan orang gundul ini, gadis itu tanpa pikir panjang
segera melompat dan menangkis tongkat yang hendak
menghancurkan kepala Kwan Kok Sun, akibatnya
pcdangnya terlepas dari pegangan.
"Thai Gu Cinjin, kau masih tidak mau me nyerah?" Tibatiba sinar merah berkelebat dan Thai Gu Cinjin menjerit
kesakitan. Pundaknya terkena tusukan jari -jari tangan
merah. Tembuslah kul it daging dan tulang oleh jari -jari ini dan hawa beracun dari tangan merah itu membuat Thai Cu
Cinjin merasakan akan tubuhnya dibakar api neraka.
35 Akan tetapi dasar manusia cerdik pe nuh akal. Biarpun
dalam keadaan terluka hebat, Thai Gu Cinjin masih dapat
melihat jalan terakhir untuk lolos dari bahaya maut.
Tubuhnya me nggelinding, tongkatnya melayang ke arah Angjiu Mo-li bagaikan see kor naga menyambar. Ketika Ang jiu
Mo-li menyampok tongkat itu dan menoleh, ternyata Bi Li
telah kena dipegang lengannya oleh Thai Gu Cinjin.
"Ang-jiu Mo-li, kita tukar nyawaku dengan nyawa
muridmu ini !" katanya dengan sikap tenang. Bi Li telah
kena ditotok dan dalam cengkeraman Lama itu gadis muda
ini suma sekali tak berdaya.
"Boleh nyawamu ditukar dengan nyawa muridku dan
kitab kitabmu!" Ang-jiu Mo-li menawar.
Thai Gu Cinjin tersenyum getir. "Tidak ada kitab padaku
......". melirik ke arah Kwan Kok Sun, penuh ancaman. Dia
juga tidak berani membuka rahasia tentang kitab yang
dititipkan kepada Kwan Kok Sun karena kwatir akan
terampas oleh Ang-jiu Mo-li. Kelak mudah ia mengambil
kitab itu berikut nyawa Tee tok Kwan Kok Sun.
"Sun ji (anak Sun), kauperiksa saku-s aku jubahnya."


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ang-jiu Mo-li memerintah muridnya. la tahu bahwa kalau ia
menggeledah Thai Gu Cinj in tentu takkan mau terima. Wan
Sun melangkah maju dan benar saja, digeledah oleh pemuda
ini Thai Gu Cinjin hanya tersenyum mengejek. Wan Sun
tidak mendapatkan apa-apa dari semua saku jubah pendeta
Lama itu. "Tidak ada kitab, Nio-nio," kata pemuda itu kepada
gurunya. Ang-jiu Mo-li mengerutkan keningnya, tanda
bahwa hatinya kecewa sekali.
"Pergilah, Thai Gu Cinjin dan lepaskan muridku,"
katanya. Thai Gu Cinjin tahu bahwa ucapan Ang-jiu Mo-li
dapat dipercaya penuh, maka ia membebaskan totokannya
atas diri Bi Li dan melepaskan gadis itu sambil tersenyum
puas. Lalu ia menoleh kepada Kwan Kok Sun.
36 "Mari keluar membikin perhitungan !"
Akan tetapi Kwan Kok Sun tidak memperdulikannya.
"Keluarlah sendiri, aku tidak ada urusan dengan kau !"
"Jahanam........!" Thai GI Cinjin me nggerakkan
tongkatnya. Biarpun pundak kirinya terluka hebat namun
dengan tangan kanan memegang tongkat, ia masih
be rbahaya sekali. "Thai Gu Cinjin, kau tidak lekas-lekas pergi dari sini"
Jangan tunggu aku berubah pikiran!" Ang-jiu Mo-li
membentak. Wanita sakti ini memang ingin membantu Kwan
Kok Sun karena ia mempunyai harapan mendengar dari
Racun Bumi ini tentang kitab-kitab Omei-san yang dicuri
oleh Thai Gu Cinjin. Sambil menahan marah dan sakit Thai Gu Cinjin tak
berani membantah lalu pergi dari situ dengan cepatnya.
Setelah pendeta Lama pergi, Kwan Kok Sun mendekati Bi Li,
di bawah sinar bulan ia menatap wajah gadis ini dengan
penuh kasih sayang. "Sama benar dengan ibunya......... serupa lihat mulut dan
mata itu ......" tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis terisakisak. "Iiihhh, kau kenapakah ?" kata Bi Li terheran-he ran.
Juga Ang-jiu Mo-li melangkah melangkah maju mendekati
melihat sikap aneh dari orang gundul ini. Sebagai seorang
tokoh kang-ouw, Ang-jiu Mo-li selalu menaruh curiga
terhadap orang-orang seperti Tee tok Kwan Kok Sun ini.
Pada saat itu banyak orang datang berlari. Mereka ini
adalah para pengawal istana dipimpin sendiri oleh Pangeran
Wanyen Ci Lun isterinya yang gagah, Gak Soan Li. Biarpun
guru dan dua orang muridnya itu melakukan pengejaran
terhadap Thai Gu Cinjin secara diam-diam tanpa minta
bantuan para pengawal yang banyak terdapat di istana,
namun suara ribut-ribut tadi akhirnya terdengar juga oleh
para pengawal. Juga Wanyen Ci Lun dan isterinya
37 mendengar lalu mereka ikut me ncari ketika melihat bahwa
kamar kedua orang anaknya kosong.
"Ada terjadi apakah?" tanya Gak Soan Li sudah
menyiapkan sebatang pedang di tangan, wajahnya menjadi
tenang dan lega melihat putera-puterinya selamat.
"Eh kau di sini" Bukankah kau putera See-thian Tok-ong
...... !" Pangeran Wanyen Ci Lun bertanya ketika melihat Kwan Kok Sun yang dulu sudah sering kali ia jumpai (baca
Pe dang Penakluk Iblis). Kwan Kok Sun yang menghe ntikan tangis melihat
kedatangan banyak orang, lalu menjura kepada Pangeran
Wanyen Ci Lun dengan hormat dan berkata.
"Hamba sengaja datang hendak berlemu dengan Taijin
membicarakan hal yang sangat penting." Sambil berkata
demikian, Kwan Kok Sun melirik ke arah Wan Bi Li.
Wanyen Ci Lun menoleh kepada Ang-jiu Mo-li, dengan
sinar matanya minta nasihat wanita sakti itu.
