Ceritasilat Novel Online

Gajahmada 2

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 2


"Aku serahkan pengamanan istana kepadamu, Gajahmada," berkata Jayanegara. "Apabila Rakrian Temenggung Banyak Sora telah datang, aku menunggu di sini."
"Hamba Tuanku!" sigap Gajahmada menjawab.
Bekel Gajahmada telah mendapat izin meninggalkan Sri Jayanegara.
Selanjutnya, Bekel Gajahmada yang selalu dikawal Gagak Bongol itu menuju keputren, bangunan yang berada di samping kanan istana berhadapan dengan bangsal Dharmadyaksa Kasaiwan Hyang Brahmaraja. Sebuah bangunan yang diperuntukkan para pemuka agama dan diapit bangunan Dharmadyaksa Kasogatan. Bangsal keputren dihuni oleh Ibu Suri Tribuaneswari dan Ibu Suri Narendraduhita yang saat itu tidak berada di istana karena sedang mengunjungi adiknya, Dyah Dewi Rajapadni Gayatri yang sedang berada di Rimbi.
Hanya Ibu Suri Prajnaparamita yang berada di istana menemani Putri Tribuana Tunggadewi dan Rajadewi, saudara sepupu Kalagemet yang baru datang dari Daha dan Kahuripan. Tiga perempuan itu yang kini sedang berada di istana dan harus diselamatkan.
"Siapa itu?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita.
"Aku, Gajahmada!" jawab Gajahmada.
Dari balik dinding muncul seorang wanita yang berdandan tak ubahnya seorang lelaki. Meski wanita dan sehari-hari bertugas sebagai seorang emban, sebenarnya wanita itu seorang prajurit wanita yang Gajahmada 57
menguasai ilmu kanuragan dan bertugas mengamankan bangsal keputren.
"Ada apa Kakang Bekel?" bertanya emban itu.
"Kau Pamrih?" balas Bekel Gajahmada.
"Ya!" jawab Pamrih. "Ini aku. Ada apa Kakang Bekel Gajahmada malam-malam seperti ini datang ke keputren?"
Gajahmada tentu mengenal Pamrih dengan baik. Keberadaan gadis itu yang bertugas sebagai emban yang melayani ratu dan para sekar kedaton sekaligus seorang prajurit, tidak lepas dari keberadaan pasukan Bhayangkara, menjadi bagian yang tidak terpisah. Pamrih mempunyai kemampuan tidak ubahnya prajurit yang lain karena kemampuan olah kanuragan yang dimilikinya memadai untuk digunakan mengabdi menjadi seorang prajurit Bhayangkari.
"Aku akan menghadap Tuan Putri Dyah Ratu Prajnaparamita,"
jawab Bekel Gajahmada. Pamrih mencuatkan alis, "Malam-malam begini?"
"Aku tidak punya waktu banyak untuk menjelaskan. Bangunkan Tuan Putri Prajnaparamita!" berkata Gajahmada.
Dalam tugas sehari-hari, Pamrih merasa paling bertanggung jawab atas ketenangan Ratu Prajnaparamita. Pamrih tidak akan membiarkan siapa pun mengusiknya. Akan tetapi, kedatangan Bekel Gajahmada kali ini dilihatnya membawa hal yang amat penting dan tidak bisa ditunda.
"Baik Kakang!" akhirnya Pamrih menjawab tegas.
Pamrih bertindak cekatan. Dengan bergegas Pamrih menuju bilik pribadi Ratu Prajnaparamita dan mengetuk pintunya. Pamrih tak perlu menunggu terlampau lama, pintu itu terbuka.
"Ada apa?" bertanya Ratu Prajna.
Pamrih merapatkan tangannya di depan dada.
"Ampun Tuan Putri!" jawab Pamrih. "Bekel Gajahmada menghadap untuk menyampaikan hal amat penting."
58 Gajahmada Ratu Prajnaparamita memerhatikan malam yang digelut kabut tebal.
Namun, keadaan itu tidak terlampau menarik minatnya. Dengan penasaran Ratu Prajnaparamita menerima Gajahmada. Dengan amat takzim Bekel Gajahmada menyembah dan berdiri menunggu pertanyaan.
"Apa ada hal yang sangat penting sehingga kau mengganggu tidurku, Bekel Gajahmada?" bertanya Ratu Prajnaparamita.
"Hamba Tuan Putri," Bekel Gajahmada menjawab. "Hamba mohon ampun karena harus menyampaikan sebuah berita yang kurang menyenangkan, besok pagi akan terjadi kraman. Para Rakrian Winehsuka memberontak dan menyerbu istana."
Desir tajam menggerataki permukaan hati Ratu Prajnaparamita dan Emban Pamrih. Justru karena itu keduanya tak bisa berbicara.
"Serbuan itu mungkin bisa dibendung, tetapi ada kemungkinan pula tak akan terbendung. Oleh karena itu, hamba mohon agar Tuan Putri dan para sekar kedaton bersiap melakukan pengungsian.
Bhayangkara akan mengawal menuju Rimbi. Jika keadaan kembali tenang, Tuan Putri akan kembali ke istana."
Ratu Prajnaparamita masih dipeluk gelisah yang datangnya sangat tiba-tiba itu. Emban Pamrih segera mendekat dan mendekapnya. Bekel Gajahmada menunggu sesaat sampai Ratu Prajnaparamita menjadi tenang.
"Bagaimana dengan Anakmas Prabu?" bertanya Ratu.
"Hamba Tuan Putri," jawab Gajahmada. "Tuanku Sri Baginda Jayanegara akan bertahan di istana. Kami berharap akan mampu menghadapi pemberontakan itu dan menggilasnya. Namun, jika kekuatan pemberontak tak bisa diatasi, pasukan Bhayangkara akan mengupayakan agar Tuanku Jayanegara juga berkenan mengungsi."
Cukup jelas bagi Ratu Prajnaparamita bahwa Majapahit berada dalam ancaman bahaya kraman. Walaupun berita itu menyebabkan Ratu menjadi cemas dan lemah lunglai, Ratu memang tak punya pilihan lain Gajahmada 59
kecuali mengikuti petunjuk yang diberikan Bekel Gajahmada. Pamrih, si emban muda itulah yang kemudian bertindak cepat dengan bergegas membangunkan sekar kedaton. Sekar Kedaton Tribuanatunggadewi dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang masing-masing menjadi pemangku atas wilayah Kahuripan dan Daha kaget ketika dibangunkan oleh sebuah alasan yang mencemaskan.
"Ada apa?" bertanya Tunggadewi.
"Akan ada kraman, Tuan Putri!" Pamrih menjawab. "Kita harus mengungsi dan dimohon Tuan Putri untuk berkenan menggunakan pakaian penyamaran."
Wiyat Rajadewi tidak kalah cemasnya.
"Kita akan mengungsi ke mana?" bertanya gadis yang kecantikannya sangat gemilang itu.
"Menurut Kakang Bekel Gajahmada," jawab Pamrih, "kita akan ke Rimbi menyusul Ibunda Ratu Rajapadni di sana."
Baik Rajadewi maupun Tunggadewi tidak banyak berbicara dan melaksanakan petunjuk yang diberikan dengan sepenuh kesadaran.
Kedua gadis itu tidak merasa kecewa meski perjalanan yang akan ditempuhnya tidak menggunakan tandu. Satu-satunya tandu yang disiapkan hanya untuk Ibu Ratu Prajnaparamita.
Sejenak kemudian, di bangsal keputren terjadi kesibukan yang luar biasa. Bahkan, ada beberapa orang emban menangis sesenggukan mendengar akan terjadi kraman yang melanda kotaraja. Akan terjadinya perang sebagaimana kisah pemberontakan yang pernah terjadi jauh sebelumnya yang ternyata meminta banyak korban menyebabkan emban itu ketakutan.
"Bagaimana ini, nasibku bagaimana?" seorang emban yang memiliki tubuh sangat gemuk menangis tak terkendali.
Emban itu merasa dirinya berada di dalam bahaya. Emban gemuk itu bahkan menyimpan perasaan berlebihan, seolah-olah mereka yang akan menyerbu ke istana itu karena akan menangkapnya dan menyeretnya
60 Gajahmada ke alun-alun untuk diumpankan ke dalam kandang macan. Terlampau mengerikan bagi emban gemuk itu jika tubuhnya disembelih dan dijadikan umpan atau sesaji untuk Batara Kala.
"Karena kau terlampau gemuk mungkin kau akan dibunuh," kata emban lainnya yang merasa jengkel mendengar tangisnya.
Emban gemuk itu malah menangis sejadi-jadinya. Emban Pamrih datang mendekat.
"Diamlah!" bentak Emban Pamrih. "Tangismu itu bisa tembus ke luar dinding. Mata-mata pemberontak yang mungkin berada di luar dinding akan menafsirkan macam-macam. Diamlah atau kusumpal mulutmu dengan gagang tombak ini."
Emban gemuk itu berusaha diam. Akan tetapi, pundaknya bergerak-gerak.
7 Sang waktu terus bergerak. Bekel Gajahmada telah kembali berkumpul dengan segenap anak buahnya di halaman istana. Pimpinan Bhayangkara itu menjadi tegang karena pasukan Jalapati belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Bagaimana ini?" bertanya Bekel Gajahmada kepada Gagak Bongol.
Gagak Bongol hanya mengangkat bahu.
"Aku curiga," kata Gagak Bongol. "Jangan-jangan seperti yang aku duga, Rakrian Temenggung Banyak Sora itu bagian dari mereka Gajahmada 61
tidak ubahnya Rakrian Winehsuka dan Rakrian Temenggung Pujut Luntar, bahkan tidak ubahnya Rakrian Temenggung Panji Watang."
Waktu yang bergerak mendekat saat terbitnya matahari itulah yang menyebabkan Bekel Gajahmada mudah terpengaruh. Apalagi, Gajahmada juga berpikir bahwa segala sesuatu bisa saja berubah. Boleh saja Temenggung Banyak Sora mengatakan akan membetengi istana dari serbuan musuh. Namun, tidak tertutup kemungkinan Banyak Sora berubah pikiran dan kemudian mengambil sikap seperti Panji Watang.
Ayam jago berkokok di kejauhan. Burung gagak yang agak lama diam memperdengarkan suaranya lagi dari arah wuwungan. Kabut masih melayang-layang meski deru angin telah mereda, sementara udara dingin masih tetap menusuk tulang.
"Bagaimana jika Banyak Sora mengambil sikap seperti Temenggung Panji Watang?" desak Gagak Bongol.
Bekel Gajahmada terdiam. Gelisah di dadanya kian mengental.
"Kalau dugaanmu itu benar maka habislah. Istana yang menjadi lambang keberadaan Majapahit akan menjadi tempat jag-jagan. Apakah keadaan yang mengerikan itu akan terjadi?"
Gagak Bongol merasa jengkel. Gagak Bongol merasa kecurigaannya terhadap Rakrian Banyak Sora yang ikut-ikutan bersikap seperti Panji Watang benar-benar terjadi. Banyak Sora pasti ikut mengail di air keruh.
Waktu terus merayap. "Ambil keputusan sekarang, Kakang Bekel!" ucap Gagak Bongol makin tidak sabar.
"Aku membutuhkan laporan Lembang Laut untuk mengambil keputusan. Tenanglah!" jawab Gajamada.
Menunggu adalah pekerjaan yang sangat menjengkelkan. Hal itulah yang sedang dirasakan Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol. Keduanya merasa terjebak dalam ketidakpastian di ambang bencana yang mengerikan.
62 Gajahmada Sementara itu, Lembang Laut telah berhasil menyelinap ke dalam riuhnya persiapan pasukan yang akan melakukan serbuan. Tepat seperti tebakannya, pasukan pemberontak itu bermaksud menggunakan kecerdikan akan melakukan serbuan dari arah yang tidak terduga, justru dari belakang istana, di sebuah ladang jagung yang terletak di timur perkampungan Santanaraja.
Beberapa buah kemah didirikan tepat di tengah ladang jagung itu.
Lembang Laut melihat ada beberapa orang yang memiliki kedudukan penting mondar-mandir di antara persiapan-persiapan yang terjadi.
"Orang-orang gila," desis Lembang Laut.
Pontang-panting Lembang Laut menenteramkan diri.
Lembang Laut menghunus pisaunya ketika seorang prajurit rendahan melintas amat dekat dengannya. Prajurit itu bermaksud kencing di bawah sebuah pohon. Celakalah prajurit itu karena di balik pohon itu Lembang Laut sedang bersembunyi. Prajurit rendahan itu terbelalak ketika mendadak lehernya serasa dijepit besi gligen yang amat kuat dan sebuah pisau yang tajam menghunjam lehernya, tembus tenggorokannya.
"Maafkan aku," berbisik Lembang Laut, "ini dalam keadaan perang, aku terpaksa membunuhmu."
Lembang Laut segera menelanjangi pakaian prajurit yang bernasib malang itu dan mengenakannya. Dengan pakaian itu, Lembang Laut leluasa bergerak untuk melihat apa pun di pesanggrahan yang tersembunyi di ladang jagung itu. Dari tempatnya, Lembang Laut memerhatikan sebuah arah.
Akhirnya, saat penting yang ditunggu oleh Lembang Laut tiba.
Rakrian Kuti keluar dari salah satu kemah diiringi para Dharmaputra Winehsuka yang lain. Dari jarak yang cukup dekat serta tak terganggu oleh tebalnya kabut, Lembang Laut mampu menyaksikan dan mengikuti apa yang terjadi.
"Para Winehsuka lengkap," berkata Lembang Laut dalam hati.
"Rakrian Kuti, Rakrian Banyak, Rakrian Wedeng, Rakrian Yuyu, Rakrian Pangsa, dan Rakrian Tanca serta beberapa orang prajurit berpangkat Gajahmada 63
senopati, tidak ketinggalan Temenggung Pujut Luntar pimpinan pasukan Jala Rananggana. Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Kakang Bekel Gajahmada. Semua yang hadir di sini bersepakat berkomplot melakukan makar. Bukan main!"
Lembang Laut berusaha menenteramkan diri. Ternyata amarah adalah lawan yang tidak kalah berat dari musuh di medan perang. Sekuat tenaga Lembang Laut mendamaikan hati, meski isi dadanya mengombak bergelombang bagai ombak laut selatan di kala murka. Meskipun kemarahan serasa akan meretakkan dinding kepalanya, Lembang Laut masih mampu menggunakan otaknya.
Lembang Laut menebar pandang. Tiba-tiba perhatiannya tertuju kepada sebuah bende yang digantung di sebuah tiang bambu. Lembang Laut berdesir saat mengenali bende itu.
"Kiai Samudra!" desisnya.
Lembang Laut benar-benar harus menekan gejolak isi dadanya.
Ternyata tidak terlampau mudah bagi Bhayangkara Lembang Laut untuk menerima kenyataan bende bertuah yang dahulu kala digunakan oleh Raden Wijaya untuk membakar semangat segenap prajurit ketika menghajar pasukan Mongol, bende yang seharusnya kini berada di ruang perbendaharaan pusaka Majapahit itu ternyata telah diambil dengan diam-diam dan berada di tangan para pemberontak. Jauh sebelumnya, bende itu juga membuat sejarah dengan kemampuannya membakar semangat pasukan Tumapel yang hanya kecil saja hingga sanggup berbuat gila dan di luar nalar dengan mengalahkan pasukan Kediri yang jauh lebih besar di perang berdarah yang terjadi di Ganter.
"Benar-benar berbahaya!" desis Lembang Laut dalam hati.
Suasana mendadak menjadi hening begitu Ra Kuti berdiri dan mengangkat tangannya.
