Ceritasilat Novel Online

Anak Pendekar 2

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 2


dia tidak ingat itu tulisan siapa.
Duduk di pinggir Telaga Pedang, dia menunduk terpekur,
"Karena ini Beng-keh-to-hoat, maka kemungkinan besar yang
mencantumkan kata penjelasan ini adalah Beng Goan-cau sendiri.
Padahal aku tidak pernah melibat dan kenal Beng Goan-cau, mana
mungkin kenal baik tulisannya?"
Tampak dalam air muncul bayangannya sendiri, seketika dia
teringat di waktu kecil bersama ibu naik perahu bertamasya di
sungai, seketika hatinya sedih dan pilu, pikirnya, "Ayah memang
baik terhadapku, tapi ibu lebih baik lagi. Sejak kecil bukan saja dia
mengajar aku kungfu, membaca dan menulis, sejak kecil aku pun
dididik menjadi manusia berguna Ai, siapa nyana sekarang aku
takkan bisa bertemu lagi dengan beliau selamanya Maka aku harus
patuh pada pesan ji-suhu, menamatkan pelajaran kungfu menuntut
balas sakit hatinya. Peduli siapa yang menulis penjelasan ini, aku
harus lekas meyakinkan ilmu golok ini sampai sempurna. Kelak bila
berhadapan dengan Beng Goan-cau, masih sempat kutanyakan
kepadanya" Sebetulnya dia sudah memutuskan untuk tidak memikirkan gaya
tulisan itu, tapi waktu dia teringat saat ibunya dulu mengajar
menulis dan membaca, mendadak hatinya tergerak, seketika dia
paham duduknya perkara, teriaknya, "Ini gaya tulisan ibu."
Tapi setelah teringat dan mengenal gaya tulisan ibunya, hatinya
makin heran, "Mana mungkin ibu paham Beng-keh-to-hoat"
Umpama dia diminta menuliskan oleh salah seorang keluarga Beng,
mungkinkah dia kenal Beng Goan-cau" Apakah Beng Goan-cau mau
mempercayainya memberikan buku pelajaran golok warisan
keluarga ini kepada orang lain, serta minta dia membubuhkan
penjelasan hasil jerih payahnya?" Lalu berulang kali dia bolak-balik
membaca dari depan sampai lembar terakhir, kini dia betul yakin
bahwa semua tulisan penjelasan itu memang tulisan ibunya
Sungguh dia tidak habis mengerti.
Pandangan Nyo Hoa memang tajam, otaknya juga cerdas.
Tulisan penjelasan itu memang dikerjakan oleh Hun Ci-lo yang
diminta bantuannya oleh Beng Goan-cau, waktu itu mereka adalah
sepasang kekasih yang memadu cinta.
Heran dan curiga serta berbagai perasaan berkecamuk dalam
benak Nyo Hoa lapat-lapat terasa olehnya bahwa ibunya pasti punya
suatu hubungan dengan keluarga Beng, sudah tentu mimpi pun tak
pernah terbayang dalam benaknya bahwa dia adalah anak Beng
Goan-cau. Akhirnya Nyo Hoa berpikir, "Kelak aku harus berhadapan dengan
Beng Goan-cau, setelah kutanyakan duduk perkaranya, semua akan
jelas. Kenapa sekarang aku susah-susah memikirkan semua ini."
Sejak kecil Nyo Hoa sudah digembleng ibunya, otaknya cerdas
berbakat lagi, belum setengah tahun dia giat berlatih Beng-keh-tohoat,
ternyata permainannya sudah lancar dan cukup matang. Jadi
setengah tahun lebih cepat dari perhitungan Toan Siu-si.
Sekarang dia mulai mempelajari kungfu Khong-tong-pay hasil
cip-taan Tan Khu-seng sendiri. Karena dasar kungfu perguruannya
sendiri sudah kokoh, maka lebih cepat hasil yang dicapainya Tapi
untuk kungfu yang mendalam sudah tentu tak seketika dapat
diselaminya. Bila dia selesai meyakinkan pit-kip peninggalan Tan
Khu-seng, tanpa terasa setahun sudah hampir penuh. Di kala
menggembleng diri meyakinkan kungfu tingkat tinggi selama setahun
ini, satu hal yang membuatnya pusing kepala adalah cara
bagaimana untuk mengkombinasikan kedua aliran ilmu silat tingkat
tinggi ini. Nyo Hoa sudah paham, ilmu golok dari keluarga Beng bisa
dipraktekkan ke dalam ilmu pedang Khong-tong-pay, namun kedua
aliran kungfu tinggi ini masing-masing mempunyai keistimewaan
sendiri, umpamanya Beng-keh-to-hoat mengutamakan "kecepatan"
sementara Khong-tong-kiam-hoat harus dikembangkan secara
santai dan kalem; aliran dan sumbernya berbeda, permainan
jurusnya juga berlawanan dengan yang lain. Lalu cara bagaimana
supaya perbedaan ini dapat dipersatukan menjadi satu" Maklum
latihan Nyo Hoa masih terbatas, pengetahuan pun belum
mendalam, sudah jelas sukar dia berhasil dalam usahanya
Apa pun setelah setahun menggembleng diri, kungfunya
sekarang telah maju berlipat, sudah jauh lebih tinggi dibanding
setahun yang lalu Tujuh hari lagi genap setahun, bila waktu itu tiba
Nyo Hoa sudah siap meninggalkan Ciok-lin. Sudah berapa tahun dia
menetap di Ciok-lin, dalam waktu dekat dia akan meninggalkan
tempat ini, maka perasaannya tergoncang, betapapun berat
meninggalkan gunung yang indah pemandangannya ini. Maka dalam
tujuh hari ini dia tidak berlatih lagi, sejak pagi sampai petang dia
putar kayun bertamasya sepuas hati.
Hari itu dia terjun ke Telaga Pedang mandi dan bersuka ria
Setelah melompat naik ke daratan pula, dia angkat kepala
mengawasi ukiran huruf "Kiam-hong" di atas dinding. Ukiran "Kiamhong"
itu adalah karya Thio Tan-hong pendekar besar yang hidup di
jaman dinasti Beng, gaya tulisannya kuat dan dalam seperti ditatah
dengan pahat besi saja. Begitu asyik Nyo Hoa mengawasi gaya ukiran itu sampai
melamun, terasa olehnya gaya tulisan
Thio Tan-hong itu lapat-lapat seperti mirip gaya ilmu pedang,
mendadak terpikir suatu keinginan dalam hatinya, ingin dia naik
meraba gaya tulisan huruf yang terukir di atas itu. Bila perlu dia
ingin tahu apakah ukiran batu di atas itu dapat diturunkan.
Puncak Pedang itu berdiri lurus tegak, tulisan itu diukir di atas
batu cadas yang rata dan mengkilap seperti kaca, di bawahnya jelas
tiada tempat berpijak, entah cara bagaimana dahulu Thio Tan-hong
dapat mengukir huruf itu di tempat setinggi itu.
Puncak tegak dan licin seperti itu, umpama orang hutan juga takkan
mampu naik ke atas. Tapi bagi Nyo Hoa yang sekarang sudah
memiliki kungfu tinggi, tidak sulit lagi. Dengan Pia-hou-kang (Ilmu
cicak), ginkang kelas tinggi, dia merambat pelan-pelan semakin
tinggi, seutas tali panjang yang sudah disiapkan diikat di gagang
pedang. Pedang mestika dia tancap di dinding gunung, sementara
ujung tali yang lain dia ikat di pinggang sendiri hingga badannya
terapung, dengan asyik dia mulai meraba dan meniru gaya tulisan
"Kiam-hong" karya Thio Tan-hong. Pelan-pelan dia menelaah,
apakah gaya tulisan ini punya persamaan dengan gaya ilmu pedang.
Goresan huruf "hong" terakhir mirip sebilah pedang yang ditarik
ke bawah, tapi di tengahnya ada sedikit gumpil, seolah-olah goresan
ini semula tidak bisa ditarik ke bawah sekaligus. Nyo Hoa jadi heran,
"Waktu menulis huruf ini, kenapa Thio Tan-hong tidak
melakukannya sekaligus?"
Nyo Hoa dekatkan matanya ke tempat gumpilan itu serta mengawasi
ke dalam, tampak di dalamnya ternyata merupakan gua yang
gelap, entah berapa dalamnya. Timbul rasa ingin tahunya, dengan
kerahkan sedikit tenaga dia pegang batu yang menonjol terus
digoyang-goyang, mendadak didengarnya suara berkeriut, batu
besar di mana huruf "Kiam-hong" terukir tiba-tiba bergerak
memutar ke samping, maka muncullah pintu gua yang lebar cukup
untuk seorang menerobos ke dalam. Nyo Hoa mencabut rumputrumput
kering di sekitar mulut gua lalu mengetik batu menyalakan
rumput itu, asapnya yang cukup tebal dihembus masuk ke dalam
gua supaya hawa apek di dalamnya sima lebih cepat, lalu dia
merambat turun membuat obor dari ranting-ranting ring lalu
beranjak dari gua. Pintu masuknya sempit, tapi makin ke dalam
makin longgar, setelah Nyo Hoa menyusuri sebuah lorong
mendadak pandangannya terang, di depannya menghadang sebuah
meja batu dari jade putih, di atas meja terdapat beberapa baris
tulisan. Seluruh meja ternyata ukiran dari sebentuk batu jade besar,
warnanya putih mulus seperti susu. Batu meja ini tidak perlu dibuat
heran tapi batu jade sebesar ini, entah berapa nilainya"
Di belakang meja di atas dinding terpampang sebuah lukisan
seorang pelajar setengah umur, wajahnya ganteng, gagah dan
kereng seperti hidup saja. Di pinggir bawah sebelah kiri terdapat
beberapa huruf kecil berbunyi:
lukisan Thio Tan-hong rakyat awam di jaman dinasti Thian-sun
bertahta tujuh tahun "Thian-sun" adalah simbol tahunan dari raja keenam dinasti Beng
yang bergelar Beng-eng-cong Cu Sia-tiu. Jadi sudah tigaratus tahun
waktu Nyo Hoa menemukan potret Thio Tan-hong di gua ini. Berdiri
di depan potret pendekar besar mahaguru silat Thio Tan-hong,
mengkirik bulu kuduk Nyo Hoa. Sesaat dia berdiri khidmat dan
memberi penghormatan besar.
Waktu dia menoleh memeriksa huruf-huruf di atas meja, didapati
ada empat tulisan yang berbunyi:
Siapa,yang masuk kemari berarti ada jodoh dengan aku. Bila mau
menjadi muridku, beberapa pantangan harus dipatuhi.
Di sampingnya lagi terdapat sepuluh baris huruf-huruf kecil dari
kesepuluh pantangan yang harus dipatuhi, di bawahnya lagi
terdapat sebaris huruf melintang berbunyi:
Cara menghormat kepada guru, setiap membaca satu pantangan
harus menyembah sepuluh kali, harus pakai tenaga.
Di atas meja tiada tertaruh benda apa pun, jadi tidak kelihatan
pedang, buku atau peninggalan lainnya.
Nyo Hoa berpikir, "Aku bukan orang tamak yang mengincar
kungfu sakti, tapi pendekar besar di jaman dulu ini memang patut
kusembah seratus kali banyaknya, kuagungkan dia sebagai guru
besar yang tiada taranya di jamannya dulu sampai sekarang."
Di antara sepuluh pantangan yang tercantum, hanya syarat
pertama yang istimewa, sementara sembilan syarat yang lain biasa
saja, seperti larangan perguruan lain yang siidah umum di kalangan
Kangow tidak boleh menindas orang, tidak boleh merampok,
membunuh dan memperkosa, tidak boleh mengambil barang bukan
miliknya dan lain-lain" Tapi syarat pertama justru berbunyi:
Tidak menjadi pembesar dinasti Beng tapi bila menghadapi
serbuan bangsa asing boleh bekerja demi membela nusa dan
bangsa negeri Beng. Perlu diketahui, kakek Thio Tan-hong yaitu Thio Su-seng dahulu
pernah saling berebut kekuasaan dengan Cu Goan-ciang, cikal bakal
pendiri dinasti Beng. Dalam pertempuran besar di Tiangkang, pasukan
Thio Su-seng musnah dan tenggelam seluruhnya di dalam air,
hingga Cu Goan-ciang berhasil merebut kekuasaan. Oleh karena itu
dalam syarat pantangan yang ditinggalkan Thio Tan-hong, melarang
anak muridnya menjadi pembesar atau menjabat pangkat kerajaan
Beng sebagai larangan yang utama. Tak nyana setelah larangannya
ditemukan orang, dinasti lama ternyata sudah berganti dinasti Boan
yang sekarang. Nyo Hoa berpikir, "Aku jelas tidak akan menjadi pembesar. Tapi
syarat utama dari larangan ini maksudnya adalah harus melawan
penjajahan, sekarang penjajah Boan-ciu menduduki tanah air kita,
sesuai larangan pertama ini, adalah logis kalau aku menggabungkan
diri ke dalam laskar rakyat yang menentang penjajahan, dan itu
memang merupakan tugas utama yang kelak harus kulakukan."
Sembilan larangan yang lain adalah aturan umum kaum lurus
yang harus bisa menempatkan dirinya, sudah tentu Nyo Hoa
mematuhi seluruhnya. Maka tanpa ragu sedikit pun ia menekuk lutut
di depan lukisan Thio Tan-hong. Rasa kagumnya terhadap pendekar
besar ini memang setulus hatinya, maka cara menyembahnya pun
tak terlalu dipaksakan, setiap habis membaca satu syarat
menyembah sepuluh kali hingga selesai membaca sepuluh larangan,
maka dia pun sudah genap menyembah seratus kali, jidatnya
sampai bengkak dan membiru saking dia bernapsu menyembah.
Mendadak keajaiban muncul di depan matanya, tampak lantai di
mana jidatnya menyentuhnya setiap kali menyembah ternyata
dekok ke bawah dan retak hingga tampak sebuah lubang di
bawahnya, di bawah lubang mencorong cahaya benda pusaka Lekas
Nyo Hoakeduk tanah sekitarnya, ternyata di dalam lubang disimpan
sebuah kotak batu giok, di setiap sudut kotak dihiasi sebutir mutiara
yang besarnya sama. Baru sekarang Nyo Hoa mengerti kenapa Thio
Tan-hong suruh dia berlutut dan menyembah seratus kali, ternyata
memang mengandung maksud tertentu. Setelah dia buka kotak
persegi itu ternyata di dalamnya hanya berisi sejilid buku, pada
sampulnya tertera empat huruf berbunyi "Hian-kang-pwe-coat."
Sejak memperoleh ajaran ilmu golok dan ilmu pedang kedua
gurunya pengalaman Nyo Hoa menghadapi musuh sudah cukup
matang, tapi bagaimana meyakinkan Iwe-kang tingkat tinggi selama
ini belum pernah tahu atau mempelajarinya. Waktu kecil, ibunya
dan Toan Siu-si memang pernah mengajarkan dasar latihan
lwekang, belakangan Tan Khu-seng juga mengajarkan cara semadi
dan mengatur pemapasan, tapi ajaran lwekang kedua gurunya itu
gelagatnya menjurus ke aliran sesat, jadi tidak boleh terhitung
lwekang murni dari aliran lurus. Buku peninggalan Thio Tan-hong
yang memuat H ian-kang-pwe-coat ini jelas merupakan hasil
karyanya selama puluhan tahun setelah dia menyepi di Puncak
Pedang ini hingga terciptakan pelajaran lwekang kelas tinggi ini.
Nyo Hoa berpikir, "Thio Tan-hong adalah mahaguru silat besar,
entah betapa tinggi dan mendalam ajaran lwekang simhoat-nya."