"Tidak ada apa-apa, semua sudah beres Saudara-saudara
pengawal dan penjaga harap bubaran, tidak ada bahaya apaapa di sini. Di harap Taijin pulang bersama Bi Li dan Sun-ji, kalau Kwan Kok Sun ini hendak bicara dengan Taijin, bole h
saja biarkan dia ikut. Aku akan menjaganya."
Maka berakhirlah ribut-ribut tadi, sedangkan Thai Gu
Cinjin biarpun sudah terluka mudah saja ia lari keluar dari
tembok istana melalui para penjaga yang hanya melihat
bayangan besar berkelebat dan lenyap. Adapun Pange ran
Wanyen Ci Lun dan anak isterinya segera kembali ke gedung
mereka diikuti oleh Kwan Kok Sun yang senantiasa diawasi
gerak-geriknya oleh Ang-jiu Mo-li.
Setiba mereka di gedung, Bi Li dan Wan Sun disuruh
tidur oleh ayah mereka. Kemudi an Wanyen Ci Lun dan
is terinya mengajak Kwan Kok Sun dan Ang-jiu Mo-li ke
kamar tamu. 38 "Nah, ceritakan apa kehendakmu. Kwan-sicu" tanya
Wanyen Ci Lun tak sabar. "Tadinya aku hendak menyimpan rahasia ini, akan terapi
apa dayaku. Thai Cu Cinjin yang jahat itu telah memaksa
aku membuka rahasia. Tadinya Thai Gu Cinjin mempunyai
niat jahat, hendak membasmi keluarga Wanyen Taijin......"
"Mengapa ?" tanya Ang-jiu Mo-li tajam, tidak gampang
percaya begitu saja. "Dia diam-diam telah diperalat oleh Temu Cin raja bes ar orang Mongol," jawab Kwan Kok Sun cepat tanpa ragu-ragu
karena memang sudah i a atur lebih dulu. "Karena tahu
bahwa kedudukan Wanyen Taijin di sini amat berpengaruh
dan besar, maka Temu Cin menyuruh Thai Gu Cinjin untuk
membasmi keluarga Wanyen seluruhnya untuk melemahkan
kedudukan Kerajaan Kin yang akan diserbunya."
"Dan kau ikut dengan dia untuk membantunya?" suara
Ang-jiu Mo li me ngandung ancaman.
"Ah, tidak ......... tidak.......! Memang kepada Thai Gu
Cinjin aku bcrjanji hendak membantunya, Akan tetapi
sebenarnya aku untuk mencegah dia turun tangan, atau
setidaknya mencegah dia membunuh puteri keluarga
Wanyen." "Apa sebabnya, Kwan sicu?" Wanyen Ci Lun bertanya
cepat-cepat dan Gak Soan Li memandang penuh perhatian.
Kwan Kok Sun menarik napas panjang "Apa boleh buat,
terpaksa aku membuka rahasia. Perkara sudah terlanjur
begini. Wanyen Taijin, sesungguhnya pateri paduka, nona Bi
Li itu, adalah anakku."
Terbelalak besar mata Wanyen Ci Lun dan isterinya.
Mereka terkejut, seakan-akan baru sekarang mereka tahu
bahwa sesungguhn Bi Li bukanlah anak mereka sendiri!
Sudah lupa pula mereka akan kenyataan itu, karena bagi
mereka lahir batin Bi Li sudah menjadi anak sendiri. Hanya
39 Ang-jiu Mo-li yang bersikap tenang. Wanita sakti ini sudah
pernah mendengar ce rita tentang keadaan Bi Li yang aneh
dan diapun diberi tahu bahwa Bi Li sesungguhnya bukan
puteri kandung suami isteri ini. Akan tetapi Ang-jiu Mo-li
tidak begitu mudah percaya akan pengakuan orang seperti
Kwan Kok Sun. Searanya tegas dan menakutkan ketika ia
bertanya. "Mudah saja kau mengaku-aku anak orang. Kalau kau
bisa bilang bahwa Bi Li muridku itu anakmu, hayo katakan
apa bukt inya?" Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan isterinya sadar.
Pangeran itupun segera berkata, "Betul, Kwan-sicu. Apa
buktinya bahwa dia anakmu?" Ia mengharapkan orang
gundul itu takkan bisa menj awabnya. Ia me ngharap jangan
ada orang lain di dunia ini akan mengakui Bi Li sebagai
anak! Akan tetapi Kok Sun tidak menjadi gugup menghadapi
serangan pertanyaan ini. Ia me narik napas panjang dan
berkata, "Memang sudah kuduga bahwa aku akan
menghadapi hal yang sulit apabila tiba masanya akan
mengakuinya sebagai anak. Oleh karena itu aku sengaja
memberi tanda. Anak itu di punggungnya, di kanan kiri
tulang punggung agak bawah, terdapat dua tanda bintik
merah. Dulu sebesar biji teratai, sekarang mungkin lebih
besar mengikuti pertumhuhan badannya. Dari dua bintik
merah ini keluar bau harum yang aneh. Tidak betulkah ini?"
Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li mengeluarkan seruan
tertahan. Ang-jiu Moli yang tidak tahu akan hal itu bertanya
kepada Gak Soan Li, "Betulkah itu?"
Gak Soan Li hanya bisa mengangguk penuh keharuan
sedangkan Wanyen Ci Lun menjawab kepada Kwan Kok Sun.
"Tepat sekali keterangan itu! Akan tetapi aku masih belum dapat percaya betul. Kalau betul kau ayahnya, kau tentu
dapat menceritakan apa yang menyebabkan bintik-bintik
40 merah it u dan siapa ibunya kemudian mengapa pula anak
itu bisa berada di sini bersama kami."
Ang-jiu Mo-li mengangguk-angguk sctuju. Memang
sebelum mempercayai keterangan orang seperti Kwan Kok
Sun ini harus lebih dulu, mendapatkan penjelasan dan
bukti-bukti yang kuat. Bi Li yang cantik jelita seperti
bidadari itu anak setan gundul ini" Sungguh sukar
dipercaya, kata hati Ang-jiu Mo-li.
"Betul, kau harus dapat menceritakan semua itu semua
dengan jelas !" katanya memperkuat permintaan Wanyen Ci
Lun. Dan tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis! Semua orang
menjadi terheran-heran. "Apa-apaan ini " Apa kau sudah gila?" bentak Ang-jiu
Mo-li hilang sabar. Tangis Kwan Kok Sun tidak dibuat-buat melainkan
mengguguk seperti anak kecil mengharukan hati Wanyen Ci
Lun dan Gak Soan Li. Apalagi Wanyen Ci Lun yang sudah
mcngenal watak Kwan Kok Sun. Orang seperti ini, yang
menjadi putera raja racun yang amat jahat, sampai dapat
menangis begitu sedih, batinnya benar-benar berduka.
