Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 19

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


"Aku bersedia mengadu nyawa denganmu!" katanya gagah dan ketika tongkat kepala naga itu menyambar lagi, ia cepat mengelak sambil mengirim serangan balasan.
Tek Hong maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh dan lihai, maka serentak ia mainkan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut dari ayahnya. Pedangnya berobah menjadi segulung sinar keputihan yang amat menyilaukan mata, bergulung gulung dan bergerak gerak cepat sekali, merupakan sebuah benteng yang amat kuat, juga kadang kadang pedang itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Diam diam Tung hai Sian jin harus mengagumi kegagahan pemuda ini biarpun gerakan pemuda ini tidak selincah adiknya dan ilmu pedangnya juga tidak selihai Siauw Yang, namun pemuda ini lebih menang dalam tenaga lweekang dan juga lebih tenang permainan silatnya sehingga ia mempunyai pertahanan yang amat tangguh, ia mengerahkan tenaga dan mainkan tongkatnya demikian cepat dan kuatnya sehingga tongkat yang gagangnya merupakan kepala naga itu benar benar seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk. Batu batu kecil dan pasir berhamburan dan bunga api berpijar tiap kali ujung tongkatnya beradu dengan pedang atau menghantam batu batu karang di sekitar tempat itu. Angin pukulan tongkatnya mendatangkan hawa dingin yang membuat Tek Hong terdesak mundur terus.
Pemuda ini kalah kuat dan juga kalah pengalaman, sehingga dalam pertempuran ini, akhirnya ia hanya dapat mempertahankan diri saja, tanpa diberi kesempatan untuk membalas karena selalu dihalangi oleh tongkat yang lebih panjang daripada pedangnya.
Tung hai Sian jin tertawa berkakakan. Sambil mendesak hebat, berkali kali ia bertanya,
"Tidak mau menyerahkah, kau" Apa sukarnya menjadi wakil orang tua untuk menyaksikan pernikahan adikmu" Kau akan dihormati dan mendapat suguhan arak paling istimewa!"
Namun sebagai jawaban, Tek Hong hanya mainkan pedangnya makin gencar dan membalas serangan sedapat mungkin dengan hati gemas.
Akhirnya Tung hai Sian jin maklum pemuda ini tidak mengenal kompromi dalam urusan itu. Adiknya keras hati, kakaknya keras kepala, apalagi orang tuanya! Ia tidak mempunyai harapan besar untuk mendapat persetujuan keluarga dari Siauw Yang tentang perjodohan itu dan tentu akan terjadi permusuhan dan kekerasan. Kalau sampai terjadi demikian, ada baiknya membinasakan pemuda ini sehingga berkuranglah tenaga yang berbahaya di fihak musuh.
"Baiklah kalau kau memang lebih luka mati!" bentaknya dan kini tongkatnya mendesak makin hebat sehingga Tek Hong dipaksa mundur jauh. Malang baginya, di belakangnya terdapat tumpukan batu batu kecil yang ketika diinjaknya, ternyata bahwa batu batu itu menutupi sebuah lubang di tanah. Tak dapat dicegah lagi karena perhatiannya ditujukan kepada tongkat lawan yang selalu mengancam, tubuh pemuda itu terjeblos ke dalam lubang yang dalamnya sampai ke pinggangnya.
"Ha, ha, ha! Kau seperti tikus dalam jebakan!" Tung hai Sian jin memburu sambil mengayun tongkatnya ke arah kepala pemuda itu.
Tek Hong cepat menundukkan kepalanya dan merendahkan diri ke dalam lubang. Tongkat itu lewat menyambar di atas kepalanya, memukul batu batu di pingir lubang itu. Kembali Tung hai Stan jin menyerang, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Tek Hong untuk keluar dari lubang itu. Namun pemuda ini memang patut diuji keuletannya. Kedudukannya sudah amat payah dan terancam, ia tidak mendapat kesempatan keluar dari lubang sehingga ia hanya dapat menangkis datangnya sambaran tongkat atau mengelak dengan cara merendahkan tubuh dan bersembunyi di dalam lobang itu.
Tung hai Sian jin tertawa bergelak, namun diam diam ia menjadi gemas sekali. Tiap kali ia menyerang, kakinya menendang batu batu kecil yang berhamburan memasuki lubang itu, makin lama makin banyak sehingga batu batu kecil itu menutupi kedua kaki Tek Hong. Pemuda ini tak dapat menggerakkan kedua kakinya, akan tetapi tetap saja pedangnya merupakan perisai yang amat kuat.
"Trang! Trang! Trang! Pedangnya selalu dapat menangkis tiap kali tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya yang pasti akan dapat menghancurkan kepalanya dengan sekali pukul saja.
Tung hai Sian jin ketika melihat betapa kedua kaki pemuda itu tak dapat bergerak lagi, menjadi makin gembira dan memertawakan sebagai orang gila. Ia menendangi batu batu dan pasir makin banyak lagi sehingga kini tubuh bagian bawah dari Tek Hong telah terpendam. Kalau saja lubang itu lebih dalam lagi, tentu ia akan terkubur hidup hidup. Kinipun ia terkubur hidup hidup setengah badannya, dari kaki sampai ke punggungnya.
Tung hai Sian jin melompat ke belakang, menghapus peluhnya yang membasahi leher dan jidatnya. Ia merasa lelah sekali karena pukulannya selalu kena ditangkis, ia heran sekali atas kekuatan dan keuletan Tek Hong, karena untuk menangkis tongkatnya dibutuhkan tenaga ratusan kati besarnya. Bukan main kuatnya putera Thian te Kiam ong ini dan ia tahu bahwa Eng Kiat puteranya takkan dapat menangkan pemuda ini dalam pertempuran.
"Apakah kau masih belum mau menerima permintaanku?" tanyanya.
Tek Hong hanya menggelengkan kepala sambil memandang dengan mata terbelalak marah. Untuk mempertahankan nama baik orang tuanya dan kehormatan adiknya, ia tidak takut menghadapi maut. Sebetulnya telapak tangan kanan Tek Hong sudah matang biru panas dan perih sekali. Tangkisan tangkisannya terhadap pukulan tongkat amat berat dan membuat tangannya sakit, akan tetapi ia tidak mau tunduk biarpun andaikata tangannya akan hancur lebur.
"Aku lelah dan ingin mengaso. Sekarang aku tidak akan menyerangmu dengan tongkat lagi, melainkan mempergunakan dada dan kepalamu sebagai sasaran latihan melempar batu," kata Tung hai Sian jin gemas, ia benar saja duduk mengaso di bawah sebuah batu karang tinggi, kemudian ia mengambil batu batu karang sebesar kepala manusia dan melemparkan batu batu itu ke arah Tek Hong. Pemuda ini menangkis dengan pedangnya dan merasa betapa tangan sampai ke pundaknya tergetar dan sakit sekali. Ia maklum bahwa tenaga lemparan memang lebih berbahaya dan lebih kuat daripada tenaga pukulan, dan tahu bahwa kakek itu hendak menyiksanya, melempari batu sampai ia tidak kuat dan kepalanya akan pecah terpukul batu. Namun tidak sepatahpun keluhan keluar dari mulutnya. Tetap ia mempergunakan pedangnya menangkis datangnya setiap batu yang menyambarnya dengan kuat dan cepat.
Tangannya sudah mulai gemetar dan ia dapat menangkis bahwa paling banyak ia hanya akan kuat menangkis belasan kali lemparan batu legi.
Benar saja, setelah ia menangkis untuk ketigabelas kalinya, tangannya menjadi kaku dan pedangnya ketika beradu dengan batu itu, terlepas dari pegangannya dan terlempar ke samping bersama batu itu yang terkena tangkisan.
"Ha, ha, ha, kini aku hendak melihat apakah kau masih dapat menggunakan tanganmu untuk menangkis." kata Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. Agaknya kakek ini gembira dan senang sekali melihat permainannya. Pemuda ini terpaksa mempergunakan tangan kirinya menyampok dan ia masih dapat membuat batu itu menggelinding jauh tanpa terluka. Ia dapat mempergunakan tangan kirinya menjadi perisai. Namun, baru lima kali ia menangkis, kulit lengan kirinya sudah mulai berdarah karena lecet oleh batu itu ketika ia menangkis.
Keadaannya sudah berbahaya sekali dan ajaknya dua tiga kali lemparan lagi, ia takkan kuat menahan. Akan tetapi, ketika batu yang besar kembali melayang, tiba tiba batu itu terhenti di tengah jalan, jatuh terpental setelah bertumbuk dengan lain batu dan mengeluarkan bunga api. Ada orang lain yang melempar batu menangkis serangan itu.
"Tua bangka kejami Kau benar benar iblis berwajah manusia," terdengar bentakan halus dan nyaring menyusul lemparan batu yang menangkis batu Tung hai Sian jin. Sesosok bayangan merah berkelebat dan seorang gadis cantik berpakaian merah yang memegang sebatang pedang berkilau tajam berdiri di situ, menghadapi Tung hai Sian jin yang sudah bangkit berdiri dengan marah.
Ketika melihat gadis ini, Tung hai Sian jin marah sekali, sebaliknya Tek hong memandang girang. Gadis baju merah itu bukan lain adalah gadis jelita yang galak, gadis yang dulu dikeroyok oleh tiga orang tokoh Go bi pai.
"Kau lagi?" bentak Tung hai Sian jin sambil tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya bersinar marah sekali. "Gadis liar, kau selalu mencampuri urusanku. Pergi sebelum aku lupa bahwa kau adalah murid sahabatku dan tongkatku akan menamatkan riwayatmu di sini!"
"Pergi dan membiarkan kau melakukan perbuatan keji terhadap orang lain" Enak saja kau bicara orang tua siluman," jawab gadis itu yang bukan lain adalah Siang Cu. Berkata demikian, ia lalu menghampiri Tek Hong yang masih setengah terpendam batu batu dan pasir. Tanpa berkata sesuatu dan dengan pandangan mata tak acuh, gadis ini mengulur tangan hendak menangkap tangan Tek Hong untuk ditariknya keluar.
Akan tetapi, Tung hai Sian jin sudah melompat dan mengayun tongkat kepala naganya menyerang. "Biarlah kalian berdua mampus di sini !" serunya.
Serangan itu hebat sekali dan karena Siang Cu sudah maklum akan kelihaian kakek ini, ia terpaksa membatalkan niatnya menarik keluar tubuh Tek Hong dan sambil menggerakkan pedang ia membalikkan tubuhnya, menangkis pukulan dahsyat itu.
"Traang!" Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu. Belum lenyap gema suara senjata beradu ini, secepat kilat Siang Cu sudah membalas dengan sebuah tusukan ke arah dada lawannya. Gerakannya ganas dan cepat sekali sehingga Tung hai Sian jm terpaksa cepat melompat mundur karena untuk menangkis tusukan ini sudah tidak ada waktu lagi.
Hebat, pikir Tung hai Sian jin, murid Lam hai Lo mo ini benar benar ganas sekali ilmu pedangnya. Karena itu, ia berlaku hati hati sekali untuk menghadapi gadis ini.
Adapun Siang Cu tidak mau berlaku lambat. Melihat lawannya melompat mundur, iapun segera mendesak dan mengirim serangan dengan amat gencar dan serunya. Pedangnya berkelebat kelebat merupakan gulungan sinar hijau. Cheng hong kiam merupakan pedang pusaka simpanan istana kaisar, maka tajam dan kuat sekali. Dalam beberapa belas jurus saja, ketika ujung tongkat bertemu dengan pedang dalam benturan keras, Tung hai Sian jin merasakan getaran pada tangannya dan ketika ia melihat, ternyata bahwa lidah kepala naga dari gagang tongkatnya yang tadi dipakai untuk memukul dan ditangkis oleh Siang Cu, telah putus.
"Gadis liar, kau berani merusak lidah nagaku" Tunggu akan kuhancurkan kepalamu yang keras!" bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga Siang Cu seakan akan terkurung dari empat jurusan.
"Sebentar lagi kepalamu yang putus, bukan lidah tongkat kepala nagamu," kata Siang Cu dengan nada menyindir, iapun memutar pedangnya lebih cepat lagi, namun sebentar saja ia harus akui kelihaian kakek itu karena betapapun cepatnya ia menggerakkan pedangnya, tetap saja sinar pedangnya tertindih dan ia terkurung dan terdesak hebat oleh tongkat itu.
Sementara itu, Tek Hong yang melihat betapa gadis baju merah itu bertempur mati matian melawan Tung hai Sian jin yang lihai, menjadi amal khawatir akan keselamatan gadis itu. Ia menahan napas, mengumpulkan tenaga lalu berusaha keluar dan pendaman batu itu. Baiknya ia tidak terluka, hanya kulit lengannya saja yang lecet dan perih, maka selelah ia mengerahkan tenaga, ia berhasil juga keluar dari tumpukan batu dan pasir di dalam lubang itu. Ia segera mengambil pedangnya yang tadi terlempar oleh tumpukan batu, lalu mangatur napasnya untuk memulihkan tenaga.
"Tung hai Sian jin, kau hanya berani menghina orang orang muda. Rasakan pembalasanku!" seru Tek Hong yang cepat melompat dan menyerbu kakek itu, mengeroyoknya bersama gadis baju merah. Siang Cu melihat bantuan ini tanpa mengeluarkan kata kata, juga tidak kelihatan perubahan pada mata dan mukanya. Padahal tentu saja ia merasa lega bahwa pemuda itu pada saat yang tepat datang membantunya.
Sebaliknya, Tung hai Sian jin menjadi makin marah dan penasaran sekali. Setelah kini Tek Hong turun tangan, ia mendapat lawan yang amat berat. Menghadapi seorang saja di antara dua orang muda itu, ia yakin pasti akan menang. Akan tetapi kalau dua orang muda ini bergabung menjadi satu, benar benar ia menghadapi lawan yang tangguh sekali. Ilmu pedang Tek Hong sudah bukan rahasia lagi merupakan ilmu pedang yang disebut raja ilmu pedang pada waktu itu, lihainya bukan main dan kuat sekali pertahanannya. Adapun ilmu pedang Siang Cu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh Lam hai Lo mo si iblis tua, ganas dan cepatnya mengerikan sekali. Lebih lebih lagi karena dua orang muda itu amat cerdik, tahu akan sifat dari permainan pedang masing masing sehingga dalam pengeroyokan ini, Tek Hong lebih banyak menggunakan pedangnya menahan serangan Tung hai Sian jin, sebaliknya Siang Cu lebih banyak menggunakan pedangnya untuk menyerang dengan gerak tipu gerak tipu yang dahsyat dan berbahaya bagi keselamatan lawan.
