Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 11

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


sikapnya. Perwira tinggi besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, engkau masih purapura bertanya" Engkau adalah seorang buruan pemerintah.
Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin,
tentu engkau hendak memata-matai daerah ini, bukan" Nah,
menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan
Nona inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu,
apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu tersangkut
dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!" Perwira itu lalu
menoleh kepada anak buahnya.
"Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!"
Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah
menggerakkan cangkir tehnya dan air. teh dari cangkir itu
menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.
"Ah aduh !" Perwira itu meraba mukanya yang
terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas tersiram
air teh yang masih panas! "Serang mereka!" bentaknya sambil
menggosok-gosok matanya yang belum dapat dibuka.
Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan
menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu! 702 "Nio-cu, jangan bunuh orang!" Thian Liong berseru kepada gadis
itu. Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya. Meja melayang
dan menimpa para perajurit sehingga empat orang kena hantam
meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki
tangan mereka bergerak cepat. Terdengar teriakan teriakan
mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan para
perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi
dalam ruangan rumah makan itu!
JILID 19 Si perwira yang belum sempat dapat membuka matanya,
disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.
Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk
dan tubuh perwira itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai.
Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa
mulas melilit-lilit. Mungkin usus buntunya kena tendang Pek
Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan
tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan
orang perajurit itupun sudah dapat mereka robohkan.
"Kita pergi!" kata Thian Liong dan mereka berdua cepat
meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah penginapan,
bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi
ternyata buntalan pakaian itu sudah tidak ada lagi!
Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher
baju pengurus rumah penginapan dan membentak, "Katakan di
703 mana buntalan pakaian kami!" Dia mengguncang orang itu yang
menjadi ketakutan. "Maaf kami kami tidak berdaya buntalanbuntalan itu telah disita perajurit !"
"Keparat!" Pek Hong Nio-cu berseru marah. "Sudahlah, kita
pergi, ambil kuda!" Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan
bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi dibawa ketika makan
sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di
kandang kuda, mereka melihat empat orang perajurit seclang
menuntun kuda mereka. Mereka menjadi marah dan melompat
ke depan, merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah
lalu keduanya melompat ke atas punggung kuda dan
membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.
Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur,
menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun. Mereka berhenti
di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di
depan, lalu melompat turun dari kuda dan duduk di atas batu di
tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama
beberapa jam. Matahari mulai condong ke barat.
Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya,
menggunakan sehelai saputangan.
"Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya
pemerintah Kerajaan Sung telah menganggap engkau menjadi
704 pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu
akibat engkau membantu kami di sana."
"Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan
ayahmu untuk menentang pemberontakan di sana, bukan untuk
memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi
sungguh heran, bagaimana mereka bisa tahu?"
Pek Hong Nio-cu tersenyum. "Aku tahu, Thian Liong. Pasti
suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan fitnah ini sehingga
engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung."
"Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia
Song. Dia memutar-balikkan kenyataan. Dialah sesungguhnya
pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui.
Akan tetapi, aku masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar
di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang
membenciku." "Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu,
sekalian kita membeli pakaian pengganti karena pakaian kita
telah habis disita di kota Ciu-siang."
"Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah,
itu adalah kota Ki-bun."
"Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota,
Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa namamu sudah
dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki-bun
engkau juga akan dikejar-kejar, kita lebih mudah untuk melarikan
diri," kata Pek Hong Nio-cu.
705 Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah
rumah petani di luar kota. Mereka lalu menitipkan kuda dan
pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu,
kemudian mereka berdua berjalan memasuki kota Ki bun.
Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian
orang. Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan
Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong berbelanja pakaian di
toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan
mereka gendong di punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong
Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan sengaja
Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada
pengurus rumah penginapan. Mereka lalu makan di rumah
makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan
malam dalam dua buah kamar yang mereka sewa.
Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan
pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan mereka
merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar
kalau ada apa-apa mereka dapat cepat melarikan diri membawa
buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu. Mereka
menunggu dengan tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas
walaupun mereka tetap waspada sehingga biarpun tertidur,
mereka peka sekali. Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti
yang mereka duga, umpan pancingan Thian Liong berhasil.
Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama
Souw Thian Liong sebagai buronan pemerintah, seperti juga
para pengurus semua penginapan. Begitu mengetahui bahwa
706 tamunya bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan
segera melaporkan kepada komandan pasukan keamanan
setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak
buahnya dan pasukan ini mengepung dua kamar di mana Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.
Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian
Liong. "Tok-tok-tok! Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!"
Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera
menyambar buntalan pakaian dan digendongnya. Demikian pula
yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir
bersamaan membuka daun pintu dan menerjang keluar.
"Tangkap! Serang mereka!" Komandan pasukan itu memberi
aba-aba. Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di
tangan. Akan tetapi, seperti sudah mereka sepakati, Pek Hong
Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua
orang itu menerjang keluar, merobohkan siapa saja yang
menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang
berani menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu
bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh ke depan,
keluar dari rumah penginapan itu. Komandan pasukan berteriakteriak, memberi aba-aba pengejaran dan mereka semua
mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka
sudah menghilang dalam kegelapan malam karena bulan belum
muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan
707 ngawur mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk
kota Ki-bun menjadi geger.
Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Niocu memberi hadiah dua potong perak kepada nenek petani itu
yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu
baginya merupakan jumlah yang amat banyak.
Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan
merasa heran akan tetapi tidak berani bertanya ketika dua orang
tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan
mereka. Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian
Liong memang sudah disiarkan di semua kota sebagai buruan
pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!
"Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini,
bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu ke semua kota, dan
bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan
keterangan palsunya itu?" kata Thian Liong ketika mereka
berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Kibun.
"Kenapa heran, Thian Liong" Tentu saja Cia Song tidak
menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah bahwa dia adalah
antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa" Tentu dia
melaporkan segala hal yang terjadi di kerajaan kami itu kepada
Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui
para pembesar. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang
besar, tentu saja dia dapat memerintahkan para pembesar untuk
menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung
708 Kao Tsu dengan meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau
benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang
mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu."
Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya. "Ah,
alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana Menteri Chin Kui!"
"Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut
pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota raja lebih dulu
karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan
pasukan bergerak untuk menangkapmu, tentu akan berbahaya
sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun,
akan dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana
terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi ilmunya?"
"Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan
tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu bagaimana aku
dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin
Kui" Dan akupun harus mencari Cia Song. Orang itu ternyata
jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai
dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah
mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia juga membantu
pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan
membawanya ke Siauw-lim-pai agar dia mendapatkan
keputusan peradilan di Siauw-lim-pai."
"Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song
mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan dibawa ke Siauwlim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya
kata-kata itu?" 709 "Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan.
Aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung,
karena sekarang aku dinyatakan buronan oleh pembesar
Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?"
"Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang
kita harus menghindari kota-kota besar. Tidak mungkin pejabat
kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron
oleh pemerintah. Kita melewati desa-desa saja, dan kita
mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah mencuri
kitabmu. Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan
di kota raja tentang Chin Kui dan Cia Song. Kurasa untuk
menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan
seorang diri saja. Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan
pasukan." Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada
puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu silatnya dan baik budinya,
Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat
membuat perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun
agaknya pengertiannya tentang seluk beluk pemerintahan dan
lawan-lawannya cukup luas.
"Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah
apa yang akan kulakukan. Aku sendiri menjadi bingung melihat
pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus
ditangkap." "Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah
menasihatiku bahwa orang yang benar dilindungi Tuhan"
710 Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan
pengkhianat, bukan mata-mata kerajaan Kin, engkau tidak
bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang
jahat, yaitu Cia Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim
seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus yakin
bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka."
Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan
pemerintah tanpa melakukan kesalahan apapun itu membuat
Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada
gurunya dan dia selalu menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cinjin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang
berhak. Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan
mengalami kegagalan karena sebuah kitab milik Kun lun?pai
dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat
menemukannya kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai.
Kemudian, perintah kedua agar dia membela kerajaan dan


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan
malah sekarang dia dianggap pengkhianat oleh kerajaan Sung
dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak
ditangkap pemerintah. Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri. Dia
merasa malu kepada gurunya yang demikian baiknya. Bahkan
ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan
oleh pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan 711 menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang berilmu
tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini
membuat dia merasa malu sekali.
Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek
Hong Nio-cu merasa iba. "Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak,
ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan sebuah telaga yang
disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat
keindahan telaga itu. Maukah engkau mengajak aku ke sana?"
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan
membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak tega untuk
menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka
menuju Lin-an, kota raja Kerajaan Sung Selatan, melainkan
membalik, menuju ke arah Telaga Barat.
*** Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan
kudanya perlahan-lahan menyusuri sepanjang tepi See ouw
(Telaga Barat) yang cukup luas itu.
Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak
berseri dan cahaya yang masih lembut itu menghangatkan tubuh
dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda
dengan santai itu. Mereka menikmati keindahan alam pagi hari
itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun
mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.
