Ceritasilat Novel Online

Lembah Selaksa Bunga 8

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


dijulurkan ke depan dan dua pasang telapak tangan itu saling
menempel, mata mereka mencorong saling pandang dan tubuh
mereka sama sekali tidak bergerak.
Dua orang perwira tinggi yang berdiri paling dekat di ambang pintu,
melihat keadaan demikian itu, segera melompat maju dan
menyerang Cui-beng Kui-ong dari belakang. Seorang menusukkan
pedangnya ke punggung dan seorang lagi membacokkan
pedangnya ke tengkuk kakek itu.
"Trak-trakkk!" Pedang-pedang itu seperti bertemu baja yang amat
kuat dan bukan hanya dua batang pedang itu patah, akan tetapi
dua orang perwira itu terpental ke belakang dan roboh pingsan!
Kiranya pada saat itu, Cui-beng Kui-ong sedang mengerahkan
seluruh tenaga sin-kang (tenaga sakti) sehingga ketika dua orang
perwira itu menyerangnya, tenaga dua orang perwira itu membalik
dan selain pedang mereka patah, juga tenaga mereka yang
membalik itu menghantam diri mereka sendiri sebelah dalam,
509 membuat mereka roboh pingsan. Masih baik bahwa mereka
memiliki tenaga yang tidak begitu besar karena semakin besar
tenaga serangan itu, semakin parah pula kalau tenaga itu
membalik dan menghantam diri sendiri!
Akan tetapi, gangguan ini membuat perhatian Cui-beng Kui-ong
terbagi dan pada saat yang bersamaan, Bu-beng-cu mengerahkan
seluruh tenaga dan serangannya.
"Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Cui-beng Kui-ong terdorong ke
belakang seperti disambar angin badai, menabrak dinding kamar
itu yang menjadi jebol dan dia pun roboh dan tewas!
Tanpa mempedulikan orang lain Bu-beng-cu segera melompat
masuk ke pintu rahasia, menuruni tangga dan tak lama kemudian
dia sudah keluar lagi sambil memondong tubuh Siang Lan yang
pingsan. Dia tidak lupa membawa pedang Lui-kong-kiam milik
gadis itu. "Bu-beng-cu Tai-hiap (Pendekar Besar), kenapa Siang Lan itu dan
hendak kaubawa ke mana?" Panglima Chang Ku Cing bertanya
dengan khawatir melihat keadaan Siang Lan terkulai lemas dengan
muka sepucat muka mayat. "Thai-ciangkun, ia terluka parah dan akan saya bawa untuk saya
obati. Maafkan saya!" Dia melompat sambil memondong tubuh
gadis itu dan cepat menghilang.
Panglima Chang diikuti para perwira tinggi lalu memasuki ruangan
bawah tanah dan menemukan kaisar dalam keadaan selamat dan
sehat. Dengan girang mereka lalu memberi hormat dan
510 mengantarkan kaisar kembali ke istana. Tinggal keluarga
Pangeran Bouw Ji Kong yang setelah tahu bahwa sang pangeran
itu tewas dalam ruangan bawah tanah, menangis sedih dan
berkabung. "Y" Siang Lan membuka kedua matanya. Ia agak bingung melihat
betapa ia rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar
yang tidak dikenalnya. Ia hendak bangkit walaupun tubuhnya
terasa lemas. "Jangan bangkit dulu, engkau masih lemah, Siang Lan." terdengar
suara yang amat dikenalnya. Ia menoleh dan melihat Bu-beng-cu
duduk bersila di atas lantai, yang ditilami tikar. Ada bantal pula di
situ, menunjukkan bahwa gurunya itu agaknya tidur di situ karena
pembaringannya ia pakai tidur.
"Paman...... di mana aku" Apa yang telah terjadi......?" Ia bertanya,
masih bingung. "Tenanglah, Siang Lan. Bahaya maut yang mengancam dirimu
telah lewat. Hawa beracun dalam tubuhmu telah lenyap, hanya
engkau masih lemah. Engkau berada dalam kamar penginapan
Hok An yang kusewa, ingat?"
Siang Lan teringat. Ia pernah berkunjung ke kamar ini. "Akan tetapi,
apa yang terjadi, Paman" Seingatku, aku rebah tertotok oleh A-kui,
kakek setan yang lihai itu, dalam ruangan bawah tanah gedung
Pangeran Bouw Ji Kong. Ahh, kasihan Pangeran Bouw! Dia telah
mengorbankan nyawa demi membela Sribaginda Kaisar......"
511 "Benar, Siang Lan. Engkau terluka yang mengandung hawa
beracun dan engkau pingsan ketika kubawa ke sini. Tiga hari
engkau tidak sadarkan diri di sini dan baru pagi ini engkau sadar."
"Tiga hari" Aih, setelah aku pingsan di ruangan bawah tanah itu,
lalu apa yang terjadi, Paman" Bagaimana engkau dapat
menemukan aku di sana dan membawaku ke sini" Ceritakanlah,
Paman!" "Baiklah, aku akan bercerita lebih dulu, nanti giliranmu
menceritakan pengalamanmu. Tiga hari yang lalu, kita berpencar.
Engkau menyelidiki gedung Pangeran Bouw Ji Kong dan aku akan
menemui Hwa Hwa Hoat-su di penjara membawa surat perintah
Panglima Chang yang kaudapatkan untukku.
"Nah, aku menemui Hwa Hwa Hoat-su dan aku berhasil
memaksanya untuk mengaku siapa yang telah menculik
Sribaginda Kaisar. Dia tidak tahu pasti akan tetapi dapat
memastikan bahwa yang dapat melakukannya tentu Cui-beng Kuiong, datuk paling terkenal di antara para tokoh Pek-lian-kauw.
Akan tetapi dia tidak tahu di mana Cui-beng Kui-ong bersembunyi
dan di mana pula Sribaginda disembunyikan.
"Aku lalu cepat pergi menjelang pagi itu ke gedung Panglima
Chang dan membicarakan hasil penyelidikanku. Selagi kami
berdua bicara, datang Nyonya Bouw yang menceritakan bahwa
yang menculik Sribaginda Kaisar adalah pelayannya yang
bernama A-kui dan bahwa suaminya, Pangeran Bouw, juga
ditawannya. Ia menceritakan bahwa engkau datang pula hendak
menolong Sribaginda. Mendengar itu, aku segera menyusulmu ke
512 sini karena aku tahu bahwa yang disebut A-kui itu tentu Cui-beng
Kui-ong yang amat lihai dan aku mengkhawatirkan dirimu."
"Hemm, jadi setan tua yang mengaku A-kui itu adalah Cui-beng
Kui-ong?" kata Siang Lan.
"Benar, dengan cerdiknya orang-orang Pek-lian-kauw dapat
menyelundupkan dia ke kota raja, bukan itu saja, bahkan berhasil
membuat dia diterima sebagai seorang pelayan yang kelihatan
setia kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Ketika aku tiba di sana, aku
melihat dia hendak membunuhmu dengan senjata tasbehnya......"
"Ah, aku ingat sekarang! Seperti dalam mimpi saja! Aku melihatmu
datang, Paman, aku memanggilmu dan...... selanjutnya entah aku
tidak ingat lagi." "Agaknya engkau jatuh pingsan, Siang Lan. Lukamu parah karena
mengandung hawa beracun yang amat jahat. Aku lalu berkelahi
dengan Cui-beng Kui-ong. Dia lari keluar dari ruangan bawah
tanah, kukejar dan kami berkelahi di kamar Pangeran Bouw.
Akhirnya dengan susah payah aku berhasil merobohkannya. Dia
tewas terkena pukulannya sendiri yang membalik.
"Aku lalu memasuki ruangan bawah tanah dan membawamu ke
sini. Kudorong keluar hawa beracun dari dalam dadamu dengan
pengerahan sin-kang dan setelah dua hari dua malam, barulah aku
berhasil membersihkan hawa beracun dari dalam tubuhmu.
Begitulah ceritanya, Siang Lan."
513 Dengan hati terharu Siang Lan memegang kedua tangan Bu-bengcu yang menghampiri pembaringan ketika ia memberi isyarat agar
laki-laki itu mendekat. "Paman, berulang kali engkau menyelamatkan nyawaku. Kalau
tidak ada engkau, sudah lama Nyo Siang Lan tidak berada di dunia
ini lagi." "Hushh, jangan bicara begitu, Siang Lan. Mati hidupnya setiap
orang berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki
seseorang itu mati, siapa dan apa pun tidak mungkin dapat
membunuhnya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang
mati, siapa dan apa pun tidak akan mampu mencegahnya! Jadi
kalau kebetulan aku datang menolongmu, itu adalah kehendak
Tuhan." "Bukan kebetulan, Paman. Akan tetapi memang engkau selalu
membela dan melindungi aku. Aih, budimu sudah bertumpuktumpuk, Paman. Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi
kebaikanmu itu." Wajah Bu-beng-cu menjadi merah. "Sudahlah, sekarang ceritakan
pengalamanmu ketika menyelidiki gedung Pangeran Bouw."
Siang Lan lalu menceritakan apa yang dialaminya di gedung itu
sampai ia melihat sikap A-kui terhadap Nyonya Bouw sehingga
akhirnya Nyonya Bouw memberitahu kepadanya bahwa A-kui telah
menawan Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw di dalam
ruangan bawah tanah. Ia menceritakan betapa ia bertanding
melawan A-kui dan roboh terkena hawa beracun dan totokan kakek
yang amat lihai itu. 514 "A-kui melihat sendiri betapa Pangeran Bouw membela Sribaginda
dengan mati-matian. Dia bukan lawan kakek itu akan tetapi aku
tidak dapat bergerak. Aku melihat dia terbunuh."
"Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga,
Pangeran Bouw telah menerima hukuman dari pengkhianatan dan
pemberontakannya dan perbuatannya yang terakhir itu sedikit
banyak telah menebus dosanya terhadap Sribaginda Kaisar. Aku
yakin bahwa setelah peristiwa itu, Sribaginda akan mengampuni
keluarganya dan mereka akan dibebaskan dari hukuman akibat
pemberontakan Pangeran Bouw."
"Kuharap begitu, Paman." Siang Lan hendak bangkit duduk, akan
tetapi kembali Bu-beng-cu mencegahnya.
"Jangan bangkit dulu, Siang Lan. Engkau sudah sembuh, akan
tetapi badanmu masih lemah. Engkau perlu minum obat penguat
badan. Tinggallah di sini dulu, aku akan membelikan obat itu di toko
obat." Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu
dan menutupkan daun pintu kamar dari luar.
Siang Lan rebah telentang dan termenung memikirkan Bu-bengcu. Laki-laki itu terlalu baik kepadanya dan kini ia semakin yakin
bahwa ia mencintai Bu-beng-cu. Dan melihat semua perlindungan
dan pembelaan yang diberikan pria itu kepadanya, juga pemberian
latihan ilmu silat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, ia
hampir yakin bahwa sebenarnya Bu-beng-cu juga mencintanya.
Akan tetapi gambar wanita yang selalu dibawa-bawa Bu-beng-cu
itu! Siapakah itu" Pria itu mengakui bahwa itu adalah gambar
seorang wanita yang teramat penting baginya. Walaupun dia tidak
515 mengaku bahwa dia mencinta wanita dalam gambar itu, namun
Siang Lan sudah dapat menduganya. Bu-beng-cu tidak pernah
menikah, jadi gambar itu bukanlah gambar isterinya. Apakah itu
gambar seorang kekasihnya dan dia merasa malu untuk
mengaku" Timbul keinginan yang besar sekali dalam hatinya untuk
melihat gambar wanita itu.
Ia menenangkan jantungnya yang berdebar, lalu menguatkan hati
dan badannya, bangkit dan biarpun dengan lemah, ia menghampiri
almari yang berada di sudut kamar. Dibukanya almari itu. Tidak
banyak benda yang berada di dalamnya. Hanya buntalan pakaian
dan...... gulungan gambar itu!
Dengan jari-jari tangan gemetar karena merasa bahwa ia mencuri,
Siang Lan mengambil gambar itu lalu membuka gulungannya. Ia
memandang gambar seorang wanita dan sepasang matanya
terbelalak, kedua tangan yang memegang gambar menggigil
sehingga gambar itu terlepas dari tangannya, bergulung kembali
dan menggelinding ke bawah meja.
Ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, jantungnya berdebar penuh
kejutan dan perasaan bahagia memenuhi hatinya. Kemudian,
setelah ia dapat menenangkan jantungnya yang berdebar, ia
memungut lagi gulungan gambar itu dan dibentangkannya,
dipandangnya dengan teliti seolah ia belum percaya akan
penglihatannya sendiri. Gambar itu adalah lukisan seorang wanita,
lukisan dirinya! "Paman Bu-beng-cu!" Bibirnya berbisik dan senyum penuh
kebahagiaan mengembang di bibirnya. Tidak salah dugaannya.
