Ceritasilat Novel Online

Kisah Dua Naga Di Pasundan 4

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Bagian 4


wibawa. Empat orang prajurit penjaga yang saat itu berada di
gardu jaga seperti mendengar suara petir di siang hari
mendengar suara Ki Rangga Ageng Pasek. Mereka
berempat seperti kaku sebagaimana seorang pesakitan
menunggu sebuah putusan hukuman untuk mereka.
"Aku tidak melihat orangnya diantara mereka",
berkata Gajahmada sambil tertawa dalam hati melihat
ketegangan sikap para prajurit itu.
"Baiklah, besok aku akan membawamu mencari
siapa prajurit itu", berkata kembali Ki Rangga Ageng
218 Pasek dengan suara keras penuh kemarahan.
Terlihat sikap para prajurit itu menjadi semakin pucat,
Gajahmada menjadi kasihan melihatnya.
"Tidak perlu diperpanjang lagi Ki Rangga, aku sudah
memaafkan orang itu", berkata Gajahmada sambil
tertawa dalam hati. "Kamu bisa saja memaafkannya, tapi aku akan
memberikan pelajaran buat semua para prajurit penjaga
agar bersikap ramah kepada siapapun", berkata kembali
Ki Rangka Ageng Pasek masih dengan wajah orang
sedang kurang senang hati.
"Kami akan mengingat semua pesan Ki Rangga,
akan selalu bersikap ramah kepada siapapun", berkata
seorang prajurit mencoba memberanikan diri.
"Aku tidak ingin mendengar masalah ini terulang
kembali", berkata Ki Rangga Ageng Pasek sambil
menarik tangan Gajahmada melangkah pergi.
Ketika Ki Rangga Ageng Pasek dan Gajahmada
sudah tidak terlihat lagi telah keluar dari regol pintu
gerbang istana, keempat orang prajurit penjaga itu saling
bertatap muka. "Siapa prajurit penjaga yang berlaku kurang sopan
kepada anak muda itu?", bertanya salah seorang
diantara mereka. "Mereka salah seorang yang bertugas kemarin, salah
sendiri telah berbuat kurang sopan kepada kawan dekat
sang putri", berkata seorang lagi.
"Untungnya anak muda itu sangat lunak, telah
memaafkan perlakuan kurang sopan itu", berkata orang
yang pertama bicara. 219 "Semula kukira mereka berdua akan mendapat
sebuah hukuman di panggil ke Bale Puntadewa", berkata
seorang prajurit penjaga yang sedari tadi tidak bicara.
"Aku pun berpikir seperti itu ketika mereka datang",
berkata prajurit penjaga yang pertama bicara.
Sementara itu Ki Rangga Ageng Pasek sudah jauh
meninggalkan istana. "Keempat prajurit itu gemetar ketakutan", berbisik Ki
Rangga sambil tersenyum kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada dan Ki Rangga Ageng Pasek
berjalan bersama. "Senang mengenalmu anak muda", berkata Ki
Rangga Ageng Pasek yang merasa semakin menyenangi
sikap Gajahmada baik dalam tutur kata maupun
pembawaannya yang sangat sederhana. Dalam hati Ki
Rangga Ageng Pasek telah menduga bahwa anak muda
ini nampaknya bukan orang biasa dan telah biasa
bergaul di kalangan para bangsawan.
"Nanti malam aku akan singgah ke rumah Ki
Rangga", berkata Gajahmada ketika mereka tiba di
sebuah persimpangan jalan dimana Gajahmada telah
bermaksud untuk menuju sebuah pondokan Putu Risang
dan Pangeran Jayanagara di Kotaraja Kawali itu.
"Baiklah, aku menunggumu di rumahku", berkata Ki
rangga Ageng Pasek. Bagian 2 Dan mereka pun telah berpisah di persimpangan
jalan itu. Sementara itu matahari belum sampai naik ke
puncaknya. Bumi di Kotaraja Kawali terlihat begitu cerah
220 meski masih berada di musim penghujan.
"Hari ini kamu bebas tugas?", bertanya Putu Risang
ketika melihat Gajahmada datang ke pondokannya.
"Hari ini aku di ijinkan libur karena dipanggil
menghadap Baginda Raja", berkata Gajahmada sambil
bercerita tentang kedatangannya ke Bale Puntadewa
menghadap Baginda raja Ragasuci.
"Kukira kamu menghadap Raja untuk membicarakan
urusan pungut menantu", berkata Pangeran Jayanagara
sambil tersenyum. Terlihat Putu Risang dan Gajahmada sedikit
tersenyum mendengar canda Pangeran Jayanagara itu.
"Bagaimana kabar Andini?", bertanya Putu Risang
kepada Gajahmada dengan bibir masih tersenyum.
Dan Gajahmada tidak langsung menjawab, mata dan
bibir Putu Risang, juga pertanyaan Putu Risang
ditangkap Gajahmada bukan sebagai sebuah pertanyaan, tapi lebih mendekati sebuah kata penuh
selidik seakan bertanya, siapa yang kamu pilih dari
kedua gadis itu". Sebagai seorang pemuda yang sudah
dewasa dan punya daya nalar yang kuat, sudah pasti
bahwa Gajahmada sudah dapat menangkap sikap kedua
gadis itu, dimana keduanya telah menaruh hati
kepadanya. Tapi hati dan perasaan Gajahmada masih
saja belum dapat menentukan siapa salah seorang dari
kedua gadis itu yang dipilih.
Terlihat Gajahmada menarik nafas dalam-dalam, dan
hal itu juga telah ditangkap oleh Putu Risang bahwa
pemuda itu tengah berada dalam sebuah kebimbangan
hati. "Andini masih di kediaman Patih Anggajaya bersama
221 ibu kandungnya", berkata Gajahmada seperti tengah
mengelak apa yang dirasakannya saat itu, kebimbangan
hati untuk memilih. Sementara itu Putu Risang sempat menangkap
sekejab warna wajah Pangeran Jayanagara ketika
dirinya bertanya mengenai Andini kepada Gajahmada.
Putu Risang melihat warna suram sekejap menghiasi
muridnya itu. Namun Putu Risang seperti berusaha untuk
tidak mengetahui, atau berpura-pura tidak mengetahui
perasaan yang ada dalam diri putra Mahkota Majapahit
itu. "Aku tidak melihat Paman Bango Samparan", berkata
Gajahmada yang tidak melihat kehadiran Bango
Samparan di pondokan itu.
"Paman Bango Samparan tengah ke Hutan Sindur
untuk mempelajari suasana keadaan disana", berkata
Putu Risang menjelaskan dimana Bango Samparan saat
itu. Sementara itu muncul juga Pangeran Citraganda di
Pondokan itu. "Maaf, aku mungkin terlambat datang untuk
memastikan tidak ada yang melihat kehadiranku masuk
ke pondokan ini", berkata Pangeran Citraganda.
"Kami memang tengah menunggumu",
Gajahmada kepada Pangeran Citraganda.
berkata Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Raja
Ragasuci, terlihat Pangeran Citraganda mencoba
memberikan sebuah penjelasan dengan begitu terinci
mengenai tugas apa yang akan dilakukan oleh Ki
Rangga Ageng Pasek, yaitu memecah kekuatan pasukan
Patih Anggajaya. 222 "malam ini juga aku akan segera ke rumah Ki
Rangga", berkata Gajahmada.
Demikianlah, ketika malam telah datang terlihat
Gajahmada telah keluar dari pondokan itu. Nampaknya
memang akan berangkat ke rumah kediaman Ki Rangga
Ageng Pasek sebagaimana yang dijanjikannya.
Dan ketika malam sudah semakin gelap dan sepi,
terlihat Pangeran Citraganda juga telah keluar dari
pondokan itu untuk kembali ke istana.
Sementara itu tidak lama berselang, terlihat seorang
lelaki yang sudah cukup berumur datang dan masuk ke
pondokan itu. Sebuah pelita malam yang diletakkan diatas balebale bambu di pondokan itu telah memperjelas wajah
lelaki yang baru datang itu, ternyata lelaki itu adalah
Bango Samparan. "Aku sudah mengamati keadaan dan suasana sekitar
hutan Sindur, hanya ada jalan masuk yang mungkin akan
dilewati oleh pasukan Patih Anggajaya dari arah pintu
gerbang kota sebelah selatan", berkata Bango Samparan
menyampaikan hasil pengamatannya mempelajari
keadaan dan suasana sekitar hutan Sindur.
"Purnama bulan depan ini tinggal tiga belas hari lagi",
berkata Putu Risang mengingatkan waktu yang semakin
singkat itu. "Rencana dan pengamatan kita nampaknya sudah
menjadi begitu sempurna", berkata Pangeran Jayanagara ketika mereka membicarakan rencana
penyergapan pasukan Patih Anggajaya di hutan
perburuan. "Hasil pengamatan terakhir ini harus kita sampaikan
223 kepada Prabu Guru Darmasiksa", berkata Putu Risang
memberikan sebuah usulan agar melaporkan semua
hasil pengamatan mereka kepada Prabu Guru
Darmasiksa. "Hari ini kita bisa berangkat langsung ke lereng
Galunggung", berkata Pangeran Jayanagara.
Pagi itu bumi terlihat begitu bening, mungkin karena
semalaman terguyur hujan cukup deras. Terlihat
beberapa tangkai bunga soka kuning yang berjajar di
muka pendapa kediaman Patih Anggajaya begitu bersih
bersinar menantang sang Surya untuk bercanda
bermandi kehangatan pagi.
Suasana taman muka halaman rumah kediaman
Patih Anggajaya yang tertata rapih dan asri itu
bertambah elok manakala seorang gadis jelita berjalan
diantara rerumputan menuju gardu penjaga.
"Aku hendak ke pasar, apakah kamu dapat
mengantarku?", bertanya gadis jelita itu yang ternyata
adalah Andini. "Aku masih bertugas?", berkata seorang pemuda
penuh keraguan. "Temanilah Mahesa Muksa, ini adalah salah satu
tugas seorang prajurit pengawal", berkata seorang
prajurit pengawal kepada pemuda itu yang ternyata
adalah Gajahmada. "Jangan ragu, aku juga sudah meminta ijin membawa
seorang prajurit pengawal", berkata Andini dengan
senyum begitu menggoda. "Apalagi sudah mendapat ijin", berkata kawan
Gajahmada sambil mencolek sisi perut Gajahmada
sambil sedikit tersenyum.
224 "Baiklah, jaga rumah ini seorang diri", berkata
Gajahmada kepada kawannya dan segera turun dari
gardu jaga. "jangan lupa bawakan untukku jajanan putri mayang",
berkata kawan Gajahmada itu sambil melambaikan
tangannya ketika dilihatnya Gajahmada dan Andini
tengah melewati regol pintu gerbang.
Terlihat Gajahmada tidak membalas lambaian tangan
kawannya itu karena takut kawannya pasti akan
menggodanya. "Pasangan yang serasi", berkata prajurit pengawal itu
manakala telah melihat Gajahmada dan Andini berjalan
beriring menjauhi rumah kediaman Patih Anggajaya.
Terlihat mereka berdua sudah semakin menjauhi
rumah kediaman Patih Anggajaya menyusuri jalan
Kotaraja Kawali yang sudah terlihat begitu ramai meski
hari masih pagi. "Bunda memintaku berbelanja beberapa potong kain,
katanya pakaianku ini sudah tidak layak lagi", berkata
Andini memberi penjelasan apa yang akan dibelinya bila
sampai di pasar. "Dengan pakaian baru pasti akan membuat semua
orang tidak berkedip memandangmu", berkata Gajahmada menggoda. Ternyata perkataan Gajahmada yang semula
bermaksud untuk menggoda telah membuat wajah Andini
seketika berubah menjadi begitu murung, memudarkan
cahaya wajahnya yang biasanya selalu berseri-seri itu.
"Apakah perkataanku telah mengganggumu?",
bertanya Gajahmada merasa tidak enak hati melihat
perubahan wajah Andini itu.
225 Terlihat Andini tidak langsung menjawab, hanya
menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya
seperti telah melepas beban sesak derita di dadanya.
"Bukan perkataan Kakang Mahesa Muksa yang


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganggu, tapi aku jadi ingat mata lelaki tua itu yang
kulihat begitu menjijikkan", berkata Andini sambil
menoleh sebentar kearah Gajahmada yang masih
disebelahnya berjalan seperti tengah menenangkan
Gajahmada atas perasaan bersalahnya.
"Siapa lelaki tua itu?", berkata Gajahmada seketika.
Kembali Andini tidak langsung menjawab, matanya
kosong memandang kedepan ke arah gumpalan awan
putih yang bergeser perlahan ditiup angin,
"Lelaki tua itu adalah Patih Anggajaya", berkata
Andini setelah sekian lama terdiam.
"Bukankah di rumah ada ibumu, Nyi Dewi Kaswari?",
berkata Gajahmada penuh rasa khawatir.
"Masih bersama ibuku saja matanya begitu liar, bila
tidak sabaran ingin rasanya aku menampar wajah lelaki
itu", berkata Andini masih sambil berjalan perlahan.
"Bersabarlah, bulan purnama bulan depan tinggal
beberapa hari lagi", berkata Gajahmada mencoba
menghibur perasaan hati Andini.
"Bila urusan ini telah selesai, Ayah dan ibuku pasti
akan berkumpul bersama. Aku akan gembira bilasaja
Kakang Mahesa Muksa ikut bersama kami", berkata
Andini yang telah kembali sinar keceriaannya menghiasi
wajah dan senyumnya. Berganti, saat itu Gajahmada yang terdiam tidak
langsung menjawab. Pertanyaan Andini seperti sebuah
pedang yang tajam menjulur di ujung lehernya.
226 Gajahmada masih terdiam, perasaan anak muda itu
seperti melayang-layang dalam kebimbangan hati. Dan
Gajahmada mencoba menilik perasaannya sendiri,
sejauh mana perasaannya kepada gadis itu.
Semakin dirinya mencoba meraba perasaannya
sendiri, semakin takut dirinya mendengar suara detakdetak jantungnya sendiri. Dan pikiran Gajahmada tibatiba saja telah terbang ke wajah Dyah Rara Wulan.
Terbayang dirinya pada keceriaan gadis putri Raja itu.
"Mereka berdua sama-sama berharap yang sama.
Pilihanku akan menyakitkan salah satu dari mereka.
Sementara hati ini susah sekali untuk dikenal, condong
kemana perasaanku diantara mereka berdua?", berkata
Gajahmada dalam hati menimbang-nimbang perasaan
hatinya sendiri. "Ditanya malah terdiam membisu?", berkata Andini
sambil menatap wajahnya menggoda. "Atau tengah
teringat kepada seorang gadis lain", pasti gadis itu
seorang yang sangat manis dan cantik", berkata kembali
Andini masih menggoda. "Tidak ada yang kupikirkan, apalagi seorang gadis",
berkata Gajahmada mencoba menghindar.
"Biar kutebak, pasti gadis itu adalah sang putri Raja,
Dyah Rara Wulan", berkata tiba-tiba Andini kepada
Gajahmada. Perkataan Andini kembali seperti sebuah pedang
yang menghunus di depan dadanya.