Setelah membaca permulaannya saja dia menjadi bingung dan tak
tahu apa maknanya. Tapi Nyo Hoa tidak patah semangat, dengan
seksama dia tekuni terus membaca, akhirnya ditemukan juga setitik
terang dari ketekunannya karena didapati olehnya bahwa setiap
huruf setiap patah kata yang tertera dalam tulisan ini merupakan
ajaran simhoat yang tiada bandingannya Makin dicoba Nyo Hoa
makin tertarik dan tenggelam dalam pemikiran. Hian-kang-pwe-coat
adalah ajaran bagaimana seorang harus memupuk dirinya dengan
tenaga dalam sebelum meyakinkan kungfu, walau bukunya tipis,
tapi di dalamnya mencakup seluruh ajaran mumi yang ada di dunia
Bila apa yang dulu pernah dipelajarinya dibanding dengan Hiankangpwe-coat, sungguh berbeda seperti sungai dengan samudra
raya Tanpa terasa dia membalik sampai lembar terakhir, pada baris
terakhir berbunyi demikian:
Bila simhoat sudah dikuasai, boleh masuk ke dalam bilik dalam
mempelajari Bu-beng-kiam-hoat (Ilmu pedang tanpa nama).
Nyo Hoa berpikir, "Hian-kang-pwe-coat laksana lautan teduh
yang tak terukur luas dan dalamnya bicara soal menguasai dan
mendalami, memangnya semudah ini" Sayang aku takkan lama lagi
tinggal di Ciok-lin, baiknya aku masuk ke bilik dalam melihat-lihat
Bu-beng-kiam-hoat itu." Lalu terpikir pula, "Kiam-hoat ini dinamakan
Bu-beng, agak istimewa memang. Konon Thio Tan-hong adalah
cikal bakal Thian-san-pay, kenapa hasil ciptaannya tidak dinamakan
Thian-san-kiam-hoat?"
Nyo Hoa langsung masuk ke kamar terakhir di atas puncak,
tampak dua dinding kanan kiri bilik itu penuh digoresi gambargambar,
semuanya ada delapanbelas lukisan manusia yang bergaya
memegang pedang. Tapi hanya gambar lukisan saja tanpa dibubuhi keterangan
dengan huruf. Nyo Hoa memperhatikan dengan seksama, gambar
pertama seperti mirip jurus Tio-thian-it-cu-hiang (Sebatang dupa
terangkap ke arah langit), tapi gaya pedangnya ternyata tegak
lurus, jadi ujung pedang menuding ke tengah udara. Demikian pula
meski ujung pedang pada gambar ini juga menuding miring ke atas,
tapi dipandang dari sudut samping, ujung pedang seperti mengincar


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan lawan yang berkedudukan di sebelah bawah. Jurus kedua
mirip Hian-ciau-hoat-sa, tapi setelah diteliti ternyata tidak mirip.
Padahal jurus Hian-ciau-hoat-sa dilancarkan sambil memutar badan
mengayun pedang secara terbalik, waktu Nyo Hoa coba mempraktekkan,
hakikatnya tidak mungkin dari jurus Tio-thian-it-cu-hiang
langsung diubah menjadi Hian-ciau-hoat-sa.
Demikian pula keadaan jurus-jurus pedang yang lain. Kelihatannya
seperti jurus pedang yang biasa dan umum, namun setelah
dipraktekkan dan dicoba ternyata berbeda, malah ada beberapa
jurus ilmu pedang yang tercantum bila dipandang dari sebelah kiri
seperti jurus ilmu pedang dari aliran A, tapi kalau dipandang dari
sebelah kanan lebih mirip ilmu pedang dari golongan B, bila
dipandang dari tengah lurus, lebih cenderung pada jurus pedang
dari perguruan C. Celakanya dari delapanbelas gambar lukisan itu,
gaya pedang satu dengan yang lain hakikatnya tidak bisa
menyambung atau berurutan. Nyo Hoa menjadi heran dan
kebingungan sendiri, pikirnya, "Kiamhoat ini ternyata lebih sukar
dipahami dari Hian-kang-pwe-coat, malah nama-nama jurusnya juga
tidak dicantumkan, tak heran dinamakan Bu-beng-kiam-hoat."
Ternyata ilmu pedang ini dicip-takan Thio Tan-hong menjelang
hari tuanya, beberapa tahun setelah Thian-san-pay berdiri. Pada
waktu itu istrinya yang tercinta, In Lui, sudah meninggal, ciangbun
tecu-nya Toh Thian-tok (Hok Thian Touw) juga sudah memegang
tampuk pimpinan perguruan, maka dia lantas kembali ke Tionggoan
lalu pulang ke Ciok-lin, tempat yang paling disukai In Lui di waktu
mereka memadu cinta di masa muda dulu, di sinilah Thio Tan-hong
menghabiskan waktunya sehingga tercipta-lah Bu-beng-kiam-hoat.
Bu-beng-kiam-hoat memang setingkat lebih unggul dibanding
ilmu pedang ternama yang pernah menggetarkan dunia persilatan.
Tergantung kepada kepintaran dan bakat orang yang belajar ilmu
pedang ini untuk menyelami dan men-cipta yang baru. Hian-kangpwecoat saja Nyo Hoa belum sempat mempelajari, sudah tentu dia
tidak paham di mana letak kebagusan Bu-beng-kiam-hoat ini.
Keluar dari bilik Nyo Hoa berpikir, "Sekarang aku belum bisa memahami
makna Hian-kang-pwe-coat, tidak perlu tergesa-gesa memburu
keberhasilan, karena hal itu takkan menguntungkan diriku sendiri.
Tapi ilmu pedang ciptaan cosu yang kelihatannya tidak karuan
pasti mengandung makna yang dalam, biar aku catat semua
gambar lukisan ini dalam hati, kelak bila tiba saatnya dan aku
mampu mempelajarinya, bukan mustahil akan banyak manfaat yang
berhasil kuselami." Waktu dia keluar dari gua, ternyata hari sudah
menjelang petang, tanpa terasa karena dia tenggelam dalam ajaran
Thio Tan-hong yang tiada taranya, tanpa terasa hampir sehari
penuh dia berada di atas puncak pedang, baru sekarang dia
merasakan perutnya lapar. Nyo Hoa menyumbat pula lubang gua itu
dengan batu besar yang berukir "Kiam-hong" lalu merambat turun
dari puncak terjal itu. Beruntun beberapa hari Nyo Hoa naik ke puncak pedang
mempelajari dan mencatat gambar itu secara berurutan di dalam
ingatannya, tanpa terasa batas tujuh hari yang pun celah berakhir,
untung gambar lukisan dari delapanbelas jurus Bu-beng-kiam-hoat
juga berhasil diingatnya semua.
Sebetulnya Nyo Hoa masih bisa tinggal di Ciok-lin berapa lama
yang dia kehendaki, tapi sesuai pesan ji-suhu-nya dia harus mencari
Beng Goan-cau mengajaknya duel, serta ingin tahu dan
memecahkan banyak persoalan yang selama ini mengganjal hatinya,
maka dia memutuskan, melakukan rencana semula, yaitu
meninggalkan Ciok-lin setelah gurunya lenyap tepat setahun
lamanya. Hari terakhir dengan rasa berat dia meninggalkan rumah batu
yang ditinggalinya sekian tahun. Tapi waktu dia hampir keluar dari
Ciok-lin mendadak dia teringat sesuatu. Nyo Hoa teringat kejadian
aneh hari itu, batinnya, "Mati hidup kedua guru susah diramalkan,
kemungkinan beliau-beliau masih hidup. Tapi urusan tidak boleh
kupikirkan hanya dari sudut kebaikannya saja, keburukannya juga
harus kuperhatikan, siapa tahu kalau iblis laknat Yang Ke-beng juga
masih hidup?" Lalu dia berpikir pula, "Jikalau Yang Ke-beng belum
mati, lalu dia yang pulang dulu ke Ciok-lin, bila cha menemukan
rahasia di puncak Kiam-hong, dengan bekal kungfunya yang tinggi,
bukan mustahil degan mudah dia akan menyelami dan mempelajari
Bu-beng-kiam-hoat ciptaan Thio tayhiap, bukankah harimau tumbuh
sayap, kejahatannya pasti lebih merajalela. Lebih baik kuhapus saja
seluruhnya." Di samping itu sesungguhnya Nyo Hoa juga berat
meninggalkan Ciok-lin, ingin lekas pulang melihat-lihat tempat yang
paling dia sukai itu serta minum seteguk air telaga nan jernih sejuk,
memetik sekuntum kembang semerbak di pinggir telaga.
Waktu dia beranjak ke arah Kiam-ti itulah mendadak didengarnya
ada langkah orang seperti berjalan di sampingnya. Nyo Hoa kaget,
lekas dia melompat ke samping sembunyi di belakang sebuah batu
besar. Lekas sekali langkah orang semakin dekat, percakapan dua orang
juga sudah didengarnya. Tapi hanya mendengar suara tidak melihat
orangnya. Nyo Hoa melenggong sekejap, akhirnya dia tertawa geli
sendiri, "Sia-sia aku hidup sekian tahun dalam Hutan Batu ini,
kenapa aku melupakan keadaan Ciok-lin yang serba ajaib ini?"
Maklum betapa banyak jumlah lorong dan jalan-jalan di dalam
Hutan Batu yang berlika-liku, puncak berhimpitan jalan pun
berputar, ada kalanya kau sudah melihat orang di sebelah depan,
jaraknya kelihatan dekat sekali, tapi untuk mencapainya kau harus
berputar-putar beberapa kali baru bisa bertemu dan berhadapan
orang di depan itu. Nyo Hoa berpikir, "Bila suhu yang kembali, dia pasti akan bersuara
atau memanggil aku. Mungkinkah Yang Ke-beng yang pulang
dulu mengajak seorang teman lain?"
Teka-teki segera terjawab sendiri, kedua orang itu ternyata mulai
buka suara, ternyata seorang lelaki dan seorang perempuan, malah
didengar dari suaranya, usia mereka masih muda.
Perempuannya mendecak menyatakan kekagumannya, katanya,
"Tempat ini memang indah mempe-sona seperti istana dewata."
Yang lelaki tertawa, katanya, "Jangan kau lupa meninggalkan
tanda, bila tidak berhasil menemukan pamanku mungkin kita takkan
bisa keluar lagi." Nyo Hoa masih ingat ji-suhu-nya memang pernah bilang, di
rumah dia punya seorang keponakan, batinnya, "Yang Ke-beng juga
pernah tinggal di sini, entah dia keponakan siapa?" Lalu berpikir
pula, "Dulu ji-suhu minggat dari keluarga, maka keponakannya ini
yang mewarisi kedudukan siau-ongya itu. Kabarnya sejak minggat
dari rumah, ji-suhu tidak pernah pulang, selamanya dia membenci
keluarganya Waktu kecil dua tahun aku ikut ji-suhu paling hanya
sekali dia pernah menyinggung tentang keponakannya, bila
hubungan paman dan keponakan tetap terjalin baik, kurasa tidak
perlu hubungan sedemikian renggang. Kini keponakannya sebagai
siau-ongya datang kemari, kurasa tidak bakal membuang
kedudukannya untuk mencari bahaya di Ciok-lin?" Adalah logis kalau
Nyo Hoa berpikir demikian, karena dia tidak tahu apakah Yang Kebeng
juga punya keponakan, maka boleh saja bila dia anggap
pemuda ini adalah keponakan Yang Ke-beng. Maka secara diamdiam
dia kuntit kedua muda-mudi ini, ingin dia mencuri dengar
percakapan mereka untuk membuktikan, bila pemuda ini betul
adalah keponakan Yang Ke-beng segera dia akan melompat keluar
melabraknya Ginkang Nyo Hoa sekarang jauh lebih tinggi dari kedua
orang ini, dia lebih paham seluk-beluknya pula ternyata kedua
muda-mudi itu tidak tahu bahwa di belakang, seseorang tengah
memperhatikan gerak-gerik mereka Tapi setelah mendengar
percakapan mereka lebih jauh, Nyo Hoa harus membuang
dugaannya semula. Terdengar si gadis berkata, "Jangan khawatir, aku tidak akan
lupa Waktu aku datang kemari Beng tayhiap sudah berpesan
kepadaku." Mendengar sampai di sini, tergerak hati Nyo Hoa
pikirnya "Beng tayhiap mana yang dia maksud?"
Syukurlah lantas didengarnya pemuda itu berkata "Beng Goancau
adalah teman baik pamanku, tapi aku sendiri belum pernah bertemu
dengan dia. Ping-moay, dari mana kau tahu aku baru mencari
tahu kepadanya?" Tidak lepas dari dugaan Nyo Hoa, "Beng tayhiap"
yang dimaksud si gadis ternyata memang Beng Goan-cau.
Gadis itu cekikikan, katanya, "Ceng-ko, kenapa kau begini ceroboh,
apa yang kau katakan sendiri masa sudah dilupakan?"
Pemuda agaknya melenggong, sesaat baru dia tertawa katanya,
"Ya betul. Sekarang aku ingat. Suatu ketika kita pernah
membicarakan orang-orang gagah di jaman ini, waktu itu pernah
aku menyinggung hubungan pamanku dengan Beng Goan-cau.
Orang yang kita bicarakan waktu itu teramat banyak, didengarkan
oleh orang lain lagi, tak nyana urusan sudah setahun yang lalu, kau
masih ingat sebaik ini."
"Setiap patah kata yang pernah kau ucapkan selalu kucatat
dalam hatiku." "Ping-moay, kau memang teliti. Tapi, ai, wah celaka"
"Apanya yang celaka?" nadanya kurang senang.
Si pemuda tertawa, katanya, "Kau seteliti ini, selanjutnya aku
takkan berani omong salah sepatah pun di hadapanmu." "Ya, asal
tahu saja" Kedua muda-mudi ini bicara saling pukul dan cubit
bersenda mencuri dengar kaget dan girang, "Ternyata dugaanku
meleset, pemuda itu keponakan ji-suhu." Tapi perasaannya lantas
mendelu, "Bila dia tahu berita duka cita pamannya, entah betapa
sedih hatinya?" Sesaat dia bingung cara bagaimana dia harus keluar
menemui mereka.. Didengarnya pemuda itu berkata lebih lanjut: "Sekarang mari kita
bicarakan persoalannya bagaimana Beng tayhiap memberi pesan
kepadamu?" "Bukankah pernah kuceritakan kepada kau?"
"Aku ingin tahu lebih jelas."
"Baiklah, kuulangi sekali, mungkin tempo hari ada yang ketinggalan.
Bila kau belum jelas boleh tanya lagi."
"Aku ingin tahu lebih banyak tentang Beng Goan-cau, tentang
pamanmu dan laskar rakyat di Siau-kim-jwan."
"Baik, apa yang kutahu akan kututurkan kepadamu. Sekarang
bicarakan dulu tentang pamanmu," demikian ucap si gadis.
Apa yang ingin diketahui si pemuda juga ingin diketahui oleh Nyo
Hoa, kebetulan malah dia bisa " mencuri dengar lebih jelas duduk
persoalannya. Semula dia sudah siap keluar menemui mereka, tapi
pikirannya berubah: "Baru pertama kali aku bertemu dengan
mereka, rikuh juga untuk tanya ini itu kepada mereka, biarlah aku
curi dengar pembicaraan mereka tentang Beng Goan-cau saja." Hari
itu Toan Siu-si terputus suaranya waktu membicarakan hubungan
Beng Goan-cau dengan dirinya, dalam hati dia sudah mendapat
firasat bahwa dirinya pasti ada hubungan entah apa dengan Beng
Goan-cau. Maka didengarnya si gadis berkata, "Akhir kali pamanmu bertemu
dengan Beng tayhiap, pernah memberi tahu bahwa dia hendak
pergi ke Ciok-lin. Konon hendak mencari seorang teman."
"Entah siapa teman yang dicarinya itu?" tanya si pemuda.
"Dia tidak menjelaskan kepada Beng tayhiap. Tapi sebagai keponakannya,
mungkin kau banyak tahu tentang teman-temannya.
Coba kau pikir-pikir."
"Kau tidak tahu, dahulu lantaran bertengkar dengan ayahku
maka paman minggat dari rumah, waktu aku berusia duapuluh baru
dia pernah pulang sekali. Aku ikut keluar bersama dia, tapi tak lama
lantas berpisah. Temannya yang kutahu hanya Beng Goan-cau dan
Miao Tiang-hong, kecuali itu masih ada seorang suheng-nya Pok
Thian-tiau yang sudah meninggal."
Nyo Hoa berpikir, "Jadi setelah kejadian di Tiam-jong-san hingga
toa-suhu gugur itu, baru ji-suhu pulang ke rumah. Tak heran
sebelum ini jarang dia menyinggung tentang keponakannya ini."