Pedang Cheng hong kiam di tangan Siang Cu merupakan pedang yang amat berbahaya sehingga Tung hai Sian jin jarang berani menangkis dengan tongkatnya kalau tidak terpaksa sekali. Hal ini membuat ia harus bergerak lebih cepat lagi dan amat melelahkan tubuhnya yang sudah tua.
Puluhan jurus tewat dan akhirnya Tung hai Sian jin terdesak hebat. Sebuah tusukan yang cepat sekali dan Siang Cu hampir saja menembus dadanya. Biarpun kakek ini sudah cepat miringkan tubuh, tetap saja ujung pedang melanggar bajunya dan terdengar suara kain terobek ketika pedang itu melubangi bajunya. Tung hai Sian jin melompat ke belakang sambil memutar tongkat di depan tubuhnya, ia mengeluarkan keringat dingin dan merasa tidak sanggup bertempur lebih lama lagi. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.
"Tua bangka pengecut, kau hendak lari ke mana?" teriak Siang Cu hendak mengejar.
"Tak perlu dikejar, nona," kata Tek Hong dan biarpun pemuda ini membujuk dengan singkat, aneh sekali, Siang Cu seakan akan seekor kuda yang ditarik kendalinya dan kedua kakinya berhenti berlari.
Adapun Tung hai Sian jin berlari cepat sambil berseru menjawab ejekan Siang Cu, "Kalian ini orang orang muda yang curang, mengeroyok seorang tua. Pinto (aku) tidak ada banyak waktu untuk melayani kalian."
Tek Hong dan Siang Cu tidak memperhatikan kata kata yang terdengar dari tempat jauh itu, melainkan saling pandang tanpa berkata kata. Siang Cu memiliki pandangan mata yang tajam dan tabah, sama sekali tidak sungkan sungkan dan malu malu, sebaliknya Tek Hong yang tidak kuat beradu mata terlalu lama dengan gadis ini, dan yang mengalihkan pandangan ke bawah lebih dulu. Kemudian Tek Hong menjura sambil berkata, "Nona, kau telah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana aku dapat menyatakan terima kasihku?"
"Tidak ada yang menyelamatkan nyawa dan tidak ada yang diselamatkan. Tidak ada pula yang harus berterima kasih," jawab Siang Cu singkat sehingga Tek Hong menjadi makin gagap.
"Nona, kau.... kau keras. Sedikitnya harap kau suka memberitahukan namamu agar nama itu dapat kuingat selama hidupku sebagai nama seorang gadis gagah perkasa yang telah menolongku."
"Sobat, apa sih perlunya segala perkenalan ini" Kau dan aku adalah orang orang lain, diantara kita tidak ada hubungan sesuatu. Pertemuan kita hanya secara kebetulan saja. Sudahlah, baik sekali kau dan bisa selamat dan terlepas dari ancaman kakek yang lihai itu. Perkenankan aku pergi."
"Nanti dulu, nona. Kata katamu tadi tak dapat kubenarkan. Sudah dua kali kita bertemu dalam keadaan yang amat ganjil. Pertama kali aku membantumu ketika kau dikeroyok oleh Go bi Sam thaisu, sekarang pada pertemuan kedua kalinya, kau yang membantu aku dari ancaman Tung hai Sian jin. Bukankah ini mempunyai arti bahwa kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat sahabat baik" Perkenalkanlah aku, nona, aku...."
"Cukup." Siang Cu membentak dengan suara keras. "Aku.... aku tidak butuh dengan namamu. Kita tak usah saling memperkenalkan nama dan keadaan masing masing, cukup asal kita saling mengenal sebagai sahabat. Bukan begitu maksudmu" Nah, kalau kau benar benar menghendaki aku sebagai sahabat, aku suka menerimanya asal saja kau menerima syaratku, yakni kita tak usah saling memperkenalkan nama dan menuturkan riwayat."
Tek Hong tertegun dan merasa heran sekali. Siapakah dara perkasa yang penuh rahasia ini dan mengapa tidak mau memperkenalkan nama" Akan tetapi melihat wajah yang bersungguh sungguh itu, ia maklum bahwa gadis ini amat keras hati dan kalau ia berkeberatan, tiada harapan baginya untuk berkenalan.
"Baiklah," ia mengangguk angguk, "tentu saja aku suka menurut kehendakmu yang aneh itu. Kita tak usah mengenal nama dan keadaan masing masing. Akan tetapi, kiranya boleh aku mengetahui ke mana nona hendak pergi?"
"Ke mana saja hati dan kaki membawaku."
"Sama sekali tidak ada tujuan?" tanya Tek Hong, "Tidak ada, hanya mengandalkan nasib mempertemukan aku dengan musuh besarku
"Nona mempunyai musuh besar" Boleh aku tahu siapa dia itu?"
Siang Cu tersenyum pahit sambil menggelengkan kepala. "Dia seorang tokh besar yang kenamaan dan tersohor sebagai seorang pendekar berbudi mulia. Akan tetapi kau tak perlu tahu siapa dia." Memang, di sepanjang perjalanannya, Siang Cu menyelidiki keadaan musuh besarnya, sehingga ia mendengar dari setiap orang, baik orang orang kang ouw maupun Liok lim, bahwa Thian te Kiain ong Song Bun Sam adalah seorang taihiap (pendekar besar) yang budiman. Berita ini membuat hatinya makin sengsara dan kecewa akan keadaan suhunya, namun ia telah bersumpah untuk membalaskan dendam gurunya terhadap Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan sekali kali ia tidak akan menarik kembali sumpahnya ini, ia telah merasa amat tertarik sehingga malu untuk mengaku sebagai murid Lam hai Lo mo, dan malu pula untuk mengaku siapa dia sebenarnya. Oleh karena itu, iapun merasa malu kalau harus mengaku bahwa dia memusuhi seorang pendekar besar yang mulia seperti yang dikabarkan orang atas diri Thian te Kiam ong.
Mendengar ucapan gadis baju merah itu, Tek Hong menjadi makin tertarik dan terharu. Tentu ada rahasia yang amat hebat pada sadis ini dan ia menjadi ingin sekali mengetahui rahasianya apa gerangan yang membuat gadis jelita itu menyembunyikan diri dan berlaku begitu aneh. Mana ada orang yang memuji muji musuh besarnya sebagai seorang berbudi mulia dan merendahkan diri sendiri sebagai seorang yang berada di fihak salah" Seorang gadis yang berani, berkepandaian tinggi, dan amat jujur sehingga terhadap seorang asing ia berani mengaku dan memuji muji kebaikan musuh besarnya, akan tetapi di lain fihak begitu kukuh menyembunyikan keadaan diri sendiri dengan terang terangan pula.
"Nona, benar benar kau seorang yang aneh sekali. Dahulu ketika kau bertempur menghadapi Go bi Sam thaisu, kau menyatakan kepadaku bahwa kau berada di fihak yang salah. Sekarang, kau mempunyai seorang musuh besar dan kau berkata pula bahwa dia seorang pendekar besar yang budiman. Nona, agaknya kau selalu berada di fihak yang salah dengan kau sengaja. Belum pernah selama hidupku aku mendengar tentang seorang yang sengaja menempatkan diri di fihak yang salah."
Mendengar ini Siang Cu tersenyum penuh kedukaan, dan diam diam dia memuji kecerdikan pemuda ini yang dapat merangkan rangkaikan persoalan sehingga agaknya dengan mudah rahasianya akan terbuka olehnya. Ia menarik napas panjang dan berkata,
"Memang demikianlah, sahabatku. Semenjak kecil aku berada di tempat yang keliru. Terdidik di tempat yang keliru dan selalu menghadapi perkara yang salah. Sampai kini, tak berayah tak beribu, tak berhandai taulan, tiada rumah tiada cita cita yang ada hanya permusuhan dengan orang gagah yang budiman!" Ia menghela napas lagi. "Apa hendak di kata" Sudah begitulah nasibku dan aku tidak peduli lagi.
Tek Hong ikut merasa berduka mendengar ucapan gadis ini, sungguhpun ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang gagah dan sedikitpun tidak mengandung nada duka. Pemuda ini benar benar tertarik hatinya melihat Siang Cu, karena harus ia akui bahwa selamanya ia belum pernah melihat gadis seperti ini.
"Nona, nasibmu benar benar mengharukan hatiku. Setelah kita menjadi sahabat, biarpun tanpa mengenal nama dan keadaan masing masing, bolehkah aku menyertaimu dalam perjalanan merantau di dunia kang ouw?"
Siang Cu memandang tajam, dan ia mulai marah, ia mengira bahwa pemuda ini sudah tergila gila kepadanya dan mempunyai maksud yang tidak sopan. Akan tetapi ketika ia melihat sinar mata pemuda itu yang membayangkan kejujuran dan kesungguhan hati, sama sekali tidak nampak tanda tanda lain memandangnya, ia tidak jadi marah. Namun karena Siang Cu sudah biasa menyatakan perasaan, pikiran, dan suara hatinya melalui bibrnya, ia secara langsung bertanya,
"Sahabat, agaknya kau mencintaiku, betulkah?"
Wajah Tek Hong menjadi pucat pada saat mendengar pertanyaan ini, lalu berubah merah sekali ia memandang kepada Siang Cu dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bukan main gadis ini! Pertanyaan itu merupakan penyerangan yang langsung menyerbu hati, lebih ganas dan lihai daripada serangan ujung pedang yang tajam.
"Nah.... aku.... eh, bagaimana tiba tiba saja kau menyerangku dengan pertanyaan itu?" akhirnya Tek Hong dapat berkata dan alisnya yang tebal berkerut. Penasaran dan tak sedap juga hati nya, karena ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menganggap ia sebagai pemuda gila wanita yang ugal ugalan. Kehormatannya tersinggung oleh pertanyaan itu.
Akan tetapi Siang Cu seakan akan tidak mengacuhkan sikapnya, bahkan menarik napas panjang sambil berkata,
"Sudah terlalu sering dan terlalu biasa bagiku melihat laki laki jatuh cinta melihatku. Aku bosan melihat sinar mata laki laki memandang mesra, penuh bujukan, namun penuh kepalsuan."
"Aduh, hebat sekali gadis ini," pikir Tek Hong dan perutnya mulai terasa panas.
"Nona, kau terlalu sekali1 Kaukira aku ini orang macam apakah" Aku lebih baik mati daripada berlaku kurang ajar terhadap wanita, aku terang sopan, seorang terdidik baik oleh orang tuaku." Sampai di sini, Tek Hong melihat wajah gadis itu seakan akan menahan tikaman di hatinya. Teringatlah ia bahwa gadis ini tiada ayah ibu, dan sudah mengaku pula bahwa ia dididik salah dan berada di dunia yang agaknya tidak baik semenjak kecilnya, maka timbul kasihan di dalam hatinya dan suaranya menjadi halus.
"Nona, betapapun juga, laki laki tinggal laki laki dan kuharap kau jangan terlalu salahkan mereka kalau mereka tergila gila dan cinta kepadamu. Hal itu sebenarnya adalah salahmu sendiri."
"Salahku?" Siang Cu bertanya dan merasa geli. Baru sekarang ada orang berani menyalahkannya karena banyak laki laki tergila gila kepadanya. "Bagaimana aku salah dalam hal itu?"
"Kau salah karena mengapa wajahmu cantik" Mengapa sikapmu menarik dan kepandaianmu tinggi" Kalau kau tidak cantik tidak menarik dan tidak lihai, kukira kau akan terhindar dari pada pandangan mata mesra daripada laki laki di manapun juga," kata Tek Hong.
Siang Cu membelalakkan matanya yang bagus dan ia lalu tertawa geli. Diam diam Tek Hong memandang kagum. Pantas saja banyak orang lelaki tergila gila. Kalau tertawa, gadis ini begitu manis!
"Tidak ada yang lebih manis merayu daripada ucapan laki laki," kata Siang Cu. Jangankan memuji, menyalahkan juga tetap merayu! Sudahlah, sobat, akupun tidak perduli lagi tentang pandangan mata laki laki. Kau boleh memandang kepadaku sesuka caramu sendiri asalkan jangan bersikap kurang ajar seperti laki laki lain."
Kembali kehormatan Tek Hong tersinggung dan timbul keangkuhannya. "Aku tidak mudah jatuh cinta!" katanya singkat, akan tetapi ketika ia memandang kepada wajah Siang Cu, kembali timbul rasa kasihan di dalam hatinya dan ia cepat menyambung kata katanya lebih halus karena ia merasa khawatir kalau kalau ucapannya itu akan menyakiti hati, "Eh, tentu sudah banyak sekali yang menyatakan cinta kepadamu, bukan?"
"Menyatakan sih tidak berani karena pedangku mereka anggap ganas. Di antara mereka, hanya seorang saja yang kuanggap kurang ajar dan pasti menjadi korban pedangku apabila aku bertemu lagi dengan dia. Dia adalah Bong Eng Kiat putera dari Tung hai Sian jin tadi."
Tek Hong terkejut. Adiknyapun ditawan oleh pemuda kurang ajar itu. Jadi agaknya gadis inipun pernah bentrok dengan Eng Kiat" Simpatinya terhadap gadis ini makin membesar dan ia mengambil keputusan untuk mengawani gadis ini menghadapi musuh musuhnya.
Sebelum ia membuka mulut, Siang Cu sudah memandangnya dan bertanya tiba tiba.
"Kau sendiri hendak pergi ke manakah" "Akupun sedang merantau hendak mencari orang tuaku yang pergi dari rumah tanpa kuketahui ke mana perginya. Aku tadinya hendak pergi ke Tit le, kemudian aku akan ke kota raja lalu terus merantau ke pantai sebelah timur."
Gadis itu nampak tertegun. "Ke Tit le" Kemudian ke pantai timur" Kaumaksudkan bahwa kau hendak pergi ke pantai Laut Po hai?"
Sekarang Tek Hong yang terkejut, "Demikianlah niatku. Akan tetapi kalau kau menghendaki pergi ke lain tempat, aku bersedia mengawanimu."
Setelah berpikir sejenak, Siang Cu tersenyum dan berkata, "Sudah kukatan bahwa aku tidak mempunyai tujuan, hanya mengandalkan hati dan kaki. Sekarang ada kau sebagai sahabatku, biarkan aku menurut saja ke mana kau hendak pergi. Siapa tahu kalau kalau kau yang membawa aku bertemu dengan musuh besarku itu."