Terlihat Gajahmada masih terdiam, tidak tahu apa
yang akan dikatakan kepada Andini.
"Maaf bila pertanyaanku mengganggu pikiranmu",
berkata Andini seperti dapat membaca apa yang
227 dipikirkan oleh pemuda yang berada bersamanya itu.
Mendengar perkataan Andini, perasaan Gajahmada
seperti terlepas dari tekanan dan merasa lega bahwa
Andini tidak menuntut jawaban darinya.
Perasaan seorang wanita memang begitu peka dapat
begitu mudah membaca pikiran seorang lelaki.
Sementara Gajahmada tidak dapat mengerti apa yang
ada dalam pikiran Andini saat itu.
Dan sebentar saja Andini mencoba mencairkan
suasana hati mereka dengan sebuah cerita yang lain
sambil terus melangkah menuju pasar Kotaraja.
Tawa dan canda mengiringi perjalanan mereka yang
tidak merasa bahwa beberapa pasang mata seperti
terheran-heran melihat kehadiran mereka berdua.
"Bukankah pemuda itu yang kemarin berjalan
bersama tuan Putri?", berkata seorang wanita kepada
kawannya ketika Gajahmada dan Andini telah sampai di
muka pasar Kotaraja yang sudah mulai ramai itu.
Ternyata pertanyaan itu bukan hanya milik wanita itu
saja, beberapa orang yang sempat mengenali
Gajahmada terlihat merasa heran mendapatkan
Gajahmada berjalan bersama gadis lain.
"Jangan-jangan pemuda itu punya ilmu ajian pemikat
sukma, seorang lelaki pemetik bunga", berkata seorang
lelaki yang berbisik kepada seorang pedagang
perlengkapan sesajen di pasar itu.
Sementara itu disaat yang sama di kuil istana terlihat
dua orang tengah berbincang-bincang. Seorang diantara
mereka berpakaian sebagaimana seorang pendeta.
Sementara itu seorang lagi berpakaian sebagaimana
layaknya seorang pejabat istana.
228 Ternyata mereka berdua adalah Pendeta Rakanata
dan Patih Anggajaya. "Gadis itu begitu jelita, aku seperti tersihir tidak dapat
melupakannya barang sekejap mata", berkata Patih
Anggajaya kepada pendeta Rakanata.
"Seperti itulah yang kamu katakan manakala
memintaku menggendam hati Dewi Kaswari", berkata
Pendeta Rakanata kepada Patih Anggajaya.
"Dewi Kaswari sekarang sudah tua, sementara gadis
itu masih begitu belia dan sangat cocok sebagai seorang
permaisuri pendampingku bila saja kelak aku menjadi
seorang Raja", berkata Patih Anggajaya.
"Baiklah, nanti malam akan kukirim gendam kepada
gadis itu", berkata Pendeta Rakanata.
"Aku tidak akan melupakan budi baikmu tuan
pendeta", berkata Patih Anggajaya dengan penuh
gembira mendengar kesanggupan dari Pendeta
Rakanata Namun manakala Patih Anggajaya telah keluar dari
kuil istana, terlihat sebuah perubahan di wajah pendeta
Rakanata. Wajah yang semula penuh senyum welas asih
itu seketika telah berubah menjadi begitu dingin
menakutkan. "Aku akan membunuh gadis itu", berkata pendeta
Rakanata dalam hati ketika Patih Argajaya telah keluar
dari kuil istana. Siapakah sebenarnya tokoh pendeta Rakanata itu"
Tidak ada yang tahu bahwa dibalik jubah pendetanya
itu tersimpan sebuah kekelaman hati yang begitu keruh.
Meski sedari kecil telah begitu banyak disirami berbagai
ajaran ilmu kesucian bathin, namun tidak juga dapat
229 melepas nafsu angkara yang semakin
mengendalikan akal dan pikirannya.
berkuasa Tidak ada yang tahu, ketika di waktu masih muda,
pendeta yang berasal dari Kotaraja Rakata itu sering
melepas jubah kependetaannya manakala pergi
mengembara ke berbagai pelosok daerah. Dan sudah
begitu banyak anak gadis yang menjadi korban
kejahatan syahwatnya. Hingga dalam sebuah pengembaraannya telah
terpikat dengan seorang gadis kembang desa. Dan
dengan daya pikat ajian ilmu saktinya yang dapat
memikat setiap gadis yang diinginkannya, pendeta
Rakanata telah dapat membawa pergi gadis itu dan telah
dijadikannya seorang istri di sebuah padukuhan tidak
begitu jauh dari Kotaraja Rakata.
Dan ketika dirinya telah diangkat dengan resmi oleh
Baginda Raja Rakata sebagai pendeta suci di Istana,
kekelaman hatinya begitu tergoda menginginkan
keturunannya sendiri menjadi seorang bangsawan.
Maka dengan ajian ilmu saktinya, Pendeta Rakata
dapat menukar bayi sang permaisuri yang baru saja
melahirkan seorang bayi laki-laki dengan bayi seorang
wanita, anaknya sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa sang
putri Raja Rakata adalah putri sang pendeta yang
bernama Dewi Kaswari. Bagaimana nasib putra sang Raja Rakata"
Masih sangat beruntung bahwa bayi putra sang Raja
tidak dibuang ke hutan, tapi oleh Sang pendeta dilarung
di sebuah sungai. Masih sangat beruntung bahwa bayi itu telah
230 ditemukan oleh seorang petani desa dan di serahkan
kepada seorang pendeta sakti mandraguna.
Dan bayi mungil putra sang raja Rakata itu dipelihara
dengan baik oleh sang pendeta sakti hingga dewasa.
Begitu sayang pendeta itu hingga telah mewarisi seluruh
ilmunya kepada sang putra Raja Rakata.
Ketika dewasa, bayi yang hanyut di sebuah sungai itu
telah menjadi seorang pendeta mewarisi ilmu ayah
angkatnya itu. Tidak ada yang mengetahui bahwa putra sang raja
Rakata yang telah menjadi pendeta itu bernama
Darmaraya yang juga bergelar sang pertapa sakti dari
Gunung Wilis. Akhirnya kita mengetahui bersama siapa sebenarnya
pendeta Rakanata itu. Begitu gusar hatinya manakala
Patih Anggajaya telah berniat menyingkirkan buah hati
keturunannya sendiri, Dewi Kaswari.
Malam itu sudah mulai larut dan hujan baru saja reda
mengguyur bumi Kotaraja Kawali. Namun meski hujan
cukup lebat, tidak ada banyak genangan air karena bumi
Kotaraja Kawali masih begitu banyak dipenuhi
pepohonan juga beberapa hutan lindung di beberapa
tempat sebagai bumi hijau yang diawasi dan selalu dijaga
oleh istana. Malam itu terasa begitu dingin, namun Gajahmada
yang telah semakin tajam panca indra dan firasat
bathinnya itu telah meyakini bahwa hawa dingin itu
bukan suasana alam, tapi sebuah pengerahan ajian
perasuk sukma yang kuat. Gajahmada masih tetap waspada manakala melihat
kawannya di gardu jaga kediaman Patih Anggajaya tidak
231 kuasa menahan rasa kantuk yang sangat akibat sebuah
gendam yang sangat kuat telah merasuk pikiran dan
perasaan prajurit pengawal itu.
Terlihat Gajahmada telah memejamkan matanya,
namun telah meningkatkan daya ketajaman indra
pendengarannya, tidak satupun yang terlepas dari
pendengarannya itu meski seekor ular yang tengah
merayap di tempat jauh di luar pagar kediaman Patih
Anggajaya dapat didengar oleh Gajahmada yang sudah
terus mengasah tenaga sakti ilmu sejatinya. Terutama
berkat tambahan tenaga sakti milik ayah kandungnya
sendiri, sang pertapa sakti dari Gunung Wilis.
Namun jejak dan suara langkah kaki kali ini begitu
halus, terlihat di kekelaman malam sebuah bayangan
tersamar dengan begitu lincah dan cepat telah melompat
keatas pagar bagian belakang bangunan utama
kediaman Patih Anggajaya.
Bayangan hitam tersamar itu hanya sebentar
berjongkok diatas dinding pagar. Tiba-tiba saja dengan
begitu cepat dan lincahnya seperti terbang melompat di
sebuah cabang batang sebuah pohon Keluwih yang
tumbuh tinggi di pinggir dinding pagar belakang itu.
Terlihat bayangan hitam tersamar itu telah
merapatkan dirinya di sebuah batang pohon keluwih itu
hingga seperti telah menyatu di kegelapan malam yang
sudah begitu larut itu. Lama bayangan hitam tersamar itu tidak bergerak,
mungkin hendak memastikan tidak ada seorang pun
yang mengetahui keberadaannya itu.
"Gendamku telah membuat mereka tertidur pulas
hingga datangnya pagi", berkata bayangan hitam
tersamar itu dengan seluruh wajah tertutup kain hitam,
232 hanya sorot matanya yang menyala tajam di kegelapan
malam itu yang dapat memastikan bahwa dirinya adalah
seorang manusia. Setelah memastikan bahwa suasana sangat aman,
tiba-tiba saja sosok bayangan hitam tersamar itu telah
melenting begitu cepat hinggap di atap sebuah pondokan
di belakang bangunan utama.
"Aku harus memastikan bahwa gadis itu ada di
biliknya", berkata sosok bayangan hitam itu dalam hati
sambil dengan begitu mudahnya membongkar rangkaian
atap pondokan itu yang terbuat dari bahan bambu tali.
"Pantas saja bila Patih Anggajaya tergila-gila dengan
gadis ini", berkata sosok bayangan tersamar itu ketika
dari atas atap telah dapat mengintip seorang wanita yang
nampaknya begitu pulas tertidur hanya diterangi pelita
malam yang ada di pojok biliknya.
"Sayang bahwa kali ini aku harus membunuhnya",
berkata kembali sosok bayangan tersamar itu.
Terlihat orang berpakaian serba hitam yang menutup
sebagian wajahnya itu telah melompat turun setelah
membuka beberapa bagian atap.
Pastilah orang itu sangat berilmu tinggi, karena
dengan begitu ringannya meluncur begitu saja kebawah.
Namun diluar dugaan, Andini yang tengah tertidur itu
ternyata seperti tengah menunggunya. Terlihat begitu
orang berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di
lantai bilik itu, seketika itu pula gadis itu telah langsung
melompat dari pembaringannya, telah berdiri bertolak
pinggang menantang tanpa rasa takut sedikitpun.
Rupanya Andini yang telah diwariskan ilmu tambahan


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Ayah kandungnya sendiri, Bango Samparan telah
233 memiliki ilmu tingkat tinggi yang tidak mudah termakan
gendam apapun. Diam-diam telah mengetahui kehadiran
orang berpakaian serba hitam itu yang nampaknya
tengah bermaksud tidak baik terhadapnya.
"Pasti kamu orang jahat, masuk bilik seorang gadis
dimalam hari", berkata Andini dengan suara membentak.
Terlihat orang berpakaian serba hitam itu tertawa
terkekeh-kekeh. "Benar, aku adalah orang jahat yang datang hendak
membunuhmu", berkata orang itu sambil menunjukkan
sebuah senjata ditangannya.
"Kujang Pangeran Muncang !!", berkata Andini sambil
membelalakkan matanya menatap sebuah senjata di
tangan orang itu. "Ternyata kamu mengenal senjata ini", berkata orang
itu merasa heran bahwa Andini mengenali senjata
ditangannya. Andini memang pernah mendapat gambaran
mengenai sebuah senjata yang hilang milik Prabu Guru
Darmasiksa, sebuah senjata Kujang Pangeran Muncang.
Dan Andini melihat senjata ditangan orang itu sangat
mirip sekali dengan gambaran yang pernah disampaikan
oleh Prabu Guru Darmasiksa. Maka langsung Andini
merasa harus berhati-hati dan berwaspada berhadapan
dengan seorang yang memegang senjata bertuah itu.
"Bilik ini sangat sempit", berkata Andini sambil
menjejakkan kakinya langsung melompat tinggi keatas
wuwungan atap yang sudah terbongkar.
"Jangan lari!!", berkata orang itu yang tidak
menyangka bahwa Andini ternyata bukan seorang gadis
biasa. 234 Terlihat orang itu juga telah ikut keluar dari bilik itu
sebagaimana Andini melompat lewat wuwungan atap
yang sudah terbongkar. Ketika telah berada diatas atap pondokannya, Andini
segera berlari dengan begitu ringan dan cepatnya dan
langsung melompat terjun kebawah.
"Mau lari kemana anak manis?", berkata orang itu
yang telah berhasil mengikuti dibelakang Andini.
Mendengar suara orang itu, Andini dengan sigap
penuh kesiagaan langsung berbalik badan menghadap
ke arah orang itu. "Hanya orang bermaksud buruk datang memasuki
rumah orang malam-malam seperti ini", berkata
seseorang dari kegelapan.
Mendengar suara dari seseorang dari arah
belakangnya membuat orang berpakaian serba hitam itu
langsung mundur beberapa langkah agar dapat melihat
langsung Andini dan orang yang baru saja muncul itu
yang ternyata adalah Gajahmada.
Andini yang melihat kemunculan Gajahmada merasa
bernafas lega, setidaknya ada seorang yang akan
membantunya meringkus orang berpakaian serba hitam
itu yang di yakini pastilah bukan orang sembarangan.
"Berhati-hatilah dengan senjata di
berkata Andini mengingatkan Gajahmada.
tangannya", Namun belum habis bicara Andini, tiba-tiba saja
orang itu dengan sebuah kecepatan yang begitu sangat
luar biasa telah melesat meluncur menyerang ke arah
Andini. Terkejut bukan kepalang Gajahmada melihat gerakan
orang itu yang bergerak kearah Andini.
235 Sementara itu Andini juga menjadi begitu kaget
terkesima tidak menyangka bahwa orang itu akan
melakukan penyerangan ke arahnya dengan secara
cepat dan tiba-tiba itu. Persiapan Andini kurang cukup, atau kecepatan
bergerak orang itu begitu luar biasa pesatnya membuat
Andini seperti tergagap telah berusaha menyingkir
menghindari sergapan dan serangan orang berpakaian
serba hitam itu. Sretttt..!!! Sebuah ujung senjata kujang ditangan orang itu telah
berhasil melukai bahu kanan Andini yang telah mencoba
menghindar berkelit melompat kesamping.
Terlihat Andini meraba bahu kanannya, hanya
sebuah goresan tipis dan tidak terlalu panjang melukai
bahu kanannya. Orang itu memang tidak segera mengejar Andini, tapi
terlihat berdiri sambil tertawa panjang.
"Pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat
kuat, sedikit goresan saja akan dapat membawa maut",
berkata orang itu sambil tertawa panjang.
Terperanjat Gajahmada mendengar perkataan orang
itu, tidak pernah dirinya merasa gusar begitu hebat
seperti itu. Dan tanpa disadari telah meraba sebuah
senjata pusakanya yang sangat jarang sekali di
keluarkan dalam keadaan bahaya sekalipun.