"Ah....... aku teringat kepada dia ......... ibu anak itu ....."
Ia berusaha keras untuk mengatasi keharuan hatinya
dengan menggigit bibirnya sampai berdarah. Setelah
mengusap darah di bibirnya dan air mata di pipi, orang
gundul ini bercerita singkat.
"Anak itu lahir ibunya meninggal dunia. Dengan susah
payah aku memeliharanya. akan tetapi aku seorang kasar
bagaimana bisa memelihara seorang bayi" Pertolongan ibuibu muda di kampung-kampung memang bisa menyambung
nyawa anak itu sampai be berapa bulan. Akan tetapi aku
be rpikir bahwa kalau anak itu terus me nerus ikut aku, dia
akan menjadi apakah" Aku seorang perantau, miskin tiada
sanak kadang tiada pondok. Maka aku lalu teringat kepada
Wanyen Taijin, seorang bangsawan yang sudah kukenal
41 betul keadaan hatinya. Nah, timbul dalam kepalaku untuk
menitipkan anakku kepada Wanyen Taijin tetapi aku tidak
be rani berterang oleh karena aku takut kalau-kalau ditolak
permintaanku. Lalu kutinggalkan begitu saja anakku itu di
dalam taman bunga di belakang rumah gedung ini.
Aku yakin bahwa dengan cara demikian mau tidak mau
Wanyen Taijin tentu akan memeliharanya. Dan ternyata
dugaanku betul. Anak itu terpelihara baik-baik, menjadi
terpelajar, pandai dan. ...... dan cantik jelita seperti
ibunya......." Kembali ia menangis terisak-isak.
"Ninti dulu," kata Ang-jiu Mo-li. "Kau belum
menceritakan bagaimana tentang dua bintik merah di
punggungnya itu." (Bersambung jilid ke XIV.)
42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XIV SETELAH menyusuti air matanya. Kwan Kok Sun
melanjutkan penuturannya. "Karena aku sudah menduga
bahwa tanpa sesuatu tanda kelak sukar untuk mengakui
anakku, aku sengaja me mberi tanda itu."
"Bagaimana caranya" Jelaskan !" kata pula Ang-jiu Mo-li.
"Semenjak kecil aku selalu bermain-main dengan ularular berbisa itu, cara menangkap, memeliharanya, menolak
racunnya dan apa saja yang ada hubungannya dengan ular.
Pendeknya aku tidak berlebihan kalau mengaku bahwa aku
adalah seorang ahli ular be acun. Kebetulan sekali ketika itu aku mempunyai seekor ular kecil merah yang namanya
siang hwa ang coa (Ular merah Bunga Harum) yang
kudapatkan di perbatasan Tibet. Ular kecil merah itu di sana
terkenal sebagai rajanya ular, baunya harum sekali seperti
selaksa kembang dan ular-ular lainnya, besar ke cil beracun
atau tidak terutama sekali yang beracun. baru me ncium
baunya saja sudah jadi jinak. tunduk dan takut. Nah, ular
kubelek tubuhnya, kuambil sari racun yang wangi,
kucampuri dengan obat penawar racunnya sehingga racun
itu tidak be rbahaya lagi, akan tetapi sari keharumannya
1 masih kerja pe nuh. Sari ini lalu kumasuksan dalam uraturat di kanan kiri punggung anak sehingga menjadi satu
dengan peredaran darahnya, membuat tubuhnya menjadi
harum baunya seperti Siang-bwe-ang-coa dan se tiap ular
tentu takkan berani mengganggu,
Memang hukan tidak ada bahayanya memasukkan racun
itu ke dalam urat-urat dekat pungung, salah-salah bisa
mematikan anaknya. Akan tetapi kukatakan tadi, aku
adalah seorang ahli dalam hal itu. Racun itu ti dak
mendatangkan bahaya bagi anakku, hanya meninggalkan
dua bintik merah kecil di punggungnya dan sebaliknya dapat
membuat tubuhnya menjadi harum dan anti gigitan ular
berbisa." Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan Soan Li tidak raguragu akan tetapi Ang jiu Mo-li masih berkata kepada Soan
Li. "Harap hujin suka mengujinya sekali lagi. Tanyakan
tentang pakaian dan keadaan anak itu ketika ditemukan."
Dengan suara gemetar Soan Li bertanya dan jawaban
Kwan Kok Sun tentang pakalan dan keadaan anak itu
memang tepat sekali, cocok se perti keadaan anak itu ketika
didapatkan di dalam taman.
"Tak salah lagi, kau adalah ayah Bi Li ". kata Gak Soan
Li, suaranya gemetar terharu, kedua matanya basah oleh air
mata. Ibu ini merasa bingung dan gelisah sekali, takut
kalau-kalau ayah sejati ini mcnuntut anaknya.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Agaknya kau memang betul ayahnya, orang she Kwan.
Akan tetapi, sekarang anakmu sudah remaja puteri dan
semenjak bayi dipelihara oleh Wanyen Taijin dan isterinya.
Kau sekarang mau apa?" Suaranya dingin, dan sudah pasti
Ang-jiu Mo-li akan membantu suami- isteri ini
mempertahankan puteri mereka.
"Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin diberi ijin tinggal di sini, hidup di dekat anakku. Biar aku bekerja membantu
Wanyen Taijin, biarpun bodoh dan lemah, kiranya aku ada
2 sedikit tenaga untuk membantu kelak bila orang-orang
Mongol datang menyerbu. Di samping itu, aku ingin
menurunkan semua kepandaianku kepada puteriku. ingin
pula memberi oleh-oleh berupa sebuah kitab yang istimewa
kepadanya." "Dari Omei-san. ..........?" Ang-jiu Mo-Li me motong cepat.
Kini Kwan Kok Sun yang me mandang kepada wanita sakti
itu penuh curiga. "Kalau betul, apakah kau hendak merampasnya, Ang-jiu
Mo-li " Kitab ini kudapatkan secara mati-matian dari tangan
Thai Gu Ci njin dan hendak kuhadiahkan kepada puteriku.
Biarpun aku akan mampus di tanganmu, aku tidak akan
membiarkan kau mengambilnya untukmu sendiri!"
