Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
yang dikatakan monyet betina itu adalah seorang gadis
remaja yang amat jelita. Karena melihat seorang dara
berada di atas pohon sehingga dari bawah tampak betis
memadi bunting dan sebagian paha yang berkulit halus
putih di balik kain yang tersingkap, empat orang laki-laki itu
tidak dapat mengalihkan pandang matanya.
Retna Wilis adalah seorang dara yang menjadi besar di
tempat sunyi. Biarpun perasaan wanitanya membisikkan
rasa tidak suka kepada empat orang laki-laki yang
tersenyum-senyum menyeringai dan memandangnya dengan sinar mata panas penuh gairah, namun ia tidak tahu
apa yang mereka pikirkan. la menekan kemarahannya
ketika mendengar betapa orang muda itu tadi menyebutnya
monyet betina. Lamurkah mata pemuda itu yang mengira
dia monyet" Biarpun memanjat pohon, jelas bahwa dia
berpakaian dan sama sekali bukan monyet!
"Ha-ha-ha, Paman Brojol, memang dia betina tetapi
tentu saja bukan monyet, melainkan seorang dara jelita.
Tadi kusangka monyet karena mana ada seorang perawan
cantik memanjat pohon seperti monyet" Eh, perawan
gunung yang jelita dan berkulit kuning, berbetis padi
bunting dan berpaha ........... wah, engkau benar hebat.
Turunlah!" kata Jayus, orang muda itu.
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak
sudi turun. "Kalian mau apakah" Aku tidak ada urusan
dengan kalian. Pergilah, jangan sampai aku kehilangan
kesabaranku." Suara Retna Wilis dingin, juga pandang
matanya dingin sekali. Akan tetapi karena sebagian
wajahnya terhalang daun-daun sawo, hal ini agaknya tidak
tampak oleh Jayus yang tergila-gila melihat betis dan
pahanya, sedangkan tiga orang laki-laki yang lebih tua,
sungguhpun mereka bukan golongan mata keranjang dan
pengganggu wanita, namun mereka maklum akan darah
muda Jayus, hanya tersenyum saja, maklum pula bahwa
Jayus hanya menggoda dara itu, tidak mempunyai niat
yang buruk. "Waduh-waduh, galaknya ........... Eh, genduk bocah
ayu, turunlah dan mari kita bicara baik-baik. Kakangmu ini
bernama Jayus, ingin berwawancara dengan-mu, bocah
ayu. Kenapa mengusir kami pergi" Kalau engkau
kehilangan kesabaran, engkau mau apakah?"
"Tidak mau apa-apa, hanya mau membunuh kalian!"
jawab Retna Wilis, mulai jengkil, apalagi ia teringat nasehat
gurunya bahwa semua pria di dunia ini tidak ada yang baik
dan tidak ada yang boleh dipercaya omongannya. "Ingat,
muridku. Pria-pria itu seperti sekawanan kumbang yang
berhati palsu. Sebelum berhasil mendapatkan sari bunga,
mereka beterbangan di sekeliling bunga, berdendang
bernyanyi dengan suara merdu, membujuk rayu sehingga
sang kembang akhirnya membuka kelopaknya. Celakalah
sang kembang yang dengan mudah tunduk akan rayuan
mereka dan membuka kelopaknya, karena kumbangkumbang buas itu akan memasukinya dan menghisap habis
sampai kering madu sari bunga dan setelah bunga itu
mengering dan melayu, kumbang-kumbang itu pergi
meninggalkannya tanpa pamit dan terima kasih, palingpaling meninggalkan kotorannya di kelopak bunga!"
Demikianlah nasehat Nini Bumigarba sehingga di sudut
hati dara jelita ini telah bertumbuh benih kebencian
terhadap kaum pria. Empat orang pria itu terkejut dan memandang terbelalak
ke arah dara remaja yang berada di atas pohon sawo.
Gllakah perawan ini" Mengancam hendak membunuh
mereka, jagoan-jagoan terkenal dari Gunung Kelud" Empat
orang ini terutama sekali si pemegang penggada adalah
tokoh-tokoh Gunung Kelud, murid-murid Sang Panembahan Ki Ageng Kelud yang terkenal sakti
mandraguna dan juga berwatak satria-satria perkasa. Dan
kini mereka diancam hendak dibunuh oleh seorang
perawan yang baru berusia belasan tahun" Tiga orang yang
sudah berusia hampir empat puluh tahun itu terbelalak dan
terheran-heran, juga menjadi curiga karena sebagai orangorang yang perpengalaman mereka dapat menduga bahwa
perawan itu tentu tidak lancang begitu saja berani
mengancam hendak membunuh mereka. Akan tetapi Jayus,
yang masih muda dan darahnya lebih panas, tertawa
bergelak dengan hati panas.
"Ha-ha-ha, perawan gunung bermulut besar! Engkau
hendak membunuh kami" Wah-wah-wah, seekor kadal
sekali pun akan mati karena tertawa mendengar
kesombonganmu. Hayo turunlah dan bunuh aku kalau
memang mampu. Apa engkau tidak tahu dengan siapa
engkau berhadapan" Inilah Jayus, jangankan engau, biar
ada seorang raksasa betina sekali pun, sekali pegang dapat
kulontaran sampai terjatuh ke laut kidul. Haa-ha!"
"Engkau minta mati?" Tiba-tiba Retna Wilis melayang
turun bagaikan gerakan seekor burung srikatan melayang
dan tahu-tahu telah berada di depan Jayus yang
memandang kagum akan tetapi tetap memandang rendah.
"Engkau minta mati dan dilempar jauh" Boleh!" Setelah
berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Retna
Wilis melangkah maju Jayus cepat menggerakkan kedua
tangan hendak menangkap dara yang baru sekarang ia lihat
amat jelita seperti puteri kahyangan itu, akan tetapi
alangkah terkejutnya ketika kedua tangannya itu tak dapat
ia gerakkan lagi karena ada angin yang menyambar dari
perawan itu. Di lain saat, tangan kiri Retna Wilis
menampar ke arah kepalanya.
"Prakkk!" Darah dan otak muncrat dari kepala yang
pecah terkena tamparan dahsyat itu dan tangan kanan
Retna Wilis mencengkeram pinggang, membuat gerakan
melempar dan ........... mayat Jayus melayang jauh sekali,
terbanting ke atas tanah tak mampu bergerak lagi!
Tiga orang kawan Jayus berdiri seperti terkena hikmat,
tak mampu bergerak, kemudian Ki Brojol, yaitu laki-laki
brewok yang memegang penggada, sekali melompat telah
mengejar tubuh Jayus yang dilontarkan. Ia berlutut sebentar
dekat mayat itu, kemudian melompat lagi menghadapi
Retna Wilis, mukanya merah, matanya melotot dan
napasnya terengah-engah saking marahnya.
"Kau ........... kau ........... perawan iblis ........... kau telah
membunuhnya ........... !!"
Dua orang kawannya juga marah sekali, yang memegang
tombak sudah mengangkat tombaknya, yang memegang
pedang sudah mencabut pedangnya sedangkan Ki Brojol
sendiri sudah melepas penggadanya.
Retna Wilis berdiri dengan tenang menghadapi tiga
orang laki-laki tinggi besar yang marah-marah dan siap
menerjangnya itu. "Dia minta mati sendiri, aku hanya
memenuhi tantangannya. Kalian ini mau apa" Apakah juga
minta mati seperti dia?"
Mendengar ucapan yang demikian tenang seolah-olah
tak pernah terjadi sesuatu, Ki Brojol dan dua orang
kawannya bergidik, akan tetapi juga kemarahan mereka
berkobar. Jayus telah tewas, padahal kawan mereka yang
muda itu tidak melakukan sesuatu, hanya mengucapkan
kata-kata menggoda kepada gadis ini.
"Perawan iblis! Siluman keji! Engkaulah yang harus
mampus agar tidak mengotorkan dunia!" bentak Ki Brojol
yang menjagli marah sekali. Makiannya ini seolah-olah
menjadi aba-aba bagi kedua orang kawannya karena
mereka bertiga langsung menyerang Retna Wilis dengan
tiga macam senjata mereka. Biarpun mereka itu adalah
satria perkasa yang tentu saja tidak sudi mengeroyok
seorang perawan bertangan kosong dengan menggunakan
senjata, namun kematian kawan mereka terlalu hebat dan
terlalu menyakitkan hati sehingga saking marah, mereka
lupa akan sifat-sifat satria. Gerakan mereka cepat dan kuat
sekali, bagaikan kilat-kilat menyambar, tombak yang
runcing menusuk ke arah lambung Retna Wilis, pedang
menyambar ke lehernya dari belakang dan penggada di
tangan Ki Brojol menghantam kepalanya! Namun Retna
Wilis hanya berdiri diam tak bergerak, hanya masih
bersikap seperti tadi, lengan kanan terangkat dengan siku
ditekuk dan tangan kanan terbuka miring di depan dada,
tangan kiri terkepal di pinggang kiri, kedua kaki terpentang
ke depan belakang, sedikit pun tidak bergerak atau
bergoyang, matanya terbelalak, berkedip pun tidak
menghadapi datangnya serangan tiga senjata dahsyat itu.
Biarpun kelihatannya tidak bergoyang, namun sesungguhnya ia telah mengerahkan aji kesaktian Argoselo
yang membuat tubuhnya kebal dan kokoh kuat seperti batu
hitam di gunung! "Aahhhh?""
"Hemm?"?"."
"Celaka"..! Seruan-seruan ini keluar dari mulut tiga orang pria itu.
Mereka adalah satria-satria perkasa, tentu saja terkejut
menyaksikan betapa lawan mereka, hanya seorang perawan
remaja, sama sekali tidak mengelak atau menangkis
serangan mereka. Mereka merasa tidak enak hati dan
berbalik khawatir kalau-kalau serangan mereka akan
mencelakakan dara yang tidak melawan ini, akan tetapi
untuk menarik kembali senjata sudah terlambat sehingga
mereka hanya mampu mengurangi tenaganya saja.
Namun, begitu tiga buah senjata itu secara berbareng
menimpa lambung, leher dan kepala, mereka bertiga
terkejut bukan main karena senjata mereka membalik keras
dan pada saat itu, tubuh Retna Wilis bergerak, tangan
kanannya dengan jari terbuka berkelebat menyambar tiga
kali menempiling kepada tiga orang lawannya dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandangan mata sehingga tak mungkln dielakkan lagi. Tamparan-tamparan itu tidak keras, seperti menyentuh saja, namun akibatnya mengerikan karena tiga orang laki- laki tinggi besar itu terpelanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus, sedangkan muka mereka berubah menjadi hitam! "Aduh Dewata pengatur jagat! Apa yang kau lakukan ini
........... ?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah
seorang kakek yang agaknya datang tergesa-gesa dan berlari
cepat. Dari jauh, kakek ini sudah menyaksikan pertandingan-pertandingan itu, dan ia mempercepat larinya,
namun ia terlambat dan ia masih berkesempatan
menyaksikan betapa perawan remaja itu membunuh tiga
orang lawannya dengan sekali gerakan saja.
Retna Wilis membalikkan tubuh memandang. Yang
datang adalah seorang kakek tinggi besar bermuka kehitaman, bercambang bauk, matanya besar-besar menyinarkan keheranan, usianya sekitar enam puluh tahun,
pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya atau kolornya
berwarna merah, di pinggangnya terselip gagang senjata,
sikapnya gagah dan berwibawa.
Retna Wilis tetap tenang saja dan ia memang bukan
berpura-pura. Ia menganggap peristiwa itu biasa saja.