"Kiranya begitu," ujar si gadis, pi kalau penghuni Ciok-lin adalah
teman pamanmu, yakin dia bukan orang jahat."
"Kejadian sudah setahun yang lampau, entah paman masih
berada di sini" Kita sudah selama dan sejauh ini, tapi belum
ketemukan jejak manusia."
"Di dalam Hutan Batu seperti berada dalam Pat-tin-toh ini,
apakah kau takut?" "Umpama di sini ada bahayanya, aku juga tetap akan kemari."
"Ada sepatah kata, entah pantas tidak aku tanya kepada kau."
Si pemuda agaknya melengak, tertawa pun dipaksakan, katanya,
"Terhadapku tiada persoalan yang tidak boleh kau tanyakan, mana
bisa aku mengelabui kau. Boleh saja kau tanya."
Si pemuda tertawa lebar, ujarnya, "Kau memang lihay, isi hatiku
juga teraba olehmu. Memang kedatanganku kecuali mencari paman,
aku pun akan menyelidik satu hal lain."
"Menyelidik hal apa?"
"Hutan Batu ini ada hubungan erat dengan keluarga Toan kami.
Tapi sekarang aku belum melihat Kiam-hong dan Kiam-ti, setelah
menemukan tempat itu, baru akan kujelaskan kepadamu." Sudah
tentu si gadis dan Nyo Hoa sama heran, kenapa rahasianya baru
mau dibeber setelah menemukan Kiam-hong dan Kiam-ti"
Perangai si gadis ternyata arif dan penyabar, meski kurang
senang, wajahnya tetap mengulum senyum, katanya, "Baiklah. Biar
aku bicarakan tentang Siau-kim-jwan. Mereka adalah pejuang besar,
orang-orang gagah masa kini, berkumpul untuk menentang
penjajahan kerajaan Ceng, walau kehidupan di sana agak sengsara,
namun tekad juang mereka tak pernah padam. Aku betul-betul
pengagum mereka." "Nah, kenapa kau tidak tinggal di Siau-kim-jwan saja?" tanya si
pemuda. "Susiokdan pekhu menghendaki aku meninggalkan tempat itu,
waktu itu menjelang peperangan besar. Semula aku tetap ngotot
tinggal di sana, tapi aku dipaksa meninggalkan tempat itu. Karena
mereka sudah memutuskan untuk mengosongkan Siau-kim-jwan."
"Lho, mereka mau mengosongkan Siau-kim-jwan" Wah, apa
tidak terlalu sayang?"
Si gadis terpekur sejenak, baru melanjutkan, "Beng tayhiap
pernah bilang, perjuangan mereka jangka panjang, tujuannya jelas
untuk mengusir penjajah dan merebut kembali tanah pusaka,
mungkin sepuluh tahun atau seratus tahun perjuangan itu harus
dipertahankan, jadi tidak perlu terlalu mengukuhi satu pangkalan
atau dipersoalkan untung ruginya. Yang penting adalah manusianya,
bukan tempat atau pangkalan. Selama gunung tetap menghijau, tak
usah khawatir kehabisan kayu bakar. Oleh karena itu meski mereka
anggap Siau-kim-jwan sebagai rumah tangga besar, tapi bila waktu
dan situasi amat mendesak, mereka sudah siap meninggalkan Siaukimjwan." "Wah, kalau begitu, kelak aku tak bisa ke Siau-kim-jwan untuk
mencari Beng Goan-cau,"demikian ujar si pemuda. Nyo Hoajuga
ingin menyatakan demikian. Tanpa merasa tangannya meraba
kantong di mana dia menyimpan Beng-koh-to-hoat, hatinya jadi
hambar. "Betul. Mereka sudah siap mundur ke perbatasan, selanjutnya
jejak mereka lebih sukar ditemukan lagi. Tidak lama setelah aku
meninggalkan tempat itu, pasukan besar kera-jaan telah memasuki
Sujwan. Hubungan terputus, keadaan yang sesungguhnya sukar
diketahui, kemungkinan sekarang Siau-kim-jwan juga sudah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diduduki musuh. Ai, kalau tidak____"
"Kalau tidak apa" Kenapa tidak kau lanjutkan?"
"Kali ini coba kau terka isi hatiku?"
"Kalau tidak ingin membawa berita pamanku kepadaku, kau pasti
nekat ikut mereka mundur. Betul tidak"!
"Eh, kali ini kau pandai juga."
"Waktu kau berada di Siau-kim-jwan tempo hari apakah kau
bertemu dengan Lau Khong?"
"Ya, ketemu. Istri Lau tayhiap bernama Bu Ceng, kabarnya kenal
baik dengan kau. Tapi tak pernah kau bicarakan dengan aku."
Tawar suara si pemuda, "Betul, dahulu dia bergaul dengan Hun
Ci-lo lihiap dan Miao tayhiap Miao Tiang-hong, pernah menginap
beberapa hari di rumahku. Tapi itu bukan soal penting maka aku
lupa menceritakan kepadamu."
"Lau-hujin amat baik kepadaku, usianya lebih tua beberapa
tahun. Tapi sudah punya dua anak Jenaka dan nakal, sifatnya masih
binal dan suka humor seperti gadis yang belum menikah saja Suatu
hari kami berdiri berjajar, Beng-hujin lantas menggoda katanya kami
seperti kakak beradik. Bicara tentang usia Lau-toaso lebih tua
sepantasnya dia menjadi enci, tapi bicara tentang keadaan
perangainya yang lincah itu, dia lebih mirip jadi adik."
Pemuda itu diam saja seperti sedang memikirkan sesuatu.
Setelah menceritakan lelucon ini, melihat si pemuda tidak
memberikan reaksi, si gadis menjadi rikuh sendiri, katanya,
"Memang istri Beng tayhiap sengaja memuji aku, waktu itu, aku
masih genduk pingitan yang bodoh, mana bisa dibanding Lau-hujin.
Pasukan wanita yang dipersenjatai di Siau-kim-jwan semua di
bawah didikan dan pimpinan Beng-hujin dam Lau-hujin."
"Ah, kenapa melulu membicara-n Lau-hujin saja" ujar si pemuda
sebal. "Eh, eh, kenapa kau kurang senang, ada ganjalan hati lagi?"
"Mendengar laskar rakyat mau mengosongkan Siau-kim-jwan,
pantaskah aku senang?"
"Bukankah penjelasan Beng tayhiap sudah gamblang" Dulu
mereka mendirikan pangkalan di Siau-kim-jwan sebagai pusat
komando, yakinlah takkan lama lagi mereka pasti akan mendirikan
dan membuka permukiman baru yang lebih besar dan kuat Mereka
membekal jiwa ksatria dan semangat juang yang tinggi,
memangnya perlu dikhawatirkan?"
"Aku tahu persoalannya namun hati tetap penasaran."
Si gadis segera menghiburnya "Mendengar laskar rakyat yang
akan mengosongkan tempat itu, hati siapa takkan mendelu" lapi
seperti malam panjang di musim dingin akhirnya akan berlalu. Bila
siang mendatang mentari akan menyinari jagad raya pula Betul
tidak?" "Ya, memang benar," ujar si pemuda lesu. Yang benar kelesuan
hatinya bukan lantaran mundurnya laskar rakyat dari Siau-kim-jwan.
Mari kami perkenalkan pemuda ini bernama Toan Kiam-ceng,
memang keponakan Toan Siu-si. Delapan tahun yang lalu Bu Ceng
menetap di rumahnya, pernah dia jatuh cinta kepada gadis nakal
itu. Belakangan setelah tahu kembang jelita sudah dimiliki orang,
baru dia berusaha menghilangkan rasa rindunya. Selama ini belum
pernah ada orang tahu akan rahasia hatinya. Bahwa sengaja tadi
dia tanya Lau Khong, maksudnya yang utama adalah ingin tahu
tentang Bu Ceng. "Tadi kau tanya aku kenapa tidak tinggal di Siau-kim-jwan,
sekarang giliranku tanya kau. Kenapa kau tidak ikut pamanmu pergi
ke Siau-kim-jwan?" "Seperti dirimu, pamanku melarang aku ikut ke Siau-kim-jwan."
Dalam hati dia menyesal karena jawabannya ini bohong. Sebab
utama adalah karena dia menghindari pertemuan dengan Bu Ceng.
"Ya, aku paham. Pamanmu tentu khawatir kau tidak tahan derita.
Memang kau siau-ongya."
Toan Kiam-ceng kurang senang, katanya, "Sejak lama aku sudah
bukan siau-ongya lagi. Jikalau aku kemaruk hidup senang,
memangnya aku mau berkelana di Kangouw" Jangan kau kira aku
tidak tahan hidup menderita aku, aku?" Seperti ingin menunjukkan
suatu kenyataan untuk membuktikan bahwa dia kuat "menderita",
tapi tiada alasan yang dapat dia kemukakan.
Si gadis cekikikan geli, katanya, "Aku hanya berkelakar, kenapa
serius?" Tiba-tiba Toan Kiam-ceng merasa bersalah, katanya tertawa
"Sebetulnya aku harus menyesal kenapa dulu aku tidak pergi ke
Siau-kim-jwan?" "Lho kenapa?" "Jikalau dua tahun yang lalu aku sudah pergi ke Siau-kim-jwan,
bukankah sejak itu aku sudah kenal dengan kau?"
Secerah kembang mekar tawa si gadis, katanya, "Masa kau
punya maksud sebaik ini" Sebetulnya apa sih kebaikanku" Patutkah
kau sengaja pergi ke Siau-kim-jwan untuk berkenalan dengan aku?"
Maksud Toan Kiam-ceng hanya mengumpak supaya hatinya
riang, melihat orang begitu besar menaruh cinta terhadap dirinya,
terharu juga hatinya, katanya, "Karena hanya kaulah orang yang
paling memperhatikan aku, bila kita bisa kenal lebih dulu, kan lebih
baik." Kali ini dia bicara setulus hati dan sesadar-sadarnya. Dalam
hati dia membatin, "Bila aku kenal dia lebih dulu sebelum aku
kasmaran terhadap Bu Ceng, mungkin banyak mengurangi kesulitan
yang pernah kuhadapi selama ini."
Gadis itu kira sang pujaan memang benar mencintai dirinya,
katanya tertawa, "Dua tahun yang lalu aku masih berada di Cengsengsan. Persahabatan baik tidak ditentukan oleh waktu dan tidak
boleh diukur dengan waktu. Meski sekarang baru kita berkenalan
kurasa juga belum terlambat"
Gadis ini bernama Lcng Ping-ji murid perempuan generasi ketiga
dari Ceng-seng-pay. Leng Thiat-jiau, pemimpin besar laskar rakyat
di Siau-kim-jwan, adalah paman semarga. Siau Ci-wan, wakil
pemimpin, adalah susiok-nya. Tapi sejak kecil dia belajar kungfu di
Ceng-seng-san, baru tahun lalu dia turun gunung setelah pelajaran
silatnya tamat. Kembali ke Siau-kim-jwan adalah setelah dia
berkenalan dengan Toan Kiam-ceng. Maklum baru berkenalan
dengan Toan Kiam-ceng, maka dia tidak berani menceritakan asalusul
dirinya. Di samping terima kasih, baru Toan Kiam-ceng juga merasa menyesal,
katanya dengan tertawa dipaksakan, "Ucapanmu betul. Marilah
kita bicara lain tokoh di Siau-kim-jwan saja, bagaimana dengan
Beng-hujin" Lau-hujin sudah kau ceritakan, tapi belum pernah kau
ceritakan tentang peranan istri Beng tayhiap, Beng-hujin, yang
menduduki pimpinan ketiga di Siau-kim-jwan." Sengaja dia mencari
alasan lain untuk mengalihkan perhatiannya.
"Istri Beng tayhiap bernama Lim Bu-siang, sebenarnya dia adalah
ciangbunjin Hu-siang-pay, belakangan karena menikah dengan Beng
tayhiap, maka kedudukan ciangbunjin dia serahkan kepada sang
suheng yang bernama Ciok Wi."
"O, jadi semula dia seorang iangbunjin, pastilah perempuan
gagah dan perkasa" "Memang perlu diragukan" Di antara sekian banyak orang gagah
yang kumpul di Siau-kim-jwan, ilmu pedangnya diakui nomor satu.
Bukan saja ilmu silatnya tinggi, tindak tanduknya sebagai seorang
pimpinan dan istri pendekar besar ternyata tidak kalah dengan Beng
tayhiap sendiri." Toan Kiam-ceng tertawa katanya "Kau kan bukan teman lamanya
dari mana kau tahu?"
"Apakah kau tahu pendekar perempuan yang pernah menggemparkan
Kangouw Hun lihiap Hun Ci-Jo?"
Nyo Hoa masih terus menguntit dan pasang telinga. Mendengar
mereka membicarakan ibunya di samping girang dia pun berduka.
Senang karena ibunya dipuji, berduka karena ibunya sudah meninggal.
Pikirnya, "Baru saja mereka membicarakan Beng Goan-cau suami
istri, kenapa lantas menyinggung ibuku" Biar kudengar apa yang
mereka bicarakan." Toan Kiam-ceng tertawa katanya "Bukan hanya tahu, Hun lihiap
dulu malah pernah tinggal di rumahku. Sayang kabarnya dia sudah
meninggal." "Semasa hidupnya Hun lihiap adalah sahabat baik Beng tayhiap
suami istri," ujar Leng Ping-ji.
"O, memangnya kenapa?"
"Aku pernah ikut Beng tayhiap suami istri bersembahyang di
depan pusara Hun lihiap. Karena mereka hendak meninggalkan
Siau-kim-jwan, maka khusus menyempatkan diri untuk memohon
diri kepada Hun lihiap. Hari itu mereka suami istri menangis amat
sedih, Beng-hujin sampai jatuh pingsan saking sedihnya."
Agaknya Toan Kiam-ceng keheranan, katanya, "Beng tayhiap
sekarang pendekar besar yang perkasa masa dia pun" menangis?"
"Iya malah menangis begitu sedih. Sering aku dengar cerita
orang, di dalam beberapa kali pertempuran, sering Beng tayhiap
mengalami cedera yang parah, tapi belum pernah dia mencucurkan
airmata. Hari itu aku sampai ikut mencucurkan airmata bersama
mereka." Toan Kiam-ceng menghela napas, ujaraya, "Orang seperti Beng
tayhiap suami istri yang menghargai persahabatan, dalam jaman ini
mungkin jarang sekali." Ucapannya tercetus dari lubuk hatinya yang
paling dalam, bukan lantaran dia sudah tahu betapa intim hubungan
Beng Goan-cau dengan Hun Ci-lo.
Leng Ping-ji berkata "Kukiratidak demikian halnya menurut pendapatku,
semua orang gagah yang kumpul di Siau-kim-jwan semua
memang paling menjunjung tinggi persahabatan." Ping-ji memang
berkata setulus hati, dalam hati dia membatin, "Hanya aku khawatir,
orang baik terhadapmu tapi kau sendiri justru tidak tahu."
Tapi Toan Kiam-ccng juga dapat meraba isi hatinya, katanya
dengan tertawa, "Betul, aku berani berkata demikian memang patut
digampar. Di depan mataku kan sudah ada teman yang amat
menghargai persahabatan?"
Merah muka Leng Ping-ji, katanya, "Aku kan bicara secara obyektif,
secara umum, kenapa kau mengolok-olok aku malah?"
"Ah, memangnya kau tidak?" goda Toan Kiam-ceng tertawa.
Nyo Hoa tiada minat mendengar pembicaraan mesra ini, dalam
hati ia membatin, "Agaknya ibu dike-bumikan di Siau-kim-jwan,
kapan-kapan aku harus pergi ke Siau-kim-jwan, umpama tidak
ketemu Beng Goan-cau, sebagai seorang putera selayaknya aku
berziarah di makam ibunda." Lalu berpikir pula, "Ibu adalah sahabat
baik Beng Goan-cau suami istri. Lalu kenapa Beng Goan-cau tidak
suruh istrinya menuliskan penjelasan Beng-keh-to-hoat itu" Tapi
bukan mustahil Beng-hujin yang minta toldng ibu menuliskan." Dia
kira persoalan ini tak perlu diragukan lagi, maka dengan seksama
dia mendengarkan pembicaraan Toan Kiam-ceng dan Leng Ping-ji.