"Nona, alangkah janggalnya kalau kita tidak saling mengenal nama dan keadaan. Mengapa mesti ada segala rahasia ini?"
Baru saja ia berkata demikian. Siang Cu menjadi marah.
"Baik, kita berpisah di sini saja karena kau tidak mau memenuhi syaratku tadi!" Setelah berkata demikian, ia melompat jauh dan melarikan diri.
Tek Hong cepat mengejar dan menyusul gadis itu. "Nona, maafkan aku banyak banyak. Aku tadi kelepasan bicara, tak dapatkah kau memaafkan seorang sahabat baru?"
Lemah pula hati Siang Cu dan ia memandang tajam. "Sekali kali jangan kauulangi pertanyaanmu tadi. Aku sudah mengambil keputusan tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang keadaan diriku yang tidak baik. Nah, cukup sekian saja. Mari kita berangkut!"
Dengan hati terheran heran, Tek Hong tidak berani banyak cakap lagi dan berjalanlah kedua orang muda ini menuju ke Tit le.
Setelah melakukan perjalanan bersama, dengan girang Tek Hong mendapat kenyataan bahwa watak dasar dari gadis itu sebetulnya baik sekali. Bicara ramah dan periang pula. Akan tetapi aneh sekali, kadang kadang dengan tiba tiba sikap itu berobah menjadi ganas, kaku dan selalu cemberut, sungguh pun dalam pandangan Tek Hong, selagi marahpun gadis ini wajahnya menjadi makin menarik dan manis.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil memang mengalami nasib yang sengsara sekali, ia di culik oleh Lam hai lo mo, semenjak kecil dididik oleh guru setengah gila dan jahat itu sehingga ia memiliki watak yang aneh. Sering kali di dalam dadanya ketika ia masih kecil, terasa kedukaan besar sekali dan kerinduan yang menyesakkan napas, orang tuanya yang tak pernah dikenalnya karena ia tidak teringat lagi akan wajah mereka. Rasa sayangnya hanya tercurah kepada gurunya, maka dapat dibayangkan betapa duka dan patah hatinya ketika ia melihat kekejian gurunya yang ternyata memiliki tabiat yang jauh sekali berbeda dengan dia. Kalau mengingat akan perbuatan perbuatan suhunya, ia amat benci kepada suhunya, benci setengah mati dan agaknya mau ia membunuh suhunya itu! Akan tetapi kalau ia teringat kepada wajah yang menyeramkan itu, teringat akan keadaan tubuhnya yang rusak, teringat pula betapa dengan penuh kasih sayang suhunya mendidik dan merawatnya semenjak kecil, timbul hati tayang dan kasihan. Pertentangan di dalam hatinya ini membuat Siang Cu menjadi putus harapan dan sering kali membuat ia bingung dan berubah ubah sikapnya. Ia gembira dan jenaka serta peramah apabila ia tidak teringat akan gurunya, dan lupa akan orang tuanya. Akan tetapi sekali ia teringat akan nasib dirinya, ia menjadi pemarah dan tukar diajak bicara.
Sebetulnya, ketika Tek Hong menyatakan hendak pergi ke Tit le, telah timbul dugaan di dalam hati Siang Cu yang membuat dada berdebar tidak enak. Pemula ini demikian perkasa, ilmu pedangnya amat mengagumkan, dan kini hendak pergi ke Tit le. Tak dapat salah lagi tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda ini dengan Thian te Kiam ong, pendekar musuh besar gurunya yang rumahnya juga di Tit le dan yang sudah dibakar habis habis oleh suhunya itu!
Ketika mereka tiba di pintu gerbang Tit le, dengan hati berdebar tak enak, Siang Cu bertanya,
"Kau hendak mengunjungi siapakah di kota ini?"
"Tidak mengunjungi siapa siapa, melainkan hendak pulang karena memang rumahku di sini. Akan kulihat sebentar, apakah orang tuaku telah kembali."
"Di mana rumahmu?"
Ditanya demikian, Tek Hong menjadi bingung.
"Rumah...." Ah, memang tadinya kami punya rumah, akan tetapi.... orang jahat seperti iblis telah membakar rumah kami sampai habis. Mereka adalah Lam hai Lo mo dan muridnya. Oleh karena itulah ayah bundaku harus kuberi tahu karena mereka sedang keluar kota. Kalau mereka sudah kembali, sukurlah, kalau belum aku harus meninggalkan surat pemberitahuan kepada tetangga. Marilah, kalau mereka sudah kembali, akan kuperkenalkan kau kepada orang tuaku."
Akan tetapi, wajah Siang Cu telah berubah pucat sekali dan untuk menyembunyikan ini dari Tek Hong, ia berpura pura mengusap peluh dari wajahnya dengan sehelai saputangan.
"Tidak, aku tidak mau ikut kau ke sana. Aku hendak mencari rumah penginapan dan ingin beristirahat sambil menunggu kau kembali," katanya.
Tek Hong tidak membantah. "Kalau begitu, biarlah aku yang mencarikan rumah penginapan terbaik untukmu. Pemiliknya aku sudah kenal baik."
Siang Cu tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Ia merasa tubuhnya lemas sekali. Setelah Tek Hong mendapatkan sebuah kamar dalam rumah penginapan itu, ia segera masuk ke dalam kamar dan dari dalam kamar berkata kepada Tek Hong yang masih berdiri di luar karena pemuda ini ketika melihat sikap gadis itu yang selalu mengerutkan kening, mengira bahwa sudah datang lagi kemarahan dari gadis aneh itu.
"Kau pergilah dan bereskan urusanmu, jangan memikirkan aku di sini."
Tek Hong menghela napas. "Baiklah. Aku pergi dulu dan setelah beres urusanku, kita akan melanjutkan perjalanan ke timur."
Pemuda ini segera menuju ke rumahnya yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Ia mendapat kenyataan dan tetangga tetangganya bahwa ayah bundanya belum pulang, demikian pula Siauw Yang tidak ada kabarnya. Maka ia lalu cepat cepat membuat surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi dan menyerahkan surat itu kepada seorang tetangganya she Lie dan agar surat itu diberikan kepada ayah bundanya apabila mereka pulang.
Jilid XXVI BIARPUN menurutkan kata hatinya, ia ingin sekali ke rumah penginapan di mana gadis baju merah itu menanti nantikan, namun demi kesopanan kepada tetangga yang dimintai tolong itu, Tek Hong terpaksa bercakap cakap lebih dulu dengan mereka sampai hari menjadi malam. Kemudian ia berpamit dan dengan cepat ia kembali ke rumah penginapan.
Ketika ia tiba di situ, ia melihat pemilik rumah penginapan, seorang setengah tua yang gemuk, tengah berdiri di depan rumah itu sambil menggeleng geleng kepala dan mulutnya terdengar bicara seorang diri,
"Sungguh aneh.... aneh sekali"!"
"Eh, Tung twako, mengapa kau berdiri di sini seorang diri?" Tek Hong menegurnya.
Pemilik rumah penginapan itu terkejut karena ia tidak mendengar kedatangan pemuda itu.
"Kau Song kongcu" Ah, kau terlambat, baru saja kawanmu pergi dari sini!"
"Pergi" Ke mana?" tanya Tek Hong kaget. "Tidak tahu! Aku tahu akan keanehan watak orang orang kang ouw dan tentu saja aku tidak berani banyak bertanya. Hanya dia bilang bahwa dia tidak jadi bermalam di sini."
"Dia tidak meninggalkan pesan apa apa untukku?"
Pemilik rumah penginapan itu menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Dia kelihatan marah marah dan jengkel sehingga aku tidak berani banyak bertanya. Aku tahu bahwa orang kang ouw seperti gadis itu kalau sudah marah, sekali menggaplok akan sanggup merenggut nyawaku," katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, tanda bahwa dia sudah tahu betul akan watak orang orang kang ouw karena dia sudah banyak bertemu dengan orang orang kang ouw yang bermalam di rumah penginapannya.
"Kau tidak tahu ke mana perginya?" tanya Tek Hong dengan bingung.
"Kaukira aku begitu bodoh, Song kongcu" Tidak percuma kau mengenal aku. Tadi ketika ia pergi, aku segera keluar dan aku melihat bayangannya cepat sekali berkelebat menuju ke timur."
Baru saja pemilik rumah makan menutup mulutnya, ia melihat bayangan di depannya berkelebat ke timur dan tahu tahu pemuda itu sudah lenyap dari depannya, ia menjulurkan lidahnya dan menggeleng gelengkan kepalanya.
"Aneh, seperti iblis iblis saja orang orang kang ouw itu," katanya berkali kali kepada diri sendiri.
Tek Hong cepat sekali berlari ke timur, mempergunakan kepandaiannya dan mengerahkan seluruh ginkangnya. Matanya dipasang tajam tajam untuk mencari di mana adanya gadis baju merah yang secara rahasia telah meninggalkannya itu. Mengapa ia marah dan pergi, pikirnya bingung. Ah, kalau saja ia tadi tidak lama bercakap cakap dengan para tetangganya tentu ia masih dapat bertemu dengan gadis itu dan mungkin dapat menahan kepergiannya atau setidaknya dapat pergi bersama.
Ketika ia tiba di luar kota, ia melihat bayangan hitam berlari lari cepat keluar dari kota itu. Hatinya berdebar girang dan ia mempercepat larinya sambil berseru,
"Nona, tunggulah sebentar!"
Bayangan itu memang benar Siang Cu adanya. Tadi ketika Tek Hong pergi meninggalkannya di rumah penginapan, ia segera menyelidiki keadaan pemuda itu. Tanpa diketahui oleh siapapun juga, ia melompat ke luar dan jendelanya dan menyusul ke tempat tinggal Thian te Kiam ong yang dulu sudah dibakar oleh suhunya. Di rumah tetangga Thian te Kiam ong, gadis ini melihat Tek Hong bercakap cakap dan ia segera mengintai dari atas genteng. Mendengar percakapan mereka, tahulah dia bahwa memang benar pemuda ini adalah Song Tek Hong putera dari Thian te Kiam ong musuh besarnya.
Dengan tubuh lemas dan tindakan limbung Siang Cu segera berlari kembali ke hotelnya. Di di dalam kamar, tak terasa pula ia menangis tersedu sedu, ia tertarik kepada pemuda itu, bukan rahasia lagi baginya bahwa ia suka kepadanya. Pemuda itulah satu satunya orang, di samping Liem Pun Hui pemuda sasterawan yang juga menarik perhatiannya, yang menimbulkan harapannya untuk hidup terus, untuk hidup bahagia. Dan kini, ternyata bahwa pemuda yang dipujanya di dalam hati itu bukan lain adalah putera dari Thian te Kiam ong, musuh besarnya yang hendak dibalasnya. Ia sudah bersumpah untuk membalas dendam suhunya yang sudah dirusak oleh Thian te Kiam ong.
"Tek Hong...." keluhnya di dalam hati, "tak mungkin kita menjadi.... sahabat, tak mungkin..." Segera ia mengambil buntalan pakaiannya dan keluar dari kamarnya.
Pemilik hotel yang melihat gadis itu seperti hendak pergi, segera menjura sambil bertanya,
"Lihiap hendak pergi ke manakah?"
Siang Cu yang masih merah mata dan pipinya memandang marah dan hampir saja ia menendang orang itu.
"Aku pergi ke mana kau perduli apakah" Ini uang kamarnya, biar aku tak jadi bermalam, kubayar juga!" Ia melemparkan sepotong perak ke arah meja dan uang itu menancap pada papan meja. Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu melangkah ke luar.
Hatinya diliputi kesedihan besar. Tidak bisa ia menanti Tek Hong untuk mengajak putera musuh besarnya itu bertempur karena ia tahu bahwa hatinya tidak mengijinkan ia untuk melukai pemuda itu. Ia akan cepat cepat mencari Thian te Kiam ong, memenuhi tugasnya, dan habis perkara. Itulah tujuan satu satunya dalam hidupnya kini. Habislah semua harapan dan impian manis.
Ketika ia tiba di luar pintu gerbang kota, tiba tiba ia mendengar panggilan Tek Hong dan dengan wajah berobah merah ia menahan tindakan kakinya dan membalikkan tubuh. Di dalam keadaan yang suram muram karena cuaca hanya diterangi oleh bintang bintang di angkasa, ia melihat tubuh pemuda itu, merupakan bayangan hitam yang amat cepat lari mendekat.
"Song Tek Hong, kau mengejarku ada apakah?" tanyanya menahan gelora hatinya agar suaranya tidak terdengar gemetar.
Tek Hong yang sudah berdiri di depan Siang Cu, menjadi tertegun.
"Nona"., kau Sudah tahu namaku" Bagus sekali, aku girang bahwa akhirnya kau mengenalku pula. Akan tetapi, mengapa kau meninggalkan aku, nona" Bukankah kita sudah berjanji hendak bersama mencari musuh besarmu?"
"Tak perlu lagi," kata Siang Cu menahan gejolak hatinya yang menyesakkan dada, "aku sudah menemukan musuh besarku!"
"Siapa dia" Di mana?"
"Kaulah orangnya! Kau dan orang tuamu! Ketahuilah, Song Tek Hong, aku adalah Ong Siang Cu, murid dari Lam hai Lo mo! Suhu dan aku yang membakar rumahmu, dan kami sedang mencari cari ayahmu untuk membalas dendam hati suhu! Seharusnya kau pun menjadi musuh besarku, harus kuserang kalau mungkin kubunuh! Akan tetapi ah..... aku yang bodoh dan lemah, aku suka kepadamu. Tak kuasa tanganku menghunus pedang untuk menyerangmu. Sekali lagi aku suka kepadamu, nah dengarkah kau" Karena aku tak dapat memusuhimu, akan tetapi ayahmu, tentu akan kucari dan kutantang mengadu nyawa!"
Tek Hong merasa seakan akan kepalanya disambal petir pada saat itu, ia limbung dan hampir saja roboh karena kedua kakinya terasa lemas. Ia menghampiri Siang Cu sambil berkata lemah,
"Nona"." "Berhenti! Jangan mendekati aku! Aku musuhmu, aku orang jahat sejahat jahatnya. Akulah iblis yang membakar rumahmu. Suhu dan aku sudah mengacau di Go bi pai sehingga kami dimusuhi oleh orang orang Go bi pai. Suhu dan aku sudah membakar rumah Thian te Kiam ong ayahmu dan karenanya kau tentu akan membalas dendam. Kau mau membalas dan hendak menyerangku" Silahkan, aku tidak takut! Dengarlah, wahai Song Tek Hong, bahwa aku Ong Siang Cu karena begitu pandir dan lemah mencintaimu, tidak akan kuasa untuk menyerangmu! Akan tetapi perhatikanlah, hanya untuk saat ini saja. Sewaktu waktu kalau kita bertemu akan kututup mataku dan akan kuserang kau sebagai musuh besarku. Dan sebaliknya kalau kau menyerangku, akan kulawan mati matian! Nah, selamat tinggal dan jangan mencoba untuk mendekati atau bertemu denganku!"
