Ceritasilat Novel Online

Lembah Merpati 6

Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 6


Si orang tua berpikir sebentar lalu meneruskan pula:
"Dia kini telah membagi Lembah Merpati menjadi dua bagian. Yang diberi nama Lembah Dalam dan Lembah Luar. Ia sendiri tetap sebagai ketua lembah Dalam bersama dengan para orang tertua mengatur semua urusan besar dan kecil. Tapi di Lembah Luar seperti juga ada mengangkat ketua juga, hanya ketua Lembah Luar ini harus mendengar perintah ketua Lembah Dalam. Di dalam Lembah Luar inilah yang dijadikan asrama besarnya. Para kepala jagoan yang berkepandaian tinggi ditaruh di dalam Lembah Luar ini. Yang kau katakan sering berbuat sewenang-wenang adalah orang-orang ini. Hanya sayang kejadian-kejadian ini masih belum dapat diketahui oleh sidang para orang tertua di dalam Lembah Dalam. Inilah suatu malapetaka yang dapat mengakibatkan hancurnya Lembah Merpati. Maka apa boleh buat aku harus memberi tugas ini kepada orang luar juga."
Selendang Merah menyelak:
"Jika demikian, tentunya ilmu silat Lembah Merpati ini akan merajai dunia."
Kedua mata si orang tua mendadak menjadi lebih bersinar. Dengan keren ia berkata:
"Bukannya aku berkata sombong. Jika keluar di kalangan Kang-ouw saja, tidak ada yang dapat menandingi."
Tapi setelah ini si orang tua merasa seperti terlepasan berkata.
Di hadapan dua anak muda itu tidak seharusnya berkata demikian. Maka dengan kalem ia melanjutkan pula:
"Pada jaman dahulu kala, demi kepentingan dan keamanan lembah, orang yang pandai-pandai telah bersama-sama menyetujui untuk mengeluarkan kepandaiannya masing-masing yang sudah dikumpulkan menjadi satu buku. Inilah yang menjadi sari kepandaian Lembah Merpati, dan orang menyebutnya kitab Kutu Buku. Kitab Kutu Buku ini, karena bukan ciptaannya seorang saja, maka ia terdiri dari bermacam-macam kepandaian yang tidak mudah dipelajari untuk sembarang orang. Biarpun dari Lembah Merpati yang mempunyai otak yang terang, tapi tidak mungkin seorang dapat memahami kepandaiannya sedemikian banyak orang pandai. Maka kitab Kutu Buku ini selalu disimpan di tangannya ketua lembah. Dan ketua lembah menurut keadaan orang masing-masing memberi sedikit pelajaran yang cocok baginya. Aku, biarpun sebagai ketua lembah lama, juga hanya dapat mempelajari tidak lebih dari empatpuluh persen saja.
Pewaris Ketua Lembah Merpati
Koo San Djie mengutarakan pandapatnya:
"Jika dikatakan orang yang sering berbuat sewenang-wenang itu, bukannya orang-orang dari lembah, maka kepandaian-kepandaian mereka itu bukannya kepandaian Lembah Merpati yang asli."
"Mungkin juga," si orang tua menjawab. "Si binatang, biarpun bernyali besar, kurasa dia masih tidak berani melanggar peraturan ini menurunkan ilmu kepandaian kepada orang luar. Umpama benar dia berani berbuat begini, Dewan Orang Tertua juga tidak dapat sembarangan menyudahinya."
Berkata sampai di sini si orang tua sudah menggapaikan tangannya kepada anak muda kita.
Koo San Djie menurut akan perintah si orang tua yang hanya tinggal bertangan satu ini.
Mendadak si orang tua dengan keras berkata:
"Lekas berlutut."
Koo San Djie juga menurut perintah menekuk lututnya dan menjatuhkan diri di hadapannya.
Si orang tua setelah merogoh-rogoh di dalam saku bajunya sekian lama, ia mengeluarkan sebuah benda seperti batu kumala yang disodorkan ke arah Koo San Djie.
Dengan sifat yang agung sekali ia berkata:
"Inilah tanda kepercayaan ketua lembah dari Lembah Merpati. Siapa yang melihatnya, berarti bertemu dengan ketua lembah. Harap kau dapat baik-baik menyimpannya."
Biarpun Koo San Djie menyambuti benda ini tapi masih belum mengerti akan maksudnya.
Diperhatikannya benda ini yang ada seperti batu kumala berwarna licin mengkilap. Di atasnya terlukis sepasang burung merpati yang sedang terbang di udara. Mata burung yang kecil berwarna hitam bersinar seperti hidup.
Si orang tua dengan sungguh-sungguh berkata:
"Mulai dari ini waktu kau telah menjadi calon ketua Lembah Merpati."
Lalu ia menyelaskan tentang kegunaannya tanda kebesaran itu.
"Kau jangan tidak memandang mata kepada tanda kebesaran ini, ia mempunyai khasiat tahan panas, tahan racun dan tahan dingin, ia adalah terbuat dari bahan yang sama dengan batu kumala dari kerajaan Cao. Ketua lembah yang sekarang juga mempunyai tanda kebesaran yang seperti ini, tapi kepunyaannya adalah palsu belaka. Setelah kau dapat masuk ke dalam lembah, akan kau ketahui sendiri."
Setelah penjelasannya si orang tua mengeluarkan juga dua botol obat yang tidak sama. Setelah diberikan kepada San Djie ia juga mengasi tahu kegunaannya.
"Ini adalah obat buatan Lembah Merpati. Yang satu ini adalah "Penjernih otak" dan satu lagi "Tujuh kembali".
Setelah memberi tahu akan namanya kedua obat ini, ia juga memberi tahu akan kegunaannya.
"Yang ini pil "tujuh kembali" dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Orang yang melatih silat, jika memakan pil ini dapat menambah latihannya menjadi sepuluh tahun. Dan pil "penjernih otak" ini masih tinggal tiga butir lagi. Kau berdua boleh masing-masing memakan sebutir, dan yang sebutir lagi kau boleh simpan untuk digunakan nanti."
Bertiga mereka berdiam ditempatnya masing-masing. Setelah sekian lama mereka terdiam, mendadak San Djie seperti mengingat sesuatu apa, maka ia bertanya:
"Boanpwee diperintahkan pergi ke dalam Lembah Merpati, tapi sebenarnya boanpwee belum pernah pergi kesana. Maka harus dengan jalan apa?"
Pertanyaan ini bukan hanya San Djie saja yang ingin tahu, si Selendang Merah pun telah memikirkannya. Tapi dilihatnya oleh mereka si orang tua telah menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membuka mulutnya dan berkata:
"Dengan cara ini saja aku telah melanggar peraturan leluhur, bagaimana berani membongkar rahasia ini lagi" Kau tidak usah kuatir akan hal ini, tidak lama lagi tentu akan terbuka juga jalannya bagimu."
San Djie tidak mau memaksa menanya terus.
Si orang tua setelah memberi segala petunjuk-petunjuk yang perlu kepadanya, lalu memanggil San Djie ke dekatnya dan membisikinya sampai setengah harian.
Si Selendang Merah hanya dapat melihat mulutnya si orang tua yang bergerak-gerak, tapi tidak dapat mendengar apa yang dikatakan olehnya. Dilihatnya San Djie yang dapat mendengar bisikan ini semakin lama sudah menjadi semakin tegang saja.
Si orang tua setelah mengucapkan sekali, diulanginya lagi sampai dua-tiga kali baru selesai. San Djie juga sudah menjadi bukan main gembiranya, berulang kali ia memanggut-manggutkan kepalanya. Dilihatnya San Djie juga turut berkemak-kemik juga.
Si orang tua hanya melihat saja anak muda yang pintar ini, lalu ia memandang ke mulut goa seperti membayangkan sesuatu apa. Mendadak si orang tua seperti telah mengambil suatu putusan, seperti berkata sendiri ia mengeluarkan perkataannya:
"Baik beginipun boleh."
Lalu ia berkata kepada San Djie berdua:
"Setelah aku tidak bernapas, mayatku kau boleh simpan di sela-sela dalam goa ini."
San Djie dibikin bingung oleh beberapa patah perkataan yang tidak keruan juntrungannya ini. Tapi ia hanya dapat memanggut-manggutkan kepalanya dengan mulut tidak hentinya berkata:
"Baik, baik......."
Sampai disini si orang tua seperti telah selesai dengan tugasnya. Ia memanggil San Djie untuk lebih dekat lagi dan perlahan-lahan menguruti di seluruh tubuh anak muda ini.
San Djie hanya merasakan aliran-aliran yang hangat mengalir datang dari berbagai jurusan yang terkena tangannya si orang tua yang bernasib malang ini. Bukan main rasa segarnya sekarang ini.
Tapi ia mana tahu yang si orang tua tidak berkaki ini sedang mencurahkan seluruh tenaga kepadanya untuk diwariskan kepada orang yang sudah dicalonkan olehnya menjadi ketua Lembah Merpati ini. Setelah selesai dengan pekerjaan ini ia akan menjadi seperti pelita yang kehabisan minyak dan meninggalkan dunia yang fana ini.
Untung San Djie tidak dapat mengetahui akan segala akibat ini. Jika ia berpengalaman, sudah tentu ia tidak mau menerima cara pengorbanan yang sebesar ini.
Si Selendang Merah tahu akan si orang tua ini telah memakan tenaga yang bukan sedikit untuk membantu tenaga dalamnya San Djie. Tapi ia juga tidak mengetahui akan akibat matinya dari si orang tua yang tersiksa ini.
Setelah memijit beberapa waktu lamanya, San Djie merasakan tangannya si orang tua semakin lama menjadi semakin lemah dan kemudian berhenti sama sekali. Tapi ia masih membiarkannya saja.
Yang heran, tangan ini semakin lama sudah menjadi semakin dingin saja. Koo San Djie seperti telah merasakan sesuatu yang tidak beres, maka ia dengan cepat sudah membalikkan badannya dan memegang urat nadi si penolong besarnya.
Alangkah kagetnya, ia merasakan si orang tua sudah tidak bernapas lagi. Bagaikan seorang anak kecil yang ditinggalkan bapaknya ia menjadi menggerung-gerung menangis. Ia mempunyai perasaan yang tajam, orang tua ini telah membantu mengobati luka dalamnya, memberi banyak petunjuk ilmu silat kepadanya, dan yang terakhir, demi menambah tenaga, orang tua ini sampai harus mengorbankan jiwanya yang berharga.
Pengorbanannya sedemikian besarnya, mana ia tidak menggerung-gerung menangis"
Setelah membiarkan Koo San Djie menangis sampai puas, Selendang Merah turut menghiburnya:
"Seorang laki-laki tidak mudah untuk mengeluarkan air mata. Orang tua itu telah mempercayakan kepada dirimu maka sudah seharusnya kau dapat menyelesaikan pesanannya. Jika hanya dengan menangis saja, sampai lupa akan tugas yang telah dipesan kepadamu arwahnya si orang tua jika mendapat tahu juga tidak puas."
Koo San Djie baru menahan air matanya, disodorkannya tangannya ke arah rantai yang mengikat orang tua tadi, tapi tidak disangka, seperti kayu lapuk saja, rantai ini telah jatuh berantakan.
Dari sini dapat diketahui, si orang tua bukannya tidak dapat melepaskan diri dari sini, ia tentu memang rela terkurung untuk menerima hukuman.
Setelah selesai mereka berdua mengurus mayatnya orang tua itu, lalu keluar ke mulut goa. Dilihatnya ke atas tebing yang demikian curam di bawah, hitam gelap yang tidak kelihatan dasar tanah. Umpama mereka dapat berubah menjadi burung yang mempunyai sayap, juga tidak mungkin untuk melepaskan diri dari sini.
Si Selendang merah dengan mengkerutkan keningnya berkata:
"Bagaimana kita sekarang ini?"
Koo San Djie berpikir sejenak, mendadak ia berkata:
"Mari, ikut kepadaku!"
Dengan sebat ia telah mengeluarkan pit wasiatnya dan digenggam dalam tangannya, ia melompat keluar goa dan menempel di sisi tebing.
Tidak percuma dia mendapatkan pit wasiatnya ini, dengan sekali tusuk saja ia telah dapat membuat lobang yang cukup besar untuk dapat menaruh kakinya.
Dengan meminjam kekuatan dari lobang penaruh kaki ini, ia melompat lagi setinggi empat sampai lima depa. Pit wasiatnya telah mendahului membuat lobang menaruh kaki lagi.
Begitu lobang terbuat, kakipun sampai, demikianlah untuk seterusnya ia merayap naik ke atas tebing yang tinggi.
Si Selendang merah tertawa riang, dengan menurut jejak kawannya ia juga turut naik ke atas tebing.
Angin dingin menampar muka mereka. Badannya menjadi enteng sekali, pikirannya terang tidak berbekas. Sekarang mereka telah betul-betul seperti menjadi burung merpati yang mau menerbangkan dirinya. Inilah khasiatnya pil dari si orang tua tadi.
Si Selendang merah sudah tertawa menghampirinya. Ia mencoba ingin tahu akan perkataan apa yang telah dibisikkan oleh orang tua tadi kepada kawan yang bagus nasibnya ini:
"Apa sih yang telah dikatakannya kepadamu tadi. Apa kau suka memberi tahu juga kepadaku?"
Koo San Djie menggoyang-goyangkan kepalanya:
"Maaf, jika aku tidak dapat memberitahukan kepadamu. Inilah permintaan dari si orang tua."
Si Selendang merah juga tahu, tentu semacam sari pelajaran ilmu silat, maka ia tidak mau mendesak terus.
Sampai di sini, Koo San Djie sudah mengutarakan maksudnya, ia akan mencari tahu akan kejadian yang menyangkut kitab Sari Pepatah Raja Woo, dari supeknya yang hilang.
Si Selendang merah memang tidak mempunyai tujuan yang tetap, maka ia juga ingin turut kepadanya.
Koo San Djie tidak enak untuk menolak, maka dia hanya mendiamkannya saja.
Tapi anak muda kita mana tahu bahwa hati sang kawan yang angkuh ini sudah mulai terbuka. Seorang gadis yang tadinya sangat membenci lelaki, dengan tidak terasa telah dapat dimasukinya bayangan Koo San Djie yang tampan dan gagah.
Menggendong masuk ke dalam goa, memberi makan obat dengan ludahnya dan kejadian-kejadian yang lain lagi, biarpun terjadi pada waktu Koo San Djie tidak sadarkan diri, tapi Si Selendang merah tidak dapat melupakannya. Sikap bertahannya terhadap lelaki telah bobol sama sekali, tali asmara telah mulai mengikatnya karena ia telah mulai tertarik kepada adik kecilnya yang seperti anak sapi besarnya ini.
Tapi sebaliknya, biarpun Selendang Merah telah bersusah payah menggendongnya di antara jurang-jurang yang dalam berusaha untuk menolong dirinya, Koo San Djie masih tidak suka pada perempuan yang galak tersebut, ia hanya menganggapnya sebagai kawan seperjalanan biasa.
Biarpun Selendang Merah telah berusaha untuk mendekatinya dengan memanggil kepadanya adik kecil, tapi ia belum pernah mau mengucapkan Ciecie kepadanya.