"Ini adalah saat terpenting bagi kita," Ra Kuti membuka pembicaraan. "Apakah yang selama ini kita angankan bakal menjadi kenyataan atau tidak, amat bergantung pada upaya kita menjungkalkan Jayanegara dari tempat duduknya. Oleh karena itu, serangan yang kita 64
Gajahmada lakukan harus mampu menyelesaikan masalah tanpa menyisakan secuil pun. Sekali sentak, tuntas semuanya."
Lembang Laut berdesir. Lembang Laut melihat apa yang direncanakan Ra Kuti itu sebagai sebuah rencana yang benar-benar menggunakan perhitungan cermat. Segala hal telah dihitung masak-masak.
Rakrian Kuti menyebar pandang. Semua perhatian terpusat padanya.
"Sebaliknya, jika upaya kita gagal maka kita boleh mencicil membayangkan bencana macam apa yang akan menimpa kita.
Jayanegara amat pendendam dan tak menyisakan ampunan di sudut hatinya. Kita akan diburu, tidak ada tempat untuk kita menyelamatkan dan menyembunyikan diri. Oleh karena itu, kuharap semuanya mengerti apa yang menjadi tugas masing-masing."
Isi dada Lembang Laut bergejolak. Jantungnya berlarian.
Rakrian Kuti terlihat menengadah dan menghirup udara sepuas-puasnya.
"Waktunya tidak lama lagi. Percayalah bahwa Sang Penguasa jagat raya ini memberikan restu terhadap apa yang akan kita kerjakan, terlihat dari kabut yang turun tebal malam ini amat membantu gerakan kita.
Dari tebalnya kabut kita akan muncul menggilas mereka. Apalagi, dari mata-mata Bhayangkara yang memihak padaku, saat ini segenap penghuni sedang tidur lelap."
Lembang Laut merasakan desir tajam di dadanya. Lembang Laut terkejut ketika Ra Kuti menyebut adanya mata-mata di tubuh Bhayangkara.
Ra Kuti memandangi kabut. Seolah menjadi isyarat bagi yang lain untuk ikut memandanginya. Kabut yang turun melayang-layang seperti menjanjikan berbagai kemungkinan yang tidak terduga bagi Jayanegara, atau boleh jadi bagi Rakrian Kuti sendiri. Ra Kuti melangkah mendekati Temenggung Pujut Luntar.
"Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kepada Kakang Temenggung Pujut Luntar telah kusediakan kedudukan sebagai
Gajahmada 65 Mahapatih, menggantikan Tadah yang sudah tua dan pikun serta sakit-sakitan itu. Sekarang, silakan Kakang Temenggung Pujut Luntar berbicara."
Temenggung Pujut Luntar yang semula lebih banyak diam itu, bangkit berdiri. Sebelum berbicara, Temenggung Pujut Luntar masih menyempatkan diri memelintir kumisnya yang panjang. Sayang, kumisnya hanya beberapa helai dan tidak lebat. Konon, Rakrian Temenggung Pujut Luntar telah berusaha dengan menggunakan berbagai cara agar kumisnya tumbuh lebat, bahkan dengan menggunakan lemak kambing. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil.
"Gelar perang yang akan kita pergunakan Supit Urang. Dengan gelar itu kita akan menjepit istana hingga tidak seorang pun sanggup meloloskan diri. Isyaratnya adalah bende Kiai Samudra berbunyi tiga ganda berturut-turut tiga kali. Aku tidak menyiapkan cadangan gelar perang yang lain. Apa pun yang terjadi kita menggunakan Supit Urang."
Rakrian Kuti manggut-manggut.
Lembang Laut merasa telah mendapatkan beberapa hal yang sangat penting. Dari pembicaraan itu bisa didapat gambaran perang macam apa yang akan terjadi. Pasukan segelar sepapan berkekuatan amat dahsyat akan menggilasi istana dari arah belakang menggunakan gerakan atau gelar perang Supit Urang. Lembang Laut beringsut. Perhatiannya tidak bergeser dari bende Kiai Samudra.
8 Waktu bergeser tak tercegah oleh siapa pun dan apa pun. Bahkan, dari kejauhan mulai terdengar suara ayam berkokok menandai sang 66
Gajahmada waktu bergerak menjemput datangnya pagi. Bekel Gajahmada menjadi makin tegang. Bekel berusia muda, pimpinan pasukan kecil berkemampuan khusus, Bhayangkara, itu berjalan mondar-mandir.
Tidak jauh darinya Gagak Bongol tak kalah gelisah.
"Apa aku bilang, Kakang Bekel?" teriak Gagak Bongol dengan suara nyaris tertahan. "Kau masih akan berharap banyak dari Temenggung Banyak Sora?"
Bekel Gajahmada memandang Gagak Bongol nyaris tak berkedip.
"Sekarang sudah mendekati pagi. Tetapi mana pasukan segelar sepapan dari kesatuan Jalapati yang katanya akan membetengi istana" Mana mereka?" desak Gagak Bongol.
Sebenarnyalah Bekel Gajahmada mulai gelisah, bahkan terpengaruh oleh berbagai dugaan yang dilontarkan Gagak Bongol. Jika apa yang dicemaskan Gagak Bongol menjadi kenyataan maka habislah sudah.
Tak ada yang bisa diharapkan, pilar-pilar istana akan runtuh. Seseorang dengan langkah tergesa datang mendekat.
"Bagaimana Kakang?" orang yang datang mendekat itu bertanya.
"Aku laksanakan tugasku sekarang?"
Bekel Gajahmada masih terdiam, mulutnya terkunci. Namun, matanya tajam tertuju kepada Panjang Sumprit.
"Semua telah siap?" tanya Bekel Gajahmada.
"Ya," jawab Panjang Sumprit tegas.
"Baik," jawab Bekel Gajahmada tegas. "Antar mereka ke Rimbi.
Keselamatan para Tuan Putri dan sekar kedaton kuserahkan kepadamu.
Jadikan nyawamu sebagai jaminan."
Panjang Sumprit berdiri tegak.
"Nyawaku sebagai taruhannya, Kakang Bekel," jawab Panjang Sumprit
Tanpa banyak bicara Panjang Sumprit bergegas meninggalkan Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol yang berdiri termangu. Persahabatan Gajahmada 67
yang terjalin akrab selama ini menyebabkan Gagak Bongol agak tersentuh, seolah perpisahan yang terjadi itu akan menjadi perpisahan untuk selamanya.
"Jika benar dugaanmu," berkata Bekel Gajahmada, "jika ternyata pasukan Jalapati tidak muncul dan Temenggung Banyak Sora berbohong maka tidak ada yang bisa diharapkan. Tuanku Jayanegara harus mengungsi."
Betapa pahitnya kenyataan itu. Namun, tak bisa dihindari, harus ditelan. Gagak Bongol merasa isi dadanya akan meledak. Akan tetapi, Bekel Gajahmada merasa permukaan dadanya berdesir. Dari kegelapan malam dan pekatnya kabut muncul seseorang.
"Kau meragukan aku rupanya, Gagak Bongol?" ucap orang itu.
Gagak Bongol tersentak kaget. Sebaliknya, Bekel Gajahmada merasa benang kusut yang dihadapi mulai terurai. Senyum yang sempat hilang muncul lagi di sudut bibirnya.
"Akhirnya, Rakrian Temenggung telah muncul," ucap Bekel Gajahmada, "nyaris dadaku meledak!"
Temenggung Banyak Sora tersenyum, bahkan dengan segera berubah menjadi sebuah tawa. Banyak Sora masih tertawa saat mendekati Gagak Bongol dan menepuk pundaknya. Gagak Bongol yang semula berwajah gelap akhirnya terpaksa tertawa. Ketegangan yang menggerataki isi dadanya mulai mereda.
"Rakrian Menggung datang sendiri?" Gagak Bongol bertanya.
Lagi-lagi Temenggung Banyak Sora tersenyum. Akan tetapi, ternyata pertanyaan Gagak Bongol itu juga mewakili Bekel Gajahmada.
"Pasukan Jalapati telah menempatkan diri," berkata Rakrian Temenggung Banyak Sora. "Mereka telah baris pendhem sekaligus pasang gelar di luar dan di dalam alun-alun. Gerakan senyap yang mereka lakukan kuharapkan mampu mengejutkan pasukan musuh. Setidak-tidaknya dalam benturan pertama mereka akan mampu mengurangi jumlah musuh sebanyak-banyaknya."
68 Gajahmada Jawaban itu memaksa Gajahmada dan Gagak Bongol saling pandang. Serentak pula keduanya manggut-manggut. Bekel Gajahmada merasa amat lega, sebagian ketegangan yang dirasakan pun luruh.
Setidak-tidaknya beban berat yang mereka sandang telah berkurang.
Gagak Bongol yang telah berprasangka buruk pada Temenggung Banyak Sora hanya bisa menundukkan kepala. Namun, Gagak Bongol bukanlah jenis lelaki pengecut.
Gagak Bongol menengadah. "Maafkan aku yang telah berprasangka Rakrian Menggung," berkata Gagak Bongol.
Banyak Sora hanya tersenyum, tidak menanggapi ucapan itu.
"Sejauh ini perkembangan macam apa yang telah kauperoleh, Bekel Gajahmada?" bertanya Banyak Sora.
Bekel Gajahmada beringsut mendekat.
"Akan aku lengkapi apa yang telah aku sampaikan, Rakrian Menggung. Bahwa tindakan makar itu ternyata didalangi oleh para Winehsuka. Ra Kuti dan beberapa saudaranya."
Banyak Sora kaget. Rona wajahnya berubah.
"Para Rakrian Dharmaputra Winehsuka?" Banyak Sora meletupkan pertanyaan. "Bagaimana dengan Pujut Luntar?"
"Rakrian Temenggung Pujut Luntar terlibat dalam rencana makar itu. Namun, yang menjadi otak dari gerakan itu adalah Ra Kuti. Aku menduga, Ra Kuti yang pintar berbicara itu berhasil membujuk Temenggung Pujut Luntar, mungkin Pujut Luntar mendapatkan janji akan diangkat menjadi Mahapatih atau malah menjadi raja."
Banyak Sora termangu. Sesaat temenggung pemimpin kesatuan Jalapati itu dililit pesona, sama sekali tak mengira Ra Kuti yang cukup dikenalnya dengan baik itu ternyata mampu melakukan tindakan gila.
"Bagaimana Rakrian Menggung?" pancing Gajahmada.
Banyak Sora menggeleng-geleng antara takjub dan bingung.
Gajahmada 69 "Sulit dimengerti. Nyaris tak bisa dipercaya. Namun, aku tidak merasa heran melihat Ra Kuti melakukannya. Apa yang diperbuat Ra Kuti itu tentu ada kaitannya dengan Anabrang. Ra Kuti kecewa karena Lembu Anabrang mendapat anugerah melebihi Dharmaputra yang disandangnya, padahal Ra Kuti merasa kalau ia jauh lebih berjasa daripada Anabrang," ucap Banyak Sora.
Banyak Sora teringat dalam pasewakan yang diselenggarakan di paseban Tatag Rambat Bale Manguntur, Jayanegara dengan begitu gembira menganugerahkan gelar kehormatan Winehsuka kepada Ra Kuti dan teman-temannya. Mereka mendapat sebutan sebagai para Dharmaputra Winehsuka. Naifnya, kini para Winehsuka itulah yang mencoba menusuk dari belakang.
Banyak Sora menatap Bekel Gajahmada tanpa berkedip.
"Bagaimana dengan Panji Watang, kau sudah menghubungi?"
Bekel Gajahmada terpaksa tersenyum, betapa pahitnya senyum itu.
Banyak Sora bertambah heran.
"Panji Watang juga terlibat?" desak Banyak Sora.
"Rakrian Temenggung Panji Watang mencoba memainkan perannya sendiri," Gajahmada menjawab. "Bahwa para Winehsuka ternyata berada di belakang tindakan makar, Temenggung Panji Watanglah yang memberi tahu. Namun, Temenggung Panji Watang mengambil sikap yang tidak ubahnya pemberontak itu sendiri. Panji Watang menempatkan diri di luar yang akan terjadi dan tidak akan melibatkan diri. Termasuk tidak menempatkan diri melindungi istana. Panji Watang menganggap yang terjadi ini sebagai persoalan keluarga yang tak perlu mendapat campur tangannya."
Rakrian Temenggung Banyak Sora makin terkaget-kaget.
Dengan gamblang Bekel Gajahmada menuturkan yang diketahuinya dan disimak dengan saksama oleh Banyak Sora. Banyak Sora tak mengira Temenggung Panji Watang ternyata tidak kalah gilanya dari para Winehsuka dan Pujut Luntar. Rakrian Temenggung Banyak Sora yang 70
Gajahmada mengenal Panji Watang dengan baik mengalami kesulitan untuk bisa mengerti mengapa Panji Watang mampu bersikap seperti itu. Akan tetapi, itulah, sebagaimana kata pepatah, dalam laut bisa diterka kedalaman benak siapa yang tahu.
Justru karena itu Banyak Sora menggeretakkan gigi.
"Keparat tidak tahu diri!" umpat Banyak Sora.
"Aku tak peduli meski Panji Watang ikut bergabung dengan mereka.
Pasukanku akan menggilas dan memberikan hukuman setimpal atas perbuatan mereka."
Sesaat suasana menjadi hening seolah memberi kesempatan kepada Temenggung Banyak Sora untuk melarutkan kemarahannya. Di kejauhan masih terdengar suara burung gagak yang melengking menyayat, mewartakan bakal hadirnya bencana. Kabut yang turun tidak mereda malah makin menggila.
Hening itu koyak oleh kehadiran Lembang Laut. Napasnya tersengal. Bekel Gajahmada menyongsongnya.
"Kauberhasil Lembang Laut?" Gajahmada tidak sabar.
Lembang Laut menata sengal napasnya.
"Lihat ini!" ucap Lembang Laut.
Semua yang hadir di tempat itu memerhatikan apa yang dibawanya.
Gajahmada berdesir. "Kau telah mengambil bende ini dari mereka?" bertanya Gajahmada.
Lembang Laut mengangguk. Semua orang menunggu Lembang Laut bercerita. Dengan tatapan mata tegang Lembang Laut mengawali laporannya.
"Pasukan segelar sepapan itu siap menyerbu kedaton. Semuanya benar seperti yang dikatakan Kakang Bekel. Ra Kuti bersama para Dharmaputra Winehsuka bekerja sama dengan pasukan Jala Rananggana siap menyerbu istana dengan menggunakan gelar Supit Urang."
Gajahmada 71 Bekel Gajahmada dan Temenggung Banyak Sora saling pandang.
Sejenak hening kembali menggerataki. Sejenak berikutnya segenap perhatian kembali tertuju kepada Lembang Laut.
"Mereka akan menyerbu dengan menggunakan isyarat bende Kiai Samudra. Mereka rupanya telah mencuri bende itu dari ruang perbendaharaan pusaka. Namun, aku berhasil mengambilnya tanpa mereka menyadari."
"Bagus sekali," puji Bekel Gajahmada. "Ini sebuah awal yang baik bagi kita. Bukan mereka yang akan membunyikan bende Kiai Samudra sebagai isyarat peperangan, tetapi kita yang akan membunyikannya sebagai pembakar semangat."
Sekilas sebuah gambaran telah diperoleh. Persoalannya adalah bagaimana memanfaatkan gambaran itu untuk memukul balik pasukan Jala Rananggana kemudian menggilasnya.
"Di mana sekarang mereka berada?" Gajahmada bertanya.
"Mereka cukup cerdik dalam mempersiapkan serangan. Saat ini mereka berada di ladang jagung Palemahan di belakang wilayah Santanaraja. Mereka akan menyerbu istana dari arah belakang. Aku perlu menyampaikan pula sebuah kemungkinan yang amat buruk sebagaimana yang aku dengar saat Ra Kuti berkata bahwa mungkin ada telik sandi mereka yang menyusup di balik dinding istana. Tegasnya, ada di antara Bhayangkara yang berkhianat dan menjadi telik sandi mereka."