Tiba-tiba Ang-jiu Moli tertawa. Ane h, lenyap keangkeran
wajahnya, lenyap sifat sifatnya yang ganas kalau Ang jiu Mo
li tertawa. Sebaliknya nampak manis dan cantik sekali.
"Setan gundul, kau bicara ngaco! Aku sendiri yang
mendapatkan sebuah kitab Omei-san kuajarkan kepada
murid-muridku. Masa aku akan me rampas kitab yang
kauberikan kepada muridku" Aku hanya ingin tahu apakah
betul-betul Thai Gu Cinjin mendapatkan banyak kitab dari
Omei-s an seperti kaukatakan tadi?"
"Tidak. Tadi aku s engaja berkata demikian agar supaya
kau jangan melepaskannya. Bahkan kitab inipun tadinya dia
yang punya, satu-satunya kitab yang dapat ia ambil dari
puncak Omei -san." Lalu Kwan Kok Sun bercerita terus
terang betapa ia mengatur siasat untuk menjebak Thai Gu
Cinjin di istana dan untuk merampas kitab meminjam
tangan Ang-jiu Mo-li. Mendengar ini, kembali Ang jiu Mo-li
tertawa. "0rang-orang macam kau dan Thai Gu Cinjin selalu
mempergunakan tipu muslihat dan curang."
"Hidupku yang lampau sudah penuh kekejian, Ang-jiu
Mo-li . Sekarang melihat keadaan anakku yang mulia
3 hidupnya, aku betul hendak mencuci tangan, hendak
menebus dosa dengan memperlihat kan kepada anakku
bahwa bapaknya juga dapat menjadi manusia bersih. Asal
saja Wanyen Taijin sudi menerima aku bekerja di sini , hidup
di dekat anakku, biar disuruh berkorban nyawa aku siap
sedia!" Wanyen Ci Lun menjadi terharu. Tentu saja ia tidak mau
menolak, bahkan andaikata orang ini hendak membawa
pergi Bi Li, ia punt tidak bisa apa-apa.
"Baiklah, Kwan-sicu. Kau kuterima bekerja dan menjadi
perwira, sesuai dengan kepandaianmu. Akan tetapi tentang
Bi Li....... apakah kami harus".. bicara terus terang padanya
?" "Ohhh, jangan ...... kasihan, dia?" tentu akan kecewa
sekaIi mendapatkan bahwa ayahnya hanya....... "
"Harus diberitahu !" kata Wanyen Ci Lun yang berwatak agung dan jujur. "Betapapun akan pahit getirnya kenyataan harus dihadapinya dengan tabah." Setelah berkata demikian,
ketika itu juga ia menyuruh isterinya memanggil Bi Li.
Ketika itu telah menjelang pagi dan Bi Li yang baru saja
pulas, bangun dengan mata masih mengantuk dan rambut
yang awut -awutan. Namun hal ini bahkan menonjolkan
kecantikannya yang aseli, membuat Kwan Kok Sun diamdiam kagum bukan main. "Ayah panggil aku ada apakah?" tanya Bi Li kepada
Wanyen Ci Lun karena ibunya hanya bilang bahwa dia
dipanggil ayahnva untuk kepetluan penting sekali. Ketika Bi
Li melirik dan melihat Kwan Kok Sun masih duduk di situ ia
tersenyum dan wajahnya berseri -seri, katanya. "Kau masih
di sini, orang t ua gagah" Kebetulan sekali karena aku ingin
sekali bertanya tentang ular hitam yang dapat kaupakai
sebagai senjata itu. Sayang ular sebagus itu mati oleh
tongkat Thai Gu Cinjin."
4 Dengan suara terharu Kwan Kok Sun menjawab "Jangan
khawatir, kalau kau suka aku bisa mendapatkan seekor ular
seperti itu untukmu. Kita masih mempunyai banyak wakt u
untuk bercakap-cakap tentang segala macam ular, anak
yang baik." "Betulkah", Aahh, aku ingin sekali mempunyai kawan
baik yang bisa membantu dalam pertempuran seperti ular
itu !" Wajah Bi Li berseri-seri dan dara remaja ini sudah lupa lagi bahwa ia keluar karena dipanggil ayahnya.
Sementara itu, menyaksikan ayah dan anak bercakapcakap itu saja sudah merupakan hal yang mengharukan dan
mendebarkan hati sehingga Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li
memandang dengan melongo, bahkan Ang-jiu Mo-li juga
diam saja tak bergerak. Kesunyian ini agaknya terasa oleh Bi
Li, maka ketika ia menoleh dan melihat sikap ayahbundanya. ia menjadi terheran dan berbareng ingat akan
panggilan ayahnya. "Ayah memanggil aku ada kepentingan apakah ayah?"
tanyanya lagi sambil melangkah maju dan merangkul
pundak ibunya dengan sikap manja.
"Bi Li, Kwan-sicu ini....... dia inilah....... ayahmu sendiri.
Adapun aku dan ibumu itu hanya ayah dan ibu pungut
saja." Bi Li memandang bingung, mengira ayahnya bergurau
lalu mendekati ayahnya, memegang tangannya. "Ayah kau
bilang apa" Aku tidak mengerti."
Suara Wanyen Ci Lun agak gemetar ketika ia
menguatkan hatinya dan bicara dengan jelas sementara Gak
Soan Li menutupi muka untuk menyembunyikan matanya
yang sudah basah. "Bi Li, ketahuilah. Ketika kau berusia setengah tahun,
oleh ayahmu ini kau dititipkan kepada kami karena......
karena ibumu sendiri meninggal dunia ketika kau
terlahir".." 5 Ucapan ini saja sudah mcnunjukkan betapa luhur budi
Pangeran Wanyen Ci Lun, tahu bahwa kalau ia me mberi
tahu bahwa Bi Li dahulu ditinggalkan ayahnya di dalam
taman seakan-akan dibuang, tentu perasaan gadis itu akan
tersinggung, maka ia menolong Kwan Kok Sun dengan
mengatakan bahwa Bi Li sengaja dititipkan ! Akan tetapi,
ucapan yang lemah lembut itu tetap saja merupaka pisau
berkarat yang menancap di ulu hati Bi Li.
Dara ini meloncat mundur seakan-akan ditampar,
mukanya pucat sekali seperti muka mayat. Soan Li menjerit
dan me nubruk gadis itu, terus dirangkul dan didekapnya
kepala anaknya itu ke dadanya.
"Bi Li, jangan........ jangan kau memandang aku seperti
itu ....... " tangis Soan Li, "Aku tetap ibumu....... kau anakku, jangan anggap aku bukan ibumu lagi....... "
Namun Bi Li meronta dari pelukan ibu berdiri tegak dan
sampai lama ia hanya me natap wajah Kwan Kok Sun,
Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li berganti -ganti.
