Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 15

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


"Kawan kawan, tolonglah aku turun"." katanya tanpa malu malu lagi. Kemudian ia teringat betapa keadaannya itu benar benar amat memalukan dan merendahkan namanya maka ia lalu berseru kepada Siauw Yang yang masih berdiri di bawah pohon sambil bertolak pinggang.
"Bocah curang, tunggulah sampai aku turun. Tongkatku pasti akan dapat membikin benjut kepalamu dan kau akan minta minta ampun kepadaku."
Siauw Yang tertawa geli dan berkata, "Eh, kerbau hitam kau sekarang lebih cocok kalau disebut lutung hitam."
Sekalian pengemis, ketika melihat betapa Hek bin kai tak dapat turun, lalu sibuk mencoba untuk menolongnya. Beberapa orang telah mulai memanjat pohon itu, akan tetapi setelah dua orang tiba di dekat cabang di mana Hek bin kai bergantungan, cabang itu menjadi makin bergoyang goyang keras dan hampir patah.
"Berhenti! Berhenti" kalau tidak patahlah cabang ini!" teriak Hek bin kai ketakutan.
Melihat ini, Pun Hui tak dapat menahan gali hatinya, namun ia merasa khawatir kalau kalau si muka hitam itu jatuh ke bawah dan mati. Maka ia lalu berkata kepada Siauw Yang dengan penuh kepercayaan akan kepandaian gadis itu yang sudah disaksikannya sendiri.
"Lihiap, kau dapat melontarkannya ke atas, tentu dapat menurunkannya kembali. Tolonglah dia sebelum cabang itu patah. Kalau ia mati karenanya, akulah yang merasa berdosa karena itu tolonglah, lihiap !"
Siauw Yang tertegun. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian luhur budinya, memohon pertolongan untuk pengemis yang tadinya hendak membunuhnya. Ia memandang dan dalam pandangan sekilas ini, keduanya dapat melihat kekaguman terbayang dalam pandang mata masing masing.
Siauw Yang tidak menjawab permohonan ini, akan tetapi ia lalu berdongak keatas dan berkata,
"Eh, lutung hitam. Kau mau turun" Nah, turunlah !" Tiba tiba tubuh gadis ini berkelebat dan melayang ke atas dengan pedangnya tercabut di tangan kanan. Sekali ia mengayun pedang ke arah cabang pohon yang digantungi tubuh Hek bin kai, terdengar suara hiruk pikuk. suara ini adalah suara patahnya cabang pohon, gemerisiknya daun daun terlanggar oleh cabang dan tubuh Kek bin kai dan seruan kaget dari para pengemis. Juga Pun Hui berseru,
"Celaka"!"
Akan tetapi, sebelum tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah dengan bahaya kepala pecah, tiba tiba ia merasa lehernya tercekik dan kedua kakinya menyentuh tanah dengan lambat dan ringan. Ia selamat dan ternyata bahwa leher bajunya telah disambar oleh Siauw Yang sehingga leher bajunya itu mencekik lehernya namun ia terbebas duri cengkeraman maut.
"Hebat!" seru para pengemis melihat betapa tadi setelah membabat cabang pohon, gadis itu melayang turun menyusul cabang yang membawa tubuh Hek bin kai, kemudian bagaikan seekor garuda menyambar kelinci, ia telah dapat menangkap leher baju si muka hitam itu.
Muka Hek bin kai yang sudah hitam itu, kini menjadi makin hitam karena darah mengalir naik ke arah mukanya, ia merasa malu, marah dan mendongkol sekali. Saking marahnya dan malunya, ia tidak dapat berkata kata lagi, hanya serentak ia mengambil tongkat merahnya dari atas tanah dan berseru keras kepada Siauw Yang.
"Bocah sombong, cabut pedangmu dan mari kita bertempur mengadu kepandaian. Jangan takut, aku takkan membinasakanmu, hanya ingin memperkenalkan ilmu tongkat kami !"
Tentu saja kata kata ini hanya terdorong oleh kekerasan kepala dan sifat yang tidak mau kalah. Bagaimana ia bicara besar kalau tadi sudah terang terangan ia tak dapat melawan gadis lihai itu"
"Orang tak tahu diri, kau masih belum kapok" Baiklah, sekali ini nonamu akan memberimu tahu rasa. Majulah, jangan kira aku takut menghadapi tongkatmu itu. Karena aku masih kasihan melihat kedogolanmu, maka tak perlu pedangku ikut bekerja."
"Kau mau menghadapiku dengan tangan kosong?" Hek bin kai melebarkan matanya dan mengangkat alisnya, benar benar ia merasa heran atas keberanian gadis ini. Jarang sekali ada orang kang ouw yang berani menghadapinya kalau ia sudah memegang tongkatnya, apalagi dengan tangan kosong seperti yang sekarang dilakukan oleh gadis muda itu.
Siauw Yang menjadi habis sabar. "Monyet hitam, sudahlah jangan banyak cakap. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak mampu merampas tongkatmu, aku terima kalah!"
"Betul betulkah?" Hek bin kai marah bukan main dan perutnya terasa panas. "Nah, awaslah!" Ia mulai menyerang dengan tongkatnya, ditusukkan ke arah leher Siauw Yang dengan gerak tipu Ang hong kan cu (Naga Merah Mengejar Mustika). Gerak tipu ini selain amat cepat dan lihai, juga berbahaya sekali karena dilanjutkan dengan serangan ujung tongkat yang membayangi tubuh lawan dan selalu mengarah jalan darah.
Akan tetapi, dasar ginkang dari si muka hitam kalah jauh oleh Siauw Yang dan dasar ilmu silatnya memang kalah tinggi tingkatnya, maka sekali saja miringkan tubuh dan menggerakkan kedua tangan, Siauw Yang telah dapat mengelak dan berbareng tangan kirinya menotok ulu hati dan tangan kanannya merampas tongkat.
-oo0dw0ooo- Jilid 20 HEK BIN KAI terkejut sekati karena tiba-tiba saja dengan gerakan yang tak dapat ia ikuti dengan pandangan mata, ulu hatinya hampir "termakan" tusukan jari tangan lawan. Cepat ia menangkis, akan tetapi sebelum ia mengerahui dengan jelas bagaimana terjadinya, tahu-tahu tongkatnya telah terlepas dan pegangan dan berada di tangan Siauw Yang yang berdiri sambil memandangnya tertawa-tawa.
Siauw Yang merasa cukup memperlihatkan kepandaiannya dan kini ia merasa yakin bahwa tentu si muka hitam sudah percaya akan kelihaiannya dan sudah mau tunduk, maka tanpa banyak cakap, ia mengembalikan tongkat itu kepada pemiliknya.
Hek-bin-kai menerima kembali tongkatnya, akan tetapi di luar dugaan Siauw Yang, karena tiba-tiba Hek-bin-kai setelah menarik kembali tongkatnya, tiada terduga-duga melakukan serangan yang hebat sekali kepada Siauw Yang. Kali ini ia menyerang dengan gerak tipu yang disebut Lut kong poa-thian-te (Malaikat Geledek Menyambar Langit-Bumi) Tongkat merahnya menyambar gesit dari kanan dan kiri ke arah kepala Siauw Yang dan kemudian diteruskan dengan sambaran dari kiri ke kanan ke arah kedua kaki nona itu. Serangan ini, biarpun sambaran pertama dapat, dielakkan, belum tentu lawan akan dapat menghindarkan diri dari gambaran ke dua yang datangnya tak terduga-duga
Namun Siauw Yang adalah puteri terkasih dari Thian-te Klam-ong yang berkepandaian tinggi bahkan ibunya juga seorang ahli silat murid orang sakti, maka tentu saja ia tahu akan sifat serangan lawannya ini. Ketika sambaran pertama tiba, ia sengaja rrengelak untuk memberi kesempatan kepada lawannya melanjutkan sambaran ka dua, yakni ke arah kakinya, akan tetapi ia mendahului tongkat itu dan sebelum tongkat bergerak menyambar kaki, ia telah mengangkat kakinya dan dengan gerakan luar biasa cepatnya, ia telah menginjak tongkat itu ke atas tanah!
Hek-bin-kai amat terkejut dan sekuat tenaga ia membetot tongkatnya dengan maksud melepaskan senjatanya itu dari injakan Siauw Yang. Akan tetapi nona Itu telah mempergunakan tenaga Iwee-kang dan tongkat itu seakan akan berakar di tanah tak mungkin tercabut kembali.
Sebelum Hek-bin-kai dapat mengelak. Jari tangan aona Itu cepat sekali mengirim pukulan dengan ilmu liam hwat, Terkena totokan jalan darahnya bagian seng sin hiat, tiba tiba tubuh Hek bin kai menjadi kaku seperti patung batu la masih memegangi tongkatnya dengan kedua tangan dalam sikap membetot, sehingga dilihat oleh orang lain, ia seperti sebuah patung de batu wi yang lucu sekali Mulutnya masih terbuka ketika tadi melepaskan napas saking lelahnya dan kini mulut itupun masib tetap terbuka.
Siauw Yang melompat mundur sambil tertawa
"Nah, demikianlah hukuman seorang lancang mulut. Masih adakah di antara kalian yang mau kurang ajar dan musih ada pulakah niat kalian untuk membunuh siucai (pelajar) ini?"
Kini semua pengemis maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis pendekar yang tinggi kepandaianpya, maka tak seorangpun berani bergerak Bahkan beberapa orang, pengemis tua yang juga memiliki kepandaian lumayan dan maklum bahwa Hek-bin-kai telah kena ditotok, segera melangkah maju dan seorang di antaranya berkata,
"Mohon lihiap sudi memaafkan kami dan terutama sekali memaafkan kelancangan Hek-bin-kal, saudara kami itu. Harap lihiap suka membebaskannya dari keadaannya itu. Kelak kalau Sam lojin datang, kami akan membuat laporan selengkapnya dan tentu Sum lojin akan menghaturkan terima kasih kepada lihiap"
Melihat sikap para pengemis ini, Siau Yang tidak mau bersikap keras lagi. Akan tetapi ia masih mendongkol kalau teringat betapa berkait-kali Hek-bin-kai membandel, bahkan menyerangnya secara kasar dan tiba-tiba.
"Aku juga bukan datang untuk mencari permusuhan dengan kalian, karenanya akupun tidak mau menumpahkan darah. Akan tetapi kawanmu si muka hitam ini benar-benar jahat dan kurung ajar. Terhadapku saja ia berani bersikap seperti tadi, apalagi terhadap orang orang yang lebih lemah Karenanya ia perlu diberi pelajaran." Sambil berkata demikian, cepat kedua tangan gadis itu bergerak ke arah tubuh Hek bin-kai yang masih berdiri seperti patung.
Jari tangan kirinya membebaskan totokan seng-sin-hiat tadi, akan tetapi jari tangan kanannya menyusul cepat, menotok ke arah jalan darah siauw-jauw-hiat. Dan akibatnya membuat semua pengemis terlongong longong karena tiba-tiba saja tubuh yang tinggi besar dari Hek-bin-kai itu dapat bergerak, akan tetapi gerakan pertama adalah menekan perut dan kemudian terdengar suaranya ketawa terbahak-bahak.
Suara ketawa amat mempengaruhi orang lain dan boleh dibilang menyerupai penyakit menular yang keras sekali. Mendengar suara ketawa yang demikian wajar dan keras seakan-akan Hek-bin kai tiba tiba menjadi kegirangan atau amal geli memikirkan sesuatu yang lucu, beberapa orang pengemis ikut pula tertawa bergelak. Bahkan Pun Hui sendiri ketika mendengar Hek-bin kai tertawa terbahak-bahak dan diikuti pula oleh beberapa orang pengemis sehingga suasana seakan akan berada dalam pesta yang menggembirakan iapun ikut tertawa.
Hanya orang orang tua yang tadi mintakan ampun, mengerti bahwa suara ketawa dari Hek bin kai itu bukanlah ketawa sewajarnya, melainkan ketawa terpaksa karena jalan darahnya terpengaruh oleh totokan yang luar biasa lihainya. Mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siauw Yang dan berkata dengan suara memohon,
"Harap lihiap sudi mengampuni Hek-bin-kai. Kami akan menjaga agar lain kali Hek-bin-kai tidak akan berlaku kasar dan kurang ajar kepada lain orang lagi."
"Dia tidak pernah tertawa secara terbuka, selalu ketawanya mentertawakan orang dan menyombongkan kepandaian, maka biarkan ia tertawa sepuasnya dan belajar tertawa dengan gembira."
Mendengar percakapan ini barulah semua pengemis yang tadi ikut tertawa, menghentikan suara ketawa mereka, demikian pula Pun Hui. Semua orang memandang kepada Hek bin-kai yang masih tertawa terpingkal pingkal sambil memegangi perutnya dengan hati masih merasa geli melihat hal yang lucu ini, akan tetapi dengan pandang mata kasihan. Mereka beramai-ramai lalu berlutut,
"Ampun, lihiap, ampun........." meteka ikut memohon.
Tiba tiba Pun Hui berlari menghadapi Siauw Yang dan dengan muka merah ia berkata,
"Lihiap, kau masih begini muda dan lihai, akan tetapi kau kejam dan suka main-main seperti anak kecil saja. Hayo lekat sembuhkan dia"
Mendengar Ini, Siauw Yang mengaggukkan kepalanya dan mukanya lebih merah daripada muka Pun Hui,
"Kau Ini pemuda lemah, masih hendak memberi teguran kepadaku" Kalau aku tidak keburu datang, agaknya kau akan tinggal nama saja."
"Lebih baik meninggalkan nama bersih daripada hidup dengan nama kotor," jawab Pun Hui angkuh. "Lagi pula nama Liem Pun Hui tidak ada artinya, siapa perduli, baik aku mau atau hidup" Akan tetapi melihat kau menyiksa orang hanya karena urusanku benar benar membikin aku mati penasaran."
Biasanya, Siauw Yang mempunyai watak yang sukar ditundukkan, baik oleh ayah bundanya maupun oleh kakaknya sendiri. Akan tetapi, kini mendengar teguran seorang pemuda sasterawan yang remah, entah bagaimana, ia merasa malu kepada diri sendiri dan tak terasa pula matanya membasah, ia merasa jengkel terhadap pemuda ini, namun diam-diam ta harus mengakui kebenaran kata-katanya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu menghampiri Hek-bin kai
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat tiga bayangan orang dan seorang di antara tiga. orang yang datang itu, melompat ke dekat Hek - binkau yang masih tertawa-tawa dan dengan sekali tendang, tubuh si muka hitam itu terlempar dan roboh, akan tetapi ia tidak tertawa lagi, hanya memandang ke arah Siauw Yang densan mata terbuka tebar dan memandang mata penuh kekaguman dan menyerah.
