Ceritasilat Novel Online

Kisah Dua Naga Di Pasundan 2

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Bagian 2


sebuah pelepah daun pisang.
"Pandai sekali kamu memasak", berkata Putu Risang
sambil mengunyah daging burung puyuh.
"Nama masakan ini adalah burung dewa bumbu
74 merah", berkata Andini yang juga telah menikmati daging
burung puyuh bakar masakannya itu.
"Nama yang indah untuk sebuah masakan", berkata
Pangeran Jayanagara memuji.
"Ada tiga unsur yang membuat sebuah masakan
menjadi nikmat, dimulai dari nama, tempat dan rasa.
Nama yang indah membuat telinga kita tergoda. Tempat
dan bagaimana kita menyajikannya sudah mengundang
mata tergoda. Terakhir bumbu sebagai penyedap selera
akan menggoda lidah untuk merindukannya", berkata
Andini sambil tersenyum tidak merasa sungkan lagi.
"Ada tertinggal satu unsur lagi, menyajikannya
dengan senyum", berkata pangeran Jayanagara.
"Benar, aku setuju dengan unsur keempat itu",
berkata Gajahmada yang ditingkahi tawa semua yang
ada disitu, juga Andini meski tidak tertawa lepas hanya
sedikit tersenyum mendengar canda mereka.
Andini diam-diam menilai ketiga lelaki yang
bersamanya itu adalah orang-orang yang sopan. Tidak
seperti kebanyakan lelaki yang sering dilihatnya sangat
menjemukan, terutama mata mereka. Di perkenalan yang
singkat dalam perjalanan itu Andini sudah tidak
canggung lagi bersama mereka.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita", berkata Putu
Risang Maka terlihat mereka berempat sudah berada diatas
punggung kuda masing-masing tengah menuruni hutan
perbukitan hijau itu. "Rawa Rontek tidak begitu jauh lagi", berkata Andini
diatas kudanya ketika mereka telah berada di kaki
perbukitan itu. 75 Terlihat mereka telah berjalan kearah barat dari
perbukitan itu. Sementara matahari terlihat sudah
bergeser ke barat di lengkung langit biru semakin turun
seperti menghadang perjalanan mereka.
"Inikah rawa rontek?", bertanya Gajahmada kepada
Andini ketika dihadapan mereka terbentang sebuah rawa
yang cukup luas. "Ditengah pulau kecil itulah kediaman Paman Bango
Samparan", berkata Andini sambil menunjuk sebuah
gundukan hijau ditengah rawa.
"Kita perlu sebuah rakit untuk sampai ke tanah hijau
itu", berkata pangeran Jayanagara
"Kita hanya perlu membuat asap dengan api
unggun", berkata Andini sambil meloncat dari punggung
kudanya. Terlihat Andini telah mengumpulkan beberapa rumput
dan daun kering di sekitar mereka. Tanpa bertanya apa
yang dilakukan oleh Andini dengan rumput dan daundaun kering itu, Gajahmada ikut mengumpulkan rumput
dan daun kering sebagaimana dilakukan oleh Andini.
"Kubantu untuk menyalakannya", berkata Pangeran
Jayanagara sambil mengeluarkan batu api miliknya.
Maka dalam waktu yang singkat telah terlihat sebuah
api unggun di pinggir rawa yang cukup luas itu.
Ternyata Andini hanya ingin membuat isyarat dengan
asap yang telah terbentuk membumbung keatas seperti
sebuah gunung api. Demikianlah Andini menjaga api
unggun itu terus menyala sambil matanya terkadang
menatap jauh ke tanah hijau di tengah rawa Rontek.
"Mereka sudah melihat pesan kita", berkata Andini
yang melihat sebuah rakit bambu telah bergerak dari
76 tanah hijau di seberang sana.
Mendengar perkataan Andini, Putu Risang, Pangeran
Jayanagara dan Gajahmada telah melayangkan
pandangannya ke arah sebuah rakit bambu yang telah
meluncur diatas air rawa yang sangat bening namun
nampaknya sangat dalam itu.
Ternyata rakit bambu itu memang telah meluncur
mendekati mereka. Terlihat dari jauh seorang berada
diatasnya tengah mengayuh.
"Majikan kami telah melihat pesan kalian, silahkan
naik keatas rakit", berkata seorang lelaki dari atas rakit
setelah merapatkannya di bibir rawa.
"Mari kita naik keatas rakit", berkata Andini.
Maka terlihat mereka langsung naik ke atas rakit
setelah menambatkan tali-tali kuda mereka di sebuah
dahan kayu sebuah pohon di pinggir rawa.
"Apakah kita pernah bertemu?", bertanya lelaki itu
kepada Putu Risang. "Kita pernah bertemu",
mewakili Putu Risang. berkata Andini seperti "Benar, wajah jelitamu tidak akan pernah kulupakan.
Seingatku kalian berdua bersama Ayahmu?", berkata
lelaki yang sudah terlihat tua itu kepada Andini.
"Daya ingat pak tua masih hebat, aku memang
pernah berdua ayahku menemui Paman Bango
Samparan", berkata Andini kepada orang tua itu.
Sementara itu rakit bambu sudah bergerak menjauhi
bibir tanah rawa. Dengan sebuah galah panjang orang
tua itu telah mendorong rakit bambu itu semakin
mendekat tanah hijau yang berada di tengah rawa
77 Rontek. Akhirnya mereka telah mendekati tanah hijau itu.
Mereka sudah mulai dapat melihat sebuah bangunan
besar terbuat dari bambu. Sebuah rumah panggung.
"Majikan kami telah menunggu kalian", berkata orang
tua itu ketika telah merapatkan rakit bambunya di sebuah
dermaga kayu di tanah hijau itu.
Terlihat mereka berempat beriringan menuju rumah
panggung yang berada ditengah rawa itu. Sebuah pulau
kecil ditengah rawa yang sangat subur dan cukup luas.
"Naiklah keatas", berkata seorang lelaki dari atas
panggungan rumah itu. Maka mereka pun segera naik keatas tangga menuju
panggungan. "Kamu tidak datang bersama ayahmu?", berkata
lelaki itu sepertinya sudah sangat mengenal Andini.
"Ceritanya panjang Paman", berkata Andini sambil
memperkenalkan Putu Risang, Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara kepada lelaki itu yang ternyata
adalah bernama Bango Samparan.
"Aku tidak sabar lagi untuk mendengar ceritamu, juga
kepentinganmu yang datang dari tempat yang sangat
jauh. Pasti ada sebuah hal penting yang membawa
kehadiran dirimu disini", berkata Bango Samparan,
seorang lelaki yang sudah berumur sekitar lima puluhan,
namun masih terlihat sangat kekar dan sangat tampan
meski sudah terlihat beberapa kerut di wajahnya serta
sebagian rambutnya sudah mulai berwarna putih.
"Ayahku telah terbunuh beberapa bulan yang lalu",
berkata Andini memulai ceritanya yang didengar oleh
Bango Samparan sangat mengejutkan hatinya.
78 "Ayahmu terbunuh?", berkata Bango Samparan
dengan wajah terkejut. "Benar Paman, ada beberapa orang tidak dikenal
telah datang membunuh ayahku", berkata Andini yang
langsung bercerita semua yang dilihatnya dalam
peristiwa kematian ayahnya."Aku bersama bibi Randu
Abang telah mencoba menyusuri siapa sebenarnya
orang-orang tidak dikenal itu. Saat ini baru terungkap
bahwa kematian ayahku tersangkut dengan sebuah
perampokan hilangnya Pusaka istana Pasundan, Kujang
Pangeran Muncang. Aku yakin sekali bahwa ayahku
bukan seorang perampok yang hina. Pasti ada sebuah
hal lain yang telah menyeret ayahku kedalam peristiwa
perampokan itu. Itulah sebabnya aku datang ke tempat
Paman Bango Samparan yang mungkin mengetahui
lebih banyak tentang peristiwa perampokan itu, lebih
banyak lagi karena Paman adalah sahabat ayahku.
Beberapa orang cantrik telah mencirikan seseorang
bersama ayahku yang dapat kupastikan adalah paman
sendiri. Berceritalah demi diriku wahai paman, agar
peristiwa ini menjadi lurus, agar peristiwa ini dapat
mengembalikan nama baik ayahku juga nama baik
Paman yang kuyakini pasti bukan dua orang perampok
hina sebagaimana pandangan mereka saat ini", berkata
dan bercerita Andini dengan air mata yang tidak mampu
di tahan lagi. Nampaknya peristiwa terbunuhnya ayahnya
dan juga berita tentang sebuah perampokan telah
melukai hatinya. Terlihat Bango Samparan seperti termenung, lama
sekali Bango Samparan berdiam seorang diri. Sementara
Putu Risang, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
hanya terdiam seperti tengah menunggu dengan sabar
apapun yang dikatakan oleh Bango Samparan.
79 "Mereka ternyata telah mengingkari janjinya", berkata
Bango Samparan setelah lama berdiam diri.
"Paman Bango Samparan ikut bersama ayahku
dalam peristiwa perampokan itu?", bertanya Andini
seperti ingin meyakini semua perkiraannya tentang dua
orang perampok berilmu tinggi sebagaimana yang
pernah diceritakan oleh Prabu Guru Darmasiksa.
"Benar, kamilah dua orang perampok barang pusaka
itu", berkata Bango Samparan perlahan.
Mendengar pengakuan Bango Samparan semua
yang berada diatas panggungan seperti tersentak, tapi
mereka masih menunggu perkataan yang lain dari orang
tua yang terlihat penuh wibawa itu.
"Mudah-mudahan kalian dapat mempercayai ceritaku
ini", berkata Bango Samparan perlahan sambil
memandang wajah semua tamunya itu.
Dan perlahan Bango Samparan bercerita bahwa
sekitar lima bulan yang lewat ayah Andini telah
mendatanginya memintanya membantu sebuah perampokan. Ayah Andini yang bernama Rakajaya itu
ternyata tengah menghadapi sebuah ancaman
sekelompok orang yang telah menekannya akan
membunuh putri tunggalnya bilamana tidak mengikuti
perintah mereka. "Kami berada di belakang perampokan itu hanya
untuk melindungimu dari ancaman mereka", berkata
Bango Samparan mengakhiri ceritanya.
"Terakhir ketika pulang ke rumah, ayahku hanya
membawa sebuah rontal. Apakah Paman mengetahui
tentang benda pusaka Kujang Pangeran Muncang?",
bertanya Andini kepada Bango Samparan.
80 "Rakajaya adalah sahabatku, aku hanya membantunya pada saat itu. Apapun yang telah dibawa
olehnya aku memang tidak begitu peduli. Namun
setahuku ayahmu membawa pulang dua benda yang
tersimpan didalam sebuah kotak hitam. Sebuah Rontal
dan sebuah senjata Kujang", berkata Bango Samparan
sambil mengerutkan keningnya bertanya dalam hati
mengapa senjata Kujang tidak lagi berada di kotak hitam
itu. "Kuingat ayahmu berkata bahwa kedua barang itu
adalah sebagai pengganti pembebasan ancaman
mereka", berkata kembali Bango Samparan.
"Apakah Ayahku pernah bercerita siapakah
sebenarnya orang-orang yang mengancamnya?",
bertanya Andini dengan penuh rasa penasaran.
"Ayahmu memang bercerita tentang orang-orang
yang mengancamnya itu, mereka menurut pangakuan
ayahmu adalah orang penting dari Kediri dan dari istana
Kawali sendiri", berkata Bango Samparan sambil
memandang keempat tamunya seperti ragu untuk
menyebut sebuah nama. "Ayahmu tidak begitu kenal
dengan orang penting dari Kediri. Tapi mengenal orang
penting dari dalam istana Kawali", berkata Bango
Samparan melanjutkan. "Orang penting dari istana Kawali?", berkata Putu
Risang tanpa sadar mengulang kembali perkataan
Bango Samparan. "Orang penting dari istana Kawali itu adalah Patih
Anggara", berkata Bango Samparan tanpa ragu lagi
menyebut sebuah nama. "Ayahmu telah mengikuti
perintah mereka. Tapi mengapa mereka harus
membunuh ayahmu?", berkata Bango Samparan sambil
memicingkan kedua matanya mewakili kegeraman dan
amarah yang bergejolak didalam dirinya.
81 "Terima kasih telah menyingkap beberapa tabir
penuh rahasia ini. Setidaknya keyakinanku bahwa
ayahku bukanlah seorang perampok hina sudah dapat
dibuktikan", berkata Andini kepada Bango Samparan.
"Ada satu rahasia lagi yang berkaitan dengan dirimu
sendiri, Andini", berkata Bango Samparan dengan
pandangan begitu tajam seperti langsung masuk ke
lubuk hati yang terdalam dari Andini dihadapanya.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebuah rahasia tentang diriku?", berkata Andini
penuh ketidak-mengertian.
"Benar, sebuah rahasia tentang dirimu sendiri",
berkata Bango Samparan perlahan.
"Apakah kami bertiga tidak mengganggu?", bertanya
Putu Risang merasa tidak enak hati mendengar sebuah
rahasia antara Bango Samparan dan pribadi Andini
sendiri. "Tidak apa kalian ikut mendengar", berkata Bango
Samparan sebagai arti kehadiran mereka bertiga tidak
mengganggu pembicaraan tentang rahasia Andini.
Perlahan Bango Samparan bercerita, dimulai dari
pengembaraan mereka berdua dengan Rakajaya ke
sebuah ujung paling barat Jawadwipa, sebuah daerah
kerajaan Rakata. Tidak di rencanakan sebelumnya
bahwa mereka akan berkenalan dengan seorang putri
Raja bernama Dewi Kaswari. Dari perkenalan itu
meningkat kepada rasa saling menyukai dan saling
menyintai antara Bango Samparan dan putri itu. Karena
pihak keluarga istana Rakata tidak menyukai hubungan
itu, mereka berdua telah menikah secara diam-diam. Dari
pernikahan itu sang putri telah mengandung. Kehamilan
itu tidak diketahui siapapun. Hingga ketika saat
melahirkan mereka berdua telah pergi ke sebuah tempat
82 tersembunyi hingga akhirnya sang putri harus kembali ke
istana. Tinggallah Bango Samparan dengan bayi
mungilnya. "Semula aku berniat akan membesarkan sendiri
putriku itu, namun ketika kami pulang pihak keluargaku
sudah memilih seorang istri untukku. Demi untuk tidak
membuat susah keluargaku, anakku yang masih bayi itu
telah kuserahkan sendiri kepada sahabatku Rakajaya",
berkata Bango Samparan mengakhiri ceritanya sambil
memandang tajam kearah Andini.
"Apakah bayi yang dibesarkan oleh ayahku selama
ini adalah aku sendiri?", bertanya Andini mencoba
menebak hubungan cerita itu dengan dirinya.
"Benar, bayi mungil yang kuserahkan kepada
Rakajaya sahabatku itu adalah dirimu", berkata Bango
Samparan. "Aku ini adalah ayahmu", berkata Bango
Samparan sambil memandang Andini penuh cinta kasih
seorang ayah kepada anaknya.