"Siang Cu".!" Tek Hong melompat mengejar gadis itu yang sudah berlari pergi. Dengan cepat pemuda itu lalu menangkap ujung baju Siang Cu yang berkibar di belakangnya sehingga gadis itu terpaksa berhenti.
"Bodoh, tolol! Pergi!" Bentaknya dan tangan kanannya bergerak menampar pipi Tek Hong. Sebagai seorang ahli silat, Siang Cu mengerti bahwa pemuda itu dengan mudah akan dapat mengelak dan melepaskan pegangan pada ujung bajunya, akan tetapi ternyata pemuda itu sama sekali tidak mengelak.
"Plakk!" tamparan itu keras sekali. Tek Hong merasa betapa pipinya pedas dan kepalanya pening sehingga ia jatuh berlutut di depan gadis itu, akan tetapi tangannya masih memegangi ujung baju dengan erat erat.
"Siang Cu, pukullah aku, bunuhlah! Aku takkan melawan. Kau jangan pergi dulu sebelum mendengar omonganku. Aku kasihan padamu, aku cinta padamu, hal ini kau sudah tahu kiraku. Entah bagaimana iblis membuat kau menjadi murid Lam hai Lo mo. Kau hendak mencari ayah dan membalas dendam gurumu, akan tetapi sebaliknya sumpahku. Akupun hendak mencari gurumu, hendak kubinasakan dia, iblis tua yang jahat itu, bukan hanya itu, bukan hanya karena ia memusuhi ayah, terutama sekali karena dia telah menjerumuskan kau ke lembah kejahatan. Akan tetapi padamu, aku takkan melawan. Siang Cu, aku cinta kepadamu....."
Mendengar ucapan ini, bercucuran air mata dari mata gadis ini, mengalir di sepanjang pipinya dan berjatuhan ke atas wajah Tek Hong yang berlutut sambil mengangkat muka memandang. Gadis itu tidak dapat menjawab, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan yang terdengar hanya isak tangisnya. Baru kali ini selama hidup nya ia merasai keharuan, kedukaan, dan berbareng kebahagiaan yang luar biasa mendengar ucapan pemuda ini.
"Tek Hong...." hanya ini yang dapat di bisikkan oleh bibirnya yang gemetar.
"Siang cu, kau.... kau menangis.....?" Tek Hong bangkit berdiri dan kepalanya masih pening, ia merasa tubuhnya seperti terputar putar, namun wajah gadis itu masih selalu berada di depan matanya. "Siang Cu, mengapa kau memaksa diri melawan suara hati nuranimu sendiri" Mengapa kau tidak mau membantah saja kehendak jahat dari gurumu?"
"Tek Hong, tiada gunanya lagi..." Siang Cu makin tersedu sedu. "Aku sudah terseret ke dalam lumpur kejahatan oleh suhu"."
"Tidak, Siang Cu! Kau bersih laksana bunga teratai yang biarpun terseret ke dalam lumpur, masih bersih dan murni."
"Tek Hong...." Siang Cu berbisik sayu dan kaget melihat pemuda itu terhuyung hendak roboh. Ia tahu bahwa pemuda ini menderita bukan hanya karena tamparannya yang keras tadi, juga oleh tekanan batin yang berat, maka melihat pemuda itu hendak roboh, ia cepat memeluknya.
"Siang Cu, Thian telah mempertemukan kita...... jangan kau tinggalkan aku...." kata Tek Hong yang tiba tiba merasa tubuhnya kuat kembali. Siang Cu tak dapat berkata apa apa hanya menyerah saja ketika Tek Hong memeluknya. Untuk beberapa lama ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu yang mendekapnya erat erat seakan akan takut kalau kalau gadis itu akan pergi lagi.
Untuk beberapa lama keduanya tenggelam dalam suasana yang mesra ini. Terutama sekali Tek Hong yang masih pening sekali kepalanya, ia tak dapat mempergunakan pikiran dengan baik lagi, ia merasa terayun ayun seperti berada di tengah samudera luas. Yang ada dalam hatinya hanya cinta kasih yang dibarengi rasa kasihan yang amat besar dan mendalam. Ia setengah dapat menduga bahwa gadis ini terpaksa menjadi jahat karena pengaruh suhunya, Lam hai Lo mo si iblis tua itu, karenanya ia hendak melawan iblis itu, bukan hanya untuk membela ayahnya, terutama sekali untuk merenggut gadis ini keluar dari cengkeraman pengaruh jahat itu.
Tiba tiba Siang Cu melepaskan diri dari pelukan Tek Hong.
"Tidak, Tek Hong, tidak mungkin! Aku sudah bersumpah kepada suhu bahwa aku harus membalaskan dendamnya terhadap Thian te Kiam ong. Dan aku bukan pengecut. Aku haru memenuhi sumpah itu, akan kucari ayah bundamu, akan kutandingi adik perempuanmu yang kudengar amat lihai. Hanya kepadamu saja aku takkan mencabut pedang. Selamat tinggal, Tek Hong, kekasihku. Percayalah bahwa apapun juga yang terjadi, aku tetap mengenangmu sebagai seorang termulia di dunia ini tempat aku menaruh harapan dalam hidup selanjutnya."
Siang Cu mengeluh dan melompat pergi, menghilang di dalam gelap, ia tidak memperdulikan ratapan dan panggilan pemuda itu yang terdengar menyayat nyayat hatinya, bahkan ia lalu mempergunakan jari jari tangannya untuk menutupi kedua telinganya sambil berlari keras, agar ia tidak dapat mendengar lagi suara panggilan itu. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Tek Hong terhuyung huyung lalu roboh di bawah pohon dalam keadaan pingsan.
Sebetulnya Tek Hong adalah seorang pemuda pendiam dan keras hati. Namun, adakah kekerasan hati yang cukup keras dalam menghadapi asmara" Hati sekeras bajapun akan hancur luluh!
Tek Hong telah menderita pukulan batin yang hebat sekali, ditambah pula oleh tamparan Siang Cu yang dilakukan dengan tenaga lweekang, maka ia tak dapat menahan dan roboh pingsan. Memang, tak dapat disalahkan hati pemuda ini, atau tidak boleh mengira bahwa dia terlalu lemah iman atau tidak kuat menahan godaan wanita. Oleh karena, sukarlah bertemu dengan seorang gadis seperti Siang Cu. Dia adalah seorang gadis setengah liar yang semenjak kecil terasing dari dunia ramai dan hanya dididik oleh seorang manusia iblis seperti Lam hai Lo mo. Biarpun Siang Cu bersikap seperti orang liar yang tidak tahu akan sopan santun sehingga sebagai seorang gadis berani dengan demikian terang terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap seorang pemuda, namun semua kejanggalan ini ia lakukan dengan wajar sekali, ia lakukan dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan, sama sekali tidak mengandung kegenitan atau pura pura. Tek Hong dapat merasai dan memaklumi sepenuhnya akan hal ini maka ia tertarik sekali dan cinta kasihnya bercampur dengan rasa belas kasihan yang amat besar.
Belum lama setelah Siauw Yang bersama Liem Pun Hui berhasil melarikan diri dan Kepulauan Couwsan dan mendarat di pantai Tiongkok, datanglah Tung hai Sian jin di pulau yang ditinggalkannya, ia tidak berhasil mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, bahkan hampir saja ia celaka oleh keroyokan Song Tek Hong putera Thian te Kiam ong dan Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo. Oleh karena itu, dengan hati murung ia ke pulau itu dan hendak menyuruh puteranya mengawini puteri Thian te Kiam ong dengan jalan kekerasan dan paksaan saja.
Alangkah marah, kecewa dan menyesalnya ketika ia mendapatkan puteranya telah memaki maki dan marah marah karena telah diakali oleh Siauw Yang sehingga gadis itu dapat melarikan diri.
"Dasar kau yang goblok, mudah saja ditipu oleh gadis liar itu." ayahnya mengomel.
"Aku sudah cukup berhati hati, tetapi dia memang cerdik sekali. Kalau ia terjatuh ke dalam tanganku, aku takkan memberi kesempatan padanya untuk terlepas dari pelukanku. Lebih baik kuhancurkan kepalanya daripada membikin dia terlepas. Hatiku sakit sekali, ayah!"
Tung hai Sian jin tersenyum pahit. "Apakah kau sekarang masih menghendaki dia sebagai isteri mu?"
Eng Kiat mengerutkan kening. "Dia jahat! Lebih baik aku menikah dengan murid Lam hai Lo mo."
"Hem, mudah berobah pendirian orang muda, akan tetapi pilihanmu selalu jatuh di tempat yang salah. Murid Lam hai Lo mo juga bukan orang baik, dia telah berani bersekongkol dengan putera Thian te kiam ong, sungguh hal yang aneh sekali. Aku akan menegur Lam hai Lo mo kalau bertemu dengan dia,"
Pada saat itu, terdengar suara keras sekali akan tetapi terdengar dari tempat jauh, tanda bahwa orang yang mengeluarkan suara itu memiliki ilmu mengirim suara dan jauh dengan hebatnya!
"Tung hai Sian jin iblis tua bangka dari Timur! Di mana Kau" Mengapa pula pulau ini kosong belaka?"
Berobah muka Tung bai Sian jin. Kalau orang membicarakan setan, tahu tahu ia datang, katanya. Lalu ia mengerahkan tenaga dan menjawab dengan suara nyaring tinggi melengking,
"Lam hai Lo mo iblis tua! Apakah telingamu sudah agak tuli dan matamu sudah agak lamur maka kau tidak bisa lagi mencari aku?"
Sebagai jawaban terdengar suara ketawa bergelak dan terkekeh kekeh amat menyerahkan karena yang tertawa tidak kelihatan orangnya, seakan akan iblis sendiri yang tertawa.
"Bagus kalau kau dan puteramu masih hidup iblis timur! Kami menantimu di Sam liong to, datanglah dan aku akan gembira bertemu dengan kawan kawan sehaluan."
Mendengar ini, Tung hai Sian jin lalu berlari ke pantai diikuti oleh Eng Kiat. Ketika mereka melihat sebuah perahu kecil panjang di tumpangi oleh delapan orang kakek, mata Tung hai Sian jin yang masih tajam penglihatannya itu mengenal Lam hai Lo mo di kepala perahu akan tetapi orang orang yang lainnya ia tidak kenal. Hanya dilihatnya dua orang hwesio gundul dan lima orang tosu yang semuanya sudah tua tua.
"Siapakah gerangan mereka itu" Dan apa maksud Lem hai Lo mo mengundang kita ke pulaunya?" Tung hai Sian jin berkata kepada puteranya.
"Tentu ada keperluan amat penting, ayah. Dia lihai sekali dan kalau kawan kawannya itupun orang orang lihai, lebih baik kalau kita datang ke sana memperkenalkan diri. Siapa tahu kalau kalau mereka itu kelak akan dapat membantu kita."
Tung hai Sian jin hanya mengangguk dan bersama puteranya ia memasuki perahu dan mendayungnya cepat cepat untuk menyusul perahu kecil panjang itu. Akan tetapi, biarpun Tung hai Sian jin terkenal sebagai seorang ahli di atas dan di dalam air, dan ia terkenal sebagai seorang nelayan pandai, namun perahunya tidak dapat mengejar dan menyusul perahu di depan. Ia melihat betapa delapan orang di dalam perahu itu sama sekali tidak mempergunakan dayung, hanya mempergunakan tangan saja untuk didorongkan ke air. Bahkan ada di antaranya yang mempergunakan kaki untuk menendang nendang air di belakang perahu. Namun perahu mereka itu meluncur dengan amat cepatnya seakan akan telah didorong oleh tenaga yang luar basa.
Melihat ini, diam diam Tung hai Sian jin memuji dan menjadi girang karena hal itu menyatakan bahwa penumpang penumpang perahu itu benar benar memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sebagai seorang tokoh kang ouw kawakan tentu saja ia senang mendapat kesempatan bertemu dengan tokoh tokoh lain, baik lawan maupun kawan.
Sementara itu, Lam hai Lo mo dengan kawan kawannya telah mendarat di Sam liong to, Sambil tertawa bergelak Lam hai Lo mo berkata,
"Sahabat sahabat, mari mendarat. Selamat datang di Pulau Sam liong to, pulau yang akan menjadi pusat perhimpunan kita. Ha, ha, ha!" ia menggerakkan tongkatnya dan tahu tahu tubuhnya melompat ke darat dengan gerakan berjungkir balik seperti seorang anak kecil yang bergirang hati. Namun dalam lompatan ini saja sudah dapat dilihat kehebatan ilmu gin kang dari kakek buntung ini.
Tujuh orang kakek yang seperahu dengan Lam hai Lo mo, juga bergerak dan masing masing memperlihatkan kepandaian melompat yang kesemuanya amat mengagumkan. Biarpun berturut turut mereka melompat dan dalam perahu, namun perahu itu sedikit pun tidak bergoyang, tanda bahwa ginkang mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Siapakah tujuh orang itu" Yang dua adalah hwesio hwesio gundul dan mereka ini bukanlah orang orang baru, karena mereka adalah Sam thouw hud dan Ang tung hud, kakak beradik seperguruan dari Tibet yang lihai ilmu silatnya dan yang belum lama ini telah kena dihajar oleh Tek Hong dan Mo bin Sin kun di puncak Sian ho san. Sam thonw hud dan Ang tung hud meraka amat sakit hati terhadap Mo bin Sin kun. Tidak saja usaha membalas dendam mereka tak berhasil, bahkan mereka untuk kedua kalinya telah kena dibikin malu dan dikalahkan. Maka, ketika mereka bertemu dengan Lam hai Lo mo, tentu saja mereka dengan penuh gairah menerima ajakan Lam hai Lo mo untuk mengadakan persekutuan agar kedudukan mereka menjadi lebih kuat.