712 Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia
tampak lebih tua daripada umurnya. Rambut di atas kedua
telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada
wajahnya. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu tampan namun
tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada
sikap tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan
dan kegagahan. Sebatang pedang yang berada di pungungnya
menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah
perkasa, bahkan pernah menjadi komandan Pasukan Halilintar,
sebuah pasukan dalam barisan yang dipimpin mendiang
Jenderal Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain
adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal dalam bagian awal
kisah ini. Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya,
adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh delapan tahun.
Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali
bibirnya yang membuat ia tampak menarik sekali, apa lagi ada
tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita
ini membawa pedang di punggungnya.
Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut berjuang sebagai
bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukanpasukan Kin di perbatasan. Suami isteri ini dengan Pasukan
Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi tibatiba saja mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari
kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini adalah akibat dari
bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang
menghentikan perang terhadap kerajaan penjajah Kin. Bahkan
kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar
713 dan menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga
panglima yang gagah perkasa dan setia ini dihukum mati.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran
berhasil menewaskan Pangeran Cu Si, pangeran Kerajaan Kin.
Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk
oleh-oleh puterinya, Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang
lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada ayahnya
agar dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika mereka
berdua pulang ke Lin-an, mereka mendapatkan bahwa Lu-ma,
pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu
lenyap diculik pembunuh itu!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri
mereka yang hilang. Namun semua usaha bertahun-tahun
mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak
Hui telah dijatuhi hukuman mati. Hal ini membuat mereka
berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja, tidak
mau mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari
puterinya dengan sia-sia, akhirnya mereka tinggal di sebuah
dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah,
mendirikan rumah sederhana dan menjadi petani.
Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan?jalan di
waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada seorangpun
penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si
Tiong, yang mereka sebut Han-sicu dan Liang Hong Yi yang
mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah
memimpm Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk
hanya mengenal mereka sebagai seorang gagah yang
memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi
714 aman dan tidak ada lagi perampok yang suka mengganggu
penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang
tinggal sekitar Telaga Barat.
Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalanjalan menunggang kuda di tepi telaga. Ketika mereka tiba di
bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya
sekitar dua lie (mil) di tepi telaga dan melewati sebuah pohon
besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka meringkik
dan mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar
tidak sampai terjatuh dan mereka memegang kendali kuda,
berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat itu,
seekor ular kobra melompat dari depan dan dengan cepat sekali,
seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki kedua
ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga
kendali yang dipegang Han Si Tiong dan Liang Hong Yi putus.
Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak
jauhnya mereka Iari, mereka lalu roboh terguling dan tewas
seketika! Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda
mereka tewas digigit ular kobra. Mereka mencabut pedang dan
bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular
kobra itu melayang ke bawah pohon besar.
Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan
heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap seorang kakek dan
setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi
menggigit mati dua ekor kuda mereka, kini berubah menjadi
715 sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan
pedang masih di tangan, memandang kepada kakek itu dengan
penuh perhatian. Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun
usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang lebat sudah putih
semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi
yang biasa dipakai oleh suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang,
agak kurus namun masih membayangkan ketegapan dan
kekuatan. Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak
menyeramkan, terutama karena sepasang matanya liar,
bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan
mengandung kekuatan dan wibawa.
Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini
terkekeh aneh dan bangkit berdiri, bertopang pada tongkatnya
yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu
saja sudah mati dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu
menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.
Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku
dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan menggigit dua ekor
kuda mereka sampai mati keracunan" Mereka berdua adalah
ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa
tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan
seorang ahli sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir
saja ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup! Han Si
Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai,
maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sebagai
penghormatan, diturut oleh isterinya.
716 "Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti
mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor kuda kami" Apakah
kesalahan kami?" tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.
Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si
Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke atas tanah. "He-hehe! Dia bertanya apa kesalahannya" Kalian adalah Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan
Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?"
Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak
menyangkal lagi. "Benar, kalau begitu, kenapa?"
Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah cemberut dan
tambah menyeramkan. Sepasang mata itu semakin lebar
melotot dan sinarnya berapi-api.
"Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana
selama belasan tahun ini. Engkau mempermalukan aku,
membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan
terutama di dalam pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku
tidak berani menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku
hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas
dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang aku
sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba
saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian harus mati di
tanganku!" Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah
perkasa yang pernah maju perang, bahkan menjadi pemimpin
dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani
sebagai bagian dari bala tentara yang dulu dipimpin Jenderal
717 Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang
melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu
mereka sama sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas pejuang
seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang
perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran sekali
karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini
mendendam kepada mereka, dan mengancam akan membunuh
mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah
mengenalnya! "Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan
apa sebabnya maka lo-cianpwe mendendam kepada kami suami
isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe"
Apa artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami
membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun" Kami
sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan
dengan lo-cianpwe," kata Han Si Tiong dengan suara dan sikap
masih menghormat. "Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan
mati menjadi setan-setan penasaran. Aku adalah Ouw Kan
datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng
Coa ong (Raja Ular Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang
dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya.
Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan
Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam sebuah
pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera
Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk
mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh
kalian untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si
yang kalian bunuh dalam pertempuran."
718 "Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak
membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam perang, semua
orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan
pertempuran dalam perang berarti membunuh atau dibunuh.
Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam
pribadi?" bantah Han Si Tiong.
"Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan
pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu memanggil aku dan
minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika
aku tiba di rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja
Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali
dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu
menculik puteri kalian itu."
"Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan
membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana sekarang Bi Lan
anakku!" Liang Hong Yi berseru marah sekali.
"Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar
Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa saja terhadap anak
dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di
tengah perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat
aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali
ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat
aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama
bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat
menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka
untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku
dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu,
bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!"
719 "Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!" kata Han Si Tiong. "Sebelum
engkau menyerang kami, katakan dulu di mana adanya anak
kami itu sekarang!" Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit
Kong Lhama telah merampas anak itu dari tangannya setelah
dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu.
"Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak
tahu di mana ia berada. Sambutlah ini!
Hyaaaattt !!" Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular
kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan main sehingga


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke
arah Han Si Tiong. Pendekar ini melompat ke belakang dan
mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut
pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan
pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu dari samping.
Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan.
Datuk ini menggerakkan tongkat ularnya dari bawah untuk
menangkis sambil mengerahkan senjatanya.
"Singg tranggg !!" Pedang itu terpental dan
Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget sekali.
Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika
pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak tangannya terasa
panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan
lawan yang amat lihai. 720 Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah
menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat melompat ke
depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan.
Namun, datuk itu memutar tubuh ke kanan menghadapi Han Si
Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan
sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang
menyerangnya. "Cringgg !" Kembali terdengar dentingan nyaring
ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga merasa
betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa
kakek itu sungguh lihai dan dalam adu senjata tadi dia mendapat
kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw
Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani mendekat, hanya
membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan
dari belakang atau samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari
depan adalah Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa
mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan
tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan dan
membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari
lawan yang amat tangguh itu.
Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu
oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat limapuluh jurus,
perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya
kematian mereka hanya menunggu beberapa saat lagi saja.
Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri
721 dengan memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang
lagi. Keadaan mereka gawat sekali.
Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat
dan ia menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah
lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring.
"Haiiiittt !" Pedangnya meluncur seperti anak
panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan tubuhnya,
tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga
pedang itu terpental dan terlepas dari tangan Liang Hong Yi.
Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah
perut wanita itu. Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan
tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet
pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.
Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.
"Trang !!" Pedang di tangan Han Si Tiong
menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi
pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa
melepaskan pula pedangnya karena tangannya terasa panas
sekali. Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi
yang masih duduk di atas tanah karena pahanya yang terkena
tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat
berkelebatnya sinar hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat
mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.
"Singgg tranggg !" Toat-beng Coa ong Ouw
722 Kan terkejut bukan main. Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental
dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia memandang, di
sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang
pedang dan agaknya pemuda itu yang tadi menangkis
tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya. Di samping
pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang
memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis itu
membawa sebatang pedang di punggungnya.
Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang
gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai tanda
kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi
orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak membawanya dan
sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk
melengkapi penyamarannya.
Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio?cu segera
mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah
berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia
kurang lebih delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu
datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat
bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan
yang lihai dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi tentu saja ia tidak
mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai
seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak
ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong
datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam
bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan
menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.
723 Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan
tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah.
"Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak
menentang aku, Toat-beng Coa-ong?" Kakek itu hendak
menggertak dengan nama julukannya yang terdengar
menyeramkan dan sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.
Thian Liong menjawab dengan sikap tenang. "Lo-cianpwe, kami
sama sehali tidak menentangmu."
"Tidak menentang" Engkau sudah mencampuri urusanku dan
berani menangkis tongkatku dan kaubilang tidak menentang?"
"Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena
melihat ada seorang wanita hendak dibunuh dengan kejam,
maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa
turun tangan mencegahnya."
"Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi
tindakanku dan itu sama saja dengan menentangku. Karena itu,
kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi
sebelum mati, beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati
tanpa meninggalkan nama!" Ouw Kan membentak dengan sikap
galak! Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia
hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu ayahnya dan
hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih
kecil dan tidak tahu orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan
tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw
724 Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu
maju dan berkata dengan nyaring.
"Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak
mencari jalan yang terang, malah kejam dan sombongnya
setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu
membikin kami merasa takut " Bukalah mata dan telingamu
lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia
ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari
sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak
ingin lebih cepat mampus!"
Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Niocu yang demikian pedas dan menusuk perasaan. Dia mengenal
gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal
takut, akan tetapi sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang
menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan
sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi karena
ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan hanya dapat
menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran
mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu
menggunakan nama Sie Pek Hong.
Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan
bertanya dengan pandang mata penuh selidik. "Kamu bukan
orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa
kamu sebenarnya?" Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.
725 "Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat
maupun timur, yang jelas aku benci kepada orang kejam dan
sombong macam kamu!"
Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram.
Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh gadis muda
itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya,
menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan
terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.
"Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan,
junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah kepadaku!"
Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan
Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi. Semua perlawanan
dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti
dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas
tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara
Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam
batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya
yang mendadak gelap tadi.
"Nio-cu, bangkit dan mundurlah!"
Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur
karena menyadari betapa berbahayanya lawan yang selain
tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu.
Thian Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka
berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya berdiri
saling berhadapan dan saling berpandangan, namun
sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara kedua orang ini.
Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui
726 pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar
kekuatan batinnya. Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya
dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda itu telah berhasil
melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis
itu. Karena itu, dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu
melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian
Liong. "Sambut seranganku!" Tongkat itu melayang ke atas, lalu
menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali, meluncur ke
arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah
membunuh dua ekor kuda sebelum "terbang" kembali ke tangan
Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini
memang berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan
ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia
merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih
memuaskan baginya kalau dia membunuh mereka dengan
tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya
sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka
dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan
tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.
Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan
serangan yang wajar, melainkan mengandung kekuatan sihir.
Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan
kekerasan dia akan terancam bahaya. Maka dia lalu
mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya
lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular
itu sambil berseru nyaring.
727 "Hyaaaatt blarrr !!" Tongkat yang berubah
menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan
dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan
Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular kobra kering
yang menjadi tongkat! "Keparat busuk, mampuslah!" Ouw Kan kini yang sudah marah
sekali melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan
serangan tongkatnya. "Tranggg !" Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang
menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat kenyataan
bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat,
bahkan dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Begitu
menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah
membalik ke bawah menusuk ke arah perut lawan. Ouw Kan
terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah sehingga
kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan
suara berdencing nyaring.
Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke
arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga memukul dengan
dorongan ke arah Thian Liong.
Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan
tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong Nio-cu kembali
menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg !" Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh
728 dorongan tangan Thian Liong yang menyambut serangannya
tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia
membagi tenaganya, yang kanan memegang tongkat
menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang
Thian Liong dengan pukulan jarak jauh.
Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau
dia nekat melawan dua orang muda remaja ini, dia akan kalah,
belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi
membantu dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya
mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu
ke arah dua orang lawannya. Thian Liong berseru kepada Pek
Hong Nio-cu. "Nio-cu, awas !" Gadis itupun cepat mengelak
ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong menduga
bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan
bukan mustahil kalau pasir yang disambitkannya itu
mengandung racun pula. Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat
ke samping, Ouw Kan lalu meloncat berdiri dan lari secepatya
meninggalkan tempat itu. Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak
mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita
mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.
"Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali,
berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri."
729 Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini
menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di dekat laki
laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh
itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat
pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan
panas bukan main. Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu.
"Paman, biarkan aku mencoba untuk mengobatinya. Luka ini
mengandung racun ular yang berbahaya!"
Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi
Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han Si Tiong.
"Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka."
Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi. Keadaan yang
membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan
darurat, maka Han Si Tiong lalu merobek celana di bagian paha
yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya
tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi
racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya
berubah menghitam dan membengkak.
Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liongkiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia menggores luka kecil
itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu
pedang itu ditempelkan pada luka yang berdarah.
Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang
mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahan-lahan,
730 pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha
itupun perlahan-lahan berubah putih mulus seperti semula. Ini
berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liongkiam (Pedang Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah
paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong
menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
merasa girang sekali. "Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini,
bibi," kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka sebuah bungkusan
obat bubuk putih. Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit
paha yang robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi
merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama
sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu. "Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian
tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami berdua sudah menjadi
mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami
berterima kasih sekali kepada kalian yang sudah
menyelamatkan nyawa kami." kata Han Si Tiong. "Perkenalkan,
Souw-sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini
adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun
Kian cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang
kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita dapat
bicara dengan leluasa."
Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan
pemuda itu melihat kawannya mengangguk.
731 "Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan
peristiwa tadi," kata Thian Liong dan dia bersama Pek Hong Niocu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.
Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun
Kian-cung dan merupakan pondok yang cukup mungil, dengan
taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si
Tiong memberi tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia
sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang
tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di
dekat telaga. Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua
orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka
duduk mengelilingi meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu
menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa
minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu
menghidangkan air teh. "Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang
penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan tadi.
Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi" Kami ingin
sekali mengetahui sebabnya," kata Pek Hong Nio-cu setelah
minum secawan arak. Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Kami sendiri tadinya juga merasa heran. Ketika kami berdua
menunggang kuda, berjalan-jalan disekeliling telaga, tiba-tiba
dua ekor kuda kami diserang ular dan roboh mati.
Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi
tongkat. Kami baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya
dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami.
732 Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah mengenalnya dan
belum pernah berjumpa dengannya."
"Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui
yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia dapat mendendam
kepada paman dan bibi?" tanya Pek Hong Nio-cu.
"Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun
lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut berjuang memimpin
Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui.
Pasukan kami bertempur melawan pasukan Kin di perbatasan
dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan
seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si."
"Hemm, begitukah?" kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih
Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun. Pada
hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si,
tirinya yang tewas dalam perang melawan pasukan
Seluruh keluarga istana berkabung.
ingat. suatu kakak Sung. Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia
dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu pasti masih ada
hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu!
Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak
mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong
melanjutkan ceritanya. "Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu
dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada
733 kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an
dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah
kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu
menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu
ia berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya. Ketika
kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan
Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami
pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan
tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di
sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini."
Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena
terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat
suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu
melanjutkan cerita suaminya itu.
"Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan
dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa setelah
menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos
dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya
dan di mana anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa
karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak
kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas
tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia
menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk
membunuh kami. Begitulah ceritanya."
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh
perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong
diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek
734 Hong Nio cu. Gadis itupun sejenak diam saja, lalu berkata,
suaranya wajar dan lantang.
"Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya
mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya
menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian
Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi
kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan,
apalagi dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak
benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam.
Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan
bibi malah kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam
dia!" Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar
ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang gadis yang
berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah
mendengar pendapat gadis itu, baru dia berani bicara.
"Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coaong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa paman tinggal di sini,
maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana
kalau dia sewaktu-waktu datang lagi dan menyerang paman
berdua" Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan
pindah ke tempat lain."
Han Si Tiong menghela napas panjang. "Berpindah-pindah dan
selalu bersembunyi ketakutan" Tidak, Souw-sicu. Kami bukan
pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat.
Kalau dia datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan
735 lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih
karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!"
"Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang
belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati.
Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau
menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu,"
kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.
Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa
suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar
sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong
Yi, kemudian ia membuat tulisan corat-coret di atas kain putih
dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.
"Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat
aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini harap diperlihatkan
kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi.
Mudah mudahan melihat kain putih ini, dia takkan berani
mengganggu lagi kepada paman berdua."
Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti,
akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau menolak pemberian
penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja
kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan
yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini,
Thian Liong berkata kepada mereka.
"Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan
simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah kain putih bersurat
itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan
736 menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coaong."
Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.
"Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu."
Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. "Tidak perlu berterima kasih,
bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita saling tolong
menolong?" Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan
menghela napas panjang lalu berkata, "Aahhh kalau
saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu
sudah sebesar engkau inilah
" "Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam
perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri
bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan
paman tinggal di dusun Kian-cung ini," kata Thian Liong yang
merasa iba kepada wanita itu.
Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan
kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu
terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak
kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran
sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah
gadis Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing,
737 jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara. Selain
sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang
diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya dapat
mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar
mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan
prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya,
akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.
"Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw
Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami
menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian,
terutama Nona Sie Pek Hong, suka menceritakan siapa
sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?"
Pek Hong Nio-cu tersenyum. "Aku adalah Sie Pek Hong, lalu
engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?" Gadis ini
memang suka bergurau dan menggoda orang.
"Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie" Apakah
engkau mencurigainya" Itu tidak pantas sekali!" Liang Hong Yi


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencela suaminya. "Aku tidak berprasangka buruk," bantah Han Si Tiong, lalu dia
memandang wajah Pek Hong Nio-cu. "Aku curiga melihat
penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau
memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan
kepada Toat-beng Coa-ong."
"Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini" Katakan saja,
paman, aku juga suka kejujuran dan keterbukaan dan aku tidak
akan marah." 738 "Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari
utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu
menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan
Ouw Kan menurut pengakuannya adalah seorang kepercayaan
Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di kerajaan
Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah
Ouw Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa dari tulisan itu
Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat
nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada
dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan
bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali,
bahkan aku tidak akan heran
kalau nona ini seorang puteri kaisar
" Liang Hong Yi terkejut dan berseru, "Ia puteri Kaisar
Kin" Kalau begitu ia Si" Kalau begitu celaka
ia saudara dari Pangeran Cu
" Pek Hong Nio-cu tertawa. "Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu
siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman
Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan
diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang
Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai pernyataan
kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua
dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri Moguhai,
puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku
terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu."
"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap
739 kurang hormat terhadap Tuan Puteri
" Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam
sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.
"Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran
Cu Si!" "Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku
sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si
memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur
dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang
patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam
perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi.
Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia
orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan
paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua.
Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi
sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat
Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri
Kerajaan Kin." Han Si Tiong mengangguk-angguk. "Baiklah, nona Sie, kami
akan memenuhi permintaanmu." Dia lalu menoleh kepada Thian
Liong. "Akan tetapi, Souw-sicu,
bagaimana engkau mengajak
nona Sie ini ke daerah ini" Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya."
740 "Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan
sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana?mana. Aku
sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita."
"Eh, kenapa begitu sicu?" tanya Liang Hong Yi heran.
"Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana
menteri busuk itu!" kata Pek Hong Nio-cu gemas.
"Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui" Kalau begitu kita
berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada
perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian
Jenderal Gak Hui. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi
bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?"
"Panjang ceritanya, paman," kata Thian Liong.
Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran
Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang berada di sana dan
terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha
pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran pemberontak
itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili
oleh Cia Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.
"Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu
melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya telah
berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan perajurit
berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa
Perdana Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk
741 mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan
ditangkap, mati atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan
Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu
dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin
menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan
utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek
Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin
menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri eh, Pek Hong Nio-cu ini
sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah
beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak
menangkap kami." JILID 20 "Aih ! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara
fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu!
Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku
mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja dan ka?mi
semua menentang Chin Kui. Akan ka?mi beberkan semua
rahasia jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di
Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu
dia akan mempunyai rencana jahat lainnya.
"Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak
merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke da?lam
bahaya," kata Thian Liong.
742 "Kita sama lihat saja nanti. Yang je?las, kita bersatu hati
menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang
amat jahat!" kata pula Han Si Tiong.
Setelah menginap satu malam di ru?mah bekas pemimpin
pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kiancung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh
meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah
pohon tepi jalan yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga
memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk
mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si
Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu
memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai
pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kele?lahan karena
melakukan perjalanan jauh.
"Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?" tanya Pek Hong
Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.
"Aku sedang memikirkan hal itu baik-?baik, Nio-cu. Tugasku
sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-?lun-pai
dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman
si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis
pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat
tinggal?nya dan ke mana ia pergi. Maka, ting?gal tugas kedua
yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku
harus pergi ke kota raja!"
743 "Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong
dan kalau eng?kau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja
dengan mencari penyakit?"
"Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu
" "Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan
menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong,
kau ingat?" Thian Liong tersenyum. "Hemm, aku heran bagaimana engkau
tiba-tiba mema?kai she Sie!"
"Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat
bahwa aku ha?rus mempunyai she (marga), aku lalu ingat
Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku,
maka aku lalu menggunakan nama marganya. Dan aku
menggunakan nama julukanku seba?gai nama, menjadi Sie Pek
Hong. Bagus, bukan?"
"Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu
" "Heitt! Lupa, lagi!"
"O ya, biar bagaimana?" kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, "Ah, aku senang sekali. Dan aku me?nyebut engkau Liong-ko,
bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?"
"Kakak dan adik seperguruan" Ah, aku masih heran
dan bingung memikir?kan, Nio
eh, Hong-moi. Ketika 744 suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie.
Siapakah yang salah li?hat" Engkau atau aku" Menurut
peng?lihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah
lihat!" "Dan akupun tidak mungkin salah li?hat, Liong-ko. Dia itu jelas
Paman Sie yang pernah kulihat di taman istana ke?tika bertemu
dengan ibuku. Dia jelas Pa?man Sie yang memberi tiga buah
kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!" gadis itu berkata kukuh.
"Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong
Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)" Akan tetapi
kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu
berbeda dengan ilmu silatku?"
"Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu
menyuruh eng?kau membagi-bagikan kitab
pelajaran il?mu silat kepada partai-partai persilat?an "
"Bukan membagi-bagi, Hong-moi, me?lainkan kitab-kitab itu
yang memang menjadi hak milik partai-partai itu yang kehilangan
kitab mereka puluhan tahun yang lalu."
"Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu
silat, maka apa anehnya kalau dia juga memberi aku tiga kitab
pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu"
Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin
gurumu itu!" "Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang
mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan
745 kita, Hong-moi. Seperti kuka?takan tadi, aku harus pergi ke kota
raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat mem?bantu kerajaan
agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?"
"Akan tetapi engkau sedang dikejar-?kejar, Liong-ko! Tentu
sebelum engkau dapat memasuki kota raja, engkau sudah
dikepung dan ditangkap pasukan pemerin?tah!"
"Aku dapat menyamar, Hong-moi. De?ngan memasang jenggot
dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota raja. Bagaimanapun
juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku
tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin
para perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang
diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajah?ku, tentu tidak
ada yang mengenalku."
"Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari
merias wajah para pemain panggung. Aku dapat me?masang
jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak
dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu
menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat
memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?"
"Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil
memasuki kota raja, Hong-moi."
Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat
tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan
kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu
sendiri. 746 Tak lama kemudian mereka melan'jutkan perjalanan dan kini
Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang berkumis dan
berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya.
Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.
"Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko."
"Benar sekali, Hong-moi. Mulai seka'rang aku bernama San Lam
dengan nama marga Mou."
Pek Hong tersenyum. "Mou San Lam berarti Putera Gunung
Mou" Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?"
"Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Se'but Lam-ko agar tidak
terbuka rahasia'ku. Ketahuilah, di waktu kecil aku ting'gal di
lereng Mao-mao-san (Gunung Mao'-mao), jadi tepat kalau aku
memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?"
Pek- Hong tertawa. "Heh-heh, engkau pandai
mencari nama yang tepat, Liong
eh, Lam-ko. Mari kita cepat melan'jutkan perjalanan."
Mereka lalu membalapkan kuda mere'ka dan benar saja, setelah
Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan na?ma Mou
San Lam, tidak ada yang men-curigainya sampai akhirnya
mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.
***

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi
meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan isterinya, Liang
747 Hong Yi, segera berkemas, mem?bawa bekal pakaian dan uang,
lalu keduanya menunggang kuda berangkat me?nuju ke Lin-an.
Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja,
maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang
membangkit?kan kenangan masa lalu. Mereka masih, mengenal
jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa
sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada
kemajuan. Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat
per?baikan, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat
berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan
ham?pir setiap orang yang mereka tanyai me?ngeluh tentang
beratnya pajak yang ha?rus mereka bayar. Hampir setiap kepala
dusun menekan dan memeras penduduk?nya dan kalau Han Si
Tiong dan isteri?nya menyelidiki kepala dusun itu, mereka
mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan
diperas oleh atasannya dengan ancaman dicopot kedudukan?nya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil
yang sudah ditentukan banyaknya.
Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang
dilakukan Per?dana Menteri Chin Kui dan para pembesar yang
menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena
agaknya Kai?sar sudah tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga
semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat
dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal, Han Si
Tiong dan isterinya ta?hu betul bahwa semua peraturan yang
menindas rakyat ini adalah buatan Perda?na Menteri Chin Kui
dan kaki tangannya. Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang
cukup adil bagi rakyat yang berpengha?silan besar, ditambah
748 sedemiklan rupa oleh Chin Kui, bahkan mereka yang
berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak,
dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk
kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki
tangannya. Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari
bekas rumah mereka karena me?reka tahu bahwa bekas rumah
pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali per?wira lain. Juga
mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee?ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga
keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru
akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi me?rasa aman. Sebetulnya
mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, ke?cuali
tentu saja Chin Kui. Mereka men?dengar bahwa perdana
menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui dan
kabarnya malah selalu berusaha un?tuk membasmi semua
pengikut setia jen?deral besar itu. Han Si Tiong merasa su?dah
berjasa terhadap Kerajaan Sung, ma?ka tidak semestinya kalau
dia dan iste?rinya takut berada di kota raja. Apa la?gi mereka
sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota raja.
Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar,
maka mereka terkenal dan hampir semua perajurit kerajaan
mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang me?ngenal
mereka" Wajah mereka telah menjadi lebih tua. Kalau dulu,
duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong ber?sih tanpa
kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga
749 Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak kurus
karena selama bertahun-?tahun prihatin memikirkan puterinya
yang hilang. Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari
keterangan dan mereka mendengar bahwa sahabat baik
mereka, Panglima Kwee Gi masih men?duduki jabatannya yang
lama, yaitu ko?mandan pasukan penjaga keamanan kota raja.
Biarpun di dalam hatinya Kwee?-ciangkun ini tidak suka, bahkan
memben?ci Chin Kui seperti banyak pejabat ting?gi yang setia
kepada Kaisar lainnya, na?mun dia tidak memperlihatkan sikap
tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak
menyangka bahwa Kwee?- ciangkun membencinya. Chin Kui
tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan
panglima yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak
sekali. Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si
Tiong lalu meng?ajak isterinya untuk pergi mengunjungi
sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi?- pagi mereka keluar dari
rumah penginapan dengan jalan kaki, hendak mengunjungi
Kwee-ciangkun. Han Si Tiong dan isterinya sama se?kali tidak menyangka
bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang
mata telah memperhatikan mere?ka dan beberapa orang telah
memba?yangi dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Empat orang ini adalah kaki ta?ngan Perdana Menteri Chin Kui
yang me?mang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki
setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak
mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui
750 sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas
pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada
mendiang Jenderal Gak Hui itu kini te?lah kembali ke kota raja.
Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga
orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin,
be?kas jagoan guru mendiang Ciang Bun pu?tera mendiang
Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.
Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di
tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin berha?sil lolos. Lalu
tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin,
ada lagi orang kakak adik seperguruan yang menjadi jagoan
andalan Perdana Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-?tek Moko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi
kurus ber?usia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-?eng Mo?ko
(Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek
gendut. Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si
Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan
kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin
bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membinasakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena
hal itu akan me-nimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah
dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji,
bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya
kepada suami isteri pimpinan Pasu?kan Halilintar itu. Kalau
mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan me?nimbulkan
kegemparan. 751 Suami isteri itu berjalan santai menu?ju ke rumah gedung
tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka tiba di bagian
jalan yang sunyi, tiba-tiba me?reka melihat tiga orang berdiri
menghadang di tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan
dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang
berpa?kaian seperti seorang tosu. Jenggotnya panjang dan
tubuhnya agak pendek de?ngan perut gendut. Mukanya
berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum me?ngejek. Di
punggungnya tergantung seba?tang pedang. Orang kedua
bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengko?rak dan
diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di
pinggang. Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa
golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia
sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir berusia
antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.
Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng
Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan sepi itu.
Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka,
Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum mengejek dan
memandang rendah. "Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi?" Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang
jujur, Han Si Tiong menjawab. "Benar sekali. Totiang (bapak
pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda
bertiga) menghadang perjalanan kami?"
752 Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan
membunuh suami isteri itu segera mencabut senjata mereka dan
Hwa Hwa Cin-jin berseru, "Kalian harus mati di tangan kami!"
Tiga orang itu sudah menyerang dengan cepat dan ganas sekali.
Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil
melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.
Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang
menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si Tiong memutar
pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua
orang jagoan yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Moko (Sepasang lblis Jantan).
"Tranggg ! Trangggg!!" Bunga api berpijar dan
suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali Liang
Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat
pedangnya terlepas dan ia merasa betapa telapak tangannya
menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu
terjengkang, akan tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan
terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya
terjatuh. Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir
kalau-kalau suami isteri itu memiliki kepandaian yang terlalu kuat
bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata
dalam segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan
hampir roboh! Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri itu repot
sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan
terkadang mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis.
753 Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya
kalah jauh sehingga ia repot sekali harus menghindarkan diri
dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak
mempermainkan calon korbannya. Sementara itu, kalau dibuat
perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang
dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.
Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan
ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi dikeroyok
dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya
mampu mengelak dan menangkis.
"Cringgg trak ! Trakk !" Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah
pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat betapa pedang suami
isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan
maut. "Tahan!" bentak Han Si Tiong. "Kami bukan orang-orang yang
takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa kalian dan mengapa
kalian hendak membunuh kami?"
Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak.
Mereka memang dipesan agar jangan memberitahukan hal itu,
khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum
terhadap suami isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau
mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah
Perdana Menteri Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa
lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut
dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak
berdaya itu. 754 Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami
isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat
bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.
"Tranggg ! Cringgg !!" Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental
karena ditangkis sebatang pedang lain yang gerakannya amat
cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang
menangkisnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini
gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan.
Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena
senjata mereka bertemu dengan pedang yang demikian kuat
dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek
Mo ko dan ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!
Sementara itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi girang bukan
main ketika pada saat kematian sudah di depan mata, ada dua
orang penolong muncul dan menangkis serangan maut tiga
orang lawan mereka itu. Mereka berdua segera mengenal gadis
yang mengaku bernama Sie Pek Hong namun sesungguhnya
puteri Kaisar Kin itu, yang muncul bersama seorang laki-laki
berkumis dan berjenggot tebal. Akan tetapi ketika mereka
melihat dengan penuh perhatian, mereka segera mengenal
bahwa orang berkumis dan berjenggot itu bukan lain adalah
Thian Liong. Tentu saja mereka menjadi girang sekali, akan
tetapi melihat betapa pemuda itu menyamar, mereka tidak mau
memanggil namanya. Sementara itu, Pek Hong Nio-cu yang sudah marah sekali, tanpa
banyak cakap lagi sudah bergerak ke depan, menerjang Hwa
755 Hwa Cin-jin dengan serangan pedangnya. Juga Thian Liong
sudah memutar pedangnya menyerang dua orang Siang Mo-ko.
Serangan Thian Liong demikian hebatnya sehingga terdengar
suara berdencing nyaring ketika dua orang itu menangkis
pedang Thian-liong-kiam. "Cringggg !" Dua orang itu terhuyung dan kini
pedang dan golok mereka patah di bagian tengahnya. Dua kali
Thian Liong menendang dan dua orang kakak beradik
seperguruan itu tak mampu menghindarkan diri lagi sehingga
mereka terguling roboh. Mereka merangkak bangun dan melihat
betapa Hwa Hwa Cin jin juga repot menghadapi serangan gadis
cantik itu, mereka berdua segera berseru.


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cin-jin, lari! Kita mencari bantuan!"
Mendengar ini. Hwa Hwa Cin-jin maklum bahwa keadaannya
berbahaya sekali, maka diapun melarikan diri bersama dua
orang Siang Mo-ko untuk mencari bantuan.
Melihat tiga orang itu melarikan diri dan berteriak bahwa mereka
akan mencari bala bantuan, Han Si Tiong berbisik kepada
isterinya. "Cepat ajak mereka lari ke rumah Kwee-ciangkun!"
Liang Hong Yi maklum akan maksud suaminya. Mereka lari
menghampiri dua orang muda itu dan Han Si Tiong memegang
tangan Tian Liong sedangkan Liang Hong Yi memegang tangan
Pek Hong, lalu menarik mereka untuk cepat berlari memasuki
lorong kecil. 756 "Cepat lari bersama kami sebelum mereka kembali membawa
pasukan!" Thian Liong dan Pek Hong maklum akan maksud mereka dan
menurut saja. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah
pintu kecil yang merupakan pintu belakang gedung tempat
tinggal Panglima Kwee Gi. Pintu kecil ini merupakan pintu untuk
para pelayan kalau hendak bepergian ke luar gedung untuk
suatu keperluan. Han Si Tiong dan isterinya masih hapal akan keadaan rumah ini,
maka tanpa ragu-ragu mereka memasuki pintu kecil itu dan
menutupkannya kembali. Dua orang pelayan wanita yang
berada di bagian belakang rumah itu terkejut sekali melihat
masuknya empat orang dari pintu itu.
Mereka hendak menjerit, akan tetapi cepat sekali Pek Hong dan
Liang Hong Yi menangkap dan menutup mulut mereka dengan
tangan. "Jangan berteriak! Kami bukan orang jahat. Kami adalah
sahabat Kwee-ciangkun yang membutuhkan perlindungan
karena dikejar orang-orangnya Perdana Menteri Chin Kui. Cepat
bawa kami ke dalam bertemu dengan Kwee-ciangkun atau
Kwee-hujin (Nyonya Kwee}!" kata Liang Hong Yi.
Dua orang pembantu itu masih ketakutan. Pada saat itu dari
dalam muncul seorang pemuda yang tinggi besar dan tampan,
berusia sekitar duapuluh tahun.
757 "He, ada apa ini" Siapa kalian berempat?" Pemuda yang bukan
lain adalah Kwee Cun Ki itu membentak dan meraba gagang
pedangnya. "Kwee-kongcu mereka ini menerobos masuk
mengaku sahabat Thai-ciangkun (panglima besar)
" seorang di antara dua pelayan itu berkata gagap.
