Ceritasilat Novel Online

Lembah Selaksa Bunga 2

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih
mengenalnya walaupun baru satu kali mereka bertemu.
"Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini"
Kuharap dalam keadaan baik," kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram
karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas
panjang. "Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang
saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa
malapetaka." 73 Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun
memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup
dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan
semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan
mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar
bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa KuiCiang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia
bertanya dengan hati penasaran.
"Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?"
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan
itu menghela napas panjang. "Habis, apa yang dapat kulakuan,
Nona" Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya
menggertak kosong belaka. Kalau tidak kupenuhi permintaan
mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagipagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi
anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw
itu!" Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata
dengan suara berat. "Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari
keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk
menyelamatkannya. Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi
seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan
pemberontak." "Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-liankauw itu kejam dan jahat. Setelah engkau membebaskan tiga
74 orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan
membebaskan puterimu, Ciang-kun?"
"Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau
tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku
mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong
puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka...... aku mohon
kepadamu......" Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura
dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang
berlebihan itu. "Tenang dan duduklah, Ciang-kun. Tentu saja aku
mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik
puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw
yang telah kaubebaskan dari penjara?"
"Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari
enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata
sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih
terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit,
rambutnya sudah putih semua. Dia tidak mengaku siapa namanya,
akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw
yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu
adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu
kita tangkap." "Siapa nama mereka, Ciang-kun?"
"Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama
mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu,
tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara
75 yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan
sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin. Nona, sekali lagi aku
mohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka......"
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah
belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai
seorang panglima. Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun,
bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya
pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi
sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari
ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun
dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang
memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang
kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.
"Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam
hormat saya," kata Kui Ciang-kun dengan hormat.
"Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!" bentak panglima itu yang bukan
lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar
bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan
Kui Ciang-kun. Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit
berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
"Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah
memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti
pelaksanaan hukuman mati?"
76 Kui Seng mengangguk. "Benar, Thai-ciangkun!"
"Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara,
sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali!
Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!"
"Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!" kata Kui Seng
dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan
merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui
ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab
terhadap kesalahannya. "Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu
engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan
hukumanmu!" kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah
maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi. "Ini
sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui
Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu" Dia
terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik
dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun
tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu,
puterinya akan dibunuh! Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan
seorang pengkhianat. Dia melakukannya untuk menyelamatkan
puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!"
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang
matanya menatap tajam wajah gadis itu. "Nona, siapakah engkau
yang berani mencampuri urusan ketentaraan?"
77 Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang
penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar
dan ia menjawab dengan sikap gagah.
"Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan
membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang
sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan
orang!" Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali.
Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang
mata mencorong penuh keberanian itu.
"Kui Ciang-kun! bawahannya. Siapakah gadis ini?" bentaknya kepada "Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang
dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga
dapat membasmi mereka dan menangkap tujuh orang
pimpinannya," kata Kui Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya
engkau seorang pendekar, Nona" Engkau sudah pernah berjasa
ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa
sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang
jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh
Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-liankauw?"
"Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang
mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw
78 yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini,
bagaimana sikapmu" Apakah engkau akan membiarkan puterimu
dibunuh begitu saja?"
"Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh
pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah.
Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada
Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan
pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang mementingkan diri
sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah
direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw.
Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau
negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya
makmur, kehidupan rakyat pun makmur."
"Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang
kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang
memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat jelata, lihat
saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,
apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka
yang berpangkat dan berkuasa?" Hwe-thian Mo-li menyerang.
Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas
panjang dan mukanya berubah kemerahan.
"Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun
tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat
pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan
mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat,
secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan
79 dikumpulkan pemerintah. Harta yang seharusnya dikembalikan
kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat
jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
"Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup,
tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan
tidak menindas rakyat. Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah
membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-liankauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya."
"Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi
keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan
nyawanya!" Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap
membela Kui Ciang-kun. "Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya,
hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan
keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat! Kalau tiga orang
pimpinan Pek-lian-kauw itu lolos, berarti negara terancam
pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan
rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara
rakyat yang tidak berdosa. Apakah tindakannya itu benar?"
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan
Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciangkun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan
tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan
kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak
panglima besar itu. 80 "Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui
Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?"
"Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang
mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun,
jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang
berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku
tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi
menyelamatkan anakku. Aku akan bertindak sendiri mengejar dan
berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri
misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan
negara!" Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan
tetapi Kui Seng berkata. "Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya
dihukum mati sebagai pengkhianat. Biarlah aku menghukum diri
sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!"
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan
tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa
panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pedang itu
hampir menembus punggungnya.
"Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai......!" Dia terkulai dan
tewas. "Ah, mengapa dia putus harapan" Mungkin Sribaginda Kaisar
dapat mengampuninya mengingat akan jasa-jasanya! Akan tetapi,
semua telah terjadi !" kata Panglima Besar Chang dengan suara
menyesal. Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya
81 ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw,
kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia
sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap
dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar
keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu
tewas. Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika
isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil
menangis. Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi
kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah
anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh
beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang
pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan
sarang Pek-lian-kauw. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning.
Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan
komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi
ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
"Y" Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara
perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan
sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai
sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan
Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri
sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat.
82 Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga
rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji
mereka dan membantu "perjuangan" mereka. Akan tetapi, pihak
pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di
balik kedok perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan
perampokan terhadap para bangsawan dan hartawan, dan
melakukan pemerasan. Para pendekar mengetahui bahwa di balik
kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orangorang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar
berwatak cabul dan suka mempermainkan wanita. Karena itulah,
di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para
pendekar. Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu
mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di
mana-mana. Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena
letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja
dan Thiang-cin. Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauwning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia
enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam
menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang
sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh
dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet,
dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus
bermuka tampan pucat. 83 Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw
pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat
Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para
sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota
raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan. Akan
tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka
diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan
Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin
pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngolian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li
Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek
Kun. Adapun Pek-lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin
Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh
orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat
ditawan hidup-hidup. Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah
dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin
Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima
Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka
tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw. Tiga
orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka
dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw
cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka,
pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu
mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian84
kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para
pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah
menuju ke Liauw-ning. Datuk Pek-lian-kauw ini bernama Hwa Hwa
Hoat-su, berusia enampuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus,
berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih semua.
Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu
sihir. Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan
penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin
pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid
keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng. Dia lalu pergi
mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li
Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera
kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang
keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangkasangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menjadi
girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok,
agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui
Ciang-kun. Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu
seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu
untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar
dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para
anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa
Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri
Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka. Mereka memberi
85 hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-liankauw berambut putih itu.
"Bagus!" kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang
pendek putih dan mengangguk-angguk. "Ternyata Panglima Kui
Seng memenuhi permintaanku, membebaskan kalian bertiga.
Kalau begitu kita juga harus memegang janji. Cin Kok Tosu dan
Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai.
kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian
berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu
dalam perjalanan," kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid
keponakannya itu. "Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin
pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah
dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?"
bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet.
Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. "Hemm, aku
Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat
antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang
mengganggunya di perjalanan!" bentak Hwa Hwa Hoat-su yang
merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk
mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.
"Baiklah, Susiok," kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman
gurunya marah. "Akan tetapi di kota raja tentu kami berdua akan
ditangkap pasukan kerajaan."
"Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian
cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah tiba di pintu gerbang!"
86 Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi.
Mereka lalu memasuki kamar di mana gadis puteri Kui-taijin dijaga
oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita. Ketika melihat
gadis itu, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis
berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi ramping,
kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata,
lebar dan indah jeli. Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu
memasuki kamar. Pendeta yang menculiknya tak pernah
mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia
dijaga dan dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini,
melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan memandang
dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang
melihat dua ekor serigala.
Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus
dan berwajah tampan itu berkata ramah. "Nona, jangan takut, kami
berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja."
Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini
berseri, mulutnya membentuk senyum sehingga ia tampak
semakin menarik. "Mari kita pergi, Nona," kata Cia Kun Tosu dan bersama
suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan mukanya mirip
muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari
perkampungan Pek-lian-kauw, melewati dusun Liauw-ning menuju
ke kota raja. 87 Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada
Cin Kok Tosu. "Suheng, kalau kuingat betapa Panglima Kui telah
menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak
buah kita, juga menawan kita sehingga empat orang saudara kita
tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau sekarang
puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!" kata Cia
Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu setelah mereka berhenti pada
siang hari itu di tengah hutan.
"Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita
tidak boleh membunuhnya, Sute," kata Cin Kok Tosu
memperingatkan adik seperguruannya.
"Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi
penghinaan itu harus kita balas. Anaknya tidak akan kami serahkan
kepadanya dalam keadaan utuh!"
Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun
menyeringai. Keduanya lalu mendekati Kui Li Ai dan terdengar jerit
dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat
terkaman dan serangan dua ekor serigala yang buas!
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan
cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning. Ketika ia memasuki
sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita. Cepat ia
berlari ke tempat itu dan ia melihat seorang gadis dengan pakaian
awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon,
menangis tersedu-sedu dengan tubuh gemetar.
Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu.
88 "Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di
sini?" tanyanya dengan lembut.
Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi
menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang cantik dan pucat
sekali, muka yang basah air mata. Rambut yang hitam lebat itu
terlepas dari sanggulnya, riap-riapan sebagian menutupi mukanya.
Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang.
Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang
Lan dapat menduga apa yang telah menimpa diri gadis itu.
"Engkau Kui Li Ai?" tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabikcabik itu terbuat dari sutera halus dan mahal.
Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia
"...mereka...... mereka berdua...... memperkosaku........"
berkata. "Siapa mereka"!?"
"...... dua orang tosu........"
"Di mana mereka sekarang?"
Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja
meninggalkannya. Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan Kui
Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib
yang menimpa dirinya. Ia dapat merasakan betapa sakit dan
hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu, maka dendamnya
kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia
timpakan kepada dua orang tosu pemerkosa Li Ai. Ia berlari cepat
89 sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan
seenaknya. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara
santai setelah mereka merasa puas dapat memperkosa puteri
Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam
mereka. Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan
tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita muda yang
amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar
mencorong dari sepasang mata yang indah!
Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua
di antara tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dulu ditawan.
Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa
Kui Li Ai. "Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat
keji terhadap Kui Li Ai tadi!" bentaknya.
Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu
mereka repot menghadapi Ouw-yang Sianjin dan para perwira
sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan. Melihat
seorang gadis cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang
berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan Siang
Lan, tertawa dan berkata.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenangsenang dengan puteri Panglima Kui. Kami akan lebih gembira
kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!"
90 "Singg......!!" Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba
saja ada sinar seperti kilat menyambar ke arah mereka! Gadis itu
telah menyerang mereka dengan pedang. Gerakannya sedemikian
cepatnya sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut
pedang. Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan
ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar kilat itu.
Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu
mencabut pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu
membentak marah. "Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua
orang pemimpin Pek-lian-kauw?"
"Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang
dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya diculik oleh kawan
kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan,
bukannya memenuhi janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun,
bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak
pantas dibiarkan hidup lagi!" Siang Lan membentak. "Kalian hari ini
akan mampus di tangan Hwe-thian Mo-li!" Setelah berkata
demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya
menyambar-nyambar seperti kilat di musim hujan
Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan
dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya terkenal sebagai seorang
wanita yang amat ganas dan lihai. Cepat mereka menangkis dan
balas menyerang. Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan
pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya berubah menjadi
91 sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat
sekali gerakannya sehingga dua orang tosu itu segera terdesak
dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas
menyerang. Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak
sempat membalas serangan. Akan tetapi dua orang tokoh Peklian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi
tingkat kepandaian mereka, juga sudah memiliki banyak
pengalaman bertanding. Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok
Tosu berseru kepada adik seperguruannya.
"Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan
Yang)!" Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat
ke arah belakang Siang Lan dan kini mereka mengeroyok gadis itu
dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling
tunjang, kalau yang satu menangkis, yang lain membarengi


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai
mampu untuk balas menyerang. Pertandingan menjadi seru bukan
main dan mati-matian karena kedua pihak maklum bahwa hanya
dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.
"Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!" kembali Cin Kok Tosu
berseru kepada sutenya setelah bertanding selama limapuluh jurus
mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu. Mereka
lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam
(Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi permainan pedang
92 mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah
tubuh Siang Lan. Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia
terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat itu menyelimuti tubuhnya
dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan
keadaan menjadi terbalik. Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan
melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk membalas.
Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa
yakin bahwa sebatang jarum saja dari mereka dapat mengenai
tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan
memperoleh kemenangan. Kini Siang Lan terdesak hebat. Untung ia memiliki gin-kang (ilmu
meringankan diri) yang lebih tinggi dibandingkan dua orang
lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka. Lui-kong-kiam
(Pedang Kilat) di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan
amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus jurus, ujung
pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Luikong-kiam! Akan tetapi karena mereka berdua juga lihai, dapat
menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk
menyerang dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang
Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat! Gerakan memutar
pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras
tenaganya dan gerakannya mulai melambat.
Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya
nyeri seperti digigit semut. Ia terkejut ketika melihat bahwa pundak
kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju
93 mengenai pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu
dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar digerakkan.
"Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hiduphidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!" kata Cin Kun
Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang
dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang
sudah mulai limbung. Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.
"Trangg......! Tranggg......!!"
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul
batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu
mempertahankannya lagi. Pedang itu terlepas dari tangan mereka
dan terpental jauh! Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat
kesempatan baik ini segera menerjang. Dua kali Lui-kong-kiam
berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat
mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat
buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang
Lan dengan sekuat tenaga!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa
kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya
terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki
berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia
sekitar empatpuluh tahun.
94 Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa
inilah orang yang tadi telah menolongnya. Akan tetapi kepalanya
semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat
apa-apa lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh,
sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya
di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan
di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala
mereka. Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat
akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri.
Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata
jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat
tempel). Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan
kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang
tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang
tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi
tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang
membasahi rumput dan tanah.
Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya
sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya
mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya,
menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil
membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali.
Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua
orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat
membunuh mereka. 95 Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang
Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat
tosu Pek-lian-kauw" Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa
penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan
gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat
membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia
tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan.
Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata
masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis
bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat
bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia
ditinggalkan seorang diri di tengah hutan. Tentu saja ia tidak berani
pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai
mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
"Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah
mampus di tanganku!" kata Siang Lan sambil mendekati gadis
yang malang itu. Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian
Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya
menjadi basah. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang
mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut
gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya. Setelah
96 tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan
nada menghibur. "Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang
tuamu," katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat
betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang
menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana
mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu
berita tentang kematian ayahnya"
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk.
Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak
pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai
merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan
kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari
cepat. Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat
betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu
nemondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda!
Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita,
maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
"Enci...... apakah engkau...... seorang pendekar wanita?"
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya
itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai
perasaannya yang tertekan hebat.
97 "Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita
karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li."
"Hwe-thian Mo-li" Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu
sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu
pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!"
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena
merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau
memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta
diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat
tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang
perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li
Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar
ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat
ramah kepadanya. "Apa yang terjadi?" Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan
matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana
terdapat banyak orang. "Apa yang terjadi di sana?" kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. "Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan
kuatkan hatimu......" Suara pendekar yang gagah perkasa ini
tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
98 "Apa......" Mengapa......?" Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru
dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat
mengikutinya. Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat
banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke
sebuah peti mati yang dipasang di tengah. Wajahnya yang sudah
pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari
terhuyung-huyung menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama
ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk ke
depan. "Ayaaaaahhh......!" Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya
akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat
menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh
pingsan itu. Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang
berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian
mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan
di gedung panglima itu. "Di mana kamar Nona Kui" Tolong antarkan aku ke sana," kata
Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang
memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas
pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan
pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan
mereka. 99 "Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa......?" tangis mereka.
"Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya," kata Siang Lan
yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah
seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal
lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membua matanya, ia
menjerit. "Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......" Kenapa ia, Enci"
Kenapa Ayahku mati......?" tangisnya.
"Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan
hatimu, Adik Li Ai......" Siang Lan menghibur dengan hati terharu.
"...... Enci...... engkau sudah tahu......?" Ketika Siang Lan
mengangguk, ia melanjutkan, "......mengapa engkau tidak
memberitahu padaku tadi......?"
"Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi.
Biar engkau melihat sendiri......" kata Siang Lan terharu.
"Ayaaahhh......!" Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari
lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk
menghalanginya. "Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja......"
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka. "Biarlah ia
menumpahkan kedukaannya." Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai
untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
100 Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil
menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti
mati ayahnya. Semua orang yang berada di situ menjadi terharu
dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah
tangga, ikut pula menangis. Para tamu laki-laki hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang
dengan wajah muram. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun
lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya
tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas
bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi
keluarga yang berkabung. Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan
jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang
kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut
tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan
suara lantang. "Li Ai, engkau baru pulang?"
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia
berseru. "Ibuuu......!"
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran
Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak.
"Hemm, untuk apa kautangisi Ayahmu" Kau tahu, Ayahmu mati
karena engkau! Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak
101 durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi
penyebab kematian Ayahmu!!"
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai
lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap
tubuhnya. Ia pingsan lagi!
Siang Lan menjadi marah bukan main.
Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia
bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok
pundak kiri Nyonya Kui. Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba
merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.
"Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini......!!"


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan
menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan
mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.
"Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu
kusembelih leher perempuan ini!" Ia mengancam dan lima orang
perajurit itu mundur ketakutan.
Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu
membentak. "Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa
engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?"
"Aku...... aku isteri Panglima Kui......!" Nyonya Kui mencoba untuk
bersikap galak berwibawa setelah tidak merasa kesakitan lagi.