Yang tidak dapat dilupakan dari ingatannya ialah: adik Tjeng Tjeng dan Ciecie Ong Hoe Tjoe.
Tapi biarpun ia tidak suka kepadanya, sebagaimana layaknya ia masih menghormat kepada sang encte yang mulai tergila-gila kepadanya.
Kelakuannya Koo San Djie telah membuat Selendang Merah tidak percaya. Sedari ia terjun di kalangan Kang-ouw, belum pernah ada laki-laki yang berlaku seperti Koo San Djie, bahkan untuk dapat mendekatinya saja, laki-laki itu sudah sangat beruntung sekali.
Hanya anak muda ini terkecuali. Apa ia masih kecil" Mana mungkin. Dadanya yang lebar, badannya yang besar dan yang paling menarik adalah suaranya yang sedikit mengandung magnit saja.
Tapi semakin ia tidak disukai, semakin mau juga ia mendekati.
Ia sangat percaya sekali kepada kecantikan mukanya, tapi kali ini kepercayaannya ini lenyap di hadapan si anak muda. Ia mulai menjadi sedih, memikirkan dirinya yang berpandangan tinggi harus mengalah kepada anak muda yang dianggapnya baru keluar kemarin ini.
Sudah menjadi satu sifat dari manusia jika barang yang susah didapatinya itulah yang paling diingini juga.
Tidak terkecuali dengan Si Selendang Merah, orang semakin tidak memperhatikan kepadanya, semakin ia mau menarik perhatian darinya.
Di tengah perjalanan, ia telah berusaha menuruti segala keinginannya, ia berusaha mengeluarkan perasaan sayangnya. Belum pernah ia membantah segala kemauan Koo San Djie, biarpun ini tidak disukainya.
Umpama waktu itu Koo San Djie minta sesuatu yang bukan-bukan, ia tidak akan berpikir lama, akan memberikan juga apa yang diminta.
Api asmara yang telah sekian lama ditahan-tahan olehnya, baru kini memuntahkan lelatu api. Seperti gunung yang meletus tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Pekerjaan tiap harinya hanya melamun saja, apa juga tidak dapat dipikirkan lagi. Inilah bukan kesalahannya, karena ia kini telah hampir mendekati umur tigapuluh, bukan umur yang kecil bagi seorang wanita.
Ada juga sewaktu-waktu disaat Koo San Djie memperhatikan atau merasa kasihan kepadanya, ini juga telah cukup untuk membuatnya kegirangan sekali.
Hanya kejadian ini saja telah cukup membuat ia lupa daratan.
Dan pada waktu inilah ia sering berkata dalam hatinya:
"Aduh, penghidupan yang menyenangkan. Tidak kusangka lelaki mempunyai daya tarik demikian hebatnya."
Pada setiap saat, sebelum ia merebahkan dirinya, ia selalu mengingat-ingat kejadian yang dialami sehari tadi. Segala gerak gerik atau tingkah lakunya Koo San Djie, tidak ada satu yang lepas dari pandangan matanya.
Dangan perlahan-lahan ia membayangkan kembali kejadian-kejadian yang nikmat ini. Inilah makanan bagi hatinya yang haus dengan itu.
Pada suatu ketika, pandangan matanya ke bentrok atau tangannya tersentuh dengan Koo San Djie, hatinya berdebaran keras dan perasaan bahagia muncul dalam hatinya yang haus dengan hiburan seorang pria yang dicintainya.
Keadaan waktu demikian dari Selendang Merah, mana ia mirip seorang pendekar wanita yang telah malang melintang di dunia Kang-ouw"
Ia sering menjadi malu kepada dirinya sendiri. Ia telah menjadi cepat bermuka merah.
Sewaktu Koo San Djie hampir mendekati tempat tinggal Kim Ting Sa di gunung Sin-sa hatinya telah merasakan sesuatu yang tidak enak.
Di sini seperti telah terjadi suatu kejadian yang maha besar. Semua orang yang jarang terlihat di kalangan Kang-ouw, mendadak bisa muncul di sini semua, dengan tingkah yang terburu-buru, mereka ini menuju ke suatu arah.
Hati Koo San Djie menjadi semakin berdebar saja, dengan memberi tanda kepada Si Selendang Merah ia telah mendahului menambah kecepatannya.
Mendadak, dari kejauhan terdengar suara teriakan orang:
"Hei, adik kecil, kau telah menyiksa aku si sastrawan miskin. Mengapa sampai sekarang kau baru sampai di sini?"
Ternyata, orang yang berteriak ini adalah si sastrawan Pan Pin, dengan mengempit baju rombengnya, ia terbang menghampiri.
Koo San Djie hanya bisa menghela napas:
"Sukar dikata......"
Mendadak ia seperti melihat sesuatu, dengan cepat ia telah merobah pembicaraannya:
"Ciecie Ong Hoe Tjoe?"
Si sastrawan Pan Pin menjadi kaget:
"Apa bukannya ia bersama-sama denganmu?"
"Tidak," jawab Koo San Djie sambil menggoyangkan kepala.
Si sastrawan Pan Pin menjadi melengak. Tapi ia tahu akan kepandaian Ong Hoe Tjoe, dan lagi, orang telah dewasa, tidak mungkin jika dikatakan dapat sesat di jalan. Ia menyangka tentu Hoe Tjoe ada urusan sendiri atau kejadian apa-apa yang mendadak. Maka ia sudah berkata lagi:
"Mungkin ia di tengah jalan telah menemui kejadian apa-apa. Nanti juga ia dapat menyusul kemari. Yang paling penting sekarang ini ialah dengan cara bagaimana kita harus menyelesaikan urusan salah paham ini?"
Koo San Djie seperti tidak mendengar perkataan ini.
Si Sastrawan Pan Pin tidak memperdulikan ia mendengar atau tidak sudah meneruskan ceritanya:
"Tiauw Tua telah pergi mengundang seorang ternama. Jika orang itu dapat tiba tepat pada waktunya, urusan akan menjadi mudah diurus."
Koo San Djie seperti tidak mengerti beberapa perkataan yang tidak ada sambungannya ini. Maka ia sudah bertanya:
"Urusan apakah yang membikin keadaan menjadi tegang?"
Sastrawan Pan Pin menjawab:
"Sembilan ketua partai berbagai golongan yang mati di dalam Makam Merpati tentu telah kau ketahui. Semua orang telah menyangka akan perbuatannya pendekar Merpati Liu Djin Liong. Kini semua golongan telah mendatangkan tenaga-tenaga pilihan untuk pergi mencari supekmu itu."
Ia masih takut yang Koo San Djie tidak jelas, maka meneruskan penjelasannya:
"Supekmu dengan kepandaiannya yang tinggi tentu telah kau ketahui, sifatnya yang angkuh tidak mau mengalah kepada siapa juga. Jika sampai dapat menemuinya, bentrokan sudah tentu tidak dapat dihindarkan lagi."
Setelah Koo San Djie mendengar perkataan ini merasa benar juga akan tegangnya keadaan. Kini ia harus mencegah terjadinya bentrokan yang tidak diingini.
Terdengar pula si Sastrawan Pan Pin berkata:
"Dan juga kudengar Si Pengemis Sakti Kiang Tjo yang telah lama tidak keluar, mendadak muncul kembali untuk mencari supekmu juga. Orang ini paling tidak boleh dipandang enteng."
Dengan sifatnya Liu Djin Liong, masa mau dia membuka mulutnya memberi penjelasan tentang kejadian ini. Apa lagi ia juga sedang kesal yang telah kecurian barangnya. Mungkin kekesalan ini akan ditumpahkan kepada orang-orang yang sedang mencarinya. Inilah dapat membuat urusan menjadi besar saja. Maka Koo San Djie telah memikirkan untuk mencari si pembunuh terlebih dahulu, baru dapat menjelaskan duduknya perkara penasaran.
Sastrawan Pan Pin berkata lagi:
"Tentang kabar Kim Ting Sa mendapatkan kitab Sari Pepatah Raja Woo, telah meluas kemana-mana. Dalam beberapa hari ini ia akan mengadakan pertandingan untuk memperebutkan kitab itu. Kitab ini sebenarnya ada menjadi milik supeknya, semua orang juga tahu supekmu ini tentu akan datang kemari untuk mengambil kembali. Maka semua golongan partai telah menyediakan orang-orang pilihannya berkumpul di sini untuk menunggu kedatangan supekmu itu."
"Kini kita telah sampai di sini. Marilah kita pergi ke gunung Sin-sa terlebih dahulu," jawab Koo San Djie tenang.
Ini jalan satu-satunya bagi mereka, dan lagi itu kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah hak miliknya sang supek, mana Koo San Djie dapat membiarkan terjatuh ke dalam tangan orang lain"
Maka ia telah minta semua orang untuk segera barangkat melanjutkan perjalanan mereka.
Mendadak, terdengar suara teriakannya Si Selendang Merah:
"Siapa yang mencuri dengar perundingan kita?"
Berbareng, selendang merahnya sudah di ulurkan menuju ke arah belakang sebuah pohon besar di sebelah mereka.
Terdengar suara orang tertawa dengan dibarengi oleh mencelatnya sebuah bayangan yang melompat tinggi dan terbang meninggalkan mereka.
Koo San Djie berteriak nyaring:
"Tunggu dulu kawan!"
Seperti seekor bangau saja ia melompat lebih tinggi dari orang itu dan mengejar ke arahnya.
Orang itu seperti tidak menyangka akan kepandaian Koo San Djie, maka dengan menambah kecepatannya, ia telah manghilang dari pandangan mata.
Meskipun Koo San Djie lebih cepat dari padanya, tapi karena tadi ia telah ketinggalan jalan, maka ia tidak berhasiI untuk mengejarnya. Tapi biarpun demikian anak gembala yang lihai ini telah dapat melihat gerakan orang ini sangat mirip sekali dengan gerakan Tjeng Tjeng, yang berbeda dengan orang ini lebih menang dalam latihan.
Seperti orang linglung ia berjalan kembali.
Mendadak, di belakangnya terdengar suara orang lagi:
"Bocah kecil memang mempunyai dasar kepandaian......"
Suara ini terdengar sedemikian halusnya yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita.
Koo San Djie dengan cepat menolehkan kepalanya, tapi orang yang mengucapkan pujian ini telah hilang juga.
Hatinya kembali jadi tergetar. Mengapa di dalam pegunungan yang, sepi ini terdapat demikian banyak orang pandai"
Maka pertandingan di gunung Sin-sa tidak mudah untuk diurus, hanya dua orang ini sudah cukup membuat kepalanya pusing.
Bintang-bintang dilangit berkelap-kelip, seolah-olah menemani sinar bulan sabit.
Cabang-cabang pohon tua agaknya kedinginan ditiup angin yang bertiup keras.
Batu-batu di gunung Sin-sa, bagaikan macam-macam binatang yang hidup mau menelan orang yang datang ke sana.
Di antara remang-remang sinar bulan terlihat berkeredepnya sinar pedang.
Berbareng, dengan terdengarnya beberapa suara tertawa, muncul empat orang yang beroman galak-galak.
Mereka adalah empat dari lima raja iblis yang baru saja berserikat, ialah Hu-lan Lo-kway, Kim Ting Sa, Raja Setan Srigala dan Pay-hoa Kui-bo.
Dan yang menjadi kepala dari mereka si Badak Tanduk Perak tidak terlihat di sini, ia sedang berusaha menemui satu rahasia.
Tidak antara lama, berbarengan dengaa suara angin menderu-deru, muncul pula beberapa orang. Di antaranya terdapat Hian-tju Totiang dari Kun-lun-pay, It Tjing Tjie dari Bu-tong-pay, Si Golok Malaikat Nomor Satu dari Go-bie-pay, dan si Walet Kie Gie.
Di antara sedemikian banyak orang, hanya tidak terlihat orang yang datang dari Siauw-lim-pay.
Mereka rame-rame bertemu, suara ketawa dan ocehan tidak henti-hentinya terdengar dari jauh, bagaikan kawan-kawan lama saja yang baru bertemu kembali.
Malam ini mereka datang kemari dengan satu tujuan, yaitu sama-sama mencari si Pendekar Merpati Liu Djin Liong.
Lima raja iblis yang baru saja berserikat, bermaksud naengangkat nama dari pertempuran yang pertama ini, sekalian merebut kitab Sari Pepatah Raja Woo yang terkenal.
Hian-tju Totiang dengan kawan-kawannya mengingini jiwa Liu Djin Liong untuk membalas dendam para ketua mereka yang terbunuh mati. Biarpun mereka belum mendapat bukti yang pasti bahwa sembilan orang yang menjadi ketua partai mereka terbunuh di bawah tangan Liu Djin Liong, tapi mereka juga tidak dapat mengetahui, siapa pembunuh yang sebenarnya. Demi kepentingan mengangkat nama, mereka tidak mau pusing-pusing dan telah memastikan Liu Djin Liong sebagai pembunuh, maka selesailah tugas mereka, jika dapat menangkap sang pembunuh.
Mereka menduga pasti bahwa si Pendekar Merpati tentu akan datang kemari untuk mengambil pulang kitabnya yang telah tercuri.
Tapi tidak ada satu di antara mereka ini yang mengetahui bahwa Liu Djin Liong kini ada dalam keadaan terkurung dan tidak berdaya sama sekali untuk datang kemari.
Semua orang tampak terdiam sepi menunggu keramaian tidak lama lagi.
Tiba-tiba, di antara mereka terdengar suaranya seorang nyeletuk:
"Di antara kau orang dari berbagai partai, apa ada yang bermaksud mencari si Setan tua Liu Djin Liong atau mau menunggu sampai selesai perebutan kitab Sari Pepatah Raja Woo pada malam ini juga?"
Hian-tju Totiang dengan tersenyum berkata:
"Barang berharga hanya pantas diserahkan kepada orang ternama. Aku tidak sanggup untuk menerimanya. Sudah tentu aku tidak mau mencampuri urusan kitab itu.
Di dalam hati Kim Ting Sa menjadi lega juga. Dengan setengah memuji ia berkata:
"Biar bagaimana juga sebagai golongan ternama tidak dapat disamakan dengan golongan perampok yang tidak mengenal puas. Maka dari perkataan totiang tadi, berarti totiang mempunyai hati yang luhur."
Hian-tju Totiang diam saja, biarpun perkataan ini ada setengah mengangkat dan setengah mengejek.
Mendadak dari atas pohon terdengar suara lain yang campur bicara:
"Demi kepentingan umum, orang yang mempunyai pandangan jauh tentu tidak akan mengalah. Aku suami istri berdua juga tidak mau mengalah."
Bersama dengan berkibarnya baju, mereka telah meloncat turun di hadapan orang banyak ini.
Yang laki-laki berparas cakap ganteng, yang perempuan cantik ayu. Suatu pasangan yang memang ada sangat setimpal.
Semua orang yang berada di situ dibuat terkejut oleh munculnya mereka. Dilihatnya sepintas lalu, umur mereka di antara tigapuluhan. Siapa juga tidak ada yang mengenalnya.
Belum juga orang-orang yang kaget tadi sempat bicara, dari pohon lainnya sudah loncat turun berturut-turut tiga orang.
Yang pertama, adalah seorang tua yang rambutnya beruban putih, disamping kanan dan kirinya, masing-masing berdiri seorang anak gembala dan seorang dara berbaju merah.