Empat orang itu ingin mati, menantangnya, maka ia turun
tangan membunuh mereka. Apa anehnya dalam hal ini"
Kini kakek ini datang bertanya dan memandang penuh
keheranan, maka ia menjawab,
"Engkau melihat sendiri apa yang kulakukan. Mereka
minta mati dan aku memenuhi permintaan mereka. Engkau
mau apa?" "Babo-babo ..........! Selama hidupku, aku Ki Warok
Surobledug baru sekalI ini menyaksikan kekejaman yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melewati batas! Banyak sudah kumelihat pembunuhan,
akan tetapi tidak ada yang sekeji ini! Banyak sudah
kumelihat orang aneh dan sakti, akan tetapi baru sekarang
aku melihat orang, apalagi seorang perawan remaja,
seorang bocah, dengan enak membunuhi orang dan
bersikap tenang seperti habis menginjak semut-semut saja.
Engkau siapakah, nini" Kulihat gerakanmu luar biasa sekali
dan apa salahnya Ki Brojol dan saudara-saudaranya maka
engkau membunuh mereka secara keji" Aku bukan seorang
berpikiran dangkal, biarpun mereka ini sahabat-sahabat
baikku dan kutahu mereka ini satria-satria perkasa, akan
tetapi kalau mereka bersalah dan sudah selayaknya
dibunuh, aku tidak akan membela mereka."
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Ucapan kakek raksasa
ini sukar dimengerti, akan tetapi dia merasa tidak senang
mendengar orang ini banyak bicara dan ribut-ribut hanya
karena dia membunuh empat orang kasar tadi!
"Aku tidak ada waktu banyak bicara, kau pergilah.
Kecuali kalau engkau seperti empat orang itu minta mati,
tentu. akan kupenuhi permintaanmu!"
Sepasang mata yang lebar itu makin terbelalak. Ki
Warok Surobledug adalah seorang tokoh besar di
Ponorogo, sakti mandraguna dan tak pernah merasa gentar
menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi
sekali ini, melihat -dari jauh betapa dara remaja ini sekali
bergerak membunuh sahabat-sahabatnya yang sakti,
kemudian melihat dara remaja yang cantik jelita ini
bersikap dingin dan tenang, setenang batu karang, bertanya
dengan suara dingin apakah dia minta mati, benar-benar
membuat bulu tengkuknya meremang. Bahkan ia diamdiam menduga apakah dara ini bukan manusia melainkan
iblis betina sendiri yang suka mengganggu manusia.
"Biar aku sudah tua bangka, akan tetapi tentu saja aku
tidak minta mati. nini! Aku hanya ingin mendengar
mengapa engkau membunuh sahabat-sahabatku itu dan...."
"Engkau ini laki-laki cerewet amat! Aku tidak ada waktu
melayanimu .......!" Retna Wilis memunguti buah-buah dan
bangkai kelinci, kemudian tanpa menoleh lagi meninggalkan Ki Warok Sirobledug yang berdiri melongo.
"Hei! Tunggu ........... !!" Kakek Itu meloncat dan seperti
Sang Harya Werkudara ia melangkah lebar dan cepat sekali
telah menyusul Retna Wilis yang berjalan seenaknya,
menghadang di depan dara itu.
Retna Wilis makin tak senang hatinya. Kedua tangannya
penuh dengan bawaan dan kini kakek itu menghadang
jalan. Ia melangkah terus, kemudian menggerakkan sikunya
mendorong tubuh kakek itu sambil berkata. "Minggir! Mau
apa menghadang jalan?"
Ki Warok Surobledug adalah seorang gagah perkasa
yang sudah banyak pengalamannya. Melihat sepak terjang
Retna Wilis tadi, ia sudah maklum bahwa perawan ini
memiliki kedigdayaan yang menggiriskan, maka kini
mellhat dara itu menyikunya, ia tidak berani memandang
ringan dan cepat ia memasang aji kekebatan untuk
mengukur tenaga sakti dara yang patut menjadi cucunya
itu. ?"Dukkki" Siku kecil meruncing halus bertemu dengan perut gendut
yang penuh hawa kekebalan dan akibatnya tubuh Ki Warok
Surobledug terjengkang dan roboh! Retna Wilis berjalan
terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ki Warok
Surobledug yang merasa betapa perutnya seperti diseruduk
tanduk banteng, meloncat bangun, agak terengah dan
merasa terheran-heran bercampur rasa penasaran. Hal yang
kelihatannya tak mungkin sama sekali telah terjadi.
Kekebalannya yang amat kuat, tubuhnya yang biasanya
sanggup menerima hantaman senjata apa pun juga, kini
bobol hanya oleh pukulan siku seorang perawan remaja!
"Eh, tunggu dulu, nini ..........!" Dengan hati penasaran
ia mengejar lagi. Retna Wilis menjadi kesal hatinya. Ia menoleh dan
melihat raksasa itu mengejar. Ia lalu mengerahkan tangan
kiri, berseru, "Engkau menjemukan!"
Ki Warok Surobledug melihat datangnya sinar hitam
menyambar. Ia cepat menggerakkan tangan kiri, membuka
tangan itu dan telapak tangannya yang penuh hawa sakti
dan kebal, yang biasanya sanggup meremas hancur
sebatang golok tajam lawan, mencengkeram benda hitam
yang ia sangka tentu senjata rahasia lawan. Ia bergerak
sigap dan berhasil menangkap benda itu, akan tetapi tak
terasa mulutnya mengeluarkan teriakan karena telapak
tangannya terasa sakit bukan main. Ketika ia melihat
tangannya, ia terkejut dan hatinya berdebar tegang melihat
telapak tangannya luka parah, kulit telapak tangannya
pecah dan ada tiga buah benda hitam menancap di telapak
tangan sedangkan seluruh tangan itu basah oleh darahnya
sendiri dan oleh benda kuning yang lembek dan hancur. Ia
mencium bau yang amat dikenalnya, akan tetapi masih
ragu-ragu dan mendekatkan tangannya ke depan hidung.
"Ya Dewata Yang Maha Agung .........!" Ia berseru,
hampir tidak percaya, keheranannya mengatasi rasa nyeri.
Ternyata bahwa yang dipakai dara itu menyerangnya
adalah sebutir buah sawo yang sudah masak! Sawo yang
lunak karena sudah masak itu pecah di telapak tangannya
dan tiga buah biji sawo melukai telapak tangannya,
sedangkan daging dan kulit sawo itu biarpun lunak,
ternyata dapat membuat telapak tangannva pecah-pecah!
Ia mengangkat muka memandang dan lebih terheranheran lagi dia ketika melihat bayangan dara itu seperti
terbang saja bergerak ke arah selatan, "Jagad Dewa Bathara
........... adakah dia penjelmaan Kanjeng Ratu Roro
Kidul....?" Hati Ki Warok Surobledug yang biasanya tak pernah
mengenal takut itu kini menjadi gentar. Ia maklum bahwa
kalau gadis itu tadi menyerangnya dengan senjata keras,
dengan batu misalnya, tentu dia tak hidup lagi. Baru sebutir
sawo saja sudah membuat tangannya yang kebal pecahpecah! Berkali-kali kakek ini menghela napas, kemudian
dengan memaksakan diri mengatasi rasa nyeri tangan
kirinya, ia menggali lubang dan mengubur jenazah empat
orang sahabatnya itu di tempat itu juga. Kemudian, setelah
berkali-kali memandang ke arah selatan, ia lalu pergi
dengan cepat menuju ke Gunung Kelud yang berada di
utara melaporkan peristiwa mengerikan itu kepada Ki
Ageng Kelud. Bagi Retna Wilis, peristiwa yang terjadi tadi bukan apaapa, sama sekali tidak ia pikirkan lagi, bahkan setelah ia
tiba di pantai dan menyuguhkan buah-buahan kepada Nini
Bumigarba, ia telah lupa akan pembunuhan-pembunuhan
yang ia lakukan di hutan itu.
"Retna Wilis muridku yang denok, muridku yang
tercinta!" kata Nini Bumigarba yang sudah duduk bersila
dalam guha batu karang ketika nenek ini melihat datangnya
muridnya membawa buah-buah sawo dan kelapa. "Ah, hal
ini berarti bahwa tak lama lagi kita akan saling berpisah."
Retna Wilis memandang nenek itu, hatinya merasa tak
enak, akan tetapi ia menekan batinnya yang sudah amat
kuat sehingga rasa tak enak ini segera lenyap di bawah
kekuatan kemauannya yang membaja. "Mengapa Eyang
berkata demikian" Aku hanya bermain-main di hutan,
mengambil buah, membunuh kelinci dan babi hutan!"
Terbayang wajah empat orang laki-laki tinggi kasar yang
dibunuhnya. Memang mereka itu tidak lebih hanyalah babibabi hutan berkaki dua, pikirnya.
"Sudah menjadi kehendak Hyang Suksma, muridku.
Sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia dapat
menguasai nyawanya sendiri. Aku sudah merasakan
getaran firasat dan sudah siap menghadapi segala yang
mungkin terjadi." "Apakah yang Eyang maksudkan?"
"Engkau tak perlu tahu. Dapat mengetahui sebelum
terjadi merupakan ilmu yang hanya akan menimbulkan
sengsara dalam hati sendiri. Cukup kalau kau ketahui
bahwa kita takkan lama lagi tinggal bersama di sini. Karena
itu, perhatikanlah pesanku baik-baik. Selama lima tahun ini
aku telah menurunkan semua aji-ajiku kepadamu dan
biarpun murid Ekadenta sendiri tidak akan mudah
menandingimu." "Siapakah murid Ekadenta, Eyang?"
"Kelak engkau akan mengetahui sendiri. Ingat .baik-baik
bahwa engkau kelak harus dapat mengalahkan murid
Ekadenta. Dengarkah engkau" Kalahkan dia. Tunjukkan
bahwa murid Sarilangking atau Bumigarba tidak kalah oleh
murid Ekadenta. Kalau perlu, untuk mengalahkannya,
engkau boleh membunuh dia!"
"Apakah dia sakti sekali, Eyang?"
"Tidak ada yang dapat melebihi kesaktianmu, muridku.
Memang dia mewarisi ilmu-ilmu kesaktian, akan tetapi
sebelum berpisah, aku akan menurunkan hawa Wisalangking ke tubuhmu dan dengan hawa itu, engkau
akan dapat mengalahkan lawan yang memiliki kesaktian
melebihimu! Akan tetapi, untuk menerima Wisalangking
engkau harus berpuasa membersihkan lahir batinmu selama
tiga hari tiga malam."
"Baik, Eyang, akan kulakukan mulai sekarang juga."
"Dengarlah dulu pesanku ini. Setelah aku pergi dan
engkau sudah memiliki hawa Wlsalangking, engkau harus
berlatih mempergunakan hawa itu di sini, seorang diri,
selama belum ada tanda yang akan tampak olehmu.
Engkau ingat akan bintang kehijauan di sebelah timur laut
yang tampak tiap malam tanpa bulan?"
"Yang Eyang katakan sebagai bintang yang berkuasa di
Jenggala pada saat ini dan tampak tersembul di puncak
yang seperti cengger jago itu?"
"Benar. Kau lihat baik-baik. Selama bintang itu masih
ada di langit, engkau tidak boleh pergi dari sini. Akan
tetapi, begitu kau lihat bahwa bintang itu lenyap dari
angkasa, engkau harus cepat pergi meninggalkan tempat ini,
kembali ke tempat kelahiranmu."
