Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau
begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau
yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan
secara langsung dengan mereka yang sederajat!"
"Wahhh!" Si muka bulat kini terbe-lalak dan mukanya yang putih itu ber-ubah merah karena
darah sudah naik ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua
yang belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang
tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi daripada
kami!" Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Melihat betapa banyak di
antara para tamu me-nyetujuinya, si muka bulat memberi isya-rat kepada dua orang adik
seperguruan-nya, dan mereka bertiga tiba-tiba me-loncat dengan gerakan ringan ke sudut
ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai
bertanding silat. Suasana menjadi tegang akan tetapi karena mereka semua adalah orangorang kang-ouw yang tentu saja suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka
terbayang kegembira-an karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu ingin sekali melihat bagai-mana
sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua
orang kawannya itu. Gadis berpakaian putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan
murid ketua dan pelayan ter-dekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Akan tetapi
ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.
Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan
me-nyambut tantangan siapa saja yang hen-dak menguji kepandaian!"
Si muka bulat yang kini menjadi per-hatian semua tamu, merasa bangga dan dengan
membusungkan dadanya dia ber-kata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng--bukoan (Perguruan
Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"
Akan tetapi, tantangan terhadap ke-tua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi
isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu telah
berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara
menjawab. "Untuk mengadu ilmu dengan ketua kami tidaklah mudah, harus dapat me-ngalahkan
wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan
Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat
mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum mengejek. "Sam-wi,
sudah maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persila-kan
kalau Sam-wi hendak bertanding.
Tentu saja tiga orang tokoh Perguru-an Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa
diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan
karena dari gerakan tiga orang pria ketika me-loncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang
rekannya akan mampu menandingi mereka.
"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng--pai sungguh memandang rendah orang lain. Hendak
kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita ber-pakaian putih yang berdiri di depan me-reka itu berkata
tenang, "Kami bertiga sudah siap."
"Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang re-kannya dia sudah
menyerang gadis yang bicara itu. Dua orang rekannya juga me-nyerang dengan pukulan yang
mendatang-kan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali
mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka membalas.
Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu
maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah kuat. Maka, mereka
mempergunakan ke-cepatan dan keringanan gerakan mereka dan dalam hal ini mereka
memang lebih unggul. Tubuh mereka berkelebatan men-jadi bayangan putih yang sukar sekali
diserang oleh tiga orang pria itu, bagai-kan tiga orang anak-anak yang mencoba untuk
menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi tamu di situ, diam-diam mengikuti jalannya per-tandingan dan
mereka mencurahkan per-hatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 Mereka ingin me-ngenal ilmu silat mereka agar mereka dapat menentukan dari aliran mana
ilmu itu dan dengan sendirinya dapat me-ngenal ilmu silat para pimpinan Pao--beng-pai.
Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran karena mereka sama sekali tidak mengenal
ilmu silat yang dimainkan oleh tiga orang gadis ber-pakaian putih. Kadang nampak dasar
gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip de-ngan aliran
silat Bu-tong-pai, lalu ber-ubah dan bercampur dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua alir-an!
Dipilih gerakan yang baik dan meng-untungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai
ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang me-lihat betapa tiga
orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga
orang jago-an dari Garuda Putih itu terdesak dan mereka lebih banyak mengelak dan
menangkis daripada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan
serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi. Tiba-tiba tiga orang gadis
itu melompat ke bela-kang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka
dan muka mereka nampak merah. Kiranya di ta-ngan gadis pertama terdapat kain kepala yang
dapat direnggutnya lepas dari ke-pala lawan, di tangan gadis ke dua ter-dapat sobekan baju di
bagian dada la-wannya, dan biarpun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya
sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikut kuncirnya terlepas. Je-laslah
bahwa kalau tiga orang gadis ber-pakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan
bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.
"Maafkan kami," kata seorang di an-tara tiga gadis itu mewakili teman--temannya.
Si muka bulat menghela napas pan-jang. Dia tahu diri dan mengangkat ke-dua tangan depan
dada menghadap pihak tuan rumah sambil berkata. "Kami ber-tiga adalah pimpinan Pek-eng
Bu-koan dan saya sebagai ketuanya bernama Liu Pin. Kami mengaku kalah." Dia dan dua
orang sutenya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi
mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai
saja mereka kalah. Apalagi melawan pimpinannya!Mereka yang mengenal kelihaian Pek--eng
Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai
kini tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah
dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai,
Bu--tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para
wakil Pat-kwa-pai dan Pek-lian--pai, juga ada lagi tiga orang pria muda yang nampaknya
belum mau memper-kenalkan diri.
Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakai-an putih itu
kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cu-wi (Anda Sekali-an) yang sebelum
memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?"
Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada
si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima
pesan dalam bisikan. Gadis itu mengangguk, lalu bang-kit lagi dan memandang ke arah
kelom-pok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai
dan Go-bi-pai sebagai seting-kat dan sederajat. Oleh karena itu, wakil dari masing-masing
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang
menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"
Kebetulan dua orang wakil dari ma-sing-masing partai besar itu adalah orang--orang muda.
Tadinya mereka tidak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu
dianggap terlalu me-rendahkan diri, seperti orang-orang ba-wahan menghadap orang atasan
saja. Akan tetapi kini, mendengar ucapan ga-dis pakaian putih, mereka merasa tidak enak
kalau tidak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan
rumah, dan memang me-reka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan
Pao-beng--pai. Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat
duduk keluarga ketua Pao--beng-pai dan berkenalan, saling menyebut-kan nama. Para wakil
itu kini tahu bah-wa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok,
bersama isterinya dan puterinya yang diperkenal-kan sebagai Siangkoan Eng, mereka ber-tiga
merupakan pimpinan Pao-beng-pai dan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan
menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu. Setelah para wakil
empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis
pakaian putih bangkit dan beru seru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian--pai dan Patkwa-pai. "Pangcu kami menganggap Pat-kwa--pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan.
Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling
berkenalan dengan Pangcu sekeluarga."
"Siancai, siancai....!!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut
ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat. Kiranya dia seorang di antara para wakil
Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri disulam benang emas
sebuah pat-kwa (segi delapan). Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gen-dut
dengan jubah lebar, di punggungnya tergantung pedang dan nampak kokoh kuat. Matanya
lebar, hidungnya besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh
dan besar. "Kami Pat-kwa-pai juga mempunyai peraturan, yaitu sebelum berkawan, ha-ruslah mengenal
isi perutnya lebih da-hulu. Oleh karena itu, kami sebagai wa-kil Pat-kwa-pai ingin sekali
mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng--pai melalui pertandingan silat." Dia
men-jura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik
jelita tuan rumah hendak bangkit, akan tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati
gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit
dan dengan langkah tenang berjalan meng-hampiri wakil Pat-kwa-pai yang sudah berdiri
menanti. Kini semua orang me-lihat betapa ketua itu memiliki gerak--gerik yang anggun dan
berwibawa, namun wajahnya cerah dan dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan
tokoh Pat--kwa-pai. "Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, ka-lau kami boleh bertanya, apakah hubung-anmu dengan
Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sopan seperti cara bicara
seorang yang terpelajar tinggi.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
62 Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seolah-olah telah
mengenal baik ketua-nya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat--kwa-pai itu adalah gurunya, dan
dia me-rupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya
dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai,"
katanya. "Ah, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. "Sobat, kalian kami undang ke sini untuk
persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding." ucapan itu seperti teguran.
"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang
Pao-beng-pai." ban-tah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu mari kita latihan sebentar. Berapa orang
dari Pat-kwa-pai yang da-tang?"
"Kami datang berempat."
"Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."
Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sutenya. Lebih kuat
keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Tiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak
tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ,
nampak betapa tiga orang ini pun ber-tubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah. Nah, sekarang kalian berempat
boleh menyerangku se-kuat kalian. Aku tidak akan mengelak, tidak akan membalas pula,
hanya me-nangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian dapat memukulku, berarti aku
kalah." Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu ter-lalu sombong! Semua
orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa--pai, apalagi empat orang itu adalah
mu-rid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi. Tidak akan
mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka, akan tetapi menghadapi
pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tan-pa membalas, hanya
menangkis saja" Ketua Pao-beng-pai itu tentu akan ce-laka oleh kesombongannya sendiri.