Gajahmada dan Temenggung Banyak Sora kaget. Kekagetan dengan alasan yang berbeda.
"Mereka akan menyerbu dari arah belakang?"
Lembang Laut tidak menjawab pertanyaan itu. Baginya, apa yang diucapkannya telah cukup jelas.
"Gila!" umpat Banyak Sora. "Aku telah pasang gelar di alun-alun.
Aku rasa aku harus mengubah semua rencana."
Bekel Gajahmada yang gelisah tidak menggeser tatapan matanya dari Lembang Laut.
72 Gajahmada "Sejauh mana Ra Kuti berbicara tentang telik sandi yang menyusup di istana?" desak Bekel Gajahmada.
Persoalan telik sandi bukanlah persoalan ringan dan dianggap remeh. Jika benar Ra Kuti telah menyusupkan telik sandi ke balik dinding istana, telik sandi itu akan bisa berbuat apa saja. Termasuk langsung menjadi sumber bahaya bagi Sri Jayanegara.
Gajahmada yang menjadi pimpinan keluarga Bhayangkara dan telah membina mereka menjadi satu kesatuan keluarga kurang bisa percaya anak buahnya akan sanggup berkhianat. Jika ada di antara mereka yang berkhianat, lebih-lebih terlibat rencana tindakan makar maka hal itu benar-benar keterlaluan.
Namun, itulah kenyataan yang terjadi. Perbuatan Ra Kuti, sikap Pujut Luntar dan Panji Watang, menjadi contoh yang tidak bisa ditolak bahwa mereka yang menekuk wajah paling dalam manakala seba di pasewakan ternyata adalah orang-orang yang justru melakukan perbuatan yang tidak masuk akal.
"Bagaimana?" kembali Bekel Gajahmada mendesak.
"Sayang sekali Kakang Bekel," Lembang Laut menjawab.
"Keterangan yang aku peroleh hanya sebatas itu. Rakrian Kuti tidak menyebut nama mereka."
Tidak tercegah, Bekel Gajahmada harus menanam rasa curiga. Dan, mencurigai anak buah sendiri sungguh merupakan hal yang tidak menyenangkan hatinya. Bahwa terdapat kemungkinan di antara anak buahnya menempatkan diri sebagai pengkhianat dengan menjadi kaki tangan Ra Kuti, kenyataan itu harus diterima walau sangat sulitnya.
"Aku akan kembali ke pasukanku," tiba-tiba Banyak Sora berkata.
"Aku harus memindahkan mereka."
Bekel Gajahmada teringat pesan Sri Jayanegara.
"Apakah tidak sebaiknya Rakrian Temenggung menghadap Tuanku Jayanegara?" bertanya Gajahmada.
"Kaupikir masih cukup waktu untuk melakukan semua itu?"
Gajahmada 73 Bekel Gajahmada sependapat dengan jawaban itu. Memang tidak cukup waktu untuk menghadap raja sekalipun. Temenggung Banyak Sora memang harus bertindak cepat jika tidak ingin kedahuluan banjir bandang yang akan datang menerjang.
"Mohon sabar Rakrian Menggung, aku ikut!" jawab Bekel Gajahmada.
Banyak Sora mengangguk. 9 Seiring dengan sang waktu yang serasa berlarian dan bergerak cepat itu, kegelisahan Bekel Gajahmada makin menjadi. Akan tetapi, Bekel Gajahmada sadar bahwa ia tidak boleh kehilangan ketenangan.
Keadaan ruwet macam apa pun harus dihadapinya dengan pikiran tenang dan jernih. Kesalahan pengambilan keputusan karena pikiran kalut harus dihindari. Bekel Gajahmada menghela desah. Dipandanginya Gagak Bongol dan Lembang Laut.
"Kalian berdua," berkata Bekel Gajahmada, "jaga Tuanku Jayanegara. Kalau cerita tentang telik sandi yang menyusup di antara kita itu benar maka Tuanku Jayanegara memang benar-benar berada dalam bahaya. Kalian mengerti?"
"Aku mengerti Kakang," Gagak Bongol menjawab sekaligus mewakili Lembang Laut.
"Pergilah," Gajahmada menjatuhkan perintahnya.
Dengan sigap Bongol dan Lembang Laut segera melaksanakan tugas yang baru saja dijatuhkan itu. Sebaliknya, Bekel Gajahmada bersama Temenggung Banyak Sora menuju alun-alun di luar dinding.
74 Gajahmada Mula-mula alun-alun itu memang terasa senyap. Akan tetapi, setelah memerhatikan dengan lebih cermat dan saksama, Bekel Gajahmada melihat ada persiapan besar-besaran yang telah dilakukan oleh Temenggung Banyak Sora di tempat itu. Pasukan segelar sepapan dari kesatuan Jalapati sedang melakukan baris pendhem, melakukan gerakan senyap untuk memberikan serangan dadakan yang mematikan.
Meski semua itu tidak kelihatan, Bekel Gajahmada bisa menangkap keberadaan mereka melalui ketajaman indra pendengarannya. Akan tetapi sayang, penempatan pasukan di alun-alun depan istana itu ternyata salah. Pasukan musuh memiliki kecerdikan dan perhitungan yang tidak terduga, mereka akan menyerbu istana justru dari arah belakang.
"Apa yang kaulihat, Bekel Gajahmada?" bertanya Banyak Sora dengan suara sedikit pelan.
"Suasana yang sepi, Gusti Menggung!" jawab Gajahmada seperti seadanya.
Banyak Sora menebar pandang. Kabut yang turun tebal serta udara yang dingin menggigit memang menyembunyikan apa yang ada di alun-alun itu.
Banyak Sora bersiul melengking keras sekali. Disusul kemudian dengan menirukan lengkingan burung bence dua kali. Bekel Gajahmada tahu benar arti isyarat itu karena sebagai seorang prajurit yang bertugas mengawal dan mengamankan raja serta kerabat istana, pasukan Bhayangkara harus menguasai berbagai sandi dan isyarat-isyarat tertentu.
Sejenak kemudian terdengar suara orang berlari. Tak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Gajahmada tahu mereka para senopati yang memimpin kelompok-kelompok lebih kecil dari pasukan segelar sepapan yang sedang melakukan baris pendhem itu.
Lima orang senopati telah menghadap Rakrian Temenggung Banyak Sora. Banyak Sora tidak mau bertele-tele.
"Kita telah melakukan kesalahan dengan melakukan baris pendhem di sini. Pasukan pemberontak itu ternyata akan menyerbu dari belakang.
Gajahmada 75 Mereka sekarang berada di Palemahan belakang Santanaraja, mungkin sudah bergerak ke istana. Waktu yang ada sudah mepet. Laksanakan perintahku sekarang juga, pasukan bergerak ke belakang istana dan melakukan baris pendhem di sana."
Sudah cukup jelas perintah itu. Lima orang senopati bersenjata pedang panjang itu bergegas kembali ke kelompok prajurit masing-masing. Bekel Gajahmada ikut memerhatikan keadaan. Lewat pendengarannya yang tajam Bekel Gajahmada tahu telah terjadi kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Para prajurit yang semula bersembunyi itu bergegas bergerak menuju belakang istana.
"Kuharap gerakan ini tidak terlambat. Semoga saja mereka yang berseberangan dengan kita melakukan tindakan bodoh dengan menunda serangan sesaat. Dengan demikian, kita masih memiliki kesempatan untuk melakukan baris pendhem!"
Bekel Gajahmada termangu. Namun, sebenarnya Bekel muda yang amat berbakat itu tengah berpikir keras.
"Apakah aku diizinkan untuk menyampaikan sebuah pendapat?"
bertanya Bekel Gajahmada.
"Kau mempunyai gagasan apa?" Banyak Sora balas bertanya.
Gajahmada membeku sejenak.
"Kita memiliki kesempatan yang sama," berkata Bekel Gajahmada.
"Kalau mereka bermaksud melakukan serangan dadakan maka kita pun bisa melakukan hal yang sama. Bagaimana jika kita yang menjemput mereka, menyerbu langsung ke Palemahan."


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi Banyak Sora, usulan itu merupakan hal yang aneh.
"Kita menyerbu ke sana untuk apa?" balas Banyak Sora."Tidak perlu menyerbu ke Palemahan. Pertempuran itu pasti akan berlangsung dan terjadi tanpa kita harus menyerbu ke Palemahan. Aku tidak melihat ada keuntungan dengan serangan itu. Aku akan memanfaatkan serangan dadakan setelah baris pendhem. Serangan dadakan itu akan mampu membuat pasukan musuh kocar-kacir dan berantakan."
76 Gajahmada Gajahmada agak kecewa. Sebenarnyalah Bekel Gajahmada memiliki pertimbangan lain.
"Kau tidak puas dengan keputusanku itu, Gajahmada" Atau, kau akan ikut campur dengan memanfaatkan lencana kepatihan yang kauterima dari Mahapatih Tadah itu?"
"Tidak Rakrian Menggung," jawab Bekel Gajahmada. "Namun, mungkin Rakrian Menggung berkenan mendengar alasanku."
"Baik!" jawab Banyak Sora. "Bagaimana?"
Bekel Gajahmada menghirup udara dalam-dalam seolah akan dihabiskan udara yang ada guna menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Lebih dari itu, siapa tahu besok tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan itu.
"Jika Rakrian Menggung menghadang mereka melalui baris pendhem mungkin akan mampu memberikan kejutan dadakan. Namun, harus diingat bahwa pada saat itu pasukan musuh sudah pasang gelar dan memang berada dalam kesiagaan tertinggi untuk berperang. Akan lain jika Rakrian Menggung langsung menyerang mereka di sarangnya.
Mereka tidak sedang dalam gelar perang. Mereka akan dengan susah payah menyusun gelar perang Pasir Wutah sekalipun."
Sangat masuk akal. Gagasan itu menyebabkan isi dada Temenggung Banyak Sora berdesir. Bukan karena gagasan itu menyimpan kecerdikan, tetapi bahwa gagasan itu berasal dari seorang prajurit rendahan yang hanya berpangkat bekel, bahkan belum senopati. Mau tak mau Temenggung Banyak Sora harus mempertimbangkan gagasan itu.
"Bagaimana Rakrian Menggung?" desak Bekel Gajahmada.
Temenggung Banyak Sora memandang Bekel Gajahmada tidak berkedip.
"Harus kuakui," jawab Banyak Sora, "gagasanmu luar biasa.
Kaubenar Gajahmada. Bahwa serangan menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan di Palemahan mungkin akan membuat mereka kacau berantakan tanpa siap menyusun gelar perang. Namun, sayang sekali Gajahmada 77
gagasan itu tidak kausampaikan kepadaku di saat waktu masih cukup.
Apakah masih ada waktu untuk melaksanakan rencana itu?"
Gajahmada terdiam. Gajahmada harus mengakui untuk menyerbu langsung ke Palemahan butuh waktu. Sementara sebentar lagi malam akan beranjak menjemput pagi. Seperti membenarkan apa yang ada dalam benak Bekel Gajahmada, dari kejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok.
"Bagaimana?" kembali Temenggung Banyak Sora bertanya.
"Rakrian Menggung benar," jawab Gajahmada, "memang sudah tak ada waktu. Bahkan, amat mungkin mereka sudah bergerak."
"Rasanya sudah tidak ada waktu lagi untuk berbicara. Kembalilah ke istana dan marilah kita laksanakan tugas kita masing-masing dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa tutup rapat Purawaktra."
"Baik Rakrian Menggung dan selamat berjuang. Semoga Rakrian Temenggung mampu membenamkan pedang ke mulut Ra Kuti. Jika mungkin tolong penuhi keinginanku, sobek mulut Pujut Luntar dengan membenamkan gagang tombak tembus ke jantungnya," ucap Gajahmada.
Banyak Sora tertawa, kemudian meninggalkan Bekel Gajahmada.
Gajahmada menebar pandangan. Mungkin karena telah dekat saat datangnya pagi, kabut yang tebal itu agak menipis, tetapi tetap saja keberadaannya menghalangi pandangan mata. Gajahmada melangkah bergegas kembali ke Purawaktra. Akan tetapi, langkahnya mendadak terhenti.
"Tunggu Gajahmada!" tiba-tiba terdengar suara.
Suara yang berasal entah dari mana itu mampu menghentikan Gajahmada sekaligus memaksa dada pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu berdesir. Suara itu amat dikenalnya justru karena suara itu disamarkan.
"Bagaimana?" bertanya orang di balik kegelapan kabut itu. "Sudahkah kaupersiapkan sebuah pesta untuk menyambut banjir bandang?"
78 Gajahmada Kedengarannya ucapan orang yang menyelubungi diri bukan saja dari balik tebalnya kabut, tetapi juga dengan menggunakan secarik kain untuk menutupi wajah. Suara itu terdengar itu amat ramah dan bersahabat. Bekel Gajahmada yang tergoda oleh rasa penasaran beranjak mendekat.
"Kau tak perlu mendekat, Gajahmada!" berkata orang itu.
"Kawuryan?" desis Bekel Gajahmada.
Hanya disebut sebagian dari keseluruhan namanya, orang itu tidak berkenan.
"Jangan sepotong-potong seperti itu," ucap orang yang menggunakan selubung untuk menutupi wajah itu. "Nama lengkapku Manjer Kawuryan."
Orang itu memang Manjer Kawuryan. Sosok tak dikenal yang membuat Bekel Gajahmada merasa sangat penasaran. Ingin sekali Gajahmada meloncat dan dengan sekali sentak mem-belejeti-nya sekaligus memaksanya agar kamanungsan, tetapi atas nama pertimbangan-pertimbangan yang lain, Bekel Gajahmada tidak melakukan. Keberadaan orang itu, entah siapa pun dia dan entah apa pula pamrihnya, merupakan sumber keterangan yang sangat penting.
"Keterangan apa lagi yang akan kauberikan untukku?" tanya Gajahmada.
"Rasanya aku tak memiliki lagi keterangan penting yang kaubutuhkan. Kau tentu telah menyebar telik sandimu," jawab Manjer Kawuryan
Bekel Gajahmada terbungkam sesaat.
"Mereka akan menyerbu dari arah belakang istana," Gajahmada berkata. "Pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh Rakrian Kuti yang berkomplot dengan pasukan Jala Rananggana itu akan menyerbu dari belakang dengan menggunakan gelar perang Supit Urang. Saat ini mereka tengah mempersiapkan diri untuk menyerbu di Palemahan. Benar demikian bukan?"
Gajahmada 79 Orang tak dikenal itu tertawa pendek. Suaranya agak melengking, terasa sekali kalau dibuat-buat. Ada saatnya Gajahmada merasa seperti mengenal suara itu, ada saatnya pula Gajahmada merasa dibikin pusing karena tidak bisa mengingat siapa pemilik suara itu.
"Bukan main," berkata Manjer Kawuryan. "Aku benar-benar kagum kepada barisan telik sandi Bhayangkara. Dengan cepat mereka bisa mengetahui dari arah mana serangan akan datang sekaligus dengan gelarnya. Aku benar-benar kagum, Bekel Gajahmada."
Gajahmada merasa ucapan itu bukan pujian.
"Bagaimana, benarkah semua itu" Kalau ternyata masih salah, tolong betulkan!" pancing Gajahmada.
Orang tak dikenal itu bergeser. Bekel Gajahmada tetap berada di tempatnya. Kabut masih membalut mereka yang berdiri berhadap-hadapan itu. Di kejauhan kembali terdengar kokok ayam jantan menjemput datangnya pagi, tetapi juga masih terdengar lengking burung bence yang amat menyayat.