"Di Wilis?" "Benar. Kembalilah ke puncak Wilis dan engkau
taklukkan semua penduduk di seluruh wilayah Gunung
Wilis. Engkau harus menjadi seorang ratu, seorang puteri
yang disembah-sembah di Wilis dan tak seorang pun boleh
melanggar wilayahmu. Ingat, siapa pun adanya dia, yang
berani mencoba untuk mengganggu wilayahmu, boleh kau
bunuh. Tidak perduli dia itu mengaku ibumu, atau ayahmu,
atau siapa saja. Engkau akan menjadi Ratu Wilis dan
mengumpulkan kekuatan, menyusun pasukan sehingga
kelak engkau akan menyerang kerajaan keturunan
Mataram! Inilah cita-citaku mengapa aku bersusah payah
mendidikmu, Retna Wilis. Mengertikah engkau?"
"Aku mengerti, Eyang."
"Dan engkau akan mentaati pesanku" Kalau engkau
tidak sanggup, sekarang juga engkau akan kulenyapkan dari
muka bumi!" "Aku taat dan sanggup melaksanakan semua perintahmu." "Bagus, engkau memang muridku yang amat baik. Dan
jangan lupa. Di bawah karang Kukura di barat itu, di
bawah air ulekan (air berpusing) terdapat guha di dalam
lautan, guha yang bersambung dengan karang Kukura,
menjadi dasar karang. Setelah aku pergi dan setelah hawa
Wisalangking di tubuhmu kuat benar, kau pergilah ke sana,
menyelam dan masuki guha di bawah air laut. Di sana
terdapat sebuah peti kecil berisi sebatang pedang pusaka.
Pedang itu adalah pedang pusaka Sapudenta, setelah
kupakai sampai seratus tahun, kusimpan di sana agar dapat
menyedot hawa sakti Segoro Kidul. Pedang itu tadinya
kusediakan untuk menundukkan Ekadenta, akan tetapi
sekarang terlambat dan engkaulah yang akan menggunakannya untuk menundukkan murid Ekadenta."
"Baiklah, Eyang. Masih ada pesan lagi?"
"Ingat akan dua nama ini. Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati. Mereka itu adalah dua orang bekas sekutuku,
boleh kau jadikan sabahat karena mereka mewakili negaranegara yang kuat dan yang kelak perlu kau dekati agar
dapat membantumu menundukkan seluruh bumi Jawa di
mana engkau akan menjadi ratunya.
Akan tetapi tentu saja engkau tidak perlu tunduk kepada
mereka, hanya permintaan-permintaan mereka itu asal
pantas dan tidak memberatkan hatimu, boleh kau penuhi,
boleh kau bantu agar kelak mereka tidak segan-segan untuk
mendatangkan pasukan-pasukan negara mereka dan
membantu tercapainya cita-citamu."
Di dalam hatinya Retna Wilis tidak setuju dengan
ucapan terakhir ini. Ia sama sekali tidak bercita-cita untuk
menjadi ratu dan cita-cita itu hanyalah merupakan idaman
hati gurunya dan kalau kelak ia laksanakan juga semata
untuk memenuhi permintaan gurunya. Pada saat ini, dia
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi ratu!
"Dan yang terpenting daripada semua pesanku adalah
pesanku yang telah berulang kali kukatakan kepadamu,
yaitu jangan sampai engkau jatuh cinta kepada seorang
pria! Gurumu ini merana dan menderita lahir batin hanya
karena telah berbuat bodoh sekali, yaitu jatuh cinta kepada
seorang pria." "Kepada Ekadenta?"
"Ih, bagaimana kau bisa tahu?"
"Mudah saja, Eyang. Eyang sendiri berkali-kali
menasehati agar aku tidak mencinta, tidak pula membenci.
Akan tetapi Eyang kelihatannya amat membenci Ekadenta
sehingga Eyang menciptakan pedang pusaka, dan mendidik
aku untuk kelak mengalahkan muridnya. Eyang amat
membenci Ekadenta, tentu karena amat mencintanya."
"Wah-wah, kiranya perasaan wanitamu masih halus dan
peka! Aku khawatir sekali, Retna Wilis."
"Tak perlu khawatir, Eyang. Aku tidak akan pernah
jatuh cinta kepada siapa pun juga. Laki-laki seperti babi
hutan!" Ia teringat akan Jayus dan tiga orang kawannya
yang dibunuhnya di hutan.
Demikianlah, sejak hari tadi sampai tiga hari tiga malam
lamanya, Retna Wilis berpuasa dan yang dilakukannya
selama tiga hari tiga malam ini hanya duduk bersila
memejamkan mata, bersamadhi mengheningkan cipta,
ditujukan untuk membersihkan dan membuka lahir
batinnya untuk menerima ilmu yang oleh gurunya disebut
dengan nama Ajl Wisafangking. Memang amat mengagumkan dan patut dipuji keteguhan hati dan
kekuatan kemauan dara ini. Selama lima tahun ia selalu
berada di pantai dan setiap hari hanya makan tetumbuhan
laut dan ikan. Kini, baru saja ia mendapatkan buah-buahan
dan daging kelinci, sebelum menikmati sedikit pun, ia telah
berpuasa, namun sama sekali ia tidak terseret oleh selera
dan nafsunya! Buah nangka yang dibawanya pulang, makin
masak dan kalau malam mengeluarkan bau yang s?clap
menggugah selera. Namun, perasaan Retna Wilis sedikit
pun juga tidak terpengaruh karena dalam keadaan samadhi
seperti itu, penciumannya, seperti juga inderanya yang lain,
seolah-olah mati untuk sementara, semua pancaindria telah
"ditarik" ke dalam sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan
di luar tubuh. Tiga hari kemudian, Nini Bumigarba menyadarkan
muridnya dari samadhi. Begitu Retna Wilis membuka mata
dan pandang matanya kembali memasuki dunia, ia lalu
diangkat bangun oleh gurunya, digandeng tangannya diajak
pergi ke pantai sebelah barat di mana terdapat batu-batu
licin dan di pantai ini, air laut amat bersih, tidak bercampur
pasir. Pada waktu itu, hari telah menjelang senja, langit gelap
oleh awan mendung yang bunting tua dan bergerak-gerak
seperti hidup, merupakan barisan raksasa-raksasa hitam
yang tiada kunjung habis, bergerak dari selatan ke utara.
Angkasa yang gelap oleh mendung itu kadang-kadang
dibakar kilat berceleret, seperti senjata-senjata pusaka para
pemimpin barisan itu. Keadaan di angkasa yang
menyeramkan ini mempengaruhi air laut pula karena air
laut tampak makin mengganas, suaranya bergemuruh dan
ombak-ombak kecil tiada hentinya bergerak seolah-olah laut
sendiri merasa gentar. menghadapi ancaman serangan
barisan raksasa di angkasa itu. Alam sepenuhnya
memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya yang maha
besar dan menggiriskan hati manusia. Dan dalam keadaan
seperti inilah, Nini Bumigarba menyuruh muridnya berlutut
di atas batu karang yang licin, sedangkan dia sendiri berdiri
tegak di depan muridnya, dengan kedua kaki terpentang.
Retna Wilis disuruh "membuka" tubuh bagian dalam untuk
menerima hawa sakti. Gadis ini berlutut dengan kedua
lengan bergantung lepas, tubuh lemas karena selain
berpuasa, juga ia melolos semua tenaga melawan agar
dapat menerima hawa sakti dari gurunya. Air laut bergerak
datang dan pergi lagi. Mula-mula hanya menyentuh lutut
Retna Wilis dan mata kaki Nini Bumigarba, akan tetapi
makin lama makin membesar sehingga ada kalanya air
sampai merendam tubuh Retna Wilis sampai ke leher dan
Nini Bumigarba sampai ke pinggang! Namun, dua orang itu
tetap tidak bergerak, seolah-olah tidak merasakan ini
semua. Retna Wilis tetap berlutut menundukkan muka,
adapun Nini Bumigarba masih berdiri tegak dan
menengadahkan muka ke atas, seolah-olah sedang asyik
menonton awan mendung berarak atau sedang memohon
kepada para dewata yang dianggap bertempat tinggal di
atas! Retna Wilis tetap menanti dengan penuh kesabaran,
penuh kepasrahan dan penuh kepercayaan.
Tiba-tiba seluruh tubuh nenek tua itu menggigil, mulamula seperti orang kedinginan, makin lama makin hebat
dan perlahan-lahan nenek ini mengangkat kedua tangannya, terus digerakkan ke atas dengan sikap seolaholah ia sedang menerima sesuatu dari atas, dari tangan yang
tak tampak. Kemudian, perlahan-lahan ia meletakkan
tangan kirinya menyentuh ubun-ubun kepala Retna Wilis,
sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka
tergetar hebat dan muncul-lah getaran-gataran hawa sakti
menuju ke muka dan dada Retna Wilis.
"Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking ........... !"
Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa
menghitam dan dari tangan kanannya yang mengeluarkan
hawa mujijat itu tampak sinar menguap hitam, makin lama
makin tebal menutup wajah Retna Wilis.
Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan
seperti itu, tidak bergerak dan Retna Wilis merasa betapa
seluruh tubuhnya penuh oleh hawa panas bergetar yang
membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh
kepasrahan ia tetap "membuka" dirinya untuk nenerima
hawa sakti itu sebanyak dan sepenuhnya.
Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang,
barulah Retna Wilis "menutup" dirinya dan membuka
mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut dengan lemas
bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang.
Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya,
dibawa meloncat ke darat, kemudian dibawa kembali ke
dalam guha di mana biasanya nenek itu duduk bersamadhi.
Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna
Wilis merebahkanr(ya di, atas tanah, ia tersenyum dan,
berkata lemah, "Berhasil baik........... Wisalangking telah kupindahkan
ke tubuhmu ........... "
Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada
hawa membumbung dari pusarnya, membawa bau yang
amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.
"Jangan khawatir ........... kerahkan -hawa sakti di tubuh,
tekan pusarmu, jangan membiarkannya keluar. Itulah
pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking. Biarkan dia
terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya, takkan terasa apa-apa ..........."
Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan
mengerahkan tenaga mengatur napas. Benar saja, rasa
muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah
keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis
merawat gurunya yang kelihatan lemah sekali. Sampai
semalam suntuk dara remaja ini merawat gurunya tanpa
banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut gurunya
dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buahbuah yang ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.
Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa
wajah gurunya telah banyak berubah. Kini nenek itu
kehilangan seri wajahnya, kehilangan sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara
sekali ketuaannya. Akan tetapi kesehatannya agaknya
sudah pulih dan nenek itu sudah dapat keluar dari guha dan
seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur
matahari pagi di atas pasir.
"Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu," nenek itu
berkata. "Terutama sekali jangan pergi dari sini sebelum
melihat tanda bintang. Sekarang perhatikan bagaimana
engkau harus melatih diri untuk membangkitkan Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa
sakti itu dalam serangan pukulan." Nenek itu lalu memberi
petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik
tinggi, dia sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji
Wisalangking. Setelah ia mengerti benar bagaimana harus
melatih diri, Retna Wilis bertanya,
"Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti
ini" Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah."
Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua
wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara. "Tidak
lama lagi ........... tidak lama lagi ........... lihat siapa yang
datang itu!" Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia
melihat bahwa yang datang adalah Ki Warok Surobledug
yang tempo hari ia lukai bersama seorang kakek tua
berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu
bangkit berdiri. "Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah
kujumpai di hutan dan kulukai. Dia datang lagi bersama
seorang kakek tua, entah mau apa dia!"
"Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat
ekor babi hutan kemarin dulu, kau maksudkan empat orang
laki-laki" He-he-heh, sekarang, kau boleh hadapi mereka,
hendak kulihat bagaimana sepak terjang muridku!" Nenek
itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk
bersila dan wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu
mendapatkan kembali semangat dan agak berseri...........
Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk
membersihkannya dari pasir dan ia melangkah maju tiga
tindak lalu berdiri menanti datangnya dua orang kakek itu.
Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang
dianggapnya ringan, melainkan memandang kakek rambut
putih yang datang bersama warok itu. Kakek ini pendek dan
gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot,
mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu
sudah mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya
berwarna kuning, dengan lengan baju lebar sekali sehingga
kedua tangannya tertutup. Langkahnya ringan dan halus,
namun dapat mengimbangi kecepatan langkah Ki Warok
Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu,
kakek rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini
Bumigarba dan berkata dengan suara halus,
"Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya
yang maha sakti! Kiranya Paduka berada di sini, Nini
Bumigarba" Ah, sekarang tidak heran lagi aku mengapa
keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi,
mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih
membiarkan murid Paduka mengganas dan melakukan
pembunuhan secara keji?"
Nlni Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira.
"Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah
andika ini, yang berbau pertapa di gunung?"
"Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud,
tentu saja Paduka tidak pernah mendengar nama saya yang
kecil dan tidak terkenal, sebaliknya siapaka.h yang tidak
mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking atau Nini
Bumigarba?" jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat.
"Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka
dengan kaki saya kalau saja empat orang murid saya tidak
terbunuh secara kejam oleh dara ini yang kalau saya tidak
salah menduga adalah Murid Paduka."
"Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis,
Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!"
"Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin
mengetahui mengapa empat orang murid saya terbunuh
oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang ingatan saya,
dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya
sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang
Wishnu,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka telah menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi pahlawanpahlawan pembela nusa bangsa."
"Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti
omongan bocah yang masih ingusan! Seorang pertapa tua
seperti andika ini masih bertanya mengapa mereka mati"
Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya
mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki,
bagaimana mereka dapat mati" Mengapa seorang seperti
andika, yang kuduga telah puluhan tahun bertapa dan
mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup"
Apakah andika sudah sedemikian sakti mandraguna
sehingga hendak mengingkari dan melawan kehendak Sang
Trimurti?" Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi,
suaranya masih penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam, "Sama
sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat
oleh kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai
peri kemanusiaan dan saya hanyalah seorang manusia biasa
yang tentu saja tak dapat melepaskan diri daripada ikatan
kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan Dewata,
hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan
dan tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada
di tangan manusia karena kewajiban untuk berikhtiar,
untuk berjaga dan mengatur segala perbuatannya akan
menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku
sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti
bahwa kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata.
Akan tetapi, yang saya uruskan adalah sebab kematian
mereka, karena sebab ini tentu diperbut oleh manusia!
Andaikata empat orang muridku itu tewas dalam perang
membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena
sebab kematiannya adalah sebab yang luhur dan utama.
Andaikata mereka tewas dalam membela kebenaran, hal
itupun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar
dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid
saya mati secara sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka
tebus dengan nyawa. Sudah menjadi kewajiban saya
sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus
hal ini, Nini Burrugarba."
"Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa
hasilnya mendapatkan ilmu berdebat! Kematian muridmuridmu disebabkan oleh perbuatan muridku. Nah, dia
berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!"
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu.
"Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini
Bumigarba." Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna
Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak
bergerak-gerak. "Nini, andika seorang dara yang masih
remaja, masih bocah, harap andika suka memberi
keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua
yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada
nafsu amarah yang mendorongku menghadapimu. Katakanlah, mengapa andika membunuh empat orang
muridku" Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah
bahwa aku akan menerimanya dengan penuh pengertian
dan keprihatinan." Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan
Ki Ageng Kelud melihat betapa sinar mata dara itu
mengandung hawa maut dan hawa dingin yang mendirikan
bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga
bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang
akan menggegerkan dunia, seperti gurunya di waktu muda.
Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk
keselamatan bocah ini sambil menunggu jawaban yang
akan keluar dari bibir yang berbentuk indah dan kemerahan
itu. "Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu
diributkan. Empat ekor babi hutan yang menjadi muridmu
itu pun tidak ada kesalahan apa-apa, hanya mereka itu
minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa
sih anehnya?" Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah,
akan tetapi jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan daripada sikap dan kata-kata Nini Bumtgarba sendiri! Dunia diancam malapetaka hebat yang
merupakan diri bocah ini, pikirnya dan dia akan
menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang
ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
"Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka
murid-muridku minta mati di tanganmu?"
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia
melihat betapa tadi gurunya melayani kakek ini, ia
berpendapai bahwa kakek ini tentulah bukan orang
sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap.
Maka setelah menghela napas panjang ia berkata,
"Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang.
Yang paling muda memaksaku menjawab pertanyaanpertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku bilang bahwa
mereka sebaliknya pergi saja karena kalau kesabaranku
habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu
nienertawakan aku dan menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta mati,
aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya
marah-marah dan menyerangku. Kutanya apakah mereka
juga ingin mati, dan mereka menjawab dengan serangan
senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak berbelapati,
maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul
kakek ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun
tidak membunuhnya, hanya menyambitnya dengan buah
sawo agar dia tidak menggangguku lagi."
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main!
Dara ini liar dan ganas sekali dan ia dapat membayangkan
peristiwa itu. Murid-muridnya tewas dalam keadaan
penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi, kelak akan
merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia
menghela napas panjang dan berkata,
"Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta
mati di tanganmu, apa- kah engkau juga hendak
membunuhku?" Berkerut alis yang hitam menjelirit itu. "Sesungguhnya
aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng
Kelud. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian
dan berusaha membalas dendam kematian murid-muridmu,
silahkan, aku tidak akan mundur selangkah, sekarang
maupun kapan saja." "Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani
bertanding melawan Retna Wilis muridku yang sakti
mandraguna" Heh-heh-heh!" Ucapan ini jelas merupakan
ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan kalau
seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding
melawan seorang dara remaja yang masih bocah!
"Saya bertindak membela kematian murid-muris saya,
kalau Paduka hendak membela murid Paduka, dan
berkenan menamatkan hidup saya, silahkan, Nini
Bumigarba," jawab kakek itu dengan suara halus. Ia
maklum bahwa dia sama sekali bukanlah lawan Nini
Bumigarba,' akan tetapi kalau perlu, ia akan lawan juga,
bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya,
melainkan terutama sekalI untuk menghalau bahaya yang
mengancam ketenteraman dunia.
"Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan
muridku" Ki Ageng Kelud, kalau andika bisa mengalahkan
Retna Wilis, berarti andika telah mengalahkan aku pula!"
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat
sekali. Ia makium bahwa Nini Bumigarba adalah seorang
yang kesaktiannya sukar dicari tandingnya dan bahwa
seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak ada alasan
untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa
semua aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada
muridnya ini! Dia telah mendengar penuturan Ki Warok
Surobledug akan kesaktian dara remaja itu yang amat luar
biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin bahwa dara ini
merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali
tidak boleh dipandang ringan.
"Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata
kalau saya gagal membasmi pengaruh buruk yang
mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah engkau!"
"Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu
seperti yang kau minta!" kata Retna Wilis, sikapnya dingin
dan sama sekali tidak kelihatan tegang, seolah-olah dia
tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan yang
sakti. Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok
Surobledug yang berdiri menonton di situ menjadi tegang
dan merinding bulu tengkuknya. Biarpun dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud, namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup menandingi bocah yang tidak lumrah manusia,
melainkan lebih tepat disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka, mengheningkan cipta sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia
menghadapi sebuah pertandingan mati-matian tanpa
pamrih untuk diri pribadi, tanpa dikendalikan nafsu, baik
nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata karena
sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak
dibasmi, kelak akan mendatangkan malapetaka bagi
manusia. Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang
matanya mengeluarkan sinar bersemangat, kemudian ia
melanglcah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh, kemudian tubuhnya
berkelebat maju dan tangan kirinya menampar secara
sembarangan. Biarpun gerakannya sembarangan saja,
namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan
dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera
menghamtam karang yang kelihatannya juga sembarangan
saja namun dapat menggetarkan gunung karang! Ki Ageng
Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti
yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan
kagum sekali. Dalam detik itu maklumlah ia mengapa
empat orang muridnya bukan lawan dara ini yang
sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila.'
Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak
semestinya mengelak seperti orang takut menghadapi
tamparan pertama lawannya yang masih bocah, maka
dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat lengan kanannya menangkis.
"PlakkI" Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan
itu dan akibatnya, Retna Wilis dipaksa melang-kah mundur
tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak, kakek itu terhuyung ke
belakang sampai tubuhnya mendoyong miring. Makin
kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti
dara itu benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh
sungkan lagi karena biarpun masih bocah, namun dara ini
merupakan lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi.
Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali
menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke atas dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaikan seekor burung garuda, ia telah menubruk dengan
kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti sepasang
cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan ke-pala
Retna Wilis. Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng
Kelud memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya
sendiri selama dia bertapa di Gunung Kelud sampai
puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia ajarkan
kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga
ilmu ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti
yang sudah mencapai puncak tinggi. Ilmu ini disebut
Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor
burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang
berada di puncak randu alas digerumut seekor ular.
Menyaksikan gerakan garuda menyambar-nyambar dan
akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham bagi
kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah, gerak
silat yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu
Aji Garuda Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang
ia tahu amat tangguh, tanpa meragu lagi kakek ini
menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak namun
belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar
biasa, digembleng oleh seorang manusia yang memiliki
kesaktian tidak lumrah, akan tetapi dia masih- belum
berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan tidak
mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata
kepada lawan yang mana pun juga. Kini, menghadapi
terjangan Ki Ageng Kelud yang tubuhnya melayang di
udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak menangkis tidak
mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan
sambil mengerahkan A ji Argoselo yang membuat tubuhnya
kokoh kuat dan kebal seperti batu gunung atau batu karang
yang sanggup menerima hantaman ombak samudera.
"Desss ........... !!"
Betapapun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng
Kelud untuk menewaskan gadis yang dianggapnya
merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia itu, namun
hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang
dipupuknya selama puluhan tahun. Oleh karena itu,
melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis
terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis,
timbul dari sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala melainkan
mencengkeram kedua pundak dara itu. Akan tetapi,
terjangannya yang *dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh
yang keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan
tenaga dahsyat pula menggempur tenaganya sendiri. Tubuh
Retna Wilis hanya bergetar dan berguncang seperti batu
karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air laut pula
tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh tergulingguling! Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat
sehingga ia harus mengerahkan seluruh hawa sakti di
tubuhnya agar jangan roboh, menjadi terkejut juga dan
timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali
ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan
hal ini membuat hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh
lawan bergulingan dan wajah kakek itu menjadi, pucat, ia
mengeluarkan pekik melengking, dan menerjang maju,
menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak
hancur kepala kakek Hu! Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman
maut, cepat ia yang masih pening menggulingkan diri
mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasukl tanah
sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa
mengerikan kalau kaki yang mengandung kekuatan itu tadi
mengenai kepala Ki Ageng Kelud, tentu akan remuk dan
pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat
bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan
sambil siap-siap menghadapi lawannya yang amat tangguh
itu. "Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!"