Terlihat Andini seperti tidak lagi dapat menguasai
dirinya sendiri, maju beberapa langkah dan menangis di
atas lutut dan paha orang tua itu.
Dengan penuh kehalusan Bango Samparan
mengusap rambut Andini yang masih menangis di atas
lutut dan pahanya. "Sudah begitu lama aku ingin memelukmu disaat
kamu bersama Rakajaya datang menemuiku", berkata
Bango Samparan seperti telah menemukan kembali
putrinya yang sangat dirindukannya itu.
Setelah dapat menguasai perasaan hatinya, terlihat
Andini bergeser dan menengadahkan wajahnya menatap
Bango Samparan, ayahnya yang sebenarnya itu.
83 "Pantas selama ini ayahku tidak pernah menjawab
pertanyaanku mengenai ibuku, siapa dan dimanakah
dirinya saat ini, masih hidup atau sudah tiada", berkata
Andini kepada Bango Samparan.
Putu Risang, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
seperti terharu melihat pertemuan antara seorang ayah
dengan putrinya itu. Sebuah rahasia yang tersimpan
begitu lama telah terbuka hari itu.
Langit malam diatas rawa Rontek begitu indah
dipenuhi gemerlap bintang bertaburan memenuhi langit
purba. Tebaran cahaya bulan purnama menerangi
permukaan air rawa seperti lautan tenang ditumbuhi
teratai yang tengah mekar berbunga.
Indah terdengar petikan suara kecapi terbawa angin
semilir berasal dari sebuah panggungan.
"Aku begitu iri kepada Rakajaya sahabatku yang
begitu ahli memainkan sebuah kecapi. Ternyata telah
menurunkannya kepadamu, Andini", berkata Bango
Samparan kepada Andini yang baru saja menyelesaikan
sebuah tembang indah dengan petikan kecapinya diatas
panggungan. "Tembang Hina kelana memang sangat indah
didengar di malam sepi", berkata Gajahmada yang
sangat mengenal tembang yang baru saja didengarnya
lewat petikan kecapi milik Andini.
"Tembang hina kelana ini sudah menempel di
benakku", berkata Andini.
"Aslinya tembang hina kelana dipadukan antara
petikan kecapi dan tiupan seruling", berkata Gajahmada
yang tahu betul asal dan muasal cerita tentang gubahan
tembang itu yang tidak lain adalah gubahan bersama
84 antara Prabu Guru Darmasiksa dan sang Begawan
Jayakatwang. "Iringilah suara kecapiku dengan serulingmu", berkata
Andini kepada Gajahmada. Maka di atas panggungan itu terdengar kembali
suara petikan kecapi yang dipetik dengan penuh
perasaan hati seorang Andini. Dan suara petikan kecapi
itu telah diiringi oleh suara seruling bambu menjadi begitu
sempurna mengisi kesunyian malam.
Suara tembang hina kelana seperti suara alam
membawa pendengarnya mengembara memasuki hutan
bening pagi dipenuhi kicau burung dan gemericik air
disela-sela tanah basah. Petikan kecapi dan seruling itu masih terus berlanjut,
kali ini dengan nada-nada menghentak-hentak membawa
jiwa pendengarnya berada dalam sebuah bala prajurit
penuh semangat menuju medan peperangan mereka.
Petikan dan suara seruling itu masih berlanjut, kali ini
melengking penuh kepiluan hati dalam ratap tangis
kehilangan saudara, kerabat dan kekasih dalam sebuah
peperangan tak berkesudahan.
Akhirnya suara tembang lewat petikan kecapi dan
seruling itu berubah naik turun seperti gejolak seorang
gadis belia jatuh cinta menunggu sang pujaan hati
dibawah malam temaram purnama.
"Sebuah perpaduan suara yang sangat indah yang
baru pertama kali ini kudengar", berkata Bango
Samparan merasa terhibur jiwanya mendengar sebuah
perpaduan kecapi dan suara seruling.
"Petikan kecapiku pasti tidak semahir pencipta
tembang ini, Prabu Guru Darmasiksa", berkata Andini
85 merendahkan dirinya sendiri.
"Aku juga tidak semahir Begawan Jayakatwang
dalam permainan serulingnya", berkata Gajahmada.
"Tapi kalian telah mengabadikan cipta karya mereka
lewat petikan kecapi dan seruling kalian", berkata Putu
Risang ikut bicara dengan kejujuran hatinya sendiri.
Sementara itu Pangeran Jayanagara terlihat hanya
berdiam diri. Ada apa dengannya"
Untung saja keremangan cahaya malam telah
menyamarkan air muka Pangeran Jayanagara yang
terlihat sedikit keruh. Diam-diam anak muda itu telah
memendam rasa iri melihat kedekatan antara Gajahmada
dan Andini. Diam-diam anak muda itu ternyata telah
menaruh hati pada gadis jelita itu.
"Hari telah jauh malam, kalian pasti sudah begitu
lelah setelah berjalan cukup jauh", berkata Bango
Samparan mempersilahkan tamunya untuk beristirahat.
Demikianlah, malam itu semua sudah masuk ke
biliknya masing-masing untuk beristirahat.
Tapi Pangeran Jayanagara tidak dapat memejamkan
matanya. Hati dan pikirannya selalu tertuju kepada
Andini. Wajah dan pesona gadis itu ketika memetik
kecapi telah menghiasi seluruh sisi pikiran anak muda itu
yang telah terperangkap dalam jerat asmara mudanya.
Pangeran Jayanagara memang telah jatuh hati kepada
gadis itu, seorang gadis yang telah dikaruniai
kesempurnaan rupa bagai dewi dalam pahatan indah
para seniman pengukir di batu penghias candi suci.
Sementara itu di bilik lainnya, sebagaimana
Pangeran Jayanagara, gadis Andini juga tidak dapat
segera memejamkan matanya. Gadis jelita itu
86 sebagaimana pangeran Jayanagara, juga telah jatuh
cinta. Sayang mereka terpisah jarak dalam peraduan
berbeda, dalam cinta yang berbeda. Hati dan perasaan
Andini masih terbawa suasana malam diatas
panggungan, suasana ketika matanya memandang
sebuah wajah begitu menjiwai suara serulingnya. Gadis
Andini ternyata telah terjerat sebuah asmara mudanya.
Terpesona dalam biru cinta kerinduan seorang pemuda
Gajahmada sang peniup seruling itu. Di peraduannya
Andini sambil memejamkan mata mencoba mengulang
kembali tembang kenangan Hina kelana bersama
Gajahmada pemikat hatinya itu, jauh hingga malam yang
terus berlalu, jauh kedalam tidur dan mimpinya.
Dan sang malam diatas kediaman Bango Samparan
terlihat begitu tenang menyelimuti dengan kegelapan dan
kesunyiannya. Membawa semua penghuni diatas
peraduannya tertidur sendiri dengan mimpi masingmasing. Seperti garis hidup, kuasa dan keinginan siapa
untuk memilih sebuah mimpi. Seperti garis hidup, ada
mimpi buruk ada mimpi menyenangkan. Tapi apalah arti
sebuah mimpi ketika pikiran dan hati kita tidak punya
kekuasaan untuk memilihnya.
Hingga akhirnya sang pagi telah datang diatas rumah
panggung Bango Samparan di tengah Rawa Rontek itu.
Warna pagi memang begitu putih membuka wajahwajah. Tapi tidak mampu membuka pikiran hati yang
tersembunyi. Dan pagi itu Pangeran Jayanagara juga
Andini telah menutup rapat suara hatinya sendiri, jauh di
lubuk hati yang paling tersembunyi.
"Sebaiknya kamu tinggal bersamaku, di rumah
ayahmu sendiri", berkata Bango Samparan kepada
Andini di pagi itu. 87 "Terima kasih, aku memang sudah sebatang kara.
Aku akan belajar mengenal dan mencintai ayah
kandungku sendiri", berkata Andini penuh kebahagiaan
disaat dirundung duka dengan kematian Rakajaya yang
begitu dicintai sebagaimana seorang anak kepada
ayahnya, kini telah mendapatkan seorang pengganti,
ayah kandungnya sendiri. Demikianlah, Andini telah memutuskan diri untuk
tinggal bersama ayah kandungnya sendiri, tinggal
bersama Bango Samparan majikan tanah hijau Rawa
Rontek. "Pintu rumah kami selalu terbuka untuk kalian",
berkata Bango samparan kepada Putu Risang dan kedua
muridnya yang sudah berada diatas rakit bambu.
Terlihat Andini ikut melambaikan tangannya bersama
Bango Samparan ketika rakit bambu itu telah bergerak
meluncur menyeberangi Rawa Rontek yang cukup luas
itu. "Terima kasih Pak Tua, semoga kita dapat berjumpa
kembali", berkata Putu Risang kepada seorang pelayan
yang mengantar mereka bertiga sampai di tepian Rawa
Rontek. "Kita kelebihan satu ekor kuda", berkata Gajahmada
sambil membuka tali kekang kuda yang diikat di sebuah
dahan pohon. "Bisa dikecilkan di pasar Padukuhan tempat kita
bermalam", berkata Putu Risang sambil tersenyum.
"Prabu Guru Darmasiksa tidak akan marah, kita
katakan bahwa yang menjual adalah cucu buyutnya
sendiri", berkata Gajahmada sambil melirik kearah
Pangeran Jayanagara. 88 Terlihat Pangeran Jayanagara sedikit tersenyum,
rupanya kelakar Gajahmada hanya sebuah pancingan
untuk menghibur hati anak muda itu yang dapat dibaca
oleh Gajahmada sebagai sebuah sikap yang sangat
berbeda dari yang dikenal sebelumnya. Pada dasarnya
Pangeran Jayanagara memang seorang yang periang.
Namun pergolakan jiwanya yang tengah mabuk asmara
oleh kecantikan Andini telah merubah penampilan
dirinya, berubah menjadi seorang pemurung. Dan
Gajahmada sebagai kawan dekatnya itu sedikit banyak
sudah dapat membaca, apa yang terjadi didalam diri
sahabatnya itu. Demikianlah, mereka berempat sudah semakin jauh
dari Rawa Rontek. Dan Gajahmada sudah dapat melihat
kembali sifat asli sahabatnya itu. Ternyata hati Pangeran
Jayanagara sudah dapat terkendali kembali, wajah
Andini seperti semakin pudar dalam bayangan dan
pikirannya. Hingga akhirnya mereka di siang hari itu sudah
sampai di padukuhan tempat kemarin malam mereka
menginap di banjar desanya.
"Kita cari kedai di pasar Padukuhan", berkata Putu
Risang ketika mereka sudah berada di jalan padukuhan
mencoba mencari arah pasar Padukuhan.
Ternyata nasib mereka cukup baik, hari itu adalah
hari pasaran. Dan mereka telah melihat sebuah kedai
sederhana di ujung pasar yang masih cukup ramai meski
hari sudah cukup siang. "Nasip kuda ini masih cukup baik, tidak perlu dijual
untuk membeli makanan dikedai", berkata Gajahmada
sambil menepuk-nepuk badan kuda yang selama di
perjalanan tidak pernah ditunggangi itu.
89 "Ikatlah kencang-kencang, siapa tahu ada seorang


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begundal yang tergoda untuk memilikinya", berkata Putu
Risang menimpali canda Gajahmada.
Pangeran Jayanagara sudah dapat terlihat wajah
aslinya, tersenyum lepas mendengar canda Gajahmada
dan Putu Risang tentang kuda itu.
Siang itu mereka beristirahat di kedai itu. Di depan
kedai masih banyak terlihat orang berlalu lalang karena
hari itu memang hari pasaran dan panen raya yang
cukup menggembirakan hasilnya di Padukuhan itu.
Beberapa wanita dengan wajah penuh suka cita
terlihat tengah menjunjung bakul mereka diatas kepala
diikuti anak-anak kecil yang terseret-seret memegang
ujung kain ibunya. Kadang ada beberapa anak kecil yang
merengek sambil menunjuk jajanan Putu mayang.
"Terima kasih telah menjaga kuda-kuda kami",
berkata Putu Risang sambil memberi sedikit upah
kepada seorang lelaki yang menjaga kuda-kuda mereka.
Demikianlah, mereka bertiga terlihat sudah
meninggalkan pasar yang ramai itu untuk melanjutkan
kembali perjalanan mereka.
Perbukitan Hayangan seperti raksasa hijau terlihat
menghadang didepan perjalanan mereka.
Ketika telah berada di kaki bukit Hayangan, mereka
mengambil arah berbalik dari saat mereka datang,
mereka mengambil arah ke selatan melingkari perbukitan
Hayangan. "Apakah kalian masih ingat letak dua buah goa
kembar", bertanya Putu Risang kepada kedua muridnya
sambil mengingat-ingat kembali letak goa kembar yang
pernah mereka lihat ketika kemarin hari berjalan di
90 bawah kaki perbukitan Hayangan menuju Rawa Rontek.
"Kita belum melewatinya", berkata Gajahmada yang
merasa yakin bahwa mereka memang belum
melewatinya. Jalan yang mereka tempuh adalah sebuah jalan
setapak yang sangat sepi dan teduh. Sepertinya jalan itu
sangat jarang dilalui oleh orang-orang kecuali para
pemburu atau orang yang kebetulan dan terpaksa
mencari beberapa tumbuhan obat yang hanya ada
disekitar perbukitan Hayangan itu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajahmada
bahwa mereka memang belum melewati dua buah goa
kembar. "Kita berhenti disini", berkata Putu Risang ketika
dilihatnya goa kembar yang sedang dicarinya itu.
Tanpa bertanya apapun, Gajahmada dan Pangeran
Jayanagara telah menghentikan kudanya mengikuti
perintah gurunya itu. "Mari kita periksa keadaan goa kembar itu", berkata
Putu Risang kepada kedua orang muridnya itu.
Maka mereka bertiga terlihat sudah mendekati goa
kembar itu yang berada di bawah kaki perbukitan
Hayangan. Ada beberapa semak dan ilalang yang
tumbuh didepan kedua goa itu.
Terlihat mereka sudah memasuki salah satu dari goa
kembar itu. Ketika berada didalam salah satu goa,
mereka mendapatkan bahwa goa itu tidak terlalu dalam
dan buntu. Dinding goa itu hanya setinggi orang biasa
berupa sebuah lorong sempit.
"Kita memeriksa goa satu lagi", berkata Putu Risang
yang sudah berjalan keluar goa diikuti kedua muridnya
91 itu. Mereka bertiga terlihat sudah keluar dari dalam goa
dan masuk ke dalam goa yang satunya lagi.
"Betul-betul sebuah goa kembar", berkata Gajahmada yang sudah melihat keadaan goa itu sama
dengan goa disebelahnya, sebuah goa buntu yang tidak
begitu lebar hanya sebuah lorong yang pendek.