Mendadak didengarnya Toan Kiam-ceng menjerit aneh, suaranya
mengandung rasa kaget dan senang. Itulah suarajeritan yang
mendadak setelah sekian saat mereka berdiam diri. Ternyata tanpa
sadar mereka sudah menerobos masuk ke lorong yang menembus
ke Kiam-ti. Leng Ping-ji menghela napas, katanya, "Tempat ini bak sorga di
dunia. Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa di dunia ini masih
ada tempat seindah dan sepermai ini."
"Nah, lihat, bukankah itu Kiam-hong. Huruf Kiam-hong itu adalah
goresan Thio Tan-hong." Suaranya setengah memekik, nadanya
tinggi, jelas betapa gembira hatinya.
Di saat kedua orang menyatakan kekagumannya, Nyo Hoa
berputar dari jalan rahasia lain mendahului mereka memanjat ke
Kiam-hong, lalu sembunyi di belakang sebuah batu besar. Dari nada
pembicaraan Toan Kiam-ceng tadi, dia menduga pemuda ini seperti
tahu rahasia Kiam-hong yang ada sangkut pautnya dengan keluarga
Toan. Dalam hati dia membatin, "Sekarang aku belum boleh keluar,
salah-salah mereka curiga menyangka aku sengaja mau mencuri
dengar pembicaraan mereka."
Didengarnya Leng Ping-ji berkata dengan tertawa, "Wah, begini
senang kau ini. Apakah Thio Tan-hong yang kau katakan adalah
mahaguru silat Thio Tan-hong yang hidup di jaman dinasti Beng
dulu?" "Kalau bukan dia siapa yang patut membuatku segirang ini"
Hahaha, akhirnya aku temukan juga."
"Kau temukan apa?"
Tiba-tiba Toan Kiam-ceng menghela napas, ujarnya, "Tidak, tidak
mungkin. Kali ini kemungkinan aku harus pulang bertangan kosong
lagi." Leng Ping-ji keheranan, katanya, "Jadi kau kemari hendak cari
pusaka?" "Yang kucari bukan uang perak atau perhiasan umumnya"
Sembari bicara dia mendongak, matanya tertuju ke atas puncak
pedang. "Tadi" kau bilang hendak membicarakan sesuatu di bawah Puncak
Pedang"." "Baiklah, kau memang lebih pintar dari aku, tolong kau bantu aku
mencarikah akal." "Akal apa?" "Di atas puncak terdapat suatu rahasia yang tersembunyi, ada
hubungannya dengan Thio Tan-hong, juga ada sangkut pautnya
dengan keluargaku." "Omonganmu membuatku bingung. Thio Tan-hong adalah mahaguru
silat yang hidup di jaman dinasti Beng, mana mungkin punya
hubungan dengan keluargamu?"
"Jangan sangsi, aku tidak menipu kau. Kalau dibicarakan,
sebetulnya Thio Tan-hong masih terhitung kakek moyangku."
Nyo Hoa heran, pikirnya, "Bagaimana mungkin Thio Tan-hong juga terhitung moyangnya"
Padahal baru pertama ini dia datang kemari, jelas takkan mungkin
menemukan peninggalan Thio Tan-hong seperti aku."
Maka didengarnya Leng Ping-ji bertanya, "Urusan makin ruwet,
aku tidak habis heran, kau bukan murid Thian-san-pay, bagaimana
mungkin Thio Tan-hong terhitung moyangmu?"
"Tigaratusan tahun yang lalu Thio Tan-hong pernah menjadi
tamu keluargaku, beliau meninggalkan beberapa lembar pelajaran
kungfu sebagai dasar latihan Iwekang. Entah sejak kakek moyangku
yang mana keluarga kita turun temurun dilarang belajar ilmu silat.
Pamanku justru berkukuh hendak belajar silat hingga dia minggat
dari rumah." Sebetulnya dia tahu masih ada alasan lain, tapi di
hadapan Leng Ping-ji tidak enak dia membeber kesalahan ayahnya
sendiri. "Tapi bukankah kau sendiri juga belajar silat?"
"Aku belajar sembunyi-sembunyi. Waktu aku berusia duapuluh
tahun, tanpa sengaja aku menemukan tulisan Thio Tan-hong yang
ditinggal di rumahku.-Sayang hanya tulisan permulaan dari
pelajaran dasar saja. Tapi Thio Tan-hong masih menyimpan ilmu
silatnya yang paling tinggi di atas Puncak Pedang ini."
"Dari mana kau tahu?"
"Di jaman jayanya Thio Tan-hong dahulu, terdapat pula seorang
jago pedang yang kenamaan, namanya Thi King-sim. Tentunya kau
juga tahu tentang dia?"
"Betul, aku pernah mendengar beritanya dari beberapa cianpwe
perguruanku, konon beliau dulu kira-kira sejajar sebagai jago


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang bersama Thio Tan-hong."
"Tidak, jaraknya cukup jauh, hal ini diakui sendiri oleh Thi Kingsim.
Terhadap ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong, dia tunduk lahir
batin." "Mereka hidup di jaman dinasti Beng, apa yang dikatakan Thi
King-sim, dari mana kau tahu sejelas itu" Apakah percakapan
mereka juga tercatat dalam lembaran sejarah?"
"Catatan sejarah sih tidak ada, tapi catatan pribadi seseorang
memang ada," demikian tutur Toan Kiam-ceng. "Istri Thi King-sim,
Bok Yan, adalah seorang kuncu (putri raja) dari Bing-kok-kong yang
berkuasa di jaman itu. Sementara adik Bok Yan bernama Bok Ling
adalah menantu keluarga Toan kita. Jadi hitung-hitung Thi King-sim
masih terhitung famili dengan keluarga Toan kita."51
Leng Ping-ji tertawa, katanya, "Orang-orang ternama yang jadi
famili keluargamu kok banyak juga. Tapi lalu bagaimana?"
"Di hari tuanya Thio Tan-hong menyepi di Ciok-lin, suatu hari Thi
King-sim dan istrinya datang mengunjunginya, Thio Tan-hong lantas
mendemonstrasikan rangkaian ilmu pedang ciptaannya yang belum
sempurna di hadapan mereka, waktu itu Thi King-sim sudah
nyatakan kekagumannya, dipujinya karya besar ini tiada
bandingannya sejak jaman dulu sampai jaman yang akan datang.
Waktu itu telah dianjurkan supaya beliau selekasnya mencari ahli
waris, lapi Thio Tan-hong menyatakan sebelum ilmu pedang ciptaannya
sempurna, dia tiada maksud menerima murid."
Toan Kiam-ceng berkata lebih lanjut, "Jarak Ciok-lin dan Thiansan
laksaan H jauhnya, Thi King-sim sendiri waktu itu tidak punya
waktu sementara Thio Tan-hong juga rikuh minta bantuannya untuk
mengundang muridnya datang kemari."
"Apa Thio Tan-hong tidak khawatir bila ilmu pedang ciptaannya
itu tiada yang.mewarisi?"
"Thio Tan-hong seorang berjiwa besar yang berpandangan luas,
pikirannya terbuka, waktu berbincang-bincang dengan Thi King-sim
suami istri dulu, dia pun pernah menyatakan penyesalannya,
menyesal bahwa sang waktu mungkin tidak memberi kelonggaran
padanya, entah bila ilmu pedangnya sempurna, apakah dia masih
bisa hidup di dunia ini. Akhirnya dia bilang bila tidak menemukan
ahli waris, sebelum ajalnya dia akan sembunyikan seluruh karya
hasil jerih payahnya di atas Kiam-hong, biar nanti orang yang punya
jodoh mendapatkannya. Dia hanya mengejar cita-cita, semoga di
masa hidupnya dapat menyumbang karyanya bagi dunia persilatan.
Umpama kelak karyanya tidak ditemukan orang, umpama mati juga
tidak menyesal." "Ya, itulah yang dinamakan hanya tahu bercocok tanam tidak
memikirkan panennya, selama hidup berjerih payah sampai mati
takkan berhenti. Jiwa besar mahaguru silat ternama ini memang
patut dijadikan teladan."
Toan Kiam-ceng melanjutkan, "Pembicaraan Thio Tan-hong dengan
Thi King-sim dicatat oleh istrinya, Bok Yan, belakangan suami
istri ini beruntun meninggalkan dunia, maka catatan harian itu jatuh
di tangan adiknya, Bok Ling. Situasi waktu itu amat genting, pihak
kera-jaan bermaksud melebarkan sayapnya menundukkan sukusuku
kecil, terpaksa Bok Ling mengungsi ke rumah mertua maka
buku catatan itu pun tertinggal di rumahku. Aku menemukannya
bersama beberapa lembar ajaran dasar Iwekang pemberian Thio
Tan-hong di gudang buku."
"Kalau demikian, bila ada orang dapat menemukan tempat di
mana Thio Tan-hong menyembunyikan ajaran silat ciptaannya
bukankah dia tiada tandingannya di kolong langit ini?"
"Juga belum tentu. Itu tergantung bagaimana bakat orang itu
serta betapa tinggi dan dalamnya karya Thio Tan-hong, apakah
orang itu mampu mempelajari dan memahaminya"
Nyo Hoa mengangguk, "Pendapatnya betul. Aku umpamanya,
apa gunanya aku memperolehnya, hakikatnya aku tak mampu
mempelajarinya" Lebih lanjut Toan Kiam-ceng berkata "Bagaimanapun juga ini
merupakan pusaka yang jarang ditemukan di dunia ini."
Leng Ping-ji tertawa, katanya "Tak heran kau begitu getol ingin
lekas sampai di sini."
Toan Kiam-ceng menghela napas, katanya, "Tapi Puncak Pedang
ini tegak lurus seperti pinsil, orang hutan juga sukar memanjat ke
atas, entah di mana pit-kip itu disembunyikan?" Sembari bicara dia
menatap Leng Ping-ji lekat-lekat
Leng Ping-ji bimbang sejenak, katanya "Kalau aku bisa
membantu pasti aku akan membantu kau. Bicara sejujurnya
ginkang-ku mungkin lebih baik dari kau, tapi untuk memanjat ke
puncak terjal ini jelas aku tidak akan mampu."
"Aku punya akal, coba kau ikut pikirkan apakah bisa
dilaksanakan. Kita cari tambang panjang, kau pegang ujung
tambang yang satu, sementara tali diikat di pingangku. biar aku
yang merambat ke atas, bila terpeleset dan jatuh, tolong kau bantu
menyangga badanku." "Kalau luput dan tak mampu menyangga kau bagaimana?"
Tidak masuk gua mana dapat menangkap anak harimau"
Umpama harus berkorban jiwa, betapapun pit-kip itu harus
ditemukan." "Aku tidak setuju kau menyerempet bahaya Kungfu seseorang
tinggi atau rendah kurasa tidak jadi soal. Mungkin kau bisa bilang ini
pandangan cupat seorang perempuan, tapi aku rasa, untuk menjadi
seorang pendekar, kungfu adalah yang nomor dua, yang penting
adalah jiwa ksatria. Bila kungfunya tidak nomor satu di dunia, juga
tetap dapat menjadi pendekar yang berjiwa ksatria."
Leng Ping-ji bicara secara bajik dan bijaksana, tapi hati Toan
Kiam-ceng kurang senang. Ternyata maksudnya supaya Leng Ping-ji
menyerempet bahaya merambat ke atas, sementara dia yang
berjaga di bawah. Cuma dia rikuh untuk menyatakan maksudnya,
tapi dia berpikir, "Kau begini ayu jelita, cerdik pandai lagi, masa
belum tahu maksudku?"
Di luar tahunya, Leng Ping-ji memang tidak berpikir ke arah itu,
dia ingin bilang, "Ceng-ko, umpama ilmu silatmu rendah, aku tetap
mencintaimu." Tapi dia pun rikuh menyatakan isi hatinya.
Kata Toan Kiam-ceng kurang senang, "Ya, sudahlah, kalau kau
tidak setuju, tapi rahasia ini sekali-kali jangan kau bocorkan kepada
siapa saja." Leng Ping-ji tertegun, matanya merah, katanya, "Kau tidak
percaya kepadaku, kenapa kau tuturkan rahasia ini kepadaku?"
Toan Kiam-ceng unjuk senyum, katanya, "Jangan kau ambil di
hati, masa aku tidak percaya kepadamu" Soalnya rahasia ini
menyangkut urusan besar dan penting artinya, maka aku merasa
perlu berpesan kepadamu."
"Tapi aku yakin bukan hanya kau dan aku saja yang tahu rahasia
ini." "Betul, aku juga curiga mungkin paman juga tahu akan rahasia
ini. Maka dia tidak mau kutemani, secara diam-diam seorang diri dia
datang kemari." Pernyataan Toan Kiam-ceng ini terasa menusuk pendengaran
Nyo Hoa yang sembunyi di atas, diam-diam dia membatin, "Siauongya
ini ternyata banyak curiga, aku yakin ji-suhu tidak tahu akan
rahasia ini. Bila dia tahu, di kala tahu jiwanya sudah dekat ajal, pasti
dia berusaha memberi tahu rahasia penting ini kepadaku." Lalu dia
berpikir pula, "Dari nada bicara siau-ongya ini, agaknya dia lebih
mementingkan pit-kip itu daripada menemui pamannya di sini, cuma
alasannya saja mencari paman, tapi tujuan yang sebenarnya adalah
mencari pit-kip itu. Ternyata Leng Ping-ji bersikap peduli, katanya, "Kurasa bukan
pamanmu sengaja datang kemari secara diam-diam. Bukankah
sebelum pergi dia memberi tahu kepada Beng tayhiap" Dia bilang
tujuannya mencari teman, bukan mencari pit-kip segala."
Dingin sikap Toan Kiam-ceng, katanya, "Walau dia pamanku, tapi
apa salahnya kita hati-hati terhadap orang, bukan mustahil dia pun
mengelabui Beng Goan-cau?"
"Kalau betul demikian, buat apa perjalanan menuju ke Ciok-lin ini
dia beri tahu kepada Beng Goan-cau?"
"Mungkin dia kira Beng Goan-cau tahu seluk beluk Ciok-lin dengan
harapan Beng Goan-cau memberi sedikit bantuan untuk perjalanannya
ini?" Leng Ping-ji geleng-geleng, katanya, "Aku justru tidak banyak
curiga seperti kau."
"Masih ada alasanku untuk curiga, dalam Ciok-lin ini belum tentu
ada seorang teman yang hendak dicarinya, kalau tidak kenapa dia
tidak sebutkan nama teman yang tinggal di sini?"
Pertanyaan Toan Kiam-ceng ini sebetulnya Nyo Hoa bisa
memberi jawaban. Maka dalam hati dia membatin, "Kurasa hal ini
tidak sukar dijawab, pertama, sam-suhu tinggal di sini bersama aku,
tidak ingin diketahui orang luar. Kedua, sam-suhu dipecat oleh
ciangbun susiok-nya, di sini dia bermusuhan dengan Yang Ke-beng,
iblis besar yang laknat itu, kapan saja kemungkinan bisa
menghadapi marabahaya. Ji-suhu tahu kami berada di sini, maka
dia pasti akan menyusul datang. Padahal Beng tayhiap mengemban
tugas berat yang menyangkut mati hidup laskar rakyat di Siau-kimjwan,
mana boleh dia bertambah khawatir akan keselamatan jisuhu"
Mereka adalah teman baik, jikalau ji-suhu membeber
persoalan sesungguhnya, lalu Beng tayhiap harus atau tidak
menemani dia kemari" Bukankah hal ini akan mempersulit posisi
Beng tayhiap?" Leng Ping-ji tertawa, katanya, "Lalu kau mencurigai pamanmu,
kemungkinan dia sudah menemukan Pit-kip peninggalan Thio Tanhong
itu?" "Sukar kukatakan, betapapun aku masih mengharap dapat menemukan
sendiri. Aneh, sampai sekarang kami belum kepergok
dengan seorang pun, kemungkinan besar paman sudah
meninggalkan Ciok-lin."