"Mengapa scmua ini dirahasiakan tadinya. Mengapa......
?"" Bi Li tidak menangis, setitik air matapun tidak keluar, pandang matanya menyambar.
"Bi Li, anakku, kami memang tidak menganggap engkau
seperti orang lain. Kau adalah anak kami dan....... dan.......
kalau tidak ada kejadian malam ini, sampai sekarangpun
rahasia itu akan kami simpan, kami bawa mati?""
Tiba-tiba Kwan Kok Sun tertawa keras dan berdiri dari
bangkunya. "Ha ha ha, mengapa ribut-ribut untuk urusan
ini" Tentu saja anak Bi Li masih menjadi anak Pangeran
Wan-taijin dan hujin. Mana bisa lain" Bahkan nama Bi Li
juga pemberian dari ayah bundamu ini. Mana bisa kau
menjadi anakku" Tidak pantas, tidak pantas. Biarlah mulai
sekarang, kau tetap anak terkasih dari Pangeran Wanyen Ci
Lun ada pun aku. Tee-tok Kwan Kok Sun. menjadi gihu
(ayah angkat) saja. Bagaimana" Maukah muridku ?" Tiba6 tiba Kwan Kok Sun menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura.
"Maaf, Toanio, bukan maksudku mendesak menjadi guru
anak ini. Tentu saja kepandaianmu jauh lebih tinggi dari
pada kebisaanku yang tidak ada arti nya, akan tetapi seperti
kataku tadi, biarpun sedikit, kiranya aku dapat mewariskan
kepandaianku , te rutama isi kitab itu ..... "
Diam-diam Ang jiu Mo-li memuji Kwan Kok Sun. Biarpun
Kwan Kok Sun terkenal sebagai seorang yang disebut
seorang jahat, seorang yang disebut Racun Bumi, namun
dalam hal ini dia rupanya ingat akan budi Pangeran Wanyen
Ci Lun sehingga ia dapat mengatasi keadaan tegang itu
dengan merendahkan diri terima menjadi ayah angkat saja
padahal dialah ayah sejati yang berhak mengaku Bi Li
sebagai anaknya. Maka wanita sakti ini tersenyum dan
berkata, "Kebetulan sekali , me mang sudah terlalu lama aku menjadi guru mereka, baik sekali kau datang mengganti
kedudukanku." "Bi Li, mulai sekarang kau boleh melanj utkan
pe lajaranmu di bawah petunjuk Kwa Kok Sun ini. Yang
terpenting kau harus melatih Kwan Im-cam-mo dengan
sempurna, dalam hal ini kiranya Sun -ji akan dapat dapat
memberi petunjuk. Latihannya sudah lebih matang dari
padamu. Nah, jaga baik-baik diri aku pergi. Wanyen Taijin
dan hujin, terima kasih atas segala kebaikan kalian terhadap
aku selama aku menjadi guru anak anak. Selamat tinggal!"
"Nio.nio....... !" Bi Li memanggil terbata, akan tetapi watak Ang-jiu Mo-li keras sekali. Satu kali bilang putih, putih.
Bilang hitam, hitam. Bayangannya melesat dan sekejap mata
saja ia sudah lenyap dari situ.
Wanyen Ci Lun juga girang sekali mendengar keputusan
Kwan Kok Sun yang rela menjadi gihu (ayah angkat) saja
dari Bi Li. Tadinya ia sudah khawatir kalau-kalau si gundul
itu mempergunakan haknya dan membawa pergi gadi s yang
menjadi buah hati suami isteri itu.
7 "Bi Li, kau dengar tadi" Kau tetap puteriku yang terkasih.
Hayo beri hormat kepada gihumu"!
Kebingungan Bi Li juga terobat oleh sikap Kok Sun tadi
maka serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan
Kwan Kok Sun menyebut, "Gihu. ......!"
Kwan Kok Sun mengelus-elus ke pala dara itu sambil
mulutnya berbisi k. "Anak baik..... anak baik......" tak dapat ia me lanjut kan kata-katanya dan matanya kembali menjadi
basah. "Aahhh......" semua orang kaget mendengar suara ini,
Kok Sun cepat melompat ke arah pintu dan membuka pintu
itu, akan tetapi tidak terlihat ada orang.
"Heran, siapakah yang bersuara tadi?" katanya perlahan.
Hanya Bi Li yang dapat menduga suara siapa itu. Itulah
suara Wan Sun kakaknya yang sekarang ternyata bukan
kakaknya lagi melainkan orang lain itu, lain ayah lain ibu !
Demikianlah, semenjak hari itu Kwan Kok Sun menjadi
perwira Kerajaan Kin, diangkat oleh kaisar atas usul
Pangeran Wanyen Ci Lun. Kali ini Kwan Kok Sun benarbenar jujur dalam pekerjaannya, sedikitnya, demikianlah
keyakinan Pange ran Wanyen Ci Lun. Oleh karena itu, Kwan
Kok Sun mendapat kepercayaan intuk mengurus perkaraperkara besar, di samping penghidupannya yang mulia
terhormat di kota raja dan ketekunannya melatih ilmu silat
kepada Bi Li. Karena Bi Li memang mempunyai sifat suka
akan ular ular berbisa, sifat pembawaannya sejak kecil
ditambah pe ngaruh Racun Ular Merah yang mengeram di
tubuhnya, maka gadis inipun suka mempelajari ilmu-ilmu
tentang ular dari gihunya. Di samping ini juga Bi Li
menerima latihan ilmu silat dari kitab Omei-san hasil
rampasan Thai Gu Cinjin yang terjatuh ke dalam tangan
Kwan Kok Sun, yaitu kitab I lmu Pedang Cap-pek Sin-liong
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Belas Naga Sakti).
8 Hubungan Bi Li dengan Wan Sun masih seperti biasa dan
pemuda itu nampakuya tidak merobah sikap, menganggap
Bi Li seperti adik sendiri , seakan-akan pemuda itu belum
tahu akan rahasia itu. Pada suatu hari Kwan Kok Sun menerima tugas dari
Pangeran Wanyen Ci Lun untuk berangkat ke selatan.
"Tentara Mongol sudah mulai bergerak ke arah selatan.