"Tak ada yang salah. Apa yang dilaporkan oleh telik sandi yang kaususupkan ke Palemahan benar. Mereka akan menyerbu mengambil arah dari belakang. Mereka akan menggunakan gelar perang Supit Urang untuk mencegah kemungkinan ada yang meloloskan diri."
Bekel Gajahmada diam. Apa yang dikatakan Manjer Kawuryan sejauh ini merupakan hal yang amat penting dan berharga.
Gajahmada mencoba mengorek lebih jauh, "Mungkin ada hal lain tersisa?"
Orang tak dikenal itu terdiam. Bekel Gajahmada harus menunggu beberapa saat.
"Perang akan terjadi dan mungkin amat berdarah. Sesaat lagi kotaraja ini akan tersentak kaget oleh suara dentang bende yang dipukul bertalu-talu. Pasukan segelar sepapan dari Palemahan itu akan bergerak dan menggilas istana. Mereka tak menyadari pasukan segelar sepapan di bawah pimpinan Banyak Sora sedang menunggunya. Maka yang akan 80
Gajahmada terjadi nantinya benar-benar perang berdarah. Dan, yang namanya perang selalu mengerikan. Akan banyak orang yang meratapi buah dari peperangan itu. Para istri kehilangan suami karena gugur. Para anak kehilangan bapak, atau para orang tua kehilangan anaknya yang pralaya di palagan. Belum lagi perbuatan lepas kendali yang bisa terjadi di mana-mana dan menimpa siapa saja, perampokan, pemerkosaan. Seolah-olah perbuatan semacam itu dibenarkan dan boleh dilakukan oleh siapa pun.
Di sisi lain, orang yang keranjingan perang akan sangat menikmati seolah seperti sedang bermain damdaman atau dakon. Mengerikan sekali."
Orang tak dikenal itu kembali terdiam beberapa saat lamanya, seolah ada beban berat yang harus disangganya. Gajahmada merasakan adanya kegelisahan. Yang tidak diketahuinya adalah kegelisahan itu sebenarnya berwarna apa. Orang itu mendengus.
"Sudahkah kau melakukan penyelamatan atas para sekar kedaton?"
tiba-tiba pertanyaan orang itu berbelok.
Gajahmada mencuatkan alisnya.
"Apakah pertanyaan itu harus kujawab?" balas Gajahmada.
"Ya!" jawab orang itu.
"Sudah. Aku sudah melakukan penyelamatan untuk berjaga seandainya istana bedah. Mengapa kau bertanya itu?" Gajahmada balik bertanya.
Orang itu menghela napas panjang. Tarikan napasnya terdengar di telinga Bekel Gajahmada.
"Ra Kuti orang rakus!" jawab Manjer Kawuryan. "Untuk mengesahkan keinginannya menjadi raja, ia akan memaksakan kehendak dengan mengawini dua sekar kedaton. Apakah kau akan membiarkan hal itu terjadi?"
Gajahmada termangu. Keterangan yang diberikan orang itu tidak bisa diingkarinya.
"Aku akan kembali," tiba-tiba orang itu berkata.
Kaget Gajahmada. Gajahmada 81 "He, hanya seperti itu?" teriaknya.
Orang itu berhenti. "Hati-hati dengan anak buahmu yang gemar menirukan suara burung hantu. Bukankah kau tidak mengajari mereka menggunakan isyarat suara burung hantu" Burung hantu itu mungkin sedang berkeliaran di halaman istana, ingat, suaranya benar-benar mirip, sulit membedakan dari suara burung hantu yang sesungguhnya."
Orang tidak dikenal itu mengakhiri ucapannya sambil melanjutkan langkahnya yang tertunda. Bekel Gajahmada makin penasaran.
"Tunggu Kisanak, aku mempunyai sebuah pertanyaan untukmu,"
Bekel Gajahmada mencoba memburu.
"Seharusnya kau menghargai waktu. Tetapi baiklah, apa yang akan kautanyakan?" balas orang itu.
Sebenarnyalah, tiba-tiba Gajahmada mulai bertanya-tanya dalam hati dari mana atau dari kelompok mana orang itu berasal.
"Apakah kau bagian dari mereka?" Gajahmada bertanya.
Pertanyaan itu rupanya agak menyulitkan orang itu. Terbukti orang itu terbungkam sesaat. Namun, Bekel Gajahmada terus menunggu.
"Kaubenar. Aku memang bagian dari mereka," jawab orang itu,
"tetapi hati nuraniku tidak membenarkan tindakan mereka. Atau, boleh juga kau jangan gampang percaya kepadaku. Bisa jadi aku mempunyai kepentinganku sendiri. Aku sedang bermain di petak ruangku sendiri, siapa tahu!"
Gajahmada termangu diam, tidak manggut-manggut juga tidak menggeleng-gelengkan kepala.
Rupanya di pihak pemberontak masih ada yang berpikiran jernih serta mampu mengedepankan hati nurani daripada keserakahan. Orang itu sungguh menarik perhatiannya.
"Terima kasih. Jika kelak aku bertemu denganmu, aku akan menggunakan kata sandi apa?" lagi Gajahmada memancing.
82 Gajahmada Orang itu tertawa pendek tidak menanggapi pertanyaan Gajahmada. Orang itu benar-benar tidak memberi kesempatan untuk pertanyaan berikutnya. Gajahmada hanya bisa menatap orang itu makin menjauh untuk kemudian lenyap di balik kabut.
"Bagaskara Manjer Kawuryan," mendadak terdengar teriakannya dari kejauhan.
Gajahmada yang bermaksud meninggalkan tempat itu bagai terjerat langkah kakinya. Bagaskara Manjer Kawuryan, berarti matahari bersinar terang. Sebuah kalimat sandi yang indah. Kelak di kemudian hari mungkin kalimat sandi itu bisa digunakan untuk mengetahui siapa sebenarnya orang yang menyelubungi diri dengan tebalnya teka-teki itu.
10 Dengan bergegas Bekel Gajahmada melangkah ke Purawaktra.
Prajurit penjaga regol berloncatan menghadang.
"Aku Gajahmada!" Gajahmada mewartakan diri.
Para prajurit penjaga regol istana yang berada dalam kesiagaan tertinggi itu mengurai pedang mereka dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Demikian pula dengan beberapa prajurit yang selalu siaga dengan membentangkan busur dan siap melepas warastra, memasukkan kembali anak panah ke dalam endong-nya. Langkah Gajahmada terhenti.
"Tutup pintu gerbang. Penjagaan selanjutnya dilakukan dari atas dinding!" perintahnya.
Tanpa banyak bicara para prajurit Bhayangkara itu melaksanakan perintah itu. Gerbang istana, Purawaktra, merupakan sebuah pintu yang Gajahmada 83
sangat tebal dan tinggi. Jika pintu itu sudah diselarak dari dalam menggunakan batang besi yang harus digotong beberapa orang, mustahil pintu itu bisa dibuka dari luar. Manakala pintu yang amat tebal itu ditutup, terdengar suara berderak.
Gajahmada melangkah ke arah pendapa Tatag Rambat, tetapi mendadak langkah kakinya seperti tersandung.
"Gila," desis Gajahmada, "ternyata apa yang dikatakan Bagaskara Manjer Kawuryan itu benar."
Bekel Gajahmada memerhatikan keadaan dengan saksama. Entah dari mana datangnya, suara burung hantu itu terdengar lagi. Gajahmada tahu persis bahwa ada yang tidak wajar pada suara burung hantu itu karena tidak ada burung hantu bersahutan seperti saling menyapa.
Menyadari kemungkinan bahaya akan mengancam Jayanegara, Bekel Gajahmada mempercepat langkah kakinya, langsung menuju bangunan istana raja. Gagak Bongol dan Lembang Laut menyongsong.
"Bagaimana Kakang Bekel?" bertanya Gagak Bongol.
"Di mana Sri Baginda?" Gajahmada balas bertanya.
"Baru saja masuk!" jawab Gagak Bongol.
Suara burung hantu itu terdengar lagi. Gajahmada memerhatikan balasan burung hantu yang lain yang terdengar dari arah berbeda, tetapi jelas berada dalam lingkungan dinding istana.
"Pasukan Jalapati telah bergeser ke belakang istana. Masih ada waktu untuk memperbaiki keadaan. Kita doakan semoga Temenggung Sora mampu meredam keadaan. Namun, yang lebih penting pada saat ini adalah, kaudengar suara itu?"
Gagak Bongol dan Lembang Laut saling pandang.
"Maksud Kakang Bekel?" bertanya Lembang Laut.
"Suara burung hantu," Gajahmada menjawab.
Gagak Bongol kian penasaran, "Kenapa dengan burung hantu itu?"
84 Gajahmada Gajahmada menatap tajam Gagak Bongol. Gagak Bongol mengerutkan dahi berpikir.
"Itu isyarat sandi musuh?" Gagak Bongol tiba-tiba merasa menemukan jawaban.
Gajahmada menghela resah. Kekecewaannya tiba-tiba mengental dan membuat risih. Suara burung hantu yang jelas berasal dari dalam lingkungan istana itu menunjukkan bahwa di antara mereka yang menjadi bagian dari kesatuan Bhayangkara ada yang berkhianat, menjadi kaki tangan pihak musuh.
"Keterangan yang diperoleh Lembang Laut benar," ucap Gajahmada. "Bahwa ternyata di antara kita ada yang menjadi pengkhianat. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka menggunakan siulan burung hantu untuk melakukan hubungan antara satu dengan lainnya."
Gagak Bongol makin tegang.
"Berarti mereka telah menyusup ke dalam istana?" desak Gagak Bongol.
"Kita harus menemukan mereka!" tegas Gajahmada.
Sang waktu terus bergerak bergeser merambati kodratnya. Kabut agak sedikit mereda, tetapi tetap saja menjadi penghalang bagi mata memandang. Pada saat yang demikian, Rakrian Kuti merasa telah tiba saatnya untuk bergerak. Ra Kuti melihat persiapan-persiapan yang dilakukan telah matang. Pasukan segelar sepapan itu telah siap digerakkan.
"Fajar menyingsing," gumam Ra Kuti. "Mengapa fajar menyingsing kujadikan pilihan waktu untuk menyerang" Karena saat fajar menyingsing adalah waktu yang membuat semua orang terlena. Tentu tidak ada yang membayangkan akan ada yang berbuat gila saat fajar seperti ini. Semua terlena, semua bahkan masih digelut oleh rasa kantuk. Begitu matahari terbit, langsung akan disambut dengan sorak-sorai serta tangis dan rintihan mereka yang sekarat. Barangkali malam ini adalah malam terakhir kau menikmati mimpi indahmu, Jayanegara, karena besok aku akan Gajahmada 85
menggantungmu di alun-alun. Segenap kawula Majapahit kuperintahkan untuk meludahi wajahmu."
Angan-angan Ra Kuti kemudian beralih kepada sosok wajah yang sangat dibencinya, wajah Anabrang.
"Akan tiba saatnya kau melihat kenyataan yang mengagetkan, Lembu Anabrang," ucap Ra Kuti kepada diri sendiri.
Dengan cepat pula Ra Kuti menggeser angan-angannya, raut wajah amat jelita dari Breh Daha dan Breh Kahuripan sejenak menyela mencuri perhatiannya. Ra Kuti amat larut ke dalam lamunannya. Ra Kuti sampai tak sadar Ra Pangsa datang mendekati. Ra Pangsa terheran-heran melihat Ra Kuti tersenyum-senyum.
"Ra Kuti," gamit Ra Pangsa.
Ra Kuti tersadar. "Ada apa?" tanya Ra Kuti.
"Kita kehilangan sesuatu," ucap Ra Pangsa.
Ra Kuti mencuatkan alis. "Sesuatu apa?" Ra Kuti heran.
"Bende Samudra tidak ada di tempatnya."
Ra Kuti segera menggigil. Matanya melotot dan nyaris saja terlepas dari kelopaknya.
"Bende itu tidak ada di tempatnya?" desak pimpinan pemberontak itu.
Pangsa berdiri tegak di tempatnya. Apa yang disampaikannya telah cukup jelas dan tak perlu diulang lagi. Dengan susah payah Ra Kuti harus menenteramkan diri.
"Apa artinya itu?" teriak Ra Kuti.
Pangsa menghela desah mengisi udara di segenap lorong paru-parunya. Bende Samudra, bende yang diharapkan menjadi pembakar semangat saat pertempuran terjadi, bende yang diyakini keramat itu ternyata telah lenyap, tidak berada di tempatnya lagi.
86 Gajahmada "Beri penjelasan kepadaku, Pangsa!" teriak Ra Kuti.
Ra Pangsa menatap Ra Kuti.
"Tak ada yang mengetahui siapa yang mengambil bende itu. Ra Wedeng yang bertugas menjaga bende itu juga tidak tahu bagaimana bende itu bisa hilang dari tempatnya. Sangat mungkin mata-mata Bhayangkara yang melakukan karena hanya telik sandi Bhayangkara yang berkesanggupan melakukan itu."
"Keparat!" umpat Ra Kuti kasar sekali.
Ra Kuti makin gemetar. "Jadi gerakan kita ini sebenarnya sudah diketahui?" Ra Kuti berjalan mondar-mandir.
Seketika rasa cemasnya membuncah karena membayangkan kemungkinan tak terduga. Jika bende keramat itu lenyap dan besar kemungkinan karena ulah petugas telik sandi Bhayangkara, amat boleh jadi istana mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadapi gempuran yang akan dilakukannya.
Pada saat itu, Pujut Luntar datang membawa langkahnya yang bergegas.
"Sudah waktunya untuk berangkat, Ra Kuti," Pujut Luntar berkata.
Bahasa tubuh yang tersirat dari wajah Ra Kuti tak bisa ditutupi.
Pujut Luntar merasa heran melihat permukaan wajah Ra Kuti amat tegang.
"Ada apa?" bertanya Pujut Luntar.
"Kita kehilangan bende Samudra!" jawab Ra Kuti.
Rakrian Temenggung Pujut Luntar terkejut.
"Apa?" desis Pujut Luntar.
Di balik lenyapnya bende Samudra jelas tersimpan muatan persoalan yang tak bisa dianggap remeh.
"Mata-mata Bhayangkara yang mengambil," Ra Kuti menjelaskan lebih lanjut.
Gajahmada 87 Merah padam wajah Pujut Luntar. Kini mulai terbayang, seandainya benar telik sandi pasukan Bhayangkara telah berhasil mengetahui rencana mereka, besar kemungkinan istana sudah mempersiapkan penyambutan.
Dengan demikian, pekerjaan yang mereka hadapi bukan pekerjaan yang mudah lagi.
"Sebenarnya bagaimana keadaan kita" Benarkah kita tinggal menggilas istana seperti gajah menggilas telur" Sekarang aku membutuhkan penjelasan, bagaimana kauberani mengatakan menyerang istana itu semudah membalik tangan?"
Di antara ketiga kekuatan pasukan yang dimiliki Majapahit, Jala Rananggana, Jalapati, serta Jalayuda, pasukan Jalapati yang jelas-jelas berpihak dan melindungi Bale Manguntur. Jika rencana serangan itu telah bocor, sangat mungkin pasukan Jalapati melakukan baris pendhem membetengi istana. Sangat mungkin mereka telah bergerak dan mengadakan persiapan-persiapan. Apalagi, manakala Pujut Luntar menyadari pasukan Bhayangkara memiliki kelompok telik sandi yang sangat baik. Persoalan akan lebih gawat lagi kalau pasukan Jalayuda di bawah pimpinan Panji Watang mengubah keputusan mengingkari kesepakatan dengan berbalik melindungi istana. Pujut Luntar memandang Ra Kuti tanpa berkedip.
"Hilangnya bende itu belum memberikan jaminan istana telah membuat persiapan menyongsong kita. Kalaupun mereka berhasil mengetahui gerakan kita, waktu yang mereka miliki sangat sempit. Tak cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Oleh karena itu, dengan atau tanpa bende Samudra, mari kita berangkat."