Terdengar Nini Bumigarba tertawa mengejek, hatinya
girang menyaksikan kehebatan sepak terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis "mendapat
hati" dan segera ia memekik lagi sambil menerjang dengan
gerakan cepat sekali. Bagi mata biasa, tubuhnya lenyap
berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa
debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng
Kelud, ia. melihat betapa gerakan tubuh dara itu amat
cepatnya, berputaran dengan kedua lengan dikembangkan
dan dari putaran tubuhnya itu melancarkanlah pukulanpukulan yang dahyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah Aji Pancaroba yang hebatnya seperti
amukan angin taufan! Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud
bersikap tenang dan mencurahkan segenap tenaga dan
kepandaiannya untuk bertahan dan membela serta
melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang
berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau
tidak tentu dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi
Aji Pancaroba yang hebatnya bukan main ini. Betapapun
juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan
berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia
sudah tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan
napasnya tidak sepanjang puluhan tahun yang lalu, daya
tahannya berkurang. Sebaliknya, Retna Wilis makin lama
makin hebat dan cepat gerakannya. Kalau kakek ini berhasil
menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis
menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu,
seolah-olah dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap
kaki tangan dara itu 'menyerempet pundak atau bahu,
tubuh kakek itu tergetar dan terhuyung-huyung. Ki Ageng
Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan
terdengarlah Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu. Ki Warok Surobledug berdiri
dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu ia
akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi
itu rebah tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung,
hendak membantu maklum bahwa tenaganya tidak ada
artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak membantu,
hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi.
Ketika tubuh Ki Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya
terhuyung oleh dorongan angin pukulan dahsyat, Retna
Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari tangan
ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha
mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik kepala ke
belakang akan tetapi jari-jari tangan yang lunak halus dan
kecil menyambar cepat dan menimpa pundak kirinya.
"Krekkk ........... !" Remuklah tulang pundak Ki Ageng
Kelud dan tubuh kakek itu terguling. Retna Wilis menubruk
maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu yang
sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil
tersenyum tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan
mata, tidak tahan menyaksikan kematian kakek itu.
"Ganas ........... !" Suara ini perlahan dan halus, dibarengi
bayangan putih seperti asap datang bertiup dan tahu-tahu
tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang seperti ditiup
angin yang tak tertahankan saking kuatnya. Seluruh tubuh
dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi
bertemu dengan telapak tangan halus yang membuat hawa
saktinya seolah-olah tenggelam ke dalam lautan yang dingin
melebihi ampak-ampak! Ketika ia dapat menguasai dirinya
dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang
kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut dan
berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap
bersinar putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti
sebuah arca. Akan tetapi dia bukan arca karena pada saat
itu, kakek itu berkata kepada Ki Ageng Kelud,
"Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua
kembali ke tempat andika."
Ki Ageng Kelud biarpun sudah remuk tularig
pundaknya, namun dengan kekuatan batinnya dapat
mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke arah wajah
yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh
hormat, "Omm .......sadhu-sadhu-sadhu ........... " Ia berdiri
menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk
kepada Ki Warok Surobledug yang tadi terpesona dan
terbelalak, sambil menahan nafas lalu mengikuti Ki Ageng
Kelud. Setelah mereka pergi jauh sehingga tak tampak lagi
dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok
Surobledug bertanya, "Paman panembahan ....dia.... dia itu siapakah"
Dewatakah?".?" Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan
menggeleng kepala. "Dia manusia biasa, manusia yang
terlalu biasa, manusia wajar ........... manusia sejati ........... "
Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat
menduga siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun
mulutnya tidak kuasa menyebut namanya karena hatinya
yang penuh dengan keharuan membuat lehernya tercekik,
mulutnya terkancing. Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil
menguasai dirinya, memandang kakek itu dengan alis
berkerut. Hatinya panas dan penuh penasaran, juga tidak
puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya, berani
menggagalkan pukulan mautnya" Bahkan berani seenaknya
saja menyuruh pergi dua orang kakek tadi" Seluruh urat
syarat di tubuhnya menegang, dan ia sudah siap untuk
menerjang kakek yang lancang ini. Tadinya ia tidak dapat
melihat muka yang tertutup halimun putih, akan tetapi
setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya,
disalurkan kepada pandang matanya, ia dapat menembus
halimun atau uap putih itu dan tampaklah dengan jelas
wajah seorang pria yang tampan. Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang
mata yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah
dan. tanpa pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan
tulus. Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek
itu tidak seperti biasanya, tampak beringas penuh
kemarahan, sepasang matanya menyorotkan kekejaman
seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di
depannya itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya
kepada kakek itu dan berkata dengan suara serak dan kasar.
"Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan
sekali! Telah puluhan tahun aku mencuci tangan, tak
pernah mengganggumu, akan tetapi engkau selalu menjadi
batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan diri di
tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!"
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar
matanya yang lembut penuh welas asih dan penuh
pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar suara gurunya,
ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama
Ekadenta" Inikah musuh besar gurunya dan murid orang
inikah yang kelak harus ia kalahkan" Mengapa harus
menanti sampai bertemu muridnya" Gurunya pun dia tidak
gentar untuk menandinginya. Kini musuh ini telah
membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik
melengking dahsyat, Retna Wilis sudah meloncat maju dan
tangannya telah menyambar segenggam pasir, kemudian ia
mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir sampai
pasir itu menjadi hitam kebiruan lalu menyambitkan pasir
itu ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji
Pancaroba! Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan
karena pasir yang digenggamnya tadi telah berubah menjadi
pasir berbisa. Jangankan sampai melukai daging, baru
mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan yang
merenggut nyawa. Jilid XXXV AJI Pasir Sekti yang sedemikian ampuhnya masih ia susul
dengan serangan Aji Pancaroba dan pukulan-pukulan maut,
sungguh sekali ini Retna Wilis mengerahkan seluruh
kepandaiannya karena ia bermaksud untuk sekali terjang
merobohkan kakek itu di depan kaki gurunya!
Akan tetapi suara pekik nyaring mulutnya berubah
teriakan kaget dan kesakitan. Pasir-pasir hitam itu telah
runtuh sebelum mengenai tubuh si kakek, bahkan
terjangannya sendiri bertemu dengan tenaga tak tampak
yang melindungi kakek itu dalam jarak tiga kaki! Tubuh
Retna Wilis terbanting sehingga kulit sikunya babak serta
daging pinggulnya terasa panas sesenutan. Ia tak dapat lagi
menguasai hatlnya yang marah. Begitu bangkit, dara remaja
ini menerjang lagi, menghantam dengan kedua tangan
bertubi-tubi. Akan tetapi kembali ia terpelanting karena
tubuhnya bertemu dengan tenaga tak tampak. Berkali-kali
ia bangkit lagi dan mengirim serangan seperti menggila,
namun selalu ia terpelanting dan terbanting jatuh ke atas
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah, padahal kakek itu sedikitpun tidak bergerak, hanya
memandang kepadanya dengan senyum dan sinar mata
penuh ibat Retna Wilis hampir menjerit-jerit saking
marahnya dan ia terus bangkit dan menerjang lagi. Tiada
bedanya dengan seekor ayam menyerang ayam lain yang
berada dalam kurungan. Setiap kali menerjang dari luar,
sebelum menyentuh ayam di dalam, telah bertumbukan
dengan kurungan dan terpelanting jatuh.
"Retna Wilis, mundurlah!" tiba-tiba Nini Bumigarba
berseru. Retna Wilis masih penasaran, akan tetapi dia pun
maklum bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
musuh gurunya yang benar-benar luar biasa ini, maka ia
lalu mundur dengan muka merah. Ia masih tidak mau
menerima kalah dan andaikata tidak ada gurunya yang
menyuruhnya mundur, tentu ia akan menyerang terus
sampai lawannya roboh atau sampai dia sendiri yang roboh
kehabisan tenaga dan napas!
"Ekadenta, tidak malukah engkau tua bangka menghina
orang muda?" Nini Bumigarba menghardik dengan sikap
seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Kakek itu menoleh dan membalikkan tubuhnya kepada
Nini Bumigarba, lalu terdengar suaranya, "Sarilangking,
tidak ada yang menghina atau terhina. Aku hanya
mencegah kesesatan yang lebih parah. Mengapa engkau
menjadikan dia seperti itu" Apa gunanya bagi dunia dan
manusia?" "Wah-wah, sombongnya si kepala batul Aku menggembleng muridku sendiri, apa sangkut-pautnya
denganmu" Engkau sendiri juga telah menggembleng
seorang murid! Aku hanya menandingimu karena dialah
yang kelak akan menandingi muridmu. Suruh dia ke sini,
kita adu mereka. Hayoh, kita sama lihat siapa di antara
murid kita yang lebih digdaya!"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sari, sungguh sayang
sampai kini engkau masih belum mau berusaha untuk
berpaling ke arah kebenaran. Aku mendidik seorang murid
untuk mewakili aku, menyumbangkan tenaga demi untuk
kebahagiaan manusia, demi untuk ketenteraman hidup,
demi untuk menentang kejahatan."
"Benar! Aku yang jahat dan harus ditentang, ya" Aku
tidak menyangkal! Aku malah sebaliknya darimu. Muridku
akan mewakill aku, merusak kebahagiaan manusia
sombong macam engkau, mendatangkan kekacauan untuk
meramaikan dunia, dan menentang manusia-manusia yang
menganggap diri suci dan balk!"
"Muridku akan berusaha membawa penerangan bagi
manusia .......... "
"Dan muridku akan membawa kegelapan!"
"Muridku akan mewakili kebajikan .
"Dan muridku akan menjadi ratu kejahatan!"
"Sari, mengapa engkau tidak mau sadar juga" Lupakah
engkau bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia biasa,
manusia yang tidak dapat menguasai mati hidupnya
sendiri" Sari, ingatlah, betapa ketika kita dilahirkan, kita
tanya bisa menangis, itu pun terjadi di luar kehendak kita"
Kita lahir kecil dan lemah, tanpa pikiran, tanpa kehendak,
tanpa pendapat, hanya menyerahkan diri di luar kesadaran,
hanya bergerak sesuai dengan kehendak Hyang Widi
Wisesa. Kita dikurniai segala perlengkapan, sampai
pengertian dan akal budi, akan tetapi mengapa semua itu
membuat kita lupa akan asal mula diri kita" Sari,
kaulihatlah baik-baik. Kau pandanglah aku .......... dan
kau?" sadarlah .......... Sari ..........!"
Nenek itu tidak menjawab, hanya memandang bagaikan
kena pesona. Sampai lama mereka berpandangan, maka
nenek itu makin lama makin terbelalak lebar, penuh takjub,
penuh kagum, penuh takluk dan takut, kemudian nenek ini
menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis!
"Ekadenta .......... aku .......... aku .......... terlampau jauh
tersesat .......... aku hanyut .......... tolonglah aku, Ekadenta
..... " Kakek itu melangkah perlahan-lahan, seakan-akan tidak
memperdulikan nenek itu, mulutnya mengeluarkan suara
seperti orang bertembang, halus dan merdu, seperti bisikan
angin lalu, "Yang pahit dan getir itu banyak manfaatnya,
yang manis dan lezat itu banyak bahayanya. Namun
manusia membenci yang pahit getir, tergila-gila kepada
yang lezat manis. Akibatnya, banyak derita duka nestapa.
Tak baik terpengaruh oleh keindahan lahir, kupaslah kulit
dan periksa isi karena kulit yang buruk menyembunyikan isi
yang berguna, sebaliknya kulit yang indah seringkali
menyembunyikan isi yang tak berguna."
Perlahan-lahan Nini Bumigarba bangkit dan melangkah
pula mengikuti Bhagawan Ekadenta. Kakek itu berjalan di
depan sambil bertembang nenek itu melangkah di
belakangnya, mata memandang jauh ke depan seperti orang
dalam mimpi. Mereka berdua berjalan terus menuju ke laut!
"Eyang .......... Retna Wilis berseru perlahan, akan tetapi
gurunya sama sekali tidak menjawab, menoleh pun tidak.
Mereka berdua kini telah tiba di pantai yang disentuh
ombak, akan tetapi keduanya berjalan terus, seolah-olah
tidak meiihat gelombang yang datang dari depan.