Yang menolongnya adalah Bi-si-tung Thio Leng Li, sedangkan yang dua orang lagi adalah dua orang kawannya. Ketiga Sam lojin dan Ang-sin tung Kai-pang telah datang kembali Mereka kini memandang kepada Siauw Yang dengan mata bersinar marah.
Bagaimanakah tiga orang yang tadinya sudah pergi hendak mencari musuh besar, yakni kakek berkaki buntung, kini tiba-tiba bisa muncul di situ" Mengapa mereka kembali ke tempat ini"
Seperti diketahui, Sam-lojin (Tiga Orang Tua) ini melakukan perjalanan cepat keluar dari hutan itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring yang datangnya dari tempat jauh,
"Kalian bertiga mengapa meninggalkan perkumpulan?"
Mendengar suara ini, Bu-beng Sin-kai si pengemis tinggi kurus dan Sam-thouw-liok-ciang kai si pengemis gendut, cepat menjatuhkan diri dengan muka pucat sekali.
"Lo-pangcu.......* kata mereka setengah berbisik,
"Ayah... " Thio Leng Li juga berkata dan gadis ini berdiri seperti patung, kedua matanva segera mengucurkan air mata. Hampir saja ia tidak percaya kepada kedua telinganya sendiri. Apakah ayahnya yang sudah meninggal dunia itu mengirim suaranya dari alam baka" Tak mungkin! Tak salah lagi, pasti ayahnya masih hidup.
"Ayah......." teriaknya sambil mengerahkan tenaga khikang, karena ia maklum bahwa pada saat itu, kalau benar masih hidup, ayahnya berada di tempat jauh dan tadi mengirim suaranya dengan pengerahan tenaga khikang yakni dengan penggunaan Ilmu Coan-im-jip-bit. "Kau orang tua benar-benarkah masih hidup" Anakmu mendengar bahwa ayah telah tewas! Ayah di manakah kau, ayah?"
Hening sesaat, kemudian terdengar suara ketawa yang tinggal dari jauh. Yakin lah kim Leng 1i bahwa memang yang tertawa itu adalah ayah-nya, maka berserilah wajahnya yang semenjak tadi muram dan berduka. Ayahnya masih hidup
"Ha. ha, ha, Leng Li Agaknya kau telah menemukan tongkatku yang hanyut di sungai. Kumpulkan kawan-kawan, bersiaplah karena tak lama lagi ayahmu akan datang"
"Baik ayah!" jawab Leng U dengan suara girang sekali dan dengan bergembira ria, tiga orang tokoh perkumpulan pengemis ini lalu cepat cepat berlari kembali ke dalam hutan untuk menyampaikan warta menggembirakan ini kepada para anggauta. Demikianlah, maka mereka tiba di saat yang tepat sekali, yakni ketika Siauw Yang tengah memberi hajaran kepada Hek-bin-kai. Tentu saja, biarpun belum mengetahui persoalannya, tiga orang ini merasa penasaran dan tidak tenang sekali melihat seorang nona muda mempermainkan Hek bin-kai.
"Sam-lojin datang......." para pengemis itu Serentak berseru dan memberi hormat.
Sementara itu, mendengar seruan ini, Siauw Yang memandang dengan penuh perhatian. Melihat cara nona yang datang itu membebaakan Hek-bin-kai dari totokan, kaget jugalah dia dan maklum babwa nona itu tentu memiliki kepandaian tinggi, demikian pula dua orang kakek pengemis yang datang dengan gerakan demikian gesitnya. Gerakan menendang dari nona tadi membuktikan bahwa nona ini telah mahir mempergunakan Iimu Tendangan Liong cu twi-hwat yang amat sukar. Tendangan ini adalah tendangan khusus yang ditujukan kepada jalan darah di anggota tubuh lawan dan untuk memiliki kepandaian ini, orang harus memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya.
Kemudian, melihat pandang mata tiga orang itu kepadanva, Siauw Yang dapat menduga bahwa ia telah menimbulkan marah kepada mereka bertiga. Ia tidak menghendaki permusuhan dengan perkumpulan yang ternyata dipimpin oleh orang orang pandai ini, namun sebagai orang muda yang bersemangat gagah Siauw Yang sama sekali tidak takut.
"Sam-wi tentu menganggap bahwa aku datang sebagai seorang pengacau," ia mendahului mereka sambil menjura, "akan tetapi sesungguhnya, anak buahmulah yang berlaku tidak benar setelah sam wi tidak berada di sini."
"Benar atau salah dapat diputuskan setelah kami mendengar duduknya perkara," kata Bu-beng Sin kai singkat, kemudian kakek pengemis jangkung kurus ini bertanya kepada Hek-bin-kai. "Hek-bin-kai (si Muka Hitam), mengapa kau sampai terlibat dalam pertempuran dengan nona ini" Apakah lagi lagi kau telah mengumbar nafsu dan kekasaranmu ?"
Menghadapi suhunya, Hek-bin kai hilang keberaniannya, ia lalu berlutut dan berkata,
"Suhu, mohon ampun kalau tecu telah melakukan pelanggaran. Sesungguhnya, tadi kawan-kawan sudah siap menghajar ketua baru karena ketua baru itu hendak mengembalikan tongkat keramat yang berarti penghinaan bagi perkumpulan kita. Akan tetapi sebelum kami turun tangan, datanglah nona ini yang mengandalkan kepandaiannya mencampuri urusan kita dan merobohkan beberapa orang kawan. Teecu tentu saja tak tinggal diam dan mengajaknya mengadu kepandaian, akan tetapi...... tecu terlau bodoh sehingga dapat dikalahkan"
Bu-beng Sin-kai menghadapi Siauw Yang. Sikapnya halus, akan tetapi pandang matanya menyatakan ketidaksenangan hatinya.
"Nona muridku yang bodoh telah memberi keterangan tantang keributan-d ini. Namun kami masih menanti keterangan dari fihakmu karena kami tidak biaaa berlaku berat sebelah"
Sebetulnya Siauw Yang meraba mendongkol sekali. Harus ia akui bahwa-e keterangan dari Hek-bin-kai itu memang tidak dusta. Yang membuat ia mendongkol adalah sikap tiga orang yang disebut Sam lojin ini, karena seakan-akan memandang-w rendah kepadanya dan menganggap dia sebagai seorang terdakwa di depan pengadilan.
Timbul keangkuhannya dan-i timbul pula keinginannya untuk mencoba kepandaian tiga orang ini, terutama sekali kepandaian nona itu yang nampaknya pendiam dan kini memandangnya dengan sikap kereng.
Ia menaksir usia nona itu sebaya dengannya, dan kecantikan nona itu harus ia akui terutama kesederhanaannya yang membuat kecantikannya nampak lebih wajar lagi..
Yang paling menarik hati Siauw Yang adalah cara nona itu menggelung rambutnya yang hitam panjang. Itulah gelung model utara dan ia ingin sekali mempelajari cara menggelung rambut seperti itu.
"Orang tua" katanya kepada Bu beng Sin kai sambil tersenyum manis. "jadi kau hendak mendengar keterangan dariku" Aku merasa seakan akan menjadi seorang terdakwa di depan hakim. Baiklah, namun sebelum aku mengakui dosa-dosa ku, aku harus tahu lebih dulu siapa-siapakah sebenarnya tiga orang hakim yang hendak memberi pengadilan kepadaku.?"
Mendengar kelancaran bicara nona muda yang cantik ini, Bu-beng Sin kai dapat menduga bahwa nona ini tentulah seorang kang-ouw, murid orang pandai. Maka iapun tidak mau berlaku sembrono sebelum mendengar keterangannya, maka ia menjawab sabar,
"Aku disebut Bu beng Sin-kai, ini suteku disebut Sam thouw- hok ciang kai, dan nona itu adalah Bi-sin-tung Thio Leng Li, puteri dari pangcu (ketua) kami. Kami bertiga mewakili pangcu mengurus perkumpulan kami dan karenanya kami bertiga disebut Sam lojin oleh para anggauta perkumpulan kami. Nah. aku sudah memperkenakan keadaan kami, sekarang giliranmu untuk bicara sejujurnya, karena kamipun bukan orang orang yang suka berlaku sewenang wenang."
Mendengar nama-nama itu, Siauw Yang sama sekali tidak mengacuhkan, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa nona itupun termasuk dalam sebutan Sam-lojin, diam-diam ia menjadi geli dan juga kaget. Kalau demikian, pikirnya, tentu kepandaian nona itu setingkai dengan yang dua ini.
"Namaku Siauw Yang," katanya sederhana tanpa memperkenalkan she nya (nama keturunannya) "Memang apa yang dikatakan oleh si muka hitam itu tidak salah. Kau tadi menghendaki jawaban jujur maka aku mengaku bahwa memang aku sengaja mencampuri urusan anak buahmu, dan tentu saja aku mengandalkan kepandaianku. kalau tidak, bagaimana aku bisa mencampurinya" Memang aku telah merobohkan beberapa orang anggautamu ketika mereka hendak memukul siucai itu, dan kemudian aku mengalahkan muridmu sii muka hitam ini dalam pertandingan yang jujur"
Mendengar jawaban ini, ketiga orang yakni Sam-lojin menjadi merah mukanya. Sungguhpun mereka bertiga maklum bahwa sebagai seorang kangouw, memang besar kemungkinan gadis itu tak dapat tinggal diam saja melihat seorang siucai dihajar oleh anggauta perkumpulan mereka. Akan tetapi cara Siauw Yang menyatakan pengakuannya ini sungguh memandang rendah sekali kepada mereka dan terang-terangan gadis cantik itu tidak menyatakan penyesalan maupun maaf.
"Nona, agaknya memang ada kesalahpanaman di antara orang-orang kami dan kau, akan tetapi yang terang adalah fihakmu yang salah karena kau mencampuri urusan lain. Akan tetapi, mengingat bahwa kau masih muda sekali, pelanggaran itu tidak terlalu berat. Asalkan kau suka menyatakan penyesalanmu dan minta maaf kepada kami, akan kami habisi saja urusan ini."
Siauw Yang senang mendengar dan melihat sikap tiga Sam-lojin ini yang dianggapnya cukup cengli ( menurut aturan ), akan tetapi dasar dara ini paling suka mengadu kepandaian silatnya, mana ia mau menghabisi sampai di situ saja" Siauw Yang ingin sekali mencoba kepandaian Sam-lojin yang nama julukannya serem-serem itu. Sambil tersenyum ia menjawab.
"Bagiku mudah saja minta maaf kalau aku merasa bersalah Akan tetapi bukan main sukarnya kalau aku merasa tidak bersalah. Sayangnya, Sam-lojin, pada saat ini aku tidak merasa bersalah! Melihat seorang pemuda lemah dikeroyok oleh orang banyak lalu menolong, bagaimana bisa disebut salah?"
Pada saat itu, Pun Hui yang merasa amat khawatir melihat percekeokan itu, segara berlari maju dan berkata,
"Cu-wi sekalian harap sudi saling mengalah. Sebenarnya, siauwtelah yang bersalah dalam hal ini. Harap saja cu-wi sekalian tidak bertempur lagi hanya karena kesalahan siauwte Kalau mau menghukum siauwte, hukum lah"
Melihat pemuda itu masih saja membawa tongkat keramat ayahnya, Leng Li maju hendak merampasnya. Akan tetapi, Siauw Yang semenjak tadi memang sudah berlaku hati hati dan waspada sekali, maka setiap gerakan fihak lawan telah dilihat dan diawasinya baik-baik. Kini menyaksikan Leng Li bergerak cepat sambil mengulur tangan hendak merampas tongkat merah yang berada di tangan pemuda itu, ia cepat melompat dan sekali gerakan saja sudah cukup membuat tubuhnya berdiri menghadang di depan-Pun Hui
"Kau mau apa?" bentak Leng Li sambil memandang tajam.
"Kau sendiri mau apa?" Siauw Yang balas membentak sambil tersenyum.
"Tongkat yang dibawanya itu adalah tongkat milik ayahku yang harus dipegang oleh setiap orang pangcu dari perkumpulan kami. Sekarang ayah ternyata masih hidup, maka dia harus mengembalikan tongkat itu kepadaku."
"Bagus!" Pun Hui berkata dengan suara seperti bersorak girang. Wajahnya yang tampan berseri-seri, matanya bersinar-sinar gembira. "Nona, aku menghaturkan selamat bahwa ternyata arahmu masih hidup. Benar-benar ini merupakan warta yang amat menggirangkan. Nah, dengan senang aku mengembalikan tongkat keramat ini kepadamu dan semenjak saat ini aku bukan pangcu dari Ang-sin-tung Kai-pang lagi!"
Leng Li melihat pemuda itu menjura kepada-nya sebagai penghormatan dan pernyataan selamat, cepat membalas penghormatan dengan menjura pula dan berkata dengan muka merab,
"Terima kasih dan harap kongcu sudi memaafkan kami yang telah banyak membikin capai dan kaget kepada kongcu."
Pun Hui telah mengulur tangannya yang memegang tongkat dan pada saat Leng Li hendak menerimanya tiba-tiba dari samping menyambar tangan lain dan tahu-tahu tongkat itu telah terampas dari tangan Pun Hui dan telah berada di tangan Siauw Yang! Gadis puteri Thian-te Kiam-ong ini ketika melibat betapa pemuda sasterawan itu dan Bi sin-tung Thio Leng Li bicara manis dan tak memperdulikannya, menjadi amat mendongkol.
Dia merasa disampingkan dan tidak dipandang sebelah mata. Maka dalam kemendongkolannya ia sengaja merampas tongkat itu mendahului Leng Li
"Nanti dulu," katanya dengan gaya angkuh dan mengedikkan kepala membusungkan dada. "Baik sekait ada tongkat merah yang bagus ini, memang aku sedang mencari sebuah barang yang patut dipertaruhkan. Pihak kalian menganggap aku bersalah karena mencampuri urusan kalian, sedangkan aku sendiri menganggap kalian bersalah karena tidak becus mendidik anak buahmu sehingga mereka berlaku sewenang-wenang. Nah, tongkat ini....."
Sambil berkata demikian, ia menggerak-gerakkan tongkat itu dan ketika terdengar sambaran angin Siauw Yang terkejut sekali dan tanpa disengaja ia berseru
"Aduh, bagus sekali tongkat ini! Senjata yang hebat!"