Pasukan berkekuatan segelar sepapan menggunakan gelar Supit Urang itu pun bergerak. Mereka berjalan bergegas dengan tidak bersuara atau menggunakan jalan senyap. Perang yang sangat berdarah benar-benar sudah berada di ambang pintu. Apabila kabut tidak turun begitu tebalnya maka langit belahan timur tentu terbakar oleh semburat cahaya merah.
Di saat yang seperti itu, terjadi kesibukan yang luar biasa di bagian belakang dinding istana. Para prajurit Jalapati sudah sampai pada tahap menyusun gelar perang. Keuntungan yang mereka miliki adalah mereka 88
Gajahmada telah mengetahui musuh akan menggunakan gelar perang Supit Urang.
Supit Urang adalah gelar perang yang dipilih apabila merasa benar-benar memiliki pasukan yang besar dan percaya diri. Supit Urang menyimpan keangkuhan karena gerakannya melebar, menutup semua celah yang ada sehingga tidak ada seorang pun di pihak lawan yang bisa meloloskan diri. Penggunaan gelar perang Supit Urang jelas merupakan keputusan salah jika kekuatan lawan berimbang, apalagi jika lawan memiliki kekuatan yang lebih besar.
Menghadapi keadaan yang demikian itu Banyak Sora mengambil keputusan yang mendebarkan jantung.
"Pasang gelar Cakrabyuha!" Banyak Sora berteriak dengan suara lantang.
Para senopati di bawah pimpinan Banyak Sora serta para prajurit pada kelompok-kelompok paling kecil semula menduga Banyak Sora akan menggunakan gelar Diradameta atau gajah mengamuk. Gelar Diradameta sungguh merupakan pilihan yang tepat untuk menghadapi gelar perang Supit Urang. Di luar dugaan yang dipilih adalah gelar Cakrabyuha. Kelebihan gerakan Cakrabyuha adalah pertahanannya yang amat rapat dan daya serang yang tinggi. Ibarat cakra dengan gerigi-gerigi tajam di bagian tepinya, berputar cepat langsung menusuk jantung lawan.
Penggunaan Cakrabyuha sebagai pilihan harus didukung kemampuan para prajurit yang secara pribadi harus menguasai olah kanuragan tinggi serta bertempur menggunakan ikatan mata rantai, terikat dalam kelompok yang harus saling melindungi, silih berganti melakukan serangan serta membentuk pertahanan yang rapat dengan menutup semua celah.
Dengan cekatan dan hanya membutuhkan waktu singkat para prajurit Jalapati itu telah siap dalam gelar Cakrabyuha. Di sana sini terdengar siulan-siulan sebagai pertanda kelompok-kelompok yang paling kecil benar-benar sudah siap. Jika tidak terdengar lagi suara siulan itu, berarti pasukan benar-benar sudah siap.
"Pasukan, baris pendhem!" teriak Banyak Sora sekali lagi.
Gajahmada 89 Mendadak saja sedikit kegaduhan yang terjadi itu lenyap tak ketahuan bekasnya. Semua prajurit tidak bersuara. Suasana menjadi sepi seperti kuburan. Jika ada prajurit yang tergoda oleh keinginan batuk atau bersin, keinginan itu harus ditahan sekuat tenaga.
Meskipun demikian jalur gerakan telik sandi terus berjalan. Telik sandi Bhayangkara yang mendukung pasukan Jalapati bergegas memberikan laporan kepada Banyak Sora.
"Mereka sudah bergerak," berkata telik sandi itu.
Wajah Banyak Sora membeku.
"Sudah sampai di mana mereka?" tanya Banyak Sora.
"Mereka baru melewati batas antara Tralaya-Santanaraja," jawab telik sandi itu. "Tidak ada yang berubah pada gerakan mereka.
Pemberontak tetap menggunakan gelar perang Supit Urang."
Banyak Sora menengadah. Boleh jadi Ra Kuti bermaksud memanfaatkan kabut yang turun tebal untuk mendukung serangan dadakan yang dilakukannya. Namun, sebaliknya Banyak Sora juga berharap kabut tetap tebal dengan alasan yang sama. Hadangan kejut yang dilakukannya diharapkan mampu merontokkan nyali pasukan Jala Rananggana dan para Rakrian Winehsuka.
Dalam pada itu, gerakan itu juga tak menghambat gerakan telik sandi di pihak Ra Kuti. Seseorang terlihat bergegas menyeruak ke jantung pasukan yang terus berjalan.
"Bagaimana?" bertanya Ra Kuti tidak sabar.
Napas telik sandi berkeringat itu tersengal.
"Bagaimana?" bentak Ra Kuti yang tidak sabar.
"Mereka telah mengetahui," telik sandi itu memulai laporannya.
"Pasukan Jalapati telah pasang gelar dan siap menyongsong. Perjalanan pasukan ini akan mendapat sambutan yang meriah."
Laporan telik sandi itu seperti petir yang meledak di siang bolong, benar-benar menyentakkan gendang telinga. Laporan itu membuat Ra 90
Gajahmada Kuti kebingungan. Apa yang dikhawatirkan akhirnya menjadi kenyataan.
Menghadapi pasukan Jalapati bukan pekerjaan yang mudah.
"Jangan memberikan laporan ngawur!" desis Ra Kuti.
Telik sandi itu merasa aneh karena Ra Kuti tak percaya pada laporannya.
"Apa yang kulaporkan benar adanya Ra Kuti," tambah telik sandi itu. "Pasukan Jalapati telah melakukan persiapan untuk menyambut serangan ini. Janganlah kaulupa bahwa aku adalah bagian dari pasukan Bhayangkara. Dengan demikian, aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tahu pembicaraan macam apa yang terjadi antara Bekel Gajahmada dan Temenggung Banyak Sora dan langkah-langkah macam apa yang mereka ambil."
"Keparat!" umpat Ra Kuti yang benar-benar marah.
Merah padam wajah Ra Kuti. Pimpinan para Winehsuka itu sama sekali tidak menduga gerakan serta tindakan makar yang dilakukannya ternyata telah diketahui oleh pihak istana. Ra Kuti menggigil, sejenak bahkan merasa kebingungan. Menyadari perkembangan keadaan bergerak ke arah yang tidak dikehendakinya menyebabkan dadanya sesak. Bahkan, napasnya seperti terganjal oleh bongkahan batu besar.
Akan tetapi, ibarat nasi telah menjadi bubur, semuanya telah telanjur.
Mundur atau membatalkan rencana akan menjadi tindakan bodoh.
Rakrian Tanca, salah seorang dari para Winehsuka yang memiliki kemampuan dalam bidang pengobatan menggamit Ra Kuti.
"Bagaimana?" bisik Tanca.
Ra Kuti memandang Ra Tanca dengan begitu lekat. Sejenak kemudian, Ra Kuti bahkan menggeram.
"Aku tak peduli," teriaknya lantang, "dan aku bukan jenis pengecut yang gentar melihat kemungkinan perkembangan menuju arah yang tidak kita kehendaki. Tercapainya sebuah cita-cita memang membutuhkan pengorbanan jika perlu harta dan nyawa. Akan aku hancurkan mereka yang mencoba menghalangi gerak langkahku. Akan aku gantung Jayanegara dengan tanganku sendiri."
Gajahmada 91 Jika terjadi sedikit keresahan karena Ra Kuti mendengar laporan telik sandi yang disusupkannya ke dalam istana, sebaliknya Temenggung Pujut Luntar yang berada di tengah-tengah gelar perang Supit Urang dan mengendalikan langsung gerakan pasukannya, dengan penuh keyakinan membawa pasukannya terus bergerak merayap mendekat ke dinding belakang istana.
Beberapa di antara para prajuritnya memanggul tangga yang akan digunakan memanjat dinding. Pujut Luntar sama sekali tidak menduga, di depannya menghadang pasukan segelar sepapan yang melakukan baris pendhem. Seharusnya Ra Kuti segera memberitahu Pujut Luntar mengenai kemungkinan serangan dadakan yang justru akan menimpanya. Namun, entah karena pertimbangan macam apa atau mungkin karena Ra Kuti tidak mampu berpikir lagi, dibiarkannya Temenggung Pujut Luntar terus berjalan dengan tegap ke arah jebakan yang siap menjemputnya.
Dalam pada itu, pasukan Jalapati yang melakukan baris pendhem telah melihat kedatangan mereka. Gerakan para pemberontak yang mencoba menjarah istana dan menjungkalkan Jayanegara itu makin lama makin dekat. Segenap prajurit menunggu dengan jantung dipacu.
Pagi yang kemudian datang itu tiba-tiba terkoyak oleh bende yang dipukul dengan tiba-tiba. Jaraknya begitu dekat. Dentuman suara bende itu sekaligus menjadi perintah bagi pasukan yang melakukan baris pendhem untuk melakukan serangan mendadak. Seketika dari arah yang tidak terduga, dari balik pohon, dari balik semak dan perdu, bahkan dari gundukan yang dikira tanah atau rumput, tiba-tiba berloncatan prajurit Jalapati melakukan serangan dadakan.
Akibatnya luar biasa. Pasukan pemberontak yang tidak mengira bakal menghadapi serangan kejut seperti itu menjadi kebingungan.
Malang bagi mereka yang tidak siap, ayunan pedang atau tombak dengan ganasnya menyobek tubuh mereka. Serangan kejut itu disusul oleh sorak-sorai. Dari balik kabut yang tebal tiba-tiba bermunculan bayangan tubuh berloncatan mencoba memanfaatkan keadaan itu.
Bende yang dianggap keramat, bende Kiai Samudra, dipukul bertalu-talu. Suaranya menggetarkan udara dari ujung ke ujung.
92 Gajahmada "Gila!" umpat Pujut Luntar yang kaget mendapat serangan tidak terduga itu.
Akan tetapi, Temenggung Pujut Luntar bukan Temenggung kemarin sore yang tidak memiliki pengalaman perang sama sekali. Pada dasarnya Temenggung Pujut Luntar telah membaca berbagai kemungkinan yang akan terjadi, termasuk kemungkinan mendapat serangan mendadak seperti itu. Itulah sebabnya, dengan cekatan Pujut Luntar segera memberikan perintah-perintah.
"Semua kembali dalam ikatan!" teriaknya.
Para senopati dengan cekatan segera menerjemahkan perintah itu.
Walaupun dilibas kesulitan luar biasa dan dengan sangat susah payah, mereka berhasil mengikat diri.
Malang bagi yang lepas dari ikatan, pasukan Jalapati dengan penuh keyakinan mengantarkan mereka memasuki gerbang kematian. Teriakan keras sekali terdengar ketika tombak atau pedang terbenam ke dalam tubuh. Kabut bergerak bagai diaduk. Pagi yang datang mulai memberi jarak pandang yang cukup. Langit timur semburat kemerahan.
Akrab dengan pagi yang berdarah itu, suara burung gagak melengking menyayat dari beberapa tempat. Sejenak ketika telah terjadi kegaduhan, suara serak burung berbulu hitam itu terbungkam. Namun, di saat lainnya lagi, kembali burung itu melengking, seolah mewartakan kepada teman-temannya bahwa tak lama lagi mereka akan berpesta pora sepuas-puasnya.
Banjir darah dimulai. Dari arah belakang pasukan Jalapati, bende Kiai Samudra dipukul amat keras bertalu-talu. Suara bende itu bergetar nyaring mencapai jarak jangkau yang jauh, mengagetkan siapa pun. Bahkan, sebenarnya suaranya menggetarkan segenap sudut kotaraja. Bagi segenap prajurit Jalapati, suara bende itu bagaikan membakar semangat mereka untuk mengamuk sejadi-jadinya. Namun sebaliknya, bagi pasukan pemberontak, suara bende itu sungguh sangat mengganggu, seolah merintangi setiap ayunan senjata yang mereka lakukan.
Gajahmada 93 Suara bende itu pula yang membangunkan seluruh kota sekaligus menyentakkan siapa pun pada kenyataan tidak terduga, perang. Seorang suami yang masih tidur nyenyak terbangun mendengar suara tak lazim itu. Sebagai mantan prajurit yang pernah ikut malang melintang, lelaki tua itu langsung tahu apa yang terjadi. Suara bende itu amat dikenalnya karena dahulu kala dalam perang yang pernah terjadi saat Majapahit menggempur benteng Pajarakan di Lumajang, dirinya yang mendapat tugas mengayunkan tabuh memukul bende itu.
"Ada apa, Kiai?" bertanya istrinya yang juga sudah tua.
Lelaki tua itu masih diam memerhatikan suara yang singgah di gendang telinganya.
"Itu bende Samudra," desisnya, "suaranya amat khas. Akulah dahulu yang bertugas memukul bende itu dalam perang. Aku tidak akan melupakan suara yang bergetar dan mampu mengacau degup jantung itu. Benteng Pajarakan bergetar karena suara bende itu."
"Apa artinya?" istrinya makin penasaran.
"Terjadi perang, Nyai," jawab suaminya.
"Perang?" bertanya istrinya dengan perasaan tegang.
"Perang bagaimana" Siapa dengan siapa?"
Kembali lelaki tua itu terdiam. Sama dengan istrinya, sebenarnya ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang terlontar itu, seolah kabut tebal di halaman menyembunyikan jawaban yang dibutuhkan. Bergegas lelaki tua itu pergi ke halaman. Ternyata tetangga sebelah rumahnya telah turun ke jalan pula.
"He, kaudengar suara itu?" bertanya tetangganya yang berusia lebih muda begitu melihatnya.
"Tentu," jawabnya agak serak, "dahulu, aku orang yang mendapat kepercayaan mengayunkan tabuh memukul bende itu. Nada seperti itu, pertanda perang tengah campuh."
"Baguslah!" tetangganya berkata.
94 Gajahmada Hal itu tentu membuatnya heran.
"Kenapa?" tanya lelaki yang di kala masih menjadi prajurit yang mendapat kepercayaan menabuh bende Samudra.
"Kaulupa, anakku seorang prajurit?" jawabnya dengan tegas dan penuh keyakinan. "Inilah saatnya anakku mengalami pendadaran sesungguhnya. Apabila anakku berhasil menunaikan tugasnya dengan baik, akan menaikkan jenjang pangkatnya."
Lelaki yang pernah menabuh bende Kiai Samudra itu termangu.
Baginya, perang adalah hal yang amat mengerikan. Dalam perang, tidak ada lagi lawan dan kawan, yang ada hanya dua pilihan yang sama buruk, tetapi tidak bisa dihindari, membunuh atau dibunuh. Hal lain yang juga dicemaskan dengan terjadinya perang adalah rusaknya tatanan. Penjarah tidak akan takut lagi keluar dari sarangnya merusak bangunan-bangunan, bahkan melakukan perampokan dan pemerkosaan. Apalagi, ia mempunyai anak dan beberapa cucu.
11 Kecemasan yang sama menyeruak ke segenap penduduk di kotaraja Majapahit. Pagi itu benar-benar menjadi pagi yang disengat halilintar di kala tak ada mendung dan langit sangat bersih. Di sisi yang lain, suara bende Samudra yang menggetarkan pagi itu juga menggetarkan isi dada Sri Jayanegara. Ketika bende itu mulai terdengar, serasa jantungnya ikut bergetar.
Jayanegara gelisah. Pewaris takhta Majapahit itu mondar-mandir di dalam biliknya. Namun, rasa penasaran yang menggerataki dadanya tidak tertahankan lagi. Jayanegara bergegas keluar. Bekel Gajahmada Gajahmada 95
dan Gagak Bongol serta Lembang Laut berada di depan pintu. Serentak tiga orang Bhayangkara itu memberikan penghormatan kepada rajanya.
"Akhirnya bisul telah pecah?" Jayanegara bertanya dengan suara sedikit bergetar. Bekel Gajahmada mendekat.