"Kita perlu waktu sepekan untuk tinggal disini",
berkata Putu Risang setelah mereka sudah berada di
luar goa kembar. "Sepekan tinggal disini?",
Jayanagara kepada Putu Risang.
bertanya Pangeran "Aku akan meningkatkan tataran ilmu kalian. Selama
ini kalian hanya mengenal dan melatih tenaga wadag.
Saatnya kuperkenalkan sebuah tenaga cadangan yang
dapat dilatih, dipupuk dan dikendalikan lewat sebuah
latihan pernapasan rahasia", berkata Putu Risang
kepada kedua muridnya itu. "Tenaga cadangan ini
adalah hawa murni yang dimiliki oleh semua orang, tapi
tidak semua orang dapat menghimpun dan mengendalikannya", berkata kembali Putu Risang.
Dengan sangat penuh perhatian, Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara mendengar penuturan Putu
Risang untuk beberapa hal yang harus mereka siapkan
dan perhatikan dalam berlatih olah diri.
"Masuklah kalian kedalam goa itu, satu orang untuk
satu goa. Aku akan menemui kalian dan menjaga diluar
goa ini", berkata Putu Risang kepada Gajahmada dan
Pangeran Jayanagara. Maka terlihat Gajahmada dan Pangeran telah masuk
ke dalam goa sesuai dengan pilihan mereka sendiri.
92 Pangeran Jayanagara terlihat sudah memasuki goa yang
berada disebelah kanan mereka, menyusul Gajahmada
masuk kedalam goa satunya lagi.
Tidak lama kemudian, Putu Risang sudah menemui
mereka satu persatu didalam goa mereka.
Ternyata Putu Risang telah memberikan mereka
sebuah ilmu yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dua buah ilmu rahasia dari dua cabang perguruan yang
berbeda. Kepada Pangeran Jayanagara, Putu Risang telah
mewariskannya sebuah ilmu olah diri dari jalur perguruan
Mahesa Amping. Sementara kepada Gajahmada, Putu Risang telah
mewariskannya sebuah ilmu pusaka Pertapa Gunung
Wilis. Keputusan itu sudah diperhitungkan dengan masakmasak oleh Putu Risang, tidak ada pikiran membedabedakan satu dengan yang lainnya, hanya sebuah upaya
melestarikan kedua ilmu rahasia dari dua perguruan yang
sama-sama sangat luar biasa. Dan kedua muridnya itu
berhak untuk memiliki salah satunya di jalurnya masingmasing.
Beruntunglah, kedua muridnya itu mau mengerti dan
menerima keputusan dari Putu Risang. Menurut mereka
berdua, keputusan Putu Risang adalah hak mutlak
seorang guru. Demikianlah, di goa yang berbeda, Putu Risang telah
memberikan dasar-dasar pengertian ilmu olah diri yang
berbeda kepada kedua orang muridnya itu.
Dan Putu Risang memang mendapatkan dua orang
murid yang sangat cerdas dan berbakat.
93 Hari pertama, Putu Risang dapat melihat bahwa
Pangeran Jayanagara dan Gajahmada telah dapat
melakoni semua yang diajarkan oleh mereka dengan
baik. Sementara kedua muridnya berlatih olah diri di dalam
goa, Putu Risang dengan penuh ketelatenan seorang
Guru telah menyiapkan persediaan makan dan minum
kedua muridnya itu. Pada hari kedua, dilihatnya kedua muridnya di dalam
goa masing-masing telah mulai terbiasa dengan laku
yang telah diajarkan olehnya.
Tidak segan-segan mereka bertanya tentang
beberapa hal berkenan dengan laku mereka disaat
beristirahat sejenak. Dan Putu Risang dengan penuh
kegamblangan menerangkan semua pertanyaan mereka.
Demikianlah, pada hari ketiga mereka sudah dapat
menghayati seluruh laku itu. Selama itu pula mereka
tidak pernah keluar dari goa masing-masing. Untuk
kesediaan hidup mereka, Putu Risang telah menyediakan untuk mereka.
Dan pada hari keempat, Putu Risang hanya
menengok mereka di waktu matahari terbit bergeser
sedikit untuk beristirahat sejenak.
Pada hari keenam, manakala Putu Risang datang
menjenguk Pangeran Jayanagara, dilihatnya putra
Mahkota Majapahit itu sudah dapat mengendalikan
wadagnya, menguasai keseimbangan lahir bathinnya.
Bukan main kagetnya Pangeran Jayanagara ketika
membuka matanya perlahan, dilihatnya dirinya telah
mengapung sejengkal dari lantai.
"Hawa murni yang mengalir ke seluruh tubuhmu telah
94 melepas berat wadagmu sendiri. Dengan berlatih terus
menerus akan memupuk hawa murnimu lebih kuat lagi.
Tergantung bagaimana kamu mengendalikannya. Kamu
dapat begitu ringan seperti sebuah kapas melesat dan
melompat sesuai jangkauan dan kecepatan yang kamu
inginkan. Dengan pengendalian dan penyaluran hawa
murni yang tepat akan menjadi sebuah tenaga cadangan
diluar wadagmu yang lebih kuat berlapis lapis sesuai
bagaimana ketekunanmu memupuknya dari hari ke hari",
berkata Putu Risang menjelaskan tentang hawa murni
yang mulai dapat dikenali dan dirasakan oleh Pangeran
Jayanagara. Sementara ketika Putu Risang tengah menengok
Gajahmada di dalam goanya, terperanjatlah Putu Risang
dengan apa yang dilihatnya. Dalam penglihatan Putu
Risang, Gajahmada telah menikmati lakunya sendiri
ketika berdiri, rukuk, sujud dan duduk diantara dua sujud.
Bukan hanya itu yang dilihat oleh Putu Risang.
Sebagai seorang yang sudah dapat mencapai taraf
tingkat tinggi dalam tataran ilmu saktinya, Putu Risang
telah melihat diluar kasat mata wadagnya bahwa ada
sebuah cahaya biru menyelimuti tubuh anak muda itu.
"Sebuah hawa sakti tak terlihat kasat mata telah
melindungi tubuh Mahesa Muksa", berkata Putu Risang
dalam hati. Dan Putu Risang tidak menyinggung sama
sekali dengan apa yang dilihatnya itu kepada
Gajahmada. Jilid 2 Bagian 1 MENTARI pagi terlihat bersinar cerah 95 menghangatkan tanah dan rumput hijau disekitar goa
kembar di kaki perbukitan Hayangan. Sepasang burung
kepodang emas melintas dan menghilang di balik
gerumbul pepohonan hutan perbukitan.
Hari itu adalah penggenapan ketujuh Pangeran
Jayanagara dan Gajahmada mesu diri di dalam goa
kembar untuk mengenal dan menemukan kekuatan hawa
murni tenaga bukan wadag di dalam dirinya sendiri.
"Kalian berdua harus beristirahat satu dua hari ini
agar dapat memulihkan kembali tubuh kalian yang
lemah", berkata Putu Risang kepada kedua muridnya
yang telah menggenapi mesu diri lewat olah laku
pernapasan yang diajarkannya.
Terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah
berjalan ke arah sungai kecil yang ada di balik gundukan
batu dan semak belukar. Setelah bersih-bersih diri di sungai yang jernih,
mereka merasakan tubuh mereka lebih segar dari
sebelumnya. "Aku mendapatkan sarang tawon besar, sangat baik
untuk penyesuaian perut kalian setelah menggenapi
tujuh hari mesu diri" berkata Putu Risang sambil
membelah sarang tawon menjadi tiga potongan.
Demikianlah, hari itu mereka terlihat masih di sekitar
goa kembar itu untuk beristirahat guna mengembalikan
kesegaran wadag Gajahmada dan Pangeran Jayanagara
setelah selama tujuh hari melakukan mesu diri.
"Kita masih harus bermalam di sini", berkata Putu
Risang ketika senja terlihat mulai membayangi sekitar
alam di kaki perbukitan itu. Dan malam pun perlahan
turun menggelapi pandangan mata. Gundukan batu di
96 seberang goa kembar terlihat seperti seekor kura
raksasa hitam diam membisu. Semilir angin basah
bertiup memainkan ranting dan dahan pepohonan seperti
hidup mengusik kesunyian awal malam tanpa cahaya
bulan di kaki bukit Hayangan.
Dan malam pun telah semakin larut, hanya sesekali
terdengar suara ranting yang terjatuh bersama suara
gemericik air sungai kecil yang semakin jelas terdengar
di kesunyian malam itu. "Mereka sudah terlelap tidur", berkata Putu Risang
dalam hati melihat kedua muridnya sudah tertidur pulas


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di salah satu goa yang digunakan oleh mereka
berlindung dari angin dan dinginnya malam.
Dan malam pun terus berlalu, tidak ada kejadian
apapun dimalam itu. Sementara Putu Risang masih
terjaga, antara tidur dan tersadar didengarnya sebuah
suara seperti berbisik jelas di telinganya.
"Terima kasih telah membimbing putraku", demikian
suara bisikan begitu jelas didengar oleh Putu Risang.
"Ajian ilmu pameling", berkata Putu Risang dalam
hati. Terlihat Putu Risang yang tengah bersandar di
dinding goa telah duduk bersila mencoba mengheningkan seluruh panca inderanya agar dapat
lebih peka lagi menerima ajian ilmu pameling yang pasti
berasal dari seorang sakti yang telah menguasai ilmu
langka itu. "Aku tidak tahu siapa putramu", berkata Putu Risang
dengan suara hatinya. "Putraku itu adalah Mahesa Muksa yang kamu
kenal", berkata kembali suara bisikan kepada Putu
97 Risang. "Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama
tuan?" berkata Putu Risang lewat suara hatinya
"Kita pernah berjumpa, akulah pertapa dari Gunung
Wilis", berkata suara bisikan itu.
"Mengapa tuan tidak langsung menunjukkan diri?",
bertanya Putu Risang dengan suara hatinya.
"Sudah lama aku mengasingkan diri sebagai pertapa,
mengikat diri untuk meninggalkan kehidupan duniawi",
berkata kembali suara bisikan itu.
"Kulihat ada cahaya biru menyelimuti putramu,
apakah tuan sendiri yang memindahkan tenaga sakti ke
diri Mahesa Muksa?" bertanya Putu Risang dengan
suara hatinya. "Matamu sangat peka, aku telah memindahkan
tenaga saktiku sendiri. Hanya itu yang dapat kulakukan
sebagai seorang ayah", berkata kembali bisikan itu.
"Mahesa Muksa tidak akan menyadari telah
mempunyai tenaga sakti begitu kuat tanpa puluhan tahun
berlatih", berkata Putu Risang dengan suara hatinya.
"Kutitipkan putraku kepadamu", berkata kembali
bisikan itu kepada Putu Risang.
"Maaf, bolehkah kutahu siapa nama tuan?", berkata
Putu Risang dengan suara hatinya.
"Dahulu, orang memanggilku sebagai Darmayasa",
berkata kembali bisikan itu.
"Sang pendeta suci Darmayasa yang dapat
menunggangi angin?", berkata Putu Risang dengan
suara hatinya pernah mendengar sebuah cerita orangorang tua tentang seorang pendeta sakti.
98 "Itu hanya sebuah cerita angin, aku hanya seorang
pertapa dari Gunung Wilis. Selamat tinggal", berkata
bisikan itu. Ternyata suara bisikan itu adalah yang terakhir
didengar oleh Putu Risang yang tengah termenung
membayangkan seorang sakti berilmu tinggi yang
bernama Pendeta Darmayasa yang pernah dijumpai
sebagai pertapa dari Gunung Wilis yang ternyata adalah
ayahanda Mahesa Muksa sendiri adanya.
"Ilmu pusaka rontal rahasia itu telah diwariskan
kepada putranya sendiri, suratan takdir yang aneh",
berkata Putu Risang dalam hati.
Sementara itu langit di luar goa kembar terlihat sudah
mulai memerah, sebagai tanda sang fajar sudah mulai
bangkit di ujung bumi. Dan hawa dingin pagi benar-benar
sudah seperti menusuk tulang. Hawa pagi di kaki
perbukitan Hayangan pagi itu memang begitu sangat
dingin, lebih dingin dari biasanya karena saat itu sudah
mulai masuk musim penghujan.
Dan Putu Risang telah melihat Gajahmada telah
menggeliat terbangun bersama dengan sayup-sayup
terdengar suara ayam jantan disekitar hutan itu.
"Mengapa Kakang Putu Risang tidak membangunkan
aku?", berkata Gajahmada kepada Putu Risang
manakala dilihatnya masih bersandar di dinding goa
belum tidur. "Aku kasihan, kalian kulihat begitu letih", berkata Putu
Risang kepada Gajahmada. "Beristirahatlah hingga menjelang matahari naik
sedikit", berkata Pangeran Jayanagara yang ikut
terbangun. 99 Dan akhirnya Putu Risang tidak dapat menolak
permintaan dua orang muridnya itu, sudah merebahkan
tubuhnya beristirahat sejenak menjelang matahari naik
sedikit di awal pagi. Maka ketika matahari pagi sudah mulai terang tanah,
terlihat mereka bertiga sudah bersih-bersih diri di sungai
kecil dibalik gerumbul bebatuan. Nampaknya mereka
tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali
menuju lereng Gunung Galunggung di Padepokan Prabu
Guru Darmasiksa. "Mari kita berangkat", berkata Putu Risang kepada
kedua muridnya itu ketika mereka sudah siap berangkat
meninggalkan goa kembar di kaki perbukitan Hayangan.
Demikianlah, sebagaimana berangkatnya, terlihat
mereka bertiga sudah mendekati hutan pepat.
"Kalian harus terus berlatih agar semakin mengenal
kekuatan yang ada didalam diri kalian sendiri. Tidak ada
gunung yang langsung tinggi menjulang, dan puncak
kesempurnaan tidak berada di ujung lamunan, tapi
berada di antara kemauan dan tekad keras", berkata
Putu Risang menyampaikan apa yang harus mereka
lakukan dalam hal memupuk kekuatan cadangan didalam
diri. "Setiap manusia dilengkapi dengan pembelaan diri,
dan kita dapat mengungkapkan dan melontarkannya
dengan kesadaran penuh. Akal dan rasa adalah sumber
pemicu yang dapat kalian kendalikan, disesuaikan
dengan keinginan diri kalian sendiri, hawa panas atau
hawa dingin tergantung pengendalian diri kalian", berkata
kembali Putu Risang kepada kedua muridnya manakala
mereka bertiga sudah memasuki hutan pepat sambil
menuntun kuda-kuda mereka.
Terlihat sambil menuntun kuda-kudanya, Gajahmada
100 dan Pangeran Jayanagara memperhatikan dan
menyimak semua perkataan gurunya itu. Sebagai dua
orang yang berotak cerdas sudah langsung dapat
mencerna maksud dari perkataan Putu Risang.
Akhirnya mereka telah keluar dari hutan pepat itu,
dihadapan mereka terbentang sebuah padang ilalang
yang sangat luas. Terlihat mereka telah memacu kudakuda mereka membelah padang ilalang di bawah
matahari yang sudah mulai bergeser sedikit kearah barat.