516 Bu-beng-cu mencinta dirinya! Ia adalah wanita yang amat penting
itu, wanita yang gambarnya selalu dibawa ke mana pun Bu-bengcu pergi!
Bu-beng-cu mencintanya! Pengetahuan ini membuat cintanya
terhadap pria itu semakin mendalam. Ia lalu teringat bahwa Bubeng-cu hendak menyembunyikan rahasia hatinya itu. Maka ia
segera mengembalikan gulungan gambar itu ke dalam almari, lalu
ia merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan dengan
perasaan yang demikian bahagianya sehingga ia lupa akan semua
perasaan lemahnya dan ingin rasanya ia menari dan bernyanyi!
Tak lama kemudian Bu-beng-cu membuka daun pintu kamar dari
luar dan masuk. Dia melihat Siang Lan merintih lirih, mengaduh
sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.
"Aduh...... aduh......!" gadis itu mengerang kesakitan.
Bu-beng-cu melompat dekat pembaringan, duduk
pembaringan dengan wajah kaget dan khawatir.
di tepi "Kenapa Siang Lan?"
"Kepalaku...... ah, kepalaku...... sakit sekali......"
Bu-beng-cu cepat memeriksa kepala gadis itu dengan kedua
tangannya, meraba seluruh kepala, merasakan denyutnya dengan
ujung jari-jarinya dan terheran-heran karena dia tidak menemukan
sesuatu yang tidak beres.
517 "Bagaimana rasanya" Di bagian mana yang nyeri?" Bu-beng-cu
bertanya penuh perhatian, sambil memijit-mijit kepala itu dengan
sentuhan lembut. "Ah...... semua sakit...... akan tetapi sekarang mendingan, terasa
enak kalau dipijit-pijit......" kata Siang Lan manja, namun suaranya
masih terdengar seperti merintih. Mendengar ini, Bu-beng-cu lalu
memijati kepala Siang Lan dengan kedua tangannya, membuat
gadis itu membuka dan memejamkan matanya karena nikmat.
"Aduhh...... aduh......" Siang Lan mengerang dan kini ia
menggerak-gerakkan kaki kirinya seolah kaki itu kesakitan.
"Ah, apanya lagi yang nyeri?" Bu-beng-cu bertanya heran.
"Kakiku yang kiri...... aduh...... kakiku sakit sekali......" gadis itu
merintih. Bu-beng-cu cepat mengalihkan kedua tangannya, dari kepala kini
pindah ke kaki kiri Siang Lan, memeriksa dengan teliti. Akan tetapi,
dia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.
"Maaf, harus kuperiksa dengan teliti!" katanya dan dia menggulung
celana kiri itu ke atas sampai lutut. Jari-jari tangannya memijat dan
mengurut, merasakan betapa lembut dan putih mulus betis kaki itu.
Akan tetapi lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa yang tidak
beres. Dia memijat-mijat dan mengurut dengan lembut dan
perlahan-lahan Siang Lan berhenti mengeluh.
"Apa sekarang sudah tidak nyeri lagi?" Dia bertanya.
518 "Sekarang sudah sembuh karena kau pijit dan urut, Paman. Terima
kasih......" kata Siang Lan menyembunyikan kegirangannya.
Tentu saja ia tadi hanya berpura-pura untuk melihat bagaimana
reaksi pria itu kalau ia merintih kesakitan. Ternyata Bu-beng-cu
memperhatikan dengan penuh kekhawatiran dan ini membuatnya


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahagia sekali. Ingin rasanya ia bangkit dan merangkul pria itu
yang tidak ia ragukan lagi cintanya. Akan tetapi ia tidak mau
melakukannya. Pertama, ia tidak mau membuat Bu-beng-cu menjadi malu karena
rahasianya ketahuan olehnya dan kedua, ia masih mempunyai
ganjalan dalam hatinya, yaitu belum dapat membunuh musuh
besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Kalau ia sudah dapat membunuh
jahanam itu, baru ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya akan
hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu menurunkan lagi gulungan celana Siang Lan itu dan
karena dia merasa penasaran, sekali lagi dia memeriksa keadaan
tubuh Siang Lan akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa
kesehatan tubuh gadis itu sudah pulih dan tidak ada lagi gangguan
apa pun kecuali masih lemah. Bu-beng-cu merasa aneh akan
tetapi sedikit pun dia tidak menaruh curiga atau menduga gadis itu
berpura-pura. Biarpun terkadang Siang Lan memperlihatkan
perhatian kepadanya dan terkadang ada terpancar dalam matanya
kekaguman dan rasa suka, dia tetap tidak percaya dan tidak dapat
menerima dalam akalnya bahwa gadis itu dapat jatuh cinta
kepadanya. 519 "Tunggu, aku masakkan obat ini untukmu, Siang Lan," kata Bubeng-cu, lalu dia pergi ke dapur rumah penginapan itu untuk minta
kepada pelayan memasakkan obat yang dibelinya dari toko obat.
Setelah dia meninggalkan kamar, Siang Lan rebah telentang
sambil tersenyum bahagia. Pria itu sungguh amat sayang
kepadanya, begitu penuh perhatian dan tampak khawatir sekali
ketika ia beraksi pura-pura merasa sakit di kepalanya dan di
kakinya. Pijatan dan belaiannya masih terasa olehnya, begitu
lembut dan hangat! Ketika Bu-beng-cu memasuki kamar membawa semangkok obat,
dengan taat Siang Lan meminumnya sampai habis. Selama dua
hari Siang Lan tinggal di kamar itu memulihkan tenaganya. Kalau
malam Bu-beng-cu tidur di atas lantai bertilam tikar sehingga Siang
Lan merasa tidak enak sekali. Diam-diam ia semakin kagum
karena Bu-beng-cu sedikit pun tidak memperlihatkan sikap kurang
sopan terhadap dirinya. Padahal ia sudah tidur sekamar selama
lima malam! Pada keesokan harinya setelah selama dua hari minum obat
penguat dan merasa kekuatannya pulih kembali, Bu-beng-cu tahutahu tidak berada dalam kamarnya. Sepucuk suratnya berada di
atas meja dengan pemberitahuan bahwa dia hendak pulang lebih
dulu karena Siang Lan sudah sembuh dan tidak ada urusan lagi
baginya di kota raja. Siang Lan termenung duduk di atas kursi sambil memegangi surat
itu. Tiba-tiba saja ia merasa begitu kesepian sehingga rasanya
ingin ia berteriak dan menangis! Segala sesuatu tampak demikian
520 hambar dan tidak menyenangkan setelah Bu-beng-cu tidak berada
didekatnya! Ia pun mengambil keputusan tegas. Hari itu juga ia harus pulang
agar dapat berada di tempat yang dekat dengan Bu-beng-cu.
Apalagi Bu-beng-cu sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang
terakhir, memperkuat tenaga sakti dan mengajarkan pukulan Thailek-sin-ciang (Tenaga Sakti Tenaga besar).
Menurut keterangan Bu-beng-cu, kalau ia sudah menguasainya,
besar kemungkinan ia akan mampu mengalahkan musuh
besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Ia harus segera pulang ke Banhwa-kok, Lembah Selaksa Bunga yang menjadi tempat tinggalnya
itu dan mempelajari ilmu yang dijanjikan Bu-beng-cu kepadanya.
Setelah berkemas dan mendapat penjelasan pelayan rumah
penginapan bahwa sewa kamar telah dibayar oleh Bu-beng-cu,
Siang Lan lalu pergi ke rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong,
ayah Sim Tek Kun. Ia berpamit kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian
Hong yang merasa gembira melihat gadis itu dalam keadaan sehat
dan selamat. Setelah berpamit, Siang Lan lalu berangkat pulang, meninggalkan
kota raja menuju ke Lembah Selaksa Bunga. Akan tetapi, di tengah
perjalanan sebelum meninggalkan kota raja, Panglima besar
Chang Ku Cing menghadangnya dan menyampaikan perintah
kaisar yang mengundang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan agar
datang menghadap Sribaginda Kaisar!
521 Biarpun tidak ingin menghadap, terpaksa Siang Lan tidak berani
menolak dan ia ditemani panglima Chang menuju ke istana
menghadap Sribaginda Kaisar Wan Li.
Kaisar menerimanya dengan ramah dan memuji-muji kegagahan
Siang Lan yang begitu berani berusaha menyelamatkan
Sribaginda dari sekapan Cui-beng Kui-ong sehingga
mengorbankan diri sendiri roboh dan terluka oleh kakek iblis itu.
Juga Kaisar berterima kasih dan hendak memberi hadiah yang
boleh dipilih sendiri oleh Siang Lan, yaitu pangkat tinggi atau harta
benda. Siang Lan yang cerdik tidak menginginkan hadiah pangkat tinggi
atau harta benda. Ia hanya mohon kepada Kaisar agar diberi hak
memiliki Bukit Ban-hwa-san di daerah Pegunungan Lu-liang-san.
Kaisar memenuhi permintaannya dan memerintahkan Menteri
Urusan Tanah untuk membuatkan pernyataan hal milik itu kepada
Siang Lan. Di samping itu, juga Kaisar memberi sekantung emas
yang tidak dapat ditolak oleh Siang Lan.
Setelah meninggalkan istana, Panglima Chang Ku Cing minta
kepada Siang Lan untuk singgah di gedungnya dan di sini panglima
Chang bersama isterinya secara langsung meminang Siang Lan
untuk dijodohkan dengan keponakan panglima itu, ialah Chang
Hong Bu. "Keponakan kami itu, Chang Hong Bu. sudah berusia duapuluh
lima tahun dan sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Kami
lihat engkau juga sudah cukup dewasa dan engkau sudah
mengenal baik keponakan kami itu. Hong Bu juga dengan terus
522 terang mengaku kepada kami bahwa dia mencintamu, Siang Lan.
Karena itu, dalam kesempatan ini kami berani mengajukan usul
perjodohan ini kepadamu, sekiranya engkau belum......"
"Thai-ciangkun, saya sudah mempunyai seorang calon suami!"
Siang Lan memotong singkat.
"Ah......?" Suami isteri itu terkejut dan kecewa. "Mengapa Hong Bu
tidak menceritakan kepada kami?"
"Dia memang tidak mengetahui, Paman."
"Hemm, kalau boleh kami mengetahui, siapakah calon suamimu
yang berbahagia itu?"
"Dia...... dia adalah Bu-beng-cu." Siang Lan berkata demikian
bukan hanya karena memang benar ia dan Bu-beng-cu saling
mencinta, akan tetapi terutama sekali agar panglima dan isterinya
tidak bicara lagi tentang perjodohan yang mereka usulkan itu.
Panglima Chang Ku Cing dan isterinya tampak kecewa sekali,
akan tetapi tentu saja mereka tidak berani lagi menyinggung
urusan pinangan mereka yang otomatis tidak mungkin dilanjutkan.
Setelah meninggalkan kota raja, Siang Lan melakukan perjalanan
cepat. Dalam perjalanan itu ia melamun. Ia memang sudah tahu
bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Sebetulnya,
memiliki calon suami seperti Chang Hong Bu amatlah
menyenangkan dan membanggakan.
Pemuda itu tampan gagah dan berbudi baik, seorang pendekar
sejati. Selain itu, juga dia keponakan Panglima Chang Ku Cing
523 yang terkenal bijaksana. Gadis mana yang tidak akan bangga
mempunyai suami seperti Chang Hong Bu" Akan tetapi kalau ia
mengingat keadaan dirinya yang sudah bukan perawan lagi, ia
merasa ngeri membayangkan Hong Bu menolaknya setelah
mengetahui keadaan dirinya!
Dan penolakan itu akan membuat ia merasa terhina dan mungkin
ia akan membunuh Hong Bu kalau pemuda itu menolaknya karena
ia bukan perawan lagi! Lebih baik dari sekarang menolak pinangan
itu daripada kelak ada kemungkinan terjadi hal itu.
Sebaliknya, Bu-beng-cu telah tahu bahwa ia bukan perawan lagi.
Ia telah menceritakan kepadanya, namun biarpun sudah
mengetahui keadaan dirinya, tetap saja Bu-beng-cu mencintainya.
Dia melindunginya, membelanya, mengajarkan ilmu-ilmunya
kepadanya, bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia
tidak meragukan lagi cinta Bu-beng-cu kepadanya, bukan hanya
terbukti dari sikapnya, melainkan juga dari gambarnya yang
dibawa ke mana pun dia pergi!
"Paman Bu-beng-cu......!" Ia berbisik, sama sekali tidak merasa
janggal bahwa ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang jauh
lebih tua daripadanya sehingga ia menyebutnya paman. Ia segera
mempercepat larinya agar dapat segera tiba di Ban-hwa-san atau
lebih tepat lagi, agar dapat segera bertemu dengan Bu-beng-cu.