Adapun lima orang tosu yang ikut pula di dalam perahu itu juga bukan orang orang sembarangan saja. Mereka ini adalah tokoh tokoh dari Tibet yang setingkat kedudukannya dengan Sam thouw hud, hanya saja mereka adalah pemimpin dari golongan lain, karena mereka bukanlah penganut dan Agama Budha, melainkan lima orang tosu yang terkenal dengan aliran Cheng i pai (Aliran Jubah Hjau). Mereka ini memiliki kepandaian tinggi dan terkenal dengan sebutan See san Ngo sian (Lima Dewa dari Tibet). Sebetulnya ilmu silat mereka juga berasal dan Tiongkok tengah, bukan dari barat, karena mereka telah mencipta ilmu silat istimewa sendiri yang berdasarkan Ilmu Silat Ngo heng kun yang mereka pelajari dari seorang tokoh persilatan di gunung Thai san.
Akan tetapi sayang sekali, lima orang tosu ini memang dahulunya bukan orang baik baik. Mereka fanatik memeluk agama dalam cara yang keliru, sehingga mereka bahkan menyimpang daripada garis garis pelajaran Agama To yang sebenarnya dan bahkan mendekati pelajaran ilmu hitam dan ilmu ilmu gaib yang mengherankan orang. Mereka telah mengenal Lam hai Lo mo sebagai seorang ahli hoat sut (ilmu sihir), maka dengan iblis dari Laut Selatan ini mereka telah menjadi sahabat baik. Ketika mereka bertemu dengan Lam hai Lo mo dan dimintai tolong untuk membantunya mendirikan perhimpunan orang orang gagah sehaluan, mereka segera menerimanya dengan gembira dan ikut dengan Lam hai Lo mo ke Pulau Sam liong to.
Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat mendayung perahu mereka cepat cepat untuk mendarat di Pulau Sam liong to. Di situ mereka disambut oleh Lam hai Lo mo sendiri yang tertawa bergelak dan setelah Tung hai Sian jin mendarat, kakek buntung itu lalu menggandeng tangannya dan diajak menuju ke tengah pulau di mana orang orang lain telah menanti di situ.
"Girang sekali hatiku kau suka datang, iblis Timur!" kata Lam hai Lo mo tanpa memperdulikan Eng Kiat yang menjura sebagai penghormatan kepadanya. "Kau menjadi orang penting dalam perkumpulan kita yang baru."
"Perkumpulan apakah yang kau maksudkan, Iblis Selatan" Aneh aneh saja kau ini, seperti orang muda, pakai mendirikan perkumpulan segala!" mencela Tung hai Sian jin.
"Ha, ha, ha, ha! Kau dengarlah saja nanti, sobat," jawab Lam hai Lo mo.
Setelah mereka tiba di tempat terbuka yang berada di depan gua tempat bertapa Lam hai Lo mo, Tung hai Sian jin menjadi terheran heran. Tempat itu kini indah sekali, entah kapan dibangunnya pendapa yang luas dengan genteng genteng baru dan lantainya dari batu putih. Di situ terdapat meja dan banyak bangku yang terukir indah sekali.
"Eh, eh, mimpikah aku?" Tung hai Sian jin berseru dan Eng Kiat juga memandang dengan bengong. Belum lama ini tempat itu masih kosong melompong, mengapa sekarang telah didirikan pendapa yang indah"
"Iblis Selatan, bagaimana kau bisa menyulap pendapa ini di tempat seperti ini" Siapa yang mengerjakannya dan sejak kapan kau berobah menjadi seorang yang royal dan mewah?"
Kembali Lam hai Lo mo tertawa bergelak tanpa menjawab pertanyaan ini, sebaliknya ia lalu memperkenalkan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat kepada tujuh orang pendeta yang telah duduk di atas bangku bangku di pendapa itu.
"Cui wi Bengyu (Sahabat sahabat sekalian)", kata Lam hai Lo mo kepada lima orang tosu dan dua orang hwesio itu, "Sahabat kita ini adalah Tung hai Sian jin, tokoh besar pantai laut timur dan puteranya, Bong Eng Kiat."
Hanya Sam thouw hud seorang di antara tujuh kakek pendeta itu yang tidak dapat mendengar ucapan Lam hai Lo mo, akan tetapi ia dapat mengira ngira dan melihat yang lain lain berdiri menjura kepada Tung hai Sian jin, iapun berdiri dan memberi hormat.
Tung hai Sian jin yang dapat menduga bahwa kakek kakek itu tentulah tokoh tokoh ternama, cepat membalas penghormatan mereka sambil bertanya kepada Lam bai Lo mo,
"Iblis Selatan, siapakah sahabat sahabat di dalam itu?"
"Pantas saja kau belum mengenal mereka, Iblis Timur. Mereka adalah tokoh tokoh yang selalu menyembunyikan diri di Tibet. Dua orang hwesio itu adalah Sam thouw hud (Budha Berkepala Tiga) dan Ang tung hud (Budha Bertongkat Merah) dua orang pemimpin Aliran Jubah Hitam di Tibet. Adapun lima orang tosu itu adalah See san Ngo sian tokoh tokoh dan Cheng i pai yang berjuluk Pat jiu sian (Dewa Tangan Delapan), Toat beng sian (Dewa Pencabut Nyawa), Sin kun sian (Dewa Tangan Sakti). Mereka ini adalah sahabat sahabat kita yang sudah sehaluan."
Mendengar julukan julukan yang hebat hebat itu, diam diam Tung hai Sian jin menjadi geli dan penasaran. Sampai di manakah tingginya kepandaian mereka sehingga mereka berani mempergunakan julukan julukan yang demikian hebat" Tanpa banyak cakap ia lalu duduk di atas bangku di dekat mereka, mengelilingi sebuah meja berukir indah yang besar sekali.
Tiba tiba terdengar suara bersuit keras dari arah pantai dan Lam hai Lo mo tertawa.
"Benar benar gesit sekali murid keponakanku yang baik itu. Ha, ha, ha! Tentu orang orangnya telah datang."
Semua orang menengok dan terlihatlah belasan orang turun dari sebuah perahu besar, membawa dan memikul barang barang yang amat mahal dan arak arak wangi yang ditaruh di dalam guci guci besar. Seorang laki laki bertubuh pendek kecil yang gesit sekali gerakannya dan yang agaknya mengepalai rombongan ini, segera menghadap Lam hai Lo mo dan berlutut sambil berkata,
"Locianpwe, teecu Thio Kim menerima perintah Ciong Siauw ong ya menyampaikan hormat kepada locianpwe dan mengharapkan maaf karena siauw ong ya tidak dapat datang sendiri berhubung ada urusan amat penting. Oleh karena itu, hanya dapat mengirimkan hidangan untuk para locianpwe dan beberapa orang pembantu untuk melayani perjamuan ini. Adapun teecu diutus untuk mewakilinya mendengarkan apa yang perlu didengar dan apa yang penting dalam pertemuan yang locianpwe adakan."
Lam hai Lo mo mengerutkan kening. "Ah, bagaimana Ciong Pak Sui berani mengabaikan undanganku" Urusan apakah yang begitu penting sehingga lebih ia utamakan daripada datang di sini?"
"Teecu tidak dapat memberi penjelasan yang memastikan, locianpwe, hanya kalau tidak salah, urusan perjodohannya."
Mendengar ini, Lam hai Lo mo tertawa bergelak. "Ha, ha, ha! Akhirnya ia mendapatkan jodoh juga, si mata keranjang itu. Baiklah kalau begitu, hayo kau duduk di sana Thio Kim dan dengarkan semua percakapan agar kau dapat melapor kepada Siauw ong ya kelak."
Thio Kim lalu memberi perintah kepada semua pengiringnya untuk mempersiapkan hidangan setelah dihangatkan lebih dulu. Mereka juga membawa alat alat untuk masak dan ada pula dua orang tukang masaknya, pendeknya lengkap sekali untuk keperluan pesta.
Setelah semua hidangan dipanaskan dan di keluarkan di atas meja, para pelayan disuruh keluar. Tak seorang pun di antara mereka boleh tinggal di dalam, kecuali Thio Kim yang mewakili Ciong Pak Sui atau Ciong Siauw ong ya, yakni murid Pat jiu Gam ong yang pernah kita kenal ketika ia berebut kuda dengan Siauw Yang. Rapat pertemuan itu kemudian dibuka oleh Lam hai Lo mo.
"Saudara saudara tentu telah mendengar betapa keadaan pemerintah Goan tiauw makin terdesak mundur, agaknya tidak mampu membasmi para pemberontak yang merajalela di mana mana. Kaisar Kublai Khan kurang pandai dan lemah. Hal ini diketahui baik baik oleh Ciong Pak Sui yang juga seorang pangeran keturunan dari Jengis Khan yang besar. Maka daripada kita membantu Kublai Khan yang tak dapat menghargai tenaga dan jasa kita, marilah kita membantu Ciong Siauw ong ya yang mempunyai harapan besar."
"Apakah yang boleh kita andalkan atas diri Ciong Siauw ong ya selain kuda kuda yang baik?" mencela Tung hai Sian jin tak puas.
Lam hai Lo mo tertawa bergelak "Kau tidak tahu, Iblis Timur, Pangeran Ciong telah mendapatkan peti peninggalan Jengis Khan, peti rampasan dari tanah barat yang berisi harta benda tak ternilai harganya. Dengan hartanya, Pangeran Ciong tentu kuat membentuk sebuah negara yang besar dan kuat, dapat pula menggulingkan kekuasaan Kublai Khan, asalkan kita mau membantunya. Di samping cita cita kenegaraan itu, kitapun harus akui bahwa musuh musuh besar kita seperti Thian te Kiam ong dan anak anak mereka, Sin pian Yap Thian Giok putera dari mendiang Jenderal Yap Bouw. dan gurunya, Mo bin Sin kun, merupakan lawan lawan yang tangguh. Oleh karena itu, untuk menghadapi mereka ini, kita harus bersatu dalam sebuah perhimpunan yang kokoh kuat."
"Bagaimana rencanamu selanjutnya, Iblis Selatan?" tanya Tung hai Sian jin.
"Kita membentuk sebuah perkumpulan yang kuberi nama Sam hiat ci pai (Perkumpulan Tiga Buah Jari Berdarah), dan untuk menjadi anggauta perkumpulan ini, kepanduan kalian telah cukup tinggi. Hanya saja, harus lebih dulu meyakinkan dan mempelajari ilmu pukulan tiga jari yang selama ini kulatih dan kuciptakan, agar perkumpulan kita menjadi lebih berpengaruh dan ternama."
"Apa itu yang kaunamakan Sam hiat ci hoat (Ilmu Pukulan Tiga Jari Berdarah)?" tanya pula Tung hai Sian jin ingin tahu sekali.
Lam hai Lo mo tertawa bergelak lalu bertanya kepada Thio Kim yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja,
"Thio ciangkun (Panglima Thio), bolehkah aku mempergunakan seorang di antara pengikutmu untuk ujian Sam hiat ci hoat?"
Thio Kim memang seorang panglima yang dipercaya penuh oleh Pangeran Ciong. Ia telah menyaksikan kehebatan ilmu pukulan tiga jari dari kakek ini, maka ia berkata,
"Mereka itu adalah orang orang kepercayaan Ciong Siauw ong ya, asal saja locianpwe tidak menewaskan mereka, tentu saja teecu tidak keberatan."
Seorang pelayan dipanggil, dan masuklah seorang pelayan bertubuh tinggi besar dan kelihatannya kuat sekali.
"Eh, sahabat, apakah kau pernah mempelajari ilmu silat tinggi?" tanya Lam hai Lo mo kepada pelayan itu. Pelayan ini membusungkan dada dan menjawab,
"Betapapun tinggi ilmu silat yang hamba pelajari, tentu bagi locianpwe tidak ada artinya apa apa. Akan tetapi, hamba pernah mempelajari ilmu silat dari Thio ciangkun sendiri dan di kota kami, hamba disebut Ngo jiauw houw (Harimau Lima Cakar)."
Lam hai Lo mo tertawa bergelak lalu berkata,
"Ngo jiauw houw, awas aku akan menyerangmu." Setelah berkata demikian, kakek buntung ini tiba tiba tubuhnya berkelebat maju dan ia memukul ke arah kepala pelayan itu dengan menggunakan tiga buah jari tangan kirinya, yakni telunjuk, jari tengah dan jari manis. Pukulan itu demikian lambat dan perlahan sehingga Ngo jiauw houw tidak menjadi gentar. Pelayan yang bertubuh tinggi besar ini mengangkat tangan kanan menangkis pukulan Lam hai Lo mo. Tiga buah jari tangan bertemu dengan lengan tangan yang besar dan berotot, akan tetapi akibat nya hebat sekali. Pelayan itu terpelanting, mengeluarkan pekik kesakitan dan ia roboh telentang berkelojotan dan pingsan dengan muka membiru.
"Saudara saudara, lihatlah kehebatan Sam hiat ci hoat. Baiknya hanya lengannya yang terkena sehingga aku masih dapat mengobati dan menolong nyawanya, kalau bagian tubuh yang berbahaya yang terkena pukulan tadi, tentu ia akan binasa pada saat itu juga."
Semua orang mendekati dan melihat bahwa pada lengan tangan yang tadi menangkis pukulan tiga jari, terlihat tanda tiga jari tangan yang merah sekali, merah seperti darah atau seperti lukisan tiga jari dari cat merah.
"Hm, apa anehnya pukulan yang mengandung tenaga lweekang disertai Ilmu Totok Ci meh hoat itu. Hanya benar benar aku tidak mengerti mengapa ada tanda merah pada bekas jari tangan," kata Tung hai Sian jin yang memang seorang ahli dalam ilmu kiam hoat.
Lam hai Lo mo tertawa. "Biarlah aku hidupkan dulu dia, agar Pangeran Ciong jangan kehilangan seorang tenaga pembantu," ia menghampiri orang yang telah menjadi kaku dan beku itu, menotok iga dan pangkal lengan, lalu mengurut lehernya. Orang itu mengeluh dan dapat bergerak lagi.
"Kau telanlah tiga butir obat penolak racun ini !" kata Lam hai Lo mo yang segera menyuruh pelayan itu pergi ke luar.
Semua orang kembali duduk mengelilingi meja.
"Memang betul seperti dikatakan oleh Iblis Timur tadi, ilmu pukulan yang barusan kuperlihatkan memang tidak aneh bagi seorang ahli. Akan tetapi kalau Cat meh ci hoat biasa saja hanya melumpuhkan tubuh orang atau membikin kaku tidak bisa mendatangkan tanda merah dan terutama sekali tidak bisa mendatangkan hawa beracun ke dalam tubuh orang. Pukulan ini lihai sekali dan kalau kita sudah bersumpah menjadi anggauta Sam hiat ci pai, dalam tiga hari akan dapat mempelajari dari aku. Tentu saja hanya orang orang dengan kepandaian tinggi saja yang dapat mempelajarinya. Dengan ilmu pukulan ini patutlah seseorang menjadi anggauta Sam hiat ci pai."