Gajahmada telah menggenggam sebuah senjata
cakra ditangannya. "Hadapi aku!!", berteriak
menerjang kearah orang itu.
Gajahmada langsung 236 Terperanjat orang itu tidak menyangka sama sekali
bahwa sorang prajurit pengawal biasa dapat bergerak
begitu cepat seperti angin puyuh bertiup di samudera
raya, begitu dahsyatnya. Trangg"!!! Terdengar suara benturan dua senjata pusaka saling
beradu. Orang berpakaian serba hitam itu memang tidak
punya kesempatan apapun selain menangkis serangan
cakra Gajahmada dengan cara menangkisnya dengan
senjatanya sendiri, sebuah kujang Pangeran Muncang.
Terbelalak orang itu sambil melihat senjatanya sendiri
yang masih tergenggam di tangannya setelah merasakan
rasa perih dan panas disekitar telapak tangannya akibat
benturan yang sangat keras dengan senjata cakra milik
Gajahmada. Terlihat orang itu mundur sekitar dua langkah dengan
wajah terperanjat seperti tidak menyangka sama sekali
bahwa seorang prajurit biasa mempunyai kemampuan
tenaga begitu hebat, baru saja dirasakan tenaga
benturan itu seperti menghantam sebuah gunung cadas
hitam yang sangat keras. Melihat lawannya mundur sekitar dua langkah,
Gajahmada langsung bermaksud untuk kembali
menerjangnya. Namun tiba-tiba saja Gajahmada mendengar suara
rintihan sangat lemah sekali.
Ternyata suara rintihan itu berasal dari Andini yang
terlihat sudah begitu lemah.
Melihat keadaan Andini seperti itu, maka Gajahmada
tidak jadi menerjang lawannya langsung melompat
237 dengan cepat menyongsong tubuh Andini yang terlihat
mulai limbung. Tepat sekali tangan Gajahmada dapat menangkap
tubuh Andini yang terkulai.
"Anak muda, sayang waktu kita kurang tepat untuk
adu tanding di rumah ini. Jangan merasa besar kepala
dengan benturan pertama itu", berkata orang itu sambil
melangkah cepat dan melompat seperti terbang keatas
dinding pagar dan telah tidak terlihat lagi menghilang
dibalik dinding pagar di malam gelap itu.
Segala pikiran dan perasaan Gajahmada saat itu
telah tertuju kepada gadis yang telah berada dalam
pangkuannya itu. Wajah Andini terlihat begitu pucat, namun nafasnya
masih dapat didengar oleh Gajahmada meski sangat
lemah sekali. Tiba-tiba saja Gajahmada seperti mendengar kembali
perkataan orang berpakaian serba hitam itu bahwa
pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat kuat,
tidak ada yang kuat bertahan melebihi tiga hari.
"Prabu Guru Darmasiksa pasti dapat mengobatinya",
berkata Gajahmada dalam hati seperti mendapat sebuah
jalan pikiran kemana harus membawa gadis di
pangkuannya itu. Terlihat Gajahmada telah merebahkan tubuh Andini
di tanah. Seketika itu juga telah berlari ke kandang kuda
yang terletak di belakang bangunan utama kediaman
Patih Anggajaya itu. Tergesa-gesa Gajahmada terlihat keluar dari
kandang kuda sambil menuntun seekor kuda hitam.
Trangg"!!! 238 Terdengar suara benturan dua senjata pusaka saling
beradu. Orang berpakaian serba hitam itu memang tidak
punya kesempatan apapun selain menangkis serangan
cakra Gajahmada dengan cara menangkisnya dengan
senjatanya sendiri, sebuah kujang Pangeran Muncang.
Terbelalak orang itu sambil melihat senjatanya sendiri
yang masih tergenggam di tangannya setelah merasakan
rasa perih dan panas disekitar telapak tangannya akibat
benturan yang sangat keras dengan senjata cakra milik
Gajahmada. Terlihat orang itu mundur sekitar dua langkah dengan
wajah terperanjat seperti tidak menyangka sama sekali
bahwa seorang prajurit biasa mempunyai kemampuan
tenaga begitu hebat, baru saja dirasakan tenaga
benturan itu seperti menghantam sebuah gunung cadas
hitam yang sangat keras. Melihat lawannya mundur sekitar dua langkah,
Gajahmada langsung bermaksud untuk kembali
menerjangnya. Namun tiba-tiba saja Gajahmada mendengar suara
rintihan sangat lemah sekali.
Ternyata suara rintihan itu berasal dari Andini yang
terlihat sudah begitu lemah.
Melihat keadaan Andini seperti itu, maka Gajahmada
tidak jadi menerjang lawannya langsung melompat
dengan cepat menyongsong tubuh Andini yang terlihat
mulai limbung. Tepat sekali tangan Gajahmada dapat menangkap
tubuh Andini yang terkulai.
"Anak muda, sayang waktu kita kurang tepat untuk
239 adu tanding di rumah ini. Jangan merasa besar kepala
dengan benturan pertama itu", berkata orang itu sambil
melangkah cepat dan melompat seperti terbang keatas
dinding pagar dan telah tidak terlihat lagi menghilang
dibalik dinding pagar di malam gelap itu.
Segala pikiran dan perasaan Gajahmada saat itu
telah tertuju kepada gadis yang telah berada dalam
pangkuannya itu. Wajah Andini terlihat begitu pucat, namun nafasnya
masih dapat didengar oleh Gajahmada meski sangat
lemah sekali. Tiba-tiba saja Gajahmada seperti mendengar kembali
perkataan orang berpakaian serba hitam itu bahwa
pamor racun Kujang Pangeran Muncang sangat kuat,
tidak ada yang kuat bertahan melebihi tiga hari.
"Prabu Guru Darmasiksa pasti dapat mengobatinya",
berkata Gajahmada dalam hati seperti mendapat sebuah
jalan pikiran kemana harus membawa gadis di
pangkuannya itu. Terlihat Gajahmada telah merebahkan tubuh Andini
di tanah. Seketika itu juga telah berlari ke kandang kuda
yang terletak di belakang bangunan utama kediaman
Patih Anggajaya itu. Tergesa-gesa Gajahmada terlihat keluar dari
kandang kuda sambil menuntun seekor kuda hitam.
Dan malam masih berselimut gelap manakala terlihat
seekor kuda hitam melesat keluar dari regol pintu
gerbang kediaman Patih Anggajaya.
Terlihat hempasan angin telah mengibarkan ikat
kepala penunggang kuda hitam itu yang tidak lain adalah
Gajahmada yang telah melarikan kudanya sambil
240 membawa Andini menuju Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa di lereng Galunggung.
Segala perasaan dan pikiran Gajahmada saat itu
adalah secepatnya membawa Andini kehadapan Prabu
Guru Darmasiksa. Hanya orang tua itulah yang diyakini
oleh Gajahmada dapat menyembuhkan gadis itu yang
sudah terlihat begitu pucat dengan nafas yang sangat
lemah sekali. Gajahmada masih terus memacu kudanya, tidak
sama sekali memikirkan keadaan apapun. Sebelah
tangannya menahan tubuh Andini yang diletakkan
didepan sambil mengendalikan kekang kuda dengan
tangan yang lain. Dan Gajahmada merasakan tubuh Andini semakin
berat sebagai tanda bahwa gadis itu sudah menjadi tidak
sadarkan diri. Mengetahui keadaan Andini saat itu telah membuat
Gajahmada menjadi semakin gusar dengan

Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentakkan kudanya berlari lebih cepat lagi.
Dan kuda hitam itu terlihat sudah berlari seperti
terbang membelah udara malam.
Gajahmada memang tidak memperdulikan apapun,
yang ada dalam pikirannya adalah membawa secepatnya
Andini ke hadapan Prabu Guru Darmasiksa.
Kembali terngiang perkataan orang berpakaian serba
hitam itu tentang pamor racun Kujang Pangeran
Muncang yang sangat kuat. Maka kembali Gajahmada
menghentakkan kudanya merasa masih begitu lamban.
Dan tidak terasa pagi telah datang menerangi bumi,
menerangi seekor kuda hitam yang dibawa oleh
penunggangnya berlari memacu waktu. Terlihat
241 Gajahmada masih menunggang kudanya berlari begitu
kencang membelah udara pagi. Pemuda itu sepertinya
tidak memperdulikan dirinya sendiri yang terlihat
berpakaian tercompang-camping dan tubuh tergores luka
akibat berlari diatas kudanya di sebuah jalan hutan yang
sempit. Nampaknya beberapa ranting kayu telah
mengoyak kulit tubuh anak muda itu di kegelapan malam
di jalan hutan yang berliku dan sempit.
Gajahmada memang tidak merasakan keletihannya,
juga rasa perih guratan luka di tubuhnya yang tergores
oleh beberapa ranting dan dahan kayu.
Dan Gajahmada terlihat semakin erat memeluk tubuh
Andini dengan sebelah tangannya yang kuat. Seakan
takut sedikit kelonggaran saja dapat membuat gadis
dalam pelukannya itu akan jatuh terlempar disaat lari
kuda yang bergerak seperti terbang diatas tanah.
Debu dan daun kering terlihat beterbangan
dibelakang kaki kuda tunggangan Gajahmada itu.
Untung kuda tunggangan Gajahmada itu adalah
seekor kuda pilihan yang perkasa. Terlihat kuda hitam itu
masih terus berlari membelah angin udara pagi.
Sementara itu di tempat kediaman Patih Anggajaya,
kehilangan Andini telah membuat suasana menjadi
sangat gempar. Siapa lagi yang dipersalahkan membawa
kabur Andini kalau bukan Gajahmada. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa kehilangan Andini bersamaan
dengan ketidak-hadiran prajurit muda itu. Bukan main
marahnya Patih Anggajaya yang diam-diam menaruh hati
kepada gadis jelita itu yang berharap akan memetiknya
sebagaimana para lelaki jalang menginginkan seorang
wanita yang akan menjadi sasaran nafsu binatangnya.
Maka di pagi itu juga Patih Anggajaya telah
242 memerintahkan beberapa prajurit untuk menyisir seputar
Kotaraja Kawali serta beberapa daerah sekitarnya.
Namun setelah menggeledah beberapa tempat yang
dicurigai sebagai tempat bersembunyi, tidak satupun
prajurit Kawali itu menemukan yang mereka cari itu.
"Bilasaja Andini pergi bersama Mahesa Muksa, pasti
minta ijin kepadaku", berkata Nyi Dewi Kaswari kepada
seorang pelayan tua orang kepercayaannya.
"Hamba percaya dengan anak muda itu, tidak
mungkin telah melakukan hal demikian, melarikan
seorang anak gadis", berkata pelayan tua itu kepada
Dewi Kaswari. "Kita sependapat, menurutku ada seseorang yang
berusaha menculik Andini. Dan Mahesa Muksa telah
berusaha mengejarnya", berkata Nyi Dewi Kaswari
menduga-duga. "Bisa jadi, karena wuwungan atap bilik Andini ada
yang membongkarnya dengan paksa", berkata pelayan
tua itu membenarkan dugaan majikannya itu.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi terhadap Andini,
semoga Gusti Yang Maha Agung selalu melindunginya",
berkata Nyi Dewi Kaswari dengan wajah kosong
menahan kesedihan dan penuh kekhawatiran kepada
nasib keadaan putri tercinta yang belum lama telah
dipertemukan kembali itu.
"Nyi Mas Putri tidak boleh terlihat bersedih dihadapan
tuan Patih Anggajaya. Bukankah tuan Patih sampai saat
ini belum mengetahui rahasia keadaan yang sebenarnya
antara Andini dan Nyi mas Putri?", berkata pelayan tua
itu mengingatkan kepada majikannya itu.
"Kamu benar, aku harus tidak menunjukkan 243 kesedihan ini", berkata Nyi Dewi Kaswari sambil
berusaha mengusap kelopak matanya yang terlihat
basah itu. Namun ketika Matahari menjadi semakin tinggi, tidak
ada kabar apapun dari para prajurit yang telah
menggeledah hampir seluruh rumah penduduk Kotaraja
Kawali. Berita tentang hilangnya seorang gadis di kediaman
Patih Anggajaya akhirnya telah terdengar pula di
Pasanggrahan Keputrian. "Apakah kamu masih memikirkan prajurit pengawal
itu yang telah melarikan seorang anak gadis?", berkata
sang permaisuri Ratu Dara Puspa kepada putrinya Dyah
Rara Wulan ketika sudah mendengar kabar berita
tentang seorang prajurit muda yang membawa pergi
seorang anak gadis di kediaman Patih Anggajaya.
"Aku sudah mengenal Kakang Mahesa Muksa, tidak
mungkin melakukan sebuah perbuatan serendah itu",
berkata Dyah Rara Wulan berusaha memungkiri kabar
berita yang juga telah didengarnya itu.
Mendengar Dyah Rara Wulan masih saja membela
Mahesa Muksa, sang permaisuri Ratu Dara Puspa
semakin panas hatinya. "Apa kelebihan anak muda prajurit rendahan itu,
bukankah begitu banyak perwira tinggi yang masih muda
yang berusaha memikat hatimu wahai putriku?", berkata
sang permaisuri Ratu dara Puspa masih mengekang
perasaan hatinya dihadapan putrinya itu.
"Ibunda tidak tahu apa yang ananda rasakan. Bila
saja hati ini dapat memilih, pasti ananda carikan seorang
pangeran tampan, berkuasa dan kaya raya. Namun hati
244 ini memang tidak dapat memilih apalagi meminta",
berkata Dyah Rara Wulan berdesah pelan seperti kepada
dirinya. Mendengar pernyataan hati putri kesayangannya itu,
terlihat sang permaisuri Ratu Dara Puspa sudah tidak
dapat lagi menahan kekesalan perasaan hatinya itu.
"Kamu pasti telah diguna-gunai prajurit rendahan itu",
berkata sang permaisuri Ratu Dara Puspa sambil
berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan Dyah
Rara Wulan di pinggir kolam taman pasanggrahan
Keputrian Istana. Sementara itu hari sudah mulai menjelang sore,
seorang pemimpin prajurit dengan tangan kosong telah
melaporkan apa yang telah mereka laksanakan seharian
itu kepada Patih Anggajaya.
"Kami sudah menyisir semua tempat di Kotaraja
Kawali ini, namun tidak juga mendapatkan anak gadis
dan pemuda itu", berkata pemimpin prajurit itu kepada
Patih Anggajaya. "Kumpulkan beberapa prajurit agar melakukan
pengejaran ke beberapa tempat", berkata Patih
Anggajaya dengan wajah penuh murka.
"Kami akan laksanakan perintah tuan Patih", berkata
pemimpin prajurit itu sambil menunduk penuh hormat.
Ketika pemimpin prajurit itu telah pergi, terlihat Patih
Anggajaya langsung melangkahkan kakinya menuju kuil
istana. "Aku telah tertinggal satu langkah dengan anak muda
itu", berkata Patih Anggajaya kepada pendeta Rakanata
ketika telah bertemu di kuil istana.