"Y" Kui Li Ai duduk seorang diri di antara ratusan bunga di taman yang
diatur dan dipeliharanya sendiri di bagian belakang rumah induk di
perkampungan Ban-hwa-kok. Biasanya, kalau ia duduk seorang
524 diri sambil menikmati keindahan bunga-bunga itu, ia merasa
berbahagia sekali. Akan tetapi pagi hari ini ia tampak tidak gembira,
bahkan sejak tadi termenung.
Ia teringat akan keadaan dirinya dan merasa betapa kesialan
menimpa dirinya secara bertubi-tubi. Gadis yang usianya baru
kurang dari duapuluh tahun itu, yang tubuhnya tinggi ramping,
dengan kulit putih mulus, wajahnya manis sekali dengan bentuk
bulat dan sepasang matanya lebar bersinar seperti sepasang
bintang, kini tampak agak murung.
Betapa ia tidak akan sedih kalau mengingat masa lalunya.
Ayahnya membunuh diri untuk menebus kesalahan telah
membebaskan orang-orang Pek-lian-kauw yang ditawan
pemerintah. Baru saja ayahnya membunuh diri karena kesalahan
yang terpaksa dilakukan untuk membebaskan dirinya yang ditawan
orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri diperkosa oleh dua orang
Pek-lian-kauw. Peristiwa kedua ini saja sudah membuat ia putus asa dan tentu ia
telah membunuh diri kalau tidak dicegah oleh Hwe-thian Mo-li yang
menolongnya dan yang membunuh dua orang Pek-lian-kauw yang
memperkosanya. Kemudian, dua peristiwa yang menghancurkan
hatinya ini disambung dengan sikap ibu tirinya yang menghina dan
menyalahkannya, dikatakan bahwa ia penyebab kematian
ayahnya. Sikap ibu tirinya ini yang kemudian dihajar oleh Hwethian Mo-li membuat ia tidak mungkin dapat tinggal di rumah
ayahnya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Ia lalu ikut Hwe-thian
Mo-li dan tinggal di Ban-hwa-kok.
525 Kemudian menyusul lagi peristiwa yang menyakitkan hatinya.
Bong Kongcu atau nama lengkapnya Bong Kim, pemuda hartawan
di kota raja, yang sejak dulu tampak mencintanya, oleh Hwe-thian
Mo-li didesak untuk melamarnya. Biarpun ia tidak bisa mengatakan
cinta kepada pemuda itu, hanya rasa suka karena pemuda itu amat
memperhatikannya, bersedia menerima lamarannya.
Ketika Bong Kim datang melamar dan ia mengaku bahwa dirinya
telah diperkosa orang, pemuda itu berbalik menghinanya dan
hanya akan mengambilnya sebagai selir. Hwe-thian Mo-li
menghajar pemuda itu dan kembali Li Ai menderita tekanan batin
yang hebat. Berturut-turut dan bertubi-tubi kesialan hidup menimpa
dirinya. Sekarang ia merasa terhibur dan senang hidup di Ban-hwa-san
bersama Hwe-thian Mo-li dan anak buah Ban-hwa-pang. Akan
tetapi muncul Bouw Cu An, putera seorang pangeran yang jatuh
cinta kepadanya. Dan, baru sekali ini selama hidupnya Li Ai juga
jatuh cinta kepada seorang pemuda.
Ia mencinta Bouw Cu An dan mereka berdua sudah saling
mengetahui bahwa mereka saling mencinta. Bahkan ketika Bouw
Cu An hendak meninggalkan Lembah Selaksa Bunga, mereka
sudah saling menukar tanda mata. Bouw Cu An memberi sebuah
kantung bersulam kupu-kupu yang indah, sedangkan pemuda itu
memilih tusuk sanggul rambutnya berupa bunga teratai sebagai
tanda mata. Biarpun tidak terucapkan, pemberian tanda mata itu
bagi mereka mempunyai arti yang khusus, yaitu bahwa mereka
saling mencinta dan secara batiniah saling terikat satu sama lain!
526 Li Ai menghela napas panjang dan membelai kantung bersulam
kupu-kupu indah yang sejak tadi dipegangnya, Bagaimana
mungkin ia dapat berjodoh dengan putera pangeran itu" Ia sudah
ternoda. Kalau kelak Bouw Cu An mendengar bahwa ia bukan
perawan lagi, apakah pemuda itu dapat menerimanya" Apakah dia
tidak akan memandangnya rendah dan menghinanya seperti yang
pernah dilakukan Bong Kim, pemuda hartawan dari kota raja itu"
Penghinaan dari Bong Kim itu hanya membuatnya marah, akan
tetapi kalau sampai Bouw Cu An menolak dan menghinanya, ia
tidak akan sanggup menerimanya. Hatinya akan hancur dan hidup
tidak ada artinya lagi baginya karena ia sungguh mencinta pemuda
itu! Tidak, lebih baik hubungan itu diputuskan sekarang yang hanya
mengakibatkan kecewa dan duka. Kalau putus karena pemuda itu
mengetahui keadaannya, menolak dan menghinanya, akibatnya
akan terlalu berat dan hebat baginya.
"Tidak ini tidak boleh terjadi. Tidaaakk......!" Ucapan "tidak" yang
terakhir itu keluar sebagai jeritan hati yang terucapkan oleh
mulutnya. "Heii, apanya yang tidak, Moi-moi?" tiba-tiba terdengar suara lakilaki.
Li Ai terkejut dan cepat menoleh ke belakang dan...... ia melihat
Bouw Cu An melangkah menghampirinya! Cepat ia menyelipkan
kantung bersulam itu ke ikat pinggangnya dan bangkit berdiri,
menyongsong kedatangan pemuda itu.
527 "Koko!" Li Ai berseru dan girang bukan main. "Eh, bagaimana
engkau dapat tiba-tiba muncul di sini" Bagaimana dapat melalui
jebakan-jebakan rahasia kami?"
Cu An tersenyum. "Untung sekali di bawah sana aku bertemu
dengan seorang anggauta Ban-hwa-pang yang telah mengenal
aku maka ia mau menjadi penunjuk jalan sehingga aku dapat naik
ke sini, Ai-moi." "Mari kita masuk dan bicara di dalam rumah, An-ko."
"Tidak, Moi-moi. Keadaan di sini sungguh indah dan hawanya
begini sejuk dan cerah. Aku ingin bicara denganmu di sini saja."
"Duduklah, An-ko." Li Ai mempersilakan pemuda itu duduk di atas
bangku panjang dan ia duduk di sebelahnya, agak jauh. "Ada
apakah, An-ko" Aku melihat ada sesuatu yang membuatmu seperti
orang bersedih." Memang gadis itu melihat biarpun mulut pemuda itu tersenyum
namun pandang matanya seperti orang sedang berduka, sinar
mata itu sayu. Cu An menghela napas panjang. Dia lalu dengan terus terang
menceritakan tentang pemberontakan ayahnya sampai akhirnya
ayahnya berhasil dibujuknya dan berbalik menjebak para
sekutunya sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan.
"Aku merasa malu sekali, Moi-moi, mengapa Ayahku sampai
melakukan pengkhianatan dan pemberontakan, padahal dia sudah
528

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan kedudukan tinggi sebagai penasihat Kaisar dalam
hubungan pemerintah dengan suku-suku asing dan luar negeri."
Suasana menjadi hening setelah Cu An menceritakan keadaan
ayahnya dengan panjang lebar. Ketika Li Ai memandang wajah
pemuda itu yang kini tampak sedih sekali, ia merasa terharu dan
berkata menghibur. "An-ko, sudahlah jangan terlalu bersedih. Setidaknya ayahmu telah
menyesal dan menyadari kesalahannya, bahkan memperlihatkan
penyesalannya dengan membantu pemerintah menjebak para
sekutu pemberontak sehingga dapat dihancurkan. Hal itu
merupakan hiburan besar bagimu, Koko."
"Benar memang, Moi-moi. Akan tetapi apa artinya perbuatan
Ayahku itu kalau dibandingkan dengan dosa-dosanya" Dialah
yang mendalangi terbunuhnya enam orang pembesar yang baik
dan setia kepada Sribaginda Kaisar. Ah, aku malu sekali, Moi-moi.''
"Sudahlah, An-ko. Setelah Ayahmu berhasil membantu pemerintah
menumpas pemberontak dan seperti kauceritakan tadi, engkau
dan gurumu Ouw-yang Sian-jin membantu pula, mengapa
sekarang engkau meninggalkan kota raja dan datang ke sini"
Bukan aku tidak senang engkau datang berkunjung, akan tetapi
kenapa Enci Siang Lan belum pulang?"
"Hwe-thian Mo-li tentu masih banyak urusan di sana dan aku
sengaja datang ke sini untuk menemuimu, Ai-moi. Aku ingin
menceritakan semua ini kepadamu dan sekalian mengucapkan
selamat tinggal dan selamat berpisah untuk selamanya......"
suaranya gemetar. 529 Mendengar ini, saking kagetnya, wajah Li Ai menjadi pucat dan
tanpa disadarinya ia memegang lengan pemuda itu erat-erat
sambil menatap wajahnya. "Koko, mengapa engkau mengucapkan selamat tinggal" Apa
maksudmu......?" Gadis itu memandang dengan khawatir sekali.
Bouw Cu An diam sejenak, agaknya seperti mengumpulkan
kekuatannya karena dia tenggelam dalam kesedihan. Kemudian
dengan suara lirih dan gemetar dia berkata.
"Moi-moi...... aku...... aku sungguh malu sekali kepadamu. Engkau
puteri seorang pahlawan yang patriotik sedangkan aku...... aku
hanya anak seorang pengkhianat, seorang pemberontak......" Cu
An bangkit berdiri dan memutar tubuhnya untuk menyembunyikan
air matanya yang menitik turun ke atas pipinya. "Aku...... aku......
tidak pantas berdekatan denganmu, tidak pantas menjadi
sahabatmu...... apalagi ...... menjadi...... ah, aku tidak boleh
mencintaimu......" Li Ai merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu
menangis dan hendak menyembunyikan tangisnya. Hal dapat ia
ketahui dari suaranya dan pemuda itu mengangkat tangan ke
muka, tentu untuk menghapus air matanya. Li Ai merasa terharu
dan tanpa terasa lagi ia pun mencucurkan air mata.
"Tidak, Koko...... mendiang Ayahku juga melakukan kesalahan!
Ayahku juga pernah membebaskan tawanan......"
530 "Akan tetapi beliau melakukannya untuk menyelamatkanmu dan
telah ditebusnya dengan nyawanya. Sedangkan Ayahku...... dia
memberontak untuk mencari kedudukan, untuk dirinya sendiri......"
"Akan tetapi Ayahmu juga sudah insaf dan membantu pemerintah
membasmi para pemberontak."
"Jangan membela Ayahku, Moi-moi, aku...... aku merasa rendah
dan hina sebagai anak pengkhianat yang akan selalu dikutuk. Aku
tidak berhak dan tidak boleh mendekatimu...... engkau akan ikut
tercemar...... aku tidak layak menjadi...... menjadi......" Cu An tidak
dapat melanjutkan, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku
dengan tubuh lemas dan dia menggunakan kedua tangannya
untuk menutupi mukanya. Li Ai tidak dapat menahan keharuan dan kesedihannya mendengar
ucapan itu. Ia memegang lengan pemuda itu dan memaksanya
berputar sehingga mereka saling berhadapan. Dengan air mata
membasahi sepasang matanya dan mengalir menuruni sepasang
pipinya yang agak pucat, Li Ai berkata.
"Koko, jangan berkata begitu. Aku tetap menghormatimu karena
engkau memang layak dihormati. Jangan bilang engkau tidak
pantas. Akulah yang tidak pantas mendekati. Akulah gadis yang
hina......" "Moi-moi!" Cu An berseru kaget.
"Benar, Koko...... dengarlah baik-baik, akulah yang tidak layak
mendapat cintamu, tidak pantas mencintamu...... aku sama sekali
tidak berharga untuk menjadi sisihanmu...... aku adalah seorang
531 gadis yang sudah ternoda, aku...... aku bukan perawan lagi...... aku
telah diperkosa orang......"
Tiba-tiba Cu An bangkit berdiri, mukanya merah karena marah
sehingga Li Ai merasa hancur hatinya karena ia mengira bahwa
seperti juga Bong Kim dahulu, pemuda itu pun akan memandang
rendah dan menghinanya, maka ia menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.
"Siapa dia" Katakan, Ai-moi, siapa laki-laki yang melakukan
perbuatan biadab itu" Cepat katakan, sekarang juga akan
kuhancurkan kepalanya si jahanam terkutuk itu!!"
Mendengar betapa pemuda itu marah kepada si pemerkosa dan
tidak memandang rendah atau menghinanya, Li Ai menahan
tangisnya dan berani memandang muka pemuda itu dengan muka
pucat yang basah air mata, lalu berkata lirih diseling isak.
"Mereka...... adalah dua orang...... Pek-lian-kauw...... akan tetapi
mereka...... sudah dibunuh oleh Enci Siang Lan......"