102 Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya
itu meringis. "Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!"
"Aku...... aku Ibu tirinya......"
"Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!" Siang Lan memaki dan
memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin
kesakitan. Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang
Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada
Siang Lan dengan sikap hormat.
"Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li,
bukan" Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap
para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona."
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk. "Benar, aku Hwethian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah
kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan.
Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian
Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah
memaki dan memarahinya" He, perempuan busuk, apa engkau
sudah bosan hidup" Aku akan membunuhmu agar rohmu
menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas
kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!"
Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya
semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali,
tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
103 Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata
dengan suara terputus-putus.
"Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya
memarahi Li Ai...... ampuni saya, Li-hiap........" Ia meratap dengan
tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai di
bawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing
saking ngerinya! Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang
masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis
itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu
menghiburnya. Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya
dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai.
Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi
dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah
dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.
"Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan
sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk
ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap
hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu
kepada mereka yang telah membuat engkau menderita."
"Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat
membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku"
Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orangorang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian
seperti engkau........"
104 "Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat."
"Benarkah, Enci?" terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini
dan ia mau diajak makan. Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang
merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar
bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di
depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi,
hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang.
Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia
bersembunyi di dalam kamarnya.
Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li
Ai kembali ke dalam kamarnya.
"Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan
selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan," kata Siang
Lan. Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Hwe-thian Mo-li. "Enci, jangan tinggalkan aku......!" katanya sambil
merangkul kedua kaki Siang Lan. "Aku tidak mau tinggal di rumah
ini, tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku."
Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk
kembali. "Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik.
Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana" Jangan
khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan
mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan
datang memenggal kepalanya!"
105 "Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di
sini. Bahkan keadaanku...... sudah begini...... kalau sampai
diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang.
Jangan tinggalkan aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih
baik aku bunuh diri daripada hidup menanggung aib dan malu. Aku
ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau
sahabatmu, atau...... pembantumu. Aku mau mengerjakan apapun
juga untukmu asal boleh ikut denganmu. Ingat, engkau hendak
mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!"
Siang Lan tersenyum. "Ikut dengan aku" Li Ai, engkau seorang
gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak
ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh
kekerasan" Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau
tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu"
Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu."
"Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang
gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu,
Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka.
Kalau engkau kelak mengetahui....... ah, betapa akan malunya
aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!" Air mata menetes-netes dari
sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena
terlalu banyak menangis. Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau
ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali
kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!
106 "Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak
boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik.
Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau
tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan."
"Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi" Apakah tidak
lebih baik besok pagi saja?"
Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya
mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malammalam begini. Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu
mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.
"Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya"
Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci
Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu! Bagiku
engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!"
Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak
menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.
Siang Lan menghela napas panjang. "Li Ai, yang menyebut aku
Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap
keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang jahat seperti dua
orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun.
Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku
tidak peduli. Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang
tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan
tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?"
"Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu
yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama
107 bukan" Siapa pula Gurumu" Maukah engkau menceritakan
tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat
baikmu yang akan kau kunjungi besok?"
"Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk
ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi
sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan
atau menyebut namaku di depan orang lain. Bagi orang lain aku
ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja."
"Baik, Enci. Aku berjanji."
"Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia
ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan."
"Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh
mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku
mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain
menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku. Suhu
tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil
membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian
Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah
menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok
Ong......" "Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!"
"Huss!" Siang Lan memotong. "Di sini jangan sebut namaku, aku
tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li
Ai?" 108 "Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim
yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu
silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun,
bukan?" "Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok.
Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong
Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?" Siang Lan termenung,
merasa betapa hatinya hampa dan kering. "Hemm, tahukah
engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?"
"Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal
bersama suaminya di rumah mertuanya itu. Pernikahan mereka
menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci,
karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita
dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai.
Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita
banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan
pernikahan mereka." Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai
macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia
membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang
dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih
mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa
ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas
kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan
kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.
109 "Engkau kenapa, Enci?" Li Ai bertanya melihat perubahan muka
pendekar wanita itu. "Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku
tidak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir
dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan
bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benarbenar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku."
"Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi.
Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak
menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?"
"Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat
mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah.
Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang
baru saja kudapatkan."
"Di mana itu, Enci?"
"Di Lembah Selaksa Bunga."
"Ah, alangkah indah nama itu."
"Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh
dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok
(Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin
perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa
Bunga)." 110 "Perkumpulan wanita, Enci" Anggautanya semua wanita?"
"Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada
tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah
Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat."
"Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu,
Enci!" Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari
lamanya. Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li
Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.
"Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang
Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak
adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya
ibu tirimu. Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak
menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah
gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau
ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku
bukanlah orang kaya."
"Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini" Apakah engkau
hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin
mengajakku?" tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh
kegelisahan. "Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah
tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini."
111 "Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci" Bagaimanapun juga,
aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata
engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi
meninggalkan rumah ini."
"Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan
aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua
harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan
mari kita berangkat."
"Nanti dulu, Enci!"
"Ada apalagi, Li Ai?"
"Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu
tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan
dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak
boleh semuanya jatuh ke tangannya. Biarlah gedung ini karena
gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan
diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan
Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat
mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!"
"Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku
mendukungmu, Li Ai."
"Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau
aku membawa harta benda Ayah."
112 Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata
kamar itu terkunci, "Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku.
Enci, kita dobrak saja pintunya."
"Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau
berhak memegang kunci itu."
Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri.
Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang lakilaki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis
itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi
meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis
berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama
Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.
"Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku," kata
Li Ai. "Aku...... tidak tahu........" jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.
"Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku
yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki
kamar Ayahku." "Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas
rumah dan semua harta benda Ayahnya. Sebaiknya engkau
serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan
kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!" kata Hwe-thian Mo-li.
113 Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah
kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li
Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.
Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka
pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena
sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda
berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu
kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari
besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada
Siang Lan untuk membukanya dengan paksa.
Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu
mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya
dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat,
maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung
bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri menggendong
buntalan berisi pakaiannya.
Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi
kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan
sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai
di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada
mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi,
mereka pun akan meninggalkan gedung itu. Nyonya Kui adalah
seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para
pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan
menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu. Akan
114 tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan
terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam
kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.
Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan keluar dari kota raja. Ternyata bahwa biarpun Li Ai
tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang
puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang
kuda. Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu
gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat
segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera
berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.
"Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada
hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka.....?"
"Biar aku yang menghadapi mereka!" kata Siang Lan tenang saja.
Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena
dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap
dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai
memasuki ruangan itu. Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi
dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam
menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang
dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu
para perajurit yang berpakaian preman. Biarpun mereka tidak
mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang
115 itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap
orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan.
Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan
memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun
dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan
orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan
berkata dengan suara tenang dan mengejek.
"Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang
perjalanan dua orang wanita?"
Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung
di pinggangnya, menjawab dengan suara galak. "Kami tidak ingin
mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan
harta benda yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui
agar dapat kami serahkan kembali kepada keluarganya!"
Siang Lan tersenyum. "Maksudmu diserahkan kepada
keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima itu"
Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia
membawanya pergi. Kami bukan merampas, akan tetapi kulihat
kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok!
Perwira Can, kalau engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu
pergi dan jangan ganggu kami!"
"Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah
seorang Iblis Betina yang jahat" Nona Kui Li Ai adalah seorang
gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya
untuk melarikan diri dan merampas harta benda keluarga Kui!"
bentak perwira itu. 116 Siang Lan marah sekali. Tanpa banyak cakap lagi ia sudah
mencabut pedangnya dan menyerang perwira itu dengan gerakan
cepat. "Sing-tranggg......!" Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya
dan menangkis. Ternyata perwira itu cukup tangguh dan Siang Lan
segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!
"Kalian sudah bosan hidup!" bentaknya dan begitu ia mempercepat
gerakan pedangnya, dua orang pengeroyok telah roboh mandi
darah! Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu
meringkik dan begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai
sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can memegangi
kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher
gadis bangsawan yang meronta-ronta itu.
"Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!" Li Ai
meronta-ronta namun apa dayanya seorang gadis lembut seperti
ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya
telah ditekuk ke belakang oleh dua orang itu.
"Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat
Nona Kui kami bunuh lebih dulu!" bentak Perwira Can sambil
menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya.
Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa
kalau ia bergerak hendak menyerang tiga orang yang menawan Li
Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang
menempel di leher itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat
dihindarkan lagi! 117 "Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak!
Mereka tidak berani membunuhku karena keluarga Ayah tentu
akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku
kalau kau berani! Enci, teruskan hajar mereka, aku tidak takut
mati!" teriak Li Ai.
Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat
pedangnya berkelebat menyambar dan dua orang lagi pengeroyok
roboh dibabat pedangnya. Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan
Siang Lan telah muncul dua orang yang berpakaian seperti tosu.
Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua
tangannya memegang siang-to (sepasang golok) sedangkan
orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun
lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit,
rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya tinggi kurus,
memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan
kiri. Tosu pertama yang bermuka hitam membentak, "Hwe-thian Mo-li,
iblis betina, engkau harus menebus kematian dua orang suteku
dengan nyawamu!" Sepasang golok di tangannya menyambar
dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat
menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.
"Trang-trangg......!" Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka
hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira Can sehingga akan
merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.
118 "Awas, Enci. Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!"
teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua lengannya oleh dua orang
anak buah Perwira Can. Memang Li Ai benar. Perwira Can tidak berani membunuhnya
karena Li Ai mempunyai dua orang paman, adik-adik ayahnya,
yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih
tinggi daripada kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya
dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi.
Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat
sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu terpental, tosu kedua
yang bermuka pucat berseru.
"Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!" Dan dia
pun menyerang dengan pedang di tangan kanan yang menyambar
ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba
menjadi kaku itu menotok ke arah ulu hati!
Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat
ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan
tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan
berwarna putih itu. "Cringg...... plakk!" Siang Lan berhasil menangkis pedang dan
kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang oleh tenaga yang
amat kuat! Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti
yang kuat bukan main dan merupakan lawan yang amat tangguh.
Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan
119 dirinya. Akan tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal
takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurusjurus simpanannya untuk mengamuk melawan dua orang tosu
yang lihai itu. Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak
gentar terhadap Siang Lan, hanya mengepung dari jarak aman
seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu
melarikan diri! Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak
karena kedua orang lawannya, terutama tosu muka pucat,
memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu
muka pucat itu saja belum tentu ia dapat menang, apalagi kini
dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat
sekali. Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit
pun juga untuk melarikan diri. Tak mungkin ia melarikan diri dan
meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu
melawan lagi! Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu
bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan menangkis
daripada balas menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah
perajurit yang tadinya memegangi kedua lengan Li Ai, berteriak
dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki
setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang
120 dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana. Dia
merobohkan dua orang yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan
tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya
ke sebelah Siang Lan. "Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku
yang akan menghadapi dua orang sesat Pek-lian-kauw ini!"
katanya lembut namun berwibawa.
Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya
menggunakan ujung lengan bajunya yang panjang, dia
menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu!
Namun, tangkisan kain ujung lengan baju itu membuat senjata dua
orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka
tergetar hebat! Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh
perhatian dan ia merasa heran sekali bagaimana orang itu dapat
mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari
beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi! Baru tiga jurus saja dua orang tosu
itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai
sudah terbebas dari pegangan dua orang anak buah Perwira Can
yang kini sudah menggeletak tak bergerak. Perwira Can yang
memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa
anak buahnya untuk membantu dua orang tosu mengeroyok lakilaki yang menolong Siang Lan itu.
"Mari, Li Ai!" Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya
lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak lama kemudian mereka
121 berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan menuju Lembah Selaksa Bunga.
Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun
Liong! Peristiwa di malam jahanam di mana dalam keadaan
setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara
hampir tidak sadar dia telah melakukan perkosaan terhadap Hwethian Mo-li. Dia merasa amat menyesal dan duka, dan dia
mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi
Siang Lan dan menurunkan ilmunya kepada gadis itu agar kelak
gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar
yang telah menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri!
Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus
menyamar menjadi dua orang, yaitu pertama menyamar sebagai
Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar
sebagai pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)!
Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi!
Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua
orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran.
"Tahan!" seru tosu berwajah pucat.
Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu
itu memandang tajam penuh selidik kepada lawannya.
"Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan
kami" Kami sedang membantu pasukan yang hendak menangkap
dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!"
122 Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu,
tersenyum menjawab terang. "Hwa Hwa, engkau seorang datuk
masih suka memutar-balikkan fakta."
"Engkau mengenal kami?" bentak tosu berwajah pucat yang
bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang jarang turun tangan
sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda
mengurus semua masalah di Pek-lian-kauw.
"Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa
Cin-jin. Seperti kuatakan tadi, kalian memutar-balikkan kenyataan.
Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya,
yang hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orangorang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama dengan pasukan
yang menyamar ini!" "Keparat, siapa engkau?" bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan
terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw dengan Perwira Can
telah diketahui. "Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!"
"Manusia sombong!" Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan
kebutannya ke atas dan...... kebutan berbulu putih itu terbang
melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu
menyerang ke arah mukanya.
"Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?" bentak Bubeng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu,
senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa
Hoat-su! 123 Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan,
seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan
pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin
tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to
(sepasang golok) di tangannya.
Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah
menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan
tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua
orang pengeroyoknya yang amat lihai itu.
Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan
Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau
dengan siapapun juga. Selama bertahun-tahun dia hanya
memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya.
Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada
adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu
(Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya.
Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun
perangsang dia telah memperkosa Hwe-thian Mo-li yang disusul
dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang,
karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus
bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali
tidak dikehendakinya. Dia menyadari bahwa peristiwa malam
jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak
ketenteraman hidupnya. Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah
pergi jauh dan bebas dari ancaman orang-orang ini, maka setelah
124 melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang
tosu Pek-lian-kauw itu. Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya
untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan
saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik
pohon-pohon! Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum
betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang
tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah
terdengar di dunia kang-ouw.
Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang
dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-liankauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja
dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya
tewas dan terluka! "Y" Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di
Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang
sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat
taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja,
bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana
kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman
bunga itu bukan apa-apa. Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka
bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang
terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti
dalam tahanan atau penjara. Sedangkan di Lembah Selaksa
125 Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh
ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas
lepas melayang di udara! Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera
kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita. Dengan adanya
nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir,
mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan
kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata
membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah,
bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita.
Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan
kepada kita kalau kita mendengar suara-suara merdu yang sesuai
dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita
dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati
makanan dan selanjutnya. Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui
anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan
kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang
semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu
dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan
memperbudak kita. Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.
Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita
selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah
pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk
mencapai apa yang amat diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang
kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu,
126 telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan
kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong kita untuk
mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan
daripada apa yang telah kita dapatkan. Demikianlah, kita menjadi
budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas
sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita
lakuan dalam pengejaran itu.
Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang
diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu
sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat
dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain
yang membutuhkan. Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian,
kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang
mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima
penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama
Tuhan. Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa
Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama.
Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat
taman bunga alami itu. Karena sering melihat, maka lembah itu pun
tampak "biasa" saja, tidak ada keanehannya, tidak ada
keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.
Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung
merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan
pegunungan. Orang-orang kota menyukai dusun yang hening
menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai
127 menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia
miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.
Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang
dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal
bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian
ia sudah merasa bosan. Apalagi kalau ia teringat akan
penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup.
Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan
diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama
di waktu malam. Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu
seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia
menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati,
disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak
pemuda! Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga
sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang
lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak
kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun
bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak
menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.
Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam
lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan
itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan
pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan
seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah. Pemuda
128 itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya
raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.
Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan
Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang
biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong). Karena tidak ingin
mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong
Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang
terdapat di samping gedung Panglima Kui.
Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang
mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda
itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera
memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li
Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan
berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.
Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani
menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan
pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia
belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria
pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin. Pemuda
itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh
rayuan yang menggetarkan hatinya.
Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin
yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa
kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta
kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang
telah ternoda. Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis
129 tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak
terdengar oleh orang lain.
Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai
terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan
sudah berdiri di belakangnya.
"Li Ai, mengapa engkau menangis" Apakah engkau masih berduka
karena nasibmu dahulu itu?"
Li Ai menggelengkan kepala.
"Hemm, apakah engkau merasa menyesal
rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?"
meninggalkan Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. "Tidak, Enci,
aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya...... sedih
teringat kepada...... seorang sahabat baikku......"
"Sahabat baikmu" Siapakah itu, Li Ai?"
"Dia...... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat
mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja."
"Hemm, seorang pemuda?"
Wajah ayu itu menjadi kemerahan. "Dia bernama Bong Kin dan
sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu
telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan
meminangku......" 130 "Ah, dan engkau juga cinta padanya?"
Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa
engkau berada di sini. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia
akan datang dan meminang ke sini."
"Tapi...... tapi, Enci, keadaanku sekarang...... aku sudah
ternoda...... bagaimana mungkin aku menjadi isterinya?" Li Ai
terisak sedih. "Mengapa tidak mungkin" Kalau memang Bong Kongcu itu
mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan merupakan halangan. Kau
tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan
memberitahu padanya bahwa engkau sekarang tinggal di sini.
Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini."
"Akan tetapi...... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat" Apa
yang harus kukatakan padanya" Apakah aku harus berterus
terang mengatakan bahwa aku telah...... telah...... dinodai dua
orang tokoh Pek-lian-kauw jahanam keji itu" Enci aku takut......"
"Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu
takut dan kalau dia memang mencintamu, dia akan memaklumi
keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu.


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang sebaiknya berterus terang, karena kalau engkau
sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak
baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!"