Ternyata, mereka bertiga adalah si sastrawan Pan Pin, Koo San Djie dan si Selendang Merah.
Si Sastrawan Pan Pin dan Selendang Merah telah mendapat kursi kedudukan baik, tapi tidak seorangpun yang menjadi kaget.
Yang membikin mereka kaget adalah datangnya si anak gembala, yang sudah menggemparkan dunia.
Dengan tenaga sendiri, dia menaklukkan ikan mas raksasa di telaga Pook-yang, dengan sebelah tangan dia menjatuhkan si Iblis Pencabut Roh yang terkenal jahat, pemuda inilah yang telah mengubrak-abrik pesanggrahan Liong-sun-say sampai menjadi rata.
Koo San Djie sendiri tidak tahu yang namanya telah menggemparkan dunia.
Sampai Kim Ting Sa dan Hian-tju Totiang yang pernah melukainya merasa tidak sanggup untuk diharuskan terus menerus bersatu seperti itu.
Kedatangan Koo San Djie lebih penting dari pada sepasang suami istri yang cakap tadi.
Hu-lan Lo-kway menjadi melongo. Dengan mata kepala sendiri, ia melihat muda mudi ini terjatuh ke dalam jurang yang tidak terlihat dasarnya. Dari mana pula datangnya mereka"
Si Setan Kepala Srigala pernah menderita sedikit kerugian dari Koo San Djie, dan lagi riwayat kedua muridnya juga tamat di tangan anak muda ini. Maka dialah yang paling tidak sabaran menghadapi keadaan sunyi ini, dengan membentak keras ia berkata:
"Hei, anjing kecil, tidak disangka, kau juga berani datang kemari. Tempat inilah yang akan menjadi tempat kuburanmu!"
Belum juga perkataannya si Setan Kepala Srigala habis diucapkan Golok Malaikat Nomor Satu sudah menimbrung:
"Hei, apa si tua Liu Djin Liong juga telah datang?"
Koo San Djie belum juga sempat untuk menjawab, keburu didahului oleh si Selendang Merah:
"Kau orang ini adalah orang-orang tua yang telah ternama, mengapa baru bertemu terus menjerit-jerit seperti anak keci1 yang tidak mengenal aturan?"
Hu-lan Lo-kway menjadi cemburu, segera ia membuka suara:
"Kukira apa yang membuat kau menolak padaku, tidak tahunya, kau telah mendapatkan si muka putih ini, Hm, hm, barang kali sebelum bulan purnama menjadi bundar kau sudah harus menjadi janda muda."
Si Selendang Merah menjadi merah muka, dengan sengit ia berkata:
"Perhitungan di antara kita ini pada suatu waktu akan dibereskan juga."
Sepasang suami istri yang cakap tadi telah melihat kedatangan tiga orang baru ini, orang-orang di situ sudah menjadi ribut tidak karuan, tidak ada yang memperdulikan mereka lagi, tentu saja menjadi mendongkol dan marah.
Di muka si wanita ayu yang putih telah berobah. Jika waktu itu ada orang yang memperhatikan kepadanya, tentu dapat mengeluarkan keringat dingin. Karena muka ini bukan lagi mukanya seorang wanita cantik, tidak berbeda dengan mukanya mayat hidup yang baru keluar dari kuburan.
Terdengar suara yang lebih dingin dari es balokan:
"Kami berdua suami istri adalah pengurus dari Lembah Merpati. Orang menjuluki suamiku ini sebagai Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dan aku sendiri bernama Sui Yun Nio. Dengan kedatangam kami kemari......"
Dan orang ini telah memberitahukan nama mereka, semua orang yang berada di situ menjadi kaget.
Telah berapa tahun orang dari Lembah Merpati tidak mau mengenal dunia luar, kini mendadak, dengan tidak disangka-sangka, telah muncul dua pengurusnya, mana orang tidak menjadi kaget"
Apalagi anak muda kita, Koo San Djie mendengar disebutnya nama Lam Keng Liu, telinganya seperti menjadi mengiang, hatinya menjadi panas seperti api membara.
Tadi, ia sudah bersedia maju membeberkan kesalahannya, tapi, dipikirnya kembali akan urusan yang lebih besar, jika ia tidak dapat bersabar, maka lenyaplah semua harapan untuk merebut kembali kitab Sari Pepatah Raja Woo!
Kim Ting Sa yang mendengar disebutnya nama Lembah Merpati menjadi keder juga, dengan merangkapkan kedua tangannya ia berkata:
"Nama Lembah Merpati yang harum telah tersebar kemana-mana, aku sangat mengagumi. Barang pusaka sudah tentu akan dikeluarkan, tapi mengingat yang berkepentingan, yaitu si Pendekar Merpati Liu Djin Liong sendiri belum datang, maka harap para kawan dapat menunggu sebentar."
Koo San Djie membusungkan dadanya dan berkata:
"Tidak usah menunggu si orang tua aku dapat bertanggung jawab dan mewakilinya. Semua yang mempunyai sangkut paut dengan beliau, boleh berurusan denganku."
Lalu, ia berpaling kepada Hian-tju Totiang sekalian dan berkata:
"Tentang terbunuhnya sembilan orang yang menjadi para ketua partai kalian, itu terjadi kesalahpahaman. Harap kalian dapat bersabar untuk menunggu perkembangan selanjutnya."
Inilah suatu tantangan yang berani kepada semua orang yang berada di situ. Yang pertama tidak dapat menahan sabarnya ialah Pay-hoa Kui-bo, segera si nenek membentak:
"Hee bocah, kau orang apa" Berani membuka suara besar di hadapanku?"
Dengan tidak mau mengerti, ia telah mengayunkan tongkatnya ke arah Koo San Djie.
Mendadak, angin wangi bersiur, Sui Yun Nio sudah menghadang di hadapan Pay-hoa Kui-bo dan berkata:
"Tunggu kita harus mendapat ketetapan dari tuan rumah di sini. Yang pertama, barang pusaka belum dikeluarkan, jangan harap dapat turun tangan kepada siapa juga. Dan yang kedua, harus ada yang menetapkan tentang pertandingan antara sedemikian banyak orang." Ia berkata sambil berpaling pada Kim Ting Sa.
Dengan tenang Kim Ting Sa mengeluarkan sebuah kotak emas yang terisi kitab Sari Pepatah Raja Woo, yang akan diperebutkan mereka. Kemudian dengan mencoba menenangkan hatinya ia berkata:
"Di dalam kotak ini terisi kitab Sari Pepatah Raja Woo. Harap para kawan dapat memperhatikannya lebih dulu. Dan tentang caranya pertandingan, ialah dengan cara bergilir, yang kalah harus minggir, dan yang menang berhak meneruskan pertandingan sampai yang terakhir."
Pay-hoa Kui-bo menggedrukkan tongkatnya berkata:
"Aku akan bersikap lancang untuk membuka pertandingan ini."
Lalu, ia menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata:
"Hei anjing kecil, kau berani menerobos ke atas gunungku dan melarikan muridku Tju Thing Thing, jika tidak diberi sedikit hajaran, kau tidak tahu akan kelihayanku Pay-hoa Kui-bo."
Selendarg Merah maju menghadang dan mendahului berkata:
"Nenek setan, jangan sembarang menjatuhkan dakwaan kosong di atas kepala orang. Akulah yang menasehatkan Tju Thing Thing, agar ia bisa meninggalkan sarangmu. Jika kau telah gatal tangan, pertandingan yang pertama kali akan kulayani."
Ia malah lebih galak dari pada Pay-hoa Kui-bo. Begitu mulutnya tertutup, selendang merahnya telah berkibar, menyerang ke arah tubuh orang.
Pay-hoa Kui-bo memutar tongkat yang mengeluarkan suara menderu-deru, ia mulai balas menyerang. Demikianlah pertandingan pertama telah dimulai.
Koo San Djie sudah lompat ke pinggir kembali ke tempat asalnya. Tapi tidak lama, mendadak di belakangnya telah terdengar suara orang yang berkata:
"Budha yang mulia. Apa betul Liu Djin Liong tidak datang?"
Sedari tadi Koo San Djie juga telah mengetahui yang Hian-tju Totiang telah bertindak ke arahnya, maka dengan cepat ia membalikkan badannya dan berkata:
"Besar sekali kemungkinannya supek tidak mengetahui hal pertandingan ini. Pengajaran apa yang akan totiang sediakan. Boanpwe masih sanggup menanggungnya."
Hian-tju Totiang tertawa terbahak-bahak:
"Umur begini kecil, juga berani omong besar. Apa kau betul sanggup menanggung semua risikonya?"
Di dalam Makam Merpati, Hian-tju Totiang telah dapat melukainya. Tapi itu waktu ia tidak tahu, bahwa orang yang dilukai adalah Koo San Djie, pemuda yang sedang tersohor namanya. Belakangan, setelah ia dapat mencari kabar, siapa anak gembala ini, hatinya menjadi sombong juga, karena telah dapat melukai seorang jago kecil yang ditakuti orang.
Apalagi jika di hadapan demikian banyak orang dapat menjatuhkannya lagi, bukankah namanya akan menjadi naik setinggi langit" Maka ia telah mencari gara-gara.
Siapa yang menyangka, bukan nama harum yang didapat, malah menjadi kehilangan muka di hadapan orang banyak.
Terdengar Koo San Djie bersuara dengan marahnya:
"Tempo hari, aku membiarkan kau memukul, dengan tidak mau menarik panjang urusan, itulah demi kepentingan semua orang. Tapi, kini kau masih terus mendesak, apa kau kira aku takut kepadamu?"
Wajah Hian-tju Totiang menjadi berobah, ia dimaki di hadapan orang banyak. Dengan keras ia membentak:
"Bagaimana dengan urusan ketua partai yang terbunuh" Apa kau bersedia memberi suatu tanggung jawab?"
Terdengar Koo San Djie berkata:
"Bukankah aku telah mengatakan," jawab Koo San Djie dingin. "Semua urusan dari supekku akan kupikulnya semua. Apa yang kau inginkan" Katakanlah!"
Tapi Hian-tju Totiang sudah tidak mau menyambung lagi perkataannya, sebelah tangan bergerak, memukul ke arah anak muda yang berada di hadapannya.
Koo San Djie melompat ke samping, membiarkan pukulan lolos dari sisi. Ia masih berusaha menahan amarahnya:
"Tunggu! Aku telah mengatakan, bahwa urusan terjadi karena salah paham, tapi kalian masih tidak percaya. Umpama betul, pada waktu itu supekku berada di sana, tidak nanti kitab Sari Pepatah Raja Woo, dapat terjatuh ke dalam tangan orang lain. Inilah suatu bukti yang nyata sekali."
Tapi Hian-tju Totiang tidak mau mengerti, ia anggap Koo San Djie sudah takut.
"Tutup mulutmu!" ia membentak.
Tangan satunya lagi kembali mengirimkan pukulan. Ia telah bersedia mencari gara-gara, percuma saja untuk Koo San Djie mengingatkan kepadanya.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koo San Djie telah hilang sabar. Dengan melompat ke belakang tiga kali, ia berteriak:
"Baik! Apa boleh buat, aku akan melayani kalian. Orang-orang dari sembilan partai boleh maju semua hitung-hitung sebagai pertandingan yang kedua, untuk memperebutkan kitab Sari Pepatah Raja Woo."
Semua orang yang mendengar tantangan ini, seperti Si Golok Malaikat Nomor Satu, Sepasang Gaetan Ie Hoa Tie dan yang lain-lain, rata-rata menjadi muka merah.
Si Golok Malaikat Nomor Satu, dengan tidak bersuara lagi sudah maju dan menyerang dengan goloknya sampai tiga kali.
Koo San Djie tahu, orang-orang ini menganggap dirinya sendiri saja yang lihay, tidak dapat menyelesaikan urusan dengan cara halus, maka, begitu mengelak dari datangnya golok yang pertama, dengan kekerasan yang tidak ada taranya, ia sudah mementil ke arah datangnya serangan golok yang kedua.
"Tang," golok telah terpental ke udara, membuat Si Golok Malaikat menjadi berdiri bengong di tempat.
Mendadak, terdengar satu bentakan yang memekakkan telinga, inilah suara Ie Hoa Tie dengan sepasang gaetannya dari belakang.
Koo San Djie tidak mau bergerak dari tempat kedudukan semula, dengan tidak bergeming sama sekali, ia telah menyerang sampai tujuh kali.
Sepasang gaetan telah dibuat bersuara mengaung-ngaung, tangan Ie Hoa Tie juga tergetar kesemutan.
Mendadak, terdengar suara bentakan si anak muda kita:
"Lepas!" Dan betul saja, sepasang gaetan le Hoa Tie telah terlepas pindah ke dalam tangan sang lawan.
Si Sepasang gaetan Hoa Tie berdiri terpaku, Koo San Djie dengan cepat telah melemparkan kembali gaetan orang.
"Nah, gaetanmu telah kukembalikan!" katanya.
Bersamaan dengan muncratnya lelatu api, gaetan itu telah melesak masuk ke dalam batu tebing sebatas gagang.
Koo San Djie seperti raja raksasa, ia berdiri di tengah-tengah. Sesudah dapat menjatuhkan dua orang jago dalam sekejapan mata, semua orang menjadi kesima.
Si Sastrawan Pan Pin tidak henti-hentinya menyebut:
"Aneh, aneh......"
Hian-tju Totiang telah mulai melempem. Ia sudah tidak segalak tadi. Dengan menebalkan muka, ia maju ke muka dan membentak:
"Mari, perhitungan kita masih belum beres."
Sebuah pukulan lagi datang menyambar.
Koo San Djie tidak minggir, juga tidak menyingkir dari pukulan ini. Sebelah tangannya diulur ke depan, perlahan-lahan ditarik ke samping sedikit, angin pukulan musuh telah terbawa oleh geseran tangan, lewat dari samping kiri.
Undangan Pengemis Sakti Inilah ilmu yang didapatkan dari kitab kutu buku dari si orang tua tidak berkaki dan bertangan satu.
Hian-tju Totiang menghadapi mati hidupnya nama dengan susah payah didapatinya selama puluhan tahun ini, mana dapat gegabah lagi. Dengan hati-hati ia menyerang lawan mudanya.
Koo San Djie telah mulai reda marahnya. Ia tahu nama orang tidak mudah dicari. Ia tidak mau terlalu mendesak orang sampai tidak dapat muka sama sekali, maka ia hanya menggunakan Hian-oey-ciang melayani segala sesuatu serangan dari Hian-tju Totiang.
Lam Keng Liu suami isteri ada memperhatikan soalnya. Mereka mengharapkan dari sembilan partai ini dapat membunuh si anak gembala. Dengan demikian Liu Djin Liong tentu tidak mau tinggal diam lagi, semakin urusan menjadi besar, semakin senang pula hati mereka.
Tapi Koo San Djie dalam sekejapan mata saja telah dapat merobohkan dua jagonya mereka, mana suami isteri ini tidak menjadi kaget oleh karenanya"
Sekarang Koo San Djie telah menggunakan Hian-oey-ciang, lebih kaget lagi Si Phoa An berhati Ular ini dalam hatinya berpikir:
"Apa guruku masih belum mati" Apa anak ini murid guruku juga?"