Cu An menarik napas panjang, tampak lega mendengar ini.
"Aah, kalau begitu, dendam sakit hatimu telah terbalas impas, Aimoi. Mengapa engkau masih juga bersedih?"
"...... akan tetapi...... aku...... aku sudah ternoda...... terlalu hina
untukmu, An-ko......"
"Uhh, siapa bilang" Engkau sama sekali tidak bersalah. Engkau
dipaksa dan engkau sama sekali tidak hina bagiku!"
532 "Tapi...... tapi...... aku...... bukan perawan lagi......" Li Ai menangis.
Cu An bergerak maju dan merangkul gadis itu. Meledaklah tangis
gadis itu sehingga terisak-isak dan ia tidak mampu bicara lagi. Cu
An mendekap muka gadis itu ke dadanya sehingga air mata Li Ai
membasahi dada bajunya, menembus baju bahkan seolah
menembus kulit dadanya dan menyejukan hatinya.
"Li Ai, kaukira aku ini laki-laki macam apa" Aku bukan hanya
mencintai keperawananmu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu
lahir batin, bukan hanya mencinta badanmu melainkan engkau
seluruhnya. Engkau sama sekali tidak hina bagiku, engkau tetap
bersih, tetap murni dan aku bahkan semakin mencintamu. Li Ai,
jawablah, maukah engkau menjadi teman hidupku selamanya,
menjadi isteriku, isteri seorang anak pangeran pemberontak?"
"Koko Bouw Cu An......!" Saking bahagia dan terharunya
mendengar ucapan itu, Li Ai tiba-tiba terkulai dan cepat ia
merangkul pinggang pemuda itu. Kalau Cu An tidak memeluknya
erat, mungkin ia akan jatuh terguling. Ia hampir pingsan dan
menjadi lemas dalam pelukan Cu An.
"Moi-moi, jangan khawatir, aku akan melindungimu dan
menyayangmu selamanya," bisik Cu An sambil mendekap kepala
itu erat-erat seolah hendak memasukan gadis itu ke dalam dirinya
sehingga mereka tidak akan dapat saling berpisah lagi.
Cinta sejati memang indah karena cinta seperti ini merupakan
kasih sayang yang murni, sebagai pijar dari api kasih yang datang
dari Tuhan. Cinta kasih seperti ini bebas dari keinginan untuk
menyenangkan diri sendiri. Semua diperuntukkan orang yang
533 dikasihi, demi kebahagiaan orang yang dikasihi, dan cinta seperti
ini baru dapat dirasakan kalau diri sendiri tidak diperbudak oleh
nafsu dan pementingan diri sendiri.
Sebaliknya, cinta yang sepenuhnya didorong oleh nafsu hanya
mementingkan diri sendiri, hanya bertujuan untuk menyenangkan
diri sendiri. Kalau diri sendiri tidak lagi mendapat kesenangan dari
orang yang dicintai, maka cinta itu akan berubah, lenyap atau
bahkan berbalik menjadi benci.
Bukan berarti bahwa cinta sejati tidak mengenal nafsu berahi.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi sudah ada pada setiap
orang manusia yang sehat dan wajar. Hanya bedanya, dalam cinta
kasih sejati itu nafsu berahi menjadi pelayan kita. Sebaliknya dalam
cinta nafsu, nafsu berahi menjadi majikan kita.
Cinta kasih yang berada dalam diri Bouw Cu An dan Kui Li Ai
adalah contoh cinta sejati. Cinta seperti ini adanya hanya keinginan
untuk saling membahagiakan.
Sampai lama mereka saling rangkul dengan ketat seolah telah
menjadi satu, lupa tempat dan waktu, bahkan lupa akan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang wanita. Suara ini cukup
untuk menarik kedua orang yang sedang asyik-masyuk itu ke
dalam sadar. Mereka menengok dan melihat bahwa di situ telah
berdiri seorang wanita dengan sikap hormat dan ragu. Wanita itu
adalah Bwe Kiok Hwa, kepala pembantu dan murid tertua di Banhwa-kok yang usianya sudah tigapuluh satu tahun.
534 Melihat Bwe Kiok Hwa, kedua orang muda itu saling melepaskan
rangkulan dan wajah keduanya berubah kemerahan.
"Eh, Enci Bwe Kiok Hwa......" kata Li Ai.
Bwe Kiok Hwa tampak ragu dan sungkan. "Nona Kui Li Ai...... saya
kira engkau sudah tahu akan peraturannya......"
Li Ai mengangguk. "Aku tahu dan mengerti, Enci kiok Hwa. Jangan
khawatir, aku yang akan laporkan kepada Enci Nyo Siang Lan
kalau ia pulang." Bwe Kiok Hwa mengangguk. "Maaf, bukan maksud saya untuk
mengganggu." Setelah memberi hormat kepada sepasang orang
muda itu, ia lalu pergi. "Ai-moi, apa sih artinya ucapanmu kepadanya tadi?" tanya Bouw
Cu An. "Begini, An-ko. Setelah Enci Siang Lan menjadi pemimpin Banhwa-pang yang anggautanya semua wanita, yang tidak menikah,
ia mengadakan peraturan bahwa siapa yang menikah harus keluar
dari Ban-hwa-kok. Setiap orang anggauta Ban-hwa-kok tidak boleh
bergaul dengan pria kalau tidak akan menjadi suami isteri, dan
kalau ada pria yang berani mempermainkan anggauta Ban-hwapang, akan dibunuh. Maka setelah tadi Enci Bwe Kiok Hwa melihat
kita, ia peringatkan padaku tentang peraturan itu. Akan tetapi, kita
tidak perlu khawatir, bukan, An-ko?"
Cu An tersenyum dan memegang kedua tangan kekasihnya.
"Tentu saja tidak, Moi-moi. Kita berdua tidak main-main, dan aku
535 akan memberitahu orang tuaku agar mengajukan pinangan secara
resmi. Akan tetapi, karena...... Ayah dan Ibu kandungmu telah
tiada, kepada siapakah orang tuaku harus mengajukan lamaran"
Menurut ceritamu, tentu engkau tidak ingin orang tuaku melamar
kepada ibu tirimu, bukan?"
"Aih, jangan! Aku tidak sudi dinikahkan oleh wanita berengsek itu!
Kalau orang tuamu datang melamar, kuminta agar melamar
kepada Enci Nyo Siang Lan, karena ialah yang kini menjadi waliku,
kakak angkatku, juga guruku."
"Bagus, kalau begitu, aku akan menanti di sini sampai ia datang.
Bolehkah aku bermalam di sini, Ai-moi?"
"Tentu saja boleh, An-ko, akan tetapi di kamar tersendiri, kamar
tamu." "Tentu saja! Aku belum gila untuk minta sekamar denganmu, Moimoi!"
"Aih, bukan begitu maksudku." Li Ai tertawa senang karena kelakar
itu menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang
tersembunyi. "Akan tetapi sebetulnya ini melanggar peraturan,
akan tetapi......" "Kalau begitu, biar aku bermalam di kaki bukit saja, Ai-moi. Jangan
sampai engkau mendapat marah dari Hwe-thian Mo-li!"
"Tidak, An-ko. Kalau aku membiarkanmu bermalam di kaki bukit,
di tempat terbuka, aku malah pasti akan ditegur Enci Siang Lan.
Engkau boleh bermalam di sini atas tanggunganku, hanya saja,
536 engkau tidak boleh keluar dari rumah induk, paling jauh engkau
hanya boleh memasuki tempat ini."
Cu An tersenyum. "Baiklah, aku akan menaati peraturan Ban-hwapang. Tidak apa dikeram dalam rumah asal setiap hari dapat
melihatmu!" Demikianlah, dengan hati berbunga-bunga sepasang kekasih itu
lalu memasuki rumah induk dan Li Ai lalu mempersiapkan kamar
tamu yang berada di bagian belakang untuk Bouw Cu An. Kepada
Bwe Kiok Hwa dan para anggauta Ban-hwa-pang lainnya Li Ai
mengaku terus terang bahwa pemuda itu adalah tunangannya
calon suaminya yang menanti kembalinya ketua mereka dan akan
sementara tinggal di situ sampai Hwe-thian Mo-li pulang. Ia yang
akan bertanggung jawab kalau ketua mereka marah. Karena baik
Li Ai maupun Cu An bersikap wajar dan sopan, menjaga sikap
mereka satu sama lain tetap sopan dan tidak memperlihatkan cinta
mereka secara mencolok, maka para anggauta Ban-hwa-pang
merasa tenang dan tetap menghormati sepasang kekasih ini.
Kasih yang mendasari satu saja keinginan yaitu membahagiakan
orang yang dikasihi sungguh mendatangkan perasaan yang luar
biasa. Melihat kebahagiaan terpancar pada sinar mata dan
senyum di wajah kekasihnya membuat mereka merasa luar biasa
senang dan bahagianya. Karena itu, dengan hanya saling pandang
tanpa ungkapan dengan sentuhan atau kata-kata cinta karena
hendak menjaga kesopanan dalam pandangan para anggauta
Ban-hwa-pang, bagi mereka berdua lebih dari cukup. Senyum di
bibir sang kekasih seolah menambah keindahan segala sesuatu
yang tampak, menambah hangat dan cerahnya sinar matahari,
537 menambah indah dan harum bunga-bunga di taman dan hati
mereka diliputi kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Dua minggu kemudian Siang Lan pulang. Ketika para anggauta
Ban-hwa-pang menyambut di lereng bukit, tak seorang pun dari
mereka berani memberitahu akan kehadiran Cu An yang sudah
dua minggu menjadi tamu di rumah induk yang menjadi tempat
tinggal Ketua Ban-hwa-pang itu.
Ketika Siang Lan tiba di rumah dan disambut oleh Li Ai dan Cu An,
ia agak terkejut dan merasa heran karena ia mengenal pemuda itu
yang telah menjadi murid Ouw-yang Sianjin. Ia pun tahu bahwa
pemuda itu adalah putera Pangeran Bouw Ji Kong.
"Hei, bukankah engkau Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji
Kong" Setelah pemberontakan dapat dipadamkan berkat bantuan
Ayahmu, mengapa engkau pergi menghilang dan kini tahu-tahu
berada di sini?" Siang Lan bertanya, suaranya mengandung
teguran karena pemuda itu menjauhkan diri sehingga tidak tahu
akan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
"Aku...... aku ikut dengan suhu Ouw-yang Sianjin......" kata Cu An,
agak canggung mendengar teguran Hwe-thian Mo-li.
"Enci Siang Lan, sebelum engkau nanti mengetahui dan marahmarah kepada Koko Bouw Cu An, sebaiknya aku lebih dulu
mengaku kepadamu bahwa dia sudah tinggal di sini selama dua
minggu untuk menunggumu pulang dan akulah yang menanggung
dan bertanggung jawab, yang minta dia tinggal di sini selama ini,
538

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka akulah yang melanggar peraturan dan aku siap menerima
hukuman." "Aih-aih, mengapa engkau begini nekat, Li Ai?" Siang Lan bertanya
heran karena setelah ia mengalami perkosaan kemudian dihina
oleh Bong Kim, Li Ai seolah menjadi pembenci laki-laki.
"Karena...... karena kami berdua ahh......" sukar bagi Li Ai untuk
mengaku saling mencinta dengan Cu An. Melihat kekasihnya
kebingungan, Cu An segera membantu.
"Pang-cu......"
Siang Lan tidak merasa aneh dipanggil Pang-cu (ketua) karena ia
memang merupakan Pang-cu dari Ban-hwa-pang.
"Terus terang saja, Adik Kui Li Ai dan aku saling mencinta dan kita
merencanakan perjodohan. Karena yang menjadi walinya,
menurut pengakuan Adik Li Ai adalah engkau, maka aku sengaja
menanti engkau pulang agar kalau engkau sudah setuju, aku akan
minta kepada orang tuaku untuk mengirim lamaran resmi
kepadamu." Siang Lan membelalakkan kedua matanya, bukan marah
melainkan heran dan juga ragu. Ia memandang kepada Li Ai yang
menundukkan mukanya sambil tersenyum malu-malu.
"Akan tetapi engkau, Li Ai......"
"Jangan khawatir, Enci Siang Lan. Aku telah menceritakan dan
mengaku terus terang kepada An-ko tentang malapetaka yang
539 menimpa diriku, bahwa aku telah diperkosa dua orang Pek-liankauw yang kaubunuh itu."
Kini wajah Siang Lan berseri karena ia merasa gembira sekali
mendengar keterangan Li Ai itu. Ia memandang kepada pemuda
itu dengan kagum dan bertanya.
"Bouw Kongcu, benarkah engkau rela dan mau menerima Li Ai
sebagai calon isterimu setelah ia......"