"Pemandangan yang indah", berkata Gajahmada
ketika mereka telah berada mendekati kaki gunung
Galunggung. Demikianlah, hari belum mendekati awal senja
manakala mereka terlihat telah menyusuri lereng Gunung
Galunggung. "Hari demi hari kami menanti kedatangan kalian
dengan penuh kecemasan", berkata Prabu Guru
Darmasiksa yang menerima mereka bertiga di pendapa
Padepokannya. Dipendapa Padepokan itu Putu Risang langsung
bercerita mengenai siapa dibalik pencurian Kujang
Pangeran Muncang, yaitu seorang Patih di Kerajaan
Kawali yang bernama Argajaya bekerja sama dengan
seorang bangsawan dari Kediri.
Terlihat Prabu Guru Darmasiksa dan Jayakatwang
penuh perhatian mendengar cerita Putu Risang.
"Jelas tujuan utama mereka adalah menggulingkan
kekuasaan di Sunda dan Majapahit", berkata
Jayakatwang mengambil kesimpulannya.
"Patih Argajaya berasal dari Kerajaan Rakata,
sebuah kerajaan kecil dibawah kekuasaan Kerajaan
101 Sunda Raya", berkata Prabu Guru Darmasiksa.
"Nampaknya ada keinginan untuk membesarkan kembali
masa jaya kerajaannya leluhurnya", berkata kembali
Prabu Guru Darmasiksa. "Kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan
istana", berkata Pangeran Citraganda.
"Benar cucuku, kita harus berbuat sesuatu sebelum
langkah mereka semakin jauh", berkata Prabu Guru
Darmasiksa. "Patih Argajaya sangat dekat sekali dengan Pendeta
Istana Rakasima yang juga berasal dari Kerajaan
Rakata", berkata Pangeran Citraganda.
"Kekuasaan Pendeta Rakasima telah begitu besar
membelenggu istana, telah mempersempit kekuasaan
Ragasuci sebagai Raja dengan berbagai aturan baru",
berkata Prabu Guru Darmasiksa.
"Patih Argajaya dan Pendeta Rakasima seperti Raja
besar di istana Kawali, merekalah yang memutuskan
sebuah hukuman, siapa saja yang boleh datang
menghadap Raja. Juga sebagai Panglima tertinggi
prajurit Kerajaan berada ditangan Patih Argajaya",
berkata Pangeran Citraganda bercerita tentang keadaan
istana Kawali saat itu. "Sudah lama aku melihat pergeseran itu, sudah lama
aku ingin memberikan nasehat kepada raja Ragasuci,
tapi aku masih ragu dan takut masuk terlalu jauh dalam
kehidupan istana", berkata Prabu Guru Darmasiksa.
"Pencurian Kujang pangeran Muncang dapat kita
jadikan alasan untuk menangkap mereka", berkata
Pangeran Citraganda penuh semangat.
"Kita tidak bisa langsung menentang mereka, harus
102 ada bukti yang sangat kuat untuk sebagai dalih
menyingkirkan mereka dari istana, juga membuka mata
hati Raja Ragasuci siapa sebenarnya mereka", berkata
Prabu Guru Darmasiksa. "Kita harus banyak memasang mata dan telinga kita
di istana Kawali", berkata Jayakatwang memberanikan
diri ikut memberikan sebuah usulan.
"Sebuah cara yang sangat bagus, tapi siapa yang
dapat kita susupkan di istana Kawali?", berkata Prabu
Guru Darmasiksa sepertinya menyukai usulan Jayakatwang. "Mahesa Muksa dapat menyusup dilingkungan
prajurit", berkata Pangeran Citraganda sambil tersenyum
memandang kearah Gajahmada.
Terlihat semua mata diatas pendapa Padepokan itu
tertuju kepada Gajahmada.
Dan Gajahmada dapat merasakan semua orang di
pendapa itu penuh harap bahwa dirinya bersedia menjadi
mata dan telinga di lingkungan para prajurit istana
Kawali. Lama semua orang menunggu dan menanti
perkataan dari Gajahmada yang terlihat berwajah penuh
keraguan dan kebimbangan. Semua orang nampak telah
menahan nafasnya menunggu.
"Hamba hanya orang muda yang punya serba sedikit
pengetahuan dan kemampuan. Hamba bersedia
melaksanakan tugas ini dan mohon banyak petunjuk",
berkata Gajahmada. Terlihat semua orang diatas pendapa Padepokan itu
telah mengeluarkan nafas penuh kelegaan. Perkataan
Gajahmada seperti angin segar yang ditunggu.
103 "Bagus, kesediannmu saja sudah cukup menggembira-kan hati kami. Tugasmu hanya masuk
dilingkungan para prajurit Kawali, dan kami akan
mengatur semuanya", berkata Prabu Guru Darmasiksa.
"Sangat kebetulan sekali bahwa dalam pekan ini
akan diadakan penerimaan prajurit baru", berkata
Pangeran Citraganda. "Semoga rencana kita dapat berjalan dengan baik,
dan Gusti yang Maha Agung berkenan melindungi kita
semua", berkata Prabu Guru Darmasiksa setelah
memberikan beberapa petunjuk yang harus mereka
lakukan dalam rangka menggulung musuh-musuh di
lingkungan istana Kawali.
Dan banyak sekali yang mereka bicarakan terlihat
sampai jauh malam. "Beristirahatlah, hari sudah jauh malam", berkata
Prabu Guru Darmasiksa mempersilahkan semua orang
diatas pendapa Padepokannya untuk beristirahat.
Demikianlah, semua orang diatas pendapa itu sudah
masuk ke biliknya masing-masing.
Dan Malam yang dingin diatas Padepokan itu telah
membuat semua penghuninya menyelusup berlindung di
balik kain panjang diatas peraduannya masing-masing.
Sementara itu di sebuah bilik, seorang gadis terlihat
masih membuka matanya menatap langit-langit. Gadis itu
adalah Dyah Rara Wulan yang belum juga dapat tertidur.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata gadis putri Raja Ragasuci itu tengah
melambungkan hayalnya jauh ke hari-hari dimana setiap
saat masih dapat bertemu dengan Gajahmada di
Kotaraja Kawali. "Aku akan mencari berbagai cara untuk 104 menemuinya", berkata Dyah Rara Wulan dalam hati yang
sudah mendengar sebuah rencana bahwa Gajahmada
akan menjadi seorang prajurit di lingkungan istana."Kamu
tidak akan dapat bersaing denganku, wahai gadis
dusun", berkata kembali Dyah Rara Wulan sambil
membayangkan wajah Andini yang selama ini diam-diam
ditakuti hadir menjadi pesaingnya mendapatkan hati
Gajahmada, pemuda yang telah mencuri hatinya itu.
Sementara itu di bilik lain, terlihat seorang pemuda
yang juga belum dapat memejamkan matanya. Pemuda
itu sepertinya begitu gelisah. Ternyata pemuda itu tidak
lain adalah Pangeran Jayanagara yang tengah jatuh
cinta. Sebagaimana seorang pemuda dimanapun, hati
dan pikiran pemuda itu selalu tertuju kepada pujaan
hatinya. Dan Pangeran Jayanagara memang telah
terpikat hati dengan kejelitaan wajah seorang gadis,
Andini. Terlihat Pangeran Jayanagara bangkit dari tidurnya
dan bersila membuat sebuah laku.
"Aku harus dapat meredam dan mengendalikan
perasaanku", berkata Pangeran Jayanagara pada dirinya
sendiri sambil mencoba membuat sebuah laku rahasia
yang diajarkan oleh Putu Risang di Goa kembar.
Akhirnya dengan penuh semangat, Pangeran
Jayanagara sudah mulai tenggelam dalam lakunya.
Merasakan kenyamanan perasaan dan pikirannya.
"Besok aku akan mencoba berlatih mengerahkan
tenaga cadangan dari dalam diri ini", berkata Pangeran
Jayanagara dalam hati ketika merasakan sebuah getaran
mengalir dan memenuhi seluruh aliran darahnya.
Dan malam diatas Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa sudah begitu senyap, hanya sesekali
105 terdengar suara daun dan dahan bergesekan di tiup
angin basah yang dingin di lereng gunung Galunggung
itu. Di keremangan malam itu terlihat sebuah bayangan
mengendap-endap keluar Padepokan lewat pagar
dinding batu Padepokan. Ternyata sosok bayangan itu menuju ke sebuah
tanah sedikit lapang di dekat sebuah gerumbul tanaman
rumpun bambu. Diatas tanah yang agak lapang itu, akhirnya dapat
terlihat jelas wajah asli sosok bayangan mencurigakan itu
yang tidak lain adalah Gajahmada.
Nampaknya Gajahmada merasa sudah tidak sabar
lagi ingin melatih kemampuan dirinya setelah mengenal
bagaimana cara laku memupuk kekuatan tenaga
cadangan di dalam dirinya.
Terlihat Gajahmada sudah memulai latihannya,
melatih gerakan jurus-jurusnya dengan tenaga wadagnya. Perlahan Gajahmada mulai mengerahkan tenaga
cadangannya, ternyata dengan penuh kegembiraan
Gajahmada dapat merasakan tenaganya tidak berkurang, namun gerakannya menjadi begitu ringan dan
cepat. Demikianlah, Gajahmada sudah mulai melatih
mengerahkan tenaga cadangannya, mencoba lebih
mengenal dan menguasainya yang akhirnya dapat
mengendalikan kecepatannya bergerak.
"Tenagaku menjadi seperti bertambah, lebih kuat dan
lebih cepat", berkata Gajahmada dalam hati sambil terus
berlatih mengenal dan mengendalikan kekuatan
cadangan di dalam dirinya itu.
106 Demikianlah, dua orang pemuda masing-masing
telah mencoba berlatih di malam itu. Mereka satu guru
namun mewarisi sebuah laku yang berbeda.
"Nampaknya semua orang masih tertidur", berkata
Gajahmada yang mencoba menyelusup kembali masuk
ke Padepokan di malam yang telah menjadi begitu sunyi
itu. Hari memang sudah berlalu sepertiga malam, masih
ada waktu untuk Gajahmada beristirahat tidur sejenak di
biliknya. Sebentar saja anak muda itu sudah nyenyak
tertidur. Hanya sebentar saja Gajahmada berbaring
beristirahat, karena tidak begitu lama sudah terdengar
suara ayam jantan saling bersahutan sayup terdengar
dari tempat yang jauh. Dan cahaya bening pagi sudah terlihat jelas
manakala terlihat Gajahmada keluar dari Pakiwan
setelah bersih-bersih menuju ke pendapa Padepokan.
"Selamat jalan wahai calon prajurit Kawali", berkata
Dyah Rara Wulan menggoda ketika mereka bertemu
bersisipan jalan menuju pakiwan.
Demikianlah, pagi itu Gajahmada memang tengah
bersiap diri untuk berangkat ke Kotaraja Kediri untuk ikut
mendaftarkan dirinya menjadi seorang prajurit Kawali.
Agar penyamarannya menjadi sempurna, maka
Gajahmada harus datang sendiri sebagaimana para
calon prajurit lainnya. Setelah mendapatkan beberapa pesan dan nasehat
dari Prabu Guru Darmasiksa, terlihat Gajahmada
bermaksud pamit diri untuk berangkat ke Kotaraja
Kawali. 107 "Semoga keselamatan selalu menyertaimu", berkata
Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada yang telah
menuruni anak tangga pendapa Padepokan.
Diiringi pandangan mata semua orang dari pendapa
Padepokan, terlihat Gajahmada telah keluar dari regol
gerbang Padepokan. Semilir angin pagi yang sejuk telah mengiringi
langkah kaki Gajahmada yang terus berjalan menuruni
lereng gunung Galunggung.
Hari belum begitu siang, cahaya matahari masih
belum tinggi ketika Gajahmada telah berada di bawah
kaki gunung Galunggung. "Aku akan berlatih sebentar", berkata Gajahmada
ketika melihat sebuah sungai kecil berbatu disebuah
pinggir hutan dekat dengan jalan setapak.
Suasana diatas sungai kecil berbatu itu memang
sangat sepi dan sunyi. Dan Gajahmada sudah turun
berlatih diatas sungai kecil berbatu itu.
Terlihat Gajahmada tengah melompat dari satu batu
ke batu lain dengan penuh kelincahan. Begitu ringan dan
cepatnya gerakan Gajahmada.
Ternyata Gajahmada bukan hanya melompat dari
satu batu ke batu lainnya diatas sungai kecil itu, tapi telah
melompat lebih jauh lagi dari tepian sungai ke tepian
lainnya dengan begitu ringan dan lincah.
Seperti seorang anak kecil yang mendapatkan
sebuah permainan baru, terlihat Gajahmada terus
berlatih mengendalikan kecepatan tubuhnya melenting
ke tempat yang diinginkan dengan begitu ringannya.
Hup !! 108 Dengan sangat nakal dan beraninya Gajahmada
melenting tinggi keatas sebuah pohon kelapa.
Dan dengan penuh kepercayaan yang tinggi, terlihat
Gajahmada dengan begitu beraninya turun dari
ketinggian pohon kelapa. Mata orang biasa pasti akan terperangah penuh
kekaguman melihat Gajahmada turun seperti sebuah
kapas begitu ringannya. Gajahmada tidak menyadari bahwa kemampuannya
itu adalah berkat pengisian hawa sakti dari pendeta
Darmayasa, yang dikenal oleh Putu Risang sebagai
seorang pertapa dari Gunung Wilis yang ternyata adalah
Ayah kandung dari Gajahmada sendiri.
Hup!! Terlihat Gajahmada telah menjejakkan kakinya di
tanah seperti seekor Rajawali hinggap dengan kaki
sedikit menekuk.Dan ditangan Gajahmada telah
membawa tiga butir buah kelapa.
Prakk !!! Ternyata Gajahmada belum dapat menyadari
kekuatannya sendiri telah membuat buah kelapa itu
hancur. "Aku harus dapat melihat sejauh mana puncak
kekuatan didalam diriku, agar dapat mengendalikannya
sesuai dengan keinginanku sendiri", berkata Gajahmada
sambil melihat kepingan batok buah kelapa yang
berserakan. Terlihat Gajahmada tengah mendekati sebuah
gundukan semak belukar. Perlahan telah mengendapkan
seluruh jiwanya lahir bathin, merasakan sebuah hawa
murni mengalir di seluruh tubuhnya.
Wusss !!! 109 Sebuah angin pukulan telah meluncur dari sebuah
pukulan Gajahmada ke udara kosong. Dan Gajahmada
telah melontarkannya dengan tenaga puncaknya.
Akibatnya sungguh luar biasa !!!
Gundukan semak belukar itu terangkat bersama
akar-akarnya terkena angin pukulan Gajahmada seperti
sebuah angin putih beliung melemparkan apapun yang
ada disekitarnya. Ternyata Gajahmada belum juga puas dengan apa
yang baru saja dilakukannya. Terlihat Gajahmada tengah
mencari sebuah batu besar. Akhirnya Gajahmada melihat
sebuah batu sebesar seekor kerbau.
Sungguh sangat luar biasa !!!