"Kalau benar pamanmu sudah menemukan dan membawa pergi
pit-kip itu, maka tak perlu kita lama-lama tinggal di sini. Sebaliknya
jikalau belum dia temukan, dengan bekal kepandaian kita sekarang
juga takkan mampu memanjat ke Puncak Pedang, terpaksa biarlah
tunggu kelak bila ginkang kita sudah mencapai kemajuan."
Toan Kiam-ceng diam saja, Nyo Hoa sembunyi di belakang batu
jadi tidak tahu gerak-geriknya, sesaat kemudian baru didengarnya
Leng Pin-ji cekikikan geli, katanya, "Hey, kenapa kau menggoresgores
di telapak tanganku?"
Ternyata Toan Kiam-ceng jadi masgul dan merasa berat, sambil
mendongak dia mengawasi ukiran huruf "Kiam-hong" tulisan Thio
Tan-hong sampai melamun, saking asyik dia pegang tangan Leng
Ping-ji serta meniru tulisan huruf "Kiam-hong." Sesaat mendengar
omelan Leng Ping-ji baru dia tersentak sadar.
"Coba perhatikan huruf Kiam-hong itu, bukankah goresannya
amat kuat dan gayanya juga berseni. Gaya tulisan Thio Tan-hong
agahnya mirip gaya permainan ilmu pedang. Kau lebih cerdik dari
aku, tolong kau perhatikan dan ikut menyelami," demikian pinta
Toan Kiam-ceng: Mencuri dengar pembicaraan mereka, terasa oleh Nyo Hoa akan
pendapat yang sama Toan Kiam-ceng dengan dirinya, pikirnya,
"Pandangan sesama enghiong memang sama. Walau aku ini bukan
enghiong. Demikian pula keponakan ji-suhu ini agak sesat kurasa
dia juga tidak setimpal dianggap seorang enghiong." Semula ada
maksud memberikan pit-kip peninggalan Thio Tan-hong kepada
Toan Kiam-ceng, tapi mengingat hal ini, dia jadi bimbang.
Didengarnya Leng Ping-ji cekikikan, katanya, "Agaknya kau sudah
gila ilmu silat. Aku ini anak perempuan bodoh, mana bisa
memahami sesuatu. Tapi aku punya satu akal, bila kukatakan
jangan ditertawakan lho."
"Eh, kenapa pakai sungkan segala. Pendapatmu pasti baik, coba
katakan." Leng Ping-ji tertawa, katanya, "Kau punya raga. Kau ingin latihan
menulis, ilmu pedang, kenapa tidak latihan di atas ragamu sendiri"
Maksudnya yaitu kenapa tidak melatih raga sendiri, kok meyakinkan
raga orang lain?" Sejenak Toan Kiam-ceng kebingungan, tiba-tiba dia berteriak
sambil keplok, "Ping-moay, ucapanmu seperti petuah ayat-ayat Nabi
saja. Memang untuk menjadi seorang cikal bakal seperti Thio Tanhong,
jelas harus memiliki raganya sendiri. Tapi untuk mencapai
taraf setinggi itu mungkin selama hidupku juga takkan bisa
kugapai." Nyo Hoa yang bersembunyi di atas Puncak Pedang juga seperti
kaleng kosong yang mendadak berisi penuh setelah mendengar
ucapan Leng Ping-ji, seketika dia sadar dan paham segala-galanya.
"Raga" yang dimaksud oleh Leng Ping-ji dalam hal ini
mengandung dua makna yang mendalam, boleh dianggap sebagai
badan, tapi juga boleh dianggap sebagai suatu aliran. Isi dari aliran
itu, gayanya, sifatnya, badannya dan usahanya yang mencakup
kesemuanya sebagai syarat utama sehingga sesuatu badan itu
terbentuk. Sinar ilham seperti berkelebat dalam benaknya, Nyo Hoa berpikir,
"Betul, untuk mencapai kesempurnaan tingkat tinggi, peduli itu seni
tulisan, ilmu pedang, sepantasnya mempunyai gaya alirannya
sendiri. Jikalau hanya mencontoh bentuk orang lain, serta
meyakinkan aliran atau bentuk orang lain, umpama hasilnya baik
dan mutunya tinggi, juga tetap di bawah taraf orang itu."
Maka berbagai kungfu yang pernah dipelajarinya seperti Sip-hunkiamhoat dari Khong-tong-pay, Beng-keh-to-hoat dan Bu-bengkiamhoat ciptaan Thio Tan-hong semua berkecamuk dalam
benaknya, terasa di antara ketiga ilmu itu mempunyai titik
persamaan. Lalu bagaimana menyatukan sehingga berbagai ilmu
tingkat tinggi melebur dan menciptakan suatu raga tersendiri" Nyo
Hoa seperti sudah memperoleh gambaran kunci yang nyata, tapi
dalam waktu singkat itu dia sendiri menjadi bingung dan tak mampu
membuka lembaran baru. Di saat Nyo Hoa keasyikan merenungkan penemuannya hingga
seperti orang mabuk, tiba-tiba seperti mendengar sesuatu suara,
seketika dia sadar dan melenyapkan segala pikiran, mendekam
mendengarkan suara. Didengarnya sebuah suara yang sudah dikenal berkata, "Aneh,
barusan kugeledah kamar batu itu, dalam rumah masih banyak
ransum, tapi bayangan orang tidak kelihatan satu pun. Sekarang
kita sudah hampir tiba di Kiam-ti, namun masih belum melihat ada
orang." Nyo Hoa keheranan, batinnya, "Siapakah orang ini, suaranya
seperti amat kukenal, apa maksud tujuan dia menggeledah
rumahku?" Seorang lagi bersuara serak lantas menanggapi, "Ciok-sing
apakah kau takut?" Nyo Hoa terperanjat, baru sekarang dia teringat, "Kiranya murid
tertua Yang Ke-beng. Bagus kedatanganmu memang kebetulan,
coba saja sekarang apa kau mampu menghina aku?"
Murid Yang Ke-beng ini bernama Ban Ciok-sing, empat tahun
yang lalu Nyo Hoa pernah bergebrak melawannya. Waktu itu
usianya baru empatbelas, jelas kepandaiannya masih rendah dan
bukan tandingannya. Untung Tan Khu-seng keburu mengalahkan
Yang Ke-beng hingga lawan melarikan diri dengan luka parah,
terpaksa Ban Ciok-sing ikut lari bersama gurunya. Tapi Nyo Hoa


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dihajar, dan mendapat rugi cukup besar.
Ban Ciok-sing berkata, "Kepandaian Tan Khu-seng bukan olaholah
lihaynya, aku jadi khawatir akan keselamatan suhu,
kemungkinan sudah mengalami nasib jelek di sini."
Suara serak tua itu berkata, "Kau khawatir gurumu tidak mampu
membunuh Tan Khu-seng, malah terbunuh oleh musuh-musuh,
begitu?" "Suhu tentu yang kuharap tidak demikian."
"Yakin tidak demikian halnya," suara serak berkata tegas.
"Jikalau hanya gurumu seorang, terus terang aku tidak berani
tanggung. Tapi gurumu datang bersama Tong-hian suheng, dibantu
oleh jago kosen dari Taylwe (istana raja) Auwyang Ya lagi. Lwekang
Tong-hian suheng di dalam kalangan Khong-tong-pay kita, kecuali
Ciangbun suheng tiada yang mampu mengalahkan dia. Umpama
berduel satu lawan satu yakin Tan Khu-seng juga bukan
tandingannya." Ban Ciok-sing berkata, "Tapi bila mereka berhasil membunuh Tan
Khu-seng, urusan sudah setahun yang lalu, kenapa selama ini belum
juga kunjung pulang?"
Setelah mendengar percakapan kedua orang ini, Nyo Hoa sudah
jelas asal-usul kedua orang ini serta apa maksud tujuan mereka,
pikirnya, "Mungkin karena menunggu gurunya setahun tidak pulang,
maka Ban Ciok-sing mengajak sute Tong-hian-cu ini meluruk kemari
untuk mencari jejak gurunya."
Maka suara serak tua itu berkata pula, "Dari mana aku bisa tahu"
Mungkin mereka sengaja sembunyi di dalam Ciok-lin dan belum
tahu kedatangan kami. Atau kemungkinan mereka langsung ikut
Auwyang Ya masuk ke kota raja" Cuma kalau kau benar-benar
takut, bolehlah kau kembali."
Agaknya Ban Ciok-sing jadi rikuh, katanya, "Tong-bing totiang,
kau orang tua berada di sampingku, apa yang kubuat takut" Aku
hanya menguatirkan keselamatan suhu."
Mendengar nama Tong-bing to-tiang, kembali Nyo Hoa
terperanjat Lebih kaget daripada waktu mendengar kedatangan
murid Yang Ke-beng. Nyo Hoa memang belum pernah melihat Tong-bing-cu, namun
sam-suhu-nya Tan Khu-seng pernah bercerita kepadanya. Konon di
dalam dua generasi murid perguruan Khong-tong-pay, kecuali
ciangbun-jin, bicara soal lwekang Tong-hian -cu nomor satu, dalam
bidang kiam-sut atau ilmu pedang adalah Tong-bing-cu paling
unggul. Ilmu pedang yang berhasil diyakinkan dinamakan Lianhoantoh-beng-kiam-hoat (Ilmu pedang mencabut nyawa berantai),
bila dilancarkan seorang diri dapat menjaga delapan penjuru angin,
berarti ada delapan jago pedang merangsak sekaligus. Waktu itu
secara berkelakar Tan Khu-seng pernah bilang, "Sayang aku bercekcok
dengan susiok ini, kalau tidak, aku bisa mohon petunjuk
kepadanya, sekarang terpaksa aku harus memeras keringat dan
memutar otak siang malam untuk mempelajari ilmu perguruan yang
telah lenyap dan putus turunan."
Teringat akan cerita gurunya dulu, Nyo Hoa membatin, "Ucapan
suhu sudah merupakan penghargaan terhadap orang yang lebih
tua, tapi suhu terang beranggapan dia boleh diajak untuk
mempelajari dan menyelami kiamhoat, dari sini dapatlah
diperkirakan bahwa thay-susiok ini memang memiliki ilmu pedang
yang benar-benar tinggi." Maklum di bidang ilmu pedang, kecuali
Thio Tan-hong yang sudah meninggal sejak tigaratus tahun yang
lalu, orang yang paling dikagumi adalah sam-suhu-nya. Umpama
Tan Khu-seng bilang ilmu pedang Tong-bing-cu termasuk nomor
satu di Khong-tong-pay, kemungkinan sekarang dia tidak akan
mengambil perhatian. Tapi waktu itu sam-suhu-nya bilang ingin
mohon petunjuk kepadanya, maka dia pun tidak berani memandang
rendah padanya. "Dari nada perkataan sam-suhu aku dapat menarik
kesimpulan bahwa Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat sebetulnya masih
belum mampu mengalahkan Sip-hun-kiam-hoat yang diajarkan
kepadaku, sayang Sip-hun-kiam-hoat aku baru mempelajari
setengah tahun lamanya, bila nanti aku harus berhadapan dengan
thay-susiok, mungkin aku masih bukan tandingannya," demikian
batin Nyo Hoa. Tong-bing-cu dan Ban Ciok-sing bicara dalam suara lirih, tapi
lwekang Nyo Hoa sekarang sudah punya dasar, dengan mendekam
di tanah mendengarkan suara, dia dapat dengar jelas pembicaraan
mereka. Sementara Toan K iam-ceng dan Leng Ping-ji yang berada
di pinggir Kiam-ti masih belum tahu bahwa orang jahat telah
datang, bahaya tengah mengancam mereka Leng Ping-ji masih
tertawa, katanya, "Aku saja percaya akan kecer-dikanmu, kenapa
kau sendiri tidak punya keyakinan malah. Marilah pulang
meyakinkan "raga" sendiri, yang jelas sekarang kita belum mampu
menemukan Bu-kang-pit-kip peninggalan Thio Tan-hong itu."
Toan Kiam-ceng merasa berat, katanya susah, "Pamanku juga
tidak ketemu. Kali ini aku harus pulang dengan tangan kosong,
baiklah mari pulang."
Kala itu Tong-bing-cu dan Ban Ciok-sing sudah tiba di lorong
jalan menuju Kiam-ti. Tong-bing-cu lantas mendesis dan berbisik,
"Jangan bersuara di dalam ada orang."
Leng Ping-ji juga sudah mendengar langkah mereka" setelah
bersuara heran dia berkata, "Ceng-ko, kau dengar, agaknya ada
orang datang." Toan Kiam-ceng terkejut dan girang, lekas dia berteriak, "Aku
adalah Kiam-ceng paman, paman, kau?" Dia kira orang yang
muncul di dalam Ciok-lin kecuali pamannya masih ada siapa lagi" lak
nyana belum habis dia bicara, tampak yang muncul adalah seorang
tosu tua dan satu laki-laki setengah umur.
"Kalian siapa?"
"Kalian siapa?" tanpa berjanji Toan Kiam-ceng menegur bersama
Ban Ciok-sing. Tong-bing-cu malah tergelak-gelak, katanya, "Kiranya kau ini
siau-ongya dari Tayli. Toan Siu-si adalah pamanmu, betul tidak"
Siau-ongya, selamat bertemu, selamat bertemu!"
Toan Kiam-ceng keheranan, katanya, "Tofong tanya, siapa gelar
totiang" Sebelum ini agaknya kita belum pernah bertemu, dari mana
totiang tahu diriku?"
Tong-bing-cu tertawa lebar, katanya, "Siau-ongya orang kaya
nomor satu di seluruh Tayli, walau pinto orang gunung yang rudin,
tapi tahu juga tentang diri siau-ongya. Apalagi pamanmu juga cukup
terkenal di kalangan Kangouw, sejak lama pinto juga
mengaguminya. Pinto adalah Tong-bing-cu dari Khong-tong-pay,
entah pamanmu pernah menyinggung namaku kepadamu?"
Toan Kiam-ceng terkejut, batinnya, "Gelagatnya dia hanya saling
mengagumi dengan paman, namun belum pernah ketemu alias
tidak kenal. Lalu dari mana dia bisa tahu tentang diriku" Mungkin
pembicaraanku dengan Ping-ji tadi telah dicuri dengar mereka?"
Segera dia gelengkan kepala, katanya, "Paman jarang
membicarakan tokoh-tokoh Bulim dengan aku Mohon maaf bila
pertanyaanku lancang, entah untuk apa kedatangan totiang
kemari?" Tong-bing-cu tertawa, katanya, "Pertanyaan ini sepantasnya aku
yang balik tanya kepada siau-ongya." Secara tidak langsung dia mau
bilang adalah biasa dan sepantasnya kalau dirinya datang ke Ciok-lin
ini. Toan Kiam-ceng melenggong, didengarnya Tong-bing-cu berkata
pula tawar, "Penghuni Hutan Batu ini adalah keponakan murid
pinto." "Bahwa paman menengok temannya di Hutan Batu ini ternyata
memang kenyataan," demikian batin Toan Kiam-ceng dengan
melenggong, tanyanya, "Siapakah sutit totiang?"
"Siau-ongya," Tong-bing-cu balas tanya, "kau betul tidak tahu
atau pura-pura saja?"
Merasa pertanyaan orang agak janggal, Toan Kiam-ceng
mengerut kening, sikapnya kurang senang, katanya, "Berdasarkan
apa totiang mengira aku sudah tahu" Aku betul tidak tahu."
Perlahan Tong-bing-cu menjelaskan, "Sutit-ku bernama Tan Khuseng,
menurut apa yang kutahu, pamanmu adalah sahabat baiknya.
Sayang sekali meski dulu pamanmu pernah sekali berkunjung ke
Khong-tong, kebetulan aku tidak di atas gunung hingga tak sempat
bertemu. Siau-ongya, apa kau mencari pamanmu?"
Tahu urusan tidak bisa mengelabui orang, maka Toan Kiam-ceng
berkata, "Betul. Tapi aku tidak tahu kalau paman kemari mencari
sulitmu." "Baiklah, anggap saja sebelumnya kau memang tidak tahu,
sekarang kau sudah tahu keadaan mereka bukan?" nadanya
mendesak dan mengancam. Toan Kiam-ceng bersikap kurang senang, katanya kasar, "Tidak
tahu. Maaf, aku mau pulang, silakan kalian cari sendiri saja."