"Itu adalah tongkat keramat ayah, jangan kau main-main!" Leng Li membentak sambit menggerakkan tangan hendak merampasnya dari Siauw Yang, Namun dengan lincah sekali Siauw Yang melompat mundur dan melanjutkan kata-katanya, "Siapa mau merampas tongkat" Aku hanya hendak menggunakan benda ini sebagai sakti". la lalu menancapkan tongkat itu pada sebuah batu besar dan tongkat itu amblas ke dalam batu sampai setengahnya. Semua orang menguji kehebatan tenaga itu dan sebaliknya Siauw Yang memuji kekuatan tongkat keramat itu.
"Aku menantang kepada Sam lojin untuk mengukur kepandaian dan andaikata aku kalah aku bersedia minta maaf atas kelancanganku mencampuri urusan kalian. Akan tetapi sebaliknya, apabila kalian yang kalah, kalian harus minta maaf kepadaku dan kepada siucai itu atas kekurangajaran anak buah kalian Bukankah ini adil sekali" Senjata tongkat ini menjadi saksi!"
"Kau sombong sekali!" seru Sam-thouw-liok-ciang-kai yang segera melompat ke hadapan Siauw Yang. "Cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di mana kepandaian mu maka kau menjadi sesompong ini."
Siauw Yang tersenyum girang. Tercapai juga keinginannya untuk menguji kepandaian sendiri terhadap orang-orang yang agaknya memiliki kepandaian tinggi ini.
"Orang tua, kau yang tadi berjuluk Sam-thouw hok-ciang kai (Pengemis Berkepala Tiga Bertangan Enam)" Hebat sekali! Belum pernah selama hidupku aku menghadap seorang lawan dengan tiga kepala dan enam tangan. Majulah, jangan khawatir tentang pedangku, dia itu takkan mau keluar sebelum anu terdesak betul-betul. Pergunakan tongkatmu dan tak perlu sungkan-sungkan, orang tua"
Sam thouw-hok ciang-kai sudah dapat menduga bahwa gadis ini tentu murid seorang pandai, maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia lalu menggerakkan tongkat merahnya, diputar-putarnya di atas kepalanya dan setelah berseru "Awas serangan'" la menyerang dengan sambaran tongkat pada kepala Siauw Yang.
Berbeda dengan ketika menghadapi Hek-bin-kai tadi, kini Siauw Yang tidak berani main-main. la tahu bahwa kepandaian lawannya tak boleh dipandang ringan, maka cepat ia mempergunakan ginkangnya dan mengelak bagaikan seekor burung saja ringan dan cepat. Kakek pengemis gendut itu merasa penasaran dan sekejap mata kemudian tongkatnya telah berputar dan menyambar secara hebat sekali. Memang si gendut ini hendak lekas-lekas mendesak lawannya agar gadis yang menjadi lawannya ini terpaksa mempergunakan pedang la merasa malu dilawan oleh seorang gadis muda bertangan kosong. Oleh karena itu, ia mengeluarkan ilmu tongkat ajaran dari ketua perkumpulannya dan mengurung tubuh lawannya dengan gulungan sinar merah dari tongkatnya.
Siauw Yang diam-diam memuji. Ia melihat permainan tongkat lawannya ini seperti permainan toya dan pengemis gendut itu memegang tongkat dengan kedua tangan. Gerakannya selain cepat juga amal bertenaga Namun ai tidak mau kalah dan segera memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar hebat.
Mula-mula ia memperlihatkan ginkangnya yang masih jauh lebih tinggi daripada lawannya. Ketika tongkat menyambar kepalanya, ia miringkan kepala iu dan tongkat melayang lewat di atas kepalanya. Akan tetapi segera disusul oleh tusukan ujung tongkat di tangan kiri lawan menyerang ke arah pusar. Siauw Yang mempergunakan ilmu gerakan kaki yang disebut Jiau-pouw-soan, yakni dengan tindakan kaki berputaran dan selalu ia dapat mengelak dari setiap serangan tawan. Dengan sedikit miringkan tubuhnya saja, ia dapat mengelak dari setiap tusukan, sedikit merendahkan tubuh dapat mengelak dari sambaran tongkat pada kepala dan kedua kakinya yang amat ringan itu mudah saja melompat untuk menghindarkan sabetan atau serampangan ujung tongkat.
Setelah belasan jurus ia memperlihatkan kemahirannya dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, lalu ia merubah gerakannya dan kini gadis itu memperlihatkan tenaga dan kejelian matanya.
Kini ia menghadapi semua serangan tongkat lawan itu dengan Ilmu Silat Kwan Im Sin-pek-to (Kwan lm Menyambut Ratusan Golok), sedangkan kedua kakinya melakukan loncatan loncatan yang sesuai dengan Toa-su siang-hong wi (Kedudukan Empat Penjuru Angin). Dengan enaknya, gadis itu sambil tersenyum-senyum menghadapi setiap pukulan, tusukan, atau sambaran tongkat lawannya dengan telapak tangan dari telapak kaki saja. Setiap kali tongkat menyambar, ia mempergunakan telapak tangannya untuk menyambut, dipergunakan sebagai perisai yang lunak dan lemas namun kuatnya luar biasa.
Bukan main terkejutnya hati kakek pengemis gendut itu karena setiap kali tongkatnya bertemu dengan telapak tangan atau kaki gadis lawannya itu, tongkat itu terpental seakan-akan bertemu dengan baja yang keras, padahal terasa oleh tangannya betapa telapak tangan lawannya itu empuk dan lunak sekali. Hatinya menjadi jerih karena ia maklum bahwa tenaga Iweekang dari nona muda ini tidak kalah oleh suhengnya ataupun oleh nona Leng Li sendiri! la putar tongkatnya lebih cepat lagi dan kini ia benar-benar berusaha merobah diri menjadi berkepala tiga dan bertangan enam seperti julukannya. Gerakannya demikian cepat sehingga bagi penglihatan orang yang tidak mengerti ilmu silat, boleh jadi ia akan terlihat berkepala tiga dan berlengan tangan enam pada saat itu.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan kepandaiannya ini, Sam-thouw-hok-ciang kai mengharapkan untuk mendesak dan membingungkan lawannya. Akan terapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba terdengar suara gadis itu tertawa perlahan dan tahu-tahu tubuh lawannya itu lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar nyambar di sekeliling dirinya! Kakek gendut itu terkejut dan bingung, tongkatnya dipergunakan untuk menghantam bayangan itu, akan tetapi ia seperti seorang yang berlawan dengan bayangan sendiri saja. Kemanapun tongkatnya menyambar, selalu mengenai angin kosong belaka dan hal ini melelahkannya. Apalagi Siauw Yang sengaja bergerak mengelilinginya sehingga ia sendiripun harus berputaran yang membuat kepalanya menjadi pening sekali.
"Aku mengaku kalah...... kau lihai sekali.....I"
Akhirnya kakek pengemis yang gendut itu melompat keluar lapangan dengan napas terengah-engah. Ketika ia memandang ke arah tongkatnya, karena ketika hendak melompat tadi ia merasa tongkatnya tergetar hebat, ia menjadi pucat melibat ujung tongkatoya itu telah remuk
"Hebat......hebat" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada Siauw Yang yang berdiri sambil tersenyum saja dengan pandang mata kagum sekali.
Bu-beng Sin kai melangkah maju menghadapi Siauw Yang dan menjura
"Melihat cara nona ita menghadapi suteku, sudah dapat kami ukur betapa tinggi dan lihai kepandaianmu, nona. Akan tetapi karena kau sudah datang ke tempat kami yang buruk dan sudah berkenan memberi pelajaran dan membuka mata kami, maka marilah kita main-main sebentar agar aku yang tua ini tidak terlallu melamun menyombongkan kelandaian sendiri" Kata-kata ini saja sudah cukup memberi kesan betapa hebat pengaruh ilmu kepandaian yang tadi diperlihatkan oleh Siauw Yang.
"Orang tua, aku sebagai tamu tentu saja menurut segala kehendak tuan rumah. Kita bukan musuh dan tidak sedang berhadapan sebagai musuh, hanya sekadar meluaskan pengalaman sambi! memperebutkan kepantasan dan keadilan. Marilah!"
Karena menghadapi lawan tangguh, Bu-beng Sin kai tidak berlaku sheji (sungkan-sungkan) lagi. Tidak perduli apakah lawannya bersenjata ataupun bertangan kosong Segera ta memasang kuda-kuda daa berseru,
"Awas senjataku nona"
Ketika kakek jangkung kurus itu menyerang, Siauw Yang melihat bahwa cara kakek ini mainkan tongkatnya, berbeda lagi dengan permainan pengemis gendut tadi. Kalau Sam thouw-liok-ciangkai memainkan tongkatnya seperti orang bermain senjata toya, adalah kakek tinggi kurus ini memegang tongkatnya yang panjang seperti orang memegang tombak! Serangannya lebih banyak menusuk dengan ujung tongkat depan lalu disusul oleh kemplangan ujung tongkot kedua seperti kalau orang mempergunakan tombak dan gagangnya. Namun ternyata bahwa gerakan kakek jangkung ini lebih kuat dan lebih cepat daripada si gendut tadi.
Siauw Yang kaget juga ketika melihat betapa tiap kali kakek lawannya itu menusukkan ujung tongkat. maka ujung itu menggetar sampai kelihatannya menjadi tujuh ujung, dan suara getarannya nyaring menyakitkan telinga kemudian, sambil mengerahkan ginkangnya untuk menghadapi ancaman tongkat, Siauw Yang memperhatikan jalannya ilmu tombak lawannya.
"Sin chio-hwat (Ilmu Tombak Sakti) yang lihai," gadis itu memuji.
Adapun Bu-beng Sin kai ketika mendengar pujian ini, menjadi makin kagum. Bukan sembarang orang dapat mengenal ilmu tombaknya setelah melihat beberapa belas jurus saja, apalagi kalau ilmu tombak itu dimainkan demgan senjata tongkat.
Dan kini rona itu dapat menghadapi semua serangannya hanya dengan tangan kosong saja. Ia maklum bahwa dilihat dari sudut ini saja sudah dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian nona ini masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Namun, Bu-beng Sin kai adakah seorang kangouw yang sudah berpengalaman dan sudah melakukan perantauan selama berpuluh tahun, la sudah banyak mendengar nama-nama tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi dan andaikata ia bertemu oengan orang yang kepandaiannya lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, ia takkan merasa penasaran karena tahu bahwa di dunia ini banyak terdapat orang pandai dan bahwa kepandaian itu tidak ada batasnya.
Akan tetapi, menghadapi seorang gadis yang baru belasan tahun usianya dan yang hanya menghadapinya dengan tangan kosong saja, sungguh-sungguh membuat ia hampir tak dapat percaya! Melihat tingkat kepandaian Leng Li saja, ia sudah merasa amat kagum dan menyangka bahwa di dunia ini jarang ada gadis semuda Leng Li dengan kepandaian menyamai tingkat kepandaian gadia itu yang lebih lihai daripadanya, akan tetapi biarpun Leng i.i sendiri tak mungkin dapat menghadapi tongkatnya dengan tangan kosong seperti yang dilakukan oleh gadis aneh ini! Maka ia merasa penasaran dan mengambil keputusan untuk menyerang sehebat-hebatnya sampai tigapuluh jurus. Kalau selama tigapuluh jurus ia tidak dapat menjatuhkan lawannya, ia akan mengaku kalah.
Biarpun Siauw Yang sudah mengenal Ilmu tombak Sin-chio-hwat karena pernah ia diberi tahu oleh ayahnya dewi, namun menghadapi desakan kakek jangkung yang benar-benar lihai itu, ia menjadi sibuk juga. Terpaksa gadis ini lalu mainkan ilmu silatnya Soan hong-pek-lek jiu, yakni kepan daian yang diturunkan oleh Mo-bin Sin-kun kepada ayahnya! Kedua tangannya bergerak-gerak bagaikan halilintar menyambar dan mendatangkan angin-angin berputar-putar seperti angin puyuh, dan semua serangan tongkat lawannya dapat terpukul mundur! Tigapuluh jurus lewat dan Bu-beng Sin-kai melompat mundur sambil menyimpan tongkatnya.
"Nona benar-benar hebat, aku mengaku kalah!" Merahlah muka Leng Li ketika menyaksikan betapa dua orang kawannya beruntun dikalahkan oleh Siauw Yang dengan tangan kosong saja! Ia merasa malu, marah, dan penasaran. Cepat ia melompat dengan tongkatnya yang pendek di tangan.
"Biarpun kedua orang suhengku telah kalah, akan tetapi masih ada aku. Coba kau merobohkan aku, baru kami akan mengakui keunggulanmu ." kata Leng Li sambil melintangkan tongkatnya di depan dada. Melihat cara gadis manis ini memegang tongkatnya, kembali Siauw Yang tertegun. Gadis ini lain lagi, memegang tongkatnya bukan seperti yang dilakukan oleh dua orang kakek pengemis, melainkan seperti orang memegang golok atau pedang.
"Dua orang tua tadi telah berlaku mengalah terhadap aku, sekarang karena kau sebaya dengan aku, tentu kau tidak akan mau mengalah seperti mereka. Majulah, sahabat, mari kita main main sebentar" kata Siauw Yang yang menghadapi lawan yang marah itu dengan senyum manis.
Leng Li segera memutar tongkatnya, dan kini Siauw Yang melihat jelas betapa gadis lawannya itu menggunakan pergelangan tangan untuk memutar tongkat. Inilah gerakan ilmu pedang, pikirnya dengan hati tertarik dan gembira sekali. Sebagai puteri seorang yang mendapat julukan Kiam-ong (Raja Pedang), tentu saja ia paling suka melihat orang mainkan ilmu silat pedang.
"Lihat senjata!" Leng Li berseru nyaring dan gadis ini lalu menyerang dengan cepat bagaikan kilat menyambar.
Kini kegembiraan Siauw Yang bertambah, tercampur oleh kekagetan karena gaya penyerangan Leng Li benar- benar hebat sekali. Sambaran tongkat yang dimainkan seperti pedang itu mendatangkan angin yang bergelombang dan tongkat itu sendiri bergerak - gerak ujungnya dengan getaran yang aneh dan sukar sekali diduga ke mana arah serangan ujung tongkat itu. Inilah ilmu pedang bukan sembarangah, pikir Siauw Yang kagum sekali. Ia masih mencoba untuk bertahan dengan tangan kosong, menggunakan Soan hong pek-lek-jiu dan Tai-lek-kim kong-jiu yang diturunkan oleh Kim Kong taisu kepada ayahnya. Namun biarpun pukulan-pukulan tangannya dapat mengusir bahaya ujung tongkat lawan, tetap saja tongkat di tangan Leng li terus mengikutinya dengan ancaman ancaman yang amat berbahaya, Ia tidak dapat mengandalkan kelincahannya karena ternyata bahwa ginkang dari Leng Li tidak kalah jauh olehnya.