Batu sebesar kerbau itu telah hancur berantakan
terkena pukulan langsung tangan Gajahmada.
"Dengan tenaga wadagku, mungkin aku hanya dapat
menggetarkannya", berkata Gajahmada dalam hati
sambil mengagumi sebuah kekuatan tenaga cadangan
yang ada didalam dirinya itu.
"Aku harus terus berlatih", berkata kembali
Gajahmada dalam hati sambil melangkah ke arah tempat
dimana dirinya meletakkan bungkusan bekalnya.
Demikianlah, siang itu Gajahmada kembali melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja Kawali.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Gajahmada terlihat
berlari seperti terbang meluncur dan kadang melenting
jauh dari sebuah batu besar ke batu besar lainnya.
Dan ketika di lihatnya ada sebuah padukuhan di
depan matanya, terlihat Gajahmada telah menghentikan
larinya, telah berjalan sebagaimana orang biasa.
110 Saat itu hari masih jauh dari senja, Gajahmada tidak
ada keinginan bermalam di Padukuhan itu.
"Aku akan bermalam di atas puncak bukit itu",
berkata Gajahmada ketika telah meninggalkan sebuah
Padukuhan. Ternyata di hadapan Gajahmada terbentang sebuah
perbukitan berbatu sangat tandus. Di balik perbukitan itu
Kotaraja Kawali berada. Memang ada dua jalan yang dapat mendekati arah
menuju Kotaraja Kawali, sebuah hutan cukup lebat atau
sebuah perbukitan berbatu cadas. Dan Gajahmada lebih
condong memilih mendaki perbukitan berbatu cadas itu.
Perbukitan berbatu itu sangat sepi ketika Gajahmada
sudah berada di kakinya. Dan dengan begitu mudahnya Gajahmada telah
dapat mendakinya dengan hanya beberapa lompatan
sampai diatas puncak perbukitan berbatu itu.
Dan hari sudah terlihat menjelang awal senja ketika
Gajahmada sudah berada diatas puncak perbukitan
berbatu cadas itu. Terlihat Gajahmada mencari sebuah
tempat untuk dapat berlindung dari terpaan angin yang
cukup kuat berhembus diatas puncak perbukitan itu.
Syukurlah bahwa Gajahmada dapat menemui sebuah
tempat berupa cekungan batu yang sangat cocok untuk
tempat beristirahat, karena tidak lama kemudian hujan
turun begitu deras seperti tertumpah dari langit.
"Besok aku akan turun ke Kotaraja Kawali", berkata
Gajahmada dalam hati di dalam cekungan batu itu
terlindung dari air hujan yang jatuh cukup deras.
Ternyata Gajahmada telah memanfaatkan waktunya
itu untuk berlatih olah laku diri. Terlihat Gajahmada
111 sudah berada didalam pemusatan hati dan pikirannya,
dalam nafas yang seirama mengikuti gerak tubuhnya,
sebuah laku rahasia pusaka pertapa dari Gunung Wilis.
Terlihat Gajahmada sudah berada dalam puncak


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenikmatan olah laku dirinya, tidak menyadari bahwa hari
sudah semakin gelap. Sementara hujan diatas puncak
perbukitan berbatu itu sudah reda, langit diatasnya sudah
ditemani kerlap kerlip bintang malam.
"Kakang Putu Risang mengatakan bahwa dengan
kekuatan tenaga cadangan yang ada di dalam diri dapat
mengungkapkan hawa panas dan hawa dingin keluar
dari dalam diri", berkata Gajahmada dalam hati
mengingat kembali perkataan Putu Risang ketika
mengajarkan dasar-dasar rahasia olah laku diri.
"Seraplah hawa dingin di sekitar dirimu, maka tenaga
sakti di dalam dirimu akan keluar sebagai hawa panas
tandingan. Begitu pun sebaliknya bila yang kamu
inginkan adalah sebuah hawa dingin dari tenaga
saktimu", terlintas dalam pikiran Gajahmada perkataan
Putu Risang. "Perasaan ternyata mudah ditipu", berkata dalam hati
Gajahmada sambil tersenyum telah dapat memahami
dan membuka kunci-kunci rahasia ajaran Putu Risang
kepadanya. Terlihat Gajahmada sudah keluar dari batu cekungan
duduk bersila di tempat terbuka di malam yang begitu
dingin diatas puncak perbukitan itu.
Dan dengan waktu yang begitu singkat, Gajahmada
seperti terlepas dari rasa dingin itu. Tenaga sakti di
dalam dirinya telah melindunginya dengan hawa panas.
Gajahmada terus memusatkan pikirannya menyerap
112 hawa dingin di luar dirinya kepada kesadaran dan
perasaannya. Maka semakin kuat daya serap pikirannya
terhadap hawa dingin diluar dirinya, semakin besar pula
hawa panas keluar melindungi dirinya.
Terlihat asap tipis mengepul dari seluruh lubang di
kulit tubuh Gajahmada. Dan di keremangan malam,
Gajahmada dapat melihat rumput-rumput yang tumbuh
disela-sela batu cadas sudah terbakar hangus.
"Hawa panas dan hawa dingin dapat dikendalikan
lewat kekuatan pemusatan akal pikiran kita sendiri",
berkata Gajahmada dalam hati yang telah membuktikan
dan membuka rahasia kepelikan hawa sakti didalam
dirinya. "Aku akan terus melatihnya hingga dapat
mengendalikan kekuatan yang ada di dalam diriku ini",
berkata Gajahmada sambil berdiri melangkah kembali
kearah cekungan batu. Demikianlah, malam diatas puncak perbukitan itu
sudah semakin larut dipayungi lengkungan langit penuh
gemerlap jutaan bintang malam bertaburan seperti
kepingan berlian menghiasi langit biru di malam itu. Dan
Gajahmada tidak langsung beristirahat tidur, tapi telah
melakukan olah laku diri sejenak hingga dirasakan
seluruh tubuhnya merasakan kesegaran dan kebugaran
kembali. Setelah merasa latihan olah dirinya sudah
cukup lama, barulah terlihat anak muda itu berbaring
meluruskan tubuhnya di dalam cekungan batu itu.
Sebagaimana seorang pengembara, Gajahmada
tidak beristirahat sepenuhnya, kewaspadaannya selalu
terjaga lewat pendengarannya yang dirasakan semakin
hari semakin tajam. Tidak satu suara pun yang luput dari
pendengarannya, meski suara gesekan seekor ular
113 sekalipun diatas sebuah batu licin yang tengah
mendekati sebuah sarang tikus di sela-sela batu.
Dan waktu pun terus berlalu, cahaya merah sang
fajar telah membelah warna langit malam. Gajahmada
telah mendengar sayup-sayup suara ayam jantan
bersahutan dari tempat yang begitu jauh.
Akhirnya Gajahmada sudah mendengar suara ayam
jantan begitu dekat di bawah kaki perbukitan bersama
warna merah sang Fajar terlihat sudah menghiasi langit
pagi. Sementara itu di langit pagi yang sama di Padepokan
Prabu Guru Darmasiksa sudah terlihat banyak kesibukan
di awal pagi itu. Beberapa cantrik terlihat telah keluar membawa
cangkul, nampaknya mereka akan berangkat ke sawah
untuk membajak tanah di awal musim tanam itu.
"Tunjukkan kepadaku kemampuan kalian sampai
saat ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada
Pangeran Citraganda dan Dyah Rara Wulan di dalam
sanggar tertutup di Padepokannya.
Mendengar permintaan dari kakeknya itu, mereka
berdua secara berpasangan berlatih tanding. Maka tidak
lama berselang keduanya sudah terlibat dalam sebuah
latihan yang sangat seru seperti sebuah pertempuran
sungguhan. Nampaknya mereka berdua ingin menunjukkan puncak kemampuan mereka dalam olah
kanuragan. Sementara di pagi itu Putu Risang dan Pangeran
Jayanagara sudah minta ijin kepada Prabu Guru
Darmasiksa untuk keluar Padepokan mencari tempat
yang sunyi dan terbuka di pinggir hutan sekitar lereng
114 gunung Galunggung. Tidak sebagaimana Gajahmada yang mencoba
berlatih sendiri kemampuan hawa saktinya, sementara
Pangeran Jayanagara mendapat pengarahan langsung
dari gurunya. "Arahkan kekuatan tenaga cadanganmu ke gundukan
semak-semak di depanmu", berkata Putu Risang kepada
Pangeran Jayanagara yang ingin melihat kemampuan
Pangeran Jayanagara melontarkan tenaga cadangannya. Mendengar permintaan Putu Risang, terlihat
Pangeran Jayanagara langsung berdiri sekitar dua
langkah dari gundukan semak-semak didepannya.
Wuss !!! Terdengar angin pukulan dari tangan Pangeran
Jayanagara telah membuat daun-daun dari semak
belukar langsung seperti diterpa angin besar rontok
beterbangan. "Bagus !!", berkata Putu Risang penuh kegembiraan
melihat Pangeran Jayanagara sudah dapat melontarkan
tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya.
"Mahesa Muksa pasti mempunyai kekuatan yang
lebih dahsyat lagi", berkata Putu Risang mengingat
Gajahmada yang diketahui telah dititipkan tenaga sakti
oleh ayah kandungnya sendiri, sang pertapa dari Gunung
Wilis. "Dengan berlatih olah laku setiap hari, tenaga
cadanganmu akan terus bertambah dan meningkat.
Kamu juga dapat mengembangkan tenaga sakti di dalam
dirimu menjadi hawa panas atau hawa dingin. Seraplah
hawa dingin di sekitar tubuhmu, maka tenaga saktimu
115 akan keluar sebagai hawa panas. Semua tergantung
bagaimana kamu dapat mengendalikan akal dan
pikiranmu mengendalikan perasaanmu sendiri. Bila kamu
sudah dapat melontarkan hawa panas, mengendalikan
kekuatannya, saatnya kamu dapat pula melatih kekuatan
hawa dinginmu dengan cara yang terbalik sebagaimana
kamu melontarkan hawa panas dari dalam dirimu",
berkata Putu Risang memberikan dasar-dasar pengendalian tenaga sakti didalam tubuh Pangeran
Jayanagara. "Lihatlah rumput kering didalam genggamanku ini",
berkata Putu Risang sambil mengangkat tinggi-tinggi
rumput kering yang berada didalam genggamannya.
Bukan main terkejutnya Pangeran Jayanagara
melihat rumput-rumput kering itu dilemparkan ke udara
oleh Putu Risang dalam keadaan terbakar hangus
beterbangan. Dan mata Pangeran Jayanagara masih terus
memandang kearah Putu Risang yang telah
mengarahkan dirinya sekitar sepuluh langkah dengan
sebuah batu besar didepannya.
Kembali perasaan Pangeran Jayanagara berdetak
penuh kekaguman melihat apa yang telah dilakukan oleh
gurunya itu. Bukan main terperanjatnya Pangeran Jayanagara
telah melihat dengan sebuah pukulan jarak jauh, Putu
Risang dapat menghancurkan batu besar didepannya
hancur berkeping-keping. Putu Risang memang sengaja ingin menunjukkan
kepada Jayanagara kemampuan dirinya meski dengan
separuh tenaga puncaknya.
116 "Bersabarlah, kamu pasti dapat melakukannya
bahkan jauh melampaui dari apa yang telah kutunjukkan
ini", berkata Putu Risang kepada Pangeran Jayanagara.
Demikianlah, hari itu Pangeran Jayanagara dengan
pengarahan langsung dari gurunya telah berlatih
melontarkan kemampuan tenaga cadangannya di tepi
hutan sekitar lereng Gunung Galunggung itu.
"Besok kita lihat lagi sejauh mana kemampuanmu
berkembang", berkata Putu Risang kepada Pangeran
Jayanagara mengajaknya kembali ke Padepokan Prabu
Guru Darmasiksa ketika dilihatnya matahari di tepi hutan
sunyi itu telah bergeser sedikit dari puncaknya. Langit
biru diatas tepi hutan itu sudah terang, dan begitu
cerahnya. Sementara itu di langit siang yang sama, Gajahmada
sudah berada di Kotaraja Kawali. Sesuai dengan
beberapa petunjuk dari Prabu Guru Darmasiksa, terlihat
Gajahmada tengah mencari sebuah barak prajurit yang
tidak begitu jauh dari alun-alun Kotaraja.
"Ada keperluan apakah wahai anak muda ?",
bertanya seorang prajurit tua kepada Gajahmada di
depan pintu gerbang barak prajurit Kawali.
"Aku ingin mengabdikan diriku sebagai seorang
prajurit", berkata Gajahmada kepada prajurit itu.
"Temuilah Ki Lurah Pamuji di dalam, kami memang
perlu banyak anak muda sepertimu", berkata Prajurit tua
itu meminta Gajahmada terus masuk ke dalam menemui
atasannya itu. Tidak susah memang untuk menemui Ki Lurah
Pamuji, di sebuah ruangan khusus Gajahmada telah
menghadap-nya langsung. 117 "Bergabunglah bersama kawan-kawanmu, besok
kami akan membuat sebuah ujian khusus untuk kalian,
aku berharap kamu dapat lulus dalam ujian itu", berkata
Ki Lurah Pamuji kepada Gajahmada setelah bertanya
beberapa hal tentang jati diri Gajahmada.
"Seandainya semua calon prajurit Kawali punya
tubuh seperti anak muda itu", berkata Ki Lurah Pamuji
dalam hati ketika melihat Gajahmada yang telah keluar
dari pintu diantar oleh seorang prajurit ke sebuah barak
khusus. Ternyata di barak khusus itu, Gajahmada telah
melihat beberapa orang anak muda.
"Genap tiga puluh anak muda di barak ini termasuk
dirimu, persiapkan dirimu untuk ujian besok", berkata
prajurit itu kepada Gajahmada.
"Terima kasih", berkata Gajahmada kepada prajurit
yang mengantarnya itu. Ketika prajurit yang mengantarnya sudah pergi
meninggalkannya di barak itu, terlihat Gajahmada
menghampiri salah satu bale bambu kosong dan
meletakkan bungkusan barang bawaannya.
"Selamat datang kawan baru", berkata seorang anak
muda di bale bambu sebelahnya kepada Gajahmada.
"Sudah berapa lama kamu di barak ini ?", berkata
Gajahmada kepada anak muda yang menyapanya itu.
"Aku datang tiga hari yang lalu, bosan rasanya
menunggu hari pengujian", berkata anak muda itu.
"Namaku Mahesa Muksa", berkata Gajahmada
memperkenalkan dirinya kepada anak muda itu.
"Namaku Branjang, aku dari Kademangan Jatiwangi.
118 Kamu sendiri dari mana?", berkata anak muda itu
memperkenalkan dirinya dan tempat asalnya.
"Aku dari Kademangan Ruyung di bawah kaki
Gunung Galunggung", berkata Gajahmada kepada anak
muda itu yang bernama Branjang.