"Nanti dulu," tiba-tiba Ban Ciok-sing membentak setelah dia adu
pandang sejenak dengan Tong-bing-cu.
Tong-bing-cu tersenyum, ujarnya, "Iya, sudah saatnya kau bicara
persoalan itu dengan dia."
Toan-kiam-ceng menjengek, katanya, "Siapa kau" Ada petunjuk
apa?" "Jejak guruku, apa kau sudah tahu?" tanya Ban Ciok-sing. "Aku
tidak tahu siapa gurumu?" "Guruku adalah Yang Ke-beng, apa betul
kau tidak tahu?" Toan Kiam-ceng kelihatan tenang-tenang saja, tapi
Leng Ping-ji terkejut mendengar nama suhu orang.
Maklum, meski Yang Ke-beng mengasingkan diri di Ciok-lin,
orang-orang Kangouw yang kenal dirinya hanya beberapa orang,
tapi tokoh tua Ceng-seng-pay seperti Siau Ceng-hong dan Leng
Thiat-j iau dari Siau-kim-jwan dan beberapa orang lagi tahu bahwa
dia adalah cicit murid Beng Sin-thong, namun tidak tahu kalau dia
pernah sembunyi di Ciok-lin. Leng Ping-ji pernah dengar Siau Cenghong
dan Leng Thiat-jiu menyinggung Yang Ke-beng dan cikal bakal
perguruannya, maka dia tahu kalau Yang Ke-beng adalah gembong
iblis masa kini, kini mendadak tahu bahwa laki-laki di depan mata ini
adalah murid Yang Ke-beng betapa hatinya takkan terkejut
Tapi Tan Kiam-ceng memang tidak tahu, sikapnya tetap tak
acuh, katanya, "Siapa itu Yang Ke-beng, aku tidak pernah dengar?"
" Ban Ciok-sing menyeringai dingin, katanya, "Apa pun kau tidak
tahu. Tapi di mana Thio Tan-hong menyimpan Bu-kang-pit-kip-nya,
kau tidak akan bilang tidak tahu lagi bukan?"
"Bu-kang-pit-kip karya Thio Tan-hong" tercetus dari mulut Ban
Ciok-sing, baru sekarang Toan Kiam-ceng betul-betul terkejut "Pitkip
apa" Aku, hakikatnya aku tidak tahu apa-apa?" sahut Toan
Kiam-ceng gelagapan. "Anak bagus," jengek Ban Ciok-sing, jangan pura-pura pikun. Apa
yang kau bicarakan dengan nona ini tadi sudah kami dengar."
Toan Kiam-ceng tidak tahu keli-hayan lawan, dalam hati dia
membatin, "Soal pit-kip sudah bocor, terpaksa harus adu jiwa
dengan mereka." Maka dengan angkuh dia berkata, "Aku tidak
pernah mengatakan, pasti kau salah dengar. Hayo minggir."
"Siau-ongya, "sela Tong-bing-cu tawar, "percayalah kepadaku,
serahkan saja. Ketahuilah, gurunya sudah tinggal beberapa tahun di
Ciok-lin ini sebelum diduduki Tan Khu-seng, tujuannya adalah
hendak mencari pit-kip itu. Memang itu barang milik keluarganya,
mana kau boleh mengambilnya seenakmu?" Ternyata dia juga kira
Toan Kiam-ceng sudah temukan pit-kip itu.
"Aku bilang tidak tahu ya tidak tahu, kenapa kalian tidak tahu
aturan rnain tuduh saja?" demikian semprot Toan Kiam-ceng gusar.
"Baiklah kau kira aku boleh dihina dan di permainkan?"
"Sreet" segera dia cabut pedangnya
Tong-bing-cu tertawa keras, katanya, "Siau-ongya, kau
menantang berkelahi dengan aku" Sepuluh tahun lagi baru kau
setimpal melawan aku."
Toan Kiam-ceng tidak paham apa maksud ucapan orang,
katanya, "Kau tidak berani melawan aku, lekas enyah."
Ban Ciok-sing tertawa katanya, "Totiang, kenapa kau memberi
angin kepada keparat ini. Meski latihan sepuluh tahun lagi juga dia
bukan tandinganmu. Biarlah serahkan aku saja untuk
menghajarnya" Sembari bicara orangnya sudah melangkah maju.
"Sret" kontan Toan Kiam-ceng menusuk dengan pedangnya. Ban
Ciok-sing tidak banyak gerak, jari tangannya menjentik di punggung
pedang "Tring" "perlahan saja, tapi telapak tangan Toan Kiam-ceng
seketika kedinginan luar biasa, saking dingin jari-jarinya seperti
beku seketika hingga tak kuat lagi memegang pedang dan jatuh
berkerontang. Saking terkejut, sigap sekali Toan Kiam-ceng membalik telapak
tangan dengan jurus Lan-kang-koat-to, melindungi dada melawan
musuh. Sudah tentu Ban Ciok-sing tidak pandang sebelah mata
lawan ingusan ini. Tapi begitu kedua tangan beradu, mau tidak mau Ban Ciok-sing
bersuara kaget. Ternyata kepandaian silat Toan Kiam-ceng memang
biasa, tapi dasar latihan Iwekang-nya adalah ajaran Thio Tan-hong
yang murni. Maka cengkeraman Ban Ciok-sing yang seenaknya itu
ternyata berhasil disampuk pergi.
Ban Ciok-sing tertawa, katanya, "Tidak kusangka siau-ongya
ternyata juga punya sedikit bekal yang lumayan." Telapak tangan
kirinya tiba-tiba menyusup ke depan terus menangkap pergelangan
Toan Kiam-ceng serta menelikungnya
Kalau tadi dia menilai rendah lawan, tapi dalam gerakan kedua
ini ternyata dia kecele lagi, kali ini dia menilai terlalu tinggi. Dalam
cengkeramannya kali ini menggunakan tenaga Siu-lo-im-sat-kang.
Sudah kedinginan, lengannya kena telikung, sudah tentu sakitnya
bukan kepalang rasanya. Tanpa kuasa dia menjerit keras, mukanya
pucat lesi. "Lepaskan dia." tiba-tiba Leng Ping-ji membentak, meski tahu
awak sendiri bukan tandingan lawan, namun dia nekat menubruk
maju. Ban Ciok-sing tertawa, katanya, "Aku sih tidak tega melukai gadis
semolek engkau." Dalam waktu sesingkat dia bicara, Leng Ping-ji sudah menyerang
tujuh jurus. Ilmu pedang Ceng-seng-pay memang tidak boleh dibuat
main-main, karena tidak ingin melukai orang, Ban Ciok-sing hampir
tertusuk dan terdesak hebat. Bentaknya gusar, "Baiklah, kau tusuk!"
Toan Kiam-ceng dicengkeram terus disodorkan ke ujung pedang
lawan. Di tengah gelak tawa Ban Ciok-sing itu, dari puncak pedang
mendadak menggelegar sebuah bentakan keras laksana guntur,
"Berhenti!" Tampak satu sosok bayangan orang terjun bebas
laksana seekor burung raksasa dari atas puncak. Yang menukik
turun ini bukan lain adalah Nyo Hoa
Di tengah udara tangannya menyerang dengan amgi. Senjata
rahasianya adalah sebutir batu kerikil. Mimpi pun Ban Ciok-sing
tidak kira ada lawan yang terjun menyerang dirinya dari atas,
mendengar bentakan mengguntur itu hatinya melonjak kaget, tibatiba
pandangannya menjadi kabur, batu kerikil itu sudah melesat
tiba di depan mukanya mengincar thay-yang-hiat di pelipisnya mau
berkelit juga sudah terlambat
Untunglah mendadak terdengar "Cring" batu itu pecah menjadi
dua melesat terbang ke dua arah. Ternyata pada waktu yang
menentukan itu, Tong-bing-cu sempat menimpukkan sekeping mata
uang tembaga membentur batu kerikil timpukan Nyo Hoa Mata uang
tembaga lebih kecil dan ringan dari batu, tapi batu tertumbuk


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pecah, jelas lwe-kang-nya masih lebih unggul di atas Nyo Hoa
Batu itu memang tidak kena Ban Ciok-sing, tapi pecah di depan
mukanya mau tidak mau perhatiannya menjadi terganggu dan
tenaga pun mengendor. Kebetulan Leng Ping-ji menusuk dari
belakang lagi, lekas Ban Ciok-sing mendekam tubuh terus
menggelinding jauh, untuk menyelamatkan diri terpaksa dia
melepaskan Toan Kiam-ceng.
Batu itu pecah menjadi dua, tenaga timpukannya masih
membuatnya melesat ke samping, satu di antaranya menyerempet
jidat Leng Ping-ji, rasanya pedas dan panas. Tanpa hiraukan luka
lecet di jidatnya lekas dia bopong Toan Kiam-ceng terus dibawa lari.
Ban Ciok-sing sendiri juga berkeringat dingin saking kaget,
untung Tong-bing-cu sempat menimpukkan mata uang sehingga
batu itu tertangkis pergi, umpama dia mampu meluputkan thayyanghiatriya dari timpukan batu, matanya pasti buta Waktu dia
membuka matanya, dilihatnya Nyo Hoa sudah berdiri di depannya
sambil tolak pinggang, katanya tertawa mengejek, "Ban Ciok-sing,
masih kenal padaku?"
Sesaat Ban Ciok-sing melongo, akhirnya sadar dan membentak,
"Kurang ajar, kiranya kau bocah keparat ini!"
"Siapa bocah ini?" tanya Tong-bing-cu.
"Inilah bocah she Nyo murid Tan Khu-seng itu, hitung-hitung
masih terhitung cucu muridmu."
Tong-bing-cu berkata, "Gurunya sudah dipecat dari perguruan,
kapan aku pernah punya cucu murid seperti ini. Jangan karena kau
pandang mukaku, berlaku sungkan. Nah, silakan kau melayaninya."
Tong-bing-cu terlalu tinggi hati, meski kepandaian Nyo Hoa di
luar dugaannya, namun dia masih belum ambil perhatian. Tapi
setelah tahu Nyo Hoa murid Tan Khu-seng, timbul juga rasa heran
dan kaget. Pikirnya, "Konon Tan Khu-seng berhasil
menyempurnakan Sip-hun-kiam-hoat perguruan kita yang lenyap,
kecuali itu entah ilmu mujijat apa pula yang berhasil diyakinkan.
Muridnya selihay ini, dapatlah dibayangkan gurunya, mungkin apa
yang sering kudengar itu bukan berita angin melulu. Baiklah, biar
kusaksikan permainan bocah ini untuk menilai kungfunya" Pertama,
dia bermaksud meneliti kepandaian ,Nyo Hoa untuk menjajaki
sampai di mana Tan Khu-seng telah berhasil memperdalam ilmu
silat perguruan. Kedua, wataknya memang angkuh apalagi dua
tingkat lebih tinggi dari Nyo Hoa, jelas dia tidak sudi turun -tangan
sendiri. Tapi dia berpesan kepada Ban Ciok-sing untuk hati-hati,
secara tidak langsung hal ini sudah menunjukkan rasa khawatirnya,
khawatir bahwa Ban Ciok-sing bukan tandingan Nyo Hoa.
Setelah tahu yang dihadapi ternyata Nyo Hoa, rasa jeri Ban Cioksing
banyak berkurang. Pikirnya, "Baru tiga tahun berselang,
memangnya kepandaiannya bisa mengungguli diriku, paling dia
berhasil meyakinkan ginkang dan permainan senjata rahasia untuk
menggertak aku." Nyo Hoa tertawa besar, katanya, "Bagus, ternyata kau masih
ingat diriku. Hutangmu di tiga tahun yang lalu padaku tentu belum
kau lupakan?" Mendengar Tong-bing-cu suruh dirinya "hati-hati" diam-diam Ban
Ciok-sing kurang senang. Mendengar ejekan Nyo Hoa seketika dia
naik pitam, dampratnya, "Keparat yang tidak tahu diuntung, baiklah
pergi kau menagih hutangmu kepada raja akhirat!" Dengan marahmarah
kontan dia layangkan pukulannya Kalau dia bisa
mengendalikan amarah dan kekasarannya, mungkin kuat melawan
dua atau tigapuluh jurus serangan Nyo Hoa, tapi karena dia
pandang enteng lawan, belum berapa gebrak dia sudah kecundang
dan menderita rugi. Nyo Hoa memang sengaja hendak membuat lawan menderita,
tanpa bergerak dia menanti serangan lawan, setelah tiga dim
hampir menyentuh badannya, baru mendadak dia mengegos miring
berbareng telapak tangan melintang terus memapas ke atas.
Ban Ciok-sing membatin, "Dalam sepuluh jurus kalau aku tidak
mampu merobohkan bocah ini mungkin aku bisa dipandang enteng
oleh Tong-bing-cu." Melihat Nyo Hoa tidak berkelit, menangkis atau
melawan, hatinya girang bukan main. "Keparat ini berani melawan
pukulanku, biar dia rasakan keli-hayan pukulanku." Ternyata
pukulannya ini dilandasi Siu-lo-im-sat-kang. Tak nyana belum lenyap
jalan pikirannya, kedua telapak tangannya beradu, maka
terdengarlah suara "Pletak", lengan kanan Ban Ciok-sing tahu-tahu
keseleo. Ternyata jurus permainan Nyo Hoa ini menggunakan jurus golok
kilat dari keluarga Beng yang dia praktekkan dalam pukulan telapak
tangan, bergerak belakangan tapi menundukkan lawan lebih dulu.
Sekaligus dia sudah mempraktekkan makna utama dari pedoman
ilmu golok itu yang berbunyi:
Aku sebagai poros utama, dari lambat menjadi cepat, yang
kosong diisi, berlaku tenang mengatasi aksi lawan, dari pihak yang
diserang berubah menjadi pihak yang menyerang.
Kungfu Ban Ciok-sing sebetulnya tidak lemah, namun mana dia
tahu akan jurus tunggal yang lihay dari permainan golok yang
dipraktekkan dalam ilmu pukulan ini
Akan tetapi setelah melawan serangan lawan, tak urung Nyo Hoa
sendiri juga bergidik dingin mundur dua langkah, giginya berkerut
beberapa kali. Maklum meski setahun ini dia menggembleng diri,
namun latihan lwekang-nya masih terbatas. Racun dingin dari Siuloim-sat-kang langsung terserap ke dalam tubuhnya, walau masih
kuat bertahan, namun hatinya mencelosjuga
Melihat lawan menggigil kedinginan, diam-diam Ban Ciok-sing
masih merasa syukur bahwa dirinya masih mampu menyiksa lawan,
pikirnya, "Jikalau aku kalah oleh bocah ini, jangan kata Tong-bingcu
akan menghinaku, di hadapan orang lain aku pun harus malu
diri. Jelas dia tidak kuat melawan Im-sat-kang yang kulontarkan.
Baiklah, biar lenganku terluka pula, apa pun "dia harus kupukul
mampus." Setelah bergidik kedinginan, tiba-tiba Nyo Hoa teringat di dalam
Hian-kang-pwe-coat ajaran Thio Tan-hong ada diajarkan cara
mengatur napas menghimpun tenaga mengusir hawa racun dalam
tubuh, lekas dia praktekkan ajaran itu serta menuntun hawa murni
berputar tiga putaran dalam tubuh, lekas sekali badannya sudah
merasa hangat dan nyaman, lebih segar malah. Karuan senang Nyo
Hoa bukan main, pikirnya, "Hian-kang ajaran cosu memang
mustajab, bila nanti kutempur hidung kerbau itu, yakin aku takkan
mudah dikalahkan." Di saat semangatnya pulih, kebetulan Ban Cioksing
melancarkan pukulannya pula
Sambil menahan sakit Ban Ciok-sing membentak, "Bocah
keparat, biar aku adu jiwa dengan kau."