Setelah mempertahankan diri dengan tangan kosong selama duapuluh jurus, akhirnya Siauw Yang berseru,
"Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat. Aku tidak kuat menghadapinya bertangan kosong, terpaksa pedangku membantuku!"
Sehabis ucapan ini, tiba-tiba nampak cahaya kuning emas menyilaukan mata dan pedang Kim-kong kiam telah berada di tangannya. ketika tongkat Leng Li datang menusuk tenggorokannya, Siauw Yang dengan gembira menangkis dan terdengar suara nyaring diikuti oleh berpijarnya bunga api. Ternyata bahwa tongkat pendek di tangan Leng Li itu terbuat daripada logam yang keras Akan tetapi dalam tangkisan ini maklumlah Leng Li bahwa lawannya benar benar lihai. Telapak tangannya tergetar oleh tangkisan itu dan ia bersilat dengan hati hati sekali
Akan tetapi, begitu Siauw Yang mainkan Te-coan-hok kiam-sut, Ilmu pedang yang diturunkan oleh Bu tek Kiam ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) kepada ayahnya, Leng Li merasa terkejut sekali dan matanya menjadi silau. Pedang di tangan lawannya berobah menjadi sinar kuning emas yang luar biasa sekali, yang mematahkan seluruh permainan pedang dengan tongkatnya.
Beberapa-jurus kemudian, terdengar suara keras ketika ujung pedang Siauw Yang berhasil membabat ujung tongkat lawan sehingga putus. Kalau lain orang yang mengalami nasib seperti ini tentu akan menjadi gugup dan bingung atau menyerah kalah, Leng Li adalah seorang gadis yang tabah dan ilmu silatnya memang tinggi. Kalau tadi ia mempergunakan tongkatnya dengan permainan seperti mainkan pedang panjang, kini begitu melihat tongkatnya putus ujungnva, hanya tingal dua pertiga lagi. ia tidak menjadi gentar, bahkan melanjutkan serangannya, mempergunakan sisa tongkat itu sebagai pedang pendek. Serangan dengan sisa tongkat Ini tidak kalah hebatnya oleh serangan-aerangannya tadi sebelum tongkatnya putus ujungnya.
"Bagus, lihai sekali." Siauw Yang memuji dengan kagum melihat kesigapannya merobah kerugian menjadi keuntungan. Ia cepat mengelak lalu mengirim serangan balasan yang dapat ditangkis dengan baiknya oleh Leng Li. Sampai belasan jurus ini saling serang dengan cepat dan tangkasnya, Akan tetapi duapuluh jurus kemudian, kembali pedang Kim kong kiam yang ampuh itu telah berhasil membabat putus sisa tongkat di tangan Leng 1i sehingga tinggal setengahnya.
Akan tetapi benar-benar Leng Li bersemangat baja dan gagah sekali. Biarpun tongkatnya tinggal dua jengkal lagi panjangnya, ia tetap tak mau mengalah dan kini ia mainkan sisa tongkat itu sebagai sebatang pisau belati. Dan jangan dikira bahwa perlawanan kali ini hanya terdorong oleh hati nekad belaka. Sekali-kali tidak, karena biarpun hanya dengan sisa tongkat sepanjang pisau, nona Leng Li masih dapat melakukan perlawanannya yang baik bahkan dapat membalas serangan Siauw Yang dengan serangan berbahaya sekali,
"Kau benar-benar patut dipuji'" kata Siauw Yang dengan hati gembira sekali. Kini kemendongkolannya terhadap Leng Li lenyap, terganti oleh rasa kagum dan ingin bersahabat. Tidak ada yang lebih menarik hati puteri Thian-te Kiam ong ini melebihi sikap yang gagah perkasa, seperti yang diperlihatkan oleh Pun Hui ketika hendak dikeroyok dan yang kini diperlihatkan oleh Leng Li dengan perlawanannya yang gigih dan pantang mundur. Akan tetapi berbareng ia merasa penasaran juga melibat betapa ia masih belum dapat mengalahkan lawannya ini setelah bertempur empat-puluh jurus, maka kini ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling tinggi dan benar saja, ketika Kim-kong-kiam lenyap merupakan gulungan sinar bercahaya dan menggulung diri Leng Li, puteri ketua Ang-sin-tung Kai-pang ini menjadi bingung sekali dan merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi dingin terkena dan terkurung oleh hawa pedang lawannya yang hebat ini,
"Kau masih belum mengaku kalah, sahabat yang gagah?" terdengar Siauw Yang bertanya dan suara gadis ini bagi Leng Li terdengar berpindah-pindah dari kanan kiri dan depan belakang.
"Nona, mengakulah kalah. Lawan kita ini benar-benar sakti" kata Bu-beng Sin-kai yang merasa kagum bukan main.
Akan tetapi sebelum Leng Li menjawab tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu tubuh Leng Li terpental keluar kalangan pertempuran karena lengannya kena dibetot orang sebagai penggantinya, kini seorang kakek yang sudah tua, berambut putih dan berpakaian tambal- tambalan akan tetapi berwarna putih semua, berdiri menghadapi Siauw Yang.
Kakek ini melihat tongkat merah yang tertancap di atas batu. Tongkat itu terbentuk ular dan menancap di atas batu pada ekornya. Sekali saja ia mencabut perlahan, tongkat itu berada di tangannya dan sambil mengeluarkan bunyi keras batu itu terbelah dua. Beginilah hebatnya tenaga Iweekang dari kakek ini sehingga Siauw Yang memandang kagum, Gadis ini dapat menduga bahwa tentu inilah ketua dan perkumpulan pengemis atau ayah dari nona yang gagah dan yang menjadi lawannya tadi.
Dugaannya memang tepat. Yang datang ini adalah Sin-tung Lo-kai Thio Houw, ketua lari Ang sin-tung Kai-pang. Kini ia memandang kepada Siauw Yang dengan penuh perhatian. Rambut kakek pengemis ini panjang berwarna putih dan riap-riapan di atas pundaknya, mukanya putih halus dan sepasang matanya peramah sekali, demikian pun mulutnya yang selalu tersenyum.
"Nona muda, pedangmu adalah Kimkong-kiam pedang pusaka milik mendiang Kim Kong Taisu akan tetapi ilmu pedangmu aneh dan hebat sekali. Pernah apakah kau dengan Kim Kong Taisu?"
Mendengar bicara kakek ini, tahulah Siauw Yang bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang ia belum kenal, akan tetapi yang mungkin pernah ia dengar namanya dari ayahnya, la mulai mengingat-ingat siapa-siapakah tokoh besar dunia kang-ouw yang hidup sebagai pengemis, Ayahrya pernah memberi tahu bahwa banyak sekali tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi namun selalu menyembunyikan diri sehingga namanya tidak terkenal, akan tetapi di antara para tokoh kangouw yang hidup seperti pengemis dan telah dikenal oleh ayahnya adalah Pek-bi Kai-ong (Raja Pengemis Alis Putih), Sin tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Sakti), dan yang paling jahat adalah Gin-kiam Tok-kai (Pengemis berbisa Berpedang Perak ). Siauw Yang adalah seorang gadis yang cerdik, maka setelah ia mengingat - ingat, ia merasa yakin bahwa di antara tiga tokoh pengemis yang dikenal ayah-nya itu, tentulah yang berhadapan dengan dia ini adalah Sin-tung Lo-kai, karena pengemis ini memegang tongkat dan patut menjadi ahli tongkat yang bergelar Sin tung (Tongkat Sakti), la menjura dengan hormat setelah menyimpan pedangnya, lalu berkata,
"Kalau aku yang muda dan bodoh tidak salah lihat. yang di depan adalah orang tua gagah perkasa Sin tung Lo-kai, betulkah" Kalau betul, harap kau orang tua suka menerima hormatku"
Sin-tung Lo-kai Thio Houw tertawa ter-bahak bahak mendengar ini. "Tak salah dugaanku bahwa kau temu murid seorang pandai. Memang betul, akulah yang disebut Sin tung Lo-kai. Kau siapakah dan siapa gurumu?"
"Menjawab pertanyaan Lo-enghtong tadi, memang pedang ini adalah Kim kong-kiam, akan tetapi pedang ini bukan pedangku sendiri melainkan dapat kupinjam dari ayahku. Adapun guruku bukan lain adalah ayahku sendiri juga. Namaku Sung Siauw Yang dan ayahku.,,....."
"Ha, ha, ha! Tidak tahunya kau adalah puteri dari Thian-te Kiam-ong Song Bun Sam........"
Kakak itu memotong kata-kata Siauw Yang. Dari She (nama keturunan) gadis itu, ia dapat menduga tepat bahwa ayah gadis itu tentulah Thian-te Kiam-ong. Hal ini tidaklah sukar untuk menduganya. Pertama - tama siapa lagi yang memiliki pedang Kim kong-kiam kalau bukan murid dari kakek itu" Pun melihat ilmu pedang gadis itu yang mengaku belajar dan ayahnya sendiri, mudahlah untuk menarik kesimpulan selanjutnya.
Para pengemis, juga ketiga "Sam lojin" ter-kejut bukan main bahwa nona ini adalah puteri dari pendekar besar yang sudah sering kali mereka dengar namanya itu,
"Mengapa kalian begitu sembrono dan tidak mengenal Gunung Thaisan menjulang tinggi di depan mata" Kalian berani sekali bertempur melawan puteri Thian-te Kiam-ong Si Raja Pedang! Bagaimana kalian bisa menang sedangkan aku sendiripun tak mungkin dapat mengalahkannya" Hafii, hai" Kakek pengemis itu menegur anaknya dan para anak buahnya.
Mendengar teguran kakek itu kepada anaknya dan anak buahnya Siauw Yang merasa tidak enak sekali ia cukup tahu bahwa kakek ini amat merendahkan diri ketika mengatakan bahwa kakek itu sendiri tak mungkin mengalahkannya, karena menurut ayahnya, kepandaian Sin tung Lo-kai Thio Houw ini amat tinggi dan belum tentu ia akan dapat menandingi kelihaian kakek Ini.
"Lo enghiong. harap tidak mengulangi hal-hal yang sudah lewat, tak perlu kiranya dibicarakan. Ternyata kita adalah orang-orang sendiri, karena ayah seringkali bicara tentang lo-enghiong sebagai seorang tokoh yang gagah perkasa dan budiman. Kalau tidak bertempur, tidak saling mengenal, bukankah begitu" Maka aku yang muda mohon maaf sebanyaknya bahwa aku sudah melakukan kelancangan di sini."
Kakek itu memandang kepada Siauw Yang sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang dan tersenyum kagum.
"Kau hebat sekali, nona cilik. Tidak mengecewakan kau menjadi puteri Thian te Kiam-ong!" Kemudian kakek ini menoleh kepada puterinya sendiri dan bertanya,
"Leng Li, apakah sebabnya maka kau dan kawan kawanmu sampai bisa bertanding melawan nona ini?"
Dengan muka merah, Leng Li lalu menceritakan keadaan di situ. semenjak mereka mendengar tentang kematian orang tua itu sehingga mereka memilih Pun Hui yang dan bersemangat untuk menjadi ketua dan kemudian menceritakan pula betapa Pun Ilui yang setelah ditinggal oleh Sam-lojin barulah hendak mengembalikan tongkat sehingga menimbulkan marah para anggauta sampai hampir dihajar. Dan betapa Siauw Yang datang membela pemuda itu.
Mendengar penuturan ini, sebentar-sebentar Sin Tung Lo-kat tertawa bergelak sampai keluar air matanya saking merasa geli
"Kalian salah, kalian salah!" katanya berkali-kali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang berambut putih. "Biarpun maksudmu baik, akan tetapi salah jalan. Kesalahan pertama, menyangka aku mampus sebelum melihat bukti, baru melihat tongkat saja. Karena itu kalian harus minta maaf kepadaku, karena siapa mau disangka mati padahal masih hidup" Ha, ha, biarpun sudah tua bangka, aku belum ingin mampus. Kesalahan ke dua, kalian memaksa anak muda ini menjadi ketua. Ha, ha, sungguh lucu. Biarpun pandang matanya penuh semangat baja dan dia ini bukan anak sembarangan, namun bagaimana seorang siucai dapat menjadi ketua perkumpulan pengemis" Untuk ini kalian harus minta maaf kepada Liem-kongcu. Kesalahan ke tiga, kalian tidak dapat menghargai usaha nona Song ini yang tentu saja sesuai dengan tindakan seorang pendekar, yakni menolong si lemah yang tertindas oleh si kuat yang keliru."
Dikepalai oleh Bu-beng Sm-kar, semua pengernis, termasuk juga Leng Li, lalu berlutut di depan Sin-tung Lo-kai minta maaf, kemudian menjura kepada Pun Hui menyatakan maaf. Pemuda ini cepat-cepat membalas penghormatan itu dan berkata kepada Sin-tung Lo-kai dengan suara lantang,
"Lo-enghiong, siauwte tidak berani menerima penghormatan seperti ini, karena sesungguhnya, menurut pendapat siauwte, semua yang terjadi itu tentu ada sebab-sebabnya, dan kalau diusut lebih lanjut, kesalahan itu terletak pada sebab-sebab itulah. Seperti halnya siauwte sampai diangkat menjadi ketua dari perkumpulan cu-wi yang terhormat adalah karena siauwte yang lebih dulu berlaku lancang berani bicara di dalam rapat perkumpulan, padahal siauwte adalah orang luar yang tidak tahu apa apa. Oleh karena itulah maka siauwte sampai terbawa -bawa dan diangkat menjadi ketua. Maka, bukan cu-wi sekalian yang harus minta maaf, sebaliknya siauwte yang merasa bersalah dan mohon maaf sebanyaknya."
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu menjura ke empat penjuru sebagai pernyataan maaf. Sin-tung Lo-kat memandang dengan muka berseri penuh kekaguman.
"Pantas saja kau diangkat oleh anak buah ku. Liem-sucia. Sesungguhnya memang kau dapat menjadi seorang pemimpin dengan pertimbangan dan pendapatmu yang luas dan bijaksana. Sudahlah ini nyata bahwa kita semua adalah orang-orang sendiri, orang-orang sehaluan yang menjunjung tinggi kegagahan dan pula kebajikan serta keadilan. Tak perlu bersungkan-sungkan lagi."
Setelah membubarkan anak buahnya, Sin tung Lo-kai lalu mengajak Siauw Yang dan juga Pun Hui untuk mampir di rumahnya, yang berada di kota Paoting. Karena tak dapat dan tidak enak hati menolak undangan kakek ini, terpaksa Siauw Yang dan juga Pun Hui meluluskan permintaan ini.