Mendengar ini Han Si Tiong cepat berkata. "Ah, Kwee-kongcu"
Engkau ini tentu Kwee Cun Ki, bukan?"
Liang Hong Yi juga berseru girang, "Benar, dia pasti Cun Ki! Cun
Ki, lupakah engkau kepada kami" Ini adalah
pamanmu Han Si Tiong dan aku "
"Ah, engkau bibi Liang Hong Yi! Paman Han, bagaimana saya
dapat mengenal paman kalau sekarang berjenggot dan
berkumis seperti ini?" Cun Ki berseru girang, lalu memandang
kepada Thian Liong dan Pek Hong. "Dan mereka ini siapa,
paman?" "Cun Ki, nanti saja kita bicara dan kuperkenalkan. Sekarang
cepat ajak kami menemui ayah ibumu. Kami dikejar-kejar kaki
tangan Chin Kui!" "Ah, marilah, paman!" kata pemuda itu dan dia mendahului
mereka memasuki gedung meninggalkan para pembantu rumah
tangga yang merasa lega bahwa tuan muda mereka mengenal
baik para pendatang itu. 758 Kebetulan sekali Panglima Kwee Gi dan isterinya berada di
rumah. Mereka sedang duduk di ruangan dalam ketika tiba-tiba
pintu ruangan terbuka dan putera mereka, Kwee Cun Ki
menerobos masuk diikuti empat orang asing. Kwee-ciangkun
bangkit berdiri dengan terkejut dan heran. Dia tidak segera
mengenal sahabat baiknya itu.
"Ayah, ibu, lihat siapa yang datang berkunjung! Paman Han Si
Tiong dan bibi Liang Hong Yi!"
Barulah suami isteri itu mengenali suami isteri yang menjadi
sahabat baik mereka dan yang sudah belasan tahun tidak
pernah mereka temui dan tidak mereka ketahui di mana tempat
tinggalnya itu. "Han-siauwte (adik Han)
!" "Kwee-twako (kakak Kwee)
!" Dua orang sahabat itu saling menghampiri dan mereka segera
berangkulan. Juga Liang Hong Yi berangkulan dengan nyonya
Kwee. Setelah menumpahkan rasa rindu dan girang hati
mereka, empat orang tamu itu dipersilakan duduk.
"Han-siauwte, siapakah orang muda dan nona ini?" tanya Kweeciangkun sambil memandang kepada Thian Liong dan Pek
Hong. "Nanti dulu, Kwee-twako. Sebelumnya ketahuilah bahwa kami
berempat tadi diserang oleh orang-orangnya Chin Kui. Mereka
lari memanggil bala bantuan dan kami cepat melarikan diri ke
759 sini! Mungkin mereka akan mengejar dan mencari sampai ke
sini!" Kwee-ciangkun mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.
"Jangan khawatir, Han-siauwte. Kalian bersembunyilah dalam
ruangan rahasia, biar diantar oleh isteriku. Aku akan keluar
untuk menemui mereka!"
Kwee-hujin (Nyonya Kwee) lalu mengajak empat orang itu ke
ruangan belakang. Di dekat dapur, nyonya itu menggerakkan
sebuah patung yang berada di atas meja dan dinding ruangan
itu tiba-tiba terangkat naik dan mereka lalu memasuki pintu
rahasia itu. Setelah tiba di dalam, dinding itu menutup kembali.
Ternyata ruangan di balik dinding ini cukup luas dan Kwee-hujin
mempersilakan empat orang itu duduk mengelilingi sebuah meja
besar dan iapun bercakap-cakap dengan Liang Hong Yi.
Sementara itu Kwee-ciangkun keluar dari gedung dan dia
bertemu dengan pasukan yang dipimpin Hwa Hwa Cin-jin dan
Siang Mo-ko. Dia mengenal tiga orang ini sebagai jagoan-jagoan
Perdana Menteri Chin Kui.
"Eh, Totiang hendak ke manakah membawa pasukan ini?" tanya
Kwee-ciangkun. Para jagoan Perdana Menteri Chin Kui itu mempunyai tugas
rahasia dan tentu saja mereka tidak ingin tugas itu diketahui oleh
orang lain, apalagi diketahui seorang panglima kerajaan.
"Kami diutus Chin-taijin (Pembesar Chin) untuk mencari
penjahat-penjahat. Mereka merupakan dua pasang lelaki
760 perempuan yang masih muda dan setengah tua. Kalau anak
buah Kwee-ciangkun ada yang melihatnya, harap cepat
memberitahukan kami," jawab Hwa Hwa Cin-jin.
"Ah, begitukah" Baik totiang, akan kupesan kepada anak
buahku!" Mereka berpisah. Pasukan itu melanjutkan pencarian mereka
dan Kwee-ciangkun kembali ke rumahnya. Setelah tiba di
rumah, cepat dia memasuki ruangan rahasia itu di mana isteri
dan empat orang tamunya telah menunggu.
"Benar saja, Han-siauwte. Tiga orang jagoan kaki tangan Chin
Kui itu membawa tiga losin orang perajurit mencari kalian
berempat. Sebaiknya kalian berdiam di sini dan jangan keluar
sampai keadaan di luar aman."
Setelah Kwee-ciangkun duduk menghadapi meja, Han Si Tiong
memperkenalkan. "Twako perkenalkan. Pemuda ini bernama
Souw Thian Liong dan nona ini bernama Sie Pek Hong. Mereka
berdua sehaluan dengan kita, menentang kelaliman Chin Kui. Tadi kami berdua
diserang oleh tiga orang jagoan kaki tangan Chin Kui itu. Kami
nyaris celaka. Untung muncul mereka berdua ini sehingga para
penyerang itu melarikan diri. Sebelum mereka kembali
membawa pasukan, aku mengajak mereka lari ke sini." Setelah
berkata demikian, Han Si Tiong menoleh kepada Thian Liong
dan Pek Hong. 761 "Souw-sicu dan Sie-siocia, perkenalkan. Tuan rumah kita ini
adalah Panglima Kwee Gi dan Nyonya Kwee, dan pemuda
gagah ini adalah putera mereka, Kwee Cun Ki."
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi
hormat, diikuti oleh Pek Hong. "Maafkan kalau kami berdua
mengganggu ketenteraman keluarga ciang-kun," kata Thian
Liong dengan sikap hormat.
"Ah, sama sekali tidak mengganggu, Souw-sicu," kata Kweeciangkun yang lalu memandang kepada Han Si Tiong.
"Han-siauwte, bagaimana asal mulanya maka engkau dan
isterimu, setelah menghilang selama belasan tahun, tiba-tiba
muncul di kota raja dan diserang oleh kaki tangan Perdana
Menteri Chin Kui?" "Ceritanya panjang, twako," Han Si Tiong mulai bercerita.
"Twako berdua tentu tahu bahwa semenjak pulang dari
perbatasan dan mendapat kenyataan betapa bibi Lu-ma
terbunuh dan anak kami diculik orang, kami meletakkan jabatan
dan meninggalkan kota raja. Selama bertahun-tahun kami
mencoba untuk mencari anak kami, namun semua usaha kami
sia-sia sehingga akhirnya kami tinggal di tempat sunyi, di sebuah
dusun dekat See-ouw (Telaga Barat). Kami sudah putus asa
untuk dapat menemukan Bi Lan, anak kami yang hilang itu "
"Kami tidak tahu apakah anak kami itu masih hidup ataukah "
sambung Liang Hong Yi dengan suara
gemetar karena sedihnya. 762 "Paman dan bibi! Adik Han Bi Lan masih hidup!" tiba-tiba Cun Ki
berseru, nada suaranya gembira.
Dua pasang mata itu terbelalak. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
bangkit berdiri dengan wajah berubah merah. Air mata
bercucuran dari kedua mata Liang Hong Yi dan sepasang mata
Han Si Tiong juga menjadi basah.
"Cun Ki, apa apa maksudmu ?" tanya Han
Si Tiong gagap, seolah tidak percaya akan apa yang
didengarnya tadi. "Cun Ki berkata benar, siauw-te. Bi Lan masih hidup, sehat
bahkan kini ia menjadi seorang gadis yang lihai sekali!" kata
Kwee-ciangkun. Han Si Tiong melompat dan memegang kedua lengan
sahabatnya dengan erat, sedangkan Liang Hong Yi sudah
menubruk dan merangkul Nyonya Kwee sambil menangis
sesenggukan. Rasa bahagia yang terlalu besar memukul
perasaan mereka, mendatangkan keharuan yang mendalam.
"Ceritakan, twako, ceritakan tentang Bi Lan!"
"Tolong, Kwee-twako cepat katakan anakku Bi Lan sekarang tangisnya. ?" kata pula Liang Hong Yi di antara
di mana Pek Hong bangkit dan menghampiri Liang Hong Yi yang masih
merangkul nyonya Kwee sambil menangis. Dengan lembut ia
763 menarik pundak wanita yang menangis itu, "Tenangkanlah
hatimu, bibi." "Benar, paman Han dan bibi, harap tenang dan duduklah. Tentu
Kwee-ciangkun akan segera menceritakan tentang puteri paman
dan bibi itu," kata pula Thian Liong.