Mereka lalu makan minum dan ramai membicarakan pembentukan perkumpulan baru itu. Lam hai Lo mo menceriterakan bahwa perkumpulan ini adalah sebagai pengganti Perkumpulan Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Merah) yang dulu didirikannya juga dan diantara anggota anggotanya, terdapat pula Sam thouw hud dan Pat jiu Giam ong. Mereka ramai membicarakan perkembangan perkembangan yang mungkin dialami oleh perkumpulan mereka, dan menyebut nama nama para tokoh kang ouw yang kiranya dapat mereka tarik untuk menjadi anggauta perkumpulan mereka.
Setelah makan minum selesai dan perut mereka sudah penuh, Lam hai Lo mo berkata,
"Saudara saudara sekalian jangan khawatir. Pangeran dong berdiri di belakang kita dan sebagai langkah pertama karena Pulau Sam liong to dijadikan pusat perkumpulan, maka mulai sekarang akan dibangun sebuah rumah perkumpulan yang besar sekali, yang dapat menampung sedikitnya duaratus orang anggauta yang akan bermalam di sini. Semua atas biaya Pangeran Ciong."
Mendengar ini, semua orang menjadi gembira sekali.
"Oleh karena itu, marilah sekarang kita resmikan berdirinya Sam hiat ci pai. Kita bersembilan, yakni aku sendiri, See san Ngo sian, Sam thouw hud dan sutenya, dan Tung hai Sian jin, merupakan sembilan pendiri yang selanjutnya boleh menyebut dia menjadi tokoh tokoh pertama dari Sam hiat ci pai. Oleh karena itu, marilah kita sembilan orang bersembahyang untuk melakukan sumpah menjadi dewan pengurus Sam hiat ci pai."
Lam hai Lo mo lalu membagi bagi hio dari sebuah tempat hio dan di situ memang sudah disediakan meja sembahyang yang diatur oleh Thio Kim menurut petunjuk petunjuk dari Ang tung hud yang ahli dalam hal persembahyangan.
Setiap orang dari sembilan kakek itu mendapat tiga batang hio.
Lilin di atas meja sembahyang telah dipasang dan ketika Lam hai Lo mo hendak memimpin sembahyang itu, tiba tiba Tung hai Sian jin berkata,
"Nanti dulu!" Ia menyalakan tiga batang hio yang dipegangnya, lalu berkata kembali kepada semua orang, "tiga batang hio ini dipergunakan untuk bersembahyang kepada Tuhan, Langit dan Bumi. Karena kita akan sembahyang sebagai sumpah, cukup disaksikan oleh Langit dan Bumi, pusat tenaga Im dan Yang. Adapun untuk Tuhan, cukup untuk memohon berkah. Karena itu, harus ditaruh di tempat yang setinggi tingginya. Aku memberi contoh lebih dulu dan siapa yang tidak dapat menancapkan hio pertama di tempat itu, tidak cukup berharga untuk menjadi anggauta dewan pengurus Sam hiat cit pai!" Tanpa menanti jawaban, Tung hai Sian jin lalu melompat ke luar dan cepat sekali tubuhnya melayang ke atas, mempergunakan ilmu lompat dengan gerakan It ho ciong thian (Burung Hong Terjang Langit), melayang ke arah puncak pendapa itu. Pendapa itu adalah buatan secara darurat, dan di bagian atasnya merupakan tenda kain yang disangga oleh bambu di tengahnya, tinggi sekali dan sukar didatangi orang. Tidak saja amat tinggi, akan tetapi juga tidak ada tempat untuk berpijak. Kain tenda itu mana kuat menahan berat tubuh seorang manusia" Oleh karena itu, semua orang memandang dengan penuh perhatian ketika Tung hai Sian jin melompat ke atas.
Tung hai Sian jin mendemonstrasikan ginkangnya yang indah amat tinggi. Setelah tiba di dekat bambu penahan tenda di puncak pendapa itu, ia merobah gerakan It ho tung thian itu dengan gerakan Koai hong hoan sin (Naga Siluman Membalikkan Badan), tiba tiba tubuhnya terputar terjungkir balik. Tangan kirinya menyambar bambu dan dalam keadaan miring itu, ia dapat mempergunakan tangan kiri menahan badannya yang menjadi kaku seperti bambu lain disambung pada bambu penahan tenda itu. Kemudian ia menancapkan sebatang hio di atas bambu penahan tenda dan semua gerakan ini sama sekali tidak membuat tenda maupun bambunya bergerak sedikitpun. Setelah sebatang hionya tertancap pada puncak bambu, ia lalu melepaskan pegangan tangan kirinya dan berjumpalitan ke bawah, lalu bergerak indah sekali dengan gerak tipu Sin eng kai ci (Garuda Sakti Membuka Sayap). Kedua lengannya dikembangkan dan kedua kakinya menyentuh tanah tanpa menimbulkan bunyi sesuatu.
Melihat ini, semua orang memuji. Ang tung hud lalu berseru keras dan tubuhnyapun melayang naik, mencontoh perbuatan Tung hai Sian jin tadi. Biarpun ia tidak selihai Tung hai Sian jin, namun ia berhasil juga menancapkan hionya di atas puncak bambu itu dan hanya sedikit saja bambu itu bergoyang goyang.
Sam thouw hud yang mengerti akan maksud Tung hai Sian jin, tertawa terkekeh kekeh, kemudian tubuhnya berkelebat cepat sekali dan tahu tahu iapun telah benda di puncak pendapa. Kakek ini memang kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada sutenya dan agaknya tidak di sebelah bawah kepandaian Tung hai Sian jin melompat sampai ke puncak bambu lalu mempergunakan dua kaki nya menjepit bambu itu bagaikan seekor capung saja sehingga dengan enaknya ia menancapkan hionya di puncak bambu. Semua ini ia lakukan tanpa menggetarkan bambu dan tenda!
Lima tosu jubah hijau dari Tibet melihat semua pertunjukan ini dengan senyum dikulum. Seorang demi seorang lalu melompat dan dengan gayanya masing masing dan tersendiri, mereka berhasil menancapkan hionya ke puncak bambu. Akan tetapi yang paling hebat adalah Pat jiu sian Si Dewa Bertangan Delapan, orang tertua dari See san Ngo sian. Tidak seperti orang orang lain yang melakukan gerakan melompat memperlihatkan gin kang yang tinggi, ia dengan enaknya berjalan terus, melalui tanah dan kemudian melalui tambang yang mengikat tenda, terus merayap ke atas melewati tenda tenda dan sampai di puncak. Cara ia merayap itu seperu seekor cecak saja. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya kalau tidak melihat sendiri betapa hebat dan mahirnya tosu dari Tibet ini mendemonstrasikan ilmu yang disebut Pek houw ju chong (Cicak Merayap di Tembok). Tidak sembarang orang dapat melakukan hal ini karena membutuhkan ginkang dan khikang yang tinggi sekali. Di samping ginkang dan khikang yang tinggi, juga disertai tenaga hoat sut (ilmu sihir) yang aneh.
Melihat betapa semua orang dapat menancapkan hio di atas puncak bambu, Lam hai Lo mo tertawa geli,
"Heh, heh, heh, heh! Iblis Timur memang seperti anak kecil, bisa saja menguji kepandaian orang sudah puaskah kau sekarang melihat punsu (kepandaian) dari sahabat sahabatku" Akupun hendak menyumbang pertunjukan ini!" Setelah ia berkata demikian, Lam hai Lo mo mencabut sebatang di antara tiga hionya, lalu mulutnya berkemak kemik membaca mantera. Setelah ia memandang ke arah puncak tenda, ia lalu melemparkan hio itu seperti seekor kunang kunang yang terbang melayang, terus meluncur ke atas dan mencari jalannya sendiri ke puncak bambu, dan tahu tahu telah tertancap di atas bambu seakan akan ditancapkan oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan.
Tung hai Sian jin dan semua orang kakek yang berada di situ tersenyum. Mereda maklum bahwa itulah kepandaian hoat sut (ilmu sihir) yang tinggi dan yang hanya dapat dilakukan seorang pertapa yang khusus mempelajari ilmu sihir atau yang boleh disebut juga ilmu hitam. Adapun para pelayan atau pesuruh Ciong siauw ong ya yang kini dapat melihat semua pertunjukan itu, sama sama memandang dengan melongo.
Satelah semua orang dapat melakukan usulnya, Tung hai Sian jin dan para tokoh besar itu kembali memasuki pendapa dan mulailah mereka bersembahyang, bersumpah akan setia kepada perkumpulan Sam hiat ci pai yang mereka dirikan.
"Sekarang cu wi sekalian harap bermalam di sini selama tiga hari untuk membelajari ilmu pukulan Sam hiat ci hoat yang lihai," kata Lam hai Lo mo.
Pada saat itu, terdengar para pelayan yang menanti di luar berteriak teriak seakan akan melihat sesuatu yang aneh dan menakutkan. Kemudian disusul oleh suara "kraak!", di atas pendapa.
Lam hai Lo mo, Tung hai Sian jin dan yang lain lain cepat melompat ke luar. Mereka memandang ke atas dan .... di sana, di puncak tiang bambu penyangga tenda, dengan sebelah kaki berdiri tegak di atas bambu itu dan kaki yang lain diluruskan ke depan dan hio hio menyala di tangannya, tampak seorang nenek tua tegak tak bergerak bagaikan patung batu.
"Mo bin Sin kun...!" Lam hai Lo mo, Sam thouw hud dan Ang tung hud berseru perlahan dengan wajah berobah.
Tubuh nenek yang tadinya diam seperti patung itu mulai bergerak.
"Pinni (aku) datang untuk berurusan dengan Tung hai Sian Jin. Yang lain lain boleh pergi !" Suara ini terdengar tajam mengiris jantung dan menyakitkan anak telinga karena Mo bin Sin kun mengerahkan khikangnya dan suara yang datang dari atas itu lebih nyaring terdengarnya.
Wajah Tung hai Sian jin menjadi pucat. Ia maklum apa sebabnya nenek sakti itu mencarinya, tentu ada hubungannya dengan penahanannya terhadap Siauw Yang, puteri Thian te Kiam ong itu. Sebelum ia menjawab, Lam hai Lo mo menolongnya dengan suara ketawanya yang mengerikan, yakni seperti ringkik kuda.
"Hi, hi, hi, hi, Mo bin Sin kun, kau masih sombong dan tinggi hati, tidak melihat orang lain. Ketahuilah bahwa kau sekarang berhadapan dengan sembilan orang dewan pengurus Sam hiat ci pai, dan oleh karena Tung hai Sian jin juga seorang di antara dewan pengurus, segala urusanmu dengan dia otomatis menjadi urusan kami sembilan orang pula!"
Bergerak sepasang alis Mo bin Sin kun yang sudah berwarna putih, matanya mengeluarkan cahaya menakutkan, tanda bahwa ia marah sekali.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, Lam hai Lo mo, kau memang selalu curang dan pengecut! Kalau begitu, sembilan orang dewan pengurus Sam hiat ci pai boleh berhadapan dengan aku! Terimalah kembali hio kalian yang berbau busuk!" Sambil berkata demikian tangan nenek itu bergerak dan menyambarlah sembilan titik api ke bawah bagaikan sembilan buah bintang melayang jatuh, menyambar ke arah sembilan orang tokoh besar itu!
Biarpun yang disabitkan oleh Mo bin Sin kun itu hanyalah hio hio kecil yang terbuat daripada biting bambu, namun karena dilakukan dengan tenaga lweekang yang lihai, maka bukan tidak berbahaya dan kalau mengenai tubuh seorang biasa saja tentu akan menancap masuk seperti sebatang pedang ditusukkan. Akan tetapi, sembilan orang itu bukanlah orang sembarangan. Sekali menggerakkan tangan atau menggerakkan tubuh sambaran hio itu dapat disampok runtuh atau dielakkan dengan amat mudahnya.
Mo bin Sin kun mempergunakan kesempatan itu untuk melayang turun dengan gerakan yang amat ringan sehingga Lam hai Lo mo sendiri merasa terkejut sekali. Dahulu ia telah berkali kali mengukur tenaga dengan Mo bin Sin kun dan dapat mengetahui sampai di mana kepandaian wanita sakti itu yang membuat ia agak jerih. Sekarang tahulah dia bahwa kepandaian wanita ini, makin tua bukan makin lemah, bahkan menjadi makin hebat!
"Tung hai Sian jin, siluman jahat, kauapakan Siauw Yang cucu muridku" Hayo lekas bilang dan kalau kau mengganggunya seujung rambutnya saja, ini hari kepalamu pasti akan kuhancurkan!!" bentak Mo bin Sin kun marah sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang amat ditakuti oleh banyak penjahat untuk puluhan tahun lamanya, yakni sehelai sabuk merah yang panjang dan sehelai cermin perak yang berkilauan. Melihat senjata senjata ini, diam diam berdiri bulu tengkuk Sam thouw hud dan Lam hai Lo mo, akan tetapi oleh karena mereka sekarang bersembilan, sebentar saja rasa takut dan ngeri dalam hati mereka lenyap kembali.
Sembilan orang kakek itu lalu mengurung Mo bin Sin kun sambil mencabut senjata masing masing dengan sikap mengancam. Pada saat itu terdengar ribut ribut dan ketika semua orang menengok, ternyata bahwa seorang kakek gagah tengah dikeroyok hebat oleh Thio Kim yang berjuluk Si Tangan Seribu dan anak buahnya.
Ternyata bahwa kakek itu adalah Sin pian Yap Thian Giok, murid Mo bin Sin kun yang datang bersama gurunya.
Melihat muridnya sudah turun tangan, Mo bin Sin kun mengeluarkan bentakan nyaring dan sabuk merahnya bergerak menyambar ke arah Tung hai Sian jin dengan totokan maut ke arah leher. Tung hai Sian jin tidak berani berlaku lambat, cepat melompat mundur sambil menggerakkan Liong thouw tung (Tongkat Kepala Naga) di tangannya sambil berkata,
"Mo bin Sin kun, siapa mengganggu cucu muridmu" Dia kalah bertempur dan kini telah kulepaskan lagi."