"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum
tentu akan dapat bertahan, apalagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang se-kali.
Empat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda dan meng-himpun tenaga
sakti, akan tetapi Siang-koan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun
tidak ketika seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Kini, dia
dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan dan dia mulai menyerang
dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
63 penge-royok lain juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali,
mendatangkan angin pukulan yang mem-buat baju Siangkoan Kok berkibar. Ketua Pao-bengpai ini, sesuai dengan janjinya, tidak mengelak, akan tetapi kedua ta-ngannya bergerak cepat
menangkisi pu-kulan-pukulan itu sambil memutar tubuh-nya.
"Duk-duk-duk-plakkk!"
Empat orang itu terpental ke bela-kang! Mereka terkejut dan maklum bah-wa ketua Paobeng-pai ini memiliki te-naga sin-kang yang hebat. Pantas saja berani menghadapi mereka
tanpa meng-elak hanya mengandalkan tangkisan. Akan tetapi karena mereka tidak khawatir
kalau dibalas seperti telah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan me-reka,
menghantam atau menendang ber-tubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka.
Bahkan mereka mengerah-kan tenaga yang mengandung hawa be-racun! Namun, Siangkoan
Kok dapat me-nangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh
hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si
pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus telah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siang-koan Kok,
apalagi memukul. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi
isyarat kepada tiga orang sutenya untuk mem-percepat serangan. Dia hanya mempunyai dua
buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan da-pat menangkis lagi
dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat
dianggap kalah! Akan tetapi, sebelum isyarat ini di-laksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok me-ngeluarkan
seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi em-pat orang itu untuk
mengetahui keduduk-an badan lawan, karena tubuh itu ber-putar cepat dan kedua tangannya
men-jadi banyak sekali. Mereka masih men-coba untuk memukul tubuh yang berputar itu,
akan tetapi setiap kali pukulan me-reka bertemu dengan tangkisan lawan yang membuat
mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-beng-kak karena berkali-kali
bertemu dengan lengan Siangkoan Kok dan si gendut mem-beri isyarat kepada tiga orang
sutenya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri tidak menyerang lagi. Melihat ini,
Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu
menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk
mengalahkan la-wan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari
depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan
menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya
sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat--kwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji,
memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula. Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu
bangkit, mengebut--ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena
ke-dua lengan mereka biru-biru dan bengkak--bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka
memberi hormat. "Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk mencerita-kan kepada
para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
64 "Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin." kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan
tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada
wajah dan lehernya. "Siancai...., tenaga sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali. Kami semua
merasa kagum!" Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut
ruangan di ma-na pertandingan tadi berlangsung. Semua orang memandang dan dia adalah
seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh em-pat
tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan
tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di pung-gungnya tergantung
sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil
dari Pek-lian-pai. Apa kehendak To-tiang?"
"Siancai....! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula
membuktikan sendiri kelihaian pim-pinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau
melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang.
Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang?" Sekali tangan kanannya bergerak, pen-deta Pek-lian-kauw itu telah mencabut
sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja
menunjukkan kemahirannya. Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang
tokoh Pek-lian-kauw. yang lihai dan dipercaya oleh para pim-pinan perkumpulan
pemberontak itu. Kini dia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya. Dia
tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sin-kang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia
menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.
Kembali keluarga ketua Pao-beng--pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng
minta kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tan-tangan tosu Pek-lian-kauw
itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai
itu berkata kepada Kui Thian-cu.
"Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"
Mendengar pertanyaan itu, Kui Thian--cu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua
Pek-lian-kauw, masih ter-hitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal
ketua Pek--lian-kauw pula!
"Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat
apakah Pao-beng-pai pan-tas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman
guru kami." "Andaikata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajak-annya untuk
berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponekannya yang datang. Aku akan
mewakilkan saja ke-pada puteriku untuk bertanding ilmu pe-dang!"
Siangkoan Eng lalu bangkit dan me-langkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw
itu. Semua orang meman-dang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut
dan anggun, cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw
yang sudah terkenal akan kelihaiannya" Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
65 memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usia-nya baru dua
puluh tahun lebih ini lahir! Dia sudah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun,
sedangkan gadis ini pa-ling banyak hanya belajar silat selama belasan. tahun saja. Apalagi
dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang
yang lihai, sedangkan gadis ini" Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sung-guhsungguh. Kui Thian-cu tersenyum pahit karena merasa direndahkan sekali dengan mun-culnya seorang
bocah untuk menandingi-nya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu
Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan sihir. Dia
mengerah-kan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya, sepasang matanya seperti
me-nembus mata gadis itu, mulutnya ber-kemak-kemik membaca mantram kemudi-an
terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.
"Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam"
Tergores sedikit saja kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena
ngeri. Nah, seka-rang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah
karena engkau memang pantas dikasihani! Me-nangislah....!!"
Kui Thian-cu yang merasa diremeh-kan, kini hendak membalas dan mem-bikin malu,
keluarga ketua Pao-beng-pai, dengan sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah
memandang kepadanya, dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang
sungguh--sungguh, "Totiang, bagaimana sih caranya menangis itu" Aku tidak pernah
me-nangis, harap Totiang memberi contoh."
Tentu saja Kui Thian-cu merasa he-ran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis"
Sungguh aneh. "Bagaimana caranya menangis" Engkau sungguh tidak tahu" Begini, Nona,
beginilah caranya orang menangis...." Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil
me-nutupi muka dengan tangan kiri sedang-kan tangan kanannya tetap memegang pedang.
"Huauuu-uuuuu.... huuuuu-uuuhhh...."
Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek
yang tubuhnya pendek ku-rus dan mukanya keriputan sehingga nam-pak tua sekali itu, yang
mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, kini seperti anak kecil menangis di depan
Si-angkoan Eng yang cantik dan kini ter-senyum-senyum mengejek. Mendengar suara tawa
orang-orang di situ, barulah Kui Thian-cu menyadari keadaannya dan diam-diam dia terkejut.
Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu me-nangis bahkan seperti senjata makan
tuan. Gadis itu ternyata tidak terpenga-ruh sihirnya, bahkan menggunakan ke-kuatan sihir itu,
ditambah kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang
menangis tanpa disadarinya sendiri bahwa dia telah me-lakukan perbuatan yang lucu
memalukan. Tentu saja dia marah sekali, akan tetapi Kui Thian-cu bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia
seorang tokoh Pek--lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biarpun dia mendapat malu
di de-pan banyak orang namun dia dapat me-lihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu
amarah. Dia menyadari bahwa dia terlalu bersalah, keliru menafsirkan orang dan terlalu
memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan
Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
66 silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak begitu mengherankan kalau puteri-nya juga
pandai ilmu sihir. "Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah,
sekarang aku ingin me-lihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona." Dia menggerakkan tangan dan
memutar--mutar pedang di atas kepala, sedemiki-an kuat dan cepatnya sehingga pedang itu
lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar
bunyi desing yang me-nyeramkan.
Siangkoan Eng masih tersenyum meng-ejek, tangan kanannya bergerak dan ia sudah
mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim
(kebutan) yang ber-gagang emas dan bulunya merah meng-kilap itu. Dengan sikap tenang
gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada lalu berkata, "Totiang, aku sudah
siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!" Dalam ucap-an yang dingin
ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thian-cu, membuatnya
marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati. Ini memang merupakan siasat yang
cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan melemahkan seorang, membuat orang menjadi kurang
waspada, maka bagi se-orang ahli silat, marah ketika bertanding merupakan pantangan besar
karena hanya merugikap diri sendiri.
Kui Thian-cu yang sudah marah itu tidak lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang
yang jauh lebih tua dan berkedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti
Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu kalau harus menyerang lebih dulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah marah, dia tidak lagi peduli dan
putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.
"Nona, jaga baik-baik seranganku ini!" bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing
membentuk sinar yang mem-bentuk gulungan lingkaran, lalu dari ling-karan itu mencuat sinar
menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.
Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sambil kakinya membuat langkahlangkah melingkar sehingga se-mua serangan itu gagal, luput atau ter-tangkis. Kemudian
sambil menangkis, ia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu
digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat
diper-gunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat
membelit lawan. Pertandingan itu berlangsung dengan seru. Karena merasa dirinya sebagai wakil
perkumpulan besar, tentu saja Kui Thian-cu tidak mau kalah melawan se-orang gadis. Dia pun
mengerahkan se-luruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, namun
agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus--jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya,
gadis itu dapat menghindarkan diri de-ngan mudah dan tepat. Bahkan serangan balasan
dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek--lian-kauw itu mulai
terdesak dan sibuk menghindarkan diri. Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh
di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia makin memperhebat
se-rangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia
menghadapi benteng pertahanan yang tak dapat ditembus gulungan sinar pedangnyra,
sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke
kanan kiri dan memutar pe-dang untuk melindungi tubuhnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
67 Ketika dengan pengerahan tenaga kembali dia membacokkan pedangnya, bulu kebutan itu
menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular dan pada saat yang sama,
pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang
me-megang pedang! Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thian-cu
kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya
terbabat buntung di per-gelangannya! Dengan muka berubah ke-merahan dia meloncat ke
belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.
Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini me-mandang kepada
lawannya, lalu berkata, "Totiang, terimalah kembali pedangmu!" Ia menggerakkan hud-tim di
tangan kiri dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lian-pai
itu berubah pucat akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun mak-lum bahwa dia
tidak akan menang me-lawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum
bukan main. Kalau puterinya saja sehebat itu, apalagi ayahnya. Dan dia pun mendengar
bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, adalah seorang keturunan para pimpinan Beng--kauw,
perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah
hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping
ilmu sihir. "Nona memang hebat, pinto mengaku kalah." lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan
memberi hormat, "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng--pai merupakan kawan
seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Peklian--kauw." Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang. "Terima kasih, Totiang dan sila-kan duduk."
Setelah tokoh Pek-lian-kauw duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda
yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pe-muda berusia tiga puluh tahun yang
ber-tubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit.
Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia
pun menjura kepada pihak tuan rumah.
"Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya
memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu
dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan me-layaniku beberapa belas
jurus!" Sikapnya kaku dan tekebur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw
yang berpengalaman. Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi ia mewakil
ayahnya menandingi Kui Thian-cu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah
perkumpulan pejuang yang besar dan ia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan
tetapi, laki-laki muda itu biarpun murid per-kumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya
demikian hijau dandungu. Ia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayan-nya, yaitu
yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu ber-kata lantang.
"Sobat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada
seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas
menantangku!" Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda ber-pakaian serba
kuning yang juga cantik itu telah berdiri di depan si pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau
memper-kenalkan diri sebelum menguji kepandaian.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
68 "Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"
Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah se-orang murid
unggulan dari Kong-thong--pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk
mewakili Kong--thong-pai, dan di sini dia dipandang ren-dah, tingkatnya hanya disejajarnya
de-ngan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali! Maka, dia pun melawan
aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap angkuh, "Baik, sebagai tamu saya
tentu saja me-nerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari
kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu ber-tahan
melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!"
Melihat lagak yang meremehkan diri-nya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan
sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, ia tersenyum dan
memberi hormat, "Kongcu, saya sudah siap. Sila-kan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua
puluh jurus itu." Melihat sikap si pelayan yang me-nantang, pemuda Kong-thong-pai itu men-jadi semakin
penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, "Lihat
seranganku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah
ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan
se-perti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri
secara cepat. Serangan per-tama itu dilakukan dengan gerakan se-perti seekor harimau
menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan
kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.
Namun, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, merupakan
pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya.
Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, ia pun ber-sikap lincah dan meloncat ke belakang
lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan ia pun sudah menggerak-kan kaki
ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang
mencuat ke arah dada lawan!
Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin pena-saran. Dia
memutar lengannya dan ber-usaha menangkap kaki yang menendang-nya. Akan tetapi gadis
pelayan itu mak-lum akan niat lawan, maka ia pun me-narik kembali kakinya, meloncat
dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala
lawan! Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk me-nangkis tidak ada waktu
lagi, maka ter-paksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang
cukup berbahaya itu karena dia dapat merasa-kan sambaran angin pukulan yang cukup kuat.
Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, walaupun hanya seorang pe-layan, ternyata
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka dia pun tidak berani lagi
memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah
lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, men-desak pun
tidak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin pena-saran. Dia
mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu
menandinginya, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat
dan pe-muda Kong-thong-pai itu melompat mun-dur. Mukanya berubah merah sekali.
"Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
69 Siangkoan Eng tersenyum, kini se-nyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimanapun juga,
ia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu mengakui kekalahannya sesuai
dengan janjinya, walaupun sebenarnya dia belum kalah.
"Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena engkau belum kalah, sobat dari Kong-thongpai!" katanya lembut.
"Hemmm, aku Koan Tek adalah se-orang laki-laki sejati yang menjunjung tinggi nama dan
kebesaran nama Kong--thong-pai. Aku sudah berjanji, dan se-telah lewat dua puluh jurus aku
belum dapat mengalahkannya, berarti aku kalah. Pang-cu, terimalah hormatku!" katanya
sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
Ketua Pao-beng-pai yang tinggi be-sar ini mengangguk dan membalas penghormatannya.
"Silakan duduk, saudara Koan Tek!"
Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah
dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Kini, perhatian semua
tamu tertuju kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di
antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang
merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap angkuh,
tidak mau memperkenalkan diri lebih dahulu kepada pihak tuan rumah!
Dua orang pemuda itu yang merasa menjadi pusat perhatian, kini juga saling pandang.
Mereka tidak saling mengenal namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dari
sepenanggungan karena keduanya menjadi pusat perhatian karena mereka berdua sajalah yang
kini belurn memperkenalkan diri dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan
rumah seperti dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lian--pai dan
Kong-thong-pai tadi. Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan se-dang dan tegap,
wajahnya bulat berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan
mancung, mu-lutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal. Dia seorang pemuda yang
tampan, dan sikapnya juga anggun, tidak malu-malu dan berwibawa. Pemuda ini bukan lain
adalah Pangeran Cia Sun yang melakukan penyamaran! Dia meninggalkan istana untuk
mencari pengalaman, me-nyamar sebagai pemuda biasa dan karena dia seorang yang sejak
kecil suka mem-pelajari silat, kini dia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia
kang-ouw. Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apalagi
mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti pemerintahan kakeknya, yaitu
Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan
mengaku bah-wa dia seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian.
Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan
menbunuhnya kalau mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang
perjalanannya pun dia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Namanya sendiri dia pakai, hanya
menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kera-jaan atau Dinasti Kerajaan
Mancu. Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pen-didikan seperti orang Han, maka tak
seorang pun yang tahu bahwa dia seorang pangeran Mancu, dalam segala hal dia adalah
seorang pemuda Han biasa. Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa
Han. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
70
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda yang ke dua juga tampan berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan
sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walaupun ketampanannya berbeda
dengan ketampan-an Pangeran Cia Sun yang kini kita ke-nal sebagai pemuda Cia Ceng Sun.
Pe-muda ke dua ini bermuka lonjong dengan mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya
ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal
dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang
dan tegap dan gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walaupun
wajahnya ramah. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sinciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti). Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan
Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka tidak ada seorang pun yang
me-ngenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.
Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang meninggalkan istana untuk memperdalam pengetahuan
dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya
yang ter-amat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pende-kar
Suling Naga Sim Houw. Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim
piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa
gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang telah bertaubat, berjuluk
Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw. Sejak kecil, Yo Han
dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga Yo Han sejak kecil telah
akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak se-perguruan. Namun, ketika
kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat. Biarpun suami isteri
Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan
mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau
berlatih. Dia meng-anggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari
orang-orang yang suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain. Karena ulahnya ini,
maka suami isteri pendekar itu me-rasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab
dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu, sehingga me-reka ingin memisahkan kedua
orang anak itu dengan memitipkan Yo Han pada se-buah perguruan silat yang baik. Yo Han
mendengar ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu dengan nekat mengikuti
seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu melepaskan Sian Li kecil yang
diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai pe-nukarnya. Demikianlah, setelah ikut de-ngan
iblis betina itu dia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai akhirnya dia
bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang
memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng
dari kakek itu, yang membuat dia men-jadi seorang pendekar sakti.
Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Tai-hiap yang tak
pernah dikenal muka-nya oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian
Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Me-reka saling mengenal dan kasih sayang yang
sejak kecil telah tumbuh dalam hati mereka, kinl berubah menjadi cinta kasih dewasa antara
pria dan wanitai Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka
karena suami isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang
ibunya yang pernah menjadi seorang wanita go-longan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan
seorang pangeran di kota raja! Yo Han menjadi terpukul dan diingatkan akan lenyapnya puteri
bibinya, dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia
kembalikan kepada bibinya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
71 Demikianlah riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti, dan pada hari itu, sebetulnya
dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diada-kan oleh Pao-beng-pai, make
dia pun sengaja berkunjung dengan maksud mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat
di waktu kecil. Yo Han maklum sepenuhnya betapa sulitnya tugas yang dipikulnya, mencari seorang, anak
perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, ketika hilang diculik orang berusia tiga
tahun! Dia tidak tahu siapa penculiknya, tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang
di-ketahuinya hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan,
nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat
orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam di pundak kiri. Bagaimana
mung-kin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya"
Dan sudah pasti anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu
kandungnya, tidak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih
hidup! Sungguh merupakan usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa
menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han
mempunyai akal. Kalau dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha
menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Den hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan
menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah kini
dia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri
sesuai dengan rencana siasatnya.
Ketika dua orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia
memberi isyarat, mem-persilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih
dahulu. Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk,
ke-mudian dia pun melangkah dan dengan langkah ringan dan santai dia menuju ke ruangan,
tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan menjura kepada pihak tuan rumah
dan terdengar suaranya yang halus dan sopan, juga de-ngan gaya bahasa yang menunjukkan
bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa, melainkan seorang yang ter-pelajar.
"Harap Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian
hati saya belum mem-perkenalkan nama, melainkan karena tertarik akan kehebatan ilmu silat
ke-luarga Siangkoan yang tadi telah diper-lihatkan. Oleh karena saya memang ber-maksud
meluaskan pengalaman dan me-nambah pengetahuan, maka saya ingin mempergunakan
kesempatan ini untuk menambah pengetahuan dengan jalan bertanding silat secara
persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama saya yang tidak berarti."
Sikap yang lembut dan kata-kata yang sopan seperti biasa dilakukan.orang-orang terpelajar
dan kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang--ouw, maka di sanasini terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Juga ada yang menganggap bahwa pemuda
ini ten-tu tidak memiliki kemampuan yang ber-arti dalam ilmu silat, hanya pandai ber-lagak
saja. Akan tetapi tidak demikian-lah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga
tuan rumah. Siang-koan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan
keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan sopan-santun yang
berlaku di antara para bangsawan, di antaranya sikap yang halus dan kata-kata yang indah.
Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa
senang. Demikian pula dengan Siangkoan Eng, yang biarpun ti-dak mengalami kehidupan
bangsawan istana, namun karena di dalam keluarga-nya, ayahnya masih memakai peraturan
seperti keluarga bangsawan, ia pun ter-tarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda biasa
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
72 itu. Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa, sikapnya demikian lemah lembut,
namun telah berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik kepada pemuda
itu, maka ia berbisik-bisik kepada pela-yannya, si baju kuning yang lihai, dengan pesan agar
pelayannya itu kembaili me-wakilinya menguji si pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali
dilukai atau dibikin malu. Si baju kuning mengerti dan meng-angguk, lalu ia maju
menghadapi Cia Ceng Sun sambil memberi hormat.
"Kongcu, saya melaksanakan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan
melayanimu beberapa ju-rus."
Cia Ceng Sun tersenyum, tidak me-rasa dipandang rendah dan dia pun mem-balas
penghormatan pelayan yang lihai itu. "Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan.
Tentu nona majikanmu jauh lebih lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga
bagaimanapun juga, lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi
kelihaianmu." Si nona baju kuning juga senang me-lihat sikap pemuda tampan ini yang de-mikian rendah
hati, bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang
pelayan."Kongcu, silakan mulai, saya sudah siap!" katanya lembut dan memperlihat-kan
senyum ramah. "Baik, lihat seranganku!" dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan
serangan. Karena dia maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja dia tidak
berani meman-dang rendah dan begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguhsungguh, memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan
kiri yang memukul lurus ke depan itu medatangkan angin pukulan yang kuat. Nona baju
kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil
membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak
macam Ilmu silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan mengirim serangan balasan
dengan cepat sekali, mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping. Gerakan ini
mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan
pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan
de-ngan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan se-luruh
kepandaiannya untuk mengimbangi, walaupun ia tetap ingat akan pesan nona-nya agar tidak
melukai atau membikin malu pemuda itu. Diam-diam ia menge-luh. Bagaimana mungkin"
Untuk menang pun tidak mudah, pikirnya. Tak disangka-nya bahwa pemuda yang tampan dan
sopan ini sedemikian lihainya dan ia me-rasa heran. Selama ini, Pao-beng-pai telah menyebar
banyak penyelidik untuk menyelidiki para tokoh dunia persilatan, bahkan mencatat dan
mempelajari ilmu--ilmu silat mereka. Akan tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan
se-hingga tidak dikenal oleh keluarga maji-kannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup
hebat dan ia sendiri sampai ke-walahan setelah mereka bertanding se-lama tiga puluh jurus.
Mulailah ia ter-desak hebat!
Para tamu yang menonton pertanding-an itu pun menjadi kagum. Apalagi para tokoh dari
aliran parsilatan besar seperti wakil Siauw-lim-pai, mereka tertegun melihat betapa pemuda
tampan itu me-mainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka! Ilmu silat pemuda itu
campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati ke-sempurnaan!
Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu! Hal ini memang tidak aneh.
Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu saja tidak menjadi murid biasa
dalam sebuah perguruan. Dengan ke-kuasaannya dan kedudukan ayahnya, mu-dah saja dia
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
73 mendatangkan guru-guru silat dari berbagai aliran yang melatih-nya secara rahasia. Apalagi,
di antara para jagoan istana bangsa Mancu ter-dapat banyak tokoh persilatan pandai yang
telah berhasil mencari dan mengua-sai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga
mereka dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa di-ketahui orang lain. Keadaan
pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar ketika masih
muda. Kaisar Kian Liong pun ke-tika masih muda juga bertualang dan mempelajari ilmu silat,
akan tetapi dia mempelajarinya dari para tokoh persilat-an secara berterang sehingga namanya
dikenal oleh semua tokoh kang-ouw.
Siangkoan Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu
pikirnya, sambil termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus berbagai
aliran persilatan, wajahnya tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, gerak-geriknya
lembut dan bicaranya menunjukkan bahwa dia se-orang terpelajar. Belum pernah ia ber-temu
dengan seorang pemuda seperti ini! Pemuda itu mampu mengimbangi pelayan-nya yang
utama sampai empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah ter-desak hebat.
"Haiiiiittttt!" Tiba-tiba Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya men-datangkan angin
pukulan yang amat kuat, membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan
menangkis. "Dukkk!" Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu ter-dorong ke
belakang, terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat
melompat ke depan dan menyambar lengannya.
"Kau mundurlah!" kata Siangkoan Eng. Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita
itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang cepat memberi hormat.
"Maaf kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah
sekarang aku mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang
pemuda perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku pun
tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan pengalaman." Dia mem-beri
hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke tempat duduknya.
"Cia-kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!" terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun
menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, memandang kepada gadis jelita yang
berhadapan dengannya. "Nona, aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagi-kah yang dapat
kulakukan untuk keluarga tuan rumah?"
Siangkoan Eng tersenyum dan nampak giginya yang rata dan putih itu berkilau-an sejenak.
"Harap jangan salah mengerti, Kongcu. Engkau telah memperkenalkan diri, tidak sepantasnya
kalau aku sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng
dan aku mewakili orang tuaku dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu
silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu
masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini, Kong-cu?"
Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi
nampak begitu dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari
balik gunung. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
74 Dan manisnya bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena kalau
puteri istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demi-kian bebas seperti bunga
mawar hutan yang semerbak harum dan indah. Dia teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak
jatuh hati kepada gadis lain, kare-na dia sudah ditunangkan dengan seorang gadis lain yang
juga seorang gadis per-kasa dengan julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah
berhadap-an dengan Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini"
"Nona Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan
tingkat kepandaian pelayanmu, Nona. Kalau melawanmu, mana mungkin aku dapat
mengimbangimu?" "Cia-kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk
menambah pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu." Sikap
Siangkoan Eng demikian membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya tidak
ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.
"Baik, harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona
mulai." Pemuda itu yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah
memasang kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw--lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh
kuat dan tangguh seperti benteng baja. Me-lihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng ter-senyum.
"Cia-kongcu, awas terhadap serangan-ku! Hiaaaaattttt....!" Dan ia pun me-nyerang dengan
jurus ilmu silat Siauw--lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan kagum, maka dia
pun me-nyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan jurus
ilmu silat Siauw-lim-pai. Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai,
kemudian tiba-tiba gadis itu mengubah ilmu silatnya, kini ia menyerang dengan ilmu silat dari
Bu--tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga meng-imbangi dengan ilmu silat yang sama!
Demikianlah, pertandingan itu berlang-sung seru bukan main, keduanya me-nukar-nukar ilmu
silat dan selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit,
juga dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang.
Sesungguhnya, kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi daripada
tingkat kepandaian Cia Ceng Sun dan biarpun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh
baginya, namun kalau ia bersungguh-sungguh akhir-nya pemuda itu akan kalah. Apalagi
ka-lau gadis itu mau mempergunakan ke-kuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang
amat berbahaya dari didik-an ibunya, tentu pemuda itu akan celaka. Hanya saja, gadis itu
memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia sengaja mengalah.
Enam puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada
yang menang atau kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka,
ke-indahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum. Lauw Cu Si, ibu dari
Siangkoan Eng, berbisik kepada sua-minya, "Anakmu agaknya sudah men-jatuhkan pilihan
hatinya." Siangkoan Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi, "Kalau memang benar, apa
salahnya" Pemuda itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang
bangsawan. Kita hanya perlu mengetahui siapa orang tuanya." Suaminya berbisik pula.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
75 Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia di-kalahkan oleh
seorang wanita dalam per-tandingan silat, dan kini dia sama sekali tidak mampu mengalahkan
gadis ini, bahkan mendesak pun tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia
melompat ke depan lalu menyerang de-ngan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan
terbuka mendorong ke depan de-ngan jurus Pat-bua-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung),
kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil
menge-rahkan tenaga sin-kang. Ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti dan
hawa dorongannya saja mampu mem-buat lawan terlempar.
Akan tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau me-nangkis, melainkan
meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan
dorongan kedua tangan pula, dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Ke-dudukan
mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.
"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan
terguncang karena pertemu-an tenaga sin-kang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!
Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan. Mereka dapat
saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing--masing, dan keduanya
tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya
saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng se-ngaja membatasi tenaganya sehingga mereka
seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.
Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga
seperti itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat me-renggut nyawa seorang
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di antara mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena
sebenar-nya tenaga sin-kang Siangkoan Eng lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan
mengendalikan adu tenaga itu. Kalau tenaga mereka seimbang, memang dapat, berbahaya.
Dan agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari, bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis
itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia, maka dia pun kini tersenyum
dan maklum bahwa keadaan mereka tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga
mereka. Jantung pangeran ini berdebar ketika melalui telapak tangan itu dia merasakan suatu
kehangatan dan kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.
Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu dan tanpa ragu-ragu lagi
dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua
pasang tangan yang saling tempel."Cukup, harap kalian mundur?" kata-nya dan dari
dorongannya muncul tenaga yang amat dahsyat, yang membuat Siang-koan Eng dan Cia Ceng
Sun terdorong mundur sampai tiga langkah dan dengan sendirinya tempelan dua pasang
tangan utu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya. Mereka hanya
merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat.
Diam-diam Cia Ceng Sun ter-kejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh
kagum. "Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kauberikan kepadaku," katanya sambil
memberi hormat kepada gadis itu. Siangkoan Eng membalas dan tersenyum.
"Cia-kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
76 Kini Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han dan setelah mereka saling pandang penuh perhatian,
pangeran itu berkata, "Sobat, engkau hebat. Terima kasih." Lalu dia kembali ke tempat
duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan
Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya
berkata dengan suara yang dalam.
"Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu." Kiranya ketua
Pao-beng-pai ini sudah waspada dan tadi melihat gerakan Yo Han. Dia tahu bahwa puterinya
memiliki tenaga sin-kang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah
terhadap pemuda she Cia itu sehingga biarpun mereka nampaknya mengadu tenaga sin-kang,
namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali
tldak ber-bahaya. Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mam-pu
membuat kedua orang itu terdorong mundur ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini
memiliki kekuatan sin--kang yang amat hebat, yang dapat se-kaligus melawan kekuatan
Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung men-jadi satu! Maklum akan hal ini,
Siang-koan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan
mungkin puterinya tidak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri akan maju. setelah
puterinya mundur, dia pun bangkit dan melangkah maju meng-hadapi Yo Han.
Dua orang laki-laki itu berdiri ber-hadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap
angkuh dan dingin dan sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah
direncanakannya. Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung
di dalam dunia kang--ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang
pemuda sesat pula, atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para
pen-dekar terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah sebabnya dia
bersikap seperti seorang pemuda yang tinggi hati, dingin dan kejam, sikap seorang pemuda
golongan sesat! Setelah saling pandang beberapa lama-nya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau
menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya dan dengan suaranya yang
mengguntur dia berkata, "Sobat muda! Engkau datang ke sini, ber-arti engkau adalah tamu
kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan meng-apa engkau usil tangan mencampuri adu
ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?"
Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata, "Pangcu, aku sudah
mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok.
Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang
sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memper-kenalkan nama, karena memang aku
me-nunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini
berkumpul di sini!" Sikap, yang congkak ini. membuat Si-angkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga
membuat dia ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.
"Hemmm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Kalau
memang beralasan kami mau menerimanya, akan tetapi kalau engkau hanya ingin mengacau,
jangan salahkan kami kalau terpaksa kami akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian,
Siangkoan Kok kembali duduk di kursi-nya. Semua orang memandang dengan hati tegang
kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang tadi dipergunakan untuk
mengadu ilmu silat. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
77 Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!" Semua orang
menengok dan yang berteri-ak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thian-cu yang tadi
dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bang-kit berdiri dari tempat
duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. kira-nya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat
kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan
Thian-li-pang, yaitu ketika dia berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.
Belum juga gema suara Kui Thian-cu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain, Tosu dari
Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara sekalian, perkenalkanlah,
pemuda perkasa ini adalah pemimpin dari kami Thian--li-pang yang telah menyerahkan
keduduk-an ketua kepada ketua kami yang seka-rang!"
Semua orang menengok dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki--laki berusia
lima puluhan tahun. Dan laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari
tempat duduk-nya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata, "Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk
mewakili Thian-li-pang hadir di sini."
Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentu seorang
tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.
Siangkoan Kok memandang kepadanya. "Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan
nyatakan apa kehendakmu di sini." katanya.
Yo Han memandang ke empat pen-juru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata
sambil membusungkan dada. "Cu-wi (Anda Sekalian), dengarkan aku mem-perkenalkan diri.
Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah
seorang pimpinan Thian-li-pang akan tetapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan
kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang merantau untuk melaksanakan
tugasku yang ter-amat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal
itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Peklian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu seke-lompok patriot yang
menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan
untuk berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu
rakyat jelata. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapapun, ayah ibuku
sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cu-wi sudahmengenalnya. Ia bernama
Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi."
Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia
persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.
"Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang--ouw yang
terkenal, murid Sam Kwi (Tiga Setan), akan tetapi kemudian ia mem-balik. dan bergabung
dengan mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar, me-mihak orang Mancu!" teriak
Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara mem-benarkan.
"Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang
lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang
menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
78 Lem-bah Naga. Aku mendendam kepada me-reka, terutama aku membenci sekali kepada
bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Si Lan berjuluk Siauw
Kwi! Can Bi Lan itulah yeng telah membujuk sucinya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan
mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku ingin
mengajak mereka yang me-nentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang
pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan
suaminya, Sim Houw!"Yo Han bicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong
seolah dia marah besar dan amat membenci nama--nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah
siasatnya. Dia ingin melacak jejak pen-culik puteri bibinya itu dengan cara men-dekati orangorang kang-ouw dan ber-sikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu.