"Eyang .......... !!" Kini Retna Wilis menjerit keras dan
meloncat maju mengejar gurunya. Akan tetapi ia berdiri
terbelalak di pinggir laut, membiarkan air laut bermain di
kakinya sampai se-tinggi lutut. Ia tidak merasa ini semua
karena sedang terpesona memandang ke selatan, memandang tubuh kakek dan nenek itu yang terus
melangkah dengan tenangnya, melangkah di atas gelombang laut kidul yang datang bergulung-gulung!
Retna Wilis berdiri tanpa berkedip memandang dua
orang itu yang terus melangkah seakan-akan mereka itu
sedang berjalan-jalan di dalam taman saja. Kadang-kadang
ombak menggunung menutup mereka, dan kadang-kadang
mereka muncul lagi. Mereka terus bergerak ke selatan
sampai akhirnya bayangan mereka lenyap di antara gelom
bang lautan yang makin bergelora.
Retna Wilis menahan isak saking kagum, terharu dan
juga terheran-heran. Kemudian baru ia merasa betapa air
telah membasahi kainnya sampai ke paha, maka cepat ia
menjauhi air dan duduk di atas pasir, termenung
memandang ke arah selatan, mengharapkan sewaktu-waktu
gurunya akan muncul dari selatan. Ia ingin sekali
mengetahui apa yang tampak oleh gurunya ketika
memandang kakek itu, dan mengapa gurunya lalu berlutut
dan takluk, kemudian ia ingin tahu ke mana dua orang sakti
itu pergi. Namun, selamanya hal ini takkan pernah dapat
dijawabnya, takkan pernah dapat dijawab oleh siapa pun
juga kecuali oleh manusia-manusia yang telah terbuka mata
batinnya akan hakekat hidup.
Retna Wilis termenung sampai lama di. tepi laut,
kemudian sadar bahwa gurunya takkan kembali lagi, sadar
bahwa dia kini berada seorang diri di atas permukaan dunia
ini. Hatinya mengeras, keberaniannya timbul dan ia lalu
mengingat-ingat apa yang dipesankan gurunya. Hawa
Wisalangking telah berada di tubuhnya dan menurut pesan
gurunya, ia harus melatih diri, melatih aji kesaktian
Wisalangking, cara mempergunakannya seperti yang telah
diterangkan gurunya. Dan ia harus pula mengambil pedang
Sapudenta dari dalam guha di bawah permukaan air laut.
Kemudian, setelah ada tanda lenyapnya bintang di atas
puncak Gunung Cengger Jago, ia harus meninggalkan
pantai ini dan pergi ke Wilis.
Retna Wilis membulatkan tekadnya dan mulailah ia
berlatih Aji Wisalangking yang amat dahsyat. Aji kesaktian
ini adalah aji yang paling dahsyat di antara semua ilmu
yang dipelajarinya dari Nini Bumigarba. Setahun kemudian, ia telah dapat melatih ilmu itu dengan baik,
sungguhpun belum sempurna benar, namun ia sudah dapat
menguasai hawa Wisalangking di tubuhnya. Menurut
petunjuk gurunya, sesuai dengan cita-cita gurunya dahulu
untuk mengalahkan Ekadenta dengan Aji Wisalangking
ditambah penggunaan pedang Sapudenta, Retna Wilis lalu
mendatangi pantai di sebelah barat. Ia sudah tahu di mana
adanya air ulekan di bawah karang Kukura, yaitu batu
karang di mana agaknya menjadi sarang binatang kura-kura
raksasa karena kura-kura raksasa yang mendarat untuk
bertelur selalu muncul dari air ulekan ini. Setelah ia tiba di
pantai itu, ia berdiri memandang air yang berpusing itu
dengan hati penuh gairah.
Retna Wilis maklum bahwa sekuat-kuatnya tenaga
manusia, tak mungkin akan dapat melawan air berpusing
seperti itu. Bagian ini merupakan teluk kecil yang
bentuknya bundar, sehingga ombak yang bergelombang
datang memasuki teluk kecil ini, airnya berputar dan
membentuk pusingan air yang hebat dan kuat. Dan dia
diharuskan terjun menyelam karena guha di mana
tersimpan pedang pusaka Sapudenta terdapat di bawah batu
karang Kukura yang ia injak sekarang, berada di dinding
karang yang tertutup air yang kadang-kadang tenang
apabila ombak berhenti menderu.
Retna . Wilis tidak merasa ngeri menyaksikan air
berpusing itu. Semenjak berada di situ, ia seringkali
bermain-main dengan air dan ombak, menggoda ikan-ikan
hiu yang ganas dan dia merupakan seorang ahli renang
yang kuat, kuat menahan napas dan dapat membuka mata
di dalam air sehingga dapat melihat ikan-ikan di bawah
permukaan air. Memang belum pernah ia mandi di bawah
karang Kukuran ini karena tempat itu memang berbahaya,
akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa takut di hatinya ketika
Retna Wilis berdiri di atas batu karang, siap untuk terjun.
Dia sudah meraba-raba bajunya seperti biasa kalau hendak
mandi di laut, hendak membuka pakaiannya. Akan tetapi
ketika teringat akan sesuatu, ia menghela napas dan tidak
melanjutkan gerakan jari tangannya. Semenjak ia melatih
Wisalangking, bahkan semenjak ia menerima pemindahan
hawa Wisalangking dari gurunya, ia menjadi malu kepada
diri sendiri untuk bertelanjang bulat seperti biasa. Dahulu,
sebelum ia memiliki aji lesaktian itu, tubuhnya berkulit
putih kuning dan mulus tanpa cacad. Akan tetapi semenjak
ia memiliki hawa Wisalangking, la melihat betapa kulit di
sekeliling pusarnya diliputi lingkaran warna menghitam! Ia
merasa malu dan tak senang dengan cacad ini, akan tetapi
betapapun ia berusaha, lingkaran warna menghitam di
sekeliling pusarnya itu tak dapat lenyap. Karena itu pula dia
sekarang tidak jadi membuka pakaiannya dan setelah
menarik napas, menghimpun hawa segar ke dalam rongga
dadanya, dara perkasa ini membelitkan sarungnya ke
belakang, mengikatnya kemudian meloncat terjun ke dalam
air! Begitu tubuh dara itu menyentuh air, langsung ia
dicengkeram oleh pusaran air dan Retna Wilis cepat
menjungkirkan tubuhnya, menyelam mempergunakan
gerakan kaki tangannya dengan sekuatnya. Namun,
kembali ia dikuasai oleh air berpusing dan betapapun ia
melawan, tetap saja tubuhnya dihanyutkan oleh tenaga
sakti yang tak mungkin dapat ia lawan. Betapapun saktinya,
Retna Wilis adalah seorang manusia dan manusia
ditakdirkan hidup di darat sehingga dalam melawan
pusaran air, dara yang sakti mandraguna itu akan kalah
jauh dibandingkan dengan seekor ikan kecil.
Sampai pening rasa kepala Retna Wilis karena tubuhnya
hanyut dan dibawa berputar terus, makIn diseret ke bawah
di mana pusingan air itu menjadi makin kuat. Dia maklum
bahwa kalau tidak segera dapat melepaskan diri dari
pusingan air, ia akan terancam bahaya maut, yaitu dapat
terbanting pada batu karang dengan kekuatan yang amat
dahsyat. Maka ia cepat mengerahkan seluruh tenaga,
menahan kekuatan dahsyat itu dart matanya terbelalak
memandang melalui air yang sudah mulai gelap karena
pusingan air membawanya sampai dalam.
Tiba-tiba ia melihat bayangan seekor kura-kura raksasa
lewat. Kura-kura ini hanya sedikit saja terpengaruh oleh
pusingan air karena tentu saja dalam hal bermain di air, dia
seratus kali lebih pandai daripada Retna Wilis! Kura-kura
adalah seekor binatang yang tidak buas, tidak suka
menyerang manusia apabila tidak diganggu, dan tidak suka
pula makan daging manusia. Dia mendekati Retna Wilis
hanya karena tertarik melihat benda aneh yang bergerakgerak melawan pusingan air. Akan tetapi, begitu binatang
ini lewat dekat, kedua lengan Retna Wilis menyambar ke
depan dan ia berhasil merangkap dua kaki belakang kurakura itu yang menjadi terkejut sekali dan meronta
sekuatnya. Sia-sia saja usahanya ini karena kedua tangan
Retna Wilis sudah mencengkeramnya dengan kekuatan
yang luar biasa, bahkan gadis itu dapat terus merayap dan
menerkam binatang itu di atas punggungnya, bertelungkup
dan merangkul leher binatang itu dengan kedua lengan!
Kura-kura itu
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelam dan menjungkir-balikkan tubuhnya dalam air, namun Retna Wilis tetap berada di
punggungnya, bahkan kini dara perkara itu mencekik leher
kura-kura sehingga binatang itu akhirnya tidak meronta
lagi, maklum bahwa makluk yang berada di punggungnya
itu amat kuat. Ia hanya berenang menjauhi pusaran air
karena dalam keadaan tidak berdaya dalam cengkeraman
mahluk kuat di punggungnya itu, pusaran air menjadi
berbahaya baginya. Retna Wilis yang masih menelungkup di punggung kurakura raksasa menjadi lega setelah kura-kura itu menjadi
jinak, maka ia lalu menggunakan tangannya menekuk leher
kura-kura ke arah kiri. Kura-kura itu kesakitan dan otomatis
membelok ke kiri untuk menyelamatkan lehernya. Dengan
demikian, dara itu kini dapat "menyetir" binatang raksasa
itu menuju ke bawah karang Kukura. Dengan kekuatan
pandang mata dan dengan rabaan tangan kiri, akhirnya
Retna Wilis berhasil menemukan guha dan ketika kura-kura
itu membawanya memasuki guha, ternyata bahwa guha itu
penuh dengan kura-kura besar! Terbuktilah dugaannya
bahwa tempat itu memang menjadi sarang kura-kura. Ada
beberapa ekor kura-kura yang dengan gerakan ganas datang
menyerang, akan tetapi dengan dorongan tangan kirinya
Retna Wilis membuat beberapa ekor kura-kura ini
terjengkang sehingga akhirnya mereka menjadi ketakutan
dan berenang menjauhkan diri, keluar dari dalam guha.
Retna Wilis turun dari punggung kura-kura dan binatang
ini yang ternyata merupakan kura-kura terbesar di situ,
mendekam di sudut, agaknya dia mulai jinak dan maklum
bahwa manusia yang sakti itu tidak berniat jahat, buktinya
tidak membunuhnya. Retna Wilis cepat mencari dan
dengan mudah menemukan peti kecil panjang yang terjepit
di sela-sela batu karang dalam guha. Ia menarik peti kecil
itu, membuka dan matanya silau menyaksikan sebatang
pedang yang indah di dalam peti, pedang yang tertarik
sedikit gagangnya sehingga tampak sedikit mata pedang
yang putih mengkilap. Tanpa membuang waktu, ia
mengambil pedang yang sudah lengkap dengan sarung
pedang dan talinya itu, mengalungkan talinya di pundak
sehingga pedang itu berada di punggungnya. Kemudian ia
menghampiri kura-kura raksasa dan naik lagi ke
punggungnya. Dengan menepuk-nepuk kepala kura-kura,
binatang ini berenang keluar dan seperti tadi, Retna Wilis
mengemudikan binatang ini sampai dapat melalui pusaran
air dan timbul di permukaan air dengan selamat.
Retna Wilis cepat menghirup napas, menyedot hawa
segar dan duduk bersila di atas punggung kura-kura.
"Kukura, bawa aku mendarat!" teriaknya riang dan kurakura itu cepat meluncur ke pantai.