"Sebetulnya siauwte harus menanti kedatangan guruku di hutan ini, karena guruku sudah berjanji akan datang dalam waktu satu bulan," kata Pun Hui kepada Sin-tung Lo-kai kemudian ia menceritakan betapa seorang gagah telah menolongnya dan mengangkatnya sebagai murid. Mendengar ini, Sin-tuog Lokai tertawa bergelak.
"Liem-siucai, memang kau cukup bersemangat ini mempunyai bakat baik. Soal belajar ilmu silat, biarlah kau dekat dengan aku dan juga telah kenal dengan nona Song ini, apakah sukarnya" Pula, rumahku tidak jauh dari sini dan kalau gurumu itu datang, masih belum terlambat untuk bertemu dengannya di sini."
Setelah dipaksa-paksa, akhirnya Liem Pun Hui tidak membantah pula. Sesungguhnya, bukan karena paksaan inilah maka ia ikut, terutama sekali karena ada Siauw Yang di situ. Pemuda ini amat tertarik kepada Siauw Yang dan diam-diam ia harus mengakui bahwa ada pertumbuhan sesuatu yang ia tidak mengerti di dalam hatinya semenjak ia bertemu dengan nona ini.
Rumah tempat tinggal Sin-tung Lo-kai Thio Bouw adalah sebuah bangunan besar yang kuno dan terawat baik. Di sini kakek sakti itu hanya tinggal berdua dengan puterinya, dibantu oleh beberapa orang pelayan. 1sterinya telah lama meninggal dunia ketika Leng Li masih kecil.
Siauw Yang dan Pun Hui dijamu sebagai tamu tamu terhormat oleh Sin tung Lo-kai san puterinya, ditemani pula oleh Bu-beng Sin kat dan Sam-thouw-liok-ciang-kai. Suasana amat gembira dan mereka merasa seperti berada di dalam lingkungan sahabat sahabat sendiri. Apalagi setelah Sin tung Lo-kai minum arak dan mukanya menjadi merah, orang tua ini bercakap cakap dengan hati terbuka dan kagumlah Siauw Yang dan Pun Hui karena ternyata bahwa pengemiskz tua ini benar-benar ahli salam hal ilmu silat dan juga ilmu sastera. la mencenterakan pertemuannya dengan kakek buntung yang telah mengalahkannya,
"Dia itu hebat sekali. Akan tetapi terus terang saja, aku tidak akan kalah demikian mudahnya kalau dia tidak dibantu oleh muridnya yang benar-benar luar biasa sekali, Melihat ilmu silat murid perempuannya itu, agaknya hanya nona ini saja yang dapat mengimbanginya. Setelah mengintipi keroyokan mereka masih untung bahwa aku hanya terlempar ke dalam sungai dan masih dapat hidup sampai sekarang. Kakek buntung itu benar benar kejam dan ganas sekali, jauh melebihi keganasannya dahulu sebelum ia buntung"
"Siapakah sebenarnya kakek buntung yang lihai itu. Lo-enghiong"*
"Kau belum dapat menduganya" Kau akan kagett mendengar namanya, nona. Karena kiranya ayahmu sendiripun takkan menduga bahwa dia masih hidup Dia adalah musuh lama ayahmu."
Siauw Yang mengerutkan keningnya. Siapakah musuh ayahnya yang berkaki buntung" Sepanjang pengetahuannya, tidak ada musuh ayahnya yang berkaki buntung
'Siapakah dia, lo-enghiong?" tanya gadis yang tidak sabar ini.
Sin tung Lo-kai tertawa. "Sebelum kau ter-lahir, bahkan ketika ayahmu masih kanak-kanak, dia sudah merupakan tokoh besar dunia kang ouw yang amat ditakuti orang "
"Kau maksudkan Lam-hai Lo-mo Seng Jin Siansu?" Siauw Yang memotong pembicaraan kakek itu sambil memandang tajam dan terbayang keraguan dan ketidakpercayaan pada wajahnya yang cantik.
Sin-tung Lo-kai tersenyum kagum. "Kau patut sekali menjadi puteri Thian-te Kiam-ong. Tidak saja kepandaianmu amat lihai, bahkan kau memiliki ketajaman otak luar biasa. Memang, kakek buntung itu bukan lain adalah Lamhai Lo-mo si iblis tua."
Siauw Yang melompat bangun dari bangkunya.
"Tak mungkin. Kau tentu salah lihat, Lo-enghiong" katanya.
"Ha, ha, ha! Memang tadinya bertemu dengan dia, aku sendiripun meragukan pandang mataku, Akupun sudah mendengar bahwa dia telah tewas dan terjungkal ke dalam Sungai Huang-ho setelah menderita kekalahan dari ayahmu. Akan tetapi pernahkah orang melihat mayatnya" Tadinya aku ragu-ragu karena wajah dan tubuhnya sudah jauh berbeda dengan dahulu. Sekarang ia berwajah seperti iblis benar-benar, mukanya menakutkan dan kakinya sebelah. Akan tetapi ilmu silatnya.........." Sin-tung Lo kai menggeleng-geleng kepalanya, "Aku yakin dia bahkan jauh lebih lihai daripada dahulu. Apalagi ada muridnya, seorang gadis berpakaian merah yang Lihai sekali.,...,.,*'
"Apakah dia seorang nona yang cantik berpakaian merah berpedang hijau dan galak sekali?" tiba-tiba Liem Pun Hui bertanya memotong kata-kata kakek itu,
Shi tung Lo kai terheran dan memandang kepada pemuda sasterawan itu dengan mata terbelak. Akan tetapi Pun Hui tidak memperdulikan pandangan ini dan melanjutkan pertanyaannya
"Apakah dia seorang nona yang tinggal di antara pulau-pulau kecil di Kepulauan Cauwsan"*
Kembali Sin-tung Lo-kai tertegun dan mengangguk anggukkan kepalanya.
"Memang dia itulah murid Lam-hai Lo-mo, seorang gadis yang tidak saja cantik jelita dan berkepandaian tinggi, namun ganas dan jahat seperti gurunya pula" katanya
Akan tetapi Liem Pun Hui mengangguk-anggukkan kepalanya.
'Boleh jadi dia galak dan ganas, akan tetapi ia berhati mulia dan gagah perkasa, lo-enghiong. siauwte sendiri pernah mendapat pertolongan dari dia, dan kalau tidak ada nona itu. tentu siauwte telah tewas. Ketika siauwte bertemu dengan dia, siauwte mendengar pula percakapannya dengan kepala bajak laut dan mendengar bahwa dia bernama Ong Siang Cu, murid dan Lam hai Lo-mo yang tinggal di Pulau Sam-liong-to."
Sampai disini, semua orang terkejut karena Siauw Yang memukul meja dengan telepak tangannya yang halus. Namun, biarpun ia hanya memukul perlahan saja, keempat kaki meja itu amblas ke lantai, masuk kira-kira satu dini lebih. Ini masih belum hebat, yang amat mengagumkan adalah karena semua mangkok di atas meja, sama sekali tidak bergerak, bahkan arak di cawan tidak setetespun tumpah.
Sin-tung Lo-kai dan puterinya saling pandang penuh kekaguman, demikian pula kedua orang pengemis tua, yakni Bu-beng Sin-kai dan Sam-thouw hok ciang kai, menjadi pucat menyaksikan demonstrasi tenaga Iweekang yang tiada bandingnya bagi mereka ini.
"Kau bilang tadi Pulau San liong to, Liem-kongcu" Dan yang tinggal diatas pulau itu Lamhai Lo-mo si keparat tua" Bagus sekali, sudah kuduga bahwa semua musuh ayah yang tiuggal di pulau itu!"
Semua mata kini memandang kepada Siauw Yang, akan tetapi nona ini tidak melanjutkan kata-katanya, sebaliknya minta kepada Pun Hui untuk menceritakan pengalaman dan perjumpaannya dengan nona baju merah itu. Mendengar ini, Sin-tung Lo-kai juga membujuk agar Pun Hui suka mencentakan pengalamannya di atas pulau bajak itu.
Maka berceritalah Pun Hui, Ia menceritakan betapa kapal yang membawanya dan juga para penumpang lain telah dirampok oleh bajak laut-bajak laut yang bertubuh kate, kemudian betapa dia dan wanita wanita yang diculik dibawa ke atas sebuah pulau kosong Terutama sekali ia menceritakan kaadaan Ong Siang Cu, yang amat dipuji-pujinya sebagai seorang dara yang gagah perkasa, berkepandaian tinggi dan berbudi mulia, lagi cantik pula.
Entah mengapa, terjadi hal yang amat aneh pada diri Siauw Yang. Mendengar betapa pemuda sasterawan itu memuji-muji nona baju merah yang bernama Ong Siang Cu, ia merasa perutnya panas dan hatinya amat iri.
"Aku akan cari iblis tua dan kuntilanak itu, dan aku kubasmi mereka "
"Lihiap (nona pendekar), boleh jadi kakek yang disebut Lam-hai Lomo itu iblis tua, akan tetapi nona Siang Cu sekali-kali bukan kuntianak!" Pun Hui membela Siang Cu, karena dalam ingatannya, nona baju merah itu amat cantik jelita dan yang telah membuat hatinya tertarik.
Makin panas perut Siauw Yang mendengar
"Bukan kuntianak katamu" Gurunya iblis tua muridnya apalagi kalau bukan kuntianak?" Sambil berkata demikian, lenyaplah wajah yang berseri, terganti oleh wajah seorang gadis yang sedang mendongkol, gemas, dan marah-marah.
Sin-tung Lo-kai sendiri merasa heran mengapa Siauw Yang begitu marah-marah dan agaknya amat membenci gadis baju merah itu. Kalau Siauw Yang membenci Lam-hai Lo-mo, hal ini ia dapat mengerti karena memang Lam-hai Lo-mo adalah dwmusuh besar dari Thian-te Kiam-ong Song Bun Sam, ayah nona ini. Akan tetapi nona baju merah murid Lam hai Lo-mo itu baru saja muncul dan agaknya tidak ada alasan bagi Siauw Yang untuk marah-marah dan benci kepadanya.
"Aku sendiri tidak berani memastikan apakah murid Lam hai Lo-mo itu juga jahat seperti gurunya, akan tetapi ia memang lihat sekali, bahkan ilmu pedangnya kulihat tidak kalah lihainya dengan ilmu pedangmu, nona Song. Aku hanya melihat dia seorang gadis pendiam dan juga keras hati, ternyata dari gerakan pedangnya yang amat ganas dan tidak mengenal kasihan."
"Akan kucoba kepandaiannya itu sampai di mana tingginya. Akan kucari mereka di Sam-liong-to!" kata Siauw Yang dengan gemas. Makin tinggi orang.memuji-muji nona baju merah itu, makinkz panaslah hatinya.
Melihat suasana menjadi panas, Sin-tung Lo kai lalu menuang arak lagi ke dalam cawan dan mempersilahkan semua orang minum arak. Kemudian ia tersenyum dan berkata.
"Minum arak di antara orang-orang segolonga, benar benar mendatangkan rasa bahagia dan gembira, Nona Song, biarpun kau hanya seorang gadis muda, namun menghadapi kau minum tuak, aku merasa seakan-akan berhadapan dengan Thian-te kiam-ong sendiri, maka tidak salahnya kau kujadikan saksi atas keinginan hatiku yang hendak ku utarakan sekarang juga."
"Keinginan hati yang manakah, lo-enghiong?" tanya Siauw Yang.
Sin tung Lo kai tidak segera menjawab, hanya tersenyum dan kini berkata kepada kedua orang pembantunya. yakni Bu-beng Sin kai dan Sam-thouw-liok ciang-kai.
"Kalian berdua juga dengarkan baik-baik, karena di samping nona Song yang menjadi saksi terhormat, kalian juga harus menjadt saksi pula atas pertanyaanku yang akan kuutarakan ini."
"Baik, suhu, teecu bersedia." jawab Bu-beng Sinn kai dan Sam-thouw-liok-ciang kai hampir berbareng,
Kini Sin-tung Lo kai memandang kepada Pun Hui, lalu kepada puterinya sendiri, yakni Thio Leng Li yang duduk memandang kepada ayahnya dengan mata bertanya. Setelah itu, kembali kakek ini memandang kepada Pun Hui, sinar matanya langsung mcnembus sampai ke dalam dada pemuda ini,
"Liem siucai, aku sudah mendengar penuturan tadi bahwa kau adalah seorang siucai pengembara yang sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Terus terang saja, dahulu aku paling tidak suka kepada orang-orang terpelajar karena sebagian orang-orang terpelajar terlalu tebal berbedak, terlalu tebal menutup keburukan dengan keindahan dan bersopan-sopan, terlalu memandang rendah kepada kaum bodoh seolah-olah mereka itu merupakan manusia manusia agung yang mempunyai kelompok tersendiri. Akan tetapi melihat kau sekaligus lenyaplah anggapan itu dan sekarang ternyata bahwa manusia tak dapat dipersamakan dengan benda lain, dan bahwa di antara yang tidak baik terdapat pula yang benar. Juga tidak kurang orang-orang bu ( ahli silat ) yang berwatak jahat sekali, di samping sebagian besar yang menjadi pendekar gagah dan budiman. Melihat kau, aku suka sekali dan karenanya aku mengambil kepututan untuk memberikan puteriku Leng Li kepadamu "
Setelah kakek mi bicara, hening sekali keadaan di situ. Sungguh menarik kalau orang memperhatikan dan mempelajari wajah orang-orang yang mendengar omongan Sio lung Lo-kai di waktu itu. Bu-beng Sin kai mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah bersungguh-sungguh, Sam-thouw liok ciang kai tersenyum-senyum lebar dan sepasang matanya melirik-lirik ke arah Leng Li dan Pun Hui. Leng li sendiri menundukkan mukanya yang tiba tiba menjadi merah sekali sampai ke telinganya, dan gadis ini lama sekali tidak berani bergerak jari-jari tangannya saja yang utak-utik menggurat gurat ujung meja. Pun Hui memandang kepada Sin tung Lo-kai dengan mata terbelalak dan wajahnya sebentar pucat sebenrar merah, Yang paling aneh adalah sikap Siauw Yang karena gadis ini entah mengapa tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan matanya memandang kepada Sin-tung Lo kai dengan tajam sekali.
"Lo-enghiong... apa...... apakah yang kau maksudkan?" tanya Pun Hui bingung sekali, tidak tahu harus berkata apa.
Sin tung Lo-kai tertawa bergelak. "Artinya" Aku hendak menjodohkan anakku ini kepadamu, Liem-siucai. Jelaskah itu?" belum Liem Pun Hui menjawab, tiba-tiba Siauw Yang berdiri dari bangkunya dan berkata dengan suara kering
"Maaf, aku tidak bisa menjadi saksi dalam hal Ini karena selamanya aku tidak pernah dan tidak mau menjadi....... .comblang." Setelah berkata demikian, sekali melompat gadis ini telah keluar dari rumah itu.