"Hamba Tuanku," ucap Gajahmada, "perang telah pecah."
Jayanegara tegang. "Siapa yang memukul bende Kiai Samudra itu?" tanya Jayanegara.
"Pada mulanya, bende Kiai Samudra dicuri oleh pihak pemberontak, Tuanku. Namun, mata-mata Bhayangkara berhasil mengambilnya dan sekarang digunakan untuk membakar semangat pasukan Jalapati yang berjuang menghadapi mereka," jawab Gajahmada.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jayanegara manggut-manggut. Jayanegara merasa permukaan wajahnya menebal.
"Mengapa Banyak Sora tak kaubawa menghadapku sebelum menghadapi kraman itu?" Jayanegara kembali bertanya.
"Hamba Tuanku, tidak ada kesempatan sama sekali. Namun, Rakrian Menggung Banyak Sora sempat menitipkan sembah dan baktinya agar disampaikan kepada Tuanku dengan perantaraan hamba."
Jayanegara gelisah. Dari laporan Bekel Gajahmada, Jayanegara telah mendapatkan gambaran kekuatan yang tengah berlaga di medan laga.
Pasukan Jalapati di bawah Banyak Sora dan pasukan Jala Rananggana di bawah pimpinan Temenggung Pujut Luntar memiliki kekuatan yang sama. Sulit mencari jawab siapa yang akan keluar dari medan perang itu karena keduanya memiliki kekuatan yang sama tangguhnya.
Akan lebih buruk jika nantinya pasukan Jalayuda seperti yang dilaporkan Bekel Gajahmada ikut bermain memainkan perannya sendiri mewakili keinginan Temenggung Panji Watang menduduki takhta.
Keadaan benar-benar ruwet.
"Bagaimana gambaran akhir dari perang itu, Gajahmada?"
Jayanegara mengurai kegelisahan hatinya.
"Sulit memperoleh gambaran, Tuanku," jawab Gajahmada tegas.
96 Gajahmada "Bagaimana jika upaya Banyak Sora melindungi istana itu tidak membuahkan hasil?" kembali Jayanegara bertanya.
Sri Jayanegara benar-benar gelisah. Dadanya memendam bergumpal-gumpal rasa kecewa.
"Tuanku," Gajahmada berkata tenang, berusaha memengaruhi Jayanegara agar juga tenang, "kalau Temenggung Banyak Sora berhasil melumpuhkan musuh, Tuanku tetap berada di dalam istana. Akan tetapi, jika seperti yang Tuanku bayangkan, dinding istana ini berhasil dijebol, hamba mempersiapkan langkah untuk mengamankan Tuanku, mengungsi."
Mengungsi. Betapa kecewa Jayanegara mendengar kata-kata itu. Ia seorang raja, orang yang harus disembah oleh segenap kawulanya, orang yang paling dihormati melebihi siapa pun. Segala yang diucapkan harus terwujud dan menjadi kenyataan. Jika istana tak berhasil dipertahankan, ia harus melarikan diri terbirit-birit mengungsi dan masih harus dikejar-kejar oleh pemberontak. Sungguh amat menyakitkan. Betapa sesak dada Jayanegara yang harus menelan kenyataan pahit itu.
Pada saat yang demikian itulah, seseorang tengah mengintip. Orang itu berpakaian khas pasukan Bhayangkara. Dengan langkah ringan seperti langkah kaki seekor kucing, mengendap-endap tanpa suara, prajurit Bhayangkara itu berusaha mencari jarak pandang yang sesuai untuk rencana yang akan dilakukannya. Tangan kiri prajurit Bhayangkara itu memegang gendewa yang siap dibentangkan, tangan kanannya memegang anak panah.
Apa yang diinginkannya telah diperoleh. Dengan cermat dan saksama prajurit itu memasang anak panah dan membentangkan busurnya. Anak panah itu siap melesat ke arah dada Jayanegara.
Akhirnya, prajurit Bhayangkara yang memihak pemberontak itu merasa waktunya telah tiba. Anak panah itu lepas dari busurnya. Akan tetapi, Bekel Gajahmada benar-benar prajurit yang tangkas dan trengginas.
Telinganya yang tajam mampu menangkap derit busur yang dibentang.
Bersamaan dengan anak panah lepas dari busur, Gajahmada meloncat Gajahmada 97
dan mendorong Jayanegara hingga jatuh berguling. Jayanegara terperanjat dan isi dadanya serasa rontok.
Bertepatan dengan itu, Gagak Bongol dan Lembang Laut segera meloncat dan memburu orang yang telah melepas anak panah. Namun, orang yang melepas anak panah itu mempunyai waktu sedikit lebih banyak dan juga diuntungkan oleh kabut tebal yang turun.
Dengan trengginas orang tidak dikenal itu melenting kemudian melenyapkan diri entah ke mana. Jayanegara kebingungan, belum menyadari apa yang terjadi. Dengan tertatih-tatih Raja Majapahit itu berdiri. Sri Jayanegara nyaris mendamprat Gajahmada atas perbuatannya.
Akan tetapi, dilihatnya Bekel Gajahmada sedang memeriksa anak panah yang menancap di dinding.
"Ada apa?" Jayanegara bertanya.
Bekel Gajahmada mencabut anak panah itu dan memerhatikannya dengan lebih cermat. Ditelitinya anak panah itu dari ujung hingga pangkal. Jayanegara lebih mendekat lagi.
"Ada apa, Gajahmada?" lagi Jayanegara mengulang pertanyaannya.
Bekel Gajahmada menyerahkan anak panah itu kepada Sri Jayanegara. Sebagaimana Bekel Gajahmada, Jayanegara juga memerhatikan anak panah itu dengan cermat.
"Seseorang telah melepas anak panah, berusaha membunuh Tuanku," Gajahmada berkata tegas.
Jayanegara kian tegang. "Siapa?" desaknya.
"Hamba Tuanku," Bekel Gajahmada menjawab, "hamba terpaksa harus mengatakan bahwa di antara prajurit Bhayangkara ada yang berkhianat memihak pemberontak. Prajurit Bhayangkara pengkhianat yang mencoba membunuh Tuanku menggunakan anak panah ini."
Jayanegara memandang Gajahmada dengan tatapan tegang, nyaris tak berkedip.
98 Gajahmada Dengan langkah bergegas Gagak Bongol dan Lembang Laut kembali.
"Kami gagal menangkapnya!" Lembang Laut melapor.
"Ia mempunyai cukup waktu untuk meloloskan diri dari kejaran kami, Kakang Bekel," tambah Gagak Bongol.
Bekel Gajahmada merasa isi dadanya makin sesak, tetapi keadaan macam apa pun yang dihadapinya, Bekel Gajahmada berusaha untuk tenang dan selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak panik dan kehilangan nalar perhitungan.
"Tuanku," Gajahmada berbalik kepada Jayanegara, "demi keselamatan Tuanku terpaksa hamba mohon Tuanku berada dalam bilik pribadi.
Hamba akan menyiapkan penjagaan untuk menjamin keselamatan Tuanku."
Jayanegara mengangguk, tak keberatan terhadap permintaan itu.
Tanpa banyak bicara Sri Jayanegara yang di kala muda bernama Kalagemet itu masuk ke dalam bilik pribadinya. Gajahmada memandang Gagak Bongol dan Lembang Laut bergantian.
"Kalian mempunyai gambaran, siapa sebenarnya di antara kita prajurit Bhayangkara yang tak punya malu menjadi pengkhianat dan melepas anak panah ini?"
Gagak Bongol dan Lembang Laut memerhatikan ujung anak panah itu. Keduanya saling pandang. Warastra itu jelas mempunyai ciri-ciri khusus sebagai pertanda dimiliki pasukan Bhayangkara dan setiap prajurit Bhayangkara memilikinya. Amat sulit menerka siapa orang yang berada di balik upaya pembunuhan Jayanegara itu.
Bekel Gajahmada memeras otak berusaha memilah siapa di antara pasukannya yang memiliki kemungkinan menjadi pengkhianat. Seorang demi seorang nama yang ada di pasukannya dipilah dan ditimbang. Akan tetapi, Gajahmada memang tidak mungkin mencurigai siapa pun.
Gajahmada 99 12 Dalam pada itu, perang benar-benar berkecamuk. Pagi buta itu sungguh dikoyak oleh kejadian tidak terduga. Dengan susah payah Temenggung Pujut Luntar berusaha mengendalikan pasukannya yang mengalami tekanan dadakan. Dengan lantang ia memberikan perintah yang segera diterjemahkan oleh para senopati dan prajurit. Salah seorang dari dua senopati pengapit mendekati pimpinan pasukan Jala Rananggana itu.
"Bagaimana?" bertanya Temenggung Pujut Luntar, suaranya agak serak bergetar. "Telah kauperoleh gambaran, mereka menggunakan gelar perang apa?"
Senopati Prabasa menyeringai. Dada kiri senopati yang masih muda usia itu rupanya telah terkena sabetan pedang. Darah segar mewarnai pakaian yang dikenakannya. Namun, Senopati Prabasa berusaha mengabaikan rasa sakit yang ditimbulkan luka itu.
Napasnya agak tersengal. "Mereka benar pasukan Jalapati," berkata Senopati Prabasa.
"Mereka menggunakan gelar perang Cakrabyuha."
Wajah Temenggung Pujut Luntar tidak berubah, dengan sangat sempurna menyembunyikan hatinya yang bergolak. Kabut tebal yang pada mulanya diharapkan membantu gerakan pasukannya, ternyata malah menjadi penyebab kesulitannya. Bahkan, mereka harus dengan bersusah payah untuk bisa mengetahui gelar yang digunakan lawan.
Temenggung Pujut Luntar menggeretakkan gigi.
"Temenggung Banyak Sora berada di belakang sana?" bertanya Pujut Luntar.
"Benar Rakrian Menggung," jawab Senopati Prabasa tegas.
100 Gajahmada Perang berkecamuk dengan dahsyatnya. Pihak pemberontak menggunakan gelar perang Supit Urang karena merasa yakin akan mampu menggilas istana seperti gajah menginjak telur. Namun, benar-benar di luar dugaan dan meleset dari perencanaan. Pasukan Jalapati di bawah kendali Temenggung Banyak Sora menghadang dengan menggunakan gelar perang Cakrabyuha. Gerak pasukan yang terpusat pada lingkaran bergerigi jelas tidak mungkin dihancurkan oleh Supit Urang. Sebaliknya, jika tidak segera diubah, pasukannya akan hancur.
Tak tercegah oleh siapa pun dan apa pun, pagi kemudian pecah.
Langit timur mulai semburat merah bagaikan darah. Pagi yang datang membawa udara sedikit hangat dan mengacak-acak kabut yang semalam turun tebal. Selapis demi selapis jarak pandang melebar. Dengan demikian, mereka yang bertempur dapat saling melihat dengan jelas.
Pasukan Jalapati memiliki ciri-ciri tersendiri. Pasukan Jala Rananggana juga memiliki ciri-ciri tertentu. Maka ketika jarak pandang makin lempang, pihak-pihak yang bertempur makin tidak segan dan tidak ragu mengayunkan senjata.
Maka kemudian terlihat betapa dalam bentrokan awal itu, pasukan Jalapati yang menggunakan gelar perang Cakrabyuha mampu memanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Pusaran gerigi berbentuk cakra berputar dengan bagian tepi terus mengayun senjata timbul tenggelam. Korban dalam bentrokan awal itu berjatuhan. Mayat-mayat mulai bergelimpangan ditingkah rintih kesakitan dan teriakan sekarat serta suara tambur dan bende yang terus dipukul susul-menyusul tiada henti.
Pasukan pemberontak yang pasang gelar Supit Urang mulai kewalahan dan terkoyak. Melihat perkembangan yang terjadi Temenggung Pujut Luntar segera mengambil keputusan mengubah gelar perang.
"Ubah gelar ke gajah mengamuk," teriak Pujut Luntar dengan kerasnya.
Perintah itu dilanjutkan dengan isyarat sangkakala melengking keras.
Suara sangkakala itu terdengar sampai ujung medan peperangan.
Gajahmada 101 Dua buah supit penjepit yang masing-masing dipimpin oleh seorang senopati yang semula bertugas menjepit dari arah kiri dan kanan, bergegas mengubah gerakannya setelah mendengar isyarat sangkakala yang bergetar itu, dengan mengubah gelar perang yang semula Supit Urang menjadi gajah mengamuk atau dengan nama lain Diradameta. Dengan berteriak-teriak mereka berlarian berusaha menerjemahkan perintah yang baru diterima itu.
Dengan saksama Temenggung Banyak Sora memerhatikan perubahan gerakan lawan yang terjadi. Dalam hati Temenggung Banyak Sora sangat berterima kasih kepada pasukan Bhayangkara karena telik sandi mereka benar-benar mampu memberi bahan keterangan yang tegas. Banyak Sora sebagaimana Pujut Luntar bukanlah prajurit yang tidak memiliki pengalaman. Justru mereka adalah contoh prajurit yang selalu hadir dalam pertempuran di mana pun. Melihat Pujut Luntar mengubah gelar perang Supit Urang menjadi Diradameta, Banyak Sora justru melihat peluang.
"Mereka kelabakan karena merasa dalam tekanan. Supit Urang bedah karena serangan dadakan. Gelar Diradameta yang mereka gunakan jelas bukan gelar perang yang kuat. Aku tahu persis pasukan Jala Rananggana kurang begitu menguasai gelar itu. Mereka lupa kalau yang mereka hadapi pasukan Jalapati," Banyak Sora berbicara pada diri sendiri.
Teriakan Pujut Luntar kembali bersambung suara sangkakala.
Tiba-tiba Banyak Sora berteriak, "Supit Urang!"
Beberapa senopati yang selalu mengapit ke mana pun Temenggung Banyak Sora bergerak kaget mendengar perintah itu. Namun, sejenak kemudian suara sangkakala dengan nada tinggi dan melengking terdengar menggetarkan udara. Itulah isyarat terjemahan perintah yang diberikan Temenggung Banyak Sora. Pasukan yang semula berbentuk cakra itu bergerak mengubah diri menjadi Supit Urang. Senopati pengapit yang selalu mengawal Banyak Sora makin penasaran dan tidak mampu menahan gejolak dadanya.
"Kenapa Rakrian Temenggung menggunakan gelar itu?" senopati itu bertanya. Pertanyaan itu berbau gugatan. Namun, Banyak Sora hanya tersenyum.
102 Gajahmada "Mereka mengubah diri menjadi gajah. Kekuatan seekor gajah, kautahu ada di mana" Ada pada gading dan belalainya. Mereka tidak memiliki dua yang aku sebutkan itu. Jadi, untuk apa menjadi gajah?"
jawab Banyak Sora. Lagi-lagi Banyak Sora benar. Pujut Luntar terpaksa mengumpat-umpat melihat perubahan gerakan lawan serta saat menyadari pasukannya sebenarnya belum terlatih menggunakan gelar perang Diradameta.
Apa yang diungkapkan Banyak Sora tepat seperti keadaan yang terjadi. Pujut Luntar memang berhasil mengubah Supit Urang dan menghadirkan gelar perang Diradameta. Namun, apalah artinya gelar perang itu karena tekanan yang diberikan Banyak Sora telah memecah pemusatan perhatian mereka untuk membangun sepasang gading dan belalai. Upaya membentuk gading yang kuat dan berdaya rusak tinggi tak berhasil mereka lakukan.
Yang kemudian terjadi, gelar perang Supit Urang perubahan dari Cakrabyuha yang dibangun Temenggung Banyak Sora mampu merajalela dan memberi tekanan kuat kepada pasukan pemberontak dengan gelar perang itu. Pujut Luntar benar-benar dibuat kelabakan.