Dengan wajah berseri Retna Wilis membiarkan dirinya
dibawa kura-kura raksasa itu ke pantai, duduk bersila
dengan tenangnya, dengan pedang di punggung, gagah
perkasa dan cantik jelita seperti dewi laut. Kalau ada orang
melihat dara ini duduk bersila di atas punggung kura-kura
raksasa, muncul dari dalam laut, tentu orang itu takkan
ragu-ragu mengatakan bahwa dia telah melihat dewi atau
peri penjaga Segoro Kidul!
Ai Setelah Retna Wilis meloncat turun, kura-kura itu
dengan gerakan lamban berjalan atau merangkak kembali
ke air, menoleh satu kali memandang ke arah Retna Wilis,
kemudian menyelam ditelan ombak mendatang. Retna
Wilis melambaikan tangan sambil tertawa.
"Terima kasih, Kukura!"
Mulai hari itu, Retna Wilis lalu makin tekun melatih diri,
kini ia menggerakkan dan mainkan pedang pusaka
Sapudenta yang memiliki sinar putih seperti perak dalam
latihan-latihannya sesuai dengan pelajaran yang ia terima
dari Nini Bumigarba. Kalau ada orang melihat dari jauh
ketika dara ini sedang berlatih pedang, tentu akan mengira
bahwa di pantai itu ada kilat menyambar-nyambar karena
pedang itu ketika dimainkan dengan dorongan tenaga sakti
Wisalangking, berkelebatan seperti kilat menyambar,
mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata.
Setiap malam Retna Wilis tak pernah lupa untuk
memandang ke angkasa, ke atas gunung yang berbentuk
cengger jago, dan setiap kali melihat bintang Icehijauan
masih bersinar-sinar di angkasa, ia menghela napas dan
merasa menyesal bahwa waktunya belum tiba untuk
meninggalkan tempat itu. Setelah gurunya tiada, dara ini
merasa kesepian dan bosan tinggal seorang diri di situ.
Akan tetapi ia selalu taat akan pesan gurunya dan ia tiada
akan meninggalkan pantai itu sebelum ada tanda yang
dipesankan gurunya, yaitu lenyapnya bintang kehijauan
yang menjadi lambang kejayaan kekuasaan yang mencengkeram Jenggala di waktu itu.
==mch-dw== Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang
setiap malam menanti datangnya tanda seperti yang
dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk keadaan di
Jenggala sendiri. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Pangeran Panji
Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di
Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko
Pramono tinggal di istana Jenggala. Mereka, empat orang
muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka tentang
diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis.
Kemudian mereka lebih menujukan perhatian mereka
terhadap keadaan di Jenggala dan bertekad untuk
membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh
Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu
untuk membebaskan sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari
cengkeraman persekutuan jahat yang telah mereka ketahui
siapa orang-orangnya itu. Makin jelaslah kini bagi Pangeran
Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono,
akan keadaan di kerajaan ini. Sang prabu yang sudah tua itu
benar-benar telah terlalu dalam tenggelam dan semua
kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran
Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini
maklum bahwa persekutuan ini amat licin dan cerdik, tidak
memperlihatkan kekuasaan namun sudah mutlak mengoper
kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau
sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal,
otomatis Pangeran Kukutan yang menggantikan menjadi
Raja Jenggala, Ki Patih Warutama tetap menjadi patih, dan
Suminten menjadi ibusuri!
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus dilakukan sekarang juga
selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran ini
mulai mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk memberi ingat kepada ramandanya akan
bahaya yang mengancam bagi Kerajaan Jenggala. Menurut
penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya
para ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga
para emban dan pendeta Agama Wishnu telah didesak dan
kini telah dibangun candi-candi besar untuk keperluan
beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya
mendapat tempat istimewa dan dianakemaskan oleh Ki
Patih Warutama dan Pangeran Kukutan.
Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit
memutuskan untuk mengirim Joko Pramono dan Pusporini
ke Panjalu dan memberi kabar kepada Ki Patih Tejolaksono
dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan
mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka
mengenai diri Nini Bumigarba. Empat orang muda ini tidak
tahu bahwa rencana mereka telah diketahui Suminten,
bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama
direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya
untuk mendahului rencana Pangeran Panji Sigit yang
hendak mengutus dua orang muda itu membuat laporan ke
Panjalu. Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit
yang membiru dihias beberapa buah bintang, terang oleh
sinar bulan yang sejuk. Ketika Pangeran Panji Sigit sedang
bercakap-cakap dengan isterinya di luar kamar sambil
memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang
pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan
permintaan gusti selir yang minta kepada Setyaningsih
untuk menemaninya di dalam taman keputren. Gusti selir
hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta agar
Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.
Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh
Setyaningsih, bahkan Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin
menimbulkan kecurigaan di hati Suminten musuh utama
yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk
berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk
memenuhi panggilan ibunda selir. Biarpun di dalam hatinya
Setyaningsih merasa segan dan tidak senang karena
sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak
berani menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah
ia bersama pelayan wanita yang diutus memanggilnya itu
memasuki keputren dan langsung menuju ke taman yang
indah, milik pribadi Suminten.
Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk
bersamadhi di dalam kamarnya, mendapat kunjungan Ki
Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk daun jendela
kamar Joko Pramono. "Raden .......... ! Raden .......... , keluarlah .......... " la
berbisik. Joko Pramono turun dari pembaringannya dan
membuka daun jendela. "Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk .......... ?"
Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru
taman di luar istana dan untuk memasuki daerah istana
bukanlah hal yang mudah. "Ssttt .......... hamba mengenal seorang pengawal setia.
Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang
gawat sekali!" Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya.
"Apakah yang terjadi?"
"Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak .......... bisa
terlambat .........! Hamba mendengar dari pengawal setia
bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini diundang ke
taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten ?""
Joko Pramono memandang tajam, "Hemm, urusan
begitu saja, apa salahnya?"
"Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir
Suminten! Menurut laporan-laporan yang hamba dengar,
malam ini Gusti Puteri Setyaningsih sengaja dipancing
untuk diajak makan minum dan .......... akan diracun!"
"Apa .......... ?"?" Joko Pramono terkejut sekali.
"Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!"
"Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit" Dia
harus diberi tahu, dan .......... Pusporini .........."
"Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu" Gusti
selir banyak memasang mata-mata, dan kalau kita ributribut .......... dapat terlambat dan celaka! Lebih baik
sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan
menolong Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat
terkena racun. Hamba yang akan memberi tahu kepada
Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu Pusporini.
Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko
Pramono mengangguk setuju, kemudian ia meloncat keluar
dari jendela kamarnya, menghilang ke dalam gelap untuk
cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam bahaya
maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga
berindap-indap menuju ke pondok keputren di mana
terdapat kamar Pusporini.
Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di
serambi depan pondoknya, merasa tidak enak mengapa
isterinya belum juga pulang. Andaikata bukan Suminten
yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman,
andaikata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah
terasing, tentu ia tidak gelisah seperti itu.
"Pangeran .......... "
Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar
suara ini dan melihat orangnya yang muncul dari pintu
tembusan ke belakang. Ternyata orang yang dikhawatirkan
akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada di situ!
Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung
tantangan yang merangsang dan genit. Wanita ini memang
cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh
Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata
itu mengundang cinta kasih pria dan tentu akan mudah
menjatuhkan hati pria yang bagaimana keras pun. Akan
tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah mengenaI watak dan
isi dada inilah membusung itu, isi yang amat keji dan kotor,
menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil
menghormat. "Ibunda selir .......... mengapa berada di sini .......... Di
mana isteriku, Setyaningsih?"
"Aduh Pangeran .......... , karena dialah aku bersusah
payah datang mencarimu. Marilah kau ikut bersamaku
melihat dia. Lihat apa yang dilakukan isterimu dan sahabat
baikmu, si keparat Joko Pramono."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa .......... apa yang terjadi .......... Tipu muslihat
apalagi yang kaulakukan?" Pangeran Panji Sigit serta-merta
menuduh ibu tirinya ini dan memandang dengan kening
berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan
keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.
Bibir yang merah semringah itu menahan senyum
mengejek, bibir bawah yang penuh bergerak-gerak, dagunya
berguncang-guncang karena di dalam rongga mulut
lidahnya bergerak-gerak. Dalam keadaan begini, Suminten
tampak amat menarik hati dan menggemaskan hati pria,
apalagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata
orang yang mengantuk, benar-benar memikat. Sang Arjuna
sendiri biarpun sedang bertapa, kalau digoda seorang
wanita seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat
bertahan! Kalau dalam ceritera Arjuna Mintaraga, Sang
Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh orang bidadari dapat
bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari yang suci
mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang
satria! "Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah
ibumu .......... ah begitu keras dan kejamkah hatimu
sehingga kesalahan kecil yang pernah saya lakukan dahulu
itu masih saja tak terlupakan" Saya tidak melakukan fitnah
.......... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena
sesuatu urusan, saya terpaksa meninggalkannya sebentar di
taman dan .......... ah, kau lihat sendiri sajalah. Saya sudah
mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan tetapi
saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum
paduka menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan
menuduh saya menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan
sahabatmu. Marilah, Pangeran .......... "
Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan
jantungnya berdebar keras sekali. Bagaimana dia dapat
menolak" lsterinya belum kembali dan dia amat khawatir.
Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang
dibawa Suminten in! mengandung kebenaran. Isterinya dan
Joko Pramono" Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan
dapat percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita
dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi
Joko Pramono adalah seorang satria sejati, seorang gagah
perkasa dan seorang pria yang mencinta Pusporini.
Sebaliknya, biarpun Joko Pramono adalah seorang pemuda
yang tampan dan. gagah perkasa dan pasti akan mudah
menjatuhkan hati setiap orang wanita, akan tetapi isterinya,
Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam cinta kasihnya
dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan
isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh
wanita hina yang gila laki-laki ini" Ah, betapa ingin ia
menampar atau mencekik wanita ini di saat itu juga!
"Ibunda selir .......... saya akan melihat dan .......... kalau
ini hanya fitnah .......... demi para dewata, saya takkan
mendiamkan saja penghinaan ini .......... !" desisnya dengan
gigi terkancing. Suminten tersenyum, bibirnya
merekah sehingga mututnya terbuka seperti sebuah luka yang tampak
dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji Sigit
dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya
dan ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari
situ melalui pintu belakang. "Marilah, Pangeran. Saksikan
saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan ..........
Suminten .......... !" Ketika menyebutkan namanya sendiri
ini, terdengar seperti bisikan mesra sekali. Wanita ini sudah
menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap sebagai
seorang ibu tiri, dan andaikata hati Pangeran Panji Sigit
tidak sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan
merasakan ketidakwajaran dan sikap yang jelas menantang
asmara ini. Bergegas Suminten yang menarik tangan
pangeran itu menyelinap melalui taman-taman istana
menuju ke taman sari miliknya sendiri.
Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat
gelap, di belakang semak-semak. Mereka itu ternyata adalah
pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan
di taman itu. "Di mana mereka .......... ?" Suminten berbisik.
Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya
menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin
berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali
menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan
akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di
dekat pondok merah di taman. Pangeran Panji Sigit berdiri
dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga,
tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia
melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan
Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya,
lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan
napasnya terengah-engah. Tanpa berkedip ia melihat betapa
Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas
betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar
kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah
lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti
karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang
memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono
memondong Setyaningsih" Kalau saja ia melihat isterinya
itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka,
ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak
melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono
memondong isterinya. Akan tetapi justeru keadaan
Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apalagi
pingsan! Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan
tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang
lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang
biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia
hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuklengkung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam
pangkal lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus
mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di
dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas
luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama
seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra
lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono! Dan jari-jari
tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari-jari
tangan itu menjambak-jambak rambut kepala Joko
Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali
isterinya itu membelai seperti itu, menjambak-jambak halus
rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam
keadaan semesra-mesranya. Kini kedua tangan itu, sepuluh
jari-jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala
Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat
mendekati wajah Joko Pramono, seperti hendak menciumnya! "Percayakah paduka, Pangeran?" bisik Suminten di dekat
telinganya. Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir
kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan
kemauannya. Ia diam saja. "Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?" kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya. Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya!