Terlihat pendeta Rakanata tersenyum menatap wajah
245 Patih Anggajaya yang terlihat sangat kesal dan gusar itu.
Namun Patih Anggajaya tidak mengerti arti senyum itu
adalah suara kegembiraan hati Pendeta Rakanata.
"Gadis itu tidak bisa tertolong lagi, dan kamu tidak akan
memilikinya", berkata Pendeta Rakanata dalam hati.
Namun yang keluar dari bibir pendeta Rakanata
bukan apa yang ada dalam pikirannya. "Kamu harus
memikirkan rencana kita yang lebih penting daripada
Gadis itu. Lupakanlah sementara ini tentang gadis itu,
bukankah rencana kita di hutan perburuan itu sudah
sangat dekat sekali?", berkata Pendeta Rakanata kepada
Patih Anggajaya. Mendengar perkataan pendeta Rakanata telah
mengurangi kegusaran hati Patih Anggajaya dan diamdiam membenarkan perkataan Pendeta Rakanata.
"Benar, aku dapat mencari banyak wanita cantik
manakala aku sudah menjadi seorang Raja", berkata
Patih Anggajaya berpikir dalam hati.
Sementara itu beberapa prajurit sesuai dengan
perintah Patih Anggajaya telah mencoba melakukan
pencarian keluar Kotaraja Kawali. Dengan bantuan
seorang prajurit yang sangat mahir membaca jejak
mereka telah mendapatkan arah kemana Gajahmada
membawa Andini. Demikianlah, para prajurit itu telah mencoba
mengikuti arah perjalanan Gajahmada dari tempat
kediaman Patih Anggajaya. Namun ketika hari mulai
masuk di ujung senja datang hujan begitu deras telah
menghapus jejak langkah kuda Gajahmada.
"Hujan begitu deras telah menghapus jejak-jejak ini",
berkata seorang prajurit pencari jejak mendapatkan
kesulitan disamping hujan yang turun begitu deras, juga
246 hari sudah menjadi begitu gelap menjelang senja itu.
"Bila kita terus melakukan pencarian ini, bisa-bisa kita
tersasar tidak bisa kembali", berkata seorang pemimpin
prajurit ketika mereka telah memasuki sebuah hutan
yang cukup lebat di sebelah selatan Kotaraja Kawali.
Akhirnya dengan penuh kecemasan pemimpin
prajurit itu memutuskan untuk kembali ke Kotaraja
Kawali. Dalam pikirannya terbayang akan mendapatkan
sebuah kemarahan besar dari Patih Anggajaya karena
harus kembali dengan tangan kosong tanpa hasil
apapun. Seandainya para prajurit itu terus berusaha mengikuti
jejak langkah kuda Gajahmada, mereka memang telah
jauh tertinggal. Karena Gajahmada yang mereka cari
pada saat itu telah berada dibawah Gunung Galunggung.
Sudah seharian itu Gajahmada tiada henti telah
melarikan kudanya. Terlihat Gajahmada diatas kudanya dengan sebelah
tangan memegang tali kekang kuda, sementara tangan
lainnya tengah mendekap tubuh Andini dengan kuatnya
tengah mendaki hutan di kaki gunung Galunggung.
Hujan yang turun di musim penghujan itu telah
mengguyur bumi Pasundan begitu merata hingga di
bawah kaki Gunung Galunggung.
Basah air hujan yang mengguyur tubuh Gajahmada
telah membuat perih beberapa bagian tubuh Gajahmada
yang terluka tergores dahan dan ranting di sepanjang
perjalanannya. Tapi Anak muda itu tidak menghiraukan
rasa sakit dari perih luka itu. Kecemasan yang sangat
akan diri Andini yang sudah lemah terkulai tidak
sadarkan diri membuat Anak muda itu terus mendaki
247 lereng Gunung Galunggung diatas kudanya.
Jalan menuju lereng Gunung Galunggung memang
cukup berat karena harus menemui beberapa jalan yang
terjal berbatu. Namun Gajahmada yang telah beberapa kali
melewati jalan itu akhirnya dapat juga melewati beberapa
jalan yang sangat sulit itu.
Hujan saat itu belum juga reda ketika beberapa orang
telah melihat seekor kuda telah berlari langsung masuk
menerobos regol pintu gerbang Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa. "Apa yang telah terjadi?", berkata Putu Risang yang
telah mengenali siapa penunggang kuda itu.
Beberapa orang lelaki terlihat begitu cemas
memandangi Gajahmada yang telah melompat dari
punggung kudanya sambil membawa tubuh Andini yang
masih juga tidak sadarkan diri.
"Apa yang terjadi atas putriku?", bertanya seorang
lelaki dengan penuh kecemasan yang ternyata adalah
Bango Samparan. "Andini terluka", hanya itu yang keluar dari bibir
Gajahmada setelah meletakkan dengan perlahan tubuh
Andini di atas lantai pendapa Padepokan Prabu Guru
Darmasiksa. Beberapa orang terlihat langsung mengerubungi
Gajahmada dan Andini yang tergeletak diatas lantai
pendapa. "Nampaknya Andini terkena sebuah racun yang
sangat kuat", berkata seorang tua diantara mereka yang
langsung memeriksa keadaan Andini.
248 "Andini terluka oleh Kujang Pangeran Muncang",
berkata Gajahmada dengan wajah penuh harap kepada
orang tua dihadapannya itu yang tidak lain adalah Prabu
Guru Darmasiksa . Bukan main terkejutnya semua orang yang berada
diatas pendapa padepokan itu. Semua orang seperti
berdesis mengulang perkataan Gajahmada.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kujang Pangeran Muncang"..?", terdengar suara
berbarengan hampir dari semua orang yang mendengar
perkataan Gajahmada. "Kujang Pangeran Muncang?", bertanya Prabu Guru
Darmasiksa dengan kening terlihat berkerut antara
terkejut dan keinginan penjelasan lebih jauh lagi
Gajahmada. Namun Gajahmada tidak berkata apapun, hanya
sebuah tangannya telah menunjukkan sebuah luka
goresan di bahu tangan Andini.
"Andini tergores luka Kujang Pangeran Muncang",
berkata Gajahmada sambil memperlihatkan bahu tangan
Andini yang terlihat tergores tipis.
"Tunda dulu penjelasanmu", berkata Prabu Guru
Darmasiksa yang langsung menyentuh tubuh Andini di
beberapa tempat dengan begitu cepatnya.
Ternyata apa yang dilakukan oleh Prabu Guru
Darmasiksa adalah sebuah cara menutup beberapa
syaraf aliran darah di tubuh Andini. Sebagai seorang
yang mumpuni dalam hal pengobatan, Prabu Guru
Darmasiksa sudah langsung mengetahui bahwa gadis
dihadapannya itu memang telah terkena sebuah racun
yang sangat kuat. Perkataan Gajahmada tentang sebuah
Kujang Pangeran Muncang memang sudah menjadi
249 penjelasan yang cukup baginya mengenal sejauh mana
keparahan yang dialami oleh Andini. Sebagai seorang
keturunan Raja Pasundan pastilah sudah mengetahui
seberapa hebat pengaruh pamor Kujang Pangeran
Muncang bila telah melukai tubuh seseorang, meski
hanya sebuah goresan tipis seperti yang dialami oleh
Andini. "Untuk sementara aku hanya mampu menahan
menjalarnya racun di tubuh anak gadis ini, ceritakan
kepadaku apa yang telah terjadi", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Gajahmada yang masih duduk
disebelah Andini. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang.
Terlihat semua mata penuh perhatian menatap anak
muda itu yang terlihat begitu lusuh tubuh dan
pakaiannya. Perlahan pula Mata Gajahmada mulai dapat
memperhatikan beberapa orang yang hadir saat itu di
pendapa Padepokan Prabu Guru Darmasiksa.
Ternyata di pendapa itu adalah beberapa orang yang
sudah dikenalnya, selebihnya adalah beberapa cantrik di
Padepokan itu yang merasa tertarik dengan kedatangan
Gajahmada membawa seorang gadis yang terluka tidak
sadarkan diri. Tidak ada keraguan di dalam hati Gajahmada
manakala telah mengetahui siapa saja yang ada di
pendapa Padepokan itu diantaranya selain Bango
Samparan yang sangat cemas sebagaimana dirinya, juga
telah hadir pangeran Jayanagara, Putu Risang,
Jayakatwang dan pengasuhnya sendiri Pendeta
Gunakara. 250 Perlahan dan tanpa keraguan lagi Gajahmada telah
bercerita tentang apa yang telah mereka berdua hadapi
malam itu. "Orang itu bersenjata Kujang pangeran Muncang,
senjata itulah yang melukai tubuh Andini", berkata
Gajahmada bercerita bagaimana keadaan Andini saat itu
ketika dapat dilukai oleh seorang yang berpakaian serba
hitam dan menyembunyikan wajahnya dengan sebuah
kain hitam pula. Siapakah gerangan orang yang menyembunyikan
wajahnya itu" Demikianlah pertanyaan hampir semua orang diatas
pendapa Padepokan itu manakala mendengar cerita dari
Gajahmada. "Apakah Andini masih dapat disembuhkan?",
bertanya Gajahmada perlahan kepada Prabu Guru
Darmasiksa. Entah mengapa dihadapan Prabu Guru
Darmasiksa perasaan Gajahmada menjadi begitu
tentram merasa yakin bahwa orang tua dihadapannya itu
pasti dapat menyembuhkan Andini.
Terlihat Prabu Guru Darmasiksa dengan penuh
senyum kesarehan menatap wajah anak muda itu.
"Kita pasrahkan semua ini kepada ketentuan Gusti
Yang Maha Agung, dialah penentu segalanya karena
semua bersumber dari-Nya", berkata Prabu Guru
Darmasiksa dan diam seketika sambil menarik nafas
perlahan. "Hanya ada dua benda di dunia ini yang dapat
menawarkan racun Kujang pangeran Muncang", berkata
kembali Prabu Guru Darmasiksa sambil terlihat menarik
nafas panjang berhenti sejenak. "benda pertama adalah
251 bunga Wijaya Kusuma", berkata kembali Prabu Guru
Darmasiksa sambil memandang semua orang yang juga
tengah memandangnya penuh perhatian.
"Bunga Wijaya Kusuma berada di istana Majapahit",
berkata Putu Risang tanpa sadar mengucapkan
keberadaan bunga Wijaya Kusuma.
Sebagai seorang murid terkasih dari Mahesa Amping,
sudah pasti Putu Risang pernah mendengar cerita kisah
bunga Wijaya Kusuma dari gurunya itu.
Bagian 3 "Kamu benar, bunga Wijaya Kusuma telah dimiliki
oleh putra anakku, Raja Majapahit", berkata Prabu Guru
Darmasiksa membenarkan perkataan Putu Risang.
"Aku dapat meminta bunga Wijaya Kusuma kepada
Ayahanda di Majapahit", berkata Pangeran Jayanagara.
"Penutupan sementara jalan darah di tubuh Andini
hanya bertahan satu hari ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
perlahan sebagai pertanda usulan dari pangeran
Jayanagara tidak dapat dilaksanakannya.
Terlihat semua orang terdiam, semua mata seperti
tengah menggantungkan harapannya kepada Prabu
Guru Darmasiksa seorang diri.
Namun Prabu Guru Darmasiksa yang diharapkan
akan memberikan sebuah jalan lain, sebuah obat kedua
selain bunga Wijaya Kusuma terlihat seperti tercenung
menatap kosong kearah kedepan halaman pendapa.
Suasana diatas pendapa itu sejenak seperti begitu
sunyi, tidak ada suara apapun. Sementara hujan di luar
252 halaman sudah mulai mereda dan malam sudah terlihat
menjadi semakin gelap. "Tunjukkan kepada hamba obat kedua selain bunga
Wijaya Kusuma, hamba bersedia melakukan apapun
demi kesembuhan Andini", berkata Gajahmada
memecahkan suasana keheningan diatas pendapa itu.
"Anakku tidak perlu berbuat apapun, obat atau cara
kedua selain bunga Wijaya Kusuma itu masih berada di
Padepokan ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada
Gajahmada. Kembali suasana diatas Pendapa padepokan itu
menjadi hening, semua mata nampaknya telah tertuju
kearah Prabu Guru Darmasiksa.
Namun Prabu Guru Darmasiksa yang diharapkan
berbicara itu kembali seperti tercenung menatap kosong
kedepan kearah halaman pendapa yang terlihat sudah
semakin gelap. Suara hujan diluar sudah tidak terdengar lagi, semua
mata masih menunggu Prabu Guru Darmasiksa
menyampaikan gerangan obat apa yang dapat
menyembuhkan Andini yang masih juga tidak sadarkan
diri tergeletak diatas lantai pendapa Padepokan Prabu
Guru Darmasiksa. Semua mata diatas pendapa Padepokan itu melihat
Prabu Guru Darmasiksa yang masih tercenung tengah
menarik nafas panjang sepertinya akan memutuskan
sesuatu yang sangat berat. Seperti tengah memikul
sebuah beban yang amat berat dirasakan.
"Dengan sangat terpaksa bahwa aku harus membuka
sebuah rahasia besar leluhur kami, rahasia leluhur para
raja di Pasundan ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa
253 dan kembali terdiam tidak melanjutkan perkataannya
kembali. Kembali suasana diatas pendapa Padepokan itu
menjadi begitu hening, semua mata kembali menunggu
apa yang akan keluar dari bibir orang tua sareh itu.
"Masih ada satu cara untuk menawarkan racun di
tubuh Andini akibat goresan Kujang Pangeran Muncang.
Yaitu dengan kembaran Kujang Pangeran Muncang",
berkata Prabu Guru Darmasiksa.
"Kembaran kujang Pangeran Muncang?", terdengar
suara bersamaan dari bibir semua orang yang hadir
diatas pendapa Padepokan itu.
"Bersyukurlah bahwa kujang kembaran itu masih
tersimpan di Padepokan ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa sambi menarik nafas panjang dan perlahan
berdiri dari duduknya. Semua mata di pendapa padepokan seakan-akan
menempel di punggung Prabu Guru Darmasiksa dan
mengikuti langkah kaki orang tua itu yang terlihat sudah
memasuki pringgitan dan kemudian telah hilang masuk
ke sentong tengah. Terlihat semua mata di pendapa padepokan itu
seperti tidak berkedip memandang ke arah Prabu Guru
Darmasiksa yang telah muncul kembali berjalan dari arah
pringgitan menuju pendapa Padepokan. Semua mata di
atas pendapa telah melihat sebuah senjata pusaka
ditangan Prabu Guru Darmasiksa.
"Kujang Pangeran Muncang", berkata Gajahmada
dalam hati ketika melihat sebuah senjata pusaka di
tangan Prabu Guru Darmasiksa. Sebuah senjata yang
sangat mirip sekali dengan yang pernah dilihatnya di
254 pegang oleh seorang berpakaian serba hitam kemarin
malam di kediaman Patih Anggajaya.
Tanpa berkata apapun terlihat Prabu Guru
Darmasiksa telah duduk kembali di sisi tubuh Andini yang
masih saja tidak sadarkan diri.