Dengan Say-cu-yo-thau (Singa menggeleng kepala), telapak
tangan terbalik melancarkan Keng-yo-kwa-kak (Kambing gembel
menyeruduk) tinjunya memukul muka Nyo Hoa, meski lengannya
keseleo, tapi Siu-lo-im-sat-kang yang diyakinkan tidak terpengaruh
sedikit pun, jurus Kambing Gembel Menyeruduk ini dilontarkan
dengan buas. "Serangan bagus!" seru Nyo Hoa Kedua telapak tangan terangkap
terus didorong maju memapak pukulan lawan, keras dilawan
keras. Jurus ini adalah gaya permulaan yang diajarkan Toan Siu-si,
tapi lwekang-nya sekarang jauh berbeda dengan dulu, gaya
permulaan yang umum ini ternyata perbawanya hebat luar biasa
Kembali terdengar suara "Pletak" yang lebih keras, kali ini Ban Cioksing
menjerit-jerit seperti babi disembelih, badannya terbanting
jatuh terguling-guling di tanah, ternyata lengan kirinya juga keseleo.
Nyo Hoa tergelak-gelak, katanya, "Tiga tahun yang lalu kau
memukulku sekali, hari ini aku menagih modal berikut rentenya,
biarlah kuampuni jiwamu." Kali ini setelah melawan pukulan Siu-loimsat-kang segera bergelak tertawa, gelak tawanya lebih lantang
dan nadanya berisi pula, jelas hawa dingin pukulan lawan yang
beracun tak mampu melukainya lagi.
Tong-bing-cu yang menonton disamping amat kaget dan heran.
Semula dia sudah duga bahwa Ban Ciok-sing bukan tandingannya
Nyo Hoa, tapi juga tidak menduga kekalahannya begitu fatal dan
secepat itu pula. Hanya dua gebrak kedua lengannya telah dipelintir
keseleo. Maka dia berpikir, "Aneh, dua jurus permainan bocah ini
jelas bukan kungfu perguruan kita Usianya masih semuda ini,
lwekang-nya ternya-. ta sudah seampuh ini, Siu-lo-im-sat-kang
pukulan Ban Ciok-sing ternyata tidak mampu membuatnya cedera."
Sementara itu Leng Ping-ji yang membopong Toan Kiam-ceng
lari, saat itu sudah tiba di ujung lorong keluar dari Kiam-hong,
mendadak Tong-bing-cu membentak, "Tinggalkan untukku!" Dia
khawatir Toan Kiam-ceng yang disangkanya telah mendapatkan pitkip
karya Thio Tan-hong melarikan diri, Ban Ciok-sing sudah terluka.
Sebentar lagi masih ada tempo untuk dia membereskan Nyo Hoa
Sambil lari Leng Ping-ji men-jengek, "Sebagai Bulim cianpwe,
omonganmu dapat dipercaya?"
Tong-bing-cu menjengek, "Aku pernah omong apa?"
"Bukankah tadi kau bilang, berlatih sepuluh tahun lagi juga tidak
setimpal melawan engkau?" damprat Lengg Ping-ji.
Tong-bing-cu tergelak-gelak, katanya, "Aku memang tak usah
bergebrak dengan kalian, tapi juga mampu menahan kalian di sini."
Sembari bicara, beruntun beberapa kali dia melompat dan melesat,
cepat sekali dia sudah menyusut di belakang Leng Ping-ji, di mana
lengan bajunya mengebas, menimbulkan segulung angin kencang,
Leng Ping-ji disampuknya hingga hampir jatuh.
Nyo Hoa cukup cerdik dan pandai melihat gelagat, untuk
menolong mereka sudah terlambat, tiba-tiba otaknya mendapat
akal, mendadak dia terbahak-bahak, katanya, "Ban Ciok-sing, kalau
tidak terima, boleh suruh gurumu menuntut balas kepadaku, akan
kubuat kalian tahu orang pandai masih ada yang lebih pandai,
jangan kira meski dia berhasil meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang
tingkat kesembilan lantas berani bersimaharaja di Bulim. Baiklah,
boleh kau rawat lukamu, aku tiada tempo menemanimu lagi."
Segera dia putar tubuh lari ke arah lain di mana ada jalan tembus
keluar. Tong-bing-cu sedang mempermainkan Toan Kiam-ceng dan Leng
Ping-ji berdua, mendengar seruannya, hatinya kaget, dia sadar,
"Bocah itu membual atau kenyataan memang demikian. Aku belum
tahu kungfu aliran mana di dunia ini yang mampu mematahkan Siuloim-sat-kang tingkat kesembilan." Menyusui dia membatin pula,
"Kepandaian bocah itu memang lihay dan mencurigakan, dinilai
sewajarnya, dalam usia semuda dia, meski Iwekang perguruan kita
berhasil diyakinkan sempurna juga tak akan kuat menandingi Siu-loimsat-kang. Em, ya, bukan mustahil dia sudah mengambil pit-kip
karya Thio Tan-hong?" Lalu terpikir pula bahwa Nyo Hoa sudah
sekian tahun tinggal di Ciok-lin, barusan juga terjun dari puncak
bukit, adalah logis kalau dia telah menemukan pit-kip itu daripada
Toan Kiam-ceng yang baru tiba ini.
"Kenapa aku begini gegabah, tidak memikirkan hal ini. Bocah ini
hafal seluk-beluk di sini, jangan sampai aku kehilangan jejaknya."
Semula Tong-bing-cu hendak membereskan Nyo Hoa paling akhir,
kini perasaannya yang kacau dan pikirannya yang cupat lantas
merubah haluannya Toan Kiam-ceng sudah terluka, Leng Ping-ji
nona muda yang tenaganya terbatas, harus lari menggendong
orang lagi, memangnya berapa jauh dia bisa melarikan diri" Setelah
membereskan Nyo Hoa masih sempat menyusul mereka di luar
Hutan Batu. Cepat sekali kerja otak Tong-bing-cu, maka kakinya pun bergerak
secepat terbang mengejar ke arah larinya Nyo Hoa.
Nyo Hoa sengaja memperlambat larinya supaya terkejar. Katanya
sambil menoleh, "Apa kau hendak bergebrak dengan aku?"
Tong-bing-cu membentak, "Serahkan Bu-kang pit-kip Thio Tanhong,
jiwamu boleh kuampuni."
"Kau ini tianglo Khong-tong-pay yang bernama Tong-bing-cu
bukan?" tanya Nyo Hoa
"Kalau benar mau apa?" sentak Tong-bing-cu.
Nyo Hoa berkata tawar, "Walaupun guruku sudah dipecat,
betapapun kau adalah angkatan tuaku yang patut dihormati, baiklah
aku memberi kelonggaran tiga jurus kepadamu."
Menurut peraturan Bulim, bila dua orang angkatannya berbeda
mau duel, umumnya yang lebih tua memberi kelonggaran kepada
yang muda. Sekarang tingkatan Tong-bing-cu dua tingkat lebih
tinggi dari Nyo Hoa, tapi Nyo Hoa justru memutar balik peraturan,
dia yang memberi kelonggaran kepada Tong-bing-cu. Betapa Tongbingcu tidak gusar" Sambil menggerung dia membentak, "Bocah
keparat yang takabur, agaknya kau sudah bosan hidup, baiklah biar
kutamatkan jiwamu." "Wut" sembari mengakhiri perkataannya, jari tangannya
mendadak mencengkeram. Nyo Hoa memang memancing amarahnya, begitu merasa angin
menyambar, selicin ular air, sedikit sebelum serangan tiba secara
gesit dia mengelakkan diri.
Mau tidak mau Tong-bingucu kaget, pikirnya, "Gerakan tubuhnya
aneh sekali, mirip Sip-hun-pou-hoat perguruan kita yang lenyap itu."
Konon Sip-hun-kiam-hoat ajaran Khong-tong-pay murni yang
hilang itu mengutamakan kelincahan dan berkelebat kian kemari,
untuk mempraktekkan ilmu pedang ini dikombinasikan dengan
ajaran langkah yang ajaib pula sehingga permainan pedangnya lebih
berisi. Tong-bing-cu memang belum pernah membaca catatan lama
yang lengkap, catatan lama yang berupa petilan-petilan tidak
lengkap memang ada dalam perpustakaan pribadinya maka sedikit
banyak Tong-bing-cu tahu sedikit seluk-beluk hal ini.
Kalau Tong-bing-cu kaget, Nyo Hoa juga tidak kurang kagetnya.
Ternyata kuku jari Tong-bing-cu menggaris lewat di punggungnya
meski tidak menyentuh kulit badannya tapi punggungnya terasa
panas seperti kena cap besi yang membara, sakitnya lumayan.
Kalau Tong-bing-cu tidak dipancing amarahnya sehingga gerak
permainannya kurang terkontrol, cengkeramannya itu mungkin lebih
fatal. Maka Nyo Hoa berpikir, "Tak heran sam-suhu mengaguminya
ilmu pedangnya nomor satu dalam perguruan, Iwekang-nya untung
bukan yang paling tinggi, tapi cengkeraman yang luput ini pun
sudah begini lihay, kalau terkena serangannya mungkin punggungku
sudah luka parah." Sigap sekali Tong-bing-cu sudah menyergap tiba pula. Setelah
mengenal kepandaian Nyo Hoa, serangannya kali ini diperhitungkan
benar-benar, satu jurus dua gerakan, telapak tangan dan tinju
merangsak bersama mengurung gerak-gerik Nyo Hoa, mendadak
tinju kirinya tiba Jurus ini dinamakan Thian-io-te-bong (Jala langit
menjaring bumi). Gerakannya dari atas ke bawah seperti jala langit,
sementara tinjunya dari bawah terayun ke atas seperti jaring bumi.
Telapak tangan lunak tinju keras, yang lunak kosong yang keras isi,
jadi sekaligus telapak tangan dan tinju dilancarkan bersama
sehingga lunak dan keras, kosong dan isi, digunakan bersama.
Kiranya permainan ini merupakan petilan dari Lian-hoan-toh-bingkiamhoat yang paling dibanggakan Tong-bing-cu. "Coba saja bocah
keparat ini mampu meloloskan diri dari serangan Thian-lo-te-bongku
ini?" demikian pikir Tong-bing-cu.
"Bret" terdengar sobekan kain yang cukup nyaring. Pakaian Nyo
Hoa ternyata tercengkeram sobek, tapi selicin belut badannya
sempat menyelinap lolos dari Jala Langit Jaring Bumi Tong-bing-cu
"Aduh celaka, syukurlah," demikian Nyo Hoa berkaok-kaok, sekali


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh bergerak tahu-tahu sudah melesat setombak lebih, terus
menendang menimbulkan taburan debu.
Nyo Hoa bilang mengalah tiga jurus, debu yang dia tendang
memang bermaksud mengaburkan pandangan orang, permainannya
boleh dikata nakal dan mengambil keuntungan. Tapi dia tetap tidak
balas menyerang, jadi tidak terhitung melanggar janji.
Tong-bing-cu kira orang sengaja mempermainkan dirinya, karuan
gusarnya makin menyala bentaknya, "Bocah takabur, bangsat licik,
hari ini kalau tidak kupukul mampus di tanganku, aku bersumpah
tidak akan jadi orang!"
Suara bagai geledek deru pukulannya seperti kilat menyambar.
"Biang" sebuah pohon tak jauh di samping Nyo Hoa kena dipukulnya
roboh. "Keparat," bentak pula Tong-bing-cu, "kau memang ingin
mampus, jangan salahkan aku!" Dia kira Nyo Hoa terkena getaran
pukulannya yang dahsyat, kalau tidak mampus juga terluka parah.
Pandangan Nyo Hoa memang gelap, darah seperti bergolak di
rongga dada, isi perut bagai dipelintir dan pindah dari tempatnya.
Lekas dia membuka lebar mulutnya menarik napas dalam. Lwekang
sim-hoat menurut ajaran pit-kip Thio Tan-hong segera dia
praktekkan, hawa mumi dihimpun tenaga pun pulih. Sebelum Tongbingcu bicara habis, debu yang berhamburan pun telah ditiup
angin, dilihatnya Nyo Hoa berdiri di depannya, sikapnya tenang
wajahnya tidak mirip orang yang terluka parah.
Nyo Hoa bergelak-gelak, katanya, "Thay-susiok, wanpwe sudah
mengalah tiga jurus, beruntung tidak mati. Setelah mengalah tiga
jurus berarti aku sudah melakukan kewajiban sebagai sesama
perguruan, sekarang maaf aku takkan mengalah lagi kepadamu."
Mengingat kedudukan Tong-, bing-cu, setelah tiga jurus tidak
mampu merobohkan lawan yang terhitung cucu muridnya,
sepantasnya dia tahu diri menyudahi pertempuran ini. Tapi rasa
penasaran ini betapapun tak terlampias, pikirnya "Dalam Hutan Batu
ini kecuali Ban Ciok-sing tiada orang lain lagi, kejadian hari ini kalau
dia tidak cerewet di luaran, orang luar pasti takkan tahu. Bila
kubunuh bocah ini, tak perlu khawatir ditertawakan orang-orang
gagah di dunia ini." Maka tangannya diam-diam memegang pedang
mempersiapkan diri, namun dia masih bimbang untuk mengeluarkan
pedangnya. Nyo Hoa justrru tahu isi hatinya, seperti tertawa tidak tertawa dia
berkata pula, "Tong-bing totiang, kalau ingin membunuhku lebih
baik kalau pakai pedang. Kalau sebilah belum cukup, boleh pakai
sepasang." Dia tidak lagi memanggil thay-susiok, tapi merubah
panggilan totiang, ini menandakan bahwa hu-bungam sesama
perguruan sudah putus. Dari malu Tong-bing-cu jadi gusar, "Sret" segera dia mencabut
pedang, satu sarung pedang tapi sekaligus menyimpan sepasang
pedang, batang pedang amat tipis, berkilauan laksana permukaan
air yang terkena sinar, jelas pedang tajam. Memegang sepasang
pedang Tong-bing-cu tertawa dingin, katanya, "Gurumu tentu
pernah cerita tentang Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat perguruan kita
kepadamu, tadi kau mengolok-olok, sayang sekali kalau jiwa kecilmu
harus berkorban lantaran ocehanmu sendiri, perang mulut tidak
kulayani, nah seranglah lebih dulu."
Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat teramat ruwet dan sukar dipelajari,
sebetulnya harus dikembangkan bersama menjadi suatu barisan
pedang, paling sedikit juga harus dilancarkan dua orang baru
mampu memperlihatkan kehebatannya. Tong-bing-cu sendiri sudah
puluhan tahun menenggelamkan dirinya dalam penyelidikannya
untuk ilmu pedang ini, akhirnya seorang diri dia berhasil
mengembangkan Lian-hoan-toh-bing-kiam ini. Tapi karena ajaran
ilmu pedang ini teramat luas dan rumit, terpaksa dia harus
menggunakan sepasang pedang.
Nyo Hoa berkata, "Baik, kali ini kau mengalah supaya aku
menyerang lebih dulu, memang adil. Lihat serangan." Ujung pedang
mendadak menegak, seperti seorang diri sedang latihan saja, kedua
mata menatap tajam ujung pedang sendiri, pelan-pelan menggaris
sebuah bundaran, gerakan pedangnya melingkar mengelilingi
tubuhnya. Tong-bing-cu mengerut kening, pikirnya, "Ilmu pedang apa ini?"
Bentaknya "Main-main apa kau?"
Nyo Hoa tertawa, sahutnya, "Kenapa buru-buru?" Sekejap itu
pedangnya berkelebat, dari kosong menjadi gerakan berisi, dengan
jurus Pek-ho-ih-hap (Bangau putih mematuk) mendadak pedangnya
menusuk ke tenggorokan Tong-bing-cu.
Yang dilancarkan Nyo Hoa memang jurus tunggal yang paling
menakjubkan dari Sip-hun-kiam-hoat, dengan gerak kosong atau
pancingan untuk memancing perhatian lawan, baru menyerangnya
secara tiba-tiba di kala lawan kurang siaga. Tapi pengalaman Tongbingcu cukup matang walau dia tidak kenal rangkaian ilmu pedang
ini tapi hanya melihat gerakan tangan Nyo Hoa dia sudah tahu
bahwa gerakannya itu dari kosong menjadi berisi. Maka tipu dibalas
tipu, sekalian dia mengkeretkan tubuh, ujung pedang Nyo Hoa
hampir saja mengenai sasaran, tapi karena lawan mengkeret turun
hingga tusukannya luput, karena kehilangan berat badan tubuhnya
limbung. Pada saat itulah mendadak Tong-bing-cu melancarkan
serangan balasan, pedangnya membelah angin mengeluarkan desis
tajam menusuk dada Nyo Hoa.