Kembali suasana menjadi gaduh se-telah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri
dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak
suka ke-pada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju
dengan pendapat Yo Han. Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara
mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga
Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali. Pe-muda itu merupakan bahaya bagi keraja-an
keluarga kakeknya! Justeru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati
para pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuataan.mereka, pemuda ini
malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain ingin me-nambah pengetahuan, ingin pula
menye-lidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya merupakan
perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.
"Amitohud....!!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta ber-kepala gundul yang
usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han. Dia adalah seorang di antara
utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak
membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga. "Orang muda, engkau masih
begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana mungkin engkau akan
meng-hadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu" Pula, mereka adalah pen-dekarpendekar sakti yang bertindak demi membela mereka yang tertindas dan menentang
kejahatan, sama sekali bukan antek pemerintah. Pinceng (aku) per-ingatkan agar engkau
berhati-hati kalau bicara. Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu."
"Siancai....! Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali.
Pemuda ini terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan
sahabat para pen-dekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada orang menghina mereka.
Mereka bukan antek pemerintah!" Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah seorang
tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun lebih yang tinggi kurus dan barjenggot panjang,
"Kalau orang muda she Yo tidak manghentikan bualan-nya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lunpai pasti tidak akah tinggal diam saja!"
Yo Han menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiraanya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai
mambela para pandakar itu. Mereka itu jelas antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti
sendiri masih mem-unyai hubungan keluarga dengan Kera-jaan Mancu. Dia pun
menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena
bukankah se-lama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun--lun-pai menjadi makmur berkat
bantuan pemerintah Mancu" Sayang sekali, Siauw--lim-pai dan Kun-lun-pai yang besar itu
pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
79 "Keparat, betapa sombongnya engkau!" Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lun--pai itu
sudah berada di depan Yo Han, berjajar dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai
itu memegang se-untai tasbih hitam yang matanya besar--besar, tosu itu memegang sebatang
tong-kat berbentuk ular yang tingginya se-pundak dan besarnya sepergelangan
ta-ngan.Melihat mereka berdua, Yo Han se-ngaja tertawa lagi. "Ha-ha-ha, kalian mau apa"
Jangan dikira aku takut meng-hadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua mengeroyok
aku, kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan akan pergi dari sini. Kalau kalian
kalah, jangan kalian ribut mencampuri urusanku lagi!"
Dua orang pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina
Siauw-lim-pai den Kun-lun--pai sehingga mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka
dua orang tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan
memang membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan tosu itu se-makin
marah. "Omitohud, bocah sombong ini agak-nya perlu disadarkan dengan kekerasan, To-yu!" kata
hwesio itu dan dia pun mendahului tosu Kun-lun-pai, menggerak-kan tasbih di tangannya
menyerang Yo Han. Tosu itu pun menggerakkan tongkat-nya dan memukulkannya ke arah
tubuh Yo Han, seperti seorang ayah yang ma-rah-marah dan hendak menghajar anaknya yang
bandel. Yo Han memang sengaja hendak mem-perlihatkan kepandaiannya untuk menarik perhatian,
terutama sekali perhatian penculik puteri bibinya atau setidaknya, yang tahu akan peristiwa
itu, dan agar dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi
se-rangan kedua orang ahli silat kelas ting-gi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia
pun meloncat ke belakang, kemudian ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun
mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoat--keng dan mendorongkan kedua
tangannya ke depan, menyambut mereka.
Bukan main kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua
tangan pemuda itu bagaikan badai. Mereka berusaha menyambut de-ngan dorongan tangan
kiri yang disertai pengerahan tenaga sin-kang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang amat
dahryat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan terjengkang roboh!
Tentu saja hal ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak.
Dia tahu betapa lihai-nya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun--lun-pai itu, akan tetapi dalam
segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!
Tiba-tiba terdengar suara lantang, "Ah, tidak salah lagi. Dia adalah Sin--ciang Tai-hiap yang
pernah menggempar-kan perbatasan barat!"
Semua orang menengok dan ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang
berjubah pendeta dan dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi--pai! "Pinto pernah
mendengar bahwa nama Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan mukanya
itu ada-lah Yo Han yang pernah membantu para pendeta Lama di Tibet meredakan
pem-berontakan!" Kini semua orang memandang lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah
mendengar kebesaran nama Sin-Ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
80 menggemparkan di barat itu, seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan
mukanya sehingga hanya dikenal namanya saja. Juga Siangkoan Kok sudah pernah
mendengar nama Sin--ciang Tai-hiap, maka kini dia meman-dang kepada Yo Han dengan
penuh seli-dik. Sedangkan tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi terpaksa mengakui
kekalahan mereka dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Siangkoan Kok kini
maju menghampiri Yo Han. "Saudara Yo Han, benarkah engkau yang berjuluk Sin-ciang Tat-hiap!" tanya ketua Paobeng-pai itu. Yo Han menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu. "Memang benar, Pangcu. Akan
tetapi orang terlalu mem-besarkannya. Aku bukan seorang pen-dekar seperti tiga keluarga
besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat mengganggu
rak-yat, agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan
antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw" Seperti
yang dilakukan para angauta tiga keluarga besar itu". Tidak, yang kumusuhi bukanlah
orang-orang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Karena itu-lah
maka aku sengaja datang ini untuk bekerja sama dengan orang-orang seper-juangan dan
sehaluan." Banyak di antara para tamu, orang--orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak
terjang Sun-ciang Tai-hiap, senyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang
merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja
yang me-mandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para
pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.
Sedangkan Siangkoan Kok merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi
sekutu yang amat berguna baginya. "Yo-sicu (orang gagah Yo), su-dah lama kami mencari
seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orang-nya. Hayo ,aku masih merasa
penasaran kalau tidak mengukur sendiri kekuatan-mu, walaupun tadi engkau telah
mem-perlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan
seper-juanganmu, Sicu, akan tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersedia-kah
engkau?" "Hemmm, aku mendapatkan kehormat-an besar sekali kalau Pangcu dari Pao--beng-pai suka
memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh," kata Yo Han. "Nah, Pangcu, aku sudah
siap." "Bagus, aku pun hanya ingin meng-ukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah do-ronganku ini!"
Berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang,
lalu kedua le-ngannya melakukan dorongan lurus ke dapan yang dimulai dari bawah pangkal
lengan, kedua tangan terbuka, jari-jari tangan agak ditekuk dan dari kedua tela-pak tangannya
itu menyambar hawa pu-kulan dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung
hawa dingin! Maklum bahwa dia menghadapi se-rangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan
berbahaya, Yo Han Juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua
orang pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bu-kek Hoat-keng dan dari kedua telapak
tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
81 Dua tenaga yang tidak nampak ber-temu di antara mereka dan nampak tu-buh mereka
tergetar hebat. Yo Han se-ngaja tidak menyerang, hanya memper-tahankan ketika tenaga
lawan mendorong-nya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu
dengan pe-risai yang kokoh kuat seperti batu ka-rang! Dia kagum bukan main, lalu
me-ngerahkan seluruh tenaganya, mendorong dan dari mulutnya terdengar suara
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meng-gereng. Yo Han tetap mempertahankan. Biarpun tenaga lawan itu kuat sekali, kalau dia
menggunakan Bu-kek Hoat--keng dan balas menyerang, dia merasa yakin akan mampu
mengatasi lawan. Na-mun bukan itu yang dikehendakinya. Ma-ka, dia pun hanya
mempertahankan dan biarpun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya
terdorong dan kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!
Melihat ini, ketua Pao-beng-pai se-makin kagum. Jarang ada tokoh persilat-an mampu
menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kaki,
tidak terjengkang me-lainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam keadaan kudakuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda itu. Dia pun segera
ber-seru, "Cukup!" dan keduanya menarik tenaga masing-masing. Siangkoan Kok agak
terengah karena tadi dia mengerah-kan seluruh tenaga. Yo Han cepat mem-buat
pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat."Hebat, engkau
masih muda sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukup-lah, biar lain kali saja kita
berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan
duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu
me-nandingi puteri kami, bararti engkau juga cukup berharga dan layak untuk duduk di
tampat kehormatan dan semeja dangan ka-luarga kami!" Ketua itu gambira bukan ma-in
bahwa di antara para tamunya tardapat dua orang pemuda sepertu Cia Ceng Sun. dan Yo Han.