"Logat bahasamu seperti bukan dari sana", berkata
Branjang yang dapat membedakan logat bahasa
Gajahmada tidak seperti logat sunda umumnya yang
biasa di dengar. "Aku lama besar di daerah Tanah Ujung Galuh. Baru
sepekan ini aku tinggal bersama ayahku di Kademangan
Ruyung", berkata Gajahmada kepada Branjang.
Nampaknya Branjang tidak bertanya lebih jauh lagi
kepada Gajahmada, hanya bertanya beberapa hal
tentang kesiapannya menghadapi ujian permulaan
besok. "Mereka akan menguji kemampuan olah kanuragan
kita, bersiaplah menghadapi seorang prajurit yang
ditunjuk untuk mengujimu", berkata Branjang kepada


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajahmada. "Dari mana kamu mengetahui bahwa ujian awal
penerimaan prajurit seperti itu ?", berkata Gajahmada
kepada Branjang. "Kakakku seorang prajurit, dialah yang memintaku
menjadi prajurit seperti dirinya", berkata Branjang penuh
kebanggaan mempunyai seorang kakak seorang prajurit.
"Apakah kamu sudah siap menghadapi seorang
prajurit?", bertanya Gajahmada kepada Branjang.
"Kakakku meyakinkan, bahwa aku dapat mengalahkan dua orang prajurit biasa", berkata Branjang
dengan penuh keyakinan. 119 "Jangan terlalu yakin, mungkin Kakakmu hanya
membesarkan hatimu saja", berkata seorang anak muda
di sebelah lain dekat mereka.
Gajahmada dan Branjang langsung menoleh kepada
anak muda itu. Gajahmada dan Branjang melihat dengan wajah tidak
suka kepada anak muda. "Mengapa kalian memandangku seperti itu ?",
berkata anak muda itu dengan senyum getir salah
tingkah. "Jangan salah artikan perkataanku, bukan
maksudku meremehkanmu. Aku hanya sekedar
mengingatkan bahwa dua tahun yang lalu aku juga
punya keyakinan yang besar sepertimu, namun ternyata
aku tidak lulus dalam ujian pertama", berkata kembali
anak muda itu. "Terima kasih telah mengingatkan", berkata Branjang
sambil menarik nafas panjang, mungkin tiga hari
menunggu di barak itu telah membuat dirinya mudah
terbakar kemarahannya. "Namaku Galih, aku dari Padepokan Jati Abang",
berkata anak muda itu memperkenalkan dirinya kepada
Gajahmada dan Branjang. "Apakah para prajurit penguji begitu tangguh ?",
bertanya Gajahmada kepada Galih.
"Dua tahun lalu, dari dua puluh lima orang yang diuji,
hanya lima belas orang yang dinyatakan lulus dalam
ujian pertama itu", berkata Galih
"bagaimana cara kembali Gajahmada. mereka menilai ?", bertanya "Kita harus dapat mengalahkan mereka, atau dapat
bertahan hingga tiga puluh jurus", berkata Galih yang
120 punya pengalaman pernah gugur dalam ujian pertama
dua tahun itu. "Mudah-mudahan aku dapat bertahan tiga puluh jurus
lebih", berkata Branjang penuh harapan.
"Berdoalah, semoga kita lulus dalam ujian itu, juga
ujian tahap lainnya", berkata Gajahmada membesarkan
kedua kawan barunya itu. Sementara itu beberapa anak muda di dalam barak
itu terlihat berkelompok. Dan Gajahmada telah
mempunyai dua orang kawan di Barak itu, Galih dan
Branjang. "Sebentar lagi kita akan mendapat kiriman ransum
malam", berkata Branjang yang sudah tiga hari di dalam
barak karantina itu. Demikianlah, tidak lama berselang telah datang
petugas yang membawa ransum makan malam untuk
mereka. "Ternyata nikmat jadi seorang prajurit, kerjanya Cuma
menunggu ransum", berkata Galih sambil menatap
ransum makannya. "Selama tidak ada perang", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. "Benar, selama Kerajaan tidak ada gangguan
keamanan, selama itu para prajurit jadi pengangguran
yang bergaji", berkata Branjang sambil mengunyah
ransumnya. Sementara itu waktu di dalam barak sepertinya
berjalan perlahan, tidak terasa malam telah merayap dan
telah menjadi senyap. "Beristirahatlah, besok kita akan menempuh ujian
121 pertama", berkata Gajahmada sambil meluruskan
tubuhnya diatas bale bambu di dalam barak itu.
Dan pagi itu di halaman muka barak prajurit Kawali
yang berdekatan dengan alun-alun Kotaraja sudah
terlihat cukup ramai dipenuhi banyak prajurit, mereka hari
itu akan menyaksikan langsung sebuah ujian para prajurit
baru yang akan bergabung dengan kesatuan-kesatuan
khusus di keprajuritan Kawali.
Ada sebuah tajuk khusus untuk para juri dan tamu
undangan, dihadapannya sebuah arena yang sudah
dibatasi oleh patok-patok dan tali tambang.
Gajahmada, Branjang dan Galih sudah berada
diantara tiga puluh orang anak muda calon prajurit yang
pagi itu akan diuji apakah layak untuk menjadi seorang
prajurit Kawali. Terlihat mereka berdiri berkumpul
berseberangan dengan tajuk.
Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu itu nampaknya
akan segera dimulai, terlihat seorang perwira masuk ke
tengah-tengah arena menyampaikan sepatah dua patah
kata pembukaan sekaligus menyampaikan beberapa
aturan dalam pelaksanaan pertandingan.
Gajahmada, Branjang dan Galih terlihat begitu
tegang manakala salah seorang anak muda calon prajurit
di panggil untuk masuk ke arena.
"Prajurit itulah yang telah mengalahkanku dua tahun
yang lalu", berkata Galih kepada Gajahmada sambil
menunjuk ke seorang prajurit Kawali yang telah masuk
ke arena berhadapan dengan seorang anak muda calon
prajurit. "Otot tubuh prajurit itu nampaknya sangat kuat",
berkata Gajahmada kepada Galih menilai penampilan
122 tubuh prajurit penguji itu.
"Benar, orang itu tahan pukul", berkata Galih
mengingat kembali ketika pernah berhadapan dengan
prajurit itu. "Anak itu sepertinya sudah kalah sebelum
bertanding", berkata Branjang menilai penampilan anak
muda yang tengah berdiri di tengah arena yang memang
sudah turun pamor melihat lawan tandingnya yang
nampak kuat berotot itu. Terlihat seorang penengah memberikan beberapa
aturan, mengingatkan kembali kepada kedua orang yang
akan bertanding itu. "Jangan memukul kepala, jangan memukul bagian di
bawah pusar, apakah kalian sudah siap?", berkata
penengah itu kepada keduanya.
Ketika keduanya terlihat menganggukkan kepalanya
sebagai tanda kesiapan mereka, maka penengah itu
telah memberikan sebuah aba-aba sebagai tanda di
mulainya pertandingan itu.
Nampak prajurit berotot itu menyeringai menatap
anak muda itu seperti ingin menelannya bulat-bulat.
"Kuberi kesempatan dirimu untuk menyerang lebih
dulu", berkata prajurit itu dengan suara menantang
kepada anak muda lawan tandingnya.
Mendengar suara tantangan itu telah membuat hati
anak muda itu menjadi semakin ciut, wajahnya terlihat
sudah menjadi pucat pasi.
"Terlalu lama", berkata prajurit itu tidak sabaran
melihat anak muda itu tidak juga datang menyerangnya.
Akhirnya prajurit itu menjadi semakin tidak sabar
123 menanti serangan awal anak muda itu yang hanya
bersiaga berdiri dengan sebuah kuda-kuda. "Terimalah
seranganku", berkata prajurit itu yang sudah tidak
sabaran lagi langsung membuat serangan pertama.
Tergagap anak muda itu melihat sebuah tendangan
meluncur ke arahnya. Dan dengan tergesa-gesa
berusaha bergeser. Ternyata serangan pertama itu adalah sebuah
tendangan tipuan dan sudah diperhitungkan masakmasak oleh prajurit itu. Terlihat prajurit itu sudah
memutar kaki yang lain langsung mengarah ke arah kaki
anak muda yang telah bergeser dari tempatnya berdiri.
Kasihan anak muda itu, gerakan badannya sudah
dapat dibaca dan seperti mati gerak tidak dapat
menghindari hantaman kaki yang berputar prajurit itu.
Beng !!! Anak muda itu telah terbanting jatuh ke tanah.
Gemuruh para prajurit menertawakan anak muda
yang dalam jurus pertama sudah dapat dijatuhkan.
"Anak itu masih demam panggung", berkata Branjang
menilai anak muda itu. "Benar, pikirannya tidak jernih lagi", berkata Galih ikut
menilai. "Kalian benar, sehebat apapun sebuah aliran
kanuragan, tanpa jiwa dan pikiran yang jernih seperti
senjata tumpul", berkata Gajahmada sambil terus
menatap kearah arena pertandingan melihat anak muda
itu dengan meringis kesakitan tengah berusaha bangkit
berdiri. "Apakah kamu masih sanggup bertanding?", bertanya
124 seorang penengah kepada anak muda itu.
Terlihat anak muda itu menganggukkan kepalanya
sebagai tanda masih sanggup untuk melanjutkan
pertandingannya. Rupanya kejatuhannya di awal pertandingan itu telah
menghidupkan kepercayaan diri dalam hati anak muda
itu. Saat itu yang terpikir olehnya adalah kewaspadaan
yang tinggi tanpa menghiraukan lagi puluhan mata yang
tengah menatap ke arahnya.
Ciaaaattttt !!!!! Berteriak anak muda itu menghentakkan keberaniannya menyerang kearah prajurit berotot gempal
itu. Kaget bukan kepalang prajurit berotot itu mendengar
teriakan dan juga serangan anak muda itu.
Namun nampaknya prajurit berotot itu telah mampu
menguasai perasaannya sendiri, dengan tenang telah
bergeser setapak menghindari pukulan tangan anak
muda itu dan langsung balas menyerang dengan sebuah
tendangan tinggi. Dan anak muda yang tumbuh rasa kepercayaan
dirinya itupun telah langsung menghindar tendangan
prajurit itu dan balas menyerang. Maka akhirnya telah
terlihat sebuah tontonan yang menarik, sebuah
pertandingan yang seru antara anak muda calon prajurit
dan seorang prajurit penguji.
Ternyata anak muda itu cukup tangguh, hanya
karena demam panggung, di awal pertandingan sempat
tertipu karena pikirannya kurang jernih.
"Anak itu telah menguasai perasannya sendiri",
berkata Gajahmada kepada Galih disampingnya sambil
125 tetap melihat jalannya pertempuran yang cukup seru itu.
"Anak itu cukup tangguh", berkata Galih mencoba
menilai kemampuan anak muda itu.
Sebagaimana yang dilihat oleh Galih, nampaknya
anak muda itu semakin menjadi percaya diri yang terlihat
dari serangannya yang semakin gencar dan penuh
dengan sebuah perhitungan yang matang telah membuat
prajurit penguji itu yang terbalik merasakan banyak
tekanan ketika menghindari serangan anak muda itu.
Bagian 2 Untungnya prajurit berotot itu nampaknya punya
banyak pengalaman dan sudah sangat matang sehingga
selalu dapat berkelit dan balas menyerang dengan begitu
keras dan cepat. Demikianlah, tidak terasa tiga puluh jurus telah lewat,
mereka masih tetap saling menyerang. Dan pertandingan
itu sudah menjadi semakin seru tanpa dapat ditentukan
siapakah yang akan dapat mengalahkan satu dengan
yang lainnya. Dan terlihat salah seorang juri penilai yang duduk di
deretan kursi terdepan telah mengibarkan bendera putih
sebagai tanda bahwa pertandingan harus dihentikan.
"Berhenti", berkata seorang penengah ketika melihat
bendera putih yang dikibarkan oleh salah seorang juri
penilai. Mendengar teriakan seorang penengah, anak muda
dan prajurit itu telah menghentikan serangannya.
"Kembali ke tempat masing-masing",
penengah kepada anak muda dan prajurit itu.
berkata 126 Terdengar suara gaduh diantara para penonton yang
nampaknya merasa kecewa bahwa pertandingan harus
dihentikan meski belum di dapat seorang pemenang.
Nampaknya tiga orang juri penilai yang duduk di
deretan utama di Tajuk itu tidak memperdulikan suara
penonton. Terlihat telah memerintahkan seorang prajurit


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk masuk ke arena memanggil peserta selanjutnya.
Demikianlah, satu persatu peserta calon prajurit
Kawali telah dipanggil untuk bertanding dengan seorang
prajurit penguji di arena itu.
Sementara itu sinar matahari diatas arena ujian calon
prajurit itu sudah semakin terang. Tujuh orang anak
muda satu persatu telah tampil di arena itu untuk
menunjukkan kebolehannya. Hanya dua orang saja dari
ketujuh anak muda itu yang tidak dapat melampaui tiga
puluh jurus. Sementara lima orang lainnya dapat
mengimbangi prajurit penguji lebih dari tiga puluh jurus,
meski mereka tidak dapat mengalahkan prajurit penguji.
"Mahesa Muksa", berteriak seorang prajurit dari
tengah arena memanggil sebuah nama.
"Namamu Gajahmada. dipanggil", berkata Branjang kepada "Aku berdoa untukmu, kawan", berkata Galih sambil
menepuk bahu Gajahmada. Terlihat Gajahmada telah keluar dari kerumunan para
anak muda calon prajurit dan langsung masuk ke tengah
arena. Terdengar riuh suara teriakan penuh semangat dari
kerumunan para prajurit. Terlihat seorang prajurit telah
keluar dari kerumunan itu langsung masuk ke tengah
arena. 127 Nampaknya prajurit itu adalah seorang yang sangat
di kagumi oleh kawan-kawan mereka. Memang seorang
yang nampaknya sangat tangguh terlihat dari
pembawaan dirinya yang sangat tenang ketika masuk ke
tengah arena terlihat juga dari caranya melangkahkan
kakinya yang teratur dan berirama sebagai tanda
seorang yang punya kemampuan kanuragan yang cukup
matang. Sorot mata prajurit itu seperti ingin mengukur tingkat
kemampuan Gajahmada. Namun dengan tenang
Gajahmada mengadu pandangan mata itu.
Diam-diam prajurit itu merasa tergetar merasakan
dirinya seperti melihat sebuah tatap mata yang begitu
kuat penuh kepercayaan diri yang tinggi.
Terlihat Gajahmada tersenyum kearah prajurit itu,
seorang prajurit yang bertubuh sedang dengan kulit
wajah hitam, tapi cukup bersih dan tampan dengan
sebuah kumis tebal di atas bibirnya menambah
kewibawaan prajurit itu. "Hidup Prajoga", berteriak beberapa orang dari
sebuah kerumunan penonton di luar arena.
Ternyata prajurit penguji itu bernama Prajoga, dan
memang dikagumi di kesatuan prajurit karena memiliki
kemampuan kanuragan yang cukup tinggi.