"Bohong! Siapa percaya omongan busukmu?" kata Mo bin Sin kun yang terus menyerang dengan hebatnya. Serangan kali ini bukan hanya dilakukan dengan sabuk merahnya, juga disusul oleh serangan cermin perak yang selain membuat mata Tung hai Sian jin silau, juga amat berbahaya karena bingkainya yang terbuat daripada perak itu menghantam ke arah batok kepalanya.
"Celaka!" seru Tung hai Sian jin sambil berusaha sedapat mungkin untuk mengelak dan menangkis. Namun ia pasti dapat menghindarkan diri dan bahaya maut ini apabila yang lain lain tidak segera turun tangan.
"Ganas, siluman wanita ganas!" seru Sin lo sian Si Dewa Golok Sakti, orang termuda dari See san Ngo sian sambil menggerakkan golok menyerang Mo bin Sin kun dari belakang. Juga yang lain lain segera menggerakkan senjata mereka mengeroyok Mo bin Sin kun yang terpaksa membatalkan serangan mautnya terhadap Tung hai Sian jin untuk menghadapi yang lain lain. Pertempuran pecah dengan hebatnya Mo bin Sin kun mengamuk seperti puluhan tahun yang lalu apabila ia menghadapi orang orang jahat.
Akan tetapi selama hidupnya, biarpun ia seringkali menghadapi lawan lawan tangguh dan berbahaya, baru kali inilah ia bertempur melawan keroyokan sembilan orang yang rata rata sudah memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Andaikata sembilan orang ini maju seorang demi seorang, tak dapat diragukan lagi bahwa tentu Mo bin Sin kun akan dapat merobohkan mereka satu demi satu, sungguhpun tingkat kepandaian mereka itu hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat kepandaian Mo bin Sin kun. Akan tetapi sekarang sembilan orang itu maju berbareng dan terutama sekali ilmu kepandaian Lam hai Lo mo dan Sam thouw hud telah meningkat jauh daripada dahulu. Akhirnya Mo bin Sin kun tak tahan menghadapi gempuran sembilan orang yang berkepandaian tinggi ini dan terdesak hebat sekali.
Bagi seorang ahli silat setinggi Mo bin Sin kun tingkatnya, apabila menghadapi keroyokan ahli ahli silat yang tidak begitu lihai, makin banyak pengeroyok makin tenang dan untung, karena keroyokan yang dilakukan oleh orang orang yang tidak mengerti ilmu silat tinggi, bahkan mengacaukan jalannya pertempuran dan mengurangi kelihaian masing masing pengeroyok. Namun sembilan orang yang mengeroyok Mo bin Sin kun ini adalah tokoh tokah besar, pentolan pentolan aliran agama dan jago jago silat yang telah memiliki pengalaman berpuluh tahun. Biarpun mereka mengeroyok seorang lawan, namun gerakan mereka tidak kaku dan terhalang, bahkan mereka otomatis dapat mengatur pengepungan sedemikian rupa seakan akan lebih dulu mereka telah melatih diri untuk maju bersembilan menghadapi seorang lawan!
Berbeda dengan keadaan Mo bin Sin kun yang payah didesak hebat, Thian Giok lebih berhasil. Biarpun ia juga dikeroyok dan kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian gurunya, namun para pengeroyoknya hanya pelayan pelayan yang memiliki tenaga besar dan ilmu silat kasar belaka. Yang boleh di pandang hanya Thio Kim seorang, yang memiliki gerakan cukup cepat karena sesuai dengan julukannya, Si Tangan Seribu, ia adalah seorang tukang copet yang mahir. Namun, bagi Thian Giok tentu saja ia tidak ada artinya dan jago dari Sian hoa san inipun maklum bahwa di antara semua pengeroyoknya, hanya Thio Kim yang pandai. Oleh karena itu, ia sengaja mendesak dan mengerahkan kepandaiannya untuk menyerang Thio Kim sehingga dalam beberapa jurus kemudian, Thio Kim menjerit dan roboh dengan tulang pundak patah tersambar Pek giok joan pian senjata cambuk di tangan Thian Giok yang lihai.
Para pelayan lain menjadi marah dan memperhebat keroyokan, namun seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh jago Sian hoa san yang lihai itu. Senjata rantai atau cambuk Pek giok joan pian telah menjadi merah karena darah lawan yang roboh tewas atau terluka parah. Kemudian dengan pandangan mata beringas, Thian Giok melihat betapa gurunya terdesak hebat sekali oleh sembilan orang kakek yang amat lihai. Tanpa memoerdulikan tentang keselamatan diri sendiri, Thian Gok berseru keras dan tubuhnya menerjang ke arah kepungan itu!
"Thian Giok, jangan maju. Pergi dan larilah dari pulau ini!" seru Mo bin Sin kun, karena wanita sakti ini maklum bahwa bantuan Thian Giok pun takkan dapat memungkinkan kemenangan bagi fihaknya. Ia mendapat kenyataan bahwa sembilan orang pengeroyoknya itu benar benar merupakan lawan lawan yang tangguh dan lihai sekali.
Akan tetapi, mana Thian Giok mau mendengar perintah gurunya ini" Ia selamanya taat kepada gurunya, yang dianggap sebagai penolong besar dan pengganti orang tua sendiri. Kini, melihat gurunya yang tua itu berada dalam keadaan amat berbahaya, berada di tepi jurang maut, bagaimana ia bisa meninggalkannya dan melarikan diri untuk mencari selamat" Tentu saja ia tidak mau dan ia bahkan memutar Pek giok joan pian dengan sengitnya, memecahkan kepungan gurunya itu.
Akan tetapi, Sam thouw hud dan sutenya yakni Ang tung hud segera menyambut kedatangannya dengan serangan hebat. Mana Thian Giok sanggup menghadapi dua orang tokoh besar dari Tibet, kepala dari aliran Jubah Hitam ini" Melawan seorang di antara mereka saja ia takkan menang, apalagi sekarang keduanya maju bersama. Setelah memutar Pek giok joan pian sehingga senjata ini putus dan batu batu kemalanya berhamburan, ia tidak dapat mengelak lagi ketika hud tim (kebutan) di tangan kiri Sam thouw hud menotok iganya yang membuat tubuhnya menjadi lemas, disusul pula oleh tongkat merah di tangan Ang tung hud yang menotok lambungnya. Thian Giok roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, pingsan dan berada dalam keadaan hampir mati!
Melihat ini, Mo bin Sin kun yang amat terdesak itu, menjadi marah sekali. Terbangun semangatnya dan dengan kecepatan luar biasa, tanpa menghiraukan ancaman senjata senjata lawan, ia melompat dan menyerang Sam thouw hud dan Ang tung hud. Serangannya luar biasa sekali, cermin peraknya menghantam kepala Sam thouw hud sedangkan sabuk merahnya meluncur menotok jalan darah kematian di ulu hati Ang tung hud. Ketika itu dengan terkejut dua orang kakek ini mengelak, dua senjata di tangan Mo bin Sin kun tetap mengejar dan menyerang terus! Pada saat itu, beberapa pukulan telah mengenai tubuh Mo bin Sin kun. Pedang di tangan Koai kiam sian telah melukai pundaknya, golok di tangan Sin to sian juga telah melukai betisnya, sedangkan pukulan tangan Sin kun sian telah menghantam punggungnya. Akan tetapi semua itu seperti tidak dirasakan oleh Mo bin Sin kun yang terus menyerang kedua orang tokoh Jubah Hitam yang telah merobohkan muridnya itu. Dari samping, tongkat ular di tangan Lam hai Lo mo menyambar, terdengar suara keras, tongkat patah dan cermin perak juga pecah! Hampir berbareng, tongkat kepala naga dari Tung hai Sian jin menyambar, terlibat oleh sabuk merah, saling tarik akhirnya sabuk putus menjadi dua akan tetapi tongkat Tung hai Sian jin juga terlepas dari pegangan! Namun, Mo bin Sin kun yang sudah kehilangan kedua senjatanya itu masih saja dengan nekad mengejar Sam thouw hud dan Ang tung hud, kini mainkan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu yang hebat. Ketika tubuhnya berkelebat dan kedua tangannya menyambar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat, Sam thouw hud dan Ang tung hud terhuyung sambil menyeringai kesakitan. Mereka telah terkena pukulan itu dan menderita luka di dalam tubuh.
Akan tetapi, karena Mo bin Sin kun mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada dua orang tokok Jubah Hitam dari Tibet itu, maka ia kurang memperkuat penjagaan diri dan memberi kesempatan kepada Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin untuk melancarkan pukulan tangan yang luar biasa hebatnya. Tung hai Sian jin mengerahkan tenaga lweekang pada kedua tangannya yang memukul ke arah dada, sedangkan Lam hai Lo mo juga memukul dengan hebat ke arah lambung nenek sakti itu.
Mo bin Sin kun mengeluarkan keluhan panjang dan ia terhuyung huyung lalu roboh pingsan.
Lam hai Lo mo dan yang lain lain lebih dulu menghampiri Sam thouw hud dan Ang tung hud yang duduk bersila mengatur napas, ikan tetapi satelah memeriksa bahwa luka mereka tidak membahayakan Lam hai Lo mo lalu tertawa bergelak dan mengeluarkan tiga butir pel putih, diberikan kepada Sam thouw hud dua butir dan kepada Ang tung hud sebutir untuk ditelan. Memang luka yang diderita oleh Sam thouw hud lebih berat. Kedua orang hwesio itu sebentar kemudian sadar kembali dan nampak sehat.
Dengan marah Sam thouw hud dan Ang tung hud hendak membunuh Mo bin Sin kun, akan tetapi Lam hai Lo mo mencegahnya.
"Saudara saudara, lihatlah betapa pentingnya persatuan yang kita adakan. Baru saja Sam hiat ci pai dibuka, kita telah dapat mengalahkan dan merobohkan Mo bin Sio kun, orang yang amat berbahaya yang memusuhi kita. Dengan adanya Sam hiat ci pai, kita tidak takut menghadapi siapa pun juga. Biar Thian te Kiam ong sendiri maju, akan kita hancurkan dia seperti Mo bin Sin kun dan muridnya ini. Dan untuk lebih mendatangkan pengaruh, lihatlah kelihaian Sam hiat ci hoat yang akan kujatuhkan kepada dua orang musuh besar dan pengacau ini." Setelah berkata demikian, Lam hai Lo mo mengerahkan tenaga, menghampiri tubuh Mo bin Sin kun yang masih menggeletak pingsan di atas tanah, lalu menggunakan tiga jari tangannya memukul jidat nenek sakti itu.
Mo bin Sin kun yang masih pingsan tidak merasa sesuatu, akan tetapi pada saat itu juga nyawanya meninggalkan raganya. Wajah menjadi biru, demikian pula seluruh tubuhnya, dan pada jidatnya nampak gambar tiga buah jari tangan yang merah sekali. Biarpun ia telah tewas dan tubuhnya sudah menjadi mayat, namun warna merah pada gambar itu masih nampak nyata. Lam hai Lo mo tertawa bergelak dan kini ia menghampiri Thian Giok. Jago Sian hoa san ini telah siuman dari pinggannya. Ia melihat Lam hai Lo mo menghampirinya, mencoba untuk menggerakkan tubuh. Akan tetapi ketika Lam hai Lo mo menyerangnya dengan Sam hiat ci hiat, ia tidak kuasa menangkis dan seperti gurunya, iapun tewas setelah berkelojotan sebentar. Keadaannya serupa dengan gurunya, tubuh dan wajahnya membiru sedangkan pada jidatnya terdapat bekas tiga jari yang merah.
Lam hai Lo mo dan kawan kawannya memeriksa keadaan para pelayan yang diamuk oleh Thian Giok. Empat orang tewas dan yang lain lain luka berat, termasuk Thio Kim
"Hebat sekali," kata Pat jin san, orang pertama dari selatan sambil menggeleng geleng kepala.
"Memang mereka itu ganas sekali," kata Lam hai Lo mo, "oleh karena itu, perkumpulan kita harus diperbesar dan diperkuat. Sekarang kita mengurus para jenazah dan mengobati kawan kawan yang terluka. Adapun mayat kedua orang musuh besar ini jangan dikubur, biar kita gunakan untuk memancing datang Thian te Kiam ong dan kawan kawannya. Ha, ha, ha! Akan ramailah Sam liong to dan pulau inilah yang akan merupakan tempat kehancuran musuh musuh besarku yang telah membuat aku menderita dan menjadi orang cacad."
Lam hai Lo mo dan kawan kawanya lalu berunding dan sibuk mengatur segala rencana mereka. Mayat Mo bin Sin kun dan Thian Giok tidak dikubur, melainkan digeletakkan saja di dalam gua kosong. Mayat para pelayan dimakamkan dan yang terluka dirawat dan diobati. Pesuruh diutus pergi ke kota Tiong te untuk memberitahu kepada Ciong Pak Sui atau Sui Ciong Siauw ong ya agar pangeran ini tahu akan peristiwa hebat itu dan tahu pula bahwa orang kepercayaannya, yakni Thio Kim masih dirawat di Pulau Sam liong to. Juga diminta kepada pangeran itu agar mempercepat pembangunan di Pulau Sam liong to, karena perkumpulan San hiat ci pai perlu cepat cepat diperkuat.
Adapun delapan orang tokoh atau anggota dewan pengurus Sam hiat ci pai, lalu selama tiga hari mempelajari Ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat yang amat lihai dan sudah mereka saksikan sendiri buktinya itu. Lam hai Lo mo mengajar mereka, dan memberi tahu pula akan penggunaan racun ular merah yang harus dipergunakan di jari jari mereka untuk melakukan pukulan Sam hiat ci hoat yang amat dahsyat itu.
Bong Eng Kiat tidak mempelajari ilmu pukulan ini oleh karena ia tidak termasuk sebagai anggauta dewan pengurus perkumpulan itu. Memang tadi ayahnya, Tung hai Sian jin sengaja mengajukan syarat agar calon dewan pengurus dapat menancapkan hio di atas tiang bambu penahan tenda. Hal ini ia ajukan dengan dua macam maksud. Pertama tama agar ia yakin betul bahwa kawan kawan yang bekerja sama dengan dia, betul betul memiliki kepandaian yang tinggi. Kedua kalinya, ia memang hendak mencegah puteranya menjadi anggauta dewan pengurus yang berarti menjadi penanggung jawab pula. Ia maklum akan bahayanya setelah menggabungkan diri pada perkumpulan ini, biarpun bahaya itu dapat dihadapi bersama dengan banyak kawan pandai. Akan tetapi ia ingin agar supaya puteranya tinggal bersih di luar pekumpulan dan tidak terseret seret oleh arus permusuhan dengan tokoh tokoh sakti.