Kita harus bersiap sedia dan di samping ini kita harus
mengumpulkan bala bantuan sebanyak mungkin. Kwan sicu
harap berusaha mencari Wan Sin Hong dan memberikan
suratku kepadanya. Kemudian cobalah untuk minta
bantuan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw dan kalau
perlu beli tenaga me reka dengan hadiah-hadiah besar."
Berangkatlah Kwan Kok Sun yang diikuti oleh Wan Sun
dan Wan Bi Li serta beberapa orang perwira yang
berkepandaian tinggi, membawa perbekalan yang banyak,
Kwan Kok Sun me nemui orang-orang kang-ouw dan banyak
juga yang dapat terbujuk oleh Kwan Kok Sun dengan hadiah
hadiah yang royal. Mereka yang kena bujuk berangkat ke
kota raja Kerajaan Kin untuk menerima pangkat di sana
sedangkan Kwan Kok Sun bersama dua orang anak
pangeran itu melanjutkan perjalanan ke selatan.
Mendengar bahwa Wan Sin Hong berada di pantai laut
selatan, Kwan Kok Sun membeli sebuah perahu indah dan
be rlayar ke laut Selatan. Selain ia sendiri hendak mencari
kawan-kawan di daerah selatan juga Bi Li amat
mendesaknya untuk mencari Wan Sin Hong sampai dapat.
Gadis ini, juga Wan Sun, yang sudah sering kali mendengar
nama Wan Sin Hong dipuji-puji ayahnya, ingin sekali
bertemu dengan pendekar sakt i itu. Bukan hanya karena
saktinya, akan tetapi juga karena pendekar itu masih
terhitung paman mereka dan mereka bahkan oleh Wanyen
Ci Lun diberi she (nama keturunan) Wan, seperti W an Sin
Hong. 9 Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan,
ketika perahu bes ar Kwan Kok Sun be rada di dekat pesisir
selatan. ia menerima tamu istimewa yang datang
menggunakan s ebuah perahu pula. Tamu ini bukan lain
adalah Toat- beng Kui-bo. Semua orang kang-ouw sudah
mendengar tentang Kwan Kok Sun yang membagi-bagi harta


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda untuk mencari bantuan orang-orang pandai guna
menahan serbuan bangsa Mongol, juga Toat -beng Kui -bo
mendengar akan hal ini. Semenjak Toat beng Kui-bo membaca kitab DELAPAN
JALAN UTAMA yang ia curi dari Ome i san kemudian oleh
Tiang Bu "dipinjamkan" kepadanya, benar-benar isi hatinya be rubah sama sekali. Entah bagaimana mendengar akan
sepak terjang Tee-tok Kwa Kok Sun yang kini menjadi
panglima Kerajaan Kin dan sedang berusaha melawan
serbuan bangsa Mongol. hati Toat-beng Kui-bo tergerak.
Bukan sekali-kali oleh janji dan hadiah besar, melainkan
tergerak untuk merebus dosa yang sudah-sudah dengan
jalan membela tanah air dari serangan bangsa asing.
Biarpun kini yang menjadi kaisar adalah suku bangsa
Kin, namun daerah utara itu termasuk ke wilayah Tiongkok
juga dan kini hendak diserbu oleh orang orang Mongol yang
biadab. Timbul jiwa patriot dalam dada nenek-nene k tua ini,
maka ia segera menemui Kwan Kok Sun di perahunya untuk
mendaftarkan diri menjadi sukarelawati! Bukan main
girangnya hati Kwan Kok Sun, karena ia tahu akan kelihaian
nenek ini yang tidak kalah lihai oleh Ang-jiu Mo-li sendiri!
Cepat ia mengeluarkan hadiah berupa barang-barang emas
dan permata, diberikan kepada Toat be ng Kui-bo se bagai
"voorchot" dan "uang jasa", akan tetapi ia melongo ketika Toat-bang Kui bo mengambil berang-barang itu lalu ......
melemparkannya ke dalam laut !
Tee-tok Kwan Kok Sun cepat -cepat bangkit berdiri dan
menjura sampai dalam. 10 "Maaf, maaf ....... aku tidak s engaja hendak menghina
locianpwe ....... " "Sudahlah, katakan kepada Pangeran Wanyen Ci Lun
bahwa orang-orang Mongol akan menjadi musuhku kalau
mereka berani menginjakkan kaki di bumi Tiongkok!"
Setelah berkata de mikian. nenek ini bersuit dan kele lawarkelelawar yang be terbangan berkumpul dan hinggap di atas
pundaknya, Kwan Kok Sun memberi perintah kepada urangorangnya untuk mendayung perahu ke pantai, akan tetapi
Toat beng Kui-bo sudah mendahuluinya melompat keluar
menuju ke sebuah perahu yang berdekatan, terus
berlompatan sekali lompat ada lima enam tombak dari
perahu lain sampai lenyap dari pandangan mata.
Tentu saja pertemuan ini amat mengharukan hati Bi Li
dan Wan Sun, yang baru sekarang menyaksikan orang-orang
kang-ouw yang lihai-lihai. Perjalanan ini benar- benar
menggembi rakan hati mereka dan membuka mata mereka
lebar-lebar bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orangorang pandai, yang sutu lebih pandai agaknya dari pada
yang lain. -oo(mch)oo- Mari kita kembali kepada Tiang Bu yang sudah agak
lama kita tinggalkan. Seperti telah kita ketahui, Tiang Bu
berlari-lari mengikuti tiga orang dara jelita yang
membalapkan kuda tunggangan mereka. Sampai setengah
hari lebih Ceng Ceng tidak mau menghentikan kuda
hitamnya dan terpaksa Pek Lian dan Ang Lian juga
melarikan terus kuda mereka. Yang paling sial adalah Tiang
Bu, biarpun kepandaiannya tinggi, akan tetapi napas
manusia mana bisa menyamai napas kuda dalam hal
berlari" Memang ilmu lari cepat dari Tiang Bu sudah tinggi
sekali dan andaikata diadu cepat dengan kuda ia takkan
kalah. Akan tetapi diadu kekuatan napas, tentu saja ia
kalah. 11 Kuda tetap kuda dan binatang ini memang telah
ditakdirkan menjadi tukang lari, akan tetapi manusia bukan
kuda. "Ahhh. adik Ceng Ceng benar-benar kejam. Membiarkan
orang berlari-lari setengah hari!" Pek Lian mengomel sambil
melarikan kudanya di se belah kuda Ang Lian. Adiknya
melirik te rus berkata. "Ah, mengapa sih, cici" Biarkan pemuaa muka monyet
itu berlari-lari !" "Moi-moi, di mana perikemanusiaanmu" Kau suka
melihat orang tergoda dan te rsiksa seperti itu?"