"Bersiaplah", berkata seorang penengah kepada
Gajahmada dan Prajoga. Terlihat Prajoga telah memperlihatkan sebuah kudakuda persiapan seperti sebuah isyarat bahwa dirinya siap
menerima serangan awal. Melihat kuda-kuda Prajoga seperti itu, maka tanpa
perkataan apapun Gajahmada telah bersiap untuk
128 melakukan sebuah serangan awal.
Terlihat Gajahmada sudah melakukan serangan
awal, hanya sebuah pukulan biasa sekedar gebrakan uji
coba mengarah ke dada lawannya.
Nampaknya Prajoga melihat serangan Gajahmada itu
bukan sebuah serangan sebenarnya.
"Anak pintar", berkata Prajoga sambil berkelit lincah
mengetahui bahwa serangan awal Gajahmada itu hanya
sebuah pancingan. Ternyata gerak awal Gajahmada itu memang sebuah
pancingan agar lawannya bergerak balas menyerang.
Bukan main kagetnya Prajoga manakala dirinya
berkelit kesamping dan balas menyerang dengan
pukulannya kearah pinggang lawan, nampaknya
Gajahmada seperti sudah dapat membaca sebelumnya
kemana Prajoga akan menghindar dan balas menyerang.
"Anak cerdas", berkata Prajoga sambil melompat
cepat menghindari serangan Gajahmada yang seperti
tahu kemana dirinya melangkah.
Namun sebagai seorang prajurit yang mempunyai
tingkat kemampuan kanuragan yang cukup matang,
Prajoga tidak ingin dirinya menjadi korban aturan lawan.
Maka dengan sigap telah mengatur siasat serangan
balik. Demikianlah, serang dan balas serangan akhirnya
telah bergulir dari Gajahmada dan Prajoga semakin lama
menjadi semakin seru seperti sebuah tontonan yang
sangat mengasyikkan. Mereka seperti dua petarung
tangguh di tengah panggung arena yang selalu
menimbulkan banyak kejutan dan debaran hati siapa pun
yang melihatnya. 129 Terlihat beberapa prajurit penonton yang telah
mengetahui ketangguhan Prajoga terdiam terkesima
seperti tidak menduga bahkan menyangka sama sekali
bahwa di kalangan anak muda calon prajurit ada yang
mampu melayani Prajoga yang punya kemampuan
kanuragan cukup tinggi itu.
Sebenarnya bila saja mau, Gajahmada sudah dapat
menerapkan kemampuan kecepatannya bergerak
melampaui orang biasa. Namun Gajahmada nampaknya
masih ingin mengimbangi permainan lawannya dengan
hanya sedikit lebih cepat dari gerakan lawan.
Dan meski hanya berusaha dengan kecepatan
bergerak diatas lawannya, tetap saja telah membuat
Prajoga menjadi cukup panik menghadapi serangan
Gajahmada yang dianggapnya sangat cepat itu. Dan
hampir semua serangannya dapat di elakkan oleh
Gajahmada dengan sangat mudah dan cepat serta balas
menyerang telah membuat Prajoga seperti terkuras
tenaganya. "Sejak awal pertemuan, aku sudah menduga bahwa
anak muda itu pasti punya kemampuan cukup tangguh",
berkata dalam Ki Lurah Pramuji yang duduk sebagai
salah seorang juri melihat bagaimana Gajahmada dapat
melayani permainan Prajoga yang dikenalnya sebagai
salah seorang prajurit yang punya kemampuan olah
kanuragan cukup tinggi. "Ternyata kawan kita cukup tangguh", berkata Galih
kepada Branjang disebelahnya mengagumi Gajahmada
yang dapat melayani prajurit penguji yang dilihatnya
cukup tangguh. "Aku sendiri belum yakin seandainya aku yang
menghadapi prajurit itu, apakah aku dapat melayaninya
130 sebagaimana Mahesa Muksa", berkata Branjang dengan
mata yang tidak lepas berkedip terus mengamati
jalannya pertempuran yang sangat seru dan
mendebarkan hati itu. Dan sebagaimana yang dilihat oleh semua orang
diluar arena, pertempuran itu memang sangat seru serta
mendebarkan hati dengan serang dan balas menyerang
dengan gerakan mengagumkan.
Tidak terasa tiga puluh jurus telah berlalu, dan
Gajahmada telah sedikit meningkatkan tataran ilmunya,
meningkatkan kecepatan gerak dan kekuatan dirinya.
Brakk !!! Dua tangan beradu. Terlihat Prajoga mundur beberapa langkah merasakan tangannya merasakan seperti beradu dengan
batu cadas yang kuat merasakan ngilu seluruh sendi
tangannya. Dan Gajahmada sepertinya tidak memberikan
kesempatan sedikitpun kepada Prajoga langsung
menyerang dengan sebuah tendangan keras dan cepat
menerjang Prajoga. Terlihat dengan susah payah Prajoga menghindar,
sayang bahwa Gajahmada dengan cepat pula telah
merubah serangannya dengan sebuah pukulan keras
kearah pinggang lawannya.
Akibatnya memang sangat merepotkan Prajoga yang
kembali harus menghindar, namun dengan cepat pula
Gajahmada menyusuli dengan serangan lainnya.
Demikianlah, dalam beberapa jurus terakhir
nampaknya Prajoga tidak dapat balas menyerang, telah
menjadi bulan-bulanan Gajahmada yang terus 131 menyerang dengan kecepatan melampaui kecepatan
gerak Prajoga. Dan akhirnya, sebuah pukulan nampaknya tidak
mungkin lagi dapat dihindari oleh Prajoga,
Beng !!!! Terlihat Prajoga terlempar oleh dua buah pukulan
beruntun dari Gajahmada. Terdengar suara riuh dari para pemuda calon prajurit.
Mereka mengelu-elukan Gajahmada sebagai satusatunya calon prajurit yang dapat menjatuhkan prajurit
penguji. Sementara itu para prajurit penonton semua seperti
tersirep diam, mereka tidak sama sekali menyangka
prajurit setangguh Prajoga dapat dijatuhkan oleh seorang
anak muda calon prajurit.
"Maaf, Ki Lurah Pramuji telah mengangkat bendera
putih", berkata seorang penengah kepada Prajoga yang
telah bangkit berdiri. Ternyata Ki Lurah Pramuji memang telah
mengangkat bendera putih sebagai tanda pertandingan
dianggap telah selesai. "Selamat, kamu memang pantas menjadi seorang
prajurit Kawali", berkata Prajoga kepada Gajahmada
ketika mereka bersisipan jalan menuju tempat semula.
"Terima kasih", berkata Gajahmada kepada Prajoga
sambil menganggukkan kepala sebagai sebuah
penghormatan dan langsung melangkah menuju ke
tempatnya semula. "Kamu memang hebat, kawan", berkata
memberikan ucapan selamat kepada Gajahmada.
Galih 132 "Kamu bukan hanya melampaui tiga puluh jurus, tapi
sudah dapat menjatuhkan lawanmu", berkata Branjang
sambil menjulurkan tangannya memberikan ucapan
selamat kepada kawannya itu.
Demikianlah, satu persatu para calon prajurit Kawali
telah dipanggil untuk diuji. Mereka dengan semangat dan
kesungguhan hati telah berusaha untuk memperlihatkan
kemampuannya. Seiring dengan perjalanan waktu,
akhirnya semua calon prajurit itu sudah semuanya
dipanggil di tengah arena menghadapi para prajurit
penguji, termasuk Branjang dan Galih, dua orang kawan
baru Gajahmada itu. Bukan main gembiranya para calon prajurit itu
manakala hasil pengumuman siapa yang telah
dinyatakan lulus pada hari itu juga telah diumumkan.
Gajahmada, Branjang dan Galih adalah tiga orang yang
termasuk para calon prajurit yang dinyatakan telah lulus
dari ujian pertama itu. Dari sekitar tiga puluh orang
pelamar calon prajurit Kawali, hanya ada dua orang anak
muda yang bernasib kurang beruntung, mereka gagal
dalam ujian hari itu. "Kalian yang telah diumumkan lulus dalam ujian ini
diwajibkan untuk melaksanakan pendadaran, bergabung
dengan beberapa kesatuan prajurit yang ada di Kawali",
berkata seorang perwira prajurit membacakan siapa saja
para calon prajurit yang dipanggil bergabung dengan
kesatuan prajurit Kawali.
"Kita ada dalam kesatuan prajurit yang sama",
berkata Branjang kepada Gajahmada dan Galih.
Ternyata mereka bertiga telah mendengar hasil
pengumuman dimana ditempatkan dalam masa
pendadaran itu. 133 Bukan main terkejutnya Gajahmada ketika seorang
prajurit yang pernah mengujinya datang menghampirinya. "Selamat, selama masa pendadaran ini kamu berada
dalam kesatuanku", berkata prajurit itu kepada
Gajahmada yang tidak lain adalah Prajoga, seorang
pemimpin dari sebuah kesatuan prajurit di Kawali.
"Aku mohon bimbinganmu", berkata Gajahmada
kepada Prajoga. "Justru akulah yang meminta bimbinganmu,
bukankah kemampuan olah kanuraganku jelas-jelas
berada dibawahmu?", berkata Prajoga kepada Gajahmada dengan senyum ramah.
"Tapi dalam urusan keprajuritan, aku belum tahu apaapa", berkata Gajahmada kepada Prajoga.
"Aku yakin bahwa kamu akan cepat mengetahui dan


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempelajarinya", berkata Prajoga kepada Gajahmada.
Demikianlah, mulai hari itu juga, Gajahmada,
Branjang dan Galih telah bergabung bersama di sebuah
kesatuan yang berada di bawah pimpinan Prajoga,
seorang lurah prajurit. Dan malam itu juga mereka telah bergabung di barak
yang sama. "Persiapkan diri kalian, besok kita akan melakukan
perjalanan cukup jauh", berkata Prajoga kepada
Gajahmada, Branjang dan Galih.
Gajahmada, Branjang dan Galih tidak bertanya lebih
jauh lagi, mereka hanya mempersiapkan diri
sebagaimana para prajurit lain di barak itu,
mempersiapkan kebutuhan dan perlengkapan sebagaimana layaknya para prajurit yang akan berangkat
134 ke medan perang. ***** Sementara itu di padepokan Prabu Guru Darmasiksa
malam itu telah terlihat sebuah percakapan mengenai
suasana hari pengujian para calon prajurit yang sudah
terdengar lewat beberapa cantrik Padepokan yang diamdiam ditugaskan mengawasi keadaan Gajahmada.
"Saatnya kalian berdua kembali ke istana", berkata
Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda
dan Dyah Rara Wulan. Kalian harus dapat menjelaskan
kepada Raja Ragasuci tentang hilangnya Kujang
Pangeran Muncang, juga untuk meluruskan Gajahmada
agar dapat bertugas disekitar Patih Argajaya", berkata
kembali Prabu Guru Darmasiksa.
Terlihat wajah Dyah Rara Wulan berseri-seri
membayangkan dapat bertemu kembali dengan pemuda
yang telah mencuri hatinya, Gajahmada.
"Besok pagi kami akan berangkat, mohon doa
restunya agar Ayahanda tidak salah sangka tentang
penilaian kita terhadap Patih kesayangannya itu", berkata
Pangeran Citraganda kepada Prabu Guru Darmasiksa.
"Aku yakin, Ayahandamu dapat menerima penjelasan
dari putranya sendiri", berkata Prabu Guru Darmasiksa
dengan penuh senyum terbayang wajah putranya Raja
Ragasuci yang memang tidak mudah dipengaruhi.
"Sementara untuk dapat menugaskan Gajahmada di
sekitar Patih Ragajaya akan cucunda usahakan, mudahmudahan Ki Lurah Pramuji dapat membantu kita",
berkata Pangeran Citraganda.
"Bila diijinkan, hamba berdua Pangeran Jayanagara
ingin melihat-lihat suasana Kotaraja Kawali", berkata
135 Putu Risang meminta sebuah usulan kepada Prabu Guru
Darmasiksa. "Bagus, kalian berdua memang dibutuhkan untuk
dapat mendekati Gajahmada, membuat sebuah
keputusan yang mungkin diperlukan", berkata Prabu
Guru Darmasiksa menerima usulan Putu Risang.
"Besok pagi kami akan ikut berangkat, tapi dengan
jalan terpisah tidak bersama-sama Pangeran Citraganda
agar tidak mencurigakan orang-orang yang mungkin saja
kaki tangan Patih Argajaya yang memang sedang
mengawasi keadaan kita", berkata Putu Risang.
"Bagus, kita memang harus berhati-hati", berkata
Prabu Guru Darmasiksa. "Para orang muda akan meninggalkan Padepokan,
apa tugas kita orang tua?", berkata Pendeta Gunakara
sambil menyentuh bahu Jayakatwang yang ikut
tersenyum. "Kita para orang tua akan turun bila saatnya tiba",
berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pendeta
Gunakara. Sementara itu pikiran dan lamunan Dyah Rara Wulan
sudah jauh melayang di Kotaraja Kawali, membayangkan
hari-hari melihat Gajahmada lengkap dengan pakaian
prajurit Kawali umumnya. "Besok kalian pagi-pagi sudah harus berangkat,
sekarang segeralah kalian untuk beristirahat", berkata
Prabu Guru Darmasiksa. Perkataan Prabu Guru Darmasiksa telah membuyarkan lamunan Dyah Rara Wulan, masih dengan
senyum dikulum telah bangkit berdiri bersama untuk
segera beristirahat di biliknya.
136 Temaram cahaya bulan menerangi malam sepi, dan
hawa dingin di Padepokan Prabu Guru Darmasiksa yang
berada di lereng Gunung Galunggung malam itu begitu
dingin. Temaram cahaya lembut pelita malam di bilik Dyah
Rara Wulan telah menjadi kawan setia gadis manis itu
yang masih juga belum dapat memejamkan matanya,
lamunannya nampaknya telah jauh melambung ke harihari di Kotaraja Kawali.
Gadis manis itu bukan rindu kepada istana Kawali
yang telah ditinggalkannya beberapa hari, tapi gadis itu
ternyata sedang rindu kepada seorang pemuda yang
saat itu sedang berada di Kotaraja Kawali. Siapa lagi
anak muda yang menghiasi lamunan gadis itu kalau
bukan Gajahmada yang memang saat itu tengah berada
di Kotaraja Kawali. Dan gadis manis putri Raja Kawali itu akhirnya dapat
tertidur pulas dengan bibir terlihat tersungging senyum
begitu manis, mungkin tengah bermimpi bertemu dan
bersenda gurau dengan pemuda impiannya itu. Gadis
manis itu memang sudah tertidur pulas meski semilir
angin dingin kadang masuk diantara celah-celah bilik
bambu kamarnya. Gadis manis itu juga sudah tidak
mendengar lagi suara kentongan dengan nada dara
muluk terdengar sayup di malam sepi dari sebuah
padukuhan yang jauh di bawah lereng Galunggung. Dan
Gadis manis itu juga tidak lagi mendengar suara rintik
gerimis hujan yang mulai turun di pertengahan malam itu
begitu lama hingga menjelang pagi datang.