Diperhatikannya gerakan Koo San Djie yang enteng, ini bukannya cara orang bertanding, ia ada seperti main-main saja melayani Hian-tju Totiang.
Dilihatnya pula Hian-tju Totiang yang telah seperti kalap, setiap mengeluarkan satu jurus, serangan tentu dibarengi dengan beberapa "Hm, hm", beberapa kali ia berteriak seperti orang edan.
Mata Lam Keng Liu sangat tajam sekali, ia telah dapat mengetahui, Hian-tju Totiang paling sedikit juga mempunyai latihan selama limapuluh tahun lebih, sudah jarang sekali jika mencari orang yang dapat menyamai seperti orang ini. Tapi lawannya mempunyai kepandaian yang lebih tinggi lagi, sampai pun orang seperti Phoa An berhati ular Lam Keng Liu ini tidak dapat menaksir, berapa tingginya kepandaian anak gembala ini.
Dalam hati ularnya telah timbul pikiran jahat:
"Tidak perduli ia adik seperguruanku atau bukan. Yang paling penting, dapat membereskan terlelih dahulu, ialah paling aman."
Berpikir sampai di sini, muka yang cakap berobah tertawa kejam.
Koo San Djie hanya bermaksud menakut-nakuti Hian-tju Totiang saja, supaya ia dapat undurkan diri dengan sendirinya. Tapi tidak disangka, tosu tua ini masih berdarah muda, tidak kenal mundur sama sekali. Jika tidak diberi sedikit hajaran, tidak nanti ia dapat memberhentikan serangannya.
Cepat-cepat Koo San Djie merobah taktis tempur, ia mengeluarkan dua jurus ilmu pukulan yang lihay. Hanya sekali berkelebat, dua jalan darah dari Hian-tju Totiang telah kena tertotok.
Seluruh tubuh sang tosu tergetar, meskipun dua totokan ini tidak sungguh-sungguh. Hian-tju Totiang merasa kesemutan, tidak sampai mendapat malu di hadapan orang banyak. Ia kini tahu gelagat, maka, lalu lompat mundur dan berhenti menyerang.
Koo San Dlie juga tidak menyerang lagi, ia mundur dua tindak.
Berbareng anak muda itu berkata:
"Pertandingan ini sama kuat. Maka baik sampai di sini saja kita hentikan."
Hian-tju Totiang kememek di tempat, mendadak ia lompat masuk ke hutan yang gelap dan menghilang!
Meskipun bermuka tebal, Hian-tju Totiang sudah tidak mempunyai muka lagi untuk berdiam terus di sini.
Maka, selesailah pertarungan itu. Tapi pertarungan yang terjadi di antara Selendang Merah dan Pay-hoa Kui-bo masih sedang serunya.
Terdengar Selendang Merah berteriak nyaring:
"Lepas!" Selendangnya telah berhasil melilit tongkat musuh, sampai tiga kali putaran, maka dengan sekali gentak ia menarik senjata musuh yang akan dilemparkan.
Pay-hoa Kui-bo dengan matanya yang kecil berkelak-kelik, rambutnya yang telah putih berdiri semua. Dengan geramnya ia berkata:
"Belum tentu!" Dengan tenaga yang masih ada, ia mencoba menahan tarikan musuh.
Tapi, kedua belah pihak sama kuat. Setelah berkutetan sekian lama, mendadak terdengar suara mengaungnya dua senjata yang sudah sama-sama terlempar ke tengah udara dan terbang menuju ke arah tebing jurang.
Karena kehilangan pegangan, dua-dua sama terpental mundur beberapa tindak.
Mendadak, dari dalam jurang terdengar satu suara yang serak:
"Pentungan yang berat sekali. Hampir saja membuat aku si gembel mati tertindih."
Di antara mereka kini telah bertambah seorang pengemis yang berambut awut-awutan, dengan bajunya yang banyak tambalan, tangannya menenteng tongkat Pay-hoa Kui-bo yang telah terjatuh ke dalam jurang tadi.
Tapi, sewaktu dilihataya Pay-hoa Kui-bo, yang seperti mau menelan orang saja pengemis ini sudah lantas melemparkan tongkatnya.
Pay-hoa Kui-bo tidak mengatakan suatu apa, ia memungut tongkatnya kembali.
Sastrawan Pan Pin yang melihat kedatangannya si Pengemis Sakti Kiang Tjo lantas memberi hormat:
"Tidak disangka, Locianpwee juga masih senang akan keramaian dan datang kemari."
Si Pengemis sakti membalikkan putih matanya.
"Stop mulutmu," ia membentak.
Dengan cepat ia merampas guci arak yang berada di bebokong si Sastrawan dan di situ juga langsung menenggak dengan sepuas-puasnya.
Si Pengemis Sakti Kiang Tjo mempunyai kedudukan yang tinggi, dengan munculnya ia semua orang menjadi kaget juga.
Banyak orang tahu akan adanya ganjelan di antara Pengemis Sakti ini dengan Pendekar Merpati Liu Djin Liong. Dengan munculnya ia kemari, tentu saja ia tidak mau membiarkan Liu Djin Liong enak-enakan memukul orang.
Disamping itu, semua orang juga takut pengemis ini turut campur dalam perebutan Kitab Sari Pepatah Raja Woo yang tersohor.
Jika betul Pengemis Sakti ini turut campur, maka, tipislah harapan mereka untuk dapat merebutnya, karena kepandaian si Pengemis tidak dapat diduga oleh orang biasa.
Setelah si Pengemis Sakti Kiang Tjo menenggak habis araknya, dengan memutarkan matanya ia berkata:
"Apa si tua Liu Djin Liong sudah datang?"
It Tjing Tjie dari Bu-tong-pay nyeletuk:
"Pendekar Merpati belum datang. Tapi jago kecil ini telah berkali-kali mengatakan, dia dapat mewakilinya bicara."
Sambil tangannya menunjuk ke arah Koo San Djie.
Si Pengemis tertawa berkakakan:
"Anak kecil yang masih ingusan tahu apa" Apa kalian bersungguh-sungguh juga?"
"Urusan kita lebih penting sekali," It Tjing Tjie berkata pula. "Biar bagaimana juga harus kita selesaikan terlebih dahulu. Maka sampai di sini saja boanpwe meminta diri."
Si Pengemis Sakti tidak mencegah kepergian mereka. Dengan masih tertawa ia berkata:
"Silahkan, silahkan. Aku masih mau menonton keramaian."
It Tjing Tjie setelah memberi hormat, dengan mengajak orang-orangnya, ia pergi meninggalkan tempat itu.
Pengemis Sakti Kiang Tjo lalu menghampiri Koo San Djie dan menepok-nepok pundaknya:
"Bocah, kau pernah apa dengan Liu Djin Liong?"
"Dia adalah supekku," jawabnya, "Karena dia kini tidak berada di sini, jika kau ingin mencari setori kepadanya, tumpahkan sajalah kepadaku."
Si Pengemis tertawa terpingkal-pingkal:
"Bagus. Bagus! Nanti kita orang akan menentukan waktunya untuk bertanding."
Waktu itu, pertarungan di dalam kalangan telah tertunda, karena datangnya si Pengemis yang gila-gilaan ini.
Raja Setan Srigala paling tidak sabaran, dengan melompat ke tengah kalangan ia berteriak:
"Heii, anjing kecil, lekas kau keluar terima kematian."
Si Pengemis sudah meludah dan berkata:
"Poey! Orang tidak tahu malu. Beraninya hanya kepada anak kecil saja. Apa kau tidak berani menantang orang lain?"
Sekarang di tempat yang tadinya ramai ini, hanya tinggal rombongan Koo San Djie dan Lam Keng Liu suami isteri. Tentu saja yang diartikan dengan orang lain ialah si Phoa An berhati ular dan istrinya.
Si Setan Kepala Srigala tertawa buas:
"Pengemis busuk, tidak perlu kau tunjuk, siapa yang maju juga sama saja hanya menunggu sampai giliran saja. Pertama aku akan mengajak pengurus Lembah Merpati suami istri beramai-ramai dalam beberapa jurus."
Si Phoa An berhati ular Lam Keng Liu datang kemari dengan maksud lain, sebenarnya ia tidak mau turut campur untuk turun tangan. Tapi orang telah menantang, dengan terpaksa harus melayanin ia juga.
Dengan langkahnya yang dibikin-bikin, ia maju keluar kalangan. Mulutnya juga tidak mau kalah berkata:
"Baik. Aku akan melayani beberapa jurus saja."
"Bagus, bagus, lihat serangan," Setan Kepala Srigala berkata sambil menyerang.
Angin yang berbau busuk dengan sepoi-sepoi datang menyerang ke arah si Poa An berhati ular.
Lam Keng Liu tertawa dingin, ia hanya melompat sedikit sudah dapat menyingkir dari serangan lawan. Berbareng dua tangannya mengeluarkan dua gerakan yang tidak sama.
Sebelah kanannya keras melebihi besi sedang tangan kirinya lembek seperti kapas. Inilah suatu pukulan Im-yang-ho-hap-ciang yang terkenal.
Dari mata, hidung dan telinga si Setan Kepala Srigala mulai mengeluarkan asap putih, inilah ilmu kepandaiannya mulai bergerak keluar. Keras lawan keras. Ia menerima dua serangan Lam Keng Liu.
Setelah dua kali kebentur, seperti tidak merasai suatu apa, Setan Kepala beruntun mengeluarkan tiga kali pukulan dan tujuh kali tendangan.
Caranya mengadu kekuatan yang tidak mengenal mati ini telah memaksa Lam Keng Liu tidak berani gegabah. Dengan kalem, ia melayani satu persatu, ilmu musuh dilawan dengan Im-yang-ho-hap-ciang.
Koo San Djie sangat memperhatikan ilmu pukulan Im-yang-ho-hap-ciang itu, betul-betul ilmu yang tidak dapat dipandang gegabah tidak dapat disamakan dengan Hian-oey-ciang, biarpun keduanya terdapat banyak persamaannya.
Setan Kepala Srigala, dengan sifatnya yang ganas tidak takut akan mati bersama, hal ini sangat menguntungkan dirinya karena Lam Keng Liu tidak mau hancur bersama-sama orang sebangsa berandalan ini.
Pertandingan mereka ini semakin lama sudah semakin sengit, sehingga sampai berjalan lebih dari seratus jurus, masih dalam keadaan sama kuat.
Mendadak, pada suatu waktu Lam Keng Liu menggunakan kesempatan yang baik dan berhasil membuat tubuhnya Setan Kepala Srigala terpental sejauh dua tumbak.
Tapi Setan Kepala Srigala, memang bangsa alot, ia berteriak, karena pantatnya telah membentur tanah dengan tepat. Sesudah ia terjatuh bukannya ia mundur ke samping, keluar dari kalangan, sebaliknya, malah lompat maju lagi. Dengan mengeluarkan tangannya yang hitam seperti arang, setindak demi setindak menghampiri lawan.
Hu-lan Lo-kway mengetahui sang kawan bukan tandingannya yang setimpal bagi Lam Keng Liu, ia maju ingin menggantikannya.
Tapi Sui Yun Nio tidak mau tinggal diam, membiarkan suaminya harus terus menerus melayani dua musuh tangguh. Ia juga sudah menghadang datangnya Hu-lan Lo-kway dan berkata:
"Masih ada aku yang akan melayanimu."
Tidak mau banyak cingcong lagi, Lo-kway sudah mulai membuka serangannya.
Di sana di antara Kepala Setan Srigala dan Lam Keng Liu telah sampai pada babak yang terakhir.
"Bleduk" terdengar suara pukulan dari dua orang terbentur menjadi satu.
Setan Kepala Srigala masih kalah setingkat dari lawannya, isi dalamnya telah tergetar semua. Ia sempoyongan, hampir terjatuh ke tanah.
Kim Ting Sa dengan cepat telah datang, membimbing bangun tubuh kawan sekomplotannya ini.
Lima Iblis, kecuali Hu-lan Lo-kway yang masih bertarung, hanya tinggal Pay-hoa Kui-bo yang berada dalam keadaan marah. Kotak yang berisi kitab Sari Pepatah Raja Woo, telah tidak terjaga sama sekali.
Mendadak dari atas tebing terlihat sebuah bayangan hitam, terbang turun dan langsung menuju ke arah kotak tadi. Dengan sekali comot saja telah terpegang di dalam tangannya, bayangan hitam tadi yang terus terbang ke bawah. Kejadian ini terjadi demikian cepat, sampai semua orang hampir saja tidak dapat melihatnya.
Koo San Djie dan si Pengemis Sakti Kiang Tjo hampir berbareng membentak mengejar bayangan hitam tadi.
Tapi, berbareng dengan terdengarnya suara bentakan, Lam Keng Liu suami istri telah melepaskan lawannya dan menghadang jalannya dua orang yang hendak mengejar bayangan hitam tadi.
Hampir barbareng kepalan tangan beradu menjadi satu. Hanya terdemgar suara "plak, plak, plok, plok" yang nyaring. Empat orang telah beradu di udara dan terjatuh kembali.
Dari dalam saku bajunya Kim Ting Sa mengeluarkan segulungan kertas dan tertawa terbahak-bahak:
"Tidak disangka, orang-orang dari Lembah Merpati adalah bangsa tikus-tikus yang hanya bisa bekerja dengan menggelap. Beruntung sekali aku sudah bersedia akan kejadian ini, sehingga i...... "
Belum juga perkataannya "ini" habis diucapkan, mendadak ada angin santer yang datang ke arahnya.
Hu-lan Lo-kway yang bermata jeli, ia lantas berteriak ;
"Awas......!" Tapi keadaan sudah telat, gulungan kertas yang tadinya berada di tangannya Kim Ting Sa telah lenyap direbut orang.
Dalam sekejap mata saja bayangan orang ramai bergerak-gerak. Semua orang bertujuan sama menuju ke satu arah dari larinya orang tadi.
Karena perobahan terjadinya sangat mendadak, dan orang yang datang juga memiliki gerakan cepat, maka sebentar saja orang tadi telah menghilang dari pandangan mata.
Dalam pikiran Koo San Djie dangan cepat telah mengambil keputusan:
"Lam Keng Liu suami istri tidak diperbolehkan lari lagi!"
Waktu itu mendadak dari belakang telah datang serangan yang halus. Perasaan dan pendengarannya Koo San Djie sekarang boleh dikatakan tidak ada tandingannya, ia telah dapat mengetahui datangnya bokongan, ia juga sangat membenci kepada orang yang menyerang pada waktu sekalut ini, maka dengan tidak mengenal kasihan, ia telah memapaki dengan pukulan yang keras sekali.
Si penyerang tidak menyangka sama sekali akan ketangguhan si anak muda ini, ia telah terpental sejauh satu tombak lebih dengan menderita luka dalam.
Koo San Djie masih belum puas dengan hanya membuat jatuh orang ini, maka dengan hampir berbareng, ia juga menyerang lagi sampai tiga kali.
Si penyerang gelap mempunyai kepandaian yang lumayan juga, dengan menahan sakit ia berusaha menahan datangnya serangan yang hebat ini
Koo San Djie segera dapat kenyataan bahwa yang menyerang dengan cara gelap itu adalah suhengnya sendiri yang telah mendurhakai gurunya.