Semua orang memandang heran ke arah pintu depan dari mana Siauw Yang melompat keluar. Leng Li nampak marah sekali dan sepasang matanya yang jeli menatap ke arah pintu dan ketika tubuhnya bergerak seakan akan ia hendak mengejar dan memberi hajaran kepada nona yang dianggap telah menghinanya itu. ayahnya mengangkat tangan memberi tanda supaya, ia duduk diam saja.
"Biarlah kalau nona Song tidak mau menjadi saksi, itupun tidak apa." la lalu berkata lagi kepada Pun Hui. "Liem-sucai, kau tidak usah khawatir. Kami yang akan menanggung semua keperluan pernikahan. Dan menurut pendapat dan rencanaku, libih baik pernikahan dilakukan secepat mungkin kalau dapat dalam pekan ini juga. Setelah selesai pernikahan barulah hatiku yang tua ini akan merasa puas."
Bukan main bingungnya hati Pun Hui.
"Lo-enghiong...... siauwte,.. . siauwte bersedia untuk menolong kalian ini dengan apapun juga, akan tetapi... kawin......" Siauwte..... siauwte tidak berani menerimanya. lo-enghiong."
Tiba tiba sepasang alis Sin tung Lo-kai berdiri dan inilah tanda bahwa dia marah sekali. Leng Li menjadi pucat mukanya dan dua orang kakek pengemis menjadi gelisah.
"Liem siucail Apa maksud kata-katamu itu " Kau berani menghina kami" Berani menghina aku, Sin-tung lo-kai?"
"Tidak, lo-enghiong, sekali-kali siauwte tidak berani menghina dan tidak bermaksud menghina. Hanya tentang perjodohan ini...... siuwte benar-benar tak dapat menerimanya......"
"Jadi, pendek kata kau menolak?"
Pun Hui adalah seorang pemuda yang berhati tabah sekali. Kalau tadi ia bicara dengan gagap, adalah karena ia merasa bingung dan tidak enak sekali, khawatir menyinggung perasaan kakek itu. Kini ia berpendapat bahwa dalam hal ini tidak perlu lagi ada perasaan sungkan-sungkan, karena kalau tidak bisa menimbulkan salah pengertian, lebih baik berterus terang saja. Oleh pikiran ini, dengan suara tetap ia memandang tajam!"Demikian kiranya, lo-enghiong. Siauwte tidak berani menerima dan karenanya siauwte menolak usul dan penghormatan yang bodoh dan rendah ini."
Sin-tung Lo-kai tiba-tiba bergerak cepat, berdiri dan duduknya dan ia sekali ayun tangan, ujung meja itu pecah dan mengeluarkan suara keras seperti di bacak oleh kapak yang tajam.
"tidak tahukah kau bahwa menolak berarti penghinaan besar bagi Sin-tung Lo-kai" " Suaranya menggigil, alisnya berdiri dan mukanya menjadi merah sekali.
Sementara itu, terdengar isak tertahan dan Leng Li lalu bangkit dari duduknya, berlari sambil menutupi kedua matanya, masuk ke dalam kamar di sebelah dalam rumah itu.
"Ah, Liem-siucai, kau mencari penyakit sendiri ....." kata Bu-beng Sin-kai menggeleng-geleng kepalanya dengan muka penuh kekhawatiran.
"Liem-siucai, jangan begitu kukuh. Kau masih belum beristeri, kau sebatangkara dan ketahuilah, banyak sekali pemuda terpelajar dan gagah perkasa yang ingin sekali menjadi mantu dari suhu......." kata Sam-thouw-liok-ciang-kai membujuk
Makin bernyala api yang membakar dada Sin tung Lo-kai. Memang banyak sekali pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar tinggi mengharapkan menjadi suami Leng Li, banyak yang sudah menyindirnya dan mengharapkan uluran tangannya. Akan tetapi ia masih belum rela melepaskan puterinya, karena belum melihat canon mantu yang mencocoki hatinya. Dan sekarang, pemuda lemah ini, pemuda sebatangkara yang miskin ini, hanya karena ia tertarik akan semangat dan kecerdikan pemuda ini, maka mau mengambil mantu, pemuda ini bahkan menolaknya mentah-mentah.
"Liem-siucai, tahukah kau bahwa siapa berani menghina Sin-tung Lo kai berarti dia harus mati?"
Sesungguhnya, Liem Pun Hui bukanlah pemuda yang takut akan gertakan. Makin ia ditekan, makin beranilah dia. tidak percuma bahwa dia menjadi cucu dari Liem Hoat, panglima perang yang amat terkenal akan kegagahannya. Hanya karena oleh ayahnya ia dididik kesusasteraan maka ia menjadi seorang pemuda yang bertubuh lemah lembut, namun semangatnya tetap bergelora dan ketabahannya amat mengagumkan. Ayahnya dan sekeluarganya telah habis menjadi korban perang ketika tentara Goan menyerang dan menduduki Tiongkok.
Kini, menghadapi tekanan dari Sin-tung Lo-kai, bangkitlah keangkuhannya dan lapun berdiri dari bangkunya.
"Lo-enghiong, andaikata memang sudah menjadi watak dan aturan lo-enghiong untuk membunuh orang demikian mudah, silahkan. Siauwte tidak merasa bersalah Siauwte datang sebagai tamu dan tentang perjodohan bukanlah urusan yang dapat dipaksa-paksa begitu saja. Menolak usul perjodohan bukan termasuk penghinaan, karena penolakan siauwte tadi, siauwte lakukan dengan sopan. Bagaimana siauwte dapat dianggap menghina?"
"Setan muda! Kau bahkan berani menentang. Sin-tung Lo-kai biasa mengorbankan nyawa untuk menolong orang. Akan tetapi kalau ia dibina, biar giamlo-ong (malaikat maut) sendiri yang datang menghina, akan kuhancurkan kepalanya."
"Siauwte tidak merasa menghina dan sekarang... siauwte mohon diri. Tak berani siauwte mengganggu lo-enghiong lebih lama lagi. Terima kasih atas segala penyambutan yang ramah tamah dan percayalah, siauwte akan selalu mengingat lo-enghiong sebagai seorang gagah yang budiman."
Setelah berkata demikian. Pun Hui menjura kepada tiga orang kakek pengemis itu, lalu berjalan keluar dengan sikap tenang, sama sekali tidak kelihatan takut.
"Tidak ada orang yang menghina Sin-tung Lo-kai dapat pergi begitu saja sebelum meninggalkan nyawanya!" bentak Sin-tung Lo-kai dan tubuhnya berkelebat keluar mengejar Pun Hui,
Setibanya di luar rumah, Pun Hui mendengar bentakan ini dan dia segera membalikkan tubuh menghadapi Sin-tung Lo-kai yang sudah berdiri di hadapannya dengan muka menyeramkan.
"Lo-enghiong memaksa hendak membunuh siauwte" Nah, silahkan karena sieawte tentu saja tidak sanggup melawan," kata Pun Hui
"Orang muda, sekali lagi, mau tidak kau menerima usulku tadi?" tanya pula Sin-tung Lo-kai yang pada saat itu masih saja kagum sekali menyaksikan ketabahan pemuda mi. Di antara seribu orang muda, belum tentu ia akan bertemu dengan seorang seperti Pun Hui
Pun Hui menggeleng kepalanya. "Siauwte belum ada niat untuk menikah dan siauwte tidak mau dipaksa dalam hal ini."
"Kalau begitu matilah!" Sambil berkata demikian, Sin-tung Lo kai menggerakkan tongkat merahnya yang berbentuk ular itu ke arah kepala Pun Hui yang meramkan mata menanti datangnya tangan maut yang menjangkau nyawanya.
"Trang....." Sin-tung Lo-kai berseru kaget dan melompat mundur. Ketika tadi tongkatnya berkelebat ke arah kepala Pun Hui, tiba riba nampak sinar kuning emas menyambar dan menangkis tongkatnya.
Ternyata Siauw Yang sudah berdiri dihadapannya dengan pedang Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Kuning Emas) di tangannya. Gadis ini berdiri dengan Sikap gagah dan tersenyum sindir.
"Benar kata ayah bahwa tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh, di samping sifatnya yang baik dan wataknya sebagai pendekar besar, mempunyai sifat khusus yang aneh dan kadang-kadang jahat. Agaknya Sin tung Lo-kai mempunyai sifat khusus ini. yaitu suka memaksakan kehendak sendiri kepada lain orang dan tidak menghargai perasaan dan pikiran orang lain."
"Puteri Thian-te Kiam-ong, kau mau apa?" Sin-tung Lo kai membentuk makin marah.
"Sin-tung Lo-kai, sebelum aku menjawab, akupun mempunyai pertanyaan yang sama, yakni kau mau apakah bermain-main dengan tongkatmu di atas kepala Liem-siucai ini?" Siauw Yang masih tersenyum simpul manis sekali, akan tetapi siapa saja yang sudah mengenal baik watak gadis ini, senyum yang semanis-manisnya dan gadis ini membayangkan bahaya besar, karena setiap saat Siauw Yang marah dan bersiap untuk bertempur, keluarlah senyumnya yang paling manis.
"Bocah lancang. Kau sudah pergi tanpa pamit, berarti kau sudah menjadi orang luar. Mengapa kau hendak mencampuri urusan pribadiku dengan tamuku ini?"
"Kalau Liem siucai masih duduk di dalam rumahmu, berarti dia tamumu. Akan tetapi dia sudah keluar dari rumahmu dan dia seperti aku pula, telah menjadi orang luar atau orang di jalan. Aku seujung rambutpun tidak perduli akan urusan pribadimu, tidak perduli kepada siapa kau hendak memberikan puterimu itu. Akan tetapi, melihat orang tak berdosa hendak dibunuh begitu saja, ah, aku terpaksa harus mentaati pelajaran ayahku, bahwa kalau aku melihat seorang lemah tak berdosa ditindas oleh yang kuat dan jahat. aku harus turun tangan membelanya."


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, puteri Tian-te Kiam-ong kurang ajar dan tak tahu malu. Jadi kau tidak setuju kalau pemuda ini menjadi mantuku, bahkan hendak mencegahnya menjadi suami Leng Li dan hendak membela dan melindunginya". agaknya kau lebih suka kalau ayahmu yang mengambilnya sebagai mantu, bukan?""
Hinaan yang keluar dari hati yang sedang panas ini membuat sepasang mata Siauw Yang yang indah itu berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan bunga api. Tangan kiri gadis ini bertolak pinggang dan tangan kanannya menudingkan pedang ke arah hidung Sin-tung Lo kai, dan suaranya nyaring sekali,
"Setan tua Sin-tung Lo kai. Jagalah lidahmu yang kotor itu! Pemuda ini akan menjadi mantu siapapun juga bukan urusanku dan kau akan menjodohkan puterimu dengan siapapun juga aku tidak ambil pusing. Pendeknya kau tidak boleh membunuh siapapun juga tanpa bersalah. Tak mungkin kau dapat berlaku sewenang-wenang pada saat aku berada di hadapanmu. Kau mau melepaskan Liem siucai dengan aman baik, aku takkan ambil perduli selanjutnya. Akan tetapi kalau kau tetap mau membunuhnya, juga baik, pedangku sudah siap menanti tongkatmu."
Inilah tantangan secara berdepan Sin-tung Lo-kai memang berwatak berangasan dan biarpun ia amat kagum den segan kepada Thian-te Kiam ong, namun ditantang oleh seorang gadis muda seperti Siauw Yang. tentu saja ia menjadi mata gelap.
"Bocah masih bau pupuk, kau kurang ajar sekali, harus diberi hajaran keras!" Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar cepat sekali dan tongkat ular itu seperti hidup menusuk ke arah leher Siauw Yang.
"Lihiap, hati-hati.........." tak terasa pula Pun Hui yang berdiri menjauhi gelanggang pertempuran itu berseru, la amat gelisah, takut kalau kalau gadis yang gagah dan jelita itu akan menjadi korban hanya karena membelanya, la benar-benar merasa serba susah. Dalam keadaan seperti ini. teringatlah ia kepada gurunya dan ingin sekali ia memiliki ilmu silat tinggi agar ia dapat berjuang sendiri mempertahankan hidupnya, tidak mengandalkan dan membahayakan keselamatan lain orang, apalagi orang seperti nona ini yang amat menarik hatinya.
Namun, walaupun baru hanya menguasai dua pertiga saja dari ilmu pedang ini, kepaudaian Siauw Yang sudah demikian hebat sehingga agaknya dengan mudah ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw di antara orang-orang muda sebaya dengan dia. Hal ini harus diakui pula oleh Sin-tung Lo-kai, jago tua yang sudah banyak sekali menghadapi pertempuran pertempuran besar.
Dengan tongkat ular merahnya, Sin-tung Lo-kat sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan kecuali tokoh-tokoh besar yang merupakan sederetan orang-orang berilmu tinggi dan sakti serta menduduki tingkat tertinggi seperti Mo-bin Sin-kun, Lam hay Lo-mo dan akhir-akhir ini Thian-te Kiam-ong dan lain-lain. Dengan mereka ini, biarpun ia masih kalah tinggi kepandaiannya, namun boleh dibilang sudah sama tingkatnya. Akan tetapi, setelah kini ia menghadapi permainan pedang dari Siauw Yang, terpaksa ia harus mengakui bahwa ilmu pedang yang diturunkan oleh mendiang Bu-tek Kiam-ong Si Raja Pedang tanpa tandingan, benar-benar semacam ilmu pedang yang aneh dan sukar sekali dilawan. Kemana saja tongkatnya menyambar, selalu bertumbuk pada sinar pedang yang kuatnya seperti dinding baja dan amatlah sukar membobolkan benteng pertahanan sinar pedang kuning emas itu.
Sebaliknya, baru sekarang Siauw Yang mengalami pertandingan yang hebat. Belum pernah ia bertemu dengan lawan yang sekuat Sin-tung Lokai. Ilmu tongkat lawannya ini biarpun amat lihai, namun ia tidak jerih menghadapinya. Yang membuatnya sukar mendapat kemenangan adalah kenyataan bahwa selain dalam hal tenaga Iweekang dia kalah jauh sekali, juga ia kalah matang dalam gerakan-gerakannya, serta tidak memiliki kembangan gerakan sebanyak yang dimiliki kakek pengemis ini. Dengan kekalahan pengalaman serta kematangan ilmu silat, berarti bahwa untuk dua jurus gerakan lawan, ia harus mengimbanginya dengan tiga jurus. Hal ini tentu saja makan banyak tenaga. Dia kalah tenang dan kalah ulet. Baiknya kekalahannya ini ditutup oleh kemenangannya dalam hal ilmu pedang karena memang ilmu pedangnya benar-benar dapat menguasai dan menindih ilmu tongkat dari Sin-tung Lo-kai yang sebetulnya juga merupakan ilmu pedang yang dirobah gerakannya, disesuaikan dengan tongkat yang berbentuk ular itu.