Setyaningsih! Begitu bergelora dalam nafsu berahi! Jelas
sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan
isterinya dan biarpun dia djauh, ia melihat jelas betapa saat
itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam
pondongan dan pelukan Joko Pramono. Biarpun saat itu
wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang
sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya,
dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk
bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari
fihak Joko Pramono! Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit
yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya
yang sejak tadi tak pernah berkedip.
Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari
segala jurusan berlon-catan keluarlah pasukan pengawal
dengan senjata tombak, golok, atau pedang. Jumlah mereka
itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua
segera membuat gerakan mengu-rung Joko Pramono yang
kelihatan kaget dan marah. Pangeran Panji Sigit dapat
melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko
Pramono melepaskan pon-dongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah
menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan
melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas
tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah
dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua
tangannya. Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada
belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan
belakang. Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan
keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis,
bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya
merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh
pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan
lagi empat orang pengeroyok. Pada saat itu menyambar
sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang,
bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang
mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah
di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata
adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan lengan kiri sedangkan
tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturutturut dua orang pengawal lain.
Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal,
melihat munculnya Pusporini segera berseru,
"Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanamjahanam ini!" "Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!"
Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa
Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan
panjang. Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan
tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang
pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran
Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ
berteriak, "Hayo maju semua, bunuh keparat itu!"
Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat
gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik
keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong
ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar
ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada
terdepan, terjengkang dan terpelanting. Ketika para
pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu
ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah
mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh
para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi
secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu
membawa Jari Setyaningsih. Pangeran Kukutan menjadi
penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat
meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan
Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa
kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu
terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita muda jelita itu! Setyaningsih dan Pusporini! Betapa
dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi
memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang
membuat ia mengilar. Kini, dikepung oleh puluhan orang
pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono
masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu
memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah
Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar
amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua
orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta
bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat
diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.
Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan
barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya,
melakukan pengejaran di malam terang bulan itu.
Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang
Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi daripada Pangeran
Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu
tertinggal jauh sekali. Dua orang muda perkasa itu maklum
bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi
seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari
dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan
sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh
meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru
menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan
tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.
"Pusporini .......... aduhh .......... kepalaku .......... "
Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas
dan tertidur pulas!.......... "
"Hemm .......... kau lemah dan keji terhadap suamimu,
Setyaningsih!" kata Pusporini, nada suaranya marah dan
tiba-tiba gadis yang keras hati, yang gagah perkasa dan yang
tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu
sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur
nyenyak. "Rini .......... engkau mengapakah" Mengapa menangis"
Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memakimaki aku tidak karuan?" Pertanyaan Joko Pramono ini
diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu
menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan
penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak
karuan tanpa salah. Mengapa Pusporini secara tiba-tiba
memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang" Makimakian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula.
Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok
banyak pengawal. Apakah sebabnya"
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini
mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan
pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi!
Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada
Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan
dan kebencian! "Eiiiitttt .......... sembrono kau, Rini!" Joko Pramono
terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan
bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat
menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat
dahsyat itu. Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah
mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi
dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada
Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan
ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu
untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang
telah menyakitkan hatinya malam tadi!
Mengapa Pusporini secara tiba-tiba marah kepada Joko
Pramono" Memang tidak mengherankan kalau diketahui
apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini
menghadap dara perkasa ini.
"Paduka harus cepat-cepat menolong, Raden Ayu ..........
kalau tidak, akan celakalah semua .......... " kata kakek itu
dengan muka pucat dan berkeringat.
"Ki Mitra .......... ada apakah?" Pusporini bertanya
kaget.......... " Kakek itu menghela napas panjang, menghapus
peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Ah, kalau orang muda .......... kaduk wani kurang dugo
(menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini
gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia
dengan Gusti Puteri Setyaningsih ?"?".."
"Apa .......... Apa kau bilang .........." Jaga baik-baik
mulutmu, Ki Mitra!" Pusporini marah sekali dan tangannya
sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia
tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan
tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata
seperti itu. "Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya
yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali
mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh ..........
hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera
tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena
jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman
sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap
basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal
.......... " Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti
sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah
berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu.
Dan apa yang dilihatnya" Sama dengan yang dilihat
Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya
itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu,
kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan
yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang
wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra
membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra
penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan
memuakkan perutnya! Ketika para pengawal keluar
menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang
Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh
Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapapun
juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu
tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan
perjinahan dengan Joko Pramono.
Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam
penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya
dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh
penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko
Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian
dan kemarahannya lagi dan langsung menerjang dan
menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut
secara bertubi-tubil "Wah .......... heiiitt .......... berhenti
dulu! Aihhhh .......... !" Joko Pramono yang hanya
menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet
pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia
memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum
kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar
dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah
menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan
tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan
maut. "Rini, jangan .......... , berhenti dulu dan mari kita bicara
.......... !" "Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi.
Engkau atau aku yang harus mati!" bentak Pusporini yang
terus menyerang sehingga kembali Joko Pra-, mono yang
terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat
dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga
pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah,
Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya
makin ganas. "Pusporini .......... ! Eh, Joko Pramono .......... ! Mengapa
kalian berkelahi" Berhenti .......... berhentilah .......... ,
apakah yang terjadi .......... ?"" Setyaningsih yang telah
sadar dari tidurnya, tadi sejenak terbelalak menyaksikan
betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono.
Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka,
menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor
hari-mau betina direbut anaknya itu.
Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih,
napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi
pipinya. "Engkau .......... engkau hendak membela
kekasihmu ini .......... ?"",
Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono
merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan
halilintar menyambar di atas kepala mereka.
"Rini .......... ! Apa yang kau katakan ini .......... ?"" teriak
Joko Pramono. Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya
terbelalak memandang adik tirinya. "Pusporini adikku
.......... , ! mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu"
Apakah yang telah terjadi .......... " Mengapa aku berada di
sini .......... dan "..... dan mengapa kalian bertempur".?"
Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi
makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api
kemarahan. "Hemmm, sungguh tak tahu malu dan
pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku!
Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam
pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu.
Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan
sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi" Aduh,
sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit .......... ,
dikhianati isteri dan sahabat palsu.......... !!" Pusporini lalu
menangis terisak. Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada
Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat,
kemudian ia berkata setengah menjerit.
"Di mana suamiku" Mengapa aku berada di sini" Apa
yang terjadi" Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas
ceritakan .......... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah
.......... !!" Pusporini menghentikan tangisnya dan ia memandang
wajah kakak tirinya itu dengan pandang mata tajam penuh
selidik. Ia mulai meragu akan kebenaran dugaannya. Pada
saat itu, Joko Pramono berkata,
"Ah, tidak salah lagi. Tentu telah terjadi sesuatu yang
hebat, dan kita semua telah masuk perangkap keji.
Pusporini, harap kau bersabar dan lebih baik kita secara
terang-terangan saling menceritakan pengalaman malam
tadi. Kalau kemudian terbukti bahwa aku telah melakukan
hal keji terhadap Ayunda Setyaningsih seperti yang
kautuduhkan, biarlah aku memberikan leherku untuk
kaupenggal!" Pusporini memandang kepada pria yang dicintanya akan
tetapi sekarang dibencinya itu dengan mata penuh amarah,
alisnya tetap berkerut, dan ia tidak menjawab. Hatinya
masih terlalu sakit dan rongga dadanya masih terlalu panas
penuh hawa amarah. "Adinda Joko, ceritakanlah apa yang telah terjadi ..........
" Setyaningsih berkata dengan suara penuh permohonan
sambil merangkul pundak Pusporini untuk mencegah
adiknya yang galak ini menyerang lagi pemuda itu.
Joko Pramono menghela napas panjang, kemudian
memandang lagi kepada Pusporini lalu bercerita, "Malam
tadi, selagi saya duduk sendiri dalam kamar bersamadhi,
datanglah Ki Mitra yang menceritakan dengan muka penuh
kekhawatiran bahwa Ayunda Setyaningsih sedang diajak
makan minum oleh selir Suminten dan bahwa Ayunda akan
diracun. Ki Mitra minta kepada saya agar cepat menolong
Ayunda, yang katanya setiap saat terancam dan bahwa
Ayunda bersama selir Suminten berada di taman sari. Dia
mencegah saya memberitahukan kepada Pusporini atau
Rakanda Pangeran karena dia khawatir tidak akan keburu
dan berjanji bahwa dialah yang akan memberitahu kepada
Pusporini dan Rakanda Pangeran. Karena saya percaya
kepadanya, saya lalu bersicepat memasuki taman sari. Di
dalam taman sari itu amat sunyi dan saya melihat Ayunda
seorang diri di dalam pondok merah. Saya terkejut melihat
keadaan Ayunda karena Ayunda terhuyung-huyung dan
hampir roboh.. Saya mengira bahwa tentu Ayunda telah
keracunan, maka cepat saya menyambar dan memondong
tubuh Ayunda untuk saya bawa pergi kembali ke tempat
Rakanda Pangeran agar dapat dlusahakan pertolongan.
Akan tetapi pada saat itu, saya diserbu puluhan orang
pengawal. Ter paksa saya menurunkan tubuh Ayunda dan
pada saat itu .......... Pusporini muncul akan tetapi hanya
menyelamatkan Ayunda dan tidak membantu saya, bahkan
memaki saya! Tentu saja saya menjadi penasaran dan
mengejar terus. Siapa kira, begitu tiba di sini, dia
bersungguh-sungguh hendak membunuh saya .......... !"
Joko Pramono menghapus darah yang masih keluar dari
ujung bibirnya yang kini menjendol.
Wajah Pusporini yang tadinya merah kini perlahan-lahan
berubah menjadi pucat. Kemarahan yang membayang di
matanya mulai terganti keraguan kemudian kegelisahan,
dan tatapan matanya pada Joko Pramono menjadi gugup
dan bingung. Ia memegang pundak Setyaningsih dan
mendesak, "Ayunda .......... , ceritakanlah .......... apa yang telah
terjadi dengan Ayunda di taman itu .......... !" Pusporini
membayangkan betapa Setyaningsih ketika dalam pondongan Joko Pramono, kelihatan begitu penuh nafsu
berahi, jari-jari tangannya membelai muka dan rambut
pemuda itu, mukanya diangkat-angkat hendak mencium!
Setyaningsih yang rambutnya kusut dan wajahnya masih
pucat itu memijit-mijit pelipisnya. "Aku sendiri, tidak
mengingat sesuatu .......... kepalaku masih pening sekali.
Hanya sedikit yang kuingat. Malam tadi aku duduk berdua
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suamiku, lalu datang seorang pelayan ibunda selir
yang mengundangku untuk menemaninya makan minum
sambil menikmati terang bulan di taman sari. Aku dan
suamiku merasa sungkan untuk menolak, terpaksa pergi
juga bersama pelayan itu. Di dalam taman sari, di pondok
merah itu, aku menemani ibunda selir makan minum.
Kemudian ibunda selir menyuguhkan secangkir anggur.
Aku menolak, akan tetapi katanya anggur itu amat baik
untuk seorang isteri muda yang belum mempunyai anak.
Aku didesak, lalu dikatakan apakah aku takut diracun
sehingga terpaksa untuk menghilangkan kecurigaan aku
minum anggur itu yang rasanya manis dan berbau harum
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Bende Mataram 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama