Ceritasilat Novel Online

Kaki Tiga Menjangan 4

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 4


ditemukannya, langsung dia serahkan kepada Siau Po agar hati bocah itu senang.
"Adik, coba kau pakai baju ini, rasanya pasti hangat sekali, buka dulu baju luarmu
dan pakai ini di bagian dalam."
"Apakah itu juga baju pusaka" Apakah mengandung keajaiban?" tanya Siau Po.
"Entahlah, kau pakai saja," sahut So Ngo-tu.
"Baju ini kebesaran...."
"Tidak apa-apa. Baju ini kan tipis dan lemas, longgar sedikit tidak menjadi masalah."
Siau Po menerima baju itu. Memang ringan sekali. Dia teringat ketika di Yang-ciu,
ibunya juga membuatkan sehelai baju hangat untuknya, tetapi sebelum selesai, dia
sudah pergi. "Ada baiknya aku pakai baju ini, Nanti kalau pulang ke Yang-ciu, aku akan
memperlihatkannya kepada ibu," pikirnya dalam hati.
Siau Po langsung membuka baju luarnya dan mengenakan baju tipis itu. Baju itu
memang kebesaran tetapi empuk dan hangat.
Kemudian So Ngo-tu meminta daftar yang telah dicatat orang-orangnya. Dia
mendapatkan jumlah yang besar sekali, Untuk beberapa saat dia sampai terkesima
karenanya. "Sungguh luar biasa kekayaan Go Pay ini, Harta bendanya melebihi dugaanku." So
Ngo-tu memberi isyarat dengan gerakan tangan agar orang-orangnya mengundurkan
diri. Setelah itu baru dia berkata lagi kepada Siau Po.
"Saudara, ada pepatah bangsa Han yang mengatakan "merantau sejauh ribuan li
untuk memperkaya diri." sekarang kebetulan kita mendapat tugas yang menyenangkan
Kita ambil saja sebagian harta ini, nanti akan kuubah daftarnya. Bagaimana menurut
pendapatmu?" "Aku tidak mengerti hal semacam ini," sahut Siau Po. "Urusan ini aku serahkan
kepada toako saja." So Ngo-tu tertawa. "Jumlah kekayaan Go Pay seluruhnya ada 2.353.481 taiI. Bagaimana kalau kita main
sulap sedikit dengan merubah angka dua di depan menjadi satu" Setuju?"
Siau Po terperanjat. "Maksud toako...?" Dia bingung, sebab jumlah yang hendak dikurangkan So Ngo-tu
mencapai satu juta tail, Kemudian jumlah itu akan dibagi rata dengannya.
So Ngo-tu tertawa lebar. "Saudara, apakah kau menganggap jumlah itu terlalu
sedikit?" "Bu... bukan begitu," sahut Siau Po gugup, "Hanya... saja aku masih kebingungan."
"Begini, saudara, Dari jumlah itu kita ambil satu juta tail yang kemudian kita bagi
dua. Dengan demikian, satu orang mendapatkan lima ratus tail, Tapi kalau kau
menganggapnya masih kurang, kita bisa atur lagi."
Wajah Siau Po menjadi pucat pasi seketika, Ketika di Yang-ciu, apabila dia
mendapatkan uang sebanyak lima atau enam tail saja, dia sudah merasa dirinya tibatiba
menjadi orang terkaya di dunia, Tapi sekarang dia justru ditawarkan harta senilai
lima ratus tail. Bayangkan! Siau Po hampir tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Sebetulnya Siau Po masih terlalu muda untuk memahami tujuan So Ngo-tu yang
sebenarnya. Menteri itu ingin memenuhi kantongnya sendiri, tapi dia khawatir Siau Po
akan mengadukannya kepada Sri Baginda.
Karena itu, dia menawarkan "bocah itu untuk mengambil apa saja yang ia sukai dan
diberi bagian setengah dari jumlah harta yang akan disulapnya. Dengan demikian, Siau
Po tentu tidak berani berkata apa-apa kepada kaisar Kong Hi.
"Eh, saudara, ada apa denganmu" Kau tahu aku akan menuruti apa pun
kehendakmu," kata So Ngo-tu heran.
Siau Po menghembuskan nafas lega.
"Toako, aku toh sudah mengatakan bahwa terserah kau saja, Kau ingin membagi aku
setengah dari jumlah itu, rasanya terlalu banyak...."
"Tidak, tidak terlalu banyak, Begini saja, kalau adik merasa jumlahnya terlalu banyak,
Bagaimana kalau kita kurangi sejumlah seratus ribu tail untuk dibagikan rata kepada
orang-orangku ini. Jadi kita masing-masing mendapat empat ratus lima puluh ribu tail."
"lde bagus, Tapi sayangnya aku tidak tahu bagaimana cara membaginya," sahut Siau
Po. "Mudah, serahkan saja pada toakomu ini. Maka kubagi sama rata dan mengatakan
kau yang menghadiahkannya, Dengan demikian, mereka akan tunduk dan menurut apa
pun yang kau katakan. Dalam urusan apa pun, kau bisa mengandalkan mereka...."
"Baiklah kalau begitu."
"Sekarang saudaraku, tentunya repot bagimu untuk membawa barang-barang ini
pulang ke kamarmu Ada baiknya sebagian kita jadikan uang kontan dulu, sehingga
jumlahnya tidak menyolok dan bisa kau bawa kemana-mana. Tentu tidak ada orang
yang menyangka bahwa kita ini sebenarnya kaya raya."
Siau Po tersenyum, Dia merasa cara ini memang bagus sekali Namun dia masih
ragu dengan semuanya ini. Benarkah aku mempunyai harta sebanyak empat ratus lima
puluh ribu tail" Uang begitu banyak, bagaimana cara memakainya" Kalau hanya untuk
makan enak, tidak memerlukan uang sebanyak itu, Lebih baik aku kembali ke Yangciu
saja dan membuka sepuluh rumah pelesiran di sana, ibu tidak usah bekerja lagi. Dialah
yang akan mengelola tempat itu menjadi besar dan menjadi saingan utama Li Cu-wan.
Hm! Aku ingin sekali melihat tampang-tampang orang yang menghinaku dulu. Nama-ku
tentu akan menjadi terkenal kemana-mana, Sungguh suatu kenyamanan yang tidak
terlukiskan dengan kata-kata.
So Ngo-tu melihat Siau Po berdiri terpaku, wajahnya termangu-mangu. Dia berusaha
menduga apa yang sedang dipikirkan bocah itu.
"Saudara, Sri Baginda dan Hong thayhou menunggu kitab ini. sebaiknya kita
antarkan secepatnya. Mengenai harta Go Pay, nanti akan ku urus."
Siau Po tersentak dari lamunannya. Dia menganggukkan kepalanya, So Ngo-tu
segera membungkus rapi kedua jilid kitab Si Cap Ji Cing-keng. Dengan masing-masing
membawa satu jilid, mereka kembali ke istana,
Begitu bertemu dengan raja, keduanya segera memberikan laporan sekalian
menyerahkan kedua jilid kitab itu. Kaisar Kong Hi senang sekali, setelah itu dia
mengajak Siau Po menyertainya membawa kitab itu ke kamar ibu suri, So Ngo-tu tidak
masuk ke dalam. Dia mengundurkan diri dan mengemukakan alasan bahwa dia akan
membereskan harta benda Go Pay.
Ketika berjalan masuk, Raja menanyakan berapa jumlah harta Go Pay, Siau Po
menjawab satu juta lebih seperti yang dikatakan So Ngo-tu. Dia mengatakan demikian
untuk berjaga-jaga apabila di kemudian hari hal ini terbongkar oleh kaisar Kui Kong Hi,
Dia bisa menimpakan kesalahan kepada saudara angkatnya itu.
"Huh!" Kong Hi mendengus dingin, "Telur busuk itu, begitu banyak dia memeras
rakyat, Coba bayangkan nasib rakyat jelata yang diperasnya!"
"Kau tidak tahu hampir sebagian dari jumlah sebenarnya telah dimanipulasikan oleh
So Ngo-tu dan dibagi ramai-ramai!" kata Siau Po dalam hati-nya. Dia juga
menertawakan kaisar yang ternyata begitu mudah dikelabui.
Sejenak kemudian mereka sudah sampai di kamar thayhou, Raja segera
menyerahkan kedua jilid kitab tersebut sambil menjelaskan bahwa Siau Kui cu dan So
Ngo-tu yang menemukannya di kediaman Go Pay.
"Siau Kui cu, pekerjaanmu bagus sekali!" puji Hong thayhou, Dia langsung
menyambut kedua jilid kitab itu. wajahnya berseri-seri.
Siau Po menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Dia mengatakan bahwa
semuanya berkat keberuntungan ibu suri sendiri.
Di samping ibu suri ada seorang dayang kecil, permaisuri berkata kepadanya.
"Lui Cu, ajaklah Siau Kui cu ke belakang, Dan berikan manisan buah untuknya."
Dayang itu berusia sekitar tiga atau empat belas tahun, wajahnya manis dan
menawan, Dia tersenyum sambil berkata, "Baik!"
Siau Po langsung mengucapkan terima kasih kepada Hong thayhou.
"Siau Kui cu," kata Kong Hi. "Setelah menikmati manisan buah, kau boleh langsung
kembali ke kamarmu, Aku ingin berdiam di sini bersama thayhou, Kau tidak perlu
menunggu lagi." Siau Po mengiakan, kemudian mengikuti Lui Cu. Mereka menuju sebuah dapur kecil
yang letaknya di bagian dalam. Nona cilik itu membuka sebuah lemari di mana di
dalamnya terdapat berpuluh macam manisan buah. Ada juga beberapa macam kue.
Sambil tersenyum dia berkata kepada Siau Po.
"Kau bernama Siau Kui cu, karena itu kau harus makan dulu manisan Kui hoa siongci.
Dia mengeluarkan sebuah dus yang berisi manisan Kui-hoa campur Siong-ci.
Baunya harum sekali. Siau Po tertawa. "Cici yang baik, kau juga makanlah bersama."
"Thayhou menghadiahkannya untukmu, bukan untukku, Kami yang menjadi pelayan,
mana boleh mencuri makanan?" katanya terus-terang.
"Kalau kita makan secara diam-diam, tidak ada orang yang mengetahuinya, bukan?"
Wajah si nona menjadi merah jengah, Dia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa makan!"
"Kalau tidak, begini saja, aku akan menunggu sampai kau selesai melayani thayhou,
manisan ini aku bungkus dan nanti kita makan bersama-sama," kata Siau Po.
"Lebih baik kau makan sekarang saja. Atau kalau memang kau ingin
membungkusnya, boleh juga, Kau bisa nikmati di kamarmu, Tapi jangan kau tunggu
aku, sebab selesai melayani thayhou, waktunya pasti sudah tengah malam," sahut Lui
Cu malu-malu. "Memangnya kenapa kalau tengah malam. Malah bagus karena tidak ada yang tahu"
Bukan" Cici katakan, di mana kau akan menunggu aku?"
Melihat sikap Siau Kui cu yang demikian serius, Hati Lui Cu ikut tertarik. Di antara
beberapa dayang ibu suri, Usianya memang paling muda, wajahnya cantik dan manis,
sayangnya dia tidak begitu akrab dengan kawan-kawannya dan tidak pernah bisa
terbuka seperti terhadap Siau Kui cu sekarang. Sikap bocah ini menarik simpatinya, Dia
memperhatikannya lekat-lekat.
"Bagaimana kalau di taman luar?" tanya Siau Po.
Gadis cilik itu ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk juga, Bukan kepalang
senangnya hati Siau Po. "Bagus, kita sudah mengadakan perjanjian sekarang kau ambilkan manisannya, pilih
saja yang kau sukai," kata Siau Po kembali.
Lui Cu tersenyum. "Kan bukan aku yang makan, Kok, aku yang disuruh pilih" Kau suka makan manisan
apa?" "Apa pun yang kau suka, aku pasti suka juga," sahut Siau Po. Nada suaranya manis
sekali sehingga hati Lui Cu jadi berbunga-bunga.
Gadis cilik itu segera memilihkan beberapa macam manisan kemudian dusnya
diserahkan kepada Siau Po.
"Nanti kentungan ketiga, aku menunggumu diluar pendopo, jangan lupa!" kata Siau
Po. Lui Cu menganggukkan kepalanya, "Kau harus berhati-hati!" pesannya.
"Kau juga harus hati-hati!" kata Siau Po yang segera meninggalkan tempat itu.
Kalau ditilik dari usianya, Siau Po belum mengenal kata asmara, Dia masih seorang
bocah cilik yang gemar bermain-main. Baginya, penyamaran sebagai Siau Kui cu
adalah sebuah permainan yang menyenangkan.
Apalagi sampai sekian jauh, tidak ada seorang pun yang mencurigainya, namun
kegembiraannya agaknya berkurang ketika mengetahui bahwa teman berkelahinya
Siau Hian cu adalah sang Raja.
Di samping itu, kedudukannya tiba-tiba saja meningkat banyak, tapi dia tidak merasa
puas, bukan itu tujuannya menyamar sebagai Siau Kui cu di istana ini, itulah sebabnya
dia merasa bersemangat kembali mendapat teman baru seperti Lui Cu.
Padahal dia sadar sedang bermain api, bila ketahuan, jiwanya bisa celaka, namun
dia tetap nekad melakukannya karena hal ini membangkitkan kegembiraannya.
Sesampainya di kamar, Hay kongkong menanyakan apa saja yang dilakukannya hari
ini. Siau Po menceritakan bahwa dia dititahkan Sri Baginda untuk ikut dengan So Ngo-tu
menggeledah rumah Go Pay, tujuannya untuk menyita harta benda orang itu. Tentu
saja dia tidak menceritakan soal harta yang disulap, serta pisau belati dan baju tipis
yang diambilnya, Dia hanya mengatakan.
"Kongkong, thayhou menyuruh aku mengambil kitab Si Cap Ji Cin-keng. Ternyata di
rumah Go Pay, aku menemukan dua jilid kitab tersebut, persis dengan yang ada di
samping meja thayhou...."
Tampaknya Hay kongkong terkejut setengah mati mendengar keterangan Karena dia
sampai terlonjak bangun. "Di dalam gedung Go Pay, ada dua jilid kitab yang sama?"
"Benar!" sahut Siau Po menegaskan "Thayhou dan Sri Baginda yang menitahkan aku
mengambil kedua kitab itu, Kalau tidak, sudah kubawa kemari untuk kongkong."
Wajah Hay kongkong berubah menjadi kelam.
"Hm! Hm! Bagus sekali!" Nada suaranya agak menyeramkan.
Dapat dipastikan bahwa hati Hay kongkong tidak senang mendengar berita itu.
Ketika Siau Po menyuguhkan bubur untuknya, orang tua itu hanya makan sedikit.
Kedua matanya mendelik ke atas sehingga yang terlihat hanya bagian yang putih
saja, tampaknya dia sedang menguras otaknya memikirkan sesuatu.
Siau Po tidak memperdulikan thay-kam tua itu, selesai makan dia langsung beranjak
tidur, dia ingat janjinya pada kentungan ketiga tengah malam nanti, pikirannya terus
membayangkan wajah Lui Cu sehingga dia tidak dapat pulas.
Ketika bangun, dia berjinjit perlahan-lahan menuju pintu, Dia tidak ingin mengejutkan
thay-kam tua itu. Tapi, baru saja dia membuka daun pintu, Hay kongkong sudah
menegurnya. "Siau Kui cu, hendak ke mana kau?"
"Aku ingin buang air kecil." sahutnya.
"Kenapa tidak di dalam kamar saja?" tanya Hay kongkong dengan suara tajam.
"Aku tidak dapat tidur, aku ingin mencari udara segar di taman!"
Siau Po khawatir dia akan dicegah oleh Hay kongkong, Tanpa membuang waktu lagi
dia segera melangkah keluar, tapi baru kakinya maju satu tindak, tahu-tahu kerah
lehernya telah tercekat kemudian dia ditenteng masuk oleh Hay kongkong.
Saking terkejutnya, Siau Po sampai menjerit, diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Apakah dia tahu aku ada janji dengan dayang cilik itu dan dia hendak
mencegahnya?" Belum selesai pikirannya melayang, tubuhnya sudah dibanting ke atas tempat tidur,
otak Siau Ku cu bekerja kilat, cepat dia berkata.
"Ah, kongkong," katanya sembari tertawa, "kenapa kongkong masih suka bercanda"
Sudah beberapa hari kongkong tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku, jurus apakah
yang kongkong mainkan barusan?"
"Hem!" Hay kongkong mendengus dingin. "Ini jurus "Menangkap biawak" yang tidak
pernah gagal. Lihatlah, sekarang biawak tua akan meringkus biawak kecil!"
"Huh! Biawak tua meringkus biawak kecil?" dalam hati Siau Po jengkel sekali otaknya
segera bekerja, sepasang matanya mengedar, dia ingin meloloskan diri, karena ingat
janji dengan Lui Cu. Dia juga memikirkan manisan buahnya, Pasti dus-nya sudah
ringsek karena tertindih tubuhnya ketika dibanting Hay kongkong tadi.
Hay kongkong menghenyakkan pantatnya di atas tempat tidur.
"Kau memang berani, juga sangat berhati-hati. Apalagi kau juga cerdas, ilmu silatmu
masih belum cukup berarti, tapi kau mempunyai bakat besar. Sayang... Sayang...."
Siau Po tertawa, "Kongkong, apanya yang disayangkan?" Dia bersikap seakan-akan hatinya sedang
gembira sekali. Hay kongkong tidak langsung menjawab dia menarik nafas dalam-dalam, Sesaat
kemudian dia baru berkata lagi.
"Aksen suara Peking-mu sudah maju banyak, kalau delapan bulan yang lalu,
aksenmu sudah sebaik sekarang, tentu tidak mudah aku mengetahuinya...."
Siau Po terkejut setengah mati, tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi
seluruh wajahnya. Tapi dia memaksakan dirinya untuk tertawa.
"Kongkong, kau..."
"Anak, berapa tahun usiamu sekarang?" Siau Po dapat mendengar nada suaranya
yang tidak sekeras tadi lagi, hatinya menjadi lega. Rasa takutnya agak berkurang, Dia
berusaha untuk bersikap tenang.
"Tahun... ini usiaku empat... belas."
"Mengapa jawabanmu ragu-ragu?"
"A... ku tidak tahu berapa usiaku yang sebenarnya. Ibu... juga tidak mengingatnya,"
sahut Siau Po. Sebenarnya jawaban Siau Po itu bukan asal mengoceh saja. Dia memang tidak tahu
berapa usianya yang sebenarnya.
Hay kongkong menganggukkan kepalanya, ia juga terbatuk-batuk.
"Dulu ketika belajar ilmu silat, aku pernah tersesat. Maksudku, salah latihan. Akhirnya
timbullah penyakit batuk ini. Kemudian aku tahu penyakit ini tidak dapat disembuhkan
lagi...." "Sebaliknya, kongkong, Aku rasa batukmu malah sudah membaik...."
Hay kongkong menggelengkan kepalanya.
"Membaik" Tidak! Sedikit pun tidak! Aku merasa dadaku semakin nyeri, hal ini
memang tidak pernah aku katakan padamu, karena itu kau pun tidak mengetahuinya...."
"Sekarang bagaimana" Apakah kongkong ingin aku mengambilkan obat?" tanya
Siau Po. "Mataku fidak bisa melihat, aku tidak mau sembarangan minum obat!"
Siau Po terdiam. Tidak berani dia bicara sembarangan Menurutnya, watak Hay
kongkong malam ini aneh sekali, dia merasa perasaannya tidak enak.
"Jodoh mu bagus sekali, Nak. Kau sudah menjadi sahabat Raja, Kelak di kemudian
hari, banyak hal yang dapat kau lakukan, Kau pun belum membersihkan tubuh,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebetulnya aku dapat melakukannya, hanya saja... sekarang ini rasanya sudah
terlambat." Siau Po bingung, dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan thay-kam tua itu. Dia
tidak tahu yang dimaksudkan dengan membersihkan tubuh adalah dikebiri, Dia hanya
merasa kata-kata orang tua itu aneh sekali.
"Kongkong, sekarang sudah larut malam, sebaiknya kongkong beristirahat saja," kata
Siau Po. "Tidur, ya tidur sebetulnya waktu tidur sudah terlalu banyak, Pagi tidur, siang tidur,
malam juga tidur. Kalau orang kebanyakan tidur, untuk selamanya dia tidak akan
terjaga lagi, Anak, kalau seseorang tertidur untuk selamanya, bukankah dia tidak akan
merasakan penderitaan lagi" Dia juga tidak akan mengalami sengsaranya batuk-batuk
seperti ini. Bukankah bagus sekali?"
Siau Po membungkam, dia tidak berani memberi komentar apa-apa. Hatinya
tercekat, dia merasa kata-kata Hay kongkong malam ini semakin lama semakin aneh.
"Anak!" Terdengar Hay kongkong berkata kembali "Masih ada siapa di rumahmu?"
Sebetulnya pertanyaan itu sederhana sekali Sering diajukan oleh siapa pun juga,
tetapi masalahnya Siau Po menyamar sebagai Siau Kui cu. sedangkan dia tidak pernah
tahu riwayat hidup thay-kam cilik itu, Bagaimana kalau dia salah bicara" Namun, biar
bagaimana pun, dia tidak bisa mengabaikan pertanyaan itu.
"Di rumahku masih ada seorang ibu saja, tentang yang lainnya, entahlah, aku
merasa tidak bergairah membicarakannya."
"0h... jadi hanya tinggal ibumu seorang, Kalian orang Hokkian, Biasanya bagaimana
kalian menyebut ibu?" tanya Hay kongkong.
Sekali lagi Siau Po terkesiap.
"Mengapa dia bisa mengatakan aku orang Hok-kian" Apakah karena Siau Kui cu
memang orang suku itu" Mungkinkah si kura-kura tua ini sudah mengetahui
samaranku" Kalau benar, apakah dia juga tahu bahwa akulah yang membutakan kedua
matanya?" Pikiran Siau Po terus bekerja, sedangkan mulutnya menjawab dengan gugup.
"Aih! Un... tuk apa kau menanyakan hal itu?"
Hay kongkong menarik nafas daIam-dalam.
"Usiamu masih begitu muda, tapi mengapa hatimu begitu jahat" sebenarnya kau
menuruni watak ibumu atau ayahmu?"
Rasa terkesiap dalam hati Siau Po jangan ditanyakan lagi. Tapi pada dasarnya dia
memang berani, Dalam keadaan seperti ini, dia masih bisa tertawa.
"Aku tidak mirip dengan siapa pun. Watakku tidak terlalu bagus, tetapi juga tidak
terlalu buruk." Hay kongkong kembali terbatuk-batuk.
"Kau tahu, sejak masih muda aku sudah dikebiri, karena itulah aku menjadi thaykam...."
Hampir saja Siau Po mengeluarkan seruan terkejut, sekarang dia baru mengerti apa
maksudnya membersihkan diri. Diam-diam dia berpikir dalam hati, "Aku belum dikebiri,
dan aku pun tidak mau. Pokoknya aku harus mencari akal untuk meloloskan diri dari
tempat ini!" "Sebenarnya aku mempunyai seorang anak Iaki-laki." Thay-kam tua itu melanjutkan
kata-katanya. "Sayangnya, ketika berusia delapan tahun, dia meninggal. Kalau tidak,
mungkin cucuku saja sudah seusiamu sekarang, Eh, laki-laki she Mau itu, apakah dia
itu ayahmu ?" Jantung Siau Po berdebar-debar. "Bukan! Bukan!" sahutnya cepat.
Tanpa terasa nada suara atau dialek Siau Po kembali sebagaimana dulunya, yakni
aksen orang Yangciu. "Aku juga mempunyai dugaan demikian seandainya kau adalah anakku tidak nanti
aku tinggalkan kau dalam bahaya untuk melarikan diri sendiri. Biar bagaimana, aku
pasti berusaha menyelamatkanmu!"
"Sayangnya aku tidak mempunyai ayah yang sebaik dirimu," kata Siau Po dengan
suara yang manis sekali. "Aku sudah mengajarkan dua macam ilmu kepadamu Yang pertama Tay Kim-na hoat
dan Taycu Taypi Cian-yap jiu! Tentunya kedua ilmu itu sudah kau pahami dengan baik,
bukan?" kata Hay kongkong kembali.
"Ya, Tapi ada baiknya kongkong mengajarkan aku ilmu lainnya, Kepandaian
kongkong terhitung nomor satu di dunia, tentu baik sekali apabila ada yang
mewariskannya, Dengan demikian nama kongkong akan terangkat sehingga menjadi
terkenal," kata Siau Po memuji.
Hay kongkong menggelengkan kepalanya.
"Nomor satu di dunia" Aku tidak berani menerimanya, Kau tahu, orang yang
berkepandaian tinggi di dunia ini banyak sekali, Bahkan tidak terhitung.,." Hay
kongkong menghentikan kata-kata-nya sejenak, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu,
Kemudian baru dia melanjutkan kata-katanya. "Coba kau tekan perutmu, kurang lebih
tiga dim dari pusar dan katakan apa yang kau rasakan?"
Siau Po tidak mengerti mengapa dia disuruh melakukan hal itu, tetapi dia menurut.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, dia mengeluarkan seruan tertahan karena bagian yang
ditekan itu terasa nyeri, Nafasnya tersengal-sengal dan keringat dingin bercucuran.
"Bagaimana" Enak bukan?" suara Hay kongkong benar-benar tidak enak didengar.
Panas sekali hati Siau Pp disindir sedemikian rupa, Dia pun memaki dalam hatinya.
"Dasar kura-kura tua tidak tahu mampus! Kura-kura tua busuk!" mulut dia menyahut
dengan tenang. "Oh, memang enak sekali, hanya sedikit nyeri saja, kok!"
"Setiap hari kau pergi berjudi dan berkelahi dengan Sri Baginda, sebelum kau
pulang, hidangan sudah diantarkan kemari, aku merasa supnya kurang lezat, setiap hari
dari dalam peti aku mengeluarkan sebotol obat yang lantas aku campurkan dalam sup
itu. Dosisnya sedikit sekali sebab kalau banyak-banyak, reaksinya pada tubuhmu bisa
membahayakan. Aku sadar tidak boleh melakukan hal itu, kau seorang bocah yang sangat cerdik, kau
pasti akan curiga, dengan menaruh obat itu sedikit demi sedikit, kau tidak
menyadarinya, bukan?"
Siau Po semakin terperanjat jantungnya berdegup semakin kencang.
"A... ku... aku kira kau tidak suka makan sup...."
"Sebenarnya aku suka, tapi karena, di dalam sup ada racunnya biarpun hanya
sedikit, aku jadi tidak suka, Siapa yang memakannya, lama-lama akan menjadi
penyakit. Benar kan?"
Semakin kesal hati Siau Po. "Benar-benar sekali!" Dia mengangkat jempol
tangannya. "kongkong, kau memang lihay sekali!"
Thay kam tua itu menarik nafas panjang, "Bukan, bukan begitu, Untuk melatih ilmu
Tay-cu Taypi cian-yap Jiu, orang juga harus melatih pernafasannya, ini yang dinamakan
latihan tenaga dalam. Latihan itu dapat menahan racun dalam tubuhmu, Kalau kau tidak
melatih ilmu itu, mungkin sejak empat lima bulan yang lalu, kau sudah dilanda sakit
yang tidak tertahankan. Sampai satu tahun kemudian, kau tidak dapat menahan nyeri itu lagi sehingga kau
akan membenturkan kepalamu ke dinding atau menggigit tanganmu sendiri!"
Berkata sampai di sini, dia berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya yang
mulai memburu, "Yang harus disayangkan justru aku, penyakit ini membuat aku
semakin lama semakin tidak berdaya, itulah sebabnya aku tidak bisa menunggu lebih
lama lagi...." Perasaan Siau Po menjadi agak lega mendengar kata-katanya. Di samping itu dia
juga memikirkan untuk mencari akal guna meloloskan diri dari cengkeraman thay-kam
tua yang licik ini. "Biarlah, meskipun ilmunya tinggi sekali, tapi toh matanya sudah buta, Kalau aku
menyembunyikan diri, mana mungkin dia bisa mencari aku?" pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba sebuah ingatan yang bagus melintas di benak Siau Po. "Baru saja aku
mendapatkan sebilah belati mustika yang tajamnya luar biasa, Kenapa aku tidak
mencobanya saja?" Membawa pikiran ini, dia segera berkata, "kongkong, kiranya sejak semula kau
sudah tahu bahwa aku bukan Siau Kui cu yang asli, itukah sebabnya kau ingin
menyiksa aku dengan cara ini" Ha... ha... ha... ha...! sayangnya kau juga telah kena
dikelabui olehku, Ha,., ha... ha... ha.,.!" Siau Po tertawa terbahak-bahak.
Sembari tertawa, Siau Po menundukkan tubuhnya dan mencabut belati yang terselip
di kaos kakinya, Dia melakukannya dengan hati-hati. Dan dia yakin, meskipun timbul
sedikit suara, tapi suara tawanya itu akan menutupinya.
"Dalam urusan apa aku dikelabui olehmu?"
Sengaja Siau Po mengarang-ngarang cerita agar perhatian thay-kam tua itu
teralihkan. "Sejak semula aku sudah tahu bahwa sup itu beracun, Aku langsung
membicarakannya dengan Siau Hian cu...."
"Apa katanya?" "Dia mengatakan bahwa kau ingin mencelakai aku!"
Hay kongkong tidak dapat menutupi rasa terkejutnya. "Oh! Jadi Sri Baginda menduga
demikian?" "Kenapa tidak" Cuma waktu itu aku masih belum tahu bahwa Siau Hiancu adalah Sri
Baginda. Dia menganjurkan aku agar pura-pura tidak tahu demi menjaga diri terhadap
hal yang tidak diinginkan. Dia menyuruh aku setiap hari minum sup itu kemudian
dimuntahkan kembali. Kau kan tidak melihatnya, bukan?"
Sembari berkata begitu, pisau belatinya telah terhunus, bagian yang tajamnya di
arahkan ke Hay kongkong. Diam-diam dia berpikir dalam hati. "Aku harus menikamnya
dengan tepat Kalau dia tidak langsung mati, tentu aku yang akan dibunuhnya!"
Dalam usia tiga atau empat belas tahun, Siau Po sudah bisa menggunakan otaknya
mencari akal dan pemecahan bagaimana harus berbuat otaknya cerdas, apa pun dapat
dipelajarinya dengan cepat.
Hay kongkong setengah percaya setengah tidak dengan ucapan Siau Po itu.
Terdengar dia tertawa dingin.
"Kalau kau tidak makan sup itu, bagaimana kau bisa merasa nyeri di perutmu
barusan?" Siau Po menarik nafas panjang.
"Masaiahnya begini, meskipun aku sudah muntahkan sup itu kembali, tetapi aku tidak
sempat langsung mencuci mulut Karena itu, sedikit banyak racun itu menempel
dilidahku, Lama-lama toh akan membawa pengaruh juga di tubuhku ini."
Jarak Siau Po dengan thay-kam tua itu tinggal setengah tindak. Dia tinggal
menunggu kesempatan yang baik untuk menyerangnya tepat di tengah jantung.
"Bagus!" kata Hay kongkong. "Racunku itu tidak ada obatnya, Kau makan sedikit
reaksinya memang menjadi lambat, namun penderitaan yang akan kau rasakan juga
semakin hebat!" Siau Po tertawa terbahak-bahak. Tenaga dalamnya dikerahkan ke tangan kanan,
tiba-tiba saja dia menikam ke jantung thay-kam tua itu!
Hay kongkong tercekat hatinya, namun dia memang lihay sekali, begitu merasakan
adanya serangkum angin dingin yang menyambar, dia langsung mempunyai dugaan
buruk. Dengan gerakan spontan, tubuhnya maju ke depan, tangannya menangkis sekaligus
mengirimkan serangan. Tangan kiri menangkis, tangan kanan menyerang.
Buk! Blam! Terdengar suara keras yang saling susul, dalam sekali gerak, kedua
tangannya sudah memperlihatkan hasil.
Tubuh Siau Po terpental ke belakang dan menghantam daun jendela sehingga jebol
seketika kemudian melayang keluar dan jatuh di atas tanah dengan menerbitkan suara
keras, Siau Po merasa lengan dan seluruh tubuhnya nyeri bukan main.
Di pihak lain, Hay kongkong juga merasa terkesiap sebab telapak tangannya terasa
bukan main nyerinya, Ternyata keempat jari tangannya telah terkutung akibat
tangkisannya pada belati mustika Siau Po tadi.
Bahkan kalau reaksinya tadi kurang cepat, pasti saat ini dadanya sudah tertikam,
namun sekarang hanya kulit luarnya saja yang tersayat.
Seandainya belati yang digunakan Siau Po bukan barang langka, ke empat jari
tangannya sendiri juga tidak perlu terkutung karena tenaga dalamnya sudah mencapai
taraf yang tinggi sekali.
Terdengar Hay kongkong tertawa dingin, suaranya itu sungguh menggidikkan hati,
Dalam dugaannya, mungkin Siau Po tidak dapat bertahan lebih lama lagi karena
lukanya yang kelewat parah.
"Sungguh kematian yang terlalu enak baginya!" Thay-kam tua itu mendumel sendiri,
Setelah itu dia mengoyak kain sprei untuk membalut luka di tangannya.
Setelah selesai, dia menggumam lagi seorang diri.
"Entah senjata apa yang digunakan bocah sialan itu. Mengapa bisa begitu tajam" Eh,
jangan-jangan yang digunakannya adalah senjata mustika!"
Dengan membawa pikiran itu dia segera keluar dari jendela untuk mencari bocah itu.
Tapi, meskipun sudah meraba kesana kemari, dia tetap tidak berhasil menemukan Siau
Po, apalagi senjata mustikanya.
Hay kongkong sempat bingung. Karena meskipun matanya buta, dia dapat menduga
dengan tepat di mana jatuhnya tubuh Siau Po tadi. Dia juga masih hapal di luar kepala
mana letak taman dan setiap pepohonan yang ada di sana. Tapi meskipun sampai
kewalahan dia mencarinya, tetap saja dia tidak menemukan apa-apa.
"Mungkinkah ada orang yang langsung menyingkirkan mayatnya?" tanyanya dalam
hati, "Siapa orang itu dan kemana mayatnya disingkirkan" Mengapa aku tidak berhasil
menemukannya?" Si thay-kam tua tetap yakin bahwa pukulannya sudah berhasil membunuh Siau Po.
Padahal, kenyataannya Siau Po memang belum mati, Dia hanya merasakan nyeri di
seluruh tubuhnya, dadanya sesak.
Memang ketika terpanting keluar, dia sendiri mempunyai dugaan bahwa jiwanya
akan melayang, Hampir saja ia putus asa. Karena apabila hal itu terjadi, dendamnya
karena dicelakai thay-kam tua itu pasti tidak bisa dibalas lagi.
Namun ketika menyadari dirinya tidak mati, cepat-cepat dia menggulingkan tubuhnya
menjauhi tempat jatuhnya tadi, Hal ini karena mendadak ia ingat ada kemungkinan Hay
kongkong tidak yakin akan kematiannya dan akan keluar untuk memastikannya.
Mengingat bahaya yang dihadapinya, dia segera menggulingkan tubuhnya,
kemudian merayap beberapa tindak, namun dia roboh kembali, Dan kebetulan tanah
tempatnya roboh itu cukup landai, sehingga dia bergulingan ke bawah.
Sampai sejauh belasan tombak, gerakan tubuhnya baru terhenti Akhirnya dia dapat
berdiri juga walaupun seluruh tubuhnya masih terasa ngilu. Untungnya belati mustika
yang didapatkan dari rumah Go Pay masih tergenggam erat di tangannya.
"Sayang si tua bangka itu tidak sampai mampus di ujung belatiku ini. Dasar nasibnya
lagi terang!" gerutunya dalam hati.
Diam-diam dia juga bersyukur bahwa dirinya sendiri masih hidup, setelah
menyelipkan kembali belatinya ke dalam kaos kaki, Siau Po berpikir kembali.
"Rahasiaku sudah terbongkar Aku tidak bisa tinggal lagi dengan kura-kura tua itu.
Berbahaya sekali jiwaku bisa diincarnya setiap saat. Sayang uangku masih belum
diberikan oleh So toako. Aih Sudahlah, anggap saja aku sudah menghamburkannya
dalam satu malam sehingga ludes! Tapi, bagaimana dengan dayang cilik itu?" Tiba-tiba
ingatannya kembali pada Lui Cu.
"Pasti dia sedang menunggu aku! Hampir saja Siau Po menjerit kecewa ketika
mendapatkan manisan buahnya sudah hancur semua." Aku harus menemuinya dan
memperlihatkan manisan ini kepadanya, Biar bagaimana, manisan ini masih harum dan
rasanya masih bisa dimakan...."
Membawa pikiran demikian, Siau Po cepat-cepat melangkah keluar sesampainya di
depan pintu pendopo, lagi-lagi nyaris dia berteriak saking kesal Ternyata pintu itu
terkunci Mana mungkin dia bisa masuk ke dalam"
Siau Po berdiri termangu-mangu. pikirannya bingung. Dia merasa gundah, Beberapa
saat kemudian tiba-tiba pintu itu terbuka, lalu menyembullah sebuah kepala.
Ketika Siau Po memperhatikan dengan seksama, hatinya menjadi senang, Dia
mengenali orang itu sebagai si dayang cilik yang mengadakan perjanjian dengannya.
Lui Cu sedang menggapai kepadanya sambil tersenyum manis, Tanpa berpikir
panjang lagi Siau Po segera menghambur ke depan dan menyelinap masuk lewat celah
pintu yang tersingkap. "Aku khawatir kau tidak dapat masuk, Karena itu aku menunggumu di sini," kata si
dayang cilik yang bibirnya tetap mengembangkan senyuman menawan "Sudah cukup
lama juga aku menunggumu."
"Maafkan keterlambatanku," sahut Siau Po. "Di tengah jalan aku bertemu seekor
kura-kura tua yang baunya bukan main. Batoknya keras sekali Aku ditabraknya
sehingga jatuh terguling."
Lui Cu jadi tertegun mendengar keterangannya.
"Apakah di taman ini ada kura-kura yang begitu besar" Aih! Aku, kok belum pernah
melihatnya, Lalu, apakah sakit sekali tubuhmu sekarang?"
Siau Po sedang menghampiri nona cilik itu, ketika dia bertanya, Tiba-tiba saja
dadanya terasa nyeri kembali, untuk sejenak dia sudah melupakannya tadi karena
terlalu gembira melihat si nona membukakan pintu untuknya, dia sampai mengeluarkan
suara erangan. Lui Cu dapat melihat keadaan bocah itu, Cepat-cepat dia menghampiri Siau Po dan
membimbingnya agar tidak sampai terguling.
"Masih sakit?" tanyanya lembut.
Baru saja Siau Po hendak menjawab pertanyaannya, tetapi gerakan bibirnya terhenti
karena saat itu juga dia melihat sesosok bayangan yang berkelebat.
Bayangan itu besar dan gerakannya cepat, sehingga mirip dengan burung garuda,
namun ketika bayangan itu berdiam diri, Siau Po dapat melihat tegas bahwa itu
merupakan seseorang yang tubuhnya kurus dan membungkuk. Malah Siau Po
langsung mengenalinya sebagai Hay kongkong, si thay-kam tua. jantungnya berdebardebar
dengan kencang. Lui Cu juga sudah melihat orang itu. sementara itu, Hay kongkong menatap ke arah
mereka dengan pandangan mata yang garang, sayangnya dia suda buta, Kalau tidak,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu dia bisa mengenali Siau Po dan dayang cilik itu. Padahal jarak mereka hany
terpaut dua kaki saja. "Jangan bersuara!" bentak Hay kongkong garang, "Kalau tidak menurut apa kataku,
kau akan mati! jawab perlahan-lahan, siapa kau?"
"Aku... aku...." Lui Cu menjadi gugup karena takut.
Thay-kam tua itu mengulurkan tangannya meraba kepala nona cilik itu, Dia juga
mengusap wajahnya. "Kau dayang keraton, bukan?"
"Be... nar," sahut si nona cilik.
"Sekarang sudah tengah malam, apa yang kau lakukan di sini?" suaranya perlahan,
tapi sinis sekali. "A... ku,., sedang men... cari udara segar...."
Hay kongkong tersenyum, namun senyumannya itu benar-benar menggidikkan bagi
siapa pun yang melihatnya, rembulan menyembunyikan dirinya sebagian sehingga
cuaca tampak kelam. "Dengan siapa kau di sini?" tanya Hay kongkong kembali. Dia menoleh, telinganya
dipasang, Dia dapat mendengar deru nafas seseorang yang lain.
Tadi, karena terkejut, nafas Lui Cu memburu, itulah sebabnya Hay kongkong bisa
mengetahui bahwa di sana ada orang, sedangkan Siau Po berdiri di samping nona cilik
itu, tentu saja suara nafasnya juga tidak luput dari telinga thay-kam tua yang tajam
itu. Mendengar pertanyaan Hay kongkong, Siau Po terkejut setengah mati, Dia ingin
memberi isyarat kepada si nona, tapi dia tidak berani bersuara atau menggerakkan kaki
tangannya karena takut ketahuan Untung Lui Cu juga cerdik sekali, dia dapat menduga
isi hati Siau Po dari sinar matanya.
"Ti... tidak..." sahutnya cepat.
"Di mana Hong thayhou sekarang?" tanya Hay kongkong kembali "Antar aku
menemuinya!" "Kong.,, kong... kau,., aku ha... rap kau jangan ber... kata apa-apa kepada ibu suri,
lain kali... aku tidak berani lagi," kata Lui Cu panik.
Nona cilik ini menyangka Hay kongkong sudah memergoki perbuatannya dan akan
diadukan kepada Hong thayhou.
"Kau tidak perlu memohon apa-apa kepadaku. Kalau kau tidak antar aku sekarang,
aku akan membunuhmu!"
Hay kongkong mencekal tangan nona itu erat-erat, sebelah tangannya lagi mencekik
leher dayang itu. Wajah si nona cilik jadi merah padam karena nafasnya sesak.
Siau Po juga terkejut setengah mati, Hampir saja dia mengeluarkan seruan. Untung
saja dia dapat mengendalikan perasaannya.
"Lekas jawab!" bentak Hay kongkong, Cekikannya pada leher si nona dikendurkan.
"A... ku akan mengajakmu Ma... ri," sahut Lui Cu lirih.
Terpaksa dayang cilik itu mengajak Hay kongkong masuk ke dalam pendopo yang
mana merupakan tempat tinggal ibu suri, Tetapi si nona sempat mengedipkan matanya
kepada Siau Po agar dia segera meninggalkan tempat itu.
"Thayhou berada di kamar tidur," katanya perlahan.
Hay kongkong mengikutinya, tapi tangan kirinya tetap mencekal nona itu. Otak Siau
Po bekerja keras, Dia mengkhawatirkan Lui Cu, juga mencemaskan ibu suri, Diam-diam
dia berpikir dalam hati. "Pasti si kura-kura tua ini akan mengadukan samaranku kepada Hong thayhou, dia
juga akan menceritakan kematian Siau Kui cu dan kebutaan matanya yang disebabkan
olehku, Dia akan meminta kepada Hong thayhou untuk memerintahkan para pengawal
menangkap aku. Bahaya sekali, Tapi, mengapa ia tidak mengadu kepada Sri Baginda saja" Apakah
karena tahu aku bersahabat baik dengan Raja dan kaisar Kong Hi akan membela aku"
Apa yang harus kulakukan sekarang" Ah! Aku harus segera melarikan diri, Tapi, mana
mungkin" Pintu istana sudah dikunci, lagipula di depan banyak pengawal sebentar lagi
Hong thayhou pasti akan menitahkan mereka menangkapku, Biarpun seandainya punya
sayap, rasanya sulit untuk meloloskan diri dari tempat ini..."
Ketika Siau Po masih bingung untuk mengambil keputusan Tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita. "Ah! Hay tayhu! Akhirnya kau datang juga mencariku!"
Siau Po terkesiap, Suara itu sinis dan menggidikkan hati orang yang mendengarnya,
namun yang paling membuat dia terkejut justru karena dia mengenalinya sebagai suara
Hong thayhou, Rasanya dia ingin sekali mengambil langkah seribu meninggalkan
tempat itu. Tepat pada saat itu juga, terdengarlah suara Hay kongkong.
"Benar! Hambamu ini memang Hay tayhu, Hambamu datang kemari untuk memberi
hormat kepada kau orang tua!" Nada suara thay-kam tua itu tak kalah sinis dan
menyeramkan. Tampaknya dia mengandung niat yang kurang baik.
Siau Po keheranan, diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Eh, siapa kiranya si kura-kura tua ini dalam anggapannya" Mengapa bicaranya
begitu kurang ajar kepada thayhou" Nada suaranya juga tidak enak didengar. Mungkin
thayhou juga tidak menyukainya, Eh, bukankah aku sudah tidak mungkin melarikan diri
dari tempat ini" Mengapa aku tidak coba menentangnya saja" Bukankah aku baru
mendapat pujian dari Sri Baginda dan Hong thayhou karena jasaku yang besar" Apa
artinya membunuh seorang Siau Kui cu dan membutakan matanya thay-kam tua itu"
Aku rasa itu bukan kesalahan besar. Kalau perlu, mungkin saudara So Ngo Ta bisa
membantuku. Tapi kalau aku kabur, kemudian si kura-kura tua ini mengoceh
sembarangan siapa yang berani menentang atau menyangkalnya" Pasti kesalahanku
akan dibesar-besarkan olehnya!" pikir Siau Po dalam hatinya.
Otaknya terus bekerja, "Bagaimana kalau thay-hou menanyakan alasanku
membunuh Siau Kui cu" Apa yang harus kujawab" Aku... akan mengatakan... aku akan
mengatakan... oh ya, aku akan mengatakan bahwa aku mendengar Siau Kui cu dan si
kura-kura tua ini memburuk-burukkan thayhou dan Sri Baginda. Karena mendengar
kata-kata yang kotor, sehingga aku tidak dapat menahan diri, lalu kubunuh Siau Kui cu
dan kubutakan mata si kura-kura tua.
Bagaimana kalau aku ditanya apa saja kata-kata kotor yang dilontarkannya" Ah, aku
toh dapat mengarangnya, Kalau berkelahi dengan kura-kura tua itu, aku memang bukan
tandingannya, Tapi kalau adu bicara, hm... dia harus belajar sepuluh tahun lagi untuk
menandingi aku. Lihat saja nanti!"
Dengan berpikiran demikian, perasaan Siau Po jadi agak Iega. Dia juga menjadi
berani, Dibatalkannya niat untuk meninggalkan tempat itu, karena resikonya toh terlalu
besar. Namun masih ada satu hal yang menjadi pemikirannya, yakni kepandaian Hay
kongkong yang tinggi sekali, "Dalam satu gebrakan saja dia sanggup membunuh diriku,
sebaiknya aku mencari posisi yang tersembunyi dengan demikian bila dia menyerang
aku, dia tidak akan berhasil mencapai maksud hatinya itu," demikian pikir Siau Po.
Terdengar suara ibu suri yang berkata. "Kau ingin memberi selamat kepadaku"
Mengapa tidak datang di siang hari, malah di tengah malam begini, Aturan dari mana
itu?" "Aku mempunyai sebuah rahasia yang ingin kuceritakan kepada thayhou, siang hari
terlalu banyak orang dan banyak telinga, kalau sampai rahasia ini diketahui tentu tidak
baik," sahut si thay-kam tua.
"Nah, ini dia!" kata Siau Po dalam hati, "Sekarang dia pasti ingin membeberkan
kesalahanku Biar aku dengarkan dulu apa yang akan diocehkannya, kalau sudah
setengah nanti, baru aku menukasnya, tentu belum terlambat untuk menyangkalnya!"
Siau Po menoleh ke kanan kiri, dia ingin mencari sebuah tempat yang aman dan
leluasa untuk mendengarkan percakapan itu, Kemudian dia melihat sebuah gunung
buatan di samping kolam ikan emas, dia segera menuju ke tempat itu yang
dianggapnya cukup bagus. "Kalau si kura-kura tua menyerang, aku akan loncat ke dalam koIam, Lalu berenang
ke seberang dan menerjang masuk ke dalam kamar thayhou, Meskipun kura-kura tua
itu mempunyai sembilan nyawa, tentu dia tidak berani menyerbu masuk."
"Hm!" Terdengar thayhou mendengus dingin "Rahasia apakah yang ingin kau
sampaikan" Katakan saja sekarang!"
"Apakah di sini tidak ada orang lainnya?" tanya Hay kongkong, "Apa yang ingin
hamba sampaikan adalah sebuah rahasia besar!"
"Apakah kau ingin masuk ke dalam untuk memeriksanya" Bukankah ilmu silatmu
sudah mencapai taraf yang tinggi sekali" Apakah kau tidak bisa mendengar bahwa di
sini tidak ada orang lainnya?" tantang thayhou.
"Mana berani hamba masuk ke dalam kamar thayhou" Bolehkah thayhou keluar ke
sini, sebab ada rahasia besar yang ingin hamba utarakan."
"Huh! Semakin lama nyalimu semakin besar saja! siapakah yang kau andalkan
sehingga sikapmu demikian kurang ajar?" tegur thayhou.
Mendengar teguran ibu suri, hati Siau Po merasa puas. "Memang kura-kura tua ini
sudah keterlaluan, beraninya bersikap demikian tidak sopan terhadap Hong thayhou!"
batinnya. Sementara itu, terdengar sahutan Hay kong-kong. "Hambamu mana berani...."
"Hm!" suara Hong thayhou semakin dingin, "Kau... kau memang sudah lama tidak
memandang sebelah mata terhadapku! Malam ini, tanpa terduga-duga kau datang
kemari, sebetulnya niat busuk apa yang terkandung dalam hatimu?"
Semakin puas hati Siau Po mendengarnya, "Oh, dasar kura-kura tua. Ketemu
batunya kau kali ini! Rasanya aku tidak perlu campur tangan lagi, Thay-hou sendiri bisa
memakimu sepuas hati!"
Terdengar suara Hay kongkong yang tetap tenang.
"Kalau thayhou memang tidak mau mendengarnya, tidak apa-apa. sebetulnya aku
mempunyai berita tentang orang itu. Nah, aku pergi saja!" Orang tua itu berlagak
seakan ingin meninggalkan tempat itu dengan membalikkan tubuhnya.
Sedangkan Siau Po yang mengira bahwa si thay-kam tua hendak berlalu, belum apaapa
sudah kegirangan "Ah, kau mau pergi" Pergilah! Lebih cepat lebih baik!"
Bagian 08 Namun saat itu juga terdengar suara Hong thayhou yang agak gugup.
"Kau mempunyai berita apa?"
"Berita dari gunung Ngo-tay san!"
"Dari Ngo-tay san?" tanya ibu suri menegaskan suaranya agak bergetar "Apa
maksudmu?" Tiba-tiba Hay kongkong menggerakkan tangannya dan terkulailah tubuh Lui Cu.
Siau Po yang melihat itu terkejut setengah mati "Aih, si kura-kura membunuh nona
yang manis itu. Pasti thayhou akan marah sekali Dengan demikian ucapannya yang
menyalahkan aku, tentu tidak akan dipercaya lagi!" pikir si bocah dalam hati.
"Siapa yang kau lukai?" tanya thayhou gugup.
"Salah seorang dayangmu," sahut si thay-kam tua. "Hamba tidak membunuhnya,
hanya menoto jalan darahnya saja agar dia tidak dapat mendengar pembicaraan kita
nanti." Mendengar keterangan itu, lega juga perasaan Siau Po. Namun di pihak lain, dia juga
mengkhawatirkan dirinya kembali.
Kemudian terdengar kembali suara Hong thay-hou. "Kau menyebut-nyebut Ngo-tay
san, Kenapa?" "Karena di puncak Ngo-tay san ada seseorang yang sangat memperhatikan
thayhou," sahut Hay kongkong dengan suara datar.
"Maksudmu... dia sudah pergi ke Ngo-tay san?" tanya Hong thayhou dengan
suaranya yang bergetar kembali.
"Kalau thayhou ingin mendapatkan keterangan yang lebih jelas, ada baiknya thayhou
keluar saja dari kamar, Di tengah malam begini, tidak leluasa hamba masuk ke dalam
kamar, sedangkan jika hamba bicara keras-keras, orang lain pasti mendengarnya."
Thayhou terdiam, tampaknya dia ragu-ragu.
"Baik!" katanya sesaat kemudian.
Terdengar suara pintu dibuka dan seseorang melangkah keluar, Siau Po mengintai
dari tempat persembunyiannya, Dia bisa melihat orang itu memang ibu suri adanya.
Ternyata wanita itu mempunyai bentuk tubuh yang agak gemuk dan pendek. Dua kali
dia pernah melihat ibu suri, tetapi posisi wanita itu selalu dalam keadaan duduk.
Terdengar ibu suri bertanya kembali. "Barusan kau mengatakan dia telah pergi ke
Ngo-tay san. apakah benar yang kau katakan itu?"
"Hambamu tidak mengatakan siapa yang pergi ke gunung Ngo-tay san. Hamba
hanya mengatakan bahwa di puncak gunung Ngo-tay san, ada seseorang yang
mungkin masih menaruh perhatian kepada thayhou."
Thayhou terdiam pula sejenak. "Baik. Anggap saja kau memang mengatakan begitu,
Dia... maksudku, orang itu, untuk apa dia pergi ke Ngo-tay san" Apakah dia berdiam di
dalam kuil?" Sikap Hong thayhou biasanya tenang sekali, tetapi kali ini begitu mendengar katakata
Hay kongkong, penampilannya jadi seperti orang yang gelisah, sebaliknya sikap
Hay kongkong malah berubah semakin tenang.
"Orang itu memang berdiam di kuil Ceng-Lian si yang letaknya di puncak gunung
Ngo-tay san." Mendengar kata-katanya, thayhou menarik nafas dalam-dalam seakan perasaannya
menjadi agak lega. "Terima kasih kepada langit dan bumi! Akhirnya aku bisa juga mendapat berita
tentang dirinya.." Thayhou tidak dapat melanjutkan kata-katanya, suaranya bergetar
mungkin karena kelewa terharu.
Siau Po justru semakin bingung mendengar percakapan mereka.
"Siapa orang itu" Mengapa thayhou begitu memperhatikannya?" tanyanya dalam
hati. perasaannya menjadi kacau, Dia hanya dapat menerka-nerka, "Apakah orang itu
ayah atau sanak saudaranya ibu suri" Atau kekasihnya" Ya, pasti kekasihnya, Kalau
memang ayah atau sanak saudaranya, toh bukan hal yang perlu dirahasiakan itulah
sebabnya rahasia itu takut diketahui orang, Tapi, mengapa si kura-kura tua bisa
mengetahui rahasia ini" Mungkinkah thay-kam tua itu ingin menggunakannya untuk
memaksa thayhou menghukum mati diriku" Celakalah aku! Untung saja aku
mendengarkan pembicaraan ini, Kalau perlu, aku akan membeberkannya agar dapat
meloloskan diri dengan selamat dari tempat ini."
Terdengar suara pernafasan thayhou yang agak memburu.
"Apa yang dilakukannya di kuil Ceng-Liang si?" tanyanya kemudian.
"Apakah thayhou benar-benar ingin mengetahuinya?"
"Untuk apa kau bertanya terus" Tentu aku ingin mengetahuinya." bentak thayhou
dengan nada tidak sabar. "Junjungan kita itu sudah mencukur rambutnya menjadi hwesio."
"Oh!" Thayhou mengeluarkan seruan tertahan "Dia... benarkah dia sudah menjadi
hwesio" Apa kau tidak mengelabui aku?"
"Tidak berani hambamu berdusta pada thayhou, Lagipula, hamba rasa juga tidak ada
perlunya," sahut Hay kongkong ketus.
"Benar-benar tega dia!" seru thayhou sengit. "Tentunya dia selalu memikirkan si rase
centil, sampai-sampai dia mengabaikan usaha yang telah dibangun leluhurnya dengan
susah payah. Dia juga tinggalkan kami, ibu dan anaknya!"
Siau Po semakin bingung. "Apa yang dimaksud dengan usaha leluhurnya?" Mengapa si kura-kura tua menyebut
orang itu sebagai junjungannya, mungkinkah dia bukan kekasih thayhou?" tanyanya
dalam hati, semakin penasaran ia.
"Hati junjungan kita telah tawar melihat dunia yang penuh kepalsuan ini. Dia sudah
sadar apa artinya kehidupan. Karena itu dia tidak ingin memikirkan negara, istri maupun
anaknya lagi, Menurut beliau, semuanya bagai awan gelap yang telah berlalu!"
Mengapa dia tidak menyucikan diri di masa dulu atau kelak, tetapi justru sekarang"
Mengapa dia harus menunggu sampai si rase centil itu mati baru mencukur rambutnya
menjadi hwesio" Mengapa negara yang diusahakan leluhur, istri dan anaknya masih
kalah dibandingkan dengan si rase genit itu" Sekarang, kalau kenyataannya dia sudah
menyucikan diri, kenapa pula dia meminta kau datang menemuiku?" pertanyaan
thayhou datang bertubi-tubi, seakan semuanya membingungkan hatinya.
Semakin lama suaranya pun semakin keras, Siau Po yang mendengarkan jadi
cemas. "Siapa orang itu sebenarnya?"
"Junjungan kita telah berpesan wanti-wanti. Biar bagaimana, hambamu dilarang
membuka mulut, agar urusannya tidak menjadi bocor. Terutama agar Hay thayhou dan
Sri Baginda mengetahuinya. junjungan kita juga mengatakan, dengan putra mahkota
menggantikan kedudukannya, negara akan menjadi aman dan damai, Beliau benarbenar
merasa puas." "Kalau begitu, mengapa baru sekarang kau mengatakannya kepadaku?" suara
thayhou semakin sengit "Sebetulnya aku sudah tidak ingin memikirkannya kembali, Aku
tidak ingin mengetahuinya, Bukankah di dalam hatinya hanya ada si rase centil?"
Siau Po masih heran. "Mungkinkah orang itu ayah Sri Baginda?" tanyanya pula
dalam hati. "Tapi, kaisar Sun Ti, ayah Sri Baginda kan sudah meninggal lama" justru
karena ayahnya wafat, baru Sri Baginda menggantikannya, Mungkinkah Sri Baginda
masih mempunyai ayah yang lain?"
Siau Po bingung karena memang dia tidak begitu paham silsilah kerajaan. Yang ia
tahu, Kaisar Sun Ti adalah ayah dari si raja cilik sekarang.
Mungkin, bila thayhou dan Hay kongkong berbicara lebih jelas lagi, dia juga belum
bisa mengerti. "Junjunganku sekarang sudah menjadi hwesio, semestinya aku juga menyucikan diri
di Ceng-Liang si untuk melayani beliau, tetapi masih ada satu hal yang membuat
junjunganku tidak tenang, itulah sebabnya hamba ditugaskan kembali ke istana untuk
menyelidikinya...." "Urusan apa yang membuatnya risau?" tanya thayhou cepat.
"Menurut junjunganku, meskipun Tang Gok hui...."
"Di hadapanku, aku larang kau menyebut nama si rase centil itu?" tukas thayhou


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bengis. "Ah! Rupanya yang dimaksud dengan rase centil adalah Tang Gok-Hui. Tentunya dia
seorang selir raja, Dan kemungkinan kekasih thayhou menyukainya dan tidak suka lagi
kepada thayhou, Itulah sebabnya thayhou menjadi iri hati dan marah!"
"Baik, baik," sahut si thay-kam tua. "Kalau thay hou tidak menyukainya, tentu hamba
tidak akan menyebutnya lagi."
Nafas ibu suri tersengal-sengal, dia masih penasaran.
"Apa katanya mengenai si rase centil itu?"
"Hambamu tidak mengerti apa yang kau maksudkan, thayhou, Setahu hamba,
junjunganku tida pernah menyebut si rase centil...."
Thayhou marah sekali melihat sikap Hay kongkong yang berlagak pilon.
"Sudah tentu dia tidak akan menyebutnya demikian Di dalam hatinya cuma ada
permaisuri Toan-keng. Setelah si rase centil mati, dia langsung menganugerahkan
gelarnya itu. Tong keng Hong hou. Langsung saja para budak dan pelayan yang pandai
menjilat menyebutnya permaisuri yang baik hati."
"Thayhou benar, Setelah Tang Gok-hui meninggal hamba seharusnya memanggilnya
dengan sebutan Toankeng Hong hou. permaisuri itu meninggalkan buku catatannya
yang berjudul Toankeng Hou Gi-lok. Apakah thayhou ingin membacanya" Hamba
selalu membawanya kemana-mana!"
Hawa amarah dalam hati thayhou semakin meluap-Iuap mendengar kata-kata Hay
kongkong. "Kau! Kau!" Untuk sesaat dia sampai tidak sanggup mengatakan apa-apa, Namun
kemudian dia sadar bahwa thayhou tua itu memang sengaja memancing
kemarahannya. Karena itu dia segera mengeluarkan suara tertawa dingin sambil
berkata. "Ya, sekarang ini zaman memang sudah berubah, Penjilat ada di mana-mana,
karena itu banyak orang yang senang membaca buku yang isinya ngaco itu. Kecuali
satu jilid yang ada padamu dan beberapa jilid yang ada pada junjunganmu, siapa lagi
yang masih memiliki buku-buku itu?"
"Thayhou telah mengeluarkan perintah secara diam-diam untuk memusnahkan bukubuku
itu. Siapa lagi yang berani menyimpannya" Junjunganku memang memiliki buku
itu, namun sebetulnya tidak membawa arti apa-apa. Karena apa yang ditulis oleh
Toankeng Hong hou dalam buku itu sudah dihapal luar kepala oleh junjunganku, Hal ini
sudah melebihi hanya memiliki buku tersebut."
Thayhou memperhatikan thay-kam tua itu lekat-lekat.
"Untuk menyelidiki urusan apakah sehingga dia menitahkan kau kembali ke istana?"
"Sebetulnya untuk dua macam urusan, tetapi setelah hamba menyelidikinya, ternyata
hanya terdiri dari satu urusan saja."
"Dua urusan jadi satu, apakah itu?" tanya thay-hou.
"Yang pertama mengenai kematian putera mahkota Eng Cin ong...."
"Yang kau maksudkan puteranya si rase centil?"
"Yang hamba maksudkan puteranya Toankeng Hong hou...."
"Hm! Binatang cilik itu mati ketika usianya baru empat bulan, Umurnya memang
sudah ditakdirkan pendek, Apa yang aneh?"
"Tapi junjunganku mengatakan, ketika pangeran Eng Cin ong mendadak jatuh sakit,
tabib istana langsung dipanggil. Dan tabib itu mengatakan penyebab kematiannya aneh
sekali...." "Hm! Tabib istana mana yang begitu pandai memeriksa penyakit" Mungkin kau
sendiri yang mengada-ada!"
Hay kongkong tidak menyangkal, dia hanya melanjutkan kata-katanya.
"Ketika Toankeng Hong hou wafat, banyak yang menduga bahwa kematiannya
disebabkan tekanan batin karena kehilangan puteranya yang masih bayi itu. Menurut
tabib istana, kematian Eng Cin ong disebabkan dua ototnya putus karena hantaman
seseorang, karena itu isi perutnya menjadi hancur."
"Apakah junjunganmu itu mempercayai ocehanmu?" tanya thayhou dengan nada
dingin. "Pertama-tama junjunganku memang tidak percaya, tetapi pikirannya berubah
setelah hambamu memberikan faktanya. Dalam waktu satu bulan, hamba mencoba
penemuan ini pada lima orang dayang, hasilnya... sebab kematian mereka persis
dengan kematian Toankeng Hong hou. Kalau hanya satu yang kematiannya sama,
mungkin masih bisa dikatakan bahwa perkiraan hamba itu salah, Tapi kalau limalimanya
sama, tentu persoalannya lain lagi, Akhirnya junjunganku jadi percaya."
"Oh! Hebat sekali! Sungguh mengagumkan di dalam istana ada seorang ahli
penyelidik seperti engkau ini," sindir thayhou.
"Terima kasih atas pujian thayhou," sahut Hay kongkong yang sikapnya tidak
berubah meskipun sadar dirinya disindir.
Untuk sesaat keduanya membungkam. Hanya sekali-sekali terdengar suara
batuknya si thay-kam tua itu. Sejenak kemudian baru Hay kongkong melanjutkan
katakatanya. "ltulah alasan mengapa junjunganku menitahkan aku kembali ke istana ini, yakni
untuk menyelidiki sebab musabab kematian Toankeng Hong hou dan Eng Cin ong!"
Thay hou tertawa dingin. "Untuk apa diperiksa" Di dalam istana ini, mana ada orang yang kepandaiannya
begitu tinggi." "Biar bagaimana, hambamu yakin orang berkepandaian tinggi itu pasti ada!" sahut
Hay kongkong berkeras, "Sehari-harinya sikap Toankeng Hong hou terhadap hamba
sangat baik, Hamba selalu mendoakan agar beliau panjang umur dan hidup sejahtera
sampai hari tua. seandainya saja sejak semula hamba tahu ada orang yang bernia
membunuh beliau, tentu hamba akan mengerahkan segenap kemampuan untuk
melindunginya, Hamba rela mengorbankan selembar jiwa tua ini demi keselamatan
beliau!" "Sungguh setia!" ejek thayhou, "Seharusnya dia bersyukur mempunyai seorang
anjing pengawal seperti engkau!"
"Sayangnya hamba tidak becus, akhirnya tidak sanggup melindungi permaisuri...."
Thayhou tertawa datar. "Tentunya setiap pagi kau bersembahyang dan membaca kitab suci agar arwah
Tongkeng Hong hou segera mencapai surga...."
Nada suaranya masih mengandung ejekan, tetapi Hay kongkong tidak
memperduIikannya. "Kalau hanya bersembahyang atau membaca kitab suci saja, tidak ada gunanya, Di
dalam dunia ini sepertinya ada sebuah pernyataan, yang baik akan mendapat kebaikan,
yang jahat akan mendapat balasan!" Hay kongkong menghentikannya kata-katanya
sejenak. "Kalaupun pembalasan sampai tidak terjadi, hal ini hanya soal waktu saja...."
Sekali lagi thayhou mendengus dingin, "Perlu thayhou ketahui, junjunganku
menitahkan aku menyelidiki dua macam urusan, ternyata hanya terdiri dari satu, Namun
di samping itu, tanpa terduga-duga ada sebuah persoalan lainnya yang justru dari satu
menjadi dua." "Rupanya banyak sekali urusan yang berhasil kau selidiki Urusan apa lagi?"
"Urusan yang ada kaitannya dengan selir Hui!"
Ibu Suri tersenyum datar.
"Dia" Dia kan adiknya si rase centil, pantasnya dia menjadi si rase centil kecil, Untuk
apa kau menyebut-nyebutnya?"
"Ketika junjunganku meninggalkan istana, beliau meninggalkan sepucuk surat yang
menyatakan bahwa beliau tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya, Berhubung
thayhong dan thayhou sadar bahwa suatu negara tidak boleh tanpa pemimpin, itulah
sebabnya kalian membuat pengumuman bahwa raja telah mangkat dan putera mahkota
Kong Hi diangkat untuk menggantikannya. Kekuasaan akhirnya jatuh di tangan Sri
Baginda yang sekarang dan thayhou sendiri, Ketika itu junjunganku sudah mencukur
rambutnya menjadi hwesio, Hal ini hanya lima orang yang mengetahuinya, termasuk
Gio Lim taisu dan hambamu, Hay tayhu."
Mendengar sampai di situ, Siau Po baru mengerti duduk persoalannya, Rupanya
"orang" yang mereka sebut-sebut memang kaisar Sun Ti yang sudah mencukur rambut
menjadi hwesio dan kemudian dinyatakan telah mangkat oleh Hong thayhou. Kaisar
Sun Ti mengundurkan diri karena sedih sekali ditinggal mati oleh selir kesayangannya,
Sedangkan menurut Hay kongkong, kematian selir ini akibat diserang secara gelap oleh
seseorang berkepandaian tinggi.
Senang sekali hati Siau Po ikut mendengar pembicaraan mereka, Diam-diam dia
berkata dalam hati. "Si kura-kura tua tadi mengatakan bahwa rahasia ini hanya diketahui oleh lima orang,
Dia tidak tahu jumlah sebenarnya adalah enam, berikut diriku!".
Baru saja berpikir demikian, tiba-tiba timbul rasa jeri dalam hati Siau Po. Sebab dia
baru saja mendengar sebuah rahasia besar, apabila si thay-kam tua sampai
mengetahui hal ini, tamatlah riwayatnya, dan kalau ibu suri yang mengetahuinya,
akibatnya sama saja. Karena takutnya, gigi Siau Po sampai berbunyi gemeretuk, Untung saja baik Hay
kongkong maupun Hong thayhou sedang hanyut dalam pikiran masing-masing
sehingga tidak memperhatikannya. Apalagi suara batuk Hay kongkong memang sudah
cukup membisingkan. Beberapa saat kemudian si thay-kam tua baru berkata lagi.
"Ketika Ceng-hui bunuh diri demi junjunganku, seluruh istana memujinya. Tetapi di
pihak lain, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa kematian Ceng-hui karena
dipaksa seseorang, bukan atas kehendaknya sendiri."
"ltu pasti fitnahan para menteri durhaka yang tidak menghormati kaisar ataupun para
atasannya, Cepat atau lambat, orang-orang seperti itu tidak boleh dibiarkan hidup!"
"Tapi, apa yang mereka katakan memang benar, Ceng-hui mati bukan atas
kehendaknya sendiri!" kata Hay kongkong.
"Apa kau ingin mengatakan bahwa kematian Ceng-hui karena dipaksa olehku?"
tanya thayhou dengan nada sinis.
"Kata-kata paksa, hamba tidak berani ucapkan," sahut thay-kam itu.
"Lalu apa maksudmu?"
"Ceng-hui mati karena dibunuh, bukan dipaksa mati, Hambamu sudah
menanyakannya kepada pemeriksa jenasah, Ketika mayatnya dibersihkan kemudian
dimasukkan ke dalam peti, ternyata tulang-tulang di tubuh Ceng-hui telah berpatahan,
bahkan batok kepalanya juga remuk, itu merupakan hasil pukulan ilmu Hoa-hut Bian
ciang (Pukulan lembut meremukkan tulang) bukan?"
"Mana aku tahu?"
"Hamba pernah mendengar bahwa di dunia ini memang ada ilmu yang lihay itu.
Apabila seseorang dihantam oleh pukulan tersebut, dari luar memang tidak terlihat
perubahan apa-apa, tapi tidak demikian dengan tulang-tulang dalam tubuhnya. Menurut
selentingan, orang yang menjadi korban pukulan itu, dalam tiga atau empat tahun,
barulah tulang tulang dalam tubuhnya menjadi hancur. Mungkin orang yang mencelakai
Ceng-hui ilmunya belum sempurna, sehingga perubahannya lebih cepat, yakni sore itu
juga. Hal inilah yang ditemukan oleh pemeriksa jenasah, Dia terkejut setengah mati,
namun tidak berani mengutarakannya kepada siapa pun. Belakangan, setelah hamba
memaksanya dengan berbagai cara, baru dia terpaksa mengatakannya. Nah, thayhou,
bagaimana tanggapanmu sendiri, benarkah orang itu masih belum sempurna ilmu Hoahut
Bian ciong-nya?" Terdengar ibu Suri menyahut dengan suara yang menyeramkan.
"Walaupun belum sempurna, tapi sudah membawa manfaat juga, bukan?"
"Bicara soal bermanfaat, memang benar, Karena setelah dipakai untuk membunuh
Ceng-hui, dapat pula digunakan atas diri Haukong Hong hou!" sahut Hay kongkong.
"Ah, benar-benar edan! Kenapa selir raja begitu banyak?" kata Siau Po dalam hati,
"Sekarang ada lagi seorang Hau-kong Hong hou, Mungkin permaisurinya lebih banyak
daripada nona-nona penghibur di Li Cun-wan."
Dasar bocah nakal, Mungkin hanya dia seorang yang bisa membandingkan jumlah
selir raja dengan perempuan-perempuan penghibur di rumah pelesiran.
Sebenarnya kaisar Sun Ti mempunyai empat orang permaisuri yang mana
permaisuri pertama telah dipecat. Dia adalah keponakan ibunya sendiri.
Kaisar Sun Ti sangat mencintai Tang Gok-hui, ratu jadi cemburu karenanya dia
sering mencari keributan dengan suaminya, itulah sebabnya permaisuri pertama itu
dipecat. Para menteri memprotes perbuatannya, Perkara ini memakan waktu sepuluh tahun,
namun akhirnya permaisuri dipecat juga. Kaisar Sun Ti ingin mengangkat Tang Gok-hui
sebagai permaisuri, namun sayangnya wanita itu bukan turunan bangsawan, sehingga
hal itu tidak memungkinkan.
Akhirnya seorang perempuan lain yang diangkat jadi permaisuri, dia adalah Hau hui
Hong Hou yang masih sanak famili ibunya, tentu saja pengangkatan itu karena
persetujuan ibunda raja, Raja merasa tidak puas.
Belakangan, setelah putera mahkota Kong Hi diangkat menjadi kaisar untuk
menggantikannya, permaisuri itu baru diangkat menjadi ibu suri atau Hong thayhou.
Dua permaisuri lainnya, yang pertama adalah ibu kandung kaisar Kong Hi sendiri.
Dia asalnya orang Han, ayahnya bernama Tong To-Lai itulah sebabnya kaisar Kong Hi
berdarah campuran, separuh Han dan separuh Boan.
Hong hau adalah seorang selir, tetapi karena anaknya diangkat menjadi kaisar,
akhirnya dia pun diangkat menjadi permaisuri, namun di saat pemerintahan Kong Hi
tahun kedua dan bulan kedua juga, permaisuri itu wafat. Setelah itu dia pun dianugerahi
gelar Hau hong Hong hou. Yang satunya lagi adalah Tang Gok-hui. Setelah wafat, dia dianugerahi gelar Haulian
Hong hou dan Toankeng Hong hou.
Siau Po tidak tahu bahwa Haukeng Hong hou adalah ibu kandung kaisar Kong Hi, ia
hanya menjadi heran ketika mendengar perubahan suara thay-hou.
Terdengar Hay kongkong berkata kembali.
"Orang yang mengurus jenasah Haukeng Hong hou sama orangnya dengan yang
memeriksa jenazah Tang Gok-hui serta Ceng-hui!"
"0h... tentunya orang itu, mengoceh yang bukan-bukan lagi bukan" Dia benar-benar
pandai memfitnah, sepatutnya mendapat hukuman mati!" kata thayhou.
"Kalau thayhou bermaksud membunuhnya, sekarang sudah terlambat!"
ibu Suri merasa heran. "Apakah kau telah membunuhnya?"
"Bukan!" sahut Hay kongkong, "Tahun yang lalu hamba sudah menitahkan orang itu
pergi ke Ceng-liang si untuk menuturkan apa yang ditemukannya kepada junjungan
kita. Setelah itu, dia mendapat perintah untuk menyingkir ke luar perbatasan (Kwan
gwa), di sana dia harus mengganti she dan nama aslinya untuk menghindarkan diri dari
ancaman bencana." "Kau... kau..." ibu suri marah sekali Suaranya sampai bergetar "Kau kejam sekali!"
"Yang kejam bukan hamba, tapi orang lain, Hamba merasa malu tidak mendapat
kehormatan demikian besar," sahut Hay kongkong.
Thayhou terdiam beberapa saat. "Kalau begitu, apa tujuanmu datang kemari malam
ini?" "Hamba datang untuk menanyakan satu hal kepada thayhou, Harap Hong thayhou
sudi berterus-terang, agar hamba bisa pulang ke Ngo-tai san dan memberikan laporan
kepada junjungan kita. Toankeng Hong Hou, Tang Gok-hui dan Ceng hui mati
penasaran itulah sebabnya junjunganku sampai meninggalkan istana dan mencukur
rambutnya menjadi hwesio. Hamba ingin mengetahui siapa orangnya yang menurunkan
tangan jahat kepada mereka, Tentunya dia seorang yang berkepandaian tinggi dan
bersembunyi di dalam istana ini, bukan Siapa dia" Hamba sudah tua, penyakit batuk ini
pun semakin hari semakin parah dan tidak mungkin bisa disembuhkan lagi, Hamba
ibarat lilin yang hampi padam. Kalau hamba tidak tahu siapa orangnya yang telah
menurunkan tangan jahat, biar mati pun hamba tidak bisa memejamkan mata dengan
tenang." "Sekarang sepasang matamu sudah buta. Kau tidak bisa melihat lagi, Untuk apa kau
bertemu dengan orang itu?" tanya thayhou.
"Meskipun mata hamba sudah buta, tetapi hati hamba masih terang!"
"Kalau hatimu masih terang, mengapa kau harus bertanya padaku, mengapa kau
tidak mencari jawabannya sendiri?"
"Lebih baik ditanyakan agar semuanya menjadi jelas dan hamba tidak perlu
menduga-duga sekenanya. Sudah berapa bulan hamba menyelidiki masalah ini. Siapa
kira-kira orang berilmu tinggi yang bersembunyi di dalam istana, sebetulnya hal ini
sulit sekali, sampai suatu hari terjadi peristiwa yang kebetulan sekali, Hamba berhasil
mengetahui bahwa Sri Baginda mengerti ilmu silat!"
Thayhou tertawa dingin. "Kenapa kalau Sri Baginda mengerti ilmu silat" Apakah dia yang membunuh ibu
kandungnya sendiri?" sindirnya tajam.
"Maaf! Dosa, dosa kalau hamba berani mengatakan demikian, Hamba malah patut
mendapat hukuman mati apabila mempunyai pikiran seperti itu saja. Tidak mungkin Sri
Baginda melakukan perbuatan yang demikian durhaka!"
Hay kongkong terbatuk-batuk sedikit, kemudian melanjutkan kembali kata-katanya.
"Hamba mempunyai seorang pelayan bernama Siau Kui cu...."
Siau Po terkejut sekali mendengar ucapan thay-kam tua itu.
"Nah, si kura-kura tua mulai menyebut-nyebut namaku," pikirnya was-was.
"Siau Kui cu lebih muda dua tahun dari Sri Baginda," kata Hay kongkong melanjutkan
kata-katanya. "Sri Baginda sangat menyukainya, Sering mereka berlatih gulat bersama
dan berlatih ilmu silat juga, Kepandaian Siau Kui cu, hamba yang mengajarkannya, Dia
belum terhitung orang gagah nomor satu, tapi mengingat usianya, tidak mudah
sembarangan orang mengalahkannya."
Senang juga hati Siau Po mendengar pujian yang secara tak langsung itu.
"Guru yang hebat pasti membuahkan murid yang pandai, sama seperti panglima
yang gagah memimpin tentara yang perkasa!" kata ibu suri.
"Terima kasih atas pujian thayhou. Tapi, kenyataannya apa yang terjadi, setiap Siau


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kui cu berkelahi melawan Sri Baginda, dalam sepuluh kali bertanding, dia pasti kalah
sembilan kali, Tipu jurus apa pun yang hamba ajarkan, selalu dapat dipecahkan oleh Sri
Baginda, Karena itu pula, hamba berpendapat bahwa guru Sri Baginda mempunyai
kepandaian yang lebih tinggi daripada hamba, Hamba juga yakin bahwa di antara para
pesilat di dalam istana ini, guru Sri Baginda itulah yang berkepandaian tertinggi
itulah sebabnya hamba juga mempunyai keyakinan bahwa tidak sulit menemukan siapa
orangnya yang telah membunuh dua orang permaisuri dan seorang putera mahkota itu."
"Oh, begitu..." kata ibu suri, "Kau berbicara dengan berbelit-belit, apakah hanya ini
yang ingin kau katakan kepadaku?"
"Barusan thayhou mengatakan bahwa di bawah bimbingan seorang guru yang hebat,
pasti membuahkan seorang murid yang pandai, Demikian juga kebalikannya, Apabila
ada seorang murid yang hebat, gurunya pasti terlebih lihay lagi, Sri Baginda paham ilmu
Patkua Yu-liong ciang yang terdiri dari enam puluh empat jurus. Hamba yakin guru Sri
Baginda juga paham ilmu Hoa-hut Bian ciang."
"Apakah kau telah berhasil mengetahui siapa adanya orang itu?" tanya thayhou
tenang. "Ya, hamba telah mengetahuinya!"
Thayhou tertawa dingin. "Harus kuakui kehebatanmu! Kau dapat mempertimbangkan segalanya sampai jauh,
Sengaja kau mengajarkan ilmu silat kepada Siau Kui cu agar dia dapat melayani Sri
Baginda, rupanya kau menggunakan kesempatan itu untuk menyelidiki siapa adanya
guru Sri Baginda," Hay kongkong menarik nafas panjang. "Hamba melakukannya karena terpaksa." Dia
menghentikan kata-katanya sejenak untuk merenung, Kemudian baru dia melanjutkan
kembali "Siau Kui cu adalah telur busuk yang paling licik dan jahat yang hamba temui,
dia telah meracuni hamba sehingga kedua mata hamba menjadi buta, seandainya
hamba tidak ada keperluan memanfaatkan dirinya, mungkin sudah sejak lama hamba
membunuhnya !" Thay hou tertawa terbahak-bahak.
"Siau Kui cu memang bocah yang cerdik, dia telah membutakan kedua matamu,
Bagus! Besok aku akan memberikan hadiah besar kepadanya!"
"Terima kasih, thayhou, seandainya thayho mengeluarkan perintah untuk
menguburkannya dengan upacara kebesaran, tentu arwahnya akan ber syukur kepada
thayhou di alam baka," kata Ha kongkong memberitahukan.
"Apakah kau telah membunuhnya?"
"Hamba sudah bersabar terlalu lama, Apalagi sekarang hamba tidak memerlukan
tenaganya lagi." Siau Po terkejut juga gusar sekali, Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Kampret! Rupanya sejak dulu kura-kura tua ini sudah tahu bahwa aku adalah Siau
Kui cu gadungan, bahkan dia juga tahu bahwa kedua matanya dibutakan olehku. Dan
dia hanya memperalat aku untuk menyelidiki ilmu silat Sri Baginda, itulah sebabnya dia
belum membunuhku sampai hari ini. Dia mengajari aku ilmu silat untuk mengetahui
siapa yang menjadi gurunya Sri Baginda, Celaka! Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan
menceritakan denga jujur jurus-jurus yang digunakan Sri Baginda, Hm sekarang kurakura
tua ini mengira aku sudah mati. Pasti akan datang saatnya di mana dia akan
terkejut setengah mati mengetahui aku masih hidup!"
Hay kongkong terbatuk-batuk, kemudian di menarik nafas dalam-dalam.
"Watak junjungan kita tidak sabaran, Apa pun yang diinginkannya, harus
dilaksanakan pada saat itu juga, sayangnya beliau merasa kecewa menjadi raja, karena
orang yang dicintainya tidak sanggup beliau lindungi. Junjunganku sudah menjadi
hwesio, tetapi dia tidak dapat melupakan Tang Gok-hui dan Ceng-hui. Ketika hamba
berangkat menuju istana ini, junjunganku telah menitipkan selembar surat sebagai
firman agar hamba menyelidiki siapa pembunuh Toankeng Hong hou, Ceng-hui dan
putera mahkota yang masih bayi, Hamba mendapat kuasa untuk membunuh pembunuh
itu apabila berhasil ditemukan!"
"Hm!" Thayhou mendengus dingin, "Dia kan sudah mencukur rambut menjadi
hwesio, mengapa otaknya masih dipenuhi urusan membunuh dan mencelakai orang"
Kan tidak sepatutnya seorang yang menyucikan diri mempunyai pikiran kotor?"
Hay kongkong tidak memberi tanggapan atas ucapan thayhou itu, Dia hanya berkata.
"Hamba telah memikirkan baik-baik bahwa hamba mungkin bukan tandingan guru Sri
Baginda yang lihay itu, Karena itu diam-diam hamba mempelajari sebuah ilmu baru, tapi
sayangnya hamba terlalu terburu nafsu, sehingga salah jalan dan menderita penyakit
batuk yang tidak bisa disembuhkan ini, Di samping itu, mata hamba juga sudah buta,
Tampaknya hamba tidak mempunyai harapan untuk...."
"Benar!" tukas thayhou, "Kau sudah kena penyakit yang parah dan matamu pun
sudah buta pula, Meskipun seandainya kau mendapat firman rahasia, kau tidak
sanggup menyelesaikannya lagi!"
Hay kongkong menarik nafas panjang.
"Memang benar..." Tampangnya seperti menderita sekali "Nah, sekarang juga
hambamu ingin mohon diri!" Selesai berkata, orang tua itu langsung membalikkan
tubuh, kemudian berjalan perlahan-lahan menuju luar.
Melihat keadaan itu, lega rasanya hati Siau Po.
"Asal kura-kura tua itu pergi, aku akan bebas. Dia mengira aku sudah mati, tidak
mungkin di mencari aku lagi!" pikirnya dalam hati.
"Tunggu dulu!" teriak ibu suri, "Hong thayhu kau hendak kemana?"
"Hamba sudah menceritakan semuanya kepada thayhou, sekarang hamba akan
pergi untuk menunggu saat kematian...."
"Jadi kau tidak melakukan tugas yang dititahkan kepadamu?"
"Hamba mempunyai keinginan, tetapi tenaga sudah tidak memungkinkan Lagipula
hamba juga tidak berani melakukan perbuatan yang kuran sopan terhadap Yang MuIia."
"Hm! Kau sungguh tahu diri! Tidak sia-sia kau melayani kami sekian tahun!" kata
thayhou denga nada sinis.
"Ya, ya! Terima kasih atas budi kebaikan thay hou, Dendam kesumat ini biar
ditangguhkan saja sampai Sri Baginda dewasa dan beliau yang akan
menyelesaikannya." Terdengar dia batuk-batuk beberapa kali. Lalu melanjutkan kembali "Kabarnya Sri
Baginda telah berhasil membekuk Go Pay. sungguh perbuatannya hebat sekali!
sikapnya gagah, ibunya sendiri tewas dianiaya orang. Hamba yakin tidak lama lagi
beliau akan curiga dan akan menyelidikinya sampai tuntas, sayangnya hamba tidak
dapat menunggu begitu lama sampai semua misteri ini disingkapkan!"
Thayhou melangkah maju beberapa tindak.
"Hay tayhu, kembali!"
Thay-kam tua menghentikan langkah kakinya. "Ya, thayhou, ada perintah apa?"
"Barusan kau sudah berkata panjang lebar di hadapanku Semua ucapanmu itu tidak
bisa dipegang, Apakah kau sudah menyampaikannya kepada Sri Baginda?" Suara
wanita itu jadi meninggi.
"Belum, thayhou, Hamba berencana untuk mengatakannya besok pagi sekarang
hamba mohon diri dulu...."
"Bagus! Bagus!" kata thayhou, namun tepat pada saat itu juga, terdengar suara angin
berkesiur sebanyak dua kali.
Siau Po terkejut sekali, dia sampai melongokkan kepalanya untuk melihat apa
gerangan yang terjadi. Tampak tubuh thayhou berkelebat dengan gesit ke arah Hay kongkong" sepasang
tangannya secara bergantian mengirimkan serangan ke arah thay-kam tua itu.
Hay kongkong sendiri tetap berdiri tegak, tangannya bergerak menangkis serangan
yang gencar itu. Matanya memang buta, tapi kepandaiannya tinggi sekali, biar diserang
dari mana pun, dia sanggup menghindarkan diri.
Diam-diam Siau Po merasa kagum, namun dia juga berpikir "Mengapa thayhou
menyerang kura-kura tua ini" Ah! Rupanya thayhou pandai bersilat!"
Thayhou bergerak dengan lincah, setiap pukulannya mengandung tenaga yang
dahsyat, tetapi Hay kongkong tetap berdiri tegak dan dapat mengimbangi setiap
serangannya dengan baik, Angin yang terbit dari pukulan thayhou dapat terdengar jelas,
tapi sambutan tangan Hay kongkong justru tidak terdengar sama sekali.
Sesaat kemudian, tibalah saat yang membahayakan, tiba-tiba tubuh thayhou
mencelat ke atas, sebelah kakinya mengirimkan sebuah tendangan. Hay kongkong
menangkis, tangan dan kaki mereka lantas beradu, akibatnya tubuh thayhou terpental
ke belakang dan mendarat di atas tanah dalam keadaan limbung.
Di pihak lain, Hay kongkong juga terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak.
"Budak yang baik!" bentak thayhou, Nada suaranya gusar dan kesal "Sungguh
pandai kau berpura-pura. Kau mengajarkan ilmu SiauIim pai kepada Siau Kui cu agar
aku menduga bahwa kau adalah orang dari partai itu. Tetapi kenyataannya kau orang
Kongtong pai!" "Maaf, thayhou, Sama saja, tidak ada perbedaannya di antara kita, Thayhou sendiri
mengajarkan ilmu Bu tong pai untuk menipu hambamu ini. Namun, ilmu Hoa-hut Bian
ciang adalah ilmu istimewa dari Coa To (Pulau Ular). sebenarnya hal ini sudah hamba
ketahui sejak dua tahun yang silam...."
Siau Po dapat menyaksikan apa yang berlangsung di antara mereka. Dia juga dapat
mendengar semuanya dengan jelas, Dia menjadi heran dan kagum terhadap kedua
orang itu, namun karena otaknya yang cerdik, sekejap saja dia sudah paham.
"Kura-kura tua ini sungguh licik, Dia mengajarkan aku ilmu Taykim Na hoat dan
Taycu Taypi Cian-Yap jiu, semua merupakan ilmu Siau lim pai. Dia melakukannya agar
thayhou bisa dikelabui, Dan kenyataannya dia orang Kong tong pai. sayangnya ilmu
Patkua Yu-Liong ciang justru tidak berhasil mengelabui kura-kura tua ini. Ah! Rupanya
ilmu silat Sri Baginda diajarkan oleh thayhou!"
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba seluruh tubuhnya dingin karena berkeringat.
Mendadak dia ingat suatu hal yang penting, "Celaka! Thayhou mengerti ilmu silat Hoahut
Bian ciang, Mungkinkah para permaisuri dan putera mahkota yang mati adalah
korban-korban thayhou sendiri" Kalau benar, gawat! Bahkan ibu kandung kaisar pun
dibunuhnya! Bagaimana kalau Hay kongkong menyampaikan rahasia itu kepada Sri
Baginda" Hebat akibatnya! Kalau Sri Baginda berniat menghukum mati ibu suri,
thayhou pasti akan membunuhnya pula, Bagaimana baiknya?"
Pada saat itu, satu-satunya yang menjadi pikiran Siau Po adalah segera angkat kaki
dari tempat itu, Dia merasa dirinya terancam bahaya besar. Namun dia masih ketakutan
sehingga kedua lututnya terasa lemas, dia tidak kuat melangkahkan kakinya sama
sekali. Keadaannya tidak berbeda seperti orang yang tengah bermimpi buruk.
Saat itu pula terdengar suara ibu suri.
"Setelah urusannya menjadi begini, kau masih berharap dapat meninggalkan tempat
ini?" Tampaknya Hay kongkong tidak takut terhadap ancaman itu. "Thayhou boleh
dipanggil semua siwi, makin banyak makin baik. Dengan demikian hamba bisa
membeberkan semuanya kepada mereka, Hamba yakin pasti ada salah satunya yang
bisa menyampaikan apa yang hamba katakan kepada Sri Baginda!"
Thayhou tertawa. suaranya melengking dan nyaring.
"Hm! jalan pikiranmu hebat sekali!" Bicaranya perlahan, Hal ini membuktikan bahwa
dia sedang mengatur pernafasannya yang memburu.
"Harap thayhou jaga diri baik-baik. jangan sampai thayhou tersesat seperti hamba!"
"Kau baik sekali!" sindir thayhou sinis.
"Thayhou justru manusia paling baik di dunia ini!" Hay kongkong tidak mau kalah set.
Sebetulnya kepandaian Hay kongkong dengan thayhou berimbang, tetapi karena
matanya buta, dia merasa tidak bisa menandingi ibu suri itu. Dia menyadari kehebatan
Hoa-hut Bian ciang wanita itu, ilmu itu merupakan ilmu simpanan dari Coa To.
Untuk menghadapi ilmu tersebut, diam-diam dia mempelajari sebuah ilmu baru.
Ketika itu dia masih belum tahu siapa pembunuh Tang Gok-hui, Ceng-hui dan putera
mahkota yang masih bayi itu.
Setelah mengetahui bahwa kaisar Kong Hi dan Siau Kui cu senang bertanding ilmu
silat, dia mulai mempunyai dugaan dari mana Sri Baginda mempelajari ilmu silat, Hay
kongkong yakin pembunuh para permaisuri dan putera mahkota adalah guru Sri
Baginda. Dia juga membayangkan bahwa pada suatu hari kelak dia akan berhadapan
dengan tokoh yang lihay itu.
Di samping itu, berkat kecerdikannya Hay kongkong juga berhasil mengetahui
penyamaran Siau Po. Dia yakin Siau Kui cu yang asli sudah dibunuh oleh bocah itu dan
si setan cilik itu pula yang membutakan kedua matanya.
Tetapi, karena Siau Kui cu palsu hanya seorang bocah cilik, dia menduga ada orang
lain yang menjadi dalang dibalik semuanya, itulah yang membuatnya bertekad untuk
menyelidiki siapa adanya dalang itu.
Dalam hal ini, dugaanya salah, Siau Po melakukan apa-apa hanya berdasarkan
nalurinya sendiri, tidak ada orang yang menyuruh ataupun menasehatinya untuk
melakukan apa saja, dengan demikian Hay kongkong tidak bisa membuktikan apa-apa.
Terpaksa dia menggunakan akal, Dia mengajarkan Siau Po ilmu-ilmu Siau lim pai
dengan harapan lawan bisa dikelabui, ternyata siasatnya berhasil.
Sejak setengah tahun yang lalu, thayhou sudah menduga bahwa Hay kongkong
adalah tokoh dari Siaulim pai. Sebaliknya, Hay kongkong dapat mengira dengan tepat
bahwa thayhou bukan orang dari Bu tong pai. Karena itu, dalam pemikiran, ternyata
thayhou masih kalah satu tingkat dengan Hay kongkong.
Hay kongkong juga mempunyai pikiran jauh. Karena matanya buta, dia sudah kalah
selangkah itulah sebabnya dia harus memancing agar lawan menyerangnya terlebih
dahulu. Dia juga harus mendapat kepastian atas dugaannya bahwa thayhou adalah sang
pembunuh, dia masih menyimpan keraguan sebab bagaimana caranya thayhou bisa
menguasai ilmu Hoa-hut Bian ciang yang merupakan ilmu simpanan Coa to.
Ilmu itu harus ditekuni setidaknya selama dua puluh lima tahun, walaupun ada
kemungkinan di masa muda thayhou pernah pergi ke Coa To, namun rasanya tidak
mungkin mempunyai begitu banyak waktu untuk melatihnya, karena itu pula dia
mempunyai dugaan bahwa di samping thayhou masih ada seorang tokoh lihay lainnya.
Untuk mendapat kepastian itu, sengaja dia mengoceh bahwa akan membawa
persoalan itu kepada Sri Baginda, kali ini dia berhasil, thayhou menjadi panik, tanpa
disadari dia mengakui bahwa dialah pembunuhnya.
Pertempuran masih berlangsung, Dalam tiga gebrakan, thayhou menderita luka
dalam. Hay kongkong tahu hal itu dan dia merasa puas, Dia beranggapan bahwa
setelah terluka, thayhou tidak bisa berbuat banyak lagi terhadapnya.
Luka thayhou tidak ringan, dia menjadi cemas dan bingung, diam-diam dia berpikir
dalam hati. "Celaka kalau thay-kam tua ini berhasil meloloskan diri, kalau dia sampai
membeberkan urusan ini kepada Sri Baginda, aku dan sahabat-sahabatku tentu akan
terjerumus dalam bencana besar. Si rase kecil centil yang ada dalam penjara tentu
akan bersorak kegirangan mengetahui berita ini...."
Hati ibu suri menjadi panas apalagi setelah membayangkan arwah Tang Gok-hui
akan senang melihat keruntuhannya, dia menarik nafasnya dalam-dalam kemudian
berkata dengan suara Iantang.
"Malam ini aku akan mengadu jiwa denganmu agar kita mati bersama-sama!"
Kalau ditinjau dari kedudukannya, sebetulnya tidak pantas seorang ibu suri berkelahi
dengan seorang thay-kam, akan tetapi keadaannya membuat dia terpaksa melakukan
hal ini. Belum sempat si thay-kam tua mengatakan apa-apa. thayhou sudah melanjutkan
kata-katanya kembali, cuma nadanya kali ini agak lunak.
"Hay tayhu, kau memang suka mengarang-ngarang. pergilah kau, beberkan kepada
Sri Baginda, Usia Sri Baginda memang masih muda, tetapi otaknya cerdas sekali. Coba
kita lihat, siapa yang akan dipercayainya, kau atau aku!"
Hay kongkong tetap bersikap tenang.
"Pertama-tama Sri Baginda tidak akan percaya dengan kata-kata hamba, malah ada
kemungkinan hamba akan segera ditawan dan dihukum mati. Tetapi beberapa tahun
kemudian, beliau pasti dapat berpikir kembali dan insaf bahwa hamba benar. Bila saat
itu tiba, kehancuran akan terjadi pada diri thayhou beserta kerabat thayhou yang
lainnya!" Mendengar kata-kata itu, thayhou jadi tercekat, karena apa yang diucapkannya
memang bisa menjadi kenyataan, apabila Sri Baginda berpikir dengan tenang,
berdasarkan kecerdasan otaknya dia memang bisa membuktikan kebenarannya katakata
si thay-kam tua ini. Hay kongkong tidak menunggu jawaban Ibu suri, dia segera melanjutkan katakatanya.
"Junjunganku telah berpesan, apabila hamba sudah berhasil menyelidiki siapa
adanya pembunuh itu, hamba berhak melakukan tindakan apa saja terhadapnya,
sayangnya keadaan hamba tidak memungkinkan, itulah sebabnya hamba terpaksa
menempuh jalan lain, yakni memberitahukannya kepada Sri Baginda!" selesai berkata,
kembali thay-kam tua itu melangkah pergi.
Diam-diam thayhou mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghajar thay-kam
kurang ajar itu. Tetapi, belum sempat dia mengambil tindakan apa-apa, tiba-tiba Hay
kongkong membalikkan tubuhnya dan mengirim sebuah serangan. Kedua tangannya
meluncur ke depan dengan cepat.
Hay kongkong mendapat tugas dari junjungannya, yakni kaisar Sun Ti. Dia
diharuskan menyelidiki siapa pembunuh kedua permaisuri dan putera mahkotanya,
Kata-katanya akan mengadu kepada Sri Baginda hanya gertakan belaka agar perhatian
thayhou teralihkan. Secara tiba-tiba dia menyerang thayhou yang dianggapnya lawan tangguh itu,
sebelumnya dia juga sudah menghimpun seluruh tenaga dalamnya dan menduga
dengan tepat di mana posisi berdirinya thayhou agar dia bisa menyerang dengan telak.
Kedua matanya memang buta, tetapi selama ini dia sudah melatih pendengarannya
dengan baik sehingga dia dapat melancarkan serangannya ke dada ibu suri.
Ibu suri ingin mengirimkan serangan, tetapi ternyata dia yang diserang terlebih
dahulu, untuk sesaat hatinya terkesiap, sebenarnya dia sudah menghitung matangmatang


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

posisinya apabila serangannya menderita kegagalan. Dia yakin, dengan
matanya yang buta, thay-kam tua itu tidak akan sanggup menandinginya, Siapa nyana
kepandaian thay-kam itu memang tinggi sekali.
Untuk sesaat thayhou sempat kewalahan diserang sedemikian rupa oleh si thay-kam
tua. Namun belakangan di bisa juga menguasai dirinya sehingga mulai balas
menyerang. Ketika mengadu tenaga dalam, Hay kongkong yakin dia akan meraih kemenangan
karena thayhou sudah terluka, ia akan bertahan terus sampai lawannya kehabisan
tenaga. Siau Po dapat melihat semuanya dengan tegas dari tempat persembunyiannya, Dia
melihat thay hou mengadu tenaga dengan sebelah tangannya. Tampaknya keadaan
mereka biasa-biasa saja, tetapi sebenarnya tidak, karena dengan lewatnya waktu
tenaga dalam Hay kongkong akan semakin kuat.
Thay-hou heran ketika merasakan perubahan pertahanan thay-kam tua itu. Dia juga
merasa terkejut. "Untung sejak semula aku sudah bersiap-siaga. Coba kalau tidak, mungkin sekarang
aku sudah celaka. Malam ini mungkin nyawaku bisa amblas tangannya," pikir thayhou
dalam hati. Ibu suri bukan orang bodoh, ia tahu apa yang harus dilakukannya, Di saat tangannya
menahan serangan orang tua itu, tangan kirinya meraba dalam saku untuk
mengeluarkan senjatanya yang istimewa, Ngo-bi ci, sejenis ujung tombak dari baja
berlapis platina. Secara diam-diam dia mengarahkan bagian yang runcing dari senjata itu ke dada
lawan. Siau Po dapat melihat gerak-gerik thayhou, Dia masih mengintai karena belum
menemukan kesempatan yang baik untuk melarikan diri. Melihat berkilaunya sinar putih
di tangan wanita itu, diam-diam dia merasa senang. Biar bagaimana, dia lebih berpihak
kepada thayhou. "Bagus, bagus! Biar bagaimana, tampaknya si kura-kura tua malam ini terpaksa
berpulang ke alam baka!" serunya dalam hati.
Tetapi, ketika senjata thayhou mengulur ke depan secara perlahan-lahan, tiba-tiba
gerakannya terhenti. Hal ini disebabkan tenaga dalam Hay kongkong yang mulai
mendesak ibu suri. Tenaga wanita itu sendiri semakin melemah.
Karena terdesak, thayhou terpaksa harus menggunakan tangan yang satunya. Tapi
dia menggerakkannya dengan perlahan, agar senjatanya tidak diketahui oleh pihak
lawan, namun karena kelambatannya, dia berhasil didahului oleh lawan. Siau Po
melihat tangan kiri thayhou gemetar, dia melihat senjata wanita itu tidak dapat
digerakkan. Dia tidak tahu apa sebabnya.
Sesaat kemudian, senjata itu bukan saja tidak bisa bergerak ke depan malah
perlahan-Iahan mulai mundur, thayhou masih bertahan tetapi keadaannya mulai
terdesak. Saat itulah Siau Po baru mulai tersadar, hatinya tercekat.
"Ah! Celaka! Thayhou tidak sanggup melawan kura-kura tua itu! Kalau aku tidak
menyingkir sekarang juga, nanti tentu tidak ada kesempatan Iagi!" pikirnya dalam hati,
ia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah dengan mengendap-endap. Dia tidak
ingin mengambil resiko sedikit pun. Dia juga yakin setelah agak jauh, baru dirinya
aman. Tepat ketika dia sampai di depan pintu dan mengulurkan tangan untuk membukanya,
dia mendengar seruan tertahan dari mulut Hong thayhou. Hatinya terperanjat dan cepat
dia menolehkan kepalanya.
"Celaka! Thayhou telah dibunuh oleh kura-kura tua itu!" keluhnya dalam hati.
Justru pada saat itulah terdengar suara Hay kongkong. "Thayhou, kau ibarat lampu
yang sudah mula kehabisan minyak, sebentar lagi pelitamu akan padam dan habislah
semuanya, kecuali kalau ada orang yang datang menolongmu atau mendadak menikam
punggungku yang mana akan membuat aku mati karenanya!"
Siau Po mendengar kata-katanya thay-kam tua itu dengan jelas.
"Oh, kiranya thayhou belum mati, Tapi apa yang dikatakan kura-kura tua itu ada
benarnya juga, dia sedang menghadapi thayhou dengan kedua tangannya. Kalau aku
membokongnya, tentu di tidak dapat berbuat apa-apa. Kau sendiri yang memancing
orang mencelakainya, maka jangan kau salahkan aku!" katanya dalam hati.
Dalam keadaan yang demikian kritis, Siau Po langsung mengambil keputusan. Dia
ingin membantu thayhou, dia juga ingin membunuh thay-kam tua itu, sekarang ada
kesempatan yang baik, dia harus menggenggamnya erat-erat.
Siau Po segera membungkuk dan mencabut belati yang terselip di kaos kakinya,
setelah itu dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil berteriak.
"Hei, Kura-kura tua! jangan celakai thayhou!" Dia langsung menerjang ke depan
untuk menikam punggung thay-kam tua itu.
Hay kongkong memang hebat sekali, ketika dia sedang melayani ibu suri, telinganya
yang tajam dapat mendengar suara langkah kaki yang lirih sekali.
Tiba-tiba saja ingatannya melayang kepada Siau Kui cu. Dia langsung menduga
bocah itu pasti belum mati, Dia takut Siau Kui cu gadungan itu akan meminta bantuan
para pengawal untuk membekuknya, karena itu dia segera memancing Siau Po dengan
kata-katanya dan bocah itu langsung keluar dari tempat persembunyiannya untuk
menyerangnya. Siau Po tertipu, Dadanya terkena tendangan Hay kongkong, Tubuhnya langsung
terpental juga ke belakang dan memuntahkan segumpal darah segar, serangan yang
dahsyat itu telah menggagalkan bokongannya.
Ketika menyerang si bocah yang datang dari belakang, Hay kongkong sudah
menduga thayho akan berusaha menyelamatkan diri. Kemungkinan dia akan diserang
oleh tangan kiri lawan, cepat di berjaga-jaga, tangan kanannya mendekap bagian perut.
Namun tepat pada saat itu si thay-kam tu terkejut setengah mati. Dia merasa telapak
tangannya tersentuh benda yang dingin dan perutnya terasa nyeri seketika, karena
matanya buta, dia tidak dapat melihat keadaan lawan.
Dia mengira thayhou akan menyerangnya dengan tangan kosong, tidak diduga sama
sekali bahwa wanita itu telah menyiapkan senjata yang luar biasa tajamnya perutnya
langsung terkena tikaman. Saking nyeri dan terkejutnya, Hay kongkong menghantamka
tangan kirinya. Thayhou sedang menikam tidak sempat di membela diri, Hantaman thay-kam tua itu
langsung membuat tubuhnya terpental ke belakang beberapa tindak, untung saja dia
masih sempat mengendalikan gerakan tubuhnya dengan kaki kiri sehingga tidak sampai
jatuh roboh terguling. Dadanya teras sesak, darah di dalamnya terasa bergejolak, hampir saja dia semaput.
Dia juga khawatir si thay-kam tua itu akan menyerang terus, karenanya dia menyurut
mundur dua langkah kemudian bersandar pada tembok.
Terdengar Hay kongkong mengeluarkan suara tawa yang melengking dan
menyeramkan. "Nasibmu mujur sekali! Benar-benar mujur!" Secara berturut-turut dia melancarkan
tiga buah serangan. Setiap kali menyerang, kakinya pun turut melangkah maju ke
depan sehingga jaraknya dengan ibu suri semakin dekat.
Menghadapi serangan yang demikian beruntun, thayhou melompat ke kanan, namun
apa daya kakinya tergelincir sehingga tubuhnya melorot turun terkulai di atas tanah.
Tepat pada saat itu, tembok di mana thayhou bersandar tadi terhantam pukulan Hay
kongkong sehingga timbullah suara yang bergemuruh.
Wajah thayhou pucat pasi.
"Tamatlah riwayatku!" pikirnya dalam hati, Dia tidak dapat bergerak lagi, sedangkan
jarak antara Hay kongkong dengannya semakin dekat
Tapi, setelah menyerang secara beruntun, Hay kongkong tidak bergerak lagi,
tubuhnya menopang pada reruntuhan tembok, Ternyata setelah perutnya tertikam,
orang tua itu sudah menggunakan sisa tenaganya yang terakhir untuk melakukan
serangan. Dengan penuh kebencian, orang tua itu melancarkan pukulannya, Keadaannya
sudah mendekati kalap. Namun sayangnya, serangan yang terakhir itu hanya mengenai
tembok yang hancur seketika.
Dengan berhentinya serangan yang gencar itu, berhenti pula denyut jantung thaykam
tua itu. Thayhou melihat orang tua itu mendekam sekian lama, dia mulai dapat menduga apa
ya terjadi, Thayhou berusaha untuk bangun, namu dia mengalami kegagalan Dalam
keadaan bingung dia bermaksud memanggil dayangnya agar membimbingnya kembali
ke kamar, namun saat itu juga dari kejauhan dia mendengar sayup-sayup orang ramai
mendatangi. "Mungkin para penjaga sudah mendengar suara perdebatan dan perkelahianku
dengan thay-kam tua itu, suara runtuhnya tembok yang dihajar orang juga keras sekali.
Bagaimana kalau para siwi atau thay-kam istana datang kemari dan menyaksikan aku
rebah tidak berdaya sedangkan tidak jauh dariku ada mayat thay-kam tua dan thay-kam
muda itu pikirnya dalam hati.
Thayhou menjadi panik. Dikiranya Siau Kui cu juga sudah mati. Dia bertekad untuk
mencoba bangun kembali, namun lagi-lagi dia gagal. Pikirannya tambah bingung,
sedangkan suara orang yang mendatangi semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapanya.
"Apakah thayhou baik-baik saja?"
Thayhou menolehkan kepalanya dan melihat seseorang sedang menghampiri.
"Bagaimana kalau hamba membantu thayhou berdiri?" tegur orang itu kembali.
Ibu suri langsung mengenalinya sebagai Siau Kui cu.
"Oh, Kau... kau tidak mati ditendang thay-kam jahat itu?"
"Dia mana sanggup menendang mati hamba," sahut si thay-kam cilik.
Ketika tertendang oleh Hay kongkong, Siau Po langsung muntah darah, namun
sesaat kemudian dia bisa mempertahankan diri dan merayap bangun kembali, Karena
itu dia melihat semuanya dengan jelas.
Sampai si thay-kam tua roboh terkulai di atas reruntuhan tembok, dia masih berdiam
diri sejenak, kemudian dia memungut sebutir batu kecil yang lalu disambitkannya ke
kepala Hay kongkong, tidak ada reaksi apa-apa meskipun sambitannya mengenai
kepala thay-kam tua itu dengan jitu.
Hati Siau Po agak lega karena dia yakin setidaknya orang tua itu pasti tidak sadarkan
diri seandainya tidak mati, dia pun berjalan perlahan-lahan mendekati Hay kongkong
dan menyepaknya satu kali. Tetap tidak ada reaksi, sekarang Siau Po yakin bahwa
thay-kam tua itu memang sudah mati. Dia segera mendekati thayhou dan menawarkan
jasanya. Otak Siau Po memang cerdik, dia juga sudah mendengar sayup-sayup orang ramai
mendatangi. Apabila dia kepergok begitu saja, tentu dia tidak bisa meloloskan diri,
itulah sebabnya dia mengambil keputusan untuk menolong thayhou. Dengan demikian dia jadi
punya alasan apabila di tanyai apa yang telah terjadi.
Bagian 09 "Oh, anak yang baik! Lekas kau bimbing aku ke dalam kamar!" kata thayhou setelah
mengenali Sia Po. Dia juga tidak perlu merasa malu, memang Sia Kui cu seorang bocah laki-laki, tapi
dia toh seorang thay-kam yang sudah dikebiri.
"Baik!" sahut Siau Po yang langsung memegang lengan wanita itu dan
membimbingnya masuk ke dalam kamar. Dia juga membantu thayhou berbaring di atas
tempat tidurnya. Siau Po sendiri sudah terlalu letih, selesai membantu ibu suri, dia sendiri jatuh
terkulai di ata permadani yang tebal, nafasnya tersengal-sengal.
"Kau berbaring saja," kata thayhou, "Nanti kalau ada yang datang, jangan
mengeluarkan suara sedikit pun."
"Ya," sahut Siau Po mengangguk lemah.
Sejenak kemudian terdengarlah suara yang riuh rendah di luar kamar thayhou.
Rupanya sudah banyak orang yang berkumpul di sana, Ada yang membawa obor dan
ada juga yang membawa lentera.
"Eh, ada thay-kam mati di sini!" teriak seseorang dengan nada terkejut.
"Dia Hay kongkong dari ruang Siang-sian tong!" seru yang lainnya begitu mengenali
siapa adanya mayat itu. Seorang lainnya segera berteriak dengan suara lantang.
"Lapor! Harap thayhou ketahui bahwa di dalam taman ini telah terjadi sesuatu,
semoga thayhou dalam keadaan baik-baik saja!"
"Urusan apa yang telah terjadi?" tanya thayhou pura-pura tidak tahu apa-apa.
Jawaban itu melegakan hati para siwi dan thay-kam yang berdatangan di taman itu.
Kalau thayhou dalam keadaan selamat, berarti mereka pun aman. Meskipun peristiwa
itu terjadi di dalam keraton Cu-Ceng kiong.
"Kemungkinan hanya para thay-kam yang berkelahi, bukan urusan penting, silahkan
thayhou beristirahat peristiwa ini akan segera diurus dan besok baru hamba
memberikan laporan selengkapnya," sahut siwi tadi.
"Baiklah!" Suara yang bising pun mereda, mereka bekerja dengan hati-hati. Mayat Hay
kongkong diangkat kemudian reruntuhan tembok dirapikan kembali.
"Di sini masih ada mayat seorang dayang cilik!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak "Eh,., Dia masih belum mati hanya
pingsan...." "Syukurlah kalau belum mati. Nanti kalau sadar, kami bisa mendapat keterangan
yang jelas darinya...."
Thayhou mendengar pembicaraan itu, dia segera menukas.
"Apa" Ada dayang kecil yang tidak sadarkan diri" Cepat pondong dia masuk ke
dalam kamarku!" Thayhou tahu satu-satunya dayang cilik yang melayaninya hanya Lui Cu. Dia harus
mendapatkan nona cilik itu agar setelah sadar, Lui Cu tidak sembarangan berbicara.
Perintah thayhou segera dilaksanakan. Dua orang pengawal segera memondong
tubuh Lui Ci kemudian memasukkannya ke kamar ibu suri, setelah itu mereka langsung
keluar lagi. Sampai saat itu, para dayang yang lainnya serta beberapa thay-kam yang melayani
ibu suri baru berdatangan. Mereka hanya berdiri di depan pintu kamar menunggu
perintah. Tidak ada seorang pun yang berani lancang masuk ke dalam.
Ibu suri tahu para pelayannya sudah berdatangan, dia segera memberi perintah.
"Kalian tidak perlu menunggu di sini, istirahatlah!"
Seperti mendapat pengampunan, berbondong-bondong pelayan itu menyatakan
terima kasih lalu meninggalkan keraton Cu-ceng kiong.
SebetuInya, memang tidak ada dayang yang tahu thayhou mengerti ilmu silat. Kalau
ia berlatih, selalu dilakukannya dalam keadaan seorang diri, baik di dalam kamar
ataupun di luar, Dia melarang dayang, siwi atau thay-kam sembarangan menyentuh
pintu kamarnya. Sementara itu, thayhou segera memejamkan matanya untuk beristirahat setengah
kentungan kemudian, keadaannya mulai membaik. Tenaga Siau Po sendiri sudah mulai
pulih sebagian, dia bisa duduk tegak bahkan berdiri.
Thayhou bingung melihat keadaan Siau Po yang baik-baik saja, Kalau menurut
pendapatnya sendiri, tendangan Hay kongkong tadi cukup dahsyat, apalagi bagi
seorang bocah berusia belasan tahun. Meskipun tidak sampai mati, dapat dipastikan
tulang di dadanya bisa patah, tapi kenyataannya tidak, sebab thay-kam cilik ini masih
kuat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Hal mana tidak mungkin dilakukan seseorang yang terluka parah atau tulangnya
patah, Dia menerka-nerka ilmu apa yang dipelajari bocah cilik ini.
"Selain Hay kongkong, siapa lagi yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" tanya
thayhou dengan perasaan ingin tahu.
"Hamba hanya belajar setengah tahun dari thay-kam tua itu," sahut Siau Po.
"Thayhou, dia jahat sekali. Setiap hari yang dipikirkannya hanya bagaimana membunuh
hamba...." "Oh!" seru ibu suri, "Apa benar kau yang membutakan kedua matanya?"
"Tua bangka yang jahat itu siang malam terus memaki thayhou," sahut Siau Po yang
cerdik dan pandai mengikuti situasi yang ada di hadapannya "Dia juga mencaci maki Sri
Baginda sehingga hamba tidak tahan mendengarnya, sayangnya hamba tidak
mempunyai keberanian untuk membunuhnya, hamba takut"
"Bagaimana dia mencaci maki raja dan aku?" tanya thayhou.
"Ah! Mulutnya hanya sembarangan mengoceh, tidak pernah hamba mengingatnya
dengan serius! "Kau anak yang baik," puji ibu suri. "Apa keperluanmu malam-malam di taman
bungaku?" Otak Siau Po bekerja dengan cepat
"Ketika baru tertidur, hamba mendengar tua bangka itu membuka pintu kamar,
Hamba takut dia akan mencelakai hamba, maka diam-diam hamba bangun dan
mengikutinya. Ternyata hamba mengikutinya sampai di sini!"
"Tadi dia juga mengoceh sembarangan di ha dapanku, apakah kau dengar apa yang
dikatakannya?" tanya thayhou, "Hal ini membuat perasaannya menjadi khawatir,
Apalagi Siau Kui cu dekat sekali dengan Sri Baginda.
"Ucapan orang tua itu seperti kentut busuk. Maaf, hamba sampai berkata kasar di
hadapa thayhou, Hal ini karena hamba benci sekali kepadanya. Setiap hari dia mencaci
hamba sebagai anak kura-kura. Dia juga memaki leluhur hamba, karena itu hamba tidak
pernah menanggapi apa pun yang diocehkannya."
"Kau dengar!" Tiba-tiba nada suara thayhou berubah jadi dingin, "Aku hanya
bertanya, apakah kau dengar apa yang dikatakannya kepadaku malam ini?"
Siau Po cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
"Tadi hamba bersembunyi jauh di luar taman, Tidak berani hamba berada pada jarak
yang terlalu dekat dengannya, meskipun mata tua bangka itu sudah buta, telinganya
justru semakin tajam. Hamba takut dia tahu akan kehadiran hamba. sebenarnya hamba


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin sekali mendengar apa yang diocehkannya kepada thayhou, tetapi sayang
jaraknya terlalu jauh sehingga tidak dapat mendengar sepatah kata pun.
Sampai lama sekali hamba mengintai dari kejauhan, setelah tua bangka itu
menyerang thayhou, baru hamba berani mendekat. Tujuan hamba ingin
membokongnya, sayangnya hamba gagal. Hamba yakin ia tentu menjelek-jelekkan
hamba di depan thayhou, Hamba mohon thayhou jangan percaya pada apa yang
dikatakannya!" sahutnya cerdik.
"Hm!" Thayhou mendengus dingin sekali lagi, "Apa benar kau tidak mendengar apa
yang dikatakannya" Syukurlah kalau memang benar, Kau anak yang cerdik juga berani,
tapi awas kalau kelak dikemudian hari aku tahu kau berdusta!"
"Thayhou memperlakukan hamba dengan baik, Kalau sampai dia bicara yang tidak
genah mengenai thayhou, tentu hamba akan mengadu jiwa dengannya!"
"Bagus kalau kau bisa mempunyai pikiran seperti itu! Sebenarnya, aku tidak merasa
telah memperlakukan kau dengan baik...."
"Thayhou benar-benar memperlakukan hamba dengan baik. Hamba sudah berani
berkelahi dengan Sri Baginda, walaupun saat itu hamba tidak tahu bahwa beliau adalah
sang Raja, tetapi thayhou tidak menyalahkan hamba sedikit pun juga, ini yang disebut
budi kebaikan! Dengan matinya si tua bangka, berarti thayhou telah membebaskan
hamba dari cengkeraman hatinya yang jahat!"
"Bagus, kau mengerti budi, Nah, sekarang nyalakan lilin di atas meja!"
Siau Po mengiakan, dia segera melaksanaka perintah itu.
"Ke sini! Aku ingin melihat wajahmu!" kata thayhou kemudian.
Perlahan-lahan Siau Po menghampiri, dia melihat wajah ibu suri pucat sekali.
Matanya setenga dipicingkan, Sinar matanya tajam sekali dan mengandung pengaruh
yang besar, jantung Siau Po berdebar-debar melihatnya.
"Mungkinkah dia ingin membunuhku agar aku bungkam untuk selamanya" Kalau
sekarang aku lari, dia pasti akan meringkusku, Tapi, belum tentu dia bisa mengejar
aku...." pikir Siau Po ragu-ragu untuk sejenak, "Tapi kalau aku sampai tertawan,
matilah aku!" Ketika bocah itu masih dilanda kebimbangan tiba-tiba tangannya telah dicekal oleh
thayhou. Siau Po terkejut sekali, sampai dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau takut" Apa yang kau takutkan?" tanya thayhou datar.
"Ham... ba tidak takut, namun...."
"Namun apa?" "Budi thayhou besar laksana gunung, apa pun keputusan thayhou, hamba akan
menerimanya..." Siau Po jadi gugup, dia tidak ingat lagi apa yang ingin dikatakannya.
"Kenapa kau gemetaran?" tanya thayhou.
"Ti... dak...."
Thayhou menyalurkan tenaga pada lengan kirinya. Dia ingin menghajar Siau Po
sampai mati. Dia takut kelak bocah ini akan menimbulkan bencana baginya, "Apabila
bocah ini mampus, rahasia tidak akan terbongkar lagi untuk selamanya," pikirnya dalam
hati. Tapi barusan dia berkelahi melawan Hay kongkong, tenaganya sudah terkuras habis,
seandainya Siau Po meronta sedikit saja, pasti dia akan bebas, namun dia tidak berani
melakukan hal itu. "Luar biasa anak ini. Tadi si thay-kam tua bangka itu menendangnya dengan keras,
tapi dia tida apa-apa. ilmu apakah yang dipelajarinya" Sekarang tenagaku sudah habis,
lebih baik aku bersabar beberapa hari dan mencari kesempatan Iainnya, pikir thayhou
dalam hati. "Malam ini kau telah berjasa, Aku akan memberikan hadiah besar kepadamu!" Kata
thayhou sambil tersenyum.
"Sebetulnya tua bangka itu ingin membunuh ku!" kata Siau Po yang pandai
menempatkan diri, "Thayhou telah membunuhnya, berarti thayho yang telah menolong
hamba. Hamba sendiri tida berjasa apa-apa."
Senang hati thayhou mendengarkan kata-kata itu, tetapi dia tidak mengutarakannya.
"Kau tahu diri, kelak aku tidak akan menyia-nyiakanmu, sekarang kau boleh
mengundurkan diri!" Perlahan-lahan thayhou melepaskan cekalannya pada tangan
bocah itu. Siau Po menjatuhkan dirinya berlutut, dia mengangguk-anggukkan kepala untuk
memberi hormat dan menyatakan perasaan terima kasihnya. Kemudian dengan
setengah merangkak dia mengundurkan diri.
Senopati Pamungkas 9 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Kilas Balik Merah Salju 6

Cari Blog Ini