Perlahan Prabu Guru Darmasiksa mengangkat
senjata pusaka itu seperti begitu hormat. Dan perlahan
telah mengeluarkannya dari sarungnya.
"Kujang yang kemarin malam kulihat berwarna kuning
keemasan, sementara kujang ini berwarna putih besi
waja", berkata kembali Gajahmada dalam hati
memperhatikan kujang yang sudah terlepas dari
sarungnya itu berada ditangan kanan Prabu Guru
Darmasiksa. "Racun kujang kembaran ini saling berlawanan satu
dengan yang lainnya", berkata Prabu Guru Darmasiksa
sambil perlahan menggoreskan senjata itu ke bahu
kanan Andini tidak jauh dari bekas lukanya.
Semua mata menahan nafas panjang seperti tengah
menunggu perubahan yang terjadi pada diri Andini.
Terlihat Gajahmada dan Bango Samparan yang
paling mencemaskan keadaan Andini itu seperti
menunggu sebuah keajaiban penuh pengharapan.
"Wahai Gusti yang Maha Pemurah, sembuhkanlah
buah hatiku ini", berkata Bango Samparan dalam hati
dengan pandangan mata tidak sedikit pun terlepas
kearah Andini yang berbaring terbujur di lantai pendapa
Padepokan. "Bersabar dan berdoalah", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Gajahmada penuh rasa iba melihat
anak muda itu begitu mencemaskan keadaan Andini.
255 Sementara itu langit malam yang gelap telah
menyelimuti halaman pendapa padepokan, pelita malam
di pendapa itu sudah terlihat menjadi semakin redup.
Namun semua mata diatas pendapa itu masih tetap
menunggu dan berharap akan ada sebuah perubahan di
diri Andini. Mereka seperti arca bisu tengah berdoa
berharap sebuah mukjijat datang.
"Tubuhnya basah berpeluh keringat", berkata
Gajahmada perlahan melihat tubuh Andini yang tiba-tiba
saja hampir di seluruh tubuhnya telah mengeluarkan
peluh keringat. "Pertanda dua racun yang berbeda sudah saling
bertemu, menawarkan satu dengan yang lainnya",
berkata Prabu Guru Darmasiksa mencoba memberikan
penjelasan atas apa yang tengah terjadi pada diri Andini.
Semua mata semakin tidak lepas dari diri Andini yang
berbaring terbujur itu. Dan hampir semua orang telah
mendengar suara rintihan halus keluar dari bibir mungil
Andini. "Kakang Mahesa Muksa, aku akan tetap menunggu
kehadiranmu di Rawa Rontek", berkata Andini dengan
mata masih terpejam. "Gadis ini telah mengigau, sebagai tanda syaraf jalan
darahnya telah tawar dari racun yang sangat kuat",
berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil menyentuh
kening Andini yang dirasakan sangat panas.
Terlihat hampir semua orang diatas pendapa
Padepokan itu seperti tengah menarik nafas lega
mendengar penjelasan Prabu Guru Darmasiksa tentang
keadaan Andini. Namun diam-diam Putu Risang memperhatikan
256 warna wajah Pangeran Jayanagara.
"Diam-diam anak muda ini telah berharap cinta dari
Andini. Namun Gadis ini nampaknya telah memilih


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Muksa", berkata Putu Risang dalam hati sekilas
melihat ada warna duka menghiasi wajah Pangeran
Putra Mahkota Majapahit itu.
"Sebentar lagi anak gadis ini akan siuman", berkata
Prabu Guru Darmasiksa seperti merasa yakin bahwa
Andini sudah terlepas dari kekuatan racun Kujang
Pangeran Muncang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prabu Guru
Darmasiksa, beberapa saat kemudian terlihat Andini
perlahan membuka kelopak matanya.
"Dimana aku?", berkata Andini perlahan sambil
menyapukan pandangannya. "Kamu berada di tempat yang aman bersama orangorang yang sangat mengasihimu", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada gadis itu. "Jangan banyak bergerak
dulu, tubuhmu masih sangat lemah", berkata kembali
Prabu Guru Darmasiksa. Terlihat Andini mencoba menggerakkan tubuhnya
untuk bangkit, namun sebagaimana yang dikatakan oleh
orang tua itu memang dirinya merasakan begitu lemah
tidak berdaya menggerakkan tubuhnya sendiri.
"Anak muda, tubuh dan pakaianmu sangat lusuh
sekali. Bersih-bersih dan beristirahatlah, jangan
cemaskan lagi gadis ini, racun di tubuhnya sudah kalis
hanya menunggu kekuatannya pulih seperti sedia kala",
berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Orang
Gajahmada perlahan berdiri.
tua itu, terlihat 257 "Tubuh dan pakaianku memang sangat lusuh sekali",
berkata Gajahmada ketika sudah berdiri dan melihat
keadaan tubuh dan pakaiannya.
Sementara itu warna langit di atas Padepokan Prabu
Guru Darmasiksa sudah terlihat garis tipis merah mengisi
warna biru kelam sebagai pertanda sang pagi sebentar
lagi akan datang menggantikan malam.
"Masih ada waktu untuk beristirahat sejenak", berkata
Prabu Guru Darmasiksa kepada semua yang hadir di
pendapanya ketika tubuh Andini yang masih lemah itu
telah dipindahkan ke bilik yang telah disediakan untuknya
di tunggui oleh Ayah kandungnya sendiri Bango
Samparan. Pelita malam yang menggelantung di tiang pendapa
terlihat sudah seperti melenggut hampir kehabisan
minyak jarak. Dan tidak lama berselang suasana di atas
pendapa itu seperti lengang sunyi, semua orang
nampaknya merasa lelah dan mengantuk semalaman
bergadang menunggui keadaan Andini.
Sementara itu Gajahmada setelah bersih-bersih diri
dan mengenakan sepotong pakaian pinjaman yang layak
untuknya terlihat tidak langsung tertidur. Ternyata anak
muda itu sudah terbiasa melakukan olah laku pernafasan
sebelum tidur beristirahat.
Terlihat anak muda itu telah hanyut di dalam olah
lakunya, telah merasakan kenikmatan lakunya dengan
menghadirkan Gusti Yang Maha Agung sebagai
pengendali dalam segala geraknya ketika berdiri, rukuk,
sujud dan duduk bersimpuh diantara dua sujudnya.
"Jangan paksakan dirimu dapat berlenggang dengan
kedua tanganmu ketika berjalan, pasrahkan dirimu dalam
kendali dan pengaturan Gusti Yang Maha Agung hingga
258 terlihat elok lenggangmu. Siapa yang mengedipkan
matamu ", berkediplah dalam kendali_NYA" , berkata
Gajahmada dalam hati mencoba mengulang-ulang ujarujar dari Putu Risang kepadanya. Nampaknya
Gajahmada sudah mulai memahami makna dari ujar-ujar
itu. Terlihat dirinya tersenyum sambil merebahkan
tubuhnya memandang langit-langit biliknya, sendiri.
Dan tidak terasa sang waktu terus berjalan, sang
fajar terlihat telah bersembul diatas perbukitan sebelah
timur lereng Gunung Galunggung menghangatkan
rumput-rumput basah di depan halaman Padepokan
Prabu Guru Darmasiksa yang cukup luas itu.
"Akar dan daun dari beberapa tanaman ini dapat
membantu Andini memulihkan kekuatannya kembali",
berkata Prabu guru Darmasiksa kepada Bango
Samparan di bilik Andini.
Terlihat Prabu Guru Darmasiksa setelah memberikan
beberapa pesan yang berguna untuk kesembuhan Andini
telah keluar dari bilik itu dan melangkahkan kakinya
menuju pendapa. "Aku jadi sangsi, apakah kalian sempat memejamkan
mata di peraduan", berkata Prabu Guru Darmasiksa
menyapa semua orang yang tengah duduk diatas lantai
pendapanya. "Kami memang para tamu yang tidak tahu diri,
semoga sang tuan rumah tidak jemu menemaninya",
berkata Pendeta Gunakara dengan penuh senyum.
"Bagaimana keadaan Andini saat ini?", bertanya
Jayakatwang kepada Prabu Guru Darmasiksa.
"Gadis itu masih tertidur ketika kutemui, dua atau tiga
hari ini mungkin baru dapat pulih kembali", berkata Prabu
259 Guru ketika sudah duduk ngeriung bersama.
Dan pagi itu menjadi begitu hangat manakala Nyi
Turuk Bali datang bersama seorang pelayan wanita
membawa beberapa potong jagung rebus yang masih
hangat. "Jagung rebus ini memang biasa, yang menjadikannya luar biasa adalah disajikan langsung oleh
seorang permaisuri Ratu Kediri", berkata Prabu Guru
Darmasiksa ketika Nyi Jayakatwang menurunkan bakul
jagung rebus yang dibawanya.
"Silahkan dinikmati, aku akan kembali kebelakang
untuk belajar meramu beberapa masakan pasundan",
berkata Nyi Turuk Bali sambil tersenyum dan kembali lagi
melangkah kedalam bersama pelayan wanita yang
datang bersamanya itu. "Tahukah kalian tentang masakan nirwana ", adalah
senyum tulus sang istri tercinta. Tahukah kalian taman
Nirwana ", adalah melihat dan duduk bersama putra dan
putri kita tumbuh berkembang. Tahukah kalian apa yang
tidak disukai oleh seorang tamu", adalah tuan rumah
yang tidak menyilahkan tamunya untuk menikmati
hidangan yang telah tersedia", berkata Prabu Guru
Darmasiksa sambil menggeser sebakul jagung rebus
lebih dekat lagi ke arah Jayakatwang.
Terlihat semua yang berada diatas pendapa itu
tersenyum menanggapi kata-kata Prabu Guru Darmasiksa itu. Ketika para tamu dari Majapahit itu telah menikmati
makanan dan minuman pagi yang tersedia diatas
pendapa itu, terlihat wajah Prabu Guru seperti berubah
penuh keangkeran dan kewibawaan seperti seorang raja
besar. Dan semua orang diatas pendapa itu seperti
260 memaklumi ada sesuatu yang ada dalam pikiran mantan
Raja penguasa Pasundan itu.
"Aku banyak mengenal beberapa orang berilmu tinggi
di Pasundan ini, apakah kamu dapat mengenali
beberapa gerak khusus dari orang berpakaian serba
hitam itu?", berkata Prabu Guru Darmasiksa ditujukan
kepada Gajahmada. "Hanya satu gerakan dari orang itu ketika melesat
melukai Andini", berkata Gajahmada mencoba mengingat
kembali bagaimana orang berpakaian serba hitam itu
bergerak. "Satu gerakan memang belum cukup untuk menilai
jenis sebuah kanuragan. Apakah kamu dapat mengenali
logat bahasa sunda yang digunakan oleh orang itu?",
bertanya kembali Prabu Guru Darmasiksa.
Terlihat Gajahmada tengah mencoba mengingatingat kembali perkataan orang berpakaian serba hitam
itu. "Logat yang digunakannya tidak sebagaimana orang
sunda pada umumnya, hamba seperti pernah
mendengarnya sangat mirip sekali dengan logat bicara
Patih Anggajaya", berkata Gajahmada merasa yakin
sekali dengan apa yang masih diingatnya itu.
"Siapapun orang itu, yang pasti keberadaan
kembaran Kujang pangeran Muncang masih berada di
Tanah Pasundan ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa
tanpa menyebut sebuah nama yang nampaknya sudah
berada di dalam benak dugaannya.
Kembali Prabu Guru Darmasiksa bertanya kepada
Gajahmada tentang beberapa hal seputar beberapa ciri
khusus orang berbaju serba hitam itu seperti tinggi badan
261 dan bentuk alis orang itu
Hampir semua mata diatas pendapa itu tengah
memandang kearah Gajahmada yang membenarkan
semua ciri-ciri yang digambarkan oleh Prabu Guru
Darmasiksa mengenai orang berbaju serba hitam itu.
Pandangan mata pun akhirnya berpindah kearah
Prabu Guru Darmasiksa. Semua orang diatas pendapa
itu memang tengah menunggu apa yang akan dikatakan
oleh Prabu Guru Darmasiksa yang nampaknya sudah
memegang dugaan sebuah nama.
"Mungkin kita akan bertemu dengan orang itu di
hutan perburuan", berkata Prabu Guru Darmasiksa tanpa
menyebut satu nama sama sekali.
Semua orang diatas pendapa itu mungkin
memaklumi bahwa ada sebuah keengganan menyebut
sebuah nama yang belum pasti dialah orangnya.
"Ada banyak hal yang harus kita siapkan di hutan
perburuan", berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti
mencoba mengalihkan arah pembicaraan.
Mendengar perkataan dari Prabu Guru Darmasiksa,
semua orang diatas pendapa itu akhirnya mengikuti arah
pembicaraan yang berkisar tentang rencana dan
persiapan mereka menghadapi Patih Anggajaya di hutan
perburuan, hutan Sindur. Terlihat Putu Risang memberikan beberapa
gambaran tentang suasana Hutan Sindur sebagaimana
yang telah didengar dari Bango samparan yang telah
mengamati hutan itu beberapa hari yang telah lewat.
Sementara itu Pangeran Jayanagara dan Gajahmada
memberikan sebuah tambahan tentang kesediaan Ki
Rangga Ageng Pasek yang akan membelot memecah
262 pasukan Patih Anggajaya. "Gabungan pasukan Adipati Suradilaga dan pasukan
Ki Rangga Ageng Pasek sudah sangat mencukupi",
berkata Prabu Guru Darmasiksa merasa gembira
mendengar semua penjelasan itu.
Demikianlah, mereka di atas pendapa Prabu
Darmasiksa terlihat sangat perhatian membahas rencana
mereka di hutan Sindur yang sudah tinggal beberapa hari
itu. Dan tidak terasa waktu terus berlalu, Matahari diatas
lereng Gunung Galunggung itu terlihat semakin bergeser
ke barat. Hari itu sudah hampir menjelang sore di atas
Padepokan Prabu Guru Darmasiksa ketika semua orang
diatas pendapa melihat sekelompok pasukan prajurit
berkuda memasuki regol pintu gerbang Padepokan.
Terlihat rombongan pasukan itu berkisar antara dua
puluh sampai dua puluh lima orang telah berada diatas
halaman depan pendapa Padepokan.
Terlihat salah seorang diantara mereka segera
meloncat turun dari kudanya dan langsung berjalan
kearah tangga pendapa Padepokan, nampaknya salah
seorang yang menjadi pimpinan pasukan itu.
"Mohon ampun sekiranya kedatangan kami telah
mengganggu ketenangan Paduka Tuan Prabu", berkata
seorang prajurit itu dihadapan Prabu Guru Darmasiksa.
"Katakan apa keperluanmu membawa pasukanmu di
Padepokanku ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa
dengan pandangan mata yang begitu tajam, kuat dan
penuh wibawa kepada prajurit itu.
Terlihat prajurit itu menjadi semakin menunduk tidak
263 berani memandang Darmasiksa. langsung kearah Prabu Guru "Ampuni hamba, pasukan kami datang ke Padepokan
tuanku karena ada berita bahwa buronan kami
bersembunyi disini", berkata prajurit itu masih dengan
menundukkan kepalanya penuh keengganan.