"Pang-cu, aku bahkan merasa kasihan dan semakin cinta kepada
Li Ai, sama sekali tidak memandang rendah. Yang kucinta adalah
manusianya, pribadinya bukan hanya jasmaninya. Cinta itu bagiku
urusan hati, bukan sekedar urusan jasmani. Pula, kalau mau bicara
tentang kerendahan dan kehinaan, akulah yang rendah dan hina,
tidak sepadan dengan Adik Li Ai. Ia puteri seorang pahlawan,
sebaliknya aku hanya anak seorang pengkhianat dan
pemberontak." "Hushh! Jangan sekali-kali kau ulangi kata-katamu itu, Bouw Cu
An!" Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan membentak sehingga Cu An
dan Li Ai memandang kaget. "Biarpun pernah melakukan
kesalahan besar, namun akhirnya mendiang Pangeran Bouw Ji
Kong adalah seorang pahlawan besar!"
Wajah Cu An berubah pucat sekali. Biarpun hatinya merasa lega
dan ada sinar kegirangan mendengar Siang Lan memuji ayahnya
sebagai pahlawan, namun ayahnya disebut mendiang oleh gadis
itu. 540 "Mendiang......" Apa...... apa maksudmu...... Pang-cu?" tanyanya
dengan muka pucat dan suara tergagap.
Baru Siang Lan teringat bahwa pemuda ini belum mengetahui
bahwa ayahnya telah tewas, maka ia menghela napas panjang dan
mengajak mereka berdua duduk.
"Bouw Kongcu, setelah engkau pergi meninggalkan kota raja,
terjadi peristiwa yang amat besar dan gawat. Para pemberontak
itu, seperti kauketahui karena yang membujuk Ayahmu adalah
engkau dan susiok (Paman Guru) Ouw-yang Sianjin, dapat
dibasmi atas bantuan Ayahmu. Akan tetapi urusannya bukan
hanya berhenti sampai di situ.
"Tiba-tiba saja Sribaginda Kaisar diculik orang dan banyak
pengawal dan pelayan istana terbunuh. Penculiknya tidak
ketahuan siapa dan tidak diketahui pula ke mana Sribaginda Kaisar
disembunyikan. Kemudian setelah melakukan penyelidikan,
kiranya yang menculik Sribaginda dan juga Ayahmu yang hilang
pula, adalah seorang pelayan di gedung Ayahmu, seorang pelayan
tua yang tampak lemah......"
"Ah...... Kakek A-kui?" tanya Cu An yang masih pucat.
"Dia adalah Cui-beng Kui-ong yang menyamar dan berhasil
menyusup menjadi pelayan di rumah Pangeran Bouw Ji Kong. Dia
menyembunyikan Sribaginda yang diculiknya ke ruangan bawah
tanah di bawah kamar tidur Ayahmu. Karena Ayahmu hendak
menentangnya, maka dia pun menangkap Ayahmu dan
menahannya di ruangan bawah tanah itu."
541 "Aduh...... semua ini salahku. Kalau aku tidak meninggalkan
rumah, tentu aku dapat mencegahnya......"
"Tidak, Bouw Kongcu, bahkan mungkin engkau pun terancam
bahaya maut. Cui-beng Kui-ong itu sakti bukan main. Dengarkan
ceritaku selanjutnya. Aku mendengar dari Ibumu bahwa Sribaginda
dan Ayahmu disembunyikan di ruangan bawah tanah itu. Aku
terlalu memandang rendah Kakek A-kui, maka aku segera
menyerbu. Akan tetapi A-kui muncul di kamar Ayahmu dan kami
berkelahi. Akibatnya, aku sendiri tertawan olehya, tertotok dan
dimasukkan dalam ruangan bawah tanah itu.
"Ibumu lalu melarikan diri dari rumah dan melapor kepada
Panglima Chang Ku Cing tentang A-kui. Kebetulan ketika itu
panglima Chang kedatangan Paman Bu-beng-cu. Paman Bubeng-cu segera menuju ke rumah Ibumu dan Panglima Chang
mengerahkan pasukan mengepung rumah itu.
"Ketika itu, Cui-beng Kui-ong alias A-kui tahu bahwa Ibumu pergi
meninggalkan rumah. Dia menjadi marah dan tahu bahwa tentu
tempat persembunyian itu akan ketahuan dan akan diserbu, maka
dia membunuh tujuh orang pelayan di rumahmu dan pada saat itu
terdengar teriakan Paman Bu-beng-cu dari luar yang minta kepada
Cui-beng Kui-ong untuk menyerah.
"Cui-beng Kui-ong menjawab dan berteriak minta agar para
tawanan pemberontak dibebaskan. Kalau tidak dia akan
membunuh Sribaginda Kaisar. Ketika permintaannya ditolak, dia
hendak membunuh Sribaginda, akan tetapi Ayahmu, Pangeran
Bouw Ji Kong yang memungut pedangku yang terjatuh, membela
542 Sribaginda Kaisar dengan gagah berani. Akan tetapi Cui-beng Kuiong terlalu lihai sehingga Ayahmu kalah dan tewas di tangan Cuibeng Kui-ong.
"Setelah membunuh Ayahmu, kakek sakti itu juga hendak
membunuh aku yang tidak mampu bergerak karena tertotok dan
luka dalam. Untung pada saat yang amat gawat bagi
keselamatanku itu muncul Paman Bu-beng-cu dan setelah melalui
perkelahian yang amat hebat, akhirnya Cui-beng Kui-ong roboh
dan tewas. "Nah, bukankah Ayahmu telah menebus kesalahannya dengan
dua hal yang amat hebat. Pertama, membantu pemerintah
membasmi para pemberontak dan kedua, telah mengorbankan
nyawa demi melindungi Sribaginda Kaisar" Maka jangan kau
berani mencaci Ayahmu dengan kata-kata yang keji, Bouw
Kongcu!" "Ayah......!" Bouw Cu An lalu menjatuhkan diri berlutut dan
menangis! "Maafkan aku, Ayah!"
"An-ko, jangan terlalu bersedih......!" Li Ai juga berlutut di dekat
pemuda itu dan memegang pundaknya, akan tetapi kedua
matanya juga basah air mata. Ia ikut merasa terharu dan sedih
melihat kekasihnya menangis.
Melihat ini, Siang Lan tersenyum, diam-diam merasa berbahagia
sekali bahwa Li Ai telah menemukan laki-laki yang benar-benar
mencintainya walaupun dia sudah tahu akan keadaan Li Ai yang
telah ternoda. Cu An merupakan calon suami yang baik sekali bagi
543 Li Ai dan ia merasa ikut berbahagia! Maka, melihat keduanya
bertangisan, ia lalu meninggalkannya, memasuki kamarnya.
Dalam kamar, Siang Lan termenung. Ia teringat kepada Bu-bengcu. Bu-beng-cu juga amat mencintanya, seperti cinta Cu An
kepada Li Ai. Bu-beng-cu juga sudah tahu bahwa ia telah dinodai
orang, akan tetapi tetap mencintanya! Akan tetapi, sebelum ia
membuka perasaan hatinya kepada pria yang juga menjadi
gurunya itu, ia harus menyelesaikan dulu masalah yang teramat
penting bagi hidupnya, yaitu membalas dendam kepada Thian-te
Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) yang telah memperkosanya itu.
Setelah ia berhasil membunuh Thian-te Mo-ong, barulah ia akan
menyatakan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu"
Pinangan terhadap Kui Li Ai yang dilakukan oleh utusan Nyonya
Bouw Ji Kong kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera tiba
setelah Bouw Cu An kembali ke kota raja. Pinangan itu diterima
dengan baik dan tiga bulan kemudian, pernikahan antara Bouw Cu
An dan Kui Li Ai dirayakan di kota raja dengan meriah, dihadiri para
perwira dan pejabat tinggi, dan juga hadir pula Nyo Siang Lan, Ong
Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun. Panglima Chang Ku Cing
juga hadir bersama keponakannya, Chang Hong Bu.
Mengingat akan pembelaan terakhir Pangeran Bouw Ji Kong
terhadap Sribaginda Kaisar, maka keluarganya selain mendapat
pengampunan juga mendapatkan kehormatan dari para pejabat
tinggi. Bahkan Menteri Yang Ting Ho juga memerlukan hadir dalam
pesta pernikahan itu. 544 Setelah tinggal di kota raja selama beberapa hari, Hwe-thian Mo-li
Nyo Siang Lan segera kembali ke Ban-hwa-kok dan langsung saja
ia menemui Bu-beng-cu yang tinggal di guhanya, tak jauh dari Bukit
Ban-hwa-pang. Bu-beng-cu bersikap biasa saja seperti biasa, namun kini tampak
jelas oleh Siang Lan betapa besar kasih sayang laki-laki itu
kepadanya yang dapat ia rasakan melalui pandang matanya, katakata yang keluar dari mulutnya, dan gerak geriknya. Akan tetapi ia
pura-pura tidak tahu dan ia sendiri juga bersikap biasa.
Bahkan ia kini berlatih semakin tekun karena hari yang ditentukan
oleh Thian-te Mo-ong yang akan datang mengunjungi setahun
sekali untuk mengadu kepandaian tinggal beberapa bulan lagi.
Sekali ini ia harus dapat membunuh musuh besar itu. Setelah
musuh besar dapat dibunuhnya untuk membalas dendam, barulah
ia akan mengaku kepada Bu beng-cu bahwa ia sudah tahu dan
yakin benar akan rasa cinta pria itu terhadap dirinya!
Demikian tekun, rajin dan keras Siang Lan berlatih sehingga diamdiam Bu-beng-cu merasa terharu. Dia maklum benar betapa besar
semangat dan keinginan Siang Lan untuk mengalahkan dan
membunuh musuh besarnya yang bukan lain adalah dirinya
sendiri! Dapat dibayangkan betapa hal ini menghancurkan
perasaan hatinya. Bu-beng-cu bukanlah seorang bodoh. Dia pun dapat merasakan
bahwa sesungguhnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
mencintainya, seperti juga dia mencinta gadis itu, cinta yang timbul
mula-mula karena penyesalan dan kasihan. Kemudian setelah
545 bergaul dengan gadis itu, dia benar-benar jatuh cinta secara
mendalam. Akan tetapi dia tidak tega untuk mengakui cintanya
walaupun dia tahu benar cintanya sudah pasti akan diterima oleh
Siang Lan yang juga jelas mencintainya.
Ngeri dia membayangkan betapa hati gadis yang dicintanya itu
akan hancur kalau kemudian mengetahui bahwa pria yang saling
mencinta dengannya itu adalah juga musuh besarnya, laki-laki
yang amat dibencinya karena telah memperkosanya" Tidak, dia
akan menebus kesalahannya yang membuat hancur kebahagiaan
gadis itu dengan nyawanya.
Biarlah gadis itu berhasil membalas dendam dengan adil dan
sesungguhnya, bukan karena dia mengalah. Karena itu, dia pun
menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan dan tidak akan
berhenti sebelum gadis itu mampu mengalahkannya.
Setelah dengan tekun penuh perhatian menurunkan semua
ilmunya kepada Siang Lan, pada suatu sore setelah mereka
berlatih dan bertanding selama puluhan jurus, Bu-beng-cu
menghentikannya dan mereka duduk di bawah pohon depan guha
melepaskan lelah dan menyusut keringat. Siang Lan memandang
Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh rasa syukur dan mesra.
Bu-beng-cu semula juga menatap wajahnya dan biarpun mulut
mereka tidak mengucapkan sesuatu, sinar mata mereka seperti
mengandung seribu bahasa menyinarkan kasih sayang yang
mendalam. Akan tetapi Bu-beng-cu segera menundukkan
mukanya, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara lirih
dan tenang. 546 "Siang Lan, semua yang kuketahui tentang ilmu silat telah
kuajarkan kepadamu. Dalam latihan bertanding tadi aku mendapat
kenyataan bahwa aku tidak lagi dapat mengalahkanmu. Karena itu,
hari ini merupakan hari terakhir. Aku tidak dapat mengajarkan apaapa lagi kepadamu dan kuharap dengan kepandaianmu sekarang,
engkau akan mampu mengalahkan musuh besarmu."
Diingatkan tentang musuh besarnya, bangkit semangat Siang Lan
dan pandang matanya yang tadinya mengandung kasih sayang
seketika berubah. Dia memandang ke atas, membayangkan wajah
bertopeng Thian-te Mo-ong dan matanya mengeluarkan sinar
kebencian yang mendalam. "Hemm, sekali ini akan kulawan dia mati-matian, Paman! Karena
aku tidak mungkin mendapatkan tambahan ilmu lagi, maka
pertandingan nanti merupakan yang terakhir. Dia atau aku yang
akan mati! Biasanya, dia muncul di hari ke limabelas, pada saat
bulan purnama di waktu malam. Dan hari itu kalau tidak salah
tinggal tiga hari lagi. Aku akan menantinya!" Ia berkata dengan
kedua tangan dikepal dengan marah.
"Semoga sekali ini engkau akan menang dan dapat membalas
dendammu kepada musuh besarmu, Siang Lan. Akan tetapi
apakah engkau tidak bisa memaafkan perbuatannya kepadamu
itu?" "Tidak mungkin, Paman! Jahanam itu telah merusak hidupku dan
hanya kematiannya yang akan dapat mencuci bersih aib yang
dijatuhkan kepadaku. Noda itu harus dicuci dengan darahnya!"
547 "Terserah kepadamu, Siang Lan.
mengucapkan selamat berpisah...."
Sekarang aku hendak "Selamat berpisah....?" Siang Lan terkejut dan menatap wajah Bubeng-cu dengan pandang mata penuh selidik. "Apa maksudmu,
Paman" Engkau... hendak pergi ke mana?"
"Aku berada di sini hanya untuk memenuhi janjiku mengajarkan
ilmu silat kepadamu, Siang Lan. Sekarang, semua ilmuku sudah
kuajarkan, maka aku hendak pergi merantau."
"Ke manakah engkau hendak pergi, Paman?" tanya Siang Lan
dengan gelisah. "Ke mana......?" Bu-beng-cu menerawang ke arah langit. "Ke mana
saja nasib membawa diriku......"
Hening sejenak. Siang Lan merasa betapa jantungnya berdebar.
Ia ingin sekali menahan Bu-beng-cu dan mengatakan apa yang
berada di dalam hatinya, apa yang dirasakannya terhadap pria itu.
Akan tetapi ia menahan diri. Ia sudah mengambil keputusan untuk
tidak membicarakan urusan itu sebelum ia dapat membunuh
musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong.
Kalau hal itu belum terlaksana, maka dendamnya akan selalu
menjadi penghalang kebahagiaannya. Tidak mungkin ia dapat
hidup tenang dan bahagia apabila ia masih dihimpit dendam sakit
hati yang teramat besar itu. Ia akan membunuh dulu musuh


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besarnya, barulah ia akan memikirkan hidup selanjutnya dan
kebahagiaannya. 548 "Paman Bu-beng-cu......"
"Ya......?" "Paman, kuharap engkau jangan meninggalkan tempat ini dulu,
Paman. Tunggu sampai tiga hari lagi! Berjanjilah padaku bahwa
engkau tidak akan pergi sebelum aku bertemu dan bertanding
melawan musuh besarku. Aku ingin Paman melihat hasil
pertandingan itu, baik kalau aku menang dan berhasil
membunuhnya atau sebaliknya aku mati di tangannya. Biarlah
kalau aku sampai kalah, aku yang mengucapkan selamat tinggal
padamu, Paman, bukan engkau yang meninggalkan aku."
Ucapan itu keluar dari mulut Siang Lan dengan suara gemetar
mengandung keharuan dan kesedihan. Bu-beng-cu dapat
merasakan ini dan dia pun menundukkan kepalanya, menghela
napas panjang dan menjawab.
"Baiklah, Siang Lan. Aku akan menunggu sampai engkau berhasil
membalas dendammu." Setelah meninggalkan Bu-beng-cu, Siang Lan membuat persiapan
di Ban-hwa-kok. Setiap hari ia tekun berlatih menghimpun tenaga
saktinya untuk menjaga agar tubuhnya tetap dalam keadaan sehat
dan siap. Ia yakin bahwa Thian-te Mo-ong pasti akan muncul.
Jahanam itu amat sakti sehingga jebakan-jebakan yang
menghalangi orang luar naik ke puncak Ban-hwa-san tidak akan
mampu mengganggunya. Jahanam itu pasti akan muncul di Banhwa-kok seperti tahun-tahun yang lalu. Maka ia pun selalu siap
siaga dan pedang Lui-kong-kiam tidak pernah terpisah darinya.
549 Ia pun sudah berpesan kepada semua anggauta Ban-hwa-pang
agar jangan ada yang menyerang apabila musuh besar yang
bertopeng itu muncul di Ban-hwa-kok. Selain itu ia tahu bahwa para
anggauta Ban-hwa-kok sama sekali bukan lawan Thian-te Mo-ong
dan kalau menyerangnya sama dengan bunuh diri karena jahanam
itu tentu dengan mudah akan mampu membunuh mereka semua,
juga ia memang tidak ingin orang lain mencampuri urusannya
dengan Thian-te Mo-ong. Bahkan kepada Bu-beng-cu saja ia tidak mau minta bantuannya
untuk menghadapi musuh besar itu. Urusannya dengan Thian-te
Mo-ong adalah urusan pribadi, orang lain tidak boleh mencampuri.
Para anggauta Ban-hwa-pang juga mengetahui akan saktinya
musuh ketua mereka. Mereka tahu bahwa beberapa kali ketua
mereka kalah melawan orang bertopeng itu. Maka, maklum bahwa
sewaktu-waktu musuh besar itu akan muncul, hati mereka semua
diliputi ketegangan dan kekhawatiran. Apalagi ketika pagi hari tadi
ketua mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata dengan
suara tegas. "Dengarkan baik-baik kalian semua! Sekali lagi kutegaskan, kalau
terjadi perkelahian antara aku dan musuh besarku, jangan ada di
antara kalian yang mencampuri. Syukurlah kalau aku mampu
merobohkan dan membunuh musuh besarku. Akan tetapi
seandainya terjadi sebaliknya, aku yang kalah dan tewas, maka
Ban-hwa-pang harus dibubarkan. Kalian boleh membagi-bagi
semua harta milik kita di antara kalian dan boleh hidup dan tinggal
di mana pun sesuka kalian."
550 Demikianlah pesan ketua mereka dan tentu saja mereka menjadi
gelisah karena pesan itu seolah merupakan pesan terakhir orang
yang akan mati! "Y" Malam itu bulan purnama bersinar dengan indahnya karena udara
bersih dan langit tidak tertutup awan. Siang Lan menanti sampai
tengah malam, namun musuh besarnya tidak muncul. Ia lalu tidur
untuk menyimpan tenaga karena ia merasa yakin bahwa besok
pagi musuhnya tentu akan muncul.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah mandi dan bertukar
pakaian. Hari itu merupakan hari yang amat penting baginya, maka
ia mengenakan pakaian baru yang indah walaupun ringkas dan
ketat membungkus badannya agar ia dapat bergerak dengan
leluasa. Rambutnya yang telah dicuci bersih itu disisir dan digelung
rapi. Pedang Lui- kong-kiam tergantung di punggungnya.
Ia tampak cantik jelita. Setelah rambutnya yang panjang ikal
mayang itu digelung, anak rambut yang halus lembut melingkar
dan berjuntai di kedua pelipis dan di dahinya. Matanya bersinarsinar penuh semangat. Tak seorang pun akan menyangka bahwa
gadis ini sedang menghadapi sebuah perkelahian mati-matian
menyabung nyawa melawan musuh yang amat sakti. Kalau
mereka melihatnya seperti itu, ia lebih pantas sebagai seorang
gadis yang menyongsong kedatangan kekasihnya, demikian
cantik, rapi dan penuh semangat!
Suasana di Ban-hwa-pang sunyi sekali. Padahal hari itu, tidak ada
seorang pun anggauta Ban-hwa-pang yang keluar dari
551 perkampungan mereka. Tidak ada yang bekerja seperti biasa.
Mereka semua berkumpul, duduk di lapangan tempat berlatih tak
jauh dari rumah induk, memandang ke arah halaman depan rumah
itu dengan hati tegang. Tak seorang pun mengeluarkan suara sehingga suasana menjadi
sunyi. Bunyi yang ada hanya gemercik air di belakang
perkampungan, desah angin membelai daun-daun pohon, dan
ayam biang berkotek memanggil anak-anaknya. Bahkan burungburung tidak berbunyi lagi karena karena mereka semua telah
pergi menuju ke sawah ladang mencari makan.
Setelah sinar matahari mulai mengusir sisa kabut di puncak Banhwa-san itu, sinarnya yang hangat seakan membangunkan bumi
yang tidur semalam, menggugah ribuan bunga di lembah itu,
datanglah orang yang dinanti-nanti oleh Siang Lan, dan juga oleh
para anggauta Ban-hwa-pang. Kedatangannya saja membuat para
anggauta Ban-hwa-pang merasa ngeri. Mula-mula berhembus
angin lalu disusul suara yang menggelegar.
"Hwe-thian Mo-li, aku datang......!!"
Sesosok bayangan berkelebat dan Thian-te Mo-ong sudah tampak
di pekarangan depan rumah induk yang menjadi tempat tinggal
Siang Lan. Pakaiannya yang dari kain kasar dan agak terlalu besar
itu membuat tubuhnya tampak besar menyeramkan. Mukanya
tertutup sebuah topeng dari kulit batang pohon, bentuknya seperti
muka setan. Muka itu sama sekali tertutup dan yang tampak hanya
sepasang mata mencorong yang sinarnya keluar dari lubang di
depan kedua mata itu. 552 Mendengar suara itu, Siang Lan melompat dari dalam rumah.
Hanya tampak bayangan berkelebat dan gadis itu sudah
berhadapan dengan musuh besarnya. Sepasang mata yang indah
itu seolah menyinarkan api ketika ia menatap wajah bertopeng itu,
topeng yang selalu muncul mengganggu dalam mimpi, topeng
yang amat dibencinya. "Thian-te Mo-ong, hari ini kalau tidak engkau, akulah yang
menggeletak kehilangan nyawa. Aku tidak akan berhenti berkelahi
sebelum salah seorang di antara kita mati!" Setelah berkata
demikian, Siang Lan lalu mengerahkan seluruh tenaga saktinya,
menekuk kedua lututnya dan mendorongkan ke arah lawan.
"Hyaaaattt......!" Pukulan ini hebat sekali. Angin dahsyat
menyambar ke arah Thian-te Mo-ong. Orang bertopeng itu
menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuuttt...... blaarrr......!" Keduanya terpental ke belakang sejauh
tiga langkah! Ternyata tenaga mereka seimbang dan Siang Lan merasa girang
sekali. Timbul semangatnya karena kini ia sudah mampu
mengimbangi sin-kang lawan yang dulu membuatnya kewalahan.
Ia lalu nencabut Lui-kong-kiam dan jiwa kependekarannya
membuat ia menahan serangannya melihat lawan bertangan
kosong. "Cabut senjatamu! Aku tidak mau menyerang orang yang tak
memegang senjata, tidak sudi menjadi pengecut macam engkau!"
Siang Lan memaki, teringat betapa orang ini dulu memperkosanya
selagi ia tidak berdaya. 553 Thian-te Mo-ong tidak menjawab, hanya tertawa bergelak lalu
tubuhnya melompat ke atas, ke arah pohon. Terdengar suara
dahan patah dan ketika dia turun, tangannya sudah memegang
sebatang ranting pohon sebesar lengan dan panjangnya seperti
sebatang pedang. Sekali dia menggetarkan ranting itu, daundaunnya terlepas dan meluncur jauh! Hal ini saja sudah
menunjukkan betapa dia mampu menyalurkan tenaga saktinya
kepada ranting itu sehingga daun-daun yang menempel pada
ranting itu terlepas dan bahkan terpental kuat sehingga meluncur
jauh! Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gentar. Setelah kini musuh
besarnya memegang tongkat ranting pohon, ia lalu mengeluarkan
pekik melengking dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedang
Lui-kong-kiam itu berubah menjadi sinar kilat menyambar ke arah
dada lawan. Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting itu
menangkis. "Trangg......!" Pertemuan antara pedang pusaka dan pedang kayu
itu menimbulkan suara nyaring seolah Lui-kong-kiam itu bertemu
dengan pedang lain yang sama ampuhnya! Kemudian terjadi
perkelahian ilmu silat pedang yang amat hebat. Gerakan nnereka
sama gesitnya dan dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
mereka memiliki tingkat seimbang.
Juga agaknya sin-kang (tenaga sakti) mereka tidak berselisih jauh,
mungkin tenaga Thian-te Mo-ong lebih kuat sedikit, namun hampir
tidak terasa oleh Siang Lan. Kini mereka mengadu ilmu silat dan
dalam hal ini ternyata Siang Lan lebih untung.
554 Perlu diingat bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah murid
terkasih dari Pat-jiu Kiam-ong (Dewa Pedang Lengan delapan)
Ong Han Cu dan dewa Pedang yang kini telah tiada itu telah
menurunkan semua ilmu pedangnya kepada Siang Lan yang amat
dikasihinya. Maka, setelah kini Siang Lan mendapat gemblengan
dari Bu-beng-cu sehingga gin-kang dan sin-kangnya maju pesat,
ilmu pedangnya menjadi semakin dahsyat.