Dalam keadaan yang demikian itu, di mana Ra Kuti" Ra Kuti yang dikelilingi oleh para Winehsuka yang lain dengan saksama terus mengikuti perkembangan yang terjadi. Perkembangan itu tak tercegah memancing kecemasannya.
"Bagaimana ini?" gelisah Ra Kuti.
Perkembangan tak terduga, jauh dari kenyataan yang diharapkan, itu benar-benar membuat Ra Kuti menjadi kecut. Suara bende Kiai Samudra yang dipukul terus susul-menyusul dan bertalu-talu itu benar-benar sangat mengganggu. Sementara keadaan yang ada di depan mata berubah menjadi bayangan buruk yang siap menerkam.
"Pasukan Jala Rananggana telah terjebak, Ra Kuti," berkata Tanca.
"Kau terlampau menganggap remeh dan mengabaikan kemampuan telik sandi Bhayangkara. Inilah akibatnya. Apa yang kita harapkan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan."
Gajahmada 103 Pangsa bergeser mendekat.
"Kalau pasukan Jala Rananggana tidak mampu mengatasi gerakan pasukan Jalapati, habis kita," tambah Ra Pangsa.
Ra Banyak dan Ra Wedeng terus mengikuti perkembangan tanpa banyak bicara. Namun, sebenarnya dari wajah mereka tersirat kecemasan.
Jika apa yang mereka harapkan tidak menjadi kenyataan, habislah mereka.
Sebaliknya, Ra Yuyu, entah apa yang bergolak dalam dadanya. Ra Yuyu sibuk memandangi burung gagak yang makin lama makin banyak.
Perang yang berkecamuk telah berubah menjadi perang brubuh.
Ikatan gelar perang Diradameta mulai kehilangan bentuk dan pecah menjadi ikatan-ikatan kecil yang masing-masing dipimpin oleh senopati atau prajurit berpangkat bekel. Sebaliknya, pasukan Jalapati makin menguasai medan pertempuran dengan gelar perang Supit Urang.
Dengan cekatan segenap prajuritnya memberi tekanan.
"Keparat!" umpat Pujut Luntar yang kecewa. "Mana Ra Kuti"
Mana Ra Kuti?" Kebetulan jarak antara Pujut Luntar dengan Temenggung Banyak Sora makin dekat. Banyak Sora tertawa mendengar teriakan Pujut Luntar yang kalang kabut itu.
"Apa yang kaucari, Pujut Luntar?" Temenggung Banyak Sora berteriak dari kejauhan.
Pujut Luntar kaget. Mulutnya terbungkam.
Dari perang yang tengah berkecamuk, seseorang melangkah mendekat. Dada Pujut Luntar berdesir. Orang yang datang itu adalah Banyak Sora, sosok yang diam-diam amat dibencinya. Keduanya berhadapan.
"Apa kabar Pujut Luntar?" sapa Banyak Sora. "Kabut menyibak.
Maka kelihatanlah wajah kita yang sebenarnya."
Pujut Luntar menatap Banyak Sora dengan tatapan mata tak berkedip. Tangan kanannya erat memegang trisula bergagang pendek 104
Gajahmada yang menjadi senjata andalannya. Senjata tombak bermata tiga itu selama ini menemaninya dalam medan peperangan yang paling ganas sekalipun.
Di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat berkepala tengkorak sebagaimana lambang kesatuannya yang berupa Candrakapala. Akan tetapi, menghadapi Banyak Sora, Pujut Luntar tidak merasa yakin apakah trisula maupun tongkat besinya mampu melindungi, menjaga nyawanya agar tidak tersangkut kail lawannya yang berwujud tombak pula, tetapi bermata kait.
Kedua prajurit berpangkat temenggung itu saling berhadapan.
Sebagai prajurit yang diberi kewenangan memimpin sebuah pasukan yang amat besar, keduanya amat mengenal pesaingnya. Dalam pasewakan mereka bersaing di hadapan raja. Kini persaingan itu pecah dalam perang yang sangat berdarah.
"Kini kelihatan belangmu, Pujut Luntar," berkata Banyak Sora.
Suaranya terdengar parau dan sinis. "Setelah kabut menyibak dan matahari menyapa pagi menelanjangimu habis-habisan, terlihatlah wujudmu yang sesungguhnya, seorang pengkhianat negara yang benar-benar tidak punya malu dan tidak tahu diri."
Pujut Luntar terdiam. Mulutnya terkunci tak bisa bersuara.
Bagaimanapun di sudut hatinya, Temenggung Pujut Luntar memang merasa telah mengkhianati negaranya. Pujut Luntar menebar pandang, memerhatikan perang yang tengah berlangsung.
"Porak-poranda," berkata Banyak Sora, "itulah gambaran keadaan pasukanmu Pujut Luntar. Rencanamu koyak dan berantakan di lapangan.
Kau tentu tidak mengira akan seperti ini jadinya. Mengapa bisa demikian Pujut Luntar" Kau pasti bertanya-tanya, mengapa bisa demikian?"
Pujut Luntar masih terdiam. Sebenarnyalah Pujut Luntar sama sekali tidak mengira pasukannya dengan begitu gampang bisa dikoyak dan diobrak-abrik oleh pasukan Jalapati. Tepat seperti yang dikatakan Temenggung Banyak Sora, Pujut Luntar tidak mampu memahami perkembangan keadaan yang terjadi.
"Jawabannya ada di pasukan Bhayangkara. Kau mengira semua Gajahmada 105
rencanamu berjalan tanpa cacat. Kau mengira semua akan berlangsung tanpa hambatan. Satu hal tidak kaubayangkan bahwa sepak terjangmu melakukan persekongkolan dengan Ra Kuti selalu diawasi oleh Bhayangkara. Perang yang sedang kauhadapi saat ini adalah buahnya."
"Keparat!" Pujut Luntar mengumpat kasar.
Banyak Sora menertawakannya.
"Menyerahlah," Banyak Sora menekan.
Pujut Luntar merasakan dadanya berdesir. Apa yang diucapkan Banyak Sora benar-benar menyentuh perasaannya, menjamah harga dirinya.
"Apa?" balas Pujut Luntar. Suaranya bergetar.
Banyak Sora memandang Pujut Luntar dengan tatapan mata nyaris tak berkedip. Tombak bermata kaitnya diputar seputaran.
"Perang ini akan meminta banyak korban," berkata Banyak Sora.
"Akan banyak janda meratapi suaminya, akan banyak anak menangisi bapaknya. Akan ada hujan tangis di negeri Wilwatikta ini. Kau bisa mencegah semuanya itu. Kau tinggal meneriakkan perintah untuk menghentikan peperangan dan menyerah."
"Gila!" Pujut Luntar mengumpat kasar. "Kau mengira aku laki-laki pengecut yang akan melarikan diri?"
Banyak Sora terus memandang langsung ke jantung mata lawannya.
"Kau tidak sadar sedang dijerumuskan oleh Ra Kuti. Mana Rakrian Kuti yang telah membujukmu itu" Kaupasang gelar Diradameta, tetapi Ra Kuti dan para Winehsuka yang lain tidak berani menempati gading gajah yang kaubentuk. Ia berada di ekor paling belakang. Tidak kausadarikah semua itu Pujut Luntar" Tadi kau berteriak-teriak mana Ra Kuti, mana Ra Kuti. Aku dengar Ra Kuti menjanjikan akan memberikan kedudukan mahapatih kepadamu bila tindakan makar itu berhasil. Namun, harga yang kauberikan mahal sekali. Seharusnya bukan kedudukan mahapatih yang kauperoleh lewat tindakanmu yang sangat berani ini. Mahapatih terlampau kecil karena mestinya kau menjadi raja.
106 Gajahmada Jika kau menjadi raja, kau akan dipanggil Sang Prabu Pujut Luntar.
Gagah dan sangar sekali."
"Cukup!" bentak Pujut Luntar.
Olok-olok itu sangat menyakiti perasaannya.
"Menyerahlah," desak Banyak Sora, "aku akan memintakan ampunan untukmu. Kujamin pula keselamatan keluargamu."
Pujut Luntar benar-benar menggigil. Amarahnya tak tertahan lagi.
"Aku tidak pernah ragu melangkah. Aku telah menghitung semua kemungkinan akibat yang akan kuhadapi," teriak Pujut Luntar.
"Kalau begitu," berkata Banyak Sora, "betapa malangnya nasibmu.
Kelak sejarah bakal mencatat kaumati dalam perang ini bukan sebagai seorang temenggung yang gugur dalam bela negara, tetapi mati sebagai prajurit yang berbuat hina, mengkhianati negaranya sendiri."
Merah padam wajah Pujut Luntar.
Temenggung yang diberi kewenangan penuh memimpin pasukan Jala Rananggana itu sadar bahwa ia tak akan menang berdebat melawan Temenggung Banyak Sora yang memang pintar berbicara mengobrak-abrik orang melalui mulutnya. Pujut Luntar memutar tombak trisulanya yang bergagang pendek dan dipindahkannya bertukar tempat dengan tongkat besi berkepala tengkorak manusia. Untuk menggebuk kepala Banyak Sora, Pujut Luntar lebih percaya kepada tongkat besinya.
Dua gajah itu pun bertarung. Para prajurit yang bertempur makin riuh menyibak memberikan ruang yang lapang untuk mereka yang akan berlaga mengukur tingginya ilmu kanuragan itu.
Didahului dengan teriakan keras, Pujut Luntar meloncat. Tombak trisulanya mengayun mendatar menyapu dari arah samping. Ayunan tombak itu segera menggeliat dengan tiba-tiba dan berubah arah menyambar kepala. Temenggung Banyak Sora bukan bocah kemarin sore yang segera kebingungan menghadapi keadaan seperti itu. Dengan perhitungan yang cermat Banyak Sora merendahkan tubuh dan balas
Gajahmada 107 menyapu dengan mengayunkan tombak berkait yang menjadi andalannya.
Pujut Luntar yang mendapat serangan balasan itu segera menggeliatkan tubuh serta mengapung di udara. Kakinya menyambar deras ke arah pinggang Banyak Sora. Banyak Sora tidak menjadi gugup.
Kakinya kembali mengayun berusaha menggunting gerakan lawannya.
Pujut Luntar yang tidak menduga serangan lawannya akan berubah arah seperti itu segera menjatuhkan diri dan berguling-guling.
Sesaat setelah tubuhnya melenting, dengan deras serangannya mengayun menyambar lawannya. Banyak Sora nyaris terhantam ayunan kaki itu, tetapi tubuh yang sudah tua itu masih cukup lentur untuk menggeliat menghindar sambil mengayunkan kaki kiri balas menyambar.
Pertarungan yang terjadi adalah pertarungan antara hidup dan mati.
Pertarungan antara Pujut Luntar dan Banyak Sora itu seolah menjadi gambaran persaingan yang terjadi antara pasukan Jala Rananggana dan pasukan Jalapati. Lebih dari itu, Temenggung Pujut Luntar dan Banyak Sora dikenal sebagai temenggung yang pilih tanding sehingga pertarungan itu pun menjadi pertarungan yang menarik. Para prajurit kedua belah pihak masih ada yang menyempatkan ingin mengetahui apa yang terjadi.
13 Di sisi yang lain perang dua gelar itu makin menggila. Pasukan Jalapati menekan pasukan Jala Rananggana makin kuat. Ternyata kesalahan dalam pembukaan awal saat pertempuran dahsyat itu dimulai harus dibayar mahal karena menyebabkan pasukan Jala Rananggana kocar-kacir tak berhasil menyatu dalam kesatuan gelar, bahkan wujud 108
Gajahmada perang yang mereka lakukan jauh lebih parah dari gelar Pasir Wutah atau Glatik Neba sekalipun. Bila pasukan Jalapati dan gelar Supit Urang mampu menyatu secara utuh, pasukan Jala Rananggana telah bertempur sendiri-sendiri tanpa bisa dikendalikan lagi.
Dalam pada itu, Ra Kuti cemas. Ra Kuti melihat dan mendapat laporan bahwa Temenggung Pujut Luntar telah terikat pertarungan langsung melawan Temenggung Banyak Sora menyebabkan Pujut Luntar tidak mendapat kesempatan untuk mengatur pasukannya yang makin tertekan.
"Keparat," desis Ra Kuti, "gara-gara telik sandi Bhayangkara, kita dibuat kalang kabut seperti ini."
Rakrian Yuyu yang pendiam dan tak banyak berbicara akhirnya mendekat.
"Arah dari perang yang berlangsung bisa kita tebak Ra Kuti. Belum apa-apa kita akan hancur. Dan, Jayanegara tentu tidak akan membiarkan perbuatan kita. Kita akan diburu-buru seperti babi hutan. Semua yang kaurancang berantakan di sini. Sungguh memalukan, dalam keadaan wajar perang antara dua pasukan yang sama besar dan sama kuatnya akan berlangsung dalam waktu lama. Ini, lihatlah, bahkan matahari belum memanjat tinggi, pasukan pendukungmu telah dibuat berantakan oleh pasukan Jalapati," kata Ra Yuyu.
Ra Kuti menatap lekat Yuyu, "Kausalah. Masih ada pasukan Jalayuda yang belum melibatkan diri dalam perang ini."
Para Rakrian Winehsuka yang lain saling pandang.
"Kalian tetap berada di sini dan mulailah menerjunkan diri ke dalam medan peperangan. Aku akan pergi menemui pimpinan pasukan Jalayuda."
Tanpa banyak bicara Rakrian Kuti meninggalkan saudara-saudaranya yang lain yang juga para Winehsuka. Perbuatan Rakrian Kuti itu memancing rasa curiga. Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa, Ra Wedeng serta Ra Tanca tidak bisa menyembunyikan prasangkanya justru karena mereka sangat mengenal siapa Ra Kuti, yang sanggup melakukan tindakan paling licik dan tidak terduga sekalipun.
Gajahmada 109 "He, benarkah apa yang ia ucapkan tadi?" bertanya Ra Pangsa.
"Bagaimana kalau Ra Kuti menyadari semua rencananya telah berantakan dan bermaksud melarikan diri?"
Rasa curiga itu makin subur. Prasangka dalam hati kian marak. Di antara para Winehsuka hanya Ra Tanca yang bersikap sangat tenang. Sangat sulit menebak apa sebenarnya yang bersembunyi di balik wajah yang kelihatan datar tanpa gejolak itu. Di antara para Darmaputra Winehsuka, Ra Tanca yang memiliki wajah paling tampan.
Dalam pada itu, pagi mulai merambat. Matahari yang menyembul dan memanjat naik telah memorak-porandakan kabut tebal yang semula turun, mengusirnya entah ke mana. Berita tentang perang yang terjadi itu bagaikan angin berembus ke mana-mana. Semua orang menyikapi apa yang terjadi dengan perasaan yang tegang tidak menentu.
Jalanan menjadi sepi, tetapi banyak pula orang yang menggerombol membicarakan perkembangan yang terjadi itu. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah yang gelisah mencoba mencari jawab apa sebenarnya di balik perang yang tiba-tiba pecah. Semua berita simpang siur, semua menebak-nebak.
Kecemasan timbul karena penduduk kotaraja sadar sepenuhnya, perang yang tidak terduga itu akan menimbulkan akibat berantai yang pada ujungnya akan mengimbas kepada mereka, orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Perang biasanya menyebabkan tatanan menjadi rusak. Perampokan, penjarahan, bahkan pemerkosaan akan dilakukan orang tanpa rasa takut kepada siapa pun.
Ternyata benar. Ada pihak yang mencoba mengail di air keruh, ngobak-obak banyu bening. Tak tahu siapa pelakunya, tiba-tiba asap mengepul dari arah utara kedaton. Kecemasan makin menyeruak manakala asap itu telah berubah menjadi api yang membubung tinggi.
Pasar Jatipasar yang tidak jauh dari lapangan Bubat dibakar.