"Lurah Janget, katakan siapa yang mengatakan hal
demikian kepadamu", berkata Prabu Guru Darmasiksa
dengan senyum penuh keramahan, nampaknya merasa
kasihan dengan sikap prajurit tua itu yang sudah
dikenalnya. Melihat suara dan pandangan Prabu Guru
Darmasiksa yang penuh senyum itu akhirnya telah
memberanikan prajurit tua itu mengangkat wajahnya.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampuni hamba, perintah ini datangnya dari Patih
Anggajaya", berkata prajurit tua itu yang dipanggil
dengan nama Lurah janget oleh Prabu Guru Darmasiksa.
"Siapa orang yang kamu maksudkan sebagai
buronan itu", berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa
"Ampuni hamba, buronan itu adalah seorang prajurit
muda yang telah membawa paksa seorang gadis",
berkata Lurah Janget memberikan sebuah penjelasan.
"Apakah kamu mengenal prajurit muda itu ?",
bertanya Prabu Guru Darmasiksa kepada prajurit lurah
Janget. Terlihat lurah Janget mengangkat wajahnya dan
dengan penuh keraguan menggelengkan kepalanya
sebagai sebuah pertanda belum mengenal siapa prajurit
muda yang dikatakannya sebagai buronan itu."Hamba
mohon bantuan Tuanku Prabu untuk menyerahkan
buronan itu kepada kami", berkata Lurah Janget dengan
264 wajah penuh pengharapan. "Kembalilah ke pasukanmu, aku akan bicara dengan
orang-orangku sendiri", berkata Prabu Guru Darmasiksa
kepada lurah Janget. Maka tanpa perintah kedua segera prajurit tua itu
berdiri dan melangkah turun ke halaman pendapa
bergabung dengan pasukannya.
"Patih Anggajaya pasti akan membawa sepasukan
lebih besar lagi bila hari ini tidak kita berikan apa yang
diinginkannya", berkata Prabu Guru Darmasiksa.
Terlihat semua orang diatas pendapa itu telah
mengalihkan pandangan matanya kearah Mahesa
Muksa. "Dalam pembahasan mengenai rencana di hutan
Sindur, kita tidak menyinggung sedikitpun tentang istana
Kawali. Kita belum tahu apa yang dilakukan oleh Patih
Anggajaya di saat Raja Ragasuci berburu di hutan
Sindur. Hampa bersedia berada di istana Kawali. Tidak
perlu mengkhawatirkan keadaanku, bukankah masih ada
Pangeran Citraganda di istana Kawali ?", berkata
Gajahmada kepada semua orang di atas pendapa itu.
Semua orang diatas pendapa itu mengagumi sikap
Gajahmada yang bertutur begitu tenang, juga Prabu
Guru Darmasiksa yang merasa yakin bahwa anak muda
itu pasti bukan orang sembarangan yang tidak merasa
takut dan gentar sedikitpun."Beberapa tahun yang lalu
aku pernah melihat anak ini sebagai anak yang cerdas,
pasti kemampuan olah kanuragannya telah berlipat
ganda", berkata dalam hati Prabu Guru Darmasiksa.
"Kamu benar anak muda, kita tidak terpikir sedikitpun
tentang istana Kawali", berkata Prabu Guru Darmasiksa
265 sepertinya menerima usulan Gajahmada.
"Aku orang tua akan menemanimu, hanya sekedar
sebagai bayang-bayang", berkata pendeta Gunakara
sambil tersenyum. Demikianlah, tanpa kesulitan apapun, Gajahmada
telah diserahkan kepada sepasukan prajurit Kawali untuk
dibawa ke Istana Kawali. Dan tidak lama berselang ketika pasukan itu tidak
begitu jauh berjalan, terlihat Pendeta Gunakara telah
berpamit untuk selekasnya mengikuti Gajahmada
bersama pasukan prajurit yang membawanya.
"Kamu pasti mengetahui sejauh mana kemampuan
muridmu sendiri", berkata Prabu Guru Darmasiksa ingin
mendapatkan sebuah keyakinan tentang Gajahmada
kepada Putu Risang. "Sepasukan segelar sepapan mungkin akan
mengalami banyak kesulitan menghadapi Mahesa
Muksa, apalagi bersama pengasuhnya sendiri Pendeta
Gunakara", berkata Putu Risang sambil tersenyum
merasa yakin bahwa Gajahmada dengan kemampuan
ilmunya saat itu tidak akan mengalami banyak kesulitan.
Mendengar sikap dap jawaban dari Putu Risang,
terlihat Prabu Guru Darmasiksa menarik napas panjang
sebagai tanda dirinya tidak perlu lagi mengkhawatirkan
keadaan anak muda itu. "Aku orang tua kalah satu langkah dengan anak
muda itu, tidak terpikirkan sedikitpun olehku mengenai
keselamatan keluarga istana", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Jayakatwang, Putu Risang dan
Pangeran Jayanagara yang masih berada di atas
pendapa Padepokan itu. 266 "Aku mengenalnya sejak kecil, aku begitu yakin
bahwa anak muda itu akan menjadi orang besar dengan
pemikiran besar di kemudian hari", berkata Jayakatwang.
"Pangeran Jayanagara, bersyukurlah dirimu dikaruniai seorang sahabat sebagaimana Mahesa
Muksa. Kejayaan Majapahit suatu waktu berada di
tanganmu, jagalah hati dan kesetiaan Mahesa Muksa",
berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran
Jayanagara. "Ucapan dan perkataan Kakek buyut Prabu adalah
pusaka yang akan cucunda jaga", berkata Pangeran
Jayanagara dengan penuh hikmat.
"Masih ada satu urusan yang harus kuselesaikan di
Padepokan ini, meringkus siapa sebenarnya telik sandi
dari Patih Anggajaya yang nampaknya sudah lama di
pasang memata-matai Padepokan ini", berkata Prabu
Guru Darmasiksa sambil berdiri perlahan.
Terlihat Prabu Guru Darmasiksa memanggil seorang
cantrik. "Panggilkan untukku Putut Sumitra", berkata Prabu
Guru Darmasiksa kepada seorang cantrik yang datang
menghampirinya. Terlihat cantrik itu tergopoh-gopoh menuruni anak
tangga pendapa pergi mencari Putut Sumitra.
Dan tidak lama berselang terlihat seorang lelaki
setengah baya muncul dan langsung menaiki tangga
pendapa. "Katakan kepadaku, siapa saja cantrik yang saat ini
tidak berada di padepokan ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Putut Sumitra.
Terlihat Putut Sumitra tidak langsung menjawab,
267 sekilas terlihat kerut di keningnya sebagai tanda tengah
berpikir kemana arah pertanyaan Prabu Guru
Darmasiksa. Putut Sumitra memang tidak terlalu lama berpikir.
"Dua orang cantrik sudah sejak dua hari ini belum
kembali, telah kutugaskan untuk mencari beberapa jamur
hutan. Sementara ada seorang cantrik lagi yang baru
berangkat pagi-pagi sekali untuk sebuah urusan di
Kotaraja Kawali", berkata Putut Sumitra setelah mencoba
mengingat siapa saja cantrik di Padepokan itu yang saat
itu tidak ada di tempat. "Siapa cantrik yang ada urusan di Kotaraja Kawali
itu?", bertanya Prabu Guru Darmasiksa.
"Batuganal", berkata Putut Sumitra langsung
menjawab pertanyaan Prabu Guru Darmasiksa.
"Coba kamu ingat-ingat kembali, ketika terjadi
perampokan atas beberapa cantrik yang tengah
membawa pusaka Kujang Pangeran Muncang ke
Kotaraja Kawali, apakah Batuganal juga tidak ada di
Padepokan ini?", bertanya kembali Prabu Guru
Darmasiksa. Terlihat Putut Sumitra kembali mengerutkan
keningnya mencoba mengingat-ingat sebuah kejadian
yang sudah berlangsung cukup lama itu.
"Aku ingat, disaat itu dua hari sebelumnya Batuganal
meminta ijin kepadaku untuk sebuah urusan di Kotaraja
Kawali. Dia kembali sehari setelah peristiwa perampokan
itu. Aku ingat sekali karena Batuganal telah
membawakan untukku sebuah ikat pinggang kulit
berkepala ukiran perak naga. Katanya ini hadiah
untukku", berkata Putut Sumitra dengan lancar sekali
268 menyampaikan semua yang diingatnya itu.
"Kebetulan yang sama", berkata Prabu Guru
Darmasiksa sambil mengusap-usap janggutnya yang
panjang dan sudah memutih itu. Seperti tengah berpikir
keras. "Batuganal pasti orangnya yang telah datang ke
Kotaraja Kawali melaporkan bahwa Mahesa Muksa
berada di Padepokan ini", berkata kembali Prabu Guru
Darmasiksa. "Aku tidak menyangka bahwa Batuganal telah
memata-matai kita selama ini", berkata Putut Sumitra
sambil menarik nafas panjang seperti tengah menyesali
bahwa kawan dan saudara seperguruannya itu ternyata
adalah seorang pengkhianat.
"Semoga saja dia tidak banyak tahu tentang sebuah
rencana di hutan perburuan", berkata Prabu Guru
Darmasiksa. "Rencana di hutan perburuan?", bertanya Putut
Sumitra penuh ketidak mengertian.
"Aku memang belum bercerita apapun kepadamu,
juga kepada semua cantrik di Padepokan ini", berkata
Prabu Guru Darmasiksa penuh senyum memaklumi
ketidak mengertian Putut Sumitra tentang sebuah
rencana di hutan perburuan.
Terlihat Prabu Guru Darmasiksa mencoba memberikan sebuah gambaran mengenai sebuah
rencana licik dari Patih Anggajaya kepada Putut Sumitra.
Dengan penuh seksama dan perhatian Putut Sumitra
menyimak apa yang disampaikan oleh Gurunya itu.
"Celakalah diri kita seandainya rahasia ini diketahui
oleh Batuganal", berkata Putut Sumitra setelah
mendapatkan penjelasan dari Prabu Guru Darmasiksa.
269 "Malam ini kita harus menunggu hingga Batuganal
kembali. Orang itu harus dikurung tidak boleh lagi keluar
dari Padepokan ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa
memberikan sebuah tindakan yang harus dilakukan
terhadap Batuganal. "Apakah malam ini Batuganal akan kembali ke
Padepokan ini?", bertanya Putu Risang kepada Putut
Sumitra. "Janjinya, malam ini dia sudah akan kembali", berkata
Putut Sumitra penuh keyakinan.
Demikianlah, Prabu Guru Darmasiksa ditemani Putut
Sumitra, Putu Risang, Pangeran Jayanagara hingga jauh
malam masih tetap di pendapa menunggu kedatangan
Batuganal. Hanya Jayakatwang yang sudah tidak terlihat
lagi di pendapa Padepokan itu, karena telah berpamit
lebih dulu untuk beristirahat di biliknya.
"Siapa?", bertanya seorang cantrik di panggungan
ketika melihat seseorang berdiri di regol pintu gerbang
padepokan yang tertutup di malam hari itu.
"Aku, Batuganal", berkata orang itu sambil
mendongak keatas kearah seorang cantrik yang berada
di panggungan. Terlihat cantrik yang bertugas ronda malam itu
langsung turun dari panggungan dan langsung membuka
pintu gerbang Padepokan. "Tidak seperti biasanya pintu gerbang ini ditutup",
berkata orang itu sambil masuk dengan suara
menggerutu seperti kurang senang dengan ditutupnya
gerbang itu. "Putut Sumitra yang memerintahkan kepadaku untuk
menutup pintu gerbang ini", berkata cantrik itu sambil
270 segera menutup kembali pintu gerbang.
"Kamu meronda sendiri?", bertanya orang itu yang
melihat cantrik itu hanya seorang diri.
"Baru saja kawanku dipanggil menghadap tuan Prabu
di pendapa", berkata cantrik itu sambil menunjuk kearah
pendapa Padepokan. Terlihat orang itu memicingkan matanya kearah
pendapa dimana cahaya lampu pelita diatas pendapa itu
masih cukup terang untuk dapat melihat masih ada
beberapa orang diatas pendapa itu.
Dan orang itu masih dapat melihat di keremangan
malam diatas halaman seseorang telah berjalan ke
arahnya. "Batuganal, kamu diminta untuk naik keatas
pendapa", berkata seseorang ketika telah dekat dengan
orang itu yang dipanggilnya bernama Batuganal.
"Aku akan segera naik keatas pendapa", berkata
Batuganal tanpa prasangka apapun sambil langsung
melangkahkan kakinya kearah pendapa Padepokan.
Terlihat Batuganal tengah menaiki anak tangga
pendapa Padepokan. "Mendekat dan duduklah disini Batuganal", berkata
Prabu Guru Darmasiksa menunjuk sebuah tempat
disamping Putut Sumitra kepada Batuganal yang baru
datang itu. "Cantrik baru datang dari Kotaraja Kawali", berkata
Batuganal ketika sudah duduk disamping Putut Sumitra.
"Mungkin kamu sangat lelah setelah perjalanan ini,
kami tidak bermaksud lama memaksamu di atas
pendapa ini", berkata Prabu Guru Darmasiksa penuh
271 senyum ramah memandang kearah Batuganal.
Melihat pandangan mata Prabu Guru Darmasiksa


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membuat Batuganal seperti menjadi salah tingkah,
sinar dan cahaya mata Prabu Guru Darmasiksa dalam
pikiran Batuganal seperti telah menelanjangi dirinya.
"Adakah cantrik telah berbuat sebuah kesalahan?",
bertanya Batuganal dalam kegelisahannya kepada Prabu
Guru Darmasiksa. "Aku belum bertanya dan berkata apapun, namun
kamu sudah bertanya tentang sebuah kesalahan yang
kamu perbuat", berkata Prabu Guru Darmasiksa masih
memandang kearah Batuganal.
Sekilas Batuganal membentur pandangan mata itu,
telah membuat dirinya semakin gelisah, semakin seperti
bertelanjang dihadapan Prabu Guru Darmasiksa. Dan
Batuganal tidak berani lagi mengangkat kepalanya
seperti takut akan beradu pandang kembali dengan
Prabu Guru Darmasiksa. Terlihat Batuganal duduk
dengan kepala menunduk. "Hampir setiap hari aku menemui kalian para
penghuni Padepokan ini, memberikan penyadaran
perikehidupan, membuka mata hati kalian bahwa hidup
setelah kehidupan ini jauh lebih berharga dari sepiring
dunia yang fana ini. Namun nampaknya mata hatimu
telah berpaling jauh dari apa yang telah kuajarkan
selama ini, dan kamu telah dibeli oleh dunia menjadi kaki
tangan seorang Patih Anggajaya", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Batuganal yang masih saja
menundukan kepalanya tidak berani sama sekali
mengangkat kepalanya. "Ampuni aku Tuan Prabu, aku telah berbuat dosa",
berkata Batuganal sambil bersimbah sujud dihadapan
272 Prabu Guru Darmasiksa. "Gusti Yang Maha Agung, Maha Pemberi tobat
kepada setiap hambanya yang mau mengakui dosanya.