Serang-menyerang terjadi amat sengitnya. Pun Hui sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya silau karena kini dia tidak dapat melihat lagi mana. Siauw Yang dan mana Sin-tung Lo kai. Yang terlihat olehnya hanya dua gundukan sinar merah dan kuning emas, yang kadang-kadang panjang seperti ular terbang dan kadang-kadang pendek ganas seperti harimau mengamuk.
Tidak terdengar sedikit pun suara dalam pertandingan ini melainkan suara nyaring dari beradunya kedua senjata dibarengi dengan muncratnya bunga bunga api.
-ooodwooo- Jilid XXI JANGANKAN Pun Hui yang tidak mempunyai kepandaian silat, sedangkan dua orang kakek pengemis, Bu beng Sin kai dan Sam thouw liok ciang kai yang sudah memiliki kepandaian tinggi, juga merasa silau menyaksikan pertandingan ini. Mereka berdua maklum bahwa tingkat kepandaian puteri Thian te Kiam ong ini benar benar tinggi sekali dan andaikata mereka berdua diharuskan membantu suhu mereka, agaknya mereka tidak tahu harus bergerak bagaimana. Melihat betapa sinar kuning emas itu amat kuat gerakannya, Bu beng Sin kai mulai merasa khawatir. Hanya Leng Li yang tingkat kepandaiannya dalam ilmu pedang sudah cukup tinggi dan agaknya hanya puteri suhunya itulah yang akan dapat membantu. Teringat akan hal ini, Bu beng Sin kai diam diam lalu berlari memasuki rumah untuk memberi tahu kepada Leng Li yang sampai demikian jauh belum juga muncul.
Akan tetapi, tidak lama kemudian Bu beng Sin kai berlari keluar kembali dengan wajah berubah seperti orang gelisah.
"Suhu, celaka...... nona Leng Li telah lari pergi.... !"
Pada saat itu, Sin tung Lo kai tengah menyerang Siauw Yang dengan bernafsu, dan gerakan tongkatnya makin lama makin nekad. Agaknya orang tua ini merasa malu dan penasaran sekali karena sudah hampir seratus jurus, belum juga ia dapat mendesak nona muda ini, apalagi mengalahkannya! Akan tetapi, ketika ia mendengar ucapan muridnya itu, tiba tiba ia melompat mundur dan menancapkan tongkatnya di atas tanah. Tongkat itu amblas sehingga tongkat ular itu kini hanya kelihatan kepalanya saja, seperti seekor ular yang bersembunyi di dalam tanah dan menjenguk keluar dari dalam lubangnya.
Siauw Yang juga tidak mau menyerang, dan menarik kembali pedangnya. Napas nona ini agak terengah engah dan wajahnya yang merah itu basah oleh peluh. Pertempuran tadi benar benar melelahkan dan baginya merupakan pengalaman dan latihan yang amat berguna. Kini ia memandang kepada Sin tung Lo kai yang mukanya berobah menjadi pucat sekali.
"Apa yang dibawanya?" tanyanya dengan suara parau tanpa menoleh kepada Bu beng Sin kai.
"Semua pakaian dan tongkatnya," jawab murid ini dengan perlahan, dan ia agak jerih menyaksikan suhunya demikian pucat.
"Dan apa yang ditinggalkannya?"
"Hanya sepotong surat ini, suhu," jawab Bu beng kai sambil mengeluarkan sehelai kertas dari saku bajunya.
"Baca!" Bu beng Sin kai merasa ragu ragu dan memandang kepada Pun Hui dan Siauw Yang. Di depan orang orang luar bagaimana ia harus membaca surat itu"
Menyaksikan keraguan muridnya, Sin tung Lo kai yang sekarang menoleh kepadanya menjadi marah.
"Baca, kataku. Yang keras!"
Terpaksa Bu beng Sin kai membaca surat itu.
Ayah yang tercinta, Anak terpaksa pergi karena tidak kuat menanggung rasa malu yang diakibatkan oleh tindakan ayah sendiri. Liem kongcu tidak bersalah, dia berhak menentukan jodohnya sendiri. Akan tetapi ayah telah menawarkan diriku terlalu murah dengan jalan memaksa maksa orang menjadi suamiku.
Selamat tinggal, ayah, jaga dirimu baik baik.
Anakmu yang puthauw (tidak berbakti), Thio Leng Li. Setelah Bu beng Sio kai berhenti membaca, Sin tung Lo kai lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, memukul kepala sendiri sambil berkata berkali kali.
"Ya, ya.... aku yang salah! Aku yang salah...!"
Kemudian ia menjambak jambak rambutnya dan menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya!
Pun Hui memang memiliki semangat besar dan ketabahan yang mengagumkan, akan tetapi sebagai seorang sasterawan, ia memiliki perasaan yang amat halus dan mudah tersinggung. Melihat keadaan kakek itu, ia menjadi terharu sekali dan ia lalu menghampiri Siu tung Lo kai dan berlutut di dekatnya.
"Lo enghiong, maafkan siauwte.... sesungguhnya siauwtelah yang bersalah sehingga menimbulkan peristiwa ini."
Tiba tiba kakek itu melepaskan kedua tangan nya dari depan mukanya dan berkata keras sekali,
"Pergi kau! Pergi.... !"
Pun Hui terkejut sekali dan segera bangkit berdiri, lalu menjura dan berjalan pergi. Sin tung Lo kai memandang ke arah Siauw Yang yang masih berdiri dan berkata.
"Puteri Thian the Kiam ong, aku tadi dikuasai nafsu, maafkanlah. Kau terlalu lihai untukku."
Lenyap kemarahan Siauw Yang setelah melihat keadaan kakek ini dan kini mendengar pula kata kata merendah ini. Memang Siauw Yang jarang sekali marah dan kalau sekali ia marahpun mudah saja kemarahannya itu lenyap, ia memiliki watak gembira dan jenaka.
"Tidak apa, lo enghiong. Dan tentang kepandaian, kau menang beberapa kali lipat dari padaku. Terima kasih atas pelajaran tadi dan selamat tinggal!" Gadis inipun pergi dan berlari cepat menyusul Pun Hui!
"Liem siucai, perlahan dulu......!"
Mendengar suara panggilan yang nyaring ini, tiba tiba Liem Pun Hui menahan tindakan kakinya. Tidak hanya kakinya yang tertahan untuk beberapa detik, ia mengenal baik suara itu, suara yang baru saja dikenalnya beberapa jam, akan tetapi yang selalu bergema di dalam telinganya seperti suara orang yang sudah amat lama dikenalnya. Itulah suara Siauw Yang Puteri Thian te Kiam ong yang secara mati matian telah melindunginya dari kemarahan Sin tung Lo kai!
Dugaannya memang tidak salah. Ketika ia membalikkan tubuhnya, gadis itu telah berdiri di depannya, cantik dan gagah dengan wajah riang dan senyum manis yang membuat segala sesuatu campak berseri.
"Nona Song," katanya sambil menjuri dengan hormatnya, alangkah senangnya hatiku melihat kau selamat dan terbebas dari orang tua yang galak itu.
Siauw Yang tersenyum. "Sin tung Lo kai galak luar saja, padahal di dalam hatinya dia seorang berbudi tinggi. Setiap orang mempunyai kelemahannya sendiri dan bagi Sin tung Lo kai, kelemahannya adalah sikapnya terhadap pulennya. Eh, Liem siucai, kulihat nona Leng Li itu gagah perkasa dan cantik jelita, mengapa kau.... menolak dia?"
Wajah Pun Hui menjadi merah dan untuk beberapa lama ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi pandang mata dara itu menghendaki jawaban dan gadis dengan mata seperti ini tak mungkin pertanyaannya tidak terjawab.
"Sebab sebabnya banyak, nona. Pertama karena aku belum ada keinginan untuk berumah tangga, ke dua, karena aku tidak mau dipaksa begitu saja, dan ke tiga, karena.... agaknya karena aku tidak merasa cocok dengan nona Leng Li."
"Kau tinggi hati!"
"Bukan begitu, Song siocia (nona Song)," jawab Pun Hui sungguh sungguh."Aku adalah seorang yang hidup miskin, sebatang kara dan hanya merupakan sisa dari keluargaku yang terbasmi habis oleh kekejaman orang orang jahat. Kalau aku menerima saja orang memaksaku untuk menikah dengan siapa saja yang dikehendaki oleh orang lain, aku akan menjadi seorang yang tidak ada artinya sama sekali, yang tidak berhak hidup pula. seperti sebuah boneka saja. Manusia harus bercita cita, nona."
Senyum Siauw Yang melebar. Memang pemuda ini pandai sekali bicara dan pandai menyusun kata kata yang indah indah.
"Agaknya kau memiliki cita cita yang tinggi dan hebat, saudara Liem. Bolehkah aku mengetahuinya?"
Liem Pun Hui mengerutkan keningnya."Semenjak kecil aku belajar ilmu bun (kesusasteraan) dengan susah payah. Akan tetapi sekarang teraya ia jelas olehku bahwa dalam keadaan negara kalut dan dikuasai oleh pemerintah lalim, ilmu kepandaian bun tidak ada artinya sama sekali. Orang tua dan keluargaku dibunuh, orang orang jahat merajalela di dunia, dan apakah yang dapat dilakukan oleh seorang lemah seperti aku dengan pensilku" Aku harus mencari dari mempelajari ilmu bu (ilmu silat) sehingga seperti juga kau nona dan lain lain orang gagah, darat berbuat banyak bagi orang lain atau bagi rakyat, membela mereka yang tertindas."
Makin berseri muka Siauw Yang yang manis. "Jadi kau ingin belajar silat?"
"Bahkan aku sudah mempunyai seorang guru yang pandai, akan tetapi sayang sekali sampai sekarang guruku itu belum juga datang. Suhu berjanji akan datang menjemputku dalam waktu sebulan di dalam hutan itu, maka sekarang aku hendak ke dalam hutan menanti datangnya suhu."
Siauw Yang tertarik sekali dan diam diam ia memuji pemuda ini yang berkemauan keras.
"Mempelajari ilmu silat tidak mudah, harus mendapatkan seorang guru yang benar benar pandai. Lihaikah ilmu silat gurumu itu, saudara Liem?"
Pun Hui memandang bangga. "Suhu memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya, agaknya tidak akan Kalah oleh kepandaian Sin tung Lo kai!" katanya gembira.
Siauw Yang tersenyum. Mana bisa pemuda yang belum mengerti tentang ilmu silat tinggi ini mengadakan perbandingan" Kepandaian Sin tung Lo kai sudah tinggi sekali dan jarang ada orang yang dapat disamakan dengan dia.
"Hebat !" katanya dengan senyum."Siapakah suhumu yang hebat dan lihai itu?"
"Suhuku dijuluki Sin pian (Ruyung Sakti) dan bernama Yap Thian Giok tokoh Sian hoa san."
Kali ini Siauw Yang benar benar heran dan terkejut sehingga senyumnya lenyap, matanya terbelalak lebar memandang kepada pemuda itu.
"Apa katamu" Kau diambil murid oleh Sin pian Yap Thian Giok, tokoh Sian hoa san" Ketahuilah, dia itu adalah supekku (uwa guru). Yap supek adalah murid Mo bin Sin kun, dan ayahku pernah pula menjadi murid Mo bin Sin kun. Selain ada hubungan perguruan ini, juga antara ayah dan Yap supek terdapat hubungan persahabatan yang melebihi persaudaraan eratnya!"
Bersinar gembira wajah Pun Hui mendengar ini.
"Kalau begitu...." katanya.
"Kalau begitu.... ?" Siauw Yang menyambung.
Keduanya saling pandang, dan jelas nampak bahwa keduanya merasa amat gembira dengan adanya pertalian hubuugan antara mereka ini.
"Kalau begitu masih ada pertalian dekat antara kita!" kata Pun Hui.
"Memang betul. Kau murid supek, jadi boleh dibilang adalah suhengku (kakak seperguruan ku)."
"Dan kau adalah sumoiku (adik seperguruanku)!"
Keduanya tersenyum, lalu tertawa. Pun Hui tertawa lebar lalu berkata,
"Suheng macam apakah aku ini" Kau sebagai sumoinya memiliki kepandaian begitu tinggi dan lihai sedangkan aku yang disebut suhengmu, menangkap lalatpun tidak becus!"
"Jangan bilang begitu, suheng. Hal ini tidak aneh karena kau memang belum mempelajari ilmu silat. Pula, kepandaian manusia tidak bisa diukur melihat keistimewaan masing masing saja. Biarpun dalam ilmu silat mungkin sekali aku jauh lebih pandai dari padamu, akan tetapi dalam ilmu kesusasteraan, kalau diadakan perbandingan, kepandaianmu setinggi langit dan kebisaanku hanya serendah bumi! Sekarang harap kau ceritakan kepadaku bagaimana kau sampai bertemu dengan Yap supek dan bagaimana pula sampai bisa diambil sebagai murid."
Keduanya lalu duduk di atas batu karang di bawah pohon dan mulailah Liem Pun Hui mencernakan semua pengalamanya di kota raja. Betapa semua keluarganya dan keluarga pamannya habis dibunuh, dan betapa ia dengan nekad menulis sajak mencela kaisar dan orang orang besar yang mengandalkan pangkatnya melakukan perbuatan jahat. Kemudian betapa ia ditolong oleh Yap Thian Giok dan akhirnya diambil murid.
Siauw Yang terharu sekali mendengar nasib pemuda yang menarik hatinya ini. Ia makin kagum. Pemuda ini benar benar memiliki semangat dan keberanian yang besar. Orang dengan kepandaian silat tinggi belum tentu berani melakukan penghinaan kepada kaisar di depan umum seperti yang dilakukan oleh Pun Hui ini.
"Kau patut menjadi murid Yap supek," katanya.
"Sumoi, aku benar benar girang sekali mendengar bahwa kau yang kuanggap sebagai seorang pendekar wanita yang sakti, ternyata terhitung sumoiku sendiri. Sekarang kau hendak ke manakah dan mengapa kau tadi mengejar ku?"
"Terus terang saja, suheng. Tadi sebelum aku tahu bahwa antara kita masih ada hubungan persaudaraan seperguruan, aku hendak memaksamu supaya ikut dengan aku sebagai penunjuk jalan ke Pulau Sam Liong To, karena kau pernah berada di dekat pulau itu ketika dibawa oleh bajak laut sebagaimana tadi kauceritakan di rumah Sin tung Lo kai. Akan tetapi sekarang setelah mengetahui bahwa kau masih terhitung suheng sendiri, niatku lebih kuat lagi. Aku minta kau meninggalkan tempat ini dan harap kau suka membawaku ke Pulau Sam Liong to, suheng."
Pun Hui tertegun. "Memang aku sudah tahu di mana adanya pulau bajak itu, sumoi. Akan tetapi sungguhpun di dekat situ pasti ada Pulau Sam liong to tempat tinggal nona Siang Cu, bagaimana aku bisa pergi dan sini" Kalau suhu datang.... dan aku tidak ada di sini...."
"Soal supek, jangan khawatir. Kalau supek tahu bahwa kau pergi dengan aku, supek takkan marah. Adapun tentang pelajaran ilmu silat, sebagai dasar dasar pertama, kau dapat belajar dariku, suheng. Kalau ada kemarahan dari supek, aku yang bertanggung jawab. Yang terpenting bukanlah ini saja, akan tetapi andaikata kau tidak pergi dengan aku, tetap saja kau harus meninggalkan tempat ini. Kau tahu bahwa tempat ini masih termasuk daerah yang dikuasai oleh perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh Sin tung Lo kai. Setelah itu apa yang terjadi antara kau dengan mereka, kurasa tidak baik dan tidak aman bagimu untuk tinggal di daerah ini."
Pun Hui mengangguk angguk. Memang kata lata dan nona ini tepat dan beralasan sekali, bukan ini saja. Yang terutama sekali karena Pun Hui memang jauh lebih suka melakukan perjalanan bersama gadis ini daripada menunggu suhunya di dalam hutan. Keberatan satu satunya bagi dia hanya kalau suhunya marah. Akan tetapi kini Siauw Yang berani bertanggung jawab, mau apa lagi"
"Baiklah, sumoi. Aku ikut pergi denganmu untuk menunjukkan di mana adanya pulau bajak laut itu. Akan tetapi kau harus berhati hati. Di atas pulau bajak laut itu tinggal dua orang yang lihai sekali, yakni Tung hai Sian jin dan puteranya. Aku pernah melihat mereka ketika nona Siang Cu datang menolongku dahulu."
Siauw Yang tersenyum. "Aku sudah pernah mendengar namanya dari ayah. Akan tetapi, aku ke sana bukan untuk berurusan dengan Tung hai Sian jin, melainkan untuk mencari kakek buntung Lam hai Lo mo, musuh besar ayahku!"
Demikianlah, dua orang muda ini lalu berangkat meninggalkan hutan itu, menuju ke utara. Perasaan keduanya amat gembira, namun hanya dirasa di dalam hati saja karena tentu saja mereka tidak mengutarakan perasaan gembira ini di luar. Tanpa disadarinya, Siauw Yang merasa amat suka dan tertarik kepada pemuda yang tampan dan halus ini. Sebaliknya, setelah dekat dengan Siauw Yang, Pun Hui mendanai kenyataan bahwa gadis ini benar benar mencocoki hatinya, dan ia kagum sekali melihat watak yang polos, jujur, dan lincah ini. Pun Hui amat menghormati kegagahan, tidak saja kegagahan jasmani, terutama sekali kegagahan watak yang tidak berpura pura dan yang benar benar perkasa lahir batin. Dan gadis ini memiliki semua syarat bagi seorang gagah perkasa. Namun Pun Hui tahu diri Dan merasa betapa dia tidak memiliki kepandaian silat tinggi, dan merasa pula betapa dia adalah seorang yatim piatu yang miskin. Sedangkan gadis ini, yang mengaku sebagai sumoi nya, adalah puteri dan Thian te Kiam ong Song Bun Sam, seorang tokoh besar yang demikian dipuji puji dan disebut sebut oleh orang orang pandai, bahkan Sin tung Lo kai sendiripun menyebut nyebut dan memuji mujinya.
Kalau melakukan perjalanan seorang diri, tentu perjalanan itu akan jauh lebih cepat lagi. Akan tetapi bersama seorang pemuda lemah seperti Pun Hui, bagaimana ia bisa melakukan perjalanan cepat"
Oleh karena itu, ketika pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota, di sebelah utara Peking, Siauw Yang membeli seekor kuda. Semenjak kecilnya, Siauw Yang sudah suka sekali naik kuda dan ia mempunyai pengertian luas tentang kuda yang baik. Kalau menurut penglihatannya, di antara kuda kuda yang diperdagangkan di situ, tiada seekorpun yang memuaskan hatinya. Akan tetapi ia hendak membeli kuda bukan untuk dia sendiri, melainkan untuk Pun Hui. Pertama agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat, ke dua karena ia merasa kasihan melihat pemuda ini yang kelihatannya demikian lelah melakukan perjalanan jauh. Maka ia memilih kuda yang diangapnya paling kuat di antara semua kuda di situ. sungguhpun masih jauh untuk dapat memuaskan hatinya.
"Nah, suheng. Ini kudamu, naiklah!"
"Eh, mengapa begitu" Kau yang membelinya dan kau pula yang pantas menaikinya. Kau naiklah, sumoi, biar aku yang menuntunnya di depan." Pun Hui membantah.
Hampir saja Siauw Yang tertawa terpingkal pingkal mendengar ini, akan tetap ia masih dapat menahannya dan hanya tertawa lebar dengan muka geli.
"Suheng, kau bagaimana sih" Membeli kuda untuk ditunggangi agar perjalanan cepat, bukan sekedar ditunggangi agar dapat duduk enak saja. Masa ada orang naik kuda pakai dituntun segala" Sudah, kau naiklah, di antara kita masa mesti pakai sheji sheji (sungkan sungkan) lagi?"
"Mana ada aturan begitu, sumoi" Kau yang membelinya, ini saja sudah merupakan alasan kuat bahwa kau yang berhak menungganginya. Kemudian masih ada lagi. Kau wanita dan aku laki laki, masa aku yang harus menunggang kuda dan kau yang harus berjalan kaki" Ini terbalik namanya. Akulah yang harus berjalan kaki dan kau yang menunggang kuda, ini baru benar!"
"Tidak, suheng. Kau naiklah, biar aku yang berjalan. Dengan demikian, perjalanan akan lebih cepat daripada kemarin."
"Tidak, kau yang menunggang kuda, sumoi"
"Kau saja, suheng."
"Tidak mau, kau yang menunggang kuda!" kata Pun Hui berkeras. "Apa kata orang lain nanti kalau melihat aku tak mengalah?"
Tiba tiba Siauw Yang tertawa geli. Pun Hui yang tidak mengerti mengapa gadis itu tertawa, ikut pula tersenyum, akan tetapi senyumnya masam, karena merasa bahwa dia yang ditertawai.
"Mengapa tertawa, sumoi?" tanyanya ketika gadis itu masih saja tertawa terus.
"Aku tertawa karena geli teringat akan sebuah cerita yang lucu. Cerita itu sama benar dengan keadaan kita sekarang ini."
"Cerita" Bagaimanakah cerita itu, sumoi?"
"Begini, suheng. Di jaman dahulu ada dua orang kakak beradik. Kakaknya seorang wanita dewasa dan adiknya seorang laki laki berusia belasan tahun. Mereka melakukan perjalanan dan hanya mempunyai seekor kuda. Si adik mendesak kakaknya agar supaya menunggangi kuda itu dan dia sendiri rela berjalan kaki. Menurutlah si kakak dan ia menunggang kuda, dituntun oleh si adik. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan orang lain yang mencela si kakak, mengatakan bahwa sebagai orang yang lebih besar harus mengalah kepada adiknya. Maka turunlah kakak itu dan si adik kini menggantikannya. Maka turunlah kakak itu dan si adik kini menggantikannya naik kuda. Akan tetapi, belum lama, bertemu pulalah mereka dengan orang lain yang mencela adik itu, mengapa tidak mau mengalah kepada kakaknya seorang wanita. Kedua kakak beradik kebingungan, lalu keduanya menunggangi kuda itu!"
Pun Hui tertawa."Kalau begitu, kuapun bisa menunggangi kuda itu berdua."
Merahlah wajah Siauw Yang mendengar ini. "Cih, suheng! Apa kau tidak malu bicara begitu?"
Pun Hui teringat bahwa kelakarnya tadi tentu menimbulkan rasa malu kepada Siauw Yang, maka katanya, "Maaf sumoi. Kau teruskanlah ceritamu tadi. Bagaimana selanjutnya" Setelah naik kuda berdua, tentu tidak ada orang lain yang mencela mereka lagi, bukan?"
"Keliru dugaanmu!" kata Siauw Yang yang kini menjadi gembira lagi, wajahnya berseri, matanya bersinar sinar dan mulutnya tersenyum. Pun Hui memandang seperti terkena pesona. Demikian cantiknya gadis remaja itu ketika bercerita. Kuda itu kurus kering dan kebetulan sekali kakak beradik itu orangnya gemuk gemuk dan tubuhnya amat berat. Oleh karena itu, punggung kuda itu menjadi melengkung seperti batang pikulan keberatan muatan. Belum lama kuda itu berjalan perlahan, seorang lain yang bertemu dengan mereka di jalan mencela, menyatakan bahwa dua orang itu tidak mengenal kasihan, menyiksa kuda seperti itu."
"Lalu bagaimana?" tanya Pun Hui tertarik sekali. "Dua orang kakak beradik itu tentu bingung sekali sekarang. Tidak ada jalan lain untuk memecahkan persoalan itu."
"Demikianlah karena kaupun berpendirian sama dengar kedua orang kakak beradik itu. Seperti mereka, kau terlalu takut akan celaan dan usul lain orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu. Mendengar celaan orang ke tiga ini. kakak dan adik itu buru buru turun dari kuda dan mereka lalu berunding. Tidak ada jalan lain, mereka lalu mencari bambu, mengikat empat kaki kuda itu lalu memikulnya bersama." Setelah menyelesaikan ceritanya, dara itu tertawa geli.
Pun Hui tak dapat menahan gelak tertawa membayangkan keadaan kakak beradik itu memikul kuda. Benar benar lucu sekali.
"Ha, ha, ha! Lucu sekali ceritamu itu, sumoi. Lalu bagaimana" Setelah mereka memikul kuda itu, jadi dibalikkan sekarang, kuda menunggangi manusia, apakah tidak ada celaan lagi?"
"Siapa bilang" Kini bahkan setiap orang yang bertemu dengan mereka di jalan, baik wanita maupun laki laki, baik kakek kakek maupun anak anak, mencela mereka dan menganggap mereka itu gila. Di sepanjang jalan banyak anak yang mengikuti mereka, mentertawakan. Akan tetapi, kakak beradik itu sekarang tidak perduli lagi. Mereka sudah kehabisan akal dan menulikan telinga, membutakan mata terhadap setiap celaan orang lain. Namun sayang sekali, sikap mereka yang tepat ini dilakukan setelah terlambat. Kalau tadi mereka tidak memperdulikan ocehan orang lain, tentu tidak terjadi hal seperti itu, tentu mereka tak usah memikul kuda. Nah, bukankah cerita ini cocok sekali dengan keadaan kita, suheng" Kalau kita berebut, tidak mau mengalah dan saling memaksa untuk menunggang kuda, akhirnya kita pun bisa seperti mereka itu, yakni memikul kuda ini."
Pun Hui tertawa makin geli. Ia dapat membayangkan betapa lucunya kalau dia dan Siauw Yang memikul kuda itu di sepanjang jalan, disoraki oleh anak anak dan dianggap gila oleh orang orang lain Akan tetapi di dalam kegeliannya ini, ia sadar bahwa cerita lucu itu sebenarnya mengandung nasehat yang amat baik, yakni bahwa di dalam melakukan sesuatu usaha, orang tidak usah mendengarkan terlalu sungguh sungguh akan celaan dan kritik orang lain yang biasanya hanya suka mencela karena iri belaka.
"Nah, kalau begitu, untuk apa kita berebut" Kau naiklah, sumoi dan aku yang berjalan. Kutanggung takkan ada orang mencela. Andaikata ada, kita akan menulikan telinga membutakan mata saja."
Mendengar betapa pemuda yang cerdik ini bahkan menggunakan cerita itu untuk mencuri kemenangan, yakni memaksanya menunggang kuda, Siauw Yang menjadi gemas.
"Suheng, kau terlalu sekali. Mempergunakan senjataku untuk mengalahkan aku sendiri. Ketahuilah, dalam hal kita ini lain lagi soalnya. Aku memiliki kepandaian dan kaularikan kuda itu sekuatmu, aku pasti akan dapat menyusul dan mendahuluimu. Kalau aku yang menunggang kuda, tentu kau takkan dapat menyusul dan perjalanan akan menjadi lebih lambat. Ingat, perjalanan kita ini jauh sekali, suheng. Akan memakan waktu amat lama."
"Bagiku lebih baik lagi kalau lama, sumoi. Melakukan perjalanan bersamamu, makin lama makin baik."
Kembali wajah Siauw Yang merah sekali dan ia melirik dengan mulut cemberut.
"Suheng, aku tidak main main. Kau naiklah, kalau tidak, aku bisa marah kepadamu!"
Melihat gadis itu mau marah. Pun Hui tersenyum dan mengangguk angguk.
"Baiklah, baiklah.... jangan marah, sumoi."
Ia lalu menunggangi kuda itu lalu berkata, "Betapapun juga, aku akan merasa lebih senang kalau kau juga naik kuda lain sehingga kita bisa melakukan perjalanan berbareng di atas kuda."
"Tentu, suheng. Akan tetapi aku lebih suka berjalan kaki daripada naik kuda yang tidak mencocoki hatiku. Kalau kita bertemu dengan penjual kuda yang mempunyai kuda baik dan mencocoki hatiku, tentu aku akan membeli seekor lagi untukku."
Barulah puas hati Pun Hui, namun ia lalu minta buntalan pakaian gadis itu agar ditaruh di atas kuda.
"Kau yang berjalan kaki jangan membawa apa apa, biarlah semua barang barangmu aku yang membawanya. Ini baru adil namanya."
Sambil tersenyum manis Siauw Yang memberikan buntalannya dan diam diam ia makin suka kepada pemuda yang berwatak baik ini.
Pun Hui mula mula tidak berani melarikan kudanya cepat cepat, khawatir kalau kalau akan membikin gadis itu lelah sekali untuk mengejarnya. Hal ini membuat Siauw Yang tidak sabar lagi.
Pendekar Pedang Sakti 9 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Naga Sasra Dan Sabuk Inten 7

Cari Blog Ini