131 Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju
ke kota raja. Dalam perjalanan yang dilakukannya dengan cepat
ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria
yang telah menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-liankauw yang lihai. Bagaimana mungkin ia dapat melupakan orang
itu" Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau
terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw. Ia merasa
menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu.
Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya.
Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin Kok Tosu dan Cia Kun
Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia
dibantu orang yang tidak memperlihatkan diri dengan sambitan
batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh
pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun.
Ia tidak sempat melihat siapa penolongnya yang pertama itu.
Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan
orang dan ia masih sempat melihat penolongnya walaupun ia tidak
sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga
yang dulu pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya" Ia tidak
dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan ingin sekali
ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya.
Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima
kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam ilmu silatnya, berguru
kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa
dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat
berguru kepadanya, mungkin ia akan mampu kelak membalas
dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan
132 yang telah memperkosanya dan menghancurkan kebahagiaan
hidupnya. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu"
Ia hanya pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak
tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.
Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung.
Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat sekali menuju
ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun
penghidupannya yang sudah runtuh dan mustahil dapat hidup
berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup
baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya!
"Y" Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda
Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe (Hartawan Bong),
seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja.
Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota
(kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan akrab
dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan
masyarakat ini memang saling membutuhkan dan saling bantu.
Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang
dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan harta
yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua
pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya dan Sang Pembesar pun
memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya
yang dia dapatkan dari pemerintah.
Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu
berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar karena dengan
133 perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli
atas bermacam-macam rempah-rempah terpenting sehingga dia
dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda. Tentu saja sebagian keuntungan
itu lari ke dalam kantung pembesar yang melindunginya.
Siapa yang menderita rugi" Tentu saja pertama adalah rakyat
kecil, terutama para petani yang menanam rempah-rempah itu
karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan
Bong sebagai pembeli tunggalnya.
Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja
amat dekat. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk dapat
mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan
Bong mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang
berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk mendiang Panglima Kui
Seng. Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga
sebaliknya Panglima Kui tidak pernah menerima semacam "upeti"
darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan
cara mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu
tertentu, seperti hari raya dan sebagainya. Bahkan dia sering pula
datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap. Dalam
kesempatan ini, Bong Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui
Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai.
Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim. Pemuda berusia
duapuluh lima tahun yang tampan gagah, pesolek dan perayu ini
terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja. Dia sudah
134 banyak pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik.
Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Kui
Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak
berusia duapuluh tahun dia telah mempunyai beberapa orang
gadis simpanan sebagai selirnya.
Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai
sebagai isterinya. Pertama, Kui Li Ai memiliki kecantikan yang
memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi
dan juga sebagai puteri panglima tentu saja namanya terhormat.
Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun
memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di
mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya juga sudah merasa
setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan
puteri Panglima Kui. Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li
Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia belum berani mengajukan
pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui
dengan diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui
Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui Li Ai pergi
bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas
bernama Hwe-thian Mo-li. Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk
menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu Panglima Kui telah
gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya
itu dan biarpun dia telah menghamburkan uang untuk membiayai
pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orangorangnya, tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.
135 Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan
bersenang-senang dengan banyak gadis penghibur yang cantik,
namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang
membuatnya tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang
kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang lebih
cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah
menjatuhkan hatinya itu. Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan
teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram dan hidangan makanan
kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas
meja, tak disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.
"Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu."
Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar.
"Seorang gadis" Ia...... Nona Kui Li Ai......?"
"Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya
tergantung sebatang pedang. Ia tidak memperkenalkan nama,
hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan
katanya Kongcu tentu akan senang mendengarnya."
Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar
dengan heran dan ingin sekali melihat siapa gadis itu. Setelah tiba
di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik
jelita dan belum pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini
bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah dikenalnya. Gadis
ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata
tajam dan terutama yang membuat ia gagah berwibawa adalah
sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya.
136 Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya
menambah kegagahannya. Harus dia akui bahwa selama dia
bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul
dengan gadis cantik yang begini gagah sehingga memiliki daya
tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.
"Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Bong
Kin dengan senyum ramah dan sikapnya yang sopan. Dia memang
pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan
kesan baik dalam hati para wanita.
"Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?"
tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hwe-thian Mo-li.
Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak
membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia tetap tersenyum.
"Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona
memiliki keperluan denganku, silakan masuk dan duduk di kamar
tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja di
sini. Silakan, Nona."
Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang
ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan mengikuti pemuda itu
memasuki sebuah ruangan tamu. Setelah duduk berhadapan
terhalang meja besar Siang Lan berkata.
"Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai......"
Siang Lan menghentikan ucapannya ketika melihat betapa wajah
pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia
tampak girang sekali. 137 "Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong
katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan berita apa yang engkau
bawa darinya?" Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata
tampak girang sekali mendengar tentang Li Ai, menandakan
bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.
"Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa
Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan sehat dan selamat."
Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang
meninggalkan rumah keluarga Kui karena tidak suka tinggal
bersama ibu tirinya yang galak. Bagaimana Li Ai kini berada di
Lembah Selaksa Bunga bersamanya.
Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam
wajah pemuda yang tampan itu dan bertanya. "Kedatanganku ini
untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti
yang kudengar dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?"
Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan
sungguh-sungguh dia berkata, "Sesungguhnya, Nona. Aku amat
mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan
kematian Ayahnya dan semakin sedih ketika mendengar ia pergi
meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha
untuk mencarinya selama ini, namun tidak berhasil. Maka,
sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia berada di
tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat."
138 "Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang
engkau masih tetap mencintanya, Kongcu?"
"Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba
kepadanya." "Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?"
"Benar, Nona." "Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu,
karena Adik Li Ai yang merasa hidup sebatang kara telah
menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia
akan menerimanya dan kini siap untuk menjadi isterimu."
Pemuda itu tampak semakin girang. "Aih, kedatanganmu
membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku mengetahui,
siapakah engkau, Nona" Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui
Li Ai pergi bersama seorang pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li.
Apakah...... apakah engkau pendekar itu, Nona?"
"Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi
Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal bersamaku di Lembah
Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku
datang untuk minta ketegasan darimu. Setelah kini engkau
menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka
kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat
bertemu dan bicara sendiri dengannya."
139 "Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan
segera mengunjunginya di Lembah Selaksa Bunga. Di manakah
lembah itu?" Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak.
Kemudian ia berpamit. "Nah, tugasku telah selesai, aku hendak
kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada
adik Kui Li Ai. Kami akan siap menyambut kunjunganmu, Bong
Kongcu." Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian
Siang Lan sampai ke depan gedungnya. Setelah gadis itu pergi,
dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya.
Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar
limapuluh tahun yang bertubuh gendut berwajah ramah
mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan
alisnya. Dulu, hartawan ini tentu saja merasa senang dan bangga
ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan
memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu,
Bong Wan-gwe merasa bangga kalau memiliki mantu puteri
Panglima Kui itu. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain.
Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar,
yaitu dikabarkan bunuh diri setelah mengkhianati negara dengan
membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw!
Tidak ada lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai
mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan
merendahkan derajat dan martabatnya!
140 "Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum
engkau meminang Kui Li Ai" Ingat, keadaan gadis itu tidak seperti
dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah
almarhum itu bukan seorang panglima terhormat lagi, bahkan
dianggap pengkhianat. Masih banyak gadis yang ayahnya memiliki
kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku
sanggup melamarkan!"
"Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk
menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat mencintanya, Ayah. Ia gadis
yang paling cantik di dunia ini!"
Hartawan Bong menghela napas panjang. "Jadi sekarang kita akan


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajukan pinangan" Akan tetapi kepada siapa" Siapa yang
menjadi pengganti orang tuanya" Siapa yang menjadi walinya?"
"Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk
merundingkan hal ini dengannya, Ayah. Setelah itu baru kita
mengajukan pinangan."
"Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!" kata
Nyonya Bong khawatir. "Ibumu benar, Bong Kin!" kata Bong Wan-gwe. "Tempat itu asing
bagimu dan aku mendengar bahwa pendekar wanita yang
melindungi Nona Kui itu liar dan ganas. Melihat julukannya Si Iblis
Betina Terbang, mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka
engkau harus membawa rombongan pengawal untuk
melindungimu." 141 Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan
menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin orang laki-laki yang
biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan
kota raja menuju ke bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan. Dua
belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan
ilmu silat untuk mengawal dan melindungi barang atau orang
dalam perjalanan. Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan
berhenti. Pimpinan rombongan pengawal, seorang laki-laki tinggi
besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun
bernama Gu Sam, berkata kepada Bong Kin.
"Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa
Bunga) dulu terdapat sebuah perkumpulan bernama Ban-hwapang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa
lewat di daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada
lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan dan kabarnya,
Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita."
"Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk
Hwe-thian Mo-li?" tanya Bong Kin.
Gu Sam tampak terkejut. "Benar sekali, Kongcu! Bagaimana
Kongcu dapat mengetahuinya?"
Bong Kin tersenyum bangga. "Hwe-thian Mo-li itu sahabatku!
Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku." Dia tidak bicara lebih
lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran.
142 Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit
dan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Daerah perkampungan Banhwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini
dikelilingi pagar bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warnawarni sehingga tampak nyeni dan indah.
Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga
belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang semua terdiri dari
wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu. Regu
pertama memegang tombak, regu kedua memegang golok dan
regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima
orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis.
Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para
pengawal untuk turun dari atas kuda masing-masing. Kemudian
Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita
berpedang yang agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri
paling depan dan sikapnya berwibawa.
"Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwethian Mo-li," katanya menirukan perintah majikannya tadi.
"Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi
karena Pang-cu kami sudah memesan dan kini menunggu Bong
Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk.
Yang lain tidak boleh masuk!"
"Akan tetapi......!" Gu Sam hendak membantah.
143 "Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk
perkampungan Ban-hwa-pang!" bentak wanita itu dan limabelas
orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka.
Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk
menunggu di luar dan dia lalu memasuki pintu gapura yang segera
tertutup kembali oleh para penjaga wanita.
"Sialan......!" para pengawal itu mengomel.
"Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang," kata pula Gu Sam
dan dia mengajak para rekannya untuk menunggu dan mengaso
di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Banhwa-pang itu.
Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita
memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai
sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira,
akan tetapi Li Ai nampak menundukkan mukanya karena
jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh
dan tidak enak hati. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia
memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri pemuda yang
biasanya bersikap lembut dan sopan itu.
Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk
di situ, dia segera berseru gembira.
"Nona Kui......! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu
di sini......!" 144 Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas
penghormatan Bong Kin yang sudah menjura sambil merangkap
kedua tangan depan dada. "Bong Kongcu, silakan duduk," kata Hwe-thian Mo-li.
Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat
duduk berhadapan dengan dua orang gadis itu, dengan jarak
cukup jauh dan sopan. "Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang
berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti akan kesungguhan hati
Kongcu. Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li
Ai dan Bong Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua."
Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit berdiri dan
hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.
"Enci......!" Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu
dan juga takut untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya
seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia
akan berterus terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan
cintanya. "Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu,
di tanganmu sendirilah terletak nasibmu di kemudian hari."
Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li
meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan dalam di mana ia
termenung dan duduk seorang diri. Gambaran topeng kayu yang
menyeramkan itu selalu terbayang di depan matanya dan
terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua
145 sederhana dan gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah
menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia
mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat
lihai itu. Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di
situ menjadi hening sekali. Li Ai masih menundukkan mukanya,
tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di
depannya, padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan
baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan bercakapcakap.
Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk
berdiam diri. "Kui Siocia (Nona Kui), benarkah apa yang kudengar
dari Hwe-thian Mo-li?"
Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini
sejak pemuda itu datang ia bertemu pandang yang membuat
kedua pipinya berubah merah. Ia melihat betapa sinar mata
pemuda itu masih seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa
kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata gadis
Pedang Medali Naga 8 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Manusia Harimau Jatuh Cinta 3

Cari Blog Ini