"Biar kapok! Siapa suruh dia menghina kita, merampas
barang-barang itu dari tangan kita. Dia sudah dua kali
menghina aku, se karang dia berani main gila kepada adik
Ceng Ceng. Biar dia tahu rasa!"
"Tidak bisa kau bilang demikian, adikku. Bagaimanapun
juga, kita harus akui bahwa pemuda itu bukan orang jahat.
Dia merampas barang-barang itu untuk dia kembalikan
kepada pemiliknya yang menurut dia bernama P angcran
Wanyen Ci Lun dan agaknya dia ada hubungan dengan
pangeran itu. Kemudian setelah dia mendengar bahwa kita
merampas barang-barang untuk menolong rakyat jelata yang
ke laparan dan menjadi korban banjir di a mengalah hanya
ingin ikut untuk membuktikan dan menyaksikan sendiri.
Dia tentu orang gagah yang seharusnya kita hargai,
mengapa adik Ceng Ce ng menghinanya begitu macam?"
Tiba-tiba Ang Lian me megang lengan cici nya dan
menatap wajah cicinya dengan tajam penuh selidik.
"Cici....... ! Kau....... kau agaknya sudah jatuh hati
kepadanya! Alangkah lucunya pilihanmu! Puluhan pemuda
tanpan dan gagah kautampik, ehh ...... tahu-tahu sekarang
jatuh terhadap seorang pemuda yang bermuka buruk ....... ! "
Pek Lian mengipatkan pegangan adiknya dan mukanya
menjadi merah sekali. 12 "Gila ! Segala apa kauukur dengan cinta. Dasar gila cinta!
Aku hanya bicara ses ungguhnya. Pemuda itu pasti bukan
orang sembarangan, setidaknya dia te ntu murid orang sakti
juga dia tidak melakukan kejahatan. Mengapa begitu saja
kau terus menuduh aku jatuh hati?" Setelah berkata
demikian Pek Lian membalapkan kudanya me nyusul Ceng
Ceng sementara itu Tiang Bu nampak bayangannya di
belakang sekali, berlari - lari dalam usahanya jangan sampai
tertinggal oleh tiga orang nona itu. Ang Lian menole h dan
tersenyum mengejek, melambai lambaikan pecutnya.
"Cepat ! Cepat ! Mengapa larimu seperti keong buruk
lambatnya?" Tiang Bu hanya tersenyum saja dan lari seperti biasa.
Diam-diam hati Tiang Bu berdebar aneh, setengah girang
setengah bangga ketika mendengar pe rcakapan tadi.
Memang, biar pun i a berada jauh di belakang, ia selalu
memasang pendengarannya yang luar biasa tajamnya
sehingga ia dapat mendengar percakapan antara enci dan
adik tadi. Mendengar kata-kata Pek Lian, hati Tiang Bu
te rgerak dan ia merasa suka kepada gadis berpakaian pria
itu. Ia mempercepat larinya dan sebentar i a sudah
melampaui kuda tunggangan Ang Lian.
"He, nona kecil galak ! Kau ini menunggang kuda atau
menunggang kura-kura begitu lambat?" ia balas mengejek.
Ang Lian menyumpah-nyumpah akan tetapi tidak berani
memaksa kudanya berlari lebih ce pat karena kalau kudanya
terlalu lelah dan mogok di jalan bisa berabe.
Sementara itu, Pek Li an yang me mbalap kudanya sudah
berhasil menyusul Ceng Ceng dan merendengkan kudanya
dengan kuda hitam itu. "Kau menyusul aku ada apakah, Pek Lian?" tanya Ceng Ceng tersenyum. Ia memang sedang merasa kesepian maka
senang me lihat Pek Lian, ada kawannya mengobrol.
13 "Adik Ceng Ceng, aku mau bicara tentang orang muda
itu. Apakah kita tidak akan berhenti dulu me mbiarkan dia
beristirahat" sudah berlari setengah hari lamanya."
Ceng Ceng memandang dengan mata yang seperti
bintang, wajahnya tak senang. Matanya berkata penuh
ejekan, "Kau perduli apa akan dia?" Akan tetapi mulutnya menggerutu, "Kalau dia lelah biar dia berhenti sendiri. Aku tidak perduli apakah di a lelah atau akan mampus! Laki-laki
kurang ajar dia!" Pek Lian menarik napas panjang. Dia t ahu bahwa bicara
dengan nona ini sukar sekali kare na Ceng Ceng jauh lebi h
cerewet dari pada Ang Lian juga lebih galak. Akan tetapi ia
berkata terus. "Ceng-moi, kurasa orang itu bukan orang sembarangan.
Lihat saja ilmu lari cerpat nya demikian lihai tentu dia murid seorang sakti. Kalau kita membiarkan dia yang hendak
menjadi tamu orang tua kita berlari-larian seperti itu,
apakah kelak tidak akan menerima teguran orang kang-ouw
dan orang tua kita se ndiri?"
"Aku tidak perduli! Siapa sudi mengurusi manusia
macam dia" Oh, aku tak sudi!" Setelah berkata demikian ia melempar pandangan mengejek ke arah Pek Lian lalu
membalapkan kuda hitamnya cepat sekali. Pek Lian tidak
mengejar, karera selain kudanya kalah baik, juga ia sudah
tidak ada nafsu untuk membujuk pula. Pada saat it u,
bayangan Tiang Bu berkelebat melampaui kudanya dan ia
mendengar pemuda itu berkata lirih,
"Pek Lian cici, terima kasih atas budimu yang mulia"
Pek Lian menjadi merah sekali mukanya. Bagaimana
pemuda itu bisa tahu bahwa ia telah berusaha menolongnya.
Saking jengah dan malunya ia lalu mengendurkan larinya
kuda, menanti adiknya. Tiang Bu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat
sehingga ia dapat menjajari kuda hitam yang ditunggangi
14 oleh Ceng Ceng. Dara muda ini demi mel ihat pemuda itu
kembali sudah menyusulnya, menjadi marah, menggigit bibir
dan mencambuki kudanya yang sudah pe nuh keringat itu
untuk berlari lebih cepat lagi.
"Kuda tolol, kau tak bisa lari cepat lagi?" bentak Ceng Ceng marah.
"Waduh lagaknya. Tentu saja enak-enak di punggung
kuda mudah saja mencela dan memukul. Coba turun dan
lari tentu seperti cacing merayap!" Tiang Bu menggoda. Ceng Ceng masih muda dan panas darahnya. Mendengar ejekan
ini ia marah bukan main. "Kau kira hanya kau saja yang
punya dua kaki dan bisa berlari?"