Pikirannya menjadi bimbang. Ia sudah berpikir akan membunuhnya, tapi sebagai seorang sute, ia tidak tega juga untuk berbuat demikian, pikirnya, biar suhunya akan diajak ke dalam Lembah Merpati untuk menangkapnya sendiri.
Lam Keng Liu dikasih kesempatan untuk ia mengasoh. Koo San Djie dapat mengambil suatu keputusan, ia juga sudah turut lenyap dari situ.
Si pengemis sakti Kiang Tjo melihat di sini sudah tidak ada urusan lagi karena orang-orang telah melarikan diri semua, lantas berkata:
"Bocah, aku juga akan pergi. Jika kau ingin mengadu kekuatan, aku akan menunggu di kuil Siauw-lim.
Berbarengan, dengan ditutupnya perkataan ini, orangnya juga sudah melesat terbang sejauh beberapa tumbak.
Si sastrawan Pan Pin juga turut berkata:
"Aku juga ingin mencari Tiauw Tua, setengah bulan kemudian, kita bertemu di kuil Siauw-lim saja."
Dengan lenggak lenggok dia meninggalkan gunung Sin-sa.
Kini giliran si Selendang Merah berkata:
"Adik kecil, bagaimana dengan kau?"
Koo San Djie dengan geregetan menjawab:
"Biar sampai kemana juga, akan kurebut kembali kitab yang tercuri tadi."
Sinar merah dari ujung timur perlahan-lahan berjalan ke tengah, itulah sang matahari pagi mulai memancarkan sinarnya ke seluruh jagat.
Butiran embun pagi masih berjatuhan dari daun-daun yang terkena goyangan angin pagi. Padang rumput basah dengan laputan air yang mulai mengasap. Dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Selendang Merah dan Koo San Djie meluncur dengan pesat.
Si Selendang Merah yang telah mendekat berakhirnya masa gadis yang berharga, telah kembali kejenakaannya. Ia kini mulai menjadi kolokan, bagaikan pohon kayu yang hampir layu terkena embun pagi lagi, bersemi dan mekar kembali.
Di hadapan Koo San Djie yang lebih kecil dari adik kecilnya, ia malah merasa kecil juga. Seperti anak kecil yang nakal, sering berbuat kolokan dan mengganggu ketenangan Koo San Djie.
Karena mereka kini telah memasuki jalan raya yang lebar, ia sudah memecut dan melarikan kudanya dengan lebih kencang. Tidak perduli Koo San Djie telah berkali-kali memanggil untuk mengurangi kecepatan.
Mendadak, di pinggir jalan terdengar bentakan orang:
"Hei, apa kau tidak punya mata" Melarikan kuda yang benar, jangan serampangan saja, tanpa menghiraukan kepentingan orang!"
Si Selendang Merah baru engah, ia telah menerbitkan onar, maka dengan cepat ia telah menahan jalannya kuda dan menoleh ke belakang, melihat orang yang menegur tadi.
Di pinggir jalan terlihat sepasang muda mudi yang sedang mempelototkan mata. Si pemuda berpakaian seragam, bermuka putih tapi bermata bangor. Si pemudi biarpun tidak berpakaian seperlente kawannya, kemarahannya telah menyebabkan lebih ayu.
Yang membentak Si Selendang Merah tadi adalah si pemuda seragam.
Selendang Merah sudah biasa mengalami teguran seperti ini. Tapi ia tidak mau meladeni si pemuda seragam yang bermata bangor. Ia lebih suka menggoda si pemudi yang menyenangkan:
"Hei adik kecil, aku tokh tidak melakukan kesalahan apa-apa kepadamu."
Si pemudi membeberkan baju putihnya yang telah dibuat kotor, karena derapan kaki kuda Selendang Merah, ia berkata:
"Kau lihat saja, baju yang putih bersih telah dibikin kotor olehmu."
Selendang Merah masih menggoda:
"Oh adik kecil yang takut kotor. Lebih baik kau tinggal diam saja di kamar penganten, sudah tidak akan mengalami kekotoran."
Si pemudi cemberutkan mukanya. Setengah marah ia berkata:
"Poey! Tidak tahu malu, siapa yang menjadi adik kecilmu?"
Selendang Merah belum pernah mengalami makian orang, apa lagi terhadap si pemudi yang dianggapnya sejudes ini. Maka ia sudah loncat turun dari kudanya dan berkata:
"Siapa yang tidak tahu malu?"
Si pemudi dengan tangan memegang gagang pedang berkata:
"Kau!" Jika si pemuda seragam datang memisahkannya, urusan akan selesai sampai di sini. Tapi ia tidak berbuat demikian, ia juga ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian si pemudi berbaju putih ini yang telah diikutinya sekian lama.
Maka ia mulai membakar: "Nona Tju, apa perlu aku membantu?"
Selendang Merah paling benci akan pemuda sebangsa orang ini, ia sudah mengayunkan selendangnya ke arah muka si pemuda yang masih tertawa haha hihi.
Si pemuda meluncurkan kakinya ke depan menghindarkan serangan ini.
Si pemudi takut akan dikatakan tidak berguna dan meminta bantuan orang jika si pemuda dan si baju merah ini telah bertarung menjadi satu, maka ia sudah menghunus pedangnya dan mendahului menyerang.
Selendang Merah masih tertawa menggoda:
"Aduh, tidak boleh orang memukul jantung hatimu?"
Pecut kuda yang ada di tangannya digunakan sebagai senjata, memapaki bermaksud melibat pedang orang.
Apa mau, perkataan yang terakhir ini telah menyakiti si pemudi, membuat ia sudah menjadi marah betul-betul. Dengan ganas sekali ia mendesak lawannya yang suka menggoda orang ini.
Salahnya Selendang Merah, karena ia tadi terlalu tidak memandang mata kepada orang, dengan menggunakan pecut saja, pikirnya sudah dapat melayaninya. Tidak disangka pemudi ini lihay, hingga untuk mengeluarkan senjata biasanya yaitu selendang merahnya sudah tidak keburu sama sekali. Maka ia sudah berada dalam keadaan terdesak sekali.
Si pemudi mengeluarkan serangan pedangnya dan merangsek gencar, seperti berobah menjadi lain orang. Sifat luwesnya tadi telah hilang sama sekali, gantinya kini menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.
Hanya terlihat bayangan-bayangan putih berkelebat di sana sini, mengurung bayangan merah di tengah-tengah. Telah berkali-kali bayangan merah ini harus main mundur saja.
Mendadak, Selendang Merah menjerit nyaring, pecutnya telah terpapas menjadi dua. Dibarengi oleh sinar perak bergulung-gulung bayangan pedang sudah mendekati dadanya......
Pada waktu yang genting itu tiba-tiba, angin keras datang, sesosok bayangan hitam menyelak. Sebuah tangan yang kuat, dengan cepat mengangkat tubuh Selendang Merah dari ancaman kematian.
Yang datang ternyata Koo San Djie adanya. Begitu sebelah tangannya berhasil mengangkat tubuh Selendang Merah, sebelah tangan lainnya juga sudah menyentil pedang orang.
Karena ia ingin segera menolongi orang, maka tenaganya untuk menyentil pedang telah dikeluarkan berat juga. Pedang itu berbunyi mengaung sampai lama, dan tangan si pemudi berbaju putih tergetar kesemutan.
Setelah berhasil Koo San Djie menolong orang dan mementil pedang dengan keras, ia berkata:
"Hai, mengapa kau sedemikian kejamnya" Orang yang tidak berdosa juga mau kau bunuh!"
Tapi sewaktu ditegasi, siapa pemudi berbaju putih yang di hadapannya ini, ia telah mengeluarkan teriakan kaget:
"Kau" Ciecie Hoe Tjoe......"
Saking bingungnya, sampai ia lupa menurunkan tubuhnya Selendang Merah.
Si pemudi berbaju putih yang memang betul Ong Hoe Tjoe, setelah bersusah payah kian kemari mencari adik Koo San Djie yang menjadi kenangannya baru kini menemuinya. Tidak disangka, begitu bertemu muka, si adik San sudah memaki padanya, bahkan di tangannya masih menyekal tubuh perempuan lain yang genit, mana ia tidak menjadi panas karenanya"
Ia menutup mukanya menangis, membalikkan badannya, lari dengan tidak memilih arah lagi.
Koo San Djie menjadi heran, setelah sadar maka ia lekas-lekas melepaskan tangannya yang masih menyekal tubuh si Selendang Merah.
Dengan keras, ia berteriak-teriak:
"Ciecie Hoe Tjoe, kau mengapa?"
Ia juga mengayunkan langkahnya, hendak mengejar.
Tapi, mendadak di hadapannya ada sinar pedang menghalang-halangi di atasnya. Ternyata si pemuda berpakaian seragam sudah berdiri di tengah jalan, menahan majunya anak muda kita.
Dengan adem, ia membuka mulut:
"Dia adalah orangku. Tidak boleh sembarangan kau mengganggu."
Perkataan "orangku" inilah, paling menusuk hati Koo San Djie ia heran juga, karena belum pernah melihat pemuda ini.
Dengan menghentikan langkahnya sebentar, ia membentak keras:
"Kau tidak berhak mengurusnya."
Dengan menyingkir dari si pemuda berpakaian seragam ia sudah mengejar lagi.
Tapi sinar pedang berkelebat tiga kali, karena si pemuda berpakaian seragam telah mulai dengan serangan-serangannya.
"Jika kau masih mau menghinanya juga harus melewati pedangku ini dahulu!" bentak si pemuda berpakaian seragam.
Tadinya Koo San Djie tidak begitu memandang mata kepada serangan ini, acuh tak acuh menangkisnya. Tapi, serangan pedang itu ternyata lihay sekali, ia menjadi kaget juga:
"Iiii, aliran pedang dari mana?"
Maka, dengan cepat ia sudah berubah sungguh-sungguh, baru dapat menahan datangnya serangan. Ia heran, karena belum pernah melihat ilmu pedang yang seaneh ini, yang tidak dapat diduga arah datangnya sama sekali.
Karena pikirannya tidak tetap, tidak ada waktu untuk ia membalas menyerang. Belasan jurus ia harus diserang terus-terusan dan ia main mundur saja.
Lama-lama, ia tidak sabaran juga. Sambil memekik keras ia mulai majukan badan, hanya mengulurkan tangan, sebagai gantinya pedang ia juga tidak mau kalah dari sang lawan yang menggunakan ilmu pedangnya hebat sekali.
Dua orang bertarung sampai lebih dari satu jam, serangan-serangan lebih dari seratus jurus juga masih tidak dapat menentukan kalah menangnya.
Ini karena Koo San Djie tidak menggunakan keahliannya dalam soal ilmu dalam, ia hanya melawan perobahan ilmu pedang sang lawan dengan perobahan-perobahan juga.
Setelah sekian lama ia memperhatikan perobahan-perobahan dari lawannya, ia juga telah mendapatkan jalan untuk memecahkannya. Dari kitab kutu buku yang telah apal baginya, ia telah mendapatkan ilmu satrunya ini.
Sinar biru berkilat membentur jari Koo San Djie, terdengar suara patahan pedang yang nyaring, pedang pusaka dari si pemuda berpakaian seragam telah terpatah menjadi dua.
Dengan ketakutan, ia mundur ke belakang membuang kutungan pedang, dengan suara gemas sekali ia berkata:
"Jika kau bernyali besar, boleh kau bunuh aku sekarang juga. Kalau tidak kau tidak dapat tenang untuk selama-lamanya."
Koo San Djie tertawa dingin:
"Percuma saja galak di mulut. Pada setiap saat aku bersiap untuk menunggu."
Si pemuda berpakaian seragam dengan sinar mata penuh kebencian sudah meninggalkan tempat itu.
Koo San Djie hanya melihat lenyapnya bayangannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak habis mengerti. Kemudian mengangkat tubuhnya dan pergi lari menurut arah larinya Ong Hoe Tjoe.
Selendang Merah di belakang sudah berkaok-kaok:
"Adik San, tunggu aku sebentar!"
Koo San Djie menghentikan langkahnya.
"Semua juga gara-garamu yang selalu menjadi bayangan, barusan sudah terbit salah mengerti lagi," ia menyesali kawannya.
Ia lari lagi sambil menyeret Selendang Merah.
Memang aneh untuk dikatakan, Selendang Merah yang biasanya hanya bisa memaki orang, ini kali diam saja menerima omelan Koo San Djie. Ia telah menjadi demikian jinaknya, dengan tidak mengeluarkan keluhan suatu apa. Bagaikan seekor anak ayam saja ia membiarkan tangannya digentak dibawa pergi entah kemana.
?Y? Sekarang kita meninggalkan mereka berdua yang masih berlari-larian seperti mengejar awan dan balik menceritakan halnya Ong Hoe Tjoe.
Tempo hari, mereka berlima meninggalkan gunung Pay-hoa dan menuju ke tempat yang dianggap Lembah Merpati biarpun Ong Hoe Tjoe selalu mendekati Tiauw Tua dengan berbagai macam alasan, tapi matanya selalu melirik ke arah Koo San Djie. Dilihatnya Koo San Djie yang menjadi lesu, selalu meninggalkan dirinya di paling belakang. Ia tahu, inilah karena ia dan Tjeng Tjeng tidak mau mendekati kepadanya, maka ia menjadi tidak enak hati sendiri. Perlahan-lahan ia memperlambat langkahnya untuk menunggu, ia muncul di sampingnya. Tapi setelah ditunggu-tunggu sekian lamanya, Koo San Djie masih tidak muncul-muncul juga. Ia menjadi kaget, karena dalam sekejapan mata saja sudah tidak mendapatkan jejaknya.
Terburu-buru ia membalikkan tujuannya dan mencari kembali. Dari balik pohon mendadak terlihat bayangan menghalang di hadapannya, dikiranya Koo San Djie yang sedang menggodanya, maka ia sudah lomput menubruk dan berkata:
"Adik San, kau pergi kemana saja?"
Tapi setelah ditegasi, mana ada bayangan si adik San, di hadapannya berdiri seorang pemuda yang cakap dengan berpakaian seragam.
Ong Hoe Tjoe menjadi merah muka dengan tidak berkata suatu apa lagi, ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan pemuda ini.
Setelah mengejar sekian lamanya, sampailah ia dipersimpangan jalan yang bercagak tiga. Ia tidak tahu rombongannya Tiauw Tua mengambil jalan yang mana, ia juga tidak tahu jalan yang menuju ke Lembah Merpati. Maka dengan tidak memilih lagi ia meneruskan perjalanannya.
Tidak dia sangka jalan yang ditempuhnya bukan jalan yang diambil oleh rombongan Tiauw Tua, maka setelah mengejar sampai seharian penuh ia masih tidak mendapat jejaknya Tiauw Tua dan kawan-kawan.
Waktu malampun telah tiba, dengan terpaksa ia harus bermalam pada satu rumah penginapan. Maka ia juga memilih sebuah penginapan dan bersedia memasukinya.
Baru saja ia hendak masuk ke dalam rumah penginapan itu, seorang pemuda dengan pakaian seragam yang pernah ditemuinya tadi, mendahului di depannya dan berkata:
"Nona tentu telah menjadi lelah karena berjalan jauh."