Tinggal pilih saja untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama
gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan
terpelajar. Pesta pertemuan itu pun dimulai de-ngan meriah. Yang duduk di atas sebagai tamu-tamu
kehormatan adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lunpai, Go--bi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi me-reka itu duduk di meja lain, sedangkan Yo
Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya. Kalau
sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti se-orang pemuda yang diharuskan
duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri dengan peran-nya
sebagai seorang berandalan kang--ouw. Dia acuh saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap
seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.
Mula-mula Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apalagi nama
besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti, akan tetapi karena sikap-nya itu, maka perhatian
gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan pandai
membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun daripada ke-pada Yo
Han. Karena mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia
Ceng Sun. Ketua Pao--beng-pai sambil makan minum dan men-dengarkan musik dan
nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang ri-wayat kedua orang pemuda yang
menarik hati itu. Cia Ceng Sun menceritakan bahwa dia seorang yatim piatu yang menerima harta warisan
yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil dia suka
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
82 mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak mempunyai guru tertentu. "Guru saya
banyak sekali, akan tetapi bukan guru tetap. ilmu silat apa saja saya pelajari, dan untuk itu
saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan ayah." Tentu saja dia berbohong.
Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mem-pelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak
guru, tanpa ada guru tetap. "Sampai sekarang pun, saya merantau untuk me-nambah
pengetahuan dan meluaskan pe-ngalaman." tambahnya.
Ketika Yo Han ditanya, dia mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya
tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu--ilmu ibunya, dan juga dia
mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga. "Tadinya, aku dipilih
un-tuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku lalu menye-rahkan
kedudukan itu kepada suhengku Lauw Kang Hui." Dia mengakhiri cerita-nya.
Siangkoan Kok memandang kagum. "Jadi Lauw Kang Hui adalah suhengmu" Pantas saja
engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-lipang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok--ong "
Yo Han mengangguk. "Mereka adalah guru-guruku dan kini. mereka sudah me-ninggal
dunia." Mereka makan minum sambil ber-cakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja,
nampak keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk
di se-belah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka
pun becakap-cakap membicara-kan ilmu silat. Dari sikap dan pandang mata gadis itu, Yo Han
saja dapat me-ngerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah.
Apalagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja mengetahui.
Dalam pesta perjamuan itu, selain memperkenalkan diri, Pao-beng-pai juga menawarkan
kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari
golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.
"Untuk mengusir penjajah dari tanah air, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara
seluruh golongan. Kalau kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah
pasti dapat kita tumbangkan!" demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada para
tamunya. Pertemuan itu dibubarkan de-ngan kesan yang baik bagi para tamu. Pao-beng-pai
mereka akui, bahkan semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga yang
memiliki ilmu kepan-daian tinggi.
Semua tamu meninggalkan rumah besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok
(Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun! Dua orang pemuda ini
menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng--pai untuk tinggal selama
beberapa hari di situ dengan alasan agar perkenalan semakin menjadi akrab. Tentu saja hal ini
amat menggembirakan hati Yo Han karena dia memang ingin sekali memper-oleh keterangan
tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat men-dengar dari perkumpulan itu.
Juga Cia Ceng Sun merasa girang. Dia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar
bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berke-wajiban untuk
melakukan penyelidikan lebih mendalam agar dia memperoleh bahan untuk membuat
pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para pemberontak ini dapat dibasmi.
Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pa-ngeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia
merasa menyesal sekali mengapa seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
83 pemberontak! Dua orang pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian
belakang, kamar yang cukup mewah. Dan biarpun mereka men-dapatkan kamar sendiri,
namun kedua pemuda itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu
meng-ikuti gerak-gerik mereka. Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka ber-ada
di dalam kamar. Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan
bertindak, juga mereka maklum bahwa betapapun ramahnya sikap keluarga tuan rumah,
namun agaknya mereka masih belum percaya benar.
*** Mereka duduk berdua saja, di ruangan depan pada senja hari itu. Yo Han dan Siangkoan Kok.
Sudah dua hari Yo Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai mengenal
ketua itu se-bagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, yaitu menumbangkan pemerintah
Mancu. Juga ketua itu mulai mengaku bahwa dia adalah keturunan keluarga Kerajaan Beng
yang telah dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang lalu. Ketua Pao-beng-pai ini
bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Beng! Yo Han melihat kenyataan bahwa
yang dinamakan "perjuangan" oleh Siangkoan Kok ini pada hakekatnya tiada lain hanya-lah
suatu usaha balas dendam dan ambisi pribadi. Betapa banyaknya orang yang menggunakan
kedok perjuangan, demi rakyat, demi bangsa dan sebagainya, yang pada hakekatnya
menyembunyikan kepentingan pribadi. Siangkoan Kok bukan berjuang melihat penderitaan
rakyat, melainkan bercita-cita untuk merampas kembali kerajaan dan tentu dia bercita-cita
menjadi raja kalau dia berhasil mem-bangun kembali Kerajaan Beng. Perjuang-an itu baru
aseli kalau dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan atau penindasan.
Perjuangan yang mengutamakan rakyat tanpa mengikutserta-kan rakyat sendiri, masih
diragukan ke-murniannya. Siangkoan Kok tidak mengajak rakyat, melainkan mempunyai
anak buah sendiri, dan merangkul orang-orang dari dunia persilatan, baik golongan hi-tam
maupun putih. Akan tetapi bagai-mana dengan rakyat jelata" Benarkah mereka itu kini dalam
keadaan tertindas. Yang dia tahu, biarpun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia
dikenal se-bagai seorang kaisar yang bijaksana, membangun dan berusaha memakmurkan
rakyat, bukan dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu harum di kalangan rakyat,
bukan sebagai kaisar penindas.
Yo Han setuju kalau pemerintah di-pegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa Mancu.
Akan tetapi, dia tidak setuju kalau untuk menumbangkan ke-kuasaan pemerintah penjajah itu
diadakan pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini yang bukan lain berambisi pri-badi
dari pemimpin-pemimpon kelompok yang tidak puas dan yang mencari ke-kuasaan bagi diri
sendiri. Pemberontakan kecil macam itu hanya akan menyengsa-rakan rakyat belaka. Seperti
yang sudah--sudah, gerombolan pemberontak itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti
Pek--lian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan Thian-li--pang juga pernah menyeleweng. Kalau
perkumpulan yang bertujuan menumbang-kan penjajah itu dimasuki orang-orang , dari
golongan sesat, sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan meng-ganggu rakyat dengan
dalih perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali! Kalau ada pemimpin sejati yang dapat
membangkitkan rakyat untuk menentang pen-jajah, maka dia siap untuk berdiri di barisan
terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di Pao-beng-pai bukan un-tuk urusan
pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari jejak penculik puteri bibinya, dia pun
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
84 tidak banyak membantah ketika mendengarkan ketua itu bicara penuh semangat tentang
ge-rakannya. "Nah, bagaimana pendapatmu, Yo--sicu" Setelah engkau mendengarkan se-mua cita-cita dan
rencanaku, bersediakah engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi maupun
engkau sebagai pimpinan Thian-Li-pang" Kita berjuang bahu-membahu, menumbangkan
penjajah dan kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya, kita yang akan me-nikmati
hasilnya." Nah, tersembul sedikit setan itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buah-nya, menikmati
hasilnya! Jadi, apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupa-kan suatu cara untuk dapat
mendatang-kanatau menghasilkan buah yang dapat dinikmati! Dia menahan diri untuk tidak
mengucapkan suara hatinya yang ingin membantah dan mencela.
"Pangcu (Ketua)...."
Aih, setelah kita bergaul begini akrab sebagi kawan seperjuangan, tidak perlu lagi engkau
menggunakan sebutan, yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo Han!"
Hemmm, orang ini memang pandai mempergunakan orang lain, pandai me-manfaatkan
tenaga orang lain dengan sikap yang amat menyenangkan.