"Memangnya kau punya kaki?" ejek Tiang Bu. "He mm.
kuberani bertaruh kedua kakimu takkan lebih cepat larinya
dari pada cacing merayap."
"Manusia sombong buka lebar-le bar matamu." Ceng Ceng menjerit dan melompat dari atas kudanya, terus berlari
cepat sekali me ngerahkan ginkang dan lari cepatnya. Dara
muda ini adalah puteri dari sepasang suami isteri yang sakti
dan terkenal sebagai jago atau tokoh besar dari pantai timur.
Tentu saja ilmu lari cepatnya juga luar biasa.
"Ha-ha, bagus sekali! Mari kita berlomba yang kalah
boleh naik kuda!" kata Tiang Bu.
Tanpa menjawab Ceng Ceng mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan tubuhnya bagai seekor burung walet
berge rak maju cepat se kali, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak bumi atau terbang saja. Tentu saja ia malu kalau
sampai kalah dan menunggang kuda lagi! Dalam
kemarahannya ke pada Tiang Bu ia sampai tidak
memperhatikan kata-kata pemuda itu. Sebaliknya, melihat
dara itu lari sekuatnya, Tiang Bu tersenyum. Biarpun ia
sudah mulai lelah, namun kalau ia mau dengan pengerahan
te naga sekuatnya, dapat kiranya ia menyusul Ceng Ceng.
Akan tetapi ia memang hendak menggoda gadis galak itu.
15 Melihat Ce ng Ceng berlari cepat sekali, ia lalu melompat ke
atas kuda hitam dan....... menjalankan kuda itu perlahnlahan sampai Pek-Lian dan Ang Lian datang menyusulnya.
Dua orang gadis ini hampir tak percaya apa yang mereka
saks ikan. "Lho, itu kuda Ce ng-moi, kok kau tunggangi"
Mana dia Ceng-moi?" tegur Ang Lian.
Tiang Bu tertawa dan berkata keras, sengaja agar
terdengar oleh Ceng Ceng yang lari di depan. "Ah, adik Ceng Ceng sudah demikian baik hati untuk merasa kasihan
kepadaku dan meminjamkan kudanya. Dia rela jalan kaki.
Bukankah dia baik hati sekali?"
Mendengar ucapan ini, seketi ka Ceng Ceng hentikan
larinya dan ia berdiri tegak menanti datangnya kuda hitam
itu. "Turun kau dari kudaku!" bentaknya marah.
Akan totapi Tiang Bu enak-enak saja duduk di atas kuda
itu. "Nona cilik, bukankah tadi kita sudah janji siapa yang kalah boleh naik kuda" Nah, aku yang berhak naik kuda!"
Biarpun watak Ceng Ceng keras sekali, namun sesuai
dengan watak dan ajaran ayah bundanya yang terkenal
sebagai pendekar-pende kar besar, ia berjiwa gagah dan tidak
sudi mengingkari janji. Memang betul dia tidak berjanji apaapa, akan tetapi ketika Tiang Bu mengucapkan taruhan tadi,
ia tidak membantah dan berarti ia se tuju!
"Kau menipuku, aku bodoh tidak melihat orarg macam
apa kau ini. Pcnipu! Baik! Kau kalah cepat dalam berlari dan
kau sudak lelah, kedua kakimu sudah pccah-pccah dan
hampir lumpuh. Kau menang menipu, naik di atas
punggung kudaku. Akan tetapi berikan bungkusanbungkusan itu!" Tiang Bu mengambil empat bungkusan dan
memberikannya kepada Ceng-Ceng yang menggendongnya,
lalu gadis ini tempa berkata apa-apa lagi ccpat belari
mendahului mereka. Tiang Bu tertawa berge lak, akan tetapi
dalam hatinya ia memuji gadis itu. Karenu tadi hanya ingin
16 menggoda, maka ia lalu mengeprak kuda hitam menyusul
Ceng Ceng. Dengan gerakan indah ia melompat ke de pan
gadis itu dan ikut berlari di se belahnya.
"Kasihan nona cilik berlari-lari. Kakinya nanti bengkakbengkak. Kautunggangi kudamu, biar aku yang berlari.
Kalau percaya boleh kubawakan bungkusan-bungkusan itu.
Mana Ceng Ceng sudi " Dara ini membuang muka dan
mempercepat larinya. Juga Tiang Bu berlari terus di sebelah
dara itu. Sekarang biarpun Ceng Ceng mengerahkan seluruh
kepandaiannya, tetap saja pemuda berada di sampingnya,
tak pernah tertinggal satu langkahpun. Baru gadis ini tahu
dengan hati kecut dan kaget bahwa ilmu lari cepat pemuda
ini sekali-kali tidak kalah olehnya bahkan melebihi nya!
Sementara itu, Pe k Lian dan Ang Lian yang berada di
belakang melihat dua orang muda lari berdampingan
sedangkan kuda hitamnya lari sendiri di belakang mereka
tanpa ada yang menunggangi, menjadi terheran-heran.
"Hayaa. .... dunia sudah tua...." Ang Lian mengeluh. "Enci Pek Lian, tidak salah duga apa yang aku lihat itu " Mereka
jalan berdampingan ....... saling mengalah.. ...... begitu
mesra?". aduh! Mungkinkah Ceng-moi juga sudah jatuh
hati kepada pemuda dogol yang begitu pesek hidungnya dan
begitu tebal bibirnya ?"
Pek Lian ce pat membentak adiknya. "Hush, jangan usil
mulut! Apanya yang tidak mungkin" Sudah kukatakan,
pemuda itu bukan orang sembarangan dan ....... dan.......


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurasa ?".. ia cukup berharga untuk orarg seperti Cengmoi sekalipun." Biarpun mulutnya berkata de mikian
sungguh aneh dan dia sendiri tidak mengerti mengapa isi
dadanya menjadi panas dan tidak enak, seakan-akan
mendadak terserang masuk angin.
Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat akhirnya
empat orang muda itu tiba di lembah Sungai Huang-ho yang
terserang banjir. Keadaan di daerah ini memang amat
17 mengenaskan. Sawah ladang yang tadinya ditumbuhi
tanaman-tanaman subur kini menjadi telaga. Dusun-dusun
Kemelut Blambangan 10 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Persekutuan Pedang Sakti 6

Cari Blog Ini