Tidak perduli kenal atau tidak, tapi mereka pernah bertemu. Dan lagi, melihat orang telah mendahului memberi hormat kepadanya, maka Ong Hoe Tjoe juga memanggutkan kepalanya tersenyum. Lalu meninggalkan pemuda itu untuk berurusan dengan pemilik penginapan, ia menyewa sebuah kamar.
Baru saja ia selesai mencuci mukanya, di sana sudah ada pelayan yang menghidangkan makanan. Ia menyangka itu ada rumah penginapan yang menyediakan. Kebetulan perutnya sudah lapar, maka dengan tidak banyak bicara lagi, dihadapinya semua makanan ini.
Di hari kedua, sewaktu ia memanggil pelayan untuk diminta perhitungannya, si pelayan sudah tidak mau menerima uang itu dan dikatakan, semua perhitungan sudah dibayar terlebih dahulu. Maka, dengan apa boleh buat ia meninggalkan rumah penginapan itu dengan pikiran penuh pertanyaan, siapa gerangan orang yang membayar ongkos makan dan penginapan"
Tapi baru saja ia meninggalkan pintu depan, si pemuda berpakaian seragam yang kemarin menyapa kepadanya sudah berdiri menantinya dan berkata:
"Aku bernama Ong Sun Thay. Dan bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?"
Ong Hoe Tjoe mempelengoskan mukanya:
"Siapa yang mau usil dengan namamu?"
Dengan sekali pecut, ia sudah melarikan kudanya dengan cepat sekali. Tapi, setelah ia melarikan kuda sekian lamanya, sewaktu ia menoleh ke belakang, dilihatnya si pemuda berpakaian seragam masih juga mengikutinya.
Maka, ia menghentikan kudanya dan berkata dengan marah:
"Mengapa kau selalu mengikutiku?"
Si pemuda berpakaian seragam dengan tenang menjawab:
"Aku sedang jalan menuju arahku!"


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inilah jalan raya kepunyaan semua orang maka tentu saja ia boleh jalan di sini juga. Ong Hoe Tjoe tidak dapat berkata lagi.
Si pemuda berpakaian seragam yang melihat Ong Hoe Tjoe tidak berkata lagi sudah mulai bertanya:
"Kau demikian kesusu, sebetulnya akan menuju kemana?"
"Perlu apa kau bertanya?" jawab Ong Hoe Tjoe ketus.
Tapi mendadak ia mengingat yang ia tidak mengetahui jalan sama sekali, apa lagi harus menuju ke Lembah Merpati yang masih menjadi rahasia besar. Maka ia sudah menghilangkan muka asamnya dan bertanya kepada pemuda tadi:
"Apa kau tahu di mana letaknya Lembah Merpati?"
Tidak usah dilukiskan, bagaimana senangnya si pemuda berpakaian seragam yang mendapat sambutan dari pemudi ayu ini, maka dengan menarik les kudanya ia merendengkan kedua kudanya, lari sejajar.
Dengan memeramkan kedua matanya, pemuda berpakaian seragam yang bernama Ong Sun Thay telah menjawab:
"Lembah Merpati" Jangan dikata aku, semua orang juga tidak ada yang tahu, di mana letaknya lembah aneh itu."
Ong Hoe Tjoe menjebikan bibirnya.
"Kau mengaco belo saja. Mengapa sembilan orang ketua partai dapat pergi ke sana?"
"Inilah masih belum jelas," jawab Ong Sun Thay.
Ong Hoe Tjoe menjadi marah:
"Kau tidak tahu, aku juga bisa mencarinya sendiri. Siapa yang mau bertanya lagi?"
Ia memecut kudanya lagi, dan lari mendahului. Tapi kali ini Ong Sun Thay tidak mengganggunya lagi, ia malah lari menyusul dan mendahului ke depan.
Setelah sampai waktu magrib, sebelum Ong Hoe Tjoe dapat menentukan, harus bermalam di penginapan mana, di pinggir jalan telah berdiri menanti seorang pelayan yang menyambut dangan hormat dan ajak Ong Hoe Tjoe bermalam di rumah penginapannya. Sampai di dalam kamar juga telah tersedia dengan serba komplit, dari minuman sampai makanan, tidak henti-hentinya dibawa masuk.
Ong Hoe Tjoe sudah mengalami pangalaman yang kemaren, maka ia sudah mendahului membayar segala ongkos-ongkos ini. Tapi biar bagaimana si pelayan masih juga tidak mau menerimanya, sebab ia mengatakan, telah ada orang yang membayar terlebih dahulu.
Ong Hoe Tjoe mana mau mengerti, sehingga suara ribut sampai menyebabkan munculnya Ong Sun Thay lagi.
Dari sebelah kamarnya pemuda ini keluar dan langsung memasuki kamar Ong Hoe Tjoe, setelah mengambil tempat duduk, ia berkata:
"Hanya pemberian kecil, jangan sampai kau tidak menerimanya."
Di hadapan si pelayan, tidak dapat Ong Hoe Tjoe mengeluarkan marahnya. Si pelayan setelah selesai dengan urusannya juga tidak mau lama di situ dia meninggalkan mereka berdua.
Setelah si pelayan meninggalkan mereka, Ong Hoe Tjoe dengan sengit berkata:
"Apa artinya semua ini" Mengapa kau selalu menggangguku saja" Kau buka dulu kedua matamu, jangan kira aku mudah untuk dihina."
Ong Sun Thay dengan menyengir menjawab:
"Tentu. Tentu. Biarpun aku bernyali macan juga tidak berani mengganggumu."
Setelah berkata, ia membuka kedua tangannya dan membuat muka lucu. Lalu keluar dari kamar dan meninggalkan Ong Hoe Tjoe sendirian.
Ong Hoe Tjoe dibuat tertawa juga karena ledekan ini.
Sedari hari itulah, Ong Sun Thay semakin tidak mau lepas dari Ong Hoe Tjoe. Dimaki, ia tertawa, dipukul, ia menyingkir. Tapi selalu menjadi bayangan hidupnya si nona.
Ilmu Sakti dari Lembah Hewan
Setelah lama kelamaan, Ong Hoe Tjoe pun telah menjadi biasa dengan hal ini. Ada kalanya ia kesepian, diajak omong juga pengiringnya pribadi itu.
Ong Sun Thay memang sudah ahli dalam hal ini, setiap kali ia membuka mulut, tentu dapat membuat Ong Hoe Tjoe tertawa terpingkal-pingkal. Asal matanya Ong Hoe Tjoe bergerak, ia sudah tahu, apa yang Ong Hoe Tjoe hendak perbuat, ia selalu dapat melayaninya dengan cermat sekali.
Semua wanita tentu suka akan pujian dan perhatian. Tidak kecuali juga dengan Ong Hoe Tjoe, setelah bergaul sekian lama, mereka sudah mengenal satu sama lain. Ong Hoe Tjoe kini sudah berani memanggil namanya Ong Sun Thay, tapi si pemuda masih memanggilnya nona Hoe Tjoe saja.
Setelah beberapa bulan mereka berjalan berdua, masih juga tidak dapat menemui jejak Koo San Djie sekalian, apa lagi Lembah Merpati segala.
Yang terang ialah perhubungan mereka semakin lama sudah menjadi semakin rapat saja. Biarpun yang satu sengaja, yang satu lagi tidak dengan disengaja, waktu yang tidak mengenal aturan sudah menarik mereka bertemu menjadi satu.
Tapi biar bagaimana juga, biarpun Hoe Tjoe mempunyai pandangan yang tidak jelek terhadap pemuda yang bernama Ong Sun Thay ini, dalam pikirannya hanya menganggap pemuda itu sebagai mainan yang lucu, dapat membuat ia tertawa dan lupa akan duka.
Sampai pada hari itu, ia dapat bertemu dengan adik San nya, mendadak sudah dimakinya di hadapan banyak orang, dan lagi di tangannya Koo San Djie masih memegangi itu perempuan yang tidak mengenal malu, mana ia tidak menjadi sakit hati"
Ia telah lari meninggalkan mereka dengan mengucurkan air mata, ia masih mengharapkan, Koo San Djie tentu akan menyusulnya. Tapi setelah lari sekian lamanya, masih tidak terlihat mata hidungnya si pemuda menyusul. Karena saking sedihnya, ia menghentikan langkah dan menangis sesenggukan. Ia menyesal juga, tadi ia sudah main lari saja, sebetulnya, ia boleh minta penjelasannya di situ juga.
"Bertemu, tapi berpisah lagi......" ia mengeluh dalam hatinya.
Mendadak, bayangan Ong Sun Thay telah datang pula. Jika Ong Sun Thay berada di sini, tentu ia dapat menyediakan selembar handuk yang hangat, membawakan semangkok teh yang panas, mengucapkan beberapa perkataan yang lucu untuk menggodanya.
Tapi dalam sekejapan mata, itu pemuda yang tolol, si anak gembala seperti kebingungan menghadapi keadaan ini menutupi semua bayangan tadi. Dialah orang yang pertama yang telah menempati hatinya, biar bagaimana memaki dengan kasar, biar bagaimana berendeng dengan perempuan tadi, tapi ia masih tetap menyinta kepadanya.
Ia tidak memiliki lagi, bagaimana ia bersama-sama dengan Ong Sun Thay dapat menimbulkan kesalah pahamannya, karena ia hanya menganggap Ong Sun Thay sebagai pelayan-pelayan penginapan tadi yang tidak menerima bayaran.
Matahari telah mulai doyong ke sebelah barat, burung kecil melayang-layang berbaris di awan-awan. Ada juga beberapa burung yang terbang rendah di atas kepalanya, mengeluarkan suara cicitnya yang ramai.
Ia mendongak ke atas, melihat keadaan yang sudah mau menjadi gelap, ia tidak dapat hanya menangis saja, ia harus mencari tempat untuk berlindung, menunggu sampai keesokan harinya.
Baru saja ia mengangkat kakinya yang malas, pandangan matanya telah tertumbuk oleh sebuah pemandangan yang tidak biasa. Karena kaget, sampai ia bertanya sendiri:
"Iiiih, apa burung juga dapat membuat barisan tin?"
Ia melihat burung-burung yang terbang semua menuju ke satu arah, di mana di antara awan yang tipis terlihat puncak gunung yang menjulang tinggi. Semua burung yang telah menuju ke sana, satu persatu berbaris dengan sangat rapi sekali, dari puncak sampai ke bawah kaki gunung.
Hatinya sangat memuji akan keajaiban ini, dengan kecepatan kakinya, hanya memakan waktu satu jam, ia akan sampai di sana, perasaan hatinya yang serba ingin tahu mendorong ayunan kaki pergi menuju ke tempat itu.
Betul saja, tidak sampai satu jam, ia telah tiba di kaki gunung. Di sana seperti telah memasuki dunia lain saja. Gunung ini merupakan lembah kecil, biarpun waktu itu telah mendekati akhir musim rontok, tapi keadaan hawa di sini tetap sangat nyaman.
Pohon-pohon tetap masih mempunyai daun yang menghijau, bunga-bunga memancarkan sari harumnya, ia seperti telah sampai di pintu sorga.
Mendadak, ia merendek, di sini tentu ada orang yang meninggalinya. Jika dilihat dari jalan-jalan yang bersih dan pohon-pohon yang teratur, orang ini tentu mempunyai pengalaman yang luar biasa.
Pada waktu itu, kupingnya telah mendengar satu suara yang halus, lebih halus dari suara nyamuk saja:
"Tamu agung dari mana yang sampai di sini" Silahkan menurut arah yang ditunjuk oleh si biru, datanglah kemari."
Ia masih ragu-ragu, seekor burung kecil yang berwarna biru mulus telah terbang di atas kepalanya, dengan mengangkat tinggi-tinggi buntut kecilnya, sang burung bercuit-cuitan.
Ong Hoe Tjoe merasa senang, ia mengulurkan tangannya untuk menangkap. Tapi burung kecil itu sangat jinak, sebelum ia dapat menangkapnya, sang burung sudah menclok di atas pundak, dan berlompatan ke arah telapak tangan.
Ong Hoe Tjoe bagaikan menghadapi anak kecil saja mendekati tangannya sampai di depan mukanya dan sudah bertanya kepadanya:
"Apa majikanmu yang menyuruh datang kemari untuk menjemput?"
Si burung biru memanggut-manggutkan kepalanya dan bercit-cit dua kali, lalu meninggalkan telapak tangan Ong Hoe Tjoe, lompat ke tanah dan leloncatan ke depan.
Ong Hoe Tjoe berliku-liku mengikuti jalan yang sudah ditunjuk, sehingga sampailah di depan sebuah rumah batu.
Rumah batu itu penuh dihiasi oleh bermacam-macam bulu burung, jika dilihat dari jauh, bentuknya seperti satu burung raksasa.
Setelah masuk ke dalam rumah batu di dalamnya ternyata ada lebar juga. Semua perabot dan alat yang ada di situ diatur sedemikian rapi, sehingga membuat orang yang melihatnya akan tertarik.
Sedang enak ia memandang semua ini, dari dalam telah terdengar suara yang halus tadi berkata pula:
"Anak, masuklah ke dalam."
Dengan menabahkan hati, Ong Hoe Tjoe memasuki pula ke ruangan sebelah dalam. Di sini terlihat seorang perempuan setengah umur tengah duduk bersila. Wajahnya yang cantik bersifat agung membuat orang yang melihatnya tidak berani memandang lama-lama.
Ong Hoe Tjoe dengan tidak terasa telah berlutut di hadapannya dan berkata:
"Bidadari memanggil kemari tentu ada perintah apa-apa?"
Si wanita cantik setengah umur seperti kaget mendengar perkataan Ong Hoe Tjoe.
"Iiiih, julukanku Bidadari Sayap Biru kau dapat tahu dari mana?"
Ong Hoe Tjoe lebih kaget lagi karena ia tidak sengaja menyebut julukan wanita cantik setengah umur ini. Maka dengan cepat ia sudah menjawab:
"Anak tidak tahu telah keliru menyebut julukan bidadari, karena melihat keagungan bidadari yang tidak ada tandingannya, maka telah memberanikan diri dengan panggilan ini. Harap dapat memberi maaf kepada anak yang lancang ini."
Wanita cantik itu sambil tersenyum berkata:
"Kau boleh bangun. Di tempatku ini tidak memerlukan peradatan berlebihan. Bawalah sikap yang sewajarnya."
Ong Hoe Tjoe menurut berdiri di sampingnya. Tapi masih tidak berani berbuat sesuatu apapun.
Si wanita cantik setelah memperhatikan Ong Hoe Tjoe, sebentar sudah berkata lagi:
"Tempat ini disebut Lembah Hewan. Biarpun ia disebut demikian, tapi binatang yang paling banyak di sini adalah bangsa burung. Di atas puncak gunung ini terdapat raja burung Hong, setiap kali ia mengadakan pertemuan di atas puncak yang rata itu penuh sesak dengan bangsa mereka, maka puncak gunung yang rata itu dinamakan juga puncak Seribu Burung."
Setelah menjelaskan tentang nama lembah dan gunung ini, ia sudah menutup ceritanya:
"Karena itu aku senang akan keadaan di sini, banyak sekali bermacam-macam burung, maka aku terus menetap di sini untuk seterusnya."
"Suatu tempat yang bagus sekali," Hoe Tjoe memuji.
Bidadari sayap biru menanya:
"Apa kau senang dengan tempat ini?"