Suami isteri itu menyadari keadaan mereka. Mereka duduk
kembali dan Han Si Tiong berkata, "Twako dan so-so (isteri
kakak), maafkanlah kelemahan kami."
Kwee Gi tersenyum. "Tidak mengapa, siauw-te, kami dapat
memaklumi perasaan kalian yang dilanda kegirangan dan
keharuan. Kurang lebih dua bulan yang lalu, puteri kalian Han Bi
Lan memang datang di kota raja ini dan ia sempat membikin
geger kota raja." "Apa yang telah dilakukan anakku, Kwee-twako?" tanya Liang
Hong Yi. "Ia datang ke kota raja untuk mencari kalian di rumah kalian
yang dulu. Akan tetapi rumah itu kini telah menjadi tempat
kediaman Jenderal Ciang Sun Bo dan ketika Bi Lan datang
berkunjung, Jenderal Ciang mengaku sebagai sahabat kalian
dan menerima Bi Lan dengan ramah."
"Huh, mana mungkin Jenderal Ciang yang jahat itu menjadi
sahabat kami" Dia bohong!" kata Liang Hong Yi gemas.
"Memang dia berbohong, akan tetapi tentu saja Bi Lan tidak tahu
akan hal itu, maka dia menerima dengan senang hati ketika
keluarga Ciang itu menjamunya dengan pesta makan. Ketika
764 makan minum, mereka menaruh racun ke dalam anggurnya
untuk membuat Bi Lan terbius dan pingsan " "Jahanam! Kubunuh itu Jenderal Ciang keparat!" Liang Hong Yi
membentak dan mengepal tinju.
Pek Hong tersenyum geli. Nyonya itu wataknya seperti ia, paling
benci melihat kelicikan orang. "Harap bibi tenang karena melihat
wajah Kwee-ciangkun, kukira akhir ceritanya tidak begitu
mengkhawatirkan." Kwee Gi tersenyum. "Penglihatan Nona Sie tajam sekali.
Memang benar, harap Han-siauwte berdua tidak menjadi gelisah
dulu. Bi Lan tidak akan dapat bertemu dengan kami kalau dia
sampai celaka di tangan mereka. Ia memang jatuh pingsan dan
ia sempat dipondong oleh Ciang Ban ke dalam kamarnya. Akan
tetapi Bi Lan ternyata cerdik bukan main. Ia telah merasa curiga,
maka ia hanya pura-pura saja pingsan. Ia murid seorang ahli
racun, maka ia tentu saja tidak mudah diracuni orang. Setelah
tiba di kamar, melihat Ciang Ban bermaksud keji kepadanya, ia
lalu membunuh Ciang Ban. Jenderal Ciang Sun Bo dan Luiciangkun, pembantunya yang mengeroyok Bi Lan, dibunuh pula
oleh puteri kalian itu, dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos."
"Hebat! Bagus sekali. Ah, Bi Lan anakku !" Liang
Hong Yi berseru dan ia menangis lagi, penuh kegembiraan dan
kebanggaan! Juga Han Si Tiong meneteskan air mata karena
girang dan bangga. 765 Sama sekali tak pernah dibayangkan bahwa puteri mereka, anak
tunggal mereka yang hilang itu, kini masih hidup dan menjadi
seorang pendekar wanita yang amat lihai!
"Bi Lan lalu dikepung banyak perajurit. Ia mengamuk dan


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merobohkan banyak perajurit dan lolos dari rumah Jenderal
Ciang. Ia dikejar banyak perajurit dan sebentar saja pasukan
dikerahkan untuk mengejarnya. Aku mendengar dari para
penyelidikku bahwa yang membunuh Jenderal Ciang dan
puteranya, juga membunuh Perwira Lui To dan banyak perajurit,
adalah Han Bi Lan, puteri kalian. Mendengar ini, aku terkejut dan
cepat aku keluar. Beruntung sekali aku bertemu dengan Bi Lan
di lorong sepi dan aku segera memperkenalkan diri dan
mengajaknya sembunyi di rumah kami ini."
"Ah, lagi-lagi engkau yang telah menolong, twako. Pertama
engkau menyelamatkan Bi Lan dan hari ini engkau
menyelamatkan kami!" kata Han Si Tiong terharu.
"Hemm, itulah gunanya persahabatan, siauwte. Kalau bukan
sahabat yang saling menolong, lalu siapa" Biar kulanjutkan
ceritaku tentang Bi Lan. Ia bersembunyi di sini selama seminggu
dan selama itu ia menceritakan semua pengalamannya sejak ia
diculik oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Ouw Kan datang ke
rumah kalian di sini lalu membunuh Lu-ma dan menculik Bi Lan.
Di tengah perjalanannya melarikan Bi Lan, Ouw Kan bertemu
dengan Jit Kong Lhama, datuk persilatan dari Tibet dan pendeta
Lhama ini merampas Bi Lan setelah mengalahkan Ouw Kan.
Sejak saat itu, Bi Lan menjadi murid Jit Kong Lhama sampai
sebelas tahun lamanya. Ia mempelajari ilmu-ilmu silat, sihir dan
juga tentang racun dari Jit Kong Lhama sehingga menjadi lihai
766 sekali. Ia tinggal selama itu di sebuah puncak dari pegunungan
Kun-lun-san dan katanya akhir-akhir ini iapun menjadi murid
Kun-lun-pai." "Ahh, anak kita menjadi seorang yang lihai! Terima
kasih kepada Thian (Tuhan)
!" kata Liang Hong Yi.
"Akan tetapi ke manakah Bi Lan pergi setelah meninggalkan
rumahmu ini, twako?" tanya Han Si Tiong.
Kwee Gi menghela napas panjang.
"Kami tidak tahu, siauw-te. Kami menyelundupkan ia keluar kota
raja setelah tinggal di sini selama satu minggu. Ia tidak
mengatakan ke mana akan pergi. Sebetulnya kami bermaksud
menahannya di sini karena
kami mempunyai niat untuk
menjodohkan Bi Lan dengan putera kami Cun Ki ini."
"Ohhh kami akan senang sekali dan setuju
sekali!" seru Liang Hong Yi.
"Ya, tentu saja kalau Bi Lan juga menyetujui," sambung Han Si
Tiong sambil memandang kepada Kwee Cun Ki.
Pemuda ini tampan dan tampak gagah perkasa, cukup
membanggakan kalau dapat menjadi mantu. Mendengar
percakapan tentang perjodohannya dengan Bi Lan, gadis yang
dikaguminya dan yang membangkitkan rasa cintanya itu, Cun Ki
hanya tersenyum, dalam hatinya merasa girang mendengar
767 betapa ayah ibu Bi Lan tidak keberatan kalau dia berjodoh
dengan Bi Lan. Bahkan ibu gadis itu menyetujui.
"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang perjalananmu
sampai ke sini, Han-siauwte," tanya Kwee Gi.
Han Si Tiong memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong,
lalu menjawab. "Kwee-twako, sebetulnya kedetangan kami
berdua di kota raja ini erat hubungannya dengan dua orang
muda, Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong ini. Belum lama ini,
tempat tinggal kami diketahui oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan,
datuk yang membunuh Bibi Lu-ma dan menculik Bi Lan itu.
Karena dia gagal membunuh kami, bahkan gagal pula menculik
Bi Lan, dia malu bertemu dengan Kaisar Kin yang mengutusnya
membunuh kami. Kaisar Kin merasa sakit hati mendengar
betapa puteranya, Pangeran Cu Si, tewas oleh kami dalam
pertempuran di perbatasan dahulu. Maka, Ouw Kan selama ini
terus mencari kami dan akhirnya dia menemukan kami di dekat
Telaga Barat. Kami nyaris tewas oleh datuk yang amat sakti itu,
akan tetapi kebetulan Souw-sicu dan Sie-siocia ini muncul dan
menolong kami, mengusir Ouw Kan yang melarikan diri.
Kemudian kami saling bercerita dan kami berdua mendengar
bahwa Souw-sicu sedang dikejar?kejar pasukan kerajaan yang
harus menangkap atau membunuhnya karena dia dituduh
sebagai seorang pengkhianat yang menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin. Padahal dia sama sekali tidak berkhianat, bahkan
dia hendak menentang Perdana Menteri Chin Kui. Tentu Chin
Kui yang melempar fitnah dan membujuk Sri Baginda agar
mengeluarkan perintah menangkap Souw-sicu dengan tuduhan
pengkhianat. Nah, karena kami yakin bahwa dia bukan
pengkhianat, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta
768 bantuan twako mencari jalan untuk menyakinkan Sri Baginda
bahwa Souw Thian Liong bukan pengkhianat dan tidak menjadi
kaki tangan Kerajaan Kin seperti yang dituduhkan."
Panglima Kwee Gi kini memandang kepada Souw Thian Liong
dan Sie Pek Hong bergantian dengan sinar mata penuh selidik.