"Terima kasih, Paman Siangkoan Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri kutolak,
bukan karena aku tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas agar aku dapat
melakukan balas dendam atas kematian ayah ibuku. Mereka tewas karena dijerumuskan oleh
Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Dan sebaiknya aku dalam keadaan bebas dan tidak
terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Setelah aku berhasil mem-bunuh Can Bi Lan
dan suaminya, mung-kin barulah aku akan memimpin Thian--li-pang dan aku akan bekerja
sama de-nganmu." Siangkoan Kok mengangguk-angguk, lalu kedua matanya menatap tajam wajah pemuda itu.
"Yo Han, demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim Houw?"Yo Han
balas memandang, memper-lihatkan heran dan alisnya berkerut. "Pa-man, kenapa Paman
masih bertanya lagi" Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan seluruh anggauta
keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai kini ibuku masih menjadi
seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau saja aku bisa mendapat-kan seorang
teman yang dapat dipercaya dan yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan, ingin
sekali aku mengajaknya untuk mendatangi suami isteri itu dan membunuh mereka!"
Ketua Pao-beng-pai itu tersenyum. "Heh-heh-heh, Yo Han, begitu mudahnya engkau bicara!
Mungkin kalau hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan mampu menandingi
bahkan menga-lahkannya. Akan tetapi Sim Houw" Dia adalah Pendekar Suling Naga, dengan
suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia dan sukar dicari bandingnya! Sung-guh
berbahaya sekali menghadapinya!"
"Aku tidak takut, Paman. Pernah aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku seorang
diri tidak mampu mengalah-kan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat bertemu dengan
seseorang yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali belum kutemukan, bersama dia
rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim itu!" kata Yo Han penuh semangat.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
85 "Hemmm, siapakah orang itu, Yo Han?"
"Namanya aku tidak tahu, Paman, bahkan aku tidak tahu apakah dia pria ataukah wanita.
Yang kuketahui adalah bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah menculik puteri dari
Sim Houw dan Can Bi Lan! Apakah Paman menge-tahui siapa penculik itu?"
"Hemmm, apakah engkau datang ke sini sengaja hendak mencari penculik itu?"
"Memang sudah lama aku mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman
adakan untuk mencari tahu ten-tang penculik itu, dan juga untuk men-cari teman sehaluan."
"Kenapa engkau mencari penculik itu!"
"Karena, kalau dia sudah berani men-culik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi dan juga amat membenci mereka. Nah, de-ngan orang seperti itu,
kiranya aku akan dapat mengajaknya untuk membalas den-dam. Apakah Paman mengetahui
siapa orangnya dan di mana aku dapat bertemu dan bicara dengannya?" Yo Han sengaja
menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia tidak pe-duli dan tidak
tertarik tentang anak itu, yang diperlukan adalah si penculik untuk diajak kerja sama!
Ketua Pao-beng-pai mehggeleng ke-palanya. "Tentang penculikan itu pun baru sekarang aku
mendengar darimu, Yo Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah mempunyai urusan langsung
dengan Sim Houw dan Can Hi Lan."
Yo Han mengerutkan alisnya, kecewa. "Kalau Paman tidak tahu, aku akan se-gera pergi dari
sini untuk bertanya ke-pada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya...."
"Nanti dulu, Yo Han. Engkau bilang bahwa kalau engkau sudah berhasil me-nemukan
penculik itu dan kau ajak menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin Thian-li-pang
dan bekerja sama dengan kami" Kalau benar demiki-an, mungkin saja aku dapat
membantu-mu. Anak buahku banyak, dan kami mem-punyai hubungan baik dengan dunia
kang--ouw. Kalau kusebar mereka untuk me-lakukan penyelidikan, kiraku dalam waktu
beberapa hari saja aku bisa menemukan siapa penculik itu."
"Terima kasih, Paman! Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, akan tetapi
mana berani aku membikin repot Paman" Kalau Paman suka mem-bantuku, sungguh aku
merasa berterima kasih sekali dan aku pasti akan mem-balas budi itu dengan kerja sama!"
"Baiklah, aku akan membantumu dan sekarang juga akan kuperintahkan anak buah Paobeng-pai untuk mencari tahu dan menyelidiki siapa adanya orang yang telah menculik anak
dari Pendekar Suling Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal di sini selama beberapa hari lagi
sampai kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari kita minum, Yo Han!" Mereka lalu mi-num
arak dan tak lama kemudian Siang-koan Kok memanggil para pembantu-nya dan
memerintahkan mereka me-nyebar anak buah untuk mecari be-rita tentang penculik anak
Pendekar Suling Naga. Sementara itu, pada senja hari itu, di dalam taman yang luas dari perkampungan Pao-bengpai, nampak Siangkoan Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak ada seorang pun
ang-gauta Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati dua orang muda yang nampak
berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap nampak akrab sekali itu. Memang kedua orang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
86 muda ini saling, tertarik dan saling mengagumi. Siangkoan Eng adalah seorang gadis yang
hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biarpun ayah-nya seorang bekas bangsawan dan
ber-usaha sekuatnya untuk hidup seperti se-orang bangsawan, namun karena ling-kungannya
adalah orang-orang kang-ouw yang menjadi anak buah ayahnya, maka ia sudah biasa hidup
bebas tanpa ikatan segala macam peraturan. Maka, kini ia dapat bergaul dengan Cia Ceng Sun
de-ngan bebas tanpa rikuh dan sungkan, bahkan ayah ibunya juga membiarkannya saja karena
kedua orang tua ini tidak keberatan kalau puteri mereka bergaul dengan seorang pemuda yang
demikian baik seperti Cia Ceng Sun. Setelah tiba di dekat kolam ikan yang indah, mereka
duduk di atas bangku panjang. Tempat itu memang indah dan romantis. Bunga--bunga
beraneka warna mekar semerbak. Di sana-sini sudah dinyalakan lampu--lampu gantung
beraneka warna pula dan di pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna
kemerahan sehingga dalam keremangan senja, kedua orang muda itu nampak seperti
diselimuti ca-haya kemerahan.
"Kongcu, setelah engkau berada di sini, selama dua hari dua malam ini, bagaimana
pendapatmu tentang keluarga kami, perkumpulan kami dan tempat ini?" Siangkoan Eng yang
oleh ayah ibu-nya disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya disebut Siocia (Nona) itu
bertanya sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.
"Sebelum aku menjawab pertanyaan-mu, bagaimana kalau engkau tidak me-nyebut aku
kongcu (tuan muda) lagi" Terdengarnya begitu asing dan tidak se-pantasnya kalau seorang
gadis seperti engkau menyebut aku kongcu."
Eng Eng tersenyum. "Hemmm, engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja aku
menyebutmu kongcu. Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus me-nyebut bagaimana?"
"Sebut saja kakak, dan aku akan me-nyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?"
"Tidakkah itu terbalik" Kurasa aku lebih tua darimu!"
"Tidak mungkin. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun!"
"Kalau begitu sama, aku pun dua puluh tiga tahun. Baiklah, mulai seka-rang, aku akan
menyebutmu toa-ko (ka-kak), Sun-toako."
"Dan aku akan menyebutmu Eng-moi (adik Eng)."
"Sun-toako...."
"Eng-moi...." Keduanya saling pandang dan tertawa gembira.
"Nah, sekarang kita merasa seperti adik kakak, bukan" Eng-moi, kini aku tidak merasa
sungkan lagi untuk me-nanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap kau tidak
marah ke-padaku." "Tanyalah, Toako?"Engkau seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa,
puteri seorang ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi ku-lihat
engkau masih sendiri, belum ber-keluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?"
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
87 Karena pandainya Cia Ceng Sun meng-atur pertanyaan itu dengan sikap ber-saudara dan
kata-kata yang halus, Eng Eng tidak merasa tersinggung, walaupun kedua pipinya berubah
kemerahan juga. "Aih, itukah" Bagaimana aku dapat mem-bangun rumah tangga sendiri kalau
aku belum bertemu dengan orang yang cocok, Toako" Banyak memang pinangan
ber-datangan terhadap diriku, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seorang yang
berkenan di hatiku. Kalau sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak" Dan engkau sendiri,
Pengelana Rimba Persilatan 4 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama