Ceritasilat Novel Online

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 11

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 11


meremukkan kepala sang istri, yang sedang menangis dengan
panik sambil memeluk suaminya, sembari menyebutnya iblis
betina pula" Laozi berkata: bencana terbesar adalah menyerang dan tidak menemukan musuh;
990 aku bisa tak punya musuh hanya dengan menghilangkan segala milikku 1
Begitu aku muncul ke permukaan, kurasakan sambaran angin
maut setajam pedang jian, sehingga kepalaku terpaksa kumasukkan ke balik permukaan air lagi. Dalam jarak hanya
setebal satu jari, air di samping telingaku mendesir, tanda angin
pukulan ini memang mampu merobek tubuh seseorang seperti
pedang jian. Pengirim angin pukulan itu mengejarku seperti
sedang berlari di atas lantai kaca yang tebal, tetapi yang bacokanbacokan angin pukulannya terus-menerus tembus, sehingga aku
harus menghindar dengan terus-menerus berenang seperti lumbalumba di bawah permukaan air.
Apabila pukulan-pukulan yang membelah air itu masih terus
mengejarku dengan tujuan membunuh, aku pun menyelam dalamdalam sampai pukulannya tidak mencapaiku, lantas berbalik
melepaskan Jurus Pukulan Pembelah Laut ke permukaan sungai
tempat ia berdiri melepaskan pukulan-pukulannya. Maka sungai
terbelah dan aku melayang jatuh untuk disambut mesra oleh angin
pukulan setajam pedang jian pula, tetapi kali ini dariku. Ketika
belahan sungai itu menutup kembali, ia tinggal tubuh yang
melayang kembali ke permukaan sungai.
991 Semua itu berlangsung cepat, sangat amat cepat, bagaikan tiada
lagi yang bisa lebih cepat, tempat sedikit saja kelengahan harus
dibayar dengan nyawa. Akibatnya tiada waktu untuk memeriksa
siapa yang bermaksud membunuh diriku, kecuali jika calon
pembunuhku itu sudah kulumpuhkan terlebih dahulu. Tentulah aku
sangat terkejut ketika muncul ke permukaan sungai dan
mengenalinya sebagai suami muda berbusana indah, yang tadi
pingsan dan sempat kutolong itu.
"Apa artinya semua ini?"
Aku bertanya ketika tiba kembali ke perahu kami yang sudah
remuk. Semua kuda dan unta di perahu kami selamat, tetapi
barang dagangannya basah kuyup, termasuk kain sutera. Orang
Dashi itu memaki-maki dalam bahasa yang tidak kumengerti.
"Tidak ada yang tahu artinya," kata Panah Wangi, ''istrinya tiba-tiba
mengamuk tanpa sebab yang jelas."
Kulihat mayat istri kasihan yang meratap-ratap tadi, dengan anak
panah di dahinya PARA penumpang telah menyeberang ke tepian dengan
melangkah dari batu ke batu, begitu pula kuda dan unta yang tidak
pernah lebih dari para majikannya. Kuda dan unta dari perahu lain
992 yang tadi terseret arus, rupanya dapat berenang mencapai tepian
dan dapat mencari kembali rombongannya. Dua kuda kini tidak lagi
berpenunggang. Kami periksa kuda itu, tampak seperti kuda asal
Dashi yang terawat amat sangat baik, dan jika bukan Chang'an
tentu adalah Loyang, kota terbesar kedua di Negeri Atap Langit
yang menjadi tempat pemeliharaannya.
"Ini kuda terbaik milik orang yang terlalu kaya," kata Pengemis Tua
Berjenggot Putih sembari mengelus punggungnya, "Pendekar
Tanpa Nama dan Pendekar Panah Wangi pantas menungganginya." Aku dan Panah Wangi saling memandang, tampaknya begitu luas
dunia ini, tetapi juga seringkali terasa begitu sempitnya ketika di
mana pun tempatnya seseorang ternyata mengenali kita. Namun
pengalamanku dikeroyok tujuh mata-mata Uighur hanya karena
menunggangi kuda saudara seperguruan mereka,
"Apa yang berlangsung di Chang'an tersebar ke mana-mana,
bahkan sampai ke Kerajaan Tibet dan Khaganat Uighur," ujarnya
lagi. "Tidak perlu heran jika orang yang mencari nama dalam dunia
persilatan akan mencari kalian."
993 Benarkah begitu" Kukira yang dimaksudnya adalah dunia
persilatan saja, selapis dunia tempat para pendekar hanya
memikirkan kesempurnaan ilmu silat dengan cara pengujian
menempur pendekar lain yang sudah ternama. Maka semakin
tinggi ilmu seseorang, semakin besar namanya, semakin harus
siap dia dengan serangan macam apa pun untuk melumpuhkannya. Mulai dari pertarungan di atas bukit pada
malam bulan purnama sampai serangan jarum beracun dari
belakang ketika sedang bersantap di dalam kedai. Semua sama
sahihnya karena serangan dan tantangan dapat datang dari
golongan putih, golongan merdeka, maupun golongan hitam.
Kami berdua menjura kepadanya.
"Pengemis Tua Berjenggot Putih sangat merendah, namanya
tersebar ke delapan penjuru angin, tetapi kami yang berilmu
dangkal tidak merasa cukup layak meminta pelajaran," ujar Panah
Wangi. Pengemis Tua Berjenggot Putih itu mengelus-elus jenggotnya
sambil tersenyum ramah. "Sudahilah basa-basi itu anak muda," katanya, "meskipun diriku
berhak menantangmu, sebenarnya aku sudah mengundurkan dari
994 dunia persilatan, menghindari pertarungan, dan sekarang hanya
berminat menyusuri kembali jejak langkah masa mudaku. Tidak
kusangka masalah 20 tahun lalu menyala kembali di tempat ini."
Aku tidak mengetahui apa kiranya masalah Pengemis Tua
Berjenggot Putih dengan kepala perompak yang disebut Selendang Setan itu, tetapi kukenal namanya dari perkara lain
yang pernah kudengar menjadi perbincangan di sebuah kedai.
Dahulu kala ia hanyalah seorang pengemis yang dilahirkan oleh
orang tua pengemis, dan sejak kecil telah menjadi bagian dari
jaringan Partai Pengemis.
Setelah dewasa ia memegang kedudukan penting sebagai ketua
jaringan, tetapi segera berselisih dengan ketua partai dan keluar
dari Partai Pengemis, karena tidak bisa menerima jika jaringan itu
dimanfaatkan partai untuk mencari uang. Ketika jasa jaringan yang
memiliki keterangan-keterangan berharga diperjualbelikan kepada
siapa pun yang mampu membayarnya, tanpa memeriksa siapakah
kiranya yang membutuhkan keterangan-keterangan itu. Dalam
pengembaraannya sebagai pendekar ia tidak pernah memperkenalkan diri, tetapi lambat laun ia dikenal sebagai
Pengemis Tua Berjenggot Putih.
995 Sang Buddha berkata kepada bhiksu yang tidak setia: meskipun dikau dapat mengutip
semua ajaran dari ingatan,
dikau gagal menjalankan. dikau tak dapat dipertimbangkan
sebagai orang berpengetahuan. 1
Pengemis Tua Berjenggot Putih itu berbicara tentang sepasang
suami-istri berbusana indah.
''Sepasang suami istri itu memang agak membingungkan, tetapi
dalam dunia persilatan kita harus membiasakan diri ketemu orang
yang perilakunya membingungkan. Suami istri muda itu, misalnya.
Meski ilmu silatnya tinggi, senang sekali berpura-pura secara
berlebihan untuk bersikap sebagai orang awam. Lihatlah
bagaimana mereka berbusana dengan sangat mencolok ketika
maksudnya menyamar, berpura-pura tidak bisa berenang padahal
bisa berjalan di atas air, dan akhirnya menyerang orang-orang
tanpa mengetahui kepandaian mereka yang sebenarnya. Mereka
akan terkenal, tetapi sebagai contoh kepandiran.
996 ''Puan dan Tuan Pendekar berdua tidak usah sungkan-sungkan
meneruskan perjalanan, biarlah yang sudah terbunuh ini kuurus di
sini. Kukira suaminya memiliki atau pernah memiliki hubungan
cinta dengan Selendang Setan, sehingga ia bermaksud membunuh perempuan itu. Biarlah kutangani penguburan mereka,
aku pun ternyata masih memiliki piutang urusan di wilayah ini."
Setelah menjura, mengucapkan terima kasih dan memberikan
salam perpisahan, kami pun menaiki kuda dan mencongklang
melanjutkan perjalanan, memburu sang maharaja bayangan!
SUDAH lima hari kami berkuda menempuh jalur cepat ini baik
siang maupun malam. Kadang kami berjalan sepanjang hari dan
beristirahat setelah matahari terbenam, kadang kami teruskan
berjalan sepanjang malam dan beristirahat setelah matahari terbit.
Sepanjang jalan tiada kami dengar sesuatu yang kiranya akan
berhubungan dengan maharaja bayangan itu.
Kadang kami berpapasan dengan pengantar surat yang terus
melaju tanpa mengatakan apa pun, segera menghilang dalam
kelam ditelan kegelapan. Rahasia macam apakah kiranya yang
dibawanya" Kadang kami juga berpapasan dengan pasukan
tentara yang dikirim kembali dari medan perang, yang semuanya
997 terluka, lemah lunglai tanpa daya, ada yang mati di jalan, tidak
sedikit yang masih merintih-rintih dan mengerang-erang.
Semenjak dari perempatan tempat kami membaca berpisahnya
jejak-jejak tiga buronan kami itu, dan kami pilih jalur cepat yang di
tengah, telah kami lewati tiga gardu persinggahan dan empat
sungai 1, dengan cara penyeberangan yang sama, tetapi tanpa
peristiwa tak terduga seperti sebelumnya.
Kami menuju Shan, tempat yang kami duga menjadi asal maharaja
bayangan itu ditemukan. Setiap kali seorang maharaja baru
dilantik, tentulah pencarian orang yang nantinya harus menjadi
maharaja bayangan dilakukan ke segala penjuru, sampai ke
pelosok terpencil seperti Shan. Kubayangkan bagaimana beratusratus petugas rahasia dikirim ke mana-mana dengan membawa
gambar maharaja utuh, bukan hanya wajahnya, yang bisa
berlangsung cepat tetapi bisa juga sangat lama.
Dapatkah dibayangkan bagaimana seseorang yang barangkali
sedang mencangkul di ladang dibawa begitu jauhnya ke Istana
Daming di Chang'an, yang sangat mungkin belum pernah
dilihatnya. Bagaimana sejak saat itu hidupnya berubah, karena
dipaksa menjadi orang lain tanpa bisa menolaknya, tanpa pernah
bisa kembali ke kampung halamannya. Kehidupan seorang
998 maharaja yang penuh dengan rahasia negara menjadi bagian
hidupnya pula, tidak boleh ke luar istana, kecuali jika diumpankan
sebagai maharaja yang akan menjadi sasaran pembunuhan.
Padma-Sambhava berkata: tetapi jika dikau gagal menangkap makna yang diajarkan
kepadamu, jika dikau masih terus merasakan ingin hadir sebagai pribadi,
maka dikau sekarang terkutuk untuk memasuki kembali roda
penjelmaan 2 Apakah buruan kami telah berhasil dilenyapkan atau menghilang"
Mungkinkah kedua orang yang mengambilnya dari orang-orang
Golongan Murni, dan kemudian tampak berpisah di perempatan
itu, telah kembali dan membunuhnya, sehingga kami memburu
sungguh-sungguh memburu bayangan kosong" Sejauh bisa kami
lacak, sampai pada bagian jalan yang mengeras dan jejak kuda
menghilang, tidak terdapat jejak-jejak yang menunjukkan bahwa
maharaja bayangan itu diikuti orang.
Kami coba mengingat apa saja yang kami temukan pada tiga gardu
persinggahan yang masing-masing telah berkembang menjadi
kota kecil, maupun empat kedai yang ada pada setiap sungai yang
999 harus kami seberangi. Memang seperti terdapat petunjuk-petunjuk
kecil, tetapi yang tidak juga memberi kepastian apa-apa, karena
belum tentu petunjuk-petunjuk itu adalah tentang maharaja
bayangan tersebut. Apabila di Chang'an pun tidak dijamin
penduduknya yang banyak itu mengenali wajah maharaja, yang
hanya akan terlihat dari jauh dalam pawai dan berbagai upacara,
apalagi di pelosok seperti sekarang.
Namun memang ada cerita tentang seorang lelaki berkuda
sendirian saja, yang memasuki kedai dengan sedih tanpa
kejelasan apa pun jua selain memesan dan meminum arak sampai
ambruk dan mendengkur tak bangun lagi, tetapi sesekali
ngelindur... "Maharaja, oh Maharaja, hidup yang suntuk oh Maharaja, lebih


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enak menjadi hamba sahaya..."
Hanya dia saja yang mabuk dan bernyanyi seperti itu, sehingga
orang banyak mempertanyakannya.
"Siapa dia?" "Orang gila?" "Sudah jelas gila!"
1000 "Hanya gila!" "Tiada lain selain gila!"
Padahal tidak ada orang gila di sana, selain dia yang mabuk berat
dan tiada menyadari keberadaannya, dalam dunia yang dalam
keadaaan terwaras sekalipun tetap menampung gagasan-gagasan
gila. "Waktu saya masuk lagi ke kedai setelah pergi ke sungai, ternyata
dia sudah tidak ada lagi," kata tukang kedai, ''Saya tidak terlalu
ingat karena selalu saja ada orang keluar masuk kedai, sampai ada
dua orang yang menanyakannya."
"Dua orang?" "Ya, dua orang, kuda mereka bagus tetapi busananya lusuh sekali.
Mereka mengenakan kerudung di bawah capingnya, dan wajahnya
sama sekali tidak terlihat."
Aku terkesiap, karena biasanya itulah salah satu ciri pembunuh
dari sebuah perkumpulan rahasia!
PADA hari keenam, sampailah kami di tempat jalan bercabang
yang membuat kami berhenti dan berpikir. Jalur cepat yang ke
1001 kanan menuju Jalur Sutra, yang ke kiri menuju ke Sha. Jejak kuda
maharaja bayangan, yang kini melakukan perjalanan sendirian itu
memang memilih arah Sha, dan kami duga berasal dari dua hari
lalu. Jejak itu diikuti dua kuda lain yang tampak mengikutinya sejak
satu hari lalu. Mereka berjarak satu hari dan jarak kami dengan dua pembunuh
itu juga satu hari. Jika mereka berjalan cepat, kami juga harus
berjalan cepat, bahkan tentu lebih cepat, jika bermaksud
menghalangi tindak pembunuhan terhadap maharaja bayangan
terbuang tersebut. Terbuang, tetapi tidak dapat terbuang dengan
bebas, karena rahasia negara harus menjadi rahasia selamalamanya.
Kami agak heran dengan terlambatnya para pembunuh itu, kenapa
mereka tidak melakukannya selagi sempat tanpa harus berpisah
pada percabangan tiga jalan"
"Mungkin saja mereka bukan orang yang sama," kataku, "ketiga
orang itu, maharaja bayangan dan dua pengawalnya, berpisah
jalan karena masing-masing memang ingin melepaskan diri dari
peranannya. Memang benar bahwa melepaskan diri dari tugas
seperti ini hukumannya adalah mati."
1002 "Jadi dua orang ini sebetulnya adalah pembunuh bayaran yang
dikirim untuk menghabisi mereka bertiga, dan terpaksa ikut
terpisahkan di simpang tiga jalan," kata Panah Wangi.
"Artinya kita harus mengejar kedua pembunuh yang tidak bisa
dilihat wajahnya itu sebelum ia dapat mengejar orang malang yang
telah dipaksa menjadi maharaja sebagai sasaran pembunuhan
itu." Panah Wangi manggut-manggut.
"Dua pengawal maharaja bayangan itu tentu sudah mati
sekarang." Kemudian kami juga menjejaki betapa orang malang itu membuat
api unggun sendirian. Ya, sendiri saja, dan dia adalah orang awam.
Bagi sebagian besar orang awam, kesendirian adalah suatu
kemalangan. Tidak dapat kuduga apa yang terjadi padanya
sekarang. Manakah yang lebih kurang menimbulkan penderitaan,
dikerumuni dan dilayani begitu banyak orang sebagai maharaja,
dengan kesadaran betapa tiada seorang pun tahu dirinya adalah
dirinya; atau berada dalam kesendirian di tengah alam raya hanya
bersama dirinya sendiri"
1003 Lantas terlihat pula jejak kuda kedua pemburunya, memeriksa
tempat yang diburunya seperti kami sekarang memeriksanya.
"Aku berpikir mereka merasa harus mempersingkat waktu," kata
Panah Wangi, "Kukira malam ini mereka tidak akan tidur untuk
memperpendek jarak."
"Berarti kita harus lebih cepat lagi," kataku.
Seperti mengerti apa yang kami bicarakan, kuda kami sama-sama
mendengus. Tentu, setelah semalaman tidak tidur, tidak mungkin
kami memacunya semalam. Namun jika kami berhenti, orang yang
tanpa pernah dikehendakinya terpaksa menjadi maharaja bayangan itu pasti akan sudah terbunuh.
Kong Fuzi berkata: jika melihat orang baik, berpikirlah untuk menirunya;
jika melihat orang buruk,
periksalah hatimu sendiri.1
"Kita harus mengganti kuda," ujar Panah Wangi, "itulah satusatunya jalan."
1004 "Kuda tercepat adalah kuda pengantar surat," kataku, "mungkinkah
kita mendapatkannya?"
"Kita harus bisa mendapatkannya, kalau tidak tentu orang itu mati,
dan perjalanan kita menjadi sia-sia."
Aku tidak bisa menceritakan kepada Panah Wangi, betapa suatu
jarak yang jauh pernah kutempuh lewat udara dengan kecepatan
tinggi, ketika harus mengikuti Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam dari
Shangri-La ke Ceruk Shannan, menggunakan Ilmu Naga Berlari di
Atas Langit. Namun jika kami dapatkan kuda pengantar surat, tentu
aku tidak perlu melakukannya lagi.
Langit sudah menjadi merah, saat di depan kami tampak gardu
persinggahan terakhir sebelum tiba di Sha, yang jauhnya masih
10.000 li. Mungkin karena itu persinggahan ini tidak berkembang
menjadi kota kecil seperti gardu-gardu persinggahan lain,
meskipun tetap terdapat kedai dan semacam rumah penginapan.
Sejumlah pengantar surat tampak bermain dadu. Tentu saja
mereka berjudi. Panah Wangi pun seperti mendapat akal.
Mula-mula ia hanya ikut menonton, tetapi kemudian mengajukan
penawaran. 1005 "Ayo kita bertaruh. Aku pasang dua kuda tempur Uighur, lawan dua
kuda pengantar surat."
Taruhan ini cukup adil, dan karena itu tidak mencurigakan, tetapi
jawaban sang bandar yang mengejutkan.
"Aku tidak inginkan kedua kudamu," ujarnya sambil memainmainkan dadu di tangannya.
"Jadi apa yang engkau inginkan untuk kedua kuda itu?"
Dua kuda artinya dimiliki dua orang, meski sebetulnya milik
kerajaan. Kedua orang pengantar surat itu saling berpandangan
penuh arti, yang bukannya tidak ditangkap Panah Wangi.
"Kami inginkan dirimu!"
SUASANA menjadi sedikit lebih tegang. Perjudian di mana pun
biasanya mempertaruhkan uang, harta benda, senjata, dan juga
kuda, tetapi bukan dirinya sendiri, kecuali dalam cerita Mahabharata. Setelah orang-orang di dalam kedai keluar,
setidaknya terdapat 20 orang di gardu itu, cukup banyak untuk
ukuran tempat terpencil yang hanya berangin, sangat amat
berangin, dan tiada lain selain berangin dingin.
1006 "Kami?" Panah Wangi menegaskan, "berapa orang?"
"Perempuan cantik, dengarkanlah baik-baik," ujar pengantar surat
yang bermain sebagai bandar itu, sambil masih mengayunayunkan tangan yang berisi dadu. "Dua kuda itu dimiliki dua orang;
jika kamu menang, kamu mendapat dua kuda tercepat; jika kamu
kalah, dua pemilik kuda itu, salah satunya aku, berhak tidur dengan
kamu di dalam kedai itu. Mau dan tidaknya terserah kamu, kami
tidak memaksa, tetapi jika bersedia, semua orang di sini, termasuk
temanmu itu, menjadi saksi pernyataan kita."
Panah Wangi memandangku. Dalam keadaan biasa kepala orang
itu sudah terpenggal, tetapi cara Panah Wangi memandangku
bukanlah seperti orang yang ingin memenggal kepala, karena
dalam remang senja, dapatlah kulihat cahaya senyuman, meski
sangat amat tersembunyi. Apakah yang sedang dipikirkannya"
"Sebelum aku katakan setuju atau tidak setuju, kuingin tahu
mengapa pernyataan dan kesaksian itu begitu perlu?"
Pengantar surat yang menjadi bandar itu memperbaiki letak
duduknya, seperti ingin menunjukkan betapa ia kini lebih
bersungguh-sungguh. 1007 "Aku tahu ini berat bagi kamu," katanya, "karena kamu tentu
beranggapan seperti mempertaruhkan kehormatan; tetapi kuda
cepat bagi seorang pengantar surat adalah kehidupannya, tanpa
kuda cepat siapalah dia bukan" Mana yang lebih berat, kehilangan
kehormatan atau kehilangan kehidupan"
"Pertaruhan kita sama berat, tetapi kulihat dirimu seorang
penyoren pedang. Jika kamu kalah, sangat mudah mengingkarinya
dengan membantai kami semua dalam satu kali gebrakan. Agak
berbeda halnya jika kita mulai dengan pernyataan dan kesaksian,
termasuk kesaksian kawanmu sesama penyoren pedang.''
Panah Wangi tersenyum. "Janganlah khawatir Kawan, jika kalah aku tidak akan mengingkari
perjanjian, dan dunia boleh menjadi saksi bahwa aku wajib tidur
dengan kalian berdua di kedai itu. Namun sebetulnya diriku sama
sekali tidak khawatir, Kawan, karena aku tahu tidak akan kalah
dalam perjudian ini."
Laozi berkata: orang suci tidak memiliki hati sendiri;
orang suci menggunakan hati khalayak.
1008 orang baik disetujuinya, orang jahat juga disetujuinya,
dari sanalah ia mendapat kesuciannya. 1
Aku tertegun mendengar percakapan ini. Apakah yang diandalkan
Panah Wangi sehingga begitu yakin akan memenangkan
perjudian, dengan pertaruhan yang begitu mengerikan seperti itu"
Benarkah dia akan bersedia tidur dengan dua pengantar surat jika
kalah, sesuai perjanjian, padahal apa pun yang terjadi hal itu tidak
mungkin" Panah Wangi selalu menghukum pemerkosa maupun
calon pemerkosa dengan kejam, tidak mungkin ia menempatkan
dirinya dalam keadaan tiada berdaya dengan sengaja. Drupadi
dalam Mahabharata dipertaruhkan secara paksa, tetapi Panah
Wangi mempertaruhkan dirinya.
Apakah keberaniannya kali ini tidak terlalu riskan" Pertaruhan
macam apakah kiranya itu, jika kalah harus tidur dengan dua
pemilik kuda yang dipertaruhkan itu" Namun aku juga tahu, betapa
kami mutlak membutuhkan dua kuda cepat pengantar surat, jika
tidak ingin terlambat. Seseorang yang sedang berkuda lambatlambat sungguh tidak tahu dirinya akan terbunuh setiap saat!
1009 Mereka duduk berhadapan di atas bangku. Di antara keduanya
terdapat meja rendah untuk permainan dadu. Terdapat dua dadu
dan hanya sekali dadu-dadu itu akan dilempar. Dalam hal
pesertanya orang banyak, begitu banyak kemungkinan penjumlahan, dari 2 sampai 12, lebih mungkin menghasilkan
penebak yang beruntung daripada satu peserta yang hanya
berkesempatan menebak satu kali.
"Panah Wangi, jadi itukah julukanmu?"
Panah Wangi mengangguk. Pengantar surat itu menyebutkan
istilah penyoren pedang, tetapi jelas ia tidak mengenal dunia
persilatan. Bahkan ia tidak sadar bahwa wajah dan nama Panah
Wangi terdapat pada selebaran di dinding luar kedai. Mungkin saja
pengantar surat itu buta huruf. Kemampuan membaca hanya
diwajibkan bagi pegawai kerajaan.
"Dan kamu, yang tiada bernama, benarkah?"
"Ya, aku tidak memiliki nama," kataku.
"Juga semuanya, saksikan, aku Ang Yu, hanya akan melempar
dadu ini satu kali, dan berapakah tebakanmu, Panah Wangi?"
1010 Malam sudah turun. Obor dipasang agar meja tampak terang.
Orang-orang tidak bersuara. Wajah Panah Wangi yang cantik
tampak tegang. "Dua belas," katanya.
Tentu Panah Wangi sudah gila! Mungkinkah suatu kebetulan dapat
dipastikan bahwa kedua dadu yang dilempar itu akan berhenti
dengan dua sisi enam titik berada di atas"
TIDAK dapat kubayangkan jika Panah Wangi kalah dalam
permainan dadu itu, membayangkannya masuk ke dalam kedai
bersama salah satu dari kedua petaruh yang menang, sementara
yang lain tidak masuk, duduk, menunggu giliran!
Tidak mungkin! Tetapi bagaimana memastikannya"
Dengan hanya satu kali kesempatan, layakkah kebetulan
dipastikan hasilnya" Kalau kalah Panah Wangi harus memenuhi
perjanjian, sesuai dengan kehormatannya sebagai penyoren
pedang, dengan diriku pula yang telah menjadi saksinya!
Betapapun aku tahu, jalan perjudian ini harus ditempuh Panah
Wangi karena kuda cepat yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan para pengantar surat itu, tidak akan
1011 dilepaskan dengan harga berapa pun. Namun dalam kesunyian
padang alang-alang, untuk sekejap tampaknya ia tersihir oleh
pesona ketubuhan Panah Wangi, sampai bisa mempertaruhkan
kuda cepat yang mahapenting dalam kehidupan seorang
pengantar surat itu --dan itulah satu-satunya peluang bagi Panah
Wangi untuk mendapatkan kuda tersebut.
Dadu itu siap digelindingkan. Panah Wangi bertaruh pada angka
12. Angka penjumlahan 6 titik pada dua dadu. Suatu pertaruhan
yang bersama angka 2, artinya penjumlahan 1 titik pada dua dadu,
hanya memiliki satu kemungkinan.
Aku menahan napas. Tidak bisa tidak Panah Wangi harus menang.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demi dirinya sendiri maupun demi nyawa maharaja bayangan
yang menyimpan banyak rahasia itu.
Apakah yang akan dan bisa dilakukan Panah Wangi" Apakah ia
mengharapkan suatu nasib baik atau adakah sesuatu yang akan
dilakukannya" Apakah yang bisa dilakukannya"
Kedua dadu itu menggelinding.
Dalam tatapanku dadu itu menggelinding begitu lamban. Ketika
dadu pertama memperlihatkan 1 titik, dadu kedua memperlihatkan
5 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 2 titik, dadu kedua
1012 memperlihatkan 4 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 3 titik,
dadu kedua memperlihatkan 3 titik; ketika dadu pertama
memperlihatkan 4 titik, dadu kedua memperlihatkan 2 titik; ketika
dadu pertama memperlihatkan 5 titik, dadu kedua memperlihatkan
1 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 6 titik, dadu kedua
memperlihatkan 6 titik. Dadu itu berhenti menggelinding. Penjumlahan 6 titik pada dua
dadu: 12! Sariputra berkata: bukan kematian,bukan kehidupan kuhargai.
kunantikan waktuku, seorang pelayan menunggu upahnya.
bukan kematian, bukan kehidupan kuhargai.
kunantikan waktuku, dalam kesadaran dan kebijaksanaan pendalaman. 1 Kami berpacu menembus malam dengan kuda pengantar surat
tercepat, yang baru saja dimenangkan Panah Wangi dalam
permainan dadu. 1013 Apakah nasibnya memang baik ataukah ada sesuatu yang
dilakukannya sehingga kedua dadu berhenti ketika sisi yang
menghadap ke atas masing-masing memperlihatkan 6 titik, yang
berarti penjumlahannya 12"
Aku sebetulnya sangat penasaran, tetapi jika Panah Wangi sendiri
tidak mengungkapnya, aku tahu betapa jika diriku bertanya tentu
tidaklah akan dijawabnya. Lagipula, kami harus memusatkan
perhatian kepada penyelamatan nyawa maharaja bayangan yang
sedang diburu dua pembunuh bayaran.
Akan halnya para pengantar surat yang telah merelakan kuda
cepatnya bertukar dengan kuda tempur yang mampu menendang
dan menggigit, tetapi seberapa cepat pun berlari tidak akan
secepat kuda cepat, tidak dapat kubayangkan nasib mereka
selanjutnya. Begitu pentingnya tugas mereka sehingga setiap
tahap keterlambatan akan mendapat hukuman.
Keterlambatan sehari dihukum pukulan tongkat tebal sebanyak
delapan kali. Semakin tambah harinya, semakin tambah pukulan
tongkatnya. Adapun yang terberat, yakni keterlambatan enam hari,
adalah kerja paksa dua tahun lamanya. Jika berhubungan dengan
kepentingan tentara, hukuman meliputi setahun kerja paksa
sampai pembuangan sejauh 2131,2 li dari wilayah tinggalnya.
1014 Namun dalam hal ini, kedua pengantar surat itu bisa beralasan
kudanya mati, karena tidak menukar kuda di tempat persinggahan,
dan hukumannya adalah membayar denda kepada pemerintah 2.
Dengan pengetahuan semacam itu perasaan bersalahku jauh lebih
berkurang, dan dapat kupacu kudaku dengan jauh lebih
bersemangat. Kami sungguh-sungguh berpacu sepanjang malam,
dan di antara kami tidak ada yang kalah serta tiada yang menang.
Semula kami saling salip-menyalip, tetapi kemudian kuda kami
bagaikan bersepakat untuk tidak perlu saling susul, sehingga tanpa
mengurangi kecepatan kami melaju berdampingan menuju Sha.
Kami memang harus memacu kuda kami dengan kecepatan
tertinggi, karena tidak berani mempertaruhkan nyawa seseorang
yang berada dalam keadaan riskan. Kami tahu benar bagaimana
pembunuh bayaran bekerja, betapa mereka akan mencabut nyawa
seseorang pada kesempatan pertama!
DENGAN pengandaian bahwa kuda para pembunuh yang
mengejar maharaja itu tidak secepat kuda kami, meskipun samasama memacunya sepanjang malam, kami yakin ketika berhasil
menyusulnya tidak hanya akan menemukan mayat. Betapapun,
kekhawatiran bahwa perhitungan yang salah akan membuat suatu
nyawa melayang, membuat kami terus memacunya agar menjadi
1015 lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Perubahan arah
angin, karena perubahan cuaca dari malam menuju pagi, lebih
menguntungkan kami ketika tiupan angin yang kencang datangnya
dari belakang punggung kami. Angin bertiup kencang dari arah
depan ketika kami sibuk dengan perjudian tadi, yang berarti
menghambat laju para pembunuh itu.
Namun, meskipun disebut jalur cepat, jalan menuju Sha tidaklah
selalu lurus dan mulus karena tanahnya dikeraskan. Pada saat
jalan dibuat untuk pertama kalinya, memang seluruh jalur cepat di
seantero Negeri Atap Langit tanahnya dikeraskan, dengan
mengerahkan berlaksa-laksa penduduk di wilayah yang dilalui jalur
cepat itu. Betapapun pada saat rusak dan harus diperbaiki, hanya
jalur-jalur tertentulah yang diutamakan, dan pada wilayah ini itulah
jalur-jalur yang digunakan untuk memperlancar pengiriman
berpuluh bahkan beratus ribu tentara ke wilayah pertentangan di
perbatasan. Maka, dalam percabangan jalur cepat ini, jalur ke Sha tidak akan
lebih penting dibandingkan Jalur Sutra. Demikianlah jalan yang
semula lurus, lantas berbelok melewati lembah di antara dua
gunung batu, dari kelokan ke kelokan, hanya lembah, lembah, dan
lembah saja adanya. 1016 Berbeda dengan kuda biasa, kuda cepat ini sudah dilatih
mengenali jalan yang akan sering dilaluinya, sehingga kecepatannya tidak banyak berkurang, bahkan tidak jarang lebih
memilih untuk melompati jurang jika lompatannya menjangkau
daripada meniti titian. Dalam hal seperti ini, tali kekang dapat kami
lepaskan, dan kuda itu tetap melaju tanpa pengarahan. Kuharap ini
tidak terjadi dengan kuda para pembunuh yang melaju sebelumnya, meskipun aku tahu kuda mereka tentu tidak akan
selamban keledai. Begitu kami tiba di kaki gunung dan kembali ke
jalan yang lempang, segera pula kami pacu kuda kami bersamaan
dengan datangnya fajar. Laozi berkata: langit dan bumi itu kejam;
bagi mereka sepuluh ribu hal adalah pajangan.
orang suci juga kejam, baginya orang banyak juga pajangan. 1
Lantas kami lihat dua titik sedang melesat di kejauhan, mengejar
sebuah titik yang lebih jauh lagi, yang meskipun tampak sangat
amat jauhnya, sebagai titik yang masih sangat kecil, tampak juga
caranya berkuda yang sungguh tenang-tenang. Jarak antara
1017 sebuah titik yang berkuda tenang-tenang dengan kedua titik yang
memburunya masih sangat jauh, begitu pula jarak antara kami
dengan kedua titik yang sedang kami kejar lebih jauh lagi. Namun
di padang terbuka, meski ujudnya hanya titik kecil, dalam jarak
sejauh ini tetap terlihat juga.
Langit kelabu tampak seperti mau hujan. Titik yang masih berada
di kejauhan itu tampaknya tidak sadar betapa jiwanya sedang
terancam, juga sama sekali tidak pernah menoleh ke belakang,
sehingga tiada tahu-menahu adanya dua ekor kuda yang melaju
dengan membawa dua orang yang bermaksud membunuhnya.
Sedangkan dua penunggang kuda itu pun tampaknya tidak
menyadari sama sekali bahwa ada dua orang yang telah mengikuti
jejak mereka selama berhari-hari, tiada lebih dan tiada kurang
untuk menghalangi. Mengingat kecepatannya memacu kuda, jelas
mereka tidak mau membuang waktu lagi, tetapi kami juga tidak
mau membuang waktu dan ingin segera melumpuhkan mereka
secepat-cepatnya. Ternyata salah satunya menoleh ke belakang, melihat kami, dan
mereka segera memacu kudanya lebih cepat dari sebelumnya.
Panah Wangi berteriak kepadaku.
1018 ''Kejar! Jangan sampai mereka membunuhnya lebih dulu!"
Kulihat yang selama ini kami sangka maharaja bayangan masih
seperti belum sadar sedang diburu. Seperti pengejarnya ia pun
harus dibuat menoleh ke belakang. Namun apakah jaraknya tidak
terlalu jauh untuk tombak maupun panah sekalipun"
Kami memacu kuda secepat mungkin, tetapi dengan jarak yang
sudah kasat mata seperti sekarang, kukira kuda tercepat di dunia
pun tidak akan mampu mendahului kedua pembunuh itu mendekati
mangsanya! Saat itulah hujan turun dari langit, guntur menggelegar, dan kilat
sambung-menyambung MEMBERI peringatan maharaja bayangan, bahwa dua pembunuh
sedang melaju di belakangnya, adalah yang terbaik, tetapi
bagaimana caranya" Jarak kami semua masih terlalu jauh untuk
peringatan macam apa pun, suara maupun senjata belum bisa
berguna, apalagi dengan hujan deras dan angin kencang yang
mengharu-biru seperti ini.
Nyaris hanya kekelabuan yang kami saksikan di depan, tetapi kuda
cepat ini ternyata tidak mengurangi kecepatannya sama sekali,
sehingga kami percayakan saja perburuan para pembunuh
1019 bayaran ini kepada kuda kami. Dunia bagaikan tirai kelabu yang
terus-menerus bergoyang karena angin, membuat laju kuda ke
depan ini bagaikan perjalanan menembus tirai kelabu demi tirai
kelabu, yang tidak bisa dilakukan dengan tenang karena tirai
terkelabu itu adalah hujan angin terdingin, begitu dingin, bagaikan
tiada lagi yang bisa lebih dingin.
Adapun yang bisa kulihat hanyalah kuda yang kutunggangi. Kuda
hitam dengan surai rimbun lembut yang kini menjadi basah oleh
hujan deras dan dingin, yang kini suaranya tak lagi seperti bisikan
atau desahan, tak lagi seperti gumam bahkan tak juga rintihan,
melainkan keterpendaman yang berjuang diungkapkan tanpa
keberhasilan apa pun kecuali kekesalan, kekecewaan, dan
kemarahan tak terkatakan. Kilat dan halilintar seperti menambah
kegalauan, membuat kami bagaikan terkurung oleh kemalangan,
bahkan seperti mengalami kutukan, tetapi kuda ini, ya kedua kuda
ini, dengan tenang seperti impian, membawa kami menembus tirai
demi tirai lagu badai yang seperti tidak akan pernah bisa
dihentikan. Maka lambat laun segala bunyi kekalutan yang meluluhlantakkan
perasaan, tersapih menjadi lagu ketenangan tak tersuarakan, dan
guncangan badan akibat tapak kuda pada bumi hilang, tinggal laju
perjalanan menembus tirai kekelabuan dari hujan badai yang
1020 meskipun tampak dalam pandangan bagai datang dari lapisan
dunia lain, sehingga hujan tiada pernah hadir sebagai hujan selain
bayangan hujan. Busana kami basah kuyup meskipun kami masih
mengenakan caping, apakah Panah Wangi mengalami peristiwa
yang sama seperti yang kualami" Kulihat ke samping dan kulihat
dirinya berkuda seperti seorang dewi, seperti berkuda, hanya
seperti, karena sebetulnya terbang...
Kong Fuzi berkata: seorang beradab terpermalukan
jika membiarkan kata-katanya
melebihi perbuatannya 1 Tiada dapat kami katakan berapa lama kami bergulat dengan hujan
badai, yang bukan hanya membasahkan badan, tetapi juga
mengguncangkan perasaan, bukan sekadar karena angin yang
kencang, melainkan juga kilat dan halilintar yang terus-menerus
berkeredap, ditingkah kerasnya guntur yang seperti berkehendak
membelah bumi. Namun pada saat haru-biru hujan badai kelabu
itu telah kami lewati, di balik tirai tipis gerimis kami lihat dua
pembunuh bayaran yang kami buru itu memang benar sudah
1021 tinggal 1 li jaraknya dengan kami, tetapi tinggal setombak saja
jaraknya dengan sang maharaja bayangan!
Tangan salah seorang pembunuh itu sudah terangkat, siap
melempar tombak pendek ke arah punggung maharaja bayangan,
yang dalam hujan gerimis pun berkuda tenang-tenang sebagaimana layaknya awam. Jelas dewa sekalipun tidak mungkin
menolong maharaja bayangan dari tangan pembunuh bayaran
yang sangat piawai, sementara pembunuh bayaran yang lain
mencabut pedang pendek dengan tangan kiri, seperti siap
menghadapi segala kemungkinan jika lemparan tombak itu gagal.
Namun ternyata tidak, saat tombak dilemparkan pedang di tangan
kiri terayun ke leher maharaja bayangan, seiring dengan
percepatan laju kudanya ke samping kuda calon korbannya itu.
Dadaku terkesiap menyadari kemungkinan terburuk di depan
mata, setelah perjalanan berliku yang menuntut perhatian dan
kehati-hatian yang sangat besar. Panah Wangi telah mementang
busur di atas kudanya yang seperti terbang, dan aku berada di
ambang penggunaan Jurus Tanpa Bentuk, ketika tubuh maharaja
bayangan itu merunduk sehingga tombak dan sabetan pedang
dengan tangan kiri itu luput.
1022 Kedua pembunuh bayaran yang tiada mengira sasarannya bisa
menghindar itu tak kuasa menahan laju kudanya, sehingga leher


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka terpaksa melewati dua pedang mahatajam, yang tanpa
menoleh dipentang sang maharaja bayangan pada tangan kiri dan
kanan. Kedua kuda pembunuh bayaran itu terus melaju dengan
penunggang tak berkepala yang ambruk menelungkup di
punggungnya. Kedua kuda itu tak pernah berhenti.
MAHARAJA bayangan itu tampak siap dengan kedua pedang jian
di tangannya ketika kami datang. Sekali tatap dapatlah kami
ketahui betapa dirinya berasal dari sungai telaga dunia persilatan.
Barangkali ia mengetahui dirinya sedang diikuti se?lama ini,
barangkali ia tidak mengetahui dirinya sedang diikuti, tetapi apa
yang kami saksikan menyatakan kepekaan tingkat pendekar
dengan jelas. Bukankah ia menggerakkan kedua pedangnya ke
belakang untuk memenggal leher kedua pembunuh bayaran itu
tanpa menoleh" Ketika kami tiba, kudanya baru saja menendang salah satu kepala
itu ke tepi. Setiap kepala masih tertutup kerudung yang ikut
terpotong, sehingga wajahnya tetap tidak terlihat.
1023 "Apakah kalian berdua juga dikirim untuk membunuhku" Menatap
kalian sepintas saja aku tahu betapa ilmu silat masing-masing dari
kalian berada jauh di atasku, tetapi ketahuilah betapa diriku tidak
akan pernah menyerah."
Panah Wangi menghela napas panjang.
"Kami mengikuti jejakmu selama ini tidak untuk membunuhmu,
wahai insan yang telah banyak berkorban demi negara, tetapi
untuk menyelamatkanmu. Janganlah salah sangka," ujar Panah
Wangi, "ternyata kamu lebih dari mampu menjaga dirimu sendiri."
Maharaja bayangan yang sudah turun dari kuda itu memicingkan
matanya ketika menatap kami.
"Siapakah kalian" Tidak kulihat diri kalian berbusana sebagai
hamba kerajaan, dan jika kalian adalah pengawal rahasia istana,
sekarang ini harus kalian nyatakan."
"Ah, kami bukan siapa-siapa, bahkan diriku hanyalah seorang
buronan saja." Mata maharaja bayangan itu lebih terpicing lagi. Gerimis belum
berhenti, sehingga Panah Wangi tidak membuka capingnya.
1024 "Buronan" Kukira tidak banyak perempuan buronan, bahkan
sekarang ini hanya satu," kata sang maharaja bayangan, "apakah
kamu yang bernama Panah Wangi?"
Panah Wangi hanya mengangkat sedikit capingnya.
"Ya, aku disebut Panah Wangi, dan siapakah dirimu, yang
nyawanya telah selalu dipertaruhkan?"
"Akan kukatakan siapa diriku, tetapi siapakah temanmu, anak
muda yang bercaping itu, dan mengapa pula ia tidak memperkenalkan dirinya?"
Aku tertegun, bagaimanakah caranya aku memperkenalkan diriku"
"Aku bukan siapa-siapa Bapak, hanya seorang hina kelana yang
bahkan nama pun tidak punya."
Kini giliran maharaja bayangan itulah yang tertegun, tetapi akan
tanggapan seperti itu, aku sudah terbiasa bukan"
Aku pun melanjutkan, dan pilihanku adalah berterus terang.
"Namun kami sampai kemari, selain karena tak dapat membiarkan
siapa pun diculik dan dianiaya, tidak lain dan tidak bukan, karena
1025 melacak jejak dan memburu siapa pun yang bisa disebut sebagai
Harimau Perang." Sun Tzu berkata: perang melibatkan kehendak mendahului dan
penyerbuan musuh dari kedudukan yang lebih kuat 1
Gerimis akhirnya berhenti, tetapi langit tetap dipenuhi mendung
bergulung-gulung, sehingga meskipun hari masih pagi kekelabuan
merata sepanjang padang, memberikan suasana muram yang
menekan. Betapapun kami merasa lega, karena meskipun usaha
kami nyaris menemui kegagalan, maharaja bayangan bukan hanya
mampu menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga bersikap ramah
terhadap kami. "Aku tidak akan mengatakan apa pun kepada kalian, jika kalian
orang pemerintah," katanya ketika kami bertiga duduk di atas batubatu besar di tepi sebuah anak sungai yang terdapat di dekat
tempat itu. "Dan aku pun tahu jika kalian ingin mencelakakan diriku,
mudahnya seperti membalik telapak tangan."
Ternyata maharaja bayangan memiliki persediaan teh yang biasa
dihidangkan di istana, kudanya pun dilengkapi peralatan memasak
untuk prajurit yang mencukupi. Di depan api unggun yang juga
1026 mengeringkan baju, ia mengungkapkan siapa dirinya dan apa pun
yang diketahuinya berhubungan dengan Harimau Perang.
"Aku sebetulnya bagian dari apa yang kalian sebut penjahat dari
golongan hitam," katanya memulai cerita, ''Apakah diriku memang
jahat" Aku sendiri tidak tahu, tetapi penamaan golongan hitam
tidak datang dari diri kami sendiri, melainkan dari mereka yang
menamakan dirinya golongan putih. Ya, siapa pun yang
pemikirannya tidak sejalan, bahkan bertentangan, mereka namakan golongan hitam..."
Namanya bukanlah nama besar, karena semula hanyalah seorang
begal kecil, yang suka mencegat para pedagang kecil di celah
sempit di antara dua dinding tebing di pegunungan dekat Kota Sha.
Ia selalu menyerang dengan cepat, lantas menghilang, datang dari
atas tebing dan hilang ke atas tebing. Seperti seekor bajing, ia
pandai merayapi tebing seperti berlari di atas tanah, sehingga
disebut Si Bajing Loncat.
"Apakah diriku memang penjahat jika tidak seorang pun pernah
kubunuh," katanya. 1027 Namun bukan kebaikannya yang telah menarik perhatian para
pengawal rahasia, melainkan kemiripan wajah dan sosoknya
dengan Maharaja Dezong! BEGAL yang malang melintang di sekitar Sha dan disebut Bajing
Loncat itu, pada suatu hari mendadak saja terkepung. Di celah itu
ia tak bisa menghilang ke atas atau meloncat ke bawah, setidaknya
sepuluh pengawal rahasia istana, lelaki maupun perempuan, telah
mengepungnya dengan begitu ketat sampai ia tidak bisa berkutik.
"Itu sepuluh tahun yang lalu, jadi tahun 788," ujar maharaja
bayangan itu, "ketika istana mulai kekurangan maharaja ba?yangan, sebab banyak yang mati karena jarum beracun,
punggungnya tertusuk belati ketika tidur, dan keracunan makanan
waktu sarapan." "Ikutlah dengan kami," kata salah seorang di antaranya, "nanti
seluruh kesalahanmu akan diampuni."
"Aku menolak, tetapi mereka memaksaku, dan setelah pertarungan singkat yang sangat aneh di celah sempit di dinding
tebing itu, para pengawal rahasia istana yang berilmu tinggi
berhasil melumpuhkan diriku."
1028 Demikianlah Bajing Loncat itu dicerabut dari akarnya, ditawan
sebagai penjahat kambuhan, dan diangkut ke Chang'an. Ia dibawa
dengan peti beroda yang berlubang agar kepalanya dapat muncul
di sana, tentu dengan tangan dan kaki dirantai di dalamnya.
"Pengawal rahasia istana yang sepuluh orang itu mengobrak-abrik,
memorakporandakan dan membumihanguskan perkampungan
begal sampai rata dengan tanah. Dengan sedih kupandang asap
yang membubung dari balik bukit. Bahkan wanita dan anak-anak
pun tidak terdengar suaranya lagi karena semuanya sudah mati."
Sebetulnya yang disebut perkampungan begal itu adalah
perkampungan orang-orang tersingkir saja, tiada jelas lagi
tersingkir pada masa pemerintahan siapa. Ada keturunan orangorang tersingkir semasa pemerintahan Maharani Wu yang
berkuasa dari tahun 690 sampai tahun 705, tetapi sebagian berasal
dari masa pemerintahan Maharaja Xuanzong yang berkuasa dari
tahun 712 sampai tahun 756. Maharaja Xuanzong memang
bertangan emas dalam mengangkat Wangsa Tang ke puncak
kekuasaan di Negeri Atap Langit, tetapi musuh tujuh turunannya
sangat banyak. "Aku hanyalah keturunan campur aduk dari berbagai golongan di
situ, yang hidup hanya dengan satu tujuan, yakni menumbangkan
1029 kekuasaan Wangsa Tang. Maka aku pun membegal bukan karena
mau membegal, tetapi karena suatu tujuan yang sudah disucikan
sebelumnya, yakni mengganggu dan menggoyang kewibawaan
Wangsa Tang. Aku menjadi penyamun tanpa kehendak menyamun sama sekali. Boleh kalian tanyakan kepada orangorang di Sha, apakah Bajing Loncat pernah melukai, membunuh,
atau memperkosa." Aku pernah mendengar nada semacam ini, mulai dari perompak
Naga Laut yang turun-temurun hanya bermaksud menggoyang
wibawa Kadatuan Srivijaya di lautan, sampai para penyamun
sepanjang lautan kelabu gunung batu antara An Nam dan Negeri
Atap Langit yang pernah kubasmi, sehingga menjadi perbincangan
dari kedai ke kedai tentang pembantaian yang dilakukan oleh
seseorang tidak bernama. "Dapatkah kalian bayangkan jika dengan latar belakang seperti itu,
diriku harus menjadi maharaja bayangan dari sebuah negeri yang
telah membuat kampungku rata dengan tanah?"
Laozi berkata: dari para penguasa terbaik
rakyat hanya tahu bahwa mereka ada;
1030 yang terbaik berikutnya mereka cintai dan puja;
berikutnya lagi mereka takuti;
berikutnya lagi mereka kutuk. 1
Itulah yang ingin kuketahui, apakah kiranya yang membuat ia bisa
melakukannya" "Tentu aku merasa betapa dengan segala cara seharusnya aku
tetap menolak, meskipun dengan begitu akan dibunuh; tetapi aku
juga merasa betapa jika diriku berada di tengah-tengah pusat
kekuasaan seperti itu, mestinya dapat kutemukan suatu cara untuk
membalaskan dendamku maupun dendam saudara-saudaraku
yang kampungnya telah diratakan dengan tanah."
Demikianlah Si Bajing Loncat dari Sha mulai berpikir seperti itu,
sejak hari pertama ketika didampingkan dengan Maharaja Dezong
untuk dicatat segenap kekurangmiripannya. Dengan segala cara,
segala kemiripan jasmaninya diarahkan, digarap, dan dipoles
secara cermat, sehingga dalam uji coba tanpa pemberitahuan
kepada siapa pun di dalam istana, tidak seorang pun mengenalinya
sebagai bukan maharaja. Padahal jika sempat seseorang melihat
tumitnya saja, akanlah sangat jelas bedanya antara tumit rakyat
1031 biasa dengan tumit seorang maharaja yang sejak lahir belum
pernah menyentuh tanah. "Bukan hanya tubuh, tetapi juga cara berbicara, cara bertindaktanduk, cara berpikir, cara makan dan minum, cara berdoa, dan
cara bercinta, adalah segala cara yang harus dimiripkan setepat
mungkin seperti yang dilakukan oleh maharaja."
Cepat sekali Panah Wangi menyela.
"Bercinta dengan permaisuri juga?"
SI Bajing Loncat tersenyum.
"Pendekar Panah Wangi bertanya seperti orang awam, padahal
semestinya ia tahu lebih banyak," katanya.
"Aku sudah tidak lagi menjadi mata-mata, jadi tahu cara-caranya,
tetapi tidak selalu tahu lagi apa yang berada di bawah permukaan."
Kali ini senyum Si Bajing Loncat semakin lebar.
"Tidak ada yang berubah dalam dunia kerahasiaan, masih tetap
bahwa segala sesuatu tidak selalu seperti tampak permukaannya."
1032 Tentu saja bagiku Si Bajing Loncat tidak menyampaikan apa-apa,
tetapi Panah Wangi belum puas.
"Aku ingin tahu tentang permaisuri itu!"
Kali ini wajah Si Bajing Loncat agak lebih bersungguh-sungguh,
sementara embusan angin pun kini agak lebih berkurang
kencangnya. Kulihat kuda kami merumput dan minum di anak
sungai itu. Lebih berbahagia atau lebih kurang berbahagiakah
kuda dibanding manusia"
"Mungkinkah seorang istri tidak mengenali seseorang yang bukan
suaminya di tempat tidur" Meskipun itu saudara kembar suaminya
yang bukan sekadar mirip tetapi sama tepatnya" Seorang
penyamar barangkali saja memang telah mempelajari dan
tersamakan segalanya dengan pribadi yang disamainya, mulai dari
pandangan mata bahkan sampai kepada baunya, jangan lagi
dikatakan apa yang diketahuinya, tetapi sekali lagi mungkinkah, ya,
mungkinkah seorang istri tidak mengenali seseorang yang bukan
suaminya, meski segala sesuatunya tiada lebih dan tiada kurang
hanyalah sama belaka?"
Panah Wangi kali ini tidak menyela apalagi menyanggah. Kulirik
Panah Wangi selintas, tidak pernah kuketahui apakah ia sudah
1033 pernah atau belum pernah menikah, dan apakah baginya menikah
itu penting atau tidak penting. Dalam hal para penyoren pedang,
yang segenap kepentingannya tidak seperti terhubungkan dengan
membangun rumah tangga, pun kukira berlaku pernyataan yang
sama, bahwa segala sesuatu memang tidak selalu seperti yang


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak di permukaannya. ''Maka persoalannya bukan apakah seorang istri itu mengenali atau
tidak mengenali siapa yang menyaru sebagai suaminya, tetapi
apakah dalam kepura-puraannya sang penyaru ini mampu
bersikap seperti suaminya atau tidak, dan untuk seorang penyaru
yang berusaha menyamar dengan meyakinkan tidaklah ada yang
terlalu mudah, bahkan sama sekali tidak ada yang bisa dianggap
terlalu enak." "Juga dengan permaisuri?"
Si Bajing Loncat menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah
muram. "Tidakkah Pendekar Panah Wangi mengerti, betapa permaisuri
Negeri Atap Langit ini seribu kali lebih buruk daripada Yang Guifei"
Pendekar Panah Wangi kuyakini sudah malang melintang di dunia
persilatan, tetapi jika diriku tidak keliru, asam dan garam
1034 kehidupannya sebagai perempuan tidaklah sekaya pengalamannya sebagai penyoren pedang," ujarnya, ''Dirinya
seharusnya mengerti, di atas ranjang istilah seperti permaisuri,
selir, putri istana, bagi seseorang yang hanya menyamar dan wajib
menyetubuhinya karena tugas, sudah kehilangan artinya."
Panah Wangi akhirnya sadar betapa ranjang, dalam tugas rahasia
maupun kehidupan sehari-hari, dapat menjadi sumber kepahitan
bagi seorang lelaki dan perempuan. Jadi kami harus kembali
kepada tujuan kami semula. Jika penyelamatan nyawa tidak
diperlukan lagi, kini tinggal jejak Harimau Perang, yang bahkan
telah menitipkan surat melalui seorang pengantar surat, yang
isinya menyatakan bahwa perjalanan kami akan menjadi suatu
kesia-siaan. Benarkah"
Surat itu kami terima ketika kami masih mengira bahwa maharaja
yang diculik adalah Maharaja Dezong yang sebenarnya. Namun
sebetulnya surat itu adalah suatu jebakan, dalam arti Harimau
Perang mengerti betapa kami tidak akan menurutinya, dan justru
di situ jebakannya; mengetahui terdapat suatu jebakan kami lebih
lagi merasa sebaiknya meneruskan perjalanan. Jika kami dapat
membongkar apa yang dimaksud sebagai jebakan, kemungkinan
besar kami menemukan banyak hal.
1035 Namun ini hanyalah dugaan pertama, yang mungkin saja juga telah
diperhitungkan oleh Harimau Perang, yang justru diharapkannya
akan kami lakukan, dalam dugaanku adalah supaya kami
terjauhkan dari Chang'an. Demi apa" Apakah yang akan, telah,
atau mungkin sedang terjadi di Chang'an sehingga diriku dan
Panah Wangi sebaiknya tidak ada di sana"
Kami pernah membicarakan masalah ini selama perjalanan.
"Aku berani memastikan satu hal," ujar Panah Wangi.
"Dan apakah kiranya itu?"
"Jangan berharap bahwa pedang panjang melengkung itu masih
berada di tempatnya jika kamu kembali ke Chang'an."
Tentu saja! Hakim Hou meminta pedang itu untuk diperiksa keterlibatannya
dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Harimau Perang tak
bisa menunjukkannya dan menghilang. Jika ia muncul kembali dan
menyerahkan pedang panjang melengkung itu, sangat mungkin
akan dilakukannya dengan bukti-bukti yang menunjuk kepadaku!
1036 Betapapun memang dirikulah yang setiap malam membantai para
penjahat kambuhan itu... APAKAH itu berarti Hakim Hou telah menyebarkan gambarku dan
akan mengerahkan para petugas Dewan Peradilan Kerajaan untuk
menangkapku" Betapapun itu belum menjadi urusanku sekarang.
Kini yang masih harus digali adalah keterlibatan Harimau Perang
melalui perbincangan dengan Bajing Loncat Si Maharaja
Bayangan ini, karena hanya dengan mengetahui jejak-jejaknya,
maka diriku memiliki pegangan untuk memburunya...
Kami masih berada di api unggun. Hari telah siang. Namun
mendung bergulung semakin lama semakin gelap. Kami masih
bercakap-cakap sambil mengunyah daging bakar.
''Sebetulnya ini semua bermula dari kehendak Maharaja Dezong
untuk menguji kesetiaan Harimau Perang yang waktu itu baru saja
datang dari An Nam. Maharaja berkisah tentang ancaman
perpecahan yang disebabkan karena para panglima di berbagai
wilayah peperangan semakin sulit diatur. Kekuasaan sementara
yang didapat dari keadaan darurat perang, rupa-rupanya
menimbulkan godaan dan harapan, seandainya kekuasaan itu bisa
dimiliki untuk seterusnya.
1037 "Pembangkangan demi pembangkangan di berbagai wilayah
terus-menerus ditumpas, tetapi yang sangat mengganggunya
adalah perongrongan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, karena
waktu itu bukanlah tantangan perang yang dilakukannya,
melainkan perampokan dan pembegalan di berbagai wilayah, yang
dikendalikannya dengan Ilmu Pengalih Suara maupun Ilmu
Pemisah Suara dari suatu tempat, sehingga dapat berlangsung
serentak di berbagai wilayah, bahkan juga yang waktunya
berbeda. "Tampaknya seperti perampokan dan pembegalan, tetapi dilakukan dengan kemampuan pasukan tempur, yang jika
dilakukan serentak di berbagai wilayah dan berkali-kali selama
sebulan, jelas menimbulkan kegelisahan dan keresahan di
seantero Negeri Atap Langit. Apalagi jika dilakukan dari bulan ke
bulan dalam setahun. Kesulitan semakin menjadi-jadi ketika Yang
Mulia Paduka Bayang-Bayang seperti sengaja mengaturnya untuk
tidak selalu berlangsung serentak, melainkan bahwa selalu ada
kerusuhan baru di tempat lain lagi, setiap kali ada pasukan
diberangkatkan dari Chang'an atau barak mana pun di wilayah
terdapatnya kerusuhan tersebut."
Aku mendengarkan. Ini sebuah cerita yang tentunya akan panjang.
Namun apalah masalahnya dengan sebuah cerita yang akan jadi
1038 panjang, terutama bagi seorang pengembara tanpa pekerjaan
seperti diriku, yang tidak terikat apa pun selain kepada perjalanan
hidup itu sendiri. Jika kehidupan ini membuat diriku berhenti,
duduk, dan mendengarkan, maka diriku akan berhenti, duduk, dan
mendengarkan. Jika kehidupan ini membuat diriku melakukan
perjalanan, maka diriku pun akan melakukan perjalanan...
Zhuang Zi berkata: pengembara terbesar tak tahu ke mana ia akan pergi;
pelancong terbesar tak tahu mau melihat apa.
Kembaranya tak membawanya ke suatu gubahan melebihi
gubahan lain; pandangannya tidak terarah ke satu pemandangan daripada yang
lain. Itulah yang kumaksud pelancong sejati.
Dan itulah sebabnya kukatakan,
"Sekarang dikau tentu akan menjadi seorang pengembara!" 1
Zheng Yuqing baru saja diangkat jadi perdana menteri,
menggantikan Zhao Zongru, tetapi masih harus bekerja bersama
1039 Cui Sun, yang diangkat pada tahun 796, tahun yang sama dengan
pengangkatan Zhao Zongru 2. Menurut Si Bajing Loncat,
sebetulnya sepak terjang Harimau Perang sebagai kepala matamata gabungan pasukan pemberontak An Nam terendus tentunya
bukan oleh maharaja, melainkan oleh Zheng Yuqing yang sudah
pusing tujuh keliling dengan cara berperang Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang. "Seandainya dua lawan bisa kuadu," pikir Zheng Yuqing, tentu
dalam penceritaan kembali Bajing Loncat, yang tentu mendengarnya kemudian sebagai maharaja bayangan.
"Jadi sebagai maharaja bayangan, diriku bukan sekadar maharaja
pajangan," ujar Bajing Loncat, "melainkan bisa mengganggu,
dengan sekadar mencuri-curi pengambilan keputusan!"
Zheng Yuqing tidak tahu bahwa yang dihadapinya adalah
maharaja bayangan! Meskipun Zheng Yuqing tahu gagasan dan
kehadiran seorang maharaja bayangan, tetapi Si Bajing Loncat
tampaknya telah berperan begitu baik, amat sangat baik, bagaikan
tiada lagi yang lebih baik. Bukan tiada mungkin lebih baik dari
maharaja itu sendiri! Mengapa tidak" Dalam seni peran ia hanya
bisa menyamainya, tetapi dalam seni pemikiran, ia boleh
1040 melampauinya, karena betapapun tiada batas bagi seorang raja
diraja Negeri Atap Langit bukan"
Namun siapakah kiranya yang telah memiliki gagasan semacam
itu, bahwa perdana menteri seperti Zheng Yuqing sebaiknya
ditemui seorang maharaja bayangan saja"
"Apakah itu penting?" Bajing Loncat masih mencoba untuk
mengelak, meskipun tidak ada yang perlu dipertahankannya.
"Tentu saja penting," kataku, "karena dialah yang berkepentingan
bukan?" Panah Wangi mendesak. "Siapa?" DEMIKIANLAH disebutkan, Maharaja Dezong, yang nama lahirnya
adalah Kuo dan nama keluarganya adalah Li, dinobatkan sebagai
maharaja Negeri Atap Langit pada bulan ke-6 tahun 779 untuk
menggantikan Maharaja Daizong yang berkuasa dari tahun 762.
Suatu kenyataan dengan pemerintahan Wangsa Tang semenjak
Maharaja Xuanzong yang bertahta antara tahun 712 sampai 756,
bahwa setelah mencapai puncak kejayaan yang gilang gemilang,
pada masa Xuanzong itu pula berlangsung Pemberontakan Anshi.
1041 Telah berulang-ulang pula kusampaikan bahwa meskipun pemberontakan yang dipimpin oleh An Lushan pada 755 itu telah
berakhir tahun 763, tetapi kekacauan yang diakibatkannya masih
terus berlangsung pada masa pemerintahan Maharaja Dezong.
Namun sejak awal pemerintahannya Dezong memperlihatkan
dirinya sebagai maharaja yang ulet dan hemat. Ia memperbaiki
cara pemerintah memperkenalkan memantapkan peraturan keuangannya pajak baru. dengan Usahanya ini menghancurkan kuasa panglima-panglima wilayah, dan kesalahan
dalam pengelolaannya, justru mengakibatkan sejumlah pemberontakan yang nyaris menghancurkan dirinya sendiri
maupun Wangsa Tang. Sejak peristiwa itu ia menangani para pejabat wilayah dengan lebih
hati-hati, tetapi yang menjadikan para panglimanya tidak terperiksa. Ini justru menyebabkan kepercayaannya tinggal kepada
orang-orang kebiri, dan kuasa orang-orang kebiri pun lantas
membesar berkali-kali lipat. Dezong dikenal selalu memiliki
ketakutan atas bayangannya sendiri, tentang pejabat-pejabat
tinggi yang memegang kekuasaan terlalu besar. Maka kepada
perdana menteri dan menteri-menterinya, Dezong hanya akan
memberikan kekuasaan terbatas.
"Siapa?" Panah Wangi mengulangi pertanyaannya.
1042 "Dou Wenchang dan Huo Xianming," jawab Si Bajing Loncat.
"Orang-orang kebiri?"
"Siapa lagi?" Maka Bajing Loncat pun wajib menyampaikan apa yang
didengarnya dari Zheng Yuqing kepada dua petinggi kebiri itu.
"Tetapi tidak semuanya kusampaikan kepada dua unta itu."
Tentu inilah yang dimaksudkan Si Bajing Loncat sebagai cara
membalaskan dendam jika berada di pusat kekuasaan. Mung?kinkah bekas begal ini melakukannya dengan suatu
rencana tertentu" Apakah segala sesuatunya di pusat kekuasaan
itu sekadar dikacaukannya tanpa peduli hasilnya, ataukah apa
yang tampaknya seperti kekacauan sebetulnya menutupi suatu
rencana matang penuh kehati-hatian"
Sun Tzu berkata: jika dikau tak bisa memilih pertarunganmu
dikau harus kembali kepada siasat yang meningkatkan kekuatanmu
1043 dengan memecah-belah kekuatan lawan 1
Angin membawa pergi asap dari unggun. Bajing Loncat sudah
bercerita sepanjang siang dan sekarang ia sudah tidak mau
berbicara lagi. Mungkin karena sudah menceritakan semuanya,


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin pula karena merasa sudah bercerita terlalu banyak.
Sepanjang pagi untuk sementara ia tampak menikmati kedudukannya sebagai orang yang menyimpan banyak sekali
rahasia, tetapi yang ketika sebagian besar rahasia itu sudah
disampaikannya, tampak seperti orang yang tiba-tiba saja
kehilangan banyak kekayaannya.
Maka menjadi pertanyaan dalam benakku, apakah yang belum
diungkapnya" Apakah yang tidak terungkap memang tidak perlu
terungkap karena sangat amat tidak penting, ataukah karena
memang merupakan rahasia yang begitu penting, sehingga
setelah semuanya disampaikan tetap saja rahasia ini tidak
mungkin diungkapkan"
Begitulah kami merasa rahasia itu ada, tetapi kami tidak bertanyatanya lagi karena juga merasa sudah sampai kepada batasnya.
Betapapun Bajing Loncat itu telah bercerita tanpa tekanan apa pun,
dan kami pun merasa betapa perjalanan kami tidaklah sia-sia.
1044 Kami berpamitan dan menjura.
"Bapak, kami akan kembali ke Chang'an sekarang juga, mohon
maaf telah mengganggu kehidupan Bapak sejenak. Kami
bersyukur Bapak telah berbicara banyak dan kami ucapkan terima
kasih atas segala sesuatu yang kini bagi kami telah menjadi
pengetahuan." Bajing Loncat juga menjura dengan wajah setulus-tulusnya,
sungguh dirinya bagi kami tidak tampak seperti seorang maharaja,
karena wajahnya sungguh seperti wajah seorang petani saja.
"Janganlah berkata-kata seperti itu," katanya, "aku mengerti
sepenuhnya betapa kalian datang dengan segala kesulitan dan
ancaman marabahaya, hanyalah untuk menyelamatkan diriku.
Sungguh beruntung aku mengetahui kedua pembunuh bayaran itu
datang, jika saja yang mengayunkan pedang dengan tangan kiri itu
sedikit bersabar, yakni mengayunkan pedangnya tidak bersamaan
dengan datangnya tombak, tetapi setelah diriku berkelit menghindari tombak itu, tentu kepalaku sudah tidak berada di
tempatnya lagi sekarang. "Nah, berangkatlah, pergilah, aku pun harus mengucapkan terima
kasih kepada kalian berdua, karena telah membuat nya?waku
1045 berharga dan membuatku sungguh merasa betapa hidupku ini
ternyata tidaklah sesia-sia yang kusangka. Sekali lagi terima kasih
dan jangan pernah lupa rahasia tentang rahasia yang kusampaikan tadi." Dia telah berbicara begitu banyak. Rahasia yang mana" Namun
Bajing Loncat telah menjawabkan untuk kami.
"Rahasia yang terbagi antara tiga orang kebiri."
PADANG rumput terbentang keemasan. Kami sudah beberapa
hari berada dalam perjalanan pulang ke Chang'an, berkuda
perlahan sambil memperbincangkan berbagai rahasia yang
diungkapkan Bajing Loncat selama menjadi maharaja bayangan.
Begitu rupa rahasia-rahasia dimuntahkannya sehingga kami mesti
agak lebih cermat membentuk alur ceritanya, padahal kami bukan
tukang cerita! Gagasan Perdana Menteri Zheng Yuqing untuk mengadu Harimau
Perang dengan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang tentu
merupakan gagasan yang cerdik.
Harimau Perang adalah kepala mata-mata pasukan pemberontak
Daerah Perlindungan An Nam, sedangkan Yang Mulia Paduka
Bayang-Bayang pemberontakannya tidak hanya mengandalkan
1046 jaringan keluarga besar Yang Guifei dari Shannan, melainkan
hampir semua pihak yang bermasalah dengan pemerintahan
Wangsa Tang. Keberadaan dan kecerdasan bersiasat keduanya sungguh telah
menyulitkan pemerintahan Wangsa Tang sehingga membuat
keduanya saling menggempur adalah gagasan yang bagus.
Namun gagasan itu tidak tersampaikan kepada Maharaja Dezong,
melainkan dibelokkan oleh dua pejabat kebiri yang bernama Dou
Wenchang dan Huo Xianming ke arah Maharaja Dezong juga,
tetapi hanya bayangannya, yang diperankan oleh Si Bajing Loncat!
Memang itulah gunanya seorang maharaja bayangan, yakni
mengecoh, dan permainan kerahasiaan dalam dunia kekuasaan
memang urusannya dibayangkan betapa adalah kecoh-mengecoh. semunya sejarah Dapatlah kekuasaan jika keberlangsungannya terjalankan dari keterkecohan yang satu
kepada keterkecohan lain.
"Bajing Loncat hanya pernah bertemu maharaja satu kali ketika
menyamakan wajah dan badannya, setelah itu dia ditangani oleh
orang-orang kebiri, yang menentukan seluruh hidupnya dalam
sepuluh tahun ini," ujar Panah Wangi.
1047 "Ya, kamu jangan membayangkan sebuah pesta pora jika ia harus
seranjang dengan Permaisuri Wang atau Selir Wei."
Panah Wangi menatapku dengan wajah bersemu merah dadu.
Harus kuakui betapa dadaku pun berdesir menatapnya, meski
perasaan seperti itu tidak bertahan lama karena dari depan kami
muncul suatu noktah, yang dengan cepat segera membesar dan
menuju langsung ke arah kami.
Pengantar surat itu berhenti agak jauh dan melompat turun dari
kudanya, berjalan beberapa langkah lantas menjura.
"Salam Pendekar Panah Wangi dan Pendekar Tanpa Nama, saya
diutus menyampaikan pesan kepada Puan dan Tuan berdua."
Kami pun balas menjura. "Kami merasa sangat terhormat mendapat salam dari seorang
pengantar surat yang perkasa," sahut Panah Wangi yang lebih
mengerti tata caranya daripada aku, ''dan apakah kiranya pesan
yang begitu penting itu?"
"Saya diminta menyampaikan kepada Puan dan Tuan bahwasanya
Pasukan Siasat Langit telah berhasil mencegah penyelundupan
peti-peti emas perbendaharaan negara di perbatasan Khaganat
1048 Uighur. Panglima mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan
Puan dan Tuan berdua. Kini saya mohon perkenan untuk
meneruskan perjalanan, demi tugas-tugas selanjutnya."
Segera kami saksikan pengantar surat itu mencongklang dan
menghilang di kejauhan. Kong Fuzi berkata: orang bijak senang di air,
orang baik senang di gunung.
yang bijak bergerak; yang baik diam.
yang bijak bahagia; yang baik tenteram. 1
Kami tentu masih ingat bagaimana Pasukan Siasat Langit yang
sebagian telah kami lumpuhkan berikut dengan kudanya itu, kami
pudarkan totokannya agar mencukupi untuk dibagi dua. Agar
sementara yang separo bisa mencegah berpindahnya perbendaharaan emas ke Anpei di wilayah Kaghanat Uighur,
separonya lagi mengepung Istana Terlarang dan meringkus
Pasukan Hutan Bersayap yang terlibat pencurian harta kerajaan.
1049 Demikianlah sepanjang jalan pulang di jalur cepat kami susun
kembali cerita Bajing Loncat tadi.
Pertama, tujuan utama pengepungan Chang'an oleh pasukan
pemberontak gabungan pimpinan Yang Mulia Paduka BayangBayang adalah mencuri uang emas perbendaharaan negara;
kedua, sebagian dari orang-orang kebiri anggota Pasukan Hutan
Bersayap terlibat dalam pencurian tersebut; ketiga, kerja sama
antara orang kebiri dan pihak pemberontak ternyata dimungkinkan
meski secara tidak langsung, justru oleh Harimau Perang!
Putri Anggrek Merah sebagai pengawal dan kekasih maharaja
telah mengendus jaringan busuk itu berdasarkan petunjuk
maharaja sendiri, yang tidak pernah diketahuinya ternyata adalah
maharaja bayangan. Namun gerakan yang telah dilakukannya,
yang mengawasi pemindahan peti-peti uang emas itu, rupanya
juga terendus oleh Harimau Perang, yang kemudian memutuskan
untuk membunuhnya. Sementara jaringan orang kebiri sendiri terpecah antara yang
sangat setia kepada maharaja dan keluarga istana, dengan orangorang kebiri yang merasa diri mereka sebagai penghuni istana
yang sebenarnya. 1050 "Jadi masih tetap Harimau Perang urusan kita," kataku.
Maka Panah Wangi pun menyahut.
"Kukira harus ditambah Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang yang
tidak pernah kelihatan itu."
DENGAN dugaan bahwa Harimau Perang masih berada di
Chang'an, kami menempuh perjalanan kembali ke kotaraya itu,
meski cuacanya cukup membingungkan. Antara matahari cerah
dan langit mendung terlalu sering saling bertukar sepanjang hari,
dan untunglah kami mulai terbiasa ketika pada suatu pagi berhujan
dari arah belakang kami datanglah dua kelompok berkuda dari
sebelah kiri dan kanan. Meskipun bukan kuda tempur, tampaknya kuda pengantar surat
tunggangan kami menangkap bahaya, dan segera melaju tanpa
menunggu perintah lagi. Sepanjang jalur cepat mereka melaju
seperti terbang, tetapi yang kuketahui tidak dalam waktu terlalu
lama karena kami telah melakukan perjalanan berhari-hari.
Sedangkan kuda para pengejar, 50 di sisi kanan dan 50 di sisi kiri,
tampak segar bugar, dan tanpa kuketahui sebabnya seperti
disiapkan untuk mencegat kami.
1051 Kuda kami memang kemudian tersusul dan kedua barisan di sisi
kiri dan kanan itu seperti berusaha menjepit kami. Di balik tirai
hujan kulihat kelewang besar di tiap pinggang mereka, yang
kukenali sebagai senjata yang biasa digunakan oleh para
penyamun, meski tentu tidak harus berarti siapa pun yang
menyandang kelewang adalah penyamun. Mengingat kami berada
di jalur cepat, jika mereka memang penyamun, tidaklah semestinya
mereka menyamun di tempat ini, yang merupakan lalu lintas
pasukan tempur, petugas rahasia kerajaan, pengantar surat, dan
segala macam hamba wet yang seharusnya dijauhi para
penyamun. Dari sisi kiri seseorang mendekati Panah Wangi yang memang
berada di sisi kiriku, dan membacokkan kelewangnya dengan gwakang atau tenaga kasar yang sangat besar. Meskipun tenaga kasar
adalah kasar, tetapi tenaga kasar yang besar adalah besar. Panah
Wangi memilih untuk menghindar dengan cara memiringkan tubuh
ke kanan daripada menangkisnya, tetapi tangan kirinya segera
mencabut pedang jian dari punggungnya dan putuslah lengan
yang membacok dengan kasar itu.
Di antara deru angin dan deras hujan yang kini mulai pula ditingkah
keredap kilat dan ledakan halilintar, terdengar teriakan yang lebih
menggambarkan kekecewaan daripada kesakitannya.
1052 "Hwaaaaaaahhhhhh!!!"
Harus kukagumi semangat penyamun ini, jika mereka memang
penyamun, ketika dengan lengan yang putus pada pangkalnya, ia
tidak menjauh tetapi mendekatkan kudanya ke arah kuda yang
ditunggangi Panah Wangi dan melompat berpindah ke sana!
Dengan lengan tangan kirinya ia memiting leher Panah Wangi,
menguncinya dengan jurus ilmu gulat yang tidak terpudarkan.
Dalam hujan angin yang menggila dan kecepatan yang jelas
melebihi kecepatan penceritaannya, aku pun tidak dapat mengikuti
kerinciannya dengan cermat, apalagi menghalanginya.
Tubuh raksasa itu menempel seperti kepiting pada punggung
Panah Wangi, yang di celah derasnya hujan tampak tercekik tanpa
daya. Panah Wangi tidak bisa menggunakan pedang jian di tangan
kirinya, karena sembarang mengayun pedang setajam itu, dalam
pergulatan buas di atas kuda yang melaju di tengah hujan deras
dengan kilat yang tiada henti-hentinya berkeredap seperti ini, akan
sangat berbahaya untuk dirinya sendiri. Sementara aku pun jauh
dari aman ketika dari sebelah kanan, saat semula aku merasa lega
karena impitan barisan itu melonggar, ternyata mereka menjauh
hanya agar bisa melepaskan ratusan anak panah untuk
merajamku! 1053 Ratusan anak panah bersuit-suit melesat di antara derasnya hujan
ke arahku. Di tangan pemanah yang piawai, derasnya hujan tidak
mempengaruhi lesatannya sama sekali, sehingga aku pun tidak
bisa mengurangi apalagi menghentikan putaran pedang jian di
tanganku yang berputar seperti baling-baling tercepat, sangat amat
cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat. Demikianlah di
atas kuda kami yang melaju kami diserbu dari samping kiri dan
samping kanan oleh barisan yang juga melaju sambil terusmenerus melepaskan anak panah, yang begitu pandai memainkan
jarak, sehingga ketika mereka dapat berbuat apa pun, seolah kami
tidak dapat berbuat apa pun kepada mereka.
Angin kencang menyapu hujan untuk sebagian membuat panahpanah itu berubah arahnya, tetapi sama sekali tidak mengurangi
bahaya karena sebenarnyalah bukan hanya diriku yang sebetulnya
kujaga, melainkan Panah Wangi yang belum bisa berbuat apa pun
juga apabila terdapat anak panah yang bukan sekadar menyasar,
tetapi yang justru dengan ketepatan luar biasa sengaja ditujukan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya! Aku masih memutar pedang jian seperti baling-baling menggiling
serbuan ratusan anak panah yang datang beruntun itu, ketika
kurang jelas bagiku apakah Panah Wangi jatuh atau menjatuhkan
1054 diri dari kuda, terguling-guling dengan penyamun bertubuh raksasa
yang masih terus memitingnya!
UNTUK beberapa saat aku masih melaju dengan kuda kosong
tanpa penunggang di sampingku. Anak panah masih berhamburan
dengan ketepatan terjamin ke arahku, yang membuatku masih
harus terus mengobat-abitkan pedang jian ke kiri dan ke kanan
melindungi tubuhku. Demikianlah aku membalikkan kudaku, tetapi
dengan hujan dan petir meledak-ledak seperti itu, Panah Wangi
dan pemitingnya yang tinggal memiliki lengan kiri yang digunakan
untuk memiting itu hanya kadang tampak dan kadang menghilang.
"Panah Wangiiiiiiiiiiiiii!"
Aku berteriak agak panik, tetapi jangankan menolong, karena
diriku sendiri pun tiba-tiba jatuh terbanting dari kuda, dan segera
terseret jerat rantai yang mendadak saja sudah melibat tubuh dan
mengunci kedua tanganku. Aku diseret dua ekor kuda di sebelah
kiri dan kanan, tetapi karena kedua tanganku terikat jadi satu, tidak
mungkinlah mereka membelah tubuhku dengan menariknya ke kiri
dan ke kanan, sebagaimana mereka lakukan kepada orang
hukuman atau musuh yang tertawan.
1055 Kukerahkan tenaga dalam agar kulit pada dada dan perutku tidak
terlalu lecet, dan tidak mengalami pendarahan yang tidak perlu,
tetapi bajuku hancur lebur, karena jalan lajur cepat yang tanahnya
dikeraskan itu juga amat sangat terlalu keras bagi busana kumalku
nan sudah lama sekali tidak dicuci. Hujan tercurah semakin deras.
Di jalur cepat, air mengalir seperti sungai, tetapi sungai yang
sungguh amat sangat terlalu dangkal, sehingga betapapun sedikit
banyak lebih dari meyakitkan. Apa yang dikehendaki para
penyamun ini jika terhadap kami sudah jelas mereka sama sekali
tidak menyamun" Dalam seretan kuda, dengan tubuh yang terantuk-antuk tanah
keras dalam kecepatan tinggi, di tengah teriakan para penyamun
yang dengan kesetanan saling berebut ingin membunuhku, aku
berusaha menengok ke arah Panah Wangi, tetapi tidak pernah
berhasil. Bukan sekadar karena tirai hujan yang berlapis-lapis telah
menciptakan kekelabuan tak tertembus, meski angin kencang
telah melambai-lambaikan tirai itu, tetapi jika Panah Wangi jatuh
dari kuda, sedangkan aku diseret dua ekor kuda dengan kecepatan
tinggi, tentu sulitlah diriku sekadar mengetahui keadaannya saat
ini. Terbayang olehku bagaimana penyamun raksasa itu masih juga
memiting leher Panah Wangi dengan tangan kirinya, dengan
1056 perasaan marah besar karena tangan kanannya mulai dari pangkal
lengan telah dibabat putus oleh Panah Wangi, justru ketika ia
sendiri sedang membacok Panah Wangi!
Mungkinkah Panah Wangi kini masih terpiting kuncian mati,
sementara berpuluh-puluh penyamun berkuda mengerumuninya,
menanti giliran untuk berbuat apa saja yang paling mungkin
dilakukan terhadap Panah Wangi"
Meskipun aku sangat percaya dengan kemampuan Panah Wangi,
perasaan khawatirku tidak dapat kuatasi. Dengan ilmu memberatkan tubuh, kedua kuda yang menyeretku tidak lagi
sekadar tak kuat menyeret tubuhku, melainkan dengan serentak
tersentak dan kedua kaki depannya terangkat ke atas, membuat
kedua penunggangnya yang tidak menyangka pun jatuh terpelanting. Dengan ilmu belut putih, jerat rantai pada tubuh dan tanganku
melonggar, dan aku pun berkelebat menembus hujan yang kini
telah semakin membadai, kembali ke tempat jatuhnya Panah
Wangi. Ternyatalah bahwa sepanjang jalan menuju tempat
jatuhnya Panah Wangi itu, pada setiap berapa langkah selalu
terdapat seorang penyamun yang menyerangku dengan tingkat
kepiawaian tinggi. 1057 Semua ini berlangsung dengan sangat cepat, begitu cepat,
bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat. Aku berkelebat, mereka
berkelebat. Mereka berkelebat, aku pun berkelebat, meski dalam
pandangan kecepatan tertinggi segalanya tampak begitu lambat,
sangat lambat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih lambat,
sehingga bahkan titik hujan bisa terlihat setiap titiknya melayang
jatuh, begitu pelahan, sangat amat pelahan, seperti latihan untuk
kematian. Begitulah sepanjang jalur itu kuhadapi penyabet kelewang,
penusuk tombak, pelecut cambuk, pelempar belati, dan penggebuk
gada, yang dengan segala hormat terpaksa kudahului gerak
senjatanya yang berusaha menghilangkan diriku dari dunia ini,
yang berakibat dengan lepasnya nyawa mereka dari tubuhnya.
Aku masih menyandang pedang jian milik kepala regu Pengawal
Anggrek Merah itu, tetapi aku tidak menggunakannya. Setiap kali
beradu cepat hanya kusentuh saja tangan, pundak, atau dahi
mereka, sehingga rubuhlah mereka di tanah basah itu tanpa akan
pernah bangun kembali. Namun ketika tiba di tempat, tidak kulihat lagi Panah Wangi!
HUJAN sebagai hujan itu sendiri dalam keluasan pandang sudah
seperti suatu bahaya. Di antara guntur menggelegar kilat
1058 berkeredap dan petir seperti dipersilakan menyambar nyawa siapa
saja, kebetulan maupun tidak kebetulan, sengaja maupun tidak
sengaja, selama perjalanan nasibnya melewati titik-titik ketakdiran
terburuk dalam hidupnya di muka bumi. Keadaan semakin rawan
apabila yang berlangsung di muka bumi itu sendiri, di kawasan
tersempit antara Dunhuang dan Chang'an, berlangsung pertarungan gila di dalam hujan tempat perbedaan antara kawan
dan lawan hanya dapat diperkirakan.
Satu, dua, tiga, empat bayangan dalam hujan berkelebat dari balik
tirai hujan antara terlihat dan tidak terlihat, antara bayangan dan
bukan bayangan, antara bukan bayangan dan seperti bayangan,
antara seperti bayangan dan bukan sekadar bayangan, antara
bukan sekadar bayangan dan bayangan yang tiada lain dan tiada
bukan memang adalah bayangan. Dalam kelebat bayangan yang
lebih cepat dari cepat, tidaklah terlalu dimungkinkan kepastian
pengenalan musuh atau lawan, tinggal rasa yang bergerak
melampaui pemahaman dan penalaran.
Pedangku bergerak empat kali, satu, dua, tiga, empat, dan empat
bayangan macam apa pun menjelma tubuh terbelah bersimbah
darah membuncah menyusur tanah basah.
"Panah Wangiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!''
1059 Namun sepertinya hanya hujan, hujan, dan tiada lain selain hujan
yang masih terus menderas dan mengelabu menyahut panggilanku. Hanya hujan" Rupanya di balik tirai hujan itu sudah melingkar
pagar betis kepungan orang-orang berpedang terhunus. Tidaklah
jelas bagiku di mana sekarang kuda mereka, tetapi barisan
pengepung tanpa kuda tidaklah kurang berbahaya karena bisa
mengunci, memapas, membacok, dan menusuk di tempat
mematikan dari jarak yang lebih dekat.
Seperti para penyamun gunung, busana mereka serbakumal,
tebal, dan kelabu. Namun di sini ditambah dengan kepala yang
mengenakan serban. Kucoba bicara sambil mengatasi suara hujan.
"Di manakah Pendekar Panah Wangi?"
Mereka tidak menjawab. Hujan membasahi tubuh mereka dan baru
kuperhatikan betapa semua pedang mereka adalah pedang
melengkung. Kemudian kudengar di antara mereka saling bicara. Mereka tidak
bicara dalam bahasa Negeri Atap Langit! Aku pernah mendengar
1060 bahasa orang Tibet maupun bahasa orang Uighur, tidak satu pun
dari yang kudengar ini mirip dengan bahasa keduanya. Jadi
mereka tidak berasal dari Kerajaan Tibet maupun Khaganat
Uighur. Di wilayah sempit yang terjepit kedua negeri tersebut,
sudah sering terjadi penyerbuan tentara maupun penyamunan
yang berasal dari wilayah keduanya, tetapi barisan berkuda ini
tidak berasal dari keduanya.
Seseorang maju ke depan, bicara dengan bahasa Negeri Atap
Langit yang tidak terlalu jelas.
"Tuan Pendekar Tanpa Nama bukan?"
Inilah kesempatanku. "Siapa yang berbicara?"
"Kami semua berasal dari Atlakh," katanya, ''Pendekar Panah
Wangi sebetulnya juga berasal dari sana, dan kami bertugas untuk
menjemputnya, tetapi sayang sekali Pendekar Tanpa Nama tidak
dapat ikut bersama kami."
Aku terdiam. Suara hujan bagaikan menghilang, tetapi tidak ada
yang menghilang, hanya perhatianku terserap lanjutan katakatanya.
1061 "Kami menjalankan tugas dari ayahnya, kepala suku kami, untuk
membawa pulang Panah Wangi kembali, karena ayahnya sedang
sakit keras dan harus ada yang menggantikannya. Ayahnya pun
mengetahui bagaimana putrinya telah menjadi seorang buronan di
Chang'an. Ini memperkuat minat ayahandanya untuk mengambil
kembali Panah Wangi dari pengembaraannya yang berkepanjangan. Sudah sepuluh tahun Panah Wangi pergi dari
kampungnya dengan alasan mencari ilmu dan pengalaman. Kini
kami membutuhkannya. Saya berharap Pendekar Tanpa Nama
bisa mengerti. Sebab jika tidak tentu kita harus bertarung lagi, dan
itu artinya masih akan ada korban, yang sungguh tidak perlu jika
urusannya seperti ini."
Hujan terdengar kembali, meskipun telah menyurut jadi gerimis.
Alih-alih mengepung untuk bertarung, pagar betis pedang
melengkung itu perlahan memudar seperti kabut atau pelangi yang
memudar. Ketika gerimis memudar dan udara menjadi bersih,
mereka semua hilang seperti ditelan bumi.
Hujan akhirnya berhenti sama sekali. Aku melanjutkan perjalanan
dengan kudaku sendirian saja menuju Chang'an. Serangan
mereka yang keras tadi, menurut orang yang berbicara itu, tidak
bisa dilakukan dengan cara lain, karena jika Panah Wangi yang
sempat mendahului, mungkin tidak ada satu pun di antara mereka
1062 yang kini masih hidup. Sejauh kukenal Panah Wangi yang keras
dan cukup kejam, kenyataan itu tidak dapat kuingkari.
Seng-Ts'an berkata: jika dikau tidak berprasangka
terhadap perhatian indera keenam,
maka dikau menyatu dengan pencerahan
AKU sudah kehilangan banyak orang dalam hidupku. Pertama kali
tentu kedua orang tuaku, lantas kedua orang tuaku lagi. Ya, tanpa
pernah mengalami perasaan memiliki terhadap kedua orang tua
kandungku, aku langsung merasa kehilangan ketika mengetahui
keberadaannya, justru pada saat kedua orang tua asuhku yang
telah kuhayati sebagai orang tua menyatakannya ketika meninggalkanku. Dua kali kehilangan terpenting hanya dalam satu
hari saja bagaikan suatu penanda betapa hidupku kemudian akan
mengarungi perjalanan kehilangan yang satu menuju perjalanan
kehilangan lainnya. Di dunia persilatan, tempat kematian adalah peristiwa sehari-hari,
tentu kehilangan adalah sesuatu yang sangat diakrabi, tetapi
perasaan kehilanganku bukanlah perasaan kehilangan karena
kematian, melainkan perpisahan, baik karena kematian maupun
1063 yang lain dari kematian, dengan mereka yang menjadi bagian dari
kehidupan pribadiku. Bukankah kepergian Sepasang Naga dari
Celah Kledung, yang tidak harus berarti kematian, merupakan
kehilangan terbesar bagiku, dibanding begitu banyak perpisahan
yang disebabkan oleh kematian karena pertarungan"
Bahkan adalah kehilangan itu yang telah membuat diriku
mengembara, seolah-olah dunia yang terjelajahi bisa meng?gantikannya. Namun, semakin lama dan semakin jauh aku
mengembara, bukanlah aku menjadi terhindar, melainkan semakin
lama semakin dalam terbenam dalam perasaan kehilangan itu,
melalui pertemuanku dengan siapa pun yang melalui berbagai
kejadian dan peristiwa memasuki ruang dan lapisan terdalam di
dunia batinku.

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehilangan demi kehilangan, betapapun, tidaklah menjadi kehampaan tanpa makna, karena justru makna demi makna itulah
yang membuatku terus-menerus melangkah, berjalan, berpikir,
melihat, mendengar, menghayati, merenung, dan berpikir lagi, dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan kini
sudah berapa tahunkah diriku mengembara" Ya, aku mengembara
bukan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tetapi dari makna
yang satu menuju makna lain, yang sebagai gumpalan makna
dalam diriku pun belumlah segala sesuatunya teruraikan.
1064 Kini, pada suatu titik di bumi, di sinilah aku, aku dan kudaku,
berjalan sendiri, menalar dan merenung, terbayang mereka yang
sempat menjadi bagian hidupku lantas dengan begitu saja lenyap
ditelan bumi. Sang Buddha berkata: semuanya akan sampai pada akhir,
meski berlangsung semiliar tahun 1
Aku harus menyeberangi sungai itu lagi, tempat aku dan Panah
Wangi pernah melihat Selendang Setan melatih jurus-jurus tanpa
selendang pada dini hari. Hanya selintas, tetapi keindahannya
masih dapat kuingat sampai sekarang. Ini juga dini hari yang sunyi,
tempat aku sebaiknya tidur dengan selimut yang hangat di sebuah
penginapan, atau berdiam di dekat sebuah api unggun, tetapi
perasaan kosongku sulit diajak berdamai dan memberikan
suasana hati yang tidak terlalu me?nyenangkan setiap kali diriku
kembali ke dalam kesendirian.
Ini memang tempat penyeberangan yang dulu, tentu di seberang
yang berlawanan, tempat terdapatnya perahu-perahu penye?berangan yang semuanya bersandar di tepian, kedai, dan
1065 penginapan dengan kuda, keledai, dan unta terikat di depannya.
Namun aku merasakan betapa kesunyian ini sungguh terlalu sunyi.
Kudaku melangkah pelan mendekati tempat persinggahan. Angin
dingin bertiup pelan seperti memberi tempat kepada suasana itu.
Terdengar dengus kuda, dan kulihat ekornya sengaja bergerakgerak, seperti memberi tanda.
Hmm. Kuda itu tentu adalah kuda mata-mata yang terlatih. Ada
sesuatu yang seperti berlangsung tidak dengan sewajarnya di sini.
Semakin mendekat terasa semakin mencekam. Kesunyiannya
bukanlah kesunyian yang membawa keheningan, melainkan
kematian. Lantas kulihat mayat-mayat yang bergeletakan itu. Kini kudaku
yang mendengus, bahkan kemudian berhenti, seperti memintaku
memeriksa mayat-mayat itu. Aku pun turun dari kuda dan
mendekati. Sekali tatap tampaklah betapa tiada tanda-tanda
kekerasan pada orang-orang yang malang tersebut. Mungkin
mereka sedang saling bercakap-cakap dengan berhadapan dan
secara berbarengan tiba-tiba tidak bernapas lagi. Itulah yang
kusimpulkan dari kedudukan jatuhnya mereka, bukan jatuh ke
depan dan tertelungkup atau jatuh ke belakang dan terlentang,
melainkan lutut mereka langsung menekuk ketika sedang
1066 bercakap-cakap dan mendadak tiada berdaya. Begitu saja nyawa
itu melepaskan diri dari tubuhnya, seolah-olah tanpa penyebab apa
pun jua. Apakah yang telah terjadi" Jika manusia mati, kenapa hewan
peliharaan tetap hidup"
Aku bergegas menuju kedai dan membuka pintu.
AKU membuka pintu kedai, terasa hangat karena uap berlebihan
dari dapur. Semua orang juga sudah mati dengan cara yang sama,
yakni tiba-tiba tertekuk lututnya jika berdiri, tiba-tiba tertelungkup di
meja makan jika sedang di sana, dan seperti tidak terjadi apa pun
jika sedang tidur-tiduran, kecuali bahwa akan seperti tidur
selamanya tanpa pernah bangun lagi, karena memang sudah mati.
Sedang makan, sedang minum, sedang bercakap-cakap, sedang
tertawa-tawa, sedang melamun sendirian, sedang masak, sedang
mencuci peralatan, tanpa sebab apa pun kehilangan nyawanya.
Mati begitu saja. Kulihat api menyala di bawah kuali pemanas arak
beras sebelum dimasukkan ke dalam guci dan dibawa ke depan.
Kejadiannya belum lama, tetapi sudah mematikan semuanya.
Tentu saja bukan tanpa kesengajaan sama sekali. Bagaikan ilmu
sirep, yakni ilmu yang membuat manusia tertidur, yang hanya
1067 berpengaruh kepada mereka yang lebih muda daripada ilmu sirep
itu -kukira semacam ilmu penyebar wabah, tetapi yang membunuh
tanpa harus menyebarkan penyakit, melainkan langsung saja
menghilangkan nyawa tanpa hingar-bingar pertentangan yang
membuat siapa pun merasa harus menghapus nyawa manusia
untuk selama-lamanya. Konon terdapat juga ilmu penyebar wabah yang juga disebut ilmu
teluh ini, yang bahkan tidak memungkinkan seseorang bangkit lagi
di alam kematian nanti. Betapa berkuasanya! Tetapi mungkinkah"
Kukira ini hanya mungkin jika alam kematian itu ternyata tidak ada!
Betapapun ilmu pembunuh ini sekarang telah memilih hanya
menghilangkan nyawa manusia. Hewan ma?sih hidup di bawah
terangnya bulan, dan kuda mata-mata yang rupa-rupanya sangat
terlatih tadi, telah memberikan kepadaku suatu penanda dengan
cara menggerakkan ekor tiga kali.
Apa maknanya" Sejauh yang kuketahui, jika suatu penanda terusmenerus diulang, salah satu kemungkinannya adalah tanda
bahaya! Sayang sekali, seperti pernah kukatakan, ilmu sihirku
memudar seiring dengan tumbuhnya penalaranku; sebelumnya,
ilmu sihir yang terserap atau diserapkan oleh Raja Pembantai dari
Selatan di Yavabhumipala, bisa menanggapi serangan sihir
1068 macam apa pun, bahkan tanpa diriku harus menguasai atau
mempelajarinya. Apakah, seperti biasanya yang dikatakan tentang ilmu teluh, akan
terlihat semacam bayangan yang tidak mewujudkan apa pun"
Namun kukira semacam ubur-ubur raksasa tembus pandang, yang
tentunya tidak kehijau-hijauan, melainkan kemerah-merahan,
artinya kemerahan tergelap yang sulit dibedakan dengan
kegelapan malam. Jika memang keadaannya seperti itu, apakah yang bisa
kulakukan" Tentu tiada lain selain menunggu, bukan karena
menyerah, melainkan karena merupakan cara terbaik, jika
memang teluh ini - kalau memang teluh - hanya menghilangkan
nyawa manusia dan bukan hewan, termasuk kuda mata-mata yang
telah mengingatkan diriku dengan memberikan tanda bahaya.
Datanglah kepadaku, datanglah, karena diriku yakin, teluh atau
bukan teluh, pembunuhan yang hanya membunuh manusia ini
berasal dari manusia! Gagasan ini tiada menimbulkan gagasan lain kepadaku selain
membunuhnya pula! 1069 Avalokita berkata: di sinilah, o, Sariputra segala dharma ditandai dengan kekosongan;
tidak dihasilkan atau dihentikan,
tidak najis atau suci, tidak kekurangan maupun kecukupan 1
Seekor kuda meringkik di tepi sungai, maka aku pun berkelebat ke
sana. Aku tidak tahu di sebelah mana kuda itu ketika diriku tiba di
sana, tetapi ringkik itu seperti hanya memberitahuku akan
pemandangan tiada terduga.
Mula-mula hanya satu tubuh anggota Kesatuan Perompak Ular
Sungai yang tampak mengambang di bawah cahaya bulan sabit
yang tidak terlalu terang. Kemudian dua, empat, delapan,
enambelas, tigapuluhdua, enampuluhempat mayat perompak
berturut tampak mengambang. Apakah sedang terjadi pembasmian kelompok ini" Jika mayat ini terus bertambah, sudah
1070 jelas kelompok perompak yang dipimpin Selendang Setan ini akan
musnah. Namun apakah yang harus disayangkan dari musnahnya para
perompak bukan" Aku teringat cerita tentang Kesatuan Perompak
Ular Sungai yang selalu membagi hasil rampokannya kepada
penduduk sepanjang sungai, tetapi seperti menjadi musuh abadi
pe?merintahan Wangsa Tang. Jadi siapakah yang telah membantai mereka" Saingan atau lawan sesama perompak dari
golongan hitam, ataukah seorang pendekar yang sedang berniat
melakukan tindak kepahlawanan"
Angin bertiup lebih lamban lagi, sehingga dapat kudengar bunyi
yang ditimbulkan mayat-mayat itu, ketika menabrak badan kapal
dan tersangkut di sana. Begitulah mayat-mayat itu sebagian
menyangkut dan sebagian sama sekali tidak terseret ke tepian,
melainkan seperti berlomba-lomba saling mendahului ketika
terbawa arus menuju ke hilir. Dengan jumlah mayat yang mencapai
ratusan, sudah jelas di sepanjang sungai ini akan berlangsung
segala macam kegemparan...
BAIKLAH, teluh membunuh para perompak karena memang
ditujukan kepada para perompak, dan diriku jauh dari keinginan
untuk mencampuri urusan itu. Tetapi perasaanku tidak bisa tidak
1071 terganggu jika teluh yang justru telah memisahkan hewan tersebut
tidak membeda-bedakan korban manusia. Para pengantar surat
dengan pesan-pesan penting mereka, kaum pedagang dari Jalur
Sutera yang sekadar singgah sebelum kembali menghubungkan
dunia, anak remaja yang mungkin untuk pertama kalinya
mengembara, seorang ibu paro baya di dalam kedai, tukangtukang perahu dan para penumpang dengan bekal seadanya yang
menginap di perahu itu, haruskah mereka juga ikut menjadi
korban" Kaum perompak tidak bermukim di tempat persinggahan, tidak
pula di kampung-kampung sepanjang sungai, dan tidak pula di
perahu-perahu penyeberangan. Mereka bermukim di tempat
tersembunyi, dan karena itu sangat tidak mudah ditemukan, meski
tentunya tetap berada di sekitar bagian sungai yang telah mereka
kuasai selama 20 tahun itu. Kukira kemungkinan besar mereka
juga menggunakan tabir halimunan, sehingga meskipun mereka
sesungguhnyalah berada di sana tetapi tidak terlihat tidak
terdengar dan tidak terasakan sama sekali kehadirannya.
Sihir harus dilawan dengan sihir, maka rupa-rupanya telah
digunakan sihir pula untuk menembus tabir halimunan, yang
selama 20 tahun berhasil menutupi keberadaan para perompak
sungai di sepanjang sungai tersebut, apakah itu di delta yang
1072 banyak terdapat di sana, apakah itu di dinding-dinding tebing
tempat terdapatnya gua-gua tersembunyi, apakah itu kampung di
antara kampung-kampung di sepanjang tepi sungai itu juga, tetapi
yang seluruh penduduknya adalah para perompak dan keluarganya. Apakah itu berarti keluarga perompak harus dianggap sebagai
perompak juga" Namun jika teluh ini mematikan pula kehidupan
mereka yang hanya lewat dan menunggu perahu penyeberangan
diberangkatkan besok pagi, dapat kubayangkan betapa tanpa
pandang bulu telah dimatikannya pula setiap manusia yang
bernapas di wilayah ini. Bukan hanya korban tiada berdosa di
kampung para perompak, tetapi juga segenap kampung tempat
tiada seorang perompak pun bermukim di situ.
Teluh ini membantai semua orang, tampaknya tepat sebelum aku
tiba di sini. Tampaknya! Saraha berkata: ia yang tidak menikmati indera-indera dimurnikan,
dan hanya menjalankan Yang Dibatalkan,
seperti burung yang terbang dari sebuah kapal,
1073 lantas berputar dan hinggap di sana lagi 1
Bulan sabit tertutup awan dan kini dunia menjadi hitam, hanya
hitam, dan tiada lain selain hitam dalam kegelapan terkelam yang
pernah ada di muka bumi. Di tepi sungai, aku berlutut dan
kuperhatikan permukaan sungai untuk membaca pergerakan
angin, dan setelah beberapa saat berlalu, aku merasa kecewa
ketika merasa betapa tampaknya tidak ada sesuatu pun akan
terjadi. Namun mendadak kucabut pedang jian di punggungku, kusalurkan
tenaga dalam dengan rapalan mantra yang masih kuingat dari
himpunan mantra-mantra yang pernah disalurkan paksa ke dalam
diriku oleh Raja Pembantai dari Selatan, karena aku merasakan
datangnya suatu bahaya, yang tidak seperti biasanya, sebab tidak
datang dari dunia persilatan, melainkan dunia para penyihir!
Aku mengenali firasat seperti ini dan tahu cara mengatasinya,
ketika yang kurasa seperti bahaya itu menyekapku segeralah
kugerakkan pedangku dengan Jurus Naga Membantai Bayangan
Kosong. Sepintas lalu hanya kosong, gelap, dan sunyi, tetapi ketika
pedang jian membabat dengan jurus bermantra itu bagai
terpudarkan sesuatu yang tersembunyi, yang ketika tampak
1074 langsung sudah terbelah-belah, menggeliat-geliat dalam keadaan
mengambang, dan tetap hidup!
Itulah yang tampak, sungguh tampak, bagaikan tiada lagi yang
lebih tampak, meskipun pedangku sama sekali tidak menyentuh


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa pun, karena memang bukan pedang yang telah mengenainya
melainkan mantra itu. Betapapun keterbelahannya adalah karena
adanya pedang yang seperti dapat membelah tanpa pernah
mengenainya. Belahan yang menggeliat-geliat itu mengambang,
terbang, lantas memercikkan keredap cahaya yang melesat dan
menyambar. Lebih cepat dari senjata rahasia tercepat, dengan bentuk antara
kunang-kunang dan letik api, tetapi yang lebih muram kemerahmerahan, segalanya melesat me?nuju diriku dari arah mana pun
terdapat belahan itu. Apakah pembunuhan itu seperti tugas yang
bisa diserahkan kepada segala sesuatu yang berbalut mantra"
Aku hanya mengetahui betapa belahan yang menggeliat dan
mengambang, terbang dan melesatkan keredap cahaya kemerahan untuk mematikan diriku itu hanya mungkin menjadi
demikian karena terdapatnya suatu tujuan!
Kugerakkan lagi pedangku.
1075 DALAM kegelapan, di hadapan mayat - mayat bergelimpangan,
siapakah yang akan melihat diriku menari" Namun bagi siapa pun
yang berusaha membayangkannya, aku sama sekali tidak sedang
menari, melainkan sedang membawakan jurus-jurus musuh teluh,
karena jika Jurus Naga Membantai Bayangan Kosong belum bisa
memudarkan teluh itu, bahkan sebaliknya menggandakannya,
maka harus segera disusul jurus-jurus bersepuh rapalan mantra
yang seharusnya akan mematikannya.
Seperti tarian tetapi bukan tarian, ketika diriku mengambang
dengan gerak lamban dalam Jurus Naga Mengecoh Ilmu Gaib,
yang harus segera disusul Jurus Naga Menelan Mantra, dan
ditutup Jurus Naga Membanting Tukang Sihir. Dengan jurus
terakhir ini, jika kedua jurus sebelumnya berjalan dengan baik,
maka sang penyihir di mana pun tempatnya berada akan terserap
ke hadapanku, dan saat itulah kami berdua harus melakukan
pertarungan hidup dan mati.
Maka aku pun mengambang dan bergerak pelan seperti mantra itu
telah membuatnya, jurus tetapi bukan jurus silat, ini jurus peredam
dan pembunuh sihir. Begitulah letik cahaya kunang-kunang yang
berkeredap muram kemerah-merahan itu melesat lebih lagi ke
arahku, tetapi kali ini bukan dengan daya membunuh, melainkan
justru terserap ke dalam diriku tanpa daya apa pun. Dengan
1076 terserapnya berlaksa-laksa letik cahaya yang muram itu, bukan
hanya diriku, melainkan siapa pun di mana pun tidak akan dapat
dicelakakan oleh gubahan sihir, yang dalam kenyataannya tiada
dapat memilih lawan atau kawan.
Arus berlaksa-laksa letik cahaya kunang-kunang, yang berkeredap
muram kemerah-merahan, ternyata nyaris tiada habisnya,
mengikuti gerakanku sehingga tampak seperti tarian naga. Arus itu
menyerapkan diri ke dalam diriku saat kumainkan jurus-jurus
tersebut berurutan satu per satu, sebagaimana seharusnya jurusjurus itu berlaku. Jurus Naga Mengecoh Ilmu Gaib membuat arus
cahaya itu melesat menuju ke arahku tanpa tujuan membunuh lagi.
Jurus Naga Menelan Mantra membuat arus cahaya itu merasuki
diriku, artinya lenyap terserap ke dalam asal gerakan jurus-jurus
itu, yang segala keberdayaannya berbalik menyerap mengisap
menyedot menarik dengan cara apa pun dari mana pun siapa pun
orangnya penyebar teluh itu,
yang ketika muncul harus diselesaikan dengan Jurus Naga Membanting Tukang Sihir.
Berada di mana pun, selama masih berada di dunia ini, sang
penyihir akan lenyap dari tempatnya berada, di hadapan siapa pun,
untuk muncul di hadapanku dan kubabat dengan pedang jian ini.
1077 Pada jurus yang terakhir aku sudah menginjak tanah, tetapi arus
berlaksa-laksa letik cahaya kunang-kunang yang berkeredap
muram kemerahan, terus merasuk lewat gelombang jurus yang
kubawakan seperti tarian terpelan, begitu pelahan, amat sangat
pelahan, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih pelan. Dari kejauhan
akan terlihat bagai tarian naga kemerahan yang dalam keperlahanannya mungkin tampak sangat indah, yang tidak akan
membuat siapa pun menduga betapa keindahan itu begitu sarat
dengan kekejaman. Ketika arus cahaya muram habis bagaikan naga menari itu
merasuki diriku, penyihir itu muncul dari kegelapan tanpa bisa
menahan sedotan, dalam keadaan mengambang meluncur ke
depan dengan pedang hitam terhunus yang dipegang dua tangan
lurus ke depan. Penyihir itu mengharapkan untuk mati bersama,
tetapi Jurus Naga Membanting Tukang Sihir tidaklah mengizinkannya. Begitu muncul kusambut dirinya dengan Jurus Naga Menggeliat
Mengibas Ekor yang berupa sepakan lwe-kang, sehingga bukan
saja pedang hitamnya terlepas dan menancap tegak lurus, tetapi
dirinya berputar seperti gasing ke atas. Waktu turun kulakukan
pembabatan, bukan dengan pedang jian, tetapi dengan pedang
hitam yang menyambut putaran gasing.
1078 Terbelahlah penyihir itu menjadi 108 potongan. Ketika menyentuh
tanah setiap potongan itu menyala karena api, dan mengeluarkan
bunyi desis sekeras-kerasnya ketika lenyap dan meninggalkan
asap. Setelah itu pedang hitam tersebut membara kemerahan
karena dengan lwe-kang pula diriku melelehkannya.
Saat itulah terdengar jeritan keras mengaduh-aduh melolonglolong yang diakhiri suara seperti tercekik.
Lantas sisanya hanyalah sunyi ....
Saraha berkata: 'Inilah diriku dan inilah yang lain.'
bebaslah dari ikatan yang meliputi dirimu,
maka dirimu sendiri terbebaskan 1
Ternyata masih terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, yang
datang dari atas genting salah satu bangunan.
Kukira aku mengenali suaranya!
"HEHEHEHEHEHEH ! Masih percaya ada sihir di dunia ini" Dunia
persilatan pun sesungguhnyalah penuh dengan moshu! Heheheheheheh!" 1079 Moshu maksudnya adalah sulap. Di atas genting itu, kukenali
Pengemis Tua Berjenggot Putih, yang dalam kegelapan tetap saja
terlihat sedang mengelu-elus jenggotnya. Apakah aku harus
merasa senang seperti bertemu kawan lama dengan orang ini"
Ataukah aku seharusnya curiga"
Kukira Pengemis Tua Berjenggot Putih tidak mungkin kebetulan
saja berada di wilayah kekuasaan Kesatuan Perompak Ular
Sungai ini. Percakapan yang kudengar ketika dirinya bertarung
melawan Selendang Setan waktu itu, seharusnya sudah cukup
jelas, tetapi siapakah kiranya yang akan menduga betapa malam
ini para anggota Kesatuan Perompak Ular Sungai mengambang
begitu rupa" "Duapuluh tahun yang lalu Ular Sungai sengaja menjauhkan aku
dari Selendang Setan, agar diriku tidak terlibat dalam persaingan
merebut kedudukan ketua," ujarnya, ''Meskipun aku bukan anggota
Kesatuan Perompak Ular Sungai, jika dapat kukalahkan semua
pesaing dalam perebutan itu, maka aku berhak menjadi ketuanya,
yang kiranya sangat tidak dikehendaki Ular Sungai.
"Namun Ular Sungai sebetulnya juga tidak menghendaki siapa pun
menjadi ketua selain putrinya sendiri, yang meskipun tidak kalah
berminat, sebetulnya tidak punya cukup ilmu silat untuk
1080 mengalahkan ketiga perompak lain yang menjadi pesaingnya.
Maka sebelum mati Ular Sungai menurunkan ilmunya kepada
Selendang Setan, dengan syarat bahwa dia tidak boleh kawin
selama hidupnya. Saat itu Selendang Setan belum bernama
Selendang Setan, karena ilmu itulah, yakni Ilmu Silat Selendang
Setan, yang digubah berdasarkan gerakan ular sungai yang telah
membuat Ular Sungai disebut Ular Sungai, maka Selendang Setan
bernama Selendang Setan. "Sebagai kekasih Selendang Setan, permainan Ular Sungai
menghancurkan hidupku, begitu rupa sehingga aku tidak pernah
menikah selama hidupku. Tentu juga tidak adil bahwa aku
dijauhkan dari kesempatan merebut kedudukan itu, dengan alasan
diriku adalah anggota Partai Pengemis, karena itu melanggar
peraturan kaum perompak sendiri. Peraturan hanya mengatakan,
setelah berhak atas kedudukan ketua melalui pertarungan, maka
segenap keterikatan dengan kelompok apa pun, termasuk
perguruannya sendiri, harus dilepaskan."
Aku tidak mengatakan apa pun, sebaiknya aku menunggu.
Memutuskan untuk bertindak tanpa kejelasan apa pun adalah
sangat berbahaya. Apalagi belum terjawab, apakah memang
sudah pasti bahwa Pengemis Tua Berjenggot Putih melewati
wilayah ini karena kebetulan.
1081 "Sudah kujelaskan kepada Ular Sungai bahwa aku sudah keluar
dari Partai Pengemis atas permintaanku sendiri, dan karena?nya
hal itu tidak bisa menjadi alasan, tetapi Ular Sungai tidak percaya
dan meminta bukti tertulis dari ketua Partai Penge?mis, atau saksi
mata, untuk meyakinkannya. Aku pergi dan mendapatkan
pernyataan tertulis dari ketua Partai Pengemis, tetapi ketika aku
kembali kedudukan ketua itu sudah dipegang Selendang Setan.
Perempuan itu menyatakan pemilihan ketua itu dipercepat karena
Ular Sungai sudah begitu parah sakitnya. Apakah ini bisa
dipercaya?" Langit yang semula gelap mulai terang. Nada suara Pengemis Tua
Berjenggot Putih itu meninggi.
"Pendekar Tanpa Nama, apakah semua ini bisa dipercaya"
Apakah tidak mungkin terjadi yang sebaliknya" Selendang Setan
membunuh semua pesaingnya maupun Ular Sungai dan
mengarang cerita itu!"
"Membunuh ayahnya sendiri?"
Pengemis Tua Berjenggot Putih, yang semula duduk di wuwungan
bangunan sederhana di persinggahan ini, melompat berdiri dan
meludah. 1082 "Cuih! Kamu kira ayah macam apa Ular Sungai itu" Kamu kira
urusan macam apa pula yang akan membuat Selendang Setan
merasa pantas membunuh ayah kandungnya itu?"
Aku menahan diri untuk tidak mendesak, karena kuketahui betapa
kenyataan di dunia persilatan seringkali sangat mengerikan.
"Lebih baik aku tidak menceritakannya," ujar Pengemis Tua
Berjenggot Putih, ''karena tidak adil jika bukan orang yang
mengalami, atas niatnya sendiri, yang bercerita."
Jika yang dimaksud Selendang Setan, ia tidak bisa bercerita atau
membela diri, karena sejauh kuketahui tidakkah waktu itu dia
mengalami luka dalam dan tenggelam" Tiga orang yang
membabatnya dengan lwe-kang, tentulah parah. Namun jika
Pengemis Tua Berjenggot Putih mengatakan, jangan pernah
bertarung dengan Selendang Setan di dalam air, dapat berarti
meskipun mengalami luka dalam, ketertenggelaman itu sendiri
bukan hanya tidak akan membunuhnya, melainkan sebaliknya,
justru menyembuhkannya! "MEMANG ceritaku berbeda dengan ceritamu!"
1083 Kudengar suara di belakangku. Selendang Setan! Hmm. Masih
perlukah kulakukan sesuatu di sini, setelah semua pelaku dari
lakon mereka kembali lengkap"
"Pendekar Tanpa Nama boleh menjadi saksi dari apa yang akan
terjadi nanti, dan kalau perlu menengahinya, karena orang tua ini
sungguh licik dan mesum sehingga tiada semestinya dunia
persilatan membiarkannya tetap hidup!"
Itu berarti aku tidak bisa pergi. Baiklah.
"Apa maksudmu, betina, bahwa aku licik dan mesum" Apakah
bukan dirimu dulu yang bersumpah setia di hutan itu, menyatakan
cinta sampai mati" Dan apakah lagi yang bisa dibuktikan sekarang
ketika dirimu terkenal sering berganti lelaki meski tak bisa
mengawininya" Apakah kamu pikir kami tidak mengerti akan
perasaan cemburumu yang di luar batas kepada perempuan
kekasih Pemuda Liu itu" Setidaknya aku pun tahu rencanamu
untuk meninggalkan Kesatuan Perompak Sungai Ular, yang
kepadanya dirimu terikat sumpah, tetapi akan tetap kamu jalankan
juga karena tergila-gila dengan pemuda yang sebetulnya anak
perompak sungai di hulu, yang sebetulnya juga merupakan tabu"
1084 "Coba bayangkan jika pemuda bodoh itu tidak terbunuh oleh
Pendekar Tanpa Nama, dan jika istrinya yang hampir berhasil
mengelabui kita itu tidak terbunuh oleh Pendekar Panah Wangi,
yang kebetulan sekali sedang menyeberangi sungai ini. Bayangkan! Kebetulan yang menguntungkan! Apa jadinya kalau
tidak" Mungkin bukan dirimu, tetapi istri Pemuda Liu itulah yang
akan menjadi ketua Kesatuan Perompak Sungai Ular, karena
Pemuda Liu pun pasti akan dibunuhnya! Dan tahukah kamu siapa
dia?" Selendang Setan tidak menjawab. Pengemis Tua Berjenggot Putih
itu melanjutkan. Langit sudah cerah sekali karena semua orang
sudah mati. Angin bertiup tidak terlalu kencang, seperti sengaja
memperdengarkan kesunyian itu sendiri.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja kamu tidak mengerti wahai perempuan yang kini
bernama Selendang Setan, karena kamu hanya peduli terhadap
dirimu yang selalu mencari cinta dari dunia orang awam, siapa pun,
asal bukan dunia persilatan. Ya, jangan dikira diriku tidak tahu
wahai Selendang Setan, betapa dirimu sebetulnya merasa rendah
diri menjadi anak perompak yang tidak mampu membaca aksara.
"Kamu merasa betapa orang awam yang mampu membaca, dan
apalagi yang berpikir sedikit lebih berat adalah tinggi derajatnya,
1085 dibandingkan dengan para penyoren pedang dari dunia persilatan,
apalagi di dunia persilatan pun dirimu termasuk golongan hitam
yang memang hidup tidak untuk dipuji, melainkan untuk dikutuk
dan dimaki. "Bukankah itu sebabnya kamu tidak belajar Ilmu Silat Selendang
Setan dari kitab, melainkan dengan cara pemindahan tenaga
prana dan mantra-mantra jurus langsung dari ayahmu, dan
sesungguhnya itulah yang menjadi salah satu penyebab kematiannya" Kukatakan salah satu, wahai Selendang Setan,
karena kamu tahu apa lagi yang kamu lakukan untuk membunuhnya! "Tahukah engkau Selendang Setan, siapa sebenarnya perempuan
yang hampir kamu bunuh, tetapi sebetulnya hampir membunuhmu
itu" Memang benar aku Pendekar Tanpa Nama dan Pendekar
Panah Wangi telah berbaik hati menangkis pukulanmu, tetapi jika
pun kami bertiga pada saat yang sama tidak sedang menyeberangi
sungai ini, kujamin kamu yang akan menjadi korban."
Selendang Setan sejak tadi memandang Pengemis Tua Berjenggot Putih dengan tenang.
1086 "Bicaralah terus Pengemis Tua Berjenggot Putih," katanya,
"tidakkah dikau sadari betapa dirimu sungguh sedang mengungkap kebusukanmu sendiri?"
Angin bertiup lebih kencang, dan semakin kencang, dan tidak
pernah kembali pelahan, sehingga dengan segera terdengar suitan
panjang angin yang mengencang tiada tertahan di antara dua
dinding lembah sungai itu.
Pada wuwungan itu, Pengemis Tua Berjenggot Putih berdiri
perlahan-lahan. Aku menahan napas. Terasakan olehku tubuhnya
yang bergetar menahan1 amarah. Sikap Selendang Setan
memang meyakinkan, tetapi nada dan cara berbicara Pengemis
Tua Berjenggot Putih meyakinkan sebagai penanda kejujuran.
Mungkinkah kedua-duanya benar"
Saraha berkata: bertanyalah tanpa keraguan,
bebaskan gajah yang adalah pikiranmu,
bahwa ia akan minum air sungai,
dan tinggal di anak sungai sesukanya. 1
1087 Kusadari urusan mereka sangat rumit. Aku sebetulnya tidak ingin
terlibat. Namun aku berkepentingan dengan pembunuh begitu
banyak orang, yang sebagian masih mengambang di sungai ini..
LANGIT terang, angin bertiup kencang, tetapi kami merasa berada
di dalam kuburan. Ternyata lebih banyak lagi mayat-mayat orang
tidak berdosa bergelimpangan dan bergeletakan di berbagai sudut
yang dalam kegelapan semalam tidak segera dapat terlihat.
Betapapun ini bukan sekadar tempat persinggahan para pengantar
surat, melainkan pangkalan perahu-perahu penyeberangan,
sehingga ketika malam akan terdapatlah para calon penumpang
yang menginap agar dapat menggunakan jasa tukang perahu pada
penyeberangan terawal. Mereka yang tidak punya cukup uang
untuk membayar penginapan akan menumpang tidur di perahu,
atau gardu para pengantar surat, yang hanyalah merupakan
tempat merebahkan badan sekadarnya.
Dengan mayat-mayat yang bergeletakan seperti itu, pagi tercerah
dengan cahaya keemasan terindah menjadi pagi yang bukan
sekadar menyedihkan, melainkan juga menyeramkan.
"Pengemis Tua! Mengapa diam saja" Malu dengan perilaku pada
masa mudamu" Apakah harus diriku yang mengungkapnya, wahai
orang tua"!" 1088 "Aku sekarang memang tua Selendang Setan, itu berarti tidak ada
sesuatu pun yang harus kusembunyikan, karena semakin
bertambah usia seseorang, semestinyalah ia semakin bertambah
bijak." "Huh! Kebijakan seorang pengemis! Apalah yang bisa diharapkan
dari seseorang yang selama hidupnya mengemis!"
Pengemis Tua Berjenggot Putih itu menggeleng-gelengkan kepala,
begitu banyak hal tampak bergolak dalam dirinya. Sementara
Selendang Setan telah membentangkan selendangnya di tangan
Badai Awan Angin 36 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Amarah Pedang Bunga Iblis 7

Cari Blog Ini