"Celaka!" Nyo Hoa berteriak sambil membalik gagang pedang,
jadi ujung pedang mengancam diri sendiri. Karuan Tong-bing-cu
melengah pikirnya: "Bocah ini sadar bukan lawanku, apa dia mau
bunuh diri?" Tak tahunya lawan kembali melancarkan ilmu pedang
yang teramat aneh dan ganjil. Ujung pedangnya menggaris sebuah
leng-kungan kecil, mendadak ujung pedangnya menyelonong keluar
dari bawah ketiak, menusuk ke sasaran yang tidak terduga oleh
Tong-bing-cu. "He," Tong-bing-cu bersuara heran, pedang ditekan terus
menyontek, dengan jurus Jeng-ciam-ing-soa (Menembus jarum
menuntun benang) mematahkan serangan balas menyerang.
Pikirnya, "Apakah yang dilancarkan Sip-hun-kiam-hoat, memang
hebat." Tenaga disalurkan di ujung pedang, "Sret, sret" beberapa
kali dia tekan gerakan pedang Nyo Hoa hingga bergerak dalam
ruang lingkup yang kecil untuk bertahan belaka. Tong-bing-cu
membentak, "Anak jadah, perlihatkan berapa banyak permainan
anehmu" Umpama kau ini Suh-go-kong juga jangan harap bisa lolos
dari genggamanku." "Apa benar?" jengek Nyo Hoa. Gerak pedangnya lincah dan
enteng, beruntun dua jurus dia menangkis, mendadak dia angkat
tangan tinggi-tinggi, pedang digunakan sebagai golok terus
membacok. Tong-bing-cu tertawa dingin, je-ngeknya, "Kau kurcaci ini
memang sudah bosan hidup." Maklum ilmu pedang menitikberatkan
pada gerakan enteng dan lincah serta cepat, mana ada permainan
cara membacok begini" Bertempur cara begini, umpama yang
dilayani seorang keroco yang rendah ilmu silatnya juga merupakan
pantangan, apalagi kini dia berhadapan dengan tokoh lihay seperti
Tong-bing-cu" Tong-bing-cu melancarkan jurus Ki-hwe-liau-thian (Angkat obor
menerangi langit), tenaga tersalur di ujung pedang, dia kira sedikit
pedang menyontek terus disendai sudah cukup memapas kutung
pedang lawan, tak nyana begitu sepasang pedang bentrok, pedang
Nyo Hoa tiba-tiba menggelincir ke samping, gaya pedangnya
mendadak berputar, kembali menusuk dari arah yang tidak terduga.
Tiga jurus Nyo Hoa dilancarkan secara berantai, dua jurus yang
terdahulu adalah Sip-hun-kiam-hoat, jurus yang ketiga adalah
perubahan yang sengaja diciptakannya sendiri dari Beng-keh-tohoat.
Secara langsung dia sudah mempraktekkan teori "angkat berat
seperti ringan, gerakan dungu mengatasi kecepatan." Itulah salah
satu perubahan dari pedoman ajaran Beng-keh-to-hoat. Sudah tentu
Tong-bing-cu tidak tahu. Untung lwekang-nya memang jauh lebih
unggul dari Nyo Hoa, kiamsut-nya juga tinggi dan matang, begitu
merasa gelagat jelek, secara reflek dia merubah gerakan: Nyo Hoa
memang memungut sedikit keuntungan, tapi badannya tetap
terkurung dalam lingkupan cahaya pedangnya.
Tong-bing-cu berpikir, "Ilmu yang dipelajari bocah ini terlalu
ruwet, jurus terakhir tadi jelas bukan ajaran perguruan kita Entah
apakah ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong" Kalau hari ini bocah ini
tidak kubunuh, tiga tahun lagi mungkin aku sudah bukan lawannya"
Makin dipikir makin iri dan dengki menghadapi permainan ilmu
pedang Nyo Hoa yang beraneka ragam itu, nafsu membunuh
seketika merasuki hatinya, beruntun Lian-hoan-toh-bing-kiam
dikembangkan dengan gencar.
Kepandaian sejati Nyo Hoa betapapun terpaut jauh dibanding
Tong-bing-cu, beruntun dia merubah permainannya dengan
beberapa jenis ilmu pedang, meski gaya perubahannya cukup
membingungkan, tapi dia tetap tidak mampu membobol lingkaran
pedang lawan. Kaki Tong-bing-cu melangkah dengan formasi Ngo-hing-pat-kwa,
sepasang pedang di tangannya menari kencang berputar naik turun,
dalam sekejap delapan penjuru angin semua adalah bayangannya
Walau hanya satu orang dengan sepasang pedang, sayup-sayup
ternyata terdengar suara gemuruh pertempuran. Yang dihadapi Nyo
Hoa seolah-olah bukan hanya satu musuh, tapi sebuah barisan
pedang. Bara sekarang dia maklum apa yang pernah diceritakan
gurunya bila Tong-bing-cu mengembangkan Lian-hoan-toh-bingkiamhoat sekaligus berarti kau harus menghadapi delapan jago
kelas wahid sekaligus. Kenyataan memang hebat dan tak bernama
kosong. Tanpa terasa mereka sudah saling labrak hampir seratus jurus,
sekuatnya Nyo Hoa masih kuat bertahan, namun tenaganya lambat
laun sudah makin lemah, ruang gerak pertahanannya juga makin
menciut. Melihat saatnya sudah tiba mendadak pedang" Tong-bingcu
menusuk langsung, bentaknya, "Bocah, lepaskan pedangmu!"
Dalam sejurus; ini dia mencecar tujuh hiatto di tubuh Nyo Hoa, dia
yakin Nyo Hoa pasti tak sanggup berkelit.
Dalam keadaan kritis ini, tanpa pikir Nyo Hoa menggunakan Bubengkiam-hoat yang selama beberapa hari selalu diselaminya.
Ujung pedang menuding miring ke atas, itulah gambar pertama dari
Bu-beng-kiam-hoat yang mirip Tio-thian-it-cu-hiang tapi setelah
dipraktekkan ternyata bukan.
Padahal Nyo Hoa belum memahami betul manfaat dari jurus Bubengkiam-hoat ini, tapi bagi pandangan Tong-bing-cu seorang yang
sudah cukup ahli dalam bidang ini, gaya pedang ini dipandangnya
teramat lihay, bila dirinya menyerang, pedang lawan kemungkinan
balas menyusup ke lubang kelemahan sendiri. Maklum betapapun
tinggi ilmu pedang seseorang, di kala menyerang sedikit banyak
pertahanan sendiri pasti ada titik kelemahannya, bila lawan sempat
merebut posisi dan selangkah lebih dulu menyerang ke titik
kelemahan ini, maka dirinya pasti akan kalah. Kalau lawan
seangkatan mungkin masih boleh balas menyerang meski harus
menyerempet bahaya, tapi Tong-bing-cu dua tingkat lebih tinggi
dari Nyo Hoa, itu artinya dia hanya boleh menang tidak boleh kalah,
karena itu sebelum dia yakin dapat mematahkan setiap permainan
aneh Nyo Hoa betapapun dia tak berani gegabah, lekas dia tarik
pedang melindungi badan. Semangat Nyo Hoa menyala, tanpa peduli apakah jurus ini dapat
mematahkan serangan lawan, maka setiap gambar lukisan di atas
dinding dari Bu-beng-kiam-hoat itu satu per satu dia tiru dan
kembangkan. Walau hanya gayanya saja yang benar, maksudnya
hanya untuk meruntuhkan nyali lawan.
Makin dipandang makin aneh dan tidak karuan, makin bertempur
makin terkejut, akhirnya Tong-bing-cu membentak, "Anak gila,
kiam-hoat apa yang kau mainkan?"
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Yang kumainkan bernama Bu-bengkiamhoat, sia-sia kau diagulkan sebagai jago pedang nomor satu
dari Khong-tong-pay, ternyata pandanganmu cupat,
pengetahuanmu cetek."
Nyo Hoa bicara sejujurnya, Tong-bing-cu justru gusar karena
anggap dirinya dipermainkan, bentaknya "Umpama benar kau
memperoleh warisan murni ajaran Thio Tan-hong, paling lama juga
hanya bertahan hidup satu jam lagi, berani kau menghina dan
mempermainkan diriku."
Apa yang diucapkan Tong-bing-cu juga bukan gertakan.
Lwekang-" nya jauh lebih unggul dari Nyo Hoa barisan pedang yang
dilancarkan dari Lian-hoan-toh-bing-kiam juga tidak mampu dibobol,
dia hanya menjaga diri tak mampu balas menyerang, bila waktu
makin lama, lambat laun Nyo Hoa pasti kelelahan dan kalah. Nyo
Hoa tidak mampu memecahkan barisan pedangnya itu berarti tak
mampu meloloskan diri dari kurungan sinar pedangnya, diam-diam"
dia memang mengeluh dalam hati. Kini Tong-bing-cu kerahkan
Iwekang-nya lebih kuat lagi sehingga putaran sepasang pedangnya
makin gencar, sayup-sayup seperti ada bunyi geledek di kejauhan.
Katanya sambil menyeringai, "Anak muda, tahu tidak kelihayanku"
Tanpa kubunuh, akhirnya kau juga akan mampus kehabisan
tenaga." Nyo Hoa makin gelisah. "Bu-beng-kiam-hoat memang hebat,
namun aku belum mampu mengembangkan perbawanya yang
paling ampuh, lalu bagaimana baiknya?" -Tiba-tiba dia teringat
ucapan Leng Ping-ji, "Kau punya ragamu sendiri, aku.punya ragaku
sendiri, kenapa harus meyakinkan raga orang lain?" Lalu terbayang
pula olehnya petunjuk gurunya yang sering mengatakan, "Di mata
ada musuh dalam hati tiada musuh". Semua ini bagai sinar terang
berkelebat di benaknya. "Sreet" kontan pedangnya menusuk,
barisan pedang lawan mendadak ditusuknya bolong.
Tong-bing-cu juga mundur tiga langkah, matanya terbeliak kaget
dan heran. Pikirnya, "Bagaimana mungkin kiamhoat bocah ini makin
lihay saja Bila jurus tusukannya ini sedikit lebih cepat lagi, Ih-khihiatku mungkin sudah ditusuknya bolong." Ternyata di dalam
mempraktekkan teori ilmu pedang di dalam pertempuran ini, lambat
laun Nyo Hoa memperoleh kemajuan dan memahami ilmu silat
tinggi, serangan pedangnya ini secara di luar tahunya telah
menggabung dan menjiwai Sip-hun-kiam-hoat dan Beng-keh-tohoat
sehingga terciptalah sejurus ilmu pedang hasil pemikirannya
sendiri. Seorang bermain wajar semakin mantap, sebaliknya yang lain
makin jeri dan bingung. Nyo Hoa tidak
anggap ada musuh tangguh di hadapannya, kembali gerakan
pedangnya berubah, memukul, menusuk, menyontek, mengiris,
mengetuk, membelah, menyendal dan menepis, semua gerakannya
makin lancar dan tepat untuk mematahkan setiap serangan lawan.
Gerakannya betul-betul sudah serasi dengan lambat dalam
kecepatan, lincah dalam ringan, lembut laksana air mengalir, kokoh
kuat dan mantap. Tanpa terasa dia bertahan lagi sampai seratusan
jurus lebih, lama kelamaan Tong-bing-cu merasakan payah, setiap
jurus permainannya selalu tertutup atau digagalkan oleh Nyo Hoa,
maka hatinya makin takut, khawatir terjadi nenek tua delapanpuluh
tahun kena disengkelit bocah kecil.
Maklum, bicara soal tingkatan dia termasuk thay-susiok, dalam
hati hanya boleh menang dan tidak boleh kalah. Tak tahunya
semakin khawatir kalah, malah makin tersudut
Hati Tong-bing-cu makin gelisah dan ngeri, mendadak dia kertak
gigi, Lian-hoan-toh-bing-kiam mendadak dipergencar, harapannya


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meski menang seurat juga cukuplah demi mempertahankan gengsi,
lalu mencari alasan dengan sayang kepada angkatan muda segera
menghentikan pertempuran ini, supaya dirinya tidak menjadi buah
tertawaan orang. Dengan bekal ginkang-nya yang tinggi, dia yakin
dirinya masih mampu menyelamatkan diri keluar dan Ciok-Iin tanpa
kurang suatu apa. Karena terlalu memikirkan gengsi, tujuan ingin menang justru
menjadi sebaliknya. Sebenarnya umpama ilmu pedangnya tidak
unggul dari permainan pedang ciptaan baru Nyo Hoa, lwekang-nya
masih lebih tinggi, kalah menang ditentukan oleh waktu, bila Nyo
Hoa dapat melukainya sebelum dia kehabisan tenaga, betapapun
tinggi lwekang-nya juga tak berguna lagi. Sebaliknya bila dia
menghadapi perlawanan Nyo Hoa dengan tabah dan santai,
bertahan lagi kira-kira setengah suiutan dupa, Nyo Hoa pasti dapat
dia kalahkan. Atau kalau dia mau sekarang dia mengundurkan diri,
Nyo Hoa pasti takkan mampu menahannya.
Celakanya justru dia terlalu mempertahankan gengsi, rangsakan
gencarnya ini justru membakar semangat tempur Nyo Hoa, makin
cepat dan lama semakin banyak ilham yang dicerna dalam
benaknya, dari berbagai ilmu tingkat tinggi yang pernah
dipelajarinya Syukur lawan teramat tangguh, hingga di luar sadarnya dia pun
dapat mengembangkan kemampuannya mencapai puncaknya.
Sekaligus Tong-bing-cu menyerang sepuluhjurus, kedua
pedangnya membundar menerbitkan lembayung putih yaag
membesar hingga Nyo Hoa terkurung dalam lingkaran pedangnya
bentaknya "Mengingat usiamu masih muda, ilmu pedangmu juga
boleh, kalau mau minta ampun aku akan membebaskan kau!"
Nyo Hoa mencipta jurus baru secara lancar dan baru berhasil,
maka dia tertawa lebar, katanya, "Tong-bing totiang, ilmu
pedangmu dinamakan Lian-hoan-toh-bing-kiam, kurasa belum tentu
mampu mencabut nyawa orang." Belum habis dia bicara, gaya
pertama dari gambar Bu-beng-kiam-hoat kembali dia gunakan,
ujung pedang menuding serongke atas.
Padahal jurus ini sudah terulang beberapa kali, tapi dalam
pandangan Tong-bing-cu ternyata satu dengan yang lain selalu
berbeda, satu lebih lihay lebih sempurna dari yang dahulu.
Kebetulan waktu itu Nyo Hoa berdiri di atas batu besar
kedudukannya lebih tinggi ujung pedangnya yang serong ke atas itu
posisinya justru tepat dan baik. Tong-bing-cu berdiri di bawah
terasa gaya pedang lawan yang menuding miring itu ternyata
menusuk turun sekaligus mengincar It-khi, Hian-ki dan Yang-pekhiat,
tiga hiatto ini mematikan. Sulitnya karena ujung pedang Nyo
Hoa teracung ke atas hingga gayanya sukar diraba, seolah-olah
ketiga hiatto-nya itu kemungkinan bisa tertusuk sekaligus. Kalau
pedang lawan dapat dijajaki tujuannya, hiatto mana yang akan
ditusuk, dengan taraf kepandaian Tong-bing-cu, rasanya tidak sukar
untuk mematahkannya. Tong-bing-cu punya pengalaman tempur yang luas, permainan
silatnya menghadapi lawan juga cukup tangguh, dalam detik-detik
yang gawat ini, mendadak dia menekuk pinggang seperti menanam
rumput, kaki menginjak Kiam-bun berputar ke Kian-wi, kedua
pedangnya berkembang dari kiri kanan melindungi kedua ketiaknya
Bahwa kakinya menginjak Ngo-hing-pat-kwa, melancarkan jurusjurus
lihay dari Lian-hoan-toh-bing-kiam untuk menghadapi
serangan pedang yang banyak perubahannya menusuk hiatto
sebetulnya memang tepat, di luar tahunya, ilmu pedang Nyo Hoa
Tusuk Kondai Pusaka 13 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 2

Cari Blog Ini