Namun untuk sementara ini aku tidak akan mengijinkan
dirimu keluar dari Padepokan ini", berkata Prabu Guru
Darmasiksa. "Sekarang beristirahatlah", berkata kembali
Prabu Guru Darmasiksa. "Aku pamit diri, hukuman apapun atas diriku pasti
akan kujalani", berkata Batuganal sambil perlahan berdiri
dan mundur beberapa langkah mendekati anak tangga
pendapa. "Perintahkan beberapa cantrik untuk mengawasinya,
jangan sampai keluar dari Padepokan ini", berkata Prabu
Guru Darmasiksa kepada Putut Sumitra ketika Batuganal
sudah tidak terlihat lagi.
"Aku akan memerintahkan beberapa cantrik untuk
mengawasinya", berkata Putut Sumitra sambil pamit diri.
"Hari sudah jauh malam", berkata Prabu Guru
Darmasiksa kepada Putu Risang dan Pangeran
Jayanagara sambil mempersilahkannya untuk beristirahat. Demikianlah, pendapa Padepokan itu akhirnya
menjadi sepi dan lengang, hanya ada satu pelita malam
yang terlihat hampir redup cahayanya tertiup angin dingin
dimalam itu. Sementara itu di Kotaraja Kawali terlihat sebuah
pasukan tengah memasuki batas gerbang kota dari arah
selatan. Mereka adalah sepasukan prajurit berkuda yang
datang membawa Gajahmada sebagai tawanan mereka
"Besok aku akan melapor kepada Patih Anggajaya,
sekarang bawalah tawanan kita ke bangsal tahanan",
273 berkata Lurah Janget kepada salah seorang anak
buahnya ketika mereka telah memasuki pintu gerbang
istana. "Ikutilah kami", berkata seorang prajurit kepada
Gajahmada yang nampak terikat kedua tangannya itu.
Maka terlihat Gajahmada mengikuti langkah kaki
seorang prajurit didepannya, sementara tiga orang
prajurit telah berjalan dibelakangnya.
Tidak lama berselang mereka telah berada di sebuah
bangsal tahanan, sebuah bangunan yang sama sekali
tidak berjendela. Hanya ada satu pintu masuk terbuat
dari bahan kayu yang sangat tebal dan kokoh.
"Baru kali ini aku melihat seorang tawanan begitu
tenang seperti tidak takut akan menerima sebuah
hukuman atasnya yang akan diputuskan besok", berkata
seorang prajurit berbisik kepada kawannya ketika
Gajahmada telah masuk kedalam bangsal tahanan itu.
"Aku jadi kurang yakin apa benar anak muda itu telah
membawa kabur seorang gadis", berkata kawan prajurit
itu masih di pintu bangsal tahanan.
"Bersalah atau tidaknya bukan tugas kita, yang pasti
kita sudah menjalankan tugas membawanya kemari",
berkata salah seorang dari keempat prajurit itu.
"Tapi gara-gara anak muda ini, kita berempat harus
menunggu sampai pagi ditempat ini", berkata seorang
lagi sambil bergumam menggerutu.
Sementara itu di dalam bangsal tahanan, Gajahmada
terlihat tersenyum sendiri. Keempat prajurit itu tidak tahu
bahwa Gajahmada di dalam dapat mendengar semua
pembicaraan mereka. Ruang di bangsal itu memang sangat gelap, namun
274 akhirnya Gajahmada dapat membiasakan diri melihat
didalam kegelapan. Tidak ada barang apapun di dalam
bangsal tahanan itu, hanya ada satu bale kayu sangat
kecil sekali, hanya cukup untuk berbaring seluas badan.
Disitulah Gajahmada duduk di dalam bangsal yang
gelap itu. Didalam bangsal itu Gajahmada tidak dapat
mengetahui waktu, siang dan malam tidak ada banyak
perbedaan karena tertutup rapat.
Dan ketika sebuah cahaya terlihat dari dalam, tahulah
Gajahmada bahwa cahaya itu berasal dari lubang kotak
persegi menjadi satu dari bagian pintu bangsal itu.
"Makan dan kenakanlah pakaian ini", berkata seorang
prajurit penjaga dari luar lubang itu sambil menyodorkan
kedalam sebuah baki kayu berisi semangkuk makanan
dan setumpuk kain. Terlihat Gajahmada melangkah mengambil tumpukan
pakaian diatas baki kayu. Ternyata dua potong kain
putih, sebuah pakaian khusus yang harus dikenakan oleh
seorang tahanan. Sambil tersenyum Gajahmada mengenakan pakaian
tahanan itu, melilitkan satu potongan kain untuk
menutupi bagian pusar kebawah. Sementara potongan
kain lagi dililitkan diantara leher dan bagian dadanya.
Sebuah pakaian tahanan yang sangat mirip selayaknya
biasa dipakai oleh seorang pendeta di Biara.
Ketika Gajahmada telah selesai mengenakan
pakaian tahanan itu, pendengarannya yang sangat tajam
telah menangkap sebuah pembicaraan diluar bangsal.
"Apakah tuan Pangeran ada kepentingan dengan
tahanan ini?", bertanya seorang prajurit penjaga kepada
275 seorang pemuda yang datang mendekati Bangsal
tahanan. "Buka pintunya, aku ingin masuk menjumpainya",
berkata anak muda diluar bangsal tahanan.
"Hati-hati dengan tahanan ini", berkata suara prajurit
mengingatkan kepada anak muda yang baru datang itu.
Dan Gajahmada telah mendengar suara derit pintu
bangsal bergeser terbuka.
Sebuah cahaya terlihat masuk lewat pintu bangsal
tahanan yang terbuka. Dan Gajahmada melihat
seseorang berdiri di gawang pintu yang telah terbuka.
"Apakah kamu baik-baik saja, Mahesa Muksa?",
bertanya orang itu sambil telah melangkah masuk yang
ternyata adalah Pangeran Citraganda.
"Seperti yang kamu saksikan, aku tidak kurang
apapun, sudah punya baju baru pakaian khusus seorang
tahanan", berkata Gajahmada sambil bertolak pinggang
memperlihatkan pakaian baru yang dikenakannya itu.
"Seperti seorang pendeta di sebuah biara", berkata
Pangeran Citraganda memberikan penilaian atas pakaian
yang dikenakan Gajahmada.
Setelah mempersilahkan Pangeran Citraganda duduk
di bale bersama, Gajahmada menceritakan sebuah
kejadian yang dialaminya bersama Andini di tempat
kediaman Patih Anggajaya.
"Aku datang di istana ini sebagai seorang tawanan
atas keinginanku sendiri. Dan Prabu Guru Darmasiksa
telah menyetujui dimana aku dapat menjaga keluarga
istana bila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan",
berkata pula Gajahmada mengenai latar belakang
mengapa dirinya dengan begitu mudah menyerahkan
276 diri. "Sebuah cara yang bagus untuk masuk ke dalam
istana", berkata Pangeran Citraganda sambil tersenyum.
"Dan aku tidak sendiri di istana ini dengan adanya kamu,
Mahesa Muksa", berkata kembali Pangeran Citraganda.
"Semoga tidak ada perintah dari seorang Pangeran
untuk mencambuk seorang tahanan", berkata Gajahmada yang ditanggapi gelak tawa oleh Pangeran
Citraganda. Mendengar suara tawa dari dalam bangsal telah
membuat kedua orang prajurit penjaga mengerutkan
keningnya. Mereka tidak habis pikir bahwa seorang
tahanan dan Pangeran Citraganda begitu asyik
berbincang didalam seperti layaknya tidak di dalam
sebuah bangsal tahanan. "Tiap saat aku akan datang mengunjungimu", berkata
Pangeran Citraganda sambil berdiri dan berjalan
melangkah keluar. Dan ketika Pangeran Citraganda telah melewati pintu
bangsal tahanan, kembali suasana bangsal tahanan itu
menjadi gelap gulita karena pintu bangsal telah ditutup
kembali. Sementara itu, matahari di istana Kawali sudah
semakin tinggi, hari sudah tidak bisa disebut pagi lagi
karena sudah begitu terang mendekati saat siang.
Berita tentang adanya penghuni baru didalam
bangsal tahanan istana sudah tersebar cukup luas, jauh
hingga keluar dinding istana. Berita itu juga telah
didengar oleh Dyah Rara Wulan di pasanggrahan
Keputriannya. Terlihat sang putri itu begitu gelisah, hati dan
277 pikirannya telah begitu mencemaskan keadaan
Gajahmada di bangsal tahanan. Ingin dirinya untuk
datang mengunjungi pemuda idaman hatinya itu, namun
masih jelas teringat perkataan ibunda permaisuri Ratu
Dara Puspa yang telah melarang dirinya mengunjungi
Gajahmada. "Jangan kamu rendahkan martabat keluarga istana
ini, apa kata orang bila mengetahui seorang putri istana
Kawali telah jatuh hati dengan seorang penjahat wanita",
berkata permaisuri Ratu Dara Puspa kepada Dyah Rara
Wulan yang telah mencegahnya untuk bertemu dengan
Gajahmada. "Aku ingin bertanya langsung dengan Kakang
Mahesa Muksa, apakah benar perkataan orang tentang
dirinya?", berkata Dyah Rara Wulan dalam hati penuh
kegelisahan. "Kasihan anak gadis itu", berkata Bibi pengasuhnya
dalam hati merasa kasihan melihat putri junjungannya
yang terlihat sangat gelisah, gusar gundah gulana duduk
melamun di pinggir kolam taman pasanggrahan
Keputrian. Namun, wanita tua pengasuh sang putri itu tidak
berkata apapun, dapat mengerti hati gadis asuhannya itu
dan sudah sangat paham sekali bahwa disaat seperti itu
jangan sekali-kali mencoba mendekatinya, bisa-bisa
akan berbalik terkena imbas kegusarannya.
Namun hati dan perasaan wanita tua itu tiba-tiba
menjadi begitu cerah ketika dilihatnya seorang anak
muda datang mendekati sang putri.
"Aku baru saja datang dari bangsal tahanan", berkata
pemuda itu yang tidak lain adalah Pangeran Citraganda.
278 Pangeran Citraganda langsung bercerita tentang
keadaan Gajahmada, asal muasal kejadian sebenarnya
mengapa harus membawa pergi Andini.
"Jadi Kakang Mahesa Muksa tidak seperti apa yang
dipersangkakan orang kepadanya?", bertanya Dyah Rara
Wulan setelah mendengar semua penjelasan Pangeran
Citraganda. "Mahesa Muksa sengaja menyerahkan dirinya agar
dapat melindungimu?", berkata Pangeran Citraganda
dengan wajah menggoda. "Mengapa Kakang Citraganda tidak segera ke
Padepokan Kakek Prabu untuk melihat keadaan
Andini?", bertanya Dyah Rara Wulan berbalik menggoda
Pangeran Citraganda. "Apa maksud perkataanmu?", berkata Pangeran
Citraganda mencoba mengelak godaan dari adiknya itu.
"Kakang tidak usah menghindar dariku, aku sudah
dapat menebak sikap dan perasaan Kakang terhadap
Andini", berkata Dyah Rara Wulan seperti berada diatas
angin telah berbalik menggoda kakaknya itu.


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jujur kukatakan bahwa gadis itu memang begitu
cantik jelita", berkata Pangeran Citraganda sambil
mencabut sebatang rumput dan melemparnya jauh
ditengah kolam. "Nampaknya Pangeran tampanku memang telah
jatuh cinta", berkata Dyah Rara Wulan dengan senyum
penuh menggoda. "Bila seorang mengagumi, apa sudah dapat
dikatakan jatuh hati?", bertanya Pangeran Citraganda
menghadapkan wajahnya dekat dengan wajah Dyah
Rara Wulan. 279 "Cinta datang berawal dari rasa kagum, dan
pangeranku sudah terjerat masuk lebih dalam lagi",
berkata Dyah Rara Wulan. "Tapi Andini kulihat lebih memilih Mahesa Muksa",
berkata Pangeran Citraganda sambil memalingkan
wajahnya dari hadapan Dyah Rara Wulan, pandangannya terlihat jatuh menatap seekor ikan kecil
yang berlari bersembunyi di balik sebuah tanaman air.
"Kakang belum berjalan menuju peperangan cinta,
kakang belum menghunus pedang merebut hatinya.
Kejarlah Andini sampai dapat, sementara aku akan
menjerat pujaan hatiku sendiri, Kakang Mahesa Muksa",
berkata Dyah Rara Wulan dengan suara berbisik seperti
takut terdengar oleh siapapun.
"Aku tidak akan berjalan ke peperangan apapun demi
sebuah cinta. Bagiku cinta bukan sebuah tahta yang
harus diperebutkan oleh siapapun", berkata Pangeran
Citraganda sambil kembali mencabut sebatang rumput
dan kembali melemparnya jauh ke tengah kolam.
Sementara itu di bangsal tahanan yang gelap, terlihat
Gajahmada tengah berlatih olah laku rahasianya. Di
bangsal tahanan yang gelap itu membuat Gajahmada
mendapat sebuah tempat berlatih yang baik, lebih dapat
menekuni olah lakunya menjadi lebih dapat mengenali
setiap gerak nafasnya, setiap gerak jalan syaraf aliran
darahnya. Dan dengan penuh ketelitian dapat
mengalirkan sebuah pusaran kekuatan jati dirinya
kemanapun yang dikehendakinya.
Demikianlah, Gajahmada terus menekuni olah
lakunya didalam bangsal tahanan yang gelap pekat itu,
semakin berlatih semakin bertambah kesegaran didalam
tubuhnya yang sudah terpupuk hawa murni yang terus
280 kian bertambah menjadi sumber kekuatan dari diri sejati.
Dan Gajahmada tidak menyadari bahwa diluar
bangsa tahanan istana itu hari sudah menjadi malam.
Wajah bulan sudah hampir mendekati bulat sempurna.
"Besok Baginda Raja Ragasuci akan pergi berburu.
Dan kita hanya duduk menunggu Adipati Suradilaga
sebagai kuda hitam kita membunuh Sang Raja di Hutan
Sindur", berkata Patih Anggajaya kepada tiga orang
kepercayaannya di rumah kediamannya sendiri.
"Saat ini Adipati Suradilaga dan pasukannya mungkin
sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan Raja
Ragasuci di Hutan Sindur", berkata salah seorang
kepercayaan Patih Anggajaya.
"Seperti Adipati Suradilaga, aku juga jadi tidak sabar
untuk secepatnya duduk diatas kursi singgasana istana",
berkata Patih Anggajaya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Tercium aroma yang menyengat dari mulut Patih
Anggajaya. Nampaknya sang Patih yang licik itu sudah
terlalu banyak minum arak ditemani oleh tiga orang
kepercayaannya itu. Sementara itu sebagaimana yang dikatakan oleh
orang kepercayaan Patih Anggajaya, di hutan Sindur
Pasukan Adipati Suradilaga memang sudah berada dua
hari dua malam di hutan itu. Tapi di luar pengetahuan
orang-orang Patih Anggajaya, para cantrik dari
Padepokan Prabu Guru Darmasiksa juga telah berada di
hutan Sindur bersembunyi ditempat-tempat yang telah
ditentukan guna dapat dengan mudah menyergap
kedatangan pasukan patih Anggajaya.