Para anggauta Ban-hwa-pang hanya berani menonton. Biarpun
mereka merasa gelisah sekali dan juga tegang, namun mereka
tidak berani mendekat, apalagi membantu ketua mereka. Kalau
saja Siang Lan tidak memesan kepada mereka, tentu mereka
sudah maju mengeroyok dan mereka tidak takut kalau sampai
roboh dan tewas. Mereka rela berkorban nyawa demi ketua mereka yang mereka
sayang dan hormati. Akan tetapi Siang Lan telah melarang mereka
sehingga kini mereka hanya berani menonton dari jauh dengan
jantung berdebar-debar. Perkelahian itu sudah berlangsung delapanpuluh jurus lebih! Akan
tetapi belum juga ada yang terdesak. Mereka masih saling serang
dan matahari mulai naik tinggi sehingga panasnya mulai
menyengat, tubuh kedua orang yang bertanding mati-matian itu
mulai basah oleh keringat.
Tubuh Siang Lan melompat ke atas, berjungkir balik di udara lalu
meluncur turun, pedangnya menyambar ke arah kepala Thian-te
Mo-ong. 555 Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting menangkis, akan tetapi
tanpa diduga, tangan kiri Siang Lan menghantam dengan pukulan
tenaga sakti ke arah muka. Ini merupakan serangan yang amat
dahsyat dan berbahaya sekali. Thian-te Mo-ong menggeser tubuh
ke kanan sehingga dia dapat menyambut dorongan tangan kiri
gadis itu dengan tangan kirinya pula dan begitu kedua telapak
tangan bertemu, Siang Lan menggunakan kesempatan itu untuk
menggerakkan pedangnya menusuk dada!
Thian-te Mo-ong mengelak ke kiri, akan tetapi agak kurang cepat
sehingga Lui-kong-kiam sempat menusuk pundaknya.
"Cappp......!!" Siang Lan cepat mencabut pedangnya yang
menembus pundak dari depan ke belakang. Tubuh Thian-te Moong terpelanting dan dia rebah telentang, rantingnya terlepas dari
tangan kanan yang terasa lumpuh karena pundaknya terluka
parah. Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Siang Lan sudah turun di
depan tubuh lawan dan pedangnya sudah menodong leher lawan.
Ujung pedang Lui-kong-kiam yang runcing tajam itu menempel
pada kulit leher bagian tenggorokan.
"Hwe-thian Mo-li, aku sudah kalah. Bunuhlah aku untuk menebus
kesalahanku!" terdengar Thian-te Mo-ong berkata.
Siang Lan meragu, karena ia merasa heran. Thian-te Mo-ong yang
biasanya bersikap sombong dan tekebur, akan tetapi sekarang
sikapnya berubah, tidak sombong lagi, juga tidak ketakutan,
melainkan dengan tenang dan gagahnya minta dibunuh untuk
menebus kesalahannya! Timbul keinginan tahunya dan ia berseru.
556 "Sebelum kubunuh engkau, ingin aku melihat macam apa rupanya
jahanam keji seperti engkau ini!" Pedangnya digerakkan ke atas
dan topeng kayu itu terbuka dan terlempar. Pedang itu sudah
diangkat, siap untuk memenggal leher.
Tiba-tiba Siang Lan melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas
tanah, sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya pucat sekali.
Ia kini menatap muka yang tidak lagi tertutup topeng itu, muka yang
dagu bawahnya robek oleh ujung pedangnya ketika ia membuka
topeng dan yang pundaknya bercucuran darah, muka yang
memandang kepadanya dengan sedih dan pasrah, muka yang
pucat karena kehilangan banyak darah.
"Paman Bu-beng-cu......!" Ia menjerit sambil berlutut dekat tubuh
Thian-te Mo-ong yang kini telah kehilangan topengnya dan
berubah menjadi Bu-beng-cu itu. "Paman...... ahhh...... apa artinya
ini......" Mengapa begini......?"
Akan tetapi Bu-beng-cu terkulai lemas tak sadarkan diri, bukan
hanya karena lukanya melainkan terutama sekali karena
kesedihan dan terguncangnya hatinya.
"Paman......!!" Siang Lan lalu mengangkat tubuh pria itu,
mengerahkan tenaga dan memondongnya, lalu membawanya lari
memasuki rumahnya. Para anggauta Ban-hwa-pang terkejut sekali melihat bahwa lakilaki bertopeng yang menakutkan itu ternyata adalah Bu-beng-cu
yang telah mereka kenal sebagai guru ketua mereka. Mereka ikut
kebingungan karena sama sekali tidak tahu mengapa guru ketua
557 mereka itu menyamar sebagai orang bertopeng dan menjadi
musuh besar ketua mereka.
Melihat Siang Lan membuang pedangnya dan juga melepaskan
ikatan sarung pedang, Bwe Kiok Hwa lalu mengambil pedang Luikong-kiam dan sarung pedangnya, memasukan pedang itu ke
sarungnya lalu membawanya ke dalam rumah induk. Hanya Bwe
Kiok Hwa yang berani memasuki rumah itu akan tetapi ia pun
hanya menunggu di ruangan luar, tidak berani memasuki ruangan
dalam di mana Siang Lan membawa Bu-beng-cu, bahkan gadis itu
merebahkan Bu-beng-cu di atas pembaringannya dalam kamar.
Siang Lan benar-benar terpukul. Hatinya diliputi keresahan dan
kebingungan akan kenyataan yang sama sekali tidak pernah
disangkanya ini. Ia memang membenci setengah mati kepada
Thian-te Mo-ong yang telah memperkosanya dan menantangnya
bertanding setiap tahun. Akan tetapi bagaimana mungkin ia


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenci Bu-beng-cu, pria yang dicintanya, pria yang dengan
tekun melatih silat kepadanya selama ini dan berulang-ulang
menyelamatkannya dari ancaman maut, yang selalu membela dan
melindunginya" Akan tetapi mengapa Bu-beng-cu menjadi Thian-te Mo-ong" Ia
tidak percaya kalau laki-laki sebijaksana Bu-beng-cu melakukan
perkosaan atas dirinya itu"
Melihat luka pada pundak kanan yang cukup parah dan terus
mengeluarkan darah, juga bawah dagunya berlepotan darah,
Siang Lan menjadi panik dan cepat ia mengambil obat luka.
Setelah menotok jalan darah di dekat pundak untuk menghentikan
558 terbuangnya darah, ia lalu mengoleskan obat luka berupa bubukan
itu kemudian ia membalut luka di pundak Bu-beng-cu.
Kemudian ia mengenakan lagi baju pada tubuh bagian atas lakilaki itu menggunakan sehelai jubahnya berlengan panjang karena
baju Bu-beng-cu tadi robek dan berlepotan darah. Ia melakukan
semua ini dengan air mata terkadang menetes dari kedua matanya
karena merasa terharu dan kasihan. Akan tetapi ia tidak khawatir
karena setelah diperiksanya, maka luka tusukan pedangnya yang
menembus pundak itu tidak merusak otot besar dan tidak
mematahkan tulang. Setelah mengobati luka dan mengganti pakaian atas Bu-beng-cu
dan melihat pria itu masih pingsan, sepasang matanya terpejam
dan mulutnya terkatup, pernapasannya agak lemas. Siang Lan lalu
duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan kedua telapak
tangannya di dada Bu-beng-cu lalu mengerahkan tenaga sakti
untuk membantu pria itu memulihkan tenaganya.
Akhirnya setelah beberapa lamanya pernapasan Bu-beng-cu mulai
normal kembali, hanya mukanya masih agak pucat dan dia masih
belum siuman. Siang Lan lalu mengambil saputangan yang bersih,
mencelupkannya ke dalam air minum dan memberi minum Bubeng-cu melalui perahan air di saputangannya. Akhirnya Bu-bengcu membuka kedua matanya dan begitu dia siuman dan melihat
dirinya di atas pembaringan dan Siang Lan duduk di dekatnya, dia
segera bangkit duduk. Akan tetapi Siang Lan memegang pundaknya dan dengan lembut
mendorongnya agar rebah kembali.
559 "Paman, jangan bangkit dulu. Engkau masih lemah dan perlu
beristirahat dulu. Engkau kehilangan banyak darah...... ah, Paman,
mengapa semua ini harus terjadi......?"
Siang Lan tak dapat menahan tangisnya. Ia tidak tahu harus
berkata apa, bahkan tidak tahu harus berpikir bagaimana. Semua
serba membingungkan. Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya dan ketika membukanya
kembali, kedua matanya itu basah.
"Siang Lan...... kenapa...... membunuhku......?" kenapa engkau tidak...... "Paman......!" Bu-beng-cu menjadi semakin sedih melihat gadis itu kini menangis
tersedu-sedu. "Jangan menangis, Siang Lan. Engkau membikin hatiku semakin
pedih dan hancur......"
Siang Lan menguatkan hatinya dan memandang wajah pria itu
melalui genangan air matanya.
"Paman Bu-beng-cu, apa artinya semua ini" Benarkah Paman ini
Thian-te Mo-ong yang telah...... ah, aku tidak percaya! Dan
mengapa Paman menyamar sebagai Thian-te Mo-ong" Berilah
penjelasan, Paman, aku bingung sekali dan hal ini bisa membuat
aku menjadi gila! Kalau paman ini Thian-te Mo-ong, mengapa
Paman selalu membela dan melindungiku, bahkan menurunkan
560 ilmu paman kepadaku agar aku dapat mengalahkan dan
membunuh Thian-te Mo-ong" Akan tetapi kalau paman ini benarbenar Bu-beng-cu seperti yang kukenal, bagaimana mungkin
menjadi Thian-te Mo-ong yang demikian jahat?"
Bu-beng-cu menghela napas panjang.
"Ahh...... aku telah melakukan dosa besar kepadamu, dosa yang
akan menggangguku seumur hidup dan yang hanya dapat ditebus
kalau aku tewas di tanganmu. Akan tetapi ternyata Thian (Tuhan)
agaknya tidak menghendaki aku mati di tanganmu. Sekarang
dengarkanlah pengakuanku yang akan menjelaskan semua
pertanyaanmu tadi. "Sesungguhnya, Thian-te Mo-ong dan Bu-beng-cu bukanlah
namaku. Namaku adalah Sie Bun Liong yang sejak muda
merantau di barat dan selatan dan dijuluki orang sebagai Thai-leksian (Dewa bertenaga besar). Aku adalah kakak tiri dari Siangkoan
Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang menyeleweng dan yang telah
kaubunuh itu." "Kakak tiri Siangkoan Leng yang jahat itu......?" Siang Lan bertanya
heran. "Benar, telah bertahun-tahun aku tidak pernah berhubungan
dengan adik tiriku itu sehingga tidak tahu bahwa dia telah
mengambil jalan sesat. Ketika aku datang berkunjung, engkau
menjadi tawanannya dan dia hendak memaksa engkau menjadi
isterinya. Agaknya dia takut melihat kedatanganku karena kalau
aku tahu tentang dirimu yang ditawan, pasti dia akan kularang dan
kumarahi. Maka, ketika dia menjamu aku dalam pesta, agaknya dia
561 mencampurkan minumanku. obat perangsang yang amat kuat dalam "Aku seperti terbius dan dalam keadaan mabok kehilangan
kesadarannya dia merebahkan aku di dekatmu, maka......
terjadilah hal terkutuk itu di luar kesadaran dan kemampuanku
untuk mencegahnya. Setelah sadar aku merasa menyesal sekali
dan pergi seperti telah menjadi gila. Kemudian aku baru tahu
bahwa engkau mengamuk, membunuh Siangkoan Leng dan anak
buahnya. Memang hal itu patut kusesalkan, akan tetapi semua itu
terjadi karena kesalahannya sendiri telah mengambil jalan sesat."
Siang Lan memejamkan matanya, mengenang kembali semua
peristiwa itu dan ia masih kadang-kadang terisak.
"Aku lalu membayangimu dan melihat betapa kesedihanmu
membuat engkau putus asa, aku mengambil keputusan untuk
berbuat sesuatu agar engkau tidak bunuh diri, agar engkau dapat
memuaskan hatimu untuk balas dendam dan agar aku dapat
menebus dosaku. Maka aku lalu memakai topeng menemuimu,
mengaku bahwa aku sebagai Thian-te Mo-ong yang melakukan
perbuatan terkutuk atas dirimu.
"Sengaja engkau kukalahkan dan kutantang untuk bertanding
setiap tahun agar engkau menjadi penasaran dan marah,
memberimu semangat untuk memperdalam ilmu silatmu agar
dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Kemudian aku muncul
sebagai Bu-beng-cu untuk memberikan semua ilmuku kepadamu.
"Akhirnya terjadi seperti yang kuharapkan, engkau dapat
mengalahkan Thian-te Mo-ong, akan tetapi sayang, engkau tidak
562 jadi membunuhnya, tidak membunuhku sehingga dendammu
belum impas dan aku pun belum dapat menebus dosaku. Karena
itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, inilah aku, Sie Bu Liong yang
dulu telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk kepadamu.