"Souw-sicu dan Sie-siocia, kami tidak mengenal kalian, akan
tetapi setelah mendengar cerita Han-siauwte kami percaya
sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau sekiranya kami dapat
membantumu agar terlepas dari tuduhan itu, kami akan senang
sekali membantu. Akan tetapi tentu saja kami harus mendengar
penjelasan darimu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga
kalian dituduh sebagai pengkhianat dan kaki tangan Kerajaan
Kin." Thian Liong mengerutkan alisnya. Diapun belum mengenal
orang macam apa adanya Kwee Gi ini, maka dia menoleh dan
memandang kepada Han Si Tiong dengan sinar mata bertanya.
Han Si Tiong dapat memaklumi perasaan pemuda itu, maka
diapun berkata. "Souw-sicu, engkau dan nona Sie telah mempercayai kami
suami isteri dan kalau kalian kini mempercayai Panglima Kwee
Gi, kami yang menanggung bahwa kepercayaanmu itu tidak
keliru." Mendengar ucapan Han Si Tiong itu, Thian Liong kini
memandang kepada Sie Pek Hong. Gadis ini tersenyum dan
berkata. 769 "Liong-ko, aku juga dapat melihat dan merasa bahwa Paman
Kwee Gi adalah seorang yang baik dan bijaksana, aku tidak
keberatan kalau engkau menceritakan segalanya kepadanya."
Lega hati Thian Liong mendengar ini. Dia lalu memandang
kepada Panglima Kwee dan berkata,
"Kwee-ciangkun " "Nanti dulu, tadi nona ini sudah memberi contoh baik, menyebut
Paman Kwee kepadaku. Sebaiknya engkaupun menyebut kami
paman dan bibi saja, Souw Thian Liong."
Senang hati Thian Liong melihat sikap dan mendengar ucapan
yang ramah itu. "Baiklah, Paman Kwee. Saya akan berterus terang kepada
paman dan bibi, seperti kami juga telah berterus terang kepada
Paman dan Bibi Han. Semula, saya
melakukan perjalanan ke utara untuk
" Dia berhenti karena dia tidak tahu atau belum ingin menceritakan bahwa dia
mencari gadis pencuri kitab yang kini dia ketahui adalah Han Bi
Lan, puteri Han Si Tiong. Tidak enak rasanya terhadap suami
isteri Han itu kalau dia menceritakan bahwa anak gadis mereka
adalah seorang pencuri! "Maksud saya saya melakukan perjalanan
770 merantau ke utara untuk meluaskan pengalaman dan dalam
perjalanan itu saya berkenalan dengan ia ini yang menghajar
para pembesar Kerajaan Kin yang menindas rakyat. Saya
mengenalnya sebagai Pek Hong Nio-cu, yaitu nama julukannya
sebagai seorang pendekar wanita pembela kebenaran dan
keadilan. Kemudian saya baru mengetahui bahwa Pek Hong
Nio-cu yang sekarang menggunakan nama Han yaitu Sie Pek
Hong ini bukan lain adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar
Kerajaan Kin." "Ahh !" Panglima Kwee dan isterinya berseru
kaget. Siapa orangnya yang tidak akan kaget mendengar bahwa
gadis yang kini berada di rumah mereka itu ternyata adalah
puteri Kaisar Kin" Mereka berdua kini memandang kepada
"puteri" itu dengan heran bercampur kagum.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu yang menjadi perhatian hanya
tersenyum manis! Melihat betapa pandang mata, suami isteri itu
kini agak berbeda, pandang mata yang menghormat, ia lalu
berkata ramah. "Paman dan Bibi Kwee. Keadaan diriku ini harap paman berdua
rahasiakan. Anggap saja aku ini gadis Han bernama Sie Pek
Hong dan sebut saja namaku Pek Hong. Dengan demikian
paman berdua telah membantu penyamaranku dan aku
berterima kasih sekali kepadamu."
Suami isteri itu saling pandang lalu pecah ketawa Panglima
Kwee. "Ha-ha-ha, luar biasa sekali! Seperti dongeng saja! Hebat,
engkau hebat sekali dan kami sungguh merasa kagum sekali
padamu, Pek Hong!" 771 "Dan kepadamu juga aku minta hal yang sama, koko Kwee Cun
Ki," kata Pek Hong kepada pemuda tinggi besar itu. Cun Ki
tersipu dan diapun mengangguk.
"Baik, percayalah kepadaku. Aku bukan seseorang yang suka
panjang mulut, Hong-moi."
Thian Liong tersenyum. "Nah, Hong-moi, agaknya kita berada di
antara keluarga yang bijaksana dan patut dihormati."
Pek Hong mengangguk dan Han Si Tiong tertawa pula. "Ha-haha! Kepercayaan kalian berdua tidak sia-sia. Aku jamin bahwa
kalian akan aman berada di dalam rumah Kwee-toako."
Kwee Gi tersenyum. "Sudahlah, cukup semua pujian itu.
Sekarang, lanjutkan ceritamu, Thian Liong!"
"Setelah kami berdua berkenalan, kami sempat tertawan oleh
orang-orang yang sedang hendak memberontak kepada
Kerajaan Kin. Untung kami dapat lolos." Dia tidak menceritakan
tentang pertotongan yang dilakukan suhunya yang menurut Pek
Hong adalah Paman Sie. "Kami mengetahui rahasia pemberontakan itu yang diatur oleh
Pangeran Hiu Kit Bong yang bersekongkol dengan Perdana
Menteri Chin Kui yang diwakili oleh seorang pemuda bernama
Cia Song. Kami berdua menentang pemberontakan itu dan
berhasil mengundang pasukan yang berjaga di barat sehingga
akhirnya pemberontakan itu dapat ditumpas. Sayang bahwa Cia
Song, utusan Perdana Menteri Chin Kui itu dapat lolos dan
agaknya dia yang melapor kepada Chin Kui dan mereka
melempar fitnah kepada diriku sehingga aku dijadikan orang
772 buronan pemerintah Sung. Aku memang membantu pemerintah
Kerajaan Kin, akan tetapi membantu dari ancaman pemberontak
yang bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui."
"Hemm, aku mulai mengerti duduknya perkara. Dan
Pek Hong, kenapa engkau meninggalkan
istana dan ikut Thian Liong ke sini, padahal di sini bahaya mengancammu?"
Pek Hong tersenyum. "Liong-ko telah membantuku menyelamatkan kerajaan ayah, karena itu, aku ingin membalas
budinya dan ingin membantu dia menyelamatkan Kerajaan Sung
dari tangan Chin Kui yang kotor. Mengingat bahwa Chin Kui
bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin, berarti dia juga
musuhku, bukan" Dan ayahku, Raja Kin, juga menyetujui
kepergianku ikut Liong-ko ke selatan."
"Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan
namamu, Thian Liong. Kalau tidak, engkau akan menjadi
buronan pemerintah dan hidupmu tidak akan aman lagi."
"Akan tetapi bagaimana caranya, Kwee-toako" Kalau hanya
Chin Kui yang mengerahkan orang-orangnya untuk menangkap
atau membunuh Thian Liong, hal itu tidak terlalu berbahaya dan
juga tentu saja dapat dilawan. Akan tetapi kalau pengejaran itu
atas perintah Sri Baginda, tentu seluruh negeri akan mengawasi
Thian Liong dan kalau dia melawan pasukan pemerintah, tentu
dia akan dituduh sebagai pemberontak," kata Han Si Tiong.
"Tidak ada jalan lain kiranya kecuali satu, ialah membunuh si
jahat Chin Kui!" kata Pek Hong.
773 Liang Hong Yi berseru, "Tepat! Memang jahanam itu harus
dibunuh karena dialah biang keladi semua kekacauan ini!"
Panglima Kwee Gi menggeleng kepala sambil tersenyum
melihat dua orang wanita yang bersikap galak seperti harimau
betina itu. "Tidak begitu mudah membunuh perdana menteri itu. Selain dia
selalu dikawal oleh banyak jagoan yang tangguh, juga dia
mempunyai pasukan pengawal khusus yang jumlahnya sampai
seratus orang dan ke manapun dia pergi selalu terlindung.
Selain itu, aku mendengar bahhwa di dalam gedungnya yang
seperti istana itu dipasangi banyak alat rahasia sehingga tidak
mudah mencari tempat persembunyiannya."
"Kalau begitu kita tunggu sampai dia keluar dari gedungnya dan
kita menyergapnya!" kata pula Pek Hong. "Kalau dia dilindungi
seratus orang pengawal, kukira Paman Kwee tentu dapat
mengerahkan pasukan yang lebih besar, mengingat paman
menjadi komandan pasukan keamanan kota raja!"
Kembali Panglima Kwee tersenyum dan menggeleng kepala
walaupun dia kagum akan semangat yang demikian hebat dari
puteri Raja Kin itu. "Hal itu tidak mungkin dilakukan, Pek Hong.
Angrek Tengah Malam 5 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Burung Kenari 7

Cari Blog Ini