Ternyata gerimis hujan merata membasahi bumi
Pasundan sepanjang malam itu, juga membasahi bumi
Kotaraja Kawali. 137 "Kamu sangat gagah dengan pakaian prajuritmu",
berkata Galih kepada Gajahmada di pagi itu ketika
mereka telah bersiap diri untuk berangkat ke sebuah
tempat tugas. "Kita akan melakukan sebuah perjalanan cukup jauh,
sekitar daerah Gunung Papandaian. Ada sebuah kabar
bahwa di beberapa padukuhan di bawah kaki Gunung itu
sering terjadi perampokan", berkata Prajoga sebagai
pemimpin kesatuan prajurit yang ditugaskan ke daerah
Gunung Papandaian kepada pasukannya ketika mereka
telah berkumpul untuk bersiap diri di pagi itu berangkat
ke medan tugasnya. Dan pagi itu udara cukup cerah, diatas tanah basah
bekas guyuran gerimis sepanjang malam itu terlihat dua
puluh orang prajurit Kawali telah keluar dari batas
gerbang kota sebelah selatan. Nampak wajah mereka
begitu cerah, mungkin sebagian mereka sudah lama dan
merasa jenuh tinggal berhari-hari didalam barak tanpa
tugas apapun selain berkumpul dan berlatih sebagaimana para prajurit lainnya.
"Setahuku di daerah sekitar Gunung Papandaian
adalah sebuah tempat yang aman, apa yang didapat
para perampok itu dari para penduduknya yang sangat
sederhana itu ?", berkata seorang prajurit tua kepada
kawannya yang berjalan di depan Gajahmada, Branjang
dan Galih. "Jangan-jangan sebuah cara untuk menghancurkan
Prajoga dan kita pasukannya", berkata kawan prajurit tua
itu dengan suara berbisik pelan.
"Aku tidak tahu apa maksud perkataanmu itu",
berkata prajurit tua itu kepada kawannya penuh ketidak
mengertian. 138 "Aku akan menjelaskan kepadamu di suatu tempat",
berkata kawannya itu masih dengan berbisik.
Pembicaraan prajurit tua dan kawannya itu ternyata
dapat didengar oleh Gajahmada yang diam-diam ikut
menyimak pembicaraan mereka.
Maka ketika ada perintah untuk beristirahat,
Gajahmada telah mencari tempat yang tidak jauh dari
mereka berdua. Terlihat sebuah pasukan kecil tengah beristirahat di
sebuah pinggir hutan di sebuah jalan simpang.
"Kalau kutahu tugas seorang prajurit hanya
membawa beban yang banyak, tidak perlu aku berlatih
kanuragan", berkata Galih sambil melemparkan tubuhnya
duduk bersandar di sebuah pohon rindang kepada
kawannya Branjang. Mereka sepanjang jalan memang
diperintahkan untuk membawa beban berupa perbekalan
pasukan. "Bersabarlah, kita masih dalam tahap pendadaran.
Setidaknya sebuah kenangan tak terlupakan bila saja
kamu nanti kelak dapat menjadi seorang Senapati",
berkata Branjang kepada Galih sambil tersenyum.
"Bila aku jadi seorang Senapati, kuangkat kamu jadi
pengawalku", berkata Galih sudah dapat kembali
tersenyum kepada kawannya Branjang.
"Kamu salah, ketika kamu jadi seorang senapati, aku
sudah menjadi seorang Tumenggung", berkata Branjang
masih dengan sebuah tawa.
"Kenapa kamu lebih tinggi dariku?", bertanya Galih
dengan wajah penuh penasaran.
"Karena aku lebih baik darimu", berkata Branjang
dengan suara datar. 139 "Siapa bilang kamu lebih baik dariku?", bertanya
Galih kepada Branjang. "Kataku sendiri", berkata Branjang dengan tawa lebih
panjang. Namun pembicaraan mereka terhenti ketika seorang
prajurit membawa ransum untuk mereka.
"Ini ransum untuk kalian", berkata prajurit itu kepada
Galih dan Branjang. Sementara itu Gajahmada terlihat duduk beristirahat
tidak begitu jauh dari prajurit tua dan kawannya. Diamdiam dirinya berusaha mencuri dengar pembicaraan
mereka berdua. "Coba jelaskan, apa yang telah terjadi pada diri Lurah
Prajoga", berkata prajurit tua kepada kawannya dengan
suara pelan, setengah berbisik.
"Lurah Prajoga bercerita kepadaku telah mendapat
sebuah tugas langsung dari Patih Ranggajaya. Entah
tugas macam apa tidak diceritakan kepadaku, yang
diceritakan adalah bahwa lurah Prajoga telah menolak
tugas itu", berkata kawan prajurit tua itu juga dengan
suara berbisik. "Aku sudah dapat mengerti, pasti sebuah tugas yang
tidak sesuai dengan hati nurani Lurah Prajoga", berkata
prajurit tua itu sambil mengunyah ransum makanannya.
"Tadi sewaktu akan berangkat, Lurah Prajoga telah
berpesan kepadaku untuk berhati-hati sepanjang
perjalanan, mungkin dirinya telah menangkap sebuah
isyarat yang tidak baik", berkata kawan prajurit itu masih
dengan suara berbisik. Dan matahari terlihat sudah mulai bergeser ke barat
terhalang kerimbunan dahan dan cabang pepohonan
140 hutan. Sementara pasukan Prajoga telah bergerak
kembali. "Sebentar lagi kita akan memasuki kawasan hutan
Mayambong", berkata prajurit tua kepada kawannya yang
nampaknya mengenal betul arah perjalanan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh prajurit tua itu,
mereka akhirnya memang tengah mendekati sebuah
hutan yang cukup lebat. Sementara itu cahaya matahari semakin redup
terhalang kerimbunan pohon.
Suasana pinggir hutan itu memang sepi.
"Berhati-hatilah!!",
pasukannya. berkata Prajoga kepada Prajoga adalah seorang prajurit yang sangat
berpengalaman, suara banyak burung yang mencicit dan
terbang dari dalam hutan Mayangbong telah
mengisyaratkan kepada dirinya untuk waspada.
Setidaknya pasti ada sebuah hal yang telah
mengagetkan kumpulan burung-burung di dalam hutan
sana. Namun suasana tepi hutan Mayangbong masih
sepi ketika pasukan itu sudah semakin mendekatinya.
Terlihat wajah semua prajurit Kawali itu semakin
menegang manakala mereka semakin mendekati
kesunyian hutan Mayangbong. Namun akhirnya,
kecurigaan Prajoga ternyata menjadi sebuah kenyataan.
Terlihat sebuah gerombolan orang telah keluar
menghadang pasukan prajurit Kawali yang berjumlah
sekitar dua puluh orang prajurit. Kedua puluh orang
prajurit itu langsung berhenti menunggu perintah
pimpinan pasukannya, Prajoga.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu gerombolan orang yang muncul dari
141 hutan Mayangbong terus berjalan mendekati pasukan
Prajoga. "Agar kami tidak salah orang, apakah pasukan ini
berada dibawah pimpinan Ki Lurah Prajoga?", berkata
salah seorang dari mereka yang nampaknya pimpinan
gerombolan itu. Seorang yang nampaknya sangat
berwibawa terlihat dari suara dan wajah kerasnya
dengan sebuah kumis tebal melintang.
"Aku Prajoga, apa keinginan kalian menghadang
pasukanku", berkata Prajoga sambil menunjukkan dirinya
maju mendekati orang itu.
Terlihat orang yang mewakili gerombolan itu tertawa
panjang sambil memperhatikan Prajoga dari kaki sampai
keatas kepala. "Ternyata Ki Lurah Prajoga hanya seorang muda",
berkata orang itu sambil tertawa.
"Katakan, apakah kalian sengaja menghadang
pasukanku?", bertanya kembali Prajoga kepada orang itu
dengan suara keras penuh rasa percaya diri yang tinggi.
"Siapa yang mau diam di dalam hutan penuh nyamuk
tanpa bayaran yang menggiurkan", berkata orang itu
dengan tertawa panjang diikuti kawan-kawannya di
belakangnya. "Siapa gerangan yang membayarmu?", bertanya
Prajoga kepada orang itu.
Terlihat orang itu tidak langsung menjawab, hanya
memperlihatkan senyum sinis merendahkan.
"Aku juga di bayar untuk merahasiakan hal itu",
berkata orang itu masih dengan senyum sinisnya.
"Aku tidak akan bertanya lagi, karena aku sudah tahu
142 siapa gerangan orang yang telah mengupahmu", berkata
Prajoga kepada orang itu.
"Bagus bila kamu sudah tahu siapa yang
mengupahku, sekarang bersiaplah untuk menerima
penumpasan pasukanmu, termasuk dirimu", berkata
orang itu sambil melepas golok dari sarungnya diikuti
oleh semua gerombolannya yang memang rata-rata
bersenjata yang sama. "Beri aku kesempatan berbicara dengan pasukanku",
berkata Prajoga sambil mengangkat tangannya tinggitinggi.
"Silahkan", berkata orang itu sambil bertolak tangan
sebelah dimana tangan lainnya sudah memegang
sebuah senjata golok telanjang.
"Dengarlah wahai pasukanku, ini adalah urusan
pribadi diriku dengan seseorang. Jadi segeralah kalian
menyingkir tidak perlu ikut campur membela diriku",
berkata Prajoga lantang dihadapan para pasukannya.
"Urusan Ki Lurah adalah urusan kami, kami tidak
akan menyingkir setapak pun meninggalkan Ki Lurah",
berkata seorang prajurit tua di dekat Gajahmada juga
dengan suara lantang sekeras ucapan Prajoga.
"Benar, kami tidak akan menyingkir setapak pun",
berkata kawannya sambil melepas pedang mengacungkannya tinggi-tinggi diatas kepalanya.
Ternyata ucapan dan sikap kedua prajurit itu
langsung diikuti oleh semua prajurit Kawali yang berada
di pinggir hutan Mayambong itu.
Terlihat semua prajurit telah melepas pedang dari
sarungnya. Terharu Prajoga melihat sikap prajurit pasukannya
143 yang dengan penuh keberanian telah memilih membela
dirinya meski telah disampaikan bahwa urusan itu adalah
masalah pribadi yang harus ditanggung sendiri.
"Terima kasih untuk kesetiaan kalian", berkata
Prajoga dengan wajah penuh haru menatap pasukannya.
"Ternyata pasukanmu sangat setia mengantar dirimu
bersama ke alam kubur", berkata orang yang menjadi
pemimpin gerombolan itu dengan wajah dan bibir penuh
senyum mengejek penuh merendahkan kekuatan
pasukan Kawali yang setengah dari kekuatannya itu.
"Jangan terlalu percaya dengan kekuatan banyak
orang", berkata Prajoga sambil menarik pedang dari
sarungnya. Terlihat pimpinan gerombolan itu telah memberi
tanda kepada orang-orangnya untuk segera mengepung
pasukan Kawali. Melihat tanda perintah dari pimpinannya, para
gerombolan itu terlihat sudah bergerak mengepung para
prajurit di muka Hutan Mayambong itu.
Sementara itu Ki Lurah Prajogo telah memberi tanda
kepada prajuritnya agar berperang secara berkelompok.
Maka dengan cepat kedua puluh prajurit itu sudah
terpecah dalam dua kelompok yang sama.
"Jangan terpisah dari kami", berkata seorang prajurit
mengingatkan Gajahmada, Branjang dan Galih sebagai
para prajurit baru. "Aku belum pernah bertempur dengan orang yang
belum sama sekali kukenal, siapakah gerangan dirimu?",
berkata Ki Lurah Prajogo kepada pimpinan gerombolan
itu. "Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Ki
144 Anas", berkata Pemimpin gerombolan itu menyebut
nama panggilannya. "Maaf, aku baru mendengar nama itu", berkata
Prajogo kepada Ki Anas. "Sekarang kamu sudah mendengarnya, bersiaplah
kalian terkubur di hutan ini", berkata Ki Anas sambil
memberi tanda kepada orang-orangnya untuk segera
bergerak untuk menghancurkan dua puluh orang prajurit
yang telah terkepung itu.
Tapi kedua puluh orang prajurit yang sudah bersiap
itu ternyata tidak menjadi gentar menghadapi jumlah
pengepung yang dua kali lipat itu.
Maka tidak lama berselang telah terjadi pertempuran
yang sangat dahsyat antara para prajurit dan gerombolan
yang dipimpin Ki Anas itu.
Tidak mudah memang untuk menggulung pasukan
prajurit Kawali itu, meski jumlah mereka lebih sedikit, tapi
mereka secara berkelompok telah menunjukkan
kekuatannya dapat mengimbangi serangan orang yang
lebih banyak darinya. Seorang prajurit tua yang semula mengkhawatirkan
Gajahmada, Branjang dan Galih terlihat bernafas lega
melihat ketiga anak muda itu dengan cepat telah dapat
menyesuaikan dirinya berperang dengan cara berkelompok. "Luar biasa anak muda itu", berkata prajurit tua itu
manakala melihat kepandaian Gajahmada yang telah
bergerak dengan pedangnya.
Sebagaimana yang dilihat oleh prajurit tua itu,
ternyata Gajahmada sudah langsung memperlihatkan
kemahirannya dalam memainkan sebuah pedang. Ujung
145 mata pedang Gajahmada seperti badai topan prahara,
berputar dan langsung menerjang siapapun yang
mendekat. Terdengar suara jerit kesakitan dari mulut para
gerombolan terkena sambaran pedang Gajahmada.
"Biarlah mereka bertempur, akulah lawanmu",
berkata Ki Anas sambil melompat langsung menerjang
Prajoga ditengah kancah pertempuran itu.
Menghadapi serangan pemimpin gerombolan itu,
Prajoga sangat hati-hati tidak bergerak sembarangan
merasa bahwa tataran ilmu orang itu pasti cukup tinggi.
Ternyata tidak percuma Prajoga diangkat sebagai
pimpinan sebuah pasukan, tataran ilmu kanuragannya
memang sudah diatas rata-rata prajurit biasa. Maka
dengan penuh kehati-hatian Prajoga berusaha mengimbangi permainan golok lawannya. Pedang di
tangan Prajoga sekali-kali menusuk ikut balas
menyerang. Dan pertempuran di antara mereka berdua
pun akhirnya semakin lama menjadi semakin sengit.
Sementara itu pertempuran antara dua kubu itu pun
juga tidak kalah sengitnya, mereka seperti sama-sama
ingin secepatnya menyelesaikan pertempuran itu.
Ternyata kemahiran para prajurit dalam berperang
secara berkelompok itu telah membuat orang-orang dari
kubu Ki Anas itu menjadi begitu penasaran, mereka
dengan jumlah dua kali lipat dari jumlah prajurit tidak
dapat juga membuat pecah pasukan dari Kotaraja Kawali
itu. Bahkan satu persatu anggota gerombolan itu dalam
waktu yang singkat telah terlihat jatuh terkapar, maka
Rahasia Kampung Garuda 8 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Ilmu Ulat Sutera 12

Cari Blog Ini