Sekarang bunuhlah aku untuk membalas dendam sakit hatimu dan
untuk memberi kesempatan kepadaku menebus dosaku
padamu......" Tangis Siang Lan kini mengguguk kembali. Ia menutupi mukanya
dengan kedua tangannya, tubuhnya bergoyang-goyang karena
sedu-sedannya. "Paman...... bagaimana..... bagaimana aku..... dapat membunuh
orang...... yang mencintaku demikian mendalam...... sepertimu......?" "Apa maksudmu" Aku...... aku tidak......"
"Tidak perlu menyangkal lagi, Paman. Aku sudah melihat lukisan
wanita yang selalu kaubawa-bawa itu?" Kini suara Siang Lan
lancar walaupun masih parau karena tangisnya. "Engkau
membawa lukisan diriku ke mana-mana......"
"Ah...... engkau melihatnya......"
"Paman, bagaimana aku dapat membunuhmu" Kalau sejak dulu
aku tahu bahwa engkau yang melakukan hal itu, kaulakukan di luar
kesadaranmu, aku...... aku tidak mungkin akan menaruh
dendam......" 563 "Akan tetapi aku telah merusak kebahagiaan dan harapan
hidupmu, Siang Lan."
"Tidak, Paman. Engkau bukan hanya dapat menebusnya dengan
membiarkan aku membunuhmu, akan tetapi engkau dapat
menebusnya dengan...... dengan cintamu. Paman, belum yakinkah
hati paman bahwa, aku juga...... mencintamu" Kalau kita saling
mencinta, peristiwa yang lalu itu tidak ada artinya lagi, bukan"
Kalau kita menjadi suami isteri...... maka tidak ada masalah lagi.
Apalagi aku tidak dapat menyalahkanmu karena apa yang
kaulakukan itu terjadi di luar kesadaranmu."
"Siang Lan...... kau...... kau benarkah engkau bersedia menjadi
jodohku?" "...... Sudah lama aku mengharapkannya, Paman......"
"Paman" Bagaimana mungkin seorang paman berjodoh dengan
keponakannya" Jangan menyebutku paman, Lan-moi (Dinda
Lan)!" "Kanda Sie Bun Liong...... Liong-ko......!"
Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong mengangkat kedua lengannya
merangkul. Siang Lan membalas dan kedua orang itu berangkulan.
Mata mereka basah karena mereka menangis karena haru dan
bahagia. Sampai lama Siang Lan merebahkan kepalanya di dada Sie Bun
Liong. Mereka tidak bicara karena kata-kata pada saat yang asyik
564 masyuk seperti itu memang tidak ada gunanya lagi. Detak jantung
masing-masing seolah telah bicara dalam seribu bahasa.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar.
Mendengar ini, keduanya seperti baru tersentak sadar dari pesona
yang membahagiakan dan membuat mereka lupa segala itu. Siang
Lan bangkit duduk dan ia cepat mencegah Sie Bun Liong yang
hendak bangkit pula. "Kau rebahlah saja di sini, Liong-ko. Biar aku yang melihat apa
yang terjadi di luar." Setelah berkata demikian, dengan gerakan
ringan dan cepat, seringan hatinya yang penuh bahagia, Siang Lan
berkelebat keluar dari dalam kamarnya.
Setibanya di luar, Bwe Kiok Hwa menyambutnya sambil
menyerahkan Lui-kong-kiam dengan sarung pedangnya. "Pangcu, di luar ada seorang kakek mengamuk dan menantang Pangcu!"
Siang Lan menerima pedangnya dan segera berkelebat keluar dari
rumahnya. Di halaman rumah itu ia melihat seorang kakek sedang
dikeroyok puluhan orang anak buahnya. Sai-kong itu membawa
sebatang tongkat ular, akan tetapi ia hanya mengebut-ngebutkan
tangan kirinya ke sekelilingnya dan para anggauta Ban-hwa-pang
yang mengepung dan mengeroyoknya itu roboh berpelantingan
seperti sekumpulan daun kering dihempas angin badai.
"Berhenti berkelahi!" Siang Lan berseru.
mundurlah!" Ia memerintahkan anak buahnya.
"Kalian semua 565 Para wanita Ban-hwa-pang itu pun menjauhkan diri, saling tolong
dengan mereka yang tadi terbanting roboh. Melihat tidak ada di
antara mereka yang tewas atau terluka parah, dapat diketahui
bahwa kakek itu bukan seorang yang ganas dan kejam. Siang Lan
cepat melompat dan berdiri berhadapan dengan kakek itu.
Kakek itu tentu sudah sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambut,
jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Rambutnya digelung ke
atas dan diikat kain. Baju di dadanya bergambar simbol Im-yang.
Pakaiannya gaun panjang berwarna putih dengan sabuk merah,
berlengan panjang. Di bagian luarnya dia memakai jubah kebiruan
dengan renda kuning emas di tepinya. Pakaian yang cukup mewah
bagi seorang pertapa atau pendeta. Matanya mencorong tajam
dan tangan kanannya memegang sebuah tongkat ular kering.
Kakek itu pun memandang dengan penuh perhatian. Gadis yang
muncul di depannya sungguh cantik. Mukanya kemerahan dan
sepasang matanya masih agak sembab oleh tangis.
Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah sekali, juga sebagai
akibat tangisnya tadi. Kedua pipinya kemerahan. Rambut yang
hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera
merah. Baju dan celananya dari sutera putih dan jubahnya
berwarna biru dengan ikat pinggang kuning. Gadis cantik jelita itu
memegang sebuah pedang bersarung di tangan kirinya dan
memandang kepadanya dengan alis berkerut.
"Hemm, kulihat engkau orang tua berpakaian sebagai seorang
pendeta. Mengapa seorang pendeta yang sepatutnya hidup bersih
kini datang membuat kekacauan di tempat kami perkumpulan
566 wanita Ban-hwa-pang" Siapakah engkau?" tanya Siang Lan, tidak
begitu galak karena ia melihat bahwa tidak ada anak buahnya yang
terluka parah atau tewas.
Kakek itu tersenyum lebar. "Heh-heh, pinto (aku) adalah Im Yang
Hoat-su. Pinto datang hendak mencari Hwe-thian Mo-li, akan tetapi
anak-anak perempuan tadi menghalangi pinto!"
"Akulah Hwe-thian Mo-li! Im Yang Hoat-su, ada keperluan apakah
engkau mencariku?" "Bagus! Kiranya Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis cantik yang
masih muda. Sungguh mengherankan bagaimana sahabatku Cuibeng Kui-ong dapat terbunuh oleh seorang anak perempuan
sepertimu?" "Hemm, kiranya engkau sahabat Si Jahat Cui-beng Kui-ong" Jadi
kedatanganmu ini hendak membalaskan kematiannya?" Siang Lan
bertanya dengan suara menantang.
"Hemm, kiranya tidak pantas kalau pinto seorang tua menantang
engkau yang sepatutnya menjadi cucuku. Akan tetapi karena pinto
adalah sahabat baik Cui-beng Kui-ong dan karena engkau telah
membunuhnya, pinto tentu akan dikecam dunia kang-ouw kalau
pinto tidak membela kematiannya oleh seorang gadis muda yang
sudah dapat membunuh sahabatku itu."
"Im Yang Hoat-su, sahabat dari Cui-beng Kui-ong yang jahat sudah
tentu bukan manusia baik-baik. Sambut pedangku!" Siang Lan
mencabut Lui-kong-kiam dengan tangan kanannya lalu ia maju


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang kakek itu dengan sarung pedang di tangan kiri dan
567 pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan. Serangannya hebat sekali
karena sarung pedang itu pun bukan benda lemah, apalagi
digerakkan dengan tangan kiri yang mengandung tenaga sakti.
Ketika sarung pedang itu menyambar ke arah dadanya, kakek itu
mundur dan miringkan tubuhnya sambil mengangkat tongkat ular
kering lurus di belakang lengan kanannya ke atas.
"Trakk!" Tongkat ular kering itu menangkis sarung pedang. Akan
tetapi Siang Lan dengan cepat menusukkan Lui-kong-kiam ke
lambung kanan lawan. "Wuuutt...... tranggg!" Kembali tongkat ular menangkis pedang dan
tangkisan itu membuat tangan Siang Lan tergetar dan dari
pertemuan tongkat dan pedang tampak bunga api berpijar.
Mereka segera bertanding, saling serang dengan dahsyat. Kakek
itu ternyata lihai bukan main. Sebetulnya Siang Lan tidak kalah
lihai, akan tetapi karena gadis itu baru saja menghamburkan
banyak tenaga sakti untuk mengobati Sie Bun Liong, maka ia
menjadi jauh lebih lemah daripada biasanya. Ia segera terdesak
ketika Im Yang Hoat-su memainkan tongkatnya secara dahsyat
sekali. Pada saat itu terdengar bentakan dari depan rumah. Bentakan
yang menggelegar dan menggetarkan tempat itu.
"Im Yang Hoat-su! Apa yang kaulakukan di sini?"
Kakek itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Siang Lan juga
kaget dan khawatir melihat Sie Bun Liong yang ia tahu masih
568 lemah itu telah keluar dari rumah. Im Yang Hoat-su kini
memandang kepada Sie Bun Liong dan dia terbelalak.
"Thai-lek-sian Sie Bun Liong! Engkau di sini" Aku...... aku
menantang bertanding Hwe-thian Mo-li karena ia telah membunuh
sahabatku Cui-beng Kui-ong!"
"Kalau engkau membela Cui-beng Kui-ong, berarti engkau
membela penjahat besar!"
"Dia bukan penjahat. Dia hanya berusaha untuk membebaskan
para sahabatnya yang ditawan di kota raja."
"Ya, dan dia menculik Sribaginda Kaisar, bahkan hendak
membunuh Beliau!" "Ahh......!" Im Yang Hoat-su terkejut sekali mendengar ini.
"Pula, bukan Hwe-thian Mo-li yang membunuhnya, melainkan aku!
Akulah yang membunuh Cui-beng Kui-ong untuk melindungi
Sribaginda Kaisar! Nah, engkau hendak menuntut balas"
Tuntutlah aku!" Hati Im Yang Hoat-su menjadi gentar. Dia sudah mengenal Thailek-sian dan tahu benar akan kelihaian pendekar ini. Tadi, melawan
Hwe-thian Mo-li saja dia sudah menemukan lawan seimbang.
Kalau kini Thai-lek-sian maju, berarti dia mencari penyakit atau
bahkan mencari kematiannya. Apalagi dia tadi mendengar bahwa
Cui-beng Kui-ong menculik dan hendak membunuh Kaisar, ini
merupakan dosa tak berampun dan yang membunuhnya adalah
Thai-lek-sian. 569 "Aih, kalau begitu persoalannya, sudahlah, pinto tidak akan
menimbulkan permusuhan Akan tetapi, Thai-lek-sian, mengapa
engkau mati-matian membela Hwe-thian Mo-li" Apamukah gadis
ini?" Sie Bun Liong tersenyum. "Engkau ingin mengetahui, Im Yang
Hoat-su" Perkenalkan, ini adalah Nyo Siang Lan, calon isteriku!"
Sambil berkata demikian, dengan tangan kirinya Sie Bun Liong
merangkul pundak Siang Lan yang berdiri di sebelah kirinya. Siang
Lan juga tersenyum penuh kebahagiaan.
"Ah, begitukah" Kalau begitu, kiong-hi (selamat) untuk kalian
berdua! Pinto mohon pamit!" Tosu itu lalu berlari cepat menuruni
puncak Bukit Selaksa Bunga.
Dengan hati dipenuhi kebahagiaan, Nyo Siang Lan dan sie Bun
Liong bergandeng tangan memasuki rumah induk di mana Sie Bun
Liong tinggal selama beberapa hari dalam perawatan Siang Lan
sampai dia sembuh benar dan tenaganya pulih kembali.
Beberapa bulan kemudian, sepasang kekasih ini melangsungkan
pernikahannya di Lembah Selaksa Bunga, mengundang semua
kenalan para pendekar. Bahkan Panglima Chang sendiri juga
menghadiri perayaan pernikahan itu. Selama perayaan, semua
jebakan yang menghalangi orang naik ke puncak bukit itu
disingkirkan. Ban-hwa-kok yang indah penuh bunga itu dikagumi semua tamu
dan nama Ban-hwa-pang menjadi semakin terkenal. Apalagi
setelah menjadi suami isteri, Sie Bun Liong dan Nyo Siang Lan
570 memperbesar Ban-hwa-pang yang menjadi perkumpulan besar,
bukan hanya mempunyai anak buah kaum wanita, akan tetapi juga
kaum pria. Ban-hwa-pang menjadi sebuah perkumpulan besar dan
terkenal karena para anggautanya mendapat pendidikan silat yang
khas dari suami isteri itu.
Sekianlah, pengarang mengakhiri. kisah ini dengan harapan
semoga selain merupakan bacaan hiburan, juga mengandung
manfaat bagi para pembaca sekalian.
TAMAT Lereng Lawu, medio Mei 1993
571 Kereta Berdarah 2 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Penelitian Rahasia 8

Cari Blog Ini