Sekelompok orang tiba-tiba menjadi beringas. Dengan berteriak-teriak mereka melemparkan api ke rumah seorang penduduk. Dengan ganas api yang dilemparkan itu menyantap atap rumah yang terbuat dari rumbia.
Pemilik rumah melolong melihat tempat tinggalnya dijilat api, sebaliknya 110
Gajahmada orang yang melakukan perbuatan tidak bertanggung jawab itu justru terbahak-bahak merasa menemukan kegembiraan.
Orang-orang itu tidak sadar perbuatannya itu telah menyebabkan orang lain menderita atau boleh jadi ia memang tidak peduli.
Penjarah mulai bermunculan. Orang-orang kaya yang tinggal di kotaraja menjadi korban jarahan. Tanpa tatanan dan mengesampingkan perasaan, mereka memasuki rumah-rumah dan merampas harta benda.
Malang bagi orang kaya yang melawan karena penjarah ternyata tidak segan-segan membenamkan pisaunya ke tubuh korbannya.
Perkembangan keadaan itu terus diikuti oleh Mahapatih Arya Tadah dengan prihatin dan sedih. Prajurit penghubung yang bertugas di wisma kepatihan silih berganti melaporkan perkembangan yang terjadi. Prajurit pertama melaporkan perang yang berlangsung, disusul oleh prajurit berikutnya yang melaporkan penjarahan-penjarahan. Rontok isi dada Mahapatih Tadah setelah menyimak laporan itu.
Mahapatih Arya Tadah sama sekali tak mengira hanya dalam waktu yang singkat keadaan Majapahit akan begitu berantakan. Mahapatih Tadah yang melihat api membubung di mana-mana merasa seolah api telah membakar wisma kepatihan.
Mahapatih Tadah yang sudah tua itu hanya bisa mengelus dada, larut ke dalam duka tiada tara.
"Keserakahan dan pemikiran yang sempit tanpa pertimbangan menjadi penyebab semua ini," berkata Arya Tadah dengan wajah sangat muram.
Segenap prajurit yang selama ini bertugas mengamankan wisma kepatihan ikut merasakan kesedihan yang dialami Tadah. Api yang kian membubung membakar pasar dan rumah-rumah penduduk menyebabkan mereka menjadi geram dan marah. Arya Tadah merasa tidak sabar lagi. Arya Tadah yang telah lanjut usia itu turun ke halaman.
"Aku akan melihat keadaan!" berkata Tadah.
Para prajurit pengawal wisma kepatihan saling pandang.
Gajahmada 111 "Jangan Gusti Patih," cegah salah seorang prajurit, "keadaan di luar benar-benar berbahaya. Sebaiknya Gusti Patih tetap berada dalam wisma."
Tadah memandang prajurit itu.
"Aku hanya diam di rumah berpangku tangan tak melakukan sesuatu melihat perkembangan keadaan yang seperti ini?"
Para prajurit terdiam. "Aku akan melihat apa yang terjadi," lanjut Arya Tadah dengan sikap tegas.
Apa boleh buat, para prajurit yang ada bergegas menyiapkan pengawalan. Tadah yang tua dan sakit-sakitan menolak ketika disiapkan sebuah tandu. Tadah memilih berjalan kaki untuk melihat keadaan yang terjadi. Ketika Tadah turun ke jalan, terlihat di ujung sebelah timur segerombolan orang yang tiba-tiba menjadi liar menjarah sebuah rumah, mengangkuti harta kekayaan yang dimiliki pemilik rumah itu.
Retak isi dada Arya Tadah melihat keadaan seperti itu.
"Kalau saja aku memercayai apa yang dikatakan Prajurit Gajahsari,"
berkata Arya Tadah kepada diri sendiri.
Prajurit Gajahsari, ia hanya prajurit rendahan yang semula menduduki jabatan sebagai pengawal pribadinya. Namun, atas permintaan Ra Yuyu yang mengenal Gajahsari dengan baik, prajurit berpangkat rendahan itu diminta bergabung dengan kesatuan kecil yang dipimpin Ra Yuyu.
Prajurit Gajahsari itulah yang beberapa pekan lalu menghadap kepadanya dan melaporkan adanya gerakan yang aneh. Laporan yang diabaikannya itu ternyata menjelma menjadi kenyataan.
"Apa yang bisa dilakukan Ra Kuti?" kata Arya Tadah. "Ra Kuti tak punya pasukan, ia tidak akan melakukan seperti yang kamu duga. Aku mengenal Ra Kuti dengan baik. Ia bahu-membahu dengan Anabrang ketika meredam Sora. Tak mungkin Ra Kuti berbuat itu."
112 Gajahmada "Tetapi Gusti Patih"," Gajahsari memotong.
"Sudahlah, kembalilah ke pasukanmu. Tak perlu gelisah memikirkan Ra Kuti."
Gajahsari jengkel, tetapi ia tak bisa memaksakan keyakinannya, keyakinan yang sebenarnya masih samar-samar. Gajahsari kembali menemui kawan-kawannya dan menceritakan kegagalannya meyakinkan Arya Tadah. Kawan-kawan Gajahsari, antara lain Brajalama, Simaring Japanan, Panji Wiragati, Tabuh Gong, Liman Prabowo, Bramas Sindupati, Hayam Talun, dan Lamatan benar-benar cemas, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa pun.
Kini kecemasan Gajahsari itu menjadi kenyataan.
14 Sementara itu, ketika pertempuran terus berlangsung dengan riuhnya, pasukan Jala Rananggana di bawah pimpinan Temenggung Pujut Luntar makin terdesak. Pujut Luntar yang kecewa karena merasa telah dijerumuskan oleh Ra Kuti bertarung dengan segenap amuk di dadanya. Namun, Temenggung Banyak Sora, pimpinan pasukan Jalapati, mampu mengimbanginya dengan sepenuh hati.
Kedua temenggung yang diam-diam saling tidak menyukai itu berkelahi bagai orang kesetanan. Baik Banyak Sora maupun Pujut Luntar telah sama-sama bersimbah peluh, bahkan darah merah mulai membasahi tubuh mereka.
"Harusnya kaugunakan akal warasmu," berkata Banyak Sora agak serak di antara sengal napasnya.
Gajahmada 113 "Jika kauperintahkan pasukanmu menyerah, kau menyelamatkan negara dari kehancuran. Masih tidak sadarkah kau" Kau diperalat Ra Kuti. Kini ketika pasukanmu porak-poranda, Ra Kuti yang kaubangga-banggakan dan akan mengangkatmu menjadi mahapatih itu sudah terbirit-birit entah ke mana."
Pujut Luntar menggeram. "Sebaiknya tutuplah mulutmu," balas Pujut Luntar dengan sengit,
"atau kusobek dengan trisula ini."
Banyak Sora tertawa ketus, "Dari tadi kau hanya bicara."
Pujut Luntar yang marah kembali menyerang. Banyak Sora sangat tangkas dalam mengimbanginya. Kedua temenggung itu kembali mengukur tingginya ilmu yang mereka miliki, diiringi jerit kemarahan, jerit kesakitan, teriakan sekarat, dan suara bende Kiai Samudra yang terus membakar semangat.
15 Matahari memanjat makin tinggi. Kabut semalam tidak terlihat bekasnya. Namun, entah dari mana datangnya, burung gagak dan burung pemakan bangkai beterbangan di langit dan di pohon-pohon. Bau anyir darah benar-benar menggoda burung-burung itu. Meski burung-burung itu ingin sekali berpesta pora, keinginannya terpaksa harus ditahannya karena perang belum usai.
Suara bende Kiai Samudra terdengar beruntun dipukul bertalu-talu. Bahkan, untuk membunyikan bende yang mampu membakar semangat itu perlu mengganti pemukul yang baru karena pemukul 114
Gajahmada sebelumnya patah. Suara bende itu kian nyaring, memantul-mantul ke segenap penjuru. Bahkan, suara bende itu terdengar hingga ke dinding batas kota di sebelah timur dan barat.
Amuk yang mencengkeram kotaraja menyebabkan semua orang ketakutan dan memilih mengunci diri. Namun, itu pun masih belum mengusir rasa takut karena para penjarah bisa saja datang dan membakar rumah. Seorang pemuda terlihat bergegas sambil membawa berita yang hangat bahwa pasar Daksina atau pasar selatan telah dibongkar dan banyak orang yang menjarah apa saja yang ada di pasar itu.
Dalam pada itu, ketika segala kisruh tengah berlangsung dengan riuh, seekor kuda berderap memasuki bangsal kesatrian Jalayuda. Di sana sebuah pasukan segelar sepapan bersiaga penuh. Ra Kuti orang yang berkuda itu segera meloncat turun, bergegas menemui pimpinan pasukan Jalayuda.
Panji Watang tersenyum amat sinis melihat kedatangan Ra Kuti.
Segenap senopati dan para prajurit memandang Ra Kuti dengan tatapan mata aneh.
"Untuk apa kaukemari, Ra Kuti?" tanya Panji Watang dengan suara serak.
Ra Kuti merasa sikap Panji Watang kepadanya benar-benar meremehkan.
"Aku membawa tawaran baru untukmu," kata Ra Kuti. "Kita berunding."
Panji Watang tersenyum. Serentak para senopati yang mengawalnya juga tersenyum. Para prajurit yang siaga di depan bangunan utama bangsal kesatrian Jalayuda itu ikut-ikutan tersenyum. Bahkan, akhirnya semua orang tertawa terbahak-bahak. Kedatangan Ra Kuti amat menggelikan bagi mereka.
"Aku ingin mendengar tawaran apa yang kaubawa Ra Kuti?" Panji Watang berbicara.
Ra Kuti menebar pandang. Ra Kuti berdesir ketika melihat di sebuah tanah lapang yang berada di lingkungan kesatrian Jalayuda itu, Gajahmada 115
pasukan segelar sepapan telah bersiaga penuh. Pasukan Jalayuda dengan umbul-umbul yang menjadi ciri khasnya, kalajengking.
"Bagaimana Ra Kuti?" ulang Panji Watang.
Ra Kuti menghirup udara untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba terasa sesak. Mulai terbayang di benak Ra Kuti perkembangan keadaan tidak seperti yang diharapkan. Ra Kuti merasa jika dirinya salah dalam melangkah maka bencana akan meringkusnya.
"Aku ingin berbicara empat mata," pinta Rakrian Kuti.
Panji Watang manggut-manggut.
"Baik. Kupenuhi keinginanmu," jawab Panji Watang.
Panji Watang mengangkat tangannya mengepal ke atas. Disambut dengan sikap serupa oleh segenap prajuritnya.
Panji Watang membawa Ra Kuti masuk ke dalam wisma Joloyudan yang menjadi tempat kediamannya, yang menyatu menjadi satu dengan bangsal memanjang tempat pasukan Jalayuda itu tinggal.
"Apa tawaranmu?" bertanya Panji Watang. Langsung saja bicara pada tawaranmu. Kau tidak usah bercerita bagaimana pertempuran berlangsung, aku sudah mengetahui semuanya."
Ra Kuti ingin sekali berteriak keras, membuang semua beban yang memenuhi dadanya. Akan tetapi, dengan sekuat tenaga Ra Kuti berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kendali.
"Kutawarkan kedudukan mahapatih untukmu," berkata Ra Kuti.
Datar saja wajah Panji Watang mendengar apa yang dikatakan Rakrian Kuti. Namun, sejenak kemudian wajah Panji Watang mengombak. Panji Watang tertawa terkekeh-kekeh, geli sekali. Panji Watang terpingkal-pingkal.
Merah padam wajah Ra Kuti.


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembalilah," akhirnya Panji Watang menjawab.
Ra Kuti kaget mendengar jawaban itu.
116 Gajahmada "Bagaimana?" Ra Kuti gelisah.
"Kaudatang membawa tawaran yang memuakkan. Kau mengira aku tertarik dengan kedudukan mahapatih itu ha" Kaupikir aku mau suatu ketika kelak duduk di depanmu dan bersimpuh menyembahmu"
Gila kalau kau membayangkan hal seperti itu!" jawab Panji Watang.
Beban di dalam dada Ra Kuti makin meronta.
"Aku tahu pasukanmu telah hancur. Aku tahu Bhayangkara yang bahu-membahu dengan pasukan Jalapati mampu menyiapkan jebakan menghancurkan pasukan Jala Rananggana. Saat ini Pujut Luntar sedang kalang kabut karena harus menghadapi kenyataan yang tidak terduga.
Kau akan hancur. Kau kalah Ra Kuti. Dan, selanjutnya kauboleh membayangkan mimpi buruk yang akan menghantuimu, mengejarmu ke mana pun kau bersembunyi."
Apa yang diucapkan Panji Watang memang sesuai benar dengan kenyataan yang dihadapinya. Jika semua rencananya berjalan sesuai yang dirancang, boleh jadi keinginannya menjadi raja terkabul. Namun, jika upaya itu gagal, ia akan diburu-buru untuk kemudian dihukum gantung di alun-alun dan diludahi oleh semua orang. Apalagi, Ra Kuti tahu, Jayanegara raja yang pendendam yang tentu tidak akan memberikan ampunan terhadap perbuatannya.
Sidang para adyaksa pasti akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Betapa pahit hal itu, tetapi Ra Kuti harus menelannya. Ra Kuti yang menunduk kembali menengadah.
Panji Watang tersenyum. "Aku yang menjadi raja," ucap Panji Watang, "bagaimana?"
Ra Kuti terdiam. Kekecewaan yang harus ditelan benar-benar terasa pahit, kental, dan bergumpal-gumpal. Gagasan untuk melakukan makar berasal dari dirinya, didorong oleh keinginannya untuk menjadi orang utama di Majapahit. Kini ada orang lain, Temenggung Panji Watang mencoba meneriakkan hal yang sama, tanpa dirinya bisa berbuat apa-apa.
Betapa menyakitkan jika akhirnya Temenggung Panji Watang itulah yang kelak berhasil menggulingkan Jayanegara dan mewarisi Gajahmada 117
kekuasaannya, sementara dirinya hanya menjadi penonton belaka. Pahit melebihi brotowali, bukan racun memang, tetapi siapa pun yang menelannya akan muntah. Itulah yang kini dialami Ra Kuti.
"Bagaimana Ra Kuti?" desak Temenggung Panji Watang, "jika kaukeberatan dengan tawaranku, aku tidak apa-apa. Silakan kembali ke pasukanmu yang makin porak-poranda dihajar oleh pasukan Jalapati yang saat ini mengubah gelar perang dari Cakrabyuha menjadi Supit Urang, berusaha meringkus Diradameta yang tidak punya gading itu.
Menggelikan sekali ada gajah tidak ada gadingnya, namanya bukan gajah."
Menggigil Ra Kuti. Namun, Ra Kuti tidak punya pilihan lain.
"Baiklah!" berkata Ra Kuti, suaranya lunglai.
Panji Watang tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya terdengar sampai ke halaman, menyebabkan para senopati dan prajurit yang siaga saling pandang. Entah mengapa atau entah di mana letak lucunya, para senopati dan prajurit itu serentak tertawa. Tawa mereka baru terbungkam ketika akhirnya Rakrian Kuti dan Temenggung Panji Watang keluar.
Dengan wajah merah padam dan kulit wajah serasa menebal Ra Kuti melangkah menuju kudanya. Sejenak kemudian kuda yang ditunggangi Ra Kuti berderap meninggalkan bangsal kesatrian Jalayuda, meninggalkan debu yang mengepul di jalanan.
Ketika merasa sudah jauh dari bangsal kesatrian Jalayuda, Ra Kuti tidak kuasa lagi menahan beban yang bergolak.
"Keparat bangsat laknat!" Ra Kuti mengumpat.
Pukulan Naga Sakti 26 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Mencari Bende Mataram 4

Cari Blog Ini