"Jika aku yang tinggal di sini," jawab Hoe Tjoe, "untuk seumur hidupku tidak akan pergi lagi."
Senyumnya Bidadari Sayap Biru mendadak lenyap sama sekali, sebagai gantinya ia telah menghela napas:
"Ada suatu tempat yang lebih bagus dari tempat ini, tapi......"
"Tempat apakah yang lebih bagus" Di mana?" Ong Hoe Tjoe bertanya heran.
"Apa kau pernah dengar tentang Lembah Merpati?" tanya Bidadari Sayap Biru.
Ong Hoe Tjoe menjadi sengit, mendengar disebutnya Lembah Merpati, karena ia teringat akan kematian dua orang tuanya. Maka lagu suaranya sudah berobah:
"Bukan saja pernah dengar, bahkan telah mengetahui, bahwa orang-orang dari lembah ini sangat jahat sekali, bisanya hanya membunuh dan menculik orang saja. Mereka berusaha memancing pemuda-pemuda dari berbagai golongan, dengan bermacam-macam usaha untuk masuk ke dalam lembah, dan juga bersekongkol dengan orang-orang dari golongan hitam, untuk dijadikan kaki tangannya. Semakin lama menjadi semakin ganas saja mereka ini, ibuku mati di tangannya. Ayahku mati kesal karenanya......"
Berkata sampai di sini, kedua matanya sudah menjadi merah, mau menangis.
Bidadari sayap biru mendengar sampai di sini sudah mengerutkan kedua alisnya yang lentik dan berkata:
"Tidak dikira, si bangsat berani berbuat melakukan sampai di sini, tidak lagi memikirkan segala akibatnya, dengan berani-berani melanggar peraturan-peraturan lembah. Kau tidak usah terlalu bersusah hati, karena orang-orang ini tentu akan menerima segala akibat-akibatnya."
Ong Hoe Tjoe tidak menyahut.
Setelah ragu-ragu sebentar, terdengar Bidadari Sayap Biru, berkata lagi:
"Terus terang kukatakan kepadamu, aku adalah salah satu dari orang Lembah Merpati. Karena ketua lembah yang baru ada sangat kukuh dan kejam, dan berani melanggar peraturan-peraturan lembah, memaksa aku untuk dijadikan istri yang kedua, maka aku melarikan diri. Jika dihitung sampai sekarang telah hampir enampuluh tahun aku tinggal di sini......"
Hati Ong Hoe Tjoe hampir saja mencelat keluar ia mengaku telah tinggal di sini hampir enampuluh tahun lamanya. Karena jika dilihat dari roman mukanya, paling banyak juga baru berumur empatpuluh tahun. Jika betul ia telah mengumpat di sini hampir enampuluh tahun, maka tentunya kini ia telah berumur lebih dari delapanpuluh tahun, tapi mengapa ia masih kelihatan sedemikian muda.
Ong Hoe Tjoe tidak berani banyak bertanya, dengan tidak menyinggung persoalan ini ia berkata:
"Tidak perduli bagaimana, dendam dari dua orang tuaku akan kubalas."
Bidadari Sayap Biru, menggeleng-gelengkan kepalanya:
"Urusan ini kita selesaikan belakangan saja. Pada waktu ini, kepandaian yang dimiliki oleh Lembah Merpati masih belum ada yang dapat menandinginya. Kau harus dapat menahan sabar."
Ong Hoe Tjoe berkata: "Anak masih ada punya adik lelaki yang bernama Koo San Djie, kepandaiannya tinggi sekali, ia dapat membantu anak untuk membalas dendam."
Bidadari Sayap Biru seperti masih tidak percaya, ia masih menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil berbangkit dari duduknya ia berkata:
"Mari kuantar kau istirahat."
Ia sudah lantas menghantarkan Ong Hoe Tjoe ke dalam satu ruangan batu yang lebih kecil. Semua perabot di sini tidak kalah terpeliharanya, Ong Hoe Tjoe dapat tertidur di sini dengan nyenyak sekali.
Pada pagi harinya, suara cuat cuitnya burung-burung, telah membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bangun dan menolak daun pintu pergi keluar, dilihatnya Bidadari Sayap Biru sudah bangun terlebih dulu dan berdiri di pelataran, memainkan burung-burung.
Begitu melihat Ong Hoe Tjoe sudah bangun, ia menggapai ke arahnya dan berkata kepada burung yang kemarin mengajak Ong Hoe Tjoe datang:
"Ini hari ada tamu yang datang kemari, lekaslah kau suruh mereka menyediakan makanannya."
Burung kecil ini begitu mendengar perintah sudah lantas terbang meninggalkan sang majikan ke atas awang-awang yang tinggi menuju ke arah burung-burung di atas puncak gunung Seribu Burung.
Bidadari Sayap Biru sambil menunjuk ke arahnya para burung sudah berkata:
"Kau telah melihat burung-burung itu, di antara sedemikian banyaknya binatang, golongan manakah yang paling kuat"
Ong Hoe Tjoe yang melihat tangannya Bidadari sayap biru menunjuk ke arahnya para burung, sudah tentu saja mengetahui maksud jawaban tidak lain tentulah burung. Tapi ia tidak berani sembarangan menjawab, maka ia berkata:
"Sukar untuk dikatakan dengan pasti, karena mereka mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, tergantung di mana kekuatan mereka itu digunakan."
Bidadari Sayap Biru menganggukkan kepala:
"Betul. Aku tinggal di dalam Lembah Hewan ini puluhan tahun, setiap hari, aku hanya bergaul dengan para burung dan tentu saja sudah memperhatikan gerak gerik mereka. Sewaktu kuperhatikan dengan seksama, waktu mereka terbang menerjang awan dan menukik mencengkram lawan atau mematok makanan, gerakan-gerakan mereka ini ternyata sangat berguna sekali bagi orang kaum wanita. Jika kita dapat menggunakan gerak-gerakan ini di dalam ilmu silat, bukankah menjadi suatu ilmu yang tersendiri" Semua makhluk di dunia, yang kuat menang dari tenaga, yang pintar menang dari keahlian. Gerakan-gerakan burung-burung yang lincah adalah suatu keahlian bagi mereka, dan gerakan inilah yang patut kita tiru......."
Mendadak, ia menggoyang-goyangkan badannya, bajunya berkibar-kibaran, dengan sekali enjot, ia mengangkat tubuhnya, mengikuti gerakannya burung terbang ke tengah udara. Sebentar-sebentar membentangkan kedua lengan bajunya yang lebar, tidak berbeda dengan seekor burung besar yang sedang terbang melayang-layang.
Ong Hoe Tjoe sangat kagum, sampai bertepok tangan girang.
Dalam sekejapan saja, matanya seperti lamur, di hadapannya kini berdiri lagi Bidadari Sayap Biru dengan senyum di mulutnya.
Setelah menenangkan napasnya, Bidadari Sayap Biru dengan sungguh-sungguh berkata:
"Ilmu berjumpalitan di udara ini, jika telah sampai pada puncaknya dapat terbang dengan hanya mengempos tenaga, aku hanya baru dapat mempelajari kulitnya saja. Pelajaran yang kudapatinya ini telah kutambah dengan sembilan jurus ilmu cengkeraman burung, maka kunamakan Sembilan Gerakan Burung Dewi. Mengingat keinginanmu yang keras untuk dapat membalas dendam kedua orang tuamu, maka pelajaran ini akan kuturunkan kepadamu!"
Ong Hoe Tjoe sudah menjadi girang sekali, ia menjatuhkan dirinya dan menyentuhkan kepalanya ke tanah sampai empat kali.
Bidadari sayap Biru tersenyum di tempat, dengan lekas ia sudah membangunkan badan Ong Hoe Tjoe, dan berkata:
"Lain kali, jangan berbuat seperti ini, aku paling tidak suka dengan segala peradatan dunia."
Sebentar kemudian, suara berkicaunya burung terdengar ramai sekali, bermacam-macam burung dengan aneka warna telah datang ke arah mereka. Pada setiap patok burung-burung ini, terbawa bermacam-macam buah-buahan gunung, sebentar saja telah penuh di hadapan mereka.
Bidadari Sayap Biru mengulurkan tangannya dan menggapai ke udara. Seekor burung kaka tua besar yang bermata merah dan berbulu putih terbang turun di hadapannya, dicengkeramannya masih menyekal buah yang berwarna hijau terang. Dengan tidak henti-hentinya berkata:
"Barang antaranku paling bagus. Barang antaranku paling bagus."
Bidadari Sayap Biru tertawa mengomel:
"Sudahlah. Aku juga tahu."
Lalu mengambil buah yang berwarna hijau terang seperti jeruk tadi dan berkata kepada Ong Hoe Tjoe:
"Betul! Buah inilah yang paling istimewa. Orang menamakannya Jeruk Merah, karena isinya berwarna merah darah, buah ini seratus tahun baru berbuah sekali, khasiatnya yang paling istimewa adalah dapat menambah tenaga berkali lipat. Memang kau mempunyai rejeki bagus, lekaslah makan."
Ong Hoe Tjoe menyambutnya buah ini seraya menghaturkan terima kasih, segera ia memakannya. Bukan main harum, Jeruk Merah itu setelah masuk ke dalam mulut, garing dan banyak air. Kini ia merasa tubuhnya menjadi segar sekali, tenaganya dengan tidak diketahui telah bertambah lipat ganda.
Maka mulai dari hari itu Ong Hoe Tjoe menetap di situ, mempelajari ilmu berjumpalitan di udara dan Sembilan Gerakan Burung Dewi. Setiap pagi, ia memperhatikan gerakan-gerakan dari burung-burung yang banyak terdapat di sana, malamnya, sering minta petunjuk-petunjuknya yang berharga dari Bidadari Sayap Biru.
Tapi jika Ong Hoe Tjoe menanyakan tentang jalan atau keadaan di dalam Lembah Merpati, ia setalu menggeleng-gelengkan kepala dan dengan sedih berkata:
"Aku telah menghianati leluhur, mana berani membongkar rahasia lembah lagi" Aku hanya dapat memberi pelajaran ini untuk nanti kau gunakan di dalam lembah."
Sedari saat itu, Ong Hoe Tjoe tidak berani menyinggung-nyinggung tentang Lembah Merpati, ia telah bersungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya ke dalam ilmu pelajaran.
Bidadari Sayap Biru menjadi suka dan kasihan kepada Ong Hoe Tjoe yang telah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya terlebih dahulu, maka ia bersedia mengangkat anak kepadanya.
Tentu saja, Ong Hoe Tjoe tidak keberatan akan usul ini, maka pada hari itu juga ia memanggil ibu kepada Bidadari Sayap Biru.
Sebagai kenangan, Bidadari Sayap Biru telah memberikan dua tanda mata kepada anak angkatnya ini, yaitu Baju Mega Sayap Burung dan Kipas Uap Sayap Burung.
Dua barang pusaka ini adalah barang-barang bawaannya Bidadari Sayap Biru, semasa mudanya. Maka dengan wanti-wanti ia memesan:
"Anak Tjoe, kau harus hati-hati dengan dua pusaka ini. Baju mega sayap burung bukan saja bagus untuk dipakai, kegunaannya yang terpenting ialah ia dapat menahan air dan memisah api, pedang dan golok biasa dan tenaga dalam yang mengenainya akan membal balik dengan sendirinya, dengan tidak usah kuatir dan dapat melukai isi dalam kita. Dan jika menemui racun atau obat bius, dengan mengerahkan tenaga dalammu ke dalam baju ini, ia dapat mengeluarkan hawa yang bisa memunahkan racun-racun tadi."
"Tentang Kipas Uap Sayap Burung, ini bukan saja ia mempunyat khasiat yang tidak kalah dengan Baju Mega Sayap Burung tadi, karena ia lebih kecil dan enteng, maka dapat digunakan sebagai senjata. Apa lagi jika kau menggunakan Sembilan gerakan burung dewi, maka ia akan lebih berguna lagi."
Saking girangnya Ong Hoe Tjoe sudah lari dan merangkul ibu angkatnya ini. Dengan suara terharu ia berkata:
"Bu, kau ada sangat baik sekali kepadaku, entah harus bagaimana aku dapat membalasnya."
Bidadari sayap biru mengelus-elus rambutnya Ong Hoe Tjoe yang hitam sambil berkata:
"Cukuplah jika kau dapat belajar ilmu baru ini dengan rajin dan gunakanlah untuk membantu orang yang perlu akan bantuanmu."
"Akan kuingat perkataan kau si orang tua," jawab Ong Hoe Tjoe terharu.
Kita balik melihat keadaan Koo San Djie yang berlari-larian dengan menenteng si Selendang Merah. Setelah sekian lamanya berlari masih tidak dapat menemukan jejak Ong Hoe Tjoe juga.
Ia menjadi kesal karena harus kehilangan kekasihnya lagi, maka sambil membanting-banting kakinya ia sudah menjadi uring-uringan sendiri:
"Dulu kau berlaga pilon, tidak mau memperdulikan kepadaku, kini cari-cari lagi alasan yang bukan-bukan, marah dan meninggalkan aku. Apa yang menyebabkan ini semua" Terus terang saja kau katakan, TIDAK SUKA. Akupun masih banyak urusan yang harus dikerjakan."
Ia seperti merasakan ciecie Hoe Tjoe nya telah berobah, berobah jauh sekali dengan pertama kali mereka bertemu, semua-semuanya telah berubah, termasuk sifatnya yang open juga.
Setelah mengucapkan beberapa ocehan, ia sudah menjadi bersusah hati karena seperti telah kehilangan sesuatu barang kesayangan.
Kembali ia teringat akan si pemuda berpakaian seragam, pemuda inilah yang menjadi gara-gara dari perobahan. Biarpun ia menang bertanding dari si pemuda berpakaian seragam, tapi dalam hal menarik hati nona Ong Hoe Tjoe, ia harus menyerah kalah.
Koo San Djie telah berobah tidak mempunyai pendirian, maunya marah-marah saja, tidak perduli, apa saja yang akan dimarahinya.
Sebentar ia sudah berdaya untuk melepaskan gangguan pikiran ini, tapi tidak lama timbul pula pikiran kusutnya.
Jika bukan Koo San Djie yang mengalami kejadian ini, Selendang Merah sudah mentertawakannya. Tapi kini ia tahu, apa yang sedang dipikirkan oleh adik San nya ini, ia tidak berani sembarangan membuka mulut, ia hanya mengintil di belakangnya.
Bisa jadi, karena akibatnya dari si Selendang merah yang telah menjadi lebih jinak, Koo San Djie telah dapat menentramkan kembali hatinya, pikirnya:
"Sebagai orang laki harus dapat mengangkat dan memikul. Untuk selanjutnya tidak akan kupikirkan lagi urusannya......"
Setelah dapat mengambil putusan, hatinya sudah menjadi mantep lagi. Ia telah mengumpulkan segala macam urusan menjadi satu, jika diusut asal usulnya, Lembah Merpatilah yang menjadi pokok gara-gara.
Ia membuat suatu perumpamaan, jika betul dapat menemukan letaknya Lembah Merpati, maka ia harus berbuat bagaimana" Jika hanya mengandalkan dirinya sendiri saja, untuk menyerap-nyerapi kabar saja masih tidak menjadi soal, tapi jika betul-betul mau memecahkan Lembah Merpati, masih terlalu berat baginya. Ia mencoba-coba menghitung orang, yang dapat diminta bantuannya sang supek Liu Djin Liong, Tjeng Tjeng, Tiauw Tua, sastrawan Pan Pin, Ong Hoe Tjoe, Selendang Merah dan Hay-sim Kongcu.
Hitung-hitung dengan cara ini, memang betul banyak orang juga yang dapat diminta bantuannya. Yang sayang ialah orang ini sukar untuk dikumpulkan menjadi satu dalam sekejapan mata.
Mendadak ia teringat akan si Pengemis sakti Kiang Tjo yang sudah menanti di kuil Siauw-lim, mungkin sekali ia mengandung maksud yang dalam.
Pengemis sakti orangnya jujur, biarpun mempunyai ganjelan yang dalam dengan sang supek Liu Djin Liong, tapi itu hanya soal pribadi. Jika menghadapi urusan seperti Lembah Merpati, demi kepentingan dunia Kang-ouw, tidak mungkin ia dapat berpeluk tangan.
Jangka waktu sebulan sudah hampir habis, maka ia sudah menetapkan untuk pergi ke kuil Siauw-lim.
Jalan yang menuju ke kuil Siauw-lim di gunung Siong-san adalah jalan lama yang telah dikenal, sebentar saja ia telah tiba di sana.
Mendadak, ia merasa, dengan mengajak seorang wanita masuk ke dalam kuil adalah tidak pantas maka ia menasehatkan si Selendang Merah untuk tidak usah ikut masuk, dan menunggu di bawah gunung sampai ia selesai dengan urusannya.
Terhadap usul ini Selendang Merah tidak lantas menyetujuinya, setelah berdebat sekian lama baru ia melulusi juga.
Setelah sampai di pintu gunung, kembali Koo San Djie menemukan Siauw Kong yang memang telah dikenal. Siauw Kong melihat orang yang datang adalah Koo San Djie sudah menjadi girang sekali, dari kejauhan ia sudah lari menghampiri dan menyekal erat-erat tangan sang kawan.
Koo San Djie melihat Siauw Kong hanya tertawa sambil menunjukkan dua baris giginya yang putih, lantas bertanya:
"Apa Pengemis sakti Kiang Tjo telah tiba?"
Siauw Kong tertawa: "Dia telah menanti lama. Tapi sekarang dia sedang bermain catur dengan kakek guruku. Telah beberapa kali dia menanyakan kedatanganmu."
"Bagaimana jika kau mengantarkan aku sekarang juga" Sekalian dapat aku berjumpa dengan kakek gurumu juga."
Siauw Kong tertawa. "Mari ikut!" katanya riang.
Sambil menarik tangan Koo San Djie ia bawa sang kawan mengitari kuil dan langsung menuju ke belakang gunung.
Sebentar saja, mereka telah tiba di bagian belakang. Dilihatnya Pengemis Sakti, sedang enak bercatur dengan seorang hweeshio yang bermuka merah.
Pengemis sakti melihat Koo San Djie mendatangi sudah lantas membalikkan papan caturnya dan berkata.:
"Aku menyerah kalah saja."
Hweeshio bermuka merah lantas tertawa:
"Apa dapat kau tidak mengaku kalah" Sebentar lagi juga akan kucar kacir, berantakan semua."
Koo San Djie bertindak maju dan memberi hormat kepada hweeshio tua bermuka merah terlebih dulu, baru berbalik dan memberi hormat kepada Pengemis sakti Kiang Tjo.
"Tidak usah banyak peradatan," kata Kiang Tjo, "Mari kuperkenalkan, ini adalah padri satu-satunya yang tertua yang masih berada di kuil Siauw-lim, kedewaan dan kepandaiannya telah mencapai puncak yang tertinggi."
Kong Tie tertawa mesem, katanya:
"Pengemis bau, tidak usah mengumpak-umpak kepadaku. Pendekar kecil inilah yang harus menerima pujian."
Koo San Djie tidak dapat campur mulut, ia hanya berdiri disampmg mereka dengan hormat.
Pengemis sakti berkata lagi pada Koo San Djie:
"Apa kau datang kemari mencariku untuk bertanding?"
Koo San Djie berkata: "Karena mendapat panggilan dari Locianpwe, maka boanpwe tidak berani tidak datang, tentang pertandingan, mana boanpwe berani mempertontonkan kepandaian jelek di hadapannya seorang ahli?"
Pengemis sakti ketawa nyengir:
"Mulut kecil, tapi tajam. Duduklah dahulu, ada beberapa perkataan yang mau diucapkan kepadamu."
Koo San Djie menurut dan ambil tempat duduk.
Pengemis sakti dengan sungguh-sungguh berkata:
"Apa kau tahu akan bahaya yang telah membayangimu?"
"Tidak tahu." "Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kang-ouw sudah memancarkan cahayanya, beberapa kali kebentrok dengan orang-orangnya Lembah Merpati. Hal ini telah menarik ke luar dua pengurus Lembah Merpati, yang sudah lantas mengumpulkan begundal-begundalnya dan memerintahkan empat duta-dutanya untuk mengurung kepadamu. Kulihat, paling baik kau dapat menyingkir terlebih dahulu."
Koo San Djie yang mendengar kabar ini sudah menjadi panas. Dengan tertawa lebar ia berkata:
"Terima kasih atas perhatian Locianpwe. Boanpwe masih tidak begitu memandang mata kepada para kurcaci itu......"
Mendadak ia mengkerutkan keningnya dan melanjutkan:
"Yang paling membuat boanpwee tidak mengerti ialah mengapa orang-orang dari delapan partai selalu mencari susah saja padaku, bahkan tidak dapat dikatakan pegang aturan."
Pengemis sakti Kiang Tjo mengangguk-anggukkan kepalanya:
"Hal ini tidak dapat disalahkan mereka, karena sembilan ketua partai telah terbunuh di dalam Makam Merpati. Kau yang menjadi keponakannya Liu Djin Liong, kebetulan terlihat sedang memendam mayat-mayat itu, mana mereka tidak jadi salah mengerti?"
Lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Kong Tie dan bertanya:
"Dan bagaimana pandangan siansu terhadap soal ini?"
Kong Tie dengan tegas menjawab:
"Liu Djin Liong di sini menerima penasaran......"
"Bagaimana dengan urusan yang sebenarnya?" tanya Kiang Tjo heran.
Kong Tie memainkan tasbenya sejenak, kemudian berkata:
"Liu Djin Liong sedari ditinggal mati isterinya sudah bersumpah tidak akan keluar lembah. Kini dia telah melanggar sumpahnya dan pergi keluar. Dari sini dapat terbukti, tentu terjadi suatu urusan yang besar. Makam Merpati sedang menghadapi soal rumit. Inilah kecurigaanku yang pertama."
Setelah berdiam sejenak, ia meneruskan kata-katanya:
"Dan lagi, kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah salah satu barang pusaka, kitab itu telah tercuri sekian lama, tapi Liu Djin Liong masih belum muncul-muncul juga. Dari sini dapat dibuktikan bahwa Liu Djin Liong belum mengetahui, tentang tercuri barang ini, yaitu, dia tentu sudah tidak berada di dalam lembah, sewaktu terjadinya kejadian. Inilah kecurigaanku yang kedua.
"Liu Djin Liong dengan sifatnya yang angkuh, pernah membuat peraturan yang tidak mengizmkan orang luar masuk ke dalam lembahnya, sembilan ketua partai terbunuh di dalam lembah, seolah-olah seperti perbuatannya. Tapi jika mengingat sifatnya yang kaku tidak nanti dia meninggalkan tempatnya. Dan tidak mungkin dia mau menyingkir dari orang-orang yang mau membalas dendam, kecuali dia tidak mengetahui sama sekali. Inilah kecurigaanku yang ketiga.
"Menurut tiga dugaan ini, si pencuri dan si pembunuh adalah satu komplotan dan sudah tentu Liu Djin Liong juga sedang berada dalam bahaya."
Penjelasan yang panjang lebar ini telah membuat semua orang memuji kecerdasan si hweeshio tua. Koo San Djie juga sampai beberapa kali memanggut-manggutkan kepalanya. Sementara hatinya menjadi sangat gelisah.
"Jika dugaan ini benar semua, sudah tentu Liu-supek dan adik Tjeng dalam keadaan bahaya besar."
Kong Tie yang melihat perobahan mukanya Koo San Djie, sudah mengetahui isi hati sang anak gembala yang hebat ini, maka ia menghiburinya:
"Kepandaian Liu Djin Liong sudah hampir mencapai di puncaknya, siapakah dapat mengganggunya?"
Biarpun Koo San Djie percaya akan perkataan ini, tapi ia masih tidak dapat menenangkan hatinya.
Pengemis sakti Kiang Tjo sudah tertawa berkakakan:
"Anak muda, jangan kau cemberut saja. Bukankah kau kemari untuk mencari aku, untuk bertanding" Mari akan kulayani kau bermain-main."
Hweeshio kecil Siauw Kong mendengar mereka berdua hendak mengadu kepandaian, sudah menjadi kegirangan, ia tertawa, memperlihatkan kedua baris giginya yang putih.
Koo San Djie terpaksa, maka ia berkata:
"Selalu boanpwe siap sedia."
Kiang Tjo pernah juga melihat kepandaian Koo San Djie, tapi itu juga hanya sekelumit saja. Maka ia ingin mencoba sampai di mana kepandaian anak gembala ini. Ia mendahului ke tempat pekarangan.
"Lekaslah kau kemari!" ia mengundang.
Tempat ini adalah tempat istirahatnya Kong Tie, kecuali Siauw Kong yang suka diperintah ke sana sini, padri lainnya tidak diperbolehkan datang. Maka, tempat ini keadaannya tenang sekali.
Setelah mereka berempat sampai di pekarangan, Koo San Djie bertanya:
"Dengan cara bagaimana kita bertanding, harap Locianpwe suka menentukannya."
Kiang Tjo lalu mematahkan dua batang cabang pohon Liu dan berkata:
"Kali ini, aku si pengemis mengambil sedikit keuntungan darimu, dengan cara ini sajalah kita bertanding."
Ia sambil menyerahkan sebatang cabang pada Koo San Djie.
Pengemis Sakti Kiang Tjo memang tidak omong kosong, ia mempunyai tenaga dalam yang kuat, maka telah terkenal dengan ilmu pukulannya. Latihannya paling sedikit juga setingkat dengan yang berlatih delapanpuluh tahun, dengan menyalurkan tenaga kepada cabang kayu, jika dilihat sepintas lalu, memang Koo San Djie rugi sedikit.
Tapi mereka belum tahu bahwa anak muda kita telah dapat memakan Kodok mas dan Capung Kumala, tenaganya telah bertambah lebih dari enampuluh tahun. Di dalam goa, si Orang Tua Bertangan Satu telah mencurahkan semua tenaga yang dipunyainya, sampai berkorban karenanya, maka tenaga latihan Koo San Djie paling sedikit juga setingkat dengan yang berlatih sembilan puluh tahun. Jika ditambah dengan tenaganya sendiri, orang manakah yang dapat menyamainya"
Koo San Djie menyambuti cabang kayu tadi dan mengangkat tangannya sebagai tanda hormat. Kakinya diangkat ke samping sedikit tangannya menggentak cabang kayu, dibareng oleh suara berkesiurnya angin, ia mulai menyerang ke arah pundak sang lawan.
"Betul luar biasa!" Kiang Tjo berteriak memuji.
Cabang kayu diputar seperti seekor belut yang licin.
Kedua pihak saling menyerang dengan sama gesit.
Dua cabang kayu tidak kalah dari tajamnya pedang, mengeluarkan warna hijau, bergerak-gerak, bagaikan dua ekor naga kecil, bermain di udara.
Kepandaian yang tertulis di dalam kitab Im-hoe-keng, sangat tajam dan cepat. Tapi Kiang Tjo jarang sekali menggunakan pedang, tentu saja menderita kerugian.
Dua orang sama hebat sebentar saja telah lewat dari limapuluh jurus. Koo San Djie semakin bertambah segar, tapi Kiang Tjo sebaliknya main mundur.
Setelah lewat lagi sepuluh jurus, Kiang Tjo sudah mundur jauh dan berteriak:
"Aku si Pengemis mengaku kalah......"
Tapi suara ini tidak seperti biasa yang riang gembira, didengarnya ada seperti mengandung kesedihan.
Bagaimana kalahnya, si hweeshio kecil Siauw Kong tidak mengetahui sama sekali, hanya Kong Tie yang memanggutkan kepalanya.
Ternyata cabang yang dipegang oleh Kiang Tjo telah hilang dua lembar daun, terkena babatan Koo San Djie.
Kiang Tjo setelah menenangkan dirinya lalu berkata:
"Hai bocah, apa kita perlu mengadu pukulan juga?"
Kong Tie sudah maju dan berkata sambil tertawa:
"Sudah sajalah, siapa yang tidak tahu dua telapak tangan besimu merajai dunia?"
Kong Tie sudah tahu anak angon ini mempunyai kepandaian yang tidak dapat ditaksir, ia takut, kedua belah pihak salah tangan nanti melukai sang lawan. Maka ia mengeluarkan perkataan ini untuk mendamaikan.
Sebenarnya, Kiang Tjo tidak mempunyai pegangan untuk dapat memenangkan anak muda ini dengan dua telapak tangannya, ia tidak tahu akan arti perkataan ini. Maka ia juga sudah tertawa saja.
Koo San Djie sedang mundur maju, mendengar perkataan ini, tapi melihat Kiang Tjo tidak berkata apa-apa, maka ia berkata:
"Nanti, jika ada kesempatan, baru boanpwee minta pelajaran pula."


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesainya pertandingan. Mereka berempat kembali pula ke tempat tadi.
Setelah duduk kembali, Kong Tie mendadak menghela napas:
Di dalam rimba persilatan sedang mengalami kekacauan, kini ada waktu memerlukan orang seperti pendekar kecil ini mengepalai orang gagah untuk menindas kekacauan......"
Kiang Tjo sudah menepok pantatnya dan berkata:
"Betul. Aku si Pengemis tidak takut akan segala urusan, bagaimana jika kita berdua bersama-sama mengundang orang-orang pandai dari berbagai partai untuk merundingkan soal ini?"
Kong Tie menghela napas: "Bukannya maksudku untuk menolak usulanmu tapi dengan sebenarnya, jika belum sampai pada saat sang ajal, orang-orang itu tidak akan nanti tersadar dari tidurnya."
"Maksud jahat dari Lembah Merpati telah menjadi jelas," kata Kiang Tjo gusar, "Belakangan ini lima raja iblis juga telah berserikat. Apa masih belum waktunya."
Kong Tie dengan tenang menjawab:
"Memang betul! Tapi, aku telah lama mengundurkan diri, kau dan ketua partai sajalah yang menyelesaikannya."
Kiang Tjo tertawa terbahak-bahak.
"Aku si gembel hanya sebatang kara, tidak mempunyai golongan partai. Biarpun bagaimana jahatnya kepala-kepala Iblis, juga tidak akan dapat membuat suatu apa. Jika kau tidak mau mengurus, buat apa aku mesti menggerecokkan diri?"
Pengelana Rimba Persilatan 13 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 29

Cari Blog Ini