"Apakah Adipati Suradilaga dapat dipercaya?",
berkata Jayakatwang kepada Prabu Guru Darmasiksa di
281 tempat persembunyiannya. "Aku mengenalnya sebagai seorang prajurit yang
sangat setia", berkata Prabu Guru Darmasiksa penuh
keyakinan. "Semoga semua sesuai dengan apa yang telah kita
rencanakan", berkata Pangeran Jayanagara
"Kita serahkan semua kepada ketentuan pemilik
segala ketentuan dan ketetapan ini, Gusti Yang Maha
Agung, banyak hal yang bisa saja terjadi diluar kehendak
kita", berkata Prabu Guru Darmasiksa.
Sementara itu di saat yang sama, terlihat suasana
penuh kegembiraan di rumah kediaman Patih Anggajaya.
"Raja tua Prabu Guru Darmasiksa kalah satu langkah
dengan kita, mereka tidak pernah menghitung kekuatan
pasukan dari Kotaraja Rakata", berkata Patih Anggajaya
dengan penuh kegembiraan hati.
Namun Patih Anggajaya dan ketiga orang
kepercayaannya itu sama sekali tidak mengetahui bahwa
semua pembicaraan mereka telah didengar oleh
seseorang di balik pintu pringgitan.
Di balik pintu pringgitan terlihat seorang wanita
tengah mendengarkan pembicaraan mereka yang tidak
lain adalah Nyi Dewi Kaswari.
"Celakalah keluarga istana bila saja semua rencana
suamiku benar-benar menjadi sebuah kenyataan"
berkata Nyi Dewi Kaswari merasa terkejut mendengar
semua rencana suaminya itu, Patih Anggajaya.
"Sayangnya aku tidak tahu kepada siapa berita ini
harus aku sampaikan" berkata Nyi Dewi Kaswari merasa
ragu dan bimbang tidak tahu kepada siapa berita itu akan
disampaikan. "Aku juga tidak tahu apakah perbuatanku
282 ini adalah sebuah pengkhianatan kepada seorang
suami?" berkata kembali Nyi Dewi Kaswari dalam hati
menjadi bertambah ragu. Ketika hari sudah menjadi begitu larut malam, Nyi
Dewi Kaswari sudah tidak tahan lagi menahan rasa
kantuknya. Namun kebimbangan hatinya masih saja terbawa di
peraduannya, keraguan antara rasa kasihan melihat
kehancuran keluarga istana dan kesetiaan bakti seorang
istri atas suaminya. Akhirnya wanita yang masih berparas cantik jelita di
usia yang sudah mendekati setengah baya itu terlihat
sudah terlelap tidur tidak kuat menahan rasa kantuknya
bersama suasana di luar yang menjadi semakin dingin
akibat telah turun hujan begitu lebat mengguyur hampir
merata bumi Kotaraja Kawali.
Jilid 4 Bagian 1 KETIKA Nyi Dewi Kaswari terbangun di pagi harinya,
tidak dilihat suaminya bersama di peraduannya.
"Apakah bibi melihat suamiku telah pergi keluar
rumah di pagi ini?" bertanya Nyi Dewi Kaswari kepada
seorang pelayan tua di rumahnya.
"Tuan Patih memang tidak tidur di rumah ini, tadi
malam bibi lihat sendiri telah keluar bersama ketiga
tamunya", berkata pelayan tua itu kepada Nyi Dewi
Kaswari. "Di saat masih turun hujan?" bertanya kembali Nyi
283 Dewi Kaswari. Terlihat pelayan tua itu tidak berkata
apapun, hanya sedikit perlahan menganggukkan
kepalanya. Diam-diam hatinya ikut teriris pilu melihat
suasana kehidupan rumah tangga anak asuhnya itu yang
sudah disayangi seperti putrinya sendiri.
Sayu wajah Nyi Dewi Kaswari terduduk lesu
memandang tempat kosong lantai pendapa dari arah
duduknya di ruang pringgitan. Yang ada dalam bayangan
pikiran Nyi Dewi Kaswari saat itu adalah bahwa
suaminya pasti masih tertidur pulas disamping seorang
wanita lain. Tiba-tiba saja terlihat sebuah perubahan di wajah Nyi
Dewi Kaswari yang dipenuhi rasa kebencian yang
sangat. "Bibi, kemarilah", berkata Dewi Kaswari memanggil
pelayan tua yang sudah dianggapnya sebagai ibunya
sendiri. Pagi itu suasana di jalan Kotaraja Kawali sudah
cukup ramai, beberapa wanita terlihat tengah berjalan
dengan bakul di atas kepala mereka, mungkin akan
berangkat menuju pasar di tengah Kotaraja.
Suasana di jalan Kotaraja Kawali di pagi itu menjadi
terlihat seperti tercekam manakala dua penunggang kuda
melarikan kudanya sambil membawa dua buah bendera
kebesaran, salah satunya adalah sebuah bendera hijau
bergambar kepala harimau putih.
Melihat sebuah bendera bergambar kepala harimau
putih yang di bawa oleh seorang prajurit berkuda itu telah
membuat semua orang di jalan Kotaraja Kawali itu
segera menepi. Serentak tanpa perintah apapun semua orang di tepi
284 jalan Kotaraja Kawali itu langsung menyisihkan barang
apapun yang mereka bawa dan langsung bersujud di
jalan tanah itu manakala sebuah pasukan berkuda
terlihat seperti berpacu menyusuri jalan kotaraja Kawali
di pagi itu. Semua orang diatas jalan Kotaraja Kawali itu sudah
terbiasa dan tahu betul bahwa diantara sekitar dua puluh
lima pasukan berkuda itu adalah Raja Ragasuci yang
akan lewat menuju gerbang batas kota sebelah selatan
Kotaraja Kawali. Terlihat seorang wanita tua ikut bersujud dengan
penuh hikmat di tepi jalan Kotaraja Kawali. Dan ketika
deru suara langkah kaki kuda telah menghilang menjauh,
barulah wanita tua berdiri kembali.
Perlahan wanita tua itu melangkahkan kakinya,
nampaknya kearah istana Kawali.
Nampaknya wanita tua itu seperti tidak asing lagi
masuk melewati gerbang pintu istana mendekati seorang
prajurit penjaga yang sedang bertugas di hari itu.
"Bibi Ijah, biasanya kamu datang bersama
junjunganmu", berkata seorang prajurit penjaga
memanggil namanya seperti sudah saling mengenal.
"Hari ini aku ditugaskan oleh junjunganku untuk
mengantar sebuah bingkisan kepada Tuan Putri Dyah
Rara Wulan", berkata wanita tua itu yang ternyata adalah
pelayan tua di rumah kediaman Patih Anggajaya.
"Aku akan masuk menemui tuan Putri, semoga tuan
putri berkenan menemui kamu", berkata prajurit penjaga
itu kepada Bibi Ijah. "Terima kasih tuan prajurit, aku akan menanti disini",
berkata Bibi Ijah langsung masuk kedalam ruang tunggu
285 di gardu penjagaan itu. Terlihat prajurit penjaga itu telah melangkah dan
menghilang di jalan lorong istana. Tidak lama berselang
prajurit penjaga itu telah datang kembali.
"Tuan putri telah berkenan menerimamu di
Pasanggrahan Keputrian", berkata prajurit penjaga itu
kepada Bibi Ijah. "Terima kasih, tidak perlu diantar, aku sudah tahu
arah Pasanggrahan Keputrian", berkata bibi Ijah dengan
wajah gembira mendapat perkenan dari tuan putri.
"Celaka !!", berkata Dyah Rara Wulan penuh rasa
mencekam manakala mendengar sebuah berita yang
disampaikan oleh bibi Ijah sebagaimana yang didengar
oleh Nyi Dewi Kaswari. "Ayahanda tadi pagi sudah berangkat ke Hutan
Sindur", berkata kembali Dyah Rara Wulan masih
dengan wajah penuh rasa khawatir yang sangat.
"Tugas hamba hanya menyampaikan berita ini dari
Nyi Mas Dewi Kaswari", berkata Bibi Ijah sambil pamit
diri. "Katakan rasa terima kasih kami kepada
junjunganmu", berkata Dyah Rara Wulan mengantar Bibi
Ijah menuruni pendapa tempat tinggalnya.
Ketika bibi Ijah sudah tidak terlihat lagi, tanpa
menunggu waktu lagi segera Dyah Rara Wulan menemui
Pangeran Citraganda. Dengan nafas masih tersengal terlihat Dyah Rara
Wulan mendatangi Pangeran Citraganda yang tengah
berlatih di sanggar tertutup istana.
"Tenangkan dirimu wahai adikku yang jelita, kulihat
286 kamu seperti tengah di kejar hantu", berkata Pangeran
Citraganda ketika Dyah Rara Wulan datang menemuinya. "Celaka!!!", berkata Pangeran Citraganda manakala
mendengar langsung sebuah berita rencana Patih
Anggajaya dari Dyah Rara Wulan.
"Ibunda harus mengetahui berita ini, mungkin punya


Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah pemikiran yang baik", berkata Pangeran
Citraganda kepada Dyah Rara Wulan.
"Celaka!!, begitu busuk hati Patih Anggajaya",
berkata sang permaisuri Ratu Dara Puspa manakala
telah mendengar penuturan tentang sebuah niat jahat
Patih Anggajaya. "Patih Anggajaya akan membawa seluruh pasukan
prajurit Kawali ke Hutan Sindur agar memudahkan
Prajurit Kotaraja Rakata masuk menguasai istana ini.
Adakah ibunda dapat mencegahnya?", bertanya
Pangeran Citraganda penuh harap kepada ibundanya
sang permaisuri Ratu Dara Puspa.
"Sayangnya para prajurit Kawali pasti akan banyak
mendengar perintah Patih Anggajaya ketimbang
mendengar perkataanku", berkata Ratu Dara Puspa
duduk lesu penuh kekhawatiran.
Melihat sikap ibunda Ratu, membuat Pangeran
Citraganda dan Dyah Rara Wulan seperti patah
semangat, semula diharapkan bahwa ibunda Ratu dapat
memberikan sebuah jalan keluar dari permasalahan yang
akan mereka hadapi. "Aku punya sebuah usul, mudah-mudahan ibunda
menyetujui usulku ini", berkata Pangeran Citraganda
sepertinya mendapat sebuah akal dan cara baru.
287 "Katakan, mungkin ibundamu dapat menerima
usulmu itu", berkata Ibunda Ratu Dara Puspa kepada
Pangeran Citraganda. "Kita buat sebuah keonaran di istana ini, agar prajurit
Kawali tertunda untuk dibawa keluar oleh Patih
Anggajaya", berkata Pangeran Citraganda menyampaikan sebuah usulnya.
"Siapa menurutmu yang bisa melakukan perbuatan
keonaran semu di istana ini?", bertanya Ratu Dara Puspa
kepada putranya itu. "Mahesa Muksa, dialah yang mungkin mampu
melakukannya", berkata Pangeran Citraganda dengan
penuh keyakinan. "Mahesa Muksa", penjahat wanita itu?", berkata Ratu
Dara Puspa dengan wajah kurang senang.
"Kakang Mahesa Muksa bukan seperti yang orang
persangkakan atasnya", berkata Dyah Rara Wulan
mencoba meluruskan pandangan ibundanya.
"Kamu masih saja membelanya, apakah tidak ada
pilihan lain di hatimu selain anak muda itu", ingatlah
bahwa kamu adalah putri seorang raja, Eyang buyutmu
juga para Raja. Aku dan semua saudaraku para putri
Melayu adalah para istri Raja", berkata Ratu Dara Puspa.
"Waktu dan jaman telah berbeda, wahai ibundaku.
Aku bukan seorang putri Raja yang duduk di bawah
panggung palagan menunggu seorang kesatria
unggulan. Waktu dan jaman telah berbeda, wahai
ibundaku. Untukku seorang gadis bukan lagi sebuah
barang pilihan, tapi sebuah hati yang punya martabat
untuk menentukan siapa pilihan hatinya", berkata Dyah
Rara Wulan dengan wajah penuh berlinang air mata tidak
288 mampu lagi membendung perasaan hatinya yang terluka
"Benar, Mahesa Muksa bukan sebagaimana
persangkaan orang", berkata Pangeran Citraganda
sambil bercerita sebuah kejadian yang sebenarnya di
kediaman Patih Anggajaya beberapa hari yang telah
lewat. "Saat ini aku memang tidak punya pilihan apapun,
kuserahkan segala urusan ini kepadamu", berkata Ratu
Dara Puspa yang sudah mulai melemah, sudah dapat
menerima penjelasan Pangeran Citraganda tentang
Mahesa Muksa. "Hamba berdua mohon pamit diri, mohon doa restu
dari ibunda", berkata Pangeran Citraganda sambil
menggamit tangan adiknya Dyah Rara Wulan keluar dari
kamar pribadi ibundanya. Ratu Dara Puspa terlihat masih berdiam diri melihat
punggung kedua putra dan putrinya yang menghilang di
balik pintu kamarnya. "Apakah aku telah memaksakan kehendak kepada
putriku sendiri?", berkata Ratu Dara Puspa dalam hati
menimbang-nimbang perasaan hatinya sendiri. "Apa kata
orang bila putriku berjodoh dengan anak muda itu,
seorang biasa dan telah tercoreng sebagai seorang
penjahat wanita", berkata kembali Ratu Dara Puspa
seperti berusaha mendustai kelemahan sisi hatinya yang
menerima perkataan dan kehendak putrinya sendiri.
"Salahkah bila aku berusaha mempertahankan
kebesaran nama keturunanku sendiri?" berkata kembali
Ratu Dara Puspa dalam hati.
Sementara itu Pangeran Citraganda dan Dyah Rara
Wulan telah sampai di jalan simpang antara arah menuju
Pasanggrahan Keputrian dan jalan menuju arah Bangsal
289 tahanan di istana Kawali.
"Beristirahatlah, biar aku sendiri yang akan menemui
Mahesa Muksa", berkata Pangeran Citraganda penuh
kasih sayang melihat wajah adiknya yang masih terlihat
bersedih. "Sampaikan salamku untuk Kakang Mahesa Muksa",
berkata Dyah Rara Wulan perlahan.
Terlihat Pangeran Citraganda tengah berjalan
setengah berlari menuju bangsal tahanan tempat dimana
Gajahmada berada saat itu. Pangeran Citraganda telah
melihat dua orang prajurit penjaga di muka pintu bangsal
tahanan itu. "Bukakan pintunya, aku ingin menemui tahanan itu",
berkata Pangeran Citraganda kepada kedua prajurit itu.
"Ampunkan hamba tuan Pangeran, ada perintah dari
Patih Anggajaya telah melarang siapapun datang
menemuinya", berkata salah seorang dari prajurit itu
Pedang Keadilan 4 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Pecut Sakti Bajrakirana 4

Cari Blog Ini