Dua orang penunggang kuda keluar dari kota Cin an, menuju ke utara. Kuda mereka berjalan cepat di sepanjang jalan besar yang menuju ke kota raja. Mereka adalah seorang laki laki dan seorang wanita, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian rapi dan bersikap gagah.
Apalagi kuda yang ditunggangi oleh laki laki itu, amat bagus dan kuatnya, berbulu putih dan larinya seperti tidak menginjak bumi agaknya. Gagang pedang yang kelihatan di belakang punggung masing masing, menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang kang ouw yang biasa merantau dikawani pedang. Siapakah dua orang setengah tua yang gagah dan nampak tampan dan cantik pula ini"
Mereka itu bukan lain adalah Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan isterinya yang bernama Can Sian Hwa. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, setelah kedatangan Yap Thian Giok yang membawa surat peninggalan Pangeran Kian Tion gdan puteri Luilee tentang anak mereka yang diculik oleh seorang kakek berkaki satu, sepasang suami isteri peadekar ini lalu melakukan perantauan, meninggalkan rumah mereka di Tit le.
Maksud perantauan mereka ini selain hendak menyelidiki keadaan kakek yang menculik anak sahabat sahabat mereka dan bahkan telah membunuh sahabat sahabat baik itu, juga mereka hendak mencari kedua orang putera puteri mereka yang telah lama meninggalkan rumah, yakni Song Tek Hong dan Song Siauw Yang. Oleh karena mereka pergi, maka mereka tidak tahu betapa rumah mereka di Tit le telah dibakar musnah oleh musuh besar mereka, Lam hai Lo mo, bahkan pelayan pelayan mereka telah ditewaskan pula. Memang ganjil sekali keadaan mereka itu. Mereka meninggalkan rumah untuk mencari kakek berkaki satu yang bukan lain adalah Lam hai Lo mo sendiri. Sedangkan rumah mereka didatangi dan dibakar oleh musuh besar ini!
Kuda Pek hong ma (Kuda Angin Putih) yang ditunggangi oleh Song Bun Sam, meringkik ringkik dan melompat lompat tinggi sehingga pendekar pedang itu harus menahannya dengan tarikan pada kendali.
"Eh, kudamu mengapa begitu gembira" Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya," kata Stin Hwa kepada suaminya.
"Tidak terjadi sesuatu. Dia hanya gembira karena telah keluar dari kota yang berdebu dan sempit. Agaknya dia ingin dibawa membalap," jawab Bun Sam sambil tersenyum dan menepuk nepuk leher kudanya.
"Hem, kuda liar itu selalu saja hendak main balap!" Sian Hwa mengomel, akan tetapi biarpun mulutnya mengomel, nyonya cantik ini lalu menepuk kudanya sendiri dan membalapkan kuda itu, semata mata untuk memberi kesempatan kepada pek hong ma kuda kesayangan suaminya itu agar dapat mengejar dan membalap memenuhi seleranya!
"Kau baik sekali, isteriku yang manis!" Bun Sam tertawa dan berkata kepada kudanya, "Pek hong ma, sekarang kau boleh lari sesukamu!"
Pek hong ma meringkik dan tiba tiba tubuhnya meluncur cepat sekali, sebentar saja sudah dapat menyusul kuda yang ditunggangi oleh Sian Hwa. Terpaksa Bun Sam menahan sedikit larinya Pek hong ma, karena ia tidak mau meninggalkan isterinya. Demikianlah, suami isteri pendekar itu membalapkan kuda sehingga sebentar saja mereka telah tiba di puncak sebuah bukit kecil.
"Lihat suamiku, alangkah indahnya pemandangan dari sini!" Tiba tiba Sian Hwa menghentikan kudanya dan menunjuk ke timur. Bun Sam juga menghentikan Pek hong ma dan memandang ke jurusan itu. Memang indah luar biasa pemandangan alam dari tempat itu.
"Bukit ini termasuk kaki Pegunungan Tai hang di perbatasan Propinsi Hopei dan Santung," kata Bun Sam. "Mari kita mengaso dulu sambil menikmati keindahan alam."
Mereka berdua turun dan atas kuda yang di biarkan begitu saja. Dua ekor kuda yang sudah jinak itu lalu makan rumput yang hijau dan gemuk, sedangkan sepasang suami isteri itu lalu duduk di atas batu. Angin bukit bersilir mendatangkan hawa sejuk menimbulkan nafsu makan. Sian Hwa lalu mengambil bekal makanan roti kering dan arak dari sela kuda dan mereka lalu makan minum sambil mengobrol gembira seperti pengantin baru sedang bertamasya.
"Lihat, puncak menjulang tinggi di sebelah barat itulah puncak Pegunungan Tai hang," kata Bun Sam sambil menunjuk ke arah barat.
"Hebat "." kata Sian Hwa sambil memandang ke arah puncak yang dihias mega mega putih. "Di tempat sunyi dan penuh dengan tamasya alam ini, kita merasa begini kecil dan tidak berarti."
Tanpa berpaling kepada isterinya dan dengan pandangan termenung ke arah pemandangan alam yang indah permai itu, Bun Sam mengangguk angguk lalu berkata,
"Kau benar, isteriku. Alangkah indahnya alam semesta, alangkah besarnya kekuasaan Thian Yang Maha Tunggal dan alangkah sucinya cinta kasih Thian kepada kita manusia hingga seluruh yang ada di permukaan bumi ini, berguna belaka bagi manusia. Bahkan siliran angin pun mendatangkan kesejukan yang begini nyaman...."
Sian Hwa mengangkat kedua alisnya, memandang kepada suaminya lalu tersenyum dan menggoda, "Eh, ucapanmu seperti syair saja!"
Bun Sam sadar dari lamunannya, tersenyum dan memandang kepada isterinya dengan muka merah.
"Tentu saja aku tidak becus sama sekali dalam hal membuat syair kalau dibandingkan dengan kau, isteriku yang pandai."
"Hush, tak perlu memuji muji, bukankah pada pertemuan pertama kali kau juga membuat syair yang lucu?" Sian Hwa terkenang akan pertemuan pertama antara dia dan suaminya ini dan tak terasa pula ia tertawa geli. Memang pertemuan mereka dahulu itu lucu dan menggelikan.
Bun Sam memandang wajah isterinya yang dalam pandangannya tetap cantik manis tak berubah itu, lalu berkata dengan sungguh sungguh, "Memang, isteriku. Pertemuan kita disaksikan dan diikat oleh syair."
Keduanya sampai lama tidak mengeluarkan suara, terbenam dalam lamunan masing masing, lamunan penuh kebahagiaan.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita," ajak Bun Sam.
"Nanti dulu, kulihat ada orang datang ke tempat ini," kata Sian Hwa.
Benar saja, seorang petani sebaya dengan mereka usianya, memanggul pacul berjalan terbungkuk bungkuk pada jalan menanjak itu. Pakaiannya sederhana dan kasar bajunya sebagian terbuka di dada karena kancingnya hilang, tubuhnya kurus akan tetapi penuh otot karena biasa bekerja berat dan mukanya agak hangus terbakar sinar matahari, ia bertelanjang kaki dan keadaannya miskin sekali, namun yang menarik perhatian suami isteri pendekar itu, adalah sinar kebahagiaan yang memancar dari wajah sederhana itu.
"Selamat siang, sahabat !" tegur Bun Sam dengan suara riang dan ramah.
Petani itu terkejut dan memandang heran serta ragi ragu, benar benarkah "orang kota" ini mau menegurnya begitu ramah" Ia tergopoh gopoh memberi hormat dan berkata,
"Selamat siang, harap saja ji wi dapat enak beristirahat di tempat ini." Ia membungkuk bungkuk lagi, hendak melanjutkan perjalanannya,
"Sahabat, duduklah dan mari minum arak dengan kami!" Sekali lagi mata petani itu terbelalak lebar. Benarkah pendengarannya" Benarkah nyonya cantik itu menawarkan duduk dan minum arak kepadanya"
"Ha"." Hamba ". Hamba"." Akan tetapi ia melihat wajah suami isteri itu tersenyum dan berseri, lalu Bun Sam berkata ramah,
"Betul, sahabat. Duduklah dan mari minum arak sambil mengobrol!"
Dengan girang akan tetapi masih terheran heran, petani itu lalu meletakkan paculnya dan duduk di atas batu di hadapan suami isteri itu. Ia menerima cawan penuh arak dari Sian Hwa dan meminumnya dengan lahap.
"Enak dan harum sekali arak ini," katanya. Sian Hwa memenuhi lagi cawan itu, diterima dengan penuh rasa terima kasih oleh si petani yang memegangi cawan itu sambil memandang kagum.
"Ji wi amat baik, belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan orang kaya yang seramah ji wi. Terima kasih, terima kasih."
"Kami bukan orang kaya," bantah Sian Hwa.
Petani itu memandang ke arah pakaian Bun Sam dan Sian Hwa, lalu pandangannya melayang ke arah kuda.
"Biarpun sederhana, namun ji wi berpakaian seperti orang kota, setidaknya ji wi adalah orang orang kota yang berbeda jauh dengan kami di gunung."
"Di kota atau gunung, tetap saja kita sama sama manusia, sahabat yang baik. Sebetulnya saja, aku sengaja mengundangmu untuk menanyakan suatu hal," kata Bun Sam.
Dengan sikap siap sedia untuk membantu segala hal yang dapat ia lakukan, petani itu menjawab cepat, "Apakah yang dapat kukerjakan untuk ji wi" Apakah ji wi hendak bertanya tentang jalan" Ataukah mencari rumah untuk bermalam."
"Tidak, kami sudah hafal akan jalan di sini dan kami hendak melanjutkan perjalanan karena masih siang, belum waktunya bermalam. Yang hendak kutanyakan hanyalah, bagaimana kau yang kelihatan amat miskin dan serba kekurangan, bisa kelihatan begitu gembira?"
Petani itu tercengang, lalu tertawa dan giginya sebelah kiri telah ompong sehingga nampak lucu sekali.
"Mengapa tidak gembira" Apa yang harus disusahkan?"
"Apakah keadaan rumah tanggamu cukup?"
Petani itu menggeleng kepala. "Kami tidak punya tanah, tidak punya kerbau atau kuda. Aku bekerja dengan kaki tanganku, dibantu oleh isteriku dan anakku laki laki berusia empatbelas tahun. Sayang dia sekarang sedang menderita sakit panas, sudah sebulan lebih."
Bun Sam merasa makin heran. "Kau miskin dan anakmu sakit, bagaimana kau masih bisa bergembira?"
"Habis, harus bagaimanakah" Penyakit menyerang anak kami bukanlah salah kami, dan kami sudah berusaha mengobatinya. Keadaan miskin memang betul, akan tetapi karena setiap hari aku dan isteriku bekerja, makan cukup dan udara bagus apa guna keluh kesah?"
"Apakah kau tidak berduka memikirkan anakmu yang sakit?"
Petani itu mengerutkan kening dan untuk sesaat ia nampak sedih sekali, akan tetapi disambungnya dengan senyum lagi.
"Alangkah janggalnya pertanyaanmu ini. Orang tua manakah yang takkan hancur hatinya melihat anaknya sakit" Akan tetapi kami telah berikhtiar mengobatinya. Tentang nyawanya, mati atau hidupnya, terserah ke dalam tangan Thian. Keluh kesah dan kesedihan hanya akan menghalang pekerjaanku, membuat aku malas dan mungkin membuat aku sakit. Kalau aku dan isteriku sakit, bukankah lebih payah lagi?"
Bun Sam dan Sian Hwa kagum mendengar filsafat yang amat sederhana ini, namun yang harus mereka akui kebenarannya.
"Jadi kau berbahagia, sahabat baik?" tanya Bun Sam.
Petani itu termenung. "Bahagia "." Apakah bahagia itu?"
"Apakah kau merasa senang hidup di dunia ini?"
"Tentu saja!" jawabnya tegas.
"Kalau begitu kau berbahagia," kata Sian Hwa.
"Entahlah, mungkin.... mungkin benar aku bahagia kalau begitu. Hm, arakmu enak sekali!" Ia menenggak habis arak ke dua. "Belum pernah aku merasai arak seenak ini Terima kasih, ji wi baik sekali. Wajah ji wi akan selalu kukenangkan dan adapun tentang pertanyaan mengenai kebahagiaan itu.... baiklah akan kurenungkan dan kalau kelak kita bertemu lagi, mungkin aku akan dapat menjawabnya."
Petani itu lalu menjura, mengambil paculnya dan berjalan pergi dengan tindakan ringan.
Bun Sam dan Sian Hwa saling pandang, penuh pengertian. Kata kata terakhir petani tadi yang menyatakan betapa enaknya arak yang selamanya belum pernah dirasakan itu, menyadarkan mereka. Arak itu biarpun enak bagi mereka, akan tetapi agaknya tidak pernah terasa senikmat petani tadi merasainya. Dan hal ini adalah karena petani itu tidak pernah meminum arak seperti ini! Pada saat itu, terdengar bunyi suling dan dari jauh kelihatan seorang anak kecil duduk di atas punggung seekor kerbau sambil meniup sulingnya.
Anak itu pakaiannya tambal tambalan, tidak bersepatu dan keadaannya lebih miskin daripada petani tadi. Kerbaunya makan rumput sambil berjalan perlahan dan tiupan anak itu membayangkan kesenangan dan ketenteraman hati yang luar biasa, sesuai benar dengan keadaan yang indah di sekitarnya.
Bun Sam menghela napas panjang dan ketika ia menengok, ia melihat dua butir air mata bertitik di atas pipi isterinya. Bun Sam memegang tangan isterinya tanpa bicara sesuatu, meremas jari jari tangan isterinya dan keduanya tanpa bicara lalu mengambil sisa makanan, dibawa ke kuda mereka dan berangkatlah mereka naik kuda perlahan lahan, turun dari puncak bukit.
"Itulah kebahagiaan," kata Bun Sam perlahan. "Mereka yang menerima dengan sabar dan tenang segala sesuatu yang menimpa dirinya, yang menganggap pekerjaan sebagai tugas kewajiban hidup yang sewajarnya, yang tidak menginginkan hal hal yang berada di luar jangkauan tangan, yang merasa senang dan puas akan hasil pekerjaannya dan dapat menikmati segala sesuatu yang ada padanya, orang orang seperti itulah yang patut disebut berbahagia!"
Tembang Tantangan 15 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Sukma Pedang 9

Cari Blog Ini